contusio cerebri
Post on 30-Jan-2016
76 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
1. Trauma Kapitis
2. Trauma kapitis atau cedera kepala adalah ruda
paksa tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang
berakibat disfungsi cerebral
sementara.Merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok
usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan
lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedan-
gkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius sehingga pertolongan pertama pada
penderita harus cepat dilakukan. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan
tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder
merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.
Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi
masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT
Scan kepala. Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif. Pragnosis
pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.
Pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio cerebri, Contusion
cerebri, Laceratio cerebri, fracture basis cranii.Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang
digolongkan sebagai cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri
digolongkan sebagai cedera kepala berat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah pernafasan, peredaran
darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi, anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan
neurologis harus dilakukan secara bersamaan.
DEFINISI CEDERA KEPALA
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau
tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury
Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Japardi, 2004).
1. ANATOMI KEPALA
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
➢ Skin atau kulit
➢ Connective tissue atau jaringan penyambung
➢ Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhbungan langsung dengan
tengkorak
➢ Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar.
➢ Perikranium atau jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikra-
nium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala
memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit
kepala akanmenyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita
dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengelu-
arkannya (American college of surgeon, 1997).
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tu-
lang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal
adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata se-
hingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan desel-
erasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,
fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan
serebelum (American college of surgeon, 1997).
c. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arach-
noid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara
duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.(Japardi, 2004)
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju si-
nus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan
dan menyebabkan perdarahan subdural.Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke si-
nus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan per-
darahan hebat(Japardi,2004)
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang
epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini
dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid
terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Sela-
put ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia
mater oleh spatiumsubarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (American college of surgeon,1997)
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vasku-
lar yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling
dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-ar-
teri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (japardi, 2004).
d. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin
dengan berat pada orang dewasa seki-
tar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa
bagian yaitu proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri
dari pons, medula oblongata dan sere-
bellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi,
fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik
dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sis-
tem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblon-
gata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordi-
nasi dan keseimbangan (American college of surgeon, 1997).
e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi se-
banyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.
Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu peny-
erapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per
hari(Hafidh, 2007).
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari
fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior)
(japardi,2004)
g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini be-
ranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak
tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai
katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis(japardi,2004).
Patofisiologi
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi primer ini
dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf otak maupun
pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar otak. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur
linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur impresi maupun perforasi. Fraktur linier pada daerah
temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada arteria meningea media dan cabang-ca-
bangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan
terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan
daerah telinga tengah dapat menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewat
hidung atau telinga).
Trauma kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi dan
rotasi dari kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada
aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh
otak. Ini mengakibatkan benturan dan goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak
yang menonjol atau dengan sekat-sekat duramater. Bila terjadi deselerasi (pelambatan gerak),
terjadi benturan karena otak masih bergerak cepat pada saat tengkorak sudah bergerak lambat atau
berhenti. Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini
menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan, peregangan maupun
penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi
bersama-sama atau berturutan.
Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang
berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari sisi
benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi
countre coup ini terjadi tekanan yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul
kavitasi dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap
trauma merupakan penyebab utama terjadinya countre coup, akibat benturan-benturan otak dengan
bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam tengkorak. Yang
seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan
oksipitalis.
Fraktur impresi dapat menyebabkan peningkatan volume dalam tengkorak, hingga menim-
bulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung menyebabkan kerusakan
pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat
kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dan countre coup. Kontusio yang berat di
daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang
akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis;
karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis.
Akibatnya terjadi gerakan ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan
kerusakan kerusakan di batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf,
kerusakan pada batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial.
Pada kontusio cerebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya
robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau
terputus. Pada trauma yang membentur dahi kontusio terjadi di daerah otak yang mengalami
benturan. Pada benturan di daerah parietal, temporalis dan oksipital selain di tempat
benturan dapat pula terjadi kontusio pada sisi yang bertentangan pada jalan garis benturan.
Lesi kedua ini disebut lesi kontra benturan. Perdarahan mungkin pula terjadi disepanjang
garis gaya benturan ini. Pada pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak
dijumpai kelainan neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio
serebri dengan penurunan kesadaran yang berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan dapat
atau tidak dijumpai defisit neurologik. Gejala defisit neurologik bergantung pada lokasi dan
luasnya daerah lesi. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di
dalam jaringan otak.
Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan
segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala
yang progresif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua
penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval
lucid.
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di dasar
fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang ringan
dapat sembuh dalam waktu 3 bulan. Dinyatakan bahwa ± 5% penderita tauma kapitis menderita
gangguan ini. Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal. Mungkin
traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yang mengalami fraktur
di orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena
adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat segera
timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks cahaya negatif
sering kali diakibatkan hernia tentorii. Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang
supraorbitalnya, tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan
pada pemeriksaan. Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari
kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah
edema. Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai perdarahan lewat lubang
telinga. Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan
pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu penyebab gangguan.
Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan penderitanya
meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada saraf-saraf tersebut. Akibat dari
trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat langsung terjadi karena benturan
atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding arteri. Bagian ini kemudian berkembang menjadi
aneurisma.
Tipe trauma kepala:
1. Trauma kepala terbuka
Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi duramater. Kerusakan
otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak. Fraktur longitudinal sering menyebabkan
kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustachius. Setelah 2-3
hari akan tampak battle sign (warna biru dibelakang telinga diatas os mastoid) dan otorrhoe
(liquor keluar dari telinga). Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu dise-
babkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Fraktur basis tengkorak tidak selalu dapat dideteksi
oleh foto rontgen, karena terjadi sangat dasar. Tanda-tanda klinik yang dapat membantu mendi-
agnosa adalah :
a. Battle sign ( warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid )
b. Hemotipanum ( perdarahan di daerah gendang telinga )
c. Periorbital ecchymosis ( mata warna hitam tanpa trauma langsung )
d. Rhinorrhoe ( liquor keluar dari hidung )
e. Otorrhoe ( liquor keluar dari telinga)
Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi, meningitis dan perdarahan.
2. Trauma kepala tertutup
a. Komusio serebri ( Gegar otak )
Merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari 10
menit ). Gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-noda didepan mata dan linglung.
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya ced-
era pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Konkusio menyebabkan
kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural yang nyata. Hal ini
bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan yang
menimpa otak di dalam tulang tengkorak. Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit
kepala dan rasa mengantuk yang abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyem-
buhan total dalam beberapa jam atau hari. Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan
dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kece-
masan. Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu,
jarang lebih dari beberapa minggu.
Penderita bisa mengalami kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi.
Keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio. Sindroma pasca konkusio masih merupakan
suatu teka-teki; tidak diketahui mengapa sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera
kepala yang ringan. Para ahli belum sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi
atau faktor psikis. Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa pen-
derita sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan selain sindroma pasca konkusio adalah
gejala-gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa
hari setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertam-
bah parah, sebaiknya segera mencari pertolongan medis. Biasanya, jika terbukti tidak terda-
pat kerusakan yang lebih berat, maka tidak diperlukan pengobatan. Setiap orang yang men-
galami cedera kepala diberitahu mengenai pertanda memburuknya fungsi otak. Selama ge-
jalanya tidak semakin parah, biasanya untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika
cederanya tidak parah, aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.
b. Kontusio serebri (Memar otak )
Merupakan perdarahan kecil / petechie pada jaringan otak akibat pecahnya pembuluh
darah kapiler. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya
perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Sebagai kelanjutan dari kontusio akan
terjadi edema otak. Penyebab utamanya adalah vasogenik, yaitu akibat kerusakan B.B.B.
(blood brain barrier). Disini dinding kapiler mengalami kerusakan ataupun peregangan
pada sel-sel endotelnya. Cairan akan keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan otak
karena beda tekanan intra vaskuler dan interstisial yang disebut ekanan perfusi. Bila tekanan
arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan sebaliknya bila turun akan
memperlambat. Edema jaringan menyebabkan penekanan pada pembuluh-pembuluh darah
yang mengakibatkan aliran darah berkurang. Akibatnya terjadi iskemia dan hipoksia.
Asidosis yang terjadi akibat hipoksia ini selanjutnya menimbulkan vasodilatasi dan
hilangnya auto regulasi aliran darah, sehingga edema semakin hebat. Hipoksia karena sebab-
sebab lain juga memberikan akibat yang sama. Jika otak membengkak, maka bisa terjadi
kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan yang sangat hebat bisa
menyebabkan herniasi otak.
Gejala dari kontusio adalah pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa,
depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Biasanya gejala berlangsung
selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Sindroma pasca konkusio yaitu kesulitan
dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Kontusio serebri dan robekan otak lebih serius
daripada konkusio. MRI menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa
menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan kebingungan atau
bahkan koma.
c. Perdarahan intrakranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak.
Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera bi-
asanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara
pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis
perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan
terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit. Perdarahan menahun
(hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta
menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan
otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak.
Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang otak mengalami
herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma,
kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jan-
tung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama
pada usia lanjut.
o Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak, yaitu arteri meningea media. Hal ini terjadi karena
patah tulang tengkorak telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan
lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera
timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang
menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari
sebelumnya.
Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan,
pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT
scan darurat. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di
dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian
dan penyumbatan sumber perdarahan.
o Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak. Perdarahan
bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian
setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural yang bertambah
luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan
pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa
minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menun-
jukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala
bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdu-
ral yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang
besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembe-
dahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
1). Sakit kepala yang menetap
2). Rasa mengantuk yang hilang-timbul
3). Linglung
4). Perubahan ingatan
5). Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
EPIDURAL HEMATOM SUBDURAL HEMATOM
Robek Robeknya A. Meningia media Robeknya “Bridging vein”
Gejala
klinik
Interval lucid, hemiparese/plegia
yang terjadi kemudian, pupil
anisokor, serangan kejang fokal,
TIK meningkat, refleks babinski
yang terjadi kemudian.
Sefalgia kronik progresif, penurunan
kesadaran yang semakin memburuk
hemiparesis, hemihipestesia, epilepsi
fokal, papil edema, Hiperrefleks,
Babinski +, TIK meningkat
Letak lesi Letaknya diantara os. Kranii-du-
ramater
Letaknya antara arachnoid-duramater.
Gambaran
Ct-Scan
Hiperdens Biconveks Hiperdens Lesi bulan sabit.
Kriteria cedera kepala yang digunakan untuk diagnosis, bergantung berat-ringannya cedera
otak yang terjadi, oleh sebab itu terbagai menjadi :
1. minimal = simple head injury
- GCS = 15 (normal)
- Kesadaran baik
- Tidak ada amnesia
- Dapat disertai gejala : mual,muntah, sakit kepala, vertigo.
- Defisit neurologis (-)
- CT-Scan normal
2. cedera kepala ringan
- GCS = 13 - 15
- Penurunan kesadaran ≤ 10 menit
- Amnesia pasca cedera kepala kurang dari 1 jam
- Dapat disertai gejala : mual,muntah, sakit kepala, vertigo.
- Defisit neurologis (-)
- CT-Scan normal
3. cedera kepala sedang
- GCS = 9 – 12
- Penurunan kesadaran >10 menit tetapi ≤ 6 jam
- Dapat/tidak disertai oleh defisit neurologis
- Amnesia pasca cedera selama 1 – 24 jam
- CT-Scan abnormal
4. cedera kepala berat
- GCS = 5 – 8
- Penurunan kesadaran > 6 jam
- Terdapat defisit neurologi
- Amnesia pasca cedera > 24 hari
- CT-Scan abnormal
GAMBARAN KLINIS
Gejala Klinis Trauma Kepala
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
1. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
2. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
3. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
4. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
5. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;
1. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh.
2. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
3. Mual atau dan muntah.
4. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
5. Perubahan keperibadian diri.
6. Letargik.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;
1. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau
meningkat.
2. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
3. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau
serangan epilepsi fokal. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan
reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi
herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir,
kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran
sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda
kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya
disfungsi rostrocaudal batang otak.
Pemeriksaan Penunjang
A. X-ray Tengkorak
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi in-
dikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Defor-
mitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gang-
guan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala nor-
mal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dil-
lakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
B. CT-Scan
CT-Scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam sudut 360 derajat
melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan direkonstruksi
oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara menyeluruh (luar dan dalam). Foto
CT-Scan akan tampak sebagai penampang-penampang melintang dari objeknya. Dengan CT-
Scan isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis, fraktur, per-
darahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya (Sastrodin-
ingrat, 2009).
Indikasi pemeriksaan CT-scan pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut:
1. Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak.
7. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral Perdarahan sub-
araknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma kepala jika dilakukan CT-Scan
dalam waktu 48 jam paska trauma.
Indikasi untuk melakukan CT-Scan adalah jika pasien mengeluh sakit kepala akut yang diikuti
dengan kelainan neurologis seperti mual, muntah atau dengan SKG (Skor Koma Glasgow) <14
(Haydel, Preston, Mills, et al., 2000).
Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam memperkirakan
prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT
scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat
berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih
baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. 8
Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan
menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkatan TIK dan dapat berkembang lesi baru
pada 40% dari penderita .Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang
otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di seki-
tarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.8
C. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI
mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan
CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang
otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran,
walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik .6,10
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru
pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Di-
fus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita
cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum
dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala
berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlang-
sungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan.7,10
TERAPI
Tatalaksana cedera kepala, berdasarkan kriteria untuk diagnosis, sebagai berikut:
1. minimal
- tirah baring, kepala ditinggikan 300
- istirahat dirumah
- kontrol ke rumah sakit bila ada tanda-tanda perdarahan epidural
2. cedera otak ringan
- tirah baring, kepala ditinggikan 300
- observasi di rumah sakit selama 2 hari
- beri obat simptomatis
- antibiotik (dengan indikasi)
3. cedera otak sedang dan berat
- terapi umum : ABC, terapi cairan, jaga keseimbangan gas darah
- terapi khusus: medikamentosa, atasi peningkatan TIK,
simptomatis,antibiotik, antiepilepsi, operasi (dengan indikasi)
- rehabilitasi
Pengelolaan konservatif pada contusion cerebri dengan cedera kepala sedang-berat untuk
mengurangi TIK dengan cara non bedah, tindakan tersebut antara lain :
1. Oksigen ventilasi
Dengan oksigenasi dan ventilasi diharapkan PCO2 tidak turun dibawah 25 mmHg, se-
hingga akan tercapai vasokontriksi pembuluh darah dan akan menurunkan volume in-
tracranial sehingga dapat menurunkan TIK.
2. Pemberian Manitol
Dosis yang biasa digunakan adalah 0,5-1 gram per Kg BB. Konsentrasi cairan manitol
biasanya 20% dan diberikan dengan tetesan cepat agar tercapai keadaan hipertonis in-
travaskuler, sehingga tujuan sebagai osmotic diuretic bias tercapai.
3. Balance cairan dan elektrolit
Kebutuhan cairan pada pasien cedera kepala harus tercukupi, oleh karena bila tidak
dapat menyebabkan dehidrasi sistemik yang dapat menyebabkan cedera sekunder
pada jaringan otak yang mengalami trauma. Kadar elektrolit terutama natrium dalam
serum juga harus dijaga, keadaan hiponatremia berkaitan dengan terjadinya edema
otak yang harus dicegah.
4. Meninggikan kepala
Dengan posisi kepala lebih tinggi 20 sampai dengan 30 derajat akan memperbaiki ve-
nous out flow ke dalam aliran sistemik. Sehingga aliran darah dari otak ke sistemik
berjalan lebih lancer.
5. Pemeberian antibiotika
Terutama pada penderita yang disertai rhinore dan otore dapat terjadi infeksi pada
jaringan otak oleh karena terobeknya duramater. Juga pada penderita cedera kepala
akan lebih sering terjadi infeksi saluran nafas yang menyebabkan hyperthermia.
6. Pemberian Nutrisi yang Adekuat
Pada cedera kepala akan meningkatkan metabolism, sehingga kebutuhan kalori
meningkat 1,5 kali dari kebutuhan normal, pemberian nutrisi sedapat mungkin secara
sentral.
7. Pemberian Phenytoin
Pada minggu-minggu pertama paska cedera kepala dengan kerusakan jaringan otak,
akan mengurangi resiko terjadi epilepsi post trauma. Diberikan dosis 100 mg lewat in-
jeksi, dilanjutkan 5 mg/KgBB per oral, dengan dosis terbagi 3-4 kali per hari.
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain:
a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. Intoksikasi alkohol atau obat
f. Fraktura tengkorak
g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h. Cedera penyerta yang jelas
i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
j. CT scan abnormal(Ghazali, 2007)
Indikasi Operasi
❖ Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
❖ Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
❖ Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak
bisa dilakukan.
Prognosis
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan
total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang
terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan.
Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama
lainnya, semakin berkurang. Kemampuan berbahasa pada anak kecil dijalankan oleh beberapa area
di otak, sedangkan pada dewasa sudah dipusatkan pada satu area. Jika hemisfer kiri mengalami
kerusakan hebat sebelum usia 8 tahun, maka hemisfer kanan bisa mengambil alih fungsi bahasa.
Kerusakan area bahasa pada masa dewasa lebih cenderung menyebabkan kelainan yang
menetap. Beberapa fungsi (misalnya penglihatan serta pergerakan lengan dan tungkai) dikendalikan
oleh area khusus pada salah satu sisi otak. Kerusakan pada area ini biasanya menyebabkan kelainan
yang menetap. Dampak dari kerusakan ini bisa diminimalkan dengan menjalani terapi rehabilitasi.
Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa
sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada
minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan pulih kembali.
top related