case koas interna rsmm
Post on 11-Dec-2015
57 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
KASUS
STATUS PASIEN
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Umur : 23
Jenis Kelamin : laki-laki
Alamat : jl. Kelor Utama Ujung RT 08/04, Kota Bogor
Status : Belum Nikah
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Suku : -
2. ANAMANESIS LENGKAP
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada hari Selasa, 2 September 2014 pukul
07.30 WIB.
Keluhan Utama
Nyeri ulu hati sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
Keluhan Tambahan
Mual (+)
Pusing (+)
Lemas (+)
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke UGD RSMM pada hari Minggu, 31 Agustus 2014 membawa
hasil pemeriksaan laboratorium dari Dinas Kesehatan dengan hasil pemeriksaan
widal positif. Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri yang dirasakan pasien seperti ditusuk-tusuk. Keluhan 1
utama pasien disertai perut mual, badan lemas, dan kepala pusing. Pasien merasa
BAB tidak ada keluhan serta BAK tidak ada keluhan, dan tidak muntah. Pasien
menyangkal adanya demam selama keluhannya dan perdarahan spontan seperti
mimisan atau gusi berdarah. Pasien tidak sesak, tidak ada batuk pilek, dan tidak
ada nyeri dada.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
DBD
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah : Diabetes Melitus, Hipertensi
Ibu : -
d. Riwayat Pribadi
Pasien tidak keluar kota dalam 6 bulan terakhir sebelum saki
Pasien terkadang membeli makanan-makanan di pinggir jalan.
e. Riwayat Pengobatan
-
2
3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Sakit : Tampak sakit sedang
Keadaan Gizi : Baik
Tanda Vital
o Tekanan Darah : 110/70 mmHg
o Nadi : 80x/menit
o Suhu : 35,9°C
o Pernapasan : 16x/menit
Status Generalis
o Kulit
Warna : Sawo matang
Keringat : Umum
Efloresensi : -
Jaringan Parut : -
Pigmentasi : -
Suhu raba : lenbab, hangat
Ikterus : -
o Kepala
Simetri muka: Simetris
Rambut: Hitam, distribusi normal
Deformitas: -
Nyeri: -
o Mata
Eksophtalmus/endophtalmus : -
Gerakan : Dalam batas normal
Tekanan bola mata : Dalam batas normal
Palpebra : Dalam batas normal
Konjungtiva : Anemis -/-
Sklera : Ikterik -/-
Kornea : Jernih
Lensa : Bening
Visus : Tidak dilakukan pemeriksaan
Lapang pandang : Tidak dilakukan pemeriksaan
3
o Telinga
Daun telinga : Deformitas -/-, hiperemis -/-, tofi -/-, nyeri tarik & tekan -/-
Retroaurikuler : hiperemis -/-, fistel -/-, nyeri tekan -/-
Liang telinga : serumen +/+, sekret -/-
Membran timpani : Tidak dilakukan pemeriksaan
o Hidung
Bentuk luar : Simetris
Abses/trauma/deformitas : -/-
Vestibulum nasi : sekret -/-
Nyeri tekan sinus paranasalis : -/-
o Mulut dan Tenggorokan
Bibir: Dalam batas normal
Lidah: kotor pada permukaan atas lidah
Mukosa mulut: Dalam batas normal
Arkus faring: Simetris
Faring: tidak hiperemis
Tonsil: T1-T1, kripta -/-, detritus -/-
o Leher
Tidak teraba perbesaran KGB leher
JVP dalam batas normal
o Thoraks
Pulmo
Inspeksi
Statis : Kanan dan kiri simetris, Barrel’s Chest (-)
Dinamis : Kanan dan kiri simetris saat inspirasi
Ruam/efloresensi : -
Sela iga: Dalam batas normal
Palpasi
Vocal Fremitus kuat dan simetris pada dinding thoraks kanan & kiri
Nyeri (-)
Perkusi
Sonor
Batas paru hepar setinggi ICS 6 dengan peranjakan setinggi ICS 7
Auskultasi
4
Suara napas vesikuler, kuat pada thoraks kanan & kiri
Ronkhi -/-, wheezing -/-
Cor
Inspeksi
Ictus cordis (-)
Palpasi
Ictus cordis (+) dengan punctum maksimum setinggi ICS 5 garis midclavikularis kiri
Perkusi
Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi
Bunyi jantung I-II reguler
Murmur (-), Gallop (-)
o Abdomen
Inspeksi
Datar, jaringan parut (-)
Ruam/efloresensi (-)
Venektasi (-), ikterik (-)
Gerakan peristaltik tidak tampak
Palpasi
Generalis
Supel
Nyeri tekan epigastrium (+)
Hepar
Tidak teraba
Lien
Tidak teraba
Ginjal
Ballotement (-)
Lain-lain
(-)
Perkusi
Timpani pada seluruh lapang abdomen
Auskultasi
Bisuing Usus (+) Normal
o Punggung
Inspeksi
Deformitas (lordosis, skoliosis, kifosis) tidak ada5
Ruam/efloresensi (+)
Palpasi
Vocal Fremitus simetris, thoraks kanan dan kiri kuat
Perkusi
Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi
Suara napas vesikuler, kuat pada thoraks kanan & kiri
Ronkhi -/-, wheezing -/-
Nyeri Ketok CVA
Negatif (-/-)
Gerakan
Dalam batas normal
Lain-lain
(-)
o Ekstremitas
Atas
Akral hangat (+/+)
Akral sianosis (-/-)
Ikterik (-/-)
Ruam/efloresensi (-/-)
Oedem (-/-)
Deformitas (-/-)
Krepitasi (-/-)
Nyeri (-/-)
Bawah
Akral hangat (+/+)
Akral sianosis (-/-)
Ikterik (-/-)
Ruam/efloresensi (-/-)
Oedem (-/-)
Deformitas (-/-)
Krepitasi (-/-)
Nyeri (-/-)
6
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium
Haematologi 31 – 8 – 2014 1 – 9 – 2014 2 – 9 – 2014
Haemoglobin 15,4 g/dl 15,1 g/dl 15,2 g/dl
Leukosit 7.870 /mm3 8.460 /mm3 6.720 /mm3
Trombosit 185.000 /mm3 167.000 /mm3 163.000 /mm3
Haematokrit 43 % 45 % 44 %
Kimia Darah
SGOT 37 U/I - -
SGPT 44 U/I - -
Ureum 23 mg/dl - -
Kreatinin 0,78 mg/dl - -
GDS 122 mg/dl - -
Serologi
Widal
O. Antigen
S, Typhosa + 1/320 - -
S. Paratyphii A + 1/160 - -
S. Paratyphii B + 1/160 - -
S. Paratyphii C Negatif - -
H. Antigen
S, Typhosa Negatif
S. Paratyphii A 1/320
S. Paratyphii B Negatif
S. Paratyphii C Negatif
7
4. RESUME Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien datang membawa hasil pemeriksaan lab dengan hasil pemeriksaan
widal positif. Keluhan utama pasien disertai keluhan mual, badan lemas, dan
kepala pusing. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien menyangkal adanya
demam selama keluhan utama.
Pemeriksaan Fisik Mulut : Lidah kotor Abdomen : Nyeri tekan epigastrium (+)
Pemeriksaan Penunjang
Serologi
Widal
O. Antigen
S, Typhosa + 1/320 - -
S. Paratyphii A + 1/160 - -
S. Paratyphii B + 1/160 - -
S. Paratyphii C Negatif - -
H. Antigen
S, Typhosa Negatif
S. Paratyphii A 1/320
S. Paratyphii B Negatif
S. Paratyphii C Negatif
8
5. MASALAH
Nyeri ulu hati
Pemeriksaan widal positif
6. PENGKAJIAN
Nyeri ulu hati
Mual (+)
Nyeri tekan Epigastrium (+)
Diagnosis Kerja : Sindroma Dispepsia
Diagnosis Banding : Gastroenteritis
Pemeriksaan Widal positif
Mual (+)
Pusing (+)
Badan lemas (+)
Lidah kotor (Typhoid tounge)
Diagnosis Kerja : Demam Typhoid
Diagnosis Banding : Demam Dengue
Malaria
7. RENCANA Non Medikamentosa
o Rawat inap
o Tirah baring
o Asupan cairan dan nutrisi yang cukup
o Menghindari makanan-makanan yang pedas, asam, dan bersantan.
9
Medikamentosa
o Ringer Laktat 500ml 4 kolf @30 TPM
o Lansoprazole 30 mg 1 x 1
o Levofloksasin 500 mg 1 x 1 No. VII
o Parasetamol 500mg 3 x 1
8. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad Bonam
Ad Sanationam : ad Bonam
Ad Fungsionam : ad Bonam
9. KESIMPULAN
Pasien datang ke UGD RSMM dengan keluhan nyeri ulu hati disertai mual, badan
lemas dan kepala pusing.pasien datang membawa hasi pemeriksaan laboratorium
dengan hasil pemeriksaan widal positif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
gambaraan lidah kotor atau typhoid tounge dan nyeri tekan epigastrium positif. Pada
pasien ini terdiagnosis penyakit demam typhoid dan sindroma dispepsia. Pasien
diberlakukan rawat inap dan istirahat tirah baring dengan asupan gizi dan cairan yang
cukup. Pasien diberikan terapi cairan rumatan Ringer laktat, pengobatan simptomatik
seperti lansoprazole 30 mg dan paracetamol 500 mg, disertai pengobatan antibiotik
levofloksasin 500 mg selama 7 hari. Pada pasien ini diharapkan menuju prognosis
yang baik secara keseluruhan dilihat dari keadaan umum dan pengobatan yang
adekuat untuk pasien.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PEMBAHASAN
A. Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gramnegatif, mempunyai
flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen
somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan
envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan
endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan
dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.
B. Patogenesis
Bakteri salmonella typhi bersama makanan / minuman masuk ke dalam tubuh melalui
mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati.
Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor
histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis
infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat
pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus,
tepatnya di ileum dan yeyenum.
Setelah berada dalam usus halus, kuman mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus
halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesentrika. Setelah menyebabkan
peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (bakteremia
primer) menuju organ retikuloendotelial system (RES) terutama hati dan limfa. Di tempat ini,
kuman di fagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit akan berkembang
biak. Pada akhir masa inkubasi, berkisar 5 – 9 hari, kuman kembali masuk ke darah menyebar
ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder), dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama
limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung
empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus. Dalam masa baktremia ini,
kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama dengan antigen somatik
11
(lipopolisakarida), yang semula di duga bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala
dari demam tifoid.
Pada penelitian lebih lanjut terutama endotoksin hanya mempunyai peranan
membantu proses peradangan lokal. Pada keadaan tersebut, kuman ini berkembang.
Demam tifoid disebabkan oleh salmonella thyposa dan endotoksinnya yang
merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.
Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah memengaruhi pusat termuregulator di
hipotalamus yang mengekibatkan timbulnya gejala demam.
Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya manifestasi
klinis sebagai berikut : makrofag pada penderita akan menghasilkan substansi aktif yang
disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan nekrosis seluler dan
merangsang sistem imun, instabilasi vaskuler, depresi sumsum tulang dan panas.
Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh makrofag
yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah terdegenerasi yang dikenal sebagai
sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul. Nodul ini sering didapatkan dalam
usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa, hati sumsum tulang dan organ-organ yang
terinfeksi.
Kelainan utama terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu
pertama), nekrosis (minggu kedua) dan ulserasi (minggu ketiga) serta bila sembuh tanpa
adanya pembentukan jaringan parut. Sifat ulkus berbentuk bulat lonjong sejajar dengan
sumbu panjang usus dan ulkus ini dapat menyebabkan perdarahan bahkan perforasi.
Gambaran tersebut tidak didapatka pada kasus demam tofoid yang menyerang bayi maupun
tifoid kongenital.
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis,
akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada
penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek
3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan
jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita.
12
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-
gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
Demam satu minggu atau lebih.
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua,
gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati
dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai
berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa,
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang
tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih
pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna merah
pucat serta hilang pada penekanan.
Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella,
dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian
fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5 mm,
sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang
kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada
hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.
13
D. Gambaran Darah Tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia,
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah.
Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai
komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan
limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung
pada perjalanan penyakitnya.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem
normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.
E. Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan
kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala
konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,
pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan
gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya
terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi.
Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan,
nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium.
Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan
dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan
abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak
ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan
letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya
ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis
bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam
tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium
untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi,
14
bakteriologis, dan serologis. Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan
laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu
Isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen
penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose
spot.
Berkaitan dengan patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam
darah dan sumsum tulang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya
didalam urin dan tinja. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung beberapa
faktor. Faktor tersebut adalah (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan
volume darah dan media empedu, serta (3) waktu pengambilan darah. Untuk
menetralisir efek bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat
kuman pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu
pengambilan darah paling baik adalah pada saat demam tinggi atau sebelum
pemakaian antibiotik, karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar
ditemukan di dalam darah.
Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada minggu pertama
sakit, sedangkan pada akhir minggu ke-tiga, biakan darah positif hanya pada 10%
penderita. Setelah minggu ke-empat penyakit, sangat jarang ditemukan kuman di
dalam darah. Bila terjadi relaps, maka biakan darah akan positif kembali.
Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan.
Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam
setelah pemberian, sedangkan kuman di dalam sumsum tulang lebih sukar dimatikan.
Oleh karena itu pemeriksaan biakan darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian
antibiotik.
Walaupun metoda biakan kuman S.typhi sebenarnya amat diagnostik namun
memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan
kesehatan sederhana yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap.
Uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan
menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi.
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal
15
terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda
ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi
maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa
tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh,
aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya
menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi
cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis
infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji
widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus
benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak
senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada
titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau,
sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat
timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
dengan penderita dan faktor teknis.
16
a) Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
b) Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
1. Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling sering
di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh dalam 5 hari –> tes
Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
2. Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C)
memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis
bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).
Pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi.
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk
mendeteksi antibodi S. typhi dalam serum, antigen terhadap S. Typhi dalam darah,
serum dan urin bahkan DNA S. typhi dalam darah dan feses. Polimerase chain
reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella ser. Typhi secara
sfesifik pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam.
Metode ini spesifik dan lebih sensitif dibandingkan dengan biakan darah. Walaupun
laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang
tidak salah satupun dipakai secara luas.
17
F. Dignosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat
menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler
seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga
perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit
hodgkin dapat sebagai dignosis banding.
G. Penyulit (Komplikasi)
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5 – 3%, sedangkan perdarahan
usus pada 1 – 10% kasus dema tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3
sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi di dahului dengan
penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus
ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga
nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen,
defance muskulare, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain.
Beberapa kasus perforasi usus halus mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.
Dilaporkan pada kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar
bermanifestasi gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma.
Beberapa penulis mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri dengan prognosis buruk.
Penyakit neurologi lain adalah rombosis sereberal, afasia, ataksia sereberal akut, tuli, mielitis
tranversal, neuritis perifer maupun kranial, meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillain-
Barre. Dari berbagai penyakit neurologik yang terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang
permanen (sekuele).
Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T
pada EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa
asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid ditandai peningkatan kadar
transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar
transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang
terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu
empedu dan fenomena pembawa kuman (karies).
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin
pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan
18
penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis
yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai
prognosis buruk. Pneumonia sebagai komplikasi sering dijumpai pada demam tifoid.
Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh kuman Salmonella typhi, namun sering kali sebagai
akibat infeksi sekunder oleh kuman lain. Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah
trombositopenia, koagulasi intrvaskular diseminata, Hemolytic Uremic Syndrome (HUS),
fokal infeksi di beberapa lokasi sebagai akibat bakteremia misalnya infeksi pada tulang, otak,
hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian.
Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang
lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali dua minggu setelah
penghentian antiboitik. Namun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium konvalsens,
saat pasien tidak demam akan tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam pengobatan
antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya
dan lebih singkat.
H. Penatalaksanaan
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati dirumah dengan tirah baring, isolasi
yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan
untuk kasus berat harus dirawat dirumah sakit agar pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit
serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan
seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya
patogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia.
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain :
Kloramfenikol
Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella terhadap
Kloramfenikol di berbagai daerah, Kloramfenikol tetap digunakan sebagai obat pilihan pada
kasus demam tifoid. Sejak ditemukannya obat ini oleh Burkoder sampai saat ini belum ada
obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat disamping harganya murah
dan terjangkau oleh penderita. Kekurangan kloramfenikol antara lain ialah reaksi
hipersensitifitas, reaksi toksik, grey syndrome, kolaps, dan tidak bermanfaat untuk
pengobatan karier.
19
Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis. Dosis yang
dianjurkan ialah 50 – 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari. Untuk neonatus, penggunaan
obat ini sebaiknya dihindari, dan bila terpaksa, dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB/hari,
selama 10 hari.
Tiamfenikol
Tiamfenikol mempunyai efek yang sama dengan Kloramfenikol karena susunan
kimianya hampir sama dan hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian
Tiamfenikol, demam turun setelah 5 – 6 hari. Komplikasi hematologi pada penggunaan
Tiamfenikol jarang dilaporkan.
Dosis oral dianjurkan 50 – 100 mg/kgBB/hsri, selama 10 – 14 hari.
Kotrimoksasol
Pendapat mengenai Efektifitas kotrimksasol terhadap demam tifoid masih
kontroversial. Kelebihan kotrimoksasol antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten
terhadap kloamfenikol, penyerapan di usus cukup baik, dan kemungkinan timbulnya
kakambuhan pengobatan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Kelemahannya
ialah dapat terjadi skin rash (1 – 15%), sindrom Steven Johnson, agranulositosis,
trombositopenia, anemia megaloblastik, hemolisis eritrosit terutama pada penderita G6PD,
Dosis oral yang dianjurkan adalah 30 – 40 mg/kgBB/hari. Sulfametoksazol dan 6 – 8
mg/kgBB/hari untuk Trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian, selama 10 – 14 hari.
Ampisilin dan Amoksisilin
Merupakan derivat Penisilin yang digunakan pada pengobatan demam tifoid, terutama
pada kasus yang resisten terhadap Kloramfenikol. Pernah dilaporkan adanya Salmonella yang
resisten terhadap Ampisilin di Thailand.
Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan dengan
Kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang toksik.
Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3 – 18%), dan diare (11%).
20
Ampisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan Ampisilin, terapi
penyerapan peroral lebih baik sehingga kadar oabat yang tercapai 2 kali lebih tinggi, dan
lebih sedikit timbulnya kekambuhan (2 – 5%) dan karier (0 – 5%).
Dosis yang dianjurkan adalah :
o Ampisilin 100 – 200 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.
o Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.
Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak memberikan
keuntungan yang lebih baik bila diberikan obat tunggal.
Seftriakson
Dosis yang dianjurkan adalah 50 – 100 mg/kgBB/hari, tunggal atau dalam 2 dosis iv.
Sefotaksim
Dosis yang dianjurkan adalah 150 – 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3- 4 dosis iv.
Siprofloksasin
Dosis yang dianjurkan adalah 2 x 200 – 400 mg oral pada anak berumur lebih dari 10 tahun.
Levofloksasin
Dosis yang dianjurkan adalah 1 x 500 mg oral selama 7 hari.
I. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Dinegara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%,
biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi
seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis dan
pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser. Typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak
rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1 – 5% dari seluruh pasien
demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibanding
21
dengan populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan
dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.
J. Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap
individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi.
Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57°C untuk beberapa menit
atau dengan proses iodinasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57°C beberapa menit dan secara merata juga
dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah
tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah
serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu
menekan angka kejadian demam tifoid.
K. Vaksin Demam Tifoid
Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang
berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin
yang berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB
Vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subcutan; namun
vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal
pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup
yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan peroral tiga kali dengan interval pemberian selang
sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin ini diberikan pada anak berumur diatas 2
tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Pada penelitian
dilapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi
penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan
intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.
22
BAB III
KESIMPULAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Bakteri salmonella typhi bersama makanan / minuman masuk ke
dalam tubuh melalui mulut.
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-
gejala yang timbul adalah :
Demam satu minggu atau lebih.
Gangguan saluran pencernaan.
Gangguan kesadaran.
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam
tiga kelompok, yaitu:
o Isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen
penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose
spot.
o Uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan
menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi.
o Pemeriksaan melacak DNA kuman S.typhi.
Kloramfenikol digunakan sebagai obat pilihan pada kasus demam tifoid.
Pencegahannya adalah higiene pribadi yang baik dan Imunisasi serta vaksinasi aktif dapat
membantu menekan angka kejadian demam tifoid.
23
DAFTAR PUSTAKA
Soedarmo, Poorwo, SS, dkk ; penyunting : Buku ajar Infeksi dan Pediatri Tropis; Edisi
kedua; Ikatan Dokter Anak Indonesia 2010, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, Jakarta
: 2010.
Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15- Jakarta: EGC, 1999.
Aru W, Sudoyo, dkk ; editor ; Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Jilid III, edisi IV;
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta : 2007
Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003
Rampengan. T H : Penyakit infeksi Tropis pada Anak ; edisi 2. Jakarta : EGC 2007.
24
top related