bab ii kajian pustaka dan kerangka pikir · wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul semantik...
Post on 30-Jan-2020
16 Views
Preview:
TRANSCRIPT
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
Penelitian mengenai disfemisme telah banyak dilakukan. Penelitian-
penelitian ini banyak membantu penelitian yang akan dilakukan. Selain itu,
penelitian terdahulu memberi pijakan pengetahuan bagi penelitian ini. Berikut ini
beberapa penelitian terdahulu:
Penelitian yang berjudul Kesinoniman Disfemisme dalam Surat Kabar
Terbitan Palembang oleh Masri dkk. (2001). Penelitian ini menunjukkan bahwa
melalui kajian tersebut tidak ada penggunaan sinonim yang mutlak dan sempurna
antara disfemisme dan bentuk kebahasaan yang digantikannya. Hal ini
dipengaruhi oleh faktor distribusi, kolokasi dan makna emotif dan komponen
maknanya.
Penelitian yang berjudul Konteks, Acuan, dan Pasrtisipan Disfemisme
pada Ujaran Siswa Smp Negeri 3 Ungaran dilakukan Utami dkk. tahun 2010.
Penelitian ini menghasilkan konteks munculnya disfemisme pada siswa SMP
Negeri 3 Ungaran karena 29 sebab. Konteks-konteks tersebut secara berurutan
berdasarkan sebab paling banyak adalah marah (60%), mengejek (5%), meminta
(4%); berkomentar dan menggerutu masing-masing 3%; membalas, bercanda,
bertanya, kebiasaan, dan terkejut masing-masing 2%, sedangkan konteks lainnya
hanya 1%. Disfemisme yang dipakai oleh siswa SMP Negeri 3 Ungaran mengacu
pada tujuh hal. Berdasarkan tujuh acuan tersebut, acuan paling banyak digunakan
dalam disfemisme adalah binatang (34.50%) lalu profesi (16.96%), sifat
12
13
(16.37%), anggota tubuh (14.62%), sapaan (14.62%), bau (1.17%), dan rasa
(1.17%). Adapun partisipan disfemisme siswa SMP Negeri 3 Ungaran ada dua
jenis, partisipan akrab positif dan partisipan akrab negatif.
Kelaziman pemakaian bentuk disfemisme hanya mempunyai satu kategori,
yakni kelaziman yang hanya berlaku pada konteks tertentu, yang dapat
disebabkan oleh penggunaan unsur metafora, pergeseran kolokasi, dan pergeseran
makna.
Penelitian Pemakaian Disfemisme dalam Kolom Berita Utama Surat
Kabar Joglo Semar yang dilakukan Khasan tahun 2011 berkaitan dengan
penggunaan disfemisme yang ditemukan dalam kolom berita surat kabar Joglo
Semar. Penelitian ini menemukan bentuk disfemisme, faktor-faktor penggunaan
disfemisme, efek dan bentuk sinonim. Implikasi penggunaan disfemisme juga
menjadi bagian dari pembahasan penelitian ini mengingat ini adalah penelitian
yang dilakukan oleh mahasiswa fakultas keguruan dan ilmu pendidikan.
Bentuk disfemisme di dalam kolom berita utama surat kabar Joglo Semar
dikelompokkan menjadi empat, yaitu: (a) kata, seperti kata menyeret dan
membelejeti pada Selain menyeret beberapa pejabat dan tokoh penting, curahan
hati Gayus yang membelejeti Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny
Indrayana, ujung-ujungnya membuat suhu Partai Golkar memanas; (b) frasa,
seperti frasa kenyang kekuasaan pada Ical mengemukakan partai yang
dipimpinnya sudah kenyang kekuasaan sehingga tidak akan terpengaruh gonjang-
ganjing koalisi atau perombakan kabinet. Golkar bahkan sudah sangat
berpengalaman dalam kekuasaan, pemerintahan, karena itu Golkar tidak akan
terpengaruh irama irama politik yang ditabuh oleh aktor-aktor politik, ucap Ical;
14
(c) klausa, seperti klausa dijatuhkan di tengah jalan pada pada Kalau sampai SBY
dijatuhkan di tengah jalan, tentu dampaknya terhadap negara akan besar; dan (d)
ungkapan, seperti ungkapan bola liar pada Pada bagian lain, testimoni Gayus
juga menjadi bola liar. Partai Golkar mendesak agar penelusuran praktik mafia
pajak di lingkungan Ditjen Pajak diperluas, tak hanya fokus pada kasus Gayus
Tambunan.
Alasan penggunaan bentuk disfemisme di dalam kolom berita utama surat
kabar Joglo Semar, yaitu: (a) menarik perhatian para pembaca, seperti kata
menyeret pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setidaknya butuh dua bukti
awal untuk menyeret Nunun Nurbaeti, orang yang disebut-sebut membagikan cek
pelawat itu pada anggota DPR itu sebagai tersangka; (b) menegaskan pembicaraan
atau menguatkan makna, seperti kata dipecundangi pada kami sebagai tuan
rumah saja dipecundangi oleh wasit apalagi sebagai tim tamu; (c) variasi kata,
seperti kata tewas pada Tiga orang tewas, sementara enam orang lainnya
mengalami luka berat akibat aksi kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah di
kampung Pendeuy, Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten, Minggu (6/2);
(d) provokasi, seperti kata digubris pada Kritikan para pegiat antikorupsi rupanya
tidak digubris oleh pemerintah; dan (e) space (ruang), seperti ungkapan bola liar.
Pada Pada bagian lain, testimoni Gayus juga menjadi bola liar.
Efek penggunaan bentuk disfemisme di dalam masyarakat, yaitu: (a)
membentuk pola berbahasa masyarakat menjadi kasar; (b) mudah terpancing
emosi; (c) psikologis menjadi terganggu; dan (d) mengaburkan pemahaman.
Impliasi pada dunia keilmuan, khususnya bidang linguistik, yaitu memberikan
gambaran bahwa penggunaan bentuk disfemisme dapat ditemukan di dalam
15
bahasa tulis, khususnya pemakaian bahasa di surat kabar. Hal ini diketahui dengan
ditemukannya penggunaan bentuk disfemisme di dalam kolom berita utama surat
kabar Joglo Semar.
Eufemisme dan Disfemisme dalam Spiegel Online dilakukan oleh
Kurniawati tahun 2011. Eufemisme yang paling banyak muncul berupa satuan
gramatikal frasa. Bentuk satuan gramatikal disfemisme dalam Spiegel Online
berupa kata, frasa, dan kalimat. Muncul dalam Spiegel Online berupa satuan
gramatikal kata. Latar belakang penggunaan eufemisme dalam Spiegel Online
ditafsirkan untuk: (1) menghindari penggunaan kata-kata yang dapat
menimbulkan kepanikan atau ketakutan; (2) tidak menyinggung, menghina, atau
merendahkan seseorang; (3) mengurangi atau tidak menyinggung hal-hal yang
menyakitkan atau tragedi; (4) berdiplomasi atau bertujuan retoris; (5)
menggantikan kata-kata yang dilarang, tabu, vulgar atau bercitra negatif; (6)
merahasiakan sesuatu; (7) menghormati atau menghargai orang lain; (8)
menyindir atau mengkritik dengan halus.
Sementara itu, latar belakang penggunaan disfemisme dalam Spiegel
Online ditafsirkan untuk: (1) menyatakan hal yang tabu, tidak senonoh, asusila;
(2) menunjukkan rasa tidak suka atau tidak setuju terhadap seseorang atau
sesuatu; (3) penggambaran yang negatif tentang seseorang atau sesuatu; (4)
mengungkapkan kemarahan atau kejengkelan; (5) mengumpat atau memaki; (6)
menunjukkan rasa tidak hormat atau merendahkan seseorang; (7) mengolok-olok,
mencela, atau menghina; (8) melebih-lebihkan sesuatu; (9) menghujat atau
mengkritik; (10) menunjukkan sesuatu hal yang bernilai rendah.
16
Penggunaan Eufemisme dan Disfemisme pada Tajuk Rencana serta
Implikasinya terhadap Pembelajaran yang dilakukan oleh Febrianjaya dkk. pada
tahun 2013. Hasil penelitiannya adalah terdapat penggunaan eufemisme dan
disfemisme pada tajuk rencana Radar Lampung dan Lanpung Post. Penulis tajuk
rencana Radar Lampung dan Lampung Post lebih banyak menggunakan
disfemisme. Penelitian ini berimplikasi pada pembelajaran bahasa Indonesia di
SMA. Terutama pada pembelajaran berbicara, yaitu menyampaikan kritik dan
persetujuan atau dukungan.
Keempat penelitian tersebut membahas mengenai eufemisme dan
disfemisme ditilik dari beberapa aspek yang berbeda dengan penelitian yang akan
dilakukan. Penelitian pertama, hanya membahas mengenai bentuk sinonim
disfemisme. Penelitian kedua, membahas mengenai acuan, konteks dan partisipan
pada siswa dan kajian ini dapat ditilik dari segi sosiolinguistik maupun pragmatik.
Penelitian ketiga, menghasilkan penemuan mengenai bentuk disfemisme, faktor,
efek dan bentuk sinonim. Hasil penelitian keempat adalah bentuk satuan
gramatikal disfemisme dan latar belakang penggunaan disfemisme. Dari keempat
penelitian terdahulu inilah, penulis merumuskan permasalahan mengenai
disfemisme yang akan dikaji dari sisi semantik. Persamaan penelitian ini adalah
adanya pengkajian mengenai bentuk disfemisme, sedangkan perbedaannya adalah
penelitian ini mengkaji referensi sebagai acuan yang digunakan dan menjadi
kajian dari sisi semantik. Selain itu, penelitian ini juga akan membahas mengenai
fungsi penggunaan disfemisme tersebut.
Perbedaan lain dalam penelitian ini adalah sumber data penelitian.
Penelitian yang sudah dilakukan mengenai disfemisme banyak diambil atau
17
menyoroti penggunaan disfemisme dalam kolom berita kriminal di koran-koran,
sedangkan penelitian ini mengambil sumber data penelitian dari media sosial
elektronik, yaitu blog Mojok.Co. Sumber data penelitian juga diambil dari kolom
berita sosial politik yang sedang berkembang di masyarakat. Hal tersebut tentu
menjadi hal baru dalam penelitian mengenai disfemisme. Dengan demikian,
penggunaan disfemisme dapat ditemui dalam berbagai bentuk berita, tidak hanya
dalam kolom kriminal saja. Penelitian ini akan memberikan banyak gambaran
pada masyarakat pengguna bahasa dan masyarakat pada umumnya, bahwa media
massa dimungkinkan dapat menggunakan bentuk disfemisme baik media massa
cetak maupun media massa elektronik sekalipun. Dari permasalahan kriminal
maupun sosial politik yang sedang ramai dibicarakan oleh masyarakat. Dari
permasalahan yang diangkat tersebut, maka penelitian ini menjadi berbeda dengan
penelitian terdahulu dan akan memperkaya pembahasan mengenai kebahasaan
khususnya disfemisme yang selama ini masih kurang dimengerti masyarakat
pengguna bahasa.
B. Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori disfemisme dan referen (semantik).
Kedua teori tersebut digunakan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan data
yang ditemukan sehingga tujuan dari penelitian dapat tercapai. Selain itu, dengan
kedua teori ini data dapat dianalisis dengan tepat sesuai dengan rumusan masalah
yang diajukan.
18
1. Semantik
Penelitian yang akan dilakukan ini membahas mengenai salah satu
bagian dari semantik. Saeed (2003:3) dalam bukunya yang berjudul
Semantics menyatakan bahwa ―semantik adalah ilmu yang mempelajari arti
kata dan kalimat‖. ―Semantik merupakan ilmu tentang makna‖ (Parera,
2004:42). Nick (2010:2) menyatakan bahwa ―semantik merupakan cabang
linguistik yang paling kaya pembahasaannya dan menarik‖.
Selanjutnya Pateda (2001: 2—3) menerangkan mengenai semantik
seperti berikut:
Semantik merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi
tentang makna (arti, Inggris: Meaning). Istilah semantik
berpadanan dengan kata semantique dalam bahasa Perancis
yang diserap dari bahasa Yunani yang diperkenalkan oleh
M. Breal. Di dalam kedua istilah itu (semantics, seman-
tique), sebenarnya semantik belum tegas membicarakan
makna atau belum tegas membahas makna sebagai objek-
nya, sebab yang dibahas lebih banyak yang berhubungan
dengan sejarahnya Pateda (2001: 2—3).
―Semantik sebagai ilmu mempelajari kemaknaan di dalam bahasa
sebagaimana apa adanya dan terbatas pada pengelaman manusia. Semantik
membicarakan kebermaknaan kata dan kalimat yang lebih bersifat verbal‖
(Pateda, 2001:15). Pateda (2001) juga menerangkan bahwa ―semantik
merupakan studi tentang makna. Makna yang dimaksud adalah makna unsur
bahasa, baik kata maupun kalimat‖ (Pateda, 2001:25).
Subroto (2011:10) menyatakan bahwa ―semantik mengkaji arti
lingual yang tidak terikat oleh konteks. Arti yang hadir tersebut dikarenakan
untuk membahasakan suatu satuan nomina, gagasan atau pemikiran,
19
perasaan, keinginan, harapan, perbuatan, peristiwa, kejadian atau keadaan‖
(Subroto, 2011:13).
Selanjutnya, Subroto (2011:30) menerangkan lebih lanjut mengenai
semantik sebagai berikut:
Semantik pada dasarnya mempelajari masalah arti yang
dalam semantik hanya dibatasi pada semantik leksikal.
Semantik leksikal khusus mempelajari arti yang lebih kurang
tetap yang terdapat pada kata-kata suatu bahasa. Arti leksikal
itulah yang sebagaimana lazimnya dimuat di dalam kamus
bahas itu. Di dalam semantik leksikal diteliti tipe-tipe arti
yang terdapat pada bahasa itu, masalah keberartian suatu
kata, hakikat arti kata, dan cara-cara memerikan arti kata,
masalah kesinoniman, keantoniman, kepoliseminan, kehipo-
niman dan kehomoniman suatu kata (Subroto, 2007:30).
Wijana (2011:19) dalam bukunya yang berjudul Semantik Teori dan
Analisis mengatakan bahwa ―dalam ilmu makna (Semantik), satuan-satuan
kebahasaan memiliki hubungan bentuk dan makna dengan satuan
kebahasaan yang lain. Selain itu, satuan-satuan kebahasaan dimungkinkan
memiliki berbagai makna‖. Michel Breal dalam Ullman (2012:7)
menyatakan bahwa ―semantik adalah ilmu tentang makna‖. Selanjutnya,
menurut Wijana (2011:3) makna adalah sebagai berikut:
Konsep abstrak pengalaman manusia, tetapi bukanlah
pengalaman orang per orang. Bila makna merupakan
pengalaman orang per orang maka setiap kata memiliki
berbagai macam makna karena pengalaman individu yang
satu dengan yang lainnya berbeda-beda, tidak mungkin
sama
Berdasarkan pemaparan teori semantik dari berbagai ilmuan
bahasa tersebut maka dapat disimpulkan bahwa semantik merupakan
cabang ilmu linguistik yang membahas mengenai makna suatu satuan
lingual kebahasaan. Satuan lingual kebahasaan dapat dimaknai sesuai
20
dengan apa yang ada dalam pengetahuan masyarakat secara umum. Dari
cabang ilmu linguistik ini, manusia dapat memahami kata-kata yang
memiliki keberagaman makna dan belum diketahui banyak orang,
misalnya dalam suatu komunitas tertentu menggunakan bahasa yang
mereka bentuk secara bersama-sama dalam komunitasnya tersebut.
Masyarakat luas tidak akan memahami jika tidak melakukan interaksi
secara langsung dengan anggota komunitas tersebut. Makna kata yang
mereka gunakan juga mereka bentuk sendiri sehingga orang lain tidak
akan memahami makna ucapan mereka. Dengan adanya interaksi dari luar
masyarakat sebagai bentuk penelitian, hasilnya dapat dibaca masyarakat
secara luas, yang akan menambah wawasan masyarakat luas mengenai
makna suatu satuan lingual kebahasaan.
2. Perubahan Makna
Pateda (2001:158) dalam bukunya yang berjudul Semantik Leksikal
memiliki deskripsi mengenai perkembangan bahasa sebagai berikut:
Bahasa berkembang terus sesuai dengan perkembangan
pemikiran pemakai bahasa. Karena pemikiran manusia
berkembang, pemakaian kata dan kalimat berkembang
pula. Perkembangan tersebut dapat berwujud penambahan
atau pengurangan. Karena manusia menggunakan kata-kata
dan kalimat dan sejalan dengan itu kata dan kalimat
berubah terus, dengan sendirinya maknanya pun berubah
(Pateda, 2001:158).
Selanjutnya Pateda (2001) menerangkan mengenai perubahan
makna sebagai berikut:
21
Perubahan makna meliputi: pelemahan, pembatasan,
penggeseran, perluasan, dan juga kekaburan makna.
Perubahan tersebut dapat terjadi karena perubahan kata
dari bahasa lain, bahasa daerah ke bahasa Indonesia.
Perubahan makna juga terjadi karena lingkungan,
pertukaran tanggapan indra, adanya gabungan leksem,
tanggapan pemakai bahasa, maupun akibat asosiasi
pemakai bahasa terhadap sesuatu (Pateda, 2001:159).
Ullman (2012: 251—262) menyebutkan sebab-sebab perubahan
makna seperti berikut:
1) Sebab-sebab yang bersifat kebahasaan
Breal dalam Ullman (2012) pernah mengemukakan adanya
proses penularan. Dalam arti makna sebuah kata mungkin dialihkan
kepada kata yang lain hanya karena kata-kata itu selalu hadir bersama-
sama dalam banyak konteks. Sebagai contoh adalah sejarah bentuk
ingkar dalam bahasa Perancis. Sejumlah kata yang tadinya
mempunyai makna positif memperoleh nilai negatif karena kata-kata
itu sering dipakai dalam gubungan dengan partikel negatif ‗tidak‘.
Dalam bahasa Indonesia contohnya sebagai berikut:
(2) “Di mana Pamanmu?”
Jawaban yang mungkin diperoleh dari pertanyaan tersebut
adalah tidak tahu. Kedua kata tersebut sudah dekat dengan penutur
dialek Jakarta sehingga hanya perlu menyatukan keduanya menjadi
tahu atau tau dengan intonasi tertentu. Ini berarti bahwa tahu yang
awalnya bermakna positif sekarang menjadi negatif yaitu tidak tahu.
2) Sebab-sebab historis
Objek, nomina, lembaga, gagasan, konsep ilmiah, selalu
berubah sepanjang waktu. Dalam pada itu, banyak hal nama-nama
22
nomina, gagasan, dan lain-lain dipertahankan sehingga membantu
keyakinan makna tradisinya dan kesinambungannya. Contohnya
adalah sebagai berikut:
a. Perubahan yang menyangkut nomina
Dalam bahasa Indonesia dikenal kata Bemo yang muncul
sekitar abad 1980, tetapi segera muncul kendaraan yang beroda
empat dan disebut dengan bemo sekarang bemo beroda tiga sudah
lenyap, tetapi kata itu tetap mengacu pada kendaraan beroda empat
yang melayani angkutan dalam kota.
b. Perubahan yang menyangkut lembaga
Kata Parlement yang muncul dalam bahasa Perancis. Pada
awal abad 18 kata itu mengacu pada lembaga wakil rakyat yang
mengontrol lembaga eksekutif (pemerintah). Jadi, Parlement
adalah lembaga tempat wakil rakyat berbicara untuk
memperjuangkan nasib dan suara rakyat. Selanjutnya,
perkembangan Parlemen di negara-negara komunis berbeda
dengan di Eropa Barat. Berbeda pula dengan di Indonesia. Di
Indonesia, parlemen (DPR) justru bisa besifat sama untuk
membentuk undang-undang dengan pemerintah. Bahkan pada
zaman orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, DPR lebih
banyak diam daripada berbicara.
c. Perubahan yang menyangkut gagasan
Kata humour dalam bahasa Prancis yang menjadi humor
dalam bahasa Indonesia, sepenuhnya didasarkan pada konsepsi
23
fisiologis kuna: teori tentang ‗empat cairan utama‘ atau ‗empat
humor utama‘ dalam tubuh, yaitu darah, plegma, koler, melankoli.
Menurut teori ini, jumlah yang relatif banyak menentukan kualitas
fisik dan mental seseorang. Kemudian, makna-makna ini
terlupakan secara perlahan-lahan berkembang menjadi salah satu
kata kunci bagi gaya hidup orang Inggris. Saat ini, kata itu
berpadanan dengan kata-kata lucu atau menggelikan.
d. Perubahan yang menyangkut konsep ilmiah
Kata humor dulunya digunakan untuk istilah ilmiah.
Sekarang menjadi kata yang mengandung gagasan umum saja.
Selain itu, kata listrik, geometri yang bermakna seni mengukur
tanah. Kata atom sebagai istilah yang tidak memadai lagi karena
kata itu sebelumnya digunakan untuk mengacu benda yang tidak
bisa dibagi lagi, sekarang disebut dengan nuklir.
1. Sebab-sebab sosial
Sebuah kata yang dulu dipakai dalam arti umum
kemudian dipakai dalam bidang yang khusus, misalnya dipakai
sebagai istilah perdagangan atau kelompok terbatas yang lain.
Kata itu cenderung digunakan untuk memperoleh makna
terbatas.
Contoh:
(3) Sayap „kepak‟: sayap kanan, sayap kiri (pada politik)
Pemain sayap (pada sepak bola)
(4) Plonco „semangka muda‟: diplonco (diuji mental dan fisik)
24
(5) Jatuh „terlepas dan bergerak turun‟: ‗bangkrut‘
2. Faktor psikologis
Perubahan makna sering berakar pada keadaan jiwa penutur
atau pada unsur yang agak permanen pada mentalnya. Beberapa faktor
psikologis terlibat hanya pada tingkat permukaan saja atau bahkan
tidak begitu penting. Contohnya: ekor kuda, nafsu kuda, bibir kuda,
tenaga kuda, dll. Perubahan makna secara psikologis tersebut lebih
menarik bersumber pada unsur atau kecenderungan yang berakar
dalam pada jiwa penutur. Dalam studi makna, ada dua sebab semacam
itu yang ditekankan, yaitu faktor emotif dan tabu.
a. Faktor emotif
Faktor emotif ini berkenaan dengan metafora. Seperti
halnya dalam ungkapan puisi Chairil Anwar Aku ini binatang
jalang dapat dicontohkan sebagai bentuk simile.
b. Tabu
Tabu adalah kata bahasa Polinesia yang diperkenalkan
oleh Kapten Cook dalam bahasa Inggris dan kemudian menyebar
ke berbagai bahasa di Eropa. Menurut Cook, istilah tersebut
memiliki berbagai makna yang komprehensif, tetapi pada
dasarnya ada sesuatu yang dilarang.
Tabu ini dibagi menjadi 3 yaitu:
(i) Tabu karena ketakutan
Ketakutan terhadap sesuatu atau makhluk adikodrati
menimbulkan tabu untuk menyebut namanya. Contohnya
25
adalah orang Yahudi mempunyai larangan untuk menyebut
Tuhan secara langsung; sebagai gantinya digunakan kata
tuan master. Di Jawa, untuk menyebut ular dengan akar
dan orang Sumatera menyebut macan dengan kyai.
(ii) Tabu kenyamanan
Ada kecenderungan manusia untuk menghindarkan
acuan langsung kepada hal-hal yang tidak menyenangkan.
Contohnya di Indonesia pada zaman G30S/PKI muncul kata
diamankan untuk kata ditahan, dikebumikan untuk kata
dibunuh.
(iii) Tabu karena sopan santun
Tiga hal yang termasuk dalam tabu ini adalah hal-
hal yang menyangkut seks, bagian dan fungsi-fungsi tubuh
tertentu dan cacian. Dalam bahasa Prancis, kata fille dalam
arti anak perempuan masih cukup dihormati, tetapi makna
‗gadis, perempuan muda‘ harus dipakai jeune fille tidak
boleh fille saja. Sebab fille digunakan sebagai bentuk
eufemisme dari pelacur.
Perubahan makna yang dikemukakan oleh Pateda (2001) tersebut
merupakan salah satu bentuk dari adanya perkembangan kebahasaan.
Perubahan makna suatu bahasa berubah seiring dengan berkembannya
bahasa itu sendiri. Perubahan makna dapat berupa perubahan makna dari
luas ke sempit, sempit ke luas, halus ke kasar, kasar ke halus, dan lain-lain.
26
3. Disfemisme
Allan dan Burridge (1991:26) menyatakan “A Dysphemism Is An
Expression With Connotations That Are Offensive Either About The
Denotatum Or To The Audience, Or Both, And It Is Substituted For A
Neutral Or Euphemistic Expression For Just That Reason”. ‗Disfemisme
adalah ungkapan dengan konotasi yang menyakitkan, baik tentang
pembicara maupun pendengar, atau keduanya, dan digantikan dengan
ungkapan netral atau eufemisme karena alasan tersebut‘ Allan dan
Burridge (1991:26).
Selanjutnya Allan dan Burridge (2006:31) dalam bukunya yang
berjudul Forbidden Words Taboo and the Censoring of Language lebih
memperjelas mengenai disfemisme yaitu:
“Dysphemism is the opposite of euphemism and by the
large, it is tabooed. Like euphemism, it is sometimes
motivated by fear and distate, but also by hatred and
contempt... dysphemistic expressions include curses, name
calling, and any sort of derogatory comment... a
dysphemism is a word or phrase with connotations that are
offensive either about the denotatum and/or to people
addressed or overhearing the utterance.” Allan dan
Burridge (2006:31)
‗Disfemisme adalah lawan kata dari eufemisme dan secara
luasnya adalah tabu. Seperti eufemisme, disfemisme ka-
dang-kadang termotivasi oleh ketakutan dan ketidaksukaan,
tetapi juga dengan kebencian dan penghinaan. Para pem-
bicara memohon pertolongan dengan disfemisme untuk
membicarakan tentang orang dan hal-hal yang menghalangi
dan mengganggu mereka, bahwa mereka menyalahi dan
ingin meremehkan, menghina dan menurunkan pangkat.
Disfemisme adalah karakteristik dari persekongkolan dan
kelompok politis membicarakan tentang lawan mereka; se-
perti wanita membicarakan tentang laki-laki; dan juga pria
jantan dan macho membicarakan perempuan dan perila-
kunya. Disfemisme meliputi ung-kapan mengutuk, nama
yang memanggil dan komentar bersifat menghina macam
27
apa pun yang diarahkan untuk orang lain dalam rangka
menghina atau melukai mereka. Disfemisme adalah juga ca-
ra untuk membebaskan uap air; sebagai contoh ketika ben-
tuk kata-kata sumpah mengurangi frustasi atau kemarahan.
Untuk yang lebih teknis, disfemisme adalah sebuah kata
atau mengutarakan dengan arti tambahan yang menyerang
baik tentang denotatum maupun ke orang-orang yang dituju
atau mendengarkan yang diucapkan‘ Allan dan Burridge
(1991:31).
Selanjutnya, Allan dan Burridge (2006) mencontohkan kata anjing,
menjilat hidangan, membungkuk sesuatu yang hebat sekali, bangsat,
anjing kampung, anjing bastar, anak binatang, anjing semua menandakan
suatu binatang yang semua seperti anjing maupun jenis kelamin. Bangsat
adalah merendahkan bersama dengan anjing kampung, anjing bastar dan
anak binatang, di mana mempunyai penambahan pikiran sehat, seperti
halnya anjing, kecuali dengan suatu binatang mulia. Anjing, bagaimanpun,
berarti juga tidak ada apa pun khususnya Allan dan Burridge (1991:31).
―Disfemisme adalah tabu sebagai pilihan yang tidak sopan, atau di
dalam kasus yang berdarah; ini adalah ekspresi hampir disukai yang
dianggap menyerang‖ (Allan dan Burridge, 2006:32). Pandangan Allan
dan Burridge mengenai disfemisme yang juga diartikan sebagai tabu
ataupun ekspresi menyerang ini dikemukakan dalam kedua bukunya, yaitu
Dysphemism (1991) dan Forbidden Word Taboo and the Cencoring of
Language (2006). Kedua buku tersebut jelas menerangkan mengenai
bahasa kasar (disfemisme) dan bahasa tabu yang juga termasuk dalam
kategori bahasa kasar atau disfemisme itu sendiri.
Disfemisme atau perilaku menyerang sering digambarkan sebagai
sesuatu yang kotor sebagai contoh bisnis kotor, perbuatan kotor, terlihat
28
kotor, bermain kotor, perbuatan orang bodoh dan lainnya. Hal-hal kotor
tersebut dapat terjadi dalam bidang kejahatan, ketidakbersihan, tidak sehat,
kotoran, serbuk batu bara, meluap, polusi, noda. Seseorang atau sesuatu
yang kotor mungkin dapat digambarkan sebagai kejahatan, kasar, tidak
menyenangkan, kotor, tidak murni, berbiji banyak, jorok, tidak bersih
(Allan dan Burridge, 2006:41).
Disfemisme timbul sebagai bentuk penyerangan terhadap lawan
bicara atau orang lain. Disfemisme ini digunakan untuk beberapa fungsi
seperti merendahkan orang lain, memperlihatkan ketidaksukaan terhadap
orang lain atau suatu peristiwa, untuk memperlihatkan perbuatan kotor dan
buruk, untuk menyatakan sesuatu secara vulgar dan tegas, dan lain-lain.
Kata atau ungkapan yang dianggap sebagai disfemisme adalah kata
yang berupa ungkapan mengutuk, kata yang berupa komentar dan bersifat
menghina yang diarahkan untuk orang lain, kata-kata yang berupa hinaan
untuk melukai orang lain atau lawan bicaranya (Allan dan Burridge,
1992:31). Selanjutnya, Allan menjelaskan bahwa diafemisme adalah
sebuah kata atau mengutarakan dengan arti tambahan yang menyerang
baik tentang denotatum maupun ke orang-orang yang dituju atau
mendengarkan yang diucapkan. Hal tersebut berarti disfemisme
merupakan arti kedua, yaitu arti lain yang timbul karena konteks
penggunaan dan bukanlah arti yang sesungguhnya seperti dalam kamus
saja. Satuan kata-kata dapat memiliki denotatif yang sama, tetapi dalam
arti tambahan tentu berbeda-beda.
29
Fungsi dalam disfemisme seperti yang dijelaskan di atas
merupakan fungsi disfemisme yang diperoleh dari buku Allan dan
Burridge Dysphemism (1991) dan Forbidden Word Taboo and the
Cencoring of Language (2006). Kedua buku karangan Allan dan Burridge
tersebut memaparkan berbagai hal mengenai disfemisme dan tabu. Dari
bentuk, latar belakang, fungsi, dan pengacuannya dibahas dalam kedua
buku tersebut.
Disfemisme dapat berupa kalimat, seperti ―Der Bundespräsident ist
kein Unterschriftenautomat” (Presiden bukanlah mesin tanda tangan).
Akan tetapi, disfemisme dapat juga berupa kata, misalnya Drahtzieher.
Secara harfiah, Drahtzieher berarti penarik benang dalam permainan
marionet. Dalam konteks tertentu, Drahtzieher merupakan disfemisme
untuk mengatakan Hintermann, orang yang berada dibalik suatu peristiwa.
Drahtzieher selalu digunakan untuk merujuk kepada orang yang berada di
balik suatu peristiwa buruk, misalnya terorisme (Kurniawati, 2011:53).
Subroto (2011:95) mendeskripsikan disfemisme sebagai berikut:
Secara sinkronis juga dijumpai fenomena penggunaan kata
atau frasa dengan nuansa arti yang bersifat pengasaran
(disfemisme sebagai lawan dari eufemisme). Gejala itu
ditengarai muncul terlebih-lebih setelah era reformasi. Surat
kabar yang terbit di Solo (Solopos) sering memunculkan
pemakaian: dimassa yang berarti (dikeroyok oleh massa
karena berbuat sesuatu yang tercela), digerudug (didatangi
oleh massa dalam jumlah besar dan dicerca dengan kata-kata
kasar bahkan dengan ancaman fisik), dijebloskan (dalam
penjara) untuk mengasarkan kata ‗dipenjarakan‘.
Disfemisme dalam salah satu literatur yang dikeluarkan oleh Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia (dalam Utami, 2010) adalah salah satu jenis gaya
30
bahasa atau majas. Kata disfemisme berasal dari kata eufimisme yang
memperoleh imbuhan dis yang berarti ‘tidak‘. Eufimisme berasal dari
bahasa Yunani euphimismos. Eu berarti ‘baik‘, pheme berarti ‘perkataan‘,
dan ismos berarti ‘tindakan‘.
―Secara keseluruhan eufimisme adalah menggantikan kata-kata
yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih
pantas atau dianggap halus‖ (lihat Utami dkk, 2010:4). Pengertian
disfemisme selain diperoleh dari sumber tersebut dapat dilihat dari jurnal
ilmiah berikut. Mangiang dalam Utami (2010) dalam makalahnya
mendefinisikan bahwa disfemisme adalah pengasaran makna kata atau
membuat makna kata menjadi kasar. Adapun menurut Imawan dalam
Utami disfemisme bukan hanya berupa kata, tetapi juga telah meluas
berupa frasa, klausa, atau kalimat. Ia mencontohkan penjarah intelektual,
preman politik, dan politisi karbitan. Lebih luas dari dua pengertian
tersebut Prudjung dalam Utami (2010) menyatakan bahwa disfemisme
adalah pemakaian pengasaran bahasa. Tabu atau taboo secara etimologis
berasal dari bahasa Polynesia yang diperkenalkan oleh Captain James
Cook. Kata tabu, secara umum, mempunyai pengertian sesuatu yang
dilarang (Wijana dan Rohmadi dalam Utami, 2010:4). Sumarsono dan
Paina Partana dalam Susilo Utami (2010) mengatakan bahwa pengertian
tabu tidak hanya menyangkut ketakutan terhadap roh-roh gaib, tetapi juga
berkaitan dengan sopan-santun dan tatakrama pergaulan sosial. Orang
yang tidak ingin dianggap tidak sopan akan menghindari kata-kata tabu.
31
Disfemisme adalah “Schlechte, Obszöne Reden Führen,
Blasphemie Betreiben” ‗ucapan atau kalimat yang jelek, cabul, menghujat‘
(Glück dalam Kurniawati, 2011:53). Disfemisme juga merupakan
ungkapan yang bias, melukai atau menyinggung, mengungkapkan hal-hal
yang tabu, menggunakan kata-kata umpatan atau makian (schimpfwörter)
dan kata-kata yang bersifat vulgar (Vulgarismen).
Alwi dalam Masri (2001:62) menyatakan pengakuan Presiden
Habibi dalam acara pembukaan Kongres Bahasa sebagai berikut:
Pengakuan Presiden Habibi ketika membuka Kongres
Bahasa Indonesia tahun 1998 di Jakarta, pemakaian bahasa
Indonesia saat ini cenderung mengarah ke ke bentuk
pengasaran atau disfemisme. Disfemisme atau bentuk
pengasaran biasa dipakai untuk mengeraskan makna (Alwi
dalam Masri, 2001:62).
(Zöllner dalam Kurniawati, 2011:53) menyatakan bahwa “Wenn
Wörter mit der Intention benutzt werden, jemanden zu kränken,
Mißbilligung zu äußern oder etwas verächtlich zu machen, werden sie
Dysphemismen”. Jika kata digunakan dengan maksud untuk menyakiti
seseorang, mengungkapkan penghinaan, atau merendahkan sesuatu, maka
akan menjadi disfemisme. Disfemisme bertujuan untuk memberikan
gambaran negatif tentang suatu tindakan atau seseorang. Berkaitan dengan
kata-kata yang tabu. Wardhaugh dalam Kurniawati (2011:53) menyatakan
bahwa penggunaan kata-kata yang tabu antara lain untuk menarik
perhatian kepada seseorang, menunjukkan rasa tidak hormat,
menunjukkan sifat agresif atau provokatif, mengolok-olok penguasa, atau
pembujukan yang bersifat verbal.
32
Berdasarkan teori yang dipaparkan oleh Allan dan Burridge dalam
bukunya yang berjudul Dysphemism (1991) mengenai disfemisme dan
didukung oleh beberapa peneliti lain maka dapat dikatakan bahwa
disfemisme merupakan sebuah ungkapan yang bernilai rasa kasar dan
diikuti dengan bentuk netralnya. Disfemisme ini dapat berupa kata, frasa,
klausa maupun kalimat. Selain itu, disfemisme memiliki latar belakang
dalam setiap penggunaannya, misalnya karena adanya topik pembahasan
yang membuat seseorang tidak menyetujui hal tersebut maka orang
tersebut menggunakan disfemisme untuk menyatakan ketidaksukaannya.
Disfemisme yang merupakan kata-kata dengan nilai rasa kasar
tersebut dalam keseharian berjajaran dengan kata tabu. Kata tabu
merupakan kata-kata yang tidak pantas dituturkan karena beberapa hal
misalnya, tabu dalam suatu adat budaya masyarakat tertentu. Kata tabu
yang tidak pantas dituturkan tersebut memiliki cita rasa yang kasar sama
halnya dengan disfemisme.
4. Tabu
Radeliffe-Brown dalam Allan dan Burridge (2001:2) bahasa
Inggris dari kata tabu berasal dari Tongan tabu, yang diberikan kepada
saat pemberitahuan menjelang akir abad kedelapan belas. Menurut
Radeliffe-Brown:
„Dalam bahasa Polynesia kata-kata sederhana dari
melarang “terlarang” dan dapat diterapkan dalam
beberapa larangan pendek. Aturan dari sebuah etika, suatu
pesan yang dikeluarkan oleh pemimpin, suatu peraturan
33
untuk anak-anak tidak untuk ikut campur tangan yang lebih
tua dari mereka, semua dapat bisa dinyatakan oleh
penggunaan kata tabu‟. (Radeliffe-Brown, 1939).
Penjelasan mengenai tabu dalam hal ini yang diperoleh dari buku
Forbidden Word Taboo and the Cencoring of Language (Allan dan
Burridge, 2006:1) sebagai berikut:
“Taboo is a proscription of behaviour that affects everyday
life. Taboos that we consider in the course of the book include:
Bodies and their effluvia (sweat, snot, faeces, menstrual
fluid, etc.)
The organs and acts of sexs, micturition and defecation;
Diseases, death, killing, (including hunting and fishing);
Naming, addressing, touching, and viewing persons and
sacred beings, objects and places;
Food gathering, preparation and consumption “ (Allan
and Burridge, 2006: 1).
Selanjutnya Allan dan Burridge (2006) menerangkan bahwa pada
dasarnya ada dua cara di mana ekspresi baru muncul: oleh bentuk ekspresi
tabu dan dengan bahasa kiasan yang memicu persepsi dan konsepsi
tentang denotata (sekitar feses, menstruasi, alat kelamin, kematian dan
lain-lain). Jadi, kedua hal tersebut merupakan ungkapan yang tabu di
budaya barat untuk disebutkan.
Selanjutnya Allan dan Burridge (2006:118) menjelaskan bahwa
istilah–istilah tabu efektif digunakan untuk meremehkan, di mana pada
‗Tabu adalah larangan dari perilaku yang mempengaruhi
kehidupan sehari-hari. Hal-hal yang termasuk dalam tabu
adalah tubuh dan effluvia mereka (keringat, ingus, kotoran,
cairan menstruasi, dll); organ dan tindakan seks, kemih dan
buang air besar; penyakit, kematian dan pembunuhan (ter-
masuk berburu dan memancing); penamaan, penyebutan,
menyentuh dan melihat orang dan makhluk suci, benda dan
tempat, makan bersama, persiapan dan mengkonsumi makanan
(Allan and Burridge, 2006: 1).
34
saat yang bersamaan juga sebagai suatu cemoohan. Setidaknya dalam
suatu kesempatan alasan dalam pengunaan istilah-istilah tabu, baik berupa
cemoohan, begitu juga julukan, atau umpatan adalah untuk
membangkitkan reaksi yang merugikan bagi yang mendengarkan. Sebuah
alasan yang berhubungan dengan penutur untuk menunjukkan rasa
kekesalannya pada keadaan sosial (hal ini kiranya salah satu motivasi bagi
para penulis graffiti) walaupun dalam percakapan yang dilakukan dalam
kelompok tertentu (lihat pembahasan lebih lanjut) ini merupakan
kabalikkannya digunakan sebagai tanda penghargaan/penghormatan dalam
tatanan sosial yang mereka miliki.
Tabu digunakan karena mereka tidak suka kepada siapa mereka
berbicara atau apa yang mereka bicarakan. Hai ini tidak begitu aneh
mengapa orang mengunakan umpatan; dan pada saat tertentu mengapa
begitu banyak istilah–istilah tabu memiliki fungsi sebagai cemoohan.
Cemoohan adalah semacan kata seru, dan seperti halnya kata seru yang
lainnya, kesemuanya memiliki kegunaan sebagai suatu ekspresi (lihat;
wow!, Ouch!, Oh dear!, Gosh! Shit!) (Allan dan Burridge, 2006:118).
Bahkan, suatu pelampiasan diri dapat ditujukan sebagai
penggambaran dari diri pribadi seseorang; jadi, sebuah umpatan pribadi
memiliki persamaan dengan pengambaran dialek yang digunakan dalam
suatu masyarakat tertentu. Karena penggunaan istilah–istilah tabu
merupakan cara yang efektif dalam merendahkan seseorang, hal tersebut
menjadi cara yang terbaik dan termudah dalam mengumpat. Pada
35
kenyataannya bahwa istilah tabu bisa menambah nilai kepuasan dalam
pelampiasan perasaan pribadi sebagai pelepasan dari rasa emosi.
5. Referensi
Teori referensi yang digunakan adalah teori yang dikemukakan
oleh Odgen-Richards yaitu dikenal sebagai segitiga makna. Gambar 1:
Sumber: /www.google.com/
Dalam gambar di atas Odgen dan Richards hanya mempunyai
perhatian kepada hubungan antara kata-kata, pikiran dan benda. Bahasa
ilmu merupakan contoh yang utama dari teori-teori mereka. ―Odgen dan
Richards menunjukkan bahwa sebuah referensi itu benar berarti referensi
itu merujuk kepada fakta‖ (Parera, 2001:23).
Segitiga makna Odgen dan Richards (OR) (2001:29) itu dijelaskan
oleh Parera dalam bukunya yang berjudul Teori Semantik dengan
menerangkan tiga istilah di atas sebagai berikut;
36
1) Simbol
Untuk OR hanya kata-kata yang merujuk kepada Nomina,
orang, kejadian, peristiwa melalui pikiran simbol. Bagi OR kata-kata
yang menyatakan perasaan, sikap, harapan, impian dan lain-lain tidak
termasuk dalam pengertian simbol. Ilmu baru simbolisme OR hanya
berurusan dengan bidang yang terbatas dari pengalaman manusia.
Perhatikan contoh berikut ini!
Bahasa simbolik:
Rumah kami berukuran 60 x 150 meter. Ada lima kamar dan
semuanya di lantai satu. Ruang keluarga 17 x 21 meter. Ruang ini
menghadap ke jalan besar. Ruang makan, dapur dan gudang
menghadap ke belakang. Ada dua kamar tidur, yang satu menghadap
ke jalan besar, dan yang satu menghadap ke belakang.
Bahasa emotif:
Saya mendapatkan satu rumah untuk Anda. Indah sekali. Ukurannya
cocok untuk keluarga Anda, tidak besar dan tidak kecil. Ruang
keluarga cukup nyaman. Letaknya di daerah yang cocok untuk orang
yang sibuk dan aktif.
2) Reference
OR tidak mempergunakan kata pikiran. Mereka menggunakan
istilah reference untuk menunjukkan bahwa pikiran adalah satu
reference ke suatu objek, yakni ke satu referen. OR tidak menyinggung
pikiran dalam karya mereka.
37
3) Referent
OR menciptakan istilah referent yang masih digunakan hingga
saat ini. Sudah jelas bahwa kata memenuhi satu kebutuhan. Kata
merujuk sesuatu di luar otak manusia dan berada di dunia ini. Jika kita
mempergunakan simbol, kita merujuk pada referent, misalnya apa itu,
di mana itu, kapan itu, siapa itu yang berada di dunia nyata.
OR mengatakan bahwa menemukan referen itu penting untuk
diketahui satu reference yang benar atau tidak, dan jika reference benar
maka ia merujuk ke fakta. Dalam contoh rumah di atas secara simbolis
OR akan menyatakan terdapat reference yang kompleks karena
beberapa reference dihubungkan satu dengan yang lainnya. Jika
reference kompleks yang saling berhubungan itu tepat sesuai dengan
cara referen berhubungan secara faktual, pernyataan itu logikal. Bagi
OR logis itu harus koresponden dengan fakta. Kebenaran terbatas pada
kesesuaian references dan referen. Jika sebuah pernyataan itu
konsisten, koheren, dan koresponden, maka pernyataan itu benar dan
logis. OR dalam hal ini berbicara tentang hubungan menyatukan yang
merujuk pada apa yang mereka sebut sebagai hubungan psikologis dan
konteks fisik. Hal yang paling penting dalam ilmu simbolisme ialah
mencocokkan konteks psikologis dan konteks fisikal atau kita harus
mencocokkan reference yang kompleks dan referen yang kompleks
pula. Jika telah mencocokkan reference dan referen yang kompleks,
maka reference itu benar dan logis.
38
Subroto (2011:14) mendeskripsikan referesni sebagai berikut:
Istilah referensi atau penunjukkan atau pengacuan
dipakai secara internal kebahasaan. Maksudnya,
pengacuan itu dipakai dalam tuturan yang bersifat
nyata. Misalnya kursi itu terbuat dari kayu jati. Kata
kursi memang bersifat referensial, namun di situ ada
referensi kalau kata itu dipakai dalam pertuturan nyata
untuk membahasakan sesuatu. Kalau orang hanya
mendengar kursi tanpa dipakai untuk pengacuan dalam
tuturan nyata hal itu tidak berkaitan dengan referensi
(reference) (Subroto, 2011:14).
Istilah referensi berkaitan dengan fungsi bahasa atau fungsi
kata untuk mengacu/menunjuk/membahasakan (to refer). Nomina atau
sesuatu apapun yang diacu/ditunjuk oleh bahasa adalah acuan/rujukan
(referen, denotatum). Sesuatu yang diacu atau ditunjuk itu bersifat
luar bahasa (extra linguistic world/non-linguistic world). Telah
disinggung di muka bahwa kata-kata yang memiliki arti leksikal (kata
penuh) disebut juga kata-kata yang berarti referensial.
Selanjutnya, Subroto (2011:27) menjelaskan referensi disertai
dengan contoh sebagai berikut:
Pengacuan atau penunjukan (reference) dipakai untuk
sebuah kata atau sebuah satuan bahasa yang digunakan
dalam pemakaian nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, kata ‗perempuan‘ dalam ‗perempuan itu adalah
guru saya‟ mempunyai fungsi pengacuan atau penunjukan.
Sebaliknya, manakala tiba-tiba (tanpa konteks yang jelas)
orang berkata ‗perempuan‘ tidak mempunyai fungsi
pengacuan atau penunjukan. Dibedakan pula antara pe-
nunjukan yang konstan (constant reference), dan penun-
jukan yang bervariasi (variable reference). Penunjukan
konstan ialah manakala benda yang diacu bersifat ajeg atau
tetap (Candi Borobudur, Candi Prambanan, Menara Eifel).
Penunjukan bervariasi terjadi manakala yang diacu berubah-
ubah bergantung pada konteks pemakaian (misalnya, ‗kamu‘
mempunyai acuan yang berbeda-beda. Tergantung pada
siapa yang diajak bicara (Saeed dalam Subroto, 2011:27).
39
Referensi berdasarkan segitiga OR merupakan bentuk pengacuan.
Bentuk pengacuan tersebut digunakan untuk menunjuk suatu hal yang
secara nyata digunakan oleh penutur dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, kata ayah dalam kalimat berikut ayah mengajak adik bermain di
taman kata ayah dalam kalimat tersebut mengacu pada sosok seorang laki-
laki yang secara genetik memiliki hubungan dengan adik, hal tersebut
termasuk dalam penunjukkan. Bentuk pengacuan tersebut tidak dapat
digunakan apabila sebelumnya tidak ada konteks yang membangun kata
ayah tersebut. Misalnya seseorang yang tiba-tiba mengatakan ayah tanpa
ada pembicaraan yang melingkupinya maka kata ayah tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai bentuk penunjukkan atau pengacuan.
6. Satuan Lingual
Satuan lingual kebahasaan digunakan untuk menganalisis data
yang diperoleh. Ramlan (2009:28) menyatakan bahwa ―jika diurutkan dari
atas, satuan gramatik itu dapat berupa wacana, kalimat, klausa, frasa, dan
kata‖.
Berikut beberapa teori mengenai satuan lingual kebahasaan
mengenai kata, frasa, klausa, dan kalimat.
a. Kata
Kata adalah satuan bebas yang paling kecil, atau dengan kata
lain setiap satu satuan bebas merupakan kata. Jadi, satuan-satuan
rumah, duduk, penduduk, dudukan, negara, negarawan, kenegaraan,
pemimpin, kepemimpinan, berkemimpinan, ruang, ruangan, buku,
40
ketidakadilan, mencampuradukkan, pertanggungjawaban, dan lain-
lain masing-masing merupakan kata karena masing-masing merupakan
satuan bebas.
―Satuan-satuan dari, kepada, sebagai, tentang, karena,
meskipun, lah, dan lain-lain, juga termasuk golongan kata. Satuan-
satuan tersebut, meskipun tidak merupakan satuan bebas, tetapi secara
gramatik mempunyai sifat bebas‖ (Ramlan, 2009:34).
Pernyataan tersebut diperjelas oleh Verhaar dalam bukunya
Asas-Asas Linguistik Umum (2010:97) mendeskripsikan kata sebagai
berikut:
Kata adalah satuan atau bentuk ‗bebas‘ dalam turunan.
Bentuk ‗bebas‘ secara morfemis adalah bentuk yang
dapat berdiri sendiri. Artinya tidak membutuhkan bentuk
lain yang digabung dengannya, dan dapat dipisahkan dari
bentuk ‗bebas‘ lainnya di depannya dan di belakangnya
dalam tuturan. Morfem bebas itu dibedakan dari morfem
bebas. Morfem bebas adalah morfem yang tidak dapat
berdiri sendiri dan hanya dapat meleburkan diri pada
morfem yang lain (Verhaar, 2010:97).
―Kelas kata adalah peringkat kata yang sedikit banyak berperi-
laku sintaksis sama. Subkelas kata adalah bagian dari suatu peringkat
kata yang berperi laku sintaksis sama‖ (Kridalaksana, 2005:45).
Kridalaksana dalam bukunya Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia
(2009) membagi kata menjadi beberapa kelas kata seperti; verba,
adjektiva, nomina, pronomina, pronomina, adverbia, numeralia,
interogativa, demonstrtativa, artikula, preposisi, konjungsi, kategori
fatis, interjeksi. Adapaun dalam pembahasan hanya akan membahas
41
jenis kata yang dikenal secara umum seperti verba, adjektiva, nomina,
dan adverbia.
Kridalaksana (2009:51) menjelaskan mengenai verba sebagai
berikut:
Verba secara sintaksis sebuah satuan gramatikal dapat
diketahui berkategori verba dari perilakunya dalam
satuan yang lebih besar; jadi sebuah kata dapat
dikatakan berkategori verba hanya dari peri lakunya
dalam frasa, yakni dalam hal kemungkinannya satuan
itu didampingi partikel tidak dalam konstruksi dan
dalam hal tidak dapat didampinginya dengan partikel di,
ke, dari atau dengan partikel sangat, lebih dan agak
(Kridalaksana, 2009:51).
Kridalaksana (2009;59) kemudian juga menjelaskan mengenai
adjektiva. ―Adjektiva adalah kategori yang ditandai oleh
kemungkinannya untuk (1) bergabung dengan partikel tidak, (2)
mendampingi nomina, atau (3) didampingi partikel seperti lebih, agak,
sangat, (4) memiliki ciri-ciri morfologis, (5) dibentuk menjadi nomina
dengan konfiks ke-an‖.
Nomina adalah kategori yang secara sintaksis (1) tidak
mempunyai potensi untuk bergabung dengan partikel tidak, (2)
mempunyai potensi untuk didahului oleh partikel dari (Kridalaksana,
2009:68).
Selanjutnya, pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk
menggantikan nomina. Apa yang digantikannya itu disebut anteseden.
Anteseden itu ada di dalam atau di luar wacana. Contoh dari
pronomina adalah aku yang memilikinya, itu yang kutulis
(Kridalaksana, 2009:76). Selain itu ada pula kelas kata numeralia,
42
numeralia adalah kategori yang dapat (1) mendampingi nomina dalam
konstruksi sintaksis, (2) mempunyai potensi untuk mendampingi
numeralia lain, dan (3) tidak dapat bergabung dengan tidak atau
dengan sangat. Contohnya adalah dua ditambah dua sama dengan
empat (Kridalaksana, 2009:79).
Kelas kata selanjutnya adalah adverbia. Adverbia adalah
kategori yang dapat mendampingi adjektiva, numeralia, atau preposisi
dalam konstruksi sintaksis. Contohnya adalah alangkah, nian, akan,
amat, banget, barangkali, belaka, bisa, belum, boleh, bukan, dan lain-
lain (Kridalaksana, 2009: 81—82).
Kelas kata berikutnya adalah preposisi. Preposisi adalah
kategori yang terletak di depan kategori lain (terutama nomina)
sehingga terbentuk frasa eksosentris direktif. Contoh preposisi adalah
(di), (ke), dan (dari) (Kridalaksana 2009:96).
b. Frasa
―Frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas satu kata atau
lebih dan tidak melampaui batas fungsi atau jabatan‖ (Ramlan,
2001:138). Artinya, sebanyak apa pun kata tersebut asal tidak melebihi
jabatannya sebagai subjek, predikat, objek, pelengkap, atau pun
keterangan, maka masih bisa disebut frasa.
Frasa memiliki dua sifat, yaitu:
1. Frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau
lebih.
43
2. Frasa merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi unsur
klausa, maksudnya frasa itu selalu terdapat dalam satu fungsi unsur
klausa, yaitu S, P, O, PEL. (Ramlan, 2001:139)
Contoh:
1) gedung sekolah itu 2) yang akan pergi 3) sedang membaca 4) sakitnya bukan main 5) besok lusa 6) di depan.
Frasa dibedakan menjadi dua yaitu frasa endosentrik dan frasa
eksosentrik. Frasa endosentrik dibedakan lagi menjadi tiga yaitu frasa
endosentrik yang koordinatif, frasa endsentrik yang atributif dan frasa
endosentrik yang apositif (Ramlan, 2001: 141—164).
1. Frasa Endosentris
Frasa Endosentris, kedudukan frasa ini dalam fungsi tertentu,
dapat digantikan oleh unsurnya. Unsur frasa yang dapat menggantikan
frasa itu dalam fungsi tertentu yang disebut unsur pusat (UP). Dengan
kata lain, frasa endosentris adalah frasa yang memiliki unsur pusat.
Contoh:
Sejumlah mahasiswa(S) di teras(P).
Kalimat tersebut tidak bisa jika hanya ‗Sejumlah di teras‘
(salah) karena kata mahasiswa adalah unsur pusat dari subjek. Jadi,
‗Sejumlah mahasiswa‘ adalah frasa endosentris.
Frasa endosentris sendiri masih dibagi menjadi tiga.
44
a) Frasa Endosentris Koordinatif, yaitu frasa endosentris yang semua
unsurnya adalah unsur pusat dan mengacu pada hal yang berbeda di
antara unsurnya terdapat (dapat diberi) ‗dan‘ atau ‗atau‘.
Contoh:
1. rumah pekarangan
2. suami istri dua tiga (hari)
3. ayah ibu
4. pembinaan dan pembangunan
5. pembangunan dan pembaharuan
6. belajar atau beVerba.
b) Frasa Endosentris Atributif, yaitu frasa endosentris yang di
samping mempunyai unsur pusat juga mempunyai unsur yang
termasuk atribut. Atribut adalah bagian frasa yang bukan unsur
pusat, tapi menerangkan unsur pusat untuk membentuk frasa yang
bersangkutan.
Contoh:
1. pembangunan lima tahun
2. sekolah Inpres
3. buku baru
4. orang itu
5. malam ini
6. sedang belajar
7. sangat bahagia.
Kata-kata yang dicetak miring dalam frasa-frasa di atas
seperti adalah unsur pusat, sedangkan kata-kata yang tidak dicetak
miring adalah atributnya.
45
c) Frasa Endosentris Apositif, yaitu frasa endosentris yang semua
unsurnya adalah unsur pusat dan mengacu pada hal yang sama.
Unsur pusat yang satu sebagai aposisi bagi unsur pusat yang lain.
Contoh:
Ahmad, anak Pak Sastro, sedang belajar.
Ahmad, …….sedang belajar.
……….anak Pak Sastro sedang belajar.
Unsur Ahmad merupakan unsur pusat, sedangkan unsur anak
Pak Sastro merupakan aposisi. Contoh lain:
1. Yogya, kota pelajar
2. Indonesia, tanah airku
3. Bapak SBY, Presiden RI.
4. Mamad, temanku.
Frasa yang hanya terdiri atas satu kata tidak dapat
dimasukkan ke dalam frasa endosentris koordinatif, atributif, dan
apositif, karena dasar pemilahan ketiganya adalah hubungan
gramatik antara unsur yang satu dengan unsur yang lain. Jika diberi
aposisi, menjadi frasa endosentris apositif. Jika diberi atribut,
menjadi frasa endosentris atributif. Jika diberi unsur frasa yang
kedudukannya sama, menjadi frasa endosentris koordinatif.
2. Frasa Eksosentris
Frasa Eksosentris adalah frasa yang tidak mempunyai
persamaan distribusi dengan unsurnya. Frasa ini tidak mempunyai
unsur pusat. Jadi, frasa eksosentris adalah frasa yang tidak
mempunyai UP.
46
Contoh:
Sejumlah mahasiswa di teras.
Berdasarkan kategori kata yang menjadi unsur pusatnya, frasa dibagi
menjadi enam.
1) Frasa nomina, frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan kata
nominal. Persamaan distribusi itu dapat diketahui dengan jelas dari
jajaran:
Contoh:
Ia membeli baju baru
Mahasiswa lama
Gedung sekolah
Kapal terbang itu
Jalan raya ini.
Kategori frasa nominal mungkin terdiri dari:
a) N diikuti N, maksudnya terdiri dari kata atau frasa nominal sebagai
UP, diikuti oleh kata atau frasa nominal sebagai UP atau Atr. Jadi
semua unsurnya berupa kata atau frasa nominal. Misalnya:
Contoh:
rumah pekarangan
ayah ibu
suami istri
gedung sekolah
kakak saya
b) N diikuti V, maksudnya terdiri dari kata atau frasa nominal sebagai
UP, diikuti kata atau frasa verbal sebagai Atr. Misalnya:
Contoh:
mahasiswa lama
acara terakhir
rumah baru
musik klasik
47
c) N diikuti Bil, maksudnya frasa ini terdiri dari kata atau frasa
nominal sebagai UP, diikuti kata atau frasa bilangan sebagai Atr.
Contoh:
orang dua
petani dua orang
telur tiga butir
sewa rumah petak
d) N diikuti Ket, maksudnya frasa ini terdiri dari kata atau frasa
nominal sebagai UP, diikuti kata atau frasa keterangan sebagai Atr.
Contoh:
koran kemarin pagi
orang tadi
e) N diikuti FD, maksudnya terdiri dari kata atau frasa nominal
sebagai UP, diikuti frasa depan sebagai Atr.
Contoh:
Beras dari delanggu
Kiriman untuk ibu
Kereta api ke Surabaya
f) N didahului Bil, maksudnya terdiri dari kata atau frasa nominal
sebagai UP, didahului oleh kata atau frasa bilangan sebagai Atr.
Contoh:
Dua kertas Verba
Dua buah sepeda baru
Lima kodi kain batik
g) N didahului Sd, maksudnya terdiri dari kata atau frasa nominal
sebagai UP didahului oleh kata sandang sebagai Atr.
Contoh:
Si Ahmad
Sang Kancil
h) Yang diikuti N, maksudnya terdiri dari kata yang sebagai penanda
dan diikuti kata atau frasa nominal sebagai aksisnya.
48
Contoh:
Yang ini
Yang itu
i) Yang diikuti V, maksudnya terdiri dari kata yang sebagai penanda
dan diikuti kata atau frasa verbal sebagai aksisnya.
Contoh:
Yang akan mengajar
Yang sangat menderita
j) Yang diikuti Bil, maksudnya terdiri dari kata yang sebagai penanda
dan diikuti kata atau frasa bilangan sebagai aksisnya.
Contoh:
Yang dua
Yang tiga buah
k) Yang diikuti Ket, maksudnya terdiri dari kata yang sebagai penanda
dan diikuti kata atau frasa keterangan sebagai aksisnya.
Contoh:
Yang kemarin siang
Yang tadi
l) Yang diikuti FD, maksudnya terdiri dari kata yang sebagai penanda
dan diikuti frasa depan sebagai aksisnya.
Contoh:
Yang dari Jepang
Yang ke Surabaya
2) Frasa Verba, atau frasa golongan verbal ialah frasa yang
mempunyai distribusi yang sama dengan verbal. Persamaan
distribusi itu dapat diketahui dengan jelas dari adanya jajaran.
Contoh:
Sedang membaca
Akan pergi
Sudah datang
Sering lari
49
Sudah dewasa
Minum kopi dan merokok
Membaca dan menulis
3) Frasa Bilangan, ialah frasa yang mempunyai distribusi yang sama
dengan kata bilangan. Misalnya frasa dua buah dalam dua buah
rumah. Frasa ini mempunyai distribusi yang sama dengan kata
dua. Persamaan distribusi itu dapat diketahui dengan jelas
berdasarkan jajarannya.
Contoh:
Dua buah rumah
Dua-buah
Tiga ekor (ayam)
Lima botol (minyak goreng)
Hanya satu
4) Frasa Keterangan, frasa yang mempunyai distribusi yang sama
dengan keterangan. Misalnya frasa tadi malam mempunyai
persamaan distribusi dengan tadi.
Contoh:
Kemarin pagi
Tadi pagi
Sekarang ini
5) Frasa Depan, frasa yang terdiri dari kata depan sebagai penanda,
diikuti kata atau frasa sebagai aksisnya.
Contoh:
Penanda (preposisi) + Petanda (kata atau kelompok kata) di teras
ke rumah teman
dari sekolah
untuk saya.
50
c. Klausa
―Klausa adalah satuan gramatik yang terdiri atas S, P, baik
disertai O, PEL, KET ataupun tidak‖ (Ramlan, 2001:79). Klausa
memiliki unsur inti yaitu S dan P. Namun demikian, S sering
dihilangkan, misalnya dalam kalimat luas sebagai akibat
penggabungan klausa dan dalam kalimat jawaban. Misalnya:
1) Tengah Karmila menangis menghadapi tembok, Bapak Daud
masuk diantar suster Meta
2) Sedang bermain-main. (sebagai jawaban pertanyaan Anak-anak itu
sedang mengapa?)
Penggolongan klausa dibedakan berdasarkan tiga dasar, yaitu:
1) Berdasarkan unsur internnya
a) Klausa lengkap
Klausa yang terdiri dari S dan P. Klausa lengkap dapat
dibedakan menjadi dua berdasarkan letak S. Klausa lengkap
yang S-nya terletak di depan P, dan klausa lengkap yang S-nya
terletak di belakang P.
Contoh:
Badan orang itu sangat besar
Sangat besar badan orang itu
b) Klausa tak lengkap
Klausa yang tidak memiliki unsur S. Klausa tak lengkap terdiri
dari unsur P disertai O, PEL, KET ataupun tidak.
Contoh:
Sedang bermain-main
Menulis surat
51
2) Berdasarkan ada-tidaknya kata negatif yang secara gramatik
menegatifkan P.
a) Klausa positif
Klausa positif ialah klausa yang tidak memiliki kata negatif
yang secara gramatik menegatifkan P. Kata-kata negatif ialah
tidak, tak, tiada, bukan, belum, dan jangan.
Contoh:
Mereka diliputi oleh perasaan senang
Mertua sudah dianggapnya sebagai ibunya
Muka mereka pucat-pucat
Ia teman akrab saya
b) Klausa negatif
Klausa negatif ialah klausa yang memiliki kata-kata negatif
yang secara gramatik menegatifkan P. Seperti telah disebutkan
di atas tidak, tak, tiada, bukan, belum, dan jangan.
Contoh:
Anak-anak tidak naik kelas
Mereka tidak malas
Orang tuanya sudah tiada
Orang itu bukan tetangga saya
3) Berdasarkan kategori kata atau frasa yang menduduki fungsi P.
a) Klausa nominal
Klausa nominal ialah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau
frasa golongan N.
Contoh:
Ia guru
Rumah-rumah itu rumah dinas Departemen Penerangan
Yang dibeli orang itu sepeda.
52
b) Klausa verbal
Klausa verbal ialah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau
frasa golongan V.
Contoh:
Petani mengerjakan sawahnya dengan tekun
Dengan rajin bapak guru memeriksa karangan murid
c) Klausa bilangan
Klausa bilangan ialah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau
frasa golongan bilangan.
Contoh:
Roda truk itu enam
Kerbau petani itu hanya dua ekor
d) Klausa depan
Klausa depan atau klausa preposisional ialah klausa yang P-
nya terdiri dari frasa depan, yaitu frasa yang diawali oleh kata
depan sebagai penanda.
Contoh:
Beras itu dari delanggu
Kredit itu untuk para pengusaha yang lemah
Orang tuanya di rumah
Sejalan dengan pendapat Ramlan di atas, Alwi menjelaskan
bahwa klausa dipakai untuk merujuk pada deretan kata yang paling
tidak memiliki subjek dan predikat, tetapi belum memiliki intonasi atau
tanda baca tertentu (Alwi, 2003:39). Pendapat lain dari Verhaar
(2010:162) menyatakan bahwa klausa adalah kalimat yang terdiri atas
hanya satu verba atau frasa verbal saja, disertai satu atau lebih
konstituen yang secara sintaktis berhubungan dengan verba tadi.
53
d. Kalimat
―Kalimat ialah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda
panjang yang disertai nada akhir turun atau naik‖ (Ramlan, 2001:23).
Berikut klasifikasi kalimat menurut Ramlan dalam bukunya Ilmu
Bahasa Indonesia Sintaksis:
1) Kalimat berklausa dan tak berklausa
a) Kalimat berklausa
Kalimat berklausa ialah kalimat yang terdiri dari satuan yang
berupa klausa.
Contoh:
Lembaga itu menerbitkan majalah sastra
Bapak Gubernur besok pagi akan pergi ke Jakarta
b) Kalimat tak berklausa
Kalimat tak berklausa ialah kalimat yang tidak terdiri dari
klausa.
Contoh:
Astaga!
Selamat malam!
2) Kalimat berita, tanya dan suruh
a) Kalimat berita
Kalimat berita berfungsi untuk memberitahukan sesuatu kepada
orang lain sehingga tanggapan yang diharapkan berupa
perhatian seperti tercermin pada pandangan mata yang
menunjukkan adanya perhatian.
Contoh:
Menurut ilmu sosial konflik dapat terjadi karena penemuan-
penemuan baru.
Jalan itu sangat gelap.
54
b) Kalimat tanya
Kalimat tanya berfungsi untuk menanyakan sesuatu. Kalimat
ini memiliki pola intonasi yang berbeda dengan pola intonasi
kalimat berita. Perbedaannya terutama terletak pada nada
akhirnya.
Contoh:
Ahmad pergi?
Anak-anak sudah bangun?
Ayahnya belum pulang?
c) Kalimat suruh
Kalimat suruh berfungsi mengharapkan tanggapan yang berupa
tindakan dari orang yang diajak berbicara.
Contoh:
Pergi!
Pergilah!
Baca buku ini!
―Kalimat mengandung unsur subjek, predikat yang sudah
dibubuhi dengan intonasi atau tanda baca‖ menurut (Alwi, 2005:128).
Kalimat dapat dibedakan menjadi kalimat tunggal dan kalimat
majemuk. Kalimat tunggal adalah kalimat yang proposisinya satu
karena itu predikatnya pun satu, atau merupakan satu karena dianggap
predikat majemuk. Misalnya; (1) Dia bekerja di bank.; (2) Mereka
makan dan minum di kedai itu. Kalimat majemuk adalah kalimat yang
terdiri atas lebih dari satu proposisi sehingga mempunyai paling tidak
dua predikat yang tidak dapat dijadikan suatu kesatuan. Karena itu sifat
kalimat majemuk selalu berwujud dua klausa atau lebih. Kalimat
majemuk dapat dibedakan lagi menjadi kalimat majemuk setara dan
55
kalimat majemuk bertingkat. Kalimat majemuk setara adalah kalimat
yang antar klausa satu dengan klausa lainnya dakam satuan kalimat
menyatakan hubungan koordinatif, jika, dalam suatu kalimat tersebut
hubungan antar klausa tidak koordinatif atau subordinatif maka disebut
dengan kalimat majemuk bertingkat.
Contoh kalimat majemuk setara misalnya; (1) Dia pergi dan
istrinya mulai menangis.; (2) Saya bersedia, tetapi dia menolak
membicarakannya. Contoh kalimat majemuk bertingkat misalnya; (1)
Dia pergi sebelum istrinya menangis.;(2) Saya bersedia meskipun dia
menolak membicarakannya.
2. Kerangka Pikir
Pada penelitian ini kerangka pikir yang digunakan adalah bertumpu pada
adanya perubahan makna yang ada dalam bidang kebahasaan. Perubahan makna
tersebut dapat berupa perubahan makna kasar ke halus yang disebut dengan
eufemisme dan perubahan makna halus ke kasar yang disebut dengan disfemisme.
Dalam disfemisme itu terdapat bentuk satuan lingual yang digunakan, referensi
yang dijadikan acuan penggunaan disfemisme, dan fungsi yang digunakan dalam
penggunaan disfemisme. Selanjutnya, disfemisme tersebut memiliki hubungan
atau keterkaitan dengan semantik karena adanya referensi yang digunakan dan
fungsinya. Berikut tabulasi kerangka pikir tersebut:
56
Gambar 2:
Kerangka Pikir Penelitian Disfemisme dalam Artikel Terpopuler
Sepekan di Blog Mojok.Co
Perubahan Makna
Disfemisme Eufemisme
Bentuk Satuan
Lingual
Referensi
Disfemisme
Fungsi
Disfemisme
Semantik
top related