code blue - erepo.unud.ac.id
Post on 16-Oct-2021
17 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
CODE BLUE
Oleh :
dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen SpAn,KAR
DEPARTEMEN/KSM ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
RSUP SANGLAH / FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN DEPAN ............................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. iii
ABSTRAK .......................................................................................................... 1
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 5
2.1 Definsi Code blue dan Bantuan Hidup Dasar .............................. 5
2.2 Penilaian dan Tujuan Code blue .................................................. 5
2.3 Organisasi Tim Code blue .............................................................. 8
2.4 Ruang Lingkup Sistem Code blue ................................................. 9
2.5 Tatalaksana Sistem Code blue........................................................ 10
2.6 Fase Code blue ............................................................................... 10
2.7 Pemberian Basic Life Support (BLS)/Bantuan Hidup Dasar(BHD) 12
2.8 Aspek Etik Pada RJP............................................................................ 15
2.9 Perawatan Definitif ......................................................................... 17
2.10 Peralatan dan Pelatihan Sistem Code blue.................................. 17
BAB III. LAPORAN KASUS .............................................................................. 20
BAB IV. PEMBAHASAN ................................................................................. 24
BAB V. KESIMPULAN................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 28
ii iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Early Warning Score ..................................................................... 6
Tabel 2.2 Modified Early Warning Systems ................................................. 7
Tabel 2.3 Peralatan BLS ............................................................................... 17
1
LAPORAN KASUS
CODE BLUE
ABSTRAK
Cardiac Arrest atau Henti Jantung merupakan suatu bentuk
kegawatdaruratan karena kegagalan fungsi gelombang listrik di jantung yang
menyebabkan aritmia, sehingga jantung tidak adapat memompa darah ke otak, paru,
dan organ lainnya yang dapat terjadi pada siapapun dan kapanpun sehingga perlu
penanganan yang tepat dan segera untuk dapat menyelamatkan hidup pasien.
Pada kasus di Rumah Sakit, sebuah sistem kode aktivasi untuk merespon
terhadap cardiac arrest, yang dinamakan Code blue, dibentuk untuk memberikan
suatu Bantuan Hidup Dasar yang tepat, cepat, dan sistematis. Sistem Code blue
dibentuk oleh Rumah Sakit setempat dengan membentuk suatu sistem code blue,
termasuk tim code blue, peralatan dan perlengkapan BLS, aktivasi code blue
melalui sistem komunikasi di rumah sakit, serta adanya pendidikan dan pelatihan
rutin untuk menjamin kendali mutu.
Penanganan Cardiac Arrest adalah kemampuan untuk bisa mendeteksi dan
bereaksi secara cepat dan benar untuk sesegera mungkin mengembalikan denyut
jantung ke kondisi normal untuk mencegah terjadinya kematian otak dan kematian
permanen, Kesempatan pasien untuk bisa bertahan hidup berkurang 7 sampai 10
persen pada tiap menit yang berjalan tanpa cardiopulmonary resuscitation dan
defibrilasi.
Pasien laki-laki 70 tahun dengan diagnosis sepsis dengan Diabetes
Melitus dan ACKD pada 7 Juni telah dilakukan respon cepat di ruang Ratna no.7
dengan respon time <2 menit. Pasien mengalami penurunan kesadaran dan
frekuensi napas 22 kali/menit dengan pola nafas gasping, dengan saturasi oksigen
85%.
2
CASE REPORT
CODE BLUE
ABSTRACT
Cardiac Arrest is a form of medical emergency due to failure of cardiac
electrical activity which causes arryhthmia, thus the heart cannot pump the blood
to the brain, lungs, and other organs which can happen to anyone at any given time
and hence demands an appropriate and timely management to save patient's life.
Management of Cardiac Arrest is the ability to properly and timely detect
and react to the case, with the purpose of restoring the heart beat to the normal
state as soon as possible in order to prevent the brain and permanent death. The
chance of patient's survival diminishes for 7 until 10 percents for every minute
wasted without initiating cardiopulmonary rescucitation and defibrilation.
In the Hospital Setting, a system activation code to respond cardiac arrest,
known as Code blue, is formed to give a systematic, accurate, and timely Basic Life
Support. Code blue system is formed by the local hospital by establishing a
provision regarding code blue team, Basic Life Support, code blue activation
through Hospital communication system, along with routine education and training to
maintain quality control.
Male patient, age 70 years old which diagnosed with sepsis, diabetes mellitus
and ACKD. In June, 7 2019, Basic Life Support in the form of CPR was given in
Ratna Room with the response time < 2 minutes. Patient experienced decrease of
consciousness and respiratory rate calculated 22 times/minute with gasping pattern
and oxygen saturation of 85%.
3
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan data oleh American Heart Association (AHA), di Amerika
terdapat lebih dari 200.000 kasus henti jantung di rumah sakit atau In-Hospital
Cardiac Arrest (IHCA) per tahunnya, dengan tingkat kelangsungan hidup
bervariasi di tiap rumah sakit, mulai dari 0 sampai 36,2%. Prevalensi henti
jantung menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI)
berkisar 10 dari 100.000 orang normal yang berusia dibawah 35 tahun
dan per tahunnya mencapai sekitar 300.000-350.000 kejadian. Henti jantung
adalah suatu bentuk kegawatdaruratan yang harus mendapatkan penanganan yang
tepat dan segera dari medis atau masyarakat umum yang terlatih. (Dame RB et al,
2018) Henti Jantung dapat dipulihkan jika tertangani segera dengan
cardiopulmonary resuscitation atau Resusitasi Jantung Paru (CPR/RJP) dan
defibrilasi untuk mengembalikan denyut jantung normal. Kesempatan pasien untuk
bisa bertahan hidup berkurang sekitar 10 persen pada tiap menit yang berjalan tanpa
RJP dan defibrilasi. (Aminuddin, 2013)
Prinsip dari penanganan henti jantung adalah kemampuan untuk bisa
mendeteksi dan bertindak secara cepat dan benar untuk sesegera mungkin
mengembalikan denyut jantung ke kondisi normal untuk mencegah terjadinya
kematian otak dan kematian permanen. Penanganan secara cepat dapat diwujudkan
jika terdapat tenaga yang memiliki kemampuan dalam melakukan chain of survival
saat henti jantung terjadi. (Sing S et al, 2015) Keberadaan tenaga inilah yang selama
ini menjadi masalah/ pertanyaan besar, bahkan di rumah sakit yang banyak terdapat
tenaga medis dan paramedis. Tenaga medis dan paramedis di Rumah Sakit
sebenarnya sudah memiliki kemampuan dasar dalam melakukan life saving, akan
tetapi belum semuanya dapat mengaplikasikannya secara maksimal. Dan seringkali
belum terdapat pengorganisian yang baik dalam pelaksanaannya. Masalah inilah
yang kemudian memunculkan terbentuknya tim reaksi cepat dalam penanganan
henti jantung segera, yang disebut Code blue.
4
Tim Code blue dapat dipanggil dengan mengaktifkan code blue. Code blue
merupakan suatu sistem aktivasi kode pada pasien yang mengalami kondisi henti
jantung, henti nafas, atau situasi gawat darurat yang membutuhkan resusitasi.
Beberapa rumah sakit besar di Indonesia telah menerapkan sistem pengaktifan code
blue dengan menggunakan jaringan telpon ke nomor tertentu yang disepakati tiap
rumah sakit. Saat ditemukan pasien yang mengalami kondisi henti nafas dan henti
jantung maka petugas kesehatan yang menemukan pasien tersebut akan
mengaktifkan tanda / code blue. Operator sentral akan menyebarkan informasi ke
kapten tim code blue berupa lokasi kejadian. Setelah kapten tim code blue menerima
pemberitahuan, kapten tim code blue langsung menuju lokasi kejadian dengan
durasi waktu yang dibutuhkan antara menerima pesan “code blue” (code blue
activation) dan kedatangan code blue team di lokasi kejadian adalah 5 sampai
10 menit. (Monangi S et al, 2018)
Penetapan sistem code blue bertujuan untuk mengurangi angka mortalitas
serta meningkatkan angka kembalinya sirkulasi spontan. Penanganan henti
jantung yang tertunda berhubungan dengan berkurangnya angka harapan hidup dari
pasien henti jantung. Untuk mencapai tujuan dari penerapan code blue system
diperlukan pengenalan awal dari kasus henti jantung, dalam hal ini pengetahuan
akan sistem code blue dan bantuan hidup dasar. Berdasarkan hal tersebut, aktivasi
sistem code blue yang ideal harus mampu memfasilitasi resusitasi pada pasien
dengan kegawat daruratan medis dan kondisi henti jantung dengan respon yang
adekuat. (Kilgannon J et al, 2016; Sing S et al, 2015)
Berdasarkan kajian-kajian di atas, pengetahuan dan pemahaman yang baik
tentang sistem code blue harus dimiliki setiap petugas medis yang bertugas di
rumah sakit. Pada laporan kasus ini, akan dibahas mengenai sistem code blue dan
penerapannya pada pasien terkait.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Code blue dan Bantuan Hidup Dasar
Code blue didefinisikan sebagai suatu kode aktivasi sistem untuk kondisi
gawat darurat yang terjadi di rumah sakit atau suatu institusi kesehatan dimana
terdapat pasien yang mengalami cardiopulmonary arrest dan perlu penanganan
sesegera mungkin. (Monangi S et al, 2018)
Code blue team adalah tim yang terdiri dari dokter dan paramedis yang
ditunjuk sebagai "code-team", yang secara cepat ke pasien untuk melakukan
tindakan penyelamatan. Tim ini menggunakan troli emergensi/ crash cart, kursi
roda/tandu, alat - alat penting seperti defibrilator, peralatan intubasi, suction,
oksigen, ambubag, obat-obatan resusitasi (adrenalin, atropin, lignocaine) dan IV set
untuk menstabilkan pasien dengan Bantuan Hidup Dasar. (Vindigni S, et al, 2017)
Bantuan Hidup Dasar atau Basic Life Support merupakan sekumpulan
intervensi yang bertujuan untuk mengembalikan dan mempertahankan fungsi vital
organ pada korban henti jantung dan henti nafas. Intervensi ini terdiri dari
pemberian kompresi dada dan bantuan nafas. Prinsip bantuan hidup dasar adalah
memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi pada pasien henti
jantung atau henti nafas melalui RJP/ CPR.
Menurut AHA Guidelines tahun 2015, tindakan BHD ini dapat disingkat
sebagai teknik AB C pada prosedur RJP, yang terdiri dari:
a. A (Airway): Menjaga jalan nafas tetap terbuka
b. B (Breathing): Ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat
c. C (Circulation): Mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung
paru.
2.2 Penilaian dan Tujuan Code blue
1. EWS
EWS atau Early Warning System adalah suatu proses sistemik untuk
mengevaluasi dan mengukur resiko lebih awal guna mengambil langkah untuk
meminimalisir dampak terhadap sistem finansial. Sistem ini telah dikenalkan pada
dunia kesehatan sehingga memiliki definisi yaitu suatu prosedur spesifik untuk
6
deteksi awal dari menurunnya suatu frekuensi normal dari kasus klinis atau reaksi
serologis untuk penyakit tertentu dengan memonitor suatu sampel dari populasi yang
beresiko.
Sistem EWS memiliki suatu proses evaluasi dalam bentuk skor, sistem skor
ini diukur berdasarkan observasi rutin terhadap fisiologi dari tanda-tanda vital pasien.
Early warning score dihitung berdasarkan lima parameter fisiologi yaitu respon
mental, denyut nadi, tekanan darah sistolik, laju pernafasan, suhu dan urine output (
untuk pasien dengan pemasangan kateter). Tiap parameter memiliki nilai tertinggi
yaitu tiga dan terendah yaitu nol.
TABEL 2.1 Early Warning Score
Sistem EWS hingga kini dinilai belum mampu digunakan hingga potensi
maksimalnya, sehingga menjadi pertanyaan apakah dampaknya berarti pada praktik
klinisnya. Diperlukan suatu monitoring rutin pada pasien. Sedangkan di banyak
kasus di rumah sakit, EWS masih berbasis pada rekam medis pasien yang dimana
tanda vital pasien diperiksa hanya pada waktu tertentu bukan continues. Terdapat
beberapa contoh kasus dimana aplikabilitas dari EWS sendiri dipertanyakan, seperti
pada beberapa impending illness seperti infark miocard, dimana pasien meninggal
akibat aritmia dengan early warning score yang rendah karena penilaian tanda vital
pasien normal. Karenanya EWS mempunyai modifikasi yang disempurnakan untuk
mencapai potensi maksimal dalam menilai adanya kegawatdaruratan dan tindakan
yang dilakukan. (Georgaka D et al, 2012)
2. MEWS
Untuk menurunkan kasus henti jantung pada pasien rawat inap, ada beberapa
hal yang dapat dimonitoring. Pada tahun 2007 oleh National Institute For Health and
Clinical Excellence (NICE) merekomendasikan Modified Early Warning System
(MEWS) untuk harus digunakan dalam memantau semua pasien dewasa yang
7
dirawat ke untuk memungkinkan memantau perburukan pasien. Poin dengan nilai
abnormal dalam berguna untuk memandu intervensi dan untuk memantau kemajuan
atau perburukan pasien. Ini merupanan sistem yang menggantikan grafik tradisional
yang mencakup nilai-nilai diplot pada grafik dan tidak ditentukan level intervensi.
Setelah mencapai ambang yang telah ditentukan, Rapid Response Team akan datang.
Berikut table MEWS dan Tindakan yang dilakukan yang disesuaikan dengan keadaan
pasien. ( Mathukia et al,2014)
TABEL 2.2 Tabel Modified Early Warning System
Tujuan dari sistem code blue adalah:
1. Memberikan resusitasi dan stabilisasi yang cepat bagi korban yang mengalami
kondisi darurat henti jantung yang berada dalam situasi rumah sakit.
8
2. Membentuk suatu tim yang terlatih lengkap dengan perlatan medis darurat yang
dapat digunakan dengan cepat.
3. Memulai pelatihan keterampilan BLS dan penggunaan defibrillator eksternal
otomatis (AED) untuk semua tim rumah sakit baik yang berbasis klinis maupun non
klinis.
4. Penempatan peralatan BLS di berbagai lokasi strategis di dalam kawasan rumah
sakit untuk memfasilitasi respon cepat bagi keadaan darurat medis.
5. Melatih rumah sakit mampu menangani keadaan medis yang darurat.
2.3 Organisasi Tim Code blue
Tim Code blue merupakan tim yang selalu siap setiap saat/ sepanjang waktu.
Tim code blue respon primer beranggotakan kru yang telah menguasai Basic Life
Support (BLS) atau Bantuan Hidup Dasar. Tim Code blue terdiri dari 3 sampai 4
anggota,yaitu: (Singh S et al, 2015)
• 1 Koordinator Tim
• 1 Petugas Medis
• 1 Assisten Petugas Medis dan 1 atau 2 perawat (perawat pelaksana dan
tim resusitasi)
• 1 Kelompok Pendukung (jika perlu)
Uraian Tugas:
a. Koordinator Tim
•Dijabat oleh dokter ICU/NICU
•Bertugas mengkoordinir segenap anggota tim. Bekerjasama dengan diklat
membuat pelatihan kegawatdaruratan yang dibutuhkan oleh anggota tim.
b. Penanggung Jawab Medis
• Dokter jaga/ dokter ruangan
• Mengidentifikasi awal / triage pasien
• Memimpin penanggulangan pasien saat terjadi kegawatdaruratan
• Memimpin tim saat pelaksanaan RJP
• Menentukan sikap selanjutnya
9
c. Perawat Pelaksana
• Bersama dokter pemanggungjawab medis melakukan triage pada pasien
• Membantu dokter penanggungjawab medis menangani pasien gawat dan
gawat darurat
d. Tim Resusitasi
• Perawat-perawat terlatih dan dokter ruangan /dokter jaga
• Memberikan bantuan hidup dasar kepada pasien gawat atau gawat
darurat
• Melakukan resusitasi jantung paru kepada pasien gawat atau gawat
darurat
• Daftar nama Tim Code blue meruapakan tanggung jawab Koordinator
setiap bulan dalam MECC
Setiap anggota tim code blue akan memiliki tanggung jawab yang ditunjuk
seperti pemimpin tim, manajer airway, kompresi dada, IV line, persiapan obat dan
defibrilasi. Setiap anggota tim yang ditunjuk harus membawa hand phone.
2.4 Ruang Lingkup Sistem Code blue
Sistem respon cepat code blue dibentuk untuk memastikan bahwa semua
kondisi darurat medis kritis tertangani dengan resusitasi dan stabilisasi sesegera
mungkin. Sistem respon terbagi dalam 2 tahap:
a. Respon awal (responder pertama) berasal petugas rumah sakit yang berada di
sekitarnya, dimana terdapat layanan Basic Life Support (BLS).
b. Respon kedua (responder kedua) merupakan tim khusus dan terlatih yang berasal
dari departemen yang ditunjuk oleh pihak rumah sakit.
Sistem respon dilakukan dengan waktu respon tertentu berdasarkan standar
kualitas pelayanan yang telah ditentukan oleh rumah sakit. Untuk menunjang hal
tersebut yang dilakukan adalah:
1. Semua personil di rumah sakit harus dilatih dengan keterampilan BLS untuk
menunjang kecepatan respon untuk BLS di lokasi kejadian.
2. Peralatan BLS harus ditempatkan di lokasi yang strategis dalam kawasan rumah
sakit, m isalnya lobi rumah sakit, ruang tunggu poliklinik dan ruang rawat inap,
10
dimana peralatan dapat dipindah atau dibawa untuk memungkinkan respon yang
cepat.
2.5 Tatalaksana Sistem Code blue
Tim dibentuk dengan ketentuan tiap tim terdiri dari 3 sampai 5 anggota yang
terlatih dalam BLS. Peralatan resusitasi darurat yang mudah untuk dibawa, harus
ditempatkan di lokasi strategis di seluruh kawasan rumah sakit terutama di daerah
di mana probabilitas tinggi terjadi kondisi darurat medis atau di mana tim rumah
sakit telah dilatih dalam keterampilan BLS. Setidaknya satu kit resusitasi dasar
harus ditempatkan di setiap area kerja satu departemen sehingga tim dapat dengan
cepat memobilisasi dan memanfaatkan peralatan resusitasi. Jika tersedia peralatan
resusitasi yang lebih maka efektifitas dan waktu respon dari Code blue teaim akan
lebih baik dan harapan hidup pasien meningkat.
Hal ini sama pentingnya bahwa semua personil rumah sakit, terutama tenaga
non-dokter dan non-medis, dilatih BLS sehingga mereka juga dapat memberikan
resusitasi awal kehidupan (CPR) di lokasi kejadian sambil menunggu respon primer
atau Code blue tiba, dengan demikian juga meningkatkan kemungkinan hasil yang
baik bagi para korban darurat medis. Pelatihan tim rumah sakit dalam keterampilan
BLS dan penggunaan AED juga dapat dilakukan oleh ETD.
2.6 Fase Code blue
2.6.1 Sistem Alert
Harus ada sistem yang baik dan terkoordinasi di tempat yang digunakan
untuk mengaktifkan peringatan terjadinya keadaan darurat medis dalam lingkup
rumah sakit kepada anggota tim code blue. Sistem telepon yang ada akan
digunakan.
Jika terjadi keadaan darurat medis, personil rumah sakit di mana saja dalam
lingkup rumah sakit tersebut dapat mengktifkan respon dari code blue lewat
telepon untuk bantuan dan pengaktifan:
a. Local Alert
• Pengumuman melalui sistem PA
11
• Menampilkan nama-nama tim code blue primer di lokasi strategis di
zona mereka
• Setelah aktivasi code blue terjadi, Tim Primer harus meninggalkan
pekerjaannya dan mengambil tas code blue dan bergegas ke lokasi dan
memulai CPR / BLS
b. Hospital Alert : Nomor telepon code blue Pusat Panggilan
Kegawatdaruatan Medis:
Prioritas 1: Untuk mengaktifkan team code blue sekunder dari ETD
Prioritas 2: Untuk memeriksa (sebagai jaring pengaman kedua)
pengaktifan team code blue primer.
Anggota tim respon code blue primer yang telah ditentukan di sekitar tempat
terjadinya kegawatdaruatan medis akan menanggapi situasi code blue sesegera
mungkin. Anggota tim akan memobilisasi alat resusitasi mereka dan bergegas ke
lokasi darurat medis. Tim ETD code blue juga akan menanggapi situasi code blue.
Jika semua tim tidak yakin apakah lokasi darurat medis tersebut tercakup di daerah
cakupan mereka, mereka tetap harus merespon alarm 'code blue'.
Standar layanan untuk durasi waktu yang dibutuhkan antara menerima
pesan 'code blue' (code blue aktivasi) dan kedatangan tim code blue di lokasi
kejadian adalah 5 sampai 10 menit.
2.6.2 Intervensi Segera di Tempat Kejadian
Tim di tempat kejadian darurat medis (pasien tidak sadar atau dalam cardiac
dan respiratory arrest) telah terjadi memiliki tanggung jawab untuk meminta
bantuan lebih lanjut, memulai resusitasi menggunakan pedoman Basic Life Support
(BLS) dan keterampilan ALS dan peralatan jika cukup terlatih dan lengkap. Nomor
tim code blue Rumah Sakit akan ditempatkan di bangsal, departemen, divisi, unit,
kantor, lobi lift, koridor, kantin, taman, tempat parkir, trotoar dan lokasi lain di
dalam halaman rumah sakit. (Garg R et al, 2017)
Personil rumah sakit yang menemukan korban harus mengaktifkan
pemberitahuan lokal untuk tim code blue primer atau seseorang menginstruksikkan
mereka untuk melakukannya, mereka juga harus meminta bantuan lebih lanjut dari
12
tim terdekat jika tersedia. Sementara menunggu kedatangan tim utama menanggapi
code blue, jika tersedia tim yang terlatih untuk BLS, mereka harus memulai BLS
(posisi airway, bantuan pernapasan, kompresi dada dll).Jika tidak ada tim yang
terlatih BLS, tim yang ditempat kejadian harus menunggu bantuan yang
berpengalaman dan menjaga lokasi dari kerumunan orang.
Jika monitor jantung, defibrillator manual atau defibrillator eksternal
otomatis (AED) tersedia, peralatan ini harus melekat kepada pasien untuk
menentukan kebutuhan defibrilasi; fase ini dilakukan oleh tim yang berpengalaman
atau tim terlatih dalam Alert Cardiac Life Support (ACLS). (Garg R et al, 2017)
Setiap departemen, divisi, atau unit bangsal harus berusaha untuk
memastikan bahwa tim mereka dilatih dalam setidaknya keterampilan BLS dan
mereka dilengkapi dengan resusitasi kit atau troli, setidaknya peralatan resusitasi
dasar dan ditempatkan di lokasi strategis.Tim dari masing-masing ruangan akan
bertanggung jawab untuk pemeliharaan resusitasi kit mereka.
Jika korban berhasil diresusitasi, sambil menunggu kedatangan tim respon
code blue, tim dilokasi harus menempatkan pasien dalam posisi pemulihan dan
monitor tanda-tanda vital. Semua kasus code blue harus mengirim ke ETD untuk
evaluasi lebih lanjut dan manajemen terlepas hasilnya. (Garg R et al, 2017)
2.7 Pemberian Basic Life Support (BLS)/Bantuan Hidup Dasar (BHD)
Pemberian Basic Life Support (BLS) mengacu pada suatu tindakan pertolongan
yang dilakukan oleh pemberi pelayanan kesehatan maupun petugas keamanan
masyarakat pada pasien-pasien yang mengalami henti jantung, henti nafas, maupun
obstruksi jalan nafas. Tujuan bantuan hidup dasar ialah untuk oksigenasi darurat
secara efektif pada organ vital buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan
oksigen dengan kekuatan seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan
sirkulasi sendiri secara normal (Latief, 2009). Secara garis besar, BLS terdiri dari
pemberian resusitasi jantung paru berkualitas tinggi, menggunakan automated
external defibrillator (AED) dan penanganan sumbatan jalan nafas pada pasien.
Pada situasi di rumah sakit, BLS dapat dilakukan oleh petugas kesehatan atau
seseorang yang berkompetensi untuk melakukannya sampai tim primer code blue
13
datang dan melanjutkan proses pemberian BLS. Sebagai komponen utama dari
sistem code blue di rumah sakit, berikut adalah langkah-langkah melakukan BLS
pada sistem code blue: (Garg R et al, 2017)
a. Memastikan tempat resusitasi aman
Pasien biasanya berada dalam tempat yang aman di rumah sakit. Namun
pada situasi tertentu, pasien dapat jatuh tidak pada tempat tidur atau
mungkin di luar gedung, sehingga perlu diamankan. Namun perlu diingat
bahwa pemindahan pasien yang memakan waktu harus dihindari, sehingga
lebih diutamakan pemberian BLS sesegera mungkin pada setting rumah
sakit. (Garg R et al, 2017)
b. Cek Respon Pasien
Respon pasien diperiksa sesegera mungkin dengan memberi rangsangan
verbal ataupun rasa sakit, dan dinilai dengan klasifikasi AVPU (Alert,
Verbal, Pain, Unresponsive) Jika pasien memberi respon, maka
kemungkinan ia tidak mengalami henti jantung. Pasien mungkin
memerlukan monitoring dan observasi ketat di ruangan khusus dan evaluasi
lebih lanjut. Jika pasien tidak ada respon, kemungkinan pasien mengalami
henti jantung sehingga perlu dipanggil bantuan dan aktivasi sistem code
blue. (Garg R et al, 2017)
c. Aktivasi sistem code blue
Seseorang yang menemukan pasien pertama kali mengaktivasi sistem code
blue untuk mendatangkan tim code blue untuk membawa perlengkapan BLS
(defibrillator, brankar emergensi berisi perlengkapan dan obat-obatan BLS,
perlengkapan penanganan jalan nafas) (Garg R et al, 2017)
d. Cek nadi dan nafas bersamaan
Pemeriksaan nadi karotis dilakukan bersamaan dengan nafas (melihat
pergerakan dada, mendengar dan merasakan nafas pasien) kurang dari 10
detik. Terdapat 3 hasil yang memungkinkan: (Garg R et al, 2017)
- Pulsasi karotis teraba dan nafas normal: pasien diobservasi setiap 2
menit untuk setiap tanda vitalnya. Pasien dapat memerlukan ruang
14
monitoring khusus seperti ruang perawatan intensif untuk monitoring
dan evaluasi lebih lanjut
- Pulsasi karotis teraba dan nafas abnormal/tidak ada: pasien mengalami
henti nafas. Buka jalan nafas dengan triple airway maneuver (hindari
head tilt pada kecurigaan trauma servikal), kemudian lakukan:
pemasangan pipa orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakea,
dan pemberian bantuan nafas mekanik dengan kantung nafas atau Bag
Valve Mask (BMV) tiap 5 detik. Evaluasi tanda vital pasien tiap 2 menit.
- Pulsasi karotis tidak ada dan nafas abnormal/tidak ada: Pasien segera
dilakukan resusitasi jantung paru dengan perbandingan 30 kompresi
dada : 2 nafas bantuan. Lakukan dengan kecepatan 120 kali/menit
dengan kedalaman 5-6 cm, dengan memberikan kesempatan dada untuk
mengalami retraksi maksimal. Pemberian nafas 2 kali tiap 30 kompresi
dada dilakukan dnegan menggunakan ventilasi kantung nafas yang
terhubung dengan sumber oksigen beraliran tinggi/Bag Valve Mask
(BMV). Penolong yang melakukan kompresi dada dan penolong yang
melakukan bantuan nafas bertukar posisi tiap 5 siklus resusitasi agar
tidak terlalu kelelahan dan menjaga kualitas kompresi. Setiap 5 siklus,
nadi karotis dan pernafasn di evaluasi.
- Sementara dilakukan resusiasi jantung paru, penolong lain memasang
monitor AED pada pasien untuk menilai irama jantung dalam kaitannya
dengan kebutuhan defibrilasi. Jika irama jantung pasien
mengindikasikan defibrilasi, kejutan pertama diberikan sesegera
mungkin tanpa memerhatikan siklus RJP, kemudian kejutan kedua baru
5 siklus RJP. Pemberian RJP tetap dilakukan selama melakukan
pemasangan AED.
- Bersamaan dengan proses pemasangan AED, penolong lain mengambil
akses intravena untuk kebutuhan pemberian obat dan cairan.
- Setelah akses vena didapat, berikan adrenalin 1 mg dilarutkan dalam 10
ml dengan cara bolus, diulang tiap 3-5 menit. Jika irama jantung
abnormal setelah 3 siklus RJP, berikan antiaritmia Amiodaron 300 mg
15
IV bolus pelan, kemudian dapat diberikan lagi 150 mg IV jika irama
abnormal menetap.
- Jika pasien berhasil diresusitasi (ditandai dengan kembalinya sirkulasi
spontan yaitu pulsasi karotis dan nafas spontan normal), maka pasien
dipindahkan di ruangan critical care untuk pengawasan vital sign secara
ketat sambil mengevaluasi penyebab dasar dari cardiac arrest dengan
melakukan penggalian riwayat, pemeriksaan fisik menyeluruh, dan
pemeriksaan penunjang. (Garg R et al, 2017)
2.7 Aspek etik pada RJP
Panduan/pedoman yang ada saat ini mengindikasikan agar tindakan RJP dapat
mengembalikan kehidupan ketika henti jantung terjadi karena berbagai sebab
kelainan jantung yang ada. Undang-undang juga secara tidak langsung menyatakan
persetujuan dilakukannya tindakan RJP sebagai penanganan kegawat-daruratan
serta respon standard terhadap henti jantung. Padahal RJP bukan tindakan yang tepat
terhadap kematian yang terjadi karena usia lanjut, penderita yang menderita
demensia berat, dan mungkin sedang atau yang mengalami kemunduran fisik
sebelum henti jantung, penderita dengan kanker, HIV/AIDS.
Maka harus dipertimbangkan kembali mengenai 4 pilar etik kedokteran yaitu
beneficience, non maleficience, otonomi dan justice.
Prinsip beneficence pada RJP adalah pemulihan kesehatan dan fungsi-
fungsinya serta meringankan rasa sakit dan penderitaan. Jarang sekali
pasien bertahan hidup setelah dilakukan RJP ketika henti jantung yang
timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi organ.
Harapan hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP sangat buruk
(<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, kanker
(kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS. Selain itu usia
bukan merupakan salah satu kontraindikasi dilakukannya tindakan RJP.
Walaupun dikatakan proses penuaan berkaitan dengan akumulasi
berbagai kelemahan dan penyakit, dengan terdapatnya perawatan jangka
Panjang dan penurunan fungsi tubuh, masih menjadi salah satu perkiraan
hasil RJP yang buruk. (Maharjan RK, 2014)
16
Prinsip Non Maleficence (Do No Harm) hal ini biasanya digambarkan oleh
tingkat kerusakan otak berkaitan dengan tindakan RJP bervariasi antara
10-83%. Pada salah satu penelitian, 55 dari 60 anak meninggal karena
pemberian RJP yang berkepanjangan; lima lainnya bertahan hidup pada
kondisi coma persistent atau status vegetative di rumah sakit. Banyak
pasien dengan disabilitas berat yang diikuti dengan kerusakan otak
berada dalam kondisi yang sama dengan kematian. RJP menjadi
berbahaya dan bersifat merusak ketika risiko kerusakan otak relatif
tinggi. Oleh karena gangguan aliran darah ke otak atau ke jantung dapat
menyebabkan kerusakan berat, (Maharjan RK, 2014)
Prinsip Otonomi pasien harus dihormati secara etik dan di sebagian besar
negara dihormati secara legal. Otonomi pasien mencakup dua aspek -
pertama, hak untuk meminta perawatan dan kedua, hak untuk menolak
perawatan seperti do not ressucite (DNR). Mengenai hak untuk meminta
perawatan meskipun sia-sia, misalkan pasien yang tidak setuju dengan
DNR, maka harus dilakukan prosedur yang adil..Akan tetapi hal itu
membutuhkan kemampuan komunikasi seorang pasien untuk dapat
menyetujui atau menolak tindakan medis termasuk RJP. Di Amerika
Serikat, pasien dewasa dianggap memiliki kapasitas dalam mengambil
keputusan kecuali jika pengadilan telah menyatakan bahwa mereka tidak
kompeten untuk membuat keputusan tindakan medis sedangkan di
negara lain keputusan pengadilan tidak diperlukan untuk penderita-
penderita dengan incompetency seperti pada penderita penyakit jiwa.
(Maharjan RK, 2014)
Prinsip keadilan/Justice, lebih spesifik dipahami sebagai keadilan
distributif, membutuhkan bahwa dengan sumber daya yang terbatas,
keputusan alokasi harus dibuat secara adil, dan bahwa manfaat dan
beban didistribusikan secara adil . Prinsip keadilan yang menciptakan
hak untuk menerima sesuatu dan menyeimbangkan tujuan sosial juga
memerhatikan kebutuhan masyarakat yang lebih besar. Melalui
keadilan, keadilan akan dan memastikan kesempatan yang sama untuk
perawatan bagi semua pihak. Di resusitasi kardiopulmoner, keputusan
dari perspektif keadilan terutama bergantung pada definisi 'kesia-siaan
medis' atau “medical futulity’. (Maharjan RK, 2014)
17
2.9 Perawatan Definitif
Keadaan darurat medis yang terjadi di setiap daerah baik klinis atau non-
klinis dan baik melibatkan rawat inap atau rawat jalan (umum) akan dihadiri oleh
para tim tanggap code blue, pasien ini akan diangkut ke ETD untuk resusitasi lanjut
dan perawatan definitif . Jika resusitasi tidak berhasil (korban meninggal di TKP),
korban masih perlu ditransfer ke ETD untuk dokumentasi lebih lanjut atau
konfirmasi kematian. Setiap kasus code blue akan menerima perawatan definitif
setelah perawatan pasca integrasi serangan jantung dan diskusi dalam ETD. (Royal
Brisbance & Women’s Hospital Health Service District, 2007)
2.10 Peralatan dan Perencanaan Sistem Code blue
Semua tingkat tim rumah sakit harus cukup terlatih setidaknya dalam BLS
dan penggunaan AED. AED dan resusitasi kit dasar harus ditempatkan di berbagai
daerah di dalam halaman rumah sakit dan mudah diakses bagi tenaga medis dan tim
Code blue untuk digunakan.
Tabel 2.3 Peralatan BLS (The American National Red Cross, 2015)
Bagian atas Troli
Resuscitator x 1 (Tersegel) Sungkup muka ukuran 3/4 & 5 Resuscitator termasuk bag & reservoir Pipa Oropharyngeal Ukuran 3 & 4 (sekali pakai)
Pocket Face Mask dengan klep 1 arah
Obat-obatan emergensi dalam segel plastik
Laci 1 – Peralatan Intubasi – Paket (sekali pakai) + Gagang Laringoskop Handle
18
Gagang Laryngoskop x 1 Bilah Laringoskop: No 3 & 4 Introducer x 1 Forsep Magill's x 1
Pipa Endotracheal: Ukuran 7.5, 8, 8.5 x 2
Saset Gel Pelumas x 2
Yankauer disposable sucker x 1 Kateter Suction: 12g & 14g x 2 each Catheter mount x 1 Angle Konektor x 1 10ml syringe x 1 Forsep Arteri x 1 Micropore 25mm x 1 Tracheostomy tape ~ 1m Gunting x 1 Pipa Nasofaring Ukuran Size 7
Laci 2 – Peralatan IV Paket IV (Sekali Pakai)
Basic Dressing Packs x 2 Torniket x 2 Swab Alkohol x 12 Silet x 1
IV Cannula 16g x 4 18g x 4 20g x 4
Syringes 3ml, 5ml x
3 10ml x 4, 20ml x 1
Jarum 19g x 6 21g x 6 25g x 2
Tabung Darah: FBC
x 2 U&E x 2 (Li Heparin) Cross match x 1
Occlusive Dressing x 2 IV Giving Sets x 2 Normal Saline10ml ampul x 4 Additive labels x 2 Long Airways x 1 ABG syringes x 2
Laci 3 atau Rak Bawah Laci 4 atau Rak Bawah
Larutan IV: Plasma Volume Expander (Haemaccel) 500ml Dekstrose 5% dalam 1 liter H2O Normal Saline 0.9% 1 liter
Perlengkapan pelindung: masker
gogel Apron plastik
aprons Sarung tangan sekali pakai
Attachments: Silinder O2 ukuran C dengan regulator, flow meter, O2
tubing & medium flow masker O2
Pipa Suction
Form Rekam Emergensi, Papan kertas, Pulpen
Sharps Container
Defibrilator Semi Otomatis/ Semi Automated Defibrillator (SAED) harus
ada di dekat Troli Emergensi. Paket elektroda SAED x 2 dan sebuah razor sekali
pakai harus di simpan di dalam kotak paket SAED. Paket elektroda tidak boleh
dibuka sampai sebelum pemakaian. (The American National Red Cross, 2015)
Peralatan resusitasi diletakkan di area yang sering membutuhkan bantuan
resusitasi sehingga bila code blue muncul tim yang ditunjuk sebagai code blue Tim
akan segera dapat mengakses peralatan tersebut. Jika code blue disebut di suatu
daerah tanpa crash-cart, tim yang ditunjuk code blue akan membawa crash-cart atau
kit resusitasi.
19
Perencanaan kegiatan Tim Code blue meliputi :
1. Pelayanan Sehari-hari: merupakan kegiatan sehari-hari dalam rangka
mengidentifikasi (Triage) pasien-pasien yang ada di ruangan perawatan. Sehingga
keadaan gawat/ gawat darurat pasien dapat lebih dini diketahui dan ditanggulangi
sehingga mencegah kematian dan kecacatan yang tidak perlu terjadi.
2. Pelayanan Kegawatdaruratan Pasien Di Ruangan: merupakan kegiatan
pelayanan dalam menangani pasien gawat darurat dengan memberikan pertolongan
bantuan hidup dasar dan resusitasi jantung, paru dan otak (RJP).
3. Pelatihan dan Peningkatan SDM. Guna menjaga dan meningkatkan kualitas
kemampuan anggota tim, maka dibuatkan suatu pendidikan dan pelatihan meliputi
teori dan praktek sesuai kebutuhan tim.
4. Evaluasi dan Kendali Mutu: Pelaksanaan kegiatan penanggulangan dan
penanganan pasien gawat/ gawat darurat oleh Blue Team harus dapat dievaluasi dan
kendali mutu agar kesempurnaan kegiatan menjadi lebih baik. Oleh karena itulah
Tim Pengendalian Mutu rumah sakit diharapkan dapat turut berperan dalam hal
evaluasi dan kendali mutu Blue Team. (The American National Red Cross, 2015)
20
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama Inisial : IBKO
Nomor RM/Tanggungan : 19012040 / BPJS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 70 tahun
Alamat : Denpasar
MRS : 29/05/2019, pukul 22:00
DPJP Penyakit Dalam : dr. Tjok Istri Anom Sp.PD
DPJP Anestesi : dr. I.B Krisna Jaya Sutawan, Sp.An M.Kes
Diagnosis : DMDF+Pneumonia + ACKD
II. Anamnesis
Keluhan Utama : Demam
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit,
Demam dinyatakan timbul mendadak dan suhu pasien dirasakan tinggi, namun pasien
tidak sempat mengukur dengan termometer. Pasien menyatakan keluhannya berkurang
ketika minum obat penurun panas namun beberapa jam setelahnya akan panas tinggi
kembali. Pasien juga menyatakan memiliki luka pada kaki kiri dan jari kedua kaki
kanan yang baru diketahui sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien tidak
mengetahui kakinya terluka karena pasien tidak merasakan perih kaki kanan dan kirinya
perih tergores atau menabrak sesuatu. Luka tersebut di akui tidak sembuh-sembuh
padahal pasien mengaku sudah merawat luka dan menutup lukanya dengan perban.
Pasien juga mengaku batuk memberat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, batuk
tersebut disertai dahak yang berwarna putih kekuningan, darah tidak ada. Batuk muncul
hampir setiap saat tanpa disertai sesak. makan minum dinyatakan baik, buang air kecil
dan buang air besar dikatakan biasa. Bengkak pada kaki disangkal.
Riwayat alergi obat dan makanan : Pasien tidak memiliki alergi obat dan makanan tertentu
Riwayat penyakit sistemik : pasien menderita diabetes sejak tahun 1992. Riwayat
hipertensi dan kolesterol tinggi. Asma dan penyakit jantung disangkal.
21
Riwayat penyakit keluarga: Ayah pasien memiliki riwayat penyakit kencing manis dan
hipertensi, Penyakit sistemik lain seperti asma dan penyakit jantung disangkal.
Riwayat pengobatan:Hipertensi dinyatakan sudah sembuh dan tidak minum obat lagi.
Pasien merupakan penderita Diabetes militus dengan pengobatan terakhir Humalog mix
25 dengan dosis 16-0-16. Pasien merupakan rujukan dari RS balimed dengan terapi yaitu:
- Loading NaCl 0,9% 500cc
- Ceftriaxone 1 gram
- Aprida 6 UI SC
- Sumagesic tab
Riwayat operasi : pasien memiliki riwayat operasi debridemen pada kaki kanan tahun
2009 dengan anestesi local (RA-BSA)
Riwayat sosial : : Pasien saat ini tidak bekerja. Pasien merupakan perokok aktif dan
mengkonsumsi ½ bungkus rokok perhari kemudian berhenti sekitar kurang lebih 5 tahun
yang lalu. Aktifitas fisik diakui jarang.
III. Pemeriksaan Fisik:
BB: 62 kg, TB : 165 cm, BMI 22,9 Suhu axilla 38,8°C; VAS sulit dievaluasi
Sistem Saraf Pusat : GCS E4V5M6, Pupil bulat isokor 4/4mm, refleks pupil -/-
Respirasi : RR 24x/menit tipe vesikuler, ronchi (+/+) dan wheezing(-/-),
SpO2 98% on NC 2 LPM.
Kardiovaskular : HR 118 x/menit, Tekanan Darah 150/80 mmHg, S1-S2 tunggal,
murmur tidak ada
Gastrointestinal : Bising Usus (+),Distensi (-)
Urogenital : BAK spontan.
Ekstremitas : Ekstremitas atas hangat, ekstremitas bawah hangat. Edema(-)
IV. Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (29/5/2019) : WBC 20,87 x103/µL; HGB 10,93 g/dL; HCT 34,69
%; PLT 322,70 x103/µl.
Kimia Darah (29/5/2019) : SGOT 42,4 U/L, SGPT 38,00 U/L, Albumin
3.20g/DL, BUN 43.20 mg/DL, SC 1.84 mg/dl. GDS 423 mg/DL.
EKG : Sinus takikardia
Diagnosis pasien saat itu DMDF+ACKD dan Pneumonia
22
V. Kesimpulan
Permasalahan Aktual : Sepsis, ACKD, DM, Pneumonia, Hipoalbumin
Permasalahan Potensial : Syok Sepsis,
Pada tanggal 7/6/2019 pukul 18.00 Wita
S = Dilaporkan pasien dengan penurunan kesadaran, tak teraba nadi dan sesak dan akral
teraba dingin. Suhu Tubuh 38,7
O = Evaluasi awal
A : gargling
B : apneu
C : nadi tidak teraba , TD 70 per palpasi
D : Unresponsive
· Dilakukan RJP : nafas bantuan 30:2
· Diberikan epinephrine 1amp setiap 2 menit
· Dilakukan intubasi dengan ETT 7,5 Cuft di level bibir 20cm
· Evaluasi ulang pada menit ke 4
A : clear
B : on bagging
C : nadi tidak teraba, TD tidak dapat diukur
D : Unresponsive
· Dilakukan RJP : nafas bantuan 30:2
· Diberikan epinephrine 1amp setiap 2 menit
· Evaluasi ulang pada menit ke 6
A : clear
B : on bagging
C : nadi tidak teraba , TD tidak teraba
D : Unresponsive
23
· Dilakukan RJP : nafas bantuan 30:2
· Diberikan epinephrine 1amp setiap 2 menit
· Evaluasi ulang pada menit ke 8
A : clear
B : on bagging
C : nadi tidak teraba , TD tidak teraba
D : Unresponsive
· Dilakukan RJP : nafas bantuan 30:2
· Diberikan epinephrine 1amp setiap 2 menit
· Evaluasi ulang menit ke 10
A : Clear, terintubasi
B: RR 12-16X/menit on bangging manual
C: Nadi tidak teraba , TD tidak teraba, EKG : Asystole
D Unresponsive RP -/- midriasis maximal, RP Kornea -/-
24
BAB IV
PEMBAHASAN
Cardiopulmonary Arrest merupakan suatu bentuk kasus kegawatdaruratan
yang memerlukan penanganan tepat dan segera oleh petugas kesehatan atau
seseorang yang terlatih dalam memberikan Bantuan Hidup Dasar. Pada kasus di
rumah sakit, sebuah sistem kode aktivasi bernama Code blue yang mendatangkan
tim bantuan dibentuk agar pemberian penanganan cardiac arrest dan atau gangguan
nafas dapat berlangsung secara sistematis, tepat waktu, dan berkualitas. Sistem
Code blue dibuat oleh rumah sakit setempat dengan sebelumnya melakukan
kebijakan yang berkenaan dengan aktivasi sistem code blue, termasuk tim code blue,
peralatan dan perlengkapan BLS, aktivasi code blue melalui sistem komunikasi di
rumah sakit, serta adanya pendidikan dan pelatihan rutin untuk menjamin kendali
mutu.
Pada kasus ini, pasien mengeluh demam. Demam dinyatakan timbul
mendadak dan suhu pasien dirasakan tinggi, namun pasien tidak sempat
mengukur dengan thermometer yang dirasakan kurang lebih 4 hari sebelum masuk
rumah sakit. Pasien memiliki riwayat hipertensi dan kencing manis dan ayah pasien
juga memiliki riwayat penyakit yang sama. Riwayat operasi sebelumnya tahun 2009
dengan RA-BSA debridemen pada kaki , riwayat alergi obat maupun makanan
disangkal. riwayat merokok (+). Pasien kemudian didiagnosis dengan DMDF +
Pneumonia dan ACKD
Pada pasien ini dilakukan aktivasi sistem code blue karena adanya
pernafasan abnormal hingga menyebabkan apneu dan juga tensi yang 80 perpalpasi
,nadi teraba lemah, suhu 38,7 dan akral dingin. Kemudian dilakukan respon
terhadap aktivasi code blue dengan respon time < 3 menit. Tim code blue terdiri 5
orang, yaitu 3 orang dokter residen anestesi yang bertugas memastikan
pembebasan airway dan 2 orang memberi bantuan nafas melalui Bag Valve Mask.
Pada evaluasi pasien, ditemukan Airway gurgling, Breathing apneu, Circulation
nadi tidak teraba, dan Disability: Unresponsive.
Hal ini sesuai dengan teori bahwa pasien dengan tanda-tanda
Yang mengalami gagal nafas atau gagal jantung, perlu dilakukan penanganan BLS
segera dengan pertama- tama mengaktivasi sistem code blue di rumah sakit. Juga
25
sesuai dengan MEWS dengan nilai lebih dari 6 dimana respon yang
dilakukan adalah meminta pertolongan rapid response team . Menurut
teori, respon time untuk menanggapi code blue berkisar 5-10 menit, sehingga pada
kasus ini sudah dilakukan respon yang memenuhi ketepatan waktu (3 menit). Tim
code blue terdiri dari minimal 1 orang dokter yang mengkoordinasi BLS, 1 orang
petugas kesehatan memberikan bantuan jalan nafas, 1 orang melakukan kompresi
dada, 1 orang memasang AED, dan 1 orang memasang akses intravena dan
memberi obat. Penanganan utama yang diberikan pada pasien henti jantung berupa
pembebasan jalan nafas (Airway) dan kompresi dada (Circulation) yang diselingi
oleh pemberian bantuan nafas (Breathing).
Penanganan pada pasien ini yaitu dilakukan intubasi dengan ETT 7,5 Cuft
di level bibir 20 cm, Resusitasi Jantung Paru (RJP) dengan perbandingan kompresi
dada dan bantuan nafas (dengan Bag Valve Mask) 30:2 sebanyak 15 siklus (30
menit). Pasien juga diberikan epinephrine 1 ampul setiap 2 menit sebanyak 7 kali.,
kemudian dilakukan evaluasi ulang. Pasien sudah terpasang jalur intravena
sebelumnya.
Teori menyatakan bahwa pasien dengan cardiopulmonary arrest perlu
dilakukan BLS segera dengan melakukan pembebasan jalan nafas terlebih dahulu
dengan triple airway maneuver ataupun dengan alat yang lebih invasif seperti pipa
endotrakea seperti pada kasus ini, pipa orofaring, maupun pipa nasofaring.
Kemudian, kompresi dada dan bantuan nafas dengan perbandingan 30:2 sebanyak
5 siklus, kemudian dievaluasi ulang, dapat dilanjutkan maksimal 30 menit.
Pada kasus ini, pasien sudah terpasang akses intravena dan dilakukan
pemberian obat berupa ephineprine 1 ampul yang diulang setiap 2-3 menit. Hal ini
sesuai dengan teori, yaitu sembari melakukan RJP dan pemasangan AED, penolong
lain memasang akses intravena untuk keperluan memasukan obat. Pasien diberikan
pengobatan berupan adrenalin 1 mg 10 ml IV yang diulang setiap 2-3 menit sesuai
kasus diatas..
Pada kasus ini, hasil dari penanganan yaitu terjadi perburukan pada pasien
selama dilakukan BLS, dengan nadi pasien tak teraba dan tekanan darah tak terukur.
Pasien akhirnya dinyatakan meninggal dunia di hadapan keluarga.
26
BAB V
KESIMPULAN
Sistem aktivasi Code blue di rumah sakit sangat diperlukan dalam merespon
kasus Cardiaopulmonary Arrest sehingga dapat diberikan Bantuan Hidup Dasar
yang tepat waktu, tepat prosedur, dan sistematis. Prognosis pasien semakin
memburuk dengan semakin lamanya menit yang berlalu tanpa pemberian
Bantuan Hidup Dasar. Sistem code blue yang baik dicapai dengan membentuk
suatu tim code blue yang bersinergi dengan sistem komunikasi Rumah Sakit, serta
adanya persiapan- persiapan seperti peralatan dan perlengkapan Bantuan Hidup
Dasar, dan adanya suatu pelatihan dan pendidikan secara berkala.
27
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, (2013). Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kesiapan Perawat
Dalam Menangani Cardiac Arrest Di Ruangan Iccu Dan Icu Rsu Anutapura
Palu. Jurnal Keperawatan Sudirman, 8(3).
Blewer, A. L., Leary, M., Esposito, E. C., Gonzalez, M., Riegel, B., Bobrow, B. J.,
& Abella, B. S. (2012). Continuous chest compression cardiopulmonary
resuscitation training promotes rescuer self-confidence and increased
secondary training: a hospital-based randomized controlled trial*. Critical care
medicine, 40(3), 787-92.
Dame, R.B., Kumaat, L.T., Laihad. M.L., (2018). Gambaran Tingkat Pengetahuan
Perawat Tentang Code blue Sistem di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
Jurnal e-Clinic (eCl), 6(2)
Garg R, Ahmed SM, Kapoor MC, Rao SC, Mishra BB, Kalandoor MV, et al,
(2017). Comprehensive cardiopulmonary life support (CCLS) for
cardiopulmonary resuscitation by trained paramedics and medics inside the
hospital. Indian J Anaesth ;61:883-94
Georgaka D, Mparparousi M, Vitos M. (2012). Early Warning Systems. Hospital
Chonicles 1: 37–43.
Maharjan RK, A. (2014). Ethical Analysis of Medical Futility in Cardiopulmonary
Resuscitation. Journal of Clinical Research & Bioethics, 05(03).
Mathukia, C., Fan, W., Vadyak, K., Biege, C. and Krishnamurthy, M. (2015).
Modified Early Warning System improves patient safety and clinical outcomes
in an academic community hospital. Journal of Community Hospital Internal
Medicine Perspectives, 5(2), p.26716.
Institute For Clinical Systems Improvement, (2011). Health Care Protocol: Rapid
Response Team, 3RD ed. Bloomington.
Monangi S, Setlur R, Ramanathan R, Bhasin S, Dhar M, (2018). Analysis of
functioning and efficiency of a code blue system in a tertiary care hospital.
Saudi J Anaesth; 12:245-9.
28
Kilgannon, J. H., Kirchhoff, M., Pierce, L., Aunchman, N., Trzeciak, S., & Roberts,
B. W. (2016). Association between chest compression rates and clinical
outcomes following in-hospital cardiac arrest at an academic tertiary hospital.
Resuscitation, 110, 154-161.
Royal Brisbance & Women’s Hospital Health Service District, (2007). Code blue
Manual. RBWH Publisher, Herston
Saed, MD & Amin, M. (2011). Code Blue System. Emergency
and Trauma Departmrnt, Hospital Sultanah Aminah Johor Bahru.
Singh S, Sharma DK, Bhoi S, Sardana SR, Chauhan S., (2015). Code blue Policy
for a Tertiary Care Trauma Hospital in India. Int J Res Foundation Hosp
Healthc Adm; 3(2); 114-122.
The American National Red Cross, (2015). Basic Life Support for Healthcare
Providers. Staywell, United States.
Vindigni, S. M., Lessing, J. N., & Carlbom, D. J. (2017). Hospital resuscitation
teams: a review of the risks to the healthcare worker. Journal of intensive care,
5, 59.
top related