bab ii tinjauan pustaka a. konsep tuberkulosis paru (tb paru )
Post on 16-Oct-2021
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Tuberkulosis Paru (TB paru )
1. Pengertian
TB paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di
berbagai organ tubuh yang lainnya yang mempunyai tekanan parsial
oksigen yang tinggi (Rab, 2010). TB paru adalah penyakit infeksi yang
menyerang parenkim paru-paru, disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis (Somantri, 2012). TB paru merupkan penyakit menular
pernapasan yang menyerang paru disebabkan oleh mycobacterium
tuberculosis (Marni, 2014). Menurut Notoatmodjo (2013) menyampaikan
bahwa TB paru adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar
disebabkan kuman mycobacterium tuberculosis.
Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,
program pemberantasan TB paru dijelaskan bahwa sumber penularan
adalah penderita TB paru yang di dalam dahaknya berdasarkan
pemeriksaan mikroskopis ditemukan kuman Tuberkulosis atau Basil
Tahan Asam (BTA) (Depkes, 2009). Basil Tuberkulosis memiliki sifat
khas, diantaranya adalah : berukur sangat kecil dan hanya dapat dilihat di
bawah mikroskop dengan panjang 1 – 4 mikron serta lebar antara 0,3 – 0,6
mikron. Berbentuk batang, mempunyai sifat tahan asam (BTA), artinya
9
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
10
bila basil ini diwarnai, warna tersebut tidak akan luntur oleh bahan kimia
yang bersifat asam. Proses berkembang biak basil ini dengan cara
melakukan pembelahan diri membutuhkan waktu 14 – 20 jam.
Lingkungan hidup optimal pada suhu 37 C dan kelembaban 70%. Kuman
ini mati oleh sinar matahari (ultra violet) langsung 5 – 10 menit.
2. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi mycobacterium tuberculose
yang ditularkan melalui droplet infection, terutama pada saat batuk atau
bersin. Bakteri lain yang sering menyerang TB paru adalah
mycobacterium bovis. Keadaan yang membuat penderita lebih cepat
terinfeksi bakteri ini adalah orang yang kurang nutrisi, sedang mendapat
terapi kortikosteroid, dalam kondisi stress dan herediter (Marni, 2014).
Sedangkan menurut Somantri (2012) penyakit ini disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri atau kuman ini berbentuk batang,
dengan ukuran 1-4 µm dan tebal 0,3-0,6 µm. Sebagian besar kuman
berupa lemak atau lipid, sehingga kuman tahan terhadap asam dan lebih
tahan terhadap kimia atau fisik. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang
menyukai daerah dengan banyak oksigen dan daerah yang memiliki
kandungan oksigen tinggi apikal atau apeks paru. Daerah ini menjadi
predileksi pada penyakit tuberkulosis.
3. Patofisiologi
Seseorang yang dicurigai menghirup basil Mycobacterium
tuberculosis akan menjadi terinfeksi. Bakteri menyebar melalui jalan
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
11
napas ke alveoli, di mana pada daerah tersebut bakteri tertumpuk dan
berkembang biak. Penyebaran basil ini bisa juga melalui sistem limfe dan
aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang, korteks serebri) dan area
lain dari paru-paru (lobus atas).
Sistem kekebalan tubuh berespons dengan melakukan reaksi
inflamasi. Neutrofil dan makrofag (menelan) bakteri. Limposist yang
spesifik terhadap tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) basil dan
jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya
eksudat dalam alveoli dan terjadilah bronkopneumonia. Infeksi awal
biasanya timbul dalam waku 2-10 minggu setelah terpapar.
Masa jaringan baru disebut granuloma, yang berisi gumpalan basil
yang hidup dan sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk
dinding. Granuloma berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa.
Bagian tengah dari massa tersebut Ghon Tuberrcle. Materi terdiri atas
makrofag dan bakteri menjadi nekrotik, membentuk perkijauan
(necrotizng caseosa). Setelah itu akan berbentuk klasifikasi, membentuk
jaringan kolagen. Bakter menjadi non-aktip.
Penyakit akan berkembang menjadi aktip setelah infeksi awal,
karena respons sistem imun yang tidak adekuat. Penyakit aktip dapat juga
timbul akibat infeksi ulang atau aktifnya kembali bakteri yang tidak aktif.
Pada kasus ini, terjadi ulesari pada ghon tubercle, dan akhirnya menjadi
perkijauan. Tuberkel yang ulserasi mengalami proses penyembuhan
membentuk jaringan part. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang,
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
12
mengakibatkan bronkopneumonia, pembentukan tuberkel, dan seterusnya.
Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini berjalan
terus dan basil terus difagosit atau berkemang biak di dalam sel. basil juga
menyebar melalui kelenjar getah bening. Makrofrag yang mengadakan
inflitrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel
tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20
hari). Daerah yang mengalami nekrosis serta jaringan granulasi yang
dikelilingi sel epiteloid dan fibroblast akan menimbulkan respon berbeda
dan akhirnya membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel
(Somantri, 2012).
4. Manifestasi klinis
Gejala yang sering muncul pada penderita yang mengalami
tuberkulosis adalah batuk lebih dari 2 minggu, kadang-kadang batuk
disertai darah, demam ringan, nyeri dada, berat badan mnurun, mailase,
sering keluar keringat dingin pada malam hari, pucat, anemia dan
anoreksia (Marni, 2014).
Sedangkan menurut (Rab, 2010) tanda – tanda klinis dari tuberkulosis
adalah terdapatnya keluhan keluhan berupa :
a. Batuk
b. Sputum mukoid atau purulen
c. Nyeri dada
d. Hemoptisis
e. Dispne
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
13
f. Demam dan berkeringat, terutama pada malam hari
g. Berat badan berkurang
h. Anoreksia
i. Malaise
j. Ronki basal di apeks paru
k. Wheezing (mengi) yang terlokalisir
Gejala klinis yang tampak tergantung dari tipe infeksinya. Pada tipe
infeksi yang primer dapat tanda gejala dan sembuh sendiri atau dapat
berupa gejala pneumonia, yakni batuk dan panas ringan. Gejala
tuberkulosis, primer dapat juga terdapat dalam bentuk pleuritis dengan
efusi pleura atau dalam bentuk yang lebih berat lagi, yakni berupa nyeri
pleura dan sesak napas. Tanpa pengobatan tipe infeksi primer dapat
menyembuh dengan sendirinya, hanya saja tingkat kesembuhannya
berkisar sekitar 50%.
Pada tuberkulosis postprimer terdapat gejala penurunan berat
badan, keringat dingin pada malam hari, temperatur subfebris, batuk
berdahak lebih dari dua minggu, sesak napas, hemoptisis akibat dari
terlukanya pembuluh darah di sekitar bronkus, sehingga menyebabkan
bercak-bercak darah pada sputum, sampai ke batuk darah yang masif.
Tuberkulosis postprimer dapat menyebar ke berbagai organ sehingga
menimbulkan gejala-gejala seperti meningitis, tuberlosis miliar, peritonitis
dengan fenomena papan catur, tuberkulosis ginjal, sendi dan tuberkulosis
pada kelenjar limfe di leher, yakni berupa skrofuloderma.
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
14
5. Klasifikasi TB paru
a. TB paru
TB paru adalah Tuberkulosis yang menyerang paru, tidak
termasuk pleura. TB paru merupakan bentuk yang paling sering
dijumpai yaitu sekitar 80% dari semua klien TB paru. Jenis ini
merupakan satu-satunya bentuk Tuberkulosis yang mudah menular.
Berdasarkan pemeriksaan dahak, TB paru dikelompokan menjadi dua
jenis (Depkes, 2009):
1) TB paru BTA positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak sewaktu, pagi,
sewaktu (SPS) hasilnya BTA positif. Satu spesimen dahak SPS
hasilnya BTA( + ) dan foto rontgen dada menunjukan tuberkulosis
aktif.
2) TB paru BTA negative
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasil BTA (-) dan foto rontgen
dada menunjukan gambaran tuberkulosis aktif. TB paru BTA (-)
rontgen positif dikelompokan berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu berat dan ringan.
3) Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah Tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya ; pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin dll.
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
15
4) Tuberkulosis Ekstra Paru Ringan
Tuberkulosis ekstra paru ringan misalnya tuberkulosis kelenjar lymfe,
pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi
dan kelenjar adrenal.
5) Tuberkulosis Ekstra Paru Berat
Tuberkulosis ekstra paru berat misalnya meningitis, millier,
perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TB paru tulang
belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.
6. Tipe Klien TB paru
Tipe klien TB paru ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya, terdiri dari :
a. Kasus baru
Kasus baru adalah klien yang belum pernah diobati dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kambuh
Kambuh atau relaps adalah penderita tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan lengkap dan telah
dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA (+)
c. Pindahan (transfer in)
Tipe pindahan adalah klien yang sedang mendapat pengobatan
disuatu unit pelayanan kesehatan dan kemudian pindah ke unit
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
16
pelayanan kesehatan lain. Klien yang pindah melakukan pengobatan
harus membawa surat rujukan pindah.
d. Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default/dropout)
Kasus ini adalah klien yang kembali berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak laboratorium BTA (+) setelah putus berobat dua
bulan atau lebih.
e. Gagal
Gagal adalah klien tuberkulosis BTA (+) yang masih tetap
positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan lima atau lebih
dan klien BTA (-) rontgen positif yang menjadi BTA (+) pada akhir
bulan ke dua pengobatan.
f. Lain-lain
Klien lain yang tidak memenuhi persyaratan di atas, termasuk
dalam kelompok ini adalah kasus kronik (klien yang masih BTA (+)
setelah menyelesaikan pengobatan ulang dengan kategori 2)
7. Penularan TB paru
a. Banyaknya kuman yang terdapat dalam paru penderita
b. Penyebaran kuman di udara
c. Penyebaran kuman bersama dahak berupa droplet dan di sekitar
penderita TB paru
Kuman M. Tuberkulosis pada penderita TB paru dapat terlihat
langsung dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (BTA positif) dan
sangat infeksius. Sedangkan penderita yang kumannya tidak dapat
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
17
dilihat langsung dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (BTA
negatif) dan sangat kurang menular. Penderita TB paru ekstra paru
tidak menular, kecuali penderita TB paru. Penderita TB paru BTA
positif mengeluarkan kuman-kuman di udara dalam bentuk droplet
yang sangat kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi droplet
yang mengandung kuman tuberkulosis dan dapat bertahan di udara
selama beberapa jam.
Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhisap orang lain. Jika
kuman tersebut sudah menetap dalam paru orang yang menghirupnya,
kuman mulai membelah diri (berkembangbiak) dan terjadi infeksi.
Orang yang serumah dengan penderita TB paru BTA positif adalah
orang yang besar kemungkinannya terpapar kuman tuberkulosis
(Notoatmodjo,2010).
8. Komplikasi TB paru
Komplikasi berikut sering terjadi pada klien stadium lanjut :
a. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya
jalan nafas.
b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial
c. Bronhiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
d. Pneumothorak (adanya udara di dalam rongga pleura), spontan , kolaps
spontan karena kerusakan jaringan paru.
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
18
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal
dan sebagainya
f. Insufisiensi kardio pulmonary (Cardio Pulmonary Insufficiency)
9. Pengobatan TB paru
Pemberian obat pada klien TB paru paru tidak boleh terputus-putus
dan dalam jangka waktu yang lama, yaitu enam bulan (Depkes RI, 2009).
Pengobatan penyakit tuberkulosis di Indonesia sangat penting untuk dikaji
kembali bersama unit terkait. Mengingat penyakit tuberkulosis masih
merupakan salah satu penyebab kematian di Indonesia dan dengan adanya
kedaruratan global penyakit tuberkulosis, maka penangan dan pengobatan
penyakit yang ada selama ini diubah disesuaikan dengan program kerja
WHO dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis. Program
pemberantasan tuberkulosis di Indonesia dilaksanakan di Puskesmas.
Puskesmas dalam pelaksanaan program pemberantasan
tuberkulosis pada tahun anggaran 1995/1996, mulai menggunakan
panduan obat anti Tuberkulosis (OAT) baru, yaitu ;
a. Kategori 1
Yaitu paduan OAT yang direkomendasikan untuk klien baru
dengan BTA (+) yang belum pernah mendapat OAT, atau sudah
pernah makan OAT tetapi kurang dari 1 bulan dan untuk klien
tuberkulosis berat seperti meningitis serta untuk penderita tuberkulosis
ekstra paru yang berat didukung pemeriksaan jaringan oleh ahli
patologi anatomi. Paduan OAT kategori 1 dengan fase pengobatan
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
19
selama 6 bulan. Fase intensif selama 2 bulan dengan pemberian
Rifampisin 450 mg, INH 300 mg, Etambutol 750 mg dan Pirazinamid
1500 mg, seluruh obat dimakan 1 kali setiap hari. Fase lanjutan selama
4 bulan dengan pemberian Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg
seluruh obat dimakan 1 kali setiap 3 kali per minggu. Sehingga
formulasi pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 ditulis 2
HRZE/4H3R3.
b. Kategori 2
Diperuntukan untuk klien dengan BTA (+) yang sudah pernah
mendapat OAT lebih dari 1 bulan, klien yang kambuh, klien yang
berobat kembali setelah dropout lebih dari 2 bulan dan klien yang
gagal dalam pengobatan. Paduan OAT kategori 2 dengan 2 fase
pengobatan selama 7 bulan. Pada fase intensif kategori 2, paduan OAT
ataupun cara pemberiannya sama seperti pada fase intensif kategori 1
ditambah dengan Steptomisin injeksi (0,75 gr) disuntikan setiap hari
selama 2 bulan. Untuk fase lanjutan sama seperti pada fase lanjutan
kategori 1 ditambah Etambutol (1250 mg) diberikan 3 kali per minggu.
Formulasi paduan OAT kategori OAT ditulis 2HRZES/5H3R3E3
c. Kategori 3
Dipakai pada klien dengan BTA (-) pada pemeriksaan dahak 3
kali yang berbeda dengan klinis dan radiologi mendukung tuberkulosis
aktif. Paduan OAT kategori 3 dengan 2 fase pengobatan selama 4
bulna. Fase intensif kategori 3 hanya tanpa Etambutol. Fase lanjutan
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
20
kategori 3, seperti fase kategori 1 tetapi lama pengobatan hanya 2
bulan. formulasi pasuan OAT kategori 3 ditulis, 2HRZ/2H3R3 (WHO,
2013).
Pemberian obat dengan strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse) ada prinsipnya adalah klien tidak lagi harus di
rawat disanatorium atau rumah sakit, tetapi cukup berobat jalan dan
menjalankan aktifitasnya sehari-hari. Pengobatan harus segera diberikan
segera setelah diagnosa ditegakan. Untuk menjamin penyembuhan,
pencegahan resistensi, keteraturan pengobatan dan mencegah kegagalan
pengobatan, maka ditunjuk seorang pengawas minum obat (PMO) yang
sebelumnya telah dilatih. Prinsipnya adalah dalam rangka mendekatkan
pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat
mengawasi keteraturan menelan obat dan dilakukan pelacakan bila klien
tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan yaitu 2 hari
berturut-turut pada fase awal atau satu minggu pada fase selanjutnya.
(Depkes, 2009).
Untuk menjamin keteraturan pengobatan dilakukan pengawasan
pengobatan dengan pendekatan DOTS adalah pengawasan langsung
menelan obat oleh pengawasan pengobatan DOTS memiliki lima
komponen seperti yang dikemukakan oleh Kementrian Kesehatan (2011),
yaitu :
a. Pemerintah mendukung kegiatan pengontrolan penderita tuberkulosis.
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
21
b. Mendeteksi kasus dengan pemeriksaan mikroskopis sputum,
diantaranya dengan melaporkan gejala yang dirasakan oleh penderita
ke pelayanan kesehatan.
c. Standar pengobatan selama 6 – 8 bulan paling sedikit untuk klien BTA
(+) dengan pengawasan langsung minimal dua bulan pertama.
d. Tidak menghentikan pemberian obat anti tuberkulosis.
e. Mencatat dan melaporkan hasil pengobatan.
Pengobatan klien TB paru paru diberikan sesuai dengan anjuran
petugas kesehatan. Pengobatan dilakukan 2 tahap yaitu tahap awal dan
lanjutan. Pada tahap awal, satu papan obat (blister) diminum sekaligus
setiap hari. Lama pengobatan tahap awal diberikan 2 atau 3 bulan
terganutng berat ringannya penyakit. Pada tahap lanjutan satu papan obat
(blister) diminum sekaligus tiga kali seminggu. Lama pengobatan
diberikan 4 atau 5 bulan tergantung berat ringannya penyakit.
Cara mendapatkan obat TB paru yaitu: puskesmas, balai
pengobatan penyakit dan paru, rumah sakit, klinik dan dokter praktek
swasta. Cara menelan obat yang benar yaitu : sebaiknya satu papan obat
(blister) ditelan sekaligus sebelum makan pagi atau malam sebelum tidur.
Jika sulit, obat boleh ditelan satu persatu akan tetapi harus habis dalam
waktu 2 jam.
Apabila menelan obat tidak teratur akan mengakibatkan tidak
sembuh atau menjadi lebih berat bahkan meninggal, sukar diobati karena
kemungkinan kuman menjadi kebal sehingga diperlukan obat yang lebih
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
22
ampuh dan mahal harganya, sedangkan obat untuk kuman yang kebal tidak
tersedia disemua fasilitas kesehatan. Untuk mengetahui kemajuan
pengobatan yaitu keluhan berkurang atau hilang, berat badan meningkat
atau bertambah, nafsu makan makan bertambah, pemeriksaan dahak pada
akhir tahap awal menunjukan hasil negative.
10. Perawatan TB paru Paru
Kurangnya pengetahuan akan nutrisi yang adekuat, keletihan dan
kurang nafsu makan karena batuk dan penumpukan sputum merupakan
kondisi yang dapat memperparah sakit. Menghadapi efek dari faktor ini
perawat bekerja secara kolaburasi dengan ahli gizi, dokter dan klien untuk
mengidentifikasi pasokan nutrisi yang adekuat dan memastikan
ketersedian makanan yang bernutrisi, memperbanyak makan buah-buahan
dan sayur-sayuran serta penggunaan diet tambahan misalnya ensure dan
isocall (Kemenkes RI, 2011).
Memberikan makanan bergizi dengan menu yang seimbang antara
sumber tenaga (karbohidrat), sumber pembangun (protein) dan sumber
pengatur (vitamin dan mineral) dengan jumlah cukup dan bermutu.
Makanan tersebut diperlukan untuk pertumbuhan, pemeliharaan kesehatan
optimum meningkatkan daya tahan tubuh dan mengganti sel-sel tubuh
yang rusak serta membantu proses penyembuhan penyakit. Menu
seimbang sangat diperlukan untuk memempertahankan status kesehatan
yang optimal dan membantu penyembuhan penyakit.
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
23
Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan
semua orang untuk dapat berfungsi optimal. Istirahat merupakan keadaan
yang tenang, rileks tanpa tekanan emosional dan bebas dari kegelisahan.
Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar yang dialami seseorang yang
dapat dibangunkan kembali dengan rangsangan yang cukup. Tidur
diperlukan untuk menjaga keseimbangan mental, emosional dan
kesehatan, mencegah kelelahan, menjaga keseimbangan aktivitas dan
istirahat serta menghemat energi fisik.
B. Faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru
Faktor-faktor yang memungkinkan orang mudah terinfeksi penyakit TB
paru ada beberapa karakteristik golongan penduduk yang mempunyai risiko
mendapat TB paru lebih besar daripada golongan lainnya. Diantaranya adalah
faktor umur, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, jenis kelamin, kondisi
lingkungan yang tidak sehat, adanya penyakit lain yang menyebabkan daya
tahan tubuh rendah, gizi buruk, kontak dengan sumber penularan, pengaruh
merokok dan sebagainya. Berikut ini adalah faktor resiko penyakit TB paru
(Manlu, 2010).
1. Umur
Umur merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan perilaku
yang dikaitkan dengan kematangan fisik dan psikis penderita TB paru.
Pada saat ini angka kejadian TB paru mulai bergerak kearah umur tua
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
24
karena kepasrahan mereka terhadap penyakit yang diderita. (Ratnawati,
2016).
Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB paru. Risiko
untuk mendapatkan TB paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal
terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun
hingga dewasa memliki daya tahan terhadap TB paru dengan baik.
Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau
kelompok menjelang usia tua. (Zaman, K, 2015).
Angka insiden TB paru secara perlahan bergerak kearah kelompok
umur tua (dengan puncak pada 55-64 tahun). Meskipun saat ini sebagian
besar kasus terjadi pada kelompok umur 15-54 Tahun, di Indonesia faktor
pertama tuberkulosis adalah faktor umur karena insiden tertinggi penyakit
tuberkulosis adalah pada usia dewasa muda di Indonesia diperkirakan 75%
penderita tuberkulosis adalah pada kelompok usia produktif (Zaman, K,
2015).
Kejadian TB paru paling banyak pada lansia mungkin disebakan
karena pada usia ini sudah mulai terjadi penurunan daya tahan tubuh, dan
kondisi ini lebih rentan untuk terkena penyakit, terutama penyakit infeksi,
salah satunya tuberkulosis. Dengan terjadinya transisi demografi saat ini
menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia
lanjut lebih dari 55 tahun system imunolosis seseorang menurun, sehingga
sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB-paru
(Manalu, 2010)
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
25
Hasil penelitian Wahyudi (2018) menemukan bahwa penderita TB
paru terbanyak pada berusia 20 – 39 tahun yaitu 23 orang (63,89%). Umur
berperan dalam kejadian penyakit TB. Risiko untuk mendapatkan TB paru
dapat dikatakan seperti halnya kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika
awalnya, menurun karena di atas 2 tahun hingga dewasa memiliki daya
tangkal terhadap TB paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan
menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang usia tua.
Namun di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB paru adalah usia
produktif. Hal ini selaras dengan penelitian yang di lakukan oleh Eka
Fitriani dengan judul Faktor resiko yang berhungan dengan kejadian TB
paru. Tapi tidak selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurliza
Rohayu di masyarakat persisir di wilayah Kerja Puskesmas Kadatua
Kabupaten Buton selatan tahun 2016.
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan suatu variabel untuk membedakan
presentasi penyakit antara laki-laki dan perempuan. Kadang-kadang
ditemukan presentasi laki-laki lebih dari 50% dari jumlah kasus. Penderita
TB-paru cenderung lebih, tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Menurut Hiswani yang dikutip dari WHO, sedikitnya dalam periode
setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB paru ,
dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi
kematian yang disebabkan oleh TB-paru dibandingkan dengan akibat
proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
26
lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat
menurunkan system pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar
dengan agent penyebab TB-paru (Manalu, 2010).
Pada tahun 2012 WHO melaporkan bahwa di sebagian besar dunia,
lebih banyak laki-laki daripada perempuan didiagnosis tuberkulosis. Hal
ini didukung dalam data yaitu penderita TB paru pada laki-laki cenderung
meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan pada perempuan menurun 0,7%. TB
paru lebih banyak terjadi pada laki- laki dibandingkan dengan wanita
karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga
memudahkan terjangkitnya TB paru (WHO, 2013).
Hasil penelitian Wahyudi (2018) diketahui bahwa penderita TB
paru terbanyak berjenis kelamin laki – laki sebanyak 25 orang (68,44%)
dan perempuan sebanyak 11 orang (30,56%). Hal ini sesuai dengan
kepustakaan di mana laki-laki beresiko lebih besar untuk terkena penyakit
TB paru di bandingkan dengan perempuan. Dimana laki-laki lebih banyak
yang merokok dan minum alkohol dibandingkan dengan perempuan,
merokok dan alcohol dapat menurunkan imunitas tubuh sehingga lebih
mudah terkena penyakit TB paru.
Penelitian yang dilakukan oleh Namuwali, Domianus (2016)
dengan judul Deep Breating Relaxation Techniques Improve Emotional
Control On Tuberculosis Patients. Tapi tidak selaras dengan penelitian
yang di lakukan oleh Jendra F.J Dotulong dengan judul Hubungan Faktor
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
27
Risiko Umur, Jenis Kelamin Dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian
Penyakit TB paru di Desa Wori Kecamatan Wori.
Demikian penelitian Herryanto (2014), terdapat proporsi menurut
jenis kelamin, laki laki sebesar 54,5 % dan perempuan sebesar 45,5 %
yang menderita TB paru , sebagian besar mereka tidak bekerja 34,9 % dan
berpendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD)
sebesar 62,9 %.
3. Status merokok
Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian dihisap
isinya. Definisi perokok menurut WHO dalam Kemenkes tahun 2014
adalah mereka yang merokok setiap hari untuk jangka waktu minimal 6
bulan selama hidupnya. Merokok adalah menghisap asap tembakau yang
dibakar ke dalam tubuh kemudian menghembuskan kembali keluar
(Masniari, 2013)
Pendapat lain menyatakan bahwa perilaku merokok adalah sesuatu
yang dilakukan seseorang berupa membakar dan menghisapnya serta dapat
menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang – orang disekitarnya
(Levy, 2014).
Merokok merupakan penyebab utama penyakit paru yang bersifat
kronis dan obstruktif, misalnya bronkitis dan emfisema. Merokok juga
terkait dengan influenza dan radang paru lainnya. Pada penderita asma,
merokok akan memperparah gejala asma sebab asap rokok akan lebih
menyempitkan saluran pernapasan. Efek merugikan tersebut mencakup
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
28
meningkatnya kerentanan terhadap batuk kronis, produksi dahak dan serak
(Ayudhitya dan Tjuatja, 2012).
Asap rokok mengandung bahan iritan yang dapat menyebabkan
peradangan alveoli dan bronkus jika berlangsung lama akan terjadi
peradangan dan terkumpulnya sel-sel darah putih yang akan menghasilkan
enzim-enzim neutrofil elastase yang akan merusak jaringan penghubung di
dalam dinding alveoli dan juga merusak pertahanan paru-paru yaitu
dengan cara merusak sel-sel silia yang secara normal membawa lendir ke
mulut dan membantu mengeluarkan bahan beracun tersebut. Terjadinya
inflamasi respiratori yang akan mengakibatkan hipertropi dan hiperplasia
otot-otot polos saluran respiratorik, sel globet kelenjar mukosa yang
timbul pada bronkus (Manalu, 2010).
Variabel riwayat merokok mempengaruhi kejadian TB paru. Hal
ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lisa pada
tahun 2013. Merokok dapat merubah fungsi normal makrofag di alveolus
dan imunologi host sehingga meningkatkan resiko infeksi seperti TB paru.
Penelitian Toyalis (2010) menemukan bahwa merokok diketahui
mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk mendapatkan
kanker paru, penyakit jantung koroner, bronkitis kronik dan kanker
kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena
TB paru sebanyak 2,2 kali.
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
29
4. Status gizi
Secara umum kekurangan gizi, atau gizi buruk akan berpengaruh
terhadap kekuatan, daya tahan dan respon imun terhadap serangan
penyakit. Faktor ini sangat penting pada masyarakat miskin, baik pada
orang dewasa maupun pada anak. Menurut Misnardiarly dalam Toyalis
menyebutkan bahwa faktor kurang gizi atau gizi buruk akan meningkatkan
angka kesakitan/kejadian TB paru , terutama TB paru pertama sakit
(Toyalis, 2010).
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat
besi dan Iain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang
sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru. Berat badan yang
kurang nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya
penyakit infeksi, memudahkan bakteri dan melemahkan sistem imunitas
tubuh baik pada wanita maupun pada pria (Manalu, 2010).
Pada infeksi TB paru dengan malnutrisi terjadi gangguan sistem
imun akibat penurunan produksi limfosit dan kemampuan proliferasi sel
imun. Hal ini disebabkan oleh penurunan kadar IFN-gamma, IL-2 dan
peningkatan kadar TGF-β yang berfungsi untuk menghambat aktivasi
makrofag. Pada kondisi kekurangan gizi, ditemukan adanya gangguan
berbagai aspek imunitas, termasuk fagositosis, respon proliferasi sel, serta
produksi limfosit T dan sitokin (Siagan, 2016)
Pengukuran IMT adalah dengan pengukuran memperkirakan lemak
tubuh adalah teknik indirek, di antaranya yang banyak dipakai adalah Body
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
30
Mass Indeks (BMI) dan waist to hip ratio (WHR). BMI diukur dengan
cara berat badan (kg) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (m).
Interpretasinya WHO adalah overweight (BMI 25-29,9 kg/m2), obesitas
(BMI > 30 kg/m2) (Arisman, 2012).
Penelitian Muaz (2014) menemukan bahwa terdapat hubungan
yangyang bermakna antara merokok dengan penderita TB paru BTA+.
Didapatkan OR= 1,382 (CI: 0,790-2,419), artinya merokok meningkatkan
resiko terkena TB paru BTA+ sebesar 1,3 kali dibanding responden yang
tidak merokok. Merokok berarti menghisap racun yang dapat merusak
kesehatan sehingga mudah terinfeksi berbagai penyakit diantaranya bakteri
tuberkulosis.
5. Status imunisasi
Defisiensi imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem
tubuh imun tidak aktif, kemampuan sistem imun untuk merespon pathogen
berkurang baik pada golongan muda dan golongan tua, respon imun
biasanya berkurang pada usia 50 tahun. Diet kekurangan cukup protein
berhubung dengan gangguan imunitas selular, aktivitas komplemen, fungsi
fagosit, kensentrasi antibody (Manalu, 2010).
Status imunisasi mengindikasikan sejauhmana individu memiliki
daya tahan tubuh. Imunisasi yang diberikan untuk mencegah tuberkulosis
adalah imjunisasi BCG. Menurut Kemenkes RI (2014) mengatakan bahwa
vaksin BCG dikembangkan untuk memberikan kekebalan terhadap
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
31
penyakit TB paru yang sangat berbahaya dan mematikan namun daya
vaksin BCG terhadap tuberkulosis tidak tetap.
Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian WHO yang menunjukkan
bahwa efek pencegahan BCG bervariasi antara 0%- 80% (Toyalis, 2010)
Penelitian yang dilakukan (Setiarini, 2014) menemukan bahwa Imunisasi
BCG hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian tuberkulosis,
bahwa anak yang divaksinasi BCG memiliki risiko 0,6 kali untuk
terinfeksi tuberkulosis (95% CI 0,43-0,83, p= 0,003), dibandingkan
dengan anak-anak yang belum divaksin. Walaupun imunisasi BCG tidak
mengegah infeksi tuberkulosis namun dapat mengurangi risiko
tuberkulosis berat seperti meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier.
6. Pengetahuan
Pengetahuan adalah pemberian bukti oleh seseorang melalui proses
pengingatan atau pengenalan informasi ide yang sudah diperoleh
sebelumnya (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan adalah informasi atau
maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan
muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budinya untuk
mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau
dirasakan sebelumnya (Irmayanti dkk, 2010).
Pengetahuan penderita yang baik tentang penyakit TB paru dan
pengobatannya akan meningkatkan keteraturan penderita, dibandingkan
dengan penderita yang kurang akan pengetahuan penyakit TB paru dan
pengobatannya. Karena itu bimbingan dan pengawasan yang dilakukan
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
32
oleh PMO akan lebih terarah dan baik. Sehingga akan meningkatkan
keteraturan penderita dalam pengobatan tersebut sehingga angka penularan
akan menurun (Wirdani, 2011).
Pengetahuan penderita yang cukup mengenai penyakit TB paru.
Cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat, (2) Cara
menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi. Cukup
istirahat, hidup teratur dan tidak minum alcohol atau merokok. (3) Cara
menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak
sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan saputangan, jendela
rumah cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari. (4) Sikap
tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah penyakit
infeksi biasa dan dapat disembuhkan bila berobat dengan benar. (5)
Kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh (Manalu, 2010)
Menurut Notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa seseorang yang
punya pengetahuan yang baik tentang penularan TB paru , akan berupaya
untuk mencegah penularannya. Kategori pengetahuan dapat
dikelompokkan berdasarkan jawaban benar responden. Pengetahuan tinggi
jika responden dapat menjawab dengan benar 75%, dan rendah bila <
75%.
Penelitian yang dilakukan Muaz (2014) menemukan bahwa
terdapat hubungan antara Pengetahuan dengan penderita TB paru BTA+.
Selain itu diperoleh nilai OR= 0,557 (CI= 0,326-0,951), artinya responden
yang pengetahuannya kurang, akan beresiko menderita TB paru BTA+
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
33
sebesar 0,5 kali dibandingkan dengan responden yang pengetahuannya
baik.
7. Pekerjaan
Pekerjaan adalah suatu kegiatan/aktivitas yang dilakukan seseorang
untuk memperoleh imbalan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-
hari. Anderson menyatakan bahwa struktur sosial yang salah satu
diantaranya adalah pekerjaan menentukan dalam pemanfaatan pelayanan
kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Selain itu pekerjaan memberikan
pendapatan atau penghasilan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup (Simatupang, 2017).
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi
setiap individu. Bila pekerja di lingkungan yang berdebu, paparan partikel
debu di daerah terpapar akan memengaruhi terjadinya gangguan pada
saluran pernapasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat
meningkatkan morbilitas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran
pernapasan dan umumnya TB paru.
Hasil penelitian Wahyudi (2018) diketahuai bahwa penderita TB
paru terbanyak berkerja sebagai petani sebanyak 35 orang (97,22%) dan
sebagai PNS 1 orang (5,56%), perkerjaan seseorang juga sangat
mempengaruhi kesehatannya dibandingkan dengan yang memiliki
perkerjaan PNS. Hal ini dikarenkan responden dengan perkerjaan petani
cenderung berada di tempat – tempat yang kotor seperti sawah dan kebun
hal ini yang menyebabkan system pernapasan mereka mudah terganggu.
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
34
Penelitian yang di lakukan oleh Siti Fatimah dengan judul faktor
kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian TB paru
didapatkan bahwa status pekerjaan responden dapat mempengaruhi
kejdian TB, pekerjaan yang terpapar asap, debu dan partikel kimia lainnya
dapat memungkinkan bakteri mudah masuk ke dalam paru.
8. Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap
pengetahuan seseorang. Di antaranya mengenai rumah yang memenuhi
syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB paru sehingga dengan
pengetahuan yang cukup, maka seseorang akan mencoba untuk
mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu, tingkat pendidikan
seseorang akan berpengaruh terhadap jenis pekerjaan.
Penelitian Prihanti (2015) menemukan bahwa dari hasil uji regresi
logistik biner menunjukkan bahwa terdapat delapan variabel yang
mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat kejadian TB paru yaitu
tingkat pendidikan (p = 0,0026). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Khandoker, Khan, Kramer, & Mori tahun 2011. Pendidikan yang tinggi
membuat seseorang lebih mudah untuk mengerti pesan mengenai TB.Pada
hasil Focussed Group Discussion (FGD) kami ditemukan bahwa sebagian
besar responden sudah mengetahui tentang etiologi dan cara penularan
serta bagian tubuh yang diserang oleh penyakit tuberkulosis. Hal ini sesuai
dengan penelitian oleh Rondags et al, 2014 yang menyatakan bahwa
meskipun sebagian besar responden telah mengetahui penyakit TB paru
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
35
paling sering menyerang paru-paru namun secara lebih jauh mereka tidak
tau etiologi serta cara penularannya (Khandoker, Khan, Kramer, & Mori,
2011).
9. Pendapatan
Pendapatan akan banyak berpengaruh terhadap perilaku dalam
menjaga kesehatan perindividu dan dalam keluarga. Hal ini disebabkan
pendapatan mempengaruhi pendidikan dan pengetahuan seseorang dalam
mencari pengobatan, mempengaruhi asupan makanan, mempengaruhi
lingkungan tempat tinggal seperti keadaan rumah dan bahkan kondisi
pemukiman yang di tempati (Crofton 1995 dalam Muaz, 2014)
Muaz (2014) dalam penelitiannya mengatakan bahwa dari hasil
analisis bivariat diperoleh nilai p= 0,012 yang berarti ada hubungan yang
bermakna antara pendidikan dengan penderita TB paru BTA+. Selain itu
diperoleh nilai OR= 1,898 (CI= 1,119-3,219), artinya responden yang
pendidikannya rendah, akan beresiko menderita TB paru BTA+ sebesar
1,8 kali dibandingkan dengan responden yang pendidikannya tinggi
Faktor kemiskinan walaupun tidak berpengaruh langsung pada
kejadian TB paru namun dari beberapa penelitian menunjukkan adanya
hubungan antara pendapatan yang rendah dan kejadian TB paru. Lebih
lagi, bahwa ada hubungan pengangguran dengan kejadian tuberkulosis
(Mahpudin, 2010).
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
36
10. Faktor Lingkungan
Rumah sehat adalah rumah yang memiliki kriteria minimal akses
air minum, akses jamban sehat, lantai, pencahayaan, dan ventilasi sesuai
dengan (Kemenkes RI, 2014). tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan
(Kemenkes, 2012) tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang
Rumah. Persyaratan Kesehatan Perumahan, ketentuan rumah yang
memenuhi persyaratan kesehatan sebagai berikut:
a. Bahan bangunan
1) Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat
membahayakan kesehatan, antara lain: debu total kurang dari 150
μg/m2, asbestos kurang dari 0,5 serat/m3 per 24 jam, dan timah
hitam (Pb) kurang dari 300 mg/kg
2) Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan
berkembangnya mikroorganisme patogen
b. Komponen dan penataan ruangan rumah
1) Lantai kedap air dan mudah dibersihkan tidak berdebu saat musim
kemarau dan tidak becek saat musim hujan
2) Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci
kedap air dan mudah dibersihkan tahan terhadap terpaan angin
3) Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan
kecelakaan
4) Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir
5) Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
37
6) Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap
Penelitian Wahyudi (2018) menemukan bahwa penderita TB
paru memilki janis lantai rumah tanah sebanyak 32 orang (88,89%)
dan yang memiliki lantai semen sebanyak 4 orang (11,11%), Kondisi
rumah dapat menjadi salah satu faktor risiko penularan penyakit TB.
Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan
kuman. Lantai dan dinding yang sulit dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa Jenis lantai merupakan faktor risiko terhadap
kejadian TB paru atau ada hubungan antara pemcahayaan dengan
kejadian TB paru. Selaras dengan penelitian yang di lakukan oleh
Erwin Ulinnuhan Fahreza Hubungan antara kualitas fisik rumah dan
kejadian tuberkolosis paru dengan basil tahan asam positif di balai
kesehatan paru masyarakat serang.
c. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak
kurang dan tidak terlalu banyak, kurangnya cahaya yang masuk ke
dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang
nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit – bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak
cahaya di dalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat
merusakan mata. Cahaya dibeakan menjadi 2, yakni :
1) Cahaya alamiah : yakni cahaya matahari, cahaya matahari ini
sangat penting karena membunuh bakteri – bakteri patogen dalam
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
38
rumah, misalnya baksil TB paru. Oleh karena itu, rumah yang
sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
Seyogyanya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang –
kurangnya 15 – 20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan
rumah. Sinar matahari dapat langsung masuk melalui jendela ke
dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Lokasi
penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar
sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding).
2) Cahaya buatan yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan
alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya
Penelitian Wahyudi (2018) menemukan bahwa penderita TB paru sinar
matahari tidak dapat masuk ke dalam rumah sebanyak 28 orang
(77,78%) dan yang sinar matahari masuk ke dalam rumah sebanyak 8
orang (22,22%), selaras dengan penelitian yang di lakukan Nurliza
Rohayu dengan judul Analisis faktor resiko kejadian TB paru BTA
positif pada msyarakat pesisir di wilayah kerja puskesmas kadatua
kabupaten buton selatan tahun 2016.
d. Kualitas udara
1) Suhu udara nyaman antara 18 –30OC
2) Kelembaban udara 40 –70 %
3) Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam
4) Pertukaran udara 5 kaki3/menit/penghuni
5) Gas CO kurang dari 100 ppm/8 jam
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
39
6) Gas formaldehid kurang dari 120 mg/m3
e. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi :
1) Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam
rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang
diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya
ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang
berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi
meningkat. Di samping itu tidak cukupnya ventilasi akan
menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena
terjadi proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban akan merupakan media yang baik untuk bakteri-
bakteri patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit).
2) Fungsi kedua daripada ventilasi adalah membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen karena disitu
selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus. Bakteri yang
terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
3) Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu
tetap di dalam kelembaban (humidity) yang optimum.
Ada 2 macam ventilasi, yakni :
1) Ventilasi alamiah, di mana aliran udara di dalam ruangan tersebut
terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-
lubang pada dinding dan sebagainya. Di pihak lain ventilasi
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
40
alamiah ini tidak menguntungkan karena juga merupakan jalan
masuknya nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah. Untuk
itu harus ada usaha-usaha lain untuk melindungi kita dari gigitan-
gigitan nyamuk tersebut.
2) Ventilasi buatan, yaitu dengan mempergunakan alat-alat khusus
untuk mengalirkan udara terebut, misalnya kipas angin dan mesin
pengisap udara. Tetapi jelas alat ini tidak cocok dengan kondisi
rumah di pedesaan. Perlu diperhatikan disini bahwa sistem
pembuatan ventilasi harus dijaga agar udara tidak berhenti atau
berbalik lagi, harus mengalir. Artinya di dalam ruangan rumah
harus ada jalan masuk dan keluarnya udara.
Penelitian Wahyudi (2018) menemukan bahwa penderita TB paru
terbanyak tidak memiliki ventilasi sebanyak 30 orang (83,33%) dan yang
memiliki ventilasi sebanyak 6 orang (16,67%), Fungsi dari pada ventilasi
adalah membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri
patogen karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus.
Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Selarasa dengan
penelitian yang di lakukan oleh Erwin Ulinnuhan Fahreza Hubungan
antara kualitas fisik rumah dan kejadian tuberkolosis paru dengan basil
tahan asam positif di balai kesehatan paru masyarakat serang
11. Kepadatan hunian
Kepadatan hunian merupakan faktor lingkungan terutama pada
penderita tuberkulosis yaitu kuman M. tuberculosis dapat masuk pada
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
41
rumah yang memiliki bangunan yang gelap dan tidak ada sinar matahari
yang masuk. Namun pada rumah yang cukup luas dan tidak padat,
kemungkinan tidak terdapat kuman M. tuberculosis yang masuk ke dalam
rumah. Masyarakat yang memiliki rumah dengan padat penghuninya akan
berisiko tertularnya penyakit tuberkulosis karena sirkulasi udara yang
padat penghuninya berpengaruh terhadap kelembaban rumah sehingga
kuman M. tuberculosis berterbangan di dalam rumah yang padat
penghuninya (Notoatmodjo, 2013).
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan
dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Luas
bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan
menyebabkan overcrowded. Hal ini tidak sehat, sebab disamping
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota
keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota
keluarga yang lain. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah
biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat
relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk
rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang, untuk kamar tidur
diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Kamar tidur sebaiknya tidak
dihuni lebih dari 2 orang, kecuali untuk suami isteri dan anak dibawah 2
tahun yang biasanya masih sangat memerlukan kehadiran orang tuanya.
Apabila ada anggota keluarga yang menderita penyakit pernafasan
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
42
sebaiknya tidak tidur sekamar dengan anggota keluarga yang lain
(Ardhitya, 2015).
Fatimah (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kepadatan
hunian rumah merupakan faktor risiko kejadian TB paru atau tidak ada
hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB paru.
Namun pada hasil penelitian Rosiana (2013), bahwa kepadatan hunian
tidak ada hubungannya dengan kejadian TB paru di wilayah kerja
Puskesmas Kedungmundu Semarang, hal ini dikarenakan subjek kasus
maupun pembanding mempunyai peluang yang sama untuk terpapar dan
menderita TB paru. Nilai OR 2,250, artinya ada kemaknaan secara
biologis bahwa orang yang tinggal di rumah yang padat penghuni berisiko
2,250 kali lebih besar terkena tuberkulosis dibandingkan orang yang
tinggal dirumah yang tidak padat penghuni.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Prasetyowati (2013)
menunjukkan bahwa ada pengaruh kepadatan penghuni terhadap
terjadinya infeksi pada TB paru dengan besar risiko untuk terjadinya
adalah 4,653 kali dibandingkan dengan yang kepadatan penghuni yang
memenuhi persyaratan.
12. Kontak dengan penderita
Pasien TB paru TBA positif dengan kuman TB paru dalam
dahaknya berpontensi menuarkan kepada orang-orang di sekitarnya
(Kemenkes RI, 2011). Apabila seseorang yang telah sembuh dari TB paru
terkena paparan kuman TB paru dengan dosis infeksi yang cukup dari
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
43
penderita lain (terjadi kontak dengan penderita lain), maka ia bisa
mengalami kekambuhan, terlebih apabila ia masih dalam keadaan daya
tahan tubuh yang buruk.
Riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis mempengaruhi
kejadian TB paru.hal ini sejalan dengan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, tinggal bersama dengan penderita secara terus-menerus
sehingga pada proses ini melalui batuk atau bersin penderita TB paru
positif menyebarkan kiman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(Kemenkes, 2010).
Penelitian Wahyudi (2018) diketahuai penderita tb sebagian besar
kontak dengan penderita TB paru sebanayak 33 orang (91,67%) dan yang
tidak kontak dengan penderita sebanyak 3 oarang (8,33%). Kontak dengan
pasyen TB paru lebih besar resiko terkena penyakit TB paru di banding
dengan yang tidak kontak dengan penderita tb. Selaras dengan penelitian
yang di lakukan oleh Musadad dengan judul Hubungan faktor lingkungan
rumah dengan penularan TB paru kontak serumah. Tapi tidak selaras
dengan penelitian yang di lakukian oleh Rukmini dengan judul Faktor-
Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian TB paru Dewasa Di
Indonesia (Analisa Data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010).
--
www.lib.umtas.ac.id
Perpustakaan universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2020--
top related