farmakologi respirasi (albertus m. m. h. c11108298)
Post on 26-Jul-2015
213 Views
Preview:
TRANSCRIPT
FARMAKOLOGI RESPIRASI
I. Pemberian dan Cara Kerja Obat
Obat yang bekerja pada saluran pernapasan dapat diberikan secara sistemik atau
inhalasi. Metode inhalasi memperbolehkan penghantaran konsentrasi agen yang lebih tinggi
secara langsung ke cabang – cabang bronkus, yang meminimalisasi absorbsi dan efek
sistemik. Beberapa obat dimetabolisme di paru-paru, menghasilkan efek first-pass non-
hepatik.
Secara khas, hanya 10% dari bronkodilator yang diberikan secara inhalasi dapat
mencapai paru-paru. Kebanyakan dari obat ini disimpan di saluran pernapasan atas dan hanya
memberikan sedikit keuntungan, dengan sekitar 3% yang mencapai alveolus. Distribusinya
sedikit dipengaruhi oleh adanya penyumbatan saluran pernapasan, atau ukuran dari
partikelnya.
Diameter bronkus secara fundamental dipengaruhi oleh dua sistem yang berlawanan.
Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan siklus AMP intraseluler (seperti stimulus
simpatis) menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Sebaliknya faktor yang meningkatkan
konsentrasi siklus GMP intraseluler (seperti stimulus parasimpatis) menyebabkan
bronkokonstriksi. Pengaruh psikologik dan farmakologik pada diameter bronkus
digambarkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Penyebab perubahan diameter bronkus
1
Leukotrien-leukotrien terlibat dalam perkembangan bronkospasme. Leukotrien
dinamakan demikian karena keberadaannya dalam sel darah putih (komponen leukosit) dan
ikatan kimianya (ikatan ganda triene). Mereka adalah kelompok dari eikosanoid (turunan
lipid bioaktif dari asam arakidonat). Leukotrien diproduksi oleh aktivitas enzim 5-
lipoxygenase, yang ditemukan dalam sel darah putih (terutama eosinofil) dan sel mast,
diantara jaringan lainnya. Ketika teraktivasi, 5-lipoxygenase berikatan dengan membran sel
dan terkait dengan five-lipoxygenase-activating protein (FLAP), dan menghasilkan kompleks
yang memberikan perubahan pada asam arakidonat untuk memproduksi leukotrien A4
(LTA4). Ini adalah prekursor dari seluruh jenis leukotrien, LTA4 ke LTF4. LTC4, D4, dan E4
yang merupakan spasmogenik, dan meliputi zat yang awalnya dinamakan 'SRS-A'.
II. Mengontrol Diameter Bronkus
A. Agonis Adrenoseptor
1) β2-agonis (contoh: bambuterol, formoterol, salbutamol, salmeterol, terbutaline)
Agonis β2-adrenoseptor selektif digunakan dalam penanganan dan pencegahan
bronkospasme. Selektivitas ini tidak absolut, dan dosis yang tinggi dari obat ini
menyebabkan efek β1 (takikardi, tremor, hiperglikemi, peningkatan sekresi insulin dan
hipokalemia).
β2-agonis membalikkan bronkospasme yang disebabkan oleh pelepasan
histamin, aktivasi faktor platelet, dan beberapa leukotrien, terutama C4, D4, dan E4.
Salbutamol adalah β2-agonist yang paling sering digunakan untuk penanganan
asma. Salbutamol dikonjugasi di hati dan diekskresi dalam bentuk terkonjugasi mapun
tidak terkonjugasi dalam urin dan feses. Terbutaline merupakan agen yang mirip dan
memiliki keuntungan yang sama pada beberapa pasien karena sedikitnya efek samping
simpatomimetik. Terbutaline dapat digunakan pada bayi yang baru lahir untuk
menstimulasi produksi surfaktan pada paru-paru fetus. Bambuterol merupakan prodrug
dari terbutaline.
β2-agonis (khususnya ritrodine, salbutamol, dan terbutaline) dapat digunakan
sebagai relaksan uterus untuk penanganan kelahiran prematur atau kontraksi yang
berlebihan, atau selama operasi Caesar untuk memfasilitasi kelahiran. Cara pemberian
untuk tujuan ini dapat dilakukan secara inhalasi.
2
2) Agonis adrenoreseptor lainnya (contoh: efedrin, epinefrin, isoprenaline,
orciprenaline)
Efedrin, isoprenaline, orciprenaline dan epinefrin adalah agonis simpatis non-
selektif dengan efek bronkodilator (β2) yang sering digunakan. Epinefrin dikenal
sebagai agen inhalasi yang efektif untuk penanganan tracheolaryngobronchitis akut
(croup) dan edema laring. Epinefrin dengan dosis 0,5 ml/kg 1:1000 sampai dosis
maksimum 5ml dapat dinebulisasi, dan diberikan tergantung efek yang diinginkan.
B. Antikolinergik (contoh: ipratropium dan tiotropium biomide)
Antikolinergik diberikan secara inhalasi, dan seperti bronkodilator lainnya,
hanya 10% dari dosis yang diberikan mencapai paru-paru. Obat ini bereaksi pada
reseptor muskarinik asetilkolin sehingga menghambat bronkokonstriksi. Anti
kolinergik yang diberikan secara sistemik juga berefek pada reseptor ini. Anti
kolinergik memiliki efek pada respirasi sebagai berikut :
Bronkodilatasi
Mengurangi resistensi saluran pernapasan
Peningkatan anatomical dead space
Peningkatan physiological dead space
Ipratropium biomide (N-isopropylatropine) adalah antagonis muskarinik yang
non-selektif pada M1, M2, dan M3. Obat ini memiliki waktu kerja yang cepat, tapi
membutuhkan 2 jam untuk mencapai puncaknya, dan berlangsung selama 4-6 jam.
Obat yang dikonsumsi secara oral, 70% lewat tanpa diproses ke feses. Sebagian kecil
dari obat ini diabsorbsi di mukosa mulut, dan dimetabolisme oleh hati. Antagonis
terhadap reseptor M2 (feedback negatif) meningkatkan pelepasan asetilkolin, yang
dapat membatasi efektivitas dari bronkodilatasi yang dimediasi M1. Ipratropium juga
memblok reseptor asetilkolin muskarinik M1 di sel mast, membatasi degranulasi. Hal
ini digunakan terutama sebagai pencegahan dari bronkospasme, dan biasanya dengan
kombinasi dengan agen-agen inhalasi lainnya.
Tiotropium memiliki waktu paruh yang lebih panjang, sehingga dapat
diberikan sehari sekali, dan secara istimewa terikat dengan M1 dan M3 jika
dibandingkan dengan M2, sehingga meningkatkan efektivitas.
C. Methylxanthine (contoh: kafein, teofilin)
3
Methylxanthine adalah stimulan bronkodilator yang berasal dari tanaman
alkaloid yang memiliki efek lokal pada bronkus dan secara umum merangsang
peningkatan irama pernapasan. Methylxanthine memiliki mekanisme kerja multimodal
yang mencakup :
Inhibisi phospodiesterase
memfasilitasi kerja β2
meningkatkan pelepasan Ca2+ dari retikulum sarkoplasma dalam otot lurik
antagonis reseptor adenosin
Inhibisi phospodiesterase secara langsung dan melalui efek β2 menyebabkan
bronkodilatasi mirip dengan agonis β2. Peningkatan pelepasan kalsium dalam retikulum
sarkoplasma meningkatkan fungsi dari otot-otot pernapasan. Methylxanthines adalah
inhibitor yang potensial terhadap reseptor adenosin dan mencegah kontraksi otot polos
dengan meningkatkan cAMP dan secara langsung mengintervensi masuknya kalsium.
1) Efek Klinis
a. Sistem Respirasi
Methylxanthine menyebabkan bronkodolatasi, dengan peningkatan anatomical
dead space. Obat ini efektif terhadap bronkospasme disebabkan oleh pelepasan
histamin, platelet-activating factor dan leukotrien. Kekuatan kontraksi otot-otot
pernapasan meningkat, sebagaimana dengan frekuensi pernapasan. Kerja respirasi
ditingkatkan dengan kelelahan yang relatif lebih sedikit. Methylxanthine efektif
untuk profilaksis, dan juga diindikasikan untuk penanganan bronkospasme serangan
akut.
b. Sistem Kardiovaskular
Frekuensi dan kontraksi jantung meningkat dan resistensi perifer vaskuler
secara nyata berkurang karena relaksasi otot polos. Kombinasi efek ini dapat membantu
dalam penanganan gagal jantung kiri.
c. Sistem Saraf Pusat
Ada stimulasi umum yang meningkatkan frekuensi pernapasan. Walaupun
eksitasi CNS relatif tidak spesifik, kedua vasomotor dan pusat pernapasan secara nyata
terpengaruh. Kejang merupakan potensi bahaya yang disebabkan methylxanthine.
2) Efek lainnya
4
Ini termasuk pada stimulasi asam lambung dan sekresi pepsin, diuresis
(dengan adanya dilatasi arteri aferen glomerulus) dan inhibisi kontraksi uterus.
Methylxanthine dapat dipertimbangkan sebagai kelompok yang sama dengan
teofilin sebagai senyawa induk. Walaupun teofilin dapat diabsorbsi secara oral, tapi
secara cepat dieliminasi di hati oleh sitokrom P450, dan ikatan protein yang bervariasi
sekitar 40%, menyebabkan efek-efek klinis yang tidak terduga. Level teofilin diukur
dalam plasma selama pemberian kronik untuk memastikan konsentrasi terapeutik yang
adekuat. Aminofilin, garam ethylene diamine dari teofilin, lebih larut dalam air (tapi
sangat basa dalam larutan). Peningkatan kelarutan dalam air ini dibutuhkan dalam
pemberian intravena.
D. Steroid (contoh: beclometasone, budesonide, fluticasone)
Steroid inhalasi dan sistemik dapat digunakan sebagai penanganan dan
pencegahan bronkospasme sekunder karena penyumbatan saluran napas. Steroid
bereaksi langsung pada reseptor intraseluler, memiliki efek anti-inflamasi yang
mengurangi edema dan pembengkakan mukosa, dan juga menghalangi beberapa
mediator resistensi saluran napas. Mediator kimia yang ditekan oleh steroid termasuk
prostaglandin, tromboxan, prostasiklin, leukotrien, platelet-activating factor, dan
histamin. Ada beberapa efek lain dari steroid, yaitu mengurangi inflamasi, tonus otot
polos, permeabilitas vaskuler, dan resistensi vaskuler pulmonar, yang semuanya
berguna dalam penanganan bronkospasme.
Efek dari inhalasi steroid dapat disimpulkan sebagai berikut :
menghambat metabolit asam arakidonat
menghambat respon inflamasi
stabilisasi sel mast
keseimbangan katekolamin
Walaupun steroid inhalasi digunagan sebagai pencegahan, serangan akut
membutuhkan steroid sistemik, tapi reaksi melalui cara ini onsetnya lambat.
Beclometasone adalah steroid inhalasi yang diberikan dalam dosis tipikal 100-
400 µg, 2-4 kali sehari. Budesonide mungkin dapat mencapai bronkiolus dengan cara
yang lebih baik dengan efek sistemik yang kurang.
E. Cromoglicate
5
Cromoglicate adalah inhalan yang menstablikan membran dan hanya efektif
dalam pencegahan bronkospasme. Obat ini menghalangi platelet-activating factor di
eosinofil, sel mast dan platelet, menekan refleks axon yang disebabkan oleh iritan dan
bertindak sebagai stabilisator ringan dari sel mast. Hal ini dapat dimediasi dengan cara
menghambat masuknya kalsium ke dalam sel mast.
Bioavailabilitas dengan cara inhalasi adalah 10% (secara oral 1%).Obat ini,
70% terikat dengan protein dan diekskersikan secara utuh (50% dalam urin, 50% dalam
empedu). Waktu paruhnya 90 menit, tapi waktu kerjanya beberapa jam.
F. Antagonis Reseptor Leukotrien (contoh: monteleukast, zafirlukast)
Pelepasan sisteinil leukotrien C4, D2, dan E4 dari eosinofil, basofil, dan sel
mast terlibat dalam permulaan asma. Leukotrien meningkatkan produksi mukus,
menyebabkan edema saluran pernapasa, perpindahan eosinofil, proliferasi otot polos
saluran pernapasan, bronkokonstriksi dan hiperresponsif saluran napas. Antagonis
reseptor leukotrien sangat selektif dan kompetitif. Antagonis ini menghalangi efek dari
leukotrien pada reseptor LT1 di otot polos bronkial dan antagonis terhadap
bronkokonstriksi. Antagonis ini juga mengurangi produksi leukotrien.
Monteleukast dan zafirlukast diindikasikan pada pencegahan asma ringan
sampai sedang sebagai tambahan dari inhalasi steroid, cromoligate dan agonis β2 yang
intermiten, tapi bukan sebagai penanganan pada serangan akut. Asma yang dicetuskan
oleh olah raga atau aspirin mungkin cocok dengan penanganan ini.Obat ini dapat
diberikan secara oral dengan bioavailabilitas sekitar 60-80%, walaupun dengan
makanan, bioavabilitas ini berkurang secara substansial. Obat ini mencapai konsentrasi
puncak di plasma sekitar 2-3 jam dan dimetabolisme di hati.
III. Stimulan Pusat Pernapasan (contoh: doxapram)
Stimulan-stimulan pusat pernapasan berperan meningkatkan pergerakan pernapasan.
Karena tempat kerjanya tidak hanya pada pusat pernapasan, meningkatkan dosis dapat
memberi efek stimulus pada sistem saraf pusat, misalnya pasien menjadi gelisah, cemas dan
kejang. Doxapram berguna pada penanganan depresi pusat pernapasan baik sebagai efek dari
penyakit paru-paru kronik atau dari terapi obat-obatan. Tapi sebaiknya tidak digunakan pada
pasien dengan obstruksi pernapasan yang pusat pernapasannya normal, karena obat ini dapat
menimbulkan kelemahan dan presipitasi dari gagal napas.
6
Doxapram bekerja melalui kemoreseptor sinus karotid (dan juga memberi
rangsangan pada pusat pernapasan) untuk meningkatkan frekuensi napas dan volume tidal.
Efek klinis hanya berlangsung selama 5-10 menit, dan selebihnya bolus atau infus dibutuhkan
untuk efek yang lebih lama. Doxapram memiliki indeks terapeutik yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perangasang pernapasan lainnya, sehinggaia menemukan kedudukan
yang sesuai dalam area pemulihan.
Analeptik umum lainnya juga menyebabkan perangsangan pada pusat pernapasan,
tapi eksitasi SSP yang lebih utama menyingkirkan mereka dari penggunaan sebagai slimulan
pernapasan spesifik.
IV. Mukolitik (contoh: karbosistein, metilsistein)
Karbosistein dan metilsistein (diberikan secara oral) dapat digunakan untuk
mengurangi viskositas sputum sebagai pengurang dahak. Dornase alpha merupakan mukolitik
spesifik yang adalah enzim yang disintesis secara genetik yang bertindak sebagai pembelahan
DNA ekstraseluler. Dornase alpha digunakan secara spesifik pada pasien fibrosis kistik
tertentu secara inhalasi.
V. Surfaktan
Surfaktan merupakan protein lipid yang kompleks yang terjadi secara fisiologis yang
diproduksi di dalam paru-paru oleh sel alveolus tipe II. Ia membatasi permukaan alveolus
paru-paru dan menurunkan tekanan permukaannya, yang meningkatkan kompilans paru.
Sebagian besar surfaktan terdiri dari dipalmitoylphosphatidylcholine. Surfaktan sintetik, yaitu
porcine dan bovine, biasanya digunakan untuk menangani distres napas pada neonatus, cara
pemberiannya langsung dimasukkan ke paru-paru secara berangsur-angsur.
VI. Farmakologi Spesifik
A. Aminofilin
Struktur :garam ethylene diamine dari methylxaonthine theophyline
Sediaan : 225 mg tablet ; 25 mg/ml IV larutan jernih
Dosis : Oral - 300 mg 3x1
IV - infus lambat dan hati - hati 500 µg/kg/jam
disesuaikan dengan konsentrasi serum teofilin
SSP : perangsang pernapasan secara langsung, dapat
menimbulkan kejang
7
Kardiovaskuler : kontraksi otot-otot jantung dan irama jantung meningkat,
cardiac output meningkat; vasodilatasi perifer yang
bermakna (disebabkan karena stimulasi pusat vasomotor).
Respirasi : bronkodilatasi karena aksi dari β2, rangsangan langsung
pada pusat pernapasan, meningkatkan frekuensi
pernapasan
Lainnya : relaksasi otot polos, peningkatan aliran darah ginjal
Eliminasi : demethylation dan oksidasi di renal dan diekskresi dalam
urin
Peringatan : pemberian melalui IV yangcepat dapat menyebabkan
kejang, takikardi dan kolaps.
B. Beklometason
Struktur : kortikosteroid sintetis
Sediaan : metered inhaler, 50, 100, 200 µg/puff
Dosis : maksimal 800 µg/hari (dewasa)
SSP : psikosis steroid jarang terjadi tapi dapat terjadi pada
pemberian dosis tinggi
Kardiovaskuler : hipertensi dan retensi cairan dapat terjadi pada pemberian
dosis tinggi
Respirasi : berkurangnya sensitivitas saluran pernapasan,
bronkospasme berkurang, berisiko terinfeksi Candida
albicans
Lainnya : dapat menyebabkan supresi adrenal, osteoporosis pada
pemberian yang kronis.
C. Budesonide
Struktur : kortikosteroid sintetik
Sediaan : metered inhaler, 50 atau 200 µg/puff
Dosis : 200-400 µg 2x1
SSP : psikosis steroid jarang terjadi tapi dapat terjadi pada
pemberian dosis tinggi
Kardiovaskuler : hipertensi dan retensi cairan dapat terjadi pada
pemberian dosis tinggi
8
Respirasi : berkurangnya sensitivitas saluran pernapasan,
bronkospasme berkurang, berisiko terinfeksi Candida
albicans
Lainnya : dapat menyebabkan supresi adrenal, osteoporosis pada
pemberian yang kronis
D. Doxopram
Struktur : monohydrated pyrrolidinone
Sediaan : IV, larutan jernih transparan, 100 mg dalam 5ml, atau 2
mg/ml dalam dextrose 5% 500ml
Dosis : IV, 1-1,5 mg/kg, onset 30 detik, waktu puncak 2 menit,
masa kerja 10 menit
Farmakokinetik : Vd 1,5
Cl 5
t1/2 3
SSP : stimulasi kemoreseptor badan karotid dan rangsangan
pusat pernapasan, dosis tinggi dapat menyebabkan
kelemahan, pusing, nyeri kepala, halusinasi, kejang
Kardiovaskuler : meningkatnya cardiac output dan stroke volume,
peningkatan frekuensi jantung dan tekanan darah dapat
terjadi
Respirasi : volume tidal meningkat, frekuensi pernapasan meningkat
pada dosis tinggi atau pelan, minute volume meningkat.
Kurva responsif CO2 bergeser ke kiri
Lainnya : peningkatan jumlah urin, salivasi, motilitas traktus
gastrointestinal dan traktus urinarius.
Efek samping : mempotensiasi simpatomimetik amine, meningkatnya
efek pada MAOI, dapat menyebabkan agitasi dan
peningkatan aktivitas otot-otot rangka yang terjadi dalam
terapi bersamaan dengan aminofilin.
Perhatian : jika gagal napas terjadi bukan karena kontrol pernapasan
yang inadekuat, dapat menyebabkan agitasi dan kejang.
9
E. Ipratropium bromide
Struktur : turunan keempat dari N-isopropyl atropin
Sediaan : Aerocap® 40 mg formulasi bubuk kering, metered inhaler
20 µg/puff, cairan nebulizer 250 µg/ml, efek maksimal 30
menit setelah pemberian, durasi 6 jam
Dosis : dapat diberikan sampai 40 µg 3 kali sehari
SSP : tidak ada efek
Kardiovaskuler : tidak ada efek
Respirasi : bronkodilatasi, kadang terjadi iritasi dan batuk,
brokospasme paradoksal dapat terjadi tapi jarang
Lainnya : dapat terjadi glaukoma dan retensi urin (efek
antikolinergik)
F. Salbutamol
Struktur : amine sintesis
Sediaan : IV, larutan jernih 5 mg dalam 5 ml, 4 dan 8 mg tablet, 2
mg dalam 5 ml sirup, 200 dan 400 µg bubuk inhalasi,
5 mg/ml cairan nebulizer.
Dosis : IV, 250 µg bolus, 3-20 µg/menit melalui infus
Farmakokinetik : ikatan protein 8-64%
Vd 2,2
Cl 6,7
t1/2 4
SSP : dapat menimbulkan eksitasi, cemas, tremor
Kardiovaskuler : efek β2 menyebabkan vasodilatasi dengan penurunan
tekanan darah, dosis tinggi dapat menyebabkan efek β1
dengan takikardi
Respirasi : bronkodilator untuk pencegahan dan penggunaan
terapeutik
Lainnya : melewati plasenta dan dapat menyebabkan takikardi pada
fetus
Eliminasi : 30% secara utuh dalam urin, sisanya pada feses, dan
dalam jumlah kecil dalam bentuk yang terkonjugasi
ditemukan dalam urin dan feses.
10
G. Natrium cromoglicate
Asal : turunan dari khellin, ditemukan pada minyak dari
rempah-rempah Timur Tengah, Ammi visnaga
Sediaan : metered inhaler, 5 mg/puff, Spincap® 20 mg, cairan
nebuliser 10 mg/ml (tersedia juga dalam bentuk tetes
mata)
Dosis : dapat diberikan 20 mg 4x1, durasi dosis tunggal 6 jam
Farmakokinetik : Bioavailibilitas 10%
ikatan protein 70%
t1/2 90 menit
SSP : tidak ada efek
Kardiovaskuler : tidak ada efek
Respirasi : profilaksis terhadap bronkospasme, dapat menyebabkan
batuk dan iritasi tenggorokan
Lainnya : digunakan pada alergi makanan dan inflamasi pada mata
H. Zafirlukast
Struktur : cyclopentyl carbamate kompleks, antagonis reseptor
leukotrien
Sediaan : film-coated tablet 20 mg
Dosis : 20 mg 2x1, waktu puncak 3 jam
Farmakokinetik : Bioavailibilitas 73%
Ikatan protein 99%
Cl 5
t1/2 7
Respirasi : bronkodilator dengan menginhibisi kontraksi leukotrien
yang dimediasi otot polos
Eliminasi : di hati oleh sitokrom P450
Efek samping : Sindrom Churge-Strauss telah dilaporkan. Perhatikan
eosinofil, vaskulitis, rhinitis dan sinusitis.
Perhatian : obat ini menghambat sitokrom P450, sehingga harus
diberikan secara hati-hati bila digunakan bersama
warfarin, fenitoin, atau fenobarbital
11
Kontraindikasi : penurunan fungsi ginjal atau hati sedang-berat
12
top related