fakultas hukum universitas lampung bandar …digilib.unila.ac.id/60411/4/3. skripsi full tanpa bab...
Post on 25-Oct-2020
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KEDUDUKAN ISTRI DALAM PERKAWINAN JUJURPADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG SAIBATIN
DI KECAMATAN PESISIR TENGAH KRUIKABUPATEN PESISIR BARAT
(Skripsi)
Oleh
NAUFAL AZMAR ALQASNPM 1512011301
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
ABSTRAK
KEDUDUKAN ISTRI DALAM PERKAWINAN JUJUR
PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG SAIBATIN
DI KECAMATAN PESISIR TENGAH KRUI
KABUPATEN PESISIR BARAT
Oleh
NAUFAL AZMAR ALQAS
Perkawinan jujur pada pada masyarakat adat Lampung Saibatin di Kecamatan
Pesisir Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat dilaksanakan dengan menggunakan
uang jujur dari calon pengantin laki-laki kepada keluarga calon pengantin
perempuan. Akibat dari pelaksanaan perkawinan jujur ini adalah kedudukan istri
secara adat masuk ke dalam kekerabatan pihak suami. Permasalahan dalam
penelitian ini. Pertama, bagaimanakah pelaksanaan perkawinan jujur pada
masyarakat adat Lampung Saibatin di Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten
Pesisir Barat. Kedua, bagaimanakah kedudukan istri dalam perkawinan jujur pada
masyarakat adat Lampung Saibatin di Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten
Pesisir Barat. Jenis penelitian yang digunakan adalah empiris, dengan tipe
penelitian deskriptif dan pendekatan empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan
teknik wawancara dan studi pustaka. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pelaksanaan perkawinan
jujur pada masyarakat adat Lampung Saibatin di Kecamatan Pesisir Tengah Krui
Kabupaten Pesisir Barat dilakukan melalui tiga tahapan yaitu prosesi adat
sebelum perkawinan, meliputi pemilihan jodoh, perkenalan dan tempat
perjodohan, lamaran dan penentuan maskawin; prosesi upacara perkawinan adat
baik di rumah pengantin laki-laki maupun pengantin perempuan, serta prosesi
adat menetap setelah perkawinan yang menentukan bahwa pengantin baru
menetap di sekitar kediaman kaum kerabat suami. Kedudukan istri dalam
perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung Saibatin di Kecamatan Pesisir
Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat adalah dengan diterimanya uang jujur dari
pihak suami maka istri lebih rendah dibandingkan suami, harta bawaan istri
disatukan ke dalam harta suami dan menjadi milik suami, istri masuk ke dalam
keluarga inti dan kekerabatan suami, dan kedudukan isteri diakui atau diterima
oleh masyarakat adat.
Kata Kunci: Kedudukan Istri, Perkawinan Jujur, Masyarakat Adat Saibatin
THE POSITION OF THE WIFE IN JUJUR MARRIAGE ON INDIGENOUS
PEOPLE OF LAMPUNG SAIBATIN IN PESISIR TENGAH KRUI
DISTRICT OF PESISIR BARAT REGENCY
By
Naufal Azmar Alqas
ABSTRACT
An Jujur marriage to the indigenous people of Lampung Saibatin in the Central
Coast District of Krui West Coast Regency is carried out by using Jujur money from
prospective brides to prospective bride's family. The result of the implementation of
an Jujur marriage is that the wife customarily enters into the kinship of the husband.
The problem in this study. First, how to conduct an Jujur marriage to the indigenous
people of Lampung Saibatin in the Central Coast District of Krui West Coast District.
Secondly, what is the position of the wife in Jujur marriage people of Lampung
Saibatin custom in the Central Coast District of Krui West Coast Regency. The type
of research used is empirical normative, with descriptive research type and empirical
approach. Data collection is done using interview techniques and library studies.
Qualitative data analysis was performed. The results of the research and discussion
show that the practice of Jujur marriage in the indigenous people of Lampung
Saibatin in the Central Coast District of Krui West Coast Regency is carried out in
three stages namely the customary process before marriage, including mate selection,
introduction and placement, application and determination of masculinity; customary
wedding ceremonies in both the home of the groom and the bride, as well as the
customary process of settling after the marriage which determines that the newlyweds
reside around the residence of the relatives. The position of the wife in Jujur
marriages in the indigenous people of Lampung Saibatin in the Central Coast
District of Krui West Coast Regency is by receiving Jujur money from the husband
then the wife is lower than the husband, the wife's estate is consolidated into the
husband's estate and the husband's property, the wife enters the husband's core
family and kinship, and his wife's position is recognized or accepted by the
indigenous people.
Keywords:The Position of The Wife, Jujur Marriage, Indigenous People of Saibatin
ii
KEDUDUKAN ISTRI DALAM PERKAWINAN JUJURPADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG SAIBATIN
DI KECAMATAN PESISIR TENGAH KRUIKABUPATEN PESISIR BARAT
Oleh
NAUFAL AZMAR ALQAS
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum KeperdataanFakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Naufal Azmar Alqas dan dilahirkan
di Bandar Lampung pada tanggal 02 Maret 1997. Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan
Bapak Ir. Yon Farli dan Ibu Listina S.Pd.
Penulis mengawali pendidikannya di Taman Kanak-Kanak TK Al-Amin Pahoman
dan pada tahun 2009 penulis menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar di SD
Negeri 2 Rawa Laut. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan Sekolah
Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Bandar Lampung yang diselesaikan pada
tahun 2012 dan menyelesaikan Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA
Negeri 1 Bandar Lampung pada tahun 2015.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung pada
tahun 2015 melalui jalur SBMPTN. Penulis juga mengikuti kegiatan Kuliah Kerja
Nyata (KKN) selama 40 hari di desa Bumi Tinggi, Kecamatan Bumi Agung,
Kabupaten Lampung Timur pada tahun 2018.Selama menjadi mahasiswa, penulis
bergabung sebagai anggota di organisasi Persikusi. Kemudian pada tahun 2019
penulis menyelesaikan skripsi sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Hukum Universitas Lampung.
vii
MOTO
“Ketika orang-orang menikah karena mereka pikir itulah kisah cinta
sepanjang hidup, mereka akan berpisah sesegera mungkin. karena semua kisah
cinta berakhir dengan kekecewaan. Pernikahan adalah sebuah pengakuan
dari sebuah identitas spiritual.”
(Joseph Campbell)
viii
PERSEMBAHAN
Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala ketulusan dan kerendahan hati,
aku persembahkan skripsi ini kepada:
Kedua orang tuaku, Ayah (Yon Farli) dan Ibu (Listina) yang selalu mencintaiku,
membimbingku dan mengasihiku dalam segala kekurangan yang ku miliki. Tak
ada di dunia ini yang kucintai melebihi kalian dan Tuhan YME. Kasihmu
membangun keinginanku untuk selalu berjuang dan terus maju.
ix
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada
Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat meneyelesaikan
skripsi ini yang berjudul: “Kedudukan Istri dalam Perkawinan Jujur pada
Masyarakat Adat Lampung Saibatin di Kecamatan Pesisir Tengah Krui
Kabupaten Pesisir Barat”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bantuan, bimbingan
serta dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung
sehingga penyusunan skripsi ini berjalan dengan baik. Maka pada kesempatan kali
ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
2. Bapak Dr. Sunaryo, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
3. Bapak Dr. Hamzah S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan baik kritik
maupun saran serta mengarahkan penulis dan meluangkan waktunya
x
sehingga proses penyelesaian skripsi ini dapat berjalan dengan baik,
penulis sangat mengagumi beliau;
4. Ibu Siti Nurhasanah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang
penulis anggap sebagai ibu penyemangat, yang selalu mendorong penulis
untuk cekatan dalam menyelesaikan skripsi, terimakasih banyak untuk
beliau karena telah mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan
bimbingan baik kritik maupun saran serta mengarahkan penulis dan
meluangkan waktunya sehingga proses penyelesaian skripsi ini dapat
berjalan dengan baik;
5. Ibu Hj. Aprilianti, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas I yang telah
memberikan kritik, koreksi, dan masukan yang membangun dalam
penyelesaian skripsi ini;
6. Ibu Dwi Rimadona, S.H., M.Kn., selaku Dosen Pembahas II yang telah
memberikan kritik, koreksi, dan masukan yang membangun dalam
penyelesaian skripsi ini.
7. Ibu Rehulina, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah membimbing dan membantu penulis dalam perkuliahan di Fakultas
Hukum Universitas Lampung;
8. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas
Lampung dan Bapak/Ibu Dosen Bagian Hukum Keperdataan yang telah
memberikan banyak ilmu pengetahuan yang bermanfaat serta segala
kemudahan dan bantuan selama penulis menyelesaiakan studi. Khususnya
Mba Yanti yang sudah membantu penulis untuk mengurus banyak
kebutuhan administrasi;
xi
9. Informan penelitian Bapak Abdullah Mukhir selaku Punyimbang Adat dan
Bapak Tamzirullah selaku Tokoh Adat, beserta para responden penelitian
di Pekon Serai Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat
Ibu Yeni Herawati, Ibu Fathimah, Ibu Salmawati, Ibu Siti Salamah dan
Ibu Zubaidah, yang telah membantu dan memberi informasi dalam
pelaksanaan penelitian.
10. Adikku yang aku sayangi, Ninda Helisia Sari yang selalu memberi
semangat dan perhatian kepada penulis. Serta seluruh keluarga besarku,
terima kasih atas dukungan dan doa yang telah diberikan selama ini.
11. Sahabat-sahabat seperjuanganku, Widita, Rizha, Winda, Robian,
Novalinda, Raditya, Taufiq dan Yasmin yang telah menjadi tempat
bercerita dan berkeluh kesah. Terima kasih atas semua motivasi dan
dukungannya. yang selalu ada disaat susah maupun senang, yang
membantu aku untuk terus maju menyelesaikan semua ini. Terima kasih
untuk kebersamaan, bantuan, serta canda tawa dan semangatnya selama
ini. Semoga semua impian dan cita-cita yang kita impikan dapat tercapai.
12. Sahabat-sahabat semasa SMA ku. Khususnya Ruci, Wafa, Novi, Bill, Duta
dan Vie. Terima kasih untuk kalian, semoga kita semua dapat menjadi
orang yang membanggakan.
13. Sahabat-sahabat virtual penulis. Dewi, Aric, Justin, Kira, Ryan, John,
Peggy, Dan, Aries, Chow dan Nico penulis mengucapkan terimakasih atas
semua bantuan dan dukungan moral yang yang telah diberikan selama ini.
14. Semua teman-teman perkuliahanku, Ridho, Mulei, Assyiva, Intan, Ririk,
Bima, Maul, Christy, Bambang, Raka, Angga, Nadya, Pabol, Luthfi serta
xii
Adhi dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Terima kasih telah menjadi bagian dari memori perkuliahan yang indah
dan berharga.
15. Teman-teman semasa KKN, Akbar, Eka, Mak, Windi, Lia dan Apri.
Terima kasih untuk 40 (empat puluh) hari yang telah kita lewati bersama.
Juga ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Sutarni, Pak
Tejo dan adik – adik beserta keluarga dan seluruh aparatur perangkat Desa
Bumi Tinggi, Kecamatan Bumi Agung, Kabupaten Lampung Timur.
16. Seluruh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung Angkatan 2015
dan Mahasiswa Himpunan Hukum Perdata Angkatan 2015.
17. Almamaterku Tercinta.
18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan
dan dukungan yang telah diberikan.
Akhir kata penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna, akan tetapi penulis berharap semoga
skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak. Semoga Allah SWT
senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Aamiin.
Bandar Lampung, Desember 2019Penulis
Naufal Azmar Alqas
xiii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... iHALAMAN JUDUL ......................................................................................... iiHALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... iiiHALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... ivPERNYATAAN ................................................................................................ vRIWAYAT HIDUP ........................................................................................... viMOTO ................................................................................................................ viiPERSEMBAHAN.............................................................................................. viiiSAN WACANA ................................................................................................. ixDAFTAR ISI ..................................................................................................... xiii
I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup.................................................... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................... 7
II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 8
A. Masyarakat Adat ............................................................................... 8
1. Pengertian Masyarakat Adat....................................................... 82. Sistem Masyarakat Adat ............................................................. 103. Masyarakat Adat Lampung......................................................... 12
B. Perkawinan Adat ............................................................................... 19
1. Pengertian Perkawinan Adat....................................................... 192. Bentuk Perkawinan Adat Lampung............................................ 213. Sistem Perkawinan...................................................................... 25
C. Kedudukan Hukum Adat................................................................... 29
D. Kerangka Pikir .................................................................................. 37
III METODE PENELITIAN ..................................................................... 38
A. Pendekatan Masalah.......................................................................... 38
B. Data dan Sumber Data ...................................................................... 39
xiv
C. Metode Pengumpulan Data ............................................................... 40
D. Metode Pengolahan Data .................................................................. 40
E. Analisis Data ..................................................................................... 41
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................... 42
A. Pelaksanaan Perkawinan Jujur pada Masyarakat Adat LampungSaibatin di Kecamatan Pesisir Tengah Krui KabupatenPesisir Barat ...................................................................................... 42
B. Kedudukan Istri dalam Perkawinan Jujur pada Masyarakat AdatLampung Saibatin di Kecamatan Pesisir Tengah Krui KabupatenPesisir Barat ...................................................................................... 54
V PENUTUP ............................................................................................... 66
A. Kesimpulan ....................................................................................... 66
B. Saran.................................................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat adat Lampung merupakan masyarakat kekerabatan bertali darah
menurut garis ayah (geneologis-patrilinial), yang terbagi-bagi dalam masyarakat
keturunan menurut nenek moyang asalnya masing-masing yang disebut buay,
misalnya Buay Nunyai, Buay Unyi, Buay Nuban, Buay Subing, Buay Bolan,
Buayi Menyarakat, Buay Tambapupus, Buay Tungak, Buay Nyerupa, Buay
Belunguh dan sebagainya. Setiap Buay terdiri dari beberapa kerabat yang terikat
pada satu kesatuan rumah asal (nuwou tubou atau lamban tuha).
Masyarakat adat Lampung berdasarkan kekerabatannya terbagi dalam dua
golongan besar yakni masyarakat adat Lampung Pepadun dan masyarakat adat
Lampung Saibatin. Masyarakat adat Lampung Pepadun mendiami daerah
pedalaman atau daerah dataran tinggi Lampung dengan ciri khas memiliki budaya
kebangsawan yang kuat, pepadun cenderung berkembang lebih egaliter dan
demokratis. Nama “pepadun” berasal dari perangkat adat yang digunakan dalam
prosesi cakak pepadun, pepadun adalah bangku atau singgasana kayu berkaki
empat dan berukir yang merupakan simbol status sosial tertentu dalam keluarga.1
1 Zuraida Kherustika dkk. Upacara Adat Begawi Cakak Pepadun . DepartemenPendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Museum Negeri Provinsi LampungRuwa Jurai. Bandar Lampung. 1999. hlm. 38
2
Masyarakat adat Lampung Saibatin atau disebut juga masyarakat Pesisir
merupakan kelompok masyarakat asli Lampung yang berdiam atau menempati
daerah-daerah pesisir pantai. Masyarakat adat ini menganut sistem kekerabatan
patrilineal (alternerend), yaitu suatu masyarakat adat yang mana para anggotanya
menarik garis keturunan ke atas melalui garis bapak, bapak dari bapak, terus ke
atas, sehingga akhirnya dijumpai seorang laki-laki sebagai moyangnya, sehingga
seorang istri yang karena perkawinannya, biasanya perkawinan dengan sistem
pembayaran uang jujur, dikeluarkan dari keluarganya, kemudian masuk dan
menjadi keluarga suaminya. Anak-anak yang lahir menjadi keluarga bapak
(suami), harta yang ada menjadi milik bapak (suami) yang nantinya diperuntukkan
bagi anak-anak keturunannya yang laki-laki.
Masyarakat adat Lampung menempatkan perkawinan sebagai masalah bersama
dalam keluarga dan seluruh anggota kerabat keluarga. Perkawinan bukan
tanggung jawab pribadi, tetapi merupakan tanggung jawab bersama seluruh
keluarga yang terikat dalam suatu sistem kekerabatan. Pada umumnya setiap
orang Lampung Pepadun berkeinginan upacara perkawinannya dilaksanakan
dengan upacara adat. Dalam perkawinan adat biasanya seluruh masyarakat adat
yang bersangkutan ikut ambil bagian, karena perkawinan bagi masyarakat
Lampung bukan semata-mata urusan pribadi melainkan juga urusan pribadi
melainkan juga urusan keluarga, kekerabatan dan masyarakat adat.
Sistem perkawinan yang dianut oleh masyarakat adat Lampung Saibatin terbagi
menjadi dua macam, yaitu perkawinan jujur dan perkawinan semanda.
Perkawinan jujur merupakan perkawinan yang dilakukan dengan menggunakan
3
uang jujur. Artinya di sini antara calon pengantin dan pihak keluarga laki-laki dan
keluarga wanita sudah sama-sama setuju dengan perkawinan yang akan
dilakukan. Perkawinan semanda merupakan perkawinan yang tidak dilakukan di
mana pihak pria tidak membayar uang jujur sepenuhnya. Hal ini berakibat
mempelai pria setelah kawin harus tinggal di rumah kerabat istri untuk bekerja
membantu pekerjaan atau usaha kerabat istri sampai saat saudara pria dari istri
dewasa, menikah dan dapat mandiri.2
Masyarakat adat Lampung Saibatin hingga kini masih memegang teguh adat
pemberian uang sebelum pelaksanaan perkawinan atau yang disebut dengan jujur
(jujukh). Uang jujur (jujukh) ini dimaknai sebagai pemberian wajib kepada
kerabat pihak calon istri pada saat lamaran. Proses ini adalah suatu tanda
penyerahan harta kekayaan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Harta itu
berupa uang dan terkadang diiringi dengan harta lain yang disebut sesan atau
benatok, seperti perhiasan, sandang dan pangan, perkakas rumah tangga seperti
almari, tempat tidur beserta isinya. Itu semua merupakan contoh dari barang
bawaan pada saat lamaran yang diserahkan kepada orang tua atau wali calon
pengantin perempuan yang disaksikan oleh kerabat-kerabatnya.
Uang jujur merupakan uang pemberian pihak laki-laki kepada pihak perempuan
pada perkawinan jujur. Perkawinan jujur sendiri merupakan bentuk perkawinan di
mana pihak laki-laki memberikan uang jujur kepada pihak perempuan. Benda
yang dapat dijadikan sebagai jujur biasanya benda-benda yang memiliki kekuatan
magis. Pemberian jujur diwajibkan dalam rangka mengembalikan keseimbangan
2 Hilman Hadikusuma, Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Mandar Maju. Bandung.1999, hlm. 42
4
magis yang menjadi goyah karena terjadinya kekosongan pada keluarga
perempuan yang pergi karena pernikahan tersebut.3
Perkawinan jujur dapat dijumpai pada masyarakat patrilineal dengan ciri umum
yaitu istri wajib bertempat tinggal di kediaman suami atau keluarga suami. Secara
singkat, jujur adalah dimana muli (gadis) yang diambil oleh mekhanai (bujang)
untuk menjadi istrinya. Sebab itulah, mekhanai dan keluarganya harus
menyerahkan/membayar uang adat kepada ahli si muli berdasarkan permintaan
dari ahli keluarga si muli. Sedangkan permintaaan si muli kepada sang mekhanai
disebut kiluan juga harus dibayar/dipenuhi oleh sang mekhanai. Kiluan ini
menjadi hak si muli. Perkawinan dengan cara jujukh/Sakicik Betik, cara ini
dilakukan terang-terangan yaitu keluarga si bujang melamar langsung si gadis.
Lamaran dilakukan setelah ada kecocokan hari, tanggal pernikahan, uang jujukh
pengeni jama hulun tuha dan benda balak. Dalam sistem perkawinan jujukh ini
maka kedudukan seorang perempuan dari kelompok masyarakat adat Lampung
Saibatin berpindah tanggung jawabnya dari keluarga inti (pihak perempuan)
masuk ke dalam keluarga inti pihak laki-laki, sehingga hal-hal yang berkaitan
dengan masalah kekerabatan adat sepenuhnya menjadi hak pihak laki-laki.
Pemberian uang jujur atau jujukh dalam perkawinan adat diwajibkan atas calon
suami kepada calon istri. Pemberian ini merupakan salah satu syarat dari sahnya
suatu perkawinan menurut adat. Apabila uang jujur atau jujukh ini tidak diberikan
oleh laki-laki kepada perempuan maka perkawinan yang telah direncanakan bisa
3 M. Adnan Bahsan, Zulchilal Bahsan, dan Badri Bahsan, Pelestarian Nilai-nilai Adatdan Upacara Perkawinan Adat Lampung Pesisir, Tanjung Karang, 1982, hlm.6.
5
batal. Pemberian itu haruslah sesuai dengan apa yang telah disepakati kedua belah
pihak (calon suami dan calon istri).
Perkawinan sistem jujur juga mengenal istilah mentudau, yaitu apabila muli akan
meninggalkan keluarganya dan tidak akan mendapat warisan dari keluarga si muli,
baik harta dan juga adok dari keluarga asal. Selanjutnya si muli akan diantar oleh
sanak keluarganya menuju rumah calon suami dan sepenuhnya akan menegakkan
rumah tangga dan keluarga suami. Biasanya muli yang mentudau ini akan
berangkat ke rumah suaminya dengan membawa keperluan rumah tangga yang
cukup di mana barang-barang bawaan kebayan ini dinamakan benatokyang hak
dan kekuasaannya melekat pada istri. Suami tidak berhak atas benatok tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa uang jujur sebagai harta atau uang yang diberikan
pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebelum dilaksanakannya akad nikah.
Uang jujur ini merupakan syarat sah dalam perkawinan. Uang jujur ini muncul
karena adanya perkawinan jujur, yaitu suatu bentuk perkawinan yang bertujuan
untuk meneruskan garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Dalam perkawinan
semacam ini pihak laki-laki harus menyerahkan sesuatu sebagai jujur. Esensi dari
perkawinan jujur adalah istri ikut atau masuk ke dalam keluarga suami.4
Kedudukan anak perempuan di dalam keluarga Lampung Saibatin dalam hal
perkawinan dan pewarisan berada dalam kepemimpinan dan pengayoman
keluarga besar, khususnya anak laki-laki tertua. Pemahaman ini mempertegas
bahwa anak laki-laki tertua menjadi titik sentral dalam pewarisan pada masyarakat
4 Ibid, hlm.7.
6
adat Lampung Saibatin, dan berhak menerima serta menjadi penanggung jawab
atas harta warisan orang tua, dengan pemanfaatannya untuk semua ahli waris.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis melaksanakan penelitian
yang akan dituangkan dalam skripsi yang berjudul: “Kedudukan istri dalam
perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung Saibatin di Kecamatan Pesisir
Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian
dirumuskan:
a. Bagaimanakah pelaksanaan perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung
Saibatin di Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat?
b. Bagaimanakah kedudukan istri dalam perkawinan jujur pada masyarakat adat
Lampung Saibatin di Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten Pesisir
Barat?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah ruang lingkup hukum keperdataan dengan
spesifikasi hukum perkawinan adat. Lingkup kajian penelitian ini adalah
pelaksanaan perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung Saibatin. Lingkup
lokasi penelitian adalah Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat
dan waktu penelitian dilaksanakan pada Tahun 2019.
7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami dan menganalisis:
a. Pelaksanaan perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung Saibatin di
Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat
b. Kedudukan istri dalam perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung
Saibatin di Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penulisan dari skripsi ini adalah sebagai berikut :
a. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai upaya pengembangan ilmu
pengetahuan, ilmu dibidang Hukum Keperdataan khususnya dibidang hukum
perkawinan adat.
b. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai upaya pengembangan
kemampuan dan pengetahuan hukum bagi Penulis khususnya pemahaman
pada bidang ilmu pengetahuan hukum perkawinan dan sebagai bahan
informasi bagi pihak yang memerlukan khususnya bagi mahasiswa Bagian
Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Masyarakat Adat
1. Pengertian Masyarakat Adat
Masyarakat adalah sekumpulan orang-orang yang hidup bersama dalam suatu
tempat tertentu yang berinteraksi secara terus menerus dalam jangka waktu yang
tidak tertentu, sehingga menimbulkan pola-pola yang menjadi ciri-ciri, dan
mempunyai kebudayaan sendiri yang dipertahankan.5 Masyarakat adat sebagai
komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun temurun yang hidup di
wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi ekonomi, politik,
budaya dan sosial yang khas, masyarakat ini masih memegang nilai-nilai tradisi
dalam sistem kehidupan.
Masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu daerah satu sama lain saling sama
adat istiadatnya maupun sistem kekerabatannya berbeda dengan penduduk asli
struktur kekerabatan adatnya patrinial sedangkan penduduk pendatang struktur
kekerabatannya adanya matrinial, tetapi dalam kenyataannya mereka dapat hidup
rukun dan damai. Oleh karena itu, hukum adat pada masyarakat yang satu berbeda
dengan hukum masyarakat lainnya, walaupun hukum yang demikian itu lahir dari
nilai yang sama, kebutuhan yang sama, akan tetapi penerapannya disesuaikan
dengan konteks waktu, tempat, dan personal, maka keberlakuan hukum
5 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1990,hlm. 28.
9
masyarakat yang satu berbeda dengan masyarakat lainnya. Pengertian masyarakat
adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa orang manusia yang dengan
atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan saling mempengaruhi satu
sama lainnya.
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, menerangkan masyarakat hukum adat
merupakan satu kesatuan manusia saling berhubungan dengan pola berulang tetap,
yaitu suatu masyarakat dengan pola-pola perilaku yang sama, di mana perilaku
tumbuh dan diwujudkan oleh masyarakat, dari pola tersebut diwujudkan aturan-
aturan untuk mengatur pergaulan antar masyarakat. Suatu pergaulan hidup dengan
pola yang sama, hanya akan terjadi apabila adanya suatu komunitas hubungan
dengan pola berulang tetap.6
Ruang lingkup hukum adat dapat dilihat dari dua sisi yaitu ruang lingkup dalam
arti tempat (space) dan ruang lingkup dalam arti substansi. Berdasarkan pendapat
di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat adalah suatu`perilaku atau
pedoman hidup masyarakat yang tercermin dalm kehidupan sehari-hari dalam
suatu masyarakat atau kebiasaan yang terwujud atau diterapkan pada manusia atau
pada tingkah laku manusia sehari-hari. 7
Hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang bersumber pada
peraturan-peraturan tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang yang
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya.8 Di dalam hukum adat
terdapat bagian yang sangat penting yaitu masyarakat hukum adat yakni
6 Soleman B. Taneko dan Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta,2000, hlm. 12.
7 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 21.8 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 115.
10
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan.9
Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat, sejak
manusia diturunkan ke muka bumi, maka ia memulai hidupnya berkeluarga,
kemudian bermasyarakat, dan kemudian bernegara. Sejak manusia itu berkeluarga
mereka telah mengatur dirinya dan anggota keluarganya menurut kebiasaan
mereka. Apabila dilihat dari perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum itu
mulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku.
Perilaku yang terus menerus dilakukan perorangan menimbulkan “kebiasaan
pribadi”. Apabila kebiasaan pribadi itu ditiru oleh orang lain, maka ia akan juga
menjadi kebiasaan kebiasaan orang tersebut. Lambat laun di antara orang yang
satu dan orang yang lain di dalam kesatuan masyarakat melakukan perilaku
kebiasaan tadi. Kemudian apabila seluruh anggota masyarakat melakukan perilaku
kebiasaan tadi, maka lambat laun kebiasaan itu menjadi “adat” dari masyarakat
tersebut. Adat adalah kebiasaan masyarakat sebagai keharusan yang berlaku
dalam lingkungan tempat tinggal atau daerahnya, dilakukan oleh anggota
masyarakat dan menjadi tradisi atau budaya masyarakat itu sendiri sehingga
menjadi “hukum adat”.
2. Sistem Masyarakat Adat
Sistem masyarakat adat merupakan keseluruhan adat dan hidup dalam masyarakat
berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum.
9 Soleman B. Taneko dan Soerjono Soekanto, Op.Cit. hlm.12.
11
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum adat merupakan hukum yang
mengatur tingkah laku manusia dalam hubungan satu sama lain, baik yang
merupakan keseluruhan dalam kelaziman dan kebiasaan yang benar-benar hidup
di masyarakat adat karena di anut dan dipertahankan dalam anggota-anggota
masyarakat baik berupa hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang
merupakan keseluruhan peraturan-peraturan apabila dilanggar akan dikenakan
sanksi adat berupa celaan atau dikeluarkan dari lingkungan masyarakat.
Sistem masyarakat adat membentuk masyarakat hukum adat dalam masyarakat
hukum sebagai berikut:
a. Masyarakat Hukum Teritorial
Masyarakat hukum teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang
anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu,
baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan
rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur. Para anggota
masyarakatnya merupakan anggota-anggota yang terikat dalam kesatuan yang
teratur baik ke luar maupun ke dalam. Di antara anggota yang pergi merantau
untuk waktu sementara masih tetap merupakan anggota kesatuan territorial itu.
Begitu pula orang yang datang dari luar dapat masuk menjadi anggota
kesatuan dengan memenuhi persyaratan adat setempat.
b. Masyarakat Hukum Genealogis
Masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat genealogis adalah suatu
kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu
garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung karena
hubungan darah (keturunan) atau secara tidak langsung karena pertalian
12
perkawinan atau pertalian adat. Menurut para ahli hukum adat di masa Hindia
Belanda masyarakat yang genealogis itu dapat dibedakan dalam tiga macam
yaitu yang bersifat patrilinial, matrilinial dan bilateral atau parental.
c. Masyarakat Teritorial-Genealogis (Campuran)
Masyarakat hukum teritorial-genealogis adalah kesatuan masyarakat yang
tetap dan teratur di mana para anggotanya bukan saja terikat pada tempat
kediaman pada suatu daerah tertentu, tetapi juga terikat pada hubungan
keturunan dalam ikatan pertalian darah dan atau kekerabatan.10
3. Masyarakat Adat Lampung
Berdasarkan adat istiadatnya penduduk suku/adat Lampung terbagi dalam dua
golongan besar yakni masyarakat Lampung beradat pepadun dan masyarakat
Lampung beradat saibatin atau pesisir/peminggir.
a. Masyarakat Lampung Saibatin
Menurut istilahnya saibatin berasal dari kata sai atau satu, yang dimaksudkan
adalah persatuan para Punyimbang adat dan Punyimbang marga untuk
permusyawaratan dalam melaksanakan peradilan adat yang diadili para
pemuka adat setempat. Saibatin sesusngguhnya berarti permusyawaratan
(peradilan) yang diadakan oleh paksi-paksi adat untuk menyelesaikan
peristiwa-peristiwa adat yang terjadi dengan rukun dan damai.
Masyarakat Lampung saibatin seringkali juga dinamakan Lampung pesisir
karena sebagian besar berdomisili disepanjang pantai timur, selatan dan barat
Lampung Saibatin bermakana satu batin atau memiliki satu junjungan hal ini
10 Rafael Raga Maran, Manusia & Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar.Rineka Cipta, Jakarta, 2006, hlm. 26-27.
13
sesuai dengan tatanan sosial dalam suku saibatin, hanya ada satu raja dalam
setiap generasi kepemimpinan. Masyarakat Lampung Saibatin terbagi dalam
perserikatan adat:
1) Kelompok marga putih.
2) Kelompok marga pertiwi.
3) Kelompok marga kelumbayan.
4) Kelompok marga badak.
5) Kelompok marga limau.11
Adat Saibatin berazaskan persamaan derajat dan hak antar marga Saibatin. Hal
ini sesuai dengan tatanan sosial dalam suku Saibatin, hanya ada satu raja adat
dalam setiap generasi kepemimpinan serta musyawarah dan mufakat dalam
persidangan Punyimbang yang sederajat. Semua keputusan yang di hasilkan
merupakan kemufakatan bersama para Punyimbang (tokoh adat) yang terdiri
dari tamanggung yang mewakili dan para paksi. Struktur kepenyimbangan
dapat di ketahui dari strata hirarki gelar adat yang berlaku dalam kebumian
masing-masing. Penobatan seseorang yang berasal dari kerabat penyimbang
menjadi penyimbang resmi beserta pemberian gelar sesuai dengan
kedudukannya dalam adat menurut adat dalam masyarakat Saibatin, pada
umumnya saat upacara proses perkawinan adat. Sedangkan apabila terjadi
permasalahan atau suatu kasus di dalam kepunyimbangan pemekonan, maka
di adakan musyawarah tamunggung yang di pimpin oleh Punyimbang arga
dan yang berhak memutuskan adalah Punyimbang marga yang di setujui oleh
para tamunggung.
11 Abdullah A. Soebing, Kedatuan di Gunung Keratuan di Muara, UI Press, Jakarta,1983. hlm. 54.
14
Masyarakat adat Saibatin merupakan sebutan untuk masyarakat adat suku
Lampung yang bermukim di daerah sepanjang Pantai Teluk Lampung, Teluk
Semangka, Krui Semangka, Krui Belalau, yang disebut orang Melinting
sebagai Meningting Raja Basa, peminggir Semangka dan Krui-Belalau. Selain
itu tergolong penganut adat Saibatin adalah orang-orang Ranau/Muara Dua,
Komering/ Kayu Agung yang berdiam di daerah Sumatera Selatan.
Masyarakat adat Lampung Saibatin menggunakan bahasa Lampung dalam
dialek Belalau atau dialek Api dengan berbagai logat yaitu logat Belalau, logat
Krui, logat Melinting, logat Way Kanan, logat Pubian, logat Sungkay dan
logat Jelema Daya atau logat Komering.12
Masyarakat Lampung Saibatin dapat dikelompokkan menjadi beberapa
kelompok:
1. Belalau/Krui, terdiri dari Sakau, Liwa, Kembahang, Batu Bekhak, Kenali,
Sekincau.
2. Peminggekh Semaka, terdiri dari Belungu, Benawang, Pematang Sawah,
Way Ngarip.
3. Peminggekh Pemanggilan, terdiri dari Kelumbayan, Pekhtiwi, Putih Doh,
Badak, Limau, Waylima, Gunung Alip.
4. Peminggekh Teluk, terdiri dari Teluk Betung, Menanga Khatai, Punduh
Pidada.
5. Melinting, terdiri dari Jabung, Melinting, Sekampung Udik, Sekampung
Ilir.
6. Meninting, terdiri dari Dantaran, Raja Basa, Ketibung.
12 Hilman Hadikusuma, Op.Cit. hlm. 13.
15
7. Komering/ Kayu Agung
8. Semendawa Suku I, Semendawa Suku 2, Semendawa Suku 3, Buai
Pemuka
9. Ranau/ Muara Dua
10. Cikoneng Banten13
Masyarakat Saibatin ditandai oleh kesempatan menduduki jabatan sebagai
kepala adat, terbatas sampai tingkat Kepala Adat Pekon dengan syarat telah
ada wilayah dan ada pengikutnya, dengan kata lain Ngangkat Saibatin. Kepala
adat tingkat marga (marga geneologis) secara turun-temurun (tidak pernah
bertambah). Di lihat dari strukturnya, maka masyarakat adat Saibatin
dikelompokkan pada masyarakat hukum Adat Bertingkat, karena masyarakat
terbagi dalam masyarakat hukum lainnya di mana beberapa masyarakat
hukum bawahan tunduk pada hukum atasan.
Tertatanya masyarakat adat Lampung yang beradat Saibatin adalah Piil
pesenggiri, piil (dari kata fiil bahasa Arab) artinya perilaku dan pesenggiri
maksudnya bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri, tahu hak dan kewajiban.
Piil pesenggiri merupakan potensi sosial budaya daerah yang memiliki makna
sebagai sumber motivasi agar setiap orang dinamis dalam usaha
memperjuangkan nilai-nilai positif, hidup terhormat, dan dihargai di tengah-
tengah kehidupan masyarakat. Marga Saibatin sangat berpegang teguh pada
agama yang dianutnya karena agama sangat berpengaruh terhadap kehidupan
bermasyarakat antar marga Saibatin. Masyarakat Saibatin menganut sistem
13 Ibid. hlm. 15
16
kekeluargaan unilateral patrilinial murni dan masih percaya bahwa benda-
benda kuno atau antik mempunyai kekuatan sakti, misalnya alat perlengkapan
adat seperti alam geminser dan awan geminser, yaitu alat upacara adat
Saibatin yang dianggap mempunyai ketinggian dan keagungan Saibatin.
Masyarakat Lampung mempunyai falsafah yaitu sebagai berikut:
1) Juluk Adek, yaitu semua anggota masyarakat lampung mempunyai gelar
adat.
2) Nemui Nyimah, yaitu sikap pemurah, terbuka, suka memberi dan
menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan.
3) Nengah Nyappur, yaitu suka bergaul dan bermusyawarah dalam
menyelesaikan suatu masalah.
4) Sakai Sambayan, yaitu saling tolong menolong dan bergotong royong.
5) Piil pesenggiri, yaitu pantang mundur tidak mau kalah dalam sikap, tindak
dan perilaku.
b. Masyarakat Lampung Pepadun
Masyarakat ini mendiami daerah pedalaman atau daerah dataran tinggi
Lampung. Berbeda dengan saibatin yang memiliki budaya kebangsawan yang
kuat, pepadun cenderung berkembang lebih egaliter dan demokratis. Nama
“pepadun” berasal dari perangakat adat yang digunakan dalam prosesi cakak
pepadun, pepadun adalah bangku atau singgasana kayu berkaki empat dan
berukir yang merupakan simbol status sosial tertentu dalam keluarga.14
14 Zuraida Kherustika Op.Cit. hlm. 38
17
Masa kekuasaan Mataram berlaku peradilan di bawah pimpinan jaksa selaku
wakil kesultanan mataram. Untuk menyelesaikan perkara-perkara adat yang
tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kerabat yang bersangkutan. Jadi pepadun
yang sesugguhnya berarti permusyawaratan adat yang diadakan oleh perwatin
adat untuk menyelesaikan peristiwa adat yang terjadi dengan rukun dan damai.
Masyarakat pepadun menganut sistem kekerabatan patrilineal yang mengikuti
garis keturunan bapak. Dalam suatu keluarga, kedudukan adat tertinggi pada
anak laki-laki tertua dari keturunan tertua, yang disebut “penyimbang”. Gelar
penyimbang ini sangat dihormati dalam adat pepadun karena menjadi penentu
dalam proses pengambilan keputusan. Status kepemimpinan adat ini akan
diturunkan kepada anak laki-laki tertua dari penyimbang. Berdasarkan sejarah
perkembangannya, masyarakat pepadun berkembang di daerah Abung, Way
Kanan, dan Way Seputih (Pubian).
Masyarakat adat Lampung Pepadun disebut juga Lampung Siwo Mego. Secara
bahasa Siwo berarti Sembilan dan Mego berarti marga, dengan demikian Siwo
Mego berarti masyarakat Lampung Abung yang memiliki sembilan marga
geneologis, yaitu Buay Unyi, Buay Unyai, Buay Uban, Buay Subing, Buay
Beliuk, Buay Kunang, Buay Selagai, Buay Anak Tuha dan Buay Nyerupa.
Masyarakat adat Lampung Siwo Mego menempati wilayah tanah yang ada di
sekitar Way Rarem, Way Terusan, Wai Pengubuwan dan Way Seputih.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Lampung berdialek “o” atau nyow.
Masyarakat Lampung Abung Siwo Mego berasal dari keturunan Ratu
Dipuncak. Ratu Dipuncak pada mulanya bermukim di daerah Sekala Beghak
18
ini keturunan Ratu Dipuncak menyebar ke masing-masing daerah, ada yang ke
Utara dan ada yang ke Selatan di antaranya ke daerah Komering dan Kayu
Agung Sumatera Selatan dan lain sebagainya. Sedangkan yang lain lagi untuk
pertama kali ke daerah Way Abung Lampung Utara. Di Way Abung ini
keturunan Ratu Dipuncak mengadakan kata sepakat tentang adat mereka yaitu
adat Lampung Abung Siwo Mego.
Pembentukan kesatuan Abung Siwo Mego (Abung Sembilan Marga), diawali
pertemuan di suatu tempat di pinggir Way Abung, di sinilah pertemuan dan
perundingan pada Siwo Mego yang pertama dengan keputusan delapan orang
saudara Nunyai mendapat hak adat ngejuk ngakuk, tetapi belum mendapat adat
kebumian. Besarnya pengakuk untuk Nunyai tetap 600 (enam ratus)
sedangkan bagi yang lain baru 400 (empat ratus). Mereka yang menjadi saksi
atau peninjau hanya boleh mendengar dan mengetahui (belum mendapatkan
hak keadatan), dari sinilah lahir istilah Abung Siwo Mego atau Pak Sumbai.
Masa Abung Siwo Mego (Abung Sembilan Marga) sekitar abad ke-18. Suatu
sistem keterbukaan adat telah diberlakukan sejak zaman Minak Trio Diso,
yakni adanya sistem Mewari (adopsi) untuk menjadi anggota adat Abung bagi
orang-orang dari luar, di mana orang-orang yang diadopsi ini menjadi sama
hak dan kewajibannya di dalam kemasyarakatan dan adat, dan mereka pun
menjadi pimpinan (penyimbang) pula pada buwai masing –masing. Disamping
itu ada pula di antara penyimbang-penyimbang tersebut yang melakukan
“Seba” ke Banten. Penyimbang-penyimbang yang telah seba dan para
penyimbang yang atas persepakatan yang disahkan oleh perwatin, lalu
19
membentuk persekutuan bersama, yakni sebanyak sembilan migo termasuk
keturunan dari Minak Trio Diso sebagai penyimbang inti. 15
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa masyarakat adat Lampung terdiri dari
masyarakat Lampung Saibatin dan Papadun yang secara kekekrabatan terikat oleh
hubungan pertalian adat, yaitu kerabat yang ditimbulkan karena adanya ikatan
perkawinan dan adat, kerabat yang disebabkan karena pergaulan sehari-hari, dan
saudara sekandung. Sistem kekerabatan dalam kehidupan masyarakat adat
Lampung menganut prinsip patrilineal.
B. Perkawinan Adat
1. Pengertian Perkawinan Adat
Menurut Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah sebuah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal yang
didasarkan pada ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketentuan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan bahwa
perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Tergantung budaya
setempat bentuk perkawinan bisa berbeda-beda dan tujuannya bisa berbeda-beda
juga. Tapi umumnya perkawinan itu ekslusif dan mengenal konsep
15 A. Abdulah Soebing. Kedatuan di Gunung Keratuan Di Muara. Uni Press. Jakarta1983. hlm. 41-43
20
perselingkuhan sebagai pelanggaran terhadap perkawinan. Perkawinan umumnya
dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga. Nani Soewondo menegaskan
bahwa dalam masyarakat adat, perkawinan tidak hanya menjadi kepentingan
orang-orang yang bersangkutan, tetapi seluruh keluarga dan masyarakat adat juga
ikut berkepentingan. Perkawinan harus merupakan perbuatan yang “terang”,
karena pelanggaran adat yang mungkin dilakukan oleh salah satu anggota, dapat
mengggangu kebahagian hidup dan ketertiban seluruh keluarga dan masyarakat
yang bersangkutan. Inilah sebabnya, kepala adat selalu turun tangan langsung
dalam proses pelaksanaan perkawinan.16
Dengan demikian di dalam perkawinan sudah jelas mengenal yang dinamakan
kekerabatan yaitu kekerabatan patrilineal dan matrilineal. Pengertian patrilineal
adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan yang berasal dari
pihak ayah. Penganut patrilneal di Indonesia antara lain adalah suku Batak, suku
rejang dan suku Gayo. Sedangkan matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang
mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Matrilineal berasal dari kata mater
yang artinya ibu dan linea yang artinya garis. Jadi matrilineal berarti mengikuti
garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu. 17
Adanya perbedaan bentuk hukum perkawinan adat lebih disebabkan karena
terdapatnya perbedaan sistem kekerabatan atau sistem keturunan yang dianut oleh
masing-masing masyarakat adat di Indonesia. Di kalangan masyarakat adat yang
mengatur sisem kekerabatan “patrilneal”, maka hukum perkawinan adat yang
16 Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat. GhaliaIndonesia, Jakarta, 1984, hlm. 42
17 Eman Suparman. Hukum Waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW).Bandung: PT Rafika Aditama, 2005, hlm. 11.
21
berlaku adalah bentuk perkawinan “jujur”. Di daerah Rejang disebut “beleket”,
“mangoli” di Batak, “nuku” di Palembang, “nagkuk,hibal” di daerah Lampung.
2. Bentuk Perkawinan Adat Lampung
Menurut ketentuan-ketentuan adat sistem perkawinan masyarakat Lampung
Saibatin menganut dua bentuk yaitu:
a. Perkawinan Nyakak atau Perkawinan Jujur
Perkawinan ini disebut perkawinan jujur karena lelaki mengeluarkan uang
untuk membayar jujur/jujukh kepada pihak keluarga gadis (calon istri).
Dengan diterimanya uang atau barang jujur oleh pihak perempuan berarti
setelah perkawinan, istri akan mengalihkan kedudukannya ke dalam
kekerabatan suami selama dia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu atau
sebagaimana berlaku di daerah Lampung untuk selama hidupnya.
b. Sistem Perkawinan Cambokh Sumbay atau Perkawinan Semanda
Perkawinan semanda pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat
yang “matrilineal” dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu.
Bentuk perkawinan ini merupakan kebalikan dari bentuk perkawinan jujur,
pihak suami tidak mengeluarkan uang jujur kepada pihak isteri, bahkan
sebaliknya berlaku adat pelamaran dari pihak perempuan pada pihak laki-laki.
Suami setelah melaksanakan akad nikah melepaskan hak dan tanggungjawab
dan berkewajiban mengurus dan melaksanakan tugas-tugas di pihak isteri.
Masyarakat adat suku Lampung Saibatin yang menganut garis keturunan Bapak
(patrilineal) mengenal dua jenis perkawinan secara adat yaitu:
22
a. Sistem perkawinan Nyakak atau Mantudaw disebut juga perkawinan “jujukh”
karena si bujang harus mengeluarkan uang untuk membayar jujukh (bandi
lunik) kepada pihak keluarga gadis (calon istri). Sistem perkawinan ini dapat
dilaksanakan dengan dua cara yaitu:
1) Cara Sebambangan, yaitu si gadis dilarikan oleh si bujang dari rumahnya
dibawa ke rumah adat atau kerumah si bujang. Biasanya pertama kali si
gadis ditempatkan di rumah adat atau Jukhangan baru dibawa pulang ke
rumahnya oleh keluarga si bujang. Tata cara adat sebambangan sampai
penyelesaiannya sebagai berikut:
a) Tengepik artinya peninggalan, yaitu benda sebagai tanda kepergian
gadis bersuami, berupa surat dan sejumlah uang yang ditinggalkan si
gadis ketika ia berangkat meninggalkan rumahnya untuk menuju ke
tempat bujang yang dicintainya. Uang Tengepik bernilai 20 rial (Rp.
20.000,- Rp. 200.000,-). Menurut adat gadis itu harus berangkat dari
rumahnya sendiri, bukan dari ladang atau tepat lain. Sesampainya si
gadis di tempat si bujang, maka orang tua keluarga bujang harus segera
melaporkan kepada Punyimbangnya. Punyimbang segera mengadakan
musyawarah menyanak untuk menunjuk utusan yang akan
menyampaikan kesalahan kepada pihak gadis, disebut ngattak
Pengundur senjata.
b) Pengundur senjata atau tali pengendur atau juga disebut ngattak salah,
adalah tindakan yang dilakukan pihak kerabat bujang yang melarikan
gadis dengan mengirim utusan yang membawa keris adat dan
menyampaikannya kepada kepala adat pihak gadis. Ngattak
23
(mengantar) Pengundur senjata ini harus dilakukan di dalam waktu 1 x
24 jam di dalam kota atau 3 x 24 jam di luar kota setelah gadis berada
di tangan kerabat bujang. Pengundur senjata ini harus diterima kepala
adat gadis dan segera pula ia memberitahukan keluarga gadis dan
menyanak wari lainnya, serta menyatakan bahwa anak gadis mereka
sudah berada di tangan kepala adat pihak bujang. Biasanya setelah
Pengundur senjata disampaikan, pihak bujang segera mengirimkan
bahan makanan kepada pihak gadis. Bahan makanan itu berupa
rempah-rempah sayuran dan ikan untuk makanan sehari-hari.
c) Cakak Ngumung, Anjau Kepunyimbangan, Sujud, apabila telah didapat
berita bahwa pihak gadis bersedia menerima pihak bujang, maka pihak
bujang mengirim utusan tua-tua adatnya untuk cakak ngumung (naik
bicara), guna menyatakan permintaan maaf dan memohon
penyelesaian agar sebambangan itu dapat diselesaikan dengan baik ke
arah perkawinan. Jika tiada aral melintang, maka dari pertemuan yang
telah diadakan kedua belah pihak, maka dilakukan anjau
kepunyimbangan (kunjungan menantu pria), di mana calon mempelai
pria diantar oleh beberapa anggota keluarganya untuk
memperkenalkan diri kepada keluarga orang tua gadis. Dapat
dilanjutkan dengan acara sujud, di mana kepunyimbangan diantar oleh
kerabatnya untuk diperkenalkan dan bersujud pada semua tua-tua adat
pihak gadis dalam suatu acara tertentu di tempat gadis.
d) Pegadu Rasan, Cuwak Mengan, setelah acara anjau kepunyimbangan,
sujud dilakukan pihak bujang maka sampailah pada acara pegadu
24
rasan, yaitu mengakhiri pekerjaan, maksudnya melaksanakan akad
nikah dengan acara nyuwak mengan (mengundang makan), di mana
pada suatu hari yang telah ditentukan dilaksanakan akad nikah kedua
mempelai dan pihak pria mengundang semua kerabat pihak wanita
untuk makan bersama dan para undangan sebagai tanda bahwa acara
perkawinan itu berlangsung dengan baik, rukun dan damai.
Sebagaimana biasanya pihak wanita menyampaikan pesan (barang
bawaan) mempelai wanita, yang nilainya seimbang atau lebih dari
nilai-nilai biaya adat dan biasa lainnya yang telah disampaikan pihak
pria. Dalam penyelesain adat perkawinan sebagai akibat terjadinya
sebambangan itu dipihak pria berlaku acara-acara seperti tindih sila,
posok, pemberan gelar dan sebagainya. Begitu juga pemberian gelar
dari pihak wanita ketika berlaku acara sujud. Namun ada kemungkinan
dikarenakan permintaan pihak mempelai wanita maka acaranya
menjadi besar, di mana mempelai wanita “diulikan” (digadiskan
kembali), artinya diambil kembali oleh orang tuanya untuk
melaksanakan acara bumbang aji atau ibal sebu.
Pada masyarakat adat Lampung merupakan peristiwa yang diagung-
agungkan dan diwujudkan dalam pelaksanaan upacara perkawinan adat
(begawi). Begawi dilaksanakan bersamaan dengan proses pengambilan
gelar, yaitu seseorang berhak mendapatkan gelar tertinggi dalam adat,
yaitu gelar Suttan. Selain itu upacara perkawinan juga bertujuan untuk
meningkatkan status adat seseorang dalam kekerabatan, hal ini
25
dikarenakan seseorang telah mempunyai kesempatan untuk duduk dalam
sesat atau balai adat bersama-sama dengan para penyimbang lainnya pada
saat bermusyawarah peradilan adat. Terlebih lagi bagi keluarga anak tertua
laki-laki, di mana keluarga rumah tangganya akan menjadi pusat
kepemimpinan kerabat bersangkutan. Masyarakat Lampung menempatkan
perkawinan sebagai masalah bersama dalam keluarga dan seluruh anggota
kerabat keluarga. Perkawinan bukan tanggung jawab pribadi, tetapi
merupakan tanggung jawab bersama seluruh keluarga yang terikat dalam
suatu sistem kekerabatan.
2) Cara Tekhang/ Sakicik Betik, cara ini dilakukan terang-terangan yaitu
keluarga si bujang melamar langsung si gadis. Lamaran dialakukan setelah
ada kecocokan hari, tannggal pernikahan, uang jujukh pengeni jama hulun
tuha, benda balak (maskawin). Dalam sistem tekhang ini uang Tengepik
dan surat pemberitahuan tidak ada.
b. Sistem perkawinan Cambokh Sumbay ini disebut juga perkawinan Semanda.
Untuk perkawinan ini calon suami tidak mengeluarkan jujukh kepada calon
istri, si bujang setelah akad nikah melepaskan tanggung jawab terhadap
keluarganya, selanjutnya ia bertanggung jawab kepada kelurga istrinya.18
3. Sistem Perkawinan
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan YME. Di dalam hukum perkawinan adat
dikenal adanya beberapa sistem perkawinan yaitu:
18 Ibid. hlm. 16
26
a. Perkawinan monogami adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang
wanita. Bentuk perkawinan ini paling ideal dan sesuai dengan ajaran agama
serta Undang-Undang Perkawinan.
b. Perkawinan poligami adalah perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari
satu wanita. Berkaitan dengan poligami ini juga dikenal perkawinan poliandri
yaitu perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria.
c. Perkawinan eksogami adalah perkawinan antara pria dan wanita yang
berlainan suku dan ras.
d. Perkawinan endogami adalah perkawinan antara pria dan wanita yang berasal
dari suku dan ras yang sama.
e. Perkawinan homogami adalah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan
sosial yang sama. Contohnya, pada zaman dulu anak bangsawan cenderung
kawin dengan anak orang bangsawan juga.
f. Perkawinan heterogami adalah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan
sosial yang berlainan.
g. Perkawinan cross cousin adalah perkawinan antara saudara sepupu, yakni
anak saudara laki-laki ibu (anak paman) atau anak dari saudara perempuan
ayah.
h. Perkawinan parallel cousin adalah perkawinan antara anak-anak dari ayah
mereka bersaudara atau ibu mereka bersaudara.
i. Perkawinan eleutherogami adalah seseorang bebas untuk memilih jodohnya
dalam perkawinan, baik itu dari klen sendiri maupun dari klen lainnya.19
19 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1990,hlm. 67-68
27
Adapun bentuk-bentuk perkawinan adat secara umum adalah sebagai berikut:
a. Bentuk perkawinan menurut susunan kekerabatan, terdiri dari:
1) Perkawinan pada susunan kekerabatan patrilineal, si wanita berpindah ke
dalam kekerabatan suaminya dan melepaskan diri dari kerabat asal.
2) Perkawinan pada susunan kekerabatan matrilineal, meskipun telah terjadi
perkawinan, namun suami istri masing-masing tetap berada pada
kelompok kerabatnya sendiri, sedangkan anak-anak masuk ke kelompok
kekerabatan ibunya.
3) Perkawinan pada susunan kekerabatan parental, setelah perkawinan suami
istri masuk ke dalam kerabat suami dan kerabat istri. Anak-anak juga
masuk dalam kerabat bapaknya dan kerabat ibunya.
b. Bentuk perkawinan anak-anak
Perkawinan ini dilakukan terhadap calon suami dan istri yang belum dewasa,
yang biasanya dilaksanakan menurut ketentuan hukum islam, sedang pesta
dan upacara menurut hukum adat ditangguhkan. Sebelum upacara perkawinan,
suami belum boleh melakukan hubungan suami istri, ditangguhkan sampai
mereka dewasa dan dilangsungkan pesta dan upacara menurut hukum adat.
c. Bentuk perkawinan permaduan
Permaduan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan dua atau
lebih wanita dalam waktu bersamaan. Pada daerah yang mengenal lapisan
masyarakat, wanita yang dari lapisan tinggi (sama) dijadikan istri pertama dan
wanita yang dari lapisan bawah dijadikan istri (kedua dan seterusnya). Para
istri yang dimadu (selir), masing-masing beserta anaknya berdiam dan
membentuk rumah berpisah satu sama lain.
28
d. Bentuk perkawinan ambil anak
Perkawinan ini terjadi pada kekerabatan patrilineal, yaitu pihak laki-laki tidak
perlu membayar jujur, dengan maksud mengambil si laki-laki (menantunya)
itu ke dalam keluarganya agar keturunannya nanti menjadi penerus silsilah
kakeknya. Bentuk perkawinan ini juga bisa terjadi pada masyarakat semendo
yang disebut perkawinan semendo ambik anak, dalam rangka penerus silsilah
menurut garis perempuan.
e. Bentuk perkawinan mengabdi
Perkawinan ini terjadi sebagai akibat adanya pembayaran perkawinan yang
cukup besar, sehingga pihak laki-laki tidak mampu membayarnya. Dalam
bentuk ini suami istri sudah mulai berkumpul, sedang pembayaran perkawinan
ditunda dengan cara bekerja untuk kepentingan kerabat mertuanya sampai
jumlah pembayaran perkawinan terbayar lunas.
f. Bentuk perkawinan meneruskan (sororat)
Adalah suatu perkawinan seorang duda (balu) dengan saudara perempuan
mendiang istrinya. Perempuan tersebut meneruskan fungsi istri pertama tanpa
suatu pembayaran (jujur). Perkawinan ini disebut kawin turun ranjang atau
ngarang wulu (Jawa).
g. Bentuk perkawinan mengganti (leverat)
Adalah perkawinan yang terjadi apabila seorang janda yang menetap di
lingkungan kerabat suaminya, kawin dengan laki-laki adik mendiang
suaminya. Perkawinan ini sebagai sarana perkawinan jujur, yang di
Palembang dan Bengkulu dikenal dengan kawin anggau. 20
20 Ibid, hlm. 69-70
29
C. Kedudukan Hukum Adat
Kedudukan hukum adat khususnya pada masyarakat Lampung berporos pada
prinsip keturunan menurut garis bapak (patrilineal) di mana kedudukan anak laki-
laki tertua (anak Punyimbang) memegang kekuasaan sebagai kepala rumah tangga
yang bertanggung jawab sebagai pemimpin keluarga, kerabat dan marga atau
masyarakat adatnya. Terdapat perbedaan kedudukan hak dan kewajiban antar
kerabat ayah dan kerabat ibu, yang berfungsi sebagai pengatur adalah pihak laki-
laki dan pihak perempuan hanya bersifat membantu. Anak laki-laki tertua menjadi
titik sentral dalam pewarisan pada masyarakat adat Lampung Saibatin yang
berhak menerima dan menjadi penanggung jawab atas harta warisan orang tua,
sedangkan pemanfaatannya untuk semua ahli waris.
Sistem kekerabatan Lampung yang berpokok pangkal pada satu rumah besar
(lamban balak dan lamban gedung) anak Punyimbang tidak hanya berfungsi
sebagai pemimpin keluarga tetapi juga berfungsi sebagai pengayom keluarga.
Pengayom keluarga tidak hanya memimpin keluarga dalam adat kekerabatan saja
tetapi mencakup keseluruhan fungsi sebagai anak Punyimbang adat dan
Punyimbang marga yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap keluarga dan
marga adatnya. Misalnya saja sebagai pengganti ayah, anak Punyimbang harus
membesarkan adik-adiknya, mendidik dan membiayai sekolah adik-adiknya,
menanggung beban pengeluaran kehidupan sehari-hari serta bertanggung jawab
membiayai pernikahan adik-adiknya.
Masyarakat Adat Lampung mengelompokkan anak yang berhak mendapat waris
dibedakan menjadi:
30
a. Anak Kandung
Semua anak yang dilahirkan dari suatu hubungan perkawinan yang sah
menurut ketentuan hukum adat maupun hukum negara ataupun ketentuan
agama Islam. Dari sudut status dapat dibedakan antara anak kandung laki-laki
dan perempuan adat. Anak kandung adat adalah anak kandung yang sudah
dilakukan upacara adat oleh orang tuanya yang disebut dengan upacara
selamatan. Upacara ini dimaksudkan sebagai media pengumuman dan
penegasan kepada anggota masyarakat adat bahwa suatu keluarga adat sudah
bertambah anggotanya, disamping itu juga memenuhi perintah petunjuk
agama islam. Sedangkan anak yang belum dilakukan upacara selamatan untuk
tetap sebagai anak kandung adat. Karena dalam aturan adat saibatin suatu
keturunan yang sedarah tetap sebagai anak kandung adat terutama anak laki-
laki tertua. Anak kandung adat yang mewarisi kedudukan dan harta warisan.
b. Anak Angkat
Adalah seorang anak yang bukan hasil keturunan dari kedua orang tua suami
istri namun dianggap oleh orang tua angkatnya sebagai anak keturunannya
sendiri. Anak angkat tersebut akan diresmikan atau akan ditetapkan sebagai
anak orang tua yang mengangkatanya dengan suatu upacara adat tertentu.
Pengangkatan anak atau adopsi dalam masyarakat Lampung dapat dilakukan
karena suatu keluarga tidak mempunyai anak sama sekali, atau karena
keluarga hanya mempunyai anak perempuan saja tidak mempunyai anak laki-
laki. Seorang anak angkat dengan status anak angkat adat bisa menjadi
pelanjut keturunan dari orang tua angkatnya.
31
c. Anak Pungut
Anak yang bukan hasil keturunan dari perkawinan kedua orang tua yang
dirawat serta dianggap oleh orang tua angkatnya sebagai anak turunannya
sendiri. Anak pungut hampir sama dengan anak angkat namun pada anak
pungut pelaksanaannya tanpa melalui suatu upacara adat sehingga ia tidak
mempunyai status adat, karena ia akan menjadi tenaga pekerja dan membantu
kegiatan sehari-hari dalam suatu keluarga adat tersebut. Oleh karena itu anak
pungut tidak mempunyai hak dalam mewarisi.
d. Anak di Luar Perkawinan
Anak yang di lahirkan dari suatu hubungan perkawinan yang tidak sah atau
perkawinan yang terjadi setelah ibunya hamil lebih dahulu. Anak di luar
perkawinan ini tetap mempunyai hak waris dari orang tua laki-lakinya karena
anak ini adalah keturunan sedarah, jadi anak ini tetap bisa menjadi pemimpin
dalam suatu masyarakat adat. Anak yang demikian ini pada masyarakat
Lampung adalah anak yang hina namun tetap dihormati oleh masyarakat biasa
karena anak ini adalah anak kandung adat. 21
Laki-laki sebagai tokoh adat berkedudukan sebagai simbol dari marga yang di
wakilinya, tokoh adat ini berperan penuh dalam memimpin upacara-upacara adat,
mulai dari upacara perkawinan, upacara kematian dan upacara-upacara adat
lainnya. Tokoh adat ini tingkatannya berbeda-beda antara lain:
21 Ibid. hlm. 39-41.
32
a. Kerabat Punyimbang Marga, adalah kerabat yang bertindak sebagai penguasa
adat, penguasa tanah ulayat, pemegang alat perlengkapan dan kekayaan adat.
Berlambang warna putih sebagai simbol ketinggian seorang raja Saibatin
(payung agung warna putih, warna pakaian serba putih).
b. Kerabat Punyimbang Tiyuh, adalah kerabat yang bertindak sebagai penguasa
adat, setingkat kampung penguasa tanah ulayat pemegang alat perlengkapan
dan kekayaan adat tingkat kampung. Berlambang warna kuning (payung
agung warna kuning, warna pakaian serba kuning).
c. Kerabat Punyimbang Adat, adalah kerabat yang bertindak sebagai penguasa
adat, setingkat kampung penguasa tanah ulayat pemegang alat perlengkapan
dan kekayaan adat kampung. Berlambang warna kuning (payung agung warna
kuning, warna pakaian serba kuning).
d. Kerabat Punyimbang Suku, adalah kerabat yang bertindak sebagai penguasa
adat, setingkat kampung penguasa tanah ulayat pemegang alat perlengkapan
dan kekayaan adat tingkat suku. Berlambang kuning (payung agung warna
kuning, warna pakaian juga serba kuning).
e. Golongan Orang Asing adalah pendatang yang tidak menetap dan bukan
anggota pada suatu marga Saibatin, sering disebut juga ulun luwah yang tidak
memiliki simbol apapun dari marga Saibatin tersebut. 22
Masyarakat Adat Lampung Saibatin merupakan kelompok masyarakat adat
Lampung yang menjaga kemurnian daerah dalam mendudukkan seseorang pada
jabatan adat yang oleh sekelompok masyarakat Lampung yang disebut
Kepunyimbangan. Saibatin sesungguhnya diartikan status yang ada dalam adat
22 Hilman Hadikusuma, Op.Cit. hlm. 50
33
untuk membina kerukunan dalam bermasyarakat yang mengikat hubungan
persaudaraan sehingga berkembang menjadi suatu kedudukan dengan adanya
penyimbang Saibatin.
Penyimbang adalah seseorang yang berhak mewarisi masalah adat, berarti yang
berhak menduduki jabatan sebagai kepala adat atau pimpinan adat yang
kepemimpinannya diwarisi secara turun-temurun sejak dahulu pada anak-anak
laki-laki yang tertua. Sedangkan penyimbang bila dihubungkan dengan masalah
keturunan umumnya berarti anak penyimbang nyawa (anak laki-laki tertua) yang
berhak mewarisi semua harta kedudukan pangkat di lingkungan kekerabatan adat
dari pihak ayahnya. Orang Lampung secara historis berasal dari daerah Skala
Berak (daerah penggunungan bukit barisan sekitar Krui), kemudian melakukan
perpindahan. Dalam perpindahan tersebut rombongan terpecah menjadi 2 bagian.
Bagian yang pertama melewati bagian dalam daerah Lampung, sedangkan bagian
kedua mengmbil jalan menyusuri sepanjang daerah pantai Lampung dan
kelompok inilah yang selanjutnya dinamakan masyarakat adat Lampung Saibatin.
Tingkat susunan masyarakat adat pada masyarakat adat Lampung Saibatin
tersebut dipengaruhi oleh agama Islam yang masuk dari Banten, tingkat susunan
masyarakat adat ini dapat dikatakan sudah tidak ada pengaruh. Namun di
kalangan Saibatin sewaktu-waktu masih nampak penonjolan kebangsawan
desanya, contohnya dalam hal penggunaan adok (gelar) pada masyarakat adat
yang menunjukkan status sosial sesorang. Sebaliknya, di kalangan masyarakat
adat itu masih nampak sisa-sisanya sehingga masih ada anggapan bahwa golongan
yang satu lebih rendah dari golongan yang lain. Adanya anggapan demikian ini
34
telah menyebabkan angkatan muda Lampung menjadi tidak begitu tertarik lagi
untuk melaksanakan upacara-upacara adat yang masih bersifat feodal desa.
Adat istiadat masyarakat Saibatin memutuskan seseorang tidak dapat menaikkan
status adatnya walaupun memiliki potensinya seperti kekayaan, kharisma, bila
tidak mempunyai garis keturunan. Kedudukan dalam adat berdasarkan turun
temurun (ascribed status). Kedudukan adat yang dikenal dengan nama
penyimbang, hanya dapat diperoleh dengan turun temurun. Aturan status adat ini
selain menyangkut kedudukan sebagai pemimpin adat, berlaku juga dengan
berbagai atribut yang dikenakan, yang berlaku pada umumnya hanya pada waktu
upacara adat dan majelis keadatan atribut tadi merupakan status simbol.
Masyarakat adat Saibatin masih memegang hukum adat dan menjunjung tinggi
berbagai aturan, norma dan kebiasaan yang sudah berkembang dalam masyarakat.
Salah satunya adalah menyangkut rangkaian atau proses perkawinan, masyarakat
Saibatin akan tetap berpegang teguh pada aturan adat dan hukum adat yang
berlaku.
Sistem Kekerabatan dalam Adat Lampung Saibatin cenderung diikat oleh
hubungan adat dan hubungan batin secara alamiah. Kecenderungannya mengarah
ke masyarakat “Paguyuban” atau tipe “Gemeinschaft” yang telah dipengaruhi pula
oleh tipe “Geselscaft” yakni masyarakat “Patembayan”. Pertemuan dua tipe ini
akibat adanya asimilasi kebudayaan yang timbul dari perkawinan penduduk asli
dengan pendatang. Apabila kegiatan yang bersifat kekeluargaan maka tipe
paguyuban lebih menonjol, tetapi bila kegiatan bersifat sosial kemasyarakatan
maka yang nampak adalah tipe patembayan.
35
Hal ini dapat dipahami di mana pemikiran masyarakat sedang dalam proses
transisi dari pola tradisional menuju pola modern. Gambaran hubungan
kekerabatan berdasarkan hubungan darah dan perkawinan serta kepunyimbangan
mempunyai peranan yang sangat penting dalam hubungan kerjasama dalam
penyelesaian suatu masalah atau pekerjaan yang berat, semua harus dilibatkan
untuk kerjasama atau bergotong-royong sampai dengan asal nenek (lebu). 23
Kekerabatan yang berdasarkan hubungan kelurga patrilineal (bapak) merupakan
pokok utama dalam menangani suatu pekerjaan berat yang diatur dalam adat di
mana rasa ini terpanggil dari dasar hubungan darah, sedangkan hubungan
kekerabatan yang berdasarkan kepunyimbangan, didasari bahwa rumah keluarga
hanya merupakan bilik (kamar) dari rumah besar (Lamban Balak, Gedung) di
mana kepala adat tinggal. Dengan kata lain sebuah kelurga merupakan unit kecil
dari suatu kesebatinan (Bandakh, pimpinan adat). Apabila bujang dan gadis
berlarian untuk kawin, maka perbuatan mereka itu disebut sebambangan. Dilihat
dari pihak gadis, gadis yang pergi bersuami atas kehendaknya sendiri disebut
nakat. Apabila si gadis diambil pihak bujang dengan jalan paksa (ditarik dan
sebagainya) bukan atas kehendaknya sendiri, maka perbuatan itu disebut ditekep.
Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan pelanggaran adat muda-mudi, tetapi
kebanyakan dapat diselesaikan dengan damai oleh tua-tua adat kedua pihak.
Selain itu pandangan hidup orang Lampung Saibatin di jiwai oleh rasa harga diri
yang disebut dengan Pi’il Pesenggiri, yang terdiri dari:
23 Ibid. hlm. 17
36
1) Sakai Sembayan
Meliputi pengertian yang luas termasuk di dalamnya gotong royong, tolong
menolong, bahu-membahu dan saling memberi segala sesuatu yang diperlukan
bagi pihak lain, bukan hanya bersifat materi saja tetapi juga dalam arti moril
dan pemikiran
2) Nemui Nyimah
Berarti bermurah hati, ramah-tamah terhadap semua pihak baik orang dalam
sekeluarga atau orang lain
3) Nengah Nyappur
Berarti keharusan ikut bergaul di tengah masyarakat dengan ikut serta
berpartisipasi dalam segala hal yang baik
4) Bejuluk Beadok
Diwarisi turun-temurun menghendaki agar seseorang di samping mempunyai
nama, juga diberi gelar sebagai panggilan untuknya. Ini berarti perjuangan
dalam meningkatkan derajat kehidupan dalam masyarakat
Sistem kekerabatan masyarakat Lampung Saibatin cenderung aristokratis karena
kedudukan adat hanya dapat diwariskan melalui garis keturunan dan tidak ada
upacara tertentu yang dapat mengubah status sosial seseorang dalam masyarakat.
Ciri lainnya adalah perangkat yang digunakan dalam ritual adat. Salah satunya
adalah bentuk siger (sigekh) atau mahkota pengantin Suku Saibatin yang memiliki
tujuh lekuk/pucuk (sigokh lekuk pitu). Tujuh pucuk ini melambangkan tujuh adok,
yaitu suttan, raja jukuan/depati, batin, radin, minak, kimas, dan mas. Selain itu,
ada pula yang disebut awan gemisir (awan gemisikh) yang diduga digunakan
sebagai bagian dari arak-arakan adat, di antaranya dalam prosesi pernikahan
37
D. Kerangka Pikir
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Berdasarkan skema di atas dapat terlihat bahwa muli dan mekhanai yang akan
melaksanakan perkawinan adat dalam masyarakat Adat Lampung Saibatin dapat
menempuh perkawinan jujur. Dalam sistem perkawinan jujur ini maka kedudukan
seorang perempuan dari kelompok masyarakat adat Lampung Saibatin berpindah
tanggung jawabnya dari keluarga inti (pihak perempuan) masuk ke dalam
keluarga inti pihak laki-laki, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan masalah
kekerabatan adat sepenuhnya menjadi hak pihak laki-laki. Penelitian ini akan
membahas mengenai pelaksanaan perkawinan jujur pada masyarakat adat
Lampung Saibatin dan kedudukan istri dalam perkawinan jujur.
Perkawinan Adat
Perkawinan Jujurpada Masyarakat Adat
Lampung Saibatin
Pelaksanaan perkawinanjujur pada masyarakat adat
Lampung Saibatin
Kedudukan istri dalamperkawinan jujur
Muli Mekhanai
38
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Penelitian Hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah,yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.24
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian
hukum empiris. Penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum mengenai
pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-
undang, atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang
terjadi dalam masyarakat.25
2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu penelitian yang
menggambarkan secara jelas, terperinci, dan sistematis mengenai peristiwa hukum
tentang kedudukan istri dalam perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung
Saibatin di Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat
24 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Pengantar,Rajawali Press, Jakarta, 2014, hlm. 6.
25 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,2004, hlm. 24.
39
3. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan empiris
adalah penelitian lapangan yang meneliti secara langsung dengan cara wawancara
dengan beberapa informan dan responden mengenai kedudukan istri dalam
perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung Saibatin di Kecamatan Pesisir
Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat. Tahap-tahap pendekatan masalah yang
telah ditentukan oleh peneliti adalah:
1. Penentuan pendekatan yang lebih sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan
penelitian
2. Identifikasi pokok bahasan berdasarkan rumusan masalah
3. Pembuatan rincian subpokok bahasan berdasarkan setiap pokok bahasan hasil
identifikasi
4. Pengumpulan, pengolahan, menganalisis data, dan kesimpulan
B. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari informan yaitu tokoh
masyarakat adat Lampung Saibatin di Kecamatan Pesisir Tengah Krui
Kabupaten Pesisir Barat dan responden yaitu istri melakukan perkawinan jujur
di di Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber
dokumentasi untuk memperjelas data primer
40
C. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Pengumpulan data-data sekunder
adalah sebagai berikut:
1. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan dengan cara mempelajari, membaca, mencatat dan
mengutip bahan kepustakaan yang hubungannya dengan kedudukan istri
dalam perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung Saibatin.
2. Wawancara
Wawancara yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh data primer
tentang objek yang diterangkan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya
jawab sambil bertatap muka kepada:
a. Informan tokoh masyarakat adat Lampung Saibatin di Kecamatan Pesisir
Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat, yaitu:
1) Abdullah Mukhlis Gelar Raja Bangsawan
2) Tamzirullah Gelar Radin Bungsu
b. Responden yang melakukan perkawinan jujur di Kecamatan Pesisir
Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat
1) Yeni Herawati
2) Fathimah
3) Salmawati
4) Siti Salamah
5) Zubaidah
41
D. Metode Pengolahan Data
Pengolahan data melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1. Seleksi data yaitu memilih data yang sesuai dengan bidang pembahasan agar
dapat dipertanggungjawabkan dan apabila terdapat data yang kurang
lengkap atau keliru maka akan dilakukan perbaikan;
2. Klasifikasi data yaitu yang telah diseleksi selanjutnya diklasifikasi dengan
menempatkan data menurut kelompok yang susunannya yang telah
ditentukan agar mudah pembahasan;
3. Sistematika data yaitu menyusun data sesuai dengan tata urutan yang telah
ditetapkan sesuai dengan konsep
E. Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian akan diolah, selanjutnya bahan tersebut
akan dianalisis dan dibahas secara kualitatif, yaitu dengan cara
mengintepretasikan data ke dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang
mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan
guna menjawab permasalahan penelitian.26
26 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 105.
66
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dilatarbelakangi hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Pelaksanaan perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung Saibatin di
Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat dilakukan melalui
tiga tahapan yaitu prosesi adat sebelum perkawinan, meliputi pemilihan jodoh,
perkenalan dan tempat perjodohan, lamaran dan penentuan maskawin; prosesi
upacara perkawinan adat baik di rumah pengantin laki-laki maupun pengantin
perempuan, serta prosesi adat menetap setelah perkawinan yang menentukan
bahwa pengantin baru menetap di sekitar kediaman kaum kerabat suami.
2. Kedudukan istri dalam perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung
Saibatin di Kecamatan Pesisir Tengah Krui Kabupaten Pesisir Barat adalah
dengan diterimanya uang jujur dari pihak suami maka istri lebih rendah
dibandingkan suami, harta bawaan istri disatukan ke dalam harta suami dan
menjadi milik suami, istri masuk ke dalam keluarga inti dan kekerabatan
suami, dan kedudukan isteri diakui atau diterima oleh masyarakat adat.
Segala perbuatan istri harus berdasarkan persetujuan suami atau atas nama
67
suami atau atas persetujuan kerabat suami baik dalam hubungan kekerabatan
maupun hubungan kemasyarakatan.
B. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kepada istri yang melaksanakan perkawinan jujur agar benar-benar dapat
menjaga nama baik suami dan keluarga besarnya, karena setelah
dilaksanakannya perkawinan jujur maka kedudukan istri telah beralih masuk
ke dalam keluarga dan kekerabatan suami. Hal ini penting untuk dilaksanaakn
dalam rangka menjaga hubungan yang baik antara keluarga besar pihak suami
dengan keluarga besar istri sebagai masyarakat adat Lampung Saibatin
2. Kepada masyarakat adat Lampung Saibatin di Kecamatan Pesisir Tengah
Krui Kabupaten Pesisir Barat hendaknya masih memegang teguh budaya adat
yang ada khususnya kedudukan istri perkawinan jujur. Hal ini penting untuk
dilaksanakan mengingat kebudayaan daerah merupakan bagian dari
kebudayaan nasional yang harus terus dipertahankan kelestariannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Bandung.
Bahsan, M. Adnan, Zulchilal Bahsan, dan Badri Bahsan. 1982. Pelestarian Nilai-nilai Adat dan Upacara Perkawinan Adat Lampung Pesisir, TanjungKarang.
Hadikusuma, Hilman. 1999. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung, MandarMaju, Bandung.
Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Kherustika, Zuraida dkk. 1999. Upacara Adat Begawi Cakak Pepadun.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat JenderalKebudayaan. Museum Negeri Provinsi Lampung Ruwa Jurai. BandarLampung.
Koentjaraningrat. 1999. Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta
Maran, Rafael Raga. 2006. Manusia & Kebudayaan dalam Perspektif IlmuBudaya Dasar. Rineka Cipta, Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Citra AdityaBakti, Bandung.
Soebing, Abdulah A. 1983. Kedatuan di Gunung Keratuan di Muara, UI Press,Jakarta.
Soewondo, Nani. 1984. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum danMasyarakat. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Suparman, Eman. 2005. Hukum Waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat,dan BW). Bandung: PT Rafika Aditama.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2014. Penelitian Hukum Normatif, RajawaliPress, Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1990. Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada,Jakarta.
Taneko, Soleman B. dan Soerjono Soekanto. 2000. Hukum Adat Indonesia,Rajawali, Jakarta.
top related