bab ii pembahasan i. tinjauan pustaka...perusahaan maskapai penerbangan terhadap bagasi penumpang...
Post on 19-Feb-2021
20 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
12
BAB II
PEMBAHASAN
I. Tinjauan Pustaka
Berdasar judul diatas, bab ini berisi gambaran hasil tinjauan kepustakaan
atau kajian literatur hukum yang membicarakan berbagai aturan hukum mengenai
pertanggungjawaban perusahaan maskapai penerbangan terhadap bagasi tercatat
penumpang yang hilang atau rusak pada Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 167 K/Pdt.Sus-BPSK/2014.
Gambaran hasil studi kepustakaan, tentang pertanggungjawaban
perusahaan maskapai penerbangan terhadap bagasi penumpang yang hilang atau
rusak pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 167 K/Pdt.Sus-
BPSK/2014, penulis memilah ke dalam beberapa sub bab yaitu, pengertian
konsumen, pengertian pelaku usaha, pengertian maskapai penerbangan,
tanggungjawab pelaku usaha, penyelesaian sengketa konsumen, bentuk-bentuk
pertanggungjawaban dalam hukum perlindungan konsumen, kedudukan putusan
hakim terhadap peraturan perundang-undangan.
A. Perlindungan Konsumen
Az. Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen adalah
bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang
bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen,
sedangkan hukum konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan dan
masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa
-
13
konsumen di dalam pergaulan hidup.1 Namun, ada pula yang berpendapat bahwa
hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen. Hal ini
dapat kita lihat bahwa hukum konsumen memiliki skala yang lebih luas karena
hukum konsumen meliputi berbagai aspek hukum yang didalamnya terdapat
kepentingan pihak konsumen dan salah satu bagian dari hukum konsumen ini
adalah aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-
hak konsumen terhadap gangguan pihak lain.2
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar
hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang
pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh
optimisme.
Pengaturan tentang hukum perlindungan konsumen telah diatur dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan
Pasal 1 angka 1 UUPK disebutkan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen berupa perlindungan terhadap hak-hak konsumen, yang diperkuat
melalui undang-undang khusus, memberi harapan agar pelaku usaha tidak
bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen.3
Adapun tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan
perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat
1 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia edisi Revisi 2006, Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 11 2 Ibid, hal. 12
3 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008, hal. 4
-
14
dan kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha
dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab.4
B. Pengertian Konsumen
Secara harafiah arti kata konsumen adalah setiap orang yang menggunakan
barang atau jasa. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk
kelompok mana pengguna tersebut.5
Black’s Law Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai berikut: “a
person who buys goods or service for personal, family, or household use, with no
intention or resale; a natural person who use products for personal rather than
business purpose.” 6 Sedangkan Textbook on Comsumer Law mendefinisikan
konsumen adalah “one who purchases goods or service”. The consumer must be
an individual or other protected person who does not act in business capacity.
Definisi tersebut menghendaki bahwa konsumen adalah setiap orang atau individu
yang harus dilindungi selama tidak memiliki kapasitas dan bertindak sebagai
pelaku usaha, pelaku usaha dan/atau pebisnis.7
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen
sebagai “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
4 Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen, Nusa Media, Bandung,
2008, hal.18 5 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,
2008, hal. 22. 6 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Prenada Media Grup, Jakarta, 2013, hal.15,
dikutip dari Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (St. Paul, Minnesota: West Publishing,
2004), Eight Edition, hal. 335. 7 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Prenada Media Grup, Jakarta, 2013, hal.15,
dikutip dari David Oughton dan John Lowry, Textbook on Consumer Law, (London: Blackstone
Press Limited, 1997), hal.1-2.
-
15
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.8 Pengertian konsumen
dalam arti umum adalah pemakai, pengguna, dan atau pemanfaat barang dan atau
jasa untuk tujuan tertentu.9
Berdasarkan pengertia diatas, unsur-unsur konsumen adalah:
1. Setiap orang
Makna kata “setiap orang” adalah subyek yang disebut sebagai
konsumen, yang berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai
barang dan jasa.10
Menurut AZ.Nasution, orang yang dimaksudkan adalah
orang alami bukan badan hukum. Sebab yang memakai, menggunakan,
dan atau memanfaatkan barang dan atau jasa untuk kepentingan sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain tidak untuk
diperdagangkan hanyalah orang alami atau manusia.11
2. Pemakai
Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah
konsumen akhir (ultimate consumer).12
Konsumen akhir menurut AZ.
Nasution adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan
barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi,
keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali
(non komersial).13
3. Barang dan/atau jasa
8 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
9 Abdul Halim Barkatulah, Op. Cit., hlm. 8
10 Ibid.
11 Ibid.
12 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal.27.
13 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media,
Jakarta, 2001, hal. 13.
-
16
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, barang diartikan
sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik
bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak
dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen.14
Dan jasa diartikan sebagai setiap layanan
yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat
untuk dimanfaatkan oleh konsumen.15
Pengertian “disediakan bagi
masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat.
artinya, pihak yang ditawarkan harus lebih dari satu orang.16
4. Yang tersedia dalam masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah
harus tersedia di pasaran. Seperti yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf (e) yaitu barang dan/atau jasa tersebut tersedia.17
5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain
Kepentingan dalam hal ini tidak sekedar ditunjukkan untuk diri
sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan
bagi orang lain, bahkan untuk makhluk hidup lain.18
6. Barang dan/atau jasa tidak untuk diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen ini dipertegas, yaitu konsumen yang dimaksud adalah
konsumen akhir.19
14
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2004, hal.8 15
Kelik Wardiono, Hukum Perlindungan Konsumen, Ombak, Yogyakarta, 2014, hal.17 16
Ibid. 17
Ibid. 18
Ibid. 19
Ibid.
-
17
C. Pelaku Usaha
Dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menentukan bahwa “pelaku usaha adalah setiap orang perorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi”.
D. Maskapai Penerbangan
Istilah "maskapai" berasal dari bahasa Belanda maatschappij yang berarti
"perusahaan". Sebuah maskapai penerbangan adalah sebuah organisasi yang
menyediakan jasa penerbangan bagi penumpang atau barang. Maskapai
penerbangan menyewa atau memiliki pesawat terbang untuk menyediakan jasa
tersebut dan dapat membentuk kerja sama atau aliansi dengan maskapai lainnya
untuk keuntungan bersama.20
R. S. Damardjati mengemukakan pengertian perusahaan penerbangan
sebagai berikut : “Perusahaan penerbangan adalah perusahaan miliki swasta atau
pemerintah yang khusus menyelenggarakan pelayanan angkutan udara untuk
penumpang umum baik yang berjadwal (schedule service/regular flight)
maupun yang tidak berjadwal (non schedule service). Penerbangan berjadwal
menempuh rute penerbangan berdasarkan jadwal waktu, kota tujuan maupun
kota-kota persinggahan yang tetap. Sedangkan penerbangan tidak berjadwal
sebaliknya, dengan waktu, rute, maupun kota-kota tujuan dan persinggahan
20
Pengertian Maskapai Penerbangan URL :
https://id.wikipedia.org/wiki/Maskapai_penerbangan, dikunjungi tanggal 14 februari 2016, pukul
22.30
https://id.wikipedia.org/wiki/Maskapai_penerbangan
-
18
bergantung kepada kebutuhan dan permintaan pihak penyewa.”21
Sedangkan
menurut F. X. Widadi A. Suwarno berpendapat, “Perusahaan penerbangan atau
airlines adalah perusahaan penerbangan yang menerbitkan dokumen
penerbangan untuk mengangkut penumpang beserta bagasinya, barang kiriman
(kargo), dan benda pos (mail) dengan pesawat udara”.22
Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan
penerbangan adalah suatu perusahaan angkutan udara yang memberikan dan
menyelenggarakan pelayanan jasa angkutan udara yang mengoperasikan dan
menerbitkan dokumen penerbangan dengan teratur dan terencana untuk
mengangkut penumpang, bagasi penumpang, barang kiriman (kargo), dan benda
pos ke tempat tujuan.
E. Penyelesaian Sengketa Konsumen
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK), yang mengatur tentang perlindungan terhadap konsumen menegaskan
dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen. Dengan kata lain UUPK secara tegas telah memberikan jaminan
perlindungan terhadap konsumen, jika konsumen dirugikan oleh pelaku usaha.
Penyelesaian sengketa yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha,
dapat diselesaikan melalui jalur litigasi (melalui pengadilan) dan jalur
nonlitigasi (tidak melalui pengadilan). Penyelesaian, melalui lembaga litigasi
dianggap kurang efisien baik waktu, biaya, maupun tenaga, sehingga
penyelesaian melalui lembaga non litigasi banyak dipilih oleh masyarakat dalam
21
R. S. Damardjati, Istilah-istilah Dunia Pariwisata. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 6
22 Suwarno FX Widadi A., Tata Operasi Darat, Grasindo, Jakarta, 2001, hal.7
-
19
menyelesaikan sengketa dimaksud. Meskipun demikian pengadilan juga tetap
akan menjadi muara terakhir bila di tingkat non litigasi tidak menemui
kesepakatan.23
Litigation (bahasa Inggris) artinya proses pengadilan. Jadi nonlitigasi
adalah di luar proses pengadilan. Sebagai bahan perbandingan, litigation (proses
pengadilan), sebagian besar tugasnya adalah menyelesaikan sengketa dengan
menjatuhkan putusan (constitutive) misalnya menjatuhkan putusan atas sengketa
waris, perbuatan melawan hukum dan sebagian kecil tugasnya adalah
penangkalan sengketa dengan menjatuhkan penetapan pengadilan (deklaratoir)
misalnya penetapan wali, penetapan anak angkat dan lain-lain24
Nonlitigasi sebagai kebalikan dari litigasi (argumentum analogium) adalah
untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan melalui perdamaian dan
penangkalan sengketa dengan perancangan-perancangan kontrak yang baik.
Penyelesaian sengketa secara nonlitigasi meliputi bidang yang sangat luas
bahkan mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diselesaikan secara
hukum.25
Menurut pasal 19 ayat (1) dan (3) UUPK, konsumen yang merasa
dirugikan dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada pelaku
usaha dan pelaku usaha harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian dalam
jangka waktu 7 hari setelah transaksi berlangsung. Misalnya, seseorang membeli
barang yang terbungkus secara rapi. Setelah sampai dirumah, barang dibuka
ternyata cacat/rusak. Konsumen dapat dengan langsung menuntut pelaku usaha
23
Aries Kurniawan, Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam
Penyelesaian Sengketa Konsumen, Kompas 6 Agustus 2008, hal.3. 24
I Wayan Wiryawan & Ketut Artadi, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan,
Udayana University Press, Denpasar-Bali, 2010, hal. 3 25
Ibid.
-
20
untuk mengganti barang tersebut atau mengembalikan uang pembeliannya. Hal
ini harus diselesaikan dalam jangka waktu 7 hari setelah terjadinya transaksi
tersebut, yang berarti juga, pembeli dengan segera harus mengajukan
tuntutannya.
Cara yang dimaksud oleh pasal 19 ayat (1) itu tidak jelas. Akan tetapi,
dengan menyimak pasal 19 ayat (3), pastilah yang dimaksud bukan melalui
suatu badan dengan cara pemeriksaan tertentu. Dengan penetapan jangka waktu
7 hari setelah tanggal transaksi sebagaimana disebut dalam pasal 19 ayat (3),
maka dapat diduga bahwa penyelesaian sengketa yang dimaksudkan di sini
bukanlah penyelesaian yang rumit dan melalui pemeriksaan mendalam terlebih
dahulu, melainkan bentuk penyelesaian sederhana dan praktis yang ditempuh
dengan jalan damai.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, mengatur mengenai pilihan dalam
penyelesaian sengketa melalui cara musyawarah para pihak yang bersengketa, di
bawah title “Alternatif Penyelesaian Sengketa”, yang merupakan terjemahan
dari Alternative Dispute resolution (ADR). Pengertian Alternative Dispute
Resolution disini adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian
ahli. Dengan demikian berarti bahwa sengketa konsumen diselesaikan terlebih
dahulu dengan pertemuan langsung antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui bantuan pihak ketiga yang ikut membantu pihak yang bersengketa
menemukan jalan penyelesaian di antara mereka. Pihak ketiga yang dimaksud di
-
21
sini adalah pihak yang netral, tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa.
Di sini pihak ketiga tidak memberi putusan atas sengketa, tetapi membantu para
pihak menyelesaikan permasalahan.
Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud dengan Alternative Dispute
Resolution (ADR) dalam perspektif UU No. 30 Tahun 1999 itu suatu pranata
penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak
dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan.
Sebagai lembaga yang berwenang menangani dan menyelesaikan sengketa
antara pelaku usaha dengan konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen yang selanjutnya disingkat BPSK dalam kewenangannya dapat
menempuhnya dengan cara mediasi, konsiliasi atau arbitrase. UU perlindungan
konsumen tidak mendefinisikan tentang mediasi, konsiliasi atau arbitrase di
bidang perlindungan konsumen. Hal ini kemudian dijelaskan lebih jauh dalam
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350 Tahun 2001
tentang Tugas dan Wewenang BPSK.
Keberadaan BPSK diatur dalam UUPK No. 8 Tahun 1999 Bab XI Pasal
49 sampai Pasal 58. Pada Pasal 49 ayat (1) dinyatakan bahwa pemerintah
membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Badan ini merupakan
peradilan kecil (Small Claim Court) yang melakukan persidangan dengan
menghasilkan keputusan secara cepat, sederhana dan dengan biaya murah sesuai
dengan asas peradilan. Disebut cepat karena harus memberikan keputusan dalam
waktu maksimal 21 hari kerja (Pasal 55), dan tanpa ada penawaran banding
yang dapat memperlama proses pelaksanaan keputusan (Pasal 56 dan Pasal 58).
-
22
Sederhana karena proses penyelesaiannya dapat dilakukan sendiri oleh pihak
yang bersengketa, dan murah karena biaya yang dikeluarkan untuk menjalani
proses persidangan sangat ringan.
Dalam pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dikatakan bahwa putusan yang dijatuhakan majelis (BPSK) bersifat final dan
mengikat dengan maksud apabila tidak ada keberatan di antara kedua belah
pihak, maka putusan tersebut dapat dilaksanakan, namun bila ada yang
keberatan, maka dapat mengajukan banding. Walau demikian para pihak tidak
setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan
Negeri untuk diputus. Terhadap putusan putusan Pengadilan Negeri tersebut,
meskipun dikatakan bahwa UUPK hanya memberikan hak kepada pihak yang
tidak merasa puas atas putusan tersebut untuk mengajukan Kasasi ke Mahkamah
Agung, namun dengan mengingat akan relativitas dari tidak merasa puas,
peluang untuk mengajukan Kasasi sebenarnya terbuka bagi setiap pihak dalam
perkara. Selain itu UUPK juga memberikan jangka waktu bagi penyelesaian
konsumen yakni, 21 hari untuk proses pada tingkat Pengadilan Negeri, dan 30
hari untuk diselesaikan di Mahkamah Agung, dengan jeda masing-masing 14
hari untuk mengajukan ke Pengadilan Negeri maupun Kasasi ke Mahkamah
Agung.
-
23
Apabila digambarkan alur penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK
sesuai dengan UUPK sebagai berikut :
Laporan dari
para pihak
Proses
pemeriksaan
Putusan oleh
BPSK (paling
lambat dalam
waktu 21 hari
kerja setelah
gugatan
diterima.
Eksekusi .
paling
lambat 7
hari kerja
sejak
menerima
putusan
Mengajukan
keberatan ke
Pengadilan Negeri
paling lambat 14
hari setelah
menerima
pemberitahuan
putusan tersebut.
Eksekusi
Putusan
Pengadilan
Negeri. Paling
lambat 21 hari
sejak
diterimanya
keberatan.
Putusan
Mahkamah
Agung. Paling
lambat 30 hari
sejak menerima
permohonan
Kasasi.
Mengajukan
Kasasi dalam
waktu 14 hari
sejak keputusan
Pengadilan Negeri
-
24
F. Tanggungjawab Pelaku Usaha
Pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut serta
menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat yang menunjang bagi
pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Karena itu, kepada
produsen pelaku usaha dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan
kewajiban itu, yaitu melalui norma-norma hukum, kepatutan, dan menunjang
tinggi kebiasaan yang berlaku di kalangan dunia usaha.26
Kewajiban pelaku usaha untuk senantiasa beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya (vide Pasal 7 angka 1 UUPK) berarti pelaku usaha ikut
bertanggung jawab untuk menciptakan iklim berusaha yang sehat demi
menunjang pembangunan nasional.27
Banyak ketentuan di dalam UUPK tentang
ini yang bermaksud mengarahkan pelaku usaha untuk berperilaku sedemikian
rupa dalam rangka menyukseskan pembangungan ekonomi nasional, khususnya
di bidang usaha.
Atas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha maka
kepadanya dikenakan sanksi-sanksi hukum, baik sanksi administratif maupun
sanksi pidana. Pemberian sanksi ini penting mengingat bahwa menciptakan
iklim berusaha yang sehat membutuhkan keseriusan dan ketegasan. Untuk itu
sanksi merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada keadaan
semula manakala telah terjadi pelanggaran (rehabilitasi) sekaligus sebagai alat
26
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2014, hal. 80. 27
Ibid, hal. 81
-
25
preventif bagi produsen-pelaku usaha lainnya sehingga tidak terulang lagi
perbuatan yang sama.28
a) Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau
liability based fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum
pidana dan perdata dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367,
prinsip ini dipegang secara teguh.29
Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat
dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai pasal
tentang perbuatan melanggar hukum, mengharuskan terpenuhi empat unsur
pokok, yaitu adanya perbuatan, adanya unsur kesalahan, adanya kerugian yang
diderita, dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dengan kerugian.
Ketentuan tersebut juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara,
yakni asas audi et alterm partem atau asas kedudukan yang sama antara semua
pihak yang berperkara. Di sini hakim harus memberi para pihak beban yang
seimbang dan patut, sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama
untuk memenangkan perkara tersebut.30
Teori murni dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian
(negligence) adalah suatu tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur
kesalahan dan hubungan kontrak (privity of contract).31
Teori tanggung jawab
berdasarkan kelalaian merupakan yang paling merugikan konsumen, karena
gugatan konsumen dapat diajukan kalau telah memenuhi dua syarat tersebut,
28
Janus Sidabalok, Loc. Cit. 29
Shidarta, Op.Cit., hal. 73 30
Ibid., hal. 74 31
Abdul Halim Barkatulah, Op.Cit., hal. 53
-
26
yaitu adanya unsur kesalahan atau kelalaian dan hubungan kontrak antara pelaku
usaha dan konsumen.
Teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian tidak memberikan
perlindungan yang maksimal bagi konsumen, karena konsumen dihadapkan
pada dua kesulitan dalam mengajukan gugatan kepada produsen, yaitu:
Pertama, tuntutan adanya hubungan kontrak antara konsumen sebagai
penggugat dengan produsen sebagai tergugat. Kedua, argumentasi produsen
bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak
diketahui.32
Tanggung jawab produsen berdasarkan persyaratan kontrak adalah sejauh
yang dapat diperkirakan atau diprediksikan yang biasanya dituangkan dalam
kontrak. Dengan demikian, resiko atau subtansi yang tidak tercantum dalam
kontrak adalah masalah yang tidak dapat diantisipasi atau diperhitungkan
sebelumnya.33
Kondisi seperti ini sangat merugikan konsumen, dan
menempatkan konsumen pada posisi tawar yang tidak seimbang dengan
produsen.
Kesalahan produsen yang berakibat pada munculnya kerugian konsumen
merupaka faktor penentu adanya hak konsumen mengajukan gugatan ganti rugi
kepada produsen. Negliance dapat dijadikan dasar gugatan, apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:34
32
David A. Fischer dan Willian Powers Jr., Product Liability: Case and Materials, West
Publishing, St. Paul Minesota. 1988. Hal. 3 33
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
2013. Hal. 86 34
Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
2004. Hal. 148
-
27
1. Suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian, tidak sesuai dengan sikap
hati-hati yang normal.
2. Harus dibuktikan bahwa tergugat lalai dalam kewajiban berhati-hati
terhadap penggugat.
3. Kelakuan tersebut merupakan penyebab nyata (proximate cause) dari
kerugian yang timbul.
b) Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Wanprestasi
Di samping mengajukan gugatan berdasarkan kelalaian pelaku usaha,
ajaran hukum memperkenalkan pula konsumen mengajukan gugatan
berdasarkan wanprestasi (breach of warranty).35
Tanggung jawab pelaku usaha
yang dikenal dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak
(contractual liability).36
Pada dasarnya, sebagaimana lazimnya dasar gugatan breach of warranty
yang umum diterapkan dalam praktik perdagangan, wanprestasi sebagai dasar
tuntutan ganti kerugian dihadapkan dengan beberapa kelemahan yang dapat
mengurangi bentuk perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen, yaitu
berupa pembatasan waktu gugatan, persyaratan pemberitahuan, kemungkinan
adanya bantahan (disclaimer) dan persyaratan kontrak, baik hubungan kontrak
secara horisontal, maupun vertikal.37
Apabila ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu
tergugat dengan penggugat (pelaku usaha dengan konsumen) terikat suatu
perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam
35
Ibid. hal. 60. 36
Ibid. 37
Ibid.
-
28
perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan
wanprestasi.38
Pemberian ganti rugi karena wanprestasi merupakan akibat tidak
terpenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban
atas prestasi utama atau kewajiban jaminan/garansi dalam perjanjian. Dalam
gugatan berdasarkan adanya wanprestasi, kewajiban untuk memberikan ganti
kerugian tidak lain daripada akibat penerapan klausa dalam perjanjian, yang
merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua pihak secara suka rela tunduk
berdasarkan perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang
menentukan pemberian ganti kerugian dan besarnya ganti kerugian yang harus
diberikan kepada konsumen yang dirugikan, melainkan kedua belah pihak
antara pelaku usaha dan konsumen yang menentukan syarat-syaratnya serta
besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, dan apa yang telah diperjanjikan
tersebut, mengikat sebagai undang-undang mereka yang membuatnya (Pasal
1338 KUHPerdata).39
c) Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen
secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha yang merugikan
konsumen.40
Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability.
Menurut prinsip ini, pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita konsumen.41
38
Ahmadi Miru, Op.Cit. hlm 127 39
Ibid hal. 129 40
Ibid. 41
Shidarta, Op.Cit., hal. 79.
-
29
Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari
orang/badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacturer), dari
orang/badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu
produk (processor, assembler) atau mendistribusikan (seller, distributor) produk
tersebut.42
Tanggung jawab yang dimaksud seringkali ditekankan pada
kewajiban untuk menjawab/menjelaskan perbuatan, penegakan aturan, dan atau
siap menerima hukuman atas perbuatan yang salah43
dalam hal ini salah dalam
menghasilkan produk dan/atau jasa.
Penerapan strict liability tersebut didasarkan pada alasan bahwa konsumen
tidak dapat berbuat banyak untuk memproteksi diri dari resiko kerugian yang
disebabkan oleh produk cacat.44
Tanggung jawab mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak
perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian, dan juga
prinsip ini tidak berdasarkan kesalahan produsen, yakni menerapkan tanggung
jawab kepada penjual produk yang cacat tanpa ada beban bagi konsumen atau
pihak yang diragukan untuk membuktikan kesalahan tersebut.45
Ketentuan ini
merupakan lex spesialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum
pada umumnya.46
Namun, penggugat (konsumen) tetap diberikan beban
pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat (pelaku usaha). Dalam hal ini,
konsumen hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara
42
0 H.E Saefullah, Tanggung jawab Produsen terhadap Akibat Hukum yang ditimbulkan
dari Produk pada Era Pasar Bebas, Mandar Maju, Bandung, 2000. Hal. 46 43
Godwin Limberg, et.al, Bukan Hanya Laba: Prinsip-Prinsip Bagi Perusahaan Untuk
Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial, SMK Grafika Desa Putera, Jakarta, 2009, Hal. 9. 44
Zulham, Op.Cit., Hal. 99 45
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung
Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. Hal. 92-96 46
Abdul Halim Barkatulah, Op.Cit., hal. 65
-
30
perbuatan pelaku usaha dan kerugian yang diderita konsumen. Hubungan
kausalitas yang membuktikan bahwa terjadinya kerugian pada konsumen akibat
produk cacat dari pembuat produk. Selebihnya dapat digunakan prinsip
tanggung jawab mutlak (strict liability).47
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengakomodasi dua prinsip
penting, yakni tanggung jawab Produk (Product Liability) dan tanggung jawab
professional (professional liability).48
Tanggung jawab produk merupakan
tanggung jawab produsen untuk produk yang dipasarkan kepada pemakai, yang
menimbulkan dan menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada
produk tersebut.49
Sedangkan tanggung jawab professional berhubungan dengan
jasa, yakni tanggung jawab produsen terkait dengan jasa professional yang
diberikan kepada klien.50
Ketentuan Pasal 19 dalam UUPK meliputi tanggung jawab pelaku usaha
terhadap ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan kerugian konsumen. Maka
produk cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban bagi
pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi
segala kerugian yang dialami konsumen.51
Namun pertanggungjawaban dalam
UUPK tersebut tidak sepenuhnya menganut prinsip tanggung jawab mutlak.52
Adapun persepsi Pasal 19 UUPK berangkat dari asumsi bahwa apabila
produsen tidak melakukan kesalahan, maka konsumen tidak melakukan
47
Shidarta, Loc.Cit. 48
Zulham, Op.Cit., Hal. 99 49
Shidarta, Op.Cit., Hal. 80. 50
Zulham, Loc.Cit. 51
Zulham, Op.Cit., Hal. 101 52
Zulham, Op.Cit., Hal. 102
-
31
kerugian, atau dengan rumusan berbeda, apabila konsumen mengalami
kerugian, berarti produsen telah melakukan kesalahan.53
d) Tanggung Jawab Dengan Pembatasan
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability
principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai
klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian
cuci cetak film, misalnya ditentukan bila film yang ingin dicuci/dicetak itu
hilang atau rusak (termasuk kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi
ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.54
Secara umum, prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen
bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK, seharusnya
tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen,
termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan,
mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.
Selain itu dari sudut pandang lain, konsumen memiliki hak-hak untuk
mendapat kenyamanan, aman, selamat, memilih, mendapat informasi yang
benar, untuk didengar, mendapat pendidikan, mendapat advokasi, untuk dilayani
dengan jujur, untuk mendapat kompensasi serta hak untuk mendapat ketentuan
lainnya. Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak
konsumen untuk mendapatkan “pendidikan konsumen” ini. Bentuk informasi
yang lebih komprehensif dengan tidak semata-mata menonjolkan unsur
komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen.
Produsen mobil misalnya, dalam memasarkan produk dapat menyisipkan
53
Inosentius Samsul, Op.Cit., Hal. 144 54
Ibid, hal. 65.
-
32
program-program pendidikan konsumen yang memiliki kegunaan praktis,
seperti tata cara perawatan mesin, pemeliharaan ban, atau penggunaan sabuk
pengaman.55
Karena konsumen harus bergantung pada keahlian produsen dan pelaku
usaha, maka produsen tidak hanya berkewajiban memberikan produk yang
sesuai dengan klaim yang dibuatnya. Namun juga harus berhati-hati untuk
mencegah kerugian konsumen, meskipun, produsen secara eksplisit menolak
pertanggungjawaban seperti ini dan konsumen menerima penolakan tersebut
dalam bentuk perjanjian klausula baku.56
Istilah perjanjian baku merupakan terjemahan dari standard contract, baku
berarti patokan dan acuan.57
Mariam Darus mendefinisikan perjanjian baku
adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk
formulir.58
Klausula baku biasanya dibuat oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat,
yang dalam kenyataan biasa dipegang oleh pelaku usaha. Isi klausula baku
sering kali merugikan pihak yang menerima klausula baku tersebut, yaitu pihak
konsumen karena dibuat secara sepihak.59
Bila konsumen menolak klausula
baku tersebut ia tidak akan mendapatkan barang ataupun jasa yang dibutuhkan,
karena klausula baku serupa akan ditemuinya di tempat lain.
e) Prinsip Tanggung Jawab Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disingkat UUPK, diatur
55
Ibid, hal. 27. 56
Zulham, Op.Cit., Hal. 66 57
Ibid. 58
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1978. Hal. 48 59
Zulham, Loc.Cit.
-
33
khusus dalam satu bab, yaitu Bab VI, mulai dari pasal 19 sampai dengan pasal
28. Dari 10 pasal tersebut, dapat kita pilah sebagai berikut:
1) Tujuh pasal, yaitu Pasal 19, pasal 20, pasal 21, pasal 24, pasal 25,
pasal 26, dan pasal 27 yang mengatur Pertanggungjawaban pelaku
usaha;
2) Dua pasal, yaitu pasal 22 dan pasal 28 yang mengatur pembuktian;
3) Satu pasal, yaitu pasal 23 yang mengatur penyelesaian sengketa
dalam hal pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya untuk
memberi ganti rugi kepada konsumen.
Dari tujuh pasal yang mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha, secara
prinsip dapat dibedakan lagi kedalam:60
1) Pasal-pasal yang secara tegas mengatur pertanggungjawaban
pelaku usaha atas kerugian yang diderita konsumen, yaitu dalam
pasal 19, pasal 20, dan pasal 21.
Pasal 19 mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha pabrikan
dan/atau distributor pada umumnya, untuk memberi ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan dengan ketentuan bahwa ganti rugi tersebut daoat
dilakukan dalam bentuk: pengembalian uang atau penggantian
barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ganti rugi
60
Abdul Halim Barkatulah, Op.Cit., hal. 70
-
34
harus telah diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari tethitung
sejak tanggal transaksi.
Pasal 20 diberlakukan bagi pelaku usaha periklanan untuk
bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi, dan segala akibat
yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21 ayat (1) membebankan pertanggungjawaban kepada
importer barang sebagai mana layaknya pembuat barang yang
diimportir, apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh
agen atau perwakilan produsen luar negeri. Pasal 21 ayat (2)
mewajibkan importer jasa untuk bertanggung jawab sebagai
penyedia jasa asing, jika penyediaan jasa asing tersebut tidak
dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
2) Pasal 24 yang mengatur peralihan tanggung jawab dari satu pelaku
usaha kepada pelaku usaha lainnya, menyatakan bahwa;
“Pelaku usaha yang menjual barang dan /atau jasa
kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas
runtutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen
apabila: 1. Pelaku usaha lain menjual kepada
konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas
barang dan/atau jasa tersebut; 2. Pelaku usaha lain,
di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui
adanya perubahan barang dan/atau jasa yang
dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai
dengan contoh, mutu, dan komposisi.”
Ketentuan Pasal 19 UUPK kemudian dikembangkan pada Pasal 23 UUPK
yang menyatakan: “Pelaku usaha yang menolak dan/atau memberi tanggapan
dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat
-
35
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau Mengajukan gugatan ke
badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”
Rumusan Pasal 23 UUPK nampaknya muncul berdasarkan dan kerangka
pemikiran, yaitu pertama, bahwa Pasal 19 UUPK menganut prinsip praduga
lalai/bersalah (presumption of negligence).61
Abdul Hakim Barkatullah
mengatakan sebagai berikut:62
prinsip ini berangkat dari asumsi bahwa apabila
produsen tidak melakukan kesalahan, maka
konsumen tidak mengalami kerugian, berarti
produsen telah melakukan kesalahan. Sebagaimana
konsekuensi dari prinsip ini, maka UUPK
menerapkan batas waktu pembayaran ganti
kerugian 7 (tujuh) hari setelah transaksi. Dilihat
konteks Pasal 23, maka batas waktu 7 (tujuh) hari
tidak dimaksudkan untuk menjalani proses
pembuktian. Tetapi hanya memberikan kesempatan kepada pelaku usaha untuk membayar atau mencari
solusi lain, termasuk penyelesaian sengketa melalui
pengadilan.
Sistem tanggung jawab produk di Indonesia masih menggunakan prinsip
tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan pembuktian terbalik dan belum
menerapkan sistem tanggung jawab mutlak.63
Pemikiran bahwa UUPK Pasal 19
ayat (1) menganut prinsip praduga bersalah paling tidak didasarkan pada
perbedaan rumusannya dengan Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu64
: Pertama, Pasal
1365 KUHPerdata secara tegas memuat dasar tanggung jawab karena kesalahan
atau karena kelalaian seseorang, sedangkan Pasal 19 ayat (1) tidak
mencantumkan kata kesalahan.
61
Abdul Hakim Barkatullah, Tanggung Jawab Produk Dalam Transaksi Konsumen
Dunia Maya, Makalah, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2010, Hal. 7 62
Ibid. 63
Ibid. 64
Ibid.
-
36
Dalam hal tersebut, Pasal 19 UUPK menegaskan bahwa tanggung jawab
produsen (pelaku usaha) muncul apabila mengalami kerugian akibat
mengkonsumsi produk yang diperdagangkan. Kedua, Pasal 1365 KUHPerdata
tidak mengatur jangka waktu pembayaran, sedangkan Pasal 19 UUPK
menetapkan jangka waktu pembayaran, yaitu 7 hari.
Pemikiran kedua yang terkandung dalam Pasal 23 UUPK adalah produsen
tidak membayar ganti kerugian dalam batas waktu yang telah ditentukan.65
Sikap produsen ini membuka peluang bagi konsumen untuk mengajukan
gugatan ke Pengadilan atau penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen.
Ketentuan lanjutan yang relevan dan signifikan dengan Pasal 23 UUPK
adalah rumusan Pasal 28 UUPK sebagai berikut: “Pembuktian terhadap ada
tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab
pelaku usaha” Rumusan Pasal inilah yang kemudian dikenal dengan sistem
pembuktian terbalik.66
Abdul Hakim Barkatullah berpendapat, bahwa rumusan Pasal 23
memperlihatkan bahwa prinsip tanggung jawab yang juga dianut dalam UUPK
adalah prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability
principle). Prinsip ini merupakan salah satu modifikasi dari prinsip tanggung
jawab berdasarkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik.
65
Ibid. 66
Ibid.
-
37
Jelas, bahwa kontruksi hukum yang demikian menggambarkan adanya
kemajuan dari sistem tanggung jawab sebelumnya, namun belum sepenuhnya
menganut prinsip tanggung jawab mutlak sebagaimana yang secara tegas-tegas
dirumuskan dalam beberapa hukum positif di negara lain. Hal ini tergambar
pula dalam pendapat akhir ketika memberikan persetujuan terhadap Rancangan
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) yang menyatakan:
“Dalam undang-undang ini, dimasukkan pasal yang memungkinkan adanya
pembuktian terbalik baik dalam hal pidana maupun perdata. Hal ini merupakan
suatu terobosan baru di dunia hukum di Indonesia.”67
Perkembangan tersebut
menunjukkan bahwa Indonesia masih dalam tingkat modifikasi terhadap prinsip
tanggung jawab berdasarkan kesalahan, suatu langkah di belakang prinsip
tanggung jawab mutlak.68
G. Bentuk Pertanggungjawaban Dalam Hukum Perlindungan Konsumen
Adanya kerugian terhadap konsumen atas produk yang merugikan
konsumen, maka ada upaya-upaya dari pelaku usaha untuk menentukan
bagaimana cara-cara yang ditempuh agar dapat membuktikan bahwa barang
dan/atau jasa mereka cacat/rusak ataupun merugikan konsumen, yaitu dasar
pertanggungjawaban, pembuktian, dan ganti kerugian. Dengan demikian, upaya-
upaya yang akan dilakukan pelaku usaha apabila barang dan/atau jasa
67
Abdul Hakim Barkatullah, Tanggung Jawab Produk Dalam Transaksi Konsumen
Dunia Maya, Makalah, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2010, Hal. 8 dikutip dari
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proses Pembahasan Rancangan tentang
Perlindungan Konsumen, Sekretariat Jendral DPR RI, Jakarta, 2001, Hal. 1146 68
Abdul Hakim Barkatullah, Tanggung Jawab Produk Dalam Transaksi Konsumen
Dunia Maya, Makalah, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2010, Hal. 8 dikutip dari
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak,
Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, Jakarta, 2004, Hal. 146
-
38
merugikan konsumen, maka pertama dari segi pertanggungjawaban, produsen
sebagai pelaku usaha dibebani dua jenis pertanggungjawaban, yaitu:69
1. Pertanggungjawaban Publik
Produsen sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk
ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat yang menunjang
bagi pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Karena itu,
kepada pelaku usaha dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan
kewajiban itu, yaitu melalui penerapan norma-norma hukum, kepatutan, dan
menjunjung tinggi kebiasaan yang berlaku dikalangan dunia usaha. Etika bisnis
merupakan salah satu pedoman bagi setiap pelaku usaha. Prinsip business is
business, tidak dapat diterapkan, tetapi harus dengan pemahaman atas prinsip
bisnis untuk pembangunan. Jadi, sejauh mungkin pelaku usaha harus bekerja
keras untuk menjadikan usahanya memberi kontribusi pada peningkatan
pembangunan secara keseluruhan.
Kewajiban pelaku usaha untuk senantiasa beritikad baik dalam melakukan
kegiatannya berarti bahwa pelaku usaha ikut bertanggung jawab untuk
menciptakan iklim yang sehat dalam berusaha demi menunjang pembangunan
nasional. Jelas ini adalah tanggung jawab publik yang diemban oleh seorang
pelaku usaha. Banyak ketentuan di dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen ini yang bermaksud mengarahkan pelaku usaha untuk berprilaku
sedemikian rupa dalam rangka menyukseskan pembangunan ekonomi nasional,
khususnya di bidang usaha.
69
Janus Sidabalok, Op. Cit, hal. 93-95
-
39
Atas setiap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha maka kepadanya
dikenakan sanksi-sanksi hukum, baik sanksi administratif maupun sanksi
pidana. Beberapa perbuatan yang bertentangan dengan tujuan untuk
menciptakan iklim usaha yang sehat dapat dikategorikan sebagai perbuatan
kejahatan.
Pemberian sanksi ini penting, mengingat bahwa menciptakan iklim
berusaha yang sehat membutuhkan keseriusan dan ketegasan. Untuk itu, sanksi
merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada keadaan semula
manakala telah terjadi pelanggaran (rehabilitasi) sekaligus sebagai alat preventif
bagi pengusaha lainnya sehingga tidak terulang lagi perbuatan yang pernah
dilakukannya. Bentuk pertanggungjawaban administrative yang dapat dituntut
dari produsen sebagai pelaku usaha diatur dalam pasal 60 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu tentang
pembayaran ganti kerugian paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta)
rupiah terhadap pelanggaran atas ketentuan tentang kelalaian membayar ganti
rugi kepada konsumen. Sedangkan pertanggungjawaban pidana yang
dibebankan kepada pelaku usaha yang bersangkutan maupun pengurusnya
dengan dipidana penjara dua sampai lima tahun dan denda paling banyak
500.000.000,00 (lima ratus juta) rupiah. Selain pada pidana diatas dapat juga
dikenakan hukuman tambahan, seperti perampasan barang tertentu,
pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, dan perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen.
-
40
2. Pertanggungjawaban Privat
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen diatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha pada pasal 19.
Dengan ketentuan sebagai berikut: (1) pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian
konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan; (2) ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
pengambilan uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau
setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku; (3)
pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi; (4) pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan; (5)
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku
apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan
kesalahan konsumen.
Dari pasal 19 Undang-undang Perlindungan Konsumen ini terdapat dua
golongan konsumen yang dapat dilihat dari segi ketertarikan antara pelaku
usaha dan konsumen, yaitu tentang ada tidaknya hubungan hukum antara pelaku
usaha dan konsumen. Kedua, golongan tersebut adalah konsumen yang
mempunyai hubungan kontraktual dengan pelaku usaha dan konsumen yang
tidak mempunyai hubungan kontraktual dengan pelaku usaha. Hubungan hukum
ini telah ada terlebih dahulu antara pelaku usaha dan konsumen, yang berupa
-
41
hubungan kontraktual tetapi mungkin juga tidak pernah ada sebelumnya dan
keterikatan itu mungkin justru lahir setelah peristiwa yang merugikan
konsumen. Pada dasar hubungan kontraktual itu berbentuk hubungan/perjanjian
jual beli, meskipun ada jenis hubungan hukum lainnya.70
Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai
dasar yaitu, hal yang menyebabkan seseorang harus/wajib bertanggung jawab.
Dasar pertanggungjawaban itu merupakan suatu kesalahan dan resiko yang ada
dalam setiap peristiwa hukum. Keduanya menimbulkan akibat dan konsekuensi
hukum yang lebih jauh dalam pemenuhan tanggung jawab oleh konsumen.
Secara teori, pertanggungjawaban terkait dengan hubungan hukum yang timbul
antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut
untuk bertanggung jawab.71
H. Kedudukan Putusan Hakim Terhadap Peraturan Perundang-undangan
Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai Pejabat
Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa
antara para pihak.72
Setelah Hakim mengetahui duduk perkara yang sebenar-
benarnya, maka pemeriksaan terhadapa perkara dinyatakan selesai, kemudian
dijatuhkan putusan.
Dalam menetapkan putusan, masing-masing hakim di Indonesia memiliki
kebebasan yang cukup untuk memutus perkara dengan dasar Undang-Undang
yang ada. Tidak jarang hakim juga harus menyelaraskan ketentuan hukum
70
Ibid, hal. 101. 71
Ibid, hal. 102 72
Mertokusumo Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta 1999,
hal. 175
-
42
dalam Undang-Undang dengan kenyataan karena ketentuan hukum dalam
Undang-Undang tersebut terkadang tidak lagi memadai atau tertinggal di
belakang fakta hukum yang ada. 73
Yurisprudensi berasal dari bahasa Latin “iuris prudential” yang berarti
ilmu hukum.74
Sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah
“jurisprudentie” yang berarti hukum peradilan atau peradilan tetap.75
Istilah ini
banyak digunakan pada negara-negara common law yang menganut mazhab
freie rechtsbewegung dimana Hakim adalah pencipta dan bukan hanya sekedar
corong Undang-Undang. Pada negara-negara common law, yurisprudensi adalah
ilmu pengetahuan hukum positif dan hubungan-hubungannya dengan hukum
lain. Namun, tidak demikian dengan negara-negara statute law / civil law yang
banyak menganut mazhab legisme yang tidak mengakui hukum diluar Undang-
Undang. Yurisprudensi diartikan sebagai berupa putusan-putusan hakim
terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para hakim atau
badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama.76
Sedangkan di Indonesia, meski mendapatkan pengaruh hukum colonial
Belanda, dianut mazhab rectsvinding dimana hakim tetap harus berpegang pada
Undang-Undang namun diberi ruang gerak untuk menyelaraskan Undang-
Undang yang ada dengan tuntutan zaman, sehingga yuriprudensi masuk sebagai
salah satu sumber hukum formal.
73
PUSLITBANG Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Kedudukan dan Relevansi
Yurisprudesi untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan, 2010, hal. 1 74
Black, H.C., Black’s Law Dictionary, St. Paul, Minn: West Publishing Co. 1968 75
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, :
Alumni, Bandung, 1979, hal. 56 76
Amos Simorangkir, Analysis Of The Attitude Of The Constituents Of Indonesia Union
College Toward The Absence Of Government Academic Recognition Of The College, University
Microfilms International, 1978, hal. 78
-
43
Tata urutan sumber hukum formal di Indonesia sebagai berikut77
:
1. Undang-Undang;
2. Adat Kebiasaan;
3. Yurisprudensi
4. Traktar;
5. Doktrin ahli hukum.78
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia berdasarkan Pasal 24 Ayat (1)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Hakim di
Indonesia, sebagaimana telah disebut, menganut aliran rechtsvinding dimana
hakim diberikan keleluasaan, berdasarkan Undang-Undang, untuk
menyelaraskan hukum yang ada dalam Undang-Undang. Hal ini untuk
mencegah hukum tertinggal dari fenomena kemajuan zaman dimana delik atau
peristiwa hukum yang terjadi mungkin belum diatur dalam Undang-Undang.
Beberapa alasan pentingnya yurisprudensi, yaitu79
:
1. Menciptakan standar hukum;
2. Menciptakan kesatuan landasan hukum yang sama;
3. Menciptakan kepastian hukum;
4. Mencegah terjadinya disparitas putusan pengadilan;
Alasan lain pentingnya keberadaan yurisprudensi adalah bahwa
yurisprudensi dapat menunjang pembaharuan serta pembinaan hukum.
77
PUSLITBANG Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Op.Cit. 78
E. Utrecht / Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cet. ke-11,
Jakarta, 1989, hal. 84-85. 79
PUSLITBANG Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Op.Cit. Hal. 2
-
44
Meski sifat dari yurisprudensi dalam tata sumber hukum di Indonesia
sendiri adalah “Persuasive Precedent” atau tidak mengikat hakim untuk
menggunakan yurisprudensi untuk perkara serupa atau dapat dipersamakan
atau diperbandingkan dengan isi yurisprudensi yang bersifat esensial dan
yurisprudensi pada praktiknya dijadikan pedoman bagi hakim-hakim bawahan
(Judex Factie).80
Diharapkan dengan berpatokan pada yurisprudensi maka
hakim tidak akan membuat putusan yang terlampau berbeda untuk suatu tindak
perkara yang dapat dipersamakan atau diperbandingkan.
II. Analisis
Setelah mengetahui gambaran hasil tinjauan kepustakaan atau kajian
literatur hukum yang membicarakan berbagai aturan hukum mengenai
pertanggungjawaban perusahaan maskapai penerbangan terhadap bagasi
penumpang yang hilang atau rusak pada Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 167 K/Pdt.Sus-BPSK/2014, penulis akan menganalisis dan
menjawab yang menjadi rumusan masalah.
Analisis akan dibagi kedalam sub bab, posisi kasus, perlindungan konsumen
dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung
Jawab Pengangkut Angkutan Udara, dan kaedah hukum tanggung jawab pelaku
usaha.
80
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional,
Suatu Uraian Tentang Landasan Pikiran, Pola, dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di
Indonesia, Binacipta, Bandung, 1976, hal. 12.
-
45
1. Posisi Kasus
Aripin Sianipar sebagai Konsumen, bertempat tinggal di Jalan Sei Serayu,
Nomor 39, Medan. Aripin Sianipar menggunakan jasa pengangkutan udara dari
PT. Lion Mentari Airlines, dari Jakarta menuju Medan pada tanggal 20 November
2011 dengan menggunakan Pesawat Terbang Lion Air dengan Nomor
Penerbangan JT 204. Saat tiba di Medan koper milik Aripin Sianipar hilang.
Menurut keterangan bagasi tersebut berisi barang-barang berharga dengan nilai
kurang lebih Rp.25.600.000,00 yang telah dilaporkan kepada pihak PT. Lion
Mentari Airlines. Aripin kemudian menggugat PT. Lion Mentari Airlines, ke
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Medan. BPSK Kota
Medan mengabulkan gugatan Aripin Sianipar dan menghukum PT. Lion Mentari
Airlines membayar 60 persen dari nilai barang yang hilang dengan asumsi 40
persen harga barang hilang karena penyusutan nilai barang.
PT. Lion Mentari Airlines tidak terima dengan putusan BPSK Kota Medan
tersebut, lalu mengajukan banding ke Pengadilan Negeri (PN) Medan dan kasasi.
Pihak Lion Air berkebaratan dengan dalih berdasarkan Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011, Lion Air maksimal mengganti Rp 4 juta.
Alasan kasasi yang dilakukan oleh PT. Lion Mentari Airlines yang terdapat
pada putusan Mahkamah Agung Nomor 167 K/Pdt.Sus-BPSK/2014 halaman ke-
10-12 adalah sebagai berikut:
1. Bahwa pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Medan yang
menyatakan tidak menerima alasan-alasan dan bukti-bukti yang diajukan
oleh Pemohon Keberatan (PT. Lion Mentari Airlines) untuk menolak
-
46
tuntutan Termohon Keberatan (Aripin Sianipar) adalah alasan yang tidak
dapat diterima dikarenakan dengan berangkatnya Termohon Keberatan
dari Jakarta menuju Medan berarti Pemohon Keberatan telah memberi
izin kepada Termohon Keberatan tanpa ada mencegahnya, dengan
demikian kehilangan koper berisi barang-barang kepunyaan Termohon
Keberatan yang dititipkan dalam bagasi Pesawat Lion JT 204 adalah
patut menjadi tanggung jawab Pemohon Keberatan, adalah
pertimbangan hukum yang salah dan keliru, karena Judex Facti
(Pengadilan Negeri Medan) telah salah atau lalai dalam menerapkan
hukum serta bukti-bukti yang terungkap di dalam persidangan. Karena
sesuai bukti PK-1 yang dihadirkan oleh Pemohon Keberatan
membuktikan bahwa Termohon Kasasi bukanlah merupakan penumpang
Pemohon Kasasi karena dalam Manifest Passanger tidak ada nama
Termohon Kasasi Aripin Sianipar, S.H.
2. Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 243/Pdt.G/2013/PT.Mdn.,
tanggal 13 Juni 2013, yang sekedar mengambil alih pertimbangan
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan Nomor
07/Pen/BPSK-Mdn/2012 tanggal 03 April 2012 tanpa dasar dan alasan
pengambil-alihan Putusan BPSK Kota Medan tersebut adalah dapat
dikategorikan sebagai bentuk putusan yang kurang cukup
dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd).
3. Judex Facti telah melanggar hukum acara khusus Sengketa Konsumen
sebagai diatur dalam ketentuan Pasal 58 ayat (1) UUPK, karena Judex
Facti telah memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo dalam
-
47
jangka waktu 1 (satu) tahun 1 (satu) bulan sejak diterimanya
Permohonan Keberatan oleh Pemohon Keberatan (Pemohon Kasasi)
pada tanggal 4 Mei 2012 pada kepaniteraan Negeri Medan dan baru
diputuskan pada tanggal 13 Juni 2013.
4. Putusan Judex Facti (PN Medan dan BPSK Kota Medan) yang
menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar ganti kerugian
kehilangan barang-barang Termohon Kasasi yaitu jumlah
keseluruhannya sebesar Rp.25.600.000,00 (dua puluh lima juta enam
ratus ribu rupiah) dikurangi penyusutan 40% = Rp.15.360.000,00 (lima
belas juta tiga ratus enam puluh ribu rupiah) kepada Termohon Kasasi
adalah bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) huruf (a) Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab
Pengangkut Angkutan Udara.
5. Putusan Judex Facti yang telah menghukum Pemohon Kasasi untuk
membayar ganti kerugian kehilangan barang-barang Termohon Kasasi
adalah salah dan keliru dalam menerapkan hukum dan perundang-
undang yang berlaku. Karena bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1)
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011, juga tidak
berdasarkan fakta hukum serta bukti-bukti yang terungkap di
persidangan, yaitu karena Termohon Kasasi yang tidak pernah
melaporkan adanya barang berharga pada saat check-in kepada
Termohon Kasasi, sebab sesungguhnya Termohon Kasasi bukanlah
penumpang dari Pemohon Kasasi.
-
48
Fakta hukum yang terdapat dalam kronologis diatas ialah, pertama, terbukti
adanya kesalahan PT. Lion Mentari Airlines yang kurang hati-hati atau lalai
dalam menjalankan atau melaksanakan kewajibannya untuk mengangkut atau
membawa barang-barang dalam bagasi tercatat dengan aman sampai pada
tujuannya.
Fakta hukum yang kedua, PT. Lion Mentari Airlines terbukti mengangkut
Aripin Sianipar selaku konsumen kedalam pesawat beserta bagasi milik Aripin
Sianipar dari Jakarta menuju Medan. Fakta hukum yang ketiga, PT. Lion Mentari
Airlines telah memberi izin kepada Aripin Sianipar untuk menitipkan barang
berharganya kedalam bagasi tercatat tanpa ada usaha mencegahnya.
Sehingga fakta hukum itulah yang dijadikan pertimbangan hukum
Pengadilan Negeri Medan dalam memutus permohonan keberatan yang diajukan
oleh PT. Lion Mentari Airlines. Pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Medan
dalam putusan halaman ke-12 alinea 7 dan halaman ke-13 yang terdapat dalam
putusan Mahkamah Agung Nomor 167 K/Pdt.Sus-BPSK/2014 halaman ke-10
sebagai berikut:
Menimbang, bahwa dari dalil-dalil yang diajukan oleh
Pemohon Keberatan dan Termohon Keberatan,
selanjutnya dihubungkan dengan bukti-bukti yang
diajukan oleh Pemohon Keberatan dan Termohon
Keberatan, Pengadilan berpendapat bahwa alasan yang
dikemukakan Pemohon Keberatan untuk menolak
tuntutan Termohon Keberatan adalah alasan yang tidak
dapat diterima dikarenakan dengan berangkatnya
Termohon Keberatan dari Jakarta menuju Medan
dengan menggunakan Pesawat Lion JT 204, berarti
Pemohon Keberatan telah memberi izin kepada
Termohon Keberatan tanpa ada mencegahnya, dengan
demikian kehilangan koper yang berisi barang-barang
kepunyaan Termohon Keberatan yang dititipkan dalam
bagasi Pesawat Lion JT 204 adalah patut menjadi
tanggung jawab Pemohon Keberatan
-
49
Selain itu Pengadilan Negeri Medan beralasan bahwa pertimbangan Majelis
BPSK sudah tepat dan benar, maka Pengadilan mengambil alih pertimbangan
Majelis BPSK dengan tambahan pertimbangan seperti tersebut di atas dan
disamping itu tidak ditemukan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
Peraturan Mahkmah Agung Nomor 1 Tahun 2006 karena itu permohonan yang
diajukan Pemohon Keberatan (PT. Lion Mentari Airlines (tersebut tidak beralasan
dan haruslah dinyatakan ditolak.
Sementara Mahkamah Agung memperkuat putusan Pengadilan Negeri
Medan. Pendapat Mahkamah Agung terkait permohonan kasasi yang dimohonkan
oleh PT. Lion Mentari Airlines sebagai berikut:
Bahwa alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan
karena meneliti dengan seksama memori kasasi
tertanggal 2 Juli 2013 dan kontra memori kasasi
tertanggal 27 Oktober 2013 dihubungkan dengan
pertimbangan Judex Facti dalam hal ini pertimbangan
Putusan Pengadilan Negeri Medan, ternyata tidak
salah dalam menerapkan hukum dan telah memberi
pertimbangan cukup;
Bahwa akan tetapi alasan Pemohon Kasasi tidaklah
dapat dibenarkan, karena senyatanya Termohon kasasi
“diterima dan diangkut” dengan pesawat nomor
penerbangan dimaksud oleh Pemohon Kasasi;
Sehingga semua penumpang dan barang bawaannya
harus menjadi tanggung jawab Pemohon Kasasi;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan
tersebut di atas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan
Negeri Medan Nomor 243/Pdt.G/2012/PN.Mdn.,
tanggal 13 Juni 2013 dalam perkara ini tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang
oleh karena itu permohonan kasasi yang diajukan oleh
Pemohon Kasasi: PT. LION MENTARI AIRLINES,
tersebut harus ditolak;
Berdasarkan kronologi di atas maka secara yuridis bahwa Mahkamah Agung
tidak menemukan kesalahan penerapan hukum oleh Pengadilan Negeri yaitu
putusan Nomor 243/Pdt.G/2012/PN.Mdn. Oleh karenanya Mahkamah Agung
-
50
menolak permohonan kasasi yang dilakukan oleh PT. Lion Mentari Airlines. Hal
ini berarti putusan oleh Pengadilan Negeri Medan yaitu putusan Nomor
243/Pdt.G/2012/PN.Mdn dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat.
2. Perlindungan Konsumen dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77
tahun 2011
Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 tahun 2011 yang
selanjutnya disingkat Permenhu No. 77 tahun 2011, mengatur mengenai tanggung
jawab pengangkut angkutan udara. Yang terbagi atas:
a. Jenis Tanggung jawab
Jenis Tanggung jawab diatur dalam Pasal 2, yang berbunyi sebagai
berikut:
“Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara
wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap:
a. penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau
luka-luka;
b. hilang atau rusaknya bagasi kabin;
c. hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat
d. hilang, musnah, atau rusaknya kargo;
e. keterlambatan angkutan udara; dan
f. kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.”
Yang terjadi dalam kasus Aripin Sianipar ini adalah huruf C, yaitu,
hilang, musnah atau rusaknya bagasi tercatat. Koper milik Aripin Sianipar
yang berisi barang-barang berharga yang dititipkan dalam bagasi tercatat.
b. Ganti Kerugian
Ganti kerugian diatur dalam pasal 3, pasal 5, pasal 7, pasal 10, dan pasal
14. Pasal 3 mengatur mengenai jumlah ganti kerugian terhadap penumpang
-
51
yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka sebagai mana yang
dimaksud dalam pasal 2 huruf a. pasal 5 mengatur mengenai jumlah ganti
kerugian terhadap penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau
rusaknya bagasi tercatat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf c. pasal 7
mengatur mengenai jumlah ganti kerugian terhadap kargo yang dikirim
hilang, musnah, atau rusak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf d.
Pasal 10 mengatur mengenai jumlah ganti kerugian untuk penumpang
atas keterlambatan penerbangan. Dan pasal 14 mengatur mengenai jumlah
ganti kerugian untuk pihak ketiga yang meninggal dunia, cacat tetap, luka-
luka dan kerugian harta benda sebagai akibat dari peristiwa pengoperasian
pesawat udara, kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya benda-benda dari
pesawat udara yang dioperasikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf
f.
Dalam kasus Aripin Sianipar mengunakan Pasal 5. Menurut Pasal 5
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 tahun 2011 jumlah ganti kerugian
terhadap penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya
bagasi tercatat, ditetapkan sebagai berikut:
kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau
bagasi tercatat musnah diberikan ganti kerugian
sebesar Rp.200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kg
dan paling banyak Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah)
per penumpang; dan kerusakan bagasi tercatat,
diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya bentuk,
ukuran dan merk bagasi tercatat.
Jika mengikuti Pasal 5 Permenhub tersebut, ganti kerugian yang
ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Medan yang diperkuat oleh Mahkamah
Agung memang tidak sesuai, karena pada putusannya menghukum pelaku
-
52
usaha dalam hal ini PT. Lion Mentari Airlines ganti rugi sebesar
Rp.25.600.000,00 (dua puluh lima juta enam ratus ribu rupiah) dikurang
penyusutan 40% = Rp.15.360.000,00 (lima belas juta tiga ratus enam puluh
ribu rupiah).
Akan tetapi dalam Pasal 6 ayat (1) Permenhub tersebut menyatakan
sebagai berikut:
Pengangkut dibebaskan dari tuntutan ganti kerugian
terhadap hilangnya barang berharga atau barang yang
berharga milik penumpang yang disimpan di dalam
bagasi tercatat, kecuali pada saat pelaporan
keberangkatan (check-in), penumpang telah
menyatakan dan menunjukkan bahwa didalam bagasi
tercatat terdapat barang berharga atau barang yang
berharga, dan pengangkut setuju untuk
mengangkutnya.
Dengan menggunakan pasal tersebut diatas penulis berpendapat bahwa
putusan Mahkamah Agung tersebut sudah tepat karena melihat fakta hukum
yang ada dalam persidangan di BPSK bahwa PT. Lion Mentari Airlines tidak
dapat membuktikan dengan bukti tertulis atau saksi bahwa pihaknya tidak
menyetujui mengangkut bagasi milik Aripin Sianipar, melainkan setuju untuk
mengangkut bagasi yang berisi barang berharga ke bagasi tercatat.
Dengan adanya putusan dan pasal 6 ayat (1) tersebut membuktikan
bahwa prinsip tanggung jawab mutlak dapat diterapkan dalam kasus seperti
ini. Karena penerapan prinsip ini didasarkan pada alasan bahwa konsumen
tidak dapat berbuat banyak untuk memproteksi diri dari resiko kerugian yang
disebabkan oleh produk cacat.81
81
Zulham, Op.cit., Hal.99
-
53
3. Kaedah Hukum Tanggung Jawab Pelaku Usaha
KUHPerdata dan KUHD memuat berbagai kaidah hukum berkaitan dengan
hubungan-hubungan hukum dan masalah-masalah antar pelaku usaha, penyedia
jasa dengan konsumen. Terutama buku kedua, buku ketiga dan buku keempat
memuat berbagai kaedah-kaedah hukum yang mengatur hubungan konsumen dan
penyedia barang atau jasa konsumen tersebut. Begitu pula dalam KUHD, baik
buku pertama maupun buku kedua mengatur tentang hak-hak dan kewajiban,
khususnya (jasa) perasuransian dan pelayaran.82
Mengenai dasar Hukum Perlindungan Konsumen dalam KUHPerdata diatur
dakam Buku ke Tiga tentang perikatan dan Pasal 1234 yang berbunyi: “Tiap-tiap
Perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk
tidak berbuat sesuatu”
Hubungan konsumen ini juga dapat dilihat pada ketentuan pasal 1313
sampai pasal 1351 KUHPerdata. Pasal 1313 mengatur hubungan hukum secara
sukarela diantara konsumen dan produsen, dengan mengadakan suatu perjanjian
tertentu. Hubungan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-
masing pihak. Perikatan karena Undang-undang atau akibat sesuatu perbuatan
menimbulkan hak dan kewajiban tertentu bagi masing-masing pihak.83
Selanjutnya diantara perikatan yang lahir karena Undang-undang.
Kaedah hukum tanggung jawab pelaku usaha terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya
disingkat UUPK, diatur mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha, pada Bab
VI dengan judul Tanggung Jawab Pelaku Usaha, Pasal 19.
82
Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Cetakan Kedua,
Diadit Media, Jakarta, 2006. Hal. 52 83
Pasal 1352 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
-
54
Pasal 19 menentukan:
“(1) Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan
ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian
barang dan/atau jasa sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan
adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih
lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat
membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan
kesalahan konsumen.”
Jika mengacu Pasal 19 ayat (1) pada hakikatnya pelaku usaha dalam hal
ini PT. Lion Mentari Airlines wajib mengganti kerugian atas hilangnya bagasi
milik penumpang akibat menggunakan jasa penerbangan yang disediakan oleh
PT. Lion Mentari Airlines.
Menurut prinsip tanggung jawab mutlak, pelaku usaha wajib
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen. Apabila dikaitkan
dengan kasus, PT. Lion Mentari Airlines dihukum untuk bertanggung jawab
dengan membayar ganti kerugian sebesar Rp.25.600.000,00 (dua puluh lima
juta enam ratus ribu rupiah) dikurang penyusutan 40% = Rp.15.360.000,00
(lima belas juta tiga ratus enam puluh ribu rupiah) dengan mengacu Pasal 19
ayat (2) yaitu dengan cara pengembalian uang. Ini membuktikan bahwa Pasal
19 UUPK tersebut diatas menggunakan prinsip tanggung jawab mutlak.
-
55
Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah mengenai besaran ganti
kerugian yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Medan yang telah dikuatkan
oleh Mahkamah Agung. Pasal 19 ayat (2) yang menyatakan ganti rugi dapat
berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau
setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila
dikaitkan dengan kasus, ganti rugi yang dilakukan adalah dengan penggantian
uang sebesar Rp.25.600.000,00 (dua puluh lima juta enam ratus ribu rupiah)
dikurang penyusutan 40% = Rp.15.360.000,00 (lima belas juta tiga ratus enam
puluh ribu rupiah).
Dalam kasus ini ketentuan peraturan perundang-undang yang berlaku
yang dimaksud adalah Pasal 144 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009
tentang Penerbangan mengatur bahwa pengangkut bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah,
atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi
tercatat berada dalam pengawasan pengangkut. Penulis berpendapat yang
dimaksud dalam pengawasan pengangkut adalah sejak barang diterima
pengangkut pada saat pelaporan (check-in) sampai dengan barang tersebut
diambil oleh penumpang.
Permenhub No. 77 tahun 2011 yang merupakan peraturan pelaksana dari
Undang-Undang Penerbangan Pasal 5 Permenhub No. 77 tahun 2011 tersebut
mengatur mengenai jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang
mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat sebesar
Rp.200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per kg dan paling banyak
-
56
Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah) per penumpang. Sedangkan Mahkamah
Agung menghukum PT. Lion Mentari Airlines ganti rugi sebesar
Rp.25.600.000,00 (dua puluh lima juta enam ratus ribu rupiah) dikurang
penyusutan 40% = Rp.15.360.000,00 (lima belas juta tiga ratus enam puluh
ribu rupiah).
Pasal 6 ayat (1) Permenhub 77 tahun 2011 menyebutkan bahwa
Pengangkut dibebaskan dari tuntutan ganti kerugian terhadap hilangnya
barang berharga atau barang yang berharga milik penumpang yang disimpan
di dalam bagasi tercatat, kecuali pada saat pelaporan keberangkatan (check-
in), penumpang telah menyatakan dan menunjukkan bahwa didalam bagasi
tercatat terdapat barang berharga atau barang yang berharga, dan pengangkut
setuju untuk mengangkutnya.
Apabila ketentuan pasal 6 ayat (1) dikaitkan dengan kasus, PT. Lion
Mentari Airlines diwajibkan mengganti kerugian terhadap hilangnya barang
berharga milik Aripin Sianipar yang disimpan dalam bagasi tercatat, karena
PT. Lion Mentari Airlines tidak dapat membuktikan bahwa pihaknya tidak
menyetujui untuk mengangkut bagasi tercatat tersebut. Ini membuktikan
bahwa dalam hal ini Mahkamah Agung bertentangan dengan pasal 5
Permenhub 77 tahun 2011 akan tetapi berpedoman pada pasal 19 ayat (2)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
top related