bab iii wayang dan kebudayaan islam jawadigilib.uinsby.ac.id/782/6/bab 3.pdf · kebudayaan...
Post on 19-Jun-2019
245 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB III
WAYANG DAN KEBUDAYAAN ISLAM JAWA
Seiring dengan masuknya agama Islam di Indonesia wayang digunakan untuk misi
penyebaran agama Islam dengan menyuguhkan ajaran-ajaran untuk diperkenalkan kepada
masyarakat. Penggunaan wayang sebagai media Islamisasi masyarakat Indonesia
merupakan bentuk akulturasi Islam dengan kebudayaan lokal, mengingat bahwa Islam yang
turun di semenanjung Arab hadir dengan budaya “Arab-Islam”. Akulturasi dengan budaya
lokal dibangun dengan menggunakan wayang sebagai unsur lokal Indonesia Islam lebih
mudah dipahami dan menggulingkan dominasi Hindu-Budha yang sebelumnya menjadi
agama masyarakat Indonesia. Pergeseran makna wayang dalam kebudayaan Islam lokal
menjadi historisitas tersendiri bagi masyarakat Indonenesia.
A. PEMAKNAAN WAYANG DAN BUDAYA
Interpretasi terhadap wayang pada awal sejarahnya merupakan sebuah ritual
keagamaan masyarakat Indonesia yang pada saat itu masih menganut paham animism
dan dinamis, sehingga upacara pewayang dianggap sebagai bentuk ritual yang sakral.
Hal ini kemudian menjadikan hubungan wayang dan agama dibangun. Meskipun
sejatinya wayang adalah hasil kreasi kesenian trasional yang menjadi budaya lokal
masyarakat Indonesia. Sebab kesenian wayang tumbuh dan berkembang di Indonesia,
terlepas pada proses modifikasi wayang dengan cerita-cerita yang dibawa dari luar,
seperti halnya kisah tentang Ramayana dan Mahabarata.
Modifikasi dalam dunia pewayangan tidak lepas fungsi wayang sebagai media
berinteraksi dengan masyarakat lokal. Sehingga pemaknaan terhadap wayang tidak lagi
dipahami hanya sebagai kesenian tradisonal, namun hal ini menjadi indikator bahwa
wayang merupakan media untuk berinteraksi dengan masyarakat. Seperti yang telah
dilalui oleh agama Hindu-Budha dan Islam menjadikan wayang sebagai sarana untuk
penyebaran agama, meskipun terdapat perbedaan pada proses modikasi wayang seperti
halnya alur cerita, lakon yang ditampilkan. Sebab dalam proses penyebaran Islam
modifikasi yang dilakukan tetap menggunakan unsur lokal, seperti cerita panakawan
dengan lakon Petruk, Gareng, Semar dan Bagong.1
Konsepsi mengenai kebudayaan penting untuk dipaparkan dalam tulisan ini
sebagai pijakan dalam kita memahami proses dan program pelestarian suatu
entitas kebudayaan. Koentjaraningrat mendefinisikan wujud kebudayaan menjadi 3
yaitu:
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai- nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari
manusia dala masyarakat.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.2
Ketiganya saling berkait erat satu dengan yang lainnya. Pikiran, ide, nilai
kehidupan, tindakan dan karya manusia yang dituangkan dalam pertunjukan wayang
beber ini dan wayang beber merupakan salah satu bentuk manifestasi peradaban
yang perlu mendapat apresiasi dan pelestarian karenanya.
Analogi ini dikuatkan dengan pendapat Ki Sarino Mangunpranoto dari
Majelis Luhur Taman Siswa yang mengatakan bahwa “budaya manusia terwujud
karena adanya perkembangan norma hidupnya atau lingkungannya. Norma hidup
itu terwujud dalam bentuk alam pikir, alam budi, alam karya, alam tata susila dan
1 Bambang Harsrinukusumo, Ensiklopedi Wayang Indonesia, Jakarta; Sekretaris Pewayangan
Indonesia (Sena Wangi), Pelaksana Penerbitan: PT Sakanindo Printama, 1999, hlm. 22 2 Ibid. 25.
beragam alam seni yang meliputinya seperti seni rupa, seni sastra, seni suara, seni
tari, seni pertunjukan, dan lain-lain”.3
Pendekatan inilah yang kemudian identik dengan pendekatan multi-disipliner
dalam memandang sebuah kasus obyek penelitian. Pada zaman Kerajaan Demak
wayang ini mengalami perubahan yang luar biasa bahkan seolah-olah wayang
berubah wujud berbeda dari sebelumnya. Perbedaannya bukan hanya bentuk
lukisannya namun pada pementasannya pun berbeda, kalau pada masa sebelumnya
semua pelaku dilukis dalam satu adegan pada pembaharuan ini wayang dilukis satu
per satu atau per tokoh, bentuk wayangnya pun tidak lagi mendekati bentuk manusia
namun semakin jauh dari bentuk manusia biasa Wayang dinilai sebagai media
dakwah Islam yang sukses di Indonesia.
1. Islam dan Tradisi Wayang
Walaupun Islam sebagai agama bersifat universal yang menembus batas-
batas bangsa, ras, klan dan peradaban, tak bisa dinapikan bahwa unsur Arab
mempunyai beberapa keistimewaan dalam Islam. Ada hubungan kuat yang
mengisyaratkan ketiadaan kontradiksi antara Islam sebagai agama dengan unsur
Arab. Menurut Dr. Imarah, hal ini bisa dilihat dari beberapa hal:
Pertama, Islam diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah, seorang
Arab. Juga, mukjizat terbesar agama ini, al-Quran, didatangkan dengan bahasa
Arab yang jelas (al-Mubin), yang dengan ketinggian sastranya dapat
mengungguli para sastrawan terkemuka Arab sepanjang sejarah.4 Seperti halnya
memahami dan menguasai al-Quran sangat sulit dengan bahasa apapun selain
Arab.Implikasinya, Islam menuntut pemeluknya jika ingin menyelami dan
mendalami makna kandungan al-Quran, maka hendaknya mengarabkan diri.
3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta; Angkasa Baru, 2002). 186 4 Philip K. Hitti. The History of Arab (Jakarta: Penerbit Mizan 2010). 256.
Kedua, dalam menyiarkan dakwah Islam yang universal, bangsa Arab berada di
garda depan, dengan pimpinan kearaban Nabi dan al-Quran, kebangkitan realita
Arab dari segi "sebab turunnya wahyu" dengan peran sebagai buku catatan
interpretatif terhadap al-Qur'an dan lokasi dimulainya dakwah di jazirah Arab
sebagai "peleton pertama terdepan" di barisan tentara dakwahnya. Ketiga, jika
agama-agama terdahulu mempunyai karakteristik yang sesuai dengan konsep
Islam lokal, kondisional dan temporal, pada saat Islam berkarakteristikkan
universal dan mondial, maka posisi mereka sebagai "garda terdepan" agama
Islam adalah menembus batas wilayah mereka.5
Walaupun begitu, menurut pengamatan Ibnu Khaldun, seorang sosiolog
dan sejarawan muslim terkemuka, bahwa di antara hal aneh tapi nyata bahwa
mayoritas ulama dan cendekiawan dalam agama Islam adalah 'ajam (non Arab),
baik dalam ilmu-ilmu syari'at maupun ilmu-ilmu akal. Kalau toh diantara
mereka orang Arab secara nasab, tetapi mereka 'ajam dalam bahasa, lingkungan
pendidikan dan gurunya.6
Lebih lanjut, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa bersamaan dengan
meluasnya daerah Islam, muncullah banyak masalah dan bid'ah, bahasa Arab
sudah mulai terpolusikan, maka dibutuhkan kaidah-kaidah Nahwu. Ilmu-ilmu
syari'at menjadi keterampilan atau keahlian istinbath, deduktif, teoritisasi dan
analogi. Ia membutuhkan ilmu-ilmu pendukung yang menjadi cara-cara dan
metode-metode berupa pengetahuan undang-undang bahasa Arab dan aturan-
aturan istinbath, qiyas yang diserap dari aqidah-aqidah keimanan berikut dalil-
dalilnya, karena saat itu muncul bid'ah-bid'ah dan ilhad (atheisme). Maka jadilah
5 Muhammad Imarah, Al-Islam wa al-'Arubah (al-Haiahal-Mashriyah al-'Ammah li al-Kitab,
1996). 11-12. 6 Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun (Beirut, Dar al-Fikr cet. VII, 1989). 543.
ilmu-ilmu ini semua ilmu- ilmu keterampilan yang membutuhkan pengajaran.
Hal ini masuk dalam golongan komoditi industri, dan sebagaimana telah
dijelaskan, bahwa komoditi industri adalah peradaban orang kota sedangkan
orang Arab adalah sangat jauh dari hal ini.
Ibnu Khaldun menyebutkan, intelektual-intelektual yang mempunyai
kontribusi sangat besar dalam ilmu Nahwu seperti Imam Sibawaih, al-Farisi,
dan al-Zujjaj. Mereka semua adalah 'ajam. Begitu juga intelektual-intelektual
dalam bidang hadits, ushul fiqih, ilmu kalam dan tafsir. Benarlah sabda
Rasulullah; "Jika saja ilmu digantungkan diatas langit, maka akan diraih oleh
orang-orang dari Persia"7. Kita lihat juga bahwa budaya Persia; budaya yang
pernah jaya dan saat Islam masuk; ia sedang menyusut, adalah memiliki
pengaruh yang demikian dalam, luas, dinamis dan kreatif terhadap
perkembangan peradaban Islam. Lihat saja al-Ghazali, meskipun ia kebanyakan
menulis dalam bahasa Arab sesuai konvesi besar kesarjanaan saat itu, ia juga
menulis beberapa buku dalam bahasa Persi. Lebih dari itu, dalam menjabarkan
berbagai ide dan argumennya, dalam menandaskan mutlaknya nilai keadilan
ditegakkan oleh para penguasa, ia menyebut sebagai contoh pemimpin yang adil
itu tidak hanya Nabi saw dan para khalifah bijaksana khususnya Umar bin
Khattab, tetapi juga Annushirwan, seorang raja Persia dari dinasti Sasan.
Menarik untuk diketengahkan juga walaupun saat ini Persia atau Iran
menjadikan Syiah sebagai madzhab, namun lima dari penulis kumpulan hadits
Sunni dan Kutub as-Sittah berasal dari Persia. Mereka adalah Imam Bukhari,
Imam Muslim al-Naisaburi, Imam Abu Dawud al- Sijistani, Imam al Turmudzi
dan Imam al-Nasai. Dari paparan di atas, menunjukkan kepada kita betapa
7 Ibid. 544
kebudayaan peradaban dan Islam dibangun diatas kombinasi nilai ketaqwaan,
persamaan dan kreatifitas dari dalam diri Islam yang universal dengan akulturasi
timbal balik dari budaya-budaya lokal luar Arab yang terIslamkan. Pun tidak
hendak mempertentangkan antara Arab dan non Arab. Semuanya tetap bersatu
dalam label "muslim". "Yang terbaik dan termulia adalah yang paling taqwa".
"yang paling suci, yang paling banyak dan ikhlas kontribusi amal-nya untuk
kemulian Islam".8
Berdasarkan silsilah keturunan dalang yang berasal dari pulau Jawa yang
diperbaharui tahun 1982. Melalui daftar silsilah keturunan dalang-dalang
wayang kulit, dapat dilihat bahwa kesenian wayang kulit memiliki peranan
penting dalam menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa yang berada
di pulau Jawa.9 Agama Islam mulai masuk ke Pulau Jawa sekitar abad 15
sebelum keruntuhan kerajaan Majapahit dan mulai berdiri Kerajaan.
Demak sebagai kerajaan Islam yang pertama serta mulai mengambil alih
kekuasaan Majapahit, salah satunya melalui kebudayaan secara khusus pada
kesenian wayang kulit.Para Wali dan Sultan sebagai penyebar agama Islam di
pulau Jawa mulai merintis kesenian yang bercirikan Islam, agar menarik simpati
masyarakat Jawa maka kesenian yang sudah ada di poles berbentuk ke-
Islaman.10 Misalnya kesenian wayang kulit yang sudah merupakan kesenian
dari masyarakat Jawa.
Pada masa periode Islam wayang kulit mengalami perubahan dan
perkembangan yang mendasar, sehingga terjadi proses akulturasi kebudayaan
“Arab-Islam” yang dibawa dari arab dengan budaya lokal. Pada konteks tersebut
8 Ibid. 9 Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, (Yogyakarta; Ombak, 2008). 10 10 Holt, C. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia (Bandung: Penerbit Artline. 2000). 89.
wayang kulit mulai dibakukan dalam beberapa bentuk gagrak sebagai bentuk
kearifan lokal. Hasil karya para Wali mulai menyempurnakan wayang kulit
antara lain pada bentuk muka, yang semula berwajah tampak dari depan dirubah
menjadi tampak samping; warna wayang yang semula hanya putih dari bubuk
bakaran tulang dan hitam dari jelaga dikembangkan menjadi berbagai warna,
tangan-tangan raksasa pada boneka wayang semula menyatu dengan tubuhnya
(tidak dapat digerakkan dibuat lengan tangan sambungan atau sendi sehingga
dapat digerakkan), selain itu juga menambah ragam wayang.11
Para Wali mengubah tokoh wayang kulit yang semula adalah para dewa
dalam agama Hindu menjadi babad dengan silsilah wayang purwa yang
disesuaikan dengan misi Islam yaitu dengan mengatur posisi mulai dari para
dewa, pendahulu Bharata, keturunan Bharata, sampai kerajaan Mataram Kuno,
Majapahit, dan Surakarta-Yogyakarta semuanya disusun dibawah satu
keturunan Nabi Adam.
Perkembangan wayang pada periode Islam makin memperjelas
kesinambungan perjalanan seni tradisi di Indonesia, bahkan ada beberapa daerah
di luar Jawa yang mengenal wayang, hal ini diperkirakan akibat asimilasi
budaya yang menggunakan wayang sebagai media penyebaran ajaran agama.
Keberhasilan wayang sebagai media dakwah dan syiar Islam pada zaman
Walisongo terletak pada kekuatan pendekatan terhadap masyarakat. wayang,
mampu mengenalkan Islam kepada masyarakat yang saat itu berkepercayaan
animisme, dinamisme, serta menganut Hindu, karena menggunakan pendekatan
psikologi, sejarah, paedagogi, hingga politik. Dari sinilah kita bisa mengetahui
11 Simuh. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya 1995). 121.
hubungan antara wayang dan agama Islam, yang ternyata dapat diintepretasikan
sebagai sarana dalam berdakwah.
2. Wayang Tableg sebagai media penyiaran agama islam.
Di masa Hindu–Iran12, wayang di gunakan sebagai sebagai media
dakwah agama tersebut. Dan kemudian pada masa wali songo digunakan
kembali sebagai media dakwah Islam. Dan salah satu jenis wayang yang
memang diciptakan oleh empunya sebagai sarana penyampaian ajaran agama
Islam melalui seni adalah Wayang Tableq. Wayang tableg adalah seni wayang
sejenis wayang kulit purwa yang berasal dari Tulungagung dan hanya hidup di
daerah tersebut. diciptakan pada tahun 1982 oleh Bapak Ahmad Pitoyo yang
tinggal di desa Wonokromo Kecamatan Gondang – Tulungagung. Beliau pada
dasarnya adalah berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dia juga seorang
dalang. Beliau juga seorang Da’i atau Ustadz yang terbiasa berdakwah dan
memberi ceramah diberbagai tempat.
Ia menggubah wayang tableg dari bentuk wayangnya, plus karakternya,
topik cerita yang diambil dan diadaptasikan kedalam dunia islam, lakon yang
dipentaskan, berkoordinasi dengan para penabuh gamelan (niyaga) dan rekanan
untuk menentukan gendhing yang dilantunkan. Ide kreatif Bapak Ahmad Pitoyo
ini menciptakan wayang yang sangat tampak berbeda meski sekilas dilihat,
yakni dari sisi busana wayang; ada yang memakai jubah dan wayang puteri
memakai jilbab. Ini disesuaikan dengan tokoh/lakon yang diambil dari tarikh
islam. Seperti kisah Bilal bin Rubah, Nabi Dawud, Nabi Yusuf, Sa’ad bin Abi
Waqos, Umayyah Bin Kholap dan lain-lain.
Wayang tableq ini cukup memberi warna baru dalam dunia seni
perwayangan di Indonesia. Sayangnya tidak ada yang melanjutkan usahanya
untuk memanfaatkan wayang sebagai salah satu media tradisional yang dekat
12 Penyebutan masa yang lazim dipakai dikalangan seniman wayang yang menunjukkan waktu periodenisaso wayang pra-Islam.
dengan masyarakat. Dialah dalang satu-satunya yang memainkan wayang
tableg, terakhir men-dhalang tahun 1999. Dan meskopun peralatan dan wujud
wayang tableg masih ada tapi sudah mati karena tidak ada pe penerusnya.13
B. WAYANG KULIT DAN PURIFIKASI AJARAN ISLAM
Salah satu kehidupan tradisi masyarakat di Indonesia yang masih terlihat unik
dan bersinar adalah tradisi masyarakat Indonesia. Kenyataannya hingga sekarang
masih terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang peduli terhadap pertunjukan
wayang di berbagai komunitas. Aktivitas komunitas peduli wayang yang sangat
terdapat pada komunitas wayang gagrak yang memiliki ciri khas Islami karena di dalam
perwujudannya banyak mempergunakan doa-doa Islami.
Di sisi lain, aktivitas pertunjukan wayang dianggap sebagai bentuk tradisi
masyarakat atau suatu kebudayaan masyarakat Jawa. Sebab, kebudayaan dimaknai
sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.14 Akan
tetapi anggapan sebagai kepercayaan atau tradisi itu digambarkan oleh Geertz sebagai
suatu kebudayaan yang kompleks. Ia menunjuk pada banyaknya variasi dalam upacara,
munculnya pertentangan, konflik-konflik nilai yang muncul sebagai akibat perbedaan
golongan sosial atau menurutnya sebagai tipe kebudayaan: abangan, santri, priyayi.15
Namun demikian, perbedaan tipe kebudayaan yang mewujudkan kehidupan
masyarakat plural, satu sama lain tetap berdasarkan pada wilayah geografi yang sama,
yaitu di wilayah Jawa.
Di dalam kelompok-kelompok masyarakat dengan tipe tradisi dan kebudayaan
yang berbeda tercakup dalam struktur sosial yang sama, memegang banyak nilai yang 13 Sukarman, Wayang Tableg.... 166-190
14 Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi .(Jakarta: Bentang Pustaka 1998). 178. 15 Cilfford Gertz, Islam Jawa; Abangan, Santri dan Priyai. (Jakarta: Bentang Pustaka 1998). 25.
sama, semuanya ini terdapat dalam kalangan Islam moderat. Oleh karena itu,
pertunjukan wayang sering dianggap sebagai media dakwah Islam masyarakat. Namun
demikian kehidupan tradisi masyarakat tersebut terganggu dengan masuknya arus
budaya Islam murni. Dengan masuknya budaya Islam murni yang dibawa
Muhammadiyah menekan tradisi masyarakat. Bentuk penekanannya adalah menganggap
bahwa tradisi masyarakat bukanlah suatu cara dan peradaban yang Islami, tetapi cara-
cara yang hanya akan menyuburkan TBC (takhyul, bid’ah dan churafat).16 Hal tersebut
disebabkan pertunjukan wayang menghadirkan boneka yang dimainkan. Itulah sebabnya
sikap Muhammadiyah terhadap tradisi masyarakat itu tidak menunjukkan wajah yang
bersahabat.17
Dapat dinyatakan bahwa hubungan Muhammadiyah dan tradisi masyarakat
selama ini tampak kaku. Orang-orang Muhammadiyah enggan memasuki lingkaran
tradisi masyarakat. Sebaliknya, para pelaku tradisi masyarakat juga enggan memasuki
lingkaran Muhammadiyah yang dianggap menyeramkan itu. TBC merupakan singkatan
dari takhayul, bid’ah, dan churofat. Takhayul adalah kepercayaan terhadap sesuatu yang
dianggap ada, padahal sebenarnya tidak ada. Bid’ah adalah perbuatan ibadah (ritual)
yang dikerjakan tidak menurut contoh-contoh yang telah ditetapkan, termasuk
menambah dan mengurangi ketetapan, tanpa berpedoman pada Al Qur’an dan Sunah
Rasul. Churofat adalah ajaran yang tidak masuk akal.
Ketidak-senangan masyarakat Muhammadiyah terhadap tradisi selama ini
memang dapatdibenarkan, mengingat sejak berdiri sampai tahun 80-an, organisasi
Muhammadiyah dikendalikan oleh para ahli syariah yang tercermin dalam formalisasi
16 TBC merupakan singkatan dari takhayul, bid’ah, dan churofat. Takhayul adalah kepercayaan
terhadap sesuatu yang dianggap ada, padahal sebenarnya tidak ada. Bid’ah adalah perbuatan ibadah (ritual) yang dikerjakan tidak menurut contoh-contoh yang telah ditetapkan, termasuk menambah dan mengurangi ketetapan, tanpa aberpedoman pada Al Qur’an dan Sunah Rasul. Churofat adalah ajaran yang tidak masuk akal
17 Muslim Abdurrahman. Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural. (Jakarta: Ideo Press 2003). 22
syariah. Orang Islam yang melakukan peribadatan yang tidak sesuai syariah berarti
masih dipengaruhi TBC.
Oleh karena itu, pemberantasan tradisi masyarakat bermuatan TBC telah
membentuk bangunan kesadaran (ideologi) orang Muhammadiyah. Oleh karena kuatnya
ideologi tersebut, maka orang Muhammadiyah merasa kesulitan melepaskannya,
bahkan ideologi pemberantasan TBC itu dipegang terus sampai sekarang. Orang-orang
Muhammadiyah juga menganggap bahwa tradisi masyarakat itu baik yang mengandung
TBC atau tidak, di dalamnya tidak terdapat manfaat yang diperoleh secara praktis.
1. Kontroversi Pewayangan di Era Modern Tinjauan Islam
Sebagian besar penelitian membicarakan pengurangan arti dan kepentingan
ritual mengenai wayang kulit. Sekarang, sering pertunjukkan wayang kulit
bercenderung hiburan. Analisis Ruth McVey bercomentar: "segi agama atau ritual
wayang berkurang, sehingga itu menjadi hanya semacam hiburan. Bahkan, di
pedesaan selama upacara ritual, wayang menjadi semacam adat tanpa makna
kebatinan"18. Menurut dia, budaya tradisional sekarang seperti hiasan tidak
bermakna lebih dalam.
Akan tetapi dalam konteks perkembangan wayang modern, wayang kulit
sering dipertunjukkan sebagai semacam hiburan dan juga ada yang bertujuan ritual
atau kebatinan. sebab wayang berasal ritual, dan masih terkait dengan kepentingan
agama. Misalnya, ada lakon tertentu yang tidak sembarang dalang berani
mewayangkan. Hanya dalang senior yang terhormat dan dianggap mempunyai ilmu
batin bisa mempertunjukkan suatu ruwatan performan.
18 Ruth McVey, The Wayang Controversy in Indonesian Communism, dalam Taylor (redaktor),
Meaning and Power in Southeast Asia, (New York, SEAP Publications, Cornell University. 1990), 39.
Orang Jawa masih mencari kekuasan kebatinan yang ada dalam wayang
waktu terhadap persoalan dalam dunia yang modern. Akan tetapi, karena banyak
bentuk kesenian dan hiburan yang moderen juga sudah masuk Jawa, wayang kulit
dikembangkan menjadi semacam seni supaya bisa bertanding dengan unsur baru
atau modern.
Akan tetapi pada beberapa institut seni, banyak inovasi baru dan unsur
modern dicampur dengan wayang sebagai semacam bentuk kesenian. Misalnya,
Wayang Ukur di Yogyakarta atau Wayang Padat di Solo bertujuan menggarap lagi
wayang kulit supaya wayang itu bisa tetap sesuai dengan dewasa ini.19 Wayang
modern itu melakukan suatu experimen-dengan berbagai lampu, bermacam-macam
warna, desain tokoh yang baru, beberapa dalang melakukan pertunjukan kolaborasi
dan musiknya juga berbeda.
Kesenian wayang bagian dari bentuk seni rupa yang dibuat dengan berbagai
bahan ukiran kemudian dimaikan untuk menampilkan pantulah bayangan. Sedangan
seni rupa dalam masih terdapat perbedaan pendapat tentang hukumnya. Perdebatan
ulama’ terkait seni rupa tidak lepas dari adanya beberapa penjelasan Hadith nabi
tentang eksistensi gambar mahkluk hidup “seni rupa” yang menurut oleh sebagian
ulama’ seperti halnya wayang. Mengingat bahwa pada kontek budaya arab dulu seni
rupa dijadikan sebagai sesembahan oleh masyarakat jahiliyyah.
Kontroversi wayang menguat ketika terdapat kelompok yang memiliki
paham pemurnian Islam yang berpengan teguh terhadap rasul. Sebab mereka Seni
adalah hasil dari karya manusia yang mengkomunikasikan pengalaman batin
manusia, sebagai pernyataan isi jia manusia. Karena itu seni merupakan ekspresi
lahirnya ekspresi kebebasan rasa dan tindakan, sehingga apabila hal ini
19 Ki Gebluk, Perkembangan Wayang di Era Modern. (Bandung: Rajawali Press). 36.
dimanifestasikan secara lebih ekstrim akan membuat si pelaku menjadi seakan-akan
terlepas kendali dari norma hubungan sosial atau bisa juga terlepas dari norma atau
hukum agama.
Namun keberadaan kelompok ini memiliki kecenderungan pemaknaan ajaran
Islam dengan budaya Arab-Islam sehingga tidak hanya penjelasan hadith Nabi yang
menjadi motivasi mereka terhadap penolakan wayang kulit yang dianggap sebagai
sebuah bid’ah, berikut ini ada beberapa hadith dan riwayat dari sahabat terkait
dengan kontroversi wayang sebagai bagian bentuk seni rupa. antara lain :
a. Hadith yang menyatakan bahwa; “malaikat tidak akan masuk kedalam rumah
yang berisi gambar-gambar anjing.
b. Hadith ini berhubungan dengan sunnah rasul yang berbunyi “mereka yang
akan mendapat siksaan yang paling pedih dihari kiamat adalah orang-orang
yang membuat patung”.
c. Disampaikan atas nama Abu Talhah, bahwa rasullullah bersabda “malaikat
tidak akan memasuki rumah yang didalamnya terdapat gambar”.20
Disamping itu terdapat sumber lain yang lebih melunak terkait dengan
hukum terhadap seni rupa (penggambaran makhluk hidup) dalam ajaran Islam,
sehingga mendorong munculnya gaya seni dalam budaya Islam, sebagai mana
berikut :
a. Ibnu Abbas berkata (kepada seseorang pembuat gambar) saya mendengar
Rasullullah Saw bersabda “barang siapa membuat gambar didunia ini maka ia
akan dibebani untuk meniup nyawanya kelak dihari kiamat dan ia tidak akan
mampu (HR. Bukhari Muslim dan lafad hadith dari muslim)” lalu ibnu Abbas
20 M. Affadi. “Benturan dan Penyelarasan Pandangan Islam Dengan Kaidah Seni Dalam
Kehidupan Masyarakat Di Indonesia”, dalam diksi majalah Pendidikan dan Seni. Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Yogyakarta. Edisi: 2. TH. IV. Desember 1986. 178.
menasehati “kalau kamu ingin membuat gambar buatlah gambar pohon-
pohonan dan lain-lainnya yang tidak bernyawa”.21
b. Dari Aisyah rs. Rasulullah saw. Datang dari suatu perjalanan dan saya telah
memasang kelambu yang bergambar. Beliau menyuruh saya untuk
melepaskannya, maka sayapun melepasnya (riwayat Bukhari). Dalam riwayat
Muslim disebutkan “saya telah menutup pintu dengan kelambu yang bergambar
dengan kuda bersayap”. Dalam riwayat Muslim lainny, disebutkan “Rasulullah
saw. Masuk ke kamarku dan saya menutupnya dengan kelambu yang
bergambar”. Rasulullah saw. Melepasnya kemudian saya jadikan bantal.22
c. Aisyah berkata “kami bermain-main dengan boneka dimasa Rasulullah, kami
mempunyai teman-teman yang bersama kami. Pada waktu rasulullah masuk,
mereka bersembunyi. Beliau menyuruh mereka agar keluar dan bermain bersam
kami”.23
Dari beberapa sumber terkait bagaiman tinjaun Islam terhadap eksistensi
wayang sebagai budaya lokal dapat disimpulkan bahwa, kontroversi pemahan ulama
terhadap hadith tersebut memiliki tendensi dalam dua hal, pertama tendensi terhadap
purifikasi Islam dengan berpegang teguh pada sunnah nabi dangan pemahaman arab-
Islam. kedua adalah pemaknaan tekstual terhadap hadith nabi tanpa
mempertimabangkan kondisi sosial masyarakat arab pada saat itu.
Pernyataan berbeda oleh golongan Islam moderat terkait dengan eksistensi
wayang yang dianggap sebagai proses akulturasi Islam dengan budaya lokal,
sehingga Islam lebih fleksibel dan dinamis untuk mudah dipahami masyarakat lokal.
Seperti halnya yang dilakukan oleh para wali dan diterimah hingga saat ini.
21 Ibid. 22 Ibid. 23 Ibid.
Usaha-usaha modifikasi yang dilakukan oleh para wali sebagai kelompok
moderat menjadi indicator bahwa, wayang tidak sepenuhnya menjadi kebudayaan
Indonesia yang telah terkontaminasi dengan ajaran Hindu-Budha. Dengan mengubah
visualisasi terhadap bentuk wayang merupakan rekayasa sosial keagamaan untuk
mencari titik temu antara nilai ajaran Islam dengan budaya lokal.
Pada dasarnya terdapat tiga kelompok Islam yang berkembang dijawa, yakni
modernis-pembaharu, tradisional-klasik dan neo-tradisional. Modernis pembaharu
memahami ajaran Islam dalam aspek keilmuan modern, sehingga pemakanaan
terhadap ajaran Islam melalui nalar saint ilmiah untuk diterapkan kepada masyarakat
berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadist. Kelompok ini berpandangan bahwa Islam
tidak cukup dipahami melalui norma dalam masyarakat karena kecenderungan
mereka tendensinya pada sain ilmiah seperti halnya yang dilakukan oleh orang
Muhammadiyah.
Paham kelompok tradisonal-klasik menempatkan tradisi masyarakat sebagai
bagian dari ajaran agama. Tendensi tradisi kebudayaan masyarakat menjadi hal
utama yang harus diterapkan dalam hubungan sosial, sedangakan ajaran agama
merupakan realitas kedua yang menjadi keyakinan mereka. Tidak jarang ketikan
melihat budaya kejawen lebih kental ketimbang ajaran Islam. melaksanakan suatu
tradisi adalah hal yang wajib namun masalah peribadatan kapada tuhan menjadi
urusan setiap orang.
Tentunnya kedua kelompok diatas dikotomis dalam memaknai ajaran Islam
begitu pula penerapan hukuknya. Sebab keilmuan dan tradisi seringkali menemui
benturan, mengingat tidak semua tradisi masyarakat dapat dinilai positif dalam
keilmuan. Perbedaan mencolok antar keduanya menempatkan pemahaman neo-
tradisional penengan dan lebih moderat.
Neo-tradisional yang di identikan kepada kalangan Nahdliyin berusaha untuk
menengah-nengahi kedua kelompok sebelumnya dengan memaknai Islam tidaklah
berupa ajaran yang baku dan stagnan. Namun tradisi masyarakat adalah bagian yang
tidak terpisahkan dalam Islam, sebab Islam hadir pada masyarakat Indonesai dengan
berbagai kebudayaan dan tradisi yang plural.
Sehingga pemahaman Islam tentunya tetap harus mengamini kearifan lokal.
Nilai Islam universal tidaklah dipahami sebagai perwujudan dari memahami Islam
dengan keilmuan modern atau hanya sebatas identitas yang melekat. Tentunya yang
paling utama menjadi ciri khas dari neo-tradisionalis adalah bagaimana memahami
Islam universal dengan kesalehan lokal dan pembaharuan tanpa membongkar
tradisi.24
2. Transisi Penyesuaian Tradisi Pewayangan dalam Islam
Wayang merupakan bentuk kebudayaan masyarakat yang diadopsi
Walisongo sebagai sarana untuk mengenalkan ajaran Islam. Bahkan, kesenian rakyat
tersebut dikonstruk Walisongo dengan teologi Islam sebagai pengganti dari teologi
Hindu.25 Sampai saat ini pakem cerita asli pewayangan masih merupakan kisah-
kisah dari kitab Mahabarata dan Ramayana yang merupakan bagian dari kitab suci
Hindu. Walisongo mengadopsi kisah-kisah tersebut dengan memasukkan unsur
nilai-nilai Islam dalam plot cerita tersebut. Pada prinsipnya, walisogo hanya
mengadopsi instrumen budaya Hindu yang berupa wayang, dan memasukkan nilai-
nilai Islami untuk menggantikan filsafat dan teologi Hindu (dan tentunya juga
teologi Budha) yang terdapat di dalamnya.
Sebagai contoh, Walisongo memodifikasi makna konsep “Jimat Kalimah
Shada” yang asalnya berarti “jimat kali maha usada” yang bernuansa teologi Hindu
24 Slamet Effendy, NU; Pembaharuan tanpa membongkar tradisi. (Jakarta: Penerbit Kompas, 2011). 56.
25 Tony Wartono. Memperkenalkan Wayang kepada Remaja. (Jakarta: Pustaka Graffity 2002). 23.
menjadi bermakna “azimah kalimat syahadah”.26 Frase yang terakhir merupakan
pernyataan seseorang tentang keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah.
Keyakinan tersebut merupakan spirit hidup dan penyelamat kehidupan bagi
setiap orang. Dalam cerita pewayangan, Walisongo tetap menggunakan term
tersebut untuk mempersonifikasikan senjata terampuh bagi manusia. Hanya saja,
jika perspektif Hindu, jimat tersebut diwujudkan dalam bentuk benda simbolik yang
dianggap sebagai pemberian Dewa, maka Walisongo medesakralisasi formula
tersebut sehingga sekadar sebagai pernyataan tentang keyakinan terhadap Allah dan
rasul-Nya.
Dalam perspektif Islam, kalimah syahadah tersebut sebagai “kunci Surga”
yang berarti sebagai formula yang akan mengantarkan manusia menuju keselamatan
di dunia dan akhirat. Maksudnya, “syahadat” tersebut dalam perspektif muslim
mempunyai kekuatan spiritual bagi yang mengucapkannya. Hal ini merupakan
pernyataan seorang muslim untuk hidup dengan teguh memegangi prinsip-prinsip
ajaran Islam sehingga meraih kesuksesan hidup di dunia dan akhirat. Pemaknaan
baru tersebut tidak akan mengubah pakem cerita, tetapi telah mampu membangun
nilai-nilai Islam dalam cerita pewayangan.
Walisongo juga menggunakan kesenian wayang untuk membangun
konstruksi sosial, yakni membangun masyarakat yang beradab dan berbudaya.
Untuk membangun arah yang berbeda dari pakem asli pewayangan, Walisongo
menambahkan dalam cerita pakem pewayangan dengan plot yang berisi visi sosial
kemasyarakat Islam, baik dari sistem pemerintahan, hubungan bertetangga, hingga
26 Pandam Guritno. Wayang Salah Satu Dimensi dalam Dinamika Menuju kebangkita nasional.
Dalam Analisis Kebudayaan, TH, II, No. 1. 1997, p. 102.
pola kehidupan keluarga dan kehidupan pribadi.27 Untuk tujuan tersebut, Walisongo
bahkan memunculkan figur-figur baru yang sebenarnya tidak ada dalam kisah asli
Mahabarata maupun Ramayana. Figur-figur yang paling dikenal luas adalah
punakawan yang berarti mentor yang bijak bagi para Pandawa. Walisongo banyak
memperkenalkan ajaran-ajaran Islam (aqidah, syariah, dan akhlak) melalui plot
cerita yang dibangun berdasarkan perilaku punakawan tersebut.
Nama-nama punakawan sendiri (Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong)
sebagai satu-kesatuan sebenarnya merepresentasikan karakteristik kepribadian
Muslim yang ideal. Semar, sebagaimana dijelaskan Sudarto, berasal dari kata ismar
yang berarti seorang yang mempunyai kekuatan fisik dan psikis. Ia sebagai
representasi seorang mentor yang baik bagi kehidupan, baik bagi raja maupun
masyarakat secara umum. Nala Gareng berasal dari kata nála qarín yang berarti
seorang yang mempunyai banyak teman. Ia merupakan representasi dari orang yang
supel, tidak egois, dan berkepribadian menyenangkan sehingga ia mempunyai
banyak teman. Petruk merupakan kependekan dari frase fatruk ma siwá Allah yang
berarti seorang yang berorientasi dalam segala tindakannya kepada Tuhan. Ia
merepresentasikan orang yang mempunyai konsen sosial yang tinggi dengan dasar
kecintaan pada Tuhan. Bagong berasal dari kata baghá yang berarti menolak segala
hal yang bersifat buruk atau jahat, baik yang berada di dalam diri sendiri maupun di
dalam masyarakat.
Karakter-karakter punakawan tersebut cukup merepresentasikan aspirasi
Walisongo tentang kepribadian seorang muslim dengan segala macam
kedudukannya. Seorang muslim harus bersifat kuat kepribadiannya, berperilaku
bijaksana, bersandar pada Tuhan, bersosialisasi dengan baik, mempunyai kepedulian
27 Poedjosoebroto. Wayang Lambang Ajaran Islam. (Jakarta: Pradya Paramita 1978). 28.
sosial yang tinggi, memberantas kemungkaran, dan lain sebagainya, yang pada
prinsipnya seorang muslim harus mampu membangun hubungan yang baik dengan
sesama manusia, Tuhan, dan alam semesta.28
Unsur-unsur dakwah Islam pada wayang kulit masih tampak jelas, mengingat
wayang masih dianggap sebagai media warisan para Wali Sanga dalam usaha
dakwah dengan jalan diplomasi seni budaya. Para Wali menambahkan unsur ajaran
Islam tanpa menghapuskan ajaran sebelumnya yang selain sudah terlampau
mengakar pada masyarakat pribumi, juga berusaha untuk tetap melestarikan unsur-
unsur postif universal di dalamnya yang dianggap tidak bertentangan dengan ajaran
Islam.
Pewayangan Jawa mengalami perubahan seiring penyesuaian dengan ajaran
Islam, baik dari aspek kisah, karawitan, pemaknaan tokoh dan tentunya visualisasi
wayangnya sendiri. Visualisasi yang dulu lebih naturalis-realis, kemudian
mengalami distorsi dan stilasi sehingga menjauhi bentuk manusia demi memenuhi
syariat Islam. Belum lagi pemaknaannya. Hal ini terjadi karena dukungan penuh dari
pihak-pihak penguasa lokal, baik pada masa kerajaan, kolonial hingga republik.
Tahlil, kalimat syahadat, dan shalawat, kreasi Rastika dari Gegesik, Cirebon.
bertuliskan lafaz “Allah” dan wayang Bagalbuntung dengan kalung berlafazkan
“Muhammad”.29 Pada wayang, umumnya visualisasi ala wayang Hindu masih
tersisa kuat. Inilah sebabnya wayang bisa dianggap sebagai wayang kuna. Namun
di lain pihak banyak wayang kulit Cirebonan kreasi baru telah menampakkan
pengaruh Islam yang masif. Misalnya wayang Gunungan Jaler kreasi Rastika dari
Gegesik dengan menampilkan wujud Ganesha yang tersusun atas kaligrafi Arab,
28 Ibid. 67. 29 Ibid. 218
berlafalkan kalimat tahlil, shalawat, dan syahadat. Ini menunjukkan bahwa fungsi
diplomasi pada wayang tetap berjalan.30
Modifikasi wayang kulit yang dilakukan oleh para wali untuk
menggunkannya sebagai media dakwah Islam memberikan ruang dealektika Islam
dan budaya lokal. Sehingga transisi dunia pewayangan dalam Islam tentunya diawali
dari sosok dalang sebagai aktor penggerak atau pemain boneka yang akan
menyampaikan cerita dengan menyisipkan ajaran Islam. jika dulu sunan kalijaga
berperan sebagai dua karakter sekaligus menjadi dalang dan wali yang memiliki misi
penyebaran agama Islam. pada tahap ini peran dalang sangat signifikan mengingat
peranan dalang tidak hanya dapat menghibur namun juga dapat mendoktrin
masyarakat melalui interaksi dalam pewayangan.
30 Ki Wahyu Pratia, Kupasan Wayang Purwa Ke Arah Pendidikan, Ilmu Jiwa dan Budi Pekerti
sebagai Kunci Menuju Hidup Bahagia (Yogyakarta: Penerbit Praktis, 1973). 60.
top related