bioekologi moluska dan krustasea - …fpik.bunghatta.ac.id/files/downloads/e-book/biologi laut jilid...
Post on 16-Feb-2018
244 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Bioekologi Molluska dan Krustasea
BAB 8
BIOEKOLOGI MOLUSKA DAN KRUSTASEA
1. MOLLUSKA
Ciri-ciri :
Hewan bertubuh lunak
Tidak bersegmen
Tidak beruas-ruas
Mempunyai lendir yang berfungsi dalam gerakan
Memiliki radula kecuali bivalvia
Mempunyai cangkang untuk perlindungan
Dibagi menjadi 7 kelas berdasarkan anatomi :
Monoplacapora : ch Neopilina
Polyplacopora : ch Chiton
Aplocopora : ch Chiton
Scaphophoda : ch Siput gading
Gastropoda : ch Bekicot, siput
Bivalvia : ch Kerang, tiram, lokan
Cephalopoda : ch Cumi-cumi, gurita
Distribusi di daerah mengrove
1. Ggolongan Gastropoda (dominan)
162
Bioekologi Molluska dan Krustasea
Famili :
Neritidae : dapat menghindari pada waktu pasang
Littorinidae : dapat menyesuaikan diri
Assiminidae : terdapat di daerah lumpur, berair dan terbuka
Potaminidae
Muricidae : terdapat didaerah kering, lembab, berpasir,
terendam
Onchidiidae
Ellobidae
2. Golongan Bivalvia
Polymessoda Sp
Ostrea Sp
Anadara sp
Berbatia sp
Gafrarium Sp
Eigmonia Sp
Distribusi moluska berdasarkan kehidupannya
Jenis moluska asli hutan mangrove
Adalah semua jenis moluska yang seluruh/sebagian besar waktu
hidup dewasanya dihabiskan di hutan mangrove. Ch :
Polymesoda sp, telescopium telescopium, nerita planospita, c.
quadradi, ellopium aurisguidae, tellina stawrella.
Jenis-jenis moluska fakultatif
163
Bioekologi Molluska dan Krustasea
Adalah jenis moluska yang menggunakan hutan mangrove
sebagai salah satu tempat hidupnya, terutama di bagian depan
hutan mangrove. Ch : Littorina scabra, cassastrea cuculata,
isognomo isognomum
Jenis-jenis moluska pengunjung
Adalah jenis moluska yang secara tidak sengaja berada di hutan
mangrove, umumnya hadir diperbatasan antara hutan mangrove
dan ekosistem hidupnya. Ch : Branchiodontes bilocularis,
lucina sp, barbatia sp.
Moluska daerah mangrove
Adaptasi :
Dengan cara menyimpan air dalam cangkang yang
digunakan untuk bernafas
Bergerak mencari tempat yang masih digenangi air
Memodifikasi alat pernafasan selain insang sehingga dapat
mengambil udara bebas
Kandungan air dalam tubuh cukup tinggi
Mempunyai toleransi terhadap perubahan salinitas
Mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kekeruhan
Molluska adalah hewan lunak dan tidak memiliki ruas.
Tubuh hewan ini tripoblastik, bilateral simetri, umumnya memiliki
mantel yang dapat menghasilkan bahan cangkok berupa kalsium
karbonat. Cangkok tersebut berfungsi sebagai rumah (rangka luar)
164
Bioekologi Molluska dan Krustasea
yang terbuat dari zat kapur misalnya kerang, tiram, siput sawah dan
bekicot. Namun ada pula Molluska yang tidak memiliki cangkok,
seperti cumi-cumi, sotong, gurita atau siput telanjang. Molluska
memiliki struktur berotot yang disebut kaki yang bentuk dan
fungsinya berbeda untuk setiap kelasnya.
Gambar 51
(a) kerang, (b) siput, (c) cumi-cumi
Cangkok kerang ini terdiri dari dua belahan, sedangkan
cangkok siput berbentuk seperti kerucut yang melingkar. Perbedaan
lainnya, kaki siput tipis dan rata. Fungsinya adalah untuk berjalan
dengan cara kontraksi otot. Lain halnya dengan kerang yang
mempunyai kaki seperti mata kapak yang dipergunakan untuk
berjalan di lumpur atau pasir. Sementara itu cumi-cumi dan sotong
tidak punya cangkok, kakinya terletak di bagian kepala yang
berfungsi untuk menangkap mangsa.
Molluska memiliki alat pencernaan sempurna mulai dari
mulut yang mempunyai radula (lidah parut) sampai dengan anus
terbuka di daerah rongga mantel. Di samping itu juga terdapat
165
Bioekologi Molluska dan Krustasea
kelenjar pencernaan yang sudah berkembang baik. Peredaran darah
terbuka ini terjadi pada semua kelas Molluska kecuali kelas
Cephalopoda.
Pernafasan dilakukan dengan menggunakan insang atau
“paru-paru”, mantel atau oleh bagian epidermis. Alat ekskresi
berupa ginjal. Sistem saraf terdiri atas tiga pasang ganglion yaitu
ganglion cerebral, ganglion visceral dan ganglion pedal yang
ketiganya dihubungkan oleh tali-tali saraf longitudinal. Alat
reproduksi umumnya terpisah atau bersatu dan pembuahan internal
atau eksternal.
Gambar 52
Kelas Bivalvia atau Pelecypoda
Kerang yang hidup di laut dan remis yang hidup di air
tawar adalah contoh kelas Bivalvia. Hewan Bivalvia bisa hidup di
166
Bioekologi Molluska dan Krustasea
air tawar, dasar laut, danau, kolam, atau sungai yang lainnya banyak
mengandung zat kapur. Zat kapur ini digunakan untuk membuat
cangkoknya.
Gambar 53
Struktur luar kerang
Hewan ini memiliki dua kutub (bi = dua, valve = kutub)
yang dihubungkan oleh semacam engsel, sehingga disebut Bivalvia.
Kelas ini mempunyai dua cangkok yang dapat membuka dan
menutup dengan menggunakan otot aduktor dalam tubuhnya.
Cangkok ini berfungsi untuk melindungi tubuh. Cangkok di bagian
dorsal tebal dan di bagian ventral tipis. Kepalanya tidak nampak dan
kakinya berotot. Fungsi kaki untuk merayap dan menggali lumpur
atau pasir.
167
Bioekologi Molluska dan Krustasea
Cangkok ini terdiri dari tiga lapisan, yaitu :
1. Periostrakum adalah lapisan terluar dari zat kitin yang
berfungsi sebagai pelindung.
2. Lapisan prismatik, tersusun dari kristal-kristal kapur yang
berbentuk prisma.
3. Lapisan nakreas atau sering disebut lapisan induk mutiara,
tersusun dari lapisan kalsit (karbonat) yang tipis dan
paralel.
Gambar 54
(A) Penampang melintang tubuh Pelecypoda
(B) Penampang melintang cangkok dan mantel
Kaki hewan ini berbentuk seperti kapak pipih yang dapat
dijulurkan ke luar. Hal ini sesuai dengan arti Pelecypoda (pelekis =
kapak kecil; podos = kaki). Kerang bernafas dengan dua buah
insang dan bagian mantel. Insang ini berbentuk lembaran-lembaran
(lamela) yang banyak mengandung batang insang. Sementara itu
168
Bioekologi Molluska dan Krustasea
antara tubuh dan mantel terdapat rongga mantel. Rongga ini
merupakan jalan masuk keluarnya air.
Sistem pencernaan dimulai dari mulut, kerongkongan, lambung,
usus dan akhirnya bermuara pada anus. Anus ini terdapat di saluran
yang sama dengan saluran untuk keluarnya air. Sedangkan makanan
golongan hewan kerang ini adalah hewan-hewan kecil yang terdapat
dalam perairan berupa protozoa diatom, dll. Makanan ini dicerna di
lambung dengan bantuan getah pencernaan dan hati. Sisa-sisa
makanan dikeluarkan melalui anus.
Kelas Gastropoda
Siput (Lymnea) dan bekicot (Achatina) adalah jenis hewan
kelas Gastropoda. Jenis hewan ini juga ada yang hidup di laut, air
tawar dan banyak pula yang hidup di darat. Gastropoda merupakan
kelas Molluska yang terbesar dan populer. Ada sekitar 50.000
jenis/spesies Gastropoda yang masih hidup dan 15.000 jenis yang
telah menjadi fosil. Karena banyaknya jenis Gastropoda, maka
hewan ini mudah ditemukan.
Sebagian besar Gastropoda mempunyai cangkok (rumah)
dan berbentuk kerucut terpilin (spiral). Bentuk tubuhnya sesuai
dengan bentuk cangkok. Padahal waktu larva, bentuk tubuhnya
simetri bilateral. Namun ada pula Gastropoda yang tidak memiliki
cangkok, sehingga sering disebut siput telanjang (vaginula). Hewan
ini terdapat di laut dan ada pula yang hidup di darat.
169
Bioekologi Molluska dan Krustasea
Gaster artinya perut, dan podos artinya kaki. Jadi Gastropoda adalah
hewan yang bertubuh lunak, berjalan dengan perut yang dalam hal
ini disebut kaki. Gerakan Gastropoda disebabkan oleh kontraksi-
kontraksi otot seperti gelombang, dimulai dari belakang menjalar ke
depan. Pada waktu bergerak, kaki bagian depan memiliki kelenjar
untuk menghasilkan lendir yang berfungsi untuk mempermudah
berjalan, sehingga jalannya meninggalkan bekas. Hewan ini dapat
bergerak secara mengagumkan, yaitu memanjat ke pohon tinggi atau
memanjat ke bagian pisau cukur tanpa teriris
Di kepala siput terdapat sepasang tentakel panjang dan
sepasang tentakel pendek. Pada tentakel panjang, terdapat mata.
Mata ini hanya berfungsi untuk membedakan gelap dan terang.
Sedangkan pada tentakel pendek berfungsi sebagai indera peraba
dan pembau. Sistem pencernaan dimulai dari mulut yang dilengkapi
dengan rahang dari zat tanduk. Di dalam mulut terdapat lidah parut
atau radula dengan gigi-gigi kecil dari kitin. Selanjutnya terdapat
kerongkongan, kemudian lambung yang bulat, usus halus dan
berakhir di anus. Gastropoda umumnya pemakan tumbuh-tumbuhan
atau disebut hewan herbivora. Pernafasan bagi Gastropoda yang
hidup di darat menggunakan paru-paru, sedangkan Gastropoda yang
hidup di air, bernafas dengan insang.
Alat ekskresi berupa sebuah ginjal yang terletak dekat
jantung. Hasil ekskresi dikeluarkan ke dalam rongga mantel. Sistem
peredaran darah adalah sistem peredaran darah terbuka. Jantung
170
Bioekologi Molluska dan Krustasea
terdiri dari serambi dan bilik (ventrikel) yang terletak dalam rongga
tubuh. Sistem saraf terdiri atas tiga buah ganglion utama yakni
ganglion otak (ganglion cerebral), ganglion visceral atau ganglion
organ-organ dalam dan ganglion kaki (pedal). Ketiga ganglion
utama ini dihubungkan oleh tali saraf longitudinal, sedangkan tali
saraf longitudinal ini dihubungkan oleh saraf transversal ke seluruh
bagian tubuh. Di dalam ganglion pedal terdapat statosit (statocyst)
yang berfungsi sebagai alat keseimbangan.
Gastropoda mempunyai alat reproduksi jantan dan betina
yang bergabung atau disebut juga ovotestes. Gastropoda adalah
hewan hemafrodit, tetapi tidak mampu melakukan autofertilisasi.
Beberapa contoh Gastropoda adalah bekicot (Achatina fulica), siput
air tawar (Lemnaea javanica), siput laut (Fissurella sp), dan siput
perantara fasciolosis (Lemnaea trunculata).
Peranan Molluska
Banyak orang yang suka makan cumi-cumi, kerang,
bekicot, keong atau sotong Alasannya cukup sederhana, di samping
rasanya enak, ternyata hewan ini memiliki kandungan protein yang
tinggi. Hewan ini juga bisa dibudidayakan tutut, bekicot atau keong
dapat dipelihara di kolam.
Selain sebagai bahan makanan yang bergizi, cangkok
hewan ini bisa dimanfaatkan untuk membuat hiasan dinding,
171
Bioekologi Molluska dan Krustasea
perhiasan wanita, atau dibuat kancing. Ada pula yang suka
mengumpulkan berbagai macam cangkang Molluska untuk koleksi
atau perhiasan. Bahkan ada cangkang Molluska yang digunakan
untuk bahan mainan, seperti kuwuk.
Sejak abad ke-17 mutiara merupakan barang perhiasan
mewah yang diburu kaum jutawan dan harganya cukup mahal.
Mutiara dihasilkan dari tiram mutiara seperti Pinctada
margaritifera dan Pinctada mertensi dari kelas Pelecypoda
(Bivalvia).
Mutiara ini ada yang dihasilkan secara alami, dan adapula
yang dibudidayakan. Saat ini banyak orang yang membudidayakan
tiram untuk menghasilkan mutiara. Caranya, benda asing (kerikil,
pasir atau arang) dimasukkan diantara mantel dan cangkok tiram.
Ketika benda asing itu ada di tubuhnya, tiram berusaha
mengeluarkan dengan cara membungkusnya dengan lendir. Lendir
ini akhirnya mengeras dan menjadi mutiara.
Gambar 55
172
Bioekologi Molluska dan Krustasea
Perhiasan yang dibuat dari mutiara
Di samping menguntungkan, ternyata ada beberapa jenis
Molluska yang merugikan. Misalnya keong mas adalah musuh para
petani yang sering merusak tanaman padi. Begitu pula bekicot
Achatina fulica merupakan hama tanaman yang sulit diberantas.
2. KRUSTASEA
Keanekaragaman spesies krustasea (jenis udang, kepiting,
dan kelomang) diperkirakan mencapai lebih dari 1.502 spesies. Dari
jumlah tersebut terdapat 83 jenis udang yang termasuk suku
Penaeidae (Crosnier, 1984 dalam Sumiono dan Priyono, 1998).
Yang umum dikenal masyarakat karena jenis-jenis tersebut
dikonsumsi, dan dalam perdagangan dikategorikan sebagai spesies
ekonomis penting, diperkirakan ada 11 spesies kepiting dan
rajungan.
Jenis-jenis udang karang juga memiliki siklus yang rumit,
dan sesuai dengan namanya habitat mereka adalah ekosistem
terumbu karang. Karena hidup di daerah yang sangat dinamis untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya, setiap memijah seekor
udang karang rata-rata menghasilkan 400000 butir telur, dan dalam
setiap fase siklus hidupnya, bentuk dan sifat larva udang karang
sangat berbeda dengan fase dewasanya.
173
Bioekologi Molluska dan Krustasea
Potensi lestari udang karang (lobster) diperairan Indonesia
mencapai 4.800 ton per tahun dengan tingkat produksi 4.080 ton per
tahun artinya tingkat pemanfaatan sumber daya lobster secara umum
telah mendekati tingkat optimum (85%) (BRKP-DKP dan P3O-
LIPI, 2001). Beberapa daerah yang telah mengalami tingkat
permanfaatan sumberdaya lobster lebih dari 100% adalah perairan di
selat malaka, laut cina selatan, laut jawa, dan laut arafura.
Dari sekian banyak udang laut (Penaeidae) yang terdapat di
Indonesia, ada 11 jenis yang dapat dikategorikan mempunyai nilai
niaga penting. Umumnya terdiri dari dua marga yakni Penaeus dan
Metapenaeus. Mereka tidak hanya terdapat di laut, tetapi juga
sampai ke tambak-tambak. Bahkan sekarang udang telah banyak
dibudidayakan. Udang yang dipelihara di tambak antara lain udang
windu (Penaeus monodon), udang putih (Penaeus merguiensis d
Penaeus indicus), udang api-api' (Metapenaeus monoceros clan
Metapenaeus ensis), udang cendana (Afetapenaeus brevicornis) dan
udang krosok (Metapenaeus burkenroadi).
Di antara jenis-jenis tersebut di atas yang paling banyak
terdapat dalam tambak adalah Metapenaeus ensis, kemudian
Penaoemus me guiensis, kadang-kadang juga terdapat Metapenaeus
brevicornt's pada tambak-tambak tertentu. Khusus di daerah Aceh
Penaeus indcus merupakan jenis yang merajai jenis-jenis lain hanya
merupkan populasi yang tak berarti jumlahnya.
Dalam pengusahaan secara komersial, yang diutamakan
adalah Penaeus monodon dan Penaeus merguiensis, karena kedua
174
Bioekologi Molluska dan Krustasea
jenis inilah yang dapat mencapai ukuran besar dan mempunyai
pasaran yang baik untuk ekspor.
Dalam alam, udang laut menjalani dua fase kehidup an
yaitu fase di tengah laut dan fase di perairan muara. Fase di tengah
laut ada. lah fase dewasa, kawin dan bertelur. Beberapa saat
sebelum kawin, udang betina terlebih dahulu berganti kulit. Induk
Penaeus mono don yang telah matang telur dapat ditemui di dasar
laut berpasil atau berlumpur, pada kedalaman sekitar 6-45 m. Induk
yang ma tang telur biasanya memijah pada malam hari dan telurnya
diletak, kan di dasar laut. Setiap induk Penaeus monodon dapat
menghasil kan telur sebanyak 150.000 butir, Penaeus merguiensis
100.000 butir dan Penaeus semisulcatus 300.000 butir. Diduga
bahwa Penaeus merguiensis dan Aletapenaeus enssis berpijah
sepanjang tahun tetapi terdapat puncak pada bulan-bulan tertentu.
Kira-kira 12 jam setelah dikeluarkan, telur menetas
menjadi larva yang pada stadium pertama disebut nauplius. Setelah
mengalami pergantian kulit bebera kali, nauplius kemudian menjadi
zoea. Pada stadium zoea, larva mulai mengambil makanan dari
sekitarnya. Giliran selanjutnya, bentuk zorea akan berubah lagi
menjadi mysis. Dari stadium mysis, larva bermetamorfose mejadi
stadium post larva. Anakan udang yang bersifat planktonik ini
kemudian berupaya migrasi ke pantai, cenderung ke perairan muara
sungai (gambar 56)
175
Bioekologi Molluska dan Krustasea
Gambar 56
Gambar 57
Pada stadium post-larva, anakan udang hidup merayap atau
melekat pada benda-benda dasar perairan. Di muara-muara sungai,
terlebih di perairan sekitar hutan mangrove, anakan udang ini
banyak ditemukun. Anakan udang ini hidup di situ dengan
176
Bioekologi Molluska dan Krustasea
menyeuaikan diri pada salinitas yang bervariasi antara 4-35%.
Untuk mencapai tingkat juwana (juvenil), Metapenaeus monoceros
melewati 12 tingkatan dengan 14-16 kali berganti kulit, sedangkan
Peaeus merguiensis melewati 14 tingkatan dengan 18-22 kali
berganti kulit. Udang muda ini segera akan kembali lagi ke laut
untuk tumbuh menjadi besar, dewasa, dan akhirnya memijah. Dari
menetas sampai mencapai stadium post larva diperlukan waktu
sebulan, dari post larva sampai ke jusvana sekitar 3-4 bulan,
sedangkan dari juwana hingga mencapai dewasa diperlukan svaktu
selama delapan bulan.
Makanan udang pada stadium larva adalah alga renik
(micro-algae) terutamna Diatornae. Selain itu juga berbagai jenis
zooplankton. Udang dikenal bersifat omnivor yang memakan bukan
saja tumbuhan dan hewan kecil tetapi juga detritus.
Hutan mangrove mempunyai peranan penting dalam daur
hidup udang karena perairan mangrove merupakan tempat asuhan
(nursery ground), tempat mencari makan dan tempat berlindung.
Oleh sebab itu daerah kegiatan penangkapan udang di laut (Gambar
3) mempunyai banyak persamaan dengan daerah sebaran hutan
mangrove. Penangkapan udang, laut di beberapa lokasi telah
berjalan dengan sangat intensif hingga telah mencapai atau melebihi
produksi lestari (sustainable yield), misalnya di beberapa tempat
pantai utara jawa, pesisir Kalimantan, Sumatra dan Irian jaya.
Selain udang-udang Penaeidae dikenal pula udang karang
atau karang atau udang barong (cray fish; spiny lobster) dari marga
Panulirus (Gambar 58). Perikanan udang karang ini belum
177
Bioekologi Molluska dan Krustasea
berkembang di Indonesia, padahal di Australia, udang, karang
memegang peranan penting sebag,ai komoditi ekspor. Di Indonesia
terdapat sedikitnya enam jenis udang karang dari marga Panulirus
yakni: udang pantung (Pantilirus homarus), udang bunga,
(Panulirus longipes), udang welang (Panulirus ornatus), udang
jaka. (Panulirus penicillatus), udang manis/barong (Panulirus
versicolor) dan Panulirus polyphagus.
Udang karang Panulirus ini juga mempunyai daur hidup
yang kompleks. Telur yang telah dibuahi menetas menjadi larva
dengan beberapa macarn tingkatan (stadium) yang berbeda pada tiap
jenis. Jumlah telur yang dihasilkan tiap ekor betina bisa mencapai
lebih ari 400.000 butir. Larvanya mempunyai bentuk yang sangat
berbeda dari yang dewasa. Larva pada stadium filosoma misalnya
mempunyai bentuk yang pipih seperti daun hingga mudah terbawa
arus (Gambar 59).
178
Bioekologi Molluska dan Krustasea
Gambar 58Udang Karang Panulurus
179
Bioekologi Molluska dan Krustasea
Gambar 59Larva udang karang tingkat VII
Udang karang Panulirus yang dewasa mempunyai ukuran
total hih 20 cm dan sering berganti kulit. Biasanya pergantian kulit
rjadi pada malam hari.
Udang karang ini aktif mencari makan pada malam hari.
Makanya terdiri dari berbagai jenis moluska, ekinodermata dan juga
ewan-hewan lainnya. Sebaliknya ia pun bisa menjadi mangsa hewan
lain misalnya oleh gurita (Octopus).
Penangkapan udang karang ini dilakukan dengan
menggunakan jaring perangkap, atau dengan penyelaman. Karena
ukurannya yang besar dan beberapa jenis mempunyai warna yang
indah seperti pada Panutirus versicolor, maka di pasaran banyak
180
Bioekologi Molluska dan Krustasea
pula dijual dalam bentuk yang telah dikeringkan atau diopset
sebagai bahan hiasan.
Masih dalam satu golongan dengan udang karang Panulirus
Seksi Macrura) dapat kita jumpai pula udang pasir (Thenus) dan
udang lumpur (Thalassina). Udang pasir (Thenus orientalis)
mempunyai bagian kepala yang gepeng melebar, matanya terletak
pada lekukan di pinggiran kepala sedangkan antenanya pendek
berupa kaki yang gepeng (Gambar 60). Sesuai namanya, udang ini
hidup di dasar yang berpasir dan sering pula tertangkap dalam pukat
para nelayan.
Udang lumpur (Thalassina anomala) terdapat banyak di
daerah mangrove, di sekitar batas tertinggi pasang surut. Udang
yang langsing panjang ini bisa berukuran lebih 15 cm. Ia biasanya
membuat bukit-bukit lumpur yang berbentuk kerucut yang cukup
tinggi kadang-kadang sampai setinggi lebih 50 cm. Lubang
persembunyiannya amat dalam dan bermuara di puncak kerucut
lumpur yang dibangunnya. Ia sukar dijumpai karena sangat jarang
ke luar lubangnya pada siang hari.
Udang brang, udang pasir dan udang lumpur, semuanya
tergolong dalam anak bangsa (sub-ordo) Reptantia, di bawah seksi
Macrura. Di bawah anak bangsa yang sama ini terdapat pula seksi
Anomura, yang penampilannya merupakan peralihan antara
Macmura dan Brachyura (kepiting). Beberapa contoh dari seksi
Anora ini antara lain kelomang (Pagurus), ketain kenari (Birgus latr
dan undur-undur (Emerita).
181
Bioekologi Molluska dan Krustasea
Kelomang (Pagurus) mempunyai tubuh yang lunak
(Gambar 61). Oleh karena itu ia biasanya mencari cangkang-
cangkang keong (Gastropoda) yang kosong yang terdampar di
pantai, kemudian ia masuk ke dalamnya untuk berlindung.
Cangkang keong seolah-olah menjadi rumahnya yang selalu
dibawanya ke mana-mana. Apabila merasa terancam ia
menyembunyikan dirinya ke dallam rongga cangkang tersebut.
Apabila ia menjadi makin besar dan telah sempit di cangkang yang.
lama, maka ia pun harus mencari cangkang lainnya yang lebih besar
sebagai tempat berlindung yang baru. Berpindah rumah ini adalah
saat yang paling rawan baginya dan karenanya biasanya
dilaksanakan dengan cepat di malam hari. Kelomang ini pemakan
bangkai hewan-hewan lain (scavenger) dan amat sering dijumpai di
pantai-pantai berpasir.
Ketam kenari (Birgus latro) mempunyai ukuran besar, bisa
sampai 30 cm atau lebih (Gambar 62). Dalam cerita-cerita lama di
sebutkan bahwa kenari ini mempunyai kemampuan untuk memanjat
pohon kelapa dan memetik buahnya. Oleh karena itu dalam istilah
Inggris disebut coconut crab. Di Indonesia ketam kenari hanya
terdapat di Kepulauan Togian sampai Kepulauan Talaud di Sulawesi
Utara, Maluku, Irian dan bagian timur Nusa Tenggara Timur. Ia
mencari makan di tanah antara lain berupa buah pandan, sukun,
kenari, bitung, ketapang, kelapa. Ikatannva dengan laut belum
terputus karena ia melepaskan telurnya di laut dan larvanya hidup
sebagai plankton. Dalam pertumbubannya kemudian ia baru kembali
naik ke darat.
182
Bioekologi Molluska dan Krustasea
Gambar 60Udang Pasir Thenus orientalis
183
Bioekologi Molluska dan Krustasea
Gambar 61Kelomang Pagurus berhardus
Gambar 62Ketam Kenari Birgus latro
Ketam kenari rasanva enak karena itu banyak diburu orang
hingga populasinya makin menyusut. Selain itu mush alaminya
184
Bioekologi Molluska dan Krustasea
adalah biawak, celeng, babi rusa. Introduksi hewan pemangsa
seperti anjing dan sebagainya oleh manusia ke suatu pulau dan
kedatangan kaum transmigran makin membuat ketam ini terancam
dan karenanya telah dipertimbangkan untuk dilindungi.
Gambar 63Undur-undur Emerita Sp
Undur-undur (Emerita sp) terdapat didaerah-daerah pantai
tertentu yang berpasir antara lain di pantai selatan Yogyakarta
(Gambar 63). Undur-undru biasa membenankan diri di pasir dengan
hanya memunculkan sungutnya saja untuk menangkap makanan
berupa plankton yang disapu ombak. Satu hal yang menarik ialah
bahwa hewan ini selalu berusaha berada tepat di bawah garis air
karenanya mereka bergerak menurut naik turunnya pasang
185
Bioekologi Molluska dan Krustasea
surut.Undur-undur bisa merupakan bahan makanan dan dibuat
rempeyek.
Gambar 64Oratosquilla nepa
Semua hewan yang telah disebutkan di atas tergolong
dalam bangsa (ordo) Decapoda. Ada lagi bangsa lain yakni
Stomattoopoda yang anggota-anggotanya sering-pula diberi julukan
udang seperti udang pengko atau udang ronggeng. Cirinya yang
186
Bioekologi Molluska dan Krustasea
khasnya adalah berubahnya salah satu umbai-umbai mulut menjadi
kaki penangkap yang panjang untuk memegang dan merobek
mansanya. Bentuknya sepintas lalu menunjukkan persamaan
dengan belalang. Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 90 jenis
Stomatopoda, ada yang berukuran besar adapula yang kecil.
Tampaknya hanya sedikit yang dimanfaatkan sebagai sumber
pangan. Beberapa yang berukuran besar misalnya Harpiosquilla
raphidea dan Lysiosquilla maculata dapat mencapai ukuran lebih
100 gram. Ada yang hidup, di lubang-lubang seperti Lysiosquilla
maculata, ada pula yang hidup di dasar laut membenamkan diri
dalam pasir sambil menanti mangsanya seperti Oratosquilaepa
(Gambar 64). jenis yang terakhir ini sering tertangkap dengan pukat
dasar, dan acapkali mencapai 10% dari seluruh tangkapan krustasea.
Demikian pula Harpiosquilla harpaxyang ukurannya agak besar,
jenis-jenis ini antara lain terdapat di perairan pantai Paparan Sunda.
3. Metoda Penelitian
Metoda yang digunakan dalam penelitian Molluska dan
Krustasea adalah metoda deskriptif Kuantitatif, sedangkan
penentuan stasiun adalah dengan cara purposive sampling dengan
membagi lokasi penelitian minimal menjadi 4 (empat) stasiun
berdasarkan perbedaan substrat.
Penempatan stasiun searah dengan bibir pantai pada zona
intertidal berdasarkan titik pasang tertinggi dan surut terendah
sepanjang 40 x 2 meter. Kemudian pada stasiun dibuat plot
sebanyak 40 yang berukuran 1 x 1 meter. Pengamatan dan
187
Bioekologi Molluska dan Krustasea
pengambilan contoh moluska dilakukan dengan cara menghitung
banyaknya jenis moluska yang ditemukan dalam transek.
Identifikasi Sampel
Untuk penentuan jenis atau identifikasi, selanjutnya dibawa
ke Laboratorium dengan botol sampel yang telah diberi larutan
formalin 4%.
Sampel yang ditemukan di lapangan diidentifikasi dengan
menggunakan buku acuan "Shallow Water Marine Mollues of North
- West Java" oleh Robert, Soemodihardjo, dan Kastoro (1982),
"American Seashells" oleh Abbot (1995).
Parameter Kualitas Perairan
Pengukuran parameter fisika dan kimia pada lingkungan
penelitian disajikan dalam bentuk tabel seperti yang terlihat pada
Tabel 8.
Tabel 13
Faktor Fisika dan Kimia yang diamati
Parameter Satuan Alat Keterangan
Fisika
Suhu 0C Thermometer -
Substrat - Visual -KimiaSalinitas 0/00 Refraktometer -pH - pH meter -
188
Bioekologi Molluska dan Krustasea
Penyajian Data
Penyajian data secara deskriptif kuantitatif dari jenis-jenis
moluska yang diperoleh disajikan dalam bentuk gambar, tabel dan
uraian.
Analisa Data
Kepadatan Jenis (ind/m2) dan Kepadatan Relatif
Nilai ini dihitung untuk mengetahui kepadatan masing-
masing jenis moluska dalam luas transek. Rumus kepadatan jenis
adalah sebagai berikut (Soegianto, 1994):
K=
contohnpengambilaareaTotal
kespesiesindividutotalJumlah 1−
Kepadatan jumlah individu persatuan luas atau volume
(Browser dan Zar, dalam Winarno, 1996).
Untuk kepadatan relatif ( Rd ) menggunakan rumus :
ni
Rdi = -------- x 100%
nΣ
Dimana :
Rdi = Kepadatan Relatif Spesies i
ni = Jumlah Total Spesies i
nΣ = Jumlah total semua individu
189
Bioekologi Molluska dan Krustasea
Pola Penyebaran Spasial
Indeks penyebaran adalah untuk mengetahui pola
penyebaran masing-masing moluska. Pola penyebaran ini dihitung
dengan indeks penyebaran morisita dengan rumus sebagai berikut :
Id = nNN
Nx
)1(
2
−−∑
Dimana:
Id : Indeks penyebaran
N : Jumlah total individu dalam spesies yang
terdapat dalam n contoh
X2 : Jumlah kuadrat individu per plot
n : Jumlah plot
Kriteria nilai indeks Morista
Id < 1 : Pola penyebaran seragam
Id = 1 : Pola penyebaran acak
Id > 1 : Pola penyebaran berkelompok
Keanekaragaman dan Keseragaman
a. Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman adalah gambaran keadaan suatu
komunitas agar mempermudah dalam menganalisa keanekaragaman
individu dalam suatu komunitas juga untuk melihat kestabilan
komunitas dalam suatu ekosistem semakin banyak jenis yang
190
Bioekologi Molluska dan Krustasea
ditemukan maka semakin besar keanekaragamannya. Indeks
keanekaragaman dapat dihitung dengan rumus (Soegianto, 1994).
H1 = -∑=
n
pipi11
log
Dimana:
HI = Indeks keanekaragaman
Pi = Proporsi jenis ke-i dalam komunitas (ni/N)
ni = Jumlah spesies ke – i
N = Jumlah total dari seluruh spesies
Nilai Indeks Keanekaragaman (H1) berkisar antara :
H1 < 1,0 : keanekaragaman kecil
H1 <1,0-3,0 : keanekaragaman sedang
H1 > 3,0 : keanekaragaman besar
b. Indeks Keseragaman
Indeks keseragaman adalah suatu perhitungan untuk
keseragaman spesies. Keseragaman spesies adalah komposisi
individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Rumus
untuk menghitung indeks keseragaman adalah sebagai berikut
(Soegianto, 1994).
Dimana:
E = Max
I
H
H
191
Bioekologi Molluska dan Krustasea
E : Indeks keseragaman
H1 : Indeks keanekaragaman
Hmax : Indeks keanekaragaman maximum (log S)
S : Jumlah spesies
Menurut Sugianto (1994), nilai Indeks keanekagaraman
(E) berkisar antara 0-1 dimana nilai E mendekati 0 (nol)
kecenderungan suatu spesies sama (merata). Nilai E mendekati 1
(satu) berarti sebaran individu tiap spesies cenderung mendominasi.
Indeks Dominasi
Untuk mengetahui adanya dominasi dari species tertentu
digunakan indeks dominasi simpson dalam Brower dan Zar dalam
Winarto (1996) yaitu :
Dimana:
C = Indeks dominasi
Pi = Proporsi jenis ke-I dalam komunitas n/N
Ni = Individu spesies ke-i
N = Individu total seluruh jenis
∑=
=n
n
piC1
2)(
192
top related