dr. ni wayan armerinayanti
Post on 29-Dec-2016
282 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
TESIS
PERBEDAAN SKOR EKSPRESI MATRIKS
METALOPROTEINASE 9 PADA KARSINOMA TIROID
PAPILER VARIAN KLASIK DAN VARIAN FOLIKULER
DENGAN INFILTRASI INTRAKOMPARTEMEN DAN
EKSTRAKOMPARTEMEN
dr. NI WAYAN ARMERINAYANTI
NIM 1114098102
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2015
ii
PERBEDAAN SKOR EKSPRESI MATRIKS
METALOPROTEINASE 9 PADA KARSINOMA TIROID
PAPILER VARIAN KLASIK DAN VARIAN FOLIKULER
DENGAN INFILTRASI INTRAKOMPARTEMEN DAN
EKSTRAKOMPARTEMEN
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI WAYAN ARMERINAYANTI
NIM 1114098102
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 16 Maret 2015
Pembimbing I, Pembimbing II,
dr. I Ketut Mulyadi, SpPA (K) dr. Luh Putu Iin Indrayani Maker, SpPA (K)
NIP. 130 327 316 NIP. 197511042008012013
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Pendidikan Dokter Spesialis-1 Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
Dr. dr. I Gusti Ayu Sri Mahendra Dewi, SpPA (K)
NIP. 196502011996012001
iv
Lembar Penetapan Panitia Penguji
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 26 Maret 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,
Nomor: 727 Tanggal 12 Maret 2015
Ketua : dr. I Ketut Mulyadi, SpPA (K)
Anggota :
1. Dr. Luh Putu Iin Indrayani Maker, SpPA (K)
2. Prof. dr. I Gusti Alit Artha, MS., SpPA (K), MIAC
3. Dr. Herman Saputra, SpPA (K)
4. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, SpPD-KGH
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama : dr. Ni Wayan Armerinayanti
NIM : 1114098102
Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine-Degree)
Judul : Perbedaan Skor Ekspresi Matriks Metaloproteinase 9 pada
Karsinoma Tiroid Papiler Varian Klasik dan Varian
Folikuler dengan Infiltrasi Intrakompartemen dan
Ekstrakompartemen
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010
dan peraturan peundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 26 Maret 2015
Yang membuat pernyataan,
(dr. Ni Wayan Armerinayanti)
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastiastu,
Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa-Tuhan Yang Maha Esa, atas asung wara nugraha-Nya, sehingga tesis
dengan judul Perbedaan Skor Ekspresi Matriks Metaloproteinase 9 pada
Karsinoma Tiroid Papiler Varian Klasik dan Varian Folikuler dengan
Infiltrasi Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen, dapat penulis
selesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai
tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, izinkan penulis dengan
sepenuh hati menghaturkan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada yang
terhormat: dr. I Ketut Mulyadi, SpPA (K), selaku pembimbing I, yang telah
membantu mengembangkan dan merealisasikan ide, memberikan pengarahan,
koreksi dan bimbingan serta dukungan dari awal penyusunan usulan penelitian
hingga selesainya penulisan tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga
penulis ucapkan kepada dr. Luh Putu Iin Indrayani M., SpPA(K), selaku
pembimbing II dan Kepala Instalasi Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar, yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, masukan,
koreksi dan dukungan dari awal penyusunan usulan penelitian hingga selesainya
tesis ini, serta memberikan ijin peminjaman blok dan preparat histopatologi
selama proses penelitian. Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada:
vii
1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD,
FINASIM dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr.
dr. Putu Astawa, SpOT (K), M.Kes yang memberikan kesempatan dan
fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister
Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas
Udayana.
2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A.
Raka Sudewi, SpS (K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk
menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana.
3. Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS selaku Ketua
Program Studi Ilmu Biomedik (Combined Degree) Program Pascasarjana
Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan mengikuti
program pendidikan Combined Degree.
4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di
Bagian Ilmu Patologi Anatomi dan melakukan penelitian di RSUP
Sanglah Denpasar.
5. Dr. dr. I Gusti Ayu Sri Mahendra Dewi, SpPA (K) sebagai Ketua Program
Studi Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
dan selaku pembimbing, yang telah memberikan kesempatan mengikuti
program pendidikan spesialisasi, memberikan petunjuk, nasehat serta
bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi.
viii
6. dr. A.A.A.N. Susraini, SpPA (K), sebagai Kepala Bagian/ SMF Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah
memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi dan
memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi.
7. Prof. dr. I Gusti Alit Artha, MS.,SpPA (K), MIAC, dr. Herman Saputra,
SpPA (K), Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, SpPD-KGH, selaku
penguji, atas semua saran, koreksi, sanggahan, petunjuk dan masukan
dalam penyusunan tesis ini.
8. Seluruh staf dosen/pengajar PPDS-1 Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, dan semua
dosen Pascasarjana Program Magister Ilmu Biomedik Combined Degree,
yang telah membimbing, memberikan masukan, dan bekal pendidikan
kepada penulis, sehingga membantu menyelesaikan tesis ini.
9. Keluarga besar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Warmadewa yang telah memberikan dukungan, semangat, dan
kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi.
10. Seluruh teman sejawat residen di bagian Patologi Anatomi dan pegawai di
bagian/SMF Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar atas
bantuan dan kerjasamanya selama ini.
Rasa syukur ini dan sujud penulis persembahkan kepada Ayahanda dan
Ibunda tercinta, Ir. I Made Artha dan Ni Wayan Metri, BA, yang telah
memberikan bekal pendidikan yang cukup, perhatian, pengertian, dukungan,
semangat dan kasih sayang yang sangat tulus kepada penulis. Ayahanda dan
ix
ibunda mertua, I Nyoman Arka Suteja, SE, Ak. dan Ni Made Sawitri, terima kasih
atas pengertian, perhatian, dukungan, dan semangat yang begitu besar selama
penulis menjalani masa pendidikan. Akhirnya kepada suami tercinta, dr. I Gede
Bagus Gita Pranata Putra dan ananda terkasih, I Putu Bagus Ngurah Nararya
Wibawa Pranata, kalian adalah keberuntungan dalam hidupku, terima kasih atas
semangat, perhatian, pengorbanan, pengertian dan cinta kasih yang tulus dan tak
terhingga selama penulis menjalani masa pendidikan dan menyelesaikan tesis ini.
Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi
perkembangan pelayanan di Laboratorium Patologi Anatomi dan bidang Ilmu
patologi Anatomi. Terakhir, semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa-Tuhan Yang
Maha Esa, selalu melimpahkan rahmatnya kepada kita semua.
Om Santih, Santih, Santih, Om
Denpasar, Maret 2015
Penulis
x
PERBEDAAN SKOR EKSPRESI MATRIKS METALOPROTEINASE 9
PADA KARSINOMA TIROID PAPILER VARIAN KLASIK DAN VARIAN
FOLIKULER DENGAN INFILTRASI INTRAKOMPARTEMEN DAN
EKSTRAKOMPARTEMEN
ABSTRAK
Karsinoma tiroid papiler (KTP) merupakan 80% dari seluruh karsinoma tiroid
berdiferensiasi baik dengan 2 tipe tersering yaitu KTP varian klasik dan KTP
varian folikuler.(KTPVF) Agresivitas antara kedua tipe karsinoma tiroid ini masih
kontroversi, selain itu agresivitas juga sering dikaitkan dengan luas infiltrasi
tumor. Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9) merupakan marka relevan dalam
memprediksi agresivitas tumor karena mempengaruhi proses invasi dan metastasis
tumor. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri mekanisme molekuler
keterlibatan MMP-9 dalam menentukan agresivitas KTP dengan membuktikan
perbedaan skor ekspresi MMP-9 pada KTP klasik dan KTPVF baik yang
menunjukkan infiltrasi intrakompartemen maupun ekstrakompartemen
Penelitian analitik potong lintang ini menggunakan sampel sebesar 40 sampel
yang dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing terdiri dari 10 KTP klasik
intrakompartemen, 10 KTP klasik ekstrakompartemen, 10 KTPVF
intrakompartemen dan 10 KTPVF ekstrakompartemen. Sampel diambil dari arsip
blok parafin Laboratorium Patologi Anatomi FK Universitas Udayana/RSUP
Sanglah, Denpasar sepanjang tahun 2011 sampai Juni 2014. Kemudian dilakukan
pulasan imunohistokimia MMP-9 untuk melihat perbedaan skor ekspresi MMP-9
antar seluruh kelompok, yang dianalisis melalui uji One Way Anova sedangkan
pengaruh seluruh variabel independen terhadap skor ekspresi MMP-9 dinilai
dengan uji regresi berganda ANCOVA dengan tingkat kemaknaan (α) pada
p<0,05.
Terdapat perbedaan rerata skor ekspresi MMP-9 antar keempat kelompok,
dimana ditemukan nilai perbedaan yang sangat bermakna antara KTP
intrakompartemen dengan KTP ekstrakompartemen (p<0,001). Uji regresi
berganda menunjukkan tidak terdapat pengaruh faktor usia, jenis kelamin dan
ukuran tumor terhadap skor ekspresi MMP-9 (p>0,05).
Agresivitas karsinoma tiroid papiler ditentukan oleh luas infiltrasi tumor,
sedangkan perbedaan tipe histologis (klasik dan varian folikuler), maupun faktor
usia, jenis kelamin dan ukuran tumor tidak mempengaruhi agresivitasnya.
Kata kunci: Matriks metaloproteinase 9, Karsinoma tiroid papiler klasik,
Karsinoma tiroid papiler varian folikuler, Intrakompartemen, Ekstrakompartemen
xi
DIFFERENCE OF MATRIX METALLOPROTEINASE 9 EXPRESSION
SCORE IN CLASSIC AND FOLLICULAR VARIANT OF PAPILLARY
THYROID CARCINOMA WITH INTRA COMPARTMENT AND EXTRA
COMPARTMENT INFILTRATION
ABSTRACT
Papillary Thyroid Carcinoma (PTC) was 80% of well differentiated thyroid
tumors constitutes two frequently types included classic PTC and follicular
variant of PTC (FVPTC). Aggressiveness between those distinct types was still
controversies, although aggressiveness also associated with extent of tumor
infiltration. Matrix Metalloproteinases 9 (MMP-9) was relevance marker
predicting tumor aggressiveness because its role of invasive and metastatic
process. The aim of this study was to explore molecular mechanism of MMP-9 in
aggressiveness of PTC by proofed difference of MMP-9 expression score in
classic PTC and follicular variant of PTC with intra compartment and extra
compartment infiltration.
This cross-sectional study was performed on 40 samples that divided into 4
groups which consists of 10 classic PTC intra compartment, 10 classic PTC extra
compartment, 10 FVPTC intra compartment and 10 FVPTC extra compartment,
taken from paraffin block archive from Pathology Anatomy Departement Faculty
of Medicine Udayana University/Sanglah General Hospital Denpasar during 2011
until June 2014. Immunostaining was performed to determined the difference of
MMP-9 score expression between four group. Result was analyzed by One Way
Anova, while impact of all independent variables on MMP-9 expression was
analyzed by multiple regression test ANCOVA, with confidence level (α)<0,05.
There was difference of MMP-9 expression score between four group, which
showed very significant difference between intra compartment and extra
compartment PTC (p<0,001). Multiple regression test showed no impact of age,
sex and size of tumor on MMP-9 expression score.
It was concluded that PTC aggressiveness was determined by extent of tumor
infiltration, while histological type (classic and follicular variant), age, sex and
tumor size were not impacting aggressiveness.
Key word: Matrix Metalloproteinase 9, Classic Papillary Thyroid Carcinoma,
Follicular Variant of Papillary Thyroid Carcinoma, Intra compartment, Extra
Compartment.
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ………………………………………………...................... i
PRASYARAT GELAR ....................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI .................................................. iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................ vi
ABSTRAK ........................................................................................................... x
ABSTRACT ......................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvii
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xx
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xxiii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 5
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 5
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................. 5
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 6
1.4.1 Manfaat Akademik ..................................................................... 6
xiii
1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................................... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 7
2.1 Definisi Karsinoma Tiroid Papiler ........................................................ 7
2.2 Klasifikasi Karsinoma Tiroid Papiler ................................................... 7
2.3 Epidemiologi ......................................................................................... 9
2.4 Faktor risiko ........................................................................................... 15
2.5 Patogenesis Karsinoma Tiroid Papiler Klasik dan Varian Folikuler ..... 20
2.6 Gejala Klinis dan Makroskopis ............................................................ 28
2.7 Mikroskopis Karsinoma Papiler Tiroid Klasik dan Varian Folikuler .... 30
2.8 Sistem Stadium dan Pola Perluasan Karsinoma Tiroid Papiler ........... 35
2.9 Penanganan Karsinoma Tiroid Papiler ................................................. 40
2.10 Struktur, Jenis dan Fungsi Umum Matriks Metalloproteinase
(MMP)…. .................................................................................. …….. 44
2.11 Fungsi Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9/Gelatinase………..…..50
2.12 Peranan Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9)/Gelatinase B pada
Karsinoma Tiroid Papiler .................................................................... 55
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN.... ................................................................................................... 59
3.1 Kerangka Berpikir ................................................................................. 59
3.2 Konsep Penelitian ................................................................................. 63
3.3 Hipotesis Penelitian .............................................................................. 63
BAB IV METODE PENELITIAN ...................................................................... 64
4.1 Rancangan Penelitian ............................................................................ 64
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... 64
xiv
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................ 64
4.3.1 Populasi Target ........................................................................... 64
4.3.2 Populasi Terjangkau .................................................................... 64
4.3.3 Sampel ......................................................................................... 65
4.3.4 Perhitungan dan Cara Pengambilan Sampel ............................... 65
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................................ 66
4.4.1 Kriteria Inklusi ........................................................................... 66
4.4.2 Kriteria Eksklusi ......................................................................... 66
4.5 Identifikasi Variabel Penelitian ........................................................... 68
4.6 Definisi Operasional Variabel .............................................................. 69
4.7 Prosedur Penelitian .............................................................................. 70
4.8 Skema Alur Penelitian ......................................................................... 75
4.9 Analisis Data ........................................................................................ 76
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 77
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Data Klinis Pasien ......... 77
5.2 Perbedaan Skor Ekspresi MMP-9 antara kelompok KTP Klasik
Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF
Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen ............................ 81
5.3 Hubungan Antar Variabel ...................................................................... 87
BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 89
6.1 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Usia Pasien ......................... 89
6.2 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Jenis Kelamin Pasien.......... 92
6.3 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Ukuran Tumor .................... 95
6.4 Ekspresi MMP-9 pada KTP Klasik dan KTPVF dengan Infiltrasi
Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen .......................................... 97
xv
6.5 Pengaruh Antar Seluruh Variabel dengan Skor Ekspresi MMP-9 ........ 109
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 112
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 114
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... 122
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Klasifikasi histologik tumor tiroid berdasarkan WHO ............................... 8
2.2 Tipe histopatologis karsinoma sel folikel tiroid berdasarkan
AJCC…………………………………………………………………….. . 9
2.3 Tabel temuan beberapa studi di Malaysia dan Myanmar tentang hubungan
antara karsinoma tiroid dan goiter ............................................................... 13
2.4 Prevalensi kasus karsinoma tiroid selama 3 tahun (2008-2010) di Indonesia
berdasarkan kelompok usia ......................................................................... 14
2.5 Sistem TNM brdasarkan AJCC .................................................................... 36
2.6 Jenis matriks metaloproteinase ..................................................................... 48
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian .................................................................... 79
5.2 Distribusi rerata ukuran tumor pada kelompok KTP Klasik
Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF
Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen .................................. 80
5.3 Perbedaan skor ekspresi MMP-9 antara kelompok KTP Klasik
Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF
Intrakompartemen, dan KTPVF Ekstrakompartemen .............................. 82
5.4 Pengaruh Variabel Independen dan Variabel Kontrol terhadap Skor Ekspresi
MMP-9 ......................................................................................................... 87
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Grafik prevalensi kasus karsinoma tiroid di Denpasar tahun 2008-2010
berdasarkan data registrasi kanker Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi
Anatomi Indonesia………………………………………………............... 11
2.2 Mekanisme nodul goiter sebagai faktor risiko KTP…………… ................ 17
2.3 Mekanisme beberapa faktor risiko seperti radiasi dalam memicu karsinoma
tiroid ............................................................................................................ 18
2.4 Kaskade karsinogenesis neoplasma tiroid.................................................... 21
2.5 Jalur sinyal sel pada neoplasma sel folikuler….. ......................................... 22
2.6 Tata ulang gen RET/PTC ............................................................................ 24
2.7 Interaksi antar sel dengan sel dan sel dengan ECM pada karsinoma tiroid.. 27
2.8 Makroskopis karsinoma tiroid papiler …………………………………….29
2.9 Karakteristik inti KTP .................................................................................. 32
2.10 Mikroskopis KTP Klasik ............................................................................ 32
2.11 KTPVF yang encapsulated .......................................................................... 34
2.12 Gambaran Skematik Interpretasi Invasi Kapsel ........................................... 38
2.13 Struktur matriks metalloproteinase (MMP) ................................................ 46
2.14 Fungsi seluler MMP dalam perkembangan dan fisiologi normal ............. .. 47
2.15 Struktur MMP (Gelatinase B) ..................................................................... 51
2.16 Peranan MMP-9 yang bebas TIMP yang berasal dari sel radang PMN, sel
tumor maupun stroma dalam inisiasi dan promosi instabilitas genetik ....... 52
xviii
2.17 Transisi epithelial menjadi mesenkimal (EMT) yang dipicu MMP-9. ....... 5
2.18 Peranan MMP-9 dalam mengaktifkan angiogenesis ............................... … 54
2.19 Kaitan MMP-9 dengan kemampuan metastasis tumor ................................ 55
2.20 Pulasan MMP-9 pada KTP ......................................................................... 58
3.1 Bagan Kerangka Berpikir ............................................................................. 62
3.2 Bagan Konsep Penelitian ............................................................................. 63
5.1 Grafik Distribusi Kasus KTP Klasik dan KTPVF dengan Infiltrasi
Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen berdasarkan Jenis Kelamin
Pasien ........................................................................................................... 80
5.2 Grafik Beda Rerata Skor Ekspresi MMP-9 kasus KTP Klasik dan KTPVF
dengan infiltrasi intrakompartemen dan
ekstrakompartemen……………………. ..................................................... 83
5.3 Kasus sampel 1 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTP Klasik
intrakompartemen ........................................................................................ 84
5.4 Kasus sampel 4 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTP Klasik
intrakompartemen ........................................................................................ 84
5.5 Kasus sampel 13 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTP Klasik
ekstrakompartemen ...................................................................................... 85
5.6 Kasus sampel 22 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTPVF
intrakompartemen ........................................................................................ 85
5.7 Kasus sampel 36 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTPVF
ekstrakompartemen ...................................................................................... 86
xix
5.8 Kasus sampel 34 pulasan imunohistokimia MMP-9 pada KTPVF
ekstrakompartemen .................................................................................... 86
6.1 Bagan jalur patogenesis keterlibatan MMP-9 dalam proses infiltrasi tumor
pada penelitian…………………………………………………................. 99
6.2 Pola Distribusi Ekspresi MMP-9 ................................................................. 102
6.3 Pola Ekspresi MMP-9 pada Stroma sekitar Tumor dan pada Makrofag ..... 105
6.4 Bagan Jalur Transkripsi MMP-9 yang dilibatkan oleh beberapa Jalur
Karsinogenesis KTP……………………………………………………... .. 109
xx
DAFTAR SINGKATAN
AJCC : American Joint Commission on Cancer
AKAP9 : A-kinase anchor protein 9
APC : Adenomatous Polyposis Coli
ATA : American Thyroid Association
BRAF : V-raf murine sarcoma viral oncogene homolog B1
cAMP : cyclic Adenosine Mono Phosphate
DNA : Deoxyribonucleic Acid
ECM : Extra Cellular Matrix
EMT : Epithelial Mesenchymal Transition
ERK : Extracellular-signal-Regulated Kinase
ERα : Estrogen Receptor alpha
ERβ : Estrogen Receptor beta
FGF : Fibroblast growth factor
FGFR : Fibroblast growth factor receptor
FNA : fine needle aspiration
GNAS1 : Guanine Nucleotide-binding α Subunit 1
GTP : Guanosine Tri Phosphate
HGF : Hepatocyte Growth Factor
IUCC : International Union Against Cancer
KTA/U : Karsinoma Tiroid Anaplastik/ Undifferentated
KTF : Karsinoma Tiroid Folikuler
xxi
KTM : Karsinoma Tiroid Meduler
KTP : Karsinoma Tiroid Papiler
KTPVF : Karsinoma Tiroid Varian Folikuler
LOH : Loss of Heterozygosity
LT4 : Levotiroxin
MAPK : Mitogen Activated Protein Kinase
MMP-9 : Matriks Metaloproteinase 9
NCCN : National Comprehensive Cancer Network
NTCTCS : National Thyroid Cancer Treatment Cooperative Study
NTRK : Neurotropic thyrosine kinase receptor
PARP : Poly-ADP-ribose-polymerase
PTEN : Phosphatase with Tensin Homology Gene
RAI : Radioactive Iodine
RAS : Rat sarcoma oncogen
RET : Rearranged during transfection
RLN : Recurrent Laryngeal Nerve
RND ; Radical Neck Dissection
SEER : Surveillance, Epidemiology, and End Results
TIMP : Tissue Inhibitors of Matrix Metalloproteinases
TNM : Tumor, Nodes, Metastazes
TRK : Tyrosine Receptor Kinase
TSH : Thyroid Stimulating Hormone
TSHR : Thyroid Stimulating Hormone Receptor
TTF-1 : Thyroid Transcription Factor-1
USG : Ultrasonografi
xxii
VEGF : Vascular endothelial growth factor
WHO : World Health Organization
TAM : Tumor Associated Macrophage
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Ethical Clearance……………………………………………… 122
Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian…………………………..………………... 123
Lampiran 3 Data Subyek Penelitian…………………………..……………. 124
Lampiran 4a Uji Normalitas Data Usia…………………………..………….. 125
Lampiran 4b Data Deskriptif Usia pada Seluruh Kelompok KTP…………... 125
Lampiran 4c Statistik Deskriptif Usia secara Keseluruhan…………………. 126
Lampiran 4d Analisis Beda Rerata Usia antar Seluruh Kelompok KTP…… 126
Lampiran 4e Analisis Beda Rerata Usia Kelompok KTP Intrakompartemen vs
KTP Ekstrakompartemen……………………………………… 126
Lampiran 4f Analisis Beda Rerata Usia Kelompok KTP Klasik vs KTPVF.. 126
Lampiran 5a Data Deskriptif Perbandingan Jenis Kelamin antar seluruh
Kelompok KTP ……………………………………………….. 127
Lampiran 5b Analisis Statistik Perbandingan Jenis Kelamin antar seluruh
kelompok KTP………………………………………………… 127
Lampiran 6a Uji Normalitas data Ukuran Tumor…………………………… 128
Lampiran 6b Data Deskriptif Ukuran Tumor secara Keseluruhan………….. 128
Lampiran 6c Data Deskriptif Ukuran Tumor Pada Seluruh Kelompok KTP.. 129
Lampiran 6d Analisis Statistik Beda Rerata Ukuran Tumor Pada Seluruh
Kelompok KTP……………………………………………… 130
Lampiran 6e Analisis Statistik Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik
dan KTPVF………………………………………………….. 130
Lampiran 6f Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP
Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen………………… 130
Lampiran 6g Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik
Intrakompartemen dan KTPVF Intrakompartemen…………. 130
Lampiran 6h Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik
Intrakompartemen dan KTP Klasik Ekstrakompartemen…… 131
Lampiran 6i Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik
Ekstrakompartemen dan KTPVF Intrakompartemen………… 131
Lampiran 6j Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTPVF
Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen…………. 131
Lampiran 6k Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik
Ekstrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen………. 131
Lampiran 7a Data Deskriptif Perbandingan Skor Ekspresi MMP-9 antar seluruh
Kelompok KTP ………………………………………………. 132
Lampiran 7b Uji Homogenitas Skor Ekspresi MMP-9 antar Kelompok
KTP…………………………………………………………… 132
Lampiran 7c Uji Analisis Perbedaan Skor MMP-9 Antar Seluruh Kelompok
KTP…………………………………………………………… 132
Lampiran 7d Uji Komparasi Multipel antar Seluruh Kelompok KTP………. 133
Lampiran 8 Analisis Statistik (Uji ANCOVA) Pengaruh Antar Seluruh
Variabel terhadap Perbedaan Skor Ekspresi MMP-9………… 134
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia dan di Bali khususnya insiden karsinoma tiroid sangat tinggi sejalan
dengan tingginya insiden goiter. Goiter merupakan faktor predisposisi karsinoma
tiroid yang dapat mempengaruhi perangai biologis karsinoma tiroid. Hal ini
sangat berbeda dengan insiden karsinoma tiroid di dunia barat yang lebih sering
berkaitan dengan efek radiasi. Sedangkan penelitian yang menelusuri agresivitas
karsinoma tiroid khususnya karsinoma tiroid papiler (KTP) di wilayah dengan
insiden goiter yang tinggi masih terbatas.
Insiden karsinoma tiroid meningkat lebih cepat dibandingkan keganasan
lainnya yaitu 3,8% per tahun pada periode 1992-2001 berdasarkan lokasi dan jenis
kelamin. Di Amerika Serikat pada tahun 2008, insiden karsinoma tiroid
berdasarkan umur sekitar 6,47 per 100,000 laki-laki dan 19,39 per 100,000
perempuan (Nikiforov, 2009). Dari perhitungan data registrasi kanker di
Indonesia pada tahun 2010 karsinoma tiroid menduduki peringkat ke 5 terbanyak
setelah karsinoma payudara, serviks, kulit, dan rektum. Sedangkan di Denpasar,
pada tahun yang sama karsinoma tiroid menduduki peringkat ke 3 terbanyak
setelah karsinoma payudara dan serviks dengan insiden relatif 24/100.000
penduduk (Ditjen Yan Med, 2008-2010; Anonim, 2010).
2
Sekitar 90% karsinoma tiroid tergolong berdiferensiasi baik dan 80%
diklasifikasikan sebagai KTP sedangkan 10% merupakan karsinoma tiroid folikuler
(KTF). Diantara kedua tipe tersebut terdapat tipe campuran yang dahulu dikenal
sebagai mixed papillary and follicular carcinoma karena karakteristik intinya sesuai
KTP sedangkan polanya histologisnya menyerupai karsinoma folikuler dan saat ini
istilah tersebut diganti dengan KTP varian folikuler (KTPVF) (Chang et al., 2006).
KTPVF merupakan varian KTP kedua terbanyak setelah KTP varian klasik (Gupta et
al., 2012). Di Laboratorium Patologi Anatomi FK Unud/ RSUP Sanglah selama
periode 2011-2013 tercatat 96,86% kasus KTP dengan 63,32% kasus diantaranya
merupakan KTPVF dan 36,68% kasus merupakan KTP klasik, namun setelah
diagnosis ulang ditetapkan 57,67% kasus merupakan KTP klasik dan 42,33% kasus
KTPVF. Temuan ini menjadi landasan yang kuat untuk pentingnya pemeriksaan
marka tambahan yang dapat menentukan perangai biologis kedua varian KTP ini.
Kejadian metastasis pada KTP umumnya melalui kelenjar getah bening (KGB),
sedangkan metastasis jauh dapat terjadi pada 1,73-8,4% kasus KTP terutama pada
KTPVF dan lokasi tersering adalah paru (Chrisoulidou et al., 2011). Penelitian lain
menyatakan bahwa pola metastasis KTPVF bervariasi tergantung latar belakang
molekuler maupun variannya. Metastasis ke KGB didapatkan pada 65% kasus
KTPVF non encapsulated sehingga memiliki perangai menyerupai KTP klasik.
Sedangkan pada KTPVF encapsulated dan diffuse diketahui memiliki pola molekuler
yang serupa dengan KTF ditandai oleh tingginya frekuensi point mutasi Ras (36%)
3
sehingga cenderung bermetastasis jauh dengan ataupun tanpa disertai metastasis ke
KGB (Gupta et al., 2012).
Adanya variasi latar belakang molekuler pada KTPVF menyebabkan perangai
biologis KTPVF masih sulit diprediksi, beberapa laporan morfologi dan studi
longitudinal menyebutkan bahwa area berdiferensiasi buruk, lesi bilateral/multipel,
invasi intravasa, invasi perineural maupun infiltrasi ekstrakompartemen meliputi
invasi kapsel, perluasan ekstratiroid dan metastasis jauh lebih banyak dijumpai pada
KTPVF dibandingkan dengan KTP klasik tetapi risiko metastasis ke limfonodi lebih
rendah dibandingkan KTP klasik (Chang et al., 2006; Chrisoulidou et al., 2011; Chen
et al., 2012; Gupta et al., 2012). Penelitian lainya justru melaporkan bahwa KTPVF
memiliki perangai klinis maupun patologis yang sebanding dengan KTP klasik
(Gonzalez et al., 2011; Der Lin et al., 2010; Salajegheh et al., 2008; De Lellis et al.,
2004). Beberapa kasus KTPVF berkembang secara lambat selama bertahun-tahun
sehingga dianggap memiliki perangai yang serupa dengan tumor jinak tiroid. Faktor
kliniko-patologis lain juga dipercaya mempengaruhi agresivitas KTP, seperti usia dan
jenis kelamin pasien, ukuran tumor primer, adanya invasi kapsel, multisentrisitas
tumor, serta adanya lesi jinak tiroid sebelumnya (Rosai et al., 2011). Dengan
demikian agresivitas KTPVF masih menimbulkan perdebatan tetapi penelitian yang
membandingkan agresivitas KTPVF dengan KTP klasik masih sangat terbatas.
Hingga saat ini diyakini bahwa belum ada terapi yang efektif dalam penanganan
KTP. Seringkali timbul keraguan diantara ahli bedah dalam menentukan perlunya
4
terapi tambahan maupun monitoring lanjutan terutama pada kasus KTP yang belum
menunjukkan perluasan ekstrakompartemen (Ito et al., 2007; Haigh et al., 2005).
Pemahaman tentang mekanisme molekuler yang berkaitan dengan agresivitas KTP
sangat penting untuk menemukan strategi terbaru dalam deteksi dini, pencegahan,
diagnosis, penentuan terapi dan monitoring KTP. Mekanisme molekuler tersebut
sifatnya sangat kompleks dan melibatkan komponen intraseluler dan ekstraseluler.
Komponen molekuler yang telah ditemukan perubahannya pada karsinoma tiroid
antara lain CK19, Tiroglobulin, Ki67, MMP, Kalsitonin, TTF-1, BRAF, RET,
HBME-1, SERPINA1, TfR1/CD71, galectin-3, dan E-cadherin (Ito, 2012).
Pada proses invasi tumor akan dilibatkan salah satu komponen ekstraseluler yang
berperan utama dalam degradasi matriks ekstraseluler (Extracellular Matrix/ ECM)
melalui efek proteolitik yang dimilikinya yaitu matriks metaloproteinase (MMP)
(Farina et al., 2014; Kondo et al., 2006 ). Terdapat berbagai jenis MMP, salah satu
yang mendapatkan perhatian khusus yaitu MMP-9 karena merupakan kelompok
gelatinase yang berperan utama dalam degradasi kolagen IV yang merupakan
komponen utama membran basalis epitel, interstisial dan vaskuler. MMP-9 memiliki
level ekspresi basal yang rendah, berbeda dengan level ekspresi pada kondisi kanker.
Selain itu MMP-9 mempengaruhi transformasi neoplastik dengan menjadi inisiator
instabilitas genetik, mengaktifkan proses angiogenesis dan memicu ekspansi tumor.
Hal ini menunjukkan peranan penting MMP-9 pada proses invasi dan metastasis
sehingga dapat menjadi parameter agresivitas tumor. Telah dilaporkan bahwa
5
ekspresi MMP-9 tinggi pada KTP, peningkatan ekspresinya berkorelasi signifikan
dengan stadium, ukuran tumor dan adanya metastasis ke limfonodi (Meng et al.,
2012; Bouchet et al., 2014). Namun belum ada penelitian yang melaporkan
perbedaan skor ekspresi MMP-9 pada KTP klasik dan KTPVF untuk membedakan
sifat agresifnya.
Penelitian ini dibuat untuk memahami mekanisme molekular MMP-9 sebagai
marka agresivitas dengan menilai perbedaan skor ekspresi MMP-9 pada KTP klasik
dan KTPVF baik yang menunjukkan infiltrasi intrakompartemen maupun
ekstrakompartemen.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan skor ekspresi MMP-9 pada KTP klasik infiltrasi
intrakompartemen, KTP klasik infiltrasi ekstrakompartemen, KTPVF infiltrasi
intrakompartemen dan KTPVF infiltrasi ekstrakompartemen?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk memahami agresivitas KTP terkait varian (KTP klasik dan KTPVF) maupun
luasnya infiltrasi tumor (intrakompartemen dan ekstrakompartemen) dengan
menelusuri mekanisme molekuler yang didasari oleh ekspresi MMP-9.
6
1.3.2 Tujuan Khusus
Membuktikan adanya perbedaan skor ekspresi MMP-9 pada KTP klasik infiltrasi
intrakompartemen, KTP klasik infiltrasi ekstrakompartemen, KTPVF infiltrasi
intrakompartemen dan KTPVF infiltrasi ekstrakompartemen.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik
1. Penelitian ini diharapkan dapat menentukan hubungan antara varian KTP
(KTP klasik dan KTPVF) pada berbagai luas infiltrasi tumor
(intrakompartemen dan ekstrakompartemen) dengan skor ekspresi MMP-9.
2. Mengetahui peranan MMP-9 sebagai marka biologi prediktif agresivitas KTP.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Penentuan perbedaan skor ekspresi MMP-9 antara KTP Klasik dan KTPVF
pada berbagai luas infiltrasi tumor (intrakompartemen dan
ekstrakompartemen) dapat dipakai sebagai rujukan penentuan terapi maupun
tindakan monitoring lanjutan.
2. Parameter prognostik biologik (MMP-9) dan patologik (luasnya infiltrasi
tumor) ini diharapkan dapat dipakai sebagai pegangan oleh klinisi untuk dapat
memberikan penjelasan ke pasien KTP klasik maupun KTPVF tentang
prognosis, kekambuhan dan kemungkinan metastasis.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi Karsinoma Tiroid Papiler
Karsinoma tiroid papiler (KTP) merupakan neoplasma ganas sel epitel folikel tiroid
yang membentuk pola pertumbuhan papiler atau disertai dengan pola folikuler dan
utamanya ditandai oleh karakteristik inti khas KTP. Gambaran inti yang khas KTP
meliputi ukuran inti membesar, berbentuk oval, mengalami elongasi, saling tumpang
tindih dengan gambaran clearing atau ground glass appearance atau dengan kontur
inti yang ireguler mencakup adanya groove dan inklusi sitoplasma intranuklear. KTP
tergolong tumor ganas tiroid yang berdiferensiasi baik (De Lellis et al., 2004).
2.2 Klasifikasi Karsinoma Tiroid
Berdasarkan WHO, tumor primer tiroid diklasifikasikan menjadi epitelial dan
nonepitelial, jinak atau ganas, dengan kategori yang terpisah untuk limfoma dan
keganasan lainnya (tabel 2.1) (De Lellis et al., 2004). Klasifikasi karsinoma tiroid
berdasarkan garis besar diferensiasinya dijabarkan menurut American Joint
Commission on Cancer (AJCC) sesuai yang dijabarkan tabel 2.2 (Rubin et al., 2012).
Penelitian ini mengacu pada sistem klasifikasi WHO dan AJCC.
8
Tabel 2.1
Klasifikasi histologik tumor tiroid berdasarkan WHO (Rubin et al., 2012)
I. Tumor epitelial
A. Jinak
1. Adenoma Folikuler
2. Lainnya
B. Ganas
1. Karsinoma Folikuler
2. Karsinoma Papiler
3. Karsinoma Meduler*
4. Karsinoma Undifferentiated (anaplastik)
5. Lainnya
II. Tumor Non-epitelial
A. Jinak
B. Ganas
III. Limfoma maligna
IV. Lainnya
V. Tumor sekunder
VI. Tumor yang tidak dapat diklasifikasikan
VII. Lesi yang menyerupai tumor
*Karsinoma sel non epitelial folikel
9
Tabel 2.2
Tipe Histopatologis Karsinoma Sel Folikel Tiroid (Rubin et al., 2012)
A. Karsinoma papiler (mencakup KTPVF)
B. Karsinoma folikuler (mencakup karsinoma sel hurtle)
C. Karsinoma poorly differentiated
D. Karsinoma undifferentiated (anaplastic)
2.3 Epidemiologi
Karsinoma tiroid merupakan keganasan tersering dari organ endokrin. Karsinoma ini
merupakan 3% dari insiden terbaru seluruh kanker yang terdiagnosis di Amerika
Serikat dan 1,7% dari insiden terbaru seluruh kasus kanker di dunia. Insiden dan
prevalen karsinoma tiroid mengalami peningkatan yang tetap selama tiga dekade
terakhir, terutama sejak pertengahan tahun 1990-an di berbagai negara di dunia. Saat
ini insiden karsinoma tiroid diperkirakan antara 5 hingga 8 kasus per 105 penduduk
per tahun di negara-negara berkembang (Frasca et al., 2008). Data lain menyebutkan
telah ditemukan lebih dari 213.000 kasus baru karsinoma tiroid di seluruh dunia pada
tahun 2008, dengan angka insiden kasar 3,1/100.000 (Cossu et al., 2013). Temuan
kasus baru meningkat lagi pada tahun 2010 berdasarkan penelitian terbaru yang
didukung oleh WHO yaitu ditemukan sekitar 44.670 kasus baru (De Matos et al.,
2012). Berdasarkan data SEER (Surveillance, Epidemiology, and End Results) di
Amerika Serikat, insiden karsinoma tiroid meningkat tiga kali lipat sejak tahun 1973,
10
dengan kecepatan pertumbuhan 2,4% per tahun antara tahun 1980 hingga 1997 dan
6,5% per tahun sejak tahun 1997 serta saat ini menduduki lima besar karsinoma yang
mengalami peningkatan insiden tercepat, baik pada pria maupun wanita. Insiden
karsinoma tiroid di seluruh dunia bervariasi pada masing-masing daerah geografis
dan secara keseluruhan lebih tinggi pada negara ekonomi berkembang (Nikiforov,
2009).
Peningkatan insiden karsinoma tiroid terutama terjadi pada KTP, sedangkan tipe
lain seperti folikuler, meduler, maupun anaplastik tidak menunjukkan perubahan
yang signifikan. KTP berjumlah sekitar 83% dari keseluruhan keganasan tiroid dan
80% dari keseluruhan tumor ganas tiroid yang berdiferensiasi baik (Nikiforov, 2009;
Meng et al., 2012; Zidan et al., 2003). Peningkatan insiden KTP mencakup KTP
klasik dan KTPVF, baik pada tumor yang berukuran <1 cm maupun >1 cm atau
bahkan >4 cm hingga 5 cm. Peningkatan temuan insiden KTP kemungkinan terkait
dengan semakin maraknya metode deteksi dini melalui pemeriksaan ultrasonografi
maupun biopsi jarum halus (FNA/ fine needle aspiration). Alasan lainnya yaitu
karena telah dikenalnya perubahan inti yang khas menjadi kriteria morfologi KTP
(Nikiforov, 2009; Kondo et al,. 2006).
Di Indonesia tidak ditemukan data khusus tentang insiden KTP, data yang
dilaporkan adalah keseluruhan kasus kanker tiroid. Menurut Registrasi Perhimpunan
Dokter Spesialis Patologi Indonesia, dari tahun 2008-2010 kanker tiroid menempati
urutan ke 5 dari 10 kanker terbanyak dan urutan ke 4 dari 10 kanker terbanyak pada
11
perempuan. Di Denpasar pada rentang tahun yang sama kanker tiroid menduduki
urutan ke 3 dari 10 kanker terbanyak dengan prevalensi secara berurutan yaitu
155/2000 kasus, 84/865 kasus, 118/1124 kasus. Diantara keseluruhan kasus tersebut,
diperkirakan sekitar 80% merupakan kasus KTP, dengan varian klasik (KTP Klasik)
sebagai subtipe KTP terbanyak (80%) dan diikuti oleh KTPVF sebagai subtipe kedua
terbanyak (9-22,5% kasus KTP) (Ditjen Yan Med, 2008-2010; Gupta et al., 2012).
0
2
4
6
8
10
2008 2009 2010
Denpasar
Gambar 2.1
Grafik prevalensi kasus karsinoma tiroid di Denpasar tahun 2008-2010
berdasarkan data registrasi kanker Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi
Anatomi Indonesia (Ditjen Yan Med, 2008-2010).
Hingga saat ini epidemiologi KTP masih sangat menarik untuk ditelusuri.
Penelitian berbagai negara di dunia telah membandingkan insiden tumor ini pada
populasi yang tinggal di area dataran tinggi (pegunungan) dengan populasi yang
tinggal di sekitar pantai membuktikan bahwa konsentrasi asupan iodium
mempengaruhi insiden KTP bahkan pada beberapa kasus berkaitan dengan morfologi
Prev
alen
si kasu
s
Tahun
12
KTP (LiVolsi., 2011). Dilaporkan bahwa insiden KTP lebih sering pada daerah
dengan asupan iodium yang cukup, sedangkan insiden KTF berkaitan dengan
defisiensi iodium (Knobel et al., 2007).
Kasus goiter baik endemik maupun non endemik (sporadik) diyakini merupakan
prekursor perkembangan kanker tiroid. Prevalensi goiter di seluruh dunia pada
populasi umum sekitar 4-7%, dan insiden keganasan terjadi pada 10% kasus tiroid
goiter. Dilaporkan bahwa insiden karsinoma tiroid tercatat meningkat pada daerah
goiter endemik seperti Kolumbia dan Austria serta daerah non endemik seperti
Jerman. Peningkatan insiden karsinoma tiroid terkait goiter juga menjadi
permasalahan di negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. WHO mencatat sekitar
655 juta jiwa di dunia mengalami goiter dan 27% diantaranya berada di Asia
Tenggara (Htwe, 2012). Adapun perbandingan hasil studi epidemiologi karsinoma
tiroid terkait goiter di beberapa Negara Asia Tenggara sesuai tabel 2.3.
Di RSUP Sanglah Denpasar sekitar 70% kasus KTP berasal dari nodul goiter
baik nodul soliter tunggal maupun multipel. Pada kasus tersebut umumnya secara
mikroskopis akan ditemukan adanya latar belakang gambaran goiter di sekitar area
neoplastik. Hal ini menunjukkan bahwa kasus KTP di RSUP Sanglah Denpasar juga
berkaitan dengan kasus goiter.
13
Tabel 2.3
Tabel temuan beberapa studi di Malaysia dan Myanmar tentang hubungan antara
karsinoma tiroid dan goiter (Htwe, 2012)
Studi; tahun
Sarawak;
2000–2004
Kelantan;
1994–2004
Perak;
2004–2007
Myanmar;
1996–1998
Kesimpulan dan diskusi
•Insiden secara signifikan lebih tinggi
pada pria (p=0,01)
•Prevalensi tertinggi pada rentang usia
21-40 tahun
•Tipe histologis tersering: KTP
•28,1% dari 1.480 lesi tiroid merupakan
lesi neoplastik
•Tersering adalah KTP (76,6%)
•Mayoritas kasus (59.9%) terjadi dengan
latar belakang hiperplasia noduler
•Studi menunjukkan karsinoma tiroid
yang berkembang dari MNT terbanyak
pada area defisiensi iodium
•Bukan merupakan area endemik ,
sampel sedikit tetapi Karsinoma tiroid
lebih tinggi dari daerah lain (11%) dan
KTP (57,5%)
•Rentang usia 21-60 tahun, tertinggi pada
ras malay, diikuti india kemudian china.
•Kejadian karsinoma tiroid diantara
keseluuhan kasus lebih tinggi secara
signifikan; p< 0,0001
•Frekuensi secara signifikan lebih tinggi
pada pasien usia 21-60 tahun; p < 0,008
•KTP dan adenoma folikuler secara
signifikan lebih tinggi dari tipe lainnya; p
= 0,003
•Peningkatan insiden tiap tahun;p > 0.034
14
Studi epidemiologis lain telah melaporkan kaitan KTP dengan radiasi. Pada
pertengahan abad yang lalu, karsinoma tiroid seringkali terdiagnosis pada individu
yang sebelumnya pernah menjalani terapi radiasi dosis rendah pada bagian kepala
leher untuk penyakit jinak seperti hemangioma, limfangioma, pembesaran kelenjar
tymus, pembesaran tonsil dan adenoid. Laporan selanjutnya menyebutkan KTP
dijumpai pada korban serangan bom atom di Jepang pada akhir perang dunia II
(LiVolsi., 2011). Terakhir diketahui terjadi peningkatan tajam KTP pada anak-anak
usia di bawah 15 tahun akibat bencana Chernobyl di Belarusia pada bulan april 1986
yang dikenal sebagai epidemik KTP (LiVolsi., 2011; De Lellis et al., 2004).
Tabel 2.4
Prevalensi kasus karsinoma tiroid selama 3 tahun (2008-2010) di Indonesia
berdasarkan kelompok usia
Kelompok Prevalensi (%)
Usia 2008 2009 2010
<15 1,34 1,17 1,45
15-24 10,96 8,73 7,79
25-34 20,96 18,18 18,55
35-44 22,11 23,22 23,61
45-54 20,86 23,85 24,73
55-64 12,40 13,50 12,69
65-74 7,59 6,12 8,51
≥75 1,53 2,07 1,12
Berdasarkan kelompok usia, KTP bermanifestasi pada usia dewasa antara 20-50
tahun (median usia 43 tahun) dengan rasio perbandinganan antara perempuan dan
laki-laki yaitu 4:1. Jika terjadi diatas usia 50 tahun, dominasi perempuan berkurang.
Sedangkan median usia untuk kasus KTPVF sama dengan KTP pada umumnya yaitu
15
44 tahun dengan rasio perbandingan perempuan terhadap laki-laki yaitu 6:1 (De
Lellis et al., 2004; Gupta et al., 2012; Chen et al., 2012). Sesuai tabel 2.4 di
Indonesia, selama tahun 2008-2010 lebih dari 75% kasus karsinoma tiroid terjadi
pada rentang usia 25-64 tahun, median usia yaitu 49 tahun, dengan rasio
perbandingan antara kelompok perempuan terhadap laki-laki yaitu 4:1.
Tingkat mortalitas akibat karsinoma tiroid masih rendah, namun kejadiannya
telah mengalami peningkatan sejak tahun 1992 dengan kecepatan 0,6% per tahun.
Pada tahun 2010, data terbaru WHO menyebutkan insiden mortalitas karsinoma tiroid
sebanyak 3,78%. Sedangkan untuk karsinoma berdiferensiasi baik seperti KTP, angka
harapan hidup tergolong tinggi yaitu sekitar 82-86% dan sebanding antara KTP klasik
maupun KTPVF (De Matos et al., 2012)
2.4 Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor risiko terkait karsinoma tiroid terutama KTP, diantaranya
goiter, paparan radiasi, tiroiditis limfositik, faktor hormonal dan faktor herediter
(genetik). Goiter merupakan proliferasi kelenjar tiroid yang dapat terkait kondisi
eutiroid, hipo- maupun hipertiroid akibat penyakit primer pada tiroid maupun
rangsangan sekunder oleh faktor hormonal maupun faktor lain (Kondo et al., 2006).
Di Indonesia, beberapa wilayah masih tercatat sebagai daerah endemis goiter akibat
rendahnya asupan iodium. Adapula kasus goiter dengan etiologi yang belum jelas
diketahui, dikenal sebagai goiter sporadik diyakini berkaitan dengan faktor biologis
16
intrinsik (prevalensi goiter lima hingga sepuluh kali lipat lebih sering terjadi pada
wanita daripada laki-laki), goitrogen alami, merokok, defisiensi zinc atau selenium
dan stress emosional (Fuhrer et al., 2012).
Goiter dapat menimbulkan hiperplasia yang bersifat difusa maupun noduler
(nodul tunggal dan multipel) dan dipercaya mempengaruhi peningkatan insiden KTP.
Analisis klonal telah dimanfaatkan dalam membedakan hiperplasia dengan neoplasia,
dimana hiperplasia digolongkan sebagai proliferasi yang bersifat poliklonal
sedangkan neoplasia merupakan proliferasi monoklonal dari sel yang mengalami
transformasi genetik. Pada tiroid, ditemukan perubahan pola monoklonal pada
kelompok nodul yang sebelumnya merupakan nodul hiperplastik (Kondo et al.,
2006). Mekanisme bagaimana perubahan poliklonal menjadi monoklonal ini
merupakan interaksi antara faktor risiko goiter dan adanya predisposisi genetik yang
selanjutnya menciptakan lingkungan mutagenik yang ditandai oleh peningkatan
proliferasi sel disertai pembentukan radikal bebas yang memicu adanya mutasi
somatik tirosit. Klonal tumor terbentuk jika defek genetik tidak dapat diperbaiki.
Pada kondisi ini, mutasi merupakan pencetus proliferasi sel (Fuhrer et al., 2012).
Goiter meningkatkan risiko karsinoma tiroid sebanyak dua setengah kali lipat (Cossu
et al., 2013)
Ditemukan bahwa insiden KTF lebih tinggi terjadi pada area goiter endemik yang
berkaitan dengan rendahnya asupan iodium. Sedangkan insiden KTP lebih sering
berkaitan dengan goiter sporadik pada area dengan asupan iodium yang cukup.
17
Sebuah penelitian eksperimental pada hewan coba yang sebelumnya dengan asupan
iodium rendah kemudian diberikan suplementasi iodium didapatkan terjadinya
perubahan morfologi folikuler menjadi papiler. Hal ini menunjukkan peranan kadar
iodium lebih penting dalam memodulasi morfologi tumor daripada inisiator pada
karsinogenesis tiroid. Jika propilaksis iodium diberikan, maka terjadi penurunan rata-
rata TSH (Thyroid Stimulating Hormone) serum dan peningkatan perbandingan rasio
struktur papiler : folikuler (Kondo et al., 2006). Selain itu peningkatan iodium juga
berkaitan dengan frekuensi mutasi BRAFV600E dengan mekanisme yang belum
diketahui dan baru dibuktikan melalui beberapa studi epidemiologi (Pellegriti et al.,
2013)
Gambar 2.2
Mekanisme nodul goiter sebagai faktor risiko KTP (Fuhrer et al., 2012)
Radiasi meningkatkan risiko karsinoma tiroid hingga enam kali lipat (DeLellis et
al., 2004) Paparan radiasi menyebabkan terjadinya tata ulang kromosom yang
menghidupkan aktivitas gen secara berlebih, memicu instabilitas genomik melalui
mekanisme langsung maupun tak langsung, menyebabkan perubahan awal genetik
18
yang melibatkan jalur sinyal mitogen activated protein kinase (MAPK). Aktivasi
onkogenik sinyal MAPK selanjutnya meningkatkan instabilitas genomik, memicu
perubahan lanjut genetik yang melibatkan jalur sinyal lainnya, regulator siklus sel dan
berbagai molekul adesi. Instabilitas genomik dan perubahan genetik secara bersama-
sama memicu progresi karsinoma tiroid (Kondo et al., 2006)
Gambar 2.3
Mekanisme beberapa faktor risiko seperti radiasi dalam memicu karsinoma tiroid
(Kondo et al., 2006)
Infiltrat limfosit seringkali dijumpai pada KTP, mengindikasikan faktor
imunologis yang terlibat dalam progresi KTP. Limfositik tiroiditis seperti pada
tiroiditis Hashimoto maupun autoimun memicu KTP tidak hanya melalui peningkatan
level TSH tetapi juga dengan memproduksi berbagai sitokin proinflamasi dan tekanan
oksidatif yang meningkatkan tumorigenesis tiroid (Kondo et al., 2006). Risiko
19
terjadinya KTP akibat pengaruh imunologis sekitar satu sepertiga kali lipat
dibandingkan populasi normal (Baloch et al., 2010).
Terjadinya kasus KTP yang dua hingga empat kali lebih sering pada wanita
menunjukkan bahwa hormon pada wanita mengatur karsinogenesis tiroid. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa reseptor estrogen diekspresikan oleh sel-sel epitel
folikel, sehingga pada pasien pemakai kontrasepsi oral maupun yang menjalani terapi
estrogen rentan mengalami karsinoma tiroid karena estrogen dapat memicu
proliferasi sel epitel folikel. Faktor lain seperti pada kehamilan terjadi peningkatan
hormon tiroid serum dan estrogen yang mendukung peranan estrogen dalam
karsinogenesis tiroid. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa estrogen dapat
meningkatkan ekspresi reseptor estrogen α (ERα) pada sel KTP non anaplastik,
meningkatkan proliferasi sel dan menghambat ekspresi protein pro-apoptosis. Sinyal
estrogen berkaitan dengan KTP yang tidak agresif, dengan diferensiasi dan prognosis
yang baik. Hal ini terjadi karena pada mayoritas KTP, efek proliferasi ERα akan
dihambat oleh ekspresi dominan reseptor estrogen β (ERβ) (Kondo et al., 2006;
Kavanagh et al., 2010)
Risiko karsinoma tiroid meningkat hingga enam kali lipat jika orang tua atau
saudara mengalami karsinoma tiroid, hal ini menunjukkan adanya peranan faktor
herediter. Bentuk idiopatik familial non-medullary thyroid carcinoma ditemukan
pada 3,5-6,2% kasus karsinoma tiroid. Karsinoma tiroid familial berkaitan dengan
beberapa sindrom tumor seperti gen adenomatous polyposis coli (APC), Cowden
20
disease (terkait mutasi gen PTEN/ Phosphatase with tensin homology gene), sindrom
Werner (terkait mutasi gen WRN) serta karsinoma sel renal papiler (terjadi
kerentanan pada lokus 1q21) dan goiter multinoduler familial (kerentanan pada lokus
19p13.2) (Kondo et al., 2006)
2.5 Patogenesis Karsinoma Tiroid Papiler Klasik dan Varian Folikuler
Karsinoma tiroid terjadi akibat akumulasi dari sejumlah perubahan di tingkat
genomik (mutasi) yang dikenal sebagai instabilitas genomik. Berbeda dengan KTF,
pada KTP kromosom masih diploid atau mendekati diploid dengan frekuensi Loss of
Heterozygosity (LOH) yang lebih jarang. Perbedaan pola instabilitas kromosom ini
menunjukkan bahwa kedua tipe karsinoma tiroid ini melalui jalur molekuler yang
berbeda. Selanjutnya, instabilitas genomik memicu progresi neoplasma tiroid melalui
peningkatan aktivasi onkogenik hingga terhindar dari apoptosis. Serupa dengan
karsinoma di berbagai organ, proses karsinogenesis pada tiroid terjadi melalui
berbagai tahapan (multi-step) sehingga menimbulkan berbagai perubahan yang dapat
diamati secara histologik (Viglietto et al., 2012).
21
Gambar 2.4
Kaskade karsinogenesis neoplasma tiroid (Viglietto et al., 2012).
Terdapat tiga jalur utama perubahan biologi molekuler pada tumor-tumor yang
berasal dari sel epitel folikel tiroid yaitu TSH/cAMP, MAP kinase (MAPK) dan
P13K/AKT. Jalur mitogenik dan diferensiasi TSH/cAMP terlibat pada
hipertiroidisme sedangkan jalur mitogenik MAPK terlibat dalam perkembangan
karsinoma tiroid dan jalur P13K/AKT mempengaruhi perkembangan karsinoma yang
masih berdiferensiasi maupun yang berdiferensiasi buruk. Mutasi reseptor TSH
(TSHR) maupun Guanine nucleotide-binding α subunit 1 (GNAS1) memicu
proliferasi sel pada nodul hiperfungsi tiroid maupun adenoma melalui aktivasi GSα-
adnylyl cyclase-cAMP. Mutasi TSHR dan GNAS1 jarang ditemukan pada keganasan
22
tiroid, meskipun beberapa laporan kasus pernah menunjukkan adanya mutasi GNAS1
pada karsinoma tiroid berdiferensiasi baik (Kondo et al., 2006).
Gambar 2.5
Jalur sinyal sel pada neoplasia sel folikuler (Kondo et al., 2006).
Secara umum, karsinogenesis KTP terjadi melalui jalur kaskade RAS-BRAF-
MAPK. Tata ulang RET dan TRK merupakan karakteristik KTP yang berkaitan
dengan pecahnya rangkaian DNA. Sedangkan penelitian lain menemukan rendahnya
tata ulang kedua gen ini pada KTP dengan mutasi BRAF. Sehingga diketahui adanya
dua mekanisme utama pada KTP dalam aktivasi kaskade ini yaitu tata ulang RET
atau NTRK1 (Neurotrophic tyrosine kinase receptor1) dan aktivasi point mutation
pada BRAF, hanya diperlukan salah satu dari kedua mekanisme ini. Tata ulang RET
23
atau NTRK selanjutnya menyandi reseptor tirosin kinase (TRK) transmembran
(Chien et al, 2012). Sedangkan aktivasi point mutation pada BRAF, akan menjadi
komponen signaling intermediet dari jalur MAPK, hal ini terjadi terutama pada tumor
yang bersifat sporadik (Chien et al, 2012; Fuhrer et al., 2006; Viglietto et al., 2012)
Tata ulang gen RET/PTC diketahui sebagai alterasi genetik spesifik pertama pada
karsinogenesis tiroid. Gen RET mengkode reseptor tirosin kinase dari glial cell-
derived nervous growth factor dan secara endogen terekspresi pada sel
neuroendokrin. Terjadi ekspresi yang salah dari potongan gen RET pada melalui fusi
promotor pada regio N-terminal dari gen terkait (disebut PTC-1,2 dan seterusnya) dan
regio C-terminal fungsional dari gen RET (mengandung tirosin kinase). Hasilnya
adalah aktivasi RAS-RAF-MAPK signaling. Saat ini teridentifikasi lebih dari 8
protein chimera RET/PTC pada karsinoma tiroid, dimana RET/PTC-1
(inv(10)(q11.2;q21) dan RET/PTC-3 atau ELE1-RET (inv(10)(q11.2;q10) terhitung
kira-kira 80% dan merupakan fusi gen yang tersering (Chien et al, 2012). Keduanya
melibatkan inversi pada lengan panjang kromosom 10, menghasilkan perpaduan
antara RET dengan gen Histone H4 (histone protein nucleosome) pada RET/PTC-1
atau RET dengan nuclear receptor coactivator 4 (NCOA4) pada RET/PTC-3 (Chien
et al., 2012; Santoro et al., 2006).
Tata ulang gen RET/PTC spesifik untuk tumor yang memiliki arsitektur klasik
dan mikrokarsinoma dan prevalennya ditemukan lebih tinggi (30% sampai 65%) pada
keganasan yang disebabkan oleh radiasi (Chernobyl-tumor) dan lebih jarang (5%
24
sampai 15%) pada kanker yang sporadis. KTP varian klasik berkaitan dengan
RET/PTC1 (Chien et al., 2012).
Gambar 2.6
Tata ulang gen RET/PTC. A.Skema tampilan mekanisme molekuler terbentuknya
onkogen PTC. B.Perbandingan antara protoonkogen RET dan onkogen RET/PTC
(Viglietto et al., 2012)
Tata ulang gen lainnya pada KTP adalah inversi kromosom 7q menghasilkan fusi
antara BRAF dan AKAP 9 (A-kinase anchor protein 9 gene). Fusi protein ini
meningkatkan aktivitas kinase. Sepertiga sampai setengah dari kasus KTP ditemukan
gain-of-function mutation pada gen BRAF (Chien et al, 2012; Constantine et al,
2007). BRAF berlokasi pada kromosom 7q32, dan terjadi transversi thymine ke
adenine yang menyebabkan perubahan valine menjadi glutamate pada kodon 600
(BRAF V600E) (Constantine et al., 2007; Salajegheh et al., 2008). Mutasi pada BRAF
V600E dapat menyebabkan aktivasi RAF kinase dan secara in vitro dapat
menyebabkan transformasi sel dengan efikasi yang lebih tinggi daripada wild-type
A B
25
BRAF. Mutasi BRAF V600E dilaporkan sebagai defek molekular yang sering terjadi
pada KTP yang sporadis (berkisar antara 36% sampai 69%) dan pada KTP klasik
(antara 29-69%). Sementara tata ulang gen AKAP9/BRAF (inv(7)(q21-22q34) terjadi
pada radiation-induced karsinoma tiroid. Mutasi BRAF berkaitan dengan tumor yang
lebih agresif, sehingga memiliki prognosis yang buruk (Chien et al., 2012).
Seperti halnya yang sering dijumpai pada KTF, 13% KTPVF mengalami
translokasi kromosom t(2;3)(q13;p25) yang menggabungkan faktor transkripsi
khusus tiroid PAX8 ke PPARɤ , reseptor hormon inti yang secara normal terlibat
dalam diferensiasi sel berbagai jaringan. Selanjutnya ditemukan bahwa terdapat
hubungan antara adanya translokasi PAX8-PPARɤ dengan KTPVF yang multifokal
dan dengan invasi vaskuler. Sehingga tata ulangnya ini kemungkinan berperan
memicu proses metastasis (Chien et al., 2012; Salajegheh et al., 2008).
Translokasi PAX8-PPARɤ juga disertai mutasi BRAF non konvensional (K601E)
yang menimbulkan penggantian lisin oleh glutamat pada kodon 601 (BRAF K601E),
akibatnya terjadi peningkatan aktivitas kinase seperti yang terjadi pada mutasi BRAF
V600E pada KTP klasik. Namun aktivitas kinase BRAF V600E 2,5 kali lebih besar
daripada aktivitas kinase oleh BRAF K601E. Penelitian Trovisco dkk meyakinkan
bahwa mutasi BRAF K601E spesifik untuk KTPVF (Chien et al., 2012; Salajegheh et
al., 2008).
Berikutnya juga dilaporkan bahwa pola mutasi Ras pada KTF serupa dengan yang
terjadi pada sekitar 21% KTP terutama KTPVF. Hal ini menunjukkan kemungkinan
26
korelasi yang sangat kuat antara mutasi Ras dengan diferensiasi folikuler pada
karsinogenesis tiroid. Terdapat tiga protoonkogen Ras, diantaranya HRAS (pada
kromosom 11p11), KRAS (pada kromosom 12p12), dan NRAS (pada kromosom
1p13) merupakan kelompok famili besar protein yang berikatan dengan guanosin
triposfat (GTP) (Salajegheh et al., 2008). Mutasi pada karsinoma tiroid ini melibatkan
kodon 61 dari HRAS dan NRAS. Diketahui bahwa insiden mutasi Ras lebih jarang
dijumpai pada karsinoma tiroid yang berdiferensiasi baik dibandingkan dengan yang
berdiferensiasi buruk maupun yang anaplastik. Hal ini membuktikan bahwa mutasi
Ras berhubungan dengan progresi tumor (Kondo et al., 2006).
Selain keseluruhan proses intraseluler tersebut, progresi KTP berkaitan dengan
berbagai proses ekstraseluler seperti interaksi antar sel maupun interaksi sel dengan
ECM yang pada akhirnya juga mempengaruhi kondisi intraseluler (gambar 2.7).
Fibroblast growth factor (FGF) dan reseptornya (FGFR) merupakan regulator
penting dalam proses tomorigenesis maupun angiogenesis pada KTP. Pada berbagai
karsinoma tiroid akan terekspresi FGFR1, FGFR3 maupun FGFR4, sedangkan
FGFR2 hanya terekspresi pada tiroid normal dewasa. FGFR4 akan terekspresi pada
fenotip yang agresif mempengaruhi proliferasi, migrasi maupun diferensiasi sel.
Selain itu reseptor tirosin kinase MET yang merupakan reseptor untuk hepatocyte
growth factor (HGF) diketahui terekspresi kuat pada KTP (77-93%) dan berkaitan
dengan motilitas, kemampuan invasif dan memicu angiogenesis (Kondo et al., 2006).
27
Gambar 2.7
Interaksi antar sel dengan sel dan sel dengan ECM pada karsinoma tiroid (Kondo
et al., 2006).
Ligan Vascular endothelial growth factor (VEGF) seperti VEGFA, VEGFB,
VEGFC dan VEGFD berikatan dengan reseptornya dan memicu proliferasi sel
endotel dan limfatik. Ditemukan bahwa overekspresi VEGFC dan VEGFD pada KTP
berkaitan dengan densitas metastasis limfatik maupun KGB. Keseluruhan interaksi
ini juga dapat meningkatkan regulasi fibronektin pada KTP yang tidak invasif.
Fibronektin merupakan protein matriks ekstraseluler yang mengatur adesi, migrasi,
invasi tumor dan metastasis. Molekul adesi ini secara umum menghubungkan sel ke
kolagen atau substrat proteoglikan ECM lainnya. Pada kasus KTP yang invasif terjadi
penurunan ekspresi fibronektin dan kemampuan adesinya didegradasi oleh MMP
(Kondo et al., 2006).
28
2.6 Gejala klinis dan Makroskopis
Secara umum, KTP tampak sebagai massa tiroid atau cold nodule pada scan
radioaktif iodium atau seperti limfadenopati regio servikal. Pada area dengan
defisiensi iodium, KTP dapat berkembang dan tampak sebagai nodul yang berbeda
diantara goiter multinoduler. Sedangkan pada populasi dengan asupan iodium yang
cukup, KTP tampak sebagai nodul soliter yang teraba diantara kelenjar tiroid normal.
KTP seringkali ditemukan secara insidental pada nodul tiroid yang tidak teraba,
misalnya pada kasus trauma atau penyakit lainnya saat pemeriksaan imaging seperti
USG (Ultrasonografi). Nodul preklinis yang berupa fokus kecil atau fokus
mikroskopik KTP juga kadang ditemukan pada saat otopsi. Pentingnya arti klinis
karsinoma papiler yang tidak teraba tidak terlalu diperdebatkan sejak diketahui bahwa
karsinoma papiler dengan ukuran yang besar dan teraba pada pasien usia muda
memiliki harapan hidup 20 tahun sebanyak lebih dari 98% (De Lellis et al., 2004).
KTP klasik dapat menunjukkan berbagai pola makroskopis, lesi umumnya
berupa massa padat putih keabu-abuan dengan tepi yang ireguler atau kadang tampak
infiltrasi secara makroskopis ke parenkim tiroid sekitarnya. Beberapa kasus dapat
menunjukkan gambaran papil, perubahan kistik, kalsifikasi distrofik atau bahkan
pembentukan tulang. Ukuran tumor bervariasi, dari terkecil (<1 mm) hingga beberapa
sentimeter, ukuran rata-rata sekitar 2-3 cm. Tumor yang multisentrik juga sering
terjadi. Pada kasus lainnya tumor primer tampak solid meskipun metastasis ke KGB
menunjukkan gambaran kistik.
29
Gambar 2.8
Makroskopis karsinoma tiroid papiler. A. Irisan KTP klasik menunjukkan lesi dapat
bersifat multifokal, lesi terbesar berupa area kistik dengan tonjolan papiler di
dalamnya. (foto dari John Nicholls, MD, Hong Kong University) B. Lesi soliter dan
berkapsel pada KTPVF menyerupai adenoma folikuler (Baloch et al., 2011).
Karsinoma papiler juga dapat berkembang dari kista duktus tiroglosus dan dapat
menunjukkan perluasan langsung ke lemak peritiroid, otot skeletal, esofagus, larynx
dan trakea. Karsinoma papiler memiliki kemampuan menginvasi sistem limfatik
dalam kelenjar tiroid sehingga metastasis ke kelenjar getah bening sering terjadi.
Untuk KTPVF, secara makroskopis sering menyerupai adenoma folikuler
encapsulated yaitu berupa tumor cenderung soliter berbentuk bulat hingga ovoid,
dan berkapsel (De Lellis et al., 2004). Pada irisan akan tampak berwarna kuning
kecoklatan, mengkilat (glassy) karena kandungan koloid yang dimilikinya (Baloch et
al., 2010).
A B
30
2.7 Mikroskopis Karsinoma Papiler Tiroid Klasik dan Varian Folikuler
Terdapat berbagai varian/ subtipe KTP, diantaranya varian terbanyak yaitu varian
klasik yang didominasi pola pertumbuhan papiler dan varian terbanyak berikutnya
yaitu varian folikuler (KTPVF) yang didominasi dengan pola pertumbuhan folikuler.
Selain itu terdapat pula varian lain yang lebih agresif dilihat dari pola pertumbuhan,
tipe sel dan reaksi stroma seperti tall cell, columnar cell, diffuse sclerosing, clear cell
dan varian onkositik (Salajegheh et al., 2008). Secara umum, kriteria diagnosis KTP
awalnya didasarkan pada pola pertumbuhan papiler, namun saat ini sesuai ketetapan
WHO, hallmark diagnosis KTP didasarkan pada karakteristik inti (LiVolsi, 2011).
Gambaran histologi karakteristik inti KTP yaitu inti sel yang jernih, kosong, atau
Orphan Annie eye. Inti jernih ini berukuran lebih besar dengan bentuk yang lebih
ireguler dibandingkan inti sel folikel normal dan mengandung kromatin yang
hipodens. Gambaran inti yang jernih berkaitan dengan area tengah inti yang
eukromatin sedangkan area heterokromatin mayoritas terpusat di tepi inti. Anak inti
juga membenam di bagian tepi inti sehingga anak inti menjadi tidak terlihat. Inti pada
KTP ini tersusun saling tumpang tindih (overlapping) terkait dengan sitoplasma sel
epitelial folikel ganas yang terpusat di bagian apikal maupun basal sehingga inti sel
yang berdekatan tampak ramai dan saling tumpang tindih (LiVolsi, 2011). Sayangnya
gambaran inti yang jernih tidak hanya dijumpai pada KTP, tetapi juga dapat timbul
pada kasus tiroiditis autoimun khususnya tiroiditis hashimoto. Tetapi pada kasus non
neoplastik seperti tiroiditis, gambaran inti jernih bersifat fokal. Karakteristik inti
31
lainnya yaitu adanya nuclear groove yaitu gambaran inti yang terbelah seperti biji
kopi (LiVolsi, 2011; Gonzalez et al., 2011).
Pada KTP klasik, susunan sel didominasi oleh struktur papiler namun dapat
bervariasi dan bercampur dengan struktur folikuler (Gonzalez et al., 2011). Struktur
papiler umumnya kompleks dan bercabang, pada beberapa kasus papil bisa sangat
edematous. Struktur papiler ini dilapisi oleh epitel dengan polaritas yang terganggu
dan sitoplasma yang eosinofilik. Pola arsitektur lain seperti folikuler maupun solid
umumnya bersamaan dengan struktur papiler dan sangat jarang menemukan pola
petumbuhan papiler murni (Livolsi, 2011).
Papiler pada KTP harus dibedakan dengan struktur papiler yang terkadang
ditemukan pada goiter noduler atau adenoma folikuler dengan papil, dan dari lipatan
papiler pendek hiperplasia difus. Pada kondisi tersebut, inti sel epitelnya umumnya
bulat, terletak di basal dan yang terpenting tidak menunjukkan gambaran inti
karsinoma papiler atau kalaupun ada hanya dalam jumlah yang sangat sedikit (De
Lellis et al., 2004).
32
Gambar 2.9
Karakteristik inti KTP
A.Inti menggambarkan ground glass appearance (tanda panah). B.Karakeristik lain
inti KTP yaitu nuclear groove (tanda panah) (Livolsi, 2011; DeLellis et al., 2004)
Gambar 2.10
Mikroskopis KTP klasik
A. KTP dengan struktur papiler yang dominan. B. Fibrovascular core pada KTP
klasik (Gonzales et al., 2011)
A B
A B
33
Varian KTP lainnya yang sering yaitu KTPVF. Deskripsi histologik KTPVF
pertama kali diperkenalkan oleh Lindsay pada tahun 1960, diikuti oleh Chen dan
Rosai tahun 1977 dan Rosai et al tahun 1983. Sesuai dengan namanya, KTPFV
ditandai oleh gambaran inti KTP yang khas (inti jernih, groove dan pseudoinklusi)
disertai pola pertumbuhan folikuler. Pola pertumbuhan folikuler dapat dijumpai pada
KTP dengan beragam proporsi dan istilah KTPVF awalnya dipakai untuk karsinoma
invasif yang menunjukkan arsitektur histologis folikuler yang dominan. Ini berarti
bahwa KTPVF merupakan KTP dengan komponen folikuler yang dominan, dan
adanya proporsi minor dari komponen papiler masih dapat diterima. Namun
gambaran komponen papiler merupakan papiler abortif yaitu berupa tonjolan papiler
yang pendek tanpa tangkai (stalk) yang jelas, menyerupai komponen papiler pada
goiter hiperplastik (Koseoglu et al., 2006). Pada beberapa laporan, masih adanya
komponen papiler pada sekitar 20% atau bahkan 30% masih diterima sebagai KTPVF
(Kakudo et al., 2012).
34
Gambar 2.11
KTPVF yang encapsulated. KTP tersusun membentuk struktur folikuler pada
seluruh area tumor dengan inti menunjukkan karakteristik KTP (Gonzalez et al.,
2011).
KTPVF memiliki beberapa varian, diantaranya varian encapsulated,
nonencapsulated, dan difus (Gupta et al., 2012). KTPVF varian encapsulated
seringkali dikelirukan dengan adenoma folikular. Sehingga untuk menegaskan
diagnosis KTPFV pada kasus lesi tiroid berkapsel, LiVolsi and Baloch menetapkan
kriteria ditemukannya karakteristik sitologi KTP baik multifokal maupun difus pada
KTPFV yang berkapsel (Chen et al., 2012). Chan mengajukan kriteria yang lebih
ketat meliputi evaluasi gambaran mayor dan minor. Terdapat empat gambaran mayor,
antara lain: (1) inti oval hingga bulat, (2) inti yang tumpang tindih dengan polaritas
terganggu, (3) pola kromatin inti yang jernih atau pucat pada hampir seluruh lesi atau
gambaran groove yang jelas, dan (4) adanya psammoma bodies. Jika hanya ada satu
gambaran yang teridentifikasi, seluruh kriteria minor diperlukan untuk
35
menyimpulkan diagnosis. Kriteria minor tersebut mencakup: (1) adanya papil abortif,
(2) didominasi oleh folikel yang memanjang atau ireguler, (3) koloid berwarna gelap,
(4) adanya pseudoinklusi inti, dan (5) histiosit berinti banyak pada lumen folikel
(Chen et al., 2012). Selain itu, folikel neoplastik pada KTPVF umumnya dengan
bentuk yang ireguler dan ukuran yang lebih bervariasi daripada karsinoma maupun
adenoma folikuler (Baloch et al., 2011).
Gambaran psammoma bodies, kalsifikasi dan respon desmoplastik dapat
ditemukan pada KTPVF tapi cenderung lebih jarang jika dibandingkan dengan KTP
klasik. Psammoma bodies tampak sebagai “bayangan” papil yang telah mati
merupakan diferensiasi kalsifikasi distrofik terbentuk dari area infark fokal pada
ujung papil yang menarik kalsium. Infark yang terus menerus disertai deposit kalsium
menimbulkan lamelasi. Psammoma bodies biasanya tampak pada bagian sentral
tangkai, pada stroma tumor, atau pembuluh limfatik, namun tidak pernah berada di
dalam folikel neoplastik (koloid) (Livolsi 2011; De Lellis et al., 2004).
2.8 Sistem Stadium dan Pola Perluasan Karsinoma Tiroid Papiler
Klasifikasi stadium tumor tiroid sesuai sistem TNM yang didasarkan pada ukuran
tumor (T), penyebaran limfatik (N), dan metastasis jauh (M). Sistem TNM ini
disahkan oleh International Union Against Cancer (IUCC) dan American Joint
Commission on Cancer (AJCC). Berikut penjabaran klasifikasi sistem TNM
berdasarkan AJCC dalam menentukan stadium karsinoma tiroid (Rubin et al., 2012).
36
Tabel 2.5
Sistem TNM berdasarkan AJCC (Rubin et al., 2012)
Definisi TNM
Kelompok stadium
T1
Dimensi terbesar tumor ≤2
cm, terbatas pada tiroid
N0
Tanpa metastasis KGB
regional
Stadium I
T1 N0 M0
T2
Dimensi terbesar tumor >2cm tetapi ≤ 4 cm
N0
Tanpa metastasis KGB regional
Stadium II
T2N0M0
T3
Dimensi terbesar tumor >4
cm atau tumor dengan berbagai ukuran dengan
perluasan ekstratiroid
minimal (contoh: ke otot sternotiroid)
N1a
Metastasis ke level VI (KGB Pretrakea, paratrakea
dan Delphian/ Prelaringeal)
Stadium III
T3N0M0
T1N1aM0
T2N1aM0
T3N1aM0
T4a
Tumor berbagai ukuran melewati kapsel,
kejaringan subkutan, laring, trakea, esophagus
dan recurrent laryngeal
nerve.
N1b
Metastasis ke KGB
servikal unilateral, bilateral, kontralateral atau
superior mediastinum.
Stadium IVa
T4aN0M0
T4aN1aM0
T1N1bM0
T2N1bM0
T3N1bM0
T4N1bM0
T4b
Tumor menginvasi fascia
prevertebra atau menyelubungi arteri karotis
atau pembuluh darah
mediastinal
Stadium IVb
T4b berbagai N
M0
M1
Metastasis jauh
Stadum IVc Berbagai T
Berbagai N M1
37
Invasi kapsel maupun invasi intravasa merupakan faktor prediktif terjadinya
metastasis pada KTP. Selanjutnya adanya metastasis baik ke KGB maupun metastasis
jauh mempengaruhi tingginya angka kekambuhan dan mortalitas pada pasien KTP
(Gupta et al., 2012). Secara morfologi, KTPVF cenderung lebih sering berkapsel
dibandingkan KTP klasik sehingga gambaran invasi kapsel lebih sering dijumpai
pada kasus KTPVF, seperti halnya pada KTF maupun adenoma folikuler. Frekuensi
invasi kapsel pada KTPVF encapsulated lebih tinggi dibandingkan KTP klasik yaitu
65% berbanding 38% (Gupta et al., 2012; Chen et al., 2012). Pada KTPVF
encapsulated, kaskade perluasan tumor diawali dengan invasi tumor melewati
kapselnya, baik tanpa atau disertai adanya invasi vasa intra kapsuler maupun ekstra
kapsuler. Seiring dengan peningkatan ukuran tumor dan kemampuan invasifnya,
akhirnya terjadi kaskade lanjutan berupa perluasan tumor ke jaringan ekstra tiroid.
Namun proses lanjutan ini jarang terjadi pada KTPVF encapsulated, perluasan ekstra
tiroid lebih sering dijumpai pada KTPVF nonencapsulated dalam frekuensi yang
sebanding dengan KTP klasik (Chen et al., 2012; Chrisoulidou et al., 2011; Ghossein
et al., 2009). Penentuan kriteria adanya invasi kapsel pada KTPVF sama seperti
penentuan invasi kapsel pada KTF (Ghossein et al., 2009).
38
Gambar 2.12
Gambaran Skematik Interpretasi Invasi Kapsel (Ghossein et al., 2009)
Gambar 2.12 menunjukkan bahwa follicular neoplasm (oranye) yang dikelilingi oleh
kapsel fibrous (hijau). A dan B menggambarkan bagian tumor belum melewati
kapsel, C. Tumor secara total melewati kapsel, D. Tumor diliputi oleh kapsel fibrous
tipis, namun sudah meluas melampaui garis imajiner yang ditarik melalui kontur luar
kapsel, E. Satellite tumor nodule dengan arsitektur dan sitomorfologi yang sama
dengan tumor utama berada di luar kapsel, F. Folikel terletak tegak lurus pada kapsel
memberi kesan adanya invasi, G. Folikel terletak sejajar pada kapsel, H. Tumor
menyerupai gambaran mushroom, secara total melewati kapsel, I. Tumor menyerupai
gambaran mushroom, namun belum melampaui kapsel, J. Folikel neoplastik pada
kapsel fibrous disertai adanya sel limfosit dan siderofag, berkaitan dengan ruptur
kapsel karena tusukan jarum saat pemeriksaan FNAB sebelumnya. Yang digolongkan
39
telah mengalami invasi kapsel adalah C, D, E dan H sedangkan A, B, F, G, I dan J
belum dinyatakan mengalami invasi kapsel (Ghossein et al., 2009).
KTPVF merupakan varian KTP yang unik karena pola invasinya beragam, selain
menembus kapsel dan menimbulkan perluasan ke jaringan ekstratiroid, KTPVF dapat
meluas melalui vaskuler sehingga menimbulkan metastasis ke organ jauh dan dapat
pula serupa dengan KTP klasik yang melalui jalur limfonodi dan akhirnya
bermatastasis di KGB. Hal ini berkaitan dengan latar belakang molekuler KTPVF
yang dapat mengikuti pola molekuler KTP klasik maupun KTF (Chen et al., 2012;
Chrisoulidou et al., 2011; Ghossein et al., 2009).
Penentuan adanya invasi vaskuler pada KTPVF maupun KTP klasik berdasarkan
kriteria 1) adanya sel tumor pada ruang vaskuler, 2) adanya sel tumor yang menempel
di endotel vaskuler, 3) adanya sel tumor yang invasif melalui dinding pembuluh
darah dan endotel dan 4) adanya trombus yang menempel pada tumor intravaskuler
(Mete et al., 2011). Frekuensi invasi vaskuler pada KTPVF juga lebih tinggi daripada
KTP klasik yaitu 25% berbanding 5%. Pada berbagai penelitian, frekuensi terjadinya
metastasis jauh pada KTP berkisar antara 1,73-8,4% kasus yang umumnya terjadi
pada KTPVF. Dari hasil review 13 penelitian dilaporkan bahwa frekuensi metastasis
jauh tersering yaitu pada paru (49%), diikuti tulang (25%) dan pada tulang maupun
paru (5%). Sedangkan metastasis ke KGB dijumpai pada sekitar 35% keseluruhan
kasus KTP dan 70% diantaranya terjadi pada KTP klasik. Kecenderungan KTP klasik
untuk menimbulkan metastasis melalui KGB berkaitan juga dengan dasar biologi
40
molekulernya yaitu adanya perubahan genetik akibat mutasi BRAF dan tata ulang
RET/PTC (Chen et al., 2012; Chrisoulidou et al., 2011; Ghossein et al., 2009;
NCNN, 2012).
2.9 Penanganan Karsinoma Tiroid Papiler
Penanganan pasien dengan KTP secara umum terdiri dari empat komponen utama
diantaranya ekstirpasi pembedahan yang adekuat, ablasi RAI (Radioactive Iodine)
tambahan pada kasus tertentu, supresi TSH, dan surveillance. Keseluruhan strategi
terapi tergantung pada temuan preoperatif dan intraoperatif sesuai klasifikasi TNM
serta evaluasi postoperatif yang berkaitan dengan perangai biologis tumor (Cooper et
al., 2006; NCCN, 2012). Penelitan sebelumnya menunjukkan perangai KTPVF
varian encapsulated berbeda dengan KTP klasik, terkait tingkat mutasi BRAF V600E
dan metastasis KGB yang lebih rendah. Berbeda dengan KTPVF non encapsulated
yang perangai biologisnya menyerupai KTP klasik, dengan tingkat mutasi BRAF
V600E dan metastasis KGB yang secara signifikan lebih tinggi. Namun penelitian
terbaru menemukan bahwa perangai kedua varian KTPVF ini tidak menunjukkan
perbedaan yang bermakna, sehingga penentuan agresivitas kasus KTPVF dari
berbagai aspek sangat penting untuk ketegasan penentuan terapi karena kasus yang
agresif memerlukan tiroidektomi total, radical neck dissection (RND) dan ablasi RAI
(Constantine et al., 2007; Chang et al., 2006; Xing et al., 2005)
41
Pilihan terapi untuk reseksi tumor primer tiroid sering diperdebatkan, apakah
harus memilih lobektomi atau tiroidektomi total atau near-total (mendekati total).
Hingga saat ini masih diperdebatkan luas tiroidektomi yang harus dilakukan,
terutama untuk KTP yang berukuran kecil, intratiroid, berisiko rendah dan
berdiferensiasi baik. Beberapa memaparkan bahwa terapi lobektomi tidak
memberikan keuntungan harapan hidup dibandingkan tiroidektomi yang lebih luas
namun bisa mengurangi risiko terjadinya komplikasi cedera RLN (Recurrent
Laryngeal Nerve) dan hipoparatiroidisme permanen (Cooper et al., 2006; Bilimoria et
al., 2007)
Pendapat yang mendukung tiroidektomi total meliputi laporan bahwa tiroidektomi
yang lebih luas mengurangi risiko kekambuhan dan memberikan keuntungan untuk
harapan hidup dibandingkan lobektomi. Demikian pula di tangan ahli bedah endokrin
yang berpengalaman, tingkat komplikasi antara tiroidektomi total sebanding dengan
lobektomi. KTP bersifat multifokal pada 80% kasus dan bilateral pada 60% kasus,
dan pilihan untuk menghilangkan seluruh kelenjar tiroid memfasilitasi kegunaan RAI
postoperatif untuk menangani sisa tumor yang tampak secara mikroskopik atau lesi
metastatik, serta mendukung kegunaan tiroglobulin (Tg) postoperatif sebagai marker
sensitif dalam mengetahui kekambuhan. Pedoman konsensus menganjurkan
tiroidektomi total atau yang mendekati total sebagai pilihan terapi awal pada pasien
KTP dengan indikasi absolut meliputi riwayat paparan radiasi, kanker tiroid familial,
tumor ukuran lebih dari 4 cm, adanya perluasan ekstratiroid, adanya metastasis
42
limfonodi atau metastasis jauh, atau varian histologis KTP bersifat agresif (Toniato et
al., 2008; Haigh et al., 2005)
Metastasis KGB pada kasus KTP sering ditemukan, melalui tindakan diseksi
leher propilaktik didapatkan prevalensi 33-63% untuk metastasis KGB leher sentral
(pre-atau paratrakea/ level VI), dan prevalensi 57-64% untuk metastasis KGB leher
lateral (level II, III, dan IV) yang sebelumnya tidak terdeteksi melalui pemeriksaan
ultrasonografi preoperatif. Diseksi limfonodi yang berorientasi pada terapeutik
kompartemen diindikasikan bagi metastasis limfonodi servikal yang sudah diketahui.
Meskipun jumlah ini tinggi, namun arti pentingnya metastasis limfonodi masih belum
jelas karena beberapa studi menunjukkan bahwa metastasis limfonodi tidak
berpengaruh pada keseluruhan harapan hidup, terutama pada pasien yang berusia
dibawah 45 tahun (Shindo et al., 2006; Ito et al., 2006; Pereira et al., 2005)
Kegunaan limfadenektomi propilaktik dalam terapi kasus KTP masih kontroversi.
Kelompok pendukung RND berpendapat bahwa metastasis limfonodi regional sering
terjadi dan berkaitan dengan tingginya tingkat kekambuhan dan kematian. Sedangkan
kelompok yang menetang berpendapat bahwa metastasis limfonodi tidak berpengaruh
pada keseluruhan harapan hidup, dan prosedur ini justru meningkatkan risiko
komplikasi dengan dilaporkannya 2-7% kasus paralisis vocal cord sementara, 14-
60% hipoparatiroidisme sementara dan 2-5% hipoparatiroidisme permanen. American
Thyroid Association Guidelines (ATA) 2009 memberi rekomendasi untuk tindakan
elektif (propilaksis) diseksi kompartemen sentral leher pada pasien dengan tumor
43
primer bersifat lanjut (T3 atau T4) meskipun secara klinis tidak ditemukan
keterlibatan limfonodi sentral leher (Ito et al., 2012). Disisi lainnya, pedoman NCCN
(National Comprehensive Cancer Network) tidak menganjurkan tindakan diseksi
leher sentral rutin, kecuali jika pada pemeriksaan palpasi atau biopsi limfonodi positif
menunjukkan lesi metastasis (Ito et al., 2012; Pereira et al., 2005).
Komponen kedua pada strategi penanganan global pasien KTP adalah ablasi RAI
yang diberikan pada 4-12 minggu setelah tindakan pembedahan, bertujuan untuk
menghancurkan sisa jaringan tiroid setelah tiroidektomi dan menangani lesi
metastasis yang masih tersembunyi ataupun telah diketahui. Kontroversi tindakan
ablasi RAI timbul karena meskipun dapat mengurangi tingkat kekambuhan dan
mortalitas, beberapa studi justru menunjukkan tidak ada keuntungan, terutama bagi
pasien yang masuk dalam kelompok risiko rendah. Baik pedoman ATA maupun
NCCN menganjurkan ablasi RAI untuk seluruh pasien KTP kecuali pasien stadium 1
yang memiliki risiko kekambuhan sangat rendah (pasien dengan diferensiasi baik,
unifokal, tumor berukuran lebih kecil dari 1 cm, tanpa perluasan ekstratirod atau
invasi vaskuler, dan tanpa metastasis limfonodi maupun jauh (Sawka et al., 2004).
Komponen ketiga untuk strategi penanganan global kasus KTP adalah pemberian
hormon tiroid dosis suprafisiologis dalam bentuk levotiroksin (LT4) dengan harapan
dapat menekan TSH yang diketahui menjadi stimulator proliferasi sel tiroid.
Penelitian retrospektif maupun prospektif menunjukkan bahwa pasien dengan terapi
LT4 mengalami penurunan risiko efek samping klinis mayor terutama pada kelompok
44
pasien risiko tinggi. Pedoman ATA menganjurkan penekanan TSH dibawah 0.1
mIU/mL untuk kelompok risiko tinggi dan antara 0.1-0.5 mIU/mL untuk kelompok
risiko rendah (McGriff et al., 2004).
Komponen terakhir pada strategi penanganan global kasus KTP adalah surveilens.
Lonjakan terjadinya tumor dipantau secara periodik oleh klinisi yang berpengalaman.
Pengukuran TSH, Tg dan anti-TG serum, USG servikal dan scan RAI sensitif untuk
adanya lesi sisa atau kekambuhan (Cooper et al., 2006).
Terapi terbaru untuk pasien dengan KTP lanjut dan metastatik meliputi pemberian
agen rediferensiasi, dimana agen tersebut memiliki target pada jalur RAS, BRAF,
VEGF dan reseptornya, jalur reseptor EGF dan jalur angiogenik lain dengan agen
seperti thalidomide dan proteasome (Xing et al., 2005; Ito et al., 2007).
2.10 Struktur, Jenis dan Fungsi Umum Matriks Metalloproteinase (MMP)
MMP merupakan famili endopeptida yang tergantung pada zinc. MMP sering disebut
sebagai kelompok protease metzincin karena selalu menyediakan corak pengikat zinc
yang tersimpan ada bagian katalitik aktifnya. MMP pertama kali ditemukan oleh
Jerome Gross dan Charles Lapiere pada tahun 1962 ketika mengetahui adnya
aktivitas enzimatik selama metamorfosis ekor kecebong. Mereka menemukan bahwa
triple helix kolagen didegradasi jika ekor kecebong ditempatkan pada matriks
kolagen kecebong yang bermetamorfosis (Ansari et al., 2013; Loffek et al., 2011).
45
MMP dilepaskan sebagai proenzim yang tidak aktif, tetapi selanjutnya diaktifkan
oleh berbagai faktor yang dikendalikan oleh TIMP (tissue inhibitors of matrix
metalloproteinases). Kelompok/ famili TIMP dibentuk oleh empat enzim. Kondisi
patologis akan timbul jika terjadi ketidakseimbangan tingkat MMP dan TIMP.
Berbagai penelitian juga melaporkan bahwa peningkatan ekspresi MMP memicu
berbagai penyakit inflamasi, keganasan dan degeneratif. Disinilah pentingnya
aktivitas penghambat MMP dalam terapi (Ansari et al., 2013). Seperti yang tampak
pada gambar 2.13, MMP memiliki tiga domain utama, yaitu:
1) Pro-peptida yang berperan menjaga enzim dalam bentuk tidak aktif. Domain
ini mengandung “Cystein switch” yakni residu cystein unik dan selalu terjaga,
yang berinteraksi dengan zinc pada bagian aktif. Saat aktivasi enzim, bagian
ini akan dipecah secara proteolitik oleh furin secara intraseluler atau MMP
lainnya dan protease serin secara ekstraseluler.
2) Domain katalitik yang menjadi penanda struktural corak pengikat zinc. Ion
Zn2+, diikat oleh tiga residu histidin membentuk area aktif. Area aktif ini
berjalan secara horizontal melewati molekul sebagai celah dangkal dan
berikatan dengan substrat.
3) Bagian penghubung (hinge region) merupakan sebuah jembatan lentur atau
bagian penghubung yang terbuat dari 75 rantai asam amino berfungsi untuk
menghubungkan domain katalitik dengan domain terminal-C. Bagian ini
sangat penting untuk menjaga stabilitas enzim.
46
4) Domain terminal-C yang menyerupai hemopexin merupakan domain yang
rangkaiannya menyerupai protein serum hemopexin. Rantai polipeptida
domain ini tersusun dalam empat lembaran β yang simetris. Permukaan datar
yang disediakan oleh struktur ini dipercaya terlibat dalam interaksi antar
protein dan merupakan penentu spesifisitas substrat, contohnya: TIMP
berinteraksi pada area ini.
Gambar 2.13
Struktur Matriks Metaloproteinase (MMP) (Ansari et al., 2013)
Kemampuan MMP dalam menghancurkan berbagai komponen matriks
ekstraseluler (ECM) menunjukkan bahwa berperan utama dalam remodeling ECM
yang signifikan selama perkembangan embryogenik karena remodeling ECM
merupakan bagian penting dalam pertumbuhan dan morfogenesis jaringan. Ini juga
didukung oleh penelitian terbaru yang menunjukkan peranan penting MMP sebagai
jaringan sinyal pengatur komponen ekstraseluler yang mempengaruhi kondisi seluler
47
(Loffek et al., 2011). Secara sistematis, beberapa fungsi seluler MMP selama
perkembangan dan fisiologis normal, yaitu (sesuai gambar 2.15) (Ansari et al., 2013):
1) Membantu migrasi sel melalui degradasi molekul ECM
2) Mengubah perangai seluler dengan mengubah lingkungan mikro ECM
3) Membantu aktivitas molekul aktif secara biologis dengan pemecahan
langsung, pelepasan dari simpanan, atau memodulasi aktivitas
penghambatnya.
Gambar 2.14
Fungsi seluler MMP selama perkembangan dan fisiologis normal.
Berdasarkan spesifisitas MMP terhadap komponen ECM, MMP dibagi menjadi
kelompok kolagenase, gelatinase, stromelysin dan matrilysin. Sedangkan diantara
48
delapan kelas struktural MMP, 5 disekresikan dan 3 lainnya merupakan MMP tipe
membran (MT-MMP) (Ansari et al., 2013).
Tabel 2.6
Jenis Matriks Metaloproteinase (Ansari et al., 2013)
Jenis MMP Kelas struktural Nama umum MMP-1 Simple hemopexin domain Kolagenase-1, interstitial Kolagenase, fibroblast
kolagenase, tissue kolagenase
MMP-2 Gelatin-binding Gelatinase A, 72-kDa gelatinase, 72-kDa typeIV
kolagenase, neutrophil gelatinase
MMP-3 Simple hemopexin domain Stromelysin-1, transin-1, proteoglikanase, protein
pengaktivasi prokolagenase
MMP-7 Minimal domain Matrilysin, matrin, PUMP1, small uterine
metalloproteinase
MMP-8 Simple hemopexin domain Kolagenase-2, kolagenase neutrophil, kolagenase
PMN, kolagenase granulosit
MMP-9 Gelatin-binding Gelatinase B, gelatinase 92-kDa, kolagenase 92-
kDa tipe IV
MMP-10 Simple hemopexin domain Stromelysin-2, transin-2 MMP-11 Furin-activated
dan Stromelysin-3
MMP-12 Simple hemopexin domain Metalloelastase, elastase makrofag, metalloelastase
makrofag
MMP-13 Simple hemopexin domain Kolagenase-3
MMP-14 Transmembrane MT1-MMP, MT-MMP1
MMP-15 Transmembrane MT2-MMP, MT-MMP2
MMP-16 Transmembrane MT3-MMP, MT-MMP3
MMP-17 GPI-linked MT4-MMP, MT-MMP4
MMP-18 Simple hemopexin domain Kolagenase-4 (Xenopus)
MMP-19 Simple hemopexin domain RASI-1, MMP-18
MMP-20 Simple hemopexin domain Enamelysin
MMP-21 Vitronectin-like insert Homolog dari Xenopus XMMP
MMP-22 Simple hemopexin domain CMMP (pada ayam)
MMP-23 Type II transmembrane Cysteine array MMP (CA-MMP), femalysin,
MIFR,MMP-21/MMP-22
MMP-24 Transmembrane MT5-MMP, MT-MMP5
MMP-25 GPI-linked MT6-MMP, MT-MMP6, leukolysin
MMP-26 Minimal domain Endometase, matrilysin-2
MMP-27 Simple hemopexin domain
MMP-28 Furin-activated and secreted Epilysin
Tanpa nama Simple hemopexin domain Mcol-A (pada tikus)
Tanpa nama Simple hemopexin domain Mcol-B (pada tikus)
Tanpa nama Gelatin-binding Gelatinase 75-kDa (pada ayam)
49
Dalam proses keganasan, peranan MMP juga menyerupai yang terjadi dalam
proses fisiologis namun terjadi ketidakseimbangan dengan aktivitas penghambatnya.
Terjadi degradasi komponen ECM pada membran basalis dan jaringan ikat interstisial
yang tersusun atas kolagen, glikoprotein dan proteoglikan. Suatu karsinoma pertama-
tama harus menembus membran basalis dibawahnya, kemudian melintasi jaringan
ikat, dan secara cepat mencapai sirkulasi dengan cara menembus membran basalis
pembuluh darah. Proses ini berulang lagi jika emboli sel tumor mengalami
ekstravasasi ke tempat jauh. Invasi melalui ECM mengawali kaskade metastasis dan
merupakan proses aktif yang melibatkan beberapa tahap, diantaranya perubahan
interaksi antara sel tumor dengan sel, degradasi ECM, perlekatan ke komponen
terbaru ECM dan migrasi sel tumor (Kumar et al., 2010).
MMP terlibat dalam tahap kedua proses invasi yaitu degradasi lokal membran
basalis dan jaringan ikat interstisial. Sekresi MMP tersebut dapat berasal langsung
dari sel tumor atau dari induksi terhadap sel stroma (seperti fibroblast dan sel
inflamasi). Protease lain yang juga disekresikan yaitu cathepsin D dan urokinase
plasminogen activator. MMP mengatur invasi tumor tidak hanya dengan cara
mengubah komponen yang tidak larut pada membran basalis dan matriks interstisial,
tetapi juga dengan pelepasan growth factor yang disimpan ECM (Kumar et al., 2010;
Bouchet et al., 2014).
50
2.11 Fungsi Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9/Gelatinase)
Diantara seluruh MMP, salah satu kelompok gelatinase yaitu MMP-9 (gelatinase B)
mendapat perhatian pada beberapa penelitian dalam memahami sifat invasif dan
metastatik tumor terkait kemampuannya dalam mendegradasi kolagen IV, komponen
utama dari membran basalis epitel dan vaskuler. Hubungan antara komponen radang,
stroma dan tumor mempengaruhi aktivasi dan produksi MMP-9/ gelatinase B. Gen
MMP-9/ gelatinase B berlokasi pada kromosom 20q11.2-q13.1, terdiri dari 7.654
basa dan ditranskripsikan sebagai 2.4 kb mRNA tunggal (Bouchet et al., 2014;
Marecko et al., 2014).
Protein MMP-9 merupakan enzim metallo-multidomain, dengan catalytic site
tersusun atas domain pengikat logam yang dipisahkan dari active site oleh ulangan
tiga fibronektin yang memfasilitasi degradasi substrat besar seperti elastin dan
penghancuran kolagen. Dalam regio ini, asam amino Asp309, Asn319, Asp232,
Tyr320 dan Arg3076 penting untuk pengikat gelatin. Catalytic site tetap
dipertahankan dalam bentuk tidak aktif oleh amino-terminal pro-peptide PRCGXPD,
dengan koordinasi cysteine bersama katalitik Zn2+. Ujung terminal COOH dari
MMP-9 mengandung domain hemopexin yang mengatur ikatan dengan substrat,
berinteraksi dengan inhibitor dan membantu ikatan ke permukaan sel. Domain O-
glycosylated sentral memberikan fleksibilitas molekuler, mengatur spesifisitas
substrat MMP-9 invasi yang bergantung MMP-9, interaksi dengan TIMP dan
lokalisasi permukaan sel. Domain ini membantu pergerakan MMP-9 sepanjang
51
substrat makromolekuler dan melepaskan ikatan kolagen sebelum dipecahkan oleh
enzim lainnya (Farina et al., 2014; Loffek et al., 2011).
Keterangan:
Gambar 2.15
Struktur MMP-9 (Gelatinase B) (Loffek et al., 2011)
MMP-9 dihasilkan oleh sel tubuh manusia, seperti sel fibroblast stroma, sel
endotelial, sel polimorfonuklear (PMN), keratinosit, makrofag dan beberapa sel
epitel. Aktivitas enzimatik MMP-9 dihambat oleh inhibitor protease sistemik α2-
makrogloblin, anggota famili TIMP dan antagonis terhadap domain hemopexinnya
sendiri. MMP-9 mendapat perhatian khusus karena ekspresi basalnya rendah secara
normal, sedangkan pada kondisi kanker MMP-9 terekspresi kuat akibat respon
terhadap berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin. Melalui penelitian eksperimental
terhadap tikus dengan defisiensi MMP-9 menunjukkan kegagalan metastasis dan
pertumbuhan tumor (Farina et al., 2014).
Peranan proonkogenik MMP-9 telah dilaporkan, diantaranya berkaitan dengan
transformasi neoplastik, inisiasi dan promosi tumor dan instabilitas genetik. MMP-9
52
dapat menempati inti sel, meskipun memiliki sinyal lokalisasi inti klasik yang rendah
dan aktivitas gelatinase inti menyatu dengan peningkatan fragmentasi DNA.
Gelatinase inti ini mendegradasi matriks protein inti yaitu PARP (poly-ADP-ribose-
polymerase), menghindarkannya dari proses perbaikan DNA (Farina et al., 2014).
Gambar 2.16
Peranan MMP-9 yang bebas TIMP yang berasal dari sel radang PMN sel tumor
maupun stroma dalam inisiasi tumor dan promosi instabilitas genetik. Melalui
degradasi matriks ekstraseluler (ECM), dan aktivitas kemokin, sitokin dan growth
factor (Farina et al., 2014).
Peningkatan aktivitas MMP-9 yang ditunjang oleh PMN neutrofil selanjutnya
juga meningkatkan penarikan neutrofil melalui degradasi yang dimediasi MMP-9 dan
superaktivasi IL-8, meningkatkan istabilitas genetik. Selanjutnya MMP-9 terlibat
dalam ekspansi klonal yang merupakan tahap penting pada progresi tumor dengan
melibatkan keseimbangan antara proliferasi, apoptosis dan angiogenesis. Transisi
epitelial menjadi mesenkimal (EMT) merupakan kemampuan perubahan sel epitel
yang awalnya tidak dapat bergerak menjadi sel progenitor mesenkimal yang dapat
53
bergerak. Mekanisme ini penting untuk perkembangan (tipe 1), proses penyembuhan
normal atau fibrosis patologis (tipe 2) dan transformasi metastatik sel kanker (tipe 3).
EMT tipe 3 sangat fundamental pada progresi tumor untuk bermetastasis, dan baik sel
kanker yang mengalami reaktivasi ataupun dediferensiasi atau teraktivasi ini akan
terinduksi menjadi fenotip yang invasif dan memiliki kemampuan motilitas. MMP-9
merupakan protein penting yang berkaitan dan bahkan penyebab EMT (Antonietta et
al, 2014).
Gambar 2.17
Transisi epitelial menjadi mesenkimal (EMT) yang dipicu MMP-9 (Farina et al.,
2014)
Neovaskularisasi tumor merupakan proses penting untuk ekspansi tumor primer,
progresi metastatik dan pertumbuhan metastatik, terjadi melalui beberapa proses
meliputi permulaan angiogenesis, vaskulogenesis, gabungan intersusepsi dan/atau
menyerupai vaskuler. Tidak seperti pembuluh darah normal, pembuluh darah pada
tumor bersifat abnormal dan imatur. MMP-9/ gelatinase B merupakan molekul
proangiogenik dan memicu aktivasi angiogenik pada pembuluh darah tua dengan cara
54
mengatur proliferasi perisit, apoptosis dan penarikan perisit selama angiogenesis serta
memobilisasi perekrutan prekursor angiogenik sumsum tulang ke stroma tumor untuk
meningkatkan proses angiogenik dan vaskulogenik tumor. MMP-9 juga memicu
aktivasi angiogenik dengan memobilisasi mitogen angiogenik seperti FGF and
VEGF. Selain itu hipoksia karena tumor merupakan stimulus angiogenesis dan
berperan meningkatkan ekspresi MMP-9 vaskuler (Farina et al., 2014).
Gambar 2.18
Peranan MMP-9 bebas TIMP dari sel radang PMN, MMP-9 tumor/ stroma onkogen
dan hipoksia dalam mengaktifkan angiogenesis (Farina et al., 2014)
Sedangkan keterlibatan MMP-9 dengan proses metastasis merupakan kolaborasi
proses ekspansi, EMT dan angiogenesis. Khusus mengenai invasi ke limfonodi
dikaitkan dengan keterlibatan interaksi antara kemokin dengan reseptor kemokin
55
CCR7 yang sebelumnya berfungsi meningkatkan ekspresi MMP-9 (Farina et al.,
2014).
Gambar 2.19
Kaitan MMP-9 dengan kemampuan metastasis tumor (Farina et al., 2014)
2.12 Peranan Matriks Metaloproteinase 9 (MMP-9)/Gelatinase B pada
Karsinoma Tiroid Papiler
Berbagai landasan teoritis telah memaparkan bahwa MMP-9 mempengaruhi sifat
invasif, kemampuan progresi dan kemampuan bermetastasis tumor sehingga dapat
menjadi acuan bahwa MMP-9 layak menjadi salah satu marka atau penanda
agresivitas tumor. Sebuah penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara ekspresi MMP-9 dengan stadium IUCC dan metastasis ke
limfonodi. Penelitian lainnya membuktikan perbedaan ekspresi MMP-9 yang sangat
bermakna antara karsinoma tiroid, adenoma tiroid dan goiter multinoduler. Hal ini
56
menunjukkan bahwa MMP-9 memiliki peranan kunci dalam transformasi onkogenik
tumor tiroid. Adapula penelitian yang menyebutkan bahwa ekspresi MMP-9 secara
bermakna berkaitan dengan ukuran tumor selain stadium UICC dan adanya
metastasis ke limfonodi maupun metastasis jauh. Namun ekspresi MMP-9 tidak
berkorelasi dengan jenis kelamin dan usia pasien. Hasil penelitian ini mendukung
teori mengenai kaitan MMP-9 dengan progresi, kemampuan invasi dan metastasis
tumor. Temuan ini kemudian menjadi landasan bahwa tingginya ekspresi MMP-9
dapat menjadi marker diagnostik yang berguna dan mungkin juga merupakan target
yang potensial pada terapi karsinoma tiroid (Marecko et al., 2008).
Bahkan temuan terbaru membuktikan BRAFV600E yang merupakan marka spesifik
penentu agresivitas KTP terlebih dahulu perlu menginduksi MMP untuk memunculan
sifat invasif dan kemampuan metastasis tumor. Hal ini tampak setelah dilakukan
pemeriksaan imunohistokimia pada enam puluh kasus KTP klasik baik antibodi anti
MMP-2 maupun MMP-9, didapatkan MMP-2 terdeteksi pada 32 spesimen (53.3%),
sedangkan MMP-9 pada 52 spesimen (86.7%). Pada analisis univariat, terdapat
korelasi yang signifikan antara positivitas BRAFV600E dengan hasil IHK MMP-2 atau
MMP-9 atau keduanya (PZ 0.028). Adanya ekspresi MMP-2 maupun MMP-9 secara
signifikan juga berkaitan dengan perluasan ekstratiroid (PZ 0.030). Temuan ini
menegaskan bahwa ekspresi MMP-9 merupakan marka atau penanda yang sinergis
dengan ekspresi BRAFV600E Akhirnya disimpulkan bahwa MMP merupakan mediator
efek BRAF pada sifat invasif tumor (Frasca et al., 2008).
57
Diketahui pula bahwa P53 yang merupakan guardian of genome dapat mengatur
ekspresi MMP secara kompleks, dengan memicu peningkatan ekspresi MMP-2 dan
DDR1 namun menghambat ekspresi MMP-1 dan MMP-9. Sehingga adanya mutasi
P53 secara tidak langsung akan meningkatkan ekspresi MMP-9. Mutasi P53
berkaitan dengan sifat agresivitas tumor dan penanda prognosis yang buruk.
Mengingat keterkaitan mutasi P53 dengan peningkatan ekspresi MMP-9 maka
ekspresi MMP-9 merupakan marker yang relevan dalam menentukan agresivitas
tumor, khususnya pada KTP (Powell et al., 2014).
Penelitian terbaru lainnya membuktikan bahwa imunoekspresi MMP-9 aktif
berkorelasi positif dengan usia pasien, adanya metastasis ke limfonodi, adanya invasi
ekstratiroid dan derajat infiltrasi tumor. Penelitian ini agak berbeda dengan penelitian
sebelumnya karena menemukan bahwa ukuran tumor tidak terkait dengan tingkat
ekspresi MMP-9 aktif. Hasil yang masih serupa yaitu memaparkan bahwa jenis
kelamin juga tidak berhubungan dengan ekspresi MMP-9. Temuan ini kembali
memaparkan bahwa MMP-9 bersifat aktif pada sel tumor dan hal ini mempengaruhi
perangai agresif pada KTP (Ansari et al., 2013).
Sel yang mengekspresikan MMP-9 akan tampak berwarna coklat pada sitoplasma
sel epitel ganas maupun stroma. Penilaian ekspresi MMP-9 dibuat berdasarkan
analisis persentase sel tumor yang positif dan intensitas pewarnaannya (Meng et al.,
2012; Marecko et al., 2014).
58
Gambar 2.20
Pulasan MMP-9 pada KTP. A.Hasil pulasan IHK MMP-9 total pada kasus KTP
encapsulated yang menunjukkan gambaran difus sedang. B. Hasil IHK MMP-9 aktif
dengan gambaran negatif pada sampel yang sama. C. Pulasan MMP-9 yang positif
kuat dan difus pada kasus KTP dengan invasi ekstratiroid. D. Pulasan MMP-9 yang
juga positif kuat pada KTP dengan invasi ekstratiroid (Marecko et al., 2014).
59
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Agresivitas KTP sangat penting dipahami untuk penentuan terapi yang adekuat
sehingga mengurangi risiko morbiditas maupun mortalitasnya. KTP klasik dan
KTPVF merupakan dua varian KTP yang paling sering dengan pola arsitektur yang
berbeda karena memiliki latar belakang molekuler maupun faktor risiko yang
berbeda. Tidak seperti KTP klasik yang mekanisme karsinogenesisnya hanya melalui
tata ulang RET atau mutasi BRAF, pada KTPVF juga melalui jalur mutasi Ras yang
serupa dengan KTF. Faktor lain yang diketahui mempengaruhi pola arsitektur pada
karsinoma tiroid yaitu asupan iodium. Asupan iodium yang cukup dikatakan
mempengaruhi terbentuknya struktur papiler yang dominan pada KTP, berbeda
dengan kasus karsinoma tiroid di daerah goiter endemik yang mayoritas merupakan
KTF. Hal tersebut diyakini mempengaruhi sifat agresif kedua varian ini, meskipun
beberapa literatur menyebutkan bahwa KTP klasik dan KTPVF memiliki perangai
klinis maupun patologis yang sebanding.
KTPVF dianggap menjadi tipe campuran antara KTP dan KTF dengan perangai
yang dapat menyerupai KTP klasik maupun menyerupai KTF. Terbukti dengan
60
ditemukannya kasus KTPVF yang mekanisme perluasannya mengikuti jalur limfatik
dan menimbulkan metastasis KGB regional, beberapa kasus lainnya invasif melewati
kapsel tumor maupun kapsel organ dan menempel ke jaringan ekstratiroid sekitarnya,
dan adapula KTPVF yang invasif melalui pembuluh darah dan akhirnya
menimbulkan metastasis jauh. Sedangkan pada KTP klasik, mekanisme perluasan
tumor umumnya melalui jalur limfonodi sehingga seringkali terjadi metastasis KGB
pada kasus KTP klasik. Semakin luas infiltrasi tumor berkaitan dengan meningkatnya
agresivitas tumor. Adanya perluasan ekstrakompartemen berhubungan dengan
kekuatan motilitas sel tumor dan kemampuan invasif sel tumor dalam melewati
matriks ekstraseluler (ECM) membran basalis epitel, jaringan intersisial dan vaskuler.
Proses degradasi ECM melibatkan suatu protease utama yaitu matriks
metaloproteinase (MMP), salah satunya adalah MMP-9 yang memiliki struktur unik
dan berbeda dengan MMP lainnya. MMP-9 yang juga dikenal sebagai gelatinase B
merupakan famili endopeptida metallo-multidomain, berfungsi utama dalam
degradasi kolagen IV yang menjadi komponen utama membran basalis. Struktur unik
fibronectin repeat pada MMP-9 juga memfasilitasi kemampuan enzim dalam
mendegradasi substrat besar lainnya seperti elastin.
Selain terlibat dalam fungsi degradasi ECM, MMP-9 juga dapat membangkitkan
aktivitas protoonkogenik dengan menghambat perbaikan DNA di inti dan memicu
sinyal GF yang selanjutnya dapat mengaktifkan jalur MAPK sehingga terjadi aktivasi
faktor transkripsi inti. Proliferasi dan diferensiasi sel ganas secara terus menerus
61
tanpa disertai aktivitas perbaikan DNA akan memicu terjadinya ekspansi klonal
tumor dan instabilitas genetik yang terus menerus. Proses ini bagaikan lingkaran
setan karena klonal tumor tersebut kembali menghasilkan MMP-9 yang bersifat
monoklonal dan tidak mampu dihambat oleh inhibitornya. Selanjutnya MMP-9 juga
memicu transisi epitelial menjadi mesenkimal (EMT) yang merupakan proses induksi
dediferensiasi menjadi fenotip yang invasif dan memiliki motilitas lebih tinggi.
MMP-9 juga meningkatkan kemampuan angiogenesis maupun vaskulogenesis tumor
dengan memicu aktivasi angiogenik pada pembuluh darah tua dan mengatur
penarikan perisit selama angiogenesis serta memobilisasi perekrutan prekursor
angiogenik sumsum tulang dan mitogen angiogenik seperti FGF dan VEGF.
Keseluruhan proses ini menggambarkan bahwa MMP-9 merupakan komponen
ekstraseluler yang sangat terlibat dalam progresi tumor, kemampuan invasif maupun
metastatik tumor, sehingga dapat menjadi marka penentu agresivitas KTP. Ekspresi
MMP-9 kemungkinan berkaitan dengan luasnya infiltrasi tumor dan varian KTP yang
akan ditelusuri pada penelitian ini. Berdasarkan pada kerangka pikir di atas, dibuatlah
bagan kerangka pikir (Gambar 3.1)
62
Gambar 3.1
Bagan Kerangka Berpikir
JARINGAN
Komponen Intraseluler
Komponen ekstraseluler
Adesi Sel Matriks Ekstraseluler (ECM)
Matriks Metalloproteinase 9 (MMP-9)
Meningkatkan sinyal
Growth Factor (GF)
Degradasi matriks
protein inti Poly-ADP-
ribose-polymerase
(PARP)
Memblok perbaikan DNA
Epithelial to
Mesenchimal Transition
(EMT)
Mobilisasi Fibroblast Growth Factor
(FGF ) dan Vascular Endothelial
Growth Factor (VEGF)
Varian Karsinoma
Tiroid Papiler
Ekspansi instabilitas genomik
Luas infiltrasi tumor
Akumulasi mutasi somatik
Meningkatkan motolitas
tumor
Angiogenesis Peningkatan interaksi
dengan reseptor integrin
Peningkatan
proliferasi
sel
Klasik Folikuler Columnar Tall Cell Onkositik Clear cell
Degradasi
ECM
Intrakompartemen Ekstrakompartemen
63
3.2 Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka konsep penelitian dijabarkan seperti bagan
berikut:
`
Gambar 3.2
Bagan Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan skor ekspresi MMP-9 antara KTP klasik dengan infiltrasi
intrakompartemen, KTP klasik dengan infiltrasi ekstrakompartemen, KTPVF dengan
infiltrasi intrakompartemen dan KTPVF dengan infiltrasi ekstrakompartemen.
Matriks Metaloproteinase
9
Karsinoma Tiroid Papiler
Klasik
Karsinoma Tiroid Papiler
Varian Folikuler
Intra
Kompartemen
Ekstra
Kompartemen
Intra
Kompartemen
Ekstra
Kompartemen
64
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode analitik
observasional potong lintang, dengan bagan rancangan penelitian sesuai gambar 4.1.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar dari 30 September 2014 -31 Desember 2014.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi Target
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien karsinoma tiroid papiler di Bali.
4.3.2 Populasi Terjangkau
Populasi penelitian adalah semua sediaan dari blok parafin pasien dengan diagnosis
karsinoma tiroid papiler dari operasi hemitiroidektomi, tiroidektomi total maupun
Radical Neck Dissection (RND) yang diperiksa secara histopatologi pada
Laboratorium Patologi Anatomi FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar.
65
4.3.3 Sampel
Sampel penelitian adalah semua sediaan blok parafin pasien dengan diagnosis
KTPVF dan KTP klasik yang diperiksa secara histopatologi pada Laboratorium
Patologi Anatomi FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar dari tahun 2011 sampai Juni
tahun 2014 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan peneliti.
Sampel dipilih dengan cara consecutive sampling.
4.3.4 Perhitungan dan Cara Pengambilan Sampel
Besar sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini dihitung berdasarkan
rumus beda rerata dua kelompok independent (Rumus Pocock):
2
21221
XX
SZZnn
Keterangan:
n = Besar sampel pada masing-masing kelompok.
Zα = nilai Z untuk nilai α tertentu (α = 0,05, Zα = 1,96 )
Zβ = nilai Z untuk power (1-ß ) ( ß = 0,10, Zß = 1,28)
S
X1
X2
=
=
=
Standar deviasi ditentukan 0,2 (Marecko et al., 2014)
KTP dengan infiltrasi ekstratiroid dan metastasis KGB: 0,6
KTP intratiroid tanpa metastasis KGB: 0,2
X1-X2 = Perbedaan yang diinginkan (clinical judgement) 0.4
66
Berdasarkan perhitungan sampel di atas maka dalam penelitian ini digunakan
sampel pada masing-masing kelompok sebanyak 6 sediaan dan untuk menghindari
adanya drop out/data blank maka ditambahkan 20%, sehingga sampel untuk masing-
masing kelompok adalah 7,2 sediaan yang dibulatkan menjadi 8 sediaan. Jadi total
besar sampel minimal adalah 32 sediaan, tetapi pada penelitian ini dipergunakan
sebanyak 40 sampel yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu kelompok KTP
klasik dengan infiltrasi intrakompartemen, KTP klasik dengan infiltrasi
ekstrakompartemen, KTPVF dengan infiltrasi intrakompartemen dan KTPVF dengan
infiltrasi ekstrakompartemen.
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.4.1 Kriteria Inklusi
Sampel yang didiagnosis sebagai KTP Klasik dan KTPVF
4.4.2 Kriteria Eksklusi
1. Kasus KTP yang setelah dilakukan pengamatan ulang bukan merupakan
varian klasik dan KTPVF.
2. Kasus KTP yang multifokal karena dapat menimbulkan bias dalam
penentuan ukuran tumor.
3. Blok parafin rusak atau berjamur.
67
Gambar 4.1
Bagan Rancangan Penelitian
Seleksi Populasi karsinoma
tiroid papiler tahun 2011-
pertengahan 2014
Partial/Hemitiroidektomi
160 Kasus
Radical Neck Dissection
(RND)
16 kasus
kasus
Total tiroidektomi
97 kasus
KTP Klasik
135 kasus
kasus
KTPVF
102 kasus
Faktor penanda agresivitas
MMP-9
-Fisiologis
-Penyembuhan Luka
-Kondisi patologis lain: aterosklerosis,
gagal jantung
Non-
neoplastik
16 kasus
Neoplastik
144 kasus
Neoplastik
16 kasus
Neoplastik
82 kasus
KTP
237 kasus
KTF 2 kasus
KTM
1 kasus
KTA/U
2 kasus
Non-
neoplsastik 18 kasus
Intrakompartemen
123 kasus
Ekstrakompartemen
10 kasus
Intrakompartemen
92 kasus
Ekstrakompartemen
12 kasus
68
4.5 Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu:
I. Varibel bebas : KTP klasik dengan infiltrasi intra kompartemen, KTP
klasik dengan infiltrasi ekstra kompartemen, KTPVF dengan infiltrasi intra
kompartemen dan KTPVF dengan infiltrasi ekstra kompartemen.
II. Varibel tergantung : Matriks Metaloproteinase-9 (MMP-9).
4.6 Definisi Operasional Variabel
1. KTP Klasik merupakan neoplasma ganas sel folikel tiroid yang didominasi
pola pertumbuhan papiler kompleks bercabang, namun dapat bercampur
dengan struktur folikuler, secara histologi ditandai oleh adanya gambaran inti
karsinoma papiler yang khas yaitu inti yang jernih (ground glass atau orphan
annie eyes), berbentuk bulat dan membesar, saling tumpang tindih, membran
inti ireguler dapat disertai inklusi sitoplasma intranuklear serta nuclear groove
(Livolsi, 2012).
2. KTPVF merupakan neoplasma ganas epitel folikel tiroid yang hampir
seluruhnya membentuk struktur folikuler, dilapisi oleh satu atau beberapa
lapis sel epitel folikel tiroid berbentuk kuboid atau kolumnar, serta
menunjukkan gambaran inti karsinoma papiler yang khas dan tampak tersebar
merata di seluruh area tumor, meliputi inti yang jernih (ground glass atau
69
orphan annie eyes berbentuk bulat dan membesar, saling tumpang tindih,
membran inti ireguler dapat disertai inklusi sitoplasma intranuklear serta
nuclear groove. Komponen minor papiler masih dapat diterima namun berupa
struktur papiler yang abortif yaitu tonjolan papiler pendek tanpa tangkai
(stalk) yang jelas, menyerupai struktur papiler goiter hiperplastik (Rosai et al.,
2011; Koseoglu et al., 2006).
3. Infiltrasi Intrakompartemen yaitu invasi intratiroid pada tumor yang tidak
memiliki kapsel murni atau invasi intrakapsuler jika tumor berkapsel murni
(Marecko et al., 2014).
4. Infiltrasi Ekstrakompartemen yaitu adanya invasi ke kapsel murni tumor, atau
ke kapsel organ tiroid, invasi ke jaringan ekstratiroid sekitar, invasi vaskuler,
metastasis ke KGB maupun metastasis jauh. Invasi vaskuler meliputi adanya
sel tumor pada ruang vaskuler, adanya sel tumor yang menempel di endotel
vaskuler, adanya sel tumor yang invasif melalui dinding endotel dan adanya
thrombus yang menempel pada tumor intravaskuler (Mete et al., 2011)
5. Ekspresi MMP-9
Penilaian protein MMP-9 secara imunohistokimia menggunakan Monoclonal
Rabbit Anti-Human MMP-9 Antigen, Abcam. Secara semikuantitatif, diamati
dengan mikroskop cahaya binokuler merk Olympus CX21 mulai dari
pembesaran lemah (40x) sampai pembesaran kuat (400x). Penghitungan
dilakukan pada seluruh sel tumor dimulai dari bagian tumor dengan ekspresi
70
MMP-9 terkuat ke bagian pembesaran yang lebih lemah. Pemeriksaan
imunohistokimia MMP-9 dikerjakan di laboratorium Bagian Patologi
Anatomi FK Universitas Udayana. Interpretasi ekspresi MMP-9 dilakukan
oleh peneliti dan 2 orang dosen pembimbing tanpa mengetahui data kliniko-
patologi pasien.
Sel yang mengekspresikan MMP-9 akan tampak berwarna coklat pada
sitoplasma sel epitel ganas maupun stroma. Penilaian ekspresi MMP-9 dibuat
berdasarkan analisis persentase sel tumor yang positif dan intensitas
pewarnaan (Meng et al, 2012). Berdasarkan persentase sel ganas yang
menunjukkan overekspresi MMP-9 maka dibagi menjadi 3 skor (0-3) yaitu 0
(tidak terwarnai), 1+ (<25% sel dari seluruh sel tumor), 2+ (25-75% sel dari
seluruh sel tumor) dan 3+ (>75% sel dari seluruh sel tumor). Berdasarkan
intensitas warna coklat sel-sel ganas yang menunjukkan overekspresi MMP-9
maka dibagi menjadi 3 skala (0-3) yaitu: 0 (negatif), 1 (lemah), 2 (sedang) dan
3 (kuat). Skor persentase dari sel tumor yang immunoreaktif kemudian
dikalikan dengan skor intensitasnya.
4.7 Prosedur Penelitian
1. Peneliti mencari sediaan pasien KTP klasik dan KTPVF dari bahan operasi
hemotiroidektomi, tiroidektomi total, dan Radical Neck Dissection (RND)
71
yang melakukan pemeriksaan histopatologi dari tahun 2011 sampai
pertengahan tahun 2014 di RSUP Sanglah Denpasar.
2. Preparat hasil pulasan HE sesuai nomor-nomor diatas dikumpulkan,
dievaluasi ulang dan dilakukan diagnosis ulang, supaya memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi sehingga didapat dua kelompok data yaitu KTP klasik
dan KTPVF.
3. Apabila dalam proses penilaian ternyata ada slide yang tidak dapat dinilai,
misalnya karena warna mulai kabur (dilakukan proses pewarnaan kembali).
Apabila slide berjamur atau rusak maka dilakukan pemotongan ulang blok
parafin.
4. Peneliti menentukan slide mana yang akan dipakai untuk pemeriksaan
imuno-histokimia (IHK)
5. Peneliti mencari blok parafin sesuai preparat yang dipilih dan memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.
6. Blok parafin dipotong setebal 4 mikrometer dengan mikrotom untuk pulasan
IHK MMP-9.
7. Prosedur pulasan Hematoksilin-Eosin yang rutin dikerjakan di Bagian/SMF
Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar :
a. Dipotong blok parafin mengunakan mikrotom Leica 2125 RM dengan
ketebalan 4 μm, kemudian ditempelkan pada gelas obyek merk Sail
Brand dengan ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm.
72
b. Deparafinisasi dengan dicelupkan pada xilol sebanyak 4 kali masing-
masing celupan selama 5 menit.
c. Dehidrasi dengan akohol bertingkat dengan konsentrasi menurun
mengunakan alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 75%, dan alkohol
50% masing-masing celupan selama 2 menit.
d. Dimasukkan ke air selama 10 menit.
e. Dicelupkan ke cat utama yaitu Harris’s hematoksilin selama 10 menit.
f. Dicuci dengan air selama 10 menit.
g. Dilihat dibawah mikroskop, inti sel akan terlihat biru terang sedangkan
sitoplasma tidak berwarna.
h. Dicelupkan pada cat pembanding eosin 1% selama 0,5-1 menit.
i. Didehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan konsentrasi meningkat
mengunakan alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 95% dan alkohol
absolute, masing-masing celupan selama 2 menit.
j. Dijernihan dengan xilol sebanyak 4 kali celupan, lama masing-masing
celupan selama 5 menit.
k. Ditutup dengan cover glass.
8. Prosedur Pulasan IHK MMP-9 menggunakan antibodi monoklonal MMP-9
Abcam:
a. Dipotong blok parafin menggunakan mikrotom Leica 2125 RM
dengan ketebalam 3 μm, kemudian direkatkan pada gelas obyek yang
73
telah dilapisi dengan poly-L-lysine, merk Sigma, dengan ukuran lebar
1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm.
b. Diinkubasi dalam incubator dengan suhu 37o C selama 1 malam.
c. Dideparafinisasi dengan xylol, preparat dicelupkan ke dalam xylol
sebanyak 3 kali, masing-masing celupan selama 3 menit.
d. Direhidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol absolut 2
kali, alkohol 95%, alkohol 80%, dan alkohol 70%, masing-masing
selama 3 menit.
e. Dicuci dengan aquadest selama 10 menit.
f. Diteteskan H2O2 dalam metanol 3% sampai menutupi seluruh
permukaan jaringan selama 15 menit.
g. Dicuci dengan aquadest selama 10 menit.
h. Dicuci dengan PBS (phosphate buffer saline) sebanyak 2 kali, masing-
masing selama 10 menit.
i. Direndam dengan buffer sitrat 0,01 M, pH 6,0. Kemudian panaskan di
dalam oven microwave selama 15 menit, mula-mula dengan
pemanasan tinggi (80oC) sampai tepat mendidih kemudian dengan
pemanasan sedang (50oC) selama 5 menit.
j. Dinginkan pada suhu kamar.
k. Dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.
74
l. Teteskan 40 μl antibodi primer menggunakan antibody monoclonal
MMP-9 dari Abcam yang telah diencerkan (pengenceran 1:100)
selama 30 menit pada suhu kamar atau semalam pada suhu 40C.
m. Dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.
n. Diteteskan Biotinylated Anti Polyvalent selama 10 menit.
o. Dicuci dengan BS sebanyak 2 kali, masing-masing 10 menit.
p. Diteteskan Streptavidin Peroxidase selama 10 menit.
q. Dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.
r. Diteteskan dengan reagen DAB selama 10 menit.
s. Dicuci dengan air mengalir.
t. Dipulas dengan Mayer Hematoksilin selama 2 menit.
u. Dicuci dengan air mengalir.
v. Didehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol 70%,
alkohol 80%, alkohol 95%, dan alkohol absolut 2 kali, masing-masing
selama 3 menit.
w. Dicelupkan ke dalam xylol sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3
menit.
x. Ditutup dengan cover glass.
9. Dibuatkan pula pengecatan IHK untuk kontrol positif dan negatif.
10. Pemeriksaan immunohistokimia MMP-9 dikerjakan di laboratorium IHK
bagian Patologi Anatomi FK Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar.
75
11. Pencatatan dan pengumpulan data.
12. Analisis data
4.8 Skema Alur Penelitian
Gambar 4.2
Skema Alur Penelitian
Mencari nomor sediaan KTP klasik dan KTPVF dari bahan operasi tiroidektomi
dan RND dari tahun 2011 sampai pertengahan 2014 yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi
Pengumpulan sediaan pulasan HE
Seleksi, restaining bila warna pudar, rediagnosis sediaan mikroskopis: usia
pasien, jenis kelamin, ukuran tumor, luasnya infiltrasi tumor (intra-atau ekstra
kompartemen)
Memilih preparat sebagai dasar memilih blok parafin untuk pulasan MMP-9
Mencari dan mengumpulkan blok parafin
Blok parafin dipotong 4 μm
Pengecatan imunohistokimia MMP-9
Pemeriksaan hasil pulasan MMP-9
Pencatatan dan pengumpulan data
Analisis statistik
Simpulan
76
4.9 Analisis Data
Analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan karakteristik sampel. Data
berskala kontinyu yang berdistribusi normal diekspresikan dengan nilai rerata
(simpangan baku). Data kontinyu yang tidak berdistribusi normal diekspresikan
dengan nilai median (kisaran inter kuartil). Data berskala katagorikal diekspresikan
dengan nilai proporsi.
Untuk melakukan komparasi antar kelompok dilakukan analisis One Way Anova
untuk melihat beda rerata antar seluruh (empat) kelompok. Beda rerata antara 2
kelompok independen dilakukan uji komparasi multipel (multiple comparison test).
Sedangkan untuk menilai pengaruh variabel kontrol (karakteristik penelitian meliputi
usia, jenis kelamin dan ukuran tumor) terhadap hubungan skor MMP-9 antara
masing-masing kelompok penelitian maka dilakukan analisis ANCOVA. Uji
kemaknaan ditentukan pada p < 0,05. Presisi data ditentukan dengan nilai Confident
Interval (CI) 95%.
77
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan dari periode bulan November sampai Desember 2014 di
Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Sanglah. Data dan sampel dikumpulkan
sejumlah 40 kasus Karsinoma Tiroid Papiler Klasik (KTP Klasik) dan Karsinoma
Tiroid Papiler Varian Folikuler (KTPVF) dari operasi hemitiroidektomi,
tiroidektomi total maupun Radical Neck Dissection (RND) yang diperoleh dari
Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Sanglah. Pencatatan data klinis pasien
diambil dari data rekam medis pasien dan diagnosis ulang preparat dilakukan
untuk menilai varian KTP, dan luasnya infiltrasi tumor apakah terbatas
intrakompartemen atau sudah mencapai ekstrakompartemen, kemudian dilakukan
pengecatan IHK MMP-9.
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Data Klinis Pasien
Sampel penelitian KTP Klasik dan KTPVF menunjukkan rentang usia pasien
yang cukup bervariasi yaitu berkisar dari usia 20–82 tahun, dengan rerata usia
46,17±14,98 tahun. Lebih dari 75% kasus terjadi pada pasien dengan rentang usia
25-64 tahun. Rerata usia pada 20 kasus KTP Klasik yaitu 45,30±13,66 tahun,
sedangkan rerata usia untuk 20 kasus KTPVF adalah 47,05±16,50 tahun, kedua
tipe KTP ini menunjukkan perbedaan rerata usia yang tidak bermakna (p= 0,534;
p>0,05). Rerata usia pada kasus KTP infiltrasi ekstrakompartemen yaitu
47,85±16,17 tahun dan pada KTP infiltrasi intrakompartemen yaitu 44,5±13,91
77
78
tahun, rerata usia pada kedua kelompok ini juga cenderung bermakna, namun
secara statistik menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p=0,081; p>0,05).
Secara khusus, rerata usia pada 10 pasien KTP klasik dengan infiltrasi
ekstrakompartemen yaitu 46,30±14,81 tahun, rerata usia 10 pasien KTPVF
dengan infiltrasi ekstrakompartemen adalah 49,30±18,09 tahun, sedangkan rerata
10 pasien KTP klasik yang hanya dengan infiltrasi intrakompartemen yaitu
44,30±13,14 tahun dan 10 pasien KTPVF dengan infiltrasi intrakompartemen
yaitu 44,70±15,34 tahun. Melalui analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova,
didapatkan beda rerata antar keempat kelompok tidak bermakna (p=0,430;
p>0,05)
Berdasarkan jenis kelamin subyek penelitian, 70% kasus KTP berjenis
kelamin perempuan sehingga proporsi perbandingan kasus antara perempuan
dibandingkan dengan laki-laki yaitu 7:3. Mayoritas kasus KTP dengan infiltrasi
ekstrakompartemen juga didominasi oleh perempuan dengan proporsi perempuan
berbanding laki-laki yaitu 4:1. Antar seluruh kelompok KTP menunjukkan
distribusi jenis kelamin yang tidak berbeda (p=0,414; p>0,05).
Berdasarkan deskripsi makroskopis pada 20 kasus KTP Klasik dan KTPVF
dengan infiltrasi intrakompartemen dan ekstrakompartemen didapatkan tumor
yang berukuran ≤ 2 cm berjumlah 13 (32,5%), tumor yang berukuran >2 cm-
≤4cm berjumlah 14 (35%) dan tumor yang berukuran >4cm berjumlah 13
(32,5%). Rerata ukuran tumor secara keseluruhan adalah 3,48±2,10 cm.
Perbedaan rerata ukuran tumor antara kelompok KTP klasik vs KTPVF tidak
bermakna yaitu 2,92±1,75 cm vs 4,05±2,31 cm (p=0,292; p>0,05). Sedangkan
79
rerata ukuran tumor antara kelompok KTP infiltrasi ekstrakompartemen vs KTP
intrakompartemen yaitu 3,81±2,42 cm vs 3,16±1,72 cm, keduanya juga
menunjukkan beda rerata yang tidak bermakna (p=0,258; p>0,05). Secara khusus
rerata ukuran tumor antar seluruh (empat) kelompok sesuai tabel 5.2.
Tabel 5.1
Karakteristik Subyek Penelitian (n= 40)
Karakteristik Rerata ±Standar Deviasi n(%)
Usia (tahun) 46,17±14,98
<25 2 (5%)
25-64 33 (82,5%)
>64 5 (12,5%)
Jenis Kelamin
Perempuan 28 (70%)
Laki-laki 12 (30%)
Ukuran Tumor (cm) 3,48±2,10
≤2 13 (32,5)
>2-≤4 14 (35)
>4 13 (32,5)
Kelompok KTP
1) KTP Klasik Intrakompartemen 10 (25)
2) KTP Klasik Ekstrakompartemen 10 (25)
3) KTPVF Intrakompartemen 10 (25)
4) KTPVF Ekstrakompartemen 10 (25)
80
0123456789
Laki-laki
Perempuan
Gambar 5.1
Grafik Distribusi Kasus KTP Klasik dan KTPVF dengan Infiltrasi
Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen berdasarkan Jenis Kelamin Pasien
Tabel 5.2
Distribusi rerata ukuran tumor pada kelompok KTP Klasik Intrakompartemen,
KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF Intrakompartemen dan KTPVF
Ekstrakompartemen
Kelompok Rerata ±SD Nilai p
KTP Klasik Intrakompartemen
KTP Klasik Ekstrakompartemen
KTPVF Intrakompartemen
KTPVF Ekstrakompartemen
2,18±1,45*
3,67±1,76**
4,15±1,41*
3,95±3,04**
0,075
0,669
0,260
Keterangan:
Beda rerata ukuran tumor diantara seluruh kelompok KTP tidak bermakna (p=0,067)
*KTP Klasik Intrakompartemen vs KTPVF Intrakompartemen tidak berbeda bermakna (p= 0,075)
**KTP Klasik Ekstrakompartemen vs KTPVF Ekstrakompartemen tidak berbeda bermakna (p=0,246)
81
5.2 Perbedaan Skor Ekspresi MMP-9 antara kelompok KTP Klasik
Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF
Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen
Untuk mengetahui perbedaan ekspresi MMP-9 pada kelompok KTP Klasik
intrakompartemen, KTP Klasik ekstrakompartemen, KTPVF intrakompartemen
dan KTPVF ekstrakompartemen dilakukan analisis One Way Anova dengan hasil
analisis kemaknaan sesuai tabel 5.3.
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa rerata skor ekspresi MMP-9 pada
kelompok KTP Klasik ekstrakompartemen berbeda secara bermakna
dibandingkan kelompok KTP Klasik intrakompartemen dengan skor 7,80±1,54 vs
2,60±1,77 (p<0,001). Antara KTP Klasik ekstrakompartemen dengan KTPVF
intrakompartemen juga menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna dengan
skor 7,80±1,54 vs 3,70±1,76 (p<0,001). Demikian pula halnya antar kelompok
KTPVF dimana ekspresi KTPVF ekstrakompartemen lebih tinggi secara
bermakna dibandingkan KTPVF intrakompartemen dengan skor 7,00±1,82 vs
3,70±1,76 (p<0,001).
Sedangkan antar varian KTP yaitu antara KTP Klasik dengan KTPVF
memiliki nilai rerata yang berbeda namun tidak bermakna, dimana antara KTP
Klasik intrakompartemen dan KTPVF intrakompartemen memiliki nilai rerata
2,60±1,77 vs 3,70±1,76 (p=0,164; p>0,05) dan antara KTP Klasik
ekstrakompartemen dengan KTPVF ekstrakompartemen memiliki beda rerata
7,80±1,54 vs 7,00±1,82, (p=0,309; p>0,05). Secara sederhana perbedaan rerata
82
skor pada keempat kelompok subyek penelitian digambarkan sesuai grafik pada
Gambar 5.2
Tabel 5.3 Perbedaan skor ekspresi MMP-9 antara kelompok KTP Klasik
Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF Intrakompartemen,
dan KTPVF Ekstrakompartemen
Kelompok Rerata ±SD Min-Max Beda
rerata±
SE
CI beda rerata Nilai p
KTP Klasik IK
KTP Klasik EK
KTPVF IK
KTPVF EK
2,60±1,77*
7,80±1,54**
3,70±1,76*
7,00±1,82**
1,0 6,0
6,0 9,0
2,0 6,0
4,0 9,0
-5,2±0,7
4,1±0,7
-3,3±0,7
-7,28 sd -3,11
2,01 sd 6,18
-5,38 sd -1,21
<0,001
<0,001
<0,001
Keterangan: IK= Intrakompartemen, EK= Ekstrakompartemen *KTP Klasik IK vs KTPVF IK berbeda tidak bermakna (p=0,164)
**KTP Klasik EK vs KTPVF EK berbeda tidak bermakna (p=0,309)
Tabel 5.3 juga menunjukkan nilai skor minimum dan maksimum dari hasil
pulasan MMP-9 pada keempat kelompok subyek penelitian. Kasus KTP Klasik
intrakompartemen memiliki nilai skor ekspresi minimum 1 dan maksimum 6.
Skor 1 didapatkan pada 4 dari 10 sampel kasus dengan mengalikan persentase
pulasan 1 (<25% sel terpulas) dengan intensitasnya 1 (lemah), seperti pada sampel
1 (Gambar 5.3). Terdapat sebuah kasus (sampel 4) (Gambar 5.4) yang memiliki
skor 6, didapatkan dengan mengalikan persentase pulasan yaitu 2 (25-75% sel
yang terpulas) dengan intensitasnya 3 (kuat). Pada kasus KTP Klasik
83
ekstrakompartemen didapatkan skor minimum 6 dan maksimum 9. Skor 9
didapatkan pada 5 dari 10 sampel kasus, salah satunya pada sampel 13 (Gambar
5.5) dengan mengalikan persentase pulasan 3 (>75% sel terpulas) dengan
intensitas pulasan 3 (kuat).
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
KTP KlasikIntrakompartemen
KTP KlasikEkstrakompartemen
KTPVF Intrakompartemen
KTPVF Ekstrakompartemen
Gambar 5.2
Grafik Beda Rerata Skor Ekspresi MMP-9 kasus KTP Klasik dan KTPVF dengan
Infiltrasi Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen
Sedangkan pada KTPVF intrakompartemen, skor minimum yang didapatkan
yaitu 2 dan skor maksimumnya 6. Skor 6 ditemukan pada 3 kasus, salah satunya
pada sampel 22 (Gambar 5.6) yang didapat dengan mengalikan persentase pulasan
3 (>75% sel terpulas) dengan intensitas pulasan 2 (sedang). Untuk KTPVF
ekstrakompartemen diperoleh skor minimum 4 (sampel 36, gambar 5.7) dan skor
maksimum 9. Skor 9 ditemukan pada 4 dari 10 sampel kasus, salah satunya pada
sampel 34 (Gambar 5.8) yang didapat dengan mengalikan persentase pulasan 3
(>75% sel terpulas) dengan intensitas pulasan 3 (kuat).
84
Gambar 5.3
Kasus sampel 1 pulasan MMP-9 pada KTP Klasik intrakompartemen
MMP-9 terpulas pada <25% sel ganas dengan intensitas lemah (inset)
Gambar 5.4
Kasus sampel 4 pulasan MMP-9 pada KTP Klasik intrakompartemen
MMP-9 terpulas pada 25-75% sel ganas dengan intensitas kuat (inset)
85
Gambar 5.5
Kasus sampel 13 pulasan MMP-9 pada KTP Klasik ekstrakompartemen
Skor ekspresi 9, MMP-9 terpulas pada >75% sel ganas dengan intensitas kuat
(inset)
Gambar 5.6
Sampel 24 pulasan MMP-9 pada KTPVF Intrakompartemen
Skor ekspresi 6, MMP-9 terpulas pada >75% sel ganas dengan intensitas sedang
(inset)
86
Gambar 5.7
Kasus sampel 36 pulasan MMP-9 pada KTPVF ekstrakompartemen
Skor ekspresi 4, MMP-9 terpulas pada sekitar 25% area tumor dengan intensitas
sedang (inset)
Gambar 5.8
Kasus sampel 34 pulasan MMP-9 pada KTPVF ekstrakompartemen
Skor 9, MMP-9 terpulas pada >75% area tumor dengan intensitas kuat (inset)
87
5.3 Hubungan Antara Variabel
Untuk menilai pengaruh variabel kontrol (karakteristik penelitian meliputi usia,
jenis kelamin dan ukuran tumor) terhadap hubungan skor MMP-9 antara masing-
masing kelompok penelitian maka dilakukan analisis ANCOVA.
Tabel 5.4
Pengaruh Variabel Independen dan Variabel Kontrol terhadap Skor Ekspresi
MMP-9
Parameter B Kemaknaan Interval Kepercayaan (CI) 95%
Batas Atas Batas Bawah
Usia -0,023 0,233 -0,062 0,016
Jenis Kelamin 0,532 0,405 -0,750 1,813
Ukuran 0,017 0,909 -0,278 0,311
KTP Klasik IK -4,329 <0,001 -6,045 -2,612
KTP Klasik EK 0,839 0,299 -0,778 2,457
KTPVF IK -3,252 <0,001 -4,905 -1,600
KTPVF EK (ref) - . .
R Squared= 0,661 (Adjusted R Squared=0,600)
Melalui analisis ANCOVA diketahui pula nilai pengaruh variabel independen
dan variabel kontrol secara simultan terhadap ekspresi MMP-9 adalah sebesar
66%, dengan faktor kelompok KTP sebagai variabel yang paling dominan
mempengaruhi skor ekspresi MMP-9. Tabel 5.4 menunjukkan bahwa variabel
usia pasien tidak mempengaruhi perbedaan skor ekspresi MMP-9 dengan nilai p
yang tidak bermakna yaitu sebesar 0,233. Uji regresi berganda antara jenis
kelamin dan ekspresi MMP-9 juga menunjukkan nilai yang tidak bermakna
(p=0,405; p>0,05). Demikian pula dengan uji regresi berganda antara ukuran
tumor dan ekspresi MMP-9 (p=0,909; p>0,05). Sedangkan uji regresi berganda
88
antara kelompok KTP dan ekspresi MMP-9 menunjukkan nilai yang bermakna
(p<0,001). Sehingga melalui analisis ini diketahui bahwa variabel kontrol
(karakteristik penelitian meliputi usia, jenis kelamin dan ukuran tumor) tidak
mempengaruhi hubungan skor MMP-9 antara masing-masing kelompok
penelitian.
89
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Usia Pasien
Rerata usia pasien untuk keseluruhan kasus KTP pada penelitian ini adalah
46,17±14,98 tahun dengan median usia 43,50 tahun. Hal ini sesuai dengan data
WHO yang menyebutkan bahwa rerata usia pasien saat terdiagnosis KTP adalah
pertengahan 40 hingga awal 50-an, berbeda dengan tipe folikuler, meduler,
berdiferensiasi buruk dan undifferentiated yang ditemukan pada usia lebih tua.
Median usia kasus pada penelitan ini juga sesuai dengan temuan median usia
pasien KTP pada beberapa penelitian sebelumnya yaitu 43 tahun (De Lellis et al.,
2004; Gupta et al., 2012; Chen et al., 2012).
Namun rentang usia kasus KTP pada penelitian ini sangat bervariasi antara
20-82 tahun dan lebih dari 75% kasus terjadi pada pasien dengan rentang usia 25-
64 tahun. Temuan ini agak berbeda dengan laporan WHO yang menyebutkan
bahwa KTP umumnya bermanifestasi pada rentang usia 20-50 tahun (De Lellis et
al., 2004; LiVolsi, 2011). Adanya cukup banyak kasus pada pasien diatas usia 50
tahun kemungkinan berkaitan dengan latar belakang faktor predisposisi KTP di
Bali yang berbeda dengan faktor radiasi yang ditemukan di negara barat,
peningkatan insiden KTP di Bali sejalan dengan peningkatan kasus goiter.
Kemungkinan pada kasus-kasus tersebut diawali oleh lesi jinak goiter, yang
memerlukan waktu lebih panjang untuk menimbulkan transformasi ganas.
Akumulasi mutasi somatik selama proses penuaan juga memudahkan terjadinya
89
90
transformasi ganas setelah usia tua. Dikatakan bahwa sekitar 80% dari
keseluruhan kanker dapat baru terdeteksi saat usia diatas 50 tahun dan dikaitkan
dengan proses penuaan. Selama proses penuaan terjadi akumulasi perubahan
genetik maupun epigenetik, akumulasi radikal bebas akibat tekanan oksidatif serta
kerusakan progresif mekanisme perbaikan DNA, kontrol siklus sel dan
perbaharuan stem cell. Mekanisme disfungsi seluler ini rupanya ditemukan terlibat
dalam karsinogenesis (Bassi et al., 2009; Anisimov, 2009; Gunduz et al., 2014).
Beberapa pasien usia tua juga terlambat melakukan deteksi nodul tiroid, pasien
memeriksakan dirinya setelah nodul terlihat jelas dan menimbulkan gangguan.
Sedangkan untuk perbandingan pada kedua varian didapatkan bahwa rerata
usia pada 20 kasus KTP Klasik adalah 45,30±13,66 tahun, hampir serupa dengan
rerata usia 20 kasus KTPVF yaitu 47,05±16,50 tahun. Berbagai literatur
menyebutkan bahwa memang tidak terdapat perbedaan yang bermakna untuk
rerata maupun median usia antara kasus KTP Klasik maupun KTPVF (Chen et al.,
2012, Ito et al., 2012, Ito et al., 2014 ). Terkecuali KTP varian tall cell maupun
diffuse sclerosing yang umumnya terjadi diatas usia 60 tahun, hampir seluruh tipe
KTP memiliki distribusi usia yang sebanding. Baik KTP klasik maupun KTPVF
tergolong karsinoma dengan diferensiasi baik sehingga cenderung ditemukan pada
usia yang relatif lebih muda dibandingkan tipe diferensiasi buruk maupun
undifferentiated (Chen et al, 2012; LiVolsi et al., 2011).
Rerata dan median usia kasus KTP infiltrasi ekstrakompartemen relatif lebih
tua dibandingkan KTP dengan infiltrasi terbatas intrakompartemen yaitu rerata
usia 47,85±16,17 vs 44,5±13,91 tahun dan median 48 tahun vs 40 tahun. Dari
91
angka absolutnya, perbedaan rerata usia antara kedua KTP cenderung bermakna,
namun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p= 0,081; p>
0,05). Kecenderungan perbedaan rerata usia yang bermakna dikaitkan dengan
pengaruh usia terhadap prognosis pasien. Pada karsinoma tiroid dikatakan bahwa
usia yang lebih tua (diatas 45 tahun) cenderung memiliki prognosis yang lebih
buruk dan sering menunjukkan infiltrasi ke jaringan sekitar maupun metastasis
dibandingkan usia 45 tahun atau kurang (Gupta et al., 2012; De Lellis et al., 2004;
LiVolsi et al., 2011; Leboulleux et al., 2006).
Sebuah studi eksperimental juga pernah melaporkan pengaruh usia terhadap
progresivitas KTP, studi tersebut mendeteksi adanya tiroglobulin (Tg) serum yang
merupakan marka kekambuhan dan Tg-doubling time yang lebih tinggi pada
kelompok usia tua (>60 tahun) dibandingkan kelompok usia muda antara 20-40
tahun setelah dilakukan tiroidektomi total dan supresi terhadap TSH (Ito et al.,
2014). Temuan mengenai tingkat agresivitas tumor yang lebih tinggi pada usia tua
seringkali dikaitkan dengan proses penuaan yang menyebabkan penurunan
berbagai fungsi tubuh (Bassi et al., 2009; Anisimov, 2009; Gunduz et al., 2014).
Seiring proses penuaan, sel-sel akan mengalami akumulasi mutasi DNA termasuk
DNA mitokondria yang dapat meningkatkan produksi radikal bebas (ROS). Siklus
kerusakan oksidatif yang dipengaruhi ROS ini akan berperan langsung dalam
inisiasi karsinogenesis serta meningkatkan potensi metastatik tumor (Gunduz et
al., 2014).
Namun beberapa laporan membantah konsep ini dan melaporkan bahwa
seiring peningkatan usia, tumor cenderung mengalami penurunan tingkat
92
agresivitas dan tumbuh lebih lambat. Pada usia tua terjadi perubahan mekanisme
angiogenesis, perubahan fisiologis matriks ekstraseluler, sel-sel efektor imun,
hormon, faktor pertumbuhan/ sitokin, maupun nutrisi. Faktor terlarut yang
memicu angiogenesis berubah seiring peningkatan usia, terjadi pula penurunan
sensitivitas terhadap faktor angiogenik yang berkontribusi untuk menurunnya
kemampuan ekspansi maupun pertumbuhan tumor pada usia tua (Okada et al.,
2012; Gunduz et al., 2014).
6.2 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Jenis Kelamin Pasien
Berbagai penelitian melaporkan bahwa KTP cenderung lebih banyak ditemukan
pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio yang bervariasi. Demikian
pula pada penelitian ini, didapatkan bahwa untuk keseluruhan kasus KTP rasio
perbandingan antara perempuan dibandingkan laki-laki yaitu 7:3. Sebuah data
epidemiologi menyebutkan bahwa untuk karsinoma tiroid yang berdiferensiasi
baik termasuk KTP memang didominasi oleh kelompok perempuan pada usia
postpubertas dan premenopause (DeLellis et al., 2004; Nikiforov, 2009; LiVolsi
et al., 2011).
Lebih tingginya kasus KTP yang dijumpai pada perempuan dibandingkan
laki-laki sering dikaitkan dengan peranan faktor hormon seks perempuan dalam
karsinogenesis KTP, meskipun hingga saat ini melalui studi epidemiologi hal
tersebut belum dapat dibuktikan. Peran hormon seks perempuan yang telah
banyak diteliti yaitu peran estrogen terhadap karsinogenesis karsinoma tiroid yang
berdiferensiasi baik. Estrogen memiliki efek proliferatif terhadap KTP secara in
93
vitro, namun dimana terjadi proliferasi sel yang diperantarai oleh reseptor
estrogen α (ERα), maka disana akan timbul efek penghambatan oleh reseptor
estrogen β (ERβ). Temuan ini juga membuktikan bahwa estrogen terlibat dalam
proses diferensiasi karsinoma tiroid (Schonfeld et al., 2012). Peranan faktor
hormonal dalam karsinogenesis tiroid semakin nyata setelah diketahui bahwa
kehamilan meningkatkan risiko karsinoma tiroid sebanyak dua kali lipat karena
berkaitan dengan peningkatan hormon tiroid maupun level estrogen serum
(Kavanagh et al., 2010).
Peran hormon seks seperti estrogen rupanya tidak mempengaruhi varian KTP.
Hal ini dibuktikan melalui penelitian ini dimana baik pada KTP Klasik maupun
KTPVF rasio perbandingan jenis kelamin perempuan tetap lebih banyak
dibandingkan laki-laki. Diketahui bahwa terdapat perbedaan basis molekuler
antara KTP klasik dan KTPVF namun tidak ditemukan adanya dominasi efek
estrogen terhadap salah satu basis molekuler tersebut dalam mempengaruhi
proliferasi tirosit. Serupa dengan faktor pertumbuhan lainnya, estrogen akan
bekerja mengaktifkan jalur NTRK yang selanjutnya mengaktifkan kaskade RAS-
BRAF-MAPK (Schonfeld et al., 2012).
Sedangkan untuk rasio perempuan berbanding laki-laki pada KTP dengan
infiltrasi ekstrakompartemen juga menunjukkan nilai yang tinggi yaitu 4:1.
Pendapat mengenai kaitan jenis kelamin dengan sifat agresif tumor maupun
kemungkinan prognosis cukup beragam dan kontroversial. Beberapa studi
mengenai faktor prognostik menyebutkan bahwa jenis kelamin laki-laki berkaitan
dengan prognosis tumor yang lebih buruk, adapula yang mengkaitkannya dengan
94
frekuensi kekambuhan yang lebih besar (Gonzalez et al., 2011; Cho et al., 2012).
Namun studi lainnya berpendapat bahwa untuk menilai peranan jenis kelamin
dalam menentukan tingkat agresivitas maupun prognosis, faktor jenis kelamin
setidaknya harus dipadukan lagi dengan faktor lain seperti usia (Ito et al., 2012).
Lebih tingginya rasio perempuan berbanding laki-laki pada kasus KTP
dengan infiltrasi ekstrakompartemen dalam penelitian ini menunjukkan
kemungkinan jenis kelamin perempuan juga dapat berpengaruh terhadap
agresivitas tumor. Hal ini juga dapat berkaitan dengan faktor estrogen, dimana
untuk meningkatkan efek kerjanya dalam proliferasi sel, reseptor estrogen dapat
melibatkan beberapa koaktivatornya yang mengandung aktivitas asetilasi histon
sehingga memudahkan ekspresi gen reseptor tersebut, diantaranya p160 (160 kD)
dan SRC-1. Diketahui bahwa ekspresi berlebih dari kedua koaktivator tersebut
berkaitan dengan tingginya kemungkinan metastasis, kekambuhan maupun
resistensi terhadap terapi endokrin (Kavanagh et al., 2010; Schonfeld et al., 2012).
Alasan lainnya bahwa tingginya rasio ini juga kemungkinan berkaitan dengan
tingginya rasio populasi perempuan berbanding laki-laki secara keseluruhan,
sehingga memberikan kesan bahwa kasus KTP dengan infiltrasi
ekstrakompartemen cenderung terjadi pada kelompok perempuan.
6.3 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Ukuran Tumor
Ukuran merupakan salah satu parameter dalam sistem penentuan staging berbagai
tumor termasuk tumor-tumor tiroid. Bahkan berbagai literatur menjadikan
komponen ukuran sebagai determinan faktor prognostik karsinoma tiroid,
95
khususnya KTP dengan ketentuan cutoff point yang berbeda-beda karena ukuran
tumor pada KTP sangat bervariasi dari tumor yang terbatas dalam hitungan
mikroskopis hingga sangat besar (Chrisoulidou et al., 2011; Cho et al., 2012;
Chen et al., 2012). Pada penelitian ini didapatkan bahwa rerata ukuran tumor
untuk keseluruhan kasus KTP adalah 3,48±2,10 cm. Nilai rerata ini sebanding
dengan yang ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya (Chen et al., 2012;
Meng et al., 2012; Marecko et al., 2014).
Berdasarkan tipenya, pada penelitian ini kelompok KTP klasik memiliki
rerata ukuran 2,92±1,75 cm, sedangkan kelompok KTPVF memiliki ukuran rerata
4,05±2,31 cm. Pada laporan penelitian sebelumnya, dinyatakan bahwa KTPVF
memiliki ukuran tumor yang lebih besar dibandingkan dengan KTP klasik
(Salajegheh et al., 2008). Sedangkan penelitian lain menyatakan bahwa kedua tipe
ini memiliki ukuran yang sebanding (Chrisoulidou et al., 2011). Pada penelitian
ini, perbedaan rerata diantara kedua kelompok tersebut menunjukkan nilai yang
tidak bermakna (p= 0,292; p>0,05), sehingga ukuran rerata keduanya dianggap
sebanding. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan varian KTP tidak
mempengaruhi ukuran tumor. Ukuran tumor sangat dipengaruhi oleh kemampuan
proliferasi sel-sel tumor (Nowak et al., 2008; Pallegriti et al., 2013). Baik KTP
klasik maupun KTPVF tergolong karsinoma tiroid yang berdiferensiasi baik
dengan kemampuan proliferasi yang tidak sepesat karsinoma tiroid berdiferensiasi
buruk maupun anaplastik, sehingga kedua varian ini memiliki ukuran yang relatif
sama.
96
Sedangkan berdasarkan luas infiltrasinya, rerata ukuran tumor pada kelompok
KTP infiltrasi ekstrakompartemen yaitu 3,81±2,42 cm dan pada KTP infiltrasi
intrakompartemen yaitu 3,16±1,72 cm. Beberapa penelitian pernah melaporkan
bahwa ukuran tumor yang besar (>4 cm) cenderung lebih mudah menimbulkan
infiltrasi ke organ sekitar dan invasi vasa atau angiolimfatik (Mete et al., 2011;
Shironen, 2005). Penelitian ini menepis pendapat beberapa penelitian sebelumnya
karena ditemukan rerata ukuran tumor yang sebanding antara kelompok KTP
ekstrakompartemen dan kelompok KTP intrakompartemen (p= 0,258; p>0,05).
Namun hal ini didukung oleh beberapa penelitian yang menyatakan bahwa ukuran
tidak mempengaruhi kemampuan invasif tumor (Koseoglu et al., 2006; Cho et al.,
2012). Beberapa kasus KTP ekstrakompartemen yang berukuran kurang dari 2 cm
pada penelitian ini berlokasi dekat kapsel organ, sehingga sangat memungkinkan
jika lokasi yang berdekatan dengan kapsel maupun area limfovaskuler
memudahkan proses invasi tumor ke jaringan sekitar maupun proses metastasis.
Hal ini didukung oleh beberapa studi kohort maupun laporan kasus yang
menemukan adanya metastasis KGB maupun metastasis jauh pada kasus-kasus
KTP yang sebelumnya tergolong mikrokarsinoma (Boucek et al., 2009; Cho et
al., 2012).
97
6.4 Ekspresi MMP-9 Pada KTP Klasik dan KTPVF dengan Infiltrasi
Intrakompartemen dan Ekstrakompartemen
Penelitian ini menggunakan 40 sampel yang dibagi menjadi 4 kelompok yaitu 10
sampel dari kelompok KTP Klasik infiltrasi intrakompartemen, 10 sampel
kelompok KTP Klasik ekstrakompartemen, 10 sampel kelompok KTPVF
intrakompartemen dan 10 sampel kelompok KTPVF ekstrakompartemen. Setelah
dilakukan pemeriksaan immunohistokimia dengan MMP-9 dan uji statistik
didapatkan bahwa terdapat perbedaan rerata skor ekspresi MMP-9 yang sangat
bermakna antara kelompok KTP intrakompartemen dengan ekstrakompartemen
(p<0,001). Dari data diketahui bahwa terjadi peningkatan rerata skor ekspresi dari
KTP Klasik intrakompartemen ke KTP Klasik ekstrakompartemen, dari KTP
Klasik intrakompartemen ke KTPVF ekstrakompartemen, dari KTPVF
intrakompartemen ke KTP Klasik ekstrakompartemen, dan dari KTPVF
intrakompartemen ke KTPVF ekstrakompartemen, meskipun antar varian (antara
KTP Klasik dengan KTPVF) tidak menunjukkan perbedaan secara bermakna.
Rerata skor ekspresi MMP-9 pada KTP infiltrasi ekstrakompartemen yang
lebih besar secara sangat bermakna dibandingkan KTP intrakompartemen pada
penelitian ini membuktikan bahwa proses invasi yang lebih dalam dan metastasis
akan menarik aktivitas MMP-9 secara lebih banyak. Namun hasil ini tidak sejalan
dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa ekspresi
MMP-9 pada kanker tiroid tidak dapat menggambarkan agresivitas KTP (Korem
et al., 2004; Buergy et al., 2009; Delektorskaia et al., 2010). Pada penelitian
tersebut dikatakan bahwa ekspresi MMP-9 juga tinggi pada karsinoma tiroid yang
98
belum menunjukkan gambaran metastasis KGB maupun metastasis jauh, hal ini
disebabkan karena sebelum terjadinya penetrasi sel ganas melewati membran
basalis limfovaskuler, sel ganas harus berpenetrasi diantara sel stroma sehingga
aktivitas MMP-9 menjadi cukup kuat pada area stroma sehingga memberikan skor
ekspresi yang relatif tinggi dalam pulasan imunohistokimia MMP-9. Beberapa
penelitian tersebut juga lebih membuktikan peranan MMP-9 dalam diagnostik,
dimana terdapat perbedaan ekspresi MMP-9 yang sangat bermakna antara
kelompok karsinoma tiroid dan adenoma tiroid. Sedangkan penilaian peranan
MMP-9 dalam menentukan kemampuan invasi dan metastasis tumor hanya
dilakukan dengan melihat hubungan antar variabel tanpa menyeimbangkan
perbandingan besar sampel karsinoma tiroid yang dengan dan tanpa metastasis.
Meskipun beberapa penelitian menunjukkan hasil yang bertentangan,
beberapa penelitian lanjutan lainnya sejalan dengan penelitian ini dan menemukan
bahwa ekspresi MMP-9 berhubungan secara bermakna dengan perluasan
ekstratiroid, adanya metastasis ke limfonodi dan metastasis jauh serta derajat
infiltrasi tumor (Marecko et al., 2008; Frasca et al., 2008; Wang et al., 2009;
Liang et al., 2010; Ansari et al., 2013). Persamaan hasil yang didapat pada
penelitian ini berkaitan dengan fakta bahwa MMP-9 terlibat dalam berbagai tahap
proses invasi yang lebih jauh maupun metastasis tumor seperti yang terangkum
dalam bagan pada gambar 6.1.
99
Keterangan:
= Faktor yang mempengaruhi ekspresi MMP-9
= Faktor yang tidak mempengaruhi ekspresi MMP-9
Gambar 6.1
Bagan jalur patogenesis keterlibatan MMP-9 dalam proses infiltrasi tumor
pada penelitian
MMP-9 mendapat perhatian dalam berbagai studi karena protein ini
diperlukan dalam memunculkan sifat invasif maupun metastasik melalui peran
utamanya dalam mendegradasi kolagen IV yang merupakan komponen utama
Lingkungan sekitar sel
tumor
Stroma Sel radang
(neutrofil
makrofag)
Sitokin dan
kemokin sekitar
seperti TNFα,
TGFß, EGF, HGF
Sel Tumor
MMP-9 Usia Jenis Kelamin Ukuran Tumor
EMT Degradasi ECM Mobilisasi FGF, VEGF
dan faktor angiogenik
lain
Degradasi reseptor α IL-2 dan SP-D
Membran basalis epitel
Stroma Membran basalis vaskuler
Angiogenesis
Kemokin dalam proses intravasasi seperti; CCR7
Penekanan aktivitas innate immunity dan
limfosit
Motilitas sel tumor Intravasasi
KTP Intrakompartemen
KTP Ekstrakompartemen
100
membran basalis. Selain berperan dalam degradasi komponen ECM, MMP-9 juga
mampu memicu transisi epitelial menjadi progenitor mesenkimal (EMT) sehingga
memiliki kemampuan motilitas tinggi. Selama terbentuknya proses metastasis,
sel-sel epitelial ganas akan terlepas dari tumor primer dan mengalami transisi
mesenkimal, menginvasi jaringan stroma, memasuki sirkulasi, diam sementara
pada area perifer vaskuler, ekstravasasi, menginvasi interstisium dan parenkim
organ target, dan membentuk koloni metastatik (Stuelten et al., 2005; Deryugina
et al., 2006; Marecko et al., 2008; Loffek et al., 2011; Ansari et al., 2013).
MMP-9 selanjutnya berperan pula dalam proses angiogenesis, invasi menuju
jalur angiolimfatik (intravasasi), ekstravasasi dan pertahanan koloni metastatik
dari respon imun. Untuk proses angiogenesis, MMP-9 dapat berperan sebagai
molekul proangogenik yang dapat memicu aktivasi angiogenik dengan cara
mengatur proliferasi perisit, apoptosis dan penarikan perisit serta memobilisasi
perekrutan prekursor angiogenik sumsum tulang ke stroma tumor dan beberapa
mitogen angiogenik seperti FGF dan VEGF (Nowak et al., 2008; Yang et al.,
2011; Ansari et al., 2013). Sedangkan peran dalam proses intravasasi, melibatkan
neutrofil yang direkrut MMP-9, dimana neutrofil ini terlebih dahulu akan ditarik
menuju permukaan sel endotel kemudian menjadi teraktivasi sehingga kembali
mampu menghasilkan MMP-9 yang terbebas dari pengaruh TIMP. Aktivasi
MMP-9 yang dihasilkan neutrofil ini selanjutnya kembali melepaskan faktor
angiogenik yang tersimpan dalam matriks ekstraseluler dan sekaligus membantu
intravasasi dan penyebaran sel tumor. Aktivitas beberapa kemokin seperti CCR7
yang sebelumnya ditargetkan untuk meningkatkan ekspresi MMP-9 juga berimbas
101
pada fasilitasi penyebaran sel tumor melalui jalur limfonodi (Stuelten et al., 2005;
Marecko et al., 2008; Nowak et al., 2008; Ansari et al., 2013). Studi in vivo
menunjukkan bahwa MMP-9 terlibat dalam proses intravasasi dengan cara
mempengaruhi fenotip tumor sehingga memiliki potensi metastatik dengan
membentuk sel tumor yang memiliki aktivitas protrusi terorientasi dan
terpolarisasi menuju vaskuler sekitar tumor (Deryugina et al., 2006). Gambar 6.2
A merupakan gambaran adanya ekspresi MMP-9 yang kuat di sekitar vaskuler
tumor, kemungkinan berkaitan dengan adanya proses intravasasi yang dipengaruhi
oleh aktivitas MMP-9.
Diketahui pula bahwa beberapa sel radang seperti neutrofil dapat
menghasilkan MMP-9 bahkan MMP-9 yang terbebas dari aktivitas TIMP, dan
sebaliknya MMP-9 juga kembali dapat menarik aktivitas sel radang. Peran
neutrofil terkait tumor masih belum jelas, tetapi diduga neutrofil memiliki
kemampuan pro- sekaligus anti tumor tergantung fenotifnya dan jumlah infiltrat
neutrofil di lingkungan tumor. Ditemukan bahwa infiltrat masif neutrofil dapat
menimbulkan efek sitotoksik terhadap tumor sehingga tumor akhirnya mengalami
regresi sedangkan infiltrat ringan neutrofil justru menunjukkan sifat progresif
tumor (Leifler et al., 2014). Pada penelitian ini, ditemukan fokus infiltrat ringan
neutrofil pada beberapa kasus KTP ekstrakompartemen seperti pada sampel 13
(Gambar 6.1 B).
102
Gambar 6.2
Pola Distribusi Ekspresi MMP-9 dan Sel Radang Penyerta di sekitarnya
(A Pola distribusi ekspresi MMP-9 tampak dengan intensitas yang lebih kuat di
area perivaskuler {inset}. B. Di sekitar sel dan stroma yang terpulas MMP-9
tampak fokus sel radang PMN neutrofil)
Proses metastasis selanjutnya yang diperankan MMP-9 yaitu dalam
ekstravasasi sel-sel ganas ke jaringan target yang juga diperantarai sel-sel
inflamasi yang ditarik oleh MMP-9. Kerja VEGF sirkulasi pada reseptornya
dalam pembentukan kelompok sel endotel dalam jaringan target metastatik juga
mampu menghasilkan lebih banyak MMP-9 yang nantinya berperan mendegradasi
membran basalis vaskuler. Berikutnya pada jaringan target, sel-sel ganas akan
membentuk koloni metastatik dan kembali lagi MMP-9 ikut mengambil peranan
terutama dalam dalam mempengaruhi pertahanan tumor maupun koloni metastatik
terhadap respon imun, MMP-9 dapat menekan penarikan berbagai jenis sel-sel
radang (Stuelten et al., 2005; Marecko et al., 2008; Nowak et al., 2008; Loffek et
al, 2011; Ansari et al., 2013). Penelitian yang dilakukan pada kasus karsinoma
serviks menunjukkan kemampuan MMP-9 dalam mendegradasi reseptor α IL-2
A B
103
sehingga menekan aktivasi dan proliferasi Tumor Infiltrating Lymphocyte (TIL).
MMP-9 juga mendegradasi Surfactant protein D (SP-D), komponen penting
dalam respon innate immune. Hilangnya fungsi innate immune ini juga
menyebabkan pasien onkologi rentan terhadap berbagai infeksi (Ansari et al.,
2013). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa peningkatan aktivitas MMP-9
pada kasus karsinoma dengan metastasis juga mempengaruhi tingginya MMP-9
serum yang dapat diamati melalui tes zymografi (Quaranta et al., 2007; Daniele et
al., 2010). Namun pada penelitian ini tidak dilakukan penelusuran lebih jauh
terhadap aktivitas MMP-9 serum.
Rerata skor ekspresi MMP-9 pada KTP ekstrakompartemen yang lebih besar
secara sangat bermakna dibandingkan KTP intrakompartemen pada penelitian ini
menunjukkan bahwa terjadinya proses invasi yang lebih jauh melewati kapsel
organ dan metastasis merupakan proses yang lebih kompleks dan tentunya agak
berbeda dengan proses invasif yang terbatas dalam organ itu sendiri. Sehingga
diasumsikan bahwa luasnya invasi mempengaruhi agresivitas KTP karena
sebanding dengan peningkatan skor ekspresi MMP-9 yang merupakan marka
agresivitas tumor. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menelusuri
perbandingan ekspresi MMP-9 antara KTP ekstrakompartemen dengan KTP
intrakompartemen.
Adanya skor ekspresi MMP-9 yang lebih rendah dibandingkan skor maksimal
kasus-kasus KTP ekstrakompartemen seperti pada sampel 36 yaitu dengan skor 4
dapat berkaitan dengan berbagai faktor yang terlibat dalam proses ekspresi MMP-
9, diantaranya keseimbangan antara jumlah enzim dan penghambatnya (TIMP-1),
104
lokalisasi periseluler dan perubahan bentuk laten MMP-9 menjadi bentuk
aktifnya. Sebuah studi telah membuktikan bahwa bentuk aktif MMP-9 tidak dapat
menggambarkan keseluruhan aktivitas MMP-9, pada studi tersebut didapatkan
bahwa ekspresi MMP-9 aktif tidak berkorelasi dengan beberapa faktor
klinikopatologik seperti luasnya invasi dan metastasis, yang berkorelasi secara
signifikan adalah ekspresi MMP-9 total (Daniele et al., 2010; Marecko et al.,
2014). Sedangkan rasio aktivitas MMP-9/TIMP-1 dan proses lokalisasi
periselulernya hingga saat ini sulit untuk diamati dan belum ada penelitian yang
melaporkan. Penelitian ini hanya mengamati aktivitas MMP-9 aktif, sehingga skor
rendah pada kasus KTP ekstrakompartemen ini belum tentu menunjukkan nilai
total MMP-9 yang rendah. Mengingat dominan kasus KTP ekstrakompartemen
menunjukkan skor ekspresi yang tinggi maka pada kasus seperti ini mungkin
perlu penilaian ekspresi MMP-9 laten sehingga nantinya didapatkan nilai ekpresi
MMP-9 total.
Salah satu kasus KTPVF ekstrakompartemen dengan skor ekspresi yang lebih
rendah dibandingkan kelompok KTPVF ekstrakompartemen lainnya
menunjukkan diferensiasi solid yang cukup luas dengan sedikit sisa komponen
folikuler. Tidak diketahui apakah peningkatan diferensiasi solid berpengaruh
terhadap sekresi MMP-9 sel tumor karena beberapa studi justru melaporkan
bahwa sepertiga kasus KTP dengan diferensiasi solid akan menunjukkan
perluasan ekstratiroid dan invasi vasa, namun belum ada penelitian yang
menelusuri apakah proses ini tidak secara dominan dilatarbelakangi oleh peran
MMP-9 sehingga pada kasus ini didapatkan skor imunohistokimia yang relatif
105
lebih rendah. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu komponen stroma kasus ini
lebih sedikit akibat adanya diferensiasi solid yang cukup luas, sedangkan beberapa
studi melaporkan bahwa MMP-9 dominan dihasilkan oleh sel stroma fibroblas.
Distribusi MMP-9 pada stroma juga menjadi kriteria penilaian ekspresi MMP-9
pada penelitian ini dimana ekspresinya diinduksi oleh berbagai mediator klasik
seperti TNF-α, TGF-β, EGF atau HGF (Stuelten et al., 2005; Loffek et al., 2011;
Ansari et al., 2013). Pada penelitian ini, beberapa kasus KTP menunjukkan
distribusi ekspresi kuat MMP-9 diantara area stroma (Gambar 6.3 A).
Gambar 6.3
Pola Ekspresi MMP-9 pada Stroma sekitar Tumor dan pada Makrofag
A. Ekspresi MMP-9 yang kuat pada area stroma. B Ekspresi MMP-9 pada sel
makrofag yang bergranul (tanda panah)
Beberapa kasus KTP Klasik maupun KTPVF Intrakompartemen dan
Ekstrakompartemen pada penelitian ini menunjukkan ekspresi MMP-9 pada
sitoplasma sel makrofag sehingga mendukung beberapa penelitian sebelumnya
yang membuktikan keterlibatan Tumor Associated Macrophage (TAM) dalam
menghasilkan MMP-9, namun efeknya terhadap progresivitas tumor tergantung
pada fenotifnya yang ditentukan oleh sitokin yang dihasilkannya. Makrofag
A B
106
dipolarisasikan dalam dua fenotif yaitu M1 dan M2. Makrofag M1 mensekresikan
arginase-1 dan IL-10 dalam jumlah sedikit serta IL-1b, IL-6, TNF-a, dan IL-12
dalam jumlah banyak, sedangkan makrofag M2 arginase-1, IL-10, dan IL-1Ra
dalam jumlah yang lebih banyak serta IL-12, IL-1b, IL-6, and TNF-a dalam
jumlah sedikit. Sitokin makrofag M1 cenderung memicu progresifitas tumor. Hal
ini dibuktikan melalui efek IL-1b yang dapat meningkatkan kemampuan
angiogenesis dan metastasis. Sedangkan sitokin makrofag M2 seperti IL-1Ra
bersifat antagonis terhadap IL-1b sehingga cenderung berperan dalam regresi
tumor. Penelitian ini tidak menelusuri lebih jauh fenotif makrofag yang terdapat
pada beberapa sampel kasus karena diperlukan teknik microdyalisate dalam
menilai aktivitas sitokin yang dihasilkan makrofag. Seperti halnya yang terjadi
pada neutrofil, MMP-9 yang dihasilkan oleh makrofag dapat sebaliknya kembali
mengaktivasi makrofag dengan bekerja pada reseptor PAR-1 dan PAR-2 (Ansari
et al., 2013; Leifler et al., 2014).
Berbagai penelitian telah berhasil membuktikan peran MMP-9 sebagai marka
agresivitas tumor melalui keterlibatannya dalam proses invasi maupun metastasis.
Agresivitas antara KTP Klasik dan KTPVF masih kontroversial, beberapa laporan
morfologi dan studi longitudinal menyebutkan bahwa area berdiferensiasi buruk,
lesi bilateral/multipel, invasi intravasa, invasi perineural maupun infiltrasi
ekstrakompartemen meliputi invasi kapsel, perluasan ekstratiroid dan metastasis
jauh lebih banyak dijumpai pada KTPVF dibandingkan dengan KTP klasik tetapi
risiko metastasis ke limfonodi lebih rendah dibandingkan KTP klasik (Chang et
al., 2006; Chrisoulidou et al., 2011; Chen et al., 2012; Gupta et al., 2012).
107
Penelitian lainya justru melaporkan bahwa KTPVF memiliki perangai klinis
maupun patologis yang sebanding dengan KTP klasik (Gonzalez et al., 2011; Der
Lin et al., 2010; Salajegheh et al., 2008; De Lellis et al., 2004). Penilaian
agresivitas kedua tipe KTP melalui ekspresi MMP-9 pada penelitian ini
membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan rerata skor ekspresi MMP-9 yang
bermakna antara KTP Klasik dengan KTPVF, dimana perbedaan antara KTP
Klasik Intrakompartemen dengan KTPVF Intrakompartemen memiliki nilai
(p=0,496; p>0,005) dan antara KTP Klasik Ekstrakompartemen dengan KTPVF
Ekstrakompartemen memiliki nilai (p= 0,309; p>0,005).
Secara molekuler, jalur karsinogenesis KTP Klasik memang berbeda dengan
KTPVF. KTP Klasik melibatkan tata ulang RET atau NTRK dan point mutasi
BRAFV600E sedangkan KTPVF selain melibatkan tata ulang RET atau NTRK dan
mutasi BRAFK601E, 13% melibatkan translokasi t(2;3)(q13p;p25) yang
menggabungkan PAX8-PPARɤ dan 21% mutasi RAS (Kondo et al., 2006;
Santoro et al., 2006; Salajegheh et al., 2008; Viglieto et al., 2012; Chien et al.,
2012). Tidak pernah terdapat laporan bahwa MMP-9 dapat mempengaruhi proses
karsinogenesis pada kedua tipe KTP ini sehingga secara teoritis MMP-9 memang
tidak terlibat dalam penentuan karakteristik molekuler maupun morfologi pada
KTP Klasik maupun KTPVF. Keterlibatan MMP-9 pada inti sel yang diawali oleh
degradasi matriks protein inti yaitu PARP hanya mempengaruhi peningkatan
fragmentasi DNA dan pencegahan proses perbaikan DNA (Ansari et al., 2013).
Proses ini terjadi setelah terjadinya proses karsinogenesis, sehingga pulasan
108
MMP-9 di inti yang ditemukan pada beberapa kasus penelitian ini tidak
menggambarkan bahwa MMP-9 terlibat dalam proses karsinogenesis KTP.
Berdasarkan berbagai literatur mengenai MMP-9, aktivitas transkripsi dan
translasi MMP-9 yang dipicu oleh berbagai faktor pertumbuhan, sitokin dan
promotor tumor dapat melalui berbagai jalur (gambar 6.3), diantaranya jalur
inhibitor-kappa binding (IκB) yang mengaktifkan faktor transkripsi nuclear
factor- kappa binding (NFκB), JUN activated kinase (JAK) yang mengaktifkan
signal transducer and activator of transcription (STAT) serta jalur yang terlibat
dalam karsinogenesis KTP maupun KTPVF seperti RAS-MAPK, RAS-BRAF-
MAPK dan PAX8-PPARɤ yang menginduksi transkripsi MMP-9 dengan
meningkatkan regulasi gen Snail yang juga merupakan penekan aktivitas E-
cadherin (Palma et al., 2014; Di Maro et al., 2014). Namun belum terdapat
penelitian yang membandingkan jalur mana yang dominan berkontribusi terhadap
peningkatan aktivitas MMP-9 dan apakah MMP-9 yang dihasilkan pada kedua
tipe KTP akan berbeda sehingga dapat mempengaruhi terjadinya perbedaan
perangai biologisnya. Tidak didapatkannya perbedaan rerata skor ekspresi MMP-9
yang bermakna antara KTP Klasik dengan KTPVF membuktikan bahwa jalur
karsinogenesis kedua tipe KTP kemungkinan dilibatkan secara imbang dalam
pembentukan aktivitas MMP-9. Alasan lainnya adalah kemungkinan ada faktor
lain namun tidak dinilai dalam penelitian ini, yang kemungkinan dapat menjadi
prediktor agresivitas kedua varian selain ekspresi MMP-9 seperti keterlibatan
kemampuan proliferasi tumor yang dinilai melalui Ki-67 hingga aktivitas
109
microRNA yang mampu memodifikasi protein penting dalam progresi karsinoma
tiroid.
Gambar 6.4
Bagan Jalur Transkripsi MMP-9 yang dilibatkan oleh beberapa Jalur
Karsinogenesis KTP
6.5 Pengaruh Antar Seluruh Variabel dengan Skor Ekspresi MMP-9
Pada penelitian ini juga dinilai pengaruh antar seluruh variabel baik variabel
bebas yang meliputi empat kelompok KTP maupun variabel kontrol meliputi usia,
jenis kelamin dan ukuran tumor terhadap skor ekspresi MMP-9. Peneliti
mendapatkan bahwa secara simultan keseluruhan variabel ini memiliki pengaruh
yang besar terhadap skor ekspresi MMP-9 dengan nilai persentase sebesar 66%.
Diantara keseluruhan variabel tersebut variabel kelompok KTP merupakan
variabel yang paling berkontribusi terhadap skor ekspresi MMP-9 dengan nilai
p<0,001. Sedangkan variabel kontrol yang meliputi usia pasien, jenis kelamin dan
Diaktivasi oleh Faktor Pertumbuhan seperti
TGFß, EGF, HGF maupun FGF
110
ukuran tumor tidak mempengaruhi perbedaan skor ekspresi MMP-9 karena
memiliki nilai p>0,05, dimana variabel usia pasien memiliki nilai p=0,233,
variabel jenis kelamin dengan p=0,405 dan ukuran tumor dengan nilai p=0,909.
Temuan ini agak berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang
menemukan bahwa selain berkorelasi positif dengan derajat infiltrasi dan
metastasis, ekspresi MMP-9 juga berkorelasi positif dengan ukuran tumor dan
usia pasien (Merecko et al., 2008; Ansari et al., 2013; Meng et al., 2012). Namun
pada beberapa penelitian lain dikatakan bahwa faktor usia, jenis kelamin maupun
ukuran tumor tidak memiliki pengaruh terhadap ekspresi MMP-9 (Yu et al., 2012;
Gonzalez et al., 2008). Belum ada penelitian yang membahas secara mendalam
mengenai kaitan ekspresi MMP-9 dengan ukuran tumor, usia pasien dan jenis
kelamin.
Meskipun insiden kanker meningkat seiring peningkatan usia, tetapi insiden
metastasis akan berkurang karena perubahan usia cenderung mengurangi sifat
agresif proliferasi tumor maupun metastasisnya. Pada pasien usia tua yang
meninggal karena kanker, gejala antemortem maupun temuan otopsi
menyimpulkan bahwa tumor tersebut bersifat tidak agresif, tumbuh sangat lambat
dan jarang bergejala. Beberapa faktor kemungkinan berkaitan dengan hal ini
diantaranya adanya perubahan mekanisme angiogenesis, perubahan fisiologis
matriks ekstraseluler, sel-sel efektor imun, hormon, faktor pertumbuhan/ sitokin,
maupun nutrisi. Faktor terlarut yang memicu angiogenesis berubah seiring
peningkatan usia, terjadi pula penurunan sensitivitas terhadap faktor angiogenik
yang berkontribusi untuk menurunnya kemampuan ekspansi maupun
111
pertumbuhan tumor pada usia tua. Usia juga mempengaruhi biosintesis dan
fisiologi matriks ekstraseluler, dikatakan bahwa kolagen IV meningkat sekitar
empat kali lipat pada usia tua, sehingga mempengaruhi kemampuan kerja MMP-9
dan menyebabkan aktivitas MMP-9 menjadi relatif tidak adekuat (Okada et al.,
2012; Gunduz et al., 2014). Namun belum ada penelitian yang menelusuri
seberapa kuat faktor ini mempengaruhi sintesis dan ekspresi MMP-9 pada pasien
kanker usia tua. Penelitian ini juga tidak menelusuri faktor manakah yang lebih
berperan terhadap skor ekspresi MMP-9 pada pasien KTP usia tua.
Ekspresi MMP-9 dikatakan berkaitan dengan ukuran tumor karena jika
ukuran tumor lebih besar maka sel-sel tumor yang akan menghasilkan MMP-9
cenderung akan lebih banyak (Meng et al., 2012). Tetapi pada penelitian ini
adanya latar belakang goiter pada sebagian besar sampel mempengaruhi
berkurangnya proporsi sel ganas penghasil MMP-9. Hal tersebut kemungkinan
menyebabkan tidak berpengaruhnya ukuran tumor terhadap skor ekspresi MMP-9
pada penelitian ini. Sedangkan pada berbagai penelitian maupun pada penelitian
ini, faktor jenis kelamin tidak mempengaruhi skor ekspresi MMP-9. Hal ini
mungkin disebabkan oleh tidak adanya hubungan faktor hormonal seks terhadap
ekspresi MMP-9.
Pada penelitian ini dibuktikan bahwa perbedaan skor ekspresi MMP-9 sangat
dipengaruhi oleh variabel kelompok penelitian yaitu antara kelompok KTP
intrakompartemen dengan KTP ekstrakompartemen dengan nilai kemaknaan
<0,001. Akan tetapi faktor usia, jenis kelamin dan ukuran tumor tidak
mempengaruhi perbedaan skor ekspresi MMP-9.
112
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Terdapat perbedaan rerata skor ekspresi MMP-9 pada KTP Klasik infiltrasi
intrakompartemen, KTP Klasik infiltrasi ekstrakompartemen, KTPVF infiltrasi
intrakompartemen dan KTPVF infiltrasi ekstrakompartemen, dimana perbedaan
yang bermakna dijumpai antar KTP infiltrasi intrakompartemen dengan KTP
infiltrasi ekstrakompartemen. Tidak terdapat pengaruh faktor usia, jenis kelamin
dan ukuran tumor terhadap perbedaan skor ekspresi MMP-9. Sehingga
disimpulkan bahwa agresivitas KTP dipengaruhi oleh luas infiltrasi tumor
sedangkan varian KTP (klasik dan folikuler), usia, jenis kelamin pasien maupun
ukuran tumor tidak terbukti mempengaruhi agresivitas KTP.
7.2 Saran
1. Pada penelitian ini belum ditentukan cut off point tinggi rendahnya skor
ekspresi MMP-9, sehingga sangat penting dibuat kesepakatan mengenai
cut off point skor ekspresi MMP-9 pada penelitian berikutnya untuk
keseragaman pelaporan tingkat ekspresinya.
2. Untuk mengatasi kemungkinan bias skor ekspresi MMP-9 akibat hanya
menilai skor MMP-9 aktif, maka selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan pula penilaian skor MMP-9 laten sehingga skor yang didapat
nantinya merupakan skor MMP-9 total.
112
113
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kaitan ekspresi MMP-9
pada jaringan KTP ekstrakompartemen dengan kadar MMP-9 di serum,
sehingga dapat dikembangkan kemungkinan MMP-9 sebagai marka
penanda agresivitas tumor secara serologi.
4. Keterlibatan MMP-9 dalam proses invasi tumor dapat menjadi landasan
penelitian lanjutan untuk membuktikan bahwa MMP-9 juga dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu panel pemeriksaan imunohistokimia
dalam membedakan KTP dengan berbagai lesi tiroid jinak
5. Untuk kasus KTP yang dicurigai telah mengalami perluasan ekstratiroid
maupun metastasis namun secara klinis maupun pencitraan masih
meragukan dapat dipertimbangkan pemeriksaan MMP-9 sehingga klinisi
dapat menentukan pilihan jenis operasi yang tepat pada pasien.
6. Keterlibatan MMP-9 terhadap luas infiltrasi tumor pada KTP dapat
menjadi dasar pengembangan terapi target yang potensial khususnya
sebagai target penghambat progresivitas tumor dalam penanganan
karsinoma tiroid. Peneliti berharap agar terdapat studi lanjutan dalam
menelusuri kegunaan dan efektivitas agen-agen penghambat ekspresi
MMP-9 dalam penanganan karsinoma tiroid.
114
DAFTAR PUSTAKA
Anisimov, V.N. 2009. Carcinogenesis and aging 20 years after: escaping
horizon. Mech Ageing Dev, 130: 105–121.
Anonim. 2010. Bali dalam angka 2010. Denpasar: Badan Pusat Statistik
Provinsi Bali.
Anonim. 2012. NCCN Guidelines Carcinoma Thyroid. USA: National
Comprehensive Cancer Network.
Ansari, M.A., Shaikh, S., Muteeb, G., Rizvi, D., Shakil, S., Alam, A.,et al.
2013. Role of Matrix Metalloproteinases in Cancer. In: Advances
in Protein Chemistry. USA: OMICS group ebook. p. 4-8.
Baloch, Z.W., Livolsi, V.A. 2010. Pathology of Thyroid and Parathyroid
Disease. In: Stancey E. Mills, editors. Sternberg’s Diagnostic
Surgical Pathology, 5th
. Ed. Philadelphia: Wolters Kluwer
Lippincott Williams and Wilkins. p. 500-503.
Bassi, P.F., Sacco, E. 2009. Cancer and aging: the molecular pathways. Urol
Oncol; 27: 620–627.
Bilimoria, K.Y., Bentrem D.J., Ko, C.Y. 2007. Extent of surgery affects
survival for papillary thyroid cancer. Ann Surg; 246 (Suppl. 3):
375-381.
Boucek, J., Kastner, J., Skrivan, J., Grosso, E., Gibelli, B., Gaugliano, G.,
Betka, J. 2009. Occult Thyroid Carcinoma. Acta
Otorhinolaryngologica Italica; 29:296-304.
Bouchet, S., Bauvois, B. 2014. Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin
(NGAL), Pro-Matrix Metalloproteinase-9 (pro-MMP-9) and Their
Complex Pro-MMP-9/NGAL in Leukaemias. Cancers, 6: 796-
812.
Bras, L.E.C., Toba, H., BAicu, C.F., Zile, M.R., Weintraub, S.T., Lindsey,
M.L., Bradshaw, A.D. 2014. Age and SPARC Change the
Extracellular Matrix Composition of the Left Ventricle. Biomed
Research International; 2014: 1-7.
115
Brito, J.P., Hay, D.I., Morris J.C. 2014. Low risk papillary thyroid cancer.
British Medical Journal, 348: 1-8.
116
Buergy,D., Weber, T., Maurer, G.D., Mudduluru, G., Medved, F., Leupold,
J.H. 2009. Urokinase receptor, MMP-1 and MMP-9 are markers to
differentiate prognosis, adenoma and carcinoma in thyroid
malignancies. Int J Cancer, 125:894-901.
Chang, H.Y., Lin, J.D., Chou, S.C. 2006. Clinical presentations and outcomes
of surgical treatment of follicular variant of the papillary thyroid
carcinomas. Jpn J Clin Oncol; 2006 (Suppl. 36): 688–93.
Chen, H., Izevbaye, I., Chen, F., Weinstein, B. 2012. Recent Advances in
Follicular Variant of Papillary Thyroid Carcinoma. North
American Journal of Medicine and Science; 5 (Suppl. 4): 212-5.
Chien, W., Koeffler P. 2012. Molecular Biology of Thyroid Cancer. Springer
Endocrine Updates, 30: 35-43.
Cho, J.K., Kim, J.Y., Jeong, C.Y., Jung, E.J., Park, S.T., Jeong, S.H., Ju, Y.T.,
Lee, Y.J., Hong, S.C., Ha, W.S., Choi, S.K. 2012. Clinical features
and prognostic factors in papillary thyroid microcarcinoma
depends on age. Journal of the Korean Surgical Society; 82 (Suppl.
5): 281-7.
Chrisoulidou, H., Boudina, M., Tzemailas, A., Doumala, E., Iliadou, P.K.,
Patakiouta, F., Panayiotou, K.P.,2011. Histological subtype is the
most important determinant of survival in metastatic papillary
thyroid cancer. BioMed Central Thyroid Research; 4 (Suppl. 12):
1-5.
Constantine, S., Mitsiades., Negri, J., McMullan C. 2007. Targeting BRAF
V600E in thyroid carcinoma: therapeutic implications. American
Association for Cancer Research, 6: 1070-1078.
Cooper, D.S., Doherty, G.M., Haugen, B.R. 2006. Management guidelines for
patients with thyroid nodules and differentiated thyroid cancer.
Thyroid; 16 (2):109-142.
Cossu, A., Budroni, M., Paliogiannis, P., Palmieri, G., Scognamillo, F.,
Cesaraccio, R., Attene, F., Trignano, M., Tanda, F. 2013.
Epidemiology of Thyroid Cancer in an Area of Epidemic Thyroid
Goiter. Hindawi, 2013: 1-4.
Dedock, J., Paridaens, R.,Ye, S. 2008. Genetic Polymorphism of Matrix
Metalloproteinase in Lung, Breast and Colorectal Cancer. Clin
Genet,733: 197-221.
117
Delektorskaia, V.V., Smirnova, E.A., Ponomareva, M.V., Pavlova, T.V.,
Pavlov, I.A. 2010. Expression of matrix metalloproteinases 2 and 9
and their tissue inhibitors 1 and 2 in papillary thyroid cancer: an
association with the clinical, morphological and ultrastructural
characteristics of a tumor. Arkh Patol, 72: 3-6.
DeLellis, R.A., Williams, E.D. 2004. Thyroid and Parathyroid Tumours:
Introduction. In: DeLellis, R.A., Lioyd, R.V., Heitz, P.U., Eng, C.,
editors. World Health Organization Classification of Tumours,
Pathology & Genetics Tumours of Endocrine Organs. Lyon: IARC
Press. p. 51-6.
Der Lin, J., Hsueh, C.,Hyu Huang, B. 2011. Papillary Thyroid Carcinoma with
Different Histological Patterns. Chang Gung Med J; 34 (Suppl.1):
23-34.
Deryugina, E.I., Quigley, J.P. 2006. Matrix Metalloproteinases and Tumor
Metastases. Cancer Metastase Rev, 25: 9-34.
Di Maro, G., Salemo, P., Unger, K., Orlandella, F.M., Manaco, M.,
Chiappetta, G., Thomas, G., Wojciechowska, M.O., Masullo, M.,
Jarzab, B., Santoro, M., Salvatore, G. 2014. Anterior Gradient
Protein 2 Promotes Survival Migration and Invasion of Papillary
Thyroid Carcinoma Cells. BioMed Central; 13 (Suppl.160): 1-11.
Dirjen Yanmed. 2008-2010. Kanker di Indonesia. Dirjen Yanmed Departemen
Kesehatan RI.
Ershler, W.B., Longo, D.L. 2014. Aging and Cancer: Issues of Basic and
Clinical Science. J Natl Cancer Inst, 89:1489–97
Farina, A.R., Mackay, A.R. 2014. Gelatinase B/MMP-9 in Tumour
Pathogenesis and Progression. Cancers, 6: 240-296.
Frasca, F., Nucera, C., Pellegriti, G., Gangemi, P., Attard, M., Stella, M.,
Loda, M., Vella, V., Giordano, V.C., Trimarchi, R., Mazzon, E.,
Belfiore, A., Vigneri, E. 2008. BRAF(V600E) mutation and the
biology of papillary thyroid cancer. Endocrine-Related Cancer, 15:
191–205.
Fuhrer, D. 2006. Genetics of Benign and Malignant Tumours. Thyroid
International, 2: 1-10.
Führer, D., Bockisch, A., Schmid, K.W. 2012. Euthyroid Goiter With and
Without Nodules—Diagnosis and Treatment. Medicine; 109
(Suppl 29–30): 506–516.
118
Ghossein, R. 2009. Update to the College of American Pathologists Reporting
on Thyroid Carcinomas. Head and Neck Pathol Humana Press;
2009 (Suppl. 3): 86-93.
Gonzalez, R.G., Molina, R.B., Carreon-Burciaga, R.G., Gastelum, M.G.,
Frechero, N.M., Rodrıguez, S.S. 2011. Papillary Thyroid
Carcinoma: Differential Diagnosis and Prognostic Values of Its
Different Variants. International Scholarly Research Network
ISRN Oncology, 2011: 1-9.
Gunduz, G., Fiskin, K. 2014. Aging and cancer: molecular facts and
awareness for Turkey. Turk J Biol; 38: 708-719.
Gupta, S., Ajise, O., Dultz, L., Wang, B., Nonaka, D., Ogilvie, J., Heller, K.S.,
Patel, K.N. 2012. Follicular Variant of Papillary Thyroid Cancer.
American Medical Association; 138 (Suppl. 3): 227-233.
Haigh, P.I, Urbach, D.R., Rotstein, L.E. 2005. Extent of thyroidectomy is not
a major determinant of survival in low- or high-risk papillary
thyroid cancer. Ann Surg Oncol; 12 (Suppl. 1): 81-80.
Htwe, T.T. 2012. Thyroid malignancy among goitrous thyroid lesions: a
review of hospital-based studies in Malaysia and Myanmar.
Singapore Medical Journal; 53 (Suppl. 3): 159–163.
Ito, Y., Higashiyama, T., Takamura, Y. 2007. Risk factors for recurrence to
the lymph node in papillary thyroid carcinoma patients without
preoperatively detectable lateral node metastasis: validity of
prophylactic modified radical neck dissection. World J Surg;
31(Suppl. 11): 2085-2091.
Ito, Y., Jikuzono, T., Higashiyama, T. 2006. Clinical significance of lymph
node metastasis of thyroid papillary carcinoma located in one lobe.
World J Surg; 30 (Suppl. 10): 1821-28.
Ito, Y., Miyauchi, A. 2012. Prognostic Factors of Papillary and Follicular
Carcinomas in Japan Based on Data of Kuma Hospital. Journal of
thyroid research, 2012: 1-18.
Ito, Y., Miyauchi, A., Kihara, M., Higashiyama, M., Kobayashi, K., Miya, A.
2014. Patient Age Is Significantly Related to the Progression of
Papillary Microcarcinoma of the Thyroid Under Observation.
Thyroid; 24 (Suppl 1): 27-33.
119
Kakudo, K., Bai, Y., Liu, Z., Ozaki, T. 2012. Encapsulated papillary thyroid
carcinoma, follicular variant: A misnomer. Pathology International, 62: 155–160
Kavanagh, D.O., Mcllroy, M., Myers, E., Bane, F., Crotty, T.B., McDermott,
E., Hill, A.D., Young, L.S. 2010. The role of oestrogen receptor a
in human thyroid cancer: contributions from coregulatory proteins
and the tyrosine kinase receptor HER2. Endocrine-Related Cancer,
17: 255-264.
Knobel, M., Neto, G.M. 2007. Relevance of Iodine Intake as a Reputed
Predisposing Factor of Thyroid Cancer. Arq Bras Endocrinol
Metab; 5 (Suppl. 5): 701-712.
Kondo, T., Ezzat, S., Asa, S.L. 2006. Pathogenetic mechanisms in thyroid
follicular-cell neoplasia. Nature Reviews; 6 (Suppl. 4): 292–306.
Koseoglu, R.D., Filiz, N.O., Aladas, I., Eyibisen, A., Guven, M. 2006.
Problems Encountered in the Diagnosis of Encapsulated Follicular
Variant of Papillary Thyroid Carcinoma and the Morphological
Diagnosis Criteria. Turk J Med Sci; 36 (Suppl. 2006): 17-22.
Korem, S., Kraiem, Z., Shiloni, E., Yehezkel, O., Sadeh, O., Resnick, M.B.
2004. Increased expression of matrix metalloproteinase-2: a
diagnostic marker but not prognostic marker of papillary thyroid
carcinoma. Isr Med Assoc J, 4:247-51.
Kumar., Abas., Fausto., Aster. 2010. Neoplasm. In: Robbins Cotran
Pathologic Basis of Desease Eight Edition. Kumar Vinay.
Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 62-70.
Leboulleux, S., Rubino, C., Baudin, E., Caillou, B., Hartl, D.M., Bidart, J.M.,
Travagli, J.P., Schlumberger, M. 2006. Prognostic Factors for
Persistent or Recurrent Disease of Papillary Thyroid Carcinoma
with Neck Lymph Node Metastases and/or Tumor Extension
beyond the Thyroid Capsule at Initial Diagnosis. The Journal of
Clinical Endocrinology & Metabolism; 90 (Suppl. 10): 5723–5729.
Leifler, K.S., Svensson, S., Abrahamsson, A., Bendrik, C., Robertson, J.,
Gauldie, J., Olsson, A.K., Dabrosin, C. 2013. Inflammation
Induced by MMP-9 Enhances Tumor Regression of Experimental
Breast Cancer. J Immunol, 190:4420-4430
Liang, H., Zhong, Y., Luo, Z., Huang, Y., Lin, H., Luo, M., et al. 2010.
Assessment of biomarkers for clinical diagnosis of papillary
120
thyroid carcinoma with distant metastasis. Medline Int J Biol
Markers,25:38-45.
LiVolsi, V.A. 2011. Papillary thyroid carcinoma: an update.Modern
Pathology. 24: 1-9.
Loffek, S., Schilling, O., Franzke, C-W. 2011. Biological role of matrix
metalloproteinases: a critical balance. Eur Respir J, 38: 191–208.
Marečko, I., Cvejić, J., Šelemetjev, S., Paskaš, S., Tatić, S., Paunović, I.,
Savin, S. 2014. Enhanced activation of matrix metalloproteinase-9
correlates with the degree of papillary thyroid carcinoma
infiltration. Croat Med J, 55: 128-37.
Meng, X., Hua, T., Zhang, Q., Pang, R., Zheng, G., Song, D. 2012.
Expression and clinical significance of matrix metalloproteinase 9
(MMP9) papillary thyroid carcinomas. African Journal of
Pharmacy and Pharmacology; 6 (Suppl. 44): 3075-9.
Mete, O.,Asa, S.L. 2011. Pathological definition and clinical significance of
vascular invasion in thyroid carcinomas of follicular epithelial
derivation. Modern Pathology; 2011 (Suppl. 24): 1545–1552.
Nikiforov, Y.E. 2009. Thyroid Tumors: Classification, Staging, and General
Considerations. In: Hubbard J.G.H., Inabnet, W.B., Yau Lo, C.,
editors. Endocrine surgery. London: Springer. P. 108-112.
Nowak, M., Madej, J.A., Okolow, M.P., Dziegiel, P. 2008. Expression of
Extracellular Matrix Metalloproteinase (MMP-9), E-Cadherin and
Proliferation-associated Antigen Ki-67 and their Reciprocal
Correlation in Canine Mammary Adenocarcinomas. In vivo; 22:
463-470
Okada, F., Kobayashi, H. 2012. The influence of aging and cellular
senescence on metastasis. In: Lyden D, Welch DR, Psaila B,
editors. Cancer Metastasis: Biological Basis and Therapeutics.
Cambridge, UK: Cambridge University Press. P. 105–116.
Palma, T.D., Lucci, V., Cristofaro, T., Fillipone, M.G., Zannini, M. 2014. A
Role for PAX8 in Tumorigenic Phenotype of Ovarian Cancer
Cells. Biomed Central;14(Suppl.292): 1-8.
121
Pellegriti, G., Frasca, F., Regalbuto, C., Squatrito, S.,Vigneri, R. 2013.
Worldwide Increasing Incidence of Thyroid Cancer: Update on
Epidemiology and Risk Factors. Hindawi, 2013: 1-7.
Pereira, J.A., Jimeno, J., Miquel, J. 2005. Nodal yield, morbidity, and
recurrence after central neck dissection for papillary thyroid
carcinoma. Surgery; 138 (Suppl. 6): 1095-1100.
Powell, E., Piwnica-Worms, D., Piwnica-Worms, H. 2014. Contribution of
P53 to Metastases. American Association of Cancer Research, 4:
405-414.
Quaranta, M., Daniele, A., Coviello, M., Venner, M.T., Abbate, I., Caringella,
M.E., Di Tardo, S., Divella, R., Trerotoli, P., Di Gennaro. M.,
Schitulli, F., Fransvea, E., Giannelli, G. 2007. MMP-2, MMP-9,
VEGF and CA 15.3 in Breast Cancer. Anticancer Research, 27:
3593-3600.
Rosai, J., Tallini, G. 2011. Thyroid Gland. In: Rosai, Ackerman, editors.
Surgical Pathology. 10th
. Ed. British: Elsevier. p. 487-513.
Rubin, P., Hansen, J.T. 2012. TNM staging Atlas with Oncoanatomy. Second
Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Lippincott Williams and
Wilkins. p. 114-121.
Salajegheh, A., Petcu, E.B., Smith, R.A., Lam, A.K. 2008. Follicular variant
of papillary thyroid carcinoma: a. diagnostic challenge for
clinicians and pathologist. Postgrad. Med. J, 84: 78-82.
Santoro, M., Melillo, R.M., Fusco, A. 2006. RET/PTC activation in papillary
thyroid carcinoma: European Journal of Endocrinology Prize
Lecture. European Journal of Endocrinology, 155: 645–653.
Sawka, A.M., Thephamongkhol, K., Brouwers, M. 2004. Clinical review 170:
a systematic review and metaanalysis of the effectiveness of
radioactive iodine remnant ablation for well-differentiated thyroid
cancer. J Clin Endocrinol Metab; 89 (Suppl. 8): 3668-3676.
Schonfeld, S.J., Neta, G., Sturgis, E.M., Pfeiffer, R.M., Hutchinson,A.A., Xu,
L., Wheeler, W., Gue´nel, P., Rajaraman, P., Vathaire, F., Ron, E.,
Tucker, M.A., Chanock, S.J., Sigurdson, A,J., Brenner, A.V. 2012.
Common Genetic Variants in Sex Hormone Pathway Genes and
Papillary Thyroid Cancer Risk. Thyroid; 22 (Suppl 2): 151-155.
Shindo, M., Wu, J.C., Park, E.E., Tanzella, F. 2006. The importance of central
compartment elective lymph node excision in the staging and
122
treatment of papillary thyroid cancer. Arch Otolaryngol Head Neck
Surg; 132 (Suppl. 6): 650-654.
Shironen, P. 2005. “Prognosis of Papillary Thyroid Cancer” (dissertation).
Helsinki.
Stuelten, C.H., Byfield, S.D., Arany, P.R., Karpova, T.S., Stevenson, W.G.S.,
Roberts, A.B. 2005. Breast cancer cells induce stromal fibroblasts
toexpress MMP-9 via secretion of TNF-α and TGF-β. Journal of
Cell Science; 118 (Suppl.10): 2143-2152
Toniato, A., Boschin, I., Casara, D. 2008. Papillary thyroid carcinoma: factors
influencing recurrence and survival. Ann Surg Oncol; 15 (Suppl.
5): 1518-1522.
Viglietto, G., Marco, C.D. 2012. Molecular Biology of Thyroid Cancer.
Springer Endocrine Updates, 30: 35-43.
Wang, T., Jiang, C.X., Li, Y., Liu, X. 2009. Pathologic study of expression
and significance of matrix metalloproteinases-9, tissue inhibitor of
metalloproteinase-1, vascular endothelial growth factor and
transforming growth factor beta-1 in papillary carcinoma and
follicular carcinoma of thyroid. Medline, 38:824-8.
Xing, M., Westra, W.H., Tufano, R.P. 2005. BRAF mutation predicts a poorer
clinical prognosis for papillary thyroid cancer. J Clin Endocrinol
Metab; 90 (Suppl. 12): 6373-6379.
Yang. S., Zhao, Z., Wu, R., Lu, H., Zhang, X., Huan, C. 2011. Expression and
biological relationship of vascular endothelial growth factor-A and
matrix metalloproteinase-9 in gastric carcinoma. J Int Med Res, 39:
2076-85.
Yu, F., Jiang, Q., Zhou, Y., Yang, Z., Yu, X., Wang, H., Liu, Z., Wang, L.,
Fang, W., Guo, S. 2012. Abnormal Expression of Matrix
Metalloproteinase-9 (MMP-9) correlates with clinical course in
Chinese patiens with endometrial cancer. Dis markers; 32
(Suppl.5): 321-3
122
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Ethical Clearance
124
Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian
125
No Umur JK Blok Persentase Intensitas Skor
1. 52 P II 1+ 1 1
2. 35 P UM I 1+ 1 1
3. 42 L II 2+ 2 4
4. 32 P II 2+ 3 6
5. 33 P VI 2+ 1 2
6. 65 L I 1+ 1 1
7. 56 P IV 2+ 2 4
8. 58 L V 2+ 1 2
9. 45 L II 1+ 1 1
10. 25 P III 2+ 2 4
11. 61 L I 3+ 2 6
12. 50 P IV 3+ 3 9
13. 41 P II 3+ 3 9
14. 57 P IV 3+ 3 9
15. 57 P III 3+ 3 9
16. 31 P II 2+ 3 6
17. 20 L IV 3+ 3 9
18. 35 P III 3+ 3 9
19. 44 P UM III 2+ 3 6
20. 67 L VI 2+ 3 6
21. 40 L II 2+ 1 2
22. 36 P I 3+ 2 6
23. 58 P II 2+ 1 2
24. 50 P IV 2+ 3 6
25. 37 P II 2+ 2 4
26. 40 P I 2+ 2 4
27. 82 P II 2+ 1 2
28. 40 L I 2+ 3 6
29. 32 L II 2+ 1 2
30. 32 L II 3+ 1 3
31. 63 P I 3+ 2 6
32. 52 P I 3+ 3 9
33. 43 P IV 2+ 3 6
34. 78 P IV 3+ 3 9
35. 31 P IV 2+ 3 6
36 68 P II 2+ 2 4
37. 22 P I 3+ 3 9
38. 60 L III 3+ 3 9
39. 31 P I 3+ 2 6
40. 46 P UL II 2+ 3 6
Lampiran 3 Data Subyek Penelitian
126
Lampiran 4 Statistik Perbandingan Usia Pada Kelompok KTP Klasik
Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF Intrakompartemen
dan KTPVF Ekstrakompartemen
Lampiran 4a. Uji Normalitas Data Usia
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Usia .085 40 .200* .969 40 .335
Lampiran 4b. Data Deskriptif Usia pada Seluruh Kelompok KTP
KTP Statistic Std. Error
Usia KTP Klasik Intrakompartemen Mean 44.300 4.1581
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 34.894
Upper Bound 53.706
Median 43.500
Std. Deviation 13.1491
Minimum 25.0
Maximum 65.0
KTP Klasik Ekstrakompartemen Mean 46.300 4.6834
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 35.705
Upper Bound 56.895
Median 47.000
Std. Deviation 14.8103
Minimum 20.0
Maximum 67.0
KTPVF Intrakompartemen Mean 44.700 4.8535
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 33.721
Upper Bound 55.679
Median 40.000
Std. Deviation 15.3482
Minimum 32.0
Maximum 82.0
KTPVF Ekstrakompartemen Mean 49.400 5.7236
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 36.452
Upper Bound 62.348
Median 49.000
Std. Deviation 18.0997
Minimum 22.0
Maximum 78.0
127
Lampiran 4c. Statistik Deskriptif Usia secara Keseluruhan
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Usia 40 20.0 82.0 46.175 14.9870
Valid N (listwise) 40
Lampiran 4d. Analisis Beda Rerata Usia antar Seluruh Kelompok KTP
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 37.167 28 1.327 1.138 .430
Within Groups 12.833 11 1.167
Total 50.000 39
Lampiran 4e. Analisis Beda Rerata Usia Kelompok KTP Intrakompartemen vs
KTP Ekstrakompartemen
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 8.500 28 .304 2.226 .081
Within Groups 1.500 11 .136
Total 10.000 39
Lampiran 4f. Analisis Beda Rerata Usia Kelompok KTP Klasik vs KTPVF
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 7.167 28 .256 .994 .534
Within Groups 2.833 11 .258
Total 10.000 39
128
Lampiran 5. Statistik Perbandingan Jenis Kelamin Pada Kelompok KTP Klasik
Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF Intrakompartemen
dan KTPVF Ekstrakompartemen
Lampiran 5a. Data Deskriptif Perbandingan Jenis Kelamin antar seluruh
Kelompok KTP
Sex
Total Laki-laki Perempuan
KTP KTP Klasik
Intrakompartemen
4 6 10
KTP Klasik
Ekstrakompartemen
3 7 10
KTPVF Intrakompartemen 4 6 10
KTPVF Ekstrakompartemen 1 9 10
Total 12 28 40
Lampiran 5b. Analisis Statistik Perbandingan Jenis Kelamin antar seluruh
kelompok KTP
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 2.857a 3 .414
Likelihood Ratio 3.230 3 .358
Linear-by-Linear Association 1.486 1 .223
McNemar-Bowker Test . . .b
N of Valid Cases 40
a. 4 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.00.
b. Computed only for a PxP table, where P must be greater than 1.
129
Lampiran 6 Statistik Perbandingan Ukuran Tumor Pada Kelompok KTP Klasik
Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF Intrakompartemen
dan KTPVF Ekstrakompartemen
Lampiran 6a. Uji Normalitas data Ukuran Tumor
KTP
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Ukuran KTP Klasik
Intrakompartemen
.213 10 .200* .905 10 .247
KTP Klasik
Ekstrakompartemen
.248 10 .082 .924 10 .395
KTPVF Intrakompartemen .177 10 .200* .960 10 .788
KTPVF Ekstrakompartemen .190 10 .200* .873 10 .107
Lampiran 6b. Data Deskriptif Ukuran Tumor secara Keseluruhan
Statistic Std. Error
Ukuran Mean 3.4875 .33236
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 2.8152
Upper Bound 4.1598
Median 3.0000
Std. Deviation 2.10204
Minimum .50
Maximum 8.00
130
Lampiran 6c. Data Deskriptif Ukuran Tumor Pada Seluruh Kelompok KTP
KTP Statistic Std. Error
Ukuran KTP Klasik Intrakompartemen
Mean 2.1800 .46087
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 1.1374
Upper Bound 3.2226
Median 2.0000
Std. Deviation 1.45739
Minimum .50
Maximum 5.00
KTP Klasik Ekstrakompartemen
Mean 3.6700 .55778
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 2.4082
Upper Bound 4.9318
Median 3.0000
Std. Deviation 1.76387
Minimum 1.20
Maximum 7.00
KTPVF Intrakompartemen Mean 4.1500 .44752
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 3.1376
Upper Bound 5.1624
Median 4.0000
Std. Deviation 1.41520
Minimum 2.00
Maximum 6.50
KTPVF Ekstrakompartemen Mean 3.9500 .96162
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 1.7747
Upper Bound 6.1253
Median 3.2500
Std. Deviation 3.04092
Minimum .50
Maximum 8.00
131
Lampiran 6d. Analisis Statistik Beda Rerata Ukuran Tumor Pada Seluruh
Kelompok KTP
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 26.252 14 1.875 1.974 .067
Within Groups 23.748 25 .950
Total 50.000 39
Lampiran 6e. Analisis Statistik Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik
dan KTPVF
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4.152 14 .297 1.268 .292
Within Groups 5.848 25 .234
Total 10.000 39
Lampiran 6f. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Intrakompartemen
dan Ekstrakompartemen
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4.271 14 .305 1.331 .258
Within Groups 5.729 25 .229
Total 10.000 39
Lampiran 6g. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik
Intrakompartemen dan KTPVF Intrakompartemen
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3.750 10 .375 2.700 .075
Within Groups 1.250 9 .139
Total 5.000 19
132
Lampiran 6h. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik
Intrakompartemen dan KTP Klasik Ekstrakompartemen
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3.750 10 .375 2.700 .075
Within Groups 1.250 9 .139
Total 5.000 19
Lampiran 6i. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik
Ekstrakompartemen dan KTPVF Intrakompartemen
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 2.000 9 .222 .741 .669
Within Groups 3.000 10 .300
Total 5.000 19
Lampiran 6j. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP VF
Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3.167 10 .317 1.555 .260
Within Groups 1.833 9 .204
Total 5.000 19
Lampiran 6k. Analisis Beda Rerata Ukuran Tumor antara KTP Klasik
Ekstrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3.200 10 .320 1.600 .246
Within Groups 1.800 9 .200
Total 5.000 19
133
Lampiran 7 Statistik Perbandingan Skor Ekspresi MMP-9 Pada Kelompok KTP
Klasik Intrakompartemen, KTP Klasik Ekstrakompartemen, KTPVF
Intrakompartemen dan KTPVF Ekstrakompartemen Deskriptif Skor MMP-9 pada
Seluruh Kelompok KTP
Lampiran 7a. Data Deskriptif Perbandingan Skor Ekspresi MMP-9 antar seluruh Kelompok
KTP
N Mean
Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence
Interval for Mean
Minimum Maximum
Lower
Bound
Upper
Bound
KTP Klasik
Intrakompartemen
10 2.6000 1.77639 .56174 1.3292 3.8708 1.00 6.00
KTP Klasik
Ekstrakompartemen
10 7.8000 1.54919 .48990 6.6918 8.9082 6.00 9.00
KTPVF Intrakompartemen 10 3.7000 1.76698 .55877 2.4360 4.9640 2.00 6.00
KTPVF Ekstrakompartemen 10 7.0000 1.82574 .57735 5.6939 8.3061 4.00 9.00
Total 40 5.2750 2.76412 .43705 4.3910 6.1590 1.00 9.00
Lampiran 7b. Uji Homogenitas Skor Ekspresi MMP-9 antar Kelompok KTP
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.097 3 36 .961
Lampiran 7c. Uji Analisis Perbedaan Skor MMP-9 Antar Seluruh Kelompok KTP
ANOVA
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 189.875 3 63.292 21.078 .000
Within Groups 108.100 36 3.003
Total 297.975 39
134
Lampiran 7d. Uji Komparasi Multipel antar Seluruh Kelompok KTP Dependent Variable:SkorMMP9
(I) KTP (J) KTP
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
Tukey HSD
KTP Klasik Intrakompartemen
KTP Klasik Ekstrakompartemen -5.20000* .77496 .000 -7.2871 -3.1129
KTPVF Intrakompartemen -1.10000 .77496 .496 -3.1871 .9871
KTPVF Ekstrakompartemen -4.40000* .77496 .000 -6.4871 -2.3129
KTP Klasik Ekstrakompartemen
KTP Klasik Intrakompartemen 5.20000* .77496 .000 3.1129 7.2871
KTPVF Intrakompartemen 4.10000* .77496 .000 2.0129 6.1871
KTPVF Ekstrakompartemen .80000 .77496 .732 -1.2871 2.8871
KTPVF Intrakompartemen
KTP Klasik Intrakompartemen 1.10000 .77496 .496 -.9871 3.1871
KTP Klasik Ekstrakompartemen -4.10000* .77496 .000 -6.1871 -2.0129
KTPVF Ekstrakompartemen -3.30000* .77496 .001 -5.3871 -1.2129
KTPVF Ekstrakompartemen
KTP Klasik Intrakompartemen 4.40000* .77496 .000 2.3129 6.4871
KTP Klasik Ekstrakompartemen -.80000 .77496 .732 -2.8871 1.2871
KTPVF Intrakompartemen 3.30000* .77496 .001 1.2129 5.3871
LSD KTP Klasik Intrakompartemen
KTP Klasik Ekstrakompartemen -5.20000* .77496 .000 -6.7717 -3.6283
KTPVF Intrakompartemen -1.10000 .77496 .164 -2.6717 .4717
KTPVF Ekstrakompartemen -4.40000* .77496 .000 -5.9717 -2.8283
KTP Klasik Ekstrakompartemen
KTP Klasik Intrakompartemen 5.20000* .77496 .000 3.6283 6.7717
KTPVF Intrakompartemen 4.10000* .77496 .000 2.5283 5.6717
KTPVF Ekstrakompartemen .80000 .77496 .309 -.7717 2.3717
KTPVF Intrakompartemen
KTP Klasik Intrakompartemen 1.10000 .77496 .164 -.4717 2.6717
KTP Klasik Ekstrakompartemen -4.10000* .77496 .000 -5.6717 -2.5283
KTPVF Ekstrakompartemen -3.30000* .77496 .000 -4.8717 -1.7283
KTPVF Ekstrakompartemen
KTP Klasik Intrakompartemen 4.40000* .77496 .000 2.8283 5.9717
KTP Klasik Ekstrakompartemen -.80000 .77496 .309 -2.3717 .7717
KTPVF Intrakompartemen 3.30000* .77496 .000 1.7283 4.8717
Tamhane
KTP Klasik Intrakompartemen
KTP Klasik Ekstrakompartemen -5.20000* .74536 .000 -7.4059 -2.9941
KTPVF Intrakompartemen -1.10000 .79232 .700 -3.4397 1.2397
KTPVF Ekstrakompartemen -4.40000* .80554 .000 -6.7789 -2.0211
KTP Klasik Ekstrakompartemen
KTP Klasik Intrakompartemen 5.20000* .74536 .000 2.9941 7.4059
KTPVF Intrakompartemen 4.10000* .74312 .000 1.9011 6.2989
KTPVF Ekstrakompartemen .80000 .75719 .887 -1.4431 3.0431
KTPVF Intrakompartemen
KTP Klasik Intrakompartemen 1.10000 .79232 .700 -1.2397 3.4397
KTP Klasik Ekstrakompartemen -4.10000* .74312 .000 -6.2989 -1.9011
KTPVF Ekstrakompartemen -3.30000* .80346 .004 -5.6729 -.9271
KTPVF Ekstrakompartemen
KTP Klasik Intrakompartemen 4.40000* .80554 .000 2.0211 6.7789
KTP Klasik Ekstrakompartemen -.80000 .75719 .887 -3.0431 1.4431
KTPVF Intrakompartemen 3.30000* .80346 .004 .9271 5.6729
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
135
Lampiran 8 Analisis Statistik (Uji ANCOVA) Pengaruh Antar Seluruh Variabel
terhadap Perbedaan Skor Ekspresi MMP-9
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:SkorMMP9
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Partial Eta
Squared
Corrected Model 197.101a 6 32.850 10.747 .000 .661
Intercept 39.932 1 39.932 13.063 .001 .284
Usia 4.513 1 4.513 1.476 .233 .043
Sex 2.176 1 2.176 .712 .405 .021
Ukuran .040 1 .040 .013 .909 .000
KTP 171.988 3 57.329 18.755 .000 .630
Error 100.874 33 3.057
Total 1411.000 40
Corrected Total 297.975 39
a. R Squared = .661 (Adjusted R Squared = .600)
Parameter Estimates
Dependent Variable:SkorMMP9
Parameter B
Std.
Error t Sig.
95% Confidence Interval Partial Eta
Squared Lower Bound Upper Bound
Intercept 7.063 1.702 4.149 .000 3.600 10.527 .343
Usia -.023 .019 -1.215 .233 -.062 .016 .043
Sex .532 .630 .844 .405 -.750 1.813 .021
Ukuran .017 .145 .115 .909 -.278 .311 .000
[KTP=1] -4.329 .844 -5.131 .000 -6.045 -2.612 .444
[KTP=2] .839 .795 1.056 .299 -.778 2.457 .033
[KTP=3] -3.252 .812 -4.004 .000 -4.905 -1.600 .327
[KTP=4] 0a . . . . . .
a. This parameter is set to zero because it is redundant.
top related