bab iii gambaran profil masyarakat dayak bakati di sungai ......jarak tempuh dari kota provinsi...
Post on 26-Dec-2020
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB III
Gambaran Profil Masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang
1. Gambaran Umum Masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang
Dayak Bakati di Sungai Kajang sering digolongkan juga sebagai Dayak Bakati Subah.
Sungai Kajang adalah nama sebuah kampung karena di wilayah tengah dari perkampungan
ini mengalir sungai yang disebut dengan Sungai Kajang. Secara administratif Sungai Kajang
disebut juga dengan nama Dusun Pengapit yaitu salah satu dusun yang menjadi bagian desa
Madak. Desa Madak merupakan salah satu desa dari bagian Kecamatan Subah di Kabupaten
Sambas Kalimantan Barat. Kabupaten Sambas merupakan kabupaten yang terdapat di
wilayah paling utara dari Kalimantan Barat. Jarak tempuh dari kota Provinsi Pontianak
sampai ke Kabupaten Sambas ialah + 6 jam dengan jarak 256 km. Berdasarkan Data
Monografi Desa maka luas desa Madak yaitu 32.429 Ha dengan posisi sebagai berikut:1
1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Sabung Kecamatan Subah
2. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Maribas Kecamatan Subah, Seberkat, Sebawi
3. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Mukti Raharja Desa Karaban Kecamatan
Subah
4. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Balai Gemuruh Kecamatan Subah
Sebagian besar penduduk dari Kabupaten Sambas ialah Melayu sementara masyarakat
Dayak adalah komunitas kecil di Kabupaten Sambas yang bermukim di wilayah hulu
(pedalaman). Berdasarkan sensus tahun 2001 penduduk Kabupaten Sambas berjumlah
471.034 jiwa dari jumlah tersebut kelompok masyarakat Dayak hanya berjumlah 22.410 jiwa
1 Data Manografi Desa Madak Tahun 2016
atau sekitar 5% dari total penduduk di Sambas.2 Untuk orang Melayu sebagian besar
bermukim di wilayah pesisir pantai sampai ke kota Kabupaten Sambas.
a. Asal-usul masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang
Berdasarkan terminologi lokal penamaan suku dan bahasa Dayak melibatkan
unsur bahasa, wilayah geografis dan tradisi lisan. Orang Dayak Bakati disebutkan demikian
karena kata kati yang paling banyak terdengar dan kemudian mendapat tambahan awalan ba.
Dayak Bakati di Sungai Kajang sering disebut juga sebagai Dayak Lampahuk. Istilah
Lampahuk ini diambil dari nama sungai yang keberadaannya pastinya sudah tidak diketahui.
3 Wilayah penyebaran suku Dayak Lampahuk ini terdapat di dua kecamatan yaitu Ledo dan
Subah. Di Subah penyebaran orang Dayak Lampahuk ini terdapat di wilayah adat Subah yang
terdiri dari Kampung Sabung, Kelingkau, Ketaban, Balai Gemuruh, Mejo, Mugum, Sungai
Ano, Sempuat, Sanibung, Lerak, Langke, Karangan, Batu Ahim, Prajo, Sekadau, Elok Asam,
Elok Gempita, Tebuah, Elok Kolong, Sungai Oreh, Tebuah Seruah, Semberang dan Selor
Medan.4 Kampung Sungai Kajang yang diketahui kini merupakan gabungan dua kampung
yang telah disebutkan di atas yaitu Batu Ahim dan Lerak. Nama Sungai Kajang dikarenakan
terdapat aliran sungai yang menjadi batas dari dua kampung tersebut.
Penulis akan memaparkan menurut tradisi lisan sebagaimana yang diceritakan oleh
Ketua Adat bahwa kisah diawali dari pembagian wilayah dari 4 kakak beradik yang pergi
merantau yaitu Makolek, Manara, Kibot dan Tanke.5 Kakak beradik ini dikisahkan mulai
mencari wilayah untuk mereka diami dan mereka hendak membagi tanah/ wilayah yang
mereka amati. Pembagian wilayah ini diperoleh berdasarkan aliran sungai dan 4 kakak
beradik inilah yang kemudian menjadi nenek moyang dari kamponk’ (kampung) yang
2 John Bamba, Mozaik Dayak di Kalimantan Barat (Pontianak: Institut Dayakologi, 2007), 21.
3 John, Mozaik Dayak, 55.
4 John, Mozaik Dayak, 55.
5 Gerson Boy Hasil wawancara 17 September 2017
membagi tanah adat Dayak Bakati. Dayak Lampahuk merupakan keturunan dari Kibot.
Makole menjadi nenek moyang dari mereka yang berada di binua Madak, Manara menjadi
nenek moyang di binua Sapa’ Sondong dan terakhir si Tanke nenek moyang di Tambang
Laut.6 Pada zaman dahulu Binua Subah terbagi dalam tiga lembaga adat yaitu Lembaga Adat
Lempahuk, Lembaga Adat Madak dan Lembaga adat Sapa’ Sondong.7 Orang Dayak Bakati
di Binua Subah terkenal sebagai pemegang adat tertinggi yaitu Simpar Majo.8 Simpar Majo
berasal dari kata Umpa dan Majo. Umpa adalah nama sejenis getah kayu yaitu kayu Majo
yang dipakai untuk merekatkan hulu parang (pertemuan besi dengan kayu). Orang Bakati
mempercayai Simpar Majo sebagai adat tertinggi yang berasal dari Nyabata atau Tuhan.9
b. Mata pencaharian, Agama dan Pendidikan
Masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang masuk dalam data penduduk desa Madak.
Desa Madak memiliki tiga dusun yaitu dusun Pengapit, dusun Karangan dan dusun Prajo.
Desa Madak letaknya dalam kecamatan Subah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan
dengan Desa Sabung (kec. Subah), sebelah barat berbatasan dengan desa Maribas(kec.
Subah), sebelah timur berbatasan dengan desa Mukti Raharja dan sebelah selatan berbatasan
dengan desa Balai Gemuruh.10 Masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang berada dalam
wilayah dusun Pengapit. Dusun Pengapit terdiri atas 4 (empat) Rukun Tetangga. Mayoritas
penduduk di Dusun Pengapit adalah suku Dayak Bakati yaitu 984 jiwa. Sementara suku
lainnya yaitu Jawa 18 jiwa, NTT 14 jiwa, Melayu 13 jiwa, Tionghoa 14 jiwa dan Batak 5
jiwa. Masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang telah menganut agama Kristen baik Katolik
dan Protestan. Berdasarkan data yang terdapat di desa Madak mayoritas Kristen Protestan
6 Gerson Boy Hasil wawancara 17 September 2017
7 John, Mozaik Dayak, 28.
8 John, Mozaik Dayak, 29.
9 John, Mozaik Dayak, 29.
10 Data Monografi Desa Madak tahun 2016
sebanyak 534 jiwa lalu Katolik 64 jiwa, Pentakosta 34 jiwa dan Islam 61 jiwa. Sehingga
masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang mayoritas beragama Kristen Protestan.
Sesuai konteks alam di Kalimantan Barat maka pekerjaan Dayak Bakati ialah
berladang dan berburu di hutan. Mata pencaharian dari masyarakat Dayak Bakati sebagian
besar ialah petani. Berdasarkan data sensus penduduk desa Madak tahun 2016 ada 805 jiwa
merupakan petani/ pekebun. Sebelum masuk perusahaan sawit maka masyarakat Dayak
Bakati memiliki kebun karet dan kebun durian. Pekerjaan ini masih mereka lakukan sampai
saat ini tetapi mereka juga bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit.
2. Pemahaman tentang Kearifan Lokal11
Kearifan lokal di Kalimantan Barat tidak bisa dilepaskan dari tanah dan
hutan. Hutan adalah keadaan alam di Kalimantan Barat dan tanah adalah bagian dari ritus
kehidupan masyarakat Dayak Bakati. Kearifan lokal pengertiannya adalah segala bentuk
kebijaksanaan yang didasari oleh nilai-nilai kebaikan yang dipercaya, diterapkan dan
senantiasa dijaga keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup lama secara turun
temurun oleh sekelompok orang dalam lingkungan atau wilayah tertentu yang menjadi
tempat tinggal mereka.12 Menurut UU no. 32 tahun 2009 adalah nilai-nilai luhur yang
berlaku dalam tata kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk melindungi sekaligus
mengelola lingkungan hidup secara asri.13 Sementara itu bagi pemahaman masyarakat Dayak
Bakati di Sungai Kajang adalah nilai lokal terkait adat yang mengatur tentang kehidupan
mereka dengan alamnya.
11 Wawancara dilakukan terhadap 12 orang warga biasa, 2 orang wakil dari pemerintahan desa dan 2
orang merupakan wakil dari pengurus adat.
12 Pengertian Kearifan Lokal Secara Umum, http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-
kearifan-lokal-secara-umum (diakses pada 13 November 2017)
13 Pengertian Kearifan Lokal Secara Umum, http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-
kearifan-lokal-secara-umum (diakses pada 13 November 2017)
Kearifan lokal masyarakat Dayak Bakati dapat disebutkan juga sebagai kearifan
ekologis karena terkait dengan tanah. Tanah merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat Dayak
Bakati. Hal ini terjadi karena ritus kehidupan masyarakat mulai dari lahirnya sampai matinya terkait
dengan keberadaan tanah. Pada zaman dahulu orang Dayak Bakati belum mengenal penanggalan
seperti sekarang oleh karena itu untuk mengingat masa kelahiran ataupun masa kematian ditandai
dengan hitungan waktu dari masa berkebun (nugal) yang diingat masyarakat. Tanah dan kekayaan
alam merupakan pilar kehidupan masyarakat Dayak.14 Bahkan istilah ngayau yang terkenal dalam
masyarakat Dayak terjadi sebagai upaya mempertahankan batas wilayah.15 Istilah ngayau identik
dengan perang mempertahankan wilayah atau batas yang terjadi ialah pemenggalan kepala dari ketua
adat.Kepala hasil mengayau dipersembahkan dalam upacara adat setiap tahun selama tujuh generasi.
16 Sehingga tanah diartikan sebagai ‘hidup’ yang dipertahankan dan ukurannya adalah nyawa. Tanah
bukan menjadi komoditas tetapi arti penting dari kehidupan dan keterikatan komunal.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar mengetahui tentang
kearifan lokal yang mereka sebut dengan nilai lokal terkait aturan adat. Hanya tiga orang
yang tidak mengetahui tentang kearifan lokal tersebut. Ketiga orang yang tidak mengetahui
tentang apa itu kearifan lokal/ nilai lokal karena memang tidak diajarkan oleh orang tua
mereka. Sementara mereka yang mengetahui tentang kearifan lokal tersebut mengetahuinya
dari orangtua dan juga aturan tertulis dari buku adat (d.h.i mereka yang pernah menjadi
pengurus adat). Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan penulis maka diketahui bahwa
orangtua memegang peranan penting untuk mewariskan nilai kearifan lokal dan
memperkenalkan identitas kesukuan mereka kepada generasi berikutnya. Dalam masyarakat
14 Stepanus Djuweng, Manusia Dayak: Orang Kecil yang Terperangkap Modernisasi (Pontianak:
Institut Dayakologi, 2005), 5.
15 Wawancara dengan Pak Gerson Boy (17 September 2017).
16 Muatan Lokal Pendidikan Multi Kultur Kalimantan Barat(Pontianak: Instititut Dayakologi,2005) 22
Ada tujuh tujuan orang melakukan ngayau, yaitu:
Perang antar sub etnis untuk menaklukkan perebutan penguasa tertinggi di suatu wilayah tertentu;
Untuk memperoleh wilayah baru;Untuk mencari mas kawin untuk dipersembahkan kepada calon
istrinya; Untuk melindungi ladang atau pertanian; Untuk mendapatkan tambahan daya;Untuk balas
dendam;Sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan/tumbal
komunal warisan nilai seringkali diberikan hanya secara lisan turun-temurun. Oleh karena itu
ketika tidak ada orang tua yang mengajarkan kepada anaknya maka warisan nilai lokal ini
dapat saja punah.
Hasil pengamatan penulis pun dilihat bahwa pengetahuan orangtua tentang nilai
kearifan lokal ini juga berpengaruh besar terhadap pemahaman yang benar yang akan
membentuk pandangan mereka tentang tanah. Sebagai contoh dari hasil wawancara
diketahui bahwa mereka hanya mengetahui kearifan lokal dan sistem tentang tanah itu dalam
tiga bentuk. Namun yang dapat mereka jelaskan hanya dua bentuk saja yaitu mengenai
tembawang dan tempasan. Sementara pengetahuan mereka tentang hutan adat seperti apa itu
pun kurang jelas atau samar-samar. Mereka hanya tahu bahwa hutan adat tidak boleh dijual
karena dahulu terdapat tumbuhan atau tempat yang dijadikan tempat pemujaan.
a. Tempasan
Istilah tempasan dalam bahasa Dayak Bakati ialah gugu.17 Tanah tempasan ialah
tanah yang diperoleh melalui proses buka ladang. Pada zaman dahulu orang Dayak
bertani/berladang dengan cara ladang berpindah. Setelah melakukan proses buka ladang
maka tanah tersebut menjadi ladang si pemilik yang membuka lahan. Dalam 1 tahun rata-rata
setiap keluarga membuka lahan untuk berladang seluas 2 Ha.
Tanah yang telah dikelola dan didiamkan selama 10 tahun akan ditanami kembali
setelah masa 10 tahun. Tanah yang telah didiamkan inilah yang kemudian menjadi milik si
pembuka lahan pertama dan tidak boleh dikerjakan atau diakui oleh orang lain. Tanah yang
telah menjadi ladang dari seseorang yang pertama membuka ladang inilah yang disebut
dengan tanah tempasan. Sehingga tidak tepat kalau dikatakan sistem membuka lahan ini
sebagai lahan berpindah karena yang sebenarnya dimaksudkan adalah lahan gilir balik.
Menurut pengakuan informan bahwa proses mendiamkan tanah selama 10
17 Wawancara dengan Pak Anelsius (Ketua Adat periode 2009 – 2014) tanggal 6 November 2017.
tahun akan membuat tanah subur lebih lama dan alami.18 Pemahaman ini mereka dapatkan
dari orangtua secara turun-temurun. Mereka menyadari bahwa dahulu tanah/ hutan mereka
menjadi tempat persediaan sumber air tanah. Masyarakat Dayak Bakati tidak pernah
merasakan kekeringan/susah air walaupun pada musim kemarau. Ironisnya sejak 10 tahun
belakangan ini air akan menjadi sulit didapat pada saat musim kemarau. Kearifan lokal
sebagai warisan nenek moyang mereka pahami mampu menjaga kelestarian hutan dibanding
yang terjadi pada masa sekarang
Ladang berpindah yang dilakukan orang Dayak dinilai merusak hutan tetapi padahal
tidaklah demikian. Bahwa untuk bisa membuka ladang mereka memang membakar hutan
tetapi tidak boleh hutan yang menjadi milik adat. Setelah ladang dibuka maka kemudian
tahun berikutnya mereka akan membiarkan lahan yang semula didiamkan selama 10 tahun
agar menjadi subur secara alami. Bahkan menurut pengamatan pakar kehutanan sosial
Ruthenberg telah menjelaskan daur perladangan berpindah selama 10 – 15 tahun
menyebabkan hutan menjadi subur secara berkelanjutan.19 Sistem ladang berpindah ini tidak
merusak hutan karena telah dilakukan selama ratusan tahun dan telah menjadi mekanisme
alamiah orang Dayak untuk menjaga tanah mereka. Bandingkan dengan pembukaan lahan
untuk perkebunan kelapa sawit yang berjumlah ratusan hektar dan dipakai secara terus
menerus selama 25 tahun.
Aturan adat juga secara tegas menekankan bahwa tidak boleh mengambil tanah
tempasan milik orang lain. Kelemahan dari aturan tentang tempasan ini ialah tidak ada proses
pengukuran tanah/ batas secara jelas.Hal inilah yang sekarang marak menjadi sengketa yaitu
soal batas yang tidak jelas dan tidak ada Surat Pengukuran Tanah (SPT).20 Oleh karena itu
18 Wawancara dengan Pak Boy, Pak Obet Alang dan Pak Anelsius (kecuali Pak Boy keduanya adalah
mantan pengurus adat)
19 Paulus, Kebudayaan Dayak,24.
20 Wawancara dengan Pak Kimsen (Kepala Desa Madak) pada tanggal 19 September 2017
diharapkan kejujuran dari setiap pribadi untuk mengingat batas tanahnya dan tidak
mengambil tanah milik orang lain. Biasanya dalam proses pengukuran tanah tempasan
dihadiri oleh orang banyak dan juga termasuk ketua adat.Tanah tempasan hanya boleh
didapatkan pada batas wilayah tanah dari kampung mereka dan tidak boleh melewati batas
tersebut. Apabila orang dari kampung lain hendak menggunakan tanah tempasan ini harus
mengikuti syarat atau aturan adat yang berlaku sebagai berikut:21
1. harus mendapat izin dari pemilik tanah dan ketua adat
2. tidak boleh mengambil lebih banyak dari si pemilik tanah. Masyarakat
menyebutnya bagi siku.
3. tidak boleh menanam tanaman keras seperti pohon karet, durian, dll.
tanaman yang boleh ditanam hanya tanaman pangan/ makanan pokok seperti padi
4. membayar sasu atau upeti kepada ketua adat yaitu sebanyak 2 gantang beras/1 tahun
Selain aturan yang telah disebutkan di atas, terdapat juga aturan untuk tidak
mengambil tanah atau memancang tanah (menancapkan tiang batas) milik orang lain.
Apabila melanggar aturan ini maka akan dikenai sanksi sebagai berikut:22
1. membayar denda satahil tangah jalu 5 suku artinya satahil besarnya hukuman
dihitung pakai mata uang , jika satu tahil dihitung 350.000 maka satahil tangah adalah
450.000 dan jalu diartikan babi, suku artinya hitungan 25 kilogram (berat) maka jalu 5
suku artinya babi seberat 125 kg
2. membetulkan tapal/pancang batas (diukur kembali secara benar)
3. kelengkapan sakral paraga adat yaitu alat untuk perlengkapan ritual adat terdiri dari
12 macam bahan seperti:23 babi, anjing, ayam, beras, beras ketan, beras kuning, kain
21 Wawancara dengan Pak Boy (Ketua Adat) pada tanggal 17 September 2017.
22 Badan Pemberdayaan Masyarakat Kalimantan Barat, Buku Adat dan Hukum Adat (Pontianak, 2003),
45
23 Wawancara dengan Pak Boy (Ketua Adat) pada tanggal 17 September 2017.
kuning, kain merah, dupa, kemenyan, minyak kelapa, arak putih, tempayan, mangkok,
kopi, gula, bambu, tembakau tepek, sirih pinang, daun tamiang, pinang muda, biji
timun, daun makso, daun rokok nipah dan air putih
Pada masa dahulu kala tanah tempasan ini tidak dijual karena memang tanah dilihat sebagai
sumber kehidupan untuk mendapatkan pangan. Sejak masuknya perusahaan maka masyarakat
mulai menjual tanah tempasan.24 Tanah tempasan ini dapat diteruskan kepada generasi
berikutnya (warisan).
b. Tembawang
Istilah tembawang ialah istilah yang dipakai secara umum di Kalimantan Barat. Tanah
tembawang ialah terdapatnya tanam tumbuh seperti karet, durian, tanaman keras lainnya yang
merupakan milik bersama karena awalnya merupakan pemukiman yang kemudian
ditinggalkan (bekas perkampungan).25 Dalam bahasa Dayak Bakati disebut dengan istilah
tamao’.26 Tanah tembawang inilah diartikan sebagai tanah ulayat dari masyarakat Dayak
Bakati. Oleh karena itu tanah ini tidak boleh dijual oleh siapapun tetapi dalam prakteknya
tanah ini dijual. Tembawang adalah sistem penggunaan lahan di masyarakat Kalimantan
Barat yang dianggap sebagai sistem penggunaan lahan yang lestari dan berkelanjutan.27
Tentang tembawang pemahaman masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang
]sedikit berbeda dengan masyarakat dayak di Kalimantan Barat pada umumnya. Mereka
mengetahui bahwa tembawang awalnya adalah tanah milik pemukiman bersama yang
kemudian dibuka untuk menjadi ladang dan kemudian ditanami tanaman keras seperti karet,
24 Wawancara dengan Pak Kimsen (Kepala Desa Madak 2013 s.d kini) tanggal 19 September 2017
25 Wawancara dengan Pak Kimsen (Kepala Desa Madak 2013 s.d kini) tanggal 19 September 2017
26 Wawancara dengan Pak Anelsius (Mantan Ketua Adat 2009 s.d 2014) tanggal 06 November 2017
27 Liu Purnomo, Pengertian Tembawang, http://bg-io.blogspot.co.id/2014/11/pengertian-
tembawang.html (diakses pada 13 November 2017)
durian atau pohon kayu. Mereka meyakini bahwa tembawang itu milik bersama dan hak
pengelolaannya diatur oleh adat.
Kelompok komunal seperti masyarakat Dayak Bakati melihat tanah sebagai kaitan
erat yang tidak dapat dipisahkan. Tanah adalah tempat tinggal mereka dan memberikan
kehidupan kepada persekutuan.28 Hak ulayat ini mengatur ke dalam maupun ke luar artinya
baik orang dalam (masyarakat kampung sendiri) maupun orang luar menghargai tanah
tersebut. Hukum tanah adat memiliki konsep komunalistik dengan semangat gotong royong
dan kekeluargaan serta memiliki makna religius.29 Dalam UUD 1945 pasal 18b ayat 2
menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.30 Menurut Boedi Harsono hak ulayat masih
dapat diakui oleh pemerintah jika memenuhi kriteria sebagai berikut:31
a. masih adanya kelompok orang
b. masih adanya tanah bersama
kepala atau tetua adat yang senyatanya diakui oleh warganya sebagai pengemban yang
mengelola, mengatur peruntukkan, penguasaan dan penggunaan atas tanah bersama tersebut.
Beda halnya dengan hutan adat ialah hutan yang merupakan tanah milik adat dan
diatur secara tegas tidak boleh dipakai untuk berladang karena di dalamnya terdapat situs
sejarah ataupun praktek penyembahan seperti yang terdapat di Batu Belah (lihat lampiran).
Batu belah dahulunya merupakan tempat pemujaan secara khusus ketika mereka akan
membuka ladang. Batu belah yang ada di Sungai Kajang ini pun terkenal dalam cerita
28 Paulus, Kebudayaan Dayak,48.
29 Bakhrul Alam, Pengantar Hukum Tanah Nasional: Sejarah, Politik dan Perkembangannya
(Yogyakarta: Penerbit Thafa Media, 2017), 100.
30 Bakhrul, Pengantar Hukum Tanah…, 102.
31 Bakhrul, Pengantar Hukum Tanah…, 102.
dongeng masyarakat di Kalimantan Barat. 32 Oleh karena itu sangat memprihatinkan apabila
tempat ini tidak dapat dijaga dan dilestarikan dengan baik. Untuk dapat menuju ke tempat
Batu Belah ini penulis harus menempuh jalan darat dengan kendaraan bermotor selama 40
menit setelah itu perjalanan mendaki (jalan kaki) karena tempatnya yang ada di ketinggian.
Dalam pengamatan penulis banyak dari masyarakat Dayak bakati di Sungai Kajang ini tidak
tahu persis letak atau keberadaan tentang Batu Belah ini. Lokasi Batu Belah terlihat kurang
dijaga dan dipelihara dengan baik karena akses jalan menuju ke tempat itu harus berjalan kaki
dan melewati semak duri yang cukup alit.
(Batu Belah atau Batu Batangkup; tempat legenda batu belah)
32 Dongeng ini diakui oleh masyarakat Melayu Sambas sebagai kisah mereka tetapi bagi masyarakat
Dayak Bakati pun meyakini dongeng itu milik mereka. Dari data yang penulis dapatkan ternyata dongeng ini
memiliki banyak kesamaan cerita dengan dongeng nusantara lainnya seperti yang menceritakan tentang
ketidaktaatan seorang anak. Dikisahkan tentang seorang ibu yang pergi bekerja, sebelum pergi si ibu berpesan
kepada anaknya yang sulung agar menyisakan makanan baginya sedikit. Saat si ibu pulang dan hendak makan
dilihatnyalah ternyata piring lauk itu sudah kosong. Dengan perasaan sedih dan kecewa si ibu melarikan diri dan
menangis di hadapan sebuah batu yang disebut batu batangkup. Si ibu memohon kepada batu untuk menelan
dirinya karena tidak mampu lagi mengasuh anak-anaknya. Batu belah yang disebut juga batu batangkup bagi
masyarakat Dayak bakati di Sungai Kajang adalah kawasan hutan adat yang di dalamnya dahulu kala
merupakan tempat penyembahan/ tempat ibadah dan pemujaan.
3. Faktor – Faktor Penjualan Tanah
Sebelum masuknya perusahaan tahun 1997 masyarakat Dayak Bakati di
Sungai Kajang tidak mengenal konsep jual beli tanah. Dalam buku aturan adat yang tercatat
di sana hanya soal aturan tentang batas tanah dan membuka ladang. Namun sejak masuknya
perusahaan dan kebijakan pemerintah pada era orde baru untuk mendorong laju
perekonomian daerah sehingga tanah mulai dijual.
Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap 9 orang warga biasa dan 2
orang pemuka adat di Sungai Kajang maka didapati bahwa semua warga di Sungai Kajang
memiliki tanah. Tanah yang mereka miliki sebagian besar merupakan hasil tempasan tetapi
ada juga yang memperolehnya dengan cara membeli.33 Menurut pengakuan warga paling
sedikit tanah yang mereka miliki 5 hektar dan jumlah terbanyak ialah sampai ada yang 100
hektar. Besar atau kecilnya jumlah tanah ini dapat diukur dari lama masa buka ladang
(berladang) dan dikalikan jumlah tanah dalam 1 tahun ketika membuka ladang rata-rata 2
hektar. Jadi contoh seperti ini: Jika Bapak A berusia 65 tahun saat ini dan ia telah berladang
sejak usia 20 tahun maka masa dia berladang adalah 30 tahun 30 x 2 ha= 60 hektar. Maka
rata-rata orang yang mulai membuka ladang sejak umur 20 tahun hingga usia 60 tahun dapat
memiliki tanah 50 s.d 80 hektar lahan tempasan. Seperti halnya beberapa informan menjawab
tanah yang diperoleh juga karena warisan selain karena buka ladang sehingga jumlah tanah
yang mereka miliki semakin banyak. Dari hasil wawancara terhadap 9 orang ada tiga orang
yang memiliki tanah lebih dari 40 hektar.34 Artinya siapa yang lebih banyak bekerja
membuka ladang berarti dia memiliki tanah yang paling banyak.
33 Hasil wawancara ada dua orang yang membeli tanah yaitu Pak Yufianus Akiong dan Pak Zakaria
Dana
34 Wawancara kepada Pak Zakaria Barudin, Pak Zakaria Dana dan Pak Obet Alang (ketiganya sudah
berusia di atas 60 tahun dan mereka aktif membuka ladang sejak masih muda).
Menurut pengakuan informan yang diwawancarai mereka menyadari tanah adalah
bagian penting dalam kehidupan masyarakat Dayak. Sehingga dahulu ada tradisi ngayau
sebagai cara untuk mempertahankan tanah atau wilayah yang mereka miliki (senada dengan
penuturan Ketua Adat). Maka tidak ada juga kamus atau istilah jual-beli tanah dalam aturan
adat masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang. Istilah meminjamkan tanah ada tetapi
menjual tanah tidak pernah ada. Mereka pun mengakui bahwa maraknya penjualan tanah
terjadi sejak tahun 1998 ketika masuk perusahaan pertama di wilayah Sungai Kajang yaitu
PT SDS. Bahkan sampai akhir-akhir ini semakin marak terjadi penjualan tanah yang juga
memunculkan persoalan baru yaitu sengketa tanah.35 Beberapa sebab terjadinya sengketa
tanah adalah sebagai berikut:
- Orang yang menjual lahan tempasan milik orang lain kepada cukong atau pihak
perusahaan dan mengakui miliknya setelah kemudian tanah itu digarap pemilik asli
melakukan protes. Ini yang paling sering terjadi karena dahulu tanah tempasan tidak
ada patok atau batas tanah yang jelas. Pada zaman aturan adat masih dihargai dengan
baik saat itu orang mengedepankan kejujuran dan kepercayaan. Sebab apabila
dilanggar maka akan dikenakan sanksi adat yang cukup berat. Namun sejak
maraknya jual-beli tanah dan longgarnya aturan adat ini maka didapatilah pengakuan
tanah yang bukan miliknya. Oleh karena itu sekarang pemerintah desa dan adat
menetapkan setiap mereka yang menjual tanah harus memiliki minimal SPT dan
mendapat tanda tangan dari pihak adat dan pihak desa.
- Penjualan tanah kepada banyak pihak. Pada umumnya tanah yang mereka miliki tidak
punya surat yang jelas. Oleh karena itu terjadi praktek penjualan tanah kepada banyak
pihak atas lahan tanah yang sama.
35 Wawancara dengan Bpk Kimsen (Kepala Desa Madak)
- Penjualan tanah adat. Ini yang paling menyedihkan menurut pengamatan penulis telah
terjadi penjualan tembawang oleh oknum pengurus adat yang terdahulu. Bahkan di
tanah tembawang itu terdapat tempat penyembahan dan juga makam yang ditandai
dengan banyaknya guci/tempayan kuno berserakan di tanah tersebut (lihat
lampiran).36
36 Hasil wawancara dan penelitian bersama Pak Tinus.
Tempayan atau guci kuno dahulu merupakan penanda kuburan/makam bagi masyarakat Dayak Bakati
saat mereka belum menganut agama Kristen. Masuknya agama Kristen maka tempayan/guci itu berubah
tandanya dengan salib.
Tanah yang mereka miliki ada yang dijual ke pribadi istilah mereka cukong sebutan
bagi orang Tionghoa dan dijual kepada perusahaan. Bedanya kalau dijual ke cukong tersebut
mereka jual lepas. Harga yang dipatok untuk jual tanah terbilang murah yaitu lima s.d
delapan juta per hektar. Sementara kalau dijual ke perusahaan tidak dijual lepas istilahnya
HGU (Hak Guna Usaha). Tanah itu dikelola perusahaan selama 25 tahun dan akan kembali
menjadi milik mereka lagi.Ironisnya saat mereka menjual tanah tersebut kepada cukong lalu
mereka pun diupah untuk mengerjakan tanah tersebut (menjadi suruhan dari pemilik tanah
yang baru).37 Begitu pula ketika mereka jual ke perusahaan maka kemudian mereka
menggarap tanah tersebut menjadi buruh sawit di atas tanah milik mereka sendiri (kembali
menjadi orang suruhan). Penjualan kepada perusahaan pun terikat dengan perjanjian
kerjasama (MOU) ataupun kontrak bagi hasil. Saat ini mereka memperoleh hasil dari panen
sawit di perusahaan dengan perbandingan 80:20 ( 80 persen hasil panen milik perusahaan,
sementara 20 adalah hak pemilik tanah). Seperti perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh
perusahaan PAP dengan masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang.38 Menurut pengakuan
Pak Akbar selaku manajer di PAP, perusahaan juga telah membuka peluang warga desa
mendapatkan pekerjaan. Meskipun tingkat pendidikan dan ketrampilan mereka tidak
memadai tetapi karena ada tanggung jawab moril kepada masyarakat adat maka warga desa
dapat bekerja di perusahaan.39 Pada tahun 2016 ini sudah ada 800 hektar tanah yang dibayar
oleh perusahaan dari tempasan milik masyarakat di Sungai Kajang (lihat lampiran).
37 Wawancara dengan Pak Boy (Ketua Adat 2014 s.d kini), pada tanggal 17 September 2017.
38 Wawancara dengan Pak Akbar Manajer tanggal 31 Oktober 2017
39 Wawancara dengan Pak Akbar Manajer tanggal 31 Oktober 2017
Kehadiran perusahaan sawit membawa perubahan fisik yang terlihat jelas bagi warga
di Sungai Kajang. Dahulu akses untuk sampai ke Sungai Kajang dari kota Kabupaten Sambas
ditempuh melalui jalur sungai atau jalan darat belum aspal (masih tanah merah). Seiring
masuknya perusahaan sawit maka akses jalan mulai terbuka dan jarak tempuh dari Sungai
Kajang ke kota Kabupaten Sambas hanya menjadi 30 – 40 menit (23 km). Masuknya
perkebunan kelapa sawit ini juga merupakan program pemerintah yang mendukung proses
percepatan pembangunan perekonomian daerah. Berdasarkan keadaan demografis, geografis
dan potensi ekonomi Kalbar maupun kontribusi antar wilayah maka kehadiran proyek di
daerah Kalbar dipilih oleh pemerintah sebagai salah satu alternatif mengatasi kesenjangan.40
Sebagian besar orang dayak memang tinggal di pedalaman sehingga memang terjadi
kesenjangan ekonomi dengan suku/etnis lain yang tinggal di wilayah luar.
Masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang pun berpikir untuk memperbaiki taraf
hidup mereka seiring dengan perubahan yang terjadi di kampungnya. Pembukaan akses jalan
mempermudah juga mereka untuk tahu kemajuan yang terdapat di wilayah kota Kabubaten.
Salah satu kemajuan yang dilihat mereka ialah perkantoran dan bangunan sekolah. Bangunan
sekolah yang ada di Sungai Kajang sejak tahun 1984 hanya sebuah bangunan Sekolah Dasar
oleh karena itu tidak heran jika rata-rata pendidikan mereka ialah tamatan SD. Untuk bisa
melanjutkan pendidikan maka mereka harus menyekolahkan anaknya ke kota kabupaten yaitu
di Sambas. Namun seiring dengan pembukaan akses jalan yang lebih baik maka mulai
terdapat bangunan sekolah SMP di Sabung dan pilihan untuk tingkat SMA ada di kecamatan
Subah atau Kabupaten Sambas.
40 Paulus, Kebudayaan Dayak, 221.
Menurut pengakuan informan yang diwawancarai diperoleh jawaban alasan mereka
menjual tanah (dapat dikatakan juga penyebab mereka jual tanah), yaitu:41
1. Untuk membangun rumah dari 10 informan, 7 orang mengakui bahwa uang tersebut
mereka pergunakan untuk membangun rumah. Menurut pengakuan mereka bahwa
rumah itu adalah kebutuhan karena selama bertahun-tahun mereka hidup di rumah
papan (gubuk) yang menurut mereka sudah tidak layak lagi. Sementara kalau
mengandalkan hasil panen dari karet atau durian (petani) tidak akan cukup untuk
membangun rumah yang permanen (tembok beton). Bahkan mereka pun mengakui
uang hasil jual tanah itu juga dipergunakan untuk membangun rumah bagi anak-anak
mereka yang sudah berkeluarga.
2. Untuk pendidikan anak (biaya kuliah) dari 10 informan yang sama, jawaban
terbanyak kedua sekitar 6 orang mengakui penjualan tanah digunakan untuk biaya
pendidikan anak. Membiayai sekolah SMA dan kuliah anak-anak mereka ke Jawa
ataupun ke Pontianak. Di Sungai Kajang hanya ada sekolah dasar yang merupakan
milik Yapendik GPIB Syaloom Sungai Kajang. Untuk sekolah Menengah Atas
(SMU) hanya ada di kota Sambas. Oleh karena itu untuk menyekolahkan anak sampai
tingkat SMU/SMA butuh biaya yang tidak sedikit (sebagian besar untuk biaya kost
dan kebutuhan makan sehari-hari). Kalau anak mereka tidak masuk sekolah negeri
maka semakin besar lagi biaya yang dibutuhkan. Mereka mengakui tidak mungkin
mampu kalau hanya mengandalkan penghasilan mereka sebagai petani. Beberapa
informan yang menjawab ini menyadari bahwa anak-anak mereka harus lebih baik
tingkat pendidikannya daripada orangtua mereka yang rata-rata hanya tamatan SD.
Jawaban sederhana beberapa orang agar anaknya dapat pekerjaan lebih baik tidak
41 Hasil wawancara dengan Pak Dana, Pak ObetAlang, Pak Barudin,Pak Panggil, Ibu Angui, Pak
Yosea Samdiong, Pak Rupin, Pak Matius Aen, Pak Victor I Kelly, Pak Kimsen, Pak Anelsius, Pak Yufianus
Akiong.
hanya jadi buruh atau tani seperti orangtua mereka. Ada ucapan begini “biar anak
saya pakai pen di saku kemejanya” itu menunjukkan bahwa ada dorongan untuk
memperbaiki taraf hidup anak-anak mereka.
3. untuk membeli kendaraan bermotor. Jawaban ketiga terbanyak yaitu sekitar 6 orang
mengakui uang penjualan tanah tersebut dipakai untuk membeli kendaraan bermotor.
Alasan mereka karena mempermudah kegiatan mereka untuk beli kebutuhan,
transportasi kerja dan ke sekolah.42 Jadi membeli kendaraan bermotor pun adalah
salah satu kebutuhan bagi mereka.
4. Untuk membeli peralatan rumah dan elektronik.
5. untuk membeli kebutuhan sehari –hari. Ada sekitar 2 orang informan yang mengakui
bahwa uang hasil penjualan terpakai untuk kebutuhan hidup sehari-hari
6. untuk membeli bibit sawit. Salah seorang informan menjawab bahwa uang hasil
penjualan itu digunakan untuk membeli bibit sawit karena masih banyak lahan tanah
yang dia miliki dan sebagai sumber pemasukan bagi kehidupan keluarganya.43
7. untuk menabung beberapa informan mengaku (5 orang) bahwa uang itu disimpan oleh
mereka di Credit Union (CU). Sebagian besar orang di Kalimantan Barat gemar untuk
menabung di CU karena tabungan di CU bunganya lebih tinggi dari bank. Selain itu
memiliki tabungan di CU memudahkan mereka untuk meminjam uang untuk
keperluan mendesak mereka seperti sakit dan membiayai pernikahan anak.
42 Sekolah Menengah Pertama (SMP) ada di desa Sabung dengan jarak tempuh 8,5 km, sementara
untuk SMA ada di kabupaten Sambas yang berjarak 23 km dan Kecamatan Subah 20 km. Oleh karena itu
mereka sangat membutuhkan kendaraan bermotor untuk mengantar dan menjemput anak mereka berangkat
sekolah atau membiarkan anak-anak mengendarai motor. Jarak tempuh yang jauh menjadi alasan kuat mereka
untuk membeli keadaan motor bagi kelancaran transportasi anak-anak mereka.
43 Wawancara dengan bapak Zakaria Dana
8. untuk biaya pengobatan. Ada 2 informan yang mengakui bahwa uang hasil jual tanah
tersebut digunakan untuk biaya pengobatan karena pada waktu itu belum ada BPJS
(Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) seperti sekarang.44
Berdasarkan hasil jawaban dari para informan di atas maka dapat dilihat bahwa
alasan ekonomi dan tuntutan kebutuhan menjadi alasan atau penyebab mereka menjual tanah.
Selain itu keinginan untuk meningkatkan taraf hidup juga menjadi penyebab mereka menjual
tanah (dapat dilihat pada poin 1,2 dan 5). Dampak positif memang tidak dapat
dikesampingkan daerah terpencil berubah menjadi kawasan yang sibuk dengan kegiatan
ekonomi dan persaingan serta tantangan untuk memperoleh nilai tambah ekonomis bagi
setiap orang.45 Oleh karena itu penulis melihat bahwa kehadiran perusahaan membawa
perubahan terhadap pola perilaku dan pola pikir masyarakat Dayak Bakati di Sungai Kajang.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penjualan tanah tersebut maka penulis
mengajukan pertanyaan berikut. Penulis bertanya “apakah ada penyesalan setelah mereka
menjual tanah?” Jawaban dari informan 10 orang yang ditanya, 7 orang mengaku tidak
menyesal menjual tanah tersebut. Mereka mengaku menjual karena terdesak oleh kebutuhan
seperti pendidikan, rumah dan kesehatan. Bahkan ada yang mengaku tidak menyesal karena
memang sudah lanjut usia dan lahan yang dimiliki tersebut sangat jauh sehingga tidak
mungkin untuk dikerjakan lagi.46 Sebagian besar yang menjawab tidak menyesal karena
menyadari tanah yang mereka serahkan kepada perusahaan hanya sebagian kecil dari yang
mereka miliki, misalnya dari tanah 60 hektar yang diserahkan ke perusahaan hanya 10 persen
yaitu 6 hektar. Bagi beberapa orang yang menyesal itu karena merasakan jerih lelah mereka
waktu buka ladang kini telah menjadi milik milik orang lain.
44 Wawancara dengan Pak Obet Alang dan Pak Zakaria Barudin
45 Paulus, Kebudayaan Dayak, 225.
46 Wawancara dengan Pak Obet Alang
4. Penegasan Nilai Kearifan Lokal
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan para informan yang berusia di
atas 35 tahun mengakui bahwa dulu kawasan di Sungai Kajang adalah kawasan hutan yang
terlindungi. Menurut pengakuan informan yang lanjut usia bahkan menyatakan kawasan
Sungai Kajang terkenal sebagai kawasan yang terkenal dengan airnya yang jernih.
Perubahan lingkungan ini dirasakan benar oleh mereka saat telah masuknya usaha
penambangan dan perusahaan sawit di kampung mereka (lihat lampiran). Saat maraknya
orang menjual tanah seiring dengan masuknya perusahaan kelapa sawit makin terasa
perubahan lingkungan di Sungai Kajang tersebut. Komersialisasi tanah menjadi faktor yang
akhirnya merusak ekologi di Sungai Kajang. Hal-hal yang menjadi kearifan lokal ialah
sebagai berikut:
- Tanah bukanlah komoditas dan tidak dapat diperjualbelikan karena menyangkut
identitas dan bagian hidup masyarakat Dayak Bakati. Menjunjung tinggi nilai
tanah
- Menjaga keseimbangan alam dengan membiarkan tanah beristirahat selama 10
tahun maka tanah akan menjadi subur secara alami.
- Kejujuran untuk saling menjaga batas tanah masing-masing orang
- Menghargai orangtua, leluhur dan adat istiadat.
Setelah masuknya perusahaan sawit maka terjadilah proses jual beli tanah
yang berdampak pada perubahan atas nilai kearifan lokal seperti:
- Tidak lagi mengerjakan ladangnya dan menjual tanah sehingga tanah menjadi
komoditas
- Terjadi ketidakseimbangan alam seperti kerusakan ekologi, dampak yang paling
terasa ialah krisis air pada musim kemarau.
- Menipu demi untuk mendapatkan uang dengan cara menjual tanah yang bukan
miliknya
- Tidak menghargai lagi pranata adat atau warisan leluhur dengan munculnya
oknum-oknum yang menjual tanah ulayat
- Perilaku konsumtif dengan suka membeli barang yang diperoleh dengan cara
menjual tanah
Penulis mempertanyakan kepada pemuka adat usaha apa yang dapat dilakukan setelah
terjadi hal seperti demikian. Apakah telah dilakukan usaha-usaha untuk mencegah atau
menegaskan kembali kearifan lokal masyarakat Dayak Bakati di tengah maraknya
komersialisasi tanah? Menurut penuturan Pak Gerson Boy selaku Ketua Adat periode 2014 –
2019 pihak adat telah melakukan upaya-upaya untuk melindungi tanah sebagai berikut:47
1. tidak mudah menandatangani berkas/dokumentasi SPT ataupun penjualan tanah
2. mendata kembali tanah-tanah yang menjadi tanah ulayat/ adat yang telah dijual.
3. mengembalikan tanah ulayat kembali menjadi milik adat
4. menjalin kerjasama dengan pemerintah desa untuk mengurus tanah ulayat
5. menjalin komunikasi dengan pihak perusahaan terkait dengan tanah-tanah yang telah
diserahkan ataupun yang menjadi sengketa
6. mensosialisasikan kembali aturan atau sanksi adat kepada mereka yang dinilai telah
melanggar ketentuan adat.
Diakui oleh pihak pengurus adat bahwa usaha-usaha ini tidak akan berjalan
baik tanpa kesadaran dan kemauan masyarakat untuk bekerja sama.48 Persoalan tanah ini
memang menimbulkan dilema bagi pengurus desa maupun adat karena alasan mereka
menjual tanah seringkali terdesak karena kebutuhan. Bahkan pengakuan dari salah seorang
informan mengaku alasan terdesak secara ekonomi saja yang membuatnya berani menjual
47 Wawancara dengan Pak Gerson Boy (tanggal 17 September 2017)
48 Wawancara dengan Pak Gerson Boy (tanggal 17 September 2017)
tanah sehingga ia pun baru berani untuk menjual tanah pada tahun 2016. Proses penjualan
yang dilakukannya pada tahun 2016 ini didasari atas kesadaran lokalitas dan identitasnya
sebagai orang dayak asli sungai Kajang sehingga tanah adalah bagian dari kehidupannya
yang tidak dijual dengan mudahnya.
Oleh karena itu diperlukan usaha untuk menegaskan kembali aturan dan nilai kearifan
lokal yang dahulu ditaati. Berdasarkan pengamatan penulis dari hasil laporan penyerahan
lahan dilakukan oleh semua warga masyarakat di Sungai Kajang (lihat lampiran). Namun
beberapa dari mereka kini tidak lagi menjualnya/ menyewakan secara langsung kepada
perusahaan. Beberapa orang membentuk kelompok yang menjalin kerjasama dengan pihak
perusahaan untuk proses kerjasama. Usaha ini dilakukan juga sebagai cara untuk melindungi
tanah mereka agar tidak menjadi lahan sengketa serta mereka mendapat hak mereka yang
sewajarnya sebagai pemilik tanah.
5. Kepentingan Pasar Berujud dari Penjualan Tanah
Luas hutan Borneo yang terdata ialah 45 hektar, 70% diserahkan
pemerintah untuk dihabiskan perusahaan HPH sebagai hutan produksi dan hutan konsesi.49
Pemerintah berusaha untuk mengembangkan perekonomian yang di pedalaman dengan cara
mengizinkan perusahaan untuk membuka lahan bagi perkebunan sawit. Dalam perkembangan
data Bapeda tahun 2000 menjelaskan bahwa perkebunan kelapa sawit telah merampas
330.000 Ha tanah rakyat oleh 84 perusahaan.50 Sementara data tahun 2001 disebutkan
perkebunan kelapa sawit telah tumbuh sangat cepat hingga hampir seluruh pelosok
Kalimantan Barat telah ditanami sawit.
Pemerintah memegang peranan untuk mendorong penggunaan lahan milik masyarakat
di pedalaman. Oleh karena itu posisi kekuasaan yang digunakan pemerintah dengan regulasi
49 Anton P Widjaja, Menolak Takluk: PanduanAktivis Rakyat (Pontianak: Institut Dayakologi, 2008),
51.
50 Widjaja, dkk. Menolak Takluk…, 42.
untuk mendukung pembangunan di sisi lain memposisikan masyarakat di pedalaman
menyerahkan tanah mereka. Pemerintah memberikan berbagai macam fasilitas kepada
pengusaha seperti kemudahan dalam perizinan melalui deregulasi kebijakan fasilitas
permodalan dengan kredit lunak dari bank dan pembebasan sewa tanah dengan memberikan
HGU (Hak Guna Usaha).51 Di era pemerintahan Suharto pemerintah mempunyai kontrol
kuat atas tanah dan bersifat mutlak.52Berdasarkan catatan Dinas Kehutanan terdaftar 75
perusahaan yang terdaftar dan beroperasi di Kalimantan Barat sejak tahun 1968.53 Ini artinya
tepat seperti apa yang penulis sampaikan sebelumnya bahwa pemerintah memegang andil
untuk mendukung perusahaan HPH dan akhirnya masyarakat ‘terbujuk’ untuk menjual tanah
mereka.
Kuatnya arus globalisasi dengan indikator kehidupan perekonomian yang lebih baik
memposisikan masyarakat untuk juga mengikuti arus ini. Dengan dalil pemerataan
pembangunan perekonomian di pedalaman maka masyarakat pun menyadari posisi mereka
sebagai “miskin” menurut standar ekonomi dunia. Padahal dahulu mereka tidak melihat
demikian. Ini terlihat dari banyak alasan yang mereka kemukakan untuk penjualan tanah
dilatarbelakangi alasan ekonomi. Sehingga istilah jual-beli tanah pun merasuk dalam pola
pikir dan perilaku mereka.
Menurut data yang terdapat di kantor desa Madak tercatat luas wilayah desa Madak
pada tahun 2017 ialah 11.429 Ha atau 15,9% dari luas kecamatan Subah. Dari luas tersebut
yang telah dipakai untuk luas lahan perkebunan ialah 4.882 Ha. Menurut hasil wawancara
dengan Pak Akbar pun diketahui bahwa perusahaan PAP saja telah melakukan proses
51 Anton P Widjaja, Menolak Takluk: PanduanAktivis Rakyat (Pontianak: Institut Dayakologi, 2008),
51.
52 Dominggus Elcid Li, “Tanah Ulayat, Kapitalisme Global dan Sikap Gereja”, Zakaria Ngelow (ed)
Teologi Tanah (Makassar: Yayasan Oase Intim, 2015), 231.
53 Anton P Widjaja, Menolak Takluk: PanduanAktivis Rakyat (Pontianak: Institut Dayakologi,
2008)224.
kerjasama dengan mengambil lahan milik masyarakat seluas 800 Ha pada tahun 2016 dan
telah dilakukan juga pada tahun sebelumnya.54 Dari data yang penulis dapatkan semua
masyarakat telah menandatangani berkas kerjasama untuk penyerahan lahan kepada
perusahaan PAP. Inilah yang penulis maksudkan bahwa kepentingan pasar terus menuntut
untuk memenuhi kebutuhan produksi kelapa sawit dan juga mendorong peningkatan
pendapatan daerah. Pada akhirnya masyarakat Dayak Bakati pun terbawa arus untuk menjual
tanah mereka.
6. Rangkuman
Maraknya perkebunan kelapa sawit di daerah Kalimantan Barat telah merubah pola
hidup masyarakat di pedalaman. Sejak masuk perusahaan kelapa sawit pada tahun 1997/
1998 di Sungai Kajang terjadi pergeseran pola hidup dari yang bertani hingga akhirnya
menjadi buruh. Bahkan tidak hanya perubahan pola hidup tetapi juga perubahan cara
pandang nilai kearifan lokal. Dahulu tanah begitu diperjuangkan sampai menjadi
pertarungan hidup dan mati tetapi tanah kemudian dapat diperjualbelikan. Masyarakat
Dayak Bakati di Sungai Kajang yang awalnya tidak mengenal istilah jual-beli tanah
akhirnya mulai mengenal istilah ini dan terbawa arus pada komersialisasi tanah.
Ironisnya penjualan tanah pun dilakukan tidak hanya oleh kalangan masyarakat biasa
tetapi dilakukan juga oleh beberapa pengurus adat yang terdahulu. Sehingga seharusnya
mereka yang menjadi penjaga nilai-nilai kearifan lokal ternyata juga tidak akhirnya terbawa
pada arus komersialisasi tanah. Masyarakat Dayak Bakati di sungai Kajang telah
menyebutkan alasan-alasan menjual tanah tersebut. Sebagian besar jawaban adalah karena
kebutuhan hidup dan usaha untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Usaha untuk
meningkatkan taraf hidup yang lebih baik ini terjadi karena adanya tawaran-tawaran yang
dibuka seiring dengan konsekuensi modernisasi yang mulai masuk ke pedalaman
54 Wawancara dengan Pak Akbar Manajer PT PAP tanggal
Kalimantan Barat. Mereka yang hidup di pedalaman mulai melihat kompleksitas dan
keragaman pekerjaan dan peningkatan taraf hidup. Dahulu mereka sederhana dan hanya
mengenal satu pola yaitu hidup dari apa yang diberikan alam. Inilah yang kemudian disebut
dilema dari usaha kemajuan dan percepatan perekonomian yang didorong pemerintah
melalui hadirnya perkebunan kelapa sawit di pedalaman Kalimantan Barat.
Penulis menyadari bahwa nilai kearifan lokal masih mereka ketahui dan berusaha
untuk mereka jaga. Ini terlihat dari kesadaran beberapa warga yang tidak mau tanahnya dijual
secara penuh sebagai kesadaran bahwa suatu waktu tanah itu tetap milik mereka. Beberapa
informan pun mengakui mereka berusaha untuk menjaga tanah tersebut dan mengajarkan
nilai kearifan lokal tersebut kepada anak cucu mereka. Mereka sadar penjualan tanah dalam
bentuk HGU itu di satu sisi mereka butuhkan untuk meningkatkan taraf hidup mereka seperti
memberikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka. Mereka mengakui tidak
mudah melepaskan tanah yang mereka miliki tetapi di antara pilihan untuk kehidupan yang
lebih baik maka mereka memilih untuk menjual tanah tersebut. Mereka ingin anak dan cucu
mereka dapat pendidikan yang lebih baik daripada yang telah mereka terima. Inilah dilema
dari masuknya perkebunan kelapa sawit di pedalaman Kalimantan Barat. Di satu sisi terlihat
negatif tetapi di sisi lainnya membawa pengaruh positif.
top related