bab ii hasil dan pembahasan 2.1. kehidupan sosial etnik...
Post on 07-Mar-2019
221 Views
Preview:
TRANSCRIPT
64
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa di Kecamatan Niki-Niki.
Berbicara mengenai etnik Tionghoa, maka tidak terlepas dari sifat
perantauan yang biasa melekat dalam identitas etnik mereka, etnik Tionghoa
memang dikenal sebagai kaum perantauan yang pandai dalam berdagang serta
membangun relasi yang baik dimana mereka berada. Hal tersebut juga terdapat
diwilayah Nusa Tenggara Timur, sejak zaman penjajahan Bangsa Belanda dipulau
Timor, kedatangan dan keberadaan etnik Tionghoa memainkan peranan penting
dalam sektor perekonomian. Diwilayah kecamatan Niki-Niki, dimana sejarah
nama Niki-Niki merupakan pemberian dari para penjajah Belanda yakni “Knich-
Knich” yang artinya melihat ke belakang atau membelakangi. Etnik Tionghoa
sudah mendiami dan berbaur dengan masyarakat lokal setempat, khususnya Etnik
Dawan, perkawinan campuran antara Etnik Tionghoa dengan Etnik Dawan sudah
tejadi ratusan tahun yang lalu, namun tidak ada catatan resmi kedatangan etnik
Tionghoa pertama di wilayah ini.
Perkawinan campuran ini terjadi dikarenakan adanya faktor hubungan
dagang yang terjalin antara Etnik Tionghoa dengan Etnik Dawan, khususnya
kaum bangsawan dari Raja Amanuban. Etnik Tionghoa yang sudah berbaur dalam
perkawinan campuran dengan etnik Dawan bisa disebut sebagai Etnik Tionghoa
campuran, etnik Tionghoa peranakan maupun campuran yang mendiami
65
kecamatan Niki-Niki kebanyakan berprofesi sebagai pedagang, petani, pengusaha
dan ada juga yang berprofesi sebagai pemuka Agama serta tokoh masyarakat
terkemuka. Sehingga tidaklah mengherankan jika pembauran yang terjadi ini
menjadi realitas sosial tersendiri, dapat dikatakan peranan etnik Tionghoa
peranakan di Niki-Niki memainkan peranan penting dalam sendi perekonomian
masyarakat Amanuban Tengah khususnya kecamatan Niki-Niki.
Niki-Niki yang berada dalam wilayah administrasi kabupaten Timor
Tengah Selatan, mayoritas masyarakatnya beragama Kristen Protestan, sedangkan
sisanya beragama Katholik, Islam, Hindu, dan aliran kepercayaan lainnya.
Sedangkan masyarakat etnik Tionghoa perankan dan campuran di Niki-Niki
mayoritasnya beragama Kristen Protestan, sisanya beragama Katolik dan Muslim,
pada awalnya kebanyakan dari mereka maupun nenek moyang mereka
sebelumnya memeluk agama Konghuchu, namun seiring masuknya zaman orede
baru dan pemberontakan GS30 PKI memaksa mereka memeluk agama yang
diakui negara, hal tersebut tertuang dalam P.P.10 yang dikeluarkan Pemerintah RI
saat itu. Dengan demikian disaat yang bersamaan wilayah pulau Timor yang
merupakan jajahan Belanda yang meyoritasnya berkembang pesat saat itu adalah
Agama Kristen Protestan.
Saat ini Niki-Niki sudah mengalami perubahan yang cukup signifikan,
berbagai kegiatan perekonomian makin membaik dan tumbuh subur seperti pasar
tradisional yang sebagian diisi oleh kaum pendatang dari Etnik Bugis, Suku
Bangsa Jawa, Etnik Minang, Bali, dan etnik Tionghoa yang paling banyak
mendominasi sendi perekonomian. Fasilitas pendidikan tersedia mulai dari taman
66
kanak-kanak hingga sekolah menengah atas baik yang dikelola oleh Pemerintah
maupun swasta (sekolah misi dari Agama Protestan dan Katholik). Sedangkan
fasilitas ibadah bagi umat beragama juga terdapat di Niki-Niki, seperti Gereja bagi
umat Katholik dan Protestan, Mesjid bagi umat Muslim, dan Pura bagi pemeluk
agama Hindu.
Gambar 2. Lokasi Penelitian, Kecamatan Niki-Niki (Titik Merah)
67
2.2. Membangun Relasi Dengan Informan Penelitian.
Membangun relasi sekaligus membuat pendekatan dengan informan dan
juga calon informan bukanlah perkara gampang bagi peneliti ketika berada
dilapangan, oleh karena itu untuk mendapatkan informan awal sekaligus pembuka
jalan (informan penghubung) peneliti mendapatkan bantuan dari pihak keluarga
dan kerabat, akhirnya peneliti dikenalkan kepada tiga informan pertama yakni
Bapak J.E.E.Litelnoni berserta istri dan Bapak Paulus Nitbani, alasannya
sederhana mereka merupakan tokoh masyarakat yang dituakan dikalangan Etnik
Tionghoa di Niki-Niki, sehingga nanti memudahkan peneliti mendapatkan
informan. Sebelum melakukan penelitian secara penuh pada bulan juni 2012 ini,
peneliti sebelumnya melakukan kunjungan soft opening bertemu dengan informan
kunci yang sekaligus juga sebagai penghubung antara peneliti dengan calon
informan lainnya. Pertemuan saya dengan informan sekaligus penghubung saya
dengan calon informan lainnya adalah dengan Bapak J.E.E.Litelnoni alias Lee
Hook Chow atau akrabnya disapa Kung Lurah, ini memang bukan pertemuan
pertama saya dengan beliau, sebelumnya pada pra-survey penelitian saya sempat
mewawancarai beliau dan istrinya juni tahun lalu.
Pagi itu tanggal 4 juni saya bertamu ke rumah mereka yang tidak jauh dari
tempat saya menginap, jarum jam menunjukan pukul 10.30, saat menginjakan
kaki di halaman depan kediaman mereka, terlihat beliau bersama sang istri sedang
membersihkan halaman rumah mereka. Saya pun menyapa selamat pagi dan
dibalas dengan selamat pagi juga dengan senyuman, kemudian saya dipersilahkan
masuk ke ruang keluarga mereka bukan ke ruang tamu ini menandakan dalam
68
pemahaman peneliti bahwa peneliti diterima bukan sebagai tamu melainkan
anggota keluarga, sehingga menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi peneliti
yang dengan mudah akrab dengan informan utama sekaligus penghubung
informan.
Sembil meneguk hidangan teh hangat dan kue kering, peneliti
mengutarakan niat kedatangannya untuk melakukan penelitian tentang Etnik
Tionghoa di Niki-Niki, sekaligus meminta kesediaan beliau dan istrinya menjadi
informan untuk diwawancarai dan menjadi penghubung peneliti dengan calon
informan lainnya. Akhirnya, beliau menyanggupi permintaan peneliti diikuti oleh
istrinya yang bersedia untuk diwawancarai, namun peneliti memutuskan belum
melakukan wawancara saat itu, dikarenakan kedatangan peneliti ke lepangan yang
terlebih dahulu ingin mengetahui kondisi lapangan penelitian serta mengamati
interaksi sosial, dan kehidupan masyrakat etnik Tionghoa di Niki-Niki.
Disamping itu, tidak berapa lama kemudian Pak J.E.E.Litelnoni atau yang biasa
disapa Kung Lurah mengajak saya ke salah satu calon informan lainnya yakni
Bapa Paulus Nitbani yang merupakan tokoh masyarakat Tionghoa di Niki-Niki.
Pertemuan kami cukup hangat, kami diterima di kediaman bapak Paulus
Nitbani berserta istri yang jaraknya hanya 20 meter dari kediaman Kung Lurah,
bapak Paulus tidak lain adalah kakak ipar dari Kung Lurah, sehingga dengan
adanya hubungan keluarga ini membuat suasana terasa akrab disamping itu juga
akan memudahkan peneliti dalam menggali data dari wawancara maupun
observasi. Siang itu, kami diterima diruang tamu. Pertemuan dengan beliau
bukanlah yang pertama bagi peneliti, beberapa tahun yang lalu dalam acara
69
kerabat keluarga marga ANG kami sering bertemu dan bercengkrama, pertemuan
untuk kesekian kali ini memudahkan saya untuk mengutarakan niat saya untuk
meminta kesediaan beliau dan istrinya untuk diwawancarai sebagai informan
dalam penelitian saya. Setali tiga uang, beliau pun menyambut dengan hangat
permintaan tersebut, namun istrinya tidak bersedia diwawancarai karena alasan
tertentu. Akhirnya peneliti bisa memaklumi hal tersebut, tanpa mengurasi rasa
hormat peneliti kepada informan, peneliti memohon maaf sebelumnya.
Namun, hal tersebut tidak menyurutkan semangat peneliti untuk
melakukan wawancara dengan ketiga informan di pertemuan berikutnya, kurang
lebih hampir 45 menit mengobrol dan menuai kesepakatan, kami pun diundang
makan siang bersama dengan keluarga Bapak Paul, hidangan waktu itu cukup
sederhana namun mempunyai cita rasa tinggi. Hidangan yang disediakan adalah
masakah khas mandarin, berupa mie kuah, serta tumisan sayur sawi, peneliti
beranggapan bahwa diantara kami tidak terdapat batasan yang jauh, melainkan
saling mendekatkan diri dengan informan agak tidak terdapat gap yang besar. Hal
ini justru menguntungkan peneliti dalam melakukan observasi sebagai bahan awal
kajian sebelum wawancara di pertemuan berikutnya. Setelah santap siang
bersama, peneliti dan Kung Lurah pamit diri untuk kembali ke rumah masing-
masing, tak lupa juga peneliti mengucapkan terima kasih atas santapan siang yang
disajikan keluarga bapak Paul serta kesedian beliau menjadi informan peneliti.
Kemudiann peneliti melanjutkan pengamatan bersama dengan ditemani Kung
Lurah mengamati kehidupan sehari-hari masyarakat etnis Tionghoa di Niki-Niki
sambil menjaring beberapa kandidat yang akan dijadikan calon informan peneliti,
70
kegiatan ini kami lakukan seharian penuh dari tanggal 4 sampai dengan 5 juni
2012.
2.3. Profil Informan Penelitian
No Foto Data
1
Nama : Paulus Mana Nitbani (Ang Pai Fan)
Nama Istri : Sarci Singli
Lahir : Niki-niki, 22 Juni 1936.
Generasi : ke-2 Tionghoa
Nama Ayah : Ang Ie Kien : Hokkien
Nama Ibu : Rosalina Nitbani
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Wiraswasta, Petani, Tokoh
Masyarakat.
2
Nama : John Errence Edward Litelnoni (Lee Hok
Chow)
Nama Istri : Endang EYP Litelnoni (Ang Taek
Sang)
TTL : Niki-niki, 7 september 1932.
Generasi : ke-4 Tionghoa
Ayah : Lie Bu Shui (Tionghoa) : Nanyang
Ibu : Tau Taek (Timor)
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pensiunan PNS, Tokoh Masyarakat.
71
3 Nama : Endang EYP Litelnoni (Ang Taek Sang)
Nama Suami : John Errence Edward Litelnoni (Lee
Hok Chow)
Lahir : Niki-niki, 25 september 1938.
Generasi : ke-2 Tionghoa
Ayah : Ang Ie Kien : Hokkien
Ibu : Rosalina Nitbani
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga, Tokoh Masyarakat.
4
Nama : Karel Singli (Lee Khoet Chong)
Nama Istri : Ingrayati Un (Wun Ing Me)
Lahir : Niki-niki, 27 Juli 1944.
Generasi : ke-3 Tionghoa
Nama Ayah : Lee Cing Kung (Tionghoa)
Nama Ibu : Ui Kui Nio (Tionghoa)
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Wiraswasta, Pedagang, dan Tokoh
Masyarakat.
5
Nama : Leonard Hun Banamtuan (Ang Xie Ling)
Nama Istri : Yenny Hun Leo (Leo Cing Ang)
Lahir : Niki-niki, 18 Februari 1941.
Generasi : ke-3 Tionghoa
Ayah : Ang Eng Hong : Hokkien
Ibu : Anna Banamtuan Nope
Agama : Kristen Pantekosta
Pekerjaan : Pemuka agama (Pendeta), dan
pedagang.
72
6 Nama : Benyamin Tjung (Tjung Tjiu Min)
Nama Istri : Inggriaeni Tjung Go (Go Xie Hoa)
Lahir : Niki-niki, 31 December 1955
Generasi : ke-2 Tionghoa
Nama Ayah : Tjung Mean Fat: Hokkien
Nama Ibu : Tjong Toa Neo (Maria Novan Tjung)
Agama : Katholik
Pekerjaan : Pedagang
7 Nama : Gilbert Gasper Lee (Lee Cung Liong)
Nama Istri : Erlis Leo
Lahir : Niki-niki, 1 Juli 1955.
Generasi : ke-3 Tionghoa
Nama Ayah : Lee Meng Hong : Hokkien
Nama Ibu : Leo Giok Eng
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pedagang
8 Nama : Christopher Wijaya (Ui I Ngo)
Nama Istri : Christina Tjong (Tjong Cing Cio)
Lahir : Kupang, 29 Mei 1945.
Generasi : ke-1 Tionghoa
Nama Ayah : Ui Kong Hino : Hokkien
Nama Ibu : Tan Lea Nio
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pedagang
73
9 Nama : Syarifudin Un (Wun Jun Pit)
Nama Istri : Herawati Un Leo (Leo Bi Cio)
Lahir : Niki-Niki, 19 Juni 1950.
Generasi : ke-6 Tionghoa
Nama Ayah : Muhammad Tahir (Wun Peng Kong)
: Hokkien
Nama Ibu : Hadijah Un Chandra (Cang Kiut Moe)
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta (Kontraktor), Pedagang.
10 Nama : Herman Carel Litelnoni (Lie Hok Kie)
Lahir : Niki-Niki, 29 Juli 1949.
Generasi : ke-6 Tionghoa
Nama Ayah : CHR Litelnoni (Lee Kim Hok) :
Hokkien
Nama Ibu : Ang Sing Giok
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pensiunan PNS.
Info lainnya : Tidak menikah/berkeluarga
Tabel. 4. Data Informan Penelitian
74
2.4. Komunikasi Antaretnik
2.4.1. Komunikasi Antaretnik Pada Etnik Tionghoa Peranakan
Tionghoa peranakan yang diwawancarai peneliti disini adalah mereka
sebagai keturunan Tionghoa yang sudah berbaur dan sudah bertingkah laku dan
berbahasa layaknya masyarakat asli tetapi ada juga yang masih fasih
menggunakan bahasa nenek moyangnya, namun yang membedakannya adalah
mereka tidak menikah dengan penduduk lokal melainkan dengan sesama
peranakan Tionghoa lainnya. Informan peneliti ini adalah : Karel Singli (Lee
Khoet Chong), Benyamin Tjung (Tjung Tjiu Min), Gilbert Lee (Lee Chung Liong),
dan Christopher Wijaya (Ui I Ngo). Dalam sub ini mereka mencoba
mendeskripsikan atau menceritakan kembali pengalaman mereka maupun
keluarganya berinteraksi dengan etnik lokal (Etnik Dawan ) dalam wadah
komunikasi antar etnik, serta bagaimana mereka bisa berbaur dengan etnik lokal
setempat.
Informan peneliti yakni Bapak Karel Singli (Lee Khoet Chong) yang
berumur 68 tahun, beliau bekerja sebagai seorang wiraswasta dan pedagang hasil
bumi. Wawancara peneliti dengan beliau dilakukan pada tanggal 22 juni 2012
bertempat di kediaman beliau, dalam wawancara ini peneliti bertanya mengenai
bagaimana nenek moyang keluarga beliau membangun komunikasi dengan etnik
setempat pada waktu itu. Beliau menjelaskan secara tersirat bahwa pada zaman
dulu yang ia ingat adalah ketika ayahnya membangun hubungan baik dalam hal
ini lewat komunikasi dengan masyarakat sekitar yakni melalui hubungan dagang.
75
Ayahnya sebagai seorang pedagang hasil bumi pada waktu itu sangat bergantung
dengan hasil bumi yang dibawa oleh masyarakat sekitar maupun dari pedesaan,
oleh karena itu untuk memperoleh simpati sekaligus juga merebut hati agar akrab
masyarakat setempat, ia belajar menggunakan bahasa Dawan, dengan
menggunakan bahasa ini akan mempermudah transaksi sekaligus juga
mengakrabkan diri dengan masyarakat sekitar.
Namun perihal hambatan ia menjelaskan dengan ekspresi wajah yang
muram bahwa hambatan yang dihadapi hanyalah masalah peraturan pemerintah
pada saat itu yang baginya cukup menyulitkan mereka dalam transaksi dagang
serta juga masalah PP.10, perihal hak kewarganegaraan. Terutama masalah
peraturan pemerintah mengenai pembatasan hal-hak masyarakat Tionghoa untuk
melakukan transaksi dagang secara mandiri yang melibatkan masyarakat pribumi,
ditambah lagi masyarakat Tionghoa hanya dianggap sebagai pihak ketiga.
Baginya, peraturan ini membuat posisi ayahnya pada waktu itu berstatus warga
negara asing sangat sulit dalam mencari penghasilan, menurutnya peraturan ini
hanya sebagai akal-akalan pemerintah pada waktu itu pada akhirnya ayahnya
hanya menjadi tameng dengan sedikit penghasilan bagi pamannya yang sudah
menjadi warga negara Indonesia .
Oh dia dengan masyarakat sini hubungan erat sekali karena dia bergantung
dari hasil bumi to, jadi, mau tar mau dia musti berusaha jadi ini dia musti
akrab dengan dia (orang Dawan) supaya nah jadi dia bisa memperoleh itu
hasil (hasil bumi untuk diperdagangkan).
Terjemahannya :
Oh, dia (ayah) dengan masyarakat Dawan hubungannya sangat erat sekali,
karena dia bergantung dari hasil pertanian dan peternakan, jadi mau tidak
76
mau dia harus berusaha (belajar bahasa Dawan) dan harus akrab dengan
masyarakat Dawan, sehingga dia bisa mendapatkan (memonopoli) hasil
pertanian danpeternakan.
Ahh..Ya hambatan ya.. Cuma masalah aturan itu (ekspresi tidak senang,
sambil tunjuk jari). Hambatan hanya aturan saja, karena aturan ini hanya
banyak macam saja, sabantar dia (Pemerintah) bekin aturan ini, aturan
ini...jadi kadang2 ju pusing. Pernah.. mereka membuat peraturan ini bahwa
orang asing tidak boleh berdagang, nah supaya bisa bekerja sama dia musti
bekin kerja sama dengan orang asing yang sudah masuk warga negara
supaya bisa bekerja sama. Nah disitu ence ceng tek dengan btong pung asuk
liem cik tong dengan btong pung baa ini dong ya tiga orang ini kongsi kerja
sama btong bapa sond punya modal, hanya dua orang ini saja yang punya
modal. Na mereka menggunakan bta pung bapa ini sebagai pelindung saja,
tapi yang berfungsi Cuma dua orang ini yang bermaen dibelakang
(berdagang/berspekulasi). Nahh begitu. Setelah itu dong dua dapat kembali
kewarganegraan. Dan dong su berdiri sendiri (berwiraswasta), dan btong
pung bapa jug berdiri sendiri. Jadi btong pung bapa ini masuk warga
negara tanpa uang.
Terjemahan :
Ya..masalah habatan ya Cuma maslah aturan itu (PP.10 dan peraturan
perdagangan). Hambata hanya pada peraturan saja, karena aturan ini hanya
akal-akalan saja, kemudiann Pemerintah membuat aturan bagini, aturan ini,
kadang-kadang juga membuat bingung. Pernah mereka membuat peraturan
ini bahwa orang asing (Tionghoa) tidak boleh berdagang, supaya bisa
berdagang dia diwajibkan berkerja sama dengan masyarakat Tionghoa yang
sudah berpindah kewarganegaraa Indonesia. Nah kemudiann paman Tek
bersama dengan paman kami namanya Liem Cik Tong dengan ayah kami
yang bertiga ini membuat kerjasama, namun ayah kami tidak mempunyai
modal, hanya dua pamannya ini saja yang mempunhyai modal. Kemudiann
mereka menggunakan namah ayah saya hanya sebagai pelindung saja
(jaminan), pada kahirnya kedua orang ini (paman saya) yang bekerja
sebagai pedagang dan spekulen pasar. Nah kemudiann, setelah itu mereke
berdua mendapatkan kembali kewarganegaraan, merek berkerja sendiri-
sendiri, dan ayah saya memperoleh status kewarganegraan secara gratis.
Kemudian ketika ditanya mengenai bagaimana beliau dan keluarganya
membangun relasi dengan masyarakat setempat yakni etnik Dawan, sambil
menata kacamatanya dan seraya melepaskan senyum ia menjelaskan bahwa dalam
menjalin relasi atau komunikasi dengan masyarakat sekitar (etnik Dawan) beliau
77
dan keluarganya selalu menggunakan bahasa Dawan sebagai bahasa tradisional
dalam menjalin komunikasi sekaligus sebagai simbol “melicinkan” pergaulan
yang langsung tertuju pada rakyat disini, sebab disisi lain bahasa Dawan lebih
diutamakan dalam komunikasi sehari-hari, disamping juga bahasa Indonesia. Ia
menambahkan bahwa dalam menjalin relasi di Niki-Niki dengan masyarakat
sekitar berjalan seperti biasa tanpa da hambatan, sebab menurutnya kehidupan
antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat setempat sudah bisa dikatakan
menyatu sama lain.
“Ah kalo btong disini pake bahasa-bahasa daerah, bahasa Indonesia dan
bahasa daerah karena ini ahh....dia pung komunikasi langsung di dia pung
rakyat ini, jadi rakyat ini orang kampung nie, lebih utamakan bahasa
daerah.”
“Ya btong mebangun hubungan dengan masyarakat lokal ini, dengan biasa
saja, karena btong su hidup jadi satu. Jadi btong su bergabung jadi biasa
saja, anggap saja sonde ada beda. Begitu”
Terjemahannya :
“Kalo kami disini paka bahasa Dawan, bahasa Indoensia karena ini
a...cara berkomunikasinya langsung ke masyarakatnya disini, jadi
masyarakat ini khususnya orang kampung disini, lebih mengutamakan
bahasa daerah’
“Ya..kami membangun hubungan dengan masyarakat sekitar sini dengan
biasa saja, karena kamu sudah hidup menyatu. Jadi masyarakat disini
sudah bergabung seperti biasa saja, anggap saja tidak ada bedanya,
begitu”
Sedangkan dalam menjalin komunikasi dengan sesama etnik Tionghoa,
menurut beliau bahwa sebenarnya tidak terlalu besar perbedaan yang mendasar
antara jalinan relasi dengan sesama etnis Tionghoa, yang membedakannya hanya
masalah pengunaan bahasa, rata-rata kebanyakan masyarakat etnik Tionghoa
78
dalam berinteraksi sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa
Kupang Melayu (Bahasa Pasar). Sedangkan penggunaan bahasa Mandarin sudah
berkurang, hal ini disebabkan karena kebanyakan masyarakat Tionghoa di Niki-
Niki tidak sempat mendapatkan pendidikan bahasa Mandarin yang sekolahnya
yang ditutup Pemerintah pada waktu itu, walaupun pamannya sempat menjadi
tenaga pengajar disekolah tersebut. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ada sebuah
tradisi dimana dalam setiap anggota keluarga harus ada yang bisa berbahasa
Mandarin, secara tersirat bahwa sebenarnya ini merupakan suatu sifat regenerasi
dalam keluarga agar tetap melestarikan budaya nenek moyang mereka dengan
berbahasa Mandarin. Hal tersebut tercermin dalam keluarganya, beliau
menceritakan bahwa memang beberapa saudara dalam keluarganya ada yang
sempat mencicipi pendidikan bahasa Mandarin, sedangkan dirinya tidak sempat
mendapatkan pendidikan bahasa Mandarin pada waktu itu.
“Bahasa Indonesia, bahasa Tionghoa (Mandarin) kurang... sonde ba
omong itu, sebab snd sekolah, jadi mau ba mangarti bagaimana bahasa itu,
itu bahasa itu musti sekolah baru bisa atau memang didalam satu keluarga
itu ada orang2 yang bisa berbahasa mandarin, jadi su kasih ajar memang
itu orang bagaimana berbicara. Jadi begtu, btong bapa sendiri sonde bisa
bahasa Tionghoa, asuk ini yang guru sekolah Tionghoa, jadi ktong pung
sodara ini tabagi-tabagi (terpisah) ada sekolah dan sonde sekolah (ada
yang belajar bahasa mandarin dan tidak).”
Terjemahannya :
“Bahasa Indonesia, bahasa Tionghoa (Mandarin) jarang, tidak bisa
berbicara bahasa mandarin, sebab tidak sekolah bahasa, jadi tidak
mungkin bisa memahami bahasa tersebut. Bahasa Mandari harus diajarkan
dulu baru bisa dipraktekkan dan memang didalam satu keluarga itu
memamng ada anggota yang bisa berbahasa Mandarin, jadi sudah
diajarkan bagaimana cara mengucapkannya. Jadi begitu, ayah kami sendiri
tidak bisa berbahasa Mandarin, paman kami yang menjadi guru disekolah
79
tersebut, jadi saudara kami initerpisah-pisah, ada yang sempat mengikuti
sekolah Bahasa dan ada yang tidak”
Dalam hal gaya persuasif atau teknik pendekatan yang dilakukannya
ketika ingin menjalin relasi atau ketika berinterkasi dengan masyarakat lokal
(Etnik Dawan), ia menceritakan pengalamannya dengan begitu semangat sambil
meneguk teh hangat, ia menceritakan ketika ingin membangun relasi dengan
masyarakat sekitar. Dalam melakukan pendekatan, ia harus melakukan berbagai
upaya untuk mendapatkan perhatian dari mereka (etnik Dawan), mulai dari
menghadiri setiap undangan acara-acara dari etnik Dawan, memberi maupun
menerima suguhan sirih pinang atau oko mama. Lain cerita mengenai sirih
pinang, ia menjelaskan bahwa pemberian oko mama mempunyai nilai tersendiri
dimata masyarakat etnik Dawan, sebab menurutnya sirih pinang ini menandakan
sebuah alat penghubung maupun pertanda awal dari membangun relasi kedua
belah pihak sekaligus juga sebagai alat diplomasi dalam pendekatan jika terjadi
masalah.
Disisi lain sebenarnya ia mengungkapkan bahwa penggunaan pendekatan
ini juga merupakan sebuah sugesti tersendiri, sebab dalam adat kebiasaan
masyarakat Dawan, menyuguhkan sirih pinang dapat dikategorikan sebagai
pengganti minuman ketika menjamu tamu, bahkan sebagai bahan pelengkap
dalam acara-acara formal maupun non formal. Disisi lain, sudah menjadi
kebiasaan masyarakat Dawan untuk mengkonsumsi sirih pinang, dan baginya jika
tidak mengkonsumsi sirih pinang ketika sedang berinteraksi dengan masyarakat
setempat akan terasa “berat” atau tidak lengkap tanpa sirih pinang.
80
“Memang ada, karena bagaimana pun ktong musti bisa berupaya untuk
bisa perhatian dari ini orang (orang timor) buat mau bergabung, ya dalam
bentuk acara2, ini macam2 adat2 di kampung, jadi btong juga ikut didalam
situ. Mislanya btong ada acara2 ktong undang ktong pung kenalan2 asli
sini, misalnya juga dong (prang timor) ada buat acara ya dong kenal dan
undang ktong uga btong pigi lagi btong su jadi satu bergabung. Kalo sirih
pinang itu memmang sudah tradisi, orang timor punya tradisi untuk dia
punya cara untuk berhubung, jadi saling mengenal dari situ, jadi kasih sirih
pinang dulu baru bisa baomong, kalo snda ada sirih pinang atau loe
(menyuguhkan) sirih pinang nanti agak berat untuk ngobrol.”
Terjemahannya :
“Memang ada (cara pendekatan tersebut), karena bagaimana pun kita
harus berupaya untuk bisa mendapat perhatian dari orang Dawan untuk
berbaur,dalam bentuk acara-acara semacam adat kampung, jadi kami ikut
dalam acara tersebut, dan juga ketika kami membuat acara, kami
mengundang mereka pula, dan kami mengundang mereka untuk saling
mengenal satu sama lain, dan ketika mereka mengundang kami ya kami
juga turut bergabung. Kalo sirih pinang itu sudah menjadi tradisi,orang
Timor (Dawan) sudah punya tradisi untuk dia berkomunikasi atau
membangun relasi, jadi saling mengenal lewat sirih pinang, jadi suguhkan
sirih pinang baru bisa berbicara, kalau tidak ada sirih pinang, maka agak
susah atau tidak lancar berkomunikasi ”
Disisi lain, perihal perasaannya ketika melihat etnik Tionghoa dan Dawan
mampu berbaur serta kualitas hubungan dalam perkawinan campuran, beliau
mempunyai pendapat tersendiri. Dengan menghirup napas sejenak ia mengatakan
bahwa pada prinsipnya tidak ada masalah dalam hal pembauran (termasuk kawin
campur) antara etnk Tionghoa dengan Etnik Dawan, karena tujuan utama dari
etnik Tionghoa disini hanyalah motif ekonomi tidak ada motif lain sehingga tidak
ada masalah dengan masyarakat sekitarnya. Perlu diketahui, bahwa menurutnya
dasar hubungan dagang ini terbangun dari yang besar menuju ke menengah dan
kemudiann ke bawah dalam artian bahwa posisi besar ditempati oleh pemilik
81
modal, menengah adalah kaum Tionghoa sebagai penyalur sementara posisi
bawah adalah masyarakat biasa dari etnik Dawan sebagai penjual. Sehingga dalam
pendapatnya, kalangan etnik Tionghoa harus lincah dalam bergaul serta bekerja
sama agar tercipta suasana yang baik serta menguntunkan satu sama lain dalam
berdagang.
Sedangkan dimintai pendapatnya tentang kualitas hubungan yang tercipta
melalui perkawinan campuran antara etnik Tionghoa dan etnik Dawan, menurut
bapak Karel Singli dengan adanya perkawinan campuran ini akan mempererat
hubungan kedua belah pihak apalagi jika salah satu pihak adalah dari kalangan
bangsawan malahan akan semakin erat, hal tersebut menurutnya terjadi sebagai
suatu bentuk hitungan agar mendapatkan dukungan secara politis sekaligus
memuluskan usaha dibidang ekonomi bagi etnik Tionghoa pada umumnya.
“ Iya sekarang bagini btong pung tujuannya hanya untuk ekonomi saja jadi
btong ini ahh buktinya snd ada masalah, hadapi orang disini snd ada
masalah, dengan orang etnis btong anggap biasa karena hubungan dagang
ini bergerak dari yang besar ke menengah dan ke bawah (downwoard
comm) nah btong ini harus mampu2 juga untuk bekerja sama dengan orang
menengah ke atasa dan kebawah, jadi btong ini harus lincah sedikit dalam
pergaulan sehingga btong pung hasil usaha ini bisa membuahkan, senang
sonde ada punyua perasaan itu karena itu dapat rakyat punya hasil btong pi
jual keatas. Yang diatas punya duit, ya namamnya dagang inin punya
rentetan2 itu jadi.”
“Ya tantu benar karna kalo, dia punya satu anak raja ini kalo dia kwin
dengan satu ahh nina dari kampung suku, dai sudah erat skali, maka dia
kwon dengan orang asing ini dia lebih erat, nah hitungan ktong begitu
supaya bisa dapat dukungan”
Terjemahannya :
“Iya, saat ini tujuan kami hanya kepentingan ekonomi saja, jadi kami ini
buktinya tidak ada masalah dalam menghadapi orang disini (etnik Dawan),
dengan sesama etnik kami juga anggap biasa saja karena hubungan dagang
82
ini bergerak dari yang besar ke menengah dan ke bawah, nak kami disini
harus mampu juga untuk bekerja sama dengan orang atas dan bawah,
artinya kami harus lincah dalam bergaul sehingga hasil usaha kami bisa
membuahkan hasil, harus senang dengan perasaan itu (permbauran)
karena itu hasil dari mereka (etnik Dawan) dan kaimi jual ke atas. Yang
diatas punyau duit, ya namanya dagang ini punya catatan tersendiri”
“Ya tentu benar karena kalau dia punya anak menikah dengan anak raja
atau dari satu orang dari suku mana gitu, dan sudah erat sekali, maka dia
berteman dengan orang asing ini lebih erat, nah hitungannya begitu supaya
bisa dapat dukungan”
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,
pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak Karel Singli
sebagai etnik Tionghoa dan etnik Dawan melalui hubungan dagang yang bersifat
timbal balik, pola ini terbentuk melalui beberapa proses diantaranya melalui
penggunaan bahasa Dawan sebagai bahasa tradisional yang langsung tertuju pada
pergaulan masyarakat etnik Dawan, disamping bahasa Indonesia maupun bahasa
Melayu Kupang. Sedangkan dalam menjalin komunikasi dengan sesama etnik
Tionghoa, kabanyakan dari mereka menggunakan bahasa Melayu Kupang,
disamping menggunakan bahasa Indonesia. Namun sangat sedikit diantara mereka
yang fasih menggunakan bahasa Mandarin dalam menjalin komunikasi. Hal
tersebut cukup beralasan, berdasarkan temuan peneliti terhadap tulisan Hidayat
Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan pada umumnya sudah mempergunakan
bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak atau jarang sekali mempergunakan
bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun demikian ada diantaranya yang
mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan sekali-kali kalau berhubungan
dengan orang Tionghoa totok atau dengan mereka didalam keluarga dalam
83
menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar ini kemudian mendapat
pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92)
Disamping itu juga dalam interaksi sehari hari, dalam pengamatan peneliti
bahasa Dawan yang digunakan oleh Bapak Karel ketika berinteraksi dengan etnik
Dawan disimbolkan sebagai bahasa “pelicin” yang bisa diartikan secara verbal
sebagai bahasa yang mempermudah dalam berinterkasi, sekaligus juga sebagai
media untuk lebih mengakrabkan diri satu sama lain. Disamping menggunakan
bahasa Dawan dalam interaksi, etnik Tionghoa juga menggunakan sirih pinang
atau nama lainnya “oko mama” bisa diartikan secara secara non-verbal sebagai
simbol strategi pendekatan terhadap etnik Dawan, dimana sirih pinang sebagai
alat penghubung atau awal membangun relasi kedua belah pihak sekaligus sebagai
alat diplomasi jika terjadi masalah.
Disamping itu ada sebuah masalah yang cukup menarik, yakni perihal
masalah peraturan pemerintah mengenai pembatasan hal-hak masyarakat
Tionghoa untuk melakukan transaksi dagang secara mandiri dan melibatkan
masyarakat pribumi, ditambah lagi masyarakat Tionghoa hanya dianggap sebagai
pihak ketiga. Baginya, peraturan ini membuat posisi ayahnya pada waktu itu
berstatus warga negara asing sangat sulit dalam mencari penghasilan, menurutnya
peraturan ini hanya sebagai akal-akalan pemerintah.
Hal tersebut menurut peneliti cukup beralasan, berdasarkan ulasan oleh
Leo Suryainata bahwa Seperti yang telah dikatakan kedudukan ekonomi orang
Tionghoa cukup kuat dan kekuatan ini bisa dijelaskan dengan perkembangan
84
sejarah dan politik kolonial Belanda. Orang Tionghoa kini paling kuat dalam
bidang bisnis dan keuangan. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia
menjalankan kebijakan pribumisme dalam bidang ekonomi untuk melemahkan
kedudukan ekonomi orang Tionghoa dan membantu pedagang pribumi. Contoh
paling ideal adalah sistem Benteng pada awal 50-an dan PP.10 pada tahun 1959.
Mungkin yang sama pentingnya adalah hasil dari sistem benteng yang
memunculkan pengusaha “Ali Baba”. Ini merupakan aliansi antara pedagang
Tionghoa dan pribumi yang memegang surat izin. Pedagang Tionghoa yang
menjalankan bisnisnya dan membagi keuntungan dengan pribumi yang
memegang surat izin. Umumnya mitra pribumi memberikan fasilitas dan
perlindungan, sedangkan orang Tionghoa memberikan modal dan menjalankan
perusahaan tersebut. (Suryadinata, 2002, hal 90).
Disamping masalah tersebut, ada juga masalah mengenai alasan mengapa
beliau tidak sempat menyelesaikan pendidikan bahasa Mandarin yang
dikarenakan penutupan sekolah oleh Pemerintah Orde Baru pada saat itu sebagai
salah bentuk untuk asimilasi etnik Tionghoa, berdasarkan tulisan Leo Suryadinata
bahwa secara perlahan-lahan, pemerintah mengumumkan peraturan yang
bertujuan mengindonesiakan mata pelajaran dan tenaga pengajarnya. Sebelum
tahun 1958 sekolah Tionghoa berjumlah 200buah dan terdiri dari sekolah-sekolah
pro-taipei dan pro-Beijing. Pada tahun 1957, pemerintah Indonesia telah
mengumumkan satu peraturan yang melarang warga negara Indonesia belajar
disekolah Tionghoa. Peraturan ini membawa pengaruh besar kedalam masyarakat
Tionghoa, akibatnya kira-kira 1.100 sekolah Tionghoa harus diubah menjadi
85
sekolah bahasa Indonesia. Meskipun demikian, sekolah-sekolah inipun akhirnya
ditutup tahun 1975. (Suryadinata, 2002, hal 84-5)
Simbol Verbal Makna Simbol
Bahasa Dawan Bahasa pelicin yang mempermudah transaksi,
sekaligus bahasa yang mengakrabkan diri.
Bahasa Pasar atau bahasa
melayu Kupang
Bahasa pergaulan dengan sesama etnik Tionghoa.
Bahasa Mandarin Bahasa warisan sekaligus bentuk regenerasi dalam
keluarga
Tabel.5. Tabel Verbal Informan Karel Singli
Simbol Non-Verbal Makna Simbol
Sirih Pinang “Oko Mama” Alat penghubung, awal membangun relasi, alat
diplomasi.
Soya Sikap gerakan tangan yang memberi
penghormatan terhadap sesama etnik Tionghoa
bagi mereka yang seumuran atau yang lebih tua.
Tabel. 6. Tabel Non-Verbal Informan Karel Singli
Sedangkan dalam menjalin relasi dengan sesama etnik Tionghoa, dalam
pengamatan peneliti bapak Karel menggunakan bahasa Melayu Kupang sebagai
bahasa sehari-hari, dimana bahasa ini secara verbal dimaknai sebagai bahasa
pemersatu dikalangan mereka disamping penggunaan bahasa Mandarin. Namun
disisi lain bahasa Mandarin diakuinya sudah jarang dipakai oleh kelangan etnik
Tionghoa, sebab sebagian besar dari mereka tidak mendapatkan pendidikan
bahasa Mandarin, bahasa Mandarin yang digunakan pun disimbolkan secara
verbal sebagai warisan dan regenasi yang harus dilestarikan secara turun temurun
dalam keluarga. Selain penggunaan bahasa tersebut, dalam pengamatan penelti
86
setiap kali dalam interaksi sehari-hari Bapak Karel sebagai etnik Tionghoa selalu
menggunakan tata cara “soya”, yakni simbol gerakan tangan yang secara non-
verbal dimaknai sebagai bentuk penghormatan ketika bertemu sesama etnik
Tionghoa khususnya mereka yang dianggap seumur maupun yang lebih tua.
Selanjutnya informan peneliti adalah bapak Benyamin Tjung (Tjung Tjiu
Min) pada tanggal 2 Juli 2012, beliau merupakan seorang pedagang yang berumur
57 tahun. Dalam wawancara ini peneliti bertanya mengenai bagaimana nenek
moyang keluarganya dan beliau membangun komunkasi dengan etnik setempat
pada waktu itu. Sambil mengawasi karyawan yang melayani para pembeli
ditokonya, ia menjelaskan bahwa ayahnya membangun hubungan dagang dengan
etnik Lokal setempat sama saja dengan para perantauan Tionghia lainnya, yakni
melalui hubungan dagang. Hal tersebut ia pertegas dengan pernyataannya bahwa
kebanyakan dari etnik Tionghoa dalam menjalin hubungan menggunakan bahasa
Dawan. Ia menambahkan semua berawal dari niat dari etnik Tionghoa yang
belajar behasa Dawan, dan pada akhirnya terbiasa menggunakan bahasa Dawan
dalam berinteraksi dengan etnik Dawan, hal serupa terjadi juga ketika ayahnya
berinteraksi dengan keluarga Raja Nope, beliau menambahkan ketika ditanya
mengenai permbauran antara etnik Tionghoa dan etnik Dawan
“Kira2 sama sa, sama sa, ya awal2 belajar bahasa Dawan dan akhirnya
bisa berbahasa Dawan dengan orang setempat, yang bisa bahsa Indoensia
ya bisa bahsa Indonesia begitu. Begitu juga membangun hbungan dengan
keluarga nope juga sama saa.”
“B rasa baek juga, soalnya mau kermana pung ktong ju su hidup sama2
deng orang sini (orang timor).”
87
Terjemahannya :
“Kira-kira sama saja, ya pada awalnya belajar-belajar bahasa Dawan, dan
akhirnya bisa berbahasa Dawan dengan orang setempat, yang bisa bahasa
Indonesia ya bahasa Indonesia begitu. Begitu juga membangun hubungan
dengan keluarga Nope juga sama saja.”
“Saya rasa baik juga, soalnya mau bagaimana lagi kita sudah hidup
bersama-sama dengan orang disini”
Selanjutnya, dalam hal jalinan relasi antara keluarganya dengan etnik
Dawan, beliau menjawab seraya melepaskan asap rokoknya bahwa selama ini
hubungan ayang ada terjain cukup baik, sebab secara tidak langsung hubungan
baik ini sudah terpelihara dari orang tuanya sehingga sudah terwariskan kepada
keluarganya sehingga dalam pergaulan tidak ada perbedaan-perbedaan.
Sedangkan ketika disinggung mengenai cara persuasif atau pendekatan-
pendekatan tertentu terhadap etnik Dawan, ia menjelaskan bahwa semuanya yang
ada bersifat menyesuaikan, dalam artian bahwa beliau selalu belajar untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan khusunya dengan adat setempat.
Ketika bertemu dengan etnik Dawan, Ia selalu menyapa dan menyuguhkan
sirih pinang sebagai tanda penghormatan atau menandakan jalinan relasi yang
baik antara dirinya dengan orang tersebut, bisa juga jika tidak menyuguhkan sirih
pinang ia menggantinya dengan rokok, jika orang tersebut adalah perokok. Dilain
hal jika bertemu dengan sesama etnik Tionghoa yang dianggapnya seumuran atau
lebih tua maka ia akan memberikan salam hormat yakni dalam bentuk soya
sebagai tanda penghormatan kepada orang tersebut, tancapnya seketika sedang
melayani para pembeli. Ketika ditanya ketika terjadi proses tawar-menawar dalam
88
transaksi dagang dengan etnik Dawan, ia menjelaskan dengan penuh semangat
bahwa jika dalam melakukan transaksi dagang yang berhubungan tawar-menawar,
kebanyakan ia menggunakan bahasa melayu Kupang ketimbang bahasa Dawan,
karena disisi lain bahasa ini lebih merata tidak hanya kepada orang etnik Dawan,
melainkan kepada masyarakat etnik lain, namun ia tidak memungkiri juga sering
menggunakan bahasa Dawan.
Kalo hubungan baik dengan orang sekitar ya baik, sebab itu sudah turun
temurun dengan orang tua dulu, dari itu dari orang tua sudah turun
temurun sampai anak2 sekaranh itu baik, tidak ada perbedaan2, ya snd ada
masalah (sambil melepas asap rokok)
Terjemahannya :
Kalo hubungan baik dengan masyarakat sekitar ya baik-baik saja, sebab
sudah turun temurun dari orang tua sebelumnya, dari orang tua juga turun
ke anak-anak, sekiranya itu baik, yidak ada perbedaan, ya tidak ada
masalah
Ya seperti adat disini ya kita menyesuaikan, ketika bertemu orang, kita
sapa, yang sirih pinang ya sirih pinang (kalo biasa sirih pinang disuguhkan
sirih pinang), yang merokok ya ada sekali (yang merokok disiguhkan
rokok), (sedang melayani pembeli), jadi snd ada masalah begitu, kalo
dengan ktong pung orang (orang Tionghoa) ya ketemu sapa, soya begitu sa.
Terjemahannya :
Ya sama seperti adat disini, ya kami menyesuaikan, ketika bertemu orang
Dawwan, kita sapa, yang makan sirih pinang ya kita suguhkan sirih pinang,
yang merokok ya disuguhkan rokok, jadi tidak ada masalah begitu, kalo
dengan sesama etnik Tionhoa ya bertemu kemudiann diberika soya begitu
saja.
“Kebanyakan pake bahasa Dawan, tapi satu-satu (kadang2) pake bahasa
Indonesia atau ya bahasa pasar begitulah (bahasa melalyu kupang).”
Terjemahannya :
89
“Kebanyakan pake bahasa Dawan, tatapi kadang-kadang, kebanyakan
menggunakan bahasa Indonesia atau kadang bahasa pasar yakni melayu
Kupang”
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,
pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak Benyamin Tjung
sebagai etnik Tionghoa dan etnik Dawan, melalui hubungan dagang yang bersifat
timbal balik, pola ini terbentuk melalui beberapa proses diantaranya melalui
penggunaan bahasa Dawan. Hal serupa rata-ratanya terjadi hampir pada setiap
etnik Tionghoa yang menjali relasi dengan etnik Dawan pada umumnya.
Penggunaan bahasa Dawan sendiri dapat disimbolkan secara verbal sebagai niat
pembelajaran dari etnik Tionghoa yang ingin mendekatkan diri dengan etnik
Dawan, dan pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang terjalin hingga saat ini,
disamping menggunakan bahasa Dawan dalam proses transaksi dagangnya,
bahasa melayu Kupang kerap kali digunakan sebab lebih dirasakan merata tidak
hanya bagi etnik Dawan melainkan bagi etnik lainnya.
Hal tersebut cukup beralasan, berdasarkan temuan peneliti terhadap tulisan
Hidayat Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan pada umumnya sudah
mempergunakan bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak atau jarang sekali
mempergunakan bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun demikian ada
diantaranya yang mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan sekali-kali kalau
berhubungan dengan orang Tionghoa totok atau dengan mereka didalam keluarga
dalam menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar ini kemudian
mendapat pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92)
90
Simbol Verbal Makna Simbol
Bahasa Dawan Bahasa yang menunjukan niat belajar dari etnik
Tionghoa sekaligus bahasa yang digunakan dalam
tawar-menawar transaksi dagang.
Bahasa Pasar atau bahasa
melayu Kupang
Bahasa pergaulan yang merata bagi semua etnik.
Tabel.7. Tabel Verbal Informan Benyamin Tjung
Simbol Non-Verbal Makna Simbol
Sirih Pinang “Oko Mama” Alat penghubung, awal membangun relasi, alat
diplomasi.
Soya Sikap gerakan tangan yang memberi
penghormatan terhadap sesama etnik Tionghoa
bagi mereka yang seumuran atau yang lebih tua.
Tabel. 8. Tabel Non-Verbal Informan Benyamin Tjung
Disamping penggunaan bahasa Dawan dalam menjalin relasi, dalam hal
persuasif atau teknik pendekatan terhadap etnik Dawan, yakni melalui
penyuguhan sirih pinang atau “oko mama” dan juga rokok, hal ini dapat
disimbolkan secara non verbal sebagai bentuk tanda penghormatan maupun tanda
menjalin relasi antara etnik Tionghoa dengan etnik Dawan.
Namun hal serupa dalam pengamatan peneliti ketika etnik Tionghoa
menjalin relasi dengan sesama etniknya adalah setiap kali dalam interaksi sehari-
hari Bapak Benyamin serta keluarga sebagai etnik Tionghoa selalu menggunakan
tata cara “soya”, yakni simbol gerakan tangan yang secara non-verbal dimaknai
sebagai bentuk penghormatan ketika bertemu sesama etnik Tionghoa, khususnya
mereka yang dianggap seumur maupun yang lebih tua. Dalam pengamatan
peneliti, seperti transaksi dagang di tempat usahanya sering terjadi tawar menawar
91
barang antara beliau dengan para pembelinya yang merupakan warga etnik Dawan
dengan menggunakan bahasa Dawan, kebanyakan hal ini sering dilakukan. Hal
serupa terlihat dalam membangun relasi dengan dengan etnik Dawan lainnya,
beliau selalu menggunakan bahasa Dawan dan sesekali menggunakan bahasa
melayu kupang ketika berinteraksi dengan mereka.
Informan peneliti selanjutnya adalah, bapak Gilbert Lee (Lee Cung Liong)
yang berumur 55 tahun serta bekerja sebagai seorang pedagang, proses
wawancara kami berlangsung pada tanggal 3 juli 2012 di tempat usaha sekaligus
kediaman keluarganya. Peneliti mengajukan pertanyaan bagaimana ia
membangun komunikasi antar etnik dengan masyarakat etnik Dawan, dengan
sigap ia menjawab bahwa yang paling penting dalam membangun relasi adalah
dengan sifat toleransi, sebab menurutnya dengan adanya saling pengertian ini bisa
diwujudkan dalam saling mengunjungi ketika ada undangan acara-acara tertentu,
dan begitu pun sebaliknya, sehingga tercipta rasa kekeluargaan. Seraya
menambahkan bahwa ia sering menggunakan bahasa Dawan terutama ketika
sedang berinteraksi dengan masyarakat etnik Dawan khususnya para pembeli di
tempat usahanya
“Toleransilah, dong sangat mengerti dengan btong sebaliknya btong
dengan dong juga begitu, perngertian ini selalu ada dalam suka duka, sand
ada beda2 pisah2 soned ada, ke misalnya dong bekin pesta dong undang
ktong pi, ada kedukaan tidak diundang pung ktong harus pi, sudah
membaur begitu, rasanya sudah seperti keluarga begitu.”
“Bisa, sering sekali, kalo dengan orang asli sering, terbanyak pake bahasa
Dawan”
92
Terjemahannya :
“Sikap toleransi, mereka sangat mengerti dengan kondisi kami, begitupun
sebaliknya, sikap toleransi kami terhadap mereka, pengertian ini selalu ada
dalam suka maupun duka, ditempat lain boleh berbeda, berpisah, tetap
tidak menurut kami. Misalnya saat mereka membuat acara,dan mereka
mengundang, kita hadiri. Ada kedukaan tanpa diundang pun kita tetap
datang, sudah membaur begitu, rasanya sudah seperti keluarga ”
“Bisa, sering sekali (menggunakan bahasa Dawan), kalo denganorang asli
(Orang Dawan), terbanyak pake bahasa Dawan”
Disinggung mengenai jalinan relasi yang dibangun bersama dengan
sesama etnik Tionghoa dan juga didalam keluarganya, beliau menjelaskan bahwa
selama ini dikeluarganya dalam berkomunikasi tatap muka sehari-hari selalu
menggunakan bahasa pasar yakni bahasa Melayu Kupang, sedangkan penggunaan
bahasa Mandarin tidak pernah digunakan. Alasan yang sama juga dilontarkannya
bahwa mereka tidak sempat mengikuti pendidikan bahasa Mandarin, namun
optimis suatu saat nanti anaknya harus tahu dan belajar bahasa Mandarin. Ia
menambahkan penggunaan bahasa Melayu Kupang serta bahasa daerah setempat
(bahasa Dawan) lebih mencerminkan keramahan untuk semua. Disamping itu
yang paling diutamakan menurutnya adalah budaya tegur sapa atau salam hormat
berupa “soya” yang sangat menghargai dan terus dipertahankan hingga sekarang.
Ucapnya sambil tertawa.
“Kalo kelo dengan keluarga di rumah pake bahasa pasar, bahasa sehari-
hari”
“Bahasa mandarin sonde digunakan lae, soalnya sonde tau lae..soalnya
orang tua dong waktu itu sonde ada sekolah lagi, jadi ktong sonde begitu
tau lagi, terbanyak pake bahasa yang sama bagini (bahasa melayu kupang),
“Ya su banyak dong pake bahasa sehari-hari dan bahasa daerah lebih
banyak dipake, jadi mau dibilang lingkungan sangat ramalah, baik”
93
“Ya omong pake bahasa pasar (melayu kupang) ada juga pake bahasa
timor juga pokoknya ke antara di acara kedukaan apa ada becerita pake
bahsa pasar, soalnya sudah banyak to, lingkungan sudah berkumpul semua
ada yang pake bahasa daerah, jadi biasa sa..bisa2 saa..Hehehe”
“budaya soya masih ada, budaya pokoknya tetap dan dihargai tidak ada
pisah2 walaupun kita buat, dong snd melarang pokoknya salaing
menghargailah satu sama yang lain.”
Terjemahannya :
“Kalo dengan keluarga dirumah menggunakan bahasa Melayu Kupang, itu
adalah bahasa sehari-hari”
“Bahasa mandarin tidak digunakan lagi, soalnya tidak tahu, sebab menurut
orang tua waktu itu tidak ada sekolah bahasa, jadi kami tidak begitu
mengerti lagi, kebanyakan menggunakan bahsa melayu Kupang, bahasa ini
banyak digunakan sebagai bahasa sehari-hari dan bahsa daerah (bahasa
Dawan) lebih banyak digunakan jadi kalo mau dikatakan lingkungan lebih
ramah”
“Ya bicara menggunakan bahasa pasar (bahasa melayu Kupang),ada juga
yang menggunakan bahasa Timor (bahasa Dawan), dan pada intinya semua
acara entah kedukaan apa saja, ketika sedang bercengjrama semua
menggunakan bahasa pasar (melayu Kupang), sebab sudag banyak yang
menggunakan bahasa tersebut, kadang juga menggunakan bahasa daerah
(bahasa Dawan), jadi sudah menjadi kebiasaan”
“Budaya soya masih ada, budaya pokoknya tetap dan dihargai, tidak ada
pemisahan walaupun kita lakukan, mereka tidak melarang pokonya saling
menghargai satu sam lain”
Dalam hal gaya persuasif atau teknik pendekatan yang dilakukannya
ketika ingin menjalin relasi atau ketika berinterksi dengan masyarakat lokal (Etnik
Dawan), ia menceritakan pengalamannya bahwa teknik persuasif atau pendekatan
yang dilakukannya tidak berbeda jauh dengan etnik Tionghoa lainnya, hal yang
dilakukannya antara lain seperti menggunakan bahasa Dawan, menyuguhkan sirih
pinang “oko ama”, rokok, sebagai tegur sapa.
94
Namun yang paling penting menurutnya adalah menyuguhkan sirih pinang
karena mempunyai cari khas tersendiri disamping menyuguhkan rokok dan
sebagainya. Ia menambahkan ketika sedang melayani pembeli ditokonya, sering
kali para pembeli menawarkan harga dagangannya berupa proses tawar-menawar
dengan menggunakan bahasa Dawan, ia sendiri merasa lebih senang dengan
penggunaan bahasa Dawan sebab terasa lebih halus dalam penyampaian maksud
dan tujuan, terutama kata “leko” yang artinya setuju atau baik, yang menurutnya
sangat halus.
“Kalo diutamakan sirih pinang, pokoknya daerah jadi ciri khasnya
tersendiri begitu , atau rokok utk seumuran ence, atau utk tua ya sirih
pinang, ya kalo bertemu kasih keluar rokok. Sama tegur sapa,”
“Terbanyak pake bahasa daerah, kalo bahasa Dawannya sopan sekali mau
dibilang lebih sopan dari bahasa pasar, cara penawaran juga pake bahasa
daerah, tapi bahasa Dawan ini ciri khasnya sopan lebih sopan dari pada
bahasa pasar (melayu kupang), dan lebih senang, sangat senang soalnya
dong kalo bahasa Dawan ini, kalo dong mau tawar juga mau kah tidak
“leko”, baik kah tidak, ya penawaran harganya. Bisa kurang berapa tetapi
cara bicaranya ciri khasnya sendiri”
Terjemahannya :
“Kalo diutamakan sirih pinang, pokoknya setiap daerah punya ciri khas
tersendiri begitu, atau kalo rokok untuk seumuran paman, atau untuk yang
sudah tua ya disuguhkan sirih pinang, ya kalo bertemu saiapa saja
suguhkan rokok, dengan tegur sapa juga ”
“Kebanyakan menggunakan bahasa daerah (bahasa Dawan), kao bahasa
Dawan sopan sekali, kalau mau dibiling lebih sopan dari pada bahasa
pasar, cara penawaran juga pake bahasa daerah tapi bahsa Dawan ini ciri
khasnya lebih sopan ciri khasnya dari bahsa pasar (bahasa melayu
Kupang), dan lebih senang dan sangat senang dengan mengunakan bahasa
Dawan ini, kalo mereka juga menawar dan menggunakan kata “leko” ayng
artinya setuju atau baik, begitu bisa tahu penawarannya berapa, bisa
dikurangi berapa, begitu. ”
95
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti, bahwa
pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak Gilbert Lee
sebagai etnik Tionghoa dan etnik Dawan melalui hubungan dagang dan sikap
toleransi diantara mereka yang diwujudkan dalam rasa saling pengertian satu
sama lain seperti saling mengunjungi acara seremonial satu sama lain, sehingga
dengan adanya hal tersebut makin terciptanya rasa kekeluargaan.
Disamping itu, pola ini terbentuk melalui beberapa proses diantaranya
melalui penggunaan bahasa Dawan sebagai bagian dari komunikasi antar etnik
juga dilakukan sebagai bentuk interaksi maupun menjalin relasi dengan etnik
Dawan. Penggunaan bahasa Dawan ini sendiri secara verbal disimbolkan sebagai
bahasa yang mampu mengeratkan relasi antara etnik Tionghoa dengan etnik
Dawan.
Simbol Verbal Makna Simbol
Bahasa Dawan Bahasa yang menunjukan eratnya relasi dan
keramahan antara etnik Tionghoa dengan etnik
Dawan, sekaligus bahasa yang digunakan dalam
tawar-menawar transaksi dagang.
Bahasa Pasar atau bahasa
melayu Kupang
Bahasa yang menjembatani komunikasi keluarga
dan sesama etnik Tionghoa.
Tabel.9. Tabel Verbal Informan Gilbert Lee
96
Simbol Non-Verbal Makna Simbol
Sirih Pinang “Oko Mama” Alat penghubung, budaya tegur sapa, awal
membangun relasi, alat diplomasi.
Rokok Alat penghubung, budaya tegur sapa, awal
membangun relasi, alat diplomasi.
Soya Sikap gerakan tangan yang memberi
penghormatan sekaligus tegur sapa terhadap
sesama etnik Tionghoa bagi mereka yang
seumuran atau yang lebih tua.
Tabel. 10. Tabel Non-Verbal Informan Gilbert Lee
Dalam hal menjalin relasi dengan sesama etnik Tionghoa, penggunaan
bahasa pasar atau melayu kupang lebih dominan ketimbang penggunaan bahasa
Mandarin, hal ini disebabkan karena kebanyakan dari mereka tidak sempat
mendapatkan pendidikan bahasa Mandarin. Bahasa pasar atau melayu Kupang
bagi keluarga Bapak Gilbert Lee disimbolkan secara verbal sebagai bahasa
menjembatani relasi dalam keluarganya maupun dengan etnik Tionghoa,
sedangkan bahasa Dawan disimbolkan secara verbal sebagai bahasa yang
mengandung keramahan dalam interaksi dengan etnik Dawan.
Hal tersebut cukup beralasan, berdasarkan temuan peneliti terhadap tulisan
Hidayat Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan pada umumnya sudah
mempergunakan bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak atau jarang sekali
mempergunakan bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun demikian ada
diantaranya yang mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan sekali-kali kalau
berhubungan dengan orang Tionghoa totok atau dengan mereka didalam keluarga
97
dalam menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar ini kemudian
mendapat pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92).
Perihal masalah mengenai alasan mengapa beliau tidak bisa mengunakan
bahasa Mandarin yang dikarenakan penutupan sekolah oleh Pemerintah Orde
Baru pada saat itu sebagai salah bentuk untuk asimilasi etnik Tionghoa,
berdasarkan tulisan Leo Suryadinata bahwa secara perlahan-lahan, pemerintah
mengumumkan peraturan yang bertujuan mengindonesiakan mata pelajaran dan
tenaga pengajarnya. Sebelum tahun 1958 sekolah Tionghoa berjumlah 200buah
dan terdiri dari sekolah-sekolah pro-taipei dan pro-Beijing. Pada tahun 1957,
pemerintah Indonesia telah mengumumkan satu peraturan yang melarang warga
negara Indonesia belajar disekolah Tionghoa. Peraturan ini membawa pengaruh
besar kedalam masyrakat Tionghoa, akibatnya kira-kira 1.100 sekolah Tionghoa
harus diubah menjadi sekolah bahasa Indonesia. Meskipun demikian, sekolah-
sekolah ini pun akhirnya ditutup tahun 1975. (Suryadinata, 2002, hal 84-5)
Disamping penggunaan tradisi budaya “Soya” yang disimbolkan secara
non-verbal sebagai salam penghormatan atau budaya tegur sapa kepada sesama
etnik Tionghoa khususnya bagi mereka yang dianggap seumuran ataupun yang
lebih tua. Hal tersebut juga terlihat dalam pengamatan peneliti dalam melihat
kehidupan sehari-hari bapak Gilbert Lee dalam berinteraksi dengan sesama etnik
Tionghoa.
Berkaitan dengan teknik persuasif atau pendekatan terhadap etnik Dawan,
bapak Gilbert Lee selalu mengutamakan pendekatan yang bersifat tradisional
98
berupa penggunaan bahasa Dawan, penyuguhan sirih pinang “oko mama”,
penyuguhan rokok yang secara non-verbal disimbolkan sebagai budaya tegur sapa
sekaligus diplomasi dalam menjalin relasi, hal serupa juga dilakukan kebanyakan
etnik Tionghoa lainnya. Sedangkan bahasa Dawan sendiri dalam pengamatan
peneliti sering digunakan oleh pembeli maupun oleh bapak Gilbert sebagai bahasa
transaksi dagang yakni budaya tawar menawar yang diwujudkan dalam kata
“leko” yang secara non-verbal pahami sebagai setuju atau baik. Disamping itu,
bahasa Dawan dan melayu Kupang juga sering digunakannya ketika berinteraksi
dengan masyarakat etnik Dawan yang ditemuinya saat bertemu dimana saja.
Informan peneliti berikutnya adalah bapak Christopher Wijaya (Oei I Ngo)
yang berumur 67 tahun berprofesi sebagai seorang pedagang sembako,
wawancara antara peneliti dengannya berlangsung pada tanggal 3 juli pukul
14.00, peneliti menanyakan mengenai bagaimana keluarga beliau membangun
hubungan komunikasi antar etnik dengan etnik setempat, dia menceritakan bahwa
ayahnya yang berprofesi sebagai pedagang pada waktu itu adalah sosok yang
supel sehingga memiliki banyak kenalan, khususnya dengan kalangan pribumi
yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan. Beliau menambahkan bahwa jalinan
relasi ini terbangun tidak hanya melalui hubungan dagang melainkan melalui
kegiatan hobi yakni minuman alkohol, yang berujung pada banyaknya kenalan
atau relasi yang banyak mulai dari kalangan atas, menengah dan bawah. istilah
yang ia ketahui bernama “hopeng” yakni berasal dari bahasa Mandarin khususnya
Hokkien yang diartikan sebagai teman kumpul atau teman akrab ucapnya sambil
tertawa lepas.
99
“Bapa tua bae, bapa tua ni dengan pegawai2 (pegawai negeri) bae, bapa
tua ni tukang minum (mabuk), bapa tua denga orang pribumi pegawai bae,
jadi bapatua pung hopeng (teman kumpul) banyak, kenalan banyak ais dong
ju tukang minum, jadi kawan dong banyak, paul nenu, pemilik hotel nusa
lontar, (mencoba mengingat), ehh sapa nee...Ndone ko sapa, dong khan
deng bapa tua khan kawan, dan dengan ornag lain akrab, jadi
hahahahehee...bapa tua dengan orang ini dong bae, termasuk temukung
oeba, yang tallo, itu bapa tua hopeng, tukang minum jadi dong pung
hopeng”
“Ohh iya...dagang, hoo..andaia diterminal, dagang jual sembako, gula,
terigu, sembako sudah...begitu.”. tertawa.
Terjemahannya :
“Ayah orangnya baik, ayah saya ini denga para pegawai negeri baik, ayah
saya suka minum alkohol, dia dengan orang asli berhubungan baik, jadi dia
punya banyak teman akrab atau teman kumpul, seperti Paul Nenu, pemilik
hotel Nusa Lontar, terus sapa lagi..ee Ndone atau sapa lagi...mereke dan
ayah saya berteman, dan dengan orang lain akrab jadi Hehehehe....dia
dengan orang lain sangat baik, termasuk para temukung (kepala desa) dari
Oeba, yang namanya Tallo, itu teman akrab ayah saya, suka mabuk-
mabukan makanya jadi akrab,”
“Ohh..dia berdagang sembako, di daerah terminal, gula, terigu,
sembakolah...begitu. Hahaha”
Selanjutnya, peneliti menanyakan perihal bagaimana ia membangun relasi
dengan sesama etnik Tionghoa di Niki-Niki serta juga didalam keluarganya, ia
menjawab dengan nada santai, bahwa bahasa yang ia pergunakan sehari-hari
dalam berkomunikasi dengan sesama etnik Tionghoa, maupun dalam keluarganya
hanya bahasa pasar atau disebut bahasa melayu Kupang. Sedangkan penggunaan
bahasa Mandarin jarang, ia pernah mengenyam pendidikan bahasa Mandarin. Ia
menambahkan kalo mereka sebagai orang yang berasal Hokkien hampir
seluruhnya menggunakan bahasa Kupang (Melayu Kupang) khususnya
100
dikalangan keluarga, termasuk komunikasi tatap muka dengan anggota keluarga
lainnya seperti istri dan anak.
Sedangkan perihal dalam melakukan teknik persuasif atau pendekatan
terhadap etnik Dawan, ian menjawab dengan ringkas bahwa ia sendiri tidak
menguasai bahasa Dawan, hanya menggunakan bahasa pasar atau bahasa melayu
Kupang, namun dengan menggunakan bahasa melayu Kupang ia sudah bisa
berkomunikasi dengan masyarakat Dawan. Namun tidak menutup kemungkinan
buatnya untuk belajar bahasa Dawan jika berinteraksi dengan masyarakat etnik
Dawan.
“Cuma bisa bahasa pasar sa, bahasa daerah sonde bisa. bahasa mandarin
sonde bisa, kalo bahsa daerah dr btong bapa pung daerah ni snd tau.
Mandari btong skolah jadi bisa”
“Bagini kalo ktong orang hokkien, hampir seluruhnya pake bahasa kupang,
kalo orang ke, dong apa bagus dengan keluarga pake dong pung bahasa,
dong dalam rumah pake bahsa ke, nah begitu, kebanyakan dong denagn
dong pung anak pake bahsa ke too...ya klob tong pung bahsa, btong bapa
pung bahsa btong snd taulah.”
“Biasa2 saa...kalo ence sonde tau bahasa Timor, jadi bagini sa..ence biasa
saa..btong omong sediki2 bisa, on me dong, mangatri sedikit2 bisa”
Terjemahannya :
“Cuma bisa bahsa pasar (bahasa melayu Kupang),bahsa daerah lain tidak
bisa, bahasa mandarin bisa, karena sempat sekolah, bahasa dari daerah
ayah juga tidak bisa, bahasa mandarin bisa, karena sempat sekolah”
“Bagini, kalo kami orang Hokkien hampir seluruhnya pake bahasa melayu
Kupang, kalo orang seperti kami, bagusnya menggunakan bahasa
Mandarin dengan anak-anak, ya kalo bahasa dari asal ayah kami, kami
tidak tahu.”
101
Ketika ditanya pendapatnya perihal pembauran yang terjadi diantara etnik
Tionghoa dengan etnik Dawan, termasuk didalamnya adanya perkawinan
campuran antara etnik Tionghoa dan etnik Dawan, ia mempunyai pendapat
tersendiri. Menurutnya keluarganya sudah cukup berbaur jadi tercipta hubungan
baik dengan masyarakat Dawan, dan keluarganya sangat dihormati. Sebab
menurutnya jika tidak adanya pembauran justru akan tidak dihormati oleh
masyarakat sekitar.
Dia merasa senang jika ada pembauran dan menyatu dengan sesama dan
terasa nyaman, termasuk hubungan pertemanan antara ayahnya dengan Raja
Nope. Disisi lain mengenai perkawinan campuran, menurutnya itu merupakan
proses yang bagus namun diakuinya hal tersebut terjadi dikalangan Tionghoa
tertentu. Sedangkan dikeluarganya lebih dominan peran orang tua yang
menetukan jodoh dalam perkawinannya, hal ini merupakan budaya tradisional
dikalangan etnik Tionghoa sehingga tidak dimungkinkan budaya pacaran pada
waktu itu.
“ohh dari dulu dong su berbaur jadi, jadi ada hubungan baik dengan orang
disini dan pandang (dihormati) se btong, kalo snd ada hub baik mana dong
mau pandang. Btong lebih senang to, bisa menyatu khan lebih baik, jadi
btong cari hisup disini dengan orang yang asli disini, dan su bisa menyatu,
dong khan rada enak, tapi kalo hubungan baik ini terjaga, kalo bapatua
dong ini dengan raja dong ini keturunan ini, ada hubungan pi datang
(hubungan timbal balik), jadi dong ada sobat begitu. Jadi bergaul dong
rakyat su merasa”
“kalo sebenanrya ada itu lebih bagus, kalo ada (sambil tunjuk jari
telunjuk), tapi ada satu2 (tertentu saja), ais dolo btong pung orang tua tu
soal jodoh orang tua yang tentukan, dia pung sahabat yang pung anak
aehh, jadi snd ada proses pacar2an ko, Hahahahhaaaee.. jadi dong lia, ini
anak abe, jadi bisa kasih kerabta sendiri, dong pung hopeng kembali. Cuma
102
itu dulu, Cuma jaman sekarang anak muda begitu snd mau lai..dong su pilih
sendiri.”
Terjemahannya :
“Oh kalo dari dulu sudah berbaur, jadi ada hubungan baik dengan orang
disini dan dipandang (dihormati)pada kita, kalo tidak ada hubungan baik
mana mungkin dihormati. Kami tentu lebih senang juga khan, bisa menyatu
malah lebih baik, jadi kami hidup disini dengan orang asli disini, dan sudah
bias menyatu, mereka juga merasa nyaman, tapi kalo hubungan baik ini
terjaga, kalo ayah saya ini dengan kalangan Raja juga ada hubungan baik
satu sama lain, jadi mereka sudah seperti sobat begitu, jadi bergaulnya
merata.”
Kalo sebenarnya da hal itu (kawin campur) lebih bagus, jadi ada hubungan
baik, namun itu masih pada golongan tertentu, habus dulu orang tua kami
soal jodoh ditentukan oleh mereka, misalnya dijodohkan dengan anak
sahabatnya, jadi tidak ada istilah pacaran lagi Hahahhaa....jadi mereka
lihat ini anaknya baik, jadi bisa dijodohkan dengan kerabat sendiri, teman
akrabnya sendiri. Tapi itu zaman dulu, sekarang anak mudah tidak mau
begitu lagi, jadi bergaulnya merata.
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti, bahwa
pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak Christopher
Wijaya sebagai etnik Tionghoa, dan etnik Dawan melalui hubungan dagang yang
dilakukan oleh ayahnya, jalinan relasi ini tidak hanya ada berkat hubungan dagang
saja, melainkan melalui hobi yang dilakoni oleh ayahnya seperti minum minuman
beralkohol yang menjadi salah satu daya tarik dalam menjaring relasi dengan
teman-teman akrabnya, dalam istilah yang digunakan adalah hopeng.
Hopeng sendiri disimbolkan secara verbal merupakan istilah bahasa
Mandarin yang artinya teman kumpul, atau teman akrab. Dalam hal menjalin
relasi dengan sesama etnik Tionghoa dan juga dalam komunikasi dengan anggota
keluarga, bapak Christopher lebih banyak menggunakan bahasa pasar atau bahasa
melayu Kupang, dibandingkan penggunaan bahasa Mandarin dalam komunikasi
103
sehari-hari walaupun ia sendiri menguasai bahasa Mandarin. Dalam pengamatan
peneliti, ketika berinteraksi dengan sesama etnik Tionghoa maupun didalam
keluarganya sendiri, ia lebih banyak menggunakan bahasa melayu Kupang.
Disamping itu ia sendiri secara pasif menguasai bahasa Mandarin baik tulisan
maupun lisan, lain halnya ketika berinteraksi dengan etnik Dawan, ia lebih banyak
menggunakan bahasa melayu Kupang, sedangkan bahasa Dawan ia sendiri tidak
menguasai.
Penggunaan bahasa melayu pasar tersebut cukup beralasan, berdasarkan
temuan peneliti terhadap tulisan Hidayat Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan
pada umumnya sudah mempergunakan bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak
atau jarang sekali mempergunakan bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun
demikian ada diantaranya yang mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan
sekali-kali kalau berhubungan dengan orang Tionghoa totok atau dengan mereka
didalam keluarga dalam menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar
ini kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92).
Simbol Verbal Makna Simbol
Bahasa Pasar atau bahasa
melayu Kupang
Bahasa yang menjembatani komunikasi keluarga,
sesama etnik Tionghoa khususnya kalangan
Hokkien, etnik Dawan. Sekaligus sebagai alat
strategi pendekatan terhadap etnik Dawan.
Hopeng Teman kumpul, teman akrab.
Tabel.11. Tabel Verbal Informan Christopher Wijaya
Perihal pembauran dikalangan etnik Tionghoa dan etnik Dawan, bapak
Christopher menilai bahwa adanya pembauran dikedua kalangan ini akan
104
membawa dampak yang baik yakni terciptanya hubungan baik antara keluarganya
dengan masyarakat setempat, efeknya adalah keluarganya sangat dihormati oleh
masyarakat setempat, terutama mengenai kawin campur antara etnik Tionghoa
dengan etnik Dawan menurutnya akan membawa dampak yang positif, namun
masih terbatas pada kalangan Tionghoa tertentu saja. Sedangkan dalam hal
strategi pendekatan yang dilakukannya ketika berinteraksi atau menjalin relasi
dengan etnik Dawan, ia pun hanya menggunakan bahasa melayu Kupang, sebab ia
sendiri tidak menguasai bahasa Dawan, baginya menggunakan bahasa melayu
kupang dirasa sudah cukup dalam melakukan interaksi sehari-hari dengan
masyarakat setempat ditambah pula sesekali ia menyuguhkan minuman alkohol
kepada kaum pemuda setempat secara terbatas untuk menghindari hal yang tidak
dininginkan.
2.4.2. Komunikasi Antaretnik Pada Etnik Tionghoa Campuran
Etnik Tionghoa campuran yang menjadi informan peneliti ini adalah
mereka yang merupakan keturunan peranakan Tionghoa yang sudah berbaur,
berperilaku, berbicara serta menikah dengan penduduk setempat (pribumi). Ke-6
informan penelitian ini adalah : Paulus Mana Nitbani (Ang Pai Fan), John
Errence E Litelnoni (Lee Hok Chow), Endang EYP Litelnoni (Ang Taek Sang),
Leonard Hun Banamtuan (Ang Xie Ling), Syarifudin Un (Wun Jun Pit), serta
Herman Carel Litelnoni (Lee Hok Kie). Dalam sub ini mereka mencoba
mendeskripsikan atau menceritakan kembali pengalaman mereka maupun
keluarganya berinteraksi dengtan etnik lokal (Etnik Dawan ) dalam wadah
105
komunikasi antar etnik, serta bagaimana mereka bisa berbaur dengan etnik lokal
setempat.
Informan pertama peneliti adalah bapak Paulus Nitbani (Ang Pai Fan),
yang berumur 76 tahun dan bekerja sebagai petani, wiraswastawan sekaligus
tokoh adat masyarakat Tionghoa Niki-Niki. Beliau juga merupakan informan
pokok peneliti sekaligus juga penghubung peneliti dengan calon informan lainnya.
Wawancara dilaksanakan pada 14 Juni 2012. Dalam wawancara ini, peneliti
menanyakan perihal bagaimana keluarga nenek moyangnya membangun relasi
melalui komunikasi antar etnik dengan etnik Dawan, dengan penuh semangat
sambil mengunyah sirih pinang ia menjawab bahwa jalinan relasi antara keluarga
nenek moyang dengan etnik Dawan melalui jalur dagang. Proses ini berjalan
secara alamiah, dimana etnik Tionghoa mengambil beberapa bahan baku dari
etnik Dawan seperti hasil bumi maupun hewan ternak, dalam transaksi tawar
menawar kemudian menjual kepada para konsumen yang notabene adalah etnik
Dawan lainnya, dalam proses ini terjalin interaksi yang intensif diantara mereka
otomatis tercipta jalinan relasi. Maka dalam jalinan relasi ini, etnik Tionghoa
secara tidak langsung sudah mempelajari dan berbicara bahasa Dawan sebagai
bahasa pengantar dalam menjalankan aktivitas dan transaksi dagang dengan etnik
Dawan.
Dia menambahkan selain transaksi dagang tersebut, ada jalinan relasi yang
sangat historis antara etnik Tionghoa dengan Raja setempat, dimana ketika
seorang Raja yang mangkat, maka ada kewajiban tertentu dari kalangan etnik
Tionghoa yang mambawa persembahan atau upeti bagi anggota keluarga Raja
106
tersebut sebagai bentuk penghormatan. Disamping hal tersebut, pada prinsipnya
etnik Tionghoa di Niki-Niki selalu ditanamkan nilai filosofi oleh para pendahulu
mereka yakni “Choan Chea” mencari hidup tanpa politik.
“Caranya adalah melalui cara berdagang, ka pasar menjual hasil bumi
seperti kulit kambing, cendana, benang, kerbau, tanduk rusa, nhasil hutan,
bumi, ternak. Otomatis mempunyai kenalan sebagai sobat, salaing
mempercayai apalagi Raja disni umpamanya ada kematian sang Raja,
maka etnik Tionghoa disini masuk secara adat membawa beras, uang,
begitu pun etnik Tionghoa meninggal juga Raja juga keluar datang ikut
penguburan diluar sana. Jadi hubungan itu makin hari makin erat. Dan
perlu diningat etnis Tionghoa tidak berpolitik (Choan Chea), taat pada PP
taat pada Praja, Tuan tanah, tidak melawan. Kebanyakan mereka yang
merantau karena krisi politik di RRC dan juga banyaknya monopoli tanah
sehingga memaksa banyak orang Tionghoa merenatau ke negeri lain,
disampining itu setelah sukses mereka mendatangkan sanak saudara
mereka di RRC untuk dibawa ke Indonesia.”
Terjemahannya :
“Caranya adalah melalui cara berdagang, pergi ke pasar menjual hasil
bumi seperti kulit kambing, cendana, benang, kerbau, tanduk rusa, hasil
hutan, bumi, ternak. Otomatis mempunyai kenalan sebagai teman (etnik
Dawan), tercipta rasa saling mempercayai apalagi kalangan Raja disini
misalnya ada mangkat sang Raja, maka etnik Tionghoa disini masuk secara
adat membawa beras, uang, begitu pun ketika ada etnik Tionghoa
meninggal juga Raja turut menghadiri penguburan diluar sana. Jadi
hubungan itu makin hari makin erat. Dan perlu diningat etnis Tionghoa
tidak berpolitik (Choan Chea), taat pada PP taat pada Raja, Tuan tanah,
tidak melawan. Kebanyakan mereka yang merantau karena krisis politik di
RRC dan juga banyaknya monopoli tanah sehingga memaksa banyak orang
Tionghoa merantau ke negeri lain, disampining itu setelah sukses mereka
mendatangkan sanak saudara mereka di RRC untuk dibawa ke Indonesia.”
Ketika disinggung mengenai interaksinya dengan anggota keluarga
maupun dengan sesama etnik Tionghoa, ia menjawab bahwa kebanyakan dalam
berkomunikasi sehari-hari dengan sesama etnik Tionghoa lainnya dilingkungan
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Dawan, namun tidak menutup
kemungkinan ia selalu memadukan beberapa kosakata bahasa Mandarin dalam
107
topik pembicaraan, sementara bahasa Tionghoa (bahasa Mandarin) jarang
digunakan dalam lingkup pergaulannya.
Sedangkan bahasa Mandarin sendiri dan tata cara hidup ala masyarakat
Tionghoa tetap ia terapkan dalam keluarga. Meskipun akhir-akhir ini ia lebih
dominan menggunakan bahasa Dawan dan bahasa Indonesia dalam komunikasi
tatap muka dengan anggota keluarga. Ia sendiri mengakui bahwa masih fasih
menulis dan bertutur kata bahasa Mandarin walaupun jarang dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari, Ia mencontohkan ketika bertemu sesama etnik Tionghoa
khususnya yang masih seumuran atau lebih tua, harus memberi salam
penghormatan dalam bentuk pai-pai atau soya.
“Bahasa Indonesia dan bahasa Dawan, namun bahasa Tionghoa
(Mandarin) kurang tata cara ada Tionghoa maupun bahasa mandarin
masih tetap kung terapkan dalam keluarga, namun kadang dalam keluarga
kung menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Dawan, kalo bahasa
Mandarin 25-30%, walau sudah lama tidak digunakan tetapi masih ingat,
dan masih bisa tulis bahasa atau sastra Mandarin.”
Terjemahannya :
“Bahasa Indonesia dan bahasa Dawan, namun bahasa Mandarin jarang
digunakan, namun tata cara adat Tionghoa maupun bahasa mandarin
masih tetap saya terapkan dalam keluarga, namun kadang dalam keluarga
saya menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Dawan, kalo bahasa
Mandarin 25-30%, walau sudah lama tidak digunakan tetapi masih ingat,
dan masih bisa tulis bahasa atau sastra Mandarin.”
“Dulu menggunakan bahasa Dawan, namun siring berjalannya waktu
akhir2 ini menggunakan bahasa Indonesia karena lebih susah. Kadang juga
campur dengan bahasa Tionghoa sedikit2. Tetapi prinsip tetapnya kalo
bertemu orang harus memberi pai (salam hormat) orang mati 3x (ganjil),
orang yang menikah 2x, yang masih hidup 1x (ganjil). Untuk meberikan
penghormatan kepada yang lebih tua.”
108
Terjemahannya :
““Dulu sering menggunakan bahasa Dawan, namun seiring berjalannya
waktu akhir-akhir ini menggunakan bahasa Indonesia karena bahasa
Dawan lebih susah. Kadang juga diselingi dengan bahasa Tionghoa sedikit.
Tetapi prinsip tetapnya kalo bertemu orang harus memberi pai (salam
hormat) orang mati 3x (ganjil), orang yang menikah 2x, yang masih hidup
1x (ganjil). Untuk meberikan penghormatan kepada yang lebih tua.”
Selanjutnya, peneliti bertanya mengenai pendapat tentang pembauran yang
terjadi antara etnik Tionghoa dengan etnik Dawan, dalam bentuk perkawinan
campuran. Dengan nada santai ia menjawab bahwa pembauran antara etnik
Tionghoa dan etnik Dawan dapat dilihat dalam acara-acara seremonial seperti
pesta perkawinan, pesta adat, atau acara-acara dari para kenalan maupun sahabat
keluarga. Ia memberi contoh ketika mereka menyelenggarakan acara maka
mereka pun mengundang etnik Dawan untuk menghadiri, begitu pun sebaliknya.
Pada akhirnya secara tidak langsung kerukunan tersebut tercipta, dalam hal
perkawinan campuran ia tidak banyak memberikan pendapat, ia hanya
memberikan contoh kecil salah satu anggota kerabatnya yang hadir pada saat
wawancara, dimana keponakannya yang berdarah Tionghoa dinikahkan dengan
salah satu cucu bangsawan anggota kerajaan Amanuban. Sehingga bisa
disimpulkan anak mereka secara langsung mewarisi dua adat budaya, dan warisan
ini akan memudahkan anak mereka mengakses kehidupan etnik Tionghoa
sekaligus kehidupan etnik Dawan.
“Itu sama seperti kayak pesta2, atau acara ceremonial itu, kenalan dari
sahabat atau family (keluarga) kita undang mereka datang, dan begtu
sebaliknya. Kebersamaan itu ada, kerukunan itu tercipta.”
109
“Ya kalo su ada kwin mawin, kalo contoh ini sa Nessie, dia punya anak
sudah menguasai dua adat (Adat Timor dan Tionghoa)”
Terjemahannya :
“Itu terlihat pada pesta atau acara seremonial, kenalan dari para sahabat
atau kerabat keluarga, jika kita mengundang, mereka hadir, dan begitu
sebaliknya. Kebersamaan itu ada, maka kerukunan tercipta”
“Ya kalau sudah menikah, misalnya contoh nessie, dia mempunyai anak
yang sudah menguasai dua adat (adat Timor Dawan dan adat Tionghoa)”
Perihal penjelaskan teknik pendekatan terhadap etnik Dawan oleh
kalangan etnik Tionghoa, umumnya pendekatan tersebut bergantung pada etnik
Tionghoa itu sendiri, yang paling penting adalah bagaimana etnik Tionghoa
tersebut dapat membawa diri dalam pergaulan, mengerti aturan maupun norma-
norma adat masyarakat Dawan, bisa berkerja sama, menguasai bahasa Dawan dan
yang paling penting adalah mengerti aturan maupun norma-norma adat
masyarakat Dawan seperti tata cara pendekatan secara tradisional yang
menyuguhkan sirih pinang dan lain sebagainya. Beliau menambahkan bahwa
dengan menguasai norma adat tersebut, etnik Tionghoa tersebut dijamin akan
diterima secara baik dan bisa hidup berdampingan dengan etnik Dawan.
“Kuncinya adalah Pembawaan diri, tau hukum adat, bisa kerja. Lapor diri,
penyampaian maksud tujuan, pake bahasa Dawan. Sopi, uang, sirih
pinang.”
Terjemahannya :
“Kuncinya adalah pembawaan diri, mengerti hukum ada, bisa berkerja
sama, pemberitahuan maksud dan tujuan kedatangan, menggunakan bahasa
Dawan, menyuguhkan sopi (arak), sejumlah uang, dan sirih pinang”
110
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti, bahwa
pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak Paulus Nitbani
sebagai etnik Tionghoa Campuran dan etnik Dawan melalui hubungan dagang,
dalam hubungan dagang ini terjadi proses transaksi tawar menawar dan terjalin
relasi. Disamping adanya ikatan historis ketika ada seorang Raja yang mangkat,
maka ada kewajiban tertentu dari kalangan etnik Tionghoa untuk membawa
sejumlah persembahan kepada anggota keluarga Raja sebagai bentuk
persembahan.
Etnik Tionghoa di Niki-Niki sendiri sejak kedatangan leluhurnya
memegang teguh prinsip filosofi yakni Choan Chea yang secara simbol verbal
diartikan sebagai mencari hidup tanpa berpolitik, menurut peneliti pandangan
tersebut bisa diartikan sebagai bentuk komitmen etnik Tionghoa yang merantau ke
Niki-Niki karena gejolak politik di negeri asal mereka, selain itu pada prinsipnya
tujuan utama dari etnik ini sendiri hanyalah mencari penghidupan dari sektor
ekonomi tanpa perlu terlibat masalah politik.
Hal tersebut cukup relevan dengan penemuan peneliti, hal tersebut bisa
dilihat dari ulasan Leo Suryadinata bahwa Ada dua faktor, yaitu faktor pendorong
dan faktor penarik yang berperan atas hadirnya dalam jumlah besar orang
Tionghoa diwilayah ini. Kekacauan, kemiskinan dan kepadatn penduduk di
daratan Tiongkok mendorong mereka meninggalkan negeri leluhurnya, sedangkan
kolonisasi barat di asia tenggara dan pembukaan wilayah ini membutuhkan
banyak tenaga kerja. (Suryadinata, 2002, hal 7)
111
Simbol Verbal Makna Simbol
Bahasa Dawan Bahasa yang menunjukan eratnya relasi dan
keramahan antara etnik Tionghoa dengan etnik
Dawan, sekaligus bahasa pengantar yang
digunakan dalam tawar-menawar transaksi
dagang.
Bahasa Pasar atau bahasa
melayu Kupang
Bahasa yang menjembatani komunikasi keluarga
dan sesama etnik Tionghoa.
Bahasa Mandarin Bentuk apresiasi terhadap pelestarian budaya
leluhur.
Choan Chea Mencari hidup tanpa berpolitik.
Tabel.12. Tabel Verbal Informan Paulus Nitbani
Berkaitan dengan interaksinya dalam keluarga maupun sesama etnik
Tionghoa lainnya, penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Dawan lebih
mendominasi ketimbang bahasa Mandarin dalam berinterkasi dilingkup keluarga
maupun sesama etnik Tionghoa lainnya dan tidak menutup kemungkinan
menggunakan beberapa istilah-istilah bahasa Mandarin yang diselipkan dalam
setiap topik pembicaraan. Namun bahasa Mandarin dan tata hidup ala etnik
Tionghoa, tetap ia terapkan dalam kehidupan keluarganya, menurut peneliti hal
tersebut sebagai bentuk apresiasi dirinya untuk tetap melestarikan budaya
leluhurnya. Hal tersebut ia coba tunjukan melalui masih fasih menulis tulisan
kanji maupun berbcara dalam bahasa Mandarin dan bila bertemu dengan sesama
etnik Tionghoa yang dianggap seumuran atau lebih Tua memberikan gerakan pai
atau soya yang secara simbol non-verbal diartikan sebagai salam penghormatan.
112
Simbol Non-Verbal Makna Simbol
Sirih Pinang “Oko Mama” Alat penghubung, bentuk permintaan yang bersifat
sakral, ucapan terima kasih, awal membangun
relasi, alat diplomasi.
Sopi (Arak) Alat penghubung, bentuk permintaan yang bersifat
sakral, ucapan terima kasih, awal membangun
relasi, alat diplomasi.
Uang Alat penghubung, bentuk permintaan yang bersifat
sakral, ucapan terima kasih, awal membangun
relasi, alat diplomasi.
Pai-Pai / Soya Sikap gerakan tangan yang memberi
penghormatan sekaligus tegur sapa terhadap
sesama etnik Tionghoa bagi mereka yang
seumuran atau yang lebih tua.
Tabel. 13. Tabel Non-Verbal Informan Paulus Nitbani
Dalam hal pembauran etnik Tionghoa dengan etnik Dawan seperti
pernikahan campuran dan strategi pendekatan terhadap etnik Dawan itu sendiri.
Menurut pendapatnya pembauran tersebut sangat baik dan memberi nuansa rukun,
hal tersebut dapat dilihat pada acara-acara yang diselenggarakan baik oleh etnik
Tionghoa maupun etnik Dawan itu sendiri. Mengenai teknik strategi pendekatan
terhadap etnik Dawan itu sendiri, terdapat beberapa cara yakni memahami aturan
maupun norma adat masyarakat Dawan, bisa berbahasa Dawan, mampu berkerja
sama dengan masyarakat setempat, pembawaan diri.
Namun baginya yang paling terpenting adalah pendekatan secara
tradisional seperti menyuguhkan sirih pinang, sopi (arak), dan sejumlah uang
sebagai bentuk permintaan. Menurut peneliti, hal tersebut dilakukan sebagai salah
113
satu bagian dari kepercayaan adat masyarakat Dawan, sekaligus sebagai suatu
ritual yang memungkinkan sebuah permintaan diterima secara sakral. Dalam
pengamatan peneliti, seperti saat berinteraksi dengan sesama etnik Tionghoa,
beliau lebih dominan menggunakan bahasa melayu Kupang disamping itu secara
aktif beliau menggunakan bahasa Dawan, hal ini juga menunjukan keakrabannya
dengan sesama etnik Tionghoa. Dalam pengamatan peneliti juga ia lebih sering
menggunakan bahasa Dawan dan bahasa melayu Kupang, tidak jarang sesekali ia
menggunakan bahasa Mandarin untuk berdiskusi dengan teman sejawatnya
sesama Tionghoa. Disisi lain dalam berinteraksi dengan etnik Dawan beliau
cukup aktif menggunakan bahasa Dawan, dan jarang terlihat menggunakan bahasa
melayu Kupang, kecuali bagi mereka yang merupakan orang baru atau pendatang.
Penggunaan bahasa melayu pasar tersebut cukup beralasan, berdasarkan
temuan peneliti terhadap tulisan Hidayat Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan
pada umumnya sudah mempergunakan bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak
atau jarang sekali mempergunakan bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun
demikian ada diantaranya yang mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan
sekali-kali kalau berhubungan dengan orang Tionghoa totok atau dengan mereka
didalam keluarga dalam menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar
ini kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92).
Informan peneliti selanjutnya adalah bapak John E.E.Litelnoni alias (Lee
Hook Chow), berumur 80 tahun yang merupakan satu-satunya mantan kepala
kelurahan keturunan Tionghoa di Niki-Niki. Ia juga merupakan tokoh Masyarakat
etnik Tionghoa di Niki-Niki, serupa dengan Bapak Paulus Nitbani. Beliau juga
114
merupakan informan pokok peneliti sekaligus juga penghubung peneliti dengan
calon informan lainnya. Wawancara peneliti dengan beliau berlangsung pada
tanggal malam hari 14 Juni 2012, peneliti menanyakan perihal bagaimana nenek
moyangnnya membangun relasi melalui komunikasi antar etnik dengan etnik
Dawan. Ia pun menjawab tidak tahu pasti tentang hal tersebut, karena ia sudah
yatim piatu sejak umur enam tahun, sehingga tidak mendapatkan rincian
informasi dari kedua orang tuanya perihal nenek moyang mereka.
Perihal ditanya mengenai bagaimana membangun relasi dengan sesama
etnik Tionghoa maupun dengan keluarga, ia menjawab dengan sigap bahwa relasi
yang terjalin masih kental hingga saat ini dikarenakan hubungan kawin-mawin
satu sama lain diantara etnik Tionghoa, hal tersebut masih bisa dilihat dalam
acara-acara kedukaan, pesta syukuran terutama saat imlek tiba. Pada momen
tersebut ia selalu mengunjungi keluarganya yang masih merayakan, hal ini
dimanfaatkan sekaligus sebagai ajang reuni atau kumpul keluarga.
Sedangkan penggunaan bahasa yang digunakan dalam berinteraksi
menurutnya semua itu disesuaikan dengan sutuasi yang berkembang dilapangan,
ia mencontohkan jika berada ditempat yang menggunakan bahasa Dawan maka ia
menggunakan bahasa Dawan pula. Alasannya bahwa bahasa Dawan di Niki-Niki
merupakan bahasa Ibu yang dapat disimbolkan secara verbal sebagai bahasa
tradisional yang menjembatani komunikasi masyarakat Dawan khususnya di
kalangan etnik Dawan dengan etnik Tionghoa Niki-Niki.
115
“Itu masih kental dengan adat istiadat karena hubungan kwin mawin, ahh
apa. Kematian, pesta2 syukuran terlebih yang paling kental saat imlek kung
selalu datangi keluarga yang konghuchu. Ada juga etnis turunan disini ikut
tahun baru nasional sampai tahun imlek dia juga rayakan istilah seperti
reuni”.
“itu sendiri dilihat dari situasi, apabila ditempa2 tertentu yg opake bahasa
Dawan ya pake Dawan. Sebab masyarakat sini bahsa ibuny adalah bhsa
Dawan. Itu begitu... hubungan pertama adalah sirih pinang, rokok, dini
macam dari jakrata datang juga disuguhkan sirih inag sebagai tanda
menerima.”
Terjemahannya :
“Itu masih kental dengan adat istiadat dikarenakan hubungan kawin-mawin
seperti acara kedukaan, pesta syukuran terlebih yang paling kental saat
imlek, saya selalu mendatangi keluarga yang masih beragama Konfhuchu
atau keturunan etnik Tionghoa. Ada juga etnik keturunan disini mengikuti
tahun baru Nasional samapau tahun baru imlek juga merayakan , jadi
istilahnya sudah seperti reuni”
“itu sendiri dilihat dari situasi yang ada, apabila ditempat tertentu yang
menggunakan bahasa Dawan ya gunakan bahasa Dawan. Sebab bahasa
masyarakat sini bahasa aslinya adalah bahasa Dawan. Itu begitu...
hubungan pertama adalah sirih pinang, rokok, disini seperti keluarga dari
Jakarata datang juga disuguhkan sirih Pinang sebagai tanda menerima.”
Mengenai teknik pendekatan terhadap etnik Dawan, sambil mengelap
dahinya dengan sapu tangan, ia menyambung bahwa pengalamannya selama
menjadi aparatur negara yakni Lurah Niki-Niki selama dua periode bahwa semua
itu bergantung dari cara kita bergaul dengan baik terhadap sesama, dan sebagai
seorang lurah baginya adalah bagaimana mengayomi dan mendekatkan diri
dengan masyarakat dilingkungannya, pada intinya adalah memahami hukum adat
masyarakat setempat, dan menggunakan pendekatan tradisional yang biasa
dilakukan masyarakat setempat seperti menyuguhkan sirih pinang dan bahasa
116
Dawan. Secara non-verbal sirih pinang atau oko mama sebagai alat untuk
mengawali relasi maupun sebagai alat diplomasi dalam menyelesaikan masalah.
“Pengalaman kung selama menjadi aparatur negara (lurah) mungkin lebih
banyak pada cara kita bergaul dengan baik terhadap sesama, bagaimana
kita mengayomi dan mencoba mendekatkan diri dengan masyarakat,
biasanya berkunjung ke rumah2 penduduk, ajak bicara. Intinya Pembawaan
diri, tau hukum adat, serta yang paling penting dalam membangun
hubungan adalah menggunakan cara2 tradisional atau kebiasaan
masyarakat sekitar terutama pake bahasa Dawan. Dan sirih pinang sebagai
lambang”
Terjemahannya :
“Pengalaman saya selama menjadi aparatur negara yakni Lurah mungkin
lebih banyak pada cara kita bergaul dengan baik terhadap sesama,
bagaimana kita mengayomi dan mencoba mendekatkan diri dengan
masyarakat, biasanya berkunjung ke rumah-rumah, ajak bicara. Pada
intinya pembawaan diri, mengerti hukum adat, serta yang paling penting
dalam membangun hubungan adalah menggunakan cara-cara pendekatan
tradisional atau kebiasaan masyarakat setempat terutama menggunakan
bahasa Dawan, dan sirih pinang”
Disisi lain pendapatnya mengenai pembauran antara etnik Tionghoa
dengan etnik Dawan dalam perkawinan campuran serta kualitas hubungan dalam
perkawinan campuran tersebut, ia menjelaskan bahwa pembauran tersebut tidak
ada perbedaan yang menonjol, namun ada hal-hal tertentu yang nampak seperti
diadakannya pesta atau perayaan maupun adanya kedukaan sangat menonjol di
Niki-Niki, disini dapat dilihat adanya jiwa gotong royong antara kedua etnik
tersebut, hal tersebut juga ia tekankan selama menjabat sebagai Lurah di Niki-
Niki agar setiap komponen masyarakat baik etnik maupun agama harus mampu
menjunjung tinggi nilai toleransi.
117
Dalam pemahaman peneliti bahwa komunikasi antar etnik antara etnik
Tionghoa dan etnik Dawan di Niki-Niki tidak hanya terwujud dalam kegiatan
ekonomi, namun terwujud dalam kegiatan acara maupun perayaan tertentu bahkan
dalam kehidupan sehari-hari. Dia menambahkan bahwa, dengan adanya ikatan
pernikahan campuran antara etnik Dawan dan etnik Tionghoa, justru akan
semakin mempererat ikatan jiwa gotong royong antara kedua belah pihak, sebagai
contoh jika terjadi kedukaan pada salah satu pihak maka pihak yang lain juga
turut membantu dan mengatasi kondisi dilapangan.
“Kalo utk itu kelihatannya akhir2 in semua tidak ada perbedaan menonjol
hanya pada hal2 tertentu ini etnis ini, tapi untuk komunikasi dan pergaulan
hal2 tidak ad, agama, tidak ada perbedaan, yang sangat menonjol adalah di
pesta2, kedukaan, dan terlebih gotong royong itu ada dan tinggi. Kegitana
jumat bersih. kalo kung pribadi, ya nuansa harmonis dan damai sudah
terbangun antara masyarakat Tionghoa di Niki2 dengan masyarakat etnis
Dawan/Timor disini, ya kung sebagai mantan lurah dan dulu pernah
menjabat, selalu menekankan nilai toleransi dan saling menjaga satu sama
lain.”
“Iya itu pasti, itu dapat kita lihat lewat contoh ada kedukaan disalah satu
pihak laki perempuan, maka semua itu terlibat dalam satu kegiatan dalam
mengatasi maslah tersebut. Itu karana langkah dasar dari jiwa gotng
royong sehingga terjadi kawain campur maka lebih kuat ikatannya.”
Terjemahannya :
“Kalo untuk hal tersebut kelihatannya akhir-akhir ini semua tidak ada
perbedaan menonjol, hanya pada hal-hal tertentu ini etnis ini (Tionghoa-
Dawan), tapi untuk komunikasi dan pergaulansehari-hari tidak ada, agama
pun tidak ada perbedaan-perbedaan, yang sangat menonjol adalah pada
pesta perayaan, kedukaan, dan terlebih jiwa gotong royong itu ada dan
sangat tinggi. Kegiatan jumat bersih. kalo saya pribadi, ya nuansa
harmonis dan damai sudah terbangun antara masyarakat Tionghoa di Nik-
niki dengan masyarakat etnis Dawan disini, ya saya sebagai mantan lurah
dan dulu pernah menjabat, selalu menekankan nilai toleransi dan saling
menjaga satu sama lain.”
118
“Iya itu pasti, itu dapat kita lihat lewat contoh ada kedukaan disalah satu
pihak laki maupun perempuan, maka semua komponen (kedua etnik) yang
terlibat dalam satu kegiatan untuk mengatasi masalah kedukaan tersebut.
Itu karana langkah dasar dari jiwa gotng royong sehingga terjadi kawin
campur maka lebih kuat ikatan antara kedua etnik tersebut.”
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti, bahwa
pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak John E.E.
Litelnoni sebagai etnik Tionghoa Campuran dan etnik Dawan melalui hubungan
silahturahmi yang terjalin karena hubungan kawin-mawin antara etnik Tionghoa
dan etnik Dawan dalam keluarganya, disamping itu hubungan ini juga dipererat
melalui acara kedukaan, pesta perayaan, maupun acara perayaan imlek di
keluarganya.
Sedangkan penggunaan bahasa dilingkungan keluarga maupun dalam
lingkungan masyarakat disesuaikan pada situasi maupun kondisi lapangan, bila
mana harus berada pada lingkungan yang menggunakan bahasa Dawan maka
bahasa Dawan pun digunakan, begitu pun bila berada di lingkungan etnik
Tionghoa maka bahasa yang digunakan pun bisa digunakan melayu Kupang atau
bahasa Dawan itu sendiri. Dalam pandangannya bahasa Dawan disimbolkan
secara verbal sebagai bahasa ibu, yakni bahasa tradisional yang menjembatani
komunikasi etnik Dawan maupun antara etnik Dawan dengan etnik Tionghoa
Niki-Niki.
Dalam pengamatan peneliti, beliau lebih dominan menggunakan bahasa
Dawan ketika berinteraksi dengan etnik Dawan, namun tidak jarang juga
menggunakan bahasa melayu Kupang untuk berinteraksi dengan mereka. Dilain
119
hal, dengan anggota keluarga maupun dengan sesama etnik Tionghoa lainnya,
beliau terlihat lebih dominan menggunakan bahasa melayu Kupang dan sesekali
menggunakan bahasa Dawan.
Penggunaan bahasa melayu pasar tersebut cukup beralasan, berdasarkan
temuan peneliti terhadap tulisan Hidayat Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan
pada umumnya sudah mempergunakan bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak
atau jarang sekali mempergunakan bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun
demikian ada diantaranya yang mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan
sekali-kali kalau berhubungan dengan orang Tionghoa totok atau dengan mereka
didalam keluarga dalam menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar
ini kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92).
Simbol Verbal Makna Simbol
Bahasa Dawan Bahasa ibu sebagai bahasa tradisional yang
menjembatani komunikasi etnik Dawan maupun
antara etnik Dawan dengan etnik Tionghoa Niki-
Niki.
Bahasa Pasar atau bahasa
melayu Kupang
Bahasa yang menjembatani komunikasi keluarga
dan sesama etnik Tionghoa.
Tabel.14. Tabel Verbal Informan John EE Litelnoni
Simbol Non-Verbal Makna Simbol
Sirih Pinang “Oko Mama” Alat penghubung, bentuk permintaan yang bersifat
sakral, ucapan terima kasih, awal membangun
relasi, alat diplomasi.
Tabel. 15. Tabel Non-Verbal Informan John EE Litelnoni
120
Berbicara strategi pendekatan terhadap etnik Dawan oleh etnik Tionghoa
Niki-Niki tidaklah berbeda jauh dengan pendekatan etnik Tionghoa sebelumnya,
yang paling penting adalah bagaimana kita memahami hukum atau norma adat
setempat yang berlaku di masyarakat etnik Dawan setempat, selain itu juga
menguasai pendekatan tradisional yang biasanya dilakukan oleh masyarakat etnik
Dawan seperti pemberian sirih pinang atau oko mama yang secara non-verbal
disimbolkan sebagai alat diplomasi penyelesaian maupun awal membangun
hubungan.
Sedangkan terkait pembauran etnik Tionghoa dan etnik Dawan dalam
bentuk perkawinan campuran yang terjadi di Niki-Niki yang bersifat tidak terlalu
menonjol, namun yang menonjol justru terjadi pada saat diadakannya acara pesta
perayaan tertentu maupun acara kedukaan yang terlihat adalah jiwa gotong royong
yang terbangun diantara kedua etnik tersebut, dengan adanya pernikahan
campuran antara kedua etnik tersebut semakin memperkuat ikatan kekeluargaan
diantara keduanya.
Selanjutnya seusai mewawancarai Bapak John kurang lebih 40 menit, saya
melanjutkan wawancara dengan istrinya yakni Ibu Endang EYP Litelnoni (Ang
Taek Sang) yang berumur 74 tahun, beliau berprofesi sebagai ibu rumah tangga
sekaligus sebagai mantan Ibu PKK mendampingi suaminya saat masih berdinas.
Beliau sendiri merupakan adik kandung dari bapak Paulus Nitbani yang
merupakan informan pokok peneliti.
121
Peneliti kemudiann bertanya mengenai bagaimana keluarganya
membangun melalui komunikasi antar etnik dengan etnik Dawan serta etnik
Tionghoa di Niki-Niki, dengan perawakan tenang ia menjawab bahwa seingatnya
relasi yang terbangun diantara keluarganya dengan etnik Dawan, khusunya
dengan kalangan Raja Nope maupun Raja Nitbani adalah melalui proses
hubungan dagang yang dikelola oleh orang tuanya, alasan ini cukup kuat, karena
ibunya merupakan putri dari Raja Nitbani.
Dibandingkan dengan Bapak Paulus Nitbani, ibu Endang masih mengingat
bahwa ayahnya yang berprofesi sebagai pedagang hasil bumi dan hewan ternak
dan juga garmen seperti benang dan lain sebagainya. Ia menambahkan dengan
adanya hubungan dagang ini menciptakan relasi yang kuat dan saling
bersosialisasi, ditambah lagi ia, dan kakaknya sendiri merupakan keturunan dari
keluarga Raja Nitbani yang secara otomatis memperoleh akses legitimasi yang
leluasa dalam berdagang maupun posisi dimasyarakat.
Perihal menjalin relasi dalam wadah komunikasi antar etnik, khususnya
dengan sesama etnik Tionghoa lainnya maupun dengan keluarga, ia menjelaskan
bahwa relasi yang terjalin selama ini berjalan baik dan sangat erat, dikarenakan
adanya pengaruh hubungan kawin-mawin maupun perkawinan campuran antara
etnik Tionghoa dengan etnik Dawan atau sesama etnik Tionghoa itu sendiri,
ditambah lagi adat istiadat etnik Tionghoa yang kental.
Hal ini bisa dilihat pada acara-acara perayaan tertentu, pesta, maupun
acara kedukaan pada umumnya terutama pada saat etnik Tionghoa merayakan
122
pesta Imlek atau tahun baru Cina, bagi beliau disini dapat terlihat betapa eratnya
hubungan kekeluargaan yang sangat erat dan beragam, dan kami pun berkunjung
dan membangun tali silahturahmi dengan keluarga yang merayakan.
“Yang bta ingat dulu, bta pung bapa membangun hubungan baik dengan
etnis Timor disini dan juga Raja Nope/ Raja Nitbani melalui cara
berdagang/ kegiatan ekonomi, bapa dulu di pasar menjual hasil bumi
seperti kayu cendana, benang dan juga hewan ternak seperti kulit kambing,
kerbau, sapi. Nah dari cara berdagang itu dia mulai ada relasi kuat dan
saling bersosialisasi.”
“Mungkin sama deng kung, ya mungkin masih kental dengan adat istiadat
karena hubungan kawin campur. Terus kalo ktong liat pas ada macam
acara pesta, perayaan, syukuran atau acara duka terlebih yang paling
kental saat imlek begitu, ktong selalu datangi keluarga yang konghuchu.
Begitu pas juga ada acara tahun baru nasional, Hehehe..semua berbaur.”
Terjemahannya :
“Yang saya ingat pada waktu itu, ayah saya membangun hubungan baik
dengan etnik Timor disini khususnya juga dengan Raja Nope dan Raja
Nitbani melalui hubungan dagang, Ayah saya dulu menjual hasilbumi
seperti kayu sendana, benang, dan juga hewan ternak seperti kulit kambing,
kerbau, sapi. Nah dari cara berdagang itu dia mulai membangun relasi kuat
dan saling bergaul”
“Mungkin jawabannya serupa dengan suami saya,yang mungkin karena
masih kental dengan adat istiadat karena hubungan kawin campur.
Kemudiann kali kita lihat saat adanya perayaan, syukuran atau kedukaan
terlebih saat imlek begitu, kami selalu mendatangi keluarga yang
merayakan, begitu juga pada saat perayaan tahun baru nasional. Semua
berbaur ”
Ketika ditanya perihal teknik pendekatan yang dilakukan ketika menjalin
relasi dengan etnik Dawan, termasuk pendapatnya tentang pembauran etnik
Tionghoa dengan etnik Dawan dalam perkawinan campuran, dengan suara yang
pelan ia menjawab dalam hal pendekatan yang dilakukannya terhadap etnik
123
Dawan lebih menitik beratkan pada pendekatan secara halus terhadap kaum
perempuan etnik Dawan, hal tersebut dilakukan sesuai kapasitasnya sebagai ibu
Lurah yang mendampingi sang suami ketika bertugas pada waktu itu.
Lebih jelasnya ia menceritakan bahwa selama mendampingi suaminya ia
terlibat dalam kegiatan pembinaan masalah PKK, teknik yang digunakan juga
menggunakan pendekatan tradisional seperti penyuguhan sirih pinang, bisa
beradaptasi dengan kondisi perempuan etnik Dawan (Tidak berpendidikan dan
tidak bergaul), menggunakan bahasa Dawan (karena buta huruf). Tugas yang
dijalankan adalah pemberian pengetahuan asupan gizi yang benar, mengolah
makanan bergizi, terutama merubah pola pikir mereka yang menjadi tantangan
berat, melakukan pemberdayaan kesenian seperti kerajinan tangan dan
sebagainya, pada akhirnya hasil tersebut ia tawarkan kepada kalangan etnik
Tionghoa lainnya di Niki-Niki, ucapnya sambil tertawa.
“Misalnya pada saat mau membina ibu2 masalalah PKK ini speuloh prog
pkk, kita mesti terima dia pung penbampilan, sirih piang, akrab dengan
mereka, omong2, kalo omg bahsa Indonesia mereka tdak tahu karena org
kamung, mustibersih, bagaimana makanan yang diolah harus bersih,
makanan umbi2, seperti jantung pisang dan ubi mereka tidak makana,
karena dianggap makanan hewan, tantangannya adalah mereka
menggagap kita mengajrajkan makan makanan hewan. Tertawa...lama2
terbisasa. Membiasakan olah raga. Kesenian. Kerjainan tangan kemudai
dijual ke orang2 Tionghoa”
Terjemahannya :
“Misalnya pada saat membina ibu-ibu tentang PKK mengenai sepeuluh
program PKK, kita harus belajar menerima penampilan atau kondisi kaum
perempuan etnik Dawan,meyuguhkan sirih pinang, mengakrabkan diri
dengan mereka, ngobrol, kalo berbicara dengan bahasa Indonesia, mereka
tidak tahu karena orang buta huruf, mengajarkan hidup sehat, bagaimana
makanan yang diolah harus bersih, makanan umbi-umbi, seperti jantung
124
pisang dan ubi mereka tidak makan, karena dianggap makanan hewan,
tantangannya adalah mereka menggagap kita mengajarkan mengkonsumsi
makanan hewan. Dan lama-kelamaan mereka terbiasa. Membiasakan diri
untuk berolahraga. Kesenian. Kerjainan tangan kemudiann dijual ke etnik
Tionghoa lainnya”
Perihal pendapatnya tentang pembauran etnik Tionghoa dan etnik Dawan
dalam perkawinan campuran, ia menuturkan perasaannya merasa seperti akrab
satu sama lain, mengulang pernyataan sebelumnya bahwa pembauran yang dapat
dilihat jelas pada acara-acara tertentu seperti pesta perayaan, maupun acara
kedukaan. Ia menambahkan dengan adanya pembauran ini, menciptakan suasana
harmonis diantara orang Tionghoa dengan masyarakat sekitar khususnya etnik
Dawan. Terkait perkawinan campuran tersebut, dengan adanya ikatan pernikahan
campuran antara etnik Dawan dan etnik Tionghoa justru akan semakin
mempererat kualitas hubungan yang diwujudkan ikatan jiwa gotong royong antara
kedua belah pihak, sebagai contoh jika terjadi kedukaan pada salah satu pihak
maka pihak yang lain juga turut membantu dan mengatasi kondisi dilapangan.
“Ktong ke akrab, misalnya acara perkawinan”
“Kalo bta sendiri, ya suasana harmonis diantara orang Cina dengan
masyarakat sekitar sini (Dawan/Timor) ya sebagai mantan ibu lurah, dalam
mendampingi Kung waktu itu selalu menekankan nilai toleransi dan saling
menjaga satu sama lain. Dilain hal juga kita bisal lihat dia pung contoh
nyata sa ke seperti kayak pesta2, atau acara perayaan itu, ke pesta kawin
orang cina, imlek, atau acara apa sa yang orang niki2 buat.”
“Iya, kalo soal hal itu memang su sonde bisa dipungkiri lai, ke yang kung
(suami saya) pernah bilang tadi sebelumnya to, ke lewat contoh ada
kedukaan disalah satu pihak laki perempuan, maka semua itu terlibat dalam
satu kegiatan dalam mengatasi maslah tersebut. Itu karana langkah dasar
dari jiwa gotong royong sehingga terjadi kawain campur maka lebih kuat
ikatannya.”
125
Terjemahannya :
“Kami seperti merasa akrab, misalnya acara perkawinan”
“Kalo saya sendiri, ya suasana harmonis diantara orang Tionghoa dengan
masyarakat sekitar sini khususnya etnik Dawan, ya sebagai mantan ibu
lurah dalam mendampingi beliau waktu itu selalu menekankan nilai
toleransi dan saling menjaga satu sama lain. Dilain hal juga kita bisa lihat
contoh nyata seperti pesta, acara perayaan seperti pesta pernikahan orang
Tionghoa, Imlek, atau acara apa saja yang diadakan oleh orang Niki-Niki ”
“Iya, kalo soal hal itu (kualitas hubungan) memang sonde bisa dipungkiri
lagi, seperti yang dikatakan oleh suami saya pernah katakan sebelumnya
seperti contohnya ada kedukaan disalah satu pihak laki atau perempuan,
maka semua itu terlibat didalam satu kegiatan dalam mengatasi maslah
tersebut . Itu karena langkah dasar dari jiwa gotong royong sehingga
terjadi perkawinan campuran maka lebih kuat ikatannya ”
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti, bahwa
pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga Ibu Endang EYP
Litelnoni sebagai etnik Tionghoa Campuran dan etnik Dawan melalui hubungan
dagang yang terjalin karena hubungan kawin-mawin antara etnik Tionghoa dan
etnik Dawan, khususnya keluarga Raja Nitbani. Dengan adanya hubungan
kekeluargaan ini otomatis akan memudahkan legitimasinya secara leluasa dalam
akses dagang, maupun posisi dimata masyarakat Dawan pada umumnya. Dalam
menjalin relasi dengan sesama etnik Tionghoa berjalan cukup baik, hal ini
dipengaruhi hubungan kawin-mawin maupun perkawinan campuran antara etnik
Tionghoa dengan etnik Dawan atau sesama etnik Tionghoa itu sendiri ditambah
lagi adat istiadat etnik Tionghoa yang kental.
126
Simbol Verbal Makna Simbol
Bahasa Dawan Bahasa tradisional yang menjembatani
komunikasi etnik Dawan maupun antara etnik
Dawan dengan etnik Tionghoa Niki-Niki.
Khusunya bahsa yang digunakan dalam melaukan
pendekatan terhadap kaum perempuan etnik
Dawan
Bahasa Pasar atau bahasa
melayu Kupang
Bahasa yang menjembatani komunikasi keluarga
dan sesama etnik Tionghoa.
Tabel. 16. Tabel Verbal Informan Endang EYP Litelnoni
Simbol Non-Verbal Makna Simbol
Sirih Pinang “Oko Mama” Alat penghubung, bentuk permintaan yang bersifat
sakral, ucapan terima kasih, awal membangun
relasi, alat diplomasi.
Tabel. 17. Tabel Non-Verbal Informan Endang EYP Litelnoni
Dalam pengamatan peneliti, ketika melakukan interaksi dengan sesama
etnik Tionghoa, beliau maupun keluarganya kerap kali menggunakan bahasa
Melayu Kupang dan bahasa Dawan, namun keitka berinteraksi dengan sesama
etnik Dawan baik yang mempunyai hubungan relasi keluarga maupun tidak
mereka lebih dominan menggunakan bahasa Dawan, karena bahasa Dawan sendiri
merupakan bahasa asli atau bahasa Ibu atau bahasa tradisional bagi masyarakat
Dawan. Dalam pengamatan peneliti, seperti pada saat membangun relasi atau
berinteraksi dengan etnik Dawan, beliau lebih sering menggunakan bahasa Dawan
dan sesekali menggunakan bahasa melayu Kupang dengan mereka. Disisi lain,
ketika berinteraksi dengan sesama etnik Tionghoa maupun didalam keluarganya
127
beliau lebih aktif menggunakan bahasa melayu Kupang dan sering juga
menggunakan bahasa Dawan.
Penggunaan bahasa melayu pasar tersebut cukup beralasan, berdasarkan
temuan peneliti terhadap tulisan Hidayat Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan
pada umumnya sudah mempergunakan bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak
atau jarang sekali mempergunakan bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun
demikian ada diantaranya yang mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan
sekali-kali kalau berhubungan dengan orang Tionghoa totok, atau dengan mereka
didalam keluarga dalam menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar
ini kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92).
Sedangkan berkaitan dengan teknik pendekatan dalam membangun relasi
dengan etnik Dawan, terdapat dua pendekatan yakni pendekatan secara tradisional
seperti penyuguhan sirih pinang, penggunaan bahasa Dawan dan pendekatan yang
dilakukan secara khusus terhadap kaum perempuan etnik Dawan, pada umumnya
dalam bentuk penyuluhan maupun pelatihan kerajinan tertentu. Secara verbal,
pendekatan dengan menggunakan bahasa Dawan baik dalam penyuluhan maupun
pelatihan dimaknai sebagai bentuk membangun relasi secara informal dengan
kaum perempuan etnik Dawan.
Disamping itu pendekatan secara non-verbal seperti penyuguhan sirih
pinang lebih dimaknai sebagai bentuk pendekatan tradisional dalam bentuk
diplomasi terhadap kaum perempuan. Berkaitan dengan pembautan etnik
Tionghoa dan etnik Dawan dalam bentuk perkawinan campuran, ia berpendapat
128
bahwa dengan adanya hal tersebut semakin menciptakan suasana harmonis dan
terasa akrab bagi kedua etnik tersebut, disamping itu dengan adanya perkawinan
campuran ini memberi dampak positif yakni makin eratnnya kualitas hubungan
antara kedua etnik tersebut.
Informan peneliti selanjutnya adalah Leonard Hun Banamtuan (Ang Xie
Ling), berprofesi sebagai pedagang dan pemuka agama yang berumur 71 tahun.
Wawancara antara peneliti dengan beliau berlangsung pada 2 juli 2012, peneliti
bertanya mengenai bagaimana nenek moyang keluarganya membangun relasi
melalui komunikasi antar etnik dengan etnik Dawan, dengan nada santai ia
menjawab dari sudut pandang teknis bahwa secara keseluruhan hubungan
berjalan baik, dengan menggunakan bahasa Dawan yang paling dominan.
Relasi ini terjalin berkat adanya hubungan dagang yang terjalin diantara
mereka, ia menambahkan melalui hubungan dagang ini berkembang menjadi
hubungan yang cukup dekat dalam pemakaian komuditas tanah, ia mencontohkan
strategi pendekatan yang dilakukan oleh keluarganya ketika ingin membeli
sebidang tanah dengan biaya yang sangat sedikit, namun hal tersebut baru
terpenuhi jika memiliki kualifikasi kedekatan kekerabatan tertentu.
Ketika disinggung mengenai membangun relasi dengan sesama etnik
Tionghoa serta didalam keluarga, ia menjawab bahwa hubungan dengan anggota
keluarga berjalan cukup baik, terutama dari orang tua kepada anak, didalam
keluarganya lebih banyak menggunakan bahasa Dawan dan bahasa melayu
Kupang. Begitu pun dengan pergaulannya dengan sesama etnik Tionghoa berjalan
129
cukup baik, bahasa yang digunakan lebih dominan menggunakan bahasa Dawan,
ia juga menggunakan bahasa Indonesia, namun menurutnya menggunakan bahasa
Indonesia terasa kurang akrab, bahasa Dawan merupakan bahasa yang bisa
mengakrabkan hubungan tidak hanya diperuntukan bagi etnik Dawan melainkan
bagi sesama etnik Tionghoa lainnya.
Dia menambahkan menggunakan bahasa Dawan terkesan merendahkan
diri atau tidak egois, dia mencontohkan pengalamannya ketika menyelesaikan
masalah dengan seseorang dari etnik Dawan dengan menggunakan bahasa Dawan,
masalah tersebut berhasil diatasi ketimbang menggunakan bahasa Indonesia yang
terkesan “sombong ”bagi sebagian etnik Dawan.
“Artinya baik, hubungan baik pake bahasa Dawan, ya biasa ketemu ya
selamat terkecuali seperti kalo meminta sesuatu adatnya orang Timor disini
harus angkat Uang, jadi seperti mau butuh tanah, tanah untuk buat rumah
angkat uang 10 rupiah dan 1 botol sophi (arak) dia (orang timor) bisa kasih
tanah satu hektar ya.”
“Yaa...saya kira pergaulan cukup baik dari orang tua bagaimana ya sampai
ke anak juga begitu, ya pakai bahasa Dawan. Dan menggunkanan bahasa
kupang begitu masih ada tetap pake bta, lu, dia dengan sesama etnis
Tionghoa juga pake bahasa daerah dan juga menjadi bahasa yang biasa
begitu.”
“Ya pake bahsa Indonesia bahasa Dawan, tetapi lebih akrab pake bahsa
Dawan, keran bahasa Dawan ini sangat merendahkan, terlalu
merendahkan diri begitu seperti pembawaan dirinya rendah betul, jadi
umpama ada masalah jadi bisa diterima, tetapi misalnya kita pake bahasa
Indonesia mereka anggap tidak betul. Kita dianggap sombong, karna
bahasa Dawan dianggap lebih gampang. Tetapi bahasa indoensia susah
dan dianggap sombong, dia seperto orang hebat2 sa.”
“Kalo awal2 ya pake bahsa Indoensia jika baru kenal, tapi kalo su kenal ya
pake bahsa daerah, on me begitu, kermana , bagaimana.”
130
Terjemahannya :
“Artinya baik, hubungan baik menggunakan bahasa Dawan, ya biasa kalo
bertemu memberi selamat terkecuali seperti kalo meminta sesuatu, adatnya
orang Timor disini harus istilahnya “angkat uang”, jadi seperti mau
membutuhkan sebidang tanah, maka gunakan tradisi angkat uang 10
rupiah dan 1 botol sophi (arak), dia (orang timor) bisa kasih tanah satu
hektar.”
“Ya, saya kira pergaulan cukup baik, bagaimana dari orang tua kepada
anak juga begitu, ya menggunakan bahasa Dawan. Dan menggunAkanan
bahasa melayu Kupang begitu masih ada tetap pake kata : bta, lu, dia ,
begitu pun dengan sesama etnis Tionghoa juga pake bahasa Dawan dan
juga menjadi bahasa melayu Kupang begitu.”
“Ya menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Dawan, tetapi lebih tarasa
akrab menggunakan bahasa Dawan, karena bahasa Dawan ini sangat
merendahkan, terlalu merendahkan diri begitu seperti pembawaan dirinya
rendah betul, jadi misalkan ada masalah kemudiann bisa diselesaikan,
tetapi misalnya kita menggunakan bahasa Indonesia, mereka menganggap
tidak beres. Kita dianggap sombong, karena bahasa Dawan dianggap lebih
gampang. Tetapi bahasa Indoensia susah dan dianggap sombong, dia
seperti orang besar atau pejabat saja.”
“Kalo pada awal perkenalan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi jika
sudah kenal dekat baru mengunakan bahasa Dawan atau melayu Kupang”
Perihal strategi pendekatan terhadap etnik Dawan serta pendapatnya
mengenai pembauran etnik Tionghoa dan etnik Dawan dalam perkawinan
campuran, ia menjawab dengan nada serius bahwa dalam melakukan pendekatan
terhadap etnik Dawan misalnya dalam pembelian tanah untuk pembangunan
rumahnya menggunakan pendekatan tradisional seperti prosesi “angkat uang”
atau dalam bahasa Dawan diistilahkan Tait Noni dan Tait Oko Mama
(penyuguhan sirih pinang) dan pemberian sopi (arak).
Baginya pemberian ini secara kuantitas memang terlalu kecil, namun jika
ditelisik dalam perspektif adat setempat, hal ini mempunyai nilai yang besar untuk
131
ukuran adat etnik Dawan. Ia menambahkan bahwa uang sepuluh rupiah yang
sekarang setara dengan seribu rupiah, diibaratkan sebagai kata permintaan.
Sedangkan sirih pinang atau oko mama diibaratkan sebagai penopang dari
permintaan tersebut, ucap menyambung pengalamannya beberapa puluh tahun
lalu.
Berkaitan dengan pembauran etnik Tionghoa dan etnik Dawan dalam
perkawinan campuran, ia menjawab dengan ringkas bahwa hal tersebut cukup
baik, dan artinya ada hubungan baik dan ia merasa senang, hal tersebut tidaklah
mengherankan bagi peneliti sebab beliau sendiri merupakan keturunan Tionghoa
campuran. Kemudiann, menyoal tentang pendapatnya tentang kualitas hubungan
perkawinan campuran etnik Tionghoa dan etnik Dawan, bahwa hubungan tersebut
dengan adanya hubungan perkawinan campuran ini, akan semakin mempererat
hubungan kedua pihak, disamping itu ia mencontohkan dirinya sebagai bagian
dari perkawinan campuran tersebut.
Ketika dia berada dilingkungan etnik Dawan, hampir semua orang
memanggil namanya dan tidak ada satu pun istilah atau panggilan Cina yang
dirasa cukup rasis, dan semua perbedaan tersebut hilang dan dia sendiri tidak
mendapatkan perlakuan khusus dimasyarakat. Namun yang menarik adalah
panggilan yang ditunjukan kepadanya adalah istilah kase nem yang artinya orang
berpendidikan atau orang dari kalangan tinggi, namun dari hasil informasi yang
peneliti peroleh kase atau kase nem lebih ditunjukan kepada kaum etnik Tionghoa
yang derajatnya setara dengan kaum bangsawan namun tidak bermakna rasial.
132
“Ya misalnya kita mau tanah utk buat rumah, adat disini musti istilah
angakt uang deng sophi, bahasa Timornay bilang Tait noni/Tait Oko
(tempat sirih), biar kecil tetapi terlalu besar utk ukuran orang timor itu”
“Oh pernah, ya kadang kala saat kita mau buat rumah pertama kasih tek
oko mama kasih taruh tempat sirih dengan uang 10 rupiah gitu, Tapi kalo
sekarang ukurannya ya seribu rupiah. (uang dinibaratkan sebagai kata2
permintaan, tempat sirih sebagai penopang). Nilai uang tidak diukur, tetapi
niat permintaan yang diukur. Iya semua diTimor seperti itu, bukan hanya
kung tetapi semua orang.”
“Iya kasih 10 rupiah dan dapat tanah 1 hektar dan tidak pernah digugat, itu
kelebihan oraqng timor. Mereka itu hanya pada waktu minta tanah utk
tinggal dikasih uang 10 rupiah ke dulu 1 sen dengan 1 botol sophi dia kasih
tanah dengan sirih pinag, nah itu tanda terima, jadi itu sampai anaknya
juga tidak bisa ambil, kalo dia punya anak ambil mati seperti sebuah
sumpah, jadi seperti sebuah hukum adat.”
“Baik, artinya ada hubungan baik. Dan saya senang”
“Iya, erat hubungan. Dengan perkawinan campuran ini hubungan lebih
erat, contoh keluarga saya. Karena ketikaa kita sudah kwin campur ini,
mereka anggap kita ini sama tdk ada perbedaan, hilang kata cina.
Sebaliknya juga begitu. Namun perbedaanya, ya dong panggil kung kase,
karna masih ada darah cina. Kase nem. Perbedaanya dong panggil kase
nem, itu artinya seperti orang sekolah itu datang, suatu pengenalan tidak
berbau ras. Artinya pengenalan kepada orang timor tapi yang kwin
campuran.”
Terjemahannya :
“Ya misalnya kita mau meminta atau mebeli sebidang tanah untuk
dibangun sebuah rumah, aturan adat disini mengharuskan menggunakan
istilah angkat uang dengan penyuguhan arak (sophi), istilah bahasa
Dawannya adalah Tait noni dan Tait Oko (tempat sirih pinang), biar kecil
ukuran harganya tetapi terlalu besar untuk ukuran orang Timor itu”
“Oh pernah, ya kadang kala saat kita mau membangun rumah, pertama
berikan tek oko mama, taruh tempat sirih dengan uang 10 rupiah gitu, Tapi
kalo sekarang ukurannya ya seribu rupiah. (uang dinibaratkan sebagai
kata2 permintaan, tempat sirih sebagai penopang). Nilai uang tidak diukur,
tetapi niat permintaan yang diukur. Iya semua di Timor menggunakan hal
seperti itu, bukan hanya saya tetapi semua orang etnik Tionghoa dan
Dawan.”
133
“Iya berikan 10 rupiah dan dapat tanah 1 hektar dan tidak pernah digugat,
itu kelebihan orang Timor (etnik Dawan). Mereka itu hanya pada waktu
minta tanah utk tinggal dikasih uang 10 rupiah, dengan 1 botol arak , dia
berikan tanah, nah itu sebagai tanda terima, jadi itu sampai anaknya juga
tidak bisa mengambil ahli tanah tersebut, kalo anaknya mengambil akan
terkena kutukan, bisa mendapat ajal, seperti sebuah sumpah, jadi seperti
sebuah hukum adat.”
“Baik, artinya ada hubungan baik. Dan saya senang”
“Iya, erat hubungan. Dengan perkawinan campuran ini hubungan lebih
erat, contoh keluarga saya. Karena ketika kita sudah kawin campur ini,
mereka anggap kita ini sama tidak ada beda dengan mereka, hilang kata
Cina. Sebaliknya juga begitu. Namun perbedaanya, ya mereka (etnik
Dawan) memanggil saya dengan istilah kase, karena masih ada keturunan
darah Cina/Tionghoa. Kase nem. Perbedaanya mereka memanggil kase
nem, itu artinya seperti orang sekolah itu datang, suatu pengenalan tidak
berbau ras. Artinya pengenalan kepada orang timor tapi yang sudah kawin
campuran.
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti, bahwa
pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak Leonard Hun
Banamtuan, sebagai etnik Tionghoa Campuran dan etnik Dawan melalui
hubungan dagang yang terjalin karena hubungan kawin-mawin antara etnik
Tionghoa dan etnik Dawan khususnya keluarga Raja Nope, bahasa yang
digunakan pada saat itu adalah bahasa Dawan yang mampu menjembatani
komunikasi antar etnik tersebut.
Bahasa Dawan secara verbal disimbolkan sebagai bahasa yang
menjembatani keakraban relasi antara etnik Dawan dan etnik Tionghoa, sekaligus
sebagai salah satu bahasa yang digunakan dalam pergaulan sesama etnik
Tionghoa maupun dalam keluarganya disamping penggunaan bahasa melayu
Kupang. Bahasa Dawan juga disimbolkan secara verbal sebagai bahasa yang
134
bersifat merendahkan diri dan tidak terkesan egois dalam pandangan etnik Dawan.
Bahasa Dawan sendiri digunakan beliau ketika berinteraksi dan transaksi dagang
dengan masyarakat setempat, disamping menggunakan bahasa melayu Kupang.
Bahasa melayu Kupang sering digunakannya saat menjalani profesi sebagai
Pendeta dalam melayani kegiatan rohani di gerejanya. Disisi lain, dalam
berinteraksi dengan sesama etnik Tionghoa dan didalam lingkungan keluarga
beliau lebih dominan menggunakan bahasa melayu Kupang, namun jarang terlihat
menggunakan bahasa Dawan kecuali terhadap para pegawainya.
Penggunaan bahasa melayu pasar tersebut cukup beralasan, berdasarkan
temuan peneliti terhadap tulisan Hidayat Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan
pada umumnya sudah mempergunakan bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak
atau jarang sekali mempergunakan bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun
demikian ada diantaranya yang mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan
sekali-kali kalau berhubungan dengan orang Tionghoa totok, atau dengan mereka
didalam keluarga dalam menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar
ini kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92).
Berkaitan dengan strategi pendekatan terhadap etnik Dawan, ia melakukan
beberapa teknik pendekatan secara tradisional yang kebanyakan dilakukan oleh
kalangan etnik Tionghoa lainnya maupun etnik Dawan pada umumnya sebagai
bentuk membangun relasi, dan alat diplomasi, hal yang dilakukan selain
menggunakan bahasa Dawan adalah proses angkat uang atau nama lainnya adalah
tait noni yang berupa uang seribu rupiah, penyuguhan sirih pinang atau tait oko
mama, dan pemberian arak atau sophi.
135
Secara simbol non-verbal prosesi angkat uang atau tait noni disimbolkan
sebagai bentuk kata permintaan sedangkan oko mama maupun arak diibaratkan
sebagai bentuk penopang dari permintaan tersebut. Secara harafiah pemberian ini
secara kuantitas memang terlalu kecil, namun jika ditelisik dalam perspektif adat
setempat ini mempunyai nilai yang besar untuk ukuran adat etnik Dawan
setempat.
Simbol Verbal Makna Simbol
Bahasa Dawan Bahasa tradisional yang menjembatani keakraban
komunikasi etnik Dawan maupun antara etnik
Dawan dengan etnik Tionghoa Niki-Niki.
Khusunya bahasa yang digunakan sebagai alat
pendekatan dalam diplomasi etnik Dawan
Bahasa Pasar atau bahasa
melayu Kupang
Bahasa yang menjembatani komunikasi keluarga
dan sesama etnik Tionghoa di Niki-Niki.
Kase Nem Istilah atau panggilan terhadap orang
berpendidikan atau orang dari kalangan tinggi,
atau ditunjukan kepada kaum etnik Tionghoa yang
derajatnya setara dengan kaum bangsawan namun
tidak bermakna rasial.
Tabel. 18. Tabel Verbal Informan Leonard Hun Banatuan
136
Simbol Non-Verbal Makna Simbol
Sirih Pinang “Oko Mama”
/ Tait oko mama
Alat penghubung, bentuk permintaan yang bersifat
sakral, ucapan terima kasih, awal membangun
relasi, alat diplomasi. Bentuk penopang dari
permintaan.
Angkat uang, tai noni,
uang.
Bentuk kata permintaan
Arak atau sophi Bentuk penopang dari permintaan
Tabel. 19. Tabel Non-Verbal Informan Leonard Hun Banatuan
Berkaitan dengan pembauran etnik Tionghoa dan etnik Dawan dalam
perkawinan campuran serta kualitas hubungannya, bahwa dengan adanya
perkawinan campuran ini dapat menjembatani hubungan baik kedua etnik
tersebut. Tidaklah mengherankan bagi peneliti sebab bapak Leonard sendiri
merupakan keturunan Tionghoa campuran. Kemudiann, menyoal tentang
pendapatnya tentang kualitas hubungan perkawinan campuran etnik Tionghoa dan
etnik Dawan, bahwa hubungan tersebut dengan adanya hubungan perkawinan
campuran ini akan semakin mempererat hubungan kedua pihak.
Dalam ruang lingkup etnik Dawan bapak Leonard sendiri dilingkungan
etnik Dawan tidak mendapatkan perlakuan khusus maupun diskriminasi atau
rasisme. Namun yang menarik adalah panggilan yang ditunjukan kepadanya
adalah istilah kase nem, istilah ini secara disimbolkan secara verbal yang artinya
orang berpendidikan atau orang dari kalangan tinggi, namun dari hasil informasi
yang peneliti peroleh kase atau kase nem lebih ditunjukan kepada kaum etnik
Tionghoa yang derajatnya setara dengan kaum bangsawan namun tidak bermakna
rasial.
137
Informan peneliti selanjutnya adalah bapak Syarifudin Un (Wun Jun Pit),
yang seorang Tionghoa Muslim di Niki-Niki. Beliau berprofesi sebagai seorang
kontraktor yang berumur 62 tahun, peneliti menanyakan perihal bagaimana
bagaimana nenek moyang keluarganya membangun relasi melalui komunikasi
antar etnik dengan etnik Dawan, dengan pembawaan tenang ia menjawab bahwa
jalinan relasi yang terbangun melalui hubungan dagang yang dibangun oleh para
leluhur keluarganya sejak ratusan tahun lalu. Ia menjelaskan bahwa kakeknya
serta nenek buyutnya, yang berprofesi sebagai mantri Cendana sudah menjalin
relasi dengan masyarakat setempat di Niki-Niki, sehingga lambat laun mereka
sudah mampu berbaur atau menyatu dengan masyarakat setempat tanpa ada
hambatan sama sekali, hal tersebut terjadi karena leluhurnya sudah menikahi
keluarga bangsawan Raja Nope.
Berkaitan dengan membangun relasi keluarganya dengan sesama etnik
Tionghoa baik yang muslim dan yang non-muslim, ia menjelaskan bahwa relasi
yang terjalin selama ini cukup baik hal tersebut diwujudkan dalam bentuk
menghadiri pada acara-acara perayaan maupun kedukaan dalam keluarga taupun
kerabat, baik mereka yang sesama muslim maupun yang nasrani, ia juga
menakankan bahwa perbedaan agama tidak menjadi masalah atau hal yang
memisahkan. Ia menambahkan bahwa dalam lingkup pergaulan keluarganya,
dengan sesama etnik Tionghoa dan masyarakat Dawan sangat memprioritaskan
nilai kekeluargaan dan kebersamaan, sedangkan mengenai identitas agama
menjadi nomor dua. Dari pengematan peneliti, dalam menjalin hubungan
komunikasi dengan sesama etnik Tionghoa dan anggota keluarga, beliau lebih
138
cenderung menggunakan bahasa melayu Kupang, dibandingkan menggunakan
bahasa Dawan. Sedangkan didalam komunitas masyarakat ia lebih cenderung
menggunakan bahasa Dawan dan bahasa melayu Kupang.
Ia menceritakan pengalamanya bagaimana ia membangun hubungan
toleransi antar umat beragama, ia mengungkapkan bahwa tahun 2011 kemarin ia
sempat menjadi panitia natal di salah satu gereja Katholik, hal ini bukan menjadi
kesengajaan, karena ia sendiri sangat akrab dan dikenal cukup supel dengan
semua kalangan masyarakat ditambah lagi ketika salah satu keponakannya yang
menikah dengan keluarga bangsawan setempat ia pun dimasukan dalam salah satu
panitia acara yang mayoritasnya beragama Kristen.
Berkaitan dengan memasuki bulan suci Ramadhan, ia menjelaskan bahwa
suasana dan atmosfir lingkungan khususnya kalangan masyarakat Niki-Niki yang
mayoritasnya beragama Nasrani memberi dukungan dan bersikap toleran terhadap
keluarganya menjalang bulan Ramadhan, mulai dari acara buka buka puasa, sahur
dan Idul Fitri. Ia menambahkan bahwa dukungan tersebut tidak hanya berupa
ucapan selamat, malainkan berupa bentuk perhatian nyata seperti merayakan Idul
Fitri bersama kalangan tokoh masyarakat, agama dan masyarakat lainnya,
ucapnya dengan rasa bangga.
“Khan dulu khan dong penyambung ini, ini apa..bta pung kung dolu
itu...dong bajual (berdagang) dagang2 dipasar, kung (kakek) dari btong
(kami) pung(punya) po (nenek), dong mantri cendana, jadi dong dulu masuk
keluar kampung tuh dagang cendana jadi dong menyatu dengan masyarakat
ini sejak beratusan tahun yang lalu dan snd ada hambatan.”
“Malahh...ya biasa ktong kebanyakan apa...ke aini..misalnya ktong selalu
ada hadir pada acara keluarga ehh..apa ke tiap2 ini acara di nasrani btong
139
semua kumpul pi sana, acara di muslim btong bakumpul disini, jadi dimana
sa...btong bukan hanya sodara sa..artinya btong dimana-mana, yang jelas
agama ini nomor dua, jadi malah btong maso panitia, misalnya baru2 bta
pung adai pung anak nikah di sonaf, bta yang ketua panitia padahal btong
dari muslim, bta jadi ketua panitia btong baator disana, pas natal juga
ktong maso panitia juga, jadi toleransi terpelihara.”
“Mendukung sekali, disini bulan puasa mendukung sekali, biasanya pas
lebaran ju begitu, pas lebaran disini semua bakumpul baik dari sodara
nasrani disini, begitu pun juga sama ke tahun baru atau imlek btong
rayakan bersama.”
“Malah itu lebeh baik lagi, jadi ala dari situ (Tionghoa non muslim) jadi pi
sini (Tionghoa muslim), jadi..itu tetap ktong akomodatif “
Terjemahannya :
“Pada zaman dulu mereka ini dinistilahkan penyambung, namanya
apa.kakek saya itu dulu pedagang, mereka berdagang di pasar, kakek dari
nenek kami, mereka adalah pedagang kayu cendana, jadi mereka dulu
masuk-keluar kampung ke kampung berdagang cendana jadi mereka sudah
menyatu dengan masyarakat Dawan sejak beratusan tahun yang lalu dan
tidak ada hambatan.”
“Malahan ya biasanya kami kebanyakan seperti, misalnya kami selalu
hadir pada acara keluarga, setiap ada acara di keluarga nasrani, kami
semua selalu berkumpul, acara di keluarga muslim selalu berkumpul di
keluarga kami disini, jadi dimana saja, kita bukan hanya sodara saja,
artinya kita dimana-mana ya fleksibel, yang jelas agama ini nomor dua,
jadi malahan saya bergabung di panitia, misalnya acara baru-baru
keponakan saya menikah di sonaf, saya yang diangkat jadi ketua panitia
padahal saya dari muslim, saya jadi ketua panitia kami semua mengatur
disana, pas acara natal juga saya masuk jadi panitia juga, jadi toleransi
terpelihara.”
“Suasana dan lingkungan mendukung sekali, disini bulan puasa mendukung
sekali, biasanya pas musim lebaran juga begitu, pas lebaran disini semua
bakumpul baik dari saudara nasrani disini, begitu pun juga sama ke tahun
baru atau imlek btong rayakan bersama.”
“Malahan itu lebih baik lagi, jadi dari situ (Tionghoa non muslim) jadi ke
sini (Tionghoa muslim), jadi..itu tetap kita akomodatif “
140
Berbicara mengenai strategi pendekatan yang dilakukan oleh etnik
Tionghoa terhadap etnik Dawan, ia menjawab dengan jawaban yang cukup formal
yakni rata-rata yang dilakukannya adalah mengetahui hukum adat yang berlaku
dikalangan etnik Dawan, seperti penyuguhan sirih pinang, menggunakan bahasa
Dawan, dan lain sebagainya. Baginya yang paling penting dari semua pendekatan
tradisonal ini adalah memahami aturan adat di masyarakat Dawan, agar dapat
saling memiliki satu sama lain, pada prinsipnya ia menjabarkan seperti budaya
tegur sapa, dan lain sebagainya, tandasnya tanpa mau merinci lebih jelas.
Berhubungan dengan pembauran etnik Tionghoa dan etnik Dawan dalam
perkawinan campuran, serta kualitas hubungan terkait perkawinan campuran
antara kedua etnik tersebut, menurut pendapatnya semua hal tersebut bergantung
dari masing-masing pribadi. Ia merinci bahwa setiap etnik mempunyai aturan
sendiri-sendiri, tetapi tidak ada perbedaan yang mencolok lagi diantara kedua
etnik tersebut, walaupun masing-masing etnik mempunyai budaya tersendiri,
hingga saat ini semua etnik antara Tionghoa dan Dawan pun sudah menyatu tanpa
ada perbedaan. Perihal kualitas hubungan menurutnya semua itu bersifat relatif
dari masing-masing pihak, prinsipnya adalah menghormati dan menaati aturan
budaya masing-masing sehingga kualitas hubungan tersebut akan erat.
“Ktong pung gaya pendekatan kebanyakan btong tau adat masyarakat
orang kampung disini btong su tau, jadi btong masuk juga secara halus
sehingga artinya bagini, budaya adat ktong disini ini, su memiliki begitu
jadi menyatu dengan ini, misalnya ktong dengn dong mau sapa orang atau
apa, ktong musti tau aturan yang mana jadi ktong dengan dong itu ktong
tau dia pung cara, kalo orang ini khan ada macam2 masyarakat ini ada
turunan bangsawan, ada masyarakat biasa, rasa mau sapa tegur ada dia
punya aturan. Artinya untuk adat ktong disini kaya adat lahh...jadi btong
bisa menyatu dengan semua.”
141
“bagini..ke misalnya masing2 tempat ada dia pung aturan amasing2,
macam orang Indonesia dia aturannya dia harus sekali ktong disini orang
bugis pendatang yang muslim2 itu dorang akhnya ikut ktong pung budaya
dsini, sekitar sekarang yang 2-30 tahun lalu yang dong masuk itu dong
muslim itu malah dong su menyatu dengan ktong tetapi dong su tau cara
bergaul dengan masyarakat disini akhirnya dong su jadi satu bagian
dengan btong, jadi..dong hidup dengan tong su satu snd ada punya
perbedaan etnis su tidak ada lagi.”
“Ahh bagini..kalo kawin biasanya kalo bukan2...kalo erat tidak erat itu
semua datang dari ktong orang disini (relatif), misalnya ktong kwin dengan
orang disini dan ktong tidak pandang dong punya budaya sendiri ktong
tidak dianggap, tapi klo btong hormati dong naanati dong akan anggap
ktong begitu jadi dong dipandang begitu.. jadi semua datang dari masing-
masing pihak.”
Terjemahannya :
“Gaya pendekatan kami kebanyakan adalah paham adat masyarakat orang
kampung disini (etnik Dawan), jadi kami masuk juga secara halus sehingga
artinya bagini, budaya adat kami disini ini, sudah saling memiliki begitu
jadi menyatu dengan ini (lingkungan), misalnya kita dengan mereka,jika
kita menginginkan sesuatu, kita mesti tahu aturan adat yang mana, jadi
dengan mereka (etnik Dawan) itu kita tahu cara pendekatan, kalo orang
disini ada macam-macam, masyarakat ini ada turunan bangsawan, ada
masyarakat biasa, rasa mau sapa tegur ada aturan mainnya. Artinya untuk
adat disini sangat kaya adat , jadi kita bisa menyatu dengan semua.”
“Bagini.. misalnya masing-masing tempat ada aturan masing-masing,
macam orang Indonesia, dia aturannya dia harus sekali taat, kita disini
orang bugis pendatang yang muslim-muslim itu mereka akhirnya ikut
budaya kami disini, sekitar sekarang yang 2-30 tahun lalu yang mereka
masuk itu, mereka yang kaum muslim itu malahan mereka sudah menyatu
dengan kita tetapi mereka sudah tahu cara bergaul dengan masyarakat
disini akhirnya mereka sudah jadi satu bagian dengan kita, jadi..mereka
hidup dengan kita sudah satu yidak ada perbedaan etnis su tidak ada lagi.”
“Ahh bagini..kalo kawin campur biasanya kalo erat tidak erat itu semua
datang dari pribadi orang disini (relatif), misalnya kita menikahi dengan
orang disini dan kita tidak hotmat budaya mereka sendiri, kita tidak
dianggap atau dihormati, tapi kalo kita menghormati budaya mereka,
mereka akan anggap kita menghormati begitu.. jadi semua datang dari
masing-masing pihak.”
142
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti, bahwa
pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak Syarifudin Un
sebagai etnik Tionghoa campuran dan etnik Dawan melalui hubungan dagang,
hubungan yang terjalin ini dkarenakan pengaruh kawin campur antara etnik
Tionghoa dan etnik Dawan khususnya dari keluarga bangsawan. Sedangkan
dalam pengamatan peneliti, ketika menjalin relasi dengan sesama etnik Tionghoa
baik yang sesama muslim maupun non-muslim serta didalam keluarganya, beliau
lebih cenderung menggunakan bahasa melayu Kupang ketimbang menggunakan
bahasa Dawan.
Penggunaan bahasa melayu pasar tersebut cukup beralasan, berdasarkan
temuan peneliti terhadap tulisan Hidayat Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan
pada umumnya sudah mempergunakan bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak
atau jarang sekali mempergunakan bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun
demikian ada diantaranya yang mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan
sekali-kali kalau berhubungan dengan orang Tionghoa totok atau dengan mereka
didalam keluarga dalam menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar
ini kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92).
Sedangkan dilingkungan masyarakat Dawan sendiri penggunaan bahasa
Dawan lebih mendominasi ketimbang bahasa melayu Kupang, hal tersebut terlihat
ketika beliau berinteraksi dengan para karyawan diperusahaannya yang rata-rata
berasal dari etnik Dawan, hal serupa juga terlihat ketika ia berinteraksi dengan
para tetangga atau masyarakat etnik Dawan disekitar lingkungannya. Pada
prinsipnya ia mengakui bahwa jalinan relasi selama ini berjalan cukup baik dan
143
dalam tindakan nyata yakni menghadiri acara-acara perayaan baik dari kalangan
muslim maupun non-muslim, disamping itu dalam ruang lingkup pergaulannya
yang diutamakan adalah nilai kebersamaan dan kekeluargaan. Sedangkan
perbedaan identitas agama dinomorduakan dalam pergaulannya, sehingga
menurutnya rasa toleransi antarumat beragama dapat tercipta denga baik serta
adanya saling mendukung diantara mereka dalam contoh konkrit.
Simbol Verbal Makna Simbol
Bahasa Dawan Bahasa tradisional yang menjembatani
komunikasi etnik Dawan maupun antara etnik
Dawan dengan etnik Tionghoa Niki-Niki.
Khusunya bahasa yang digunakan sebagai alat
pendekatan dengan etnik Dawan
Bahasa Pasar atau bahasa
melayu Kupang
Bahasa yang menjembatani komunikasi keluarga
dan sesama etnik Tionghoa di Niki-Niki.
Tabel. 20. Tabel Verbal Informan Syarifudin Un
Dalam ruang lingkup strategi pendekatan terhadap etnik Dawan oleh etnik
Tionghoa, bahwa pada dasarnya semua itu bermuara pada bagaimana setiap pihak
memahami aturan adat yang berlaku, termasuk didalamnya penggunaan
pendekatan secara tradisional yang menjadi adat masyarakat Dawan pada
umumnya seperti penyuguhan sirih pinang, dan menggunakan bahasa Dawan
ketika berinteraksi. Sedangkan mengenai pembauran etnik Tionghoa dengan etnik
Dawan dalam perkawinan campuran tersebut, menurutnya cukup baik walaupun
pada prinsipnya bergantung kepada masing-masing etnik.
144
Disamping itu setiap etnik mempunyai ciri budaya tersendiri, tidak ada
perbedaan yang mencolok dari kedua budaya tersebut, karena sudah ada
pembauran antara etnik Tionghoa dan etnik Dawan. Sedangkan kualitas hubungan
dalam perkawinan campuran tersebut, kualitas hubungan menurutnya semua itu
bersifat relatif dari masing-masing pihak, prinsipnya adalah menghormati dan
menaati aturan budaya masing-masing, sehingga kualitas hubungan tersebut akan
erat.
Informan peneliti yang terakhir adalah Herman Carel Litelnoni (Lie Hok
Kie), yang merupakan pensiunan PNS Kasub.Sospol Pemkab TTS berumur 69
tahun. Beliau merupakan keponakan dari bapak John EE Litelnoni, peneliti
menanyakan perihal bagaimana bagaimana nenek moyang keluarganya
membangun relasi melalui komunikasi antar etnik dengan etnik Dawan. Ia
menjawab bahwa keluarganya membangun hubungan baik dengan masyarakat
Dawan setempat, hubungan baik ini terjalin melalui ayahnya yang berprofesi
sebagai kapitan Pemerintah Hindia Belanda atau yang biasanya disebut petugas
penagih pajak. Jalinan relasi ini terbangun secara rutin ketika ayahnya selalu
mengadakan perjalanan keliling kampung untuk menarik pajak dari setiap vetor
(setingkat kecamatan), sebagai tanda untuk melakukan penarikan pajak ayahnya
selalu melakukan ritual koak atau cara berteriak dengan nada khas tertentu untuk
mengumpulkan tiap camat dari vetor masing-masing.
Disamping melakukan penarikan pajak, ayahnya juga menjalin relasi
dengan warga vetor setempat, berinteraksi dengan menggunakan bahasa Dawan
dan sesekali berbicara menggunakan bahasa Belanda kepada kalangan kaum
145
bangsawan yang bisa bebahasa Belanda. Menurutnya rasa akrab dan jalinan relasi
yang baik antara ayahnya dengan warga vetor setempat bukan tanpa alasan,
ayahnya sendiri merupakan keturunan bangsawan dari keluarga Raja Telnoni dan
secara fisik ayahnya sudah menyerupai kalangan bangsawan setempat walaupun
masih menyisakan roman wajah khas keturunan Tionghoa.
Perihal menjalin relasi dengan sesama etnik Tionghoa maupun didalam
keluarga, ia menjelaskan bahwa dikarenakan ayahnya yang sudah berstatus
pegawai negeri pasca kemerdekaan Republik Indonesia, maka pembauran maupun
jalinan relasi mereka tidak ada masalah, mereka sendiri didalam keluarga selalu
menggunakan bahasa Dawan maupu bahasa Indonesia ketika berinteraksi dengan
dengan etnik Tionghoa maupun etnik Dawan. Disisi lain ia mengakui bahwa
karena merupakan Tionghoa keturunan kawin campur, sering keluarganya
dianggap sebagai kaum “fan-kuy” dalam bahasa Mandarin, atau etnik Pribumi
sama seperti etnik Dawan lainnya oleh sebagian etnik Tionghoa. Dari hasil
keterangan yang diperoleh peneliti hal ini disebabkan karena selain merupakan
keturunan Tionghoa peranakan campuran, profesi ayahnya yang berkerja sebagai
kapitan atau mengabdi bagi pemerintah sering dipandang miring oleh kalangan
etnik Tionghoa yang mayoritasnya bekerja sebagai pedagang.
“Dia ada hubungan baik dengan masyarakat waktu itu karna bapa tua juga
ikut pajak, tagih pajak itu waktu itu, jadi tiap kampung itu, jadi orang
kampung dong itu kenal bapa tua, dia seorang kapitan, jadi pmenagih ke
setiap vetor, sekranagng kecmatan, cara berkomunikasinya pada waktu itu
seperti koak (cara berteriak dengan nada khas tertentu), koak tuh berteriak
dari sini pi situ, karna dulu tidak ada alat pengeras suara, koak bermasud
menandakan bahwa ada orang pemerintah yang datang, dan semua orang
segera berkumpul.”
146
“Dulu bapa tua naik kuda, karana bapa tua badang besar (bongsor), jadi
orang yang tagih pajak ini taruh uang logam sen di karung yang biasa
diduduki penunggang kuda, jadi kasih masuk di karung yang dibuat dari
selimut seolah-olah pundi2, jadi orang sdn tau ada uang atau apa gt”
“Karna waktu itu bapa su pegawai negeri e, jadi btong pung berbaur su
tidak ada masalah, malah btong yang di orang Tionghoa itu masih
dianggap fan kui (pribumi), kalo interaksi pake bahasa Dawan dan
Indonesia.”
“Sama baik, artinya dong pikir bahwa , nenek, bapa pung mama orang
Rote, bapa pung, bai pung mama orang timor, telnoli, yang trunan raja.”
Terjemahannya :
“Dia ada hubungan baik dengan masyarakat waktu itu karena dia juga ikut
penagih pajak itu waktu itu, jadi setiap orang dikampung itu sudah
mengenal ayah saya, dia seorang kapitan, jadi penagih ke setiap vetor
(kecamatan), sekarang kecamatan, cara berkomunikasinya pada waktu itu
seperti koak (cara berteriak dengan nada khas tertentu), koak dari sana ke
situ, karena dulu tidak ada alat pengeras suara, koak bermaksud
menandakan bahwa ada orang pemerintah yang datang, dan semua orang
segera berkumpul.”
“Dulu ayah saya menunggang kuda, karana badanya bongsor ,jadi orang
yang ditagih pajak ini menaruh uang logam sen di karung yang biasa
diduduki penunggang kuda, jadi dikasih masuk ke karung yang dibuat dari
selimut seolah-olah pundi-pundi air, jadi orang tidak tahu ada uang atau
apa gitu”
“Karena waktu itu ayah saya sudah berstatus pegawai negeri, jadi
sekeluarga sudah berbaur dan tidak ada masalah, malahan kami
sekeluarga yang di mata orang Tionghoa, itu masih dianggap fan-kui
(pribumi), sementara kalo interaksi pake bahasa Dawan dan Indonesia.”
“Sama baik, artinya mereka pikir bahwa , nenek kami, orang Rote, ibu dari
kakek kami orang timor, marga Telnoli, yangmerupakan keturunan Raja
Telnoni.”
Berkaitan dengan teknik pendekatan yang dilakukan oleh etnik Tionghoa
terhadap etnik Dawan, serta pendapatnya mengenai pembauran maupun kualitas
147
hubungan etnik Tionghoa dan etnik Dawan dalam perkawinan campuran, ia
menjawab bahwa dalam melakukan strategi pendekatan ada beberapa hal yang
biasa dilakukan sesuai aturan adat atau kebiasaan masyarakat Dawan, misalnya
menggunakan bahasa Dawan sebagai bahasa penghubung, sirih pinang dan sophi
(arak) yang digunakan untuk menyelesaikan masalah seperti batas tanah atau
masalah apa saja sebagai alat diplomasi, jadi pada prinsipnya ia mengakui bahwa
semua pendekatan itu memang lazim dilakukan oleh orang Timor (etnik Dawan),
sehingga harus diikuti oleh kalangan etnik Tionghoa, dan ia mengistilahkan tidak
bisa memotong arus atau bisa disebut tidak melanggar aturan yang berlaku.
Perihal kualitas hubungan, ia menjawab bahwa pembauran yang cukup
bagus dan cukup baik, hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh faktor kawin
campur diantara etnik Tionghoa tersebut, ia menambahkan bahwa rata-rata di
etnik keturunan Tionghoa di Kecamatan Niki-Niki, hampir semua sudah
merupakan peranakan kawin campur yang bisa diartikan tidak ada Tionghoa
tulen, disamping itu kualitas hubungan tentunya akan terjalin erat antara kedua
pihak, ia menambahkan bahwa kelebihan orang Timor atau etnik Dawan yang
budayanya sangat menghargai kaum perempuan.
“Ya kaslo disini pake bahasa Timor, itu sudah menghubungkan kedua
pihak, yaa..yang penting ktong menghubungi dong dan meberitahu dulu,
sirih inang itu penting, sophi itu penting segelas atau sebotol, itu
umpamanya untuk menyelesaikan masalah batas tanah atau apa begitu, ya
dulu ktong memamng begitu memang snd bisa potong arus”
“Cukup bagus, dan cukup baik itu karena disebabkan faktor kwin mawin
(kawin campur etnik Tionghoa-Dawan), jadi disini ni yang asli2 tidak ada
(Tionghoa tulen), jarang sekali, dan kualitas hubungan lebih erat. Orang
timor dia lebih..apa...lebih menghargai perempuan, umpamanya kung
punya mama orang Timor, oramg lebih dekat, kalo dengan dia punya mama
148
dia anggap dia punya orang (bagian kelaurga besar), karana kawin
campur.”
Terjemahannya :
“Ya kalo disini menggunakan bahasa Timor (bahasa Dawan), itu sudah
menghubungkan kedua pihak, ya...yang penting kita menghubungi mereka
dan memberitahu dahulu, penyuguhan sirih pinang itu penting, sophi itu
penting segelas atau sebotol, itu diumpamakan untuk menyelesaikan
masalah batas tanah atau masalah lain, ya dulu kita memang
menggunakan pendekatan dengan cara begitu, memang tidak bisa potong
arus (melanggar)”
“Cukup bagus, dan cukup baik itu karena disebabkan faktor perkawinan
campuran (kawin campur etnik Tionghoa-Dawan), jadi disini ini yang asli
Tionghoa tidak ada (Tionghoa tulen), jarang sekali, dan kualitas hubungan
lebih erat. Orang timor dia lebih menghargai kaum perempuan, misalnya
ibu dari kakek saya adalah orang Timor, maka orang Dawan lebih dekat,
kalo dengan ibunya, dia (ayah saya) sudah dianggap (bagian dari kelaurga
besar etnik Dawan), karena faktor kawin campur.”
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,
pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak Herman
Litelnoni sebagai etnik Tionghoa campuran dan etnik Dawan melalui hubungan
penagihan pajak, disamping itu ayahnya juga merupakan keturunan Tionghoa
campuran yang menikah dengan keluarga Raja Telnoni. Dalam menjalin relasi
dengan sesama etnik Tionghoa berjalan cukup baik hal serupa juga ditemui
didalam keluarganya.
Kapitan atau Vetor yang merupakan profesi yang dijalankan oleh ayah
beliau bukanlah hal baru yang terjadi pada saat itu, berdasarkan penelusuran
peneliti dalam tulisan Leo Suryadinata bahwa perbedaan etnis antara Tionghoa
dan pribumi merupakan salah satu sebab dari terpisahnya kelompok Tionghoa,
namun tak kalah pentingnya adalah kebijakan pemerintah Kolonial misalnya
149
dengan sistem opsir (kapitan cina), sistem pemukiman dan pas jalan yang
membuat orang Tionghoa tidak berbaur dikembangkan oleh Inggris tahun 1619
dan 1837. kedua sistem pemukiman berhubungan erat dengan dengan sistem
opsir dalam arti bahwa orang Tionghoa diurus oleh kepala kelompok ras mereka
dan diwajibkan untuk tinggal didaerah tertentu jauh dari ras lainnya. (Suryadinata,
2002, hal 73-5)
Dalam pengamatan peneliti, ketika interaksi sehari-hari bahasa melayu
Kupang lebih mendominasi dalam jalinan relasi dengan sesama etnik Tionghoa
maupun didalam keluarganya, sedangkan bahasa Dawan lebih mendominasi
ketika berinteraksi dengan etnik Dawan seperti pada lingkungan tetangganya.
Yang unik adalah penggunaan teknik koak yang digunakan ayahnya yakni
teriakan dengan nada khas tertentu ketika ingin mengumpulkan masyarakat
kecamatan setempat, secara verbal teriakan ini disimbolkan sebagai bentuk
komunikasi atau panggilan khas tertentu dalam ketika ingin mengumpulkan orang
atau kerumunan.
150
Simbol Verbal Makna Simbol
Bahasa Dawan Bahasa tradisional yang menjembatani
komunikasi etnik Dawan maupun antara etnik
Dawan dengan etnik Tionghoa Niki-Niki.
Khusunya bahasa yang digunakan sebagai alat
pendekatan dengan etnik Dawan
Bahasa Pasar atau bahasa
melayu Kupang
Bahasa yang menjembatani komunikasi keluarga
dan sesama etnik Tionghoa di Niki-Niki.
Koak Teriakan dengan nada khas tertentu sebagai
bentuk komunikasi terhadap etnik Dawan
Tabel. 21. Tabel Verbal Informan Herman Litelnoni
Simbol Non-Verbal Makna Simbol
Sirih Pinang “Oko Mama” Alat penghubung, bentuk permintaan yang bersifat
sakral, ucapan terima kasih, awal membangun
relasi, alat diplomasi.
Arak atau sophi Bentuk penopang dari permintaan
Tabel. 22. Tabel Non-Verbal Informan Herman Litelnoni
Berkaitan dengan teknik pendekatan yang digunakan dalam menjalin relasi
dengan etnik Tionghoa, bapak Karel lebih dominan menggunakan pendekatan
tradisional yang lazim dilakukan oleh etnik Dawan seperti menggunakan bahasa
Dawan, penyuguhan sirih pinang, dan sophi sebagai alat melakukan diplomasi.
Bahasa Dawan sendiri digunakan sebagai bahasa yang menghubungkan mereka
dengan etnik Dawan, sekaligus bahasa yang menjembatani komunikasi sehari-hari
disamping penggunaan bahasa melayu Kupang.
Disamping itu dalam hal pembauran etnik Tionghoa dan etnik Dawan
dalam perkawinan campuran ini, bahwa pembauran yang cukup bagus dan cukup
151
baik, hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh faktor kawin campur diantara etnik
Tionghoa tersebut serta dengan adanya perkawinan campuran ini justru semakin
memperkuat jalinan relasi diantara kedua pihak.
2.5. Makna Identitas Etnik.
2.5.1. Makna Identitas Etnik Pada Etnik Tionghoa Peranakan.
Tionghoa peranakan yang diwawancarai peneliti disini adalah mereka
sebagai keturunan Tionghoa yang sudah berbaur dan sudah bertingkah laku dan
berbahasa layaknya masyarakat asli tetapi ada juga yang masih fasih
menggunakan bahasa nenek moyangnya, namun yang membedakannya adalah
mereka tidak menikah dengan penduduk lokal melainkan dengan sesama
peranakan Tionghoa lainnya. Informan peneliti ini adalah : Karel Singli (Lee
Khoet Chong), Benyamin Tjung (Tjung Tjiu Min), Gilbert Lee (Lee Chung Liong),
dan Christopher Wijaya (Ui I Ngo). Dalam sub ini mereka mencoba
mendeskripsikan atau menceritakan kembali pengalaman mereka memaknai
identitas yang selama ini dimiliki dan diwariskan oleh keluarganya, disamping itu
akan dilihat pula bagaimana mereka memposisikan diri dan membuat strategi
pembentukan identitas mereka serta budaya Tionghoa yang dikembangkan dalam
keluarganya.
Informan peneliti yakni Bapak Karel Singli (Lee Khoet Chong) yang
berumur 68 tahun, beliau bekerja sebagai seorang wiraswasta dan pedagang hasil
bumi. Wawancara peneliti dengan beliau dilakukan pada tanggal 22 juni 2012
152
bertempat di kediaman beliau, dalam wawancara ini peneliti bertanya mengenai
bagaimana ia memaknai identitas Tionghoa yang selama ini melekat dalam
dirinya serta bagaimana ia memposisikan diri kedalam lingkungan etnik
Tionghoa maupun Dawan.
Dengan suara yang lantang ia menjawab bahwa, sebagai seorang
Tionghoa keturunan bahwa kedatangan keluarga mereka hanya untuk mencari
nafkah dan berdagang, ia pun memaknai identitas Tionghoanya sebagai sebuah
panggilan hidup, yakni panggilan hidup untuk mencari nafkah seperti bekerja
sebagai pedagang sama seperti pera leluhurnya. Perbedaan yang mencolok
baginya sudah tidak ada lagi antara Tionghoa dengan etnik Dawan lainnya, semua
perbedaan tersebut dalam pandangannya hanya terihat dari besarnya modal atau
materi yang dimiliki, atau faktor ekonomi yang lebih mendominasi, tandasnya
dengan senyum hangat.
Berbicara bagaimana ia memposisikan dirinya ketika berada dilingkungan
etnik Tionghoa maupun Dawan, ia menjelaskan bahwa sebagai seorang etnik
Tionghoa peranakan dalam memposisikan dirinya seperti biasanya saja, tidak ada
masalah (sederajat), sebab bagaimana pun juga baginya tidak ada perbedaan
diantara etnik Tionghoa maupun etnik Dawan, dengan pertimbangan bahwa
mereka sudah berada didalam satu wadah (lingkungan) yang cukup kondusif,
sehingga tidak memungkinkan untuk memisahkan diri satu sama lain.
“Ya btong sebagai seorang Tionghoa, yang keturunan dari sana ke timor
sini samata mata hanya untuk mencari nafkah, jadi btong merasa
sebagai...ehhh...rasa... terpanggil (panggilan) untuk melakukan kerja, kerja
dagang. Begitu... ya etnis Tionghoa merasa diri dengan yang lai hanya
153
sedikit sekali, bedanya hanya dari faktor ekonomi saja modal dengan orang
snd ada modal beli orang kampung pung barang itu dia snd e tau mau jual
pimnana, jadi btong bli pi jual lagi, jadi btong ada nilai kerja sama.”
“Ya btong memposisikan diri seperti biasa , tidak ada masalah btong mau
orang etnis dengan pribumi sama saja snd ada beda2, karena
pertimbangannya dalah btong su didalams atu wadah ini jadi mau beda2
bagaimana.”
Terjemahannya :
“Ya saya/kami sebagai seorang Tionghoa, yang keturunan dari sana
(Tiongkok) ke Timor sini samata mata hanya untuk mencari nafkah, jadi
saya merasa sebagai...ehhh...rasa... terpanggil (panggilan) untuk
melakukan kerja, kerja dagang. Begitu... ya etnik Tionghoa merasa diri
dengan yang lain hanya sedikit sekali, bedanya hanya dari faktor ekonomi
saja modal dengan orang tidak ada modal beli atau hasil orang kampung
itu dia tidake tau mau jual kemana, jadi kami beli dan jual lagi, jadi btong
ada nilai kerja sama.”
“Ya saya memposisikan diri seperti biasa , tidak ada masalah saya mau
orang etnis dengan pribumi sama saja tidak ada beda-beda, karena
pertimbangannya adalah kita bersama sudah didalam satu wadah ini jadi
mau beda-beda bagaimana?”
Perihal membentuk strategi identitasnya sebagai seorang Tionghoa
peranakan, ia menceritakan pada awal dirilisnya PP.10 oleh Pemerintah Odre
Baru saat itu, mengharuskan semua warga keturunan Tionghoa untuk melakukan
pergantian nama, sehingga melakukan penyesuaian nama menjadi nama yang
berbau Indonesia, sehingga pada waktu itu saat melakukan pendaftaran ke
Pemerintah Kabupaten setempat, ia dan ayah sedikit kebingungan mengenai
pembuatan identitas baru, sehingga mereka memutuskan menggunakan kombinasi
marga mereka yang berbau ke-Indonesiaan yakni Singli, dengan tujuan agar lebih
mudah atau tetap dikenali oleh sesama etnik Tionghoa khususnya sesama marga
Lee.
154
Namun disisi lain ia menjelaskan bahwa selama menjadi seorang Tionghoa
peranakan, dan berada dalam lingkungan yang bersama dengan etnik Dawan ia
merasakan menonjolkan sisi Tionghoa campuran, ia mengemukakan melakukan
tradisi Tionghoa hanya pada sebatas menjelang Imlek, hal tersebut menurutnya
masih merekat pada sebagian orang Tionghoa saja yang melakukan hal tersebut.
“Jadi sebenarnya dari awal, btong yang tinggal disini jadi ktong bisa
masuk ikut itu (sekolah mandarin), tahun 60an ktong terjadi PP.10,
peraturan itu semua orang aa Tionghoa keturunan yang msuk warga
negara Indonedia harus merubah dia punya itu marga meyesuaikan
dengan orang Indonesia. Mengelabui petugas admin kabupaten. Jadi
dikabupaten sana, jadi bta lari keluar diluar bta tanya ta pung bapa dengan
buru2 bta tanya baitua (ayah), tau btong bingung pilih yang mana nie, dan
kemudai hari btong pung keturunan biar saling knal walau sudah berbeda
marga, jadi tiba2 ada ence satu tartau diapung nama lai dia bilang bta
tanya fam seang ini di bahasa cina bilang apa ? oww kalo seang ini sing,
jadi bta rubah ktong punya ini sing-li, jadi akhirnya su berubah jadi lini
bukan lee. Kelihatan indnesia, tapi ini dimata orang Tionghoa ini jelas
iniorang Tionghoa jelas.”
“Aihh..... ya itu dia paling meninjol dari tradisi Tionghoa in, sepertinya
waktu lalu ada dia punya imlek, dan dalam waktu dekat ininn ada mandi
pecun, namun itu hanya untuk terhadap beberapa orang saja ini, terlalu
erat dengan itu startegi jadi btong sudah jauh. (menonjol cina secara
fisik/penampilan dan gaya hidup) menonjol campuran.”
Terjemahanya :
“Jadi sebenarnya dari awal, kami yang tinggal disini jadi kami bisa masuk
ikut itu (sekolah Mandarin), tahun 60an ketika terjadi PP.10, peraturan itu
semua orang Tionghoa keturunan yang masuk warga negara Indonedia
harus merubah identitas marga menyesuaikan dengan orang Indonesia.
Mengelabui petugas admin kabupaten. Jadi dikabupaten sana, jadi saya
berlari keluar diluar saya bertanya kepada ayah dengan tergesa saya tanya
baitua (ayah), dan kami jadi bingung pilih yang mana nah, dan kemudiann
hari keturunan kami biar saling kenal walau sudah berbeda marga, jadi
tiba-tba ada paman satu tapi tak tahu namanya siapa nama lagi dia bilang
kepada saya tanya fam atau seang ini di bahasa cina bilang apa ? oww kalo
seang ini sing, jadi saya rubah marga kami punya ini sing-li, jadi akhirnya
155
sudah berubah jadi lini bukan lee. Kelihatan Indonesia, tapi ini dimata
orang Tionghoa ini jelas ini orang Tionghoa jelas.”
“Aihh..... ya itu dia paling menonjol dari tradisi Tionghoa ini, sepertinya
waktu lalu ada acara imlek, dan dalam waktu dekat ini ada mandi pecun,
namun itu hanya untuk terhadap beberapa orang saja ini, terlalu erat
dengan itu strategi jadi kami sudah jauh. (menonjol cina secara
fisik/penampilan dan gaya hidup) menonjol campuran.”
Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki,
menurut bapak Karel bahwa budaya-budaya yang dipegang olehnya maupun
keluarganya lebih banyak mengadopsi tentang budaya tata krama, maupun tegur
sapa yang lazim digunakan oleh leluhur mereka maupun etnik Tionghoa lainnya.
Disamping itu ia mengakui masih menggunakan secara terbatas beberapa budaya
Tionghoa lainnya, seperti penggunaan buku petunjuk hari baik (buku ramalan)
maupun kalender Cina yang digunakan untuk menentukan hari-hari tertentu dalam
melaksanakan atau memulai suatu usaha misalnya.
Sedangkan mengkonsumsi makanan-makanan khas Tionghoa dalam
keluarganya masih sering dilakukan terutama disaat diadakannya perayaan
maupun acara-acara besar seperti Cap Cay, Fuyung Hai, dan lain sebagainya.
Namun budaya yang paling mendasar adalah budaya budi pekerti yang diwariskan
oleh leluhurnya ini sudah ditanamkan (didoktrin) kepada anggota keluarga,
khususnya anak-anaknya sejak usia dini seperti budaya tata krama, tegur sapa, dan
termasuk pendidikan agama Kristen.
“Sekarang ini btong nilai-nilai luhur yg btong pegang ini, misalanya
orang2 asing disini ktumu pegang tangan, kalo btong ini masih ada yang
soya saperti yang tadi itu menunjukan suatu suatu bagian bangsa atau
156
penghormatan. Klao imlek btong su snd ikut lagi, kebanyakan snd ikut2
lagi”.
“Masih pakai tapi masih sedikit2 sa (terbatas). Misalnya menggunkan
buku2 untuk periksa hari-hari yang dipakai masih ada dan digunakan.”
“Makanan btong sesuaikan dengan keadaan ini, (tidak melanjutkan dengan
alasan takut menyinggung perasaan, karena sudah ada kata keadaan
ini”).”
“Kalo budi pekerti sudah ditanamka sejak awal, seperti nilai saling
menghormati, menghargai, dan lain2.”
“Kalo bdaya Tionghoa yang dikembangkan dikeluarga ini hanya yaaa itu
e...macam e dalam hubungan sopan santun saja.”
Terjemahannya :
“Sekarang ini nilai-nilai luhur yang kami pegang ini, misalnya orang-
orang asing disini bertemu ya jabat tangan, kalo kami ini masih ada yang
soya saperti yang tadi itu menunjukan suatu bagian bangsa atau
penghormatan. Kalo imlek sudah tidak ikut lagi, kebanyakan tidak
merayakan lagi”.
“Masih pakai tapi masih sedikit-sedikit saja (terbatas). Misalnya
menggunakan buku untuk periksa hari-hari yang dipakai masih ada dan
digunakan.”
“Makanan kita sesuaikan dengan keadaan ini, (tidak melanjutkan dengan
alasan takut menyinggung perasaan, karena sudah ada kata keadaan
ini”).”
“Kalo budi pekerti sudah ditanamkan sejak awal, seperti nilai saling
menghormati, menghargai, dan lain-lain.”
“Kalo budaya Tionghoa yang dikembangkan dikeluarga ini hanya ya itu
e...macam dalam hubungan sopan santun saja.”
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,
makna identitas etnik Tionghoa bagi bapak Karel Singli adalah sebagai sebuah
panggilan hidup, panggilan hidup yang sama seperti para leluhurnya yang hijrah
ke Niki-Niki untuk mencari nafkah. Pada prinsipnya menurut pandangan peneliti,
157
makna yang diungkapkan oleh bapak Karel Singli adalah sebuah ungkapan yang
pada prinsispnya ingin menekankan jati dirinya sebagai seorang Tionghoa
peranakan, sekaligus juga menjawab pandangan bahwa etnik Tionghoa adalah
etnik yang terkenal merantau dan berdagang sejak zaman dahulu.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti melakukan penelusuran untuk
mendukung analisis diatas, yakni berdasarkan tulisan Leo Suryadinata bahwa
etnis Tionghoa, yang dulu disebut chinese overseas atau Tionghoa perantauan,
tersebar dimana-mana. Jumlahnya kira-kira 23 juta jiwa, lebih dari 80%
diantaranya berada di asia tenggara. Salah satu sebab mereka bermukim disana,
karena asia tenggara dekat dengan daratan Tiongkok dan selain pada waktu itu
perdagangan di asia tenggara juga banyak dipengaruhi oleh orang Tionghoa. Pada
awalnya jumlah orang Tionghoa yang bermukim di asia tenggara tidak banyak.
Eksodus Tionghoa ke wilayah ini merupakan fenomena abad ke 19 dan ke 20
ketika di Tiongkok dan asia tenggara mengalami perubahan. (Suryadinata, 2002,
hal 7)
Disamping itu menurut Hidayat M.Z bahwa orang-orang Tionghoa di asia
tenggara dapat menempatkan diri mereka dalam kehidupan masyarakat di negara-
negara asia tenggara sebagai kelas menengah. Di Indonesia orang Tionghoa sejak
permulaan merantau telah berfungsi perantara antara penduduk asli dengan para
pendatang asing yang datang ke Indonesia. Para perantau Tionghoa ini menempati
kota-kota pantai dan hidup sebagai saudagar, pengusaha pelayaran, pengusaha
bank, dan sebagai pedagang besar dan kecil dan ada pula yang bekerja sebagai
158
artis. Hampir semua industri dan perdagangan akhirnya berada ditangan
pengusaha Tionghoa perantauan (Hidayat, hal 56)
Kebanggaan yang dimaksudkan oleh beliau, menurut peneliti adalah
sebagai seorang etnik Tionghoa peranakan ia mampu menunjukan eksistensinya
diantara mayoritas etnik Dawan, dalam hal pergaulan sosialnya baik dengan
sesama etnik Tionghoa maupun dengan etnik Dawan, termasuk ketika berada
didalam aktivitas lingkungan kerja, kegiatan sosial, dan Gereja yang menjadi
tempat beribadah. Disamping itu, ia sendiri lebih akrab dipanggil dengan
menggunakan nama Tionghoanya yakni Kung atau Ence Khoet, hal tersebut juga
sering digunakan oleh masyarakat Etnik Dawan dan sesama etnik Tionghoanya
sendiri.
Hal tersebut dapat peneliti ungkapkan melalui beberapa pengamatan,
seperti ketika ia berinteraksi dengan beberapa masyarakat etnik Dawan termasuk
didalamnya para pegawai yang mengabdi pada usaha jasanya, dengan
menggunakan bahasa Dawan dan bahasa pasar atau biasa disebut bahasa Melayu
Kupang. Sedangkan dalam interaksinya dengan sesama etnik Tionghoa cenderung
ia menggunakan bahasa Dawan maupun bahasa Melayu Kupang. Didalam
keluarganya dalam berkomunikasi ia cenderung menggunakan bahasa Dawan dan
bahasa Melayu Kupang kepada istri maupun kepada anaknya.
Dalam kegiatannya sehari-hari, ia mengakui menempatkan dirinya seperti
biasa-biasa saja atau sedarajat, dan tidak ada hal istimewa namun yang
membedakan hanyalah dari segi faktor ekonomi saja dalam hal ini materi.
159
Menurut pandangan peneliti, bapak Karel bermaksud untuk merendah diri agak
terlihat bersahaja dimata keluarga maupun didalam lingkungan masyarakat etnik
Niki-Niki. Padahal, ia merupakan salah satu tokoh masyarakat dari etnik
Tionghoa yang dihormati khususnya dari kalangan bangsawan setempat.
Disamping itu, saat diadakan reuni keluarga marga Lee, ia sendiri dipercaya
sebagai kepala keluarga yang mewakili marga Lee untuk daerah Kupang. Disisi
lain, ia juga menjalankan profesinya sebagai pedagang ternak hewan dan juga
pengusaha jasa transportasi antar kebupaten seperti bus kota maupun angkutan
berat lainnya.
Makna Identitas
Etnik
Panggilan Hidup
Memposisikan Diri Seperti biasa / Sederajat
Strategi Identitas
(Kombinasi Marga)
Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi (Hasil)
Lee
___
Singli =
Sing (marga dalam
bahasa Mandarin)
+ Li (Lee).
Nama Identitas Nama Tionghoa Nama Nasional/Indonesia
Karel Singli
Lee Khoet Chong
Nama Populer Kung Khoet, Ence Khoet
Dominasi Etnik Tionghoa Campuran
Nilai dan Budaya
yang dipertahankan
dan diwariskan
Budaya tata krama, tegur sapa, perayaan imlek,
menghidangkan dan mengkonsumsi makanan khas Tionghoa,
menggunakan kalender cina dan buku ramalan
Cara Identifikasi
Sesama Etnik
Tionghoa
______
Tabel. 23. Identitas Etnik Karel Singli
Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang
Tionghoa peranakan, menurut peneliti bahwa bapak Karel Singli mampu
mempertahankan identitas etnik Tionghoa peranakan yang diwariskannya secara
baik, walaupun demikian harus mengubah nama marga keluarganya dari marga
160
Lee menjadi marga Singli agak terkesan marga berbau Indonesia. Dalam
pandangan peneliti, hal tersebut dilakukan sebagai bentuk mempertahankan
eksistensinya sebagai etnik Tionghoa peranakan. Yang menjadi unik adalah
bagaimana keluarganya melakukan strategi kombinasi nama marga Tionghoa
mereka menjadi marga yang berbau Indonesia namun tetap terlihat atau
mencirikan marga Tionghoa mereka, yakni Singli. Dimana kata Sing dalam
bahasa Mandari diartikan sebagai marga, sedangkan Li merupakan modifikasi dari
marga Lee sehingga jika dibaca tetap menunjukan marga tersebut. Dengan tujuan
agar marga mereka yang berbau Indonesia ini tetap mudah dikenali oleh sesama
etnik Tionghoa maupun sesama marga Lee itu sendiri, sekaligus untuk
menghindari terjadinya perkawinan dengan sesama marga lee.
Perubahan identitas keluarganya tersebut tidak terlepas dari campur tangan
pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga
setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo
Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah
identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,
ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak
dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama
diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa
mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib. Namun bagi
kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan 1960an ada tekanan halus
dari pemerintah untuk ganti nama., karena ganti nama dianggap sebagai sebuah
tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang Tionghoa bahwa merekasetia
161
kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa
Indonesia dan budaya Indonesia. Namun orang Tionghoa generasi muda yang
lahir sesudah tahun 1965 hampir semua memiliki nama Indonesia atau nama yang
dianggap Indonesia. (yakni bukan nama Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan
bahwa banyak Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama
aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata,
2002, hal 87)
Selama berinteraksi dengan sesama etnik Tionghoa maupun dengan etnik
Dawan, ia lebih merasakan dirinya dominan terhadap Tionghoa campuran, hal ini
justru bertolak belakang dengan statusnya sebagai seorang Tionghoa peranakan.
Dalam pandangan peneliti ada beberapa alasan kuat, diantaranya pertama istrinya
yang bernama Ingrawati Un (Wun Lang Ing) yang tak lain dari adik Syarifudin Un
juga merupakan keturunan Tionghoa Campuran, kedua dalam kehidupan sehari-
hari beliau sudah terbiasa bergaul membaur dengan sesama etnik Tionghoa baik
yang peranakan dan campuran serta etnik Dawan. Hal lainnya juga diperkuat
dengan pernyataannya bahwa kehidupan etnik Tionghoa dengan etnik Dawan
sudah menyatu sama lain.
Perihal warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki, menurut bapak
Karel bahwa budaya-budaya yang dipegang olehnya maupun keluarganya lebih
banyak mengadopsi tentang budaya tata krama maupun tegur sapa yang lazim
digunakan oleh leluhur mereka maupun etnik Tionghoa lainnya. Dalam
pandangan peneliti, hal tersebut bisa dimaklumi sebab ada beberapa tradisi
budaya Tionghoa yang didalam pandangan gereja Kristen Protestan dilarang
162
karena melanggar ajaran gereja tersebut. Namun walau demikian, secara terbatas
bapak Karel Singli masih menggunakan beberapa tradisi budaya Tionghoa secara
terbatas seperti penggunaan kalender cina untuk pemilihan hari baik dan lain
sebagainya.
Disisi lain, beberapa budaya Tionghoa yang masih dilestarikan dan
didoktrin kepada anak-anaknya adalah budaya tata krama, budaya tegur sapa,
soya, yang lazim digunakan oleh para leluhur maupun sesama etnik Tionghoa.
Hal tersebut tentunya masih diperbolehkan oleh ajaran gerejanya karena masih
sejalan, disamping itu ada beberapa tradisi Tionghoa lainnya seperti merayakan
imlek dengan anggota keluarga dan kerabat lainnya sesama etnik Tionghoa,
menghidangkan dan mengkonsumsi makanan khas Tionghoa dirumahnya.
Berdasarkan dua masalah kebudayaan diatas, peneliti menemukan
beberapa data yang berkaitan dua masalah tersebut. Masalah ini sebenarnya
bersumber dari agama Kongfuchu yang dianggap sebagai aliran kepercayaan,
berikut ulasan dari Leo Suryadinata untuk mendukung analisis peneliti. Selain
menghadapi tantangan dari pemerintah Indonesia yang ingin mengasimilasi orang
Tionghoa kedalam tubuh pribumi, agama Konghuchu juga mendapat kesulitan
dari masyarakat Tionghoa di Indonesia sendiri. Orang Tionghoa peranakan, pada
umumnya tidak lagi berbahasa Tionghoa dan kebudayaannya telah lama sangat
dipengaruhi baik oleh lingkungan barat maupun Indonesia. Banyak dari mereka
adalah orang Kristen Protestan dan Katolik. Budaya Tionghoa sendiri sangat asing
bagi kebanyakan orang Tionghoa peranakan, teristimewa bagi generasi muda
yang diharuskan UU belajar di sekolah-sekolah Indonesia sejak tahun 1957, cara
163
berpikir mereka, karenanya lebih Indonesia dari pada Tionghoa. (Suryadinata,
2002, hal 187)
Kongchuisme juga menghadapi tantangan dari agama Budha, Katolik, dan
Prostestan yang umumnya dianggap lebih “Indonesia” dari pada agama
Konghuchu. Jumlah orang Indonesia keturunanTionghoa yang menganut agama-
agama ini juga telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.(Leo, hal 188)
Selanjutnya informan peneliti adalah bapak Benyamin Tjung (Tjung Tjiu
Min) pada tanggal 2 Juli 2012, beliau merupakan seorang pedagang yang berumur
57 tahun. Dalam wawancara ini peneliti bertanya mengenai bagaimana ia
memaknai identitas Tionghoa yang selama ini melekat dalam dirinya serta
bagaimana ia memposisikan diri kedalam lingkungan etnik Tionghoa maupun
Dawan. Dengan santai ia menjawab bahwa sejak dilahirkan dan dibesarkan di
Niki-Niki, ia memaknai sebagai hal yang biasa saja mengenai identitasnya sebagai
seorang Tionghoa peranakan. Hal serupa juga dalam memposisikan dirinya,
ketika berada dalam lingkungan etnik Tionghoa maupun etnik Dawan, ia
mengungkapkan bahwa ketika berada ditengah-tengah masyarakat etnik Dawan,
khususnya dengan sesama etnik Tionghoa ia memposisikan dirinya biasa saja,
dalam artian sederajat dengan mereka, hal tersebut diperkuat ketika berinteraksi ia
menggunakan bahasa Dawan, bahasa melayu Kupang, menggunakan soya ketika
pada tradisi tertentu seperti hari ulang tahun, bertemu dengan orang tua atau orang
dengan usia lebih tua (etnik Tionghoa).
“Ya sejak lahir (di niki2) disini btong rasa (liat ke langit2), rasa biasa
begitu su biasa, bergaul biasa saja.”
164
“Sama biasa dengan hari kermana ju pake begitu, kebanyakan pake bahasa
indoensia (bahasa melayu kupang), nah kalo ada yg pake bahsa Timor ya
jawab saja pake bahsa Timor, kalo soya ya pada hari2 tertentu, misalnya
pada haru hut, imlek, kalo ketemu orang tua2 saat bertemu soya juga, kalo
sebaya ya jabat tangan, sam sa kedisini.”
Terjemahannya :
“Ya sejak lahir (Niki-Niki) disini saya merasa (liat ke langit2), rasa biasa
begitu su biasa, bergaul biasa saja.”
“Sama biasa dengan hari biasanya juga rasa begitu, kebanyakan pake
bahasa Indonesia (bahasa melayu kupang), nah kalo ada yg pake bahasa
Timor (Dawan) ya jawab saja pake bahasa Timor (Dawan), kalo soya ya
pada hari-hari tertentu, misalnya pada hari hut, imlek, kalo ketemu orang
tua saat bertemu soya juga, kalo sebaya ya jabat tangan, sama saja kayak
disini.”
Perihal membentuk strategi identitasnya sebagai seorang Tionghoa
peranakan, bahwa sejak menjadi seorang WNI (Warga Negara Indonesia) ia
mengganti nama Tionghoanya dengan nama serani (nama nasional/nama baptis
gereja) dengan nama Benyamin, sedangkan dengan marga keluarganya ia tetap
mempertahankan orisinilnya dan tidak menggantinya dengan kombinasi marga
atau nama lainnya, dengan alasan bahwa kelak nanti anak-anaknya dapat dengan
mudah mengenali marga keluarga nenek moyangnya maupun mudah dikenali
sesama etnik Tionghoa lainnya.
Berkaitan dengan dominasi identitas Tionghoa dalam dirinya, ia menjawab
bahwa selama ini ia mengambil sikap netral dalam artian tidak terlalu
menonjolkan sisi Tionghoanya, dengan alasan bahwa ia sendiri sudah lahir dan
dibesarkan di Niki-Niki sehingga ia merasa terbiasa dengan kondisi seperti ini.
Disisi lain ketika dimintai pendapatnya ketika dipanggil sebagai seorang
165
Tionghoa oleh masyarakat setempat khusunya etnik Dawan, ia merasa keberatan
karena menurutnya berbau rasisme atau menghina, namun disisi lain ia
mengungkapkan bahwa ia merasa biasa saja dan kadang juga merasa bangga dan
nyaman tetapi kembali menjadi biasa saja.
“Ya kalo sudah warga negara Indonesia tetap pake nama serani, tetapi kalo
fam tetap, marga tetap, bta kira marga itu tidak bisa hilang, tapi kalo kita
rubah marga baru, marga yg lama snd ada, jadi lama2 bsok anak bisa tau
kenali ohh ini marga ini, utk saling mengenal.”
“Netral saja, ya ko memang lahir disini, orang tua juga sudah lahir disini,
jadi su baisa sa begitu (lepas ekspresi nafas), pokoknya netral saa.”
“Ya..sonde bisa, disini sonde ada begitu, mungkin kalo daerah lain
mangkali”
“Biasa2 saja, snd marah, kalo arsa bangga ya kita bangga hehe, ada rasa
nyaman aman begitu, biasa2 saja.”
Terjemahannya :
“Ya kalo sudah warga negara Indonesia tetap pake nama serani (Nasional),
tetapi kalo marga tetap, saya kira marga itu tidak bisa hilang, tapi kalo kita
rubah marga baru, marga yg lama tidak ada, jadi lama kelamaan besok
(suatu saat nanti) anak bisa tahu dan kenali ,ohh ini marga ini, untuk saling
mengenal.”
“Netral saja, ya kalo memang lahir disini, orang tua juga sudah lahir
disini, jadi sudah biasa saja begitu (lepas ekspresi nafas), pokoknya netral
saja.”
“Ya..tidak bisa, disini tidak ada begitu, mungkin kalo daerah lain mungkin
ada”
“Biasa-biasa saja, tidak marah, kalo rasa bangga ya kita bangga hehe, ada
rasa nyaman aman begitu, biasa saja.”
Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki,
menurut bapak Benyamin bahwa ia sudah tidak menerapkan sepenuhnya budaya
Tionghoa didalam keluarganya, namun hanya sedikit saja yang ia terapkan berupa
166
budaya tegur sapa, soya. Sedangkan penggunaan Feng Shui sudah tidak
digunakan lagi, namun acara perayaan imlek masih dilaksanakan sedangkan
ketika berziarah ke makan sudah tidak menggunakan tata cara agama Konghuchu
melainkan secara Kristen.
Sedangkan nilai-nilai budaya Tionghoa lainnya yang diterapkan dalam
keluarganya selalu menyesuaikan dengan keadaan di lingkungan, seperti budaya
menghormati orang tua, anggota keluarga serta mengajarkan tentang batasan
dalam memanggil anggota keluarga, atau sesama etnik dengan pangkat tertentu
seperti om (Kiu, Ence), tante (Ji, Ku) dan lain sebagainya. Sedangkan budaya
lainnya seperti mengkonsumsi makanan-makanan khas Tionghoa, ia sendiri
mengakui bahwa sudah jarang disajikan oleh istrinya dalam keluarga, kebanyakan
di keluarganya sering mengkonsumsi makanan nasional atau lokal seperti jagung
bose (semur jagung) khas etnik Dawan, karena dirasa lebih enak dan sehat, namun
makanan Tionghoa tetap disajikan ketika ada perayaan imlek atau acara-acara
keluarga.
“Mangkasli sonde ada oww (Hehehe), sonde ada. Ya kalo itu, misalnya
budaya tegur sapa, soya, dari kecil su di didik begitu, kalo feng shui snd
pake lagi, imlek masih dirayakan, sembayang ke kubur masih tapi secara
nasrani pi berdoa sa.”
“Kiu terapkan sesuai btong pung keadaan disini, hormati orang tua
kelauraga, misalnya ketemu siapa atau anggota kelauarga panggil apa
begitu.”
“Itu snd ada lai, hehehe...kadang lebih banyak masak jagung bose
(makanan tradisional Timor), malh sekarang ktong kepingin makan
mananan dulu...Hehehe, rasa lebeh enak dan sehat, tapi kalo makanan cina
lai, misalnya cap cay masih masak, sayur2an begitu, skali2.”
167
Terjemahannya :
“Kayaknya tidak ada lagi ya... (Hehehe), tidak ada. Ya kalo itu (budaya
Tionghoa), misalnya budaya tegur sapa, soya, dari kecil sudah di didik
begitu, kalo feng shui tidak dipake lagi, imlek masih dirayakan, sembayang
ke kubur masih tapi secara nasrani pergi berdoa saja.”
“Saya terapkan sesuai keadaan kita disini, hormati orang tua keluarga,
misalnya ketemu siapa atau anggota kelauarga panggil apa begitu sesuai
pangkat.”
“Itu tidak ada lai, hehehe...kadang lebih banyak masak jagung bose
(makanan tradisional Timor), malah sekarang kami ingin makan makanan
dulu...Hehehe, rasa lebih enak dan sehat, tapi kalo makanan cina lagi,
misalnya cap cay masih masak, sayuran begitu, sekali-kali.”
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,
makna identitas etnik Tionghoa bagi bapak Benyamin Tjung dimaknai sebagai
sesuatu hal yang biasa saja, tanpa ada makna lainnya atau pun sesuatu yang
istimewa. Menurut pandangan peneliti hal tersebut terjadi karena sebagai seorang
keturunan Tionghoa peranakan ia telah melalui berbagai fase kehidupan yang
cukup sulit dari masa kecil hingga saat ini.
Pada 10 tahun belakangan dalam pengakuannya, ia mampu membangun
usaha dagang dan jasa transportasi yang cukup baik. Dalam pandangan peneliti,
dibalik penyataannya bahwa makna identitas etnik baginya merupakan hal biasa,
sebenarnya dapat dikandung makna rasa kebanggaan. Hal tersebut terlihat dalam
pengamatan peneliti ketika ia tetap mempertahankan nama marga keluarganya
yakni marga Tionghoa mereka “Tjung”, disamping itu dalam kehidupan sehari-
hari ia menjalankan profesinya sebagai pedagang yang dimana profesi ini
kebanyakan selalu dilakoni oleh etnik Tionghoa di Niki-Niki, hal tersebut sudah
menggambarkan makna kebanggaan.
168
Berdasarkan hal tersebut, peneliti melakukan penelusuran untuk
mendukung analisis mengenai etnik Tionghoa yang selalu diasosiasikan dengan
kegiatan ekonomi, yakni berdasarkan tulisan Leo Suryadinata bahwa etnis
Tionghoa, yang dulu disebut chinese overseas atau Tionghoa perantauan, tersebar
dimana-mana. Jumlahnya kira-kira 23 juta jiwa, lebih dari 80% diantaranya
berada di asia tenggara. Salah satu sebab mereka bermukim disana, karena asia
tenggara dekat dengan daratan Tiongkok dan selain pada waktu itu perdagangan
di asia tenggara juga banyak dipengaruhi oleh orang Tionghoa. Pada awalnya
jumla orang Tionghoa yang bermukim di asia tenggara tidak banyak. Eksodus
Tionghoa ke wilayah ini merupakan fenomena abad ke 19 dan ke 20 ketika di
Tiongkok dan asia tenggara mengalami perubahan. (Suryadinata, 2002, hal 7)
Disamping itu menurut Hidayat M.Z bahwa orang-orang Tionghoa di asia
tenggara dapat menempatkan diri mereka dalam kehidupan masyarakat di negara-
negara asia tenggara sebagai kelas menengah. Di Indonesia orang Tionghoa sejak
permulaan merantau telah berfungsi perantara antara penduduk asli dengan para
pendatang asing yang datang ke Indonesia. Para perantau Tionghoa ini menempati
kota-kota pantai dan hidup sebagai saudagar, pengusaha pelayaran, pengusaha
bank, dan sebagai pedagang besar dan kecil dan ada pula yang bekerja sebagai
artis. Hampir semua industri dan perdagangan akhirnya berada ditangan
pengusaha Tionghoa perantauan (Hidayat, hal 56)
Mungkin saja, bapak Benyamin bermaksud untuk merendahkan diri atau
tidak mau menonjolkan makna identitas etniknya, hal demikian juga serupa
dengan ketika ia menjawab mengenai memposisikan dirnya didalam lingkungan
169
etnik Tionghoa dan etnik Dawan, ia pun menjawab biasa saja atau sedarajat
dengan mereka. Hal tersebut dalam pandangan peneliti bahwa beliau sebenarnya
ingin tidak terlalu menonjolkan dirinya sebagai seorang Tionghoa, walau
demikian secara fisik dan identitas sudah menggambarkan posisinya sebagai
seorang Tionghoa peranakan.
Dalam pengamatan peneliti, ada beberapa hal yang mendukung
penyataannya. Dalam setiap kegiatan transaksi dagang ia selalu menggunakan
bahasa melayu Kupang maupun bahasa Dawan sesekali untuk berinteraksi dengan
para pelanggan toko maupun dengan pegawainya, kemudian ia sendiri mengakui
lebih menyukai kuliner khas etnik Dawan karena dirasa lebih sehat. Begitupun
juga dalam kegiatan beribadah di gerejanya ia selalu berbaur dengan sesama etnik
Tionghoa maupun etnik Dawan, dan terkesan nuansa akrab terbangun dalam
pergaulan tersebut, sehingga meyakinkan peneliti bahwa ia memposisikan dirinya
sederajat dengan sesama etnik Tionghoanya maupun dengan etnik Dawan.
170
Makna Identitas
Etnik
Biasa
Memposisikan Diri Biasa atau Sederajat
Strategi Identitas
(Kombinasi Marga)
Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi
(Hasil)
Tjung
___ Tjung
Nama Identitas Nama Tionghoa Nama
Nasional/Indonesia/
Tjung Tjiu Min
Benyamin Tjung
Nama Populer Baba Min
Dominasi Etnik Tionghoa Peranakan
Nilai dan Budaya
yang dipertahankan
dan diwariskan
Budaya tegur sapa, tata sopan santun, kuliner Tionghoa,
tradisi Imlek, penggunaan kalender Cina.
Cara Identifikasi
Sesama Etnik
Tionghoa
________
Tabel. 24. Identitas Etnik Benyamin Tjung
Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang
Tionghoa peranakan, sejak menjadi WNI ia telah mengganti nama Tionghoanya
yakni Tjung Tjiu Min ke nama Indonesianya dengan nama Benyamin Tjung, yang
menarik disini adalah tidak seperti beberapa informan lainnya turut mengganti
nama maupun marga keluarga, seperti yang sering dilakukan oleh etnik Tionghoa
lainnya akibat diterapkannya PP.10 oleh Pemerintah saat itu. Ia hanya mengganti
nama depannya dengan nama Indonesia atau nama baptis, sedangkan nama marga
nenek moyangnnya tetap dipertahankan keasliannya tanpa ada perubahan atau
kombinasi nama tertentu. Hal tersebut menurutnya kelak nanti anak-anaknya
dapat dengan mudah mengenali marga keluarga nenek moyangnya maupun
mudah dikenali sesama etnik Tionghoa lainnya.
171
Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan
pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga
setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo
Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah
identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,
ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak
dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama
diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa
mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib. Namun bagi
kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan 1960an ada tekanan halus
dari pemerintah untuk ganti nama., karena ganti nama dianggap sebagai sebuah
tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang Tionghoa bahwa mereka setia
kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa
Indonesia dan budaya Indonesia. Namun orang Tionghoa generasi muda yang
lahir sesudah tahun 1965 hampir semua memiliki nama Indonesia atau nama yang
dianggap Indonesia. (yakni bukan nama Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan
bahwa banyak Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama
aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata,
2002, hal 87)
Dalam pandangan peneliti hal tersebut cukup masuk logis, demikian pula
juga semakin mengukuhkan motif tersembunyi dari bapak Benyamin bahwa ia
sendiri secara tersirat membanggakan makna identitas etnik Tionghoanya, walau
demikian ia tetap mengakui bahwa makna identitas etniknya seperti biasa saja.
172
Disamping itu perihal dominasi identitas etnik didalam dirinya, ia mengakui
bahwa ia sendiri tidak terlalu menonjolkan sisi etnik Tionghoanya, sebab
bagaimana pun juga ia sudah lahir dan dibesarkan dan lambat laun ia sudah
terbiasa atau beradaptasi dengan kondisi seperti ini.
Dalam pandangan peneliti dengan menggunakan kata kondisi dapat
ditangkap secara tersirat bahwa bapak Benyamin ingin menekankan bahwa ia
sudah beradaptasi dan mampu berbaur dengan masyarakat setempat, baik itu
dengan etnik Tionghoa maupun etnik Dawan. Artinya, sekali lagi ia mempertegas
bahwa dirinya ingin mensejajarkan diri sama derajatnya dengan etnik Tionghoa
lainnya. Ketika ditanya bagaimana perasaannya ketika dipanggil sebagai seorang
Cina atau Tionghoa, disini secara bimbang ia menjawab bahwa disatu sisi
panggilan tersebut sangat berbau rasisme atau menghina, namun disisi lain ia
menjawab bahwa kadang kala merasa nyaman dan bangga dengan sebutan
tersebut.
Berkaitan dengan penggunaan istilah Cina yang bersifat rasisme tersebut,
peneliti menelusuri tulisan dari Melly Tan yang dapat mendukung analisis peneliti
bahwa selama periode penjajahan kolonial, Belanda menggunakan istilah
Masyarakat cina bagi segelintir imigran dan kelahiran olak dari orang cina, etnik
Indonesia hingga akhir abad ke 19 menggunakan istilah Tjina (Cina) atau Tjino
(Cino) dalam ucapan bahsa Jawa. Istilah Baba atau Babah digunakan sebagai
istilah yang dialamatkan kepada pria Tionghoa. Epistimologi ini tidaklah jelas,
tetapi mengarah pada sebagaimana diketahui dunia muslim yang mengarah pada
sarjana agama Islam. Eksistensi istilah ini di Indonesia sudah ada sejak abad ke
173
15, ketika komunitas Tionghoa muslim di panatai uata Jawa (Lombard dalam Tan,
2008, hal 1)
Paling sering diantara para kelahiran lokal adalah istilah yang biasanya
digunakan adalah Cina atau Cino yang bersifat konotasi menghina mereka. Tetap
pada istilah peranakan (istilah lain dari anak, atau anak indonesia atau keturunan
kelahiran lokal), sementara kelahiran asing atau imigram baru yang biasanya
disebut Totok (Dalam bahasa jawan disebut sebagai baru atau murni). (Tan, 2008,
hal 1)
Berkaitan dengan budaya Tionghoa ia mengakui bahwa sudah tidak lagi
menerapkan budaya Tionghoa sepenuhnya didalam keluarganya, hal ini
disebabkan menurut peneliti adalah beberapa ajaran gereja Kristen Protestan yang
bertentangan dengan adat budaya etnik Tionghoa. Ia sendiri masih menerapkan
budaya Tionghoa secara terbatas hanya pada beberapa hal misalnya budaya tegur
sapa terhadap sesama etnik Tionghoa, tata sopan santun, disamping itu perayaan
imlek maupun ziarah ke makam keluarga masih dilakukan namun tidak dilakukan
sesuai adat agama Konghuchu yang lazimnya dilakukan oleh etnik Tionghoa
lainnya melainkan secara agama Kristen Protestan.
Berdasarkan masalah kebudayaan diatas, peneliti menemukan beberapa
data yang berkaitan dua masalah tersebut. Masalah ini sebenarnya bersumber dari
agama Kongfuchu yang dianggap sebagai aliran kepercayaan, berikut ulasan dari
Leo Suryadinata untuk mendukung analisis peneliti, Selain menghadapi tantangan
dari pemerintah Indonesia yang ingin mengasimilasi orang Tionghoa kedalam
174
tubuh pribumi, agama Konghuchu juga mendapat kesulitan dari masyarakat
Tionghoa di Indonesia sendiri. Orang Tionghoa peranakan, pada umumnya tidak
lagi berbahasa Tionghoa dan kebudayaannya telah lama sangat dipengaruhi baik
oleh lingkungan barat maupun Indonesia. Banyak dari mereka adalah orang
Kristen Protestan dan Katolik. Budaya Tionghoa sendiri sangat asing bagi
kebanyakan orang Tionghoa peranakan, teristimewa bagi generasi muda yang
diharuskan UU belajar di sekolah-sekolah Indonesia sejak tahun 1957, cara
berpikir mereka, karenanya lebih Indonesia dari pada Tionghoa. (Suryadinata,
2002, hal 187)
Kongchuisme juga menghadapi tantangan dari agama Budha, Katolik, dan
Prostestan yang umumnya dianggap lebih “Indonesia” dari pada agama
Konghuchu. Jumlah orang Indonesia keturunan Tionghoa yang menganut agama-
agama ini juga telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.(Suryadinata,
2002, hal 188)
Sedangkan menghidangkan dan mengkonsumsi makanan khas Tionghoa
dikeluarganya sudah jarang dibuat karena disesuaikan dengan kondisi keluarga
mereka, dalam pandangan peneliti kata kondisi menyiratkan pada keadaan
finansial keluarganya, karena jika menghidangkan kuliner khas Tionghoa yang
memakan biaya tidak sedikit. Disisi lain dalam pandangan peneliti mungkin saja
beliau hanya ingin merendah atau ingin terlihat sederhana walaupun sering
mengkonsumsi makanan khas Tionghoa. Namun demikian tidak menutup
kemungkinan jika perayaan imlek tiba kuliner tersebut selalu disajikan kepada
anggota keluarga mereka.
175
Informan peneliti selanjutnya adalah, bapak Gilbert Lee (Lee Cung Liong)
yang berumur 55 tahun serta bekerja sebagai seorang pedagang, proses
wawancara kami berlangsung pada tanggal 3 juli 2012 di tempat usaha sekaligus
kediaman keluarganya. Peneliti bertanya mengenai bagaimana ia memaknai
identitas Tionghoa yang selama ini melekat dalam dirinya serta bagaimana ia
memposisikan diri kedalam lingkungan etnik Tionghoa maupun Dawan. Dengan
raut wajah yang serius ia menjawab bahwa selama ini yang dirasakannya
(memaknai) adalah rasa membanggakan akan etnik Tionghoa yang dimiliki, sebab
menurutnya lingkungan masyarakat etnik Dawan di Niki-Niki sangat mendukung,
hal ini bisa terlihat dalam acara maupun perayaan yang diadakan oleh etnik
Tionghoa yang selalu dihadiri dan mendapat partisipasi masyarakat etnik Dawan,
sehingga rasa yang ditimbulkan tidak terpisahkan satu sama lain.
Sedangkan dalam memposiskan dirinya dalam lingkungan etnik Tionghoa
maupun etnik Dawan, ia menjawab dengan santai bahwa sebenarnya dalam
memposisikan diri tidak ada hal yang istimewa, melainkan ia sendiri
memposisikan diri biasa-biasa saja ketika dalam bergaul baik dengan sesama
etnik Tionghoa maupun etnik Dawan, hal ini dikarenakan menurutnya adalah
tidak adanya perbedaan-perbedaan dan tidak ada masalah yang timbul selama ini.
“kalo ktong disini merasakan ya mau bilang mau membanggakan juga iya,
karna masyarakat ini mendukung jg, misalnya ktong bikin acara2 Tionghoa,
dong datang dan ada dan dong saling menghargai dan tidak pernah mau
bikin kacau atau apa, malahan dong mendukung, ke misalnya ktong ada
bikin perayaan imlek, nanti malam itu semua su datang ko bekin ramai2, ke
rasanya su snd ada rasa pisah2 satu sam yang lain.”
“biasa..biasa2 saja dalam pergaulan, soalnya tidak ada beda2nya rasanya
enak2 saa...snd ada masalah.”
176
Terjemahannya :
“kalo kami disini merasakan ya mau bilang mau membanggakan juga iya,
karena masyarakat ini (etnik Dawan) mendukung juga, misalnya kami
adakan acara-acara atau perayaan etnik Tionghoa, mereka hadir dan
mereka saling menghargai dan tidak pernah mau bikin masalah maupun
hambatan, malahan mereka mendukung, seperti misalnya kami adaka
perayaan imlek, malam sebelumnya itu semua etnik Dawan sudah datang
dan turut memeriahkan, jadi rasanya sudah tidak ada rasa pisah satu sama
lain. “
“Biasa..biasa saja dalam pergaulan, soalnya tidak ada beda-bedanya
rasanya enak-enak saja...tidak ada masalah.
Berkaitan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang Tionghoa
peranakan, ia menjawab bahwa yang ia lakukan dalam membentuk strategi
identitasnya ia tidak pernah membuat perubahan marga keluarganya, sebab
menurutnya secara diplomatis walaupun mau merubah marga keluarganya dengan
strategi perubahan nama apa pun tetap akan mudah dikenali oleh orang lain.
Menurut hematnya, walau melakukan perubahan nama marga pun dengan
mengkombinasikan nama-nama tertentu, toh demikian orang tetap akan
mengetahui nama marga mereka sebagai etnik Tionghoa, disamping itu ciri fisik
seperti roman muka pun bisa dijadikan patokan.
Namun ia sendiri tidak mempermasalahkan nama marga keluarganya,
baginya lingkungan disekitar cukup mendukung dan marga keluarganya tetap
dikenal. Perihal dominasi identitas etnik Tionghoa didalam dirinya, ia sendiri
mengakui bahwa didalam dirinya lebih menonjol atau dominan sebagai seorang
Tionghoa campuran walaupun sebenarnya ia sendiri merupakan keturunan
Tionghoa peranakan, hal ini disebabkan kerena ia berada pada lingkungan etnik
Tionghoa campuran sehingga sulit untuk membedakannya. Ketika disinggung
177
pertanyaan menegenai perasaannya jika dipanggil dengan kata Cina, ia menjawab
bahwa hal tersebut dirasangan kurang enak didengar dan tidak sopan dan terkesan
kasar, disamping itu menurutnya kebanyakan orang di Niki-Niki khususnya etnik
Dawan lebih dominan menggunakan kata keturunan Tionghoa jika ingin
menyebut tentang mereka, sehingga baginya kata panggilan keturunan Tionghoa
akan memberi rasa nyaman baginya .
“saya tidak bikin begitu karna btong bikin sampai dimana (mau cara
apapun) tetap orang kenal, dorang tau ini orang keturunan, ke btong yang
mau tambah akan lee misalnya ada yang lain liyanto, atau dia tambah
apalagi dibelakang begitu, tapi orang tetap kenal,ohh ini orang syang lee,
liat dari romannya tau. Tetapi itu tidak menjadi permasalahan sebab
lingkungan sangat akrab bagus, bagi btong sonde ada. Jadi tetap sama sa
dikenal.”
“lebih lebih menonjol yang campur (Tionghoa campuran), soalnya memang
lingkungannya saudah bercampur baur jadi memang tidak bisa
membedakan lagi.”
“rasanya kurang enak juga, iya sepertinya kasar, orang disini lebih banyak
panggil orang keturunan Tionghoa..begitu, lebih enak, kalo dibilang orang
Tionghoa rasanya lebih cocok lagi, kata cinanya kasar, kata orang Jepang
dibilang begitu. Kata cina rasanya sonde enak sekali.”
Terjemahannya :
“saya tidak lakukan begitu (perubahan marga) karena ketika kami lakukan
maka sampai dimana (mau cara apapun) tetap orang kenali, mereka tahu
ini orang keturunan (Tionghoa), misalnya kami yang mau tambah akan lee
misalnya ada yang lain contoh marga liyanto, atau mereka tambah apalagi
dibelakang begitu, tapi orang tetap kenal, ohh ini orang syang lee (marga
Lee), dilihat dari romannya sudah tahu. Tetapi itu tidak menjadi
permasalahan sebab lingkungan sangat akrab bagus, bagi kami tidak perlu
perubahan. Jadi tetap sama saja akan dikenal.”
“lebih lebih menonjol yang campur (Tionghoa campuran), soalnya memang
lingkungannya sudah bercampur baur jadi memang tidak bisa membedakan
lagi.”
178
“rasanya kurang enak juga, iya sepertinya kasar, orang disini lebih banyak
panggil orang keturunan Tionghoa..begitu, lebih enak, kalo dibilang orang
Tionghoa rasanya lebih cocok lagi, kata cinanya kasar, kata orang Jepang
dibilang begitu. Kata cina rasanya tidak enak sekali.”
Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki,
menurut bapak Gilbert Lee didalam keluarganya masih mewarisi beberapa budaya
Tionghoa namun sifatnya masih terbatas, ia mengakui dalam ajaran agama
Konghuchu merupakan satu ajaran agama bagi semua etnik Tionghoa seperti
saling menghormati, menghargai yang diutamakan oleh orang Tua, hal tersebut
masih ia terapkan didalam keluarganya dan merupakan warisan dari para leluhur
keluarganya. Disisi lain, penggunaan beberapa tradisi Tionghoa seperti ucapan
hormat dalam bentuk soya masih dipergunakan sebagai ukuran keluarga
khususnya dikalangan sesama etnik Tionghoa, sedangkan dengan etnik Dawan ia
menggunakan jabat tangan seperti biasanya.
Dalam penggunaan seni arsitektur kediamannya yang sekaligus menjadi
tempat usaha, ia mengatakan bahwa penggunaan warna hijau tosca atau hijau
muda pada setiap pintu maupun jendela rumahnya merupakan warisan dari orang
tuanya pada waktu itu, dan ia sendiri tetap mempertahankannya sebab menjadi
sebuah tradisi, disamping itu ia mengakui tidak tahu makna warna hijau tersebut,
dan perkiraanya saja bahwa warna ini melambangkan “kedinginan” atau
ketentraman dan kadang juga membawa hoki atau keberuntungan.
Ketika ditanya apakah masih menggunakan tradisi Tionghoa lainnya
seperti feng shui dan mengkonsumsi makanan-makanan khas Tionghoa, dengan
senyum ia menjawab bahwa penggunaan feng shui sudah tidak dilakukan oleh
179
keluarganya sedangkan kalender cina sebagai bentuk penanggalan hari-hari baik
masih dipergunakan. Dalam bidang kuliner Tionghoa, ia mengakui masih
mengkonsumsi makanan-makanan khas Tionghoa yang disajikan didalam
keluarga walau dirasa sudah jarang sekali karena lebih sering dihidangkan
makanan bersifat nasional (Makanan Indonesia).
“memang kalo ajarannya , kalo orang Tionghoa ini dia pung agama satu
ajaran, adalah dia pung ajaran, saling menghargai, menghjormati, itu yang
diutamakan dari orang tua itu.”
“ya kelanjutan dari saling menghargai, menghormati ya yang dari orang
tua sudah wariskan.”
“masih, sebab itu menjadi satu ukuran keluarga sebab, kalo dengan
sesama (etnis Tionghoa) dan keluarga ya biasa pake soya, ya kalo dengan
masyaraka biasa (orang asli Timor) ya pegang tangan saja, sudah jadi
biasa begitu.”
“sudah dari dulu, ini warisan dari orang tua dulu, kalo di bilang mau
bilang sudah tradisi, mau kermana, kebanyakan orang dulu sudah cat
begitu, jadi btong ikut sa sudah, sebab dong pung rumah dulu kembali
hijau-hijau begitu, mungkin warnanya dingin atau bagaimana ya..kalo
dibilang bawa hoki, tapi ktong snd begitu tau lai.”
“tapi kalo disini hampir semua orang snd begitu tau lai...kalo kalender cina
masih pake, buat pilih hari.”
“ya kalo senang masak, kalo pengin sesekali buat makan, ada juga. Masih
tetap ada.”
Terjemahannya :
“memang kalo ajarannya, kalo orang Tionghoa ini dia punya agama satu
ajaran, adalah dia punya ajaran, seperti saling menghargai, menghormati,
itu yang diutamakan dari orang tua itu.”
“ya kelanjutan dari saling menghargai, menghormati ya yang dari orang
tua sudah wariskan.”
180
“masih dipertahankan, sebab itu menjadi satu ukuran keluarga, kalo
dengan sesama (etnis Tionghoa) dan keluarga ya biasa pake soya, ya kalo
dengan masyarakat biasa (orang asli Timor) ya pegang tangan saja, sudah
jadi biasa begitu.”
“sudah dari dulu, ini warisan dari orang tua, kalo dibilang sudah tradisi,
mau bagaimana lagi, kebanyakan orang dulu sudah cat begitu, jadi ikuti
saja, sebab rumah orang tua kami dulu kembali warna hijau-hijau begitu,
mungkin warnanya dingin atau bagaimana ya..kalo dibilang bawa hoki,
tapi saya tidak begitu tahu lagi jelasnya.”
“tapi kalo disini hampir semua orang tidak begitu tau lai (tidak
mengikuti)...kalo kalender cina masih dipakai, buat pemilihan hari saja.”
“ya kalo senang (pingin) ya dimasak, kalo pengin sesekali buat dikonsumsi,
ada juga. Masih tetap ada (dipertahankan).”
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,
makna identitas etnik Tionghoa bagi bapak Gillbert Lee dimaknai sebagai sebuah
kebanggaan akan identitas etnik Tionghoa yang dimilikinya, hal tersebut
dikarenakan lingkungan masyarakat di Niki-Niki khususnya dari kalangan etnik
Dawan yang wujudnya dapat dilihat dari partisipaasi bersama antara kedua etnik
ini dlam setiap perayaan maupun acara-acara yang diselenggarakan oleh kedua
belah pihak.
Dalam pandangan peneliti, makna Kebanggaan ini dapat dilihat melalui
beberapa hal yang ditinjau dari beliau, pertama adalah beliau sendiri tetap
mempertahankan marga Tionghoa keluarganya dan tidak merubah satu pun atau
mengkombinasikan dengan marga lain, Kedua adalah lingkungan yang cukup
kondusif khususnya dari etnik Dawan yang memberi kontribusi positif dalam
berbagai hal seperti pembauran yang baik dengan etnik Tionghoa, adanya faktor
kawin campur, sikap toleransi satu sama lain yang terbangun. Termasuk didalam
181
memposisikan dirinya yang biasa-biasa saja dan tidak terlalu istimewa, sehingga
bisa dianggap sederajat dengan sesama etnik Tionghoa maupun dengan etnik
Dawan lainnya.
Berkaitan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang Tionghoa
peranakan, ia sendiri tetap mempertahankan marga asli keluarganya dan tidak
melakukan perubahan ataupun kombinasi seperti yang sering dilakukan oleh etnik
Tionghoa lainnya akibat diterapkannya PP.10 oleh Pemerintah saat itu. Dengan
diplomatis ia menjawab bahwa seperti apapun merubah marga keluarga tetap saja
dengan mudah orang mengenali atau mengidentifikasi marga keluarganya sebagai
etnik Tionghoa, disamping itu ia menambahkan bahwa identitas secara fisik
seperti roman mukan pun bisa menjadi salah satu cara untuk mengenali seseorang
sebagai keturunan Tionghoa. Berdasarkan pandangan peneliti bahwa, beliau
mampu menekankan bahwa makna identitas etniknya sebagai sebuah
Kebanggaan, hal tersebut juga ia wujudkan dalam mempertahankan keaslian nama
marga Lee dalam keluarganya.
Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan
pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga
setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo
Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah
identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,
ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak
dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama
diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa
182
mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib. Namun bagi
kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan 1960an ada tekanan halus
dari pemerintah untuk ganti nama, karena ganti nama dianggap sebagai sebuah
tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang Tionghoa bahwa mereka setia
kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa
Indonesia dan budaya Indonesia. Namun orang Tionghoa generasi muda yang
lahir sesudah tahun 1965 hampir semua memilikinama Indonesia atau nama yang
dianggap Indonesia. (yakni bukan nama Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan
bahwa banyak Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama
aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata,
2002, hal 87)
Makna Identitas
Etnik
Kebanggaan
Memposisikan Diri Sederajat
Strategi Identitas
(Kombinasi Marga)
Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi
(Hasil)
Lee
___ Lee
Nama Identitas Nama Tionghoa Nama
Nasional/Indonesia/
Lee Cung Liong Gillbert Gasper Lee
Nama Populer Ence Liong TM, Liong TM / TM (Timor Makmur)
Dominasi Etnik Tionghoa Campuran
Nilai dan Budaya
yang dipertahankan
dan diwariskan
Budaya tegur sapa (soya), tata krama, sopan santun, kalender
Cina, warna arsitektur rumah, dll.
Cara Identifikasi
Sesama Etnik
Tionghoa
Marga dan ciri fisik seperti roman muka.
Tabel. 25. Indentitas Etnik Gillbert Lee
Disatu sisi, dalam pandangan peneliti bahwa dengan adanya dukungan
lingkungan yang kondusif semakin menguatkan rasa bangga akan identitasnya
183
sebagai seorang Tinghoa peranakan. Disamping itu berkaitan dengan dominasi
identitas etnik Tionghoa misalnya, ia secara jujur mengakui lebih dominan
terhadap etnik Tionghoa campuran walaupun sebenarnya ia sendiri merupakan
keturunan Tionghoa peranakan. Dalam pandangan peneliti hal tersebut cukup
beralasan, sebab secara tidak langsung beliau sudah berbaur didalam lingkungan
yang cukup heterogen, dimana terdapat etnik Dawan maupun etnik Tionghoa
campuran, sehingga lambat laun sebagai bentuk saling menghormati ia secara
bijak lebih dominan terhadap etnik Tionghoa peranakan.
Disamping itu pula, dalam pengamatan peneliti kehidupan sosial bapak
Gillbert sehari-hari seperti dalam transaksi dagang ia lebih sering berinteraksi
dengan pegawai yang bekerja padanya dan pelanggan menggunakan bahasa
melayu Kupang maupun sesekali juga menggunakan bahasa Dawan, termasuk
didalamnya melakukan teknik pendekatan seperti penyuguhan sirih pinang (Oko
Mama). Disamping itu dalam itu dalam berinteraksi sehari-hari dengan
keluarganya ia lebih dominan menggunakan bahasa melayu Kupang, disamping
itu pergaulannya sehari-hari baik dengan sesama etnik Tionghoa ia lebih dominan
menggunakan bahasa melayu Kupang, termasuk juga didalam lingkungan tempat
ibadah. Dalam pandangan peneliti, hal tersebut sudah cukup kuat menggambarkan
kuatnya makna kebanggaan dalam identitasnya sebagai seorang Tionghoa
peranakan.
Demikian pula, perasaannya ketika dipanggil sebagai seorang Cina ia
sendiri merasakan panggilan tersebut sebagai suatu hal yang terdengan kurang
sopan dan kasar, ia sendiri menambahkan bahwa kebanyakan masyarakat Niki-
184
Niki lebih banyak memanggil kaum etniknya dengan keturunan Tionghoa, dalam
pandangan peneliti hal tersebut cukup logis sebab selama ini sebutan bagi etnik
Tionghoa dengan kata Cina memang terkesan kasar dan berbau rasisme,
disamping itu kondisi lingkungan etnik Tionghoa di Niki-Niki cukup kondusif
dengan etnik Tionghoa setempat sehingga wajar diantara kedua etnik ini sudah
ada pemahaman dan toleransi yang baik.
Berkaitan dengan penggunaan istilah Cina yang bersifat rasisme tersebut,
peneliti menelusuri tulisan dari Melly Tan yang dapat mendukung analisis peneliti
bahwa selama periode penjajahan kolonial, Belanda menggunakan istilah
Masyarakat cina bagi segelintir imigran dan kelahiran olak dari orang cina, etnik
Indonesia hingga akhir abad ke 19 menggunakan istilah Tjina (Cina) atau Tjino
(Cino) dalam ucapan bahsa Jawa. Istilah Baba atau Babah digunakan sebagai
istilah yang dialamatkan kepada pria Tionghoa. Epistimologi ini tidaklah jelas,
tetapi mengarah pada sebagaimana diketahui dunia muslim yang mengarah pada
sarjana agama Islam. Eksistensi istilah ini di Indonesia sudah ada sejak abad ke
15, ketika komunitas Tionghoa muslim di panatai uata Jawa (Lombard dalam Tan,
2008, hal 1)
Paling sering diantara para kelahiran lokal adalah istilah yang biasanya
digunakan adalah Cina atau Cino yang bersifat konotasi menghina mereka. Tetap
pada istilah peranakan (istilah lain dari anak, atau anak indonesia atau keturunan
kelahiran lokal), sementara kelahiran asing atau imigram baru yang biasanya
disebut Totok (Dalam bahasa jawan disebut sebagai baru atau murni). (Tan, 2008,
hal 1)
185
Mengenai warisan budaya etnik Tionghoa, menurut beliau masih mewarisi
beberapa nilai atau budaya Tionghoa dari leluhurnya meskipun demikian bersifat
terbatas. Adapun hal-hal tersebut sebagai berikut, budaya saling menghormati,
tata krama, tegur sapa seperti soya yang bersumber dari agama Konghuchu
dimana hal tersebut ia terapkan didalam keluarganya, disamping itu penggunaan
kalender Cina untuk pemilihan hari baik kecuali feng shui yang dilarang dalam
ajaran Gerejanya, maupun melestarikan budaya arsitektur rumah keluarganya.
Berdasarkan masalah kebudayaan diatas, peneliti menemukan beberapa
data yang berkaitan masalah tersebut. Masalah ini sebenarnya bersumber dari
agama Kongfuchu yang dianggap sebagai aliran kepercayaan, berikut ulasan dari
Leo Suryadinata untuk mendukung analisis peneliti Selain menghadapi tantangan
dari pemerintah Indonesia yang ingin mengasimilasi orang Tionghoa kedalam
tubuh pribumi, agama Konghuchu juga mendapat kesulitan dari masyarakat
Tionghoa di Indonesia sendiri. Orang Tionghoa peranakan, pada umumnya tidak
lagi berbahasa Tionghoa dan kebudayaannya telah lama sangat dpengaruhi baik
oleh lingkungan barat maupun Indonesia. Banyak dari mereka adalah orang
Kristen Protestan dan Katolik. Budaya Tionghoa sendiri sangat asing bagi
kebanyakan orang Tionghoa peranakan, teristimewa bagi generasi muda yang
diharuskan UU belajar di sekolah-sekolah Indonesia sejak tahun 1957, cara
berpikir mereka, karenanya lebih Indonesia dari pada Tionghoa. (Suryadinata,
2002, hal 187)
Kongchuisme juga menghadapi tantangan dari agama Budha, Katolik, dan
Prostestan yang umumnya dianggap lebih “Indonesia” dari pada agama
186
Konghuchu. Jumlah orang Indonesia keturunanTionghoa yang menganut agama-
agama ini juga telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.(Suryadinata,
2002, hal 188)
Disamping itu, menurut data yang peneliti peroleh bahwa sebenarnya
penggunaan feng shui tidak ada masalah yang serius, sebenarnya dalam tulisan
Melly Tan bahwa Hal yang menarik dalam pengembangan properti yang sering
menjadi perhatian adalah istilah Feng Shui atau sistem geometri ala orang
Tionghoa. Diterjemahkan sebagai bentuk dari angin dan air. Sebagai hasilnya
adalah permintaan bagi para ahli feng shui, pakar konsultan paling awal sebelum
memutuskan tempat dari struktur bangunan. (Tan, 2008, hal 15)
Dalam pandangan peneliti, hal tersebut sebagai bentuk pengukuhan makna
identitas etniknya dan juga posisinya sebagai seorang keturunan Tionghoa agar
tetap eksis, seperti halnya juga dalam penggunaan warna hijau tosca dalam
arsitektur kediaman keluarganya yang diwariskan oleh orangtuanya adalah bentuk
penghargaan bagi leluhurnya, dan makna yang terkandung dalam warna hijau ini
melambangkan nilai keberuntungan, rejeki maupun tentram. Dimana warna hijau
tosca ini hampir mendominasi beberapa rumah etnik Tinionghoa di Niki-Niki.
Informan peneliti berikutnya adalah bapak Christopher Wijaya (Oei I Ngo)
yang berumur 67 tahun berprofesi sebagai seorang pedagang sembako,
wawancara antara peneliti dengannya berlangsung pada tanggal 3 juli pukul
14.00, peneliti menanyakan mengenai bagaimana ia memaknai identitas Tionghoa
yang selama ini melekat dalam dirinya serta bagaimana ia memposisikan diri
187
kedalam lingkungan etnik Tionghoa maupun Dawan. Dengan nada santai ia
menjawab bahwa ia memaknai identitasnya sebagai sebuah kebanggaan karena
bisa lahir dari keluarga Tionghoa dan besar di negara yang makmur seperti
Indonesia selain itu ia mengakui bahwa walaupun masih memiliki darah Tionghoa
yang mengalir namun ia bangga bisa menjadi bagian atau tinggal dan dibesarkan
di Indonesia.
Sehingga baginya sudah tidak diperlukan hal istimewa lainnya, baginya
bisa tinggal dan mencari hidup di Indonesia sudah lebih dari cukup, sehingga
tidak perlu mencari hal-hal lain lagi, dia pun secara diplomatis mengungkapkan
bahwa pada prinsipnya sebagai etnik Tionghoa keturunan hanya sekedar mencari
aman dengan menafkahi keluarga saja untuk tetap hidup dan tidak perlu terlibat
dibidang politik atau menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil). Sedangkan
disinggung mengenai memposisikan dirinya dengan sesama etnik Tionghoa
maupun dengan etnik Dawan, ia menjawab bahwa ia tidak membutuhkan harus
bagaimana ia memposisikan diri lagi, ia memposisikan dirnya hanya biasa saja
dan tidak mau membeda-bedakan dirinya dengan sesama etnik Tionghoa dan
etnik Dawan khususnya, sebab jika ia tetap membeda-bedakan dirinya dengan
yang lain akan semakin mempersulit dirinya dalam bersosialisasi. Ia
menambahkan kalo dengan sesama etnik Tionghoa mungkin saja bisa terjadi
karena adanya hubungan keluarga satu sama lain tentunya ia harus memposisikan
dirinya bergantung pada situasi.
“ya bangsa saja too, bangga memang kebetulan lahir di keluarga
Tionghoa, bangga juga karna tiap semua orang yahh negara besar juga
tohh...memang darah Tionghoa mas su menyatu dengan Indonesia, snd bisa
188
dipungkiri lai, soalnya su lahir di Indonesia, besa di Indoensai, makan di
Indoensai mau apalai... ? Hahahahaheee...ais su bisa hidup di Indonesia ais
mau pikir apa lai ? orang Tionghoa ujung2 dia cari duit sa.. bisa hidup,
kasih hidup keluarga itu su aman, makanya ada Tionghoa suash mau jadi
pns too, bukan ktong su ada kerja bikin jadi pegawai bikin apa ? kalo btong
pung orang sini khan cari kerja susah, kalo lu masuk pegawai negeri khan
pasti, yg laen su masuk pns khan su pasti, jadi dia pung beda itu sa.. “
“mau posisi yg mana, btong biasa2 sa deng dong, snd ada mau perbedaan,
lu mau perbedaan, mana mau dong dekat deng lu, biasa dong su sekat, ya
anak ojek apa dong semua khan bae, pi mana2 dong antar su aman2
sa..sesama Tionghoa yaa karna laen ada menyangkut famili, bergaul pi
datang snd seberapa. “
Terjemahannya :
“ya bangga saja, bangga memang kebetulan lahir dari keluarga Tionghoa,
bangga juga karena tiap semua orang yah.. ini negara besar juga
kan...memang darah Tionghoa tetapi sudah menyatu dengan Indonesia,
tidak bisa dipungkiri lagi, soalnya sudah lahir di Indonesia, besar di
Indonesia, makan di Indonesia mau apalagi... ? Hahahahaheee...juga sudah
bisa hidup di Indonesia dan juga mau pikir apa lai ? orang Tionghoa ujung-
ujungnya dia cari duit saja.. bisa hidup, kasih hidup keluarga itu sudah
aman, makanya ada Tionghoa susah mau jadi pns bukan ? bukannya kami
sudah ada lahan kerja buat apalagi jadi pegawai negeri ? kalo orang kami
(etnik Tionghoa) disini kan cari kerja sudah susah, kalo kamu jadi pegawai
negeri kan pasti, yang laen sudah jadi pns kan sudah pasti, jadi
perbedaannya itu saja.“
“mau posisi yang mana, saya biasa-biasa saja dengan mereka (etnik
Dawan), tidak ada mau perbedaan, kamu mau perbedaan, mana mau
mereka dekat deng kamu, biasanya mereka sudah dekat, ya anak ojek apa
dong semua kan baik, pergi kemana mereka ngantar sudah aman
saja..sesama Tionghoa ya karena lainyya sudah ada menyangkut hubungan
keluarga, bergaul sana-kemari tidak seberapa.“
Perihal dalam membentuk strategi identitasnya sebagai seorang Tionghoa
peranakan, ia menjawab bahwa selama ini strategi identitasnya yang diterapkan
dalam keluarganya hanya pada perubahan nama marga, yakni marga Tionghoanya
yang bernama “Ui” diganti dengan marga yang berbau Indonesia menjadi
“Wijaya”, ia menjelaskan lebih terperinci bahwa kata “Ui” jika di ejakan dalam
189
bahasa Indonesia terdengar seperti “Wi” maka keluarganya pun sepakat
menggunakan nama “Wi” dan dikombinasikan dengan “Jaya” sehingga terdengar
seperti marga Indonesia. Hal tersebut diakuinya dikarenakan dampak penetapan
aturan PP.10 yang dirilis oleh Pemerintah Orde baru pada saat itu, sehingga
memaknsa keluarganya untuk menyepakati pergantian nama marga mereka.
Ketika ditanya mengenai dominasi identitas etnik didalam dirinya, ia
mengakui bahwa pada dasarnya jika ingin merubah identitas fisik memang sudah
tidak bisa dipungkiri lagi menunjukan sebagai seorang keturunan Tionghoa,
baginya marga Oei tetap sebagai keturunan Cina (Tionghoa), namun secara
diplomatis ia tetap memilih sebagai seorang warga negara Indonesia tanpa melihat
status sebagai warga pribumi atau non-pribumi (keturunan), pada dasarnya ia
sendiri tidak mau membeda-bedakan dirinya sebagai Tionghoa peranakan dengan
maksud agar lebih mudah bersosialisasi.
Ia menambahkan rata-rata dilingkungan masyarakat sekitarnya atau
lingkungan keluarga jauh yang berada pada tataran bawah sudah mengetahui ia
lebih sering menggunakan identitas nama Indonesianya, berbeda ketika berada
dilingkungan keluarga dekatnya atau kerabat keluarga lebih sering memanggilnya
dengan menggunakan nama Tionghoa yang melakat pada dirinya. Ketika ditanya
rasa kebanggaannya menggunakan nama Tionghoanya, ia menjawab bahwa ia
sendiri merasa bangga, hal ini tidak bisa dipungkiri karena memang sudah
keadaannya (digariskan) sebagai seorang Tionghoa, walaupun akibat
diterapkannya aturan PP.10 itu sendiri yang mengharuskan orang tuanya dan
190
dirinya untuk merubah nama dan masuk menjadi WNI agar bisa mendapat mata
pencaharaian hidup di Indonesia.
“Ui itu, dia pung bunyi dengan wi hampir sama to, jadi supaya itu nama
ee...itu nama marga jang hilang yaa...ada bunyi sedikit2 saa...mirip2
too...itu setalah gestok (G30S) yang ganti2 nama tuh...”
“btong mau rubah btong pung ini (identitas/fisik) snd bisa, oeini tetap cina,
btong kalo mau lebih baik jadi Indonesia saja, pribumi dan non pribumi snd
mau begitu, ada yg beda2 begitu ais mau bekin kermana ? dr btong pung ini
snd ad niat mau beda”
“kalo sekarang orang su tau btong pake nama Indonesia lebih banyak,
kecuali yang btong pung teman tau btong pung nama (nama cina), kecuali
juga yang generasi bawah dong semua su pake nama sarani, di toko2 su
pake nama sarani jadi song snd tau lai..su hanya yaa kalo, teman sebaya
yang tau nama cina,”
“ya bangga sebagai orang cina Cuma yaa iko keadaan too...ya karna
keadaan menuntut btong iko sa..dulu khan mau dagang khan musti maso
warga too...maso warga dong suruh ganti nama, jd btong iko sa too..”
Terjemahannya :
“Ui itu, bunyi jika diejakan terdengarseperti wi hampir sama, jadi supaya i
nama marganya tidak hilang yaa...ada bunyi sedikit saja.. Wijaya, mirip-
mirip kan...itu setalah gestok (G30S) yang peraturan ganti nama.”
“kami mau merubah identitas ini (identitas/fisik) tidak bisa, oeini tetap cina
(etnik Tionghoa), kami kalo mau lebih baik jadi warga Indonesia saja, tidak
mau begitu menjadi golongan pribumi dan non pribumi, ada yg beda-
bedakan begitu, terus mau bagaimana? dari keturunan kami tidak ada niat
mau beda-beda”
“kalo sekarang orang sudah tau saya pake nama Indonesia lebih banyak,
kecuali yang teman saya tahu nama Tionghoa saya (nama cina), kecuali
juga yang generasi bawah, mereka semua sudah pake nama sarani (nama
nasional), di toko-toko(orang pedagang Tionghoa) sudah pake nama sarani
(nasional) jadi mereka tidak tahu lagi..sudah hanya yaa kalo, teman sebaya
yang tahu nama cina (Tionghoa)”
191
“ya bangga sebagai orang cina (Tionghoa) Cuma yaa mengikuti keadaan
kan...ya karena keadaan menuntut kami ikuti saja..dulu kan mau dagang
kan mesti masuk warga negara Indonesia kan...masuk WNI meraka
(Pemerintah) mengharuskan ganti nama, jadi kami ikuti saja ya..”
Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki,
menurut beliau bahwa dalam keluarganya masih mewarisi dan menerapkan
beberapa budaya Tionghoa lainnya seperti budaya sopan santun, tata krama
seperti budaya soya yang lazimnya dipergunakan sebagai salam hormat jika
bertemu sesama etnik Tionghoa khususnya yang berumur lebih tua atau
seumuran. Hal tersebut sudah diterapkan oleh orang tuanya sejak ia masih kecil,
termasuk saat ia sudah berkeluarga ia pun terapkan kepada putranya sejak dini,
termasuk juga ketika perayaan imlek tiba, keluargnya pun masih merayakan
dengan terbatas, kecuali melakukan ritual ala agama Konghuchu seperti berdoa
menggunakan hiong atau dupa dan peraturan feng shui sudah tidak dilakukan
karena ia sendiri sudah beragama Kristen. Disisi dalam kuliner Tionghoa, ia pun
mengakui dalam keluarganya masih menghidangkan dan mengkonsumsi kuliner
khas Tionghoa, ketika ditanya mengenai budaya Tionghoa mana yang paling ia
sering terapkan, sambil termenung sejenak ia menjawab kalo budaya Tionghoa
sudah terlalu banyak, mungkin di saat perayaan imlek lebih sering dijadikan ajang
reuni keluarga dan teman-temannya, terutama mereka yang tinggalnya cukup jauh
dari luar daerah, namun ketika orang tuanya sudah tiada ia lebih banyak
mengadakan dikediamannya sendiri secara terbatas.
“ohh.... kalo itu ada (soya, budya sopan santun, tata krama), dari kecil2 su
ajar, imlek rayakan, Cuma kalo sembayang hiong snd karan ktong su
masuk kristen, tau juga snd terlalu guna (feng shui)”
192
“tetap ada, makan juga.”
“budaya btong snd terlalu...(pikir lama), kalo mau iko dia pung buday
terlalu banyak too...ya imlek mungkin, senang bisa berkumpul banyak2
orang, jadi ketemu keluarga dari jaoh dong datang, macam dulu waktu ortu
masih di kupang, ya semua kumpul di kupang, skrng ya ortu su mati (wafat)
semua, jadi bekin di rumah saa...ke pange kwn2 dong saa.”
Terjemahannya :
“ohh.... kalo itu ada (soya, budya sopan santun, tata krama), dari kecil-
kecil sudah diajarkan, imlek dirayakan, Cuma kalo sembayang hiong tidak
karena kami sudah masuk Kristen, tahu juga tidak terlalu guna (feng shui)”
“tetap ada, tetap makan juga.”
“budaya saya tidak terlalu...(pikir lama), kalo mau mengikuti budaya
Tionghoa terlalu banyak jadi...ya paling imlek mungkin, senang bisa
berkumpul banyak orang, jadi ketemu keluarga dari jauh mereka hadir,
seperti dulu waktu orang tua masih di Kupang, ya semua kumpul di
Kupang, kalo sekarang semenjak orang tua sudah wafat, semua jadi buat
di rumah masing-masing saja...paling mengundang teman-kerabat saja.”
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,
makna identitas etnik Tionghoa bagi bapak Christopher Wijaya bahwa makna
identas etnik Tionghoa baginya adalah sebuah kebanggaan, dalam hal ini ia
menjelaskan bahwa ia merasa bersyukur sebagai seorang peranakan Tionghoa bisa
menjadi WNI, tinggal di negera Republik Indonesia yang makmur. Begitu pun
juga dalam memposisikan dirinya, ia sendiri tidak berharap akan posisi istimewa,
baginya sudah bisa tinggal dan bekerja di Indonesia sudah lebih dari cukup.
Dalam pandangan peneliti, hal tersebut bisa dipahami bagi seorang
keturunan Tionghoa yang pada dasarnya selalu dikenal sebagai etnik Perantauan
dan mencari nafkah melalui jalur perdagangan. Kebanggaan yang dimaknai oleh
bapak Christopher bisa dipahami sebagai suatu bentuk penekanan akan eksistensi
193
identitas etnik Tionghoanya yang bisa menjadi WNI disamping itu sebagai wujud
syukur atas bagian dari warga Indonesia meskipun demikian ia mewarisi darah
keturunan.
Menurut peneliti pandangan tersebut bisa diartikan sebagai bentuk
komitmen etnik Tionghoa yang merantau ke Niki-Niki karena gejolak politik di
negeri asal mereka, selain itu pada prinsipnya tujuan utama dari etnik ini sendiri
hanyalah mencari penghidupan dari sektor ekonomi tanpa perlu terlibat masalah
politik.
Hal tersebut cukup relevan dengan penemuan peneliti, hal tersebut bisa
dilihat dari ulasan Leo Suryadinata bahwa Ada dua faktor, yaitu faktor pendorong
dan faktor penarik yang berperan atas hadirnya dalam jumlah besar orang
Tionghoa diwilayah ini. Kekacauan, kemiskinan dan kepadatn penduduk di
daratan Tiongkok mendorong mereka meninggalkan negeri leluhurnya, sedangkan
kolonisasi barat di asia tenggara dan pembukaan wilayah ini membutuhkan
banyak tenaga kerja. (Suryadinata, 2002, hal 7)
Penekanan lain adalah stigma bahwa pada prinsipnya etnik Tionghoa tidak
mau terlibat atau dekat dalam bidang politik maupun duduk didalam
Pemerintahan, hal tersebut juga beralasan sebab etnik Tionghoa sempat
mengalami masa-masa sulit ketika terjadi masa-masa G30S. Lain halnya dengan
memposisikan dirinya, menurut pandangan peneliti, beliau bermaksud untuk
mengukuhkan dirinya sederajat dengan etnik Tionghoa lainnya serta etnik Dawan
pada umumnya yang berada di Niki-Niki, dengan alasan yang cukup realistis bagi
194
peneliti yakni agar mempermudah dirinya dalam bersosialisasi dengan
lingkungannya, itu pun bergantung pada situasi dimana ia berada, dalam artian
peneliti beliau bisa beradaptasi dan pandai menempatkan dirinya disegala situasi
termasuk didalamnya dipengaruhi hubungan kekeluargaan yang terjalin.
Dalam pengamatan peneliti hal tersebut terlihat dalam pergaulan sosialnya,
beliau mampu berbaur secara merata dengan etnik Tionghoa dan etnik Dawan.
Ditambah lagi dengan menggunakan bahasa melayu Kupang sudah menjadi syarat
minimum bergaul dengan etnik Dawan serta yang istimewa adalah
kemampuannya menguasai bahasa Mandarin menjadi nilai tambah tersendiri
dimata sesama etnik Tionghoanya.
Makna Identitas
Etnik
Kebanggaan dan anugerah
Memposisikan Diri Sederajat
Strategi Identitas
(Kombinasi Marga)
Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi
(Hasil)
Ui
___ Wijaya = Wi
(Ui) + Jaya
(kebesaran)
Nama Identitas Nama Tionghoa Nama
Nasional/Indonesia/
Ui I Ngo Christopher Wijaya
Nama Populer Ence Ngo
Dominasi Etnik Tionghoa campuran
Nilai dan Budaya
yang dipertahankan
dan diwariskan
Budaya tata krama, sopan santun, pperayaan imlek, kuliner
Tionghoa, dll.
Cara Identifikasi
Sesama Etnik
Tionghoa
_____
Tabel .26. Identitas Etnik Christopher Wijaya
Lain halnya dalam membentuk strategi identitasnya sebagai seorang
Tionghoa peranakan, hal tersebut terbatas hanya pada perubahan dan kombinasi
195
nama marga Tionghoa mereka akibat diterapkannya PP.10 oleh Pemerintah pada
saat itu. Yang menarik dari peneliti adalah kombinasi marga etnik Tionghoanya
yang bernama Ui dirubah menjadi marga yang berbau Indonesia yakni Wijaya.
Dimana marga Ui jika dieja dan dibaca terdengan seperti Wi, sehingga dalam
pandangan peneliti dengan menggunakan nama Wijaya sudah cukup representatif,
bisa dipandangankan dengan kombinasi marga tersebut dapat dimaknai bahwa
marga mereka yakni Wi-Jaya diartikan sebagai marga Ui yang berjaya, sesuai
dengan makna identitas Tionghoanya sebagai sebuah Kebanggaan tersendiri.
Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan
pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga
setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo
Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah
identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,
ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak
dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama
diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa
mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib.
Namun bagi kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan
1960an ada tekanan halus dari pemerintah untuk ganti nama, karena ganti nama
dianggap sebagai sebuah tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang
Tionghoa bahwa merekasetia kepada pemerintah Indonesia, atau
mengidentitaskan diri dengan bangsa Indonesia dan budaya Indonesia. Namun
orang Tionghoa generasi muda yang lahir sesudah tahun 1965 hampir semua
196
memilikinama Indonesia atau nama yang dianggap Indonesia. (yakni bukan nama
Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan bahwa banyak Tionghoa mengambil nama
Indonesia yang mencerminkan nama aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya
atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata, 2002, hal 87)
Disisi lain, berbicara mengenai dominasi identitas etnik Tionghoa didalam
dirinya bahwa dalam pengakuannya ia lebih dominan sebagai WNI tanpa melihat
dominasi sebagai seorang Pribumi atau non-pribumi, walaupun demikian secara
fisik ia merupakan Tionghoa peranakan. Dalam pandangan peneliti bahwa
sebenarnya secara tersiran beliau mengisyaratkan dirinya dominan sebagai
seorang Tionghoa campuran, hal tersebut bisa terlihat dari bagaiman ia berbaur
dengan etnik Tionghoa lainnya dan etnik pada umumnya, kemudian hal lain
adalah secara langsung ia lebih nyaman menggunakan identitas Tionghoanya
ketika bersosialisasi didalam lingkungan keluarga hal tersebut terlihat pada nama
panggilannya yang lebih akrab menggunakan nama Tionghoa. Hal tersebut
sekaligus emnguatkan bahwa ia membanggakan makna identitasnya sebagai
keturunan Tionghoa.
Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki, masih
ada beberapa budaya Tionghoa dari leluhurnya yang masih diterapkan didalam
keluarganya meskipun bersifat terbatas. Budaya tersebut diantaranya adalah
budaya tata krama, tegur sapa seperti budaya soya yang lazimnya dipergunakan
sebagai salam hormat jika bertemu sesama etnik Tionghoa khususnya yang
berumur lebih tua atau seumuran. Hal tersebut sudah diterapkan oleh orang tuanya
sejak ia masih kecil, dan diwariskannya kepada keluarganya. Disamping itu
197
penggunaan feng shui sudah tidak dilakukannya lagi termasuk penggunaan hiong
atau ritual-ritual khas agama Konghuchu dan sejenisnya sudah tidak dilakukan
lagi karena bertentangan dengan ajaran dari Gerejanya.
Berdasarkan masalah kebudayaan diatas, peneliti menemukan beberapa
data yang berkaitan masalah tersebut. Masalah ini sebenarnya bersumber dari
agama Kongfuchu yang dianggap sebagai aliran kepercayaan, berikut ulasan dari
Leo Suryadinata untuk mendukung analisis peneliti Selain menghadapi tantangan
dari pemerintah Indonesia yang ingin mengasimilasi orang Tionghoa kedalam
tubuh pribumi, agama Konghuchu juga mendapat kesulitan dari masyarakat
Tionghoa di Indonesia sendiri. Orang Tionghoa peranakan, pada umumnya tidak
lagi berbahasa Tionghoa dan kebudayaannya telah lama sangat dpengaruhi baik
oleh lingkungan barat maupun Indonesia. Banyak dari mereka adalah orang
Kristen Protestan dan Katolik. Budaya Tionghoa sendiri sangat asing bagi
kebanyakan orang Tionghoa peranakan, teristimewa bagi generasi muda yang
diharuskan UU belajar di sekolah-sekolah Indonesia sejak tahun 1957, cara
berpikir mereka, karenanya lebih Indonesia dari pada Tionghoa. (Suryadinata,
2002, hal 187)
Kongchuisme juga menghadapi tantangan dari agama Budha, Katolik, dan
Prostestan yang umumnya dianggap lebih “Indonesia” dari pada agama
Konghuchu. Jumlah orang Indonesia keturunanTionghoa yang menganut agama-
agama ini juga telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.(Suryadinata,
2002, hal 188)
198
Berbeda saat merayakan imlek mereka tetap dilaksanakan namun sebata
pada silahturahmi dan acara reuni keluarga, dan juga menghidangkan kuliner khas
Tionghoa yang tetap dipertahankan oleh keluarganya. Dalam pandangan peneliti,
dengan hal tersebut sebenarnya sebagai seorang Tionghoa keturunan beliau tetap
mempertahankan eksistensi identitasnya walaupun terganjal oleh beberapa hal
seperti faktor agama, walaupun demikian ia mampu menjalankan budaya
Tionghoanya sekaligus kembali menegaskan komitmen makna identitasnya
sebagai seorang Tionghoa peranakan.
2.5.2. Makna Identitas Etnik Pada Etnik Tionghoa Campuran.
Etnik Tionghoa campuran yang menjadi informan peneliti ini adalah
mereka yang merupakan keturunan peranakan Tionghoa yang sudah berbaur,
berperilaku, berbicara serta menikah dengan penduduk setempat (pribumi). Ke-6
informan penelitian ini adalah : Paulus Mana Nitbani (Ang Pai Fan), John
Errence E Litelnoni (Lee Hok Chow), Endang EYP Litelnoni (Ang Taek Sang),
Leonard Hun Banamtuan (Ang Xie Ling), Syarifudin Un (Wun Jun Pit), serta
Herman Carel Litelnoni (Lee Hok Kie). Dalam sub ini mereka mencoba
mendeskripsikan atau menceritakan kembali pengalaman mereka memaknai
identitas yang selama ini dimiliki dan diwariskan oleh keluarganya, disamping itu
akan dilihat pula bagaimana mereka memposisikan diri dan membuat strategi
pembentukan identitas mereka serta budaya Tionghoa yang dikembangkan dalam
keluarganya.
199
Informan pertama peneliti adalah bapak Paulus Nitbani (Ang Pai Fan),
yang berumur 76 tahun dan bekerja sebagai petani, wiraswastawan sekaligus
tokoh adat masyarakat Tionghoa Niki-Niki. Beliau juga merupakan informan
pokok peneliti sekaligus juga penghubung peneliti dengan calon informan lainnya.
Wawancara dilaksanakan pada 14 Juni 2012. Dalam wawancara ini, peneliti
menanyakan perihal bagaimana ia memaknai identitas Tionghoa yang selama ini
melekat dalam dirinya serta bagaimana ia memposisikan diri kedalam lingkungan
etnik Tionghoa maupun Dawan. Dengan raut wajah serius ia menjawab bahwa ia
memaknai identitas Tionghoa yang dimilikinya sebagai bentuk tanggung jawab
dan pengharapan. Dalam prakteknya ia menjelaskan semuanya terjabar dari nama
marga keluarganya, tatacara hidup, penguasaan adat istiadat, pergaulan, dan
bagaimana nilai-nilai tersebut disalurkan kepada generasi berikutnya. Semuanya
ia menggambarkan sebagai sesuatu bersifat feodalisme.
Ketika disinggung bagaimana ia memposisikan dirinya ketika berada
dilingkungan etnik Tionghoa maupun etnik Dawan, ia menjawab jika berada
didalam lingkungan etnik Dawan ia sendiri merupakan keturunan Raja Nitbani
dari etnik Dawan dan secara otomatis ia lebih mudah dinidentifikasi oleh
masyarakat Dawan dari penggunaan marga ibunya sebagai anak Raja. Disamping
itu, ia menuturkan ketika berada dilingkungan etnik Dawan, masyarakat setempat
memahami fungsi kedudukan dan mana pangkat yang setara dengan mereka
seperti ketika mereka memanggilnya harus dengan sapaan apa dan bagaimana.
Hal sebaliknya juga terjadi ketika ia berada dilingkungan etnik Tionghoa ia juga
memiliki kedudukan tersendiri di kalangan etniknya sendiri. Yang paling
200
istimewa adalah posisinya dikalangan etnik Dawan, dimana ia merupakan salah
satu dari sekian banyak ahli Natoni (juru bicara adat) dan merupakan satu-satunya
keturunan Tionghoa yang mampu menguasai adat tersebut.
“Itu daari fam dan nama, tata cara hidup, masih kuasai adat. Itu dari
pergaulan dan perasaan cinta kasih bagi sesama. Kasih kungng,
(feodalisme), mana yang lebih besar dan pandai lebih dihormati. (Nilai2
keleluargaan yang dipegang) dan semua itu masih dipegang sampai hari
ini. Masih juga diajarkan turun temurun dari kami ke nak2, dan cucux. Dst.
Dan semua ini tidak bisa dihilangkan. Makna Tanggung jawab,
Pengharapan.”
“itu juga dietnis Dawan, karena famili dari mama, ketika bertemu mereka
orang mengatakan ini yang kita panggil mana, ini kita panggil Om, ini kita
panggil Bai (Kakek), dan mereka tau fungsi kedudukan, atau mana
hubungan rang (pangkat) yang setara, dan semuanya otomatis sudah ada
danterjadi sedemikian rupa. Oh...ini kung pung bapa pung ipar, oh..ini kung
pung bapa pung ponakan dan lain sebagainya. Jadi semua langsung
spontanitas yang terjadi. Jadi misalnya kung pulang kampung, mereka
sudah bisa identifikasi kung, bahwa kung masih hubgan nope dan Raja
pung anak. Kelu rapat (keluarga dekat) dan say ini kuasai adat. Kung
misalnya menguasai NATONI, dan biasanya dikasih kuasa untuk bicara
melalui upacara adat dari Raja Pene.”
Terjemahannya :
“Itu dari namamarga, tata cara hidup, masih kuasai adat. Itu dari
pergaulan dan perasaan cinta kasih bagi sesama. Kasih sayang, mana yang
lebih tua dan pandai lebih dihormati (feodalisme). (Nilai2 kekeluargaan
yang dipegang) dan semua itu masih dipegang sampai hari ini. Masih juga
diajarkan turun temurun dari kami ke anak-anak, dan cucu. Dst. Dan semua
ini tidak bisa dihilangkan. Makna Tanggung jawab, Pengharapan.”
“itu juga dari etnis Dawan, karena hubungan keluarga dari mama, ketika
bertemu mereka orang mengatakan ini yang kita panggil mana, ini kita
panggil Om, ini kita panggil Bai (Kakek), dan mereka (etnik Dawan) tahu
fungsi kedudukan, atau mana hubungan rang (pangkat) yang setara, dan
semuanya otomatis sudah ada dan terjadi sedemikian rupa. Oh...ini ipar
ayah saya, oh..ini ponakan ayah saya dan lain sebagainya. Jadi semua
langsung spontanitas yang terjadi. Jadi misalnya saat saya pulang
kampung, mereka sudah bisa identifikasi saya, bahwa saya masih hubungan
keluarga dengan Nope dan ipar Raja . Keluarga dekat dan saya ini kuasai
201
adat. Saya misalnya menguasai NATONI, dan biasanya dikasih kuasa untuk
bicara melalui upacara adat dari Raja Pene.”
Perihal dalam membentuk strategi identitasnya sebagai seorang Tionghoa
campuran, ia menjawab bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh Pemerintah Orde
Baru melalui penetapan PP.10 dan Kepres 13 tersebut, namun ia sendiri lebih
banyak dikenal oleh masyarakat Dawan melalui ibunya, hal tersebut karena
ibunya merupakan keturunan Raja Pene ketimbang dikenal melalui ayahnya yang
merupakan keturunan Tionghoa. Begitu pun nama Tionghoanya kurang populer
dikalangan etnik Dawan, ia sering dikenal dengan nama Ence Nitbani (Ence :
bapak/saudagar dari bahasa Tionghoa, sedangkan Nitbani merupakan marga
Bangsawan). Perihal strategi identitas lainnya, ia mengakui ketika diberlakukan
PP.10 oleh Pemerintah saat itu, keluarganya memutuskan untuk mengganti nama
marga sebelumnya yakni Ang dari pihak ayahnya menjadi Nitbani, mengikuti
marga ibunya yang merupakan etnik Dawan sekaligus anak keturunan Raja
Nitbani.
“Iya, pengaruh PP10 dan kepres 13 Peraturan pergantian nama. Namun
orang Dawan lebih mengenal kung sebagai anak dari ibu kung, bukan
ayang. Nama marga ibu sya . Nama Tionghoa kung kurang populer/dikenal
oleh orang Timor, namun lebih dikenal nama Ence Nitbani.”
“Itu karena pada waktu pergatian nama/proses masuk kewarganegraan
Indonesia, kami memutuskan menggunakan marga nitbani dari pihak Ibu,
nah kebanyakan menggunakan marga dari nenek atau ibu (Pribumi), jadi
seperti begitu.”
Terjemahannya :
“Iya, pengaruh PP.10 dan kepres 13 Peraturan pergantian nama. Namun
orang Dawan lebih mengenal saya sebagai anak dari ibu, bukan ayah.
202
Nama marga ibu saya Nitbani. Nama Tionghoa saya kurang
populer/dikenal oleh orang Timor (etnik Dawan), namun lebih dikenal
nama Bapak Nitbani.”
“Itu karena pada waktu pergantian nama/proses masuk kewarganegraan
Indonesia, kami memutuskan menggunakan marga nitbani dari pihak Ibu,
nah kebanyakan menggunakan marga dari nenek atau ibu (Pribumi), jadi
seperti begitu.”
Ketika disinggung mengenai dominasi identitas etnik Tionghoa dalam
dirinya, ia menuturkan dengan cukup lugas serta diplomatis bahwa baginya secara
jujur tidak ada rasa malu sebagau etnik Tionghoa campuran, takut atau apapun,
pada intinya ia hanya ingin berbuat baik dimana saja berada dan bisa hidup, taat
pada aturan adat dan rajin beribadah dan yang paling penting menjaga hubungan
kekeluargaan. Ia menambahkan ketika dikenal sebagai seorang Tionghoa ia
merasakan sebagai sebuah penghargaan, kerena ia sendiri merupakan keturunan
Tionghoa dan merupakan subuah takdir yang harus diterima dan tidak bisa
ditolak.
Perihal mengidentifikasi dengan sesama identitas dengan sesama Tionghoa
campuran, ia menjawab bahwa saat ini bisa dikatakan pergaulan masyarakat di
Niki-Niki khususnya pembauran antara etnik Tionghoa dan Dawan sudah sampai
pada kawin campur sehingga timbul pertalian persaudaraan dan sebagainya,
namun yang paling sederhana adalah melalui identifikasi roman muka dan mata,
walaupun dari segi biologis-fisik seperti warna kulit yang coklat gelap toh jika
roman mukanya seperti umumnya etni Tionghoa dapat ditebak orang tersebut
masih memiliki darah keturunan Tionghoa.
203
“Jujur, tidak ada perasaan maulu, takut, atau.. intinya kita berbuat baik
diman saja dan bisa hidup. Taat peraturan dan rajin gereja. Hub
kukeluargaan tetap di jaga. (NEU TERUSSS...Canda).”
“Itu merupakan suatu penghargaan, dan itu juga ktng turunan dari situ.
Dan kalo mereka bilang kita turunan silsia\lah dari situ makan memang
tidak bisa tidak atau mungkin, jadi harus duterima.”
“Itu karena pergaulan disini sudah ada faktor kawin mawin, sudah ada
faktor kenalan, jadi setiap kali bertemu ini sudah seperti ada pertalian
saudara, tidak beda2, karena sudah tinggal disini berpulu tahun lamauan,
misalnya umur kung sudah 77 tahun, sudah ada pembauran atau kesatuan.
Proses identifikasi yang paling mudah ya liat dari roman muka saja sudah
bisa kenal, muka, mata sudah tau. Ohhh Biar orangnya hitam tetapi liat
mata sudah bisa tau bahwa ada darah cinanya sudah ada.”
Terjemahannya :
“Jujur, tidak ada perasaan malu, takut, atau.. intinya kita berbuat baik
dimana saja dan bisa hidup. Taat peraturan dan rajin gereja. Hubungan
kukeluargaan tetap di jaga. (NEU TERUSSS...Canda).”
“Itu merupakan suatu penghargaan, dan itu juga keturunan kami dari situ.
Dan kalo mereka bilang kita turunan silsilah dari situ maka memang tidak
bisa tidak atau mungkin, jadi harus diterima.”
“Itu karena pergaulan disini sudah ada faktor kawin-mawin, sudah ada
faktor kenalan, jadi setiap kali bertemu ini sudah seperti ada pertalian
saudara, tidak beda-beda, karena sudah tinggal disini berpulutahun
lamanya, misalnya umur saya sudah 77 tahun, sudah ada pembauran atau
kesatuan. Proses identifikasi yang paling mudah ya lihat dari roman muka
saja sudah bisa kenal, muka, mata sudah tahu. Oh Biar orangnya hitam
tetapi lihat mata sudah bisa tahu bahwa ada darah cinanya sudah ada.”
Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki,
menurut bapak Paulus bahwa beberapa warisan budaya Tionghoa masih terus
dipertahankan oleh keluarganya, ia mencontohkan seperti tradisi pernikahan yang
melangsungkan beberapa tahap prosesi seperti “antar-pasalin” tradisi lamaran
mengantar mahar maupun barang pengantin dari pihak laki-laki ke pihak
204
perempuan, jawabnya secara merinci. Disamping itu ketika dalam acara kedukaan
pada kaum etnik Tionghoa misalnya, ada tradisi pembagian benang merah kepada
setiap pelayat baik mereka yang etnik Tionghoa atau bukan yang dimaknai
sebagai lambang menghindari malapetaka.
Disisi lain dalam penggunaan tradisi penanggalan hari baik melalui
kalender Cina masih dgunakan olehnya, tujuan penggunaan penanggalan tersebut
dimaksudkan agar dapat memilih hari baik, pemilihan jam yang baik dengan
harapan mendatangkan berkah atau keberuntungan, ia sendiri mengakui untuk
mendapatkan barang tersebut harus dipesan dari luar daerah seperti Jakarta dan
kadang dipesan langsung dari Hong Kong. Namun ia secara tegas mengakui
bahwa ada beberapa tradisi budaya Tionghoa yang sudah tidak dipergunakan
dikarenakan bertentangan dengan ajaran agama Kristen yang dianutnya seperti
menggunakan baju dari karung goni pada setiap anggota keluarga yang berduka.
Disamping budaya lainnya, ia pun tetap mempertahankan beberapa tradisi
tata krama dan sopan santun yang khas Tionghoa seperti sikap tanda hormat
kepada orang Tua dari anak-anak seperti pai-pai atau budaya soya, budaya tutur
kata, peraturan berumah tangga yang diajarkan kepada anak-anak secara turun
temurn, ia mengakui hal tersebut tidak dapat dihilangkan karena sudah turun-
temurun diajarkan dalam keluarganya bahkan diterapkan oleh masing-masing
etnik Tionghoa lainnya.
“Hmm..ya..masih tradisi yang dipelahara, misalnya pesta nikah seperti
antar pasali itu, misalnya pihak laki2 antar ke Nona, nanti pihak nona
mengantar kembali sebagai hantaran keluar. Nanti tradisi itu, misalnnya
205
nona keluar nan matondo rumah atau menonduk pada rumah sebagai tanda
penghargaan kepada Tuhan/ bisa juga pamitan. Atau waktu acara
keduakaan, dikasih benang merah, melambangkan menghindari sial.
Penggunaan kalender cina misalnya yang didatangkan dari jakarta,
singapura, atau Hongkong. (Pemilihan hari baik), jam, atau apa saja,
dengan harapan memperoleh kebahagiaan bagi anak cucu. Ada beberapa
tradisi yang sudah tidak dipake, baju karung, pake baju terbalik. Disamping
itu juga pengaruh agama kristen juga lama2 hilang, tidak dipake.”
“Tentu masih ada yang diterapkan, misalnya anak yang lebih mudah
datang mengahdap pada orang tua atau yang lebih tua pai2 (salam
hormat), tidak bisa hilang karan sudah diajarkan secara turun temurun.
Budaya panggilan, tutur bahasa, dalam rumah dan sebagainya, pagi2
anak2 harus menyapu mengatur rumah, tata laksana rumah tangga,
membuat sarapan, tamu datang menyguhkan minuman”
Terjemahannya :
“Hmm..ya..masih ada tradisi yang dipelihara, misalnya pesta pernikah
seperti antar pasalin itu, misalnya pihak laki mengantar barang ke pihak
perempuan, nanti pihak perempuan mengantar kembali sebagai hantaran
keluar. Nanti tradisi itu, misalnya perempuan keluar kemudiann
membungkuk rumah atau menonduk pada rumah sebagai tanda
penghargaan kepada Tuhan/ dan bisa juga pamitan. Atau waktu acara
kedukaan, dikasih benang merah, melambangkan menghindari sial.
Penggunaan kalender cina misalnya yang didatangkan dari jakarta,
singapura, atau Hongkong. (Pemilihan hari baik), jam, atau apa saja,
dengan harapan memperoleh kebahagiaan bagi anak cucu. Ada beberapa
tradisi yang sudah tidak dipakai, seperti baju karung, pakai baju terbalik.
Disamping itu juga pengaruh agama Kristen juga lama kelamaan mulai
hilang,dan tidak dipakai.”
“Tentu masih ada yang diterapkan, misalnya anak yang lebih mudah
datang mengahadap pada orang tua atau yang lebih tua pai-pai (salam
hormat), tidak bisa hilang karena sudah diajarkan secara turun temurun.
Budaya panggilan, tutur bahasa, dalam rumah dan sebagainya, pagi-pagi
anak-anak harus menyapu mengatur rumah, tata laksana rumah tangga,
membuat sarapan, tamu datang menyuguhkan minuman”
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,
makna identitas etnik Tionghoa bagi bapak Paulus Nitbani sebagai sebuah
tanggung jawab dan pengharapan. Yang terwujud dalam nama marga keluarga,
206
tata cara hidup, penguasaan adat, pergaulan dan mewariskannya pada generasi
berikut. Dalam pandangan peneliti makna tanggung jawab yang diungkapkan oleh
beliau bisa dimaknai karena beliau sendiri sebagai seorang keturunan Tionghoa
sekaligus juga sebagai anggota keluarga bangsawan Raja Nitbani.
Sehingga harus menjaga martabad nama keluarga mereka, melalui makna
pengharapan juga ingin menegaskan sebagai seorang keturunan Tionghoa yang
dikenal sebagai etnik perantauan dan marga Nitbani sebagai bangsawan harus
mampu menjadi tumpuan harapan bagi kedua marga keluarganya tersebut.
Termasuk didalamnya bagaimana mereka menjaga sikap, tata cara hidup,
pergaulan, menghormati adat kedua etnik ini, agar mampu mewariskan nilai-nilai
yang baik kepada generasi berikutnya termasuk didalammnya nilai feodalisme.
Disini pula dapat diketahui, sebagai seorang keturunan Tionghoa dan
keturunan Bangsawan tentunya memiliki “beban” yang harus dipikul karena
dimaknai sebagai sebuah tanggung jawab dan pengharapan. Alasan tersebut cukup
logis bagi peneliti, peneliti sendiri memiliki beberapa asumsi yang mendukung
selama melakukan pengamatan, pertama sebagai seorang keturunan Tionghoa
campuran ia harus menjaga nama baik keluarganya, dimata masyarakat etnik
Dawan, etnik Tionghoa mendapatkan posisi yang setara dengan kaum bangsawan,
diamana ia menempati sebagai tokoh masyarakat etnik Tionghoa.
Kedua sebagai seorang bangsawan yang mewakili marga ibunya yakni
Nitbani, beliau juga memiliki posisi sebagai juru bicara adat etnik Dawan
(Natoni), dan posisinya ini sebagai juru bicara adat sudah menjadi suatu profesi
207
tersendiri dan mendapatkan bayaran yang tidak sedikit. Profesinya ini pun tidak
banyak dan tidak sembarang orang melakoni, karena dibutuhkan kemampuan
bahasa Dawan dan kekuatan magis tertentu, dia sendiri dinobatkan sebagai satu-
satunya etnik Tionghoa yang menjadi juru bicara adat etnik Dawan.
Dalam memposisikan dirinya ketika berada dilingkungan etnik Tionghoa
maupun etnik Dawan, ia lebih dominan memposiskan dirinya sebagai salah satu
keturunan bangsawan. Hal tersebut menurut peneliti cukup logis, sebab dimata
masyarakat etnik Dawan selain dihormati sebagai etnik Tionghoa ia juga
dihormati karena posisinya sebagai seorang keturunan bangsawan. Dalam
pandangan peneliti, bisa dikatakan hal tersebut cukup layak sebab secara langsung
beliau sudah mewarisi dua kebudayaan maupun dua identitas sekaligus yakni
sebagai seorang keturunan etnik Tionghoa campuran dan keluarga bangsawan dari
Raja Nitbani. Disamping itu, dalam kehidupan sosialnya sehari-hari beliau sendiri
secara otomatis mendapat posisi tersendiri dimata masyarakat etnik Dawan karena
statusnya sebagai seorang bangsawan, dalam berinteraksi dengan etnik Dawan ia
mampu secara fasih berbicara dalam bahasa Dawan dan mendapat panggilan kase
dari etnik Dawan.
208
Makna Identitas
Etnik
Tanggung jawab dan pengharapan
Memposisikan Diri Kaum Bangsawan
Strategi Identitas
(Kombinasi Marga)
Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi
(Hasil)
Ang
Nitbani Nitbani
Nama Identitas Nama Tionghoa Nama
Nasional/Indonesia/
Ang Pai Fan Paulus Mana Nitbani
Nama Populer Ence Nitbani, Kung Pai Fan, Kung Nitbani
Dominasi Etnik Tionghoa Campuran
Nilai dan Budaya
yang dipertahankan
dan diwariskan
Tradisi perkawinan, tata krama, sopan santun, kalender Cina,
dll.
Cara Identifikasi
Sesama Etnik
Tionghoa
Marga dan ciri fisik seperti roman muka.
Tabel. 27. Identitas Etnik Paulus Nitbani
Dalam lingkungan etnik Tionghoa maupun di dalam keluarganya, selain
berprofesi sebagai seorang juru bicara adat ia juga merupakan salah satu petani
yang memiliki beberapa hektar sawah, tentunya hal ini sedikit lain dan berbeda
dengan etnik Tionghoa lainnya dimana pada umumnya mereka rata-rata berprofesi
sebagai pedagang atau pengusaha.
Dalam pengamatan peneliti ia lebih sering menggunakan bahasa Dawan
dan bahasa melayu Kupang, tidak jarang sesekali ia menggunakan bahasa
Mandarin untuk berdiskusi dengan teman sejawatnya sesama Tionghoa.
Disamping itu ia cukup fasih menulis sastra Mandarin dan pernah berprofesi
sebagai ahli ramal, namun profesinya itu sudah ditinggalkan karena larangan dari
Gerejanya. Berdasarkan penjelasan diatas, menurut peneliti bapak Paulus Nitbani
ingin menegaskan kembali makna tanggung jawab dan pengharapan dari identitas
etnik Tionghoanya.
209
Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang
Tionghoa campuran, keluarga beliau memutuskan mengikuti marga ibunya yakni
Nitbani sebagai marga bangsawan Raja Nitbani, ketimbang melakukan kombinasi
marga Tionghoa mereka. Disamping itu, ia lebih sering dikenal dengan kombinasi
marganya, yakni ence Nitbani (Paman Nitbani). Berkaitan pula dengan dominasi
etnik Tionghoa didalam dirinya ia lebih dominan kepada etnik Tionghoa
campuran, karena sebagai seorang keturuan Tionghoa ia merasa sangat dihargai
dan dihormati oleh lingkungannya, dalam pandangan peneliti hal tersebut cukup
wajar, sebab ada beberapa alasan kuat yang mendukung dominasi identitasnya
yakni ia memaknai sebagai sebuah tanggung jawab dan pengharapan, termasuk
posisinya sebagai keturunan bangsawan, sehingga wajar ia lebih dominan
terhadap etnik Tionghoa campuran.
Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan
pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga
setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo
Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah
identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,
ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak
dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama
diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa
mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib. Namun bagi
kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan 1960an ada tekanan halus
dari pemerintah untuk ganti nama, karena ganti nama dianggap sebagai sebuah
210
tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang Tionghoa bahwa merekasetia
kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa
Indonesia dan budaya Indonesia. Namun orang Tionghoa generasi muda yang
lahir sesudah tahun 1965 hampir semua memilikinama Indonesia atau nama yang
dianggap Indonesia. (yakni bukan nama Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan
bahwa banyak Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama
aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata,
2002, hal 87)
Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki
diantaranya mewarisi beberapa tradisi pernikahan khas Tionghoa seperti antar
pasalin, penggunaan kalender Cina, budaya tata krama, sopan santun mulai dari
pai-pai atau soya, terus diwariskan kepada anak-anaknya dan tetap dipraktekkan
dalam kehidupan sehari-hari, karena menurutnya hal tersebut sulit dihilangkan
karena sudah turun temurun diwariskan oleh nenek moyangnya. Dalam
pengamatan peneliti saat mengamati acara peresmian kubur kedua orang tuanya,
turut hadir pula dua informan peneliti yakni Bapak John Litelnoni dan istrinya ibu
Endang Nitbani, dalam acara peresmian makam ini peneliti melihat banyak sekali
dihadiri oleh tamu dari keluarga etnik Tionghoa dan etnik Dawan, tata cara
perayaan juga mengkombinasikan antara budaya Tionghoa dan ajaran Kristen
Protestan.
Peneliti juga melihat dari ketiga informan peneliti ini, aktif berinteraksi
dengan sesama etnik Tionghoa menggunakan bahasa Dawan maupun dengan
menggunakan bahasa melalyu Kupang, termasuk didalamnya ketika berinteraksi
211
dengan menggunakan bahasa Dawan kepada etnik Dawan itu sendiri. Tak lupa
juga, peneliti melihat diantara sesama etnik Tionghoa mereka lazim menggunakan
salam hormat atau pai-pai atau soya, dan uniknya hampir rata-rata dari mereka
mengkonsumsi oko mama atau sirih pinang yang lazimnya dikonsumsi oleh etnik
Dawan, disamping itu dalam peresmian makam ini menggunakan tata cara ibadat
agama Kristen Protestan. Dalam acara ini, beliau sebagai kakak tertua dari
keluaga Nitbani-Ang mengambil posisi sebagai ketua panitia sekaligus
memainkan peran sebagai juru penentuan penanggalan dan penggunaan feng shui.
Disamping itu, menurut data yang peneliti peroleh bahwa sebenarnya
penggunaan feng shui tidak ada masalah yang serius, sebenarnya dalam tulisan
Melly Tan bahwa Hal yang menarik dalam pengembangan properti yang sering
menjadi perhatian adalah istilah Feng Shui atau sistem geometri ala orang
Tionghoa. Diterjemahkan sebagai bentuk dari angin dan air. Sebagai hasilnya
adalah permintaan bagi para ahli feng shui, pakar konsultan paling awal sebelum
memutuskan tempat dari struktur bangunan. (Tan, 2008, hal 15)
Dalam pelaksanaan acara ini, diakui olehnya masih menggunakan kalender
Cina untuk menentukan hari baik diselenggarakannya acara ini, termasuk ada
beberapa tradisi yang seperti lempar koin kepada anak-anak maupun cucu dengan
harapan mambawa rejeki, serta pembakaran hiong kertas dan dupa oleh anggota
keluarga dan kerabat mereka yang bergamama Katholik. Berdasarkan hasil
pengamatan diatas, menurut pandangan peneliti bapak Paulus Nitbani tetap
mempertahankan beberapa budaya Tionghoa dari nenek moyangnya hal tersebut
212
dikarenakan beliau secara konsisten ingin menunjukan memaknai identitas
Tionghoanya sebagai sebuah tanggung jawab dan pengharapan.
Informan peneliti selanjutnya adalah bapak John E.E.Litelnoni alias (Lee
Hook Chow), berumur 80 tahun yang merupakan satu-satunya mantan kepala
kelurahan keturunan Tionghoa di Niki-Niki. Ia juga merupakan tokoh Masyarakat
etnik Tionghoa di Niki-Niki, serupa dengan Bapak Paulus Nitbani. Beliau juga
merupakan informan pokok peneliti sekaligus juga penghubung peneliti dengan
calon informan lainnya. Wawancara peneliti dengan beliau berlangsung pada
tanggal malam hari 14 Juni 2012, peneliti menanyakan perihal bagaimana ia
memaknai identitas Tionghoa yang selama ini melekat dalam dirinya serta
bagaimana ia memposisikan diri kedalam lingkungan etnik Tionghoa maupun
Dawan.
Dengan santai ia menjawab secara bahwa tidak memiliki rasa tertentu
namun ia hanya mendeskripsikan pengalamannya sebagai aparatur negara yang
masuk keluar kampung dan bertemu dengan beberapa etnik Tionghoa yang sudah
menyaru sebagai orang Timor namun tetap mempertahankan identitas
Tionghoanya. Ketika ditanya perihal bagaimana memposisikan dirinya ketika
berada ditengah-tengah lingkungan etnik Tionghoa dan etnik Dawan, ia
menjelaskan bahwa setelah pensiun sebagai aparatur negara yakni Lurah selama
32 tahun pun ia tetap dikenal dengan sebutan Kung Lurah (Kung : dalam bahasa
Mandarin adalah Kakek), padahal nama Tionghoanya adalah Hok Metan (Hok
Hitam, metan dalam bahasa Timor artinya hitam sesuai warna kulitnya). Ia
menambahkan di Niki-Niki ada tiga orang bernama hok, sehingga agar mudah
213
dikenali ia di panggil Hok Metan, sebagai jawaban penutup dalam memposiskan
diri baginya semua terserah pada pembawaan diri masing-masing pribadi sebagai
orang Tionghoa dalam tengah-tengah masyarakat.
“skrng baru terjadi di kupang, samapai soe. Sebelum menjadi kades, saya
sebelumnya menjabat sebagai ketua persatuan masyarakat etnis Tionghoa
dsini selama 3 tahun. Jadi meliputi soe2, dan beberapa kampung. Saya
sudah masuk beberpa kampung dan bertemu bebrapa etnis Tionghoa yang
sudah pakai selimut (penampilan layaknya orang asli timor) namun masih
memakai nama Tionghoa. Tek Hoang Tae, Sung Hong Tae. Ets. “
“kung udah pensiung 32 tahun tetap dipangging kung lurah oleh orang
timor. Padaha nama saya hok, disini ada 3 ok, hok metan (hokkulit hitam,
ya saya sendiri), hok mollo, hok unu. Hok nona bbanci supaya lebih
dikenal.”
“ya itu tergantung bagaimana kita membawa diri sebagai orang disini,
kedalam komunitas masyarakat, misalnya yang kita mau datangi itu”
Terjemahannya :
“sekarang baru terjadi di kupang, sampai soe. Sebelum menjadi kades, saya
sebelumnya menjabat sebagai ketua persatuan masyarakat etnis Tionghoa
disini selama 3 tahun. Jadi meliputi soe dan beberapa kampung. Saya sudah
masuk beberapa kampung dan bertemu beberapa etnis Tionghoa yang
sudah pakai selimut (penampilan layaknya orang asli Timor/etnik Dawan)
namun masih memakai nama Tionghoa. Tek Hoang Tae, Sung Hong Tae.
Ets.”
“saya sudah pensiun selama 32 tahun tetap dipanggil kung lurah oleh
orang Timor. Padahal nama saya hok, disini ada tiga hok, hok metan
(hokkulit hitam, ya saya sendiri), hok mollo, hok unu. Hok nona bbanci
supaya lebih dikenal.”
“ya itu tergantung bagaimana kita membawa diri sebagai orang disini,
kedalam komunitas masyarakat, misalnya yang kita mau datangi itu”
Perihal dalam membentuk strategi identitasnya sebagai seorang Tionghoa
campuran, ia menceritakan bahwa semua ini terjadi pada saat penertiban PP.10
214
oleh Pemerintah waktu itu, dimana saat salah satu anggota keluarganya sebagai
sekretaris daerah kabupaten yang juga keturunan Tionghoa merubah nama marga
keluarga mereka dari marga Lee menjadi Litelnoni, dimana kombinasi tersebut
melibatkan marga Telnoni dari pihak ibunya yang pada waktu itu merupakan
keturunan Raja Telnoni.
Pembuatan nama marga ini sekaligus menurutnya untuk mencegah tidak
terjadinya kawin-mawin diantara sesama marga Lee. Selanjutnya ketika
disinggung mengenai dominasi identitas didalam dirinya, ia menjawab bahwa
secara pribadi dirinya lebih menonjol sebagai etnik Timor, namun tidak menutup
kemungkinan identitas etnik Tionghoa bisa menonjol dalam kondisi tertentu seerti
dirinya saat diminta menjadi moelang atau juru bicara dari pasangan pengantin
dalam adat budaya Tionghoa yang mengatur segala keperluan teknis maupun
protokoler pengantin maupun tata cara adat perkawinan khas Tionghoa. Ia
menambahkan dengan menonjol pada etnik tertentu akan memberikan keuntungan
tersendiri, ia sendiri sudah memperhitungkan agar mendapat jaminan keamanan
dan mudah berbaur dengan masyarakat setempat.
“Pergantian nama pada waktu itu, saat anggota keluarga saya menjadi
sekretaris daerah. Ia memikirkan jalan terbaik bagi keluarga dalam
menjawab politik ini. Maka diputuskan, marga keluarga kami Litelnoni :
Lee : marga keluarga, telnoni :nama marga bangsawan. Sebagai alat untuk
mempermudah pengenalan identitas keluarga dan mencegah terjadinya
kawin-mawin dengan sesama marga Lee.”
“menurut perasaan pribadi lebih menyolok etnis Timor, etsin cina dalam itu
bisa terjadi dalam pertemuan tertentu, misalnya da peminangan, moelang
(jubir), tapi kalo jubir secara nasional hanya sekedar bicara, tetapi
moelang dia hanya tidak hanya ttelibat langsung dalam a menususn
antaran2, pntun, dll. Moelang seperti protokoler. Kalo anak dan menantu
215
sudah bisa jubir, tetapi moelng belum bisa. Perkawinan nasional,
pertemuan org cina sudah ikut. Saya waktu menikah juga tidak pake
moelang. Mulai dari situ say berpikir apa suah menjadimoeang, niki2, soe,
akapan. Utk marga lee, yang terteua di timor hanya kung.”
“a..kalo menurus perasaan kung baik menjabat sebagai aparatur negara
dan setelah meletakan jabatan negara merasa lebih leluasa, dan perasaan
kung itu sudah makin mendalam kepada etnis Timor.”
“itu kita mau...memperhintungka keuntungannya hanya lewat keluarga,
misalnya kakek dan nenekmu yang tinggal di oepura ya hitungannya
menjadi aman. Itu mau tidak mau kita harus membaur, karena kita mencari
amana dan damaian, ketentraman, sebab hidup manusia tanpa ketentraman
maka sia2lah atau sial. (cari aman)”
Terjemahannya :
“Pergantian nama pada waktu itu, saat anggota keluarga saya menjadi
sekretaris daerah. Ia memikirkan jalan terbaik bagi keluarga dalam
menjawab politik ini. Maka diputuskan, marga keluarga kami Litelnoni :
Lee : marga keluarga, telnoni :nama marga bangsawan. Sebagai alat untuk
mempermudah pengenalan identitas keluarga dan mencegah terjadinya
kawin-mawin dengan sesama marga Lee.”
“menurut perasaan pribadi lebih menyolok etnis Timor, etnis Cina dalam
itu bisa terjadi dalam pertemuan tertentu, misalnya ada peminangan,
menjadi moelang (jubir), tapi kalo jubir secara nasional hanya sekedar
bicara, tetapi moelang dia hanya tidak hanya terlibat langsung dalam hal
menyusun antaran, pantun, dll. Moelang seperti protokoler. Kalo anak dan
menantu sudah bisa jubir, tetapi moelang belum bisa. Perkawinan nasional,
pertemuan orang Cina sudah ikut. Saya waktu menikah juga tidak pake
moelang. Mulai dari situ saya berpikir apa susahnya menjadi moelang,
niki-niki, soe, kapan. Untuk marga lee, yang tertua di Timor hanya saya.”
“a..kalo menurut perasaan kung baik menjabat sebagai aparatur negara
dan setelah meletakan jabatan negara merasa lebih leluasa, dan perasaan
kung itu sudah makin mendalam kepada etnis Timor.”
“itu kita mau...memperhitungkan keuntungannya hanya lewat keluarga,
misalnya kakek dan nenekmu yang tinggal di oepura ya hitungannya
menjadi aman. Itu mau tidak mau kita harus membaur, karena kita mencari
aman dan damai, ketentraman, sebab hidup manusia tanpa ketentraman
maka sia-sialah atau sial. (cari aman)”
216
Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki,
menurut beliau cukup ringkas bahwa kebudayaan Tionghoa pada akhir-akhir
sudah mulai punah dikarenakan pengaruh dari agama, khususnya agama Kriten
Protestan. Sedangkan dalam penerapan budaya kehidupan sehari-harinya ia
berprinsip bahwa ditengah-tengah kehidupan globalisasi yang cukup deras yang
terpenting baginya adalah martabad keluarga yang tetap harus dipegang. Ia
menambahkan nilai-nilai budaya Tionghoa yang dikembangkan didalam
keluarganya adalah pandai membawa diri didalam lingkungan masyarakat yang
majemuk, ia pun tidak bisa memungkiri bahwa didalam dirinya mengalir darah
etnik Tionghoa yang menjadi kebanggaan tersendiri.
“kalo berbicara mengenai kebudayaan akhir2 ini bisa dikatakan sudah
hampir punah, karena pengaruh dari agama,”
“itu kita kehidupan tiap2 hari, sebab kita hidup di globalisasi, sebab kita
tidak bisa melupakan martabad dai pada keluarga yang telah mendahului
kita, kita harus pegang.”
“kalo apa seperti memng kebanggaan dalam diri ini btul2 darah daging
dari orang Cina, itu perlu kita tidak bisa pungkiri, akan tetapi oleh karena
kehaqdiran kita ditengah masyaralat yang majemuk mayoritasnya
maslatakat asli, kita harus pandai2 membawa diri. Begitu, itu bedanya.”
Terjemahannya :
“kalo berbicara mengenai kebudayaan akhir-akhir ini bisa dikatakan sudah
hampir punah, karena pengaruh dari agama Protestan,”
“itu kita kehidupan tiap hari, sebab kita hidup di globalisasi, sebab kita
tidak bisa melupakan martabat dari pada keluarga yang telah mendahului
kita, kita harus pegang.”
“kalo apa seperti memang kebanggaan dalam diri ini betul-betul darah
daging dari orang Cina, itu perlu kita tidak bisa pungkiri, akan tetapi oleh
217
karena kehadiran kita ditengah masyaralat yang majemuk mayoritasnya
masyatakat asli, kita harus pandai-pandai membawa diri. Begitu, itu
bedanya.”
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,
makna identitas etnik Tionghoa bagi bapak John E.Litelnoni adalah ia sendiri
tidak memiliki rasa atau tidak memaknai identitasnya sebagai seorang keturunan
Tionghoa, padahalnya berkaitan dengan warisan budaya etnik Tionghoa beliau
secara jujur masih memiliki kebanggaan akan darah Tionghoa yang mengalir
didalam dirinya. Sedangkan berkaitan dengan bagaimana ia memposisikan dirinya
didalam lingkungan etnik Tionghoa maupun etnik Dawan, bahwa ia
memposisikan dirinya sebagai aparatur negara sekaligus juga sebagai tokoh
masyarakat. Menurut pandangan peneliti, bahwa beliau sebagai seorang keturunan
etnik Tionghoa tidak memaknai bentuk apapun tentang makna identitas
disebabkan berbagai faktor, pertama secara etnisitas beliau sudah merupakan
keturunan kawin campur antara etnik Tionghoa dan etnik Dawan,
kedua secara tersirat sebenarnya bapak John memiliki atau memaknai
identitasnya sebagai kebanggaan namun enggan untuk diungkapkan, dikarenakan
secara fisiknya sudah tidak merepresentasi etnik Tionghoa dan mencolok pada ciri
fisik etnik Dawan. Alasan yang mendukung pandangan peneliti ini adalah dalam
pergaulannya sehari-hari ia selalu dikenal sebagai keturunan etnik Tionghoa
dengan nama panggilan kung lurah (kakek lurah) dan Hok Metan (Hok : nama
Tionghoanya, Metan : hitam dalam bahasa Dawan) sebab dia merupakan satu-
218
satunya mantan lurah keturunan Tionghoa, dan dalam pengakuannya ia lebih
nyaman dan bangga akan panggilan nama tersebut.
Begitupun juga dalam memposisikan dirinya sebagai seorang aparatur
negara namun itu semua bergantung dari pembawaan diri masing-masing, dalam
pandangan peneliti dengan menggunakan jawaban tersebut sebenarnya beliau
ingin menegaskan kembali meskipun sudah pensiun sebagai mantan lurah ia tetap
memiliki kewajiban moral untuk mengayomi masyarakat khususnya etnik
Tionghoa dan etnik Dawan, disamping itu dengan menggunakan kata aparatur
negara ketimbang luran sebenarnya ia ingin menekankan bahwa stigma keturunan
dari marga keluarganya selalu berada dibalik dunia Pemerintahan.
Hal tersebut bukanlah hal baru yang peneliti temui, berdasarkan beberapa
data yang peneliti telusuri seperti tulisan dari Hidayat Z.M yang mengatakan
bahwa golongan generasi muda (generasi peranakan Tionghoa) yang telah
mendapat pendidikan Barat yang modern. Golongan ini lebih cenderung untuk
merubah nilai-nilai budaya tradisi leluhurnya. Profesi pola kehidupan ekonomi
tidak menjadi monopoli dalam usaha dagang saja, akan tetapi telah ada yang
beralih kebidang lain sesuai dengan pendidikannya. Kebanyakan dari mereka ini
telah memilih profesi menjadi dokter, serjana teknik, eknomi, hukum atau
menjadi pegawai kantoran atau pemerintahan, akan tetapi dengan tujuan yang
sama yaitu yang sekiraya bisa menunjang untuk mendapat keuntungan besar
(Hidayat, 1993, hal 118-9)
219
Dalam pengamatan peneliti, seperti kegiatan sehari-harinya setelah tidak
menjabat sebagai Lurah ia lebih sering melakukan kegiatan dirumah bersama sang
istri dan mengadopsi 4 orang anak etnik Dawan, selain itu dalam sosialisasi beliau
cukup merata berbaur dengann etnik Tionghoa dan etnik Dawan dalam bentuk
mengunjungi mereka satu persatu sekedar bersilahturahmi, serta aktif
menggunakan bahasa Dawan dan bahasa melayu Kupang untuk berkomunikasi
dengan mereka termasuk didalam lingkungan keluarga.
Makna Identitas
Etnik
Tidak ada, (Kebanggaan)
Memposisikan Diri Mantan aparatur negara
Strategi Identitas
(Kombinasi Marga)
Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi
(Hasil)
Lee
Telnoni
Litelnoni
Nama Identitas Nama Tionghoa Nama Nasional/Indonesia/
Lee Hook Chow John Errence Edward
Litelnoni
Nama Populer Kung Lurah, Hook Metan
Dominasi Etnik Etnik Timor (Etnik Dawan)
Nilai dan Budaya
yang dipertahankan
dan diwariskan
Pembawaan Diri, Moelang (Protokoler Perkawinan
Tionghoa)
Cara Identifikasi
Sesama Etnik
Tionghoa
Marga dan ciri fisik (Roman muka)
Tabel. 28. Identitas Etnik Bapak John Litelnoni
Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang
Tionghoa campuran, keluarga beliau melalui seorang sepupunya yakni CHR
Litelnoni yang menjabat sebagai sekretaris Kabupaten TTS memutuskan bersama
bahwa menggganti marga mereka dari Lee menjadi Litelnoni, dimana kombinasi
tersebut terdiri dari dua marga yakni Li (Lee) dan telnoni, yang menerankan asal
nama marga ibunya yang merupakan keturunan Raja Telnoni. Dalam
220
penggabungan nama marga ini dikarenakan akibat diterapkannya PP.10 oleh
Pemerintah saat itu dan juga mencegah terjadinya kawin mawin diantara sesama
marga Lee. Sehingga menurut pandangan peneliti, beliau secara tersirat ingin
menekankan bahwa meskipun tidak memiliki makna terhadap identitas etniknya
namun ia merasa bangga akan marga keluarganya yang terwujud dalam kombinasi
antara kedua marga Litelnoni.
Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan
pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga
setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo
Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah
identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,
ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak
dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama
diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa
mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib. Namun bagi
kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan 1960an ada tekanan halus
dari pemerintah untuk ganti nama., karena ganti nama dianggap sebagai sebuah
tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang Tionghoa bahwa mereka setia
kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa
Indonesia dan budaya Indonesia. Namun orang Tionghoa generasi muda yang
lahir sesudah tahun 1965 hampir semua memiliki nama Indonesia atau nama yang
dianggap Indonesia. (yakni bukan nama Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan
bahwa banyak Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama
221
aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata,
2002, hal 87)
Berkaitan mengenai dominasi identitas etnik didalam dirinya secara jujur
pula ia mengakui bahwa ia lebih dominan terhadap identitas etnik Timor, namun
tidak menutup kemungkinan ia dominan terhadap identitas etnik Tionghoa
campuran ketika diminta menjalani peran sebagai moelang (protokoler
perkawinan Tionghoa). Dalam pandangan peneliti bahwa artinya beliau secara
sadar masih dominan terhadap etnik Tionghoa, hal tersebut bisa didukung oleh
beberapa hal diantaranya pertama nama panggilan dalam kehidupan sehari-hari
yang lebih condong ke nama Tionghoa, kedua adalah secara tersirat ia masih
mengakui eksistensi identitas Tionghoanya walaupun harus ditempatkan pada
kondisi tertentu.
Berkaitan dengan warisan budaya Tionghoa dalam keluarganya, ia
mengakui bahwa pengembangan nilai atau budaya Tionghoa didalam keluarganya
sudah jarang digunakan sebab akibat pengaruh dari agama Kristen Protestan,
namun baginya yang penting nilai-nilai yang dikembangkan adalah pembawaan
diri didalam masyarakat yang majemuk, terkait hal tersebut dalam pandangan
peneliti beliau sebenarnya masih mewarisi beberapa tradisi budaya Tionghoa
lainnya diantaranya sebagai seorang moelang (protokoler perkawinan etnik
Tionghoa).
Berdasarkan masalah kebudayaan diatas, peneliti menemukan beberapa
data yang berkaitan masalah tersebut. Masalah ini sebenarnya bersumber dari
222
agama Kongfuchu yang dianggap sebagai aliran kepercayaan, berikut ulasan dari
Leo Suryadinata untuk mendukung analisis peneliti Selain menghadapi tantangan
dari pemerintah Indonesia yang ingin mengasimilasi orang Tionghoa kedalam
tubuh pribumi, agama Konghuchu juga mendapat kesulitan dari masyarakat
Tionghoa di Indonesia sendiri. Orang Tionghoa peranakan, pada umumnya tidak
lagi berbahasa Tionghoa dan kebudayaannya telah lama sangat dipengaruhi baik
oleh lingkungan barat maupun Indonesia. Banyak dari mereka adalah orang
Kristen Protestan dan Katolik. Budaya Tionghoa sendiri sangat asing bagi
kebanyakan orang Tionghoa peranakan, teristimewa bagi generasi muda yang
diharuskan UU belajar di sekolah-sekolah Indonesia sejak tahun 1957, cara
berpikir mereka, karenanya lebih Indonesia dari pada Tionghoa. (Suryadinata,
2002, hal 187)
Kongchuisme juga menghadapi tantangan dari agama Budha, Katolik, dan
Prostestan yang umumnya dianggap lebih “Indonesia” dari pada agama
Konghuchu. Jumlah orang Indonesia keturunan Tionghoa yang menganut agama-
agama ini juga telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.(Suryadinata,
2002, hal 188)
Berkaitan dengan profesi yang dilakoninya ini bukan tidak sengaja,
berawal dari saat dia menikah dengan istrinya tidak didampingi oleh seorang
Moelang akibatnya secara autodidak ia belajar menjadi seorang Moelang.
Disamping hal tersebut, secara jujur ia tidak memungkiri bahwa didalam dirinya
masih mengalir darah Tionghoa dan menjadi rasa kebanggaan tersendiri. Dalam
pengamatan peneliti saat mengamati acara peresmian kubur kedua mertuanya,
223
turut hadir pula dua informan peneliti yakni istrinya istrinya ibu Endang Nitbani-
Litelnoni, Bapak Paulus Nitbani, dalam acara peresmian makam ini peneliti
melihat banyak sekali dihadiri oleh tamu dari keluarga etnik Tionghoa dan etnik
Dawan, tata cara perayaan juga mengkombinasikan antara budaya Tionghoa dan
ajaran Kristen Protestan.
Peneliti juga melihat dari ketiga informan peneliti ini aktif berinteraksi
dengan sesama etnik Tionghoa menggunakan bahasa Dawan maupun dengan
menggunakan bahasa melayu Kupang, termasuk didalamnya ketika berinteraksi
dengan menggunakan bahasa Dawan kepada etnik Dawan itu sendiri. Tak lupa
juga, peneliti melihat diantara sesama etnik Tionghoa mereka lazim menggunakan
salam hormat atau pai-pai atau soya, disamping itu dalam peresmian makam ini
menggunakan tata cara ibadat agama Kristen Protestan.
Dalam pelaksanaan acara ini, ada beberapa tradisi yang seperti lempar
koin kepada anak-anak maupun cucu dengan harapan mambawa rejeki, serta
pembakaran hiong kertas dan dupa oleh anggota keluarga dan kerabat mereka
yang bergamama Katholik. Berdasarkan hal tersebut, dalam pandangan peneliti,
bapak John Litelnoni secara tersirat maupun tersurat mengakui identitas
Tionghoanya dan memaknai identiasnya dengan Kebanggaan tersendiri.
Selanjutnya seusai mewawancarai Bapak John kurang lebih 40 menit, saya
melanjutkan wawancara dengan istrinya yakni Ibu Endang EYP Litelnoni (Ang
Taek Sang) yang berumur 74 tahun, beliau berprofesi sebagai ibu rumah tangga
sekaligus sebagai mantan Ibu PKK mendampingi suaminya saat masih berdinas.
224
Beliau sendiri merupakan adik kandung dari bapak Paulus Nitbani yang
merupakan informan pokok peneliti. Peneliti kemudiann bertanya mengenai
bagaimana ia memaknai identitas Tionghoa yang selama ini melekat dalam
dirinya serta bagaimana ia memposisikan diri kedalam lingkungan etnik
Tionghoa maupun Dawan.
Dengan pembawaan tenang, ia menjawab pertama ia memaknai
identitasnya sebagai keturunan Tionghoa sebagai sebuah kebanggaan, sebab
menurutnya ayahnya sebagai seorang Tionghoa totok dan ibunya merupakan putri
Raja Nitbani, dan secara otomatis ia sendiri menjadi keluarga bangsawan. Dimata
masyarakat pun ia mendapatkan posisi yang sangat dihargai dan dihormati
sebagai anak bangsawan, disamping itu pula ia mendapatkan kesempatan
mendampingi suaminya sebagai Lurah Niki-Niki dan sekaligus memainkan peran
sebagai ibu lurah yang membinan kaum perempuan di Niki-Niki. Disisi lain ia
menambahkan ketika sempat mengenyam pendidikan bahasa Mandarin, ia cukup
bangga dengan bekal bahasa Mandarin yang ia pelajari sehingga dapat
dipergunakannya untuk menyelesaikan masalah pribadi dengan keluarga agar
tidak diketahui oleh masyarakat setempat.
Ketika ditanya mengenai bagaimana ia memposisikan dirinya ketika
berada didalam lingkungan etnik Tionghoa maupun etnik Dawan, secara tersirat
bahwa ketika ia dan suaminya sudah pensiun dari kegiatannya sebagai Lurah,
tetap saja dari sebagian masyarakat masih mengenal mereka sebagai Kung Luran
dan Po Lurah (Kung : Kakek, dan Po : Nenek dalam bahasa Mandarin), disamping
itu ketika memposisikan dirinya didlam lingkungan etnik Tionghoa semua sangat
225
bergantung dari keadaan dilapangan, misalnya disaat ada perayaan imlek atau
pernikahan dari kalangan etnik Tionghoa mereka pun memposisikan dirinya
sebagai etnik Tionghoa, dimana ia mengajarkan kepada anak-anaknya seperti tata
krama dan budaya sopan santun, mengurus protokoler pernikahan dan sebagainya,
begitu pun sebalik jika berada dilingkungan etnik Dawan.
“pertama makna sebagai kebanggaan, bta pung bapa orang cina toto,
datang kwin dengan bta pung mama anak putri raja nitbani. Trus kita ini di
mata masyarakat dihargai dan dihormati sebagai anak bangsawan, dan
diberi kesempatan utk pimpin sebagai ibu lurah, ibu PKK. Baru kita skola
mandarin samapai kelas 6, baru kita bisa urus masalah masalah yang
rahasia dan urus kita pung sodara2 dengan bahaa mandarin. Ya spy jgn
menonol di masyarakat ya kita pake bahasa itu (mandarin), bahasa
mandari spuy mereka bis tersinggung, khan tidak baik kalo tingkah laku
membuat mereka tersinggung khan jadi tidak baik , bagi gereja dan agama
ya kita hrus menilai manusia itu sama di hadapan Allah, mau cina atau
timor ya harus dihargai.”
“Bagaimana pun juga kami ini sudah terkenal walau sudah pensiun,
kemana-mana kami selalu di panggil kunbg lurah dan po lurah, jadi sudah
melekat nama kami di mata masyarakat sini. Intinya adalah penyesuaian.”
“kalo khusus keluarag saat imlek, peminangan, pernikahan etnis cina, ya
kami memposisikan diri seabagai Tionghoa, ya kami juga mengajarkan
kepada anak2 bagaimana cara soya. Ya kita terbanyak
berkongsi/bertrnsaksi laykanya sebagai Tionghoa. Ya tat cara peminangan,
bagaimana protokolernya, dan bagaimana mengurus ihak peremuan. Ya
bagaiman kita membuat penyesuaian, ya klalo ke kampung kita ikut adat
disana, intinya kembali dari pada kemauan.”
Terjemahannya :
“pertama makna sebagai kebanggaan, ayah saya seorang orang Tionghoa
totok, menikahi dengan ibu saya yang seorang putri raja nitbani.
Kemudiann kita ini di mata masyarakat dihargai dan dihormati sebagai
anak bangsawan, dan diberi kesempatan untuk memimpin sebagai ibu
lurah, ibu PKK. Sempat saya menamatkan pendidikan bahasa mandarin
sampai kelas 6, kemudiann kita bisa mengurus masalah-masalah yang
rahasia dan membantu saudara-saudara dengan bahaa mandarin. Ya
supaya jangan menonol di masyarakat, ya kita gunakan bahasa itu
(mandarin), bahasa mandarin agar mereka tidak tersinggung, kan tidak
226
baik kalo tingkah laku kita membuat mereka tersinggung kan jadi tidak
baik, bagi gereja dan agama ya kita harus menilai manusia itu sama di
hadapan Allah, mau cina atau timor ya harus dihargai.”
“Bagaimana pun juga kami ini sudah terkenal walau sudah pensiun,
kemana-mana kami selalu di panggil kung lurah dan po lurah, jadi sudah
melekat nama kami di mata masyarakat sini. Intinya adalah penyesuaian.”
“kalo khusus keluarga saat imlek, peminangan, pernikahan etnis cina, ya
kami memposisikan diri sebagai Tionghoa, ya kami juga mengajarkan
kepada anak-anak bagaimana cara soya. Ya kita terbanyak
berkongsi/bertransaksi layaknya sebagai Tionghoa. Ya tata cara
peminangan, bagaimana protokolernya, dan bagaimana mengurus pihak
peremuan. Ya bagaimana kita membuat penyesuaian, ya kalo ke kampung
kita ikut adat disana, intinya kembali dari pada kemauan.”
Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang
Tionghoa campuran, ia hanya menjawab bahwa sebenarnya penegakan PP.10 oleh
Pemerintah pada saat itu tidak mengurangi identitasnya, yang pastinya membawa
dampak positif. Ia sendiri mengakui bahwa ketika kembali ke desa Ibunya yang
merupakan anak Raja Nitbani, seringkali ia dipanggil oleh masyarakat dengan
sebutan Po Nope, nona Nope, atau Bisofa (Tuan Putri), jadi baginya tidak ada
masalah.
Kemudian ia menambahkan dalam bersosialisasi dengan etnik Dawan
setempat yang paling utama adalah pembawaan atau penyesuaian diri, cara kita
menyapa dan meyahut sapaan orang lain seperti kata-kata oe (iya dalam bahasa
Mandarin), khususnya ketia bergaula dengan masyarakat etnik Dawan lebih
diutamakan sikap yang halus dan sopan ketika berinteraksi dengan mereka,
dikarenakan kultur etnik Dawan sangat halus dibandingkan dengan etnik
Tionghoa.
227
“sebenarnya dengan ini barang (peraturan ini) tidak mengurangi, ya pasti
aman2 saja. Kada mereka panggil saya po nope, atau saya turu ke desa2
mareka panggil saya nona nope atau bisofa (tuan putri). Jadi tidak masalah
bukan ?”
“bagaimana kita menyahut pertanyaan atau sapaan orang lain. Seperti oe
(iya), seluruhnya itu adalah penyesuaian dan bisa lu selamat, misalnya loe
masuk rumah orang dengan kasar2 ya entar dong kas racun seng loe.
Hehehehe”
Terjemahannya :
“sebenarnya dengan ini barang (peraturan ini) tidak mengurangi, ya pasti
aman saja. Kadang mereka panggil saya po nope, atau saya turun ke desa-
desa mareka panggil saya nona nope atau bisofa (tuan putri). Jadi tidak
masalah bukan ?”
“bagaimana kita menyahut pertanyaan atau sapaan orang lain. Seperti oe
(iya), seluruhnya itu adalah penyesuaian dan bisa selamat, misalnya anda
masuk rumah orang dengan kasar ya sebentar mereka merracuni kamu.
Hehehehe”
Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki, secara
ringkas pula ibu Endang menjawab bahwa beberapa kebudayaan Tionghoa saat ini
bisa dikatakan ada yang bertentangan dengan ajaran gereja seperti penyajian
makanan di kuburan atau bagi mereka yang sudah meninggal. Ditelusuri lebih
jauh saat ditanya mengenai budaya-budaya Tionghoa yang ia terapkan sebagai ibu
rumah tangga dalam keluarganya ia mengakui bahwa warisan budaya Tionghoa
dari leluhurnya juga ia terapkan kepada anak-anaknya, seperti bagaimana
membuat kuliner khas Tionghoa, tata krama-sopan santun, menghormati orang
tua, etika berbusana yang baik masih dipegang sampai saat ini. Disamping itu ia
juga masih menguasai tata cara protokoler pengurusan kedukaan dan mengurus
jenasah yang sesuai dengan adat budaya etnik Tionghoa lainnya, doa saat ziarah,
dan lain sebagainya.
228
“kadang ada peraturan gereja yang melanag hal2 tertentu. Seperti
penyajian makaan di kuburan atau bagi oang mati. “
“misalanya makan2 cina dong, cara berpakaian sopan dan baik, tata cara
hidup, sopan santun masih dipegang samaapai saat ini. Bagaimana ke
kuburan orang mati, bagaimana tata cara pemakakaman dan sebagainya.
Misalnya ke kurburan ya kita berziara berdoa, dan siram rampe sebagai
tanda bahwa kita msih ingat mereka. Penghormatan dan pengharagaan
kepada leluhur kita.”
“ya andia itu yang dijarakan kepada anakan bagaiamana menghormati
orang tua, membantu, ya ajakaran dimana2 sama. Sama seperti bagaimana
kita mengajarkan kepada anak seperti kermana buat masalkan sina, oang
key, perkedel, mie tendes. ya ktong ajarkan. “
Terjemahannya :
“kadang ada peraturan gereja yang melarang hal-hal tertentu. Seperti
penyajian makanan di kuburan atau bagi orang mati. “
“misalnya makanan-makanan khas Tionghoa, cara berpakaian sopan dan
baik, tata cara hidup, sopan santun masih dipegang sampai saat ini.
Bagaimana ke kuburan orang mati, bagaimana tata cara pemakaman dan
sebagainya. Misalnya ke kuburan ya kita berziarah berdoa, dan siram
rampe sebagai tanda bahwa kita masih ingat mereka. Penghormatan dan
pengharagaan kepada leluhur kita.”
“ya makanya hal itu yang diajarkan kepada anak bagaimana menghormati
orang tua, membantu, ya ajaran dimana-mana sama. Sama seperti
bagaimana kita mengajarkan kepada anak seperti bagaimana membuat
hidangan khas Tionghoaseperti, oang key, perkedel, mie tendes. ya kita
ajarkan. “
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,
makna identitas etnik Tionghoa bagi Ibu Endang Litelnoni adalah sebagai sebuah
kebanggaan karena didalam dirinya mengalir darah Tionghoa totok dari ayahnya
dan darah bangsawan dari Ibunya yang merupakan putri Raja Nitbani sehingga
secara otomatis ia menjadi keturunan bangsawan. Dalam pandangan peneliti
makna kebanggaan yang diungkapkan oleh beliau bisa dimaknai karena ia sendiri
sebagai seorang keturunan Tionghoa sekaligus juga sebagai anggota keluarga
229
bangsawan Raja Nitbani harus menjaga martabad nama keluarga mereka, melalui
makna Kebanggaan ingin menegaskan sebagai seorang keturunan Tionghoa yang
dikenal sebagai etnik perantauan dan marga Nitbani sebagai bangsawan harus
mampu menjadi tumpuan harapan bagi kedua marga keluarganya tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti melakukan penelusuran untuk
mendukung analisis mengenai etnik Tionghoa yang selalu diasosiasikan dengan
kegiatan ekonomi, yakni berdasarkan tulisan Leo Suryadinata bahwa etnis
Tionghoa, yang dulu disebut chinese overseas atau Tionghoa perantauan, tersebar
dimana-mana. Jumlahnya kira-kira 23 juta jiwa, lebih dari 80% diantaranya
berada di asia tenggara. Salah satu sebab mereka bermukim disana, karena asia
tenggara dekat dengan daratan Tiongkok dan selain pada waktu itu perdagangan
di asia tenggara juga banyak dipengaruhi oleh orang Tionghoa. Pada awalnya
jumla orang Tionghoa yang bermukim di asia tenggara tidak banyak. Eksodus
Tionghoa ke wilayah ini merupakan fenomena abad ke 19 dan ke 20 ketika di
Tiongkok dan asia tenggara mengalami perubahan. (Suryadinata, 2002, hal 7)
Disamping itu menurut Hidayat M.Z bahwa orang-orang Tionghoa di asia
tenggara dapat menempatkan diri mereka dalam kehidupan masyarakat di negara-
negara asia tenggara sebagai kelas menengah. Di Indonesia orang Tionghoa sejak
permulaan merantau telah berfungsi perantara antara penduduk asli dengan para
pendatang asing yang datang ke Indonesia. Para perantau Tionghoa ini menempati
kota-kota pantai dan hidup sebagai saudagar, pengusaha pelayaran, pengusaha
bank, dan sebagai pedagang besar dan kecil dan ada pula yang bekerja sebagai
230
artis. Hampir semua industri dan perdagangan akhirnya berada ditangan
pengusaha Tionghoa perantauan (Hidayat, hal 56)
Begitu pula dalam menempatkan posisnya didalam lingkungan etnik
Tionghoa maupun etnik Dawan, ia sendiri secara otomatis mendapatkan dan
menerima posisi sebagai putri bangsawan atau lazimnya disebut Bisofa (Putri
Raja) sekaligus sebagai ibu Lurah mendampingi suaminya saat bertugas pada
waktu itu. Begitu pun juga saat dirinya dan suaminya sudah pensiun sebagai lurah
Niki-Niki, ia dan suaminya pun masih tetap dikenal sebagai Kung Lurah (Kakek
Lurah) dan Po Lurah (Nenek Lurah)., ia pun menambahkan dalam menempatkan
dirinya ketika berada dilingkungan masyarakat sebenarnya seua bergantung ada
situasi dimana kita berada, misalnya dalam lingkungan etnik Tionhoa maka kita
menempatkan diri sebagai serang Tionghoa.
Dalam pandangan peneliti, bahwa meskipun memiliki posisi sebagai
seorang keturunan bangsawan, ibu Endang tetap berusaha untuk merendah diri
dan selalu terbuka terhadap segala adaptasi lingkungan dimana ia berada untuk
bisa menempatkan posisinya. Dalam pengamatan peneliti pula, kehidupan sehari-
harninya berjalan normal layaknya ibu rumah tangga lainnya. Selain mengurus
rumah, dan mengadopsi empat anak asuh dari etnik Dawan tak jarang juga ia
berkunjung ke tetangga maupun kerabat keluarganya sesama etnik Tionghoa
lainnya, begitu pun dalam berinteraksi selalu dominan menggunakan bahasa
Dawan maupun bahasa melayu Kupang.
231
Makna Identitas
Etnik
Kebanggaan
Memposisikan Diri Bisofa/ Bangsawan, Ibu Lurah.
Strategi Identitas
(Kombinasi Marga)
Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi
(Hasil)
Ang
Nitbani Nitbani
Nama Identitas Nama Tionghoa Nama Nasional/Indonesia/
Ang Taek Sang Endang EYP Litelnoni
Nama Populer Po Kotesang, Po Lurah.
Dominasi Etnik Tionghoa Campuran
Nilai dan Budaya
yang dipertahankan
dan diwariskan
Moelang, budaya tata krama, sopan santun (Soya), kuliner
Tionghoa.
Cara Identifikasi
Sesama Etnik
Tionghoa
-
Tabel. 29. Identitas Etnik Ibu Endang Litelnoni
Perihal dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang
Tionghoa campuran, bahwa keluarga Ibu Endang mengikuti marga ibunya yakni
Nitbani sebagai marga bangsawan Raja Nitbani, ketimbang melakukan kombinasi
marga Tionghoa mereka. Menurut pandangan peneliti sebagai seorang keturunan
Tionghoa yang memaknai identitasnya sebagai sebuah kebanggaan beliau
menunjukan sikap yang toleran terhadap penggunaan identitas marga ibunya
dalam keluarga, meskipun demikan tidak mengurangi makna kebanggaannya
terhadap marga Tionghoa dari ayahnya.
Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan
pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga
setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo
Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah
identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,
ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak
232
dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama
diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa
mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib.
Namun bagi kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan
1960an ada tekanan halus dari pemerintah untuk ganti nama., karena ganti nama
dianggap sebagai sebuah tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang
Tionghoa bahwa mereka setia kepada pemerintah Indonesia, atau
mengidentitaskan diri dengan bangsa Indonesia dan budaya Indonesia. Namun
orang Tionghoa generasi muda yang lahir sesudah tahun 1965 hampir semua
memiliki nama Indonesia atau nama yang dianggap Indonesia. (yakni bukan nama
Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan bahwa banyak Tionghoa mengambil nama
Indonesia yang mencerminkan nama aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya
atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata, 2002, hal 87)
Dalam pengamatan peneliti pula, ia juga sering atau tetap dikenal dengan
marga Ang, hal tersebut terjadi ketika saat ia terlibat dalam panitia peresmian
makan kedua orang tuanya ia lebih dikenal dengan nama Po Ang Tek Sang atau
(Nenek Sang), ia sendiri merasa lebih nyaman menggunakan kedua marga
tersebut, sekaligus juga menekankan bahwa ia selalu beradaptasi dimana
lingkungan ia berada.
Sedangkan dalam warisan budaya Tionghoa didalam keluarganya, ia
menjawab bahwa kebanyakan beberapa budaya Tionghoa memang bertentangan
dengan ajaran Gereja Protestan, hal tersebut juga berdampak pada mengikisnya
233
budaya Tionghoa di kalangan etnik Tionghoa Niki-Niki. Namun ia sendiri tetap
mengajrkan beberapa budaya Tionghoa kepada anak-anaknya seperti budaya tata
krama, sopan santun seperti soya, etika berbusana, etika pergaulan dan khususnya
mengajarkan kuliner khas Tionghoa kepada anak perempuannya. Disamping itu
sesekali ia juga terlibat sebagai moelang sama seperti suaminya yakni mengatur
protokoler adat perkawinan maupun acara kedukaan dikalangan etnik Tionghoa.
Berdasarkan masalah kebudayaan diatas, peneliti menemukan beberapa
data yang berkaitan masalah tersebut. Masalah ini sebenarnya bersumber dari
agama Kongfuchu yang dianggap sebagai aliran kepercayaan, berikut ulasan dari
Leo Suryadinata untuk mendukung analisis peneliti, Selain menghadapi tantangan
dari pemerintah Indonesia yang ingin mengasimilasi orang Tionghoa kedalam
tubuh pribumi, agama Konghuchu juga mendapat kesulitan dari masyarakat
Tionghoa di Indonesia sendiri. Orang Tionghoa peranakan, pada umumnya tidak
lagi berbahasa Tionghoa dan kebudayaannya telah lama sangat dpengaruhi baik
oleh lingkungan barat maupun Indonesia. Banyak dari mereka adalah orang
Kristen Protestan dan Katolik. Budaya Tionghoa sendiri sangat asing bagi
kebanyakan orang Tionghoa peranakan, teristimewa bagi generasi muda yang
diharuskan UU belajar di sekolah-sekolah Indonesia sejak tahun 1957, cara
berpikir mereka, karenanya lebih Indonesia dari pada Tionghoa. (Suryadinata,
2002, hal 187)
Kongchuisme juga menghadapi tantangan dari agama Budha, Katolik, dan
Prostestan yang umumnya dianggap lebih “Indonesia” dari pada agama
Konghuchu. Jumlah orang Indonesia keturunan Tionghoa yang menganut agama-
234
agama ini juga telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.(Suryadinata,
2002, hal 188)
Dalam pengamatan peneliti saat mengamati acara peresmian kubur kedua
mertuanya, turut hadir pula dua informan peneliti yakni ibu Endang Nitbani-
Litelnoni bersama sang suami bapak John Litelnoni dan kakaknya Bapak Paulus
Nitbani, dalam acara peresmian makam ini peneliti melihat banyak sekali dihadiri
oleh tamu dari keluarga etnik Tionghoa dan etnik Dawan, tata cara perayaan juga
mengkombinasikan antara budaya Tionghoa dan ajaran Kristen Protestan.
Peneliti juga melihat dari ketiga informan peneliti ini aktif berinteraksi
dengan sesama etnik Tionghoa menggunakan bahasa Dawan maupun dengan
menggunakan bahasa melayu Kupang, termasuk didalamnya ketika berinteraksi
dengan menggunakan bahasa Dawan kepada etnik Dawan itu sendiri. Tak lupa
juga, peneliti melihat diantara sesama etnik Tionghoa mereka lazim menggunakan
salam hormat atau pai-pai atau soya, disamping itu dalam peresmian makam ini
menggunakan tata cara ibadat agama Kristen Protestan.
Dalam pelaksanaan acara ini, diakui oleh ibu Endang masih menggunakan
kalender Cina untuk menentukan hari baik diselenggarakannya acara ini, termasuk
ada beberapa tradisi yang seperti lempar koin kepada anak-anak maupun cucu
dengan harapan mambawa rejeki, serta pembakaran hiong kertas dan dupa oleh
anggota keluarga dan kerabat mereka yang bergamama Katholik. Berdasarkan
pengakuan tentang warisan budaya serta hasil pengamatan tersebut.
235
Menurut pandangan peneliti bahwa Ibu endang masih memaknai sebagai
sebuah Kebanggaan atas identitasnya dan menegaskan identitasnya sebagai
seorang etnik Tionghoa campuran, hal tersebut terwujud dalam perannya sebagai
ibu rumah tangga yang mengajarkan budaya Tionghoa kepada anak, dan berperan
sebagai moelang dalam adat perkawinan dan upacara kedukaan etnik Tionghoa di
Niki-Niki.
Informan peneliti selanjutnya adalah Leonard Hun Banamtuan (Ang Xie
Ling), berprofesi sebagai pedagang dan pemuka agama yang berumur 71 tahun.
Wawancara antara peneliti dengan beliau berlangsung pada 2 juli 2012, peneliti
bertanya mengenai bagaimana ia memaknai identitas Tionghoa yang selama ini
melekat dalam dirinya serta bagaimana ia memposisikan diri kedalam lingkungan
etnik Tionghoa maupun Dawan.
Sambil menghela nafas sejenak ia menjawab bahwa secara pribadi ia
merasa senang sebagai seorang keturunan Tionghoa karena dihormati meskipun
demikian ia sendiri merupakan keturunan kawin campuran antara etnik Tionghoa
dan etnik Dawan. Meskipun demikian, ia secara pribadi memaknai identitas
Tionghoanya sebagai sebuah kebanggaan sebab didalam dirinya mengalir darah
Tionghoa dari nenek moyangnnya yang dimana sudah merantau hingga ke tanah
Timor dan akhirnya bisa menjadi WNI, ditambah lagi masyarakat setempat dapat
menerima kehadiran mereka sebagai keturunan Tionghoa perantauan sekaligus
posisinya sebagai pendeta yang melayani mereka.
236
Berkaitan dengan memposisikan dirinya ketika berada didalam lingkungan
etnik Tionghoa maupun etnik Dawan, ia menjelaskan bahwa ia sendiri
memposisikan dirinya sebagai seorang pendeta yang membantu masyarakat dan
sebagai seorang pendeta didalam pendangan adat orang Timor (etnik Dawan)
posisinya dikatakan sebagai seorang yang memiliki kesopanan sebagai pendengar
sekaligus secara tidak langsung sebagai wakil dari Tuhan dalam memberi ajaran-
ajaran agama untuk kebaikan umat manusia.
Ketika ditanya lebih jauh bagaimana pendapat masyarakat mengenai
posisinya sebagai pendeta yang merupakan keturunan Tionghoa, ia sendiri
mempunyai pandangan bahwa hampir semua masyarakat khususnya etnik Dawan
mengetahui bahwa ia merupakan keturunan Tionghoa dan sering kali ia dipanggil
dengan sebutan Ence (Bapak atau saudagar dalam bahasa Mandarin), dan malahan
ia mengakui tanpa malu-malu disamping berprofesi sebagai seorang pendeta ia
berkerja sebagai pedagang hewan ternak. Dalam kondisi seperti ini ia sering
kesulitan jika bertransaksi dengan masyarakat setempat yang hendak menjual
hasil ternak kepadanya dikarenakan karena profesinya sebagai seorang pendeta,
sering kali ia sulit menawar harga dengan masyarakat setempat.
“merasa senang karena dihormarti, karena mereka masih menghormati kita
sebagai orang cina juga, sekalipun sudah ada kwin mawin tetapi mereka
masih menghormati.”
“sebenarnya merasa bangga juga , bahwa karena kung merasa sebagai
seorang darah cina yang sudah meranatau samapai tanah timor itu
kebanggaan, bisa jadi org Indonesia disini, dan orang Indonesia disini
dapat meneriman apalagi kita sebagai seorang pendeta melayani mereka.”
237
“Ya sebagai pendeta, ya membantu masyarakat apa saja kita kerjakan,
tetapi kebanyakan di adat timor ini kalo sama pendeta ini ada punya
kesopanan untuk mendengar begitu.”
“Kita menggaap diri sebagai wakil Allah, jadi bisa dapat bicarakan apa
saja bagi mereka yang penting yang baik. Ajaran Tuhan untuk kebaikan
mereka.”
“Mereka tau, kadang kala mereka sering salah panggil Ence, (tertawa)
diluar gereja, macam seperti ini, kadang juga ya disamping sebagai
pendeta saya juga berdagang. Kadang2 ya mereka bilang ence juga.
Hehehe”
“Kalo berdagang merek panggil saya ence, kalo panggil pendeta ya nanti
itu kasih “kasih” (perasaan beban) , mereka lebih senang panggil ence,
kata pendeta bisa menurunkan harga sapi. Kalo dia panggil ence itu,
dorang sudah tau tu dia pedagang. Hehehehe tertawa bahak. “
Terjemahannya :
“merasa senang karena dihormarti, karena mereka masih menghormati kita
sebagai orang Tionghoa juga, sekalipun sudah ada kawin-mawin dengan
etnik Dawan tetapi mereka masih menghormati.”
“sebenarnya merasa bangga juga, bahwa karena saya merasa sebagai
seorang darah cina yang sudah merantau sampai tanah timor itu
kebanggaan, bisa jadi orang Indonesia disini, dan orang Indonesia disini
dapat meneriman apalagi kita sebagai seorang pendeta melayani mereka.”
“Ya sebagai pendeta, ya membantu masyarakat apa saja kita kerjakan,
tetapi kebanyakan di adat timor ini kalo sama pendeta ini ada punya
kesopanan untuk mendengar begitu.”
“Kita mengangap diri sebagai wakil Allah, jadi bisa dapat bicarakan apa
saja bagi mereka yang penting yang baik. Ajaran Tuhan untuk kebaikan
mereka.”
“Mereka tahu, kadang kala mereka sering salah panggil saya dengan
sebutan Ence, (tertawa) diluar gereja, hal seperti ini, kadang juga ya
disamping sebagai pendeta saya juga berdagang. Kadang ya mereka bilang
ence juga. Hehehe”
“Kalo berdagang mereka panggil saya ence, kalo panggil pendeta ya nanti
itu kasih “kasih” (perasaan beban) , mereka lebih senang panggil ence,
kata pendeta bisa menurunkan harga sapi. Kalo dia panggil ence itu,
mereka sudah tahui tu dia pedagang. Hehehehe. “
238
Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang
Tionghoa campuran, ia menceritakan bahwa pada saat diberlakukannya PP.10
oleh Pemerintah Orde Baru saat itu, keluarganya bersepakat mengganti marga
Tionghoa mereka yakni Ang menjadi Hun yang didalam bahasa daerah setempat
berarti rumput, sedangkan marga Ang sendiri didalam bahasa Mandarin jika
dibaca dengan sebutan Hung.
Sehingga terkesan sama, maka marga Hun akan memudahkan mereka
saling mengenal meskipun sudah berganti nama dan menghindari terjadinya
kawin mawin sesama marga Ang sekaligus juga menekankan bahwa nenek
moyang mereka diibaratkan sebagai rumput yang sudah tumbuh di daratan Timor,
dan marga mereka dikombinasikan dengan marga Banamtuan yang merupakan
marga masyarakat lokal.
Ia juga menceritakan beberapa hal menarik menyambung pertanyaan
peneliti mengenai dominasi identitasnya sebagai seorang Tionghoa campuran,
menurutnya bahwa saat ini dirinya merasakan sebagai seorang Timor atau etnik
Dawan. Namun hal menerik lainnya adalah saat pemberian undangan penikahan
misalnya, seringkali jika mendapat undangan dari kalangan etnik Tionghoa nama
yang selalu ditulis adalah nama Tionghoanya bukan nama Indonesianya, selain itu
juga kadang dituliskan nama Indonesianya, namun ia bisa memaklumi hal tersebut
karena yang mengundang masih menghormatinya sebagai seorang keturunan
Tionghoa.
“itu diwaktu apa nama Pemerentah menyruh proses ganti bale nama, jadi
btong orang ganti Ang, supaya jadi Hun itu bahasa daerah = rumput, kalo
239
Tionghia marga Ang dipanggil Hung, terkesan mirip seperti Hun, jadi maka
itu supaya jang ada kwin mengawin makan kami pake marga Leonard Hun
Banamtuan, jadi ada hun dimuka, jadi nenek moyang ceritanya mereka
tanya mengapa samapai naman hun bahasa timor hun artinya rumput,
artinya nenek moyang kami datang ke Timor sudah ke rumput, sudah
merambat seperti rumput, ibarat seperti rumput. “
“Kalo kita su di Timor, kita su musti bilang orang Timor yang menepis
pandangan dari Pemerintah pa saja,“
“Tapi itu sukar, kadang dari orang Tua kasih Undangan dong su tulis ang
sie ling, kalo su umur panggil leonard hun. Kalo dari orang cina asli kasih
undangan nama cina, tapi kebanyakan dikasih undangan Leonard Hun. Itu
semacam menghormati bahwa kita ini masih orang cina (dianggap
Tionghoa)”
Terjemahannya :
“itu diwaktu Pemerintah menyuruh proses ganti nama lewat PP.10, jadi
kami ganti marga Ang, supaya jadi Hun itu bahasa daerah sama dengan
arti rumput, kalo Tionghoa marga Ang dipanggil Hung, terkesan mirip
seperti Hun, jadi maka itu supaya jangan ada kawin-mengawin, maka kami
pakai marga Leonard Hun Banamtuan, jadi ada hun dimuka, jadi nenek
moyang ceritanya mereka tanya mengapa sampai nama hun bahasa timor
hun artinya rumput, artinya nenek moyang kami datang ke Timor sudah ke
rumput, sudah merambat seperti rumput, ibarat seperti rumput. “
“Kalo kita sudah di Timor, kita sudah mesti bilang orang Timor yang
menepis pandangan dari Pemerintah saja,“
“Tapi itu sukar, kadang dari orang Tua kasih Undangan mereka su menulis
Ang Xie Ling, kalo sudah umur (Tua) panggil leonard hun. Kalo dari orang
cina asli kasih undangan nama cina, tapi kebanyakan dikasih undangan
Leonard Hun. Itu semacam menghormati bahwa kita ini masih orang cina
(dianggap Tionghoa)”
Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki, secara
ringkas ia hanya menceritakan wasiat yang disampaikan oleh ayahnya sebelum
meninggal, yakni agar anak-anaknya untuk memeluk agama Kristen, ayahnya
sendiri sebelum meninggal tahun 1965 sudah memutuskan memeluk agama
Kristen dan ia sendiri sejak tahun 1951 sudah memeluk Kristen dan menjadi
240
pendeta, sedangkan nilai-nilai budaya Tionghoa dalam pandangannya seperti
biasa saja, yang lebih ia terapkan adalah ajaran agama didalam dirinya seperti
mengunjungi setiap umatnya, berbuat kebaikan dan lain sebagainya, serta
menghormati Pemerintah karena mereka merupakan wakil dari Tuhan.
Disamping itu ia mengungkapkan bahwa perayaan imlek sangat menarik
baginya meskipun ia sendiri sudah tidak merayakannya karena faktor pengaruh
agama Kristen. Ia memuji sikap orang Tionghoa yang merayakan imlek yang
sungguh-sunguh berdoa kepada Tuhan sambil memegang hiong dan sambil
menghidangkan makanan tentunya memiliki nilai seni tersendiri dalam
pandangannya.
“Jadi kung pung bapa itu sebelum dia mati dia su jadi orang Kristen, jadi
wasiatnya kasih pesan saja janji saja tolong ajarkan saja semua anak-cucu
cicit ikut Tuhan, supaya selamat. Dia memeluk Kristen tahun 1965, kalo
kung masuk kristen tahun 1951. “
“Ya kalo nilai Tionghoa kita anggap biasa saja, baik juga nlai pergaulan
biasa juga dengan ini, yang kita terapkan sehari-hari sebagai seorang
pendeta, yang mengunjungi umat, beribadah, supaya lebih dekat kepada
Tuhan, menjahui dari hal2 yang jahat buat hal2 yang baik dan juga
menghormati Pemerintah merupakan wakil Allah, nah begitu.”
“ya sukanya cara Tahun baru orang Cina itu, merayakan tapi bagus,
mereka btul2 sperti doa, mereka pegang hiong tapi mereka juga Doa buat
Tuhan Allah, yang seninya seperti itu, waktu Kung pernah lewat ada liat
ence Kaling duduk, dia taruh makanan, daia berdoa bilang bagini : ya
Tuhan kalo saya ada buat dosa utk masyarakat di Timor ini ampuni saya.
Jadi itu kelebihan buday orang Tionghoa pas tahun baru ada dia pung
seni.”
Terjemahannya :
“Jadi ayah saya itu sebelum dia wafat dia sudah jadi orang Kristen, jadi
wasiatnya kasih pesan saja janji saja tolong ajarkan saja semua anak-cucu
241
cicit ikut Tuhan (mengikuti agama Kristen), supaya selamat. Dia memeluk
Kristen tahun 1965, kalo saya memeluk kristen tahun 1951. “
“Ya kalo nilai Tionghoa kita anggap biasa saja, baik juga nlai pergaulan
biasa juga dengan ini, yang kita terapkan sehari-hari sebagai seorang
pendeta, yang mengunjungi umat, beribadah, supaya lebih dekat kepada
Tuhan, menjahui dari hal yang jahat, buat hal yang baik dan juga
menghormati Pemerintah merupakan wakil Allah, nah begitu.”
“ya sukanya cara Tahun baru orang Cina (Tonghoa) itu, merayakan tapi
bagus, mereka betul-betul seperti berdoa, mereka pegang hiong tapi mereka
juga Doa buat Tuhan Allah, yang seninya seperti itu, waktu saya pernah
mampir, ada mengamati ence Kaling duduk, dia taruh makanan, dia berdoa
bilang bagini : ya Tuhan kalo saya ada buat dosa untuk masyarakat di
Timor ini ampuni saya. Jadi itu kelebihan budaya orang Tionghoa pas
tahun baru ada seninya.”
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,
makna identitas etnik Tionghoa bagi Bapak Leonard Hunbanamtuan adalah
sebagai sebuah kebanggaan, karena nenek moyangnya yang sudah merantau dari
negeri Tiongkok hingga sampai ke pulau Timor dan akhirnya bisa menjadi WNI.
Dalam pandangan peneliti, makna kebanggaan sebagai seorang etnik keturunan
Tionghoa campuran bagi beliau merupakan sebuah penekanan identitasnya,
meskipun ia merupakan keturunan kawin campur dengan etnik Dawan, disamping
itu kebanggaan yang dimaknai oleh beliau dalam pandangan peneliti adalah
profesi utamanya sebagai seorang pendeta dan juga sebagai pedagang, hal ini
cukup beralasan, sebab kebanyakan pandangan orang lain terhadap etnik
Tionghoa rata-ratanya berprofesi sebagai pedagang, bertolak belakang dengan
profesi utama dari bapak Leonard sebagai seorang pemuka agama (Pendeta) yang
dihormati di gereja Kristen Pantekosta yang melayani pelayanan rohani sebagaian
masyarakat kecamatan Amanuban Tengah.
242
Berkaitan dengan memposisikan dirinya didalam lingkungan etnik
Tionghoa dan etnik Dawan, bahwa dalam memposisikan dirinya sebagai seorang
pendeta dikarenakan profesi ini dalam pandangan adat masyarakat etnik Dawan
sebagai sosok yang sangat sopan dalam mendengar sekaligus secara tidak
langsung merupakan wakil Allah. Dalam pandangan peneliti, dalam penempatan
posisinya sebagai seorang pendeta bahwa beliau ingin menegaskan sekali lagi
bahwa profesinya sebagai seorang pendeta bukanlah sesuatu hal yang sebelah
mata, dan bahkan profesinya ini bisa mengangkat derajatnya sebagai seorang
etnik Tionghoa, disamping banyak pandangan bahwa etnik Tionghoa berprofesi
sebagai pedagang dan jarang berprofesi sebagai pendeta. Disamping itu pula
kadang kala saat bekerja sebagai pedagang dalam bertransaksi jual-beli hewan
ternak, ia dikenal dengan nama Ence (saudagar), profesi sebagai pedagang pada
kondisi tertentu kadang menyulitkan dirinya saat menawar harga lebih rendah
karena faktor profesi pendeta.
Perihal membentuk strategi identitasnya sebagai seorang Tionghoa
campuran, bahwa dalam keluarganya mengganti marga mereka berdasarkan
kombinasi dan disandikan dari dua marga baik dari marga Tionghoa maupun
marga lokal. Pergantian nama marga keluarga mereka diakibatkan penerapan
PP.10 oleh Pemerintah orde baru waktu itu, sehingga keluarganya menerapkan
komibinasi dan menyandi marga sebagai berikut, mengganti marga Tionghoa
mereka yakni Ang menjadi Hun yang didalam bahasa daerah setempat berarti
rumput, sedangkan marga Ang sendiri didalam bahasa Mandarin jika dibaca
dengan sebutan Hung.
243
Sehingga terkesan sama, maka marha Hun akan memudahkan mereka
saling mengenal meskipun sudah berganti nama dan menghindari terjadinya
kawin mawin sesama marga Ang sekaligus juga menekankan bahwa nenek
moyang mereka diibaratkan sebagai rumput yang sudah tumbuh di daratan Timor,
dan marga mereka dikombinasikan dengan marga Banamtuan yang merupakan
marga masyarakat lokal.
Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan
pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga
setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo
Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah
identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,
ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak
dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama
diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa
mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib. Namun bagi
kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan 1960an ada tekanan halus
dari pemerintah untuk ganti nama, karena ganti nama dianggap sebagai sebuah
tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang Tionghoa bahwa mereka setia
kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa
Indonesia dan budaya Indonesia. Namun orang Tionghoa generasi muda yang
lahir sesudah tahun 1965 hampir semua memilikinama Indonesia atau nama yang
dianggap Indonesia. (yakni bukan nama Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan
bahwa banyak Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama
244
aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata,
2002, hal 87)
Makna Identitas
Etnik
Kebanggaan
Memposisikan Diri Pendeta – Pemuka Agama
Strategi Identitas
(Kombinasi Marga)
Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi
(Hasil)
Ang (Hun)
Banamtuan Hunbanamtuan
Nama Identitas Nama Tionghoa Nama Nasional/Indonesia/
Ang Xie Ling Leonard Hun Banamtuan
Nama Populer Ence Kaling.
Dominasi Etnik Etnik Dawan
Nilai dan Budaya
yang dipertahankan
dan diwariskan
Nilai-nilai ajaran Kristen Pantekosta
Cara Identifikasi
Sesama Etnik
Tionghoa
Marga dan ciri fisik seperti roman muka.
Tabel. 30. Identitas Etnik Leonard Hunbanamtuan
Berdasarkan keterangan diatas, menurut pandangan peneliti bahwa
kombinasi dan penyandian marga mereka cukup unik, disamping itu tersirat
makna marga mereka juga menekankan tentang pentingnya identitas etnik yang
tidak boleh luntur disamping itu dengan menggunakan perumpamaan seperti
rumput juga memberi kesan etnik Tionghoa sudah merumput dan berkembang di
pulau Timor. Hal juga sekaligus menekankan bawah beliau sangat memaknai
identitas etniknya sebagai sebuah Kebanggaan tersendiri. Berkaitan pula
mengenai dominasi identitas etnik Tionghoa didalam dirinya, ia menegaskan
bahwa sejauh ini ia lebih dominan merasakan identitas sebagai seorang etnik
Dawan, meskipun demikian secara tidak langsung ia merasa bangga dan
dihormati pada saat mendapatkan undangan namanya tertera menggunakan nama
Tionghoanya.
245
Dalam pandangan peneliti, tentunya hal ini bertolak belakang
pengakuannya akan makna identitas etniknya sebagai sebuah Kebanggaan.
Menurut peneliti penyataan beliau meungkin mempunyai beberapa alasan tersirat
diantaranya pertama sebagai seorang pendeta atau pemuka agama ia harus
memberi teladan baik bagi umat di gerejanya, atau setidaknya ia tidak boleh
membuat jurang diskriminasi dengan menonjolkan diri sebagai seorang etnik
Tionghoa. Dengan membangun kesan yang dominan terhadap etnik Timor ia
mampu menyeimbangkan posisinya sebagai etnik Tionghoa. Kedua secara faktor
fisik, ia memang cenderung terlihat sebagai menggambarkan etnik Dawan seperti
warna kulit yang coklat.
Namun dibalik semua itu, peneliti yakin bahwa beliau lebih cenderung
menonjol pada etnik Tionghoa campuran sekaligus ia sendiri menegaskan bahwa
memaknai identitas Tionghoanya dengan kebanggaan. Dalam pengamatan
peneliti, beliau dalam kegiatan sehari-hari selalu berinteraksi dengan masyarakat
disekitar lingkungannya baik dengan etnik Tionghoa maupun dengan etnik
Dawan. Bahasa yang digunakan pun lebih dominan bahasa Dawan dan kadang
juga menggunakan bahasa melayu Kupang. Didalam lingkungan keluarga ia lebih
sering menggunakan bahasa melayu Kupang, sedangkan ketika melakoni profesi
sebagai pendeta ia lebih akrab menggunakan bahasa Indonesia dan diselingi
dengan menggunakan bahasa Dawan maupun melayu Kupang. Namun ketika
berprofesi sebagai seorang pedagang, yang unik adalah ia selalu menggunakan
bahasa Dawan dalam melakukan transaksi jual-beli dengan masyarakat setempat.
246
Sedangkan dalam warisan budaya Tionghoa didalam keluarganya,
mengenai budaya Tionghoa sendiri didalam keluarganya sudah tidak
dipergunakan lagi, dan lebih menitik beratkan pengembangan ajaran gereja
Kristen Pantekosta dalam keluarganya. Sebab dalam pandangan peneliti sendiri
melihat bahwa hal tersebut cukup wajar, karena ia sendiri menempati posisi
sebagai seorang pendeta, terlebih lagi ajaran Kristen Protestan dan Pantekosta
melarang beberapa tradisi budaya Tionghoa tertentu.
Berdasarkan masalah kebudayaan diatas, peneliti menemukan beberapa
data yang berkaitan masalah tersebut. Masalah ini sebenarnya bersumber dari
agama Kongfuchu yang dianggap sebagai aliran kepercayaan, berikut ulasan dari
Leo Suryadinata untuk mendukung analisis peneliti Selain menghadapi tantangan
dari pemerintah Indonesia yang ingin mengasimilasi orang Tionghoa kedalam
tubuh pribumi, agama Konghuchu juga mendapat kesulitan dari masyarakat
Tionghoa di Indonesia sendiri. Orang Tionghoa peranakan, pada umumnya tidak
lagi berbahasa Tionghoa dan kebudayaannya telah lama sangat dpengaruhi baik
oleh lingkungan barat maupun Indonesia. Banyak dari mereka adalah orang
Kristen Protestan dan Katolik. Budaya Tionghoa sendiri sangat asing bagi
kebanyakan orang Tionghoa peranakan, teristimewa bagi generasi muda yang
diharuskan UU belajar di sekolah-sekolah Indonesia sejak tahun 1957, cara
berpikir mereka, karenanya lebih Indonesia dari pada Tionghoa. (Suryadinata,
2002, hal 187)
Kongchuisme juga menghadapi tantangan dari agama Budha, Katolik, dan
Prostestan yang umumnya dianggap lebih “Indonesia” dari pada agama
247
Konghuchu. Jumlah orang Indonesia keturunan Tionghoa yang menganut agama-
agama ini juga telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.(Suryadinata,
2002, hal 188)
Namun dalam pengamatan peneliti saat bertamu kediaman beliau, peneliti
sempat memberika salam hormat dalam bentuk soya dan beliau pun membalas
dengan hal serupa, begitu pun juga beliau lebih nyaman dengan menggunakan
identitas etnik Tionghoanya saat wawancara berlangsung, disamping itu meskipun
demikan beliau sangat mengagumi budaya imlek karena sangat mengandung
makna religius yang menarik. Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya beliau secara
tersirat menekankan komitmennya sangat memaknai identitas etnik Tionghoanya
sebagai sebuah kebanggaan, dan menonjolkan identitas Tionghoanya meskipun
dalam tampilannya lebih menonjolkan sisi sebagai seorang pendeta maupun etnik
Dawan.
Informan peneliti selanjutnya adalah bapak Syarifudin Un (Wun Jun Pit),
yang seorang Tionghoa Muslim di Niki-Niki. Beliau berprofesi sebagai seorang
kontraktor yang berumur 62 tahun, peneliti bertanya mengenai bagaimana ia
memaknai identitas Tionghoa yang selama ini melekat dalam dirinya serta
bagaimana ia memposisikan diri kedalam lingkungan etnik Tionghoa maupun
Dawan. Dengan suara pelan ia menjawab bahwa ia sendiri memaknai sebagai rasa
bangga sebagai etnik pendatang dari luar Niki-Niki disamping itu yang menjadi
nilai tambah baginya yakni diantara masyarakat etnik Tionghoa yang rata-rata
berkeyakinan nasrani ada juga etnik Tionghoa yang muslim. Dia mengartikan
bahwa dengan adanya perbedaan tersebut terjalin hubungan kerukunan satu-sama
248
lain. Karena menurutnya masalah soal agama atau keyakinan memang tidak ada
karena mereka sudah menjadi satu (etnik Tionghoa dan etnik Dawan).
Ia mencontohkan ketika diadakan perayaan pernikahan oleh saudaranya
yang beragama Nasrani, sudah menyiapkan sajian makanan yang halal bagi
keluarganya dan ditempatkan secara terpisah. Menurutnya ini merupakan suatu
bentuk penghormatan dari keluarganya yang lain. Begitu pun juga dalam
menempatkan dirinya ditengah-tengah masyarakat etnik Tionghoa dan etnik
Dawan, beliau mengatakan bahwa dia selalu menempatkan dirinya sebagai
seorang muslim khususnya Tionghoa muslim. Disamping itu ia selalu
menempatkan diri dan hadir bersama dengan tokoh masyarakat lainnya terutama
jika ada hajatan atau acara perayaan lainnya tanpa pandang bulu dan bersikap
normal seperti biasanya.
“nahh rasa bangga, btong dimana-man itu dong misalnya ke pendatang,
pendatang luar niki2 selalu dong heran kok di tengah2 mayoritas kok bisa
ada muslim (Tionghoa muslim), berarti hubungannya baik baru bisa rukun
disini, jadi btong rasa karna untuk disini tidak ada masalah, karena
masalah agama tidak ada, karna ktong dulu disini ini ktong su jadi satu
semua, walaupun dia muslim atau dia ini suka memang. Nanti misalnya
soal makan, misalnya ada acara2 apa seperti silahturahmi begitu itu song
su tau, misalnya b pung sodara satu yang non-muslim dia bekin acara, dia
tau yang nanti bta ada, dia pisahkan memang b pung makanan walaupun
telur satu butir dan nasi sekalipun tetap ada, dong hormati sekali.“
“ehh tidak ada masalah...jadi bagini kalo misalnya ehh ada undangan2
misalnya dari kantor lurah atau lainnya begitu biasanya dong undang dari
tokh2 muslim, dari tokoh lainnya dan btong tempatkan diri sebagai muslim
dan ktong hadir, misalnya ada acara resmi yg ada bupati apa, btong hadir
itu ini.”
Terjemahannya :
“nahh rasa bangga, kami dimana-mana itu mereka misalnya seperti
pendatang, pendatang luar niki-niki, mereka selalu heran kok di tengah
249
mayoritas kok bisa ada muslim (Tionghoa muslim), berarti hubungannya
baik baru bisa rukun disini, jadi kami rasa karena untuk disini tidak ada
masalah, karena masalah agama tidak ada, karena kami dulu disini ini
kami sudah jadi satu semua, walaupun dia muslim atau dia ini suku lain
suka memang. Nanti misalnya soal makan, misalnya ada acara apa seperti
silahturahmi begitu itu mereka sudah paham, misalnya saudara saya yang
satunya yang non-muslim dia buat acara, dia tahu yang nanti saya hadir,
dia pisahkan memang menu halal walaupun telur satu butir dan nasi
sekalipun tetap ada, mereka hormati sekali.“
“eh tidak ada masalah...jadi bagini kalo misalnya eh ada undangan-
undangan misalnya dari kantor lurah atau lainnya begitu biasanya mereka
undang dari tokoh muslim, dari tokoh lainnya dan kami tempatkan diri
sebagai muslim dan kami hadir, misalnya ada acara resmi yang ada bupati
apa, kami hadir disini.”
Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang
Tionghoa campuran, ia menceritakan memasuki Pemerintahan Orde Baru atau
pasca tragedi G30S yakni dengan dikeluarkannya PP.10 oleh Pemerintah pada
saat itu yang mengharuskan semua warga keturunan etnik Tionghoa yang tinggal
di Indonesia untuk mengganti nama Tionghoa menjadi nama Indonesia. Ia
menceritakan lebih jauh bahwa nenek moyangnnya yang bernama Tong Sam
diberikan salah satu mata air oleh Raja Banunaek yang dinamakan na oe un,
sehingga ada beberapa saudara mereka yang menggunakan nama marga
Banunaek, maupun kombinanasi Un Banunaek, dan keluarganya memilih
menggunakan marga Un yang diartikan sebagai mata air.
Berkaitan dengan dominasi identitas didalam dirinya, ia mengakui bahwa
statusnya sebagai seorang keturunan etnik Tionghoa tidak dapat dipungkiri dan
bagi dirinya sendiri tidak menjadi masalah menyandang status sebagai seorang
keturunan Tionghoa dan dilingkungannya sudah mengetahui mengenai
250
keluarganya sebagai etnik keturunan Tionghoa khususnya Tionghoa muslim,
ucapnya dengan bangga.
Selanjutnya ketika ditanya bagaimana ia sampai bisa mengganti namanya
dan memeluk agama Islam, ia menceritakan bahwa nama Syarifudin dipilihnya
karena pada saat dia memeluk Islam pada saat ia berada di Surabaya untuk
melanjutkan studi, nama tersebut dipilihnya karena ia berada didalam lingkungan
etnik Jawa dan lebih mudah dikenali suatu saat, sedangkan dilingkungan etnik
Tionghoa Niki-Niki ia lebih dikenali dengan nama Oko Pit (Bang Pit).
Sedangkan alasan dia memeluk Islam pada saat itu berbarengan dengan
dirilisnya PP.10 oleh Pemerintah saat itu yang mengharuskan setiap etnik
Tionghoa mengganti namanya dan memiliki agama diluar agama Konghuchu,
keluarganya sendiri pada saat itu belum memiliki keyakinan atau agama, dan
akhirnya keluarganya memutuskan memeluk agama Islam. Sedangkan
keluarganya yang lain ada yang memeluk agama Kristen maupun Katholik, ia
sendiri mengakui bahwa ia sendiri memeluk Islam karena ketulusan dari dalam
hatinya.
Ia menambahkan perasaannya menjalani identitasnya sebagai seorang
Tionghoa muslim, ada rasa kebanggaan tersendiri baginya disamping itu ia
menceritakan pengalamannya saat ke Surabaya sempat mendapatkan pelecehan
secara rasis karena ia memiliki warna kulit dan tidak dipercayai sebagai keturunan
Tionghoa oleh masyarakat disana, namun ia mampu mengatasi hal tersebut
denagn berbicara bahasa Mandarin untuk meyakinkan mereka.
251
Kemudian ia menambahkan kebanyakan pandangan beberapa orang
sempat tidak percaya bahwa ia merupakan keturunan Tionghoa muslim, hal
tersebut terjadi saat ada beberapa tim survey proyek dari Pemerintah yang rata-
rata beragama Islam sempat tidak mempercayainya sebagai seorang muslim,
mereka beranggapan dirinya beragama Nasrani. Namun ia mampu mengatasi hal
tersebut dengan mengucapkan kata assalamwalaikum, menghidangkan makanan-
makanan yang halal dan menceritakan kepada mereka, dan menunjukan lambang
Nabi Muhammad SAW diruang tamunya.
“kalo marga wun pi un itu, dulu khan ehh semua nama Tionghoa musti
ganti, semua marga pi Indonesia, karna ktong dulu wun, tapi karna ktong
punya nenek moyang Tong Sam yang datang di nenuk itu ada Raja kasih
dorang satu mata aer (mata air), mata air itu na oe un waktu suruh pilih2
nama ktong pung nenek marga banunaek, jadi yang lain (saudara lain)
pake banunaek ktong pake un banunaek, pas btong pung bapa cari tahu oe
un datang, kasih tau saudara semua mau pake marga banunaek, wun atau
keduanya, jadi ada yang pake un banunaek, ada yang hun, jadi un itu
artinya ktong pung mata air.”
“ehh bagini kalo itu, katong tidak bisa pungkiri kalo btong pung keturunan
(darah Tionghoa), tidak bs memungkiri ktong pug keturunan, tapi misalnya
terhadap ktong sendiri tidak masalah karna orang tau, tapi kalo terhdapa
orang luar ktong btul kasih tau bahwa ktong ini memang orang muslim
(Tionghoa muslim), tapi btong diri dalam keadaan di niki2 ini dorang su
tahu, tapi kalo keluar ktong snd bisa, Tionghoa tapi ktong harus bisa ya ..”
“itu karna bta tinggal dijawa jadi lebih enak pake nama jawa, jadi lebih
ganmpang dikenali”
“sebelumnya itu tahun 65 kebawah itu semua agama hanya itu (animisme),
menyembah begitu, datang waktu orde baru mulai pegang harus agama
semua menag, jadi begitu datang semua rame2 masuk agama, dan gereja2
disini macam Katholik dia juga tidak terlalu, nanti setela 65 baru seluruh
ada agama, karena mau dapat identitas itu harus ada agama, nah waktu itu
Konghuchu tidka diakui, nahh dan waktu ktong su sekolah jadi btong su
pilih2 memang, musti ada gamaa itu, waktu di surabaya karena memang
btong hifup di tengah2 muslim jadi mau dapat kemudahan segala macam
jadi ini, pilih islam. Jadi memang snd ada paksaan dan tulus dari hati.”
252
“rasa bangga, bagini bta sering ke surabaya, dong sendiri (orang
surabaya) snd tau btong dari apa, jadi kadang2 dong lecehkan btong,
kadang2 dong omong kasar dengan bahasa Tionghoa btong tau, btong
kadang2 dong bicara kurang enak kadang2 bta tegur kembali seng dong”
“kadang2, kebanyakan dong heran, artinya di tenga2 mayoritas kok bisa
ktong sendiri masuk disana begitu, eh kalo bagini kalo khusus utk soe, tts
sampe kupang dorang tau, tapi kalo orang luar yang dia tidak tahu, dia itu
liat feeling ke muslim sudah 50-50, karna kalo bta sapa dia dengan
assalamwalaikum deng dia, dia su tau ohh ini muslim, bagini satu cerita
lagi pas lagi proyek kadang2 dari peneliti, timi survey yang dari jawa dong
datang sini too, kadang2 dong snd tau dong ikir ktong nasrani, jadi
misalnya minum atau makan, jadi saya tegur memang too, sya muslim jadi
makanan ini halal, jadi dong snd pake tanya2 lai..atau masuk didalam bta
kasih tunjuk lambang muhammad di ruang tamu”
Terjemahannya :
“kalo marga wun pi un itu, dulu kan eh semua nama Tionghoa harus ganti,
semua marga Tionghoa ke Indonesia, karena kami dulu wun, tapi karena
nenek moyang kami Tong Sam yang datang di nenuk itu ada oleh Raja
dikasih ke mereka satu mata air, mata air itu namanya na oe un waktu
suruh pilih nama marga, nenek kami yang marga banunaek, jadi yang lain
(saudara lain) pakai banunaek kami pakai marga un banunaek, ayah kami
cari tahu oe un datang, kasih tahu saudara semua mau pake marga
banunaek, wun atau keduanya, jadi ada yang pake un banunaek, ada yang
hun, jadi un itu artinya ktong pung mata air.”
“ehh bagini kalo itu, kami tidak bisa pungkiri kalo keturunan kami (darah
Tionghoa), tidak bisa memungkiri keturunan kami, tapi misalnya terhadap
kami sendiri tidak masalah karena orang tahu, tapi kalo terhadap orang
luar kami betul kasih tahu bahwa kami ini memang orang muslim
(Tionghoa muslim), tapi kami dari dalam keadaan di niki-niki ini mereka
sudah tahu, tapi kalo keluar daerah kami tidak bisa, Tionghoa tapi kami
harus bisa ya .”
“itu karena saya tinggal di jawa jadi lebih enak pake nama jawa, jadi lebih
gampang dikenali”
“sebelumnya itu sebelum tahun 65 semua agama hanya itu (animisme),
menyembah begitu, datang waktu orde baru mulai pegang harus agama
semua memang, jadi begitu datang semua ramai-ramai masuk agama, dan
gereja disini macam Katholik dia juga tidak terlalu, nanti setelah 65 baru
seluruh ada agama, karena mau dapat identitas itu harus ada agama, nah
waktu itu Konghuchu tidak diakui, nah dan waktu itu kami sudah sekolah
253
jadi kami sudah pilih memang, mesti ada agama itu, waktu di surabaya
karena memang kami hidup di tengah-tengah muslim jadi mau dapat
kemudahan segala macam jadi ini, pilih islam. Jadi memang tidak ada
paksaan dan tulus dari hati.”
“rasa bangga, bagini saya sering ke surabaya, mereka sendiri (orang
surabaya) tidak tahu saya dari apa, jadi kadang mereka lecehkan kami,
kadang mereka omong kasar dengan bahasa mandarin, tapi kami tahu,
kami kadang dengar mereka bicara kurang enak kadang, saya tegur
kembali mereka dengan bahasa mandarin”
“kadang, kebanyakan mereka heran, artinya di tengah mayoritas kok bisa
kami yang muslim sendiri masuk disana begitu, eh kalo bagini kalo khusus
utk soe, TTS sampai kupang mereka sudah tahu, tapi kalo orang luar yang
dia tidak tahu, dia itu liat feeling ke muslim sudah 50-50, karena kalo saya
sapa dia dengan assalamwalaikum dengannya, dia sudah tahu ohh ini
muslim, bagini satu cerita lagi pas lagi proyek kadang dari peneliti, tim
survey yang dari jawa datang disini, kadang mereka tidak tahu mereka pikir
kami nasrani, jadi misalnya minum atau makan, jadi saya tegur memang
saja, saya muslim jadi makanan ini halal, jadi mereka tidak pake tanya-
tanya lagi..atau masuk didalam saya tunjukan lambang muhammad di
ruang tamu”
Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki, secara
tegas bahwa beberapa warisan budaya dari leluhurnya masih dilestarikan dan
dikembangkan didalam keluarganya, ia mencontohkan disaat perayaan ceng beng
(perayaan 40 hari setelah imlek) keluarganya masih melakukan ritual doa tetapi
tidak menghidangkan makanan layaknya etnik Tionghoa lainnya, melainkan
mereka hanya membacakan beberapa doa sesuai keyakinan sebagai muslim
kepada orang tuanya yang sudah wafat. Sedangkan pada saat imlek yang
kazimnya menghidangkan makanan-makanan yang rata-ratanya mengandung
(maaf : peneliti) babi, keluarganya pun berinisiatif menghidangkan makanan-
makanan halal di makam orang tuanya yakni berupa ayam dan daging kambing.
254
Sedangkan nilai-nilai budaya etnik Tionghoa lainnya yang ia terapkan
didalam keluarganya adalah disaat perayaan ceng beng tiba, hal ini dimanfaatkan
oleh keluarganya untuk melakukan reuni bersama dengan keluarganya yang lain
termasuk didalamnya yang berbeda keyakinan. Hal lain yang masih dilestarikan
dan diajarkan kepada anaknya adalah budaya soya, tata sapaan, kuliner khas
Tionghoa, terutama tata kramayang diajarkan kepada anak-anaknya. Ia mengakui
masih menggunakan beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh etnik Tionghoa
lainnya seperti penggunaan feng shui, buku penanggalan, buku ramalan, dan lain
sebagainya.
“masih, ehh...misalnya pas ceng beng btong sembayang, itu tetap btong
sembhayang, dan di niki2 ini masih pegang buku topong (panduan cina),
pas sembhayang ceng beng bukan sembhayang kasih duduk makanan itu,
dulu ktong pung bapa itu kasih dudu makanan utk ktong pung kong, jadi
dong punya wafat itu dijaman belum ada agama, jadi btong kirim doa
sesuai keyakinan masing2 mungkin ada yang snd terima, sehingga btong
walaupun btong su agama, walaupun btong kirim kasih dong sembhayang
supaya dong bisa terima, kebanyakan dong yang mati ini kebanyakan sdn
ada agama, bakar hiong bakar, bakar hanya utk menghormati dong, jadi
bakar bukan utk ktong, tapi bakar utk dong, karan kalo ktong kirim kasih
dong, kirim atsalah juga dong tidak terima, begitu...”
“tidak ada, btong tidak sajikan makanan, sejak masuk muslim hanya pake
ayam sa...kalo tidak panggang kambing,”
“ya misalnya pada saat ceng beng panggil para keluarga kumpul disini ko
sembhayang, kalo ketemu keluarga msih soya, sapaan misalnya, biarpun di
umum biar ketemu itu spontan, jadi reflek, kadang2 btong snd rasa,
walaupun dimana tapi btong su langsung ini, misalnya direstoran atau apa
kalo ketemu yang lebih tua langsung btong soya, entah penilaian dari mana,
itu su terbawa dari btong pung kebiasaan, “
“pake, buku2 ramalan atau petunjuk hari baik pake, kalo makanan cina itu
utama dirumah itu makanan Tionghoa”
255
Terjemahannya :
“masih, ehh...misalnya pas acara ceng beng kami berdoa, itu tetap kami
berdoa, dan di niki-niki ini masih pegang buku topong (panduan cina), pas
acara doa ceng beng bukan berdoa untuk hidangkan makanan itu, dulu
ayah kami itu kasih hidangkan makanan untuk kakek kami, jadisaat mereka
wafat itu dijaman itu belum ada agama, jadi kami kirim doa sesuai
keyakinan masing-masing mungkin ada yang tidak terima, sehingga kami
walaupunsudah muslim, walaupun kami kirim doa supayamereka bisa
terima, kebanyakan mereka yang wafat ini kebanyakan tidak ada agama,
bakar hiong, bakar hanya untuk menghormati mereka, jadi bakar bukan
untuk kami, tapi bakar untuk mereka, karena kalo kami kirim kasih mereka
doa, kirim salah doa juga mereka tidak terima, begitu...”
“tidak ada, kami tidak sajikan makanan, sejak masuk muslim hanya pake
ayam saja...kalo tidak panggang kambing, guling”
“ya misalnya pada saat ceng beng panggil para keluarga kumpul disini
kemudiann berdoa bersama, kalo ketemu keluarga masih soya, sapaan
misalnya, biarpun di muka umum biar ketemu itu spontan, jadi reflek,
kadang kami tidak sadar, walaupun dimana tapi kami sudah langsung ini,
misalnya direstoran atau apa kalo ketemu yang lebih tua langsung kami
soya, entah penilaian dari mana, itu sudah terbawa dari kebiasaan kami “
“tetap pakai, buku ramalan atau petunjuk hari baik digunakan, kalo
makanan Tionghoa itu tetap menu utama dirumah”
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,
makna identitas etnik Tionghoa bagi Bapak Syarifudin Un adalah sebagai sebuah
kebanggaan karena sebagai seorang keturunan etnik Tionghoa campuran dan juga
merupakan seorang Tionghoa muslim. Menurut pandangan peneliti dengan
memaknai sebagai sebuah kebanggaan dapat dilihat bahwa, sebenarnya beliau
ingin mengungkapkan jati dirinya sebagai seorang etnik Tionghoa muslim yang
mampu berbaur, dan hidup berdampingan dengan etnik Tionghoa serta etnik
Dawan yang beragama nasrani. Sekaligus juga menjelaskan kebanyakan
256
pandangan orang lain terhadap keyakinan etnik Tionghoa seperti Nasrani, Budha,
maupun Konghuchu, melainkan ada pula etnik Tionghoa yang beragama Islam.
Disamping itu alasan yang cukup logis adalah dalam kehidupan mereka,
faktor agama tidak menjadi jurang pemisah diantara mereka, melainkan faktor
hubungan keluarga yang diprioritaskan. Sehingga menurut pendapat peneliti,
bahwa makna kebanggaan bagi bapak Syarifudin Un adalah sebagai etnik
Tionghoa muslim mampu membangun hubungan baik dan toleransi antar umat
beragama dengan sesama etnik Tionghoa maupun etnik Dawan, disamping itu
dengan anggota keluarganya yang berbeda agama pun mereka saling memberikan
perhatian dan toleransi satu sama lain.
Berkaitan pula dengan memposisikan dirinya ia lebih dominan
menempatkan diri atau memposisikan dirinya sebagai seorang Tionghoa muslim,
dimana ketika saat diadakan acara perayaan maupun hajatan lainnya ia selalu
diundang dengan kapasitas sebagai tokoh Tionghoa Muslim dan selalu bersikap
merata terhadap semua orang. Dalam pandangan peneliti, beliau bisa konsisten
memposisikan dirinya sebagai seorang Tionghoa muslim dan menegaskan pula
makna kebanggaan dari identitas etniknya. Dalam pengamatan peneliti
menyambung perihal makna identitas etnik dan memposisikan diri, seperti terlihat
dalam kehidupan sehari-hari beliau terlihat akrab berniteraksi dengan sesama
etnik Tionghoa lainnya, begitu pun juga dengan masyarakat etnik Dawan serta tak
lupa sesama muslim dari etnik Jawa dan Bugis.
257
Ia sendiri lebih akrab dengan panggilan nama Tionghoanya Oko Pit
(Saudara Pit) dikalangan etnik Tionghoa, Dawan, maupun etnik Jawa dan Bugis
ketimbang nama Syarifudin. Begitupun dalam menjalin relasi, beliau dengan
sesama etnik Tionghoa baik muslim maupun yang nasrani lebih dominan
menggunakan bahasa Dawan dan bahasa Melayu Kupang, dan dengan etnik
Dawan lebih sering menggunakan bahasa Dawan kecuali dengan karyawannya, ia
lebih sering menggunakan bahasa melayu Kupang. Yang berbeda adalah dengan
sesama muslim dari etnik Jawa maupun Bugis beliah terlihat akrab menggunakan
bahasa Indonesia dan bahasa melayu Kupang, terlihat sesekali beliau
mengucapkan kata assalamwualaikum, allhamdullilah, isnyaallah, dsb.
Makna Identitas
Etnik
Kebanggaan
Memposisikan Diri Etnik Tionghoa Muslim
Strategi Identitas
(Kombinasi Marga)
Marga Tionghoa Marga
Lokal
Kombinasi
(Hasil)
Wun
Un Un
Nama Identitas Nama Tionghoa Nama Nasional/Indonesia/
Wun Jung Pit Syarifudin Un
Nama Populer Oko Pit
Dominasi Etnik Etnik Tionghoa Muslim
Nilai dan Budaya
yang dipertahankan
dan diwariskan
Perayaan imlek, Ceng Beng, Kalender Cina, Buku Ramalan,
Tata Krama, Sopan santun,kuliner Tionghoa, dsb
Cara Identifikasi
Sesama Etnik
Tionghoa
------
Tabel. 31. Identitas Etnik Syarifudin Un
Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang
Tionghoa campuran, bahwa didalam keluarganya melakukan pergantian marga
mereka akibat diterapkannya PP.10 oleh Pemerintah Orde Baru pada saat itu. Dari
penerapan aturan tersebut, keluarganya mengambil inisiatif merubah marga dan
258
memeluk keyakinan, perihal perubahan nama marga misalnya dari marga
Tionghoa mereka yakni Wun dan diganti menggunakan tiga pilihan marga yakni
marga Banunaek, Un Banunaek dan Un. Akhirnya keluarganya mengadopsi
marga Un yang dipendekan dari Wun dan diartikan sebagai mata air. Begitu pun
juga dalam memeluk keyakinan, ia sendiri memeluk Islam sama seperti ayahnya
dan beberapa saudaranya yang memeluk Islam sedangkan yang lainnya memeluk
agama Katholik dan Kristen.
Berdasarkan keterangan diatas, dalam pandangan peneliti bahwa keluarga
beliau yang memilih berbagai nama marga berdasarkan pemberian nama mata air
merupakan bentuk menghargai pemberian Raja Banunaek dan etnik Dawan
sekaligus juga menghargai leluhurnya sebagai etnik Tionghoa dan menegaskan
komitmen makna identitas etniknya sebagai sebuah Kebanggaan. Sedangkan
alasan anggota keluarganya memeluk beberapa keyakinan menurut pandangan
peneliti bahwa pertama secara garis besar keluarga beliau cukup demokratis
dalam memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memeluk keyakinan
sesuai kehendak masing-masing,
kedua bagi beliau dengan memeluk agama Islam sendiri merupakan
sebuah keputusan murni dan tulus tanpa ada paksaan, disamping itu karena
dibesarkan di lingkungan yang mayoritasnya beragama Islam akhirnya dia merasa
nyaman dan memeluk agama Islam termasuk dengan memilih nama Syarifudin
dikarenakan nama tersebut dinilai lebih terkesan bernafaskan Islam ketimbang
memakai nama Tionghoanya. Hal tersebut kembali menegaskan bahwa ia sangat
259
membanggakan makna identitas etnik Tionghoanya termasuk menegaskan
posisinya sebagai seorang Tionghoa muslim.
Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan
pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga
setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo
Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah
identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,
ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak
dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama
diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa
mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib. Namun bagi
kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan 1960an ada tekanan halus
dari pemerintah untuk ganti nama., karena ganti nama dianggap sebagai sebuah
tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang Tionghoa bahwa merekasetia
kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa
Indonesia dan budaya Indonesia. Namun orang Tionghoa generasi muda yang
lahir sesudah tahun 1965 hampir semua memilikinama Indonesia atau nama yang
dianggap Indonesia. (yakni bukan nama Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan
bahwa banyak Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama
aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata,
2002, hal 87)
Berkaitan dengan warisan budaya Tionghoa, secara tegas bahwa beberapa
warisan budaya dari leluhurnya masih dilestarikan dan dikembangkan didalam
260
keluarganya, ia mencontohkan disaat perayaan ceng beng (perayaan 40 hari
setelah imlek) keluarganya masih melakukan ritual doa tetapi tidak
menghidangkan makanan layaknya etnik Tionghoa lainnya, melainkan mereka
hanya membacakan beberapa doa sesuai keyakinan sebagai muslim kepada orang
tuanya yang sudah wafat. Sedangkan pada saat imlek yang kazimnya
menghidangkan makanan-makanan yang rata-ratanya mengandung (maaf :
peneliti) babi, keluarganya pun berinisiatif menghidangkan makanan-makanan
halal di makam orang tuanya yakni berupa ayam dan daging kambing.
Sedangkan nilai-nilai budaya etnik Tionghoa lainnya yang ia terapkan
didalam keluarganya adalah disaat perayaan ceng beng tiba, hal ini dimanfaatkan
oleh keluarganya untuk melakukan reuni bersama dengan keluarganya yang lain
termasuk didalamnya yang berbeda keyakinan. Hal lain yang masih dilestarikan
dan diajarkan kepada anaknya adalah budaya soya, tata sapaan, kuliner khas
Tionghoa, terutama tata krama yang diajarkan kepada anak-anaknya. Ia mengakui
masih menggunakan beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh etnik Tionghoa
lainnya seperti penggunaan feng shui, buku penanggalan, buku ramalan, dan lain
sebagainya.
Dalam pandangan peneliti, sebagai seorang Tionghoa muslim beliau
sangat taat kepada budaya Tionghoa dan ajaran agama Islam yang diyakininya,
meskipun demikian dia mampu memberi kompromi budaya antara budaya
Tionghoa dan Agama Islam, seperti ketika perayaan ceng beng yang lazimnya
dirayakan berdasarkan tata cara agama Konghuchu dan menyajikan makanan yang
tidak halal, maka beliau merayakan perayaan tersebut dengan membcakan doa
261
kepada kedua almarhum orang tuanya sesuai dengan keyakinannya yakni agama
Islam dan menyertakan makanan yang halal sesuai syariat Islam. Disamping itu,
dalam menegaskan identitasnya sebagai Tionghoa muslim, ia pun selalu
mengadakan acara silahturahmi bersama keluarga baik dalam perayaan imlek,
Ceng Beng, bahkan Idul Fitri sebagai reuni keluarga, ditambah pula ia selalu
mengajarkan kepada anak-anaknya tata cara budya sopan santung dan tata krama
seperti budaya soya.
Informan peneliti yang terakhir adalah Herman Carel Litelnoni (Lie Hok
Kie), yang merupakan pensiunan PNS Kasub.Sospol Pemkab TTS berumur 69
tahun. Beliau merupakan keponakan dari bapak John EE Litelnoni, peneliti
bertanya bagaimana ia memaknai identitas Tionghoa yang selama ini melekat
dalam dirinya serta bagaimana ia memposisikan diri kedalam lingkungan etnik
Tionghoa maupun Dawan.
Dengan suara serak ia menjawab dengan tenang bahwa ia sendiri
mengakui sebagai seorang keturunan Tionghoa walaupun demikian sudah menjadi
WNI dan tetap memegang nilai adat dan ia secara jujur memaknai sebagai suatu
kebanggaan, bangga memaknai identitasnya dan sebagai keturunan Tionghoa bisa
bekerja sebagai pegawai negeri, ia sendiri menambahkan bahwa kebanyakan
orang etnik Tionghoa agak sulit mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri
khususnya PNS. Termasuk juga ketika ditanya saat dia memposisikan dirinya
didalam lingkungan etnik Tionghoa dan etnik Dawan, ia mengakui bahwa
menempatkan dirinya tetap sebagai seorang PNS (Birokrat), dan harus menjadi
panutan terutama klan marga keluarganya Litelnoni yakni menjaga gengsi karena
262
orang Tionghoa suka dibedakan oleh karena itu mereka sebagai etnik Tionghoa
dari marga Litelnoni tetap mempertahankan citranya didalam pemerintahan.
“ya itu dari leluhur jadi btong tetap walaupun btong warga negara
Indonesia tetap pegang adat, iya ada rasa kebanggaan. Iya seya bangga
pegang bekerja sebagai pegawai negeri, orang sukar2 jadi pegawai negeri
dan jarang2 orang Tionghoa jadi pegawai negeri.”
“ya btong juga jadi pegawai ee...btong harus menjadi panutan, (menjaga
gengsi, krn oran cina mau dibedakan, serta hal lain adalah jaran org cina
jadi pegawai negeri, jd ingin membuat citra tersendiri)”
Terjemahannya :
“ya itu dari leluhur kami jadi tetap pertahankan walaupun kami sudah
menjadi warga negara Indonesia tetap pegang adat, iya ada rasa
kebanggaan. Iya seya bangga pegang bekerja sebagai pegawai negeri,
orang sukar jadi pegawai negeri dan jarang orang Tionghoa jadi pegawai
negeri.”
“ya kami juga jadi pegawai ya...kami harus menjadi panutan, (menjaga
gengsi, karena orang cina mau dibedakan, serta hal lain adalah jarang
orang cina jadi pegawai negeri, jadi ingin membuat citra tersendiri)”
Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang
Tionghoa campuran, ia menjawab bahwa penggunaan nama Tionghoanya kurang
digunakan sebab dari kecil ia lebih banyak dipanggil dengan nama nasionalnya
dan ia sendiri merasa nama identitas nama Tionghoanya tidak terlalu penting,
ketika dalam lingkungan kerjanya kadang kala ia sering dipanggil oleh segelintir
teman kerjanya dengan mana Kiu (Paman) sebagai bentuk gurauan. Namun rekan
kerjanya masih mengetahui persis bahwa dirinya masih keturunan Tionghoa, dan
ayahnya sendiri pernah menjabat sebagai sekretaris daerah dan mengganti nama
Tionghoanya dari Lee Kim Hok menjadi CHR Litelnoni sebelum menjabat sebagai
sekretaris daerah.
263
Ia mengutip peryataan yang sama dengan bapak John Litelnoni yang tak
lain adalah pamannya sendiri bahwa asal-usul penggunaan marga Litelnoni yakni
merubah nama marga keluarga mereka dari marga Lee menjadi Litelnoni, dimana
kombinasi tersebut melibatkan marga Telnoni dari pihak ibunya yang pada waktu
itu merupakan keturunan Raja Telnoni, pembuatan nama marga ini sekaligus
menurutnya untuk mencegah tidak terjadinya kawin-mawin diantara sesama
marga Lee.
Disisi lain dalam hal mengidentifikasi sesama etnik Tionghoa campuran, ia
menjawab bahwa pada prinsipnya ia bisa “membaca” mengenal sesama etniknya
dengan melihat ciri fisik seperti roman muka maupun dari panggilan orang sekitar
terhadap pribadi tersebut dengan sebutan kase dalam bahasa Dawan, dari
panggilan ini bisa diketahui bahwa orang tersebut merupakan orang keturunan. Ia
menutup penyataanya dengan penjelasan beikut bahwa bagaimana pun juga setiap
etnik Tionghoa yang merubah identitasnya, atau menyembunyikan identitas
fisik/nama seperti apapun tetap dengan mudah akan dikenali melalui marga dan
ciri fisik, seperti yang disepakati ayahnya pada waktu itu.
“nama cina kurang, jarang sebab dari kecil dipanggil nama Indonesia.
Klao dikantor dikenal anma Indonesia, Cuma kadang2 kita bergurau
mereka panggil kiu, dikanto dong panggil kiu, hehehe..dan mereka tau saya
masih keturunan Tionghoa, ktong pung bapa su jadi sekretaris daerah baru
ganti nama dari lee kim hok menajdi CHR Litelnoni.”
“kalo bta snd terlalu penting, karna berbaur bagirni lama juga”
“tau, macam ke ee....di kantor tuh bisa baca (melihat), biar ganti
bagaimana (nama/identitas), tetap contoh umpamanya kase2, itu..itu orang
cina itu (kase panggilan buat kaum cina oleh orang timor, nilainya sangat
264
tinggi).dia sembunyi bagaimana pun tetap ketahuan, ciri fisik iya agak lain
sedikit (roman muka)”
“tau...saya cina. Btong juga tau mana yang peranakan Tionghoa, biar mau
sembunyi kermana btong tau..hehehe (sambil mencontohkan seorang
keturunan Tionghoa yang fisiknya menayamai orang Timor), nama marga
Litelnoni dari bta pung bapa pung kesepakatan”
“cuman dalam hati dong ( dong orang cina) bicara, tapi snd terang2 dgn
tong, ya klo Tionghoa ya jarang ketemu orang bilang begitu..dong pikir
btong orang timor, tidak pernah ada masalah..selama 34 tahun snd ada..snd
ada masalah.”
Terjemahannya :
“nama cina kurang dikenal, jarang dipakai sebab dari kecil dipanggil nama
Indonesia. Kalo dikantor dikenal nama Indonesia, Cuma kadang-kadang
kita bergurau mereka panggil kiu, dikantor mereka panggil kiu, hehehe..dan
mereka tahu saya masih keturunan Tionghoa, ayah saya jadi sekretaris
daerah baru ganti nama dari Lee Kim Hok menjadi CHR Litelnoni.”
“kalo bagi saya tidak terlalu penting, karena berbaur bagini lama juga”
“tahu, macam seperti....di kantor tuh bisa baca (melihat), biar ganti
bagaimana (nama/identitas), tetap contoh umpamanya panggilan kase,
itu..itu orang cina itu (kase panggilan buat kaum cina oleh orang timor,
nilainya sangat tinggi).dia sembunyi bagaimana pun tetap ketahuan, ciri
fisik iya agak lain sedikit (roman muka)”
“tahu...saya cina. Kami juga tahu mana yang peranakan Tionghoa, biar
mau sembunyi bagaimana pun tahu..hehehe (sambil mencontohkan seorang
keturunan Tionghoa yang fisiknya menyamai orang Timor), nama marga
Litelnoni dari kesepakatan ayah saya”
“cuman dalam hati mereka (orang cina) bicara, tapi tidak terang-terangan
dengan kami, ya kalo Tionghoa ya jarang ketemu orang bilang
begitu..mereka pikir kami orang Timor, tidak pernah ada masalah..selama
34 tahun tidak ada..tidak ada masalah.”
Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki, secara
singkat ia menjawab bahwa sejak lahir dan dibesarkan ia tidak terlalu mengikuti
ajaran budaya Tionghoa, kecuali seperti sapaan nama atau pangkat masih
265
diajarkan. Hal tersebut dipengaruhi oleh keyakinan dari agama Kristen Protestan
yang dianutnya sehingga agak sedikit membatasi tantang beberapa budaya
Tionghoa seperti ziarah ke kubur, berdoa imlek, dan beberapa tradisi lainnya yang
lazim dilakukan oleh etnik Tionghoa lainnya.
“jadi ktongs ejak lahir btong snd terlalu iko ajaran oleh orang tua
mengenai budaya Tionghoa, Cuma yaa hanya sapaan masih diajarkan tapi
utk kebudyaan Tionghoa tidak pernah, ya btong disini agama Protestan jadi
agak keras utk masalah begitu (sembhayang kubur, tradisi imlek, dll) utk
kuburan apa segala macam.”
Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,
makna identitas etnik Tionghoa bagi Bapak Herman Litelnoni adalah sebagai
sebuah kebanggaan, makna kebanggaan disini dalam pandangan peneliti adalah
beliau ingin menekankan sebagai seorang keturunan etnik Tionghoa campuran
sudah menjadi WNI, dan sebagai seorang keturunan pula ia mampu menjadi
seorang birokrat di Pemerintahan. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa stigma
masyarakat terhadap etnik Tionghoa selalu berasosiasi dengan kegiatan ekonomi,
yakni melakoni profesi sebagai pedagang.
Begitu pun dengan beliau, pertama ia ingin menekankan bahwa makna
kebanggaannya juga meliputi ia bisa berprofesi sebagai birokrat dalam wujud
mendapat jabatan sebagai kabid.Sospol Pemkab.Timor Tengah Selatan. Kedua,
sebagai bagian dari keluarga Litelnoni, ia ingin terus mewarisi tradisi didalam
klan keluarganya yang sejak zaman leluhurnya selalu mempertahankan “gengsi”
agar terus berbakti bagi Pemerintahan dan menghindari dunia dagang. Setali tiga
uang hal serupa juga sama dengan pamannya, Bapak John E.Litelnoni yang
pernah menjabat sebagai Lurah Niki-Niki. Kini, tradisi keluarga mereka dalam
266
dunia pemerintahan dilanjutkan oleh sepupunya yang menjabat sebagai Wakil
Bupati TTS.
Hal tersebut bukanlah hal baru yang peneliti temui, seperti yang dialamai
oleh bapak John E.E.Litelnoni serta berdasarkan beberapa data yang peneliti
telusuri seperti tulisan dari Hidayat Z.M yang mengatakan bahwa golongan
generasi muda (generasi peranakan Tionghoa) yang telah mendapat pendidikan
Barat yang modern. Golongan ini lebih cenderung untuk merubah nilai-nilai
budaya tradisi leluhurnya. Profesi pola kehidupan ekonomi tidak menjadi
monopoli dalam usaha dagang saja, akan tetapi telah ada yang beralih kebidang
lain sesuai dengan pendidikannya. Kebanyakan dari mereka ini telah memilih
profesi menjadi dokter, sarjana teknik, ekonomi, hukum atau penjadi pegawai
kantoran atau pemerintahan, akan tetapi dengan tujuan yang sama yaitu yang
sekiranya bisa menunjang untuk mendapat keuntungan besar (Hidayat, 1993, hal
118-9)
Disisi yang sama dalam memposisikan dirinya, ia merasa lebih nyaman
memposisikan dirinya sebagai seorang birokrat, hal ini menurut pandangan
peneliti juga merupakan komitmen dari beliau terhadap makna kebanggaan akan
identitas etnik Tionghoanya, meskipun demikian secara tersirat ia sangat ingin
menekankan reputasi sebagai Birokrat Tionghoa. Dalam pengamatan peneliti,
seperti dalam kegiatannya sehari-hari pasca pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil,
ia jarang melakukan interaksi atau membangun relasi dengan sesama etnik
Tionghoa dan etnik Dawan.
267
Kegiatannya hanya terbatas mengunjungi beberapa kerabat keluarga dekat
dan mengikuti ibadah di Gereja, peneliti memaklumi sifat yang “tertutup” dari
beliau, disamping itu ia sendiri tidak berkeluarga dan lebih memilih hidup sendiri
di rumah orang tuanya bersama keponakannya. Dalam menjalin interaksi
misalnya dengan anggota kerabat keluarga sesama etnik Tionghoa selalu
menggunakan bahasa melayu Kupang dan tak jarang juga ia menggunakan bahasa
Dawan.
Berkaitan dengan membentuk strategi identitas etniknya, dalam
keluarganya menyepakati melalui ayahnya yang pada waktu itu menjabat sebagai
sekretaris kabupaten TTS bahwa memutuskan bersama menggganti marga mereka
dari Lee menjadi Litelnoni, dimana kombinasi tersebut terdiri dari dua marga
yakni Li (Lee) dan telnoni, yang menerankan asal nama marga ibunya yang
merupakan keturunan Raja Telnoni. Dalam penggabungan nama marga ini
dikarenakan akibat diterapkannya PP.10 oleh Pemerintah saat itu dan juga
mencegah terjadinya kawin mawin diantara sesama marga Lee.
Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan
pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga
setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo
Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah
identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,
ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak
dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama
diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa
268
mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib. Namun bagi
kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan 1960an ada tekanan halus
dari pemerintah untuk ganti nama, karena ganti nama dianggap sebagai sebuah
tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang Tionghoa bahwa mereka setia
kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa
Indonesia dan budaya Indonesia. Namun orang Tionghoa generasi muda yang
lahir sesudah tahun 1965 hampir semua memiliki nama Indonesia atau nama yang
dianggap Indonesia. (yakni bukan nama Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan
bahwa banyak Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama
aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata,
2002, hal 87)
Sehingga menurut pandangan peneliti, beliau secara tersirat ingin
menekankan bahwa makna kebanggaan terhadap indentitas etniknya melalui
marga Litelnoni sebagai marga keluarga yang terwujud dalam kombinasi antara
kedua marga. Disamping itu, didalam hal penggunaan indentitas ini, ia
mengatakan sejak kecil memang ia tidak dibiasakan menggunakan nama
Tionghoanya, meskipun demikian rekan kerjanya mengetahui bahwa ia
merupakan keturunan etnik Tionghoa, dan sesekali mereka bergurau dengan
memanggilnya dengan panggilan kiu (paman).
269
Makna Identitas
Etnik
Kebanggaan
Memposisikan Diri Birokrat
Strategi Identitas
(Kombinasi Marga)
Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi
(Hasil)
Lee
Telnoni Litelnoni
Nama Identitas Nama Tionghoa Nama Nasional/Indonesia/
Lie Hok Kie Herman Carel Litelnoni
Nama Populer Om Herr
Dominasi Etnik Tionghoa campuran
Nilai dan Budaya
yang dipertahankan
dan diwariskan
Budaya sapaan pangkat dalam keluarga.
Cara Identifikasi
Sesama Etnik
Tionghoa
Marga dan ciri fisik seperti roman muka.
Tabel. 32. Identitas Etnik Bapak Herman Litelnoni
Dari penjelasan diatas, dapat peneliti pandangan bahwa secara tersirat
bahwa dalam keluarganya tidak terlalu membiasakan panggilan berdasarkan
identitas etniknya, hal tersebut menurut peneliti dikarenakan dalam keluarganya
sudah terjadi kawin campur antara etnik Tionghoa dan etnik Dawan, sekaligus
juga tidak ingin terlalu menonjolkan identitas Tionghoa mereka dalam
pemerintahan, dengan tujuan menghindari praktik diskriminasi, walaupun
demikian bertolak belakang bahwa secara jujur mereka ingin membangun citra
sebagai etnik Tionghoa yang berkarir dalam pemerintahan. Kedua secara tersirat
beliau ingin menekankan bahwa meskipun tidak terbiasa menggunakan identitas
Tionghoa dalam keluarganya, namun ia sangat mamaknai identitas etnik sebagai
sebuah kebanggaan.
Sedangkan dalam kaitan warisan budaya Tionghoa, dalam keluarganya
sudah tidak mengembangkan lagi ajaran budaya Tionghoa, kecuali hanya sekedar
penggunaan sapaan nama dalam pangkat keluarga masih diwariskan oleh
270
ayahnya. Sedangkan budaya yang lain sudah tidak diajarkan karena pengaruh
larangan ajaran agama Kristen Protestan, dan juga faktor ia tidak menikah
sehingga tidak ada pengembangan budaya. Dalam hal ini, menurut pendangan
peneliti, meskipun sudah tidak mewarisi dan mengembangkan budaya Tionghoa
secara utuh, namun tersirat pula beliau ingin menekankan kebanggaan akan
identitas Tionghoanya, hal ini terlihat jelas pada keluarganya yang masih
mewarisi budaya Tionghoa meskipun terbatas hanya pada penggunaan sapaan
atau pangkat didalam keluarganya.
Berdasarkan masalah kebudayaan diatas, peneliti menemukan beberapa
data yang berkaitan masalah tersebut. Masalah ini sebenarnya bersumber dari
agama Kongfuchu yang dianggap sebagai aliran kepercayaan, berikut ulasan dari
Leo Suryadinata untuk mendukung analisis peneliti Selain menghadapi tantangan
dari pemerintah Indonesia yang ingin mengasimilasi orang Tionghoa kedalam
tubuh pribumi, agama Konghuchu juga mendapat kesulitan dari masyarakat
Tionghoa di Indonesia sendiri. Orang Tionghoa peranakan, pada umumnya tidak
lagi berbahasa Tionghoa dan kebudayaannya telah lama sangat dpengaruhi baik
oleh lingkungan barat maupun Indonesia. Banyak dari mereka adalah orang
Kristen Protestan dan Katolik. Budaya Tionghoa sendiri sangat asing bagi
kebanyakan orang Tionghoa peranakan, teristimewa bagi generasi muda yang
diharuskan UU belajar di sekolah-sekolah Indonesia sejak tahun 1957, cara
berpikir mereka, karenanya lebih Indonesia dari pada Tionghoa. (Suryadinata,
2002, hal 187)
271
Kongchuisme juga menghadapi tantangan dari agama Budha, Katolik, dan
Prostestan yang umumnya dianggap lebih “Indonesia” dari pada agama
Konghuchu. Jumlah orang Indonesia keturunanTionghoa yang menganut agama-
agama ini juga telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.(Suryadinata,
2002, hal 188)
2.6. Pola Komunikasi Antaretnik.
Gambar 3. Model Pola Komunikasi Antaretnik
Etnik Tionghoa
Hub.Ekonomi
Etnik Dawan
Hub.Perkawinan Campuran
Hub.Sosial-Budaya
INTERAKSI
Komunikasi Antaretnik
272
2.6.1. Pola Komunikasi Antaretnik Melalui Hubungan Ekonomi.
Etnik Tionghoa dikenal sebagai etnik perantauan dan memiliki bakat
dibidang aktivitas ekonomi seperti sektor perdagangan, perindustrian, usaha jasa
dan lain sebagainya. Selain dikenal lihai dalam berdagang, mereka juga dikenal
baik dalam membangun negosiasi dengan penduduk lokal setempat untuk
mendapatkan komuditas tertentu dalam mencapai usaha perdagangan mereka. Hal
tersebut tergambar pada etnik Tionghoa peranakan dan campuran di Niki-Niki,
dimana sebagian besar dari mereka memiliki kegiatan yang bergerak dibidang
sektor perdagangan dan usaha jasa lainnya.
Gambar 4. Model Pola Komunikasi Antaretnik Melalui Pola Hubungan Ekonomi
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada sub komunikasi antar
etnik pada etnik Tionghoa peranakan dan campuran, bahwa rata-rata dari mereka
sudah fasih baik secara aktif dan pasif menggunakan bahasa melayu Kupang
maupun bahasa Dawan ketika berinteraksi dengan etnik Dawan maupun dengan
sesama etnik Tionghoa lainnya. Bahkan ada yang diantara mereka masih
menggunakan bahasa Mandarin namun pada kondisi terbatas, misalnya saat
Etnik Tionghoa Etnik Dawan
Peranakan &
Campuran
Transaksi Ekonomi
INTERAKSI
Bangsawan,
Masyarakat Dawan
273
dimana mereka (sesama etnik Tionghoa peranakan dan campuran) berinteraksi
satu sama lain. Disamping itu pula, hampir semua dari mereka yang berprofesi
sebagai pedagang dan pengusaha jasa sudah mampu menguasai adat istiadat
masyarakat etnik Dawan, seperti teknik strategi pendekatan terhadap etnik Dawan
tersebut, ketika dalam melakukan transaksi dagang, usaha, ataupun dalam
pergaulan sehari-hari.
Seperti dalam pengamatan peneliti, bahwa jalinan relasi antara etnik
Tionghoa baik yang peranakan dan campuran dengan etnik Dawan terbentuk
melalui beberapa pola hubungan, diantaranya adalah pola hubungan ekonomi
seperti perdagangan maupun usaha jasa. Tidak bisa dipungkiri bahwa, etnik
Tionghoa maupun nenek moyang mereka yang merantau ke Indonesia rata-rata
berprofesi sebagai pedagang, baik itu dagang hewan ternak, hasil bumi, pangan,
dan usaha jasa transportasi. Sebagai contoh, etnik Tionghoa peranakan seperti
informan Tionghoa peranakan seperti bapak Gillbert Lee (Lee Chong Liong),
dimana menjalin relasi dengan etnik Dawan yang menjadi pelanggan di tokonya,
beliau terlihat selalu aktif berinteraksi dengan para pelanggan maupun pembeli
baru. Dalam transaksi jual-beli tersebut terlihat mereka menggunakan simbol
verbal seperti bahasa melayu Kupang dan kadang juga menggunakan bahasa
Dawan jika meminta pengurangan harga, disamping itu terkadang juga
menggunakan simbol non-verbal lainnya seperti penyuguhan rokok atau oko
mama (sirih pinang) jika memiliki permintaan khusus lainnya.
Hal serupa juga terjadi pada informan Tionghoa campuran seperti
Syarifudin Un (Wun Jun Pit), ia sendiri menjalankan usahanya sebagai pengusaha
274
jasa kontraktor sipil sekaligus bengkel perbaikan mesin, usaha ini ia warisi dari
ayahnya Muhammad Taher yang dulunya sempat menjalankan usaha dagang
maupun jasa kontraktor sipil. Dalam menjalankan usahanya, ia sering terlibat
dalam proses negosiasi yang secara otomatis artinya menjalin relasi dengan
otoritas pemerintah setempat serta juga masyarakat etnik Dawan. Dalam proses
ini ia selalu berkomunikasi melalui simbol verbal dengan menggunakan bahasa
Dawan dan bahasa melayu Kupang termasuk ketika berinteraksi dengan para
pegawainya yang mayoritas merupakan etnik Dawan dan non-muslim. Disamping
ketika berinteraksi dengan sesama etnik Tionghoa lainnya beliau juga fasih
menggunakan bahasa melayu Kupang, dan terkadang menggunakan bahasa
Dawan untuk mengakrabkan diri.
Disamping itu, dengan menggunakan teknik pendekatan secara simbol
non-verbal seperti penyuguhan sirih pinang maupun “oko mama” terhadap etnik
Dawan, jika ingin melakukan negosiasi yang lebih intens atau penyelesaian
masalah. Seperti saat dimulainya proyek pelebaran jalan yang dilakukan
perusahaannya, sebelum memulai kegiatan tersebut ia bertemu dengan ketua RT
setempat dan memberikan sirih pinang “oko mama” sebagai tanda memohon ijin
dan dukungan komponen masyarakat sekitar.
Secara umum, etnik Tionghoa peranakan dan campuran cukup baik dalam
menjalin relasi dengan etnik Dawan dalam wadah komunikasi antar etnik
khususnya dalam pola hubungan ekonomi seperti hungan dagang maupun usaha
jasa. Terlihat bahwa etnik Tionghoa peranakan mampu menguasai simbol verbal
(bahasa melayu Kupang dan bahasa Dawan) dan non-verbal seperti teknik strategi
275
pendekatan (oko mama/sirih pinang, rokok) terhadap etnik Dawan dalam transaksi
dagang mereka. Namun pada etnik Tionghoa campuran terlihat lebih menguasai
simbol tersebut ketimbang etnik Tionghoa peranakan, hal tersebut terjadi
demikian karena adanya faktor perkawinan campuran didalam diri etnik Tionghoa
campuran. Oleh sebab itu, sewajarnya mereka lebih leluasa memiliki legitimasi
maupun tempat tersendiri dikalangan etnik Dawan karena adanya ikatan
primordialisme tersebut dalam menjalankan usahanya. Namun bukan berarti, etnik
Tionghoa peranakan dapat dikatakan tidak berhasil sama sekali menjalin
hubungan komunikasi antar etnik dengan etnik Dawan, yang membedakan
hanyalah faktor ikatan hubungan erat yang dibangun melalui faktor perkawinan
campuran pada etnik Tionghoa campuran, artinya pola hubungan ekonomi
memiliki kaitan erat dengan pola hubungan perkawinan campuran.
2.6.2. Pola Komunikasi Antaretnik Melalui Hubungan Perkawinan
Campuran.
Etnik Tionghoa seperti yang sebelumnya dijuluki sebagai etnik
perantauan, telah cukup lama menetap dan berbaur dengan masyarakat Indonesia.
Awal kedatangan mereka ke daerah bagian selatan, atau lazimnya disebut sebagai
Nanyang termasuk didalamnya ke Indonesia sejak beberapa waktu lampau,
disebabkan oleh permasalahan situasi politik, kondisi ekonomi dan berbagai
pergolakan lainnya yang memaksa mereka untuk mengungsi. Ada sebagian dari
mereka yang datang merantau membawa serta anggota keluarga mereka,
276
sedangkan yang lainnya (umumnya kaum pria) yang datang sebagai perantauan
bujagan, dan mau tidak mau ditempat perantauan tersebut mereka menikahi
perempuan setempat sehingga terjadilah perkawinan campuran antara etnik
Tionghoa Totok dengan etnik lokal setempat.
Gambar 5. Model Pola Komunikasi Antaretnik Melalui Pola Hubungan Perkawinan Campuran.
Hal serupa tergambar pada etnik Tionghoa campuran di Niki-Niki, hampir
sebagian besar dari populasi etnik Tionghoa di Niki-Niki merupakan keturunan
etnik Tionghoa campuran, serta sisanya merupakan etnik Tionghoa peranakan.
Etnik Tionghoa campuran ini hampir semuanya merupakan anggota keluarga Raja
setempat atau memiliki gelar bangsawan, hal tersebut tidaklah mengherankan
sebab garis keturunan keluarganya atau lebih spesifiknya nenek moyang mereka
Etnik Tionghoa Etnik Dawan
Totok /
Campuran
Transaksi Ekonomi 1
INTERAKSI
Bangsawan Hub.Perkawinan
Campuran
Legitimasi-Akses
Monopoli
Transaksi Ekonomi 2
Bangsawan
277
dari kalangan Tionghoa totok menikah dengan putri anggota keluarga Raja atau
bangsawan setempat.
Setali tiga uang, hubungan pola perkawinan campuran yang terjalin ini
tidak terlepas dari hubungan ekonomi yang selama ini dibangun dan dijalankan
oleh etnik Tionghoa campuran disamping etnik Tionghoa peranakan. Semua
proses ini berjalan secara alamiah seiring datang para imigran etnik Tionghoa
puluhan tahun silam dengan tujuan utama berdagang hasil bumi, garmen, maupun
hewan ternak. Sehingga lambat laun, bagi mereka yang belum berkeluarga atau
yang tidak membawa pasangan dari negeri asal mereka, akhirnya pun menikahi
gadis lokal setempat dari kalangan Raja atau bangsawan setempat. Kemudian
mereka memiliki legitimasi dengan status sebagai keluarga bangsawan, sehingga
dengan mudah memonopoli sektor usaha perdagangan baik hasil bumi maupun
ternak lainnya.
Informan peneliti yang merupakan keturunan etnik Tionghoa campuran
yakni Ibu Endang EYP Litelnoni-Nitbani (Ang Taek Sang), ia merupakan
keturunan generasi kedua sama seperti kakak laki-lakinya Paulus Mana Nitbani
(Ang Pai Fan). Ayah mereka Ang Ie Kin, yang merupakan perantauan dari
Hokkien yang berprofesi sebagai pedagang hasil bumi dan ternak, menikahi ibu
mereka yakni Rosalinan Nitbani yang merupakan putri Raja Nitbani. Dengan
pernikahan mereka ini, secara otomatis ayahnya memiliki otoritas atau
mendapatkan legitimasi untuk memonopoli hasil bumi seperti pertanian,
perkebunan maupun hasil ternak hewan dari masyarakat etnik Dawan, karena
pada saat itu ada peraturan yang bersifat tidak tertulis, untuk menyerahkan hasil
278
dan menjualnya hanya kepada ayahnya. Kemudian hasil bumi tersebut dijual
kepada orang Tionghoa lainnya terutama kaum Tionghoa totok yang berprofesi
sebagai pedagang besar (Distributor), orang Belanda maupun orang Eropa
lainnya. Ia sendiri mengakui, bahwa kendala awal hanya pada masalah
penguasaan bahasa (bahasa Dawan) dan adat istiadat setempat (termasuk
didalamnya teknik pendekatan baik verbal maupun non-verbal) yang tentunya
berbeda jauh dengan adat masyarakat etnik Tionghoa pada umumnya. Namun
semua itu bisa mendapat penyesuaian berkat adanya faktor perkawinan campuran
ini, yang pada ujungnya memberi kemudahan pada keluarganya.
Secara umum, berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa pola
komunikasi antar etnik melalui hubungan perkawinan campuran pada etnik
Tionghoa campuran terjadi melalui perkawinan antara etnik Tionghoa totok-
peranakan dengan etnik Dawan (Kalangan Raja atau bangsawan), semua proses
ini berjalan secara alamiah dan berkaitan langsung dengan kegiatan ekonomi yang
selama ini dijalankan oleh para perantauan etnik Tionghoa khususnya mereka
yang merupakan keuturunan kawin campur. Terlihat pula ada hambatan yang
cukup berarti seperti kendala bahasa maupun adat istiadat setempat, namun
dengan adanya perkawinan campuran ini, lambat laun etnik Tionghoa totok ini
mampu beradaptasi dan menjalankan rode perekonomian mereka serta
manghasilkan keturunan yakni etnik Tionghoa campuran.
279
2.6.3. Pola Komunikasi Antar Etnik Melalui Hubungan Sosial-Budaya.
Etnik Tionghoa selain dikenal sebagai etnik perantauan yang pandai dalam
bidang perdagangan, ada beberapa pandangan yang menyatakan bahwa
kecendrungan dikalangan etnik Tionghoa untuk hidup terpisah dan tidak mau
berbaur dengan masyarakat setempat. Di Indonesia, hal tersebut bukan merupakan
hal yang baru. Sejak jaman kolonial, Pemerintah Belanda sengaja memberi jarak
antara warga etnik Tionghoa dengan warga setempat hidup terpisah seperti pola
pemukiman, pendidikan, perlindungan hukum dan lain sebagainya. Memasuki
kemerdekaan RI dan peralihan ke Pemerintahan Orde Baru, Pemerintah
sebetulnya melakukan kebijakan asimilasi total, termasuk didalamnya menutup
sekolah-sekolah Tionghoa agar keturunan mereka bisa masuk di sekolah Negeri
dan berbaur dengan masyarakat lokal, serta menerbitkan peraturan ganti nama
bagi etnik Tionghoa serta hak kewarganegaraan. Sehingga lambat laun, mulai
muncul persepsi maupun stigma dimasyarakat kita bahwa etnik Tionghoa
cenderung eksklusif.
Permasalahan tersebut terlihat kontras dengan gambaran kehidupan sosial
masyarakat etnik Tionghoa di Niki-Niki, yang tergambar dalam pengamatan
peneliti adalah kehidupan antara etnik Tionghoa baik yang merupakan keturunan
peranakan maupun kawin campur dapat hidup berdampingan bahkan berbaur
dengan etnik Dawan, tidak terlihat adanya sekat atau jarang yang cukup berarti
diantara mereka. Bahkan kalau ditarik benang merah antara relasi antara kedua
etnik tersebut tidak terlepas dari hubungan ekonomi maupun perkawinan
campuran, sehingga ketiga hal tersebut saling terkait satu sama lainnya. Sebagai
280
gambaran awal, hubungan baik yang tercipta antara kedua etnik ini dalam
pergaulan sosial tidak hanya tercipta saat diadakan acara kebudayaan melainkan
dikarenakan faktor hubungan perkawinan campuran yang terjadi pada salah satu
etnik Tionghoa (Peranakan dan campuran) dengan etnik Dawan (Bangsawan
maupun masyarakat biasa), sehingga secara tidak langsung membangun ikatan
primordialisme atau ikatan emosial.
Gambar 6. Model Pola Komunikasi Antaretnik Melalui Pola Hubungan Sosial Budaya.
Sebagai contoh, informan peneliti bapak John E.E.Litelnoni (Lee Hok
Chow) ia merupakan Tionghoa keturunan kawin campur atau Tionghoa campuran
yang pernah menjadi satu-satuya lurah di Niki-Niki keturunan Tionghoa. Ayahnya
sendiri merupakan keturunan kawin campur lapisan ke enam antara etnik
Etnik Tionghoa Etnik Dawan
Totok /
Campuran
Hub.Sosial-Budaya
INTERAKSI
Keg.Pemerintahan
Keg.Keagamaan
Kegiatan.Kebudayaan
Kegiatan Amal
Dll
281
Tionghoa dan etnik Dawan, ibunya sendiri merupakan putri bangsawan etnik
Dawan. Dapat dikatahui bahwa beliau sendiri sudah merupakan keturunan ke
tujuh dari etnik Tionghoa campuran, artinya nenek moyangnya sudah lama
mendiami di Niki-Niki dan sudah menikah dengan orang lokal setempat. Dalam
kegiatan sehari-hari dalam pengamatan peneliti, pasca hampir 20 tahun pensiun
sebagai seorang lurah dan kini menjabat sebagai ketua RW dilingkungan tempat
tinggalnya, ia tetap dikenal dengan nama Kung Lurah (Kakek Lurah) oleh
masyarakat Niki-Niki, khususnya dikalangan etnik Dawan. Label tersebut ia
peroleh karena ia merupakan satu-satunya lurah keturunan Tionghoa, ia sendiri
membangun hubungan dengan masyarakat setempat baik dengan etnik Tionghoa
maupun etnik Dawan dengan kapasitasnya sebagai aparatur negara/tokoh
masyarakat, meskipun demikian ia merupakan salah satu tokoh senior dikalangan
etnik Tionghoa.
Sedangkan bapak Paulus Nitbani (Ang Pai Fan), ia merupakan keturunan
Tionghoa campuran dimana sebagai anak keturunan bangsawan sama seperti adik
perempuannya Endang EYP Litelnoni. Ayahnya merupakan pedagang Tionghoa
Totok dari Hokkien, serta ibunya merupakan puti Raja Nitbani. Beliau berprofesi
sebagai petani dan disamping itu menyediakan jasa moelang (Protokoler Adat
Perkawinan Tionghoa), dan Natoni (Jubir.Adat etnik Dawan) yang bayarannya
tidak sedikit, yang menarik adalah profesinya sebagai seorang Natoni yang
lazimnya dipegang oleh etnik Dawan dan bukan keturunan Tionghoa. Namun
statusnya sebagai bangsawan dan menguasai adat budaya dan bahasa etnik
Dawan, memudahkannya mengambil profesi ini dan memiliki tempat tersendiri
282
dimata masyarakat, bukan berarti ia tidak berbaur dengan masyarakat, malahan ia
sendiri merupakan salah satu tokoh masyarakat etnik Tionghoa di Niki-Niki.
Kegiatan yang ia ikuti seperti menjadi Moelang dan Natoni sudah dilakoninya
beberapa dekade terakhir, saat peneliti mengamati kegiatan Natoni yang
dikerjakannya, ia sendiri bisa berbaur dan akrab dengan etnik Dawan. Melalui
profesi inilah serta pangkat sebagai bangsawan ia dapat membangun relasi dengan
etnik Dawan maupun dengan sesama etnik Tionghoa lainnya.
Selanjutnya adalah Bapak Karel Singli (Lee Khoet Chong), ia merupakan
Tionghoa peranakan, Ayah dan ibunya merupakan kelahiran lokal, namun yang
menarik adalah kedua orang tuanya tidak memiliki darah perkwinan campuran
artinya ia memang murni keturunan peranakan bukan campuran, sama seperti adik
perempuannya ibu Sarci Singli, yang tak lain adalah istri dari bapak Paulus
Nitbani (Ang Pai Fan). Sedangkan Istrinya merupakan keturunan Tionghoa
campuran yakni Ingrayati Un, yang tak lain adalah adik dari bapak Syarifudin Un
(Wun Jun Pit). Bapak Karel berprofesi sebagai pedagang Hewan ternak dan
penyedia jasa transportasi di Niki-Niki, hubungan relasinya tidak hanya terbangun
melalui hubungan dagang dengan masyarakat etnik Dawan, melainkan dengan
kegiatan atau pergaulan sosial dalam kehidupan sehari-hari seperti kegiatan adat
masyarakat setempat, terlihat beliau cukup aktif berpartisipasi dan menjadi tokoh
senior yang selalu dimintai pendapat atau masukan dari aparatur desa setempat,
disamping itu ia sendiri merupakan tokoh senior masyarakat etnik Tionghoa di
Niki-Niki.
283
Secara umum berdasarkan gambaran diatas, dapat diketahui bahwa pola
komunikasi antar etnik Tionghoa (pranakan-campuran) dengan etnik Dawan tidak
hanya terjadi melalui hubungan dagang dan perkawinan campuran saja, melainkan
melalui interaksi sosial mereka dalam kegiatan sehari-hari seperti partisipasi acara
adat istiadat, kegiatan pemerintahan, dan lain sebagainya. Memang harus diakui
bahwa peran faktor perkawinan campuran memainkan peran penting, ditambah
lagi adanya relasi atau ikatan emosinal/primordial pada etnik Tionghoa campuran
dengan etnik Dawan baik dari kalangan masyarakat biasa maupun bangsawan
semakin menunjukan kualitas hubungan tersebut. Meskipun demikian, bukan
berarti etnik Tionghoa peranakan tidak mampu berbaur, hampir rata-rata semua
dari etnik Tionghoa peranakan sudah berbaur dengan masyarakat etnik Dawan,
baik dalam acara-acara seperti perkawinan, kedukaan, maupun partisipasi dalam
lingkungan masing-masing denga jiwa gotong royong. Disamping itu baik etnik
Tionghoa peranakan maupun campuran sudah fasih menggunakan bahasa Dawan
dan melayu Kupang, ketika berinteraksi dengan sesama etnik mereka, maupun
dengan etnik Dawan, serta memahami adat budaya etnik Dawan setempat.
2.7. Perilaku Etnik Tionghoa Dalam Komunikasi Antaretnik.
Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul “The Presentation of Self in
Everyday Life”, memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan
teateris. Banyak ahli mengatakan bahwa dramaturginya Goffman ini berada di
antara tradisi interaksi simbolik dan fenomenologi. Dalam konsep ini, Goffman
284
memfokuskan pada ungkapan-ungkapan yang tersirat, yakni suatu ungkapan yang
lebih bersifat teateris, kontekstual, non-verbal, dan tidak bersifat
intensional.(Sudikin, 2002 : 103).
Teori ini pada intinya ingin memahami sebuah makna serta juga
mendapatkan kesan dari tindakan yang dilakukan oleh seorang individu baik
dalam bentuk isyarat tertentu seperti mimik wajah, bahasa tubuh, dan kualitas
tindakan yang ditunjukan, selain itu Erving Goffman menjelaskan bahwa disaat
individu-individu berinteraksi sebenarnya mereka mencoba menyajikan atau
merepresentasikan self image yang akan diterima oleh orang lain sebagai bentuk
pengelolaan kesan atau biasanya disebut impression management. Semuanya
termasuk dalam bentuk atribut digunakan untuk presentasi diri termasuk busana,
hunian, cara kita berbicara dan berjalan, serta lain sebagainya.
Berkaitan dengan teori diatas, dalam sub ini akan dibahas mengenai
bagaimana perilaku etnik Tionghoa baik peranakan maupun campuran ketika
mereka berinteraksi dengan etnik Dawan termasuk didalamnya dengan kalangan
kaum bangsawan maupun kalangan masyarakat biasa, yang dilihat dalam sub ini
adalah bagaimana perilaku mereka dalam menempatkan diri dipangggung depan
dan panggung belakang, dan seperti apa pengelolaan kesan yang mereka buat
terhadap etnik Dawan.
285
2.7.1. Perilaku Etnik Tionghoa Peranakan Dalam Komunikasi Antaretnik.
Panggung Depan Panggung Belakang
Etnik Tionghoa Campuran
Etnik Tionghoa Peranakan Tabel. 33. Model A.Drama Turgi Etnik Tionghoa Peranakan
Dalam hal perilaku etnik Tionghoa peranakan ini, dari keempat informan
ini adalah : Karel Singli (Lee Khoet Chong), Benyamin Tjung (Tjung Tjiu Min),
Gillbert E Lee (Lee Chung Liong), dan Christopher Wijaya (Oei I Ngo), dari
keempat informan cukup konsisten dalam menunjukan perilaku mereka ketika
berinteraksi maupun dalam menempatkan diri mereka. Secara umum, dalam sisi
panggung depan keempat informan ini konsisten menunjukan diri mereka sebagai
etnik Tionghoa campuran. Padahalnya, mereka semua merupakan keturunan etnik
Tionghoa totok dan bukan keturunan kawin campur. Sedangkan dalam sisi
panggung belakang mereka menunjukan identitas aslinya sebagai seorang pribadi
etnik Tionghoa peranakan.
Kesan yang ingin dibangun oleh mereka dipanggung depan adalah,
membangun peran sebagai seorang etnik Tionghoa campuran dengan alasan
bahwa dengan menampilkan sosok tersebut terlihat sikap yang bersifat toleran
terhadap etnik Dawan, mereka mencoba meniru atau ingin menyamakan diri sama
seperti etnik Tionghoa campuran sebagai strategi mendekatkan diri. Hal tersebut
cukuplah logis, mereka sendiri sudah cukup lama menetap di Niki-Niki dan
berbaur bersama dengan etnik Tionghoa campuran maupun etnik Dawan lainnya,
disamping itu dengan ditunjang penguasaan bahasa Dawan, bahasa melayu
Kupang dan sebagian besar adat istiadat etnik Dawan dijadikan sebagai kunci
286
untuk mengakses pergaulan etnik Dawan. Disamping itu, ketika berinteraksi
mereka mampu menunjukan sikap yang bersahaja, tidak sebatas pada perkataan
dan perilaku namun juga pada gaya hidup, berbusana, dan lain sebagainya.
Berbeda dengan panggung depan, pada panggung belakang realitas yang
terjadi pada keempat informan ini cukup berlainan satu sama lain. Ada diantara
mereka yang tetap mempertahankan identitas asli seperti penggunaan marga
keluarga (seperti bapak Gilbert dan Benyamin), dan ada yang mengganti nama
marga keluarga mereka dengan nama yang menyerupai nama marga keluarganya
(seperti bapak Karel dan Christopher). Disamping itu, dalam warisan kebudayaan
yang berbau Tionghoa, kurang begitu kompak bahkan hanya sedikit saja yang
dijalankan. Namun yang menjadi kesamaan mereka adalah ciri fisik mereka,
seperti roman muka, maupun warna kulit yang rata-rata sawo matang sekaligus
menekankan identitas mereka sebagai etnik Tionghoa peranakan. Sehingga secara
umum, mereka lebih menekankan identitasnya sebagai seorang Tionghoa
peranakan, walaupun demikian terlihat mereka secara meyakinkan bisa
menunjukan eksistensinya sebagai seorang Tionghoa campuran walaupun
sebenarnya mereka adalah etnik Tionghoa peranakan.
Sebagai salah satu contoh perbandingan adalah bapak Karel Singli dan
Gilbert Lee, mereka berdua memiliki kesamaan marga yakni marga Lee, namun
karena benturan pada himbauan pemerintah tentang peraturan ganti nama, maka
hanya bapak Karel yang menyamarkan nama marganya sedangkan bapak Gilbert
tetap mempertahankannya. Disamping itu dalam bidang warisan budaya, mereka
berdua tetap menjalankan dan mempertahankan beberapa budaya saja secara
287
terbatas, namun disamping itu mereka berdua cukup fasih menguasai bahasa
Dawan dan melayu Kupang, kecuali bahasa Mandarin. Ditambah pula, mereka
dalam pergaulan cukup mampu berbaur secara merata dengan etnik Tionghoa
peranakan lainnya maupun dengan etnik Tionghoa campuran.
2.7.2. Perilaku Etnik Tionghoa Campuran Dalam Komunikasi Antaretnik.
Dalam hal perilaku etnik Tionghoa campuran ini, dari keenam informan
ini adalah : Paulus Mana Nitbani (Ang Pai Fan), John E.E.Litelnoni (Lee Hok
Chow), Endang EYP litelnoni-Nitbani, Leonard Hun Banamtuan (Ang Xie Ling),
Syarifudin Un (Wun Jun Pit), dan Herman Carel Litelnoni (Lee Hok Kie ). Dari
keenam informan ini terbagi dalam tiga ketegori model perilaku. Tabel ini terdiri
dari tabel model B, C dan D dengan karakteristik masing-masing.
Panggung Depan Panggung Belakang
Keturunan Bangsawan
Etnik Tionghoa Campuran
Tabel. 34. Model B.Drama Turgi Etnik Tionghoa Campuran
Pada tabel model B terdapat dua informan peneliti yang kebetulan
merupakan kakak beradik kandung yakni bapak Paulus Mana Nitbani (Ang Pai
Fan) dan ibu Endang EYP Litelnoni-Nitbani. Kedua informan ini konsisten dalam
menunjukan perilaku mereka ketika berinteraksi maupun dalam menempatkan diri
mereka. Secara umum, dalam sisi panggung depan kedua informan ini konsisten
menunjukan diri mereka sebagai kaum bangsawan yang secara tidak langsung
merupakan representasi etnik Dawan. Padahalnya mereka bukanlah sepenuhnya
288
bangsawan, mereka adalah etnik Tionghoa campuran, dimana ayah mereka
merupakan etnik Tionghoa totok yang menikah dengan ibu mereka yang
merupakan putri Raja Nitbani. Sedangkan dalam sisi panggung belakang mereka
menunjukan identitas aslinya sebagai seorang pribadi etnik Tionghoa campuran.
Kesan yang ingin dibangun oleh mereka dipanggung depan adalah,
membangun peran sebagai seorang bangsawan, hal tersebut cukup logis karena
didalam diri mereka mengalir darah bangsawan dari ibunya, meskipun demikian
secara umum dalam garis keluarga etnik Tionghoa menganut sistem patrineal,
artinya mereka mengikuti garis keturunan ayah mereka sebagai seorang Tionghoa
campuran. Dalam realitasnya mereka ingin mencoba membangun citra atau
karakter sebagai seorang bangsawan, hal tersebut cukup mendukung dengan
kemampuan mereka yang secara fasih menguasai adat budaya etnik Dawan
khususnya dari kalangan keluarga Raja Nitbani, sebagai gambaran seperti bahasa
Dawan, strategi pendekatan, gelar adat, pengakuan dimasyarakat dan sebagainya.
Dan secara fisik, seperti roman muka yang dipadu dengan ciri khas wajah oriental
dan Timor serta warna kulit cokelat, cukup representatif dalam gambaran identitas
maupun karakter mereka.
Dalam berinteraksi pun mereka terlihat cukup dekat dengan kalangan etnik
Dawan dan berusaha menjalin relasi tanpa memasang jarak meskipun mereka
adalah kaum bangsawan, dan respon dari masyarakat etnik Dawan sangat
menghormati mereka. Dalam interaksi pun mereka menggunakan bahasa Dawan
dan sesekali menggunakan bahasa melayu Kupang, dan tak jarang mereka selalu
289
menyuguhkan sirih pinang sebagai lambang menjalin relasi atau membangun
hubungan, dimana hal ini merupakan salah satu cara teknik strategi pendekatan.
Kontras dengan panggung depan, pada panggung belakang ini kedua
informan justru menunjukan perilakunya sebagai seorang etnik Tionghoa
campuran, dan secara terbuka mereka mengukuhkan identitasnya pada saat
diadakan acara perayaan tertentu dikalangan etnik Tionghoa peranakan maupun
campuran. Perihal identitas etnik, kedua informan sepakat mengganti nama marga
keluarganya dengan menggunakan marga ibunya dari kalangan bangsawan.
Namun mereka sendiri tidak memungkiri lebih dikenal dengan nama identitas
Tionghoa yang dimiliki, berkaitan dengan warisan budaya, justru terlihat etnik
Tionghoa campuran dari kalangan mereka lebih banyak melestarikan dan
melanjutkan budaya Tionghoa yang dimiliki ketimbang etnik Tionghoa
peranakan. Dari segi fisik seperti roman muka yang dipadu dengan ciri khas
wajah oriental dan Timor serta warna kulit cokelat, cukup representatif dalam
gambaran identitas maupun karakter mereka. Dengan ciri fisik ini memberi
keuntungan bagi mereka, sehingga bisa mengkases dua lingkungan tanpa ada
hambatan berarti, dimana mereka bisa secara fleksibel menempatkan diri
dikalangan etnik Dawan karena ada darah bangsawan, dan dikalangan etnik
Tionghoa karena memiliki darah Tionghoa totok. Artinya mereka memiliki dua
keuntungan sekaligus.
Sebagai contoh, bapak Paulus Nitbani selain berprofesi sebagai petani
beliau juga dikenal berprofesi sebagai moelang (protokoler pernikahan adat
Tionghoa) dan sebagai ahli Natoni (jubir.adat etnik Dawan), artinya beliau bisa
290
menempatkan diri didalam dua lingkungan sekaligus. Belum lagi ditunjang
dengan darah bangsawan dan Tionghoa yang dimiliki serta secara fasih menguasai
bahasa dan budaya etnik Dawan, serta posisinya sebagai tokoh masyarakat etnik
Tionghoa di Niki-Niki semakin mengukuhkan eksistensinya sebagai Bangsawan
dan etnik Tionghoa campuran.
Panggung Depan Panggung Belakang
Etnik Dawan (Orang Timor) &
Birokrat
Etnik Tionghoa Campuran
Tabel. 35. Model C.Drama Turgi Etnik Tionghoa Campuran
Pada tabel model C terdapat dua informan peneliti yang kebetulan
mempunyai hubungan keluarga yakni bapak John E.E. Litelnoni (Lee Hok Chow)
dan Herman Karel Litelnoni (Lee Hok Kie). Kedua informan ini konsisten dalam
menunjukan perilaku mereka ketika berinteraksi maupun dalam menempatkan diri
mereka. Secara umum, dalam sisi panggung depan kedua informan ini konsisten
menunjukan diri mereka sebagai etnik Dawan (orang Timor) sekaligus seorang
birokrat. Padahalnya mereka bukanlah sepenuhnya etnik Dawan atau orang
Timor, mereka adalah keturunan etnik Tionghoa campuran, dimana kedua ayah
mereka merupakan keturunan etnik Tionghoa campuran yang menikah dengan
kedua ibu mereka yang merupakan masyarakat etnik Dawan (Ibu dari bapak John)
sedangkan ibu dari bapak Herman adalah Tionghoa campuran. Sedangkan dalam
sisi panggung belakang mereka menunjukan identitas aslinya sebagai seorang
pribadi etnik Tionghoa campuran, karena kedua ayah mereka merupakan
keturunan etnik Tionghoa campuran.
291
Kesan yang ingin dibangun oleh mereka dipanggung depan adalah,
membangun peran sebagai seorang Timor (etnik Dawan) sekaligus sebagai
seorang birokrat, hal tersebut cukup logis karena didalam diri mereka mengalir
darah etnik Dawan dari ibunya, meskipun demikian secara umum dalam garis
keluarga etnik Tionghoa menganut sistem patrineal, artinya mereka mengikuti
garis keturunan ayah mereka sebagai seorang Tionghoa campuran. Dalam
realitasnya mereka ingin mencoba membangun citra atau karakter, sebagai
seorang etnik Dawan atau orang Timor sekaligus sebagai seorang Birokrat. Hal
tersebut cukup mendukung dengan kemampuan mereka yang secara fasih
menguasai adat budaya etnik Dawan, sebagai gambaran seperti bahasa Dawan,
strategi pendekatan, serta profesi mereka yang pernah bekerja sebagai pegawai
pemerintahan. Dan secara fisik, seperti roman muka yang dengan ciri khas wajah
Timor serta warna kulit cokelat, cukup representatif dalam gambaran identitas
maupun karakter mereka.
Dalam interaksi pun mereka menggunakan bahasa Dawan dan sesekali
menggunakan bahasa melayu Kupang, dan tak jarang mereka selalu menyuguhkan
dan mengkonsumsi sirih pinang sebagai lambang menjalin relasi atau membangun
hubungan sekaligus representasi orang Timor, dimana hal ini merupakan salah
satu cara teknik strategi pendekatan.
Kontras dengan panggung depan, pada panggung belakang ini kedua
informan justru menunjukan perilakunya sebagai seorang etnik Tionghoa
campuran, dan secara terbuka mereka mengukuhkan identitasnya pada saat
diadakan acara perayaan tertentu dikalangan etnik Tionghoa peranakan maupun
292
campuran. Perihal identitas etnik, kedua informan sepakat mengganti nama marga
keluarganya dengan menggunakan marga nenek mereka dari kalangan etnik
Tionghoa. Namun mereka sendiri tidak memungkiri lebih dikenal dengan nama
identitas Tionghoa yang dimiliki, seperti bapak John yang dikenal dengan nama
Kung Lurah. Berkaitan dengan warisan budaya, justru terlihat etnik Tionghoa
campuran dari kalangan mereka tidak terlalu bahkan sama sekali tidak
melestarikan dan melanjutkan budaya Tionghoa yang dimiliki ketimbang etnik
Tionghoa peranakan. Dari segi fisik seperti roman muka yang dipadu dengan ciri
khas wajah Timor serta warna kulit cokelat, serta nama panggilan sehari-hari
cukup representatif dalam gambaran identitas maupun karakter mereka. Dengan
ciri fisik ini memberi keuntungan bagi mereka, sehingga bisa mengakses dua
lingkungan tanpa ada hambatan berarti, dimana mereka bisa secara fleksibel
menempatkan diri dikalangan etnik Dawan karena ada darah etnik Dawan, dan
dikalangan etnik Tionghoa karena memiliki darah Tionghoa campuran. Artinya
mereka memiliki dua keuntungan sekaligus.
Panggung Depan Panggung Belakang
Tionghoa-Religius
Etnik Tionghoa Campuran
Tabel. 36. Model D.Drama Turgi Etnik Tionghoa Campuran
Pada tabel model D terdapat dua informan peneliti yang kebetulan
mempunyai hubungan keluarga yakni bapak Leonard Hun Banamtuan (Ang Xie
Ling) danSyarifudin Un (Wun Jun Pit). Kedua informan ini konsisten dalam
menunjukan perilaku mereka ketika berinteraksi maupun dalam menempatkan diri
mereka. Secara umum, dalam sisi panggung depan kedua informan ini konsisten
293
menunjukan diri mereka sebagai etnik Tionghoa sekaligus sisi religius. Sedangkan
dalam sisi panggung belakang mereka menunjukan identitas aslinya sebagai
seorang pribadi etnik Tionghoa campuran, karena kedua ayah mereka merupakan
keturunan etnik Tionghoa campuran, sedangkan ibu dari bapak Leonard
meruapakan putri bangsawan sedangkan ibu dari bapak Syarifudin adalah
keturunan Tionghoa campuran.
Kesan yang ingin dibangun oleh mereka dipanggung depan adalah,
membangun peran sebagai seorang Tionghoa yang religius, hal tersebut cukup
logis karena hal tersebut berkaitan dengan profesi serta keyakinan yang dimiliki.
Sebagai contoh bapak Leonard lebih memposisikan dirinya sebagai seorang
Pendeta keturunan Tionghoa di tengah-tengah umat gerejanya. Sedangkan bapak
Syarifudin Un lebih memposisikan dirinya berdasarkan keyakinan yang dianut
yakni sebagai seorang Tionghoa muslim. Dalam realitasnya mereka ingin
mencoba membangun citra atau karakter, sebagai seorang Pendeta keturunan
Tionghoa maupun Tionghoa muslim, hal tersebut cukup mendukung karena
profesi yang dijalankan serta keyakinan yang dianut, disamping itu dalam
kegiatan sehari-hari mereka mencoba menampilkan sisi religiusnya, seperti dari
sikap, tutur kata, pola pikir, dan budaya yang dikembangkan didalam keluarga.
Kontras dengan panggung depan, pada panggung belakang ini kedua
informan justru menunjukan perilakunya sebagai seorang etnik Tionghoa
campuran, dan secara terbuka mereka mengukuhkan identitasnya pada saat
diadakan acara perayaan tertentu dikalangan etnik Tionghoa peranakan maupun
campuran. Perihal identitas etnik, kedua informan sepakat mengganti nama marga
294
keluarganya dengan menggunakan marga nenek moyang mereka dari kalangan
etnik Dawan. Namun mereka sendiri tidak memungkiri lebih dikenal dengan
nama identitas Tionghoa yang dimiliki, seperti bapak Syarifudin Un yang dikenal
dengan nama Oko Pit. Berkaitan dengan warisan budaya, justru terlihat etnik
Tionghoa campuran dari dari mereka berdua, adaya tidak terlalu terikat dan ada
juga yang melestarikan dan melanjutkan budaya Tionghoa yang dimiliki
ketimbang etnik Tionghoa peranakan.
Sebagai contoh, bapak Leonard sudah tidak memikirkan budaya Tionghoa,
dan lebih menitik beratkan pada ajaran gerejanya, sedangkan bapak Syarifudin Un
tetap melestarikan beberapa budaya Tionghoa. Dari segi fisik seperti roman muka
yang dipadu dengan ciri khas wajah Timor dan oriental serta warna kulit cokelat,
disamping penggunaan nama panggilan sehari-hari cukup representatif dalam
gambaran identitas maupun karakter mereka. Dengan ciri fisik ini memberi
keuntungan bagi mereka, sehingga bisa mengkases dua lingkungan tanpa ada
hambatan berarti, dimana mereka bisa secara fleksibel menempatkan diri
dikalangan etnik Dawan karena ada darah etnik Dawan, dan dikalangan etnik
Tionghoa karena memiliki darah Tionghoa campuran. Artinya mereka memiliki
dua keuntungan sekaligus.
295
2.8. Model Identitas Etnik Tionghoa.
Pada sub ini akan dikategorisasikan model identitas etnik Tionghoa, baik
yang keturunan etnik peranakan maupun campuran yang berjumlah sepuluh orang
informan, model ini sebagai wujud dari makna identitas etnik yang dimaknai oleh
masing-masing informan penelitian. Terdapat lima ketegori model identitas etnik,
yakni model Tionghoa Kase, Tionghoa Moe Na Mese, Tionghoa Sin Usif,
Tionghoa Atoin A’Lekot, dan Tionghoa Atoin Meto.
2.8.1. Model Etnik Tionghoa Kase.
Pada model etnik Tionghoa Kase ini lebih mengidentifikasikan diri mereka
sebagai WNI namun tetap menekankan pada orientasi nilai identitas etnik
Tionghoa peranakan secara penuh. Terdapat hanya dua orang Informan yakni,
bapak Gillbert Gasper Lee (Lee Chung Liong) dan Benyamin Tjung (Tjung Tjiu
Min), yang merupakan etnik Tionghoa peranakan. Dalam model ini menjalaskan
bahwa, makna identitas etnik bagi bapak Gilbert adalah sebagai sebuah
kebanggaan, sedangkan bagi bapak Benyamin Tjung, makna identitas etniknya
dimaknai sebagai hal yang biasa. Berkaitan dengan makna identitas bapak Gilbert,
hal tersebut cukup relevan karena beliau merupakan etnik Tionghoa peranakan
dan dilingkungan masyarakat tempat tinggalnya cukup mendukung kondisinya.
Disamping itu, profesi mereka sebagai pedagang merepresentasikan ciri
khas etnik Tionghoa sebagai etnik yang pandai berdagang, begitu pula dalam
menempatkan diri beliau lebih mensejajarkan diri sama dengan etnik Tionghoa
maupun etnik Dawan lainnya. Beliau sendiri menggunakan dua identitas
296
sekaligus, yakni identitas Tionghoa dan Nasional. Namun secara tersirat lebih
berorientasi sebagai seorang Tionghoa peranakan.
Yang membedakan adalah ia tetap mempertahankan orisinalitas nama
marga keluarganya, meskipun didalam pergaulan lingkungan etnik Tionghoa dan
etnik Dawan ia lebih dikenal dengan nama identitas Tionghoanya. Sedangkan
identitas nasionalnya hanya sekedar formalitas, namun dalam dominasi etnik
dalam dirinya, ia lebih merasakan sebagai seorang Tionghoa campuran, karena
pembauran dilingkungan masyarakat di Niki-Niki sudah menyatu satu sama lain,
sehingga ia perlu membaurkan diri dan tidak membangun jarak. Artinya ia
menganggap dirinya sebagai bagian dari WNI meskipun ia sendiri merupakan
etnik Tionghoa peranakan atau keturunan Tionghoa totok (murni). Dalam
interaksi sehari-hari dengan etnik Tionghoa, ia lebih sering menggunakan bahasa
melayu Kupang, sedangkan bahasa Mandarin tidak dikuasainya. Sedangkan dalam
interaksi dengan etnik Dawan, baliau lebih sering menggunakan bahasa melayu
Kupang dan bahasa Dawan.
Dalam hal warisan nilai budaya Tionghoa, beliau cukup paham dan tetap
melestarikan budaya-budaya Tionghoa termasuk tradisi agama Konghu Chu
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun bersifat sangat terbatas
karena bertentangan dengan ajaran gereja Kristen yang menjadi keyakinannya.
Seperti penggunaan feng shui, kalender cina dan perayaan imlek. Sedangkan
budaya sopan santun, arsitektur rumah dan lain sebagainya tidak dilarang, bahkan
ia sendiri berharap suatu saat nanti anaknya bisa mendapatkan kesempatan belajar
bahasa Mandarin. Berkaitan dengan budaya etnik Dawan, beliau cukup paham
297
dan menggunakan beberapa teknik strategi pendekatan terhadap etnik Dawan,
seperti teknik strategi pendekatan seperti penyuguhan sirih pinang “oko mama”,
dan lain sebagainya.
2.8.2. Model Etnik Tionghoa Moe Na Mese.
Pada model etnik Tionghoa Moe Na Mese ini lebih mengidentifikasikan
diri mereka sebagai WNI namun tetap menekankan pada orientasi nilai identitas
etnik Tionghoa peranakan secara terbatas. Terdapat hanya dua orang Informan
yakni, bapak Karel Singli (Lee Khoet Chong) dan bapak Christopher Wijaya (Oei
I Ngo) yang merupakan etnik Tionghoa peranakan, dalam model ini menjelaskan
bahwa makna identitas etnik bagi bapak Karel adalah sebuah penggilan hidup dan
bapak Christopher adalah sebagai sebuah kebanggaan, hal tersebut cukup relevan
karena mereka berdua merupakan etnik Tionghoa peranakan dan dilingkungan
masyarakat tempat tinggalnya cukup mendukung kondisinya. Disamping itu,
profesi mereka sebagai pedagang merepresentasikan ciri khas etnik Tionghoa
sebagai etnik yang pandai berdagang. Begitu pula dalam menempatkan diri,
mereka lebih mensejajarkan diri sama dengan etnik Tionghoa maupun etnik
Dawan lainnya. Mereka sendiri menggunakan dua identitas sekaligus, yakni
identitas Tionghoa dan Nasional. Namun secara tersirat lebih berorientasi sebagai
seorang Tionghoa peranakan.
Dalam hal identitas nasional, orisinalitas nama marga keluarga mereka
disamarkan dengan nama yang berbau Indonesia, tetapi tetap merepresentasikan
marga Tionghoa mereka, meskipun didalam pergaulan lingkungan etnik Tionghoa
298
dan etnik Dawan, mereka lebih dikenal dengan nama identitas Tionghoa.
Sedangkan identitas nasional yang dimiliki mereka, hanya dipergunakan sekedar
formalitas. Namun dalam dominasi etnik dalam diri mereka, mereka bedua lebih
merasakan sebagai seorang Tionghoa campuran, karena pembauran dilingkungan
masyarakat di Niki-Niki sudah menyatu satu sama lain, bisa hidup berdampingan,
sehingga bagi mereka perlu membaurkan diri. Artinya mereka menganggap
dirinya sebagai bagian dari WNI meskipun mereka sendiri tidak memungkiri etnik
Tionghoa peranakan atau keturunan Tionghoa totok (murni). Dalam interaksi
sehari-hari dengan etnik Tionghoa, mereka lebih sering menggunakan bahasa
melayu Kupang, sedangkan bahasa Mandarin bagi bapak Karel tidak dikuasai,
bagi bapak Christopher, bahasa Mandarin hanya dikuasai secara pasif. Sedangkan
dalam interaksi dengan etnik Dawan, mereka lebih sering menggunakan bahasa
melayu Kupang dan bahasa Dawan kecuali bapak Christopher.
Dalam hal warisan nilai budaya Tionghoa, bapak Karel cukup paham dan
tetap melestarikan budaya-budaya Tionghoa termasuk tradisi agama Konghu Chu
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun bersifat sangat terbatas
karena bertentangan dengan ajaran gereja Kristen yang menjadi keyakinannya,
sedangkan bagi bapak Christopher, hal tersebut sudah tidak dilakukan. Bagi bapak
Karel, masih menggunakan seperti feng shui, kalender cina dan perayaan imlek.
Sedangkan budaya sopan santun, dan lain sebagainya tetap dijalankan. Berkaitan
dengan budaya etnik Dawan, mereka berdua cukup paham dan menggunakan
beberapa teknik strategi pendekatan terhadap etnik Dawan, seperti teknik strategi
pendekatan seperti penyuguhan sirih pinang “oko mama”, dan lain sebagainya.
299
2.8.3. Model Etnik Tionghoa Sin Usif.
Pada model etnik Tionghoa Sin Usif ini lebih mengidentifikasikan diri
mereka sebagai WNI, karena merupakan keturunan perkawinan campuran dan
bagian dari keluarga bangsawan etnik Dawan. Namun tetap memberi toleransi
pada orientasi nilai identitas etnik Tionghoa campuran. Terdapat hanya dua orang
Informan yakni, bapak Paulus Mana Nitbani (Ang Pai Fan) dan ibu Endang EYP
Litelnoni-Nitbani (Ang Tek Sang), yang merupakan kakak-beradik dari etnik
Tionghoa campuran. Dalam model ini menjalaskan bahwa makna identitas etnik
bagi bapak Paulus Nitbani memaknai identitas etniknya sebagai sebuah tanggung
jawab dan pengharapan dan bagi ibu Endang Litelnoni adalah sebagai sebuah
kebanggaan.
Hal tersebut cukup logis karena mereka berdua merupakan etnik Tionghoa
campuran dan keturunan bangsawan, dan dilingkungan masyarakat tempat
tinggalnya cukup mendukung posisi mereka sebagai bangsawan. Sebagai
contohnya, ibu Endang dipanggil denagn nama Bisofa atau putri raja. Disamping
itu, profesi bapak Paulus sebagai seorang moelang dan ahli natoni
merepresentasikan ciri khas etnik Dawan. Begitu pula dalam menempatkan diri,
mereka lebih mensejajarkan diri sama dengan etnik Tionghoa, sedangkan dalam
lingkungan etnik Dawan, mereka dominan menempatkan diri sebagai seorang
bangsawan. Mereka sendiri menggunakan dua identitas sekaligus, yakni identitas
Tionghoa dan Dawan. Namun secara tersirat lebih berorientasi sebagai seorang
Tionghoa campuran.
300
Dalam hal identitas nasional, orisinalitas nama marga keluarga mereka
diganti dengan menggunakan marga bangsawan dari pihak ibunya, meskipun
didalam pergaulan lingkungan etnik Tionghoa dan etnik Dawan tertentu, mereka
lebih dikenal dengan nama identitas Tionghoa. Sedangkan identitas nasional yang
dimiliki mereka, hanya dipergunakan sekedar formalitas. Namun dalam dominasi
etnik dalam diri mereka, mereka bedua lebih merasakan sebagai seorang Tionghoa
campuran, karena mereka sendiri memiliki dua identitas yakni Tionghoa
campuran dan bangsawan etnik Dawan, sehingga bagi mereka merupakan dua
keuntungan dalam pembauran diri.
Artinya mereka menganggap dirinya sebagai bagian dari WNI meskipun
mereka sendiri tidak memungkiri etnik Tionghoa campuran. Dalam interaksi
sehari-hari dengan etnik Tionghoa, mereka lebih sering menggunakan bahasa
melayu Kupang, sedangkan bahasa Mandarin bagi ibu Endang tidak dikuasai,
tetapi bagi bapak Paulus Nitbani, bahasa Mandarin dikuasai secara aktif dan pasif.
Sedangkan dalam interaksi dengan etnik Dawan, mereka lebih sering
menggunakan bahasa melayu Kupang dan bahasa Dawan.
Dalam hal warisan nilai budaya Tionghoa, baik bapak Paulus Nitbani dan
ibu Endang Litelnoni cukup paham dan tetap melestarikan budaya-budaya
Tionghoa termasuk tradisi agama Konghu Chu, diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari, meskipun bersifat sangat terbatas karena bertentangan dengan ajaran
gereja Kristen yang menjadi keyakinan mereka. Bagi bapak Paulus Nitbani, masih
menggunakan tata cara seperti feng shui, kalender cina dan perayaan imlek.
Sedangkan budaya sopan santun, masakan Tionghoa dan lain sebagainya tetap
301
diterapkan dalam keluarga mereka. Berkaitan dengan budaya etnik Dawan,
mereka berdua cukup paham dan menggunakan beberapa teknik strategi
pendekatan terhadap etnik Dawan, seperti teknik strategi pendekatan seperti
penyuguhan sirih pinang “oko mama”, dan lain sebagainya.
2.8.4. Model Etnik Tionghoa Atoin A’Lekot.
Pada model etnik Tionghoa Atoin A’Lekot ini lebih mengidentifikasikan
diri mereka dengan perpaduan antara identitas agama dan etnik Tionghoa, namun
mereka tetap konsisten sebagai WNI. Terdapat hanya dua orang Informan yakni,
bapak Leonard Hun Banamtuan (Ang Xie Ling) dan bapak Syarifudin Un (Wun
Jung Pit) yang merupakan keturunan etnik Tionghoa campuran dan etnik Dawan.
Dalam model ini menjelaskan bahwa, makna identitas etnik bagi bapak Leonard
Hun dan Syarifudin Un adalah sebuah kebanggaan, hal tersebut cukup relevan
karena mereka berdua merupakan etnik Tionghoa campuran dan dilingkungan
masyarakat mereka cukup dikenal, misalnya bapak Leonard dikenal sebagai salah
satu pemuka agama (Pendeta) agama Kristen Pantekosta keturunan Tionghoa.
Sedangkan bapak Syarifudin Un dikenal sebagai seorang Tionghoa
muslim, dimana beliau berada dilingkungan masyarakat yang mayoritas nasrani,
namun beliau merasa nyaman karena lingkungan yang sangat toleran terhadap
agamanya. Begitu pula dalam menempatkan diri, mereka lebih mensejajarkan diri
sesuai dengan profesi dan identitas agama maupun etnik mereka ditengah-tengah
masyarakat etnik Tionghoa maupun Dawan. Mereka sendiri menggunakan dua
302
identitas sekaligus, yakni identitas Tionghoa dan Dawan. Namun secara tersirat
lebih berorientasi sebagai seorang Tionghoa campuran.
Dalam hal identitas nasional, orisinalitas nama marga keluarga mereka
diganti dengan menggunakan kombinasi marga bangsawan dari pihak ibunya, dan
marga Tionghoa dari ayah mereka, meskipun didalam pergaulan lingkungan etnik
Tionghoa dan etnik Dawan tertentu, mereka lebih dikenal dengan nama identitas
Tionghoa. Sedangkan identitas nasional yang dimiliki mereka, hanya
dipergunakan sekedar pada kondisi tertentu. Namun dalam dominasi etnik dalam
diri mereka, bapak Syarifudin lebih merasakan sebagai seorang Tionghoa muslim,
ketimbang seorang Tionghoa campuran. Sedangkan bapak Leonard lebih
merasakan sebagai seorang keturunan etnik Dawan. Artinya beliau menganggap
dirinya sebagai bagian dari WNI meskipun ia sendiri tidak memungkiri darah
etnik Tionghoa campuran. Dalam interaksi sehari-hari dengan etnik Tionghoa,
mereka berdua lebih sering menggunakan bahasa melayu Kupang, sedangkan
bahasa Mandarin tidak dikuasai. Sedangkan dalam interaksi dengan etnik Dawan,
mereka lebih sering menggunakan bahasa melayu Kupang dan bahasa Dawan.
Dalam hal warisan nilai budaya Tionghoa keduanya cukup berbeda jauh,
bapak Syarifudin Un cukup paham dan tetap melestarikan budaya-budaya
Tionghoa termasuk tradisi agama Konghu Chu, meskipun ia sebagai seorang
muslim. Hal ini dilakukannya hanya sebatas untuk melestarikandan diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari, meskipun bersifat sangat terbatas. Sedangkan bagi
bapak Leonard Hun hal tersebut bertentangan dengan ajaran gereja Kristen yang
menjadi keyakinan mereka, apalagi ia sendiri merupakan seorang Pendeta,
303
sehingga harus memberi teladan yang baik. Bagi bapak Syarifudin Un, masih
menggunakan tata cara seperti feng shui, kalender cina, perayaan imlek.
Sedangkan budaya sopan santun, masakan Tionghoa dan lain sebagainya tetap
diterapkan dalam keluarganya. Berkaitan dengan budaya etnik Dawan, mereka
berdua cukup paham dan menggunakan beberapa teknik strategi pendekatan
terhadap etnik Dawan, seperti teknik strategi pendekatan seperti penyuguhan sirih
pinang “oko mama”, dan lain sebagainya.
2.8.5. Model Etnik Tionghoa Atoin Meto
Pada model etnik Tionghoa Nasionalis ini lebih mengidentifikasikan diri
mereka sebagai perpaduan identitas etnik dan profesi yakni seorang Timor (etnik
Dawan) dan birokrat, karena merupakan keturunan perkawinan campuran dan
bagian dari keluarga etnik Dawan. Namun mereka tetap memberi toleransi pada
orientasi nilai identitas etnik Tionghoa campuran. Terdapat hanya dua orang
Informan yakni, bapak John E.E.Litelnoni (Lee Hok Chow) dan bapak Herman
Litelnoni (Lee Hok Kie), yang memiliki hubungan keluarga dari etnik Tionghoa
campuran dan Dawan.
Dalam model ini menjalaskan bahwa makna identitas etnik bagi bapak
Paulus Herman memaknai identitas etniknya sebagai sebuah kebanggaan.
Sedangkan bagi bapak John E.E.Litelnoni tidak sama sekali memaknai akan
identitas etniknya, hal tersebut cukup wajar mengingat beliau lebih menonjol
sebagai seorang Timor (etnik Dawan), sedangkan bagi bapak Herman, makna
kebanggaan karena sebagai seorang keturunan Tionghoa bisa berkerja sebagai
304
pegawai negeri (birokrat), karena pada umumnya etnik Tionghoa berprofesi
sebagai pedagang.
Dalam hal identitas nasional, orisinalitas nama marga keluarga mereka
diganti dengan menggunakan kombinasi marga dari pihak ibunya, dan marga
Tionghoa dari ayah mereka, meskipun didalam pergaulan lingkungan etnik
Tionghoa dan etnik Dawan tertentu, mereka lebih dikenal dengan nama identitas
Tionghoa. Sedangkan identitas nasional yang dimiliki mereka, hanya
dipergunakan sekedar dilingkungan kerja. Namun dalam dominasi etnik dalam
diri mereka, bapak Herman Litelnoni lebih merasakan sebagai seorang Tionghoa
campuran, ketimbang seorang etnik Timor. Sedangkan disisi lain bapak John
Litelnoni lebih merasakan sebagai seorang keturunan etnik Dawan. Artinya beliau
menganggap dirinya sebagai bagian dari WNI meskipun ia sendiri tidak
memungkiri darah etnik Tionghoa campuran. Dalam interaksi sehari-hari dengan
etnik Tionghoa, mereka berdua lebih sering menggunakan bahasa melayu
Kupang, sedangkan bahasa Mandarin tidak dikuasai. Sedangkan dalam interaksi
dengan etnik Dawan, mereka lebih sering menggunakan bahasa melayu Kupang
dan bahasa Dawan.
Dalam hal warisan nilai budaya Tionghoa keduanya tidak berbeda jauh,
bapak John Litelnoni cukup paham namun secara terbatas melestarikan budaya-
budaya Tionghoa, seperti budaya tata kram, dan profesi lainnya sebagai seorang
moelang (protokoler perkawinan etnik Tionghoa). Sedangkan bagi bapak Herman
Litelnoni, sudah tidak pernah mengikuti tradisi budaya Tionghoa, karena hal
tersebut bertentangan dengan ajaran gereja Kristen yang menjadi keyakinan
305
mereka. Berkaitan dengan budaya etnik Dawan, mereka berdua cukup paham dan
menggunakan beberapa teknik strategi pendekatan terhadap etnik Dawan, seperti
teknik strategi pendekatan seperti penyuguhan sirih pinang “oko mama”, dan lain
sebagainya.
Model
Identitas
Makna
Identitas
Memposisikan
Diri
Marga Dominasi
Etnik Tionghoa
Kase
-Kebanggaan
-Hal Yang Biasa
Tionghoa
Campuran
Orisinil (Marga
Tionghoa)
Tionghoa
Peranakan
Tionghoa
Moe Na
Mese
-Kebanggaan
-Panggilan
Hidup
Tionghoa
Campuran
Disamarkan dengan
marga Nasional
dengan citarasa
Tionghoa.
Tionghoa
Peranakan
Tionghoa
Sin Usif
-Tanggung
Jawab
-Pengharapan
-Kebanggaan
Bangsawan Menggunakan marga
lokal.
Tionghoa
campuran.
Tionghoa
Atoin
A’Lekot
-Kebanggaan Pemuka Agama,
Tionghoa Muslim
Kombinasi marga
lokal dan samaran
marga citarasa
Tionghoa.
Tionghoa
campuran.
Tionghoa
Atoin Meto
-Kebanggaan.
-Hal Yang Biasa
Birokrat Kombinasi marga
lokal dan marga
Tionghoa.
Tionghoa
campuran,
etnik Timor
(Dawan).
Tabel. 37. Tipifikasi Identitas Etnik Tionghoa
top related