dasar yuridis pemberian-kuasa dalam . lay anan …
Post on 30-Nov-2021
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
577
•
• • • •
DASAR YURIDIS PEMBERIAN-KUASA DALAM . LAY ANAN BANTUAN HUKUM*)
________ Oleh: Furqon W. Authon, S.H.--------
Pendahuluan
Dalam kehidupan masyarakat, tidak jarang terjadi sengketa-sengketa di antara warganya dalam rangka mempertahankan kepentingan mereka masingmasing (conflict of human interest). Persoalannya sekarang adalah bagaimanakah sengketa-sengketa tersebut harus diselesl!ikan, sehingga tidak meng
ketentraman hidup masyara-kat. .
Sehubungan dengan hal ini, dalam praktek dijumpai berbagai maeam ben-
.~
tuk mekanisme prosedural untuk me-nyelesaikannya. Ada yang langsung diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi ada juga yang meminta bantuan/jasa pihak lain untuk menyelesaikannya. Terlebih lagi apabila hal itu merupakan sengketa hukum yang harus diselesaikan melalui pengadilan, baik dalam perkara-perkara perdata maupun pidana. Mengingat tidak semua orang mengerti dan menguasai hukum, maka pemberian kuasa untuk pelayanan bantuan hukum, baik di luar pengadilan maupun khususnya dalam berbicara di pengadilan, meru-
*) Makalah ini disusun untuk disampaikan pada Diskusi kecil LBH Jakarta - Agustus 1987 tentang SKB Menteri Kehakirnan dan Mahkarnah Agung tahun 1987 mengenai Pengawasan Advokat.
•
pakan suatu kebutuhan yang tidak ter-e lakkan lagi. .
Secara umum, UU No. 14/1970 yang merupakan payung (umbrella act) bagi setiap peraturan dalam bi-
,
dang peradilan, telah mengintrodusir realitas sosial tersebut di atas, seperti yang tereantum dalam Bab VIT, Pasal 35, 36, 37 dan 38 ten tang Bantuan Hukum. Pasal 33 UU No. 14/1970 menentukan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. Penjelasan d'ari Pasal 35 ini memberikan isyarat juga; karena pentingnya maka supaya diadakan undang-undang tersendiri tentang bantuan hukum. Begitu pula Pasal 38 mengatur supaya ketentuan-ketentuan dalam Pasal 35, 36 dan 37 diatur lebih ·lanjut dengan undang-undang. Tetapi
sayang, meskipun sudahhampir 17 tahun UU No. 14/1970 berjalan, ' undang-undang yang dimaksud tersebut belum juga muneul. Sehingga pelaksanaan pemberian kuasa dalam rangka pelayanan bantuan hukum sering mengalami hambatan, baik yang menyangkut masalah hak, kewajiban, kedudukan pihak-pihak yang bersangkutan maupun izin prak tek untuk beraeara. di muka pengadilan. Hambatan-hambatan itu banyak terjadi, karena masih digunakannya aturan-aturan yang merupakan warisan kolonial Belandadan terasa sudah tidak mema-
Desember 1987
578
dai lagi untuk memenuhi kebutuhan diZarnan Kemerdekaan ini.
Dalam kaitan ini, ada baiknya kalau telaah terhadappemberian kuasa itu kita lihat juga pada Pasal 1792 sampai dengan 1819 KUHPerdata tentang Pemberian Kuasa. Pasal1792 KUHPerdata mengkualifisir pemberian kuasa sebagai SUll.tU perjanjian, yaitu suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya atas narnanya menyelenggarakan suatu urusan. Selanjutnya Pasal 1793 KUHPerdata memberikan kemungkinan tentang cara-cara pemberian kuasa, yang dapat dibedakan menjadi: 1. Secara t e rtulis:
- dalarn suatu akta umum - dalarn suatu tulisan di bawah ta-
o ngan ,
- dalam sepucuk surat. o
2. Secara lisan:
Di samping itu masih dapat juga dibedakan menjadi: a. Pemberian kuasa secara tegas b. Pemberian kuasa secara diam-diam.
Perkembangan dalarn praktek menunjukkan bahwa pemberian kuasa sudah dapat dikatakan sebagai perjanjian standar, karena terdapat banyak hal yang sudah seragam, meskipun ada perbedaan, narnun hal itu hanya bersifat redaksional saja, dan tidak mengenai masalah-masalah yang prinsip. Lazimnya, terdapat berbagai macam bentuk formulir surat kuasa (khusus) yang harnpir sarna isinya. Tetapi surat kuasa tersebut hanya menggambarkan tentang pihak-pihak yang memberi dan yang menerima kuasa, serta luas ruanglingkup hal yang dikuasakan, dan tidak dapat menggambarkan seca-
Hulrum dan Pemban,unan
ra utuh mengenai hak dan kewajiban masing-masing sebagai sebuah perjanjian. Oleh karena itu perlu dipikirkan adanya suatu perjanjian pemberian kuasa itu sendiri secara tertulis (surat) yang menggambarkan secara utuh mengenai hubungan pemberian kuasa itu, khususnya mengenai hak dan kewajiban masing-masing, yang mungkin dapat memuat hal-hal seperti yang diatur oleh Pasal 1800 sampai dengan 1806 KUHPerdata tentang kewajiban si penerima kuasa, juga hal-hal seperti yang diatur oleh Pasal 1807 sarnpai dengan 1812 KUHPerdata tentahg kewajibankewajiban si pemberi kuasa, atau juga hal-hal seperti yang ditentukan oleh Pasa11813 sarnpai,dengan 1819 KUHPerdata tentang macam-macam cara berakhirnya pemberian kuasa dengan segala konsekuensinya.
Pada asasnya Pasal 1794 KUHperdata menganggap , bahwa pemberian kuasa itu bersifat cuma-cuma, kecuali apabila perjanjian sebaliknya. Sehingga fee/honor/upah bagi si penerima kuasa hams diperjanjikan secara tegas, dan apabila upahnya tidak ditentukan secara tegas, si penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali.
Pasal 1795 dan 1796 KUHPerdata o
memberikan gambaran mengenai luas dan ruang lingkup masalah yang dikuasakan. Dalam hal ini disebutkan 2 cara yang mungkin dapat digunakan, yaitu: 1. Pemberian kuasa secara khusus.
- Hanya mengenai satu kepenting-an atau lebih 0
2. Pemberian kuasa secara umum. - Meliputi segala kepentingan si
pemberi kuasa .
•
IJG/UJ,. YurldiB Ban tU(Jn Hukum ,
Selanjutnya ditentukan bahwa pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Akan tetapi tidak dijelaskan sampai sejauh mana luas ruang lingkup perbuatan pengurusan. Agar si kuasa dapat bertindak sebagai pemilik suatu benda, maka hal itu harus disebut secara tegas dalam perjanjian.
Pasal 1797 memberikan batas kewenangan kepada si penerima kuasa, yaitu: 1. Penerima kuasa tidak boleh bertin
dak melebihi kuasa yang diterima·nya.
2. Kuasa untuk menyelesaikan suatu urusan melalui perdamaia'n, tidak memberikan arti bahwa perkaranya dapat diserahkan kepada putusan wasit.
Pasal 1799 memberikan hak kepada pemberi kuasa untuk menggugat penerima kuasa agar memenuhi persetujuannya untuk melaksanakan kuasa yang telah diberikan kepadanya.
Demikianlah sekedar uraian singkat mengenai prinsip-prinsip umum dalam perjanjian pemberian kuasa seperti yang telah diintrodusir oleh KUHPerdata. Untuk lebih jelasnya, selanjutnya dapat dipelajari fasal-pasal 1800 sampai dengan 1819 KUHPerdata, agar memperoleh gambaran yang lengkap mengenai hubungan pemberian kuasa tersebut. Urusan yang dikuasakan itu bisa berada di luar pengadilan ataupun berada di muka pengadilan, juga dapat menyangkut perkara-perkara perdata maupun perkara pidana. Dan apabila perkara yang dikuasakan itu sampai di muka pengadilan, apakah setiap orang dapat menerima kuasa untuk mewakilinya di muka pengadil-
579
an? Itulah masalah-masalah yangakan dibahas di bawah ini, sekedar sebagai bahan masukan, dan kiranya dapat dikembangkan lebih lanjut melalui studi yang lebih insentif lagi.
Dalam Perkara Perdata
Setiap orang yang mempunyai sengketa dalam perkara perdata dapat memberikan kuasa kepada pihak lain untuk mewakilinya guna menyelesaikan sengketa tersebut. Hal ini secara umum sudah diatur oleh Pasal 1792 KUHPerdata tentang Perjanjian Pemberian Kuasa. Penerima kuasa, dalam me urusan-urusan yang telah dikuasakan kepadanya dapat menempuh upaya-upaya di luar pengadilan (mediation, negotiation, consultation, arbitrage) maupun secara litigatif (beracara di muka pengadilan). Kesemuanya ini dilakukan oleh penerima kuasa sebagai wakil/kuasa dari pihak yang memberi kuasa.
Secara teoretis kuasa untuk mewakili beracara di muka persidangan pengadilan dapat terjadi karena 2 hal: 1. Kuasa/Perwakilan berdasarkan UU.
Misalnya berperkaranya pihak waH untuk kepentingan anak di bawah umur, pengampu untuk kepentinga,n orang yang di bawah pengampuannya.
2. Kuasa/Perwakilan berdasarkan Per-.
janjian. Yaitu seorang menunjuk orang lain dengan memberikan kuasa untuk mewakilinya dalam mempertahankan kepentingan. Kepentingan di muka persidangan pengadilan.
. Sandaran hukum bagi perwakilan di muka pengadilan ialah Pasal 123 RIB yang memberikan kemungkinan kepa
. da pihak yang berperkara untuk diwa-
-Desember 1987
580
kili oleh orang lain yang diberi surat kuasa khusus. Apabila pemberi kuasa hadir di muka Hakim, maka ia dapat menguasakan .secara lisan. Apa yang dimaksud dengan surat kuasakhusus tersebut dapat dibaca dalam SEMA No. 2/1959 19 Januari 1959, yaitu harus dicanturnkan nama para pihak dan apa yang menjadi perselisihan atau persengketaan antara dua belah pihak yang 6erperkara dan jika diinginkan dengan tambahan untuk mengajukan permohonan banding dan kasasi. Surat kuasa itu harus bermaterai Rp 1.000,- dan materainya harus diberi tanggal, dan apabila tidak diberi tanggal akan dianggap tidak bermaterai (Pasal 97 ayat 5 jo ayat 9
UU No. 13/1985 tentang Bea Materai).
Syarat-syarat untuk bertindak sebagai wakil pihak yang berperkara tidak ditentukan dalam RIB. Sehubungan dengan hal ini timbul persoalan, apakah setiap orang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dari pihak-pihak yang berperkara di muka pengadilan? Secara yuridis formal, sampai saat ini belum diketemukan adanya ketentuan UU yang mengatur masalah tersebut , Ikarena seperti telah dijelaskan di muka , UU yang mengatur tentang kedudukan , hak dan kewajiban Penasihat Hukum seperti yang dimaksudkan oleh Pasal 35, 36, 37 dan 38 UU No. 14/1970 belum ada.
Dalam praktek, lazimnya kuasa mewakili itu dilaksanakan oleh Advokat . dan pengacara praktek. Ketentuan-ketentuan mengenai advokat (advocaten . en procureurs) diatur dalam Pasal 185 sampai dengan 192 RO (Reglement op . de Rechterlijke organisatie en . het beleid der Justitie in Indonesia).
• Hukum dan Pembanllunan
Sedangkan ketentuan mengenai pengacara praktek (Zaakwaarnemers) diatur dalam Regeling van de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden, Stb. 1927 No. 496. Sedangkan Pasal 36 dan 37 UU No. 14/1970 menggunakan istilah penasihat hukum di mana ia berkewajiban memberi nasihat dan membantu memperlancar penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi Pancasila,·hukum dan keadilan.
Memang berdasarkan ketentuan Pasal 186 RO. Advokat yang merangkap procureur diangkat dan diberhentij(an oleh Menteri Kehakiman (Gob. Jend.). Sedangkan mengenai tugas dan pekerjaannya 'menurut Pasal' 185 RO, diatur dalam ketentuan UU baik menge· nai acaraperdata maupun acara pidana. Tetapi UU yang dimaksud oleh Pasal 185 RI itu belum ada , dan RIB sendiri tidak secara tegas mengatakan bahwa hanya advokat dan pengacara praktek saja yang dapat mewakili pihak lain dalam berperkara di muka pengadilan.
Nampaknya terlalu prematur untuk berkesimpulan bahwa hanya mereka yang mempunyai SK pengangkatan advokat dari Menteri Kehakiman dan yang mempunyai izin praktek dari
•
Ketua Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri saja yang dapat mewakili pihak lain dalam berperkara di muka pengadilan. Karena memang dalam kenyataannya tidak ada keseragaman.di kalangan Pengadilandi seluruh Indone-
• Sla • .
Dalam Perkara Pidaoa
Landasan hukum bagi setiap orang yang tersangkut dalam perkara pidana, guna kepentingan pembelaan. berhak
• •
Dal4r Yurldis Bantuan Hullum
mendapat bantuan hukum dari penasihat hukum adalah Pasal 54, 55, 56 dan 57 KUHAP, serta Bab VII yang meliputi Pasal 69 sampai dengan 74 KUHAP, tentang Bantuan Hukum.
Secara prinsipiil, setiap tersangka atau terdakwa dapat memilih penasihat hukumnya sendiri (Pasal 55 KUHAP).
Persoalannya sekarang adalah: apakah setiap oran~ dapat ditunjuk menjadi Penasihat Hukum oleh tersangka/ terdakwa guna memberikan bantuan hukum? Dari seluruh pasal-pasal KUHAP yang mengatur tentang Penasihat Hukum dan Bantuan Hukum tersebut, tidak diketemukan adanya suatu ketentuan yang tegas mengenai siapa-siapa yang dapat ditunjuk sebagai Penasihat Hukum oleh tersangka/ter-dakwa. .
Begitu pula UU No. 14/1970 yang telah mengentrodusir istilah Penasihat Hukum, juga tidak memberikan uraian yang tegas mengenai hak, kewajiban, kedudukan dan syarat-syarat untuk bisa bertindak sebagai Penasihat Hukum sebagaimana telah dijelaskan di .muka.
Untuk itu, maka dengan terpaksa harus berpedoman pada Pasal 185 sId 192 RO yang mengatur tentang Advokat dan Procureur. Hanya saja ada satu perbedaan yang cukup penting dalam hal sifat tugas dan pekerjaan advokat/procureur antara dalam acara pidana dengan cara perdata, yaitu dalam acara pidana sifat tugas dan pekerjaan tersebut telah diuraikan secara jelas oleh KUHAP, sedangkan dalam acara perdata tidak demikian halnya.
Menurut Pasal 69 KUHAP, maka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan, ter-
581
sangka boleh meilghubungi penasihat hukum, dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya. Sedangkan menu rut Pasal 70 yo 71 KUHAP, maka Penasihat Hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada tingkat pemeriksaan penyidikan, penuntutan, dalam tahanan Rutan, tanpa didengar isi pembicaraan antara penasihat hukum dengan tersangka. Pada tingkat pemeriksaan sidang, maka sebelum atau pada tingkat pemeriksaan sidang berlangsung serta sesudah persidangan ditutup untuk kelanjutan sidang berikutnya, tersangka berhak untuk menghubungi dan melakukan konsultasi dengan penasihat hukumnyll..
Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka dalam Pasal 70 ayat 2, 3, 4 dan Pasal 71 dilarang, setelah perkara dilirnpahkan oleh penuntut umum ke Pengadilan Negeri untuk disidangkan. Untuk selanjutnya sifat tugas dan pekerjaan penasihat hukum dalam acara pidana terdapat dalam berbagai pasal yang tercerai-berai pada Bab-bab yang terpisah dalam KUHAP.
Penasihat Hukum, Advokat dan Pengacara Praktek
Terdapat pelbagai istilah bagi mereka yang pekerjaannya/profesinya memberikan jasa hukum, pelayanan dan bantu an hukum serta nasihat hukum kepada para pencari keadilan baik yang meialui pengadilan maupun di Iuar pengadilan. Secara umum mereka itu terbagi dalam 2 golongan: 1. Mereka yang bergelar sarjana hu
kum 2. Mereka yang tidak bergelar sarjana
Desember 1987
582
hukum, tapi mempunyai keahlian hukum.
a. Advokat
Di zaman Hindia Belanda Kolonial, golongan pertama disebut Advokaten en procureurs yang diatur dalam ketentuan Pasal 185 sampai dengan 192 RO (Stb. 1847 No. 23 jo Stb. 1848 No. 57). Menurut Pasal 186 RO, mereka yang bergelar sarjana hukum dapat diangkat oleh Gob. Jend. (Menteri Kehakiman) sebagai Advokat atau procureur. Jadi profesi advokat itu diperoleh melalui sistem pengangkatan oleh pemerintah. Berlainan dengan sistern yang berlaku di di mana organisasi advokat tersusun di dalam 4 juns of court, yaitu organisasi yang mengatur diri sendiri (self organizing dan self perpetuating). Seorang yang sudah lulus pendidikan yang diberikan di dalam juns of court, kemudian ia lulus dalam ujian Bar (Bar Examination), maka ia dinobatkan menjadi anggota Bar, dengan upacara disebut Call to the Bar, dan sejak itu ia dapat menjalankan profesi sebagai advokat.
Di Indonesia, tidak ada pendidikan khusus bagi advokat agar dapat menjalankan pekerjaan advokat seeara profesional sehingga diakui masyarakat. Dalam praktek, latihan untuk dapat berprofesi sebag~j advokat itu ditempuh dengan cara "magang" di kantor advokat yang sudah senior. Dan apabila dirasa sudah cukup, maka ia dapat mendirikan kantor sendiri.
b. Pengacara Praktek
Zaakwaameminij sama usianya dengan peradilan Landraad itu sendiri. Kehadiran mereka sebagai pembantu
•
Hukum dan Pembanj(unan
hukum (rechts-helpers) semula diharapkan dapat menggantikan peranan advocaat dan procureur dimuka hakim Indonesia. Sayang sekali, bahwa lembaran-Iembaran sejarah mereka banyak dihiasi oleh lembaran-Iembaran hitam, akibat praktek-praktek yang tidak bertanggung jawab dari beberapa individu dalam korps itu sendiri se
memperoleh penilaian yang sangat· negatif dari masyarakat. Untuk menanggulangi praktek-praktek pokrol bambu yang merugikan I1\asyarakat itu, maka dikeluarkanlah Stb . 1927 No. 496.
. Nama Zaakwaarneminij yang dalam masyarakat disebut pokrol, pengacara, pembela, lambat-Iaun diperhalus dengan nama pengacara praktek, adalah mereka yang untuk pekerjaan ini tidak disyaratkan adanya pengangkatan dari siapa pun, melainkan harus memperoleh semaeam izin praktek. Izin praktek diperoleh setelah yang bersangkutan lulus dalam ujian yang diselenggarakan oleh Pengadilan Negeri setempat, yang meliputi domisili pengaeara praktek tersebu 1. Kesemuanya ini diatur berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 7 Oktober 1965 No. JP. 1-4/2/11 jo SK Menteri Kehakiman No.5 tahun 1965.
c. Penasihat Hukum
Dalam UU No. 14/1970 khususnya Pasal 36, 37, terdapat istilah penasihat hukum yang pekerjaannya memberi nasihat hukum dan membantu memperlanear penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi Pane asila , hukum dan keadilan. Begitu juga dalam Pasal 69 sampai 74 KUHAP, terdapat pula istilah penasihat hukum.
Sementara itu, Departemen Keha-
•
Da.or Yuridl8 Bontuon Hukum
kiman mempergunakan dua istilah, yakni pada periode sebelum tahun 1970 dengan nama "advokat" dan setelah periode tahun 1970 dengan nama "pengacara". Kedua nama itu dipakai dalam surat pengangkatan bagi mereka yang bergelar sarjana hukum dan mempunyai pekerjaan tetap di bidang advocatuur.
Seperti telah diuraikan di muka, ketentuan mengenai hak, kewajiban, kedudukan dan syarat-syarat sebagai penasihat hukum belum ditemukan, karena belum ada UU yang mengaturnya.
Sehubungan dengan hal ini timbul persoalan apakah penasihat hukum itu sarna dengan advocaten en procureurs seperti yang dimaksud oleh RO dan Zaakwaarneners (Stb. 1927 No. 496)?
•
•
583
Untuk menjawab persoalan ini memang tidak mudah. Tapi ada satu ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 UU No. 14/1970 yang menentukan supaya Pasal 35,36 dan 37 UU No. 14/ 1970 yang mengatur penasihat hukum secara summier itu diatur lebih lanjut dengan UU tersendiri. Namun· demikian UU yang dimaksud itu sampai sekarang belum juga ada.
Untuk menghilangkan ketidakpastian dalam menjalankan pekerjaan guna memberi bantuan hukum, baik di Iuar maupun di muka pengadilan, maka sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi untuk segera mengeluarkan undangundang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pemberian Bantuan Hukum dan Penasihat Hukum .
•
•
• •
•
Detember 1987
top related