faktor-faktor yang berhubungan dengan...
Post on 05-Feb-2018
239 Views
Preview:
TRANSCRIPT
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN
PEMANIS SINTETIS SIKLAMAT BERLEBIH PADA PANGAN JAJANAN
ANAK SEKOLAH (PJAS) DI SEKOLAH DASAR NEGERI KELURAHAN
PONDOK BENDA, KELURAHAN PAMULANG BARAT DAN
KELURAHAN PAMULANG TIMUR TAHUN 2015
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat (SKM)
Oleh:
NURUL FAJRIATI PRAPTIKA PUTRI
1111101000073
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, November 2015
Nama : Nurul Fajriati Praptika Putri NIM : 1111101000073
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Pemanis Sintetis
Siklamat Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di Sekolah
Dasar Negeri Wilayah Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan
Pamulang Timur Tahun 2015
(xi +164 halaman, 3 gambar, 19 tabel, 5 lampiran)
ABSTRAK
Siklamat merupakan pemanis sintetis yang tidak memiliki nilai kalori dan
memiliki rasa manis 30-80 kali lipat dibanding pemanis alami. Penggunaan
siklamat dalam pangan di sejumlah negara telah dilarang, namun di Indonesia
masih diperbolehkan dengan batas maksimal yang berbeda pada setiap jenis
pangan. Akan tetapi, laporan BPOM tahun 2011 menunjukkan bahwa 10,73%
pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di Indonesia memiliki kandungan siklamat
melebihi batas maksimal yang ditentukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan siklamat
berlebih pada pangan jajanan anak sekolah di sekolah dasar wilayah pondok
benda, pamulang barat dan pamulang timur, yang dilaksanakan Agustus-Oktober
2015. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross
sectional study. Sampel penelitian adalah para pedagang PJAS sejumlah 76
sampel yang diambil dengan teknik purposive sampling. Analisisis data terdiri
dari analisis univariat dan bivariat menggunakan uji statistik chi square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 51,3% PJAS memiliki kandungan
siklamat melebihi batas maksimum yang diperbolehkan. Selain itu, sebanyak 36
responden (47,4%) memiliki tingkat pengetahuan rendah, 35 orang responden
(46,1%) memiliki sikap positif terhadap siklamat, 30 responden (39,5%) percaya
manfaat siklamat, 21 responden (27,6%) menilai penggunaan siklamat penting, 52
responden (68,4%) beranggapan ketersediaan siklamat memadai, 39 responden
(51,3%) memiliki akses mudah dalam mendapatkan siklamat dan 35 responden
(45,5%) dipengaruhi pedagang lain dalam menggunakan siklamat. Faktor yang
berhubungan dengan penggunaan siklamat berlebih adalah ketersediaan siklamat
(pValue= 0,048) dan akses mendapatkan siklamat (pValue= 0,038). Adapun
variabel yang tidak berhubungan antara lain pengetahuan, sikap, kepercayaan,
nilai dan peran pedagang PJAS lain.
Peneliti menyarankan pemerintah untuk meningkatkan pengawasan terhadap
kualitas PJAS secara rutin dan meningkatkan pasokan pemanis alami. Pemerintah
juga perlu mempertegas pemberian sanksi hukum bagi para pedagang PJAS yang
menggunakan siklamat berlebih dalam PJAS yang mereka jual. Selain itu, pihak
sekolah sebaiknya memberikan sosialisasi pangan jajanan yang aman dan sehat
bagi para siswa dan orang tua.
Kata Kunci : Pangan jajanan anak sekolah, Perilaku, Siklamat, Pengetahuan,
Sikap, Kepercayaan, Nilai, Ketersediaan, Akses, Peran Pedagang PJAS lain.
Daftar Bacaan : 99 (1984 – 2015)
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
ENVIRONMENTAL HEALTH MAJOR
Undergraduate Thesis, November 2015
Name : Nurul Fajriati Praptika Putri 1111101000073
FACTORS THAT RELATED TO THE EXCESSIVE USE OF
CYCLAMATE ARTIFICIAL SWEETENER ON SCHOOL-FOODS THAT
SOLD AROUND STATE PRIMARY SCHOOL AT PONDOK BENDA,
PAMULANG BARAT AND PAMULANG TIMUR 2015
(xi +164 pages, 3 pictures, 19 tables, 5 attachments)
ABSTRACT
Cyclamate is an artificial sweetener which doesn’t has calorie and sweeter
30-80 times than natural sweetener. The use of cyclamate in foods and beverages
has been banned at several countries, but Indonesia still give permittion to use
cyclamate with maximum limit according to the food type. However, Indonesian
food and drugs control agency in 2011 reports that 10% school-foods that sold
around elementary school contain cyclamate over the limit. Therefore, this
research aims to determine the factors associated with excessive use of cyclamate
on school-foods that sold around state primary school at Pondok Benda, Pamulang
Barat and Pamulang Timur. This research carried out in August-October 2015.
This is an quantitative research with cross sectional study. Sample of this research
is sellers of school-food around state elementary school at Pondok Benda,
Pamulang Barat and Pamulang Timur which amounts to 76 peoples. Samples
selected by purposive sampling method. Data analysis consisted of univariate and
bivariate analysis using the chi square test.
The results showed that 51,3% of school foods that sold around
elementary school at Pondok Benda, Pamulang Barat and Pamulang Timur
contain cyclamate exceed the maximum allowed. Besides that, 36 respondents
(47.4%) had a low level of knowledge, 35 respondents (46.1%) have a positive
attitude towards cyclamate, 30 respondents (39.5%) believe the benefits of
cyclamate, 21 respondents (27,6%) assess that the use of cyclamate is important,
52 respondents (68.4%) considered that the availability of cyclamate is adequate,
39 respondents (51.3%) have easy access to getting cyclamate and 35 respondents
(45,5%) are influenced other sellers in the use of cyclamate. Factors that related
with excessive use of cyclamate are availability of cyclamate (pValue= 0,048) and
access to get cyclamate (pValue= 0,038). The variables those are not related with
excessive use of cyclamate are knowledges, attitudes, beliefs, values and influence
of another school-food sellers. Researcher recommend the government to improve
surveillance of the school-food quality and increase the supply of natural
sweetener as well as reduce the circulation of cyclamate. The Government also
needs to reinforce the legal sanctions for traders who use cyclamate excessive way
in school-food. In addition, the schools should provide socializations about safety
and healthy street food for students and their parents.
Keywords : Cyclamate, School-food, Behaviour, Knowledges, Attitudes,
Beliefs, Values, Availability, Access, Influence of Another School-Food Sellers.
Reference : 99 (1984 – 2015)
i
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta
hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Pemanis Sintetis Siklamat
Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di Sekolah Dasar Negeri
Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang
Timur Tahun 2015”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada
Rasulullah SAW, keluarga dan sahabatnya.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis turut mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Ayah Suprapto dan mama Rumiati serta Sakti yang selalu memberi dukungan
dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan laporan ini.
2. Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Ela Laelasari SKM, M.Kes dan Ibu Yuli Amran, MKM selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah membantu dan membimbing penulis hingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Ibu Dewi Utami Iriani, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis selama masa perkuliahan.
iv
6. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS, ibu Riastuti Kusuma Wardani, MKM dan Dra.
Raiyan, MKM, Apt selaku penguji yang telah banyak memberi saran dan
masukan demi perbaikan skripsi ini.
7. Bapak Azib Rasyidi yang telah banyak membantu penulis selama
menyelesaikan masa perkuliahan
8. Teman-teman kesayangan (Amel, Deis, Nunuy dan Farah), jamaah kesling
2011(Ika, Shela, Tika, Alifia, Ila, Eka, Almen, Ibnu, Feela, Pewe, Onoy,
Chandra, Awal, Sarjeng, Ukhfiya, Ayu, Niken, Betti, Rachmatika, Hari, Efri,
Rois dan Ikoh) serta kesling 2012 yang selalu memberikan semangat dan
dukungan moral kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
9. Seluruh anggota Kesmas UIN 2011 yang telah banyak membantu penulis dari
awal hingga akhir perkuliahan.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini
yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis dengan lapang dada akan menerima kritik dan saran yang
bersifat membangun. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak yang membacannya.
Ciputat, Desember 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xi
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 7
C. Pertanyaan Penelitian ........................................................................................ 8
D. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 10
1. Tujuan Umum ............................................................................................... 10
2. Tujuan Khusus .............................................................................................. 10
E. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 13
1. Bagi Sekolah ................................................................................................. 13
2. Bagi Instansi Pemerintah .............................................................................. 13
3. Bagi Peneliti Lain ......................................................................................... 13
F. Ruang Lingkup ................................................................................................ 14
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 15
A. Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ............................................................ 15
1. Definisi Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)............................................ 15
2. Kelompok Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)........................................ 16
3. Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ......................... 17
4. Pengawasan Kulitas Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ........................ 20
B. Keamanan Pangan ........................................................................................... 21
C. Penyakit Bawaan Makanan (Food Borne Disease) ........................................ 22
D. Bahan Tambahan Pangan (BTP) ..................................................................... 23
1. Definisi Bahan Tambahan Pangan................................................................ 23
2. Fungsi Bahan Tambahan Pangan.................................................................. 24
3. Jenis Bahan Tambahan Pangan .................................................................... 25
vi
E. Bahan Tambahan Pangan Pemanis ................................................................. 26
1. Pemanis Alami .............................................................................................. 27
2. Pemanis Sintetis ............................................................................................ 27
F. Siklamat .......................................................................................................... 28
1. Definisi Siklamat .......................................................................................... 28
2. Manfaat Siklamat .......................................................................................... 29
3. Regulasi ........................................................................................................ 31
4. Dampak Penggunaan Siklamat Berlebih Bagi Kesehatan ............................ 32
G. Perilaku ........................................................................................................... 34
1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor) ................................................... 35
2. Faktor Pemungkin (Enabling Factor) .......................................................... 44
3. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)............................................................ 46
H. Pedagang Pangan ............................................................................................ 47
I. Kerangka Teori ............................................................................................... 49
BAB III : KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................ 51
A. Kerangka Konsep ............................................................................................ 51
B. Definisi Operasional ....................................................................................... 54
C. Hipotesis ......................................................................................................... 57
BAB IV : METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 59
A. Desain Penelitian ............................................................................................ 59
B. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................... 59
C. Populasi ........................................................................................................... 59
D. Sampel ............................................................................................................. 60
E. Pengumpulan Data .......................................................................................... 61
1. Sumber Data ................................................................................................. 62
2. Instrumen Penelitian ..................................................................................... 62
F. Validitas dan Reliabilitas ................................................................................ 67
A. Uji Validitas .................................................................................................. 68
B. Uji Reliabilitas .............................................................................................. 69
G. Pengolahan dan Analisis Data ........................................................................ 70
1. Pengolahan Data ........................................................................................... 70
2. Analisis Data ................................................................................................. 71
vii
BAB V : HASIL PENELITIAN ............................................................................ 73
A. Analisis Univariat ........................................................................................... 73
1. Gambaran Penggunaan Pemanis Sintetis Siklamat Berlebih pada Pangan
Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ..................................................................... 73
2. Distribusi Pengetahuan Pedagang Mengenai Siklamat ................................ 73
3. Distribusi Sikap Pedagang terhadap Penggunaan Siklamat Berlebih........... 74
4. Distribusi Tingkat Kepercayaan Pedagang terhadap Siklamat ..................... 75
5. Distribusi Nilai terhadap Siklamat ............................................................... 76
6. Distribusi Ketersediaan Siklamat ................................................................. 76
7. Distribusi Akses Mendapatkan Siklamat ...................................................... 77
8. Distribusi Peran Pedagang PJAS Lain .......................................................... 78
B. Analisis Bivariat .............................................................................................. 78
1. Hubungan Antara Pengetahuan dengan Penggunaan Pemanis Sintetis
Siklamat Berlebih ......................................................................................... 79
2. Hubungan Antara Sikap dengan Penggunaan Siklamat Berlebih ................ 80
3. Hubungan Antara Kepercayaan dengan Penggunaan Siklamat Berlebih ..... 81
4. Hubungan Antara Nilai dengan Penggunaan Siklamat Berlebih .................. 82
5. Hubungan Antara Ketersediaan Siklamat dengan Penggunaan Siklamat
Berlebih......................................................................................................... 84
6. Hubungan Antara Akses Mendapatkan Siklamat dengan Penggunaan
Siklamat Berlebih ......................................................................................... 85
7. Hubungan Antara Peran Pedagang Lain dengan Penggunaan Siklama
Berlebih......................................................................................................... 86
BAB VI : PEMBAHASAN .................................................................................... 88
A. Keterbatasan Penelitian ................................................................................... 88
B. Penggunaan Siklamat Berlebih Pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) 88
C. Pengetahuan dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada
Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ............................................................ 91
D. Sikap dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada Pangan
Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ........................................................................ 95
E. Kepercayaan dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada
Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ............................................................ 98
viii
F. Nilai dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada Pangan
Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ...................................................................... 102
G. Ketersediaan Siklamat dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat
Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) .................................. 105
H. Akses Mendapatkan Siklamat dan Hubungannya dengan Penggunaan
Siklamat Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) ................... 108
I. Peran Pedagang PJAS Lain dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat
Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) .................................. 112
BAB VII : SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 116
A. SIMPULAN .................................................................................................. 116
B. SARAN ......................................................................................................... 118
1. Bagi Sekolah ............................................................................................... 118
2. Bagi Institusi Pemerintah ............................................................................ 118
3. Bagi Peneliti Lain ....................................................................................... 118
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 120
LAMPIRAN ......................................................................................................... 128
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bentuk Molekul Kimia Siklamat........................................................ 29
Gambar 2.2 Kerangka Teori ................................................................................... 49
Gambar 3.1 Kerangka Konsep ............................................................................... 53
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Batas Maksimum Penggunaan Siklamat Berdasarkan Kategori Pangan32
Tabel 3.1 Definisi Operasional .............................................................................. 54
Tabel 4.1 Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian ............................................... 68
Tabel 4.2 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian ............................................ 70
Tabel 5.1 Gambaran Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS di Sekolah Dasar
Negeri Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun
2015 ........................................................................................................................ 73
Tabel 5.2 Distribusi Tingkat Pengetahuan Pedagang terhadap Penggunaan
Pemanis Sintetis Siklamat Berlebih pada PJAS di Sekolah Dasar Negeri
Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015 .... 74
Tabel 5.3 Distribusi Sikap Pedagang terhadap Penggunaan Siklamat pada PJAS di
Sekolah Dasar Negeri Wilayah Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan
Pamulang Timur Tahun 2015................................................................................. 75
Tabel 5.4 Distribusi Tingkat Kepercayaan Pedagang terhadap Siklamat pada PJAS
di Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan
Pamulang Timur Tahun 2015................................................................................. 75
Tabel 5.5 Distribusi Nilai terhadap Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS di
Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang
Timur Tahun 2015.................................................................................................. 76
Tabel 5.6 Distribusi Ketersediaan Siklamat Bagi Pedagang PJAS di Sekolah
Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur
Tahun 2015 ............................................................................................................ 77
xi
Tabel 5.7 Distribusi Akses Mendapatkan Siklamat Bagi Pedagang PJAS di
Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang
Timur Tahun 2015.................................................................................................. 77
Tabel 5.8Distribusi Peran Pedagang PJAS Lain Terhadap Penggunaan Siklamat
pada PJAS di Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat
dan Pamulang Timur Tahun 2015 .......................................................................... 78
Tabel 5.9 Hubungan Pengetahuan dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada
PJAS di SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur
Tahun 2015 ............................................................................................................ 79
Tabel 5.10 Hubungan Sikap dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS di
SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun
2015 ........................................................................................................................ 80
Tabel 5.11 Hubungan Kepercayaan dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada
PJAS di SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur
Tahun 2015 ............................................................................................................ 81
Tabel 5.12 Hubungan Nilai dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS di
SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun
2015 ........................................................................................................................ 83
Tabel 5.13 Hubungan Ketersediaan Siklamat dengan Penggunaan Siklamat
Berlebih pada PJAS di SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan
Pamulang Timur Tahun 2015................................................................................. 84
Tabel 5.14 Hubungan Akses dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS di
SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur Tahun
2015 ........................................................................................................................ 85
xii
Tabel 5.15 Hubungan Peran Pedagang PJAS Lain dengan Penggunaan Siklamat
Berlebih pada PJAS di SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan
Pamulang Timur Tahun 2015................................................................................. 86
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner .......................................................................................... 128
Lampiran 2 Hasil Uji Kuantitatif Siklamat .......................................................... 135
Lampiran 3 Output Uji Validitas dan Reliabilitas ............................................... 139
Lampiran 4 Output Analisis Data Penelitian ....................................................... 141
Lampiran 5 Dokumentasi Kegiatan Penelitian .................................................... 157
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pangan merupakan salah satu bagian yang penting bagi kesehatan
manusia, mengingat pangan merupakan salah satu media transmisi yang dapat
memindahkan agent penyakit dari lingkungan ke dalam tubuh manusia dan
menyebabkan penyakit berbasis makanan (food borne disease) (Achmadi,
2011). Aspek pangan yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia
adalah aspek keamanan. Keamanan pangan menurut Undang-Undang Nomor
18 tahun 2012 tentang Pangan pasal 1 ayat 5 adalah kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran kimia,
biologis dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan
membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
Pencemaran kimiawi dalam pangan dapat terjadi melalui penggunaan bahan
tambahan pangan yang berbahaya dan melebihi batas maksimal yang
diperbolehkan (Kemenkes, 2011). Salah satu jenis bahan tambahan pangan
yang sering dipergunakan melebihi batas maksimal yang diperbolehkan adalah
siklamat.
Penggunaan siklamat sebagai pemanis sintetis dalam pangan tidak
boleh melebihi batas maksimum yang diizinkan pemerintah. Penggunaan
siklamat berlebihan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Pengaruh
2
jangka pendek dari konsumsi siklamat berlebih dapat menimbulkan gelaja-
gejala yang sangat umum seperti pusing, mual, muntah, diare atau kesulitan
buang air besar (Kemenkes, 2011). Konsumsi siklamat dalam jangka panjang
dapat menyebabkan metabolisme siklamat menjadi senyawa cyclohexilamine.
Senyawa cyclohexylamine adalah senyawa bersifat toksik karena dapat
menimbulkan gangguan kardiovaskular dan terhentinya perkembangan testis
(Nollet, 2004). Selain itu, senyawa cyclohexilamine dapat menyebabkan
ketidaksuburan dan keguguran janin (Duslo, 2011). Paparan senyawa ini
berulang-ulang juga dapat menyebabkan kerusakan hati dan ginjal (NJDH,
2010). Berdasarkan hasil uji laboratorium pada hewan uji, pemberian siklamat
dalam dosis tinggi dapat menyebabkan tumor kandung kemih, paru, limpa dan
menyebabkan kerusakan genetik (BPOM, 2008).
Siklamat sebagai pemanis sintetis umumnya sudah tidak digunakan di
sejumlah negara. Penggunaan siklamat sudah dilarang penggunaannya di
Amerika pada tahun 1970 karena produk degradasinya bersifat karsinogenik
(Saparinto & Hidayati, 2006). Selain itu, di Jepang dan beberapa negara
ASEAN penggunaan siklamat juga sudah dilarang terkait keamanan
penggunaannya (Cahanar & Suhanda, 2006). Akan tetapi, di Indonesia
penggunaan siklamat sebagai pemanis sintetis dalam pangan masih
diperbolehkan. Penggunaan siklamat sebagai pemanis sintetis dalam pangan
diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4
Tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Pemanis.
3
Regulasi mengenai penggunaan pemanis sintetis siklamat tidak
menjamin para pedagang pangan untuk tidak menggunakan siklamat secara
berlebih. Hasil survey nasional yang dilakukan oleh BPOM tahun 2011
menunjukkan bahwa sebanyak 10,73 % pangan jajanan di Indonesia memiliki
kandungan siklamat yang tidak memenuhi syarat karena berada dalam
konsentrasi yang melebihi batas maksimum yang telah ditentukan. Selain itu,
hasil penelitian Wariyah (2013) menunjukkan bahwa sebanyak 8% pangan
jajanan anak sekolah di wilayah Kulonprogo, DIY mengandung pemanis
buatan siklamat yang melebihi batas penggunaan. Hasil penelitian Noriko dkk
(2011) juga menyatakan bahwa 50% pangan jajanan di SDN Telaga Murni 03
dan Tambun 04 Kabupaten Bekasi memiliki kandungan siklamat yang
berlebih.
Penggunaan siklamat dalam pangan jajanan juga ditemukan di wilayah
Kota Tangerang Selatan. Data dari Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013 menunjukkan bahwa 16% pangan jajanan anak sekolah di
wilayah Tangerang Selatan belum memenuhi syarat kesehatan karena
penggunaan bahan tambahan pangan yang melebihi batas maksimal yang
dipersyaratkan, termasuk siklamat. Selain itu, berdasarkan studi pendahuluan
yang dilakukan peneliti pada bulan April 2015 diketahui bahwa sebanyak tiga
dari lima sampel PJAS berupa minuman es yang dijajakan di lima sekolah
dasar negeri di wilayah Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur
memiliki kandungan siklamat berlebih dengan dosis masing-masing 338,5
mg/kg, 276 mg/kg dan 290,8 mg/kg, dimana kadar siklamat tersebut melebihi
batas maksimal penggunaan siklamat yang diperbolehkan dalam minuman es
4
(250 mg/kg). Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa masih banyak
terdapat penggunaan siklamat dalam pangan secara berlebih dan tidak sesuai
dengan regulasi, khususnya dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS).
Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang mengandung siklamat
berlebih dapat menimbulkan dampak buruk bagi pertumbuhan dan
perkembangan siswa yang mengkonsumsinya. Pangan dengan nilai nutrisi
yang buruk karena cemaran bahan kimia berbahaya bila dikonsumsi oleh anak
usia sekolah dasar dapat menurunkan kualitas fisik dan kecerdasannya
sehingga berdampak pada penurunan kualitas hidupnya di masa dewasa
(Supartini, 2002). Hal tersebut dikarenakan usia sekolah dasar merupakan
tahapan yang amat penting dalam perkembangan pribadi seseorang dan
memegang peranan penting yang akan menentukan kepribadian seseorang saat
dewasa (Anshoriy & Pembayun, 2008). Oleh karena itu, pangan jajanan yang
biasa dikonsumsi oleh para siswa sekolah dasar harus diawasi mutu, kualitas
dan keamanannya agar tidak membahayakan pertumbuhan dan perkembangan
para siswa, termasuk kadar penggunaan siklamat dalam pangan jajanan anak
sekolah (PJAS). Akan tetapi, PJAS yang berada di wilayah Sekolah Dasar
(SD) banyak mengandung bahan tambahan pangan (BTP) dalam konsentrasi
yang melebihi batas yang diizinkan, termasuk siklamat. Hal tersebut
dikarenakan siswa SD memiliki pengetahuan yang masih rendah mengenai
keamanan pangan jajanan yang mereka konsumsi, sehingga mereka cenderung
bebas dalam membeli pangan jajanan tanpa mempertimbangkan bahaya dari
pangan jajanan yang tercemar siklamat berlebih. Akibatnya, para pedagang
pangan jajanan pada umumnya merasa bebas untuk menggunakan bahan
5
tambahan pangan seperti siklamat dalam konsentrasi yang tinggi tanpa
khawatir PJAS yang mereka jual akan dihindari oleh para siswa (Anwar &
Khomsan, 2009).
Berdasarkan Rencana Strategis Kota Tangerang Selatan 2011-2016,
Kelurahan Pondok Benda dan Kelurahan Pamulang Barat merupakan salah
satu pusat lingkungan pengembangan pendidikan di Kota Tangerang Selatan.
Sebagai lokasi pengembangan pendidikan, semua aspek yang menunjang
pendidikan tentu perlu diperhatikan agar usaha pengembangan pendidikan
mencapai hasil maksimal, termasuk aspek pangan jajanan. Akan tetapi, hasil
studi pendahuluan menunjukkan bahwa masih terdapat pedagang pangan
jajanan anak sekolah di kelurahan Pondok Benda dan Kelurahan Pamulang
Barat yang menggunakan siklamat berlebih pada pangan jajanan dan dapat
memberi dampak negatif bagi kesehatan para siswa yanng mengkonsumsinya.
Penggunaan siklamat berlebih pada PJAS tersebut dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Pengetahuan pedagang pangan jajanan yang kurang
mengenai keamanan pangan jajanan anak sekolah dan sikap positif pedagang
pangan jajanan terhadap penggunaan siklamat dalam pangan jajanan yang
diproduksinya dapat mempengaruhi pedagang pangan untuk menggunakan
siklamat dalam pangan yang mereka produksi. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Purwaningsih dkk (2010) yang dilakukan pada penjual makanan
jajanan berupa es lilin di kelurahan Srondol, Kota Semarang, diketahui bahwa
terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan pedagang es lilin dengan
kadar natrium siklamat dalam es lilin yang diproduksinya (p=0,00), dan ada
hubungan yang nyata antara sikap pedagang es lilin dengan kadar natrium
6
siklamat dalam es lilin yang diproduksinya (p=0,00). Selain itu, penelitian
yang dilakukan Wariyah dan Dewi (2013) pada PJAS di wilayah Kulonprogo,
Yogyakarta menemukan hasil bahwa terdapat korelasi antara faktor
pengetahuan pedagang yang kurang dengan penggunaan siklamat pada PJAS.
Faktor lain yang mempengaruhi penggunaan siklamat adalah adanya
kepercayaan bahwa siklamat mempunyai beberapa kelebihan yang
mengungguli pemanis murni, yaitu tidak menyebabkan peningkatan gula
darah sehingga aman bagi penderita diabetes, tidak menyebabkan kenaikan
berat badan, dan tidak menimbulkan kerusakan gigi seperti yang terjadi pada
kelebihan konsumsi pemanis alami (Vasudevan dkk, 2013). Selain itu,
ketersediaan siklamat yang memadai banyak dijual di pasar tradisional tanpa
merk dengan akses yang mudah dalam mendapatkannya turut menjadi
penyebab penggunaannya dalam pangan (Apriadji, 2007). Peran pedagang
pangan jajanan anak sekolah (PJAS) lain juga merupakan faktor yang
menyebabkan penggunaan siklamat berlebih, karena pada umumnya para
pedagang pangan mudah mendapatkan informasi mengenai penggunaan
siklamat dari teman sesama pedagang pangan (Saparinto & Hidayati, 2006).
Berdasarkan fakta-fakta mengenai penggunaan siklamat berlebih dan
tidak sesuai dengan batas maksimal yang diperbolehkan pada pangan jajanan
anak sekolah (PJAS) tersebut, timbul ketertarikan untuk melakukan penelitian
dengan judul faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan siklamat
berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri
Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur tahun 2015.
7
B. Rumusan Masalah
Siklamat merupakan pemanis sintetis yang banyak digunakan oleh
pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Menurut Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 Tahun 2014 tentang Batas
Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis, penggunaan
siklamat pada pangan memiliki batas maksimal yang berbeda sesuai dengan
masing-masing jenis pangan. Akan tetapi, berdasarkan studi pendahuluan
yang dilakukan peneliti diketahui bahwa tiga dari lima PJAS di Kelurahan
Pamulang Barat dan Pamulang Timur masih menggunakan siklamat dalam
jumlah yang melebihi batas maksimal sesuai dengan Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 Tahun 2014 tentang Batas Maksimum
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis. Beberapa faktor yang dapat
menyebabkan penggunaan siklamat berlebih tersebut antara lain pengetahuan
pedagang yang rendah mengenai siklamat, sikap positif pedagang mengenai
penggunaan siklamat berlebih, kepercayaan terhadap manfaat siklamat, nilai
mengenai penggunaan siklamat, ketersediaan siklamat yang memadai di
pasaran, kemudahan akses dalam mendapatkan siklamat serta peran pedagang
PJAS lain yang memberi pengaruh bagi pedagang PJAS untuk menggunakan
siklamat. Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk meneliti faktor-faktor
yang berhubungan dengan penggunaan pemanis sintetis siklamat berlebih
pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan
Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur
tahun 2015.
8
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan
Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda,
Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?
2. Bagaimana tingkat pengetahuan pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah
(PJAS) mengenai siklamat di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok
Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?
3. Bagaimana sikap pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
mengenai siklamat di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda,
Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur mengenai
penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)?
4. Bagaimana tingkat kepercayaan pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah
(PJAS) terhadap manfaat siklamat di sekolah dasar negeri Kelurahan
Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang
Timur?
5. Bagaimana nilai pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) terhadap
penggunaan siklamat di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda,
Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?
6. Bagaimana gambaran ketersediaan siklamat menurut pedagang Pangan
Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok
Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?
7. Bagaimana akses dalam mendapatkan siklamat pada pedagang Pangan
Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok
Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?
9
8. Bagaimana pengaruh pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) lain
terhadap penggunaan siklamat di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok
Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?
9. Bagaimana hubungan antara pengetahuan dengan penggunaan siklamat
berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar
negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan
Kelurahan Pamulang Timur?
10. Bagaimana hubungan antara sikap dengan penggunaan siklamat berlebih
pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri
Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur?
11. Bagaimana hubungan antara kepercayaan dengan penggunaan siklamat
berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar
negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan
Kelurahan Pamulang Timur?
12. Bagaimana hubungan antara nilai dengan penggunaan siklamat berlebih
pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri
Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur?
13. Bagaimana hubungan antara ketersediaan siklamat dengan penggunaan
siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah
dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan
Kelurahan Pamulang Timur?
10
14. Bagaimana hubungan antara akses mendapatkan siklamat dengan
penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang
Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?
15. Bagaimana hubungan antara peran pedagang PJAS lain dengan
penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang
Barat dan Kelurahan Pamulang Timur?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan
siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah
dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan
Kelurahan Pamulang Timur tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran penggunaan siklamat yang melebihi batas
maksimal sesuai Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan
Tambahan Pangan Pemanis pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang
Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.
11
b. Diketahuinya tingkat pengetahuan mengenai siklamat pada pedagang
Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri
Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur.
c. Diketahuinya sikap pedagang terhadap penggunaan siklamat berlebih
pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri
Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur.
d. Diketahuinya kepercayaan terhadap manfaat siklamat pada pedagang
Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri
Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur.
e. Diketahuinya nilai terhadap penggunaan siklamat pada pedagang
Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri
Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur.
f. Diketahuinya ketersediaan siklamat menurut pedagang Pangan Jajanan
Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok
Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.
g. Diketahuinya akses pedagang dalam mendapatkan siklamat yang
digunakan secara berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang
Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.
12
h. Diketahuinya peran pedagang PJAS lain terhadap penggunaan siklamat
berlebih pada pedagang Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di
sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang
Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.
i. Diketahuinya hubungan antara pengetahuan dengan penggunaan
siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah
dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan
Kelurahan Pamulang Timur.
j. Diketahuinya hubungan antara sikap dengan penggunaan siklamat
berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar
negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan
Kelurahan Pamulang Timur.
k. Diketahuinya hubungan antara kepercayaan dengan penggunaan
siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah
dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan
Kelurahan Pamulang Timur.
l. Diketahuinya hubungan antara nilai dengan penggunaan siklamat
berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) di sekolah dasar
negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan
Kelurahan Pamulang Timur.
m. Diketahuinya hubungan antara ketersediaan siklamat dengan
penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah
(PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan
Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.
13
n. Diketahuinya hubungan antara akses mendapatkan siklamat dengan
penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah
(PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan
Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.
o. Diketahuinya hubungan antara peran pedagang PJAS lain dengan
penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah
(PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan
Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Sekolah
Sebagai masukan bagi sekolah untuk melakukan pengawasan terhadap
pangan jajanan yang dikonsumsi oleh para siswa untuk menghindari dampak
buruk bagi kesehatan yang ditimbulkan dari pangan jajanan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan.
2. Bagi Instansi Pemerintah
Sebagai masukan bagi pemerintah setempat untuk lebih memperhatikan
dan memperketat regulasi mengenai aspek kesehatan dari makanan jajanan
yang dijual di wilayah sekolah dasar yang kemudian dijadikan sebagai acuan
melakukan intervensi kepada para pedagang.
3. Bagi Peneliti Lain
Sebagai masukan bagi peneliti lain untuk dapat melakukan penelitian
selanjutnya demi pengembangan ilmu pengetahuan.
14
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan penggunaan siklamat berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah
(PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan
Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur tahun 2015. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2015. Sampel penelitian ini adalah
pedagang PJAS yang menggunakan pemanis di Sekolah Dasar Negeri
Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur yang diambil dengan teknik sampel jenuh. Penelitian ini
menggunakan metode kuantitatif dengan desain cross sectional. Kandungan
siklamat diidentifikasi melalui uji laboratorium menggunakan metode
gravimetri. Variabel independen berupa faktor-faktor yang berhubungan
dengan penggunaan siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah
(PJAS) meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai, ketersediaan
siklamat, akses mendapatkan siklamat dan peran pedagang PJAS lain
didapatkan melalui kuesioner.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
1. Definisi Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk
pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air,
baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan
atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan,
bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (UU No.
18 tahun 2012).
Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) didefiniskan sebagai pangan siap
saji yang ditemui di lingkungan sekolah dan secara rutin dikonsumsi oleh
sebagian besar anak sekolah (Kemenkes RI, 2011). Pangan jajanan anak
sekolah (PJAS) memegang peranan strategis menjadi salah satu penyumbang
sumber asupan gizi bagi anak-anak saat disekolah (Kemenkes RI, 2011).
Selain itu, berdasarkan hasil Survei Ekonomi Sosial Nasional (SUSENAS)
tahun 2004 diketahui bahwa pengeluaran keluarga untuk pangan jajanan di
Indonesia mencapai 18.84% perkapita perminggu dari total pengeluaran
untuk makanan dan minuman atau 10.36% dari total pengeluaran keluarga
(BPOM RI, 2006).
16
Kontribusi pangan jajanan terhadap pemenuhan gizi juga dilaporkan
cukup penting. Berdasarkan hasil Kegiatan Monitoring dan Verifikasi Profil
Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional yang dilakukan
BPOM pada tahun 2008 diketahui bahwa total konsumsi pangan jajanan
sekolah bagi para siswa adalah sebesar 239,87 gr/kap/hari yang mengandung
384 kkal dan 9,4 gram protein. Hasil survey tersebut juga menunjukkan
bahwa pangan jajanan menyumbang 3,1% energi dan 27,4% protein dari
konsumsi pangan harian siswa (BPOM RI, 2009). Saat ini jajan menjadi salah
satu “kebutuhan primer” bagi anak-anak saat disekolah, bahkan setiap pagi
sang anak selalu rutin minta uang jajan dan selalu disisipkan oleh
orangtuanya sebelum berangkat ke sekolah (Kemenkes RI, 2011).
2. Kelompok Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) umumnya dapat dikelompokkan
menjadi tiga kategori (Kemenkes RI, 2011) :
a. Makanan utama
PJAS yang termasuk dalam kelompok makanan utama misalnya nasi
goreng, nasi soto, mie bakso, mie ayam, gado-gado, siomay, dan
sejenisnya.
b. Penganan atau kue-kue
PJAS yang termasuk kelompok penganan antara lain tahu goreng,
cilok, martabak telur, apem, keripik, jelly, dan sejenisnya.
17
c. Minuman dan Buah-Buahan
PJAS yang termasuk kelompok minuman misalnya es campur, es
sirup, es teh, es mambo, dan sejenisnya. Sedangkan PJAS yang termasuk
kelompok buah-buahan adalah rujak, pepaya potong, melon potong, dan
sejenisnya.
3. Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
Pangan merupakan sumber energi dan berbagai zat gizi untuk
mendukung hidup manusia, tetapi pangan juga dapat menjadi sumber
pengganggu kesehatan, bila pangan yang dikonsumsi tidak aman. Masalah
keamanan pangan jajanan yang sering ditemui di lingkungan sekolah
diantaranya disebabkan karena produk pangan olahan di lingkungan sekolah
yang tercemar bahan berbahaya (bahaya mikrobiologis dan kimia), pangan
siap saji di lingkungan sekolah belum memenuhi syarat higienitas, dan donasi
pangan yang bermasalah. Terjadinya masalah tersebut dikarenakan tata cara
penanganan pangan yang mengabaikan kaidah-kaidah keamanan pangan.
Kesalahan tersebut bisa dijumpai pada berbagai aspek mulai dari bahan baku,
penanganan (proses produksi, penyimpanan dan penyajian) serta tata cara
distribusinya. Selain itu, faktor ketidaktahuan konsumen, dalam hal ini anak-
anak sekolah dan guru, akan tingkat keamanan pangan jajanan juga
menyebabkan masalah keamanan pangan (BPOM RI, 2006).
Kemungkinan potensi bahaya yang timbul dalam PJAS antara lain
bahaya fisik, bahaya kimia, dan bahaya biologis, yang bila dikonsumsi
manusia, dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan. Bahaya tersebut
18
dapat terjadi melalui berbagai cara yaitu dari pekerja, makanan, peralatan,
proses pembersihan dan dari rambut, kuku, perhiasan, serangga mati, batu
atau kerikil, potongan ranting atau kayu, pecahan gelas atau kaca, potongan
plastik dan potongan kaleng yang dapat mencederai secara fisik. Benda asing
lainnya dapat menjadi pembawa mikroba berbahaya ke dalam pangan dan
menyebabkan keracunan pangan (Kemenkes RI, 2011). Bahaya fisik, kimia
dan biologis tersebut dapat terjadi melalui cara-cara sebagai berikut
(Kemenkes, 2011) :
a. Bahaya fisik dapat terjadi apabila pangan dijual di tempat terbuka dan
tidak disimpan dalam wadah tertutup, penjual mengenakan perhiasan
tangan, dan penjual menangani makanan dan bahan pangan dengan
ceroboh.
b. Bahaya kimia dapat terjadi karena penggunaan bahan berbahaya yang
memang tidak boleh digunakan pada makanan, yang hingga saat ini masih
kerap terjadi. Bahan berbahaya tersebut adalah penggunaan boraks dan
formalin sebagai pengawet makanan, penggunaan pewarna tekstil,
rhodamin (merah) dan methanil yellow (kuning) agar makanan menjadi
lebih menarik. Selain itu masih ditemukannya penggunaan bahan
tambahan pangan (BTP) yang melebihi batas yang diijinkan. Penggunaan
bahan-bahan tersebut masih sering dilakukan oleh pedagang-pedagang
kecil yang memang mereka belum tahu atau sudah tahu bahayanya namun
lebih memilih yang harganya lebih murah. Bahaya kimia lainnya misalnya
cairan pembersih, pestisida, cat, minyak, komponen kimia dari peralatan
atau kemasan yang lepas dan masuk ke dalam pangan. Logam berat masuk
19
melalui air yang tercemar, kertas koran yang digunakan untuk mengemas
pangan dan asap kendaraan bermotor.
c. Bahaya mikrobiologi dapat disebabkan Bahaya mikrobiologi dapat
disebabkan oleh mikroba dan binatang. Mikroba lebih sering
menyebabkan keracunan pangan dibandingkan bahan kimia (termasuk
racun alami) dan bahan asing (cemaran fisik). Sebagian mikroba tersebut
tidak berbahaya dan bahkan beberapa di antaranya dapat digunakan untuk
membuat produk pangan seperti yoghurt dan tempe. Tetapi, banyak juga
mikroba yang dapat menyebabkan infeksi dan intoksikasi pada manusia
dan hewan. Pangan menjadi beracun karena tercemar oleh mikroba
tertentu dan mikroba tersebut menghasilkan racun yang dapat
membahayakan konsumen. Jenis mikroba penyebab keracunan pangan
adalah virus, parasit, kapang dan bakteri.
Pangan jajanan anak sekolah belum seluruhnya memenuhi persyaratan
kesehatan. Hasil pengawasan kualitas PJAS nasional yang dilakukan oleh
BPOM pada tahun 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 19,21% PJAS dari
15.917 sampel yang diuji tidak memenuhi syarat (TMS). Penyebab sampel
yang tidak memenuhi syarat dikarenakan menggunakan bahan berbahaya
yang dilarang untuk pangan, menggunakan bahan tambahan pangan melebihi
batas maksimal, mengandung cemaran logam berat melebihi batas maksimal
dan kualitas mikrobiologis yang tidak memenuhi syarat (Kemenkes, 2011).
20
4. Pengawasan Kualitas Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
Peraturan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri
Kesehatan, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
nomor 6 tahun 2014, nomor 73 tahun 2014, nomor 41 tahun 2014 dan nomor
81 tahun 2014 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kesehatan
Sekolah/Madrasah (UKS/M) menyebutkan bahwa pangan jajanan sebagai
bagian dari kegiatan UKS/M perlu diperhatikan dan diawasi mutu serta
kualitasnya. Kegiatan tersebut dilakukan oleh Tim Pembina UKS/M, baik
ditingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan serta Tim Pelaksana
UKS/M yang berkedudukan di sekolah.
Pemerintah Daerah (Pemda) berperan membantu pembiayaan
pengadaan fasilitas kantin sekolah dan membuat peraturan-peraturan untuk
menunjang keamanan pangan di Sekolah Dasar, seperti pembentukan Tim
Pembina UKS, design bangunan fisik dan lingkungan warung sekolah yang
sesuai dengan aturan yang berlaku dalam rangka mewujudkan usaha
kesehatan sekolah. Tim UKS Puskesmas yang terdiri dari Promosi Kesehatan,
Tenaga Pelaksana Gizi/TPG, Tenaga Kesehatan Lingkungan/Kesling
berperan untuk turut membantu memberikan pengarahan dalam hal
menentukan makanan jajanan sekolah yang bernilai gizi dan aman
dikonsumsi selama berada di sekolah dan mengawasi para penjaja/penjual
agar menjual makanan yang memenuhi syarat kesehatan (Kemenkes, 2011).
Tim pelaksana UKS/M yang berkedudukan di sekolah, berperan
mengkoordinir semua kegiatan yang berhubungan dengan keamanan pangan
di sekolah. Keamanan pangan di sekolah yang dimulai dari siapa yang boleh
21
menjadi penjaja makanan disekolah (perizinan berjualan di sekolah) serta
menyediakan lokasi dan fasilitas lingkungan yang bersih. Selain itu, tim
pelaksana UKS/M di sekolah berperan dalam memberikan pendidikan,
bimbingan dan pengarahan kepada peserta didik agar dapat memilih dan
membeli serta mengonsumsi makanan yang mempunyai nilai gizi dan aman
dikonsumsi, serta mengawasi para penjaja agar menjual makanan dan
minuman yang telah memenuhi syarat kesehatan (Kemenkes, 2011).
B. Keamanan Pangan
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang
Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan
upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran
biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia.
Keamanan pangan muncul sebagai suatu masalah yang dinamis
seiring dengan berkembangnya peradaban manusia dan kemajuan ilmu dan
teknologi, sehingga diperlukan suatu sistem dalam mengawasi pangan sejak
diproduksi, diolah, ditangani, diangkut, disimpan dan didistribusikan serta
dihidangkan kepada konsumen. Toksisitas mikrobiologik dan toksisitas
kimiawi terhadap bahan pangan dapat terjadi pada rantai penanganan pangan
dari mulai saat pra-panen, pascapanen/pengolahan sampai saat produk pangan
didistribusikan dan dikonsumsi (Seto, 2001).
Keamanan pangan merupakan aspek yang sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari. Kurangnya perhatian terhadap hal ini telah sering
22
mengakibatkan terjadinya dampak berupa penurunan kesehatan
konsumennya, mulai dari keracunan makanan akibat tidak higienisnya proses
penyiapan dan penyajian sampai resiko munculnya penyakit kanker akibat
penggunaan bahan tambahan (food additive) yang berbahaya bagi kesehatan
(Syah, 2005).
C. Penyakit Bawaan Makanan (Food Borne Disease)
Penyakit bawaan makanan adalah suatu gejala penyakit yang terjadi
akibat mengkonsumsi mikroorganisme atau toksin baik yang berasal dari
tumbuhan, bahan kimia, kuman maupun binatang (Chandra, 2007). Penyakit
bawaan makanan diakibatkan oleh konsumsi bahan makanan yang
terkontaminasi dengan mikroorganisme atau bahan kimia. Kontaminasi
makanan dapat terjadi pada setiap tahap proses produksi pangan dan dari
pencemaran lingkungan, termasuk pencemaran air, tanah atau udara (WHO,
2015).
Penyakit bawaan makanan merupakan salah satu permasalahan
kesehatan masyarakat yang paling banyak dan membebani. Penyakit tersebut
menelan banyak korban dan menyebabkan sejumlah besar penderitaan
khususnya di kalangan bayi, anak, lansia dan orang-orang yang kekebalan
tubuhnya terganggu (WHO, 2000).
Presentasi klinis yang paling umum dari penyakit bawaan makanan
berbentuk gejala gastrointestinal. Akan tetapi, penyakit tersebut juga dapat
berbentuk gangguan neurologis, ginekologi, imunologi dan gejala lainnya.
Kegagalan multiorgan dan bahkan kanker dapat timbul akibat dari konsumsi
23
bahan makanan yang terkontaminasi, sehingga menyebabkan kecacatan dan
kematian (WHO, 2015).
D. Bahan Tambahan Pangan (BTP)
1. Definisi Bahan Tambahan Pangan
Bahan tambahan pangan (BTP) adalah segala substansi yang sengaja
ditambahkan untuk mempertahankan atau memperbaiki tampilan, tekstur,
rasa dan memperbaiki nilai gizi dari makanan tersebut serta untuk mencegah
pembusukan yang disebabkan oleh bakteri. Bahan-bahan yang termasuk
dalam bahan tambahan pangan adalah segala substansi yang digunakan dalam
proses manufaktur, pengolahan, persiapan, pengemasan, pengangkutan atau
penjagaan kualitas makanan (Vries, 1997). Sedangkan berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan,
bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan yang mempunyai atau tidak
mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk
tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuakn, pengepakan,
pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk
menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau
mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak
langsung.
Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah agar produk olahan
yang dihasilkan mempunyai tampilan menarik, rasa yang enak, konsistensi
yang bagus dan tidak mudah rusak (Suyanti, 2010). Penggunaan bahan
tambahan pangan yang diizinkan dalam produk pangan dapat dibenarkan.
24
Akan tetapi, penggunaan bahan tambahan pangan secara berlebih sehingga
melampaui ambang batas maksimal tidak dibenarkan karena dapat merugikan
atau membayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi pangan tersebut
(Saliswijaya, 2004).
2. Fungsi Bahan Tambahan Pangan
Terdapat empat fungsi utama bahan tambahan pangan (IFAC, 2013) yaitu :
a. Untuk memberikan nutrisi pada makanan.
Beberapa bahan tambahan pangan berfungsi untuk meningkatkan atau
mempertahankan kualitas gizi makanan. Misalnya, penambahan yodium
garam telah berkontribusi pada penghapusan virtual gondok sederhana.
Penambahan Vitamin D untuk susu dan produk susu lainnya telah
dilakukan hal yang sama sehubungan dengan rakhitis. Niacin dalam roti,
tepung jagung dan sereal telah membantu menghilangkan pellagra,
penyakit yang ditandai dengan sistem dan kulit gangguan saraf pusat.
b. Untuk menjaga kualitas produk dan kesegaran.
Makanan segar tidak dapat bertahan untuk jangka waktu yang lama.
Makanan tersebut dapat cepat memburuk, menjadi tengik dan merusak.
Bahan tambahan pangan menunda kerusakan signifikan dan mencegah
pembusukan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme, bakteri
dan ragi dan juga oleh oksidasi (oksigen di udara bersentuhan dengan
makanan).
25
c. Untuk membantu dalam pengolahan dan persiapan makanan
Bahan tambahan pangan digunakan untuk mempertahankan
kualitas yang diinginkan tertentu yang terkait dengan berbagai makanan.
Sebagai contoh, pektin yang berasal dari kulit jeruk digunakan dalam jeli
untuk mempertahankan ketebalan yang diinginkan.
d. Untuk memperbaiki penampilan makanan
Mayoritas bahan tambahan pangan paling sering digunakan untuk
tujuan ini. Makanan yang tampak menarik bagi indera kita akan
meningkatkan selera. Bahan tambahan pangan seperti agen penyedap, zat
pewarna dan pemanis digunakan agar pangan terlihat dan terasa enak.
3. Jenis Bahan Tambahan Pangan
Pada umumnya, bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua
bagian besar (Winarno, 1984) :
a. Aditif disengaja
Merupakan zat aditif yang diberikan dengan sengaja dan memiliki
maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi,
nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman atau kebasaan, memantapkan
bentuk dan rupa serta tujuan lainnya.
b. Aditif tidak disengaja
Merupakan zat aditif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah
yang sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan.
26
Apabila dilihat dari asalnya, aditif dapat berasal dari sumber alamiah
seperti lesitin, asam sitrat, dan lain sebagainya. Zat aditif dapat juga disintesis
dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa benar dengan bahan alamiah
yang sejenis, baik susunan kimia maupun sifat metabolismenya seperti
misalnya β-karoten, asam askorbat, dan lain-lain. Pada umumnya bahan
sintetik mempunyai kelebihan yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah.
Walaupun demikian ada kelemahannya yaitu sering terjadi
ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat yang berbahaya bagi
kesehatan, dan kadang-kadang bersifat karsinogenik yang dapat merangsang
terjadi kanker pada hewan atau manusia (Winarno, 1984).
E. Bahan Tambahan Pangan Pemanis
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Nomor 4 tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan
Pangan Pemanis, pemanis (sweetener) adalah bahan tambahan pangan berupa
pemanis alami dan pemanis buatan yang memberikan rasa manis pada produk
pangan.
Pemanis ada yang memiliki nutrisi seperti gula alkohol dan poliol, atau
yang tidak memiliki nutrisi seperti pemanis sintetis. Pemanis sintetis tidak
merubah besaran, kekentalan atau tekstur dari makanan dan minuman.
Pemanis yang tidak memiliki nutrisi harus dicampur dengan pemanis yang
memiliki nutrisi yang diperbolehkan penggunaannya (Smith, 1991).
27
1. Pemanis Alami
Pemanis alami adalah pemanis yang berasal dari ekstrak suatu produk
alami tanpa suatu perubahan kimia selama proses produksi atau ekstraksi.
Beberapa contoh pemanis alami yang sering dikonsumsi antara lain (Partana,
2008) :
a. Gula Pasir (gula tebu)
Gula pasir merupakan pemanis yang sering digunakan terutama di
kalangan rumah tangga. Gula pasir berasal dari tanaman tebu yang telah
cukup umur untuk diolah dan selanjutnya diambil sarinya. Sari tebu
tersebut kemudian dikristalisasi sehingga menjadi gula pasir. Kadar
sukrosa dalam tebu kurang lebih 6-20 %.
b. Gula kelapa
Gula kelapa terbuat dari nira yang diperoleh dari pelepah pohon
kelapa yang selanjutnya dipanaskan hingga menjadi cairan kental.
c. Pemanis alami lainnya
Pemanis alami lain yang sering dipergunakan adalah madu yang
berasal dari lebah, buah bit, fruktosa dan glukosa.
Pemanis alami jarang dipergunakan dalam proses produksi oleh industri
kerena menyebabkan biaya produksi menjadi lebih tinggi (Nuraini, 2007).
2. Pemanis Sintetis
Pemanis sintetis merupakan zat yang dapat menimbulkan rasa manis atau
dapat membantu mempertajam penerimaan terhadap rasa manis tersebut,
namun kalori yang dihasilkan jauh lebih rendah daripada gula (Winarno,
28
1997). Pemanis sintetis sering ditambah ke dalam pangan sebagai pengganti
gula karena memiliki kelebihan dibanding pemanis alami karena beberapa
alasan (BPOM, 2002) :
a. Rasanya lebih manis.
b. Membantu mempertajam penerimaan terhadap rasa manis.
c. Tidak mengandung kalori atau mengandung kalori yang jauh lebih rendah
sehingga cocok untuk penderita penyakit gula (diabetes).
d. Harganya lebih murah.
Penggunaan pemanis sintetis perlu diwaspadai karena dalam takaran
yang berlebih dapat menimbulkan efek samping yang merugikan kesehatan
manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis pemanis
sintetis berpotensi menyebabkan tumor dan bersifat karsinogenik. Oleh
karena itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan batas-batas
yang disebut Acceptable Daily Intake (ADI) atau kebutuhan per orang per
hari terhadap penggunaan pemanis sintetis dalam pangan (Kemendikbud,
2014).
F. Siklamat
1. Definisi Siklamat
Siklamat adalah pemanis non-kalori. Memiliki rasa manis 30 kali lebih
manis dibanding sukrosa (CCC, 2015). Siklamat pertama kali disintesis tahun
1973 oleh Michael Sveda dari Abbot Laboratories, Chicago. Siklamat
digunakan sebagai pemanis sejak pertengahan tahun 1950, dan menjadi
29
pemanis yang paling dominan digunakan pada tahun 1960 dalam bentuk
garam natrium dan kalsium (Smith, 1991).
Siklamat tidak memberikan after-taste seperti halnya sakarin. Meskipun
demikian, rasa manis yang dihasilkan oleh siklamat tidak terlalu baik
(smooth) jika dibandingkan dengan sakarin. Siklamat diperjual belikan dalam
bentuk garam Na atau Ca-nya. Siklamat memiliki nama dagang yang dikenal
sebagai Assugrin, Sucaryl, Sugar Twin dan Weight Watchers (Kemendikbud,
2014).
Gambar 2.1
Bentuk molekul kimia natrium siklamat
(Sumber : Makfoeld et al, 2002)
Siklamat merupakan produk kimia sintetis yang tidak terdapat di alam.
Siklamat disintesis dari sikloheksilamine yang berasal dari sulfonasi dari
berbagai bahan kimia yang diikuti dengan netralisasi oleh hidroksida (Branen
et al, 2002).
2. Kelebihan Siklamat dibanding Pemanis Alami
Seperti pemanis rendah kalori lainnya, siklamat bermanfaat untuk
mengontrol berat badan, mengelola diabetes, atau membantu mencegah
kerusakan gigi. Siklamat, baik dalam bentuk natrium siklamat atau kalsium
siklamat, stabil dan larut dalam air. Siklamat digunakan sebagai pemanis
dalam minuman diet dan makanan rendah kalori lainnya. Selain itu, siklamat
30
berguna sebagai penambah rasa. Stabilitas panas, tingkat kemanisan yang
tinggi dan keunggulan teknologi lainnya juga membuat siklamat digunakan
bagi banyak sediaan farmasi dan perlengkapan mandi (CCC, 2015).
Ketika siklamat dikombinasikan dengan pemanis rendah kalori lainnya,
hasil efek sinergis dari kedua pemanis tersebut akan menghasilkan kombinasi
rasa manis yang biasanya akan diharapkan dari jumlah pemanis individu.
Selain itu, aftertaste yang kadang-kadang disebabkan oleh penggunaan
pemanis tunggal dapat ditutupi dengan menggabungkan dua jenis pemanis.
Misalnya, campuran dari sepuluh bagian siklamat dan satu bagian sakarin
adalah kombinasi yang banyak digunakan dalam makanan dan minuman.
Siklamat dapat berfungsi sebagai pelengkap yang sangat baik untuk pemanis
rendah kalori lain yang tersedia. Sifat pemanis sinergis unik ini
memungkinkan lebih banyak jenis produk rendah kalori dengan rasa yang
baik. Siklamat stabil dalam panas dan dingin serta memiliki umur simpan
yang baik. Kelarutannya dalam cairan memungkinkan pemanis ini lebih
banyak digunakan dalam minuman (Sumawinata, 2004).
Pedagang pangan pada umumnya lebih memilih untuk menggunakan
siklamat dibanding pemanis alami karena memiliki tingkat kemanisan tiga
puluh kali lipat dibanding pemanis alami sehingga pemakaian sedikit sudah
menimbulkan rasa manis, tidak memiliki nilai kalori sehingga tidak
meningkatkan kandungan gula darah dan tidak menyebabkan rasa pahit
seperti kebanyakan pemanis buatan lainnya (Lanywati, 2001).
31
3. Regulasi
Siklamat disahkan sebagai bahan tambahan pangan oleh Food Drug
Administration (FDA) Amerika Serikat pada tahun 1949. Akan tetapi,
kemudian siklamat dilarang penggunaannya di Amerika Serikat tahun 1970
karena diketahui berisiko menimbulkan kejadian tumor pada hewan uji
(Smith, 1991). Organisasi Kesehatan Dunia Food and Agriculture
Organization's Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA)
melegalkan penggunaan siklamat sebagai bahan tambahan pangan dengan
nilai Acceptable Daily Intake atau konsumsi harian yang dapat diterima
sebesar 11 mg/kg (CCC, 2015).
Di Indonesia, penggunaan siklamat sebagai bahan tambahan makanan
pemanis sintetis diatur dan diawasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 tahun 2012
tentang Bahan Tambahan Pangan, disebutkan bahwa bahan tambahan pangan
termasuk pemanis sintetik hanya boleh digunakan dengan tidak melebihi
batas maksimum penggunaan dalam kategori pangan. Batas maksimum
penggunaan siklamat sebagai bahan tambahan pangan diatur dalam Peraturan
Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 4 tahun 2014 tentang
Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis. Batas
maksimum penggunaan siklamat berbeda pada setiap kategori pangan. Batas
maksimum penggunaan siklamat pada setiap kategori pangan berdasarkan
Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 4 tahun
2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Pemanis adalah sebagai berikut.
32
Tabel 2.1
Batas Maksimum Penggunaan Siklamat Berdasarkan Kategori Pangan
Kategori Pangan
Batas Maksimum
(mg/kg) sebagai
asam siklamat
Minuman berbasis susu yang berperisa dan/atau difermentasi.
Contohnya susu coklat, eggnog, minuman yoghurt, minuman
berbasis whey.
250
Makanan pencuci mulut berbahan dasar susu (misalnya
puding, yoghurt berperisa atau yoghurt dengan buah).
250
(Dihitung terhadap
produk siap konsumsi)
Makanan pencuci mulut berbasis lemak tidak termasuk
makanan pencuci mulut berbasis susu.
250 (Dihitung
terhadap produk siap
konsumsi)
Es untuk dimakan (edible ice), termasuk sherbet dan sorbet. 250
Buah dalam kemasan (pasteurisasi/sterilisasi). 250
Kembang gula/permen meliputi kembang gula / permen keras
dan lunak, nougat dan lain-lain.
500
Kembang gula karet / permen karet. 2000
Produk cokelat analog/pengganti cokelat. 500
Gula dan sirup lainnya (misalnya sirup mapel, xilosa, gula
hias). serta gula untuk hiasan kue (contohnya kristal gula
berwarna untuk kukis).
500
Selai, jelly, marmalad. 1000
Olesan berbasis kakao, termasuk isian (filling) 500
Sumber : Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 4 tahun
2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis
4. Dampak Penggunaan Siklamat Berlebih Bagi Kesehatan
Penggunaan siklamat sebagai bahan tambahan pangan tidak boleh
melebihi batas maksimum yang dipersyaratkan. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, batas maksimum konsumsi siklamat harian (Acceptable Daily
Intake) menurut Organisasi Kesehatan Dunia Food and Agriculture
Organization's Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) adalah
sebesar 11 mg/kg. Penggunaan siklamat secara berlebih dapat menyebabkan
33
gangguan kesehatan. Bakteri organik dalam saluran gastrointestinal dapat
mengubah siklamat yang dikonsumsi menjadi senyawa cyclohexilamine yang
lebih toksik dibanding siklamat itu sendiri (Lu, 1995). Dampak kesehatan
yang ditimbulkan oleh senyawa sikloheksilamin antara lain :
a. Efek testikular
Sejumlah studi toksikologi telah menunjukkan bahwa testis tikus
merupakan organ yang paling sensitif terhadap sikloheksilamin, dan efek
ini yang digunakan oleh JECFA dan lembaga lainnya sebagai dasar untuk
menentukan Acceptable Daily Intake (ADI) dari siklamat (Nabors, 2001).
Senyawa sikloheksilamin dalam tubuh dalam menyebabkan atropi
(penghentian pertumbuhan) testikular (Lu, 1995).
b. Efek kardiovaskular
Sebuah studi mengungkapkan bahwa sebanyak 0,1% siklamat yang
dikonsumsi akan bermetabolisme menjadi sikloheksilamin dalam urin.
Sebagian senyawa sikloheksilamin akan mengendap di dalam plasma
darah dan meningkatkan tekanan darah (Nabors, 2001).
c. Kerusakan Hati dan Ginjal
Paparan siklamat dan sikloheksilamin secara berulang-ulang dengan
dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati dan ginjal ((NJDH, 2010).
d. Kerusakan organ
Berdasarkan hasil uji laboratorium pada hewan uji, pemberian
siklamat dalam dosis tinggi dapat menyebabkan tumor kandung kemih,
paru, limpa dan menyebabkan kerusakan genetik (BPOM, 2008).
34
G. Perilaku
Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas
organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2007).
Perilaku seseorang dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor baik dari
dalam maupun dari luar subjek. Menurut Green (2005) tiga kategori umum
faktor yang mempengaruhi perilaku individu adalah sebagai berikut:
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor-faktor predisposisi yaitu faktor-faktor yang mempermudah
terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan,
dan nilai-nilai.
b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)
Faktor-faktor pemungkin adalah faktor yang memungkinkan atau
memfasilitasi kinerja dari suatu tindakan oleh individu atau organisasi.
Faktor pemungkin terdiri dari ketersediaan, aksesibilitas dan
keterjangkauan pelayanan kesehatan serta regulasi pemerintah.
c. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)
Faktor-faktor penguat adalah konsekuensi dari tindakan yang
menentukan apakah seseorang menerima umpan balik positif atau negatif
dan didukung secara sosial. Contoh faktor penguat adalah sikap dan
perilaku dari keluarga, petugas kesehatan serta orang sekitar.
35
1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)
a. Pengetahuan
Tingkat pengetahuan merupakan salah satu faktor yang
mempermudah perilaku sesorang (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan
merupakan hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensori khusunya
mata dan telinga terhadap objek tertentu (Sunaryo, 2002). Pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan atau
perilaku seseorang. Pengalaman dan penelitian membuktikan bahwa
perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama
daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Efendi &
Makhfudli, 2009).
Menurut Rogers (1974) sebelum orang mengadopsi perilaku baru,
dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni
(Notoatmodjo, 2007):
1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam
arti megnetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut.
Disini sikap subjek sudah mulai timbul.
3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden
sudah lebih baik lagi.
4) Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
36
5) Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau
tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat
pengetahuan, yaitu (Notoatmodjo, 2010):
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai recall atau mengingat memori yang
sebelumnya telah diamati. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa
orang tahu sesuatu dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan.
Ketidaktahuan pedagang pangan jajanan anak sekolah tentang bahaya
penggunaan siklamat berlebih dapat diketahui dengan melihat apakah
pedagang masih menggunakan siklamat secara berlebih dan jawaban
mereka mengenai bahaya penggunaan siklamat secara berlebih
sebagai pemanis sintetis dalam pangan jajanan anak sekolah.
2. Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek adalah suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan secara benar. Seseorang dinyatakan telah
memahami bahaya penggunaan siklamat berlebih apabila dapat
menjelaskan secara efek kesehatan yang ditimbulkan terhadap
kesehatan jika mengonsumsi makanan yang menggunakan siklamat
sebagai pemanis sintetis dengan dosis berlebih.
3. Aplikasi (application)
37
Aplikasi diartikan apabila orang telah memahami objek dapat
mengaplikasikan prinsip yang diketahuinya tersebut pada situasi
sebenarnya. Seseorang pedagang pangan pada tingkat aplikasi dapat
menerapkan teori dengan memperhatikan dan tidak menggunakan
sebagai siklamat pada produk pangan jajanan yang diproduksinya
melebihi dosis yang diperbolehkan pemerintah.
4. Analisis (analysis)
Analisis merupakan kemampuan seseorang untuk menjabarkan
dan memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-
komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang
diketahui.
5. Sintesis (syntesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk
merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari
komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Seseorang pada
tingkatan ini diharapkan mampu menghubungkan teori tentang
penggunaan siklamat sebagai pemanis sintetis dalam pangan jajanan
anak sekolah dan efek buruk bagi kesehatan jika mengonsumsi pangan
jajanan yang mengandung siklamat dalam dosis yang melebihi batas
maksimal yang diperbolehkan.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini
dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan
38
sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam tingkat
ini seseorang dapat melakukan penilaian terhadap bahaya keberadaan
siklamat berlebih dalam pengan jajanan anak sekolah (PJAS) dan
tidak menggunakannya.
Salah satu faktor penyebab penggunaan siklamat yang melebihi
batas maksimum adalah pengetahuan pedagang pangan yang kurang
mengenai keamanan pangan jajanan anak sekolah. Kurangnya
pengetahuan tentang bahaya penggunaan bahan tambahan pangan
menyebabkan para pedagang makanan menggunakan bahan tambahan
pangan secara berlebih (Yuliani, 2007). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Purwaningsih dkk (2010) yang dilakukan pada penjual
makanan jajanan berupa es lilin di kelurahan Srondol, Kota Semarang,
diketahui bahwa terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan
pedagang es lilin dengan kadar natrium siklamat berlebih dalam es lilin
yang diproduksinya (p=0,00).
Cara untuk mengukur pengetahuan seseorang dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau
melalui pertanyaan-pertanyaan tertulis melalui angket dan kuesioner.
Indikator pengetahuan kesehatan seseorang adalah “tingginya
pengetahuan” responden tentang kesehatan, atau besarnya persentase
kelompok responden tentang variabel-variabel atau komponen-komponen
kesehatan (Notoatmodjo, 2010).
39
b. Sikap
Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau
objek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya
tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu
dari perilaku yang tertutup tersebut (Sunaryo, 2002). Sikap
menggambarkan suka atau tidak suka sesorang terhadap suatu objek dan
membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain
(Notoatmodjo, 2010).
Sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu
untuk berkelakukan dengan pola-pola tertentu terhadap suatu objek akibat
pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut. Menurut Notoadmodjo
(2010), sikap juga merupakan respons tertutup seseorang terhadap
stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan
emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-
tidak baik, dan sebagainya).
Sikap dapat dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu sikap positif
dan sikap negatif. Sikap positif merupakan kecenderungan tindakan
individu untuk mendekati, menyenangi atau mengharapkan objek tersebut.
Sedangkan sikap negatif merupakan kecenderungan untuk menjauhi,
menghindari, membenci, menolak atau tidak menyukai objek tersebut
(Kasemin, 2003). Sikap yang positif maupun negatif terhadap suatu hal
atau objek belum tentu akan diwujudkan dalam bentuk perilaku yang
sesuai dengan sikapnya tersebut (Purnawanto, 2010). Suatu sikap belum
otomatis terwujud dalam suatu tindakan (Efendi & Makhfudli, 2009).
40
Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkatan
berdasarkan intensitasnya, yakni sebagai berikut (Notoatmodjo, 2007) :
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap
kesehatan dapat dilihat dari kesadaran dan perhatian orang itu terhadap
promosi-promosi terutama mengenai makanan yang sehat.
b. Menanggapi atau merespon (responding)
Menanggapi yakni memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Karena dengan
suatu usaha untuk mengerjakan tugas yang diberikan atau menjawab
pertanyaan. Misalnya sikap seseorang menyikapi penggunaan siklamat
berlebih pada pangan jajanan anak sekolah.
c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap menghargai.
d. Bertanggung Jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Seseorang yang memiliki sikap negatif terhadap penggunaan
siklamat berlebih memiliki kecenderungan untuk menggunakan siklamat
berlebih. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Purwaningsih dkk (2010)
yang dilakukan pada penjual makanan jajanan berupa es lilin di kelurahan
41
Srondol, Kota Semarang, diketahui bahwa terdapat hubungan antara sikap
pedagang es lilin dengan kadar natrium siklamat berlebih dalam es lilin
yang diproduksinya (p=0,00).
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan. Pertanyaan
secara langsung dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat
dengan menggunakan kata “setuju”dan “tidak setuju” terhadap pertanyaan-
pertanyaan mengenai objek tertentu. Pengukuran sikap menurut skala
Lickert dapat dilakukan dengan melakukan pemberian skor pada setiap
jawaban sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010):
5 = Sangat setuju
4 = Setuju
3= Biasa saja
2 = Tidak setuju
1 = Sangat tidak setuju
c. Kepercayaan
Kepercayan adalah suatu keyakinan bahwa fenomena atau objek
benar atau nyata (WHO, 2000). Agama, kepercayaan dan kebenaran
adalah kata-kata yang digunakan untuk mengungkapkan atau menyiratkan
kepercayaan. Pernyataan kepercayaan berorientasi kesehatan contohnya
adalah pernyataan seperti “saya tidak percaya bahwa obat dapat bekerja”
atau “olahraga tidak akan memberi efek apapun”. Kepercayaan sesorang
terhadap bagaimana dan apa yang dipikirkan orang-orang yang dianggap
42
penting dapat menimbulkan keyakinan positif pada diri seseorang untuk
melakukan suatu perilaku. Kepercayaan masyarakat terhadap suatu objek
mempengaruhi perilaku terhadap objek tersebut. (Green & Kreuter, 2005).
Kepercayaan merupakan salah satu faktor predisposisi yang
mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Kepercayaan adalah hal-hal
yang diyakini seseorang dan dianggap benar, mengenai diri sendiri, orang
lain dan dunia sekitarnya yang memengaruhi perasaan dan perilakunya
sehari-hari (Martono & Joewana, 2006). Kepercayaan seseorang mengenai
suatu hal dapat dipengaruhi lingkungan sekitarnya karena manusia bersifat
sistem terbuka yang dapat dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan
sekitarnya (Suhaemi, 2002).Biasanya kepercayaan diterima tanpa bukti
bahwa kepercayaan tersebut terbukti kebenarannya (WHO, 2000).
Kepercayaan terhadap suatu produk akan mendorong konsumen
untuk menggunakan produk tersebut (Ramdan, 2009). Salah satu faktor
yang mendasari masyarakat untuk menggunakan siklamat adalah adanya
kepercayaan bahwa siklamat mempunyai beberapa kelebihan yang
mengungguli pemanis murni seperti tidak menyebabkan peningkatan gula
darah sehingga aman bagi penderita diabetes, tidak menyebabkan
kenaikan berat badan, dan tidak menimbulkan kerusakan gigi seperti yang
terjadi pada kelebihan konsumsi pemanis alami (Vasudevan, 2013).
d. Nilai
Nilai dapat diartikan sebagai hal-hal yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan (Hidayat, 2007). Nilai tak hanya dijadikan rujukan untuk
43
bersikap dan berbuat dalam masyarakat, tetapi juga dijadikan sebagai
ukuran benar tidaknya suatu fenomena perbuatan dalam masyarakat itu
sendiri. Apabila ada suatu fenomena sosial yang bertentangan dengan
sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, maka perbuatan tersebut
dinyatakan bertentangan dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat,
dan akan mendapatkan penolakan dari masyarakat tersebut (Hakim, 2012).
Nilai adalah sesuatu yang berharga, keyakinan yang dipegang
sedemikian rupa oleh seseorang sesuai dengan tuntutan hati nuraninya
sehingga menjadi pertimbangan terhadap suatu tindakan untuk mengambil
keputusan berperilaku (Suhaemi, 2002). Nilai pada hakikatnya
mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi tidak
menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu salah atau benar (Soeroso,
2006). Nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Suatu tindakan
dianggap sah artinya secara moral dapat diterima kalau harmonis dengan
nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat di mana
tindakan itu dilakukan (Narwoko & Suyanto, 2004).
Nilai yang berlaku di dalam masyarakat berpengaruh terhadap
perilaku kesehatan. Nilai-nilai tersebut, ada yang menunjang dan ada yang
merugikan kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Nilai merupakan sesuatu yang
diyakini kebenarannya dan dianut serta dijadikan sebagai acuan dasar
individu dan masyarakat dalam menentukan sesuatu yang dipandang baik,
benar, bernilai maupun berharga (Hakim, 2012).
44
2. Faktor Pemungkin (Enabling Factor)
a. Ketersediaan Fasilitas
Ketersediaan fasilitas merupakan salah satu faktor pemungkin yang
menyebabkan suatu perubahan perilaku. Pengetahuan dan sikap saja
belum menjamin terjadinya perilaku, masih diperlukan sarana atau
fasilitas untuk memungkinkan atau mendukung perilaku tersebut
(Notoatmodjo, 2010). Ketersediaan sumber daya sangat dipengaruhi oleh
lokasi, dapat dijangkau oleh masyarakat atau tidak, serta kecukupan
fasilitas tersebut dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang
memerlukannya (Effendy, 1997). Sebagai salah satu unsur utama dalam
kegiatan produksi, ketersediaan sumber daya merupakan hal yang sangat
berpengaruh bagi para pemiliki usaha. Ketersediaan sumber daya yang
memadai dapat dilihat dari terpenuhinya kebutuhan pedagang akan
sumber daya yang dibutuhkan (Herjanto, 2008).
Ketersediaan bahan tambahan pangan dapat mempengaruhi
perilaku penggunaannya dalam masyarakat. Semakin banyak bahan
tambahan pangan yang tersedia dapat menjadi faktor pendorong yang
semakin memudahkan seseorang dalam menggunakan bahan tambahan
pangan tertentu (WHO, 2000). Salah satu bahan tambahan pangan yang
ketersediaannya memadai adalah siklamat, karena siklamat banyak dijual
di pasar tradisional tanpa merk (Apriadji, 2007).
45
b. Akses
Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan
lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain, sehingga menentukan
mudah atau sulitnya lokasi tersebut dicapai melalui transportasi.
Aksesibilitas dapat diartikan sebagai suatu konsep yang menggabungkan
antara sistem transportasi secara geografis dengan sistem jaringan
transportasi sehingga menimbulkan zona-zona dan jarak geografis yang
akan mudah dihubungkan oleh penyediaan sarana dan prasarana angkutan
(Black, 1981). Faktor jarak bukan satu-satunya elemen yang menentukan
tinggi rendahnya tingkat aksesibilitas (Miro, 2004). Terlebih, kemajuan
teknologi yang membuat transportasi semakin mudah mengakibatkan
terjadinya percepatan arus perpindahan dari satu tempat ke tempat lain
(Sitompul, 2004).
Kemudahan akses dalam mendapatkan suatu produk
mempengaruhi keputusan untuk membeli dan menggunakan produk
tersebut, karena konsumen pada dasarnya menyukai produk yang mudah
didapat dan hanya memerlukan sedikit usaha untuk mendapatkannya
(Irmawati, 2014). Kemudahan akses dalam mendapatkan siklamat sebagai
bahan tambahan pangan pemanis merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi perilaku penggunaan siklamat pada pedagang pangan
(BPOM, 2012). Terlebih, pemanis buatan sakarin dan siklamat sangat
mudah didapatkan dan dijual bebas di pasaran (Kemenkes, 2011).
46
c. Komitmen Pemerintah
Komitmen pemerintah mengenai penggunaan siklamat tertuang
dalam regulasi yang mengatur batas maksimum penggunaan siklamat
dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Batas maksimum
penggunaan siklamat sebagai bahan tambahan pangan diatur dalam
Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 4 tahun
2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Pemanis. Selain itu, pemerintah melalui BPOM melakukan intensifikasi
pengawasan pangan jajanan anak sekolah setiap tahunnya melalui
sampling dan pengujian laboratorium serta penindaklanjutan pada pangan
jajanan anak sekolah (PJAS) yang terbukti memiliki kandungan siklamat
berlebih (BPOM, 2013).
3. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)
a. Peran Pedagang Lain
Teman terkadang menjadi bagian penting dari faktor-faktor yang
memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun seseorang
tahu dan mampu melakukan perilaku sehat, tetapi tidak melakukannya
karena pengaruh dari teman (Notoatmodjo, 2010). Hal yang sama juga
terjadi pada perilaku penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan
anak sekolah (PJAS). Salah satu faktor yang mendorong penggunaan
siklamat pada pedagang pangan adalah karena adanya pengaruh dari
pedagang lain yang menggunakan siklamat (BPOM, 2012).
47
b. Peran Petugas Kesehatan
Peran petugas kesehatan melalui kegiatan pengawasan dan
pengendalian terkait penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan
anak sekolah (PJAS) merupakan faktor yang penting. Tanpa adanya
pengawasan oleh petugas kesehatan, industri dan pengolah makanan
cenderung menggunakan bahan pengawet yang berbahaya dan melebihi
standar maksimal yang dipersyaratkan. Penggunaan bahan berbahaya
tersebut dapat disebabkan oleh ketidaktahuan tentang dampak bahan
pengawet dalam bentuk keracunan kronis akibat dosis kecil yang
kumulatif atau keracunan akut dalam dosis besar (Hartati, 2007).
H. Pedagang
Pedagang adalah setiap orang yang melakukan perbuatan perniagaan
sebagai pekerjaan sehari-hari, baik berupa bahan pokok kebutuhan sehari-hari
maupun kebutuhan tambahan yang diperoleh dari orang lain atau diproduksi
sendiri (Purwosutjipto, 1999). Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui
bahwa pedagang pangan merupakan setiap orang yang melakukan perniagaan
pangan sebagai pekerjaan sehari-hari, baik pangan yang diperoleh dari orang
lain maupun pangan yang diproduksi sendiri.
Idealnya bila semua pedagang pangan yang memproduksi sendiri pangan
yang dijualnya menerapkan perundangan dan peraturan yang berlaku tentang
keamanan pangan, tentu tidak ada pangan yang tidak aman yang beredar atau
diperdagangkan, dan tidak ada korban keracunan pangan. Akan tetapi, lebih
dari 70% makanan jajanan dihasilkan oleh industri rumahan dengan
48
penanganan secara tradisional. Dalam proses peroduksi pangan jajanan,
kebanyakan pedagang makanan kurang atau tidak menyadari dan memahami
sepenuhnya arti kebersihan dan keamanan pangan. Hal tersebut mengakibatkan
masih banyak pangan jajanan yang tidak aman dikonsumsi sehingga
menyebabkan penyakit atau keracunan makanan (Saparinto & Hidayati, 2006).
49
I. Kerangka Teori
Gambar 2.2 Kerangka Teori
Sumber : Green & Kreuter (2005)
Keterangan : Tidak Diteliti
Diteliti
FAKTOR PREDISPOSISI
(PREDISPOSING)
Pengetahuan
Sikap
Kepercayaan
Nilai
FAKTOR PEMUNGKIN
(ENABLING)
Penggunaan Siklamat
berlebih pada Pangan
Jajanan Anak Sekolah
(PJAS)
Ketersediaan Siklamat Faktor Penguat (Reinforcing)
1. Keluarga
2. Teman
3. Tokoh masyarakat
Akses Mendapatkan
Siklamat
Komitmen Pemerintah
FAKTOR PENGUAT
(REINFORCING)
Peran Pedagang PJAS
Lain
Peran Petugas Kesehatan
50
Salah satu sumber pencemaran zat kimia pada Pangan Jajanan
Anak Sekolah (PJAS) disebabkan oleh penggunaan bahan tambahan
pangan melebihi batas maksimum yang diperbolehkan. Bahan tambahan
pangan yang sering dipergunakan secara berlebih dalam Pangan Jajanan
Anak Sekolah (PJAS) adalah siklamat (Kemenkes, 2011) . Perilaku
menurun Green & Kreuter (2005) dipengaruhi oleh faktor predisposisi,
faktor pemungkin (enabling) dan faktor penguat (reinforcing). Dari
paparan tersebut maka dibentuk suatu kerangka teori seperti diatas.
51
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Berdasarkan teori yang dijelaskan pada bab sebelumnya, diketahui
bahwa penggunaan zat kimia berupa bahan tambahan pangan (BTP) berlebih
dapat menyebabkan penyakit bawaan makanan (food borne disease). Salah
satu bahan tambahan pangan yang banyak dipergunakan secara berlebih dan
melebihi batas maksimum yang diperbolehkan pemerintah adalah pemanis
sintetis jenis siklamat.
Penelitian ini difokuskan untuk meneliti faktor-faktor yang
berhubungan dengan perilaku penggunaan siklamat berlebih pada pangan
jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri yang berada di wilayah
Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah penggunaan
siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Sedangkan
variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan, sikap,
kepercayaan, nilai, ketersediaan siklamat, akses mendapatkan siklamat serta
peran pedagang PJAS lain.
Adapun variabel lain yang tidak diteliti disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu :
52
a. Variabel Komitmen Pemerintah
Variabel ini tidak diteliti karena pemerintah telah menerapkan
batas maksimum penggunaan siklamat dalam pangan sebagai bentuk
komitmen pemerintah dalam menjaga mutu pangan dari cemaran siklamat
berlebih. Pemerintah juga telah melakukan sosialisasi mengenai regulasi
ini kepada masyarakat melalui media cetak, elektronik maupun sosialisasi
secara langsung sehingga idealnya seluruh pedagang telah mengetahui
regulasi mengenai penggunaan siklamat tersebut, sehingga dikhawatirkan
variabel ini akan menghasilkan data yang homogen. Selain itu, persepsi
para pedagang mengenai komitmen pemerintah juga telah tergambar
dalam variabel pengetahuan melalui pertanyaan seputar regulasi batas
maksimum penggunaan siklamat dalam pangan. Oleh karena itu, variabel
komitmen pemerintah tidak termasuk dalam variabel yang diteliti.
b. Variabel Peran Petugas Kesehatan
Variabel ini tidak diteliti karena petugas kesehatan dari Dinas
Kesehatan setempat bertanggung jawab dalam menjaga mutu dan kualitas
pangan jajanan anak sekolah (PJAS), termasuk keberadaan siklamat
melalui kegiatan pemeriksaan keamanan dan kualitas pangan jajanan anak
sekolah (PJAS) yang harus dilakukan secara rutin setiap tahun. Kegiatan
pemeriksaan kualitas pangan ini idealnya dilakukan terhadap seluruh
pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Oleh karena itu, variabel ini tidak
diteliti karena dikhawatirkan akan menghasilkan data yang homogen.
53
Berdasarkan paparan tersebut, maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 3.1
Kerangka Konsep
- Pengetahuan
- Sikap
- Kepercayaan
- Nilai
- Ketersediaan
Siklamat
- Akses Mendapatkan
Siklamat
- Peran Pedagang
PJAS Lain
Penggunaan Siklamat
berlebih pada pangan
jajanan anak sekolah
(PJAS).
54
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Variabel Dependen
1. Penggunaan
siklamat berlebih
pada pangan jajanan
anak sekolah
(PJAS).
Wujud dari sikap yang berupa
kegiatan atau aktivitas
penggunaan siklamat berlebih
pada pangan jajanan anak
sekolah (PJAS) yang
diproduksi pedagang.
Uji
laboratorium
menggunakan
metode
gravimetri.
Neraca
Analitik
1 = Berlebih (kadar siklamat >
batas maksimal yang diizinkan
pada masing-masing jenis
pangan).
2 =Tidak berlebih (kadar siklamat
≤ batas maksimal yang diizinkan
pada masing-masing jenis
pangan).
(Peraturan Kepala BPOM No. 4
tahun 2014 tentang Batas
Maksimum Penggunaan Bahan
Tambahan Pangan Pemanis).
Ordinal
Variabel Independen
2. Pengetahuan Pemahaman dan kemampuan
responden dalam menjawab
pertanyaan mengenai siklamat
dan bahaya penggunaannya
secara berlebih dalam pangan
jajanan anak sekolah (PJAS)
Wawancara Kuesioner 1 = Rendah (jumlah skor < nilai
rata-rata skor seluruh responden).
2 = Tinggi (jumlah skor ≥ nilai
rata-rata (mean) skor seluruh
responden).
Ordinal
55
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
yang dijual.
3. Sikap Respon yang ditunjukkan
responden mengenai
penggunaan siklamat berlebih
dalam pangan jajanan anak
sekolah (PJAS) yang dijual.
Wawancara Kuesioner 1. Positif (Jumlah skor < nilai
tengah (median) skor seluruh
responden).
2. Negatif (Jawaban benar ≥
nilai tengah (median) skor
seluruh responden).
Ordinal
4. Kepercayaan Keyakinan yang ditunjukkan
responden bahwa siklamat
menghasilkan manfaat yang
lebih baik dan lebih sehat
dibanding pemanis alami.
Wawancara Kuesioner 1 = Percaya (Jumlah skor < nilai
tengah (median) skor seluruh
responden)
2 = Tidak Percaya (jumlah skor ≥
nilai tengah (median) skor
seluruh responden)
Ordinal
5. Nilai. Pernyataan responden mengenai
pentingnya penggunaan siklamat
dalam pangan berupa kebiasaan
menggunakan siklamat,
kebiasaan menyimpan cadangan
siklamat dan merasa kurang bila
pangan tidak diberi siklamat.
Wawancara Kuesioner 1 = Penting (Jumlah skor < nilai
tengah (median) skor seluruh
responden)
2 = Tidak Penting (Jumlah skor ≥
nilai tengah (median) skor
seluruh responden)
Ordinal
6. Ketersediaan
siklamat.
Keberadaan siklamat di pasaran
yang sesuai dengan kebutuhan
pembeli, ditinjau dari
pemenuhan kebutuhan pembeli
Wawancara Kuesioner 1 = Memadai (Jumlah skor ≥ nilai
tengah (median) skor seluruh
responden).
Ordinal
56
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
terhadap siklamat, kuantitas
pembelian siklamat yang tidak
dibatasi dan adanya toko lain
yang menjual siklamat bila
persediaan siklamat di salah satu
toko habis.
2 = Tidak Memadai (Jumlah skor
< nilai tengah (median) skor
seluruh responden).
7. Akses Mendapatkan
Siklamat
Kemudahan responden dalam
mendapatkan siklamat dari
tempat tinggal responden ke
toko yang menjual siklamat
ditinjau dari jarak dan fasilitas
transportasi yang tersedia.
Wawancara Kuesioner 1 = Mudah Didapat (Jumlah skor
≥ nilai tengah (median) skor
seluruh responden).
2 = Sukar Didapat (Jumlah skor
< nilai tengah (median) skor
seluruh responden) .
Ordinal
8. Peran Pedagang
PJAS lain.
Perilaku pedagang PJAS lain
yang mempengaruhi keputusan
responden untuk menggunakan
siklamat berlebih dalam pangan
jajanan anak sekolah (PJAS).
Wawancara Kuesioner 1 = Dipengaruhi (Jumlah skor ≥
nilai tengah (median) skor
seluruh responden)
2 = Tidak Dipengaruhi (Jumlah
skor < nilai tengah (median)
skor seluruh responden).
Ordinal
57
C. Hipotesis
Penelitian ini memiliki hipotesis sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan antara pengetahuan pedagang dengan penggunaan
siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar
negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur.
2. Terdapat hubungan antara sikap pedagang dengan penggunaan siklamat
berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) sekolah dasar negeri
Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur.
3. Terdapat hubungan antara kepercayaan pedagang dengan penggunaan
siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar
negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur.
4. Terdapat hubungan antara nilai dengan penggunaan siklamat berlebih pada
pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan
Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.
5. Terdapat hubungan antara ketersediaan siklamat dengan penggunaan
siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar
negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur.
6. Terdapat hubungan antara akses mendapatkan siklamat dengan penggunaan
siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar
58
negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur.
7. Terdapat hubungan antara peran pedagang PJAS lain dengan penggunaan
siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar
negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur.
59
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian merupakan penelitian survey analitik dengan pendekatan studi
cross sectional dimana pengukuran variabel dependen dan variabel
independen dilakukan secara bersamaan (Chandra, 2006). Desain ini
dianggap sesuai, terkait dengan kadar siklamat pada pangan jajanan anak
sekolah (PJAS) yang harus segera dilakukan pengujian laboratorium untuk
mempertahankan kualitas sampel pangan jajanan anak sekolah (PJAS).
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Agustus 2015 di sekolah
dasar negeri yang berada di wilayah Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan
Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur.
C. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek yang akan diteliti (Wasis, 2006).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang pangan jajanan anak
sekolah (PJAS) yang menjual pangan bercita rasa manis di sebelas sekolah
dasar negeri di Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan
Kelurahan Pamulang Timur. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti
60
diketahui bahwa terdapat 91 pedagang PJAS bercita rasa manis yang
menjajakan dagangannya di sebelas sekolah dasar negeri tersebut.
D. Sampel
Sampel adalah subunit populasi yang oleh peneliti dipandang dapat
mewakili populasi target (Danim, 2002). Pengambilan sampel dalam
penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling. Purposive
sampling merupakan teknik pengambilan sampel berdasarkan suatu kriteria
tertentu yang ditentukan oleh peneliti sendiri (Notoatmodjo, 2010). Adapun
kriteria pedagang PJAS bercita rasa manis yang dijadikan sampel dalam
penelitian ini adalah pedagang PJAS bercita rasa manis yang membuat sendiri
pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang dijajakannya.
Jumlah sampel minimal yang dibutuhkan pada penelitian ini dihitung
berdasarkan rumus penelitian bivariat berikut (Budijanto, 2007).
√ √
Dimana :
n = Jumlah sampel yang dibutuhkan
= Derajat kemaknaan 5% = 1,96
Z1- = Kekuatan uji 80%
P1 = Proporsi responden pada variabel penelitian
sebelumnya yang beresiko (memiliki pengetahuan
61
rendah dan menggunakan siklamat berlebih =
28,1%).
P2 = Proporsi responden pada variabel penelitian
sebelumnya yang tidak beresiko (memiliki
pengetahuan tinggi dan menggunakan siklamat
berlebih = 51,1%)
P = (P1 + P2) / 2 = 0,396
(Nilai P1 dan P2 diperoleh dari penelitian Purwaningsih, 2007)
√ √
69,867 dibulatkan menjadi 70
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, jumlah sampel minimal yang
dibutuhkan adalah sebanyak 70 sampel. Jumlah sampel minimal tersebut
mendekati jumlah pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) bercita rasa
manis yang memenuhi kriteria untuk dijadikan sampel, yaitu sebanyak 76
orang. Oleh karena itu, seluruh pedagang PJAS bercita rasa manis dijadikan
sampel sehingga jumlah sample pada penelitian ini adalah sebanyak 76
sampel.
E. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan pengujian
laboratorium. Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data terkait
62
pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai, akses serta peran pedagang PJAS lain.
Sedangkan pengujian laboratorium dilakukan untuk mengetahui kadar
siklamat dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang menjadi sampel.
1. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer yang
terdiri dari data mengenai pengetahuan responden mengenai bahaya siklamat
berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS), sikap responden
mengenai keberadaan siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah,
kepercayaan responden mengenai manfaat siklamt, nilai terhadap penggunaan
siklamat, ketersediaan siklamat, akses mendapatkan siklamat, peran pedagang
PJAS lain dan perilaku penggunaan siklamat berlebih dalam pangan jajanan
anak sekolah (PJAS). Data mengenai pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai,
ketersediaan siklamat, akses dan peran pedagang PJAS lain didapatkan
melalui kuesioner. Sedangkan data mengenai perilaku penggunaan siklamat
berlebih didapatkan melalui uji laboratorium pada sampel pangan jajanan
anak sekolah (PJAS) untuk menentukan kadar siklamat yang terkandung di
dalamnya menggunakan metode gravimetri.
2. Instrumen Penelitian
a. Kuesioner
Kuesioner yang digunakan terdiri dari beberapa item pertanyaan yang
menyangkut data identitas responden, pengetahuan dan sikap responden.
Kuesioner ini diadopsi dan dimodifikasi dari penelitian Mandasari (2010)
63
mengenai Pengetahuan dan Sikap Pedagang Es Krim Tentang Penggunaan
Pemanis Buatan Di Beberapa Pasar Kota Medan Tahun 2010 serta Ariani
(2012) menganai Hubungan Antara Faktor Individu dan Lingkungan dengan
Konsumsi Minuman Ringan Berpemanis Pada Siswa/I SMA Negeri 1
Bekasi Tahun 2012.
1. Pengetahuan
Pertanyaan mengenai variabel pengetahuan terdapat pada no B1-
B9. Tingkat pengetahuan responden dikatakan “Tinggi” jika jawaban
benar responden lebih dari atau sama dengan dari nilai rata-rata (mean)
jumlah skor keseluruhan dan dikatakan “rendah” jika jumlah skor
responden lebih kecil dari nilai rata-rata jumlah skor keseluruhan.
2. Sikap
Pertanyaan mengenai variabel sikap terdapat pada no C1-C10.
Variabel sikap dikatakan positif atau mendukung penggunaan siklamat
berlebih jika jumlah skor responden lebih kecil dari nilai tengah (median)
skor keseluruhan dan dikatakan negatif atau tidak mendukung
penggunaan siklamat berlebih jika jumlah skor responden lebih besar
atau sama dengan nilai tengah (median) jumlah skor keseluruhan.
3. Kepercayaan
Pertanyaan mengenai variabel kepercayaan terdapat pada nomor
D1-D3. Responden dikatakan memiliki kepercayaan terhadap manfaat
siklamat apabila jumlah skor responden lebih kecil dari nilai tengah
(median)skor keseluruhan dan dikatakan percaya terhadap manfaat
64
siklamat jika jumlah skor responden lebih besar atau sama dengan nilai
tengah (median) jumlah skor keseluruhan.
4. Nilai
Dalam kuesioner, pertanyaan mengenai variabel nilai terdapat
dalam pertanyaan E1 sampai E4. Responden menilai bahwa siklamat
penting apabila jumlah skor responden lebih kecil dari nilai tengah
(median) jumlah skor keseluruhan dan dikatakan tidak penting jika
jumlah skor responden lebih besar atau sama dengan nilai tengah
(median) jumlah skor keseluruhan.
5. Ketersediaan Siklamat
Pertanyaan megenai ketersediaan siklamat terdapat pada nomor F1
sampai F4. Ketersediaan siklamat dikatakan memadai apabila jumlah
skor responden lebih besar atau sama dengan nilai tengah (median)
jumlah skor keseluruhan dan dikatakan tidak memadai apabila jumlah
skor responden lebih kecil dari nilai tengah (median) jumlah skor
keseluruhan.
6. Akses
Pertanyaan mengenai variabel akses terdapat pada nomor G1-G4.
Responden memiliki akses yang mudah dalam mendapatkan siklamat
apabila jumlah skor respondenlebih besar atau sama dengan nilai tengah
(median) jumlah skor keseluruhan, sedangkan jika jumlah skor responden
lebih kecil dari nilai tengah (median) jumlah skor keseluruhan maka
responden dinyatakan sukar untuk mendapatkan siklamat.
65
7. Peran Pedagang PJAS lain
Pertanyaan mengenai variabel peran pedagang PJAS lain terdapat
pada nomor H1-H3. Responden dikatakan tidak dipengaruhi oleh
pedagang PJAS lain dalam penggunaan siklamat apabila jumlah skor
responden lebih besar atau sama dengan nilai tengah (median) jumlah
skor keseluruhan dan dikatakan dipengaruhi oleh pedagang PJAS lain
dalam penggunaan siklamat jika jumlah skor responden lebih kecil dari
nilai tengah (median) jumlah skor keseluruhan.
b. Neraca Analitik
Neraca analitik digunakan untuk memperoleh data pada variabel
penggunaan siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah
melalui uji laboratorium. Neraca analitik digunakan untuk menimbang
kadar siklamat di dalam sampel pangan jajanan anak sekolah (PJAS).
Penentuan kadar siklamat dilakukan menggunakan uji gravimetri.
Gravimetri merupakan salah satu metode analisis kuantitatif suatu zat
atau komponen dengan cara mengukur berat komponen dalam keadaan
murni (Khopkar, 1990).
Langkah-langkah pengujian siklamat menggunakan metode
gravimetri berdasarkan SNI 01-2893-1994 tentang cara uji pemanis
buatan adalah sebagai berikut.
a. Alat
- Tabung reaksi
- Beaker glass
66
- Corong kaca
- Gelas ukur
- Penghitung waktu (jam, stopwatch, dll).
- Kertas saring Whatman 42
- Hotplate stirrer
- Penjepit tabung reaksi
- Oven
- Cawan Petri
- Neraca Analitik
b. Bahan
- Spesimen pangan
- Larutan BaCl2 10%
- Larutan HCl Pekat
- Larutan NaNO2 10%
- Aquades
c. Cara Kerja
1. 10 gr spesimen pangan dan 100 ml aquadest diaduk selama 15
menit.
2. Campuran tersebut kemudian disaring menggunakan kertas saring
3. Tambahkan 10 ml HClp dan larutan BaCl2 10% dan aduk.
4. Biarkan selama 30 menit, jika terjadi endapan disaring.
5. Tambahkan 10 ml NaNO2 10% lalu aduk.
67
6. Panaskan diatas hotplate selama 2 jam. Bila terjadi endapan, maka
spesimen positif mengandung siklamat.
7. Saring spesimen yang mengandung endapan menggunakan kertas
saring Whatman 42 yang sudah ditimbang.
8. Keringkan kertas saring menggunakan oven selama 2 jam pada
suhu 200ºC lalu dinginkan.
9. Timbang kembali kertas saring yang telah dikeringkan. Hitung
kadar siklamat dengan cara massa kertas saring sebelum
dikeringkan dikurangi massa kertas saring setelah dikeringkan.
F. Validitas dan Reliabilitas
Sebelum instrument / alat ukur digunakan untuk mengumpulkan data
penelitian, perlu dilakukan uji coba kuesioner untuk mencari kevalidan dan
reliabilitas alat ukur tersebut. Validitas adalah suatu ukuran yang
menunjukkan tingkat keabsahan suatu alat ukur. Tinggi rendahnya validitas
alat ukur menunjukkan sejauh mana data yang trekumpul tidak menyimpang
dari gambaran tentang variabel yang dimaksud. Sedangkan reliabilitas
menunjuk bahwa suatu alat ukur cukup dapat dipercaya untuk digunkana
sebagai alat pengumpul data karena alat ukur tersebut sudah baik dan tidak
memiliki sifat tendesius atau mengarahkan responden untuk memilih jawaban
tertentu (Rangkuti, 2002). Uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian
dilakukan terhadap 30 responden diluar sampel penelitian yang memiliki
karakteristik serupa dengan sampel yang diamati (Pella & Inayati, 2011).
68
1. Uji Validitas
Uji validitas pada penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan
korelasi antar skor masing-masing variabel dengan skor totalnya. Hasil
pengujian validitas dapat dilihat pada kolom corrected item-total
correlation dimana nilai r hitung yang terdapat pada kolom tersebut
dibandingkan dengan nilai r tabel. Bila nilai r hitung lebih besar dari nilai r
tabel (r hitung > r tabel) maka dapat dikatakan instrument tersebut valid
(Hastono, 2011).
Responden dalam uji validitas instrumen penelitian ini berjumlah
30 responden sehingga didapatkan nilai R tabel adalah 0,3610.
Berdasarkan hasil uji validitas, diketahui bahwa nilai r hitung dari setiap
pertanyaan lebih besar daripada nilai r tabel, sehingga seluruh pertanyaan
dalam instrumen penelitian ini dinyatakan valid. Hasil pengujian validitas
instrumen penelitian tertera pada tabel berikut.
Tabel 4.1
Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian
Variabel Corrected Item- Total
Correlation
Keterangan
Pengetahuan
B1 0,752 Valid
B2 0,577 Valid
B3 0,469 Valid
B4 0,617 Valid
B5 0,473 Valid
B6 0,458 Valid
B7 0,550 Valid
B8 0,728 Valid
B9 0,564 Valid
Sikap
C1 0,642 Valid
C2 0,428 Valid
C3 0,615 Valid
69
Variabel Corrected Item- Total
Correlation
Keterangan
C4 0,693 Valid
C5 0,736 Valid
C6 0,593 Valid
C7 0,724 Valid
C8 0,773 Valid
C9 0,484 Valid
C10 0,477 Valid
Kepercayaan
D1 0,540 Valid
D2 0,547 Valid
D3 0,561 Valid
Nilai
E1 0,578 Valid
E2 0,671 Valid
E3 0,647 Valid
E4 0,734 Valid
Ketersediaan
F1 0,565 Valid
F2 0,671 Valid
F3 0,554 Valid
Akses
G2 0,470 Valid
G3 0,635 Valid
G4 0,710 Valid
Peran Pedagang PJAS Lain
H1 0,702 Valid
H2 0,762 Valid
H3 0,710 Valid
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas pada penelitian ini dilakukan dengan cara melihat
nilai r pada kolom Cronbach’s alpha. Jika nilai r hitung lebih besar dari
pada r tabel (r hitung > r tabel) maka dapat dikatakan instrument tersebut
reliabel (Hastono, 2001). Berdasarkan hasil uji validitas, diketahui bahwa
nilai Cronbach’s alpha lebih besar dibandingkan nilai r tabel (0,3610)
sehingga instrumen penelitian dinyatakan reliabel. Hasil perhitungan uji
reliabilitas instrumen penelitian tertera pada tabel berikut.
70
Tabel 4.2
Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian
Cronbach’s Alpha Jumlah
Pertanyaan
Keterangan
0,956 35 Reliabel
G. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan Data
a. Kode (Coding)
Tahapan ini dilakukan dengan cara memberikan kode pada setiap
jawaban dari kuesioner yang dikumpulkan untuk memudahkan proses
pemasukan dan pengolahan data selanjutnya.
b. Menyunting Data (Data Editing)
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan kelengkapan data dan
jawaban responden, sebelum data dimasukkan ke perangkat lunak untuk
diolah.
c. Data Entry
Data entry merupakan kegiatan memasukan data yang telah
terkumpul kedalam perangkat lunak komputer yang telah disiapkan.
d. Cleaning Data
Pengecekkan kembali data yang telah dimasukkan untuk
memastikan data tersebut tidak ada yang salah, baik kesalahan
pengkodean maupun kesalahan dalam menentukan jumlah skor dari
jawaban responden, sehingga data tersebut siap diolah dan dianalisis.
71
2. Analisis Data
Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis univariat dan analisis bivariat
sebagai berikut:
a. Univariat
Analisis univariat yang akan dilakukan pada penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan gambaran pada masing-masing variabel
yang telah diteliti. Data akan disampaikan dalam bentuk distribusi
frekuensi menurut masing-masing variabel yang akan diteliti. Analisis
univariat dilakukan pada variabel pengetahuan pedagang PJAS terkait
siklamat, variabel sikap pedagang PJAS terkait penggunaan siklamat
berlebih pada PJAS, variabel kepercayaan pedagang mengenai manfaat
siklamat, variabel nilai yang dianut pedagang PJAS mengenai penggunaan
siklamat, variabel ketersediaan siklamat, variabel akses mendapatkan
siklamat, variabel peran pedagang PJAS lain dan variabel penggunaan
siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS).
b. Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen.Varibel independen yang
dimaksud adalah variabel pengetahuan pedagang, sikap pedagang,
kepercayaan pedagang, akses serta peran pedagang PJAS lain. Analisis
bivariat dalam penelitian ini menggunakan uji chi square. Uji chi square
merupakan uji yang dilakukan dimana kedua variabel yang dihubungkan
adalah data kategorik.
72
Untuk melihat hasil kemaknaan dinyatakan dalam p value dengan
tingkat kemaknaan (α) 5% (0,05). Ketentuan yang berlaku adalah sebagai
berikut (Hastono, 2001):
a. Bila nilai p value < 0,05 berarti terdapat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen yang diteliti.
b. Bila nilai p value > 0,05 berarti tidak ada hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen yang diteliti.
73
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Analisis Univariat
1. Gambaran Penggunaan Siklamat Berlebih pada Pangan Jajanan Anak
Sekolah (PJAS)
Hasil identifikasi penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan
anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda,
Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur tertera pada
tabel berikut.
Tabel 5.1
Gambaran Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS di
Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat
dan Pamulang Timur Tahun 2015
Penggunaan Siklamat Jumlah (N) Persentase (%)
Berlebih Padat
Cair
1
38
1,3
50
Tidak
berlebih
Padat
Cair
30
7
39,4
9,2
Total 76 100
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa pedagang pangan jajanan
anak sekolah (PJAS) di Sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda,
Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur yang
menggunakan siklamat berlebih lebih banyak jumlahnya (51,3%)
dibanding yang tidak menggunakan siklamat berlebih. Diantara pangan
jajanan anak sekolah (PJAS) yang menggunakan siklamat berlebih, lebih
74
banyak pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang berbentuk cair (50%)
dibanding pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang berbentuk padat.
2. Distribusi Pengetahuan Pedagang Mengenai Siklamat
Distribusi pengetahuan pedagang terhadap penggunaan siklamat
berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri
Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur tertera pada tabel berikut.
Tabel 5.2
Distribusi Pengetahuan Pedagang PJAS mengenai Siklamat di
Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan
Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur Tahun 2015
Tingkat Pengetahuan Jumlah (N) Persentase (%)
Rendah
Tinggi
36
40
47,4
52,6
Total 76 100
Berdasarkan perhitungan statistik yang terlihat pada tabel 5.2
tersebut diketahui bahwa responden yang memiliki tingkat pengetahuan
tinggi mengenai siklamat lebih banyak jumlahnya (52,6%) dibanding
responden yang memiliki tingkat pengetahuan rendah mengenai siklamat.
3. Distribusi Sikap Pedagang terhadap Penggunaan Siklamat Berlebih
Distribusi sikap pedagang terhadap penggunaan siklamat berlebih
pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri
Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur tertera pada tabel berikut.
75
Tabel 5.3
Distribusi Sikap Pedagang terhadap Penggunaan Siklamat pada
PJAS di Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan
Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur Tahun 2015
Sikap Jumlah (N) Persentase (%)
Positif
Negatif
35
41
46,1
53,9
Total 76 100
Berdasarkan perhitungan statistik yang terlihat pada tabel 5.3
tersebut diketahui bahwa responden yang memiliki sikap negatif terhadap
penggunaan siklamat pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) lebih
banyak jumlahnya (53,9%) dibanding responden yang memiliki sikap
positif terhadap penggunaan siklamat pada pangan jajanan anak sekolah
(PJAS).
4. Distribusi Tingkat Kepercayaan Pedagang terhadap Siklamat
Distribusi tingkat kepercayaan pedagang terhadap siklamat pada
pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar wilayah Kelurahan
Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang
Timur tertera pada tabel berikut.
Tabel 5.4
Distribusi Kepercayaan Pedagang terhadap Siklamat pada PJAS di
Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan
Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur Tahun 2015
Tingkat Kepercayaan Jumlah (N) Persentase (%)
Percaya
Tidak Percaya
30
46
39,5
60,5
Total 76 100
Berdasarkan perhitungan statistik yang terlihat pada tabel 5.4
tersebut diketahui bahwa responden yang tidak percaya bahwa siklamat
76
lebih bermanfaat daripada pemanis alami lebih banyak (60,5%) dibanding
responden yang percaya bahwa siklamat lebih bermanfaat daripada
pemanis alami.
5. Distribusi Nilai terhadap Penggunaan Siklamat Berlebih
Distribusi nilai terhadap penggunaan siklamat berlebih pada
pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan
Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang
Timur tertera pada tabel berikut.
Tabel 5.5
Distribusi Nilai terhadap Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS
di Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat
dan Pamulang Timur Tahun 2015
Kategori Nilai Jumlah (N) Persentase (%)
Penting
Tidak Penting
21
55
27,6
72,4
Total 76 100
Berdasarkan perhitungan statistik yang terlihat pada tabel 5.5
tersebut diketahui bahwa responden yang menilai tidak penting
penggunaan siklamat pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) lebih
banyak jumlahnya (72,4%) dibanding responden yang menilai penting
penggunaan siklamat pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS).
6. Distribusi Ketersediaan Siklamat
Distribusi ketersediaan siklamat bagi pedagang pangan jajanan
anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda,
77
Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur tertera pada
tabel berikut.
Tabel 5.6
Distribusi Ketersediaan Siklamat Bagi Pedagang PJAS di Sekolah
Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat
dan Kelurahan Pamulang Timur Tahun 2015
Tingkat Ketersediaan Jumlah (N) Persentase (%)
Memadai
Tidak Memadai
52
24
68,4
31,6
Total 76 100
Berdasarkan perhitungan statistik yang terlihat pada tabel 5.6
tersebut diketahui bahwa responden yang berpendapat bahwa ketersediaan
siklamat memadai lebih banyak jumlahnya (68,4%) dibanding responden
yang berpendapat bahwa ketersediaan siklamat siklamat tidak memadai.
7. Distribusi Akses Mendapatkan Siklamat
Distribusi akses mendapatkan siklamat bagi pedagang pangan
jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok
Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur tertera
pada tabel berikut.
Tabel 5.7
Distribusi Akses Mendapatkan Siklamat Bagi Pedagang PJAS di
Sekolah Dasar Negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan
Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur Tahun 2015
Kategori Akses Jumlah (N) Persentase (%)
Mudah
Sukar
39
37
51,3
48,7
Total 76 100
78
Berdasarkan perhitungan statistik yang terlihat pada tabel 5.7
tersebut diketahui bahwa responden yang memiliki akses mudah dalam
mendapatkan siklamat lebih banyak jumlahnya (51,3%) dibanding
responden yang memiliki akses sukar dalam mendapatkan siklamat.
8. Distribusi Peran Pedagang PJAS Lain
Distribusi peran pedagang lain terhadap penggunaan siklamat
berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri
Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur tertera pada tabel berikut.
Tabel 5.8
Distribusi Peran Pedagang PJAS Lain Terhadap Penggunaan
Siklamat Berlebih pada PJAS di Sekolah Dasar Negeri Kelurahan
Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang
Timur Tahun 2015
Kategori Pengaruh Jumlah (N) Persentase (%)
Dipengaruhi
Tidak Dipengaruhi
35
41
46,1
53,9
Total 76 100
Berdasarkan perhitungan statistik yang terlihat pada tabel 5.8
tersebut diketahui bahwa responden yang tidak dipengaruhi pedagang
PJAS lain untuk menggunakan siklamat lebih banyak jumlahnya (53,9%)
dibanding responden yang dipengaruhi pedagang PJAS lain.
B. Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan tahap lanjutan dari analisis univariat yang
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan
79
variabel dependen. Analisis hubungan antara pengetahuan, sikap,
kepercayaan, nilai, ketersediaan, akses dan pengaruh pedagang lain dengan
penggunaan siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS)
dilakukan menggunakan uji Chi-square.
1. Hubungan Antara Pengetahuan dengan Penggunaan Siklamat Berlebih
Hubungan antara pengetahuan dengan penggunaan siklamat berlebih
pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan
Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur
tertera pada tabel berikut.
Tabel 5.9
Hubungan Pengetahuan dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada
PJAS di SDN Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan
Kelurahan Pamulang Timur Tahun 2015
Pengetahuan
Penggunaan Siklamat
Total Pvalue
OR
(95% CI) Berlebih
Tidak
Berlebih
N % N % N %
Rendah 15 41,7 21 58,3 36 100
0,168
0,476
(0,191-1,190) Tinggi 24 60 16 48,7 40 100
Total 39 51,3 37 42,4 76 100
Berdasarkan hasil analisa statistik seperti yang tertera pada tabel
5.9, diketahui bahwa diantara responden yang menggunakan siklamat
berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS), lebih banyak
responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi mengenai siklamat
(60%) dibanding responden yang memiliki tingkat pengetahuan rendah
mengenai siklamat.
Nilai pValue sebesar 0,168. Hasil ini menunjukkan pvalue > 0,05
yang berarti pada α=5% (0,05) tidak terdapat hubungan yang bermakna
80
antara tingkat pengetahuan pedagang dengan penggunaan siklamat
berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Analisis statistik juga
menunjukkan nilai odds ratio (OR) sebesar 0,476 yang berarti bahwa
responden yang memiliki pengetahuan yang rendah mengenai siklamat
memiliki kecenderungan untuk menggunakan siklamat berlebih dalam
pangan jajanan anak sekolah (PJAS) 0,476 kali dibanding responden yang
memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai siklamat.
2. Hubungan Antara Sikap dengan Penggunaan Siklamat Berlebih
Hubungan antara sikap dengan penggunaan siklamat berlebih pada
pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan
Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang
Timur tertera pada tabel berikut.
Tabel 5.10
Hubungan Sikap dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS
di SDN Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan
Kelurahan Pamulang Timur Tahun 2015
Sikap
Penggunaan Siklamat
Total pValue
OR
(95% CI) Berlebih
Tidak
Berlebih
N % N % N %
Positif 16 45,7 19 54,3 35 100
0,49
0,659
(0,266 – 1,632) Negatif 23 56,1 18 43,9 41 100
Total 39 51,3 37 48,7 76 100
Berdasarkan hasil analisa statistik seperti yang tertera pada tabel
5.10 tersebut, diketahui bahwa diantara responden yang menggunakan
siklamat berlebih, lebih banyak yang memiliki sikap negatif terhadap
penggunaan siklamat (56,1%) dibanding responden yang memiliki sikap
positif terhadap penggunaan siklamat.
81
Nilai pValue sebesar 0,49. Hasil ini menunjukkan nilai pvalue >
0,05 yang berarti pada α=5% (0,05) tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara sikap pedagang dengan penggunaan siklamat berlebih
pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Analisis statistik juga
menunjukkan nilai odds ratio (OR) sebesar 0,659 yang berarti bahwa
responden yang memiliki sikap positif terhadap penggunaan siklamat
memiliki kecenderungan untuk menggunakan siklamat berlebih dalam
pangan jajanan anak sekolah (PJAS) 0,659 kali dibanding responden yang
memiliki sikap negatif mengenai penggunaan siklamat.
3. Hubungan Antara Kepercayaan dengan Penggunaan Siklamat
Berlebih
Hubungan antara kepercayaan dengan penggunaan siklamat
berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri
Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur tertera pada tabel berikut.
Tabel 5.11
Hubungan Kepercayaan dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada
PJAS di SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan
Pamulang Timur Tahun 2015
Kepercayaan
Penggunaan Siklamat
Total P
Value
OR
(95% CI) Berlebih
Tidak
Berlebih
N % N % N %
Percaya 13 43,3 17 56,7 30 100
0,348
0,588
(0,233 – 1,488) Tidak Percaya 26 56,5 20 43,5 46 100
Total 39 51,3 37 48,7 76 100
Berdasarkan hasil analisa statistik seperti yang tertera pada tabel
5.11 tersebut, diketahui bahwa diantara responden yang menggunakan
82
siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS), lebih banyak
yang tidak percaya bahwa siklamat lebih baik daripada pemanis alami
(56,5%) dibanding responden yang percaya bahwa siklamat lebih baik
daripada pemanis alami.
Nilai pValue sebesar 0,348. Hasil ini menunjukkan pvalue > 0,05
yang berarti pada α=5% (0,05) tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara kepercayaan pedagang dengan penggunaan siklamat berlebih pada
pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Analisis statistik juga menunjukkan
nilai odds ratio (OR) sebesar 0,588 yang berarti bahwa responden yang
percaya siklamat lebih baik daripada pemanis alami memiliki
kecenderungan untuk menggunakan siklamat berlebih dalam pangan
jajanan anak sekolah (PJAS) 0,588 kali dibanding responden yang tidak
percaya siklamat lebih baik daripada pemanis alami.
4. Hubungan Antara Nilai dengan Penggunaan Siklamat Berlebih
Hubungan antara nilai dengan penggunaan siklamat berlebih pada
pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri Kelurahan
Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang
Timur tertera pada tabel berikut.
83
Tabel 5.12
Hubungan Nilai dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS di
SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang Timur
Tahun 2015
Nilai
Penggunaan Siklamat
Total pValue
OR
(95% CI) Berlebih
Tidak
Berlebih
N % N % N %
Penting 9 42,9 12 57,1 21 100
0,445
0,625
(0,227 – 1,723) Tidak
Penting 30 54,5 25 45,5 55 100
Total 39 51,3 37 48,7 76 100
Berdasarkan hasil analisa statistik seperti yang tertera pada tabel
5.12 tersebut, diketahui bahwa diantara responden yang menggunakan
siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS), lebih banyak
responden yang menilai tidak penting penggunaan siklamat (54,5%)
dibanding responden yang menilai penting penggunaan siklamat.
Nilai pValue sebesar 0,445. Hasil ini menunjukkan nilai pvalue >
0,05 yang berarti pada α=5% (0,05) tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara nilai dengan penggunaan siklamat berlebih pada pangan
jajanan anak sekolah (PJAS). Analisis statistik juga menunjukkan nilai
odds ratio (OR) sebesar 0,625 yang berarti bahwa responden yang menilai
penting penggunaan siklamat memiliki kecenderungan untuk
menggunakan siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah
(PJAS) 0,625 kali dibanding responden menilai tidak penting penggunaan
siklamat.
84
5. Hubungan Antara Ketersediaan Siklamat dengan Penggunaan
Siklamat Berlebih
Hubungan antara ketersediaan siklamat dengan penggunaan siklamat
berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah dasar negeri
Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur tertera pada tabel berikut.
Tabel 5.13
Hubungan Ketersediaan Siklamat dengan Penggunaan Siklamat
Berlebih pada PJAS di SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang
Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015
Ketersediaan
Penggunaan Siklamat
Total P
Value
OR
(95%
CI)
Berlebih Tidak
Berlebih
N % N % N %
Memadai 31 59,6 21 40,4 52 100
0,048
2,952
(1,072–
8,134) Tidak
Memadai 8 33,3 16 66,7 24 100
Total 39 51,3 37 48,7 76 100
Berdasarkan hasil analisa statistik seperti yang tertera pada tabel
5.13 tersebut, diketahui bahwa diantara responden yang menggunakan
siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS), lebih banyak
responden yang berpendapat bahwa ketersediaan siklamat memadai
(59,6%) dibanding responden yang beranggapan bahwa ketersediaan
siklamat tidak memadai.
Nilai pValue sebesar 0,048. Hasil ini menunjukkan nilai pvalue <
0,05 yang berarti pada α=5% (0,05) terdapat hubungan yang bermakna
antara ketersediaan siklamat dengan penggunaan siklamat berlebih pada
pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Analisis statistik juga menunjukkan
nilai odds ratio (OR) sebesar 2,952 yang berarti bahwa responden yang
85
berpendapat bahwa ketersediaan siklamat memadai memiliki
kecenderungan untuk menggunakan siklamat berlebih dalam pangan
jajanan anak sekolah (PJAS) 2,952 kali dibanding responden yang
berpendapat bahwa ketersediaan siklamat tidak memadai.
6. Hubungan Antara Akses Mendapatkan Siklamat dengan Penggunaan
Siklamat Berlebih
Hubungan antara akses mendapatkan siklamat dengan penggunaan
siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah
dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan
Kelurahan Pamulang Timur tertera pada tabel berikut.
Tabel 5.14
Hubungan Akses dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada PJAS
di SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang Barat dan Pamulang
Timur Tahun 2015
Akses
Penggunaan Siklamat
Total P
Value
OR
(95% CI) Berlebih
Tidak
Berlebih
N % N % N %
Mudah 25 64,1 14 35,9 39 100
0,038
2,934
(1,155 - 7,454) Sukar 14 37,8 23 62,2 46 100
Total 39 51,3 37 48,7 76 100
Berdasarkan hasil analisa statistik seperti yang tertera pada tabel
5.14 tersebut, diketahui bahwa diantara responden yang menggunakan
siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS), lebih
banyak responden yang memiliki akses mudah dalam mendapatkan
siklamat (64,1%) dibanding responden yang memiliki akses sukar dalam
mendapatkan siklamat.
86
Nilai pValue sebesar 0,038. Hasil ini menunjukkan nilai pvalue <
0,05 yang berarti pada α=5% (0,05) terdapat hubungan yang bermakna
antara akses mendapatkan siklamat dengan penggunaan siklamat berlebih
pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Analisis statistik juga
menunjukkan nilai odds ratio (OR) sebesar 2,934 yang berarti bahwa
responden yang memiliki akses mudah dalam mendapatkan siklamat
memiliki kecenderungan untuk menggunakan siklamat berlebih dalam
pangan jajanan anak sekolah (PJAS) 2,934 kali dibanding responden yang
memiliki akses sukar dalam mendapatkan siklamat.
7. Hubungan Antara Peran Pedagang PJAS Lain dengan Penggunaan
Siklamat Berlebih
Hubungan antara peran pedagang PJAS lain dengan penggunaan
siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di sekolah
dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan
Kelurahan Pamulang Timur tertera pada tabel berikut
Tabel 5.15
Hubungan Peran Pedagang PJAS Lain dengan Penggunaan Siklamat
Berlebih pada PJAS di SDN Kelurahan Pondok Benda, Pamulang
Barat dan Pamulang Timur Tahun 2015
Peran
Pedagang
Lain
Penggunaan Siklamat
Total P
Value
OR
(95%
CI)
Berlebih Tidak
Berlebih
N % N % N %
Dipengaruhi 17 48,6 18 51,4 35 100
0,818
0,816
(0,330 –
2,013) Tidak
Dipengaruhi 22 53,7 19 46,3 41 100
Total 39 51,3 37 48,7 76 100
87
Berdasarkan hasil analisa statistik seperti yang tertera pada tabel
5.15 tersebut, diketahui bahwa diantara responden yang menggunakan
siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS), responden
yang tidak dipengaruhi pedagang PJAS lain untuk menggunakan siklamat
lebih banyak jumlahnya (53,7%) dibanding responden yang dipengaruhi
pedagang PJAS lain untuk menggunakan siklamat.
Nilai pValue sebesar 0,818. Hasil ini menunjukkan nilai pvalue >
0,05 yang berarti pada α=5% (0,05) tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara peran pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) lain
dengan penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah
(PJAS). Analisis statistik juga menunjukkan nilai odds ratio (OR) sebesar
0,816 yang berarti bahwa responden yang dipengaruhi pedagang PJAS lain
untuk menggunakan siklamat memiliki kecenderungan untuk
menggunakan siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah
(PJAS) 0,816 kali dibanding responden yang tidak dipengaruhi pedagang
PJAS lain untuk menggunakan siklamat.
88
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu data pada variabel independen
tidak dapat diperoleh melalui kegiatan observasi dan hanya diperoleh melalui
kuesioner yang diisi sendiri oleh responden. Hal tersebut memungkinkan
terjadinya bias informasi karena peneliti tidak dapat menilai kejujuran
responden dalam melakukan pengisian kuesioner.
B. Penggunaan Siklamat Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah
(PJAS)
Penggunaan siklamat di Indonesia diatur dalam Peraturan Kepala Badan
Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 4 tahun 2014 tentang Batas
Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis. Regulasi tersebut
menjelaskan bahwa siklamat dapat dipergunakan sebagai bahan tambahan
dalam makanan dan minuman dengan memperhatikan batas maksimal yang
diperbolehkan. Makanan pencuci mulut berbasis buah, kue, dan es memiliki
batas maksimal siklamat 250 mg/kg. Sedangkan permen dan kembang gula
memiliki batas maksimal 500 mg/kg (BPOM, 2014).
Hasil penelitian menunjukkan pedagang pangan jajanan anak sekolah
(PJAS) di Sekolah dasar negeri Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan
Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur yang menggunakan siklamat
89
berlebih lebih banyak jumlahnya (51,3%) dibanding yang tidak menggunakan
siklamat berlebih (48,7%). Hasil tersebut membuktikan pernyataan
Kemenkes (2011) bahwa pangan jajanan anak sekolah (PJAS) banyak
tercemar bahan tambahan kimia, salah satunya siklamat berlebih. Hasil
penelitian ini juga didukung oleh penelitian Wariyah (2013) yang juga
menunjukkan bahwa sebanyak 8% pangan jajanan anak sekolah di wilayah
Kulonprogo, DIY mengandung pemanis buatan siklamat yang melebihi batas
penggunaan. Selain itu, penelitian Meirina dkk (2012) juga menunjukkan
bahwa 57,1% pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di wilayah MTs Syarif
Hidayah Kecamatan Doro Kabupaten Pekalongan juga positif mengandung
siklamat.
Penggunaan siklamat yang dilakukan 51,3% responden pada umumnya
dikarenakan para pedagang pangan jajanan berusaha untuk mengurangi biaya
produksi sehingga harga jual pangan jajanan yang mereka tawarkan
terjangkau bagi para siswa sekolah dasar. Beberapa orang responden secara
spontan mengatakan bahwa siklamat dapat mengurangi biaya operasional
yang mereka keluarkan untuk produksi pangan jajanan anak sekolah (PJAS).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Cahanar & Suhanda (2006) yang
menyatakan bahwa harga siklamat lebih murah dibanding gula putih alami
sehingga dapat mengurangi biaya produksi. Selain itu, penggunaan siklamat
dilakukan karena siklamat paling mudah larut dalam air dibanding pemanis
sintetis lain. Hal ini terlihat dalam hasil studi ini yang menunjukkan bahwa
pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang menggunakan siklamat lebih
banyak berasal dari jenis minuman (89,2%) dibanding makanan. Hasil ini
90
juga sekaligus membenarkan pernyataan Sumawinata (2004) yang
menyatakan bahwa siklamat banyak dipergunakan dalam pangan yang
memiliki bahan baku air karena paling mudah larut dalam air.
Alasan lain yang mendorong penggunaan siklamat dalam pangan jajanan
anak sekolah (PJAS) adalah rasanya yang lebih manis dibanding pemanis
alami. Sebanyak 46% responden setuju bahwa siklamat jauh lebih manis
dibanding pemanis alami. Alasan ini sekaligus membenarkan pernyataan
Lanywati (2001) yang mengatakan bahwa para pedagang pangan lebih
memilih untuk menggunakan siklamat dibanding pemanis alami karena
memiliki tingkat kemanisan tiga puluh kali lipat dibanding pemanis alami
sehingga pemakaian sedikit sudah menimbulkan rasa manis, tidak memiliki
nilai kalori sehingga tidak meningkatkan kandungan gula darah dan tidak
menyebabkan rasa pahit seperti kebanyakan pemanis buatan lainnya.
Maraknya penggunaan siklamat dalam pangan jajanan anak sekolah
(PJAS) perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah, pihak sekolah
maupun orang tua siswa. Hal tersebut dikarenakan konsumsi siklamat
berlebih dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Bakteri organik dalam
saluran gastrointestinal dapat mengubah siklamat yang dikonsumsi menjadi
senyawa cyclohexilamine (Lu, 1995). Senyawa cyclohexylamine adalah
senyawa bersifat toksik karena dapat menimbulkan gangguan kardiovaskular
dan terhentinya perkembangan testis (Nollet, 2004). Selain itu, senyawa
cyclohexilamine dapat menyebabkan ketidaksuburan dan keguguran janin
(Duslo, 2011). Paparan senyawa ini berulang-ulang juga dapat menyebabkan
kerusakan hati dan ginjal (NJDH, 2010). Berdasarkan hasil uji laboratorium
91
pada hewan uji, pemberian siklamat dalam dosis tinggi dapat menyebabkan
tumor kandung kemih, paru, limpa dan menyebabkan kerusakan genetik
(BPOM, 2008).
Langkah yang dapat dilakukan aparat pemerintah dan dinas kesehatan
setempat untuk mengantisipasi bahaya konsumsi pangan jajanan anak sekolah
(PJAS) yang mengandung siklamat berlebih di wilayah Kelurahan Pondok
Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan Pamulang Timur adalah
dengan memperketat pengawasan terhadap kualitas dan keamanan pangan
jajanan anak sekolah (PJAS). Pihak sekolah berperan dalam memberikan
edukasi bagi pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) dan melakukan
pemeriksaan mutu dan keamanan PJAS secara berkala. Sedangkan orang tua
berperan dalam mengawasi kebiasaan jajan anak, mengarahkan dan
memberikan pemahaman terhadap anak dalam memilih pangan jajanan yang
aman dan bergizi.
C. Pengetahuan dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat Berlebih
pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
Tingkat pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempermudah
perilaku sesorang (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan merupakan hasil dari
tahu yang terjadi melalui proses sensori khusunya mata dan telinga terhadap
objek tertentu (Sunaryo, 2002). Pengetahuan merupakan domain yang sangat
penting dalam membentuk tindakan atau perilaku seseorang. Pengalaman dan
penelitian membuktikan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
92
lebih bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan
(Efendi & Makhfudli, 2009).
Pertanyaan mengenai variabel pengetahuan diukur menggunakan
kuesioner melalui 8 buah pertanyaan tentang pengertian, regulasi dan dampak
penggunaan siklamat bila dilakukan secara berlebih. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa responden yang memiliki tingkat pengetahuan
tinggi mengenai siklamat lebih banyak jumlahnya (52,6%) dibanding
responden yang memiliki tingkat pengetahuan rendah mengenai siklamat.
Sebanyak 46 responden (60,5%) telah mengetahui bahwa siklamat merupakan
pemanis buatan yang diperbolehkan penggunaannya dengan batas maksimal
yang telah ditetapkan pemerintah, meskipun mereka belum mengetahui secara
pasti berapa batas maksimal penggunaan siklamat dalam makanan dan
minuman. Selain itu, 53 responden (69,7%) juga mengetahui bahwa
penggunaan siklamat berlebih dapat menimbulkan gangguan kesehatan dalam
jangka waktu yang panjang (kronis) meskipun mereka belum mengetahui
secara spesifik jenis gangguan kesehatan yang terjadi akibat konsumsi
siklamat berlebih.
Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara tingkat pengetahuan pedagang dengan penggunaan
siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Hasil penelitian
tersebut tidak membuktikan teori Green dan Kreuter (2005) yang menyatakan
bahwa pengetahuan merupakan faktor penting yang mempengaruhi perilaku
seseorang. Penelitian Larasati (2007) juga mendukung hasil studi ini dengan
menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
93
pengetahuan pedagang dengan penggunaan siklamat dalam sirup tanpa merk
di Semarang.
Salah satu faktor yang menyebabkan tidak terdapatnya hubungan yang
bermakna antara tingkat pengetahuan pedagang dengan penggunaan siklamat
berlebih adalah ketidaksesuaian antara pengetahuan responden dengan
perilaku yang ditunjukkan. Menurut Yuliani (2007), kurangnya pengetahuan
tentang bahaya penggunaan bahan tambahan pangan menyebabkan para
pedagang makanan menggunakan bahan tambahan pangan secara berlebih.
Akan tetapi, penelitian ini menunjukkan hasil yang bertentangan dengan
pernyataan tersebut. Hasil tersebut didukung dengan hasil analisa tabel silang
yang menunjukkan bahwa diantara responden yang menggunakan siklamat
berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang diproduksi, lebih
banyak responden (60%) yang memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai
siklamat dibanding responden yang memiliki pengetahuan yang rendah
mengenai siklamat. Hasil penelitian ini membuktikan pernyataan Sarwono
(2007) yang mengatakan bahwa pengetahuan yang positif atau tinggi tidak
selamanya akan diikuti dengan praktik yang sesuai.
Penggunaan siklamat berlebih yang dilakukan oleh responden dengan
tingkat pengetahuan yang tinggi pada umumnya dikarenakan adanya manfaat
finansial yang mereka dapatkan dari penggunaan siklamat juga dapat
mendorong responden dengan tingkat pengetahuan yang tinggi untuk
menggunakan siklamat secara berlebihan dalam pangan jajanan yang mereka
produksi. Sebanyak 32 responden (42,1%) menyatakan sikap setuju bahwa
penggunaan siklamat dapat mengurangi biaya operasional dibanding
94
penggunaan gula murni. Selain itu, ketidakpedulian pedagang akan dampak
kesehatan yang terjadi bila konsumen mengkonsumsi pangan yang
mengandung siklamat berlebih. Salah satu responden secara spontan
mengatakan bahwa dampak kesehatan akibat mengkonsumsi pangan jajanan
yang mengandung siklamat berlebih menjadi urusan konsumen, bukan
merupakan tanggung jawab para pedagang pangan jajanan anak sekolah
(PJAS).
Faktor lain yang menyebabkan penggunaan siklamat berlebih oleh
pedagang dengan pengetahuan yang tinggi mengenai siklamat adalah akses
yang mudah dalam mendapatkan siklamat dan ketersediaannya yang
memadai turut mempengaruhi perilaku penggunaan siklamat berlebih yang
dilakukan responden. Sebanyak 61,7% responden mengaku bahwa
ketersediaan siklamat memadai dan dapat mereka peroleh setiap saat ketika
dibutuhkan. Akses yang mereka miliki dalam mendapatkan siklamat juga
tergolong mudah. Sebanyak 64,1% responden yang menggunakan siklamat
berlebih mengaku mudah mendapatkan siklamat. Akses yang mudah dan
ketersediaan siklamat semakin mempermudah para pedagang pangan jajanan
anak sekolah (PJAS) untuk menggunakannya secara berlebih.
Peran pemerintah sangat diperlukan untuk meningkatkan kepedulian
pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) terhadap bahaya konsumsi
siklamat berlebih pada konsumen mereka. Pemerintah melalui dinas
kesehatan maupun instansi terkait lainnya perlu meningkatkan pengawasan
mengenai mutu dan kualitas pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang
beredar. Selain itu, perlu pemerintah perlu mempertegas pemberian sanksi
95
bagi para pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang masih
menggunakan siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS)
yang diproduksinya.
D. Sikap dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada
Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau
objek, baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya
tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu
dari perilaku yang tertutup tersebut (Sunaryo, 2002). Sikap menggambarkan
suka atau tidak suka sesorang terhadap suatu objek dan membuat seseorang
mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain (Notoatmodjo, 2010).
Penelitian ini mengukur sikap responden menggunakan kuesioner
dengan pernyataan negatif yang diberi jawaban sangat setuju, setuju, biasa
saja, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Variabel sikap dikelompokkan
menjadi dua, yaitu sikap positif dan sikap negatif. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa responden yang memiliki sikap negatif mengenai
penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) lebih
banyak jumlahnya (53,9%) dibanding responden yang memiliki sikap positif
mengenai penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah
(PJAS). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Purwaningsih (2010)
yang mengemukakan bahwa sebagian besar pedagang es lilin di Kelurahan
Srondol Wetan dan Pedalangan (64%) tidak mendukung penggunaan pemanis
sintetis berlebih pada pangan yang dijualnya. Selain itu, hasil penelitian ini
96
juga didukung oleh penelitian Novita dan Adriyani (2013) juga menunjukkan
bahwa 53% pedagang jajanan di SDN Pucang I dan IV Sidoarjo tidak
mendukung penggunaan pemanis sintetis berlebih pada pangan yang
dijualnya.
Sikap terhadap suatu objek akan mempengaruhi perilaku seseorang
terhadap objek tersebut. Kasemin (2003) mengungkapkan bahwa seseorang
yang memiliki sikap negatif terhadap suatu objek cenderung untuk tidak
setuju, menjauhi, menghindari, membenci, menolak atau tidak menyukai
objek tersebut. Seseorang yang memiliki sikap negatif terhadap penggunaan
siklamat berlebih memiliki kecenderungan untuk menghindari penggunaan
siklamat berlebih. Akan tetapi, hasil penelitian ini tidak membuktikan
pernyataan tersebut. Analisa tabel silang menunjukkan bahwa diantara
responden yang menggunakan siklamat berlebih, lebih banyak yang memiliki
sikap negatif terhadap siklamat berlebih (56,1%) dibanding responden yang
memiliki sikap positif terhadap siklamat berlebih.
Ketidaksesuaian antara sikap negatif responden dengan perilaku
penggunaan siklamat berlebih tersebut membuktikan pernyataan Purnawanto
(2010) yang mengatakan bahwa sikap yang positif maupun negatif terhadap
suatu hal atau objek belum tentu akan diwujudkan dalam bentuk perilaku
yang sesuai dengan sikapnya tersebut. Selain itu, hasil ini juga membuktikan
pernyataan Efendi & Makhfudli (2009) yang mengatakan bahwa suatu sikap
belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan.
Penggunaan siklamat berlebih yang lebih banyak dilakukan oleh
responden dengan sikap negatif terhadap penggunaan siklamat dalam
97
penelitian ini menyebabkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara
sikap pedagang dengan penggunaan siklamat berlebih dalam pangan jajanan
anak sekolah (PJAS). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Larasati
(2007) yang juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
antara sikap pedagang dengan penggunaan siklamat dalam sirup tanpa merk
di Semarang.
Sikap negatif responden terhadap siklamat berlebih yang tidak
diwujudkan dalam perilaku yang sesuai dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Salah satu faktor yang menyebabkan responden yang memiliki sikap negatif
namun tetap menggunakan siklamat berlebih adalah adanya pengaruh dari
orang lain. Salah satu responden sempat mengatakan kepada penulis bahwa ia
menggunakan siklamat karena ayahnya menggunakan bahan baku ini
sebelumnya. Selain itu, responden lainnya mengatakan bahwa pemilik toko
bahan kue yang menjual siklamat sering menawarkan siklamat kepada para
pedagang pangan.
Faktor lain yang menyebabkan responden dengan sikap negatif tetap
menggunakan siklamat berlebih adalah ketidaktahuan mereka secara pasti
mengenai batas maksimal siklamat dalam makanan dan minuman. Sebanyak
71 orang responden (93,4%) tidak mengetahui secara pasti berapa kadar
maksimal siklamat dalam makanan dan minuman meskipun mereka
mengetahui bahwa siklamat boleh dipergunakan dalam makanan dan
minuman dengan batas tertentu. Selain itu, manfaat finansial dari penggunaan
siklamat mendorong para pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS)
untuk menggunakan siklamat diabnding pemanis alami. Seperti yang telah
98
dijelaskan sebelumnya, pemanis alami yang disubstitusi dengan siklamat
dapat mengurangi biaya produksi pangan.
Cara yang dapat dilakukan untuk mewujudkan sikap negatif terhadap
penggunaan siklamat menjadi suatu perbuatan yang nyata adalah dengan
sosialisasi mengenai kadar maksimal siklamat yang diperbolehkan dalam
pangan kepada para pedagang pangan jajanan anak sekolah. Selain itu,
kegiatan promosi kesehatan dengan teknik pendidik sebaya (peer education)
juga dapat dilakukan agar para pedagang pangan dapat saling mengingatkan
untuk tidak terpengaruh pihak lain yang menawarkan penggunaan siklamat
sebagai bahan baku pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang mereka
produksi
E. Kepercayaan dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat Berlebih
pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
Kepercayaan merupakan keyakinan bahwa suatu fenomena atau objek
benar atau nyata (WHO, 2000). Kepercayaan merupakan salah satu faktor
predisposisi yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Kepercayaan
adalah hal-hal yang diyakini seseorang dan dianggap benar, mengenai diri
sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya yang memengaruhi perasaan dan
perilakunya sehari-hari (Martono & Joewana, 2006). Biasanya kepercayaan
diterima tanpa bukti bahwa kepercayaan tersebut terbukti kebenarannya
(WHO, 2000).
Kepercayaan dalam penelitian ini diukur dengan tiga buah pertanyaan
seputar mitos bahwa penggunaan siklamat lebih baik dibanding pemanis
99
alami menggunaan pilihan percaya atau tidak percaya. Pernyataan yang
digunakan adalah siklamat lebih baik dibanding pemanis alami karena tidak
menyebabkan kenaikan gula darah, dapat membantu mengontrol berat badan
(diet) dan lebih baik untuk kesehatan gigi.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden yang tidak
percaya siklamat lebih baik dibanding pemanis alami jumlahnya lebih banyak
(60,5%) dibanding responden yang percaya siklamat lebih baik dibanding
pemanis alami. Hasil tersebut menunjukkan bahwa masih ada responden yang
mempercayai manfaat siklamat yang lebih baik dibanding pemanis alami
meskipun jumlahnya lebih sedikit dibanding yang tidak percaya bahwa
siklamat yang lebih baik dibanding pemanis alami. Oleh karena itu, dapat
dikatakan hasil ini membuktikan pernyataan dari Calorie Control Council
(2015) yang menyebutkan bahwa sebagian masyarakat percaya bahwa
siklamat lebih baik dan lebih bermanfaat dibanding pemanis alami karena
tidak menyebabkan kenaikan gula darah sehingga cocok untuk penderita
diabetes, cocok untuk menjaga berat badan bagi orang yang sedang diet
karena tidak memiliki nilai kalori sehingga tidak menyebabkan kenaikan
berat badan dan tidak menyebabkan kerusakan gigi seperti pemanis alami
pada umumnya.
Pedagang tidak percaya siklamat lebih baik dibanding pemanis alami
seperti yang terlihat dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh tingkat
pengetahuan sebagian besar responden yang juga tinggi. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, responden dengan tingkat pengetahuan tinggi
mengenai siklamat lebih banyak jumlahnya (52,6%) dibanding responden
100
yang mempunyai pengetahuan rendah. Kepercayaan berhubungan dengan
dunia pemikiran dan praktek dengan dunia perilaku sehingga kepercayaan
dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan gagasan (Parekh, 2008). Oleh karena
itu, pengetahuan yang tinggi mengenai bahaya penggunaan siklamat berlebih
pada sebagian besar responden akan mempengaruhi tingkat kepercayaan
responden sehingga responden tidak percaya bahwa siklamat membawa
manfaat lebih baik dibanding penggunaan pemanis alami.
Faktor lain yang dapat menyebabkan responden tidak percaya bahwa
siklamat lebih baik dibanding pemanis alami adalah kepercayaan responden
yang dipengaruhi oleh sesama pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS).
Menurut Suhaemi (2002), kepercayaan seseorang mengenai suatu hal dapat
dipengaruhi lingkungan sekitarnya karena manusia bersifat sistem terbuka
yang dapat dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Oleh
karena itu, para pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang tidak
percaya bahwa penggunaan siklamat lebih baik dibanding pemanis alami
dapat mempengaruhi para pedagang lain sehingga pedagang lain juga
memiliki anggapan bahwa siklamat tidak lebih baik dibanding pemanis alami
sehingga memiliki kepercayaan serupa mengenai penggunaan siklamat
berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS).
Hasil analisa tabel silang menunjukkan bahwa diantara responden yang
menggunakan siklamat, lebih banyak yang tidak percaya bahwa siklamat
lebih baik daripada pemanis alami (56,5%) dibanding responden yang
percaya bahwa siklamat lebih baik daripada pemanis alami. Hasil ini
bertentangan dengan pernyataan Ramdan (2009) bahwa kepercayaan terhadap
101
suatu produk akan mendorong konsumen untuk menggunakan produk
tersebut. Selain itu, hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara kepercayaan pedagang dengan penggunaan
siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Hasil ini juga
tidak membuktikan pernyataan Green & Kreuter (2005) yang menyebutkan
bahwa kepercayaan masyarakat terhadap suatu objek mempengaruhi perilaku
terhadap objek tersebut.
Meskipun tidak mempercayai manfaat siklamat, namun responden lebih
banyak yang menggunakan siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak
sekolah (PJAS). Hal tersebut dapat terjadi karena para pedagang pangan
merasakan manfaat finansial dari penggunaan siklamat dalam proses produksi
pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Keadaan tersebut diperparah dengan
kenyataan bahwa siklamat mudah didapatkan di pasaran dengan jumlah yang
sangat memadai. Penulis sempat melakukan observasi untuk mengetahui
kemudahan mendapatkan siklamat dengan mendatangi toko yang
menyediakan bahan baku kue di sekitar pasar tradisional serta Kelurahan
Pamulang Barat dan Pondok Benda dan bertanya apakah toko-toko tersebut
menjual siklamat. Berdasarkan observasi tersebut diketahui bahwa siklamat
dapat dengan mudah diperoleh di toko kue yang banyak terdapat di sekitar
pemukiman penduduk maupun pasar tradisional.
Pemerintah perlu menanggulangi maraknya penggunaan siklamat dengan
melakukan penyediaan bahan baku pemanis alami bagi para pedagang pangan
jajanan dengan harga yang relatif terjangkau. Hal tersebut dimaksudkan agar
para pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) tidak berminat untuk
102
menggunaan siklamat secara berlebih demi mendapat keuntungan finansial.
Langkah tersebut diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya
gangguan kesehatan bagi para siswa sekolah dasar akibat konsumsi siklamat
berlebih dari pangan jajanan yang mereka konsumsi.
F. Nilai dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat Berlebih pada
Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
Nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman berarti atau
tidak berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan
seseorang, tetapi tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu salah
atau benar (Soeroso, 2006). Nilai adalah suatu bagian penting dari
kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah artinya secara moral dapat diterima
kalau harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh
masyarakat di mana tindakan itu dilakukan (Narwoko & Suyanto, 2004).
Pengukuran mengenai nilai terhadap penggunaan siklamat dalam
penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu penting dan tidak penting.
Pengukuran nilai dilakukan menggunaan empat buah pertanyaan mengenai
kepentingan penggunaan siklamat dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS)
menurut responden. Penilaian penting terhadap penggunaan siklamat dapat
diwujudkan dalam tindakan menggunakan siklamat dalam pangan yang
diproduksinya, menyimpan cadangan siklamat dan merasa suatu kesalahan
atau kekurangan bila tidak menggunakan siklamat dalam pangan jajanan anak
sekolah (PJAS) yang diproduksi.
103
Hasil penelitian menunujukkan bahwa responden yang menilai tidak
penting penggunaan siklamat lebih banyak jumlahnya (72,4%) dibanding
responden yang menilai penting penggunaan siklamat. Hasil penelitian ini
bertentangan dengan pernyataan Praja (2015) yang mengatakan bahwa bahan
tambahan pangan kimiawi, seperti siklamat dinilai penting bagi sebagian
besar industri pangan karena dapat memberi keuntungan maksimal dalam
proses produksi makanan atau minuman.
Hasil analisa tabel silang menunjukkan bahwa diantara responden yang
menggunakan siklamat, lebih banyak responden yang menilai tidak penting
penggunaan siklamat (54,5%) dibanding responden yang menilai penting
penggunaan siklamat. Hasil tersebut juga diperkuat dengan hasil uji statistik
yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
nilai dengan penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah
(PJAS). Hasil penelitian ini berlawanan dengan pernyataan Suhaemi (2002)
yang mengatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang berharga, keyakinan
yang dipegang sedemikian rupa oleh seseorang sesuai dengan tuntutan hati
nuraninya sehingga menjadi pertimbangan terhadap suatu tindakan untuk
mengambil keputusan berperilaku. Seseorang yang menilai tidak penting
terhadap penggunaan siklamat seharusnya menghindari penggunaanya, akan
tetapi hasil penelitian ini menunjukkan hasil sebaliknya karena responden
yang menilai tidak penting penggunaan siklamat justru sebagian besar
menggunakannya secara berlebih.
Penggunaan siklamat berlebih yang tidak berhubungan dengan penilaian
pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) menunjukkan bahwa siklamat
104
bukan merupakan bahan baku yang diutamakan oleh pedagang dalam
produksi pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Hal ini terlihat dari hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa responden yang menilai tidak penting
penggunaan pemanis sintetis sikalamat beranggapan bahwa mereka tidak
merasakan suatu hal yang janggal apabila tidak menggunakan siklamat dalam
pangan jajanan anak sekolah (PJAS).
Penggunaan siklamat dinilai tidak penting oleh sebagian besar responden.
Akan tetapi, sebagian besar responden yang menganggap tidak penting
penggunaan siklamat tersebut menggunakan siklamat berlebih dalam pangan
jajanan anak sekolah (PJAS) yang diproduksinya. Hal tersebut dikarenakan
kebutuhan para pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) untuk
mendapatkan produk yang memiliki cita rasa manis sesuai dengan keinginan
konsumen namun tetap dapat menekan biaya produksi. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, siklamat merupakan pemanis sintetis yang memiliki
tingkat kemanisan 30-80 kali dibanding pemanis alami. Penggunaan pemanis
sintetis ini meskipun dalam jumlah sedikit sudah menimbulkan rasa manis
sehingga dapat menekan biaya produksi (Lanywati, 2001). Hal tersebut
terlihat dalam hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebanyak 26
responden (34,2%) menyatakan sikap setuju bahwa siklamat dapat membuat
biaya produksi menjadi lebih murah. Selain itu siklamat yang tidak
meninggalkan rasa pahit membuat pedagang pangan jajanan anak sekolah
(PJAS) lebih memilih siklamat dibanding pemanis sintetis lainnya.
Penggunaan siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah
(PJAS) dapat membahayakan kesehatan para konsumen yang sebagian besar
105
merupakan anak usia sekolah. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah
antisipasi dalam meningkatkan kesadaran pedagang pangan jajanan anak
sekolah (PJAS) untuk menghindari penggunaan siklamat berlebih. Langkah
yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan promosi kesehatan melalui
petugas kesehatan, pendidik sebaya dan TOT (training of trainer). Selain itu,
dinas kesehatan setempat juga perlu melakukan pemeriksaan laboratorium
kandungan siklamat dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS) secara rutin
untuk menghindari kemungkinan konsumsi siklamat oleh para siswa sekolah
dasar.
G. Ketersediaan Siklamat dan Hubungannya dengan Penggunaan Siklamat
Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
Ketersediaan fasilitas merupakan salah satu faktor pemungkin yang
menyebabkan suatu perubahan perilaku. Pengetahuan dan sikap saja belum
menjamin terjadinya perilaku, masih diperlukan sarana atau fasilitas untuk
memungkinkan atau mendukung perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2010).
Ketersediaan fasilitas sangat dipengaruhi oleh lokasi, dapat dijangkau oleh
masyarakat atau tidak, serta kecukupan fasilitas tersebut sesuai dengan
kebutuhan masyarakat yang memerlukannya (Effendy, 1997). Ketersediaan
siklamat dalam penelitian ini diukur menggunakan empat buah pertanyaan
dalam kuesioner seputar jumlah siklamat yang tersedia di toko dimana para
responden biasa membeli siklamat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang berpendapat bahwa
ketersediaan siklamat memadai lebih banyak jumlahnya (67,1%) dibanding
106
responden yang memiliki persepsi bahwa ketersediaan siklamat siklamat
tidak memadai (32,9%). Hasil tersebut menggambarkan bahwa siklamat
mudah didapatkan oleh para pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) di
wilayah Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Pamulang Barat dan Kelurahan
Pamulang Timur. Sebanyak 45 responden (59,2%) mengaku biasa
mendapatkan dan menemukan siklamat di toko kue yang berlokasi di sekitar
tempat tinggal mereka. Hasil ini mendukung pernyataan Apriadji (2007)
bahwa siklamat banyak dijual di pasar tradisional tanpa merk dengan nama
“gula biang”. Hasil ini juga didukung oleh penelitian Lestari (2012) melalui
kegiatan observasi yang menyatakan bahwa pemanis buatan yang berada di
Pasar Gubug Kota Semarang tersedia dalam jumlah yang sangat banyak
sekali.
Hasil analisa tabel silang menunjukkan bahwa diantara responden yang
menggunakan siklamat, lebih banyak responden yang berpendapat bahwa
ketersediaan siklamat memadai (60,8%) dibanding responden yang
berpendapat bahwa ketersediaan siklamat tidak memadai (32%). Hasil
tersebut didukung dengan uji statistik chi square yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara ketersediaan siklamat dengan
penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS).
Hasil penelitian tersebut membuktikan teori yang dikeluarkan WHO (2002)
yang mengungkapkan bahwa semakin banyak bahan tambahan pangan yang
tersedia dapat menjadi faktor pendorong yang semakin memudahkan
seseorang dalam menggunakan bahan tambahan pangan tertentu, termasuk
dalam hal ini bahan tambahan pangan berupa siklamat.
107
Hubungan antara ketersediaan siklamat yang memadai dengan
penggunaan siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS)
dapat terjadi karena pemanis merupakan salah satu bahan baku utama dalam
kegiatan produksi pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang bercita rasa
manis. Beberapa alasan finansial mendorong para pedagang pangan jajanan
anak sekolah (PJAS) untuk menggunakan siklamat sebagai pengganti
pemanis alami dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang
diproduksinya. Ketersediaan bahan baku yang memadai dapat mempermudah
seorang pedagang pangan untuk memproduksi pangan yang hendak dijajakan.
Semakin banyak bahan baku yang tersedia dalam suatu proses produksi,
maka semakin mudah seorang pedagang menggunakannya dalam proses
produksi. Semakin banyak bahan tambahan pangan yang tersedia dapat
menjadi faktor pendorong yang semakin memudahkan seseorang dalam
menggunakan bahan tambahan pangan tertentu, termasuk siklamat (WHO,
2000). Oleh karena itu, tersedianya siklamat yang memadai memberi
pengaruh kepada para pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) untuk
menggunakannya dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang mereka
produksi.
Pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) pada umunya mengetahui
bahwa siklamat tersedia di toko yang menyediakan bahan baku pembuatan
kue berdasarkan informasi yang diberikan oleh pemilik toko. Beberapa orang
responden sempat mengatakan kepada penulis bahwa pemilik toko tempat
mereka membeli bahan baku PJAS seringkali memberitahu bahwa toko
mereka menyediakan siklamat yang mereka kenal dengan gula biang dan
108
menawarkannya kepada para penjual pangan jajanan anak sekolah (PJAS).
Akan tetapi, meskipun mereka mengetahui bahwa ketersediaan siklamat
banyak ditemui di pasaran, tidak semua pedagang PJAS membeli siklamat
sebagai bahan baku pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang mereka jual.
Menurut Kasali (2005), sebagian dari industri pangan berskala kecil tidak
terpengaruh untuk menggunakan bahan tambahan pangan berbahaya untuk
mempertahankan citra mereka di hadapan konsumen sehingga mereka dapat
mempertahankan target konsumen dari produk yang dihasilkan.
Pemerintah sebagai lembaga yang berwenang dalam peredaran bahan
baku produksi pangan perlu menerapkan langkah untuk mengantisipasi
banyaknya pedagang yang menggunakan siklamat berlebih dalam pangan
jajanan anak sekolah (PJAS). Cara yang dapat dilakukan untuk
mengantisipasi bahaya siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah
adalah dengan membatasi produksi dan pasokan siklamat di pasaran.
Pemerintah juga perlu memperbanyak pasokan pemanis alami dengan harga
yang terjangkau dan kualitas yang baik. Ketersediaan pemanis alami yang
lebih banyak dibanding siklamat diharapkan dapat mengurangi penggunaan
siklamat yang dilakukan oleh para pedagang pangan.
H. Akses Mendapatkan Siklamat dan Hubungannya dengan Penggunaan
Siklamat Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan lokasi
tata guna lahan yang berinteraksi satu sama lain, sehingga menentukan mudah
atau sulitnya lokasi tersebut dicapai melalui transportasi. Aksesibilitas dapat
109
diartikan sebagai suatu konsep yang menggabungkan antara sistem
transportasi secara geografis dengan sistem jaringan transportasi sehingga
menimbulkan zona-zona dan jarak geografis yang akan mudah dihubungkan
oleh penyediaan sarana dan prasarana angkutan (Black, 1981).
Pengukuran akses mendapatkan siklamat dalam penelitian ini dilakukan
menggunakan kuesioner mengenai pendapat responden mengenai kemudahan
dalam menemukan lokasi penjualan siklamat beserta jaraknya dari tempat
tinggal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang memiliki akses
mudah dalam mendapatkan siklamat lebih banyak (51,3%) dibanding
responden yang memiliki akses sukar dalam mendapatkan siklamat (48,7%).
Hasil ini membuktikan pernyataan Kemenkes (2011) bahwa pemanis buatan
sakarin dan siklamat sangat mudah didapatkan dan dijual bebas di pasaran.
Kemudahan para pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) dalam
mendapatkan siklamat salah satunya dikarenakan kemudahan sarana
transportasi. Untuk menuju tempat penjualan siklamat pedagang pangan
jajanan anak sekolah (PJAS) dapat menggunakan kendaraan pribadi. Seperti
dikatehui, sebagian besar penduduk Indonesia telah memiliki kendaraan
pribadi masing-masing, terlebih di wilayah Pamulang Barat yang notabene
merupakan daerah perkotaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak
83,4% responden mengaku menggunakan kendaraan pribadi untuk menuju
tempat penjualan siklamat yang mereka gunakan. Selain itu, akses
mendapatkan siklamat juga dapat diperoleh melalui sarana transportasi umum
yang banyak terdapat di wilayah Kecamatan Pamulang.
110
Sebanyak 67% responden mengaku bahwa jarak tempat tinggal mereka
dengan lokasi membeli siklamat lebih dari 500 meter. Akan tetapi, mereka
berpendapat bahwa aksessibilitas mereka mendapatkan siklamat tergolong
mudah. Hal tersebut dikarenakan kemudahan transportasi yang berasal dari
kendaraan pribadi maupun umum. Kondisi ini membuat faktor jarak bukan
satu-satunya elemen yang menentukan tinggi rendahnya tingkat aksesibilitas
(Miro, 2004). Terlebih, kemajuan teknologi yang membuat transportasi
semakin mudah mengakibatkan terjadinya percepatan arus perpindahan dari
satu tempat ke tempat lain (Sitompul, 2004). Percepatan teknologi tersebut
turut mempengaruhi kemudahan para pedagang pangan dalam mendapatkan
siklamat.
Hasil analisa tabel silang menunjukkan bahwa diantara responden yang
menggunakan siklamat, lebih banyak responden yang memiliki akses mudah
dalam mendapatkan siklamat (64,1%) dibanding responden yang memiliki
akses sukar dalam mendapatkan siklamat (37,8%). Uji chi square
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara akses
mendapatkan siklamat dengan penggunaan siklamat berlebih pada pangan
jajanan anak sekolah (PJAS). Hasil ini membuktikan pernyataan Irmawati
(2014) bahwa kemudahan akses dalam mendapatkan suatu produk
mempengaruhi keputusan untuk membeli dan menggunakan produk tersebut,
karena konsumen pada dasarnya menyukai produk yang mudah didapat dan
hanya memerlukan sedikit usaha untuk mendapatkannya. Mudahnya akses
mendapatkan siklamat secara otomatis mempermudah para pedagang pangan
jajanan anak sekolah (PJAS) untuk menggunakannya dalam pangan jajanan
111
yang mereka produksi. Penelitian ini didukung oleh penelitian Lestari (2011)
yang menyatakan bahwa penjual jamu gendong yang dijual di pasar gubug
menjual jamu gendong yang menggunakan siklamat karena mudahnya
mendapatkan siklamat.
Kemudahan akses dalam mendapatkan siklamat dapat mendorong para
pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) untuk menggunakannya
sebagai bahan baku pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang mereka
produksi. Hal tersebut dikarenakan para pedagang membutuhkan pemanis
sebagai bahan baku pangan jajanan yang mereka produksi. Penggunaan
pemanis alami dapat menyebabkan biaya produksi meningkat, sehingga para
pedagang perlu bahan baku lain pengganti pemanis alami. Keberadaan
siklamat yang mudah didapat tentu merupakan sebuah peluang besar bagi
para pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Hal tersebut terlihat dari
pernyataan salah satu responden yang mengatakan bahwa siklamat yang
mudah didapat merupakan salah satu alasan kuat bagi para pedagang pangan
untuk menggunakannya dalam pangan yang mereka produksi.
Pemerintah perlu membatasi akses para pedagang pangan dengan
siklamat. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberi lisensi dan
persayaratan khusus bagi setiap orang atau badan usaha yang menjual
siklamat agar tidak setiap orang dengan mudah menjual siklamat. Dengan
cara tersebut maka diharapkan penjual siklamat tidak terlalu banyak dan
memiliki jarak yang berdekatan. Selain itu, pembelian siklamat juga perlu
dibatasi agar tidak menimbulkan resiko penjualan kembali (reseller) oleh
oknum yang tidak bertanggung jawab.
112
I. Peran Pedagang PJAS Lain dan Hubungannya dengan Penggunaan
Siklamat Berlebih pada Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
perilaku seseorang. Faktor lingkungan yang mendorong perilaku seseorang
adalah kerabat, teman sejawat maupun lingkungan sekitar lainnya.
Lingkungan kerja, termasuk teman sejawat merupakan elemen organisasi
yang mempunyai pengaruh kuat dalam pembentukan perilaku individu.
Pengukuran variabel peran pedagang PJAS lain dilakukan dengan tiga
buah pertanyaan dalam kuesioner seputar peran pedagang PJAS lain dalam
mengenal siklamat, ajakan pedagang PJAS lain dan informasi kadar siklamat
yang diperbolehkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
responden (50%) dipengaruhi pedagang PJAS lain untuk menggunakan
siklamat dan sebagian lainnya (50%) tidak dipengaruhi pedagang PJAS lain
untuk menggunakan siklamat dalam pangan jajanan yang diproduksinya. Dari
hasil tersebut dapat diketahui bahwa para pedagang pangan jajanan anak
sekolah (PJAS) tidak seluruhnya mengenal siklamat dari rekan sesama
pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Hasil ini membuktikan
pernyataan Kemenkes (2011) yang mengatakan pengetahuan terhadap suatu
objek tidak hanya berasal dari lingkungan, akan tetapi media juga turut
berperan dalam mengenalkan masyarakat terhadap suatu objek yang dapat
mempengaruhi perilaku individu (Kemenkes, 2011).
Hasil analisa tabel silang menunjukkan bahwa diantara responden yang
menggunakan siklamat, lebih banyak responden yang tidak dipengaruhi
pedagang PJAS lain untuk menggunakan siklamat (55,3%) dibanding
113
responden yang dipengaruhi pedagang PJAS lain untuk menggunakan
siklamat (47,4%). Selain itu, hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara peran pedagang PJAS lain dengan
penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS).
Hasil ini bertentangan dengan teori dari BPOM (2012) yang mengungkapkan
bahwa salah satu faktor yang mendorong penggunaan bahan tambahan
pangan pada pedagang pangan adalah karena adanya pengaruh dari pedagang
lain yang menggunakan bahan tambahan pangan tersebut.
Peran pedagang PJAS lain yang tidak berhubungan dengan perilaku
penggunaan siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS)
dikarenakan tidak semua pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS)
mengenal siklamat dari rekan sesama pedagang PJAS. Berdasarkan hasil
penelitian, diketahui bahwa sebanyak 78% responden mengaku tidak
memperoleh informasi mengenai siklamat dari pedagang pangan jajanan anak
sekolah (PJAS) lain.
Informasi mengenai siklamat di kalangan pedagang pangan jajanan anak
sekolah (PJAS) tidak hanya berasal dari sesama pedagang pangan jajanan
anak sekolah (PJAS). Informasi dapat pula berasal dari media massa,
lingkungan lain atau pengaruh keluarga. Sebanyak 49% responden mengaku
mengetahui siklamat atau yang mereka kenal dengan nama gula biang dari
pemilik toko tempat mereka membeli bahan baku pangan jajanan. Selain itu,
sebanyak 28% responden mengaku mengenal siklamat karena informasi dari
orang tua atau keluarganya yang juga memiliki profesi sebagai pedagang
pangan jajanan.
114
Penggunaan siklamat dalam pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang
diproduksi oleh pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang
mengenal siklamat dari orang tua atau keluarganya merupakan suatu hal yang
lumrah. Hal tersebut dikarenakan keluarga merupakan tempat dimana
seseorang pertama kali melakukan interaksi dengan orang lain. Keluarga
memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan watak seseorang.
Keadaan keluarga akan sangat mempengaruhi perilaku orang yang menjadi
anggota keluarga tersebut (Sugiharsono, et. al, 2008).
Media berperan dalam menumbuhkan pengetahuan masyarakat yang
dapat mempengaruhi perilaku individu (Kemenkes, 2011). Salah satu sumber
yang dapat mengenalkan siklamat pada masyarakat adalah media massa,
terutama media elektronik berupa internet. Dewasa ini, media online melalui
internet bukan merupakan suatu hal yang asing bagi masyarakat. Hampir
seluruh lapisan masyarakat saat ini dapat menggunakan internet karena akses
yang semakin mudah. Para pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS)
juga berpotensi untuk mengenal siklamat dari media online karena
banyaknya iklan penjualan siklamat yang terpasang melalui media internet,
sehingga semakin memudahkan para pedagang pangan jajanan anak sekolah
(PJAS) untuk mengenal dan memperoleh siklamat sebagai bahan baku
pangan jajanan yang mereka produksi.
Penggunaan siklamat berlebih dalam pangan jajanan anak sekolah
(PJAS) perlu dikendalikan. Pengendalian dapat dilakukan dengan memberi
kesadaran kepada pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) bahwa
penggunaan siklamat berlebih merupakan suatu tindakan yang merugikan
115
konsumen melalui kegiatan penyuluhan kepada para pedagang pangan
jajanan anak sekolah (PJAS). Selain itu, para pedagang pangan jajanan anak
sekolah (PJAS) dianjurkan untuk tidak memperkenalkan siklamat kepada
keluarganya, teman sesama pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS)
maupun rekan lainnya.
116
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya,
maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:
1. Pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) lebih banyak yang
menggunakan siklamat berlebih (51,3%).
2. Pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) lebih banyak yang
memiliki tingkat pengetahuan tinggi mengenai siklamat (52,6%).
3. Pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) lebih banyak yang
memiliki sikap negatif terhadap penggunaan siklamat berlebih (53,9%).
4. Pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) lebih banyak yang tidak
percaya manfaat siklamat (60,5%).
5. Pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) lebih banyak yang menilai
tidak penting penggunaan siklamat (72,4%).
6. Pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) lebih banyak yang
beranggapan bahwa ketersediaan siklamat siklamat memadai (68,4%).
7. Pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) lebih banyak yang
memiliki akses mudah dalam mendapatkan siklamat (51,3%).
8. Pedagang pangan jajanan anak sekolah (PJAS) lebih banyak yang tidak
dipengaruhi pedagang PJAS lain untuk menggunakan siklamat (46,1%).
117
9. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan
pedagang dengan penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan anak
sekolah (PJAS) (pValue = 0,168).
10. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara sikap pedagang dengan
penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS)
(pValue= 0,49).
11. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kepercayaan pedagang
dengan penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah
(PJAS) (pValue= 0,348).
12. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara nilai dengan penggunaan
siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) (pValue=
0,445).
13. Terdapat hubungan yang bermakna antara ketersediaan siklamat dengan
penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS)
(pValue= 0,048).
14. Terdapat hubungan yang bermakna antara akses mendapatkan siklamat
dengan penggunaan siklamat berlebih pada pangan jajanan anak sekolah
(PJAS) (pValue= 0,038).
15. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara peran pedagang pangan
jajanan anak sekolah (PJAS) lain dengan penggunaan siklamat berlebih
pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) ) (pValue= 0,818).
118
B. SARAN
1. Bagi Sekolah
a. Memperketat pengawasan dan memantau secara berkala kualitas pangan
jajanan anak sekolah (PJAS) di wilayah sekolah masing-masing.
b. Memberi penyuluhan dan sosialisasi kepada orangtua dan siswa untuk
lebih cermat dalam memilih pangan jajanan anak sekolah (PJAS) guna
menghindari bahaya konsumsi siklamat berlebih oleh para siswa.
c. Melakukan penyaringan (screening) sehingga pedagang pangan jajanan
anak sekolah (PJAS) yang berjualan di sekitar sekolah hanyalah
pedagang yang telah memenuhi persyaratan keamanan pangan sehingga
tidak berbahaya bila dikonsumsi para siswa..
2. Bagi Instansi Pemerintah
a. Memperketat pengawasan terhadap peredaran dan kualitas pangan
jajanan anak sekolah (PJAS).
b. Menyediakan pasokan pemanis alami yang lebih memadai dengan harga
yang terjangkau.
c. Mempertegas pemberian sanksi bagi para pedagang pangan jajanan anak
sekolah (PJAS) yang menggunakan siklamat berlebih dalam pangan yang
mereka produksi.
3. Bagi Peneliti Lain
a. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti faktor-faktor lain yang
diduga berhubungan dengan perilaku penggunaan siklamat berlebih.
119
b. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melihat perilaku penggunaan
siklamat berlebih pada jenis makanan lain.
120
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi. 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan.
Jakarta : Rajawali Press
Anshoriy, Nasruddin & GKR Pembayun. 2008. Pendidikan Berwawasan
Kebangsaan. Yogyakarta : LkiS
Anwar, Faisal & Ali Khomsan. 2009. Makanan Tepat, Badan Sehat.
Jakarta:Hikmah
Apriadji, Wied Harry. 2007. Cake dan Kue Manis Tanpa Gula, Tanpa Pewarna
Sintetis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Badan Keamanan Pangan Bangka. 2014. Pentingnya Keamanan Pangan Segar.
Bangka : Bidang Ketahanan Pangan Subbid Konsumsi dan Keamanan
Pangan. Diakses dari http://bkp.bangka.go.id/donlot/pentingnya.pdf tanggal
12 Mei 2015 pukul 21.50 WIB
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). 2006.
Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah. Diakses dari
http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/berita/146/KEAMANAN-
PANGAN-JAJANAN-ANAK-SEKOLAH--PJAS-.html tanggal 13 Mei 2015
pukul 20.32 WIB
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). 2008.
Kajian Keamanan Bahan Tambahan Pangan. Dikutip dari
www2.pom.go.id/nonpublic/makanan/standard/News1.html tanggal 2 Mei
2014 pukul 4.52 WIB
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). 2002.
Materi Penyuluhan Keamanan Pangan Bagi Penyuluh Keamanan Pangan
Industri Rumah Tangga. Jakarta : Deputi Bidang Pengawasan Keamanan
Pangan dan Bahan Berbahaya Direktorat Surveilans dan Penyuluhan
Kemanan Pangan BPOM RI
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). 2012.
Laporan Tahunan Badan Pengawasan Obat dan Makanan Tahun 2011.
Jakarta : BPOM RI
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). 2014. Sehat Duniaku Menuju
Generasi Emas yang Sehat dan Berkualitas. Dikutip dari
http://www.pom.go.id/new/index.php/view/pers/225/Sehat-Duniaku-Menuju-
Generasi-Emas---yang-Sehat-dan-Berkualitas.html tanggal 1 Mei 2015 pukul
4:48 WIB
121
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tangerang Selatan. 2011.
Rencana Strategis Pembangunan Kota Tangerang Selatan 2011-2016.
Tangerang Selatan : Bappedal Kota Tangerang Selatan
Badan Standarisasi Nasional. 1994. SNI 01-2893-1994 tentang Cara Uji Pemanis
Buatan. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional
Bere, E et al. 2006. Determinants of Adolescents’s soft drink Consumption.
Journal of Public Health (Online) Vol. 11 No. 1. Dikutip dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov tanggal 1 Juli 2015
Bintarto, R. 1989. Interaksi Kota Desa dan Permasalahannya. Jakarta : Ghalia
Indonesia
Black, J.A. 1981. Urban Transporting Planning : Theory and Practice. London :
Cromm Helm
Budijanto, Didik. 2007. Populasi, Sampling dan Besar Sampel. Jakarta : Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI
Callahan, Joan R. 2011. 50 Health Scares That Fizzled. California : ABC-CLIO,
LLC
Calorie Control Council (CCC). 2015. Cyclamate. Diakses dari
http://www.caloriecontrol.org/sweeteners-and-lite/sugar-
substitutes/cyclamate#Regulatory-Status tanggal 30 Agustus 2015 pukul
13.23 WIB
Cahanar, P. & Irwan Suhanda. 2006. Makan Sehat Hidup Sehat. Jakarta : Kompas
Chandra, Budiman. 2006. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta :
EGC
Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : EGC
Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. 2009. Sistem Keamanan
Pangan Terpadu : Pangan Jajanan Anak Sekolah. Jakarta : BPOM RI
Damayanti, Diana. 2011. Makanan Anak Usia Sekolah : Tips Memberi Makan
Anak Usia Sekolah plus 25 Resep Praktis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Danim, Sudarwan. 2002. Riset Keperawatan : Sejarah dan Metodologi. Jakarta :
EGC
Duslo. 2011. GPS Safe Summary : Cyclohexylamine. Dikutip dari
www.duslo.sk/sites/default/files/gps_cha.pdf tanggal 2 Mei 2015 pukul 02.05
Efendi, Ferrry & Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunnitas : Teori
dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
122
Effendy, Nasrul. 1997. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta : EGC
Fuad, M; Christine H. Nurlela; Sugiarto; Paulus; Y.E.F. 2006. Pengantar Bisnis.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Green, Lawrence W & Marshall Kreuter. 2005. Health Program Planning : an
Educational and Ecological Approach 4th edition. New York : McGraw-Hill
Habsah. 2012. Gambaran Pengetahuan Pedagang Mi Basah Terhadap Perilaku
Penambahan Boraks dan Formalin pada Mi Basah di Kantin-Kantin
Universitas X Depok Tahun 2012. Skripsi. Depok : Universitas Indonesia
Hakim, Lukman. 2012. Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam Dalam
Pembentukan Sikap dan Perilaku Siswa Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-
Muttaqin Kota Tasikmalaya. Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim vol. 10
No.1-2012. Universitas Pendidikan Indonesia.
Hastono, S. P. 2001. Modul Analisis Data. Jakarta : Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Hartati, Hendri. 2007. Analisis Manajemen Pengawasan dan Pengendalian
Penyalahgunaan Formalin di Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 2, No. 2, Oktober 2007.
Herjanto, Eddy. 2008. Manajemen Operasi. Jakarta : Grasindo
International Food Additional Council. 2013. Food Additives Booklet. Diakses
dari http://www.foodadditives.org/pdf/Food_Additives_Booklet.pdf tanggal
13 Mei 2015
Irmawati, L.1. 2015. Manajemen Pemasaran di Rumah Sakit : Buku Ajar
Pedoman Praktis S1 Administrasi Rumah Sakit. Kediri : Institut Ilmu
Kesehatan University Press
Kasdu, Dini. 2004. Anak Cerdas. Jakarta : Puspa Swara
Kasali, Rhenald. 2005. Sembilan Fenomena Bisnis. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama
Kasemin, Kasiyanto. 2003. Analisis Wacana Pencabutan TAP MPRS/XXV/1966.
Yogyakarta: LKiS
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2011. Jejaring
Informasi Pangan dan Gizi. Volume XVII No.2 tahun 2011. Diakses dari
http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/11/LEMBAR-
INFORMASI-NO-2-2011.pdf tanggal 13 Mei 2015 pukul 20.37 WIB
123
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2011. Pedoman
Kemanan Pangan di Sekolah Dasar. Jakarta : Direktorat Bina Gizi
Kementerian Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2011. Hati-hati
Jangan Jajan Sembarangan. Diakses dari
http://www.gizikia.depkes.go.id/837/ tanggal 15 Desember 2015 pukul 14.30
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Dasar Proses Pengolahan Hasil
Pertanian dan Perikanan. Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Kejuruan
Khopkar. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : Universitas Indonesia
Press
Lanywati, Endang. 2001. Diabetes Mellitus. Yogyakarta : Kanisius
Larasati, Marissa. 2007. Hubungan Keberadaan Sakarin dan Siklamat pada Sirup
Tanpa Merk dengan Pengetahuan, Sikap dan Tingkat Pendidikan Pedagang
Es di Pasar Johar Kota Semarang. Skripsi. Semarang: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Diponegoro
Lestari, Dewi. 2011. Analisis Adanya Kandungan Pemanis Buatan (Sakarin dan
Siklamat)pada Jamu Gendong di Pasar Gubug Grobogan. Skripsi. Semarang
: Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik. Yogyakarta : LkiS
Makfoeld, Djarir dkk. 2002. Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi. Yogyakarta :
Kanisius
Martono, L.H & Satya Joewana. 2006. Modul Latihan Pemulihan Pecandu
Narkoba Berbasisi Masyarakat. Jakarta : Balai Pustaka
Maulana, Heri D. J. 2007. Promosi Kesehatan. Jakarta : EGC
Miro, Fedel. 2004. Perencanaan Transportasi. Jakarta : Erlangga
Mulyatiningsih, Rudi. 2004. Bimbingan Pribadi-Sosial, Belajar dan Karir :
Petunjuk Praktis Diri Sendiri. Jakarta : Grasindo
Nabors, Lyn O’Brien. 2001. Alternative Sweeteners Third Edition. New York :
Marcel Dekker
Narwoko, J Dwi & Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta : Kencana Media Grup
New Jersey Department of Health (NJDH). 2010. Cyclamate: Hazardous
Substance Fact. Trenton : New Jersey Department of Health
124
Nollet, Leo M.L. 2004. Handbook of Food Analysis : Second Edition. New York :
Marcell Decker
Noriko, Nita, Eka Pratiwi, Angelia Yulita dan Dewi Elfidasari. 2011. Studi Kasus
Terhadap Zat Pewarna, Pemanis Buatan dan Formalin pada Jajanan Anak di
SDN Telaga Murni 03 dan Tambun 04 Kabupaten Bekasi. Jurnal Al-Azhar
Indonesia Seri Sains dan Teknologi Vol.1 No.2, September 2011
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta :
Rineka Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Promosi Kesehatan : Teori dan Aplikasi. Jakarta :
Rineka Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta
Novita, Santi & Retno Adriyani. 2013. Tingkat Pengetahuan dan Sikap Pedagang
Jajanan tentang Pemakaian Natrium Siklamat dan Rhodamin B. Jurnal
Promosi Kesehatan Vol.1 No. 2 Desember 2013: 192-200
Nuraini, Heny. 2007. Memilih dan Membuat Jajanan Anak yang Sehat dan Halal.
Jakarta : Qultum Media
Parekh, Bhikhu. 2008. Rethinking Multiculturalism : Keberagaman Budaya dan
Teori Politik. Yogyakarta : Kanisius
Partana, Crys Fajar. 2008. Seri IPA Kimia 2. Jakarta : Quadra
Pella, Darmin Ahmad & Afifah Inayati. 2011. Talent Management. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama
Peraturan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan,
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia nomor 6
tahun 2014, nomor 73 tahun 2014, nomor 41 tahun 2014 dan nomor 81 tahun
2014 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kesehatan
Sekolah/Madrasah
Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 4 tahun 2014
tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan
Pangan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Kemanan, Mutu dan Gizi
Pangan
125
Praja, Denny Indra. 2015. Zat Aditif Makanan : Manfaat dan Bahayanya.
Yogyakarta : Garudhawaca
Purnawanto, Budy. 2010. Manajemen SDM Berbasis Proses: Pola Pikir Baru
Mengelola SDM pada Era Knowledge Economy. Jakarta : Grasindo
Purwaningsih, Retno; Rahayu Astuti & Trixie Salawati. 2010. Penggunaan
Natrium Siklamat pada Es Lilin Berdasarkan Pengetahuan dan Sikap
Pedagang di Kelurahan Srondol Wetan dan Pedalangan Kota Semarang.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 01 Nomor 02 Tahun 2010
Purwosutjipto, H.M.N. 1999. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1
Pengetahuan Dasar Hukum Dagang. Jakarta : Djambatan
Ramdan, Anton. 2009. Membongkar Jaringan Bisnis Yahudi di Indonesia. Jakarta
: Media Islamika
Rangkuti, Freddy. 2002. The Power of Brands : Teknik Mengelola Brand Equity
dan Strategi Pengembangan Mereka + Analisis Kasus dengan SPSS. Jakarta :
Gramedia pustaka Utama
Saliswijaya, Aan Dani. 2004. Himpunan Peraturan Tentang Class Action. Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama
Saparinto, Cahyo & Diana Hidayati. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta
: Kanisius
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1997. Psikologi Sosial : Individu dan Teori-Teori
Psikologi Sosial. Jakarta : Balai Pustaka
Seto, Sagung. 2001. Pangan dan Gizi. Bogor : Penerbit Institut Pertanian Bogor
Press
Simamora, Bilson. 2000. Panduan Riset Perilaku Konsumen. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama
Sitompul, Einar M. 2004. Gereja Menyikapi Peubahan. Jakarta : BPK Gunung
Mulia
Smith, James. 1991. Food Additive User’s Handbook. London : Blackie and Son
Soeroso, Andreas. 2006. Sosiologi SMA Kelas X. Jakarta : Yudhistira
Sugiharsono, I. Wayan Legawa, Teguh Dalyono. 2008. Contextual Learning Ilmu
Pengetahuan Sosial. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional
126
Sugiharto, B & Agus Rachmat. 2000. Wajah Baru Etika dan Agama. Yogyakarta :
Kanisius
Suhaemi, Mimin Emi. 2002. Etika Keperawatan : Aplikasi pada Praktik. Jakarta :
EGC
Sukmadinata, N.S. 2007. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Sumawinata, Narlan. 2004. Senarai Istilah Kedokteran Gigi. Jakarta : EGC
Sunaryo. 2002. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
Suyanti. 2010. Panduan Mengolah 20 Jenis Buah. Jakarta : Penebar Swadaya
Syah, Dahrul. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor :
Penerbit Institut Pertanian Bogor
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan.
Bandung : Imperial Bahakti Utama
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 Tentang Pangan
Vries, John De. 1996. Food Safety and Toxicity. Heerlen : Open University of
Netherland
Vasudevan, D.M, Sreekumari S dan Kannan Vaidyanathan. 2013. Textbook of
Biochemistry for Medical Students : Seven Edition. New Delhi : Jaypee
Brothers Medical Publishers
Wariyah, Chatarina & Sri Hartati Candra Dewi. 2013. Penggunaan Pengawet dan
Pemanis Buatan pada Pangan Janjanan Anak Sekolah (PJAS) di Wilayah
Kabupaten Kulonprogo-DIY. Jurnal Agritech Vol.33 Nomor 2, Mei 2013
Wasis. 2006. Pedomen Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Jakarta : EGC
Winarno, F.G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
World Health Organization (WHO). 2000. Food Borne Disease : a Focus for
Health Education. Geneva : World Health Organization
World Health Organization (WHO). 2015. Food Borne Disease. Diakses dari
http://www.who.int/topics/foodborne_diseases/en/ tanggal 15 Mei 2015 pukul
12.06 WIB
Yuliani, Sri. 2007. Formalin dan Masalahnya. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Vol.29 No.5 Tahun 2007. Jakarta : Balai Besar
127
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Depatemen Pertanian
Republik Indonesia
128
LAMPIRAN 1
LEMBAR KESEDIAAN RESPONDEN
Assalamualaikum Wr.Wb
Saya Nurul Fajriatipratika Putri mahasiswa Kesehatan Lingkungan Program
Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedang
melakukan penelitian mengenai FAKTOR-FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN PEMANIS SINTETIS
SINKLAMAT BERLEBIH PADA PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH
(PJAS) DI SEKOLAH DASAR NEGERI KELURAHAN PONDOK BENDA,
KELURAHAN PAMULANG BARAT DAN KELURAHAN PAMULANG
TIMUR TAHUN 2015.
Saya berharap bapak/ibu bersedia menjadi responden penelitian saya dengan
menjawab pertanyaan yang ada di kuesioner ini. Tidak ada jawaban yang benar
maupun salah dalam setiap jawaban yang anda berikan.Informasi yang anda
berikan akan kami jaga kerahasiaannya. Jika anda bersedia dimohon untuk
menandatangani lembar persetujuan yang telah disediakan.
Responden
(...........................)
KUESIONER PENELITIAN FAKTOR-FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN PEMANIS SINTETIS
SIKLAMAT BERLEBIH PADA PANGAN JAJANAN ANAK
SEKOLAH (PJAS) DI SEKOLAH DASAR NEGERI KELURAHAN
PONDOK BENDA, KELURAHAN PAMULANG BARAT DAN
KELURAHAN PAMULANG TIMUR TAHUN 2015
129
A. Identitas Responden
A.1 Nama
A.3 Lokasi Berjualan
A.2 Nomor Telpon
B. Pengetahuan
Berilah tanda silang (√) pada salah satu pilihan jawaban di bawah!
No. Pertanyaan Jawaban
B.1 Gula biang adalah pemanis buatan yang lebih manis
30 kali lipat daripada gula biasa.
1. Benar
2. Salah
3. Tidak Tahu
[ ]
B.2 Gula biang dipakai untuk orang yang terkena
penyakit kencing manis supaya gula darahnya tidak
naik.
1. Benar
2. Salah
3. Tidak Tahu
[ ]
B.3 Apakah gula biang boleh dipakai dalam makanan
dan minuman?
1. Boleh
2. Tidak Boleh
3. Tidak tahu.
[ ]
B.4 Apakah pemakaian gula biang harus dibatasi?
1. Tidak (Bebas)
2. Ya
[ ]
Nomor
r
130
3. Tidak tahu.
B.5 Apakah anda tahu batas maksimal pemakaian gula
biang dalam makanan dan minuman?
1. Tahu (Tulis jumlahnya ......)
2. Tidak tahu
[ ]
B.6 Kelebihan gula biang daripada gula murni adalah
rasanya lebih manis, tidak ada rasa pahit dan
harganya lebih murah.
1. Benar
2. Salah
3. Tidak Tahu
[ ]
B.7 Berapa lama waktu terjadinya penyakit kalau banyak
mengkonsumsi gula biang?
1. Cepat (Langsung sakit)
2. Lama (bertahun-tahun)
3. Tidak Tahu
[ ]
B.8 Mandul, penyakit jantung, penyakit hati dan penyakit
ginjal adalah penyakit yang muncul karena banyak
makan gula biang.
1. Benar
2. Salah
3. Tidak Tahu
[ ]
B.9 Tidak ada manfaat gula biang bagi badan kita, yang
ada hanya penyakit.
1. Benar
2. Salah
3. Tidak Tahu
[ ]
C. Sikap
Berilah tanda chekclist (√) pada salah satu pilihan jawaban berikut !
No. Pertanyaan Sangat
Setuju
Setuju Biasa
Saja
Tidak
Setuju
Sangat
Tidak
131
Setuju
C.1 Gula biang lebih baik
dari gula murni karena
lebih manis dari gula
murni dan cocok dengan
makanan dingin atau
panas..
C.2 Gula biang harganya
lebih murah dibanding
gula murni.
C.3 Menggunakan gula
biang pada
makanan/minuman lebih
hemat daripada gula
murni.
C.4 Menggunakan gula
biang dalam jumlah
banyak pada makanan
jajanan diperbolehkan.
C.5 Penggunaan gula biang
dalam jumlah banyak
tidak menimbulkan
penyakit.
C.6 Memakai gula biang
tidak usah diatur
batasnya.
C.7 Konsumsi gula biang
berguna bagi tubuh.
C.8 Memakai gula biang
dalam jumlah banyak
pada makanan jajanan
tidak membahayakan
132
pertumbuhan dan
kecerdasan para siswa.
C.9 Penggunaan gula biang
pada makanan jajanan
lebih aman daripada
penggunaan gula murni.
C.10 Penggunaan gula biang
dalam pangan jajanan
anak sekolah tidak perlu
dicampur gula murni.
D. Kepercayaan
Berilah tanda chekclist (√) pada salah satu kolom jawaban yang anda pilih
dari setiap penyataan berikut !
No. Pertanyaan Percaya Tidak
Percaya
D.1 Gula biang lebih sehat daripada gula murni
karena tidak menyebabkan penyakit kencing
manis.
D.2 Gula biang cocok untuk diet karena tidak
membuat gemuk.
D.3 Gula biang tidak membuat sakit gigi.
E. Nilai
Berilah tanda silang (x) pada jawaban yang sesuai dengan kondisi anda
pada pernyataan berikut!
(E.1) Anda sering memakai gula biang dalam membuat makanan dan
minuman.
a. Ya
b. Tidak
133
(E.2) Anda punya cadangan gula biang (stock) di rumah.
a. Ya
b. Tidak
(E.3) Anda merasa kalau memakai gula biasa dalam makanan rasanya kurang
manis.
a. Ya
b. Tidak
(E.4) Bila tidak menggunakan gula biang dalam makanan/minuman manis,
anda merasa ada sesuatu yang kurang.
a. Ya
b. Tidak
F. Ketersediaan Gula biang
Berilah tanda silang (x) pada jawaban yang sesuai dengan kondisi anda
pada pertanyaan berikut!
(F.1) Apakah toko yang menjual gula biang membatasi jumlah pembelian?
a. Ya
b. Tidak
(F.2) Apakah menurut anda banyak jumlah toko yang menjual gula biang di
sekitar tempat tinggal anda?
a. Ya
b. Tidak
(F.3) Apakah menurut anda jumlah gula biang di pasaran dapat mencukupi
kebutuhan pembeli?
a. Ya
b. Tidak
G. Akses
Berilah tanda silang (x) pada jawaban yang sesuai dengan kondisi anda
pada pertanyaan berikut!
(G.1) Dimana anda biasa menemukan gula biang ?
a. Pasar
134
b. Warung
c. Lainnya (sebutkan) ........................................
(G.2) Apakah menurut anda tempat yang menjual gula biang mudah dicari?
a. Mudah
b. Susah
(G.3) Berapa kira-kira jarak antara rumah anda dengan tempat membeli gula
biang ?
a. Tidak lebih dari 2 kilometer
c. Lebih dari 2 kilometer
(G.4) Bagaimana cara anda pergi ke tempat yang menjual gula biang?
a. Naik angkutan umum / kendaraan pribadi
b. Jalan kaki
H. Peran Pedagang PJAS Lain
Berilah tanda silang (x) pada jawaban yang sesuai dengan kondisi anda
pada pertanyaan berikut!
(H.1) Apakah anda mengenal gula biang dari pedagang lain?
a. Ya
b. Tidak
(H.2) Apakah pedagang itu pernah memberi tahu berapa batas gula biang
yang boleh dipakai dalam makanan?
a. Ya
b. Tidak
(H.3) Apakah pedagang itu pernah mengajak anda memakai gula biang
dalam jajanan yang anda jual?
a. Ya
b. Tidak
TERIMA KASIH :)
135
LAMPIRAN 2
HASIL UJI KUANTITATIF PEMANIS SINTETIS SIKLAMAT PADA
PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH (PJAS) DI KELURAHAN
PONDOK BENDA, KELURAHAN PAMULANG BARAT DAN
KELURAHAN PAMULANG TIMUR TAHUN 2015
Padat
No. Jenis PJAS Lokasi Batas
Maksimum
yang
Diizinkan
(mg/kg)
Kadar
Siklamat
(mg/kg)
Keterangan
1 Roti isi SDN Parakan 1 dan 2 500 0 Tidak
Berlebih
2 Pisang coklat SDN Parakan 1 dan 2 500 10 Tidak
Berlebih
3 Kue leker SDN Pondok Benda 1,
4 & 5
500 170 Tidak
Berlebih
4 Pisang coklat SDN Pondok Benda 2,
3 & 6
500 0 Tidak
Berlebih
5 Crepes SDN Pondok Benda 2,
3 & 6
500 0 Tidak
Berlebih
6 Gulali SDN Pondok Benda 2,
3 & 6
500 70 Tidak
Berlebih
7 Martabak SDN Pondok Benda 2,
3 & 6
500 70 Tidak
Berlebih
8 Selai roti isi SDN Pamulang 1 1000 0 Tidak
Berlebih
9 Kue cubit SDN Pamulang 1 500 0 Tidak
Berlebih
10 Kue lumpur SDN Pamulang 1 500 0 Tidak
Berlebih
11 Pisang coklat SDN Pamulang 1 500 0 Tidak
Berlebih
12 Gulali SDN Pamulang
Permai
500 620 Berlebih
13 Pisang keju SDN Pamulang
Permai
500 20 Tidak
Berlebih
14 Kue leker selai
strawberry
SDN Pamulang
Permai
1000 0 Tidak
Berlebih
15 Selai roti bakar SDN Pamulang 1000 180 Tidak
136
Permai Berlebih
16 Martabak mini SDN Pamulang 2 500 0 Tidak
Berlebih
17 Kue pancong SDN Pamulang 2 500 0 Tidak
Berlebih
18 Kue coklat SDN Pamulang 2 500 180 Tidak
Berlebih
19 Kue ape SDN Pamulang Barat 500 30 Tidak
Berlebih
20 Klepon SDN Pamulang Barat 500 0 Tidak
Berlebih
21 Pisang coklat SDN Pamulang Barat 500 0 Tidak
Berlebih
22 Gulali SDN Pamulang Barat 500 30 Tidak
Berlebih
23 Kue putu SDN Pamulang
Timur 1 dan 2
500 0 Tidak
Berlebih
24 Martabak selai
blueberry
SDN Pamulang
Timur 1 dan 2
1000 0 Tidak
Berlebih
25 Kue cubit coklat SDN Pamulang Indah 500 80 Tidak
Berlebih
26 Martabak mini
coklat
SDN Pamulang Indah 500 120 Tidak
Berlebih
27 Kue leker SDN Pamulang Indah 500 0 Tidak
Berlebih
28 Es selendang
mayang
SDN Pamulang Indah 250 420 Berlebih
29 Crepes SDN Pamulang Indah 500 0 Tidak
Berlebih
30 Gulali S SDN Pamulang
Timur 3
500 0 Tidak
Berlebih
31 Kue laba-laba SDN Pamulang Timur
3
500 0 Tidak
Berlebih
Cair
No. Jenis PJAS Lokasi Batas
Maksimum
yang
Diizinkan
(mg/kg)
Kadar
Siklamat
(mg/kg)
Keterangan
(Berlebih /
Tidak
Berlebih)
1. Es mambo SDN Parakan 1 dan 2 250 250 Tidak Berlebih
2. Es teh SDN Parakan 1 dan 2 250 330 Tidak Berlebih
3. Es campur SDN Parakan 1 dan 2 250 360 Berlebih
4. Es potong SDN Parakan 1 dan 2 250 970 Berlebih
5. Es sirup SDN Parakan 1 dan 2 250 530 Berlebih
6. Es SDN Pondok Benda 1, 4 & 250 800 Berlebih
137
No. Jenis PJAS Lokasi Batas
Maksimum
yang
Diizinkan
(mg/kg)
Kadar
Siklamat
(mg/kg)
Keterangan
(Berlebih /
Tidak
Berlebih)
selendang
mayang
5
7. Es doger SDN Pondok Benda 1, 4 &
5
250 350 Berlebih
8. Es susu
coklat
SDN Pondok Benda 1, 4 &
5
250 620 Berlebih
9. Es potong SDN Pondok Benda 1, 4 &
5
250 400 Berlebih
10. Es teh SDN Pondok Benda 1, 4 &
5
250 440 Berlebih
11. Es teh SDN Pondok Benda 2, 3 &
6
250 183 Tidak Berlebih
12. Es susu
coklat
SDN Pondok Benda 2, 3 &
6
250 330 Berlebih
13. Es kue SDN Pondok Benda 2, 3 &
6
250 360 Berlebih
14. Es susu
kocok
SDN Pondok Benda 2, 3 &
6
250 800 Berlebih
15. Es mambo SDN Pondok Benda 2, 3 &
6
250 380 Berlebih
16. Es teh SDN Pamulang 1 250 320 Berlebih
17. Es susu
coklat
SDN Pamulang 1 250 280 Berlebih
18. Es goyang SDN Pamulang 1 250 470 Berlebih
19. Es oyen SDN Pamulang Permai 250 400 Berlebih
20. Jus apel SDN Pamulang Permai 250 280 Berlebih
21. Es campur SDN Pamulang Permai 250 270 Berlebih
22. Es susu
kedelai
SDN Pamulang Permai 250 300 Berlebih
23. Es doger SDN Pamulang 2 250 360 Berlebih
24. Agar-agar SDN Pamulang 2 1000 1328 Berlebih
25. Milkshake SDN Pamulang 2 250 150 Tidak Berlebih
26. Es podeng SDN Pamulang 2 250 360 Berlebih
27. Es cincau SDN Pamulang 2 250 410 Berlebih
28. Es lilin SDN Pamulang Barat 250 260 Berlebih
29. Agar-agar SDN Pamulang Barat 1000 0 Tidak Berlebih
30. Es teh SDN Pamulang Barat 250 320 Berlebih
31. Es serut
sirup
SDN Pamulang Barat 250 250 Tidak Berlebih
32. Es teh manis SDN Pamulang Timur 1
dan 2
250 350 Berlebih
33. Es buah SDN Pamulang Timur 1 250 220 Tidak Berlebih
138
No. Jenis PJAS Lokasi Batas
Maksimum
yang
Diizinkan
(mg/kg)
Kadar
Siklamat
(mg/kg)
Keterangan
(Berlebih /
Tidak
Berlebih)
segar dan 2
34. Es capucino
cincau
SDN Pamulang Timur 1
dan 2
250 0 Tidak Berlebih
35. Es dawet
ayu
SDN Pamulang Timur 1
dan 2
250 310 Berlebih
36. Agar-agar SDN Pamulang Timur 1
dan 2
1000 0 Tidak Berlebih
37. Es potong SDN Pamulang Timur 1
dan 2
250 340 Berlebih
38. Es cendol SDN Pamulang Indah 250 450 Berlebih
39. Es susu
campur
SDN Pamulang Tengah 250 320 Berlebih
40. Es teh manis SDN Pamulang Tengah 250 340 Berlebih
41. Es susu
kedelai
SDN Pamulang Tengah 250 300 Berlebih
42. Agar-agar SDN Pamulang Tengah 1000 0 Tidak Berlebih
43. Es potong SDN Pamulang Timur 3 250 420 Berlebih
44. Es teh manis SDN Pamulang Timur 3 250 270 Berlebih
45. Es mambo SDN Pamulang Timur 3 250 410 Berlebih
139
LAMPIRAN 3
OUTPUT UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
Cronbach's
Alpha Based
on
Standardized
Items N of Items
.956 .958 35
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale
Variance if
Item Deleted
Corrected
Item-Total
Correlation
Squared
Multiple
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
B1 63.30 136.493 .752 . .953
B2 63.40 138.662 .577 . .955
B3 63.23 139.840 .469 . .955
B4 63.23 138.116 .617 . .954
B5 63.30 139.734 .473 . .955
B6 63.37 139.964 .458 . .955
B7 63.33 138.851 .550 . .955
B8 63.33 136.782 .728 . .954
B9 63.27 138.685 .564 . .955
C1 62.07 134.892 .642 . .954
C2 62.03 138.378 .428 . .956
C3 62.10 137.679 .615 . .954
140
C4 62.13 136.533 .693 . .954
C5 62.10 135.128 .736 . .953
C6 62.07 137.237 .593 . .955
C7 62.03 132.999 .724 . .954
C8 62.20 136.441 .773 . .953
C9 62.13 136.533 .484 . .956
C10 62.10 137.334 .477 . .956
D1 63.23 139.013 .540 . .955
D2 63.37 138.930 .547 . .955
D3 63.30 138.700 .561 . .955
E1 63.20 138.648 .578 . .955
E2 63.23 137.495 .671 . .954
E3 63.23 137.771 .647 . .954
E4 63.30 136.700 .734 . .954
F1 63.40 138.800 .565 . .955
F2 63.23 137.495 .671 . .954
F3 63.20 138.924 .554 . .955
G2 63.27 139.789 .470 . .955
G3 63.27 137.857 .635 . .954
G4 63.30 136.976 .710 . .954
H1 63.37 137.137 .702 . .954
H2 63.23 136.461 .762 . .953
H3 63.33 136.989 .710 . .954
141
LAMPIRAN 4
OUPUT ANALISIS DATA PENELITIAN
Statistics
Pengetahuan
N Valid 76
Missing 1
Mean 11.29
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Pengetahuan .111 76 .062 .968 76 .085
a. Lilliefors Significance Correction
142
Statistics
Sikap
N Valid 76
Missing 1
Mean 34.14
Median 35.00
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Sikap .151 76 .000 .894 76 .000
a. Lilliefors Significance Correction
143
KategoriSikap
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Positif 35 45.5 46.1 46.1
Negatif 41 53.2 53.9 100.0
Total 76 98.7 100.0
Missing System 1 1.3
Total 77 100.0
Statistics
Kepercayaan
N Valid 76
Missing 1
Mean 4.74
Median 5.00
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kepercayaan .224 76 .000 .816 76 .000
a. Lilliefors Significance Correction
TingkatKepercayaan
144
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Percaya 30 39.0 39.5 39.5
Tidak Percaya 46 59.7 60.5 100.0
Total 76 98.7 100.0
Missing System 1 1.3
Total 77 100.0
Statistics
Nilai
N Valid 76
Missing 1
Mean 5.91
Median 6.00
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Nilai .185 76 .000 .874 76 .001
a. Lilliefors Significance Correction
145
KategoriNilai
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid penting 21 27.3 27.6 27.6
Tidak Penting 55 71.4 72.4 100.0
Total 76 98.7 100.0
Missing System 1 1.3
Total 77 100.0
Statistics
Ketersediaan
N Valid 76
Missing 1
Mean 5.03
Median 5.00
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Ketersediaan .249 76 .000 .852 76 .000
a. Lilliefors Significance Correction
146
KategoriKetersediaan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Memadai 52 67.5 68.4 68.4
Tidak Memadai 24 31.2 31.6 100.0
Total 76 98.7 100.0
Missing System 1 1.3
Total 77 100.0
Statistics
Akses
N Valid 76
Missing 1
Mean 4.53
Median 5.00
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Akses .185 76 .000 .870 76 .000
a. Lilliefors Significance Correction
147
KategoriAkses
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Mudah 39 50.6 51.3 51.3
Sukar 37 48.1 48.7 100.0
Total 76 98.7 100.0
Missing System 1 1.3
Total 77 100.0
Statistics
Pengaruh_Teman
N Valid 76
Missing 1
Mean 3.71
Median 4.00
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Pengaruh_Teman .177 76 .000 .856 76 .000
a. Lilliefors Significance Correction
148
PeranTeman
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Dipengaruhi 35 45.5 46.1 46.1
Tidak Dipengaruhi 41 53.2 53.9 100.0
Total 76 98.7 100.0
Missing System 1 1.3
Total 77 100.0
Tingkat_Pengetahuan * Status_Siklamat Crosstabulation
Status_Siklamat
Total Berlebih Tidak Berlebih
Tingkat_Pengetahuan Rendah Count 15 21 36
% within
Tingkat_Pengetahuan 41.7% 58.3% 100.0%
149
% within Status_Siklamat 38.5% 56.8% 47.4%
Tinggi Count 24 16 40
% within
Tingkat_Pengetahuan 60.0% 40.0% 100.0%
% within Status_Siklamat 61.5% 43.2% 52.6%
Total Count 39 37 76
% within
Tingkat_Pengetahuan 51.3% 48.7% 100.0%
% within Status_Siklamat 100.0% 100.0% 100.0%
KategoriSikap * Status_Siklamat Crosstabulation
Status_Siklamat
Total Berlebih Tidak Berlebih
KategoriSikap Positif Count 16 19 35
% within KategoriSikap 45.7% 54.3% 100.0%
% within Status_Siklamat 41.0% 51.4% 46.1%
150
Negatif Count 23 18 41
% within KategoriSikap 56.1% 43.9% 100.0%
% within Status_Siklamat 59.0% 48.6% 53.9%
Total Count 39 37 76
% within KategoriSikap 51.3% 48.7% 100.0%
% within Status_Siklamat 100.0% 100.0% 100.0%
TingkatKepercayaan * Status_Siklamat Crosstabulation
Status_Siklamat
Total Berlebih Tidak Berlebih
TingkatKepercayaan Percaya Count 13 17 30
% within
TingkatKepercayaan 43.3% 56.7% 100.0%
% within Status_Siklamat 33.3% 45.9% 39.5%
151
Tidak Percaya Count 26 20 46
% within
TingkatKepercayaan 56.5% 43.5% 100.0%
% within Status_Siklamat 66.7% 54.1% 60.5%
Total Count 39 37 76
% within
TingkatKepercayaan 51.3% 48.7% 100.0%
% within Status_Siklamat 100.0% 100.0% 100.0%
KategoriNilai * Status_Siklamat Crosstabulation
Status_Siklamat
Total Berlebih Tidak Berlebih
KategoriNilai penting Count 9 12 21
% within KategoriNilai 42.9% 57.1% 100.0%
152
% within Status_Siklamat 23.1% 32.4% 27.6%
Tidak Penting Count 30 25 55
% within KategoriNilai 54.5% 45.5% 100.0%
% within Status_Siklamat 76.9% 67.6% 72.4%
Total Count 39 37 76
% within KategoriNilai 51.3% 48.7% 100.0%
% within Status_Siklamat 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .831a 1 .362
Continuity Correctionb .429 1 .512
Likelihood Ratio .833 1 .362
Fisher's Exact Test .445 .256
Linear-by-Linear Association .820 1 .365
N of Valid Casesb 76
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,22.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for KategoriNilai
(penting / Tidak Penting) .625 .227 1.723
For cohort Status_Siklamat =
Berlebih .786 .453 1.361
For cohort Status_Siklamat =
Tidak Berlebih 1.257 .786 2.012
N of Valid Cases 76
153
KategoriKetersediaan * Status_Siklamat Crosstabulation
Status_Siklamat
Total Berlebih Tidak Berlebih
KategoriKetersediaan Memadai Count 31 21 52
% within
KategoriKetersediaan 59.6% 40.4% 100.0%
% within Status_Siklamat 79.5% 56.8% 68.4%
Tidak Memadai Count 8 16 24
% within
KategoriKetersediaan 33.3% 66.7% 100.0%
% within Status_Siklamat 20.5% 43.2% 31.6%
Total Count 39 37 76
% within
KategoriKetersediaan 51.3% 48.7% 100.0%
% within Status_Siklamat 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 4.540a 1 .033
Continuity Correctionb 3.549 1 .060
Likelihood Ratio 4.601 1 .032
Fisher's Exact Test .048 .029
Linear-by-Linear Association 4.481 1 .034
N of Valid Casesb 76
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11,68.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
154
Odds Ratio for
KategoriKetersediaan
(Memadai / Tidak Memadai)
2.952 1.072 8.134
For cohort Status_Siklamat =
Berlebih 1.788 .973 3.286
For cohort Status_Siklamat =
Tidak Berlebih .606 .392 .936
N of Valid Cases 76
KategoriAkses * Status_Siklamat Crosstabulation
Status_Siklamat
Total Berlebih Tidak Berlebih
KategoriAkses Mudah Count 25 14 39
% within KategoriAkses 64.1% 35.9% 100.0%
% within Status_Siklamat 64.1% 37.8% 51.3%
Sukar Count 14 23 37
% within KategoriAkses 37.8% 62.2% 100.0%
% within Status_Siklamat 35.9% 62.2% 48.7%
Total Count 39 37 76
% within KategoriAkses 51.3% 48.7% 100.0%
% within Status_Siklamat 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.243a 1 .022
Continuity Correctionb 4.244 1 .039
Likelihood Ratio 5.304 1 .021
155
Fisher's Exact Test .038 .019
Linear-by-Linear Association 5.174 1 .023
N of Valid Casesb 76
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18,01.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
KategoriAkses (Mudah /
Sukar)
2.934 1.155 7.454
For cohort Status_Siklamat =
Berlebih 1.694 1.053 2.724
For cohort Status_Siklamat =
Tidak Berlebih .577 .354 .942
N of Valid Cases 76
PeranTeman * Status_Siklamat Crosstabulation
Status_Siklamat
Total Berlebih Tidak Berlebih
PeranTeman Dipengaruhi Count 17 18 35
% within PeranTeman 48.6% 51.4% 100.0%
% within Status_Siklamat 43.6% 48.6% 46.1%
Tidak Dipengaruhi Count 22 19 41
% within PeranTeman 53.7% 46.3% 100.0%
% within Status_Siklamat 56.4% 51.4% 53.9%
Total Count 39 37 76
% within PeranTeman 51.3% 48.7% 100.0%
% within Status_Siklamat 100.0% 100.0% 100.0%
156
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .196a 1 .658
Continuity Correctionb .045 1 .832
Likelihood Ratio .196 1 .658
Fisher's Exact Test .818 .416
Linear-by-Linear Association .193 1 .660
N of Valid Casesb 76
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,04.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for PeranTeman
(Dipengaruhi / Tidak
Dipengaruhi)
.816 .330 2.013
For cohort Status_Siklamat =
Berlebih .905 .581 1.411
For cohort Status_Siklamat =
Tidak Berlebih 1.110 .700 1.759
N of Valid Cases 76
157
LAMPIRAN 5
DOKUMENTASI KEGIATAN PENELITIAN
158
159
160
161
162
163
164
` ̀
top related