efektivitas anestesi berulang ketamin pada … · efektivitas anestesi berulang ketamin pada landak...
Post on 15-Mar-2019
231 Views
Preview:
TRANSCRIPT
EFEKTIVITAS ANESTESI BERULANG KETAMIN PADA
LANDAK MINI (Atelerix albiventris)
INTAN MARIA PARAMITA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas Anestesi
Berulang Ketamin pada Landak Mini (Atelerix albiventris) adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Intan Maria Paramita
NIM B04110015
ABSTRAK
INTAN MARIA PARAMITA. Efektivitas Anestesi Berulang Ketamin pada
Landak Mini (Atelerix albiventris). Dibimbing oleh RIKI SISWANDI dan HUDA
SHALAHUDIN DARUSMAN.
Penelitan ini bertujuan untuk menerangkan hasil evaluasi anestesi berulang
dilihat dari parameter onset, durasi serta tahapan anestesi pada landak mini
(Atelerix albiventris) dengan menggunakan ketamin intramuskular. Empat ekor
landak mini (Atelerix albiventris) dianestesi dengan ketamin dosis 80 mg/kg BB
di m. gluteus. Pengulangan injeksi dilakukan dengan penyuntikan anestesi
berulang tiga kali dengan selang waktu empat hari. Hasil menunjukkan bahwa
penggunaan ketamin pada landak mini memiliki onset 3 menit 53 detik ± 57 detik,
dengan durasi anestesi 13 menit 52 detik ± 58 detik dan waktu pemulihan 30
menit 48 detik ± 6 menit 8 detik. Ketamin berulang menunjukkan kecenderungan
percepatan onset, peningkatan durasi dan waktu pemulihan. Pengulangan
mengakibatkan durasi anestesi menjadi lebih lama secara signifikan pada
pengulangan pertama dan ketiga (P<0.05). Waktu pemulihan menjadi lebih lama
seiring dengan dilakukan pengulangan namun tidak berbeda nyata. Pengulangan
memengaruhi beberapa gejala klinis menjadi lebih cepat terjadi baik periode
induksi maupun pemulihan. Refleks okular menunjukkan refleks yang berbeda
beda yang ditandai dengan penekanan refleks pupil di semua individu namun
penekanan refleks kornea dan palpebra hanya pada setengah total individu.
Ketamin memiliki efek samping menyebabkan hipersalivasi dan peningkatan
tonus otot sehingga diperlukan penggunaan premedikasi dan kombinasi obat.
Kata kunci: anestesi, anestesi berulang, ketamin, landak mini
ABSTRACT
INTAN MARIA PARAMITA. The Effectiveness of Ketamin Repeated
Anaesthesia in African Pigmy Hedgehog (Atelerix albiventris). Supervised by
RIKI SISWANDI and HUDA SHALAHUDIN DARUSMAN.
The aim of this research was to explain the result of repeated anaethesia
evaluation using onset, duration and observed clinical signs in African pigmy
hedgehog (Atelerix albiventris) using intramuscular ketamine. Four hedgehogs
(Atelerix albiventris) were anaesthetized using 80 mg/kg ketamine in musculus
gluteus. Repeat anesthesia was done by injecting ketamine three times at intervals
of four days. The result showed that the used of ketamine in hedgehog had 3
minutes 53 seconds ± 57 seconds in onset, the duration of anaethesia was 13
minutes 52 seconds ± 58 seconds and recovery time was 30 minutes 48 seconds ±
6 minutes 8 seconds. Repeated ketamine showed a tendency in accelerated onset,
increased duration and recovery time. Repetition resulted in a significantly longer
duration of anesthesia in the first and third repetition (P <0.05). The recovery
time was longer due to repetition, but not significantly different. Repetition
showed faster clinical symptoms occur both induction and recovery periods.
Ocular reflex showed different reflex in some parts characterized by an emphasis
of pupillary reflex in all different individuals but the emphasis of corneal and
palpebral reflexes only in a half individual. Ketamine has side effects caused
hypersalivation and increased muscle tone that is necessary to use premedication
and drug combinations.
Keywords: anaesthesia, hedgehog, ketamine, repeated anaesthesia
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
EFEKTIVITAS ANESTESI BERULANG KETAMIN PADA
LANDAK MINI (Atelerix albiventris)
INTAN MARIA PARAMITA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Judul Skripsi : Efektivitas Anestesi Berulang Ketamin pada Landak Mini (Atelerix
albiventris)
Nama : Intan Maria Paramita
NIM : B04110015
Disetujui oleh
Drh Riki Siswandi, MSi
Pembimbing I
Drh Huda S Darusman, MSi, PhD
Pembimbing II
Diketahui oleh
Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian ini adalah “Efektivitas Anestesi Berulang Ketamin Pada
Landak Mini (Atelerix albiventris)”.
Terimakasih penulis ucapkan kepada ayahanda Alm Bambang Suyadi,
ibunda Sutitah Rahaju, dan kakak terkasih Novin Maria Purwanita beserta kakak
ipar Samsul Arifin atas segala bentuk dukungan dan kasih sayang yang berlimpah
kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drh. Riki
Siswandi, MSi dan Bapak Drh. Huda S Darusman, MSi, PhD selaku pembimbing
yang selalu sabar dan bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan
dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih kepada Bapak Dr.
Drh. H. Akhmad Arif Amin selaku dosen pembimbing akademik atas dukungan,
bimbingan, dan kasih sayangnya. Terimakasih Bapak Mardikanto dan Ibu Ninut
terkasih yang selalu memberikan dukungan dan nasihat selama menempuh masa
studi. Sahabat yang selalu mendampingi di kala suka dan duka, Melpa, Zahra,
Cerelia, Faisal, Fiqi, Keluarga Cempaka 13, Keluarga Paguyuban Karya Salemba
Empat IPB, Tim Panitia Pemeriksa Hewan dan daging Kurban, serta Tim pecinta
hewan eksotik Rifky, dan Kenda. Kakak kakak yang selalu menyemangati, Kak
Hiro, Kak Putra, Kak Talitha, dan Kak Kukuh. Tak lupa penulis ucapkan
terimakasih kepada keluarga besar Ganglion FKH 48 atas segala dukungan moril
yang telah diberikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga
penulis terbuka atas saran yang diberikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penulis maupun bagi pembaca.
Bogor, September 2015
Intan Maria Paramita
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
BAHAN DAN METODE 5
Waktu dan Tempat Penelitian 5
Alat dan Bahan 5
Metode Penelitian 5
Prosedur Analisis Data 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Gejala Klinis Anestesi Periode Induksi 8
Gejala Klinis Anestesi pada Periode Pemulihan 12
SIMPULAN DAN SARAN 14
Simpulan 14
Saran 14
DAFTAR PUSTAKA 15
LAMPIRAN 17
RIWAYAT HIDUP 23
DAFTAR TABEL
1 Nilai rataan onset anestesi, durasi anestesi, dan waktu pemulihan
anestesi antar pengulangan 7 2 Gejala klinis anestesi pada landak mini 8
3 Nilai raataan onset gejala klinis induksi mata membesar, inkoordinasi,
refleks pupil hilang 9 4 Nilai raataan onset gejala klinis induksi refleks pupil hilang, refleks
penegakan tubuh, pili recti hilang 10 5 Nilai raataan onset gejala klinis induksi pili recti hilang, refleks
kornea hilang, nyeri hilang 10
6 Nilai raataan onset gejala klinis pemulihan nyeri timbul, pili recti
timbul, refleks kornea kembali 12 7 Nilai raataan onset gejala klinis pemulihan refleks kornea kembali,
refleks palpebrae kembali, relaksasi kaki depan 12 8 Nilai raataan onset gejala klinis pemulihan relaksasi kaki depan, mata
mengecil, refleks pupil kembali 13
9 Nilai raataan onset gejala klinis pemulihan refleks pupil kembali,
refleks penegakan leher, refleks penegakan tubuh 13
DAFTAR GAMBAR
1 Landak Mini 3
2 Metode Pengekangan Landak Mini (Hudelson 2008) 3 3 Struktur kimia ketamin HCl C13H16ClNO.HCl 4 4 Urutan onset gejala klinis pembiusan tahap induksi 11
5 Urutan onset gejala klinis pemulihan anestesi 14
DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil uji ANOVA onset, durasi, dan pemulihan anestesi 17 2. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Mata
membesar, Inkoordinasi, Refleks pupil hilang) 18 3. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Refleks
pupil hilang, Refleks Penegakan tubuh hilang, Pili recti) 18
4. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Pili recti,
Refleks Kornea hilang, Nyeri hilang) 19
5. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Nyeri
timbul, Pili recti, Refleks kornea) 20
6. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Refleks
kornea, Refleks palpebrae, Relaksasi kaki depan) 20 7. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Relaksasi
kaki depan, Mata mengecil, Refleks pupil) 21 8. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Refleks
pupil kembali-Refleks penegakan leher-Refleks penegakan tubuh) 22
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hewan eksotik adalah hewan liar yang dijadikan hewan kesayangan karena
memiliki karakteristik bentuk yang unik dan langka sehingga orang memelihara
hewan tersebut untuk kesenangan atau kepuasan yang memelihara. Indonesia
memiliki peningkatan jumlah pemelihara hewan eksotik yang tinggi. Salah satu
hewan eksotik yang dipelihara adalah landak mini. Landak mini terdiri dari
berbagai macam spesies, namun yang sering dipelihara hanya dua spesies.
Landak mini Eropa (Erinaceus europaeus) dan landak mini Afrika (Atelerix
albiventris) yang lebih kecil. Landak mini di Indonesia lebih banyak berasal dari
Afrika dengan ciri khas warna putih pada rambut halus di wajah dan abdomen.
Sedangkan landak mini Eropa (Erinaceus europaeus) memiliki ciri khas warna
hitam di rambut halusnya (Santana et al. 2010).
Landak mini dengan durinya bukan hewan yang mudah ditangani. Landak
mini memiliki kebiasaan menggulung seperti bola dan mengeluarkan suara khas
hissing dan huffing sebagai suara peringatan yang dihasilkan dari hidung saat
merasa terganggu (Hoefer 1992). Kebiasaan ini dapat menyulitkan ketika
melakukan tindakan medis. Tindak restraint kimiawi adalah salah satu cara
pengendalian hewan dengan menggunakan prinsip meniadakan kesadaran,
refleks, dan rasa nyeri (Dugdale 2012). Dengan menggunakan teknik serta
sediaan anestesi yang tepat, seekor hewan dapat ditangani dengan lebih baik.
Landak mini memiliki perilaku khas self-anointing dan hibernasi. Self-
anointing adalah pengeluaran saliva berlebih yang dibalurkan ke seluruh tubuh
terjadi saat landak mini bertemu dengan hal baru. Hibernasi atau tidur panjang
dilakukan saat landak mini berada di lingkungan yang dingin dan langka makanan
(Mori dan O‟Brien 1997). Self-anointing dapat memicu terjadinya pneumonia
aspirasi bila tidak menggunakan agen anestetikum yang mempertahankan refleks
menelan. Hibernasi landak mini dapat menurunkan fungsi kardiovaskular,
sehingga penting melakukan pemilihan sediaan depresan sistem syaraf pusat yang
mampu mempertahankan refleks menelan dan menjaga fungsi kardiovaskular.
Salah satu agen yang dapat digunakan untuk aplikasi pada satwa eksotik adalah
ketamin.
Belum banyak studi dan literatur terkait anestesi pada landak mini. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai efektivitas anestesi berulang
ketamin pada landak mini sehingga dapat diterapkan dalam penanganan landak
mini.
Perumusan Masalah
Landak mini adalah hewan eksotik yang dipelihara di Indonesia,
ketersediaan literatur tentang landak mini dan data-data sederhana untuk
pemeriksaan pada landak mini belum banyak diteliti. Seringkali landak menderita
penyakit dan jarang praktisi mampu memberikan cara pengekangan yang tepat
pada landak mini. Untuk dapat melakukan pengambilan gambar ultrasonografi,
tindak bedah serta tindakan medis lainnya diperlukan teknik anestesi yang tepat.
2
Periaku landak mini seperti menggulung badan, dan self-anointing saat bertemu
orang baru dan hibernasi mengharuskan pemilihan anestetikum yang aman dalam
menghadapi perlaku khas tersebut. Salah satu anestetikum yang disarankan adalah
sediaan ketamin. Penggunaan anestesi berulang sering kali digunakan pada
operasi radikal atau pada operasi multi penyakit. Efek dari penggunaan ketamin
dengan dosis berulang masih belum banyak dilaporkan terutama pada dunia
kedokteran hewan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menerangkan hasil evaluasi anestesi dilihat
dari parameter onset, durasi serta tahapan anestesi pada landak mini (Atelerix
albiventris) dengan menggunakan ketamin intramuskular. Anestesi berulang
bertujuan menerangkan ada tidaknya perubahan potensi dan keamanan
anestetikum ketamin pada landak mini.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh
ketamin pada hewan eksotik seperti landak mini. Selain itu diharapkan dapat
digunakan sebagai modal bagi penelitian selanjutnya, serta referensi dalam upaya
pembelajaran penanganan hewan eksotik untuk pengambilan tindakan medis
selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Landak Mini (Atelerix albiventris) Indonesia
Landak mini adalah hewan yang berbeda dengan landak hutan (Hystrix
javanica). Landak mini (erinaceines) adalah mamalia kecil berduri, hidup
nokturnal di Eurasia dan Afrika. Habitat landak mini tersebar dari padang pasir
hingga daerah tropis. Landak mini memiliki kebiasaan hibernasi saat cuaca
menjadi dingin. Kebiasaan ini juga dilakukan saat jumlah makanan berkurang.
Kekerabatan terdekat dari landak mini adalah tikus hutan (He et al. 2002).
Atelerix albiventris (gambar 1) adalah salah satu dari empat anggota genus
Atelerix. Hewan ini merupakan pemakan serangga. Hewan ini dapat dibedakan
jenis kelaminnya dengan mudah. Hewan ini tidak termasuk dalam spesies yang
dilindungi, sehingga banyak yang menjadikan hewan ini sebagai peliharaan.
Selain dipelihara, di Amerika hewan ini banyak digunakan sebagai hewan coba
dalam penelitian biomedik (Santana et al. 2010).
3
Gambar 1 Landak Mini (Dokumen pribadi)
Landak mini adalah hewan yang memiliki kebiasaan menggulung badannya
ketika ketakutan atau bertemu orang baru. Hewan ini mengandalkan duri duri di
tubuhnya sebagai bagian dari upaya perlindungan diri saat merasa terancam.
Tingkah laku ini dapat menyulitkan dalam melakukan tindakan medis seperti
menyuntik dan mengamati bagian abdomen. Cara yang baik untuk mengekang
landak mini tanpa menimbulkan trauma adalah dengan meletakkan bagian wajah
ke arah bawah. Posisi ini akan memancing landak mini membuka gulungan dan
menyentuh meja atau alas lainnya. Saat kaki depan landak terbuka, kaki belakang
landak segera di jepit diantara telunjuk dan ibu jari (gambar 2).
Gambar 2 Metode Pengekangan Landak Mini (Hudelson 2008)
Ketamin Hidroklorida (HCl)
Ketamin hidroklorida (HCl) dengan rumus 2-(0-chlorophenil)-2-
(Methylamino)-cyclohexanone merupakan gologan phencyclidine (gambar 3).
Ketamin merupakan anestetikum disosisatif yang mempunyai sifat analgesik,
anestetik, dan kataleptik dengan kerja singkat. Disosiasi sering disertai dilatasi
pupil, salivasi, lakrimasi, gerakan refleks kaki, dan peningkatan tonus otot.
Ketamin mampu menjaga kestabilan hemodinamik selama anestesi sebagai akibat
dari efek stimulasi nervus simpatis melawan efek depresan (Demirkan et al.
4
2002). Ketamin HCl larut dalam air dan lemak sehingga cepat disalurkan ke organ
yang mengandung banyak vaskularisasi, termasuk otak dan jantung (Gunawan et
al. 2009).
Gambar 3 Struktur kimia ketamin HCl C13H16ClNO.HCl
(Erhardt et al. 1984)
Ketamin berikatan dengan reseptor kompleks N-metil-D-aspartat (NMDA)
yang terletak di kanal ion. Ikatan ini menyebabkan kerja ketamin antagonis
terhadap reseptor NMDA. Agonis endogen dari reseptor ini adalah asam amino
seperti asam glutamat, asam aspartat dan glisin. Aktivasi reseptor ini akan
membuka gerbang kanal dan membentuk depolarisasi neuron. Ketamin
diharapkan mampu menghambat dan mengganggu pemasukan sensor di pusat
sensoris otak (Dugdale 2012). Ketamin berperan dalam menghambat sentisisasi
sentral. Salah satu neurotransmiter eksitatori yang berperan adalah glutamat.
Melekatnya glutamat di membran post synaps akan menyebabkan terjadinya
transmisi impuls saraf dan menyebabkan saraf turun ambang nyerinya. Ketamin
akan menduduki reseptor NMDA menggantikan glutamat, sehingga menghambat
penyampaian impuls, mengurangi fase awal dari sensitisasi sentral (Stoelting &
Hillier 2006).
Ketamin memiliki sedikit efek depresan pada organ respirasi. Ketamin HCl
untuk anestesi umum pada bedah veteriner sering digunakan pada hampir semua
jenis hewan. Pertimbangan pemakaian ketamin HCl antara lain tingkat keamanan
yang relatif tinggi, interval dosis efektif yang luas dan teknik pemberian yang
mudah. Keuntungan ini menjadikan ketamin banyak diaplikasikan di satwa liar
dan eksotik baik tunggal maupun kombinasi contohnya pada rakun (Bigler dan
Haff 1974), singa gunung (Logan et al. 1986), linsang (Fernandes-Moran et al.
2001), tupai dan musang (Jalanka dan Roeken 1990). Salah satu efek samping
yang ditimbulkan oleh ketamin adalah meningkatkan tekanan arterial yang akan
menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler (Yudaniayanti et al. 2012)
Lepore et al. (2000) menyatakan bahwa onset didefinisikan sebagai lamanya
waktu induksi obat hingga obat tersebut bekerja. Dalam anestesi, onset diamati
sejak anestetikum disuntikkan hingga muncul hilangnya kesadaran dan rasa nyeri.
Durasi adalah lamanya obat bekerja dalam tubuh, dihitung sejak kesadaran dan
rasa nyeri hilang hingga kedua gejala kembali hadir. Waktu pemulihan merupakan
waktu setelah nyeri hadir hingga tubuh benar benar pulih.
5
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Divisi Bedah dan Radiologi,
Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor pada bulan Juli 2014.
Alat dan Bahan
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat ekor
landak mini (Atelerix albiventris) berjenis kelamin jantan. Landak mini dengan
kondisi normal secara fisiologis berusia 5 bulan sampai 1 tahun. Anestetikum
yang digunakan adalah ketamin HCL 10% (Ilium Ketamil©
100, Troy). Alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan hewan kecil, syringe insulin 0,5
ml (Ultra-Fine™
) dengan jarum 29 gauge, stetoskop, penlight, rat tooth tissue
forceps, kapas beralkohol, dan kamera digital.
Metode Penelitian
Tahap Persiapan
Empat ekor landak mini diletakkan dalam kandang individu berukuran 40
cm x 25 cm x 27 cm. Adaptasi hewan dilakukan selama satu minggu. Selama
proses adaptasi, masing-masing feses hewan diperiksa keberadaan parasitnya
melalui pemeriksaan natif menggunakan mikroskop.
Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dari tahap induksi, anestesi hingga
pemulihan. Variabel yang diamati yaitu onset, durasi, dan tahapan anestesi. Tahap
pertama, hewan ditimbang bobot badannya dan dipastikan tidak mengalami
kelainan melalui pemeriksaan fisik dan pengamatan tingkah laku. Landak mini
adalah hewan nokturnal yang aktif pada malam hari. Landak mini yang dipelihara
akan terbiasa bermain di siang hari. Landak mini yang sehat, pada malam hari
akan aktif memutari kandang atau mencari makan, sedangkan pada siang hari
cenderung tidur. Namun jika dibangunkan landak mini akan aktif berjalan didalam
kandang lalu tidur kembali. Dengan mengetahui kebiasaan ini dapat ditentukan
individu yang tidak mengalami kelainan.
Hewan diinjeksi ketamin dengan dosis 80 mg/kg BB (Robinson dan
Routh 1999) secara intramuskuler (IM) di musculus gluteus. Bagian yang akan
diinjeksi, dibersihkan terlebih dahulu dengan alkohol 70%. Setelah kaki belakang
dikekang dengan benar, ketamin segera diinjeksi. Pengamatan dilakukan dari
tahap induksi, tercapai stadium anestesi, hingga tahap pemulihan. Hilangnya
refleks penegakan tubuh, dan rasa nyeri menjadi indikator tercapainya stadium
anestesi. Durasi anestesi dihitung dari hilangnya refleks nyeri dan refleks
6
penegakan tubuh hingga hewan mampu merespons nyeri. Respon nyeri diamati
dengan menjepitkan rat tooth tissue forcep di jari landak mini. Waktu pemulihan
adalah sejak respons nyeri muncul sampai hewan mampu mengembalikan refleks
penegakan tubuh. Pengamatan pasca induksi dilakukan dengan metode focal
animal sampling.
Focal animal sampling adalah teknik pengamatan langsung yang
digunakan untuk mengamati semua penampakan aksi spesifik dari satu individu
atau kelompok individu tertentu berdasarkan periode waktu yang telah ditentukan
(Altman 1973). Perilaku yang diamati adalah seluruh perilaku yang dilakukan
secara naluri tanpa ada gangguan.
Penentuan keamanan dan perubahan potensi anestesi pada landak mini
selama pengulangan dilakukan dengan penyuntikan anestesi berulang tiga kali.
Landak mini yang sudah dianestesi pada hari pertama diinduksi lagi menggunakan
ketamin dengan dosis yang sama pada hari keempat dan ketujuh. Pengamatan
dilakukan hingga landak mini pulih dari fase pemulihan anestesi. Variabel yang
diamati yaitu onset, durasi dan gejala anestesi setiap pengulangan. Seluruh
pengamatan direkam dengan kamera digital dan diamati dengan ketelitian satuan
detik.
Prosedur Analisis Data
Data parameter onset dan durasi diolah menggunakan IBM SPSS Statistics
20 dan Microsoft Excel 2013. Hasil pengukuran dinyatakan dalam rata-rata dan
simpangan baku. Data hasil pengamatan perilaku antar pengulangan dan antar
gejala diuji secara statistika menggunakan analisis ragam (Analyse of Variant/
ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey Honestly Significant Difference
(HSD) pada selang kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemakaian ketamin untuk anestesi umum pada bedah veteriner sering
digunakan pada hampir semua jenis hewan karena memiliki tingkat keamanan
yang relatif tinggi, interval dosis efektif yang luas dan teknik pemberian yang
mudah (Yudaniayanti et al. 2012). Pertimbangan ini digunakan dasar dalam
memilih anestetikum yang digunakan untuk landak mini. Landak mini sebelum
disuntik menunjukkan keadaan tanpa kelainan.
Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata onset anestesi penyuntikan pertama
pada landak mini adalah 3 menit 53 detik ± 57 detik. Pengulangan injeksi
menyebabkan onset menjadi lebih cepat walaupun tidak secara signifikan.
Ketamin memiliki onset yang cepat karena sifat larutan ketamin yang sangat larut
dalam lemak, sehingga memudahkan ketamin menembus jaringan otak. Namun
dengan rute intramuskuler, ketamin membutuhkan waktu beberapa menit lama
daripada rute intravena untuk menembus otak (McKelvey dan Hollingshead
2003). Hal ini yang menyebabkan onset ketamin pada landak mini terjadi pada
menit ketiga pasca induksi.
7
Tabel 1 Nilai rataan onset anestesi, durasi anestesi, dan waktu pemulihan anestesi antar
pengulangan
Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III
Onset 3‟53” ± 57”a
3‟20” ± 1‟7”a
3‟39” ± 46”a
Durasi 13‟52” ± 58”a
17‟35” ± 3‟20”ab
19‟22” ± 44”b
Waktu Pemulihan 30‟48” ± 6‟8”a
42‟23” ± 16‟18”a
39‟20” ± 10‟7”a
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan ada
perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. ‟ = satuan menit; ” = satuan detik.
Nilai rataan durasi anestesi menunjukkan waktu yang semakin lama pada
setiap pengulangan dengan nilai rataan durasi penyuntikan pertama adalah 13
menit 52 detik ± 58 detik. Secara umum pengulangan injeksi mengakibatkan
meningkatnya waktu durasi. Wai et al. (2012) menyatakan bahwa penggunaan
ketamin dalam jangka waktu lama dan berulang mengakibatkan kerusakan hati
yang signifikan berupa degenerasi lemak dan fibrosis. Kerusakan ini yang diduga
mengakibatkan terjadinya perpanjangan durasi pengulangan pertama dan ketiga
akibat hati lambat memetabolisme ketamin dalam tubuh. Gejala perpanjangan
durasi ini mirip dengan gejala yang terjadi pada pecandu alkohol yang dianestesi.
Kerusakan berbagai organ akibat alkohol akan memperpanjang durasi anestesi
(Keilty 1969; Lee et al. 1964). Perlu dilakukan pengujian histopatologi dan
pengulangan kembali dalam frekuensi yang lebih banyak untuk dapat memastikan
kerusakan hati yang terjadi akibat pengulangan ketamin.
Hedenqvist et al. (2000) menyatakan bahwa efek anestesi berulang sangat
kompleks dan berbeda tergantung dari jenis hewan dan agen anestesi. Pada tikus
yang diinduksi dengan ketamin dan buprenorfin berulang mengalami penurunan
sleep time dan durasi anestesi yang berbeda nyata. Tikus yang diinduksi
menggunakan ketamin berulang tanpa buprenorfin mengalami peningkatan sleep
time namun tidak mengalami perubahan durasi yang signifikan. Sleep time adalah
durasi hilangnya refleks penegakan tubuh. Bree et al. (1967) melakukan
penelitian mengenai keamanan dan toleransi monyet terhadap anestesi berulang
dengan agen ketamin. Monyet menunjukkan kecenderungan penurunan sleep time
dan durasi anestesi setelah pengulangan injeksi ketamin.
Waktu pemulihan pada landak mini adalah 30 menit 48 detik ± 6 menit 8
detik pada pengulangan pertama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengulangan
mengakibatkan waktu pemulihan menjadi semakin lama walapun tidak berbeda
nyata. Kruse-Elliott (2008) menyatakan bahwa ketamin yang digunakan tanpa
obat lain memiliki kualitas pemulihan yang sangat buruk. Pengaruh rute juga
dapat menjadi penyebab lamanya waktu pemulihan yang dibutuhkan. Ketamin
dengan rute intramuskuler membutuhkan dosis dua hingga tiga kali lebih besar
daripada rute intravena. Ketamin yang diberikan melalui rute intramuskuler
memiliki waktu pemulihan yang lama karena tubuh membutuhkan waktu untuk
memetabolisme ketamin dengan dosis yang besar melalui rute ini (McKelvey dan
Hollingshead 2003).
8
Gejala Klinis Anestesi Periode Induksi
Pengamatan gejala klinis menjadi hal yang perlu dilakukan untuk dapat
mengevaluasi kedalaman anestesi dan kerja obat pada reseptor. Pengamatan gejala
klinis dapat dilakukan dengan pengamatan menggunakan panca indera. Data
pengamatan terhadap gejala klinis periode induksi disajikan dalam tabel 2.
Tabel 2 Gejala klinis anestesi pada landak mini
Gejala klinis Hasil pengamatan Definisi
Mata membesar
Mata landak mini membesar
melebihi ukuran normal sete-
lah diinduksi menggunakan
ketamin.
Inkoordinasi
Landak mini kehilangan kese-
imbangan tubuh dalam berja-
lan namun masih dapat me-
ngembalikan tubuh ke keadaan
semula. Menunjukkan kondisi
tonus otot.
Refleks pupil hilang
Pupil tidak mampu berkon-
traksi menanggapi rangsang
datangnya cahaya yang berle-
bihan sehingga pupil tetap ber-
dilatasi
Refleks penegakan tu-
buh
Landak mini benar-benar tidak
mampu mengembalikan posisi
tubuhnya seperti semula.
Pili recti hilang
Duri landak mini tidak me-
nanggapi rangsang sentuhan.
Duri ini menjadi tidak berdiri
ketika disentuh.
Hipersalivasi
Landak mini memproduksi
saliva secara berlebihan dilihat
dari adanya gelembung pada
daerah mulut.
9
Discharge hidung
Landak mini mengeluarkan
cairan dari hidung, diduga aki-
bat dari saliva yang mengalir
melalui hidung karena posisi
landak dalam keadaan dorso-
ventral.
Onset gejala klinis induksi adalah waktu yang dihitung sejak injeksi
ketamin hingga gejala tertentu muncul. Mata adalah organ yang penting diamati
karena menunjukkan refleks yang berbeda beda terhadap anestetikum. Mata
membesar dan palpebrae mata tidak menutup ketamin diinjeksikan. Membesarnya
mata diduga akibat terjadinya peningkatan tekanan intra okuler. Salah satu efek
negatif yang ditimbulkan oleh ketamin adalah meningkatnya tekanan arterial yang
akan menyebabkan peningkatan tekanan intra okuler (Yudaniayanti et al. 2012).
Efek ketamin ini dapat menjadi buruk pada pasien yang menderita glaukoma
karena akan menambah tekanan pada bola mata yang menyebabkan nyeri
sehingga dibutuhkan kombinasi anestetikum.
Gejala mata membesar dan inkordinasi mengalami percepatan onset pada
setiap pengulangan walaupun tidak berbeda nyata namun onset refleks pupil
semakin lama hilang. Pada pengulangan ketiga, satu individu tidak menunjukkan
gejala hilangnya refleks pupil. Hilang tidaknya refleks pupil merupakan refleksi
dari kedalaman anestesi (tabel 3). Kemampuan pupil berkontraksi menanggapi
rangsang datangnya cahaya akan berkurang seiring dengan meningkatnya
kedalaman anestesi (McKelvey dan Hollingshead 2003). Hasil penelitian ini
menunjukkan ada penurunan kemampuan agen anestesi dalam menekan refleks
pupil akibat pengulangan injeksi.
Tabel 3 Nilai rataan onset gejala klinis induksi mata membesar, inkoordinasi, reflex
pupil hilang
Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III
Mata membesar 1‟20” ± 12”ax
1‟1” ± 56”ax
59” ± 17” ax
Inkoordinasi 1‟20” ± 39”ax
1‟9” ± 25”ax
49” ± 33”ax
Refleks pupil hilang 1‟23” ± 17”ax
1‟30” ± 1‟3”ax
2‟53” ± 1‟18”ay*
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan
adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda
(x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05) antar gejala
klinis. (*)= Gejala ditemukan pada ¾ individu; ‟ = satuan menit; ” = satuan detik.
Tabel 4 menunjukkan bahwa refleks pupil dapat ditekan hampir pada
semua landak, namun tidak pada refleks palpebrae dan refleks kornea. Refleks
pupil hilang jauh lebih awal daripada hilangnya refleks kornea dan palpebrae.
Refleks pupil dipengaruhi oleh adanya cahaya yang datang. Refleks ini
melibatkan jalur aferen dan eferen. Jalur aferen merupakan bagian dari
penerimaan cahaya memasuki mata, sedangkan jalur eferen merupakan bagian
dari syaraf kranial parasimpatis III. Stimulasi terhadap syaraf kranial ketiga ini
menyebabkan pupil kontraksi (Messonnier 2000). Ketamin merupakan obat yang
bersifat simpatomimetik yang bekerja menghambat saraf parasimpatis pada sistim
saraf otonom (Katzung 2002). Kerja ketamin menghambat saraf parasimpatis jalur
10
eferen dari refleks pupil sehingga pupil tidak berkontraksi saat diberikan cahaya
dalam masa anestesi.
Tabel 4 Nilai rataan onset gejala klinis induksi refleks pupil hilang, refleks penegakan
tubuh, pili recti hilang
Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III
Refleks pupil hilang 1‟23” ± 17”ax
1‟30” ± 1‟3”ax
2‟53” ± 1‟18”ax*
Refleks penegakan tubuh 2‟14” ± 40”ax
1‟35” ± 33”ax
1‟47” ± 23”ax
Pili Recti hilang 2‟38” ± 51” ax
2‟17” ± 1‟10”ax
1‟18” ± 24”ax
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan
adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda
(x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05) antar gejala
klinis. (*)= gejala ditemukan pada ¾ individu; ‟ = satuan menit; ” = satuan detik
Refleks kornea diuji dengan menyentuhkan benda steril ke permukaan
kornea. Refleks dapat berupa menutupnya kelopak mata, atau tertariknya mata ke
fossa orbita. Refleks ini menguji keadaan anestesi yang terlalu dalam dan
biasanya hilang pada anestesi fase ketiga hingga keempat (McKelvey dan
Hollingshead 2003). Ketamin hanya menekan setengah total populasi pada
pengulangan pertama dan ketiga, dan tidak menekan refleks kornea pada
pengulangan kedua (tabel 5). Keadaan ini diduga akibat kedalaman anestesi
berada pada taraf ringan hingga sedang, sehingga dosis ini aman digunakan pada
landak mini.
Berdasarkan gejala, kedalaman anestesi agen disosiasi dapat dibedakan
menjadi tiga yaitu ringan, sedang, dan berat. Gejala paling akurat dalam
mengamati kedalaman anestesi adalah melalui pengamatan pada mata dan tonus
rahang. Refleks palpebrae dapat teramati pada anestesi ringan, sedangkan
kelembaban kornea teramati hingga anestesi sedang (Moens dan Coppens 2007).
Wanamaker dan Massey (2009) menyatakan refleks oral, okular dan laring tetap
terpelihara pada penggunaan ketamin tunggal kecuali pada dosis yang sangat
tinggi. Gejala ini merupakan suatu kelebihan dari agen anestetikum ketamin.
Terpeliharanya refleks oral dan laring akan mencegah hewan mengalami slik
pneumonia bila agen anestetikum memiliki efek hipersalivasi dan muntah.
Tabel 5 Nilai rataan onset gejala klinis induksi pili recti hilang, refleks kornea hilang,
nyeri hilang
Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III
Pili Recti hilang 2‟38” ± 51”ax
2‟17” ± 1‟10”ax
1‟18” ± 24”ax
Refleks kornea hilang 1‟36” ± 14”*
- 4‟5” ± 18”*
Nyeri hilang 3‟53” ± 57”ax
3‟20” ± 1‟7”ax
3‟39” ± 54”ay
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan
adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda
(x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05) antar gejala
klinis. (*)=gejala ditemukan pada ½ individu; (-)=gejala tidak muncul; ‟ = satuan menit; ”
= satuan detik.
Refleks palpebrae teramati pada beberapa individu setelah nyeri hilang.
Refleks palpebrae melibatkan syaraf sensoris (nervus trigeminus) dan syaraf
11
motoris (nervus fascialis) yang menggerakkan kelopak mata. Ketika stimulus
diberikan pada kelopak mata, sinyal diolah dan dikembalikan melalui nervus
fascialis yang menginervasi musculus orbicularis oculi. Otot ini juga berada
dibawah kendali nervus occulomotor. Refleks palpebrae menandakan kedalaman
anestesi. Hilangnya refleks palpebrae bervariasi tergantung agen anestetikum
(McKelvey dan Hollingshead 2003).
Gejala hipersalivasi pada masa anestesi ditandai dengan adanya busa-busa
saliva pada mulut. Posisi landak mini yang berbaring dorsoventral diduga
menyebabkan saliva mengalir menuju rongga hidung membentuk discharge
hidung. Gejala ini kurang menguntungkan sehingga perlu dilakukan pemberian
premedikasi. Wanamaker dan Massey (2009) menyatakan bahwa ketamin
meningkatkan produksi saliva dan dapat dicegah dengan menggunakan atropin
atau glycopyrolat.
Selama masa anestesi, landak mini mengalami kekakuan otot ditandai
dengan kembalinya ekstremitas ke posisi semula saat dilakukan manipulasi
gerakan seperti tarikan. Kruse-Elliott (2008) menyatakan ketamin kurang
memberikan efek relaksasi pada otot sehingga otot menjadi kaku pada saat
anestesi. Gejala ini merupakan efek samping pemakaian ketamin tunggal sehingga
diperlukan kombinasi dengan obat lainnya untuk mengurangi efek buruk tersebut.
Secara umum tiga tabel onset gejala induksi dirangkum dalam gambar 4.
Gejala yang pertama terlihat adalah pembesaran mata, dilanjutkan dengan
hilangnya refleks gerak dan timbulnya kekakuan otot yang ditandai dengan
adanya inkoordinasi. Ketamin mempengaruhi ikatan neurotransmitter di bagian
frontal otak yang menghambat pengaturan dan pemasukan sensor di pusat sensoris
otak. Keadaan ini akan menghambat kemampuan motoris otot, mempengaruhi
thalamus yang mengatur sistem limbik dan aktivasi retikular serta hipotalamus
yang mengatur aktivitas somatik (Dugdale 2012). Pengulangan mengakibatkan
kedua gejala ini mencul lebih cepat. Gejala yang hilang selanjutnya adalah refleks
pupil, refleks penegakan tubuh, pili recti dan refleks kornea. Hilangnya refleks
kornea tidak terjadi pada semua individu sehingga tidak dapat digunakan sebagai
indikator dimulainya fase anestesi. Gejala hilangnya respon pili recti terjadi
sebelum hilangnya nyeri walaupun tidak signifikan. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa hilangnya pili recti dapat menjadi penanda awal dimulainya fase anestesi.
Gambar 4 Urutan onset gejala klinis pembiusan tahap induksi.
Keterangan: (+) = Gejala hilang pada individu tertentu
setelah pengulangan ketiga. (*) = Gejala ditemukan pada
beberapa individu tertentu.
12
Gejala Klinis Anestesi pada Periode Pemulihan
Periode pemulihan dicatat sejak respon nyeri timbul hingga gejala klinis
muncul. Setelah nyeri hadir, gejala yang timbul adalah pili recti lalu diikuti
refleks kornea. Nilai negatif pada onset timbulnya pili recti menunjukkan bahwa
gejala tersebut terjadi sebelum nyeri hadir (tabel 6). Gejala ini adalah akibat dari
penggunaan anestesi berulang.
Tabel 6 Nilai rataan onset gejala klinis pemulihan nyeri timbul, pili recti timbul,
refleks kornea kembali
Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III
Nyeri timbul 0” ± 0”ax
0” ± 0”ax
0” ± 0”ax
Pili recti timbul 2‟24” ± 3‟14”ax
-48” ± 1‟49”ax
-1‟26” ± 2‟23”ax
Refleks kornea
kembali
3‟7” ± 21”ax*
- 10” ± 5‟18”ax*
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan
adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda
(x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05). (*)=gejala
ditemukan pada ½ individu; (-)=gejala tidak muncul; ‟ = satuan menit; ” = satuan detik.
Tabel 7 menunjukkan refleks kornea kembali setelah pili recti muncul dan
dilanjutkan dengan munculnya refleks palpebrae. Pengulangan anestesi
mengakibatkan refleks kornea kembali lebih lama sedangkan refleks palpebrae
cepat kembali dan kedalaman anestesi menjadi berkurang. Relaksasi kaki depan
menjadi awal relaksasi otot setelah ketamin membuat tonus otot meningkat
selama anestesi.
Tabel 7 Nilai rataan onset gejala klinis pemulihan refleks kornea kembali, refleks
palpebrae kembali, relaksasi kaki depan
Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III
Refleks kornea kembali 3‟7” ± 21”*
- 10” ± 5‟18”*
Refleks palpebrae kembali 3‟11” ± 19”*
- 1‟34” ± 0”**
Relaksasi kaki depan 5‟51” ± 5‟14”a
29” ± 19”a
33” ± 45”a
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan
adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. (*)=gejala ditemukan pada ½
individu; (**)=gejala ditemukan pada ¼ individu; (-)=gejala tidak muncul; ‟ = satuan
menit; ” = satuan detik.
Mata mengecil terjadi setelah relaksasi kaki depan (tabel 8). Pada fase ini,
tekanan intra okuler sudah mulai menurun sehingga mata kembali dalam posisi
semula, walaupun tetap dalam keadaan terbuka. Mata yang terus terbuka selama
anestesi dapat menyebabkan kekeringan sehingga perlu dipersiapkan tetes mata
steril.
13
Tabel 8 Nilai rataan onset gejala klinis pemulihan relaksasi kaki depan, mata
mengecil, refleks pupil kembali
Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III
Relaksasi kaki depan 5‟51” ± 5‟14”ax
29” ± 19”ax
33” ± 45”ax
Mata mengecil 6‟52” ± 1‟51”ax
5‟16” ± 5‟13”axy
4‟17 ± 2‟40”ax
Refleks pupil kembali 5‟33” ± 2‟25”ax
16‟30” ± 15‟37”az
5‟16” ± 2‟52”ax
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan
adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda
(x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05) antar gejala
klinis. „ = satuan menit; “ = satuan detik.
Tabel 9 menunjukkan kembalinya tonus otot yang dimulai dengan
kembalinya relaksasi kaki depan, refleks penegakan leher lalu refleks penegakan
tubuh. Refleks penegakan tubuh merupakan gejala khas pada landak mini. Refleks
ini menandakan landak benar benar telah pulih.
Tabel 9 Nilai rataan onset gejala klinis pemulihan refleks pupil kembali, refleks
penegakan leher, refleks penegakan tubuh
Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III
Refleks pupil kembali 5‟33” ± 2‟25”ax
16‟30” ± 15‟37”ax
5‟16” ± 2‟52”ax
Refleks penegakan leher 15‟11” ± 8‟5”ax
5‟6” ± 4‟33”ax
10‟25” ± 2‟29”ax
Refleks penegakan tubuh 30‟47” ± 6‟8”ay
42‟23” ± 16‟18”ay
39‟20” ± 10‟8”ay
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan
adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda
(x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05) antar gejala
klinis. ‟ = satuan menit; ” = satuan detik.
Urutan gejala klinis pemulihan anestesi secara umum digambarkan dalam
Gambar 5. Proses pemulihan dimulai dengan munculnya respons nyeri diikuti
dengan respons pili recti. Gejala selanjutnya adalah kembalinya refleks kornea
dan refleks palpebrae pada beberapa individu. Kemudian refleks gerak muncul
dilanjutkan dengan mengecilnya mata, kembalinya refleks pupil, reflek penegakan
leher dan refleks penegakan tubuh. Gejala refleks pili recti tidak dapat dijadikan
penanda dimulainya fase pemulihan, karena gejala ini sering dimulai dengan
hilangnya rasa nyeri. Pengulangan mengakibatkan beberapa refleks seperti
refleks pili recti, refleks pada mata, mengecilnya mata, dan relaksasi kaki depan
memiliki onset yang semakin cepat namun dengan waktu pemulihan yang
semakin lama walaupun tidak berbeda signifikan.
14
Gambar 5 Urutan onset gejala klinis pemulihan anestesi.
Keterangan: (*) = Gejala ditemukan pada beberapa
individu tertentu.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ketamin intramuskuler pada dosis 80 mg/kg bobot badan memberikan
efek anestesi ringan yang ditandai dengan onset yang cepat dan durasi sedang.
Ketamin berulang menunjukkan kecenderungan percepatan onset, peningkatan
durasi dan waktu pemulihan. Pengulangan mengakibatkan durasi anestesi menjadi
lebih lama secara signifikan pada pengulangan pertama dan ketiga secara berbeda
nyata. Waktu pemulihan menjadi lebih lama seiring dengan dilakukan
pengulangan namun tidak berbeda nyata. Pengulangan juga memengaruhi
beberapa gejala menjadi lebih cepat dalam periode induksi dan pemulihan.
Ketamin memberikan efek berbeda-beda terhadap refleks okular. Refleks pupil
hilang terjadi pada seluruh landak, berbeda dengan refleks kornea dan palpebrae
yang hanya terjadi pada setengah total landak mini. Penggunaan ketamin tunggal
memiliki efek samping yaitu hipersalivasi dan peningkatan tonus otot sehingga
mutlak diperlukan penggunaan premedikasi dan kombinasi obat. Ketamin
intramuskuler memiliki potensi menjadi anestetikum pada landak mini.
Saran
Saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian ini adalah penggunaan
agen anestetikum lain untuk mengevaluasi pengaruh agen anestesi pada landak
mini. Pengaruh penggunaan anestesi berulang belum banyak ditemukan
khususnya di dunia medik veteriner sehingga diperlukan penelitian mengenai
pengulangan anestesi pada hewan lain. Kajian mengenai histopatologi perlu
dilakukan untuk mengetahui kerusakan organ yang terjadi akibat penggunaan
ketamin berulang. Anestetikum disosiatif memberikan efek samping hipersalivasi
dan peningkatan tonus otot, untuk menanggulangi efek tersebut perlu penggunaan
premedikasi dan kombinasi obat.
15
DAFTAR PUSTAKA
Altman J. 1973. Observational Study of Behavior: Sampling Methods. Chicago
(US): University of Chicago.
Bigler WJ, Haff GL. 1974. Anesthesia of raccoons with ketamine
hydrochloride. The Journal of Wildlife Management. 38(2):364-366.
Bree M, Feller I, Corssen G. 1967. Safety and tolerance of repeated anesthesia
with CI 581 (ketamine) in monkeys. Anesthesia and Analgesia. 46(5):596-600.
Demirkan I, Atalan G, Gokce H, Ozaydin I, Celebi F. 2002. Comparative study of
butorphanol-ketamin HCl and xylazine-ketamin HCl combinations for their
clinical and cardiovascular/respiratory effects in healthy dogs. Turkish Journal
of Veterinary and Animal Sciences. 26:1073-1079.
Dugdale A. 2012. Veterinary Anaesthesia : Principles to Practice. West Sussex
(UK): Blackwell Publishing Ltd.
Erhardt W, Hebestedt A, Aschenbrenner G, Pichotka B, Blumel G. 1984. A
comparative study with various anesthetics in mice (pentobarbitone, ketamine-
xylazine, carfentanyl-etomidate). Research in Experience Medicine.
184(3):159-169.
Fernandes-moran J, Peres E, San-martin M, Saavedra D, Manteca-vilanova X.
2001. Reversible immobilization of eurasian otter with combination of
ketamine and medetomidine. Journal of Wildlife Disease. 37(3):561-565.
Gunawan G, Rianto S, Elysabeth. 2009. Farmakologi dan Terapi. Jakarta (ID): UI
Pr.
He K, Chen J, Gould G, Yamaguchi N, Ai H, Wang YX, Zhang YP, Jiang XL.
2002. An Estimation of Erinaceidae Phylogeny: A combined analysis
approach. PloSONE. 7(6):1-14. doi:10.1371/journal.pone.0039304
Hedenqvist P, Roughan J, Flecknell P. 2000. Effects of repeated anaesthesia with
ketamine/medetomidine and of pre-anaesthetic administration of
buprenorphine in rats. Laboratory Animals, 34, 207-211.
Hoefer H. 1992. Hedgehogs. Veterinary Clinical North America: Small Animal
Practices. 24(1):113–20.
Hudelson SK. 2008. Exotic Companion Medicine Handbook for Veterinarians.
Florida (UK): Zoological Education Network.
Jalanka HH, Roeken BO. 1990. The use of medetomidine, medetomidine-
ketamine combinations, and atipamezole in nondomestic mammals: A
review. Journal of Zoo and Wildlife Medicine. 21(3):259-282.
Katzung B. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Bagian Farmakologi
Kedokteran Universitas Airlangga.
Keilty SR. 1969. Anesthesia for the alcoholic patient. Anesthesia and Analgesia.
48(24):659-664.
Kruse-Elliott K. 2008. Induction Agents and Total Intravenous Anesthesia. Di
dalam: Carrol G. Small Animal Anesthesia and Analgesia. Iowa (US):
Blackwell Publishing.
Lee PK, Cho MH, Dobkin AB. 1964. Anaesthetic effects of alcoholism,
morphinism, and barbiturate resistance on induction and maintenance of
general anaesthesia. Canadian Anaesthesia Society Journal. 11:354-381.
16
Lepore M, Pampanelli S, Fanelli C, Porcellati F, Bartocci L, Vincenzo AD,
Cordoni C, Costa E, Brunetti P, Bolli GB et al. 2000. Pharmacokinetics and
pharmacodynamics of subcutaneous injection of long-acting human insulin
analog glargine, NPH insulin, and ultralente human insulin and continuous
subcutaneous infusion of insulin lispro. Diabetes. 49:2142-2148.
Logan KA, Thome T, Irwin LL, Skinner R. 1986. Immobilizing wild mountain
lions with ketamin hydrochloride and xylazine hydrochloride. Journal of
Wildlife Disease. 22(1):97-103.
McKelvey D, Hollingshead K. 2003. Veterinary Anesthesia and Analgesia.
Missouri (US): Mosby Inc.
Messonnier S. (2000). Veterinary Neurology. Texas (US): Butterwort Heinemann.
Moens Y, Coppens P. 2007. Patient Monitoring and Monitoring Equipment. Di
dalam Chris Seymour dan Tanya Duke-Novakovski (editor). BSAVA Manual
of Canine and Feline Anaesthesia and Analgesia. Ed ke-2. Waterwells (GB):
British Small Animal Veterinary Association.
Mori M, O'Brien SE. 1997. Husbandry and medical management of African
hedgehogs. Iowa State University Veterinarian. 59(2):64--72.
Robinson I, Routh A. 1999. Veterinary care of the hedgehog in practice. Journal
of Veterinary Post Graduate Clinical Study. 21(3):128-137.
Santana E, Jantz H , Best T. 2010. Atelerix albiventris (Erinaceomorpha:
Erinaceidae). Mammalian Species. 42(1):99-110.
Stoelting R, Hillier S. 2006. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice.
4th Ed. Philadephia (US): Lippincott Williams & Wilkins.
Wai M, Chan W, Zhang A, Wu Y,Yew D. 2012. Long-term ketamine and
ketamine plus alcohol treatments produced damaged in liver and kidney.
Human and Experience Toxicology. 31(9):877-886. doi:10.1177/096032711
2436404
Wanamaker B, Massey K. 2008. Applied Pharmacology for Veterinary
Technicians. Columbia (NY): Saunders.
Yudaniayanti I, Yusuf D, Setyono H, Arifin M, Tehupuring B, Tjitro H. 2012.
Profil tekanan intra okuler penggunaan kombinasi ketamin-xylazin dan
ketamin midazolam pada kelinci. VetMedika Jurnal Klinik Veteriner. 1(1):33-
38.
17
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil uji ANOVA onset, durasi, dan pemulihan anestesi
Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Onset
Between Groups
2126,000 2 1063,000 ,324 ,731
Durasi
Between Groups
225898,167 2 112949,083 7,467 ,012
Pemulihan
Between Groups
1040260,667 2 520130,333 1,067 ,384
Duncan Post hoc Test untuk Onset anestesi
Pengulangan N Subset for
alpha = 0.05
1
Tukey
HSDa
2 4 200,25
3 4 218,75
1 4 232,75
Sig. ,711
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Duncan Post hoc Test untuk Durasi anestesi
Pengulangan N Subset for alpha =
0.05
1 2
Tukey
HSDa
1 4 832,25
2 4 1055,25 1055,25
3 4 1161,50
Sig. ,071 ,471
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Duncan Post hoc Test untuk Pemulihan anestesi
Pengulangan N Subset for
alpha = 0.05
1
Tukey
HSDa
1 4 1847,25
3 4 2360,25
2 4 2542,75
Sig. ,377
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
18
Lampiran 2 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Mata
membesar, Inkoordinasi, Refleks pupil hilang)
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 33175.576 8 4146.947 2.370 .046
Within Groups 45493.167 26 1749.737
Total 78668.743 34
Duncan Post hoc Test untuk gejala induksi mata membesar, inkoordinasi, refleks
pupil hilang
Gejala N Subset for alpha =
0.05
1 2
Tukey HSDa,b
Inkoordinasi 3 4 49,25
Mata membesar 3 4 58,75
Mata membesar 2 4 61,00
Inkoordinasi 2 4 78,75 78,75
Mata membesar 1 4 79,75 79,75
Inkoordinasi 1 4 79,75 79,75
Refleks pupil 1 4 83,00 83,00
Refleks pupil 2 4 89,75 89,75
Refleks pupil 3 3 172,67
Sig. ,908 ,087
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,857.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is
used. Type I error levels are not guaranteed.
Lampiran 3 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Refleks
pupil hilang, Refleks Penegakan tubuh hilang, Pili recti)
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 34503.969 8 4312.996 1.894 .104
Within Groups 59209.917 26 2277.304
Total 93713.886 34
19
Duncan Post hoc Test untuk gejala induksi refleks pupil hilang refleks penegakan
tubuh, pili recti
Gejala N Subset for alpha =
0.05
1 2
Tukey
HSDa,b
Pili recti 3 4 78,00
Refleks pupil1 4 83,00
Refleks pupil 2 4 89,75
Righting refleks 2 4 94,75
Righting refleks 3 4 106,50
Righting refleks 1 4 133,75
Pili recti 2 4 136,50
Pili recti 1 4 157,50
Refleks pupil 3 3 172,67
Sig. ,178
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,857.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is
used. Type I error levels are not guaranteed.
Lampiran 4 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Pili recti,
Refleks Kornea hilang, Nyeri hilang)
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 89930.107 7 12847.158 4.728 .003
Within Groups 54348.750 20 2717.438
Total 144278.857 27
Duncan Post hoc Test untuk gejala induksi pili recti, refleks kornea hilang, nyeri
hilang
Gejala N Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Tukey
HSDa,b
Pili recti 3 4 78,00
Refleks kornea 1 2 96,00 96,00
Pili recti 2 4 136,50 136,50 136,50
Pili recti 1 4 157,50 157,50 157,50
Nyeri hilang 2 4 200,25 200,25 200,25
Nyeri hilang 3 4 218,75 218,75
Nyeri hilang 1 4 232,75 232,75
Refleks kornea 3 2 244,50
Sig. ,111 ,056 ,205
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,200.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used.
Type I error levels are not guaranteed.
20
Lampiran 5 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Nyeri
timbul, Pili recti, Refleks kornea)
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 185336.714 7 26476.673 1.700 .166
Within Groups 311512.250 20 15575.612
Total 496848.964 27
Duncan Post hoc Test untuk gejala pemulihan nyeri timbul, pili recti, refleks
kornea
Gejala N Subset for alpha =
0.05
1 2
Tukey
HSDa,b
Pili recti 3 4 -85,75
Pili recti 2 4 -48,25
Nyeri 1 4 ,00
Nyeri 2 4 ,00
Nyeri 3 4 ,00
Refleks kornea 3 2 10,00
Pili recti 1 4 144,25
Refleks kornea 1 2 187,00
Sig. ,160
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,200.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is
used. Type I error levels are not guaranteed.
Lampiran 6 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan
(Refleks kornea, Refleks palpebrae, Relaksasi kaki depan)
Sum of
Squares
df Mean
Square
F Sig.
Between Groups 315341.750 5 63068.350 1.872 .173
Within Groups 404232.250 12 33686.021
Total 719574.000 17
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
21
Duncan Post hoc Test untuk gejala pemulihan refleks kornea, refleks palpebrae,
relaksasi kaki depan
Gejala N Subset for
alpha = 0.05
1
Tukey
HSDa,b
Refleks kornea 3 2 10,00
Relaksasi kaki depan 2 4 29,00
Relaksasi kaki depan 3 4 32,75
Refleks kornea 1 2 187,00
Refleks palpebrae 1 2 190,50
Relaksasi kaki depan 1 4 350,50
Sig. ,329
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,667.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group
sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Lampiran 7 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan
(Relaksasi kaki depan, Mata mengecil, Refleks pupil)
Sum of Squares df Mean
Square
F Sig.
Between Groups 2506209.993 8 313276.249 2.350 .047
Within Groups 3465328.750 26 133281.875
Total 5971538.743 34
Duncan Post hoc Test untuk gejala pemulihan relaksasi kaki depan, mata
mengecil, refleks pupil
Gejala N Subset for alpha =
0.05
1 2
Tukey
HSDa,b
Relaksasi kaki depan 2 4 29,00
Relaksasi kaki depan 3 4 32,75
Mata mengecil 3 4 257,00 257,00
Mata mengecil 2 4 315,75 315,75
Refleks pupil 3 3 316,00 316,00
Refleks pupil 1 4 332,75 332,75
Relaksasi kaki depan 1 4 350,50 350,50
Mata mengecil 1 4 412,25 412,25
Refleks pupil 2 4 989,75
Sig. ,864 ,167
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,857.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is
used. Type I error levels are not guaranteed.
22
Lampiran 8 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan
(Refleks pupil kembali-Refleks penegakan leher-Refleks
penegakan tubuh)
Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Between Groups 2.460E7 8 3075015.731 9.826 .000
Within Groups 8136729.750 26 312951.144
Total 3.274E7 34
Duncan Post hoc Test untuk gejala pemulihan refleks pupil, refleks penegakan
leher, refleks penegakan tubuh
Gejala N Subset for alpha = 0.05
1 2 3
Tukey
HSDa,b
Neck righting refleks 2 4 306,00
Refleks pupil 3 3 316,00
Refleks pupil 1 4 332,75
Neck righting refleks 3 4 625,00 625,00
Neck righting refleks 1 4 911,00 911,00
Refleks pupil 2 4 989,75 989,75
Righting refleks 1 4 1847,25 1847,25
Righitng refleks 3 4 2360,25
Righting refleks 2 4 2542,75
Sig. ,743 ,103 ,726
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,857.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used.
Type I error levels are not guaranteed.
23
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Mei 1993 di Bondowoso. Penulis
merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak (Alm) Bambang
Suyadi dan Ibu Sutitah Rahaju. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar
di SDN Dabasah V pada tahun 2005. Pendidikan menengah pertama diselesaikan
di SMPN 2 Bondowoso pada tahun 2008 dan pendidikan menengah atas
diselesaikan pada tahun 2011 di SMAN 2 Bondowoso. Penulis melanjutkan
pendidikan perguruan tinggi di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor melalui Jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri Undangan
(SNMPTN Undangan) di tahun yang sama.
Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis menjabat sebagai penanggung
jawab Cluster Wild Aquatic Himpro Satwaliar periode kepengurusan 2013-2014.
Penulis juga aktif menjadi ketua divisi Pengelolaan Sumber Daya Masyarakat
Paguyuban Karya Salemba Empat IPB tahun kepengurusan 2014-2015. Penulis
aktif menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah, antara lain Anatomi
Veteriner I dan II, Anatomi Topografi, Histologi, Ilmu Bedah Umum Veteriner,
Ilmu Bedah Khusus Veteriner I dan Higiene Pangan.
Kegiatan magang yang pernah penulis ikuti selama menjadi mahasiswa IPB
antara lain, magang liburan di Ocean Dream Samudera Ancol, dan magang
liburan di Veterinary Teaching Hospital Kasetsart University Thailand dalam
bidang bedah dan klinik hewan eksotik. Penulis pernah mengikuti kegiatan
Program Kreativitas Mahasiswa dan didanai oleh DIKTI pada tahun 2014. Penulis
pernah menerima beasiswa reguler dari Karya Salemba Empat Foundation pada
tahun 2012-2015. Penulis juga berkesempatan menjadi panitia lokal dalam acara
internasional yaitu kongres International Veterinary Student Association (IVSA)
ke 63 di Jakarta.
top related