filsafat ilmu dalam pengembangan metode ilmiah
Post on 28-Dec-2015
1.369 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat seringkali disebut oleh sejumlah pakar sebagai induk semang dari
ilmu-ilmu. Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha untuk menunjukkan batas-
batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat dan lebih memadai.
Filsafat telah mengantarkan pada sebuah fenomena adanya siklus pengetahuan
sehingga membentuk sebuah konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon
ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur sebagai sebuah
fenomena kemanusiaan. Masing-masing cabang pada tahap selanjutnya melepaskan
diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti
metodologinya sendiri-sendiri.
Dalam perkembangan kehidupan Ilmu mengalami kemajuan. Perkembangan
ilmu ini dapat terwujud karena adanya aktivitas yang berupa penelitian yang
dilakukan oleh para ilmuwan. Beberapa orang ahli filsafat diantaranya Francis Bacon
(1561-1620) dan Karl Popper dan Thomas Kuhn telah melakukan pengamatan atas
aktivitas atau cara kerja ilmuwan tersebut. Para pengamat yang bukan ilmuwan sains
menyebut cara kerja ini sebagai metode ilmiah.
Banyak ilmuwan mengemukakan bahwa metode ilmiah yang dikemukakan
oleh Bacon dan Popper itu terlalu sederhana dan kurang memadai. Mereka
mengemukakan bahwa metode ilmiah terdiri atas serangkaian kegiatan yang berupa :
pengenalan dan perumusan masalah, pengumpulan informasi yang relevan,
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 1
perumusan hipotesis, pelaksanaan eksperimen dan publikasi atau penyebaran
informasi.
Sebagai “Home Sapiens “ manusia tidak akan pernah berhenti berpikir selama
hidupnya, terlepas dari kadar atau tingkatan masalah yang dipikirkannya. Apakah
masalah biasa (sederhana), masalah ilmiah, atau bahkan masalah filsafat.
Apakah manusia berpikir dengan menekankan kegunaannya dari pada
kebenarannya ini termasuk dalam tingkatan berpikir biasa. Apabila manusia berpikir
dengan menekankan kebenarannya dari pada kegunaanya sebagai batas pengalaman
termasuk dalam tingkatan berpikir ilmiah. Dan apabila manusia berpikir secara
komprehensif, mendasar dan spekulatif melewati batas pengalaman ini termasuk
tingkatan berfikir filsafat.
Berdasarkan hal diatas penulis tertarik untuk mengkaji metode ilmiah ditinjau
dari filsafat ilmu. Hal ini penting sekali karena dalam makalah tersebut juga akan
dibahas tentang penemuan ilmiah secara logis dan kritis.
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 2
BAB II
METODE ILMIAH DALAM TINJAUAN FILSAFAT ILMU
A. Kajian Filsafat Ilmu
Sebelum menelaah tentang peranan filsafat ilmu perlu lebih dahulu
dipahami apakah pengetahuan dan apakah ilmu itu.
Pengetahuan dapat dipilahkan menurut kegunaannya (dan kemudian diberi
nama tertentu) misalnya: pengetahuan tentang baik dan buruk (etika),
pengetahuan tentang indah dan jelek (estetika), atau pengetahuan tentang benar
dan salah (logika). Pengetahuan juga digolongkan berdasarkan darimana
pengetahuan itu diperoleh. Sebagaimana diketahui, pengetahuan dapat diperoleh
dari hasil berpikir, muncul dari perasaan hati, hasil tangkapan indera, dan bahkan
pengetahuan juga dapat diperoleh secara unik, melalui intuisi, supra-natural,
wahyu, mimpi, dan sebagainya.
Tafsir (2004) membagi pengetahuan dalam tiga kelompok: sain, filsafat
dan mistik. Ketiganya berbeda alam obyek, paradigma, metode serta kriteria yang
digunakannya. Salah satu cara mendapatkan pengetahuan (yang umum dan paling
banyak diketahui), adalah melalui pikiran atau melalui penalaran. Tentu saja,
tidak semua pengetahuan manusia merupakan hasil penalaran atau hasil berpikir.
Manusia, memang bukanlah semata-mata mahluk yang berpikir. Manusia
berkemampuan untuk berpikir, merasa, dan mengindera. Oleh karena itu sebagian
terbesar pengetahuan manusia bersumber dan merupakan hasil dari ketiga
kemampuan tersebut.
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 3
Pengetahuan juga dapat diperoleh dari informasi yang diberikan oleh
orang lain kepada kita. Yang dimaksud dengan infonnasi di sini adalah wacana
yang dapat berbentuk lisan atau tulisan. Dengan demikian pembentukan
pergetahuanpun akan berbeda-beda bagi tiap individu sebagaimana dikemukakan
oleh pandangan konstruktivisme. Sesuai pandangan tersebut, kecepatan seseorang
membentuk pengetahuanpun berbeda-beda pula. Jadi meskipun informasi atau
stimulusnya sama, berbagai individu akan membentuk pengetahuan yang berbeda
dengan kecepatan yang tidak sama pula.
Suriasumantri (1981) menyatakan perlunya membedakan antara ilmu dan
pengetahuan, disarankannya untuk menggunakan terminologi pengetahuan untuk
"knowledge" dan ilmu untuk "science". Meskipun terdapat beragam tafsiran
tentang makna ilmu, namun terdapat kesamaan pokok, yaitu: ilmu merupakan
bagian dari pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang mempunyai ciri-
ciri khusus baik dilihat dari untuk apa ilmu itu, apa obyek telaahannya, dan
bagaimana mendapatkannya
Untuk memberikan gambaran mengenai perkembangan ilmu, dapat
dikemukakan contoh bahwa hingga abad 18 fisika masih disebut sebagai "filsafat
alam". Demikian pula yang sekarang kita kenal sebagai ilmu ekonomi, dahulu
disebut sebagai filsafat moral. Sejak pertengahan abad 19, fisika, kimia dan
biologi disebut sebagai ";Ilmu kealaman" dan bukan bagian dari filsafat alam.
Dalam perkembangan selanjutnya pada abad 20, fisika, kimia, biologi, psikologi,
serta ilmu-ilmu sosial seperti ilmu ekonomi, ilmu pendidikan, sosiologi, ilmu
hukurn, dan ilmu politik telah dinyatakan sebagai "ilmu-ilmu empiris".
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 4
Dengan berjalannya waktu ilmupun berkembang menjadi lebih banyak
dan lebih luas sehingga banyak pula cabang-cabang ilmu yang lebih dalam
pembahasannya. Dengan demikian ilmu-ilmu itu lahir, berdiri sendiri sebagai
disiplin-disiplin ilmu yang terlepas dari filsafat sebagai induknya. Pada dasarnya
ilmu itu lahir dan berkembang sebagai produk dari upaya manusia untuk
memahami realitas alam serta kehidupan di dalamnya serta upaya
mengembangkan produk-produk yang telah dihasilkan oleh manusia sebelumnya.
Teknologi merupakan “buah” dari ilmu. Manusia juga menggunakan ilmu
untuk memecahkan masalahnya. Sebagai hasil dari penggunaan ilmu, berbagai
proses dan produk teknologi dihasilkan secara mengagumkan. Teknologi telah
mampu memecahkan berbagai persoalan manusia dan menjadikan kehidupan
lebih indah, lebih mudah dan lebih dapat dinikmati. Namun demikian, teknologi
juga dituduh menimbulkan berbagai permasalahan baru. Banyak bukti
menunjukkan bahwa hasil teknologi merupakan pisau bermata dua, kebahagiaan
di satu sisi dan kesengsaraan di sisi yang lain. Misalnya, kemajuan teknologi
informasi yang mewarnai abad 21 dan menjadikan dunia lebih 'kecil' dan
menjadikannya lebih transparan.
Disiplin-disiplin ilmu yang telah lepas tadi berkembang terus dengan pesat
dan banyak menghasilkan produk-produk berupa teknologi yang bermanfaat bagi
masyarakat, di samping ada pula dampak negatif yang timbul dari perkembangan
ilmu tersebut. Kita tentu masih ingat betapa dahsyatnya letusan bom, atom yang
dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki di negeri Jepang pada tahun 1945.
Akibat dari pemboman ini sebagian besar dari kedua kota itu hancur dan
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 5
penduduknyapun banyak yang meninggal. Sebagian dari mereka menderita, luka
dan cacat tubuh seumur hidupnya. Inilah sebuah contoh tragedi kemanusiaan yang
diakibatkan oleh penggunaan kemajuan ilmu tentang energi nuklir dengan produk
teknologinya.
Kisah ini menyadarkan kita tentang perlunya mempersoalkan
pengembangan ilmu pada aspek maralitas, norma etika serta spiritualitasnya.
Aspek-aspek ini tidak dapat kita temukan pada teori, hokum-hukum maupun
eksperimen yang mendasari perkembangan ilmu tertentu.
Meskipun dalam, perkembangannya filsafat telah melahirkan ilmu-ilmu
yang bersifat mandiri, tidak berarti bahwa hubungan antara ilmu dan filsafat telah
putus, karena masih ada dan perlu ada interaksi antara keduanya. Sebagai contoh
filsafat bertugas antara lain untuk membuat analisis tentang konsep-konsep dan
asumsi-asumsi ilmu dalam hal arti dan validitasnya. Selain itu filsafat juga
mengatur hasil berbagai ilmu dalam suatu pandangan hidup yang terintegrasi,
komprehensif dan konsisten. Sebaliknya sikap ilmiah yang merupakan landasan
perkembangan ilmu, dirasakan amat bermanfaat pula bagi perkembangan filsafat.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa filsafat dan ilmu saling
membutuhkan. Filsafat ilmu yang salah satu tugas pokoknya ialah menilai hasil
ilmu ditinjau dari aspek eksistensi manusia seutuhnya, merupakan jembatan
penghubung antara filsafat dan ilmu.
Filsafat Ilmu menurut Beerling (1988) adalah penyelidikan tentang ciri-
ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh
pengetahuan.Filsafat ilmu berkaitan dengan filsafat pengetahuan atau
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 6
epistemologi, yakni secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk
pengalaman manusia, juga mengenai logika dan metodologi.
M Zainudin (2006) menyatakan bahwa Cony membagi dasar pemahaman
tentang filsafat ilmu menjadi empat titik pandang: (1) filsafat ilmu adalah
perumusan yang konsisten dengan teori-teori ilmiah yang penting. Menurut
pandangan ini, adalah merupakan tugas filsuf ilmu untuk mengelaborasi implikasi
yang lebih luas dari ilmu; (2) filsafat ilmu adalah eksposisi dari presupposition
dan pre-disposition dari para ilmuwan; (3) filsafat ilmu adalah suatu disiplin ilmu
yang di dalamnya terdapat konsep dan teori tentang ilmu yang dianalisis dan
diklasifikasikan; (4) filsafat ilmu merupakan suatu patokan tingkat kedua, filsafat
ilmu menuntut jawaban terhadap pertanyaan sebagai berikut: (a) karakteristik apa
yang membedakan penyelidikan ilmiah dari tipe penyelidikan lain?; (b) kondisi
yang bagaimana yang patut dituruti oleh para ilmuwan dalam penyelidikan alam?;
(c) kondisi yang bagaimana yang harus dicapai bagi suatu penjelasan ilmiah agar
menjadi benar?; dan (d) status kognitif yang bagaimana dari prinsip dan hukum
ilmiah?
Filsafat ilmu pengetahuan (theory of knowledge) di mana logika, bahasa,
matematika termasuk menjadi bagiannya lahir pada abad ke-18. (Komara, 2011).
Dalam filsafat ilmu pengetahuan diselidiki apa yang menjadi sumber
pengetahuan, seperti pengalaman (indera), akal (verstand), budi (vernunft) dan
intuisi. Diselidiki pula arti evidensi serta syarat-syarat untuk mencapai
pengetahuan ilmiah, batas validitasnya dalam menjangkau apa yang disebut
sebagai kenyataan atau kebenaran itu.
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 7
Filsafat ilmu menurut Roento Wibisono (1988) sebagai kelanjutan dari
perkembangan filsafat pengetahuan, adalah juga merupakan cabang filsafat.Ilmu
yang objek sasarannya adalah ilmu, atau secara populer disebut dengan ilmu
tentang ilmu.
Dari paparan pendapat para pakar dapat disimpulkan bahwa pengertian
filsafat ilmu itu mengandung konsepsi dasar yang mencakup hal-hal sebagai
berikut:
1) sikap kritis dan evaluatif terhadap kriteria-kriteria ilmiah
2) sikap sitematis berpangkal pada metode ilmiah
3) sikap analisis obyektif, etis dan falsafi atas landasan ilmiah
sikap konsisten dalam bangunan teori serta tindakan ilmiah
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan ilmu itu
tidak dapat hanya dirumuskan atau ditentukan oleh ilmu itu sendiri, tetapi perlu
dikaitkan dengan dasar budaya masyarakat atau bangsa. Hal ini disebabkan
karena pada dasarnya nilai suatu pergembangan ilmu itu perlu ditinjau sejauh
mana ilmu itu dapat menyumbangkan nilai tambah untuk kesejahteraan
masyarakat tanpa harus mengorbankan nilai-nilai budaya mereka. Oleh karenanya
pemahaman tentang-filsafat ilmu amat diperlukan.
Untuk mengatasi kesenjangan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang
lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi
perbedaan yang muncul. Dipercaya bidang filsafat yang mampu mengatasi hal
tersebut, adalah filsafat (tentang) ilmu.
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 8
Wibisono (1984) menyatakan filsafat ilmu merupakan salah satu cabang
filsafat yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu
sendiri. Sedangkan Suriasumantri (1984) mendefinisikannya sebagai bagian dari
pengetahuan filsafat yang secara khas mempelajari ilmu pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan yang menjadi kajian filsafat ilmu (terapan), adalah: hakikat
keilmuan, metode keilmuan, sarana keilmuan, dan nilai etis dalam keilmuan.
Sebagai telaahan filsafat yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakekat
ilmu, dapat dilakukan dengan mengacu pada tiga landasan pengetahuan yaitu:
1. Landasan aksiologi yang mempersoalkan peran dan fungsi ilmu. Untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan, bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral.
2. Landasan ontologi mempertanyakan obyek apa yang ditelaah ilmu, atau
hakikat apa yang dikaji.
3. Landasan epistemologi mempersoalkan bagaimana proses yang
memungkinkan didapatnya ilmu pengetahuan serta kriteria kebenaran ilmiah
yang dianutnya.
Cara mendapatkan ilmu (epistemologi) : Cara atau metoda yang khusus guna
mendapatkan ilmu disebut metode keilmuan, yang merupakan bagian dari landasan
epistemologi pengetahuan. Metode keilmuan merupakan kerangka berpikir spesifik,
yang menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif. Metode keilmuan
merupakan rentetan daur berpikir induksi, deduksi, dan penyahihan (verifikasi) yang
terus menerus tak kunjung henti. Berdasar daur tersebut, metode keilmuan juga
sering disebut sebagai metode hipotetiko- deduktif-induktif. Akibat dari kegiatan
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 9
yang spesifik tersebut, menjadikan ilmu secara hakiki berbeda dengan pengetahuan
yang lain.
Dari sekian metode yang ada untuk memperoleh kebenaran, metode ilmiah
merupakan salah satu metode yang besar sekali pengaruhnya dalam kehidupan
manusia. Metode ilmiah ini pada prinsipnya adalah hasil pengembangan dari
penerapan dua paham berpikir filosofis, yakni paham rasionalisme dan empirisme
(Suriasumantri, 1996; Beerling et al., 1997).
Empirisme vs Rasionalisme: Sebagai suatu paham atau aliran dalam filsafat,
empirisme menekankan pengalaman sebagai sumber utama untuk mendapatkan
pengetahuan. Istilah empirisme berasal dari bahasa Yunani empeiria yang berarti
coba-coba atau pengalaman. Pemikiran empirisme lahir sebagai suatu sanggahan
terhadap aliran filsafat rasionalisme yang mengutamakan akal sebagai sumber
pengetahuan. Para tokoh filsafat mengembangkan pemikiran empiris karena mereka
tidak puas dengan cara mendapatkan pengetahuan sebagaimana dipercayai oleh aliran
rasionalisme. Orang-orang rasionalisme dalam mencari kebenaran sangat menjunjung
tinggi penalaran atau yang disebut dengan cara berpikir deduksi, yaitu pembuktian
dengan menggunakan logika.
Terdapat dua logika yang umum dipakai manusia dalam memecahkan
masalahnya: (a) Logika deduktif mengacu pada dunia konsep pada khasanah
pengetahuan keilmuan yang sahih atau dunia rasional, sedangkan (b) logika induktif
melandaskan dirinya pada dunia fakta-fakta atau khasanah dunia empirik.
Metode keilmuan yang merupakan gabungan antara logika deduktif dan
logika induktif, berarti pula menggabungkan rasionalisme dan empirisme dan
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 10
memungkinkan terjadinya sifat saling mengoreksi terhadap kesimpulan kebenaran
yang dihasilkan. Kelemahan penyimpulan deduksi dan induksi : Baik cara berpikir
deduktif maupun induktif keduanya mempunyai kelemahan. Kebenaran penyimpulan
deduktif tidak saja sangat tergantung pada kebenaran premis mayor dan tetapi juga
pada kebenaran dalam penarikan kesimpulannya. Sedangkan kebenaran penyimpulan
induktif juga sangat tergantung pada kebenaran hasil pengamatan empirik. Hasil
pengamatan empirik seringkali menyesatkan. Kebenaran induksi juga tergantung dari
kualitas kesimpulan yang dilakukan.
Gabungan berpikir induksi deduksi: Melihat kelemahan kedua cara berpikir
itu, dipadukan cara berpikir deduktif dan induktif, yang kemudian dikenal sebagai
metode ilmiah. Penggabungan cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif
memberikan dukungan kebenaran konsep dan fakta.
Ciri khas metode keilmuan: Metode keilmuan merupakan kerangka berpikir
yang bersifat tanpa henti. Metode keilmuan merupakan rentetan daur berpikir
induksi, deduksi, dan penyahihan (verifikasi) yang terus menerus tak kunjung henti.
Berdasar daur tersebut, metode keilmuan juga sering disebut sebagai metode
hipotetiko-deduktif-induktif. Karakteristik penting metode keilmuan adalah sifat tak
pribadi (impersonal) dengan demikian kebenarannya bersifat obyektif.
Di samping itu adanya mekanisme berpikir induktif-deduktif menyebab-kan
metode keilmuan berkemam-puan untuk memperbaiki diri sendiri. Sehingga metode
ini dapat digunakan oleh setiap ilmuan atau peneliti untuk mengaji pengalaman
manusia dengan tidak dipengaruhi isi dari pengalaman yang akan dikajinya. Karena
pada hakekatnya metode ilmiah merupakan cara bekerjanya pikiran.
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 11
B. Penerapan Metode Ilmiah
Pengetahuan yang benar dapat diperoleh baik melalui pendekatan non-ilmiah
maupun pendekatan ilmiah. Berbagai pendekatan non-ilmiah yang sering dipakai,
seperti: akal sehat, prasangka, intuisi, penemuan kebetulan, coba-coba, pendapat
otoritas dan lain-lain. Pendekatan ilmiah juga dipakai dalam memperoleh kebenaran.
Pendekatan ilmiah yang dilakukan melalui metode keilmuan dapat dilakukan baik
secara informal dalam kehidupan sehari-hari, maupun secara lebih formal melalui
berbagai bentuk kegiatan kegiatan kelimuan. Suhardjono, dkk (1995) menyatakan
kegiatan ilmiah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni (a) kegiatan penelitian
(research), (b) pengembangan (development), dan (c) evaluasi (evaluation).
Perbedaan dari ketiga kegiatan ilmiah tersebut dapat dilihat dari tujuan
utama, serta langkah kerja yang dilakukan, sebagaimana pada tabel
berikut ini.
Penelitian Pengembangan Evaluasi
Penelitian bertujuan untuk
memperoleh pengetahuan
(informasi) ilmiah dari hal
yang dipermasalahkan.
Informasi tersebut dapat berupa
gambaran dari keadaan
sebagaimana adanya (penelitian
deskriptif),
Atau dengan melakukan
perlakuan(treatment) guna
mengetahui akibat dari
perlakuan tersebut (penelitian
eksperimen, dan penelitian
Pengembangan (dapat
berupa perancangan,
perencanaan, rekayasa)
guna memperoleh produk
(dapat berupa rancangan,
model, alat, dll) guna
memecahkan masalah
nyata.
Evaluasi bertujuan untuk
memperoleh pengetahuan
(informasi) guna
pengambilan keputusan
terhadap hal yang
dipermasalahkan.
Informasi tersebut
umumnya merupakan hasil
analisis kesenjangnagn
antara satu keadaan (yang
diharapkan) dengan
keadaan lain (yang terjadi).
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 12
tindakan)
Metode Ilmiah Popper
Ide-ide Popper tentang metode ilmiah paling mudah dipahami jika
dibandingkan dengan metode yang mengikuti teori belajar induktif. Ada dua asas
yang mendasari teori Popper. Pertama, Penyelidikan tidak boleh di mulai dengan
usaha observasi yang tidak memihak, tetapi justru harus fokus pada satu persoalan.
Peneliti harus bertanya : Apa masalahnya ? Kedua Usaha untuk menemukan sebuah
solusi atau solusi yang terperbaiki tidak boleh merupakan usaha hati-hati untuk
berpegang pada Fakta, tetapi harus merupakan usaha untuk menggabungkan dengan
yang berani dengan kritisisme yang tajam.
Kedua asas ini berasal dari pandangan Popper tentang hakekat belajar,
terutama hakekat berfikir yang kreatif. Hal ini karena kita sebenarnya melakukan
proses belajar dengan cara menduga dan menolak untuk memecahkan persoalan cara
terbaik untuk mencapai kemajuan belajar adalah dengan memfokuskan dan
mengartikulasikan persoalan, dengan memprediksi solusi dengan cara berani dan
Imajinatif, serta dengan menilai solusi yang ditawarkan secara kritis.
Arti penting pembuktian secara empiris berasal dari asas-asas dasar ini tujuan
sains adalah menjelaskan secara benar dunia pengalaman kita, dan terhadap hasil
Observasi dan Eksperimen. Kritisisme paling kuat dari sebuah teori yang bertujuan
untuk menjelaskan sesuatu terletak dalam pertentangannya dengan apa yang kita
alami atau hasil Eksperimen kita. Karena kritisisme yang sistematis dan kuat dari
dugaan kita ini memiliki arti penting, maka para ilmuan harus selalu berusaha
meletakan teori mereka dalam sebuah bentuk yang dapat di uji.
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 13
Popper (1968: 49-54) mencirikan teori metode ilmiahnya sebagai berikut : “
Teori metode selama berjalan di luar analisi logis tentang hubungan di antara
pernyataan-pernyataan ilmiah, berkaitan dengan pilihan metode… jelas, kaidah-
kaidah (Metadologis) sangatlah berbeda dari kaidah-kaidah yang biasanya disebut
“Logis”. Meskipun logika mungkin menetapkan kriteria untuk memutuskan apakah
sebuah pernyataan dapat dibuktikan, Hal ini tidak berkaitan dengan persoalan apakah
seseorang mendesakan dirinya untuk membuktikan pernyataan itu. Kaidah-kaidah
Metodologis disini dipandang sebagai konvensi. Kaidah-kaidah Metodologis
mungkin digambarkan sebagai aturan sebuah permainan sain empiris. Kaidah-kaidah
logis berbeda dari aturan logika murni baiknya aturan main catur, yang beberapa
oarang akan memandangnya sebagai bagian dari logika murni…..Hasil dari sebuah
penyelidikan tentang aturan permainan sains-yakni, aturan penemuan ilmiah mungkin
berwujud logika penemuan ilmiah (The Logic Of Scientific Discovery) ….saya akan
mencoba akan menetapkan aturan, atau norma jika anda menginginkan yang akan
menjadi pembimbing bagi ilmuwan yang tengah dalam penyelidikan atau penemuan,
didalam arti sama seperti yang di pahami disini.
Menurut Popper, pada akhirnya kita akan menilai sebuah sistem aturan
metodologis dengan mempertanyakan apakah sistem aturan itu dapat di terapkan
tanpa menimbulkan inkonsistensi, apakah sistem aturan itu akan membantu kita;
apakah kita benar-benar membutuhkannya. Tetapi setelah kita memandang aturan-
aturan metodologis sebagai petunjuk praktis yang dapat di nilai dari kegunaannya,
Maka hukum alam (termasuk alam manusia) menjadi relevan untuk di nilai mana
metode yang baik dan mana yang buruk. Misalnya, sebuah aturan yang
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 14
merekomendasikan prosedur yang mustahil secara fisik dan psikologis bukanlah
aturan yang berguna. Secara khusus merekomendasikan induksi yang hati-hati
tidaklah membantu jika kita tidak melakukan observasi murni untuk kemudian
membuat induksi dari observasi ini. Menganjurkan kombinasi antara dugaan-dugaan
yang berani dan kritisisme yang tajam akan berguna jika kita benar-benar belajar
dengan menduga dan menolak.
Popper juga mengembangkan teori pengetahuan yang mendasari sikap positif
kearah penolakan ini memiliki dua aspek. Pertama adalah pelarangan untuk
menghindari penolakan yang kedua adalah rekomendasi untuk belajar sebanyak
mungkin dari penolakan. Dengan belajar dari penolakan kita akan berusaha
mendalami permasalahan yang di tolak itu. Sebagai mana pepatah mengatakan
bahwa” Pengalaman adalah guru yang terbaik”. Untuk itu belajar dari kesalahan
merupakan langkah awal menuju kebaikan.
Dalam kegiatan ilmiah Popper mengatakan langkah-langkah sebagai berikut:
“Kita harus menerima pernyataan-pernyataan dasar (hanya) selama pernyataan itu membuktikan teori-teori; selama menimbulkan pertanyaan selidik tentang teori-teori, untuk di jawab dengan menerima pernyataanpernyataan dasar. Maka, situasi rillsangat berbeda dari situasi yang di visualisasikan oleh seorang empiris naif., atau orang yang percaya pada logika induktif. Ia berpikir bahwa kita mulai dengan mengumpulkan dan menyusun pengalaman kita, dan karena itu turun ke tangga sains… tetapi jika saya di perintah untuk merekam apa yang saya alami sekarang, saya hanpir tidak dapat mengetahui bagaimana menaati aturan yang ambigu ini…. Dan meskipun aturan itu dapat di taati … aturan itu tidak pernah berarti sebagai sebuah sains. Sain membutuhkan sudut pandang dan persoalan teoritis”.
Popper mengontruksikan argumen yang menghubungkan teorinya tentang
eksperimen dengan kriteria demokrasi. Ia memulainya dengan menjelaskan bahwa
penerimaan terhadap pernyataan-pernyataan dasar bisa di lakukan sesuai dengan
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 15
aturan. Kemudian Popper menyatakan bahwa “ Arti khusus dari pernyataan-
pernyataan dasar ini adalah aturan yang mengatakan pada kita bahwa kita tidak boleh
menerima pernyataan-pernyataan dasar yang tersesat, yakni pernyataan yang tidak
terkait secara logis, tetapi kita harus menerima pernyataan-pernyataan dasar selama
mereka mampu membuktikan teori.
Popper (1968-279) menggambarkan teori sebagai “dugaan yang berani dan
sangat imajinatif” yang “secara hati-hati dan bijaksana di kontrol oleh pembuktian,
“dan ia terus berkata:
“Metode penelitian kami tidak di tujukan untuk mempertahankan (teori-teori ini) agar dapat membuktikan betapa benar pandangan kami. Sebaliknya, kami mencoba meruntuhkan. Dengan menggunakan semua senjata logis, matematis dan teknis, kami mencoba membuktikan bahwa (teori-teori kami) adalah salah – agar dapat mengemukakan (teori-teori yang lain) sebagai gantinya …. Kemajuan sains tidaklah di karenakan fakta semakin banyak pengalaman perseptual yang terkumulasi dalam perjalanan waktu ide-ide berani, antisifasi yang tidak di justifikasi, dan pikiran spekulatif. Semua ini adalah alat kami untuk menafsirkan hakekat : hanya dengan argumen, instrukmen kami, untuk memahaminya. Dan kami harus mencobanya untuk memenangkan hadiah yang layak kami peroleh ….
Dengan mencita-citakan kepastian (termasuk tingkat-tingkat kepastian atau
kemungkinan yang tidak sempurna), maka akan runtuhlah salah satu pertahanan
obskurantisme yang merintangi jalan kemajuan ilmiah, yang mengawasi keberanian
pertanyaan kami; yang merongrong kekakuan dan integritas pengujian kami.
Pandangan yang salah tentang sains akan terjatuh ke dalam keinginan untuk menjadi
benar; bukan penguasaan atas pengetahuan, kebenaran yang tak terbantahkan, yang
membuat seseorang menjadi manusia berilmu, tetapi pencarinya yang kritis akan
kebenaran yang terus menerus dan tanpa henti.
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 16
Dari kutipan di atas jelas, bahwa menurut Popper inti metode ilmiah terletak
pada penyelidikan yang mengombinasikan teori-teori yang berani dengan kritisisme
tajam dari teori-teori iti. Kita tidak boleh menerima atau menolak suatu teori dengan
begitu saja tanpa suatu pemikiran yang cermat.
Metode Ilmiah Thomas Kuhn
Kuhn adalah salah seorang filosof sains yang menekankan pentingnya sejarah
sains dalam perkembangan sains. Dengan sejarah sains, ilmuwan akan memahami
kenyataan sains dan aktivitas sains yang sesunggnya. Namun demikian, ia tidak
sependapat dengan pandangan yang mengemukakan bahwa perkembangan sains
bersifat evolusioner dalam mendekat kebenaran dalam arti perkembangan sains itu
bersifiat akumulatif. Hal ini terjadi karena bagi Kuhn perkembangan itu bersifat tidak
sinambung dan tidak dapat diperbandingkan antara satu teori dengan teori lainnya.
Sebaliknya Kuhn berpendapat bahwa perkembangan sains tersebut bersifat
revolusioner karena bagi Kuhn sejarah itu bersifat tidak sinambung dan
perkeinbangan sains ditandai dengan loinpatan-lompatan revolusi ilmiah.
Revolusi ilmiah merupakan proses peralihan dari paradigma lama
keparadignia baru. Dengan perubahan paradigma ini cara pandang ilmuwan dalam
menentukan masalah, menetapkan metode dan teknik, dan penarikan kesimpulan
terhadap kenyataan alarn akan berbeda dari sebelumnya.
Revolusi Ilmiali terjadi karena adanya persepsi ilmuwan terhadap kekurangan
paradignia yang dianutnya dalam memecahkan masalah realitas alam. Semula ilmu
menggunakan paradigma tertentu yang diyakini dapat membantu memecahkan
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 17
masalah alamiah. Pada saat ini ilmuwan menjadikan paracligma tersebut sebagai
pedoman dalam melakukan aktivitas ilmiahnya. Namun clemikian dalam
perkembangannya, mereka menemukan anomali-anomali sehingga timbul krisis
kepercayaan ilmuwan terhadap validitas paradigma yang dipercaya. Karena itu, para
ilmuwan mencari paradigma baru yang dapat membantu aktivitas yang lebih
memadai dari paradigma sebelumnya. Setelah melalui kompetisi berbagai paradigma,
kemudian diperoleh satu paradigma sebagai kesepakatan ilmuwan untuk dipakai
dalarn kerja ilmialinya. Proses revolusi intelektual dan hubungannya diantara
unsur/tahap perkembangan ilmu digambarkan seabagai berikut :
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa (1) perkembangan sains
menurut Kuhn bersifat revolusioner, (2) revolusi ilmiah merupakan proses peralihan
dari paradigma lama keparadigma baru dalam diri para ilmuwan, dan (3) proses
terjadinya revolusi ilmiah bermula dari digunakannya suatu paradigma dalam masa
sains normal. Kemudian dalarn kenyataan terdapat anomali yang merupakan
kesenjangan antara paradigma yang berlaku dengan fenomena. Dengan
menumpuknya anomali kemudian timbul krisis yang mengakibatkan para ilmuwan
meninggalkan paradigma lama dan menggunakan paradigma baru yang disepakati
para ilmuwan.
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 18
Paradigma I
Normal Science Anoma
li
New Normal Science
Paradigma II
Crisis Revolution
Standar dalam menilai teori-teori ilmiah
Untuk membuktikan bahwa pandangan Popper tentang metode ilmiah lebih
unggul di bandingkan metode aliran induktivis dan konvensionalis, Popper perlu
memberi solusi terhadap persoalan yang menjadi perhatian sentral kedua aliran ini :
Menunjukan cara yang lebih baik bagi teori-teori ilmiah mutahir dalam menghadapi
bukti observasi dan eksperimen di bandingkan apa yang di lakukan oleh teori-teori di
masa lalu atau teori yang berada di luar sains. Bagi Popper, sebuah teori di katakan
lebih baik jika ia mengandung pelajaran tentang pembelajaran : bahwa induksi tidak
terjadi, dan bahwa semua observasi merupakan teori yang terembisi ( Theory –
impregnated ) sehingga memiliki kemungkinan salah.
Menurut Popper bahwa teori-teori ilmiah mutahir secara prinsif dapat di
salahkan dan bertahan di hadapan observasi dan pengalaman yang berpotensi salah.
Sebaliknya teori-teori yang bertentangan telah tertolak dengan bukti. Maka, dalam
standar sains Popper, sebuah teori dapat masuk ke dalam wacana ilmiah ( yang di
pertimbangkan secara serius ) jika dapat di buktikan; akan di buang jika telah
tertolak; akan di terima sementara jika dapat lulus secara ujian. Menurut Popper, satu-
satunya faktor yang membatasi adalah bukti yang berpotensi di tolak masih mungkin
untuk di perbaiki, karena hasil dari sebuah observasi atau eksperimen bisa saja salah.
Dengan adanya potensi pengamatan yang salah, kapan dan mengapa kita harus
menerima laporan observasi dan menolak sebuah teori, bukan sebaliknya ?
Agar dapat menyediakan alternatif yang lebih baik bagi filsafat induksi dan
konvensionalis, Popper harus mengemukakan sebuah teori penerimaan laporan
observasi yang tidak akan bergantung pada induksi ataupun dogmatisme, dan tidak
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 19
terbuka terhadap tuduhan kemunduran tak terbatas yang skeptis. Popper benar-benar
telah menyediakan teori semacam itu.
Dalam pandangan Popper, menerima pernyataan dasar tidak boleh
berdasarkan paksaan, tetapi lebih merupakan keputusan bebas dari pihak komunitas
peneliti ilmiah. Secara khusus para ilmuwan mencoba untuk menemukan hasil-hasil
observasi dan eksperimen yang tidak di buktikan dengan mudah misalnya, dengan
mengulangi eksperimen. Sebagaimana di tekankan Popper, usaha untuk bersepakat
dan menganggapbenar (sementara) hasil partikuler dapat di sebut dengan konvensi.
Tetapi, konpensi semacam ini di pakai oleh ilmuwan karena konvensi ini mendorong
penemuan kebenaran ilmiah. Popper membandingkan keputusan ini dengan
keputusan juri : persetujuan juri bukan bukti kebenaran, tetapi merupakan keputusan
berdasarkan prosedur yang di rancang untuk mendorong penemuan kebenaran.
Menurut Popper (1968:104) kita perlu bersepakat menyangkut pernyataan-
pernyataan dasar : “Setiap pengujian sebuah teori, apakah menghasilkan bukti-bukti
yang menguatkan atau memalsukan, harus berhenti pada suatu pernyataan dasar yang
kita putuskan untuk di terima. Jika kita tidak sampai pada keputusan dan tidak
menerima suatu pernyataan dasar, maka pembuktian itu tidak akan membawa pada
kemajuan apapun . Tetapi jika di pertahankan dari sudut pandang logika, situasinya
tidak pernah memaksa kita untuk berhenti pada suatu pernyataan dasar, atau
meninggalkan pembuktian sama sekali kerena setiap pernyataan dasar pada gilirannya
dapat kembali di buktikan, dengan menggunakan salah satu pernyataan dasar sebagai
batu pijakannya, yang deduksi dengan bantuan suatu teori yang sedang dalam
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 20
pembuktian. Prosedur ini tidak memiliki keberakhiran alami jika pembuktian akan
mengarahkan kita pada suatu tempat dan ini berarti untuk sementara kita terpuaskan.
Cukup mudah untuk di lihat bahwa kita hanya sampai pada keadaan ini
melalui sebuah prosedur yang akan membuat kita berhenti pada suatu jenis
pernyataan yang sangat mudah di buktikan. Dengan ini, maka berarti kita berhenti
pada pernyataan menerima atau menolak berbagai penelitian yang memungkinkan
kita mencapai kesepakatan. Dan jika pernyataan-pernyataan itu tidak bisa sampai
pada kesepakatan, maka akan di teruskan dengan pembuktian, atau di ulang dari awal.
Jika ini juga tidak membawa hasil, maka kita mungkin mengatakan bahwa pernyataan
tersebut tidak dapat di buktikan secara intersubjek, atau bahwa kita sama sekali tidak
sedang menangani peristiwa-peristiwa yang sedang di amati. Jika suatu hari nanti
para pengamat ilmiah tidak bisa lagi mencapai kesepakatan tentang pernyataan dasar,
maka ini sama dengan kegagalan bahasa sebagai alat komunikasi universal.
Konsep dasar dari menerima laporan pengamatan atau pernyataan-pernyataan
dasar, akan menyesampingkan setiap asumsi bahwa para ilmuwan mengambil
kesimpulan dengan induksi. Tentu, Popper, dengan pandangannya tentang psikologi
belajar, akan mengatakan bahwa hal semacam itu tidak akan terjadi, meskipun ia
mendukung bahwa pengalaman subyektif dari ilmuwan memainkan peran dalam
pernyataan awal dan penerimaan yang perlahan-lahan terhadap sebuah laporan.
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 21
BAB III
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Metode ilmiah terdiri atas serangkaian kegiatan yang berupa : pengenalan dan
perumusan masalah, pengumpulan informasi yang relevan, perumusan hipotesis,
pelaksanaan eksperimen dan publikasi atau penyebaran informasi.
Ada dua asas yang mendasari teori metode ilmiah, yaitu : Pertama,
penyelidikan harus fokus pada satu persoalan; Kedua, usaha untuk menemukan
sebuah solusi harus merupakan usaha untuk menggabungkan dugaan yang berani
dengan kritisisme yang tajam. Kedua asas ini berasal dari pandangan Popper tentang
hakeket belajar, terutama hakekat berpikir yang kreatif.
Sikap positif terhadap penolakan ini memiliki dua aspek. Pertama, adalah
pelarangan untuk menghindari penolakan yang Kedua, adalah rekomendasi untuk
belajar sebanyak mungkin dari penolakan.
Dalam kegiatan ilmiah Popper merekomendasikan langkah-langkah sebagai
berikut, yaitu : Pertama-tama kita harus fokuskan pada masalah, mengembangkan
teori alternatif untuk memecahkannya, dan baru kemudian mengembangkan
eksperimen untuk membuktikan mana teori yang lebih baik.
Sedangkan paradigma yaitu pandangan yang mendasar para ilmuwan tentang
apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajasri oleh suatu cabang
ilmu pengetahuan (discipline). Paradigma membantu para ilmuwan dalam
merumuskan apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 22
dijawabnya, bagaimana seharusnya menjawabnya, dan aturan-aturan apa yang harus
diikuti dalam menafsirkan, memberi makna atas informasi yang dikumpulkan dalam
rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Revolusi ilmiah merupakan proses peralihan dari paradigma lama
keparadignia baru. Dengan perubahan paradigma ini cara pandang ilmuwan dalam
menentukan masalah, menetapkan metode dan teknik, dan penarikan kesimpulan
terhadap kenyataan alarn akan berbeda dari sebelumnya.
Dalam hal standar menilai teori-teori ilmiah Popper menyatakan, bahwa
sebuah teori di katakan lebih baik jika ia mengandung pelajaran tentang
pembelajaran; sebuah teori dapat masuk kedalam wacana ilmiah jika dapat di
buktikan; selanjutnya dalam menerima pernyataan dasar tidak boleh berdasarkan
paksaan, tetapi lebih merupakan keputusan bebas dari pihak komunitas peneliti
ilmiah.
B. Rekomendasi
Belajar dari kritisisme yang di kembangkan oleh Popper dan revolusi ilmiah
dari Thomas Kuhn, sikap positif terhadap penolakan dan belajar sebanyak mungkin
dari penolakan, kita selayaknya terutama yang bergerak dalam bidang penelitian,
pendidikan, dan akademisi harus siap di kritik dan juga siap mengkritik. Selain itu
belajar dari penolakan pun bukan sesuatu yang jelek, tetapi justru akan memacu kita
untuk menghasilkan yang lebih baik.
Disini kita akan di uji “ Apabila kita siap untuk berbeda pendapat “.
Perbadaan pendapat bukan sesuatu yang di haramkan, tetapi justru merupakan suatu
rahmat. Kata sebuah pepatah, benturan pendapat itu akan memercikan kebenaran,
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 23
asalkan tujuannya tidak sekedar berbeda pendapat, melainkan untuk bersama-sama
mencari kebenaran.
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 24
DAFTAR FUSTAKA
Anna Poedjiadi, 2001, Pengantar Filsafat Ilmu Bagi Pendidik, Bandung: Yayasan Cendrawasih.
George Ritzer, 2003, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Popper, R. Karl, 1961, The Logic of Scientific Discovery, New York: Science Editions. Inc.
Kumpulan Sari Kuliah Filsafat Ilmu, 2003. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
M, Arief Achmad, 2001, Revolusi Intelektual dan Dampaknya, Bandung: Makalah.
Thomas Kuhn. 1970, The Studture of Scientific Revolution. Chicago: The University of Chicago Press.
Uyoh Sadulloh, 2003, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta.
Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung: Pustaka Setia.
Beerling. 1988. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin. Jakarta: Balai Pustaka.
Kattsof, Louis. 1987. Element of Pholosophy. Terj.Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Komara, E. 2011.Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung
Suriasumantri, Jujun S. 1986. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Soetriono dan SRDm Rita Hanafie.2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi
Zainuddin, M. 2006. Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta: Lintas Pustaka
Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 25
top related