bab iii peranan mdg’s dalam upaya perlindungan...
Post on 19-Mar-2019
224 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB III
PERANAN MDG’s DALAM UPAYA PERLINDUNGAN HAK POLITIK PEREMPUAN DI
INDONESIA
A. MDG’s DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN MASYARAKAT DUNIA
Millenium Development Goals (disingkat MDGs) dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai
Tujuan Pembangunan Milenium (TPM). Tujuan Pembangunan Milenium merupakan paradigma
pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PB) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KT) Milenium PB bulan September 2000
silam. Majelis Umum PB kemudian melegalkannya ke dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa Nomor 55/2 tanggal 18 September 2000 Tentang Deklarasi Milenium Perserikatan
Bangsa-Bangsa (A/RES/55/2. United Nations Millennium Declaration).81
Dikotomi orientasi pembangunan antara pertumbuhan dan pemerataan, sebagaimana
diketahui, sudah berlangsung sejak lama. Akan tetapi berbagai kajian ilmiah membuktikan bahwa
Lahirnya Deklarasi Milenium merupakan buah perjuangan panjang negara-negara berkembang
dan sebagian negara maju. Deklarasi ini menghimpun komitmen para pemimpin dunia, yang belum
pernah terjadi sebelumnya, untuk menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi,
dan kebebasan fundamental dalamsatu paket. Negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi
MDGs. Setiap tujuan memiliki satu atau beberapa target berikut indikatornya. MDGs menempatkan
pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan serta memiliki tenggat waktu dan
kemajuan yang terukur. MDGs didasarkan atas konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan
tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakanpekerjaan rumah mereka, sedangkan negara
maju berkewajiban mendukung upaya tersebut.
81 Izarul Machdar , Target MDGs (Capaian Pemerintah Aceh) dalam, http://www.serambinews.com/news/ , diakses pada Jumat, 28 Oktober 2010.
Universitas Sumatera Utara
pembangunan yang menekankan pada pemerataan lebih berdampak positif. Nilai positif ini setidaknya
dapat dilihat dari dua aspek yaitu: Pertama, bahwa orientasi pembangunan yang menekankan pada
pemerataan akan mengangkat kesejahteraan penduduk secara lebih luas. Dengan begitu, lebih banyak
penduduk yang dapat menikmati hasil pembangunan. Kedua, secara timbal balik, karena semakin
banyaknya penduduk yang kesejahteraannya meningkat, pada gilirannya akan lebih banyak lagi
sumberdaya manusia yang dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Dengan demikian keberlanjutan
pembangunan menjadi lebih pasti. Sebaliknya orientasi pembangunan yang menekankan pada
pertumbuhan akan lebih menghasilkan kesenjangan dalam masyarakat. Pada dekade 1980-an banyak
kelompok studi yang mendiskusikan orientasi pembangunan “Growth” versus “Development”
tersebut. Salah satu yang dapat disebutkan di sini adalah “Club of Rome”, kelompok yang kemudian
mengemukakan argumen tentang “Limit to Growth”. Selanjutnya pada dekade 1990-an, PB membawa
isu orientasi pembangunan yang mengarah pada kesejahteraan umat manusia tersebut (development)
ke dalam pembahasan, diskusi, serta kesepakatan antarnegara. Tahun 1992, misalnya, diselenggarakan
KT Bumi di Rio de Janeiro. Tahun 1994 digelar pula Konferensi Kependudukan dan Pembangunan di
Cairo. Tahun 1995, ganti Konferensi Gender dan Pemberdayaan Perempuan dilaksanakan, berikut
beberapa konferensi lainnya yang sejalan setelah itu.82
1. Menghapuskan kemiskinan dan kelaparan berat;
Puncak dari upaya mengedepankan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan umat
manusia, baik untuk generasi saat ini maupun generasi mendatang, adalah lahirnya kesepakatan
kepala negara dan kepala pemerintahan 189 negara mengenai Deklarasi Milenium. Deklarasi ini berisi
kesepakatan negara-negara tentang arah pembangunan berikut sasaran-sasarannya yang perlu
diwujudkan. Secara ringkas, arah pembangunan yang disepakati secara global meliputi:
2. Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang;
3. Mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
82 Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007 (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia Tahun 2007, Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007, hal 3.
Universitas Sumatera Utara
4. Menurunkan kematian anak;
5. Meningkatkan kesehatan maternal;
6. Melawan penyebaran HIV/AIDS, dan penyakit kronis lainnya (malaria dan tuberkulosa);
7. Menjamin keberlangsungan lingkungan; dan
8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
1. SEJARAH MDG’s
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bulan
September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala
pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi itu berdasarkan pendekatan
yang inklusif, dan berpijak pada perhatian bagi pemenuhan hak-hak dasar manusia. Dalam konteks
inilah negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Tujuan Pembangunan Milenium atau
Millennium Development Goals (MDGs). Setiap tujuan (goal) memiliki satu atau beberapa target.
Target yang tercakup dalam MDGs sangat beragam, mulai dari mengurangi kemiskinan dan
kelaparan, menuntaskan tingkat pendidikan dasar, mempromosikan kesamaan gender, mengurangi
kematian anak dan ibu, mengatasi HIV/AIDS dan berbagai penyakit lainnya,serta memastikan
kelestarian lingkungan hidup dan membentuk kemitraan dalam pelaksanaan pembangunan.
Ada beberapa tujuan pembangunan yang lain ditetapkan pada dekade 1960-an hingga 1980-
an. Sebagian terlahir dari konferensi global yang diselenggarakan PBB pada 1990-an, termasuk KTT
Dunia untuk Anak, Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua 1990 di Jomtien, Konferensi
PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan 1992 di Rio de Janeiro, dan KTT Dunia untuk
Pembangunan Sosial 1995 di Copenhagen. MDGs tidak bertentangan dengan komitmen global yang
sebelumnya karena sebagian dari MDGs itu telah dicanangkan dalam Tujuan Pembangunan
Internasional (IDG), oleh negara-negara maju yang tergabung dalam OECD pada 1996 hingga
selanjutnya diadopsi oleh PBB, Bank Dunia dan IMF.1 Sekalipun MDGs merupakan sebuah
komitmen global tetapi diupayakan untuk lebih mengakomodasikan nilai-nilai lokal sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
karakteristik masing-masing negara sehingga lebih mudah untuk diaplikasikan. Beberapa hal penting
yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan MDGs adalah sebagai berikut: Pertama, MDGs
bukan tujuan PBB, sekalipun PBB merupakan lembaga yang aktif terlibat dalam promosi global untuk
merealisasikannya.83
Demikian juga, tanpa kemitraan dan kerja sama antara negara miskin dan negara maju, seperti
yang disebut pada Tujuan 8, negara-negara miskin akan sulit mewujudkan ketujuh tujuan lainnya.
Keempat, dengan dukungan PBB, terjadi upaya global untuk memantau kemajuan, meningkatkan
perhatian, mendorong tindakan dan penelitian yang akan menjadi landasan intelektual bagi reformasi
kebijakan, pembangunan kapasitas dan memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai
semua target. Kelima, 18 belas target dan lebih dari 40 indikator terkait ditetapkan untuk dapat dicapai
dalam jangka waktu 25 tahun antara 1990 dan 2015. Masing-masing indikator digunakan untuk
memonitor perkembangan pencapaian setiap tujuan dan target.
MDGs adalah tujuan dan tanggung jawab dari semua negara yang berpartisipasi dalam KTT
Milenium, baik pada rakyatnya maupun secara bersama antar pemerintahan. Kedua, tujuh dari
delapan tujuan telah dikuantitatifkan sebagai target dengan waktu pencapaian yang jelas, hingga
memungkinkan pengukuran dan pelaporan kemajuan secara obyektif dengan indikator yang sebagian
besar secara internasional dapat diperbandingkan. Ketiga, tujuan-tujuan dalam MDGs saling terkait
satu dengan yang lain. Misalnya, Tujuan 1—menanggulangi kemiskinan dan kelaparan yang parah—
adalah kondisi yang perlu tapi belum cukup bagi pencapaian Tujuan 2 hingga Tujuan 7.
84
83 Administrator MetroTV, Sejarah singkat Millennium Development Goals (MDGs) dalam http://metrotvnews.com/ diakses pada Jumat, 28 Oktober 2010.
84 Administrator MetroTV, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
2. MDG’s SEBAGAI KERANGKA ACUAN BAGI PEMBANGUNAN MASYRAKAT DUNIA
Penting untuk disampaikan bahwa MDG’s bukanlah tujuan PBB, sekalipun PBB adalah
lembaga yang aktif terlibat dalam promosi global untuk merealisasikannya. MDG’s adalah tujuan dan
tanggung jawab dari semua negara yang berpartisipasi dalam KTT Milenium, baik pada rakyatnya
maupun bersama antar pemerintah. Tujuh dari delapan tujuan telah dikuantitatifkan sebagai target
dengan waktu pencapaian yang jelas, hingga memungkinkan pengukuran dan pelaporan kemajuan
secara objektif dengan indikator yang sebagian besar secara internasional dapat diperbandingkan.85
Dengan dukungan PBB, terjadi upaya global untuk memantau kemajuan, peningkatan
perhatian, mendorong tindakan dan penelitian yang akan menjadi landasan intelektual bagi reformasi
kebijakan, pembangunan kapasitas dan memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai
semua target. 18 target dan lebih dari 40 indikator terkait ditetapkan untuk dapat dicapai dalam jangka
waktu 25 tahun antara 1990 dan 2015. Masing-masing indikator digunakan untuk memonitor
perkembangan pencapaian setiap tujuan dan target.
Tujuan-tujuan MDG saling terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai contohnya, tujuan pertama--
menanggulangi kemiskinan dan kelaparan yang parah—adalah kondisi yang diperlukan tapi belum
cukup bagi pencapaian tujuan-tujuan lainnya. Demikian pula, tanpa kemitraan dan kerja sama antara
negara miskin dan negara maju, seperti yang disebutkan pada tujuan 8, negara-negara miskin akan
sulit mewujudkan ketujuh tujuan lainnya.
86
1) Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan
Seandainya tidak ada orang miskin, hampir semua masalah kita praktis terselesaikan. Ketika anda
punya uang, anda tentu bisa memeriksakan diri ke dokter yang baik. Anda juga bisa memperoleh
sambungan jaringan air minum serta makanan berkualitas. Karena itu, tujuan pertama dalam MDG’s
adalah mengurangi jumlah penduduk miskin. Tujuan pertama ini, memang merupakan tujuan paling
85 Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Kita Suarakan MDG’s Demi Pencapaiannya di Indonesia, Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2008, hal 4.
86 Dr. Ruswiati Suryasaputra, M, Sc, Hak dan Peran Perempuan dalam Mensukseskan Milenium Development Goals 2015 dalam
Universitas Sumatera Utara
penting. Namun, jangan melihatnya sebagai hal yang terpisah dari tujuan MDGs yang lain. Pada
dasarnya, semua tujuan berkaitan satu sama lain. Benar bahwa jika anda memiliki uang, anda bisa
mendapatkan perawatan kesehatan yang baik. Namun hal sebaliknya, bisa juga terjadi. Jika anda sakit,
bisa membuat anda menjadi lebih miskin – anda akan kehilangan waktu kerja atau harus
membelanjakan uang untuk obat-obatan. Artinya, perbaikan kesehatan otomatis mengurangi
kemiskinan. Demikian pula dengan pendidikan. Anak-anak yang menikmati pendidikan bakal
terbantu memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih baik.87
Target nya pada tahun 2015 adalah Mengurangi setengah dari penduduk dunia yang
berpenghasilan kurang dari 1
dolar AS sehari dan mengalami kelaparan.88
a. Persentase penduduk dengan pendapatan di bawah US$1 (PPP) per hari.
Sedangkan indikatornya
adalah menurunkan proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan di bawah US$1 (PPP) per hari
menjadi setengahnya dalam kurun waktu 1990-2015 merupakan target MDGs terkait dengan
pengurangan tingkat kemiskinan. Dalam kasus Indonesia, indikator yang digunakan adalah sebagai
berikut:
b. Persentase penduduk dengan tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan nasional.
c. Indeks kedalaman kemiskinan.
d. Indeks keparahan kemiskinan.
e. Proporsi konsumsi penduduk termiskin (kuantil pertama).89
Tingkat kemiskinan atau proporsi jumlah orang miskin dibandingkan dengan jumlah
penduduk keseluruhan pada tahun 1990 tercatat 15,10 persen, yang terus meningkat menjadi 17,75
persen pada tahun 2006. Dengan menggunakan basis data tahun 1990, tingkat kemiskinan yang
menjadi sasaran MDGs pada tahun 2015 ialah sekitar 7,5 persen. Di sisi lain, krisis ekonomi yang
87 Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Loc. Cit.
88 . ………, Sasaran Pembangunan Millenium, dalam //http: www.wikipedia.com//, diakses pada Kamis, 27 Oktober 2010.
89 Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007 (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Op. Cit, hal 11.
Universitas Sumatera Utara
terjadi dalam kurun 1997-1998 berakibat pada melonjaknya tingkat kemiskinan menjadi 24,1 persen
pada tahun 1998. Karena itu, akan lebih realistis apabila sasaran kemiskinan MDGs untuk tahun 2015
adalah setengah dari kondisi tahun 1998, yakni 12 Per sen. Kemungkinan lain adalah dengan
membuat kisaran yang menggabungkan sasaran berbasis tahun 1990 dan sasaran berbasis tahun 1998.
Dengan demikian, sasaran tingkat kemiskinan MDGs Indonesia pada tahun 2015, dengan
menggunakan garis kemiskinan nasional, adalah berkisar pada 7,5 -12 persen.
2) Pendidikan Dasar untuk Semua
Begitu banyak anak-anak yang tidak dapat bersekolah dan menikmati masa anak-anak nya di
sekolah karena alasan kemiskinan. Di daerah Afrika dan beberapa Negara Asia dimana masihn
banyak Negara yang berkembang, pendidikan dasar bagi anak-anak adalah bukanlah sebuah
kebutuhan pimer. Pendidikan dasar menjadi terabaikan karena banyak masyarakat yang masih hidup
dibawah garis kemiskinan. Maka kemudian, masalah ini diangkat kedalam KTT PBB sehingga
menjadi salah satu tujuan negara-negara lewat MDG’s. Target untuk 2015 adalah Memastikan bahwa
setiap anak , baik laki-laki dan perempuan mendapatkan dan menyelesaikan tahap pendidikan dasar.
Memastikan semua anak laki-laki maupun perempuan di manapun untuk dapat menyelesaikan
pendidikan dasar pada tahun 2015 merupakan target MDGs yang utama di bidang pendidikan.
Pengukuran pencapaian target ini di Indonesia menggunakan indikator sebagai berikut:
a. Angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (7-12 tahun).
b. Angka partisipasi murni (APM) sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (13-15 tahun).
c. Angka melek huruf usia 15-24 tahun.90
3) Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
90 Ibid, hal 25.
Universitas Sumatera Utara
Ada baiknya kita meluruskan satu hal; kesetaraan gender bukan melulu mengenai perempuan,
tetapi mengenai perempuan dan laki-laki. Akan tetaopi, karena target ini menekankan pada
pemberdayaan perempuan, kita akan membahas lebih banyak mengenai hal ini dan issue terkait
lainnya. Dalam banyak hal, perempuan di Indonesia telah mencapai kemajuan pesat, meskipun, masih
cukup jauh dari pencapaian kesetaraan gender. Data tujuan ketiga MDGs menunjukkan hal tersebut
dengan cukup jelas. Tujuan ini memiliki tiga target. Pertama, menyangkut pendidikan. Untuk hal ini,
nampaknya kita cukup berhasil. Namun, terkait target kedua dan ketiga, yaitu lapangan pekerjaan dan
keterwakilan dalam parlemen, kesempatan yang dimiliki perempuan di negara-negara masih kurang.
Sehingga hal ini dirasa perlu menjadi salah satu tujuan pembangunan dari negara-negara.91
diskriminasi gender
Target
2005 dan 2015: Mengurangi perbedaan dan dalam pendidikan dasar dan
menengah terutama untuk tahun 2005 dan untuk semua tingkatan pada tahun 2015. Target
menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di
semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015 dipantau dengan menggunakan indicator
sebagai berikut (dalam persen):
a. Rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar, lanjutan, dan tinggi,
yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki.
b. Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun, yang diukur melalui angka
melek huruf perempuan/laki-laki (indeks paritas melek huruf gender).
c. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK ) perempuan.
d. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan.
e. Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan.
f. Tingkat daya beli (Purchasing Power Parity, PP) pada kelompok perempuan.
g. Proporsi perempuan dalam lembaga-lembaga publik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).92
91 Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Op. Cit., hal 15. 92 Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007
(Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Op. Cit, hal 39.
Universitas Sumatera Utara
4) Menurunkan Angka Kematian Anak
Kita semua ingin menikmati usia panjang dan hidup sehat. Kenyataannya, sekarang kita memang
hidup lebih lama. Antara 1970 dan 2005, usia harapan hidup di negeri ini rata-rata meningkat sekitar
15 tahun. Anak-anak yang lahir di Indonesia saat ini dapat mengharapkan hidup hingga usia 68 tahun,
Anda dapat memilih usia harapan hidup sebagai satu indicator kesehatan. Namun ada satu ukuran
lainnya yang sangat penting, yaitu jumlah anakanak yang meninggal. Anak-anak, terutama bayi, lebih
rentan terhadap penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat. Itulah sebabnya tujuan keempat MDGs
adalah mengurangi jumlah kematian anak.93
a. Angka Kematian Bayi (AKB) per 1.000 kelahiran hidup.
Target negara-negara penandatanga MDG’s untuk 2015:
Mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun. Indikator yang digunakan
untuk menilai target menurunkan angka kematian balita sebesar dua pertiganya dalam kurun waktu
1990-2015 adalah:
b. Angka Kematian Balita (AKBA ) per 1.000 kelahiran hidup.
c. Anak usia 12-23 bulan yang diimunisasi campak (%).
Kematian balita dan bayi. Pada tahun 1960, angka kematian bayi (AKB) masih sangat tinggi yaitu
216 per 1.000 kelahiran hidup. Dari tahun ke tahun, AKB ini cenderung membaik sebagai dampak
positif dari pelaksanaan berbagai program di sektor kesehatan. Pada tahun 1992 AKB tercatat 68 per
1.000 kelahiran hidup, kemudian menurun menjadi 57 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1994,
turun lagi menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1997, dan pada tahun 2002-2003
penurunannya sudah mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup.94
5) Meningkatkan Kesehatan Ibu
93 Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Op. Cit., hal 18. 94 Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007
(Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Loc. Cit, hal 49.
Universitas Sumatera Utara
Setiap tahun sekitar 20.000 perempuan di Indonesia meninggal akibat komplikasi dalam
persalinan. Melahirkan seyogyanya menjadi peristiwa bahagia tetapi seringkali berubah menjadi
tragedi. Sebenarnya, hampir semua kematian tersebut dapat dicegah. Karena itu tujuan kelima MDGs
difokuskan pada kesehatan ibu, untuk mengurangi “kematian ibu”. Meski semua sepakat bahwa angka
kematian ibu terlalu tinggi, seringkali muncul keraguan tentang angka yang tepat. Namun bisa ada
keraguan tentang penyebabnya. Anda, misalnya, tidak mungkin hanya mengacu pada informasi dalam
laporan kematian yang bisa saja disebabkan oleh berbagai alasan, terkait ataupun tidak terkait dengan
persalinan. Metode yang biasa digunakan adalah dengan bertanya pada para perempuan apakah ada
saudara perempuan mereka yang meninggal sewaktu persalinan.95
a. Angka kematian ibu melahirkan (AKI) per 100.000 kelahiran hidup.
Target untuk tahun 2015 ialah
mengurangi dua per tiga rasio kematian ibu dalam proses melahirkan. Indikator penilaian untuk
penurunan angka kematian ibu sebesar tiga-perempatnya dalam kurun waktu tahun 1990 sampai 2015
ialah sebagai berikut:
b. Proporsi kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan (%).
c. Proporsi wanita 15-49 tahun berstatus kawin yang sedang menggunakan atau memakai alat
keluarga berencana (%).
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia telah mengalami penurunan menjadi 307 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2002-2003 bila dibandingkan dengan angka tahun 1994 yang mencapai
390 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Tetapi akibat komplikasi kehamilan atau persalinan yang
belum sepenuhnya dapat ditangani, masih terdapat 20.000 ibu yang meninggal setiap tahunnya.
Dengan kondisi ini, pencapaian target MDGs untuk AKI akan sulit dicapai. BPS memproyeksikan
bahwa pencapaian AKI baru mencapai angka 163 kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2015, sedangkan target MDG pada tahun 2015 tersebut adalah 102.96
95 Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Op. Cit., hal 20.
96 Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007
(Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Loc. Cit, hal 55.
Universitas Sumatera Utara
6) Memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan Penyakit Menular Lainnya
Tujuan keenam dalam MDGs menangani berbagai penyakit menular paling berbahaya. Pada
urutan teratas adalah Human Immunode_ ciency Virus (HIV), yaitu virus penyebab Acquired Immuno
De_ ciency Syndrome (AIDS) – terutama karena penyakit ini dapat membawa dampak yang
menghancurkan, bukan hanya terhadap kesehatan masyarakat namun juga terhadap negara secara
keseluruhan. Indonesia beruntung bahwa HIV belum mencapai kondisi seperti yang terjadi di Afrika
dan beberapa negara Asia Tenggara. Jumlah penduduk Indonesia yang hidup dengan virus HIV
diperkirakan antara 172.000 dan 219.000, sebagian besar adalah laki laki.97 Jumlah itu merupakan
0,1% dari jumlah penduduk. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA), sejak 1987
sampai Juni 2008, tercatat 12.686 kasus AIDS – 2.479 di antaranya telah meninggal. HIV masih
menjadi ancaman utama, seperti yang dapat kita amat terjadi di tempat lain. Di negara-negara lain,
penularan awalnya menyebar dengan cepat di antara dua kelompok berisiko tinggi, yaitu para
pengguna Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif Lainnya (Napza) suntik (penasun) dan pekerja seks.
Dari sana HIV menyebar ke penduduk lainnya sehingga menyebabkan ”epidemi yang menyebar ke
populasi umum (generalised epidemy)”.98
HIV
Sehingga target untuk 2015yaitu menghentikan dan
memulai pencegahan penyebaran /AIDS, malaria dan penyakit berat lainnya. Target
mengendalikan penyebaran HIV dan mulai menurunnya jumlah kasus baru HIV pada tahun 2015
dinilai dengan indikator-indikator sebagai berikut:
a. Prevalensi HIV dan AIDS.
b. Penggunaan kondom pada hubungan seks beresiko tinggi.
c. Penggunaan kondom pada pemakai kontrasepsi.
97 KPA, 2006. Rencana Aksi Nasional untuk HIV/AIDS 2007-2010. Komisi Penanggulangan AIDS. 98 Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Op. Cit., hal 23.
Universitas Sumatera Utara
d. Persentase penduduk usia muda 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif
tentang99
Prevalensi HIV/AIDS pada penduduk usia 15-29 tahun diperkirakan masih di bawah 0,1 persen.
Namun angka prevalensi pada sub-populasi perilaku beresiko telah melebihi 5 persen. Bahkan di
Papua, HIV dan AIDS telah masuk pada populasi umum (usia 15-49 tahun) dengan prevalensi 2,4
persen. Epidemi AIDS sekarang telah terjadi hampir di seluruh Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari
adanya laporan tentang kasus AIDS dari setiap provinsi. Jika pada tahun 2004 hanya 16 provinsi yang
melaporkan adanya kasus AIDS, maka pada tahun 2007 AIDS telah dilaporkan di 32 provinsi. Jumlah
kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan juga meningkat cukup tajam, yaitu dari 2.682 kasus pada
tahun 2004, menjadi 10,384 kasus hingga akhir September 2007. Target mengendalikan penyakit
malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit lainnya pada tahun 2015
menggunakan indikator sebagai berikut:
a. Prevalensi malaria per 1.000 penduduk.
b. Prevalensi tuberkulosis per 100.000 penduduk.
c. Angka penemuan pasien tuberkulosis BTA positif baru (%).
d. Angka keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis (%).100
7) Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup
Targetnya adalah sebagai berikut:
a. Mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan setiap
negara dan program serta mengurangi hilangnya sumber daya lingkungan
99 Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007 (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Op. Cit, hal 61.
100 Ibid, hal 65.
Universitas Sumatera Utara
b. Pada tahun 2015 mendatang diharapkan mengurangi setengah dari jumlah orang yang
tidak memiliki akses air minum yang sehat
c. Pada tahun 2020 mendatang diharapkan dapat mencapai pengembangan yang signifikan
dalam kehidupan untuk sedikitnya 100 juta orang yang tinggal di daerah kumuh101
Target MDGs ke-9, yaitu memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan
kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang,
merupakan bagian dari pencapaian pelaksanaan pembangunan lingkungan hidup. Pembangunan
lingkungan hidup dalam konteks ini dipahami dari dua pendekatan, yaitu perlindungan fungsi
lingkungan hidup dan penanggulangan penurunan fungsi lingkungan hidup. Indikator yang digunakan
mencakup Green Indicator dan Brown Indicator, sebagai berikut:
Green Indicator
a. Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan Satelit Landsat terhadap
luas daratan (%).
b. Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan luas kawasan hutan, kawasan lindung,
dan kawasan konservasi termasuk kawasan perkebunan dan hutan rakyat terhadap luas
daratan (%).
c. Rasio luas kawasan lindung terhadap luas daratan (%).
d. Rasio luas kawasan lindung perairan (marine protected area) terhadap luas daratan (%).
Brown Indicator
a. Jumlah emisi karbondioksida (CO2) (metrik ton).
b. Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) (ton).
c. Rasio jumlah emisi karbondioksida (CO2) terhadap jumlah penduduk Indonesia (%).
d. Jumlah penggunaan energi dari berbagai jenis (setara barel minyak, SBM): Fosil dan Non-
Fosil.
101 . ………, Sasaran Pembangunan Millenium, Op, Cit.
Universitas Sumatera Utara
e. Rasio penggunaan energi (total) dari berbagai jenis terhadap Produk Domestik Bruto (%)
f. Penggunaan energi dari berbagai jenis secara absolut (metrik ton).102
8) Membangun Kerjasama Global untuk Pembangunan
Target dari tujuan MDG’s Kedelapan ini adalah:
a. Mengembangkan lebih jauh lagi perdagangan terbuka dan sistem keuangan yang
berdasarkan aturan, dapat diterka dan tidak ada diskriminasi. Termasuk
komitmen terhadap pemerintahan yang baik, pembangungan dan pengurangan
tingkat kemiskinan secara nasional dan internasional.
b. Membantu kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara kurang berkembang, dan
kebutuhan khusus dari negara-negara terpencil dan kepulauan-kepulauan kecil.
Ini termasuk pembebasan-tarif dan -kuota untuk ekspor mereka; meningkatkan
pembebasan hutang untuk negara miskin yang berhutang besar; pembatalan
hutang bilateral resmi; dan menambah bantuan pembangunan resmi untuk negara
yang berkomitmen untuk mengurangi kemiskinan.
c. Secara komprehensif mengusahakan persetujuan mengenai masalah utang
negara-negara berkembang.
d. Menghadapi secara komprehensif dengan negara berkembang dengan masalah
hutang melalui pertimbangan nasional dan internasional untuk membuat hutang
lebih dapat ditanggung dalam jangka panjang.
e. Mengembangkan usaha produktif yang layak dijalankan untuk kaum muda
f. Dalam kerja sama dengan pihak "pharmaceutical", menyediakan akses obat
penting yang terjangkau dalam negara berkembang
102 Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007 (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Op. Cit, hal 71.
Universitas Sumatera Utara
g. Dalam kerjasama dengan pihak swasta, membangun adanya penyerapan
keuntungan dari teknologi-teknologi baru, terutama teknologi informasi dan
komunikasi.103
Tujuan ke-8 dari MDGs adalah untuk mendorong kerjasama internasional dalam rangka
mendukung negara-negara di dunia mencapai target-target MDGs mereka. Banyak target dan
indikator pencapaian Tujuan 8 MDGs terkait erat dengan upaya-upaya di tingkat global, sehingga
tidak mudah menilai kemajuan upaya di tingkat global berkaitan dengan pencapaian MDGs di suatu
negara. Uraian di bawah ini secara spesifik melihat bidang-bidang utama dalam kerjasama
internasional yang paling relevan dan secara potensial memiliki keterkaitan kuat dengan pencapaian
MDGs Indonesia. Oleh karena itu, beberapa indikator dicoba untuk dipilah-pilah, sehingga indikator-
indikator tersebut dapat menggambarkan sejauh mana pencapaian Indonesia terkait dengan Tujuan 8
tersebut. Laporan ini juga akan menguraikan perkembangan singkat yang berkaitan dengan “tema”
target-target terkait, yaitu keuangan dan perdagangan (Target 12), ODA/pinjaman luar negeri (Target
15), pengangguran usia muda (Target 16), dan akses kepada teknologi baru (Target 18). Status umum
tujuan ini sulit dijabarkan karena status tersebut melibatkan berbagai sektor dan juga persoalan yang
bersifat global. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa untuk tujuan ini Indonesia telah mencapai
kemajuan pada beberapa bidang. Ke depannya, masih banyak hambatan dan tantangan yang harus
dihadapi.
104
103 ………, Sasaran Pembangunan Millenium, Op, Cit 104 Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007
(Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Op. Cit, hal 71.
Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapa t
diprediksi, dan tidak diskriminatif. Sasaran kedelapan ini mengamanatkan agar setiap negara
mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan (rule-based),
dapat diprediksi, dan tidak diskriminatif. Di dalamnya termasuk pula komitmen untuk melaksanakan
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance). Indikator yang digunakan adalah:
Universitas Sumatera Utara
a. Rasio antara jumlah Ekspor dan Impor dengan PDB. Rasio ini menunjukkan tingkat
keterbukaan suatu Ekonomi (%).
b. Rasio antara Kredit dan Tabungan (LDR) Bank Umum (%). Rasio ini menunjukkan
peningkatan atau pengurangan fungsi intermediasi bank umum.
c. Rasio antara Kredit dan Tabungan (LDR) Bank Perkreditan Rakyat (%). Rasio ini
menunjukkan peningkatan atau pengurangan fungsi intermediasi Bank Prekreditan Rakyat.
Dalam menangani hutang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional agar
pengelolan hutang berkesinambungan dalam jangka panjang. Indikator yang digunakan dalam
menangani hutang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional agar pengelolaan
hutang berkesinambungan dalam jangka panjang adalah:
a. Rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB.
b. Debt-to-Service Ratio (DSR).
Dalam bekerjasama dengan negara lain untuk mengembangkan dan menerapkan strategi
penciptaan lapangan kerja yang baik dan produk tif bagi penduduk usia muda . Target 16,
bekerjasama dengan negara lain untuk mengembangkan dan menerapkan strategi penciptaan lapangan
kerja yang baik dan produktif bagi penduduk usia muda, indikator yang digunakan adalah sebagai
berikut:
a. Tingkat pengangguran usia muda (15-24 tahun);
b. Tingkat pengangguran usia muda (15-24 tahun) menurut jenis kelamin;
c. Tingkat pengangguran usia muda (15-24 tahun) menurut provinsi.
B. KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM MDG’s.
Ada baiknya kita meluruskan satu hal; kesetaraan gender bukan melulu mengenai perempuan,
tetapi mengenai perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, karena target ini menekankan pada
pemberdayaan perempuan, kita akan membahas lebih banyak mengenai hal ini dan issue terkait
Universitas Sumatera Utara
lainnya. Dalam banyak hal, perempuan di dunia telah mencapai kemajuan pesat, meskipun, masih
cukup jauh dari pencapaian kesetaraan gender. Data tujuan ketiga MDGs menunjukkan hal tersebut
dengan cukup jelas. Tujuan ini memiliki tiga target.
Pertama, menyangkut pendidikan. Untuk hal ini, nampaknya Indonesia cukup berhasil. Namun,
terkait target kedua dan ketiga, yaitu lapangan pekerjaan dan keterwakilan dalam parlemen,
kesempatan yang dimiliki perempuan Indonesia masih kurang. Mari kita mulai dengan kabar baik.
Saat ini, semakin banyak anak perempuan yang bersekolah. Bahkan terjadi kemajuan yang cukup
mengejutkan, antara anak laki-laki dan perempuan di berbagai jenjang pendidikan Pada sekolah dasar
jumlah antara anak perempuan dan laki-laki terbilang seimbang, di mana rasio yang ditunjukkannya
mendekati 100% sejak 1992.105
Sekarang di jenjang sekolah lanjutan pertama, garisnya berada diatas 100%, artinya terdapat lebih
banyak anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Meskipun ada penurunan pada tahun lalu, anak
perempuan sepertinya berada di depan pada sekolah lanjutan pertama. Ini mungkin karena kakak laki-
laki mereka meninggalkan sekolah untuk bekerja. Biasanya terdapat lebih banyak kesempatan kerja
bagi anak laki-laki daripada untuk anak perempuan. Namun, di sekolah menengah atas, situasinya
kembali lebih seimbang. Cara lain mengukur kemajuan adalah dengan melihat berapa banyak anak
putus sekolah. Kenyataannya, di sekolah dasar, jumlah anak putus sekolah antara anak laki-laki dan
perempuan sama. Namun, di sekolah lanjutan, terlihat bahwa lebih sedikit anak perempuan yang
putus sekolah. Hal tersebut, lagi-lagi mungkin karena anak laki-laki memilik lebih banyak
kesempatan kerja. Menariknya, baik keluarga miskin maupun kaya, sama giatnya yang bersekolah.
Sekarang situasi sudah semakin setara. Untuk mereka yang berusia 15 hingga 24 tahun, tingkat melek
huruf baik untuk laki-laki dan perempuan hampir mendekati 100%.
106
105 Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Op. Cit., hal 15.
106 Ibid, hal 16.,
Selain dibidang pendidikan,
indikator MDG’s untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan adalah rasio melek huruf,
sumbangan kerja berupah sektor non-pertanian dan proporsi perempuan di parlemen.
Universitas Sumatera Utara
C. HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM MDG’s DAN UPAYA PERLINDUNGAN HAK
POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA LEWAT MDG’S.
1) MDG’S DI INDONESIA
Perkembangan pencapaian MDGs sesungguhnya bukanlah hal yang baru bagi Indonesia.
Sebagai sebuah bentuk orientasi pembangunan, MDGs dalam tataran implementasi
sesungguhnya telah dipraktekkan oleh Pemerintah Indonesia sejak masa Pemerintahan
Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid
hingga Presiden Megawati Sukarnoputri, dalam berbagai bentuk kebijakan dan program yang
sesuai dengan kondisi masa itu. Pada masa Presiden Soekarno, misalnya, Pemerintah
menerbitkan dokumen perencanaan pembangunan yangdiberi nama Garis-garis Besar
Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960 dan Pokok-pokok Pembangunan Nasional
Semesta Berencana Tahun 1961-1969. Merujuk pada dua dokumen pembangunan tersebut,
diketahui bahwasanya Indonesia waktu itu telah mencoba menangani persoalan
pembangunan milenium. Ini ditunjukkan, antara lain, pada kurun 1956-1960 ketika
pembangunannasional berorientasi pada peningkatan pendapatan nasional yang membentuk
kemakmuran rakyat Indonesia.
Kemakmuran rakyat diwujudkan melalui pelaksanaan berbagai kebijakan sehingga dapat
berdampak pada peningkatan pendapatan keluarga secara mandiri. Bidangpendidikan,
kesehatan, dan perumahan mendapatkan perhatian khusus. Kemudian, antara tahun1961-
1969, perhatian ditumpukan pada peningkatan pendapatan nasional dan perseorangan hingga
yang harus tercapai pada akhir pelaksanaan pembangunan. Peningkatan kualitas penduduk
diselenggarakan lewat pembangunan kemasyarakatan, pendidikan, dan kesejahteraan,
yangtertuang dalam dokumen Pembangunan Nasional Semesta Berentjana DelapanTahun.
Terlihat bahwa peningkatan kualitas manusia telah menjadi komitmen dan program yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan jauh sebelum MDG’s disepakati sebagai komitmenglobal. Sayang, pelaksanaan
program tersebut terhenti di tengah jalan akibat krisis politik tahun 1965.
Sejak tahun 1970-an pemerintah menggulirkan kembali program-program peningkatan
kesejahteraan yang meliputi pendidikan, kesehatan perorangan, kesehatan reproduksi, dan
penanggulangan kemiskinan. Hal ini dilakukan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita), khususnya Repelita I-IV, yang ditempuh secara reguler melalui program sektoral
dan regional. Pada Repelita V-VI, pemerintah melaksanakan programprogram yang selaras
dengan MDGs saat ini, dengan orientasi menuntaskan masalah kesenjangan sosial dan
ekonomi. Jalur pembangunan yang ditempuh adalah dengan menyinergikan program reguler
sektoral dan regional.
Pelaksanaan Repelita V-VI ini pun terpaksa terhenti saat Indonesia menderita akibat
dampak krisis ekonomi dan politik yang hebat di tahun 1997. Menjelang berakhirnya abad
ke-20, Indonesia mulai menapaki masa transisi. Kebijakan pembangunan selamakurun itu,
antara tahun 1998-2000, bersifat transisi pula. Salah satu kebijakan yang selaras dengan
MDGs adalah pelaksanaan kebijakan Jaring Pengaman Sosial (JPS ), yang diantaranya adalah
JPS bidang pendidikan, kesehatan, danpembangunan daerah sebagai upaya penanggulangan
kemiskinan.
Pelaksanaan berbagai kebijakan pembangunan selama 40 tahun terakhir menunjukkan
bahwa Indonesia telah konsisten dengan tujuan MDGs, meskipun MDGs sendiri saat itu
belum menjadi agenda pembangunan global. Pada tahun 2004, Indonesia menerbitkan
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009
yang diuraikan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun sejak tahun 2004 hingga
tahun 2008. Secara umum, pencapaian pembangunan manusia yang berhubungan dengan
tujuan MDGs pertama hingga kedelapan telah menjadi latar belakang dalam pengambilan
Universitas Sumatera Utara
keputusan penyusunan dokumen RPJMN 2004-2009 maupun dokumen-dokumen RKP.
Dokumen-dokumen tersebut secara khusus juga mengukur dan menelaah kemajuan
pencapaian yang diperoleh, termasuk mengenali tantangan dan mengkaji program serta
kebijakan ke depan untuk mencapai sasaran MDGs. Permasalahan dan tantangan
pembangunan yang diuraikan dalam dokumen RPJMN 2004-2009 adalah:
a. masih rendahnya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan rendah dan menurunnya
tingkat kesejahteraan rakyat dan munculnya berbagai masalah sosial yang mendasar;
b. kualitas sumber daya manusia Indonesia Masi h rendah karena pembangunan
pendidikan belum sepenuhnya mampu memenuhi hak-hak dasar warga negara;
c. tidak menyatunya kegiatan perlindungan fungsi lingkungan hidup dengan kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam sehingga sering melahirkan konflik kepentingan
antara ekonomi sumber daya alam (pertambangan, kehutanan) dengan lingkungan;
d. kesenjangan pembangunan antardaerah masih lebar, seperti antara Jawa-luar Jawa,
antara kawasan barat Indonesia kawasan timur Indonesia, serta antara kota-desa;
e. berkurangnya kualitas dan pelayanan dan tertundanya pembangunan infrastruktur
baru telah menghambat pembangunan nasional;
f. kerawanan sosial dan politik yang berpotensi mengganggu stabilitas dan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
g. masih tingginya kejahatan konvensional dan trans-nasional;
h. adanya potensi ancaman baik dari luar maupun dalam negeri yang tidak ringan
berkaitan dengan wilayah yang sangat luas, serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya
yang beragam;
i. Masih banyaknya peraturan perundang undangan yang belum mencerminkan
keadilan, kesetaraan, dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak asasi
manusia;
Universitas Sumatera Utara
j. rendahnya kualitas pelayanan umum kepada masyarakat antara lain karena tingginya
penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan; rendahnya kinerja sumber daya
aparatur; belum memadainya sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan
(manajemen) pemerintahan; rendahnya kesejahteraan PNS; serta banyaknya peraturan
perundangundangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan
tuntutan pembangunan;
k. belum menguatnya pelembagaan politik lembaga penyelenggara negara dan lembaga
pemasyarakatan.
Tantangan-tantangan ini selaras dengan tantangan dalam pencapaian Tujuan
Pembangunan Milenium. Dalam rangka menjawab semua tantangan dalam pembangunan
Indonesia 2004-2009, Pemerintah Indonesia telah menetapkan tiga agenda pembangunan
jangka menengah yaitu:
1) menciptakan Indonesia yang aman dan damai,
2) menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis, serta
3) meningkatkan kesejahteraan rakyat. Khusus agenda yang ketiga,
prioritas pembangunan dan arah kebijakannya mencakup:
a) Penanggulangan kemiskinan dan pengurangan pengangguran,
b) Peningkatan investasi,
c) Revitalisasi pertanian,
d) Perikanan dan kehutanan,
e) Pembangunan perdesaan dan pengurangan ketimpangan
antarwilayah,
f) Peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan dan layanan
kesehatan yang berkualitas,
g) Peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial,
Universitas Sumatera Utara
h) Pembangunan kependudukan yang berkualitas, dan
i) Percepatan pembangunan infrastruktur.
Walaupun permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan
pembangunan di Indonesia masih cukup banyak, Pemerintah Indonesia telah bertekad untuk
memenuhi komitmen pencapaian target MDGs pada 2015 mendatang. Bahkan,
penanggulangan kemiskinan dalam pembangunan jangka menengah (RPJMN) ditargetkan
lebih cepat daripada target MDGs sendiri. MDGs telah menjadi salah satu bahan masukan
penting dalam penyusunan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional. Upaya dialog
dengan berbagai pihak akan terus diupayakan untuk mencari kesepahaman dan langkah
kerjasama kongkrit di masa yang akan datang. Hal ini penting dilakukan, mengingat
pencapaian MDGs akan lebih mudah dicapai melalui dukungan dan partisipasi aktif dari
swasta dan masyarakat.
Dengan pertimbangan bahwasanya sumber pendanaan dalam negeri masih belum
sepenuhnya mencukupi untuk membiayai pembangunan, Pemerintah hingga kini masih
memerlukan dukungan internasional bagi pelaksanaan pembangunan. Karena itu, Pemerintah
berupaya terus meningkatkan kualitas pelaksanaan kerjasama pembangunan melalui
penyusunan strategi pengelolaan utang luar negeri, penguatan koordinasi, monitoring dan
evaluasi, serta peningkatan harmonisasi pelaksanaan kerjasama internasionalsecara
keseluruhan. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia juga akan terus mendukung upaya
mempererat pelaksanaan kerjasama regional Asia Pasifik. Kerjasama ekonomi dan
perdagangan antarnegara di Asia Pasifik memiliki potensi besar untuk terus dikembangkan,
demi meningkatkan kemampuan masing-masing negara dalam rangka mencapai MDGs di
kawasan, serta meningkatkan posisi tawar bersama di lingkungan global.
Universitas Sumatera Utara
2) HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM MDG’s
Kaum perempuan hampir diseluruh negara diabad 20 telah memperoleh hak pilih. Kesenjangan
dalam hak pilih semakin mengecil, terutama di negara yang sebagian besar penduduknya memberikan
suara. Namun, ketimpangan besar masih saja terjadi dalam berbagai bentuk partisipasi politik yang
lebih aktif seperti demonstrasti dan boikot. Perempuan secara signifikan kurang menyukai diskusi
politik dibandingkan dengan laki-laki, terutama mereka yang berasal dari kelompok tua dan kurang
pendidikan.107
Selain itu masih saja ada kesenjangan gender yang besar dalam partisipasi dan keterwakilan
politik disemua level pemerintahan, dari majelis di tingkat lokal sampai majelis tingkat nasional,
maupun kabinet. Perempuan tetap tidak terwakili secara luas dalam kantor pemilihan. Disemua
kawasan kecuali Asia dan Pasifik sertaEropa dan Asia Tengah, rata-rata perempuan hanya menduduki
kurang dari sepuluh persen (10%) kursi parlemen antara tahun 1975 sampai 1995. Di Asia Timur,
keterwakilan perempuan di parlemen tetap hanya berkisar dibawah 20 persen. Perubahan paling
mencolok terjadi di Eropa Timur dan Asia Tengah, dimana tingkat keterwakilan perempuan
(dibandingkan dengan negara-negara lainnya) merosot drastis diakhir tahun 1980an dari 25% menjadi
hanya 7% akibat terjadinya transisi politik dan ekonomi.
108
Perempuan juga massih tidak terwakili secara luas dibadan eksekutif pemerintahan. Tak satupun
dikawasan negara-negara berkembang perempuan dengan jabatan menteri bisa mencapai 8% ditahun
1998.
Dispartasi gender yang cukup tinggi juga
ditemui di majelis tingkat lokal dan regional.
109
107 Ronald Inglehart, World Values Surveys, 1981-1984, 1990-1993, and 1995-1997, Datbase ICPSR version. Ann Arbor, Mich: Inter-University Consortium for Political and Social Research, 2000.
108 Data time series kurang tersedia di kebanyakan negara Eropa Timur, sehingga pola ini hanya
didasarkan apada lima negara yaitu: Albania, Bulgaria, Hungaria, Polandia, dan Rumania. Penurunan tajam dalam keterwakilan perempuan diparlemen disebabkan oleh penghapusan kuota perempuan sebesar 25-33% di Eropa Timur. Penurunan dalam keterwakilan perempuan ini berlangsung tepat saat parlemen nasional mulai memainkan peranan aktif dalam pengambilan kepustusan dan tatalaksana pemerintahan di negara-negara itu.
109 UNDP (United Nations Development Programme), Human Development Report 2000 New York:
Oxford University Press, 2000.
Di Timur Tengah daan Afrika Utara, jumlah perempuan dalam kabinet hanya mencapai 2%
sedangkan di Asia Timur dan Pasifik sebesar 4%, dan di Asia Selatan dan Afrika Sub Sahara kira-kira
sebesar 6%. Di Amerika latin, Eropa Timur, dan Asia Tengah, jumlah perempuan yang menduduki
Universitas Sumatera Utara
kursi menteri antara 7-8%. Keterwakilan perempuan pada posisi dibawah menteri canderung sedikit
lebih besar, sementaradi Asia Selatan presentase representasi untuk posisi sejenis ini lebih kecil.110
Perempuan dengan jabatan menteri pun biasanya lebih banyak bertugas dalam kementerian
urusan peranan perempuan atau kementerian sosial daripada kementerian keuangan, ekonomi, atau
perencanaan yang berperan besar dalam penetapan pengarusutaaan kebijakan dan anggaran belanja.
Dari 466 menteri perempuan di 151 negara pada awal tahun 2000, ada sekitar 95 (20%) adallah
menteri urusan perempuan dan sosial, sementara hanya kurang 22 (kurang dari 5%) yang memimpin
menteri keuangan dan ekonomi dan pembangunan.
111
3) UPAYA PERLINDUNGAN HAK POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA LEWAT
MDG’S.
Minimnya kedudukan dan keterwakilan perempuan dalam bidang publik terkhusus dikancah
politik, membuka pikiran perwakilan negara untuk memajukan hal ini dalam MDG’s. Negara-negara
memang sudah meratifikasi CEDAW tetapi tidak dijalankan sesuai dengan permintaan konvensi.
Sehingga negara-negara dirasa perlu untuk didorong agar lebih memperhatikan tentang kuota
perempuan dalam bidang politik. Sehingga MDG’s yanag salah satu tujuannya adalah persamaan
gender dan pemberdayaan perempuan, memasukkan hal tersebut menjadi target pencapaian di tahun
2015.
Pemerintah
110 Di Asia Selatan, perempuan memegang kurang dari 1% jabatan dibawah menteri. Bandingkan hal ini dengan sekitar 4% di Timur Tengah dan Afrika Utara, 6% di Asia Timur dan Pasifik, kira-kira 8% di Sub Sahara Afrika dan Eropa Timur serta Asia Tengah dan 13% di Amerika Latin dan Karibia.
111 UNDP Report, Op. Cit, hal 59.
telah memberikan jaminan yang sama bagi perempuan untuk berpartisipasi di
bidang politik antara lain dengan meratifikasi konvesi PBB tentang hak-hak perempuan
dalam politik dengan UU Nomor 68 tahun 1956. Namun, pada tiap pemilu jumlah perempuan
yang terpilih berkisar 8-10 persen. Padahal, 51 persen dari total penduduk Indonesia adalah
perempuan. Pada Pemilu 1999 jumlah pemilih perempuan mencapai 54 persen, namun di
parlemen hanya terwakili oleh 44 orang atau hanya 9,1 persen. Selama ini kehadiran
Universitas Sumatera Utara
perempuan lebih banyak sebagai alat mobilisasi politik untuk kepentingan partai, sedikit
sekali perempuan yang menempati posisi-posisi strategis dalam pembuatan keputusan publik.
112
Pada pemilihan umum pertama tahun 1955 hanya ada 3,8 % perempuan di parlemen
Indonesia dan tahun 1960-an ada 6,3 %. Angka tertinggi ada pada periode 1987-1992 yaitu
13 %. Tetapi turun lagi menjadi 12,5 peratus tahun 1992-1997, 10,8 % menjelang Soeharto
jatuh, dan hanya 9 % pada periode 1999-2004. Sedangkan pada tahun 2004-2009, hanya ada
11,4 % atau sekitar 63 perempuan saja yang menjadi anggota parlemen (DPR) periode 2004-
2009. Padahal jumlah anggota legislatif di Indonesia mencapai 500 orang.
113
Undang-Undang tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan Undang-undang nomor
10 tahun 2008 tentang pemilihan umum adalah contoh konkrit keseriusan pemerintah dalam
memperjuangkan hak politik perempuan di Indonesia. Undang-Undang tersebut mewajibkan
Perempuan hanya menduduki 9,6% jabatan tinggi dalam birokrasi pemerintahan.
Perempuan juga kurang terwakili di bidang politik. Ibu Megawati Soekarnoputri pernah
menjadi Presiden RI, hal itu menunjukkan Indonesia lebih maju dibandingkan banyak negara
lain. Namun, dalam jenjang jabatan politik di bawahnya, perempuan kurang terlihat. Hanya
sedikit yang terpilih menjadi anggota parlemen. Demikian juga yang menjadi bupati atau
gubernur. Indikator MDG’s untuk ini adalah proporsi perempuan yang menjadi anggota DPR.
Angka rata-rata dunia untuk hal ini cukup rendah, yaitu sekitar 15%. Proporsi Indonesia
bahkan lebih rendah, yaitu 13% (1992), 9% (2003), dan 11,3% (2005).
Realisasi yang jauh dari harapan inilah yang kemudian menjadi sorotan MDG’s.
Pemerintah yang telah menyadari timpangnya keterwakilan perempuan di parlemen dan
minimnya presentase kedudukan perempuan pemerintahan kemudian mulai menunjukkan
komitmennya untuk menjalankan tujuan pembangunan yang telah ditandatanganinya.
112 Ahmad Wahid, Op. Cit. 113 Edi Purwanto, Perempuan Juga Punya Hak Politik, dalam http://isnuansa.blogspot.com// , diakses
pada Rabu, 7 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
Partai Politik untuk sedikitnya memiliki 30% calon perempuan. Tidak semua partai politik
bisa mewujudkan hal tersebut. Bahkan umumnya menaruh perempuan di urutan terbawah
dalam daftar calon legislatif (caleg), posisi di mana caleg tidak akan terpilih. Meskipun
demikian, kewajiban tersebut ada dampaknya. Yang menarik, dalam Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), di mana para calon tidak mewakili partai politik, perempuan menduduki
sepertiga dari kursi yang ada–dan lebih dari 30% perempuan yang mencalonkan diri, terpilih
dalam pemilihan anggota DPD.114
114 Agoes Soehardjono MD, Peran Pemerintah Daerah Dalam Upaya Menyukseskan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals), dalam //http: agoessmd.blogspot.com//, diakses pada Rabu, 7 Juli 2010.
Tampaknya, pemilih cukup mendukung terpilihnya
perempuan. Masalahnya, bagaimana agar bisa menjadi calon salah satu partai politik besar.
Perempuan juga kurang terwakili di tingkat daerah, terutama karena harus memikul tanggung
jawab rumah tangga. Karena itu, terkait kesetaraan gender, Indonesia belum mampu untuk
melaksanakan kesetaraan perempuan dan laki-laki dibidang politik. Tetapi paling tidak
indonesia telah berusaha dan dalam tahap perbaikan atas perlindungann hak-hak perempuan
khususnya dibidang politik.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
PENCAPAIAN INDONESIA DALAM MELINDUNGI HAK-HAK POLITIK PEREMPUAN MELALUI MDG’s
A. HAK POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA DAN REALISASI
PERLINDUNGAN INDONESIA TERHADAP HAK POLITIK PEREMPUAN.
1. HAK POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA
Dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1984 (UU No.7/1984), Konvensi Tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW) disahkan.115 Menurut aturan
hukum internasional dikenal dengan istilah pacta sunt servanda, perjanjian internasional
yang telah disahkan wajib dilaksanakan. Negara negara dunia tidak boleh dikecualikan dari
kewajiban itu bersandarkan ketentuan hukum nasional mereka. Melainkan, jika hukum
nasional mengurangi pelaksanaan sesuatu perjanjian internasional, hukum nasional itu wajib
diubah.116 Kewajiban tersebut ditambah dengan pasal CEDAW yang menyatakan Negara
Negara Peserta CEDAW wajib mengubah hukum nasional agar menghapuskan diskriminasi
terhadap wanita dan melindungi hak wanita.117
115UU No.7/1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discirmination Against Women).
116Pasal 26 yo. Pasal 27 Konvensi Wina Terhadap Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the
Law of Treaties 1969); Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, SH, Hukum Internasional (1998), hal.65; Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa Bangsa (1989), hal.81. Sebagaimana demikian, lihat Bagian III, butir 2 yo. butir 3 Penjelesan Atas UU No.5/1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) maupun Bagian I Angka 2 Penjelesan Atas UU No.29/1999 Tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) dll. Bandingkan Bagian I Penjelesan Atas UU No.7/1984.
117 Pasal 2 butir a s/d butir c serta butir f yo. butir g, Pasal 3, Pasal 6 dan Pasal 24 CEDAW .
Di Indonesia, harmonisasi hukum nasional
dengan ketentuan CEDAW tersebut berarti bahwa hukum negara akan diubah dan,
Universitas Sumatera Utara
selanjutnya, hukum Islam dan hukum Adat akan diubah juga. Itu karena hukum di Indonesia
merupakan tiga sistem, yaitu hukum negara, hukum Islam dan hukum Adat.
Namun demikian, di Indonesia penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan
perlindungan hak wanita maupun perubahan hukum jadi lebih rumit dari perkataan aturan
hukum internasional tersebut. Pelaksanaan CEDAW mengandung persoalan di bidang
politik, terutama setelah penggantian pemerintah Orde Baru dengan pemerintah Era
Reformasi.118
Selain dalam jaminan konstitusi dan jaminan UU, keterlibatan perempuan dalam
politik juga dijamin dalam sejumlah kebijakan pemerintah seperti Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender/PUG (Gender Mainstreaming).
Dalam laporan ini, yang dimaksud proses politik dan kehidupan publik perempuan adalah
proses pengambilan keputusan mulai dari penentuan prioritas masalah, perumusan masalah,
analisis masalah sampai dengan pengambilan keputusan; perencanaan sampai pada
Persoalan politik ditambah dengan masalah sosial, yaitu perkembangan dan
perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai kebudayaan dan agama.
Keterlibatan perempuan dalam politik dan kehidupan publik ini dijamin oleh UUD
Negara Republik Indonesia 1945 yang tertuang dalam Pasal 27 ayat 1 tentang persamaan
kedudukan di depan hukum dan Pasal 28 H ayat 1 tentang perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persmaan dan keadilan.
Keterlibatan perempuan dalam politik ini juga mendapat jaminan hukum melalui UU Nomor
7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UU
Nomor 12 Tahun 2005 Tentang ratifikasi kovenan Sipil dan Politik, UU Nomor 2 Tahun
2008 Tentang Partai Politik dan UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu.
118 Sumpah Presiden Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie Tanggal 21 Mei 1999 berlandaskan Pasal 8 Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yo. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR) Nomor VII/MPR/1973 Tentang Keadaan Presiden Dan / Atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan, UU No.3/1999 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu); Pasal 1 TAP MPR No.VII/MPR/1999 Tentang Pengankatan Presiden Republik Indonesia; Pasal 1 TAP MPR No.VIII/MPR/1999 Tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republic Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
pengalokasian anggaran serta perumusan kebijakan publik mulai dari tingkat desa sampai
tingkat nasional. Sementara itu, partisipasi perempuan dalam kehidupan publik adalah
partisipasi perempuan sebagai warga Negara dalam melaksanakan tanggungjawab publiknya.
Keterwakilan merupakan proses dari berbagai aktor dalam posisi pengambilan
keputusan/ menyampaikan agenda politik mewakili suatu kelompok, organisasi atau partai
politik Proses politik dan kehidupan publik perempuan berdasar pada keberadaan perempuan
dalam proses politik bukan sekedar jumlah. Tiada demokrasi tanpa keterwakilan perempuan.
Dan Tindakan Khusus Sementara (TKS) mutlak dilakukan untuk mewujudkan kemitraan
yang setara dan adil antara perempuan dan laki-laki. Ketiga aspek tersebut menjadi dasar
pemahaman yang paling penting karena keterlibatan perempuan tidak saja menekankan pada
keterwakilan perempuan semata dalam proses politik, tetapi juga bagaimana perempuan
mempunyai kualitas sehingga dapat mempengaruhi pola pikir para anggota parlemen tentang
pentingnya kesetaraan gender dalam kebijakan publik yang dihasilkan oleh parlemen.
Secara umum, hak politik perempuan telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Hanya saja belum ada realisasi dan keseriusan pemerintah dalam menggalakkan
hak politik perempuan di Indonesia. Jadi hal ini menjadi seperti hanya jalan ditempat dan
tidak ada kemajuan signifikan yang dapat diperoleh.
2. PERMASALAHAN PEREMPUAN DALAM POLITIK DAN KEHIDUPAN
POLITIK
Berbagai upaya untuk mendorong perempuan terlibat dalam proses politik dan
kehidupan publik telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun kalangan organisasi non-
pemerintah. Sudah banyak peraturan yang dibuat oleh pembuat UU (legislatif, eksekutif dan
Yudikatif), yang mengatur persamaan hak laki-laki dan perempuan, namun dalam
implementasinya belum banyak membawa perubahan bagi kehidupan perempuan.
Universitas Sumatera Utara
Sampai saat ini masih ada peraturan perundangan di tingkat daerah yang berdampak
pada hilangnya akses perempuan dalam proses politik dan kehidupan publik, seperti yang
terjadi di DKI Jakarta dan di Nanggroe Aceh Darrusalam (NAD). Di Jakarta, aturan
pemilihan dewan kelurahan menyatakan bahwa pemilihan dilakukan oleh kepala keluarga.
Padahal dalam UU perkawinan yang dimaksud dengan kepala keluarga adalah laki-laki.
Ketentuan ini tertuang dalam perda Nomor 5 tahun 2000 di DKI Jakarta dan SK Gubernur
DKI Jakarta nomor 15 tahun 2001 Sementara itu di Nanggroe Aceh Darussalam Perda
tentang pemilihan kepala daerah tahun 2006 mengatur tentang syarat-syarat kepala daerah
adalah sebagai Imam.
Dalam pandangan keagamaan Imam masih dilihat sebagai laki-laki. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap calon dari perempuan, karena dalam masyarakat, imam yang diakui
adalah laki-laki. Berbagai tindakan yang dilakukan pemerintah juga belum optimal dalam hal
keterwakilan/keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik (legislatif,
eksekutif dan yudikatif). Jaminan negara terhadap keterlibatan perempuan dan kepemimpinan
perempuan masih diragukan kesungguhannya. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Pemilu, pasal 20 masih belum menjamin secara penuh perempuan berkesempatan untuk
masuk dalam politik. Dengan demikian tidak mengherankan, perempuan tidak banyak terlibat
dalam penentuan prioritas kepentingan, perumusan kebijakan, perencanaan dan
penganggaran/pengalokasian sumber-sumber pembangunan. Padahal dalam Pemilu 2004
sebanyak 53% pemilih adalah perempuan. Dibandingkan dengan hasil pemilu 1999,
Keterwakilan Perempuan di DPR RI hanya meningkat sebanyak 3% yaitu dari 9% menjadi
11%. Selain masih rendahnya keterlibatan perempuan dalam proses partai politik di lembaga
legislatif, keterlibatan perempuan untuk menduduki jabatan-jabata politik juga masih kurang.
Di instansi peradilan (Hakim) dari 49 jumlah Mahkaman Agung hanya ada 8 Hakim
perempuan atau 16,3%. Sementara itu, data pegawai negeri sipil (PNS) memperlihatkan
Universitas Sumatera Utara
jabatan di eselon I misalnya, dari 645 PNS, hanya 63 PNS perempuan atau sekitar 9,77%
sisanya 582 atau 90,23% adalah laki-laki. Pada pemilihan kepala daerah langsung,
keterlibatan perempuan dalam proses politik juga masih belum terbangun. Dalam periode
tahun 2005-2006, hanya 17 perempuan yang terpilih menjadi Bupati. Hasil ini menunjukkan
sistem pemilihan kepala daerah belum dapat membuka peluang secara luas bagi perempuan
untuk terlibat dalam politik.
3. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI HAK POLITIK
PEREMPUAN DI INDONESIA
Didorong rasa tanggungjawab terhadap perlindungan hak-hak asasi perempuan,
pemerintah Indonesia turut serta dengan masyarakat internasional memperjuangkan hak-hak
asasi perempuan, dengan meratifikasi beberapa konvensi internasional. Konvensi
internasional yang sudah diratifikasi antara lain adalah :
1. Konvensi tentang Hak-hak Politik Wanita Tahun 1952 menjadi Undang-undang Nomor
68 Tahun 1958.
2. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita Tahun 1979
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman) menjadi
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984.
3. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam,
Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture
And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) menjadi Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1998.
Di samping meratifikasi berbagai konvensi internasional tersebut, pemerintah juga
mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang memberi perlindungan terhadap
perempuan. Positivikasi perlindungan hak-hak asasi perempuan yang dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
pemerintah Indonesia tersebut pertama-tama dapat dilihat dalam UUD 1945. Pasal 27 ayat (1)
UUD 1945 menyebutkan :
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Kemudian di dalam Pasal 28 C ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 menyebutkan,
bahwa :
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 28 D ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945 mengatakan :
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Berdasarkan bunyi UUD 1945 sebagaimana dikemukakan di atas, terlihat bahwa
UUD 1945 tidak membedakan laki-laki dengan perempuan. Hal itu tercermin dari bunyi
awal kalimat, yang selalu menyebutkan “Segala warga negara, “Setiap orang”, Setiap
warga negara”. Permasalahannya adalah bahwa apa yang sudah dirumuskan di dalam UUD
1945 tersebut di dalam praktek penyelenggaraan negara tidaklah demikian. Kaum
perempuan masih saja termarjinalkan baik dalam kehidupan rumah tangga, bidang politik,
pemerintahan, maupun dalam mendapatkan pekerjaan.
Keterlibatan perempuan dan laki-laki di bidang politik adalah bagian tidak
terpisahkan dalam proses demokratisasi. Mengkaitkan issu gender dengan proses
demokratisasi adalah sesuatu yang sudah lazim diterima oleh masyarakat, oleh karena di
dalamnya terintegrasi hak-hak politik baik bagi laki-laki maupun perempuan yang merupakan
hak asasi manusia paling mendasar.119
119 Suharizal dan Delfina Gusman, Suatu Kajian Atas Keterwakilan Perempuan di DPRD Provinsi
Sumatera Barat,dalam //http:google.com-kajian-atas-keterwakilan-perempuan-DPRD-Provinsi-Sumatera-Barat-
pdf-php// diakses pada Jumat, 29 Oktober 2010.
Selain Undang-Undang Dasar, hak politik perempuan
juga diatur dalam peraturan perundang-undangan dibawahnya, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1) Undang-Undang Nomor. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Secara umum pengaturan mengenai perempuan diatur dalam bagian sembilan pasal
empat puluh lima sampai lima puluh satu. Pada pasal empat puluh lima disebutkan bahwa
hak wanita dalam undang-undang ham ini adalah hak asasi manusia. Hal ini menguatkan
bahwa hak wanita adalah hak asasi manusia yang harus dihormati dan tidak bolah dikotak-
kotakkan serta didiskriminasi. Secara khusus undang-undang ini mengatur mengenai hak
politik perempuan pada pasal empat puluh enam, yaitu:
Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.
Pasal ini jelas memberikan perlindungan hak politik perempuan dari diskriminasi
yang mengatasnamakan sistemn pemilihan umum, kepartaian, pemilihan badan legislatif dan
sistem pengangkatan. Semua sistem dalam kehidupan perpolitikan harus menjamin
keterwakilan perempuan didalamnya.
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 merupakan perubahan atas undang-undang
nomor 12 tahun 2003. Undang-undang ini juga mengakomodir hak politik perempuan. Hal ini
terlihat jelas dalam bab 2 tentang pembentukan partai politik pada pasal 2 ayat (2), yaitu:
Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
Kemudian dipasal 20 dinyatakan bahwa:
Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing.
Bertalian dengan pencantuman dengan “memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30%” untuk pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan umum di dalam Pasal 20 UU No 2 Tahun
2008 ternyata ada yang pro dan kontra. Kelompok yang pro beranggapan, ketentuan untuk
pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota harus memperhatikan
keterwakilan perempuan 30% dianggap sebagai suatu kemenangan dalam memperjuangkan
hak-hak asasi perempuan di lembaga legislatif. Melalui jumlah 30% untuk calon perempuan
diharapkan dapat menambah jumlah perempuan di lembaga legislatif. Namun di pihak yang
kontra berpendapat, bahwa pencantuman tersebut adalah suatu hal yang mubazir, dan justru
bertentangan dengan prinsip yang dianut oleh UUD 1945, yang tidak membedakan antara
perempuan dengan laki-laki.120
3) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Ketentuan itu juga bertentangan dengan prinsip demokratisasi
sebagaimana saat ini sedang diperjuangkan di Indonesia.
121
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum adalah perubahan
dari undang-undang pemilu yang lama yaitu undang-undang no. 31 tahun 2002. Sejak dari
undang-undang yang lama pengaturan mengenai hak politik perempuan telah diakomodir. Di
120 Kesimpulan ini diambil dari ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2) Perubahan Kedua, dan Pasal 28 Db ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945.
121 Klausul dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD terkait dengan affirmative action antara lain adalah: Pasal 8 ayat (1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: (d) menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; Bagian Ketiga: Pendaftaran Partai Politik sebagai Calon Peserta Pemilu, pada Pasal 15:Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) meliputi: d. surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) sesuai dengan peraturan perundang-undangan; Pasal 53 : Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pasal 55 : (2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Bagian Ketiga : Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 57 : (1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah s ekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (2) KPU provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (3) KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pasal 58 : (2) Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut.
Universitas Sumatera Utara
undang-undang no. 10 tahun 2008 ini pengaturan mengenai kuota perempuan diatur dalam
pasal 8 ayat (1) huruf d, yaitu:
menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
Pada huruf (d) jelas terlihat bahwa pengaturan mengenai kuota perempuan merupakan
sebuah keharusan pada kepengurusan partai politik. Tetapi pada kenyataannya hal ini tidak
berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh undang-undang.
Lebih progresif lagi UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD,
dan DPRD karena mengatur pula tentang zipper system.122 Pasal 55 ayat (2) menyatakan
bahwa; “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga)
orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.”123
1. Rwanda dengan 48,8 % keterwakilan perempuan
Beberapa negara yang telah memberlakukan sistem zipper ini biasanya mengatur
ketentuan itu dalam Ad/ART partai mereka. Hal ini karena tingkat kesadaran politik mereka
yang tinggi. Menurut Women’s Environment and Development Organization, ada 13 negara
yang menggunakan sistem pemilu representasi proporsional dengan sistem kuota zipper.
Negara-negara tersebut berhasil mewujudkan komposisi parlemen dengan jumlah wanita
yang melampaui criticall mass sebesar 30 %. Negara yang memberlakukan zipper sistem
antara lain :
2. Swedia dengan 47,3 % keterwakilan perempuan
3. Finlandia dengan 42% keterwakilan perempuan
4. Norwegia dengan 37,9 % keterwakilan perempuan
5. Denmark dengan 36,9 % keterwakilan perempuan
122 Zipper system berarti bahwa gender kandidat dalam daftar dibuat berselang seling antara laki-laki dan perempuan
123 Siti Nur Solechah, Rekrutmen Politik Perempuan Bakal Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera
Utara dalam //http: www.google.com// diakses pada Senin, 15 November 2010 hal 69.,
Universitas Sumatera Utara
6. Belanda dengan 36,7 % keterwakilan perempuan
7. Argentina dengan 35 % keterwakilan perempuan
8. Mozambik dengan 34,8 % keterwakilan perempuan
9. Belgia dengan 34,7 % keterwakilan perempuan
10. Afrika selatan dengan 32,8 % keterwakilan perempuan
11. Austria dengan 32,2 % keterwakilan perempuan
12. Islandia dengan 31,7 % keterwakilan perempuan
13. Jerman dengan 31,6 % keterwakilan perempuan124
Namun demikian, UU Pemilu 2008 hanya membuka ruang terbatas bagi perempuan yakni
sampai pada pencalonan beserta daftar pencalonannya,bukan pada calon jadi. Tetapi, pada
tanggal 23 Desember 2008 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan yang isinya
membatalkan pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 yang menurut MK memuat standar ganda
dalam penetapan caleg. Dengan Putusan itu MK menetapkan suara terbanyak sebagai
mekanisme tunggal.
125
4) Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender/PUG (Gender Mainstreaming)
Putusan MK ini menyulitkan partai untuk menetapkan calon jadi
dengan sistem zipper.
Upaya affirmative action untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik terus
disuarakan, seperti pada pelaksanaan pemilu 2009, peraturan perundangundangan telah
mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon
anggota legislatifnya. Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan
124 Siti Nur Solechah, Ibid, hal 70. 125 http://m.detik.com//, diakses pada Senin, 15 November 2010
Universitas Sumatera Utara
mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama
di lembaga perwakilan rakyat.
Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring
dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan
saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3%). Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu
pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9%).
Kampanye kuota ini adalah bentuk perjuangan politik lanjutan perempuan setelah
tuntutan hak pilih bagi perempuan di awal abad 20 tercapai. Kampanye kuota bertujuan untuk
melawan domestifikasi, perempuan (melawan politik patriarki), karena domestifikasi dan
dominasi laki-laki atas perempuan dalam budaya patriarki bukanlah takdir. Untuk itu
kampanye kuota tidak selesai dalam wujud keterwakilan perempuan dalam partai politik dan
parlemen.
4. REALISASI PERLINDUNGAN INDONESIA TERHADAP HAK POLITIK
PEREMPUAN
A) KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PARLEMEN INDONESIA
Menurut sensus Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, jumlah perempuan Indonesia
adalah 101.525.816 atau 51% dari jumlah seluruh penduduk. Ini lebih banyak dari total
jumlah penduduk di tiga negara; Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun jumlah besar
tersebut tidak tercermin dalam jumlah dan persentase keterwakilan perempuan di lembaga
pengambilan keputusan politik di Indonesia (parlemen).126
1) DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR)
126 Ani Widyani Soecieptjo, “Affirmative Action Untuk Perempuan di Parlemen”, (dikutip dari Alida Alida Brill. A Rising Public Voice: Women in Politics World Wide. New York: The Feminist,1955,hal 188 - 190), dalam Julia I. Suryakusumah, Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta: Yayasan API, 2001, hal. 231
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Dasar Republik Indonesia tidak memberikan batasan akan partisipasi dan
keterwakilan politik perempuan. Keterlibatan perempuan dalam kehidupan publik telah
meningkat namun partisipasi dan keterwakilan mereka di lembaga legislatif tingkat nasional
maupun provinsi, dan di seluruh lembaga pemerintahan masih rendah. Dalam upaya
meminimalkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik bertalian dengan
upaya meningkatkan peran perempuan di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dilakukan berbagai upaya. Terhadap hal ini, muncul keinginan agar representasi perempuan
di lembaga DPR ditingkatkan. Keinginan untuk meningkatkan representasi perempuan di
lembaga DPR didasarkan pada pengalaman di masa yang lalu bahwa representasi perempuan
di DPR sangat minim sekali. Melalui Tabel di bawah ini dapat diketahui tentang representasi
perempuan di DPR-RI, sebagai berikut :
Tabel 1
Representasi Perempuan di DPR RI127
Periode
Anggota Perempuan
Anggota Laki-laki
1950-1955 (DPR Sementara) 9 (3,8%) 236 ( 96,2%) 1955-1960 17 (6,3 %) 272 (93,7%)
1956-1959 (Konstituante) 25 (5,1%) 488 (94,9%)
1971-1977 36 (7,8%) 460 (92,2) 1977-1982 29 (6,3%) 460 (93,7%) 1982-1987 39 (8,5%) 460 (91,5%) 1987-1992 65 (13%) 435 (87%) 1992-1997 62 (12,5%) 438 (87,5%) 1997-1999 54 (10,8%) 446 (89,2%) 1999-2004 46 (9%) 454 (91%) 2004-2009 65 (11,6%) 435 (87%) 2009-2014 101 (18 %) 459 (82%)
Para aktivis perempuan, organisasi perempuan dan LSM dibidang perempuan di
Indonesia tidak mengenal lelah dalam memperjuangkan hak-haknya, termasuk mengingatkan
127 Sumber: Data sampai periode 2004-2009 dikutip dari buku Panduan Calon Legislatif Perempuan Pemilu 2009, PUSKAPOL FISIP UI, 2009. Data 2009-2014 diambil dari www.kpu.go.id
Universitas Sumatera Utara
pemerintah Indonesia agar memperhatikan himbauan CEDAW. Himbauan para aktivis
perempuan agar pemerintah memperhatikan CEDAW baru mendapat perhatian yang serius di
Dewan Perwakilan Rakyat setelah era reformasi. Salah satu himbauan CEDAW yang
dimaksud adalah menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dengan
melakukan tindakan affirmatif. Tindakan Affirmatif ( affimative actions ) adalah tindakan
khusus koreksi dan kompensasi dari negara atas ketidakadilan gender selama ini128
128 Junita Budi Rahman, Perempuan di dalam Negara Maskulin Indonesia; dalam Rangka Peningkatan Keterwakilannya di Parlemen, (Makalah) Pusat Penelitian Peranan Wanita – Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Bandung, 2004, hlm.11.
.
Berkat perjuangan gigih Organisasi perempuan dan aktivis perempuan dalam
memperjuangkan hak-haknya dan koalisi perempuan anggota parlemen, di tengah berseminya
alam demokrasi dan keterbukaan di Era Reformasi, secara menagerial implementasi tindakan
itu dicoba melalui pencalonan anggota DPR dan DPRD sebagaimana diatur di dalam
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(UU.No.12 Tahun 2003). Pasal 65 ayat (1) UU. No. 12 Tahun 2003 tersebut mengatakan :
Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan Umum dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
UUD Negara kita telah menjamin adanya kebebasan dan persamaan hak dalam
meng-aktualisasikan dirinya sebagai warga Negara, sebagaimana yang tercermin dalam pasal
28A s/d 28J. Dalam konteks yang sangat luas, diskriminasi berdasarkan perspectif apapun
menjadi sangat tabu dilakukan, termasuk diskriminasi jender dalam dunia politik.
Universitas Sumatera Utara
Dalam UU No. 12 Tahun 2003 tantang Partai Politik, khususnya pada pasal 65 ayat
(1), telah disebutkan bahwa partai politik dianjurkan untuk mencalonkan 30% kaum
perempuan untuk dapat duduk di kursi legeslatif, baik di DPR, DPD, DPRD Tingkat I
maupun DPRD Tingkat II. Kebijakan ini, walaupun belum menyentuh subtansi ideal
sebagaimana yang diharapkan karena sifatnya yang masih berupa “himbauan”, sudah
sepatutnya harus dilihat dalam kerangka kaca mata yang positif. Sebagai sebuah bentuk
perjuangan, maka sudah barang tentu hal ini merupakan langkah awal sebagai entry point
untuk mencapai pengakuan yang komprehensif dan utuh.
Kaum perempuan harus berani tampil dalam dunia politik praktis yang selama ini
identik dengan dunia laki-laki. Penguasaan terhadap sektor-sektor publik harus dilakukan
melalui tahap-tahap demokrasi dengan memandang persaingan yang sehat sebagai sebuah
keniscayaan kehidupan. Hanya kaum perempuan sendirilah yang tahu masalah-masalah yang
berkaitan dengan mereka, sehingga dalam setiap kebijakan public seharusnya
memperhatikannya juga kepentingan kaum perempuan sebagai bagian dari objek kebijakan
itu sendiri. Dalam konteks ini, kita harus banyak belajar dari kaum perempuan di Swedia,
dimana partisipasi kaum perempuan di parlemen mencapai 40% sehingga komposisi anggota
parlemen antara yang laki-laki dengan perempuan, relatif berimbang.
Pengalaman di parlemen Swedia memperlihatkan bahwa, keterlibatan kaum
perempuan di sektor-sektor publik secara cukup signifikan, telah membawa perubahan yang
sangat penting dalam tata kelola pemerintahan dan tingkat kesejahtaraan masyarakat.
Keterlibatan kaum perempuan di sektor publik ini lebih ditujukan untuk memperbaiki kinerja
institusi publik. Data UNDP tahun 2002, memperlihatkan bahwa ketika Peru melakukan re-
strukturisasi birokrasi pemerintahannya dengan memasukkan 30% perempuan ke dalam
struktur baru, maka tingkat korupsi secara signifikan turun pula sebesar 30%.
Universitas Sumatera Utara
Tetapi mungkin hal tersebut belum berjalan dengan baik di Indonesia. Walaupun
sudah melakukan restrukturisasi terhadap peraturan perundang-undangannya, namun belum
ada perkembangan signifikan yang dapat dibanggakan. Hal ini dapat terlihat dari tabel berikut
ini:
Tabel 2.
KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF NASIONAL DAN PROVINSI HASIL PEMILU 2009129
No.
PROVINSI LAKI-LAKI % PEREMPUAN %
1. ACEH 13 100 0 0
2 SUMATERA UTARA 28 93,3 2 6,7
3. SUMATERA BARAT 13 92,9 1 7,1
4. RIAU 10 90,9 1 9,1
5. JAMBI 1 33,3 2 66,7
6. SUMATERA SELATAN 4 57,1 3 42,9
7. BENGKULU 16 94,1 1 5,9
8. LAMPUNG 3 100 0 0
9. BANGKA BELITUNG 3 75 1 25
10. KEPULAUAN RIAU 13 72,2 5 27,8
11. DKI JAKARTA 16 76,2 5 23,8
12. JAWA BARAT 70 76,9 21 23,1
13. JAWA TENGAH 17 77,3 5 22,7
14. DI YOGYAKARTA 68 88,3 9 11,7
15. JAWA TIMUR 7 87,5 1 12,5
129 Sumber: Komisi Pemilihan Umum, 2009 – 2014
Universitas Sumatera Utara
16. BANTEN 66 75,9 21 24,1
17. BALI 9 100 0 0
18. NUSA TENGGARA BARAT
10 100 0 0
19. NUSA TENGGARA TIMUR
12 92,3 1 7,7
20. KALIMANTAN BARAT
9 90 1 10
21. KALIMANTAN TENGAH
6 75 2 25
22. KALIMANTAN SELATAN
111 100 0 0
23. KALIMANTAN TIMUR 4 66,7 2 33,3
24. SULAWESI UTARA 5 83,3 1 16,7
25. SULAWESI TENGAH 5 83,3 1 16,7
26. SULAWESI SELATAN 21 87,5 3 12,5
27. SULAWESI TENGGARA
3 100 0 0
28. GORONTALO 4 80 1 20
29. SULAWESI BARAT 2 66,7 1 33,3
30. MALUKU 1 75 1 25,0
31. MALUKU UTARA 0 0 3 100
32. PAPUA BARAT 7 70 3 30
33. PAPUA 2 66,7 1 33,3
INDONESIA 461 82,3 99 17,7
Tak hanya minimnya jumlah perempuan yang membuat kita gusar tetapi juga
sebaran perempuan di komisi DPR. Perempuan ditempatkan di pos-pos pendukung, dan
bukanlah pos-pos sentral yang dapat membri dampak. Sebagian besar perempuan di parlemen
hanya menduduki pos tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan, kesehatan, Pendidikan,
pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, kebudayaan, dan komisi Agama, sosial,
pemberdayaan perempuan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.
Rasio Perempuan dan Laki-laki di Komisi-komisi di DPR RI (2009-2014)130
Komisi
Jumlah Anggota
Perempuan (%)
Jumlah Anggota Laki-laki
(%)
1. Pertahanan, intelejen, luar negeri, komunikasi, informasi
15,56% 84,44%
2. Pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, agrarian, KPU
25,45%% 74,55%
3. Hukum, perundang-undangan, HAM, keamanan
7,27% 92,73%
4. Pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, pangan
10,91% 89,09%
5. Perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat
10,91% 89,09%
6. Perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat
12,00% 88,00%
7. Energi, sumber daya mineral, riset dan teknologi, lingkungan hidup
9,09% 90,91%
8. Agama, sosial, pemberdayaan perempuan 22,92% 77,08%
9. Tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan, kesehatan
42,55% 57,45%
10. Pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, kebudayaan
26,00% 74,00%
11. Keuangan, perencanaan perbankan nasional, perbankan, lembaga keuangan bukan bank
20,00% 80,00%
Dari tabel diatas kita juga dapat menilai bahwa kuota 30% seperti bualan pemerintah
semata. Karena hamper semua komisi masih dibanjiri oleh kaum adam dan minimnya kaum
perempuan. Inilah realisasi yang terdapat di parlemen kita saat ini.
2) DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
130 Sumber: Data diolah dari “Daftar Anggota – Berdasarkan Komisi” Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (http://www .dpr.go.id/id/komisi/).
Universitas Sumatera Utara
Yang menarik, perwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) jauh
lebih baik daripada DPR RI. Perwakilan perempuan di DPD RI meningkat dari 22,6 persen
setelah pemilu 2004 menjadi 26,5 persen pada tahun 2009.
Tabel 4.
KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) NASIONAL DAN PROVINSI HASIL PEMILU 2009131
NO.
PROVINSI LAKI-LAKI % PEREMPUAN %
1. ACEH 7 87,5 1 12,5
SUMATERA UTARA 7 87,5 1 12,5
3. SUMATERA BARAT 7 87,5 1 12,5
4. RIAU 6 75 2 25
5. JAMBI 6 75 2 25
6. SUMATERA SELATAN 5 62,5 3 37,5
7. BENGKULU 5 62,5 3 37,5
8. LAMPUNG 7 87,5 1 12,5
9. BANGKA BELITUNG 6 75 2 25
10. KEPULAUAN RIAU 5 62,5 3 37,5
11. DKI JAKARTA 6 75 2 25
12. JAWA BARAT 7 87,5 1 12,5
13. JAWA TENGAH 6 75 2 25
14. DI YOGYAKARTA 4 50 4 50
15. JAWA TIMUR 7 87,5 1 12,5
16. BANTEN 7 87,5 1 12,5
17. BALI 8 100 0 0
131 Sumber: Komisi Pemilihan Umum, 2009 - 2014
Universitas Sumatera Utara
18. NUSA TENGGARA BARAT
6 75 2 25
19. NUSA TENGGARA TIMUR
6 75 2 25
20. KALIMANTAN BARAT 4 50 4 50
21. KALIMANTAN TENGAH
6 75 2 25
22. KALIMANTAN SELATAN
7 87,5 1 12,5
23. KALIMANTAN TIMUR 7 87,5 1 12,5
24. SULAWESI UTARA 7 87,5 1 12,5
25. SULAWESI TENGAH 4 50 4 50
26. SULAWESI SELATAN 7 87,5 1 12,5
27. SULAWESI TENGGARA 7 87,5 1 12,5
28. GORONTALO 8 100 0 0
29. SULAWESI BARAT 5 62,5 3 37,5
30. MALUKU 6 75 2 25
31. MALUKU UTARA 7 87,5 1 12,5
32. PAPUA BARAT 5 62,5 3 37,5
33. PAPUA 6 75 2 25
INDONESIA 204 77,3 60 22,7
Namun demikian capaian ini tidak diikuti oleh semua provinsi, seperti pada provinsi
Bali dan Provinsi Gorontalo pada pelaksanaan pemilu 2009 keterwakilan perempuan di DPD
tidak ada. Sementara terdapat 2 provinsi yang mencapai 37 persen yaitu provinsi Irinjaya
Barat dan Kepulauan Riau.132
132 Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif
Patut dicatat bahwa tidak ada kuota gender di DPD RI. Calon
anggota DPD RI mengikuti pemilu sebagai calon individual dari konstituen yang lebih besar,
berdasarkan kerja konstituensi dan politik mereka serta hubungan mereka dengan para
konstituen mereka. Sejumlah besar perwakilan perempuan di DPD RI menunjukkan sebuah
Universitas Sumatera Utara
kecenderungan positif yang ada diantara para pemilih di Indonesia yang ternyata tidak
memiliki bias gender terhadap para politisi perempuan. Para pemilih menunjukkan
kepercayaan mereka terhadap para calon legislatif perempuan dengan memilih mereka
sebagai perwakilannya di DPD RI. Akan menarik untuk mencari tahu siapa saja yang
memilih para perempuan ini dan mengapa.133
Namun pengelompokkan atas dasar provinsi ini sifatnya tidak mengikat dan
cenderung kolegial. Artinya tiap 4 anggota yang tergabung dalam satu provinsi, menentukan
‘sistem kerja’ masing-masing dan bersepakat untuk mengisi alat kelengkapan dan
Representasi perempuan sebagai anggota DPD hasil Pemilu 2009 memang lebih
menjanjikan jika dibandingkan representasi perempuan di DPR. Sifat pencalonan anggota
DPD yang lebih independen dan sangat tergantung pada kapasitas dan jaringan individual
dalam meraih kemenangan membentuk kondisi yang ‘lebih nyaman’ bagi perempuan untuk
bersaing. Walaupun perjuangan meraih kursi DPD dapat dianggap lebih berat karena daerah
pemilihan yang relatif besar, namun tidak adanya intervensi partai politik dan persaingan
realtif ‘sehat’ merupakan faktor pendukung bagi perempuan lebih leluasa berkiprah dalam
pemilu. Data Pemilu 2004 menunjukkan jumlah calon perempuan anggota DPD dan
keterpilihannya relatif tinggi. Jumlah calon perempuan hanya 10% dari total calon anggota
DPD (940 calon), dengan keterpilihan sebanyak 25 orang. Berbeda dengan DPR, isu
penyebaran anggota ke dalam alat kelengkapan tidak terlalu politis di DPD. Jika fraksi
berperan dominan dalam mekanisme internal DPR, tidak demikian dengan DPD. Para
anggota DPD lebih bebas menentukan keinginannya untuk masuk dalam alat kelengkapan,
dengan memperhatikan perimbangan provinsi. Peraturan Tata Tertib DPD 2005 memberikan
arah penyebaran anggota berdasarkan perimbangan provinsi, sehingga provinsi menjadi satu-
satunya indikator dalam penyebaran anggota.
133 United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Partisipasi Perempuan dalam Politik dan Pemerintahan, UNDP Indonesia:Jakarta, 2010, hal 6.
Universitas Sumatera Utara
pimpinannya. Sehingga penyebaran anggota ke dalam alat kelengkapan lebih ditentukan oleh
‘pilihan’ anggota masing-masing, tanpa intervensi dari institusi.
Seperti terlihat pada sebaran anggota perempuan DPD pada Panitia Ad Hoc (semacam
komisi di DPR) yang memiliki tugas antara lain mempersiapkan rancangan undang-undang
dan membahas rancangan undang-undang. Data Pemilu 2004 menunjukkan jumlah calon
perempuan anggota DPD dan keterpilihannya relatif tinggi. Jumlah calon perempuan hanya
10% dari total calon anggota DPD (940 calon), dengan keterpilihan sebanyak 25 orang.134
3) DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD)
Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat tingkat Daerah (DPRD) juga tidak terwakili
dengan baik. Data yang dihimpun dari 33 provinsi menunjukkan bahwa secara keseluruhan
hanya 13,53 persen perempuan terwakili di DPRD tingkat Provinsi.
Tabel 5
Keterwakilan Perempuan di DPRD tingkat Provinsi135
NO.
PROVINSI Jumlah Anggota Jumlah Anggota Total (100%)
Perempuan Persen Laki-Laki Persen
1. ACEH 4 5,80 65 94,20 69
SUMATERA UTARA 20
20 80 80 100
3. SUMATERA BARAT 7 12,73 48 87,27 55
4. RIAU 7 12,73 48 87,27 55
5. JAMBI 4 8,89 41 91,11 55
6. SUMATERA SELATAN 8 10,67 67 89,33 75
7. BENGKULU 7
15,56 38 84,44 45
134 United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Loc. Cit,
135 Sumber: ”Rekapitulasi Anggota DPRD Provinsi Seluruh Indonesia Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Pemilu Tahun 2009” Divisi Teknis & Humas KPU.
Universitas Sumatera Utara
8. LAMPUNG 12 16,00 63 84,00 75
9. BANGKA BELITUNG 3 6,67 42 93,33 45
10. KEPULAUAN RIAU 7
15,56 38 84,44 45
11. DKI JAKARTA 20 21,28 74 78,72 94
12. JAWA BARAT 26
26,0 74 74,00 100
13. JAWA TENGAH 18 18,00 82 82,00 100
14. DI YOGYAKARTA 11 20,00 44 80,00 55
15. JAWA TIMUR 19
19,00 81 81,00 100
16. BANTEN 16 18,82 69 81,18 85
17. BALI 4 7,27 51 92,73 55
18. NUSA TENGGARA BARAT
3 5,45 52 94,55 55
19. NUSA TENGGARA TIMUR
4 7,27 51 92,73 55
20. KALIMANTAN BARAT 4 7,27 51 92,73 55
21. KALIMANTAN TENGAH
7 15,56 38 84,44 45
22. KALIMANTAN SELATAN
7
12,73 4 87,27 55
23. KALIMANTAN TIMUR 9
16,36 46 83,46 55
24. SULAWESI UTARA 9 20,00 36 80,00 45
25. SULAWESI TENGAH 9 20,00 36 80,00 45
26. SULAWESI SELATAN 9 12,00 66 88,00 75
27. SULAWESI TENGGARA 2 4,44 43 95,56 45
28. GORONTALO 7 15,56 38 84,44 45
29. SULAWESI BARAT 5 11,11 40 88,88 45
30. MALUKU 8 17,78 37 82,22 45
31. MALUKU UTARA 3 6,67 42 93,33 45
32. PAPUA BARAT 5 11,36 39 88,64 45
Universitas Sumatera Utara
33. PAPUA 4 7,14 52 92,86 56
INDONESIA 288 1720 2008
Sekali lagi, ada variasi yang besar dalam hal keterwakilan perempuan di antara
provinsi-provinsi tersebut. Dari data sampel, jumlah tertinggi perwakilan perempuan ada di
provinsi Jawa Barat (26 persen) dan yang terendah adalah dari provinsi Sulawesi Tenggara
(4,44 persen) serta Nangroe Aceh Darussalam (5,80 persen). Keterwakilan perempuan berada
pada posisi terendah di tingkat kabupaten/kota. Data yang dihimpun dari 29 dari total 491
kabupaten/kota (DPRD Kabupaten/Kota) menunjukkan bahwa rata-rata hanya 10 persen
perempuan terwakili di pemerintah kabupaten. Belitung Timur dan Poso tidak memiliki
perwakilan perempuan sama sekali, sementara perwakilan perempuan tertinggi ada di kota
Gorontalo (24 persen) dan diikuti oleh Balikpapan (23,3 persen). Kabupaten adalah lapisan
pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat dan bertanggungjawab terhadap
pembangunan di daerah serta pelayanan sosial bagi masyarakatnya.
Terbatasnya keterwakilan perempuan di pemerintah kabupaten dapat berujung pada
tidak terpenuhinya kebutuhan, tidak teratasinya kekhawatiran perempuan, dan prioritas-
prioritas pembangunan dalam rencana pembangunan daerah dan mungkin akan mempertegas
marjinalisasi terhadap perempuan dalam mendapatkan pelayanan sosial di tingkat lokal.
Kurangnya kesempatan dalam memainkan peran yang penting dalam pemerintah daerah
berdampak secara negatif pada kemungkinan bagi perempuan untuk mengambil posisi utama
di kancah politik provinsi dan nasional.136
Dampak dari rendahnya representasi perempuan dalam struktur politik formal dan arena
pembuat serta pengambil kebijakan ini adalah langkanya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam
segala level yang berpihak pada perempuan sehingga kepentingan-kepentingan perempuan tidak
136 United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Op. Cit, hal 8.
Universitas Sumatera Utara
dapat diartikulasikan. Kebijakan-kebijakan yang ada selain diskriminatif terhadap perempuan
juga tidak merepresentasikan kepentingan perempuan sebagai warga negara. Kebijakan negara
yang bersifat bias jender selalu menyebabkan kepentingan perempuan terabaikan.137
A) KETERWAKILAN PEREMPUAN SEBAGAI KEPALA DAERAH DAN KEPALA DESA.
Di akhir tahun 2009, hanya satu dari 33 orang gubernur terpilih adalah perempuan
(Gubernur Provinsi Banten), dan hanya satu perempuan yang terpilih sebagai wakil gubernur
(Wakil Gubernur Provinsi Jawa Tengah).138 Pada tahun yang sama dari 440 kabupaten/kota,
terdapat 10 Bupati/Walikota (2,27 persen). Empat ratus dua (402) posisi Wakil
Bupati/Walikota, 12 (atau 2,27 persen) adalah perempuan (berdasarkan data dari
Kementerian Dalam Negeri, meskipun terdapat 38 posisi untuk Wakil Bupati Walikota yang
namanya tidak tersedia). Menurut penelitian, perbandingan kepala desa tahun 2010 di
Indonesia adalah perempuan sebesar 3,91% sedangkan kepala desa berjenis kelamin laki-laki
mencapai 96,09%.139
B) KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KABINET
Dari tiga puluh empat orang anggota kabinet saat ini, hanya ada lima orang menteri
perempuan (14,7 persen). Sebetulnya ini merupakan peningkatan sebesar 4 persen dari
kabinet terakhir yang hanya empat perempuan (11,1 persen) yang ditunjuk sebagai menteri
dari 36 orang anggota kabinet.
Keterwakilan perempuan yang rendah ini tidak sesuai dengan persentase perempuan
anggota legislatif di parlemen (18 persen). Departemen dan kementrian yang pada periode
137 Maria Ulfah Anshor, Nalar Politik Perempuan Pesantren, Cirebon: Fahmina-Institute, 2005, hal. 49
138 Sumber: Kementerian Dalam Negeri, 2010. 139 Sumber: “Political Leadership and Government: Government Institutions – Number of Head of Village”
BPS Catalogue: 2104010 – Women and Men in Indonesia 2008, hal 31.
Universitas Sumatera Utara
2005-2009 dipimpin oleh seorang menteri perempuan termasuk di dalamnya Kementerian
negara Pemberdayaan Perempuan (Meutia Hatta), Departemen Kesehatan (Siti Fadilah
Supari), Departemen Keuangan (Sri Mulyani Indrawati) yang juga menduduki pos yang sama
di cabinet jilid II Indonesia Bersatu dan pada tahun 2010 meninggalkan kursinya di menteri
keungan setelah guncangan kasus century dan tawaran kedudukan di bank dunia, Departemen
Perdagangan (Marie Elka Pangestu) yang kembali menjabat di kabinet untuk periode 2009-
2014 ini dan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Meskipun kedua
departemen pertama mewakili hal-hal yang ‘lunak’ secara umum terkait oleh peran
perempuan sebagai perawat, patut dicatat bahwa lembaga–lembaga terkait dengan masalah
keuangan, perdagangan dan pembangunan kini berada di bawah kepemimpinan menteri
perempuan.140
C) KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DEPARTEMEN, LEMBAGA SETINGKAT
DEPARTEMEN DAN NON DEPARTEMEN
Data sampel yang dikumpulkan dari departemen, lembaga setingkat departemen dan
nondepartemen mengenai pegawai perempuan di lembaga-lembaga tersebut menunjukkan
bahwa keterwakilan perempuan pada posisi tertinggi pengambil keputusan di seluruh
lembaga departemen dan pemerintahan sangatlah rendah. Di lima departemen (Komunikasi
dan Informasi, Transportasi, Pekerjaan Umum, Kelautan dan Perikanan, serta Agama) tidak
ada perempuan yang berada di eselon 1. Pada tingkat eselon 2 di departemen-departemen
tersebut, persentase perempuan yang memegang tampuk kepemimpinan tertinggi berkisar
dari 5,9 persen dan 27 persen, dan di eselon 3, persentasenya berkisar dari 14,3 persen hingga
21,2 persen.
Di kementerian negara dan lembaga setingkat kementerian, tidak ada satu pun
140 United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Op.Cit., hal 11.
Universitas Sumatera Utara
perempuan yang berada di posisi eselon 1. Persentase perempuan berada di eselon 2 berkisar
antara 4,2 hingga 23,3 persen. Di lembaga-lembaga non-departemen, ada dua lembaga yang
tidak memiliki pejabat eselon 1 perempuan, perempuan yang menduduki posisi eselon 2
bervariasi dari 6 hingga 44 persen, dan di eselon 3, persentasenya berkisar dari 6,9 hingga
63,6 persen. Mayoritas perempuan (50,8 persen) bekerja di eselon 4.
Tabel 6
Tabel Distribusi Jumlah PNS dirinci menurut Kelompok Jenis Jabatan dan Jenis Kelamin - Mei 2010141
Jenis Jabatan
Pria Persen Wanita Persen Jumlah
Fungsional Umum
1.407.056 54,96 916.150 42,17 2.323.206
Fungsional Tertentu
968.982 37,85 1.203.702 55,41 2.172.684
Struktural 184.045 7,19 52.537 2,42 236.582 Eselon 1 505 0,02 49 0,00 554 Eselon 2 6.693 0,26 539 0,02 7.232 Eselon 3 34.130 1,33 6.123 0,28 40.253 Eselon 4 133.876 5,23 43.067 1,98 176.943 Eselon 5 8.841 0,35 2.759 0,13 11.600 Jumlah 2.560.083 100,00 2.172.389 100,00 4.732.472
D) KETERWAKILAN PEREMPUAN DI KOMISI-KOMISI NASIONAL
Perempuan tidak terwakili di komisi-komisi independen yang dibentuk oleh negara
melalui peraturanperaturan hukum untuk melakukan fungsi checks dan balances bagi
pemerintah – meskipun komisi- komisi nasional ini memiliki keterbatasan dalam
kewenangannya. Dari sepuluh komisi independen, seperti yang ditunjukkan oleh tabel di
bawah ini, dua dari komisi yang ada tidak memiliki anggota perempuan (Komisi
Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial). Tingkat keterwakilan perempuan tertinggi
141 Distribusi PNS berdasarkan Kelompok Jenis Jabatan dan Jenis Kelamin-Mei 2010 dalam http://www.bkn.go.id// diakses pada Jumat, 19 November 2010.
Universitas Sumatera Utara
terlihat di Komisi nasional Anti kekerasan Terhadap Perempuan (86,7 persen), diikuti oleh
Badan Pengawas Pemilu (60 persen) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (46,5 persen).
Komisikomisi tersebut yang merupakan gambaran klasik peran tradisional perempuan di
dalam pelayanan ekonomi, dan tidak memiliki kekuasaan dalam hal keuangan dan masalah
politik.
Tabel 7
Keterwakilan Perempuan di 13 Komisi Nasional142
No.
Nama Komisi Periode Jumlah anggota
Perempuan
Jumlah Anggota Laki-Laki
Total
1. Komnas Perlindungan Perempuan
2010-2014 13 86,72% 2 13,3% 15 100%
2. Komisi Pemberantasan Korupsi – KPK
2009-2014 0 0% 5 100% 5 100%
3. Komisi Yudisial – KY 2002-2010 0 0% 6 100% 6 100% 4. Komisi Pengawas
Persaingan Usaha –KPPU
2006-2011 2 18,2% 8 81% 10 100%
5. Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Komnas HAM
2007-2012 1 10% 10 90% 11 100%
6. Ombudsman Republik Indonesia
2000-sekarang
2 33,3% 4 66,7% 6 100%
7. Komisi Nasional Perlindungan Anak
2007-2012 5 46,5% 6 54,5% 11 100%
8. Komisi Penyiaran Indonesia – KPI
2007-2012 2 25% 6 75% 8 100%
9. Komisi Pemilihan Umum – KPU
2007-2012 3 43% 4 57% 7 100%
10. Badan Pengawas Pemilihan Umum Bawaslu
2008-2013 3 60% 2 40% 5 100%
11. Komisi Hukum Nasional – KHN
2000-sekarang
0 0% 4 100% 4 100%
12. Komisi Informasi Publik
2009-sekarang
1 14% 6 85% 7 100%
13. Komisi Kepolisian Nasional – Kompolnas
2009-2012 1 20% 4 80% 5 100%
JUMLAH 33 67 100
142 Ani Widyani Soecieptjo, Op. Cit, hal
Universitas Sumatera Utara
E) KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM LEMBAGA PERADILAN
Perempuan terwakilkan secara marjinal di mahkamah agung dan pengadilan tinggi.
Pada tahun 2010, tidak ada satu pun perempuan yang bekerja sebagai hakim di mahkamah
agung indonesia. Hanya ada enam orang perempuan (15,8 persen) di eselon dua di
mahkamah agung. Di peradilan sipil, dari 3.104 hakim, 2.352 hakim adalah laki-laki (76
persen) sementara 752 orang hakim perempuan yang ada mengambil 24 persen dari jumlah
keseluruhan. Perlu digarisbawahiu bahwa tidak ada satu orang pun perempuan yang bekerja
di mahkamah konsitusi dari tahun 2003 – 2008 dan hanya satu orang perempuan yang
dimasukkan ke dalam daftar sembilan orang hakim mahkamah konstitusi yang memegang
peranan penting dalam peninjauan kembali berbagai perundang undangan yang diskriminatif.
Karenanya penting untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di mahkamah konstitusi.
Sedangkan di kejaksaan, data yang dikumpulkan dari kantor Kejaksaan Agung
memperlihatkan bahwa dari jumlah total jaksa di 31143 provinsi dan kejaksaan agung,
terdapat 29,17 persen jaksa perempuan. Sepuluh kantor kejaksaan agung, tidak ada
keterwakilan perempuan sama sekali. Hanya di Kantor Kejaksaan Agung di Banten dimana
pegawai perempuannya mencapai 44,4 persen, sementara di provinsi-provinsi lain jumlah
berkisar antara 0 hingga 22 persen.144
B. PENCAPAIAN INDONESIA DALAM MELINDUNGI HAK-HAK POLITIK
PEREMPUAN MELALUI MDG’s
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
143 Karena Papua Barat dan Sulawesi Barat merupakan provinsi yang baru dibentuk di Indonesia, maka data untuk provinsi provinsi tersebut belum tersedia. Oleh karena itu, data yang diperlihatkan hanya total jaksa dari 31 provinsi dan jaksa yang ada di Kejaksaan Agung dan Yang Dikaryakan, bukan dari 33 provinsi.
144 United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Op.Cit., hal 18.
Universitas Sumatera Utara
bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh
kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi ini
berdasarkan pendekatan yang inklusif, dan berpijak pada perhatian bagi pemenuhan hak-hak
dasar manusia. Dalam konteks inilah negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi
Millenium Development Goals (MDG) atau Tujuan Pembangunan Milenium.145
8. Membangun Kerjasama Global untuk Pembangunan
MDG’s
terdiri atas 8 tujuan yaitu:
1. Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan 2. Pendidikan Dasar untuk Semua 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan 4. Menurunkan Angka Kematian Anak 5. Meningkatkan Kesehatan Ibu 6. Memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan Penyakit Menular Lainnya 7. Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup
146
Indonesia sendiri di penghujung abad lalu mengalami perubahan yang amat besar
yaitu proses reformasi ekonomi dan demokratisasi dalam bidang politik. Seluruh sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara turut berubah dengan adanya reformasi dan
demokratisasi tersebut, sehingga UUD 1945 yang menjadi dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia juga mengalami amandemen. Tidak begitu lama kemudian, tepatnya pada tahun
2000, para pemimpin dunia bertemu di New York dan menandatangani “Deklarasi
Milennium” yang berisi komitmen untuk mempercepat pembangunan manusia dan
pemberantasan kemiskinan. Hal ini menjadi dasar dari tersusunnya pencapaian tingkat
145 Prof. DR. CFG. Sunaryati Hartono, SH, Op. Cit, hal 1.
146 Achie Sudiarti Luhulim, Op. Cit, hal 58.
Universitas Sumatera Utara
kesejahteraan umat manusia pada seribu tahun yang akan datang. Komitmen tersebut
diterjemahkan menjadi beberapa tujuan dan target yang dikenal sebagai Millennium
Development Goals (MDGs). Pencapaian sasaran MDGs menjadi salah satu prioritas utama
bangsa Indonesia. Pencapaian tujuan dan target tersebut bukanlah semata-mata tugas
pemerintah tetapi merupakan tugas seluruh komponen bangsa. Sehingga, pencapaian tujuan
dan target MDGs harus menjadi pembahasan seluruh masyarakat.147
Negara-negara secara umum dan Indonesia secara khusus telah meratifikasi beberapa
pengaturan hokum internasional yang mengatur perlindungan hukum bagi perempuan.
Seperti halnya Konvensi tentang Hak-hak Politik Wanita Tahun 1952 menjadi Undang-
undang Nomor 68 Tahun 1958, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita Tahun 1979 (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Woman) menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984, Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment) menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Selain
peratifikasian hukum internasional, ada juga peraturan hukum nasional yang melindungi hak
politik perempuan. Tetapi sepertinya pemerintah tidak serius dalam menangani dan
Dari delapan sasaran, yang akan menjadi sorotan adalah sasaran ketiga, yaitu
mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Kesetaraan gender dapat
berartui bahwa perempuan memiliki kesempatan, fasilitas serta kuota yang sama dengan laki-
laki dibidang apapun. Dalam hal ini yang akan dibicarakan adalah dalam bidang politik.
Yang menjadi target tujuan ketiga ini salah satunya adalah meningkatkan proporsi perempuan
dalam lembaga-lembaga publik.
147 Agoes Soehardjono MD, Op. Cit, hal 1.
Universitas Sumatera Utara
menanggapi permasalahan mengenai perlindungan hak politik perempuan ini.
Hal tersebut juga yang dialami perempuan di banyak Negara lain. Sehingga PBB
membuatnya menjadi salah satu tujuan milleniumnya. Agar Negara-negara lebih serius dan
lebih peduli lagi terhadap permasalahan perempuan dan hak politiknya. MDG’s seperti
dorongan bagi Negara-negara untuk lebih memperhatikan permasalahan hak politik
perempuan. Negara-negara khususnya Indonesia mulai memperbaiki kebijakannya terhadap
hak politik perempuan dan mulai menjalankan kembali peraturan hukum mengenai hak
politik perempuan yang telah dibuat.
Tabel 8
Representasi Perempuan di DPR RI148
Periode
Anggota Perempuan Anggota Laki-laki
1950-1955 (DPR Sementara) 9 (3,8%) 236 ( 96,2%)
1955-1960 17 (6,3 %) 272 (93,7%)
1956-1959 (Konstituante) 25 (5,1%) 488 (94,9%)
1971-1977 36 (7,8%) 460 (92,2)
1977-1982 29 (6,3%) 460 (93,7%)
1982-1987 39 (8,5%) 460 (91,5%)
1987-1992 65 (13%) 435 (87%)
1992-1997 62 (12,5%) 438 (87,5%)
1997-1999 54 (10,8%) 446 (89,2%)
1999-2004 46 (9%) 454 (91%)
2004-2009 65 (11,6%) 435 (87%)
2009-2014 101 (18 %) 459 (82%)
Dari tabel diatas, terlihat bahwa terdapat peningkatan yang cukup signifikan terhadap
148 Sumber: Data sampai periode 2004-2009 dikutip dari buku Panduan Calon Legislatif Perempuan Pemilu 2009, PUSKAPOL FISIP UI, 2009. Data 2009-2014 diambil dari www.kpu.go.id
Universitas Sumatera Utara
angka keterwakilan perempuan di lembaga legislatif setelah penandatangan MDG’s oleh
Indonesiaa. Walaupun angkanya tidak terlalu besar tetapi hal ini cukup membanggakan. Hal
ini tidaklah persoalan mudah yang dikerjakan dalam waktu singkat. Upaya untuk mendorong
keterwakilan perempuan dalam politik terus disuarakan, seperti pada pelaksanaan pemilu
2004 yaitu pemilu pertama setelah ditandatnganinya MDG’s, peraturan perundang-undangan
telah mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon
anggota legislatifnya.
Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 2002 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(pemilu legislatif) serta UU Nomor 13 tahun 2002 tentang Partai Politik telah memberikan
mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama
di lembaga perwakilan rakyat.
Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring
dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan
saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3%). Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu
pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9%).
Kita dapat cukup berlega hati walaupun angka presentasi perempuan belum sampai pada
kuota yang ditetapkan pemerintah.
Pada parlemen Indonesia, perempuan tidaklah menduduki pos-pos penting seperti hukum,
perundang-undangan, keungan, pertanian atau telekomunikasi. Perempuan banyak
didudukkan di pos-pos Agama, sosial, pemberdayaan perempuan yang berjumlah 22,92%,
Pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, kebudayaan sebesar 26% dan paling
banyak di komisi Tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan, kesehatan sebesar
Universitas Sumatera Utara
42,55%.149
Komisi Parlemen di Beberapa Negara
Bisa dibandingkan dengan distribusi anggota perempuan dalam komisi
perempuan di Negara lainnya.
Tabel 9
Gambaran Distribusi Anggota Perempuan dalam
150
Negara
Distribusi Perempuan dalam Komisi Parlemen
Swedia Representasi perempuan mencapai 48% tetapi distribusi perempuan tidak
berimbang. Sebagian besar perempuan berada di komisi pendidikan dan
kesehatan, sedang laki-laki di komisi ekonomi dan keuangan.
Ghana Ada komisi yang tidak ada anggota perempuannya seperti transportasi dan
keuangan.
Republik
Cheko
Representasi perempuan di parlemen adalah 15%, tidak ada perempuan di
komisi keuangan, mayoritas di komisi pendidikan dan kesehatan.
Kongo Anggota perempuan hanya 40 dari 500 anggota (kurang dari 10%). Sangat
sedikit perempuan untuk berpartisipasi dalam semua komisi.
Nigeria Sangat sedikit perempuan di komisi-komisi pertahanan, keamanan,
pertanian, lingkungan hidup dan ekonomi.
Austria Seharusnya bisa lebih banyak perempuan di komisi ekonomi dan keuangan;
serta lebih banyak laki-laki di komisi kesehatan dan kesetaraan.
Chili Perempuan difokuskan pada komisi keluarga, pendidikan dan kesehatan.
149 Data diolah dari “Daftar Anggota – Berdasarkan Komisi” Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (http://www .dpr.go.id/id/komisi/).
150 Sumber: Laporan IPU, Institutional Change: Gender-sensitive Parliaments, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Jika kita melihat jumlah anggota perempuan di DPR dan DPD hasil pemilu-pemilu
pada era reformasi (1999, 2004, 2009) menunjukkan adanya kenaikan jumlah. Itu dapat
berarti kabar baik bagi pemerintah, karena kebijakannya berhasil mendongkrak presentase
keterwakilan poerempuan di parlemen.
Tabel 10
Representasi Perempuan di DPR dan DPD
Periode DPR DPD
Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki
1999-2004 46 (9%) 454 (91%) DPD belum terbentuk
2004-2009 65 (11.6%) 435 (88.4%) 28 (21.2%) 104 (78.8%)
2009-2014 101 (18%) 459 (82%) 36 (27.7%) 96 (72.3%)
Dengan persentase hasil Pemilu 2004 tersebut, Indonesia berada di urutan 89 dari 187
negara berdasarkan data IPU 2006. Di kawasan Asia Tenggara, posisi Indonesia berada di
bawah Timor Leste (25 %) dan Filipina (15 %). Jika kita lihat data peringkat Indonesia dilihat
dari kondisi Human Development Index (HDI), Gender Development Index (GDI) dan
Gender Empowerment Measurement (GEM), datanya adalah sebagai berikut:
Tabel 11
Peringkat HDI, GDI dan GEM Indonesia tahun 2007-2009151
Tahun
Peringkat HDI
Indeks HDI
Peringkat GDI
Indeks GDI
Peringkat GEM
Peringkat GEM
2007 111 dari 182 Negara
0,7434 93 dari 155 Negara
0,726 96 96 dari 109 Negara
0,408
2008 109 dari 179 negara
0,726 85 dari 157 negara
0,719 87 dari 108 negara
0,441
151 Sumber: UNDP Human Development Report, 2009.
Universitas Sumatera Utara
2009 107 dari 179 negara
0,682 91 dari 144 negara
0,677 89 dari 186 negara
58,9
Dari data diatas, sepertinya pemerintah harus bekerja lebih keras. Pemerintah
Indonesia perlu membuat gebrakan baru untuk dapat meningkatkan lagi perlindungan
politiknya terhadap perempuan. Mungkin angka-angka keterwaklilan perempuan di parlemen
baik tetapi cukup menyedihkan jika ditelisik lebih lanjut di komisi Negara, lembaga
peradilan, dikabinet dan di lembaga-lembaga publik lainnya. Representasi kaum perempuan
pada posisi-posisi puncak pengambilan keputusan di semua departemen negara juga sangat
rendah. Meskipun kaum perempuan adalah mayoritas pegawai negeri di departemen-
departemen besar dan penting seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen
Kesehatan dan Departemen Dalam Negeri, kebanyakan mereka hanya menduduki posisi
birokrasi menengah ke bawah. Sebagian besar jabatan eselon (eselon 1 dan 2) dipegang oleh
lelaki. Banyak pihak yang menganggap bahwa pemerintah belum bekerja secara maksimal
untuk melindungi hak politik perempuan. Jika dilihat dari keberhasilan Negara lain
seharusnya pemerintah lebih giat lagi dan melakukan evaluasi untuk memaksimalkan potensi
perempuan. Pada beberapa Negara ini, pemerintah memaksimalkan kebijakannnya terhadap
perlindungan perempuan di Negara nya, yaitu:
1. Rwanda dengan 48,8 % keterwakilan perempuan
2. Swedia dengan 47,3 % keterwakilan perempuan
3. Finlandia dengan 42% keterwakilan perempuan
4. Norwegia dengan 37,9 % keterwakilan perempuan
5. Denmark dengan 36,9 % keterwakilan perempuan
6. Belanda dengan 36,7 % keterwakilan perempuan
7. Argentina dengan 35 % keterwakilan perempuan
Universitas Sumatera Utara
8. Mozambik dengan 34,8 % keterwakilan perempuan
9. Belgia dengan 34,7 % keterwakilan perempuan
10. Afrika selatan dengan 32,8 % keterwakilan perempuan
11. Austria dengan 32,2 % keterwakilan perempuan
12. Islandia dengan 31,7 % keterwakilan perempuan
13. Jerman dengan 31,6 % keterwakilan perempuan152
Dapat disimpulkan bahwa MDG’s membawa angin segar bagi kehidupan perpolitikan
perempuan Indonesia. Dengan adanya MDG’s pemerintah Indonesia lebih sadar akan
pentingnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia. Penerobosan-
penerobosan dal;am kebijakan sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, seperti penetapa
kuota perempuan sebesar 30% di parlemen. Walaupun belum teralisasikan dengan baik,
tetapi paling tidak telah ada cukup perhatian untuk melindungi hak politik perempuan. Tetapi
pemerintah Indonesia harus lebih giat dalam pr nya kali ini. Karena prestasi nya kali ini
belum bias dibanggakan untuk mencukupi indicator MDG’s di tahun 2015 nanti.
152 Siti Nur Solechah, Op.Cit, hal 70.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Hak asasi Perempuan merupakan bagian dari Hak asasi manusia. penegakan hak asasi
perempuan merupakan bagian dari penegakkan hak asasi manusia. Sesuai dengan
komitmen internasional dalam Deklarasi PBB 1993 , maka perlindungan, pemenuhan
dan penghormatan hak asasi perempuan adalah tanggung jawab semua pihak baik
lembaga-lembaga Negara ( eksekutif, legislatif, yudikatif ) maupun Partai politik dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan warga Negara secara perorangan
punya tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi perempuan
.Perjuangan untuk memasukkan perspektif perempuan dalam konsep HAM
didasarkan pada kenyataan bahwa pelanggaran Hak Asasi Perempuan (Woman
Human Rights) oleh struktur masyarakat yang patriaki di berbagai bidang kehidupan
sangat tidak adil untuk kaum perempuan. Pembagian peran secara seksual yakni yang
menempatkan perempuan dirumah (sektor domestik atau sektor privat) dan laki-laki
diuar rumah (sektor publik) menyebabkan terbatasnya akses perempuan terhadap
akses perempuan terhadap sumber daya, ekonomi, sosial dan politik. Secara ekonomi
ia menjadi sangt tergantung pada suaminya, kalaupun ia bekerja, ia tidak dipandang
sebagai manusia yang utuh karena ia hannya dianggap sebagai pencari tambahan
penghasilan keluarga. Oleh karena itu, ia tidak berhak menerima tunjangan-tunjangan
(keluarga atau kesehatan) karena dianggap telah mendapatkan dari suaminya. Politik
itu sendiri selama ini selalu identik dengan dunia laki-laki, dengan dunia kotor, yang
tidak pantas dimasuki oleh perempuan. Politik identik dengan sesuatu yang aneh dari
Universitas Sumatera Utara
pandangan feminitas karena politik terkait dengan kekuasaan, kesewenangan,
pengerahan massa dan kompetisi-kompetisi yang tidak melekat dalam diri perempuan
yang mengutamakan perdamaian dan harmoni. Kekuasaan pada dasarnya netral. Ia
bisa digunakan untuk kebaikan atau sebaliknya. Di dunia politik, kekuasaan yang
digunakan dengan baik diwujudkan melalui kepatuhan, perubahan dan pembaharuan.
Maka dari itu diaturlah konvensi internasional yang melindungi hak-hak perempuan
secara umum dan hak politik perempuan secara khusus yaitu Convention on
Ellimination of all form of Discrimination Against Woman (CEDAW). Indonesia
sendiri meratifikasi konvensi internasional ini lewat Undang-Undang No. 7 Tahun
1984. Tetapi, walaupun Indonesia sudah meratifikasi konvensi ini, tetap saja terdapat
diskriminasi terhadap hak politik perempuan. Hal ini terlihat dari rendahnya
keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga publik. Implikasi dari rendahnya
keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga penentu kebijakan publik, berakibat
pada dikeluarkannya kebijakan publik yang timpang, karena kurang
memperhitungkan kontribusi dan kebutuhan perempuan, serta menghasilkan kebijakn
publik yang rendah kualitasnya. Data nasional diatas menunjukkan adanya
disparitas/ketimpangan diantara warga negara perempuan dan laki-laki yang
mendapat manfaat dari pembangunan yang sedang berjalan, terutama perempuan
tertinggal di bidang pendidikan, kesehatan, ketenaga kerjaan, perlakuan diskriminatif,
tindak kekerasan, perdagangan perempuan dan anak, dsb. yang pada akhirnya akan
berpengaruh pada kesejahteraan dan kemajuan bangsa secara menyeluruh. Partisipasi
perempuan dalam politik secara aktif, menyumbangkan pemikiran sampai kepada
kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan politik sangatlah diperlukan. Hal ini
disebabkan apabila keterwakilan di lembaga politik Formal diserahkan kepada laki-
laki sebagai wakil perempuan akan menghasilkan kondisi bias gender.
Universitas Sumatera Utara
2. Pada akhir abad ke 19 menuju abad ke 20 pada tahun 2000, 189 negara sepakat untuk
menandatangani tujuan ppembangunan millennium atau yang lebih dikenal lewat
MDG’s. Terdapat delapan tujuan yang harus dicapai oleh Negara-negara
penandatangan pada tahun 2015. Keberhasilan suatu Negara dalam menjalankan
MDG’s dilihat dari pencapaian Negara terhadap indikator-indikator yang telah
ditentukan dari setiap aspeknya. Poin ke tiga dari MDG’s itu sendiri adalah kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan. Yang salah satu indikatornya adalah
pengoptimalisasian perempuan di lembaga-lembaga publik.
3. Hal inilah yang kemudiaan mendorong pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan
kebijakan bahwa adanya kuota sebesar 30 persen untuk perempuan di parlemen lewat
Undang-Undang no. 12 Tahun 2003 tentang partai politik yang dirubah dengan
Undang-Undang no. 2 tahun 2008 dan Undang-Undang no. 31 tahun 2003 tentang
pemilu yang kemudian dirubah dengan undang-undang no. 10 tahun 2008. Walaupun
hasil pemilu tahun 2004 dan tahun 2009 tidak memenuhi kuota tersebut, paling tidak
sudah ada langkah baik dari pemerintah untuk mengakomodir hak politik perempuan.
Hanya saja agar tidak tertinggal dari perkembangan Negara-negara lainnya, ada
baiknya jika pemerintah Indonesia melakukan gebrakan-gebrakan besar untuk lebih
memperjuangkan hak politik perempuan.
B. SARAN
Untuk mengatasi berbagai persoalan dan tantangan yang telah dijabarkan dalam hasil
penelitian akademis di atas, terdapat beberapa saran untuk meningkatkan representasi politik
kaum perempuan, yaitu:
1. Pertemuan untuk saling bertukar pikiran di kalangan organisasi masyarakat mandiri
yang memperjuangkan kepetingan perempuan. Sebelum merancang strategi,
Universitas Sumatera Utara
organisasi-organisasi itu perlu bertemu untuk membahas isu-isu yang ada, dengan
maksud memantapkan pendekatan dan strategi yang akan ditempuh. Berbagai
perbedaan strategi dan perspektif perlu ditolerir dan dipandang memperkaya
pembagian tugas para aktivis organisasi itu. Pertemuan koordinasi itu juga harus
melibatkan aktor-aktor lokal. Pertemuan-pertemuan yang sama juga dapat dilanjutkan
di tingkat propinsi, sehingga kelompok diskusi itu nanti dapat menetapkan strategi
yang paling sesuai dengan kondisi setempat.
2. Mengidentifikasi tokoh-tokoh perempuan yang berpotensi memimpin. Perlu dibuat
database tokoh-tokoh wanita yang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin di
tingkat nasional dan lokal.
3. Meningkatkan kapasitas perempuan untuk menduduki posisi pimpinan. Menggelar
berbagai lokakarya dengan muatan kurikulum khusus yang dirancang untuk
memperkuat kualitas kepemimpinan perempuan, terutama kemampuan mereka untuk
bekerja dalam organisasi politik dan lembaga publik. Mereka perlu disadarkan bahwa
mereka akan berkecimpung di dalam suatu lingkungan politik yang pada umumnya
bersikap tak bersahabat dengan kehadirannya. Kurikulum lokakarya itu dapat disusun
berdasarkan konteks khusus, dan mencakup studi-studi kasus atau situasi tertentu
yang kemungkinan besar akan dihadapi para peserta di kemudian hari.
4. Menyusun draft perundangan yang memungkinkan dilakukannya affirmative action.
Produk hukum paling strategis yang mempengaruhi partisipasi politik perempuan
adalah yang berkaitan dengan parpol dan pemilihan umum.
5. Melakukan lobi secara asertif ke gedung parlemen Suatu gerakan lobi yang terencana
dan efektif harus dilakukan oleh organisasi masyarakat mandiri, LSM dan anggota
parlemen sendiri jika mereka sungguh-sungguh menghendaki perubahan nyata.
Universitas Sumatera Utara
6. Membentuk sebuah kaukus atau jaringan kerja di kalangan para pendukung
perjuangan. Jaringan kerja lintas sektoral harus disusun, demi membentuk aliansi
yang stabil sehingga memperkuat dan menjamin kelangsungan gerakan yang
dilancarkan. Jaringan kerja itu dapat disusun di kalangan para aktor pendukung
gerakan, baik yang dari gedung parlemen, organisasi sosial, akademisi, organisasi
keagamaan, serta media. Jaringan kerja ini harus mengagendakan pertemuan strategis
secara reguler dan menjaga kontak antar sesama anggota.
7. Kampanye di media. Kampanye media dapat digunakan sebagai alat yang efektif
selama proses legislatif berlangsung.
8. Partai politik agar bersikap adil dan tidak membeda-bedakan anggota laki-laki dan
perempuan, mengubah penilaianpenilaian yang negatif terhadap anggota perempuan
dan mengubah kultur partai politik menjadi lebih adil gender, Partai politik perlu
mereformasi diri dan ini menjadi hal yang mutlak untuk dilakukan, apalagi anggota
DPD yang sekarang boleh dari partai politik. Partai politik juga perlu mendukung
tindakan affi rmative action antara lain dengan melakukan pendidikan politik dan
mengangkat isu-isu keadilan gender. Selain itu partai politik perlu memperbanyak
kader perempuan dengan latar belakang Aktivis, karena terbukti lebih peduli
terhadap nasib Buruh misalnya ketimbang kader dengan latar belakang Pengusaha.
Dengan pemahaman sedemikian maka aspirasi, kepentingan, kebutuhan, atau prioritas
perempuan tidak dapat sekedar diperhitungkan dalam dalam proses pengambilan keputusan
(oleh para pembuat keputusan), perempuan harus merepresentasikan dirinya sendiri dan
menyuarakan aspirasi, kepentingan, kebutuhan dan prioritasnya sendiri di dalam arena
pengambilan keputusan. Untuk itu perempuan harus diintegrasikan ke dalam politik dan
bersama-sama dengan para politisi laki-laki ikut mendefinisikan realitas politik. Selain dari
Universitas Sumatera Utara
perempuannya sendiri, harus ada juga tindakan tegas dari pemerintah untuk melindungi hak
politik perempuan. Pemerintah harus serius dalam menyikapi problematika yang terjadi pada
perempuan. Pemerintah juga harus berani melakukan pembaharuan kebijakan yang
mengakomodir perlindungan hak politik perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Sumatera Utara
top related