dinamika politik islam sasak; tuan guru dan politik …
Post on 05-Apr-2022
19 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DINAMIKA POLITIK ISLAM SASAK;
TUAN GURU DAN POLITIK PASCA ORDE BARU
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh
MUH. SAMSUL ANWAR NIM: 105033201139
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1431 H / 2011 M
ABSTRAKSI
Muh. Samsul Anwar Dinamika Politik Islam Sasak; Tuan Guru dan Politik Pasca Orde Baru Skripsi yang berjudul “Dinamika Politik Islam Sasak; Tuan Guru dan Politik Pasca Orde Baru” ini membicarakan tentang bangkitnya Tuan Guru dalam kancah politik, setelah terjadinya reformasi politik atau pada masa pasca Orde Baru. Karena pada masa Orde Baru Tuan Guru hanya dijadikan sebagai juru kampaye atau sebagai lumbung suara pada hajatan lima tahunan. Pada tingkatan legislatife maupun eksekutif pun Tuan Guru tidak memiliki peran apa-apa. Post-post tersebut diisi oleh para kaum Menak. Tanpa memperoleh jabatan apapun Tuan Guru hanya sebagai legitimasi pada tataran keagamaan.
Munculnya reformasi politik pada pasca Orde Baru, memberikan ruang kepada Tuan Guru dalam terjun di dunia politik. Pada pasca Orde Baru ini kemudian memberikan dinamika baru dalam politik masyarakat Sasak dan juga bangkitnya politik Islam, yang diwakili oleh para Tuan Guru.
Pencalonan Tuan Guru “Bajang” pada Pilkada 2008 di Nusa Tenggara Barat memberikan bukti bahwa tokoh agama tidak hanya sebagai pemimpin keagamaan, melainkan juga dapat memimpin pemerintahan. Dalam pencalonan Tuan Guru “Bajang” ini juga memberikan warna pada dinamika politik pada masyarakat Sasak yang sebelumnya selalu dikuasai oleh golongan Menak.
Kemenangan Tuan Guru Bajang ini bukan hanya dikarenakan faktor ketokohan yang dimilikinya, melainkan juga memiliki modal sosial yang cukup, memiliki masa yang jelas dan momentum yang tetap. Karena dari semua calon yang ada memiliki keterlibatan korusi. Sehingga Tuan Guru Bajang adalah calon alternatife yang paling bersih dari calon-calon yang ada.
Skripsi ini, memperkuat temuan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2010, yang dilakukan di Lombok Timur. Yaitu tentang pergeseran peran Tuan Guru yang dulunya sebagai pendakwah kemudian bergeser pada pasca Orde Baru menjadi politisi.
Skripsi menggunakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang menggunakan latar alamiyah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan cara melibatkan berbagai metode yang ada dengan pendekatan deskriptif analisis. Deskriptif artinya memaparkan fenomena sosial dengan apa adanya. Sedangkan analisisnya, memberikan interpretasi terhadap fenomena sosial tersebut. Dalam mempermudah kajian ini, penulis menggunakan pendekatan historis analisis dengan teori kharismatik Max Weber. Historis analisis adalah memaparkan data-data sejarah yang ada kemudian dianalisis. Sedangkan teori kharisma Weber (1864-1920), yaitu dengan karisma yang dimiliki oleh seorang dan mempunyai daya tarik serta karakter pribadi yang memberikan inspirasi pada mereka yang bakal menjadi pengikutnya. Untuk itu dibutuhkan kajian pustaka (library reseach). Penelitian ini mengandalkan data dari dokumen-dokumen baik primer maupun sekunder; seperti buku, jurnal, arsip dokumen dan tulisan-tulisan yang terkait dengan tema tersebut. Dan juga skripsi ini menggunakan teknik wawancara dengan mengumpulkan data dan informasi melalui tanya jawab.
KATA PENGANTAR
Al Hamdulillahi rabbil ‘alamin. Segala puja dan puji syukur kepada Allah
Subhanahu wa ta’ala atas karunia dan kesempatan mengembangkan potensi diri
dan keilmuan, sehingga skripsi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Prodi Ilmu Politik ini, selesai dengan baik, walaupun melalui proses yang
panjang. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan keharibaan
junjungan alam Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam atas syafaat-Nya.
Selanjutnya berkaitan dengan penyelesaian Skripsi ini, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh sivitas
akademika, instansi baik lembaga maupun perorangan yang telah membantu
dalam proses penyelesaian skripsi ini. Ucapan trima kasih penulis kepada :
Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berserta jajarannya.
Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak
Dr. Hendro Prasetyo, selaku Wakil Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ibunda Dra. Hj. Wiwi Siti Sajaroh, M. Ag., selaku Pembantu Dekan (Pudek).
Bapak Ali Munhanif, Ph.D selaku Ketua Jurusan Ilmu Politik sekaligus Pakar
Politik Islam Timur Tengah. dan Bapak M. Zaki Mubarok M.Si, selaku Sekretaris
Jurusan sekaligus Pengamat Politik. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP) yang telah memberikan senjata inspirasi, desir angin
bathiniah, dan deru debu akumulasi pengetahuan kepada penulis.
Secara khusus terima kasih saya haturkan kepada pembimbing skripsi saya
Bapak Ahmad Bakir Ihsan, M. Si, yang sedang dalam proses penyelesaian studi
S3 di UI, senantiasa mengoreksi, sabar dan menunggu penulis dalam penyelesaian
skripsi ini. Semoga sukses pak.
Kedua orang tua penulis yang salalu sabar dalam setiap pengkabaran
keadaan selalu menanyakan kepada penulis kapan penulis wisuda. Adik-adik
penulis yang setiap kali menelpon memberikan suport dan semangat untuk segera
menyelesaikan study.
Gubernur Nusa Tenggara Barat, Tuan Guru ” Bajang”, Dr. Zainul Majdi,
M.A, yang sekaligus Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (NW) yang
memberikan pendidikan di Aliyah sehingga memberikan watak dan karakter yang
tangguh. Dan tidak lupa Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) NW Pancar
berserta para Tuan Guru, Ustaz dan Ustazah; TGH Abdul Hamdi, Ust Amin, Ust
Abdul Hadi, Ust Anshari, Ustzh Zakiya,Ustzh Ella dan kawan-kawan alumni
MAK NW Pancor terwadah dalam FORKOMA (Forum Komunikasi Alumni
MAK NW Pancor).
Sahabat-sahabat penulis dan seluruh aktivis Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) Cabang Ciputat. Seluruh senior, alumni dan keluarga
besar PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum
(KOMFUSPERTUM); PMII Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (KOMFISIP),
FORUM KAJIAN CIPUTAT SCHOOL (Revolusi Kesadaran); Imam Muslim,
Gus Jamal, Ust. Shoffi, , Januari A ”Tuyul”, Bimbim, Habib Ahyat, Alysiah, Luna
Aini Erdian, Tya, Ochiet dll. Forum Kajian KORIDOR 168; Mas Gad, Mas Heru,
Cak Kholid, Mas Lum’an, Mas Syamsuddin, Putro (gitas fortuna band), Fajar,
Yudha, Iby, Piyan, Yasir, Johan, Adriayansah (presiden sosiologi). Mahasiswa
Ilmu Politik Angkatan 2005 (FUF-FISIP). Dan saudara-saudaraku sedaerah yang
terkumpul dalam Ikatan Mahasiswa Sasak (IMSAK) Jakarta; Amid, Daut, Muid,
Akib, Zuh, Lina, Uyi, Enong, Fauzan, Tina, Maria dan teman-teman IMSAK di
Madinatunnajah, Darunnah, Ibnu Kholdun, STT, Surabaya, Yogyakarta, Bandung
dan Bogor.
Akhirnya, kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, penulis memohon semoga
mereka semua mendapat balasan yang mulia dan pahala yang berlipat ganda di
sisi-Nya. Terakhir semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi kontribusi
bagi khazanah keilmuan politik Islam, serta menjadi amal shalih di hadapan Allah
Ta’ala. Amiin ya rabbal ’alamin.
DAFTAR ISI ABSTRAKSI …………………………………………………………………….. i KATA PENGANTAR ………………………………………………………....... ii DAFTAR ISI ……………………………………………………………………... iv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………………….. 12
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………..... 12
D. Metode Penelitian ……………………………………………………… 13
E. Kajian Terdahulu yang Relevan ……….……………………………..... 14
F. Sistematika Penulisan ………………………………………………….. 16
BAB II : TUAN GURU DAN POLITIK
A. Agama dan Politik …………………………………………………….. 17
B. Tuan Guru sebagai Elit Lokal ………………………………………..… 23
C. Tuan Guru dan Politik ………………………………………………..... 30
BAB III : SEJARAH SOSIAL-POLITIK LOMBOK
A. Sosio-kultural dan Religiusitas Masyarakat Sasak Lombok …………... 36
B. Tuan Guru dan Konstelasi Politik Orde Baru ………………………….. 44
C. Dinamika Politik Islam Pasca Orde Baru ……………………………… 49
BAB IV : PERAN POLITIK TUAN GURU PASCA ORDE BARU
A. NW dan Pusaran Perubahan Politik …………………………………….55
B. Tuan Guru dan Pemilu-Pemilu Pasca Orde Baru …………………........ 62
C. Tuan Guru dan Pilkada :
1. Kemenangan Tuan Guru “Bajang” dalam Pemilihan Gubernur NTB
pada 2008 …………………………………………………………... 67
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………………..… 72
B. Saran …………………………………………………………………... 73
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………........... 74
LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………………….......... 78
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama1 apapun yang datang ke dunia ini, tidak memasuki ruang vakum
budaya2. Katolik datang ke Timur Tengah dan kemudian berkembang di wilayah
Barat juga setelah adanya budaya lokal setempat. Protestan berkembang di
wilayah Barat, juga ada Katolik yang establish di daerah itu. Agama Hindu yang
berkembang di Anak Benua India, juga sudah terdapat keyakinan local yang kuat.
Agama Budha berkembang di Anak Benua India, juga sudah ada agama Hindu
yang sudah mengakar. Demikian juga, Islam datang ke wilayah Jazirah Arab,
maka sudah mengakar dan berkembang keyakinan-keyakinan agama dari para
Nabi sebelumnya3.
Ketika Islam datang ke tanah Arab, maka keyakinan-keyakinan lokal atau
agama-agama lokal (tribal religion) sudah mengakar dan berbudaya, baik yang
1Dalam bahasa Arab agama disebut dengan din, dan religi dalam bahasa Eropa. Agama
berasal dari kata Sankrit. Ada pendapat mengatakan bahwa agama terdiri dari dua kata, yaitu a artinya tidak dan gama artinya pergi. Jadi artinya tidak pergi, tetap di tempat, tidak diwarisi turun-temurun. Untuk itu agama memiliki sifat yang demikian. Ada juga pendapat mengatakan agama adalah teks atau kitab karena agama-agama memang memiliki kitab-kitab suci. Selanjutnya ada juga yang berpendapat bahwa agama adalah tuntunan. Karena memang agama mengandung ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya. Religi berasal dari bahasa Latin. Satu pendapat berasal dari kata relegere yang mengandung arti mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan. Ini terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain, berasal dari kata religare yang artinya mengikat. Artinya bahwa agama pun mengikat manusia dengan Tuhan. Lihat Harun Nasutian, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, ( Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985), cet I, h. 1
2 Komaruddin Hidayat, Ketika Agama Menyerah, dikutip oleh Nur Syam dalam “Pengantar”, M. Ahyar Fadly, Islam Lokal; Akulturasi Islam di Bumi Sasak, (Nusa Tenggara Barat; STAIIQH, 2008), cet. I, h. xiii
3Nur Syam dalam “Pengantar”, M. Ahyar Fadly, Islam Lokal; Akulturasi Islam di Bumi Sasak, (Nusa Tenggara Barat; STAIIQH, 2008), cet. I, h. xiii
2
barbasis pada agama Yahudi, Majusi, atau Masehi4. Oleh karena itu agama yang
baru datang harus berdialog dengan budaya lokal setempat. Dan perjumpaan ini
nantinya yang akan saling mempengaruhi dan bahkan juga berujung pada
ketegangan; agama yang baru akan mempengaruhi budaya lokal (keyakinan
lokal), atau begitu juga sebaliknya budaya lokal mempengaruhi agama yang baru
datang.
Hal ini juga terjadi kepada agama-agama yang ada di Nusantara. Ketika
agama Hindu datang ke Nusantara pada abad 55, maka sudah ada bertebaran ke
berbagai wilayah dengan macam kepercayaan dan budaya dalam corak yang
animistik6 dan dinamistik7. Ketika agama Budha datang ke Nusantara dan tempat
lain di belahan Timur, maka agama Hindu dan kebudayaan lokal sudah mengakar
kuat. Hampir-hampir tidak dijumpai ruang hampa budaya dalam kehidupan
manusia8. Dan bisa dipastikan bahwa agama-agama yang mengalami perjumpaan
4M. Ahyar Fadly, Islam Lokal; Akulturasi Islam di Bumi Sasak, h. xiv 5Bahkan ada yang berpendapat bahwa sebelum abad 5 sudah ada agama lokal yang
dipercayai di Nusantara ini. Agama local itu bernama Kapitaya, Sang Yang Tu. Yaitu agama yang meyakini adanya kekuata yang berada di luar manusia, tetapi belum berwujud atau termanifestasikan dalam bentuk benda. Dalam agama ini terdapat dua kekuatan besar. Pertama kekuatan baik yang kemudian disebut dengan Tu. Misalnya Tumpeng, Tuhan, dan lain-lainnya yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Kedua, kekuatan jahat yang kemudian dinamakan Han, yang kemudian termanifestasikan menjadi Hantu. Yaitu kekuatan gaib jahat. Hasil diskusi yang disampaikan oleh Agus Sunyoto, yang diselenggarakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia di Situ Gintung pada Jum’at sampai Sabtu, 15-17 April 2007.
6Animistik adalah agama yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa, mempunyai roh. Roh dalam masyarakat primitif belum berbentuk roh dalam paham masyarakat yang lebih maju. Roh bagi masyarakat primitif tesusun dari materi halus sekali yang dekat menyerupai uap. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek,( Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985), cet I, h. 4
7 Dinamistik adalah kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius. Yaitu kekuatan gaib yang mempengaruhi kehidupan manusia. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek,( Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985), cet I, h. 1
8 M. Ahyar Fadly, Islam Lokal; Akulturasi Islam di Bumi Sasak, (Nusa Tenggara Barat; STAIIQH, 2008), cet. I, h. xiv
3
dengan budaya lokal atau kepercayaan lokal di mana ia berpijak ini yang
kemudian disebut dengan integrasi kultural.
Begitu pula ketika agama Islam datang ke Nusantara ini9, maka agama
Hindu, Budha dan agama-agama lokal sudah ada, mengakar dan berkembang ke
seluruh penjuru Nusantara. Sehingga perjumpaan agama Islam dengan budaya
Nusantara memunculkan apa yang disebut dengan singkretisme dan akulturasi10
yang menjadi “pembeda” dengan Islam dari daerah aslinya, Mekkah dan
Madinah. Islam di Nusantara disebut dengan – meminjam istilah Azyumardi Azra
– sebagai Islamique peripheque (“Islam pinggiran”) bahkan disebut juga “Islam
yang tidak murni”. Sedangkan Islam di Timur Tengah disebut Islamic core (Islam
pusat, inti). Atau ada juga menyebut Islam di Timur Tengah (Mekkah dan
Madinah) sebagai great tradition (tradisi besar) dan Islam di Nusantara disebut
little tradition (tradisi kecil)11.
Datangnya agama Islam ke Nusantara ini nyaris tanpa ketegangan. Oleh
para ahli ditengarai bahwa gelombang pertama transmisi Islam ke Nusantara
melalui para pendakwah sufi yang datang ke tanah air untuk kepentingan
berdakwah dan berdagang. Pola sufistik ini dijadikan pintu masuk untuk
menyebaran agama di tengah-tengah masyarakat. Dengan pendekatan sufistik
9 Sejarah masuknya Islam ke Nusantara ada beberapa teori. Yaitu teori dari India, teori
dari Arab, teori dari Persia dan teori dari Cina. Lebih lengkapnya lihat Noor Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, ( Yogyakata; Ar-Ruzz Media, 2007); Azyumardi Azra, Jaringan Ulama; Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & VIII, ( Jakarta; Kencana Media, 2007), cet. III
10Singkretisme dipakai untuk menggambarkan berbagai upaya untuk memadukan berbagai unsur di dalam agama menjadi satu kesatuan. Sedangkan akulturasi terjadi ketika menghasilkan pola baru yang khas. Dikutip dalam Nur Syam, Islam Pesisir, ( Yogyakarta; LKiS, 2005), cet. I, h. 11
11Bambang Pranowo, Islam Aktual; Antara Tradisi dan Relasi Kuasa, (Yogyakarta; Adicita Karya Nusa, 1999), cet. II
4
inilah, pesan-pesan yang dibawa oleh para pendakwah saat itu menemukan
tempatnya di kalangan masyarakat lokal12. Artinya bahwa masyarakat tetap bisa
menjadi Islam tanpa harus kehilangan identitas lokalnya. Misalnya Islam yang
bernegosiasi dengan budaya local Sunda, Jawa, Sasak, Batak, Dayak dan lain-lain.
Mereka akan tetap dengan tradisi yang dianut dan menjadi Islam dengan pesona
budaya lokalnya masing-masing.
Agama apapun bahkan tak terkecuali Islam ketika berdialog dengan
budaya local, maka ia akan menjadi agama yang singkretis dan akulturatis.
Singkretis dan akulturatis, hingga tingkat tertentu, berfungsi membuat agama
memiliki makna spiritual dan bernilai social13.
Begitu juga ketika Islam datang ke Lombok14, dengan bentuk budaya lokal
atau keyakinan lokal (agama lokal)15 yang sudah mentradisi kuat di masyarakat
Sasak16, maka ia akan berbentuk Islam Sasak yang kemudian berfarian Islam
Waktu Lima dan Islam Wetu Telu17.
12 A. Fawaid Sjadzili, Temu Tengkar Agama dan Tradisi Lokal, dalam Jurnal Refleksi
Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, “Tashwirul Afkar”, edisi nomer 23 tahun 2007, h. 2 13 Asnawi, Respon Kultural Masyarakat Sasak terhadap Islam, dalam Jurnal Studi Islam
dan Masyarakat, “Ulumuna”, volume IX, edisi 15 nomer I, 2005, h. v 14 Ada yang berpendapat bahwa Lombok berasal dari kata Lomboq, yang artinya lurus.
Nama Lombok ini juga dijumpai dalam Negarakertagama, dengan menyebut Lombok Mirah untuk Lombok Barat da Sasak Adi untuk Lombok Timur. Lihat Fawaizul Umam, Dari Terma ke Stigma; Geneologi Islam Waktu Telu Lombok Nusa Tenggara Barat, dalam Jurnal Penelitian Direktorat Perguruan Tinggi Islam, “ISTiQRO’, volume 4, nomor 01, 2005, h. 280
15Agama asli bangsa Sasak sebelum datangnya pengaruh asing ke Lombok, yaitu agama Boda. Yaitu kepercayaan kepada animism dan politeisme. Penyebutannya mirip dengan Budha, akan tetapi mereka bukan penganut Budhisme, karena mereka tidak mengakui Sidharta Gautama sebagai figure pemujaan. Lihat Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta; LKiS, 2005), cet I, h. 8
16Sasak adalah nama suku dan penduduk asli masyarakat Lombok. Dinamakan pulau Sasak, karena pada pulau ini, pada zaman dahulu ditumbuhi hutan belantara yang sangat rapat yang menyerupai dinding. Secara etomologi Sasak berasal dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari Sak, yang artinya pergi dan Saka artinya asal. Jadi orang Sasak adalah orang yang pergi dari negeri asalnya dengan memakai rakit sebagai kendaraannya, pergi dari Jawa dan berkumpul di Lombok. Ada juga yang berpendapat bahwa Sasak adalah penduduk asli pulau ini yang memakai kain tembasaq (kauin putuh). Perulangan dari kata tembasaq menjadi saqsaq atau Sasak. Pendapat
5
Wetu Telu adalah orang Sasak yang meski mengaku sebagai muslim, tetapi
terus memuja roh para leluhur, berbagai dewa roh dan lain-lain. Dalam
kehiduapan sehari-hari mereka cenderung kepada budayaan. Tidak ada
penggarisan batas yang jelas-tegas antara agama dan adat. Sehingga anatsir adat
bercampur-baur dengan agama dalam sistem kepercayaan mereka18. Berbeda
dengan Waktu Lima sebagai lawan dari Waktu Telu. Islam Waktu Lima memiliki
komitmen yang begitu tinggi pada syari’ah Islam sehingga ketaatan kepada
aturan-aturan adat lokal menipis dan bahkan ditinggalkan19.
Inilah yang kemudian disebut dengan bagian dari Islam Indonesia. Yaitu
Islam yang mengakomodir, bernegosiasi, berdialog dan bahkan berdialektika
dengan budaya lokal setempat. Sehingga coraknya akan berbeda antara daerah
yang satu dengan daerah yang lain, tergantung letak geografis, budaya, etnik dan
bahasanya.
Dari sinilah muncul akar-akar geneologis hubungan Islam dan politik di
Indonesia. Yaitu pertama kali diperkenalkan dan disebarkan di Indonesia ini
dengan dialog yang bermakna dengan realitas sosio-kultural dan politik setempat,
lain juga mengatakan bahwa nama Sasak adalah nama kerajaan yang pertama-tama ada di pulau Lombok. Tempatnya di bagian barat daya dari pulau Lombok. Lebih lengkapnya lihat Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pecatatan 1977/1978, h. 7-8
17 Dalam bahasa Sasak, Wetu atinya waktu dan telu artinya tiga. Jadi waktu tiga. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Wetu berasal dari kata metu, artinya lahir (reproduksi), telu artinya tiga. Jadi wetu telu artinya tiga macam terjadinya reproduksi, yaitu melahirkan (menganak), seperti manusia dan hewan mamalia; bertelur (menteluk), seperti burung; berkembang biak dari benih atau buah (mentiuk), seperti biji-bijian, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Lihat Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, (Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. I, h. 98-99; Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta; LKiS, 2005), cet I, h. 8
18 Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta; LKiS, 2005), cet I, h. 7-8
19Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, h. 8
6
terlibat dalam politik. Dapat dikatakan bahwa Islam, sepanjang perkembangannya
di Indonesia, telah menjadi bagian yang inheren dari sejarah politik negeri ini20.
Serikat Islam (SI) misalnya, adalah partai massa yang pertama di
Indonesia yang didirikan pada tahun 1912. Walaupun ketika itu SI tidak dianggap
sebagai partai politik karena peraturan yang berlaku pada saat itu, Hindia Belanda,
- walaupun pada 1919 peraturan itu dicabut. Serikat Islam inilah adalah partai
pertama yang secara ideologis dan sosiologis menyediakan wadah bagi
pergerakan politik secara nasional, yang merangkul sejauh mungkin anak negeri
di Hindia Benda21.
Begitu juga di Lombok, pada masa penjajahan Hindia Belanda (1897),
para Tuan Guru mengadakan pemberontakan dan berperang melawan Belanda -
walaupun corak Islam pada waktu itu adalah tariqat (sufi) – seperti misalnya Tuan
Guru Haji Bangkol di Praya, Tuan Guru Haji Muahammad Amin di Pejeruk, Tuan
Guru Haji Muhammad Sidiq di Karang Kelok, Tuan Guru Haji Arsyad di Gtap,
Tuan Guru Haji Munawar di Gebang, Tuan Guru Haji Munir di Karang Badil,
Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di Pancor dan lainnya22.
Begitu juga pasca kemerdekaan, politik Islam mempunyai peran yang
urgent dalam membangun negeri ini. Pembentukan Badan Penyelidikan Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beberapa anggotanya
adalah para aktivis politik Islam atau Kyai atau Tuan Guru, bertugas merumuskan
20Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transportasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, diterjemahkan oleh Ihsan Ali Fauzi, (Jakarta; Paramadina, 1998), cet. I, h. 21-22 21 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat; Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta;
LP3ES, 1996), cet. II, h. 1-2 22Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, (Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. I, h. 89-93
7
ideologi dan konstitusi Negara, adalah bukti dari keterlibatan mereka. Dan juga
para aktivis politik Islam ini juga “dipakai” oleh Angkatan Darat sebagai
penyeimbang dan bahkan melawan Soekarno dan Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Pada masa Orde Baru, politik Islam menjadi kekuatan yang dianggap
“berbahaya” oleh pemerintahan Orde Baru. Sehingga politik Islam tidak diberikan
ruang dan dipersempit ruang geraknya. Pemerintah Orde Baru memberlakukan
beberapa kebijakan dalam mempersempit ruang gerak aktifitas politik Islam,
diantaranya, setiap organisasi kemasyarakatan (ormas) atau partai politik harus
berasaskan ideologI tunggal, yaitu Pancasila. Ini yang kemudian disebut oleh
Bahtiar Effendy dengan kebijakan depolitisasi Islam23. Akan tetapi ini yang
membuat Islam Politik berubah menjadi apa yang disebut dengan Islam Kultural.
Islam kultural mengandung pengertian bahwa sosialisasi dan institusosialisasi
ajaran Islam dilakukan dalam upaya-upaya yang menekankan pada perubahan
kesadaran dan tingkah laku umat tanpa campur tangan Negara dan tanpa
perubahan sistem nasional menjadi sistem Islami24. Islam kultural itu sendiri pada
dasarnya bukan konsep yang apolitis, melaikan mengandung dimensi dan muatan
politis. Hanya saja dalam Islam kultural dimensi dan muatan politiknya tidaklah
diartikulasikan dengan siapa mendapat apa (who gets what) dalam meraih
23 Menurut Bahtiar Effendy, depolitisasi Islam yang dimaksud adalah depolitisasi politik
bukan Islam. Akan tetapi karena Islam bagian dari kehidupan politik nasional, berimbas sebagai grand design politik Orde Baru. Lihat Bahtiar Effendi, (Re) Politisasi Islam; Pernahkan Islam Berhenti Berpolitik, (Bandung; Mizan Media Utama, 2000), cet. I, h. 108
24Ahmad Al-Fajri, Delima Islam Kultural, dalam Jurnal Politik Islam, volume II, 2007, Laboratorium Politik Islam (LPI) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, h. 38; lihat juga M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Pasca Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), cet. I; Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama, Masyarakat dan Negara Demokrasi, (Jakarta; The Wahid Institute, 2006), cet. I
8
kekuasaan. Atau dalam bahasa lain dimensi dan muatan politiknya tidak terputus
pada bentuk politik praktis yang bersifat temporer, instrumental dan partisan
melaikan melalui apa yang David Easton sebut dengan politik alokatif. Yaitu
alokasi otoritatif nilai-nilai tertentu dalam suatu masyarakat untuk kepentingan
masyarakat tersebut secara menyeluruh25.
Pasca Orde Baru atau disebut juga dengan reformasi politik pada tahun
1998 di Indonesia ditandai oleh tiga hal, yaitu demokrasi yang berlangsung cepat
dan dinamis; civil society yang tumbuh sebagai kekuatan penyeimbang Negara;
dan proses integrasi masyarakat Indonesia ke dalam kapitalis dunia seraca
massif26. Setelah lengsernya rezim otoriter Orde Baru, berdampak pada dinamika
politik lokal yang melahirkan aktor, inisiator, dan budaya lokal dalam memainkan
peranan di dalam politik lokal27. Ini yang kemudian disebut dengan desentralisasi
dari kekuasaan pusat ke daerah, yang dibarengi dengan tuntutan otonomi daerah
maupun otonomi khusus yang memberi kesempatan pada daerah mengelola
nasibnya sendiri. Dan pasca Orde Baru juga memperlihatkan fenomena
menguatnya gejala politik identitas yang berwujud dengan kekerasan komunal
serta rivalitas politik kekuasaan di daerah-daerah28. Tentu, ini memberikan ruang
kesempatan kepada elit baru lokal (masyarakat biasa, elit tradisional, Tuan Guru,
25Ahmad Al-Fajri, Delima Islam Kultural, dalam Jurnal Politik Islam, volume II, 2007,
Laboratorium Politik Islam (LPI) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, h. 38 26Irene Hiraswati, dkk, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi
Kasus Pergeseran Peran Tuan Guru di Lombok Timur, dalam Ringkasan Laporan Penelitian Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Politik, 2010, h. 1
27Anis Baswedan, “Pengantar”, dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken, Politik Lokal di Indonesia, (Jakarta: KITLV dan YOI, 2007), cet. I, h. Ix-x
28 Irene Hiraswati, dkk, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Pergeseran Peran Tuan Guru di Lombok Timur, dalam Ringkasan Laporan Penelitian Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Politik, 2010, h. 1
9
dan lain-lain) duduk dalam posisi-posisi politik yang selama ini dinikmati kaum
manak (bangsawan).
Secara psikologis dan kultural, tipologi masyarakat Sasak cenderung
bersifat paternalistik. Di mana figur atau tokoh kharismatik historis menjadi
kemestian mutlak sebagai tempat menyandarkan masalah-masalah sosial dan
agama. Tokoh ini menjadi sentral dan tempat lahir serta bergeraknya ide, wacana
dan agenda perubahan dan pembangunan sosial, bahkan pembentukan mental-
kognitif dan spiritual masyarakat disandarkan pada tokoh-tokoh kharismatik
tersebut29.
Dalam bidang politik, terdapat tokoh-tokoh yang mewarisi darah biru
politik kerajaan, sehingga ditemukan beberapa istilah gelar keturunan, seperti
Datu, Raden, Lalu, Baiq30. Dan pada saat setelah diberlakukannya otonomi daerah
oleh pemerintah pusat, mereka tampil sebagai pemimpin daerah. Mereka inilah
yang menjadi harapan masyarakat untuk melakukan perubahan dan pembangunan
dalam kehidupan sosial dalam segala aspek, baik ekonomi, pendidikan, budaya
dan lain sebagainya. Harapan tersebut terbukti dengan didominasi jabatan
29Fahurrozi, Desertasi 2010, Dakwah Tuan Guru dan Transposmasi Sosial di Nusa
Tenggara Barat. Desertasi ini membahas peran Tuan Guru dalam perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya dalam masyarakat Lombok Timur, h.
30 Dalam stratifikasi sosial masyarakat Sasak terdapat : pertama, golongan menak tinggi. Yaitu golongan keluarga inti kerajaan yang disebut Datu. Dalam garis keturunannya digelari dengan Raden untuk laki-laki dan Dende untuk anak perempuan. Kedua, golongan Menak menegah atau pruwangsa, yaitu golongan ini timbul karena akibat perkawinan campuran antara menak tinggi dari laki-laki dan wanita dari golongan rendah. Gelarnya kemudian disebut dengan Lalu untuk laki-laki dan Baiq untuk perempuan. Ketiga, golongan Jajarkarang. Yaitu warga masyarakat biasa yang merdeka. Keempat, orang budak (panjak). Yaitu orang-orang yang menjadi tawanan perang. Tapi golongan ini pada masa sekarang sudah tidak ada. Lihat, Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan; Artikulasi Nilai-nilai Islam dalam Budaya Sasak, (Yogyakarta; Adab Press, 2006), cet. h. 229-235
10
pemerintah oleh para Lalu (kaum menak) mulai dari Gubernur, Bupati, Kepala
Desa, dan jabatan birokrat lainnya.
Dalam bidang keagamaan terdapat Tuan Guru31 yang memainkan peran
sebagai pelaksana masalah suprastruktur masyarakat. Dari Tuan Guru ini lahir
kebijakan dan pemahaman agama yang dikomsumsi oleh masyarakat Sasak dalam
menjalankan ajaran Islam. Dalam perkembangannya sebagai umat Islam,
masyarakat Sasak kemudian menjadi masyarakat yang paternalistik, fanatik dan
memiliki kultus yang tinggi terhadap Tuan Guru secara dogmatis, eksklusif apatis,
fanatik dan militan. Semua yang dikatakan Tuan Guru dianggap sebagai ajaran
Islam itu sendiri secara an sich. Semua yang dipeintahkan Tuan Guru menjadi
kemestian yang harus dijalani, sebab jika tidak, berarti tidak mematuhi ajaran
Islam32. Dengan demikian sikap masyarakat Sasak yang demikian telah dibentuk
oleh para figur historis secara doktrinal dan kultural. Tuan Guru menjadi figur
yang disegani dan diagung-agungkan. Hal ini disebabkan oleh mitos kekeramatan
yang dimiliki Tuan Guru, yang sengaja disebarluaskan untuk membius dan
menghegemoni masyarakat, sehingga status ketuanan gurunya menjadi abadi.
Hegemoni terhadap masyarakat Sasak dimulai dari hegemoni teologis sampai
pada hegemoni kehidupan sosial-politik.
31Tuan Guru (bahasa Jawa: Kyai), terdiri dari kata Tuan artinya ia sudah menunaikan
ibadah haji; dan Guru adalah seorang yang memiliki kapasitas ilmu yang luas dan mengajarkannya kepada masyarakat. Jadi Tuan Guru adalah sebutan yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kapasitas ilmu pengetahuan agama yang luas. Dalam istilah Azyumardi Azra disebut sebagai fungsionaris agama, yakni orang-orang yang menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan agama, memimpin dan mengarahkan pemeluk agama, seperti masalah keimanan , ibadah, ritual dan lain sebagainya, baik secara individual maupun kolektif. Tapi sering kali bukan hanya dalam urusan agama (sakral), akan tetapi juga dalam urusan keduniawian (propan). Lihat, Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. I, h. 56 32
11
Terjunnya Tuan Guru dalam politik praktis menjadi bukti bahwa
hegemoni teologis berujung pada hegemoni sosial-politik. Dikarenakan bahwa
dalam dunia politik penuh dengan kebohongan dan kemunafikan. Sedangkan
wilayah Tuan Guru (Kyai) adalah wilayah sakral. Dimensinya adalah gerakan
moral yang penuh dengan nilai-nilai keikhlasan, tanpa tendensi dan ambisi serta
menjadi milik semua golongan dan umat. Jika Tuan Guru berpolitik praktis dan
menjadi juru kampanye yang banyak mengumbar janji yang tidak pasti, maka
akibatnya para Tuan Guru tejebak pada logika politik (the logic of politic)33. Hal
ini sering memanipulasi umat atau masyarakat, yang pada gilirannya menggiring
ke arah logika kekuasaan (the logic of power). Dan akibatnya, kekuatan logika
politik (the power of logic politic) ini pada akhirnya mempengaruhi logika
moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian terhadap masyarakat34.
Terbukti bahwa dominasi Tuan Guru berpengaruh besar pada sosial-
politik, ketika misalnya pelaksanaan pemilu daerah (PILKADA) di Nusa
Tenggara Barat (NTB) yang digelar pada tahun 2008 yang lalu, yang kemudian
memunculkan seorang Tuan Guru sebagai Gubernur NTB dan sebagaian Tuan
Guru lainnya menjadi anggota parlemenm baik di tingkat Propinsi maupun
Kabupaten yang banyak lakangan menganggap bahwa Tuan Guru melakukan
penggiringan jama’ahnya ke dalam kekuasaan.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis
Dinamika Politik Islam Sasak; Tuan Guru dan Politik Pasca Orde Baru, yang
33 Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu Muhammad Faisal dan
Peranannya Mengembangkan NU di Lombok, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), cet. I, h. 5 34Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu Muhammad Faisal dan
Peranannya Mengembangkan NU di Lombok, h. 5
12
terutama kedua tokoh tradisional karismatik ini, yang dalam sosiologi-politik
golongan Menak (bangsawan) selalu mendominasi pada tingkatan birokrasi
pemerintahan dan kancah politik, dan para Tuan Guru yang hanya pada ranah
sosial-keagamaan bergeser ke ranah politik praktis.
B. Batasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis hanya
membatasinya pada kajian Dinamika Politik Islam Sasak, yang berkaitan dengan
Tuan Guru dalam Politik Masyarakat Sasak pada Pasca Orde Baru. Agar
pembahasan ini lebih terfokus, maka penulis merumuskan masalahnya pada:
1. Bagaimana peran politik Tuan Guru dalam masyarakat Sasak Pasca
Orde Baru?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian skripsi ini adalah penulis ingin memeberikan kontribusi
– berupa karya tulis ilmiyah dengan mengkaji kedaerahan- kepada daerah tempat
penulis dilahirkan dan dibersarkan; tulisan ini adalah sebagai tugas akhir untuk
mendapatkan gelar keserjanaan; penulis ingin menambah pengetahuan dan
mengetahui dinamika politik Islam Sasak; Tuan Guru dan Politik Paca Orde Baru.
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif,
yaitu penelitian yang menggunakan latar alamiyah (natural), dengan maksud
13
menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan cara melibatkan
berbagai metode yang ada35. Sehingga dalam memerlukan penelitian ini
memerlukan pendekatan deskriptif analisis. Deskriptif artinya memaparkan
fenomena sosial dengan apa adanya. Sedangkan analisisnya, memberikan
interpretasi terhadap fenomena sosial tersebut36. Dalam mempermudah kajian ini,
penulis mengunakan pendekatan historis analisis dengan teori kharismatik Max
Weber. Historis analisis adalah memaparkan data-data sejarah yang ada kemudian
dianalisis. Sedangkan teori kharisma Weber (1864-1920), yaitu sesuatu yang luar
biasa yang dimiliki oleh seorang dan mempunyai daya tarik serta karakter pribadi
yang memberikan inspirasi pada mereka yang bakal menjadi pengikutnya37.
Untuk itu dibutuhkan kajian pustaka (library reseach). Penelitian ini
mengandalkan data dari dokumen-dokumen baik primer maupun skunder; seperti
buku, jurnal, arsip dokumen dan tulisan-tulisan yang terkait dengan tema tersebut.
Dan penulis juga menggunakan teknik wawancara untuk mendapatkan
data dan informasi melalui tanya jawab, dengan mengajukan beberapa pertanyaan
kepada nara sumber atau responden. Teknik wawancara ini memberikan informasi
secara langsung dari nara sumber atau responden yang berkompeten dalam
bidangnya.
Adapun pedoman penulisan ini, penulis menggunakan panduan buku yang
diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu
35Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007, cet. X, h. 5 36Makalah Metodelogi Penelitian yang ditulis oleh Anas Saidi Machfus (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia), h. 39 37 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, diterjemahkan oleh Robert M.
Z Lawang, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, jilid I, cet. III, 1994, h. 229
14
Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis, Desertasi) oleh Center for
Development Assurance (CEQDA) terbitan tahun 2007.
E. Kajian Terdahulu yang Relevan
Dalam membahas tema ini, ada beberapa buku yang pernah ditulis atau
berkaitan dengan tema yang penulis bahas antara lain :
1. Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu
Muhammad Faisal dan Peranannya Mengembangkan NU di Lombok.
Buku ini membahas seorang peran Tuan Guru bernama Tuan Guru
Haji Lalu Muhammad Faisal dalam politik pasca kemerdekaan dan
peranannya dalam mengembangkan NU di Lombok.
2. Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan
Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
1904-1997. Buku ini membahas tokoh Tuan Guru Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid dalam peranannya melakukan transformasi sosial
dalam bidang pendidikan dan dakwah dengan organisasi Nahdatul Wathan
(NW) yang didirikannya di Pancor.
3. Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima. Buku ini
mambahas Islam yang berartikulasi dengan budaya Sasak sehingga
menimbulkan Islam Waktu Telu.
4. Fahurrozi, Dakwah Tuan Guru dan Transposmasi Sosial di Nusa Tenggara
Barat, Desertasi, 2009 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Desertasi ini
membahas peran Tuan Guru dalam perubahan sosial, ekonomi, politik dan
budaya dalam masyarakat Lombok Timur
15
5. Zulkarain, Tuan Guru Bajang; Berpolitik dengan Dakwah dan Bedakwah
dengan Politik. Buku ini membahas tentang visi dan misi Tuan Guru Bajang
dalam menghadapi pemilihan gurubernur di NTB pada tahun 2008.
6. Irene Hiraswati, dkk, 2009, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca
Orde Baru; Studi Kasus Pergeseran Peran Tuan Guru di Lombok Timur. Ini
adalah laporan hasil penelitian dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dilakukan di Lombok Timur yang
meneliti pergeseran peran Tuan Guru yang dulunya sebagai pendakwah yang
kemudian bergeser pada pasca orde baru menjadi politisi atau para Tuan
Guru terjun dalam politik praktis.
Perbedaan skripsi ini dari kajian yang terdahulu yaitu terdapat
pembahasan-pembahasan yang masih menyangkut biografi atau ketokohan.
Misalnya kajian yang ditulis oleh Nasir Anggara yang mengkaji tentang
perlawanan seorang tokoh NU bernama Tuan Guru Muhammad Faisal dalam
melawan penjajahan Belanda di Lombok. Muhammad Noor dan dkk, mengkaji
refleksi pemikiran kebangsaan Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Madjid,
yang masih focus terhadap biografi. Berbeda dengan Erni Budiwanti yang
membahas Lombok tetapi melihat dari segi teologisnya. Fahrurrozi, desertasi yang
mengkaji Tuan Guru dalam trasformasian sosial melalui dakwah. Dan Zulkarnain,
mengkaji sekitar visi dan misi Tuan Guru “Bajang” dalam menjelang Pilkada.
Sedangkan penelitian Irene Hiraswati, dkk, melihat pergeseran peran Tuan Guru
sebagai pendakwah beralih menjadi politisi pada masa pasca Orde Baru. Dan
peran ini dianggap sebagai hal yang baru.
16
Dalam skripsi ini, yang menjadikannya berbeda dengan kejian terdahulu
tersebut yaitu sktipsi ini mengambil posisi pada aspek sejarah, yang kemudian
menjabarkan peran Tuan Guru tidak hanya dimulai pada masa pasca Orde Baru,
melainkan juga sudah sejak lama sebelum bangsa ini merdeka. Sehingga
kehadiran Tuan Guru dalam politik praktis adalah sebuah keniscayaan, bukan
merupakan hal yang baru.
F. Sistematika Penulisan
Bab pertama, merupakan bab pendahlu yang membahas tentang gambaran
awal dalam kajian penelitian skripsi ini. Isinya terdiri atas latar belakang yang
menggambarkan secara umum penulisan skripsi ini, kemudian dilanjutkan dengan
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan
kajian terdahulu yang relevan dan sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas kerangka teoritis yang digunakan dalam menelaah
keterkaitan antara agama dan politik, tuan guru sebagai elit lokal, dan tuan guru
dalam politik .
Bab ketiga, membahas tentang dinamika sosial politik masyarakat sasak
yang kemudian mengelaborasi sosio-kultural masyarakat sasak lombok, dan
pergulatan tuan guru dalam konstelasi politik pada Orde Baru, dan dinamika
politik Islam Pasca Orde Baru secara umum.
Bab keempat, mambahas tentang dinamika politik Islam Sasak dengan
melihat peran politik tuan guru pasca Orde Baru. Peran sosial politik tuan guru
telah mengalami pergeseran dalam pemilu-pemilu Pasca Orde Baru, dengan
17
keterlibatannya di dalam berbagai partai politik termasuk dalam Pemilihan
Gubernur NTB pada tahun 2008.
Bab kelima, penutup yang berisikan penjabaran subtansif dalam bentuk
kesimpulan dan saran.
18
BAB II
TUAN GURU DAN POLITIK
A. Agama dan Politik
Zoon politicon, manusia adalah binatang politik. Arti dari konsep ini
adalah manusia berbeda dengan binatang yang memiliki peralatan ilmiah untuk
mengorganisir diri guna mencapai hidup yang adil1. Inilah politik. Miriam
Budiarjo, mendefinisikan politik sebagai usaha menggapai kehidupan yang lebih
baik2. Sehingga pada zaman Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles
menamakannya dengan en dam onia atau the good life. Hidup lebih baik.
Berbeda perspektif yang lebih luas, Ramlan Surbakti melihat politik tidak
hanya usaha-usaha warga negara untuk memperoleh kebaikan bersama,
melainkan lebih luas lagi, yaitu segala hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Politik sebagai kegiatan yang
berkaitan dengan mempertahankan kekuasaan dan masyarakat; Politik sebagai
kegiatan perumusan kebijakan umum; dan politik sebagai konflik dalam
mempertahankan atau mencari sumber-sumber yang dianggap penting3.
Namun demikian, ada juga pengertian yang dianggap “pragmatis” dalam
mengartikan politik. Harold D. Laswell, misalnya mengartikan politik dengan
1Robertus Robert dan Ronny Agustunis (ed), Kembalinya Politik;Pemikiran Politik
Kontemporer dari Arendt sampai Zizek, Jakarta: Buku Kita, cet I, 2008, h. viii-ix 2 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Pusaka Utama, cet
III, 2008, h. 13 3 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, cet. IV, 1999, h. 1-2
19
who get what and when, siapa mendapat apa dan bagaimana4. Artinya bahwa
dalam berpolitik atau untuk memperoleh kekuasaan, akan membutuhkan
transaksi oleh siapa mendapat apa setelah itu bagaimana?
Secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani, polis yang artinya
kota atau negara kota. Kemudian berkembang menjadi polites yang berarti
warganegara; politea yang berarti semua yang berhubungan dengan negara;
politika yaitu pemerintahan Negara; dan politikos ialah kewarganegaraan5.
Dalam bahasa Arab, politik disebut dengan siyasah, yang berasal dari kata
sasa – yasusu – siyasatan, artinya mengatur, memerintah dan mengurusi atau
bisa juga pemerintahan dan politik atau pembuat kebijakan 6.
Dalam kontek hubungan politik dan agama, masih terdapat banyak
perdebatan yang tak kunjung selesai sampai sekarang. Bahkan masih
diperbincangkan baik di Indonesia maupun di Dunia Islam sendiri (Timur
Tengah).
Di Indonesia, hubungan antara agama dan politik memiliki tradisi yang
panjang. Akar geneologisnya bisa dilihat pada akhir abad ke-13 dan awal ke- 14,
ketika Islam disebarkan di Nusantara ini.7
Kemunculan Islam di Nusantara dengan berdialog dengan realitas sosial,
memunculkan kesan Islam di Indonesia terintegrasi dengan politik. Bisa terlihat
4Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
cet. IV, 1999, h. 7 5 Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu Muhammad Faisal dan
Peranannya Mengembangkan NU di Lombok, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), cet. I, h. 133 6Hamid Fahmy Zarkasyi, Identitas dan Problem Politik Islam, dalam Jurnal Pemikiran
dan Peradaban Islam ISLAMIA, Volume V No. 2, h. 6; Inu Kencana, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996, h. 74
7Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina,1998, h. 21
20
beberapa kerajaan Muslim misalnya yang ada di Jawa, Sumatra, Maluku,
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan di beberapa tempat lainnya.
Kerajaan-kerajaan ini adalah bangunan politik dengan penguasa-penguasa
muslim sejak akhir abad ke-13. Itu dikarenakan bahwa, kerajaan ini punya
kedaulatan masing-masing, tanpa satu ikatan federasi atau otonom8.
Agama, seperti banyak orang katakan, menuruh Robert N. Bellah, yang
dikutip oleh Bahtiar Effendy, sebagai instrumen Ilahi yang dipakai untuk
memahami dunia9. Islam adalah agama yang sesuai dengan premis ini. Karena,
sifat Islam yang hadir di mana-mana (omnipresence)10. Artinya bahwa Islam
memilihi nilai-nilai, aturan-aturan sebagai panduan moral dalam segala kehidupan
manusia.
Secara teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang besifat ilahi
sekaligus transenden. Tetapi, secara sosiologis, Islam merupakan fenomena
peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia11. Oleh karen itu,
Islam tidak hanya sejumlah doktrin yang bersifat ilahiah yang universal
melainkan juga terejawantahkan dalam institusi sosial yang dipengaruhi oleh
kondisi-sosial, ruang dan waktu12. Itu sebabnya Islam tidak menjadi tunggal,
8Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik; Upaya Membingkai Peradaban, Cirebon:
Pustaka Dinamika, 1999, cet I, h. 63 9 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, h. 6 10Bahtiar Effendy, “Kata Pengantar” dalam Islam dan Politik; Pada Era Orde Baru,
Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001, h. xi; Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 6
11Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta : Paramadina, 1996, cet. I, h. i
12Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta : Paramadina, 1996, cet. I, h. i
21
bahkan memiliki multiinterpretatif dalam kaitannya Islam dengan realitas sosial
atau Islam berkaitan dengan politik (Negara).
Dalam kaitan hubungan antara Islam dengan realitas sosial, yaitu politik,
tentu akan menimbulkan beragam argumentasi dan corak pemikiran yang
berbeda-beda. Salah satunya misalnya argumentasi bahwa Islam adalah sebuah
totalitas yang padu. Sehingga Islam tidak hanya mengenal ritual atau ritus bahkan
lebih khusus lagi, Islam tidak mengenal dinding pemisah antara yang bersifat
spiritual dan temporal. Sebaliknya Islam memberikan panduan bagi setiap aspek
kehidupan13. Atau dalam bahasa lainnya, dengan istilah tiga “d”, Islam adalah din
(agama), dunya (dunia) dan daulah (pemerintahan). Sebagaimana Nazir Ayubi
katakan,
A sizeable group believes in the complete and holistic nature of revealed Islam so that, according to them, it encompasses the three famous “Ds” (din, religion; dunya, life and dawla, state)……….
Typical of the first trend is, for exemple, the distinguished Islamic writer Yusuf al-Qardawi. He maintains that Islam is an integrated totality that offers a solution to all problems of life. Is has to be accepted in its entirety, and to be applied to the family, to the economy and to politics..14
Bagi sebagian besar kalangan muslim menganggap bahwa pemikiran
tentang agama yang terintegralkan dengan kehidupan bukanlah hal yang luar
13Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, dalam Jurnal Prisma, No.5-1995, h. 6 14Nazih N. Ayubi, Political Islam Religion and Politics in the Arab World, London and
New York: Routledge, 1991, 63-64. Menjelaskan bahwa Cukup besar golongan yang percaya bahwa Islam itu diungkapkan secara komplet dan mencakup keseluruahan, menurut mereka, Islam itu meliputi tiga d yang terkenal ( agama, dunnya dan Negara)………… Tren pertama adalah, tokohnya adalah Yusuf al-Qardawi. Dia berpendapat bahwa Islam adalah totalitas terpadu yang menawarkan solusi untuk semua masalah hidup. itu harus diterima secara keseluruhan, dan diterapkan untuk keluarga, untuk ekonomi dan politik. kepadanya, selanjutnya, realisasi sebuah masyarakat Islam didasarkan pada pembentukan Negara Islam, yaitu sebuah "negara ideologis" berdasarkan ajaran Islam yang komprehensif
22
biasa, melainkan itu adalah kalaziman yang dimandatkan oleh Tuhan. Bahkan
tidak ada dikotomi tajam antara yang profan dengan yang sakral15.
Tetapi pandangan ini dikomentari oleh Arkoun dengan mangakatan bahwa
gagasan ini tetap terpenjara dalam suasana kedaerahan dan etnografis, terbelenggu
oleh pendapat-pendapat klasik yang tidak memadai dan artikulasi mereka lebih
didominasi oleh kebutuhan ideologis untuk melegitimasi rezim masyarakat Islam
dewasa ini16.
Ali Abd Al-Raziq (1888-1966) dalam bukunya, Al-Islam wa Ushul Al-
Hukm (Islam dan Akar pemerintahan), yang dikatakan oleh Eickelman dan James,
banyak memicu kontroversi pada 1952, mengatakan bahwa kekuasaan agama dan
administratif Nabi terpisah. Pemerintahan Nabi Muhammad atas komunitas
muslim Madinah bukanlah bagian dari misi kenabiannya, dan penerusnya para
khalifah, hanyalah meneruskan kekuasaan temporalnya17. Penulis Pakistan,
Qomaruddin Khan tutur Eickelman dan James, berpendapat bahwa teori politik
Islam bukanlah berasal dari al-Qur’an, melainkan berasal dari keadaan dan
pembembentukan Negara, bukanlah dipaksakan dari Ilahi ataupun dibutuhkan
sebagai sebuah institusi sosial18. Dan menegaskan bahwa tidak ada ketentuan atau
ketetapan yang mencampur adukkan agama dan politik19. Qomaruddin Khan
mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Eickelman dan James :
15John L. Esposito, Islam Warna Warni; Rragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus (al Shirat
al-Mustaqim),diterjemahkan oleh Arif Matuhin, Jakarta: Paramadina, cet. I, 2004, h. 197 16Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, h. 6 17Dele F. Eickelman dan James Pascatori, Ekspresipi Politik Muslim, diterjemahkan oleh
Rofik Suhud, Bandung: Mizan, 1998, cet. I, h. 67 18 Dele F. Eickelman dan James Pascatori, Ekspresipi Politik Muslim, h. 67 19 Dele F. Eickelman dan James Pascatori, Ekspresipi Politik Muslim, diterjemahkan oleh
Rofik Suhud, h. 67
23
“Klaim bahwa Islam merupakan sebuah paduan agama dan politik yang harmonis adalah sebuah slogan modern, yang jejaknya tidak dapat ditemukan dalam sejarah masa lalu Islam. Istilah “Negara Islam” tidak pernah digunakan di dalam teori atau praktik ilmu politik Muslim sebelum abad ke-20. Juga, seandainaya tiga puluh tahun pertama Islam dikecualikan, perilaku Negara-negara Muslim di dalam sejarah hampir tidak dapat dibedakan dari perilaku Negara-negara lainya dalam sejarah dunia”20.
Perdebatan ini tidak kunjung selesai hingga saat ini, antara kelompok yang
mengitegrasikan Agama (Islam) dan politk dan pemisahan antara Agama dan
politik. Ini bukan disebabkan karena kompleksitasnya hubungan Islam dan politik,
bukan juga oleh tingkat kesalehan umat Islam, melaikan karena Islam tidak
mungkin diterjemahkan dalam bentuk tunggal atau bersifat multiinterpretatif21.
Akan tetapi, dalam pengaitan atau hubungan antara agama dan politik paling tidak
bisa digolongkan dalam tiga golongan besar, seperti yang digagas oleh Bahtiar
Effendy.
Pertama, golongan yang mengatakan bahwa antara Islam dan politik tidak
terpisahkan atau terintegrasi. Bagi golongan ini, Islam mencakup segala sesuatu,
termasuk persoalan Negara dan politik. “inna al-Islam din wa dawlah” adalah
salah satu jargon dalam aliran ini. Dan merujuk padaa Negara Madinah pada masa
Nabi Muhammad sebagai pengalaman dan par excellence. Kedua, golongan yang
bisa dikatan dari kebalikan dari golongan yang pertama. Bahwa Islam dan politik
adalah dua entitas yang berbeda, karenanya dipisahkan atau sering disebut dengan
sekularisme. Bagi mereka Islam adalah sistem keagamaan dan tidak mengatur hal-
hal yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Islam tidak mempunyai
20 Dele F. Eickelman dan James Pascatori, Ekspresipi Politik Muslim, , h. 67-68 21 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, h. 61
24
system politik dan pengalaman Nabi pada masanya bukanlah disebut sebagai
pengalaman pemerintahan Islam klasik. Ketiga, bisa dikatakan sebagai sintesa
kedua golongan ini. Bahwa meskipun persoalan agama dan politik adalah
persoalan yang berbeda. Tetapi tidak meski harus dipisahkan atau digabungkan.
Secara legal-formal dan simbolik, keterkaitan antara Islam dan politik tidak bisa
diterima. Akan tetapi, secara subtansi keduanya sulit untuk dipisahkan22.
Dari tiga arus besar argumentasi itu, Indonesia pada masa Orde Baru,
dianggap mewakili argumentasi golongan ketiga berkaitan dengan hubugan antara
Islam dan politik. Sehingga sampai sekarang, hubungan Islam dan politik dalam
argument golongan ketiga, dianggap paling cocok dengan Indonesia. Itu
sebabnya, Indonesia adalah bukan negara teokrasi dan juga bukan negara sekuler.
Akan tetapi pemerintah Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-
nilai agama, terbukti dengan Indonesia tidak hanya memperbolehkan warga
negaranya menjalankan ajaran agama mereka masing-masing, melainkan juga
difasilitasi kehidupan keagamaan warga negaranya dan pembentukan Departemen
Agama23.
Oleh karena itu, praktek yang dijalankan Indonesia saat ini dalam
kaitannya hubungan Islam dan politik adalah hubungan yang pada tataran
simbolik dan formal tidak bisa diterima, sedangkan pada tataran subtansial saling
terkait satu dengan yang lainya.
22Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam; Kaitan Islam dan Negara yang Tidak
Mudah, Jakarta: Ushul Press, 2005,cet. 1, h. 7-10 23 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam; Kaitan Islam dan Negara yang Tidak
Mudah, h. 10
25
B. Tuan Guru sebagai Elit Lokal
Pada tahun 1950-an, ada kecenderungan pandangan bahwa aspirasi lokal
berseberangan dengan pemerintah pusat. Aspirasi local dianggap tidak nasionalis
dan bertentangan dengan aspirasi nasional, karena itu perlu dikesampingkan.
Kebudayaan local akhirnya menjadi terkubur dan memunculkan keseragaman
symbol dan kebudayaan atas nama persatuan dan kesatuan24.
Setelah pasca Orde Baru, pada tahun 1998, dinamika politik di daerah
memulai babak baru. Aktor, institusi, dan budaya lokal bermunculan kembali dan
memainkan peranannya di dalam panggung politik lokal25.
Inilah yang kemudian disebut dengan desentralisasi, yang mana kekuasaan
tidak lagi terpusat tetapi sudah menyebar. Desentralisasi dari tangan lembaga
presiden kepada lembaga-lembaga tinggi Negara lainnya. Desentralisasi otoritas
politik dan administrasi dari pusat kepada daerah.
Untuk itu studi-studi mengenai politik lokal, peran elit sangat penting. Elit
menempati posisi yang sangat penting dalam pembangunan maupun politik. Di
masa Orde Baru elit dijadikan sebagai distributor program pemerintah dari pusat.
Pada masa Orde Baru pula, nampaknya pemerintah mengadopsi Negara
neokolonialisme, di mana memanfaatkan peran-peran elit lokal ketika melakukan
alokasi atau distribusi sumber-sumber lokal termasuk ekonomi dan politik kepada
24Anies Baswedan, “Kata Pengantar”, Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken
(eds), Politik Lokal di Indonesia, diterjemahkan oleh Yayasan Obor, Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV, 2007, cet. I, h. x
25 Anies Baswedan, “Kata Penantar”, Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (eds), Politik Lokal di Indonesia, h. x
26
masyarakat. Selain itu juga elit lokal, dijadikan aset politik dalam perayaan lima
tahunan seperti pemilu26.
Pada pasca Orde Baru juga, para elit tidak lagi dikekang atau berpatron
kepada pemerintah pusat. Ini disebabkan oleh akibat dari kebijakan desentralisasi.
Elit local ini kemudian menyebar di berbagai kelompok masyarakat atau birokrasi,
sehingga mereka berpeluang melakukan bermacam peran dalam sector ekonomi
maupun politik. Di samping itu juga, karena status sosial elit yang tingggi
memberikan mereka peluang manakala menjadi bagian dari perubahan sosial yang
memobilisasi sumber daya lokal27. Dalam aspek politik lokal, kemunculan elit-elit
baru ini memperlihatkan rivalitas di antara mereka ketika terjadi alokasi sumber-
sumber kekuasaan terutama dengan adanya pilkada yang mengisyaratkan transfer
kekuasaan dari aktor atau elit pusat ke aktor atau elit daerah28.
Dalam teori politik, Elit didefinisikan oleh Pareto (1848-1923) adalah
sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan kehadirannya
untuk mendapatkan kekuasaan sosial politik29. Sedangkan Gaetano Mosca (
1858-1941), mengartikan elit dengan seorang yang cakap dalam memimpin dan
menjalankan control sosial30. Robert D. Putman, mendefinisikan elit dengan
26Irine Hiraswari dkk, dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal
di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur oleh LIPI, h. 2 27Irine Hiraswari dkk, dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal
di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur oleh LIPI, h. 2 28Irine Hiraswari dkk, dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal
di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur, h. 2 29SP. Varma, Teori Politik Modern, diterjemahkan oleh Yohanes Kristianto, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2007, h. 198 30SP. Varma, Teori Politik Modern, h. 202
27
beberapa orang yang memiliki lebih banyak kekuasaan politik daripada yang
lain31
Dalam sejarah kemunculan elit di Nusa Tenggara Barat, yang terdiri dari
dua pulau, yaitu Pulau Sumbawa dan pulau Lombok memiliki tipografi yang
berbeda. Sehingga, tentu saja kedua pulau ini juga memiliki tipologi elit yang
berbeda. Ini disebabkan karena perbedaan setting dan kondisi yang pada awalnya
berbeda. Sebagaimana dikutip dalam Ringkasan Laporan Penelitian yang
dilakukan oleh LIPI yang mewawancarai Dr. Rosiyadi Sayuti, Kepala Bappeda
Propensi Nusa Tenggara Barat yang mengatakan :
“Di Pulau Lombok bisa dikatan tumpuan pada pimpinan informal lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Sumbawa, sehingga tokoh-tokoh semacam Tuan Guru, pimpinan pondok pesantren banyak tampil menjadi pimpinan partai politik bahkan menjadi anggota dewan. Sementara di Pulau Sumbawa fenomena seperti itu relative tidak ada, karena pengkaderan lebih berada pada di jalur formal bukan informal. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan kultur yang berkembang di kedua wilayah tersebut. Kondisi dan setting awalnya memang sudah seperti itu. Secara sejarah kerajaan-kerajaan yang hidup di Lombok memang mungkin sudah ditopang oleh organisasi-organisasi seperti itu sehingga ketika kerajaan-kerajaan itu hilang dan muncul ke republic ini, organisasi dan eksistensi para pimpinan informal tetap masih bisa dikatakan ada. Berbeda dengan di Sumbawa dimana organisasi semacam itu tidak ada, maka jalur yang ada dalam kepemimpinannya lebih pada jalur formal. Maka kategori elit sendiri bisa dipisahkan menjadi dua, formal dan informal. Formal tentu saja tergambarkan pada jabatan politik formal semacam gubernur, bupati dan posisi-posisi lainnya. Sedangkan informal terepresentasikan di dalam sosok Tuan Guru atau tokoh agama yang memiliki jamaah. Bisa dikatakan semakin besar jamaah yang dimilikinya, maka semakin besar pula ketokohannya yang dia miliki. Sebagai contoh Nahdlatul Wathan yang merupakan lembaga sosial kemasyarakatan yang memiliki lembaga pendidikan yang terbesar di hampir seluruh desa di Nusa Tenggara Barat, sehingga tidak heran jika elitnya menjadi tokoh masyarakat yang memiliki
31Mohtar Mas’oed dan Colin McAndrews (eds), Perbandingan Sistem Politik,
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995, cet. XIII, h. 80
28
banyak pengikut. Posisi ini menjadi penting dan berbeda dibandingkan dengan posisi elit-elit yang lain”32.
Oleh karena itu, dalam konteks Nusa Tenggara Barat pada umumnya dan
Lombok pada khususnya mempunyai dua kategori elit, yaitu elit formal dan elit
informal. Dan direpresentasikan dalam kaum bangsawan (menak) dari elit formal
dan kaum agamawan (Tuan Guru atau Kyiai) dari elit informal.
Elit formal adalah seseorang yang dipilih melalui mekanisme legal-formal
atau melalaui mekanisme Pemilu atau Pilkada. Elit formal ini termasuk menjadi
gubernur, bupati, camat dan anggota dewan.
Sedangkan Elit informal didapat bukan melalaui proses melainkan
pengakuan. Pengakuan diberikan berdasarkan pada tradisi dan kharisma yang
dimilikinya. Biasanya elit ini memiliki kharisma yang membuat orang percaya
bahwa kekuasaan yang dimiliki adalah sah adanya. Sehingga Tuan Guru sebagai
elit lokal juga mempunyai posisi yang penting dalam perubahan sosial.
Dalam tradisi sejarah Islam, istilah tuan guru, kiai, ajengan, bendere, buya
dan lainnya tidaklah dikenal, melainkan mengggunakan istilah yang baku untuk
penyebutan tersebut, seperti alim, ustadz, syekh, dan wali. Bahkan dalam perintis
penyebaran agama Islam di Indonesia disebut dengan syeh, wali, dan sunan33.
Istilah Tuan Guru dalam masyarakat Sasak, Kyai dalam masyarakat Jawa,
Ajengan untuk masyarakat Sunda, Bendere untuk masyarakat Madura, Buya untuk
masyarakat Sumatra Barat, Topanrita untuk masyarakat Sulawesi Selatan dan
32Irine Hiraswari dkk, dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal di
Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur, h.6-7 33Imam Suprayogo, Kyai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyai, Malang: UIN Malang
Press, 2009, cet. II, h. 27-28
29
lainnya. Secara etnografis merupakan istilah lokal, tetapi secara terminologis dan
kultural sama sebagai sebutan ulama34. Istilah lokal ini muncul, ada yang
mengatakan bahwa strategi Belanda pada waktu penjajahan, dengan tujuan
menjadikan Islam sebagai fenomena budaya local yang menyatu dengan tradisi
kerajaan. Dengan strategi itu, peyebaran agama Islam dapat diisolasi dan ditutup
kemungkinannya untuk menjadi gerakan Islam secara nasional35.
Menurut Hasan Basri Marwah, istilah Tuan Guru bisa ditelusuri sampai
abad ke 18 ketika tiga orang alim ini menggunakannya pertama kali. Pertama
Tuan Guru Umar Kelayu, Tuan Guru Abdul Hamid Presak Pagutan dan Tuan
Guru Sekar Bela36. Konon mereka bertiga sangat harmonis dan sangat tinggi
tingkat toleransinya dalam perbedaan pandangan. Mereka bertiga cukup lama
tinggal di Hizaj untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu37.
Dalam masyarakat Sasak, Untuk menjadi tokoh yang mendapat gelar
sebagai Tuan Guru, sebagai orang yang berpengaruh di masyarakat Sasak, ada
beberpa syarat, meskipun antara daerah yang satu dengan daerah yang lain
memiliki persamaan, akan tetapi ada beberapa hal yang perbedaan. Syarat-Syarat
tersebut adalah telah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah, menguasai
kitab suci Al-Qur’an, Hadis dan kitab kuning, mengenyam pendidikan di Timur
Tengah, biasanya memiliki pondok pesantren dan jamaan yang terwadahi dalam
34Imam Suprayogo, Kyai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyai, h. 28 35Imam Suprayogo, Kyai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyai, h. 28 36 Hasan Basri Munawar, Tuan Guru dan Politik di Gumi Sasak , artikel di situs
Sasak.Org, diakses pada tanggal 24/1/2011 37Hasan Basri Munawar, Tuan Guru dan Politik di Gumi Sasak , artikel di situs
Sasak.Org, diakses pada tanggal 24/1/2011
30
pesantren yang dimilikinyam dan mendapat pengakuan dari jama’ahnya maupun
dari jama’ah di luarnya38.
Masyarakat Sasak memandang sosok Tuan Guru sebagai seorang yang
“serba bisa”, “mampu”, dan berpengaruh39. Itu karena kemampuan seorang Tuan
Guru (Kyai) dalam pengetahuannya tentang ajaran-ajaran Islam, sehingga
seringkali dilihat sebagai orang yang mampu memahami keagungan Tuahan dan
rahasia alam, dan mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau,
terutama oleh kebanyakan orang awam40. Biasanya gelar Tuan Guru (Kyai)
diberikan kepada golongan ulama dari golongan Islam tradisional41.
Tuan Guru, dalam masyarakat Sasak diakui sebagai pemimpin yang
kharismatik, pemimpin yang memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain
dengan kelebihan-kelebihan tertentu. Seorang dikatakan sebagai pemimpin yang
kharismatik, apabila kepemimpinannya bersumber dari kekuatan yang luar biasa,
yang diistilahkan dengan charismatic authority42. Kepemimpinan jenis ini lebih
didasarkan pada identifikasi psikologis. Makna identifikasi adalah keterlibatan
emosional individu dengan individu lain yang akhirnya nasib orang sendiri
38 Irine Hiraswari dkk, dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal
di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur, h.8-9 39Jamaluddin, Tuan Guru dan Dinamika Politik Kharisma dalam Masyarakat Sasak
Lombok, dalam Buku Dialektika Teks Suci Agama; Strukturasi Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat, Yogyakarta: Sekolah Pascaserjana UGM, 2008, cet. I, h. 138
40 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982, cet. I, h. 56
41Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, h. 56 42Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, diterjemahkan oleh Robert M.
Z Lawang, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, jilid I, cet. III, 1994, h. 229
31
berkaitan degan orang lain. Bagi para pengikut, pemimpin adalah harapan untuk
membawa ke arah yang lebih baik, penyelamat, pelindung43.
Kharisma dan status Tuan Guru makin berkembang ketika jama’ah atau
santri yang mengikuti pengajian semakin banyak. Pengajian-pengajian yang
dilakukan selain di rumah Tuan Guru juga di desa-desa yang dilakukan setiap
seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali. Selain itu, Tuan Guru juga biasanya
diundang dalam perayaan-perayaan hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, hari
besar Islam, Isra’ Mi’raj atau acara-acara selamatan44.
Oleh karena itu, dalam masyarakat Sasak, khusunya Tuan Guru sebagai
elit local terlihat memiliki peran ganda dalam masyarakat. Pertama sebagai elit
agama atau pemimpin spiritual yang memperikan pencerahan atau bahkan
memberikan solusi-solusi terhadap permasalahan-permasalahan agama yang di
hadapi masyarakat. Kedua sebagai aktifis politik yang langsung terlibat dalam
perpolitikan nasional maupun local dan bahkan ikut dalam pencalonan gubernur,
bupati dan dewan perwakilan rakyat.
C. Tuan Guru dan Politik
Persoalan Tuan Guru dalam Politik sebenarnya bukan hal yang baru. Jauh
sebelumnya juga terjadi perdebatan baik dikalangan politisi, intelektual maupun
agamawan. Persoalan ini kemudian memunculkan pro dan kontra terhadapa Tuan
43Jamaluddin, Tuan Guru dan Dinamika Politik Kharisma dalam Masyarakat Sasak
Lombok, dalam Buku Dialektika Teks Suci Agama; Strukturasi Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat, h. 138
44 Jamaluddin, Tuan Guru dan Dinamika Politik Kharisma dalam Masyarakat Sasak Lombok, dalam Buku Dialektika Teks Suci Agama; Strukturasi Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat, h. 138
32
Guru dalam Politik. Yang Pro misalnya beranggapan bahwa politik adalah ladang
dakwah. Di mana dakwah memasuku kekuasaan lebih efektif, karena jangkauan
dan otoritasnya yang besar. Sedangkan yang kontra beranggapan bahwa wilayah
agama dan politik adalah dua domain yang berbeda dan harus dipisahkan.
Dalam sejarah Islam mencatat bahwa, keterlibatan pemimpin agama/tokoh
agama dalam politik merujuk kepada masa Nabi Muhammad SAW. Di mana Nabi
Muhammad saw tidak hanya sebagai tokoh spiritual, tokoh agama; yaitu di mana
tempat orang menyandarkan segala persoalan kehidupan sehari-hari; dan juga
tokoh pemerintahan; yaitu pemimpin Negara yang mengurusi kepemerintahan
dengan berbagai banyak suku-suku Arab. Sehingga Montgomery Watt45 menyebut
Nabi Muhammad sebagai Nabi pembawa ajaran agama dan juga negarawan.
Ketika Nabi Muhammad wafat, digantikan dengan empat khalifah ar
Rasyidin, Abu Bakar as-Siddinq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib, pada waktu itu tidak ada pemisahan antara agama dan politik.
Keempat khalifah ini masih memegang kepemimpinan agama dan kenegaraan.
Karena kualitas individu mereka dan melihat kualifikasi keagamaan yang tidak
diragukan lagi. Mereka sangat berkompeten sebagai pemimpin agama sekaligus
45 W. Montgomery Watt, Nabi dan Negarawan, diterjemahkan oleh Djohan Effendi,
Jakarta: Mushaf, 2006, cet. I. Dalam Kajian Kritis Pemikiran Montogomery Watt, Alwi Sihab mengatakan bahwaWatt mengatakan bahwa Nabi Muhammad Sw tidak menerima wahyu yang berasal dari luar dirinya, melaikan itu adalah imajinasi kreatif bawah sadarnya Nabi untuk membuat alQur’an. Sehingga lanjut Alwi Sihab, Watt meragukan kenabian Nabi Muhammad di tempat lain dan mengakui kenabian Nabi Muhammad di tempat lain juga. Sehingga Alwi Sihab menganggap Watt tidaklah konsisten dan jujur. Alwi Sihab, Kajian Kritis Pemikiran Montgomery Watt, dalam buku W. Montgomery Watt, Nabi dan Negarawan, diterjemahkan oleh Djohan Effendi, Jakarta: Mushaf, 2006, cet. I, h. 342-343
33
penguasa politik46. Tetapi, sejak masa kebangkitan Dinasti Umayyah, kebanyakan
penguasa pada masa tersebut mengklaim diri mereka sebagai khilafah yang tidak
dikenal ke alimannya (memahami dan menguasai agama) dan juga tidak
mempunyai otoritas keagamaan. Bahkan sebaliknya banyak diantara mereka tidak
peduli dengan agama. Contohnya adalah Yazid bin Mu’awiyah yang dikenal
sebagai seorang pemimpin yang mempunyai tabiat buruk. Dari sinilah mulai
terjadi dikotomi atau pemisahan antara penguasa politik dengan pemimpin
agama47.
Keterlibatan tokoh agama (Tuan Guru) dalam politik juga bukan hanya
kekuatan birokrasi. Keterlibatan mereka tak jarang terjadi kerena sukarela atau
atas dasar logika aliran agama (doktrin). Misalnya Ulama Sunni yang mengatakan
bahwa keamanan, ketentraman dan stabilitas politik lebih diutamakan daripada
keadaannya kacau atau khaos. Karena kekacauan politik hanya mengakibatkan
ketidak tentraman beribadah. Oleh karena itu kekuasaan yang tidak adil sekalipun
dapat mereka tolerir sejauh bisa menjamin kestabilitasan tersebut. Dari sinilah
kemudian ulama bersekutu dan memberikan legitimasi kepada penguasa,
walaupun kekuasaan itu tidak didapat secara sah48.
Dalam perjalanan sejarah perjuangan Indonesia juga keterlibatan tokoh
agama/Ulama memainkan peran dalam melawan penjajah. KH. Zainal Mustafa di
Singaparna dekat Tasikmalaya, yang menentang kebijakan pemerintah militer
46Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan
antarumat, Jakarta: Penertbit Buku Kompas, 2002, cet. I, h.121 47Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan
antarumat, h. 121 48 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan
antarumat, h.120
34
Jepang yang repsesif; perlawanan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Zainul
Arifin, Kiai Masykur, Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan kiai NU lainnya
mengambil peran dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya menghadapi
tentara Nica (Inggris)49. Selain perlawan fisik, keterlibatan tokoh
agama/ulama/kiai/Tuan Guru memainkan peran dalam bentuk diplomasi,
misalnya KH. Agus Salim, KH. Mas Mansyur, KH. Hasyim Asy’ari, KH. A.
Wachid, KH. Masykur, KH. Abdul Halim, Abikoesno Tjokrosoejoso, A. Kahar
Moezadzakir50.
Keterlibatan tokoh agama (Ulama, Kiai, Tuan Guru, dan lain-lain) dalam
politik pada awal perjuangan Indonesia dikomentari oleh Henry J. Benda (1972)
yang dikutip oleh Aziz Mushaffa dengan mengatakan bahwa kolonial Belanda
tidak mudah berhubungan dengan Islam Indonesia. Seringkali ekspansi kekuasaan
mereka selalu dihalangi oleh kekuatan-kekuatan lokal yang diilhami oleh Islam
baik itu yang dipimpin oleh pemimpin-pemimpin Indonesia yang telah mengikuti
Islam maupun di tingkat desa oleh para ulama51.
Dalam tesis Gur Dur yang dikutip oleh Hasan Basri Munawar mengatakan
bahwa Kiai-kiai dari pesantren tua, terutama yang berasal dari Jawa Timur, pada
dasarnya adalah bagian integral dari kekuasan pusat Jawa, Kraton-kraton Jawa
Tengah dan Cirebon. Seiring dengan dinamika kekuasan itu kemudian kiai
49Faisal Ismail, Nu, Gusdurisme dan Politik Kiai, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1999, cet I, h. 22-23 50 Aziz Mushoffa (ed), Kiprah Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, cet. I, h. 8 51 Aziz Mushoffa (ed), Kiprah Islam, h. 8
35
menempati daerah yang tadinya pada posisi peripheral kemudian menuju sentral
kekuasan Jawa52.
Di Nusa Tengga Barat (NTB) pun khususnya di Pulau Lombok, para tokoh
masyarakat atau Tuan Guru melakukan perlawannanya terhadap kolonial Belanda,
walaupun corok keberislaman pada waktu itu adalah tarekat53. Perlawan yang
dilakukan oleh Tuan Guru Haji Ali Batu mulai pada tahun 1891-1982 melawan
Anak Agung Ngurah Ketut Karang Asem. Walaupun pada akhirnya Tuan Guru
Haji Ali Batu tewas di dalam pertempuran. Kemudian dilanjutkan oleh Guru
Bangkol54.
Perlawanan para Tuan Guru melawan tentara NICA di markasnya pada 7
Juni 1946 di kota Selong yang dipimpin oleh Tuan Guru Haji Muhammad Faisal
dengan bantu oleh Tuan Guru Muhammad Zainul Madjid dan didukung oleh para
santrinya, yaitu Ahmad Nursaid, Dahmuruddin, Mursyid, Sayyid Saleh, Umar, M.
Thoyyib, Saparul Khair serta kekuatan rakyat Pringgesela. Yang dalam
pertempuran menewaskan Tuan Guru Muhammad Faisal sendiri55.
Selain itu juga, pergerakan yang dilakukan oleh para Tuan Guru melalui
kultural, dengan membangun halaqah-halaqah majelis zikir, seperti Tuan Guru
Haji Muhammad Amin di Pejeruk, Tuan Guru Haji Muhammad Sidik di Karang
52Hasan Basri Munawar, Tuan Guru dan Politik di Gumi Sasak , artikel di situs
Sasak.Org, diakses pada tanggal 24/1/2011 53 Tarekat adalah melakukan segala yang diperintahkan Allah dengan sengaja demi untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Buku panduan Tareqat 54Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, (Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. I, h. 89-91
55 Ahmad Nursaid, Peran Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam Perjuangan Revolusi Kemerdekaan di Pulau Lombok, dalam buku Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 400
36
Kelok, Tuan Guru Haji Muhammad Arsyad di Getap, Tuan Guru Haji Munawar
di Gebang, Tuan Guru Haji Muhammad Munir di Karang Bedil dan lain
sebagainya56.
Fakta-fakta sejarah ini memberikan bukti bahwa keterlibatan tokoh elit
agama, Ulama, Kiai atau Tuan Guru tidak bisa dipisahkan dalam kegiatan politik
dalam memperjuangkan masyarakat Indonesia yang tertindas.
Oleh karena itu peran tokoh elit local agama atau tokoh agama, kyai dan
Tuan Guru memperlihatkan bahwa keterlibatannya dalam perjalanan politik di
Indonesia memiliki akar sejarah yan panjang. Sehingga tidak mengherankan
bahwa keterlibatan Tuan Guru dalam politik sudah biasa dan sebuah keniscayaan.
56Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997,h. 92
37
BAB III
SEJARAH SOSIAL-POLITIK LOMBOK
A. Sosio-Kultural dan Religiusitas Masyarakat Lombok
Dalam sejarah Nusantara, Pulau Lombok1 sudah lama dikenal pada abad-
abad silam yang lalu. Di dalam kitab Negarakertagama, sebuah kitab yang
memuat tentang kekuasaan dan pemerintahan Majapahit, adalah karya Pujangga
Jawa terkenal di abad ke-14 Mpu Prapanca (1365), nama pulau Lombok sudah
disebut didalam Pupuh XIV, Bait 3 dan 4 sebagai Lombok Mirah dan Sasak Adi2.
Penyebutan Lombok Mirah untuk Lombok Barat dan Sasak Adi untuk Lombok
Timur. Penyebebutan Lombok Timu atau Sasak Adi dikarenakan pada zaman itu
dahulu ditumbuhi hutan belantara yang lebat sekali sampai sesak, sehingga dari
sinilah asal mula nama Sasak, dari Saksak3.
Dan kini, tergabung dalam Nusa Tenggara Barat yang memiliki dua pulau,
yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa yang luas wilayah 20.153,15 km2,
dengan luas Pulau Lombok 738,70 km2 dan Pulau Sumbawa memiliki luas 15.
414,37 km2, yang terletak antara 115° 46' - 119° 5' Bujur Timur dan 8° 10' - 9 °g
5' Lintang Selatan4.
1Kata Lombok dalam bahasa Kawi berarti lurus atau jujur, ada juga mengatakan bahwa
kata Lombok berasal dari bahasa Sasak yaitu lombo’ yang artinya lurus. Lihat Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 16
2Departemen dan Kebudayaan NTB, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, Program Penelitian dan Pencatatan Daerah, Mataram, 1977/1978
3 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 16
4http://www.ntbprov.go.id, diakses pada tanggal 30/4/2011
38
Pulau Lombok terletak diantar Pulau Bali di sebelah Barat dan Pulau
Sumbawa di sebelah Timur. Perbatasan Pulau Lombok dan Pulau Bali diantarai
oleh selat Lombok dan Pulau Sumbawa oleh selat Sumbawa. Sedangkan di bagian
Utara berbatasan dengan laut Jawa dan di bagian selatan dengan samudra
Indonesia5.
Secara administratif Pulau Lombok terdiri dari empat kabupaten/kota,
yaitu kabupaten Lombok Barat dengan ibu kota Mataram; kabupaten Lombok
Tengah dengan ibukota Praya; kabupaten Lombok Timur dengan ibukota Selong;
dan kota Mataram dengan ibukota Mataram. Semuanya ini adalah merupakan
bagian dari Nusa Tenggara Barat (NTB)6.
Dalam kesejarahan wilayah Indonesia, Pulau Lombok setelah
kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 9 Agustus 1945 termasuk dalam wilayah
propinsi Sunda Kecil, yang meliputi Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Timor,
Rote, Sumba dan Sawu dengan ibukotanya di Singaraja, Bali. Kemudian pada
tanggal 14 Agustus 1958, propinsi Sunda Kecil dibagi menjadi tiga propinsi; Bali,
Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Bali dengan
menjadi propinsi sendiri dengan Ibukota Denpasar. Pulau Lombok dan Sumbawa
dijadikan satu propinsi menjadi propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan
Mataram sebagai ibukotanya. Dan pulau-pulau kawasan Timur, mulai dari pulau
5http://www.ntbprov.go.id, diakses pada tanggal 30/4/2011 6http://www.ntbprov.go.id. Baru-baru ini pemekaran wilayah terjadi dengan adanya
Lombok Utara dengan Tanjung sebagai Ibu Kotanya diakses pada tanggal pada tanggal 30/4/2011.
39
Flores, Timor, Rote, Sumba dan Sawu, menjadi propinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) dengan ibukotanya Kupang7.
Sasak8 adalah penduduk asli Lombok dan kelompok etnik mayoritas
Lombok. Mereka lebih dari 90% dari keseluruhan kependudukan Lombok. Etnik
lain misalnya seperti Bali, Sumbawa, Jawa, Arab dan Cina adalah pendatang.
Diantara etnik pendatang ini, Bali adalah etnik yang terbesar dengan 3% dari
jumlah penduduk. Orang Bali terutama tinggal di daerah Lombok Barat dan
Lombok Tengah dan memiliki tanah sendiri. Kepemilikian tanah sendiri berasal
dari penaklukan Lombok pada abab ke-17 yang datang dari Karangasem9.
Orang-orang Sumbawa terdapat di bagian Lombok Timur, dan orang-
orang Arab di Ampenan. Permukiman orang-orang Arab di Ampenan disebut
sebagai kampung Arab Ampenan. Orang-orang Cina adalah mayoritas pedagang
yang tinggal di pusat-pusat pasar seperti Cakra dan Ampenan. Sedangkan orang
Bugis, kebanyakan menjadi nelayan di daerah pantai Tanjung Ringgit dan
Tanjung Luar di Lombok Timur10.
7Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, (Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. I, h. 77
8 Dalam Babat Tanah Lombok, bahwa sebutan Sasak pada etnik asli Lombok berlatar belakang legenda rakyat. Karean kondisi pada waktu itu daerah lombok yang berupa hutan yang rapat sehingga seolah-olah seperti benteng kokoh. Orang pun lalu menyebutnya “sesek” (penuh sesak) untuk menunjuk daerah ini. Selanjutnya daerah dan penduduknya kawasan ini dikenal dengan nama sasak atau tanah sasak.
Sumber lain, Sasak berasal dari Sangsekerta, yakni Sak artinya pegi, dan Saka, artinya asal. Jadi Sasak adalah orang yang pergi dari negeri asalnya dengan menggunakan rakit berlayar sehingga terdampar di pulau ini. Diduga mereka adalah berasal dari Jawa dan menetap secara turun temurun. Lihat Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 17
9Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta; LKiS, 2005), cet I, h. 6
10Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, h. 7
40
Disamping berbagai etnik, Lombok juga tedapat berbagai bahasa,
kebudayaan dan keagamaan. Masing-masing etnik berbicata dengan bahasa
mereka sendiri. Orang Sasak, Bugis, Arab, mayoritas beragama Islam. Orang Bali
beragama Hindu, sedangkan orang Cina pada umumnya beragama Kristen11.
Beragamnya etnik dan keragaman budaya dan agama dipengaruhi oleh
silih bergantinya dominasi di Pulau Lombok. Ada empat yang paling signifikan
mendominasi pulau Lombok, yaitu pengaruh Hindu Jawa; pengaruh Hindu Bali;
pengaruh Islam; dan pengaruh kolonial Belanda dan Jepang12. Kekuatan asing
yang menaklukkan Lombok selama berabad-abad mempengaruhi cara orang
Sasak menyerap pengaruh-pengaruh luar tersebut.
Kerajaan Hindu Majapahit dari Jawa Timur menguasai Lombok pada abad
ke-7 dan memperkenalkan agama Hindu-Budhisme ke orang Sasak. Setelah
runtuhnya Kerajaan Hindu Majapahit dari Jawa Timur, kemudian agama Islam
dibawa pertama kali pada abad ke-13 oleh raja Jawa Muslim13 ke kalangan orang
Sasak dengan ajaran sufisme Jawa yang penuh mistikisme atau singkretis14.
11 Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, h. 7 12Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas
Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 19 13 Proses masuknya Islam ke Lombok belum dapat diketahui secara pasti. Ada yang
mengatakan penyebar Islam berasal dari Jawa. Ada juga yang mengatakan dari pedagan Islam dari dari Arab. Akan tetapi salah satu sumber tantang masuknya Islam ke Pulau Lombok adalah dari Jawa, yaitu Babad Lombok. Di dalamnya antara lain disebutkan bahwa Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya, memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam di seluruh Nusantara. Dilembu Manku Rat dikirim bersama bala tentara ke Banjarmasin, Datu Bandan dikirim ke Makasar, Tidore, Seram, dan Galeier, dan Putra Susuhunan, Pangeran Prapen ke Bali, Lombok dan Sumbawa. Oleh karena itu dicatat juga oleh John Ryan Bartholomew dengan mengutip Cedereoth (1981:32) dalam bukunya Alif Lam Mim, Kearifan Masyarakat Sasak, mengatakan Sunan Giri, salah satu dari sembilan wali (Wali Songo), bertanggung jawab atas diperkenalkannya Islam ke Lombok pada tahun 1545. Lihat John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim, Kearifan Masyarakat Sasak, doterjemahkan Imron Rosyidi, Yogyakarta: Tiara Wacana,2001, h. 94; Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap
41
Sementara orang Makasar datang ke Lombok Timur pada abad ke-16 dan
berhasil menguasai kerajaan selaparang, kerajaan asli orang Sasak. Berhasil
menyebarkan agama Islam yang bercorak Sunni dan hampir seluruh komunitas
Sasak memeluk agama Islam15.
Sedangkan kerajaan Hindu Bali dari Karangasem datang ke Lombok dan
mengkonsolidasikan kekuasaannya hampir ke seluruh wilayah Lombok setelah
berhasil mengalahkan kerajaan Makasar pada tahun 174016.
Tapi kerajaan Hindu Bali cukup toleran terhadap yang dianut oleh orang
Sasak. Akan tetapi, tidak menyurutkan perlawanan para bangsawan Sasak
(menak) dan Tuan Guru untuk melawannya. Tetap saja perlawan mereka
dipatahkan. Kekalahan ini mendorong mereka untuk meminta bantuan kepada
militer Belanda untuk membantu melawan kerajaan Hindu Bali17. Kerajaan Hindu
Bali pun kalah. Alih-alih Belanda mengembalikan kekuasaan mereka, malah
justru orang-orang Belanda menjajah dan merampas tanah yang sebelumnya di
kuasai oleh kerajaan Hindu Bali. Dan memberlakukan pajak tinggi bagi
penduduk18.
Masa-masa ini yang menandai awal penjajahan Belanda di Lombok hingga
berabad-abad kemudian. Sampai hingga Jepang datang menjajah Lombok hingga Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 25-26
14 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, h. 20
15 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, h. 20
16 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, h. 20
17Alfons van der Krant, PEnaklukan, Penjajahan dan Keterbelakangan 1870-1940, Mataram: Lengger, 2009, cet. I, h. 39
18 Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta; LKiS, 2005), cet I, h. 9
42
rentan waktu yang singkat, yaitu 1942-194519. Akan tetapi kedua kolonial ini
tidak merubah sama sekali tatanan keagamaan antara Hindu dan Islam yang sudah
mapan di pulau Lombok.
Oleh karena itu, kedatangan berbagai agama yang datang ke Lombok
mulai dari Hindu Majapahit, kemudian Islam Jawa, dilanjutkan dengan Islam
Makasar dan Hindu Bali, sedikit banyak mempengaruhi corak, bentuk
keberagaman keagamaan yang penuh warna. Kemudian ditambah dengan penjajah
oleh kolonial Belanda dan Jepang. Tetapi tetap saja bentuk penghayatan
keberislaman masyarakat Sasak menjadi banyak kategori dan beragam corak.
Secara umum wajah keberislaman masyarakat Sasak Lombok dapat dikategorikan
ke dalam dua varian, yaitu Islam Wetu Telu dan Islam Waktu Lima.
Islam Wetu Telu20 adalah orang Sasak yang meskipun mengaku sebagai
muslim, masih saja memuja roh para leluhur, berbagai dewa-dewa dalam lokalitas
mereka. Dalam kehidupannya sehari-hari mereka cenderung mengabaikan praktik
wajib yang dijalankan oleh kalangan Islam Waktu Lima. Bagi penganut wetu telu,
adat memainkan peran yang dominan, dan kadangkala praktiknya berseberangan
19 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, h. 20-21
20Dalam bahasa Sasak, wetu artinya waktu dan telu artinya tiga. Sehingga sering desebut sebagai waktu tiga, yang mana interpretasinya bahwa para penganut wetu telu mengurangi dan meringkas hampir semua pribadatan Islam menjadi tiga. Misalnya wetu tiga hanya menjalankan tiga rukun Islam saja, yaitu syahadat, Shalat, dan puasa. Zakat dan Haji tidak dilaksanakan. Ada juga pendapat lain mengatakan bahwa penganut wetu lima hanya menjalankan tiga waktu shalat, yaitu shalat subuh, magrib dan Isya’. Dzuhur dan ashar tidak dilaksanakan. Akan tatapi pandangan semua itu ditolak. Seorang pemangku adat Karangsalah, Raden Gedarip dan Amaq Itrawasih mengatakan bahwa penyebutan Islam wetu itu itu keliru, wetu telu itu bukan agama, melainkan adat. Istilah wetu telu pun sebelum kedatangan Belanda tidak dikenal. Dan sejarah terbentuknya Islam wetu telu masih menjadi perdebatan. Kapan dan siapa yang menamakannya pertama kali. Ada yang menganggap bahwa Islam wetu telu berasal dari penjajah Belanda yang menjalankan politik devide et et impera, untuk memecah belah kekuatan Islam dengan melakukan dikotomi Islam wetu telu versus waktu lima. Lihat Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 62-63
43
dengan Islam. Misalnya penghormatan roh para leluhur dan pemujaan dewa-dewa
adalah hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akan tetapi bagi mereka, itu
adalah bagian dari pemeliharaan tradisi keagamaan mereka. Wetu telu tidak
menggariskan suatu batas yang jelas antara adat dan agama, karena adat sangat
bercampur-aduk dengan agama lokal (agama Boda)21.
Penganut Islam wetu telu biasanya berada di tempat-tempat terpencil di
pedesaan, lereng gunung, di sekitar hutan lebat atau di tepi aliran sungai22. Hal ini
selaras dengan kepercayaan mereka yang lebih menganut kepercayaan animisme,
dinamisme, antropomorfisme dan panteis. Sehingga dalam praktik peribadatannya
tidak secara menyeluruh mencerminkan praktik ajaran Islam yang sebenarnya.
Masih kuatnya penggunaan sesajen-sesajen di tempat-tempat yang mereka anggap
suci atau dianggap keramat merupakan cerminan hal tersebut23.
Sedangkan Islam Waktu Lima adalah sebutan bagi komunitas Islam yang
mendasarkan praktik dan ritual ibadahnya pada ketentuan rukun Islam yang lima,
yaitu syahadat; shalat lima waktu; puasa bulan Ramadhan; membayar zakat;
menunaikan ibada haji ke Mekkah bagi yang mampu. Kecintaan yang tinggi
mereka terhadap praktik-praktik ibadah dan terhadap syari’ah, membuat
komitmen mereka terhadap adat menipis. Bagi mereka, adat yang bertentangan
21 Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta; LKiS, 2005),
cet I, h. 7-8; M. Akhyar Fadly, Islam Lokal; Akulturasi Islam di Bumu Sasak, Nusa Tenggara Barat; STAIIQ Press, 2008, h. 38; Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan isKomunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 55
22 Kamarudin Zaelani, Satu Agama Banyak Tuhan; Melacak Akar Sejarah Teologi Waktu Telu, Mataram: Media Presindo, 2007, cet. I, h 117
23 M. Akhyar Fadly, Islam Lokal; Akulturasi Islam di Bumu Sasak, Nusa Tenggara Barat; STAIIQ Press, 2008, h. 33
44
dengan Islam sudah lama mereka tinggalkan dan hanya ritual adat yang tidak
bertentangan dengan Islam yang mereka jalani24.
Islam Wetu Lima adalah Islam yang banyak dianut oleh masyarakat Sasak.
Istilah Islam Waktu Lima, muncul sebagai tandingan dari lahirnya Islam Wetu
Telu25. Varian Islam inilah yang menjalankan ajaran agama sesuai Al-Qur’an dan
Hadis Nabi terutama dalam masalah akidah, syari’ah, mu’amalah dan akhlak.
Dan penganut Islam Waktu Lima mayoritas merupakan anggota msyarakat yang
tergabung dalam organisasi keagamaan, Nahdlatul Wathan (NW) dan Nadlatul
Ulama (NU), yang sama-sama menganut Ahlu Sunnah wal Jama’ah26.
Dengan demikian, masyarakat lombok memiliki beragam kultur dan etnik
bahkan keberagaman religusitas. Mulai yang berasal dari kerajaan Hindu
Majapahit, Islam Jawa, Islam Makasar, Hindu Bali, Belanda dan Jepang yang
kemudian berakulturasi dengan adat komuniatas Sasak.
B. Tuan Guru dan Konstelasi Politik Orde Baru
Perjuangan merebut kemerdekaan dan perlawanan terhadap penjajah, tentu
peran para tokoh agama (Ulama, Kyai, Tuan Guru,dll) tidak bisa dibaikan begitu
saja dalam sejarah bangsa ini, sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu.
Pada masa setelah kemerdekaan, setelah melawan kolonialisme, posisi
kelompok Islam semakin kuat. Ini terlihat ketika Masyumi, gabungan ormas-
24 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas
Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, h. 55-56 25Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan; Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam
Budaya Sasak, Yogyakarta: Adab Press, 2006, cet. I, h. 135-136 26 Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan; Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam
Budaya Sasak, h. 136
45
oramas atau kelompok Islam ini tampil sebagai partai terbesar dengan menduduki
kursi parlemen tebanyak. Pada masa ini hubungan politik antara Islam dan Negara
masih harmonis, akan tetapi tidak berlangsung lama. Baru terjadi ketegangan
ketika Presiden Soekarno berpidato di Amuntai, Kalimantan Timur pada tanggal
27 Januari 1953. Secara eksplisit Ia mengingatkan akan pentingnya
mempertahankan Indonesia sebagai kesatuan nasional. “Negara yang kita
inginkan adalah sebuah negara nasional yang mencakup seluruh Indonesia,
tuturnya, Jika kita mendirikan negara yang berdasarkan atas Islam, maka wilayah
yang penduduknya bukan muslim, seperti Maluku, Flores, Timor, Kepulauan Kei,
dan sebagian Sulawesi akan memisahkan diri”27.
Pernyataan Soekarno dalam pidato itu membuat kelompok Islam
tersinggung. Menurut mereka, Soekarno tidak demokratis dan melampaui batas-
batas konstitusinya dalam kapasitasnya sebagai kepala negara yang membela
kelompok ideologi tertentu28.
Di pihak lain, yaitu PNI, mandukung pidato Soekarno. Menurut Harbert
Faith yang dikutip oleh Mohammad Noor, bahwa apa yang dilakukan oleh PNI
dalam mendukung pidato Soekarno adalah sebuah tindakan presiden Soekarno
yang didasarkan kepada hak prerogatifnya sebagai pemimpin revolusi, untuk
27 Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, (Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. I, h. 51-55
28 Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-199, h. 54
46
memberikan arahan bagi seluruh rakyatnya, juga sebagai kepala negara yang
konstitusianal29.
Perdebatan ini yang kemudian memunculkan perdebatan ideologis-politis
antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis. Di mana kelompok Islam
menginginkan negara Indonesia berdasarkan pada Islam, ini dipelopori oleh
Masyumi dan kelompok Islam lainya. Sedangkan kelompok nasionalis
menginginkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Berdasarkan perdebatan politik itu, kemudian presiden Soekarno
menguluarkan dekrit dengan didukung oleh tentara, yang menyatakan kembali ke
UUD 194530.
Dari sinilah kelompok Islam secara simbolik berhasil dikalahkan. Di balik
kekalahan simbolik kelompok Islam ini, selama masa demokrasi terpimpin di
bawah Soekarno, artikulasi legalistik formalistik gagasan dan praktik politik Islam
mulai dicurigai apalagi dengan gagasan Islam sebagai ideologi negara31.
Setelah tumbangnya Orde Lama, kemudian munculnya Orde Baru yang
didahului oleh tragedi G 30 S/PKI, banyak pemimpin politik Islam menaruh
harapan besar. Karena langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintah Orde
Baru yaitu membebaskan para tahanan pemimpin Masyumi yang ditahan pada
masa Soekarno32.
29Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 54 30Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 54 31 Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 56-57 32Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 58
47
Harapan ini menyusut dikarenakan apa yang dilakukan oleh Orde Baru
adalah melakukan birokrasi politik. Yaitu besarnya campur tangan pemerintah
dalam kehidupan politik. Misalnya, ketika Partai Muslim Indonesia (PARMUSI)
lahir pada tahun 1968, yang sebagaian besar pengurusnya mantan penguruh
Masyumi kemudian mengundurkan diri karena tidak diterima oleh pemerintah
Orde Baru33.
Keberatan pemerintah Orde Baru dalam kembalinya pemimpin Masyumi
ke arena politik dikarenakan ketakutan-ketakutan yang akan kemudian akan
terulang kembali sejarah politik Indonesia pada silam34. Sehingga banyak strategi
yang dimainkan oleh Orde Baru. Diantaranya birokrasi politik atau fusi partai
Islam menjadi satu partai; atau melakukan depolitisasi Islam35, yaitu melemahkan
atau mempersempit gerak dalam aktivitas politik Islam; atau mengharuskan
kepada semua organisasi-organisasi kemasyarakatan berasaskan tunggal, yaitu
pancasila.
Ini semua dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk dapat mengontrol
semua aktivial para kelompok Islam. Bahkan semua kativitas politik masyarakat
yang dilakukan oleh para Kiai atau Tuan Guru dibatasi bahkan dicurigai. Untuk
mempermudah kontral terhadap aktivitas Kiai atau Tuan Guru, pemerintah
membentuk Majlis Ulama Indonesia (MUI), sebagai wadah gerakan para Kiai atau
33 Sudirman Tebba, Islam Orde Baru; Perubahan Politik dan Keagamaan, Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1993, cet. I, h. 4 34 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, cet. I, h. 38 35 Menurut Bahtiar Effendy, depolitisasi Islam yang dimaksud adalah depolitisasi politik
bukan Islam. Akan tetapi karena Islam bagian dari kehidupan politik nasional, berimbas sebagai grand desigs politik Orde Baru. Lihat Bahtiar Effendi, (Re) Politisasi Islam; Pernahkan Islam Berhenti Berpolitik, (Bandung; Mizan Media Utama, 2000), cet. I, h. 108
48
Tuan Guru36. Orientasi pembentukan ini adalalah tidak lain membatasi dan
mengontrol gerakan para Kiai atau Tuan Guru.
Kondisi sentralistik yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru berimplikasi
juga ke daerah-daerah tak kecuali di Pulau Lombok, NTB. Di mana tidak adanya
kekuatan politik yang independen, kuatnya birokrasi dalam pengambilan
keputusan, ekspansi dan keterlibatan pemerintah pusat dalam hampir seluruh
kekuatan sosial37. Sehingga Tuan Guru hanya dijadikan sebagai legitimasi
terhadap kekuasaan pemerintah Orde Baru. Di mana pada masa itu Tuan Guru
adalah figur central masyarakat atau sebagai patron.
Terkontrolnya para Tuan Guru dilihat ketika kedekatan Soeharto dengan
para Tuan Guru yang erat serta meminta para Tuan Guru untuk menggalang
dukungan untuk Golkar pada pemilu 197138. Dan salah satu Tuan Guru yaitu
Tuan Guru Haji Abdul Madjid, yang pada waktu itu adalah pendiri sekaligus
ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan, menyetujui tawaran itu dan
beliau terus menjadi manajer juru kampaye Golkar di Lombok Timur untuk
36Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007, cet. I, h. 171-172 37M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, cet. I, h. 65 38 Keberpihakan para Tuan Guru pada waktu itu karena salah satunya adalah trima
kasihnya kepada Soeharto atas perannya menumpas PKI. Disamping itu juga, pihak militer dan pejabat pemerintah membantu Tuan Guru dalam mendakwahkan komunitas Wetu Telu. Karena Wetu Telu dianggap mereka membahayakan Islam dikarenakan ritualisme mereka yang unik, merupakan kombinasi ritualisme Sasak dengan para kiai Islam yang kontra dengan reformis. John M. MacDougall, Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok dalam buku Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (eds), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, cet. II, h. 379
49
pemilahan anggota DPR tahun 1971 dan 1977 39. Golakar pun memenangkan dan
mayoritas dalam kedua pemilu tersebut.
Tuan Guru Haji Abdul Madjid pun mewakili Propinsi Nusa Tenggara
Barat sebagai anggota MPR RI dari Golkar. Tetapi pada tahun 1982, ketika semua
muslim tidak lagi menyukai kebikan pemerintah Orde Baru, Tuan Guru Haji
Abdul Madjid pun mengumumkan kepada pengikutnya (jam’ah), yang terhimpun
dalam organisasi Nahdlatul Wathan (NW), untuk bebas memilih partai pilihan
mereka sendiri40.
Dengan kebijakan yang diambil oleh Tuan Guru Haji Abdul Madjid untuk
membebaskan para pengikutnya memilih partai apapun, membuat pengikutnya
ditangkap dan diancam serta bantuan-bantuan untuk sekaloh NW pun dihentikan.
Sehingga pada 1987, Tuan Guru Haji Abdul Madjid kembali ke Golkar karena
paksaan militer41.
Oleh karena itu, kondisi pada masa Orde Baru di pemerintahan pusat tidak
jauh berbeda dengan kondisinya di daerah. Di mana segala aktivitas para Tuan
Guru di batasi, dikontrol dengan didirikannya sebuah wadah organisasi untuk para
Tuan Guru yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) oleh pemerintah Orde Baru.
Dengan adanya MUI, pemerintah Orde Baru tidak hanya bisa mengontrol,
membatasi melainkan juga mengiterpensi dan bahkan sebagai legitimasi apa yang
dilakukan pemerintah Orde Baru.
39 John M. MacDougall, Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok dalam buku Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (eds), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, cet. II, h. 379-380
40 John M. MacDougall, Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok, h. 380 41 John M. MacDougall, Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok, h. 380
50
C. Dinamika Politik Islam Pasca Orde Baru
Mundurnya Presiden Soeharto dari puncak kepemimpinan pada tanggal 21
Mei 1998 menandai berakhirnya masa Orde Baru, dan lahirnya era baru yang
disebut dengan reformasi, tapi penulis menggunakan istilah pasca Orde Baru
sebagai sebuah kosistensi dalam judul ini.
Munculnya pasca Orde Baru memberikan relaksasi dan liberalisasi
politik42. Perkembangan ini juga memunculnya banyak partai, tidak terkecuali
munculnya partai-partai Islam yang dasar-dasarnya sudah diletakkan pada
dasawarsa awal 1960-an.
Di antara organisasi-organisasi politik yang muncul adalah partai-partai
politik yang menggunakan sosial origin Islam. Sebagai dari kelanjutan itu, ada
juga yang menegaskan dirinya sebagai partai Islam. Terlihat dari simbol-simbol
yang digukan partai tersebut. Ada juga partai yang tidak menegaskan dirinya
menggunakan Islam. Tapi tetap saja publik melihanya sebagai politik Islam.
Semuanya itu adalah kemunitas Islam43.
Kemunculan partai-partai politik Islam ini, memunculkan banyak
spekulasi. Ada yang mengganggap bahwa kembalinya Islam dalam panggung
politik. Ada juga yang mengatakan dengan nada alarmis, meminjam istilah Oliver
Roy dengan imajinasi politik, yaitu ketidak terpisahan agama dengan hukum,
ekonomi, dan politik44.
42 Bahtiar Effendy, (Re)Politisasi Islam; Pernahkanh Islam Berhenti Berpolitik?,
Bandung: Mizan, 2002, cet. I, h. 205 43Bahtiar Effendy, (Re)Politisasi Islam; Pernahkanh Islam Berhenti Berpolitik?, h. 205 44Bahtiar Effendy, (Re)Politisasi Islam; Pernahkanh Islam Berhenti Berpolitik?, h. 205-
206
51
Banyaknya partai Islam bermunculan pasca Orde Baru, Sudirman Tebba
menggapnya sebagai bangkitnya kembali Islam Politik. Yaitu Islam yang
berkembang sebagai lembaga politik45. Dari 48 partai politik pada pemilu 1999,
ada 19 partai yang dikategorikan sebagai politik Islam. Suatu partai dikatakan
partai Islam lanjut Sudirman Tebba, bila nama atau asasnya atau lambangnya
mengandung unsur Islam46. Nama-nama partai politik Islam itu yaitu : Partai
Indonesia Baru (PIB), Partai Kebangkitan Muslim Indonesia (KAMI), Partai
Umat Islam (PUI), Partai Kebangkitan Ummat (PKU), Paratai Masyumi Baru,
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),
Partai Abul Yatama, Partai Syarikat Islam Indonesia 1905, Partai Politik Islam
Indonesia Masyumi, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), Partai
Nahdlatul Ummat (PNU), Partai Islam Demokrat (PID), Partai Persatuaan (PP),
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Cinta Damai (PCD), Partai Solidaritas
Uni Nasional Indonesia (SUNI), Partai Umat Muslim Indonesia (PUMI)47.
Disamping itu juga, organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam
pun ikut berkembang dan bermunculan pada pasca Orde Baru. Seperti Hizbu
Tahrir, Fort Pembela Islam (FPI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), serta
organsasi besar Islam, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dan lainya,
yang taleh melakukan raker/muktamar/kongres dan menyiapkan program baru
dalam menghadapi pasca Orde Baru48.
45Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, Yogyakrta: Tiara Wacana Yogya, 2001, cet.I,
h. 55 46 Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, h. xiii 47 Sudirman Tebba, Islam Menuju Era Reformasi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2001, cet. I h. xix-xx 48 Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, h. xiv
52
Azyumardi Azra memandang bertebarnya politik Islam pasca Orde Baru,
lebih disebabakan dan pertimbangan motif-motif politik bukan religius.
Azyumardi Azra melihatnya, kebangkitan poltik Islam secara faktual pada
umumnya hampir tidak ada kaitannya dengan Islam atau dengan keutuhan dan
kesatuan kaum muslim itu sendiri, melainkan erat kaitannya dengan kekuasaan
(power) dan persaingan pengaruh di antara elit pemimpin Islam49.
Ini releven dengan kerangka Fazlur Rahman dalam menganalisi politik
Islam pasca Orde Baru, lanjut Azyumardi Azra, bahwa ketika politik dimasukkan
ke dalam ranah agama, maka agama bersifat destruktif. Bahwa ajaran Islam
memang harus mengatur politik, tapi yang sering terjadi ekploitasi konsep dan
kelembagaan Islam oleh kelompok dan elit yang mendirikan partai tersebut.
Sehingga Islam hanya digunakan dan dimanfaatkan untuk memenuhi tujuan sesaat
belaka bagi partai-partai politik Islam dan pemimpinnya50.
Bagi Zainal Abidin Amir, banyaknya partai-partai yang berbasiskan Islam
pasca Orde Baru menjadi menarik karena terkait dengan lima hal. Pertama, selain
menimbulkan perdebatan yang sengit, dan juga antusias dan gairah politik umat
Islam yang ditumpahkan dengan mendirikan partai politik berbasiskan Islam yang
merupakan pilihan politik yang mengingkari logika format baru Islam Politik
yang berlangsung selama dua dekade. Kedua, partai Islam membuat ketertarikan
banyak cendikiawan dan tokoh akademisi untuk aktif di dalamnya. Dengan cara
memfasilitasi, duduk di pengurusan elitnya atau menduduki puncuk pimpinan
49 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan
Antarumat, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002, cet. I, h. 111-112 50 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan
Antarumat, h. 112
53
partainya. Sepertai Abdurrahman Wahid, Yusril Ihza Mahendra, Th. Sumartana,
Alwi Shihab, Nur Mahmudi Ismail, dan lain sebagainya. Ketiga, politik Islam
adalah ekspresi nyata dari kelompok Islam yang memainkan peran baru sebagai
kelompok penentu dalam kancah politik. Keempat, terjadinya polarisasi politik
Islam pasca Orde Baru yang bercerai-berai. Akan tatapi pada garis besarnya
terdapat tiga arus besar. Pertama, kelompok Islam yang tergabung dalam Ikatan
Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Walaupun ICMI bukan partai, akan
tetapi ICMI adalah inti kekuasaan dalam pemerintahan transisi Habibie, dan
disinyalir banyak partai-partai Islam terbentuk dibelakangnya; kedua, kelompok
yang mempunyai jaringan (network) yang sangat kuat dan mengandalinnya di
berbagai posisi strategis, seperti birokrasi, bisnis, dan masyarakat. Mereka ini
aktivis Himpunan Mahasiwa Islam (HMI) dan Korps Alumni Himpunan
Mahasiswa Islam (KAHMI); ketiga, kelompok masa NU dan Muhammadiwah
yang sebagain besar massanya menengah ke bawah. Kelompok ini disuarakan
oleh Abdurrahaman Wahid (NU) dan Amin Rais (Muhammadiyah).
Kelima, dari segi sejarah, politik Islam memiliki akar sejarah yang cukup
beragam. Pertama partai Islam pada masa 1955-an, seperti NU, Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII) dan Masyumi. NU memunculkan Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), Partai Nahdlatul Ummah (PNU), Partai Kebangkitan Ummat
(PKU) dan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). PSII melahirkan
54
PSII dan PSII 1905. Dan Masyumi mencuatkan Partai Masyarakat Baru (PMB),
Partai Politik Islam Masyumi (PPIM), dan Partai Bulan Bintang (PBB)51.
Oleh karena itu, dinamika yang terjadi pada politik Islam pada masa Orde
Baru memiliki antagonistis terhadap negara. Sehingga negara mempersempit
bahkan “menyegel” rapat-rapa politik Islam dengan melakukan grand design
penggunaan ideologi tunggal, Pancasila terhadap semua organisasi
kemasyarakatan, keagamaanan, sosial dan politik. Baru setelah reformasi atau
pasca Orde Baru, memunculkan relaksasi dan liberalisasi dari kalangan muslim
yang terejawantahkan dalam partai politik, baik yang berasaskan Islam maupun
tidak berasaskan Islam.
51 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003,
cet. I, h. 7-9
55
BAB IV
PERAN POLITIK TUAN GURU PASCA ORDE BARU
A. Nahdlatul Wathan dan Pusaran Perubahan Politik
Nahdlatul Wathan1, yang kemudian disingkat dengan NW didirikan oleh
Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid pada hari Ahad tanggal, 15
Jumadil Akhir 1372 H atau bertepatan pada tanggal 1 Maret 1953 M di Pancor
Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. NW adalah sebuah organisasi sosial
kemasyarakatan yang bergerak pada bidang pendidikan, sosial dan dakwah
Islamiyah2.
Organisasi ini merupakan organisasi sosial, pendidikan dan dakwah yang
dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangganya (AD/ART) pasal 2
berasaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; dan
beraqidah Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah Ala Mazhab Imam Syafi’i RA3.
Pada awalnya NW adalah sebuah pesantren4 bernama al-Muhajirin yang
didirikan oleh Tuan Guru Haji Zainuddin Abdul Madjid setalah meyelesaikan
1 Nahdlatul Wathan secara etimologis, yaitu Nahdlah, berarti perjuangan, kebangkitan,
dan pergerakan. Wathan, berarti tanah air, bangsa dan negara. Sehingga Nahdlatul Wathan artinya kebangkitanTanah Air atau bangsa atau negara.
2Jamaluddin Abd Aziz, Hamzanwadi dan NW, Pancor; MDQH NW, h. 31 3 Webset Resmi NW : http//www.hamzanwadi.ac.id, diakses pada tanggal 1/4/2011 4Pesantren adalah institusi pendidikan yang dianggap asli yang dimiliki Indonesia.
Pesantren adalah penyebutan dalam bahasa Jawa, Dayah dalam bahasa Aceh, Surau dalam Minangkabau, sedangkan Madrasah adalah pembaharuan pendidikan Islam yang mulai pada abad ke-20 M. Lihat Masnun, Tuan Guru KH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid; Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat, Jakarta: Pusaka Al-Miqdad, cet I, 2007, h. 40
56
studinya di Salatiyah, Mekkah pada tahun 19345. Seiring dengan pesatnya jumlah
santri yang belajar di pesantren al-Muhajirin, kemudian didirikanlah sebuah
madrasah sebagai lembaga pendidikan bernama Nahdlatul Wathan Diniah
Islamiyah (NWDI). Dan setelah suksen mendirikan NWDI kemudian mendirikan
madrasah Nahdlatul Banat Diniah Islamiyah (NBDI), yang dikhususkan untuk
pendidikan kaum perempuan6.
Pesatnya perkembangan kedua madrasah tersebut yaitu NWDI dan NBDI
dengan mempunyai beberapa cabang-cabang di berbagai wilayah dan desa, yang
melatar belakangi diperlukan sebuah wadah organisasi yang berfungsi sebagai
koordinator, pembimbing dan pengayom bagi ke dua madrasah tersebut.
Diambillah kata Nahdlatul Wathan (NW) dari nama madrasah tersebut sebagai
nama organisasi itu7.
Organisasi NW berkembang secara cepat. Secara organisatoris, dalam
waktu yang singkat NW sudah memiliki struktur pengurus, mulai dari penguru
ranting tingkat Dusun, pengurus anak cabang di tingkat Desa, pengurus cabang di
tingkat Kecamatan, pengurus daerah di Kabupaten/Kotamadya, penguruh wilayah
tingakat Profinsi dan Pengurus Besar di Pancor, tersebar hampir di setiap daerah
Pulau Lombok8.
Benar bahwa kondisi sosial-politik mempengaruhi lahirnya NW. Di mana
NW didirikan sebagai simbol perlawan terhadap hegemoni kolonial di Pulau
Lombok. Pada titik ini penamaan Nahdlatul Wathan (dalam bahasa Indonesia
5Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Genta Press, 2007, h. 110
6 Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, h. 114-115 7 Webset Resmi NW : http//www.hamzanwadi.ac.id, diakses pada tanggal 1/4/2011 8 Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, h. 126
57
kebangkitan bangsa) dalam kontek perlawanan terhadap penjajahan adalah sebuah
kesadaran historis atas perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat Sasak pada
masa lampau, seperti Tuan Guru Haji Ali Batu dan Tuan Guru Haji Bangkol
dalam perlawanannya melawan penjajah9. Akan tetapi, menurut Baharuddin motif
keagamaan yang demikian kuat yang mewarnai kelahiran NW10. Karena awal dari
kegiatan yang di lakukan NW, lebih banyak melakukan dalam rangka menjaga
kemurnian keyakinannya, menyebarluaskan pandangan-pandangan yang mereka
yakini benar, mengambil bagian dalam mengembangkan masyarakat di bidang
pendidikan, sosial, dan dakwah Islamiyah, melalui madrasah NW yang
dimilikinya11. Sebagai gerakan pemurnian ajaran Islam yang meliputi kepercayaan
(aqidah) dan praktik ritual (ibadah), NW mendapat serangan dari masyarakat
sekitar, khususnya dari masyarakat Islam Wetu Telu12.
Dalam pusaran perubahan politik yang dialamai oleh NW, memiliki
kebijakan yang berbeda-beda. Pada awal kebijakannya NW pada tahun 1953-1955
menerapkan kebijakan “politik bebas”. Artinya bahwa NW tidak berafiliasi
dengan kekuatan-kekuatan partai politik manapun pada saat itu. Sehingga pada
NW merestui berdirinya Partai Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (PERTI), dan PSSI di Lombok pada tahun 1953 dan 1954. Akan tetapi
pada tahun 1955 NW berafiliasi dengan partai Masyumi, sehingga mengantarkan
9Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 302 10 Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, h. 126 11 Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, h. 126 12Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, h. 127
58
pendiri NW, Tuan Guru Haji Zainuddin Abdul Madjid sebagai anggota
Konstituante periode 1955-1959 pada pemilu pertama tahun 195513.
Setelah partai Masyumi dibubarkan, khususnya di Lombok, NW adalah
ormas Islam yang pertama yang mendukung terbentuknya Parmusi. Itu
dikarenakan bahwa Parmusi adalah duplikat dari Masyumi14. Mengingat bahwa
NW pada awalnya termasuk dalam salah satu ormas Islam yang bergabung dalam
Masyumi. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, NW keluar dari Parmusi. Ini
dikarenakan bahwa aspirasi NW sebagai ormas Islam yang memiliki konstituen
terbesar di pulau Lombok tidak diakomodir15.
Keluarnya NW dari Parmusi, kemudian mengubah haluan politiknya
dengan berafiliasi kepada Sekretaris Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar),
suatu organisai yang dibentuk atas gagasan Jendral A. H. Nasution16. Dukungan
yang diberikan NW kepada Sekber Golkar didasati atas pertimbangan politik.
Pertama, Golkar dinilai berhasil dalam menumpas gerakan 30 S/PKI, yang mana
keberhasilan ini dianggap mambawa kemaslahatan bagi kaum muslim. Kedua,
terakomodirnya aspirasi NW dibandingkan dengan partai-partai politik lain.17
Pada tahun 1970 NW resmi bergabung dengan Golkar. Sehingga pada
pemilihan umum tahun 1971 dan 1977, TGH. Zainuddin Abdul Madjid terpilih
13Fahrurrozi, Dakwah Tuan Guru dan Transformasi Sosial di Lombok Nusa Tenggara
Barat, Deseertasi di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; 2009, h. 191-192 14Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, (Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. I, h. 246
15Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 246
16Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 246
17 Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 246
59
sebagai MPR RI dari Gorkar dan anggota MPR RI Fraksi utusan daerah tahun
198218.
Bergabungnya NW ke Golkar adalah awal mulai dari konflik internal di
tubuh NW. karena ada beberapa kadernya yang berafiliasi ke PPP yang notabene
partai Islam. Konflik ini terus berkepanjangan sampai pada pemilu 1977 sehingga
berimplikasi pada mundurnya sejumlah pengurus NW diberbagai tingkatan.
Kondisi ini melatar belakangi diadakannya Muktamar Kilat dengan hasil yaitu
pengurus yang tidak sejalan dengan NW akan disingkirkan dari pengurus19.
Pada tahun 1982 konflik itu tetap berlangsung dan menjelang pemilihan
umum, NW yang dipimpin oleh Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid menerapkan “tutup mulut” 20. Artinya tidak terlibat dalam pendukung
partai tertentu. Sikap ini yang membawa NW kepada khittahnya yaitu
berkonsentrasi pada gerakan kultural, pendidikan, sosial, dan dakwah. Dan akibat
dari politik diamnya NW itu membuat kekalahan telak bagi partai Golkar pada
tahun198221.
Perubahan peta politik NW pun berubah secara dramatis setalah
sepeninggalan pimpinannya, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid pada tahun 1997. Ada yang tetap pada partai Golkar dan ada pula yang
berafiliasi kepada partai-partai yang dibentuk pada masa reformasi. Dan
18 Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 247 19 Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 247 20 Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 248 21 Fahrurrozi, Dakwah Tuan Guru dan Transformasi Sosial di Lombok Nusa Tenggara
Barat, Deseertasi, Jakarta; 2009, h. 193
60
mengingat kondisi internal NW sepeninggalan Tuan Guru Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid menjadi konflik diantara kedua putri Tuan Guru Haji
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, yaitu Hj. Rauhun (putri sulung) dan Hj.
Raihanun, dalam konflik ini juga berimbas kepada afiliasi politik kedua putri
beliau22.
Terpecahnya NW menjadi dua kubu, yaitu kubu Pengurus Besar NW yang
berpusat di Anjani. Kubu ini adalah hasil muktamar yang ke- 10, Juli 1998 di
Praya, Lombok Tengah, yang diketuai oleh Hj. Siti Raihanun Abdul Madjid.
Kubu ke dua yaitu kubu Pengurus Besar NW Reformasi yang dimotori oleh Hj.
Siti Rauhun Abdul Madjid, kakak kandung dari Hj. Siti Raihanun. Pengurus Besar
NW Reformasi ini dikenal dengan NW Pancor yang di ketuai oleh Tuan Guru
Haji Zainul Majdi, purta dari Hj Siti Rauhun, cucu langsug pendiri NW23.
Pada pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden 2004
semakin mempertajam perbedaan dari ke dua kubu tersebut. Kubu NW Anjani
menyatakan mendukung Partai Bintang Reformasi (PBR), pimpinan KH
Zainuddin MZ, dan kubu NW Pancor menyatakan aspirasi politiknya disalurkan
ke Partai Bulan Bintang (PBB), pimpinan Yusril Ihza Mahendra24.
Tidak mengherankan bahwa tuduhan oportunis, kemampuan pemahaman
politik yang tidak bermoral, berpandangan tradisional merupakan tuduhan yang
kerapkali dilemparkan kepada NW. Ini dikarenakan kebijakan NW yang berubah-
22 Fahrurrozi, Dakwah Tuan Guru dan Transformasi Sosial di Lombok Nusa Tenggara
Barat, h. 193 23 Asrori S. Karni (ed), Hajatan Demokrasi; Potret Jurnalistik Pemilu Langsung Simpul
Islam Indonesia dari Moderat Hingga Garis Keras, Jakarta: PT Era Media Informasi, cet. I, 2006, h. 60
24 Asrori S. Karni (ed), Hajatan Demokrasi; Potret Jurnalistik Pemilu Langsung Simpul Islam Indonesia dari Moderat Hingga Garis Keras, h. 61
61
ubah kerap kali untuk mencari pertahanan, keselamatan diri dan menjaga
eksistensinya di dalam lingkaran kekuasaan.
Apa yang dilakukan oleh NW ini tentu berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan yang dimilikinya. Prilaku politik merupakan cerminan dari ideologi
keagamaan yang dianutnya. Dasar formal ideologi NW adalah yurisprudensi
Islam yang berasal dari politik Suni pada abad pertengahan. Seperti para ulama
fiqih seperti al-Mawardi (974-1058), al-Ghazali (1058-1111), Ibnu Taimiyah (w.
1328) dan lainnya25.
Dalam teori politik Suni mengungkapkan karakter penting dalam
pemikiran politiknya, yaitu keluwesan. Sehingga politik Suni memang bukan blue
print untuk masa depan, melainkan lebih merupakan pembenaran post eventum
atas kejadian dalam sejarah26. Hal itu, oleh Gibb sebagaimana yang dikutip oleh
Greg Fealy, merupakan sumber inti yang disebutnya kejenuisan beradaptasi
masyarakt Sunni27.
Sehingga menurut Greg, karaktristik ini kemudian diwarisi dan
dipertahankan oleh tokoh-tokoh dan organisasi-oganisasi tradisional di berbagai
belahan dunia Islam, dalam menjelaskan dan membenarkan atas prilaku
politiknya28, misalnya mengenai sikap memilih diam, berdamai, realistis dan sikap
akomodatif seperti yang dilakukan oleh NW.
B. Tuan Guru dan Pemilu-pemilu Pasca Orde Baru
25Greg Fealy, Ijtiahad Politik Ulam; Sejarah NU 1952-1967, (terj) oleh Farid Wajidi, Yogyakarta: LKIS, cet. IV, 2009, h. 62
26Greg Fealy, Ijtiahad Politik Ulam; Sejarah NU 1952-1967, h. 63 27Greg Fealy, Ijtiahad Politik Ulam; Sejarah NU 1952-1967, h. 63-64 28 Greg Fealy, Ijtiahad Politik Ulam; Sejarah NU 1952-1967, h. 65
62
Pada masa Orde Baru, Tuan Guru dijadikan sebagai “promotor
pembangunan”, di mana berperan sebagai aktor penyampai program pemerintah
dan sekaligus sebagai aset partai politik ketika berlangsungnya ritual politik
tahunan seperti pemilu29. Akan tetapi pasca Orde Baru yang membawa relaksasi
dan liberalisasi politik menjadikan Tuan Guru menjadi aktor dalam pemilu seperti
mencalonkan diri sebagai Dewan Perwakilan Rakyat baik ditingkatan daerah
maupun nasional, bahkan mencalonkan diri sebagai Gubernur.
Pada hakikatnya Pemilu adalah penegasan terhadap kesetian-kesetian
primordialisme politik, kerenanya bisa juga disebut sebagai pengejawantahan
politik partisan. Oleh karena itu baik pada tataran konseptual dan praktis, politik
partisan tidak sesuai (incompatible) dengan Ulama (Tuan Guru) yang seharusnya
berdiri pada semua golongan30. Artinya bahwa para Tuan Guru terjun dalam
politik praktis nantinya akan memperburuk keadaan dalam umat Islam kerena
perbedaan paham dan aliran keagamaan.
Akan tetapi melihat peran yang dimainkan oleh para Tuan Guru begitu
urgen dalam memperjuangkan umat, dengan melibatkan dirinya dalam politik
praktis. Keterlibatan Tuan Guru dalam politik praktis mempunyai beberapa
artikulasi, bisa bersifat ekspresif dan instrumental31. Artikulasi politik Tuan Guru
bersifat ekspresif artinya apabila aktivitas yang dilakukan oleh Tuan Guru dengan
melakukan eksploitasi atau memanipulsi simbol-simbol keagamaan serta
29 Irine Hiraswari dkk, dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal
di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur oleh LIPI, h. 2 30Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan
Antarumat, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, cet I, 2002, h. 79 31Imam Suprayogo, Kyiai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyiai, Malang: UIN-
Malang Press, cet. II, 2009, h. 47
63
penggalangan masa. Sedangkan instumental adalah artikulasi politik yang
menitik beratkan pada efektifitas untuk mempengaruhi proses pengambilan
keputusan secara langsung32. Azyumardi Azra menyarankan dalam keterlibatan
Tuan Guru dalam politik mengambil kerangka high politics, politik moral yang
independen, yang mengatasi low politics yang dalam praktiknya tidak jarang
sesuai dengan ajaran Islam33.
Dalam hal ini, keterlibatan Tuan Guru dalam politik lebih sebagai bentuk
artikulasi politik instrumental yang memfokuskan efektivitas dalam
mempengaruhi atau ikut terlibat dalam mengambil kebijakan secara langsung, dan
mengambil kerangka high politics dalam kehidupan politik sehari-hari. Sehingga
Tuan Guru diharapkan tidak hanya sebagai pendakwah moral dalam memajuakan
dan kesejahteraan masyarakat dan bangsa, akan tetapi juga ikut terlibat besama-
sama dalam mewujudkan kesejahteraan dan berjuang bersama masyarakat, seperti
meminjam istilah Antonio Gramsci (1891-1937) Tuan Guru diharapkan sebagai
intelektual organik.
Dalam politik yang diperankan oleh Tuan Guru sama seperti praktik para
politisi lainnya. Misalnya berkampaye, memiliki program-program untuk
kesejahteraan rakyat, mensosialisasikan diri mereka untuk dipilih sebagai anggota
dewan dan lainnya. Akan tetapi, ada satu hal yang membedakannya dengan politik
yang non Tuan Guru atau Menak, yaitu legitimasi religius. Yaitu apa yang
dilakukan oleh Tuan Guru merupakan perintah Tuhan, sebagai menegakkan amar
makruf nahi mungkar. Dan dalam kampaye mereka menggunakan majlis-majlis
32Imam Suprayogo, Kyiai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyiai, h. 47 33Azyumardi Azra, Islam dan Reformasi; Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, cet I, 1999, h. 44
64
taklim atau dalam bahasa lomboknya pengajian-pengajaian mingguan yang rutin
dilakukan. Atau dengan memberikan ultimatum dan memerintahkan kepada
jama’ahnya untuk memilih Tuan Guru dalam calon legislatif maupun eksekutif.
Pada pemilihan umum (Pemilu) pada tahun 2004, terdapat sejumlah Tuan
Guru yang berperan langsung sebagai calon legislatif, baik pada tingkatan
kabupaten, propinsi maupun nasional. Misalnya Tuan Guru Haji Junaidi Rasyidi
Ahmad, LC calon dari Partai Bulan Bintang (PBB), Tuan Guru Haji Mahsup dari
Partai Bulan Bintang (PBB), Tuan Guru Haji Nasruddin dari Partai Bintang
Reformasi (PBR), Tuan Guru Haji Musta’rif dari Partai Bintang Reformasi (PBR)
adalah calon Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kabupaten Lombok Timur.
Tuan Guru Haji Drs. M. Syafi’i Ahmad, M.A dari PBB, Tuan Guru Haji Bahaudin
Nur Badarul Islami dari PKB, Drs. Tuan Guru Haji Abdul Hayyi Nu’man dari
PBR adalah calon DPRD Propinsi Nusa Tenggara Barat. Tuan Guru Haji
Muhammad Zainul Majdi, M.A dari PBB, Tuan Guru Haji Muahammad Anwar
MZ dari PPP, Tuan Guru Haji Abdul Rahim Adjrun dari PPP, Tuan Guru Haji
Salehuddin, LC dari PBR adalah calon DPR RI. Tuan Guru Haji Muslih Ibrahim,
dan Drs. Tuan Guru Haji Munajib, adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) 34.
Pada Pemilu 2009 juga ada beberapa Tuan Guru yang berhasil menjadi
anggota legislatif baik di tingkat kabupaten, propinsi, dan pusat. Diantaranya Drs.
Tuan Guru Haji Hazmi Hamzar dari PPP, Tuan Guru Haji Husnud Du’at dari
PBB, dan Drs. Tuan Guru Haji Abdul Hayyi Nu’man, M.Pd.I dari PBR, semuanya
34 Sumber Data : KPU Kabupaten Lombok Tumur tahun 2005
65
adalah calon anggota DPRD Proponsi Nusa Tenggara Barat. Pada tinggkatan
Dewan Perwakilan Daerah ada Tuan Guru Haji Lalu Abdul Muhyi Abidin, M.A35.
Keterlibatan Tuan Guru ini dalam politik bisa dilihat dalam dua hal.
Pertama, pemahaman Tuan Guru tentang hubungan antara Islam dan Politik.
Kedua, berkaitan dengan sikap Tuan Guru terhadap format politik yang ada36.
Dalam teori politik Islam klasik maupun modern, hubungan antara Islam
dan Politik mempunyai banyak pandangan. Tetapi pada dasarnya dikelompokkan
dalam tiga pandangan seperti yang di paparkan oleh Bahtiar Effendy dalam
bukunya Jalan Tengah Politik Islam. Pertama, bahwa Islam tidak hanya
menyangkut ibadah ritual saja, melaikan juga Islam memiliki konsep ekonomi,
politik, sosial, ketatanegaraan dan sebagainya. Oleh karena itu, Islam tidak perlu
lagi meniru sistem ketatanegaraan Barat. Islam adalah satu padu yang membahas
semua persoalan di dunia dan di akhirat. Tokoh-tokoh ulama aliran ini antara lain
syaikh Hasan al Banna, Sayyid Quthub, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan
Abu A’la Al-Maududi.
Kedua, bahwa Islam hanya mengurusi urusan ibadah saja dan tidak
mengatur hal-hal duniawi. Menurut aliran ini Nabi Muhammad diutus hanya
untuk mengatur moral manusia dan tidak diutus untuk sebagai pemimpin di
Madinah. Tokoh aliran ini antara lain Ali Abdul al-Raziq dan Dr. Tholhah Husain
35 http://kpud-tbprov.go.id, diakses pada tanggal 30/4/2011 36Ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Asfar dalam meneliti
pergeseran Otoritas Kepemimpinan Politik Kiai di dua lingkungan pesantren di Jawa Timur, yaitu di Jombang, Pesantren Bahrul Ulum dan Pesantren Barul Ulum. Walaupun sebenarnya penelitian ini dilakukan pada tahun 1999, penulis beranggapan bahwa teori yang dikemukaan relevan dengan kondisi di daerah penulis. Lihat Muhammad Asfar, Pergeseran Otoritas Kepemimpinan Politik Kiai, Prisma, N0. 5 Tahun XXIV Mei 1995, h.32-34
66
Ketiga, aliran ini menolak bahwa Islam adalah suatu agama yang lengkap
dan menolak Islam hanya menguri hal ibadah saja. Aliran ini berpendirian bahwa
Islam tidak memiliki sistem kenegaraan, tetapi terdapat tata nilai dan etika bagi
kehidupan kenegaraan. Diantara tokoh ini Dr. Muhammad Husain Haikal.
Dalam hal ini Tuan Guru memandang hubungan Islam dan Politik sebagai
sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Ini sesuai dengan pandangan yang pertama,
bahwa Islam tidak hanya mengurusi soal ukhrawi saja akan tetapi juga mengurusi
urusan keduniaan.
Keterlibatan Tuan Guru juga berkaitan sikapnya terhadap format politik
yang ada. Terlihat bahwa Tuan Guru meyakini sistem format politik yang ada ini,
sudah cukup baik. Ini bisa dilihat dari keaktifan Tuan Guru dalam keterlibatannya
dalam politik yang ada dan mencalonkan dirinya sebagai calon, baik di legislatif
maupun di eksekutif.
Secara teoritis bahwa keterlibatan atau keaktifan seseorang disebabkan
oleh tingginya kepercayaan seseorang terhadap sistem tersebut. Dan
ketidakaktifan seseorang dapat ditafsirkan sebagai rendahnya kepercayaan
seorang terhadap sistem tersebut37.
C. Tuan Guru dan Pemilukada
Apa yang dipaparkan sebelumnya bahwa keterlibatan Tuan Guru dalam
politik, yang salah satunya melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada), ada dua argumentasi. Pertama, karena pemahaman Tuan Guru
37 Muhammad Asfar, Pergeseran Otoritas Kepemimpinan Politik Kiai, Prisma, N0. 5
Tahun XXIV Mei 1995, h.34-35
67
tentang hubungan Islam dan Politik, yaitu Islam bersifat integralistik, tidak ada
pemisahan antara Islam dan politik. Kedua, Tuan Guru menyakini bahwa format
politik yang sudah ada ini cukup baik. Terbukti dengan keterlibatan Tuan Guru
“Bajang”, Tuan Guru Haji Muhammad Zainul Majdi, MA yang mencalonkan diri
sebagai Guberntur Nusa Tenggara Bara (NTB) dan memenangkannya pada
Pemilukada NTB 2008.
1. Kemenangan Tuan Guru “Bajang” dalam Pemilihan Gubernur NTB pada 2008
Tuan Guru “Bajang”, dalam bahasa Indonesia yaitu Tuan Guru Muda,
dilahirkan di Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 31 Mei
1972. Tuan Guru Muhammad Zainul Majdi atau lebih dikenal dengan Tuan Guru
“Bajang” adalah putra ke tiga dari Hj. Siti Rauhin dan H. M. Jalaluddin. Yang
juga merupakan salah satu cucu dari pendiri Nahdlatul Wathan, Tuan Guru
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (1904-1997), Tuan Guru “Bajang” lahir
dan dibesarkan dalam kondisi lingkungan religius, tentu saja berpengaruh besar
terhadap perkembangan pemikiran Tuan Guru “Bajang” yang kemudian dianggap
mewarisi bakat Kakeknya, sebagai Ulama dan sekaligus politisi.
Tuan Guru “Bajang” tidak lepas dari pesantren. Pendidikan menengah
yang ditempuh di Pondok Pesantren Darul Nahdlatain Nahdatul Wathan pada
tahun 1991. Kemudian pada tahun 1995, beliau mendapatkan gelar serjana S1
(Lc) di Jurusan Tafsir Hadits dan Ilmu Al-Qur’an Fakultas Ushuluddin
Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Kemudian menyelesaikan Program Pasca
68
Sarjana di Jurusan yang sama di Universitas Al-Azhar pada tahun 199938. Dan
baru saja meraih geral doktor di tempat yang sama juga pada tahun 2010.
Tentunya latar belakang pemikiran Tuan Guru “Bajang” tidak lepas dari
latar belakang dari pesantren. Oleh karenanya dalam pemilikiran politiknya Tuan
Guru “Bajang” mengatakan bahwa politik dan agama adalah dua saudara kembar
atau dua sisi dari mata uang. Seperti yang dijelaskan oleh Imam al_Ghazali, lanjut
Tuan Guru “Bajang”, agama dan negara (daulah) adalah dua saudara kembar, di
mana agama adalah pondasi sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Segala
sesuatu yang tidak berpondasi akan runtuh, adapun ada yang menganggap agama
dan politik itu terpisah, bukanlah pendapat yang shahih atau muktabarah
(credible). Dan penolakan politik Islam jelas bukan merujuk pada norma dan
pengalaman sejarah umat islam, melainkan lebih merujuk pada norma dan sejarah
masyarakat Eropa39.
Awal karirnya menjadi politisi pada tahun 2004 yaitu menjadi anggota
DPR RI mewakili daerah NTB melalui PBB atas permintaan Yusril Ihza
Mahendra40. Kemudian atas dialog yang dilakukan oleh dan restu dewan Syura
PBB, Tuan Guru “Bajang” berani mencalonkan diri sebagai Gubernur NTB.
Seperti apa yang dikatakan Yusril dalam blognya :
38Zulkarnain, Tuan Guru Bajang; Berpolitik dengan Dakwah dan Berdakwah dengan
Politik, Jawa Timur: Penerbit Kaisamedia, 2009, cet II, h. 1-2 39TGH. Zainul Majdi, dalam “Pengantar”, Tuan Guru Bajang; Berpolitik dengan Dakwah
dan Berdakwah dengan Politik, Jawa Timur: Penerbit Kaisamedia, 2009, cet II, h. vi 40http://yusril.ihzamahendra.com/2008/07/09/tuan-guru-bajang, diakses pada tanggal
30/4/2011. Kedekatan Yusril dengan Tuan Guru “Bajang” adalah karena pada masa lalu Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Majdid (kakeknya) mempunyai kedekatan yang erat dengan Masyumi. Oleh karena itu Tuan Guru “Bajang” sekarang menyambungkan hubungan silaturahmi itu.
69
“Dua tahun yang lalu, Tuan Guru ngobrol dengan saya mengenai kepemimpinan daerah di NTB. Tuan Guru bercerita, ada yang menawarinya menjadi Wakil Gubernur. Saya katakan padanya, mengapa bukan Tuan Guru sendiri yang maju ke pencalonan gubernur? Tuan Guru hanya tertawa dan mengatakan “saya kurang pengalaman Bang”. Saya katakan “pengalaman bisa dicari. Ilmu bisa didapatkan. Kami semua akan membantu Tuan Guru”. Lalu dia berkata “wah, kalau begitu saya perlu minta fatwa Ketua Majelis Syuro”. Saya katakan, karena saya Ketua Majelis Syuro itu, maka fatwanya saya keluarkan sekarang, Tuan Guru maju saja ke pencalonan. Kami akan dukung beramai-ramai”. Tuan Guru nampak tercengang. Di wajahnya nampak perasaan ragu-ragu. Saya katakan padanya “Bismillah saja Tuan Guru. Jangan ragu-ragu41”.
Dari suport dan dukungan yang diberikan oleh Yusril yang kemudian Tuan
Guru “Bajang” mencalonkan dirinya sebagai seorang nomer satu di NTB dan
memenangkan Pemilukada yang digelar pada tahun 200842, yang
mengantarkannya menjadi Gubernur termuda di Indonesia.
Kemenangan Tuan Guru “Bajang” dalam Pemilukada di NTB lebih
didominasi oleh faktor figur dibandingkan dengan mesin politik43. Artinya bahwa
tidak ada korelasi jumlah suara partai politik yang mendukung pada Pilkada
dengan jumlah suara yang diraih oleh calon yang diusung oleh partai. Dengan ke-
Tuan Guru-annya mampu meraih suara mayoritas dengan mengalahkan calon dari
partai-partai lainya.
41 http://yusril.ihzamahendra.com/2008/07/09/tuan-guru-bajang, diakses pada tanggal
30/4/2011 42Dalam pemilukada NTB ada tiga pasangan calon Gubernur NTB. Yaitu pertama, Ir. H.
Nanang Samudra, KA. Msc dan Muhammad Jabir, S. H, M. H; kedua, TGH. Muhammad Zainul Majdi, M.A dan Ir. H. Badrul Munir; ketiga, Drs. H. L. Serinata dan H. Muhammad Husni Djabir, BSC; dan keempat Drs. H. Zaini Arony, M.Pd dan Nurudin Ranggabranis, S.H, M.H. Pada pada pasangan pertama memperoleh suara 379.919 (16,99%), pada pasangan kedua memperoleh suara 847.976 (38,84%) suara, pada pasangan ketiga memperoleh 576.123 (26,39%) suara dan pasangan keempat 387.875 (17,77%) suara. Dengan total suara 3.004.902 suara dan jumlah suara sah 2.182.893 suara dan tingkat partisipasinya 72,75%. Sumber Data: Koran Lombok Post, Minggu 13 Juli 2008
43http://female.kompas.co/read/xml/2009/03/06/08335922/menelusuri.jejak.penguasaan.tokoh, diakses pada tanggal 30/4/2011
70
Karena dalam ketokohan ke- Tuan Guru- an Tuan Guru “Bajang” terdapat
apa yang disebut oleh Max Webber (1864-1920) dengan karisma. Karisma adalah
seseuatu yang luar biasa yang dimiliki oleh seorang dan mempunyai daya tarik
serta karakter pribadi yang memberikan inspirasi pada mereka yang bakal menjadi
pengikutnya44.
Kemenangan Tuan Guru “Bajang” juga dalam Pemilukada di NTB
diidentikkan oleh kekuasaan Ulama dalam politik lokal45. Karena dalam sejarah
aristokrat di NTB, kaum bangsawan, menak Sasak (Lalu, Baiq, Lale,dan lain-lain)
memainkan peran dalam setiap kehidupan dan sebagai rujukan masyarakat.
Burhan Magenda, guru besar Ilmu Politik UI yang bersal dari Dompu, NTB,
mengungkapkan bahwa aristokrat dan tokoh agama bersaing di Lombok. Tuan
Guru dan Lalu. Jaringan Tuan Guru dan Bangsawan masih mengakar di NTB.
Sehingga, lanjut Magenda, sistem patro-klin Tuan Guru dengan jama’ahnya dan
kaum Menak dengan kaumnya masih kuat. Ini yang kemudian kerapkali menjadi
ajang kontestasi lokal di NTB46.
Memang, banyak yang mengakui bahwa kemenagan Tuan Guru “Bajang”
juga bukan saja ke-tokoh-annya melainakan juga momentum dimana Tuan Guru
“Bajang” diuntungkan oleh momentum kerena calon-calon yang ada bermasalah,
misalnya terlibat korupsi dan lain-lain. Selain itu, Tuan Guru “Banjang” bukan
pemimpin yang karbitan, artinya dia mempunyai modal sosial, misalnya pernah
44Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, diterjemahkan oleh Robert M. Z Lawang, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, jilid I, cet. III, 1994, h. 229
45http://female.kompas.com/read/xml/2009/03/06/08335922/menelusuri.jejak.penguasaan.tokoh, diakses pada tanggal 30/4/2011
46http://female.kompas.com/read/xml/2009/03/06/08335922/menelusuri.jejak.penguasaan.tokoh diakses pada tanggal 30/4/2011
71
menjadi anggota DPR RI Komisi IX, kemudian berdakwah di berbagai penjuru di
NTB sehingga dikenal di masyarakat NTB khususnya dan Lombok khusunya.
Dan itu adalah modal yang cukup untuk menjadi pemenangan dan sebagai
Gubernur NTB47.
47 Wawancara pribadi dengan Abdul Hadi, Lombok Timur, 7 September 2010
72
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Perdebatan hubungan antara agama dan politik memiliki perdebatan yang
cukup panjang baik di kalangan intektual muslim yang berada di Timur Tengah
maupun di Indonesia. Dalam perdebatan itu, paling tidak bermuara pada tiga
argumen besar. Argumentasi pertama, agama dan politik teringralistik. Artinya
agama (Islam) sudah memiliki konsep atau ajaran seluruh kehidupan kita, baik
pada bidang sosial, politik, ekonomi maupun kenegaraan. Kedua, agama dan
politik harus dipisahkan. Karena keduanya dua entitas yang berbeda. Islam adalah
sistem keagamaan yang tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
pemerintahan atau keduniawian dan bersifat sakral. Sedangkan politik adalah
urusan keduniawian yang bersifat profane. Ketiga, Agama dan politik adalah dua
entitas berbeda, akan tetapi, dalam hal subtansi akan selalu menyatu.
Di Indonesia, hubungan antara Islam dan politik memiliki sejarah yang
cukup panjang. Akar geneologisnya bisa dilacak pada akhir abad ke 13 dan
permulaan abad ke 14. Yaitu ketika Islam disebarluaskan dan diperkenlkan ke
Nusantara ini. Sehingga Islam telah menjadi inheren dalam politik.
Sehingga keterlibatan tokoh Guru dalam politik adalah sebuah
keniscayaan dan memiliki peranan penting dalam sejarah Indonesia. Baru ketika
pada masa Orde Baru politik Islam Sasak atau yang di komandoi oleh para Tuan
73
Guru dikekang, diawasi dan dikontrol dalam sebuah wadah Majlis Ulama
Indonesia (MUI).
Pasca Orde Baru, Tuan Guru memainkan perannya kembali dalam politik
peraktis. Praktik yang diprktikkan oleh Tuan Guru adalah praktik politik dalam
bentuk politik instrumentasl. Yaitu Politik yang memfokiskan efektifitas dalam
mempengaruhi atau ikut terlibat dalam pengambilan kebijakan serta di tambahkan
dengan legitimasi keagaamaan yang dimilikinya.
Kemenangan Tuan Guru Bajang sebagai Gubernur NTB dalam Pilkada
pada 2008, tidak hanya dikarenakan ketokohannya yang memiliki kharisma dan
ke-Tuan Guru-annya dengan memiliki jama’ah di berbagai daerah di NTB,
melainkan juga dikarenakan momentum yang tepat. Karena, semua calon yang
ada adalah calon lama yang terlibat korupsi sehingga Tuan Guru Bajang adalah
satu-satunya calon alternatif, yang bersih untuk dipilih oleh masyarakat NTB,
khususnya Lombok.
B. Saran
Pada akhir tulisan skripsi ini, akan memberikan saran kapada peneliti yang
concern dalam kajian politik Islam untuk melakukan pengkajian yang lebih
mendetail dan mendalam dalam ranah politik Islam.
Oleh karenanya, untuk sampai pada sebuah kajian yang komprehensif,
maka perlu kiranya melakukan pendekatan antropologi politik untuk mendapatkan
hasil yang komprehensif.
74
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, 1996. Islam dan Masyarakat; Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta; LP3ES, cet. II
Abullah, Irwan dkk, 2008. Dialektika Teks Suci Agama; Strukturasi Makna
Agama dalam Kehidupan Masyarakat, Yogyakarta: Sekolah Pascaserjana UGM, cet. I
Amir, Zainal Abidin, 2003. Peta Islam Politik Pasca Soeharto. Jakarta: Pustaka
LP3ES, cet. I Anggara, Nasri, 2008. Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu Muhammad
Faisal dan Peranannya Mengembangkan NU di Lombok. Yogyakarta: Genta Press, cet. I
Ayubi, Nazih N, 1991. Political Islam Religion and Politics in the Arab World,
London and New York: Routledge Aziz, Jamaluddin Abd. Hamzanwadi dan NW, Pancor; MDQH NW Azra, Azyumardi, 1999. Islam dan Reformasi; Dinamika Intelektual dan
Gerakan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet I ----------------------, 2007. Jaringan Ulama; Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & VIII. Jakarta; Kencana Media, cet. III ----------------------, 1996. Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme,
Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta : Paramadina, cet. I ----------------------, 1999. Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam,
(Jakarta: Paramadina, cet. I ----------------------, 2002. Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut
Kerukunan antarumat, Jakarta: Penertbit Buku Kompas, cet. I Budiwati, Erni, 2005. Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima. Yogyakarta;
LKiS, cet I Budiarjo, Miriam, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pusaka
Utama, cet III, Baharuddin, 2007. Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Genta
Press
75
Departemen dan Kebudayaan NTB, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat,
Program Penelitian dan Pencatatan Daerah, Mataram, 1977/1978 Dhofier, Zamakhsyari, 1982. Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai, Jakarta: LP3ES, cet. I Effendy, Bahtiar, 1998. Islam dan Negara; Transportasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia, diterjemahkan oleh Ihsan Ali Fauzi. Jakarta; Paramadina, cet. I
----------------------, 2000. (Re) Politisasi Islam; Pernahkan Islam Berhenti Berpolitik?. Bandung; Mizan Media Utama, cet. I
----------------------, 2005. Jalan Tengah Politik Islam; Kaitan Islam dan Negara
yang Tidak Mudah. Jakarta: Ushul Press, cet. I Esposito, John L, 2004. Islam Warna Warni; Rragam Ekspresi Menuju Jalan
Lurus (al Shirat al-Mustaqim). diterjemahkan oleh Arif Matuhin, Jakarta: Paramadina, cet. I
Eickelman, Dele F. dan James Pascatori, 1998. Ekspresipi Politik Muslim.
diterjemahkan oleh Rofik Suhud, Bandung: Mizan, cet. I Fahrurrozi, 2009. Dakwah Tuan Guru dan Transformasi Sosial di Lombok Nusa
Tenggara Barat, Deseertasi, UIN Jakarta Fealy, Greg, 2009. Ijtiahad Politik Ulam; Sejarah NU 1952-1967, (terj) oleh Farid
Wajidi, Yogyakarta: LKIS, cet. IV Huda, Noor, 2007. Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di
Indonesia. Yogyakata; Ar-Ruzz Media Ismail, Faisal, 1999. Nu, Gusdurisme dan Politik Kiai. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, cet I Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, diterjemahkan oleh
Robert M. Z Lawang, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, jilid I, cet. III Karni, Asrori S (ed), 2006. Hajatan Demokrasi; Potret Jurnalistik Pemilu
Langsung Simpul Islam Indonesia dari Moderat Hingga Garis Keras. Jakarta: PT Era Media Informasi, cet. I,
Maarif, Ahmad Syafii, 1999. Islam dan Politik; Upaya Membingkai Peradaban,
Cirebon: Pustaka Dinamika, cet I
76
Mas’oed, Mohtar dan Colin McAndrews (eds), 1995. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, cet. XIII
Masnun, 2007. Tuan Guru KH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid; Gagasan
dan Gerakan Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Pusaka Al-Miqdad, cet I
Mushoffa, Aziz (ed), 2002. Kiprah Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I Montgomery, W. Watt, 2006. Nabi dan Negarawan, diterjemahkan oleh Djohan
Effendi, Jakarta: Mushaf, cet. I Nasutian, Harun Islam, 1985. Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, cet I Noor, Mohammad dkk, 2004. Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan
Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997. Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, cet. I
Nordholt, Henk Schulte dan Gerry Van Klinken, 2007. Politik Lokal di Indonesia.
Jakarta: KITLV dan YOI, cet. I Pranowo, Bambang, 1999. Islam Aktual; Antara Tradisi dan Relasi Kuasa.
Yogyakarta; Adicita Karya Nusa, cet. II Patoni, Achmad, 2007. Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, cet. I Robert, Robertus dan Ronny Agustunis (ed), 2008. Kembalinya Politik;Pemikiran
Politik Kontemporer dari Arendt sampai Zizek, Jakarta: Buku Kita, cet I, Syakur, Ahmad Abd, 2006. Islam dan Kebudayaan; Artikulasi Nilai-nilai Islam
dalam Budaya Sasak. Yogyakarta; Adab Press, Syamsuddin, M. Din 2001. Islam dan Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Logos,
cet. I Syam, Nur, 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta; LkiS, cet. I Suprayogo, Imam, 2009. Kyai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyai. Malang:
UIN Malang Press, cet. II Subakti, Ramlan, 1999. Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia
widiasarana Indonesia, cet. IV Tebba, Sudirman, 1993. Islam Orde Baru; Perubahan Politik dan Keagamaan.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, cet. I
77
----------------------, 2001. Islam Pasca Orde Baru. Yogyakrta: Tiara Wacana Yogya, cet.I
----------------------, 2001. Islam Menuju Era Reformasi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, cet. I
Varma, S.P, 2007. Teori Politik Modern. diterjemahkan oleh Yohanes Kristianto, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Wahid, Abdurrahman, 2006. Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama,
Masyarakat dan Negara Demokrasi. Jakarta; The Wahid Institute, cet. I Zuhdi, Muhammad Harfin, 2009. Parokialitas Adat Terhadap Pola
Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta,
Zulkarnain, 2009. Tuan Guru Bajang; Berpolitik dengan Dakwah dan Berdakwah
dengan Politik, Jawa Timur: Penerbit Kaisamedia, cet II
Media Elektronik
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/07/09/tuan-guru-bajang.
http://female.kompas.co/read/xml/2009/03/06/08335922/menelusuri.jejak.penguas
aan.tokoh
http://kpud-tbprov.go.id
http//www.hamzanwadi.ac.id
http://www.ntbprov.go.id/
Jurnal
Jurnal Prisma, N0. 5 Tahun XXIV Mei 1995
Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, “Tashwiul Afkar”, edisi
nomer 23 tahun 2007
Jurnal Studi Islam dan Masyarakat, “Ulumuna”, volume IX, edisi 15 nomer I,
2005
Jurnal Penelitian Direktorat Perguruan Tinggi Islam, “ISTiQRO’, volume 4,
nomor 01, 2005
78
Jurnal Politik Islam, volume II, 2007, Laboratorium Politik Islam (LPI) Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta
Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Volume V No. 2
Makalah
Laporan Penelitian Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Politik, 2010
Makalah Metodelogi Penelitian yang ditulis oleh Anas Saidi Machfus (Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pecatatan
1977/1978
79
Wawanca TGH. Drs. Abdul Hamid, pada 3 September 2010
Secara pandangan dasar NW itu tidak berpolitik,tapi kenyataannya tidak bisa lepas daripada kegiatan politik. karena kegiatan politik adalah ;peristiwa negara. Dikarenakan NW itu adalah organisasi pendidikan sosial dan dakwah. tetapi tetap tidak disebutkan dalam pandangan dasar organisasi bahwa NW itu politik.
Itu dimusyawarahkan apakah akan maju atau tidak
Secara kegiatan NW itu tidak bisa lepas dari kegiatan politk sekalipun NW itu bukan organisasi politik. Dan secara kenyataannya NW itu bergabung dengan organisasi politik sesuai dengan kesepakatan oleh petinggi-petinggi NW serta orang-orang NW. secara terus-terang NW itu berpolitik secara sekunder, politik itu adalah sekunder dan selalu Nw berfikir mengenai pengembangan organisasinya. NW itu berkembang dimana-mana dan insyaAllah masih memerlukan suatu pemikirian-pemikiran untuk bagaimana NW itu hubungannya dengan politik itu betul-betul bisa saling menguntungkan
TUAN GURU MASUK POLITIK? BAGAIMANA??
Menurut al-maghfyrah maulana syeikh,kalau masuk bergabung dengan organisasi politik rupa-rupanya beliau ingin memagari kegiatan-kegiatan didalam organisasi nahdlatun wathan .
APA MOTIFASI TUAN GURU MENJADI CALEG??
Menurut saya, apapun yang kita lakukan menjodohkan NW dengan politik ini didalamnya adalah pemeliharaan organisasi itu, menjalankan dakwah dan politik dua-duanya.politik itu rupa-rupanya dimasukan dalam unsur dakwah, seolah-olah politik itu sebagian daripada dakwah. yang jelas, pemikiran keagamaan itulah yang paling pokok karena NW itu adalah organisasi yang bergerak dibidang keagamaan jadi disebutkan dalam kitab wasi’at saya tidak ingat jadi politik itu, masuk siasat syar’iah artinya, secara terus-terang saya tidak bisa menjelaskan apa itu siasat syar’iah tetapi bahagian daripada menghidupkan syari’at islam
TERPILIHNYA TUAN GURU BAJANG MENJADI GUBERNUR KIRA-KIRA AKAN SEPERTI APA ??
Sebenarnya secara terus-terang dengan terpilihnya tuan guru bajang ini sepertinya efek-efek negataif daripada pemeliharaan negara itu dapat dikurangi
Lampiran I
80
atau bila perlu dihapus sama-sekali korupsi, nepotisme, polusi, kebocoran-kebocoran unag negara , penempatan orang-orang yang kuran tepat pada tempatnya.yang jelas NW jauh sebelum kemerdekaan sudah memberikan andil kontribusi kepada bangsa dan negara. Contohnya, mencerdaskan kehidupan bangsa, memelihara anak yatim, semua itu tugas-tugas negara, pondok-pondok pesantren,
NW SEPERTI APA DALAM LINGKUNGAN MASYARAKAT SASAK-LOMBOK??
Kalau saya menganggap NW adalah pembaharu dalam perkembangan islam masyarakat sasak kalaupun islam itu dikembangkan oleh para tuan guru tetapi NW itu menempuh cara pembaharuan didalam pengembangan masyarkat islam. Misalnya dengan mendirikan madrasah-madrasah, membuat majlis-majlis ta’lim, artinya setidak-tidaknya pembetulan faham-faham keagamaan itu dikoreksilah oleh NW
DALAM BIDANG SOSIAL NW BERGERAK DIBIDANG APA??
Dalam bidang sosial NW it mendirikan asuhan-asuhan keluarga , pemeliharaan-pemeliharaan anak yatim, yang terakhir ini adalah turut membantu pemerintah dalam melaksanakan mengurus soal-soal haji
APAKAH ADA SEBUAH PERTANDA SETELAH MENYATUNYA ANJANI DAN PANCOR??
Ini suatu menandakan perkembangan dinamikan dari satu organisasi.saya tidak sependapat dengan unsur-unsur politik tetapi perpecahan membawa hikmah, perpecahan bagi saya membawa suatu hukmah perluasan perkembangan NW didalam masyarakat
BAGAIMANA SEJARAH BERDIRINYA NW??
Jadi al-magfurloh itu setiap perkembangan dinamika islam itu, selalu turun apakah dengan masuknya NO,PSII, apalagi MASUMI jadi al-magfurlah itu tujuannya, islam. Walaupun islam itu di bungkus dengan NO , dibungkus dengan PSII, dibungkus dengan GOLKAR, dan sebagiany-sebagianya iya pokoknya islam itu merata dengan kehidupan masyarakat terutama masyarakat sasak-lombok
BAGAIMANA DENGAN SLOGAN POKOK NW IMAN DAN TAKWA???
Iya itulah dasarkarena itu semacam kesimpulan atau mungkin renungan magfurloh maulana syekh karena setiap orang islam itukan pokoknya iman, itulah apalagi orang NW yang bergerak dibidang pendidikan sosial dakwah.
81
BAGAIMANA PERKEMBANGAN TERKINI NW??
Kita optimis bahwa akhirnya itu kita merupakan motor penggerak daripada lembaga-lembaga keislaman untuk mengektifkan ajaran islam ini dimana saja.
82
Hasil Wawancara dengan Abdul Hadi, 7 September 2010
Semua fenomena sosial atau fakta sosial itu berangkat dari konteknya. Kondisi sosial politik mempengaruhi perjalanan sebuah lembaga. salah satunya adalah NW. Misalnya apa yang dilakukan oleh Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (ed: Tuan Guru) sendiri mengambil tindakan pragmatis, ketika berhadapan dengan kondisi sosial-politik, yaitu ketika tuan guru mendukung pemerintah Orde Baru. Alasannya karena Orde Baru di bawah Soeharto itu telah berhasil menumpas PKI. Selain itu juga orde baru juga memberikan kesempatan yang luas untuk organisasi semacam NW dan sejenisnya melakukan Islamisasi di daerah-daerah yang dianggap singkretis (Islam singkretis) atau Islam Waktu Telu. Tetapi ini tidak pernah diakui oleh para tuan guru di Lombok. Dalam sebuah buku (buku yang menulis tetang Islam Sasak karya Erni Budiwanti) misalnya mengatakan bahwa ABRI ketika itu memberikan ruang yang sangat luas bagi orang-orang Islam Waktu Lima untuk melakukan penetrasi. Bahkan tindakan kekerasan juga dilakukan oleh militer atau ABRI untuk penyebaran Islamisasi. Jadi militer berkolaborasi dengan lembaga-lemabaga kemasyarakatan tidak hanya NW tapi juga banyak ormas-oramas lain. Seperti tuan guru safwan hakim dengan pesantrennya melakukan penetrasi Islamisasi ke daerah yang dianggap Islam sinkretis di Lombok Utara.
Setelah kemerdekaan pun NW tetap harus di liat dalam cakupannya social dan politik. Setiap gerak politik bahkan dakwah NW itu tidak lepas dari konteks sosial politik nasional dan local. Misalnya kebijakan netral yang dilakukan oleh tuan guru ketika itu. Karena pada waktu itu pemerintah Orde Baru tidak ada yang berani menentangnya. Jadi bisa dikatakan bahwa kebijakan itu berupa keterpaksaan karena NW bisa dikebiri. Jadi pada masa orde Baru semua politik Islam di tahan.
Secara umum kita sekarang ini telah mengalami tidak hanya transisi demokrasi tapi sudah demokratisasi yang menuju arah kebebasan pers, ada pergantian kekuasaan, keterbukaan, kebebasan berkompetisi. Begitu juga NW, misalnya kebijakan netral, atau misalnya banyaknya pemecatan terhadap kader NW karena melanggar kebijakan tertinggi. Atau pada tahun 1982, NW tidak mendukung partai tapi banyak kadernya tidak mengikuti kebijakan itu. Kalau dilihat bahwa difinisi NW adalah NW adalah organisasi sosial, pendidikan dan dakwah tapi tidak bisa lepas dari politik. Karena politik itu keharusan dan sebagai pendukung sebagai social dan dakwah. Tapi tetap saja politik menjadi bagian yang penting.
Lampiran II
83
Apa yang dilakukan NW dalam politik sudah operload. Apa yang dulakukan oleh NW selalu di expose. Di mana ada adagium di NTB disebutkan NW Government. Di nama di Lombok Timur, Barat, Mataram dan Gubernur adalah orang NW. sehingga NW menjadi kerkembang dan ini dianggap oleh sebagian orang sebagai wasiat maulana syaikh. Dalam sebuah pencapai kita semua senang, tapi seberapa jauh efektifitas pemerintahan NW itu?
Pemeritatah itu yang penting adalah how to delifer, bagaimana mendengar aspirasi rakyat. Bagaimana dengan kebijakan gubernur? Atau bagaimana oang NW berkuasa? Kalau kemudain tidak ada perubahan maka, tidak ada bedanya dengan selain NW. Kalau kita melihat sementara ini beberapa tahun ini misalnya selalu mengurusi hal-hal yang tidak perlu yang kemudian seharusnya mengurusi hal-hal dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat, seperti listrik yang terus-terusan mati di Lombok.
Semua kehidupan untuk dakwah. Tapi yang penting bagaimana taktisnya? Lengkah strategis bagaimana? Bagainaman langkah konkrintnya? Sehingga orang tidak bosen mendengarnya. Jargon semua kehidupan berdakwah itu kita setujui.
Tuan guru sebagai patron klean. Patronasi terbentuk sejak NW berdirinya. Klean membutuhkan patron untuk mencari hidup dan patron membutuhkan klean untuk karisma. Terbentuklah patron klean saling menguntungkan. Dan hubungan itu selalu terjadi dalam jabatan karena kalau ada masalah misalnya di NW selalu disandarkan pada seseorang, ada ummi.
Semua tindakan NW itu tidak murni NW tindakan murni sosial, pendidikan dan dakwah. Semua kegiatannya itu dipengaruhi oleh politik dan itu yang paling utama. Misalnya keberhasilan NW sebagai organisasi terbesar di NTB adalah tidak lepas dari politik yang dijalankan oleh ketuanya. Coba kalau NW ini resistensi terhadap pemerintahan orde baru, tidak mungkin akan berkembang. Jadi NW berkembang karena maulana syaikh adalah sebuah fakta tapi itu bukan merupakan factor utama, melainkan kepintaran beliau. Artinya Maulana Syaikh pintar melihat kondisi dan situasi, kondisi sosial politik. Apalagi sekarang, NW sangat politis. Organisai yang bertujaun pada bidang sosial, politik dan dakwah adalah pendukung. Selain mendukung berkembangnya NW itu adalah karena karisma Maulana Syaikh dan juga politik yang dijalankan. Misalnya Hultah yang dilakukan setiap tahunnya, tentu akan mengundang tokoh-tokoh politik yang diundang. Hultah adalah miniatu ekspresi suos forcenya NW sepanjang sejarahnya. Terlepas bahwa berhasil atau tidak yang dilakukan NW dalam mengundang tokoh-tokoh agama itu.
84
Dalam melihat kenyataan sosial itu jangan melihat apa yang diomongkan melaikan apa yang dikerjakan. Misalnya kita meneliti NW dengan slogan Organisasi pendidikan, dakwah dan sosial, tidak berpolitik, itu tidak benar malainkan harus melihat apa yang sedang dilakukan oleh NW.
Apa penyebab NW terpecah? Penyebabnya karena misalnya dalam teori karisma Geertz bahwa karisma Maulana Syaikh berlum terutinisasi dalam satu orang. Masing-masing pihak mengklaim. Dan bahkan konflik ini sebenarnya sudah lama terjadi, ini adalah letusan gungung es dari masa lalau. Misalnya konflik dalam kedua anaknya yang selalu bersaing dari dulu. Konflik Lalu Gede dengan keluarganya H. Jalal. konflik ini adalah perselisihan keluarga yang membawa gerbong besar yang mengakibatkan banyak terlibat. Dalam Inggris ada namanya sibling rifalding, jadi ada dua orang kembar, akan tetapi tidak pernah akur. Akurnya itu konfliknya. Penyebab utamanya adalah meninggalnya pendiri NW, kemudian adanya muktamar di Praya yang berbuntut pada adanya Muktama Reformasi yang dilaksanakan di Selong.
Kemenangan Tuan Guru “Bajang” apakah faktor kepribadian? Iya memang kemenangan Tuan Guru “Bajang” adalah faktor pribadi, akan tetapi juga karena momentum dimana Tuan Guru “bajang” diuntungkan oleh adanya calon-calon yang ada bermasalah, misalnya terlibat korupsi. Dan memang Tuan Guru “Banjang” tuga tidak pemimpin yang karbitan, artinya dia mempunyai modal sosial, misalnya pernah menjadi anggota dewan, bedakwah di berbagai penjuru NTB sehingga dikenal di masyarakat NTB khususnya dan Lombok umumnya. Dan itu adalah modal yang cukup untuk menjadi kemenangan Gubernur. Dan juga dia juga karismatik atau rutinisasi dari kakeknya.
85
DATA-DATA ANGGOTA TUAN GURU DPRD KABUPATEN LOMBOK TIMUR DALAM PEMILIHAN TAHUN 2004
A. NAMA CALON ANGGOTA DPRD KABUPATEN LOMBOK TIMUR 2004
1. TGH. JUNAIDI RASYIDI AHMAD, LC = PARTAI BULAN BINTANG (PBB)
2. TGH MAHSUP = PARTAI BULAN BINTANG (PBB) 3. TGH NASRUDDIN = PARTAI BINTANG REFORMASI (PBR) 4. TGH MUSTA’RIF = PARTAI BINTANG REFORMASI (PBR)
B. NAMA TGH YANG DI DPR RI 2004 1. TGH MUHAMMAD ZAINUL MAJDI, MA = PBB/DPR RI 2. TGH MUAHAMMAD ANWAR MZ = PPP/DPR 3. TGH ABDUL RAHIM ADJRUN =PPP/DPR 4. TGH SALEHUDDIN, LC = PBR/DPR RI
C. NAMA TGH DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) 2004 1. TGH MUSLIH IBRAHIM = ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN
DAERAH (DPD) 2. DRS. TGH MUNAJIB = DPD
D. NAMA TGH DPRD PROPINSI NTB 2004 1. TGH. DRS. M. SYAFI’I AHMAD,MA = PBB 2. TGH. BAHAUDIN NUR BADARUL ISLAMI = PKB 3. DRS. TGH ABDUL HAYYI NU’MAN = PBR
DATA NAMA-NAMA CALON DPRD KAB. LOMBOK TIMUR 2009-2014
1. TGH MUHANAN = PKS 2. TGH NADRI HAMZAH = PKS
Sumber dara : KPU KABUPATEN LOMBOK TUMUR TAHUN 2005
Lampiran III
86
Hasil Pemilihan Kepala Daerah NTB Tahun 2008 di Tingkat Provinsi
Total Suara Sah : 2.187.893
Total Suara Tidak Sah : 84.235
Sumber Data : www.kpud-ntbprov.go.id
Lampiran IV
87
Anggota DPRD Tingkat I Provinsi NTB Tahun 2009 - 2014
DAPIL 1
Istiningsih, S. Ag
Ir. H. Misbach Mulyadi
Drs. H. Muzihir
Ir. Made Slamet,
MM
M. Mahsar
DAPIL 2
Suharto, ST., MM
H.M. Adnan Kasogi,
SH
H. Musleh Kholil,
SIP
M. Hadi Sulthon,
S.Sos
Drs. H. Lalu
Sujirman
Dra. H.
Wartiah, M.Pd
H. A. Isror Idris, SH
Dra. Endang Yuliati
Moh. Maliki M. Intihan
DAPIL 3
H. Burhanudin, S.Sos., MM
Patompo, LC
H. Moh. Suhaili Fadil
Thohir, SH
H. Lalu Wireginawang
Baiq Indah Puspitasari,
SE
88
H. Lalu Moh.
Syamsir, SH
Drs. Ruslan
Turmudzi
Drs. H. Abd.
Rahman Fajri,
M.Pd.I
L. Abd. Halik Iskandar alias Mamiq Alex
Drs. H. Marinah Hardy
DAPIL 4
H. Rumaksi SJ, SH
H. Machsun
Ridwainny S.Sos., MBA
M. Sakduddin,
SH
H. Abdul Hadi
Rizali Hadi, S.Pd
H.
Najamudin Mustafa
Ardany Zulfiqar,
SH
Drs. H. Sahafari Asy’ari
Drs. TGH. Hazmi
Hamzar
TGH. Husnud Du’at
Lale Yaqutun
Nafis, S.Pd
Drs. TGH. Abdul Hayyi
Nu’man, M.Pd.I
Romani H.
Bustam, SH
DAPIL 5
89
Johan Rosihan
H. Edy Muchtar,
S.Sos
Muh. Amin, SH
Nurdin Ranggabarani,
SH., MH
H. M. Husni
Djibril, B.Sc
M. Said Ahmad
DAPIL 6
Ahmad, SH
Drs. Noerdin
HM. Yacub
Mori Hanafi,
SE., M.Comm
Suryadi JP, ST
Drs. H. Ali Ahmad,
SH
Drs. A. Hafid
H. Wahiddin HM. Noer,
SE
Zulkarnain, SE., MM
H. Supardi, SH., M.Si
Drs. Sulaiman Hamzah
top related