bidadari bersayap biru
Post on 02-Dec-2015
153 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Chapter 1
THE PRINCE A.K.A THE LADY KILLER & THE ROYAL BLOODS
“Ryan… Stop!!” seorang perempuan berseragam putih abu-abu berlari
mengejar laki-laki yang dari tadi melangkah santai melewati lapangan basket
outdoor dibawah terik matahari siang yang saat itu terkesan lumayan
panasnya. Laki-laki itu berhenti. “Lo mau apa lagi sih Ris? Gue kn udah
bilang kita break, lo gak ngerti bahasa inggris? Break itu maksudnya kita
putus, udah ampe disini aja!” kata laki-laki yang bernama Ryan itu dengan
suara yang agak sedikit dipertegas. “Tapi aku gak mau Yan… Aku gak mau
kita putus….!” Riska tidak mau kalah tegas. “Hah..?! Gak mau putus?! Apa
gue gak salah denger..?! Sapa lo ampe gak mau putus ama gue?!!!” kali ini
Ryan malah berteriak lumayan kencang, membuat semua mata yang ada
disekitar lapangan sekolah itu tertuju langsung dan tepat kearah mereka yang
sedang berada ditengah-tengah lapangan basket yang begitu panas. Wajah
Riska terlihat memerah karena malu. Dia melangkah lebih dekat kearah
Ryan dan berbicara setengah berbisik. “Tapi aku sudah memberikan
segalanya buat kamu Yan… tubuhku… dan aku hampir hamil bulan kemarin
itu, lalu apa kurangnya aku sampai kamu ingin pisah begini?” kata Riska
pelan. “Lalu apa yang belum aku kasi ke lo selama kita pacaran? Lo
sekarang udah tenar gara-gara pacaran ama gue, reputasi team cheerleaders
yang lo bangga-banggain ama gue selama ini juga udah naik, tinggi banget
malah yang kalo boleh jujur ni ye? Gue jijik tau gak liat team-teaman kayak
gt. Gak nafsu gue… Apa lagi?! Materi?! Uang?! Gadget?! Semuanya udah
elo dapet kan dari gue?! Apa pernah gue minta balik itu semua?! Apa
sekarang gue minta balik itu semua?! Enggak kan?! Nah kita impas dong
namanya, gue udah kasi lo segalanya, gak da salahnya kan gue nikmatin
tubuh lo sebagai timbal baliknya? Hal itu udah jadi rahasia umum disekolah
ini, siapa yang gak tau tentang hal itu?! Kalo gue mau, udah gue pajang tuh
dimading hal-hal kayak gitu!!! ” Ryan seolah-olah berusaha menusuk Riska
dengan kata-kata tajamnya yang dia lontarkan dengan keras itu. Saking
kerasnya bahkan mungkin pengeras suara yang ada disekolah itu kalah. Tapi
tidak ada satu guru pun yang berani keluar melerai mereka, bahkan mungkin
menghukum Ryan karena kata-kata yang tidak senonoh yang dia lontarkan
didepan umum itu. Jelas saja, itu karena sekolah itu bernaung dibawah nama
keluarga Ryan. Secara teori, sekolah itu adalah „milik‟ Ryan. Dengan
„serangan‟ yang membabi buta dari Ryan, kali ini Riska tidak mampu
berkata apa-apa lagi untuk membela dirinya, harga dirinya sudah benar-benar
jatuh, hancur, musnah. Padahal baru saja dia tenar karena bisa macarin „sang
pangeran‟ sekolah. Tepatnya baru 3 bulan yang lalu. “Udah ya.. Gue gak
mau ngabis-ngabisin waktu gue buat lo lagi, mubazir tau gak…!” kata Ryan
dan berpaling meninggalkan Riska yang mematung ditengah-tengah
lapangan seolah-olah sudah tidak bernyawa itu lagi. Ngomong-ngomong
masalah nyawa….. “Ryan….!!! Gue bakalan bunuh diri…!! Dan semua
kesalahan atas itu bakalan gue timpain ke elo…!!!” kali ini Riska yang
berteriak mengancam Ryan sekeras-kerasnya. “Sampein salam gue ama
malaikat pencabut nyawa, nanti gue yang ngurus pemakaman meneyedihkan
lo….” Dengan sinis dan tanpa menoleh ataupun takut sedikitpun dengan
ancaman Riska itu dia melambaikan tangannya sambil terus melangkah
kearah sebuah pohon nangka yang lumayan rindang di pojokan lapangan
basket itu. Disana terlihat tiga orang siswa tengah duduk santai, sepertinya
menantikan kedatangan Ryan dari tadi.
Ryan Putra Rajasa. Putra tunggal dari pasangan konglomerat besar
sekaligus dikatakan menjadi pengusaha tersukses dalam bidang penghasil
mutiara oleh majalah Times Amerika Serikat. Henry Rajasa dan Helen
Purwaningsih. Henry dan Helen meninggalkan Ryan 10 tahun yang lalu
untuk memulai karir mereka di negri Paman Sam itu. Dan hasilnya sekarang,
dalam hal materi, posisi Ryan mungkin saja bisa disejajarkan dengan anak
presiden walaupun ayahnya itu bukan presiden. Kepribadian Ryan sangatlah
liar, sinis, angkuh, bertingkah dan bertindak seenak perutnya saja dan tidak
perduli terhadap apapun kecuali keinginan-keinginannya dan ketiga
temannya yang ada didepannya saat itu. Tapi walaupun kepribadiannya
sangatlah angkuh, otaknya tidak seperti 'tong kosong nyaring bunyinya',
percaya tidak percaya dia adalah pemegang IQ tertinggi disekolah bertaraf
internasional tempatnya sekolah sekarang ini, terlepas dari itu adalah sekolah
dengan nama keluarganya. Dia adalah anak yang bersifat bejat tapi berotak
jenius.
“Satu lage tumbaaaaannngggg……” kata salah seorang dari tiga siswa
itu sambil menepuk pundak Ryan seolah dia merasa „bangga‟ begitu Ryan
sampai didepan mereka. “Apaan sik lu Do? Minuman gue manaaa… tadi gue
kan minta dibeliin tuh es kelapa mudanya Mang Ujang ama elu… manaa…
panas niihh….” Kata Ryan sambil mengibas-ngibaskan kerah baju
seragamnya itu. “Adu mak… gue gak sengaja minum punya elu tadi abisnya
'filmnya' seru banget jadi gak kerasa ngabisin dua gelas nih sob, hehehee…”
anak yang tadi itu cengingisan sambil memperlihatkan gelas air kelapa muda
pesanan Ryan yang sudah habis bersih diminumnya itu. “Allaaaaahhh…..
Gue kepret pala lo jadi buah kelapa juga nih…” Ryan mencoba menyambar
kepala Edo dengan tangan kirinya tapi dengan lincah dan ala jurus silat Edo
menghindar dari „kepretan‟ Ryan.
Edo Prasetya Negara. Sahabat Ryan sejak kecil, bahkan bisa dibilang
sahabatnya sejak masih bayi, sejak masih baru lahir. Menurut cerita dari
masing-masing orang tua mereka, Ryan dan Edo lahir pada tanggal, bulan,
tahun bahkan rumah bersalin yang sama, hanya berbeda menit saja. Karena
melahirkan dan menjalani proses pra melahirkan ditempat yang sama kedua
ibu mereka menjadi sangat akrab, sangat dekat sekali bahkan bisa dibilang
mereka sudah menjadi layaknya saudara saking dekat dan akrabnya. Orang
tua Edo sendiri adalah pengusaha textile yang saat ini berbasis di Kanada,
merekapun bisa dibilang pengusaha yang cukup besar dan sukses.
Kepribadiannya tidak kalah liar dari Ryan, tapi dia tidak sesinis Ryan,
katanya sih, dia ingin menjadi komedian handal, jadi dia selalu bertingkah
dan berkata konyol kesehariannya. Dia selalu menjadikan Ryan sebagai
bahan tertawaan dengan kata-kata atau ejekan-ejekan konyolnya. Akan tetapi
walaupun begitu, dia menaruh respect tertingginya hanya pada Ryan. Pada
saat-saat tertentu dia bisa menjadi layaknya penasehat pribadi untuk Ryan.
Mereka sudah saling mengenal dari Asampai Z dan hubungan mereka bisa
jadi lebih erat dari saudara kandung sekalipun.
“Dasar muna lu Do, bukannya tadi gue denger lu bilang enak amat
ya si Ryan nyuruh gue beliin dia es kelapa muda, dia kate gue ni
pembantunya apa, mending gue abisin sendiri aja…” salah seorang dari
mereka rupanya membeberkan kata-kata Edo dengan meniru gaya bicara
Edo pada Ryan sambil terus membaca sebuah buku. “Eh.. bo… bo‟ong
tuh…” Edo kelihatan sedikit panik. “Mulut lo ye… kayaknya perlu gue
sumpel ma ni es batu…” Ryan menjepit leher Edo di ketiaknya sambil
mencoba memasukkan es batu yang tadi dia ambil di gelas yang diberikan
Edo itu. Edo kembali meronta sambil cengingisan. “Payah lu Raf… buka
kartu sahabat lu sendiri…” kata Edo yang berhasil melepaskan diri dari
jepitan Ryan dan langsung mengacak-acak rambut Rafael.
Rafael Alfariki. Adalah seorang anak pengusaha export import
barang yang cukup kaya. Orang tuanya dan orang tua Ryan sudah lama
bekerja sama dalam hal eksport import mutiara kedalam negri, tapi dia dan
Ryan baru bertemu ketika kelas 9 dulu. Kepribadian anak yang satu ini bisa
dibilang easy going terhadap hal-hal disekitarnya, tapi ketika itu menyangkut
aksi Edo buat „nginjek-injek‟ harga diri Ryan yang cukup tinggi itu, sekecil
apapun aksi Edo, dia pasti ikut campur, tapi terkadang dia juga bisa
berpindah posisi menjadi pem-back up Ryan seperti sekarang ini. Hobinya
membaca buku, terserah buku apapun itu kalau menurutnya menarik, pasti
dia baca sampai tuntas.
Rafael menyapu tangan Edo yang saat itu sedang mengacak-acak
rambutnya. Hal itu membuat tangan Edo melayang kearah anak (bule gitu
dah) yang ada disamping Rafael yang masih meminum es kelapa mudanya
sambil asik mendengarkan lagu melalui headset yang entah sejak kapan tidak
pernah lepas dari telinganya. Es kelapa muda yang sedang dia minum
seketika terjatuh habis ke baju seragamnya.
“What the fuck man…..!!” anak bule itu refleks meloncat dan
mengumpat dalam waktu yang bersamaan. “Wadduuhh…. Sori Ric, ini nih si
Rafael pake nyenggol tangan gue ke arah elu sgala… sori banget yak
hehehee…. I am sorry dah euy…” Edo mencoba membersihkan baju anak
itu yang basah akibat air es tadi. “Knock it off already will ya? I don‟t want
everyone think that I‟m a gay….” Eric malah mendorong muka Edo yang
sedang membersihkan bajunya itu. Edo jadi tersungkur dan hampir jatuh
dibuatnya. “Eh….! Dasar lu bulu leak… amit-amit dah… andai kate gua
homo nih ye? Cuiihh…. Ogah gua ama lu….” Edo malah berbalik mencibir
Eric. “Yea? Go fuck yourself then…. Yo Ryan… My uniform is all wet, lets
go home...”. Eric berpaling kearah Ryan. “Eh… enak aje, lu gak bisa baca
jam ye?! Ni masih jam setengah dua belas…. Kita baru pulang tuh jam dua
nanti.” Edo memperlihatkan jam tangannya pada Eric, menunjukkan kalau
itu bukan jam pulang. “Who cares…. You show me that just because of that
is a new watch… Pathetic comedian…”kata Eric sambil
memasukkan headsetnya kesaku celana. “Udah-udah….! Berisik amat sih
kalian… dasar pelawak amatiran… sudah ayo kita pulang aja.. panas nih…”
Ryan langsung melangkah kearah tempat parkir siswa yang ada dibasement.
Rafael dan Eric mengikutinya dari belakang. “Tapi kita belum waktunya
pulang bro…. Kita masih ada pelajaran sosiologi abis ini” Edo mengejar dari
belakang. Tanpa menjawab, Ryan memutar-mutar telunjuknya di samping
kepala sebagai isyarat kalau pelajaran itu sudah diluar kepala baginya.
“Ahh…. Bolos lagi bolos lagi…. Perasaan minggu ini bolos full deh….” Edo
menghela nafas dan terpaksa ikut mereka.
Oh iya… Eric McKennedy. Dia adalah anak dari Amerika yang baru
mengenal Ryan, Edo dan Rafael, 3 tahun lalu. Ayahnya adalah partner kerja
ayah Ryan di Amerika, karena itu dia ditransfer ke sekolah milik keluarga
Rajasa itu. Sebenarnya dia mengerti dan bisa berbahasa Indonesia tapi lebih
memilih berkomunikasi dengan bahasa Inggris sejak keempat temannya itu
memang bisa sepenuhnya mengerti bahasa Inggris.
“Eh… kalian tau gak? Udah lama gua mikir… kok kita mirip itu
tu boyband Korea itu, apa si namanya.. umm…” Edo mulai membuat ulah.
“Aha…” seolah-olah dia baru mengingat sesuatu. “Ef Se namanya…. Kita
mirip tuh Ef Se yak…? Ahahahahaa….” Dia kembali cengingisan. Ryan
berhenti, diikiti Rafael dan Eric. Melihat itu, Edo seketika „ngerem‟
mendadak. Ryan melotot kearahnya. “Hihihii…” dia malah semakin
cengingisan. “Uuuurgghh…” sepertinya Ryan sudah mulai gergetan dengan
ulah Edo tadi dapi kembali melanjutkan langkahnya. “Lu nape si? Kayak
benci amat ama gua ni hari…. Lu lagi dateng bulan yak?” Edo
mengernyitkan keningnya. “Plak….” Bukan Ryan tapi malah Rafael yang
melayangkan kepretan dengan buku paket sosiologi dengan tebal 225
halaman kearah jidat Edo. Dia lagi-lagi terjerembab untuk yang kesekian
kalinya hari ini. “Apaan si..?!” Edo memoles-moles jidatnya yang kena
hantaman buku 225 halaman tadi. “Pala lu tuh Ef Se, perlu dikasi pelajaran
sosiologi extra, siapa tau bisa ngalir ke tu mulut biar gak nyeracas nyerocos
terus kayak stasiun radio yang baru lagi promosi” dengan dinginnya Rafael
trus melangkah. Sedangkan Eric hanya geleng-geleng kepala saja sambil
berlalu. “pip pip….” Sebuah Ford Fiesta ST berbunyi karena Ryan menekan
alarm mobil yang baru saja dia keluarkan dari saku seragamnya. Mobil
mewah itupun melaju kencang keluar dari area parkir tanpa memperdulikan
kalau itu belum jam pulang sekolah.
Itulah mereka. Ryan, Edo, Rafael dan Eric. Walau mereka tidak
pernah secara resmi membuat nama untuk 4 sekawan itu, tapi sebagian besar
siswa sekolah itu menyebut mereka The Royal Bloods. Tapi bagi para
„korban-korban‟ mereka yang kebanyakan adalah korban Ryan sendiri,
mereka tidak ubahnya seperti malaikat pencabut nyawa. Bedanya mereka
dengan malaikat pencabut nyawa yang jelas-jelas mencabut nyawa manusia
yang menyebabkan kematian, mereka mencabut kehormatan dan harga diri
yang membuat para korban mereka „ingin‟ melihat kematian itu sendiri.
“Trrriiririiriririirriirirriittt…..!!!!!!” handphone milik Ryan berbunyi.
Dia merogoh saku baju seragamnya dan melihan nama si pemanggil.
“Mama”.
***
Chapter 2
THE ROYAL BLOODS’ PLAYGROUND
Sementara itu Edo, Rafael dan Eric sedang pada ribut saling ejek satu
sama lain. Ryan sendiri tampak ragu mengangkat panggilan dari mamanya
itu. Tapi handphonenya terus saja berdering. “Eh… Kalian para cecunguk-
cecunguk bisa diem gak sih?! Gue ada telpon nih…” kata Ryan sedikit jutek.
Mereka bertiga langsung terdiam dan Ryan pun akhirnya mengangkat
panggilan itu. “Iya ma…” kata Ryan dengan nada agak malas. “Oh… Jadi
kepala sekolah itu ngadu ke mama lagi?” tampaknya ibunya menelepon
mengenai persitiwa tadi disekolah itu. “Iya ma… aku ngerti, nanti aku yang
dateng sendiri ke ruang kepala sekolah dan minta maaf…. Iya.. apapun
hukumannya aku terima… Bukan gitu ma… tadi itu aku cuman agak emosi
aja….” Tampaknya Ryan dan mamanya sedang berdebat. “Yaelah ma… itu
udah biasa kali… mama tau aku kalo lagi emosi kan? ….. Iya ma… Iya…
kan tadi aku udah bilang, aku bakalan ke ruang kepala sekolah buat minta
maaf besok…” Ryan sedikit memperjelas suaranya. “Apaaaa??!!! Minta
maaf sama Ri… Itu gak mungkin banget ma… Tuh kepsek boleh ngehukum
aku seberat-beratnya, tapi buat minta maaf ama Riska kayak yang mama
bilang, enggak deh kayaknya ma… aku gak mau…” tampaknya Ryan
menolak perintah dari mamanya yang menyuruhnya meminta maaf kepada
Riska gara-gara perkataannya tadi di sekolah. “Tapi aku udah tanggung
jawab mengenai hal itu ma… Lagian salah dia sendiri… kenapa jadi cewek
gampangan kayak yang lainnya gitu… …. Tapi maaa….. Yaelah maa….. Iya
deh iya…. Nanti aku kerumah Riska, tapi cuman buat minta maaf….
Janji….” perdebatan itu dimenangkan oleh sang ibu. “He‟eh…. Bye ma..”
Ryan memutuskan panggilan itu. “Si kepsek ngadu lagi nih…” Edo sudah
menebak dari pembicaraan Ryan tadi. “Itu mah gak masalah kalo dia mau
ngadu, tapi ini imbasnya malah gue harus minta maaf ama tuh si Riska….
Mau ditaruh dimana nih muka gue…?!” Ryan agak sedikit kesal. “Nih saku
celana gue yang bagian belakang kayaknya cukup buat muke lu Yan…” Edo
cengingisan. Tanpa menjawab, Ryan mengacungkan jari tengahnya ke depan
wajah Edo. “Lagian lo asal maen mutusin cewek mulu‟ sih Yan… Bisa jadi
ini pertanda kalo lo udah masuk zona karma…” Kali ini Rafael angkat
bicara. “That‟s right man… You used to broke one heart in 3 months, at
least. But in these past 3 months, if I‟m not mistaken you‟ve broken almost
four hearts, that‟s just too much, you know…?” tanpa diundang Eric
menambahkan. “Salah bo‟…, cuman bulan ni ja korban nih anak dapetnya
atu, kemarin-kemarin kan dua ato tiga mulu‟…” Edo kembali nyerocos
dengan nada cucoknya. “Eh… Lu-lu pade denger ye…. Buat gue, cewek tu
gak da apa-apanya…. Malah menurut gue, cewek tuh kayak nih sepatu…”
Ryan mengangkat kakinya ke dashboard mobil. “Wuiiihh…” Edo berlagak
kaget. “Kalo udah butut ya tinggal diganti pake yang baru…. „Harga‟nya kan
gak seberapa…” lanjut Ryan sambil kembali menurunkan kakinya. “Yea
that‟s right… But what now? The Queen asked you to „sew up‟ this battered
shoe instead of buy a new one, it could happens anytime man…. Think about
it…” Eric mencoba menasehati Ryan. “Peduli amat…! Siapa juga yang mau
pergi minta maaf ma tuh cewek, ribet urusannya, atau ada yang mau jadi
penjilat disini kalo misalnya gue gak minta maaf ma tuh perempuan trus gue
bakalan dilaporin gitu…?!”kata Ryan dengan nada judes. Edo agak sedikit
mengangkat telunjuknya. “Elo…?!” Ryan menoleh kearah Edo yang ada di
sampingnya dengan tatapan tajam. “Hehehehee…” Edo menggelengkan
kepalanya. “Kalian…?” kali ini Ryan sedikit menoleh ke kursi penumpang
yang ada dibelakang. Rafael kembali membuka buku yang tadi dia baca,
begitu pula Eric yang kembali memasukkan headsetnya ke telinga sebagai
pertanda „tidak mungkin‟ untuk menghianati Ryan. “Nah kan? Perkara
terselesaikan…” Ryan kembali menghadap kedepan dengan tenangnya. Tapi
tidak lama kemudian… “triririiriririttt….!!!” Handphone Ryan kembali
berdering, dia melihat si pemanggil, lagi-lagi „mama‟. “Iya ma… apa lagi
sekarang…?” Ryan mengangkat panggilan itu. “Adduuhh maaa…. Mama
gak usah segitunya kali…. Lagian ngapain sih mama repot-repot nyari
nomor hape tuh perempuan, kemarin-kemarin mama gak kayak gini-gini
amat deh….” Ryan agak sedikit kesal tapi terdengar memelas. “Iya deh… I
swear under your name, that I will go to her and say sorry…. Asal mama
gak minta aku buat balikan ama dia, terus pacaran ama dia, terus me…”
omongan Ryan sepertinya terputus. Dia menghela nafas panjang. “Yes
ma‟am…. Thank you…,” entah apa yang dikatakan oleh ibunya tapi ada
sedikit nada lega pada jawaban Ryan saat itu. “Iya… nanti malem ma, mama
boleh nelpon dia kok, tanya apa aku bener-bener dateng ato gak…” kata
Ryan lagi. “……Aduuhh maaa…. Aku lagi ama anak-anak nih…” entah apa
lagi masalahnya, nada bicara Ryan kembali terdengar malas. “Mah… aku
kan udah gede… masak harus bilang itu terus sih…” Ryan agak sedikit
berbisik. “Iya deh… iya…. Aku anaknya mamah…” kata Ryan dengan suara
yang hampir tidak terdengar dan agak sedikit menyembunyikan kepalanya
dari ketiga temannya itu. “Eeee… Ryan…. Anaknya…. Mama…” Ryan
kembali mengulang kata-katanya kali ini dengan agak sedikit dieja. “Tapi
ma….” Lagi-lagi omongan Ryan terputus. “Oke… oke…” kata Ryan sambil
menegakkan badannya, sesaat kemudian dia melirik ke tiga temannya yang
ada disitu. Edo sedang asyik menatap pemandangan diluar melalui jendela
mobil sambil menghisap rokok yang dari tadi ada di antara jarinya itu. Rafael
sedang membaca buku dan Eric memejamkan matanya karena asyik
mendengarkan musik. Ryan menarik nafas dalam-dalam. “Iya… Iya… Ini
mau ngomong, mama gak sabaran amat sih….” Kata Ryan yang tadi hampir
mau mengucapkan sesuatu. “Ryan…. Anak kesayangannya…. Mamah…”
dengan nada datar dan wajah memerah akhirnya Ryan mengucapkan kata-
kata yang akan menjadi bahan hinaan „tersadis‟ dari Edo untuknya. Rafael
dan Eric hampir tidak bisa menahan tawa mereka. “Bye ma…” Ryan
akhirnya menutup panggilan itu lagi. Dengan ekspresi „siap tidak siap‟ Ryan
menoleh kearah Edo. Anehnya, tidak ada reaksi apa-apa dari Edo, dia malah
semakin asyik bersiul-siul sendiri. Padahal dua anak yang ada dibelakang
sudah susah payah menahan tertawa mereka. Karena merasa „aman‟, Ryan
kembali menoleh kedepan, dan menyetir dengan tenangnya, tapi tidak lama
kemudian Edo mengambil hp dari sakunya, menekan-nekan keypad hp itu,
dan kemudian meneggerkan hpnya didepan telinga, tampaknya dia ingin
menelepon seseorang. Bertepatan dengan itu hp Rafael berdering,
pemanggilnya adalah „Edo‟. Tidak begitu lama Rafael mengangkat
panggilan dari Edo itu. “Halo…?” Edo memulai pembicaraan. “Ha…
Halo…?” Rafael menjawab dengan ragu. “Anak siapa dulu….” Kali ini Edo
menirukan suara seorang wanita. Ryan memejamkan mata tanda menahan
malu. “Aaaa…..anak kesayangan mamah….” Kata Rafael. Seketika tawa
ketiga anak itu meledak didalam mobil. Tapi Ryan tidak ingin „terinjak-
injak‟ begitu saja. “Kalian cari mati nih….” Ryan melepas stir mobil dan
langsung menyambar kerah baju Edo. “Eee… ee… stir…. stir… mobil…
mobil…” Edo sepertinya tidak perduli kalau bogeman Ryan mendarat
diwajahnya tapi terlihat sangat panik karena Ryan hanya menginjak gas
mobil tapi tidak memegang stir dan lebih-lebih tidah melihat kedepan. “What
the…..” Eric tidak kalah paniknya melihat hal itu dan langsung menyambar
stir mobil, saat itu Eric menyenggol tangan Rafael yang membuat Rafael
menjatuhkan hpnya. “Eh.. hp gue…, Adduuhh… pala gue…” Rafael yang
mencoba meraih hpnya yang terjatuh ke kolong kursi mobil membuat
jidatnya kejedot oleh kursi mobil yang ada didepannya. Tidak begitu lama
kemudian mobil itu menepi kepinggir jalan, gerbang sebuah rumah yang
sangat luas sekali terbuka dengan sendirinya layaknya difilm2 sci-fi
hollywood. Mobil mewah itu memasuki pekarangan yang sangat luas sekali,
entah diatas berapa hektar are tanah rumah itu dibangun, jika bisa diukur
dengan berandai-andai, besar pekarangannya saja hampir sebesar enam
lapangan footsal bisa jadi lebih, itu baru pekarangan depan, belum
pekarangan belakang, belum lagi rumah yang begitu besarnya itu seolah-olah
seperti istana negara. Itu adalah rumah keluarga Rajasa yang konon
kekayaannya begitu tidak terhitung pada masa itu. Begitu pintu garasi
terbuka, didalamnya terlihat mobil-mobil sport keluaran luar negri
seperti Ferarri dan sejenisnya, dan itu pun tidak hanya satu, garasi itu tidak
ubahnya seperti sebuah showroom mobil-mobil elite milik seorang anak
sekolah menengah atas. “Eh… gue ampir lupa, nanti malem kan ada balap
nih, jadi besok malem gue mau ajak nginep pacar gue Yan, lo jangan ganggu
ya… udah cukup lama gue gak „have fun‟ nih…” kata Edo sambil keluar dari
mobil disusul yang lainnya. “Boleh aja, asal lo bayar kamar…” kata Ryan
agak sedikit datar. “Ah elo…. Kayak penjaga losmen segala, uang kan gak
jadi masalah buat lo, masak gue perlu bayar kamar segala?” kata Edo lagi
sambil mengikuti yang lainnya masuk keruang keluarga rumah itu di lantai
dua yang kalau dinilai dengan kata-kata, hanya ada dua patah kata saja yang
bisa diungkapkan, mewah dan luas, dengan tambahan kata super didepannya.
“Siapa bilang gue butuh uang? Gue gak bilang uang kan?” tegas Ryan sambil
duduk. “Terus..?” Edo bertanya. “Elo….” Ryan menunjuk Edo dan terdiam
sedikit lama, sepertinya dia sedang memikirkan bagaimana cara membalas
Edo. “Apa? Gue bawain atu? Tenang aja… itu mah gampil gampil
gampil…..” kata Edo sambil meniru gaya salah satu tokoh acara lawak yang
ada di tv itu. “Waaahhh….. lo ngehina gue nih kalo bilang gitu, kalo masalah
perempuan, gue gak perlu minta bantuan lo…. Gue mau lo cuciin gue semua
pakaian kotor gue..” kata Ryan sambil bersandar disebuah kursi layaknya
seorang raja. “Apaaaaa?????!!!!!!! Lo…..” … “Yoo….” belum Edo
menyelesaikan kata-katanya Eric yang baru saja memasuki ruangan itu
sehabis mengganti pakaiannya angkat bicara. “Tonight‟s race pot keeps
raising, it seems like the playground gonna be so crowded huh….” Kata Eric
memberi tahu yang lain kalau taruhan balap untuk malam itu terus naik.
“Berapa…” tanya Ryan singkat. “The bookie said it‟s around ten million
now…”jelas Eric lagi. “Sepuluh juta? Wahh… mereka cukup nekat juga…”
sambung Rafael. “Yaaahh…. Gak apa-apa lah…. Itung-itung buat beli
bensin…” kata Ryan dengan nada gampangan sambil berdiri. “Elo…” lagi-
lagi Ryan menunjuk Edo. “Kita udah deal, awas kalo elo bilang mau semedi
dulu besok…” kata Ryan sambil berlalu…. “Yann…. Jangan gitu dong….”
Edo mengejar Ryan sambil memelas.
***
Malam harinya seperti yang telah “dijadwalkan” Ryan dan ketiga
temannya sampai diarena balap liar. Tempat itu terlihat sangat ramai sekali
seperti halnya sebuah pasar malam. Ya, mereka adalah para penonton yang
telah melepas uang mereka sebagai taruhan untuk balap malam ini. Ryan
membawa mobil Ferrari Scuderia yang memang dia modifikasi untuk hal-hal
seperti balap sekarang ini. Saat mereka datang, si penantang telah siap
menunggu di garis start, jadi tanpa menunggu lama, Ryan pun langsung
bersiap untuk melaju dengan kecepatan extreme. “Yan.... loe yakin gk mau
gue aja yang lawan?” kata Rafael dari luar pintu mobil. “Gak... gue lagi mau
tanding, loe tunggu aja di garis finish ama yang lain. “Loe lagi labil Yan....”
sambung Rafael tampak cemas. “Labil pala‟ loe.... Gue fine kok...” Ryan
menatap tajam Rafael. Melihat Ryan seperti itu Rafael pun mengalah dan
langsung memacu mobil yang ditumpangi Edo dan Eric ke garis finish 5
kilometer dari tempat itu. 10 menit kemudian Ryan dan lawannya
meninggalkan start dengan kecepatan tinggi. Singkat cerita, Ryan
memenangkan balapan itu, Edo, Rafael dan Eric yang sudah menunggu di
garis finish langsung menyambut Ryan dengan bangga seperti biasa, tapi
Ryan terlihat biasa-biasa saja. Tidak lama kemudian si lawan mendekati
Ryan dan kemudian... “Buuk!!” sebuah bogem mentah melayang ke wajah
Ryan yang membuatnya hampir tersungkur. Ketiga temannya langsung maju
tanpa diperintah, menghalangi sipemukul tadi agar tidak melakukan hal yang
lebih dari itu, tapi karena tidak terima dikalahkan, anak itu melayangkan
pukulannya secara membabi buta kearah Edo, Rafael dan Eric. Perkelahian
pun tidak terhindarkan, Empat orang melawan kurang lebih sepuluh orang.
Ryan and the gank tidak bisa berkutik, mereka babak belur, dan tidak lama
setelah itu.... “Anton.... stop...!!!” seorang laki-laki yang baru datang
ketempat itu menghentikan anak yang memulai perkelahian tadi. Anton pun
berbalik tapi seketika sebuah tinjuan melayang, kali ini ke wajah si Anton
itu. Anak itu tersungkur. “Loe gila....!!! Loe gak tau siapa mereka?!!!” teriak
laki-laki tadi terdengar berang. “Tapi kak... dia....”... “Bacot loe....!!!! cepet
minta maaf....!!!” kata-kata Anton tidak diindahkan oleh sang kakak. Anton
terdiam. “Cepeettt....!!!!” sang kakak memaksanya untuk minta maaf kepada
Ryan dan ketiga temannya. Maka dengan sangat terpaksa, Anton dan
kesepuluh temannya pun langsung meminta maaf saat itu juga. Melihat Ryan
dan yang lainnya babak belur, kakak si Anton tadi mendekati mereka
berempat. “Adduuhh Yan... Gue minta maaf ya... tuh curut adik gue, dia baru
dateng ri luar kota, dia gak tau sapa elo.... sorry banget dah...” kata sang
kakak dengan nada memelas. “Ryan mengangguk-angguk pelan sambil
memegang pelipis bibirnya yang berdarah. “Mana taruhannya...” kata kakak
Anton. Sang bandar langsung menyerahkan setumpuk uang pada kakak
Anton itu. “Nih uang loe, sebaiknya loe langsung obatin tuh luka yah...”
katanya dengan nada menyesal. “Gak usah deh, keliatanya adik loe pengen
banget dapetin tuh uang, loe kasi aja dia...” jawab Ryan datar. “Gak...
peraturannya kan yang menang yang dapet, jadi nih uang ya milik loe...” kata
kakak Anton sambil menyerahkan uang taruhan tadi dengan sedikit
memaksa. Ryan mengambil uang itu dan langsung melangkah ke arah Anton,
dia menatap Anton dalam-dalam, dia kemudian meremas uang itu dan
melayangkan tinjuannya kearah Anton, Anton memejamkan matanya karena
melihat sebuah bogem berisi uang jutaan mungkin akan melayang kearah
wajahnya. Tapi ternyata tidak, Ryan saat itu tidak mencoba untuk
memukulnya, tapi mendaratkan tinjuannya yang berisi uang tadi ke dada
Anton dengan santai. “Lain kali, tanya kakak loe kalo mau tanding didaerah
sini, loe masih belum tau apa-apa disini jadi jangan seenaknya aja, kali ini
gue kasih loe bonus.... loe boleh ambil nih uang, buat gue uang sebanyak ini
masih belum seberapa...” kata Ryan dingin sambil meletakkan uang itu
ditelapak tangan Anton dan kemudian berbalik kembali ketempatnya yang
tadi. “Yan....” kata kakak si Anton. “Loe bawa tuh adik loe pulang, sebelum
gue berubah pikiran...” kata Ryan tetap dingin. Bertepatan dengan itu, suara
sirine mobil polisi terdengan dari jauh. Semua yang ada disana langsung
berlari kalang kabut kearah mobil masing-masing dan langsung berlalu,
ketakutan hanya karena suara sirine polisi tadi. “Yan.... C‟mon man... It‟s the
police...” teriak Eric yang sudah menyalakan mesin mobilnya, Rafael sudah
berada didalam mobil itu juga. Ryan terdiam, padahal mobilnya berada
dibelakangnya saat itu. “Ryaaannn..... Ayyooo!!!!” teriak Edo yang baru saja
memasuki mobil Eric. “Loe pada pergi aja, gue stay....” jawab Ryan. Ketiga
temannya itu terdiam sejenak, kemudian... “Sialan nih anak.... gue mau
nemenin dia, loe berdua pergi aja, nih anak gak bakalan ngelangkah kalo
udah kayak gini,” kata Edo sambil keluar dari mobil dan melangkah kearah
Ryan yang bersandar dimobilnya saat itu. Eric dan Rafael saling bertatapan
melihat Edo memilih untuk tetap tinggal bersama Ryan.
“Maaannnnn.....” Eric menghela nafas sambil ikut keluar dari mobil dan
disusul oleh Rafael.
Malam itu mereka berempat membiarkan diri mereka tertangkap dan
digiring kekantor polisi. Tapi beberapa jam kemudian mereka mendapat
jaminan dan dikeluarkan dari sel. Diluar kantor polisi, seorang laki-laki dan
wanita berpakaian layaknya para sekretaris-sekretaris itu terihat berdiri
menunggu mereka. “Gue yang bawa mobil loe pulang, sebaiknya loe pulang
ama mereka aja...” kata Edo sebelum sampai didepan dua orang tadi. Ryan
terdiam saja tidak menjawab Edo. “You‟ve broke your promise.... you said
that you‟ll go to see Riska tonight...” kata wanita itu dengan bahasa Inggris.
Ryan terdiam beberapa saat. “Iya... Iya... maaf... aku nemuin Riskanya besok
aja.... inikan udah larut....” kata Ryan agak sinis. “Kamu tau kan wanita yang
satu ini paling tidak suka kalo ada yang berjanji pada dia tapi tidak
ditepatin...? Itu adalah perinsip yang dipegang mama mu dari dulu nak...”
sambut laki-laki tadi. “Iya pa.... aku tau kok.... aku kan udah minta maaf...”
jawab Ryan. “Eeee.... Om.... Tante.... aku duluan yah...? anak ni emang suka
buat onar dan ngerepotin kalian sampe harus balik jauh-jauh dari Amerika
kayak gini, padahal tadi kita-kita bisa aja pergi biar gak ketangkep..” kata
Edo sambil tersenyum. “Gak apa-apa Do.... Kamu bawa mobil Ryan pulang
yah? Nanti Ryannya pulang ama om dan tante aja...” kata wanita yang
ternyata adalah ibunya Ryan tadi sambil membalas senyuman Edo. “We‟re
off too.... Ma‟am.... Sir...” kata Eric. “Ahh.... Eric... You‟re still a polite boy
eh... Despite you‟re with this troublemaker little boy here...” jawab ibu Ryan
dengan tetap tersenyum sambil menatap Eric. Eric dan Rafael sedikit
membungkuk tanda hormat pada ayah dan ibu Ryan dan kemudian berlalu,
diikuti Edo dari belakang. “Oh... Rafael... Kami udah ngejelasin semuanya
ke ayah kamu, jadi kamu tenang aja ya....” kata ibu Ryan sedikit berteriak
karena Rafael sudah berjalan sedikit jauh dari mereka. “Iya tante...
makasi....” teriak Rafael dan kembali berjalan mengikuti Eric dan Edo ke
parkiran mobil. Setelah ketiga anak tadi berlalu dari halaman kantor polisi.....
“Dude.... You‟re grounded...” kata ibu Ryan sambil melangkah kearah pintu
mobil diikuti oleh ayahnya. “Ah... mama.... hari ini mama kok berlebihan
gini sih...? masak gara-gara gini aja aku dihukum? Kan udah biasa.... tau gini
aku tadi lari aja biar kalian gak pulang...” kata Ryan sambil ikut masuk mobil
ayahnya. Ternyata alasan Ryan tidak lari meskipun tahu polisi akan datang
karena dia tahu ketika orang tuanya mendengar Ryan bermasalah dengan
aparat berwenang, mereka pasti akan segera terbang dari Amerika untuk
menyelesaikan masalah yang dibuat oleh anaknya itu. “Mamah mu
ngehukum kamu bukan karena kamu ditangkap polisi nak.... Dia ngehukum
kamu gara-gara kamu gak tepat janji aja... Jangankan kamu, papa aja kalo
gak tepat janji pasti dihukum, makanya jangan asal buat janji ama mamahmu
kalo gak mau kena hukum...” jelas papa Ryan sambil menyalakan mobil dan
akhirnya berlalu dari kantor polisi. Ryan terdiam karena tahu dirinya
memang salah, tidak ke rumah Riska dulu tadi, bukannya dia lupa akan
janjinya itu, tapi karena memang dia tidak pernah ada niat untuk menemui
Riska lagi. “Tapi papa tahu kok kelemahan mama kamu, jadi hukuman papa
gak bakalan lama, tinggal... Aww... aww.. aww..” belum Henry melanjutkan
kata-katanya, sang ibu, Helen sudah menjewer telinganya layaknya
menjewer anak kecil. “Lagi nyetir ma.... Kan bahaya....” kata ayah Ryan
sambil memegang telinganya. “Omongan papa tuh yang bahaya....” balas ibu
Ryan. Helen kemudian berbalik menatap Ryan dan menunjuk pipinya
sendiri. Ryan menghela nafas dan kemudian mencium pipi ibunya itu yang
dibalas dengan kecupan dikening oleh Helen, dan Henry yang mengusap-
usap kepala Ryan dalam waktu yang bersamaan. Sepertinya Ryan memang
benar-benar anak kesayangan orang tuanya meskipun perbuatannya
seharusnya jauh dari kata layak untuk diberikan kasih sayang. “Kamu gak
perlu membuat masalah kayak gini kalau mau kami pulang sayang... Kamu
tinggal minta aja bisa kan....?” kata Helen. “Ohh.... Jadi aku harus „minta‟
terus kalian mau pulang, gitu...?” jawab Ryan sinis. “Ya udah... kalo gitu,
kamu tinggal suruh aja, tinggal perintah aja... pokoknya masih banyak cara
yang lebih baik dari ini kan....” kata Helen sambil memberikan ayah Ryan
isyarat untuk menepi. Tidak lama kemudian mobil itupun menepi, Helen
keluar dari pintu mobil depan dan membuka pintu mobil belakang kemudian
duduk disamping Ryan, mobil itupun kembali berlalu. “Hah...! Kalian kan
sibuk... biarpun aku minta kalian pulang dengan cara memelas juga mana
mungkin kalian bisa, satu-satunya cara ya aku harus ngebuat onar biar kalian
gak punya pilihan selain pulang...” kata Ryan. Di kehidupan sehari-hari Ryan
terlihat dingin, dan tidak memiliki perasaan sama sekali, tapi didepan orang
tuanya, Ryan terdengar begitu sangat rapuh layaknya seorang anak kecil.
“Sayaaaanngg....” Helen langsung menarik Ryan ke pelukannya. “Kamu
pikir kami gak kangen ama kamu? Setiap harinya, kangen kami itu terus
menumpuk, biarpun kami sibuk, pikiran utama kami ya tetap kamu
sayang...” kata ibu Ryan dengan lemah lembut. “Bohong....” kata Ryan yang
saat itu masih tetap berada didekapan sang ibu. “Apa mama pernah bohong
ama kamu?” tanya ibunya. Ryan tidak menjawab, karena tahu Helen tidak
pernah berbohong dengan apapun yang dia katakan pada Ryan dan Ryan
memang tidak pernah mencoba cara baik-baik seperti meminta orang tuanya
untuk pulang menjenguknya dari dulu. “Lagipula.... Apa kamu pernah
meminta kami untuk pulang dari dulu?” sambung ibunya lagi. Ryan
menggeleng sambil memejamkan matanya. Tidak lama kemudian dia
akhirnya terlelap didekapan sang ibu. Terlelap begitu sangat nyenyak sekali.
Jelas saja, jarang-jarang waktu seperti itu terjadi dikehidupan Ryan yang
jauh dari orang tuanya. “Sepertinya anakmu itu sudah menemukan
kelemahanmu juga ya ma...?” kata ayah Ryan sambil sedikit menoleh
kebelakang dan tersenyum. “Papa ini gimana sih? Memang sejak awal dia
adalah kelemahan mama... lebih-lebih karena kita gagal memberikan dia
hadiah ulang tahun yang udah kita rencanain tahun lalu,” kata Helen sambil
tersenyum tapi terlihat sedikit menyesal dan ada setetes air keluar dari
matanya. Henry terlihat tidak mampu berkata apa-apa mendengar kata-kata
istrinya saat itu. “Kalo Ryan tiba-tiba terbangun terus ngelihat air mata itu,
dia gak akan berhenti bertanya, mama gak mau dia tahu akan hal itu kan?”
kata Henry beberapa saat kemudian. Mendengar itu, ibu Ryan langsung
mengusap air matanya dan memandang Ryan dengan tatapan penuh kasih
sayang. “Entah sudah berapa lama mama gak ngelihat anak ini dalam
keadaan tertidur seperti ini, dia benar-benar tidak berubah dari dulu,
mencoba untuk tegar tanpa kita, padahal dia begitu rapuh...” kata Helen
sambil tersenyum tipis. “Ini semua salah kita ma, kita benar-benar adalah
orang tua yang sangat egois....” sambung Henry. “...... Mama berharap dia
bisa menemukan seorang pendamping yang bisa memberikannya kasih
sayang yang lebih dari kita, sebentar lagi dia akan lulus SMA, mama gak
mau dia terus-terusan kayak gini...” kata sang ibu lagi. “Papa juga berharap
begitu ma...” jawab Henry.
Saat itu Ryan bermimpi melihat seorang perempuan didepannya,
perempuan itu berdiri diatas sebuah tebing yang menjorok ke mulut pantai
dengan baju berwarna ungu bergaris putih. “Eh... Loe sapa? Mau bunuh diri
ya berdiri ditempet kayak gitu? Masih ada juga ya orang pake acara bunuh
diri bunuh diri segala jaman kayk gini...” kata Ryan datar. Tidak lama
kemudian perempuan itu berbalik dan tersenyum kearah Ryan, angin pantai
menyapu rambut hitamnya yang lurus sepanjang pinggang itu. Perempuan itu
mengaitkan sedikit helaian rambutnya ke telinga sambil terus memandang
Ryan dengan senyuman. Melihat perempuan itu, Ryan tidak mampu berkata
apa-apa, dia tertegun, entah disebabkan karena apa, tapi Ryan benar-benar
tidak berkedip sama sekali saat perempuan itu melayangkan senyumannya.
Akhirnya kamu datang juga.... Ryan....” kata perempuan misterius itu sambil
tetap tersenyum.
***
Chapter 3
THE ASSEMBLING OF THREE COLOURS
Ryan seketika terhenyak dari tidurnya. Dia terdiam untuk sejenak dan
mengambil nafas panjang. “Mimpi macam apa itu tadi” katanya sambil
memegang kepalanya seolah-olah sedang merasa pusing, padahal tidak sama
sekali. Dia melihat sekelilingnya, ternyata dia sudah berada dikamarnya, dia
menoleh kearah jam waker yang ada di samping tempat tidurnya, jam itu
menunjukkan pukul delapan pagi. Dia kembali terdiam, entah karena masih
teringat oleh mimpi anehnya itu atau karena suasana rumah serasa sangat
sepi sekali pagi itu. Tidak lama kemudian dia beranjak dari tempat tidurnya,
keluar kamar. “Ma.... Pa...? Sarapan pagi ini apa...?” Ryan sedikit berteriak.
Tidak ada jawaban. “Tumben mereka sepi tanpa suara...” katanya dalam hati
sambil turun ke lantai bawah menuju ke arah dapur. Sepi, tidak ada siapa-
siapa. “Mustahil jam seginian mereka masih tertidur...” kata Ryan sambil
kembali naik ke lantai atas langsung menuju ke kamar orang tuanya. “Jangan
bilang kalian molor sampai jam seginian karena kecapean ya...” Ryan
langsung saja membuka pintu kamar yang ada didepannya itu. Sama seperti
keadaan didapur, suasana kamar itu sunyi senyap, tidak terasa ada orang
didalam ruangan itu. “Apa mungkin mereka di taman ya?” kata Ryan pada
dirinya sendiri. Dia kembali turun ke lantai bawah. Ketika dia melewati
ruang keluarga, dia melihat secarik kertas memo diatas meja dan sebuah
ATM di samping memo itu. Dia langsung saja mengambil dan membacanya.
“Sayang.... Maaf ya kami pergi tanpa ngebangunin kamu dulu. Ada
keperluan mendadak di Amerika yang harus kami hadiri. Sekali lagi mama
dan papa minta maaf karena gak bisa nemenin hari minggu kamu. Papamu
ninggalin ATM buat keperluan kamu, isinya cukup untuk satu tahun
kedepan. We Love You, Prince...”
Setelah membaca memo itu, kembali Ryan mengambil nafas panjang. “Gue
bodo‟ banget ngarepin mereka bisa tinggal barang 24 jam sekali pun...” kata
Ryan dalam hati. “Pake acara ninggalin ATM segala lagi, kirain mereka gue
ni pejabat korup yang bisa di sogok-sogok apa...” sambungnya dengan nada
sedikit jutek. Tanpa menghiraukan ATM itu Ryan langsung berjalan ke
kamar mandi. Tidak lama kemudian dia sudah terlihat segar kembali. Setelah
mengganti pakaiannya, dia langsung ke dapur dan membuat sarapan sendiri.
Saat tengah sarapan, tiba-tiba sosok wanita yang ada didalam mimpinya tadi
itu kembali terbayang dibenaknya walaupun hanya sekilas saja. Ryan
terkejut, dia sedikit merinding karena suasana rumahnya yang sangat besar
itu sedang dalam keadaan sunyi senyap, memang jarang sekali dia hanya
sendirian dirumah itu. “Apaan si‟....” Ryan terlihat mengambil air minum
dengan tergesa-gesa padahal dia baru saja melahap suapan pertama
sarapannya dan langsung bergegas kekamarnya, menyambar jaket yang biasa
dia pakai dan sebuah boneka kecil yang terbuat dari porselin berbentuk
malaikat bersayap biru yang ada di meja belajarnya, keluar kamar dengan
berlari-lari kecil langsung menuju ke arah pintu garasi. Ternyata sebejat-
bejatnya Ryan, dia masih bisa merasa takut, lebih-lebih didalam rumahnya
sendiri, hal itu membuat Ryan terlihat sedikit lucu melihat karakternya yang
begitu dingin. Tanpa pikir panjang memilih mobil yang ada di garasinya
yang terlihat bagaikan sebuah showroom mobil itu, dia langsung memasuki
mobil New Aston Vanquish Volate yang karena nama mobil itu rumit, dia
sampai memberikan nama Summer Snow pada mobil favoritnya itu, karena
memang warna mobil itu putih bersih. Salju musim panas, nama yang aneh
memang, tapi itu adalah penomena alam yang tidak pernah terjadi didunia
sampai saat ini. Dia tidak mengambil nama Snow White karena nama itu
terdengar feminim untuk kegunaan seorang laki-laki seperti Ryan. Tunggu
dulu, kenapa malah membahas nama aneh mobil sih? Oke, kita lanjutkan
ceritanya... Ryan langsung saja joss... menarik gas mobilnya bagaikan
pencuri yang kabur membawa mobil curian karena saking ngerinya. Cukup
jauh dari lokasi rumahnya berada, dia berhenti di sebuah restauran untuk
melanjutkan sarapannya. Saat tengah melahap sarapannya, handphonenya
berdering, panggilan dari... “Mama”. Ryan langsung menekan
tombol answer sambil melahap hidangan yang ada didepannya. “Emm.... iya
tadi sekitar jam delapanan gitu... Iya... mama payah, pergi tanpa ngebuatin
aku sarapan sama sekali... kalo mau liat aku mati kelaparan kenapa gak
bilang langsung aja...” nada Ryan agak sedikit kesal, kesal banget malah.
“Iya... Iyaa..... Aku ngerti kok.... gak apa-apa kok ma.... iya.. aku liat kok....
kalian emang boros ato mau nyogok aku? Uang jajan tahun ini kan masih
lebih dari pada cukup... pake ninggalin ATM segala....” Kata Ryan sambil
terus melahap sarapannya seolah-olah belum pernah makan berhari-hari.
“Aaahh...? Papa bilang apa tuh dibelakang? Mau pamer?” Ryan sedikit
memperjelas kata-katanya setelah mendengar ayahnya ikut berbicara. “Ya
udah ma, aku udah selesai sarapannya nih... Iya.. iya... aku mau ke rumah
Riska kok nih.... mama bawel banget sih....” kata Ryan sambil berdiri dan
meninggalkan meja makannya setelah menaruh uang di buku bon yang dari
tadi ada disampingnya. “Ya udah ma... aku tutup nih... bye ma....” Ryan
memasukkan handphonenya ke saku dan langsung tancap gas keluar
parkiran. Saat itu dia memang benar-benar kerumah Riska guna menepati
janjinya kepada sang ibu. Dia sampai siang duduk bersama Riska
dipekarangan rumah Riska yang memang terbilang cukup elit itu walaupun
pada dasarnya Ryan tidak pernah berharap harus menghabiskan waktunya
bersama Riska kembali. Kalau saja dia tidak mendapat panggilan dari Edo
bersama dua anak yang lainnya kalau mereka sudah menunggu Ryan
dirumahnya, mungkin Ryan benar-benar akan menghabiskan hari minggunya
bersama Riska saat itu. Tapi sesaat setelah mendapat panggilan dari Edo, dia
langsung bergegas keluar dari rumah Riska dan itu adalah terakhir kalinya
dia bersama satu-satunya perempuan yang dia putuskan secara baik-baik
karena permintaan langsung dari ibunya. Kali ini Ryan memacu mobilnya
dengan sangat santai, tidak ngebut-ngebutan seperti tadi pagi. Sepertinya dia
sudah melupakan rasa takutnya itu. Dan ketika itu dia melewati sebuah
apotik.
Ryan seketika menghentikan laju mobilnya dan menepi, dia sedikit
membuka kaca jendela pintu mobilnya dan memandang cermin spion.
Didepan apotik itu berdiri seorang perempuan, sendiri. “Bidadarikah...?”
Ryan menggumam karena melihat perempuan itu. Memang, gadis yang saat
itu sedang berdiri di trotoar depan apotik itu sangat cantik sekali,
dengan sweather berwarna ungu di tempeli syal berwarna putih melingkar di
lehernya, dia terlihat begitu sangat anggun dimata Ryan.
“Wah...Wah...Wah.... Ternyata gak cuman pejuang aja yang gugur satu
tumbuh seribu, wanita juga begitu adanya....” kata Ryan dalam hati. “Gue
harus milikin nih cewek, gak peduli gimanapun caranya, itung-itung buat
nambah koleksi, kebetulan gue lagi kosong jadi gak bakalan ada yang
gangguin....” sambungnya lagi seraya menutup kaca jendela pintu mobilnya
dan menarik perseneling mobil ke huruf R. Mobil itupun mundur mendekat
kearah gadis tadi. Didepan gadis itu, Ryan kembali menurunkan kaca jendela
mobilnya dan sedikit menurunkan kaca matanya yang berlensa biru agar
lebih jelas melihat gadis itu. “Sendirian aja neng?” kata Ryan duluan
menyapa gadis itu seperti tukang ojek saja. Gadis itu menjawab dengan
anggukan pelan. Mau pulang?” sambung Ryan. Gadis itu kembali
mengangguk, kali ini ditambah dengan senyuman. “Uwalaaahhh..... tadi gue
ngeliat bidadari, kali ni dengan senyuman itu loe kayaknya berubah jadi
malaikat.... Harus... pokoknya harus gue milikin nih cewek..” kata Ryan
dalam hati setelah melihat gadis itu tersenyum. “Nunggu jemputan kah...?”
tanyanya lagi. Kali ini gadis itu menggeleng, tapi masih tetap dengan
senyumannya. “Yeeessss.....!!!!!! Kesempatan emas....!!!!” Ryan terlihat
berapi-api. “Mau gue anterin pulang...?” Ryan kembali bertanya. “Kayaknya
bakalan nolak nih... tapi bakalan gue paksain loe buat gue anterin pulang...”
kata Ryan dalam hati. Perkiraan Ryan salah. Gadis itu mengangguk dengan
manis. Seolah-olah dia memang sudah mengharapkan kedatangan Ryan.
“Serius...?! Jangan bilang loe pelacur yang lagi nunggu langganan nih....
Tapi aaahhhh.... peduli setan... mau pelacur kek, apa kek, yang jelas gue
kagak tahan liat kecantikan loe...” kata Ryan dalam hati sambil membukakan
perempuan itu pintu mobilnya dari dalam. Gadis itu melangkah memasuki
mobil Ryan. “Lavender...” kata Ryan dalam hati setelah mencium aroma
yang ikut masuk bersama si gadis itu. “Maaf-maaf kate nih ye...? Tapi kok
loe gampang banget mau gue anterin pulang? Loe gak takut kalo misalnya
gue ni perampok, ato penculik, ato apa gitu..?” tanya Ryan sambil berusaha
menggunakan kata-kata sopannya, agar si „target‟ tidak merasa tersinggung.
Gadis itu memandang ke sekeliling interior mobil. “Ada ya, perampok ato
penculik make mobil impor semewah dan semahal kayak gini...?” kali ini si
gadis akhirnya membalas kata-kata Ryan tidak dengan bahasa isyarat. Ryan
terdiam. “Alamaaaakkkk..... Gue udah gak tau lagi dah mau bandingin loe
kayak apa, normalnya loe kayak bidadari, senyum, loe kayak malaikat,
ngomong? loe kayak.... aaaaddduuuuhhhh.... apa ada maha karya Tuhan
yang lebih indah dari malaikat...?” kata Ryan dalam hati. “Tapi dia memang
terdengar cukup pintar juga, apa gue bisa ngakal-ngakalin nih cewek yak...?”
sambungnya. Gadis itu terus memandang Ryan dengan senyumannya yang
begitu sangat manis. “Hahahahahaa.... iya juga yak...?” Ryan tertawa sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sama sekali sambil
menjalankan mobilnya. “Ato jangan-jangan nih cewek ikut gue gara-gara
ngeliat mobil mewah gue.... Aaaahhhh..... Semua perempuan memang
sama....” kata Ryan kembal dalam hati. Oh iya.... aneh juga keliatannya kalo
kita gak saling kenal tapi udah semobil kayak gini.... Kenalin, gue Ryan...
Loe...?” Ryan memulai perkenalan diri. “Maya...” Jawab gadis itu singkat.
“Maya.... Nama yang cukup jarang digunakan jaman sekarang ya...” kata
Ryan. Gadis itu hanya tersenyum saja sambil terus menghadap kedepan.
Tidak lama kemudian mereka sampai didepan rumah Maya. Seorang kakek
yang masih belum terlalu tua tanpa curiga langsung saja membuka pintu
gerbang yang terlihat sangat besar dan berat itu. “Wadduuhhh..... Nih cewek
ternyata cukup elit juga, dia bukan pelacur...” kata Ryan dalam hati setelah
melihat kondisi rumah Maya yang hampir sama seperti kondisi rumahnya
tapi dengan pekarangan yang tidak terlalu besar. Di samping rumah itu
terlihat seorang wanita seumuran ibu Ryan sedang menyirami berbagai jenis
bunga, tampaknya itu adalah sebuah taman bunga. Terlihat begitu sangat
indah. “Rumah loe gede juga yak...?” kata Ryan sambil terus mengikuti jalan
beraspal yang sepertinya menuju kearah garasi itu. Maya hanya tersenyum
simpul mendengar Ryan berkata seperti itu. Setelah sampai diujung jalan itu
yang ternyata memang benar adalah sebuah garasi mobil, Ryan
menghentikan dan mematikan mesin mobilnya. Wanita yang menyiram
bunga-bunga tadi mendekati mobil Ryan. Ma....” kata Maya sambil keluar
dari mobil Ryan, diikuti oleh Ryan. “Maya.. Tumben pulang dari apotik
bawa temen...” kata wanita yang ternyata adalah ibunya Maya itu sambil
tersenyum. “Tante...” Ryan sedikit membungkuk kepada ibu Maya
menandakan rasa hormatnya. “Ayoo nak... Duduk dulu... Maaf ya... Maya
jadi ngerepotin...” kata wanita itu dengan sangat ramah sekali sambil
menunjukkan tempat duduk dan meja yang terbuat dari kayu di tengah taman
bunga itu. Ryan pun melangkah mengikuti ibu Maya. “May.... minta tolong
kasi tau mbok buatin teh manis ya...?” kata wanita itu kepada Maya. Maya
pun melangkah kearah pintu samping rumah yang letaknya beberapa meter
dari depan taman bunga itu, dia menghilang dari pandangan Ryan setelah
memasuki rumah. “Waaahhh.... keluarga elit nih.... apa gue gak salah masuk
rumah..?” kata Ryan dalam hati. “Eeeee.... Maaf nak....” ibu Maya mencoba
menanyakan nama Ryan. “Ryan... Panggil aja Ryan, tante...” kata Ryan
sambil tersenyum. Seketika peringai seorang Ryan berubah drastis, sopan,
penuh senyuman, pokoknya bertolak belakang dari Ryan sehari yang lalu
dan hari-hari yang lainnya. “Ahh... Ryan ya.... Nama tante... Rani... Ibunya
Maya” kata ibu Maya memperkenalkan dirinya kepada Ryan. Tidak lama
setelah itu seorang perempuan berumuran sekitar lima puluh tahunan datang
membawa dua cangkir teh dan meletakkannya diatas meja didepan tempat
Ryan dan tante Rani duduk. “Makasi ya mbok...” tante Rani tersenyum.
“Injihh nyah...” kata si mbok sambil membungkuk dan kembali berlalu ke
arah rumah. “Ayo nak Ryan, diminum tehnya..” kata tante Rani
mempersilahkan. “Iya tan...” Ryan pun meneguk teh manis yang ada
didepannya. “Eeee.... Ngomong-ngomong tan, tadi saya ketemu Maya
didepen apotik kan tuh..., kayaknya baru abis beli obat, emangnya ada yang
sakit ya..?” tanya Ryan sambil meletakkan cangkir tehnya. “Maya yang
sakit...” jawab tante Rani. “Oooohh.... Kenapa gak minta siapa kek gitu buat
pergi beli obat kalo emang Maya yang sakit tan... Masak dia harus pergi
sendiri gitu? Tante gak khawatir kalo dia kenapa-kenapa dijalan?” sambung
Ryan. Tante Rani tersenyum. “Maya itu.... Anaknya cukup tegar, menurut
tante sendiri, dia malah terlalu tegar kalo melihat penyakitnya sekarang ini,
dia tidak mau membebani orang lain termasuk tante mengenai penyakitnya
itu” kata tante Rani. “Dan tante percaya kok sama dia, tante tau dia bisa jaga
dirinya sendiri, emang dari kecil dia sudah bersifat mandiri kayak gitu,
biasanya sih tante minta pak Kosim buat ngejemput dia kalo udah terlalu
lama belum balik dari apotik, tadi juga baru aja tante mau bilang gitu sama
pak Kosimnya...” sambung tante Rani. Ryan mengangguk-angguk. “Tapi
lumayan jauh juga ya tan? Tadi saya liat banyak apotik-apotik yang lebih
deket, kenapa beli obatnya gak kesitu aja?” Ryan kembali bertanya. “Apotik
tempet nak Ryan ketemu Maya tadi itu kebetulan apotik milik keluarga, dan
obat Maya cuman ada disana karena memang langsung dikirim dari Amerika
sama papanya Maya” jawab tante Rani. “Haaahh??? Ayahnya ada di
Amerika juga? Waaahhh.... Nih cewek bukan cewek sembarangan deh
kayaknya, kalo gue jadiin maenan jadi masalah besar gak ya...?” Ryan
lumayan terkejut mendengar kondisi keluarga Maya yang bisa dibilang tidak
sembarangan seperti perempuan-perempuan yang biasa dijadikan „mainan‟
oleh Ryan itu. “Eeeemm... Emang kalo boleh tau, Maya sakit apa tan...? kok
kedengerennya obatnya khusus gitu?” Ryan kembali bertanya. Mendengar
pertanyaan itu tante Rani kali ini tidak langsung menjawab Ryan, dia
menoleh dan menatap Ryan cukup lama. “Eeee.... Ka.... Kalo gak boleh tau
juga gak apa-apa kok tan, hehehehee...” Ryan jadi salah tingkah karena baru
kali itu dia ditatap tajam oleh wanita lain selain ibunya. Tante Rani
tersenyum kearah Ryan. “Dulu...” dan memulai penjelasannya mengenai
pertanyaan Ryan tadi sambil kembali menoleh kearah pekarangan bunga
yang ada didepan mereka. “Maya biasanya punya banyak teman, ketika
masih bisa bersekolah, bisa dibilang hampir setiap hari rumah ini tidak
pernah sepi oleh teman-temannya yang datang untuk belajar kelompok kah
ato hanya sekedar berkunjung untuk bermain-main saja, agar tempat belajar
dan bermain mereka fresh, taman ini pun tante buat sedemikian rupa.” Tante
Rani sedikit bercerita kepada Ryan tentang anaknya, Maya. “Masih bisa
bersekolah? Maksud tante?” belum tante Rani menyelesaikan ceritanya,
sudah muncul pertanyaan baru dari Ryan. “Iya... Kondisi Maya mulai
menghawatirkan sejak setahun lalu, tepatnya sejak semester akhir kelas 11.
Sejak lahir, Maya didiagnosis mengidap penyakit yang terbilang cukup
langka...” kata tante Rani yang tidak kalah mengejutkan Ryan. Lagi-lagi
tante Rani menatap tajam kearah Ryan, seolah-olah mengatakan “apakah
kamu sudah siap mendengarkan hal yang sebenarnya tentang
Maya?”. “Katup jantungnya tidak sempurna, yang menyebabkan
pemompaan darah ke jantungnya tidak bisa berjalan seperti semestinya...”
sambung tante Rani tidak begitu lama kemudian. “Maya... didiagnosis Aortic
Stenosis tante..? tapi bukankah penyakit itu cukup umum....” kata Ryan
mendengar penyakit yang dialami Maya itu. “Waaahhh.... Nak Ryan ternyata
punya pengetahuan tentang medis ya? Padahal sepengetahuan tante, hal-hal
seperti itu tidak dipelajari disekolah, selain di universitas kedokteran, nak
Ryan kuliah kedokteran ya?” tanya tante Rani sambil tersenyum dan terlihat
terkesan. “Ah... Nggak juga sih tan... Saya masih SMA, cuman pernah
denger aja...” Ryan jadi sedikit tersipu. “Siswa SMA tapi sudah tau tentang
Aortic Stenosis..? Waw...” lagi-lagi tante Rani tampak menyanjung Ryan.
“Ah.... Tante... Biasa aja kok...” Ryan kembali jadi salah tingkah. “Memang
sih basicnya penyakit Maya ini seperti Aortic Stenosis, tapi ini sedikit
berbeda, karena semakin dia tumbuh, katup jantungnya akan semakin
menyempit....” tante Rani kembali menjelaskan. Ryan mengernyitkan
dahinya, karena dia tahu Aortic Stenosis tidak seperti itu. “Awalnya dia
difonis tidah akan bertahan lama, paling tidak sampai berumur 15 tahun...”
sambung tante Rani. “Li.... Lima belas tahun...? Maaf... Fonis mati tan...?”
Ryan sedikit tersentak. Tante Rani mengangguk sambil tersenyum tipis.
“Tapi kepala dokter yang menangani Maya waktu itu memiliki ide lumayan
gila yang kalau gagal saat itu juga, bisa mengancam kehidupan Maya bahkan
sebelum Maya tahu apa-apa..” cerita tante Rani. “Ide gila apa tan...?” kali ini
Ryan benar-benar penasaran. “Demi membuat Maya bisa hidup setidaknya
lebih lama dari 15 tahun, dokter itu mengatakan akan mengganti jantung
Maya, ....... dengan jantung yang terbuat dari bahan kaca yang berfungsi
layaknya jantung normal, dengan kata lain..... Jantung kaca...” terang tante
Rani. Mendengar hal itu, tidak heran kalau Ryan hampir terjatuh dari kursi
tempat dia duduk. Karena memang, sepintar-pintarnya dia, baru kali itu dia
mendengar istilah jantung kaca. “Waaahhh.... gila tuh dokter tan... tapi
ngomong-ngomong masalah mengganti jantung Maya, kenapa gak di
transplansi dengan jantung asli aja tan? Itu bisa saja membuat Maya bisa
hidup normal kan?” kata Ryan lagi. Tante Rani tetap saja tersenyum tipis.
“Dokter itu bilang, Maya adalah gadis yang istimewa, yang pantas memiliki
jantungnya sendiri, bukan jantung orang lain... dan Maya yang waktu itu
sudah tahu dan sepenuhnya mengerti tentang penyakitnya itu memang setuju
dengan ide tersebut” kata tante Rani. Ryan terdiam mendengar cerita tante
Rani. “Jadi Maya sekarang memiliki jantung.....” Ryan tidak mau
melanjutkan kata-katanya. “Iya... Maya bisa bertahan sampai sekarang berkat
jantung kaca itu...” tante Rani mengangguk membenarkan asumsi Ryan.
“Dan obat yang dibawa oleh Maya tadi adalah obat anti biotik yang juga
berfungsi untuk terus menopang sistem kerja jantung buatan tersebut, tapi
pada akhirnya takdir memang tidak akan bisa terus dihindari, sistem kerja
jantung kaca itu hanya bisa berjalan dalam jangka waktu 5 tahun saja, yang
artinya, umur Maya hanya bisa ditambah 5 tahun atau sampai dia tepat
menginjak usia yang ke 20 tahun,.... tepat saat dia meniup lilin yang ke dua
puluh, takdirnya sudah ditentukan...” kata tante Rani kali ini agak sedikit
pelan, dia menengadahkan wajahnya kelangit, tampak jelas dia menahan air
mata yang dari tadi ingin keluar ketika mengingat beban yang ditanggung
oleh anak gadis semata wayangnya itu. Ryan pun tidak bisa berkata apa-apa
mendengar cerita tentang Maya itu. “Maya... gue sama sekali gak pernah
nyangka kalo ada cewek sekuat dia, kalo ngelihat kondisinya saat ini,
sepertinya ide dokter gila itu memang berhasil sepenuhnya, Maya sudah
ngelewatin masa fonis 15 tahunnya, ternyata ada juga manusia yang bisa
hidup dengan jantung yang terbuat dari kaca, dia memang cewek yang
istimewa....” kata Ryan dalam hati. Bermaksud untuk mencairkan suasana...
“Tapi serius tan... tuh dokter emang gila, kok bisa buat ide kayak gitu, itu
kan bahaya kalo gagal, semua harapan tante bisa hancur hanya dalam
sekejap, siapa sih dokter gila itu tan...? Apa dia bener-bener dokter spesialis
jantung?” tanya Ryan sambil meneguk minumannya. “Dokter yang punya
ide gila itu memiliki dua gelar spesialis, dia dokter jantung sekaligus dokter
kandungan...... dokter itu... Papanya Maya...” kata tante Rani yang akhirnya
kembali tersenyum simpul. Tapi... “Bbbbbrrrrrr......!!” semua air teh yang
ada di mulut Ryan langsung menyembur keluar ketika mendengar kalau
dokter yang dia sebut gila tadi ternyata ayahnya Maya, dengan kata lain, dia
mengatakan kalau dokter itu gila didepan istri sang dokter itu sendiri. Tante
Rani malah terlihat menahan tawanya sambil memberikan Ryan tisu yang
memang sudah ada dimeja tersebut. “Pa.... Papanya Maya tan...?” kata Ryan
sambil mengambil tisu itu dan mengelap bibirnya yang hampir terlihat
belepotan air teh tadi. Tante Rani mengangguk pelan. “Ma.... Maaf ya tan...
tadi saya bilang....” Ryan terlihat benar-benar sangat malu sekali, malunya
sudah tidak ketulungan lagi karena kata-katanya sendiri. “Gak apa-apa kok
nak Ryan... Tante juga mikir seperti itu dulu ketika papa Maya ngomong gitu
ama tante...” jelas tante Rani.
Karena merasa enak mengobrol dengan ibunya Maya, Ryan tidak
sadar kalau waktu sudah beranjak sore dan hampir petang. Ryan melirik jam
tangannya, ternyata sudah hampir pukul 5 sore. “Adduuhh tan... maaf ya?
Udah sore nih... Kayaknya saya harus pulang...” kata Ryan. Tante Rani
kembali mengangguk pelan sambil tersenyum. Ryan pun berdiri dan
kemudian pamit. “Maya....??? Ryan mau balik nih...” tante Rani sedikit
berteriak memanggil Maya. Ketika Ryan mulai melangkah menuju tempat
mobilnya parkir.... “Pada usianya yang ke 18 tahun, setahun yang lalu,
kondisi Maya mulai menunjukkan penurunan, dia mulai batuk darah, sering
terjadi gejala mimisan dan dia sudah tidak bisa terlalu lama berada diluar
rumah karena tubuhnya tidak akan bisa menahan udara luar jika terlalu lama,
karena itu dia tante berhentiin sekolah dan menjalani home schooling yang
tante lakukan secara pribadi, jadi maafin ya kalau dari tadi dia gak ikut
duduk sama nak Ryan...” kata tante Rani yang membuat Ryan berhenti
melangkah. “Semenjak teman-temannya mengetahui akan penyakit Maya
itu, mereka satu persatu berhenti datang kesini, bukannya berprasangka
buruk, tapi mungkin wajar saja jika mereka berfikir, percuma memiliki
teman yang hanya berumur singkat seperti Maya, ..... terkadang tante juga
berfikir... Maya mungkin tidak ubahnya seperti zombie, tubuhnya mungkin
sudah mati empat tahun lalu, yang membuatnya bisa berjalan, dan tersenyum
bebas saat ini hanyalah semangat dan ketegarannya saja...” kata tante Rani
menambahkan. Ryan tidak menjawab dan malah melanjutkan langkahnya
ketika Maya mulai terlihat keluar rumah dan melangkah kearah mamanya,
Ryan memandang Maya sambil terus melangkah, Maya pun tersenyum
simpul pada Ryan. Belum sampai didepan mobilnya, Ryan berhenti,
disampingnya tampak tumbuh bunga mawar putih yang lumayan rimbun.
Ryan terus memandang bunga itu, dan tidak begitu lama, dia kemudian
membungkuk untuk memetik setangkai dari rimbunan bunga mawar putih
tersebut. Setelah itu, dia mengambil alat yang digunakan untuk menanam
bunga yang berada tidak jauh dari sana dan kembali ketempat tante Rani dan
Maya berdiri. Setelah sampai ditempat mereka, Ryan langsung menanam
setangkai bunga mawar putih yang dia petik tadi. Dia memandang Maya
yang dari tadi tidak mengatakan sepatah kata pun itu, dan kemudian
memandang tante Rani. “Tante.... besok saya akan kembali untuk merawat
bunga ini, kecuali saya atau Maya, jangan biarkan siapapun merawat bunga
ini...” kata Ryan yang membuat tante Rani sangat terkejut sekali, dia tidak
menyangka kalau Ryan akan mengatakan hal seperti itu. “Untuk jaminannya
kalo saya bakalan balik besok...” sambung Ryan sambil merogoh saku
jaketnya dan mengeluarkan sebuah boneka porselen berukuran kecil
berbentuk bidadari dengan sayap birunya, dan memandang Maya. “Boneka
ini dikasi ama mama aku di ultah aku yang pertama..” kata Ryan pada Maya.
“Dia bilang boneka ini adalah malaikat pelindung aku saat dia gak ada
disamping aku.... Dan emang bener... Bidadari Bersayap Biru ini terus
ngejaga aku selama 20 tahun ini.... May.... Aku titipin boneka ini ke kamu
ya? Aku yakin dia bisa ngejaga kamu seperti dia ngejaga aku sampai usia
aku 20 tahun, tahun ini....” kata Ryan sambil menyodorkan boneka bidadari
bersayap biru itu kepada Maya. Awalnya Maya terdiam saja, tapi akhirnya
dia kembali tersenyum sambil mengambil boneka itu. Tante Rani
terperangah melihat Ryan sampai melakukan hal tersebut untuk anaknya,
padahal mereka baru kenal hanya beberapa jam yang lalu. “Stay healthy
yoo...” kata Ryan tersenyum lebar pada Maya sambil mengacak-acak rambut
gadis itu dengan lembut seolah-olah dia telah lama akrab dengan Maya.
Maya pun mengangguk pelan. “Tante..? Saya pamit dulu...” kata Ryan. Tapi
Tante Rani saat itu tidak bisa berkata apa-apa melihat ketulusan yang
terpancar begitu jelas dari Ryan. Tanpa menunggu respon dari Tante Rani,
Ryan pun kembali melangkah menuju tempat mobilnya di parkir, dan ketika
Ryan menyalakan mesin mobilnya.... “Nak Ryan....” kata tante Rani yang
ternyata sudah berdiri didepan pintu mobil Ryan. “Maya bukan zombie ato
apapun yang tante sebut tadi, Maya itu..... Adalah bidadari.... Maha Karya
Tuhan yang terindah bagi saya.... Maya itu bukan gadis cacat, dia justru jauh
lebih sempurna dari siapapun yang ada disini sekarang ini. Mereka yang
menjauhi Maya hanya karena mengetahui Maya memiliki waktu yang
singkat, merekalah yang sebenarnya „sakit‟, mereka itu „palsu‟, mereka itu
hanyalah bibit-bibit „penjilat‟ yang biasa saya lihat dijalanan, lebih baik
mereka memang pergi ninggalin Maya daripada nantinya malah „menulari‟
Maya dengan „penyakit-penyakit‟ menyedihkan dan menjijikkan mereka itu,
dan tante.... jangan jadiin diri tante menjadi ibu yang palsu buat Maya,
karena belum tentu tante bisa seperti Maya.... Belum tentu tante bisa sekuat
Maya, yang menanggung beban berat seperti itu sendirian.... dengan
senyuman yang begitu manis dan tulus... kalo tante masih memiliki
pemikiran seperti itu, sebaiknya tante bunuh saja Maya dengan tangan tante
sendiri, daripada harus membiarkannya tersiksa menunggu ajalnya yang
tinggal sebentar lagi, dia gak mau ngebebanin tante dengan keadaannya, jadi
jangan bebani dia dengan pikiran buruk tante itu...” dengan dinginnya Ryan
menusuk-nusuk tante Rani dengan kata-katanya itu, yang membuat tante
Rani tidak mampu berkata apa-apa. Ryan memang adalah anak yang tidak
memiliki hati. Tapi kali ini, dia mengatakan kata-kata sesadis itu justru
murni dengan hati dan perasaan yang begitu tulus untuk Maya. “Dan satu hal
lagi tan...” kata Ryan. “Meskipun tubuhnya mungkin gak kuat jika dibiarkan
terlalu lama diluar rumah, bukan berarti tante harus mengurungnya terus
didalam rumah, justru karena dia memiliki waktu yang singkat, biarkan dia
merasakan seperti apa suasana luar rumah yang begitu nyaman ini, saya
mungkin bakalan ngeliatin dia indahnya dunia luar, bagaimana cara hidup
orang-orang normal dan, saya „pasti‟...” Ryan memperjelas kata-kata
terakhirnya itu. “Akan terus berada disisinya demi hal-hal seperti itu, jadi...
jangan larang saya meskipun bukan hak saya untuk melakukan hal tersebut,
mungkin tadi saya mengatakan om itu gila gara-gara membahayakan Maya
agar Maya bisa hidup lebih lama lagi... dan itu terbukti berhasil... sekarang
saya mengerti kenapa om bisa segila itu.... dan saya akan melakukan hal
„gila‟ yang lainnya lagi yang mungkin akan membahayakan Maya, tapi
untuk bisa..... mengisi saat-saat yang begitu sangat berharga buat Maya ini...
dengan kebahagiaan yang pantas untuk dia dapatkan” kata Ryan tetap
dengan nada sangat dingin. Setelah berkata seperti itu pada tante Rani, dia
pamit untuk yang ketiga kalinya. Mobil Ryan akhirnya menghilang dibalik
gerbang rumah itu.
Tante Rani menghapus air mata yang dari tadi keluar dari matanya itu
dan berbalik. Saat itu dia melihat Maya menaburkan sesuatu ke bunga mawar
putih yang ditanam oleh Ryan waktu itu, dan kemudian memandang langit.
Boneka Bidadari Bersayap Biru yang diberikan Ryan tadi itu tetap berada
didekapannya, ukuran boneka itu sedikit lebih besar dari genggamannya.
Maya tersenyum sambil terus memandang langit senja yang berwarna jingga
itu, senyuman yang seolah-olah dia baru saja terbebas dari sesuatu yang
membelenggunya selama ini. Senyuman bebas yang bahkan selama 19 tahun
ini tidak pernah sama sekali dilihat oleh tante Rani. Karena itu tante Rani
benar-benar tidak bisa menahan aliran air matanya yang seketika mengalir
deras itu. Selama ini kata-kata Ryan memang selalu membuat para kaum
hawa menangis sedih, tapi kali ini tante Rani bukan dibuat menangis sedih
oleh Ryan, akan tetapi itu adalah tangisan terharu, bahagia yang begitu
mendalam sekali. Semilir angin spoi-spoi saat itu menyapu rambut hitam
Maya yang lurus sepanjang pinggang itu dan terlihat begitu indah sekali, dia
kemudian mengaitkan sedikit helaian rambutnya itu ke atas telinganya
sambil terus tersenyum. “Ryan....” katanya pendek tapi begitu penuh arti.
Setelah susah payah menghapus air matanya, tante Rani kemudian mendekati
Maya dan mengajaknya memasuki rumah dengan senyuman yang terlihat
begitu lega.
***
Chapter 4
THE ROYAL BLOODS AND THE PRINCESS WITH HEART OF
GLASS
Ryan mematung, tatapannya begitu kosong, menembus dinding yang
ada sekitar enam meter didepannya itu. “Woooeeee.... Pangeran....” Edo
sedikit berteriak karena dari tadi dia memanggil-manggil Ryan tapi tidak
mendapat respon. Ryan terhenyak dari lamunannya. “Apa...” jawab Ryan
pendek. “Loe nape hah? Kesambet..?! Kok jadi aneh kayak gitu, seumur-
umur gue ame loe, gue kagak pernah liat loe ngelamun ampe gak denger kiri
kanan loe...” sambung Edo sambil membelai rambut seorang perempuan
yang sedang duduk dipangkuannya saat itu. Ryan tidak menjawab, tapi
malah memandang Edo dengan tatapan kosong. Melihat hal itu, Rafael yang
dari tadi tiduran di pangkuan ceweknya, langsung mengambil posisi duduk.
“Din...? Loe kan bar tender nih, racikin minuman yah?” kata Rafael. “Tapi
kan udah tadi gue racikin Raf...” kata perempuan yang bernama Dinda itu.
“Lagi dah... Yang laen... Yah?” balas Rafael yang tampaknya „mengusir‟
Dinda dengan halus. “Mel...? Sin...? Please bantuin Dinda yah..?” sambung
Rafael sambil memandang dua perempuan lainnya yang saat itu sedang
asyik-asyiknya bersama Edo dan Eric. Kedua perempuan itu pun langsung
pergi mengikuti Dinda ke bar yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka
duduk-duduk itu. Keadaan cukup hening sejenak. “Yan...?” kali ini Rafael
yang memanggil Ryan dengan nada bertanya karena dia juga merasa kalau
sohibnya itu memang terlihat tidak seperti biasanya saat itu. Ryan terdiam
untuk beberapa saat. “..... Gue kayaknya mau udahan deh... kayak gini terus
bro...” kata Ryan pelan. Eric mengernyitkan keningnya karena tidak
mengerti. “I.... don‟t really catch your point here...” kata Eric yang memang
tidak mengerti maksud perkataan Ryan tadi. “O‟on loe bule... maksudnya
Ryan itu... dia mau berenti jadi cowok... mau ganti kelamin kali...
hahahahahahaa...” Edo tertawa sendiri bermaksud membuat lelucon. Rafael
dan Eric menatap tajam Edo, yang membuat Edo menghentikan tawanya
sedikit demi sedikit, dan akhirnya terdiam tidak berkutik. Keadaan kembali
hening, kali ini mereka bertiga menunggu Ryan untuk menjelaskan
semuanya dengan detail. “Hari ni gue ketemu seorang cewek...” kata Ryan
memulai ceritanya yang bertemu dengan Maya tadi siang. Yaelah.... Segitu
aja? Padahal gue udah ngarepin cerita yg lebih seru lagi...” Kata Edo sambil
berdiri dan berniat menyusul Dinda yang saat itu sedang meracik minuman
untuk mereka di mini bar. Tapi Eric malah memegang pergelangan
tangannya ketika Edo melangkah akan melewati dia. Edo memandang Eric
yang saat itu tengah menatapnya tajam seolah-olah mengatakan “Sit down
Do.... He is your brother, so give a little respect to him...”. “Gue gak pandai
jadi pendengar setia.... Dia gak perlu cerita apa-apa ke gue, yang perlu dia
lakuin ya cuman ngajak gue ketemu langsung face to face ma tuh cewek.
Gue pengen liat gimana sih rupa cewek yang mampu ngebuat nih anak jadi
galau kayak gini....” kali ini nada bicara Edo yang berubah, sepertinya dia
tidak sedang bercanda dengan kata-katanya itu, dia terdengar sedingin Ryan
yang Rafael dan Eric saja tidak pernah melihat Edo seperti itu. Tapi Ryan
terlihat tidak terkejut sama sekali dan terus menundukkan kepalanya
mendengar kata-kata Edo tadi. “Besok sore.... Ngeliat loe kayak gini, gue
yakin loe bakalan balik lagi buat nemuin tuh cewek, jangan ampe loe
ngebawa gue ke cewek murahan yang biasa loe jadiin „gantungan kunci‟
kayak biasanya. Cewek kayak gitu-gitu gak pantes ngebuat loe jadi keliatan
bodoh kayak gini...” sambung Edo lagi sambil melangkah setelah Eric
akhirnya melepaskan pergelangan tangannya.
Edo bukannya tidak menghormati Ryan dengan bertingkah seperti
itu, justru saat-saat seperti itulah Edo menunjukkan respect tertingginya
kepada Ryan. Dia bertingkah seperti itu karena dia memang sepenuhnya bisa
membaca gelagat Ryan, bisa membaca isi hati Ryan yang tidak semua orang
bisa mengerti. Edo adalah satu-satunya anak yang bisa benar-benar mengerti
Ryan. Bukan Henry, bukan Helen, bukan Rafael, bukan Eric. Tapi anak yang
selalu bertingkah konyol, dan tidak jelas itu, Edo. Terlepas dari sikap Edo
yang selalu mengganggu Ryan, mengejek Ryan, menginjak-injak harga diri
Ryan, hati dan perasaan mereka berdua sudah singkron tanpa mereka sadari
sendiri. Ryan yang saat itu ditinggalkan oleh Edo akhirnya menceritakan
semuanya kepada Eric dan Rafael, semuanya, termasuk kekurangan yang
dimiliki oleh Maya. Eric dan Rafael tidak bisa berkata apa-apa mendengar
cerita Ryan tentang Maya. Keesokan harinya, seperti yang dikatakan Edo,
sorenya Ryan membawa ketiga temannya ke rumah Maya. “Inget... jaga
sikap, sifat, omongan dan etika kalian... Kita gak sedang di club ato dirumah
gue...” kata Ryan sebelum keluar dari mobil. Eric dan Rafael terdiam. Ryan
memandang tajam kearah Edo. “Apa...” tanya Edo. “Isn‟t it a bit hard for
you to do so....?” kata Eric. “Maksud kalian, cuman gue yang gak bisa jaga
mulut gue...?!” kata Edo yang tanpa menunggu yang lain, dia langsung saja
keluar dari mobil. Saat itu tante Rani yang tengah melakukan rutinitas
sorenya di taman bunga melihat Ryan yang datang, langsung mendekati
mereka. “Nak Ryan bawa teman ya...” kata tante Rani sambil tersenyum.
“Ah... Iya tan... Ini temen-temen sekolah saya” kata Ryan. Edo sedikit
melangkah maju, sepertinya dia berniat memperkenalkan dirinya. “Nama
gu...” Edo tidak bisa melanjutkan kata-katanya, wajahnya terlihat menahan
sakit. Ternyata Ryan mencubit pinggangnya dari belakang. Edo
memandangnya sambil memegang pinggangnya karena sedikit kesakitan.
Tante Rani saat itu hanya bisa menyembunyikan senyumnya melihat gelagat
mereka. “Na... Nama saya Edo, tante.... Saya temennya Ryan dari kecil, bisa
dibilang saya udah jadi kayak saudara kadungnya Ryan gitu...” kata Edo
mengulangi kalimatnya. “Mmm... Iya, kalian memang terlihat seakur
saudara...” balas tante Rani. „Akur tan...? malah sebaliknya, kami gak pernah
akur dari dulu....” kata Edo sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sama
sekali tidak gatal itu. “Saya Rafael tante...” kata Rafael sopan sambil sedikit
membungkuk hormat. Tante Rani tersenyum simpul ke arah Rafael.
“Ahhh.... A foreigner... What‟s your name... Young boy...?” belum Eric
mencoba memperkenalkan diri, tante Rani sudah terlebih dahulu
menanyakan namanya. “It‟s Eric, Ma‟am... And it‟s okay if you use
Indonesian, I‟m completely understand...” seperti Rafael, etika Eric pun
tampaknya sudah terlatih. “Waw... Jadi nak Eric mengerti bahasa Indonesia
toh.... Well... That‟s cool....” balas tante Rani. “Yes ma‟am.... but I prefers
English in a conversation for myself...” kata Eric. “Mmmm.... Nak Eric bisa
berbahasa Indonesia..?” tanya tante Rani. “Yes, ma‟am...” jawab Eric
pendek. “Kalau begitu kenapa gak ngomong pake bahasa Indonesia aja biar
semua orang mengerti...” tante Rani kembali bertanya. Eric terlihat ingin
menjelaskan tapi... “Kalo dia ngomong pake bahasa Indo, bakalan ngondek
tan... itu tuh... kayak.. Udah ujan... jalanan becek, gak ada ojek....” kata Edo
mendahului Eric sambil menirukan gaya bicara artis Cinta Laura. Saat itu
tante Rani sudah tidak bisa menahan tawanya melihat gelagat Edo. “Mmm...
tan...? Mayanya.... Boleh keluar...?” tanya Ryan. Tante Rani langsung
menghentikan tawanya yang dari tadi tengah tertawa mendengar kata-kata
Edo itu dan langsung memandang Ryan, begitu pula dengan Ryan yang terus
menatapnya menunggu jawaban yang akan diberikannya atas pertanyaan
Ryan tadi. Keadaan menjadi hening untuk sejenak. Tidak lama kemudian
tante Rani tersenyum. “Kalian duduk-duduk aja dulu ditaman ya...? sebentar
tante panggilin Mayanya...” kata tante Rani dan kemudian berjalan kearah
rumah. Ryan langsung melangkah ke bangku taman tempat dia mengobrol
dengan tante Rani kemari dan disusul oleh Rafael. “I‟ll fucking kill you...”
kata Eric berbisik di telinga Edo sambil berjalan mengikuti Ryan dan Rafael.
“Uuuu~ so scary...” jawab Edo berpura-pura ketakutan dengan ancaman Eric
tadi.
Tidak beberapa lama kemudian tante Rani keluar dari dalam rumah
diikuti oleh seorang gadis. Gadis itu menggunakan baju hangat berpola garis
ungu dan putih dengan syal yang berwarna ungu pula. Ya, gadis itu adalah
Maya. Maya berjalan kearah tiga anak yang tengah duduk sambil bercanda di
bangku taman itu sedangkan Ryan tengah menyirami sepucuk bunga mawar
putih yang kemarin dia tanam. Setelah sampai didepan ketiga anak itu...
“Hay...” kata Maya lembut sambil tersenyum. Edo, Rafael, dan Eric yang
baru kali itu melihat sosok Maya, ternganga, terbelalak, tidak mampu
berkata-apa-apa. Lumayan mereka mematung seperti itu didepan Maya, hal
itu benar-benar terlihat konyol sekali untuk ukuran anak yang memang selalu
bertingkah konyol. “May.... Taruhin tanah mulut tuh anak-anak, kalo nggak
bakalan penuh ma laler ijo....” teriak Ryan dari kejauhan yang tengah
membersihkan tangannya. “Bu.... Buju busyet dah Yan..... Ini manusia ato
bidadari sih.... baru kali ni gue liat cewek secantik ini...” kata Edo,
tampaknya dia tidak sadar berkata seperti itu didepan Maya dan tanpa
berkedip sama sekali sementara Rafael dan Eric benar-benar tidak bergerak
sama sekali. Maya hanya tertawa kecil mendengar kata-kata Edo itu.
“Bidadari mata loe peyang, mana mungkin Tuhan ngasi loe ngeliat
bidadari.... Maya ini ya manusia biasa kali....” kata Ryan yang saat itu sudah
berada disamping Maya. Maya memandangnya, begitupun Ryan yang
membalas pandangan Maya. “Hanya saja... gadis yang satu ini lebih
sempurna dari gadis-gadis lain yang selama ini kita kenal...” kata Ryan
dengan nada lembut sambil tersenyum kearah Maya. Entah sejak kapan sikap
Ryan benar-benar berubah. Terlihat jelas kalau kata-kata dia waktu itu
bukanlah kata-kata picisan yang selama ini dia gunakan untuk mengambil
hati perempuan-perempuan lainnya. Kata-kata itu benar-benar keluar dari
lubuk hati Ryan yang terdalam, bagian hati yang selama ini Ryan kunci
rapat-rapat, bagian yang sudah menjadi sebuah „tabu‟ bahkan untuk dirinya
sendiri. Sekarang terbuka lebar, debu yang sudah menumpuk di tempat itu
dalam sekejap menghilang, mendungnya dunia Ryan seketika berubah cerah,
satu warna yang Ryan selama ini kenal yaitu hitam, akhirnya berubah
menjadi seribu warna. Dan hal itu bisa terjadi dalam sekejap mata, hal yang
bahkan, mungkin dunia tidak bisa rubah dari Ryan, bisa dirubah oleh sesosok
gadis biasa yang mengidap penyakit tidak tertolong lagi seperti Maya.
“Hanya saja yang perlu kamu tau Do, Maya ini punya sedikit masalah....”
kata Ryan lagi, kali ini dengan nada sedikit serius. Inilah tujuan dia
mengajak teman-temannya itu menemui Maya, bukan untuk memamerkan
kecantikan gadis yang dia temui kemarin, tapi untuk memberi tahu mereka
sesuatu yang dilihat sebagai kelemahan dari diri seorang Maya oleh orang
lain, tapi kelebihan yang sangat luar biasa dari kaca mata Ryan sendiri.
“Masalah...?” tanya Edo kali ini sedikit penasaran. Ryan memalingkan
pandangannya kearah Maya. Tapi gadis yang satu itu benar-benar tidak
pernah kekurangan senyum, padahal beban yang dia emban saat itu benar-
benar berat yang tidak semua orang bisa emban, dia mengangguk pelan
sambil memandang Ryan. Melihat hal itu, Ryan menarik nafas panjang.
“Maya gak kayak kita, dia bertahan hidup sampai sekarang dengan bantuan
alat... Dia adalah satu-satunya gadis berjantung kaca....” kata Ryan yang
membuat Edo hampir terjerembab kebelakang karena saking kaget dan tidak
percaya dengan kata-kata Ryan. “Dia difonis hanya bisa hidup sampai
umurnya mencapai 20 tahun, dan hal itu akan terjadi delapan bulan lagi,
tepat dimalam tahun baru...” Ryan melanjutkan penjelasannya tanpa
menunggu Edo merespon. Mendengar hal itu,trio kwek-kwek yang biasanya
memiliki bahan obrolan tanpa batas itu tidak mampu untuk berkomentar
sedikitpun tentang penjelasan Ryan tadi, mereka terdiam, dengan ekspresi
penuh simpati mengetahui hal seperti itu. Begitu pula dengan Ryan, dia
terdiam dan tertunduk setelah mengatakan hal tersebut. Melihat hal itu, Maya
melangkah dan menarik pergelangan tangan Ryan. “Ajak temen-temen
duduk dong Yan...? gak capek berdiri terus...?” Maya memecahkan suasana
hening itu dengan nada dan gaya bahasanya yang begitu sangat lembut itu.
Tidak lama kemudian suasana pun kembali mencair. Tante Rani melihat sore
itu benar-benar adalah sebuah anugrah, karena anaknya Maya, kembali bisa
tersenyum lepas, mengobrol dan bercanda kembali. “Maya bukan zombie
atau apapun yang tante sebut tadi.... Dia justru jauh lebih sempurna dari
siapapun yang ada disini sekarang ini” tante Rani terhenyak, dia teringat
akan kata-kata Ryan kemarin yang benar-benar sudah menyayat-nyayat,
meremas-remas perasaannya itu. “Maafin mama ya May....? Mama tidak
seharusnya mengurungmu selama ini... Dan terimah kasih... karena kamu
sudah hidup sampai sejauh ini...” kata tante Rani dalam hati sambil melihat
anak gadisnya itu sedang asyik bercanda gurau dengan anak-anak yang
diluar sana disebut-sebut sebagai sang penghancur hati, The Royal
Bloods. Malam harinya setelah pulang dari rumah Maya. Ryan, Edo, Rafael,
dan Eric langsung pergi clubing. Seperti biasa mereka hura-hura, minum-
minum dan melakukan hal yang biasa mereka lakukan selama ini. Kemudian
ditengah-tengah acara hura-hura itu, tiba-tiba Edo menarik Ryan keluar dari
kerumunan. Hal itu disadari oleh Rafael dan Eric, tapi mereka tidak ikut
menyusul. “Loe serius Yan...?” nada bicara Edo saat itu berbeda dari
biasanya. “Hah..?” Ryan tidak mengerti maksud Edo. Edo tidak mengatakan
apa-apa tapi memandang Ryan dengan begitu tajam untuk beberapa saat, tapi
Ryan tidak menatap Edo saat itu, dia terus meneguk minuman yang ada
digelas yang dia pegang dari tadi itu. “Loe pikir apa yang bakalan terjadi
kalo loe nyampakin cewek dengan kondisi seperti itu... Hidupnya udah
ditentuin bakalan sampe kapan dan itu gak lama.... Apa loe bermaksud
mempercepa...” Edo tidak melanjutkan kata-katanya karena tepat saat itu
Ryan menatapnya. “Loe liat ada tanda gue bakalan nyampakin dia...?” kata
Ryan dingin. Edo tidak menjawab. “Loe serius..?” Edo mengeluarkan
pertanyaan awalnya tadi. “Loe gak bodoh Do... Gue yakin... gue tau.. loe
yang paling bisa baca jalan pikiran gue, kita tu barengan ri masih bayi, apa
yang gak loe tau ri gue...?” balas Ryan. “Dua puluh tahun kita idup bareng
seperti sodara, ini pertama kalinya gue minta jawaban loe secara langsung....
Karena ini kali pertamanya gue naruh simpati yang begitu dalem ama
seorang cewek, yang mungkin bakalan ngebuat gue lebih mihak dia daripada
loe, tergantung jawaban loe atas pertanyaan gue tadi...” kata Edo lagi.
Seolah-olah mereka saling tusuk menusuk dengan kata-kata dingin mereka.
Ryan terdiam untuk sejenak, suasana hiruk pikuk tempat itu seolah-olah
tidak mempengaruhi telinga Edo yang ingin mendengar jawaban Ryan saat
itu. “Loe masih inget pas kita masih esde kelas empat dulu, gue kelai terus
dikeroyok ama anak kelas enam terus loe tiba-tiba dateng kayak pahlawan
kesiangan gitu, abis tu loe bilang apa ma gue...?” Ryan kembali bertanya
sambil memalingkan pandangannya dari Edo. Edo yang ditanya seperti itu
oleh Ryan tiba-tiba mengalami flashback.
“Heeehh....!!!! Kalian para banci bener-bener gak punya malu ye ngeroyok
anak kecil kayak gini....” kata Edo kecil yang berdiri didepan Ryan yang
saat itu sudah tersungkur penuh luka. “Kamu siapa!!! Pergi ato kalo gak
aku pukulin juga nih...” kata salah seorang dari mereka mengancam Edo.
“Aku aduin pak guru kalian...” kata Edo yang kelihatan sedikit ciut juga
melihat beberapa anak kelas enam itu mendekati dia. “Keroyokin aja....”
kata salah seorang lagi. ...... Hari pun menjelang sore, Edo yang penuh luka
disekujur tubuhnya itu memapah Ryan yang tidak kalah „rusak parah‟ itu
pulang. “Kamu kebanyakan nonton film Ultraman nih... Coba tadi kamu lari
ngadu ke pak guru, gak bakalan jadi kayak gini kan...” kata Ryan sambil
menahan sakit. “Gak bakalan keburu, kamu bakalan jadi lebih parah dari
ini kalo aku pergi ngadu, lagiyan.... aku gak mungkin ninggalin kakak aku
dikeroyok gitu aja kan?” jelas Edo. “Kakak...?” Ryan terlihat tidak
mengerti. “Iya, kamu kan kakak aku...” balas Edo. Ryan tidak menjawab.
Mereka terus berjalan. “Kamu sendiri kebanyakan nonton film Superman,
pake ngelawan anak-anak kelas enem segala...” kata Edo lagi. Dan kata-
kata itu membuat mereka tertawa terbahak-bahak sepanjang perjalanan,
yang secara alami membuat mereka tidak merasakan sakit yang mereka
rasakan bersama itu. Dan sebelum sampai didepan gerbang rumah Ryan,
mereka berhenti. Tiba-tiba Ryan menaruh tangan kanannya dikepala Edo.
“Untuk selanjutnya, aku sebagai kakak, janji bakalan ngejaga kamu ampe
orang tua kita masing-masing pulang dan ngejaga kita untuk seterusnya...”
kata Ryan polos sambil tersenyum. Mendengar hal itu Edo tidak mampu
berkata-apa-apa.
Dan setelah Edo selesai mengingat kenangan masa lalu itu, tiba-tiba saja
tangan kanan Ryan sudah ada dikepalanya. “Gue sebagai kakak loe.... janji
bakalan ngejaga Maya, sampe waktunya tiba....” kata Ryan. Edo terdiam,
seperti dulu, dia tidak mampu berkata apa-apa mendengar Ryan berkata
seperti itu. Tanpa menunggu respon dari Edo, Ryan pun kembali melangkah
ketempat dimana dia berkumpul tadi. Tidak lama kemudian, Edo tersenyum
tipis. “Akhirnya, dia kembali seperti dulu juga...” kata Edo dalam hati dan
menyusul Ryan.
Malam itu mereka berpoya-poya, berhura-hura sampai larut malam.
Tapi itu adalah malam terakhir mereka melakukan hal-hal seperti itu.
Keesokan harinya, Ryan membuka lembaran baru kehidupannya, dia
menghabiskan delapan puluh persen waktunya dalam sehari bersama Maya.
Dia meninggalkan dunia malam, meskipun terkadang dia datang dan berpacu
di arena balap liar. Tidak tanggung-tanggung terkadang dia membawa Maya
untuk hanya sekedar menonton. Dia benar-benar menunjukkan indahnya
kehidupan kepada Maya, tentunya secara positif, tidak ada lagi sisi negatif
yang tersisa dari dalam diri Ryan sejak pertemuannya dengan Maya. Putri
Jantung Kacanya itu. Tapi satu hal yang mereka lupakan, waktu itu tidak
berhenti, dia terus berjalan tidak perduli situasi dan kondisi yang tengah
terjadi. Sang waktu terus berjalan menuntun Maya menuju gerbang terakhir
kehidupannya itu. Lima bulan berlalu tanpa mereka sadari. Malam itu Ryan
merebahkan diri ditempat tidur sementara ketiga temannya sedang main
game diruang tamu. Dia memandang hapenya. Tidak lama kemudian dia
memencet speed dial yang ada di keypad hapenya itu, dia memanggil nomor
seseorang. Tidak lama kemudian panggilan Ryan itu terjawab. “Mah....
Kalian bisa pulang...?” kata Ryan.
***
Chapter 5
A BIG DAY FOR A LITTLE TIME
Mobil Edo memasuki pekarangan rumah Maya dan langsung saja
terparkir didepan garasi rumah itu. Edo keluar dari dalam mobil. Menoleh
kesana kemari sambil melangkah kearah Maya yang saat itu berdiri tengah
menyirami serumpun bunga mawar putih. Menyadari Edo berjalan mendekat
kearahnya dia pun menghentikan aktivitasnya itu dan tersenyum ke arah
Edo. “May... Ryannya dimana yak..? Tadi pas aku nyampe dirumahnya dia
gak ada tuh, padahal kayaknya om sama tante baru ja nyampe...” kata Edo
sambil sedikit cengingisan sambil menggaruk-garuk kepalanya. Terlihat
sekali kalau dia masih agak-agak malu berada didekat Maya seperti itu
walaupun kenyataannya mereka sudah kurang lebih lima bulan ini sering
menghabiskan waktu bersama. “Ryan pergi ke apotik Do... Gak lama lagi
balik kok, Edo tungguin aja ya..?” jawab Maya dengan begitu sangat lembut.
“Mmmm....” Edo mengangguk-angguk pelan. Maya kembali menyirami
rumpunan bunga tadi tapi kali ini dengan posisi duduk. Edo memandang
bunga itu. “Wah... mawarnya udah segini rimbun yah...? Aku baru sadar
lho...” kata Edo sambil tersenyum tipis dan melipat kedua tangannya didepan
dada. “He‟em... Ryan bener-bener ngerawat bunga ini dengan sangat baik...”
balas Maya sambil tersenyum. “Kayaknya tuh anak cocok deh jadi penjual
bunga, bener-bener bakat terpendam... Hahahahahaha...” Edo tertawa
terbahak-bahak. “Uhuk...! Uhuuk..!” saat itu Maya malah sedikit terbatuk.
Dia menutup mulutnya dengan sapu tangan putih yang dari tadi dia pegang.
Melihat hal itu Edo berhenti tertawa. “Adduuhh... Maaf, maaf May....
tertawa ku terlalu gede yah..? Maaf yah...” kata Edo kembali menggaruk-
garuk kepalanya yang tidak gatal itu. Ketika Edo melihat sapu tangan tadi
saat itulah terlihat jelas bercak warna merah menempel disana. “Darah...”
kata Edo dalam hati dengan wajah pucat. “Ma... Maya!... Kamu...!” Edo
berniat mendekati Maya tapi seketika berhenti karena Maya memberi isyarat
untuk tidak mendekat. Maya memandang Edo dengan senyuman. “Aku baik-
baik aja kok... Edo gak usah khawatir... Ini udah biasa...” kata Maya pelan.
“Ta... Tapi.... Aaahh....!! Sialan tuh anak...!! pergi ke apotik ato nongkrong
sih...?! Pake mobil ato becak sih...?! Lama amat...!! Aku telpon dia aja kali
yak biar cepetan dateng...” kata Edo masih dengan wajah pucat dan salah
tingkah karena benar-benar khawatir melihat Maya batuk darah seperti itu.
Terang saja, batuk darah dengan penyakit separah dan sebahaya itu pasti
akan membuat siapa saja akan merasa khawatir bukan main sama halnya
seperti Edo saat ini. “Do.... Do.... Udah... Gak usah nelpon Ryan... dia pasti
sedang dalem perjalanan, aku gak mau dia nyetir buru-buru kalo Edo nelpon
bilang yang nggak-enggak gitu...”kata Maya sambil berdiri. “Tapi May...”
balas Edo. Saat berdiri itu pandangan Maya menjadi sedikit mengabur,
kepalanya sedikit pusing dan dia merasakan seperti rasa tusukan didada
bagian kirinya. Tapi untuk membuat Edo tidak khawatir dia tidak
mengatakan apa-apa dan berusaha untuk tetap seimbang dalam posisi berdiri
dengan keadaan seperti itu. Dia memandang Edo dan tersenyum. “Edo mau
janji kan kalo Edo gak bakalan ngasi tau Ryan tentang apa yang Edo liat hari
ini...?” kata Maya pelan. Edo tidak menjawab. “Edo janji ya...?” sepertinya
Maya memaksa Edo untuk berjanji kepadanya. “Siaaaaalllllll......!!!!!!! Gue
harus gimana kalo udah kayak gini....!!! Maya terlihat gak baik sekarang
ini...!!!!” kata Edo dalam hati, tapi akhirnya dia mengangguk pelan tanda
berjanji kepada Maya untuk tidak memberi tahu Ryan tentang apa yang dia
lihat saat itu. Maya pun membalas Edo dengan senyuman manisnya. Edo
terus menatap Maya, wajahnya masih terlihat pucat, tapi memang tidak
sepucat tadi. “Aku panggilin tante yah...” kata Edo. “Do...” balas Maya.
“Aku janji ama kamu buat gak ngasi tau Ryan. Aku gak janji buat gak ngasi
tau tante. Hal ini mungkin udah biasa buat kamu, tapi gak buat aku...” kata
Edo dingin sambil berbalik akan melangkah kearah rumah. “Do... Maaf
karena aku udah ngambil Ryan dari Edo dan yang lainnya... Tapi tolong
izinin aku ya...?” kata Maya tiba-tiba yang membuat langkah Edo terhenti.
“Tolong izinin aku buat terus berada disisi Ryan sedikit lebih lama lagi. Aku
tau waktu aku gak lama, dan aku gak bisa membahagiakan Ryan dengan
sempurna. Tapi setidaknya aku bisa terus mencoba untuk membuatnya terus
berada dijalannya yang sekarang, aku mau dia terus menjadi Ryan yang
sekarang ini...Aku gak bakalan hi...” kata-kata Maya langsung dipotong oleh
Edo. “Ryan ngabisin waktunya lebih banyak ama kamu ketimbang ama aku,
Rafael dan Eric itu gak jadi masalah buat kami, justru kalo boleh jujur aku
pribadi bersyukur dan berterima kasih ke kamu, karena kamu udah
ngembaliin Ryan yang dulu aku anggep kakak itu ke aku selama beberapa
bulan terakhir ini. Dan kamu gak perlu khawatir... Kamu udah ngebahagiain
dia lebih dari sekedar kata sempurna, dan cuman kamu yang bisa
ngelakuinnya. Karena itu aku mau kamu tetep ama dia dengan syarat kamu
harus berusaha bertahan selama mungkin, bertahan.... bertahan sampe
apapun yang menunggu kamu akhir tahun ini menyerah dan pergi dengan
sendirinya. Kamu itu gadis kuat yang mampu ngelawan takdir kamu selama
empat tahun ini, jadi aku yakin kamu bisa ngelawan lagi untuk ngedapetin
tambahan empat tahun lagi.... dan empat tahun lagi... dan empat tahun lagi...
Jangan lakukan itu demi dirimu sendiri, tapi lakukan itu demi Ryan, dengan
begitu kamu gak punya alasan untuk menyerah...” kata Edo kepada Maya
dengan dinginnya dan tanpa menoleh sama sekali. Dia kembali melanjutkan
langkahnya, tapi baru beberapa langkah saja... “Do....” panggil Maya. Edo
pun berhenti dan berbalik. “Aku janji.... Aku akan mengembalikan Ryan ke
Edo... Ryan yang dulu pernah menjadi kakaknya Edo itu....” kata Maya
sambil tersenyum tipis kearah Edo, saat itu Maya terlihat menggenggam erat
patung bidadari bersayap biru yang dulu pernah diberikan oleh Ryan itu.
Melihat senyuman yang begitu manisnya dengan kata-kata yang begitu
sangat tulus itu Edo tidak mampu berkata apa-apa. Tubuhnya bergetar, dia
tidak pernah menyangka kalau akan ada seseorang yang mengatakan hal
seperti itu kepadanya. Dia mematung, tidak bisa melanjutkan langkahnya.
Tidak lama kemudian sebuah mobil New Aston Martin Vanquish
putih memasuki pekarangan rumah Maya. Itu adalah mobil Ryan. Dia
memarkir mobil Summer Snownya itu disamping mobil Edo. “Do....?” kata
Ryan sambil tersenyum dan mengacak-acak rambut Edo dari belakang dan
melangkah melewatinya kearah Maya. Edo masih terdiam. “Adduuhhh
sayaaannnggg.... Maaf aku lama ya...? Macet, ada kecelakaan tadi...” kata
Ryan sambil tersenyum kepada Maya dan memberikannya satu pak obat
yang khusus untuk Maya itu. Maya pun mengangguk sambil membalas
senyum Ryan itu dan mengambil obat yang dibawakan oleh Ryan itu. “Gak
apa-apa kok Yan... ada Edo kok yang nemenin aku dari tadi...” jawab Maya
pelan. “Oh iya.. Do...?” Ryan kembali menoleh kearah Edo. “Rafael ama
Eric mana...? Loe sendirian...?” panggil Ryan. Edo tidak menjawab, dia
masih terpaku. “Yuuuhhhuuuu~~” Ryan mengibas-ngibaskan tangannya
kearah Edo, yang membuat dia terlihat terhenyak dari lamunannya itu. “Ah...
Mmmm.... Apa...?” Edo memang terlihat seperti orang yang baru tersadar
dari lamunannya. “Wallaaahhh.... ngelindur nih anak...”kata Ryan sambil
tertawa kecil ke arah Maya dan menggandeng gadis itu. “Ahh... mmm....
Gak.... Gue gak ama mereka, tadi sih gue mau ngasi tau loe kalo gue ada
tanding nanti malem. Gue pake mobil loe aja yah....?” kata Edo lagi.
“Ohhh.... Ya udah... Loe pake aja.... Tumben loe minta izin segala, biasanya
loe kan asal sambet aja, kayak gue siapaaaaa gitu ngeliat loe pake acara
minta izin gini...” balas Ryan. Edo mengangguk-angguk kecil sambil
berbalik, tapi dia menghentikan gerakannya. “Oh iya.... om ama tante baru
nyampe tuh, tadi aku mampir dulu kerumah loe...” kata Edo lagi. “Aaahh....
Pantes loe pake acara minta izin ke gue kalo mau pake mobil....
hahahahahahaa...” Ryan tertawa. “Iya.. entar aku balik buat makan malem
ama mereka kok, abis itu..... kita pergi nonton Edo yah sayang..?” kata Ryan
tiba-tiba. “Eeehh... Eehh... Gak usah bawa Maya...” sebelum Maya memberi
respon atas ajakan Ryan tadi Edo sudah terlebih dahulu buru-buru melarang
Ryan untuk membawa Maya karena dia tahu kondisi Maya saat itu. “Loe
nape....? Kayak gak pernah ngeliat Maya ikut nonton aja... Tante Rani aja
gak apa-apa, kok loe malah ngelarang gitu...?” balas Ryan. “Eeemmmm...”
Edo memandang Maya yang saat itu tengah memandangnya sambil menaruh
jari telunjuknya didepan bibirnya dan berusaha agar Ryan tidak melihat
isyarat itu. “Eeeemmm....” Edo tidak tahu harus berkata apa kepada Ryan,
dia ingin sekali mengatakan kalau Maya sudah tidak boleh keluar rumah lagi
karena kondisinya sudah tidak baik untuk itu, tapi dia saat itu sudah terikat
janji dengan Maya untuk tidak menceritakan Ryan tentang hal yang tadi.
“May....? Kamu gak apa-apa kan kalo kita pergi nonton nanti...?” Ryan
kembali bertanya kepada Maya. Maya memandangnya balik dan kemudian
tersenyum sambil mengangguk kecil. “Gak apa-apa kok Do... Mama pasti
ngizinin aku...” kata Maya sambil melemparkan senyumannya kearah Edo.
“Aduuuhhhh... Maya..... Gue minta loe buat bertahan.... Bukan bunuh diri...”
kata Edo dalam hati. Dan tanpa berkata apa-apa dia akhirnya kembali
berbalik dan melangkah kearah mobilnya. “Bunganya udah disirami
sayang..?” tanya Ryan kepada Maya. “Iya... udah kok Yan...” jawab Maya
sambil tersenyum. “Ya udah... kalo gitu sekarang kita masuk yukk? Kamu
kan harus minum obat...” kata Ryan lagi dengan lembut dan sambil
tersenyum. Maya membalas senyuman Ryan sambil mengangguk pelan.
Mereka berdua pun melangkah kearah rumah dan mobil Edo menghilang
dibalik gerbang rumah Maya itu.
Sekitar jam 07.30 petang, Ryan sampai dirumahnya dan langsung
saja kearah ruang keluarga. “Paaahh.... Maaahhh.... Aku pulang...” kata Ryan
sedikit berteriak karena tidak mendapati orang tuanya diruang keluarga. “Di
dapur sayaaanngg...” terdengar suara ibunya dari arah dapur. Ryan pun
melangkah ke arah dapur yang ada diseberang ruang keluarga. Disana dia
mendapati ayahnya yang tengah duduk didepan meja makan dan ibunya yang
tengah menyiapkan makan malam untuk mereka bertiga. “Kamu pulang lama
sekali.... papa udah laper banget dari baru sampai tadi...” kata ayahnya ketika
melihat Ryan muncul dari balik pintu dapur. “Katakan itu pada diri kalian
sendiri yang waktu itu ninggalin aku tanpa membuatkan makanan untuk
sarapan....” balas Ryan terdengar sedikit jutek sambil duduk berseberangan
dengan ayahnya. Henry terlihat ciut mendengar jawaban dari anaknya itu.
“Itu kan sudah lama.... Masak kamu masih nyimpen dendam sih sama
kami...?” kata Henry lagi. “Sudah-sudah.... Dapur bukan tempat buat bales
dendem bales dendeman segala, makanan sudah jadi, ayo kalian berdua siap-
siap...” Helen menyela pembicaraan suami dan anak laki-lakinya itu sambil
meletakkan hidangan terakhir yang dia buat dan duduk didekan Henry. Di
tengah-tengah acara makan itu.... “Ma... Pa...” kata Ryan pelan sambil
menghentikan aktivitas makannya. “Iya sayang...?” jawab Helen lembut
sambil memandang Ryan, sementara Henry tidak menjawab dan terus
melahap hidangan makan malamnya. “Aku punya satu permintaan...”
sambung Ryan. Helen terlihat mengernyitkan dahinya. “Kami tau kok, ulang
tahun kamu tinggal seminggu lagi, kami udah nyiapin Lamborghini tipe
terbaru sebagai tambahan koleksi mobil kamu...” kata Henry sambil terus
melahap makanannya. “Bukan itu pah... mah.... Aku.... mau membuat sebuah
komitmen ama seseorang, bertunangan...” kata Ryan lagi. Helen
menghentikan makanannya, tapi Henry terlihat tidak merespon sama sekali
dan terus saja makan seperti orang yang tidak pernah makan selama berhari-
hari. “Sayang...? Mama.... Gak salah denger omongan kamu kan..?” Helen
balik bertanya kepada Ryan karena terkejut mendengar anaknya berkata
seperti itu kepada mereka. Ryan menggeleng pelan. “Apa gak terlalu
cepet...? kamu kan masih sekolah sayang....” Helen kembali bertanya kepada
Ryan. “Aku tau, mungkin ini terlalu cepat... Tapi gak terlalu terlambat...”
kata Ryan pelan. “Terlambat....?” Helen semakin tidak mengerti. Ryan
terdiam, dia memandang ayahnya yang dari tadi asyik sendiri dengan
makanannya. Melihat hal itu, Helen menginjak kaki suaminya itu yang
membuat Henry menghentikan makannya sambil menahan sakit. Tapi tidak
lama kemudian, Henry mengacungkan jari telunjuknya memberi isyarat
untuk menunggu. Dia meraih handphone yang ada disebelahnya dan
memencet speed dial di hape itu. Tidak lama kemudian dia mendapat
jawaban. “James... It‟s me. Looks like I can‟t come back tomorrow, maybe
for a week.... Naaahh.... it seems like the little boss here ordering me to do
something important... You take over the meeting with Mr. Yukimura
tomorrow alright...? Yea... About that, can you do it...? Good.... I‟ll leave it
to you this time...” sepertinya Henry menelepon seseorang yang ada di
Amerika sana tentang sebuah pertemuan. “Oh... and hey James....”sambung
Henry sebelum menutup panggilan itu. “..... You‟re gonna meet Eric a week
later, so finish all the homework there and prepare yourself to go here
okay...? Good luck...” kata Henry dan akhirnya menutup panggilan itu.
Setelah menaruh hapenya kembali diatas meja.... “Okay prince..... I don‟t
have anything in my mouth now.... Who is this princess we‟re talking
about...” kata Henry dengan posisi siap mendengarkan pengakuan anaknya
itu. “Namanya..... Maya...” kata Ryan memulai ceritanya. “Maya.... Nama
yang indah dan terdengar anggun... Penggalan dari nama almarhum nenek
kamu, Mayang...” kata Helen sambil tersenyum dan berpangku tangan
mendengar Ryan menyebut nama Maya. Ryan menunduk mendengar kata
„almarhum‟ dari ibunya itu. “Kalau kalian ingin tau, dia dari keluarga yang
bisa dibilang sederajad dengan kita, tidak ada kelebihan apapun dari Maya
ini, hanya saja.....” kata Ryan menghentikan ceritanya sambil memandang
Helen dan Henry yang ada didepannya dengan tatapan serius. Kedua orang
tuanya itu mengernyitkan dahinya. “Ahh... kalau masalah kaya atau tidaknya
pilihanmu, kami tidak terlalu memikirkan itu nak... Kami tidak pernah
meminta kamu buat milih pasangan dari kalangan sederajad dengan kita atau
apapun yang kamu katakan itu, buat kami, materi bukalah persoalan yang
harus dibesar-besarkan dalam hal seperti ini...” kata Henry melihat Ryan
yang menghentikan kata-katanya tadi. “.... Bukan itu masalahnya pa...” balas
Ryan. “Lanjutin ceritamu sayang... Kami mau denger...” Helen lagi-lagi
menyela mereka. “Hanya saja... Dia memiliki masalah dengan waktu...”
sambung Ryan yang membuat orang tuanya semakit tidak mengerti arah
pembicaraan anaknya itu. “Waktu...? Maksud kamu...?” tanya Helen. “Maya
tidak seperti kita.... dia menjalani kehidupan yang berbeda, yang mungkin
sebagian orang mengatakan kalau dia gak normal...” jelas Ryan. “Dia ada
kelainan jiwa...?” kali ini Henry yang bertanya. “Bukan kelainan jiwa pa....
Tapi kelainan jantung... Sejak lahir jantungnya sudah gak normal, dia terkena
fonis mati ketia dia mencapai usia 15 tahun. Tapi demi memperpanjang usia
itu, ayahnya yang spesialis jantung mengganti jantungnya dengan sebuah
jantung kaca yang bisa beroperasi layaknya jantung normal pada umumnya,
tapi itu hanya bisa bekerja dalam jangka waktu 5 tahun saja, dalam arti....
hidup Maya hanya bisa diperpanjang selama 5 tahun yang akan dia capai 3
bulan mendatang....” kata Ryan menjelaskan orang tuanya panjang lebar.
Helen dan Henry terdiam mendengar penjelasan Ryan tentang Maya. “Aku
tau pasti berat buat kalian mendengar pilihanku adalah gadis yang....” kata-
kata Ryan lagi-lagi terhenti karena Henry tiba-tiba bangun dari duduknya
sambil memencet-mencet keypad yang ada di hapenya, begitu pula dengan
Helen. Mereka berdua serempak berdiri dan melangkah kearah ruang tamu
meninggalkan Ryan yang belum menyelesaikan kata-katanya itu. Ryan
terlihat pasrah melihat ayah dan ibunya meninggalkan dia begitu saja setelah
mendengar cerita tentang Maya. Tapi dia samar-samar mendengar.... “Ahh....
Pak Adit.... Ini saya Henry... Ah iya... sudah cukup lama juga,
hahahahahaa...” Henry memulai pembicaraannya dengan seseorang bernama
Adit. “Iya Jeng... Ini saya Helen... Apa kabar sekarang....?” begitu pula
dengan Helen yang tampaknya sedang berbicara dengan seseorang. “Gini
pak... saya mau nanya...” sambung Henry. “Bapak punya rekomendasi
mengenai cincin tunangan yang bagus...?” “Masih bisa mendekor lokasi buat
acara-acara kayak pertunangan itu kan jeng...?” kata Henry dan Helen
hampir bersamaan mengutarakan maksud mereka menghubungi orang-orang
tersebut. Ryan tersentak mendengar orang tuanya berkata seperti itu, tapi
beberapa lama kemudian dia tersenyum tipis dan beranjak dari tempat
duduknya. “Mah... Pa... Edo ada tanding, aku udah janji mau nonton dia, abis
itu aku langsung pulang...” kata Ryan sambil melewati orang tuanya yang
masing-masing sedang asyik menelepon tadi. “Ehemm...” Helen berdehem,
Ryan berbalik memandangnya. Sambil terus berbicara melalui hape, Helen
menunjuk pipi kirinya karena menyadari Ryan yang memandangnya. Tanpa
pikir panjang pun Ryan langsung melangkah kearah ibunya itu dan pencium
pipi Helen, kemudian saling beradu tinju dengan ayahnya layaknya para
gangster-gangster diluar sana. “Kalian selalu melakukan sesuatu sesuka hati
kalian....” kata Ryan sambil kembali melangkah. “Tapi.... Terima kasih atas
semua itu...” sambungnya dengan nada dingin sebelum menghilang dibalik
pintu yang menghubungkan ruang keluarga dengan ruang tamu itu. Henry
dan Helen hanya bisa tersenyum simpul mendengar kata-kata anaknya yang
polos itu.
Ryan dan Maya baru sampai di arena balap. Disana Edo, Rafael dan
Eric sudah menunggu mereka dari tadi. “Taruhan berapa...?” tanya Ryan
kepada Edo sambil keluar dari mobilnya. Sedangkan Maya sepertinya kali
itu tidak ikut keluar. “Gak banyak...” kata Edo dingin sambil begitu saja
melewati Ryan yang saat itu justru melangkah kearahnya. “Yakin kamu gak
apa-apa May...?” tanya Edo sambil berjongkok dan menyapa Maya melalui
pintu mobil. “Maya tersenyum sambil mengangguk pasti untuk meyakinkan
Edo. Tapi waktu itu Edo tidak berhenti menatap gadis itu, terlihat jelas kalau
dia benar-benar sangat menghawatirkan kondisi Maya. “Yoo... Do.... They‟ll
start the race man....” teriak Eric memanggil Edo. Edo tidak menghiraukan
kata-kata Eric yang memanggilnya tapi terus memandang Maya tajam.
“Do...? balapnya mau dimulai tuh...” kata Maya lembut. Edo tidak
menghiraukan kata-kata Maya juga, dia seperti mematung memandang gadis
itu. “Woe kampret...! Maya gak apa-apa... Loe tenang aja... Gue udah lepas
taruhan... jangan ampe uang gue melayang sia-sia gara-gara loe gak niat
tanding....” kali ini Ryan yang berteriak memanggilnya. Dan tidak beberapa
lama kemudian Edo berbalik sambil berjalan kearah Ryan, Rafael dan Eric
yang sedang berdiri menunggu disamping mobil yang akan dia gunakan
untuk balapan. “Yan.... Gue finish.... Loe anter Maya pulang...” kata Edo
sangat dingin sekali sambil memasuki mobilnya. “Hah...! Loe piki...” kata-
kata Ryan langsung disela oleh Edo. “Gue pernah bilang ke elo, tergantung
jawaban elo, gue mungkin bakalan lebih mihak Maya daripada elo....! Gue
finish.... Loe anter Maya pulang...!!” Edo kali ini sepertinya benar-benar
marah kepada Ryan karena dia meremehkan kondisi Maya. Edo menatap
Ryan begitu tajam dan terlihat seperti sedang murka. Ryan seketika terdiam.
Ada sesuatu dimata Edo yang membuat Ryan tidak bisa membalasnya kali
ini. Dia melihat sosok seorang kakak yang sangat khawatir sekali dengan
adiknya, entah sejak kapan tapi saat itu Ryan sadar kalau Edo benar-benar
sangat menyayangi Maya sebagai adiknya sendiri. Melihat hal tersebut,
Rafael dan Eric tidak mampu berkomentar apa-apa. Seumur-umur mereka
bersama, baru kali itu mereka melihat Edo benar-benar terlihat sangat marah
kepada Ryan. “Fine....” kata Ryan pelan. “Gue tau loe khawatir ama kondisi
Maya, loe tenang aja dan fokus di jalan nanti, jangan jadiin Maya bahan
fikiran loe disaat-saat kayak gini, gue ikutin kata-kata elo... Maya bakalan
gue anter pulang sesaat setelah elo finish...” sambung Ryan dengan nada
bersalah. Dan memang benar Ryan mengantar Maya pulang begitu mobil
yang dipakai Edo mencapai finish.
Keesokan harinya Ryan menyampaikan rencananya yang telah
disetujui oleh orang tuanya tadi malam itu kepada tante Rani, Maya dan
ketiga temannya itu. Mereka semua benar-benar sangat terkejut sekali
mendengan perkataan Ryan. “Nak.... Nak Ryan yakin...? .... Maya...” tante
Rani tidak melanjutkan kata-katanya yang mencoba mempertanyakan
keyakinan Ryan yang akan membawa keluarganya untuk meminang Maya
minggu depan tepat pada hari ulang tahunnya itu. “Emang saya terlihat gak
yakin nih tan...?” Ryan balik bertanya sambil tersenyum kearah tante Rani.
“Udah deh tan... nih anak kalo udah bilang gitu ya gitu adanya... dia emang
kayak gitu ri dulu, saya yang paling tau sifat dia...” kata Edo meyakinkan
tante Rani akan kata-kata Ryan walaupun saat itu dia tidak kalah kagetnya
dengan tante Rani mendengan Ryan akan meminang Maya dalam jangka
waktu satu minggu dari hari itu.
Dan benar saja, satu minggu kemudian tanpa pernah terjadi
pertemuan antar keluarga, pagi itu acara pertunangan Ryan dan Maya
diselenggarakan di rumah Maya. Yang datang ke acara itu adalah keluarga
dan kerabat dari Maya dan Ryan tapi acara itu terlihat benar-benar sangat
ramai sekali seolah-olah itu adalah acara resepsi pernikahan, bukan sekedar
pertunangan. Dua mobil elit berjenis Limosin memasuki pekarangan rumah
Maya. Setelah sampai di depan pintu utama rumah, kedua mobil Limo itu
berhenti, dari mobil yang pertama keluar Henry, Helen, James dan Eric,
sedangkan dimobil yang kedua keluarlah Edo beserta kedua orang tuanya
dan Rafael beserta kedua orang tuanya pula. “Jadi ini ya rumah besan kita,
hmmm... not bad.... not bad after all... eh... Henry...” kata seorang laki-laki
yang berdiri dibelakang Edo sambil memandang sekeliling.
“Hahahahahha.... What‟s not bad my friend...? Aren‟t you used to live in such
a classic style house like this one...?” balas Henry. “Maksud ku berkata
seperti itu, aku hanya tidak menyangka kalau Ryan punya selera klasik
seperti ini juga, hahahahahaa....” kata laki-laki itu lagi. “Yea.... I wonder
myself... It‟s the first time I came here and waw...” sambung Helen yang
tidak klah takjub melihat rumah besar bergaya klasik yang ada didepan
mereka saat itu. “Kalian ini anak kecil ato orang tua sih.... Ryan tunangannya
gak ama nih rumah kali.... tapi ma isinya.... Papa juga udah ah... Malu-
maluin aja... gini dah kalo udah ketemu ama om Henry....” kata Edo jutek
sambil begitu saja melankah meninggalkan laki-laki tadi yang ternyata
adalah ayahnya itu. Bukannya apa, tapi ayah Edo dan Henry malah tertawa
terbahak-bahak mendengar Edo berkata seperti itu. “Edo sayaaannggg...
sopan sedikit sama papa kamu...” teriak seorang ibunya melihat Edo yang
berjalan begitu saja meninggalkan mereka. “Woee... Raf.... Ric... Ayok ah...
kalian gak malu apa ngedenger mereka nyeloteh kayak orang baru liat rumah
gede kayak gini, bikin selera makan ilang aja....” bukannya mengindahkan
kata-kata ibunya, Edo malah menyuruh Rafael dan Eric mengikutinya
memasuki rumah Maya. “Udah ah Erika.... namanya aja anak-anak... wajar
aja mereka bertingkah seperti itu, apa lagi kalian jarang ngejenguk dia, ya
gak heran kalo dia bertingkah kayak gitu... ayo kita juga ikut masuk...” kata
Helen sambil menggandeng ibu Edo. Erika yang adalah ibu Edo hanya bisa
menghela nafas panjang melihat kelakuan anaknya itu. “James.... Clarise...
Lets get in....”kata Henry mengajak ayah dan ibu Eric menyusul istrinya
masuk. “Ram... Citra.... Kita juga ayo... jangan-jangan kalian juga takjub
sama rumah ini seperti kami ya makanya diam saja dari tadi...” teriak ayah
Edo memanggil ayah dan ibu Rafael yang dari tadi terdiam terus padahal
anak mereka Rafael sudah dari tadi meninggalkan mereka. “Oh ya Dry..
keluarga yang lain udah pada datengkan...?” tanya ayah Edo sambil menaiki
tangga-tangga kecil yang menuju pintu utama rumah itu. “Kayaknya sih
begitu, didalem keliatan sudah ramai...” balas Henry. Dan benar saja,
hampir semua keluarga dari Ryan, Edo, Rafael dan Maya sudah berkumpul
disana. Acara itu sebenarnya konyol, kenapa tidak? Keluarga Ryan saja
belum tahu siapa diantara mereka yang akan menjadi besan mereka. Dan
mereka sepertinya tidak berusaha untuk mencari tahu sama sekali dan asyik
bercampur aduk dengan para tamu undangan yang sudah ada disana terlebih
dahulu. Dan saat berkeliling menyapa keluarga yang mereka sudah lama
tidak berkumpul seperti itu, Henry dan Helen berhenti dibelakang sepasang
suami istri. “Dokter Arman...” secara spontan ibu Ryan memanggil laki-laki
yang saat itu berama istrinya didepan Helen dan Henry. Dokter Arman
berbalik karena mendengar namanya di panggil. “Ahhh.... Miss Helen.... Mr.
Henry...” kata dokter Arman karena mengenali Helen dan Henry. “Oh...
Here... Meet my wife... Rani...” kata Dokter Arman memperkenalkan istrinya
ke Helen dan Henry. Mereka pun bergantian saling berjabat tangan dengan
dokter Arman dan istrinya. “Bu Helen..? bagaimana keadaannya
sekarang...?” tanya dokter Arman. “Baik-baik aja dok, yaahhh... setidaknya
setelah menjalani rehabilitasi, keadaan kembali normal kembali...” jawab
Helen. Istri dokter Arman terlihat tidak mengerti arah pembicaraan mereka.
“Gini ma... setahun yang lalu bu Helen mengalami sedikit kecelakaan pada
saat beliau sedang hamil, dan karena kecelakaan itu beliau ini jadi
keguguran... Nahh... papa yang menangani operasinya...” jelas dokter
Arman. Istri dokter Arman terkejut mendengar hal tersebut. “Adduuhh....
maaf ya jeng...” kata Rani menunjukkan rasa bela sungkawanya pada Helen.
“Ah... itu sudah berlalu jeng...” balas Helen sambil tersenyum. “Eh... Orang-
orang pada tertawa kenapa disini malah mendung begini...? sebaiknya yang
lalu biarlah berlalu... ngomong-ngomong... Dokter Arman disini sebagai
keluarga dari si gadis ya..?” tanya Henry memecahkan suasana. “Kami
bukan hanya sekedar keluarga si gadis pak... Kami... Orang tuanya Maya...”
jawab dokter Arman sambil tersenyum. Sepontan Helen dan Henry tersentak
mendengar hal itu. “Kok malah kaget begitu bu..? Pak...?” tanya Rani. Helen
ingin menjawab tapi Henry terlihat menghentikannya. “Dok... Dokter ingat
ketika saya berkata ingin menjodohkan anak perempuan dokter dengan anak
laki-laki saya dulu walaupun dokter mengatakan kalau anak dokter tersebut
tidak seperti keadaan orang pada umumnya...?” Henry malah bertanya.
Dokter Andre mengangguk. “Waaahhh..... ternyata dunia ini memang sempit
ya....?” sambung Henry. Dokter Arman mengernyitkan dahinya tapi
beberapa saat kemudian dia terhenyak. “Jangan-jangan....” kata dokter
Arman. “Iya... Ryan adalah anak kami dok...” balas Helen sambil tersenyum
ceria. Mendengar hal tersebut giliran dokter Arman dan Tante Rani yang
terkejut bukan mainnya. Mereka berdua tidak mampu berkata apa-apa saking
terkejutnya, sedangkan Henry saat itu malah tertawa terbahak-bahak saking
gembiranya mengetahui siapa yang akan menjadi besannya itu. Ya, sejak
Helen keguguran, Henry menjadi sangat dekat dengan dokter Arman yang
adalah ayahnya Maya itu karena dokter Armanlah yang menangani proses
mulai dari menarik janin dan menangani rehabilitasi Helen. Kedua ayah itu
menjadi sahabat yang cukup dekat, dan sekarang tanpa disengaja, anak-anak
mereka malah semakin mempererat hubungan itu tanpa mengetahui apa yang
terjadi diantara mereka. Setelah mengobrol panjang lebar mengenai anak
mereka masing-masing... “Oh iya bu... Apa Ryan sampai sekarang masih
belum tau tentang gagalnya bu Helen memberika seorang adik sebagai
hadiah ulang tahunnya itu...?” tanya dokter Arman. Helen langsung menaruh
telunjuknya didepan bibir memberi tanda kepada dokter Arman untuk diam.
“Sssssttt Dok... Dia bisa aja denger...” kata Helen sambil menoleh kesana
kemari mencari keberadaan Ryan. “Itu tidak mungkin jeng... Ryan dan Maya
sekarang pasti lagi di taman bunga di samping rumah. Mereka sedang
merawat bunga yang menjadi tali penghubung hati dan perasaan mereka
selama ini..” kata tante Rani. “Haahh...? Masaaakk...? Ryan...? Merawat
bunga...? Emang bisa...?” Helen tidak percaya mendengar anaknya yang
terkenal tidak perduli dengan hal-hal semacam itu ternyata bisa merawat
bunga. Tante Rani mengangguk sambil tersenyum. “Hey... Hey... Hey....”
ayah Edo tiba-tiba datang dari belakang. “Dry.... si gadis dan besan kita
dimana...? yang lainnya sudah lama nungguin acaranya dimulai....” kata ayah
Edo. “Besan kita ya ini...” jawab Henry. “Mana... ini kan dokter....
Haaahh...!!!! Seriuusss...??? Dokter Arman adalah ayahnya si gadis....?”
ayah Edo yang tampaknya sudah mengenal dokter Arman tidak kalah
terkejutnya mengetahui hal tersebut. “Ya udah... saya panggil yang punya
acara dulu ya...” kata Helen sambil berlalu dari Henry, ayah Edo, dokter
Arman dan tante Rani. Dan memang benar Helen mendapati Ryan dan Maya
tengah duduk-duduk di bangku taman. “Addduuhhh.... anak-anak mama...
orang-orang udah pada nunggu didalem, malah kencan disini.... keluarga
udah gak sabar pengen acaranya dimulai sayaaanngg...” kata Helen sambil
mendekati Ryan dan Maya. “Tante....” sambut Maya sambil berdiri dan
sedikit menunduk kearah Helen. “Tante....? Tante apanya Sayaaanngg...?
Maya itu adalah anaknya mama sekarang... jadi panggil mama dong... Masak
tante...?” kata Helen sambil menggeser Ryan yang membuatnya hampir
terjerembab kebelakang dan langsung menggandeng Maya. “Walah-walah...
udah dapet anak baru, anak lama jadi dibuang-buang gitu ya...” kata Ryan
terdengar jutek sambil berjalan kearah rumah. “Yan..?” panggil Maya pelan.
“Udah... gak usah peduliin dia... ayo jalan ama mama aja...” kata Helen.
Mereka berdua pun menyusul Ryan dari belakang. “Ternyata putri jantung
kaca Ryan terlihat jauh lebih cantik dari yang ada dilukisannya ya...? Ryan
memang tidak mahir melukis..” kata Helen sambil tersenyum dan terus
berjalan bersama Maya. Dengan wajah lugunya Maya memandang Helen
karena mendengarnya berkata seperti itu. “Ma... Mama...” kata Maya pelan.
“Hihihihihi...” Helen malah cengingisan kearah Maya, itu membuatnya
terlihat begitu kekanak-kanakan kalau dilihat dari keanggunannya selama ini.
Hari itu mereka semua merayakan hari ulang tahunnya Ryan yang ke 21
sekaligus mempersatukan tali keluarga mereka. Ryan dan Maya terlihat
begitu sangat bahagia sekali. Helen menghabiskan hari itu dengan mengobrol
panjang lebar dengan Maya, mereka dalam sekejab sudah terlihat sangat
akrab sekali layaknya anak dan ibu kandung.
Hari-hari berlalu dan tidak terasa satu bulan setengah telah berlalu
sejak hari bahagia itu. Kehidupan cinta yang benar-benar sejati pada umunya
selalu mendapat sebuah cobaan, halangan dan rintangan dalam menjalaninya,
terkadang akan hadir sosok orang ketiga diantara sepasang kekasih, hal itu
adalah cobaan untuk menguji seberapa erat hubungan sebuah pasangan
dalam menjalani cerita cinta mereka. Tapi berbeda dengan kisah cinta Ryan
dan Maya, „musuh‟ cinta mereka jauh lebih berat dari hanya sekedar orang
ketiga, „musuh‟ cinta mereka tidak mengenal ampun untuk memisahkan
mereka satu dengan yang lainnya. Sang waktu.... Itulah rintangan dari
perjalanan cinta mereka yang berjalan begitu sangat mulusnya itu. Pagi hari
itu Ryan tengah menjalani ujian kelulusan di hari terakhir.
“Tririririririririttt.....!!!!! hape yang ada disaku baju seragam Ryan berbunyi
sangat kencang, membuyarkan konsentrasi semua siswa yang sedang serius-
seriusnya mengerjakan soal ujian waktu itu. Tapi tidak ada yang berani
protes akan hal tersebut, bahkan para pengawas sekalipun. Memang,
disekolah itu, Ryan tidak tersentuh oleh hukum sekolah karena dia adalah
„pemilik‟ dari sekolah itu sendiri. Dia melihat nama si pemanggil. “Mama
Rani...?” kata Ryan pendek dan menekan tombol answer. “Iya ma...?” kata
Ryan memulai pembicaraan. Tapi tidak lama kemudian wajahnya berubah
pucat pasi, seketika dia terbangun dari bangkunya dan bergegas
meninggalkan ruangan ujiannya itu setelah mendapat panggilan telepon dari
tante Rani, dengan lembar jawaban yang sama sekali masih tidak tersentuh.
***
Chapter 6
NIGHT OF THE NEW YEAR
Ryan memacu mobilnya begitu kencang, dia sepertinya tidak perduli
dengan rambu-rambu lalu lintas apapun. Dan tidak beberapa lama kemudian
dia memarkir mobilnya diparkiran sebuah gedung, dia keluar dan langsung
berlari memasuki gedung itu. Rumah Sakit Harapan Ibu, nama gedung itu
terpahat kokoh didepan pintu masuknya. Ryan menoleh kesana kemari
mencari keberadaan seseorang, dia mencari di ruang ICU, tidak ada, dia
mencari diruangan lain di lantai dasar, tidak ada, dia naik ke lantai dua dan
mencari diseluruh sudut ruangan itu, tidak ada, kembali dia berlari menaiki
tangga dan mencari seseorang di lantai tiga gedung rumah sakit itu masih
dengan wajah yang benar-benar terlihat sangat pucat pasi layaknya dia baru
melihat hantu. Setelah mencari kesana kemari, langkahnya terhenti, matanya
tertuju kepada seseorang dan dia berjalan kearah orang itu. “Ma...” katanya
pelan. Tante Rani berbalik dan langsung memeluk Ryan sambil menangis
tersedu-sedu, Ryan terdiam. “Mama ngeliat dia sudah tergeletak di ruang
tamu ketika mama keluar kamar tadi subuh, entah sejak kapan dia ada
disana... Mama takut Yan...” kata tante Rani sambil terus menangis. Dokter
Arman keluar dari pintu kamar pasien yang ada disamping mereka dan
langsung memegang pundak Ryan. “Pa.... Jangan bilang....” Ryan tidak mau
melanjutkan kata-katanya, dia tidak ingin pikiran buruknya itu menjadi
kenyataan yang saat itu sedang mereka alami. “Maya tidak apa-apa nak...
Dia sudah melewati masa kritisnya, hanya saja....” dokter Arman terdiam.
Ryan terus menatapnya tajam, penuh tanda tanya. “Yan.... Maya saat ini
sedang koma....” sambung dokter Arman. Lutut Ryan seketika terasa lemas,
ada sedikit kelegaan yang dia rasakan walaupun koma mungkin adalah hal
yang menandakan Maya tidaklah baik-baik saja, tapi hal itu lebih baik dari
apapun yang sedang ada didalam pikirannya saat itu. Dia melangkah kearah
kursi tunggu yang ada didepan kamar tempat Maya saat ini sedang tertidur
tidak sadarkan diri, dia berusaha untuk duduk seolah-olah dia sudah tidak
bisa menggerakkan seluruh tubuhnya itu dengan leluasa. Tante Rani tidak
berhenti-hentinya menangis sedangkan dokter Arman berusaha untuk
menenangkan istrinya itu. Ryan terdiam, dia mematung, pikirannya campur
aduk, dia tidak mengidap penyakit apapun seperti Maya, tapi saat itu dia
merasakan dadanya begitu sangat sesak, sakit, perih seolah-olah tertusuk
oleh sesuatu yang tidak terlihat. Dia meringis seperti orang kesakitan yang
teramat sangat luar biasa sakitnya. Melihat itu... “Yan... sebaiknya kamu
masuk.... Temenin Maya... yah...?” pinta dokter Arman. Ryan menatap
dokter itu dan kemudian melangkah pelan, dia merasakan kakinya sudah
tidak mampu melangkah walaupun hanya untuk beberapa meter saja, tapi dia
terus memaksakan diri untuk melangkah. Dia memasuki ruangan Maya. Di
dalam, dia melihat gadis yang adalah tunangannya itu tertidur, terbujur kaku
ditemani oleh alat bantu pernapasan dan segala jenis alat penopang
kehidupan yang entah apapun namanya. Ryan berhenti didepan Maya yang
sedang tertidur dalam keadaan koma itu. Dia terus menatap gadis itu.
Walaupun dalam keadaan seperti itu, kecantikan dan keangunan Maya sama
sekali tidak hilang sedikitpun dimata Ryan. Dia membelai rambut Maya
sambil terus memandangnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Kenapa....”
kata Ryan pelan. “Kenapa May.... Ini belum waktumu....” sambungnya lagi.
“Ini belum waktunya May...” kali ini suara Ryan sedikit meninggi. “Kenapa
May...! Maya....!! Kenapa kamu tertidur...!!! Ini belum waktunya kamu
untuk tertidur...!!!! Ini belum waktumu...!! Jadi bangunlah....!!!! Maya.....!!!!
Bangun May....!!!!! Bangguunnnnn.....!!!!!!” Ryan berteriak sambil
mengguncang-guncang tubuh Maya yang tidak meresposn sama sekali itu
seperti orang yang sedang kesurupan. Dokter Arman hanya terdiam saja
melihat Ryan seperti itu sedangkan tangis tante Rani semakin menjadi-jadi.
Perasaan mereka bertiga sama, miris, sakit atau mungkin lebih parah dari itu,
tapi jika dilihat dari keadaan waktu itu, mungkin Ryanlah yang merasa
paling sakit melihat gadis yang benar-benar dia cintai itu terbujur kaku tidak
berdaya, sedangkan dia tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengubah hal
itu.
Sore harinya Henry dan Helen baru sampai dari Amerika dan
langsung menuju rumah sakit. Disana mereka mendapati Edo, Rafael dan
Eric yang sama-sama masih menggunakan seragam sekolah terduduk diam
didepan kamar Maya. Edo menyadari kedatangan mereka. “Tante... Om...”
kata Edo pelan sambil berdiri menyambut kedatangan Henry dan Helen,
begitupun Rafael dan Eric melakukan hal yang sama seperti Edo. “Ryan...?”
tanya Helen menanyakan keberadaan anaknya. Edo menoleh kearah jendela
kamar Maya. “Dari tadi pagi dia ada disini, dia langsung meninggalkan
ruang ujian hari ini begitu mendapat pemberitahuan dari tante Rani tentang
keadaan Maya. Dia tidak pernah meninggalkan Maya dari tadi, sepertinya
dia sangat syok sekali...” jawab Edo pelan. Helen melihat anak laki-lakinya
tengah terduduk disamping tempat tidur Maya, dia melihat Ryan terus
memandangi Maya sambil menggenggam tangan gadis itu. Helen bermaksud
untuk masuk menemui Ryan dan melihat keadaan Maya, tapi Henry
menggenggam pergelangan tangan Helen tanda tidak memberikan istrinya
untuk memasuki ruangan itu. Helen pun mengerti dan mengurungkan
niatnya. “Pak Henry...” panggil dokter Arman dari belakang. Henry, Helen
dan yang lainnya langsung menoleh kearah dokter Arman. “Dok....
bagaimana...? Bagaimana keadaan Maya....?” Helen tidak menunggu lama
dan langsung saja menyerang dokter Arman dengan pertanyaan-pertanyaan
mengenai Maya. “Sebaiknya... kita keruangan saya saja...” kata dokter
Arman sambil mempersilahkan Henry dan Helen untuk menuju ruangannya.
“Jadi dok..? Maya baik-baik saja kan..? dia akan segera pulih kan...?” Helen
terlihat benar-benar sangat khawatir sekali. Dokter Arman menatap kedua
pasangan suami istri yang benar-benar begitu menghawatirkan kondisi
seseorang yang bahkan bukan anak kandung mereka itu sendiri. Dia
menghela nafas panjang dan kemudian menaruh sebuah gambar hasil ronsen
diatas meja. “Jantung buatan milik Maya itu mengalami keretakan....” kata
dokter Arman memulai penjelasannya. Seketika Helen menutup mulutnya
dengan telapak tangan dan meneteskan air mata sementara Henry melihat-
lihat gambar yang diletakkan oleh dokter Arman tadi. “Keretakkan itu sudah
menjalar, entah sejak kapan awalnya saya sendiri kurang tau, tapi sepertinya
selama ini Maya terus bertahan dengan keadaan jantung yang sudah retak
ini.... sepertinya jantungnya itu benar-benar sudah tidak mampu bertahan
lebih lama lagi mengikuti pertumbuhan Maya...” sambung dokter Arman.
“Dok.... Maya itu sudah seperti anak kami sendiri, dia sudah menjadi buah
hati kami sejak pertama kali melihatnya, dan sekarang.... Melihat kondisinya
yang seperti ini, perasaan kami sama perihnya seperti perasaan dokter yang
adalah ayah kandungnya sendiri.... Apa tidak ada cara untuk memperbaiki
jantung Maya itu...? Pasti ada kan...? Dokter sendiri yang menciptakan
jantung kaca itu untuk menambah usia Maya kan...? Dokter pasti bisa
memperbaiki sesuatu yang adalah buatan tangan dokter sendiri kan....?”
kehawatirannya membuat Helen begitu cerewet dan terdengar sangat bawel
sekali. “Saya bisa saja membuat seribu jantung kaca seperti itu dengan
mudah.... Tapi untuk mengganti jantungnya diusianya yang sekarang, itu
adalah sesuatu yang sangat mustahil bahkan untuk saya yang adalah
ayahnya..” kata dokter Arman pelan. “Transplansi... hal itu masih bisa
dilakukan bukan dok...?” kali ini Henry angkat bicara. Dokter Arman
terdiam. “Dulu saya membuat jantung kaca itu untuk Maya karena menolak
membuat dia hidup dengan jantung orang lain.... Tapi saya pernah
mengurungkan pikiran itu dan menanyakan Maya sendiri tentang transplansi
jantung untuknya. Tapi.... dia menolak....” jawab dokter Arman. “Aku
bukannya tidak tau diuntung pa...ma... Tapi selama ini aku berfikir... jika
aku terlahir dengan keadaan seperti ini, mungkin ada sebab tertentu
didalam kehidupan ini, menurut ku sendiri, bertahan hidup dengan jantung
kaca seperti ini adalah hal yang mustahil sekali bagi orang lain, jantung itu
adalah titik tumpu kehidupan seseorang, bukan hanya sekedar gumpalan
darah seperti yang dijelaskan di bidang kedokteran, tapi jantung itu adalah
sebuah rumah bagi jiwa pemiliknya sendiri. Jantung biasa digambarkan
sebagai hati oleh orang meskipun mereka tau jantung dan hati itu berbeda,
hal itu dikarenakan setiap orang menganggap jantungnya itu adalah hal
yang paling istimewa dari semua anatomi tubuhnya, jantunglah yang
membuat mereka bisa bernafas, dan hidup dalam keadaan senang, bahagia,
sedih dan berduka. Dengan memiliki jantung normal seperti itu, mereka
mendapat banyak sekali pengalaman yang tidak terlupkan dalam hidup
mereka, pengalaman-pengalaman yang mungkin orang lain tidak pernah
alami. Masing-masing orang hidup dengan keistimewaan tersendiri,
kehidupan seseorang akan berbeda dengan kehidupan orang lain, yang
mungkin seseorang tidak ingin direnggut keistimewaannya itu oleh orang
lain. Karena itu pa... ma... aku tidak mau, hanya karena aku istimewa
dimata kalian, sehingga kalian harus menggunakan keistimewaan orang lain
untuk mempertahankan keistimewaan yang kalian miliki ini, itu
salah...” dokter Arman memberi tahu Henry dan Helen tentang kata-kata
Maya ketika dia mengusulkan transplansi jantung kepada anaknya itu.
Mendengar hal itu, Henry dan Helen terdiam. Dia tidak menyangka kalau
Maya bisa sekuat itu menjalani beratnya kehidupan yang dia miliki. “Ryan
benar....” kata Helen pelan. “Maya tidak cacat.... Maya jauh lebih sempurna
dibandingkan kita semua... karena itu dia sama sekali tidak meyembunyikan
tentang hal yang diderita Maya itu kepada siapapun, bukan untuk memberi
tau kalau gadis yang dia pilih adalah gadis cacat, akan tetapi dia ingin
mengatakan kalau gadis itu adalah gadis yang paling sempurna dan
istimewa...” sambung Helen sambil tertunduk, dia menangis tersedu-sedu
walaupun tanpa suara. “Saya pun merasa bersalah.... saya pikir jantung
buatan saya itu adalah sesuatu yang sempurna untuk Maya. Tapi.... justru
karena hal itu sendirilah, takdir Maya menjadi sudah tidak terhindarkan
lagi...” kata dokter Arman pelan. “Maksud dokter..?” tanya Henry. “Dengan
adanya jantung kaca itu, kami tidak bisa menggunakan alat kejut dan
menjalankan prosedur yang semestinya kami lakukan pada orang-orang yang
mendapat serangan jantung mendadak seperti yang dialami oleh Maya,
karena prosedur-prosedur tersebut justru akan menghancurkan jantung kaca
itu dan membunuh Maya dalam sekejap....” jelas dokter Arman lagi. “Jadi...
dokter tidak melakukan apa-apa kepada Maya...?” tanya Henry lagi. Dokter
Arman menggeleng. “Saya hanya memberinya oksigen dengan alat bantu
dan cairan infus dari formula obat yang selama ini dia konsumsi, tidak
lebih...” jawab dokter Arman.
Sejak saat itu Ryan tidak pernah meninggalkan rumah sakit, dia terus
berada disisi Maya yang tengah dalam kondisi koma. Terkadang dia pulang
untuk membersihkan diri dan mengganti pakaiannya atau hanya pulang
untuk sekedar makan, tapi terkadang Edo yang datang membawakannya
pakaian ganti atau makanan. Terus seperti itu, dia benar-benar tidak bisa
pergi dari sisi Maya, dia selalu memanggil-manggil nama Maya, meminta
gadis itu untuk bangun walaupun hal itu tidak mendapat respon sama sekali.
Sudah tiga belas hari berlalu, kondisi Maya tidak menunjukkan perubahan,
hal itu membuat khawatir semua orang yang dekat dengannya, terlebih lagi
Ryan. Tapi pagi itu, pada hari yang keempat belas, dua minggu sejak Maya
mengalami koma... “Mmm...” Ryan tampak terbangun dari tidurnya yang
saat itu sedang tidur dengan posisi duduk didekat tempat tidur Maya. Dia
melihat sekelilingnya dengan kondisi yang masih setengah sadar, dia
merasakan sesuatu yang membuat dia terbangun dari tidurnya. Dan ketika
dia memalingkan pandangannya kearah Maya, dia melihat sosok gadis itu
tengah terduduk dan tersenyum manis kearahnya. Sontak dia sangat terkejut
sekali. “Ma... Maya...!!!!” katanya sambil mengusap-usap matanya. “Iya
Yan...” jawab Maya dengan nada yang masih terdengar lemas. Ryan
terbangun oleh belaian tangan Maya yang membelai kepalanya waktu itu.
Maya telah sadar dari komanya. “Sayaaanngg... Ini bener kamu kan...? Aku
gak sedang mimpi kan...?” spontan Ryan meraba-raba pipi Maya. Gadis itu
tetap tersenyum sambil menggelengkan kepalanya kearah Ryan. “Maya...
Sayanng.. Kamu bener-bener udah bangun...?” Ryan tersenyum kearah
Maya. Kali ini Maya membalas Ryan dengan anggukan pelan. “Terima kasih
ya Yan...? kamu udah ngejagain aku selama ini...” kata Maya pelan. “Terima
kasih...? untuk apa..? ngejagain kamu..? Bukannya itu yang emang harus aku
lakuin...? aku kan tunanganmu Maya sayang...” kata Ryan sambil tertawa
kecil. Terpancar sebuah kebahagianan yang luar biasa dari raut wajah Ryan
melihat gadis yang begitu sangat dia cintai itu sudah tersadar dari komanya.
“A.... Aku panggilin papa ya buat meriksa kondisi kamu, tunggu bentar...”
kata Ryan berdiri, berniat ingin memanggil dokter Arman untuk memeriksa
kondisi Maya, tapi saat itu Maya memegang pergelangan tangannya. “Aku
gak apa-apa kok Yan, biarin papa istirahat dulu, ini kan masih pagi buta,
kamu juga baru bangunkan...?” kata Maya menghentikan niat Ryan itu.
“Serius kamu gak apa-apa...” tanya Ryan sambil kembali duduk. “Iya...
waktu aku tidur, aku terus ngedenger suara kamu yang nyuruh aku bangun,
aku ngedengernya berkali-kali makanya aku bangun....” sambung Maya.
“Aduuhh sayang... kamu bangunnya bener-bener kaya gak pernah terjadi
apa-apa, padahal kamu koma udah ampir dua mingguan deh kayaknya kalo
aku gak salah inget... Bikin aku khawatir aja... Emang kamu paling bisa deh
ya...” kata Ryan sambil mengacak-acak rambut Maya. Mendengar hal itu,
Maya tertawa kecil “Maaf ya sayang...? aku cuman bisa ngerepotin kamu....”
kata Maya. “Yaelah sayang.... tadi aku bilang apa coba...? ohya, aku ambilin
makan ya? Kamu pasti laper tuh gak makan-makan selama dua minggu...”
balas Ryan. Maya tersenyum sambil mengangguk pelan. Hari itu adalah
kebalikan dari hari-hari sebelumnya yang dilewati oleh orang-orang terdekat
Maya. Kebahagiaan kembali menyinari hari-hari keluarganya. Maya
memang benar-benar adalah seorang gadis yang sangat kuat, dia mampu
bertahan dengan kondisi separah itu. Sejak hari itu, Ryan selalu menemani
Maya, dia tidak pernah meninggalkan gadis itu barang sesaat, dan satu hal
yang berubah, sekarang dia tidak pernah mengajak Maya untuk keluar-keluar
rumah lagi, dia tidak lagi terlihat seperti meremehkan kondisi Maya. Tapi
terlepas dari itu semua, dari kebahagiaan mereka itu, sang waktu terus
menyeret Maya ke jurang curam kehidupannya, satu bulan lagi menjelang
ulang tahun Maya yang ke dua puluh. Dan semua orang sadar kalau satu
bulan itu pasti akan berlalu, tanpa terasa. Ryan jelas-jelas menyadari akan
hal itu. Meskipun tersenyum lebar didepan Maya, tapi dibelakang, dia
terlihat kacau, kacau sekali. Bulan itu Ryan benar-benar menghabiskan
waktunya full bersama Maya. Edo, Rafael dan Eric terkadang datang untuk
menjenguk mereka berdua, hanya sekedar untuk mengobrol, bercanda atau
apa pun yang bisa membuat mereka lupa akan waktu Maya yang semakin
sempit setiap harinya. Tapi justru hal itulah yang nantinya akan membuat
perpisahan mereka semakin sulit dan semakin sakit. Semakin dekat mereka
Dengan Maya, akan semakin sakit perasaan mereka untuk menerima
kenyataan yang akan dialami oleh Maya.
Hari-hari berlalu, minggu-minggu pun berganti. Besok adalah hari
tahun baru, dalam artian nanti malam adalah hari ulang tahun Maya, malam
dimana Maya akan meniup lilin yang kedua puluhnya, malam dimana Maya
akan mengahiri perjalanan hidupnya. Helen, Henry, dokter Arman, tante
Rani, Edo, Rafael, Eric dan Ryan berkumpul dirumah Maya sejak sore hari.
Mereka mempersiapkan hari ulang tahun Maya yang akan mereka rayakan
nanti malam tepat ketika terjadinya waktu pergantian tahun. Mereka
mendekorasi ruang keluarga sedemikian rupa untuk acara itu meskipun
mereka tahu hal itu seperti seolah-olah mereka akan merayakan kematian
Maya. Tapi mereka sepertinya tidak perduli dengan kenyataan itu, mereka
sadar kalau mereka sudah tidak bisa melakukan apa pun untuk Maya, sudah
tidak ada harapan yang tersisa sedikitpun. Tante Rani sendiri terus
meneteskan air matanya ketika membuat kue ulang tahun untuk Maya, Helen
berusaha untuk menenangkan tante Rani meskipun dia sendiri tengah
menangis. Malam itu mereka semua berkumbul, berbincang-bincang tertawa
terbahak-bahak diruang keluarga rumah Maya, meskipun jauh dilubuk hati
mereka yang terdalam, mereka sama sekali tidak ingin tertawa seperti itu.
Mereka tidak sadar kalau waktu sudah menunjuk pukul 23:50. Hampir
tengah malam. Hampir...... Ryan memasuki ruang keluaga itu dengan
membawa sebuah kue ulang tahun, diatas kue itu bertengger dua lilin
berbentuk angka 2 dan 0. Ryan langsung melangkah kearah Maya yang
tengah terduduk disofa dengan mengenakan baju hangat bergaris ungu dan
putih dengan syal ungunya itu. “Oke sayang....? Malam ini kita merayakan
ulang tahun kamu yang ke dua puluh, sebutkan harapanmu dan tiuplah lilin
ini...” kata Ryan sambil tersenyum kepada Maya. Maya tersenyum dan
kemudian memejamkan matanya, membuat harapan, entah harapan seperti
apa yang dia inginkan untuk saat-saat seperti itu. Dan hal itu membuat tante
Rani tidak bisa lagi menahan pilu yang ada di lubuk hatinya, dia berlari
keluar rumah sambil terisak-isak, dia tidak mampu melihat saat-saat terakhir
anak semata wayangnya itu. Helen menyusul tante Rani berlari keluar, dan
tidak berapa lama kemudian dokter Arman dan Henry mengikuti kedua istri
mereka masing-masing itu. Maya membuka matanya dan kemudia meniup
lilin yang ada diatas kue ulang tahunnya itu dengan pelan. “Happy
Birthday ya Maya....” kata Ryan pelan sambil mencium kening Maya. Gadis
itu hanya bisa membalas dengan senyuman manisnya. Edo, Rafael, dan Eric
hanya bisa duduk, membisu seribu bahasa menyaksikan moment itu.
“Teng..... Teng..... Teng...” Jam besar yang ada diruangan itu berdentang
sebanyak dua belas kali, suara jam itu menggetarkan telinga semua orang
yang ada disana, tidak lama kemudia terdengar suara-suara terompet dan
kembang api dari kejauhan. Orang-orang sedang merayakan datangnya tahun
baru dengan penuh rasa bahagia. Tapi tidak untuk enam orang yang ada
dirumah Maya itu. Tidak terpancar kebahagiaan sedikitpun di wajah mereka.
Edo berdiri dan melangkah kearah Ryan yang saat itu terus berjongkok
didepan Maya. Dia memegang pundak Ryan dengan pelan, tapi Ryan tidak
merespon sama sekali. Edo menarik nafas panjang dan mengucapkan selamat
ulang tahun kepada Maya dengan pelan. Maya tersenyum kearahnya. Setelah
itu Edo pun melangkah keluar diikuti oleh Rafael dan Eric setelah mereka
mengucapkan selamat kepada Maya. Melihat Ryan yang sama sekali tidak
merespon Edo, Maya tersenyum sambil membelai kepala tunangannya itu
dengan lembut. “Sayang...? Aku mau minta satu hal dari kamu...” kata Maya
pelan. “Mmm? Apa itu sayang...? katakan saja... Apapun yang kamu minta,
bakalan aku buat jadi kenyataan sekarang juga... Pasti...” kata Ryan sambil
tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. “Selama ini... kita udah pergi
kesegala tempat kan...?” tanya Maya. Ryan mengangguk membenarkan kata-
kata Maya. “Sejak kecil aku selalu ingin pergi ke suatu tempat, tapi dengan
kondisiku ini, aku tidak pernah bisa pergi ke tempat itu...” sambung Maya.
“Di... Dimana itu sayang...? Tempat seperti apa itu...? kalau kamu mau, kita
bisa pergi sekarang juga kok... dimana pun tempatnya aku akan
membawamu kesana...” kata Ryan sambil berdiri, siap membawa Maya
ketempat impiannya itu. Maya tersenyum dan menarik Ryan kembali untuk
duduk. “Aku tau kok... kamu pasti akan memenuhi semua keinginanku..”
kata Maya pelan. “Iya... Makanya ayo kita ketempat itu sekarang... Kamu
tinggal sebutin aja dimana...” balas Ryan. “Pantai... Sejak kecil aku tidak
pernah melihat yang namanya pantai, menginjakkan kaki aku kepasir lembut
yang ada ditempat itu, merasakan dinginnya air laut dan melihat ombak putih
yang menyapu permukaan laut....” kata Maya memberi tahu tempat impian
yang ingin dia tuju kepada Ryan sambil tersenyum. “Ya sudah... ayo... kita
kepantai sekarang juga...” kata Ryan lagi. “Karena kondisi tubuhku yang
lemah ini aku tidak bisa pergi kesana, metabolisme tubuhku tidak akan bisa
menahan kerasnya angin pantai, karena itulah aku menutup rapat-rapat
keinginan itu dari hatiku, walau bagaimanapun inginnya aku pergi ketempat
itu, aku akan menghentikan langkahku dan membiarkan keinginan itu
menjadi hanya sekedar hayalan dikepalaku saja..” kata Maya lagi. Hal itu
membuat Ryan terdiam tidak mampu menjawab. Cukup lama mereka berdua
terdiam. Pandangan Maya tiba-tiba berubah kabur, dia merasakan pusing
yang begitu menusuk. Sang waktu sudah tidak bisa menunggunya lebih lama
lagi. Walaupun merasakan sakit yang luar biasa itu, dia tidak mau kalau
Ryan menyadarinya. “Besok pagi....” kata Maya. Ryan menoleh kearahnya.
“Besok pagi kamu mau kan nganter aku ke pantai Yan...?” kata Maya sambil
tersenyum. Ryan menatapnya tajam seolah-olah mengatakan “kalau saja
besok pagi itu ada untukmu, aku akan membawamu mengarungi tujuh lautan
yang ada didunia ini”. Ryan mengangguk pelan. Maya menjulurkan jari
kecilnya kearah Ryan, meminta Ryan untuk berjanji kepadanya. Lama Ryan
menatap jari Maya itu, dan akhirnya dia melingkarkan jari kecilnya dengan
jari kecil Maya tanda dia berjanji akan membawa Maya kepantai keesokan
harinya. “Yaudah.... kalo gitu aku tidur sekarang ya Yan...? Aku sudah
ngantuk sekali, aku gak sabar mau ngeliat pantai besok pagi...” kata Maya
sambil tersenyum tipis dan berusaha merebahkan badannya kesofa
tempatnya duduk itu. Ryan membantunya merebahkan badan. “Selamat
malam ya Yan...” katanya pelan. “Selamat malam tuan putri.... Selamat
tidur...” balas Ryan pelan. Maya pun langsung memejamkan matanya.
Melihat hal itu hati Ryan merasa tercabik-cabik, dadanya kembali terasa
sesak, dia ingin berteriak sekencang-kencangnya saat itu tapi suaranya tidak
bisa keluar. Terlihat air matanya menetes karena sudah tidak tertahan lagi.
Cukup lama dia merasakan penderitaan batin karena ditinggalkan oleh
kekasih yang sangat dia cintai itu. Saat itu akhirnya dia merasakan
bagaimana perasaan para gadis yang pernah dia permainkan selama ini,
bagaimana sakitnya ditinggalkan oleh orang yang kita cintai dengan
ketulusan hati. Ryan merasakan rasa sakit itu ditengah kegembiraan orang-
orang yang menyambut datangnya tahun baru diluar sana. Di tengah-tengah
kepiluannya itu akhirnya dia terlelap, terlelap dengan posisi duduk dilantai
disamping Maya.
Keesokan harinya..... “Mmm...?” Ryan terbangun. Dia merasakan ada
seseorang yang membelai kepalanya, dia melirik kekiri dan kekanan dengan
keadaan masih setengah sadar. Dan begitu dia memandang kearah Maya
yang seingat dia tadi malam tertidur disofa itu, seketika dia mengusap-usap
matanya. Kesadarannya seketika kembali.
From this chapter, until the end of the story, to give the story a bit
‘soul’, the writer recomended the readers to learn some certain songs in
certain moments in the story. Itu juga kalo punya lagunya sih, kalo gak
juga gak apa-apa... :)
Chapter 7
AN INEVITABLE DESTINY
“No..... Way” kata Ryan sambil terperangah. Sosok Maya terduduk
sambil tersenyum manis kearahnya, sama seperti satu setengah bulan lalu.
“Ma.... Maya.... kamu....” Ryan tidak mampu berkata apa-apa yang melihat
gadis yang dia cintai itu masih bisa tersenyum lepas seperti itu padahal
seharusnya waktu hidup Maya sudah berakhir tadi malam. “Kamu cuci muka
aja dulu ya sayang..? abis itu kita langsung pergi ke pantai, mumpung masih
pagi... masih seger.... kamu udah janji kan ama aku tadi malem...” kata Maya
pelan sambil terus tersenyum. Ryan tidak menjawab, dia terus memandang
Maya, tidak percaya melihat gadis itu masih hidup dari „fonis mati‟nya itu.
“Yan....?” Maya kembali memanggilnya. “I.... Iya... Iya May.... A.... Aku
cuci muka dulu....” jawab Ryan terbata-bata. Alasannya untuk cuci muka
bukan karena dia disuruh oleh Maya, tapi untuk meyakinkan dirinya kalau
dia sudah tersadar dari tidurnya. “Mimpikah....? Hantukah....?” katanya
dalam hati didepan kloset cuci muka yang ada di kamar mandi. Ryan
langsung saja mencuci mukanya dan menatap kaca yang ada didepannya,
masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya pagi itu. Tidak lama
kemudian dia langsung keluar menuju ke arah ruang keluarga menemui
Maya. Saat memasuki ruang keluarga itu dia mencium wangi lavender yang
begitu sangat khas. Maya sudah bersiap untuk diajak kepantai. “Tidak
mungkin.... Maya benar-benar masih hidup...” kata Ryan dalam hati.
“Udah....?” tanya Maya melihat Ryan yang hanya berdiri tanpa sepatah kata
itu. Ryan membalas dengan anggukan kecil. “Kalo gitu ayo...” sambung
Maya sambil menggandeng tangan Ryan. Mereka pun berjalan keluar rumah.
Begitu mereka keluar, disana mereka mendapati Henry, Helen, dokter
Arman, tante Rani, Edo, Rafael, dan Eric yang sama sekali tidak tertidur dari
tadi malam. Melihat Ryan dan Maya yang keluar dari dalam rumah, mereka
semua sangat terkejut sekali, spontan tante Rani berdiri dari duduknya
melihat anak gadisnya itu masih bisa berdiri. “Ma.... Aku pergi ke pantai
ama Ryan ya...? Ini dah jam tujuh, kami udah telat gak bisa liat sunrise....”
Maya meminta izin kepada ibunya yang berdiri mematung itu sambil
tersenyum, padahal pagi itu sedang mendung, sepertinya sebentar lagi hujan
akan turun. Tanpa menunggu respon ibunya, Maya menarik Ryan untuk
pergi. Saat itu Ryan menatap Edo tajam. Seolah-olah mengerti akan apa yang
ingin Ryan katakan, Edo mengangguk pelan. Ryan membukakan pintu mobil
untuk Maya. Ryan masih belum menjalankan mobilnya walaupun dia sudah
menyalakan mesin „si summer snow‟. “Yan...? Ayo dong kita jalan...” kata
Maya. Saat itu Maya terlihat benar-benar bawel tidak sabaran untuk pergi
melihat pantai. Tidak seperti Maya sebelumnya yang kalem dan pendiam.
“Ntar dulu sayang...” kata Ryan sambil meraih syal ungu yang Maya pakai.
Maya mengernyitkan dahinya tidak mengerti. “Inikan hadiah ulang tahun
kamu yang kedua puluh.... jadi matamu aku tutup yah...?” kata Ryan sambil
tersenyum kearah Maya. “Mmmm.... E‟em...” Maya mengangguk tanda
setuju sambil tersenyum. Ryan pun menutup mata Maya dengan syal itu dan
kemudian mobil itu melaju keluar dari pekarangan rumah itu. “Maya masih
hidup.... Maya masih hidup....” kata Ryan dalam hati meyakinkan dirinya
sambil tersenyum. Hatinya begitu sangat gembira sekali hari itu, dia tidak
jadi berpisah dengan gadis yang dia cintai sepenuh hati itu. Suasana
menegangkan dan menyedihkan malam itu dengan sangat cepat terlupakan,
seperti niat Ryan saat baru pertama kali melihat Maya didepan apotik satu
tahun yang lalu untuk hanya memiliki dan mempermain kan gadis itu,
terlupakan, seperti tidak pernah terjadi sama sekali.
Ryan menghentikan mobilnya. Mereka sudah sampai disebuah
pantai, letaknya mungkin sekitar delapan atau sepuluh kilometer dari rumah
Ryan sendiri. “Kita berhenti, udah sampai Yan...?” tanya Maya. “Eiittt....
jangan dibuka dulu penutup matanya sayang...” kata Ryan sambil
membukakan Maya pintu mobil dari luar. Dia memapah Maya untuk keluar
dari mobil dan melangkah kearah pantai. “Gak boleh ngintip yah...” kata
Ryan lagi. Maya tersenyum sambil mengangguk. Setelah tidak jauh dari
garis pantai, mereka pun berhenti. “Udah siap...?” tanya Ryan pada Maya.
Maya tersenyum, mengangguk sambil menggigit bibirnya, benar-benar
sangat penasaran seperti apa pantai itu di kenyataan, selama ini dia hanya
melihat pantai dari tivi dan film-film saja tapi tidak pernah secara langsung,
dan sekarang inilah hal yang dia impi-impikan itu akhirnya terwujud. Ryan
pun membuka penutup mata Maya. Ketika membuka mata, Maya melihat
lautan yang tidak berujung didepannya, sebuah kolam raksasa yang airnya
tidak akan pernah habis sampai kapanpun. Entah bagaimana caranya Tuhan
menciptakan kolam itu, Maya tidak mampu membayangkannya.
“Indahnyaaaaa.........” kata Maya sambil tersenyum lebar. Dia membuka
sendal yang dia pakai dan menginjakkan kakinya dipasir hitam yang dingin
dan bersih itu, pagi itu masih belum ada satu orang pun dipantai, mingkin
karena orang-orang sedang beristirahat setelah merayakan malam tahun baru
tadi malam, hanya mereka berdua yang ada ditempat seluas itu. Maya
melangkah maju kearah bibir pantai dengan bertelanjang kaki sambil
tertawa-tertawa kecil kegirangan. Saat itulah sebuah ingatan tersibak didalam
kepala Ryan. Dia mengingat mimpinya tentang seorang gadis yang sedang
berdiri diujung tebing dulu. "Akhirnya kamu datang juga... Ryan." dia
mengingat akan mimpi itu. "Maya... Gadis dimimpiku itu adalah Maya..."
kata Ryan dalam hati dan beberapa saat kemudian dia pun tersenyum tipis
sambil terus memandang Maya yang ada didepannya. Maya merentangkan
tangannya sambil berputar-putar, merasakan hembusan angin pantai yang
masih segar-segarnya pagi itu. Dia terus tertawa-tawa kecil layaknya anak
kecil yang baru saja melihat yang namanya pantai. Ryan hanya bisa
tersenyum tipis dan terduduk di atas pasir melihat kekasihnya bertingkah
seperti anak-anak itu. Ombak pantai itu menyapu kaki Maya yang membuat
tawa kecilnya semakin terdengar begitu lugu. Cukup lama Ryan membiarkan
Maya menikmati suasana pantai itu, dan akhirnya Maya mendekati Ryan
yang dari tadi terduduk tanpa mengikutinya. Dia pun duduk disamping Ryan
dan merebahkan kepalanya dipundak Ryan. (Erene – Takkan
Pisah) “Yan....” kata Maya pelan. “Mmmm?” jawab Ryan. "Makasih
ya.... With this.... You made my life perfect...” kata Maya. No... You‟re the
one who made my life perfect May....”. kata Ryan sambil merangkul Maya.
Mereka terdiam lumayan lama menikmati waktu-waktu damai itu. Tapi
damai itu hanya untuk sesaat saja.... pandangan Maya kembali memudar.
“Kamu tau, apa permintaan aku tadi malem...?” tanya Maya kepada Ryan.
“Nggak.... Emang apa sayang...?” Ryan balik bertanya. “Aku minta..... Kalau
aku diberikan waktu sedikit lagi buat sama kamu... Walaupun hanya semenit
aja gak apa-apa, hanya untuk bisa ama kamu lebih lama lagi.....” kata Maya
pelan. Mendengar kata-kata Maya itu, Ryan tidak menjawab, jantungnya
berdegup sedikit keras saat itu. “You‟re fine May..... You‟re alive...” katanya
pendek sambil memandang kearah pantai. “Sejak awal aku udah tau kalo aku
ujung-ujungnya hanya akan nyakitin kamu aja, tapi biarpun aku tau
kenyataannya bakalan kayak gitu, aku gak bisa ngelepasin kamu, aku sayang
ama kamu, aku cinta ama kamu Yan, gak perduli kalo kamu itu cowok kayak
gimana...” kata Maya lagi. Ryan tidak menjawab. “Kamu udah menuhin janji
kamu buat ngajak aku kepantai.... Tapi kamu mau gak menuhin satu janji
lagi...?” tanya Maya. “Apa...?” jawab Ryan pendek. “Apapun yang terjadi
ama aku hari ini....” Maya belum melanjutkan kata-katanya, Ryan sudah
menyanggah. “You‟re fine.... You‟re alive May....!” Ryan mengulangi kata-
katanya tanpa ekspresi. “Apapun yang terjadi ama aku hari ini... Kamu janji
ya..? Gak ngelakuin hal bodoh kayak apapun... Tetaplah menjadi Ryan yang
seperti kemarin-kemarin, semua orang senang ngeliat kamu, semua orang
bahagia ada disisi kamu dengan keadaan seperti itu, karena sejak awal,
seperti itulah kamu adanya.... jangan menjadi Ryan yang palsu lagi....
biarpun mama dan papa jauh, tapi kamu gak sendirian, kamu masih punya
Edo dan yang lainnya Yan....” kata Maya. Pandangannya semakin memudar,
kepalanya kembali pusing, dadanya terasa sesak yang membuatnya sulit
bernafas. Darah sudah mulai keluar dari hidungnya, mengalir ke kaos putih
yang dikenakan oleh Ryan. Ryan merasakan cairan itu, tapi dia sudah tidak
mampu bergerak mendengar pengakuan Maya itu, tubuhnya kaku menopang
Maya yang sudah tidak mampu untuk berdiri itu. “Jangan pergi May....
Kamu tau kalo aku gak bisa kehilangan kamu... kamu tau kalo duniaku ada
ama kamu... Jiwa dan ragaku belum siap untuk kehilangan kamu... Jangan
tinggalin aku disaat-saat kayak gini.... sakiti aku dulu... buat aku benci ama
kamu... buat aku muak ama kamu...” kata Ryan sambil menggenggam pasir.
“Kamu bisa...? Kamu bisa benci ama akau...? Kamu bisa muak ama aku...?”
Maya bertanya kepada Ryan. Ryan menggigit bibirnya dengan kuat sambil
menggeleng pelan. Dia merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh
Maya saat itu, dadanya terasa begitu sangat panas dan perih bukan main.
“Kalo kamu pergi... bawa aku ikut ama kamu.... Kalo nggak ak...” Ryan
belum melanjutkan kata-katanya, jari telunjuk Maya sudah menempel
dibibirnya. “Uhuk...!! Uhuukk...!!” Maya terbatuk. Ryan jelas-jelas
merasakan kalau ada sesuatu yang retak karena saat itu dada Maya
menempel ditubuhnya. Saat itu Ryan semakin merasakan kalau bajunya itu
semakin basah. Maya mengeluarkan sesuatu dari kantong baju hangat
bergaris ungu dan putihnya itu. Sebuah boneka porselen kecil berbentuk
bidadari bersayap biru. “Boneka ini udah menuhin tugasnya, ngejaga aku
ampe umur aku mencapai dua puluh seperti kata kamu dulu Yan....” kata
Maya sambil mengacungkan boneka bidadari bersayap biru itu kearah langit
yang saat itu sedang mendung. Pandangan Maya semakin memudar melihat
langit. Waktu „tambahan‟nya sudah benar-benar akan habis. “Sudah saatnya
bidadari ini kembali kepemiliknya... sudah saatnya bidadari ini kembali ke
kamu Yan...” kata Maya sambil meletakkan boneka itu didada Ryan, tapi
Ryan sama sekali tidak merespon, air matanya mengalir deras sederas darah
segar yang mengalir dari hidung dan mulut Maya waktu itu. “Kamu nangis
Yan...? Jangan... Gak boleh ada yang ngeliat air mata kamu... jangan
menangis sayangku....” kata Maya lemah. Dan saat itu pandangan Maya
tidak lagi hanya sekedar memudar, perlahan-lahan pandangannya berubah
gelap dan akhirnya berubah hitam pekat. “I love you Ryan...” Boneka
bidadari yang ada didada Ryan itu terjatuh kepasir, begitu pula tangan Maya
yang terkulai lemas jatuh ke pangkuan Ryan. Akhirnya waktu yang diminta
Maya sudah habis. Dia meninggal didekapan tunangannya yang begitu
sangat dia cintai itu. Ryan terpatung, dia tidak lagi mendengar suara Maya,
tidak lagi mendengar tawa Maya, saat itu mata Maya sudah terpejam
sepenuhnya, tapi masih terlihat sebuah senyuman menempel diwajahnya,
senyuman kebahagiaan karena hidupnya yang begitu singkat itu terasa benar-
benar sempurna karena ada Ryan disisinya. Ryan terduduk lama bersama
jasad Maya, dia merasakan ada tetes air jatuh dari langit, dan tidak lama
kemudian hujan pun turun dengan derasnya, memandikan mereka berdua.
Sebuah mobil mini van datang dari kejauhan, dan berhenti setelah sampai
dibelakang mobil Ryan. Tanpa memandang Maya untuk yang terakhir
kalinya, Ryan langsung menggendong jasad Maya itu kearah mobil mini van
itu, dari dalam mobil itu keluarlah dokter Arman dan Henry, Mereka berdua
mengambil jasad Maya dari gendongan Ryan. Kali ini Ryanlah yang tampak
seperti zombie, tidak ada ekspresi sedikitpun yang terlihat di wajahnya.
Henry memandang Ryan, tapi karena dia mengerti kondisi anaknya saat itu,
dia tidak berkata apa-apa dan langsung memasuki mobil yang disopiri oleh
Rafael itu. Mereka berlalu dari Ryan, membawa jasad Maya pulang. Akan
tetapi Ryan masih terus mematung, hatinya sudah hancur luluh lantah, tidak
berbentuk lagi, tidak ada yang akan bisa mengobati perasaan Ryan yang
entah hancur seperti apa saat itu. Edo hanya bisa memandang sahabatnya
yang dalam keadaan seperti itu dari kejauhan, dia tahu kalau tidak ada yang
bisa dia lakukan untuk menenangkan Ryan yang dalam keadaan kacau
seperti itu. Setelah mini van itu melewati mobilnya, dia pun berlalu
meninggalkan Ryan, sendiri didalam kesedihannya yang teramat sangat
karena ditinggalkan oleh Maya. Setelah lama di ditinggalkan Ryan pun
menangis sejadi-jadinya ditengah derasnya hujan, langit seperti ikut
menangis bersamanya, dan seolah-olah menutupi air matanya. Ryan
menangis sambil memukul-mukul kap mobilnya sampai penyok, dia tidak
merasa sakit ditangannya yang memukul kuda besi itu, tapi jantungnya yang
normal-normal saja malah terasa begitu perih, dia masih merasakan retak
dari jantung Maya yang dia rasakan tadi itu, dan rasa itu masih terasa jelas
oleh Ryan. Dia bertekuk lutut didepan „summer snow‟nya sambil terus
menangis, berteriak sekencang-kencangnya memanggil nama Maya.
Hari itu merubah kehidupan Ryan menjadi semakin kelam, dia hidup
layaknya orang yang tidak memiliki hati dan perasaan lagi, terlebih lagi dia
berubah menjadi sosok yang sentimen dan amarahnya mudah tersulut walau
untuk hal-hal yang sepele, jiwanya ikut mati bersama Maya. Dia menjadi
anak yang begitu sangat dingin sekali, walaupun Edo, Rafael dan Eric terus
mengikutinya sampai ke universitas, dan orang tuanya semakin sering pulang
karena menghawatirkan keadaannya yang seperti itu, tapi sepertinya Ryan
benar-benar sudah tidak perduli terhadap apa-apa lagi, dia sudah tidak
perduli kepada kehidupan ini. Satu setengah tahun dia menjalani
kehidupannya seperti itu. Edo dan kedua temannya yang terus menemaninya
dalam keadaan seperti apapun. Mereka sudah kehabisan akal untuk
mengubah Ryan, tidak ada yang bisa merubahnya lagi, tidak ada selain.....
“Maya...” kata Ryan yang hari itu sedang duduk di halaman kampus bersama
Edo, Rafael dan Eric. Dia melihat seorang gadis datang dari kejauhan.
“Maya...” katanya lagi sambil berdiri. Edo, Rafael dan Eric begitu sangat
terkejut setelah melihat gadis yang Ryan lihat itu. “Hell no...”kata Eric
terperangah sedangkan kedua temannya tidak mampu berkata apa-apa
melihat sosok gadis itu. “Maya...” kata Ryan untuk yang ketiga kalinya
sambil mendekati gadis itu. Gadis yang di panggil Maya oleh Ryan tadi
mengernyitkan dahinya tidak mengerti. Dia berdiri didepan gadis itu sambil
terus memandanginya. “Bukan... Kamu bukan Maya.... Kamu bukan
Mayaku...” kata Ryan sambil berbalik dan melangkah. “Umm... Excuse me...
Have we met before....? „cause I feel like I knew you....” kata gadis tadi
sambil memegang pundak Ryan dari belakang, mencoba menghentikan
langkahnya. “Kamu bukan Maya...” kata Ryan dingin tanpa ekspresi.
“Maya...? Nama aku...”
..... “Dan saat itulah kamu bertemu dengan Ryan.... Natasya....” kata
seseorang yang tengah terduduk dikap mobilnya yang mengarah kearah
pantai itu dibelakan sesosok gadis yang saat itu tengah melihat sebuah foto
yang tampak sudah lama dan sedikit usang.
***
Chapter 8
THE FORGOTTEN MEMORY
Gadis yang bernama Natasya itu tetap terdiam, dia terus melihat foto
yang saat itu sedang dia pegang. “Foto ini... Diambil pada saat Maya ulang
tahun ya...?” tanya Natasya kepada laki-laki yang ada dibelakangnya itu
tanpa menoleh. “Iya... Foto itu diambil pada ulang tahun Maya yang terakhir,
dua tahun yang lalu...” jawab laki-laki itu. “Aku sama sekali gak pernah
nyangka, kalo ada orang yang bener-bener mirip sekali ama aku, dia bahkan
tidak ada hubungan darah sama sekali ama aku...” kata Natasya sambil
memandang ke arah lautan yang ada didepannya. “Kalo aja Gue, Rafael ama
Eric gak ngehadiri pemakaman Maya dulu, kami juga gak bakalan percaya
sama sekali kalo elo itu bukan Maya... Gue tau yang namanya kembar
identik dan itu kebanyakan sodara kandung semua, tapi elo ama Maya bukan
sodara sama sekali, tapi terlepas dari itu.... Elo ama Maya sama sekali gak
keliatan ada bedanya secara fisik....Nada dan gaya bicara loe aja sama sekali
gak ada bedanya ama Maya...” kata laki-laki yang ternyata adalah Edo itu.
“Terima kasih ya Do... kamu udah cerita semua tentang Maya ama Ryan dari
awal... selama ini aku bener-bener penasaran kenapa Ryan manggil aku
Maya pas pertama kali ketemu enam bulan yang lalu...” kata Natasya. “Gue
juga udah dari dulu mau ngomong ama elo, biar elo gak keliatan kayak
ngejer-ngejer dia...” balas Edo. Kelakuan Edo terlihat sudah berubah, dia
menjadi laki-laki yang tidak bertingkah konyol seperti dulu lagi, sekarang
dia terlihat sedikit dingin tapi cukup gentle. Mungkin inilah Edo yang sudah
berfikir dewasa dan tidak kekanak-kanakan seperti dulu lagi. “Aku bukannya
ngejer-ngejer dia karena apa-apa... aku cuman penasaran aja, kalo kalian
bertiga aja masih gak percaya kalo aku bukan Maya dengan segala kesamaan
aku yang bener-bener sangat identik ama Maya, kenapa dia malah bilang
kalo aku bukan Maya setelah dia manggil aku Maya dulu... Setelah ngeliat
foto Maya ini, mustahil buat siapapun tau kalo aku bukan Maya... Dan aku
juga ngerasa pernah ketemu ama dia disuatu tempat dulu, tapi aku lupa
dimana, yang jelas aku ngerasa kalo aku kenal ama dia...” kata Natasya.
“......... Mungkin karena dialah yang paling mengenal Maya, dialah yang
paling deket ama Maya sampai akhir hidup gadis itu...” jawab Edo setelah
terdiam sejenak. “Maya...... Dia pasti adalah gadis yang bener-bener sangat
istimewa buat Ryan.... Gadis berjantung kaca....” kata Natasya dengan nada
tertegun. “Sekarang kamu udah tau semuanya... Gak bakalan ada yang bisa
ngubah Ryan menjadi seperti dulu lagi pas ada Maya... Ayo.... aku anter
kamu pulang... udah ampir sore...” kata Edo sambil beranjak akan memasuki
mobilnya, dan ketika dia akan membuka pintu mobilnya.... “Do...” kata
Natasya. Edo menoleh kearah Natasya. Gadis yang mirip dengan Maya itu
berbalik setelah dari tadi tidak pernah bertatap muka dengan Edo, Semilir
angin pantai menyapu rambut hitam panjangnya. “Aku janji.... Aku akan
mengembalikan Ryan ke kamu... Ryan yang dulu pernah menjadi kakaknya
kamu itu.... Tolong izinin aku memasuki kehidupan Ryan.... Bantu aku
memasuki kehidupan Ryan....” kata Natasya sambil tersenyum tipis kearah
Edo sambil mengaitkan sedikit helaian rambutnya ke pangkal telinganya.
Melihat dan mendengar Natasya mengatakan hal itu Edo terperangah, Maya
pernah mengatakan hal yang sama kepadanya dulu, dengan nada yang sama,
tulus. Saat itu Edo melihat jelas kalau sosok Maya ada pada diri Natasya,
bukan hanya karena mereka mirip, tapi hati dan perasaan kedua gadis itu pun
sama. Edo tidak mampu menjawab kata-kata Natasya itu, dia terpatung,
sampai akhirnya Natasya memasuki mobilnya dan mengajaknya pulang.
Natasya Valentijn. Awalnya dia adalah gadis dalam negeri, tapi pada
saat usianya yang ke lima tahun, ayahnya meninggal dunia dan dia hidup
berdua bersama ibunya yang seorang pengacara internasional. Kemudian
pada usianya yang ke sepuluh tahun, ibunya menikah kembali dengan
mantan clientnya yang berkebangsaan Belanda, yang membuat mereka
akhirnya berdomisili di negeri kincir angin itu, dan dari sang ayah tirilah dia
mendapat nama Valentijn, nama Belanda yang berarti kuat atau sehat.
Kemiripannya dengan Maya bisa dibilang hampir 100% sama, hanya saja
jika Maya adalah sosok gadis yang sedikit pendiam dan berbicara seadanya
saja, Natasya adalah sosok gadis yang sedikit lebih talkactive dibandingkan
dengan Maya. Walaupun tidak terlalu sering, tapi dia selalu menyempatkan
diri untuk pulang hanya untuk pergi ke makam ayahnya dan tinggal
dirumahnya yang dulu untuk sekedar satu atau dua hari saja. Terkadang dia
pulang sendiri, tapi terkadang bersama sang ibu. Dan sekarang dia kembali
ke negeri asalnya ini untuk menempuh jenjang pendidikan sarjananya yang
membuatnya bertemu dengan Ryan.
Sejak saat itu Natasya berusaha untuk mendekati Ryan walaupun
Ryan selalu menolak keberadaannya. Dia terus saja berusaha untuk bisa
memasuki kehidupan Ryan seperti apapun itu. Karena mendapat bantuan dari
ketiga teman Ryan, dia tidaklah sulit untuk menemukan Ryan dimana pun
Ryan berada. Saat Ryan sedang clubing bersama ketiga temannya itu,
Natasya pun datang. “Hay guys... having fun eh... May I join....?” kata
Natasya langsung saja duduk didekat Ryan tanpa dipersilahkan. Sesaat
setelah Natasya duduk, Ryan malah berdiri dan melangkah akan
pergi. “Where are you going man... We‟re just arrived....” tanya Eric yang
melihatnya beranjak. “None of your business...” jawan Ryan dengan nada
yang begitu sangat dingin sekali. “Yan.... Natasya baru aja nyampe... loe gak
mau duduk-duduk dulu, kita kan baru aja nyampe...” Rafael berdiri
menghalangi Ryan yang akan pergi. “Loe ngalangin gue.... Minggir gak...”
balas Ryan sinis. “Kita baru aja mesen minuman Yan... gak usah kekanak-
kanakan gini....” kata Rafael lagi, kali ini dia memegang pundak Ryan. “Do
not.... Fuck with me...!!!” kali ini Ryan menjawab Rafael dengan kata-kata
kasarnya sambil menatap Rafael dengan tajam. Mendengar Ryan membalas
seperti itu, Rafael menarik tangannya dari pundak Ryan. Ryan pun kembali
melangkah sambil menyenggol pundak Rafael dengan kasarnya. Edo hanya
bisa terdiam saja melihat kelakuan Ryan yang seperti itu. Sedangkan Eric
hanya bisa mengangkat pundaknya. Natasya yang dari tadi menyaksikan
kelakuan Ryan itu menghela nafas panjang dan akhirnya mengejar Ryan.
“Yan... Gak usah gini dong... Kasian temen-temen kan...” kata Natasya
sambil berjalan mengikuti Ryan dari belakang. Ryan tidak menjawab dan
terus saja berjalan keluar. “Kalo kamu gak suka aku gabung, kamu tinggal
nyuruh aku pergi aja kan...? Gak harus ngomong kasar gitu ama mereka...”
kata Natasya lagi. Lagi-lagi Ryan tidak menjawab Natasya. “Kamu gak suka
ama aku...? Kamu gak suka ama Maya...?” Natasya tidak kehabisan kata-
kata. Mendengar Natasya berkata seperti itu, Ryan seketika menghentikan
langkahnya. Natasya pun ikut berhenti. “Mulut loe ye... Butuh dibakar...!!!”
kali ini Ryan membalas dengan sinis. “Kenapa...? Kamu gak suka ama aku
karena aku ngingetin kamu ama masa lalu kamu...? karena aku mirip ama
Ma...” Natasya belum melanjutkan kata-katanya Ryan seketika berbalik.
“Bacot loe....!!!! Jangan pernah samaain diri loe ama Maya, kuping gue sakit
ngedenger nama Maya keluar dari mulut loe....!!! Loe gak sama ama Maya....
Loe imitasi...!!!!!” bentak Ryan sambil menuding-nuding Natasya. Kata-kata
Ryan itu membuat Natasya tidak mampu membalas, gadis itu hanya bisa
menatap Ryan saja. Beberapa lama kemudian, Ryanpun berbalik dan
kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Natasya yang ter‟skak mat‟
oleh kata-katanya. Tapi belum jauh Ryan melangkah.... “Aku gak bakalan
nyerah Yan.... kamu mau bilang apa aja ke aku, aku gak perduli....” kata
Natasya setengah berteriak. Ryan mengacungkan jari tengahnya kearah
Natasya tanpa menoleh sambil terus melangkah. “Ryan…” panggil Natasya
lagi sesaat sebelum Ryan memasuki mobilnya dan melaju kencang
meninggalkan Natasya setelah hampir menyerempet gadis itu tanpa perasaan
sama sekali. Ketika itu Natasya tampak terhenyak, sepertinya dia menyadari
akan sesuatu, tapi entah apa itu dia sendiri masih belum yakin. Akhirnya dia
kembali masuk untuk menemui Edo, Rafael dan Eric. Memang benar, gadis
itu tidak pernah menyerah untuk mendekati Ryan, semakin Ryan menghindar
darinya, semakin dia mengejar-ngejar Ryan, dan tanpa disadari semakin
dalam dia memasuki kehidupan Ryan. Entah sudah berapa kali Ryan
melemparkan sumpah serapahnya kepada Natasya tapi sepertinya telinga
gadis itu tidak bergeming sama sekali, apa pun yang dikatakan Ryan
padanya, dia tetap saja tersenyum manis didepan Ryan. Dan pernah suatu
hari dia datang menemui Ryan dipantai kenangan itu. Ketika dia datang, dia
mendapati Ryan tengah duduk di sebuah bangku kayu agak sedikit jauh dari
garis pantai sambil memegang sebuah gitar dan sebuah buku lirik lagu.
Natasya terus saja menatap Ryan dari belakang, dan tampaknya Ryan masih
belum menyadari kehadiran Natasya. Dan ketika Ryan akan memetik
gitarnya, Natasya melangkah kearahnya dan duduk tepat disampingnya.
“Yan…? Gimana kabarmu…?” tanya Natasya sambil menoleh kearah Ryan
sambil tersenyum manis. Ryan yang saat itu akan mendendangkan lagu yang
sudah dia baca liriknya itu mengurungkan niatnya. “Elo lagi… Elo lagi…”
kata Ryan dingin tanpa menatap Natasya. “Mau nyanyi ya…? Ayo dong…
Aku dengerin…. Gak enak lho nyanyi kalo gak ada yang dengerin…” kata
Natasya. Ryan tidak menjawab. Suasana menjadi hening, tidak ada yang
bersuara diantara mereka berdua. “Pantainya indah ya Yan…? Kita kesana
yuukk…?” Natasya akhirnya angkat bicara mengajak Ryan ke pantai. “Elo
gak capek-capeknya ya gangguin gue mulu… Gue capek tau gak…!!!”
bentak Ryan. “kalo aja kamu gak ngindarin aku terus… kamu gak bakalan
capek…” balas Natasya sambil tersenyum. Ryan terdiam. “Ayo... kita turun
ke pantai Yan..?” Natasya kembali mengajak Ryan. “Pergi gak loe....” balas
Ryan dingin. Natasya menatap Ryan. “Enggak...” jawab Natasya dengan
nada centil. “Pergi gak...?!” Ryan sedikit berteriak. “Enggak...” Natasya
malah semakin centil dan malah tersenyum pula. “Pergi gak...!!!!!” kali ini
Ryan membentak gadis itu. “Nope... I wont leave...” Natasya tetap menolak
untuk pergi. “Anjinnggg....!!!!!” Ryan mengumpat sambil membuang gitar
yang dia pegang tadi itu ke pasir dan melangkah pergi dari Natasya.
Tampaknya dia benar-benar sangat marah sekali. “Yan... Tungguin...”
Natasya malah mengejarnya dan berusaha meraih pundak Ryan. Spontan
Ryan menyepak tangan Natasya sambil berbalik. “Fuck you....!!! You hear
me...?!!! Fuck you... Piece of shit...!!!” bentak Ryan dengan kata-kata kasar.
“Why Ryan.... What have I done wrong...?Why do you hate me so much...?”
kali ini Natasya yang sedikit terdengar seperti membentak Ryan. Ryan tidak
mampu menjawab pertanyaan Natasya itu dan langsung memasuki mobilnya
yang kemudian melaju kencang meninggalkan Natasya. Melihat mobil Ryan
sudah menghilang dari jangkauan pandangnya, dia kembali untuk memungut
gitar yang tadi Ryan lempar. Disamping gitar itu dia melihat sebuah kertas
dengan tulisan tangan Ryan. Tampaknya itu adalah sebuah lirik lagu.
Dapat kah kau melihat
Betapa ku kan tertatih
Mencoba tuk mengejar mu
Sribu bintang yang bersinar
Tak satu yang menyinari
Hati ku yang berlari
Dapat kah kau pahami
Arti hadir ku disini
Yang kan selalu menanti
Jejak langkah yang tertinggal
Mengharap ku kembali
Hati ku pun tetap hampa
Aku, disini
Merasakan sepinya hati
Aku, disini
Merasakan sunyinya hidup
Aku, disini
Merasakan terbang melayang
Dan tak dapat ku merasakan
Apa yang tlah terjadi
Dan tak mungkin ku melepaskan smua
Cinta yang tlah membuat ku melayang
Ketika Natasya membaca lirik lagu itu, tiba-tiba sebuah ingatan
muncul dibenaknya. Sebuah ingatan yang selama ini hilang darinya. Ingatan
itu membawanya ke masa dua tahun yang lalu. Ketika itu dia baru saja
pulang dari makan ayahnya bersama sang ibu.
Saat ditengah perjalanan dia mendapat panggilan dari ayah tirinya yang
ada di Belanda sana, dia kaget dan kehilangn kendali atas mobil yang dia
kendarai. Dia hampir menabrak sebuah truk, dan untuk menghindari hal
tersebut dia membanting stir mobil terlalu kuat yang membuat mobil itu
terpontang panting ditengah jalan. Natasya dan ibunya mengalami
kecelakaan. Ibunya sudah tidak sadarkan diri ketika di naikkan ke dalam
mobil ambulan, tapi saat itu dia sendiri masih setengah sadar. Ketika dia
menoleh kearah jalan disebelah kirinya yang sedang berada diatas tandu,
dia melihat sebuah mobil New Aston Martin Vanquish yang dikendarai Ryan
lewat. Dia melihat Ryan terus saja memencet klakson mobil seperti tidak
sabar ingin melewati kemacetan karena kecelakaan yang dialami oleh
Natasya itu. “Maaf udah ngerepotin kamu...” kata Natasya pelan dan
akhirnya tidak sadarkan diri lagi. Sebenarnya saat itu entah kenapa dia
mengatakah hal seperti itu, dia sendiri pun tidak mengerti. Dan keesokan
harinya dia mengalami koma, dalam keadaan koma tersebut dia dibawa
kembali ke Belanda oleh ayah tirinya untuk mendapatkan perawatan yang
lebih baik. Dan sejak hari itu dia tidak pernah kembali lagi sampai akhirnya
dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di negara asalanya ini.
Sesaat kemudian ada setetes air yang keluar dari matanya saat itu. “Ryan...
Kalo kamu ngebenci keberadaan aku yang sekarang ini, aku akan menjadi
Maya untukmu... Kita liat apa kamu masih bisa ngebenci aku...” gumam
Natasya, kemudian dia merogoh saku celananya untuk mengambil hape. Dia
masuk ke contact list dan menekan tombol call pada nama “Edo”. Beberapa
saat kemudian, dia mendapat jawaban dari Edo. “Do.... Aku inget, dimana
aku pernah ngeliat Ryan, dan kenapa aku ngerasa kenal ama dia... Dua tahun
lalu...” Natasya mulai menceritakan Edo tentang kejadian yang menimpanya
dua tahun yang lalu yang baru saja dia ingat. Edo terkejut mendengar cerita
Natasya karena mengingat sesuatu. “Adduuhhh sayaaannnggg.... Maaf aku
lama ya...? Macet, ada kecelakaan tadi...” Edo ingat kalau Ryan pernah
menyebut sebuah kecelakaan, dulu saat dia melihat Maya muntah darah, hal
itu terjadi dua tahun lalu. “Kondisi Maya mulai memburuk sejak hari itu, hari
dimana Natasya kecelakaan, dan mereka berdua.... Koma di hari yang
sama....” kata Edo dalam hati. “Waktu itu... Berapa lama kamu dalam
keadaan koma Nat...?” tanya Edo. “Dan mereka juga sama-sama koma dalam
waktu empat belas hari...” sambung Edo dalam hati setelah mendapat
jawaban dari Natasya. “Bukankah itu adalah hal yang mustahil...? dua orang
yang mirip bisa mengalami hal yang sama pada waktu yang bersamaan,
kalau mereka kembar sedarah sih mungkin saja, tapi ini kenyataannya
mereka tidak ada hubungan sama sekali. Apa mungkin bisa kehidupan
seseorang itu terhubung secara tidak sengaja...? atau mungkin...” pikir Edo.
Dia mendengar Natasya mengatakan sesuatu diujung telpon. “Do... Aku mau
minta sesuatu ama kamu.... Anter aku kerumah Maya, dan...” “Gak... Itu gak
mungkin.... Kalo cuman sekedar nganter kerumah Maya sih aku gak
masalah, tapi permintaan kamu yang satu itu aku gak mau.... Kamu bisa
dibunuh ama Ryan...!” kata Edo sedikit berteriak setelah mendengar semua
permintaan Natasya tadi. “Gak apa-apa Do... Aku yang tanggung jawab... Ini
semua demi Ryan...” balas Natasya dengan nada pasti.
***
Chapter 9
LIVING LEGACY
Keesokan harinya. Benar saja, Mobil Edo berhenti didepan sebuah rumah
bergaya klasik itu, ya, rumah itu dulunya adalah rumah Maya. Sekarang
tempat itu tampak tidak terawat. Sepertinya sudah tidak ada yang tinggal
disana. “Jadi ini rumahnya Maya...?” tanya Natasya yang saat itu sedang
berada didalam mobil Edo. “Sejak dua tahun yang lalu rumah ini sudah tidak
dihuni lagi, tante Rani pindah ke Amerika ikut dengan om Arman, dia tidak
mampu tinggal ditempat dimana Maya meninggalkan begitu banyak
kenangan...” jawab Edo. “Apa kita bisa masuk Do...?” Natasya kembali
bertanya setelah melihat-lihat bagian luar rumah itu. “Edo keluar dari
mobilnya dan berjanlan menuju kearah gerbang rumah itu yang terlihat
sudah berkarat dan ditumbuhi oleh tumbuhan-tumbuhan menjalar. Dia
tampak susah payah mendorong gerbang besar itu. Setelah itu dia kembali
memasuki mobilnya dan melaju pelan kearah pekarangan rumah Maya itu.
Keadaan rumah itu tidak berubah sama sekali, hanya saja memang sudah
tidak terawat sama sekali. Rumah klasik itu berubah menjadi rumah tua yang
usang. Begitu mobil Edo berhenti, Natasya langsung saja keluar. Dia
memandang tempat luas yang dulunya adalah sebuah taman bunga tempat
Ryan dan Maya biasa menghabiskan waktu mereka bersama. Sekarang
semua bunga-bunga yang dulunya tumbuh begitu asri dan indah ditaman itu
sudah mengering, layu, dan sebagian besarnya mati. Tapi tiba-tiba
pandangan Natasya tertuju kearah sebuah rimbunan bunga yang terlihat
masih segar diantara bunga-bunga yang sudah mati itu. “Do... Kamu yakin
gak ada lagi yang pernah kesini selama dua tahun ini...?” tanya Natasya
sambil melangkah kearah bunga itu. “Kamu lihat sendiri keadaan rumah ini,
dari luar saja sudah terlihat seperti rumah angker dengan gaya klasiknya,
menurutmu siapa yang berani datang kesini..?” jelas Edo sambil melihat
sekeliling. Natasya berjongkok didepan rimbunan bunga itu, dia melihat ada
sebuah kupu-kupu berwarna biru disetangkai bunga yang tumbuh lebih
tinggi dari yang lainnya. Merasakan kehadiran Natasya, kupu-kupu itu
terbang menjauh. Kupu-kupu tadi terbang didepan Edo yang membuat Edo
sedikit terkejut karena dari tadi memandangi rumah besar yang masih berdiri
kokoh didepannya itu. Karena terkejut oleh kupu-kupu itu, dia menoleh
kearah Natasya, dan melangkah kearah gadis itu, sepertinya dia sedikit
penasaran akan apa yang saat itu Natasya sedang perhatikan. Setelah sampai
dibelakang Natasya, Edo terkejut. Dia ingat akan bunga itu. “Mawar putih....
Bunga yang sangat indah sekali....” kata Natasya sambil tersenyum tipis. Edo
tidak mengatakan apa-apa. “Kamu yakin... Gak ada orang yang datang kesini
Do...? Kayaknya bunga ini sangat terawat, sedangkan bunga-bunga yang
lainnya udah mati semua...” Natasya kembali bertanya. “..... Mungkin
Ryan....” Jawab Edo. “Ryan...? Ngerawat bunga...? Kamu yakin...?”
tampaknya Natasya lupa akan cerita Edo beberapa minggu yang lalu tentang
bunga itulah yang menjadi penghubung perjalanan cinta Ryan dengan Maya.
Edo kembali tidak menjawab Natasya. Edo yang sekarang ini memang
adalah laki-laki yang tidak banyak bicara sejak dua tahun yang lalu. “Tapi
bunga ini aneh ya...?” kata Natasya. Aneh...? kamu gak pernah liat mawar
warna putih ya...?” Edo balik bertanya. “Enggak gitu Do... Maksud aku....
Selain aneh karena cuman bunga ini aja yang masih segar disini setelah
rumah ini ditinggal selama dua tahun lamanya...” kata Natasya. “Kan udah
aku bilang... Mungkin aja Ryan sering dateng kesini buat ngerawat bunga
ini, aku tau betul kalau bunga ini benar-benar sangat berarti buat dia... Udah
deh... Kamu gak usah mengada-ada... Ayo kita pergi...” jelas Edo sambil
berbalik. “Aku cuman heran aja.... Kenapa ada setangkai lavender ditengah-
tengah rimbunan mawar putih begini...” kata Natasya yang membuat langkah
Edo seketika terhenti. “Lavender...?” kata Edo dalam hati dan berbalik
melangkah kearah Natasya untuk memastikan apa yang dikatakan oleh
Natasya itu benar adanya. Dan memang, Edo melihat setangkai lavender
tumbuh didalam rimbunan mawar putih itu seperti yang dikatakan oleh
Natasya. Hal itu mustahil, lavender adalah jenis ilalang yang tidak mungkin
tumbuh hanya setangkai saja, kalaupun bisa, kenapa ditengah-tengah
rimbunan bunga yang tidak sejenis? Mungkin itulah yang terlintas dipikiran
mereka berdua saat itu. “Gadis ini.....” kata Edo dalam hati memandang
Natasya dari belakang yang masih terheran melihat keanehan itu. “Kamu
masih mau melakukan hal yang kemari kamu bilang ke aku itu...?” tanya
Edo kepada Natasya. Gadis itu seketika berdiri dan berbalik memandang Edo
kemudian mengangguk mantap. Edo menatapnya dalam, tidak tampak ada
keraguan sedikit pun di mata Natasya, tampaknya dia sudah siap menerima
konsekuensi atas apapun yang saat itu sedang dia rencanakan. Melihat hal
itu, Edo menarik nafas panjang dan menghembuskannya. “Baiklah...
Lakukan apa yang kamu bisa.... Aku yang tanggung jawab atas apapun yang
akan Ryan katakan dan lakukan setelah itu...” kata Edo sambil berbalik dan
melangkah memasuki mobilnya. Saat itu Natasya merasakan ada sedikit
kesedihan dari diri Edo, tapi pada saat yang bersamaan terpancar setitik
harapan dihati laki-laki itu, harapan yang saat itu seolah-olah diletakkan
ditangan Natasya, harapan untuk mengembalikan Ryan dari keterpurukannya
yang begitu mendalam, keterpurukan yang membelenggu hati Ryan selama
dua tahun ini. “Edo....” kata Natasya dalam hati sebelum melangkah
memasuki mobil Edo. Setelah itu merekapun pergi dari rumah itu.
Beberapa lama kemudian mereka sampai disebuah yang begitu besar
seperti istana dan sangat mewah sekali, itu adalah rumah Ryan. Disana
tampaknya Eric dan Rafael sudah menunggu kedatangan mereka. Begitu Edo
dan Natasya keluar dari mobil, Eric dan Rafael mendekati mereka. “Tante
ama om kayaknya ada dirumah Do....” kata Rafael. Edo tidak menjawab.
“Are you sure about this Do...? Ryan could kill her... This is a bad idea...
You know the current Ryan, right...?” kata Eric tampaknya ragu dengan
sesuatu. “Kalian semua gak usah hawatir... aku yang nanggung apapun yang
terjadi.... Anggap ini adalah ide ku sendiri...” jawab Edo singkat. “But....”
............. “If Ryan should kill somebody because of this.... I‟m the only one
who he should kill...!! I couldn‟t let him like this forever....!! This is the only
way... This is the best for Ryan himself...” kata-kata Eric belum selesai, Edo
sudah terlebih dahulu menyanggahnya. Mereka berdua tahu, ketika Ryan dan
Edo mengungkapkan sesuatu dengan bahasa inggris, itu berarti benar-benar
sesuatu yang sudah mutlak. Eric terdiam. Keadaan menjadi hening. “Nat...
Ikut aku..” kata Edo setelah tidak lama terdiam. Natasya pun mengikuti Edo
yang berjalan kearah garasi. Edo mengajak Natasya kesebuah garasi kecil
dipojok rumah itu, Edo membuka gerbang garasi itu, didalamnya terlihat
sebuah mobil. “Mobil ini....” tampaknya Natasya mengenal mobil itu.
“Summer Snow.... Ryan menamai mobil ini Summer Snow... Saksi bisu
kisah cintanya dengan Maya. Ryan tidak pernah menggunakan mobil ini
sama sekali sejak kematian Maya dulu, seperti inilah keadaan mobil ini
dihari kematian Maya dulu...” jelas Edo. Benar saja masih terlihat bercak
lumpur yang sudah mengering dibagian-bagian tertentu mobil itu yang
menandakan kalau terakhir kali mobil itu digunakan disaat-saat jalanan
tengah basah dan berlumpur. Dan walaupun tidak terlihat jelas, tapi ada
sedikit penyok dibagian kap mobil itu. Tempat dimana tinjuan Ryan
melayang beberapa kali dulu ketika dia tidak bisa menahan perih dan
kepedihan hatinya ketika Maya pergi meninggalkannya untuk selama-
lamanya. Natasya mengintip bagian dalam mobil itu dari jendela pintunya.
Dia melihat sebuah syal berwarna ungu tergeletak di dursi penumpang. Itu
adalah syal yang digunakan untuk menutup mata Maya oleh Ryan dulu.
Melihat syal itu, Natasya langsung mencoba membuka pintu penumpang,
dan memang bisa terbuka. Begitu dia memasuki mobil itu, dia mencium
sebuah aroma. “Lavender?” kata Natasya dalam hati. Dia kemudian meraih
syal itu dan duduk dikursi penumpang itu kemudian melingkarkan syal itu
dilehernya. Seketika sesuatu terjadi. (Just a Dream by Nelly, (cover) Megan
Nicole) Entah apa yang terjadi, Natasya tiba-tiba menyaksikan perjalanan
hidup Maya dan Ryan sejak mereka pertama kali bertemu didepannya,
seperti sebuah layar tiga dimensi, dia terbawa ke masa lalu pasangan itu, dia
menyaksikan semuanya, kebahagiaan yang mereka lewati, kesedihan yang
mereka alami, kenangan dimana mereka semua tertawa bersama, dimana
Maya selalu menangis ditengah malam karena tahu dia tidak bisa menjalani
kebahagiaannya itu dalam waktu yang panjang, dimana Maya harus
merasakan sakit yang teramat sangat didadanya tapi dia mencoba untuk
menyembunyikan keadaannya itu didepan Ryan, terketika Maya mulai
berdoa kepada Tuhan untuk bisa hidup lebih lama lagi setelah bertemu
dengan Ryan, hari-hari dimana Maya menyesali akan kehidupannya yang
singkat tapi harus dia terima dengan segala ketulusan dan keikhlasannya,
kemudian hari dimana semua harapannya itu dimulai, ketika Ryan menanam
setangkai bunga mawar putih dan berjanji untuk terus ada disisinya dalam
keadaan apapun, hari-hari dimana Maya merasakan sebuah kehidupan yang
begitu sempurna dengan segala kekurangan yang dia miliki. Dan Natasya
pun akhirnya tahu kenapa sebuah ilalang seperti lavender bisa tumbuh
ditengah-tengah bunga mawar yang bukan jenisnya. Hari dimana Ryan pergi
setelah menanam bunga itu, dia menaburkan sebuah bibit lavender dibunga
itu dan menatap langit, berterima kasih kepada Tuhan bahwa dia telah
dipertemukan dengan seorang yang selama ini sudah dia tunggu-tunggu
sebelum masa hidupnya berakhir. Entah bagaimana tapi tampaknya Maya
sudah menyadari kalau Ryan adalah cinta pertama dan terakhirnya, karena
itu dia begitu sangat menyayangi Ryan sampai-sampai dia tidak mampu
untuk membuat Ryan pergi darinya walaupun dia tahu semakin Ryan
menyayanginya, diujung jalan nanti akan semakin sakit perasaan Ryan ketika
dia pergi untuk selama-lamanya. Terlepas dari semua itu, Maya telah
memberikan cinta pertamanya kepada Ryan, dan itu untuk selama-lamanya.
“Nat...” Edo memegang pundak Natasya yang membuat gadis itu tersadar
dari apa yang saat itu dia „lihat‟. “Kamu nangis...? Kenapa...?” tanya Edo
heran melihat Natasya mengeluarkan air mata begitu dia duduk dan
mengenakan syal itu. “Maya....” kata Natasya pelan sambil mengusap air
matanya. “Maya...?” Edo tampak semakit tidak mengerti dengan tingkah
Natasya saat itu. “Dimana pakaian itu...” tanya Natasya singkat.
Saat itu Ryan tengah duduk termenung ditempat dia dulu duduk bersama
Maya, menunggu waktu Maya berakhir. Hari itu langit tampak mendung,
begitu gelap, sama seperti hari dua tahun lalu, tampaknya hujan akan turun
dengan derasnya tidak lama lagi. Ryan duduk termenung sambil memandang
lautan luas yang seolah-olah tidak berujung itu., seperti kesedihan hatinya
yang seolah-olah tidak memiliki ujung ketika ditinggalkan oleh Maya.
“Ryan...” kata seseorang dibelakangnya. Mendengar namanya dipanggil,
Ryan menoleh kebelakang. Saat itu dia melihat sesosok gadis dengan baju
hangat berwarna ungu bergaris putih dengan syal ungu yang melingkar
dilehernya, berdiri menatapnya. Ryan begitu sangat terkejut menyaksikan hal
itu. “Ma.... Maya....?” kata Ryan pelan. Gadis itu tersenyum, tersenyum
dengan sangat manisnya. Ryan merasa mengenali senyum itu. Dia pun
berdiri. “Sayang.... Kamu ada disini...?” kata Ryan lagi sambil melangkah
mendekati Maya. Gadis itu mengangguk pelan sambil terus tersenyum
kearah Ryan. Tapi begitu Ryan sampai didepan gadis itu, tatapan Ryan
seketika berubah. Seketika tangannya melayang, menggenggam leher gadis
itu dengan begitu sangat eratnya yang membuat gadis itu tidak bisa bernafas
sama sekali. Kedengkian yang teramat sangat terpancar di mata Ryan.
“APA-APAAN LOE....!!!!!!! NGAPAIN LOE PAKE PAKEAN INI....!!!!!”
nada bicara Ryan jelas menandakan kalau saat itu dia begitu sangat murka
sekali. Entah bagaimana tapi dia sadar kalau gadis yang ada didepannya saat
itu sama sekali bukan Maya, tapi Natasya yang mengenakan pakaian favorite
Maya, pakaian yang Maya kenakan dihari-hari terakhirnya dulu, yang selama
ini Ryan simpan dikamarnya. Natasya saat itu benar-benar terlihat kesakitan,
karena tangan Ryan menggenggam lehernya dengan sangat erat dan karena
dia hampir tidak bisa bernafas sama sekali. Dia mencoba untuk berbicara tapi
suaranya tidak bisa keluar sama sekali karena cekikan Ryan. “LOE CARI
MATI...?!!!!! KALO GITU GUE MATIIN LOE SEKARANG JUGA....!!!!!
DASAR PALSU....!!!!!! PENJILAT....!!!!!! WANITA JALANG....!!!!”
teriak Ryan beringas dan semakin menambah kekuatan cekikannya.
Tampaknya ide Natasya untuk berpenampilan seperti Maya didepan Ryan
dengan menggunakan pakaian Maya sendiri agar Ryan bisa terlepas dari
kesedihannya itu malah menyulut kemurkaan Ryan dan membuat Ryan jadi
lepas kendali seperti itu. Ryan benar-benar akan membunuh Natasya,
cekikannya semakin dan semakin erat. Natasya memegang pergelangan
tangan Ryan dan berusaha untuk mengatakan sesuatu kepada Ryan ditengah-
tengah keadaan itu. Saat itu mereka hanya berdua saja di pantai itu, tidak ada
orang yang bisa menyelamatkan Natasya dari kemurkaan Ryan. Pandangan
Natasya mulai memudar karena dia benar-benar sudah tidak bisa bernafas
lagi. Ryan merasakan pegangan Natasya semakin lemas. Menyadari akan hal
itu, Ryan akhirnya tersadar dari murkanya, dia melempar tubuh lemas
Natasya kepasir layaknya melempar sebuah boneka. Natasya tersungkur
lemas sambil terbatuk-batuk. “Loe gak bakalan bisa jadi kayak Maya,
apapun yang loe lakuin...” kata Ryan pelan. Natasya berusaha untuk berdiri
meskipun kepalanya sedikit pusing karena perbuatan Ryan tadi. “A.... Apa
bedanya.... aku... ama.... ama Maya Yan...?” tanya Natasya terbata-bata.
Ryan terdiam. “Apa bedanya aku ama Maya yan...? Aku mirip Maya kan...?
Kalo cuman Maya yang bisa kamu cintai, aku bisa jadi Maya buat kamu...
aku bisa ngasi kamu cinta seperti cinta yang Maya kasi ke kamu dulu, and
that‟s for real.... not a bullshit... Aku tau kayak gimana kisah kamu ama
Maya, aku tau siapa, apa dan seberapa berarti Maya buat kamu, dan kamu
buat Maya....” kata Natasya. Ryan masih terdiam seribu bahasa. Kalo kamu
pikir aku palsu fine...!! I‟ll live with it...!! Tapi tolong.... Tolong buat aku
menjadi nyata dimata kamu... Aku juga manusia Yan... Bukan boneka...!!”
sambung Natasya kali ini sambil menangis. “Tolong pahamin arti
kehadiranku disini... Arti kehadiranku dikehidupan kamu setelah Maya
pergi.... Aku ngejer-ngejer kamu bukan karena apa-apa... Itu semata-mata
karena aku ngerasa kalo aku harus ngegantiin posisi Maya dihati kamu...”
kata Natasya. “Aku gak tau gimana caranya supaya bisa ngebuat kamu jatuh
cinta ama aku karena aku sendiri emang gak pernah jatuh cinta dari dulu...
Orang tua aku ngedidik aku untuk ngutamain pelajaran aku dari pada hal-hal
seperti cinta sejak aku masih kecil... Bahkan papa aku yang sekarang pun
seperti itu... Hal itu ngebuat aku gak pernah ngalamin yang namanya
mencintai orang lain selain orang tua aku sendiri... Tapi aku ngerasain ada
hal yang beda pas kita pertama kali ketemu dulu... Pasti aneh kalo kamu
dipanggil dengan nama yang bukan nama kamu.. Itu wajar.. Tapi pas kamu
manggil aku Maya... Aku gak ngerasa aneh sama sekali... Aku ngerasa udah
terbisa ngedenger suara kamu manggil aku dengan nama itu... Itu yang
ngebuat aku heran.. Aku sendiri gak ngerti kenapa bisa jadi kayak gini Yan...
Tapi inilah kenyataan yang ada sekarang ini... Kamu gak bisa lari terus...
Kamu gak boleh lari terus...” kata Natasya panjang lebar tapi Ryan sendiri
hanya terdiam seribu bahasa. “Pasti ada maksud tertentu kenapa kita
dipertemukan oleh Tuhan... Pasti ada maksud tertentu kenapa muka aku
bener-bener mirip ama Maya... Aku bisa... Jadi Maya, buat kamu...” kata
Natasya. Saat itu Ryan melangkah kedepannya dengan tatapan yang tidak
berubah sama sekali. Tatapan yang penuh kebencian dan kemurkaan. Begitu
sampai didepan Natasya, dia langsung menyambar leher baju yang dipakai
Natasya itu, Ryan sudah tidak perduli kalau yang didepannya itu adalah
seorang gadis lemah yang mencoba menyelamatkannya dari
keterpurukannya itu, bukan preman pasar yang mengajaknya untuk
berkelahi. “Loe gak bakalan bisa jadi Maya...” bentak Ryan. “Lalu aku harus
bagaimana agar bisa jadi Maya dimata kamu...” balas Natasya dengan nada
lemah. Ryan menunjuk-nunjuk dada bagian kiri atas Natasya dengan sangat
keras dan kasar. “Loe bisa nafas dengan bebas...! Jantung loe normal...! Loe
gak punya beban hidup yang berat buat loe emban...! Sedangkan Maya...
Maya harus berusaha keras... Bersusah payah walau hanya buat nafas...!
Beban hidupnya jauh lebih berat dari siapaun...! Gak bakalan ada yang bisa
nanggung rasa sakit yang dia alami selama dua puluh tahun dia hidup...! Dia
bertahan hidup dengan bantuan alat...! Loe enggak...!” kata Ryan dingin.
“Kalo kamu bakalan ngakuin aku seandainya aku hidup dengan bantuan
jantung kaca seperti Maya, baik... aku akan melakukan operasi begitu ayah
Maya selesai membuatnya untukku...” tantang Natasya. Ryan terdiam
mendengar kata-kata Natasya itu, dia sadar kalau Natasya tidak main-main
dengan kata-katanya itu, kali ini dialah yang ter‟skak mat‟ oleh Natasya.
“Gue pengen banget nyakar-nyakar muke loe ni... Gue pengen banget
nyabik-nyabik muka loe ni...” kata Ryan sambil mengibas-ngibaskan tangan
kanannya didepan wajahnya sendiri sementara tangan kirinya sedikit
mengangkat leher baju yang dikenakan Natasya itu. “Loe gak seharusnya
milikin nih muka... Gak pantes... Tau gak...!” kata Ryan dengan dinginnya.
Natasya menatap Ryan yang mengatakan hal seperti itu kepadanya. “If so...
Then do what you want to do with me... Sepertinya aku emang gak bisa
ngelakuin apa yang Maya harepin selama ini... Ada disisi kamu lebih lama
lagi...” kata Natasya dengan nada pasrah. Dia sudah siap dengan apapun
yang akan Ryan lakukan kepadanya, walaupun Ryan akan membunuhnya
sekalipun karena perbuatannya itu. Mendengar Natasya mengatakan hal
seperti itu, Ryan terlihat meringis. Dia kemudian melepaskan Natasya. “Loe
buka pakaian itu sekarang...” kata Ryan dingin. Natasya kembali menatap
Ryan. “Baik...” kata Natasya dan bersiap membuka pakaian satu-satunya
yang dia kenakan waktu itu. Jika dia membuka pakaian itu, artinya dia akan
benar-benar telanjang, tapi tampaknya dia tidak menolak perintah Ryan
untuk membuka pakaian Maya itu. “Ciihh...!!!! Go the fuck away from me
before I change my mind godammit...!!.” kata Ryan sambil memalingkan
pandangannya yang melihat Natasya sama sekali tidak menolak untuk
membuka pakaian itu. “Baik... Aku akan pergi setelah ngebuka pakaian
ini...” balas Natasya sambil mengangkat bajunya. “Kembalikan pakean itu
besok.... Sekarang pergi dari sini...” kata Ryan kali ini dengan nada lemah
sambil berbalik membelakangi Natasya. Gadis itu pun tidak jadi membuka
baju yang dia kenakan itu. Dia terus menatap Ryan yang membelakanginya
dengan air mata yang tidak henti-hentinya mengalir dari tadi. Dan akhirnya
dia pergi meninggalkan Ryan. Dari kejauhan, dibawah sebuah pohon kelapa,
tampak seseorang berpakaian putih memperhatikan mereka entah sejak
kapan.Tidak beberapa lama setelah itu, Ryan pun melangkah kearah
mobilnya dan melaju pulang.
Ketika sampai dirumahnya, dia mendapati Edo, Rafael dan Eric sedang
memandikan sebuah mobil, untuk pertama kalinya dia melihat Summer
Snownya keluar dari garasi setelah dua tahun lebih lamanya. Seketika dia
keluar dari mobilnya dan melangkah kearah teman-temannya itu. “Yan…?”
sambut Edo sambil sedikit tersenyum. “Apa-apaan loe…!” kata Ryan
terdengar marah. “Mandiin si Summer Snow nih… udah lama gak loe pake
kan? Bisa-bisa rusak lho nanti…” jawab Edo. “Balikin gak..?!” kata Ryan
lagi terdengar semakin „panas‟ padahal waktu itu cuaca sedang mendung-
mendungnya. “Yan….” …. “Anjing….!!!! Balikin ke garasi gak….!!!”
Teriak Ryan. Melihat Ryan yang tampak sudah tidak bisa menahan emosinya
itu, Rafael dan Eric langsung maju mendekati Ryan. “Loe pikir loe siapa
seenaknya aja ngeluarin barang gue hah….!!!! Mau jadi pahlawan kesiangan
lagi loe…?!!!! Belagu amat….!!!!” Ryan „menggila‟ berusaha untuk
memukul Edo, tapi Rafael dan Eric menghalanginya. “Kalo gak ada gue, loe
tu bukan siapa-siapa kamprett…!!! Dari dulu loe seenaknya aja ama gue…!!!
Seenaknya aja ama barang-barang gue…!!! Loe kira gue demen…!! Gue
jijik ngeliat lagu‟ loe yang kayak gitu…. Sini loe…!! Gue matiin baru tau
rasa loe dasar babi…..!!!!” kata-kata kasar Ryan melayang bagaikan pisau
kearah Edo. Seketika hujan turun perlahan dan akhirnya mulai deras. “Stop
man… That‟s enough…. He is your brother, remember…?” kata Eric sambil
terus menahan Ryan yang dari tadi sangat ingin sekali memukul Edo.
“Sodara…?! Gue udah direpotin ama tuh cewek binal…. Sekarang am…”
kata-kata Ryan terputus, dia tersungkur ketanah yang sudah mulai basah itu
dengan sedikit luka dipinggir bibirnya. Bogem mentah Edo melayang
kearahnya tanpa dia sadari. Edo mendudukinya dan terus meninjunya
bertubi-tubi. Dari dalam rumah, diruang keluarga, Henry terus melihat
anaknya yang dihajar habis-habisan oleh Edo itu dari jendela rumah sambil
melipat kedua tangannya kebelakang. “Pa…. Mereka kelai….!” Kata Helen
panik dan berlari kecil berniat untuk keluar dan melerai mereka, tapi…
“Honey… Stop right there, will ya…?” kata Henry tenang-tenang saja. “Tapi
pa….” kata Helen sambil berhenti mengikuti perintah suaminya itu.
“Terkadang…. Kita tidak harus menghentikan sesuatu yang tampaknya
buruk…” balas Henry. “Maksud papa apa…? Anak-anak papa lagi kelai….
Papa gak mau ngelerai mereka sebelum keadaan jadi tambah buruk…?” kata
Helen benar-benar panik. “Laki-laki itu…. Memiliki cara-cara tersendiri
untuk menyelesaikan sesuatu yang benar-benar rumit ma… kalo perempuan
biasanya curhat atau sejenisnya, inilah bentuk curahan hati laki-laki, yang
Edo lakukan sekarang ini tidaklah salah… Dia yang paling tau siapa Ryan,
bahkan… menurut papa, kita yang adalah orang tuanya, sebenarnya masih
belum tau siapa dan seperti apa Ryan itu, tapi Edo… Dia sudah bersama
Ryan sejak kecil, dia menghabiskan waktunya bersama Ryan jauh lebih
banyak dari pada kita…. Yang dia lakukan sekarang ini hanyalah berusaha
untuk menyadarkan Ryan, kalo bukan dia, dengan caranya sendiri, siapa lagi
yang bisa mengembalikan anak kesayangan mama itu…? Mama bisa…?”
tanya Henry masih dengan nada tenang sambil melihat Edo yang terus
memukul Ryan tanpa ampun ditengah-tengah derasnya hujan itu. Helen
terdiam, dia sadar kalau ucapan suaminya itu memang benar adanya, hanya
Edo yang tau Ryan sepenuhnya, hanya Edo yang bisa memahami Ryan. Dia
pun kembali melangkah kearah suaminya, mengurungkan niatnya untuk
keluar melerai Edo dan Ryan. Henry pun menggandeng istrinya, mencoba
untuk menenangkannya.
“Loe boleh nyaci maki gue, loe boleh ngejelek-jelekin gue, loe boleh
nganggep gue serendah-rendahnya manusia, loe boleh ngelampiasin semua
unek-unek loe ke gue…. Tapi tolong… Tolong jangan mengatakan hal-hal
kasar tentang Natasya…” kata Edo menghentikan pukulannya. “Loe gak tau
betapa susah payahnya Natasya buat nyadarin loe, buat nyelametin loe dari
kesedihan loe, terlepas dari kemiripannya ama Maya, gue berani bilang kalo
dia emang bener-bener suka ama loe, sayang ama loe, cinta ama loe, gak
perduli perasaan loe kayak gimana ke dia. Gadis yang loe sebut binal itu
tulus ngasi perasaannya ke loe sebagai pengganti Maya….” Sambung Edo
sambil terduduk disamping Ryan yang masih menggelepar ditanah.
“Awalnya sih gue emang gak percaya-percaya amat kalo dia emang bener-
bener mau ngebebasin loe dari beban loe ini, gue kira itu cuman sekedar
modus doang…” kata Edo mendongakkan kepalanya kelangit, membiarkan
hujan menerpa wajahnya. “Tapi gue salah….” Sambung Edo. Saat itu Ryan
menoleh kearahnya. “Semenjak gue nyeritain kisah loe ama Maya ke dia,
ada sesuatu yang….. buat gue familiar di dia, kalo kita ngomong secara
bodonya, gue pribadi mikir kalo dia sebenernya adalah Maya, bukan orang
lain bernama Natasya. Ada Maya didalam diri gadis itu Yan…” sambung
Edo. Setelah Edo berkata seperti itu, suasana menjadi hening, yang terdengar
hanyalah rintikan hujan yang saat itu turun dengan deras, tidak
memperdulikan mereka berempat yang sudah basah kuyup. “Apa yang Edo
bilang itu bener Yan…” kali ini Rafael angkat bicara sambil melangkah
kearah Ryan dan Edo. “Awalnya gue gak percara kalo dia bener-bener mau
ngerubah loe seperti yang pernah dilakuin ama Maya, tapi…. Setiap dia abis
ketemu loe, trus ngedatengin kami dengan air matanya, gue gak bisa
ngebayangin gimana susah payahnya dia buat ngegapai loe, dia nangis
Yan… Setiap dia cerita tentang loe ke kami, dia nangis tapi tersenyum…
Seolah-olah semua sakitnya itu gak seberapa dibandingin ama sayangnya dia
ke elo…” Rafael memandang Ryan yang saat itu masih tergeletak tidak
bergerak sama sekali mendengar kedua teman baiknya memihak Natasya.
“Bangun Yan….” Kata Edo lagi. “Loe gak boleh „mimpi‟ terus kayak gini,
hadepin kenyataan kalo Maya udah pergi, loe pikir cuman elo yang ngerasa
kehilangan? Loe pikir cuman loe yang sayang ama Maya? Kami juga
ngerasa kehilangan Yan… Kami sayang ama Maya, dia udah kayak adik
buat kami, dia yang ngebuat kami berubah jadi kayak sekarang…. Ngeliat
dia yang berusaha untuk ngedapetin hidup yang penuh arti karena
keterbatasan waktu yang dia miliki, kami jadi mikir… kenapa kita yang
normal-normal kayak gini malah nyia-nyaiain waktu yang kita milikin ama
hal-hal yang gak penting? Yang gak berarti…? Kami sadar kalo kita tu
sebenernya bodo‟ Yan…” kata Edo. Tapi apapun yang dikatakan oleh
teman-temannya itu, Ryan sama sekali tidak merespon, entah dia
mendengarkan atau tidak perduli, hanya dia yang tahu. “Maya gak bakalan
seneng mengliat loe kayak gini, loe pikir dengan bertingkah kayak gini dia
bakalan tenang di alam sana? Justru loe semakin nyiksa dia, tega loe ya…?
Nyiksa gadis yang bener-bener sayang ama elo ampe dia ngehembusin nafas
terakhirnya….” Sambung Edo. “Life can only be understood backwards….
Indeed…” sekarang giliran Eric yang bersuara. “But the past shouldn‟t
defined us, it shouldn‟t destroyed us, deterred us or defeated us my friend….
The past exist only to strengthened us…” kata Eric lagi. “Loe tau…?
Diantara mawar putih yang elo tanem, terus elo rawat selama ini ama Maya,
hidup setangkai lavender… Percaya gak percaya, sejak kecil Natasya emang
udah suka bunga mawar, dan gue tau gimana cara loe tau kalo Natasya bukan
Maya, stop bacot gue ni kalo gue salah, loe bisa ngebedain mana Maya dan
mana Natasya itu dari aroma tubuh mereka yang berbeda kan…? Kalo Maya
biasanya identik dengan aroma lavender, loe tau kalo Natasya bukan Maya
karena Natasya gak beraroma lavender…. Melainkan beraroma mawar...”
Jelas Edo sambil menoleh memandang Ryan. Ryan yang saat itu tidak
memalingkan pandangannya sedikit pun dari Edo masih saja membisu. “Loe
tau kenapa ada lavender di antara mawar putih itu…? Itu adalah pesan dari
Maya, kalo dia hidup didalam diri Natasya…. Cewek yang loe sebut gadis
binal itu, sebenernya bukan orang lain, tapi Maya sendiri…” kata Edo.
“Natasya adalah warisan hidup dari Maya buat loe agar loe bisa terus
ngejalanin hidup loe dengan penuh arti, gak malah kayak gini….” Kata Edo
dengan memberi tekanan di kata „warisan hidup‟ dan „penuh arti‟ sambil
berdiri. “Abis ni apa yang bakalan loe lakuin ke Natasya…? Tergantung
jawaban loe, gue mungkin bakalan lebih mihak gadis binal itu daripada
loe…” sambung Edo dingin dan melangkah meninggalkan Ryan yang dari
tadi sama sekali tidak bergerak atau mengumpat-umpat lagi seperti biasanya.
Rafael pun menyusul Edo setelah menggeleng-geleng pelan melihat Ryan
yang seperti itu. “This time I completely agreed with Edo brother… Natasya
is Maya‟s living legacy… You have to keep moving…. There‟s nothing you
can find in the past but just a sad memory that should be keep as a mere
memory, not something that you should keep living with… Open your eyes
and let the new dawn comes upon you….” kata Eric sambil berjongkok
memegang pundak Ryan dan akhirnya menyusul Edo dan Rafael.
Ditinggalkan oleh ketiga temannya, kata-kata mereka masih terngiang jelas
ditelinga Ryan, mengalahkan gaduhnya suara rintik hujan yang bercampur
petir dan guntur yang saling sambut dari tadi. Tidak ada satupun dari teman-
temannya itu yang memihak dia. Saat itu satu hal yang luput dari pandangan
Edo, Rafael dan Eric. Air mata Ryan. Lagi-lagi hujan menyembunyikan air
mata Ryan. Dari tadi mungkin mulut Ryan memang terdiam membisu
mendengar kata-kata mereka, tapi hatinya menangis sejadi-jadinya, berteriak,
menjerit, merintih karena penuh luka, bukan luka dari pukulan-pukulan yang
dia terima dari Edo tadi, tapi luka dari sayatan-sayatan sebuah pedang tajam
yang disebut kehidupan. Air mata Ryan mengalir deras ditengah-tengah
hujan itu. Tidak beberapa lama kemudian dia menarik nafas dalam. Entah
kenapa, atau entah apa yang dia pikirkan saat itu, mungkin hanya dia dan
Tuhan yang tahu. Setelah itu, dia berdiri dan melangkah pelan memasuki
rumahnya, langsung menuju kekamar mandi yang ada dikamarnya melewati
Helen dan Henry yang saat itu tengah berdiri menunggunya didepan pintu
masuk tanpa sepatah katapun. Melihat anaknya yang semakin kehilangan
semangat hidupnya, bahkan melangkah saja dia seperti menyeret tubuhnya
sendiri tidak ubahnya seperti di film zombie-zombie itu, Helen menangis
tersedu-sedu sambil memeluk suaminya. Setelah hujan berhenti, Henry
kembali memandikan mobil-mobil Ryan yang dari tadi terkena air hujan itu,
begitu pula dengan Summer Snow anaknya itu, setelah itu dia memasukkan
kedua mobil itu kedalam garasi. Tapi Ryan sendiri sejak memasuki
kamarnya dan membersihkan diri itu sama sekali tidak keluar kamarnya,
bahkan untuk makan malam. “Sayang….?” Panggil Helen sambil mengetuk
pintu kamar anaknya itu. Tidak ada jawaban. “Nak…. Buka pintunya…
Mama pengen ngomong…” kata Helen lagi. Masih tidak ada jawaban. Helen
begitu sangat mengkhawatirkan keadaan Ryan, bukan karena luka-luka fisik
akibat perkelahian tadi, tapi lebih ke luka psikis anaknya itu. “Pa… Ma… I
know you both worried about me, I really appreciate it, but I‟m fine… I
just… need to be alone right now…” kali ini terdengan jawaban dari Ryan,
tapi pintu kamarnya sama sekali tidak terbuka untuk Helen dan Henry.
“Son…. If you want to talk, you have us here, not as a father or a mother, but
we can talk as friends…” balas Henry dan kemudian mengajak istrinya turun
kelantai bawah dan membiarkan Ryan sendiri untuk saat ini. Henry
bukannya tidak khawatir seperti halnya Helen, tapi dia memang sepenuhnya
mengerti dengan kondisi yang sedang dialami oleh Ryan saat ini, mungkin
karena mereka sama-sama laki-laki. Dikamarnya, Ryan hanya berbaring
diatas tempat tidurnya, menutup matanya yang terbuka dengan lengan
kanannya. “Maya gak bakalan seneng mengliat loe kayak gini, loe pikir
dengan bertingkah kayak gini dia bakalan tenang di alam sana? Justru loe
semakin nyiksa dia, tega loe ya…? Nyiksa gadis yang bener-bener sayang
ama elo ampe dia ngehembusin nafas terakhirnya….” “dia nangis tapi
tersenyum… Seolah-olah semua sakitnya itu gak seberapa dibandingin ama
sayangnya dia ke elo…” “Natasya adalah warisan hidup dari Maya buat loe
agar loe bisa terus ngejalanin hidup loe dengan penuh arti gak malah kayak
gini….” “Life can only be understood backwards…. Indeed…” sekarang
giliran Eric yang bersuara. “But the past shouldn‟t defined us, it shouldn‟t
destroyed us, deterred us or defeated us my friend…. The past exist only to
strengthened us…” “Natasya is Maya‟s living legacy…” "Ada Maya
didalam diri gadis itu Yan…" Ryan mengingat kata-kata dari teman-
temannya itu, dia tahu kalau mereka melakukan segalanya bukan karena apa-
apa melainkan demi kebaikannya sendiri. Tidak lama kemudian diapun
terlelap dengan sendirinya.
Ditengah malamnya, tiba-tiba jendela kamar Ryan itu terbuka oleh
hembusan angin yang cukup kencang. Ryan terbangun karena merasakan
rambutnya dibelai oleh seseorang. Begitu dia membuka matanya, dia melihat
sosok perempuan yang begitu dia kenali, dan sebuah aroma yang begitu
sangat khas dihidungnya, aroma lavender. “Ma…. Maya…?” kata Ryan
seketika terhenyak. Dia mendapati dirinya tengah tertidur dipangkuan Maya,
bukan hanya itu, saat itu mereka sedang berada dipantai dan sepertinya itu
adalah pagi hari dengan cuaca yang mendung. Maya tersenyum kearah Ryan.
“Kamu gimana sih…? Kalo emang ngantuk, kamu gak perlu maksa-maksain
diri buat ngajak aku kepantai segalakan…? Baru aja dateng kamu udah
ketiduran gini deh jadinya…” kata Maya pelan. “Tidur…? Serius May…?”
kata Ryan yang langsung mengambil posisi duduk dan melihat sekelilingnya.
Maya membalasnya dengan anggukan pelan sambil terus tersenyum. “Jadi…
Tadi aku cuman mimpi doang…? Gitu sayang…?” kata Ryan sambil
menyentuh pipi Maya dengan lembutnya. “Yan, kamu tau…? Waktu aku
koma dulu… Aku ketemu ama kembaran aku, biarpun nyatanya aku emang
gak terlahir kembar, tapi gadis itu bener-bener mirip ama aku…” cerita
Maya. “Mmm… Mungkin aja itu emang kembaran kamu, menurut mitosnya,
masing-masing kita tercipta dengan memiliki empat puluh empat kembaran
didunia ini kan May…” balas Ryan. Maya mengangguk tanda membenarkan
kata-kata Ryan itu. “Terus….?” Tanya Ryan sedikit penasaran. “Kami
ngobrol panjang lebar tentang kehidupan kita masing-masing, tentang
pengalaman yang selama ini kita alami, dan waktu aku cerita tentang kita ke
dia, katanya dia sampai saat itu belum pernah sama sekali mengenal yang
namanya cinta…” cerita Maya. “belum pernah sama sekali…?” Ryan balik
bertanya. Maya menggeleng. “Dia kuper kali sayang… Masak umur
sembilan belas tahun gak pernah pacaran sama sekali…? Sapa sih nama anak
itu…? Pasti Juminten, hahahahaha” ejek Ryan. “Karena itu aku minta ke dia,
kalo terjadi sesuatu hal yang gak kita harepin ke aku, aku mau dia yang
ngelanjutin kisah kita ini, aku minta dia yang ngejaga kamu, dia yang
ngebahagiain kamu… Aku yakin dia bisa jadi kayak aku, aku tau dia bisa
Yan… Jadi kasi dia kesempatan ya…?” sambung Maya. “Aduh sayang…?
Serius amat… Itu kan cuman mimpi doang… Lagian kamu baik-baik aja
kan…? Kamu gak butuh „peran pengganti‟ buat ngelanjutin kisah kita ini…”
kata Ryan. Maya tidak menjawab. “Oke, kita liat dari sudut pandang kamu,
seandainya… Seandainya… Seandainya nih… Hal yang „gak kita inginkan‟
itu terjadi ama kamu… Gimana dia bakalan ngegantiin kamu…? Dia ada
dimana ja kamu gak tau kan…? Dia juga gak ngenal aku secara nyata kan…?
Itu cuman mimpi sayang… Nyatanya kamu udah dapet kesempatan kedua
sekarang, dan ini „permanen‟…” kata Ryan. “Gak semua orang punya yang
namanya kesempatan kedua dalam kehidupan ini… Dan aku, udah make
kesempatan kedua itu lima tahun yang lalu Yan… Itu cuman agar aku bisa
ketemu ama kamu…” balas Maya. “Gak, kamu salah May… Kamu masih
hidup diusiamu yang udah genap dua puluh sekarang ini, itulah yang
namanya kesempatan kedua, buat kamu, dan kesempatan kedua buat aku biar
bisa terus ama kamu kan…? Jadi jangan buat aku bingung gini dong
sayaaanngg… Aku seneng banget bisa bangun… masalahnya tadi aku bener-
bener mimpi buruk banget…” kata Ryan agak sedikit cerewet. “Kamu gak
boleh terus-terusan terpuruk Yan….” Omongan Maya malah tidak
nyambung. “Yeee…. Sapa yang terpuruk sayang… Justru sebaliknya, bisa
ngeliat kamu kayak sekarang ni, bahagia aku udah gak ketulungan lagi
tau‟…” balas Ryan. “Beneran…?” kata Maya lagi. “E‟em…” jawab Ryan
tersenyum dengan gaya sedikit manja. “Baguslah…. Aku sebenernya emang
pengen ngebuat kamu bahagia, pengen ngebuat hidup kamu penuh arti,
pengen ngisi waktu-waktu kamu untuk selama-lamanya…” kata Maya kali
ini dengan menyentuh pipi Ryan. “Yaelah sayang… Ini…? Kamu udah
ngelakuin itu semua sekaligus kan…? Ngebuat aku bahagia… ngebuat idup
aku penuh arti dengan ngisi waktu-waktu aku ama kebersamaan kita…” kata
Ryan sambil memegang tangan Maya yang ada dipipinya itu dan kemudian
menciumnya dengan mesra. Maya hanya bisa tersenyum pelan melihat
kelakuan Ryan itu. “Tapi kamu harus pulang Yan… Papa, mama, Edo,
Rafael, ama Eric udah capek nungguin kamu dirumah… Kamu gak bisa
terus-terusan ada disini… Pulang ya Yan…?” kata Maya tiba-tiba.
“Hahahahahaha… Kamu ini…. Pulang kok kayak maksa gitu sih…? Tadi
kan kamu yang pengen kita cepet-cepet pergi kesini sayang…” kata Ryan
sambil tertawa menatap Maya. Tapi Maya malah terdiam saja sambil
menatap Ryan. Melihat hal itu Ryan menghentikan tawanya. “Ya udah….
Ayo kita pulang…” kata Ryan berdiri dan tersenyum manis sambil
mengulurkan tangannya kearah Maya. Maya menggapi tangan Ryan dan
berdiri. “Aku heran deh ama kamu sayang… Tadi kamu minta kita cepet-
cepet pergi, sekarang kamu minta kita cepet-cepet pulang… Apa mungkin
kamu udah capek…?” tanya Ryan sambil berjalan kearah mobilnya. Setelah
berjalan beberapa langkah, dia sadar kalau Maya tidak mengikutinya, dia pun
berbalik. “Lho… katanya mau pulang… Kok malah diem disitu May…?
Ayo…” kata Ryan sambil memberi tanda untuk Maya mengikutinya. Maya
malah tersenyum tapi kali ini dibarengi dengan sebuah gelengan. “Kamu
masih punya kesempatan itu Yan… Kesempatan kedua itu… Karena itu
kamu gak boleh terus ada disini…. Aku gak bisa ikut kamu pulang karena
aku harus pergi sekarang juga, dan belum waktunya buat kamu ikut aku….
Kamu… kali ini pulang sendiri ya sayang…? Kata Maya sambil tersenyum
manis kearah Ryan. “Kenapa sih May…? Dari tadi aku gak ngerti… maksud
kamu apa…? Pergi kemana…? Kenapa…?” tanya Ryan benar-benar heran.
Maya hanya bisa tersenyum melihat Ryan yang terheran-heran itu. Melihat
itu, Ryan melangkah kembali untuk mendekati Maya, tapi Maya malah
melangkah mundur melihat Ryan yang mendekatinya. Karena melihat
tingkah aneh Maya itu, Ryan menghentikan langkahnya. “Kenapa May…?”
tanya Ryan. “Maaf ya Yan…? Aku harus pergi…. Dan kamu gak boleh ada
disini terus, kamu harus pulang….” Kata Maya.
(Daun band – Aku) Dan setelah berkata seperti itu, Maya berbalik dan
melangkah meninggalkan Ryan. “May… Gak usah becanda kayak gini ah…
gak lucu tau…” kata Ryan sambil tersenyum. Tapi Maya tidak menjawab,
menoleh pun tidak, dia terus melangkah meninggalkan Ryan, semakin jauh,
semakin jauh, dan semakin jauh. “May…. Kamu mau kemana…? Kita kan
mau pulang… Kita harus pulang bareng dong… nanti papa ama mama
marah ama aku kalo pulang sendiri…” kata Ryan melangkah pelan untuk
mengejar Maya. Tidak ada jawaban dari Maya. “May….! Maya…! Kamu
mau kemana…!! Itu bukan arah pulang…! Maya…!!!” menyadari Maya
yang tidak berhenti melangkah menjauhinya itu, Ryan berteriak
memanggilnya, dia berlari mengejar Maya, tapi semakin kencang larinya
untuk mengejar Maya, semakin jauh jaraknya dengan Maya padahal saat itu
Maya hanya berjalan biasa saja. “Mayaaaaaaa!!!!!! Tunggu May….!!!!!
Kamu gak boleh pergi ninggalin aku…!!!!! Maya….!!!!” Ryan memaksa
dirinya berlari mengejar Maya yang semakin jauh saja. Dia terus berlari,
berlari dan berlari kepayahan mengejar Maya, dan ketika nafasnya hampir
habis karena memaksakan diri berlari, akhirnya Maya sudah sampai di
daerah jangkauan Ryan. Tapi ketika Ryan akan menggapai pundak Maya,
langkahnya terhenti, ada seseorang yang memegang pergelangan tangannya
dari belakang, dan gapaiannya terlepas. Seketika Ryan menoleh kebelakang.
Dia malah melihat sosok Maya dibelakangnya memegang pergelangan
tangannya, menghentikan langkahnya. “Jangan Yan… Belum waktunya
kamu ikut dia… kembalilah… Ada aku untuk kamu… Itulah yang diminta
oleh Maya…” kata sosok Maya yang menghentikan langkahnya itu dengan
berlinang air mata. “Ma…. Maya….” Kata Ryan terheran melihat gadis yang
menghentikan langkahnya itu dan kembali menoleh kearah Maya yang tadi
dia kejar tertatih-tatih. Maya yang dia kejar itu berbalik, dan kemudian
tubuhnya melayang setelah bermandikan sebuah sinar matahari yang
menembus langit mendung itu. “Namanya Natasya… kamu liat kan Yan..?
Dia udah nemuin jalannya sendiri ke kamu… Jadi aku minta kamu buat
ngasi dia kesempatan buat ngelanjutin kisah kita, jalani kesempatan kedua
kamu itu dengan penuh arti, hiduplah ama dia kayak kamu hidup ama aku
dulu, karena hatiku hidup bersama dia, untuk kamu… Ryan…” kata Maya
sambil tersenyum manis kearah Ryan yang langkahnya terhenti oleh
„kembarannya‟ yang bernama Natasya yang selama ini dihindari oleh Ryan
itu.
Seketika Ryan terhenyak dari tidurnya, nafasnya terengah-engah seperti
baru habis lari marathon dan dia bermandikan keringat dingin. Langsung saja
pandangannya mengarah kearah jendelanya yang terbuka dan ketika itu dia
melihat sesuatu seperti selendang putih melayang keluar dari jendela itu
karena tertiup angin. Dia tidak yakin melihat apa karena selendang putih itu
„sewarna‟ dengan korden jendela kamarnya yang terkibas oleh hembusan
angin malam yang lumayan kencang waktu itu. “Maya…. Natasya…”
katanya pelan ditengah-tengah keadaannya yang sedang mengatur nafasnya
agar bisa stabil kembali. Dia melihat jam dinding, jam itu menunjukkan
pukul tiga pagi. Dia tidak lagi bisa kembali tertidur, kali ini kata-kata
terakhir Maya yang ada didalam mimpinya tadi itulah yang terngiang jelas
ditelinganya. Dia bangkit dari tempat tidurnya dan duduk dilantai sambil
bersandar ditembok. Pagi itu pikiranya melayang, mencoba memahami
makna mimpinya itu, makna dari sikap dan perkataan Maya tadi, secara tidak
sadar dia masuk kedalam situasi introspeksi diri. Ingatannya kembali ke
masa lalu, sejak dia belum mengenal Maya, pertama kali mengenal Maya,
jatuh cinta kepada Maya, hari-hari yang dia lewati bersama Maya, saat-saat
terakhir dia bersama Maya, hari-hari yang dia lalui ketika Maya sudah tidak
ada, hari dimana dia bertemu dengan Natasya, hari-hari dimana Natasya
selalu mencoba untuk mendekatinya. Dengan cepat nuraninya mampu
memilah semua bagian yang salah yang pernah dia lakukan, bagian yang
harus dia perbaiki, bagian yang seharusnya terjadi tapi dia hindari selama ini,
saat itu dia sadar ternyata Natasya tidak hanya mengikuti atau mendekatinya
secara sembarangan, Natasya hadir disaat-saat dimana dia sudah mulai akan
kehilangan akal sehatnya, dimana keterpurukannya sudah hampir tidak
terbendung lagi, dimana jiwanya akan hilang tertelan oleh masa lalu, disaat-
saat itu Natasya dengan sendirinya selalu ada untuk dia, menyelamatkan dia.
Dan saat itu, dia juga sadar akan suatu hal, sebenarnya dia tidak merasa ada
benci sedikitpun kepada Natasya, tapi malah sebaliknya, ada sebuah
kenyamanan, ketenangan yang dia rasakan ketika Natasya ada disisinya,
akan tetapi karena hatinya yang sudah tenggelam terlalu dalam di lautan
keterpurukannya itu, karena jiwanya yang sudah membeku karena hujan
kesedihan yang dia alami selama dua tahun lebih semenjak kematian Maya
itu, tanpa dia sadari perasaannya menjadi „self-rejected‟ terhadap apa yang
dia rasakan ketika Natasya ada untuk dia. Dan sekarang perlahan-lahan dia
mulai sadar akan semua itu, akan arti dan tujuan kehadiran Natasya didalam
hidupnya, mata hatinya sudah kembali terbuka, perasaannya kembali bekerja
„normal‟ diiringi dengan cahaya matahari yang seolah-olah mulai merangkak
keluar dari dalam laut yang gelap dan kelam, akan tetapi saat itu langit masih
terlihat mendung, seolah-olah ada hal yang masih belum terselesaikan
dikehidupan „baru‟ seorang Ryan. Tanpa disadari hari sudah semakin pagi.
Ryan berdiri seolah-olah kakinya sudah terlepas dari belenggu keterpurukan,
terlepas dari penjara masa lalu. Selesai mandi pagi, dia keluar dari kamarnya
dan mendapati orang tuanya sudah menyiapkan sarapan didapur. Setelah
selesai sarapan, dia memandang kedua orang tuanya itu. “Pah…. Mah…
Maaf atas semua tingkah laku aku yang ngebuat khawatir kalian selama ini
ya…? Maaf atas waktu kalian yang terbuang sia-sia karena tingkah-tingkah
bodoh aku…” kata Ryan sambil berdiri dan tersenyum lepas kearah Henry
dan Helen. Mendengar dan melihat prilaku anaknya itu, Helen malah
terheran-heran, sedangkan Henry tidak merespon dan terus saja membaca
koran pagi hari itu. Hari ini aku ada jam dikampus, tapi kayaknya aku
berangkat lebih awal aja, ada sesuatu yang harus aku lakukan, I‟ll see ya at
lunch time okay…?” kata Ryan meninggalkan Helen yang masih terlihat
heran itu. Tidak lama kemudian gerbang garasi mobil Ryan terbuka. Setelah
sekian lama vacum, si Summer Snow akhirnya melaju keluar dari
sangkarnya. Hari itu Ryan benar-benar membuka lembaran baru
kehidupannya, tapi sebelum dia mulai menuliskan perjalanan hidupnya
dilembaran baru itu, ada sesuatu yang harus dia perbaiki dilembaran
sebelumnya, dan dia sedang dalam perjalanan untuk hal tersebut.
***
Chapter 10
BLUE WINGED ANGEL
“Pa…. Ryan pa….” setelah Ryan pergi pun tampaknya Helen masih
tidak mengerti akan apa yang telah terjadi kepada anaknya pagi itu. “Kenapa
ma….? Anak kesayangan mama itu pergi karena ada jam dikampus kan…”
jawab Henry sambil terus membaca korannya. “Bukan pa… Tapi kok pagi
ini Ryan jadi aneh gitu ya…?” kata Helen lagi sambil membersihkan meja
makan. “Aneh apanya maksud mama…? Itu kan emang udah sifatnya Ryan
ma…. Mama aneh karena dia pergi tapi gak nyium mama gitu…? Mama
berlebihan deh ah…” balas Henry. “Bukan gitu pa… Aneh aja ngedenger dia
bilang kayak gitu… Sepertinya ada sesuatu yang berubah dari dia…” terang
Helen. “Berubah….? Enggak kok…. Ryan kan udah kembali… kembali ke
dirinya yang sejati sekarang… Dia udah gak lagi ngejalanin kehidupannya
dengan penuh kepura-puraan lagi, sepertinya cara Edo yang kemarin itu
memang berhasil…. Yaahh…. Itu juga karena ada Maya kan…?” kata
Henry. “Natasya pa…. Natasya…. Bukan Maya…” Helen mengkoreksi kata-
kata suaminya. “Ahh… Natasya…. Iya Natasya…. Habisnya mereka bener-
bener mirip banget terus kita udah terbiasa manggil Maya juga, papa jadi
salah sebut deh…” kata Henry sambil meletakkan korannya ke meja dan
memandang Helen sambil cengingisan.
Saat itu Ryan tengah berdiri dipantai kenangannya bersama Maya.
Dia memejamkan matanya, menghirup udara pagi pantai yang begitu
segarnya, tidak beberapa lama kemudian dia kembali memacu mobilnya
meninggalkan pantai, saat itu dia melaju menuju rumah Maya yang dulu.
Begitu dia sampai disana, dia langsung menuju kearah pekarangan bunga.
Seperti halnya Edo dan Natasya, dia melihat rimbunan bunga mawar putih
itu masih hidup dan terlihat begitu segarnya, padahal bunga-bunga yang
lainnya sudah mati kering karena tidak ada yang mengurus lagi. Hanya
mawar putih itulah yang terlihat masih berdiri kokoh, bertahan hidup, seperti
bunga yang tidak akan tumbang diterjang oleh badai. Ryan melangkah
mendekati bunga itu, dan sedikit menyibak bagian tengahnya. Saat itu dia
menyadari kalau Edo memang benar, ditengah-tengah rimbunan bunga
mawar itu, hidup setangkai lavender. Lavender yang selama ini
melambangkan seorang Maya dalam kehidupan Ryan. Melihat itu, mata
Ryan menjadi berkaca-kaca. “What I‟ve done all this time…” tanyanya pada
dirinya sendiri. Kembali dia mengingat segala hal dan segala kata-kata yang
pernah dia lontarkan ke Natasya, kali ini hatinya kembali merasa sakit, sakit
karena sebuah penyesalan yang begitu mendalam karena hal-hal buruk yang
pernah dia lakukan ke Natasya, gadis yang berusaha setengah mati untuk
menyelamatkanya dari keterpurukannya, gadis yang berusaha susah payah
untuk membantunya bertahan dari sakitnya kehidupan yang dia alami selama
ini. “Apa yang harus aku lakuin buat memperbaiki semuanya May…. Kasi
tau aku… Aku harus gimana…?” kata Ryan lagi. Dia benar-benar bingung
sementara ingatannya tentang hal-hal buruk itu tidak bisa pergi dari
pikiranya. Tidak lama kemudian Ryan merasakan ada setetes air jatuh dari
langit, dia menatap keatas sambil menengadahkan tanganya, tampaknya
sebentar lagi hujan akan turun lagi. Menyadari akan hal itu, dia bergegas
menuju mobilnya, dan benar saja, begitu dia memasuki mobilnya, cuacapun
mulai berubah gerimis. Ryan pun kembali memacu mobilnya pergi dari
rumah Maya, saat itu masih terjadi „pertempuran hati‟ dalam dirinya, dia
masih bingung harus berbuat apa untuk bisa memperbaiki semuanya. Tadi
mungkin dia memang sudah punya penyelesaian, tapi semuanya seperti
menghilang dalam sekejap, Ryan kembali terlihat tidak tenang, ingatan
tentang Natasya tidak henti-hentinya mengganggu pikirannya. Ditengah-
tengah perjalanannya itu, hujan pun turun semakin deras. Sepertinya Ryan
melaju kearah kampus dengan keadaan yang terlihat masih resah seperti itu.
Tidak beberapa lama kemudian akhirnya dia sampai dikampus, ketika
melewati café kampus, dia melihat Edo, Eric dan Rafael sedang duduk-
duduk bersama Natasya. Rafael seketika berdiri tersentak karena melihat
si Summer Snow baru kali itu memasuki area parkir kampus ditengah-tengah
derasnya hujan waktu itu. Lama Ryan duduk terdiam didalam mobilnya,
sepertinya dia berusaha untuk menghayati segala apa yang telah terjadi
dikehidupannya selama beberapa tahun belakangan ini, mulai dari kenangan-
kenangan indahnya sampai kesalahan-kesalahan fatal dan bodoh yang pernah
dia lakukan, pikirannya terus menerawang ke masa lalunya, bak sebuah
perahu kecil yang terbawa arus air laut ditengah-tengah badai, pikirannya
terombang-ambing, perasaannya kembali menjadi tidak karuan, dia bingung,
harus bagaimana caranya untuk memadamkan api luka yang selama ini
membakar jiwanya. Dia berusaha untuk tetap „sadar‟ dan „bertahan‟ dengan
keadaannya yang sekarang, dimana dia sudah sepenuhnya menerima semua
kenyataan yang ada. “Maya…. For the last time…. I need you to be by my
side, right now….” gumamnya. Dan setelah dia menggumam seperti itu, dia
pun akhirnya membuka pintu mobilnya. Ditengah derasnya hujan hari itu
Ryan berdiri ditengah-tengah area parkir terbuka kampus. Tepat didepan
teman-teman baiknya dan seorang gadis yang bernama Natasya. Tangannya
menggenggam begitu erat, tatapan matanya tajam menuju kearah mereka,
dan akhirnya dia berjalan pelan kearah café kampus dimana Edo, Rafael,
Eric dan Natasya berada. Melihat Ryan bertingkah seperti itu, Eric berdiri.
“Do… I got this, you stay with Natasya, in case the situation‟s going bad…”
kata Eric sambil melangkah menuju kearah Ryan menebak kalau Ryan akan
„menggila‟ karena melihat Natasya setelah apa yang terjadi kemarin, dan
karena telah meendengar cerita Natasya akan perlakuan Ryan padanya
dipantai. Tanpa berkata apa-apa Rafael menyusul Eric. Sementara itu Edo
yang tengah duduk disamping Natasya hanya terdiam saja melihat gelagat
sahabatnya yang sudah dia anggap sebagai kakaknya sendiri itu. “Kamu
tenang aja Nat…. Sebelum dia ngapa-ngapain kamu, dia harus ngelangkahin
aku dulu… Kamu beneran bawa pakaian Maya kan…?” tanya Edo dingin.
Natasya mengangguk sambil mengeluarkan pakaian Maya yang dia pakai
kemarin itu dari dalam tasnya. Mereka berfikir itulah tujuan Ryan
mendatangi mereka waktu itu. “Yan… Don‟t do it here… Please…” kata Eric
sambil sedikit menahan langkah Ryan dengan memegang pundak Ryan.
Ryan memegan pergelangan tangan Eric yang memegang pundaknya dan
sedikit menyibaknya tapi tidak dengan cara kasar seperti biasanya, dia
melewati Eric tanpa memandang laki-laki bule itu sedikitpun, pandangannya
terus tertuju pada satu titik, pada satu gadis, Natasya. “Yan… Ni kampus gak
kayak sekolah loe yang dulu, loe gak punya wewenang buat ngelakuin
apapun sesuka elo, gak usah bikin om ama tante malu cuman gara-gara ulah
kekanak-kanakan elo disini…” kata Rafael. Tapi Ryan tampaknya tidak
bergeming mendengar peringatan Rafael itu, dia terus melangkah maju
dengan satu tujuan. Dua „pertahanan‟ Natasya dilewati oleh Ryan begitu
saja, yang tertinggal hanyalah Edo satu-satunya. Tapi tidak jauh Ryan
melangkah melewati Eric dan Rafael, entah itu adalah sebuah halusinasi atau
apa, dia melihat seorang gadis didepannya, gadis yang mengenakan pakaian
hangat bergaris ungu dan putih, dengan syal berwarna ungunya, berdiri
dibawah payung sambil tersenyum menatap Ryan. (Bondan Prakoso – I
Will Survive). Melihat itu, langkah Ryan pun terhenti dia berdiri mematung,
menatap Natasya begitu dalam, saat itu ingatan Ryan lagi-lagi menerawang,
tapi kali ini ke masa dimana Natasya selalu ada untuk dia, dimana Natasya
bersusah payah hanya untuk menyadarkan dirinya, menyelamatkan dirinya
dari belenggu masa lalu yang mengikat langkahnya dengan begitu erat, masa
dimana Natasya berusaha untuk membuatnya tetap berdiri, dimana Natasya
berusaha untuk membantunya tetap bertahan dan bangkit dari puing-puing
kehidupan yang menimpa dirinya, Natasya yang selalu memberikannya
kekuatan untuk melewati semua ini, dan….. ditengah-tengah derasnya hujan
hari itu, dengan disaksikan oleh begitu banyaknya mahasiswa-mahasiswa
kampus yang ada ditempat itu, Ryan Putra Rajasa, laki-laki yang sudah
terkenal dengan sifat dingin, egois, dan angkuhnya itu bertekuk lutut sambil
memandang Natasya. Sontak Edo, Eric dan Rafael sangat terkejut sekali
melihat Ryan melakukan hal itu, seumur hidup mereka tidak pernah
sedikitpun membayangkan kalau Ryan akan melakukan hal itu. Didepan
publik, The Prince, The Lady Killer menghancurkan kehormatannya,
memporak-porandakan harga dirinya yang begitu sangat tinggi sekali demi
satu hal. “Natasya….!! Maafkan aku…. Maaf atas segala hal yang pernah
aku lakuin ke kamu, maaf atas segala yang pernah aku bilang ke kamu…
Selama ini aku buta… Aku bodoh…!! Karena aku udah mungkirin
kenyataan idup aku, mungkirin arti kehadiran kamu di idup aku….” teriak
Ryan sambil bertekuk lutut, meminta maaf kepada Natasya. “Aku gak pernah
sadar kalo kamulah yang selalu ada waktu jiwa aku lagi rapuh-rapuhnya…
Aku gak pernah sadar kalo kamulah yang selalu ngulurin tangan kamu
waktu aku jatuh…Dan… Selama ini aku gak pernah mau ngakuin kalo
kamu itu sangat berarti buat aku… Selama ini aku gak pernah mau ngakuin
kalo aku….” Kata-kata Ryan terhenti untuk sejenak, dia menggigit bibirnya
sendiri, “Kalo aku MASIH…. Masih cinta ama kamu….!!!!!!” Teriakan
Ryan kali ini terdengar begitu sangat memilukan, teriakan yang untuk
beberapa saat saja bisa menelan suara gaduh hujan yang beriringan dengan
suara guntur dan petir. Disaat yang bersamaan Natasya terkejut, bukan hanya
karena mendengar pengakuan Ryan itu, tapi saat itu dia „melihat‟ sesosok
gadis yang begitu mirip sekali dengannya, mengenakan pakaian yang sama
dengan pakaian yang ada di dekapannya waktu itu. Si gadis berdiri
disamping Ryan sambil memayungi Ryan, menatapnya. Dia bisa merasakan
kalau ada sebuah harpan dimata sayu gadis itu, dan waktu itu, ketika dia
menatap Ryan yang masih bertekuk lutut itu, dia melihat air mengalir dari
mata Ryan, Natasya sadar kalau itu bukanlah air hujan. Natasya melihat air
mata Ryan, Natasya melihat kalau Ryan menangis ditengah-tengah derasnya
hujan, dan tampaknya tidak ada seorangpun yang menyadari hal itu selain
dia. Tanpa Edo sadari, Natasya sudah berlari melewatinya, berlari kearah
Ryan dan kemudian memeluknya yang masih dalam posisi bertekuk lutut itu.
“Gak ada yang boleh ngeliat kamu nangis…” kata Natasya sambil memeluk
Ryan padahal waktu itu dia sendiri tengah menangis. Ryan terkejut
mendengar kata-kata Natasya itu, karena Maya juga pernah mengatakan hal
yang sama persis kepadanya. “Aku ada disini kok… I‟m still here for you… I
will never leave you…. Again…” kata Natasya dengan mempertegas kata
„again‟. “Jangan pernah tinggalin aku lagi… Aku gak bakalan bisa bertahan
kalo kamu ninggalin aku lagi… Aku gak bisa kalo gak ada kamu…” kata
Ryan sedikit terisak. “You‟ve got me, so stay calm…. Everything will be
alright…” Natasya mencoba untuk menenangkan Ryan. “Kamu gak bohong
ama aku kan…? Kamu gak bakalan pergi lagi kan? … Natasya…?” kata
Ryan pelan. Mendengar Ryan memanggil namanya untuk yang kesekian
kalinya, gadis itu tertegun. “Kamu manggil aku pake nama aku? Aku pikir
kamu nganggep aku Maya, Gak apa-apa kok Yan, Aku bisa ngerti…: kata
Natasya. Ryan menggeleng. “Maya udah ada disurga sekarang, dia minta aku
buat ngebuka hati aku sekali lagi, buat kesempatan kedua yang udah dia
siapin buat aku, yaitu kamu…. Kamu adalah Natasya, bukan Maya…. Tapi
aku tau, kamu punya hati yang sama kayak Maya, aku gak bakalan
mungkirin hal itu lagi, aku cinta ama kamu bukan karena kamu mirip ama
Maya, tapi karena kamu udah ngebuktiin kalo kamu sama seperti Maya, bisa
ngebuka pintu hati aku ama cara kamu sendiri….” kata Ryan panjang lebar.
Natasya semakin tertegun mendengar kata-kata itu keluar dari mulut seorang
Ryan, yang selama ini dia ingat hanya caci makian saja yang dia dapat dari
mulut itu. Natasya tersenyum, “Then I want you to know….” kata Natasya
pelan. Ryan tidak merespon, dia masih tenggelam didalam hangatnya
pelukan Natasya. “That I will survive…. And I will stay alive…. For you….”
Kata Natasya sambil tersenyum manis tanpa melepaskan pelukannya. Kali
ini Ryan lah yang tertegun mendengarkan kata-kata Natasya itu. Tidak lama
kemudian diapun tersenyum bebas dan membalas pelukan Natasya itu.
Seluruh isi kampus menyaksikan peristiwa dramatis itu seolah-olah mereka
sedang menonton film dibioskop, tidak ada yang bersuara sama sekali,
walaupun mereka semua menghentikan aktifitas mereka dari saat mereka
mendengar teriakan Ryan tadi. Melihat itu, Edo melangkah kearah mereka
dari café tempat dia terduduk dari tadi sambil membawa pakaian Maya yang
tergeletak di atas meja didepannya yang terbungkus rapi dengan plastik.
Ketika sampai didepan Ryan dan Natasya, dia menyodorkan pakaian itu
kedepan Ryan. Melihat itu, Ryan dan Natasya pun berdiri. “Loe bawa aja
pakaian itu Do, mulai sekarang kayaknya gue emang harus ngelupain
kenangan gue ama Maya itu…” kata Ryan didepan Natasya. Edo
menatapnya tajam mendengar dia berkata seperti itu. “Buukk!!” Edo malah
meletakkan pakaian itu kedada Ryan dengan agak sedikit keras, yang
membuat Ryan spontan memegangi pakaian itu. “Orang mati itu hanya bisa
hidup didalam kenangan orang lain…, kalopun gak pernah ketemu secara
langsung, tapi Maya memiliki peran tersendiri didalam kehidupan Natasya,
dan gue tau loe sayang ama Maya lebih dari sayang kami ke dia, kami
mungkin gak bisa ngebuat dia hidup didalam kenangan kami, tapi kami
pengen Maya itu bisa tetep hidup…. Dan cuman elo yang bisa terus ngebuat
dia hidup, didalem kenangan-kenangan loe itu… Jadi teruslah mengenang
dia dengan cara yang bener…” kata Edo panjang lebar dan melanjutkan
langkahnya kearah Rafael dan Eric. Tapi baru saja dia melewati Ryan,
“Do…” kata Ryan. Edo menghentikan langkahnya, tapi tidak menoleh.
“Thanks for everything you‟ve done for me all this time, and I‟m sorry for
everything I‟ve done for you in return…” sambung Ryan. “I didn‟t do that
for you…” kata Edo setelah beberapa lama terdiam. “I did that to get my
brother back…” sambungnya lagi. Sesaat kemudian, dia merasakan tangan
Ryan mendarat dikepalanya. “I promise you…. From now on, you‟ll never
lose him anymore…. Little brother…” kata Ryan sambil meletakkan tangan
kanannya dikepala Edo tanda berjanji sedangkan tangan kirinya merangkul
Natasya. Keadaan menjadi hening, Edo tidak berkata apa-apa, tapi dia tahu
kalau Ryan serius berkata seperti itu. “Plak..!!” Edo menyepak tangan Ryan
itu tanpa menoleh. “Luka loe gak perih lagi kena air gini kayak dulu…?”
tanya Edo. “Hah..? Oh… Iya… kemarin perih banget tau‟… Lain kali gak
bakan gue diem aja loe pukulin kayak gi… Aw…. Aww… Awww…” Ryan
tiba-tiba meringis kesakitan karena tanpa dia sadari Natasya menyentuh-
nyentuh luka dipelipis alisnya itu. “Natasya… Perih tau‟…” kata Ryan
sambil menutupi lukanya itu. Bukannya merasa bersalah, Natasya malah
tertawa-tertawa kecil melihat tingkah Ryan itu. Melihat kedua pasangan baru
itu, Edo hanya tersenyum tipis sambil melanjutkan langkahnya. “Udah ah…
main ujannya, aku ada jam entar jam sepuluh, tinggal setengah jam nih…
Nat… Pulang ganti baju yook… kamu bisa pake bajunya Maya” kata Ryan
kepada Natasya. “Mmm… Gak apa-apa nih…?” Natasya terlihat ragu
mendengar Ryan menyuruhnya memakai pakaian Maya lagi. “You heard
me… C‟mon…” Ryan menarik Natasya menuju kearah mobilnya. Disaat itu,
pandangan Natasya tertuju kearah seorang gadis yang menatapnya diantara
kerumunan mahasiswa dipinggir area parkir outdoor itu. Gadis yang mirip
sekali dengannya itu tersenyum kearahnya sambil sedikit menganggukkan
kepalanya, dan kemudian menghilang dibalik kerumunan mahasiswa-
mahasiswa itu. “Maya…?” gumam Natasya yang melihat hal tersebut sambil
terus mengikuti Ryan.
Sejak hari itu, kehidupan Ryan berubah kembali, dia menjalani
hidupnya bersama Natasya dengan penuh kebahagiaan, penuh arti seperti
yang diinginkan oleh Maya, tapi walaupun begitu tidak sedikitpun dia
melupakan akan Maya dan Natasya pun tampaknya bisa memaklumi akan
hal itu. Natasya menerimanya apa adanya, terlepas dari masalalunya, atau
apapun yang pernah Ryan lakukan ke dia dulunya. Satu hal yang akhirnya
Ryan sadari semenjak dia menjalani hidupnya bersama Natasya, kalau
Natasya tidaklah sepenuhnya sama seperti Maya, jika Maya adalah sosok
gadis yang memiliki hati bijak, dewasa, dan memiliki sedikit jiwa romantis
menurut Ryan, maka Natasya adalah kebalikannya, dia tidak sebijak Maya
dalam beberapa hal, lebih bersifat kekanank-kanakan dan manja kepada
Ryan, dan tidak begitu romantis. Walaupun begitu, dia sekuat dan setegar
Maya dalam menjalani kehidupannya, meskipun tidak romantis, tapi dia bisa
membuat Ryan merasa nyaman didekatnya, dengan kata-kata dan sifat-sifat
manjanya, sifat kekanak-kanakannya membuat Ryan merasa selain adalah
kekasihnya, Natasya adalah adiknya sendiri. Semua kekurangan yang ada
dalam diri Maya, adalah kelebihan yang dimiliki oleh Natasya, dan semua
kekurangan yang ada dalam diri Natasya adalah kelebihan yang dimiliki oleh
Maya, hal itu membuat Ryan berfikir kalau mereka adalah dua jiwa yang
berbeda tapi hidup untuk melengkapi satu dengan yang lainnya. Mungkin
itulah alasan kenapa mereka terlahir kembar walaupun tidak sedarah. Hidup
mereka bahagia sampai-sampai mereka tidak sadar sudah satu tahun mereka
menjalin hubungan. Sampai disuatu hari Ryan mengajak Natasya untuk
menikah. Awalnya Natasya sedikit terkejut mendengar lamaran itu, dan
mengatakan apa tidak tunangan dulu. Tapi Ryan mengatakan kalau dulu kan
„mereka‟ sudah tunangan, jadi tinggal nikahnya saja yang belum. Mendengar
alasan itu, Natasya pun menyetujui lamaran Ryan. Kebetulan orang tua dari
mereka berdua pun sudah mulai akrab dalam beberapa bulan terakhir itu, jadi
sepertinya rencana Ryan untuk menikahi Natasya itu tidak akan ada masalah
sedikitpun.
Dan pada bulan Maret di usia hubungan mereka yang sudah
mencapai satu setengah tahun akhirnya mereka pun menikah, tante Rani dan
dokter Arman menghadiri pernikahan mereka tersebut. Ketika pertama kali
melihat sosok Natasya yang benar-benar sama persis dengan mendiang
anaknya, tante Rani sedikit terkejut, ekspresinya menunjukkan kalau dulu dia
pernah melihat gadis itu, dia sadar kalau gadis yang ada didepannya itu
bukan Maya tapi dia tidak bisa ingat dimana pernah melihatnya, karena itu
dulu sekali, dan akhirnya dia meneteskan air mata. Dia merasa sangat terharu
sekali karena melihat Natasya sebagai Maya, anak semata wayang yang
begitu sangat dia sayangi. Setelah menikah, Ryan meminta ayahnya untuk
membangun rumah untuknya, disebuah tebing yang menjurus kearah pantai
kenangannya dengan Maya dulu, alasannya adalah, dulu disana adalah
tempat dimana jalan kehidupannya terputus untuk sesaat karena tidak terima
dengan kematian Maya, jadi dia ingin melanjutkan jalan itu bersama Natasya
dengan terus mengenang masa lalunya bersama Maya sebagai sebuah
pelajaran dan perjalanan yang berarti. Beberapa bulan kemudian, rumah baru
yang diingankan oleh Ryan itu akhirnya rampung, berdiri dengan kokohnya
dengan sebuah beranda lebar yang langsung menjurus kearah pantai. “May…
If you still there, come here…. You can always see how beautiful the sea
from up here… I believe that you‟ll love it…” gumam Ryan yang tengah
berdiri di beranda itu sambil tersenyum. Sesaat setelah itu, dia mendapati
dirinya berada didalam pelukan istrinya Natasya. Setelah menikah,
kehidupannya dengan Natasya jauh menjadi lebih bermakna dibanding
sebelum-sebelumnya. Ryan adalah mantan playboy, jadi dia lebih
mengutamakan keromantisannya sedangkan Natasya adalah perempuan yang
penuh pengertian dan lebih mengutamakan keharmormonisan dalam
menjalani hubungan mereka. Bisa dibilang kehidupan mereka adalah
kehidupan yang sempurna, tidak akan bisa menggambarkan kebahagiaan
mereka hanya dengan sekedar kata-kata saja. Setelah hamil selama sembilan
bulan sepuluh hari, malam itu adalah malam tahun baru. Malam dimana
momongan Ryan dan Natasya akhirnya sudah siap untuk menghirup udara
segar kehidupan. Seorang bayi perempuan lahir dengan sempurna dan sehat
tepat ketika tahun berganti. Seorang bayi perempuan yang sebagian besar
mengambil sosok sang ibu. Untuk menghindari terlalu banyak pengulangan
kata „bahagia‟, kita lewati saja tentang bagaimana perasaan Ryan dan
Natasya dan semua orang yang bersangkutan dengan mereka akan kelahiran
bayi perempuan itu.
Keesokan harinya, sekitar pukul sebelas pagi tante Rani tiba dari
Amerika dan langsung menuju Rumah Sakit Bersalin tempat Natasya
melahirkan. Ketika wanita paruh baya itu membuka pintu kamar Nataysa, dia
sudah menemukan Edo, Rafael, Eric bersama dengan pasangan mereka
masing-masing telah memenuhi kamar itu, kalau dilihat dari kondisinya,
sepertinya mareka semua sudah ada disana sejak tadi malam. Sementara
Ryan sedang asyik tiduran didekat istri dan bayinya sambil tersenyum-
senyum simpul. Melihat kedatangan tante Rani, Edo, Rafael dan Eric berdiri
menyambutnya. Tante Rani membalas sambutan mereka dengan senyuman
seraya menyodorkan sebuah amplop kearah Edo. Melihat dia disodorkan
sebuah amplop oleh tante Rani, Edo mengernyitkan dahinya, tidak mengerti
amplop apa itu, tapi setelah melihat namanya di amplop itu. “Tulisan tangan
Maya…?” gumamnya sambil mengambil amplop itu. Tante Rani mendekati
Ryan dan Natasya. Saat itu Ryan sudah berdiri menyambut kedatangan
„mama‟nya itu. “Mah…?” sambut Ryan. “Bayinya gimana…? Sehat…?”
tanya tante Rani. “Iya ma… Bayinya sehat, mirip banget ama mamahnya…”
jawab Ryan sambil tersenyum dan memberikan tante Rani melihat sibayi
yang masih ada didekapan sang ibu, Natasya. Tante Rani membelai si bayi
sambil tersenyum namun meneteskan air mata pada waktu yang bersamaan.
Setelah menghapus air matanya, tante Rani menyodorkan sebuah amplop
lagi ke Ryan. “Maya dulu pernah berpesan ama mama kalo mama harus
ngasi surat ini ke kamu setelah kamu nemuin kebahagiaan kamu kembali
setelah kepergiannya, dan menurut mama saat-saat seperti inilah yang
dimaksudkan oleh Maya…” kata tante Rani sambil memegang pipi Ryan.
Ryan pun mengambil sebuah amplop yang berisikan surat peninggalan Maya
itu dengan pelan. Setelah surat tadi berpindah tangan, tante Rani kembali
melangkah untuk meninggalkan ruangan itu, terlihat jelas dimatanya kalau
dia sudah tidak mampu menahan perasaan kesedihan yang sampai saat itu
masih saja menyelimuti hatinya ketika melihat Natasya. Dia melihat Natasya
sebagai Maya, dan dia sadar jika terlalu lama seperti itu, bisa-bisa dia tidak
bisa merelakan kepergian Maya lagi. “Mah…” seketika langkah tante Rani
terhenti, dia mengenal betul suara itu, dia mengenal betul nada dan gaya
bicara itu, karena kondisi Natasya masih dalam keadaan lemah, nada
bicaranya menjadi benar-benar mencerminkan suara Maya dengan sempurna,
terlepas dari kondisi Natasya yang masih lemah, panggilannya itu
menggetarkan telinga tante Rani sehingga membuatnya berbalik. “Aku boleh
manggil tante, mama kan…?” tanya Natasya dengan lemah lembut sambil
tersenyum. Tante Rani mematung, dan tidak lama kemudian dia tidak bisa
membendung harunya, dia melangkah ke arah Natasya yang tengah terbaring
sambil berlinang air mata. Perempuan itu menangis terisak-isak sambil
memeluk Natasya. “Sejak kapan kamu gak boleh manggil mama, anakku…”
isak tante Rani. Melihat hal tersebut, Edo tersenyum tipis, dan tidak lama
kemudian, dia pun keluar dari ruangan itu. Di koridor depan kamar Natasya,
dia terus memandangi surat yang diberikan oleh tante Rani tadi, dengan
penuh tanda tanya, dia akhirnya membuka amplop, dan membaca isi surat
dari Maya itu.
“Do… Aku yakin, sekarang ini kalian semua sedang menikmati sebuah
kebahagiaan yang begitu berarti didalam hidup kalian…”
Itu adalah kalimat awal dari isi surat Maya. Terlepas dari kenyataan bahwa
dia sudah meninggal beberapa tahun lalu, seolah-olah dia sudah tahu, kapan
suratnya itu akan sampai ketangan Edo.
“Kamu pasti heran kenapa tiba-tiba mama ngasi kamu surat dari aku,
setelah sekian lama ini. Itu karena kamu adalah salah satu dari orang-orang
yang begitu berarti buat aku. Kamu memiliki peran yang begitu kuat
didalam kehidupan aku dulu, didalam perjalanan hidupku bersama Ryan.
Ada satu hal yang ingin aku sampaikan ke kamu Do. Kamu ingat sesuatu
gak? Kira-kira sembilan tahun yang lalu…”
“Sembilan tahun yang lalu…?” Edo mengernyitkan dahi tanda tidak
mengerti arah pembicaraan Maya didalam surat itu. Dia mencoba untuk
mengingat-ingat hal apa yang dimaksud Maya itu, dia menengadah
memandang langit-langit seolah-olah bertanya „ada apa sembilan tahun yang
lalu dan apa hubungannya dengan Maya?‟. Tapi karena tidak mendapatkan
apa-apa, dia kembali membaca isi surat Maya.
“Mungkin kamu gak bakalan bisa ingat, itu wajar… Kejadiannya juga udah
lama banget dan mungkin gak terlalu penting buat kamu. Tapi hari itu
begitu sangat penting buat aku walaupun yaahh… Aku juga ingetnya pas
aku baru sadar dari koma aku kemarin.”
“Koma? Jadi surat ini ditulis Maya sekitar tiga tahun yang lalu ya…” kata
Edo dalam hati.
“Kalo seandainya kamu masih nyoba buat ngingat-ingat kejadian itu, ada
dua kata kunci yang bisa aku kasi tau… Jembatan…. Dan kucing…”
Membaca surat Maya yang aneh dan membingungkan itu, Edo seperti orang
yang sedang mengerjakan soal-soal semester. Otaknya penuh dengan tanda
tanya sedangkan pikirannya sibuk membongkar-bongkar „brangkas‟ dimana
dia menyimpan masa lalunya.
“Waktu itu… Kalo aku juga gak salah inget… Kita masih kelas empat
sekolah dasar…Kira-kira sudah lima jam berlalu setelah jam pulang
sekolah…”
Membaca kalimat itu, Edo tersentak. „Bingo!‟ Dia menemukan „file‟ masa
lalu yang sesuai dengan isi surat Maya. Dia pun kembali mengenang akan
masa itu.
“Edo yang penuh luka disekujur tubuhnya itu memapah Ryan yang tidak
kalah „rusak parah‟ itu pulang. “Kamu kebanyakan nonton film Ultraman
nih... Coba tadi kamu lari ngadu ke pak guru, gak bakalan jadi kayak gini
kan...” kata Ryan sambil menahan sakit. “Gak bakalan keburu, kamu pasti
bakalan jadi lebih parah dari ini kalo aku pergi ngadu, lagiyan.... aku gak
mungkin ninggalin kakak aku dikeroyok gitu aja kan?” jelas Edo.
“Kakak...?” Ryan terlihat tidak mengerti. “Iya, kamu kan kakak aku...”
balas Edo. Ryan tidak menjawab. “Kamu sendiri kebanyakan nonton film
Superman, pake ngelawan anak-anak kelas enem segala...” kata Edo lagi.
Dan kata-kata itu membuat mereka tertawa terbahak-bahak sepanjang
perjalanan, yang secara alami membuat mereka tidak merasakan sakit dari
bekas perkelahian mereka dengan anak-anak kelas enam tadi. Tidak lama
berjalan sambil bercengkerama bersama, mereka sampai disebuah
jembatan. Disana mereka melihat seorang anak perempuan berdiri dipinggir
jembatan itu, terdiam memandang kearah sungai yang mengalir dibawah
jembatan dengan arus yang tidak begitu deras. Sepertinya anak perempuan
itu tidak satu sekolah dengan mereka berdua. “Eh… Ngapain kamu liatin
sungai kayak gitu…?” tanya Edo sambil melepaskan lengan Ryan yang dari
tadi dia papah itu. Anak perempuan itu menatapnya dengan mata berkaca-
kaca, sepertinya dia ingin menangis dan mungkin karena sesuatu yang ada
disungai dibawah jembatan itu. Karena penasaran, Edo pun mendekati anak
perempuan itu dan mencondongkan kepalanya melihat ada apa disungai itu.
“Kucing…? Itu kucing kamu…?” Edo kembali bertanya kepada anak
perempuan itu karena melihat seekor anak kucing yang sedang berusaha
untuk tidak tenggelam dan terbawa arus sungai. Anak itu tidak menjawab
dan kembali melihat kesungai. “Kalo kucing liar, sebaiknya di…” satu hal
yang membuat Edo menghentikan ucapannya. Tiba-tiba Ryan langsung
melompat bebas dari jembatan yang tingginya sekitar dua lantai itu
kesungai. Edo benar-benar terkejut karena Ryan berlali untuk melompat
dari depannya. Melihat hal itu Edo langsung memalingkan pandangannya
kearah sungai dimana Ryan mendarat dari lompatannya dengan wajah
pucat. Ryan berusaha untuk menggapai anak kucing itu dan setelah dia
mendapatkannya, dia berenang ketepian sungai yang jaraknya hampir
sekitar tujuh meteran itu. Edo yang sudah dari tadi berlari kebawah kolong
jembatan bermaksud untuk menyusul Ryan. Mendapatkan „kakak‟nya itu
sudah tergeletak dengan seekor anak kucing didadanya. “Pamer ama anak
cewek juga gak segitu-gitunya kali Yan… Itu kan bahaya banget… Mana
jembatannya juga tinggi amat lagi…” kata Edo sambil menengadah
memandang jembatan yang ada diatas mereka.Tapi karena melihat Ryan
tidak kenapa-kenapa, Edo terlihat sedikit tenang. “Nah kamu…? Ngaku
Ultraman, ikut-ikutan kelai ama anak kelas enam tapi nyelametin kucing aja
masih takut…. Cemen…” balas Ryan dengan nafas terengah-engah karena
berenang tadi. “Bukan gitu tapi….”…….. “Ultraman itu nyelametin sesuatu
gak perlu pake nanya-nanya segala… Kamu liat sendirikan tuh anak ampir
nangis ngeliatin nih kucing? Kalo bukan punya dia, ngapain ampe kayak
gitu…?” potong Ryan sambil memandang Edo dengan posisi masih
terlentang kehabisan tenaga. Mendengar perkataan Ryan itu, Edo terdiam.
Mereka memang masih anak-anak, tapi karena jauh dari orang tua mereka
hal itu membuat pandangan dan cara berfikir mereka menjadi lebih dewasa
dari usia mereka sendiri. Sebagian anak memang sepeti itu, dapi
kebanyakan ada yang menjadi sombong dan salah bergaul karena
kurangnya didikan positif dari orang tua mereka, ada pula yang selalu
melow karena kurangnya kehadiran dan sosok orang tua disisi mereka. Tapi
mereka berdua tidak seperti itu, tinggal hanya dengan dampingan seorang
nenek yang sudah tua membuat sifat tegar dan mandiri mereka lebih
menonjol sejak masa kanak-kanak mereka. Setelah tenaganya agak sedikit
terkumpul, Ryan pun bangkit, dan berjalan kearah anak perempuan yang
dari tadi hanya berdiri mematung didekat tangga jembatan itu sambil
membawa kucing yang tadi dia selamatkan. “lain kali ati-ati ya? Kasian kan
kalo tenggelam…” kata Ryan sambil menyodorkan anak kucing yang masih
basah kuyup itu kearah si anak perempuan. Setelah menggendong anak
kucing itu, si anak perempuan menyodorkan sebuah sapu tangan kecil
berwarna ungu kepada Ryan, niatnya agar setidaknya Ryan bisa
mengeringkan wajahnya, tapi Ryan menggeleng sambil tersenyum tipis dan
mengajak Edo untuk pergi. “Plak…!!!” “Sok kamu… Kenapa gak sekalian
diantar pulang aja…” Edo yang berlari menyusul Ryan tiba-tiba saja
menampar pipi Ryan dari belakang. “Aduuhh…!” spontan Ryan mengaduh
sambil memegangi pipinya. “Alah….! Ngaku Batman, pake loncat setinggi-
tingginya cuman buat nyelametin kucing, ditampar aja kesakitan kayak
gitu… Cemen…” kali ini Edo mengembalikan kata-kata Ryan yang tadi.
“Kamu pikir nih luka gak perih kena air tadi…? Malah make acara nampar-
nampar segala…!! Kena bogem super power baru tau rasa‟…. Aaahhhh…..
Dasar monster….” Kata Ryan sambil menjitak kepala Edo. Buknnya
kesakitan, tapi Edo malah tertawa terbahak-bahak, begitu pula dengan
Ryan. Walaupun mandiri, tetap saja jiwa mereka masih kekanak-kanakan.
Anak perempuan itu terus saja memandang mereka yang tertawa bersama
sambil menaiki anak tangga jembatan yang tidak beberapa lama kemudian
terlepas dari pandangannya ketika mereka sampai diatas jembatan.”
Edo tersenyum tipis mengenang akan kejadian itu, matanya sedikit berkaca-
kaca karena terharu mengenang masa kanak-kanaknya bersama Ryan itu.
Dimana saat-saat itu Ryan memang benar-benar menjadi sosok seorang
kakak untuknya. “Ah… Jangan-jangan…” Edo menyadari sesuatu dan
membaca kelanjutan isi surat Maya tadi.
“Kalo kamu udah inget…. Benar… Anak perempuan itu adalah aku. Dan
anak kucing itu adalah sebuah hadiah persahabatan dari seorang sahabat
aku dulu yang bernama Natalia, dia begitu istimewa buat aku. Sayangnya
kucing pemberiannya itu mati tertabrak mobil sekitar dua tahun kemudian.
Dan jujur, kenangan itulah yang membuatku semakin mencintai Ryan, dan
sepertinya aku tidak akan mampu untuk membuatnya pergi meninggalkan ku
sampai waktuku habis nanti. Kita sudah dipertemukan sejak kecil dulu, tapi
waktu seolah-olah menutupi akan kenangan itu. Tapi aku bersyukur karena
aku sudah memilih orang yang tepat sebagai seorang kekasih. Sejak awal
kami bertemu, aku memang merasa sudah mengenalnya tapi lupa kapan dan
dimana. Aku tidak sedikitpun merasakan sebuah ancaman ketika dia
pertama kali mengantarku pulang dari apotik dulu, sebaliknya entah kenapa
ada sebuah kenyamanan berada didekatnya, padahal dia adalah orang
asing buat aku waktu itu. Walaupun pergaulannya seperti itu diluar sana,
masa lalunya sebelum kita bertemu dipenuhi oleh hal-hal negatif…. Aku
percaya… Kalo Ryan sejatinya adalah anak yang baik, penuh pengertian
dan penuh kasih sayang, kamu tau? Aku juga merasa kalo dia itu memiliki
hati yang rapuh biarpun keliatan sombong seperti itu. Jika dia berubah lagi
setelah kepergian ku, aku minta maaf ke kamu karena aku gak bisa nepatin
janji aku yang beberapa minggu kemarin itu, itu semua adalah salah aku
pribadi. Tapi kalo kamu nerima surat ini, berarti kalian semua baik-baik
saja, Ryan baik-baik saja. Aku benar-benar bahagia bisa mengenal kalian
semua, kalian semua telah menyempurnakan hidup aku yang bener-bener
singkat ini, dan karena itu aku mau ngaucapi terima kasih ke kalian atas
semua pengalaman yang udah kalian kasi ke aku diakhir-akhir kehidupan
aku. Terima kasih banyak.Dan maaf atas semua kesalahan-kesalahan aku.
Salam hangat. Maya.”
Itulah isi surat dari Maya yang dibaca oleh Edo. Selesai membaca surat itu,
dia sendiri mematung. Kembali menengadah memandang langit-langit, tapi
kali ini bukan untuk berfikir, melainkan menahan aliran dari cairan yang
ingin keluar dari matanya. Dia sangat terharu karena ternyata bukan hanya
mereka saja yang menganggap Maya begitu berarti, tapi lebih-lebih arti
mereka pun sangat besar bagi diri Maya sendiri. “Nggak May…” ada sedikit
kepiluan disuara Edo. “Kamu gak salah sama sekali… Justru aku mau bilang
makasih ke kamu karena udah nyadarin kami semua, karena udah ngebuka
mata kami dari kebutaan. Terlepas dari kami semua, aku pribadi ngucapin
banyak-banyak terima kasih ama kamu karena udah ngembaliin Ryan jadi
kayak dulu lagi, jadi sosok seorang kakak lagi buat aku. Semua ini karena
ada kamu, karena kehadiran kamu dikehidupan kami. Kami gak
nyempurnain idup kamu, tapi kamu yang nyempurnain idup kami. You were
live as a short-life Princess in this world…. Yet you‟re life eternally as an
angel in our memories… Rest in peace.... May…” Sambung Edo dalam hati
sambil sedikit mengusap-usap matanya. Tidak lama kemudian dia pun
memasuki kamar Natasya kembali. Saat itu dia melihat Ryan berdiri
bersandar didekat jendela sambil membuka amplop yang diberikan oleh tante
Rani tadi. Amplop berisikan surat Maya seperti yang dia dapatkan.
“Congratulation Yan….”
Kalimat awal yang cukup pendek dari surat Maya untuk Ryan, tapi cukup
mengejutkan bagi Ryan sendiri. Selamat? Selamat untuk apa?
“Kamu sekarang akan menempuh kehidupan baru yang untuk
kedepannya akan menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Kalau kamu
nerima surat ini dari mama, artinya aku sudah gak ada lagi disisi kamu.
Tapi aku senang… Karena dengan nerima surat ini, aku tahu kalau kamu
gak kembali ke kehidupan lama mu, kehidupan sebelum kita bertemu dulu.
Maafin aku kalau aku gak bisa nemenin kamu lebih lama… Maafin aku
kalau aku gak bisa ngasi kamu kebahagiaan seperti yang kamu dapet
sekarang ini… itu semua adalah kekurangan mutlak yang aku punya. Tapi
kalau aku boleh jujur, aku benar-benar sangat sayang ama kamu, aku
benar-benar sangat mencintaimu Ryan. Sejak awal kita ketemu dulu, waktu
masih kecil, aku sudah merasakan ada sesuatu yang berbeda. Suka…
Mungkin adalah kata-kata yang tepat untuk apa yang aku rasakan kepadamu
dulu, yahh… Mungkin karena kita masih kecil dan belum mengenal apa itu
sayang dan cinta…”
“Waktu kecil dulu…?” Ryan tidak kalah bingungnya dengan Edo tadi
mendengar isi surat Maya itu.
“Aku yakin kamu pasti sudah lupa akan pertemuan pertama kita dulu…
Awalnya sih aku juga memang sudah lupa Yan… Tapi aku ingat kembali
disaat-saat aku terbangun dari koma ku kemarin… Kalau kamu mau tahu
akan hal itu, mungkin Edo ingat, kamu bisa menanyakannya ke Edo. Awal
aku mencintaimu…. Saat aku ngerasa benar-benar sayang sama kamu… Aku
tahu kalau itu adalah akhir dari kehidupan cintaku… Ya Yan… Kamu lah
akhir cintaku… Didalam kehidupanku yang singkat ini… Aku mungkin tidak
sepandai kamu untuk merangkai kata-kata indah mengenai cinta, tapi satu
hal yang aku ingin katakan ama kamu tentang kita…. Aku tercipta hanya
untuk kamu seorang… Jangan pernah bersedih atas kepergianku… Aku
tidak pernah pergi dari sisimu… Karena kita itu… Satu…”
Membaca itu, mata Ryan mulai tampak berkaca-kaca, dia terharu. Andai saja
dia mendapat surat itu lebih awal, setidaknya tidak lama setelah kematian
Maya, Natasya tidak akan mendapat sumpah serapah atau bersusah payah
untuk menolongnya dari keterpurukan hatinya.
“Oh iya Yan…? Aku mau ngelanjutin cerita aku yang dulu tidak bisa aku
lanjutin karena kamu dapet panggilan dari Edo mengenai balapan seminggu
sebelum kita bertunangan itu. Kalau kamu tidak ingat juga, aku ulangi saja.
Dulu pas masih SD, aku punya sahabat yang begitu sangat mirip ama aku,
temen-temen kami tidak ada yang bisa ngebedain kami, guru-guru kami juga
gitu. Nama sahabat aku itu Natalia. Aku tidak pernah bertemu dengannya
lagi semenjak lulus SD dulu, katanya sih dia pindah keluar negeri. Dan
beberapa hari sebelunya pas aku sedang cerita itu, aku ketemu ama wali
kelas aku dulu pas masih SD didepen apotik. Dia nanya tentang temen aku
itu, tapi dia salah nyebut nama. Aku nanya kenapa salah nyebut namanya.
Bu‟ guru itu malah ketawa kecil sambil mengaku kalau dulu dia salah tulis
nama untuk ijazah Natalia yang membuat Natalia terpaksa harus mengganti
identitasnya sendiri. Karena ijazah tidak bisa diganti kecuali mengulang
sekolah dari awal. Entah kenapa, tapi kalau nanti aku udah tiada, aku
sangat berharap kalau kalian berdua bisa bertemu. Bukan karena dia mirip
denganku saja, tapi karena aku tahu Natalia memiliki hati yang sama seperti
aku. Hati yang bisa sepenuhnya mencintai dan menyayangi kamu. Jika nanti
kamu berniat mencarinya, Namanya sudah bukan Natalia lagi. Sekarang
namanya Nat…..”
“Sayang….?” Panggil Natasya yang seketika memotong laju mata Ryan
yang tampaknya sedang serius membaca surat dari Maya tadi. Dia menoleh
kearah istrinya yang memanggilnya dengan begitu lemah tapi lembutnya itu.
“Baca surat dari Maya nanti aja boleh kan…? Mumpung mama lagi disini…
Kita kasi si bayi nama sekarang aja ya….?” Kata Natasya sambil
memandang tante Rani dan Ryan secara bergantian. Ryan sempat ngeblank
mendengar Natasya meminta nama untuk bayi mereka, sedangkan dia belum
menyiapkan nama baik sama sekali. “Sayaaaannggg…? Kok malah
bengong…?” tanya Natasya yang melihat Ryan ngeblank itu. “Angel….”
Kata Edo singkat yang membuat Natasya sponan menoleh kearahnya. Bayi
ini mirip ibunya… Dan ibunya mirip dengan Maya… Bagi aku… nggak…
bagi kami… Maya itu layaknya seorang malaikat… Malaikat yang
menyadarkan kami akan pentingnya hidup itu, Sosok malaikat yang ngebuat
kami jadi diri kami yang sekarang ini… Dan kami bisa melihat gadis kecil
ini karena ada Maya…” sambung Edo sambil menggandeng kekasihnya
yang dari tadi duduk disampingnya. Mendengar alasan Edo itu, Natasya
tersenyum, sepertinya Natasya setuju dengan nama itu. “Maya…” kata Ryan
kali ini angkat bicara setelah terdiam dari tadi. Kembali Natasya
memandangnya. “Seperti yang Edo bilang… Gadis kecil ini adalah
penggalan dari kisah hidup Maya, ditambah lagi dia menambil paras ibunya
yang benar-benar mirip dengan Maya sendiri. Maya is a beautiful girl… A
strong girl… Friendly… And wise… This little girl will live as strong as
Maya and as cheerful as her own mother…” kata Ryan sambil membelai
lembut kepala bayinya itu. Saat itu si bayi yang tengah tertidur didekapan
sang ibu sedikit bergerak dan terlihat seperti tersenyum, seolah-olah dia
setuju dengan nama yang diberikan oleh ayahnya itu. Tante Rani yang
mendengar hal itu tersenyum sambil mengusap-usap punggung Ryan.
“Gimana ama ibunya…?” Rafael bertanya. “Iya nak… Gimana ama
kamu…?” tante Rani ikut-ikutan bertanya. Natasya yang ditanya begitu
malah terdiam sambil memandangi bayinya. “Natalia….” Katanya singkat
setelah beberapa saat terdiam. Saat itu Ryan sedikit terkejut mendengar nama
itu. “Kata mama sebenarnya dulu nama aku adalah Natalia… Tapi saat lulus
SD, guru aku salah tulis nama diijazah aku karena tidak bisa membedakan
aku ama seorang temen aku yang katanya sih bener-bener mirip ama aku,
tapi akibat gegar otak karena kecelakaan dulu, sebagian ingatanku hilang…
Aku lupa siapa nama temen aku itu dan mama juga gak tau karena gak
pernah ketemu ama dia dulu…” sambung Natasya sambil tersenyum. Ryan
terus menatap istrinya setelah Natasya berkata seperti itu. “Kamu yakin…
Gak ingat sama sekali…?” tanya Ryan. Natasya menggeleng pelan. Sesaat
kemudian Ryan menyodorkan sepucuk surat dari Maya itu ke Natasya.
“Coba baca ini…” kata Ryan pendek. Natasya mengambil surat itu tapi
terlihat sdikit heran, untuk apa Ryan memberikan surat dari Maya itu ke dia.
Tante Rani juga sedikit heran. Apa hubungannya Natasya dengan surat
Maya? Surat itu kan dibuat beberapa tahun lalu, sebelum Ryan bertemu
dengan Natasya, bahkan sebelum kematian anaknya itu. Setelah beberapa
saat membaca surat itu, raut wajah Natasya berubah, matanya berkaca-kaca
dan dia menutup mulutnya seperti menahan tangis. “Huruf Y dan A dari
akhir nama kamu itu adalah „milik‟ Maya… Sahabat masa kecil kamu yang
hilang dari ingatanmu…” kata Ryan. Semua yang ada disana terkejut
mendengar kata-kata Ryan. Ternyata selama ini Natasya memiliki hubungan
dengan Maya, hubungan yang sempat hilang terbawa arus waktu yang begitu
derasnya. Tapi mungkin karena saking sejatinya persahabatan Natalia dan
Maya dulu, sampai-sampai waktu pun tidak bisa menghapus kisah mereka
berdua begitu saja. “Karena itu ya pengejaan nama kamu sedikit aneh…
Bukankah seharusnya H, A yang menjadi akhiran dari nama seperti nama
kamu itu Nat…” kata Rafael lagi. Ruangan itu berubah hening, tampaknya
ada perubahan emosi secara mendadak yang terjadi disana.“Amalia
(Emeli)…” Eric tiba-tiba angkat bicara ditengah-tengah keheningan itu yang
membuat semua mata seketika tertuju kearahnya. Angel Maya Natalia… For
short Amalia… So our new Princess‟ name is Amalia… Right…?”
sambungnya. “Yo… Dude… It‟s Maya… You got that…?!” Ryan, Edo,
bahkan Natasya, mereka bertiga secara serempak dengan nada yang hampir
berbarengan sedikit berteriak kepada Eric. Ditentang oleh tiga orang seperti
itu secara bersamaan, Eric terlihat ciut karena malu. “W… Well… That‟s just
to short it out… If… if you guys don‟t want that name, I‟ll take it for my
future child…” kata Eric gugup. “Nah lho… Gimana kalo anak kita cowok
nanti… masak namanya Amalia gitu… Bisa-bisa malah jadi rempong kayak
kamu kalo pake bahasa Indonesia…” sanggah kekasih Eric yang dari tadi
ada disebelahnya. Eric semakin terlihat malu, yang membuat semua yang ada
diruangan itu malah tertawa terbahak-bahak. Suasana ruangan itu kembali
menjadi ceria, dan begitu hangat karena dipenuhi oleh kebahagiaan yang
teramat sangatnya. Entah kenapa hanya dengan sebuah nama saja,
kebahagiaan tidak henti-hentinya mendatangi mereka semua. Orang mati
hanya meninggalkan nama untuk mereka yang sangat berarti baginya. Sudah
hampir empat tahun semenjak kematian Maya, tapi dia meninggalkan
namanya untuk mereka semua, dan nama itu seolah-olah adalah „mantra‟
pemanggil kebahagiaan untuk mereka, karena mereka adalah orang-orang
yang begitu berharga dan penuh arti bagi Maya. Ditengah-tengah canda tawa
mereka itu, mereka tidak sadar bahwa ada seseorang yang memperhatikan
mereka dari luar jendela, seseorang yang mengenakan pakain putih polos itu
tampak berdiri dibawah sebuah pohon yang berdiri dengan rindangnya,
tersenyum. Ryan menoleh kebelakang, kearah pohon yang rindang itu,
tampaknya dia menyadari akan sesuatu. Tapi bersamaan dengan menolehnya
dia, berhembus angin yang sedikit kencang. Tidak ada siapa-siapa dibawah
pohon itu. Beberapa lama kemudian dia berbalik sambil melanjutkan canda
tawa mereka tadi. Tidak beberapa lama kemudian, orang tua Ryan dan
Natasya pun datang secara berturut-turut, memberi salam dan kata selamat
datang dikeluarga besar mereka itu kepada cucu pertama mereka yang begitu
sangat cantiknya itu.
Satu tahun berlalu dengan begitu singkat. Hari itu si Maya kecil
menginjak usia satu tahunnya. “May… Aku mau ngenalin kamu ama
Maya… Dia mirip sekali dengan ibunya… Dia mirip sekali dengan kamu…
Itu artinya sekarang aku punya dua Maya disini, dan aku akan menjaga
Maya-Maya ini dengan sepenuh jiwa dan raga aku… Aku yakin itu adalah
apa yang kamu harapkan… Karena mereka berdua adalah warisan hidup
kamu untuk aku. Maya kecil aku sekarang berusia genap satu tahun, dia
terlahir dengan sempurna seperti halnya kamu, dan pasti… Aku akan
menjaganya sampai dia mnginjak usianya yang kedua puluh tahun… seperti
halnya bidadari bersayap biru ini yang menjagamu sampai usiamu yang
kedua puluh dulu… bahkan sampai sekarang ini…” kata Ryan sambil
memegang sebuah boneka porselin yang tertanam permanen didekat batu
nisan Maya. Saat itu Ryan dan Natasya sedang mengunjungi makam Maya
dengan membawa Maya, bayi mereka itu. “Dan kemudian dia akan terus
menempuh kehidupannya dua puluh tahun lagi… dan dua puluh tahun lagi…
Kamu yang tenang ya disana… Kami semua disini hidup dengan bahagia…
Kami bisa seperti sekarang ini, semua berkat adanya kamu… Semuanya
berawal dari kamu… Terima kasih banyak ya May…? Karena kamu udah
ngasi kebahagiaan yang tiada habisnya dalam kehidupan kami semua…
Kami gak akan pernah melupakanmu… Jadi teruslah hidup didalam
kenangan kami…” sambung Ryan dengan mata yang berkaca-kaca.
Tampaknya air matanya sudah hampir tidak tertahan lagi. “Sayaanngg…?”
kata Natasya memegang pundak Ryan yang saat itu sedang berdiri sambil
menggendong si Maya kecil disamping Ryan yang berjongkong disamping
batu nisan makam Maya. Ryan menoleh kearah istrinya. “Kamu lupa Maya
bilang apa dulu…? Dia gak mau ada orang yang ngeliat air mata kamu….”
Kata Natasya sambil menghapus setetes air yang akan jatuh dari mata Ryan
itu dengan ibu jarinya. Setelah itu Ryan memegang tangan istrinya itu seraya
berdiri. “Kamu bener juga sayang… kalo kayak gini Maya bisa marah ama
aku….” Katanya sambil meletakkan tangannya dipipi si Maya kecil yang
dari tadi hanya melongo memandang ayahnya dari gendongan ibunya itu.
Natasya pun mengangguk kecil sambil tersenyum, dan mereka pun
melangkah untuk meninggalkan makam Maya. Beberapa langkah dari
makam Maya tadi, si Maya kecil menoleh kebelakang, tiba-tiba dia bersorak
dan meloncat-loncat kegirangan sambil tersenyum lebar. Itu karena dia
melihat seseorang dengan pakaian putih polos dibawah bunga kamboja dekat
makam Maya, melambaikan tangannya kearah mereka dengan penuh
senyum yang memancarkan kedamaian.
Hari sudah menjelang sore hampir petang ketika mereka sampai
dirumah mereka dipinggir tebing yang menjorok kearah pantai itu. Si Maya
kecil tampak tertidur pulas dalam gendongan sang ibu. Ryan mengikuti
Natasya kekamar untuk menidurkan Maya ditempat tidur. “Kamu capek
sayang..?” tanya Natasya tersenyum. Ryan membalasnya dengan anggukan
sambil tersenyum pula. “Ya udah… I‟ll make something for ya…” sambung
Natasya sambil melangkah keluar kamar menuju arah dapur. Seiringan
dengan itu, Ryan melangkah kearah beranda kamar yang tepat menjurus
kearah pesisir pantai. Dia terlihat begitu sangat damai sekali waktu itu,
sedamai suasana sore hari dengan langit jingga yang begitu terangnya. Tidak
beberapa lama kemudian Natsya datang dan berdiri didekatnya memandang
kearah pantai. “Gimana…? Kamu seneng ngejalanin kisah kesempatan
kedua kamu ini Yan….?” Tanya Natasya. Ryan tersenyum seraya
mengangguk sambil terus memandang kearah pantai. “Gimana perasaan
kamu tentang semua ini…?” Natasya kembali bertanya. “Mungkin dulu aku
itu adalah tukang gombal yang handal ya…? Bisa ngegaet semua cewek
yang aku mau hanya dengan kata-kata manis aku… Tapi kalo kamu nanya
aku gimana perasaan aku tentang semua ini, aku gak punya kata-kata manis
buat ngungkapinnya sayang… Karena emang keadaan kita semua sekarang
ini tidak bisa diungkapkan hanya dengan sekedar kata-kata… Tapi kalo
kamu mau aku ngejawabnya… Ini adalah kehidupan aku… Kehidupan kita
yang sekarang ini adalah kebahagiaan tertinggi yang pernah aku rasakan
seumur hidup aku… Kita hidup damai, nyaman, harmonis… Lebih-lebih
dengan hadirnya Maya didalam kisah kita ini… Jika menurut agama tidak
ada yang sempurna didalam kehidupan ini, bagi aku kehidupan kita yang
sekarang ini cukup dekat dari kata sempurna itu dan aku sangat puas sekali…
Aku sangat bersyukur bisa hidup untuk merasakan hal seindah ini, setelah
semua keburukan dan kejelekan-kejelekan yang aku perbuat dimasa lalu….”
Kata Ryan sambil terus memandang kearah laut luas yang tak berujung
didepannya. Natasya tersenyum. “Aku rasa perbuatan-perbuatan buruk kamu
dulu itu hanyalah sisi palsu kamu saja Yan… Sebenarnya kamu tidak seperti
itu… Kamu udah ingat kan pas kamu lompat dari jembatan untuk
menyelamatkan seekor anak kucing dulu…? Itulah diri kamu yang
sebenarnya, kamu adalah sosok orang yang akan berusaha keras untuk
menyelamatkan sesuatu yang berarti bagi orang lain walaupun hal itu bukan
apa-apa bagi diri kamu sendiri, kamu adalah sosok orang yang akan
menghentikan tangis kesedihan seseorang karena merasa atau telah
kehilangan sesuatu yang sangat berarti bagi orang itu… Karena itu aku tidak
mau ngeliat kamu nangis karena kehilangan sesuatu yang sangat berarti bagi
dirimu sendiri… Aku belajar akan hal itu dari kamu Yan… Belajar untuk
menghentikan tangis kesedihan seseorang dengan memberikannya
kebahagiaan dengan cara apapun…” kata Natasya. “Tumben… Kamu
biasanya gak sebijak ini sayang…” kata Ryan sambil mencoba untuk
merangkul Natasya. Tapi dalam waktu yang bersamaan Natasya menghindar,
bergeser sedikit menjauh agar Ryan tidak bisa merangkulnya. Menyadari
akan hal itu Ryan menoleh kearah istrinya itu. Dia melihat Natasya
mengenakan baju sweather ungu garis putih milik Maya lengkap dengan syal
ungunya. “Sayaaanngg…? Becanda terus ah… Kok malah ganti pakaian
pake baju Maya sih…? Bukannya tadi kamu baru aja ganti baju…?” tanya
Ryan yang melihat Natasya menggunakan pakaian milik Maya itu. “Tapi kali
ini kamu keliatan lebih muda juga ya make baju itu… Kamu kayak lebih
muda empat tahunan gitu…” kata Ryan lagi sambil memperhatikan istrinya
itu. Natasya hanya tersenyum saja tanpa menjawab sama sekali. Sesaat
kemudian, Ryan mengendus-endus sesuatu. “Waaahh… Kamu pake aroma
lavender segala…? Pasti pake punyanya Maya kecil nih… Kan udah aku
bilang… Pake parfum aroma mawar yang biasa kamu pake… Jangan pake
yang aroma lavender… karena cuman itu cara agar aku tau kalo itu kamu…”
kata Ryan sambil melangkah kearah meja rias kemudian mengambil parfum
aroma lavender di laci rak itu. Saat itu Natasya muncul dari balik pintu
sambil membawa secangkir teh hangat. “Kamu ngapain pegang parfum
Maya sayang…?” tanya Natasya sambil melangkah dan meletakkan teh
hangat itu diatas meja yang ada diberanda kamar. Ryan tidak menjawab
malah mematung dengan ekspresi terkejut. Setelah meletakkan teh hangat
yang dia bawa, hidung Natasya menangkap sesuatu, dia mengendus-endus
sambil masuk kekamar. “Waaahhh… Sayang? Kamu kayak gak ada kerjaan
aja pake nyemprotin parfum kekamar, aromanya sampe ke beranda lagi…
Nih parfum habis aku suruh beli satu pack mau…?” kata Natasya ketus
sambil merebut parfum yang ada ditangannya Ryan yang masih terdiam
mematung itu. Dia heran, tadi baru saja dia berbicara dengan istrinya yang
menggunakan pakaian milik Maya diberanda, tapi dia malah muncul kembali
dari balik pintu sambil membawa teh hangat dengan pakaian yang berbeda.
“Ta… Tapi sayang…. Tadi…” kata Ryan terbata-bata sambil menunjuk
kearah beranda. “Apa… Mau buat alesan apa…? Beneran aku suruh ganti ni
parfum lho… Kalo bukan kamu, masak Maya yang…” Natasya tidak
melanjutkan kata-katanya, dia menyipitkan matanya ketika melihat Maya
kecil yang tengah tertidur pulas dari tadi. Ada sesuatu digenggaman Maya
saat itu. Karena merasa aneh, Natasya mendekati bayinya itu. “Sayang…
Kamu nyabut patung yang ada dimakamnya Maya ya…?” Natasya malah
bertanya kepada Ryan. “Hah..? Ya gak mungkinlah sayang… Patung itu kan
udah tertanem kuat disana, gak mungkin bisa dicabut pake tangan…” kata
Ryan sambil bergegas kearah Natasya yang duduk disamping Maya yang
tertidur. “Nah… Ini…?” tunjuk Natasya kearah tangan Maya yang
menggenggam patung bidadari bersayap biru itu. “Mustahil…” kata Ryan
dalam hati dengan ekspresi sangat terkejut. ( Ari Lasso – Mengejar
Matahari ) Tapi beberapa saat kemudian dia tersenyum lebar, dan kemudian
menarik tangan Natasya yang masih terlihat heran itu. “Itu karena Maya
sendiri yang ngasi dia…” kata Ryan sambil membawa Natasya keberanda.
Kata-kata Ryan tadi tidak menjawab keheranannya sama sekali. Saat keluar
dari beranda itu, Ryan melihat sebuah kupu-kupu biru tengah bertengger di
kayu palang pembatas beranda, dan karena menyadari kehadiran mereka,
kupu-kupu itu terbang kembali kearah pantai, dan berbelok kearah laut
menyongsong matahari yang mulai tenggelam sedikit demi sedikit seolah-
olah kupu-kupu itu sedang mengejar matahari tapi disaat yang bersamaan
seolah-olah mengatakan “Goodbye Ryan… From now on… Live your life
happily and meaningfully… Tomorrow awaits without sorrow, and without
regret anymore…”. Melihat itu, Ryan kembali tersenyum. “Blue Winged
Angel… It is not a goodbye…. „Cause we believe for tomorrow… It‟s not a
goodbye… Until you say we‟ll be together again… It‟s not a goodbye…
We‟ll meet again…” katanya dalam hati. “Sayang…?” kata Natasya sambil
memandang Ryan. Tampaknya dia masih penasaran dengan patung bidadari
bersayap biru yang digenggam oleh Mayanya itu. “Can I hug you now
hon…?” bukannya memberi jawaban yang jelas dia malah bertanya kepada
Natasya. Masih dengan raut wajah yang penuh tanda tanya sambil sedikit
menggigit bibirnya, dia mengangguk mendengar pertanyaan Ryan
tadi. “Tomorrow… We‟ll give Maya a very meaningful life… And everything
will be just fine…” kata Ryan tersenyum seraya memeluk Natasya dengan
penuh kasih sayang.
THE END
INSPIRATION RESOURCES :
ERENE - TAKKAN PISAH
RADJA - AKU BUTUH CINTA
NELLY (COVER) MEGAN NICOLE - JUST A DREAM
DAUN BAND - AKU
BONDAN PRAKOSO - I WILL SURVIVE
BONDAN PRAKOSO & F2B - LAST BUT NOT LEAST
SHERINA MUNAF - HERE TO STAY
ARI LASSO - MENGEJAR MATAHARI
top related