disertasi peran strategi bisnis dalam memediasi hubungan antara persaingan industri ... · 2018. 8....
Post on 04-Dec-2020
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DISERTASI
PERAN STRATEGI BISNIS DALAM MEMEDIASI
HUBUNGAN ANTARA PERSAINGAN INDUSTRI
DENGAN KINERJA INDUSTRI (Studi Pada Industri Jasa Pendidikan Tinggi di Timor-Leste)
ESTANISLAU DE SOUSA SALDANHA
PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
ii
PERAN STRATEGI BISNIS DALAM MEMEDIASI
HUBUNGAN ANTARA PERSAINGAN INDUSTRI
DENGAN KINERJA INDUSTRI (Studi Pada Industri Jasa Pendidikan Tinggi di Timor-Leste)
ESTANISLAU DE SOUSA SALDANHA
NIM : 1490871016
PROGRAM DOKTOR ILMU MANAJEMEN
PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
iii
Lembar Pengesahan
DISERTASI INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 05 JULI 2018
Promotor,
Prof. Dr. I Ketut Rahyuda, SE, MSIE
NIP. 19500130 198303 1 001
Kopromotor I, Kopromotor II,
Prof. Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, SE, MS Dr. I Putu Gde Sukaatmadja, SE, MP
NIP. 19620717 198601 2 001 NIP. 19600707 1987703 1 020
Mengetahui
Ketua Program Doktor Ilmu Manajemen Dekan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Prof. Dr. I Wayan Gede Supartha, SE, SU Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE,
MSi
NIP. 19550202 198003 1 004 NIP. 19610620 198603 1 001
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya, penulis disertasi
Nama : Estanislau de Sousa Saldanha
NIM : 1490871016
Program Studi : Program Doktor Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi
dan Bisnis, Universitas Udayana
Dengan ini, untuk dan atas nama saya, menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi
saya bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti adanya plagiasi dalam karya
ilmiah disertasi ini, maka saya siap menerima sanksi sesuai dengan peraturan
Mendiknas RI No 17 Tahun 2010, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya
yang berlaku di Republik Indonesia.
Denpasar, 05 Juli 2018
Estanislau de Sousa Saldanha
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Disertasi dengan Judul : “PERAN STRATEGI BISNIS DALAM MEMEDIASI
HUBUNGAN ANTARA PERSAINGAN INDUSTRI DAN KINERJA
INDUSTRI: STUDI DI INDUSTRI PENDIDIKAN TINGGI TIMOR-LESTE”
telah diselesaikan dengan baik, dan sukses karena berkat, rahmat, dan bimbingan
dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Penyelesaian disertasi ini juga karena dukungan moral dan material dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setingg-tingginya kepada:
1) Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S, Rektor Universitas Udayana Bali
atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk kuliah di Universitas
Udayana Bali.
2) Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., M.Si., Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Udayana Bali yang memberikan kesempatan
kepada penulis untuk belajar di Fakultas ini.
3) Prof. Dr. I Wayan Gede Supartha, SE, SU., Koordinator Program Doktor
Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana Bali.
4) Prof. Dr. I Ketut Rahyuda, SE, MSIE sebagai Promotor yang telah
memberikan motivasi dan arahan selama kuliah di Program Doktor Ilmu
Manajemen, dan selama penelitian dan penulisan disertasi ini.
5) Prof. Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, SE, MS sebagai Kopromotor, dan Dr. I
Putu Gde Sukaatmadja sebagai Kopromotor yang memberikan arahan dan
saran dalam penelitian dan penyusunan disertasi ini.
6) Dr. Alvaro Meneses Amaral, SE MSi, sebagai Rektor Dili Institute of
Technology (DIT), Timor-Leste, dan seluruh staf DIT yang selalu
memberikan dorongan, dan dukungan dalam penyelesaian disertasi ini.
7) Semua teman-teman Rektor dan Ketua Jurusan Perguruan Tinggi di
Timor-Leste yang telah membantu penulis sepenuhnya selama proses
pengambilan data lapangan.
vi
8) Ayahanda, Januario Saldanha (Almarhun), dan Ibunda, Amelia de Sousa,
sebagai petani, dan ibu rumah tangga, yang sederhana dan tidak pernah
mendapatkan kesempatan untuk sekolah formal, namun merupakan
pekerja keras, dan memiliki motivasi tinggi untuk mendorong anak-
anaknya sekolah hingga jenjang pendidikan yang lebih tinggi sebagai
bekal transformasi keluarga dari kehidupan petani menjadi yang lebih
baik. Saudara-saudari saya Jacinta, Salvador, Adozinda, Domingos, Joao,
Saturnino, Angelina, Ladislau, dan Amelia yang saling memotivasi, dan
membantu dalam belajar dan bekerja.
9) Istri saya, Isabel Franklin de Jesus Marques Belo, dan anak-anak saya,
Jovelinho Franklin Saldanha, Estornino Franklin Saldanha, dan Joaozinho
Franklin Saldanha yang selalu setia, sabar, dan memberi dukungan untuk
menyelesaikan disertasi ini. Demikian juga adik-adik Agata, Joana, Jorge,
Ildefonso dan Ivio di Palapaso Dili, Timor-Leste.
10) Teman-teman Program Doktor Ilmu Manajemen Universitas Udayana
Bali Angkatan III tahun 2014 yang saling menolong dan memotivasi
selama kuliah di Univesitas Udayana Bali.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan rahmat dan anugrah
kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan disertasi
ini. Akhirnya disertasi sederhana ini, penulis persembahkan kepada ayahanda dan
ibunda, Januario Saldanha, dan Amelia de Sousa, kepada semua guru di manapun
berada atas sumbangsih tanpa pamrih dan sumber terang dunia, serta kepada
masyarakat Timor-Leste yang tercinta, terutama anak-anak muda. Semoga
disertasi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Denpasar, 05 Juli 2018
Estanislau de Sousa Saldanha
Penulis
vii
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan atas fenomena peningkatan jumlah perguruan
tinggi, duplikasi jurusan yang tidak seimbang dengan ketersediaan sumber daya
dan kapabilitas perguruan tinggi di Timor-Leste yang memicu peningkatan
persaingan industri yang dapat berimplikasi pada turunnya kinerja perguruan
tinggi. Penelitian ini juga dilakukan didasarkan pada bukti inkonsistensi hasil
studi empirik sebelumnya tentang hubungan antara persaingan dan kinerja
industri. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji dan menjelaskan peran
strategi bisnis (differentiation, cost leadership, focus and innovation) dalam
memediasi hubungan antara persaingan industri dan kinerja industri pendidikan
tinggi di Timor-Leste.
Studi ini menggunakan Porter five competitive forces untuk menjelaskan
hubungan persaingan industri dan kinerja industri. Demikian juga menggunakan
teori kontingensi, strategi generik Porter, dan teori resource-based view (RBV)
untuk mengkaji peran mediasi strategi bisnis dalam hubungan antara persaingan
industri dan kinerja industri pendidikan tinggi.
Penelitian ini menggunakan sampel jenuh dengan target populasi 157
ketua jurusan pada 11 perguruan tinggi terakreditasi di Timor-Leste. Kuesioner
telah disebarkan, dan hanya 130 kuesioner yang dikembalikan dan digunakan
dalam penelitian ini. Kuesioner juga telah dilakukan pre-test dan uji reliabilitas
dan validitas untuk meminimalkan kesalahan yang berpengaruh terhadap hasil
penelitian. Smart-PLS telah digunakan untuk menguji hipotesis.
Studi ini menemukan bahwa kombinasi strategi fokus pelayanan, inovasi,
dan keunggulan biaya sangat signifikan dalam memediasi hubungan antara
persaingan industri dan kinerja industri. Fokus strategi pelayanan merupakan
konstruk yang lebih signifikan memediasi hubungan persaingan industri dan
kinerja industri, dibandingkan dengan inovasi dan strategi keunggulan biaya.
Sebaliknya, strategi diferensiasi tidak signifikan memediasi hubungan persaingan
industri dan kinerja industri.
Studi ini memberikan konstribusi empirik dalam debat tentang strategi
yang fit dengan lingkungan industri untuk meningkatkan keunggulan bersaing dan
kinerja industri. Studi ini bernilai juga untuk mendemonstrasikan bahwa
kombinasi strategi bisa dilakukan antara strategi Porter dan resource-based view
dalam konteks industri pendidikan tinggi. Implikasi praktis dari penelitian ini
adalah untuk memberikan informasi kepada pemerintah dan pengelola industri
pendidikan tinggi tentang penggunaan strategi fokus pelayanan, inovasi dan
strategi keunggulan biaya untuk meningkatkan kinerja industri pendidikan tinggi
dalam lingkungan yang dinamik, ketidakpastian dan kompleks sekarang ini.
Kata kunci: Persaingan industri, strategi bisnis, industri pendidikan tinggi, dan
kinerja industri.
viii
ABSTRACT
This research was conducted based on the phenomena of increasing
number of higher education institutions in Timor-Leste, and high duplication of
its departments, which are not aligned with the availability of adequate teaching
resources and capabilities. This has led to fostering high intensity of industrial
competition, which affects the overall higher education industrial performances.
This study was also carried out to fill the inconsistency empirical results from
previous studies on the relationship between industrial competition and
performances. The objective of this study is to examine and explain the role of
business strategy (i.e. differentiation strategy, cost leadership, focus services, and
innovation strategy) on the relationship between industrial competition and higher
education industrial performances.
The study used Porter’s five competitive forces to explain the relationship
between higher education industrial competition and performances in Timor-
Leste. Contingency theory, Porter’s generic strategy, and resource-based view
(RBV) theory were used to explain the mediation effects of business strategy on
the relationship between industrial competition and performances.
157 departments from 11 accredited higher education institutions in
Timor-Leste were used as targeted population of this research; therefore,
questionnaires were distributed to this targeted population. Unfortunately, only
130 questionnaires were filled and returned. Smart-PLS was used to test the
hypothesis.
This study found that combined business strategies based on the industrial
strategy (cost leadership, and focus service), and resource-based view
(innovation) were positively and significantly influenced industrial performances.
Focus service strategy was the most significant construct, which fully mediated
industrial competition and performance, compared to innovation and cost
leadership strategy. Conversely, differentiation strategy was not significant in
mediating the relationship between industrial competition and performances.
The study contributed empirically to the debate on the industrial
environment strategic fitness, and combined strategy based on the contingency
approach from higher education industrial perspectives. The practical implications
were to enlighten government and higher industrial leaders to adopt strategic
fitness principles based on focus service, innovation and cost leadership strategy
in enhancing higher education industrial performances in recent dynamic,
uncertainty, and complex industrial competition.
Keywords: Industrial competition, business strategy, higher education industry,
and industrial performance.
ix
RINGKASAN DISERTASI
PERAN STRATEGI BISNIS DALAM MEMEDIASI HUBUNGAN
ANTARA PERSAINGAN INDUSTRI DENGAN KINERJA INDUSTRI
(Studi Pada Industri Jasa Pendidikan Tinggi di Timor-Leste)
Kinerja industri merupakan ukuran pencapaian target dan tujuan organisasi
yang sudah ditetapkan sebelumnya (Avram and Avasilcai, 2014). Kinerja industri
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal organisasi seperti lima kekuatan Porter
(Porter 1980; Metts 2007; Huang and Lee, 2012), faktor-faktor internal organisasi
seperti sumber daya dan kapabilitas organisasi (Barney, 1991; Metts 2007; Huang
and Lee, 2012; Battagello et al., 2016;), dan strategi bisnis organisasi (Porter
1980; Barney 1991; Parnell, 2010; Bobe and Kober, 2015; Friis et al., 2016;
Anwar and Hasnu, 2016; Oyewobi et al., 2016; Soltanizadeh et al., 2016;
Yuliansyah et al., 2016).
Studi-studi tentang hubungan antara persaingan industri dan kinerja
industri telah dilakukan cukup intens dewasa ini, namun hasil-hasilnya tidak
konsisten. Beberapa studi menemukan bahwa persaingan industri berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja industri (Chong and Rundus, 2004; Chen,
2010; Hoque, 2011; Al-Rfou, 2012; Huang and Lee, 2012; Mia and Winata,
2014; Ghasemi et al., 2015; Obembe and Soetan, 2015) karena dalam lingkungan
industri yang bersaing ketat, pemilik organisasi industri akan melakukan efisiensi
untuk menurunkan biaya, resiko operasional, manajerial, menyediakan insentif
untuk mendorong efisiensi, dan inovasi guna meningkatkan kinerja (Januszewski,
2002; Du and Chen, 2010; Obembe and Soetan, 2015). Walaupun demikian, ada
juga beberapa studi yang menemukan bahwa persaingan industri berpengaruh
negatif atau tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja industri (Metts, 2007;
Patiar and Mia, 2009; Lee and Yang, 2011; Assaf and Cvelbar, 2011; Fosu, 2013;
Teller et al., 2016) karena banyak industri kehilangan pangsa pasar dan
profitabilitasnya karena kehadiran banyak pesaing baru yang menawarkan produk
dan servis yang sama dalam segmen pasar yang terbatas.
Dalam era kompleksitas, ketidakpastian, dan intensitas persaingan
industri, organisasi industri dituntut untuk mengembangkan strategi yang fit
dengan lingkungan untuk meningkatkan posisi bersaing, dan kinerja industri.
Beberapa peneliti menggunakan pendekatan strategi kontingensi dengan
mengadopsi strategi bersaing industri (Porter, 1980; Prajogo, 2007; Parnell, 2010;
Parnell, 2011; Miles, 2013), atau strategi sumber daya dan kapabilitas (Barney,
1991; Metts, 2007; Huang and Lee, 2012; Battagello et al., 2016) atau kombinasi
kedua strategi tersebut (Furrer et al., 2008; Ortega, 2010; Salavou, 2015) untuk
meningkatkan posisi bersaing dan mempertahankan kesinambungan kinerja
industri yang tinggi.
Dewasa ini, studi strategi bisnis masih dominan pada strategi bersaing
industri Porter atau kombinasi strategi antara strategi diferensiasi dan strategi
keunggulan biaya. Demikian juga masih dominan eksplorasi fokus strategi dari
x
Porter dalam konteks strategi diferensiasi atau strategi keunggulan biaya pada
jenis industri tertentu. Sebaliknya, fokus strategi bisa dilakukan pada fokus
pelayanan atau fokus strategi sumber daya dan kapabilitas pada industri dan
segmen pasar tertentu. Demikian juga, studi tentang kombinasi strategi bisnis
masih dominan fokus pada industri manufaktur dan jasa perbankan (Yuliansyah et
al., 2016), namun industri jasa pendidikan tinggi di negara-negara sedang
berkembang seperti Timor-Leste masih belum mendapatkan perhatian.
Studi ini mengisi celah tersebut dengan memberikan bukti empiris tentang
persaingan industri, strategi bisnis dan kinerja industri pendidikan tinggi di
Timor-Leste. Industri pendidikan tinggi di Timor-Leste tumbuh sangat cepat baik
secara institusi maupun program studi yang saling duplikasi yang memicu
peningkatan persaingan industri sehingga dapat mempengaruhi kinerja industri.
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1). Indentifikasi dan menjelaskan pengaruh
persaingan industri pada kinerja industri pendidikan tinggi; (2). Menguji pengaruh
strategi bisnis terhadap kinerja industri pendidikan tinggi; (3). Menguji peran
mediasi strategi bisnis dalam hubungan antara persaingan industri dan kinerja
industri pendidikan tinggi.
Persaingan industri merupakan rivalitas antara dua atau lebih industri yang
sejenis atau mirip untuk menyediakan produk, jasa, harga, produk, distribusi, dan
promosi kepada pelanggan (Adnan et al., 2016). Intensitas persaingan industri
tergantung pada jumlah pesaing di pasar yang sama, frekuensi perubahan
teknologi dalam industri, frekuensi pengenalan produk baru, penurunan harga,
persetujuan paket yang diberikan kepada pelanggan dari berbagai pesaing, dan
perubahan peraturan dan kebijakan pemerintah dan penurunan tarif (Chong and
Rundus, 2004). Persaingan industri juga terjadi pada biaya, ketergantungan
sumber daya, praktek manajerial, hambatan masuk, dan penerapan teknologi (Du
and Chen, 2010). Faktor-faktor lingkungan eksternal industri sebagai pemicu
persaingan industri adalah: (1) intensitas persaingan antar pemain yang ada pada
saat ini. (2) ancaman dari pendatang baru. (3) kekuatan tawar-menawar dari
pemasok, (4) kekuatan tawar-menawar dari pembeli, dan (5) Ancaman dari
produk pengganti (Porter, 1980; Metts, 2007; Huang and Lee, 2012).
Persaingan industri mempengaruhi kinerja industri, sehingga perusahaan
harus beradaptasi dengan perubahan lingkungan untuk mempertahankan posisi
bersaing (Huang and Lee, 2012; de Haan, 2015). Porter (1980) menyatakan
bahwa persaingan industri menurunkan rate of return yang dihasilkan oleh sebuah
perusahaan dalam lingkungan persaingan industri yang perfek (perfectly
competitive industry). Dengan demikian, perusahaaan berupaya untuk
meningkatkan posisi bersaing agar lebih kompetitif dibandingkan dengan
perusahaan pesaingnya. Dalam konteks demikian, perusahaan harus
mengembangkan strategi bisnis yang jelas untuk mempertahankan posisi bersaing
dalam lingkungan industri yang sangat kompetitif. Strategi bisnis menjabarkan
pencapaian tujuan perusahaan berdasarkan evaluasi internal dan eksternal
(Soltanizadeh et al., 2016).
Persaingan industri diukur dengan dimensi-dimensi dan indikator-
indikator yang diadaptasi dari studi-studi empirik sebelumnya (Metts, 2007;
Hoque, 2011; Huang and Lee, 2012; Mathooko and Ogutu, 2015; Teller et al.,
xi
2016) seperti: Pertama, dimensi intensitas persaingan dalam persaingan industri
memiliki lima indikator yakni peningkatan jumlah perguruan tinggi, intensitas
persaingan untuk mendapatkan dosen bergelar master dan doktor, intensitas
persaingan uang kuliah, dan intensitas persaingan biaya promosi. Kedua, dimensi
ancaman pengganti memiliki tiga indikator yakni keberadaan perguruan tinggi
luar negeri, keberadaan perusahaan swasta, keberadaan pusat pelatihan berbasis
kompetensi. Ketiga, dimensi kekuatan tawar-menawar pembeli memiliki empat
indikator yakni kekuatan keluarga, kekuatan penyedia kerja, kekuatan mahasiswa,
kekuatan pemerintah. Keempat, dimensi kekuatan tawar menawar pemacok
memiliki tiga indikator yakni kekuatan tenaga dosen tetap, kekuatan
administrator, dan kekuatan tenaga dosen tidak tetap. Kelima, dimensi ancaman
masuk pendatang baru memiliki empat indikator yakni regulasi pendirian
perguruan tinggi baru dari Kementerian Pendidikan Timor-Leste, modal minimum
yang dibutuhkan untuk mendirikan perguruan tinggi, peraturan dan kebijakan
pemerintah tentang operasi perguruan tinggi, dan duplikasi program studi dari
perguruan tinggi yang ada.
Strategi diferensiasi merupakan strategi perusahaan untuk
mengembangkan produk, jasa, garansi, citra merek, inovasi, reliabilitas,
durabilitas, teknologi, reputasi, bentuk, kualitas, dan nilai yang unik bagi
pelanggan yang sulit ditiru oleh industri pesaingnya (Acquaah, 2011; Baroto et
al., 2012). Strategi diferensiasi muncul karena perusahaan ingin memenuhi
tuntutan pelanggan yang ingin produk alternatif dan unik (Becerra et al., 2013;
Dirisu et al., 2013). Porter (1980) menyatakan bahwa semakin tinggi persaingan
antara industri sejenis, perusahaan dapat mengadopsi strategi diferensiasi guna
mempertahankan daya saing dan kinerja. Diferensiasi tersebut bisa dalam bentuk
kualitas produk, proses dan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan
(Dadfar and Brege, 2012). Beberapa kajian empirik memperkuat strategi generik
Porter (Dirisu et al., 2013; Torres et al., 2014; Newton et al., 2015; Banker et al.,
2014; Martins and Queirós, 2015; Pehrsson, 2016; Yuliansyah et al., 2016).
Walaupun demikian, ada juga studi yang menyatakan bahwa strategi diferensiasi
tidak berpengaruh atau berpengaruh negatif terhadap kinerja (Parnell, 2011;
Nandakumar et al., 2011; Wu et al., 2015). Dalam studi ini, strategi diferensiasi
diukur dengan program studi, kualitas kelulusan, dan kualitas pelayanan.
Strategi keunggulan biaya (cost leadership strategy) adalah strategi
perusahaan untuk menyediakan produk dan jasa dengan biaya lebih rendah dari
perusahaan pesaingnya untuk menarik pelanggan dan memperoleh pangsa pasar
(Porter, 1985; Banker et al., 2014), sehingga produk atau jasa tersebut laku dan
memberikan profit kepada perusahaan. Perusahaan yang menggunakan cost
leadership lebih fokus untuk mengembangkan produk, jasa, dan proses dengan
memaksimalkan efisiensi operasi (Banker et al., 2014), sehingga melakukan
kontrol dan pengetatan biaya dalam semua tingkatan operasi agar unggul atas
pesaingnya guna mempertahankan keunggulan bersaing (Porter, 1985; Acquaah,
2011). Porter (1980) menyatakan bahwa industri dapat meningkatkan keunggulan
bersaing dan kinerja jika mengadopsi strategi keunggulan biaya atau cost
leadership strategy (Parnell and Hershey, 2005; Oyewobi et al., 2016). Strategi
Porter ini diperkuat oleh beberapa temuan empiris bahwa strategi keunggulan
xii
biaya (cost leadership) berpengaruh positif terhadap keunggulan bersaing dan
kinerja perusahaan (Allen and Helms, 2006; Banker et al., 2014; Indounas, 2015)
karena perusahaan menggunakan produksi dan distribusi masal, skala ekonomi,
teknologi, design produk, biaya masukkan, penggunaan kemampuan sumber daya,
dan akses ke bahan baku yang lebih baik (Akan et al., 2006). Walaupun demikian,
pelanggan memiliki loyalitas rendah terhadap strategi keunggulan biaya (Cost
leadership strategy), dan jika biaya terlalu rendah perusahaan akan kehilangan
pendapatan (Allen and Helms, 2006). Demikian juga, jika produk dan servis
berbiaya rendah dapat diimitasi oleh industri pesaing, sehingga dapat menurunkan
daya saing dan kinerja industri (Salavou, 2015). Hal ini diperkuat dengan kajian
empirik yang menunjukkan strategi keunggulan biaya berpengaruh negatif
terhadap kinerja perusahaan (Parnell et al., 2012; Yuliansyah et al., 2016;
Yuliansyah et al., 2017). Dalam studi ini, cost leadership diukur dengan
pengontrolan dan efisiensi biaya, biaya operasi rendah, dan biaya kuliah per
mahasiswa rendah yang dikembangkan dari studi-studi empirik sebelumnya
(Ortega, 2010; Banker et al., 2014; Hansen et al., 2015; Oyekunle et al., 2016).
Strategi fokus merupakan salah satu dimensi dari strategi generik Porter
yang mencakup fokus diferensiasi dan fokus biaya rendah (Baack and Boggs,
2008). Namun demikian, strategi fokus dalam studi ini lebih ditekankan pada
pelayanan, karena kualitas pelayanan berhubungan erat dengan profit,
penghematan biaya (cost saving), pangsa pasar (market share) dan kepuasan
pelanggan (Angelova, 2011; Zameer et al., 2015). Dengan demikian, kualitas
pelayanan berpengaruh positif terhadap keunggulan bersaing dan kinerja industri
(Angelova, 2011; Jain et al., 2011; Kwak and Kim, 2016; Paul et al., 2016).
Walaupun demikian, ada juga hasil studi yang menunjukkan bahwa kualitas
pelayanan berpengaruh negatif terhadap kinerja industri (Neely, 2008; Jamal,
2009). Studi-studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa penawaran pelayanan
baik sebuah perusahaan akan ditentukan oleh kemampuan sumber daya dan
kapabilitasnya. Oleh karena itu, perusahaan berupaya untuk mengembangkan
sumber daya dan kapabilitas untuk memperkuat strategi pelayanan guna
mempertahankan hubungan baik dengan pelanggan dan memperkuat daya saing
perusahaan (Kwak and Kim, 2016). Menurut teori resource-based view (RBV),
sumber daya dan kapabilitas perusahaan dapat berupa fasilitas fisik, sumber daya
manusia, pengetahuan dan teknologi (Douglas et al., 2010; El Shafeey and Trott,
2014). Fokus strategi pelayanan berhubungan dengan kepuasan pelanggan
(Khodayari and Khodayari, 2011) dan berpengaruh positif terhadap kinerja
organisasi (Ham, 2003; Paul et al., 2016). Industri yang memberikan kepuasan
kepada pelanggan akan sukses mempertahankan loyalitas dan retensi pelanggan
terhadap produk dan jasa yang ditawarkan, pada gilirannya akan memberikan
profitabilitas kepada perusahaan (Angelova, 2011). Dengan demikian, perusahaan
dapat mengembangkan kualitas pelayanan yang baik untuk memenuhi ekspektasi
pelanggan. Dalam penelitian ini, fokus pelayanan diukur dengan lima (5)
indikator seperti kompetensi dosen membantu mahasiswa, kesesuian kepemilikan
fasilitas dengan harapan mahasiswa, kualitas sebagai basis layanan, tanggap
melayani mahasiswa, dan perhatian terhadap mahasiswa (Firdaus, 2006; Trivellas
and Dargenidou, 2009; Gruber et al., 2010; Cardona and Bravo, 2012; Chui et al.,
xiii
2016).
Strategi inovasi merupakan upaya untuk merubah pengetahuan dan ide ke
dalam produk, proses, layanan, sistem baru guna memberikan keuntungan kepada
perusahaan dan stakeholders (Perdomo-Ortiz et al., 2006; Perdomo-Ortiz et al.,
2009; Jaskyte, 2011) atau merubah pengetahuan menjadi uang (Boult et al.,
2009). Inovasi bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi dan kombinasi
sumber daya organisasi untuk menciptakan produk, proses, teknologi dan
pelayanan baru, unik, dan sesuai ekspektasi pelanggan guna meningkatkan
keunggulan bersaing dan kinerja perusahaan (Torres et al., 2014; Havenvid,
2015). Dalam teori resource-based view (RBV), inovasi merupakan kapabilitas
bisnis penting perusahaan untuk menghasilkan produk atau servis yang bernilai,
unik, sulit diimitasi oleh perusahaan pesaing (Acar and Acar, 2012), sehingga
meningkatkan posisi bersaing dan kinerja. Beberapa kajian empiris menunjukkan
bahwa dalam lingkungan industri yang kompetitif, inovasi berpengaruh positif
terhadap kinerja industri (Camison and Villar-Lopez, 2014; Babkin et al., 2015;
Leal-rodríguez et al., 2015; Obembe and Soetan, 2015; Pehrsson, 2016) karena
inovasi dapat membuat perusahaan untuk menghasilkan produk dan layanan baru,
unik dan bernilai yang sesuai dengan perubahaan tuntutan pelanggan. Namun
demikian, ada juga studi yang menunjukkan bahwa inovasi berpengaruh negatif
terhadap kinerja (Loof and Heshmati, 2002; Vermeulen et al., 2005; Hashi and
Stojčić, 2013; Guisado-González et al., 2013; Campo et al., 2014; Im et al., 2015)
karena perusahaan membutuhkan sumber daya dan kapabilitas, frekuensi
perubahan produk dan layanan utama yang membutuhkan penelitian dan
pengembangan, serta mengembangkan pemasaran yang kesemuanya berimplikasi
pada biaya, sehingga dapat meningkatkan risiko bagi perusahaan (Soltanizadeh et
al., 2016). Dalam penelitian ini, inovasi diukur dengan menggunakan indikator
kurikulum, metode belajar dan mengajar, dan teknologi pengajaran.
Kinerja industri merupakan indikator yang biasanya digunakan untuk
mengukur keberhasilan sebuah perusahaan dalam mencapai tujuan dan target
yang sudah ditetapkan (Ho 2011; Avram and Avasilcai 2014), atau kemampuan
perusahaan untuk memenuhi kepuasan pelanggan dan memenangkan pasar
terhadap kompetitornya melalui produk dan jasa yang ditawarkan. Kinerja
perusahaan adalah himpunan manajemen dan proses analitik yang memungkinkan
pengelolaan organisasi untuk mencapai satu atau lebih tujuannya (Ab Hamid et
al., 2014). Kinerja organisasi menunjukkan sebepara baik perusahaan mencapai
tujuan keuangan dan pemasarannya (Li et al., 2006). Dalam konteks industri
pendidikan tinggi, kinerja industri adalah seberapa baik industri pendidikan tinggi
mengembangkan strategi untuk mencapai tujuan pengajaran, penelitian,
pengabdian masyarakat, keuangan, dan pemasarannya. Kinerja industri
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal (Porter 1980; Metts 2007; Huang and
Lee, 2012), faktor-faktor internal (Barney, 1991; Metts 2007; Huang and Lee,
2012; Battagello et al., 2016;) dan strategi bisnis perusahaan (Porter 1980; Barney
1991; Bobe and Kober, 2015; Friis et al., 2016; Anwar and Hasnu, 2016;
Oyewobi et al., 2016; Soltanizadeh et al., 2016; Yuliansyah et al., 2017). Faktor-
faktor eksternal seperti lima kekuatan diamond dapat memicu intensitas
persaingan dan kinerja (Porter, 1980; Porter, 1985). Demikian juga faktor-faktor
xiv
internal seperti sumber daya, dan kapabilitas internal perusahaan (Barney, 1991),
dan strategi perusahaan dapat mempengaruhi posisi bersaing dan kinerja industri
(Gabrielsson et al., 2016; Yuliansyah et al., 2016). Dalam penelitian ini, kinerja
industri (IP) menggunakan kombinasi indikator dari Zebal and Goodwin (2012),
Asif and Searcy (2014), Andreou et al. (2014), Abdifatah (2014), Al-Najjar,
(2014), Kilic et al. (2015) yang dibagi dalam empat dimensi yakni (1). Kinerja
belajar dan mengajar adalah suatu pengukuran untuk melihat keberhasilan belajar
dan mengajar sebuah perguruan tinggi. Dimensi kinerja belajar dan mengajar
diukur dengan lima indikator yakni kepuasan mahasiswa, tingkat drop out
mahasiswa, kepuasan penyedia lapangan kerja terhadap keahlian alumni, alumni
yang terserap dalam lapangan kerja, dan pertumbuhan jumlah mahasiswa). (2).
Kinerja penelitian diukur dengan empat indikator yakni publikasi staf di jurnal
nasional dan internasional, partisipasi staf dalam pelatihan, seminar, dan
workshop sebagai peserta dan pemakalah, penelitian yang mendatangkan dana,
dan dampak penelitian terhadap masyarakat. (3). Kinerja pelayanan masyarakat
diukur dengan dua indikator yakni konseling kepada mahasiswa dan alumni, dan
kegiatan pelayanan masyarakat, dan partisipasi dalam pengembangan kurikulum.
(4). Kinerja keuangan dan pemasaran diukur dengan empat indikator yakni
pertumbuhan pengembalian modal, pertumbuhan surplus, pertumbuhan
pendapatan total, penguasaan pangsa pasar.
Penelitian ini menggunakan teori kontingensi untuk menjelaskan strategi
bisnis dalam mengadopsi strategi yang fit dengan lingkungan dimana industri
beroperasi untuk mempertahankan daya saing dan kinerja. Strategi kontingensi
tersebut dilakukan dalam konteks industrial competitive strategy (Porter, 1980)
dan resource-based strategy (Barney, 1991) atau kombinasi strategi industrial
competitive strategy dengan resource-based strategy. Strategi bisnis yang
diadopsi dalam penelitian ini merupakan kombinasi strategi yakni strategi
diferensiasi (DS), strategi keunggulan biaya (CL), fokus pelayanan (FS), dan
strategi inovasi (IN). Strategi bisnis digunakan sebagai pemediasi hubungan
antara persaingan industri (IC) dan kinerja industri tinggi (IP) di Timor-Leste.
Indikator-indikator reflektif dikembangkan sesuai dengan konteks industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste. Lima kekuatan external dari Porter (1980)
sebagai pemicu persaingan industri. Penelitian ini menggunakan lima kekuatan
Porter yang dikembangkan lebih lanjut oleh Huang and Lee (2012) dan Mathooko
and Ogutu (2015) dalam konteks industri pendidikan tinggi. Kinerja industri
pendidikan tinggi (IP) diukur dengan menggunakan 4 dimensi (Asif and Searcy,
2014)), sedangkan indikator Liao (2011), (Zebal and Goodwin, 2012), (Asif and
Searcy, 2014)), dan (Kilic et al., 2015).
Penelitian ini dilakukan di 11 Perguruan tinggi terakreditasi di Timor-
Leste dengan unit analisisnya adalah jurusan yang berjumlah 157. Kuesioner
kemudian dibagikan pada 157 jurusan yang diisi oleh Ketua Jurusan atau Wakil
Ketua Jurusan dari 11 perguruan tinggi yang terakreditasi. Namun demikian,
hanya 130 kuesioner yang diisi, dikembalikan dan dipakai dalam penelitian. Hal
ini menunjukkan response rate penelitian ini (83%) diatas response rate
minimum (80%) bagi sebuah survei yang baik dari Jurusan/Fakultas yang
mewakili perguruan tinggi (Fincham, 2008), atau lebih besar dari response rate
xv
67.29% yang digunakan dalam survey yang mengukur kinerja Perguruan Tinggi
di Taiwan (Huang and Lee, 2012), dan 61.7% studi tentang Perguruan Tinggi di
Zimbabwe (Garwe, 2016). Response rate yang rendah dapat memberikan bias
sampel yang dapat mempengaruhi hasil penelitian (Fogliani, 1999; Sivo et al.,
2004). Dalam penelitian ini, instrumen penelitian yang digunakan adalah
kuesioner dengan menggunakan lima skala Likert. Kuesioner tersebut diuji
validitas dan reliabilitasnya dengan melakukan pilot test terhadap 30 orang
responden (Oyewobi et al., 2016). Analisis penelitian kuantitatif-inferensi
dilakukan untuk menjawab masalah dan hipotesis penelitian. Data yang
dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan alat analisis partial least square
(PLS). Alat analisis ini dipilih karena memiliki beberapa keunggulan seperti tidak
perlu melakukan uji asumsi klasik, dapat digunakan untuk sampel berukuran
kecil, indikator reflektif dan formatif (Hair et al., 2014; Hopkins, 2015; Ringle
and Sarstedt, 2016; Valaei, 2017). PLS merupakan teknik yang sudah mapan
untuk menghitung koefisien jalur (path confficient), dapat memprediksi konstruk,
menganalisis data multivariat, mengembangkan dan menguji hubungan antara
variabel berdasarkan teori, dan metode yang kaya dalam penelitian manajemen
dan strategi (Roemer, 2016; Valaei, 2017). Secara statistik, uji validitas instrumen
penelitian dilakukan dengan menggunakan koefisien correlation Pearsson (r)
dengan batasan nilai minimum 0.3. Demikian uji reliabilitas dengan menggunakan
cronbach alpha dengan nilai minimum adalah 0,7. Berdasarkan hasil uji validitas
instrumen, nilai r dan cronbach alpha dari semua konstruk lebih besar 0.3 dan 0.7.
Hal ini menunjukkan bahwa instrumen penelitian ini valid digunakan dalam
analisis outer dan inner model.
Dari 130 responden yang ada, maioritas laki (75%) dan perempuan (25%).
Jika dilihat dari tingkat pendidikan, maioritas Ketua Jurusan/Wakil Ketua Jurusan
berpendidikan master (59%) dan hanya 3% yang berpendidikan doktor.
Walaupun demikian, ada 38% Ketua dan Wakil Ketua Jurusan yang masih
berpendidikan sarjana (38%). Sebaliknya Kementerian Pendidikan Timor-Leste
melalui Badan Akreditasi Nasional (ANAAA) mewajibkan seorang dosen,
terlebih Ketua Jurusan atau Wakil Ketua Jurusan, dari Program Strata Satu
(Sarjana) minimal bergelar master. Demikian juga Ketua Jurusan/Wakil Ketua
Jurusan dengan tingkat pendidikan dominan sarjana (59%) dan master (38%).
Kebanyakan responden berasal dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS) (76%) karena
PTS jurusannya lebih banyak dibanding dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
(24%). Hal ini bisa dimengerti karena di Timor-Leste hanya ada satu PTN yakni
Universidade Nasional Timor Lorosae (UNTL) dengan jumlah jurusan 32. Jika
dilihat dari status perguruan tinggi, jumlah responden dari empat universitas yang
ada (67%) memiliki jurusan lebih banyak dibandingkan dengan tujuh institut
terakreditasi di Timor-Leste (33%). Hal ini disebabkan karena syarat pendirian
perguruan tinggi dari Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) Timor-Leste, Universitas
harus memiliki minimal 4 Fakultas dengan komposisi dua Fakultas Eksak dan dua
Fakultas Social. Sebaliknya bagi institut diijinkan pendiriannya dengan memiliki
minimal satu jurusan.
Uji reliabilitas construct dilakukan dengan menggunakan composite
reliability (CR), average variable extracted (AVE), dan alpha cronbach.
xvi
Konstruk dianggap reliabel, jika nilai CR lebih besar dari 0.7, AVE minimum
adalah 0.5, dan Alpha Crombach minimum adalah 0.6 (Kumar and Banerjee,
2012; Abd Razak et al., 2016). Nilai CR, AVE, dan cronbach alpha dari masing-
masing konstruk lebih besar 0.7, nilai AVE lebih besar atau sama dengan 0.5 dan
nilai cronbach alpha minimum 0.6. Dengan demikian semua konstruk memiliki
konsistensi internal yang baik untuk digunakan dalam pengukuran model ini. Uji
validitas dapat menggunakan parameter Discriminant validity dengan average
variant extracted (AVE), Heterotrait-Monotrait Ratio (HTMT). Berdasarkan uji
ini, nilai Fornell Larscker Validity Test, Cross-loading Validity Test, dan HTMT
semua parameter-parameter dari konstruk melebihi nilai minimum yang
diisyaratkan. Oleh karena itu, semua data konstruk-konstruk valid untuk
digunakan dalam model ini.
Dalam hubungan antara persaingan industri pendidikan tinggi (IC) dan
kinerja industri pendidikan tinggi (IP), hasil uji statistik dengan SMART-PLS
menunjukkan bahwa nilai t-statistics (0.180) yang lebih kecil dari nilai t-tabel 0.5
=1.96, dan nilai P (0.857). Ini berarti persaingan industri berpengaruh positif
tetapi tidak signifikan terhadap kinerja industri pendidikan tinggi. Maka hipotesis
(H1) ditolak.
Dalam hubungan persaingan industri dan strategi diferensiasi, nilai T-
statistics (3.663) dan nilai P values (0.000). Hasil ini menunjukkan bahwa
persaingan industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap strategi
diferensiasi. Dengan demikian hipotesis (H2) dapat diterima. Dalam hubungan
persaingan industri (IC) dan strategi keunggulan biaya (CL), hasil statistik
menunjukkan bahwa nilai T statistics (6.144) dan nilai P values (0.000) (Tabel V).
Hasil ini menunjukkan bahwa persaingan industri berpengaruh positif dan
signifikan terhadap strategi keunggulan biaya (cost leadership). Dengan demikian
hipotesis (H3) dapat diterima. Dalam hubungan persaingan industri (IC) dan fokus
pelayanan (FS), hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai T statistics (4.639)
dan nilai P values (0,000). Hasil ini menunjukkan bahwa persaingan industri
berpengaruh positif dan signifikan terhadap fokus pelayanan (FS). Dengan
demikian, hipotesis (H4) dapat diterima. Dalam hubungan persaingan industri (IC)
dan inovasi (IN), hasil uji PLS menunjukkan nilai T statistics (3.663) dan nilai P
values (0.000). Hasil ini menunjukkan bahwa persaingan industri berpengaruh
positif dan signifikan terhadap inovasi (innovation) yang berbasis pada inovasi
kurikulum (IN1), inovasi metode belajar dan mengajar (IN2), dan inovasi
teknologi belajar dan mengajar (IN3). Dengan demikian, hipotesis (H5) dapat
diterima. Dalam uji hubungan antara strategi diferensiasi (DS) dan kinerja industri
pendidikan tinggi (IP), nilai T statistics (0.801) dan nilai P values (0.424). Hasil
ini menunjukkan bahwa strategi diferensiasi (DS) berbasis pada diferensiasi
program studi (DS1), kualitas keahlian tinggi (DS2), dan kualitas pelayanan (DS3)
tidak signifikan berpengaruh pada kinerja industri pendidikan tinggi (IP). Dengan
demikian, hipotesis (H6) ditolak. Dalam hubungan antara strategi keunggulan
biaya atau cost leadership strategy (CL) dan kinerja industri pendidikan tinggi
(IP) menunjukkan bahwa nilai T statistics (2.075) dan nilai P values (0.039). Hasil
ini menunjukkan bahwa strategi keunggulan biaya (CL) berbasis pada efisiensi
biaya (CL1), biaya operasional rendah (CL2), dan biaya kuliah per mahasiswa
xvii
rendah (CL3) berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja industri
pendidikan tinggi (IP). Dengan demikian, hipotesis (H7) dapat diterima. Dalam
hubungan fokus pelayanan (FS) dan kinerja industri pendidikan tinggi (IP), hasil
hasil olahan data PLS menunjukkan bahwa nilai T statistics (3.809) dan nilai P
values (0.000). Hasil ini menunjukkan bahwa fokus pelayanan (FS) yang berbasis
pada kompetensi dosen baik yang selalu membantu mahasiswa (FS1), fasilitas
pengajaran sesuai harapan mahasiswa (FS2), pelayanan mahasiswa berbasis
kualitas jasa (FS3), tanggap melayani permintaan mahasiswa (FS4), dan perhatian
kepada semua mahasiswa (FS5) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja industri pendidikan tinggi (IP). Maka hipotesis (H8) dapat diterima. Dalam
hubungan antara inovasi (IN) dan kinerja industri pendidikan tinggi (IP), data PLS
menunjukkan bahwa nilai T statistics (2.720) dan nilai P values (0.005). Hasil ini
menunjukkan bahwa inovasi (IN) yang berbasis pada kurikulum (IN1), metode
belajar dan mengajar (IN2), dan teknologi belajar dan mengajar (IN3) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja industri pendidikan tinggi (IP). Maka
hipotesis (H9) dapat diterima.
Hasil statistik menunjukkan bahwa nilai a (hubungan persaingan industri
dengan strategi diferensisasi) dengan nilai T statistics (3.663) dan nilai P (000)
menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tersebut signifikan, namun nilai b
(hubungan strategi diferensiasi dengan kinerja industri) dengan nilai T statistics
(0.801) dan nilai P (0.405) tidak signifikan. Sedangkan nilai c (hubungan variabel
persaingan industri (IC) dengan kinerja industri pendidikan (IP) dengan nilai T
statistics (0.180), dan nilai P (0.856) tidak signifikan. Walaupun nilai b (0.801)
lebih besar dari nilai c (0.180), tetapi nilai keduanya lebih rendah dari nilai T tabel
0.05 =1.96, maka hubungan keduanya tidak signifikan. Dengan demikian,
hipotesis (H10) ditolak. Dalam penelitian ini, hipotesis kesebelas (H11) adalah
strategi keunggulan biaya (CL) beperan penting untuk memediasi hubungan
persaingan industri (IC) dengan kinerja industri pendidikan tinggi (IP).
Berdasarkan hasil olahan data PLS, nilai a (IC CL) dengan nilai T statistics
(6.144) dan nilai P (000) terbukti signifikan, demikian juga nilai b (CL IP)
dengan nilai T statistics (2.075) dan nilai P (0.039) adalah signifikan. Sedangkan
nilai c (IC IP) dengan nilai T statistics (0.180), dan nilai P (0.856) menunjukkan
tidak signifikan. Dengan demikian hipotesis (H11) dapat diterima. Dalam
penelitian ini, hipotesis kedua belas (H12) adalah fokus pelayanan (FS) berperan
penting untuk memediasi hubungan persaingan industri (IC) dengan kinerja
industri pendidikan tinggi (IP). Berdasarkan hasil olahan data PLS menunjukkan
bahwa nilai a (IC FS) dengan nilai T statistics (4.639) dan nilai P (000) terbukti
signifikan. Demikian juga nilai b (FS IP) dengan nilai T statistics (3,809) dan
nilai P (0.000) terbukti signifikan. Sedangkan nilai c (IC IP) dengan nilai T
statistics (0.180), dan nilai P (0.856) menunjukkan tidak signifikan. Dengan
demikian, hipotesis (H12) dapat diterima. Dalam penelitian ini, hipotesis ketiga
belas (H13) adalah inovasi (IN) berperan penting untuk memediasi hubungan
persaingan industri (IC) dengan kinerja industri pendidikan tinggi (IP).
Berdasarkan hasil olahan data PLS menunjukkan bahwa nilai a (IC IN)
dengan nilai T statistics (3.663) dan nilai P (000) signifikan. Demikian juga
nilai b (IN IP) dengan nilai T statistics (2.720) dan nilai P (0.005)
xviii
menunjukkan hubungan kedua variabel signifikan. Sedangkan nilai c (IC IP)
dengan nilai T statistics (0.180), dan nilai P (0.856) menunjukkan hubungan
kedua variabel tidak signifikan. Dengan demikian, hipotesis (H13) dapat diterima.
Penelitian ini menguji pengaruh persaingan industri terhadap kinerja
industri pendidikan tinggi di Timor-Leste. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
persaingan industri yang dipicu faktor-faktor eksternal industri tidak signifikan
bepergaruh terhadap kinerja industri. Faktor-faktor pemicu utama persaingan
industri pendidikan tinggi di Timor-Leste adalah pertumbuhan industri pendidikan
tinggi akibat longgarnya peraturan dan kebijakan pemerintah tentang operasi
perguruan tinggi di Timor-Leste. Hal ini berimplikasi pada peningkatan
persaingan untuk mendapat dosen bergelar master dan doktor yang terbatas
tersedia di Timor-Leste. Keterbatasan sumber daya manusia ini bisa dilihat juga
dari tingkat pendidikan ketua atau wakil ketua jurusan industri pendidikan tinggi
yang lebih banyak bergelar master (59%), dan sarjana (39%), tetapi sangat sedikit
yang bergelar doktor (3%). Ini berarti persentase dosen bergelar master dan doktor
dipercaya lebih rendah lagi. Pertumbuhan industri pendidikan tinggi ini telah
meningkatkan kekuatan keluarga mahasiswa, penyedia kerja, mahasiswa, dan
pemerintah karena banyaknya alternatif pilihan yang memicu intensitas
persaingan industri pendidikan tinggi. Semakin banyak industri pendidikan tinggi,
semakin kuat kekuatan tawar-menawar mahasiswa, keluarga mahasiswa, penyedia
kerja, dan pemerintah yang berimplikasi pada beberapa perguruan tinggi akan
kesulitan mendapatkan mahasiswa dan biaya kuliah juga semakin murah yang
berimplikasi pada kinerja keuangan industri pendidikan tinggi (Huang and Lee,
2012; Mathooko and Ogutu, 2015). Hasil penelitian ini simetris dengan hasil
studi Huang and Lee (2012), tetapi asimetris dengan konsep Porter (1980) dan
beberapa studi empris sebelumnya (Metts, 2007; Patiar and Mia, 2009; Lee and
Yang, 2011; Assaf and Cvelbar, 2011; Fosu, 2013; Teller et al., 2016). Perbedaan
hasil ini dapat disebabkan karena perbedaan jenis industri, indikator yang
digunakan, lingkungan industri dan sumber daya dan kapabilitas industri yang
berbeda.
Penelitian ini juga menguji peran strategi bisnis dalam memediasi
hubungan persaingan industri dan kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-
Leste. Dalam lingkungan industri yang sangat dinamis dan kompetitif, faktor
utama bagi sebuah organisasi atau perusahaan untuk mempertahankan
kesinambungan daya saing dan kinerja dengan pendekatan kesesuaian pemilihan
strategi (industrial strategy) (Porter, 1980; Porter, 1985; Allen et al., 2006) atau
mengembangkan sumber daya dan kapabilitas internalnya (resource-based
strategy) (Barney, 1991; Huang and Lee, 2012) Strategi bisnis yang diadopsi
dalam penelitian ini mengikuti teori kontigensi yang menyatakan organisasi atau
perusahaan dapat mengadopsi strategi yang fit dengan lingkungan dimana
organisasi atau perusahaan beroperasi. Dalam realitanya, para manajer dibebaskan
untuk memilih strategi yang fit untuk meningkatkan kinerja industri dalam
dinamika persaingan industri yang sangat tinggi saat ini (Akan et al., 2006).
Strategi kontingensi dapat dilakukan dengan menggunakan strategi murni
Porter (strategi diferensiasi atau strategi biaya murah, bukan kedua-duanya) untuk
meningkatkan daya saing dan kinerja, atau resource-based strategy (Barney,
xix
1991), ataupun kombinasi antara kedua strategi tersebut (Claver-Cortés et al.,
2012; Huang and Lee, 2012; Gabrielsson et al., 2016). Kombinasi strategi
berbasis strategi bersaing (competitive strategy) dan sumber daya dan kapabilitas
berbasis pada RBV dapat memberikan efek yang baik bagi kinerja industri
(Ortega, 2010) dan fokus pelayanan yang diturunkan dari Porter (1980).
Penelitian ini mengembangkan strategi generik Porter (diferensiasi, cost
leadership dan focus) yang dikombinasikan dengan strategi inovasi yang
diturunkan dari teori resource-based view (RBV). Hasilnya strategi fokus
pelayanan, strategi inovasi, dan strategi keunggulan biaya berperan signifikan
dalam meningkatkan kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste dalam
lingkungan industri yang bersaing ketat. Secara terintegrasi industri pendidikan
tinggi Timor-Leste telah menggunakan kombinasi strategi fokus pelayanan,
strategi inovasi dan strategi keunggulan biaya. Hasil ini jelas bertentangan dengan
strategi Porter yang menyatakan perusahaan hanya memilih salah satu strategi
untuk mencapai daya saing dan kinerja industri (Porter, 1980; Hansen et al., 2015)
karena terbukti kombinasi antara strategi keunggulan biaya (cost leadership),
strategi fokus pelayanan (focus services) dan strategi inovasi (innovation) dapat
berperan penuh memediasi (full mediation) hubungan persaingan industri dengan
kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Gabrielsson et al. (2016) bahwa dengan komplexitas persaingan,
kemajuan teknologi dan kemampuan sumber daya yang tersedia menuntut
perusahaaan untuk menggunakan multi-strategi guna mempertahankan daya saing,
dan kinerja industri.
Penelitian ini mempertegas bahwa kombinasi strategi yang dipilih oleh
industri pendidikan tinggi tidak harus hanya fokus pada strategi diferensiasi atau
strategi keunggulan biaya, tetapi dapat menggunakan kombinasi dengan strategi
lain yang seperti strategi pegembangan sumber daya dan kapabilitas organisasi
dari teori resource based view (RBV) atau strategi fokus pelayanan. Hal ini lebih
diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan strategi diferensiasi tidak
signifikan dalam memediasi hubungan persaingan industri dengan industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste, sedangkan inovasi yang berbasis pada sumber
daya dan kapabilitas industri pendidikan tinggi berperan penuh dalam memediasi
hubungan persaingan industri dan kinerja industri.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa strategi bisnis menjadi faktor
dominan dalam meningkatkan signifikasi hubungan persaingan industri yang
dipicu faktor eksternalitas dengan kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-
Leste. Faktor pendorong utama signifikasi hubungan persaingan industri dan
kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste adalah strategi fokus pelayanan,
inovasi dan strategi keunggulan biaya, sedangkan strategi diferensiasi tidak
signifikan memediasi hubungan kedua variabel tersebut.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa industri pendidikan tinggi di
Timor-Leste dapat menggunakan satu strategi sesuai dengan strategi Porter
(1980), maupun menggunakan strategi kombinasi (fokus pelayanan, inovasi, dan
strategi keunggulan biaya) untuk meningkatkan posisi bersaing dan kinerjanya.
Hal demikian sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa organisasi atau
perusahaan dapat menggunakan satu strategi ataupun kombinasi strategi untuk
xx
meningkatkan daya saing dan kinerja industri pendidikan (Cadez and Guilding,
2012). Demikian juga sesuai dengan teori kontigensi bahwa industri bisa
mengadopsi strategi murni atau strategi kombinasi yang sesuai dengan lingkungan
industri pendidikan tinggi beroperasi.
Penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor eksternal industri seperti
intensitas persaingan, ancaman pengganti, kekuatan tawar-menawar pembeli,
kekuatan tawar menawar pemacok dan ancaman pendatang baru dari Porter
(1980) tidak signifikan berpengaruh terhadap kinerja industri pendidikan tinggi.
Temuan ini seiring dengan penelitian (Huang and Lee, 2012), tetapi bertolak
belakang dengan konsep (Porter, 1980), dan studi (Metts, 2007). Hal ini dapat
disebabkan oleh perbedaan indikator, budaya (Sharma, 2017), jenis dan ukuran
industri.
Penelitian ini juga menemukan bahwa strategi inovasi, fokus pelayanan,
dan biaya rendah sebagai pemicu utama dalam peningkatan kinerja industri
pendidikan tinggi. Temuan ini memperkaya teori kontigensi bahwa industri harus
memilih strategi yang fit dengan lingkungan dimana industri beroperasi (Baack
and Boggs, 2008; Oltra and Flor, 2010; Al-Rfou, 2012). Walaupun demikian,
strategi diferensiasi bisa signifikan meningkatkan kinerja industri di industri lain
dan Negara lain, namun tidak signifikan mempengaruhi industri pendidikan tinggi
di Timor-Leste. Hasil studi ini asimetris dengan strategi generik Porter (1980)
bahwa perusahaan hanya memilih salah satu strategi baik strategi diferensiasi,
maupun strategi keunggulan biaya untuk mempertahankan daya saing dan kinerja.
Dengan demikian, penelitian ini memperkaya debat tentang strategi
kombinasi baik strategi diferensiasi dan strategi keunggulan biaya (Salavou, 2015;
Hansen et al., 2015; Gabrielsson et al., 2016; Anwar and Hasnu, 2016;
Yuliansyah et al., 2016). Dengan melakukan inovasi strategi untuk
mengintegrasikan fokus pelayanan, strategi inovasi berdasarkan teori RBV
dengan strategi generik Porter (strategi diferensiasi, strategi keunggulan biaya dan
fokus) dalam terang teori kontigensi menunjukkan bahwa strategi kombinasi
(fokus pelayanan, inovasi dan strategi keunggulan biaya) signifikan berpengaruh
dalam meningkatkan kinerja industri pendidikan tinggi. Secara praktis, penelitian
ini bernilai bagi pemerintah dan pengelolan industri pendidikan tinggi di Timor-
Leste untuk mengembangkan strategi yang fit dengan kondisi industri pendidikan
tinggi Timor-Leste. Strategi diferensiasi, strategi keunggulan biaya, strategi fokus
pelayanan, dan strategi inovasi dapat digunakan pada industri pendidikan tinggi di
Timor-Leste yang sedang menghadapi persaingan yang ketat. Walaupun
demikian, fokus pelayanan, strategi keunggulan biaya dan inovasi menjadi faktor
paling signifikan meningkatkan kinerja, sebaliknya strategi diferensiasi kurang
signifikan.
Studi ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, studi ini hanya melihat
pada sisi penyedia (supply side) industri pendidikan tinggi sehingga data yang
diberikan dapat mengalami pembiasan karena masing-masing pengelola industri
dapat memberikan skor yang baik untuk menjaga reputasi perguruan tingginya.
Maka penelitian yang akan datang dapat juga melihat demand side seperti
mahasiswa, penyedia lapangan kerja (industri), dan pemerintah sehingga dapat
memperoleh hasil yang lebih komprehensif dari kedua sisi. Penelitian ini hanya
xxi
menggunakan metode survei dengan kuesioner sebagai instrumen pengambilan
data yang jawabannya sangat tergantung pada responden. Maka dapat terjadi
ketidakjujuran responden hanya memberikan jawaban yang socially acceptable
dan tidak sesuai dengan kenyataan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian
(Bobe and Kober, 2015; Gabrielsson et al., 2016). Oleh karena itu, penelitian
yang akan datang dapat dilakukan selain menggunakan kuesioner, juga dapat
dilakukan dengan indepth interview atau focus group discussion yang tidak hanya
kepada penyedia industri pendidikan tinggi, tetapi juga para stakeholders seperti
mahasiswa, industri dan pemerintah. Penelitian ini difokuskan untuk menganalisis
faktor ekstrenal sebagai pemicu persaingan industri dan pengaruhnya terhadap
kinerja industri pendidikan tinggi dengan mengikuti Porter Five Competitive
Forces (PFCF), namun indikator-indikator nya disesuaikan dengan industri
pendidikan tinggi dan keadaan di Timor-Leste. Sebaliknya dalam realita, faktor-
faktor internal seperti sumber daya dan kapabilitas organisasi atau industri sesuai
teori resource-based view (RBV) juga memiliki peran penting dalam menentukan
kinerja sebuah organisasi dalam lingkungan industri yang kompetitif. Maka
penelitian-penelitian mendatang perlu menguji pengaruh faktor-faktor internal
organisasi seperti sumber daya manusia, sumber daya teknologi, sumber daya
organisasi, sumber daya keuangan, sumber daya pemasaran terhadap daya saing
dan kinerja industri. Dalam penelitian ini unit analisisnya ada di tingkat jurusan.
Hal ini bisa dimengerti karena hanya ada 11 perguruan tinggi yang terakreditasi di
Timor-Leste, sehingga unit analisisnya mungkin belum optimal mewakili
perguruan tinggi. Untuk itu direkomendasikan agar penelitian-penelitian
mendatang dapat dilakukan di Negara-negara lain dengan unit analisisnya di level
perguruan tinggi dengan jumlah sampelnya dapat ditingkatkan agar bisa
digeneralisasi lebih baik.
xxii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................................ iii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................................ iv
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................................ v
ABSTRAK ....................................................................................................................... vii
ABSTRACT ..................................................................................................................... viii
RINGKASAN .................................................................................................................. ix
DAFTAR ISI.................................................................................................................. xxii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... xxv
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ xxvi
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah Penelitian ............................................................ 17
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 18
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................ 19
1.4.1 Manfaat teoritis ...................................................................... 19
1.4.2 Manfaat praktis ...................................................................... 20
BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................................ 22
2.1 Persaingan Industri........................................................................... 22
2.2 Strategi Diferensiasi ......................................................................... 27
2.3 Strategi Keunggulan Biaya .............................................................. 30
2.4 Fokus Strategi Pelayanan ................................................................. 33
2.5 Strategi Inovasi ................................................................................ 38
2.6 Kinerja Industri ................................................................................ 44
2.7 Persaingan Industri dan Kinerja Industri ......................................... 47
2.8 Persaingan Industri dan Diferensiasi ............................................... 49
2.9 Persaingan Industri dan Strategi Keunggulan Biaya ....................... 51
xxiii
2.10 Persaingan Industri dan Fokus Strategi Pelayanan .......................... 52
2.11 Persaingan Industri dan Inovasi ....................................................... 56
2.12 Diferensiasi dan Kinerja Industri ..................................................... 58
2.13 Strategi Keunggulan Biaya dan Kinerja Industri ............................. 60
2.14 Fokus Strategi Pelayanan dan Kinerja Industri ................................ 61
2.15 Inovasi dan Kinerja Industri............................................................. 62
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN .. 65
3.1 Kerangka Berpikir ............................................................................. 65
3.2 Konsep Penelitian ............................................................................. 68
3.2.1 Persaingan industri ................................................................. 69
3.2.2 Strategi diferensiasi ................................................................ 71
3.2.3 Strategi keunggulan biaya ...................................................... 72
3.2.4 Fokus pelayanan .................................................................... 73
3.2.5 Strategi inovasi ...................................................................... 73
3.2.6 Kinerja industri ...................................................................... 74
3.3 Hipotesis ............................................................................................ 76
3.3.1 Persaingan industri dan kinerja industri ................................. 76
3.3.2 Persaingan industri dan strategi diferensiasi .......................... 77
3.3.3 Persaingan industri dan strategi keunggulan biaya ................ 78
3.3.4 Persaingan industri dan fokus pelayanan ............................... 78
3.3.5 Persaingan industri dan inovasi ............................................. 79
3.3.6 Diferensiasi dan kinerja industri ............................................ 80
3.3.7 Strategi keunggulan biaya dan kinerja industri ...................... 81
3.3.8 Fokus strategi pelayanan dan kinerja industri ........................ 81
3.3.9 Inovasi dan kinerja industri .................................................... 82
3.3.10 Persaingan industri, strategi diferensiasi dan
kinerja industri ....................................................................... 83
3.3.11 Persaingan industri, strategi keunggulan biaya, dan
kinerja industri ....................................................................... 83
3.3.12 Persaingan industri, fokus strategi pelayanan
dan kinerja industri ................................................................ 84
3.3.13 Persaingan industri, strategi inovasi, dan kinerja industri ..... 85
BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................................ 87
4.1 Rancangan Penelitian ........................................................................ 87
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................ 88
4.3 Penentuan Sumber Data .................................................................... 89
4.3.1 Populasi dan Sampel .............................................................. 89
4.3.2 Teknik sampling .................................................................... 90
4.4 Variabel Penelitian ............................................................................. 91
4.4.1 Identifikasi variabel ............................................................... 91
4.4.2 Definisi operasional variabel ................................................. 96
4.5. Instrumen Penelitian ....................................................................... 102
4.5.1 Kuesioner ............................................................................. 102
4.5.2 Uji validitas .......................................................................... 103
4.5.3 Uji reliabilitas ...................................................................... 104
xxiv
4.6. Prosedur Penelitian ......................................................................... 104
4.7. Analisis Data ................................................................................... 105
4.7.1 Analisa data deskriptif ......................................................... 105
4.7.2 Analisa data inferensial ........................................................ 106
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 112
5.1 Hasil Penelitian ............................................................................... 112
5.1.1 Gambaran Umum Perguruan Tinggi Timor-Leste……… 112
5.1.2. Uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian ............... 115
5.1.3 Karakteristik responden ....................................................... 118
5.1.4 Hasil deskripsi ...................................................................... 121
5.1.5 Hasil analisis inferensial ...................................................... 139
5.2. Pembahasan..................................................................................... 158
5.2.1 Pengaruh persaingan industri terhadap kinerja industri ....... 162
5.2.2 Persaingan industri dan strategi diferensiasi ........................ 165
5.2.3 Persaingan industri dan strategi keunggulan biaya .............. 169
5.2.4 Persaingan Industri dan strategi fokus pelayanan ................ 171
5.2.5 Persaingan industri dan inovasi ........................................... 173
5.2.6 Strategi diferensiasi dan kinerja industri ............................. 175
5.2.7 Strategi biaya rendah dan kinerja industri ........................... 178
5.2.8 Strategi fokus pelayanan dan kinerja industri ...................... 179
5.2.9 Strategi inovasi dan kinerja industri .................................... 184
5.2.10 Persaingan industri, strategi diferensiasi dan
kinerja industri ..................................................................... 187
5.2.11 Persaingan industri, strategi biaya rendah, dan
kinerja industri ..................................................................... 188
5.2.12 Persaingan industri, strategi fokus pelayanan, dan
kinerja industri ..................................................................... 189
5.2.13 Persaingan industri, inovasi, dan kinerja industri ................ 191
5.3 Temuan Penelitian .......................................................................... 193
5.4 Implikasi Penlitian .......................................................................... 200
5.4.1 Implikasi teoritis .................................................................. 200
5.4.2 Implikasi praktis .................................................................. 201
5.5 Keterbatasan Penelitian ................................................................... 203
BAB VI. PENUTUP ...................................................................................................... 205
6.1 Simpulan .......................................................................................... 205
6.2 Saran ................................................................................................ 211
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 216
LAMPIRAN .................................................................................................................. 239
Lampiran 1 Kuesioner............................................................................ 239
Lampiran 2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian .. 246
Lampiran 3 Hasil Deskriptif .................................................................. 260
Lampiran 4 Hasil inferensial .................................................................. 277
xxv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Jumlah Jurusan dari 11 Perguruan Tinggi Terakreditasi
di Timor-Leste. .................................................................................. 90
Tabel 4.2 Variabel, Dimensi, dan Indikator Penelitian ..................................... 94
Tabel 5.1 Nama Perguruan Tinggi Terakreditasi di Timor-Leste ................... 113
Tabel 5.2 Hasil Analisa Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Penelitian ......................................................................................... 116
Tabel 5.3 Karakteritik Responden................................................................... 120
Tabel 5.4 Nilai Distribusi Frekuensi dan Rerata Indikator-Indikator
Variabel Persaingan Industri. .......................................................... 122
Tabel 5.5 Nilai Distribusi Frekuensi dan Rerata Indikator-Indikator
Variabel Strategi Diferensiasi. ...................................................... 128
Tabel 5.6 Nilai Distribusi Frekuensi dan Rerata dari Indikator-Indikator
Variabel Cost Leadership ................................................................ 131
Tabel 5.7 Nilai Distribusi Frekuensi dan Rerata dari Indikator-Indikator
Variabel Fokus Pelayanan ............................................................. 133
Tabel 5.8 Nilai Distribusi Frekuensi dan Rerata dari Indikator-Indikator
Variabel Inovasi. .......................................................................... 134
Tabel 5.9 Nilai Distribusi Frekuensi dan Rerata dari Indikator-Indikator
Variabel Kinerja Industri. ............................................................. 138
Tabel 5.10 Hasil Uji Reliabilitas Konstruk. ...................................................... 140
Tabel 5.11 Uji Validitas dengan Menggunakan Fornell Larscker
xxvi
Validity Test .................................................................................... 142
Tabel 5.12 Uji Discriminant Validity Cross-Loading Validity Test ................. 143
Tabel 5.13 Uji Discriminant Validity Heterotrait-Monotrait Ratio................. 145
Tabel 5.14 Hasil Uji R-square .......................................................................... 146
Tabel 5.15 Nilai R2, dan Communalities ........................................................... 147
Tabel 5.16 Effect Size ........................................................................................ 149
Tabel 5.17 Hasil Uji Path Coefficient ............................................................... 150
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ......................................................... 76
Gambar 4.1 Hierarchial Component Model .................................................... 107
Gambar 5.1 Hasil Olahan SMART-PLS Hubungan
Antara Variabel (Inner Model).................................................... 151
Gambar 5.2 Hubungan Variabel Exogen (A) Dengan
Variabel Endogen (C) yang Dimediasi oleh Variabel (B) .......... 154
Gambar 5.3 Hubungan Antara Persaingan Industri Dengan Kinerja
Industri Yang dimediasi Oleh Strategi Diferensiasi.................... 156
Gambar 5.4 Hubungan Persaingan Industri Dengan Kinerja Industri
Yang Dimediasi Oleh Strategi Keunggulan Biaya ..................... 156
Gambar 5.5 Hubungan Persaingan Industri Dengan Kinerja
Industri Yang Dimediasi Oleh Strategi Fokus Pelayanan ........... 157
Gambar 5.6 Hubungan Persaingan Industri Dengan Kinerja Industri
Yang Dimediasi Oleh Inovasi ..................................................... 158
xxvii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kinerja industri telah menjadi perhatian utama praktisi dan peneliti strategi
dewasa ini, karena berhubungan dengan tercapainya misi, target, dan tujuan
organisasi. Kinerja industri juga berhubungan dengan kinerja non finansial dan
finansial yang menentukan profitabilitas, daya saing, dan keberkelanjutan operasi
sebuah organisasi atau industri. Kinerja industri menjadi faktor penting untuk
menjamin kesuksesan bersaing guna mengarahkan para pengelola organisasi
industri untuk mengambil keputusan (Bouranta and Psomas, 2017).
Kinerja industri dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal (Porter 1980;
Metts 2007; Huang and Lee, 2012), faktor-faktor internal (Barney, 1991; Metts
2007; Huang and Lee, 2012; Battagello et al., 2016), dan strategi bisnis organisasi
industri (Porter 1980; Barney 1991; Parnell, 2010; Bobe and Kober, 2015; Friis et
al., 2016; Anwar and Hasnu, 2016; Oyewobi et al., 2016; Soltanizadeh et al.,
2016; Yuliansyah et al., 2017). Faktor-faktor eksternal seperti lima kekuatan
diamond Porter dapat memicu intensitas persaingan dan kinerja industri.
Demikian juga faktor-faktor internal seperti sumber daya dan kapabilitas internal,
dan strategi organisasi industri dapat mempengaruhi posisi bersaing dan kinerja
industri. Untuk itu, organisasi industri berupaya untuk mengembangkan strategi,
sumber daya, dan kapabilitas internal untuk meningkatkan kinerja dalam
lingkungan persaingan industri yang ketat.
2
Studi-studi empiris tentang hubungan persaingan dan kinerja industri
umumnya fokus pada tiga hal utama: Pertama, meneliti parameter pengukur
kinerja industri karena belum adanya konsensus dari para peneliti tentang
parameter-parameter yang digunakan untuk mengukur kinerja dari industri-
industri yang sejenis (Secundo and Elia, 2014; Silvestro 2014; Vij and Bedi,
2016). Kedua, menguji hubungan antara persaingan dan kinerja industri akibat
perbedaan hasil-hasil studi empiris sebelumnya (Lee and Yang, 2011; Mia and
Winata, 2014; Ghasemi et al., 2015; Obembe and Soetan, 2015; Teller et al.,
2016). Ketiga, mencari strategi yang tepat untuk memediasi hubungan antara
persaingan dan kinerja industri (Metts, 2007; Ghasemi et al., 2015) karena kinerja
industri menjadi masalah fundamental dalam lingkungan bisnis yang semakin
kompetitif (intense business competition). Hasil-hasil studi empiris tersebut
berbeda namun ada kesamaan tujuannya yakni mengeksplorasi dan
mengembangkan berbagai variabel baik sebagai mediasi maupun moderasi,
indikator yang ada atau yang baru guna meningkatkan kinerja industri dalam
lingkungan yang intensitas persaingan industrinya tinggi.
Persaingan industri merupakan rivalitas organisasi industri yang dipicu
oleh faktor-faktor eksternal yang dikenal sebagai Porter’s five competitive forces.
Faktor-faktor lingkungan eksternal industri tersebut adalah intensitas persaingan
(intensity of competition), ancaman pengganti (threat of substitution), kekuatan
tawar menawar pemacok (bargaing power of supplier), kekuatan tawar menawar
pembeli (bargaining power of buyers), dan ancaman pendatang baru (power of
3
new entrance) berpengaruh pada setiap industri (Metts, 2007; Huang and Lee,
2012; Mathooko and Ogutu, 2015). Berbagai studi empiris tentang hubungan
antara persaingan dan kinerja industri telah dilakukan, namun hasil-hasilnya
cukup bervariasi. Ada studi yang menunjukkan persaingan berpengaruh positif
terhadap kinerja industri (Chong and Rundus, 2004; Chen, 2010; Hoque, 2011;
Al-Rfou, 2012; Mia and Winata, 2014; Ghasemi et al., 2015; Obembe and
Soetan, 2015), karena dalam lingkungan di mana pasar sangat kompetitif, pemilik
organisasi industri melakukan optimalisasi kegiatan untuk menurunkan biaya,
mengurangi resiko manajerial dan operasional, menyediakan insentif untuk
mengoptimalkan efisiensi dan mendorong inovasi (Januszewski, 2002; Du and
Chen, 2010; Obembe and Soetan, 2015). Ada juga studi yang menunjukkan
bahwa persaingan berpengaruh negatif atau tidak berpengaruh terhadap kinerja
industri (Metts, 2007; Patiar and Mia, 2009; Lee and Yang, 2011; Assaf and
Cvelbar, 2011; Huang and Lee, 2012; Fosu, 2013; Teller et al., 2016; Bayar et al.,
2018) karena persaingan yang tinggi akan membuat beberapa organisasi industri
dapat kehilangan pangsa pasar karena masuknya pesaing baru yang memiliki
sumber daya dan strategi yang lebih baik. Organisasi industri yang tidak memiliki
sumber daya dan strategi yang jelas sulit melakukan inovasi, menciptakan produk,
jasa, dan nilai baru untuk memenuhi perubahan tuntutan kebutuhan pelanggan
atau pasar. Inkonsistensi hasil-hasil studi ini disebabkan karena studi-studi
empiris sebelumnya mengabaikan efek simultan antara persaingan dan strategi
bisnis (Wu et al., 2015).
4
Strategi bisnis berperan penting dalam memediasi hubungan antara
persaingan dan kinerja karena strategi berhubungan dengan arah organisasi
industri untuk tumbuh, stabil, dan efisien atau cara sebuah bisnis dapat bersaing
dengan industri-industri lain yang sejenis. Strategi organisasi industri adalah cara
organisasi industri mengembangkan kemampuan untuk bersaing, unggul, dan
mencapai kinerja yang lebih baik dari kompetitor dalam industri atau lingkungan
yang sama (Salavou 2015). Liao (2005) menyatakan bahwa strategi merupakan
sekumpulan komitmen dan aksi yang terintegrasi dan terkoordinasi yang
dirancang untuk mengembangkan kompetensi utama (core competency) dan
mencapai keunggulan kompetetif. Oleh karena itu, organisasi industri yang
mempunyai strategi yang jelas dan adaptif terhadap perubahan lingkungan dapat
mempertahankan keunggulan bersaing dan kinerja bisnisnya (Porter, 1980;
Parnell, 2010; Tuanmat and Smith, 2011; Ghasemi et al., 2015; Gabrielsson et al.,
2016).
Teori kontingensi menyatakan bahwa organisasi industri harus
menyesuaikan strateginya dengan lingkungan di mana organisasi industri
beroperasi untuk meningkatkan posisi bersaing (Baack and Boggs, 2008; Oltra
and Flor, 2010; Al-Rfou, 2012), karena perbedaan strategi, parameter pengukur,
dan lingkungan mempengaruhi kinerja (Anwar and Hasnu, 2016). Organisasi
industri dapat mengembangkan multi-strategi dan multi-dimensi sesuai dengan
lingkungan operasi bisnis guna mempertahankan eksistensi operasi dan kinerja.
Dengan demikian, tidak relevan lagi pandangan bahwa organisasi industri hanya
mengadopsi strategi tunggal (single strategy) dalam menghadapi dinamika,
5
komplexitas dan ketidakpastian persaingan industri dewasa ini. Hal ini disebabkan
strategi tunggal dapat mudah diimitasi oleh industri pensaing, sehingga
kehilangan daya saing, dan kinerja. Demikian juga dengan perubahan lingkungan
industri yang sangat cepat, dinamis, dan diiringi dengan ketidakpastian yang
tinggi (high uncertainty).
Beberapa kajian empiris telah mengkombinasikan strategi generik Porter
atau dengan strategi-strategi lain yang dikenal dengan integrative strategy atau
hybrid strategy atau combined strategy (Furrer et al., 2008; Parnell, 2011; Huang
and Lee, 2012; Baroto et al., 2012; Salavou, 2013; Salavou, 2015). Realitanya ada
organisasi industri yang menggunakan pure strategy dan kinerjanya lebih baik
dibandingkan dengan organisasi industri yang menggunakan combined strategy
atau integrative strategy ataupun sebaliknya. Kondisi ini memunculkan debat
signifikan antara strategi Porter dan implementasi dalam tingkatan bisnis karena
organisasi industri dapat menggunakan multi-strategi dengan multi-dimensi
dengan memperhatikan kesesuaian strategi, kemajuan teknologi dan sumber daya
kunci organisasi industri (Gabrielsson et al., 2016), seiring dengan kesulitan
organisasi industri untuk mempertahankan strategi diferensiasi dan keunggulan
biaya (Baroto et al., 2012). Oleh karena itu, muncul strategi hybrid atau strategi
kombinasi, baik kombinasi strategi diferensiasi dan keunggulan biaya dalam
lingkup Porter’s generic strategy, maupun kombinasi dengan strategi-strategi lain
sebagai implikasi dari debat-debat tersebut. Kelebihan strategi hybrid atau
kombinasi strategi adalah mudah adaptasi dengan lingkungan industri, sulit
diimitasi, dapat memenuhi kebutuhan pelangan yang ingin kualitas produk dan
6
layanan yang baik dengan harga yang terjangkau, tidak spesialisasi dalam satu
strategi yang berisiko terhadap perubahan tuntutan pelanggan, lebih stabil dalam
menjaga keseimbangan organisasi industri (Claver-Cortés et al., 2012; Baroto et
al., 2012; Salavou, 2015; Hansen et al., 2015; Gabrielsson et al., 2016).
Walaupun demikian, kelemahan strategi hybrid adalah organisasi industri perlu
memiliki sumber daya kunci seperti manusia, teknologi, dan keuangan (Hansen et
al., 2015; Gabrielsson et al., 2016), sehingga sulit bagi organisasi industri kecil
untuk mengadopsi strategi tersebut. Studi untuk pengembangan strategi dalam
konteks generic strategy dan integrative strategy (differentiation, cost, focus)
yang bersinergi dengan teori resource-based view (inovasi sumber daya dan
kapabilitas industri) untuk mediasi hubungan antara persaingan industri dan
kinerja masih tetap menjadi topik aktual untuk dieksplorasi oleh peneliti dan
praktisi bisnis.
Strategi diferensiasi merupakan strategi organisasi industri untuk
mengembangkan produk, jasa, garansi, citra merek, inovasi, reliabilitas,
durabilitas, teknologi, reputasi, bentuk, kualitas, dan nilai yang unik bagi
pelanggan yang sulit ditiru oleh industri pesaingnya (Acquaah, 2011; Baroto et
al., 2012). Strategi diferensiasi muncul karena organisasi industri ingin memenuhi
tuntutan pelanggan yang ingin produk alternatif dan unik. Semakin tinggi
persaingan antara industri sejenis, organisasi industri dapat mengadopsi strategi
diferensiasi guna mempertahankan daya saing dan kinerja. Diferensiasi tersebut
bisa dalam bentuk kualitas produk, proses dan pelayanan untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan. Walaupun demikian, banyak studi yang muncul untuk
7
mengembangankan strategi Porter, dan ada juga studi mempertanyakan implikasi
praktis strategi Porter. Hal ini dapat dilhat dengan adanya beberapa kajian empirik
yang mendukung strategi generik Porter (Powers and Hahn, 2004; Spencer et al.,
2009; Lozano-Vivas, 2009; Parnell, 2010; Acquaah, 2011; Dirisu et al., 2013;
Torres et al., 2014; Newton et al., 2015; Banker et al., 2014; Martins and Queirós,
2015; Pehrsson, 2016; Yuliansyah et al., 2016) bahwa diferensiasi dapat
meningkatkan daya saing dan kinerja industri. Walaupun demikian, ada juga studi
yang menyatakan bahwa strategi diferensiasi tidak berpengaruh atau berpengaruh
negatif terhadap kinerja (Parnell, 2011; Nandakumar et al., 2011; Wu et al.,
2015), karena strategi diferensiasi memerlukan investasi untuk terus melakukan
inovasi dan menciptakan produk atau jasa baru yang berbeda, unik, dan bernilai
(Acquaah, 2011) yang membutuhkan anggaran besar (Aghion et al., 2005), dan
produk dan jasa tersebut dapat diimitasi oleh industri kompetitor (Douglas et al.,
2010), sehingga berisiko dan volatil terhadap kinerja (Banker et al., 2014).
Strategi keunggulan biaya (cost leadership strategy) adalah strategi
organisasi industri untuk menyediakan produk dan jasa dengan biaya lebih rendah
dari organisasi industri pesaingnya untuk menarik pelanggan dan memperoleh
pangsa pasar (Porter, 1985; Banker et al., 2014), sehingga produk atau jasa
tersebut laku dan memberikan profit kepada organisasi industri. Organisasi
industri yang menggunakan cost leadership lebih fokus untuk mengembangkan
produk, jasa, dan proses dengan memaksimalkan efisiensi operasi (Banker et al.,
2014), sehingga melakukan kontrol dan pengetatan biaya dalam semua tingkatan
operasi agar unggul atas pesaingnya guna mempertahankan keunggulan bersaing
8
(Porter, 1985; Acquaah, 2011). Industri dapat meningkatkan keunggulan bersaing
dan kinerja jika mengadopsi strategi keunggulan biaya atau cost leadership
strategy (Parnell and Hershey, 2005; Oyewobi et al., 2016). Strategi Porter ini
kemudian diperkuat oleh beberapa temuan empiris bahwa strategi keunggulan
biaya (cost leadership) berpengaruh positif terhadap keunggulan bersaing dan
kinerja organisasi industri (Allen and Helms, 2006; Banker et al., 2014;
Indounas, 2015; Wu et al., 2015) karena organisasi industri menggunakan
produksi dan distribusi masal, skala ekonomi, teknologi, design produk, biaya
masukkan, penggunaan kemampuan sumber daya, dan akses ke bahan baku yang
lebih baik (Akan et al., 2006). Walaupun demikian, strategi keunggulan biaya
mempunyai kelemahan karena pelanggan memiliki loyalitas rendah terhadap
strategi keunggulan biaya (Cost leadership), dan jika biaya terlalu rendah
organisasi industri akan kehilangan pendapatan (Allen and Helms, 2006).
Demikian juga, jika produk dan servis berbiaya rendah dapat diimitasi oleh
industri pesaing, sehingga dapat menurunkan daya saing dan kinerja industri
(Salavou, 2015). Hal ini diperkuat dengan kajian empirik yang menunjukkan
strategi keunggulan biaya berpengaruh negatif terhadap kinerja organisasi industri
(Parnell et al., 2012; Yuliansyah et al., 2016; Yuliansyah et al., 2017) karena para
pelanggan industri jasa ingin pelayanan yang lebih murah dan lebih personal
(Yuliansyah et al., 2016), sensitif terhadap harga sehingga pelanggan bisa beralih
ke produk dan jasa lain, jika industri kompetitor berhasil melakukan imitasi
dengan cara dan biaya yang sama (Parnell, 2010; Baroto et al., 2012), dan lebih
cocok dalam lingkungan industri lebih stabil (Baack and Boggs, 2008).
9
Lingkungan industri yang tidak stabil dan tidak pasti sulit bagi organisasi industri
untuk mendapatkan sumber daya dan bahan baku (raw material) yang banyak
sesuai dengan permintaan, konsisten suplai, dan murah sehingga sulit menghemat
atau melakukan efisiensi biaya yang berimplikasi pada harga murah (low price).
Kesulitan melakukan efisiensi biaya dapat menurunkan daya saing dan kinerja.
Strategi fokus merupakan salah satu dimensi dari strategi generik Porter
yang mencakup fokus diferensiasi dan fokus keunggulan biaya (Baack and Boggs,
2008). Namun demikian, strategi fokus dalam studi ini lebih ditekankan pada
pelayanan, karena kualitas pelayanan berhubungan erat dengan profit,
penghematan biaya (cost saving), pangsa pasar (market share) dan kepuasan
pelanggan (Angelova, 2011; Zameer et al., 2015). Dengan demikian, kualitas
pelayanan berpengaruh positif terhadap keunggulan bersaing dan kinerja industri
(Angelova, 2011; Jain et al., 2011; Kwak and Kim, 2016; Paul et al., 2016).
Walaupun demikian, ada juga hasil studi yang menunjukkan bahwa kualitas
pelayanan berpengaruh negatif terhadap kinerja industri (Neely, 2008; Jamal,
2009) karena pelayanan baik membutuhkan sumber daya manusia, teknologi dan
biaya investasi tinggi untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan sehingga
berimplikasi pada penurunan profitabilitas, net profit rate dan daya saing industri
(Neely, 2008).
Strategi inovasi merupakan upaya untuk merubah pengetahuan dan ide ke
dalam produk, proses, layanan, sistem baru guna memberikan keuntungan kepada
organisasi industri dan stakeholders (Perdomo-Ortiz et al., 2006; Perdomo-Ortiz
et al., 2009; Jaskyte, 2011) atau merubah pengetahuan menjadi uang (Boult et al.,
10
2009). Inovasi bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi dan kombinasi
sumber daya organisasi untuk menciptakan produk, proses, teknologi dan
pelayanan baru, unik, dan sesuai ekspektasi pelanggan guna meningkatkan
keunggulan bersaing dan kinerja organisasi industri (Torres et al., 2014;
Havenvid, 2015). Dalam teori resource-based view (RBV), inovasi merupakan
kapabilitas bisnis penting organisasi industri untuk menghasilkan produk atau
servis yang bernilai, unik, sulit diimitasi oleh organisasi industri pesaing (Acar
and Acar, 2012), sehingga meningkatkan posisi bersaing dan kinerja. Beberapa
kajian empiris menunjukkan bahwa dalam lingkungan industri yang kompetitif,
inovasi berpengaruh positif terhadap kinerja industri (Li et al., 2010; Jaskyte,
2011; Zehir et al., 2011; Kim et al., 2011; Acar and Acar, 2012; Uzkurt et al.,
2013; Al-ansari et al., 2013; Altuntaş et al., 2013; Camison and Villar-Lopez,
2014; Babkin et al., 2015; Leal-rodríguez et al., 2015; Obembe and Soetan, 2015;
Pehrsson, 2016; Anning-Dorson, 2017; Atalay et al., 2017; Aboelmaged, 2018;
Ramanathan et al., 2018) karena inovasi dapat membuat organisasi industri untuk
menghasilkan produk dan layanan baru, unik dan bernilai yang sesuai dengan
perubahaan tuntutan pelanggan. Namun demikian, ada juga studi yang
menunjukkan bahwa inovasi berpengaruh negatif atau tidak signifikan
berpengaruh terhadap kinerja industri (Loof and Heshmati, 2002; Vermeulen et
al., 2005; Hashi and Stojčić, 2013; Guisado-González et al., 2013; Campo et al.,
2014; Im et al., 2015; Mir et al., 2016; Hu et al., 2017; Kocak et al., 2017) karena
organisasi industri membutuhkan sumber daya dan kapabilitas, frekuensi
perubahan produk dan layanan utama yang membutuhkan penelitian dan
11
pengembangan, serta mengembangkan pemasaran yang kesemuanya berimplikasi
pada biaya, sehingga dapat meningkatkan risiko bagi organisasi industri
(Soltanizadeh et al., 2016).
Dewasa ini institusi pendidikan tinggi bukan lagi berperan sebagai
lembaga sosial tetapi juga berperan sebagai korporasi dan industri yang
menyediakan produk dan jasa dimana mahasiswa sebagai pelanggan utama
(Gumport, 2000; Chui et al., 2016) dan sebagai aktor kunci bagi pertumbuhan
ekonomi dan persaingan internasional (Bellucci and Pennacchio, 2016). Produk
dan jasa perguruan tinggi dilakukan melalui tiga misi utamanya yakni pengajaran,
penelitian, dan pelayanan masyarakat seperti gelar dan keahlian, lulusan,
penelitian, inovasi, serta jasa. Industri pendidikan tinggi dewasa ini mulai
menggunakan ilmu, dan inovasinya untuk mengembangkan bisnis dari kegiatan-
kegiatan professional dalam tiga dimensi utama universitas 3P (pendidikan,
penelitian dan pelayanan) untuk diversifikasi pendapatan dalam menjamin
susteinabilitas operasi, peningkatan penguasaan pasar, dan kinerja keuangan. Hal
demikian telah mengeser fungsi konvesional industri pendidikan tinggi dari
teaching and research based-university ke integrasi teaching, research, corporate
and entrepreneurship based-university.
Dengan demikian, kinerja industri pendidikan tinggi tidak hanya diukur
dengan menggunakan parameter non-finansial seperti kepuasan mahasiswa,
kepuasan industri yang mempekerjakan lulusan, drop out rate, retention rate,
indeks prestasi rata-rata (grade point average), tingkat kelulusan, daya serap
lulusan dalam lapangan kerja, jumlah penelitian, dan karya ilmiah, tetapi juga
12
parameter finansial dan pemasaran seperti pengembalian modal investasi,
pertumbuhan pendapatan, pertumbuhan surplus, pengembalian investasi, dan
pangsa pasar. Dalam konteks demikian Huang and Lee (2012) telah melakukan
penelitian dengan mengukur kinerja industri pendidikan tinggi dari sisi non
finansial (staff performance, dan student performance), sebaliknya financial and
marketing performance tidak diukur. Sebaliknya studi Asif and Searcy (2014)
mengukur kinerja industri dari non financial (teaching, and research
performance), dan financial (pendapatan dari penelitian dan pengajaran,
sponsor/dana hibah, biaya pengajaran, persentase alokasi pada penelitian). Zebal
and Goodwin (2012) mengukur kinerja dengan kinerja total, kualitas belajar dan
pelayanan, pertumbuhan mahasiswa, dan pangsa pasar. Sayangnya ketiga studi
tersebut tidak memasukkan aspek finansial seperti tingkat pengembalian modal,
pertumbuhan pendapatan, pertumbuhan aset, dan pertumbuhan surplus yang
penting bagi industri pendidikan tinggi karena berhubungan dengan sustentabilitas
operasi yang simetris dengan kinerja keuangan. Hal tersebut telah meninggalkan
empirical gap yang besar untuk diteliti lebih lanjut guna mendapatkan indikator-
indikator yang relevan dan sesuai dengan industri pendidikan tinggi, terutama di
negera-negara yang baru berkembang (emerging countries).
Industri pendidikan tinggi mengalami peningkatan persaingan untuk
mendapatkan sumber daya dan kapabilitas seperti sumber daya organisasi, sumber
daya manusia, sumber daya fisik, sumber daya keuangan, kapabilitas organisasi,
kapabilitas pemasaran, serta kapabilitas penelitian dan pengembangan (Huang and
Lee, 2012). Persaingan tersebut juga terjadi pada dana penelitian, dan mahasiswa
13
sebagai pelanggan (Mathooko and Ogutu, 2015; Sahney and Thakkar, 2016).
Peningkatan persaingan perguruan tinggi dibarengi dengan tuntutan pemerintah
dan masyarakat agar industri jasa pendidikan tinggi beroperasi lebih transparansi
dan akuntabel dalam menjamin kualitas (Anctil, 2008) yang beresiko pada
peningkatan komplikasi, tantangan dan ketidakpastian (Pucciarelli and Kaplan,
2016). Masuknya lembaga pendidikan tinggi internasional melalui kehadiran
fisik, dan kehadiran sistem penyediaan pendidikan jarak jauh (long distance
education system) dapat meningkatkan persaingan industri jasa pendidikan tinggi.
Peningkatan persaingan tersebut dapat mempengaruhi kinerja non keuangan dan
kinerja keuangan industri pendidikan tinggi.
Untuk menghadapi intensitas persaingan, industri jasa pendidikan tinggi
dapat mengembangkan strategi yang tepat agar beroperasi lebih efisien,
berkualitas dan flexibel (Gumport, 2000; Martensen and Grønholdt, 2009; Barr,
2011) guna meningkatkan kualitas pelayanan, memenuhi kepuasan mahasiswa,
mempertahankan keunggulan bersaing dan kinerja (Cardona and Bravo, 2012;
Chui et al., 2016). Dengan demikian, industri pendidikan tinggi dapat mengadopsi
strategi industri yang berbasis korporasi dan kewirausahaan (corporate and
entrepreneurship) dari industrial strategy, strategi sumber daya dan kapabilitas
atau resourse-based strategy, atau kombinasi strategi strategi yang sesuai dengan
dinamika lingkungan industri untuk mempertahankan daya saing dan kinerjanya.
Industri pendidikan tinggi juga dapat adaptasi dan mengembangkan
indikator-indikator dari strategi Porter, sumber daya, dan kapabilitas atau
kombinasi yang lebih banyak digunakan pada industri manufaktur ke dalam
14
konteks industri pendidikan tinggi sesuai lingkungan industri. Hal ini disebabkan
indikator-indikator strategi dari industri manufaktur berbeda dengan industri jasa
pendidikan tinggi. Indikator-indikator strategi diferensiasi untuk industri
manufaktur seperti produk dan jasa sudah banyak dikembangkan, namun untuk
industri jasa pendidikan tinggi seperti perbedaan program studi, kualitas
kelulusan, dan kualitas pelayanan masih langka atau belum ada. Demikian juga
indikator-indikator inovasi seperti inovasi kurikulum, metode belajar dan
mengajar, dan teknologi pendukung pengajaran yang diadaptasi dari inovasi
produk, proses, dan pelayanan industri manufaktur masih belum banyak dilakukan
penelitian. Sebaliknya indikator-indikator tersebut sangat determinan dalam
menentukan kualitas, kepuasan, dan susteinabilitas kinerja industri pendidikan
tinggi.
Penelitian ini dilakukan pada 11 industri jasa pendidikan tinggi
terakreditasi di Timor-Leste yang menghadapi persaingan tinggi, karena
peningkatan jumlah perguruan tinggi, dan duplikasi jurusan. Hal ini sesuai dengan
konsep Porter (1980) bahwa rivalitas persaingan yang diakibatkan oleh faktor
ekternalitas dapat menurunkan kinerja industri. Demikian juga persaingan industri
pendidikan tinggi Timor-Leste dapat berimplikasi pada penurunan kualitas
lulusan dan kinerja yang mengancam kontinuitas operasi perguruan tinggi. Hal
demikian telah menjadi perhatian utama pemerintah karena persaingan perguruan
tinggi telah berimplikasi pada kualitas perguruan tinggi (Araujo, 2016), dan
kinerja lulusannya lebih rendah dibandingkan dengan lulusan-lulusan perguruan
tinggi luar negeri (Gusmao, 2016). Walaupun demikian, pernyataan-pernyataan
15
tersebut masih bersifat abstrak dan belum terjustifikasi dengan studi-studi empirik
yang menggunakan indikator-indikator terintegrasi, dan komprehensif dalam
mengukur kinerja industri pendidikan tinggi dalam konteks finansial dan non-
finansial.
Kinerja non-finansial industri pendidikan tinggi Timor-Leste dapat diukur
dengan menggunakan parameter-parameter yang ada dalam tiga pilar utama
perguruan tinggi yakni: (1) Belajar dan mengajar (student satisfaction, end-user
satisfaction, drop out rate, employment rate, enrollment rate, dan grade point
average). (2) Kinerja penelitian diukur dengan publikasi staf di jurnal nasional,
dan internasional, partisipasi staf dalam kegiatan ilmiah, penelitian yang
mendatangkan dana, dan penelitian berdampak pada masyarakat. 3) Pelayanan
masyarakat diukur dengan peningkatan kegiatan konseling kepada mahasiswa,
peningkatan kegiatan pelayanan masyarakat, dan berpartisipasi dalam
pengembangan kurikulum. Demikian juga kinerja finansial dapat diukur dengan
menggunakan parameter seperti pengembalian modal (ROI), pertumbuhan
pendapatan (income growth), pertumbuhan surplus (surplus growth), dan
pertumbuhan pangsa pasar (market share growth). Integrasi pengukuran kinerja
seperti ini belum ada, apalagi industri pendidikan tinggi di Timor-Leste.
Sebaliknya, pengukuran kinerja terintegrasi dan komprehensif dapat memberikan
informasi yang baik bagi pengelola untuk mengembangkan strategi yang sesuai
guna mempertahankan daya saing, dan menjamin kesinambungan operasi industri
pendidikan tinggi dalam lingkungan industri yang sangat kompetitif, kompleks,
dan penuh dengan ketidakpastian dewasa ini.
16
Industri pendidikan tinggi Timor-Leste juga dapat mengembangkan
strategi yang tepat untuk meningkatkan posisi bersaing, kinerja, dan
mempertahankan eksistensi operasinya. Oleh karena itu, strategi diferensiasi,
biaya, fokus pelayanan (focus services), dan inovasi dapat menjadi solusi. Strategi
diferensiasi dapat dilakukan dengan mengembangkan perbedaan program studi,
kualitas lulusan, dan pelayanan. Dengan program studi yang berbeda dalam
segmen pasar yang kecil seperti Timor-Leste dapat membuat masing-masing
industri pendidikan tinggi dapat mengembangkan keunikan dan keahlian
tersendiri. Industri pendidikan tinggi juga dapat melakukan efisiensi biaya, biaya
operasi rendah, dan menawarkan harga yang murah untuk menarik mahasiswa.
Hal ini dapat ditunjang dengan inovasi yang berbasis pada kurikulum, metode
belajar dan mengajar, serta teknologi pengajaran. Dengan program studi, dan
keahlian yang berbeda, melakukan efisiensi biaya yang ketat yang didukung
dengan diferensiasi intanjibilitas dan kualitas pelayanan, maka industri pendidikan
tinggi Timor-Leste dapat meningkatkan kualitas produk yang baik dengan harga
yang dapat dijangkau mahasiswa. Walaupun demikian, efektivitas strategi tersebut
perlu diuji secara empirik.
Sayangnya hingga kini belum ada studi empiris tentang peran strategi
bisnis (strategi diferensiasi, strategi kunggulan biaya, fokus pelayanan, dan
inovasi) dalam memediasi hubungan antara persaingan dan kinerja industri jasa
pendidikan tinggi terutama di Timor-Leste. Sebaliknya, pemerintah dan pengelola
industri jasa pendidikan tinggi di Timor-Leste sangat membutuhkan kajian
empirik sebagai dasar untuk mengembangkan strategi dan regulasi untuk
17
meningkatkan kualitas, keunggulan bersaing, dan kinerja guna mempertahankan
eksistensi operasi, menghasilkan produk dan layanan yang berkualitas, unik dan
bernilai bagi masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, penelitian ini relevan
dilakukan untuk mengisi celah bisnis dan empiris (empirical gap) yang ada.
Empirical gap tersebut adalah: (1) Hubungan antara persaingan industri, strategi
diferensiasi, strategi biaya, fokus pelayanan, inovasi, dan kinerja industri. (2)
Belum ada uji simultan hubungan persaingan dan kinerja dengan peran mediasi
strategi diferensiasi, biaya, fokus pelayanan dan inovasi dalam konteks industri
pendidikan tinggi.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada industri jasa pendidikan tinggi yang
terakreditasi di Timor-Leste dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1) Bagaimanakah pengaruh persaingan industri terhadap kinerja industri jasa
pendidikan tinggi di Timor-Leste?
2) Bagaimanakah pengaruh persaingan industri terhadap strategi diferensiasi
pada industri jasa pendidikan tinggi di Timor-Leste?
3) Bagaimanakah pengaruh persaingan industri terhadap strategi biaya
industri jasa pendidikan tinggi di Timor-Leste?
4) Bagaimanakah pengaruh persaingan industri terhadap strategi fokus
pelayanan industri jasa pendidikan tinggi di Timor-Leste?
5) Bagaimanakah pengaruh persaingan industri terhadap strategi inovasi
industri jasa pendidikan tinggi di Timor-Leste?
18
6) Bagaimanakah pengaruh strategi diferensiasi terhadap kinerja industri jasa
pendidikan tinggi di Timor-Leste?
7) Bagaimanakah pengaruh strategi biaya terhadap kinerja industri jasa
pendidikan tinggi di Timor-Leste?
8) Bagaimanakah pengaruh strategi fokus pelayanan terhadap kinerja industri
jasa pendidikan tinggi di Timor-Leste?
9) Bagaimana pengaruh strategi inovasi terhadap kinerja industri jasa
pendidikan tinggi di Timor-Leste?
10) Bagaimanakah peran mediasi strategi diferensiasi dalam hubungan
persaingan industri dengan kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-
Leste?
11) Bagaimanakah peran mediasi strategi biaya dalam hubungan persaingan
industri dengan kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste?
12) Bagaimanakah peran mediasi fokus pelayanan dalam hubungan persaingan
industri dengan kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste?
13) Bagaimanakah peran mediasi strategi inovasi dalam hubungan persaingan
industri dengan kinerja industri jasa pendidikan tinggi di Timor-Leste?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1) Menjelaskan pengaruh persaingan industri terhadap kinerja industri jasa
pendidikan tinggi di Timor-Leste.
2) Menjelaskan pengaruh persaingan industri terhadap strategi diferensiasi
pada industri jasa pendidikan tinggi di Timor-Leste.
19
3) Menjelaskan pengaruh persaingan industri terhadap strategi biaya pada
industri jasa pendidikan tinggi di Timor-Leste.
4) Menjelaskan pengaruh persaingan industri terhadap strategi fokus pada
pelayanan pada industri jasa pendidikan tinggi di Timor-Leste.
5) Menjelaskan pengaruh persaingan industri terhadap strategi inovasi pada
industri jasa pendidikan tinggi di Timor-Leste.
6) Menjelaskan pengaruh strategi diferensiasi terhadap kinerja industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste.
7) Menjelaskan pengaruh strategi biaya terhadap kinerja industri pendidikan
tinggi di Timor-Leste.
8) Menjelaskan pengaruh strategi fokus pelayanan terhadap kinerja industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste.
9) Menjelaskan pengaruh strategi inovasi terhadap kinerja industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste.
10) Menguji dan menganalisis peran mediasi strategi diferensiasi dalam
hubungan persaingan industri dengan kinerja industri jasa pendidikan
tinggi di Timor-Leste.
11) Menguji dan menjelaskan peran mediasi strategi biaya dalam hubungan
persaingan industri dengan kinerja industri jasa pendidikan tinggi di
Timor-Leste.
12) Menguji dan menjelaskan peran mediasi strategi fokus pelayanan dalam
hubungan persaingan industri dengan kinerja industri jasa pendidikan
tinggi di Timor-Leste.
20
13) Menguji dan menjelaskan peran mediasi strategi inovasi dalam hubungan
persaingan industri dengan kinerja industri jasa pendidikan tinggi di
Timor-Leste.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Studi ini memberikan kontribusi untuk:
1) Memperkaya Porter’s generic competitive strategy tentang persaingan,
strategi, dan kinerja industri.
2) Memperkaya kajian empiris yang ada tentang persaingan bisnis dan
kinerja dengan menggunakan strategi diferensiasi, biaya, fokus pelayanan
dan inovasi, sebagai mediasi dalam konteks industri jasa pendidikan.
3) Melengkapi keterbatasan kajian empiris tentang aplikasi multiple-strategy
dengan multiple-dimensions dengan uji simultan antara hubungan
persaingan dan kinerja dengan strategi diferensiasi, biaya, fokus
pelayanan, dan inovasi sabagai variabel mediasi dalam konteks industri
jasa pendidikan tinggi. Studi ini juga memberikan konstribusi pada
pengembangan kombinasi strategi industri, strategi sumber daya
kapabilitas (resource based view atau RBV) dalam terang teori
kontingensi.
1.4.2. Manfaat Praktis
Studi ini memberikan kontribusi praktis kepada:
1) Pengelola industri pendidikan terutama Perguruan Tinggi di Timor-Leste
dalam menghadapi intensitas persaingan Perguruan Tinggi,
21
mempertahankan kontinuitas operasi dan menjamin kualitas pendidikan
dengan menerapkan strategi-strategi yang tepat seperti strategi keunggulan
biaya, fokus strategi pelayanan dan inovasi sebagai variabel mediasi dalam
industri jasa pendidikan tinggi.
2) Memberikan kontribusi kepada pengambil kebijakan terutama
meningkatkan kualitas lulusan dan menjamin keberkelanjutan operasi
Perguruan Tinggi di Timor-Leste dengan menekankan pada strategi
keunggulan biaya, fokus pelayanan dan inovasi.
3) Mendorong Pemerintah Timor-Leste melalui Kementerian Pendidikan
untuk meningkatkan kualitas pendidikan di perguruan tinggi dengan
mengadopsi strategi keunggulan biaya, fokus pelayanan dan inovasi.
Pemerintah dapat juga menggunakan instrumen akreditasi dan subsidi
dana untuk mendorong perguruan tinggi Timor-Leste guna meningkatkan
kualitas lulusan dan sustainabilitas institusional sebagai sumber daya dan
kapabilitas nasional untuk pembangunan nasional dengan mengadopsi
strategi bisnis seperti diferensiasi, keunggulan biaya, fokus kualitas
pelayanan, inovasi, merger, strategi aliansi, dan kemitraan.
22
22
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Persaingan Industri
Persaingan industri merupakan rivalitas antara dua atau lebih industri yang
sejenis atau mirip untuk menyediakan produk, jasa, harga, produk, distribusi, dan
promosi kepada pelanggan (Adnan et al., 2016). Intensitas persaingan industri
tergantung pada jumlah pesaing di pasar yang sama, frekuensi perubahan
teknologi dalam industri, frekuensi pengenalan produk baru, penurunan harga,
persetujuan paket yang diberikan kepada pelanggan dari berbagai pesaing, dan
perubahan peraturan dan kebijakan pemerintah dan penurunan tarif (Chong and
Rundus, 2004). Persaingan industri juga terjadi pada biaya, ketergantungan
sumber daya, praktek manajerial, hambatan masuk, dan penerapan teknologi (Du
and Chen, 2010). Faktor-faktor lingkungan eksternal industri sebagai pemicu
utama persaingan industri adalah: (1) intensitas persaingan antar pemain yang ada
pada saat ini. (2) ancaman pendatang baru. (3) kekuatan tawar-menawar pemasok,
(4) kekuatan tawar-menawar pembeli, dan (5) ancaman produk pengganti (Porter,
1980; Metts, 2007; Huang and Lee, 2012).
Persaingan industri mempengaruhi kinerja industri, sehingga organisasi
industri harus beradaptasi dengan perubahan lingkungan untuk mempertahankan
posisi bersaing (Huang and Lee, 2012; de Haan, 2015). Hal ini disebabkan oleh
persaingan industri meningkatkan kompleksitas lingkungan bisnis, tantangan
perencanaan menjadi masalah, profitabilitas, dan kontinuitas operasi organisasi
industri menjadi terancam (Anning-dorson, 2017). Hal ini diperkuat oleh Porter
23
(1980) bahwa persaingan industri menurunkan rate of return yang dihasilkan oleh
sebuah organisasi industri dalam lingkungan persaingan industri yang perfek
(perfectly competitive industry). Dengan demikian, organisasi industri berupaya
untuk meningkatkan posisi bersaing agar lebih kompetitif dibandingkan dengan
organisasi industri pesaingnya. Dalam konteks demikian, organisasi industri harus
mengembangkan strategi bisnis yang jelas untuk mempertahankan posisi bersaing
dalam lingkungan industri yang sangat kompetitif. Strategi bisnis menjabarkan
pencapaian tujuan organisasi industri berdasarkan evaluasi internal dan eksternal
(Soltanizadeh et al., 2016).
Porter (1980) menyatakan bahwa organisasi industri dapat mencapai posisi
bersaing yang lebih baik, jika mengadopsi strategi diferensiasi (differentiation
strategy) atau strategi keunggulan biaya (cost leadership) dalam lingkungan
industri yang bersaing ketat. Jika organisasi industri mengadopsi dua strategi akan
memunculkan stuck-in-the-middle yang berakibat pada inefisiensi pada penerapan
strategi dan penurunan kinerja (Hansen et al., 2015). Strategi diferensiasi
ditekankan pada kemampuan organisasi industri untuk membuat produk, layanan
dan proses yang berbeda, unik dan bernilai bagi pelanggan, sehingga organisasi
industri dapat mengenakan harga tinggi (price premium) pada produk tersebut
(Porter 1980; Teeratansirikool et al., 2013; Soltanizadeh et al., 2016). Sedangkan
strategi keunggulan biaya (cost leadership) menekankan pada kemampuan
organisasi industri untuk melakukan kontrol, pengetatan dan efisiensi biaya,
sehingga menghasilkan produk dan jasa yang ditawarkan kepada pelanggan
bernilai dan murah dibandingkan industri pesaingnya (Porter, 1980; Baack and
24
Boggs, 2008; Teeratansirikool et al., 2013).
Strategi bisnis Porter mendapatkan tantangan dari beberapa ahli melalui
kajian-kajian empiriknya (Baack and Boggs, 2008; Salavou, 2013; Gabrielsson et
al., 2016; Anwar and Hasnu, 2016), karena realitanya organisasi industri dapat
mengadopsi lebih dari satu strategi dalam lingkungan bisnis yang kompleks
sekarang ini (Hansen et al., 2015). Demikian juga adopsi strategi sangat
tergantung pada kesesuaian strategi terhadap lingkungan industri, kemajuan
teknologi dan sumber daya kunci yang dimiliki organisasi industri (Gabrielsson et
al., 2016). Dalam intensitas tinggi persaingan industri, posisi bersaing organisasi
industri bukan saja ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan eksternal industri,
tetapi juga faktor internal industri seperti sumber daya dan kapabilitas yang
dikembangkan dari resourve-based theory (Barney 1991). Organisasi industri
yang memiliki dan mengembangkan sumber daya dan kapabilitas internalnya
untuk menghasilkan produk yang berbeda, unik dan bernilai bagi pelanggan dapat
meningkatkan posisi bersaing dan kinerja yang lebih baik dari industri pesaingnya
(Huang and Lee, 2012; Bobe and Kober, 2015).
Dalam mengukur persaingan industri ada perbedaan signifikan antara
kajian teori dan empirik yang ada. Perbedaan tersebut disebabkan karena jenis
industri dan lingkungan eksternal industri yang berbeda, dan perbedaan tersebut
mempengaruhi perbedaan kinerja (Anwar and Hasnu, 2016). Dalam mengukur
persaingan industri, Mia and Winata (2014) menggunakan harga (price), produk
(product), saluran distribusi (distribution channel), teknologi (technology),
perjanjian paket (package deal), jumlah kompetitior (number of competitors), dan
25
kebijakan pemerintah (government policy). Sedangkan Lee and Yang (2011)
menggunakan harga (price), pengembangan produk baru (new product
development), pemasaran dan distribusi (marketing and distribution), market
share dan perilaku kompetitor (competitor’s behavior). Metts (2007)
menggunakan karateristik produk, strategi promosi, akses ke saluran distribusi,
dan strategi pelayanan kepada pelanggan, hambatan masuk (barrier to entry),
ancaman substitusi produk (threat of substitute products), daya tawar pemasok
(bargaining power of suppliers), dan daya tawar pembeli (bargaining power of
buyers). Patiar et al. (2012) dan Patiar and Mia (2009) mengukur persaingan
industri dengan menggunakan harga (price), produk (product), dan promosi
(promotion). Hoque (2011) mengukur persaingan industri dengan menggunakan:
(1) kompetisi untuk mendapatkan bahan baku, bahan dan peralatan. (2) kompetisi
untuk personel teknis misalnya insinyur, akuntan, dan programmer. (3) kompetisi
untuk promosi, periklanan, penjualan dan distribusi. (4) kompetisi dalam kualitas
dan variasi produk. (5) kompetisi harga. Al-Rfou (2012) mengukur persaingan
industri di Yordania dengan menggunakan lima (5) dimensi yakni: (1) jumlah
kompetitor utama. (2) frekuensi perubahan teknologi. (3) frekuensi pengenalan
produk baru. (4) persaingan harga. (5) akses ke saluran pemasaran. (6) perubahan
kebijakan atau peraturan pemerintah. Variasi penggunaan indikator, karakteristik
industri dan kondisi geografis industri dapat juga memberikan hasil berbeda
dalam menganalisis persaingan sejumlah industri.
Dalam konteks industri pendidikan tinggi, de Haan (2016) merangkum
beberapa studi empiris tentang dimensi persaingan industri pendidikan tinggi
26
yakni persaingan untuk: (1) mendapatkan anggaran pemerintah; (2) mendapatkan
mahasiswa, (3) membangun reputasi, (4) memperbesar pangsa pasar (market
share), (5) menyediakan program pendidikan dan pelatihan yang berbayar, dan (6)
menjual jasa pendidikan seperti tes atau akreditasi bahasa. Bobe and Kober (2015)
mengukur persaingan industri pendidikan tinggi dengan intensitas kompetisi
untuk mendapatkan mahasiswa, staf dan dana penelitian. Huang and Lee (2012)
menggunakan dimensi-dimensi dari konsep Porter untuk mengukur persaingan
industri pendidikan tinggi yakni: (1) rivalitas persaingan; (2) ancaman pendatang
baru; (3) kekuatan tawar-menawar pemasok; (4) kekuatan tawar-menawar
pembeli; dan (5) ancaman dari produk pengganti. Demikian juga Mathooko and
Ogutu (2015) mengembangkan lebih lanjut kerangka Porter‘s five forces dan
indikator-indikatornya dalam konteks pendidikan tinggi di Kenya.
Dalam studi ini, persaingan industri diukur dengan menggunakan dimensi-
dimensi Porter’s Five Forces dan indikator-indikator yang dikembangkan oleh
Huang and Lee (2012), dan Mathooko and Ogutu (2015). Demikian juga adaptasi
beberapa indikator dari Hoque (2011), dan Teller et al. (2016) yang disesuaikan
dengan konteks industri jasa pendidikan tinggi (Lihat Tabel 4.2. halaman 93).
Industri juga bersaing ketat dalam membuat, mengembangkan dan
memasarkan produk. Produk yang baik dan murah akan mendapatkan respons
yang positif dari pasar. Karena penelitian ini berhubungan dengan industri jasa
pendidikan tinggi, maka perlu mendefinisikan produk perguruan tinggi. Hemsley-
Brown and Oplatka (2006) menyatakan bahwa program studi/keahlian dan
mahasiswa dianggap sebagai pelanggan atau produk perguruan tinggi. Sedangkan
27
menurut Jain et al. (2011), produk universitas adalah mahasiswa yang
berkompeten (educated people), temuan penelitian (research findings), dan
pelayanan kepada masyarakat (service to community). Guolla (1999) sebagaimana
dikutip oleh Gruber et al. (2010) menyatakan bahwa mahasiswa bisa berperan
sebagai klien, produser dan produk. Dalam studi ini, produk industri pendidikan
tinggi adalah program studi/keahlian, lulusan, dan mahasiswa.
2.2. Strategi Diferensiasi
Strategi diferensiasi merupakan salah satu strategi yang masuk dalam
strategi generik Porter. Organisasi industri yang ingin mempertahankan daya
saing perlu mengadopsi strategi diferensiasi. Strategi diferensiasi bisa dilakukan
terhadap produk atau jasa. Diferensiasi adalah strategi organisasi industri yang
selalu menawarkan pelayanan berbeda dan berkualitas dibandingkan dengan
pelayanan dari industri sejenis (Chenet et al., 2010). Douglas et al. (2010)
mendefinisikan strategi diferensiasi sebagai strategi organisasi industri untuk
mengembangkan produk, jasa, garansi, citra merek, bentuk, kualitas dan nilai
yang unik bagi pelanggan yang sulit ditiru oleh industri pesaingnya (Baroto et al.,
2012).
Strategi diferensiasi muncul karena organisasi industri ingin memenuhi
tuntutan pelanggan yang ingin produk alternatif dan unik dari industri sejenis
(Becerra et al., 2013; Dirisu et al., 2013). Oleh karena itu, organisasi industri
harus membangun strategi diferensiasi berdasarkan pada karakteristik seperti
kualitas produk, teknologi dan inovasi, reliabilitas, citra merek, reputasi,
durabilitas, dan pelayanan pelanggan (Acquaah, 2011). Semakin tinggi kompetisi
28
antara industri sejenis, organisasi industri dituntut untuk membuat diferensiasi
dalam bentuk kualitas produk dan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan (Dadfar and Brege, 2012) guna mempertahankan daya saingnya. Hal
ini disebabkan karena diferensiasi produk akan memperkuat posisi industri
tersebut di pasar yang ada (market niche) dan menciptakan pasar baru (new
market), memungkinkan produk baru masuk pada pasar (new entrance) serta
produk yang ada memiliki keunggulan pasar terhadap produk lain (Davcik and
Sharma, 2015). Oleh karena itu, selain mengenalkan produk/jasa yang baru yang
berbeda, organiasi industri juga melakukan investasi dibidang iklan, promosi,
pelayanan pelanggan, distribusi produk dan kegiatan lain yang relevan untuk
membedakan dirinya dengan pesaingnya (Banker et al., 2014).
Konsep Porter tentang strategi diferensiasi menyatakan bahwa semakin
berbeda produk sebuah organisasi industri dalam industri yang sejenis maka
organisasi industri tersebut akan memenangkan kompetisi atas rival-rivalnya
dipasar. Keunggulan tersebut bisa dalam produk dan jasa yang dikembangkan
berdasarkan keadaan spesifik dan inovasi organisasi industri yang unik dan
berbeda sehingga sulit diimitasi secara cepat oleh pesaingnya (Rajiv et al., 2014).
Organisasi industri yang mengadopsi strategi diferensiasi harus mempunyai
kekuatan di pasar, rekayasa produk dan jasa, kreativitas insting, penelitian dan
pengembangan, kualitas, dan kerjasama dengan saluran distribusi (Brenes et al.,
2014 dan Rajiv et al., 2014). Oleh karena produk dan jasa yang unik, berbeda dan
berkualitas, organisasi industri sering menawarkan produk atau jasa tersebut
dengan harga yang tinggi (premium price) (Akan et al., 2006; Douglas et al.,
29
2010). Namun demikian, pelanggan akan meninggalkan produk dan jasa tersebut
jika tidak sesuai dengan harapannya (Brenes et al., 2014).
Strategi diferensiasi dapat diterapkan dalam berbagai industri dan telah
diakui pengaruhnya terhadap daya saing dan kinerja organisasi industri (Salavou,
2015). Strategi diferensiasi dapat dilakukan terhadap produk dan jasa, inovasi dan
pasar, kualitas, rancangan, dukungan, citra dan harga, serta diferensiasi horizontal
dan vertikal (Becerra et al., 2013). Produk dikatakan berbeda secara horizontal
ketika produk tersebut ditawarkan kepada pelangan yang sama dengan harga yang
sama. Sedangkan produk dikatakan berbeda secara vertikal jika produk tersebut
ditawarkan dengan harga yang sama kepada semua pelanggan, kualitas berbeda,
dan pelanggan akan memilih produk yang kualitasnya baik (Hingley et al., 2008).
Ada banyak studi empiris tentang strategi diferensiasi dalam bisnis. Studi-
studi tersebut menggunakan parameter pengukur strategi diferensiasi yang
berbeda-beda. Misalnya Brenes et al. (2014) melakukan studi strategi diferensiasi
dibidang agribisnis dengan menggunakan dimensi kapabilitas inovasi dan
kemampuan pemasaran. Spencer (2009) mengukur strategi diferensiasi dengan
menggunakan dimensi diferensiasi produk dan pelayanan pelanggan yang
dikembangkan oleh Milner et al. (1992) dan Hoque (2004). Acquaah (2011)
dalam melakukan studinya tentang strategi bisnis dan daya saing bisnis keluarga
di Ghana mengukur strategi diferensiasi dengan menggunakan indikator seperti:
(1) mengembangkan produk/jasa baru, (2) memperbaiki produk/jasa yang ada, (3)
mengiklankan dan mempromosikan produk/jasa, dan (4) membangun reputasi
merek (brand) dan jaringan identifikasi organisasi industri. Dalam konteks
30
industri pendidikan tinggi, diferensiasi dapat diukur dengan program studi,
kurikulum, keahlian, tingginya kualitas keahlian, pelayanan kepada mahasiswa
yang diadaptasi dari Banker et al. (2014), Hansen et al. (2015), Gabrielsson et al.
(2016). Dalam studi ini, strategi diferensiasi diukur dengan menggunakan
indikator-indikator seperti program studi, kualitas pelayanan, dan tingginya
kualitas keahlian lulusan (Lihat Tabel 4.2 halaman 95), karena relevan dengan
kondisi industri pendidikan tinggi di Timor-Leste. Industri pendidikan tinggi di
Timor-Leste memiliki segmen pasar kecil, namun pertumbuhan jumlah perguruan
tinggi, dan duplikasi program studi sangat tinggi yang dapat berimplikasi pada
penurunan kualitas, menurunkan kinerja perguruan tinggi, dan mengancam
keberkelanjutan operasi. Sebagai sebuah Negara baru, dan dengan jumlah
penduduk yang kecil (1.5 juta orang), Timor-Leste memerlukan kualitas lulusan
perguruan tinggi yang tinggi untuk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi,
meningkatkan kualitas hidup, dan perkuatan sosio-kultur masyarakat. Dalam
kondisi industri pendidikan tinggi harus menghasilkan kualitas lulusan yang
didapat melalui perbedaan spesialisasi keahlian (program studi), dan kualitas
pelayanan yang tinggi sehingga pada gilirannya menghasilkan lulusan dengan
kualitas yang tinggi sesuai dengan tuntutan kebutuhan industri, pasar kerja, dan
masyarakat.
2.3. Strategi Keunggulan Biaya
Strategi keunggulan biaya (cost leadership strategy) adalah strategi
organisasi industri untuk menyediakan produk dan jasa dengan biaya lebih rendah
dari organisasi industri pesaingnya untuk menarik pelanggan dan memperoleh
31
pangsa pasar (Porter, 1985; Banker et al., 2014). Tujuannya adalah untuk
membuat produk dan jasa yang ditawarkan kepada pelanggan dengan harga yang
lebih rendah dari pesaingnya sehingga produk atau jasa tersebut laku dan
memberikan profit.
Organisasi industri yang menggunakan cost leadership strategy lebih
fokus untuk mengembangkan produk, jasa dan proses dengan memaksimalkan
efisiensi operasi (Banker et al., 2014) sehingga melakukan kontrol dan pengetatan
biaya dalam semua tingkatan operasi agar unggul atas pesaingnya guna
mempertahankan daya saing (Porter, 1985; Acquaah, 2011). Dalam konteks ini,
organisasi industri memilih fasilitas yang lebih efisien, melakukan pengurangan
biaya, lebih ketat mengontrol biaya, dan meminimalkan biaya dalam area seperti
penelitian dan pengembangan, pelayanan, kekuatan pemasaran, dan periklanan
(Acquaah, 2011; Baroto et al., 2012; Baack and Boggs, 2008). Organisasi industri
juga menggunakan teknologi, peralatan, desain, dan desain ulang yang sudah
dikuasai, serta memilih saluran distribusi yang dapat menurunkan biaya (Brenes et
al., 2014). Konsekuensi adopsi cost leadership adalah organisasi industri harus
lebih efisien dalam melakukan produksi dan penggunaan sumber daya (Valos et
al., 2007) sehingga strategi, proses pembuatan produk, tenaga kerja yang dipakai
harus lebih murah dari kompetitornya (Allen and Helms, 2006).
Dalam praktiknya, organisasi industri tidak langsung mengadopsi cost
leadership, tetapi perlu memperhatikan dulu beberapa kondisi berikut: (1) target
pelanggan sesuai dengan besarnya industri, termasuk permintaan sesuai dengan
luasnya pasar, tidak tersegmentasi, dan (2) permintaan pelanggan terhadap produk
32
harus sensitif terhadap harga (Baack and Boggs, 2008). Dengan demikian,
organisasi industri harus melakukan produksi dan distribusi masal, skala ekonomi,
rancangan produk, biaya masukan, kapasitas penggunaan sumber daya, dan akses
terhadap bahan baku dan teknologi yang lebih baik dan cepat dari industri
pesaingnya (Allen and Helms, 2006; Agasisti and Johnes, 2013) sehingga
organisasi industri dapat menjual produk atau jasanya dengan harga yang lebih
murah dipasar (Liao, 2005).
Organisasi industri yang mengadopsi Cost leadership dapat kehilangan
daya saingnya, jika produk atau jasa yang ditawarkannya dapat diimitasi oleh
organisasi industri pesaing dengan cara dan biaya yang sama (Parnell, 2010). Jika
cost leadership strategy diadopsi oleh beberapa organisasi industri dalam satu
industri atau tidak ada organisasi industri yang menghadapi ketidak-unggulan
biaya dalam meniru cost leadership strategy, maka organisasi industri yang
menerapkan keunggulan biaya tidak dapat mempertahankan keunggulan
kompetitif (Barney, 2002). Oleh karena itu, perbaikan efisiensi operasional harus
terus dilakukan dan lebih cepat dari kompetitor agar organisasi industri tetap
mempertahankan keunggulan profitabilitas sepanjang waktu (Banker et al., 2014).
Studi strategi keunggulan biaya (cost leadership strategy) telah dilakukan
oleh banyak peneliti, namun dalam praktiknya ada ketidaksamaan pendapat dalam
menggunakan indikator untuk mengukur variabel tersebut pada semua industri.
Ketidaksamaan tersebut dapat disebakan oleh perbedaan karakteristik Negara,
jenis industri dan kondisi eksternal dan internal lingkungan yang dihadapi
industri. Allen and Helms (2006) mengukur cost leadership dengan menggunakan
33
tiga indikator yakni keketatan melakukan pengurangan biaya (Vigorous pursuit of
cost reductions), keketatan mengontrol biaya yang tak terduga (Tight control of
overhead cost) dan meminimalkan biaya distribusi (Minimizing distribution cost).
Sedangkan Banker et al. (2014) mengukur cost leadership dengan menggunakan
indikator: (1) efisiensi yang diukur dari kondisi dimana biaya input per unit
output rendah, (2) biaya operasi yang minimum dan kontrol terhadap biaya tak
terduga (overhead cost). (3) meminimalkan biaya dan aset per unit output.
Penelitian ini menggunakan indikator seperti: (1) efisiensi biaya (2) biaya
operasional rendah. (3) biaya kuliah per mahasiswa rendah.
2.4. Fokus Strategi Pelayanan
Fokus merupakan salah satu strategi dari Porter generic strategy. Pada
umumnya strategi fokus dijalankan dalam kerangka fokus pada strategi
diferensiasi atau keunggulan biaya (cost leadership) (Wu et al., 2015). Fokus
dapat juga dijalankan oleh organisasi industri atau organisasi untuk menyediakan
pelayanan yang berbeda dan unik atau menawarkan pelayanan dengan biaya yang
lebih murah dari industri pesaingnya. Pelayanan atau jasa merupakan produk yang
tidak terwujud (intangible product) yang dimiliki, disimpan, dan dapat
dimanfaatkan pada waktu dan tempat tertentu (Green, 2014). Angelova (2011)
mendefinisikan pelayanan sebagai kegiatan ekonomi yang tidak berwujud
(intangible) atau barang yang bukan berbentuk seperti produk yang memberikan
nilai bagi pelanggan. Kualitas pelayanan merupakan perbandingan antara harapan
pelanggan, dan realitas layanan yang didapat (Ramayah et al., 2011).
34
Perbedaan fundamental dari jasa dan produk adalah ketidakwujudan
(intangibility) karena jasa tidak dapat dilihat, dirasakan, atau disentuh
sebagaimana produk (Bamert and Wehrli, 2005). Chenet et al. (2010)
mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai evaluasi pelanggan terhadap pelayanan
yang diterimanya berdasarkan parameter seperti reliabilitas (reliability),
ketanggapan (responsiveness) dan empati (empathy). Kualitas pelayanan
merupakan perbedaan persentasi ekspektasi pelanggan terhadap sebuah produk
dan realitas yang dirasakan setelah menggunakan produk tersebut (Zameer et al.,
2015). Dalam studi ini, pelayanan didefinisikan sebagai suatu kegiatan untuk
menghasilkan produk yang tak terwujud (intangible product) yang memberikan
nilai dan kepuasan kepada pelanggan.
Studi-studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa penawaran pelayanan
baik sebuah organisasi industri akan ditentukan oleh kemampuan sumber daya
dan kapabilitasnya. Oleh karena itu, organisasi industri berupaya untuk
mengembangkan sumber daya dan kapabilitas untuk memperkuat strategi
pelayanan guna mempertahankan hubungan baik dengan pelanggan dan
memperkuat daya saing organisasi industri (Kwak and Kim, 2016). Menurut teori
resource-based view (RBV), sumber daya dan kapabilitas organisasi industri dapat
berupa fasilitas fisik, sumber daya manusia, pengetahuan dan teknologi (Douglas
et al., 2010; El Shafeey and Trott, 2014).
Organisasi industri dapat memperkuat diferensiasi produk dan jasa dengan
pesaingnya dengan menggunakan kualitas pelayanan sebagai sebuah proses bagi
evaluasi pelanggan (Angelova, 2011; Khodayari and Khodayari, 2011; Hallavo et
35
al., 2015). Organisasi industri-organisasi industri manufaktur berbasis produk
juga dewasa ini bukan hanya berfokus pada peningkatan kualitas produk, tetapi
juga berupaya meningkatkan kualitas pelayanan guna memenuhi tuntutan
pelanggan dan meningkatkan daya saing (Gebauer et al., 2010; Gebauer et al.,
2012; Hsieh et al., 2013; Hallavo et al., 2015; Kwak and Kim, 2016).
Strategi pelayanan menjadi salah satu faktor kunci untuk menentukan
kesuksesan sebuah industri karena berhubungan dengan kepuasan pelanggan
(Khodayari and Khodayari, 2011) dan berpengaruh positif terhadap kinerja
organisasi (Ham, 2003; Paul et al., 2016). Industri yang memberikan kepuasan
kepada pelanggan akan sukses mempertahankan loyalitas dan retensi pelanggan
terhadap produk dan jasa yang ditawarkan, pada gilirannya akan memberikan
profitabilitas kepada organisasi industri (Angelova, 2011). Dengan demikian,
organisasi industri dapat mengembangkan kualitas pelayanan yang baik untuk
memenuhi ekspektasi pelanggan.
Dalam konteks industri pendidikan tinggi, kualitas pelayanan merupakan
pendorong utama efektivitas strategi pemasaran yang berhubungan erat dengan
kepuasan mahasiswa. Kualitas pelayanan akan menentukan pandangan mahasiswa
tentang institutsi pendidikan dan mempengaruhi pemasaran dari mulut ke mulut
(word of mouth marketing) (Cardona and Bravo, 2012). Jika kualitas pelayanan
baik akan membuat mahasiswa yang merupakan pelanggan utama industri
pendidikan tinggi mentransmisikan hal-hal baik tersebut kepada orang lain
sehingga industri pendidikan tersebut akan menarik lebih banyak lagi pelanggan.
Walaupun demikian kualitas pelayanan merupakan sesuatu yang masih subyektif
36
yang berbeda dengan kualitas produk yang dapat diukur secara nyata (Jain et al.,
2011) karena adanya perbedaan pandangan dari stakeholders tentang kualitas
pelayanan (Gruber et al., 2010).
Akademisi dan praktisi ingin mendapatkan akurasi pengukuran kualitas
pelayanan (service quality) terhadap anteseden dan konsekuensi sehingga dapat
memilih cara yang tepat untuk meningkatkan kualitas pelayanan guna mencapai
keunggulan daya saing dan loyalitas pelanggan. Namun demikian, para akademisi
masih berbeda pendapat tentang instrumen pengukuran kualitas pelayanan yang
digunakan lintas industri (Firdaus, 2006; Gruber et al., 2010; Faganel, 2010)
karena adanya perbedaan preferensi antara stakeholders terhadap kualitas
pelayanan (Gruber et al., 2010), sehingga indikator kualitas pelayanan harus
dirumuskan sesuai dengan jenis industri (Farooq et al., 2017). Oleh karena itu,
studi terus dilakukan untuk mendapatkan instrumen yang tepat dan reliabel guna
mengukur kualitas pelayanan lintas industri.
Dalam konteks industri pendidikan tinggi, Firdaus (2006) mengukur
kualitas pelayanan dengan menggunakan empat dimensi yakni: (1) non-academic
aspects. (2) academic aspects. (3) realiability. (4) empathy. Sedangkan Dadfar
and Brege (2012) memberikan 10 dimensi pengukuran kualitas pelayanan adalah:
(1) tangibles. (2) reliability. (3) responsiveness. (4) communication. (5)
credibility. (6) security. (7) competence. (8) courtesy. (9) understanding/knowing
customers. (10) access.
Soutar and McNeil (1996) mengukur kualitas pelayanan dengan
menggunakan dimensi-dimensi seperti: (1) tangibles. (2) reliability; (3)
37
responsiveness; (4) assurance. (5) empathy. Gruber et al. (2010) mengukur
kualitas pelayanan dengan menggunakan dimensi-dimensi pelayanan seperti: (1)
pelayanan mahasiswa dan administratif. (2) atmosfir diantara mahasiswa. (3) daya
tarik di sekitar kota. (4) peralatan computer. (5) kursus/program studi. (6)
perpustakaan. (7) staf pengajar. (8) ruang kuliah. (9) kafertaria/kantin. (10)
relevansi pengajaran dengan praktek. (11) reputasi universitas. (12) lokasi
sekolah. (13) dukungan staf pengajar. (14). Presentasi informasi. (15) gedung
universitas.
Kualitas pelayanan industri pendidikan tinggi dapat diukur juga dengan
indikator-indikator seperti: (1) kualitas pengajaran. (2) sumber daya akademik. (3)
kompetensi. (4) attitude. Owlia dan Aspinwall memberikan 6 dimensi kualitas
dalam pendidikan tinggi yakni tangibility (alat dan fasilitas yang cukup),
competence (keahlian mengajar, pengetahuan teoritis dan praktis), attitude
(memahami kebutuhan mahasiswa, sopan, perhatian personal, keinginan untuk
membantu), content (kurikulum yang relevan, lintas disipliner, fleksibilitas
pengetahuan), delivery (presentasi yang efektif, umpan balik dari mahasiswa,
memotivasi mahasiswa), reliability (dapat dipercaya, menangani komplain,
menyelesaikan masalah) (Cardona and Bravo, 2012).
Chui et al. (2016) menggunakan dimensi-dimensi yang dikembangkan
oleh Parasuraman et al. (1994) untuk mengukur kualitas pelayanan: (1) tangible
(memiliki peralatan yang terbaru, adanya fasilitas, adanya sumber daya manusia,
bahan yang ada sesuai dengan persepsi/kepuasan pelayanan). (2) reliability
(menyediakan pelayanan sesuai dengan janji, serius dalam menangani masalah,
38
melakukan pelayanan langsung pada waktu dibutuhkan, menyediakan pelayanan
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan dan menyimpan data yang akurat). (3)
responsiveness (informasikan secara pasti pelayanan yang akan dilaksanakan,
memberikan pelayanan langsung kepada mahasiswa, kemauan untuk membantu
mahasiswa, kesiapan dalam menjawab permintaan mahasiswa). (4) assurance
(pekerja yang dapat dipercaya, mahasiswa aman selama berinteraksi dengan
pekerja, pekerja secara konsisten membimbing mahasiswa, pekerja memiliki
pengetahuan untuk menjawab keingin-tahuan mahasiswa). (5) empathy (institusi
memberikan perhatian kepada mahasiswa secara individu, institusi memiliki
waktu operasi yang sesuai dengan semua mahasiswa, institusi memiliki pekerja
yang memberikan perhatian secara pribadi kepada mahasiswa, institusi memiliki
kepedulian yang tinggi kepada mahasiswa, institusi memahami kebutuhan khusus
mahasiswanya).
Fokus strategi pelayanan dapat diukur dengan melakukan kombinasi
indikator-indikator yang digunakan oleh Firdaus (2006) dan Soutar and McNeil
(1996), Trivellas and Dargenidou (2009), Gruber et al. (2010), Dadfar and Brege
(2012), Cardona and Bravo (2012), dan Chui et al. (2016). Walaupun demikian,
instrumen pengukuran kualitas pelayanan perlu disesuaikan dengan karakteristik
Negara karena kekhususan karakteristik institusi berdasarkan kondisi khusus
Negara dimana institusi tersebut berada (de Jager and Gbadamosi, 2013; Farooq
et al., 2017). Oleh karean itu, dalam penelitian ini, indikator-indikator yang
digunakan adalah kompetensi dosen membantu mahasiswa, kesesuian
kepemilikan fasilitas dengan harapan mahasiswa, kualitas sebagai basis layanan,
39
tanggap melayani mahasiswa, dan perhatian terhadap mahasiswa (Firdaus, 2006;
Trivellas and Dargenidou, 2009; Gruber et al., 2010; Cardona and Bravo, 2012;
Chui et al., 2016).
2.5. Strategi Inovasi
Inovasi telah menjadi perhatian peneliti dan praktisi bisnis dalam
lingkungan kompetitif bisnis dewasa ini (Berghman et al., 2013; Alshammari et
al., 2014) karena inovasi merupakan faktor kunci dalam pertumbuhan ekonomi
dunia (Boult et al., 2009; Babkin et al., 2015) dan pertumbuhan organisasi
industri (Back et al., 2014). Peneliti dan praktisi bisnis berupaya untuk
mengembangkan strategi dan sumber daya dalam membuat inovasi guna
mempertahankan keberkelanjutan daya saing (Bernardo, 2014), meningkatkan
pertumbuhan pendapatan dan profit dalam jangka panjang (Berghman et al.,
2013). Kondisi ini berimplikasi pada munculnya variabilitas definisi inovasi.
Walaupun demikian, dalam konteks industri, para peneliti hampir memiliki
kesamaan tentang inovasi yakni suatu proses merubah pengetahuan dan ide
kedalam produk dan jasa baru yang bernilai bagi pelanggan, pasar dan
memberikan keuntungan atau nilai tambah bagi organisasi industri ( Feeny and
Rogers, 2003; Jaskyte, 2011; Acar and Acar, 2012; Al-Hakim and Hassan, 2013;
Prajogo, 2016). Strategi inovasi merupakan upaya untuk merubah pengetahuan
dan ide ke dalam produk, proses, layanan, sistem baru guna memberikan
keuntungan kepada organisasi industri dan stakeholders (Perdomo-Ortiz et al.,
2006; Perdomo-Ortiz et al., 2009; Jaskyte, 2011) atau merubah pengetahuan
menjadi uang (Boult et al., 2009). Dalam studi ini, strategi inovasi didefinisikan
40
sebagai merubah pengetahuan dan ide kedalam produk, proses, jasa baru atau
memperbaiki metode, produk dan jasa yang ada untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan dan memberikan keuntungan kepada organisasi industri.
Tujuan organisasi industri melakukan inovasi adalah untuk meningkatkan
daya saing dan kinerja organisasi industri dalam lingkungan bisnis yang semakin
kompetititif. Dalam hal ini, strategi dan penggunaan kapabilitas organisasi
industri berperan penting dalam proses inovasi (Al-ansari et al., 2013). Dalam
lingkungan industri yang kompetitif, organisasi industri harus membuat produk
atau jasa yang berbeda, bernilai dan unik untuk mempertahankan daya saing
(Porter, 1980; Porter, 1985). Sebaliknya teori resource-based value menyatakan
bahwa organisasi industri dalam mempertahankan daya saing terhadap
kompetitornya harus mempunyai dan mengembangkan sumber daya dan
kapabilitas untuk menghasilkan produk yang bernilai, unik, langka dan sulit
diimitasi oleh industri pesaingnya (Barney, 1991; Acar and Acar, 2012) serta
menurunkan biaya bersih (net cost) atau meningkatkan pendapatan bersih (net
income) organisasi industri (Al-ansari et al., 2013). Untuk menghasilkan produk
atau jasa yang bernilai, unik, berbeda dan sulit diimitasi dihasilkan melalui proses
inovasi (Acar and Acar, 2012) berdasarkan pada penelitian dan pengembangan.
Inovasi merupakan kegiatan rutin terintegrasi organisasi industri melalui
invensi (invention), belajar (learning) dan implementasi pengetahuan
(implementation of knowledge) (Santos et al., 2014; Feeny and Rogers, 2003)
untuk menjadi uang (Boult et al., 2009). Oleh karena itu, inovasi berhubungan
dengan penelitian dan pengembangan (research and development) yang berbasis
41
pada ilmu dan teknologi. Organisasi industri yang menggunakan informasi dan
data dari research and development dapat meningkatkan inovasi terhadap produk
(Guan et al., 2015), dan pada gilirannya mendorong pertumbuhan produktivitas
(Shao and Lin, 2016). Inovasi juga bermanfaat untuk efisiensi proses produksi,
memperbaiki kinerja pasar, memberikan reputasi baik dari pelanggan guna
menjaga keunggulan daya saing (Babkin et al., 2015).
Banyak organisasi industri yang belum bisa mengadopsi strategi inovasi
karena dua alasan utama: (1). Inovasi merupakan kegiatan yang berisiko yang
membutuhkan biaya untuk kompensasi resiko tersebut; dan (2). Banyak organisasi
industri menghadapi ketertabasan finansial untuk membuat penelitian dan
pengembangan sebagai sumber inovasi (Feeny and Rogers 2003; Allred and
Swan, 2005; Boult et al., 2009).
Inovasi dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok utama yakni:
(1). Inovasi administratif dan teknis; (2). Inovasi produk dan jasa; (3). Inovasi
radikal dan inkremental; (4). Inovasi eksploratif dan eksploitatif (Wang and
Ahmed, 2004; Bowen et al., 2010; Li et al., 2010; Jaskyte, 2011; Al-Hakim and
Hassan, 2013). Inovasi administratif adalah implementasi struktur, prosesdur,
system, atau proses baru dan berbeda dari praktek-praktek administratif yang
biasa digunakan oleh sebuah organisasi, sedangkan inovasi teknis adalah
penerapan pelayanan, program atau produk baru yang berbeda dengan praktek-
praktek yang biasanya digunakan sebuah organisasi (Jaskyte, 2011). Inovasi
produk adalah kegiatan organisasi industri untuk membuat produk baru yang
bernilai bagi pelanggan dan pasar pada waktu yang tepat (Wang Ahmed, 2004).
42
Inovasi eksploitatif merupakan upaya organisasi industri untuk memperbaiki dan
mengembangkan produk dan proses yang ada untuk lebih efisiensi dan efikasi,
sedangkan inovasi eksploratif merupakan kegiatan organisasi industri untuk
membuat produk dan proses baru dengan pengetahuan dan teknologi baru yang
bernilai bagi pasar (Benner Tushman 2003; Li et al., 2010; Bedford, 2015).
Organisasi industri mengadopsi strategi inovasi yang berbeda karena
kondisi lingkungan, faktor organisasi, proses pembuatan inovasi, sektor organisasi
yang berbeda (Al-Hakim Hassan, 2013). Demikian juga perbedaan karakteristik,
kapabilitas (finansial, sumber daya manusia, pengetahuan dan teknologi), strategi
dan budaya, tuntutan pelanggan dan pasar yang dihadapi sebuah organisasi
industri.
Industri pendidikan tinggi dapat melakukan inovasi dalam
mempertahankan efisiensi, daya saing, dan kinerja tinggi dalam lingkungan
industri pendidikan tinggi yang semakin kompetitif dewasa ini. Inovasi tersebut
dapat dilakukan terhadap cakupan 3 misi perguruan tinggi yakni pengajaran,
penelitian, dan pelayanan masyarakat. Dalam konteks dimensi pengajaran, inovasi
dapat dilakukan pada kurikulum untuk bisa mengintegrasikan ekspektasi dari
mahasiswa, perguruan tinggi dan penyedia lapangan kerja dalam dimensi
pengetahuan teknis (technical knowledge) dan kemampuan perangkat lunak
berhubungan dengan tempat kerja (workplace-related soft skills) (Bayerlein,
2015).
Ada beberapa model inovasi kurikulum antara lain kurikulum inovasi
terintegrasi yang memungkinkan mahasiswa lintas disiplin untuk belajar dan
43
mengembangkan bersama produk yang relevan dengan industri (Duening, 2009),
integrasi dan kolaborasi kurikulum antara gelar berbasis penelitian dan gelar
berbasis praktisioner (Edwards et al., 2016) atau kurikulum yang
mengintegrasikan kewirausahaan dan prinsip-prinsip keberkelanjutan dalam
kegiatan belajar dan mengajar (teaching and learning). Inovasi juga bisa
dilakukan terhadap metode pengajaran dan evaluasi kinerja mahasiswa, pelayanan
kepada mahasiswa dan masyarakat, penggunaan teknologi, fasilitas, organisasi,
program studi, dan keahlian yang ditawarkan, cara seleksi mahasiswa dan evaluasi
kinerja staf dosen dan penelitian (Desai, 2012; Durkin et al., 2016).
Para peneliti masih memiliki perbedaan pendapat dalam mengukur
inovasi. Perbedaan tersebut pada umumnya dapat disebabkan oleh perbedaan jenis
dan ukuran industri, dan kebutuhan pelanggan dimana industri berada. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Alshammari et al. (2014) bahwa tiap Negara dan jenis
industri memiliki perbedaan karakteristik yang berimplikasi pada perbedaan
penggunaan indikator-indikator inovasi. Dalam mengukur inovasi, Guan et al.
(2009) mengukur kinerja inovasi dengan inovasi penjualan dan rasio inovasi yang
merupakan persentase produk baru yang terjual dibagi dengan total produk yang
terjual. Bolivar-Ramos et al. (2012) menggunakan 6 indikator yang
dikembangkan oleh Zara (1993) untuk mengukur inovasi organisasi. Kemudian
Kafetzopoulos and Psomas (2015) mengukur inovasi dengan menggunakan
indikator-indikator yang dikembangkan oleh Wonglimpiyarat (2010), Tomlinson
(2010), Gunday et al. (2011), Jimenez-Jimenez and Sanz-Valle (2011), Yam et al.
(2011) dan Forsman (2011). Menurut Acar and Acar (2012) inovasi dapat diukur
44
dengan menggunakan dimensi dan indikator dari Wang and Ahmed (2004), dan
Jansen et al. (2006). Alshammari et al. (2014) mengukur inovasi organisasi
dengan menggunakan 4 dimensi yakni strategi inovasi (innovation strategy),
proses inovasi (innovation process), pembelajaran organisasi (organisation
learning) dan struktur organisasi (organization structure) yang dikembangkan
oleh Tidd and Bessant (2009).
Dalam penelitian ini, inovasi diukur dengan 3 indikator yakni: (1) inovasi
kurikulum (Desai, 2012; Al-ansari et al., 2013; Durkin et al., 2016),(2) inovasi
metode belajar dan mengajar (Alshammari et al., 2014; Zubielqui et al., 2015),
dan (3) inovasi teknologi pengajaran (Desai, 2012; Al-ansari et al., 2013; Durkin
et al., 2016). Penggunaan indikator-indikator ini lebih sesuai dengan jenis industri
jasa pendidikan tinggi, terutama di Timor-Leste yang masih dalam tahap
pengembangan.
2.6. Kinerja Industri
Kinerja industri merupakan indikator yang biasanya digunakan untuk
mengukur keberhasilan sebuah organisasi industri dalam mencapai tujuan dan
target yang sudah ditetapkan (Ho, 2011; Avram and Avasilcai, 2014). Atau
kemampuan organisasi industri untuk memenuhi kepuasan pelanggan dan
memenangkan pasar terhadap pesaingnya melalui produk dan jasa yang
ditawarkan. Kinerja organisasi industri adalah himpunan manajemen dan proses
analitik yang memungkinkan pengelolaan organisasi untuk mencapai tujuannya
(Ab Hamid et al., 2014) seperti tujuan keuangan dan pemasarannya (Li et al.,
2006). Maka, kinerja industri menjadi parameter sangat penting bagi para
45
pengelola organisasi industri dalam mengambil keputusan untuk menjamin
kesuksesan bersaing sebuah organisasi industri (Bouranta and Psomas, 2017).
Dalam konteks industri pendidikan tinggi, kinerja industri adalah seberapa baik
industri pendidikan tinggi mengembangkan strategi untuk mencapai tujuan
pengajaran, penelitian, pelayanan masyarakat, dan keuangan (Huang and Lee,
2012; Asif and Searcy, 2014).
Kinerja industri dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal (Porter, 1980;
Metts 2007; Huang and Lee, 2012), faktor-faktor internal (Barney, 1991; Metts,
2007; Huang and Lee, 2012; Battagello et al., 2016;) dan strategi bisnis organisasi
industri (Porter, 1980; Barney 1991; Parnell, 2010; Bobe and Kober, 2015; Friis
et al., 2016; Anwar and Hasnu, 2016; Oyewobi et al., 2016; Soltanizadeh et al.,
2016; Yuliansyah et al., 2017). Faktor-faktor eksternal seperti lima kekuatan
diamond dapat memicu intensitas persaingan dan kinerja (Porter, 1980; Porter,
1985). Demikian juga faktor-faktor internal seperti sumber daya, dan kapabilitas
internal organisasi industri (Barney, 1991), dan strategi organisasi industri dapat
mempengaruhi posisi bersaing dan kinerja industri (Gabrielsson et al., 2016;
Yuliansyah et al., 2016).
Kinerja industri pada umumnya diukur dengan menggunakan indikator-
indikator dari kinerja keuangan, dan kinerja non keuangan (Allen and Helms,
2006; Aliyu et al., 2014). Walaupun demikian, ada variasi indikator dalam
mengukur kinerja industri. Misalnya kinerja industri diukur dengan menggunakan
kinerja keuangan seperti return on investment atau ROI, return on equity atau
ROE (Alipour, 2013; Andreou et al., 2014; Abdifatah, 2014; Al-Najjar, 2014;
46
Kilic et al., 2015; Sánchez et al., 2015; Bayar et al., 2018), pertumbuhan
pendapatan, ukuran profit/surplus (Pinho et al., 2014) dan kinerja pemasaran
seperti pertumbuhan penjualan and profitabilitas (Antoncic and Prodan, 2008;
Lee and Yang, 2011), market share (Antoncic and Prodan, 2008; Kilic et al.,
2015; Zehir et al., 2015; Prajogo, 2016), kepuasan pelanggan, dan total penjualan
(Lee and Yang, 2011; Kilic et al., 2015).
Dalam industri pendidikan tinggi, kinerja industri dapat diukur dengan
kinerja total, kinerja pengajaran, pertumbuhan mahasiswa, market share (Zebal
and Goodwin, 2012), kinerja mahasiswa (student achievement), satuan biaya per
mahasiswa (Harrison and Rouse, 2014), atau dimensi pengajaran (learning and
teaching), penelitian (research), pengabdian (services) dan keuangan (finance)
dengan indikator-indikator spesifiknya (Asif and Searcy, 2014). Zebal and
Goodwin (2012) mengukur kinerja perguruan tinggi dengan menggunakan: (1)
kinerja keseluruhan (overall performance), (2) kualitas pengajaran dan pelayanan
(quality of teaching and services), 3) pertumbuhan mahasiswa (student growth),
dan (4) market share. Sahney and Thakkar (2016) menggunakan input indicator
(market share, teaching quality, research, administration, dan infrastructure),
serta output indikator (review by external, placement of students, membership,
prizes and medals, serta success rate and time taken).
Dalam penelitian ini kinerja industri pendidikan tinggi diukur dengan
menggunakan empat dimensi yakni belajar dan mengajar (kepuasan, drop out
rate, nilai rata-rata mahasiswa, alumni yang terserap dalam lapangan kerja, dan
pertumbuhan jumlah mahasiswa), dimensi penelitian (publikasi staf di jurnal
47
nasional dan internasional, jumlah dosen yang mengikuti seminar, dan workshop
sebagai peserta dan pemakalah, dan penelitian yang mendatangkan dana), dimensi
pelayanan masyarakat (konseling kepada mahasiswa dan alumni, kegiatan
pelayanan masyarakat, dan partisipasi dalam pengembangan kurikulum), serta
dimensi keuangan dan pemasaran (Pertumbuhan pengembalian modal,
pertumbuhan net surplus, pertumbuhan total pendapatan, dan penguasaan pangsa
pasar). Indikator-indikator tersebut diadopsi dari Zebal and Goodwin (2012),
Alipour (2013), Asif and Searcy (2014), Andreou et al. (2014), Abdifatah (2014),
Al-Najjar (2014), dan Kilic et al., 2015).
2.7. Persaingan Industri dan Kinerja Industri
Persaingan industri mempengaruhi kinerja industri karena kompetisi
mendorong organisasi industri melakukan kontrol biaya dan melakukan efisiensi
untuk meningkatkan produktivitas (Du and Chen, 2010). Oleh karena itu,
organisasi industri harus memiliki sumber daya yang baik, bernilai, dan unik
untuk meningkatkan posisi bersaing. Menurut resource-based theory, jika
organisasi industri memiliki sumber daya (manusia, pengetahuan, teknologi, fisik,
keuangan, dan pemasaran) yang baik, unik dan sulit diimitasi lawannya untuk
menghasilkan produk yang bernilai bagi pelanggan dapat meningkatkan daya
saing dan kinerja organisasi industri (Barney, 1991; Douglas et al., 2010; Dirisu
et al., 2013). Resource-based theory kemudian diperkuat oleh strategi generik
Porter yang menyatakan bahwa persaingan industri akan mempengaruhi daya
saing dan kinerja industri. Guna meningkatkan daya saing, organisasi industri
harus mengadopsi salah satu strategi yakni differentiation strategy atau cost
48
leadership sesuai kondisi lingkungan (Parnell, 2010). Walaupun demikian, dalam
realitas bisnis resource-based strategy dan Porter Generic Strategy saling
melengkapi dan memperkuat, sehingga muncul strategi hybrid atau combined
strategy (Parnell 2011; Salavou 2015). Demikian juga contingency strategy
theory mengungkapkan bahwa organisasi industri yang survive dalam lingkungan
industri kompetitif adalah organisasi industri yang mampu menggunakan sumber
daya dengan baik guna membuat strategi yang cocok (fit strategy) dengan kondisi
lingkungan industri (Baack and Boggs, 2008). Teori kontigensi ini dapat
mengadopsi resource-based strategy dan Porter Generic Strategy dan
dilaksanakan lebih fleksibel sesuai tuntutan lingkungan industri (Oltra and Flor,
2010).
Ada beberapa studi empiris yang menggunakan pendekatan resource-
based strategy, Porter Generic Strategy dan contingency strategy dalam melihat
hubungan antara kompetisi dan kinerja industri, dan hasil-hasilnya berbeda.
Misalnya ada beberapa studi yang menemukan bahwa persaingan industri
berpengaruh positif terhadap kinerja industri (Hoque, 2011; Lee and Yang, 2011;
Al-Rfou, 2012; Ghasemi et al., 2015; Obembe and Soetan, 2015) karena dalam
lingkungan di mana pasar sangat kompetitif, pemilik organisasi industri akan
melakukan optimalisasi kegiatan untuk menurunkan biaya, mengurangi risiko
manajerial dan operasional, menyediakan insentif untuk mengoptimalkan efisiensi
dan mendorong inovasi (Januszewski, 2002; Du and Chen, 2010; Obembe and
Soetan, 2015).
49
Walaupun demikian, ada beberapa studi empiris yang menunjukkan bahwa
kompetisi industri berpengaruh negatif terhadap kinerja industri (Metts, 2007;
Patiar and Mia, 2009; Lee and Yang, 2011; Assaf and Cvelbar, 2011; Huang and
Lee, 2012; Fosu, 2013; Mia and Winata, 2014; Teller et al., 2016;) karena
persaingan yang tinggi akan membuat beberapa organisasi industri dapat
kehilangan pangsa pasar karena masuknya pesaing baru yang memiliki sumber
daya dan strategi yang lebih baik. Organisasi industri yang tidak memiliki sumber
daya dan strategi yang jelas sulit melakukan inovasi, menciptakan produk, jasa,
dan nilai baru untuk memenuhi perubahan tuntutan kebutuhan pelanggan atau
pasar.
2.8. Persaingan Industri dan Diferensiasi
Dalam lingkungan industri yang intensitas persaingan tinggi, organisasi
industri akan megembangkan strategi antara lain membuat diferensiasi produk dan
proses guna menjamin keberkelanjutan daya saing (Zehir et al., 2015). Strategi
diferensiasi dalam lingkungan industri kompetitif dapat dijelaskan dengan
Resource-based view (Barney, 1991) dan strategi generik Porter (Porter, 1985).
Teori RBV menyatakan bahwa dalam lingkungan industri yang kompetitif,
organisasi industri dapat menggunakan keunggulan sumber daya dan
kapabilitasnya untuk melakukan inovasi dan menciptakan produk atau jasa baru
atau memperbaiki produk atau jasa yang ada sehingga menjadi unik dan bernilai
bagi pelanggan guna meningkatkan daya saing (Barney, 1991; Rubio and Aragón,
2009; Dirisu et al., 2013). Sebaliknya, strategi Porter menyatakan bahwa dalam
lingkungan industri yang kompetitif, organisasi industri dapat mengadopsi strategi
50
diferensiasi ataupun strategi keunggulan biaya untuk meningkatkan daya saing
dan mempertahankan kinerja yang baik (Parnell, 2011; Becerra et al., 2013;
Salavou, 2015; Mathooko and Ogutu, 2015).
Walaupun demikian, dalam realitasnya, organisasi industri dapat
menggunakan kombinasi antara kedua strategi tersebut. Hal ini disebabkan oleh
intensitas tinggi kompetisi industri yang dipicu oleh globalisasi dan pasar bebas
dewasa ini berimplikasi pada banyak organisasi industri yang menghadapi multi
ancaman sehingga membutuhkan multi-strategi untuk meningkatkan posisi
bersaing dibandingkan dengan hanya menggunakan satu atau dua strategi
(Salavou 2015). Dengan persaingan yang semakin tinggi, organisasi industri harus
membuat diferensiasi dengan pesaingnya untuk menghadapi pelanggan sehingga
bisa mempertahankan daya saing (Dadfar and Brege, 2012). Rubio and Aragón
(2009) menyatakan bahwa organisasi industri yang mempunyai sumber daya dan
kapabilitas yang baik dan diintegrasikan dengan strategi bisnis yang baik dan
cocok dengan lingkungan industri yang dinamis akan meningkatkan daya saing
dan kinerja. Spencer et al. (2009) dan Douglas et al. (2010) juga menyatakan
bahwa dalam lingkungan industri yang kompetititif organisasi industri harus
meningkatkan posisi bersaing dengan membuat produk yang berkualitas,
fleksibel, dan daya tahan kuat dan berbeda dengan industri pesaingnya guna
mempertahankan daya saing. Organisasi industri yang mengadopsi diferensiasi
produk dan proses yang bernilai bagi pelanggan memiliki posisi bersaing yang
lebih baik dengan pesaingnya (Brenes et al., 2014). Demikian juga dalam
lingkungan industri yang kompetitif, perusahan yang menggunakan pelayanan
51
yang berbeda memiliki posisi yang lebih baik untuk menghadapi perubahan
dramatis kebutuhan pelanggan (Gebauer et al., 2011). Studi-studi empiris juga
menemukan bahwa persaingan industri berpengaruh positif terhadap diferensiasi
(Cohen and Mazzeo, 2004; Becerra et al., 2013; Kertiyasa et al., 2014; Banker et
al., 2014) karena organisasi industri akan terdorong untuk membuat inovasi guna
menciptakan produk atau jasa baru dan bernilai bagi pelanggan guna menghindari
tekanan persaingan dan mempertahankan keberkelanjutan daya saing (Becerra et
al., 2013; Banker et al., 2014).
Walaupun demikian, persaingan juga dapat berpengaruh negatif terhadap
strategi diferensiasi. Hal ini disebabkan organisasi industri yang ingin mengadopsi
strategi diferensiasi harus melakukan investasi untuk terus melakukan inovasi dan
menciptakan produk atau jasa baru yang berbeda, unik, dan bernilai guna
mempertahankan loyalitas pelanggan (Acquaah, 2011). Inovasi produk baru yang
bernilai unik dan sesuai kebutuhan pelanggan membutuhkan anggaran besar,
sehingga kurang memotivasi para manajer organisasi industri mengadopsi strategi
diferensiasi (Aghion et al., 2005), terutama organisasi industri kecil dan
menengah yang kurang skala ekonomi (lack of economies of scale), memiliki
sumber daya terbatas dan ukuran pasar yang kecil, dan mudah tergoncang dengan
adanya perubahan pasar dan lingkungan bisnis (Al-ansari et al., 2013). Selain itu,
kompetisi industri yang tinggi mendorong pesaing untuk melakukan imitasi
karena ada produk yang tidak bisa dipatenkan atau karena perubahan kebijakan
pemerintah (Douglas et al., 2010). Jika organisasi industri kompetitor berhasil
melakukan imitasi terhadap produk atau jasa yang dihasilkan, maka organisasi
52
industri yang mengadopsi strategi diferensiasi dapat kehilangan daya saing dan
profit dalam lingkungan industri yang kompetitif (Furrer et al., 2008; Banker et
al., 2014). Hal ini disebabkan oleh organisasi industri yang mengadopsi strategi
diferensiasi hanya bisa mempunyai daya saing tinggi jika produk yang dihasilkan
unik, bernilai, dan dapat menghasilkan profit (Nandakumar et al., 2011; Baroto et
al., 2012; Banker et al., 2014).
2.9. Persaingan Industri dan Strategi keunggulan biaya
Persaingan industri dalam era intensitas globalisasi dan perubahan
tuntutan terhadap produk dan pelayanan akibat kemajuan teknologi, menuntut
perusahan untuk mengembangkan strategi yang tepat untuk mempertahankan daya
saing (Parnell, 2010). Semakin tumbuh organisasi industri, kompetisi akan
semakin meningkat, sehingga organisasi industri berupaya untuk meningkatkan
efisiensi operasi guna menawarkan harga yang kompetitif kepada pelanggan
(Kaufman, 2015).
Menurut strategi generik Porter, kompetisi industri menuntut organisasi
industri beroperasi lebih efisien dan melakukan pengetatan biaya untuk menjual
produk dan jasa yang lebih rendah (cost leadership) dibandingkan dengan
kompetitornya untuk mempertahankan daya saing (Porter, 1980; Porter, 1985;
Banker et al., 2014). Untuk mencapai keunggulan biaya (cost leadership),
organisasi industri harus melakukan kontrol, pengetatan biaya dan beroperasi
lebih efisien dibandingkan kompetitornya (Miles, 2013). Demikian juga lebih
berorientasi pada sisi suplai dibandingkan dengan sisi permintaan pasar sehingga
menjadikan perilaku kompetitornya sebagai orientasi utama dalam pengembangan
53
strategi bersaing (Baroto et al., 2012). Dalam konteks demikian, persaingan
industri berpengaruh positif terhadap pengembangan strategi keunggulan biaya
(Parnell, 2011).
2.10. Persaingan Industri dan Fokus Strategi Pelayanan
Persaingan industri telah mendorong organisasi industri untuk mencari
solusi guna mempertahankan daya saing dan kinerja. Fokus strategi pelayanan
telah menjadi perhatian industri manufaktur dan jasa. Hal ini disebabkan kualitas
pelayanan yang tinggi telah menjadi kunci untuk mempertahankan kelanjutan
daya saing karena pelayanan yang baik akan memuaskan pelanggan sehingga
produk dan jasa yang ditawarkan akan semakin laku (Angelova, 2011). Karena
pentingnya pelayanan, banyak organisasi industri manufaktur sekarang telah
mengintegrasikan penjualan produk dan kualitas pelayanan untuk memuaskan
pelanggan (Kwak and Kim, 2016).
Intensitas pengembangan strategi pelayanan didorong oleh perubahan
lingkungan bisnis karena menghadapi tekanan pada persaingan produk,
peningkatan tuntutan terhadap nilai pelanggan dan pertumbuhan profit (Gebauer
et al., 2012). Demikian juga karena peningkatan tingkat pemahaman dan
penguasaan pelanggan terhadap teknologi sehingga pelanggan sangat kritis
terhadap produk dan jasa yang ada di pasar. Dengan demikian, organisasi industri
harus menyesuaikan produk, jasa, dan strategi pelayanannya dengan perubahaan
tuntutan dan kepuasan pelanggan (Bamert and Wehrli, 2005; Bambauer-Sachse
and Rabeson, 2015). Penawaran pelayanan yang lebih baik dan berkualitas berarti
organisasi industri juga membuat diferensiasi dengan organisasi industri
54
pesaingnya guna memberikan kepuasan dan mempertahankan pelanggan (Bamert
and Wehrli, 2005).
Walaupun demikian, dalam praktiknya masing-masing organisasi industri
mempunyai strategi pelayanan yang berbeda dengan institusi lain karena
perbedaan sumber daya dan tantangan persaingan yang dihadapi berbeda (Alam,
2012). Perbedaan strategi pelayanan tersebut juga dapat disebabkan oleh
perbedaan budaya masing-masing negara di mana industri beroperasi (de Jager
and Gbadamosi, 2013). Namun demikian, muara dalam strategi pelayanan adalah
kepuasan pelanggan sehingga membuat produk dan jasa bisa laku, dan
memenangkan persaingan terhadap industri kompetitornya dan membuat profit
yang berkelanjutan.
Ada banyak studi yang menemukan bahwa persaingan industri
berhubungan positif terhadap strategi pelayanan. Semakin tinggi persaingan akan
mendorong organisasi industri untuk meningkatkan strategi pelayanan sehingga
memberikan kepuasan kepada pelanggan (Paul et al., 2016). Ketika pelanggan
dipuaskan, akan mendorong pelanggan tetap loyal terhap produk dan jasa yang
ditawarkan organisasi industri sehingga organisasi industri memenangkan
kompetisi pasar. Untuk itu, organisasi industri berupaya tetap fokus pada
pelanggan dengan menawarkan pelayanan yang optimal.
Walaupun demikian, ada juga kajian yang menunjukkan hasil yang
sebaliknya. Persaingan industri dapat berhubungan negatif terhadap strategi
pelayanan. Hal ini disebabkan oleh kualitas strategi pelayanan dalam lingkungan
yang kompetitif ditentukan juga oleh sumber daya dan strategi yang diadopsi oleh
55
organisasi industri. Jika sebuah organisasi industri yang memiliki sumber daya
terbatas, kemudian menggunakan sumber daya terbatas yang ada untuk
mengembangkan inovasi pelayanan untuk menghadapi intens persaingan industri
dapat membahayakan keberkelanjutan pendapatan. Apalagi strategi pelayanan
baru yang ditawarkan masih belum teruji, dan cenderung mengasorbsi sumber
daya baik finansial, teknologi baru dan sumber daya manusia untuk menyediakan
tangible, responssive, assurance, dan empathy services kepada pelanggan.
Kondisi demikian membuat, para manajer sulit mengadopsi strategi pelayanan
baru dalam lingkungan industri yang kompetitif. Dengan demikian, persaingan
industri berpengaruh negatif terhadap strategi pelayanan (Neely, 2008; Jamal,
2009).
Dalam konteks industri pendidikan tinggi, pelayanan yang baik untuk
memuaskan pelanggan (mahasiswa, orang tua, dan penyedia lapangan kerja) akan
tergantung kemampuan industri pendidikan tinggi untuk menyediakan sumber
daya manusia (kualitas dan kompetensi dosen, manajer dan tenaga administratif,
rasio staf dan mahasiswa), teknologi (perpustakaan, teknologi informatika,
laboratorium) dan kontinuitas perbaikan kurikulum, pengajaran, evalusasi, dan
pelayanan yang berbasis pada penelitian dan pengembangan (research and
development).
Kinerja perguruan tinggi diukur dari (1). Dimensi belajar dan mengajar
dengan indikator: (a) kepuasan mahasiswa. (b) kepuasan penyedia kerja terhadap
kemampuan lulusan perguruan tinggi. (c) jumlah lulusan yang mendapatkan
pekerjaan. (d) tingkat drop-out rate. (e) jumlah mahasiswa yang lulus. (f) evaluasi
56
program studi, (2) dimensi penelitian dengan indikator: (a) jumlah publikasi
penelitian. (b) jumlah staf yang memperoleh anggaran penelitian. (c) jumlah
skripsi, tesis dan disertasi (monografi). (d) penelitian yang dilaksanakan untuk
menyeselaikan persoalan masyarakat. (e) dampak penelitian. (3) dimensi
pelayanan masyarakat dengan indikator-indikator. (a) pelayanan masyarakat. (b)
konseling kepada mahasiswa, (c) partisipasi dalam komite kurikulum. (d)
partisipasi dalam komite akademik. (4) dimensi keuangan dan pemasaran dengan
indikator-indikator: (a) pertumbuhan pendapatan. (b) profitabilitas dan (c)
penguasaan pangsa pasar (market share) (Asif and Searcy, 2014).
Perbedaan hasil kajian tersebut meninggalkan ruang bagi peneliti-peneliti
lain untuk melakukan studi dengan berbagai dimensi dan indikator dengan tujuan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan dengan ekspektasi untuk memenangkan
persaingan industri, serta mempertahankan daya saing dan meningkatkan kinerja
organisasi industri. Studi ini akan memberikan kontribusi dengan mengukur
persaingan dan strategi pelayanan dalam konteks industri pendidikan tinggi.
2.11. Persaingan Industri dan Inovasi
Para ekonom masih berdebat tentang hubungan antara persaingan industri
dan inovasi. Ada teori yang menyatakan bahwa persaingan industri dapat
mendorong inovasi (Du and Chen, 2010). Sebaliknya, teori inovasi klasik dari
Schumpeter (1943) menyatakan bahwa inovasi tidak cocok dilakukan dalam
lingkungan industri yang kompetitif karena organisasi industri dalam kondisi
industri seperti itu tidak mempunyai sumber daya yang lebih (excess resources)
untuk membuat inovasi. Sementara itu, teori inovasi Arrow (1962) menyatakan
57
bahwa organisasi industri yang memegang monopoli keutungan dalam pasar
kurang terinsentif untuk melakukan inovasi karena inovasi dapat menurunkan
pangsa pasar nya (market share) (Im et al., 2015). Dikotomi pandangan tentang
kompetisi dan inovasi bukan saja berada dalam tingkatan teori, namun juga terjadi
pada tingkatan studi-studi empiris.
Kompetisi mendorong organisasi industri untuk menurunkan biaya,
membuat efisiensi dan mendorong inovasi (Du and Chen, 2010) dan pertumbuhan
(Havenvid, 2015). Industri yang memiliki sumber daya dan kapabilitas tinggi
dapat melakukan investasi dibidang penelitian dan pengembangan untuk membuat
inovasi guna menjamin kelanjutan operasi dan pertumbuhan (Guan et al., 2009;
Laforet, 2011) karena dalam lingkungan industri kompetitif, organisasi industri
akan membuat dan memberikan produk baru bagi pelanggan sehingga dapat
membedakan organisasi industri tersebut dengan pesaingnya (Brenes et al., 2014).
Lingkungan eksternal dan karakteristik khusus bisnis seperti tingkat kegiatan,
jenis pasar, sektor, orientasi strategis, orientasi pasar dan struktur persaingan,
organisasi, dan kewirausahaan berpengaruh terhadap inovasi (Laforet, 2011).
Theilen (2012) menyatakan bahwa ketika kompetisi industri yang intensif akan
mendorong organisasi industri mengalokasikan uang lebih pada penelitian dan
pengembangan untuk membuat inovasi. Dengan inovasi yang berbasis pada
teknologi akan membuat produk dihasilkan berkualitas, berbeda, dan bernilai bagi
pelanggan dibandingkan dengan kompetitor organisasi industri (Brenes et al.,
2014) sehingga menjamin keberkelanjutan pertumbuhan, menjaga daya saing dan
kinerja organisasi industri (Aghion et al., 2014). Faktor pendorong inovasi adalah
58
organisasi industri ingin mendapatkan keuntungan (rent) dengan menggunakan
kemajuan teknologi dan sumber daya nya yang ada (Havenvid, 2015). Beberapa
studi empiris menunjukkan bahwa kompetisi industri dan inovasi berhubungan
positif (Boss et al., 2009; Hopman et al., 2010; Bos et al., 2013; Aghion et al.,
2014) karena peningkatan persaingan berimplikasi pada peningkatan penelitian
dan pengembangan bagi organisasi industri yang sejenis yang saling bersaing
(neck-and-neck firm) (Aghion et al., 2005; Aghion et al., 2014).
Walaupun demikian, ada inkonsistensi hasil studi tentang hubungan antara
kompetisi dan inovasi. Inovasi sangat tergantung pada derajat kompetisi. Semakin
tinggi kompetisi, semakin kurang inovasi, pertumbuhan juga berkurang, karena
organisasi industri lebih banyak menggunakan sumber daya nya untuk
mendapatkan pendapatan untuk mempertahankan operasi dalam jangka waktu
pendek, dibandingkan dengan sumber dayanya digunakan untuk membuat inovasi
guna mendapatkan keuntungan dalam jangka waktu yang lebih lama (Hopman et
al., 2010). Hsu et al. (2014) menyatakan bahwa proses inovasi bukan saja lama
dan tidak dapat diprediksi, tetapi juga resiko kehilangan profit juga besar. Hal ini
diperkuat oleh temuan Cornaggia et al. (2015) yang menyatakan bahwa
peningkatan persaingan akan menyebabkan penurunan hasil inonvasi (innovation
output) pada bank-bank pemerintah, tetapi meningkatkan hasil inovasi di bank-
bank swasta. Demikian juga kompetisi tinggi kurang mendorong organisasi
industri yang sumber daya terbatas (laggerd firms) untuk membuat inovasi
(Aghion et al., 2005). Perbedaan hasil-hasil studi empiris membuka ruang untuk
melakukan studi lanjutan hubungan antara kompetisi dan inovasi (Im et al., 2015).
59
2.12. Diferensiasi dan Kinerja Industri
Menurut Porter (1985), organisasi industri perlu mengadopsi strategi
diferensiasi atau keunggulan biaya untuk meningkatkan daya saing dan kinerja
organisasi industri. Organisasi industri yang mengadopsi strategi diferensiasi
mendapatkan daya saing dengan investasi pada pengembangan produk atau jasa
yang memberikan kualitas unik yang memuaskan pelanggan sehingga produk atau
jasa tersebut mendapatkan harga yang tinggi (Banker et al., 2014).
Ada beberapa hasil studi empiris yang membuktikan strategi diferensiasi
berpengaruh positif terhadap kinerja industri (Spencer et al., 2009; Lozano-Vivas,
2009; Acquaah, 2011; Dirisu et al., 2013; Banker et al., 2014; Newton et al.,
2015; Yuliansyah et al., 2016). Ada juga beberapa studi yang menujukkan bahwa
strategi diferensiasi tidak berhubungan dengan kinerja organisasi atau hubungan
strategi dan kinerja tidak begitu kuat untuk variabel tertentu. Studi Parnell (2011)
di Argentina dan Peru menemukan bahwa strategi diferensiasi berpengaruh
terhadap kinerja industri, tetapi tidak signifikan. Studi Banker et al. (2014)
menyimpulkan bahwa strategi diferensiasi berhubungan dengan resiko sistematis
yang besar dan memberikan kinerja yang kurang stabil. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Porter bahwa organisasi industri bukan hanya mengandalkan
diferensiasi produk dan jasa yang unik dan sulit diimitasi, tetapi juga produk atau
servis tersebut harus memenuhi ekspektasi pelanggan (Newton et al., 2015).
Banker et al. (2014) memperkuatnya dengan menyatakan dalam mengadopsi
strategi diferensiasi organisasi industri mengandalkan pada sumber daya yang
unik dan langka serta tidak dapat atau sulit diimitasi oleh organisasi industri lain.
60
Jika organisasi industri lain dapat meniru produk tersebut, dan perusahan tetap
investasi pada sumber daya tersebut, maka organisasi industri hanya dapat
mempertahankan daya saing pada jangka pendek, namun kehilangan daya saing
pada jangka panjang. Dalam konteks ini, Nandakumar et al. (2011) dalam
penelitiannya menemukan bahwa diferensiasi tidak signifikan berpengaruh
terhadap kinerja organisasi industri. Demikian juga, Wu et al. (2015) dalam
penelitiannya menjelaskan bahwa strategi diferensiasi berhubungan negatif
terhadap manajemen pendapatan (earnings management).
Inkonsistensi hasil studi ini memberikan ruang bagi peneliti-peneliti lain
untuk mengadakan studi lebih lanjut tentang hubungan strategi diferensiasi dan
kinerja organisasi dengan fokus pada berbagai jenis organisasi industri dan
menggunakan berbagai dimensi dan indikator.
2.13. Strategi keunggulan biaya dan Kinerja Industri
Hubungan antara strategi keunggulan biaya (cost leadership strategy) dan
kinerja industri telah dijelaskan dengan beberapa teori dan studi empiris. Porter
(1980) menyatakan bahwa organisasi industri dapat mencapai daya saing dengan
mengadopsi cost leadership. Cost leadership strategy dikembangkan untuk
memperoleh efisiensi operasional (Banker et al., 2014) sehingga organisasi
industri dapat menawarkan produk dan jasa yang lebih murah kepada pelanggan
untuk menambah pangsa pasar (market share) yang berimplikasi pada
peningkatan pendapatan dan net profit. Untuk meningkatkan daya saing dan
kinerja, organisasi industri harus melakukan pengurangan biaya dan ketat dalam
mengontrol biaya tak terduga (overhead cost) sehingga kegiatan operasional lebih
61
efisien dan murah dibandingkan dengan organisasi industri pesaingnya (Baroto et
al., 2012; Miles, 2013).
Allen and Helms (2006) melakukan penelitian untuk melihat hubungan
antara strategi generik Porter dengan kinerja organisasi industri. Dalam penelitian
tersebut kedua peneliti menemukan bahwa cost leadership yang merupakan satu
strategi dari Porter’s generic strategy berpengaruh signifikan terhadap kinerja
organisasi industri. Banker et al. (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa
cost leadership berpengaruh positif dengan kinerja organisasi industri. Indounas
(2015) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa ada pengaruh positif antara
strategi penetapan harga dengan kinerja organisasi industri. Strategi harga
berhubungan dengan strategi keunggulan biaya sehingga dengan biaya produksi,
manufaktur dan pelayanan yang efisien dan murah akan membuat organisasi
industri menawarkan produk dan jasa yang murah sesuai dengan kebutuhan
pelanggan yang berimplikasi pada peningkatan pangsa pasar (market share).
Walaupun demikian ada inkosistensi hasil penelitian empiris. Misalnya Parnell et
al. (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa cost leadership berpengaruh
negatif terhadap kineja pada organisasi industri-organisasi industri di Turki.
2.14. Fokus Strategi Pelayanan dan Kinerja Industri
Fokus strategi pada kualitas pelayanan menjadi salah satu faktor
determinan bagi kesuksesan organisasi industri dalam lingkungan industri yang
sangat kompetitif karena kualitas pelayanan berhubungan erat dengan profit,
penghematan biaya (cost saving), pangsa pasar (market share), dan kepuasan
pelanggan (Jain et al., 2011). Oleh karena itu, organisasi industri perlu fokus
62
untuk memberikan pelayanan yang optimal untuk memenuhi ekspektasi
pelanggan. Kwak and Kim (2016) dalam penelitian tentang pengaruh integrasi
pelayanan terhadap kinerja di organisasi industri mesin dan alat di Korea
menemukan bahwa integrasi pelayanan berpengaruh positif terhadap kinerja
organisasi industri yang diukur dengan return on sales (ROS). Demikian juga
Paul et al. (2016) dalam studinya pada industri perbankan menemukan bahwa
pelayanan berhubungan positif terhadap kinerja organisasi.
Namun demikian, hasil penelitian Jamal (2009) tentang pengaruh lima
dimensi kualitas pelayanan dan keahlian terhadap kepuasan dan loyalitas
pelanggan bank di Yunani menunjukkan bahwa ada parsialitas pengaruh antara
kualitas pelayanan terhadap kepuasan pelanggan. Dimensi kualitas pelayanan
seperti reliability, tangibility dan empathy berpengaruh positif dengan kepuasan
pelanggan, sedangkan dimensi responsiveness dan assurance tidak berpengaruh.
Neely (2008) dalam studinya menemukan bahwa integrasi pelayanan berpengaruh
positif terhadap pendapatan tetapi berdampak negatif terhadap net profit rate
karena mahalnya biaya pekerja dan biaya investasi untuk penerapan integrasi
pelayanan. Fang et al. (2008) dalam penelitiannya di industri manufaktur di
Amerika Serikat menemukan bahwa pelayanan berpengaruh negatif terhadap total
penjualan. Inkonsistensi hasil-hasil studi empiris tersebut membuat penelitian ini
menjadi sangat relevan untuk dilakukan.
2.15. Inovasi dan Kinerja Industri
Studi hubungan strategi inovasi dan kinerja industri telah mendapatkan
perhatian luas bagi para peneliti dan praktisi bisnis karena lingkungan bisnis
63
dewasa ini sangat kompetetif akibat konsekuensi globalisasi, pasar bebas dan
kemajuan teknologi. Kondisi ini menuntut organisasi industri untuk membuat
berbagai langkah inovasi agar mempertahankan daya saing dan kinerjanya
(Jaskyte 2011). Inovasi berhubungan dengan akses teknologi (Babkin et al., 2015)
guna memperbaiki efisiensi, produktivitas, kualitas, posisi saing dan market share
(Zehir et al., 2011). Teori strategi generik Porter dan teori RBV menyatakan
bahwa organisasi industri yang memiliki strategi berbeda dan memiliki sumber
daya dan kapabilitas yang baik akan menghasilkan produk, proses dan nilai yang
unik, berbeda, sulit tersubstitusi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, sehingga
meningkatkan daya saing dan kinerja organisasi industri (Acar and Acar, 2012).
Untuk membuat inovasi, organisasi industri harus mempunyai strategi, sumber
daya dan kapabilitas. Oleh karena itu, inovasi berhubungan dengan daya saing dan
kinerja organisasi industri (Babkin et al., 2015).
Berbagai studi empiris memperkuat teori strategi generik Porter dan teori
RBV bahwa strategi inovasi berpengaruh positif terhadap kinerja industri (Li et
al., 2010; Jaskyte, 2011; Gebauer et al., 2011; Zehir et al., 2011; Acar and Acar,
2012; Uzkurt et al., 2013; Altuntaş et al., 2013; Al-ansari et al., 2013; Camison
and Villar-Lopez, 2014; Babkin et al., 2015; Leal-rodríguez et al., 2015; Obembe
and Soetan, 2015; Atalay et al., 2017; Jajja et al., 2017; Martinez-Conesa et al.,
2017; Aboelmaged, 2018; Ramanathan et al., 2018) karena inovasi akan
menghasilkan produk, proses, layanan dan nilai yang berbeda dan sulit diimitasi
oleh pesaing industri sejenis dalam lingkungan industri yang dinamik dan
turbulen (Li and Mitchell 2009; Rosenbusch et al., 2011; Leal-rodríguez et al.,
64
2015). Walaupun demikian, ada juga studi empiris yang menunjukan bahwa
inovasi berpengaruh negatif atau tidak signifikan terhadap kinerja organisasi
industri (Loof and Heshmati 2002; Vermeulen et al., 2005; Hashi and Stojčić,
2013; Guisado-González et al., 2013; Campo et al., 2014; Im et al., 2015; Mir et
al., 2016, Hu et al., 2017; Kocak et al., 2017) karena banyak organisasi industri
yang tidak mau mengambil risiko dan mengadopsi strategi inovasi karena faktor
biaya, pengetahuan dan pasar (Hashi and Stojčić, 2013) yang hasilnyapun sulit
diprediksi (Dumay et al., 2013). Inovasi memerlukan penelitian dan
pengembangan (R and D) yang memerlukan biaya tinggi sehingga organisasi
industri tidak mengambil risiko karena dapat menurunkan profit dalam
lingkungan bisnis yang kompetitif (Hopman et al., 2010). Hal ini bersinergi juga
dengan teori klasik inovasi Schumpeter bahwa inovasi tidak cocok dilakukan
dalam lingkungan industri yang kompetitif karena organisasi industri dalam
kondisi industri seperti itu tidak mempunyai sumber daya yang lebih (excess
resources) untuk membuat inovasi (Im et al., 2015).
65
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Penelitian ini menggunakan konsep keunggulan bersaing untuk
menjelaskan persaingan industri dan kinerja. Menurut Porter (1980), persaingan
industri dipengaruhi oleh lima kekuatan lingkungan eksternal industri. Kelima
kekuatan tersebut adalah rivalitas persaingan (rivalry competition), hambatan
masuk (barriers to entry), ancaman pengganti (threat of substitute products),
kekuatan tawar menawar pembeli (bargaining power of buyers), dan kekuatan
tawar menawar pemacok (bargaining power of suppliers) (Metts, 2007).
Organisasi industri yang mampu mempertahankan keberkelanjutan kinerjanya
adalah organisasi industri yang tahan terhadap tekanan eskternal dalam proses
menciptakan nilai (Banker et al., 2014). Kekuatan eksternal yang dikemukakan
Porter (1980) kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Huang and Lee (2012)
dan Mathooko and Ogutu (2015) untuk menjelaskan persaingan industri jasa
pendidikan tinggi.
Penelitian ini juga menggunakan teori kontingensi untuk membuat model
strategi bisnis. Teori kontingensi menyatakan bahwa organisasi industri dapat
mengadopsi strategi yang relevan dan sesuai dengan lingkungan dimana
organisasi industri beroperasi guna meningkatkan posisi bersaing dan kinerja
(Baack and Boggs, 2008; Oltra and Flor, 2010; Al-Rfou, 2012). Kesesuaian
strategi tersebut bisa dalam kerangka strategi Porter, dan strategi kombinasi
66
(deferensiasi, biaya, fokus pelayanan dan inovasi). Walaupun studi cukup intensif
untuk eksplorasi strategi kombinasi, namun studi-studi tersebut lebih banyak
fokus pada industri manufaktur, dan jasa perbankan, dan masih sedikit studi yang
fokus pada industri jasa pendidikan tinggi. Dengan demikian, hingga sekarang,
belum ada kesimpulan baik yang pros maupun yang cons terhadap strategi murni
(pure strategy) dan strategi kombinasi (combined strategy), walaupun ada
konsensus umum bahwa strategi kombinasi atau strategi murni yang diadopsi
sebuah organisasi industri untuk mencapai keunggulan bersaing dan
meningkatkan kinerja sangat tergantung pada ukuran organisasi industri,
lingkungan, kompleksitas persaingan, globalisasi, kemajuan pengetahuan dan
teknologi, serta perkembangan strategi sumber daya dan kapabilitas (resource-
based strategy) organisasi industri (Salavou, 2013; Salavou, 2015; Gabrielsson et
al., 2016). Dengan demikian, penggunaan bersama strategi Porter dan resource-
based strategy yang bernuansa teori kontingensi akan menjadi atensi praktisi dan
peneliti untuk mengembangkan lebih lanjut. Demikian juga konsep strategi
diferensiasi yang berbasis pada budaya dan kearifan lokal dalam konteks industri
jasa pendidikan tinggi untuk meningkatkan posisi bersaing dan kinerja masih
sangat minim dalam kajian empirik dewasa ini. Oleh karena itu, penelitian ini
mengintegrasikan model strategi diferensiasi, biaya, fokus pelayanan, dan inovasi.
Konstruksi hipotesis dalam penelitian ini adalah persaingan industri
berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kinerja industri (Metts, 2007).
Untuk meningkatkan kinerja industri, industri jasa pendidikan tinggi perlu
mengembangkan strategi yang baik, relevan, dan sesuai dengan lingkungan
67
industri guna meningkatkan posisi bersaing dan kinerja industri (Salavou, 2010;
Nandakumar et al., 2011; Parnell et al., 2012; Teeratansirikool et al., 2013; Hsiao
and Chen, 2013; Oyewobi et al., 2015; Yuliansyah et al., 2017). Oleh karena itu,
strategi bisnis (diferensiasi, biaya, fokus pelayanan, dan inovasi) dapat berperan
signifikan dalam memediasi hubungan persaingan industri dengan kinerja industri
jasa pendidikan di Timor-Leste.
Untuk menggumpulkan data guna menguji hipotesis, penelitian ini
menggunakan kuesioner. Kuesioner tersebut dijabarkan berdasarkan konsep
Porter (1980), Porter (1985), Huang and Lee (2012), Mathooko and Ogutu
(2015) untuk persaingan industri, Zebal and Goodwin 2012), Asif and Searcy
(2014) untuk kinerja industri. Data diambil dari pejabat senior perguruan tinggi
yang diwakili oleh para Ketua Jurusan atau Wakil Jurusan yang mengetahui
strategi dan kinerja industri pendidikan tinggi. Para Ketua Jurusan atau Wakil
Ketua Jurusan dari sebelas perguruan tinggi di Timor-Leste berjumlah 157 orang,
maka semua populasi diambil sebagai responden (sampel jenuh). Namun dalam
penyebaran kuesioner, hanya 130 yang kembali dengan response rate 83%. Data
analisis menggunakan PLS untuk menguji hubungan variabel dengan indikator
(outer model atau measurement model), dan hubungan antar variabel dalam model
(inner model atau structural model). PLS dipilih karena bisa digunakan untuk
analisis multivariat dengan sampel kecil, dan tidak perlu melakukan uji asumsi
klasik (Hair et al., 2010; Hair et al., 2014; Hopkins, 2015).
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan dua hasil utama yakni:
Pertama, mendapatkan hasil uji inferensi untuk menjelaskan pengaruh persaingan
68
industri terhadap kinerja industri jasa pendidikan tinggi. Kedua, mendapatkan
hasil uji inferensi hubungan multivariat (persaingan industri, diferensiasi, biaya,
fokus pelayanan, inovasi, dan kinerja industri) dalam inner model, terutama peran
strategi bisnis dalam memediasi hubungan persaingan industri dengan kinerja
industri. Dengan demikian, penelitian ini dapat membantu untuk menjelaskan
disparitas hasil kajian empiris tentang peran strategi murni Porter versus strategi
kombinasi bagi sebuah industri untuk mencapai keunggulan bersaing dan
meningkatkan kinerja industri yang hingga kini belum bisa disimpulkan secara
tegas oleh para peneliti dan praktisi (Salavou, 2015; Hansen et al., 2015;
Gabrielsson et al., 2016).
3.2 Konsep Penelitian
Dalam penelitian ini, strategi bisnis dalam memediasi hubungan antara
persaingan industri dan kinerja dijelaskan dengan menggunakan strategi generik
dan teori kontingensi. Model strategi ini digunakan dalam penelitian ini karena
sangat terkenal, terstruktur baik, jelas, sederhana, dan generalitas
(Teeratansirikool et al., 2013). Dalam strategi bisnis Porter, organisasi industri
harus mengadopsi strategi diferensiasi (differentiation strategy) atau strategi
keunggulan biaya (cost leadership strategy) untuk mempertahankan keunggulan
bersaing dan meningkatkan kinerja (Porter, 1980; Porter, 1985; Banker et al.,
2014; Salavou, 2015; Soltanizadeh et al., 2016). Strategi diferensiasi diterapkan
secara efektif pada organisasi industri yang menggunakan prinsip bisnis dengan
produk dan pelayanan yang unik, bernilai tinggi, bentuk dan pelayanan purna jual
yang baik kepada pelanggan (Allen et al., 2008; Teeratansirikool et al., 2013;
69
Yuliansyah et al., 2016). Strategi deferensiasi berpengaruh positif terhadap kinerja
organisasi industri (Teeratansirikool et al., 2013; Yuliansyah et al., 2016;
Yuliansyah et al., 2017). Sementara itu, strategi keunggulan biaya (cost
leadership strategy) adalah kebijakan organisasi industri untuk mempunyai posisi
bersaing diatas industri pesaing dengan menawarkan biaya lebih rendah (Allen et
al., 2008; Ortega, 2010; Oyewobi et al., 2015). Untuk mencapai keunggulan
keunggulan biaya, organisasi harus mempunyai biaya operasi dan manufaktur
rendah, distribusi yang cepat, pergantian, dan komitmen untuk menerapkan
strategi keunggulan biaya (Allen et al., 2008), dan menggunakan kemajuan
pengetahuan dan inovasi (Baack and Boggs, 2008).
Walaupun demikian, dalam realitanya, banyak organisasi industri yang
menggunakan multi-strategi untuk mempertahankan keunggulan bersaing dan
kinerja (Salavou, 2015). Beberapa kajian empirik mengembangkan strategi Porter
dengan penerapan bersama diferensiasi dan keunggulan biaya yang disebut
dengan strategi hibrid (hybrid strategy) atau strategi terintegrasi (integrative
strategy). Strategi hibrid atau integrative strategy merupakan penerapan bersama
strategi diferensiasi dan strategi keunggulan biaya yang dapat berpengaruh positif
terhadap kinerja (Claver-Cortés et al., 2012; Salavou, 2013; Gabrielsson et al.,
2016). Globalisasi, kompleksitas persaingan industri, kemajuan pengetahuan, dan
teknologi telah mendorong organisasi industri untuk menggunakan multi-strategi
(Gabrielsson et al., 2016).
3.2.1 Persaingan industri
Persaingan industri adalah rivalitas antara industri yang dipicu oleh faktor-
70
faktor eksternal industri. Faktor-faktor eksternal tersebut adalah rivalitas
persaingan antara perguruan tinggi, ancaman pengganti, kekuatan tawar menawar
pembeli, kekuatan tawar menawar pemacok, dan hambatan masuk pendatang baru
(Porter, 1980; Metts, 2007; Huang and Lee, 2012) yang mempengaruhi intensitas
persaingan dan profitabilitas industri (Porter, 1980). Persaingan industri
berpengaruh positif dan signifikan terhadap strategi diferensiasi, keunggulan
biaya, fokus strategi pelayanan, dan inovasi.
Variabel persaingan industri dalam penelitian ini memiliki dimensi-
dimensi dan indikator-indikator yang diadaptasi dari studi-studi empirik
sebelumnya (Metts, 2007; Hoque, 2011; Huang and Lee, 2012; Mathooko and
Ogutu, 2015). Persaingan industri (IC) diukur dengan:
Pertama, dimensi intensitas persaingan (IC1) dalam persaingan industri
memiliki lima indikator yakni peningkatan jumlah perguruan tinggi (IC11) (Huang
and Lee, 2012), intensitas persaingan untuk mendapatkan dosen bergelar master
dan doktor (IC12) (Hoque, 2011; Huang and Lee, 2012; Mathooko and Ogutu,
2015), intensitas persaingan uang kuliah (IC13) (Hoque, 2011; Huang and Lee,
2012; Teller et al., 2016), dan intensitas persaingan biaya promosi (IC14) (Hoque,
2011; Huang and Lee, 2012; Teller et al., 2016).
Kedua, dimensi ancaman pengganti (IC2) memiliki tiga indikator yakni
keberadaan perguruan tinggi luar negeri (IC21)(Huang and Lee, 2012), keberadaan
organisasi industri swasta (IC22)(Huang and Lee, 2012), keberadaan pusat
pelatihan berbasis kompetensi (IC23)(Huang and Lee, 2012; Mathooko and Ogutu,
2015).
71
Ketiga, dimensi kekuatan tawar-menawar pembeli (IC3) memiliki empat
indikator yakni kekuatan keluarga (IC31) (Huang and Lee, 2012; Mathooko and
Ogutu, 2015), kekuatan penyedia kerja (IC32) (Huang and Lee, 2012; Mathooko
and Ogutu, 2015), kekuatan mahasiswa (IC33), kekuatan pemerintah (IC34)
(Huang and Lee, 2012; Mathooko and Ogutu, 2015).
Keempat, dimensi kekuatan tawar menawar pemacok (IC4) memiliki tiga
indikator yakni kekuatan tenaga dosen tetap (IC41) (Huang and Lee, 2012;
Mathooko and Ogutu, 2015), kekuatan administrator (IC42) (Huang and Lee,
2012; Mathooko and Ogutu, 2015), dan kekuatan tenaga dosen tidak tetap (IC43)
(Huang and Lee, 2012; Mathooko and Ogutu, 2015).
Kelima, dimensi ancaman masuk pendatang baru (IC5) memiliki empat
indikator yakni regulasi pendirian perguruan tinggi baru dari Kementerian
Pendidikan Timor-Leste (IC51) (Huang and Lee, 2012), modal minimum yang
dibutuhkan untuk mendirikan perguruan tinggi (IC52) (Huang and Lee, 2012),
peraturan dan kebijakan pemerintah tentang operasi perguruan tinggi (IC53)
(Huang and Lee, 2012), dan duplikasi program studi dari perguruan tinggi yang
ada (IC54) (Mathooko and Ogutu, 2015).
3.2.2 Strategi Diferensiasi
Variabel strategi diferensiasi merupakan variabel mediasi (DS) yang
didefinisikan sebagai strategi untuk mengembangkan produk, kualitas, dan proses,
dan metode yang unik, berbeda dan bernilai bagi pelanggan (Porter, 1980; Baroto
et al., 2012; Teeratansirikool et al., 2013). Produk dalam konteks industri jasa
pendidikan tinggi adalah program studi dan keahlian mahasiswa (Hemsley-Brown
72
and Oplatka, 2006; Gruber et al., 2010; Jain et al., 2011). Strategi diferensiasi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja industri (Oyewobi et al.,
2015; Hansen et al., 2015; Yuliansyah et al., 2016).
Variabel diferensiasi (DS) dalam penelitian ini diukur dengan
menggunakan tiga indikator yakni program studi berbeda (DS11), kualitas
keahlian lulusan tinggi (DS12) (Adaptasi dari Hansen et al., 2015; Gabrielsson et
al., 2016), dan kualitas pelayanan berbeda (DS13) (adaptasi dari Allen and Helms,
2006).
3.2.3 Strategi Keunggulan Biaya
Variabel strategi keunggulan biaya (cost leadership strategy) sebagai
variabel mediasi (CL) yang didefinisikan sebagai strategi perguruan tinggi untuk
menyediakan program studi dan keahlian dengan biaya lebih rendah dari
perguruan tinggi pesaingnya untuk menarik pelanggan (Porter, 1985; Banker et
al., 2014). Untuk mencapai harga rendah, perguruan tinggi dapat memaksimalkan
efisiensi operasi (Banker et al., 2014), melakukan kontrol dan pengetatan biaya
dalam semua tingkatan operasi (Porter, 1985; Acquaah, 2011; Teeratansirikool et
al., 2013). Strategi keunggulan biaya berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja industri (Ortega, 2010; Oyewobi et al., 2015; Teeratansirikool et al., 2013;
Yuliansyah et al., 2016).
Penelitian ini mengukur strategi keunggulan biaya (CL) dengan
menggunakan tiga indikator yakni efisiensi biaya (CL21) (Banker et al., 2014;
Hansen et al., 2015; Oyekunle et al., 2016), biaya operasional rendah (CL22)
73
(Hansen et al., 2015; Gabrielsson et al., 2016), dan rendahnya biaya kuliah per
mahasiswa (CL23) (Ortega, 2010; Hansen et al., 2015).
3.2.4 Fokus Pelayanan
Dalam penelitian ini, fokus pelayanan merupakan variabel mediasi (FS)
yang didefinisikan sebagai strategi yang difokuskan pada kualitas pelayanan
untuk meningkatkan posisi bersaing dan kinerja industri. Pelayanan berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja industri (Angelova, 2011; Jain et al., 2011;
Kwak and Kim, 2016; Paul et al., 2016).
Variabel pelayanan diukur dengan menggunakan kombinasi dimensi-
dimensi dan indikator-indikator yang digunakan oleh Chui et al. (2016), Dadfar
and Brege (2012), Cardona and Bravo (2012), Gruber et al. (2010), Trivellas and
Dargenidou (2009), Firdaus (2006) dan Soutar and McNeil (1996), namun
indikator-indikator tersebut diseleksi dan disesuaikan dengan konteks industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste. Dalam penelitian ini, fokus pelayanan (FS)
diukur dengan indikator seperti: kompetensi dosen membantu mahasiswa (FS31),
kesesuian kepemilikan fasilitas dengan harapan mahasiswa (FS32), kualitas
sebagai basis layanan (FS33), tanggap melayani mahasiswa (FS34), dan perhatian
terhadap mahasiswa (FS35) (Firdaus, 2006; Trivellas and Dargenidou, 2009;
Gruber et al., 2010; Cardona and Bravo, 2012; Chui et al., 2016).
3.2.5 Strategi Inovasi
Strategi inovasi didefinisikan sebagai strategi untuk merubah pengetahuan
dan ide kedalam produk, proses, jasa baru atau memperbaiki metode, produk dan
jasa yang ada untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan meningkatkan kinerja
74
organisasi (Perdomo-Ortiz et al., 2006; Perdomo-Ortiz et al., 2009; Jaskyte, 2011;
Huhtala et al., 2014). Dalam konteks pendidikan tinggi inovasi dapat diukur
dengan kurikulum (Duening, 2009; Bayerlein, 2015; Edwards et al., 2016),
metode pengajaran dan evaluasi kinerja mahasiswa, pelayanan kepada mahasiswa
dan masyarakat, penggunaan teknologi, fasilitas, organisasi, program studi, dan
keahlian yang ditawarkan, cara seleksi mahasiswa dan evaluasi kinerja staf dosen
dan penelitian (Desai, 2012; Durkin et al., 2016). Inovasi berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja industri (Camison and Villar-Lopez, 2014; Babkin et
al., 2015; Leal-rodríguez et al., 2015; Obembe and Soetan, 2015; Pehrsson,
2016).
Dalam penelitian ini, variabel inovasi (IN) diukur dengan menggunakan
indikator kurikulum (IN41) (Hodgkinson, 1998, Duening, 2009, Bunyi, 2013,
Edwards et al., 2016), metode belajar dan mengajar (IN42) (Alshammari et al.,
2014, Corral de Zubielqui et al., 2015), dan teknologi pengajaran (IN43) (Desai,
2012; Al-ansari et al., 2013; Durkin et al., 2016).
3.2.6 Kinerja industri
Dalam penelitian ini, kinerja industri jasa pendidikan tinggi (industrial
performance-IP) adalah suatu pencapaian tujuan pergurun tinggi yang diukur
dalam 4 dimensi perguruan tinggi yakni belajar dan mengajar (IP1), penelitian
(IP2), pengabdian masyarakat (IP3), dan keuangan dan pemasaran (IP4) (Asif and
Searcy, 2014; dan Zebal and Goodwin, 2012).
Kinerja belajar dan mengajar (IP1) adalah suatu pengukuran untuk melihat
keberhasilan belajar dan mengajar sebuah perguruan tinggi. Dimensi kinerja
75
belajar dan mengajar (IP1) diukur dengan lima indikator yakni kepuasan
mahasiswa (IP11) (Asif and Searcy, 2014), tingkat drop out mahasiswa (IP12) (Asif
and Searcy, 2014), kepuasan penyedia lapangan kerja terhadap keahlian alumni
(IP13) (Asif and Searcy, 2014), alumni yang terserap dalam lapangan kerja (IP14)
(Asif and Searcy, 2014), dan pertumbuhan jumlah mahasiswa (IP15) (Zebal and
Goodwin, 2012).
Kinerja penelitian (IP2) diukur dengan empat indikator yakni publikasi staf
di jurnal nasional dan internasional (IP21), partisipasi staf dalam pelatihan,
seminar, dan workshop sebagai peserta dan pemakalah (IP22) (Asif and Searcy,
2014), penelitian yang mendatangkan dana (IP23), dan dampak penelitian terhadap
masyarakat (IP24).
Kinerja pelayanan masyarakat (IP3) diukur dengan tiga indikator yakni
konseling kepada mahasiswa dan alumni (IP31), kegiatan pelayanan masyarakat
(IP32), dan partisipasi dalam pengembangan kurikulum (Asif and Searcy, 2014).
Kinerja keuangan dan pemasaran (IP4) diukur dengan empat indikator
yakni pertumbuhan pengembalian modal (IP41) (Alipour, 2013; Andreou et al.,
2014; Abdifatah, 2014; Al-Najjar, 2014; Kilic et al., 2015), pertumbuhan surplus
(IP42) (Zebal and Goodwin, 2012; Asif and Searcy, 2014), pertumbuhan
pendapatan total (IP43) (Zebal and Goodwin, 2012; Asif and Searcy, 2014),
penguasaan pangsa pasar (IP44) (Zebal and Goodwin, 2012; Asif and Searcy,
2014).
Berdasarkan pemaparan diatas, maka konsep model penelitian ini dapat
dilihat dalam Gambar 3.1.
76
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
(Sumber: Model ini dikembangkan dari teori dan empirik sebelumnya Porter,
1980; Porter, 1985, Barney, 1991; Metts, 2007; Huang and Lee, 2012; Wu el al.,
2015; Asif and Searcy, 2014).
3.3 Hipotesis
3.3.1 Persaingan Industri dan Kinerja Industri
Persaingan industri dipicu oleh faktor-faktor lingkungan eksternal industri
seperti rivalitas persaingan industri, ancaman pengganti, ancaman pemacok,
ancaman pembeli dan ancaman pendatang baru dapat meningkatkan persaingan
industri (Metts, 2007; Baack and Boggs, 2008). Persaingan industri berpengaruh
negatif terhadap kinerja industri (Metts, 2007; Patiar and Mia, 2009; Lee and
Yang, 2011; Assaf and Cvelbar, 2011; Huang and Lee, 2012; Fosu, 2013; Teller
et al., 2016). Oleh karena itu, hipotesis untuk hubungan persaingan industri dan
kinerja industri dalam penelitian ini sebagai berikut:
Keterangan: IC = Persaingan industri atau industrial competition (Variabel exogen atau X)
DS = Strategi diferensiasi atau differentiation strategy (Variabel mediasi atau M1)
CL = Strategi keunggulan biaya atau cost leadership (Variabel mediasi atau M2)
FS = Fokus pelayanan atau focus service (Variabel mediasi atau M3)
IN = Inovasi atau innovation (Variabel mediasi atau M4)
IP = Kinerja industri atau industrial performance (variabel endogen atau Y)
77
H1 Persaingan industri berpengaruh negatif atau tidak signifikan terhadap
kinerja industri.
3.3.2 Persaingan Industri dan Strategi Diferensiasi
Dalam persaingan industri yang ketat, organisasi industri berupaya untuk
meningkatkan posisi bersaing dan kinerja dengan menggunakan strategi
diferensiasi. Porter (1980) menyatakan bahwa dalam lingkungan industri yang
bersaing ketat, organisasi industri dapat mengadopsi strategi diferensiasi untuk
meningkatkan daya saing dan kinerja. Strategi diferensiasi dapat dilakukan untuk
mengembangkan produk, jasa, garansi, citra merek, bentuk, kualitas, dan nilai
yang unik bagi pelanggan yang sulit ditiru oleh industri pesaingnya (Baroto et al.,
2012). Hal ini dilakukan untuk memenuhi tuntutan pelanggan yang ingin produk
alternatif dan unik dari industri sejenis (Becerra et al., 2013; Dirisu et al., 2013),
sehingga memperkuat posisi industri tersebut di pasar yang ada (market niche)
dan menciptakan pasar baru (new market), memungkinkan produk baru masuk
pada pasar (new entrance) serta produk yang ada memiliki keunggulan pasar
terhadap produk lain (Davcik and Sharma, 2015). Persaingan industri menuntut
organisasi industri untuk mengadopsi strategi diferensiasi untuk menciptakan
produk, jasa dan nilai yang berbeda dan unik untuk memenangkan persaingan
dengan industri kompetitornya. Beberapa kajian empiris tentang hubungan antara
persaingan industri dan strategi industri juga menunjukkan hubungan positif
(Salavou, 2015; Mathooko and Ogutu, 2015; Parnell, 2011; Becerra et al., 2013).
Oleh karena itu, hipotesis persaingan dan strategi diferensiasi adalah sebagai
berikut:
78
H2 Persaingan industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap strategi
diferensiasi.
3.3.3 Persaingan Industri dan Strategi Keunggulan Biaya
Dalam lingkungan industri yang bersaing ketat, perusahan dituntut untuk
mengembangkan strategi yang tepat untuk mempertahankan daya saing (Parnell,
2010). Semakin tumbuh organisasi industri, persaingan akan semakin meningkat,
sehingga organisasi industri berupaya untuk meningkatkan efisiensi operasi guna
menawarkan harga yang lebih rendah kepada pelanggan (Banker et al., 2014;
Kaufman 2015). Untuk mencapai keunggulan biaya (cost leadership), organisasi
industri harus melakukan kontrol, pengetatan biaya dan beroperasi lebih efisien
dibandingkan kompetitornya (Miles, 2013). Demikian juga organisasi industri
lebih berorientasi pada sisi suplai dibandingkan dengan sisi permintaan pasar
sehingga menjadikan perilaku kompetitornya sebagai orientasi utama dalam
pengembangan strategi bersaing (Baroto et al., 2012). Dalam konteks demikian,
persaingan industri berpengaruh positif terhadap pengembangan strategi
keunggulan biaya (Parnell, 2011). Oleh karena itu, hipotesis persaingan industri
dan strategi keunggulan biaya dalam penelitian ini adalah:
H3 Persaingan industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap strategi
keunggulan biaya.
3.3.4 Persaingan Industri dan Fokus Strategi Pelayanan
Persaingan industri telah mendorong organisasi industri untuk mencari
solusi guna mempertahankan daya saing dan kinerja. Semakin tinggi persaingan,
organisasi industri berupaya untuk fokus pada peningkatan kualitas pelayanan
guna memberikan kepuasan kepada pelanggan sehingga produk dan jasa yang
79
ditawarkan akan semakin laku (Angelova, 2011). Jika organisasi industri memiliki
sumber daya terbatas, maka organisasi industri tersebut lebih fokus untuk
meningkatkan kuallitas pelayanan guna meningkatkan kinerja (Yuliansyah et al.,
2016). Semakin tinggi persaingan industri, organisasi industri berupaya untuk
mengintegrasikan penjualan produk dan kualitas pelayanan guna memuaskan
pelanggan (Kwak and Kim, 2016). Penawaran pelayanan yang lebih baik dan
berkualitas akan membuat organisasi industri membedakan dirinya dengan
organisasi industri pesaingnya guna memberikan kepuasan dan mempertahankan
pelanggan (Bamert and Wehrli, 2005). Dengan demikian, hubungan persaingan
industri dan fokus strategi pelayanan dapat dibuat hipotesis sebagai berikut:
H4 Persaingan industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap fokus
strategi pelayanan.
3.3.5 Persaingan Industri dan Inovasi
Persaingan industri menuntut organisasi industri untuk melakukan inovasi
untuk mempertahankan daya saing. Inovasi dapat dilakukan terhadap produk,
proses, dan pelayanan sehingga membuat organisasi industri memiliki posisi
bersaing lebih baik dengan organisasi industri kompetitornya. Dengan inovasi
yang berbasis pada teknologi akan membuat produk yang dihasilkan berkualitas,
berbeda, dan bernilai bagi pelanggan dibandingkan dengan organisasi industri
pesaing (Brenes et al., 2014) sehingga menjamin keberkelanjutan pertumbuhan,
menjaga daya saing dan kinerja organisasi industri (Aghion et al. 2014). Inovasi
dapat memberikan organisasi industri keuntungan (rent) dengan menggunakan
kemajuan teknologi dan sumber daya yang ada (Havenvid, 2015), sehingga
80
persaingan industri berpengaruh positif terhadap inovasi (Boss et al., 2009;
Hopman et al., 2010; Aghion et al., 2014). Hal ini disebabkan oleh peningkatan
persaingan industri berimplikasi pada peningkatan penelitian dan pengembangan
bagi organisasi industri yang sejenis yang saling bersaing (Aghion et al., 2005;
Aghion et al., 2014).
H5
Persaingan industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap strategi
inovasi.
3.3.6 Diferensiasi dan Kinerja Industri
Porter (1980) menyatakan bahwa organisasi industri perlu mengadopsi
strategi diferensiasi atau keunggulan biaya untuk meningkatkan kinerja organisasi
industri. Organisasi industri yang mengadopsi strategi diferensiasi mendapatkan
daya saing dengan investasi pada pengembangan produk atau jasa yang
memberikan kualitas unik yang memuaskan pelanggan sehingga produk atau jasa
tersebut mendapatkan harga yang tinggi (Banker et al., 2014). Beberapa studi
empiris yang membuktikan strategi diferensiasi berpengaruh positif terhadap
kinerja industri (Spencer, 2009; Lozano-Vivas, 2009; Acquaah, 2011; Dirisu et
al., 2013; Banker et al., 2014; Newton et al., 2015). Oleh karena itu, hipotesis
untuk diferensiasi dan kinerja adalah:
H6 Strategi diferensiasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
industri.
3.3.7 Strategi Keunggulan Biaya dan Kinerja Industri
Porter (1980) menyatakan bahwa organisasi industri dapat mencapai daya
saing dengan mengadopsi strategi keunggulan biaya (cost leadership). Cost
81
leadership strategy dikembangkan untuk memperoleh efisiensi operasional
(Banker et al., 2014). Untuk meningkatkan daya saing dan kinerja, organisasi
industri harus melakukan pengurangan biaya dan ketat dalam mengontrol biaya
tak terduga (overhead cost) sehingga kegiatan operasional lebih efisien dan murah
dibandingkan dengan organisasi industri pesaingnya (Baroto et al., 2012; Miles,
2013). Beberapa kajian empiris menemukan bahwa strategi keunggulan biaya
(cost leadership) berpengaruh positif terhadap kinerja organisasi industri (Allen
and Helms, 2006; Banker et al., 2014). Demikian juga, studi Indounas (2015)
menunjukkan bahwa ada pengaruh positif antara strategi penetapan harga dengan
kinerja organisasi industri.
H7 Srategi keunggulan biaya berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja industri.
3.3.8 Fokus Strategi Pelayanan dan Kinerja Industri
Kualitas pelayanan merupakan faktor penting bagi kesuksesan organisasi
industri dalam lingkungan industri yang sangat kompetitif karena kualitas
pelayanan berhubungan erat dengan profit, penghematan biaya (cost saving),
pangsa pasar (market share) dan kepuasan pelanggan (Jain et al., 2011). Industri
yang memberikan kepuasan kepada pelanggan akan sukses mempertahankan
loyalitas dan retensi pelanggan terhadap produk dan jasa yang ditawarkan,
sehingga memberikan profitabilitas kepada organisasi industri (Angelova, 2011).
Oleh karena itu, organisasi industri-organisasi industri manufaktur pun berupaya
meningkatkan kualitas pelayanan guna memenuhi tuntutan pelanggan dan
meningkatkan daya saing (Gebauer et al., 2010; Gebauer et al., 2012; Hsieh et al.,
82
2013; Hallavo et al., 2015; Kwak and Kim, 2016). Kualitas pelayanan
menentukan pandangan mahasiswa tentang institutsi pendidikan dan
mempengaruhi pemasaran dari mulut ke mulut (word of mouth marketing)
(Cardona and Bravo, 2012). Oleh karena itu, pelayanan berpengaruh positif
terhadap kinerja organisasi industri (Neely, 2008; Jamal, 2009; Kwak and Kim,
2016).
H8 Fokus strategi pelayanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja industri.
3.3.9 Inovasi dan Kinerja Industri
Inovasi berhubungan dengan akses teknologi (Babkin et al., 2015) guna
memperbaiki efisiensi, produktivitas, kualitas, posisi saing dan market share
(Zehir et al., 2011). Organisasi industri yang memiliki strategi berbeda dan
memiliki sumber daya dan kapabilitas yang baik akan menghasilkan produk,
proses dan nilai yang unik, berbeda, sulit tersubstitusi untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan, sehingga meningkatkan daya saing dan kinerja organisasi industri
(Acar and Acar, 2012). Untuk membuat inovasi, organisasi industri harus
mempunyai strategi, sumber daya, dan kapabilitas, sehingga inovasi berhubungan
dengan daya saing dan kinerja organisasi industri (Babkin et al., 2015). Inovasi
berpengaruh positif terhadap kinerja industri (Altuntaş et al., 2013; Uzkurt et al.,
2013; Al-ansari et al., 2013; Camison and Villar-Lopez, 2014; Babkin et al.,
2015; Leal-rodríguez et al., 2015; Obembe and Soetan, 2015; Rangus and Slavec,
2017; Ramanathan et al., 2018) karena inovasi akan menghasilkan produk, proses,
layanan dan, serta nilai yang berbeda dan sulit diimitasi oleh pesaing industri
sejenis dalam lingkungan industri yang dinamik dan turbulen (Li and Mitchell
83
2009; Rosenbusch et al., 2011; Leal-rodríguez et al., 2015). Hipotesis tentang
inovasi dan kinerja industri adalah sebagai berikut:
H9 Strategi inovasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
industri.
3.3.10 Persaingan Industri, Strategi Diferensiasi dan Kinerja Industri
Organisasi industri perlu mengadopsi strategi diferensiasi atau keunggulan
biaya untuk meningkatkan daya saing dan kinerja organisasi industri dalam
lingkungan industri yang bersaing ketat (Porter, 1980; Porter, 1985; Porter, 1991).
Dengan demikian, organisasi industri akan fokus untuk mengembangkan produk
atau jasa yang memberikan kualitas unik yang memuaskan pelanggan sehingga
produk atau jasa tersebut mendapatkan harga tinggi (Banker et al., 2014). Ada
beberapa studi empiris yang membuktikan strategi diferensiasi berpengaruh
positif terhadap kinerja industri dalam lingkungan industri yang kompetitif
(Spencer, 2009; Lozano-Vivas, 2009; Acquaah, 2011; Dirisu et al., 2013; Banker
et al., 2014; Newton et al., 2015).
H10 Strategi diferensiasi memediasi hubungan persaingan industri dengan
kinerja industri.
3.3.11 Persaingan Industri, Strategi Keunggulan Biaya, dan Kinerja Industri
Strategi keunggulan biaya atau cost leadership strategy adalah strategi
organisasi industri untuk menyediakan produk dan jasa dengan biaya lebih rendah
dari organisasi industri pesaingnya untuk menarik pelanggan dan memperoleh
pangsa pasar (Porter, 1985; Banker et al., 2014). Organisasi industri yang
menggunakan cost leadership lebih fokus untuk mengembangkan produk, jasa
dan proses dengan memaksimalkan efisiensi operasi (Banker et al., 2014)
84
sehingga melakukan kontrol dan pengetatan biaya dalam semua tingkatan operasi
agar unggul atas pesaingnya guna mempertahankan daya saing dan meningkatkan
kinerja (Porter, 1985; Baroto et al., 2012; Miles, 2013). Cost leadership berperan
penting dalam meningkatkan kinerja industri dalam industri yang kompetitif
(1980). Dengan demikian, hubungan persaingan industri, strategi keunggulan
biaya dan kinerja industri dapat dibuat hipotesis sebagai berikut:
H11 Strategi keunggulan biaya memediasi hubungan persaingan industri
dengan kinerja industri.
3.3.12 Persaingan Industri, Fokus Strategi Pelayanan dan Kinerja Industri
Kualitas pelayanan merupakan hal yang penting bagi kesuksesan
organisasi industri dalam lingkungan industri yang dinamik karena kualitas
pelayanan berhubungan erat dengan profit, penghematan biaya (cost saving),
pangsa pasar (market share) dan kepuasan pelanggan (Jain et al., 2011). Kwak
and Kim (2016) dalam penelitian tentang pengaruh integrasi pelayanan terhadap
kinerja di organisasi industri mesin dan alat di Korea menemukan bahwa integrasi
pelayanan berpengaruh positif terhadap kinerja organisasi industri yang diukur
dengan return on sales (ROS). Jamal (2009) tentang pengaruh lima dimensi
kualitas pelayanan dan keahlian terhadap kepuasan dan loyalitas pelanggan bank
di Yunani menunjukan bahwa ada parsialitas pengaruh antara kualitas pelayanan
terhadap kepuasan pelanggan. Dimensi kualitas pelayanan seperti reliability,
tangibility dan empathy berpengaruh positif dengan kepuasan pelanggan,
sedangkan dimensi responsiveness dan assurance tidak berpengaruh. Neely
85
(2008) dalam studinya menemukan bahwa integrasi pelayanan berpengaruh positif
terhadap pendapatan.
H12 Fokus pelayanan memediasi hubungan persaingan industri dengan kinerja
industri.
3.3.13 Persaingan Industri, Strategi Inovasi, dan Kinerja Industri
Dengan inovasi yang berbasis pada teknologi akan membuat produk
dihasilkan berkualitas, berbeda, dan bernilai bagi pelanggan dibandingkan dengan
kompetitor organisasi industri (Brenes et al., 2014), sehingga menjamin
keberkelanjutan pertumbuhan dan meningkatkan kinerja organisasi industri
(Aghion et al. 2014). Faktor pendorong inovasi adalah organisasi industri ingin
mendapatkan keuntungan (rent) dengan menggunakan kemajuan teknologi dan
sumber dayanya yang ada (Havenvid, 2015). Beberapa studi empiris
menunjukkan bahwa kompetisi industri dan inovasi berhubungan positif (Boss et
al., 2009; Hopman et al., 2010; Aghion et al., 2014) karena peningkatan
persaingan berimplikasi pada peningkatan penelitian dan pengembangan bagi
organisasi industri yang sejenis yang saling bersaing (neck-and-neck firm)
(Aghion et al., 2005; Aghion et al., 2014). Demikian juga strategi inovasi
berpengaruh positif terhadap kinerja industri (2012; Altuntaş et al., 2013; Uzkurt
et al., 2013; Al-ansari et al., 2013; Camison and Villar-Lopez, 2014; Babkin et
al., 2015; Leal-rodríguez et al., 2015; Obembe and Soetan, 2015) karena inovasi
akan menghasilkan produk, proses, layanan, serta nilai yang berbeda dan sulit
diimitasi oleh pesaing industri sejenis dalam lingkungan industri yang dinamik
dan turbulen (Li and Mitchell, 2009; Rosenbusch et al., 2011; Leal-rodríguez et
86
al., 2015). Studi Huhtala et al. (2014) menunjukkan bahwa inovasi berperan
positif dan signifikan dalam memediasi hubungan orientasi pasar, dan pelangan
dengan kinerja bisnis. Studi Akgun et al. (2009) juga membuktikan bahwa
inovasi organisasi industri berperan posisitf dalam memediasi hubungan dinamika
emosi dengan kinerja organisasi industri. Al-Hakim and Hassan (2013) dalam
studinya menunjukkan bahwa inovasi berperan positif dalam memediasi
hubungan strategi manajemen pengetahuan dengan kinerja organisasi. Demikian
juga Rangus and Slavec (2017) menunjukkan bahwa inovasi berperan signifikan
dalam memediasi hubungan antara keterlibatan pekerja dengan kinerja bisnis.
Oleh karena itu, hubungan persaingan industri, inovasi dan kinerja industri dapat
dibuat hipotesis sebagai berikut:
H13 Inovasi memediasi hubungan persaingan industri dengan kinerja
industri.
87
87
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan alat analisis partial
least square (PLS). Pengujian kuantitatif dilakukan untuk menguji data lapangan
yang diambil berdasarkan kajian teori dan empiris, uji validitas dan reliabilitas
hubungan indikator dan variabel laten (outer model atau measurement model),
dan hubungan antar variabel yang diakhiri dengan menguji hipotesis penelitian
(inner model atau structural model).
Penelitian kuantitatif ini dilakukan dengan pendekatan supply side
(penyedia industri jasa pendidikan tinggi), sehingga populasi dan sampelnya
adalah ketua jurusan dari perguruan tinggi yang ada. Data kuantiatif diambil
dengan menggunakan kuesioner yang dibangun berdasarkan kajian teori dan
empiris yang relevan dengan variabel-variabel penelitian seperti persaingan
industri, strategi bisnis (diferensiasi, keunggulan biaya, fokus pelayanan, dan
inovasi), dan kinerja. Kuesioner telah dilakukan pre-tes kepada ofisial senior,
guna menjamin kejelasan, ketepatan, konsisten dan relevansi data yang diambil
sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Hasil pre-tes kuesioner digunakan
untuk memperbaiki kuesioner sebelum digunakan dalam pengambilan data
lapangan.
Analisis kuantitatif multivariat dilakukan dengan menggunakan model
persamaan struktural berbasis pada partial leas square (PLS). Kelebihan
88
menggunakan PLS adalah data tidak harus berdistribusi normal, bisa digunakan
untuk analisis pada variabel dengan indikator reflektif maupun formatif, dan dapat
digunakan untuk menganalisis hubungan antar variabel dengan sampel berukuran
kecil (Hair et al., 2014; Hopkins, 2015). PLS juga sangat baik untuk analisis data
multivariat dalam area manajemen dan strategi (Valaei, 2017).
Analisis data dengan PLS telah dilakukan melalui tiga tahap yakni: (1)
Tahap spesifikasi model di mana melakukan identifikasi dan menghubungkan
semua variabel laten dan indikator sebagai sebuah model berdasarkan kajian teori
dan empirik yang ada. (2) Tahap evaluasi outer model atau measurement model.
Outer model atau measurement model merupakan sebuah proses untuk
membangun dan mengevaluasi model yang merupakan hubungan antara variabel
laten dan indikator-indikatornya. Tahap ini termasuk menentukan jenis indikator
dari semua variabel pembentuk model yang dilakukan berdasarkan pada kajian
teori dan empiris yang ada. Dalam penelitian ini, semua variabel eksogen,
endogen, dan mediasi yang membentuk inner model atau structural model
memiliki indikator reflektif. Selanjutnya, dilakukan uji validitias dan reliabilitas
indikator yang digunakan untuk mengukur variabel laten (konstruk). (3) Tahap
evaluasi inner model atau structural model untuk menguji hubungan dan
signifikasi antar variabel dalam model (Hair et al., 2014; Hopkins, 2015).
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada semua jurusan yang ada di sebelas perguruan
tinggi terakreditasi di Timor-Leste. Waktu penelitian ini dimulai pada bulan Mei
sampai dengan bulan Juni 2017.
89
4.3 Penentuan Sumber Data Primer
4.3.1 Populasi dan Sampel
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran strategi bisnis dalam
memediasi hubungan persaingan industri dengan kinerja industri jasa pendidikan
tinggi di Timor-Leste dari sisi penyedia jasa pelayanan (supply side). Oleh karena
itu, unit analisis penelitian ini adalah jurusan dari perguruan tinggi 11
terakreditasi di Timor-Leste (Lihat Tabel 4.1. halaman 90).
Jurusan dipilih sebagai unit analisis karena (1) Jurusan merupakan unit
terkecil perguruan tinggi di Timor-Leste yang menjadi anggota badan eksekutif
(Senat atau Dewan Eksekutif) perguruan tinggi yang ikut merumuskan misi, visi,
tujuan, program, strategi dan target kinerja. (2) Jarak birokrasi perguruan tinggi di
Timor-Leste sangat dekat (bureaucracy proximity distance), di mana jarak antara
jurusan dan rektor sangat dekat. Power distance sangat dekat dalam sebuah
organisasi, maka penentuan kebijakan masih bersifat kolegial, kolektif, dan
sharing informasi sangat tinggi dengan gap antara pimpinan dan sub-ordinasi
sangat rendah (Dash et al., 2009; Pesch and Bouncken, 2017; Puni and Anlesinya,
2017) (3) Sistem akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional
Timor-Leste (ANAAA) hanya terhadap institusi (institutional accretation), dan
program studi atau jurusan (department accreditation). Akreditasi pada tingkatan
institusi dan jurusan menuntut agar para pejabat perguruan tinggi, termasuk ketua
jurusan, harus tahu deskripsi visi, misi, goals, learning competencies, strategi dan
target dan pencapaian kinerja dari perguruan tinggi hingga jurusan, ataupun
sebaliknya. Hal ini diperkuat oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Perguruan Tinggi
90
Swasta Timor-Leste yang juga Rektor Dili Institute of Technology (DIT), Timor-
Leste, Dr. Alvaro Menezes, SE, MSi, dan Presiden Board Asosiasi Perguruan
Tinggi Swasta Timor-Leste yang juga Rektor Institute of Business (IOB), Dr.
Augusto Soares, SE, MSi pada saat dilakukan interview. Oleh karena itu,
pemilihan jurusan sebagai unit analisis dalam penelitian ini dapat dijustifikasi.
Tabel 4.1. Jumlah jurusan dari 11 Perguruan Tinggi Terakreditasi di Timor-Leste.
No Nama Lokasi Jurusan
1 Universidade Nasional Timor Lorosae UNTL Dili 32
2 Universidade da Paz UNPAZ Dili 13
3 Universidade Dili UNDIL Dili 9
4 Universidade Oriental UNITAL Dili 33
5 Dili Institute of Technology DIT Dili 12
6 East Timor Institute of Business IOB Dili 6
7 Instituto Superior Cristal ISC Dili 6
8 Instituto de Ciencias Religiosas ICR Dili 2
9 Institutu Profissional de Canossa IPDC Dili 4
10 Instituto Catolica Para Formacao
Professores
ICFP Baucau 1
11 East Timor Coffee Institute ETCI Ermera 12
Total 130
Sumber : Data diolah, 2017.
4.3.2 Teknik sampling
Jumlah jurusan di 11 perguruan tinggi terakreditasi di Timor-Leste
sebanyak 157 yang menjadi target populasi. Jumlah ini tidak banyak sehingga
semua jurusan dipilih sebagai sampel (sampel jenuh). Oleh karena itu, 157
kuesioner telah dibagikan pada masing-masing pimpinan jurusan yang diwakili
oleh Ketua Jurusan atau Wakil Ketua Jurusan. Walaupun demikian, hanya 130
kuesioner yang diisi dan dikembalikan yang dianggap sebagai sampel (Tabel 4.1).
Ukuran sampel tersebut bisa digunakan dalam penelitian ini karena sampel
minimum untuk analisis multivariat adalah 30 (Alreck and Settle, 2004: 63).
Demikian juga penelitian ini menggunakan alat analisis Partial Least Square
91
(PLS) sehingga dapat memprediksi hubungan antara variabel dengan ukuran
sampel minimum 30 (Hair et al., 2010; Hair et al., 2014; Hopkins, 2015). Oleh
karena itu, ukuran sampel 130 dalam penelitian ini sudah cukup terjustifikasi
untuk digunakan.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Identifikasi Variabel
Penelitian ini menggunakan tiga jenis variabel yakni variabel eksogen
(satu buah), endogen (satu buah) dan variabel mediasi (enam buah). Adapun
rinciannya seperti dijelaskan sebagai berikut:
(1) Variabel Eksogen
Variabel eksogen adalah variabel yang nilainya tidak terikat dengan nilai
variabel yang lain (independent variable). Variabel eksogen adalah variabel yang
tidak dijelaskan oleh variabel lain dalam sebuah model, dan tidak ada anak panah
dalam inner model atau structural model yang menunjukkan ke variabel tersebut
(Henseler et al., 2016). Dalam penelitian ini ada satu variabel eksogen yakni
persaingan industri (IC) dengan lima dimensi yang diadopsi dari lima kekuatan
Porter (five diamond forces) yakni: Intensitas persaingan (IC1), ancaman
pengganti (IC2), kekuatan tawar-menawar pembeli (IC3), kekuatan tawar menawar
pemacok (IC4), dan ancaman masuk pendatang baru (IC5) (Metts, 2007; de Haan,
2015; Huang and Lee, 2012; Mathooko and Ogutu, 2015).
Dimensi intensitas persaingan (IC1) memiliki empat indikator (Huang and
Lee, 2012; Hoque, 2011; Mathooko and Ogutu, 2015; Teller et al., 2016),
ancaman pengganti (IC2) dengan tiga indikator (Hoque, 2011; Huang and Lee,
92
2012; Teller et al., 2016), kekuatan tawar-menawar pembeli (IC3) dengan empat
indikator (Huang and Lee, 2012; Mathooko and Ogutu, 2015), kekuatan tawar
menawar pemacok (IC4) dengan tiga indikator (Huang and Lee, 2012; Mathooko
and Ogutu, 2015), dan ancaman masuk pendatang baru (IC5) dengan empat
indikator (Huang and Lee, 2012).
(2) Variabel Endogen
Variabel endogen adalah variabel yang nilainya tergantung pada nilai
variabel yang lain (dependent variable). Variabel endogen adalah variabel yang
dijelaskan oleh variabel lain dalam sebuah model, dan sebuah variabel dikatakan
endogen jika ada sekurang-kurangnya satu anak panah menunjukkan pada
variabel tersebut dalam sebuah model (Henseler et al., 2016). Penelitian ini
mempunyai satu variabel endogen yakni kinerja industri (IP). Kinerja industri jasa
pendidikan tinggi diukur dengan menggunakan empat dimensi yakni kinerja
belajar dan mengajar (IP1) dengan lima indikator (Zebal and Goodwin (2012; Asif
and Searcy, 2014), kinerja penelitian (IP2) dengan empat indikator (Asif and
Searcy, 2014), kinerja pelayanan masyarakat (IP3) dengan tiga indikator (Asif and
Searcy (2014), dan kinerja keuangan dan pemasaran (IP4) dengan empat indikator
(Zebal and Goodwin, 2012; Asif and Searcy, 2014).
3) Variabel Mediasi
Variabel mediasi adalah variabel yang terletak diantara variabel
independen (eksogen) dan variabel dependen (endogen) yang membuat variabel
Eksogen tidak langsung mempengaruhi nilai variabel endogen (Sugiyono, 2011:
66). Namun demikian, variabel Eksogen mempengaruhi nilai variabel mediasi,
93
kemudian nilai variabel mediasi mempengaruhi nilai variabel endogen (Nitzl et
al., 2016). Dalam penelitian ini, ada empat variabel mediasi yakni:
1) Strategi diferensiasi (DS) merupakan variabel mediasi pertama yang
memiliki 3 indikator yakni program studi (DS11) (Adaptasi dari Hansen et
al., 2015); Gabrielsson et al., 2016), kualitas keahlian lulusan tinggi
(DS12) (Adaptasi dari Hansen et al., 2015; Gabrielsson et al., 2016),
Pelayanan yang berbeda (DS13) (Adaptasi dari Banker et al., 2014).
2) Strategi keunggulan biaya atau cost leadership strategy (CL) memiliki 3
indikator yakni efisiensi biaya (CL21) (Banker et al., 2014; Hansen et al.,
2015; Oyewobi et al., 2016), biaya operasional rendah (CL22) (Hansen et
al., 2015); Gabrielsson et al., 2016), dan Biaya kuliah per mahasiswa
rendah (CL23) (Ortega, 2010; Hansen et al., 2015).
3) Fokus pelayanan (FS) memiliki 5 indikator yang diadaptasi dari Chui et al.
(2016) yakni kompetensi dosen membantu mahasiswa (FS31), kesesuaian
kepemilikan fasilitas pengajaran dengan harapan mahasiswa (FS32);,
kualitas layanan sebagai basis layanan (FS33), tanggap melayani
mahasiswa (FS34), dan perhatian terhadap mahasiswa (FS35).
4) Inovasi (IN) memiliki 3 indikator yakni kurikulum (IN41) (Hodgkinson,
1998; Duening; 2009; Bunyi, 2013; Edwards et al., 2016), metode belajar
dan mengajar (IN42) (Alshammari et al., 2014; Corral de Zubielqui et al.,
2015), dan teknologi pengajaran (IN43) (Al-ansari et al., 2013).
Secara rinci, variabel, dimensi, dan indikator dalam penelitian ini
ditunjukkan dalam Tabel 4.2 berikut.
94
Tabel 4.2 Variabel, Dimensi, dan Indikator Penelitian
Variabel Jenis
Variabel
Dimensi Indikator Notasi Sumber
Persaingan
Industri (IC)
Exogen
(X)
Intensitas
persaingan
(IC1) (X1)
Peningkatan jumlah perguruan
tinggi.
IC11 Huang and Lee (2012)
Intensitas persaingan untuk mendapatkan dosen bergelar
master dan doktor.
IC12 Hoque (2011); (Huang and Lee (2012); Mathooko and
Ogutu (2015)
Intensitas persaingan uang kuliah
IC13 Hoque (2011); Huang and Lee (2012); Teller et al.
(2016)
Intensitas persaingan biaya
promosi.
IC14 Hoque (2011); Huang and
Lee (2012); (Teller et al.
2016).
Ancaman pengganti
(IC2)
(X2)
Keberadaan perguruan tinggi-perguruan tinggi luar negeri.
IC21 Huang and Lee (2012)
Keberadaan perusahaan swasta. IC22 Huang and Lee (2012)
Keberadaan pusat pelatihan berbasis kompetensi.
IC23 Huang and Lee (2012)
Kekuatan
tawar menawar
pembeli
(IC3)
Kekuatan keluarga IC31 Huang and Lee (2012);
Mathooko and Ogutu (2015) Kekuatan penyedia kerja IC32 Huang and Lee (2012);
Mathooko and Ogutu (2015)
Kekuatan mahasiswa IC33 Huang and Lee (2012); Mathooko and Ogutu (2015)
Kekuatan pemerintah IC34 Huang and Lee (2012);
Mathooko and Ogutu (2015) Kekuatan
tawar
menawar
pemasok
(IC4)
Tenaga dosen tetap IC41 Huang and Lee (2012);
Mathooko and Ogutu (2015)
Administrator IC42 Huang and Lee (2012);
Mathooko and Ogutu (2015)
Tenaga dosen tidak tetap IC43 Huang and Lee (2012);
Mathooko and Ogutu (2015) Ancaman
masuk
pendatang baru
(IC5) (X5)
Regulasi pendirian perguruan
tinggi baru dari Kementerian
Pendidikan Timor-Leste
IC51 Huang and Lee (2012)
Modal minimum yang
dibutuhkan untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi
IC52 Huang and Lee (2012)
Peraturan dan kebijakan
pemerintah tentang operasi perguruan tinggi
IC53 Huang and Lee (2012)
Duplikasi program studi dari
perguruan tinggi yang ada.
IC54 Mathooko and Ogutu (2015)
Strategi
Diferensiasi
(DS)
Mediasi (M1)
Program studi berbeda DS11 Adaptasi dari Hansen et al.
(2015); Gabrielsson et al.
(2016) Tingginya kualitas keahlian
lulusan.
DS12 Adaptasi dari Hansen et al.
(2015); Gabrielsson et al.
(2016) Pelayanan yang berbeda. DS13 Adaptasi dari Banker et al.
(2014)
Strategi
keunggulan
biaya
(CL)
Mediasi
(M2)
Efisiensi biaya
CL21 Banker et al. (2014); Hansen et al. (2015); Oyewobi et al.
(2016).
Rendahnya biaya operasional. CL22 Hansen et al. (2015); Gabrielsson et al. (2016).
Rendanya biaya kuliah per
mahasiswa.
CL23 Ortega (2010); Hansen et al.
(2015);
95
Lanjutan Tabel 4.2 Variabel, Dimensi, dan Indikator Penelitian
Sumber: Data diolah, 2017.
Variabel Jenis
Variabel
Dimensi Indikator Notasi Sumber
Fokus
Strategi
Pelayanan
(FS)
Mediasi (M3)
Kompetensi dosen membantu mahasiswa.
FS31 Chui et al. (2016).
Kesesuaian kepemilikan
fasilitas pengajaran dengan harapan mahasiswa.
FS32 Chui et al. (2016).
Kualitas sebagai basis layanan. FS33 Chui et al. (2016)
Tanggap melayani mahasiswa. FS34 Chui et al. (2016) Perhatian terhadap mahasiswa. FS35 Chui et al. (2016)
Inovasi
(IN)
Mediasi
(M4)
Kurikulum IN41 Hodgkinson (1998);
Duening (2009); Bunyi (2013); Edwards et al.
(2016)
Metode belajar dan mengajar IN42 Alshammari et al. (2014); Corral de Zubielqui et al.
(2015).
Teknologi pengajaran IN43 Desai (2012); Al-ansari et al. (2013; Durkin et al.
(2016).
Kinerja
(IP)
Endogen (Y)
Kinerja belajar
dan
mengajar (IP1)
(Y1)
Kepuasan mahasiswa IP11 Asif and Searcy (2014).
Tingkat drop out mahasiswa IP12 Asif and Searcy (2014).
Kepuasan penyedia lapangan
kerja terhadap keahlian alumni
IP13 Asif and Searcy (2014).
Alumni yang terserap dalam
lapangan kerja
IP14 Asif and Searcy (2014).
Pertumbuhan jumlah mahasiswa
IP15 Zebal and Goodwin (2012
Kinerja
penelitian
(IP2) (Y2)
Publikasi staf di jurnal nasional
dan internasional.
IP21 Asif and Searcy (2014)
Partisipasi staf dalam pelatihan, seminar dan workshop sebagai
peserta dan pemakalah
IP22 Asif and Searcy (2014)
Penelitian yang mendatangkan
dana
IP23 Asif and Searcy (2014)
Dampak penelitian terhadap
masyasrakat
IP24 Asif and Searcy (2014)
Kinerja
pelayanan
masyarak
at (IP3) (Y3)
Konseling kepada mahasiswa
dan alumni
IP31 Asif and Searcy (2014)
Kegiatan belajar dan mengajar
yang berbasis pada pelayanan
masyarakat.
IP32 Asif and Searcy (2014)
Partisipasi dalam pengembangan kurikulum.
IP33 Asif and Searcy (2014)
Kinerja
keuangan
dan
pemasara
n (IP4) (Y4)
Pertumbuhan pengembalian
investasi
IP41 Alipour (2013); Andreou et
al. (2014); Abdifatah
(2014); Al-Najjar (2014);
Kilic et al. (2015)
Pertumbuhan surplus IP42 Liao (2011); Zebal and
Goodwin (2012); Asif and Searcy (2014)
Pertumbuhan pendapatan total IP43 Asif and Searcy (2014)
Penguasaan pangsa pasar IP44 Liao (2011); Zebal and
Goodwin (2012); Asif Asif
and Searcy (2014)
96
4.4.2 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional dari variabel dan indikator yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
(1) Persaingan industri
Persaingan industri adalah rivalitas antara perguruan tinggi di Timor-Leste
yang dipicu oleh faktor-faktor eksternal industri. Faktor-faktor eksternal tersebut
adalah intensitas persaingan antara perguruan tinggi, ancaman pengganti,
kekuatan tawar menawar pembeli, kekuatan tawar menawar pemacok, dan
hambatan masuk pendatang baru yang dapat mempengaruhi persaingan dan
profitabilitas industri.
Intensitas persaingan industri adalah peningkatan jumlah perguruan tinggi
yang memicu persaingan perguruan tinggi di Timor-Leste untuk mendapatkan
mahasiswa, dosen, dana, biaya kuliah, promosi dan pemasaran. Dalam penelitian
ini, intensitas persaingan perguruan tinggi diukur dengan: (1) Peningkatan jumlah
perguruan tinggi, (2) Intensitas persaingan untuk mendapatkan dosen bergelar
master dan doktor, (3) Intensitas persaingan uang kuliah, dan (4) Intensitas
persaingan biaya promosi.
Ancaman pengganti industri pendidikan tinggi di Timor-Leste adalah
produk atau servis yang menjadi pengganti produk atau servis perguruan tinggi di
Timor-Leste. Produk atau servis pengganti adalah kursus atau program-program
online, kursus-kursus berbasis kompetensi, penawaran program-program
kurikuler dari perguruan tinggi luar negeri. Dalam penelitian ini, ancaman
pengganti diukur dengan: (1) Keberadaan perguruan tinggi luar negeri, Perguruan
97
tinggi luar negeri memberikan kursus-kursus online, dan menarik minat banyak
mahasiswa untuk kuliah diluar negeri seperti Indonesia, dan Philipina. Ini dapat
menjadi ancaman bagi perguruan tinggi di dalam negeri, karena jumlah lulusan
SLTA per tahun di Timor-Leste antara 17,000-19,000 di mana hanya 45-50%
yang dapat melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi (Viegas, 2016). Dengan
demikian, keberadaan perguruan tinggi luar negeri dapat berkontribusi untuk
menurunkan jumlah mahasiswa yang masuk perguruan tinggi di Timor-Leste. (2)
Keberadaan perusahaan swasta. Tumbuhnya perusahaan swasta akan membuka
dan menawarkan pekerjaan kepada mahasiswa dan lulusan STLA, sehingga
mereka mempunyai pilihan, di antara kuliah atau bekerja. Semakin banyak lulusan
SLTA yang mendapatkan pekerjaan, maka semakin berkurang jumlah lulusan
SLTA yang kuliah sehingga perguruan tinggi dapat menghadapi kekurangan
mahasiswa. Demikian juga perubahan tuntutan kompetensi kerja dari perusahaan
swasta. Jika perusahaan swasta lebih berorientasi untuk merekrut pegawai
berbasis pada kompetensi tanpa harus melihat gelar kesarjanaan, maka membuat
banyak lulusan yang tertarik untuk mengikuti pelatihan berbasis kompetensi untuk
mendapatkan pekerjaan. Hal demikian menjadi ancaman bagi perguruan tinggi
karena meningkatnya jumlah lulusan SLTA yang mengikuti kursus berbasis
kompetensi, dan mendapatkan pekerjaan yang berimplikasi pada menurunnya
jumlah lulusan SLTA yang melanjutkan studi di perguruan tinggi. (3) Ancaman
pusat pelatihan berbasis kompetensi. Kehadiran pusat pelatihan yang
menyediakan pelatihan berbasis kompetensi yang sesuai dengan tuntutan kerja
akan menjadi daya tarik bagi calon mahasiswa untuk mendapatkan ketrampilan
98
sebagai bekal kerja. Hal demikian diperkuat lagi perubahan pola rekruitmen dan
promosi pegawai perusahaan yang lebih berorientasi pada kompetensi
dibandingkan dengan gelar kesarjanaan. Hal ini akan merangsang tumbuhnya
pusat pelatihan berbasis kompetensi yang menarik lulusan SLTA lebih banyak
mengikuti pelatihan yang berimplikasi pada beberapa perguruan tinggi
menghadapi kekurangan jumlah mahasiswa.
Kekuatan tawar menawar pembeli adalah orang-orang yang membeli
produk atau jasa dari perguruan tinggi di Timor-Leste. Dalam penelitian ini,
pembeli diukur dengan: (1) Mahasiswa. Mahasiswa merupakan pembeli utama
jasa perguruan tinggi atau dengan kata lain sebagai pelanggan utama (main
costumer). Banyak perguruan tinggi yang tingkat operasinya hanya tergantung
dari uang kuliah mahasiswa. Semakin banyak mahasiswa maka semakin baik
pendapatan, dan semakin baik tingkat keberkelanjutan operasi perguruan tinggi.
Kekuatan mahasiswa juga akan tergantung pada jumlah perguruan tinggi dan
keahlian yang ditawarkan. Semakin banyak perguruan tinggi dan duplikasi kursus
yang tinggi diantara perguruan tinggi yang ada membuat mahasiswa memiliki
banyak pilihan. Pilihan tersebut bisa didasarkan pada reputasi akademik, keadaan
fisik, promosi institusi, dan brand image (Mathooko and Ogutu, 2015), biaya,
keahlian yang ditawarkan, dan jarak kampus ke tempat tinggal mahasiswa.
Dengan semakin banyak perguruan tinggi, maka semakin tinggi kekuatan
menawar tawar mahasiswa. (2) Keluarga. Keluarga merupakan salah satu faktor
determinan untuk menentukan jurusan dan perguruan tinggi mana yang akan
menjadi pilihan anak-anaknya karena keluarga menjadi sumber keuangan
99
mahasiswa. Dengan demikian, semakin banyak perguruan tinggi dan program
studi, maka keluarga memiliki lebih banyak pilihan, sehingga memiliki daya
tawar menawar yang lebih tinggi. (3) Penyedia kerja. Penyedia kerja dapat juga
menentukan. Jika banyak perguruan tinggi, penyedia kerja memiliki banyak
pilihan untuk rekruitmen alumni perguruan tinggi untuk menjadi pegawainya.
Demikian juga memiliki banyak pilihan untuk membeli produk perguruan tinggi
(alumni, servis, hasil penelitian, dan paten) sehingga menyebabkan penyedia kerja
memiliki daya tawar menawar yang lebih tinggi. (4) Pemerintah. Pemerintah
bertindak sebagai penyedia kerja bagi alumni, pembeli produk dari perguruan
tinggi. Semakin banyak perguruan tinggi, semakin tinggi kekuatan tawar menawar
pemerintah.
Kekuatan tawar menawar pemacok adalah perguruan tinggi atau individu
yang menyediakan bahan, informasi, atau pengetahuan untuk memungkinkan
sebuah perguruan tinggi di Timor-Leste memproduksi barang atau servis. Dalam
industri pendidikan tinggi, pekerja adalah pemacok. Pekerja disini adalah dosen,
peneliti dan administrator. Dalam penelitian ini kekuatan tawar menawar pemacok
diukur dengan: (1) Tenaga dosen. Tenaga dosen yang baik dan kompeten akan
menambah kualitas dan reputasi perguruan tinggi. Walaupun demikian, banyak
dosen yang kompeten akan memiliki bargaining power yang baik terhadap
perguruan tinggi. (2) Administrator. Pengelolaan tenga administrasi merupakan
salah satu komponen penting dalam perguruan tinggi. Staf administrasi yang
kompeten dan handal dalam melakukan tugas pelayanan kepada mahasiswa dan
masyarakat membuat mahasiswa sebagai pelanggan puas. Dengan demikian
100
mahasiswa akan menyampaikan kepada orang lain lewat promosi mulut ke mulut.
Dengan demikian, semakin banyak perguruan tinggi yang memiliki tenaga
administrasi yang kompeten dan handal membuat tenaga administrasi memiliki
daya tawar menawar yang tinggi, dan (3) Dosen tidak tetap. Dewasa ini banyak
perguruan tinggi yang menggunakan dosen tidak tetap dari perguruan tinggi lain
atau praktisi industri. Jika kualitas dan reputasi dosen tidak tetap baik akan
menambah kualitas dan reputasi perguruan tinggi. Hal demikian menambah
kekuatan tawar menawar perguruan tinggi.
Hambatan masuk pendatang baru adalah segala sesuatu yang menjadi
penghambat untuk mendirikan atau masuknya perguruan tinggi baru di Timor-
Leste. Dalam penelitian ini, hambatan pendatang baru diukur dengan: (1) Regulasi
pendirian perguruan tinggi baru dari Kemeterian Pendidikan Timor-Leste, (2)
modal minimum yang dibutuhkan untuk mendirikan sebuah institusi pendidikan
tinggi, (3) Peraturan dan kebijakan pemerintah tentang operasi institusi
pendidikan tinggi, serta (4) Duplikasi kursus-kursus dari perguruan tinggi di
Timor-Leste.
(2) Strategi diferensiasi
Strategi diferensiasi adalah strategi perguruan tinggi di Timor-Leste untuk
mengembangkan produk, kualitas, proses, metode yang unik, serta berbeda dan
bernilai bagi pelanggan. Dalam penelitian ini, diferensiasi diukur dengan: (1)
Program studi yang berbeda, (2) Tingginya kualitas keahlian lulusan, dan (3)
Kualitas pelayanan berbeda.
(3) Strategi keunggulan biaya
101
Strategi keunggulan biaya atau cost leadership strategy adalah strategi
perguruan tinggi di Timor-Leste untuk menyediakan program studi dan keahlian
dengan biaya lebih rendah dari perguruan tinggi pesaingnya untuk menarik
pelanggan. Strategi tersebut dilakukan dengan memaksimalkan efisiensi operasi,
melakukan kontrol, dan pengetatan biaya dalam semua tingkatan operasi.
Penelitian ini mengukur strategi biaya dengan menggunakan tiga indikator yakni
efisiensi biaya, biaya operasi rendah, dan biaya kuliah rendah.
(4) Fokus pelayanan
Fokus pelayanan adalah strategi perguruan tinggi untuk meningkatkan
kinerja dengan memberikan pelayanan yang baik kepada mahasiswa. Dalam
penelitian ini, fokus pelayanan diukur dengan indikator seperti: (1) Kompetensi
dosen membantu mahasiswa, (2) Kesesuaian kepemilikan fasilitas pengajaran
dengan harapan mahasiswa, (3) Kualitas layanan sebagai basis layanan,
(4) Tanggap melayani mahasiswa, dan (5) Perhatian terhadap mahasiswa.
(5) Inovasi
Strategi inovasi adalah strategi pergurun tinggi untuk merubah kurikulum,
metode pengajaran, evaluasi kinerja mahasiswa, pelayanan kepada mahasiswa dan
masyarakat, penggunaan teknologi, fasilitas, organisasi, program studi, dan
keahlian yang ditawarkan, cara seleksi mahasiswa dan evaluasi kinerja staf dosen.
Penelitian ini mengukur variabel inovasi dengan menggunakan indikator
kurikulum, metode belajar dan mengajar, dan teknologi pengajaran.
(6) Kinerja industri
102
Kinerja industri jasa pendidikan tinggi adalah suatu parameter yang
digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan perguruan tinggi di Timor-Leste.
Kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste diukur dengan dimensi belajar
dan mengajar, penelitian, pengabdian masyarakat, dan keuangan dan pemasaran.
Kinerja belajar dan mengajar adalah suatu pengukuran untuk melihat keberhasilan
belajar dan mengajar sebuah perguruan tinggi yang diukur dengan menggunakan
indikator (1) Kepuasan mahasiswa, (2) Kepuasan penyedia lapangan kerja
terhadap keahlian alumni, (3) Alumni yang terserap dalam lapangan kerja, dan (4)
Pertumbuhan jumlah mahasiswa. Kinerja penelitian diukur dengan (1) Publikasi
staf di jurnal nasional dan internasional, (2) Partisipasi staf dalam pelatihan,
seminar, dan workshop sebagai peserta dan pemakalah, (3) Penelitian yang
mendatangkan dana, dan (4) Dampak penelitian terhadap masyarakat. Kinerja
pelayanan masyarakat diukur dengan menggunakan indikator seperti (1)
Konseling kepada mahasiswa, (2) Kegiatan pelayanan masyarakat, dan (3)
Partisipasi dalam pengembangan kurikulum. Kinerja keuangan dan pemasaran
diukur dengan (1) Pertumbuhan pengembalian modal investasi, (2) Pertumbuhan
surplus, (3) Pertumbuhan pendapatan total, dan (4) Penguasaan pangsa pasar.
4.5 Instrumen Penelitian
4.5.1 Kuesioner
Instrumen penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner merupakan
instrumen penggumpulan data dengan membuat daftar pertanyaan dan jawaban
yang telah disiapkan oleh peneliti. Kuesioner penelitian ini dibagi dalam tiga
bagian utama: (1) persaingan industri yang dipicu oleh faktor eksternal industri
103
yang diukur dengan 5 dimensi dan 18 item. (2) strategi bisnis dibagi dalam 4
strategi yakni strategi diferensiasi, strategi keunggulan biaya, strategi fokus
pelayanan, inovasi, dan hibrid dengan 28 item (3) Kinerja industri pendidian
tinggi yang diukur dengan 4 dimensi dan 16 item.
Kuesioner juga berisi pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan data
tentang profil responden seperti nama, posisi, jenis kelamin, status
(negeri/swasta), dan asal institusi pendidikan. Pertanyaan dan jawaban dalam
kuesioner sudah diberikan skor dengan menggunakan lima Skala Likert. Daftar
pertanyaan dan jawaban dalam kuesioner penelitian ini dibuat relevan dengan
variabel-variabel dan indikator-indikator yang ada dalam penelitian ini untuk
mendapatkan data, diolah dan digunakan untuk menguji hipotesis guna menjawab
masalah dan tujuan penelitian.
4.5.2 Uji Validitas
Akurasi data sangat berpengaruh terhadap ketepatan pengujian hipotesis
hubungan antara variabel. Akurasi data sangat tergantung pada ketelitian alat yang
digunakan dalam proses pengukuran data. Untuk itu, alat penelitian harus diuji
validitas guna menjamin akurasinya. Validitas alat adalah ketepatan sebuah alat
dalam memberikan nilai yang tepat dan sesuai yang diukur. Dalam penelitian ini,
instrumen penelitian adalah kuesioner. Isi kuesioner dikembangkan dari teori atau
empiris yang ada berdasarkan kajian pustaka untuk menjawab masalah dan tujuan
penelitian. Kuesioner setelah selesai disusun dilakukan pre-test terhadap 30
responden untuk menjamin isi kuesioner relevan, jelas, dan mudah dipahami dan
dijawab oleh responden sehingga meminimalkan jawaban bias (Huang and Lee,
104
2012; Yuliansyah et al., 2017). Hasil pre-tes ini kemudian digunakan untuk
memperbaki kuesioner, jika ada ambiguitas atau ketidakpahaman dari responden.
Secara statistik, uji validitas instrumen penelitian dilakukan dengan menggunakan
koefisien korelasi Pearson (r) dengan nilai minimal lebih besar dari 0.3.
4.5.3 Uji reliabilitas
Reliabilitas adalah konsistensi nilai yang diberikan sebuah alat ukur,
walaupun pengukuran dilakukan lebih dari satu kali. Dalam penelitian ini,
reliabilitas instrumen penelitian diuji konsistensi internal dengan menggunakan
alpha crombach (Liao, 2011; Huang and Lee, 2012; Oyewobi et al., 2016). Nilai
Alpha Cronbach minimum 0.6 untuk tingkat penerimaan konsistensi internal yang
diadopsi dari studi-studi sebelumnya (Huang and Lee, 2012; Oyewobi et al.,
2016; Sharma, 2017).
4.6 Prosedur Penelitian
Secara umum, penelitian ini dibagi dalam 3 tahap yakni: (1) Eksplorasi
penelitian. Pada tahap ini akan dilakukan pencarian isu penelitian, teoritis, empiris
dan fenomena bisnis berdasarkan kajian teori, empiris dan pengamatan lapangan.
Tahap ini juga dilanjutkan dengan merumuskan masalah, tujuan, kerangka,
konsep, metode penelitian, dan menyusun proposal penelitian. (2) Pelaksanaaan
penelitian. Pada tahap ini akan melakukan pengambilan data lapangan, uji
validtias dan reliabilitas data, uji hipotesis dan analisis data. (3) Pelaporan
penelitian. Pada tahap ini akan melakukan interpretasi dan argumentasi data hasil
penelitian yang kemudian dibandingkan atau diperkuat dengan teori dan empiris
105
yang dituliskan secara terintegratif dengan latar belakang, kajian teori dan
empiris, kerangka pemikiran, konsep dan metode penelitian.
Prosedur penelitian ini adalah:
1) Menentukan tema penelitian sebagai panduan untuk melakukan kajian
teori, empiris dan pengamatan lapangan guna mengetahui isu-isu teoritis,
empiris dan fenomena bisnis bagi penelitian.
2) Merumuskan masalah, tujuan, konsep, dan hipotesis untuk memandu
pengambilan, uji dan analisa data.
3) Membuat desain, memilih metode, variabel, indikator penelitian,
menentukan populasi, sampel, dan kerangka sampel berdasarkan kajian
teori, empiris, dan data lapangan untuk menyusun proposal penelitian.
4) Melaksanakan penelitian pendahuluan, uji validitas dan reliabilitas data
pendahuluan. Selanjutnya menggumpulkan data lapangan, uji hipotesis,
dan analisa data.
5) Menyusun laporan penelitian.
4.7 Analisis Data
4.7.1 Analisis data deskriptif
Analisis deskriptif dilakukan untuk mengambarkan data yang telah
terkumpul dari masing-masing variabel tanpa harus melakukan generalisasi
(Sugiyono, 2011:199). Statistik deskriptif dilakukan untuk menyusun, menyajikan
data penelitian dalam bentuk tabel frekuensi atau grafik, dan diakukan
pengukuran nilai-nilai statistiknya seperti rerata (mean). Dalam penelitian ini,
106
analisa deskriptif akan dilakukan dengan menggambarkan data yang terkumpul
dari masing-masing variabel melalui distribusi frekuensi.
4.7.2 Analisa data inferensial
Analisis penelitian kuantitatif-inferensi dilakukan untuk menjawab
masalah dan hipotesis penelitian. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan
menggunakan alat analisis partial least square (PLS). Alat analisis ini dipilih
karena memiliki beberapa keunggulan seperti tidak perlu melakukan uji asumsi
klasik, dapat digunakan untuk sampel berukuran kecil, indikator reflektif dan
formatif (Hair et al., 2014; Hopkins, 2015; Ringle and Sarstedt, 2016; Valaei,
2017). PLS merupakan teknik yang sudah mapan untuk menghitung koefisien
jalur (path coefficient), dapat memprediksi konstruk, menganalisis data
multivariat, mengembangkan dan menguji hubungan antara variabel berdasarkan
teori, dan metode yang kaya dalam penelitian manajemen dan strategi (Roemer,
2016; Valaei, 2017).
Pengukuran data untuk tiap-tiap indikator dalam analisis kuantitatif
menggunakan Skala Likert mulai skala dari 1 sampai dengan 5. Skala pengukuran
ini dibuat untuk mengakomodasikan perbedaan persepsi dan sikap responden
terhadap sesuau yang ditanyakan kepadanya. Penelitian ini dimulai dengan
rentang jawaban responden dari yang negatif (1) sampai dengan jawaban yang
positif (5). Jika responden memilih 1, maka artinya responden sangat tidak setuju
107
(STS), sedangkan responden memilih 5, maka artinya responden sangat setuju
(SS) terhadap pernyataan-pernyataan yang ada dalam instrumen penelitian.
Analisis kuantitatif menggunakan hierarchial component model dengan
tahapan prosesnya sebagaimana dalam Gambar 4.1. Keterangan notasi pada
Gambar 4.1 dapat dilihat dalam Tabel 4.2.
Gambar 4.1 Hierarchial Component Model
Sumber: Konsep model ini dikembangkan lebih lanjut dari Konsep Porter (1980); Porter (1985);
Huang and Lee (2012); Asif and Searcy (2014); Mathooko and Ogutu (2015); Chui et al. (2016).
Analisis PLS-SEM pada umumnya dilakukan melalui tiga tahap yakni:
Tahap pertama, Spesifikasi Model. Tahap ini merupakan proses untuk
membangun model hubungan antara outer model dan inner model. Inner model
atau structural model menunjukkan hubungan antar variabel yang diuji,
sedangkan outer model atau measurement model menunjukkan hubungan antara
indikator dengan variabel latennya (construct). Oleh karena itu, dalam tahap ini,
model jalur (path model) dibuat dengan membuat hubungan antara variabel laten
yang didasarkan pada logika dan teori (Hopkins, 2015). Disini penting juga
108
menentukan variabel eksogen dan variabel endogen. Variabel eksogen adalah
variabel independen yang dalam jalur model tidak ada anak panah yang menuju
kepadanya. Variabel endogen adalah variabel yang dependen yang ada anak
panah menuju kepadanya. Variabel mediasi adalah variabel yang terletak diantara
dua variabel eksogen dan endogen. Variabel mediasi bisa juga berperan sebagai
variabel eksogen dan variabel endogen. Jika anak panah menunjukkan pada
variabel mediasi, maka variabel mediasi tersebut berperan sebagai variabel
endogen. Sebaliknya, jika anak panah dari variabel mediasi menunjukkan pada
variabel lain, maka variabel mediasi ini berperan sebagai variabel Eksogen (Hair
et al., 2014; Hopkins, 2015; Henseler et al., 2016).
Dalam membuat spesifikasi model, langkah selanjutnya adalah
mendefinisikan jenis indikator apakah reflektif atau formatif. Sebuah indikator
dikatakan reflektif jika anak panah berasal dari variabel laten (construct)
ditunjukkan pada indikator. Sebaliknya, jika anak panah berasal dari indikator dan
ditunjukkan pada variabel laten (construct), maka indikator tersebut disebut
indikator formatif (Hair et al. 2014; Hopkins, 2015). Indikator reflektif
merupakan indikator yang dibentuk oleh konstruk, sehingga ketika konstruknya
berubah, maka indikatornya juga ikut berubah. Sebaliknya, indikator formatif
adalah indikator yang membentuk konstruk, sehingga indikator berubah atau
berkurang atau bertambah akan merubah arti dari konstruk.
Dalam penelitian ini, ada satu variabel eksogen (persaingan industri), satu
variabel endogen (kinerja industri), dan empat variabel mediasi (diferensiasi,
biaya, fokus pelayanan, dan inovasi) yang bisa juga berperan sebagai variabel
109
eksogen maupun sebagai variabel endogen. Demikian juga, semua konstruk dalam
model penelitian ini memiliki indikator yang bersifat reflektif.
Tahap kedua. Evaluasi Outer Model atau Measurement Model. Model
evaluasi ini dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel laten dengan
indikator-indikatornya. Penelitian ini melakukan evaluasi outer model atau
measurement model untuk menguji reliabilitas dan validitas model sebagai
berikut:
a) Uji reliabilitas construct dilakukan dengan menggunakan compsite
reliability (CR), average variable extracted (AVE), dan alpha
crombath. Konstruk dianggap reliabel, jika nilai CR lebih besar
dari 0,7, AVE minimum adalah 0,5, dan Alpha Crombath
minimum adalah 0,6 (Kumar and Banerjee, 2012; Abd Razak et
al., 2016).
b) Uji validitas construct dilakukan dengan menggunakan convergent
validity dan discriminat validity. Convergent validity digunakan
untuk menguji hubungan antara manifes variabel dalam sebuah
konstruk. Convergent validity diukur dengan menggunakan
average variance extracted (AVE), dan besarnya 0,5 atau lebih
(Soltanizadeh et al., 2016). Sedangkan discriminant validity
digunakan untuk menguji hubungan manifest variabel dalam
sebuah konstruk berhubungan dengan manifes variabel konstruk
yang lain dalam sebuah structural model. Discriminant validity
diamati melalui cross-loadings, dimana item loadings konstruk
110
relevan lebih tinggi loading dari item yang didesain untuk
mengukur semua konstruk (Soltanizadeh et al., 2016). Descriminat
validity bisa diterima jika outer loading per item construct diatas
0,70 dan average variance extracted (AVE) adalah 0,50 atau lebih
(Hair et al., 2014; Hopkins, 2015; Valaei and Jiroudi, 2016;
Henseler et al., 2016).
Tahap ketiga. Evaluasi Inner Model atau Structural Model. Model ini
merupakan evaluasi untuk melihat hubungan antara semua variabel laten yang
membentuk sebuah model (Hair et al., 2014; Hopkins, 2015). Inner model atau
structural model dibangun berdasarkan kajian teori, empirik, dan hipotesis
penelitian (Henseler et al., 2016). Dalam evalusasi kualitas model lebih banyak
didasarkan pada kemampuan untuk memprediksi konstruk endogen dengan
menggunakan coefficient of determination (R2), cross-validated redundancy (Q2),
path coefficients, dan effect size (f2) (Hair et al., 2014; Hopkins, 2015). Dalam
penelitian ini, evaluasi inner model atau structural model dilakukan dengan
parameter-parameter berikut:
i) Coefficient of determination atau R-Square (R2) digunakan untuk
mengukur akurasi prediksi model dan mengukur pengaruh kombinasi
dari semua variabel eksogen terhadap variabel endogen. Nilai
pengaruh tersebut memiliki rentang dari 0 sampai 1, dimana 1
menunjukkan akurasi prediktif kuat (complete predictive accuracy).
Namun demikian, sebagai penerimaan umum (rule of thumbs), nilai R2
111
yang dapat diterima adalah 0.75 (pengaruh kuat), 0.50 (pengaruh
sedang), dan 0.25 (pengaruh lemah) (Hair et al., 2014; Hopkins, 2015).
ii) Cross-validated redundancy (Q2) digunakan untuk mengukur relevansi
prediktif model. Jika nilai cross validate redundancy (Q2) lebih besar
dari nol, maka inner model tersebut memiliki predictive relevance.
Sebaliknya jika nilainya lebih kecil dari nol, maka model tersebut tidak
memiliki predictive relevance sehingga inner model kurang baik untuk
memprediksi (Hair et al., 2014; Hopkins, 2015).
iii) Path coefficient merupakan koefisien regresi yang menunjukkan
pengaruh langsung variabel independen (exogenous variable) terhadap
variabel dependen (endogenous variable) dalam sebuah model jalur
(path model). Nilai koefisien jalur (koefisien regresi) standar dari -1
sampai dengan +1, di mana nilai konfisien jalur yang mendekati +1
menunjukkan bahwa variabel exogen dan endogen berhubungan positif
kuat. Sebaliknya nilai koefisien jalur (koefisien regresi) mendekati -1
menunjukkan bahwa hubungan variabel exogen dan endogen negatif
dan kuat (Hair et al., 2014; Hopkins, 2015).
iv) Effect size. Effect size untuk setiap jalur model (path model) dapat
ditentukan dangan menghitung Cohen f2, sedangkan f2 dapat dihitung
dengan mencatat perubahan R2, ketika konstruk tertentu dikeluarkan
dari model. Untuk menghitung f2, maka dua model jalur PLS harus
dihitung. Model jalur pertama harus model penuh seperti ditentukan
dalam hipotesis, sehingga R2 dari model yang lengkap (R2 included).
112
Model jalur kedua identik, kecuali konstruk eksogen tertentu
dikeluarkan dari model, sehingga R2 dari model yang berkurang (i.e.
R2 excluded). Nilai effect size adalah 0,02 (berpengaruh lemah), 0,15
(berpengaruh sedang), dan 0,35 (berpengaruh kuat) (Hair et al., 2014;
Hopkins, 2015).
112
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Gambaran Umum Perguruan Tinggi Timor-Leste
Timor-Leste adalah sebuah negara kecil dengan luas wilayahnya 14.874
km2 yang terletak di kawasan ASEAN, di sebelah Timur Indonesia, yang baru
merestorasi kemerdekaannya pada tanggal 20 Mei 2002. Jumlah penduduk Negara
tersebut adalah 1.3 juta orang dengan maioritas masyarakatnya (lebih dari 60%)
hidup dari sektor pertanian. Sumber pendapatan utama berasal dari minyak dan
gas (MIGAS) yang hampir 90% dari total GDP Negara tersebut, sedangkan
pendapatan utama non MIGAS berasal dari ekspor kopi organik, dan sektor-sektor
lainnya.
Walaupun sebagai Negara baru, Timor-Leste memiliki banyak perguruan
tinggi. Total perguruan tinggi terakreditasi adalah 11, dan sekitar 8 perguruan
tinggi yang belum terakreditasi. Jumlah perguruan tinggi tersebut lebih banyak
jika dibandingkan 11 negara di Pasifik Selatan yang hanya memiliki satu
perguruan tinggi yakni the University of South Pacific, walaupun penduduknya
lebih dari delapan kali lipat penduduk Timor-Leste. Kesebelas perguruan tinggi
terakreditasi tersebut memiliki total jurusan atau program studi sebanyak 157, di
mana Universitas Oriental (UNITAL) merupakan perguruan tinggi dengan jurusan
terbanyak (42 jurusan), disusul dengan Unversitas Nasional Timor Lorosa’e (37
jurusan), sebaliknya Instituto Catolica Para Formacao Profesores (ICFP) yang
memiliki jurusan paling sedikit (2).
113
Tabel 5.1. Nama Perguruan Tinggi Terakreditasi dan Jurusan di Timor-Leste
No Nama Perguruan Tinggi Singkatan Jumlah
Jurusan
1 Universidade Nacional Timor Lorosa’e UNTL 37
2 Universidade da Paz UNPAZ 13
3 Universidade de Dili UNDIL 15
4 Universidade Oriental UNITAL 42
5 Dili Institute of Technology DIT 12
6 Instituto Católico para Formação de Professores ICFP 2
7 Instituto de Ciências Religiosas “São Tomás de
Aquino”
ICR 3
8 Institute of Business IOB 6
9 Instituto Superior de Cristal ISC 12
10 East Timor Coffee Academy ETCI 12
11 Instituto Professional de Cannossa IPDC 3
Total Jurusan 157
Sumber : National Agency for Academic Assessment and Acceditaion (2015)
Dengan total 11 perguruan tinggi terakreditasi, dan 8 jurusan belum
terakreditasi yang secara kumulatif sangat banyak di sebuah Negara yang
penduduknya hanya 1,3 juta orang, dan jumlah lulusan sekolah lanjutan atas
(SLTA) sebagai input bagi perguruan tinggi hanya 17.000-19.000 per tahun.
Banyaknya jumlah perguruan tinggi diperparah juga dengan peningkatan
duplikasi jurusan yang membuat intensitas persaingan antar perguruan tinggi
sangat ketat untuk mendapatkan input mahasiswa, dan sumber daya pengajaran
yang terbatas pula di Timor-Leste. Hal demikian berimplikasi pada banyaknya
jurusan yang kurang mendapatkan mahasiswa sesuai dengan daya tampung.
Sebuah kenyataan adalah peningkatan jumlah perguruan tinggi dan
jurusan tidak diimbangi dengan kecukupan penyediaan sumber daya dan
kapabilitas (resource and capabilities) seperti sumber daya manusia (dosen,
114
manajer, staf administrasi, dan teknis), sumber daya fasilitas (ruang kuliah,
perpustakaan, laboratorium, internet, jurnal, buku dan fasilitas pendukung
lainnya), sumber daya keuangan (dana operasional, dana penelitian, dana sosial,
dan akses ke institusi keuangan) untuk menyediakan pendidikan berkualitas yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pasar kerja. Hal ini bisa dilihat dari
banyaknya perguruan tinggi yang masih menghadapi keterbatasan: (1) Dosen baik
kuantitas maupun kualitas (doktor dan magister berbasis kompetensi mengajar
dibidang keahliannya). (2) Sarana dan prasarana pengajaran seperti ruang kuliah,
laboratorium, perpustakaan, dan (3) Kurikulum yang masih “copy and paste” dari
Perguruan Tinggi Luar Negeri tanpa ada penyesuaian signifikan dengan kondisi
riil Timor-Leste. Sebaliknya kurikulum seharusnya dinamis, sesuai dan
merespons tuntutan pemerintah, masyarakat, dan pasar kerja. (4). Manajer
institusi pendidikan yang cukup kompeten untuk membaca dinamika perubahan
lingkungan industri, dan menyesuaikan strategi secara cepat, dan tepat untuk
mempertahan keunggulan posisi bersaing.
Kondisi diatas berimplikasi pada daya saing dan kinerja perguruan tinggi
Timor-Leste sangat terbatas, jika dibandingkan dengan perguruan tinggi dari
Negara-negara lain. Jika Timor-Leste masuk dan menjadi anggota ASEAN, yang
memungkinkan mobilitas bebas manusia antar negara, perguruan tinggi Timor-
Leste akan menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan daya saing untuk
menarik mahasiswa, dana, dan lulusannya juga cukup rentan dalam persaingan di
pasar kerja domestik dan ASEAN.
115
Menurut teori resource-based view (RBV), sebuah institusi yang memiliki
sumber daya dan kapabilitas terbatas, akan sulit untuk mengembangkan produk
dan servis yang berkualitas, unik, berbeda, dan bernilai bagi pelanggan
(mahasiswa, pemerintah, dan industri) sehingga berimplikasi pada penuruan daya
saing, dan kinerja (Barney, 1991). Dalam kondisi demikian, perguruan tinggi
harus mendapatkan sumber daya dan kapabilitas dari luar institusi untuk
memperkuat dirinya guna meningkatkan daya saing. Sumber daya tersebut bisa
dari pemerintah atau industri dengan menyediakan subsidi keuangan, dan donasi
fasilitas untuk meningkatkan kualitas. Walaupun demikian, dengan banyaknya
“pemain” dalam segmen pasar yang terbatas, subsidi dan hibah pada industri
pendidikan tinggi menjadi tidak signifikan untuk meningkatkan daya saing dan
kinerja. Sumber daya eksternal masuk ke industri pendidikan tinggi harus
berdasarkan performance-based approach, dan diimbangi juga dengan
rasionalisasi perguruan tinggi, implementasi strategi kemitraan, diferensiasi, dan
merger untuk meningkatkan daya saing dan kesinambungan kinerja (sustainable
performance).
5.1.2. Uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian
Uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian sangat penting untuk
menjamin ketepatan dan konsistensi instrumen penelitian dalam memberikan hasil
yang sesuai dengan realitas. Dalam penelitian ini, instrumen penelitian yang
digunakan dalam pengambilan data adalah kuesioner. Kuesioner tersebut diuji
validitas dan reliabilitasnya dengan melakukan pilot test terhadap 30 orang
responden (Oyewobi et al., 2016). Responden tersebut dari Ketua Jurusan dan
116
Wakil Ketua Jurusan dari 11 Perguruan Tinggi terakreditasi di Timor-Leste
karena mereka lebih tahu strategi bisnis dan kinerja industri pendidikan tinggi.
Dengan demikian, mereka dapat memberikan masukan untuk menjamin kejelasan,
akurasi dan pemahaman tentang item yang ada dalam kuesioner sebagai alat ukur
persaingan industri, strategi bisnis dan kinerja industri jasa pendidikan tinggi di
Timor-Leste. Dengan demikian, menghindari ambiguitas yang dapat berimplikasi
terhadap bias hasil (Huang and Lee, 2012; Mathooko and Ogutu, 2015).
Secara statistik, uji validitas instrumen penelitian dilakukan dengan
Pearson Correlation (r) dengan SPSS Versi 17. Nilai Pearson Correlation
minimum adalah 0,3. Berdasarkan hasil uji validitas instrumen, nilai Pearson
Correlation dari semua konstruk lebih besar dari 0,3 (Tabel 5.2). Hal ini
menunjukkan bahwa instrumen penelitian ini valid digunakan dalam pengambilan
data.
Tabel 5.2 Hasil Analisa Validitas dan Realiabilitas Instrumen Penelitian
Konstruk Dimensi Pearson
Correlation
Keterangan Cronbach's
Alpha
Keterangan
Industrial
Competition
IC11 0,589 Valid. 0,764 Realiabel
IC12 0,725 Valid
IC13 0,760 Valid.
IC14 0,777 Valid.
IC21 0,795 Valid 0,878 Realiabel
IC22 0,861 Valid
IC23 0,786 Valid
IC31 0,618 Valid 0,964 Realiabel
IC32 0,792 Valid
IC33 0,577 Valid
IC34 0,818 Valid
IC41 0,730 Valid 0,796 Realiabel
IC42 0,865 Valid
IC43 0,745 Valid
IC51 0,729 Valid 0,771 Realiabel
117
IC52 0,770 Valid
IC53 0,656 Valid
IC54 0,826 Valid
Differentiation
Strategy
DS1 0,762 Valid. 0,901 Realiabel
DS2 0,721 Valid.
DS3 0,895 Valid.
Lanjutan Tabel 5.2 Hasil Analisa Validitas dan Realiabilitas Instrumen Penelitian
Konstruk Dimensi Pearson
Correlation Keterangan Cronbach's
Alpha
Keterangan
Cost Leadership CL1 0,663 Valid. 0,790 Realiabel
CL2 0,865 Valid.
CL3 0,794 Valid.
Focus Services
FS1 0,821 Valid. 0,921 Realiabel
FS2 0,881 Valid.
FS3 0,855 Valid.
FS4 0,732 Valid.
FS5 0,883 Valid.
Innovation IN1 0,811 Valid. 0,956 Realiabel
IN2 0,915 Valid.
IN3 0,921 Valid.
Industrial
Performance
IP11 0,827 Valid. 0,933 Realiabel
IP12 0,730 Valid.
IP13 0,768 Valid.
IP14 0,804 Valid.
IP15 0,500 Valid.
IP21 0,793 Valid. 0,881 Realiabel
IP22 0,860 Valid.
IP23 0,823 Valid.
IP24 0,839 Valid.
IP31 0,797 Valid. 0,829 Realiabel
IP32 0,865 Valid.
IP33 0,623 Valid.
IP41 0,913 Valid. 0,901 Realiabel
IP42 0,902 Valid.
IP43 0,909 Valid.
IP44 0,673 Valid.
Sumber : Data diolah, 2017
Untuk uji reliabilitas pada umumnya menggunakan nilai Cronbach’s
Alpha. Jika nilai Cronbach’s Alpha lebih besar atau sama dengan 0,7
118
menunjukkan bahwa instrumen penelitian memiliki konsistensi internal yang baik
(Hair et al., 2010; Ndubisi and Iftikhar, 2012). Walaupun demikian, untuk
penelitian eksploratori, nilai Cronbach’s Alpha minimum adalah 0,6 (Hair et al.,
2010). Berdasarkan hasil tes, nilai Cronbath’s Alpha dari semua konstruk lebih
besar 0,7 (Tabel 5.2.), sehingga semua konstruk memiliki konsistensi internal
yang baik (Annamdevula and Bellamkonda, 2016) untuk digunakan dalam
pengambilan data.
5.1.3 Karakteristik responden
Penelitian ini dilakukan pada 11 perguruan tinggi terakreditasi di Timor-
Leste dengan unit analisisnya adalah jurusan yang berjumlah 157. Kuesioner
kemudian dibagikan pada 157 jurusan yang diisi oleh Ketua Jurusan atau Wakil
Ketua Jurusan dari 11 perguruan tinggi yang terakreditasi. Namun demikian,
hanya 130 kuesioner yang diisi, dikembalikan dan dipakai dalam penelitian. Hal
ini menunjukkan response rate penelitian ini (83%) diatas response rate
minimum (80%) bagi sebuah survei yang baik dari Jurusan/Fakultas yang
mewakili perguruan tinggi (Fincham, 2008), atau lebih besar dari response rate
67,29% yang digunakan dalam survey yang mengukur kinerja Perguruan Tinggi
di Taiwan (Huang and Lee, 2012), dan 61,7% studi tentang Perguruan Tinggi di
Zimbabwe (Garwe, 2016). Response rate yang rendah dapat memberikan bias
sampel yang dapat mempengaruhi hasil penelitian (Fogliani, 1999; Sivo et al.,
2004).
Berdasarkan 130 responden yang ada, mayoritas laki (75%) dan
perempuan (25%) (Tabel 5.3). Hal ini menunjukkan bahwa jabatan Ketua
119
Jurusan/Wakil Ketua Jurusan masih dominan dijabat oleh laki-laki, hal mana
masih simetris dengan trend umum di Timor-Leste yang mayoritas jabatan politik,
sektor swasta, pemerintahan, dan Parlemen Nasional masih didominasi oleh laki-
laki. Oleh karena itu, Pemerintah Timor-Leste melalui Sekretaris Negara Urusan
Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial bersama-sama organisasi kewanitaan
Timor-Leste berupaya untuk meningkatkan jumlah kuota partisipasi wanita dalam
menduduki jabatan di Pemerintah, Parlemen Nasional, Sektor Swasta, dan
institusi pendidikan.
Jika dilihat dari tingkat pendidikan, mayoritas Ketua Jurusan/Wakil Ketua
Jurusan berpendidikan magister (59%) dan hanya 3% yang berpendidikan doktor.
Walaupun demikian, masih ada 38% Ketua dan Wakil Ketua Jurusan yang masih
berpendidikan sarjana (Tabel 5.3). Sebaliknya, Kementerian Pendidikan Timor-
Leste melalui Badan Akreditasi Nasional Timor-Leste yang disebut dengan
Agencia Nacional para Avaliacao e Acreditacao Academica (ANAAA)
mewajibkan seorang dosen, terlebih Ketua Jurusan atau Wakil Ketua Jurusan, dari
Program Strata Satu (sarjana) minimal bergelar magister. Kondisi ini tentunya
mempengaruhi kinerja institusi karena menurut ANAAA, salah satu ukuran
kinerja Perguruan Tinggi adalah kompetensi dosen dari program strata satu harus
minimum bergelar magister (S2). Demikian juga Ketua Jurusan/Wakil Ketua
Jurusan dengan tingkat pendidikan dominan sarjana (59%) dan magister (38%),
berimplikasi juga pada kemampuan untuk mendorong strategi pengembangan
perguruan tinggi dari teaching based-university ke research-based university dan
entrepreneurship based-university yang berbasis pada penelitian, publikasi dan
120
konsultasi professional sesuai dengan best practices pengembangan perguruan
tinggi untuk meningkatkan daya saing dan sustainabilitas kinerja industri
pendidikan tinggi.
Tabel 5.3 Karakteritik Responden
No Karakteristik Frequency (%)
1.0 Jenis Kelamin
1.1. Laki- Laki 97 75
1.2. Perempuan 33 25
Total 130 100%
2.0 Pendidikan
Lanjutan Tabel 5.3 Karakteritik Responden
No Karakteristik Frequency (%)
2.1. Sarjana 50 38
2.2. Master 76 59
2.3. Doktor 4 3
Total 130 100%
3.0 Jabatan
3.1. Ketua Jurusan 95 73
3.2. Wakil Ketua Jurusan 35 27
Total 130 100%
4.0 Jenis Perguruan Tinggi
4.1. Negeri 31 24
4.2. Swasta 99 76
Total 130 100%
5.0 Status Perguruan Tinggi
5.1. Universitas 87 67
5.2. Institut 43 33
Total 130 100%
Sumber : Data diolah, 2017.
Kebanyakan responden berasal dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS) (76%)
karena PTS jurusannya lebih banyak dibanding dengan Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) (24%). Hal ini bisa dimengerti karena di Timor-Leste hanya ada satu PTN
yakni Universidade Nasional Timor Lorosae (UNTL) dengan jumlah jurusan 31.
121
Jika dilihat dari status perguruan tinggi, jumlah responden dari empat universitas
yang ada (67%) memiliki jurusan lebih banyak dibandingkan dengan tujuh institut
terakreditasi di Timor-Leste (33%) (Tabel 5.3). Hal ini, disebabkan karena syarat
pendirian perguruan tinggi dari Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) Timor-Leste,
Universitas harus memiliki minimal 4 Fakultas dengan komposisi dua Fakultas
eksak dan dua Fakultas Social. Sebaliknya, bagi institut diijinkan pendiriannya
dengan memiliki minimal satu jurusan.
5.1.4 Hasil Deskripsi
Deskripsi ini dilakukan untuk mengetahui persepesi responden tentang
variabel dan indikator yang ada dalam penelitian ini.
(1) Variabel Persaingan Industri
Berdasarkan hasil analisis deskriptif, nilai rata-rata dari semua indikator
untuk variabel persaingan industri (industrial competition) adalah 3,7 (Tabel 5.4).
Dalam dimensi intensitas persaingan (IC1) diukur dengan peningkatan jumlah
perguruan tinggi (IC11), persaingan untuk mendapatkan dosen bergelar magister
dan doktor (IC12), persaingan uang kuliah (IC13), dan persaingan biaya promosi
(IC14). Secara keseluruhan, nilai rerata dari empat indikator dalam dimensi ini
lebih besar dari angka 3,0 (Lihat Tabel 5.4). Namun demikian, faktor dominan
dalam mendorong intensitas persaingan adalah pertumbuhan jumlah perguruan
tinggi (nilai rerata 3,9) dan persaingan untuk mendapatkan dosen bergelar
magister dan doktor (nilai rerata 3,80). Sebaliknya, persaingan biaya kuliah dan
biaya promosi paling rendah mendorong intensitas persaingan dengan nilai rerata
masing-masing indikator (3,2).
122
Dimensi ancaman pengganti (IC2) dalam persaingan industri diukur
dengan tiga indikator (Tabel 5.4). Berdasarkan ketiga indikator tersebut, nilai
rerata keberadaan pusat pelatihan (IC23) paling tinggi (3,9), dan diikuti dengan
indikator perubahan tuntutan kompetensi perusahaan swasta (3,8). Sebaliknya,
nilai rerata terendah pada indikator keberadaan perguruan tinggi luar negeri (3,7).
Tingginya nilai rerata dari indikator keberadaan pusat pelatihan (IC23) sebagai
pemicu persaingan industri pendidikan tinggi bisa dimengerti karena semakin
banyak kehadiran pusat pelatihan akan menawarkan kompetensi praktis yang
sesuai dengan tuntutan pasar kerja. Dengan demikian, banyak lulusan SLTA yang
memilih pusat pelatihan untuk mendapatkan keahlian instan untuk mendapatkan
kerja dibandingkan dengan masuk di perguruan tinggi yang membutuhkan waktu
yang lebih lama, biaya tinggi dan kompetensi yang kadang tidak sesuai dengan
kebutuhan pasar kerja. Sebaliknya, biaya pelatihan lebih rendah karena disubsidi
oleh pemerintah. Hal ini, akan menjadi ancaman serius bagi eksistensi perguruan
tinggi karena terjadi penurunan jumlah mahasiswa seiring dengan peningkatan
jumlah perguruan tinggi, dan jumlah pusat pelatihan berbasis kompetensi yang
sesuai dengan tuntutan industri dan pasar kerja.
Tabel 5.4 Nilai Distribusi Frekuensi dan Rerata Indikator-Indikator Variabel
Persaingan Industri (Industrial Competition). Simbol Indikator Distribusi Jawaban Responden (%) Rerata
(Mean) 1 2 3 4 5
IC11 Peningkatan jumlah perguruan tinggi. 3,8 7,7 10,0 52,3 26,2 3,9
IC12 Intensitas persaingan untuk mendapatkan
dosen bergelar magister dan doktor.
4,6 10,0 10,8 50,0 24,6 3,8
IC13 Intensitas persaingan uang kuliah. 12,3 16,2 23,8 33,1 14,6 3,2
IC14 Intensitas persaingan biaya promosi. 6,9 21,5 23,1 40,0 8,5 3,2
Rerata Intenasitas Persaingan (IC1) 3,5
IC21 Keberadaan perguruan tinggi luar negeri. 5,4 10,0 12,3 50,8 21,5 3,7
IC22 Perubahan tuntutan kompetensi perusahaan
swasta
2,3 9,2 14,6 53,8 20,0 3,8
IC23 Keberadaan pusat pelatihan berbasis
kompetensi
3,1 3,8 12,3 61,5 19,2 3,9
Rerata Ancaman Pengganti (IC2) 3,8
IC31 Kekuatan keluarga mahasiswa 1,5 7,7 20,0 53,1 17,7 3,8
123
IC32 Kekuatan penyedia kerja 0,0 4,6 18,5 58,5 18,5 3,9
IC33 Kekuatan mahasiswa 3,1 6.2 12,3 50,0 28,5 3,9 IC34 Kekuatan pemerintah 1,5 10,0 16,2 51,5 20,8 3,8
Rerata Kekuatan Tawar Menawar Pembeli (IC3) 3,9
Sumber : Data diolah, 2017
Lanjutan Tabel 5.4 Nilai Distribusi Frekuensi dan Rerata Indikator-Indikator
Variabel Persaingan Industri (Industrial Competition).
Simbol Indikator Distribusi Jawaban Responden (%) Rerata
(Mean) 1 2 3 4 5
IC41 Tenaga dosen tetap. 1,5 11,5 20,8 44,6 21,5 3,7
IC42 Staf administrasi. 2,3 12,3 18,5 53,8 13,1 3,6
IC43 Tenaga dosen tidak tetap. 6,9 21,5 29,2 33,1 9,2 3,2
Rerata Kekuatan Tawar Menawar Pemacok (IC4) 3,5
IC51 Regulasi pendirian perguruan tinggi baru dari
Kementerian Pendidikan Timor-Leste.
3,8 12,3 19,2 48,5 16,2 3,6
IC52 Modal minimum yang dibutuhkan untuk
mendirikan perguruan tinggi.
8,5 16,9 19,2 41,5 13,8 3,4
IC53 Peraturan dan kebijakan pemerintah tentang operasi perguruan tinggi.
3,1 6,9 16,9 56,2 16,9 3,8
IC54 Duplikasi program studi perguruan tinggi. 14,6 17,7 24,6 33,8 9,2 3,1
Rerata Ancaman Masuk Pendatang Baru (IC5) 3,5
Sumber: Data diolah, 2017
Berdasarkan dimensi kekuatan tawar menawar pembeli (IC3), nilai rerata
dua indikator yang paling tinggi yakni kekuatan mahasiswa (3,9), dan kekuatan
penyedia kerja (3,9). Hal ini, disebabkan mahasiswa menjadi faktor dominan
dalam sebuah perguruan tinggi. Bagi perguruan tinggi yang berbasis pada
teaching-based university seperti kebanyakan perguruan tinggi di Timor-Leste
yang pendapatannya sangat dominan dari mahasiswa, maka mahasiswa
mempunyai daya tawar-menawar yang lebih tinggi. Semakin banyak perguruan
tinggi, semakin banyak pilihan mahasiswa sehingga perguruan tinggi harus
124
meningkatkan kemampuan atraktif untuk mempertahankan mahasiswa yang ada
dan menarik lebih banyak mahasiswa baru. Demikian juga, penyedia lapangan
kerja memiliki kekuatan tawar menawar lebih tinggi karena mereka yang
merupakan pemakai akhir (end user) lulusan perguruan tinggi. Semakin tinggi
jumlah mahasiswa sebuah perguruan tinggi terserap dalam lapangan kerja, maka
semakin tinggi reputasi perguruan tinggi tersebut, sehingga dapat menarik lebih
banyak lagi mahasiswa. Dengan demikian perguruan tinggi harus meningkatkan
kompetensi dan keunikan keahlian lulusan yang sesuai dengan tuntutan penyedia
lapangan kerja yang semakin banyak memiliki pilihan lulusan karena
pertumbuhan jumlah perguruan tinggi dan pusat pelatihan yang berbasis
kompetensi di Timor-Leste.
Dalam dimensi kekuatan tawar menawar pemasok (IC4), indikator yang
memiliki nilai rerata paling tinggi adalah tenaga dosen tetap (3,7). Hal ini bisa
dimengerti karena tenaga dosen tetap merupakan salah satu faktor utama dalam
menentukan kualitas perguruan tinggi. Dengan adanya tenaga dosen tetap yang
berkualitas tinggi, dengan kemampuan mengajar baik, dekat dengan mahasiswa,
dan selalu menyediakan waktu untuk membantu dan membimbing mahasiswa,
akan membuat mahasiswa lebih betah (feel at home), serta dekat dosen dan
institusi. Hal demikian dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa,
meningkatkan nilai (IPK) mahasiswa, mempercepat waktu kuliah, dan dapat
meningkatkan employment rate lulusan. Jika perguruan tinggi memiliki tenaga
dosen tetap yang berkualitas tinggi akan berimplikasi pada peningkatan kualitas
belajar dan mengajar yang pada gilirannya akan meningkatkan reputasi perguruan
125
tinggi. Dengan demikian perguruan tinggi dapat menarik lebih banyak mahasiswa
baru dan dapat membantu mempertahankan mahasiswa yang ada (student
retention). Jika pertumbuhan perguruan tinggi dan duplikasi jurusan yang tinggi,
sebaliknya tenaga dosen tetap yang tersedia terbatas akan berimplikasi pada
tenaga dosen tetap memiliki banyak pilihan yang dapat meningkatkan persaingan
perguruan tinggi untuk mendapatkan dosen tetap yang berkompetensi tinggi.
Dalam kondisi demikian dosen tetap memiliki kekuatan tawar menawar yang
tinggi sehingga perguruan tinggi harus meningkatkan kemampuan atraktif untuk
mempertahankan dosen tetap yang ada dan menarik lebih banyak dosen tetap baru
yang keahlian relevan dan berkualitas tinggi.
Dalam dimensi ancaman masuk pendatang baru (IC5), ada dua indikator
yang memiliki nilai rerata paling tinggi yakni peraturan dan kebijakan pemerintah
tentang operasi perguruan tinggi (3,8), dan regulasi Kementerian Pendidikan
Timor-Leste tentang pendirian perguruan tinggi (3,6). Hal demikian bisa
dimengerti karena regulasi pendirian perguruan tinggi yang ketat dengan kriteria
yang sangat tinggi akan mempersulit pendirian perguruan tinggi, dan program
studi baru. Sebaliknya regulasi pendirian perguruan tinggi yang kurang ketat akan
menyebabkan peningkatan pertumbuhan perguruan tinggi sehingga meningkatkan
intensitas persaingan industri pendidikan tinggi. Demikian juga, peraturan dan
kebijakan operasi perguruan tinggi yang ketat dengan tuntutan kriteria operasi
yang tinggi dalam konteks peningkatan kompetensi dosen, fasilitas, manajemen,
kurikulum akan membuat banyak industri pendidikan tinggi yang harus
meningkatkan biaya investasi. Dengan demikian, banyak perguruan tinggi akan
126
kesulitan memenuhi peryaratan operasi perguruan tinggi sehingga mengancam
keberkelanjutan operasi industri pendidikan tinggi. Sebaliknya, jika kebijkan dan
regulasi operasi industri pendidikan tinggi tidak terlalu ketat akan menyebabkan
banyak pemain baru yang akan masuk. Demikian juga industri pendidikan tinggi
yang sudah ada, tidak melakukan investasi yang signifikan untuk meningkatkan
kualitas industri pendidikan tinggi. Dengan demikian, membuat intensitas
persaingan industri menjadi tidak terlalu ketat.
Jika melihat nilai rerata dari keseluruhan lima dimensi persaingan industri
yang ada, faktor-faktor eksternalitas dominan yang memicu persaingan industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste adalah kekuatan tawar menawar pembeli (3,9),
dan diikuti oleh ancaman pengganti (3,8), sedangkan ketiga dimensi lain
mendapatkan nilai rerata yang sama (3,5). Hal demikian, masih konsisten dengan
pilihan responden yang menempatkan pertumbuhan perguruan tinggi menjadi
pemicu utama persaingan industri karena dengan pertumbuhan perguruan tinggi
yang tinggi akan meyediakan banyak pilihan kepada mahasiwa sehingga
mahasiswa memiliki posisi tawar-menawar yang lebih tinggi. Dengan demikian,
perguruan tinggi yang memiliki sumber daya terbatas dengan pendapatannya
hanya tergantung kepada mahasiswa akan berisiko kinerja keuangannya menurun
dan bangkrut. Industri pendidikan tinggi dapat mempertahankan kontinuitas
operasinya dengan mengorbankan kualitas pengajaran dengan memanfaatkan
ekspektasi mahasiswa tinggi untuk mendapatkan gelar kesarjanaan. Pengorbanan
kualitas industri pendidikan tersebut dengan tidak melakukan peningkatan
kompetensi dosen, menambah fasilitas pengajaran dan melalukan penelitian untuk
127
mendapatkan umpan-balik dari semua stakeholders guna memperbaiki kurikulum,
proses belajar-mengajar, fasilitas dan sistem manajemen perguruan tinggi.
Sebaliknya, jika melihat indikator-indikator yang keseluruhan, maka
peningkatan jumlah perguruan tinggi (nilai rerata 3,9), keberadaan pusat pelatihan
berbasis kompetensi (nilai rerata 3,9), kekuatan penyedia lapangan kerja (nilai
rerata 3.9), dan kekuatan mahasiswa (nilai rerata 3,9) merupakan faktor-faktor
eksternalitas yang sangat dominan dalam memicu persaingan industri pendidikan
tinggi di Timor-Leste. Faktor-faktor tersebut kemudian diikuti oleh intensitas
persaingan untuk mendapatkan dosen bergelar master dan doktor (nilai rerata 3,8),
perubahan tuntutan kompetensi perusahaan swasta (nilai rerata 3,8), kekuatan
keluarga mahasiswa (nilai rerata 3,8), kekuatan pemerintah (nilai rerata 3,8), dan
peraturan dan kebijakan pemerintah tentang operasi perguruan tinggi (nilai rerata
3,8).
(2) Variabel Strategi Diferensiasi
Variabel strategi diferensiasi (differentiation strategy) (DS) adalah strategi
perguruan tinggi di Timor-Leste untuk mengembangkan produk, kualitas, proses,
metode yang unik, serta berbeda dan bernilai bagi pelanggan. Variabel ini
merupakan variabel mediasi yang diukur dengan tiga indikator yakni perbedaan
program studi (DS11), kualitas keahlian lulusan tinggi (DS12), dan kualitas
pelayanan yang berbeda (DS13) dengan nilai rerata minimum (3,9). Dari sini,
kualitas keahlian lulusan menjadi faktor pembeda utama dalam strategi
diferensiasi dengan nilai rerata (4,1) yang diikuti dengan kualitas pelayanan (4,0),
dan perbedaan program studi (3,9).
128
Tingginya apresiasi responden terhadap keahlian lulusan tinggi sebagai
pembeda perguruan tinggi karena keahlian lulusan perguruan tinggi akan
mempengaruhi jumlah lulusan yang terserap dalam lapangan kerja. Semakin
tinggi jumlah lulusan yang terserap dalam lapangan kerja, semakin tinggi pula
kinerja dan reputasi perguruan tinggi. Hal ini akan menambah daya tarik
perguruan tinggi untuk menarik mahasiswa lebih banyak. Demikian juga dapat
membuktikan bahwa perguruan tinggi tersebut memiliki kurikulum, kapabilitas
dan kompetensi dosen, serta sumber daya pengajaran yang lebih baik untuk
menghasilkan lulusan dengan kehalian yang lebih tinggi.
Dalam teori resource-based view, kualitas dosen merupakan sumber daya
dan kapabilitas organisasi yang baik, unik, dan kualitas tinggi merupakan faktor
pendorong sebuah organisasi untuk mempertahankan keunggulan bersaing dan
meningkatkan kinerja (Barney, 1991). Dengan kompetensi dosen yang baik akan
membuat perguruan tinggi melayani dan mengajar mahasiswa dengan lebih baik,
memahami keinginan mahasiswa, industri, dan pasar kerja, memudahkan
penyesuaian kurikulum, proses belajar dan mengajar, serta metode evaluasi yang
sesuai dengan tuntutan industri dan pasar kerja sehingga meningkatkan kepuasan
mahasiswa dan daya serap lulusan perguruan tinggi (Spencer et al., 2009).
Tabel 5.5 Nilai Distribusi Frekuensi dan Rerata dari Indikator-Indikator Variabel
Strategi Diferensiasi.
Simbol Indikator Distribusi Jawaban Responden (%) Rata-Rata
(Mean)
1 2 3 4 5
DS11 Program studi berbeda. 3,8 7,7 11,5 46,9 30.0 3,9
DS12 Kualitas keahlian lulusan
yang tinggi
0,8 3,8 12,3 49.2 33,8 4,1
129
DS13 Kualitas pelayanan
berbeda.
2,3 6,2 15,4 42,3 33,8 4,0
Mean rata-rata 4,0
Sumber: Data diolah, 2007.
Faktor berikut dalam strategi diferensiasi yang mendapatkan respons yang
tinggi adalah perbedaan kualitas pelayanan dengan nilai rerata (4,0). Perguruan
tinggi memiliki pelayanan yang baik dan berbeda dengan perguruan tinggi yang
lain akan meningkatkan retention rate mahasiswa dan menarik lebih banyak
mahasiswa baru untuk meningkatkan kinerja yang diukur dengan kepuasan dan
pertumbuhan pendapatan. Semakin banyak mahasiswa, maka semakin tinggi
pendapatan perguruan tinggi, karena mayoritas perguruan tinggi di Timor-Leste
pendapatannya hanya bersumber dari mahasiswa.
Dalam strategi diferensiasi, hal menarik yang bisa ditemukan dalam
penelitian ini adalah perbedaan program studi bukan menjadi faktor pembeda
utama dalam strategi diferensiasi dalam perguruan tinggi di Timor-Leste.
Sebaliknya, dengan jumlah penduduk Timor-Leste yang hanya 1,3 juta orang,
dengan lulusan SLTA yang hanya sekitar 17.000-19.000 per anum, dengan
sebelas perguruan tinggi terakreditasi dengan duplikasi jurusan yang tinggi
seharusnya program studi yang berbeda mendapatkan respons yang baik, karena
banyak perguruan tinggi dan program studi yang kurang mempunyai mahasiswa
dibandingkan dengan daya tampung yang ada. Hal ini diyakini, walaupun
duplikasi program studi tinggi, namun perguruan tinggi dapat tetap eksis dengan
melakukan pelayanan yang lebih baik dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi
yang lain sebagai faktor pembeda. Hal demikian dapat membangun reputasi
perguruan tinggi. Walaupun demikian, dengan nilai rerata minimum ketiga
130
indikator (3,9), maka perbedaan nilai rerata yang sangat kecil (0,1), maka
duplikasi program studi di Timor-Leste tetap menjadi faktor penting yang perlu
dihindari.
(3) Variabel Strategi Keunggulan Biaya
Variabel strategi keunggulan biaya (cost ledareship strategy) merupakan
variabel mediasi kedua dalam penelitian ini. Strategi keunggulan biaya atau cost
leadership strategy (CL) adalah strategi perguruan tinggi di Timor-Leste untuk
menyediakan program studi dan keahlian dengan biaya lebih rendah dari
perguruan tinggi pesaingnya untuk menarik pelanggan. Strategi tersebut dilakukan
dengan memaksimalkan efisiensi operasi, melakukan kontrol, dan pengetatan
biaya dalam semua tingkatan operasi.
Dalam penelitian ini, variabel cost ledareship (CL) diukur dengan tiga
indikator yakni efisiensi biaya (CL11), biaya operasional rendah (CL12), dan biaya
kuliah per mahasiswa rendah (CL13). Berdasarkan ketiga indikator ini, biaya
kuliah per mahasiswa rendah mendapatkan respons lebih tinggi dengan
mendapatkan nilai rerata (3,9), dan disusul dengan efisiensi biaya dengan nilai
rerata (3,8). Hal ini, menunjukkan bahwa perguruan tinggi Timor-Leste
menetapkan biaya kuliah per mahasiswa rendah agar mendapatkan mahasiswa
lebih banyak guna meningkatkan pendapatan. Namun demikian, perguruan tinggi
juga harus melakukan efisiensi biaya untuk mempertahankan sustainabilitas
operasinya. Efisiensi dan menetapkan biaya kuliah yang lebih rendah dapat
menarik mahasiswa lebih banyak. Hal ini terutama terjadi karena kondisi ekonomi
rata-rata masyarakat masih rendah, sebaliknya animo lulusan sekolah lanjutan
131
tingkat atas untuk melanjutkan kuliah dan mendapatkan gelar sangat besar.
Dengan demikian, mereka memilih perguruan tinggi yang menawarkan biaya
yang rendah dan cepat lulus. Perguruan tinggi dapat menarik mahasiswa lebih
banyak, dan meningkatkan pendapatannya untuk membiaya dosen, membangun
fasilitas pengajaran, dan melakukan penelitian untuk pengembangan perguruan
tinggi. Dengan demikian, perguruan tinggi dapat meningkatkan kualitas kelulusan
yang pada gilirannya dapat berimplikasi pada peningkatan reputasi, citra, dan
kinerja.
Walaupun demikian, efisiensi dan keunggulan biaya untuk mencapai
keunggulan biaya dalam segmen pasar kecil dengan terlalu banyak pemain dapat
menyebabkan kualitas perguruan tinggi menurun karena perguruan tinggi
kekurangan sumber daya keuangan untuk merekrut dosen dan manajer dengan
kompetensi tinggi, dan mengembangkan fasilitas pengajaran yang baik. Demikian
juga dengan keterbatasan sumber daya keuangan, perguruan tinggi kesulitan
mengembangkan kompetensi dosen dan staf pendukung yang pada gilirannya
berimplikasi pada masalah belajar dan mengajar, penelitian, inovasi, dan
pemasaran guna meningkatkan kualitas kelulusan, reputasi dan kinerjanya.
Tabel 5.6 Nilai Distribusi Frekuensi dan Rerata Indikator-Indikator Variabel
Strategi Keunggulan Biaya (Cost Leadership).
Simbol Indikator Distribusi Jawaban Responden (%) Rerata
(Mean) 1 2 3 4 5
CL11 Efisiensi biaya 4,6 3,8 23,8 47,7 20,0 3,8
CL12 Biaya operasional rendah. 6,9 11,5 22,3 42,3 16,9 3,5
CL13 Biaya kuliah per mahasiswa
rendah. 5,4 3,8 19,2 39,2 32,3 3,9
Mean rata-rata 3,7
132
Sumber: Data diolah, 2017.
(4) Variabel Focus Service
Fokus pelayanan adalah strategi perguruan tinggi untuk meningkatkan
kinerja dengan memberikan pelayanan yang baik kepada mahasiswa. Variabel
fokus pelayanan atau focus service (FS) merupakan variabel mediasi ketiga dalam
penelitian ini. Variabel ini diukur dengan lima indikator yakni Dosen kompeten
yang selalu membantu mahasiswa (FS1), Fasilitas pengajaran sesuai harapan
mahasiswa (FS2), Melayani mahasiswa berbasis kualitas jasa (FS3), Tanggap
dalam melayani permintaan mahasiswa (FS4), dan Memberikan perhatian yang
baik kepada semua mahasiswa (FS5).
Berdasarkan hasil analisis deskriptif (Tabel 5.7), faktor dominan fokus
pelayanan industri pendidikan tinggi di Timor-Leste adalah dosen kompeten yang
selalu membantu mahasiswa (FS1) dan perhatian yang baik kepada semua
mahasiswa (FS5). Hal ini bisa dilihat dari nilai rerata kedua indikator dalam
konstruk fokus pelayanan lebih tinggi (4,2) dengan distribusi frekuensi setuju dan
sangat setuju yang hampir sama. Hal ini simetris juga dengan kriteria penilaian
dari Badan Akareditasi Nasional Timor-Leste (ANAAA) yang memberikan skor
penilaian lebih tinggi pada dosen dan kompetensinya, serta pelayanan kepada
mahasiswa. Menurut Faganel (2010), kualitas dosen yang baik dan selalu
membantu mahasiswa dapat meningkatkan kualitas pelayanan, sehingga menarik
mahasiswa lebih banyak mempertahankan mahasiswa yang ada, dan menarik dana
dari luar institusi. Hal ini diperkuat oleh Martirosyan and Martirosyan (2015)
133
bahwa dosen yang baik, bijaksana dan adil dapat meningkatkan motivasi belajar
dan kepuasan mahasiswa.
Dalam variabel fokus pelayanan atau focus service (FS), indikator
melayani mahasiswa berbasis kualitas jasa (FS3) memiliki nilai rerata paling
rendah (3.7). Walaupun demikian, nilai rerata indikator tersebut masih tinggi yang
berarti pelayanan berbasis kualitas jasa masih tetap menjadi faktor yang penting
dalam strategi fokus pelayanan perguruan tinggi di Timor-Leste. Pelayanan
berbasis kualitas jasa harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan perguruan
tinggi, dan budaya lokal masyarakat. Hal tersebut dapat memberikan kenyamanan
kepada mahasiswa untuk melakukan interaksi antara sesama mahasiswa, dan
mahasiswa dengan dosen, dan manajemen perguruan tinggi. Komunikasi dan
interaksi yang baik diantara sivitas akademika dapat memberikan manfaat
bersama, dan saling percaya yang akan memperkuat kerjasama internal dan
efektivitas belajar (Shi-Huei Ho and Yao-Ping Peng, 2016).
Tabel 5.7 Nilai Distribusi Frekuensi dan Rerata Indikator-Indikator Variabel Fokus
Pelayanan (Focus Service).
Simbol Indikator Distribusi Jawaban Responden (%)
Rerata 1 2 3 4 5
FS1 Dosen kompeten yang selalu
membantu mahasiswa 0,8 2,3 10,8 53,2 33,1 4,2
FS2 Fasilitas pengajaran sesuai
harapan mahasiswa. 0,0 7,7 20,8 42,3 29,2 3,9
FS3 Melayani mahasiswa berbasis
kualitas jasa. 4,6 5,4 23,8 45,4 20,8 3,7
FS4 Tanggap dalam melayani
permintaan mahasiswa. 0,8 4,6 22,3 50,8 21,5 3,9
FS5 Memberikan perhatian yang
baik kepada semua mahasiswa. 2,3 1,5 12,3 42,3 41,5 4,2
Rerata 4,0
Sumber: Data diolah, 2017
134
(5) Variabel Inovasi
Strategi inovasi adalah strategi pergurun tinggi untuk merubah kurikulum,
metode pengajaran, evaluasi kinerja mahasiswa, pelayanan kepada mahasiswa dan
masyarakat, penggunaan teknologi, fasilitas, organisasi, program studi, keahlian
yang ditawarkan, cara seleksi mahasiswa, dan evaluasi kinerja staf dosen.
Variabel inovasi merupakan variabel mediasi keempat (IN) dalam penelitian ini,
diukur dengan tiga (3) indikator yakni Inovasi kurikulum sesuai tuntutan pasar
(IN11), Metode belajar mengajar baru (IN12), dan Teknologi baru untuk
mendukung kegiatan belajar-mengajar (IN13). Berdasarkan hasil deskriptif (Tabel
5.8) menunjukkan bahwa variabel ini memiliki nilai rata-rata mean (4,1) yang
tertinggi dibandingkan dengan nilai rerata dari variabel-variabel mediasi yang lain
dalam penelitian ini.
Tingginya nilai rerata dari variabel ini dipicu secara dominan oleh
indikator kurikulum inovatif sesuai tuntutan pasar (IN11) dengan nilai rerata (4,2)
(Tabel 5.8). Hal ini, sesuai dengan kritik dari kurikulum konservatif industri
pendidikan tinggi yang hanya fokus pada keahlian teknis, melupakan soft skills
dan pengalaman industri yang membuat banyak lulusan yang keahliannya tidak
sesuai dengan tuntutan lapangan kerja (Bayerlein, 2015). Hasil ini, juga sesuai
dengan standar penilaian Badan Akreditasi Nasional Timor-Leste (ANAAA) yang
memberikan skor nilai tertinggi pada kurikulum dalam proses akreditasi jurusan
pada perguruan tinggi-perguruan tinggi di Timor-Leste. Walaupun demikian,
indikator-indikator lain seperti metode belajar dan mengajar yang baru (IN2), dan
135
penggunaan teknologi baru dalam proses belajar dan mengajar (IN3) juga
memiliki nilai rerata tinggi (4.1) dan (4.0).
Tabel 5.8 Nilai Distribusi Frekuensi dan Rerata Indikator-Indikator Variabel
Inovasi.
Simbol Indikator Distribusi Jawaban Responden (%)
Rerata 1 2 3 4 5
IN11 Kurikulum inovatif
sesuai tuntutan pasar. 3,1 3,8 4,6 46,2 42,3 4,2
IN12 Metode belajar
mengajar baru. 3,8 5,4 6,9 49,2 34,6 4,1
IN13 Teknologi baru untuk mendukung kegiatan
belajar-mengajar.
1,5 4,6 18,5 43,1 32,3 4,0
Rerata 4,1
Sumber: Data diolah, 2017.
(6) Variabel Kinerja
Kinerja industri jasa pendidikan tinggi (IP) adalah suatu parameter yang
digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan perguruan tinggi di Timor-Leste.
Variabel ini memiliki lima dimensi yakni kinerja belajar dan mengajar (IP1),
kinerja penelitian IP2), kinerja pelayanan masyarakat (IP3), dan kinerja keuangan
dan pemasaran (IP4). Nilai mean rata-rata dari keempat dimensi dalam kinerja
industri adalah (3,7) yang menunjukkan bahwa kinerja perguruan tinggi di Timor-
Leste baik (Tabel 5.9). Namun demikian, dimensi kinerja belajar mengajar
menjadi faktor determinan dalam kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-
Leste. Hal ini bisa dilihat dari nilai rata-rata mean kinerja belajar dan mengajar
(IP1) yang lebih tinggi (4,0), kemudian disusul oleh kinerja pelayanan masyarakat
(IP2) (3,9), kinerja penelitian (3,5), dan kinerja keuangan dan pemasaran (3,4).
Tingginya nilai rerata dari kinerja belajar mengajar ini dapat disebabkan
oleh semua perguruan tinggi di Timor-Leste lebih banyak fokus pada kegiatan
belajar dan mengajar (teaching based-university), sehingga investasi terbesar
dilakukan pada kegiatan belajar dan mengajar seperti pengembangan kompetensi
136
dosen, dan pengembangan fasilitas pengajaran untuk mendukung kualitas
pengajaran guna menarik lebih banyak mahasiswa dan mempertahankan
mahasiswa yang ada (student retention). Demikian juga, subsidi pemerintah
kepada pendidikan tinggi masih tetap fokus pada pengembangan kompetensi
dosen dan fasilitas pengajaran. Dengan pendapatan yang hanya tergantung pada
uang mahasiswa, perguruan tinggi harus melakukan investasi lebih banyak kepada
pelayanan kepada mahasiswa dengan basisnya adalah kurikulum, kompetensi
dosen, dan fasilitas pengajaran yang dapat menghasilkan lulusan yang terserap
dalam lapangan kerja.
Jika melihat indikator-indikator yang dominan sebagai pendorong kinerja
perguruan tinggi (Tabel 5.9) adalah alumni perguruan tinggi yang banyak terserap
dalam lapangan kerja (IP14) dengan nilai rerata (4,2), kepuasan mahasiswa (IP11)
dengan nilai rerata (4,1), kepuasan penyedia kerja (IP13) dengan nilai rerata (4,1).
Selanjutnya indikator-indikator lain adalah pertumbuhan pendaftaran mahasiswa
(IP15) dengan nilai rerata (3,9), Peningkatan kegiatan pelayanan masyarakat (IP32),
Berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum (IP33) dengan nilai rerata masing-
masing (3,9).
Nilai tersebut konsisten dengan dominannya kontribusi kinerja belajar dan
mengajar (IP1), dan kinerja pelayanan masyarakat (IP3) dalam membentuk kinerja
industri pendidikan tinggi di Timor-Leste. Sebaliknya secara berturut-turut kinerja
industri pendidikan tinggi yang paling rendah adalah kinerja keuangan dan
pemasaran (IP4), dan kinerja penelitian (IP2). Hal ini semakin memperkuat bahwa
perguruan tinggi di Timor-Leste masih fokus pada peningkatan kinerja belajar dan
137
mengajar untuk membangun reputasi, serta mendapatkan pendapatan. Sebaliknya,
penelitian belum menjadi faktor prioritas dalam strategi pengembangan untuk
diversifikasi pendapatan, dan membangun reputasi perguruan tinggi di Timor-
Leste. Rendahnya kinerja penelitian yang diukur dengan publikasi di jurnal
internasional (IP21) dengan nilai rerata (3,3), dan penelitian banyak yang
mendatangkan dana dengan nilai rerata (3,3). Hal ini juga mempegaruhi kinerja
keuangan dan pemasaran yang lebih rendah dibanding dengan kinerja industri
yang lain.
Jika melihat melihat empat dimensi dalam variabel Kinerja Industri (IP)
secara tersendiri, dalam kinerja belajar dan mengajar (IP1) maka faktor pemicunya
adalah alumni banyak yang terserap dalam lapangan kerja dengan nilai rerata (4,2)
dan kemudian disusul dengan kepuasan penyedia lapangan kerja terhadap
keahlian alumni dengan nilai rerata (4,1), dan kepuasan mahasiswa dengan nilai
rerata (4,1). Sebaliknya tingkat drop out mahasiswa dengan nilai rerata (3,6), dan
pertumbuhan pendaftaran mahasiswa dengan nilai rerata (3,9) merupakan yang
terendah.
Tabel 5.9 Nilai Distribusi Frekuensi dan Rerata Indikator Variabel Kinerja
Industri.
Simbol Indikator
Distribusi Jawaban Responden
(%) Rerata
1 2 3 4 5
IP11 Kepuasan mahasiswa 3,1 12,3 56,2 28,2 28,5 4,1
IP12 Tingkat drop out mahasiswa 5,4 13,1 18,5 42,3 20,8 3,6
IP13 Kepuasan penyedia lapangan terhadap
keahlian alumni. 3,1 2,3 16,9 36,9 40,8 4,1
IP14 Alumni banyak yang terserap dalam
lapangan kerja. 3,1 3,8 7,7 40,8 44,6 4,2
138
IP15 Pertumbuhan pendaftaran jumlah
mahasiswa. 3,8 4,6 20,0 43,8 27,7 3,9
IP21 Publikasi di jurnal nasional dan
internasional. 6,9 17,7 28,5 34,6 12,3 3,3
IP22 Berpartisipasi dalam kegiatan ilmiah baik
sebagai peserta maupun pemakalah. 3,1 8,5 23,1 43,8 21,5 3,7
IP23 Penelitian banyak mendatangkan dana 6,2 14,6 33,1 39,2 6,9 3,3
IP24 Penelitian berdampak bagi masyarakat 4,6 7,7 22,3 44,6 20,8 3,7
IP31 Peningkatan kegiatan konseling kepada
mahasiswa 3,1 5,4 20,8 46,2 24,6 3,8
IP32 Peningkatan kegiatan pelayanan
masyarakat. 1,5 3,8 23,1 43,1 28,5 3,9
IP33 Berpartisipasi dalam pengembangan
kurikulum. 0,0 3,1 8,5 80 8,5 3,9
IP41 Tingkat pertumbuhan pengembalian
investasi. 6,2 8,5 25,4 45,5 14,6 3,5
Lanjutan Tabel 5.9 Nilai Distribusi Frekuensi dan Rerata Indikator Variabel
Kinerja Industri.
Simbol Indikator Distribusi Jawaban Responden
(%) Rerata
1 2 3 4 5
IP42 Pertumbuhan surplus tinggi. 7,7 6,9 33,8 39,2 12,3 3,4
IP43 Pertumbuhan pendapatan total. 7,7 10,8 33,8 35,4 12,3 3,3
IP44 Penguasaan pangsa pasar. 6,2 11,5 24,6 43,8 13,8 3,5
Sumber : Data diolah, 2017
Jika melihat kinerja penelitian (IP2), maka faktor pemicu utamanya adalah
staf dosen berpartisipasi dalam kegiatan ilmiah, baik sebagai peserta maupun
pemakalah dan institusi melakukan penelitian berdampak bagi masyarakat dengan
nilai rerata sama besar yakni (3,7). Sebaliknya, faktor pemicu terendah pada
kinerja penelitian (IP2) adalah publikasi di jurnal nasional dan internasional
dengan nilai rerata (3,3), dan penelitian banyak mendatangkan dana (3,3).
139
Jika melihat kinerja pelayanan masyarakat (IP3), maka faktor pemicu
utamanya adalah peningkatan kegiatan pelayanan masyarakat dengan nilai rerata
(3,9), dan Berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum dengan nilai rerata
(3,9). Sebaliknya, faktor pemicu terendah pada kinerja pelayanan masayarakat
(IP3) adalah peningkatan kegiatan konseling kepada mahasiswa dengan nilai
rerata (3,8).
Jika melihat kinerja keuangan dan pemasaran (IP4), maka faktor pemicu
utamanya adalah tingkat pertumbuhan pengembalian investasi dengan nilai rerata
(3,5), dan penguasaan pangsa pasar dengan nilai rerata (3,5). Sebaliknya,
indikator yang paling rendah dalam kinerja keuangan adalah pertumbuhan surplus
tinggi dengan nilai rerata (3,4), dan pertumbuhan pendapatan total dengan nilai
rerata (3,3).
5.1.5 Hasil analisis inferensial
5.1.5.1 Evaluasi outer model (model pengukuran)
Evaluasi model pengukuran (outer model) ini dilakukan untuk melihat
hubungan antara variabel laten dengan indikator-indikatornya. Tujuannya untuk
memvaliditasi model dan menguji reliabilitas konstruk yang ada, sesuai dengan
teori dan kajian empiris.
Uji reliabilitas construct dilakukan dengan menggunakan composite
reliability (CR), average variable extracted (AVE), dan alpha cronbach.
Konstruk dianggap reliabel, jika nilai CR lebih besar dari 0,7, AVE minimum
adalah 0,5, dan Alpha Cronbach minimum adalah 0,6 (Kumar and Banerjee,
2012; Abd Razak et al., 2016).
140
Uji validitas construct dilakukan dengan menggunakan convergent validity
dan discriminat validity. Convergent validity digunakan untuk menguji hubungan
antara manifes variabel dalam sebuah konstruk. Convergent validity diukur
dengan menggunakan average variance extracted (AVE), dan besarnya 0,5 atau
lebih (Soltanizadeh et al., 2016). Discriminant validity digunakan untuk menguji
hubungan manifest variabel dalam sebuah konstruk berhubungan dengan manifes
variabel konstruk yang lain dalam sebuah structural model. Discriminant validity
diamati melalui cross-loadings, dimana item loadings konstruk relevan lebih
tinggi loading dari item yang didesain untuk mengukur semua konstruk
(Soltanizadeh et al., 2016). Descriminat validity bisa diterima jika outer loading
per item construct diatas 0,70 dan average variance extracted (AVE) adalah 0,50
atau lebih (Hair et al., 2014; Hopkins, 2015; Valaei and Jiroudi, 2016; Henseler et
al., 2016).
(1) Hasil uji reliabilitas konstruk
Dalam penelitian ini uji reliabilitas menggunakan parameter Cronbach
Alpha, composite relaibility, dan avarage variance extracted (AVE). Hasil uji
reliabilitas dari cronbach alpha, composite reliability dan avarage variance
extracted (AVE) menunjukkan bahwa nilai dari semua konstruk lebih besar dari
batas minimum Cronbach Alpha (lebih besar 0,7), composite reliability (lebih
besar atau sama dengan 0,7), dan avarage variance extracted (AVE) (lebih besar
atau sama dengan 0,5).
Berdasarkan uji reliabilitas menggunakan Cronbach Alpha, nilai
parameter dari semua konstruk diatas 0,7, kecuali strategi keunggulan biaya atau
141
cost leadership (0,6) (Tabel 5.10). Dalam penelitian ini, nilai Cronbach Alpha
tertinggi ada pada variabel strategi inovasi (0.9), kinerja penelitian (0,9), serta
kinerja keuangan dan pemasaran (0,9), sedangkan konstruk strategi biaya (0,6)
lebih rendah dari 0,7. Namun demikian, ada beberapa studi empiris juga
menggunakan Cronbach Alpha minimum 0,6 (Kumar and Banerjee, 2012; Abd
Razak et al., 2016). Dengan demikian, dari uji reliabilitas menggunakan
crombach alpha dari semua konstruk memiliki konsistensi internal yang baik
untuk digunakan dalam uji model ini.
Tabel 5.10 Hasil Uji Reliabilitas Konstruk
Variabel
Notasi
Cronbach's
Alpha
Composite
Reliability
Average
Variance
Extracted
(AVE)
Strategi keunggulan biaya CL 0,6 0,8 0,5
Strategi diferensiasi DS 0,8 0,9 0,7
Fokus pelayanan FS 0,8 0,9 0,5
Intensitas persaingan IC1 0,7 0,8 0,5
Ancaman pengganti IC2 0,7 0,9 0,7
Kekuatan tawar menawar pembeli. IC3 0,8 0,9 0,6
Kekuatan tawar menawar pemasok IC4 0,7 0,8 0,6
Ancaman masuk pendatang baru IC5 0,7 0,8 0,5
Inovasi IN 0,9 0,9 0,8
Kinerja industri IP
Kinerja belajar dan mengajar IP1 0,8 0,9 0,6
Kinerja penelitian IP2 0,9 0,9 0,7
Kinerja pelayanan masyarakat. IP3 0,6 0,8 0,6
Kinerja keuangan dan pemasaran IP4 0,9 0,9 0,8
Sumber : Data diolah, 2017.
142
Berdasarkan uji reliabilitas konstruk dengan menggunakan composite
reliability, hasilnya menunjukkan bahwa semua konstruk dalam penelitian ini
memiliki nilai composite reliability minimum adalah 0,8 (Tabel 5.10). Nilai
composite reliability tersebut lebih besar dari 0,7 yang artinya semua konstruk
dalam penelitian memiliki konsistensi internal yang baik dalam uji hubungan
antar konstruk dalam inner model.
Dalam uji reliabilitas menggunakan nilai avarage variance extracted
(AVE), hasilnya menunjukkan nilai terendah AVE semua konstruk adalah 0,5
(Tabel 5.10). Nilai tersebut sama dengan batas minimum yang dibutuhkan dalam
analisis reliabilitas dengan menggunakan parameter AVE. Hal ini, menunjukkan
bahwa dimensi dan variabel dalam penelitian ini memiliki konsistensi internal
(internal consistency) yang baik untuk digunakan dalam menganalisis hubungan
antara variabel.
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa semua konstruk dalam
penelitian ini reliabel yang diukur dengan nilai Cronbach’s Alpha lebih besar
dari 0,7, composite relibiality lebih besar dari 0,7, dan nilai AVE lebih besar atau
sama dengan 0,5.
(2) Hasil Uji Validitas Konstruk
Uji validitas dengan menggunakan Fornell Larscker Validity Test
Uji validitas dapat menggunakan parameter Discriminant validity dengan
average variant extracted (AVE), di mana indikator dikatakan valid jika nilai
square root of average variant extracted (√AVE) setiap variabel lebih besar dari
nilai korelasi antara variabel laten tersebut dengan variabel laten lainnya
143
(Yuliansyah et al., 2017) dan nilai minimalnya adalah 0,5 (Hair et al., 2014).
Berdasarkan hasil uji discriminant validity, nilai AVE dari setiap korelasi variabel
laten lebih besar dari variabel laten yang lainnya dengan nilai minimum 0.690.
Nilai minimum tersebut lebih besar dari 0,5 (Tabel 5.11). Oleh karena itu, semua
variabel laten valid diukur dengan menggunakan discriminat validity.
Tabel 5.11 Uji Validitas dengan Menggunakan Fornell Larscker Validity Test CL DS FS IC1 IC2 IC3 IC4 IC5 IN IP1 IP2 IP3 IP4
CL 0,73
DS 0,44 0,82
FS 0,59 0,59 0,73
IC1 0,21 0,17 0,15 0,69
IC2 0,32 0,22 0,26 0,51 0,81
IC3 0,38 0,37 0,39 0,40 0,51 0,78
IC4 0,38 0,23 0,29 0,18 0,28 0,41 0,78
IC5 0,25 0,17 0,26 0,30 0,43 0,28 0,24 0,72
IN 0,50 0,45 0,66 0,02 0,23 0,33 0,28 0,22 0,90
IP1 0,59 0,49 0,65 0,09 0,33 0,31 0,27 0,18 0,59 0,75
IP2 0,46 0,35 0,55 -0,10 0,15 0,21 0,27 0,06 0,55 0,61 0,83
IP3 0,47 0,38 0,57 0,10 0,18 0,26 0,10 0,09 0,40 0,57 0,60 0,76
IP4 0,41 0,36 048 0,21 0,34 0,28 0,29 0,21 0,54 0,51 0,63 0,62 0,91
Sumber: Data diolah, 2017.
Cross-loading Validity Test
Pengujian discriminant validity dapat juga menggunakan nilai cross loading.
Jika nilai cross loading setiap indikator dari variabel yang satu lebih besar
dibandingkan dengan cross loading variabel lain, maka indikator tersebut
dikatakan valid. Menurut Hair et al. (2010), Outer loading sebuah konstruk harus
lebih besar dari cross-loading seluruh konstruk maka konstruk tersebut
dinyatakan memiliki discriminant validity.
Tabel 5.12 Uji Discriminant Validity Cross-Loading Validity Test KONS
TRUK
CL DS FS IC1 IC2 IC3 IC4 IC5 IN IP1 IP2 IP3 IP4
CL1 0,816 0,372 0,558 0,232 0,330 0,335 0,285 0,132 0,493 0,585 0,459 0,450 0,444
CL2 0,667 0,196 0,259 0,113 0,102 0,167 0,217 0,238 0,185 0,219 0,191 0,258 0,184
CL3 0,711 0,354 0,393 0,091 0,204 0,291 0,325 0,224 0,336 0,388 0,292 0,282 0,194
DS1 0,228 0,732 0,366 0,150 0,126 0,193 0,247 0,047 0,212 0,312 0,230 0,122 0,242
DS2 0,321 0,841 0,527 0,160 0,234 0,365 0,185 0,224 0,455 0,387 0,272 0,311 0,266
DS3 0,486 0,887 0,539 0,110 0,175 0,318 0,156 0,129 0,395 0,488 0,343 0,442 0,376
FS1 0,270 0,395 0,673 0,074 0,174 0,136 0,121 0,196 0,450 0,403 0,280 0,285 0,272
144
FS2 0,289 0,414 0,662 0,198 0,254 0,233 0,187 0,277 0,377 0,313 0,292 0,320 0,259
FS3 0,431 0,442 0,710 0,075 0,091 0,314 0,233 0,216 0,445 0,476 0,479 0,374 0,369
FS4 0,417 0,375 0,781 0,058 0,134 0,278 0,169 0,128 0,563 0,429 0,369 0,434 0,343
FS5 0,621 0,510 0,806 0,126 0,285 0,385 0,286 0,164 0,541 0,664 0,524 0,593 0,441
IC11 0,307 0,288 0,218 0,849 0,423 0,395 0,140 0,304 0,131 0,226 0,068 0,181 0,309
IC12 0,142 0,060 0,109 0,796 0,388 0,288 0,175 0,136 -0,073 -0,010 -0,201 0,066 0,021
IC13 -0,128 -0,217 -0,106 0,454 0,237 0,071 0,035 0,190 -0,164 -0.197 -0,283 -0,105 -0,012
IC14 -0,075 -0,058 -0,088 0,588 0,344 0,178 0,110 0,194 -0,091 -0,121 -0,152 -0,116 0,073
IC21 0,165 0,175 0,074 0,482 0,689 0,376 0,203 0,282 0,116 0,170 0,076 0,072 0,223
IC22 0,263 0,154 0,261 0,424 0,880 0,481 0,172 0,395 0,208 0,299 0,127 0,216 0,264
IC23 0,329 0,211 0,278 0,347 0,846 0,388 0,291 0,363 0,226 0,319 0,148 0,143 0,324
IC31 0,311 0,196 0,258 0,331 0,445 0,792 0,194 0,276 0,265 0,248 0,190 0,203 0,222
IC32 0,385 0,426 0,455 0,333 0,415 0,838 0,328 0,138 0,349 0,352 0,204 0,318 0,212
IC33 0,158 0,272 0,273 0,287 0,438 0,804 0,365 0,281 0,146 0,153 0,131 0,153 0,161
IC34 0,317 0,226 0,193 0,294 0,302 0,682 0,413 0,209 0,260 0,204 0,111 0,102 0,273
IC41 0,269 0,317 0,209 0,191 0,281 0,418 0,854 0,155 0,254 0,240 0,223 0,043 0,295
IC42 0,296 0,163 0,280 0,128 0,215 0,262 0,828 0,146 0,286 0,271 0,342 0,120 0,308
IC43 0,345 0,002 0,178 0,095 0,129 0,278 0,652 0,296 0,099 0,099 0,042 0,062 0,040
IC51 0,212 0,047 0,173 0,347 0,397 0,255 0,193 0,828 0,238 0,134 0,037 0,087 0,218
IC52 0,295 0,202 0,226 0,150 0,305 0,223 0,336 0,816 0,188 0,244 0,167 0,122 0,210
IC53 0,044 0,183 0,233 0,219 0,350 0,236 0,067 0,706 0,096 0,049 -0,083 0,007 0,046
IC54 0,122 0,053 0,111 0,112 0,150 0,045 -0,026 0,492 0,070 0,028 0,001 0,015 0,095
Lanjutan Tabel 5.12 Uji Discriminant Validity Cross-Loading Validity Test
KONS
TRUK CL DS FS IC1 IC2 IC3 IC4 IC5 IN IP1 IP2 IP3 IP4
IN1 0,474 0,357 0,542 0,053 0,191 0,244 0,228 0,220 0,886 0,507 0,450 0,310 0,491
IN2 0,427 0,423 0,594 0,016 0,272 0,357 0,296 0,254 0,934 0,544 0,532 0,380 0,520
IN3 0,447 0,424 0,633 -0,027 0,153 0,283 0,233 0,117 0,873 0,546 0,505 0,383 0,439
IP11 0,556 0,356 0,557 0,023 0,190 0,201 0,125 0,154 0,519 0,730 0,504 0,434 0,343
IP12 0,177 0,107 0,189 -0,051 0,122 0,107 0,160 0,032 0,199 0,493 0,265 0,165 0,182
IP13 0,434 0,568 0,549 0,164 0,351 0,319 0,240 0,221 0,455 0,819 0,432 0,436 0,460
IP14 0,459 0,472 0,570 0,149 0,268 0,276 0,264 0,091 0,520 0,859 0,501 0,459 0,457
IP15 0,492 0,244 0,477 -0,014 0,273 0,227 0,215 0,141 0,455 0,797 0,545 0,540 0,419
IP21 0,393 0,336 0,436 -0,013 0,172 0,194 0,233 0,119 0,500 0,514 0,837 0,418 0,525
IP22 0,369 0,257 0,458 -0,123 0,086 0,103 0,244 -0,013 0,420 0,499 0,832 0,464 0,463
IP23 0,369 0,274 0,441 -0,006 0,186 0,277 0,319 0,103 0,408 0,538 0,846 0,497 0,598
IP24 0,406 0,294 0,507 -0,181 0,049 0,111 0,114 -0,011 0,517 0,493 0,821 0,598 0,524
IP31 0,427 0,290 0,491 0,090 0,122 0,166 0,117 0,020 0,348 0,483 0,563 0,915 0,534
IP32 0,452 0,418 0,559 0,093 0,212 0,303 0,065 0,145 0,388 0,576 0,534 0,926 0,595
IP33 -0,024 -0,020 0,126 0,012 0,028 0,027 -0,036 0,031 0,045 -0,062 0,080 0,154 0,165
IP41 0,354 0,334 0,385 0,217 0,191 0,239 0,233 0,049 0,460 0,422 0,499 0,581 0,866
IP42 0,393 0,304 0,462 0,207 0,357 0,249 0,267 0,273 0,504 0,478 0,570 0,530 0,904
IP43 0,336 0,286 0,390 0,165 0,364 0,210 0,245 0,197 0,467 0,438 0,586 0,532 0,916
IP44 0,388 0,392 0,477 0,174 0,303 0,297 0,307 0,232 0,516 0,517 0,634 0,597 0,933
Sumber: Data diolah, 2017
145
Analisis discriminant validity ini berdasarkan pada nilai cross loading antara
indikator dengan konstruk laten. Apabila nilai korelasi antara konstruk dengan
indikatornya sendiri lebih besar dibandingkan korelasi antara konstruk dengan
indikator lain berarti konstruk laten atau variabel dapat merefleksikan indikator
pada bloknya lebih baik dibandingkan dengan pada blok lainnya. Berdasarkan
penjelasan tersebut, nilai cross-loading dari semua variabel dalam blok yang lebih
besar dari nilai cross-loading variabel laten yang lain (Tabel 5.12). Oleh karena
itu, data dari konstruk penelitian ini valid digunakan untuk analisis inner model.
Heterotrait-Monotraits Ratio
Uji validitas dapat juga menggunakan parameter Heterotrait-Monotrait Ratio
(HTMT). Berdasarkan uji ini, nilai HTMT semua konstruk harus lebih rendah dari
0,85 (Henseler et al., 2015; Becker and Ismail, 2016), walaupun ada beberapa
autor yang merekomendasikan batas HTMT lebih rendah dari 0,90 (Henseler et
al., 2015). Namun demikian, dalam penelitian ini menggunakan batas HTMT
lebih kecil dari 0,85. Berdasarkan hasil uji penelitian ini menunjukkan bahwa nilai
HTMT yang diperoleh dari semua konstruk lebih kecil dari 0,85 (Tabel 5.13).
Dengan demikian, semua konstruk memiliki instrumen pengukuran yang valid.
Tabel 5.13 Uji Discriminant Validity Heterotrait-Monotrait Ratio (HTMT)
Konstruk CL DS FS IC1 IC2 IC3 IC4 IC5 IN IP1 IP2 IP3
CL
DS 0,59
FS 0,76 0,74
IC1 0,34 0,31 0,26
IC2 0,43 0,29 0,33 0,68
IC3 0,52 0,45 0,46 0,45 0,68
IC4 0,60 0,31 0,37 0,26 0,38 0,57
IC5 0,40 0,25 0,36 0,41 0,58 0,37 0,37
146
IN 0,63 0,52 0,79 0,20 0,28 0,39 0,35 0,26
IP1 0,75 0,59 0,78 0,30 0,42 0,38 0,36 0,23 0,69
IP2 0,59 0,42 0,65 0,32 0,19 0,25 0,34 0,19 0,64 0,7
IP3 0,77 0,50 0,80 0,24 0,26 0,35 0,18 0,23 0,52 0,8 0,79
IP4 0,50 0,42 0,54 0,21 0,41 0,33 0,35 0,26 0,60 0,6 0,71 0,84
Sumber : Data diolah, 2017
Bedasarkan uji validitas menggunakan parameter discriminant validity
seperti Fornell Larscker Validity Test, Cross-loading Validity Test, dan HTMT,
nilai semua parameter-parameter ini melebihi nilai minimum yang diisyaratkan.
Oleh karena itu, semua data konstruk valid untuk digunakan dalam model ini.
5.1.5.2 Evaluasi Inner Model
Evalusasi inner model dengan PLS pada umumnya menggunakan
parameter seperti Coefficient of determination (R2), cross-validated redundancy
atau inner model predictive relevance (Q2), path coefficients, dan effect size ( f2)
(Hair et al., 2014). Dengan demikian, penelitian ini menggunakan parameter
tersebut untuk uji hubungan dan signifikansi antara variabel dalam inner model.
Dalam analisis inner model salah satu parameternya adalah coefficient of
determination atau R-square (R2). R-square (R2) menunjukkan kombinasi
pengaruh dari variabel eksogen terhadap variabel endogen (Hair et al., 2014).
Nilai R2 yang dapat diterima adalah 0,75 (model kuat), 0,5 (model sedang), dan
0,25 (model lemah) (Hair et al., 2014; Hopkins, 2015), sedangkan menurut
Lathan dan Ghozali (2012), nilai R2 sebesar 0,67 (model kuat), 0,33 (model
moderat), dan 0,19 (model lemah). Dalam penelitian ini, nilai R2 differentitaion
strategy adalah 0,176 (lemah), innovation adalah 0,160 (model lemah), focus
service adalah 0,224 (model lemah), dan cost leadership adalah 0,274 (model
lemah). Kemudian nilai R2 yang paling tinggi antara lain research performance
147
adalah 0,720 (model kuat), learning and teaching performance adalah 0,699
(model kuat), community service adalah 0,674 (model kuat). Sebaliknya, nilai R2
variabel-variabel lain dalam penelitian ini berkisar antara 0,315-0,664 yang
digolongkan sebagai model sedang (model moderat).
Tabel 5.14 Hasil Uji R-square Notasi
Variabel
Keterangan R Square R Square Adjusted
CL Cost leadership 0,274 0,269
DS Diferentiation strategy 0,176 0,170
FS Focus service 0,224 0,218
IC1 Intensitas persaingan 0,315 0,310
IC2 Threat of substitutes 0,570 0,567
IC3 Power of buyers 0,645 0,642
IC4 Power of suppliers 0,395 0,390
IC5 Threat of new entrance 0,351 0,346
IN Innovation 0,160 0,153
IP Industrial performance 0,583 0,566
IP1 Learning and teaching performance 0,699 0,697
Lanjutan Tabel 5.14 Hasil Uji R-square
Notasi
Variabel
Keterangan R Square R Square Adjusted
IP2 Research performance 0,720 0,718
IP3 Community service performance 0,674 0,671
IP4 Financial and marketing performance 0,664 0,661
Sumber : Data diolah, 2017
Dalam analisis inner-model juga melakukan uji goodness of fit (GoF)
untuk melihat kelayakan model. GoF adalah pengukuran ketepatan model
secara keseluruhan. Nilai pengukuran berdasarkan GoF memiliki rentang nilai
antara 0 sampai dengan 1. Nilai GoF dapat dihitung dengan rumus berikut
dengan menggunakan data dalam Tabel 5.15. Nilai GoF sebesar 0,1 (lemah),
0,25 (medium), dan 0,36 (kuat) (Kumar and Banerjee, 2012).
= √0,63𝑥0.283 = 0,42
)( 2RxCommGoF
148
Berdasarkan Tabel 5.15 nilai goodness of fit (GoF) sebesar 0.42,
sehingga model ini secara keseluruhan adalah termasuk model prediktif yang
sangat fit.
Tabel 5.15 Nilai R2, dan Communalities KONSTRUK R2 COMMUNALITIES
IP 0,583 0,57
DS 0,176 0,68
CL 0,274 0,55
FS 0,224 0,51
IN 0,160 0,81
RERATA 0,283 0,62
Sumber : Data diolah, 2017
Dalain inner model perlu juga menguji kelayakan model dengan
menggunakan Q-square predictive relevance (Q2). Besaran nilai Q2 diantara 0
sampai dengan 1, di mana nilai Q2 semakin mendekati nilai 1 berarti model
semakin baik. Kriteria kuat lemahnya model diukur dengan nilai Q2 adalah 0,35 (
model kuat), 0,15 (model moderat), dan 0,02 (model lemah) (Abd Razak et al.,
2016).
Q2 = 1 - (1 – 0,583)*(1 – 0,274)*(1- 0,176)*(1- 0,224)*(1 – 0,160)
= 0.84
Berdasarkan hasil perhitungan Q-square predictive relevance (Q2) pada
penelitian ini ditemukan hasilnya sebesar 0,84, yang artinya 84% persen variasi
konstruk endogen dapat diprediksi oleh variasi konstruk eksogen. Dengan
demikian, observasi yang dilakukan memberikan pengaruh yang kuat terhadap
model.
Dalam penelitian ini, inner model juga dianalisis dengan menggunakan
effect size (f2) dari masing-masing variabel dependen. Nilai effect size (f2) 0,02
Q2 =1- (1-Ry22 )*(1-Ry1
2 )*(1-Rx12 )*(1-Rx2
2 )*(1-Rx32 )
149
(efek lemah), 0,15 (efek sedang), dan 0,35 (efek sangat kuat) (Hair et al., 2014;
Henseler et al., 2016; Fassot et al., 2016). Jika konstruk exogen sangat kuat
berperan dalam menjelaskan konstruk endogen, perbedaan antara R2included, dan
R2excluded sangat tinggi yang menyebabkan nilai f2 sangat tinggi (Hair et al.,
2014). Perhitungan nilai effect size (f2) dapat menggunakan rumus berikut:
f2 = R
2 included - R2excluded
1-R2included
di mana R2 included adalah bersumber dari variasi nilai R2 yang memperhitungkan
peranan variabel eksogen dalam model penelitian, sedangkan nilai R2 excluded
adalah sebaran nilai R2 yang tidak menyertakan variabel eksogen dalam model
penelitian. Dalam penelitian ini, hasil uji effect size dalam Tabel 5.16
menunjukkan bahwa konstruk endogen berpengaruh kuat karena nilai effect size
diatas 0,47 (Hair et al., 2014; Henseler et al., 2016; Fassot et al., 2016).
Tabel 5.16 Effect size Konstruk R2
Excluded RInclued (R2 Included -
R2Excluded)
(1 - R2Included) Effect
Size
CL 0,27 0,58 0,31 0,73 0,42
DS 0,18 0,58 0,41 0,82 0,49
FS 0,22 0,58 0,36 0,78 0,46
IN 0,16 0,58 0,42 0,84 0,50
Rerata 0,21 0,58 0,37 0,79 0,47
Sumber: Hasil dioalah, 2017
5.1.5.3 Uji Hipotesis
5.1.5.3.1 Pengaruh antar variabel
Pengujian hipotesis pengaruh langsung tiap variabel penelitian dapat
dijelaskan sebagai berikut.
H1 Persaingan industri berpengaruh negatif dan tidak signifikan
terhadap kinerja industri.
150
Hasil pengujian hubungan persaingan industri dengan kinerja industri
menunjukkan bahwa t-statistics sebesar 0,180 yang berarti persaingan industri
berpengaruh positif terhadap kinerja industri. Nilai ini lebih kecil dari nilai t Tabel
0,05 adalah 1,98 (Hair et al., 2010: ). Walaupun demikian, p-values sebesar 0,857
yang berarti persaingan industri tidak signifikan berpengaruh terhadap kinerja
industri pendidikan tinggi (Tabel 5.17). Maka hipotesis (H1) dapat ditolak.
Tabel 5.17 Hasil Uji Path Coefficient Original
Sample
Sample
Mean
Standard
Deviation
t-values p-values Description
IC -> IP 0,016 0,032 0,087 0,180 0,857 Not significant
IC -> DS 0,420 0,448 0,115 3,663 0,000 Significant
IC -> CL 0,524 0,566 0,085 6,144 0,000 Significant
IC -> FS 0,474 0,517 0,102 4,639 0,000 Significant
IC -> IN 0,400 0,444 0,109 3,663 0,000 Significant
Lanjutan Tabel 5.17 Hasil Uji Path Coefficient
Original
Sample
Sample
Mean
Standard
Deviation
t-values p-values Description
DS -> IP 0,065 0,063 0,081 0,801 0,424 Not significant
CL -> IP 0,224 0,223 0,108 2,075 0,039 Significant
FS -> IP 0,335 0,332 0,088 3,809 0,000 Significant
IN -> IP 0.277 0,283 0,102 2,720 0,007 Significant
Sumber: Data diolah, 2017
H2 Persaingan industri berngaruh positif dan signifikan terhadap
strategi diferensiasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan persaingan industri dan
strategi diferensiasi, nilai t-statistics (3,663), dan nilai p values (0,000) (Tabel
5.17). Hasil ini, menunjukkan bahwa persaingan industri berpengaruh positif dan
signifikan terhadap strategi diferensiasi. Semakin tinggi persaingan industri (IC)
yang dipicu oleh Porter Five Competitive Forces (PFCF), maka semakin tinggi
pula pengelola industri pendidikan tinggi memilih untuk mengadopsi strategi
diferensiasi (DS) yang ditekankan pada perbedaan program studi, kualitas
151
keahlian kelulusan tinggi, dan kualitas pelayanan. Dengan demikian, hipotesis
(H2) dapat diterima.
Gambar 5.1 Hasil Olahan SMART-PLS Hubungan Antara Variabel (Inner Model)
H3
Persaingan Industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap
strategi keunggulan biaya (cost leadership).
Dalam hubungan antara persaingan industri (IC) dan strategi keunggulan
biaya (CL), hasil penelitian menunjukkan bahwa t-statistics (6,144) dan p values
(0,000) (Tabel 5.17). Hasil ini, menunjukkan bahwa persaingan industri
berpengaruh positif dan signifikan terhadap strategi keunggulan biaya (cost
leadership). Semakin tinggi persaingan industri (IC) yang dipicu oleh faktor
eksternalitas, maka industri pendidikan tinggi lebih memilih untuk mengadopsi
strategi keunggulan biaya (CL) dengan pendekatan pada pengontrolan dan
efisiensi biaya (CL1), biaya operasional rendah (CL2), dan biaya kuliah per
mahasiswa rendah (CL3). Dengan demikian, hipotesis (H3) dapat diterima.
H4 Persaingan Industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap
fokus pelayanan (focus service)
152
Dalam hubungan persaingan industri (IC) dengan fokus pelayanan (FS),
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa t-statistics (4,639) dan p-values (0,000)
(Tabel 5.14). Hasil ini, menunjukkan bahwa persaingan industri (IC) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap fokus pelayanan (FS). Semakin tinggi persaingan
industri yang dipicu oleh faktor eksternalitas industri, pengelola industri
pendidikan tinggi memilih untuk mengadopsi strategi fokus pelayanan berbasis
pada kompotensi dosen baik yang selalu membantu mahasiswa (FS1), fasilitas
pengajaran sesuai harapan mahasiswa (FS2), pelayanan mahasiswa berbasis
kualitas jasa (FS3), tanggap melayani permintaan mahasiswa (FS4), dan perhatian
kepada semua mahasiswa (FS5). Dengan demikian, hipotesis (H4) dapat diterima.
H5 Persaingan Industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap
inovasi.
Dalam hubungan persaingan industri (IC) dengan inovasi (IN), hasil PLS
menunjukkan bahwa nilai t-statistics (3,663) dan nilai p values (0,000) (Tabel
5.17). Hasil ini menunjukkan bahwa persaingan industri berpengaruh positif dan
signifikan terhadap inovasi (innovation) yang berbasis pada inovasi kurikulum
(IN41), inovasi metode belajar dan mengajar (IN42), dan inovasi teknologi belajar
dan mengajar (IN43). Dengan demikian, hipotesis (H5) diterima.
H6 Strategi diferensiasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja industri.
Dalam hubungan antara strategi diferensiasi (DS) dengan kinerja industri
pendidikan tinggi (IP), data olahan PLS menunjukkan bahwa t-statistics (0,801)
dan p values (0,424) (Tabel 5.17). Hasil ini menunjukkan bahwa strategi
diferensiasi (DS) berbasis pada diferensiasi program studi (DS1), kualitas keahlian
153
tinggi (DS2), dan kualitas pelayanan (DS3) berpengaruh positif dan tidak
signifikan pada kinerja industri pendidikan tinggi (IP) yang diukur dari kinerja
belajar dan mengajar (IP1), penelitian (IP2), pelayanan masyarakat (IP3), serta
keuangan dan pemasaran (IP4). Dengan demikian, hipotesis (H5) ini dapat ditolak.
H7 Strategi keunggulan biaya berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja industri.
Dalam hubungan strategi keunggulan biaya (CL) dengan kinerja industri
pendidikan tinggi (IP), hasil PLS menunjukkan bahwa t-statistics (2,075) dan nilai
p values (0,039) (Tabel 5.17). Hasil ini menunjukkan bahwa strategi keunggulan
biaya (CL) berbasis pada efisiensi biaya (CL1), biaya operasional rendah (CL2),
dan biaya kuliah per mahasiswa rendah (CL3) berpengaruh positif dan signfikan
terhadap kinerja industri pendidikan tinggi (IP) yang diukur dari kinerja belajar
dan mengajar (IP1), penelitian (IP2), pelayanan masyarakat (IP3), dan keuangan
dan pemasaran (IP4). Dengan demikian, hipotesis (H7) dapat diterima.
H8 Fokus pelayanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja industri.
Dalam penelitian ini, hubungan fokus pelayanan (FS) dengan kinerja
industri pendidikan tinggi (IP), hasil PLS menunjukkan bahwa t-statistics (3,809)
dan nilai p values (0,000) (Tabel 5.17). Hasil ini menunjukkan bahwa fokus
pelayanan (FS) yang berbasis pada kompetensi dosen baik yang selalu membantu
mahasiswa (FS1), fasilitas pengajaran sesuai harapan mahasiswa (FS2), pelayanan
mahasiswa berbasis kualitas jasa (FS3), tanggap melayani permintaan mahasiswa
(FS4), dan perhatian kepada semua mahasiswa (FS5) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja industri pendidikan tinggi (IP) yang diukur dari kinerja
154
belajar dan mengajar (IP1), penelitian (IP2), pelayanan masyarakat (IP3), dan
keuangan dan pemasaran (IP4). Dengan demikian, hipotesis (H8) dapat diterima.
H9 Inovasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
industri.
Dalam penelitian ini, hubungan inovasi (IN) dengan kinerja industri
pendidikan tinggi (IP), hasil PLS menunjukkan bahwa t-statistics (2,720) dan nilai
p values (0,007) (Tabel 5.17). Hasil ini menunjukkan bahwa inovasi (IN) yang
berbasis pada inovasi kurikulum (IN41), inovasi metode belajar dan mengajar
(IN42), serta inovasi teknologi belajar dan mengajar (IN43) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja industri pendidikan tinggi (IP) yang diukur dari kinerja
belajar dan mengajar (IP1), penelitian (IP2), pelayanan masyarakat (IP3), dan
keuangan dan pemasaran (IP4). Dengan demikian, hipotesis (H9) dapat diterima.
5.1.5.3.2 Pengujian Hipotesis Variabel Mediasi
Dalam penelitian ini strategi berperan sebagai mediasi dalam hububungan
persaingan industri dan kinerja industri pendidikan tinggi. Menurut Hair et al.
(2010), dan Nitzl et al. (2016), prinsip dasar mediasi adalah sebagai berikut.
Gambar 5.2 Hubungan Variabel Eksogen (A) Dengan Variabel Endongen (C)
Yang Dimediasi Oleh Variabel (B).
1) Jika a signifikan, b signifikan, dan c juga signifikan tetapi nilai koefisien c = b,
maka dikatakan bukan mediasi.
155
2) Jika a atau b atau keduanya tidak signifikan dikatakan bukan mediasi.
3) Jika a, b, dan c signifikan tetapi nilai koefisien langsung c < b, maka dikatakan
mediasi sebagian (partial mediation).
4) Jika a dan b signifikan, namun c tidak signifikan, maka dikatakan mediasi
sempurna (full mediation).
H10 Strategi diferensiasi memediasi secara signifikan persaingan
industri terhadap kinerja industri.
Hasil nilai a (hubungan persaingan industri dengan strategi diferensisasi)
dengan t-statistics (3,663) dan p values (0,00) menunjukkan bahwa hubungan
kedua variabel tersebut signifikan, namun nilai b (hubungan strategi diferensiasi
dengan kinerja industri) dengan nilai t-statistics (0,801) dan p values (0,424) tidak
signifikan. Sedangkan nilai c (hubungan variabel persaingan industri (IC) dengan
kinerja industri pendidikan (IP) dengan nilai t-statistics (0,180), dan p values
(0,857) tidak signifikan (Tabel 5.17). Walaupun nilai b (0,801) lebih besar dari
nilai c (0,180), tetapi nilai keduanya lebih rendah dari nilai ttabel 0.05 =1,96, maka
hubungan keduanya tidak signifikan. Dengan demikian, hipotesis (H10) secara
empiris tidak terbukti karena strategi diferensiasi (DS) tidak dapat berperan untuk
memediasi hubungan persaingan industri (IC) dengan industri pendidikan tinggi
(IP).
Gambar 5.3 Hubungan Persaingan Industri Dengan Kinerja Industri Yang
Dimediasi Oleh Strategi Diferensiasi.
156
H11 Strategi keunggulan biaya memediasi secara signifikan persaingan
industri terhadap kinerja industri.
Dalam penelitian ini, hipotesis kesebelas (H11) adalah strategi
keunggulan biaya (CL) beperan penuh untuk memediasi hubungan persaingan
industri (IC) dengan kinerja industri pendidikan tinggi (IP). Berdasarkan hasil
olahan data PLS dalam Tabel 5.17, nilai a (IC CL) dengan nilai t-statistics
(6,144) dan p values (0,000) terbukti signifikan, demikian juga nilai b (CL IP)
dengan nilai t-statistics (2,075), dan p values (0,039) adalah signifikan. Sementara
itu, nilai c (IC IP) dengan t-statistics (0,182), dan p values (0,857)
menunjukkan tidak signifikan. Dengan demikian hipotesis (H11) dapat diterima.
Gambar 5.4 Hubungan Persaingan Industri Dengan Kinerja Industri Yang
Dimediasi oleh Strategi Keunggulan Biaya.
H12 Fokus pelayanan memediasi secara signifikan persaingan industri
terhadap kinerja industri.
Dalam penelitian ini, hipotesis kedua belas (H12) adalah fokus pelayanan
(FS) berperan penting untuk memediasi hubungan persaingan industri (IC) dengan
kinerja industri pendidikan tinggi (IP). Berdasarkan hasil olahan data PLS dalam
Tabel 5.17 menunjukkan bahwa nilai a (IC FS) dengan t-statistics (4,639) dan
p values (0,000) terbukti signifikan. Demikian juga nilai b (FS IP) dengan nilai
t-statistics (3,809) dan nilai p (0,000) terbukti signifikan. Sementara itu, nilai c
157
(IC IP) dengan t-statistics (0,182), dan p values (0,856) menunjukkan tidak
signifikan. Dengan demikian, hipotesis (H12) dapat diterima.
Gambar 5.5 Hubungan Persaingan Industri Dengan Kinerja Industri Yang
Dimediasi Oleh Strategi Fokus Pelayanan.
H13 Inovasi memediasi secara signifikan persaingan industri terhadap
kinerja industri.
Dalam penelitian ini, hipotesis ketiga belas (H13) adalah inovasi (IN)
berperan penting untuk memediasi hubungan persaingan industri (IC) dengan
kinerja industri pendidikan tinggi (IP). Berdasarkan hasil PLS dalam Tabel 5.17
menunjukkan bahwa nilai a (IC IN) dengan t-statistics (3,663), dan p values
(0,000) signifikan. Demikian juga nilai b (IN IP) dengan t-statistics (2,720),
dan p values (0,007) menunjukkan hubungan antara kedua variabel signifikan.
Sedangkan nilai c (IC IP) dengan t-statistics (0,180), dan p values (0,857)
menunjukkan hubungan antara kedua variabel tidak signifikan. Dengan demikian,
hipotesis (H13) ini dapat diterima
158
Gambar 5.6 Hubungan Persaingan Industri Dengan Kinerja Industri Yang
Dimediasi Oleh Inovasi.
5.2 Pembahasan
Penelitian ini telah menguji peran strategi bisnis dalam memediasi
hubungan persaingan industri dengan kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-
Leste. Dalam lingkungan industri yang sangat dinamis dan kompetitif, faktor
utama bagi sebuah organisasi atau perusahaan untuk mempertahankan
kesinambungan daya saing dan kinerja dengan pendekatan kesesuaian pemilihan
strategi (industrial strategy) (Porter, 1980; Porter, 1985; Allen et al., 2006) atau
mengembangkan sumber daya dan kapabilitas internalnya (resource-based
strategy) (Barney, 1991; Huang and Lee, 2012). Strategi bisnis yang diadopsi
dalam penelitian ini mengikuti teori kontingensi yang menyatakan organisasi atau
perusahaan dapat mengadopsi strategi yang fit dengan lingkungan di mana
organisasi atau perusahaan beroperasi. Dalam realitanya, para manajer dibebaskan
untuk memilih strategi yang fit untuk meningkatkan kinerja industri dalam
dinamika persaingan industri yang sangat tinggi saat ini (Akan et al., 2006).
Strategi tersebut dapat menggunakan strategi generik Porter yakni purity strategy
(hanya strategi diferensiasi atau strategi biaya murah, bukan kedua-duanya) untuk
meningkatkan daya saing dan kinerja, atau resource-based theory (Barney, 1991),
atau kombinasi antara kedua strategi tersebut (Claver-Cortés et al., 2012; Huang
and Lee, 2012; Gabrielsson et al., 2016). Kombinasi strategi berbasis strategi
bersaing (competitive strategy) dan sumber daya dan kapabilitas berbasis pada
RBV dapat memberikan efek yang baik bagi kinerja industri (Ortega, 2010).
159
Penelitian ini mengembangkan strategi generik Porter (diferensiasi, cost
leadership dan focus) yang dikombinasikan dengan strategi inovasi yang
diturunkan dari teori resource-based view (RBV). Hasil penelitian ini
bertentangan dengan strategi Porter yang menyatakan perusahaan hanya memilih
salah satu strategi untuk mencapai daya saing dan kinerja industri (Porter, 1980;
Hansen et al., 2015) karena terbukti kombinasi antara strategi keunggulan biaya
(cost leadership), strategi fokus pelayanan (focus services) dan strategi inovasi
(innovation) dapat berperan penuh memediasi (full mediation) hubungan
persaingan industri dengan kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste. Hal
ini senada dengan argumen Hansen et al. (2015) bahwa pada prakteknya industri
menggunakan kombinasi strategi, walaupun itu bukan kombinasi strategi
diferensiasi, dan strategi keunggulan biaya. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan
Gabrielsson et al. (2016) bahwa dengan komplexitas persaingan, kemajuan
teknologi dan kemampuan sumber daya yang tersedia menuntut perusahaaan
untuk menggunakan multi-strategi guna mempertahankan daya saing, dan kinerja
industri.
Penelitian ini menggunakan strategi fokus yang ditekankan pada strategi
pelayanan yang berbeda dengan strategi Porter yang strategi fokus hanya
ditekankan pada strategi diferensiasi atau strategi keunggulan biaya pada industri
tertentu dengan pasar tertentu (niche market). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa fokus strategi pelayanan berperan penuh dalam memediasi hubungan
persaingan industri yang dipicu oleh faktor-faktor eksternal industri dan kinerja
industri pendidikan tinggi di Timor-Leste. Penelitian ini mempertegas bahwa
160
kombinasi strategi yang dipilih oleh industri pendidikan tinggi tidak harus hanya
fokus pada strategi diferensiasi atau strategi keunggulan biaya, tetapi dapat
menggunakan kombinasi dengan strategi lain seperti strategi pengembangan
sumber daya dan kapabilitas organisasi dari teori resource based view (RBV). Hal
ini lebih diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa strategi
diferensiasi tidak signifikan memediasi hubungan persaingan industri dengan
industri pendidikan tinggi di Timor-Leste. Sebaliknya, inovasi yang berbasis pada
sumber daya dan kapabilitas industri pendidikan tinggi berperan penuh dalam
memediasi hubungan persaingan industri dan kinerja industri.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa strategi bisnis menjadi faktor
dominan dalam meningkatkan signifikasi hubungan persaingan industri yang
dipicu faktor eksternalitas dengan kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-
Leste. Faktor pendorong utama signifikasi hubungan persaingan industri dan
kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste adalah strategi fokus pelayanan,
inovasi dan strategi keunggulan biaya, sedangkan strategi diferensiasi tidak
signifikan memediasi hubungan kedua variabel tersebut.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa industri pendidikan tinggi di
Timor-Leste dapat menggunakan satu strategi sesuai dengan strategi Porter
(1980), maupun menggunakan strategi kombinasi (fokus pelayanan, inovasi, dan
strategi keunggulan biaya) untuk meningkatkan posisi bersaing dan kinerjanya.
Hal demikian sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa organisasi atau
perusahaan dapat menggunakan satu strategi ataupun kombinasi strategi untuk
meningkatkan daya saing dan kinerja industri pendidikan (Cadez and Guilding,
161
2012). Temuan penelitian ini juga sesuai dengan teori kontingensi bahwa industri
bisa mengadopsi strategi murni atau strategi kombinasi yang sesuai dengan
lingkungan industri pendidikan tinggi beroperasi. Maka, tidaklah relevan untuk
mempertentangkan antara strategi murni (pure strategy), atau strategi kombinasi
(combined strategy), namun konsiderasi paling utama adalah strategi yang dipilih
harus yang relevan dengan lingkungan industri untuk meningkatkan daya saing,
dan menjamin kesinambungan kinerja industri. Kombinasi strategi dapat membuat
industri pesaing sulit melakukan imitasi, karena sulit memprediksi strategi mana
yang memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan kinerja industri.
Keluwesan (flexibility) dalam mengadopsi strategi merupakan bagian dari teori
kontingensi yang membuat perusahaan atau organisasi lebih mudah menyesuaikan
strategi dengan dinamika, ketidakpastian, dan kompleksitas persaingan yang
diakibatkan oleh globalisasi dan liberalisasi perdagangan. Penelitian Camisón
and Villar López (2010) menunjukkan bahwa industri yang mengadopsi strategi
keluwesan (flexible strategy) berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
industri. Walaupun studi ini dilakukan pada industri manufaktur, namun dipercaya
ada relevansinya dengan industri jasa pendidikan tinggi, karena industri jasa
pendidikan tinggi juga menghadapi intensitas dan dinamika persaingan tinggi
yang memerlukan keluwesan dalam mengadopsi strategi untuk meningkatkan
daya saing dan kinerja.
Selanjutnya, pembahasan penelitian ini dilakukan terhadap hubungan antara
variabel sebagai berikut:
162
5.2.1 Pengaruh Persaingan Industri Terhadap Kinerja Industri Pendidikan
Tinggi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persaingan industri berpengaruh
positif tetapi tidak signifikan terhadap kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-
Leste. Dengan demikian peningkatan rivalitas persaingan industri pendidikan
tinggi di Timor-Leste yang dipicu oleh faktor eksternalitas atau yang disebut
Porter Five Competitive Forces (PFCF) tidak signifikan meningkatkan atau
menurunkan kinerja industri pendidikan tinggi yang diukur dari kinerja belajar
mengajar, penelitian, pelayanan masyarakat, serta keuangan dan pemasaran. Hal
demikian bisa terjadi karena dalam lingkungan dimana persaingan industri sangat
tinggi, para manajer industri pendidikan tinggi di Timor-Leste dapat mengelola
persaingan industri dengan baik untuk menghadapi ancaman eksternal. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Huang and Lee (2012) bahwa industri pendidikan tinggi
dapat mengelola ancaman eksternal dengan menempatkan posisi industri
pendidikan tinggi yang lebih baik untuk meningkatkan kinerja industri
pendidikan. Pengelolaan yang baik dapat dilakukan dengan melakukan kontrol
biaya dan efisiensi yang tinggi guna meningkatkan produktivitas (Du and Chen,
2010), melakukan inovasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan intangibility
yang membutuhkan biaya yang lebih rendah. Hal ini dikonfirmasi oleh Rektor
DIT, dan Rektor IOB Timor-Leste (Amaral, 2018; Soares, 2018).
Ada beberapa studi empiris yang mendukung hasil penelitian ini bahwa
persaingan industri berpengaruh positif terhadap kinerja industri (Hoque, 2011;
Lee and Yang, 2011; Al-Rfou, 2012; Ghasemi et al., 2015; Obembe and Soetan,
163
2015) karena dalam lingkungan di mana pasar sangat kompetitif, pengelola
industri pendidikan tinggi akan melakukan optimalisasi kegiatan untuk
menurunkan biaya, mengurangi risiko manajerial dan operasional, menyediakan
insentif untuk mengoptimalkan efisiensi dan mendorong inovasi (Januszewski,
2002; Du and Chen, 2010; Obembe and Soetan, 2015). Namun demikian, kontrol
biaya yang tinggi, dapat mendorong industri pendidikan tinggi dapat menurunkan
kualitas pelayanan sehingga berimplikasi pada lulusan yang dihasilkan berkualitas
rendah, dan tidak sesuai dengan tuntutan lapangan kerja. Hal ini, bisa dilihat juga
dari hubungan strategi diferensiasi dengan kinerja industri dalam penelitian ini, di
mana kompetensi pendidikan lulusan tinggi yang merupakan indikator dominan
pemicu strategi diferensiasi belum signifikan mempengaruhi kinerja industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste.
Hasil penelitian ini bertentangan dengan konsep Porter (1980) yang
menyatakan bahwa faktor eksternalitas industri yang diklasifikasikan dalam lima
dimensi yakni intensitas persaingan industri, ancaman pengganti, kekuatan tawar-
menawar pembeli, kekuatan tawar-menawar pemacok, dan ancaman masuk
pendatang baru berpengaruh negatif terhadap daya saing dan kinerja industri.
Hasil studi ini juga bertentangan dengan beberapa studi empiris sebelumnya yang
menunjukkan bahwa persaingan industri berpengaruh negatif terhadap kinerja
industri (Lee and Yang, 2011; Assaf and Cvelbar, 2011; Fosu, 2013; Mia and
Winata, 2014; Teller et al., 2016) karena persaingan yang tinggi akan membuat
beberapa perusahaan dapat kehilangan pangsa pasar karena masuknya pesaing
baru yang memiliki sumber daya dan strategi yang lebih baik. Demikian juga
164
industri yang memiliki sumber daya dan strategi yang terbatas untuk melakukan
inovasi, menciptakan produk, jasa, dan nilai baru untuk memenuhi perubahan
tuntutan kebutuhan pelanggan atau pasar.
Walaupun demikian, jika melihat hasil analisa dekriptif menunjukkan
faktor pendorong utama intensitas persaingan adalah pertumbuhan perguruan
tinggi. Peningkatan tersebut tidak seimbang dengan peningkatan jumlah
mahasiswa dan ketersediaan sember daya industri pendidikan tinggi untuk
menyediakan proses belajar dan mengajar yang baik. Kondisi ini menuntut
industri pendidikan tinggi bersaing ketat untuk mandapatkan mahasiswa, dan
sumber daya seperti tenaga dosen yang kompeten, dan fasilitas pengajaran yang
baik untuk menarik mahasiswa lebih banyak guna mempertahankan
susteinabilitas operasinya. Ketersediaan dosen berkompetensi tinggi dan fasilitas
pengajaran yang terbatas berpengaruh pada kinerja belajar dan mengajar dan
penelitian (Huang and Lee, 2012), dan pada gilirannya akan mempengaruhi
kinerja keuangan dan pemasaran.
Menurut teori resource-based view (RBV), jika organisasi yang memiliki
sumber daya dan kapabilitas yang terbatas akan berpengaruh negatif pada kinerja
industri pendidikan tinggi (Barney, 1991; Douglas et al., 2010; Dirisu et al.,
2013) karena sumber daya dan kapabilitas yang terbatas akan menyulitkan
industri pendidikan tinggi untuk membuat inovasi dan menghasilkan nilai baru,
dan menyediakan pelayanan yang baik. Demikian juga, jika memiliki sumber
daya dan kapabilitas yang baik, industri pendidikan tinggi Timor-Leste dapat
melakukan kegiatan-kegiatan penelitian dan konsultasi professional untuk
165
meningkatkan kinerja pengajaran (kepuasan mahasiswa, kepuasan industri, drop
out rate, dan alumni work absorption rate), penelitian (publikasi, seminar dan
penelitian berbasis bayar), pengabdian masyarakat (nilai tambah bagi masyarakat)
dan keuangan serta pemasaran (pertumbuhan pendapatan, profit, asset, dan pangsa
pasar) (Asif and Searcy, 2014). Hal ini, sesuai dengan pernyataan Bobe and Kober
(2015) bahwa industri yang mempunyai kapabilitas internal baik akan
menentukan daya saing dan kinerja industri tersebut.
5.2.2 Persaingan Industri dan Strategi Diferensiasi
Dalam sub-bagian ini bertujuan untuk membahas tentang pengaruh
persaingan industri terhadap strategi diferensiasi. Persaingan industri dapat
memicu industri pendidikan tinggi untuk mengembangkan keunikan agar
mempertahankan daya saing dan meningkatkan kinerja industri. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa persaingan industri pendidikan Tinggi di Timor-Leste
berpengaruh positif dan signifikan terhadap strategi diferensiasi. Dengan
demikian semakin tinggi persaingan industri yang dipicu pertumbuhan industri
pendidikan tinggi yang bersaing untuk mendapatkan dosen berkompetensi tinggi
dan mahasiswa, maka industri pendidikan tinggi di Timor-Leste dituntut untuk
mengembangkan perbedaan program studi, kualitas keahlian lulusan dan kualitas
pelayanan.
Hasil penelitian ini memperkuat strategi Porter (1980) bahwa semakin
tinggi persaingan industri yang dipicu faktor eksternalitas industri (PFCF),
pengelola industrinya lebih meningkatkan salah satu strategi yakni strategi
diferensiasi atau strategi keunggulan biaya untuk mempertahankan daya saing
166
industri. Hasil studi ini memperkuat juga beberapa studi empiris sebelumnya yang
menemukan bahwa persaingan industri berpengaruh positif terhadap diferensiasi
(Cohen and Mazzeo, 2004; Becerra et al., 2013; Kertiyasa et al., 2014; Banker et
al., 2014) karena perusahaan akan terdorong untuk membuat inovasi guna
menciptakan produk atau jasa baru dan bernilai bagi pelanggan guna menghindari
tekanan persaingan dan mempertahankan keberkelanjutan daya saing (Becerra et
al., 2013; Banker et al., 2014). Dalan konteks Timor-Leste, persaingan industri
yang tinggi membuat industri pendidikan tinggi mengadopsi strategi diferensiasi
yang berbasis pada perbedaan program studi, kualitas keahlian lulusan dan
kualitas pelayanan untuk meningkatkan kinerja industri, namun hasilnya tidak
signifikan.
Secara spesifik hasil studi ini menunjukkan bahwa program studi yang
merupakan salah satu produk industri jasa pendidikan menjadi pembeda untuk
mempertahankan kunggulan posisi bersaing dalam lingkungan industri yang
semakin kompetitif. Hal ini jika dijelaskan dengan dengan argumen Kim and
Mauborgne (2005), program studi industri pendidikan yang sama akan membuat
lulusan perguruan tinggi juga semakin tinggi dan melebihi tuntutan lapangan kerja
seiring dengan pertumbuhan industri pendidikan tinggi yang cepat. Maka industri
jasa pendidikan tinggi dapat menghindari persaingan tersebut dengan membuat
nilai baru yang dapat menurunkan biaya dan meningkatkan nilai bagi pelanggan
(mahasiswa) (Chang, 2010). Nilai baru dari program studi dihasilkan dari
pengembangan kurikulum, metode mengajar, evaluasi, dan pelayanan yang
berbeda, dinamis dan bernilai baru untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas
167
dengan nilai tambah yang tidak dimiliki oleh industri pendidikan tinggi-industri
pendidikan tinggi lain guna memenangkan persaingan pasar kerja. Walaupun
demikian, persaingan ini dapat dimenangkan oleh industri pendidikan tinggi yang
memiliki kemampuan untuk eksplorasi pasar baru pertama dengan injeksi lulusan
dengan keahlian tinggi sebagaimana dikatakan oleh Lindič et al. (2012).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam persaingan yang
tinggi, industri pendidikan tinggi dituntut untuk memiliki kemampuan untuk
menghasilkan lulusan berkeahlian tinggi. Demikian juga akan membuat kualitas
lebih baik yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja dapat membuat produk dari
industri pendidikan tinggi yang diukur dengan kualitas lulusan tinggi sesuai
dengan tuntutan pasar kerja yang sulit diimitasi oleh industri pesaing sejenis atau
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk diimitasi (Lindič et al., 2012; Banker
et al., 2014).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam lingkungan
persaingan industri pendidikan tinggi yang dipicu oleh faktor-faktor eksternal
seperti intensitas pertumbuhan industri pendidikan tinggi, dan persaingan untuk
mendapatkan dosen yang berkompetensi, faktor pelayanan yang baik dan berbeda
merupakan tuntutan utama untuk mempertahankan daya saing. Hal ini sesuai juga
dengan pernyataan Gebauer et al. (2011) bahwa dalam lingkungan industri yang
kompetitif, perusahan yang menggunakan pelayanan yang berbeda memiliki
posisi yang lebih baik untuk menghadapi perubahan dramatis kebutuhan
pelanggan.
Walaupun demikian, hasil penelitian ini bertentangan dengan beberapa
168
studi empiris sebelumnya yang menyatakan bahwa persaingan industri
berpengaruh negatif terhadap strategi diferensiasi (Parnell, 2011; Nandakumar et
al., 2011; Wu et al., 2015). Hal ini disebabkan industri pendidikan tinggi yang
mengadopsi strategi diferensiasi harus melakukan investasi untuk terus
melakukan inovasi dan menciptakan produk atau jasa baru yang berbeda, unik,
dan bernilai guna mempertahankan loyalitas pelanggan (Acquaah, 2011). Inovasi
produk baru yang bernilai unik dan sesuai kebutuhan pelanggan membutuhkan
anggaran besar, sehingga kurang memotivasi para manajer perusahaan
mengadopsi strategi diferensiasi (Aghion et al., 2005), terutama industri kecil dan
menengah yang kurang skala ekonomi, memiliki sumber daya terbatas dan ukuran
pasar yang kecil, dan mudah tergoncang dengan adanya perubahan pasar dan
lingkungan bisnis (Al-ansari et al., 2013).
Dalam intens persaingan tinggi antara industri pendidikan tinggi di Timor-
Leste mendorong industri pesaing melakukan imitasi produk, proses dan
pelayanan yang belum bisa dipatenkan sehingga dapat menurunkan daya saing
dan kinerja industri yang telah melakukan investasi besar untuk membuat inovasi
dan diferensiasi. Beberapa studi empiris memperkuat dengan menyatakan bahwa
industri yang menggunakan strategi diferensiasi produk, proses dan jasa memiliki
daya saing dan kinerja tinggi harus memiliki produk yang unik, bernilai, dan
berbeda dengan produk pesaing, sehingga pelanggan bisa membayar dengan harga
mahal (Allen et al., 2006). Jika perusahaan kompetitor berhasil melakukan imitasi
terhadap produk atau jasa yang dihasilkan, maka perusahaan yang mengadopsi
strategi diferensiasi dapat kehilangan daya saing dan profit dalam lingkungan
169
industri yang kompetitif (Furrer et al., 2008; Banker et al., 2014). Hal ini
disebabkan oleh perusahaan yang mengadopsi strategi diferensiasi hanya bisa
mempunyai daya saing tinggi jika produk yang dihasilkan unik, bernilai, dan
dapat menghasilkan profit (Nandakumar et al., 2011; Baroto et al., 2012; Banker
et al., 2014). Untuk mempertahankan daya saing dan meningkatkan kinerja,
industri pendidikan tinggi Timor-Leste tidak hanya mengembangkan diferensiasi
program studi, kelulusan tinggi dan kualitas pelayanan, namun sangat penting
untuk mengembangkan diferensiasi intagibilitas seperti yang dikatakan oleh Bobe
and Kober (2015) bahwa industri pendidikan tinggi harus mengembangkan
hubungan social yang unik diantara akademisi yang berbeda latar belakang dan
keahlian, manajer akademik, dan staf pendukung yang sulit diimitasi oleh industri
pendidikan tinggi yang lain. Hubungan relasional yang unik tersebut dapat
dikembangkan dalam konteks nilai budaya lokal (local wisdom) sebagai basis
pembeda untuk membangun reputasi industri pendidikan tinggi Timor-Leste.
5.2.3 Persaingan industri dan strategi keunggulan biaya
Dalam sub-bagian ini bertujuan untuk membahas tentang pengaruh
persaingan industri terhadap strategi keunggulan biaya (cost leadership strategy).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persaingan industri pendidikan tinggi di
Timor-Leste berpengaruh positif dan signifikan terhadap strategi keunggulan
biaya. Semakin tinggi persaingan industri pendidikan tinggi yang dipicu oleh
faktor eksternal menuntut manajemen industri pendidikan tinggi untuk
menetapkan biaya kuliah yang rendah, melakukan efisiensi, kontrol biaya, dan
pengetatan biaya.
170
Hasil ini senada dengan strategi generik Porter (1980) bahwa dalam
lingkungan industri yang kompetitif, perusahaan berupaya untuk menyediakan
produk dan jasa dengan biaya lebih rendah dari perusahaan pesaingnya untuk
menarik pelanggan dan memperoleh pangsa pasar (Porter, 1985; Banker et al.,
2014). Hasil penelitian ini juga menjustifikasi penelitian sebelumnya bahwa
strategi keunggulan biaya (cost leadership strategy) berpengaruh positif terhadap
kinerja industri (Parnell, 2011; Oyewobi et al., 2016) karena dalam lingkungan
industri yang bersaing ketat, industri pendidikan tinggi lebih berorientasi pada sisi
suplai dibandingkan dengan sisi permintaan pasar sehingga industri pendidikan
tinggi menjadikan perilaku kompetitornya sebagai orientasi utama dalam
pengembangan strategi bersaing (Baroto et al., 2012).
Dalam lingkungan industri yang bersaing ketat sekarang, industri
pendidikan tinggi Timor-Leste lebih berorientasi pada mahasiswa (pelanggan)
yang lebih menginginkan untuk mendapatkan gelar kesarjanaan (input demand),
dibandingkan dengan menawarkan kompetensi keahlian yang sesuai dengan
tuntutan pasar kerja (output atau end-user demand). Dengan merespons tuntutan
mahasiswa, industri pendidikan tinggi menawarkan biaya kuliah yang murah, dan
kelulusan yang cepat. Strategi ini diadopsi untuk menarik mahasiswa lebih
banyak, namun tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan.
Peningkatan kualitas pelayanan yang berbasis pada tanjibilitas (dosen, gedung,
ruangan, laboratorium, perpustakaan, teknologi pengajaran, dan kurikulum) dapat
meningkatkan biaya yang asimetris dengan strategi keunggulan biaya. Hal ini
terutama terjadi karena industri pendidikan tinggi Timor-Leste menghadapi
171
segmen pasar yang kecil tetapi jumlah pemain (industri pesaing) lebih banyak
yang membuat banyak industri pendidikan tinggi tidak mendapatkan input
mahasiswa yang sesuai dengan daya tampung. Ini yang disebut oleh Baack and
Boggs (2008) bahwa strategi keunggulan biaya cocok untuk diadopsi industri
pada pasar yang sesnsitif terhadap harga, tetapi jika pemain terlalu banyak maka
profit yang diperoleh tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan.
Industri pendidikan tinggi mengadopsi strategi keunggulan biaya dengan
yang tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan karena dalam jangka
pendek industri pendidikan tinggi Timor-Leste menghadapi dilema antara
menyediakan diferensiasi kompetensi output dan kualitas pelayanan yang tinggi
yang berbiaya mahal yang asimetris dengan keinginan untuk mempertahankan
kesinambungan operasional (operational sustainability). Implikasinya industri
pendidikan tinggi menurunkan kualitas pelayanan untuk mempertahankan
keberkelanjutan operasinya yang berakibat pada produk industri pendidikan tinggi
tidak mendapatkan respons yang optimal dari end-user atau outputnya tidak
sesuai dengan tuntutan industri (input and output demand gap). Kondisi ini dapat
menurunkan reputasi industri pendidikan tinggi dan memberikan beban social dan
ekonomi kepada masyarakat dan pemerintah.
5.2.4 Persaingan Industri dan Strategi Fokus Pelayanan
Dalam sub-bagian ini bertujuan untuk membahas tentang pengaruh
persaingan industri terhadap strategi fokus pelayanan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa persaingan industri bepengaruh positif dan signifikan
terhadap strategi fokus pelayanan. Hal ini menunjukkan bahwa pada intensitas
172
persaingan industri yang tinggi, industri pendidikan tinggi Timor-Leste lebih
memilih strategi fokus pelayanan yang berbasis pada dosen kompeten yang selalu
membantu mahasiswa (FS1), fasilitas pengajaran sesuai harapan mahasiswa (FS2),
melayani mahasiswa berbasis kualitas jasa (FS3), tanggap dalam melayani
permintaan mahasiswa (FS4), dan memberikan perhatian yang baik kepada semua
mahasiswa (FS5) untuk mempertanhakan daya saing.
Hasil penelitian ini simetris dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa
persaingan industri berhubungan positif terhadap strategi pelayanan. Semakin
tinggi persaingan akan mendorong organisasi industri untuk meningkatkan
strategi pelayanan sehingga memberikan kepuasan kepada pelanggan (Paul et al.,
2016). Banyak studi empiris yang menunjukkan bahwa peningkatan persaingan
industri, organisasi harus menyesuaikan produk, jasa, dan strategi pelayanannya
sesuai dengan perubahaan tuntutan dan kepuasan pelanggan (Bamert and Wehrli,
2005; Bambauer-Sachse and Rabeson, 2015). Dengan demikian, organisasi yang
memberikan pelayanan lebih baik dan berkualitas dapat menjadi kekuatan
pembeda dengan organisasi industri pesaingnya guna memberikan kepuasan dan
mempertahankan pelanggan (Bamert and Wehrli, 2005).
Walaupun demikian, studi ini berbeda dengan beberapa kajian sebelumnya
bahwa persaingan industri berpengaruh negatif terhadap fokus pelayanan (Neely,
2008; Jamal, 2009) karena keterbatasan sumber daya dan strategi dari organisasi
industri. Jika sebuah organisasi memiliki sumber daya terbatas, kemudian
menggunakan sumber daya terbatas yang ada untuk mengembangkan inovasi
pelayanan untuk menghadapi intens persaingan industri dapat membahayakan
173
keberkelanjutan pendapatan. Kondisi demikian, membuat para manajer sulit
mengadopsi strategi pelayanan baru dalam lingkungan industri yang kompetitif.
Namun demikian, hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya yang dapat juga disebabkan oleh perbedaan instrumen pengukuran
kualitas pelayanan. Hal demikian bisa dijustifikasi oleh Firdaus (2006), Gruber et
al. (2010), Faganel (2010) karena adanya perbedaan preferensi antara
stakeholders terhadap kualitas pelayanan (Gruber et al., 2010), perbedaan jenis,
ukuran dan lingkungan dimana industri beroperasi.
5.2.5 Persaingan industri dan inovasi
Dalam sub-bagian ini bertujuan untuk membahas tentang pengaruh
persaingan industri terhadap strategi keunggulan biaya (cost leadership strategy).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persaingan industri berpengaruh positif
dan signifikan terhadap inovasi. Inovasi tersebut secara dominan dipicu oleh
kurikulum, metode belajar dan mengajar serta teknologi yang mendukung
pengajaran. Studi ini memperkuat hasil studi sebelumnya bahwa persaingan
industri berpengaruh positif dengan inovasi (Boss et al., 2009; Hopman et al.,
2010; Bos et al., 2013; Aghion et al., 2014) karena peningkatan persaingan
berimplikasi pada peningkatan penelitian dan pengembangan bagi industri sejenis
yang saling bersaing (Aghion et al., 2005; Aghion et al., 2014). Namun demikian,
inovasi yang berbasis pada faktor intagibilitas, kualitas pelayanan, nilai budaya
dan intimasi sumber daya manusia dengan pelanggan menghasilkan produk dan
hasil yang lebih murah tetapi sulit diimitasi industri pesaing. Hal ini relevan
dengan industri pendidikan tinggi Timor-Leste yang memiliki sumber daya
174
terbatas, namun melakukan kreativitas dan inovasi dibidang program studi,
kurikulum, dan pelayanan, namun mudah diimitasi industri pesaing sejenis karena
tiadanya perlindungan regulasi dan hukum.
Walaupun demikian, temuan penelitian ini bertentangan dengan beberapa
studi sebelumnya bahwa semakin tinggi persaingan industri, semakin kurang
inovasi, pertumbuhan juga berkurang, karena perusahaan lebih banyak
menggunakan sumber daya nya untuk mendapatkan pendapatan untuk
mempertahankan operasi dalam jangka waktu pendek, dibandingkan dengan
sumber dayanya digunakan untuk membuat inovasi guna mendapatkan
keuntungan dalam jangka waktu yang lebih lama (Hopman et al., 2010). Hsu et
al. (2014) menyatakan bahwa proses inovasi bukan saja lama dan tidak dapat
diprediksi, tetapi juga resiko kehilangan profit juga besar. Hal ini diperkuat oleh
temuan Cornaggia et al. (2015) yang menyatakan bahwa peningkatan persaingan
akan menyebabkan penurunan hasil inonvasi (innovation output) pada bank-bank
pemerintah, tetapi meningkatkan hasil inovasi di bank-bank swasta. Demikian
juga, kompetisi tinggi kurang mendorong perusahaan yang sumber daya terbatas
(laggerd firms) untuk membuat inovasi (Aghion et al., 2005). Menurut teori RBV,
organiasi industri harus memiliki sumber daya, dan kapabilitas untuk melakukan
inovasi guna menghasilkan produk yang bernilai bagi pelanggan. Realitanya
banyak organisasi kecil yang memiliki sumber daya dan kapabilitas terbatas untuk
membuat inovasi, sehingga persaingan semakin tinggi akan berimplikasi pada
penurunan kemampuan bersaing organisasi industri kecil (Silva et al., 2017).
175
5.2.6 Strategi diferensiasi dan kinerja industri
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi diferensiasi berpengaruh
positif tetapi tidak signifikan terhadap kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-
Leste. Industri pendidikan tinggi di Timor-Leste memilih strategi diferensiasi
program studi, kualitas keahlian lulusan, dan kualitas pelayanan. Ini berarti
program studi, kualitas keahlian dan pelayanan industri pendidikan tinggi Timor-
Leste tidak signifikan berpengaruh terhadap kinerja industri dalam lingkungan
intensitas persaingan tinggi yang dipicu oleh faktor-faktor eksternal industri.
Ketidaksignifikasian pengaruh strategi diferensiasi pada kinerja industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste dapat disebabkan juga oleh: 1) Banyak
pengelola perguruan tinggi juga menjadi pengelola perguruan tinggi lain baik
sebagai dosen, maupun sebagai pengurus yayasan yang bertanggungjawab untuk
mengesahkan rencana strategi industri pendidikan tinggi sehingga dapat
melakukan imitasi produk dan pelayanan; 2) Belum ada atau belum maksimalnya
penghargaan terhadap karya kreativitas dan inovasi yang dilindungi oleh legislasi
yang baik, diterapkan secara tegas dan konsisten sehingga memicu industri
pendidikan tinggi saling imitasi produk dan pelayanan. 3) Belum tegas
implementasi regulasi pendirian perguruan tinggi dan program studi baru, ijin
operasional perguruan tinggi, dan pemenuhan standar akreditasi industri
pendidikan tinggi yang berimplikasi pada peningkatan jumlah perguruan tinggi
dan duplikasi program studi, imitasi metode, dan proses pelayanan. 4) Industri
pendidikan tinggi Timor-Leste lebih menonjolkan perbedaan tanjibilitas seperti
program studi, kurikulum, dosen bergelar master (S2), dan doktor (S3), serta
176
fasilitas yang mudah diimitasi industri sejenis yang menjadi kompetitor.
Sebaliknya Sharma (2017) menyatakan industri pendidikan tinggi lebih baik
menonjolkan perbedaan pada dimensi intanjibilitas sehingga sulit diimitasi oleh
industri kompetitor. Faktor intajibilitas tersebut dapat dilakukan seperti hubungan
kompleks antara sivitas akademika, cara belajar dan mengajar, reputasi penelitian
(Bobe and Kober, 2015), dan keterlibatan emosi pelanggan (mahasiswa) (Carter
and Yeo, 2016) sehingga sulit diimitasi oleh industri pesaing.
Hasil penelitian ini memperkuat penelitian Nandakumar et al. (2011) dan
Wu et al. (2015) bahwa diferensiasi tidak signifikan berpengaruh atau
berpengaruh negatif terhadap kinerja perusahaan. Hal ini, disebabkan oleh strategi
diferensiasi berhubungan dengan resiko besar yang berpengaruh terhadap
instabilitas kinerja. Porter (1980) menyatakan bahwa dalam membuat diferensiasi,
perusahaan tidak hanya mengandalkan diferensiasi produk dan jasa yang unik dan
sulit diimitasi, tetapi juga produk atau servis tersebut harus memenuhi ekspektasi
pelanggan (Newton et al., 2015). Banker et al. (2014) memperkuatnya dengan
menyatakan dalam mengadopsi strategi diferensiasi perusahaan mengandalkan
pada sumber daya yang unik dan langka serta tidak dapat atau sulit diimitasi oleh
perusahaan lain. Jika perusahaan lain dapat meniru produk tersebut, dan
perusahan tetap investasi pada sumber daya tersebut, maka perusahaan hanya
dapat mempertahankan daya saing pada jangka pendek, namun kehilangan daya
saing pada jangka panjang.
Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan beberapa studi empiris
sebelumnya bahwa strategi diferensiasi berpengaruh positif dan signifikan
177
terhadap kinerja industri (Spencer et al., 2009; Lozano-Vivas, 2009; Parnell,
2010; Acquaah, 2011; Dirisu et al., 2013; Torres et al., 2014; Newton et al., 2015;
Banker et al., 2014; Martins and Queirós, 2015; Pehrsson, 2016; Yuliansyah et
al., 2016). Perbedaan hasil studi ini dapat disebabkan oleh: 1) Studi ini dilakukan
pada industri pendidikan tinggi dengan indikator, dan lingkungan yang berbeda.
Pada penelitian ini strategi diferensiasi menggunakan perbedaan program studi,
kompetensi lulusan tinggi, dan kualitas pelayanan. Demikian juga kinerja industri
diukur dengan menggunakan tiga dimensi perguruan tinggi (pendidikan,
penelitian, dan pelayanan masyarakat), dan kinerja keuangan, dan pemasaran yang
kebanyakan berbeda dengan indikator-indikator industri manufaktur. Sebaliknya
studi sebelumnya kebanyakan dilakukan pada industri manufaktur menggunakan
indikator-indikator yang berbeda dengan industri jasa pendidikan tinggi. 2) Studi-
studi sebelumnya kebanyakan dilakukan di Negara-negara maju sehingga produk
dan layanan jasa dapat dipatenkan sehingga sulit diimitasi industri pesaing karena
adanya undang-undang perlindungan hak cipta. Sebaliknya di Timor-Leste,
produk dan layanan industri pendidikan tinggi mudah diimitasi oleh industri
pesaing karena belum adanya penghargaan terhadap kreasi akademik dan legislasi
tentang hak cipta dan paten. 3) Diferensiasi industri pendidikan tinggi Timor-
Leste lebih banyak difokuskan pada dimensi tanjibilitas seperti program studi,
kualitas pelayanan yang berbasis pada dosen bergelar doktor dan master, dan
fasilitas sehingga mudah diimitasi oleh industri pesaing.
5.2.7 Strategi keunggulan biaya dan kinerja industri
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi keunggulan biaya (cost
178
leadership strategy) berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste. Dengan demikian, industri pendidikan tinggi
Timor-Leste melakukan efisiensi biaya, biaya operasional rendah, dan
menetapkan biaya kuliah per mahasiswa rendah guna mempertahankan kinerja
belajar dan mengajar, kinerja penelitian, kinerja pelayanan masyarakat, dan
kinerja keuangan dan pemasaran.
Hal diatas dapat disebabkan oleh pertumbuhan industri yang tinggi, dan
keterbatasan sumber daya seperti sumber daya manusia, keuangan, teknologi dan
manajer berkompetensi tinggi membuat persaingan industri semakin tinggi
mendapatkan sumber daya yang terbatas tersebut. Demikian juga dengan tingkat
pertumbuhan industri pendidikan dan duplikasi program studi yang tinggi
memberikan banyak pilihan kepada mahasiswa, maka industri pendidikan tinggi
lebih memilih untuk mengadopsi strategi keunggulan biaya untuk menarik
mahasiswa lebih banyak. Walaupun demikian, industri pendidikan tinggi yang
memilih strategi keunggulan biaya dapat mengorbankan kualitas, dan reputasi,
jika jumlah mahasiswa dibawah daya tampung perguruan tinggi sehingga tidak
mendapatkan pendapatan yang cukup untuk menutup biaya yang dikeluarkan. Hal
ini sesuai dengan argumen Porter (1980), dan Baack and Boggs (2008) bahwa
industri yang mengadopsi strategi keunggulan biaya harus memiliki pelanggan
banyak, dan pelanggan menuntut produk dan layanan yang ada sensitif terhadap
harga. Hal ini membutuhkan sumber daya cukup yang seringkali tidak dapat
dijangkau oleh industri pendidikan tinggi yang memiliki sumber daya terbatas.
Hasil penelitian ini memperkuat hasil studi empirik sebelumnya yang
179
menemukan bahwa strategi keunggulan biaya berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kinerja industri (Allen and Helms, 2006; Banker et al., 2014; Indounas,
2015; Wu et al., 2015; Oyewobi et al., 2016). Hal ini disebabkan oleh strategi
harga berhubungan dengan strategi biaya sehingga dengan biaya produksi,
produksi dan pelayanan yang efisien dan murah membuat industri dapat
menawarkan produk dan jasa yang murah sesuai dengan kebutuhan pelanggan
yang berimplikasi pada peningkatan pangsa pasar. Walaupun demikian, hasil
penelitian ini berbeda dengan studi Yuliansyah et al. (2016) yang menunjukkan
bahwa strategi keunggulan biaya berpengaruh negatif terhadap kinerja industri.
Perbedaan hasil ini disebabkan karena penelitian ini dilakukan pada industri jasa
pendidikan tinggi Timor-Leste, sebaliknya penelitian Yuliansyah et al. (2016)
dilakukan di industri jasa perbankan di Indonesia. Demikian juga perbedaan jenis
industri berimplikasi juga pada indikator-indikator yang digunakan untuk variabel
strategi keunggulan biaya, dan kinerja industri yang berbeda.
5.2.8 Strategi fokus pelayanan dan kinerja industri
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi fokus pelayanan
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja industri pendidikan tinggi di
Timor-Leste. Dengan demikian, industri pendidikan tinggi Timor-Leste
mengadopsi strategi fokus pelayanan berbasis pada dosen kompeten yang selalu
siap membantu mahasiswa, fasilitas pengajaran sesuai harapan mahasiswa,
pelayanan berbasis kualitas jasa, tanggap dalam melayani permintaan mahasiswa,
dan memberikan perhatian kepada semua mahasiswa dapat meningkatkan kinerja
industri.
180
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor intanjibilitas seperti dosen
yang kompeten yang selalu membantu mahasiswa, pelayanan berbasis kualitas
jasa, selalu tanggap, dan memberikan perhatian kepada mahasiswa menjadi faktor
determinan dalam industri jasa pendidikan tinggi. Kompetensi dosen, staf
administrasi, dan manajer yang baik diukur dari pengetahuan (knowledge),
ketrampilan (skills), perilaku (behavior), dan nilai (values) menjadi fundamen
dalam proses implementasi strategi fokus pelayanan industri jasa pendidikan
tinggi. Integrasikan keempat dimensi kompetensi tersebut akan membuat dosen,
staf, administrasi, dan manajer menjadi sumber daya dan kapabilitas yang
bernilai, unik untuk mempertahankan keunggulan bersaing dan kinerja dalam
lingkungan industri yang sangat dinamis, kompleks, tidak pasti, dan kompetitif.
Hal ini disebakan kompetensi interpersonal sulit diimitasi oleh industri pesaing.
Fokus pelayanan industri pendidikan tinggi di Timor-Leste harus
berorientasi pada hubungan baik dan resiprokal antara dosen, staf administrasi,
dan manajemen dengan mahasiswa, dan juga terus meningkatkan kompetensi
dosen, staf administrasi, dan manajemen untuk menjawab dan menyelesaikan
masalah mahasiswa sebagai pelanggan dengan cepat, tepat dan efektif sesuai
dengan rekomendasi Chui et al. (2016). Dalam konteks demikian, industri
pendidikan tinggi perlu merubah paradigma bahwa “dosen adalah raja”, paling
tahu, bos, dan penentu nasib mahasiswa, sebaliknya mahasiswa adalah “orang
tidak tahu”, ketergantungan pada dosen, anak buah, dan memiliki obligasi untuk
menunggu dosen. Mahasiswa perlu keterbukaan, dihargai, dan dihormati dalam
proses belajar dan mengajar. Kreasi lingkungan kampus yang berbasis pada
181
kemitraan dan kesetaraan dapat menyebabkan kedekatan mahasiswa dengan
dosen, mahasiswa dengan institusi sehingga meningkatkan kepuasan mahasiswa
kepada dosen dan institusi. Hal tersebut, menurut Bayerlein (2015), membuat
mahasiswa lebih otonom dan bertanggungjawab karena dalam pengembangan
sistem akademik dewasa ini, dosen bukan lagi menjadi faktor yang lebih dominan
sebagai sumber pengetahuan.
Pelayanan berbasis pada kemitraan dan kesetaraan dosen, staf
administrasi, manajemen dengan mahasiswa dalam industri jasa pendidikan tinggi
Timor-Leste dapat menciptakan lingkungan industri pendidikan tinggi yang
bersahabat, dan kemauan dan keterbukaan untuk melayani, sehingga dapat secara
resiprokal memenuhi ekspektasi, baik pengelola industri pendidikan tinggi,
maupun mahasiswa. Hal mana diperkuat oleh de Jager and Gbadamosi (2013),
produk dan layanan yang disediakan oleh industri pendidikan tinggi harus
memenuhi ekspektasi mahasiswa sebagai pelanggan utama.
Hubungan kesetaraan dan kemitraan mahasiswa, dosen, staf administrasi
dari industri pendidikan tinggi sangat bagus ditradisikan karena tiga hal: 1) tidak
ada kesenjangan mahasiswa, dosen, dan staf administrasi sehingga mudah terjadi
komunikasi yang berimplikasi pada mahasiswa betah, rajin belajar, memahami
materi, dan nilai akan baik, sehingga meningkatkan kepuasan mahasiswa, dan
meningkatkan jumlah lulusan; 2) pelayanan berbasis kemitraan dan kesataraan
merupakan aspek intanjibilitas yang dikembangkan secara internal dalam institusi
pendidikan tinggi sebagai budaya organisasi sehingga sulit diimitasi oleh industri
pesaing; 3) keterbatasan sumber daya untuk mengembangkan aspek tanjibilitas,
182
strategi pelayanan berbasis pada kemitraan dan kesetaraan dalam hubungan
resiprokal antara stakeholders merupakan aspek intanjibilitas yang lebih efektif
yang diukur dengan output (jumlah lulusan, pemahaman materi, nilai, kepuasan
mahasiswa), dan biaya. Hal ini disebabkan hubungan tersebut tidak harus
memerlukan biaya besar dibandingkan aspek tanjibilitas dari dimensi pelayanan
seperti jumlah dosen, fasilitas dan teknologi pengajaran yang membutuhkan
investasi keuangan yang lebih signifikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Storey
and Hull (2010) bahwa peningkatan pelayanan baik perlu didukung dengan
lingkungan industri inovatif baik yang diciptakan dengan memberikan ruang
komunikasi dan ide terbuka yang didukung oleh manajemen organisasi.
Hasil penelitian ini simetris dengan hasil penelitian studi sebelumnya yang
menemukan bahwa kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap kinerja
industri yang diukur dengan berbagai dimensi. Integrasi pelayanan berpengaruh
positif terhadap kinerja perusahaan yang diukur dengan return on sales (ROS)
(Kwak and Kim, 2016), kepuasan pelanggan (Juga et al., 2010; Jain et al., 2011;
Annamdevula and Bellamkonda, 2016; Meesala and Paul, 2018; Farooq et al.,
2018), dan komitmen pelanggan (Izogo, 2017). Hal ini disebabkan bahwa fokus
strategi pelayanan menjadi salah satu faktor determinan bagi kesuksesan
perusahaan dalam lingkungan industri yang sangat kompetitif karena kualitas
pelayanan berhubungan erat dengan profit, penghematan biaya (cost saving),
pangsa pasar (market share), dan kepuasan pelanggan (Jain et al., 2011).
Kesamaan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelayanan berbasis pada aspek
intanjibilitas tetap menjadi faktor dominan baik dalam industri jasa maupun
183
industri manufaktur. Walaupun demikian, pendekatan pelayanan intajibilitas dapat
disesuaikan dengan kondisi budaya dan lingkungan industri masing-masing
Negara.
Hasil penelitian ini berlawanan dengan hasil studi Neely (2008;), dan
Jamal (2009) yang menemukan bahwa kualitas pelayanan berpengaruh negatif
terhadap kinerja industri karena pelayanan baik membutuhkan sumber daya
manusia, teknologi dan biaya investasi tinggi untuk memberikan kepuasan kepada
pelanggan sehingga berimplikasi pada penurunan profitabilitas, net profit rate,
dan daya saing industri (Neely 2008). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh
penelitian Neely (2008;), dan Jamal (2009) lebih fokus pada dimensi tanjibilitas
pelayanan yang membutuhkan biaya, dan mengabaikan aspek intajibilitas dalam
fokus strategi pelayanan yang menjadi faktor penting dalam industri jasa
pendidikan tinggi. Perbedaan hasil ini juga dapat dipicu oleh perbedaan jenis
industri sebagai obyek penelitian. Penelitian ini lebih fokus pada industri jasa
pendidikan tinggi yang interaksi antara pelanggan (mahasiswa) lebih dominan,
dibandingkan dengan industri manufaktur yang mengutamakan kualitas produk
fisik (tangible), dan dimensi pelayanan hanya sebagai aspek komplementer.
Demikian juga penelitian Neely (2008;), dan Jamal (2009) di Negara-
negara maju sehingga membutuhkan kecepatan dan ketepatan dalam pelayanan
yang berbasis pada teknologi. Hal demikian membutuhkan investasi biaya yang
signifikan dalam teknologi pendukung pelayanan (human and technology
interface) yang meningkatkan kinerja yang diukur dengan net profit. Sebaliknya,
strategi pelayanan di negara-negara sedang berkembang seperti Timor-Leste lebih
184
dominan berorientasi pada interaksi antar manusia (human-human interface)
(Khudri and Sultana, 2015). Oleh karena itu, kedekatan, intimasi, keterbukaan,
dan keramah-tamahan (hospitality) menjadi faktor utama dalam sistem pelayanan
industri jasa pendidikan tinggi. Di Negara-negara sedang berkembang, sistem
pelayanan dipengaruhi oleh interaksi, intimasi, budaya komunalitas lebih tinggi,
dan menjiwai strategi pelayanan. Sebaliknya, budaya pelayanan di negara-negara
barat lebih berbasis pada teknologi dan individualistik.
5.2.9 Strategi inovasi dan kinerja industri
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi inovasi berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste.
Dengan demikian, industri pendidikan tinggi di Timor-Leste mengadopsi strategi
inovasi yang berbasis pada inovasi kurikulum, metode belajar dan mengajar,
teknologi pendukung belajar dan mengajar untuk meningkatkan kinerja belajar
mengajar, kinerja penelitian, kinerja pelayanan masyarakat, kinerja keuangan dan
pemasaran. Semakin tinggi inovasi maka semakin tinggi kinerja industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste.
Temuan ini searah dengan penelitian Bayerlein (2015) bahwa inovasi
kurikulum sangat mendesak untuk dilakukan agar mengurangi kesenjangan antara
praktik pengajaran yang tidak relevan dengan dinamika tuntutan industri.
Integrasikan pengetahuan teknis dan kemampuan lunak (soft skills) mahasiswa
yang sesuai dengan tempat kerja industri (industrial work place) merupakan basis
inovasi kurikulum dari industri pendidikan tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengkombinasikan pendidikan formal dan pengetahuan dan pengalaman nyata
185
yang diperoleh mahasiswa dari pengalaman kerja (Bjornali and Støren, 2012).
Kurikulum baik yang ditunjang dengan metode belajar dan mengajar yang baik
dan inovatif berbasis pada konten yang relevan dengan industri, dan interaksi
resiprokal antara dosen dan mahasiswa mempercepat internalisasi konten
pendidikan yang selanjutnya dapat memberikan pengetahuan yang sesuai dengan
kebutuhan industri. Jika industri pendidikan tinggi memiliki kurikulum, metode
belajar dan mengajar, teknologi pengajaran yang baik, inovatif, dan sesuai dengan
tuntutan industri dapat meningkatkan kualitas lulusan, dan kepuasan, serta
mendukung reputasi dan brand industri pendidikan tinggi yang pada gilirannya
meningkatkan kinerja industri.
Studi ini memperkuat hasil-hasil studi empiris sebelumnya yang
menemukan bahwa strategi inovasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja industri (Li et al., 2010; Jaskyte, 2011; Zehir et al., 2011; Uzkurt et al.,
2013; Babkin et al., 2015; Leal-rodríguez et al., 2015; Obembe and Soetan, 2015;
Al-ansari et al., 2013; Acar and Acar, 2012; Altuntaş et al., 2013; Camison and
Villar-Lopez, 2014; Anning-Dorson, 2017; Aboelmaged, 2018; Ramanathan et
al., 2018) karena inovasi akan menghasilkan produk, proses, layanan dan nilai
yang berbeda dan sulit diimitasi oleh pesaing industri sejenis dalam lingkungan
industri yang dinamik dan turbulen (Li and Mitchell 2009; Rosenbusch et al.,
2011; Leal-rodríguez et al., 2015). Inovasi juga bisa dilakukan terhadap proses
dan pelayanan guna menurunkan biaya yang berimplikasi pada peningkatan
kinerja industri (Hilman and Kaliappen, 2015). Temuan penelitian ini
menunjukkan bahwa baik industri jasa maupun industri manufaktur menempatkan
186
inovasi sebagai fokus pengembangan daya saing dan kinerja industri dalam
lingkungan industri yang bersaing ketat.
Industri pendidikan tinggi Timor-Leste harus melakukan inovasi yang
bersifat intanjibilitas yang berbasis pada hubungan antara manusia. Jika interaksi
antara manusia dalam lingkup kampus yang baik, dapat meningkatkan kedekatan
(intimasi), dan kepuasan civitas akademika yang pada akhirnya meningkatkan
kinerja industri jasa pendidikan tinggi. Inovasi hubungan intajibilitas tersebut
lebih murah, dibandingkan dengan inovasi tanjibilitas yang membutuhkan biaya
yang lebih besar karena inovasi tanjbilitas berbasis teknologi dan fasilitas lebih
mahal dibandingkan dengan inovasi pelayanan (intimasi, interaksi manusia,
kebijaksanaan, dan kemauan untuk saling menerima dan terbuka). Hal demikian
akan membuat mahasiswa sebagai pelanggan utama (main costumer) akan betah
di kampus, dan berbicara baik tentang kampus sebagai bentuk promosi kampus
dengan menggunakan kata-kata (word-of mouth).
Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan beberapa studi sebelumnya
yang menyatakan bahwa inovasi berpengaruh negatif terhadap kinerja (Loof and
Heshmati, 2002; Vermeulen et al., 2005; Hashi and Stojčić, 2013; Guisado-
González et al., 2013; Campo et al., 2014; Im et al., 2015; Mir et al., 2016, Hu et
al., 2017; Kocak et al., 2017) karena dalam lingkungan industri yang bersaing
ketat, industri membutuhkan sumber daya dan kapabilitas, frekuensi perubahan
produk, dan layanan utama. Dengan demikian, industri didorong untuk melakukan
penelitian, dan pengembangan produk, layanan, serta pemasaran yang
berimplikasi pada biaya dan meningkatkan risiko bagi organisasi industri
187
(Soltanizadeh et al., 2016). Bagi organisasi, dan perusahaan yang memiliki
sumber daya terbatas, inovasi yang berbasis pada aspek tanjibilitas memerlukan
dana besar yang dapat berimplikasi negatif terhadap kontinuitas operasinya.
5.2.10 Persaingan industri, strategi diferensiasi, dan kinerja industri
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi diferensiasi tidak
berperan signifikan dalam memediasi hubungan antara persaingan industri, dan
kinerja industri pendidikan tinggi. Hal ini berarti bahwa dalam lingkungan
industri pendidikan tinggi yang bersaing ketat, strategi diferensiasi yang berbasis
pada perbedaan program studi, kualitas kelulusan, dan kualitas pelayanan tidak
berpengaruh signifikan untuk meningkatkan kinerja industri pendidikan tinggi
yang diukur dari empat dimensi yakni kinerja belajar mengajar, kinerja penelitian,
kinerja pelayanan sosial, serta kinerja keuangan dan pemasaran.
Hal diatas dapat terjadi karena Timor-Leste memiliki banyak perguruan
tinggi dengan sumber daya terbatas, belum ada legislasi untuk mengatur hak
paten, dan hak-hak intelektual sehingga perguruan tinggi mudah melakukan
imitasi terhadap produk dan layanan dari perguruan tinggi-perguruan tinggi lain.
Ini sesuai dengan argumen Porter (980), dan Banker et al. (2014) bahwa industri
yang mengadopsi strategi diferensiasi harus memiliki sumber daya yang unik dan
langka serta sulit diimitasi oleh industri pesaing. Jika industri pesaing dapat
meniru produk dan layanan tersebut, maka industri akan kehilangan daya saing
pada jangka panjang. Selain itu, diferensiasi program studi, kualitas keahlian dan
pelayanan lebih difokuskan pada masalah tanjibilitas seperti gedung, dosen
bergelar master, dan kurikulum yang mudah dilihat, diketahui, dan diimitasi oleh
188
industri pesaing. Demikian juga dengan banyaknya perguruan tinggi di Timor-
Leste memungkinkan mahasiswa memiliki banyak pilihan, sehingga produk dan
layanan yang tersedia menjadi tidak langka, tidak unik dan mengalami degradasi
nilai bagi pelanggan sehingga industri pendidikan tinggi sulit menetapkan harga
yang tinggi (premium price) bagi pelanggan. Hal ini sesuai dengan argumen
bahwa diferensiasi tidak hanya mengandalkan produk dan layanan yang berbeda,
tetapi produk dan layanan tersebut harus berkualitas langka dan bernilai bagi
pelanggan (Porter, 1985; Kaya, 2015).
Hasil penelitian ini berbeda dengan konsep Porter (1980), bahwa strategi
diferensiasi dapat meningkatkan daya saing dan kinerja perusahaan dalam
lingkungan industri yang bersaing ketat (Porter, 1980; Porter, 1985; Porter, 1991).
Dalam kondisi ini, industri pendidikan tinggi terus fokus untuk mengembangkan
produk atau jasa yang baik untuk memberikan kualitas unik yang dapat
memuaskan pelanggan sehingga produk atau jasa tersebut mendapatkan harga
tinggi (Banker et al., 2014). Ada beberapa studi empiris yang membuktikan
strategi diferensiasi berpengaruh positif terhadap kinerja industri dalam
lingkungan industri yang kompetitif (Spencer, 2009; Lozano-Vivas, 2009;
Acquaah, 2011; Dirisu et al., 2013; Banker et al., 2014; Newton et al., 2015).
Studi ini juga searah dengan penelitian Zehir et al. (2015) bahwa strategi
diferensiasi berperan signifikan dalam memediasi hubungan antara orientasi
kewirausahaan dan kinerja organisasi.
189
5.2.11 Persaingan industri, strategi keunggulan biaya, dan kinerja industri
Strategi keunggulan biaya (cost leadership strategy) berpengaruh
signifikan dalam memediasi hubungan antara persaingan industri dan kinerja
industri pendidikan tinggi Timor-Leste. Hal ini berarti efisiensi biaya, biaya
operasional rendah, dan biaya kuliah per mahasiswa rendah dapat memediasi
hubungan antara persaingan industri dengan kinerja industri pendidikan tinggi
Timor-Leste yang diukur dengan kinerja belajar dan mengajar, kinerja penelitian,
kinerja pelayanan masyarakat, dan kinerja keuangan dan pemasaran.
Strategi keunggulan biaya (cost leadership strategy) adalah strategi
perusahaan untuk menyediakan produk dan jasa dengan biaya lebih rendah dari
perusahaan pesaingnya untuk menarik pelanggan dan memperoleh pangsa pasar
(Porter, 1985; Banker et al., 2014). Perusahaan yang menggunakan cost
leadership lebih fokus untuk mengembangkan produk, jasa dan proses dengan
memaksimalkan efisiensi operasi (Banker et al., 2014) sehingga melakukan
kontrol dan pengetatan biaya dalam semua tingkatan operasi agar unggul atas
pesaingnya guna mempertahankan daya saing dan meningkatkan kinerja (Porter,
1985; Baroto et al., 2012; Miles, 2013). Cost leadership berperan penting dalam
meningkatkan kinerja industri dalam lingkungan industri yang bersaing ketat
(Yuliansyah et al., 2016).
5.2.12 Persaingan industri, strategi fokus pelayanan, dan kinerja industri
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fokus strategi pelayanan berperan
penuh dalam memediasi (full mediation) hubungan antara persaingan industri dan
kinerja industri. Hal ini berarti fokus strategi pelayanan pada industri pendidikan
190
tinggi yang berbasis pada dosen kompeten yang selalu siap membantu mahasiswa,
fasilitas pengajaran sesuai harapan mahasiswa, pelayanan berbasis kualitas jasa,
tanggap dalam melayani permintaan mahasiswa, dan memberikan perhatian
kepada semua mahasiswa dapat meningkatkan kinerja industri yang diukur
dengan dimensi belajar dan mengajar, dimensi penelitian, dimensi pelayanan
masyarakat, dan dimensi keuangan dan pemasaran. Hal ini disebabkan karena
kualitas pelayanan berhubungan erat dengan kepuasan pelanggan (Farooq et al.,
2018), reputasi perguruan tinggi (Ali et al., 2016), surplus, penghematan biaya
(cost saving), pangsa pasar (market share) (Jain et al., 2011), dan return on sales
(Kwak and Kim, 2016). Dalam intensitas tinggi persaingan industri pendidikan
tinggi, kualitas pelayanan menjadi tujuan utama industri pendidikan tinggi sebagai
faktor pembeda diantara industri pesaing (Chui et al., 2016) yang selanjutnya
dapat meningkatkan kepuasan mahasiswa, dan kinerja industri pendidikan tinggi.
Industri pendidikan tinggi Timor-Leste fokus pelayanan pada mahasiswa
sebagai pelanggan utama (main costumer) dalam lingkungan industri yang
bersaing ketat. Penekanan pelayanan tersebut lebih banyak pada menyediakan
dosen kompeten yang selalu siap membantu mahasiswa, fasilitas pengajaran
sesuai harapan mahasiswa, pelayanan berbasis kualitas jasa, tanggap dalam
melayani permintaan mahasiswa, dan memberikan perhatian kepada semua
mahasiswa. Hasil penelitian ini menunjukkan fokus pelayanan industri pendidikan
tinggi dapat meningkatkan kinerja industri yang diukur dengan dimensi belajar
dan mengajar, penelitian, pelayanan masyarakat, dan keuangan dan pemasaran.
191
Hasil penelitian ini searah dengan hasil penelitian Jamal (2009) bahwa
kualitas pelayanan secara parsial berpengaruh positif terhadap kinerja industri
yang diukur dengan kepuasan pelanggan dalam lingkungan industri yang bersaing
ketat. Demikian juga memperkuat studi Neely (2008) bahwa perusahaan dapat
meningkatkan pendapatan dalam lingkungan industri yang bersaing ketat dengan
melakukan integrasi pelayanan. Hasil penelitian ini simetris dengan hasil
penelitian Ramayah et al. (2011) bahwa pelayanan berperan signifikan dalam
memediasi hubungan orientasi pasar dan kinerja organisasi.
5.2.13 Persaingan industri, inovasi, dan kinerja industri
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa inovasi berperan penuh dalam
memediasi (full mediation) hubungan antara persaingan industri dan kinerja
industri. Hal berarti bahwa inovasi kurikulum, metode belajar dan mengajar, serta
teknologi pengajaran berperan signifikan dalam meningkatkan kinerja industri
dalam intensitas tinggi persaingan industri yang dipicu oleh faktor-faktor
eksternal seperti dinyatakan oleh Porter (1980). Industri pendidikan tinggi Timor-
Leste melakukan inovasi pada kurikulum, metode belajar dan mengajar, dan
teknologi pengajaran guna meningkatkan kualitas pelayanan pada kepada
mahasiswa. Hal demikian diperkuat oleh Brenes et al. (2014) bahwa inovasi yang
berbasis pada teknologi akan membuat produk dan layanan berkualitas, berbeda,
dan bernilai bagi pelanggan dibandingkan dengan industri pesaing. Dengan
demikian, inovasi dapat menjamin keberkelanjutan pertumbuhan dan
meningkatkan kinerja industri (Aghion et al. 2014).
192
Studi ini searah dengan studi-studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa
persaingan industri berpengaruh positif terhadap inovasi (Boss et al., 2009;
Hopman et al., 2010; Aghion et al., 2014), yang selanjutnya berpengaruh positif
terhadap kinerja industri (2012; Altuntaş et al., 2013; Uzkurt et al., 2013; Al-
ansari et al., 2013; Camison and Villar-Lopez, 2014; Babkin et al., 2015; Leal-
rodríguez et al., 2015; Obembe and Soetan, 2015). Demikian juga inovasi dapat
berperan signifikan dalam memediasi hubungan antara budaya organisasi, dan
kinerja industri (Uzkurt et al., 2013), orientasi pasar, dan pelangan dengan kinerja
bisnis (Huhtala et al., 2014), dinamika emosi, dan kinerja perusahaan (Akgun et
al., 2009), strategi manajemen pengetahuan, dan kinerja organisasi (Al-Hakim
and Hassan, 2013), dan keluwesan manufaktur (manufacturing flexibility) dengan
kinerja industri (Camisón and Villar López, 2010). Demikian juga inovasi
berperan signifikan dalam memediasi hubungan antara orientasi kewirausahaan
dan kinerja organisasi (Zehir et al., 2015), kapabilitas keterlibatan pelanggan dan
kinerja industri jasa (Anning-Dorson, 2017), ketidakpastian lingkungan
(environmental uncertainty), dan kinerja bisnis (Fernandes and Solimum, 2017),
serta aset dan kinerja pemasaran (González-Rodríguez et al., 2018). Dengan
tingkat persaingan industri yang tinggi berimplikasi pada potensi imitasi produk
dan pelayanan juga semakin tinggi, sehingga industri harus terus melakukan
inovasi untuk meningkatkan daya saing dan kinerja. Walaupun demikian, inovasi
bukan harus dilakukan pada aspek tanjibilitas seperti teknologi, dan produk
dengan kualitas tinggi, tetapi dapat juga ditekankan pada inovasi pada aspek
intanjibilitas yang menekankan pada pelayanan yang berbasis pada reputasi (nilai
193
dan etis) dan interaksi antara manusia yang bersifat low cost. Hal ini terutama
valid pada perusahaan atau organisasi yang memiliki sumber daya terbatas di
Negara-negara sedang berkembang yang pelanggannya sangat sensitif terhadap
harga.
5.3 Temuan Penelitian
Penelitian ini menggunakan konsep Porter (1980) tentang faktor-faktor
eksternal (five diamond forces) sebagai pemicu persaingan industri yang
mempengaruhi kinerja industri. Five diamond forces berpengaruh negatif terhadap
kinerja industri. Konsep Porter tersebut kemudian diuji secara empiris oleh
(Metts, 2007) dan hasilnya menunjukkan bahwa persaingan industri berpengaruh
negatif terhadap kinerja industri, sebaliknya Huang and Lee (2012), dan
Mathooko and Ogutu (2015) mengujinya dalam konteks industri pendidikan
tinggi, hasilnya berbeda. Adanya perbedaan hasil studi ini dapat disebabkan oleh
perbedaan jenis industri dan indikator yang digunakan oleh masing-masing
peneliti.
Penelitian ini mengembangkan studi (Huang and Lee, 2012; Mathooko
and Ogutu, 2015) dengan menambahkan indikator seperti kompetensi dosen
bergelar magister (S2), dan doktor (S3), kuliah per mahasiswa, dan promosi
dalam mengukur persaingan industri pendidikan tinggi. Pengukuran kinerja
industri menggunakan indikator-indikator dari Asif and Searcy (2014), Sahney
and Thakkar (2016) untuk industri pendidikan tinggi yang berbeda dengan
penelitian Huang and Lee (2012). Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa
persaingan industri tidak signifikan berpengaruh terhadap kinerja industri. Dengan
194
demikian, temuan ini menjustifikasi penelitian Huang and Lee (2012), walaupun
indikator-indikator yang digunakan untuk variabel persaingan industri dan kinerja
industri berbeda.
Penelitian ini juga menemukan bahwa kombinasi strategi Porter
(keunggulan rendah dan fokus) dengan inovasi dari teori resource based view
(Barney, 1991) berperan signifikan dalam meningkatkan kinerja industri
pendidikan tinggi dalam lingkungan industri yang kompetitif yang dipicu oleh
faktor-faktor eksternal industri. Yang baru dalam penelitian ini adalah kombinasi
strategi fokus pelayanan, strategi inovasi dan strategi keunggulan biaya yang
berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang hanya fokus pada
kombinasi strategi Porter (strategi diferensiasi, strategi keunggulan biaya, dan
fokus pada kedua strategi tersebut dalam segmen pasar tertentu (Allen et al.,
2006; Salavou 2010; Nandakumar et al., 2011; Wu et al., 2015; Yuliansyah et al.,
2016).
Kombinasi strategi (fokus pelayanan, inovasi, dan keunggulan biaya)
dapat menjastifikasi teori kontingensi yang menyatakan bahwa industri perlu
mengadopsi strategi yang sesuai lingkungan di mana industri beroperasi untuk
meningkatkan daya saing dan kinerja (Baack and Boggs, 2008; Oyewobi et al.,
2016). Dengan demikian, dalam persaingan industri pendidikan tinggi di Timor-
Leste yang cukup tinggi sekarang ini, industri pendidikan tinggi mengadopsi
strategi yang sesuai dengan lingkungan industri untuk mempertahankan
kesinambungan daya saing dan kinerja. Temuan penelitian ini menunjukkan
bahwa strategi kombinasi (fokus pelayanan, inovasi dan keunggulan biaya) dapat
195
meningkatkan posisi bersaing dan kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-
Leste.
Temuan penelitian dalam konteks hubungan antara variabel dapat
dipaparkan secara lengkap sebagai berikut:
(1) Persaingan industri. Penelitian ini menemukan bahwa industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste berpengaruh positif terhadap kinerja
industri, namun pengaruh tersebut tidak signifikan. Walaupun demikian,
dengan peningkatan jumlah industri pendidikan tinggi dan jurusan, serta
adanya regulasi mengenai pendirian dan operasi industri pendidikan tinggi
di Timor-Leste untuk mendapatkan akreditasi dari pemerintah menuntut
industri pendidikan tinggi memiliki sumber daya seperti dosen, dan
fasilitas yang baik untuk mempertahankan daya saing dan kinerja.
Sebaliknya industri pendidikan tinggi Timor-Leste menghadapi
keterbatasan sumber daya keuangan, fasilitas dan dosen yang kompeten.
Hal ini akan memicu intensitas persaingan industri yang dapat
berimplikasi pada kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste. Hasil
ini menunjukkan bahwa industri pendidikan tinggi di Timor-Leste masih
sangat rentan terhadap persaingan industri sejenis sehingga perlu
mengembangkan strategi yang tepat untuk meningkatkan daya saing dan
kinerja industri dalam lingkungan persaingan industri yang ketat.
Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Huang and Lee (2012)
dalam konteks industri pendidikan tinggi. Demikian juga searah dengan
beberapa studi sebelumnya dibidang industri manafaktur (Chong and
196
Rundus, 2004; Chen, 2010; Hoque, 2011; Al-Rfou, 2012; Mia and Winata,
2014; Ghasemi et al., 2015; Obembe and Soetan, 2015), namun bertolak
belakang dengan sekelompok studi sebelumnya dibidang manaufaktur
(Metts, 2007; Patiar and Mia, 2009; Lee and Yang, 2011; Assaf and
Cvelbar, 2011; Huang and Lee, 2012; Fosu, 2013; Teller et al., 2016).
Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan oleh perbedaan jenis
industri, indikator, dan lingkungan industri (Anwar and Hasnu, 2016).
(2) Strategi diferensiasi. Penelitian ini menemukan bahwa strategi
diferensiasi berbasis pada program studi, kualiats keahlian lulusan tinggi
dan kualitas pelayanan tidak signifikan berperan sebagai pemediasi dalam
meningkatkan kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste dalam
lingkungan industri yang bersaing ketat. Hal ini dapat diterima karena
strategi diferensiasi memerlukan sumber daya dan kapabilitas industri
pendidikan tinggi yang tinggi untuk menghasilkan produk dan pelayanan
yang berkualitas, unik, berbeda dan bernilai sesuai dengan harapan
pelanggan (Liao, 2005; Douglas et al., 2010; de Haan, 2015; Soltanizadeh
et al., 2016). Sebaliknya, pengembangan kualitas produk dan pelayanan
yang tinggi memerlukan biaya tinggi, sehingga produk dan layanan jasa
yang ditawarkan memiliki harga yang tinggi (Wu et al., 2015).
Industri pendidikan tinggi di Timor-Leste memiliki sumber daya
dan kapabilitas terbatas untuk menghasilkan produk dan layanan bernilai
tinggi sesuai dinamika tuntutan pelanggan. Demikian juga, industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste mudah melalukan imitasi dan duplikasi
197
produk dan layanan industri pendidikan tinggi yang lain karena belum ada
atau pemerintah kurang tegas dalam implementasi regulasi tentang ijin
pendirian dan operasional industri pendidikan tinggi, serta penghargaan
terhadap hak cipta. Hal demikian menurut Banker et al. (2014) akan
membuat strategi difrensiasi kehilangan keunggulan bersaingnya
(competitive advantage) dibandingkan dengan strategi keunggulan biaya.
Dalam kondisi demikian, organisasi industri lebih baik membuat
diferensiasi pada kualitas produk dan pelayanan bernilai tinggi, seperti
intimasi dengan pelanggan, sehingga sulit diimitasi oleh industri pesaing.
Temuan penelitian ini memperkuat hasil-hasil studi dari Spencer et al.
(2009), Lozano-Vivas (2009), Dirisu et al. (2013), Torres et al. (2014),
Banker et al. (2014), Martins and Queirós (2015), Newton et al. (2015),
dan Pehrsson (2016) , tetapi bertolak belakang dengan temuan
Nandakumar et al. (2011), Wu et al. (2015) dan Yuliansyah et al. (2016)
bahwa strategi diferensiasi tidak berpengaruh langsung maupun tidak
langsung terhadap kinerja industri.
(3) Strategi keunggulan biaya. Penelitian ini menemukan bahwa strategi
keunggulan biaya berperan penting dalam memediasi hubungan
persaingan industri dan kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste.
Para pengelola industri pendidikan tinggi di Timor-Leste lebih
mengadopsi strategi keunggulan biaya yang berbasis pada efisiensi biaya,
menjamin biaya operasional rendah dan biaya kuliah per mahasiswa
rendah untuk meningkatkan kinerja industri. Hasil penelitian ini dapat
198
memperkuat konsep Porter (1980) bahwa strategi keunggulan biaya (cost
leadership strategy) berperan penting dalam meningkatkan daya saing dan
kinerja industri, juga searah dengan beberapa studi empirik sebelumnya
(Allen and Helms, 2006; Banker et al., 2014; Indounas, 2015; Yuliansyah
et al., 2016). Walaupun demikian, hasil penelitian ini bertolak belakang
dengan beberapa studi empiris sebelumnya yang menyatakan bahwa
strategi keunggulan biaya tidak berpengaruh langsung atau tidak langsung
terhadap kinerja industri (Parnell et al., 2012; Yuliansyah et al., 2016;
Yuliansyah et al., 2017).
(4) Strategi fokus pelayanan. Penelitian ini menemukan bahwa fokus
pelayanan dapat meningkatkan kinerja industri pendidikan dalam
lingkungan industri yang bersaing ketat yang dipicu oleh faktor
eksternalitas industri. Semakin tinggi fokus pelayanan akan semakin tinggi
signifikasi perannya untuk meningkatkan kinerja industri pendidikan
tinggi dalam lingkungan industri yang bersaing ketat. Pelayanan yang baik
akan meningkatkan kepuasan mahasiswa sebagai main stakeholders
industri pendidikan berbasis pada belajar dan mengajar (learning and
teaching based higher education industry) seperti di Timor-Leste. Temuan
ini sejalan dengan hasil penelitian Angelova (2011), Jain et al. (2011),
Kwak and Kim (2016), dan Paul et al. (2016), tetapi bertolak belakang
dengan penelitian Neely (2008), dan Jamal (2009).
(5) Strategi inovasi. Penelitian ini menemukan bahwa strategi inovasi
berperan penting dalam meningkatkan kinerja industri pendidikan tinggi di
199
lingkungan industri yang bersaing ketat. Dengan demikian industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste ingin meningkatkan kinerja industri,
maka meningkatkan strategi inovasi yang berbasis pada inovasi
kurikulum, metode belajar dan mengajar, dan teknologi pengajaran.
Temuan penelitian ini searah dengan penelitian dari Li et al. (2010),
Jaskyte (2011), Kim et al. (2011), Zehir et al. (2011), Acar and Acar
(2012), Uzkurt et al. (2013), Al-ansari et al. (2013), Altuntaş et al. (2013),
Camison and Villar-Lopez (2014), Babkin et al. (2015), Leal-rodríguez et
al. (2015), Obembe and Soetan (2015), dan Pehrsson (2016), tetapi
bertolak belakang dengan hasil studi Hashi and Stojčić (2013), Guisado-
González et al. (2013), Campo et al. (2014), dan Im et al. (2015).
(6) Strategi kombinasi berdasarkan hasil uji simultan. Penelitian ini
menemukan bahwa kombinasi strategi fokus pelayanan, inovasi dan
keunggulan biaya dapat meningkatkan kinerja industri pendidikan tinggi
dalam lingkungan industri yang bersaing ketat. Hasil uji SMART-PLS
menunjukkan bahwa ketiga strategi tersebut berperan penuh dalam
memediasi (full mediation) hubungan persaingan industri dengan kinerja
industri. Hanya strategi diferensiasi yang tidak dapat dikombinasikan
strategi lain untuk meningkatkan kinerja pendidikan tinggi di Timor-Leste.
Temuan kombinasi strategi dalam penelitian ini searah dengan hasil
penelitian Parnell (2011), Salavou (2015), dan Gabrielsson et al. (2016)
dalam industri manufaktur dan perusahaan komputer. Temuan ini juga
sesuai dengan preskripsi Ortega (2010) bahwa perusahaan dapat
200
mengkombinasikan competitive strategy dan strategi RBV karena dengan
mengenalkan kualitas pelayanan, kapabilitas inovasi berbasis pada sumber
daya manusia dan teknologi akan meningkatkan daya saing dan kinerja
industri. Walaupun demikian, temuan penelitian ini bertolak belakang
dengan hasil penelitian Nandakumar et al. (2011), Hansen et al. (2015),
Yuliansyah et al. (2016) pada industri manufaktur dan jasa perbankan.
Perbedaan hasil studi ini dapat disebabkan oleh perbedaan jenis industri,
ukuran industri, lingkungan industri dan indikator-indikator yang
digunakan dalam mengukur strategi bisnis sebagai faktor pemediasi dalam
hubungan persaingan industri dan kinerja industri.
5.4 Implikasi Penlitian
5.4.1 Implikasi teoritis
Penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor eksternal industri seperti
intensitas persaingan, ancaman pengganti, kekuatan tawar-menawar pembeli,
kekuatan tawar menawar pemasok dan ancaman pendatang baru berpengaruh
positif, tetapi tidak signifikan terhadap kinerja industri pendidikan tinggi di
Timor-Leste. Temuan ini seiring dengan penelitian (Huang and Lee, 2012), tetapi
bertolak belakang dengan konsep (Porter, 1980), dan studi (Metts, 2007). Hal ini
memperkuat argumen dan studi sebelumnya bahwa perbedaan indikator, dan
budaya (Sharma, 2017), jenis industri mempengaruhi daya saing dan kinerja
industri. Dengan demikian, secara empiris studi ini masih menantang para
peneliti-peneliti lain untuk menemukan instrumen pengukur yang seragam dalam
mengukur kinerja industri lintas industri dan lintas Negara (cross-industry and
201
cross-country) terutama dalam konteks hubungan antara persaingan industri dan
kinerja industri pendidikan tinggi.
Penelitian ini juga menemukan bahwa strategi inovasi, fokus pelayanan,
dan keunggulan biaya sebagai pemicu utama dalam peningkatan kinerja industri
pendidikan tinggi. Temuan ini memperkaya teori kontingensi bahwa industri
harus memilih strategi yang fit dengan lingkungan di mana industri beroperasi
(Baack and Boggs, 2008; Oltra and Flor, 2010; Al-Rfou, 2012). Ini bisa
diindikasikan dengan strategi diferensiasi bisa signifikan meningkatkan kinerja
industri di industri lain dan negara lain, namun tidak signifikan mempengaruhi
industri pendidikan tinggi di Timor-Leste. Hasil studi ini asimetris dengan strategi
Porter (1980) yang menyatakan perusahaan hanya memilih salah satu strategi
yakni strategi diferensiasi atau strategi keunggulan biaya untuk mempertahankan
daya saing dan kinerja. Namun strategi Porter ini mendapatkan kritik cukup tajam
karena pada era sekarang di mana kompleksitas persaingan tinggi, adanya sumber
daya, dan kapabilitas yang baik, serta memanfaatkan kemajuan teknologi,
perusahaan perlu mengadopsi multi-strategi untuk mempertahankan posisi
bersaing dan meningkatkan kinerja (Gabrielsson et al., 2016).
Penelitian ini memperkaya konstruksi studi empiris tentang strategi
kombinasi yang hanya difokuskan pada kombinasi strategi diferensiasi dan
strategi keunggulan biaya (Salavou, 2015; Hansen et al., 2015; Gabrielsson et al.,
2016; Anwar and Hasnu, 2016; Yuliansyah et al., 2016). Dengan melakukan
inovasi strategi untuk mengintegrasikan fokus pelayanan, strategi inovasi
berdasarkan teori RBV dengan strategi generik Porter (strategi diferensiasi,
202
strategi keunggulan biaya, dan fokus) dalam teori kontingensi menunjukkan
bahwa strategi kombinasi (fokus pelayanan, inovasi, dan strategi keunggulan
biaya) sangat signifikan dalam meningkatkan kinerja industri pendidikan tinggi.
5.4.2 Implikasi praktis
Temuan penelitian ini dapat menjadi masukkan bagi pemerintah dan
pengelolan industri pendidikan tinggi di Timor-Leste. Dalam persaingan industri
pendidikan tinggi yang ketat, pengelola industri pendidikan tinggi dapat
mengadopsi strategi bisnis yang tepat untuk meningkatkan daya saing dan kinerja.
Berdasarkan hasil uji statistik, strategi bisnis yang tepat dalam meningkatkan
kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste adalah fokus pelayanan, inovasi,
dan strategi keunggulan biaya. Dengan demikian, industri pendidikan tinggi
Timor-Leste dapat meningkatkan kinerja dengan melakukan inovasi kurikulum,
metode belajar dan mengajar, dan teknologi pengajaran. Demikian juga
memperbaiki pelayanan dengan memperbaiki kompetensi dosen, fasilitas
pengajaran, pelayanan berbasis kualitas jasa, tanggap melayani permintaan
mahasiswa, dan memberikan perhatian baik kepada semua mahasiswa. Terakhir
industri pendidikan tinggi dapat melakukan pengontrolan dan efisiensi biaya,
menetapkan biaya operasional yang rendah, dan biaya kuliah per mahasiwa
rendah. Ketiga strategi tersebut bisa diadopsi secara bersama karena temuan
menunjukkan ketiganya sangat signifikan mempengaruhi kinerja industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste.
Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa strategi diferensiasi
seperti perbedaan program studi, kualitas keahlian tinggi kelulusan, dan kualitas
203
pelayanan tidak signifikan mempengaruhi kinerja industri pendidikan tinggi di
Timor-Leste. Dengan demikian strategi ini kurang optimal digunakan untuk
meningkatkan kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste. Walaupun
demikian, dengan melihat tingkat signifikasi yang rendah, sebaliknya dengan
pertumbuhan industri pendidikan tinggi dan program studi tinggi yang tidak
seimbang dengan pertumbuhan jumlah lulusan SLTA akan memicu persaingan
industri pendidikan tinggi yang tinggi di Timor-Leste. Oleh karena itu,
penggunaan strategi keunggulan biaya dapat menurunkan kualitas pelayanan dan
kualitas lulusan yang berimplikasi pada “penggangguran intelektual” yang dapat
menjadi problem social. Oleh karena itu, strategi diferensiasi masih tetap relevan
untuk diadopsi oleh industri pendidikan tinggi dan para pengambil keputusan di
Timor-Leste. Namun demikian, industri pendidikan tinggi di Timor-Leste perlu
menekankan diferensiasi pada aspek intangibilitas untuk menghindari imitasi dari
industri kompetitor. Selain itu, pemerintah perlu juga membuat regulasi agar
mendorong industri pendidikan tinggi fokus pada area keahlian masing-masing
tanpa harus melakukan duplikasi jurusan dan imitasi produk, proses dan
pelayanan industri pendidikan tinggi lain dengan menghormati hak cipta.
5.5 Keterbatasan Penelitian
(1) Hanya fokus pada penyedia industri pendidikan tinggi (supply side). Studi
ini dilakukan dengan hanya melihat pada sisi penyedia (supply side) sehingga data
yang diberikan dapat mengalami pembiasan karena masing-masing pengelola
dapat memberikan skor yang baik untuk menjaga reputasi perguruan tingginya.
Penelitian yang akan datang dapat dilakukan juga pada demand side seperti
204
mahasiswa, penyedia lapangan kerja (industri), dan pemerintah sehingga dapat
memperoleh hasil yang lebih komprehensif dari kedua sisi.
(2) Hanya menggunakan survey dengan instrumen kuesioner. Penelitian ini
hanya menggunakan metode survei dengan kuesioner sebagai instrumen
pengambilan data yang jawabannya sangat tergantung pada responden. Jika terjadi
ketidakjujuran atau responden berupaya untuk memberikan jawaban yang socially
acceptable dan tidak sesuai dengan kenyataan yang dapat mempengaruhi hasil
penelitian (Bobe and Kober, 2015; Gabrielsson et al., 2016). Penelitian yang akan
datang dapat dilakukan selain menggunakan kuesioner, juga dapat dilakukan
dengan indepth interview atau focus group discussion yang tidak hanya kepada
penyedia industri pendidikan tinggi, melainkan juga para stakeholders seperti
mahasiswa, industri dan pemerintah.
(3) Penekanan faktor-faktor eksternal sebagai pendorong persaingan
industri
Penelitian ini difokuskan untuk menganalisis faktor ekstrenal sebagai pemicu
persaingan industri dan pengaruhnya terhadap kinerja industri pendidikan tinggi
dengan mengikuti Porter Five Competitive Forces (PFCF), namun indikator-
indikator nya disesuaikan dengan industri pendidikan tinggi dan keadaan di
Timor-Leste. Sebaliknya, dalam realitanya, faktor-faktor internal seperti sumber
daya dan kapabilitas organisasi atau industri sesuai teori resource-based view
(RBV) juga memiliki faktor penting dalam menentukan kinerja sebuah organisasi
dalam lingkungan industri yang kompetitif. Penelitian-penelitian mendatang perlu
205
memasukkan faktor-faktor internal organisasi untuk menguji daya saing dan
kinerja industri.
(4) Unit analisis di level jurusan. Dalam penelitian ini unit analisisnya ada di
tingkat jurusan. Hal ini bisa dimengerti karena hanya ada 11 perguruan tinggi
terakreditasi di Timor-Leste, sehingga unit analisisnya mungkin belum optimal
mewakili perguruan tinggi. Penelitian-penelitian mendatang dapat dilakukan di
negara-negara lain dengan unit analisisnya di level perguruan tinggi dengan
ukuran sampelnya dapat ditingkatkan agar bisa digeneralisasi dengan lebih baik.
205
BAB VI
PENUTUP
6.1 Simpulan
Secara umum penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Kombinasi strategi dapat dilakukan dengan Porter generic strategy (Porter,
1980; Porter, 1985), dan resource based strategy (Barney, 1991). Strategi
keunggulan biaya, fokus strategi diturunkan dari strategi generik Proter, dan
strategi inovasi didasarkan pada resource-based strategy. Kombinasi strategi
ini berperan signifikan dalam memediasi hubungan persaingan industri dan
kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste.
2) Kombinasi strategi berbasis pada strategi fokus pelayanan, inovasi, dan
keunggulan biaya berperan penuh dalam memediasi hubungan antara
persaingan industri dan kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste.
Kombinasi strategi ini membantah strategi generik Porter yang menyatakan
bahwa organisasi industri hanya dapat memilih salah satu strategi yakni
strategi diferensiasi atau strategi keunggulan biaya untuk meningkatkan
keunggulan bersaing dan kinerja, jika tidak, organisasi industri akan
menghadapi stuck-in-the middle.
3) Strategi bisnis harus dikembangkan sesuai dengan keadaan lingkungan di
mana industri beroperasi yang simteris dengan teori kontingensi. Industri
pendidikan tinggi Timor-Leste telah menggunakan strategi kombinasi,
sebaliknya strategi tersebut tidak signifikan mempengaruhi kinerja industri
dinegara-negara lain seperti studi Hansen et al. (2015), dan Yuliansyah et al.
206
(2016). Perbedaan hasil tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan jenis
industri, lingkungan industri, variabel, dan indikator-indikator yang digunakan
untuk mengukur strategi dan kinerja dari masing-masing peneliti.
4) Strategi fokus pelayanan menjadi faktor yang paling signifikan dalam
meningkatkan kinerja industri pendidikan tinggi, kemudian disusul secara
berturut-turut strategi inovasi, dan strategi kunggulan biaya. Ini berarti ketiga
strategi tersebut secara bersama dapat meningkatkan kinerja industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste yang menghadapi intensitas tinggi
persaingan industri karena peningkatan jumlah industri pendidikan tinggi,
duplikasi jurusan, dan keterbatasan jumlah dosen yang bergelar master dan
doktor di Timor-Leste akibat regulasi pendirian dan operasi industri
pendidikan tinggi yang masih lemah.
5) Penelitian ini bernilai karena mengandung novelti yakni kombinasi strategi
fokus strategi pelayanan, inovasi, dan strategi keunggulan biaya untuk
mengukur kinerja industri jasa pendidikan tinggi yang belum dilakukan
peneliti-peneliti sebelumnya.
Secara spesifik hasil penelitian ini dapat disimpulkan untuk menjawab masalah
dan tujuan penelitian sebagai berikut:
1) Persaingan industri pendidikan tinggi berpengaruh positif tetapi tidak
signifikan terhadap kinerja industri pendidikan tinggi. Dengan demikian
persaingan industri yang diukur dengan empat dimensi Porter (1980) yang
dikembangkan lebih lanjut oleh Huang dan Lee (2012) tidak signifikan
berpengaruh pada kinerja belajar, penelitian, pelayanan masyarakat,
207
keuangan dan pemasaran industri pendidikan tinggi di Timor-Leste. Hasil
studi ini simetris dengan hasil studi Huang dan Lee (2012), tetapi asimetris
dengan Konsep Porter (1980), dan Metts (2007). Perbedaan hasil
penelitian tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan indikator, jenis dan
ukuran industri, dan lingkungan industri yang berbeda.
2) Persaingan industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap strategi
diferensiasi. Ini berarti semakin tinggi intensitas persaingan industri yang
dipicu oleh faktor eksternal, organisasi industri pendidikan tinggi Timor-
Leste dituntut membuat perbedaan program studi, kualitas keahlian tinggi,
dan meningkatkan kualitas pelayanan guna mencapai keunggulan bersaing
yang lebih baik dari industri pesaing.
3) Persaingan industri yang dipicu faktor eksternal berpengaruh positif dan
signifikan terhadap strategi keunggulan biaya (cost leadership strategy).
Semakin tinggi intensitas persaingan industri, industri pendidikan tinggi
Timor-Leste harus melakukan efisiensi biaya, menjaga biaya operasional
rendah, dan menetapkan biaya kuliah per mahasiswa yang rendah.
4) Persaingan industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap strategi
fokus pelayanan kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste.
Semakin tinggi persaingan industri, industri pendidikan tinggi harus
memiliki dosen kompeten untuk selalu membantu mahasiswa,
menyediakan fasilitas sesuai dengan ekspektasi mahasiswa, melayani
mahasiswa berbasis kualitas jasa, tanggap dalam melayani permintaan
mahasiswa, dan memberikan perhatian yang baik kepada semua
208
mahasiswa guna meningkatkan kinerja belajar dan mengajar, kinerja
penelitian, kinerja pelayanan masyarakat, dan kinerja keuangan dan
pemasaran.
5) Persaingan industri berpengaruh positif dan signifikan terhadap inovasi.
Semakin tinggi persaingan industri, semakin tinggi organisasi industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste melakukan inovasi pada kurikulum,
metode belajar dan mengajar, serta teknologi baru untuk mendukung
kegiatan belajar dan mengajar.
6) Strategi diferensiasi berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap
kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste. Diferensiasi program
studi, kualitas kelulusan tinggi, dan kualitas pelayanan tidak signifikan
berpengaruh dalam meningkatkan kinerja belajar dan mengajar, kinerja
penelitian, pelayanan masyarakat, dan kinerja keuangan dan pemasaran
industri pendidikan tinggi di Timor-Leste.
7) Strategi keunggulan biaya berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja industri pendidikan tinggi di Timor-Leste. Pengontrolan dan
efisiensi biaya, biaya operasional yang rendah, dan biaya kuliah per
mahasiswa rendah dapat meningkatkan kinerja industri pendidikan tinggi
yang diukur dari kinerja belajar dan mengajar, kinerja penelitian, kinerja
pelayanan masyarakat, dan kinerja keuangan dan kinerja pemasaran.
8) Fokus pelayanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
industri pendidikan tinggi di Timor-Leste. Dosen kompeten yang selalu
membantu mahasiswa, fasilitas pengajaran yang sesuai dengan harapan
209
mahasiswa, pelayanan mahasiswa berbasis kualitas jasa, tanggap melayani
permintaan mahasiswa, dan memberikan perhatian yang baik kepada
semua mahasiswa secara signifikan berpengaruh untuk meningkatkan
kinerja industri pendidikan tinggi Timor-Leste yang diukur dari kinerja
belajar dan mengajar, kinerja penelitian, kinerja pelayanan masyarakat,
serta kinerja keuangan dan pemasaran.
9) Inovasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste. Inovasi kurikulum, metode belajar dan
mengajar, teknologi pengajaran secara signifikan berpengaruh untuk
meningkatkan kinerja industri pendidikan tinggi Timor-Leste yang diukur
dari kinerja belajar dan mengajar, kinerja penelitian, kinerja pelayanan
masyarakat, serta kinerja keuangan dan pemasaran.
10) Strategi diferensiasi tidak signifikan memediasi pesaingan industri dan
kinerja industri pendidikan tinggi Timor-Leste. Ini berarti perbedaan
program studi, kualitas kelulusan tinggi, dan kualitas pelayanan belum
signifikan berperan dalam meningkatkan kinerja belajar dan mengajar,
kinerja penelitian, kinerja pelayanan masyarakat, da kinerja keuangan dan
pemasaran industri pendidikan tinggi Timor-Leste yang menghadapi
persaingan ketat akibat peningkatan jumlah perguruan tinggi, keterbatasan
jumlah dosen kompeten bergelar master dan doktor, dan limitasi regulasi
perijinan dan operasi industri pendidikan tinggi.
11) Strategi keunggulan biaya signifikan berperan dalam memediasi pesaingan
industri dan kinerja industri pendidikan tinggi Timor-Leste. Ini berarti
210
peningkatan efisiensi biaya, biaya operasional rendah, dan biaya kuliah per
mahasiswa rendah berperan signifikan dalam meningkatkan kinerja belajar
dan mengajar, kinerja penelitian, kinerja pelayanan masyarakat, dan
kinerja keuangan dan pemasaran industri pendidikan tinggi Timor-Leste
yang menghadapi persaingan ketat akibat peningkatan jumlah perguruan
tinggi, keterbatasan jumlah dosen kompeten yang bergelar master dan
doktor.
12) Strategi fokus pelayanan signifikan berperan dalam memediasi pesaingan
industri dan kinerja industri pendidikan tinggi Timor-Leste. Peningkatan
pelayanan berbasis pada dosen kompeten yang selalu membantu
mahasiswa, fasilitas pengajaran yang sesuai dengan harapan mahasiswa,
pelayanan mahasiswa berbasis kualitas jasa, tanggap melayani permintaan
mahasiswa, dan memberikan perhatian yang baik kepada semua
mahasiswa berperan signifikan dalam meningkatkan kinerja belajar dan
mengajar, kinerja penelitian, kinerja pelayanan masyarakat, dan kinerja
keuangan dan pemasaran industri pendidikan tinggi Timor-Leste yang
menghadapi persaingan ketat akibat peningkatan jumlah perguruan tinggi,
keterbatasan jumlah dosen kompeten yang bergelar master dan doktor.
13) Inovasi berperan signifikan dalam memediasi pesaingan industri dan
kinerja industri pendidikan tinggi Timor-Leste. Peningkatan pelayanan
berbasis pada dosen kompeten yang selalu membantu mahasiswa, fasilitas
pengajaran yang sesuai dengan harapan mahasiswa, pelayanan mahasiswa
berbasis kualitas jasa, tanggap melayani permintaan mahasiswa, dan
211
memberikan perhatian yang baik kepada semua mahasiswa berperan
signifikan dalam memediasi hubungan antara persaingan industri dan
kinerja belajar dan mengajar, kinerja penelitian, kinerja pelayanan
masyarakat, dan kinerja keuangan dan pemasaran industri pendidikan
tinggi Timor-Leste.
6.2 Saran
Berdasarkan simpulan penelitian ini, dapat memberikan saran implikasi kebijakan
sebagai berikut:
1) Penelitian ini menemukan bahwa persaingan industri yang dipicu oleh
faktor eksternal tidak signifikan berpengaruh terhadap kinerja industri
pendidikan tinggi Timor-Leste. Sebaliknya hasil deskriptif menunjukkan
bahwa persaingan industri terjadi sangat intens yang dipicu oleh
peningkatan jumlah perguruan tinggi dan program studi, kompetensi dosen
bergelar master dan doktor yang terbatas, regulasi pemerintah tenang
pendirian dan operasi perguruan tinggi. Oleh karena itu, disarankan agar:
a. Pemerintah membuat regulasi guna mengatur perijinan, dan
operasi industri pendidikan tinggi di Timor-Leste agar menjaga
kualitas dan keberkelanjutan kinerja industri pendidikan tinggi
dalam lingkungan industri bersaing ketat yang diakibatkan oleh
terlalu banyak “pemain” dalam segmen pasar yang terbatas.
b. Pengelola industri pendidikan tinggi perlu melakukan strategi
kemitraan agar menghadapi keterbatasan sumber daya dan
kapabilitas institusi seperti dosen kompeten yang bergelar master
212
dan doktor, serta fasilitas yang sesuai ekspektasi mahasiswa agar
meningkatkan daya saing dan kinerja industri pendidikan tinggi
Timor-Leste yang diukur dari belajar dan mengajar, penelitian,
pelayanan masyarakat, keuangan dan pemasaran.
2) Hasil penelitian menemukan bahwa strategi keunggulan biaya, fokus
pelayanan, dan inovasi berperan penuh dalam meningkatkan kinerja
industri pendidikan tinggi di Timor-Leste dalam lingkungan industri yang
bersaing ketat yang dipicu oleh faktor eksternal industri. Oleh karena itu,
industri pendidikan tinggi Timor-Leste disarankan untuk mengadopsi:
a. Strategi fokus pelayanan yang berbasis pada peningkatan
kompetensi dosen yang bergelar master dan doktor yang selalu
membantu mahasiswa, menyediakan fasilitas yang sesuai dengan
ekspektasi mahasiswa, menyediakan pelayanan mahasiswa
berbasis kualitas jasa, tanggap melayani permintaan mahasiswa,
dan memberikan perhatian yang baik kepada semua mahasiswa.
b. Strategi inovasi untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai
dengan dinamika ekspektasi mahsiswa dan industri;
mengembangkan metode belajar dan mengajar yang berbasis
interaktif, resiprokal, kolegial, stimulasi keinginan-tahuan
mahasiswa, dan konten pengajaran yang sesuai dengan ekspektasi
mahasiswa dan industri; dan menggunakan teknologi pengajaran
yang aktual, relevan dan efektif dalam dalam meningkatkan kinerja
213
belajar dan mengajar, penelitian, pelayanan masyarakat, dan
keuangan dan pemasaran.
c. Strategi keunggulan biaya yang berorientasi pada efisiensi biaya,
menjaga biaya operasional rendah, dan penetapan biaya kuliah per
mahasiswa yang rendah.
3) Dalam penelitian ini, strategi diferensiasi tidak signifikan memediasi
hubungan antara persaingan industri dan kinerja industri, namun melihat
pada lulusan sekolah menengah atas sebagai input bagi industri pendidikan
tinggi yang terbatas, tidak seimbang dengan pertumbuhan industri
pendidikan tinggi dan program studi yang ada, maka mengadopsi strategi
biaya murah dapat menarik jumlah mahasiswa lebih banyak, namun dapat
menghasilkan kualitas dan kapabilitas output industri pendidikan tinggi
rendah dan tidak sesuai dengan ekspektasi industri dan pasar kerja yang
dapat berimplikasi pada “inflasi sarjana” di Timor-Leste yang pada
akhirnya akan menurunkan kualitas, reputasi, dan citra industri pendidikan
tinggi. Oleh karena itu, disarankan agar:
a. Industri pendidikan tinggi Timor-Leste harus tetap
mengembangkan keunikan dan nilai spesifik masing-masing yang
bersumber dari faktor-faktor intanjibilitas seperti hubungan antara
mahasiswa dengan mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, dosen
dengan dosen, dosen dengan staf pendukung, dan tradisi
manajemen, tradisi penelitian, tradisi pengajaran berbasis pada
214
kearifan lokal sebagai faktor pembeda untuk membangun reputasi
dan citra yang sulit diimitasi oleh industri pesaing sejenis.
b. Dalam tingkatan negara, pemerintah perlu melakukan moratorium
pembukaan perguruan tinggi dan program studi baru, mendorong
merger perguruan tinggi dan jurusan yang ada, dan pengembangan
spesialisasi dan keunikan masing-masing perguruan tinggi sebagai
basis pengembangan keunggulan bersaing dan kinerja industri
pendidikan tinggi di Timor-Leste. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan sumber daya dan kapabilitas industri pendidikan
tinggi seperti sumber daya manusia, keuangan, fasilitas, teknologi,
pemasaran. Setelah itu, baru pemerintah melakukan subsidi
keuangan berbasis pada kinerja (performance-based financial
subsidy).
Secara akademis, berdasarkan keterbatasan penelitian ini yang telah
dideskripsikan dalam Bab V, maka disarankan agar:
1) Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menguji kombinasi faktor
eksternal dan faktor internal industri jasa pendidikan tinggi Timor-Leste
sebagai pemicu persaingan industri. Hal ini disebabkan faktor eksternal
dan internal mempengaruhi keunggulan bersaing dan kinerja industri
pendidikan tinggi. Sebaliknya penelitian ini hanya fokus pada faktor
eksternal industri sebagai pemicu persaingan industri.
2) Penelitian mendatang perlu dilakukan juga pada “demand side” untuk
mendapatkan data yang lebih komprehensif dari kedua sisi. Hal ini
215
disebabkan karena penelitian ini hanya dilakukan dari “supply side” yang
kemungkinan data yang diperoleh tidak merefleksikan keadaan yang
sebenarnya karena masing-masing responden ingin menjaga reputasi
perguruan tinggi nya.
3) Penelitian ini hanya menggunakan kuesioner yang jawabannya tergantung
sepenuhnya pada responden. Untuk itu, perlu dilengkapi dengan indepth
interview dan focus group discussion untuk mengkonfirmasi jawaban yang
sudah diperoleh dari kuesioner.
4) Unit analisis penelitian ini adalah program studi/jurusan. Oleh karena itu,
penelitian-penelitian yang akan datang disarankan untuk dilakukan pada
level perguruan tinggi untuk mendapatkan data lebih komprehensif yang
dapat generalisasi lebih baik dalam konteks institusi.
5) Penelitian ini baru pertama kali dilakukan pada industri pendidikan tinggi
Timor-Leste. Data yang diperoleh masih awal dan tidak periodik, sehingga
penelitian sejenis perlu dilakukan secara kontinu (longitudinal method)
agar mendapatkan data yang lebih valid dan konsisten.
216
DAFTAR PUSTAKA
Ab Hamid, N.H., Zakaria, N.B. and Ab Aziz, N.H., 2014. Firms’ performance and
risk with the presence of Sukuk rating as default risk. International
Conference on Corporate Governance and Strategic Management, 145,
pp.181–188.
Abd Razak, N., Ab Rahman, Z. and Borhan, H., 2016. Modeling firm resources –
enterprise risk management relationships: An empirical finding using PLS-
SEM. World Journal of Entrepreneurship, Management and Sustainable
Development, 12(1), pp.35–49.
Abdifatah, A.H., 2014. The relationship between corporate governance attributes
and firm performance before and after the revised code. International
Journal of Commerce and Management, 24(2), pp.134–151.
Aboelmaged, M., 2018. Direct and indirect effects of eco-innovation,
environmental orientation and supplier collaboration on hotel performance:
an empirical study. Journal of Cleaner Production, 184, pp.537–549.
Acar, A.Z. and Acar, P., 2012. The Effects of Organizational Culture and
Innovativeness on Business Performance in Healthcare Industry. Procedia -
Social and Behavioral Sciences, 58(0), pp.683–692.
Acquaah, M., 2011. Business Strategy and Competitive Advantage in Family
Businesses in Ghana : The Role of Social Networking Relationships,
Adnan, Z., Abdullah, H.S. and Ahmad, J., 2016. Assessing the Moderating Effect
of Competition Intensity on HRM Practices and Organizational Performance
Link: The Experience of Malaysian Rand Companies. Procedia Economics
and Finance, 35(October 2015), pp.462–467.
Agasisti, T. and Johnes, G., 2013. Efficiency, costs, rankings and heterogeneity:
the case of US higher education. Studies in Higher Education, 40(1), pp.60–
82.
Aghion, P., Bloom, N., Blundell, R., Griffith, R., and Howitt, P., 2005.
Competition and Innovation: an Inverted-U Relationship. The Quarterly
Journal of Economics, 120(2), pp.701–728.
Aghion, P., Bechtold, S., Cassar, L., and Herz, H., 2014. The causal effects of
competition on innovation: Experimental evidence, Available at:
http://www.nber.org/papers/w19987.
217
Akan, O., Allen, R.S., Helms, M.M., and Spralls, S.A., 2006. Critical tactics for
implementing Porter’s generic strategies. Journal of Business Strategy,
27(1), pp.43–53.
Akgun, A.E., Keskin, H. and Byrne, J., 2009. Organizational emotional capability,
product and process innovation, and firm performance: An empirical
analysis. Journal of Engineering and Technology Management, 26(3),
pp.103–130.
Al-ansari, Y., Pervan, S. and Xu, J., 2013. Innovation and business performance
of SMEs : the case of Dubai. Contemporary Middle Eastern Issues, 6(3/4),
pp.162–180.
Al-Hakim, L.A.Y. and Hassan, S., 2013. Knowledge management strategies ,
innovation , and An empirical study of the Iraqi MTS. Journal of Advances
in Management Research, 10(1), pp.58–71.
Al-Najjar, B., 2014. Corporate governance, tourism growth and firm performance:
Evidence from publicly listed tourism firms in five Middle Eastern countries.
Tourism Management, 42, pp.342–351.
Al-Rfou, A.N., 2012. Competition and Organizational Performance : Empirical
Evidence from Jordanian Companies. Journal of Economics, 3(1), pp.13–17.
Alam, I., 2012. New service development in India’s business-to-business financial
services sector. Journal of Business and Industrial Marketing, 27(3), pp.228–
241.
Ali, F., Zhou, Y., Kashif, H., Kumar, Nair Pradeep, Ari, Ragayan, R.N., 2016.
Does higher education service quality effect student satisfaction, image and
loyalty ? A study of international students in Malaysian public universities.
Quality Assurance in Education, 24(1), pp.70–74.
Alipour, M., 2013. Has privatization of state-owned enterprises in Iran led to
improved performance? International Journal of Commerce and
Management, 23(4), pp.281–305.
Aliyu, N.S., Jamil, C.Z.M. and Mohamed, R., 2014. The Mediating Role of
Management Control System in the Relationship between Corporate
Governance and the Performance of Bailed-out Banks in Nigeria. Procedia -
Social and Behavioral Sciences, 164(August), pp.613–620.
Allen, R.S., Helms, M.M., Jones, H., Takeda, M. B., and White, C. S.,, 2008.
Porter’s business strategies in Japan. Business Strategy Series, 9(1), pp.37–
44.
218
Allen, R.S. and Helms, M.M., 2006. Linking strategic practices and
organizational performance to Porter’s generic strategies. Business Process
Management Journal, 12(4), pp.433–454.
Allred, B.B. and Swan, K.S., 2005. The mediating role of innovation on the
influence of industry structure and national context on firm performance.
Journal of International Management, 11(2 SPEC. ISS.), pp.229–252.
Alreck, P.L. and Settle, R.B., 2004. The Survey Research Handbook 3rdedition
ed., New York: Mc-Graw-Hill Irwin.
Alshammari, A.A., Rasli, A., Alnajem, M., and Arshad, A.S., 2014. An
exploratory study on the relationship between organizational innovation and
performance of non-profit organizations in Saudi Arabia. Procedia - Social
and Behavioral Sciences, 129, pp.250–256.
Altuntaş, G., Semerciöz, F. and Eregez, H., 2013. Linking Strategic and Market
Orientations to Organizational Performance: The Role of Innovation in
Private Healthcare Organizations. Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 99, pp.413–419.
Amaral, A.M. (2018). Private Interview. Dili, Timor-Leste. Rector, Dili, Institute
of Technology (DIT).
Anctil, E.J., 2008. Marketing and Advertising Higher Education. ASHE Higher
Education Report, 34(2), pp.19–30.
Andreou, P.C., Louca, C. and Panayides, P.M., 2014. Corporate governance,
financial management decisions and firm performance: Evidence from the
maritime industry. Transportation Research Part E: Logistics and
Transportation Review, 63, pp.59–78.
Angelova, B., 2011. Measuring Customer Satisfaction with Service Quality Using
American Customer Satisfaction Model (ACSI Model). International
Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 1(3),
pp.2222–6990.
Annamdevula, S. and Bellamkonda, R.S., 2016. Effect of student perceived
service quality on student satisfaction, loyalty and motivation in Indian
universities. Journal of Modelling in Management, 11(2), pp.488–517.
Anning-Dorson, T., 2017. Customer involvement capability and service firm
performance: The mediating role of innovation. Journal of Business
219
Research, xx, pp.xxx–xxx.
Anning-Dorson, T., 2017. How much and when to innovate: The nexus of
environmental pressures, innovation and service firm performance. European
Journal of Innovation Management, 20(4), pp.599–619
Antoncic, B. and Prodan, I., 2008. Alliances, corporate technological
entrepreneurship and firm performance: Testing a model on manufacturing
firms. Technovation, 28(5), pp.257–265.
Anwar, J. and Hasnu, S., 2016. Business strategy and firm performance: a multi-
industry analysis. Journal of Strategy and Management, 9(3), pp.361–382.
Asif, M. and Searcy, C., 2014. A composite index for measuring performance in
higher education institutions. The International Journal of Quality and
Reliability Management, 31(9), p.983.
Assaf, A. and Cvelbar, K.L., 2011. Privatization, market competition,
international attractiveness, management tenure and hotel performance:
Evidence from Slovenia. International Journal of Hospitality Management,
30(2), pp.391–397.
Atalay, M., Dirlik, O. and Sarvan, F., 2017. Impact of multilevel strategic
alliances on innovation and firm performance. International Journal of
Innovation Science, 9(1), pp.53–80.
Avram, E. and Avasilcai, S., 2014. Business Performance Measurement in
Relation to Corporate Social Responsibility: A conceptual Model
Development. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 109, pp.1142–
1146.
Baack, D.W. and Boggs, D.J., 2008. The difficulties in using a cost leadership
strategy in emerging markets. International Journal of Emerging Markets,
3(2), pp.125–139.
Babkin, A.V., Lipatnikov, V.S. and Muraveva, S.V., 2015. Assessing the Impact
of Innovation Strategies and RandD Costs on the Performance of IT
Companies. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 207, pp.749–758.
Back, Y., Parboteeah, K.P. and Nam, D., 2014. Innovation in Emerging Markets:
The Role of Management Consulting Firms. Journal of International
Management, 20(4), pp.390–405.
Bambauer-Sachse, S. and Rabeson, L.E., 2015. Service recovery for moderate and
220
high involvement services. Journal of Services Marketing, 29(5), pp.331–
343.
Bamert, T. and Wehrli, H.P., 2005. Service quality as an important dimension of
brand equity in Swiss services industries. Managing Service Quality, 15(2),
pp.132–141.
Banker, R.D., Mashruwala, R. and Tripathy, A., 2014. Does a differentiation
strategy lead to more sustainable financial performance than a cost leadership
strategy? Management Decision, 52(5), p.872.
Barney, J., 1991. Firm Resources and Sustained Competitive Advantage. Journal
of Management, 17(1), pp.99–120.
Baroto, M.B., Abdullah, M.M. Bin and Wan, H.L., 2012. Hybrid Strategy : A
New Strategy for Competitive Advantage. International Journal of Business
and Management, 7(20), pp.120–133.
Battagello, F.M., Cricelli, L. and Grimaldi, M., 2016. Benchmarking strategic
resources and business performance via an open framework. The
International journal of productivity and perform performance management,
65(3), pp.324–350.
Bayerlein, L., 2015. Curriculum Innovation in Undergraduate Accounting Degree
Programmes Through “Virtual Internships.” Education + Training, 57(6),
pp.673–684.
Becerra, M., Santaló, J. and Silva, R., 2013. Being better vs. being different:
Differentiation, competition, and pricing strategies in the Spanish hotel
industry. Tourism Management, 34, pp.71–79.
Becker, J.M. and Ismail, I.R., 2016. Accounting for sampling weights in PLS path
modeling: Simulations and empirical examples. European Management
Journal, 34(6), pp.606–617.
Bedford, D.S., 2015. Management control systems across different modes of
innovation: Implications for firm performance. Management Accounting
Research, xxx(xxx), pp.xxx–xxx.
Bellucci, A. and Pennacchio, L., 2016. University knowledge and firm
innovation: evidence from European countries. The Journal of Technology
Transfer, pp.1–23.
Benner, M.J. and Tushman, M.L., 2003. Exploitation, Exploration, and Process
Management: the Productivity Dilemma Revisited. Academy ol Management
Review, 28(2), pp.238–256.
221
Berghman, L., Matthyssens, P., Streukens, S., and Vandenbempt, K., 2013.
Deliberate Learning Mechanisms for Stimulating Strategic Innovation
Capacity. Long Range Planning, 46(1–2), pp.39–71.
Bernardo, M., 2014. Integration of management systems as an innovation: A
proposal for a new model. Journal of Cleaner Production, 82, pp.132–142.
Bjornali, E.S. and Støren, L.A., 2012. Examining competence factors that
encourage innovative behaviour by European higher education graduate
professionals. Journal of Small Business and Enterprise Development, 19(3),
pp.402–423.
Bobe, B.J. and Kober, R., 2015. Measuring organisational capabilities in the
higher education sector. Education + Training, 57(3), pp.322–342.
Bolivar-Ramos, M.T., Garcia-Morales, V.J. and Garcia-Sanchez, E., 2012.
Technological distinctive competencies and organizational learning: Effects
on organizational innovation to improve firm performance. Journal of
Engineering and Technology Management - JET-M, 29(3), pp.331–337.
Bos, J.W.B., Kolari, J.W. and van Lamoen, R.C.R., 2013. Competition and
innovation: Evidence from financial services. Journal of Banking and
Finance, 37(5), pp.1590–1601.
Boss, J.W.B., Kolari, J.W. and Van Lamoen, R.C.R., 2009. Competition and
innovation: Evidence from financial services, Utrecht.
Boult, T.E., Chamillard, A.T., Lewis, R., Polok, N., Stock, G., and Wortman, D.,
2009. Innovations in university education in innovation: Moving beyong the
BS. International Journal of Innovation Science, 1(4), pp.167–178.
Bouranta, N. & Psomas, E., 2017. A comparative analysis of competitive
priorities and business performance between manufacturing and service
firms. International Journal of Productivity and Performance Management,
66(7), pp.914–931.
Bowen, F.E., Rostami, M. and Steel, P., 2010. Timing is everything: A meta-
analysis of the relationships between organizational performance and
innovation. Journal of Business Research, 63(11), pp.1179–1185.
Brenes, E.R., Montoya, D. and Ciravegna, L., 2014. Differentiation strategies in
emerging markets: The case of Latin American agribusinesses. Journal of
Business Research, 67(5), pp.847–855.
222
Broadbent, J. and Laughlin, R., 2009. Performance management systems: A
conceptual model. Management Accounting Research, 20(4), pp.283–295.
Bunyi, G.W., 2013. The quest for quality education: the case of curriculum
innovations in Kenya. European Journal of Training and Development,
37(7), pp.678–691.
Cadez, S. and Guilding, C., 2012. Strategy, strategic management accounting and
performance: a configurational analysis. Industrial Management and Data
Systems, 112(3), pp.484–501.
Camison, C. and Villar-Lopez, A., 2014. Organizational innovation as an enabler
of technological innovation capabilities and firm performance. Journal of
Business Research, 67(1), pp.2891–2902.
Camisón, C. and Villar López, A., 2010. An examination of the relationship
between manufacturing flexibility and firm performance. International
Journal of Operations and Production Management, 30, pp.853–878.
Campo, S., M. Díaz, A. and J. Yagüe, M., 2014. Hotel innovation and
performance in times of crisis. International Journal of Contemporary
Hospitality Management, 26(8), pp.1292–1311.
Cardona, M.M. and Bravo, J.J., 2012. Service quality perceptions in higher
education institutions: the case of a colombian university. Estudios
Gerenciales, 28(125), pp.23–29.
Carter, S. and Yeo, A.C., 2016. Students-as-customers ’ satisfaction , predictive
retention with marketing implications The case of Malaysian higher
education. International Journal of Educational Management, 30(5),
pp.635–652.
Chan Kim, W. and Mauborgne, R., 2005. Value innovation: a leap into the blue
ocean. Journal of Business Strategy, 26(4), pp.22–28.
Chang, S.C., 2010. Bandit cellphones: A blue ocean strategy. Technology in
Society, 32(3), pp.219–223.
Chen, C.-Y., Sok, P. and Sok, K., 2007. Benchmarking potential factors leading to
education quality: A study of Cambodian higher education. Quality
Assurance in Education, 15(2), pp.128–148.
Chen, M.H., 2010. The economy, tourism growth and corporate performance in
the Taiwanese hotel industry. Tourism Management, 31(5), pp.665–675.
Chenet, P., Dagger, T.S. and O’Sullivan, D., 2010. Service quality, trust,
commitment and service differentiation in business relationships. Journal of
223
Services Marketing, 24(5), pp.336–346.
Chong, V.K. and Rundus, M.J., 2004. Total quality management, market
competition and organizational performance. British Accounting Review,
36(2), pp.155–172.
Chui, T.B., Ahmad, M., S. B., Bassim, F.B.A., and Zaimi, N.B.A., 2016.
Evaluation of Service Quality of Private Higher Education Using Service
Improvement Matrix. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 224,
pp.132–140.
Claver-Cortés, E., Pertusa-Ortega, E.M. and Molina-Azorín, J.F., 2012.
Characteristics of organizational structure relating to hybrid competitive
strategy: Implications for performance. Journal of Business Research, 65(7),
pp.993–1002.
Cohen, A. and Mazzeo, M.J., 2004. Competition , Product Differentiation and
Quality Provision : An Empirical Equilibrium Analysis of Bank Branching
Decisions,
Cornaggia, J., Mao, Y., Tian, X., and Wolfe, B., 2015. Does banking competition
affect innovation? Journal of Financial Economics, 115(1), pp.189–209.
Dadfar, H. and Brege, S., 2012. Differentiation by improving quality of services
at the last touch point: The case of Tehran pharmacies. International Journal
of Quality and Service Sciences, 4(4), pp.345–363.
Dash, S., Bruning, E. and Acharya, M., 2009. The effect of power distance and
individualism on service quality expectations in banking. International
Journal of Bank Marketing, 27(5), pp.336–358.
Davcik, N.S. and Sharma, P., 2015. Impact of product differntiation, marketing
investment and brand equity on pricing strategies. European Journal of
Marketing, 49(5/6), pp.760–781.
Desai, R., 2012. Teaching Technologists Sustainable Innovation. International
Journal of Innovation Science, 4(1), pp.25–34.
Dirisu, J.I., Iyiola, O. and Ibidunni, O.S., 2013. Product differentiation: A tool of
competitive advantage and optimal organizational performance. European
Scientific Journa, 9(34), pp.258–281.
Douglas, A., Douglas, J. and Davies, J., 2010. Differentiation for competitive
advantage in a small family business. Journal of Small Business and
Enterprise Development, 17(3), pp.371–386.
224
Du, J. and Chen, M., 2010. Market Competition Measurements and Firms’ R and
D Responses to Market Competition Pressure. , pp.1–25.
Duening, T.N., 2009. Integrated Innovation: A Model for A New New Product
Development Curriculum. International Journal of Innovation Science, 1(2),
pp.61–72.
Dumay, J., Rooney, J. and Marini, L., 2013. An intellectual capital-based
differentiation theory of innovation practice. Journal of Intellectual Capital,
14(4), pp.608–633.
Durkin, M., Howcroft, B. and Fairless, C., 2016. Product development in higher
education marketing. International Journal of Educational Management,
30(3), pp.354–369.
Edwards, J., Rayman, K., Diffenderfer, S., and Stidham, A., 2016. Strategic
Innovation between PhD and DNP Programs: Collaboration, Collegiality and
Shared Resources. Nursing Outlook, 64(4), pp.312–320.
Faganel, A., 2010. Quality perception gap Inside the higher education institution.
International Journal of Academic Research, 2(1), pp.213–215.
Farooq, M.S., Salam, M., Favolle, A., Jaafar, N., Ayupp, K., 2018. Impact of
service quality on customer satisfaction in Malaysia airlines: A PLS-SEM
approach. Journal of Air Transport Management, 67(--), pp.169–180.
Fassot, G., Henseler, J. and Coelho, P., 2016. Testing moderating effects in PLS
path models with composite variables. Industrial Management and Data
Systems, 116(9), pp.1887–1900.
Feeny, S. and Rogers, M., 2003. Innovation and Performance: Benchmarking
Australian Firms. Australian Economic Review, 36(3), pp.253–264.
Fernandes, A.A.R. and Solimum, 2017. International Journal of Law and
Management The mediating effect of strategic orientation and innovations on
the effect of environmental uncertainties on the performance of business in
the Indonesian aviation industry. International Journal of Law and
Management, 59(6), pp.1269–1278.
Fincham, J.E., 2008. Response rates and responsiveness for surveys, standards,
and the Journal. American journal of pharmaceutical education, 72(2), p.43.
Firdaus, A., 2006. Measuring service quality in higher education: HEdPERF
versus SERVPERF. Marketing Intelligence and Planning, 24(1), pp.31–47.
225
Fogliani, M., 1999. Low response rates and their effects on survey results.
Methodology Advisory Committee paper, (November), p.13.
Forsman, H., 2011. Innovation capacity and innovation development in small
enterprises. A comparison between the manufacturing and service sectors.
Research Policy, 40(5), pp.739–750.
Fosu, S., 2013. Capital structure, product market competition and firm
performance- Evidence from South Africa. The Quarterly Review of
Economics abd Finance, 53, pp.140–151.
Friis, O., Holmgren, J. and Eskildsen, J.K., 2016. A strategy model – better
performance through improved strategy work. Journal of Modelling in
Management, 11(3), pp.742–762.
Furrer, O. Sudharshan, D., Thomas, H., and Alexandre, M.T., 2008. Resource
configurations, generic strategies, and firm performance. Journal of Strategy
and Management, 1(1), pp.15–40.
Gabrielsson, M., Seppälä, B. T. and Gabrielsson, P., 2016. Realizing a hybrid
competitive strategy and achieving superior financial performance while
internationalizing in the high-technology market. Industrial Marketing
Management, 54, pp.141–153.
Garwe, E.C., 2016. Increase in the demand for private higher education:
unmasking the “paradox.” International Journal of Educational
Management, 30(2).
Gebauer, H. Ren, G., Valtakoski, A., and Reynoso, J., 2012. Service‐driven
manufacturing. Journal of Service Management, 23(1), pp.120–136.
Gebauer, H., Fischer, T. and Fleisch, E., 2010. Exploring the interrelationship
among patterns of service strategy changes and organizational design
elements. Journal of Service Management, 21(1), pp.103–129.
Gebauer, H., Gustafsson, A. and Witell, L., 2011. Competitive advantage through
service differentiation by manufacturing companies. Journal of Business
Research, 64(12), pp.1270–1280.
Ghasemi, R. Mohamad, N.A., Karami, M., Bajuri, N.H., 2015. The relationship
among strategy, competition and management accounting systems on
organizational performance. European Online Journal of Natural and Social
Sciences, 4(3), pp.565–581.
Ghozali, Imam dan Latan, Hengky., 2012.Partial Least Squares : Konsep, Teknik
226
dan Aplikasi Menggunakan Program SmartPLS 2.0 M3. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang. Jawa Tengah.
González-Rodríguez, M.R., Jiménez-Caballero, J.L., Martín-Samper, R.C., Köseoglu, M.A., and Okumus, F., 2018. Revisiting the link between business
strategy and performance: Evidence from hotels. International Journal of
Hospitality Management, 72(November 2017), pp.21–31.
Green, P., 2014. Measuring service quality in higher education: A South African
case study. Journal of International Education Research, 10(2), pp.131–142.
Gruber, T. Fub, S., Voss, R., and Glaeser-Zikuda, M., 2010. Examining student
satisfaction with higher education services. International Journal of Public
Sector Management, 23(2), pp.105–123.
Guan, J., Zhang, J. and Yan, Y., 2015. The impact of multilevel networks on
innovation. Research Policy, 44(3), pp.545–559.
Guan, J., Zhang, J., and Yan, Y., 2009. Innovation strategy and performance
during economic transition : Evidences in Beijing , China. Research Policy,
38, pp.802–812.
Guisado-González, M., Guisado-Tato, M. and Sandoval-Pérez, Á., 2013.
Determinants of innovation performance in Spanish hospitality companies:
analysis of the coexistence of innovation strategies. The Service Industries
Journal, 33(6), pp.580–593.
Gumport, P.J., 2000. Academic restructuring: Organizational change and
institutional imperatives. Higher Education, 39(Gumport 1993), pp.67–91.
Gunday, G. Ulusoy, G., Kilic, K., and Alpkan, L., 2011. Effects of innovation
types on firm performance. International Journal of Production Economics,
133(2), pp.662–676.
Gusmao, K.R.X., 2016. Xanana Duvidas ho S1 and S2. Diario Nacional, p.1.
de Haan, H.H., 2015. Competitive advantage, what does it really mean in the
context of public higher education institutions? International Journal of
Educational Management, 29(1), pp.44–61.
Hair, J.F. Black, W.C., Babin, B.J., and Anderson, R.E., 2010. Multivariate data
analysis Seventh ed.,
Hair, J., Hollingsworth, C. L, Randolph, A. B., Chong, A. Y. L., 2017. An updated
227
and expanded assessment of PLS-SEM in information systems research.
Industrial Management & Data Systems, 117(3), pp.442–458.
Hair, J.F. Sarstedt, M., Hopkins, L., and Kuppelwieser, V.G., 2014. Partial least
squares structural equation modeling (PLS-SEM). European Business
Review, 26(2), pp.106–121.
Hallavo, V., Kuula, M. and Putkiranta, A., 2015. Strategic roles of service sites:
application of Ferdows’s model. Benchmarking: An International Journal,
22(2), pp.186–200.
Ham, C.L., 2003. Service quality, customer satisfaction, and customer behavioral
intentions in higher education. Nova Southeastern University.
Hansen, E., Nybakk, E. and Panwar, R., 2015. Pure versus hybrid competitive
strategies in the forest sector: Performance implications. Forest Policy and
Economics, 54(1), pp.51–57.
Harrison, J. and Rouse, P., 2014. Competition and public high school
performance. Socio-Economic Planning Sciences, 48(1), pp.10–19.
Hashi, I. and Stojčić, N., 2013. The impact of innovation activities on firm
performance using a multi-stage model: Evidence from the Community
Innovation Survey 4. Research Policy, 42(2), pp.353–366.
Havenvid, M.I., 2015. Competition versus interaction as a way to promote
innovation in the construction industry. IMP Journal, 9(1), pp.46–63.
Hemsley-Brown, J. and Oplatka, I., 2006. Universities in a competitive global
marketplace: A systematic review of the literature on higher education
marketing,
Henseler, J., Hubona, R. and Ash, P., 2016. Using PLS path modeling in new
technology research: updated guidelines. Industrial Management and Data
Systems, 116(1), pp.2–20.
Henseler, J., Ringle, C.M. and Sarstedt, M., 2015. A new criterion for assessing
discriminant validity in variance-based structural equation modeling. Journal
of the Academy of Marketing Science, 43(1), pp.115–135.
Hilman, H. and Kaliappen, N., 2015. Innovation strategies and performance: are
they truly linked? World Journal of Entrepreneurship, Management and
Sustainable Development, 11(1), pp.48–63.
Hingley, M., Sodano, V. and Lindgreen, A., 2008. Differentiation strategies in
vertical channels: A case study from the market for fresh produce. British
Food Journal, 110(1), pp.42–61.
228
Ho, L.-A., 2011. Meditation, learning, organizational innovation and
performance. Industrial Management and Data Systems, 111(1), pp.113–
131.
Hodgkinson, M., 1998. The introduction of innovation in teaching and learning
within business, management and accounting. Quality Assurance in
Education, 6(1), pp.37–43.
Hopkins, L., 2015. Partial least squares structural equation modeling ( PLS-SEM )
An emerging tool in business research. European Business Review, 26(2),
pp.106–121.
Hopman, V., Rojas-Romagosa and Veenendaal, 2010. The relation between
competition and innovation: Empirical results and implementation
intoWorldScan 1, Netherland.
Hoque, Z., 2011. The relations among competition, delegation, management
accounting systems change and performance: A path model. Advances in
Accounting, 27(2), pp.266–277.
Hsiao, Y.C. and Chen, C.J., 2013. Branding vs contract manufacturing: capability,
strategy, and performance. Journal of Business and Industrial Marketing,
28(4), pp.317–334.
Hsieh, J., Chiu, H., Wei, C., Yen, H.R., and Cheng, Y., 2013. A practical
perspective on the classification of service innovations. Journal of Services
Marketing, 27(5), pp.371–384.
Hsu, P., Tian, X. and Xu, Y., 2014. Financial development and innovation: Cross-
country evidence. Journal of Financial Economics, 112(1), pp.116–135.
Hu, D., Wang, Y., Huang, J., and Huang, H., 2017. How do different innovation
forms mediate the relationship between environmental regulation and
performance? Journal of Cleaner Production, 161, pp.466–476.
Huang, H.-I. and Lee, C.-F., 2012. Strategic management for competitive
advantage: a case study of higher technical and vocational education in
Taiwan. Journal of Higher Education Policy and Management, 34(6),
pp.611–628.
Huhtala, J.P., Sihvonen, A., Frösén, J., Jaakkola, M., and Tikkanen, H., 2014.
Market orientation, innovation capability and business performance. Baltic
Journal of Management, 9(2), pp.134–152.
229
Im, H.J., Park, Y.J. and Shon, J., 2015. Product market competition and the value
of innovation: Evidence from US patent data. Economics Letters, 137,
pp.78–82.
Indounas, K., 2015. The adoption of strategic pricing by industrial service firms.
Journal of Business and Industrial Marketing, 30(5), pp.521–535.
Izogo, E.E., 2017. Customer loyalty in telecom service sector: the role of service
quality and customer commitment. The TQM Journal, 29(1), pp.19–36.
de Jager, J. and Gbadamosi, G., 2013. Predicting students’ satisfaction through
service quality in higher education. International Journal of Management
Education, 11(3), pp.107–118.
Jain, R., Sinha, G. and Sahney, S., 2011. Conceptualizing service quality in higher
education. Asian Journal on Quality, 12, pp.296–314.
Jamal, A., 2009. Investigating the effects of service quality dimensions and
expertise on loyalty. European Journal of Marketing, 43(3/4), pp.398–420.
Jajja, M.S.S. Kannan, V. R., Brah, S.A., and Hassan, S.Z., 2017. Linkages
between firm innovation strategy, suppliers, product innovation, and business
performance Insights from resource dependence theory. International
Journal of Operations & Production Management, 37(8), pp.1054–1075.
Jansen, J.J.P., van den Bosch, F.A.J. and Volberda, H.W., 2006. Exploratory
Innovation, Exploitative Innovation, and Performance: Effects of
Organizational and Environmental Moderators. Management Science,
52(11), pp.1661–1674.
Januszewski, S., 2002. Product market competition, corporate governance and
firm performance: an empirical analysis for Germany. Research in
Economics, 56(3), pp.299–332.
Jaskyte, K., 2011. Predictors of Administrative and Technological Innovations in
Nonprofi t Organizations. Public Administration Review, 71(2), pp.77–86.
Jimenez-Jimenez, D. and Sanz-Valle, R., 2011. Innovation, organizational
learning, and performance. Journal of Business Research, 64(4), pp.408–
417.
Juga, J., Juntunen, J. and Grant, D.B., 2010. Service quality and its relation to
satisfaction and loyalty in logistics outsourcing relationships. Managing
Service Quality, 20, pp.496–510.
Kafetzopoulos, D. and Psomas, E., 2015. The impact of innovation capability on
230
the performance of manufacturing companies: The Greek case. Journal of
Manufacturing Technology Management, 26(1), pp.104–130.
Kaufman, B.E., 2015. Market competition, HRM, and firm performance: The
conventional paradigm critiqued and reformulated. Human Resource
Management Review, 25(1), pp.107–125.
Kaya, N., 2015. Corporate Entrepreneurship, Generic Competitive Strategies, and
Firm Performance in Small and Medium-sized Enterprises. Procedia - Social
and Behavioral Sciences, 207, pp.662–668.
Kertiyasa, N.N., Sukaatmadja, P.G., Rahyuda, H., and Giantari, I.G.A.K., 2014.
Effect of Industry Competıtıon and Entrepreneurıal Company to
Implementatıon of Dıfferentıatıon Strategy, SME Performance, and Poverty
Allevıatıon. Asia-Pacific Management and Business Application, 3(1),
pp.14–27.
Khodayari, F. and Khodayari, B., 2011. Service Quality in Higher Education.
Interdisciplinary Journal of Research in Business, 1, pp.38–46.
Khudri, M.M. and Sultana, S., 2015. Determinants of service quality and impact
of service quality and consumer characteristics on channel selection. British
Food Journal, 117(8), pp.2078–2097.
Kilic, K. Ulusoy, G., Gunday, G., and Alpkan, L., 2015. Innovativeness,
operations priorities and corporate performance: An analysis based on a
taxonomy of innovativeness. Journal of Engineering and Technology
Management - JET-M, 35, pp.115–133.
Kim, D. Basu, C., Naidu, G. M., and Cavusgil, E., 2011. The innovativeness of
Born-Globals and customer orientation: Learning from Indian Born-Globals.
Journal of Business Research, 64(8), pp.879–886.
Kumar, G. and Banerjee, R.N., 2012. Collaboration in supply chain. International
Journal of Productivity and Performance Management, 61(8), pp.897–918.
Kwak, K. and Kim, W., 2016. Effect of service integration strategy on industrial
firm performance. , 27(3), pp.391–430.
Laforet, S., 2011. A framework of organisational innovation and outcomes in
SMEs. International Journal of Entrepreneurial Behaviour and Research,
17(4), pp.380–408.
231
Leal-rodríguez, A.L. Eldridge, S., Luis, J., Leal-millán, A.G., and Ortega-
gutiérrez, J., 2015. Organizational unlearning , innovation outcomes, and
performance : The moderating effect of fi rm size. Journal of Business
Research, 68(4), pp.803–809.
Lee, C.-L. and Yang, H.-J., 2011. Organization structure, competition and
performance measurement systems and their joint effects on performance.
Management Accounting Research, 22(2), pp.84–104.
Li, S., Ragu-Nathan, B., Ragu-Nathan, T. S. and Subba Rao, S., 2006. The impact
of supply chain management practices on competitive advantage and
organizational performance. Omega, 34(2), pp.107–124.
Li, X. and Mitchell, R.K., 2009. The pace and stability of small enterprise
innovation in highly dynamic economies: A China-based template. Journal
of Small Business Management, 47(3), pp.370–397.
Li, Y., Zhou, N. and Si, Y., 2010. Exploratory innovation, exploitative innovation,
and performance. Nankai Business Review International, 1(3), pp.297–316.
Liao, Y.-S., 2005. Business strategy and performance: the role of human resource
management control. Personnel Review, 34, pp.294–309.
Liao, Y.-S., 2011. The effect of human resource management control systems on
the relationship between knowledge management strategy and firm
performance. International Journal of Manpower, 32(5/6), pp.494–511.
Lindič, J., Bavdaž, M. and Kovačič, H., 2012. Higher growth through the Blue
Ocean Strategy: Implications for economic policy. Research Policy, 41(5),
pp.928–938.
Loof, H. and Heshmati, A., 2002. on the Relationship Between Innovation,
Stockholm, Sweden.
Lozano-Vivas, A., 2009. Measuring and explaining the impact of vertical product
differentiation on banking efficiency. Managerial Finance, 35(3), p.246.
Martirosyan, N. and Martirosyan, N., 2015. An examination of factors
contributing to student satisfaction in Armenian higher education.
International Journal of Educational Management, 29(2), pp.177–191.
Mathooko, F.M. and Ogutu, M., 2015. Porter’s five competitive forces framework
and other factors that influence the choice of response strategies adopted by
public universities in Kenya. International Journal of Educational
232
Management, 29(3), pp.334–354.
Meesala, A. and Paul, J., 2018. Service quality, consumer satisfaction and loyalty
in hospitals: Thinking for the future. Journal of Retailing and Consumer
Services, 40, pp.261–269.
Metts, G.A., 2007. Measuring the effectiveness of managerial action in SMEs.
Management Research News, 30(12), pp.892–914.
Mia, L. and Winata, L., 2014. Manufacturing strategy and organisational
performance: The role of competition and MAS information. Journal of
Accounting and Organizational Change, 10(1), pp.83–115.
Miles, P.C., 2013. Competitive strategy: the link between service characteristics
and customer satisfaction. International Journal of Quality and Service
Sciences, 5(4), pp.395–414.
Nandakumar, M.K., Ghobadian, A. and O’Regan, N., 2011. Generic strategies
and performance – evidence from manufacturing firms. International
Journal of Productivity and Performance Management, 60(3), pp.222–251.
Ndubisi, N.O. and Iftikhar, K., 2012. Relationship between entrepreneurship,
innovation and performance. Journal of Research in Marketing and
Entrepreneurship, 14(2), pp.214–236.
Neely, A., 2008. Exploring the financial consequences of the servitization of
manufacturing. Operations Management Research, 1(2), pp.103–118.
Newton, S.K., Gilinsky, A. and Jordan, D., 2015. Differentiation strategies and
winery financial performance: An empirical investigation. Wine Economics
and Policy, 4(2), pp.88–97.
Nitzl, C., Roldan, J.L. and Cepeda, G., 2016. Mediation analysis in partial least
squares path modeling. Industrial Management and Data Systems, 116(9),
pp.1849–1864.
Obembe, O.B. and Soetan, R.O., 2015. Competition, corporate governance and
corporate performance. African Journal of Economic and Management
Studies, 6(3), pp.251–271.
Oltra, M.J. and Flor, M.L., 2010. The moderating effect of business strategy on
the relationship between operations strategy and firms’ results. International
Journal of Operations and Production Management, 30(6), pp.612–638.
233
Ortega, M.J.R., 2010. Competitive strategies and firm performance:
Technological capabilities’ moderating roles. Journal of Business Research,
63(12), pp.1273–1281.
Oyewobi, L.O., Windapo, A. and Rotimi, J.O.B., 2016. Relationship between
decision-making style, competitive strategies and organisational performance
among construction organisations. Journal of Engineering, Design and
Technology, 54(9), pp.2340–2366.
Oyewobi, L.O., Windapo, A.O. and James, R.O.B., 2015. An empirical analysis
of construction organisations’ competitive strategies and performance. Built
Environment Project and Asset Management, 5(4), pp.417–431.
Parasuraman, A., Zeithaml, V.A. and Berry, L.L., 1994. Alternative scales for
measuring service quality: A comparative assessment based on psychometric
and diagnostic criteria. Journal of Retailing, 70(3), pp.201–230.
Parnell, J.A. Lester, D.L., Long, Z., and Köseoglu, M.A., 2012. How
environmental uncertainty affects the link between business strategy and
performance in SMEs: Evidence from China, Turkey, and the USA.
Management Decision, 50(4), pp.546–568.
Parnell, J.A., 2011. Strategic capabilities, competitive strategy, and performance
among retailers in Argentina, Peru and the United States. Management
Decision, 49(1), pp.139–155.
Parnell, J.A., 2010. Strategic clarity, business strategy and performance. Journal
of Strategy and Management, 3(4), pp.304–324.
Parnell, J.A. and Hershey, L., 2005. The Strategy-performance relationship
revisited: The blessing and curse of the combination strategy. International
Journal of Commerce and Management, 15(1), pp.17–33.
Patiar, A., Davidson, M.C.G. and Wang, Y., 2012. Competition, Total Quality
Management Practices, and Performance: Evidence from Upscale Hotels.
Tourism Analysis, 17(2), pp.195–211.
Patiar, A. and Mia, L., 2009. Transformational leadership style, market
competition and departmental performance: Evidence from luxury hotels in
Australia. International Journal of Hospitality Management, 28(2), pp.254–
262.
Paul, J., Mittal, A. and Srivastav, G., 2016. Impact of service quality on customer
satisfaction in private and public sector banks. International Journal of Bank
234
Marketing, 34(5), pp.606–622.
Pehrsson, A., 2016. How does a foreign subsidiary’s differentiation strategy fit
competitive dynamics and mandate? European Business Review, 28(6), p.
Perdomo-Ortiz, J., Gonzales-Benito, J. and Galende, J., 2009. The intervening
effect of business innovation capability on the relationship between Total
Quality Management and technological innovation. International Journal of
Production Research, 47(18), pp.5087–5107.
Perdomo-Ortiz, J., González-Benito, J. and Galende, J., 2006. Total quality
management as a forerunner of business innovation capability. Technovation,
26(10), pp.1170–1185.
Pesch, R. and Bouncken, R.B., 2017. The double-edged sword of cultural distance
in international alliances. Cross Cultural and Strategic Management, 24(1),
pp.33–54.
Pinho, J.C., Rodrigues, A.P. and Dibb, S., 2014. The role of corporate culture,
market orientation and organisational commitment in organisational
performance: The case of non-profit organisations. Journal of Management
Development, 33, pp.374–398.
Porter, M.E., 1985. Competitive Advantage - Creating and Sustaining Superior
Performance, New York: The Free Press.
Porter, M.E., 1980. Competitive strategy: Techniques for analyzing industries and
companies, New York: The Free Press.
Porter, M.E., 1991. Towards a dynamic theory of strategy. Strategic Management
Journal, 12, pp.95–117.
Powers, T.L. and Hahn, W., 2004. Critical competitive methods, generic
strategies, and firm performance. International Journal of Bank Marketing,
22(1), pp.43–64.
Prajogo, D.I., 2016. The strategic fit between innovation strategies and business
environment in delivering business performance. International Journal of
Production Economics, 171, pp.241–249.
Pucciarelli, F. and Kaplan, A., 2016. Competition and strategy in higher
education: Managing complexity and uncertainty. Business Horizons, 59(3),
pp.311–320.
235
Puni, A. and Anlesinya, A., 2017. Whistleblowing propensity in power distance
societies. Journal of Global Responsibility, 8(2), pp.212–224.
Ramayah, T., Samat, N. and Lo, M., 2011. Market orientation, service quality and
organizational performance in service organizations in Malaysia. Asia-
Pacific Journal of Business Administration, 3(1), pp.8–27.
Ringle, C.M. and Sarstedt, M., 2016. analysis Gain more insight from your PLS-
SEM results The importance-performance map analysis.
Roemer, E., 2016. A tutorial on the use of PLS path modeling in longitudinal
studies. Industrial Management and Data Systems, 116(9), pp.1901–1921.
Rosenbusch, N., Brinckmann, J. and Bausch, A., 2011. Is branding always
beneficial? A meta-analysis of the relationship between branding and
performance in SMEs. Journal of Business Venturing, 26, pp.441–457.
Rubio, A. and Aragón, A., 2009. SMES Competitive Behavior: Strategic
Resources and Strategies. Management Research, 7(3), pp.171–190.
Sahney, S. and Thakkar, J., 2016. A comparative assessment of the performance
of select higher education institutes in India. Quality Assurance in
Education, 24(2), pp.278–302.
Salavou, H., 2010. Strategy types of service firms: evidence from Greece.
Management Decision, 48(7), pp.1033–1047.
Salavou, H.E., 2015. Competitive strategies and their shift to the future. European
Business Review, 27(1), pp.80–99.
Salavou, H.E., 2013. Hybrid strategies in Greece: a pleasant surprise. European
Business Review, 25(3), pp.301–314.
Sánchez, A.A., Marín, G.S. and Morales, A.M., 2015. The mediating effect of
strategic human resource practices on knowledge management and firm
performance. Revista Europea de Dirección y Economía de la Empresa,
24(3), pp.138–148.
Santos, D.F.L., Basso, L.F.C., Kimura, H., and Kayo, E.K., 2014. Innovation
efforts and performances of Brazilian firms. Journal of Business Research,
67(4), pp.527–535.
Secundo, G. and Elia, G., 2014. A performance measurement system for academic
entrepreneurship: a case study. Measuring Business Excellence, 18(3),
pp.23–37.
236
El Shafeey, T. and Trott, P., 2014. Resource-based competition: three schools of
thought and thirteen criticisms. European Business Review, 26(2), pp.122–
148.
Shao, B.B.M. and Lin, W.T., 2016. Assessing output performance of information
technology service industries: Productivity, innovation and catch-up.
International Journal of Production Economics, 172, pp.43–53.
Sharma, M.K.R., 2017. Comparative analyses of competitive advantage using
Porter diamond model (the case of MSMEs in Himachal Pradesh).
Competitiveness Review: An International Business Journal ,, 27(2), p.
Shi-Huei Ho, S. and Yao-Ping Peng, M., 2016. Managing Resources and
Relations in Higher Education Institutions: A Framework for Understanding
Performance Improvement. Educational Sciences: Theory and Practice,
16(1), pp.279–300.
Silvestro, R., 2014. Performance topology mapping: Understanding the drivers of
performance. International Journal of Production Economics, 156, pp.269–
282.
Sivo, S.A., Saunders, C. and Jiang, J.J., 2004. How Low Should You Go ? Low
Response Rates and the Validity of Inference in IS Questionnaire Research
1. Journal of The Association for Information Systems, 7(6), pp.351–414.
Soares, A.J. (2018). Private Interview. Dili, Timor-Leste, Rector, Institute of
Business (IOB).
Soltanizadeh, S., Rasid, S.Z.A., Golshan, N. M., and Ismail, W.K.W., 2016.
Business strategy, enterprise risk management and organizational
performance. Management Research Review, 39(9), pp.1016–1033.
Soutar, G. and McNeil, M., 1996. Measuring service quality in a tertiary
institution. Journal of Educational Administration, 34(1), pp.72–82.
Spencer, X.S.Y., Joiner, T.A. and Salmon, S., 2009. Differentiation strategy,
performance measurement systems and organizational performance:
evidence from Australia. International Journal Of Business, 14(1), pp.83–
103.
Storey, C. and Hull, F.M., 2010. Service development success: a contingent
approach by knowledge strategy. Journal of Service Management, 21(2),
pp.140–161.
Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods) Cet. ke-1.,
Bandung: Penerbit Alfabeta.
237
Teeratansirikool, L., Siengthai, S., Badir, Y., and Charoenngam, C., 2013.
Competitive strategies and firm performance: the mediating role of
performance measurement. International Journal of Productivity and
Performance Management, 62(2), pp.168–184.
Teller, C., Alexander, A. and Floh, A., 2016. The impact of competition and
cooperation on the performance of a retail agglomeration and its stores.
Industrial Marketing Management, 52, pp.6–17.
Theilen, B., 2012. Product differentiation and competitive pressure. Journal of
Economics/ Zeitschrift fur Nationalokonomie, 107(3), pp.257–266.
Tomlinson, P.R., 2010. Co-operative ties and innovation: Some new evidence for
UK manufacturing. Research Policy, 39(6), pp.762–775.
Torres, P.M., Lisboa, J.V. and Yasin, M.M., 2014. E-commerce strategies and
corporate performance: an empirical investigation. Competitiveness Review,
24(5), pp.463–481.
Trivellas, P. and Dargenidou, D., 2009. Leadership and service quality in higher
education. International Journal of Quality and Service Sciences, 1(3),
pp.294–310.
Tuanmat, T.Z. and Smith, M., 2011. The effects of changes in competition,
technology and strategy on organizational performance in small and medium
manufacturing companies. Asian Review of Accounting, 19(3), pp.208–220.
Uzkurt, C., Kumar, R., Kimzan, H.S., and Eminoglu, G., 2013. Role of innovation
in the relationship between organizational culture and firm performance A
study of the banking sector in Turkey. European Journal of Innovation
Management, 16(1), pp.92–117.
Valaei, N., 2017. VINE Journal of Information and Knowledge Management
Systems. VINE Journal of Information and Knowledge Management
Systems, 47(1), p.
Valaei, N. and Jiroudi, S., 2016. Job satisfaction and job performance in the media
industry. Asia Pacific Journal of Marketing and Logistics, 28(5), pp.984–
1014.
Valos, M.J., Bednall, D.H.B. and Callaghan, B., 2007. The impact of Porter’s
strategy types on the role of market research and customer relationship
management. Marketing Intelligence and Planning, 25(2), pp.147–156.
238
Vermeulen, P.A.M., De Jong, J.P.J. and O’Shaughnessy, K.C., 2005. Identifying
key determinants for new product introductions and firm performance in
small service firms. Service Industries Journal, 25(5), pp.625–640.
Vij, S. and Bedi, H.S., 2016. Are subjective business performance measures
justified? International Journal of Productivity and Performance
Management, 65(5).
Wang, C.L. and Ahmed, P.K., 2004. The Development and Validation of the
Organisational Innovativeness Construct Using Confirmatory Factor
Analysis. European Journal of Innovation Management, 7(4), pp.303–313.
Wonglimpiyarat, J., 2010. Innovation index and the innovative capacity of
nations. Futures, 42(3), pp.247–253.
Wu, P., Gao, L. and and Gu, T., 2015. Business strategy, market competition and
earnings management. Chinese Management Studies, 9(3), pp.401–424.
Yam, R.C.M., Lo, W., Tang, E.P.Y., and Lau, A.K.W., 2011. Analysis of sources
of innovation, technological innovation capabilities, and performance: An
empirical study of Hong Kong manufacturing industries. Research Policy,
40(3), pp.391–402.
Yuliansyah, Y., Gurd, B. and Mohamed, N., 2017. The significant of business
strategy in improving organizational performance. Humanomics, 33(1),
pp.56–74.
Yuliansyah, Y., Rammal, H.G. and Rose, E., 2016. Business strategy and
performance in Indonesia’s service sector. Journal of Asia Business Studies,
10(2), pp.164–182.
Zameer, H., Tara, A., Kausar, U., and Mohsin, A., 2015. Impact of service
quality, corporate image and customer satisfaction towards customers’
perceived value. International Journal of Bank Marketing, 33(4), p.
Zebal, A.M. and Goodwin, D.R., 2012. Market orientation and performance in
private universities. Marketing Intelligence and Planning, 30(3), pp.339–
357.
Zehir, C., Altindag, E. and Acar, A.Z., 2011. The effects of relationship
orientation through innovation orientation on firm performance: An
empirical study on Turkish family-owned firms. In Procedia - Social and
Behavioral Sciences. Elsevier B.V., pp. 896–908.
Zehir, C., Can, E. and Karaboga, T., 2015. Linking Entrepreneurial Orientation to
Firm Performance: The Role of Differentiation Strategy and Innovation
239
Performance. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 210, pp.358–367.
Zubielqui, G.C., Jones, J., Seet, P., and Lindsay, N., 2015. Knowledge transfer
between actors in the innovation system: a study of higher education
institutions (HEIS) and SMES. Journal of Business and Industrial
Marketing, 30(3/4), pp.436–458.
240
LAMPIRAN 1. KUESIONER PENELITIAN
Yang Terhormat Bapak/Ibu Responden,
Perkenalkan saya, Estanislau de Sousa Saldanha, mahasiswa Universitas
Udayana Bali dengan Program Studi Doktor Ilmu Manajemen (DIM) yang sedang
melakukan penelitian untuk menyusun disertasi dengan Judul: “Peran Strategi
Bisnis Dalam Memediasi Hubungan Persaingan Industri dengan Kinerja
Industri (Studi Pada Industri Jasa Pendidikan Tinggi di Timor-Leste)”. Oleh
karena itu, dengan kerendahan hati saya memohon kesediaan Bapak/Ibu untuk
membantu mengisi kuisioner ini.
Mohon kepada Bapak/Ibu untuk memberikan jawaban yang sejujur-
jujurnya dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Jawaban Bapak/Ibu tidak
akan berpengaruh pada diri Bapak/Ibu, karena penelitian ini dilakukan dengan
tujuan hanya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Demikian juga, data dan
informasi dari Bapak/Ibu akan dijaga kerahasiaannya.
Demikian dan atas kesediaan, serta bantuan Bapak/Ibu dalam mengisi
kuesioner ini, sebelumnya saya haturkan terima kasih.
Hormat kami,
Estanislau de Sousa Saldanha.
241
KUESIONER PENELITIAN
A. PENGENALAN PERGURUAN TINGGI
Nama Perguruan Tinggi
Tahun Mulai Beroperasi
Status Perguruan Tinggi
[1] Negeri [2]. Swasta
Jenis Perguruan Tinggi
[1]. Universitas [2]. Akademi/Institut
Waktu Pendirian
No Telepon
Alamat Perguruan Tinggi
B. PROFIL RESPONDEN
Nama Responden
Jenis Kelamin
[1] Laki-laki [2] Perempuan
Tingkat Pendidikan
[1] Sarjana [2]. Master [3]. Doktor
Jabatan
[1] Ketua Jurusan [2]. Wakil Ketua Jurusan
C. KETERANGAN
1 Pada kolom isian, mohon isilah jawaban dengan jujur dan benar.
2 Pada kolom pilihan, mohon lingkari satu jawaban yang sesuai dengan
kenyataan.
242
I. INFORMASI VARIABEL PERSAINGAN INDUSTRI (INDUSTRIAL
COMPETITION)
Lingkarilah angka yang paling sesuai dengan penilaian anda, dengan
berpedoman pada: 1 = Sangat Tidak Setuju; 2 = Tidak Setuju; 3 = Netral;
4 = Setuju; dan 5 = Sangat Setuju.
No Pernyataan Jawaban
1.1 Intensitas Persaingan Industri
1.11 Perguruan tinggi kami menghadapi
intensitas persaingan dengan
meningkatnya jumlah perguruan tinggi.
1 2 3 4 5
1.12 Perguruan tinggi kami menghadapi
intensitas persaingan untuk mendapatkan
dosen bergelar master dan doktor dalam
tiga tahun terakhir.
1 2 3 4 5
1.13 Perguruan tinggi kami menghadapi
intensitas persaingan uang kuliah. 1 2 3 4 5
1.14 Perguruan tinggi kami menghadapi
intensitas persaingan biaya promosi. 1 2 3 4 5
1.2. Ancaman pengganti
1.21 Keberadaan perguruan tinggi-perguruan
tinggi luar negeri meningkatkan
persaingan antara perguruan tinggi.
1 2 3 4 5
1.22 Perubahan tuntutan kompetensi
perusahaan swasta meningkatkan
persaingan perguruan tinggi.
1 2 3 4 5
1.23 Keberadaan pusat pelatihan berbasis
kompetensi meningkatkan persaingan
perguruan tinggi.
1 2 3 4 5
1.3. Kekuatan tawar-menawar pembeli
1.31 Keluarga mahasiswa memiliki kekuatan
untuk meningkatkan persaingan
perguruan tinggi.
1 2 3 4 5
1.32 Penyedia kerja mempunyai kekuatan
untuk meningkatkan persaingan
perguruan tinggi.
1 2 3 4 5
1.33 Mahasiswa memiliki kekuatan untuk
meningkatkan persaingan perguruan
tinggi.
1 2 3 4 5
1.34 Pemerintah memiliki kekuatan untuk
meningkatkan persaingan perguruan
tinggi.
1 2 3 4 5
1.4. Kekuatan tawar-menawar pemacok
1.41 Keberadaan tenaga dosen tetap kami
membuat posisi tawar menawar
perguruan tinggi kami lebih baik.
1 2 3 4 5
1.42 Keberadaan staf administrasi kami
membuat posisi tawar menawar
perguruan tinggi kami lebih baik.
1 2 3 4 5
243
No Pernyataan Jawaban
1.43 Keberadaan tenaga dosen tidak tetap
kami membuat posisi tawar menawar
perguruan tinggi kami lebih baik.
1 2 3 4 5
1.5. Ancaman masuk pendatang baru
1.51 Regulasi pendirian perguruan tinggi baru
dari Kementerian Pendidikan Timor-
Leste dapat menghambat pendirian
perguruan tinggi baru.
1 2 3 4 5
1.52 Modal minimum yang dibutuhkan
menghambat pendirian perguruan tinggi
baru.
1 2 3 4 5
1.53 Peraturan pemerintah tentang operasi
perguruan tinggi menghambat pendirian
perguruan tinggi baru.
1 2 3 4 5
1.54 Duplikasi program studi perguruan tinggi
meningkatkan persaingan perguruan
tinggi.
1 2 3 4 5
II. INFORMASI VARIABEL STRATEGI DIFERENSIASI
(DIFFERENTIATION STRATEGY)
Lingkarilah angka yang paling sesuai dengan penilaian anda, dengan
berpedoman pada: 1 = Sangat Tidak Setuju; 2 = Tidak Setuju; 3 = Netral;
4 = Setuju; dan 5 = Sangat Setuju. No Pernyataan Jawaban
2.11 Perguruan tinggi kami memiliki program studi berbeda
dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi yang lain. 1 2 3 4 5
2.12 Perguruan tinggi kami memiliki kualitas keahlian lulusan
yang tinggi 1 2 3 4 5
2.13 Perguruan tinggi kami memiliki kualitas pelayanan berbeda
dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi yang lain. 1 2 3 4 5
III. INFORMASI VARIABEL STRATEGI BIAYA RENDAH (COST
LEADERSHIP)
Lingkarilah angka yang paling sesuai dengan penilaian anda, dengan
berpedoman pada: 1 = Sangat Tidak Setuju; 2 = Tidak Setuju; 3 = Netral;
4 = Setuju; dan 5 = Sangat Setuju.
No Pernyataan Jawaban
3.11 Perguruan tinggi kami melakukan efisiensi biaya yang tinggi 1 2 3 4 5
3.12 Biaya operasional perguruan tinggi kami lebih rendah
daripada perguruan tinggi-perguruan tinggi yang lain. 1 2 3 4 5
3.13 Biaya kuliah per mahasiswa di perguruan tinggi kami lebih
rendah daripada perguruan tinggi-perguruan tinggi yang
lain.
1 2 3 4 5
244
IV. INFORMASI VARIABEL FOKUS PELAYANAN (FOCUS SERVICE
STRATEGY)
Lingkarilah angka yang paling sesuai dengan penilaian anda terhadap
pernyataan-pernyataan berikut, dengan berpedoman pada: 1 = Sangat
Tidak Setuju; 2 = Tidak Setuju; 3 = Netral; 4 = Setuju; dan 5 = Sangat
Setuju.
No Pernyataan Jawaban
4.11 Pergurun tinggi kami memiliki dosen
kompeten yang selalu membantu mahasiswa 1 2 3 4 5
4.12 Perguruan tinggi kami memiliki fasilitas
pengajaran sesuai dengan harapan mahasiswa. 1 2 3 4 5
4.13 Perguruan tinggi kami melayani mahasiswa
berbasis kualitas jasa. 1 2 3 4 5
4.14 Perguruan tinggi kami tanggap dalam
melayani permintaan mahasiswa. 1 2 3 4 5
4.15 Perguruan tinggi kami memberikan perhatian
yang baik kepada semua mahasiswa. 1 2 3 4 5
V. INFORMASI VARIABEL INOVASI (INNOVATION)
Lingkarilah angka yang paling sesuai dengan penilaian anda, dengan
berpedoman pada: 1 = Sangat Tidak Setuju; 2 = Tidak Setuju; 3 = Netral;
4 = Setuju; dan 5 = Sangat Setuju.
No Pernyataan Jawaban
5.11 Perguruan tinggi kami menggunakan kurikulum
inovatif sesuai dengan perubahan tuntutan pasar. 1 2 3 4 5
5.12 Perguruan tinggi kami sering mengenalkan
metode belajar mengajar baru. 1 2 3 4 5
5.13 Perguruan tinggi kami menggunakan teknologi
baru untuk mendukung kegiatan belajar-
mengajar.
1 2 3 4 5
245
VI. INFORMASI VARIABEL KINERJA INDUSTRI (INDUSTRIAL
PERFORMANCE)
Lingkarilah angka yang paling sesuai dengan penilaian anda terhadap
pernyataan-pernyataan berikut, dengan berpedoman pada: 1 = Sangat
Tidak Setuju; 2 = Tidak Setuju; 3 = Netral; 4 = Setuju; dan 5 = Sangat
Setuju.
No Pernyataan Jawaban
6.1 Kinerja Belajar dan Mengajar
6.11 Mahasiswa kami puas terhadap
pelayanan kegiatan belajar dan
mengajar di perguruan tinggi ini.
1 2 3 4 5
6.12 Tingkat drop out mahasiswa di
Perguruan Tinggi kami rendah.
1 2 3 4 5
6.13 Penyedia lapangan kerja puas
terhadap keahlian alumni kami.
1 2 3 4 5
6.14 Alumni Perguruan Tinggi kami
banyak yang terserap dalam lapangan
kerja.
1 2 3 4 5
6.15 Perguruan Tinggi kami mengalami
pertumbuhan pendaftaran jumlah
mahasiswa dalam tiga tahun terakhir.
1 2 3 4 5
6.2. Kinerja Penelitian
6.21 Perguruan tinggi kami banyak
melakukan publikasi di jurnal
nasional dan internasional.
1 2 3 4 5
6.22 Staf Perguruan Tinggi kami banyak
berpartisipasi dalam kegiatan ilmiah
baik sebagai peserta maupun
pemakalah.
1 2 3 4 5
6.23 Penelitian-penelitian Perguruan
Tinggi kami banyak mendatangkan
dana dalam tiga tahun terakhir.
1 2 3 4 5
6.24 Perguruan Tinggi kami melakukan
penelitian yang berdampak besar
bagi masyarakat
1 2 3 4 5
6.3. Kinerja Pelayanan Masyarakat
6.31 Kegiatan konseling Perguruan Tinggi
kami kepada mahasiswa mengalami
peningkatan selama tiga tahun
terakhir.
1 2 3 4 5
246
No Pernyataan Jawaban
6.32 Kegiatan pelayanan masyarakat
Perguruan Tinggi kami mengalami
peningkatan selama tiga tahun
terakhir.
1 2 3 4 5
6.33. Staf Perguruan Tinggi kami yang
berpartisipasi dalam pengembangan
kurikulum mengalami peningkatan
selama tiga tahun terakhir.
1 2 3 4 5
6.4. Kinerja Keuangan dan Pemasaran
6.41 Tingkat pertumbuhan pengembalian
investasi Perguruan Tinggi kami
mengalami peningkatan selama tiga
tahun terakhir.
1 2 3 4 5
6.42 Pertumbuhan surplus Perguruan
Tinggi kami sangat tinggi dalam tiga
tahun terakhir.
1 2 3 4 5
6.43 Pertumbuhan pendapatan total
Perguruan Tinggi kami sangat tinggi
dalam tiga tahun terakhir.
1 2 3 4 5
6.44 Penguasaan pangsa pasar Perguruan
Tinggi kami mengalami peningkatan
tinggi dalam tiga tahun terakhir.
1 2 3 4 5
247
LAMPIRAN 2. UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMEN
PENELITIAN (30 SAMPEL)
Uji validitas Pearsson Correlation Warning # 849 in column 23. Text: in_ID
The LOCALE subcommand of the SET command has an invalid parameter. It could
not be mapped to a valid backend locale. CORRELATIONS
/VARIABLES=IC11 IC12 IC13 IC14 IC1
/PRINT=TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Correlations
IC11 IC12 IC13 IC14 IC1
IC11 Pearson Correlation 1 ,368* ,196 ,252 ,589**
Sig. (2-tailed) ,046 ,300 ,179 ,001
N 30 30 30 30 30
IC12 Pearson Correlation ,368* 1 ,341 ,296 ,725**
Sig. (2-tailed) ,046 ,066 ,112 ,000
N 30 30 30 30 30
IC13 Pearson Correlation ,196 ,341 1 ,626** ,760**
Sig. (2-tailed) ,300 ,066 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30
IC14 Pearson Correlation ,252 ,296 ,626** 1 ,777**
Sig. (2-tailed) ,179 ,112 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30
IC1 Pearson Correlation ,589** ,725** ,760** ,777** 1
Sig. (2-tailed) ,001 ,000 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
CORRELATIONS
/VARIABLES=IC21 IC22 IC23 IC2
/PRINT=TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Correlations
IC21 IC22 IC23 IC2
IC21 Pearson Correlation 1 ,525** ,363* ,795**
Sig. (2-tailed) ,003 ,049 ,000
N 30 30 30 30
IC22 Pearson Correlation ,525** 1 ,595** ,861**
Sig. (2-tailed) ,003 ,001 ,000
N 30 30 30 30
IC23 Pearson Correlation ,363* ,595** 1 ,786**
Sig. (2-tailed) ,049 ,001 ,000
N 30 30 30 30
IC2 Pearson Correlation ,795** ,861** ,786** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000
N 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
248
CORRELATIONS
/VARIABLES=IC31 IC32 IC33 IC34 IC3
/PRINT=TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Correlations
IC31 IC32 IC33 IC34 IC3
IC31 Pearson Correlation 1 ,427* -,053 ,296 ,618**
Sig. (2-tailed) ,018 ,780 ,112 ,000
N 30 30 30 30 30
IC32 Pearson Correlation ,427* 1 ,237 ,539** ,792**
Sig. (2-tailed) ,018 ,208 ,002 ,000
N 30 30 30 30 30
IC33 Pearson Correlation -,053 ,237 1 ,494** ,577**
Sig. (2-tailed) ,780 ,208 ,006 ,001
N 30 30 30 30 30
IC34 Pearson Correlation ,296 ,539** ,494** 1 ,818**
Sig. (2-tailed) ,112 ,002 ,006 ,000
N 30 30 30 30 30
IC3 Pearson Correlation ,618** ,792** ,577** ,818** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,001 ,000
N 30 30 30 30 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
CORRELATIONS
/VARIABLES=IC41 IC42 IC43 IC4
/PRINT=TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Correlations
IC41 IC42 IC43 IC4
IC41 Pearson Correlation 1 ,487** ,246 ,730**
Sig. (2-tailed) ,006 ,190 ,000
N 30 30 30 30
IC42 Pearson Correlation ,487** 1 ,509** ,865**
Sig. (2-tailed) ,006 ,004 ,000
N 30 30 30 30
IC43 Pearson Correlation ,246 ,509** 1 ,745**
Sig. (2-tailed) ,190 ,004 ,000
N 30 30 30 30
IC4 Pearson Correlation ,730** ,865** ,745** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000
N 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
249
CORRELATIONS
/VARIABLES=IC51 IC52 IC53 IC54 IC5
/PRINT=TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Correlations
IC51 IC52 IC53 IC54 IC5
IC51 Pearson Correlation 1 ,450* ,366* ,393* ,729**
Sig. (2-tailed) ,013 ,047 ,032 ,000
N 30 30 30 30 30
IC52 Pearson Correlation ,450* 1 ,292 ,554** ,770**
Sig. (2-tailed) ,013 ,118 ,001 ,000
N 30 30 30 30 30
IC53 Pearson Correlation ,366* ,292 1 ,413* ,656**
Sig. (2-tailed) ,047 ,118 ,023 ,000
N 30 30 30 30 30
IC54 Pearson Correlation ,393* ,554** ,413* 1 ,826**
Sig. (2-tailed) ,032 ,001 ,023 ,000
N 30 30 30 30 30
IC5 Pearson Correlation ,729** ,770** ,656** ,826** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
CORRELATIONS
/VARIABLES=DS1 DS2 DS3 DS /PRINT=TWOTAIL NOSIG
/MISSING=PAIRWISE.
Correlations
DS1 DS2 DS3 DS
DS1 Pearson Correlation 1 ,200 ,492** ,762**
Sig. (2-tailed) ,289 ,006 ,000
N 30 30 30 30
DS2 Pearson Correlation ,200 1 ,656** ,721**
Sig. (2-tailed) ,289 ,000 ,000
N 30 30 30 30
DS3 Pearson Correlation ,492** ,656** 1 ,895**
Sig. (2-tailed) ,006 ,000 ,000
N 30 30 30 30
DS Pearson Correlation ,762** ,721** ,895** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000
N 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
250
CORRELATIONS
/VARIABLES=CL1 CL2 CL3 CL
/PRINT=TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Correlations
CL1 CL2 CL3 CL
CL1 Pearson Correlation 1 ,302 ,173 ,663**
Sig. (2-tailed) ,105 ,361 ,000
N 30 30 30 30
CL2 Pearson Correlation ,302 1 ,727** ,865**
Sig. (2-tailed) ,105 ,000 ,000
N 30 30 30 30
CL3 Pearson Correlation ,173 ,727** 1 ,794**
Sig. (2-tailed) ,361 ,000 ,000
N 30 30 30 30
CL Pearson Correlation ,663** ,865** ,794** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000
N 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
CORRELATIONS
/VARIABLES=FS1 FS2 FS3 FS4 FS5 FS /PRINT=TWOTAIL NOSIG
/MISSING=PAIRWISE.
Correlations
FS1 FS2 FS3 FS4 FS5 FS
FS1 Pearson Correlation 1 ,661** ,597** ,550** ,696** ,821**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,002 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30 30
FS2 Pearson Correlation ,661** 1 ,720** ,493** ,729** ,881**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,006 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30 30
FS3 Pearson Correlation ,597** ,720** 1 ,497** ,660** ,855**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,005 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30 30
FS4 Pearson Correlation ,550** ,493** ,497** 1 ,637** ,732**
Sig. (2-tailed) ,002 ,006 ,005 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30 30
FS5 Pearson Correlation ,696** ,729** ,660** ,637** 1 ,883**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30 30
FS Pearson Correlation ,821** ,881** ,855** ,732** ,883** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
251
CORRELATIONS
/VARIABLES=IN1 IN2 IN3 IN
/PRINT=TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Correlations
IN1 IN2 IN3 IN
IN1 Pearson Correlation 1 ,610** ,630** ,811**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000
N 30 30 30 30
IN2 Pearson Correlation ,610** 1 ,775** ,915**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000
N 30 30 30 30
IN3 Pearson Correlation ,630** ,775** 1 ,921**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000
N 30 30 30 30
IN Pearson Correlation ,811** ,915** ,921** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000
N 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
CORRELATIONS
/VARIABLES=IP11 IP12 IP13 IP14 IP15 IP1 /PRINT=TWOTAIL NOSIG
/MISSING=PAIRWISE.
Correlations
IP11 IP12 IP13 IP14 IP15 IP1
IP11 Pearson Correlation 1 ,412* ,715** ,641** ,300 ,827**
Sig. (2-tailed) ,024 ,000 ,000 ,108 ,000
N 30 30 30 30 30 30
IP12 Pearson Correlation ,412* 1 ,383* ,586** ,117 ,730**
Sig. (2-tailed) ,024 ,037 ,001 ,539 ,000
N 30 30 30 30 30 30
IP13 Pearson Correlation ,715** ,383* 1 ,509** ,231 ,768**
Sig. (2-tailed) ,000 ,037 ,004 ,220 ,000
N 30 30 30 30 30 30
IP14 Pearson Correlation ,641** ,586** ,509** 1 ,221 ,804**
Sig. (2-tailed) ,000 ,001 ,004 ,240 ,000
N 30 30 30 30 30 30
IP15 Pearson Correlation ,300 ,117 ,231 ,221 1 ,500**
Sig. (2-tailed) ,108 ,539 ,220 ,240 ,005
N 30 30 30 30 30 30
IP1 Pearson Correlation ,827** ,730** ,768** ,804** ,500** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000 ,005
N 30 30 30 30 30 30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
252
CORRELATIONS
/VARIABLES=IP21 IP22 IP23 IP24 IP2
/PRINT=TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Correlations
IP21 IP22 IP23 IP24 IP2
IP21 Pearson Correlation 1 ,538** ,701** ,432* ,793**
Sig. (2-tailed) ,002 ,000 ,017 ,000
N 30 30 30 30 30
IP22 Pearson Correlation ,538** 1 ,544** ,742** ,860**
Sig. (2-tailed) ,002 ,002 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30
IP23 Pearson Correlation ,701** ,544** 1 ,546** ,823**
Sig. (2-tailed) ,000 ,002 ,002 ,000
N 30 30 30 30 30
IP24 Pearson Correlation ,432* ,742** ,546** 1 ,839**
Sig. (2-tailed) ,017 ,000 ,002 ,000
N 30 30 30 30 30
IP2 Pearson Correlation ,793** ,860** ,823** ,839** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
CORRELATIONS /VARIABLES=IP31 IP32 IP33 IP3
/PRINT=TWOTAIL NOSIG
/MISSING=PAIRWISE.
Correlations
IP31 IP32 IP33 IP3
IP31 Pearson Correlation 1 ,630** ,122 ,797**
Sig. (2-tailed) ,000 ,521 ,000
N 30 30 30 30
IP32 Pearson Correlation ,630** 1 ,364* ,865**
Sig. (2-tailed) ,000 ,048 ,000
N 30 30 30 30
IP33 Pearson Correlation ,122 ,364* 1 ,623**
Sig. (2-tailed) ,521 ,048 ,000
N 30 30 30 30
IP3 Pearson Correlation ,797** ,865** ,623** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000
N 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
253
CORRELATIONS
/VARIABLES=IP41 IP42 IP43 IP44 IP4
/PRINT=TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Correlations
IP41 IP42 IP43 IP44 IP4
IP41 Pearson Correlation 1 ,855** ,840** ,406* ,913**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,026 ,000
N 30 30 30 30 30
IP42 Pearson Correlation ,855** 1 ,801** ,399* ,902**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,029 ,000
N 30 30 30 30 30
IP43 Pearson Correlation ,840** ,801** 1 ,471** ,909**
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,009 ,000
N 30 30 30 30 30
IP44 Pearson Correlation ,406* ,399* ,471** 1 ,673**
Sig. (2-tailed) ,026 ,029 ,009 ,000
N 30 30 30 30 30
IP4 Pearson Correlation ,913** ,902** ,909** ,673** 1
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000
N 30 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
UJI RELIABILITAS INSTRUMEN PENELITIAN (30 SAMPEL)
Reliability IC 1
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.764 4
254
Reliability IC2
Scale: ALL VARIABLES
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.878 3
Reliability IC3
Scale: ALL VARIABLES
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.904 4
255
Reliability IC4
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.796 3
Reliability IC5
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.771 4
256
Reliability DS
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.901 3
Reliability CL
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.790 3
257
Reliability FS
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.921 5
Reliability IN
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.956 3
258
Reliability IP1
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.933 5
Reliability IP2
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.881 4
259
Reliability IP3
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.829 2
Reliability IP4
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0
Total 30 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.901 4
260
LAMPIRAN 3. HASIL ANALISIS DESKRIPTIF
Frequencies
Jenis_kelamin
97 74,6 74,6 74,6
33 25,4 25,4 100,0
130 100,0 100,0
Laki-laki
Perempuan
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
Pendidikan
50 38,5 38,5 38,5
76 58,5 58,5 96,9
4 3,1 3,1 100,0
130 100,0 100,0
S1
S2
S3
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
Jabatan
95 73,1 73,1 73,1
35 26,9 26,9 100,0
130 100,0 100,0
Ketua jurusan
Wakil ketua jurusan
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
Nama_PT
12 9,2 9,2 9,2
12 9,2 9,2 18,5
1 ,8 ,8 19,2
3 2,3 2,3 21,5
6 4,6 4,6 26,2
4 3,1 3,1 29,2
6 4,6 4,6 33,8
9 6,9 6,9 40,8
33 25,4 25,4 66,2
13 10,0 10,0 76,2
31 23,8 23,8 100,0
130 100,0 100,0
DIT
ETCI
ICFP
ICR
IOB
IPDC
ISC
UNDIL
UNITAL
UNPAZ
UNTL
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
261
Status_PT
31 23,8 23,8 23,8
99 76,2 76,2 100,0
130 100,0 100,0
Negeri
Swasta
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
Jenis_PT
87 66,9 66,9 66,9
43 33,1 33,1 100,0
130 100,0 100,0
Univ ersitas
Institut
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulativ e
Percent
IC11
5 3,8 3,8 3,8
10 7,7 7,7 11,5
13 10,0 10,0 21,5
68 52,3 52,3 73,8
34 26,2 26,2 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IC12
6 4,6 4,6 4,6
13 10,0 10,0 14,6
14 10,8 10,8 25,4
65 50,0 50,0 75,4
32 24,6 24,6 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IC13
16 12,3 12,3 12,3
21 16,2 16,2 28,5
31 23,8 23,8 52,3
43 33,1 33,1 85,4
19 14,6 14,6 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
262
IC14
9 6,9 6,9 6,9
28 21,5 21,5 28,5
30 23,1 23,1 51,5
52 40,0 40,0 91,5
11 8,5 8,5 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IC21
7 5,4 5,4 5,4
13 10,0 10,0 15,4
16 12,3 12,3 27,7
66 50,8 50,8 78,5
28 21,5 21,5 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IC22
3 2,3 2,3 2,3
12 9,2 9,2 11,5
19 14,6 14,6 26,2
70 53,8 53,8 80,0
26 20,0 20,0 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IC23
4 3,1 3,1 3,1
5 3,8 3,8 6,9
16 12,3 12,3 19,2
80 61,5 61,5 80,8
25 19,2 19,2 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
263
IC31
2 1,5 1,5 1,5
10 7,7 7,7 9,2
26 20,0 20,0 29,2
69 53,1 53,1 82,3
23 17,7 17,7 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IC32
6 4,6 4,6 4,6
24 18,5 18,5 23,1
76 58,5 58,5 81,5
24 18,5 18,5 100,0
130 100,0 100,0
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IC33
4 3,1 3,1 3,1
8 6,2 6,2 9,2
16 12,3 12,3 21,5
65 50,0 50,0 71,5
37 28,5 28,5 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IC34
2 1,5 1,5 1,5
13 10,0 10,0 11,5
21 16,2 16,2 27,7
67 51,5 51,5 79,2
27 20,8 20,8 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
264
IC41
2 1,5 1,5 1,5
15 11,5 11,5 13,1
27 20,8 20,8 33,8
58 44,6 44,6 78,5
28 21,5 21,5 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IC42
3 2,3 2,3 2,3
16 12,3 12,3 14,6
24 18,5 18,5 33,1
70 53,8 53,8 86,9
17 13,1 13,1 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IC43
9 6,9 6,9 6,9
28 21,5 21,5 28,5
38 29,2 29,2 57,7
43 33,1 33,1 90,8
12 9,2 9,2 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IC51
5 3,8 3,8 3,8
16 12,3 12,3 16,2
25 19,2 19,2 35,4
63 48,5 48,5 83,8
21 16,2 16,2 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
265
IC52
11 8,5 8,5 8,5
22 16,9 16,9 25,4
25 19,2 19,2 44,6
54 41,5 41,5 86,2
18 13,8 13,8 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IC53
4 3,1 3,1 3,1
9 6,9 6,9 10,0
22 16,9 16,9 26,9
73 56,2 56,2 83,1
22 16,9 16,9 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IC54
19 14,6 14,6 14,6
23 17,7 17,7 32,3
32 24,6 24,6 56,9
44 33,8 33,8 90,8
12 9,2 9,2 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
DS1
5 3,8 3,8 3,8
10 7,7 7,7 11,5
15 11,5 11,5 23,1
61 46,9 46,9 70,0
39 30,0 30,0 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
266
DS2
1 ,8 ,8 ,8
5 3,8 3,8 4,6
16 12,3 12,3 16,9
64 49,2 49,2 66,2
44 33,8 33,8 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
DS3
3 2,3 2,3 2,3
8 6,2 6,2 8,5
20 15,4 15,4 23,8
55 42,3 42,3 66,2
44 33,8 33,8 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
CL1
6 4,6 4,6 4,6
5 3,8 3,8 8,5
31 23,8 23,8 32,3
62 47,7 47,7 80,0
26 20,0 20,0 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
CL2
9 6,9 6,9 6,9
15 11,5 11,5 18,5
29 22,3 22,3 40,8
55 42,3 42,3 83,1
22 16,9 16,9 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
267
CL3
7 5,4 5,4 5,4
5 3,8 3,8 9,2
25 19,2 19,2 28,5
51 39,2 39,2 67,7
42 32,3 32,3 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
FS1
1 ,8 ,8 ,8
3 2,3 2,3 3,1
14 10,8 10,8 13,8
69 53,1 53,1 66,9
43 33,1 33,1 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
FS2
10 7,7 7,7 7,7
27 20,8 20,8 28,5
55 42,3 42,3 70,8
38 29,2 29,2 100,0
130 100,0 100,0
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
FS3
6 4,6 4,6 4,6
7 5,4 5,4 10,0
31 23,8 23,8 33,8
59 45,4 45,4 79,2
27 20,8 20,8 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
268
FS4
1 ,8 ,8 ,8
6 4,6 4,6 5,4
29 22,3 22,3 27,7
66 50,8 50,8 78,5
28 21,5 21,5 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
FS5
3 2,3 2,3 2,3
2 1,5 1,5 3,8
16 12,3 12,3 16,2
55 42,3 42,3 58,5
54 41,5 41,5 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IN1
4 3,1 3,1 3,1
5 3,8 3,8 6,9
6 4,6 4,6 11,5
60 46,2 46,2 57,7
55 42,3 42,3 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IN2
5 3,8 3,8 3,8
7 5,4 5,4 9,2
9 6,9 6,9 16,2
64 49,2 49,2 65,4
45 34,6 34,6 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
269
IN3
2 1,5 1,5 1,5
6 4,6 4,6 6,2
24 18,5 18,5 24,6
56 43,1 43,1 67,7
42 32,3 32,3 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IP11
4 3,1 3,1 3,1
16 12,3 12,3 15,4
73 56,2 56,2 71,5
37 28,5 28,5 100,0
130 100,0 100,0
1,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IP12
7 5,4 5,4 5,4
17 13,1 13,1 18,5
24 18,5 18,5 36,9
55 42,3 42,3 79,2
27 20,8 20,8 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IP13
4 3,1 3,1 3,1
3 2,3 2,3 5,4
22 16,9 16,9 22,3
48 36,9 36,9 59,2
53 40,8 40,8 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
270
IP14
4 3,1 3,1 3,1
5 3,8 3,8 6,9
10 7,7 7,7 14,6
53 40,8 40,8 55,4
58 44,6 44,6 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IP15
5 3,8 3,8 3,8
6 4,6 4,6 8,5
26 20,0 20,0 28,5
57 43,8 43,8 72,3
36 27,7 27,7 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IP21
9 6,9 6,9 6,9
23 17,7 17,7 24,6
37 28,5 28,5 53,1
45 34,6 34,6 87,7
16 12,3 12,3 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IP22
4 3,1 3,1 3,1
11 8,5 8,5 11,5
30 23,1 23,1 34,6
57 43,8 43,8 78,5
28 21,5 21,5 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
271
IP23
8 6,2 6,2 6,2
19 14,6 14,6 20,8
43 33,1 33,1 53,8
51 39,2 39,2 93,1
9 6,9 6,9 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IP24
6 4,6 4,6 4,6
10 7,7 7,7 12,3
29 22,3 22,3 34,6
58 44,6 44,6 79,2
27 20,8 20,8 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IP31
4 3,1 3,1 3,1
7 5,4 5,4 8,5
27 20,8 20,8 29,2
60 46,2 46,2 75,4
32 24,6 24,6 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IP32
2 1,5 1,5 1,5
5 3,8 3,8 5,4
30 23,1 23,1 28,5
56 43,1 43,1 71,5
37 28,5 28,5 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
272
IP33
4 3,1 3,1 3,1
11 8,5 8,5 11,5
104 80,0 80,0 91,5
11 8,5 8,5 100,0
130 100,0 100,0
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IP41
8 6,2 6,2 6,2
11 8,5 8,5 14,6
33 25,4 25,4 40,0
59 45,4 45,4 85,4
19 14,6 14,6 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IP42
10 7,7 7,7 7,7
9 6,9 6,9 14,6
44 33,8 33,8 48,5
51 39,2 39,2 87,7
16 12,3 12,3 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
IP43
10 7,7 7,7 7,7
14 10,8 10,8 18,5
44 33,8 33,8 52,3
46 35,4 35,4 87,7
16 12,3 12,3 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
273
Descriptive
Descriptive
Descriptive
IP44
8 6,2 6,2 6,2
15 11,5 11,5 17,7
32 24,6 24,6 42,3
57 43,8 43,8 86,2
18 13,8 13,8 100,0
130 100,0 100,0
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
Descriptive Statistics
130 3,8923
130 3,8000
130 3,2154
130 3,2154
130
IC11
IC12
IC13
IC14
Valid N (listwise)
N Mean
Descriptive Statistics
130 3,7308
130 3,8000
130 3,9000
130
IC21
IC22
IC23
Valid N (listwise)
N Mean
Descriptive Statistics
130 3,7769
130 3,9077
130 3,9462
130 3,8000
130
IC31
IC32
IC33
IC34
Valid N (listwise)
N Mean
274
Descriptive
Descriptive
Descriptive
Descriptive
Descriptive Statistics
130 3,7308
130 3,6308
130 3,1615
130
IC41
IC42
IC43
Valid N (listwise)
N Mean
Descriptive Statistics
130 3,6077
130 3,3538
130 3,7692
130 3,0538
130
IC51
IC52
IC53
IC54
Valid N (listwise)
N Mean
Descriptive Statistics
130 3,9154
130 4,1154
130 3,9923
130
DS1
DS2
DS3
Valid N (listwise)
N Mean
Descriptive Statistics
130 3,7462
130 3,5077
130 3,8923
130
CL1
CL2
CL3
Valid N (listwise)
N Mean
275
Descriptive
Descriptive
Descriptive
Descriptive
Descriptive Statistics
130 4,1538
130 3,9308
130 3,7231
130 3,8769
130 4,1923
130
FS1
FS2
FS3
FS4
FS5
Valid N (listwise)
N Mean
Descriptive Statistics
130 4,2077
130 4,0538
130 4,0000
130
IN1
IN2
IN3
Valid N (listwise)
N Mean
Descriptive Statistics
130 4,0692
130 3,6000
130 4,1000
130 4,2000
130 3,8692
130
IP11
IP12
IP13
IP14
IP15
Valid N (listwise)
N Mean
Descriptive Statistics
130 3,2769
130 3,7231
130 3,2615
130 3,6923
130
IP21
IP22
IP23
IP24
Valid N (listwise)
N Mean
276
Descriptive
Descriptive
Descriptive Statistics
130 3,8385
130 3,9308
130 3,9385
130
IP31
IP32
IP33
Valid N (listwise)
N Mean
Descriptive Statistics
130 3,5385
130 3,4154
130 3,3385
130 3,4769
130
IP41
IP42
IP43
IP44
Valid N (listwise)
N Mean
277
LAMPIRAN 4. HASIL UJI INFERENSIAL
I. Outer model Test
1.1. Reliability
Cronbach's Alpha Rho_A Composite Reliability Average Variance
Extracted (AVE)
CL 0.595 0.625 0.777 0.539
DS 0.764 0.803 0.862 0.677
FS 0.781 0.807 0.849 0.531
IC 1.000
IC1 0.704 0.798 0.775 0.477
IC2 0.731 0.751 0.849 0.655
IC3 0.785 0.794 0.862 0.610
IC4 0.681 0.711 0.825 0.614
IC5 0.693 0.752 0.809 0.523
IN 0.880 0.886 0.926 0.806
IP 1.000
IP1 0.799 0.833 0.862 0.564
IP2 0.854 0.855 0.901 0.695
IP3 0.547 0.824 0.756 0.573
IP4 0.926 0.929 0.948 0.819
1.2. Discriminant validity test
1.2.1. Fornell-Larcker Criterion
CL DS FS IC IC1 IC2 IC3 IC4 IC5 IN IP IPIP1 IP2 IP3 IP4
CL 0.734
DS 0.437 0.823
FS 0.585 0.592 0.729
IC 0.524 0.420 0.474
IC1 0.213 0.166 0.145 0.561 0.690
IC2 0.318 0.222 0.263 0.755 0.507 0.809
IC3 0.378 0.366 0.387 0.803 0.399 0.514 0.781
IC4 0.378 0.226 0.285 0.628 0.182 0.275 0.413 0.783
IC5 0.248 0.173 0.261 0.592 0.297 0.432 0.284 0.240 0.723
IN 0.499 0.447 0.656 0.400 0.015 0.231 0.331 0.282 0.221 0.898
IP 0.595 0.492 0.694 0.430 0.090 0.302 0.318 0.276 0.169 0.644
IP1 0.587 0.490 0.651 0.440 0.087 0.332 0.312 0.269 0.179 0.593 0.836 0.751
IP2 0.461 0.348 0.553 0.273 -0.097 0.148 0.206 0.272 0.060 0.554 0.849 0.613 0.834
IP3 0.471 0.381 0.574 0.282 0.099 0.183 0.256 0.095 0.093 0.399 0.821 0.566 0.595 0.757
IP4 0.407 0.364 0.475 0.415 0.210 0.337 0.276 0.292 0.211 0.539 0.815 0.514 0.634 0.619 0.905
278
1.2.2. Heterotrait-Monotrait Ratio (HTMT)
1.2.3. Measurement model : Outer loading
CL DS FS IC1 IC2 IC3 IC4 IC5 IN IP1 IP2 IP3 IP4
CL
DS 0.589
FS 0.756 0.743
IC1 0.339 0.314 0.258
IC2 0.425 0.292 0.331 0.682
IC3 0.517 0.449 0.463 0.448 0.679
IC4 0.604 0.306 0.374 0.256 0.378 0.565
IC5 0.401 0.253 0.362 0.407 0.581 0.373 0.366
IN 0.631 0.523 0.786 0.201 0.280 0.391 0.351 0.261
IP1 0.753 0.588 0.784 0.301 0.415 0.377 0.359 0.234 0.688
IP2 0.592 0.423 0.652 0.318 0.185 0.248 0.344 0.186 0.637 0.730
IP3 0.769 0.497 0.795 0.244 0.264 0.352 0.175 0.225 0.518 0.758 0.789
IP4 0.496 0.424 0.541 0.207 0.406 0.325 0.352 0.260 0.596 0.579 0.709 0.837
279
INDICATOR LOADING FACTOR
INDICATOR LOADING FACTOR
INDICATOR LOADING FACTOR
IC11 0.9 DS1 0.8 IP11 0.8
IC12 0.8 DS2 0.9 IP12 0.5
IC13 0.5 DS3 0.9 IP13 0.8
IC14 0.6 CL1 0.8 IP14 0.9
IC21 0.7 CL2 0.7 IP15 0.8
IC22 0.9 CL3 0.8 IP21 0.8
IC23 0.9 FS1 0.7 IP22 0.8
IC31 0.8 FS2 0.7 IP23 0.9
IC32 0.9 FS3 0.8 IP24 0.8
IC33 0.8 FS4 0.8 IP31 0.9
IC34 0.7 FS5 0.9 IP32 0.9
IC41 0.9 IN1 0.9 IP33 0.2
IC42 0.9 IN2 0.9 IP41 0.9
IC43 0.7 IN3 0.9 IP42 0.9
IC51 0.9 IP43 0.9
IC52 0.9 IP44 0.9
IC53 0.8
IC54 0.5
II. Inner Model Test
2.1. R Square
R Square R Square Adjusted
CL 0.274 0.269
DS 0.176 0.170
FS 0.224 0.218
IC1 0.315 0.310
IC2 0.570 0.567
IC3 0.645 0.642
IC4 0.395 0.390
IC5 0.351 0.346
IN 0.160 0.153
IP 0.583 0.566
IP1 0.699 0.697
IP2 0.720 0.718
IP3 0.674 0.671
IP4 0.664 0.661
280
2.2. Goodness of Fit (GoF)
Data R Square dan communalities Konstruk R Square Communalities
DS 0.176 0.68 CL 0.274 0.55
FS 0.224 0.51
IN 0.160 0.81
IP 0.583 0.57
Rerata 0.284 0.62
Rumus
GoF = √0.62𝑥0.284 = 0.42
2.3. Perhitungan Q2
Konstruk R2 Communalities
IP 0.583 0.57
DS 0.176 0.68
CL 0.274 0.55
FS 0.224 0.51
IN 0.160 0.81
Rerata 0.283 0.62
Q2 = 1 - (1 – 0,583)*(1 – 0,274)*(1- 0,176)*(1- 0,224)*(1 – 0,160)
= 0.84
)( 2RxCommGoF
Q2 =1- (1-Ry22 )*(1-Ry1
2 )*(1-Rx12 )*(1-Rx2
2 )*(1-Rx32 )
281
2.4. Effect size (f2)
f2 = R
2 included - R2excluded
1-R2included
Konstruk R
Square
f Excluded f
Included
R2included
- R2excluded
1-R2included
Eff.
Size (f2)
CL 0.274 0.274 0.583 0.308 0.726 0.425
DS 0.176 0.176 0.583 0.406 0.824 0.493
FS 0.224 0.224 0.583 0.358 0.776 0.462
IN 0.160 0.160 0.583 0.423 0.840 0.503
Rerata 0.583 0.209 0.583 0.374 0.791 0.473
2.5. Path coefficient
Original
Sample (O)
Sample
Mean
(M)
Standard
Deviation
(STDEV)
T Statistics
(|O/STDEV|)
P Values
CL -> IP 0.224 0.223 0.108 2.075 0.039
DS -> IP 0.065 0.063 0.081 0.801 0.424
FS -> IP 0.335 0.332 0.088 3.809 0.000
IC -> CL 0.524 0.566 0.085 6.144 0.000
IC -> DS 0.420 0.448 0.115 3.663 0.000
IC -> FS 0.474 0.517 0.102 4.639 0.000
IC -> IC1 0.561 0.577 0.076 7.364 0.000
IC -> IC2 0.755 0.732 0.067 11.191 0.000
IC -> IC3 0.803 0.794 0.042 18.965 0.000
IC -> IC4 0.628 0.627 0.071 8.843 0.000
IC -> IC5 0.592 0.585 0.095 6.224 0.000
IC -> IN 0.400 0.444 0.109 3.663 0.000
IC -> IP 0.016 0.032 0.087 0.180 0.857
IN -> IP 0.277 0.283 0.102 2.720 0.007
IP -> IP1 0.836 0.832 0.037 22.703 0.000
IP -> IP2 0.849 0.847 0.032 26.734 0.000
IP -> IP3 0.821 0.819 0.045 18.215 0.000
IP -> IP4 0.815 0.811 0.046 17.829 0.000
282
2.5. Path coefficient (Lanjutan)
top related