bab ii undang-undang dasar negera republik indonesia … · 2016. 3. 17. · undang-undang dasar...
Post on 27-Mar-2021
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
13
BAB II
UNDANG-UNDANG DASAR NEGERA REPUBLIK INDONESIA 1945
Pasal 29 Ayat (2)
II.1. Pengantar
Indonesia merupakan negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modren adalah
negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme, yaitu
pada tekad suatu masyarakat untuk mambangun suatu masa depan bersama dibawah satu
negara walaupun warga masyarakat tersebut berbeda agama, suku etnis, ras atau golongan.1
Sebagai suatu negara modern, Indonesia diciptakan dengan sengaja dan dalam waktu yang
singkat. Maksud diciptakan dengan sengaja disini adalah, pertama, diciptakan dengan
bermodalkan rakyat yang semula tidak merupakan suatu kesatuan bangsa karena perbedaan
etnis, suku, agama dan golongan kemudian bersepakat menjadi sebuah bangsa. Kedua,
diciptakan berdasarkan filsafat tentang negara dalam hal ini adalah pancasila, yang di
dalamnya terdapat tujuan negara dan cara-cara dasariah untuk mencapai tujuan negara.
Maksud diciptakan dengan singkat adalah dengan penciptaan dan terciptanya bangsa
Indonesia sekaligus penciptaan dan terciptanya Negara Indonesia.2 Proses penciptaan ini
dilakukan oleh para pendiri bangsa dalam waktu yang relative singkat. ini Jadi dalam
perjalanan negara ini harus selalu mengingat sejarah terbentuknya yang bermodalkan rakyat
(berbeda agama, ras, etnis dan golongan) yang bersepakat untuk membentuk sebuah negara.
1 Syaafruedin Bahar & Nannie Hudawati (tim penyunting). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dengan kata pengantar Taufik Abdullah (Jakarta: Sekertariat Negara R.I, 1998), xlix.
2 Broto Semedi, Kehidupan Beragama Berdasarkan Pancasila: Menuju Toleransi Beragama (Yogyakarta:
TPK Gunung Mulia, tanpa tahun), 30.
14
Kehendak suku-suku nusantara menyatukan diri untuk merdeka dengan
menyelenggarakan kehidupan negara sebagai suatu bangsa yang merdeka, dan pada saat
bersamaankonsep filsafati tentang negara bertumbuh dan berkembang, yang di ujung
perjuangan Soekarno mengkristalisasikannya dan menyampaikannya dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang kemudian dikenal sebagai
pidato lahirnya Pancasila.3 Jadi Pancasila selain sebagai filsafat negara, pancasila juga dapat
dipahami sebagai perjanjian kesepakatan suku-suku bangsa penghuni nusantara untuk hidup
bersama berbangsa dan bernegara.4
Nilai-nilai yang ada dalam pancasila merupakan hasil galian dari nilai-nilai luhur sosio-
kultural bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang ada dalam pancasila ini kemudian menjadi pokok-
pokok pikiran pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 selanjutnya menjiwai
rancangan batang tubuh UUD 1945.5 Untuk dapat memahami maksud UUD 1945 terlebih
dahulu kita harus mempunyai pemahaman tentang pancasila. Semangat dan nilai-nilai serta
ide-ide yang terkandung dalam Pancasila menjadi dasar untuk menafsirkan atau menjelaskan
batang tubuh UUD 1945.
UUD 1945 yang dirancang dengan dijiwai nilai-nilai pancasila adalah hukum dasar
tertulis negara Indonesia.6 UUD 1945 pasal 29 ayat (1) sebagai pengkuan terhadap dimensi
religious adalah penerjemahan pancasila sila pertama.7 Sila pertama Pancasila saat ini dijiwai
oleh prinsip ketuhanan yang disampaikan Soekarno dalam pidato pada 1 Juni. Menurut
Soekarno prinsip Ketuhanan bukan saja memaksudkan bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi
3 Ibid., 47.
4 Ibid., 31.
5 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta:Gramedia
Pustaka Utama, 2011), 31. 6 Ibid., 31.
7 Broto Semedi, Kehidupan Beragama Berdasarkan Pancasila, 79.
15
masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. “Hendaknya Negara Indonesia ialah
negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa”.8 Soekarno
merumuskannya dengan istilah “Ketuhanan yang berkebudayaan” ke-Tuhanan yang berbudi
perkerti luhur, ke-Tuhanan yang saling hormat-menghormati.
Indonesia sebagai bangsa yang lahir dan terbentuk oleh masyarakat plural, termasuk di
dalamnya pluralitas agama. Sebuah fakta dalam masyarakat yang tidak dapat dipisahkan
dengan pluralisme.9 Sila pertama dalam pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” didasari oleh
prinsip ketuhanan yang disampaikan Soekarno dalam pidatonya. Prinsip ketuhanan tersebut
mengakui kemajemukan agama yang ada di Indonesia dan sekaligus memberikan jaminan
untuk menjalankan agamanya dengan leluasa. Pengakuan kemajemukan agama dan prinsip
jaminan untuk dapat menjalankan agamanya merupakan bagian dari prinsip kebebasan
beragama. Prinsip jaminan kebebasan beragama ini selanjutnya secara tegas diatur dalam
UUD 1945 pasal 29 ayat (2).
II.2. Proses Perumusan UUD 1945 pasal 29 ayat 2
Undang-undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum tertulis tertinggi dalam kasanah
perundang-undangan di Indonesia.10
Proses pembahasan dan perumusan UUD 1945, diawali
setelah rapat BPUPKI pada 11 Juli 1945 dengan membentuk panitia perancang hukum dasar
dengan anggota 19 orang, dan diketuai oleh Soekarno. Setelah mengalami proses yang
panjang akhirnya pada 18 Agustus 1945 UUD disahkan dalam rapat pertama Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
8 Saafroedin Bahar & Nannie Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik, 101.
9 Djohan Effendi, Pluralisme dan Kebebasan Beragama (Yogyakarta:Interfidei, 2011), vii.
10 Sri Bintang Pamungkas & Ernalia Sri-Bintang, Menggugat Dakwaan Subversi : Sri-Bintang Pamungkas di
balik Jeruji Besi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), 149.
16
Pada saat penyusunan rancangan dasar negara (Pancasila) dan UUD 1945 terjadi
perdebatan antara dua golongan, yaitu golongan kebangsaan dan golongan Islam. Golongan
Islam berpandangan bahwa negara tidak dapat dipisahkan dari agama. Hal ini dinyatakan
oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo dalam paparan pandangannya “bahwa Islam mengandung
ideologi negara, sehingga Islam dan negara tidak dapat dipisahkan“.11
Golongan kebangsaan
dalam pandangan hubungan negara dan agama terbagi dalam dua pandangan lagi. Ada
golongan kebangsaan yang menghendaki agar urusan negara dan agama dipisahkan dengan
tegas. Ada pula golongan kebangsaan yang menghendaki tidak sepenuhnya pemisahan
negara dan agama.12
Namun pada prinsipnya golongan kebangsaan menghendaki agar negara
netral terhadap agama. Soekarno akhirnya berhasil membuat kedua golongan ini
berkompromi dengan menjembatani kesenjangan kedua kepentingan melalui pidatonya
tanggal 1 Juni. Soekarno menyatakan bahwa Negara mengakui keberadaan Tuhan Yang
Maha Esa dan tiap orang dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa. Dalam hal ini
hubungan negara dan agama tidaklah terpisahkan, namun negara tidak berdasarkan satu
agama tertentu. Kompromi antara golongan kebangsaan dan Islam berlanjut pada saat
perancanga Undang-Undang Dasar 1945.13
Menurut Parada Harahap pada saat membaca mukadimah, sesungghunya sudah melihat
gambaran dari pada undang-undang dasar itu. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat
Soepomo sebagai panitia penyusun rancangan hukum dasar (undang-undang dasar). Menurut
Soepomo dalam merumuskan undang-undang dasar bahwa “cita-cita dan pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam pembukaan itu, menjadi dasar cita-cita dan pokok pikiran
11
Saafroedin Bahar & Nannie Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik, 376. 12
Yudi Latif, Negara Paripurna, 69. 13
Ibid., 24.
17
undang-undang yang akan disusun. Dalam pembukaan kita menerima aliran pengertian
negara persatuan yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi negara
mengatasi segala paham golongan dan segala paham perseorangan. Negara menurut paham
pembukaan adalah negara “persatuan” meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah
yang menjadi dasar negara yang tidak boleh dilupakan”.14
Dalam Pidato tanggapan Moh. Yamin terhadap hasil rancangan hukum dasar (UUD) dari
panitia, Yamin menyatakan bahwa “UUD yang kita rancang tidak saja menjamin
kesejahteraan, haruslah juga menjamin hak rakyat sebagai manusia yang merdeka.15
Selayaknya rakyat mendengar isi konstitusi ini atau membacanya hendaklah ia merasa
masuk ke negara baru dan negara merdeka.
Selanjutnya dalam pidato Yamin menegaskan bahwa “Republik ini bukan negara yang
anti-Tuhan, melainkan republik yang ber-Tuhan. Konstisusi Republik Indonesia berlindung
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa”.16
Soepomo juga menyatakan hal yang tidak berbeda
bahwa “salah satu pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan ialah “negara berdasar
atas ke-tuhanan, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradap”. Oleh karena itu UUD
harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara.
untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral
rakyat yang luhur”.17
Penolakan Latuharhary terhadap rancangan UUD pasal 29 ayat (1) (pada saat itu pasal 28
ayat (1)) mengawali perdebatan panjang pembahasan undang-undang dasar tersebut. Karena
14
Saafroedin Bahar & Nannie Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik, 289-290. 15
Ibid.,209. 16
Ibid.,209-210. 17
Ibid.,290.
18
menurut Latuharhary pasal tersebut berakibat besar sekali terhadap agama lain dan dapat
menimbulkan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan macam-macam yang
dapat membawa perasaan tidak senang kepada golongan yang bersangkutan.18
Menurut
Soepomo undang-undang dasar adalah hasil keadaan histori, keadaan negara pada waktu
membentuk undang-undang itu. Sehingga tidak perlu ada kekuatiran terhadap pasal tersebut,
sebab pasal 29 ayat (2) merupakan penegasan untuk menghilangkan kekuatiran atau
keraguan warga negara yang tidak beragama Islam.19
Pasal 29 ayat (2) pada saat itu berbunyi
demikian “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing”.
Pada saat bunyi pasal 29 ayat (1) dan (2) diperdebatkan dalam sidang BPUPKI Soepomo
sebagai panitia perancang UUD mengatakan bahwa
“UUD merupakan hasil kompromis kaum kebangsaan dan kaum islam. Namun yang
harus diingat adalah “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agama lain dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing”.
Sekali-kali bukan maksudnya kompromis untuk membatasi kemerdekaan penduduk untuk
beragama lain, sama sekali tidak! Kita menghendaki dasar ke-Tuhanan dan dasar
kemanusiaan dan atas dasar-dasar itu kita menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agama apapun dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-
masing”.20
Bunyi pancasila sila pertama (“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”) dan UUD 1945 pasal 29 ayat (1) yang merupakan hasil
kompromis beberapa kali ditolak oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo. Sebab kalimat ini terkesan
tidak tegas bagaimana sikap negara terhadap Islam.21
Penolakan golongan Islam berlanjut
pada rancangan UUD pasal 29 ayat (2) (pada saat itu pasal 28 ayat (2)). Dalam pandangan
18
Ibid.,239. 19
Ibid.,288. 20
Ibid.,291. 21
Ibid.,376.
19
Islam pasal ini dapat menyinggung kaum muslimin karena sebagai sugesti kaum muslimin
untuk meninggalkan agamanya. Mereka meminta supaya perkataan “untuk” yang pertama
dalam ayat kedua itu diganti dengan kata “yang” dan perkataan “dan” disitu dibuang sama
sekali. Jadi bunyi teksnya begini “negara menjamin kemerdekaan tiap2 penduduk yang
memeluk agama lain untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-
masing”.22
Hal tersebut sempat disetujui oleh oleh Soepomo sebagai pantia perancang undang-
undang dasar. Latuharhary langsung memberikan tanggapan penolakan terhadap usul
tersebut. Sebab dengan dihilangkannya kedua kata tersebut, maka kalimat tersebut berbunyi
“negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk yang memeluk agama lain”. Maksud
pasal tersebut yang awalnya melindungi agama berubah menjadi melindungi orang yang
memeluk agama. Sedangkan maksud panitia sebenarnya adalah menghormati agama bukan
orang yang memeluk agama.23
Terhadap permasalahan tersebut anggota Dahler mengusulkan
bunyi pasal 29 ayat (2) “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing”.24
Usul ini
dimufakati semua peserta rapat BPUPKI.
Rancangan UUD 1945 oleh BPUPKI selanjutnya dibawa dalam Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam sidang pertama pada 18 Agustus 1945 PPKI
mengesahkan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 dengan beberapa hal pokok
perubahan. Perubahan ini dipengaruhi oleh teks proklamasi Indonesia yang tidak
menggunakan naskah rencana Pernyataan Indonesia Merdeka (PIM) yang disusun oleh
22
Ibid.,364. 23
Ibid.,365. 24
Ibid.,365-366.
20
BPUPKI. Akibat tidak digunakannya teks PIM tersebut pada saat Indonesia menyatakan
kemerdekaannya, maka naskah Piagam Jakarta seluruhnya hendak dijadikan Pembukaan
UUD 1945. Wakil dari Protestan dan Katolik menolak tujuh kata dalam alenea keempat.
Pada akhirnya disepakatilah perubahan Piagam Jakarta menjadi pembukaan UUD 1945.
Perubahan yang terjadi pada alenia ke tiga dan keempat. Perubahan pada alenia ketiga ialah
dihapusnya kata “Allah” dan pada alenia keempat pada kata “berdasar kepada keTuhanan,
dengan kewajiban melakukan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.25
Pada sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18
Agustus 1945, suasana kebatinan dan situasi politik Indonesia berubah secara dramatis, hal
ini dikarenakan proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus sebelumnya. Dalam
sidang pertama ini tujuh kata dalam sila pertama “dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” disepakati untuk dihapus. Dengan disepakatinya dihapus
ketujuh kata tersebut mengakibatkan hilangnya keistimewaan Islam.26
Oleh sebab itu, seluruh
rancangan batang tubuh UUD 1945 yang mengandung keistimewaan Islam seluruhnya
dihapus. Piagam Jakarta yang kemudian disepakati menjadi pembukaan juga harus
menghapus kata yang mengandung keistimewaan islam.27
Perubahan yang terjadi pada pasal
29 ayat (1) “negara berdasar keTuhanan Yang Maha Esa” tujuh kata dibelakang dihapus.
Pasal 6 ayat (1) (pada saat itu pasal 6 alenea 1) juga mengalami perubahan “Presiden ialah
orang Indonesia Asli” tidak ada tambahan yang beragama “Islam”.28
Pengaruh dihapusnya
syarat beragam Islam bagi Presiden dapat membantu dalam memahami pasal 29 ayat
25
John Titaley, Nilai-nilai Dasar Yang Terkandung Dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945(Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 1999), 3-4.
26 Yudi Latif, Negara Paripurna, 84.
27 John Titaley, Nilai-nilai Dasar, 4.
28 Ibid., 83.
21
(2).Kata “Allah” dalam Alenea preambule diganti dengan kata “Tuhan Yang Maha Kuasa”.
Ketujuh kata keistimewaan Islam yang tercantum dalam preambule juga dihapus.
II.3. Penjelasan pasal 29 ayat 2
Apabila mengacu pada penjelasan UUD 1945 yang disusun oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia, tidak ada penjelasan terhadap UUD’45
pasal 29 ayat (2) tersebut. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga hukum negara yang
diberikan kewenangan sebagai penafsir final terhadap batang tubuh Undang-undang Dasar
1945 secara resmi tidak memberikan tafsiran terhadap UUD’45 pasal 29 ayat (2).29
Pasal ini
dianggap tidak perlu dijelaskan karena sudah jelas. Sebab tidak ada pakar, ahli atau
pembicara dalam seminar-seminar yang tidak meyakini atau menolak bahwa UUD 1945 pada
dasarnya telah mengakui dan memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama dan
berkeyakinan.30
Secara eksplisit, soal kebebasan beragama telah jelas dan tidak perlu
diperdebatkan lagi karena telah diamanatkan oleh UUD 1945.
Sebuah undang-undang dasar tidak dapat dipahami secara utuh hanya dengan membaca
teks-teks pasal tertulis saja, akan tetapi perlu juga dipahami suasana kebatinan (geistlichen
hintergrund) dari berbagai persitiwa yang terjadi yang meliputi segenap lahirnya pasal-pasal,
serta ruang lingkup perdebatan ketika pasal tersebut dirumuskan. Hal ini sangat penting
ketika melakukan penafsiran konstitusi agar konstitusi tersebut menjadi hidup dan
29
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24C ayat (1). 30
Moh Mahfud MD, Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Konstitusi. http://www.google.co.id/#hl=id&sa=X&ei=umsVUNrlJZDJrQe5loH4Cg&ved=0CE0QvwUoAQ&q=kebebasan+beragama+dalam+perspektif+konstitusi&spell=1&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.&fp=63d2b467ac9ef5e0&biw=1278&bih=739.
22
berkembang dalam masyarakat dengan tetap menjaga makna, maksud dan tujuan setiap pasal
dan ayatnya (original intent).31
Berdasarkan pemahaman di atas, maka suasana kebatinan, perdebatan dan dinamika
dalam perumusan UUD pasal 29 ayat (2) ini perlu dilihat. Namun, untuk membantu
memahami pasal 29 ayat (2) lebih utuh, maka suasana kebatinan dalam perumusan pasal-
pasal lain yang berhubungan dengan pasal 29 ayat (2) juga harus dilihat. Apabila mengacu
pada proses perumusan UUD 1945 pasal 29 ayat (2) yang telah dipaparkan di atas. Ada
beberapa hal yang dapat dilihat. Pertama, Yamin menyatakan bahwa “UUD yang kita
rancang tidak saja menjamin kesejahteraan, haruslah juga menjamin hak rakyat sebagai
manusia yang merdeka.32
Pandangan Moh. Yamin menegaskan bahwa UUD yang akan
dirumuskan mengakui hak asasi manusia dan sekaligus menjamin perlidungan terhadap hak
asasi manusia. Pengakuan sekaligus jaminan terhadap Hak Asasi Manusia baru di
deklarasikan tahun 1948, yaitu 3 tahun setelah disahkannya Undang-Undang Dasar 1945.
Jadi tidaklah berlebihan jika Moh. Hatta menyatakan UUD 1945 merupakan konstitusi
terbaik di zamannya.33
Seharusnya hal ini menjadi motivasi untuk tetap menjaga dan
memelihara amanat para pendiri bangsa ini. Bahwa sejak dahulu kala kita sebagai bangsa
menyadari pentingnya akan pengakuan dan jaminan terhadap hak asasi manusia termasuk di
dalamnya hak setiap orang untuk memeluk agamanya dan beribadat sesuai dengan
agamanya.
31
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republic Indonesia 1945 (Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), XiV.
32 Saafroedin Bahar & Nannie Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik, 209.
33 Ibid., 550.
23
Kedua, Yamin menyampaikan bahwa “Republik ini bukan negara yang anti-Tuhan,
melainkan republic yang ber-Tuhan. Konstitusi Republik Indonesia berlindung kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa”. Soepomo juga menyatakan hal tidak berbeda bahwa “salah satu pokok
pikiran yang terkandung dalam pembukaan ialah “negara berdasar atas ke-tuhanan, menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.34
Pandangan ini jelas bahwa negara mengakui
akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Pengakuan akan Ketuhaan tersebut didasari prinsip
kemanusiaan yang adil dan beradab. Prinsip ke-Tuhanan ini dapat diartikan sebagai
pengakuan kepada Tuhan dengan didasari sikap saling menghormati, menghargai dan
mengakui keberadaan orang lain. Hal ini seturut dengan prinsip ke-Tuhanan yang
disampaikan Soekarno dalam pidatonya, yaitu ke-Tuhanan yang saling hormat-menghormati
dan semua orang dapat menyembah tuhannya dengan leluasa.35
Pada saat bunyi pasal 29 ayat (1) dan (2) diperdebatkan, Soepomo dalam pidato
penjelasaannya sebagai panitia perancang UUD mengatakan bahwa “negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya masing-masing”. Kita menghendaki dasar ke-Tuhanan dan
dasar kemanusiaan dan atas dasar-dasar itu kita menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agama apapun dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-
masing”.36
Jadi ada dua hal yang mendasari pasal 29, pertama, bahwa negara mengakui
keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, pengakuan tersebut dengan tetap menjunjung
tinggi dasar kemanusian. Nilai dasar kemanusiaan adalah martabat yang melekat pada
34
Ibid., 209-210. 35
Ibid., 101-102. 36
Ibid., 291.
24
manusia, salah satunya adalah kebebasan beragama.37
Jadi pengakuan terhadap nilai dasar
kemanusiaan adalah adanya jaminan kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agama yang
diyakininya dan beribadat sesuai dengan agamanya. Atas dasar ini, maka tidak dibernarkan
jika ada larangan atau hambatan bagi setiap orang untuk memilih agamanya, menjalankan
ajaran agamanya, beribadat menurut agamanya.
Selanjutnya Soepomo mengatakan bahwa walaupun pasal 29 ini merupakan hasil
kompromis kaum kebangsaan dan kaum Islam. Namun yang harus diingat adalah negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut
agama dan kepercayaannya. Jadi hasil kompromis maksudnya bukan untuk membatasi
kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat sesuai dengan agamanya.38
Penegasan Seopomo sebagai panitia perancang Undang-Undang Dasar dapat kita pahami
sebagai suasana kebatinan para pendiri bangsa saat itu dalam menyusun rancangan Undang-
Undang Dasar. Suasana kebatinan itu terlihat bahwa walaupun ada perbedaan pendapat
antara golongan kebangsaan dan Islam dalam rumusan pasal 29, namun pada prinsipnya baik
golongan kebangsaan dan golongan Islam menginginkan negara ini menjamin kemerdekaan
setiap penduduk untuk memeluk agama yang diyakininya dan beribadat menurut
agamanya.39
Berdasarkan uraian di atas dapat kita pahami bahwa pemerintah tidak boleh melakukan
pembatasan bagi setiap warga negaranya untuk memeluk agama yang diyakininya dan
beribadat sesuai dengan agamanya. Apabila negara tidak bisa melakukan pembatasan
kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat sesuai agamanya, maka
37
John Kesley & Summer B Twiss, Agama dan Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Interfidei, 2007), Ii. 38
Saafroedin Bahar & Nannie Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik, 39
Moh. Mahfud MD, Kebebasan Beragama, 6.
25
masyarakat juga tidak boleh membatasi setiap orang untuk memeluk agamanya dan beribadat
sesuai dengan agamanya dengan alasan apapun. Sebab pada prinsipnya semua warga negara
setara, mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tindakan sekelompok masyarakat yang
membatasi orang lain untuk beribadat menurut agamanya, jelas tidak sesuai dengan prinsip
dan semangat konstitusi Indonesia. Pemerintah berdasarkan pasal 29 ayat (2) berkewajiban
untuk menjaga dan melindungi setiap warga negara dari tindakan intimidasi dan diskriminasi
berupa pembatasan kebebasan beragama dan beribadat.
Sepakatnya para pendiri bangsa untuk menghapuskan tujuh kata “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, merupakan kesepakatan para pendiri
bangsa untuk menghilangkan keistimewaan satu kelompok atau golongan yang dalam hal ini
adalah agama Islam. Kesepakatan menghilangkan keistimewaan Islam berarti kesepakatan
untuk menjadikan semua warga negara sama, punya hak dan kewajiban yang sama, tidak ada
kelompok, golongan atau agama yang lebih tinggi dan tidak ada kelompok, golongan atau
agama yang lebih rendah. Dengan prinsip seperti ini, maka tidak boleh ada tindakan
intimidasidan diskriminasi dari satu kelompok pada kelompok lainnya. Oleh karena itu,
pemerintah sebagai pelaksana amanat konstitusi berkewajiban untuk menjaga dan
melindungi setiap warga negara dari tindakan intimidasi dan diskriminasi dari satu kelompok
tertentu. Walaupun kelompok tersebut adalah mayoritas. Fakta masyarakat Indonesia ada
yang mayoritas dan ada pula yang minoritas. Namun pendiri bangsa telah sepakat bahwa
tidak ada warga negara yang istimewa dan tidak tidak ada kelompok, golongan atau agama
yang istimewa. Karena semua warga negara sama kedudukan, hak dan kewajibannya.
Berdasarkan prinsip ini di atas, maka pemerintah berkewajiban untuk melindungi setiap
warga negara dari tindakan intimidasi dan diskriminasi. Tidak hanya sampai disitu,
26
pemerintah juga berkewajiban memastikan semua warga negara diperlakukan sama. Oleh
karena itu, pemerintah sebagai pelaksana amanat konstitusi tidak boleh memberikan peluang
adanya produk-produk hukum yang dapat dijadikan payung hukum oleh satu kelompok yang
dapat mengintimidasi kelompok lain. Apalagi apabila produk hukum tersebut dapat
menciptakan tindakan diskriminasi terhadap satu kelompok tertentu. Sebab apabila hal itu
terjadi, maka produk hukum tersebut tidak sesuai dengan konstitusi yang telah amanatkan
bersama para pendiri bangsa ini.
Menurut Moh. Mahfud MD UUD 1945 pasal 29 adalah pengakuan agama sebagai hak
asasi manusia. Pasal itu menegaskan soal tugas negara untuk memberikan perlindungan
terhadap kebebasan beragama dan menjalankan ibadah dan kepercayaannya masing-masing
warga negara dan penduduk Indonesia. Dalam konteks negara Indonesia yang mengakui
posisi penting agama, perlindungan terhadap kebebasan beragama harus dipadukan dengan
perlindungan terhadap kemurnian ajaran agama.40
II.4. Kesimpulan
Melalui pernyataan dan argument-argument yang disampaikan para pendiri bangsa di atas
ada beberapa hal yang dapat dipahami sebagai ide dasar para pendiri bangsa merumuskan
pasal 29 ayat (2). Pertama, negara mengakui akan adanya Tuhan yang Maha Kuasa. Kedua,
sesuai dengan semangat dan jiwa pembukaan bahwa negara yang di bentuk adalah negara
“persatuan” yang melindungi seluruh golongan, agama, suku, dan paham yang ada. Ketiga,
pengkuan dan sekaligus jaminan hak rakyat sebagai manusia yang merdeka. Dan atas dasar
ide-ide inilah dapat pula dipahami maksud dan tujuan dari UUD’ 45 pasal 29 ayat (2) bahwa
40
Moh Mahfud MD, Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Konstitus, 9.
27
negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk sebagai manusia merdeka untuk memeluk
agama atau keyakinannya dan negara menjamin melindungi tiap-tiap penduduk untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaanya.
Walaupun terjadi perdebatan antara golongan kebangsaan dan golongan Islam dalam
perumusan pasal 29, namun pada prinsipnya kedua golongan memiliki pandangan yang sama
bahwa negara tidak boleh membatasi penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat
sesuai dengan agamanya. Dalam perdebatan tersebut pasal 29 ayat (1) masih berbunyi
“Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya.” Dihapuskannya tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” mengakibatkan hilangnya keistimewaan Islam.
Penghapusan ke-tujuh kata tersebut bukan hanya menghilangkan keistimewan Islam, namun
penegasan para pendiri bangsa bahwa setiap warga negara bebas memeluk agamanya dan
beribadat sesuai dengan agamanya. Hal ini sekaligus penegasan para pendiri bangsa bahwa
tidak boleh ada pembatasan bagi setiap warga negara untuk menjalankan ajaran agamanya
dan beribadat menurut agama atau kepercayaannya.
Dengan dihapusnya 7 kata dalam sila pertama pancasila mengakibatkan hilangnya
keistimewaan Islam. Hilangnya keistimewaan Islam adalah penolakan ideologi Islam sebagai
dasar negara. Menurut pemahaman ini hubungan negara dan agama menjadi netral. Dengan
demikian, negara kembali kepada gagasan negara persatuan yang mengatasi paham
perseorangan dan golongan.41
Hal ini sesuai dengan pidato soepomo terhadap rancangan
UUD yang menyatakan dalam merumusakan undang-undang dasar bahwa “cita-cita dan
pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan itu, menjadi dasar cita-cita dan
41
Yudi Latif, Negara Paripurna, 84.
28
pokok pikiran undang-undang yang akan disusun. Dalam pembukaan kita menerima aliran
pengertian negara persatuan yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi
negara mengatasi segala paham golongan dan segala paham perseorangan. Negara menurut
paham pembukaan adalah negara “persatuan” meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya.
Inilah yang menjadi dasar negara yang tidak boleh dilupakan”.42
Hilangnya keistimewaan Islam juga mengakibatkan dihapusnya seluruh rumusan yang
mengandung keistimewaan Islam dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.43
Termasuk hilangnya syarat beragama Islam bagi seorang presiden dalam pasal 6 ayat (1)
(pada saat itu pasal 6 alenia 1). Hilangnya syarat beragama Islam bagi seorang presiden
menjadikan seluruh warga negara memiliki kedudukan yang setara, tanggungjawab yang
sama, kesempatan yang sama dan hak yang sama di negara Republik Indonesia. Hal ini dapat
diartikan sebagai amanah dari para pendiri bangsa agar negara tidak melakukan tindakan
diskriminasi terhadap kelompok atau golongan tertentu dan negara melindungi tindakan
diskriminasi dari satu kelompok terhadap yang lain. Inilah yang menjadi semangat bersama
para pendiri bangsa pada saat mendirikan negara ini.
42
Safroedin Bahar, Nannie Hudawati, Risalah Sidang Badan Penelidik, 289-290. 43
Yudi Latif, Negara Paripurna, 533.
top related