bab iii alterasi hidrothermal -...
Post on 03-Feb-2018
229 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL
Studi Alterasi dan Mineralisasi Emas Berdasarkan Analisis Petrografi Conto Inti Pemboran Daerah Arinem, Kabupaten Garut, Jawa Barat. 26
BAB III
ALTERASI HIDROTHERMAL
3.1. Tinjauan Umum
Alterasi hidrotermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara
mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal dengan batuan
yang dilaluinya pada kondisi kimia-fisika tertentu (Pirajno, 1992). Pada umumnya, fluida
hidrothermal merupakan fluida air bawah tanah atau air laut yang terpanaskan oleh adanya
intrusi magma dibawah permukaan sehingga fluida panas tersebut akan bergerak mencari zona
permeabel atau zona rekahan dan kemudian secara kimiawi akan mengubah mineral-mineral
pada batuan samping yang dilaluinya membentuk kumpulan mineral-mineral yang setimbang
pada kondisi yang baru. Proses ini disebut metasomatisme yaitu pertukaran komponen-
komponen kimia antara fluida dan batuan samping. Oleh karena itu, hal tersebut juga
memungkinkan adanya perubahan komposisi kimia pada fluida yang disebabkan oleh reaksinya
dengan batuan samping. Henley dan Ellis (1983) percaya bahwa produk alterasi pada sistem
epithermal tidak sepenuhnya tergantung pada komposisi batuan samping (termasuk
permeabilitas, temperatur, dan komposisi fluida batuan). Mereka menyatakan, sebagai contoh,
pada temperatur antara 250-280°C, kumpulan mineral yang sama (kuarsa-albit-K-feldspar-
epidot-illit-kalsit-pirit) terbentuk pada basalt, batu pasir, riolit, dan andesit. Sedangkan peneliti
lain percaya bahwa komposisi batuan samping memiliki peranan yang penting dalam proses
alterasi hidrothermal, terutama pada sistem porfiri-Cu.
Alterasi hidrothermal biasanya melibatkan volume fluida yang relatif besar. Fluida ini akan
menghasilkan alterasi yang intensif terhadap batuan samping bila batuan samping tersebut
bersifat permeabel (rekahan atau pori-pori yang saling berhubungan). Artinya, semakin banyak
fluida dan semakin permeabel suatu batuan maka alterasi hidrothermal akan semakin intensif.
Kemudian, rasio fluida terhadap batuan (w/r) ini menjadi penting untuk melihat seberapa besar
derajat alterasi yang dihasilkannya. Pada sistem hidrothermal rasio w/r umumnya berkisar antara
0.1-4 (Henley dan Ellis 1983).
BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL
Studi Alterasi dan Mineralisasi Emas Berdasarkan Analisis Petrografi Conto Inti Pemboran Daerah Arinem, Kabupaten Garut, Jawa Barat. 27
3.2. Sistem Epitermal
Pirajno (1992) menyatakan bahwa endapan epithermal merupakan endapan yang
dicirikan oleh tekanan dan temperatur yang rendah hingga menengah (antara 50-350°C), dan
fluida hidrothermal yang umumnya memiliki komposisi salinitas rendah (<1 hingga rata-rata 5
wt. % NaCl ekuivalen). Meskipun endapan epithermal umumnya terbentuk pada batuan vulkanik
dan sering kali berhubungan dengan aktivitas vulkano-plutonik, tidak tertutup peluang
ditemukannya endapan tersebut pada batuan sedimen yang juga berhubungan dengan aktivitas
magmatik. Mineralisasi epithermal memiliki beberapa kenampakan yang khas seperti hadirnya
kalsedonik kuarsa, kalsit, pseudomorf kuarsa pada kalsit (kemungkinan mengindikasikan kondisi
boiling), dan breksi hidrothermal. Unsur – unsur mineral bijih yang hadir juga khas seperti Au,
Ag, As, Sb, Hg, Tl, Te, Pb, Zn, dan Cu. Tekstur mineral bijih yang hadir meliputi open space
filling (karakter endapan yang memiliki tekanan rendah), crustifications, colloform, dan struktur
comb. Endapannya sendiri (terbentuk mulai dari permukaan hingga kedalaman 1,5 km) berupa
urat, stockwork, dan disseminations. Bentuk – bentuk endapan ini bisa hadir sendiri – sendiri
atau bersamaan dan biasanya mudah ditambang dalam metode open cast atau terowongan
dangkal (shallow underground) dan juga umumnya memiliki tonase yang tinggi dengan kadar
Au + Ag yang rendah atau tonase yang rendah dengan kadar Au + Ag yang tinggi. Bila dilihat
dari segi umur maka endapan ini berkisar dari Tersier hingga sekarang yang masih aktif berupa
lapangan geothermal. Namun beberapa endapan epithermal berumur Mesozoik dan Paleozoik
telah ditemukan meskipun tidak umum seperti di cekungan Drummond di Queensland (Cunneen
dan Sillitoe 1989; White, dkk. 1989).
3.2.1. Tipe – Tipe Endapan Epithermal
Himpunan mineral alterasi, mineral bijih, dan jenis batuan samping adalah faktor – faktor
yang menjadi hal penting untuk memisahkan endapan epithermal menjadi beberapa macam.
Berdasarkan hal diatas maka endapan epithermal dapat dikelompokkan kedalam 3 jenis yaitu tipe
hot spring, tipe open vein, dan tipe disseminated-replacement.
BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL
Studi Alterasi dan Mineralisasi Emas Berdasarkan Analisis Petrografi Conto Inti Pemboran Daerah Arinem, Kabupaten Garut, Jawa Barat. 28
Tipe Hot Spring
Sistem epithermal tipe hot spring yang terbentuk di dekat permukaan dicirikan dengan
adanya sinter silika yang menutupi hingga ke zona stockwork urat dan zona breksiasi
hidrothermal dibawahnya (Gambar 3.1). Asosiasi unsur yang dominan adalah Au, Ag, As, Sb,
Hg, Tl dengan minor Cu, Pb, Zn pada level yang lebih dalam. Mineralisasi umumnya memiliki
grade Au dan Ag yang rendah dan keterdapatan urat dan stockwork hanya terbatas di bawah
sinter silika. Bila terdapat grade Au dan Ag yang tinggi hal itu disebabkan oleh pengaruh boiling
di bawahnya. Episode breksiasi pada tipe ini memiliki peranan yang penting karena dapat
menunjukkan terjadinya pengendapan unsur-unsur logam.
Gambar 3.1. Penampang skematik dari tipe hot spring (Berger dan Eimon, 1982 op. cit., Pirajno, 1992)
BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL
Studi Alterasi dan Mineralisasi Emas Berdasarkan Analisis Petrografi Conto Inti Pemboran Daerah Arinem, Kabupaten Garut, Jawa Barat. 29
Tipe Open Vein
Tipe ini terletak dibawah tipe hot spring dan sering juga dikenal sebagai tipe bonanza,
tipe urat, atau tipe lode (Silbermen dan Berger, 1985 op. cit., Pirajno, 1992). Tipe ini dibedakan
dengan tipe hot spring dari keterdapatan mineralisasi yang lebih dalam dibawah permukaan,
kandungan sulfida dan base metal yang lebih tinggi, ukuran urat yang lebih lebar, serta grade Au
dan Ag yang lebih tinggi tapi tonase yang lebih rendah. Unsur – unsur dominan yang hadir
adalah Au-Ag-As dengan minor Se, Te, Cu, Pb, Zn. Gambar 3.2a memperlihatkan gabungan tipe
open vein dengan hot spring. Secara umum urat mempunyai geometri vertikal dan terkadang
memiliki clay mineral di permukaannya, sedangkan pada posisi yang lebih dalam kuarsa,
adularia, kalsit, dan logam berharga hadir. Zona mineral logam berharga umumnya terbatas pada
kedalaman 100 hingga 350 m. Kandungan base metal meningkat pada posisi yang lebih dalam
dan mineral galena, kalkopirit, sphalerit dan kalkopirit hadir dengan jumlah yang banyak.
Gambar 3.2.a: Penampang skematik yang menunjukkan gabungan tipe open vein dan tipe hot spring (Buchanan, 1981, op. cit., Pirajno, 1992). b: penampang skematik yang memperlihatkan tipe Disseminated-Replacement (Radtke, dkk., 1980, op. cit., Pirajno, 1992).
a b
BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL
Studi Alterasi dan Mineralisasi Emas Berdasarkan Analisis Petrografi Conto Inti Pemboran Daerah Arinem, Kabupaten Garut, Jawa Barat. 30
Tipe Disseminated-Replacement
Tipe ini secara skematik diperlihatkan pada Gambar 3.2b dan umumnya berasosiasi
dengan batuan karbonat. Tipe ini relatif umum terdapat pada cekungan-cekungan di USA dan
dicirikan oleh mineralogi, geokimia, sruktur, dan litologi yang khas. Tipe ini juga dikenal dengan
sebutan Carlin-type karena model dan kenampakan umumnya banyak mengacu pada
penambangan Carlin di Nevada. Endapan ini umumnya berbentuk tabular, memiliki kandungan
unsur berupa Au-As-Sb-Hg-Tl, dan relatif memiliki tonase yang tinggi dengan grade Au dan Ag
yang rendah.
3.2.1.1 High Sulfidation dan Low Sulfidation
Sistem epitermal sulfida tinggi (HS) dan rendah (LS) terbentuk dari fluida dengan
komposisi kimia yang berbeda dalam lingkungan volkanik yang berbeda (Gambar 3.3 dan
Gambar 3.4). Endapan tipe HS berasosiasi dengan fluida asam yang dihasilkan dalam lingkungan
hidrotermal-volkanik. Berbeda dengan tipe HS, maka endapan tipe LS terbentuk oleh fluida
dengan pH netral pada lingkungan geotermal. Adapun karakter dari kedua tipe tersebut
dijabarkan pada Tabel 3.1.
Gambar 3.3. Model skematik lingkungan mineralisasi pada sistem geotermal dan hidrotermal- volkanik dalam endapan porfiri tembaga dan epitermal (Hedenquist, dkk. 1996).
BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL
Studi Alterasi dan Mineralisasi Emas Berdasarkan Analisis Petrografi Conto Inti Pemboran Daerah Arinem, Kabupaten Garut, Jawa Barat. 31
Dibawah lingkungan epitermal (Gambar 3.4), pelepasan gas dari tubuh magma
ataupun sumber panas lainnya akan menghasilkan panas, air, gas-gas asam, dan logam bijih.
Dalam sistem LS, komponen magmatik mengalami kesetimbangan dengan batuan samping
selama terjadinya konveksi yang didominasi air meteorik, sebelum mencapai lingkungan
epitermal. Pada sistem HS, volatil magmatik langsung masuk kedalam lingkungan epitermal
dengan sedikit perubahan, kemudian di adsorbsi oleh air meteorik untuk menghasilkan fluida
hipogen asam yang akan melewati batuan melalui conduit (Hedenquist, dkk. 1996).
Gambar 3.4. Distribusi skematik alterasi hidrotermal yang berasosiasi dengan sistem epitermal HS dan LS; bijih akan diendapkan pada paleoconduits (ore vein/silisifikasi dan silika residual). Kuarsa stabil pada semua zona. Alterasi propilitik terbentuk di luar zona conduit yang menunjukkan sedikitnya rasio w/r (air/batuan) (Hedenquist, dkk. 1996). 3.2.2. Alterasi Hidrothermal pada Sistem Epithermal
Alterasi hidrothermal pada sistem epithermal memiliki kesamaan dengan sistem-sistem
lain yang berhubungan dengan aktivitas fluida hidrothermal yaitu merupakan fungsi temperatur,
tekanan, jenis batuan, sifat-sifat fluida (pH, aktivitas CO2, H2S), dan rasio w/r (Browne dan Ellis
1970). Hedenquist dan Browne (1989) menyebutkan bahwa fluida yang bekerja pada sistem
epithermal umumnya dibagi menjadi tiga: (1) fluida klorida netral, (2) fluida kaya CO2, dan (3)
fluida asam-sulfat.
BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL
Studi Alterasi dan Mineralisasi Emas Berdasarkan Analisis Petrografi Conto Inti Pemboran Daerah Arinem, Kabupaten Garut, Jawa Barat. 32
Tabel 3.1: Karakter umum endapan epitermal.
Tabel 3.2. Himpunan mineral alterasi pada sistem epithermal (Pirajno, 1992).
A Zona alterasi Himpunan mineral Temperatur (°C) Potasik Serisitik Argilik Inner propilitik Propilitik
Adularia + biotit + magnetit ± epidot ± klorit ± muskovit Serisit + kuarsa ± sulfida ± oksida Smektit + illit ± sulfida ± zeolit ± kuarsa ± kalsit Epidot + aktinolit ± klorit ± illit Epidot + klorit ± illit ± sulfida
>320 >220 <200 >300 >250
B Zona alterasi Himpunan mineral Advance argilik Serisitik Potasik Propilitik
Kaolinit + alunit ± opal Serisit + kuarsa + kalsit ± klorit ± adularia Adularia + albit ± serisit ± kalsit ± kuarsa ± klorit Kalsit + klorit + kuarsa ± albit ± adularia
C Zona alterasi
Himpunan mineral
Temperatur (°C)
Advance argilik (temperatur tinggi) Advance argilik (temperatur rendah)
Pirofilit + diaspor + andalusit ± kuarsa ± sulfide ± turmalin ± enargit-luzonit Kaolinit + alunit ± kalsedon ± kuarsa ± pirit
250-300 <180
Keterangan : (A) alterasi pada fluida klorida netral (Hedenquist dan Lindqvist 1985), (B) alterasi pada fluida kaya CO2 (Browne dan Ellis 1970; Browne 1978), (C) alterasi pada fluida asam sulfat (Hedenquist dan Lindqvist 1985)
BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL
Studi Alterasi dan Mineralisasi Emas Berdasarkan Analisis Petrografi Conto Inti Pemboran Daerah Arinem, Kabupaten Garut, Jawa Barat. 33
3.2.2.1 Alterasi Berhubungan dengan Fluida Klorida Netral dan Fluida Kaya CO2
Alterasi yang berhubungan dengan fluida klorida dan kaya CO2 dan biasanya berinteraksi
dengan batuan vulkanik intermediet hingga asam adalah albit + adularia ± wairakit ± serisit ±
epidot, umumnya berasal dari mineral primer plagioklas. Mineral primer biotit biasanya terubah
menjadi klorit ± sfen ± epidot, piroksen dan amfibol terubah menjadi serisit + klorit + sfen
kuarsa ± pirit. Massa dasar dapat terubah menjadi agregat mineral kuarsa + serisit + kalsit ±
zeolit ± sulfida ± klorit. Mineral pengisi rekahan dan hadir sebagai urat adalah kuarsa, kalsit,
serisit, adularia, zeolit (laumontit, wairakit), klorit, epidot, dan sulfida seperti pirit dan pirhotit
(Hedenquist dan Browne 1989). Penelitian detail oleh Hedenquist dan Browne (1989)
menyatakan bahwa adularia tidak akan hadir dibawah permukaan pada sistem epithermal bila
suhu kurang dari 180°C, dan seiring peningkatan intensitas alterasi (w/r bertambah) mineral
plagioklas akan berubah menjadi albit dan adularia. Serisit dan kuarsa dapat berasal dari ubahan
mineral feldspar, massa dasar, atau dari mineral mafik. Zeolit terutama pada spesies tertentu
seperti mordenit, laumontit, dan wairakit merupakan mineral yang sensitif dengan suhu. Kalsit
umumnya hadir dengan tekstur bladed yang kadang tergantikan oleh bladed silica, dalam sistem
epithermal merupakan indikasi pengendapan yang disebabkan oleh kondisi boiling.
3.2.2.2 Alterasi Berhubungan dengan Fluida Asam-Sulfat
Pada temperatur yang lebih rendah (<180°C) kumpulan mineral yang hadir dan berkaitan
dengan fluida kaya asam sulfat adalah kaolinit, alunit, kristobalit, gipsum, opal, native S, kuarsa
dan sulfida. Pirofilit, diaspor dan andalusit hadir stabil pada temperatur diatas 250°C, dan masih
bisa dijumpai pada suhu diatas 350°C untuk andalusit. Barit, anhidrit dan Fe oksida juga dapat
hadir pada kisaran temperatur yang rendah.
3.2.2.3 Variasi Geokimia pada Batuan Alterasi
Variasi geokimia pada batuan samping jelas menunjukkan gambaran dari perubahan
mineralogi akibat interaksi dengan fluida. Pada sistem epithermal, variasi unsur-unsur yang hadir
adalah Na, Ca, Ti, dan Ba, sisanya berupa K, Si, Rb, Sc, Ga, Sr, As, Sb, Ag, Au, Sn, Tl, dan W.
transfer unsur berasal dari alumino-silikat, mineral ferromagnesian, dan massa dasar (gelas atau
matriks kristalin). Sebagai contoh proses terbentuknya silika mengikuti reaksi seperti yang
ditunjukkan di bawah. Ketika CO2 hadir, asam karbonat terbentuk (H2CO3) dan selanjutnya akan
BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL
Studi Alterasi dan Mineralisasi Emas Berdasarkan Analisis Petrografi Conto Inti Pemboran Daerah Arinem, Kabupaten Garut, Jawa Barat. 34
membebaskan H+. Reaksi ini juga akan membentuk mineral lempung seperti illit,
montmorillonit dan kaolinit sehingga temperatur pembentukan bisa diidentifikasi.
3.3. Alterasi Hidrothermal Daerah Ciarinem
3.3.1. Metode Pengamatan
Dalam penentuan jenis – jenis mineral alterasi yang muncul, tekstur serta hubungan
antara mineral-mineral tersebut, maka penulis menggunakan beberapa metode pengamatan yaitu
secara megaskopis, petrografis, dan XRD (X-Ray Diffractions). Ketiga metoda ini selanjutnya
akan saling mendukung untuk mendapatkan hasil akhir berupa zonasi alterasi di daerah
penelitian.
3.3.1.1. Pengamatan Megaskopis
Pengamatan megaskopis pada dasarnya merupakan metoda pengamatan awal yang paling
mudah dan paling murah untuk mengamati fenomena alterasi pada batuan. Pengamatan
megaskopis meliputi perubahan warna pada batuan asal, tekstur, dan kehadiran mineral penciri
alterasi. Pengamatan megaskopis pada conto into bor dilakukan secara detail pada sampel –
sampel yang dilanjutkan dengan pengamatan mikroskopis dan XRD.
Secara megaskopis, suatu batuan yang mengalami proses alterasi mudah dikenali dari
perubahan warna, tektur, dan kehadiran mineral alterasi. Pada pengamatan megaskopis mineral-
mineral alterasi tertentu biasanya dibedakan dari warna dan tekstur. Namun, pengamatan secara
megaskopis ini perlu dilakukan secara hati-hati karena beberapa mineral memiliki kenampakan
(warna, tekstur) yang berbeda-beda karena dipengaruhi oleh banyak faktor (seperti lingkungan
pengendapan, batuan samping, dll).
CaCO3 + 2H+ → Ca2+ + CO2 + H2O
K-feldspar + H+ → illite + K+ + SiO2
Na-feldspar + H+ → montmorillonit + Na+ + SiO2
BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL
Studi Alterasi dan Mineralisasi Emas Berdasarkan Analisis Petrografi Conto Inti Pemboran Daerah Arinem, Kabupaten Garut, Jawa Barat. 35
3.3.1.2. Pengamatan Petrografis
Dalam studi alterasi, analisis petrografi pada prinsipnya dilakukan untuk
mengidentifikasi kehadiran mineral ubahan pada batuan berdasarkan sifat optik dari mineral
tersebut. Analisis petrografi selain dilakukan untuk mengenali keberadaan mineral
alterasi, juga dilakukan untuk mengamati tekstur-tekstur alterasi tertentu, seperti tekstur
penggantian (replacement) atau tekstur pengisian (vug filling). Informasi tekstur khas dalam
alterasi tersebut sangat diperlukan untuk melakukan paragenesa mineral ubahan dan indikasi
terjadinya overprinting.
3.3.1.3. Analisa XRD (X-Ray Diffractions)
Pengamatan megaskopis dan petrografi tidak selalu berhasil dalam menentukan semua
jenis mineral alterasi yang muncul. Beberapa teknik dapat dilakukan untuk mendukung upaya
tersebut dan salah satu teknik yang paling umum digunakan adalah analisa XRD. Teknik ini
sebenarnya sangat berguna untuk menentukan mineral alterasi yang sangat halus yang tidak
dapat dilihat secara petrogafi seperti mineral lempung atau mineral phyllosilicate. Analisa XRD
dari sembilan sampel di daerah penelitian dilakukan sepenuhnya oleh laboratorium PT. Antam,
Tbk di Jakarta.
3.3.2. Zonasi Alterasi
Berdasarkan pengamatan terhadap 41conto inti bor menggunakan gabungan metode-
metode pengamatan diatas dan dengan mengacu pada klasifikasi Corbett dan Leach (1998),
maka ubahan hidrothermal di daerah dapat dikelompokkan menjadi tiga zonasi ubahan
hidrothermal yaitu: (1) Zona zeolit – klorit – karbonat, (2) Zona kaolinit – montmorillonit –
siderit (3) Zona kuarsa – serisit – illit.
3.3.2.1. Zona Zeolit – Klorit – Karbonat
Zona alterasi ini hadir paling luas dan mengubah hampir 80% batuan yang ada di daerah
penelitian. Zona ini secara megaskopis dicirikan dengan warna batuan hijau dan relatif keras
(diduga disebabkan adanya penambahan silika pada batuan asal). Warna hijau tersebut
BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL
Studi Alterasi dan Mineralisasi Emas Berdasarkan Analisis Petrografi Conto Inti Pemboran Daerah Arinem, Kabupaten Garut, Jawa Barat. 36
disebabkan kehadiran mineral ubahan klorit. Mineral ubahan lain yang hadir adalah zeolit, albit,
adularia, karbonat, kuarsa, prehnit dan montmorillonit (Foto 3.6 dan Foto 3.7 ).
Zeolit hadir sebagai agregat halus (0.25-0.4 mm) dan juga sebagai urat (Foto 3.6e).
Mineral ini terbentuk pada pH netral dengan temperatur berkisar 100-300°C (untuk semua jenis
zeolit). Pirajno (1992) mengatakan bahwa kestabilan temperatur dan tekanan yang dimiliki zeolit
membuat mineral ini memiliki peranan yang sangat penting pada endapan epithermal. Klorit
hadir menggantikan plagioklas, piroksen, dan hornblenda dan dibeberapa tempat juga hadir
sebagai urat (Foto 3.6.d). Klorit umumnya dijumpai pada alterasi propilitik dan stabil pada
temperatur ± 140 - 340° C (Henley, 1991, op.cit., Hedenquist, dkk. 1996) dengan pH fluida 5-6.
Karbonat dan mineral bijih (kemungkinan pirit) juga hadir dominan pada zona ini. Dibeberapa
tempat terjadi karbonitisasi (Foto 3.7) dan kehadiran mineral pirit yang banyak menjadi salah
satu indikator untuk membedakan zona ini dengan zona yang lain. Dari perajahan temperatur
pada Gambar 3.5, maka temperatur zona ini ± 200 - 300° C. Mengacu pada Corbett dan Leach
(1998) maka zona ini dapat disetarakan dengan zona subpropilitik (Gambar 3.13).
Gambar 3.5 Perajahan temperatur zona alterasi zeolit – klorit – karbonat (Lawless dkk., 1998)
BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL
Studi Alterasi dan Mineralisasi Emas Berdasarkan Analisis Petrografi Conto Inti Pemboran Daerah Arinem, Kabupaten Garut, Jawa Barat. 37
Foto 3.6. a) dan b) Inti bor dan sampel batuan lava andesit piroksen yang menunjukkan ubahan subpropilitik berwarna kehijauan. (a: inti bor pada sumur BCAN-9, b: sampel WID-23). c) Urat kalsit dan klorit hadir di antara miineral bijih (sampel WID-9, sumur bor BCAN-2A). d) Klorit hadir menggantikan plagioklas dan juga sebagai urat (sampel WID-39, sumur bor BCAN-9). e) Urat zeolit dan urat karbonat hadir bersamaan memotong mineral lain (sampel WID-5, sumur bor BCAN-2 ) f) Mineral bijih hadir diantara mineral kalsit yang menggantikan sebagian urat kuarsa (sampel WID-30, sumur bor BCAN-4). (cb: karbonat, cly: mineral lempung, chl: klorit, zeo: zeolit Qz: kuarsa, op: mineral bijih)
BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL
Studi Alterasi dan Mineralisasi Emas Berdasarkan Analisis Petrografi Conto Inti Pemboran Daerah Arinem, Kabupaten Garut, Jawa Barat. 38
Foto 3.7. Karbonitisasi (a) dan kehadiran mineral adularia (b) pada zona zeolit – klorit – karbonat. (carb:
carbonat, kal: kalsit, adul: adularia)
3.3.2.2. Zona Kaolinit –Montmorillonit – Siderit
Zona ini berkembang pada bagian yang dekat dengan urat dan di dekat permukaan
ditandai dengan kehadiran mineral lempung yang dominan. Pengamatan megaskopis terhadap
conto sampel pemboran memperlihatkan kenampakan warna putih keabu-abuan dan cenderung
lunak. Mineral alterasi yang dapat diidentifikasi secara petrografi adalah mineral lempung,
kuarsa, karbonat, siderit (Fe-karbonat), dan mineral bijih. Sedangkan untuk jenis mineral
lempung yang muncul berdasarkan analisis XRD adalah kaolinit dan montmorilonit. Tekstur dari
batuan asal sudah tidak dapat dilihat lagi pada zona ini dan mineral-mineral primer juga sudah
sepenuhnya tergantikan oleh kuarsa dan mineral lempung. Karbonat pada zona ini umumnya
sudah tergantikan sebagaian atau total oleh Fe-karbonat yaitu siderit (Foto 3.8.d, e dan f).
Kehadiran siderit ini juga dapat dilihat pada skala megaskopis (Foto 3.8.b). Menurut Corbett dan
Leach (1998) siderit muncul pada zona hidrotermal berasosiasi dengan kaolinit dan illit.
Kehadiran mineral siderit dan kaolinit menunjukkan pH fluida pada saat pembentukan mineral
ini yaitu 4-5 (Corbett dan Leach, 1998) dengan temperatur tidak lebih dari 200°C (Lawless dkk.,
1998). Dari perajahan temperatur pada Gambar 3.9, maka temperatur zona ini ± 100 - 200° C.
top related