bab ii tinjauan pustaka konsep kebutuhan dasar manusia 1. kebutuhan dasar...
Post on 25-Nov-2020
19 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep kebutuhan dasar Manusia
1. Kebutuhan Dasar Manusia
Kebutuhan merupakan suatu hal yang sangat penting, bermanfaat, atau
diperlukan untuk menjaga homeostatis dan kehidupan itu sendiri. Banyak ahli
filsafat, psikologis, dan fisiologis menguraikan kebutuhan manusia dan
membahasnya dari berbagai segi. Orang pertama yang menguraikan
kebutuhan manusia adalah Aristoteles. Sekitar tahun 1950, Abraham Maslow
seorang psikolog dari Amerika mengembangkan teori tentang kebutuhan dasar
manusia yang lebih dikenal dengan istilah Hierarki Kebutuhan Dasar Manusia
Maslow. Hierarki tersebut meliputi lima kategori kebutuhan dasar, yakni :
a. Kebutuhan Fisiologis (physiologic Needs)
Pada tingkat yang paling bawah, terdapat kebutuhan yang bersifat
fisiologik (kebutuhan akan udara, makanan, minuman, dan sebagainya)
yang ditandai oleh kekurangan (defisit) sesuatu dalam tubuh orang yang
bersangkutan. Kebutuhan fisiogis memiliki prioritas tertinggi dalam
hierarki Maslow. Umumnya, seseorang yang memiliki beberapa
kebutuhan yang belum terpenuhi akan lebih dulu memenuhi kebutuhan
fisiologisnya dibandingkan kebutuhan yang lain. Sebagai contoh,
seseorang yang kekurangan makanan, keselamatan, dan cinta biasanya
akan berusaha memenuhi kebutuhan akan makanan sebelum memenuhi
kebutuhan akan cinta. Kebutuhan fisiologis merupakan hal yang mutlak
dipenuhi manusia untuk bertahan hidup.
b. Kebutuhan Keselamatan dan Rasa aman (Safety and Security Needs)
Jenis kebutuhan kedua ini berhubungan dengan jaminan keamanan,
stabilitas, perlindungan, struktur, keteraturan, situasi yang bisa
diperkirakan, bebas dari rasa takut dan cemas, dan sebagainya. Kebutuhan
7
keselamatan dan rasa aman yang dimaksud adalah aman dari berbagai
aspek, baik fisiologis maupun psikologis. Kebutuhan ini meliputi sebagai
berikut :
1) Kebutuhan perlindungan diri dari udara dingin, pana kecelakaan, dan
infeksi.
2) Bebas dari rasa takut dan kecemasan.
3) Bebas dari perasaan terancam karena pengalaman yang baru atau
asing.
c. Kebutuhan rasa cinta, memiliki, dan dimiliki (Love and belonging Needs)
Setiap orang ingin memiliki hubungan yang hangat dan akrab,
bahkan mesra dengan orang lain. Setiap orangpun ingin mempunyai
kelompoknya sendiri, ingin punya “akar” dalam masyarakat. Setiap orang
butuh menjadi bagian dalam sebuah keluarga, sebuah kampung, suatu
marga, dan lain-lain. Setiap orang yang tidak mempunyai keluarga akan
merasa sebatang kara, sedangkan orang yang tidak sekolah dan tidak
bekerja merasa dirinya pengangguran yang tidak berharga. Kondisi seperti
ini akan menurunkan harga diri orang yang bersangkutan.
d. Kebutuhan Harga diri (Self-Esteem Needs)
Ada dua macam kebuthan akan harga diri. Pertama, adalah
kebutuhan-kebutuhan akan kekuatan, penguasaan, kompetensi, percaya
diri, dan kemandirian. Sementara yang kedua adalah kebutuhan akan
penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, kebanggan,
dianggap penting, dan apresiasi dari orang lain. Orang-oramng yang
terpenuhi kebutuhannya akan harga diri akan tampil sebagai orang yang
percaya diri, tidak bergantung pada orang lain, dan selalu siap untuk
berkembang terus untuk selanjutnya meraih kebutuhan yang tertinggi yaitu
aktualisasi diri (Self actualization).
e. Kebutuahn aktualisasi diri (Ned for Self Actualization)
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang terdapat 17 mata
kebutuhan yang tiak tersusun secara hierarki, melainkan saling mengisi.
Jika berbagai mata kebutuhan tidak terpenuhi maka akan terjadi mata
8
patologi seperti apatisme, kebosanan, putus asa, tidak punya rasa humor
lagi, keterasingan, mementingkan diri sendiri, kehilangan selera
(Mubarak,2015).
Dengan mengetahui konsep kebutuhan dasar manusia Maslow, kita perlu
memahami hal sebagai berikut:
1. Manusia senantiasa berkembang sehingga dapat mencapai potensi diri
yang maksimal
2. Kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi tidak akan terpenuhi dengan
baik sampai kebutuhan dibawahnya terpenuhi.
3. Jika kebutuhan dasar pada tiap tingkatatan tidak terpenuhi, pada
akhirnya akan muncul suatu kondisi patologis.
4. Setiap orang mempunyai kebutuhan dasar yang saa dan setiap
kebutuhan tersebut dimodifikasi sesuai dengan budaya masing-
masing.
Gambar 2.1 Hierarki Kebutuhan Dasar Manusia Maslow
Konsep hierarki diatas menjelaskan bahwa manusia senantiasa berybah, dan
kebutuhannyapun terus berkembang. Jika sesorang merasakan kepuasan, ia akan
menikmati kesejeahteraan dan bebas untuk berkembang menuju potensi yang
lebih besar. Sebaliknya, jika proses pemenuhan kebutuhan itu terganggu, akan
timbul suatu kondisi patologis. Dalam konteks homeostatis, suatu persoalan atau
9
masalah dapat dirumuskan sebagai hal yang menghalangi terpenuhinya
kebutuhan, dan kondisi tersebut lebih lanjut dapat mengancam homeostatis
fisiologis maupun psikologis seseorang. Oleh karenanya, dengan memahami
konsep kebutuhan dasar manusia Maslow, akan diperoleh persepsi yang sama
bahwa untuk beralih ke tingkat kebutuhan yang lebih tinggi, kebutuhan dasar
dibawahnya harus terpenuhi lebih dulu. Artinya, terdapat suatu jenjang kebutuhan
yang “lebih penting” yang harus dipenuhi sebelum kebutuhan yang lainnya
dipenuhi(Mubarak,2015).
Selanjutnya menurut Virginia Henderson membagi kebutuhan dasar manusia
kedalam 14 komponen (Dr.Lyndon,2013). Yaitu :
a) Bernapas secara normal
b) cukup makan dan minum
c) Bergerak dan mempertahankan postur tubuh yang diinginkan.
d) Tidur dan istirahat.
e) Eliminasi (Buang Air kecil dan buang air besar)
f) Mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran normal dengan menyesuaikan
pakaian yang dikenakan dan memodifikasi lingkungan.
g) Menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
h) Memilih pakaian yang tepat.
i) Menghindari bahaya dari lingkungan dan menghindari membahayakan orang
lain.
j) Berkomunikasi dengan orang lain untuk mengekspresikan emosi dan opini
k) Beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan.
l) Bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
m) Berekreasi atau bersantai
n) Belajar, menemukan, atau memuaskan rasa ingin tahu.
10
2. Kebutuhan Mobilisasi
a. Pengertian Mobilisasi
Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas,
mudah, dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehat. Setiap orang butuh untuk bergerak. Kehilangan kemampuan untuk
bergerak menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan tindakan
keperawatan. Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kemandirian diri,
meningkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit khususnya
penyakit degeneratif, dan untuk aktualisasi diri (Wahit & Nurul,2008) .
b. Jenis Mobilisasi
Menurut Haswita dan sulistyowati (2017) membagi jenis mobilisasi
sebagai berikut :
1) Mobilitas penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan
menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi
saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh
area tubuh seseorang.
2) Mobilitas sebagian, Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena
dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area
tubuhnya. Dapat dijumpai pada kasus cidera atau patah tulang dengan
pemasangan traksi. Pada pasien paraplegi dapat mengalami mobilitas
sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol motorik
dan sensorik. Mobilitas sebagian ini dibagi menjadi dua jenis yaitu
Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Disebabkan oleh
trauma reversibel pada sistem muskuloskletal, contohnya adalah adanya
dislokasi sendi dan tulang. Dan yang kedua yaitu Mobilitas permanen,
kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya
menetap. Disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel,
cintihnya terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegia karena cedera
11
tulang belakang, poliomilitis karena terganggunya sistem saraf motorik
dan sensorik.
c. Faktor yang mempengaruhi mobilisasi
Mobilisasi seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :
a. Gaya hidup
Mobilisasi seseorang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, nilai-
nilai yang dianut, serta lingkungan tempat ia tinggal (Masyarakat).
Gaya hidup juga mempengaruhi mobilisasi karena berdampak pada
perilaku dan kebiasaan sehari-hari (). Individu dengan kebiasaan makan
yang baik kemungkinan tidak akan mengalami hambatan dalam
pergerakan. Sebaliknya, individu dengan gaya hidup yang tidak sehat
dapat mengalami gangguan kesehatan yang pada akhirnya akan
menghambat pergerakannya (Mubarak,dkk, 2015).
b. Ketidakmampuan
Ketidakmampuan ada dua macam yaitu ketidakmampuan primr
dan ketidakmampuan sekunder. Ketidakmampuan primer yaitu terjadi
akibat dampak dari ketidakmampuan primer (mis., kelemahan otot dan
tirah baring). Ketidakmampuan primer disebabkan oleh penyakit atau
trauma (mis., paralisis akibat gangguan atau cidera pada medula
spinalis. Penyakit-penyakit tertentu dan kondisi cidera akan
berpengaruh terhadap mobilitas. (Wahit & Nurul, 2008).
c. Tingkat energi
Energi dibutuhkan untuk banyak hal salah satunya untuk
mobilisasi. Cadangan energi yang dimiliki masing-masing individu
bervariasi. Disamping itu, ada kecendrungan seseorang untuk
menghindari stresor guna mempertahankan kesehatan fisik dan
psikologis.
d. Usia
Usia berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam
melakukan mobilisasi. Pada individu lansia, kemampuan untuk
melakukan aktivitas dan mobilisasi menurun sejalan dengan penuaan.
12
e. Proses penyakit/cedera
Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas karena
dapat mempengaruhi fungsi sistem tubuh. Contoh, orang yang menderita
fraktur femur akan mengalami keterbatasan pergerakkan dalam ekstremitas
bagian bawah (Haswita & sulistyowati, 2017).
3. Kebutuhan Imobilisasi
Imobilisasi merupakan suatu kondisi yang relatif. Individu tidak saja
kehilangan kemampuan geraknya secara total, tetapi juga mengalami
penurunan aktivitas dari kebiasaan normalnya. Ada beberapa alasan dilakukan
imobilisasi :
1) Pembatasan gerak yang ditujukan untuk pengobatan atau terapi. Misalnya
pada pasien yang menjalani pembedahan atau yang mengalami cedera
pada tungkai dan lengan.
2) Keharusan (tidak terelakkan). Biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan
primer, seperti penderita paralisis.
3) Pembatasan secara otomatis sampai dengan gaya hidup.
4. Jenis imobilitas
Menurut Haswita dan Sulistyowati (2017:86-87) secara umum ada
beberapa macam keadaan imobilisasi antara lain :
a. Imobilitas fisik : Merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik
dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan .
b. Imobilitas intelektual : Merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
keterbatasan daya pikir.
c. Imobilitas emosional : Merupakan keadaan individu yang mengalami
hambatan dalam melakukan interaksi sosial karna keadaan penyakitnya,
sehingga dapat mempengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.
d. Imobilitas sosial : Merupakan keadaan individu yang mengalami hambatan
dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya, sehingga
dapat mempengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.
13
5. Dampak fisik dan psikologis imobilisasi
Masalah imobilisasi dapat menimbulkan berbagai dampak, baik dari segi
fisik maupun psikologis. Secara psikologis, imobilitas dapat menyebabkan
penurunan motivasi, kemunduran kemampuan dalam mmecahkan maslah, dan
perubahan konsep diri. Selain itu, kondisi ini juga disertai dengan
ketidaksesuaian antara emosi dan situasi, perasaan tidak berharga dan tidak
berdaya, serta kesepian yang diekspresikan dengan perilaku menarik diri, dan
apatis. Sedangkan masalah fisik dapat terjadi adalah sebagai berikut ;
a. Sistem Muskuloskletal
pada sistem ini, iobilitas dapat menimbulkan berbagai maslah, seperti
osteoporosis, attrofi otot, kontraktur, dan kekakuan serta nyeri pada sendi.
1) Osteoporosis. Tanpa adanya aktivitas yang memberi beban pada
tulang, tulang akan mengalami demineralisasi (osteoporosis). Akan
menyebabkan tulang kehilangan kekuatan dan kepadatannya sehingga
tulang menjadi keropos dan mudah patah.
2) Atrofi otot. Otot yang tidak dipergunakan dalam waktu lama akan
kehilangan sebagian besar kekuatan dan fungsi normalnya.
3) Kontraktur. Pada kondisi imobilisasi, serabut otot tidak mampu
memendek atau memanjang. Kondisi ini akan menyebabkan
kontraktut. Proses ini sering mengenai sendi, tendon, dan ligamen.
4) Kekauan dan nyeri send. Pada kondisi imobilisasi, jaringan kolagen
pada sendi dapat mengalami antikilosa, tulang juga kan mengalami
demineralisasi yang akan menyebabkan akumulasi kalsium pada sendi
yang dapat mengakibatkan kekauan dan nyeri pada sendi (Mubarak &
Nurul, 2008).
b. Sistem Integumen
1) Penurunan turgor kulit. Kulit dapat mengalami atrofi sebagai akibat
dari imobilitas berkepanjangan. Pergeseran cairan tubuh diantara
kompartemen cairan dapat dapat memengaruhi konsistensi dan
kesehatan dermis dan jaringan subkutan di bagian tubuh yang
14
tergantung, yang pada akhirnya menyebabkan kehilangan elastisitas
kulit secara bertahap
2) Kerusakan kulit. Sirkulasi darah normal bergantung pada aktivitas
otot. Imobilitas menganggu sirkulasi dan mengurangi suplai nutrisi ke
area tertentu. Akibatnya, kulit mengalami kerusakan dan dapat
terbentuk ulkus dekubitus (Kozier,dkk., 2011).
6. Masalah-masalah pada kesejajaran tubuh dan mobilisasi
Menurut Haswita dan Sulistyowati (2017:87-88) masalah-masalah
kesejajaran tubuh sebagai berikut :
a. Kelainan postur
Kelainan postur yang didapat atau kongenital mempengaruhi efisiensi
sistem muskuloskletal. Misalnya tortikolis, skoliosis, lordosis, kifosis,
kifolordosis, kifoskoliosis, footdrop, pigeontoes.
b. Gangguan perkembangan otot
Distrofi muskular adalah sekumpulan gangguan yang menyebabkan
degenerasi serat otot skelet. Contohnya distrofi otot dan distrofi otot
Duchenne.
c. Kerusakan sistem saraf pusat
Kerusakan komponen sistem saraf pusat mengatur pergerakan
volunter mengakibatkan gangguan kesejajaran tubuh dan mobilisasi. Jalur
motorik pada serebrum dapat dirusak oleh trauma karena cedera kepala,
iskemia karena cedera serebrovaskular (stroke), atau infeksi bakteri karena
meningitis. Gangguan motorik langsung berhubungan dengan jumlah
kerusakan pada jalur motorik.
d. Trauma langsung pada sistem muskuloskletal
Trauma langsung pada sistem muskuloskletal menyebabkan memar,
kontusio, salah urat an fraktur. Fraktur adalah terputusnya kontuinitas
jaringan tulang. Fraktur terjadinya karena deformitas tulang.
15
B. Tinjauan asuhan Keperawatan
Menurut Dr.Lyndon Saputra (2013) dalam buku Kebutuhan Dasar
Manusia Asuhan keperawatan pada masalah kebutuhan mobilisasi dan
imobilisasi, proses keperawatan meliputi langkah-langkah sebagai berikut :
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian pada masalah gangguan mobilisasi adalah sebagai berikut
a. Identitas pasien
Pada pengkajian identitas pasien ini meliputi : nama pasien, usia
(kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit,
nomor register, dan diagnosis medis (Muttaqin, 2008).
b. Riwayat Keperawatan
Pengkajian Riwayat keperawatan pasien saat ini meliputi penyebab
gangguan mobilitas (misalnya nyeri, kelemahan otot, dan kelelahan),
tingkat mobilitas, daerah yang mengalami gangguan mobilitas, lama
terjadinya gangguan mobilitas.
Selain itu, hal yang perlu dikaji adalah Riwayat penyakit yang
pernah diderita seperti riwayat penyakit sistem neurologis (misalnya
trauma kepala dan cedera medula spinalis) riwayat penyakit sistem
kardiovaskuler (misalnya fraktur, artritis, dan osteoporosis), riwayat
penyakit sistem pernapasan (misalnya pneumonia).
Riwayat penyakit keluarga, biasanya ada riwayat keluarga yang
menerita hipertensi, diabetes melitus atau adanya riwayat stroke dari
generasi terdahulu (Muttaqin, 2008).
c. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data
dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fiisik sebaiknya dilakukan per
sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan
B3(Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari
pasien. Keadaan umum, umumnya mengalami penurunan kesadaran. Suara
16
bicara kadang mengalami gangguan, yaitu sukar dimengerti, kadang tidak
bisa bicara, dan tanda-tanda vital: tekanan darah meningkat, denyut nadi
bervariasi (Muttaqin, 2011).
d. Kemampuan fungsi motorik
Pengkajian fungsi motorik antara lain dilakukan pada tangan
kanan, tangan kiri, kaki kanan, dan kaki kiri untuk menilai ada tidaknya
kelemahan, kekuatan, atau spastis.
Derajat kekuatan otot dapat ditentukan berdasarkan tabel berikut ini.
Tabel 2.1 Derajat kekuatan otot
Skala Persentase
Kekuatan Normal
Karakteristik
0 0 Paralisis sempurna
1 10 Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat
dipalpasi atau dilihat
2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi
dengan topangan
3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi
4 75 Gerakan penuh yang normal melawan
tahanan minimal
5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang
normal melawan gravitasi dan tahanan
penuh
Berikut derajat kekuaatan otot menurut Lynn.S Bickley (2017) dalam buku
Pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan :
Tabel 2.2 Derajat kekuatan otot
Derajat Deskripsi
0 Tidak terdapat kontraksi muskular yang terlihat
1 Sedikit jejak kontraksi dapat terdeteksi
2 Gerakan aktif dengan penghilangan gravitasi
3 Gerakan aktif melawan gravitasi
4 Gerakan aktif melawan gravitasi dan beberapa tahanan
5 Gerakan aktif melawan tahanan penuh (normal)
e. Kemampuan mobilisasi
Kemampuan mobilisasi dilakukan untuk menilai kemampuan
individu untuk bergerak dan beraktivitas. Kategori tingkat kemampuan
aktivitas adalah sebagai berikut :
17
Tabel 2.3 Tingkat kemampuan aktivitas
Tingakat
Aktivitas/Mobilitas
Kategori
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh
Tingkat 1 Memerlukan alat untuk mobilisasi
Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain untuk
mobilisasi
Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan peralatan untuk
mobilisasi
Tingkat 4 Sangat tergantung pada bantuan alat dan orang lain serta tidak
dapat melakukan atau berpartisipasi dalam perawatan
f. Kemampuan rentang gerak (Range of motion atau ROM)
pengkajian ROM dilakukan pada daerah seperti berikut :
1) Leher : Fleksi, ekstensi, hiperekstensi, lateral fleksi, dan lateral rotasi
2) Bahu : Fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi interna, dan rotasi
eksterna.
3) Siku : Fleksi dan ekstensi.
4) Lengan bawah : pronasi dan supinasi.
5) Pergelangan tangan : fleksi, ekstensi, deviasi radial, deviasi urinal, dan
sirkumduksi.
6) Jari tangan : fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, sirkumduksi, dan oposisi.
7) Lutut : fleksi dan ekstensi.
8) Tumit (pergelangan kaki) : fleksi dan ekstensi
9) Telapak kaki : infersi dan efersi
10) Jari kaki : fleksi dan ekstensi
11) Pangkal paha: rotasi, abduksi, dan adduksi.
g. Perubahan intoleransi aktivitas
intoleransi aktivitas yang dikaji adalah intoleransi yang berhubungan
dengan perubahan sistem pernapasan dan sistem kardiovaskuler. Pengkajian
intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan perubahan sistem pernapasan
meliputi suara napas, analisis gas darah, gerakan dinding toraks, serta ada
tidaknya mukus, batuk produktif yang disertai panas, dan nyeri saat bernapas.
Pengkajian intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan perubahan sistem
18
kardiovaskular meliputi nadi dan tekanan darah, serta ada tidaknya gangguan
sirkulasi perifer, trombus, dan perubahan tanda vital setelah beraktivitas atau
bergerak.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul pada masalah gangguan
pemenuhan kebutuhan mobilisasi fisik. Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (2017) yaitu :
1. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
Definisi : Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri.
Penyebab :
Kerusakan integritas struktur tulang, perubahan metabolisme,
ketidakbugaran fisik, penurunan kendali otot, penurunan masa otot,
penurunan kekuatan otot, keterlambatan perkembangan. Kekakuan sendi,
kontraktur, malnutrisi, gangguan Muskuloskletal, gangguan
neuromuscular, indeks masa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia, efek
agen farmakologis, program pembatasan gerak, nyeri, kurang terpapar
informasi tentang aktivitas fisik, kecemasan, gangguan kognitif,
Keengganan melakukan pergerakkan, gangguan sensoripersepsi.
Gejala dan tanda Mayor :
Subjektif : Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
Objektif : Kekuatan otot menurun, Rentang gerak (ROM) menurun
Gejala dan Tanda Minor :
Subjektif : Nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa
cemas saat bergerak
Objektif : Sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, fisik
lemah.
Kondisi klinis terkait : Stroke, cedera medula spinalis, trauma, fraktur,
osteoarthritis, ostemalasia, keganasan.
19
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
Definisi : Ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Penyebab :
Keridakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, tirah baring,
kelemahan, imobilitas, gaya hidup monoton.
Gejala dan Tanda Mayor :
Subjektif : Mengeluh lelah
Objektif : Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istrirahat.
Gejala dan Tanda Minor:
Subjektif : Dispnea saat/setelah aktivitas, Merasa tidak nyaman ssetelah
beraktivitas, Merasa lemah.
Objektif : Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat, gambaran
EKG menunjukkan aritmia saat/setelah aktivitas, gambaran EKG
menunjukkan iskemia, sianosis.
Kondisi klinis terkait : Anemia, gagal jantung kongestif, penyakit jantung
koroner, penyakit katup jantung, aritmia, penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK), gangguan metabolik, gangguan muskuloskletal.
3. Resiko Gangguan Integritas kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas.
Definisi : kerusakan kulit (dermis dan/atau epidermis) atau jaringan
(membrane mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul
sendi dan/atau ligament).
Penyebab :
Perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi (kelebihan atau kekurangan),
kekurangan/kelebihan volume cairan, penurunan mobilitas, bahan kimia
iritatif, suhu lingkungan yang ekstrim, faktor mekanis atau faktor elektris,
efek samping terapi radiasi, kelembapan, proses penuaan, neuropati perifer,
perubahan pigmentasi, perubahan hormonal, penekanan pada tonjolan tulang ,
kurang terpapar informasi tentang upaya mempertahankan/ melindungi
integritas jaringan
Kondisi klinis terkait : imobilisasi, gagal jantung kongestif, gagal ginjal,
diabetes mellitus, imunodefisiensi (mis.AIDS), kateterisasi jantung.
20
3. Intervensi
Rencana tindakan Asuhan Keperawatan pada pasien stroke dalam buku Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2018) :
Diagnosa Intervensi utama Intervensi pendukung
Gangguan Mobilitas fisik b.d
penurunan kekuatan otot.
Tujuan :
Setelah dilakukan Asuhan
keperawatan diharapkan mobilisasi
pasien teratasi dengan criteria hasil :
a. Pasien meningkat dalam
aktivitas fisik
b. Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas
c. Memverbalisasikan
perasaan dalam
meningkatkan kekuatan
dalam kemampuan
berpindah
Dukungan Ambulasi :
Observasi :
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
- Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
- Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
memulai ambulasi
- Monitor kondisi umum Selma melakukan ambulasi
Terapeutik :
- Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis. Tongkat,
kruk)
- Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
- Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi.
- Anjurkan melakukan ambulasi dini
- Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan
Dukungan Mobilisasi :
Observasi :
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
- Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
- Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
memulai mobilisasi
- Monitor kondisi umum selama melkaukan mobilisasi
Terapeutik :
- Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
- Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
- Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan.
- Dukungan kepatuhan program pengobatan
- Dukungan perawatan diri : BABA/BAK,
Berpakaian , Makan/Minum, Mandi.
- Edukasi latihan fisik
- Edukasi teknik ambulasi
- Edukasi teknik transfer
- Konsultasi via telpon
- Latihan otogenik
- Manajemen energy
- Manajemen lingkungan
- Manajemne mood , Nutrisi, Nyeri, Medikasi,
program latihan, sensai perifer.
- Pemantauan Neurologis
- Pemberian : Obat, Obat intravena
- Pembidaian
- Pencegahan jatuh, Luka tekan
- Pengaturan posisi
- Pengekangan fisik
- Perawatan kaki, sirkulasi, tirah baring, traksi
- Promosi : Berat badan, kepatuhan program
latihan, latihan fisik
- Teknik latihan penguatan otot, penguatan
sendi
- Terapi aktivitas
- Terapi relaksasi otot progresif
21
Edukasi :
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
- Anjurkan melakukan mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana ysng harus dilkukan
Intoleransi aktivitas b.d kelemahan
Tujuan :
Setelah dilakukan Asuhan
Keperawatan diharapkan intoleransi
pasien teratasi dengan criteria hasil
pasien :
a. Berpartisipasi dalam
aktivitas fisik tanpa disertai
peningkatan tekanan darah,
nadi dan RR
b. Tanda-tanda vital normal
c. Energy psikomotor
d. Level kelemahan
e. Sirkulasi status baik
Menejemen energy :
Observasi :
- Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
kelelahan
- Monitor kelelahan fisik dan emosional
- Monitor pola dan jam tidur
- Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan
aktivitas
Terapeutik :
- Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
- Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
- Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
- Fasilitasi duduk disisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah
atau berjalan
Edukasi :
- Anjurkan tirah baring
- Anjurkan melakuakan aktivitas secara bertahap
- Anjurkan menghubungi perawat jika tnda dan gejala
kelelahan tidak berkurang
- Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi :
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan
asupan makanan
Terapi aktivitas :
Observasi :
- Identifikasi defisit tingkat aktivitas
- Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas
tertentu
- Dukungan : Ambulasi, kepatuhan program
pengobatan, meditasi, pemeliharaan rumah
perawatan diri, spiritual, tidur.
- Edukasi : latihan fisik, teknik ambulasi,
pengukuran nadi radialis.
- Manajemen aritmia, lingkungan, medikasi,
mood, program latihan
- Pemantauan tanda vital
- Pemberian obat : inhalasi, intravena, oral
- Penentuan tujuan bersama
- Promosi : berat badan, dukungan keluarga,
latihan fisik
- Rehabilitasi jantung
- Terapi aktivitas
- Trapi bantuan hewan
- Terapi music
- Terapi oksigenasi
- Terapi relaksasi otot progresif
22
- Identifikasi sumber daya untuk aktivitas yang diinginkan
- Identifikasi strategi meningkatkan partisipasi dalam aktivitas
- Identifikasi makna aktivitas rutin
- Monitor respon emosional, fisik, social, dan spiritual terhadap
aktivitas
Aktivitas :
- Fasilitasi focus pada kemampuan, bukan defisit yang dialami
- Sepakati komitmen untuk meningkatkan frekuensi dan
rentang aktivitas
- Fasilitasi memilih aktivitas dan tetapkan tujuan aktivitas yang
konsisten sesuai kemampuan fisik, psikologis, dan social
- Koordinasikan pemilihan aktivitas sesuai usia
- Fasilitasi makna aktivitas yang dipilih
- Fasilitasi transfortasi untuk menghadiri aktivitas, jika perlu
- Fasilitasi pasien dan keluarga dalam menyesuaikan
lingkungan untuk mengakomodasi aktivitas yang dipilih
- Fasilitasi : aktivitas fisik rutin, aktivitas pengganti saat
mengalami keterbatasan waktu, energy atau gerak , aktivitas
motorik kasar untuk pasien hiperaktif
- Tingkatkan aktivitas fisik untuk memlihara berat badan
- Fasilitasi aktivitas motorik untuk merelaksasi otot
- Fasilitasi aktivitas dengan komponen memori implicit dan
emosional untuk pasien dimensia
- Jadwalkan aktivitas dalam rutinitas sehari-hari
- Berikan penguatan positif tas partisipasi dalam aktivitas
Edukasi :
- Jelaskan metode aktivitas fisik sehari-hari
- Ajarkan cara melakukan aktivitas yang dipilih
- Anjurkan melakukan aktivitas fisik, social, spiritual, dan
kognitif dalam menjaga fungsi dan kesehatan
- Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok atau terapi, jika
perlu
- Anjurkan keluarga untuk memberi penguatan positif atas
partisipasi dalam aktivitas
23
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan terapis okupasi dalam merencanakan dan
memonitor program aktivitas, jika sesuai
- Rujuk pada pusat atau program aktivitas komunitas, jika
perlu
Resiko gangguan integritas kulit b.d
penurunan mobilitas Perawatan integritas kulit :
Observasi :
- Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis.
Perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi, penurunan
kelembapan, suhu lingkungan ekstrem, penurunan mobilitas)
-
Terapeutik :
- Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
- Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika perlu
- Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama
periode diare
- Gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik pada
kulit sensitif
- Gunakan produk berbahan petrolium atau minyak pada kulit
kering
- Hindari produk berbahan dasar alcohol pada kulit kering
Edukasi :
- Anjurkan menggunakan pelembab
- Anjurkan minum air yang cukup
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
- Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrim
- Anjurkan menggunakan tabir surya SPF minimal 30 saat
berada diluar rumah
- Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya
- Dukungan perawatan diri
- Edukasi : perawatan diri, perawatan kulit,
perilaku upaya kesehatan, program pengobatan
- Konsultasi
- Latihan rentang gerak
- Manajemen nyeri
- Pelaporan status kesehatan
- Pemberian obat : intradermal, intramuscular,
intravena, kulit, subkutan, topical
- Penjahitan luka
- Perawatan area insisi
- Perawatan imobilisasi
- Perawatan kuku
- Perawatan luka bakar
- Perawatan luka tekan
- Teknik latihan penguatan otot dan sendi
- Terapi lintah
- Skrinning kanker
24
4. Implementasi
Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan yang
dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan. Dengan rencana
keperawatan yang dibuat berdasarkan diagnosis yang tepat, intervensi diharapkan
dapat mencapai tujuan dan hasil yang diinginkan untuk mendukung dan
meningkatkan status kesehatan pasien (Potter, 2010). Tujuan dari implementasi
adalah membantu pasien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang
mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan,
dan memfasilitasi koping. Perencanaan asuhan keperawatan akan dapat
dilaksanakan dengan baik, jika klien mempunyai keinginan untuk berpartisipasi
dalam implementasi asuhan keperawatan. Selama tahap implementasi, perawat
terus melakukan pengumpulan data dan memilih asuhan keperawatan yang paling
sesuai dengan kebutuhan pasien (Nursalam, 2008). Jenis-jenis tindakan pada
tahap pelaksanaan implementasi adalah :
a) Secara mandiri (Independent
Tindakan yang diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu pasien dalam
mengatasi masalahnya dan menanggapi reaksi karena adanya stressor
b) Saling ketergantungan (Interdependent)
Tindakan keperawatan atas dasar kerja sama tim keperawatan dengan tim
kesehatan lainnya, seperti dokter, fisioterapi, dan lain-lain.
c) Rujukan/ketergantungan (Dependent)
Tindakan keperawatan atas dasar rujukan dan profesi lainnya diantaranya
dokter, psikiatri, ahli gizi, dan lainnya.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan dan diarahkan
untuk menentukan respons pasien terhadap intervensi keperawatan dan
sebatas mana tujuan-tujuan sudah tercapai. Rencana keperwatan memberikan
landasan bagi evaluasi; diagnosa keperawatan, masalah-masalah kolaboratif,
tujuan-tujuan, intervensi keperawatan, dan hasil yang diperkirakan
memberikan panduan yang spesifik yang menentukan fokus evaluasi
(Smeltzer & Bare, 2002).
25
C. Tinjauan konsep penyakit Stroke
1. Definisi stroke
Stroke adalah gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit
neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi saraf
otak(Sudoyo Aru). Istilah stroke biasanya digunakan secara spesifik untuk
menjelaskan infark serebrum (Nurarif & kusuma, 2015). Stroke atau gangguan
peredaran darah otak (GPDO) merupakan penyakit neurologis yang sering
dijumpai dan harus ditangani secara cepat dan tepat. Mulanya stroke ini dikenal
dengan nama apoplexy, kata ini berasal dari bahasa yunani yang berarti “memukul
jatuh” atau to strike down. Dalam perkembangannya lalu dipakai istilah CVA atau
cerebrovaskular accident yang berarti suatu kecelakaan pada pembuluh darah
otak (dr.Iskandar, 2011). Jadi stroke merupakan bagian dari CVA
(Cerebrovaskular accident) merupakan penyakit sistem persarafan yang paling
sering dijumpai. Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak
yang disebabkan terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada
siapa saja dan kapan saja (Muttaqin, 2011).
Stroke juga penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa
kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir, daya ingat, dan
bentuk-bentuk kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak
(Muttaqin,2011). Stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal
maupun globalsecara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam,
akibat gangguan aliran darah otak(dr.Iskandar,2011).
2. Penyebab stroke
Menurut Arif Muttaqin(2008) beberapa keadaan dibawah ini dapat
menyebabkan stroke :
a. Trombosis serebri
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi
sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan
edema dan kongesti disekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang
tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Terjadi karena penurunan
26
aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan
iskemia serebri. Tanda dan gejala neurologis sering kali memburuk dalam
48 jam setelah terjadinya trombosis. Beberapa keadaan dibawah ini dapat
menyebabkan trombosis otak :
1) Aterosklerosis: mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya
kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah. Kerusakan dapat
terjadi melalui mekanisme : Lumen arteri menyempit dan
mengakibatkan berkurangnya aliran darah, oklusi mendadak
pembuluh darah karena terjadi trombosis, merupakan tempat
terbentukknya trombus,kemudian melepaskan kepingan trombus
(embolus) dan dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma
kemudian robek dan terjadi perdarahan.
2) Hiperkoagulasi pada polistemia : darah bertambah kental, peningkatan
viskositas/hematokrit meningkat dapat melambatkan aliran darah
serebri.
3) Arteritis (radang pada arteri)
b. Emboli
Arteri karotis dan arteri vertebralis beserta percabangannya bisa
juga tersumbat karena adanya bekuan darah yang berasal dari tempat lain,
misalnya dari jantung atau katupnya. Emboli lemak terbentuk jika lemak
dari sumsum tulang yang pecah dilepaskan ke dalam aliran darah dan
akhirnya tersumbat didalam sebuah arteri (kecil). Stroke karena sumbatan
emboli jarang terjadi (dr.Iskandar, 2011).
1) Emboli serebri merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh
bekuan darah, lemak, dan udara. Emboli berasal dari trombus di jantung
yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebri. Emboli berlangsung
cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa keadaan
yang dapat menimbulkan emboli : katup-katup jantung yang rusak
akibat penyakit jantung rematik, infark miokardium, fibrilasi, dan
keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan ventrikel
27
sehingga darah membentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu kosong
sama sekali mengeluarkan embolus-embolus kecil (Muttaqin, 2011).
c. Hemoragik
Perdarahan intrakranial atau intraserebri meliputi perdarahan
didalam ruang subarakhnoid atau didalam jaring otak sendiri. Dapat terjadi
karena aterosklerosis dan hipertensi. Pecahnya pembuluh darah otak
menyebabkan pembesaran darah kedalam parenkim otak yang dapat
mengakibatkan pnekanan, pergeseran, dan pemisahan jaringan otak yang
berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan
sehingga terjadi infark otak, edema, dan mungkin herniasi otak.
1) Hipoksia umum
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum adalah
hipertensi yang parah, henti jantung paru, curah jantung turun akibat
aritmia.
2) Hipoksia local
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat
adalah: spasme arteri serebri yang disertai perdarahan subarakhnoid,
vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migren.
3) Faktor resiko stroke
Ada dua macam faktor resiko stroke yaitu :
(1) Faktor resiko yang dapat dikendalikan (Muttaqin, 2011):
(a) Hipertensi merupakan faktor resiko utama. Pengendalian hipertensi
adalah kunci untuk mencegah stroke.
(b) Penyakit kardiovaskular-embolisme serebri berasal dari jantung :
(c) Penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongestif, hipertrofi
ventrikel kiri, abnormalitas irama, penyakit jantung kongestif.
(d) Kolesterol tinggi
(e) Obesitas
(f) Peningkatan hematokrit meningkatkan risiko infark serebri
(g) Diabetes- dikaitkan dengan anterogenesis terakselerasi
28
(h) kontrasepsi oral (khusunya disertai hipertensi, merokok, dan kadar
estrogen tinggi).merokok
(i) penyalahgunaan obat (khusunya kokain).
(j) Konsumsi alkohol.
Made kariasa(1997) menjelaskan dari hasil data penelitian di oxford,
inggris bahwa penduduk yang mengalami stroke disebabkan kondisi-
kondisi berikut : Tekanan darah tinggi tetapi tidak mengetahui (50-
60%), serangan jantung iskemik (30%), serangan iskemik sesaat (24%),
penyakit arteri lain (23%), denyut jantung tidak teratur (14%), diabetes
melitus (9%).
(2) Faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan :
(a) Faktor keturunan : sampai sekarang faktor keturunan masih belum
dapat dipastikan gn mana penentu terjadinya stroke. Jenis stroke
bawaan adalah cerebral autosomal-dominant arteriopathy dengan
infark subkortikal dan leukoenselopati (CADASIL) telah diketahui
lokasi gennya pada kromosom 19q12.
(b) Umur : insiden stroke meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Setelah umur 55 tahun risiko stroke iskemik meningkat 2 kali lipat
tiap dekade. Menurut Schutz penderita yang berumur antara 70-79
tahun banyak menderita perdarahan intrakranial.
(c) Jenis kelamin : laki-laki lebih cenderung untuk terkena stroke lebih
tinggi dibandingkan wanita, dengan perbandingan 1.3:1, kecuali
pada usia lanjut laki-laki dan wanita hampir tidak bebeda.
(d) Ras : Menurut Broderick dan kawan-kawan melaporkan orang negro
Amerika cenderung beresiko 1,4 kali lebih besar mengalami
perdarahan intraserebral (dalam otak) dibandingkan kulit putihnya.
Orang jepang dan Afrika-Amerika cenderung mengalami stroke
perdarahan intrakranial. Sedangkan oranng berkulit putih cenderung
terkena stroke iskemik, akibat sumbatan ekstrakranial lebih banyak.
29
3. Klasifikasi stroke
Klasifikasi stroke dibedakan menurut patologi dari serangan stroke meliputi :
a. Stroke non hemoragik
Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebri, biasanya
terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur, atau dipagi hari.
Idak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia
dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umumnya baik
(Muttaqin, 2011).
Stroke iskemik (non hemoragic) yaitu tersumbatnya pembuluh darah
yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan
terhenti. 80% stroke adalah iskemik. Stroke iskemik dibagi menjadi 3
yaitu:
(1) Stroke trombotik: proses terbentuknya thrombus yang membuat
penggumpalan.
(2) Stroke embolik: tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah
(3) Hipoperfusion sistemik: berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian
tubuh karena adanya gangguan denyut jantung (Nurarif & Kusuma,
2015).
b. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis fokal yang akut yang
disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara
spontan bukan oleh karena strauma kapitas, disebabkan oleh karena
pecahnya pembuluh arteri, vena, dan kapiler. Perdarahan otak dibagi
menjadi dua yaitu :
1) Perdarahan Intra Serebral (PIS)
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena
hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak,
membentuk massayang menekan jaringan otak dan menimbulkan
edema otak. Peningkatan TIK yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan
kematian mendadak karena herniasi otak.
30
2) Perdarahan subarakhnoid (PSA)
Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry atau AVM.
Aneurisme yang pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi Willisi
dan cabang-cabangnya yang terdapat diluar parenkim otak. Peningkatan
TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan subhialoid pada
retina dan penurunan kesadaran dan dapat mengakibatkan vasospasme
pembuluh darah serebri. Vasospasme ini dapat mengakibatkan disfungsi
otak global (nyeri kepala, penurunan kesdaran) maupun fokal (hemiparase,
gangguan hemisensorik, afasia). Vasospasme sering terjadi 3-5 hari setelah
timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya hari ke-5 sampai dengan ke-9,
dan dapat menghilang setelah minggu ke-2 sampai dengan ke-5.
Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara bahan-bahan yang
berasal dari darah dan dilepaskan ke dalam cairan serebrospinal dengan
pembuluh arteri diruang subrakhnoid. Otak dapat berfungsi jika kebutuhan
O2 dan glukosa otak dapat terpenuhi. Otak idak mempunyai cadangan O2
sehingga jika ada kerusakan atau kekurangan aliran darah otak walau
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikan pula dengan
kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh
kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa
sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar
glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala disfungsi serebri.
Pada saat otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses
metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah
otak.
31
Tabel 2.5 perbedaan antara stroke Nonhemoragik dengan stroke hemoragik
Gejala (Anamnesa) Stroke Nonhemoragik Stroke Hemoragik
Awitan (onset) Sub-akut kurang Sangat akut/mendadak
Waktu (saat terjadi
awitan)
Mendadak Saat aktivitas
Peringatan Bangun pagi/istirahat -
Nyeri kepala +50% TIA +++
Kejang +/- +
Muntah - -
Kesadaran menurun (-), Kadang sedikit +++
Koma/kesadaran
menurun
+/- +++
Kaku kuduk - ++
Tanda kerning - +
Edema pupil - +
Perdarahan retina - +
Bradikardi Hari ke-4 Sejak awal
Penyakit lain Tanda adanya aterosklerosis di
retina, koroner, perifer. Emboli
pada kelainan katub, fibrilasi,
bising karotis.
Hampir selalu hipertensi,
aterosklerosis, penyakit jantung
hemolisis (HHD).
Pemeriksaan darah
pada LP
- +
Rontgen + Kemungkinan pergeseran
glandula pineal
Angiografi Oklusi, stenosis Aneurisma, AVM, massa
intrahemisfer/vasospasme
CT scan Densitas berkurang (lesi hipodensi) Massa intrakranial densitas
bertambah (lesi hiperdensi)
Oftalmoskop Fenomena silang silver wire art Perdarahan retina atau korpus
vireum.
Lumbal fungsi :
tekanan
warna
eritrosit
Normal
Jernih
<250/mm3
Meningkat
Merah
>1000/mm3
Arteriografi Oklusi Ada pergeseran
EEG Ditengah Bergeser dari bagian tengah
Tabel 2.4 Perbedaan perdarahan intraserebri dengan perdarahan subarakhnoid. Gejala PIS PSA
Timbulnya Dalam 1 jam 1-2 menit
Nyeri kepala Hebat Sangat hebat
Kesadaran Menurun Menurun sementara
Kejang Umum Sering fokal
Tanda rangsangan meningeal +/- +++
Hemiparese ++ +/-
Gangguan saraf otak + +++
32
2.6 Perbedaan stroke hemoragik dan non hemoragik (Nurarif & kusuma, 2015):
Gejala klinis Stroke hemoragik Stroke non hemoragik
PIS PSA
Gejala defisit lokal Berat Ringan Berat/ringan
SIS sebelumnya Amat jarang - +/biasa
Permulaan (onset) Menit/jam 1-2menit Pelan (jam/hari)
Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan/tak ada
Muntah pada awalnya Sering Sering Tidak, kecuali lesi dibatang
otak
Hipertensi Hampir selalu Biasanya tidak Sering kali
Kesadaran Bisa hilang Bisa hilang
sebentar
Dapat hilang
Kaku kuduk Jarang Bisa ada pada
permulaan
Tidak ada
Hemiparesis Sering sejak awal Tidak ada Sering dari awal
Deviasi mata Bisa ada Tidak ada Mungkin ada
Gangguan bicara Sering Jarang Sering
Likuor Sering berdarah Selalu berdarah Jernih
Perdarahan subhialoid Tidak ada Bisa ada Tidak ada
Paresis/gangguan N III Tidak ada Bisa ada Tidak ada
Klasifikasi stroke dibedakan menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya:
(a) TIA (Transiet Ischemic attack) : Gangguan neurologis lokal yang terjadi
selama beberapa menit sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan
hilang dengan spontan dan sempurna dalam waku 24 jam
(b) Stroke involusi: Stroke yang terjadi masih terus berkembang, gangguan
neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk. Proses dapat berjalan
24jam atau beberapa hari (Muttaqin,2011). Stroke yang gejala klinisnya secara
bertahap berkembang dari yang ringan sampai semakin berat (dr.Iskandar,
2011).
(c) Stroke komplet : gangguan neurologis yanng timbul sudah menetap atau
permanen. Sesuai dengan istilahnya stroke komplit dapat diawali oleh
serangan TIA berulang (Muttaqin, 2011).
(d) RIND ( Reversible ischemic neurological deficits) : kelainan atau gejala
neurologis menghilang antara lebih dari 24jam sampai 3 minggu (dr.Iskandar,
2011).
33
4. Manifestasi klinis
Berikut manifestasi klinis dari stroke (Nurarif & Kusuma,2015) :
a. Tiba-tiba mengalami kelemahan atau kelumpuhan separuh badan
b. Tiba-tiba hilang rasa peka
c. Bicara cedel atau pelo
d. Gangguan bicara dan bahasa
e. Mulut mencong atau tidak simetris ketika menyeringai
f. Gangguan penglihatan
g. Gangguan daya ingat
h. Nyeri kepala hebat
i. Vertigo dan Gangguan fungsi otak
j. Kesadaran menurun
k. Proses kencing terganggu
5. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien stroke (Muttaqin, 2011)
a. Angiografi serebri
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik
seperti perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari
sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler.
b. Lumbal fungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan
lumbal menunjukkan adanya hemoragik pada subarakhnoid atau
perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan
adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor yang merah biasanya
dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil
biasanya warna likuor masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari
pertama.
c. Computerized Tomography (CT scan)
Memperlihatkan secara spsifik letak edema, posisi hematoma,
adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, serta posisinya secara pasti.
34
Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdermis fokal, kadang-kadang
masuk ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
d. Magnetic Imaging Resonance (MRI).
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan
posisi serta besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan
biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari
hemoragik.
e. Ultrasonografi (USG dopler)
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (Masalah
sistem karotis).
f. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan
dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik
dalam jaringan otak.
g. Pemeriksaan darah lengkap
Mencari kelainan pada darah itu sendiri.
h. Pemeriksaan kimia darah
Pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah dapat
mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun
kembali.
6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan medis
Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis
sebagai berikut:
1) Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan cara sebagai berikut :
(Muttaqin, 2011):
(k)Mempertahankan saluran napas yang paten, yaitu sering lakukan
pengisapan lendir, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi,
membantu pernapasan.
(l) Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi klien, termasuk usaha
memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
35
2) Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
3) Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
4) Menempatkan klien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat
mungkin. Posisi klien harus diubah tiap 2 jam dan dilakukan latihan-
latihan gerak pasif.
b. Pengobatan konservatif
1) Vasodilator meningkatkan aliran darah serebri (ADS) secara percobaan,
tetapi maknanya pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
2) Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papavein intra-
arterial.
3) Medikasi antitrombosit dapat diresepkan karena trombosit memainkan
peran sangat penting dalam pembentukan trombus dan embolisasi.
Antiagrerasi trombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
4) Antikoagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya atau
memberatnya trombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam sistem
kardiovaskular.
c. Pengobatan pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebri dengan :
1) Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan
membuka arteri karotis dileher.
2) Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan
manfaatnya paling dirasakan oleh klien TIA.
3) Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut.
4) Ligasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma.
7. Komplikasi.
Setelah mengalami stroke klien mungkin akan mengalami komplikasi,
komplikasi ini dapat dikelompokkan berdasarkan :
a. Dalam hal imobilisasi : infeksi pernapaan, nyeri tekan, konstipasi, dan
tromboflebitis.
b. Dalam hal paralisis : nyeri pada daerah punggung, dislokasi sendi,
deformitas, dan terjatuh.
36
c. Dalam hal kerusakan otak : epilepsi dan sakit kepala.
d. Hidrosepalus.
8. Patofisiologi
Terjadinya penyakit kronis seperti halnya stroke iskemik atau stroke non
hemoragik diawali proses pembentukan plak aterosklerotik melalui
mekanisme aterosklerosis pada dinding pembuluh darah. Aterosklerosis
dimulai dengan adanya luka pada sel endotel pembuluh darah, yaitu lapisan
dalam pembuluh darah yang bersentuhan langsung dengan darah dan zat
dalam darah. Permukaan sel endotel yang semula licin dapat menjadi tidak
licin lagi karena plak.
Semua diawali dengan adanya luka pada sel endotel, lalu timbul respon
terhadap luka endotel tersebut yang berlanjut dengan meningkatnya
permeabilitas sel endotel. Hal tersebut berimplikasi terhadap komponen-
komponen zat yang terdapat di dalam darah, yang dapat masuk ke lapisan
tunika media arteri. Mediator kemotaktik dari platetet akan menarik monosit
dari sirkulasi darah lalu menmebus barier endoteliat dan masuk ke ruang
subendotel.
Disini monosit berubah bentuk jadi makrofag yang memainkan peranan
kunci pada proses aterosklerosis. Makrofag tersebut akan memakan
tumpukan kolesterol. Hasilnya terganggu nya keseimbangan kolesterol di
makrofag karena kolesterol yang masuk ke dalam sel lebih besar dari
kolesterol yang keluar. Dibawah ini makrofag mensekresi produk-produk
tambahan yang memicu pergerakan sel-sel darah sehingga terjadi proliferasi
fibroblast dan sel otot polos pembuluh darah.
Akibat semakin menebalnya plak makna fibrous kolagen subendotel akan
robek. Hal ini menginduksi penempelan (adesi) faktor pembekuan darah
seperti platetet dan agregasi pada lesi endothelium. Plak yang terbentuk akan
menjadi matang dan dapat pecah lalu mengikuti aliran darah yang akan
menyebabkan emboli dan menyumbat aliran darah sehingga terjadi gangguan
suplai oksigen (iskemia) baik di pembuluh darah jantung maupun otak.
Terjadinya sumbatan aliran darah akan dilawan dengan meningkatkan
37
tekanan darah. Usaha paksa ini akan menyebabkan terjadinya turbulensi (arus
balik) darah yang menyebabkan luka pada endotel semakin besar sehingga
plak yang terbentuk akan semakin besar pula.
Karena tumpukan plak pada dinding arteri semakin banyak membuat
lapisan bawah garis pelindung arteri perlahan-lahan mulai menebal dan
jumlah sel otot bertambah. Setelah beberapa waktu, jaringan penghubung
yang menutupi daerah itu berubah menjadi jaringan parut yang akan
mengurangi elastisitas dinfing pembuluh darah sehingga mudah pecah.
Pembuluh darah arteri yang normal dapat diibaratkan seperti pipa bersih
dengan dinding yang licin tetapi oleh beberapa hal dan ditambah dengan
adanya faktor-faktor resiko seperti merokok, hipertensi, kencing manis, dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan pada dinding pembuluh darah.
Penyumbatan yang ringan biasanya tidak menimbulkan gejala atau masalah
yang berarti sebab darah yang kaya akan oksigen masih dapat lewat. Akan
tetapi apabila timbunan lemak telah mencapai di atas 50% atau sekitar 80%,
baru timbul gejala.
Proses pembentukan plak aterosklerotik berlangsung lama dan kronis dan
telah dimulai sejak dini. Akan tetapi manifestasi klinisnya biasanya terjadi
secara mendadak dan cenderung pada satu waktu sebagai akibat hancurnya
plak secara tiba-tiba dan menyumbat arteri yang lumennya lebih kecil atau
akibat sumbatan plak yang semakin besar pada lumen pembuluh darah
(Muttaqin,2011).
top related