bab i pendahuluan -...
Post on 10-Apr-2018
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perseroan Terbatas atau yang biasa disebut PT, di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Dimana dalam Pasal 1 Ayat (1) UUPT dijelaskan bahwa PT
adalah badan hukum (recht persoon) dimana memiliki hak, kewajiban, dan
harta kekayaan para pendiri atau pemegang sahamnya. Sebagai suatu
artificial person, perseroan tidak mungkin memiliki kehendak sehingga
juga tidak dapat melakukan tindakannya sendiri.1 Agar dapat melakukan
kegiatannya, maka diperlukan alat perlengkapan yang disebut organ
perseroan yang terdiri dari tiga macam yaitu Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris.2 Dari ketiga organ tersebut dapat
dilihat salah satu organ penting dalam PT adalah Direksi karena
merupakan organ PT yang memiliki tugas mewakili perseroan baik di
dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran
dasar3, serta bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan tujuan perseroan (Pasal 1 Ayat ( 5) dan Pasal 92 Ayat (1)
UUPT).
1 Gunawan Widjaja, Tanggung jawab direksi atas kepailitan perseroan, Ed. 1. Cet. 2, PT Raja
Grafindo persada, Jakarta, 2004, h. 2. 2 Gatot Supramono, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Cetakan Kelima, PT Penerbit Djambatan,
Jakarta, Hal. 9. 3 M.Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, edisi
pertama, cet.ke- 1, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, h.225.
2
Agar dapat melakukan secara legal mandate pengelolaan perseroan
“harus dikelola oleh direksi.” Kewajiban tersebut dibebankan oleh UUPT
kepada direksi sebagai suatu organ sehingga setiap anggota direksi wajib
dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk
kepentingan perseroan.4 Hal ini karena direksi mempunyai kewenangan
yang diberi oleh undang-undang dalam menjalankan fungsi pengurusan
dan perwakilan perseroan terbatas sehingga tidak memerlukan kuasa dari
Perseroan.5 Apabila direksi dalam melakukan tindakan pengambilan
keputusan menyebabkan kerugian pada PT, direksi tidak
bertanggungjawab terhadap kerugian PT, berdasarkan business judgement
rule.
Doktrin Putusan Bisnis (Business Judgment Rule) berasal dari sistem
common law yang merupakan turunan dari Hukum Korporasi di Amerika
Serikat. Dalam hukum korporasi terdapat doktrin business judgment rule,
disamping prinsip duty of skills and care, yang harus dijalankan dalam
rangka memenuhi fiduciary duty oleh Direksi Perseroan Terbatas. Sejalan
dengan diundangkannya UUPT yang diperbaharui dari UUPT nomor 1
tahun 1995 menjadi UUPT nomor 40 tahun 2007, yang merupakan
transplantasi hukum Anglo Saxon ke dalam hukum Indonesia, doktrin-
4 Tanggung jawab kolegial masing-masing anggota direksi dalam organ direksi dijelaskan dalam
penjelasan Pasal 83 Ayat (1) UUPT dan diperjelas kembali dalam ketentuan Pasal 85 Ayat (1) jo.
Pasal 57 Ayat (1) UUPT dalam suatu RUPS Tahunan. 5 M.Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Edisi 1, Cetakan kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2009, h. 349.
3
doktrin modern tersebut dalam corporate law juga seharusnya dikandung
dalam Pasal 85 UUPT.6
Dalam penerapannya doktrin ini mencegah pengadilan-pengadilan di
Amerika untuk mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh
Direksi yang diambil dengan itikad baik, dalam arti direksi suatu
perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu
tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan direksi tersebut didasari
itikad baik dan sifat hati-hati. Doktrin business judgment rule, di negara
asalnya Amerika Serikat yang menggunakan sistem common law, dapat
melindungi direksi dari tuntutan hukum, jika ternyata keputusan bisnis
yang diambilnya membawa konsekuensi kerugian bagi korporasinya.
Perlindungan ini dapat diberikan, jika dalam mengambil keputusan
tersebut, direksi memenuhi sejumlah persyaratan. Persyaratan ini, antara
lain, adalah tidak adanya benturan kepentingan atau conflict of interest,
dan keputusan itu dibuat demi kepentingan korporasi semata atau „to the
best interest of the corporation‟. Namun, hal yang perlu dipastikan disini
adalah bahwa UUPT yang saat ini berlaku telah mengandung secara penuh
dan pasti doktrin business judgement rule ini.
Doktrin ini yang telah lama diterapkan untuk melindungi Direksi
dalam pertanggungjawaban hukum yang diambil dari keputusan-keputusan
bisnis mereka dan mengajarkan bahwa suatu putusan direksi mengenai
aktivitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun
6 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum
Indonesia, Cetakan ke II, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, h. 205.
4
putusan tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan perseroan,
sepanjang putusan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Putusan sesuai hukum yang berlaku;
2. Dilakukan dengan itikad baik;
3. Dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose);
4. Putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional (rational
basis);
5. Dilakukan dengan kehati-hatian (due care) seperti dilakukan oleh
orang yang cukup hati-hati pada posisi yang serupa;
6. Dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayainya (reason
able belief) sebagai yang terbaik (best interest) bagi perseroan.7
Jika prinsip tanggungjawab direksi tersebut dikaitkan dengan business
judgement rule maka seorang direksi suatu perusahaan tidak
bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan
pengambilan keputusan, apabila tindakan direksi sesuai dengan apa yang
telah dicantumkan pada Pasal 97 ayat (5) UUPT yang mengatur mengenai
syarat seorang direksi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas suatu
kerugian PT. Berbeda dengan doktrin lainnya, yaitu fiduciary duty, ultra
vires, corporate oportunity dan self dealing dan business judgement rule
dirumuskan secara samar-samar dalam UUPT.8
Dengan demikian, walaupun berbeda (tetap tidak bertentangaan)
dengan doktrin-doktrin lain yang lebih memberatkan direksi. Oleh karena
itu, doktrin putusan bisnis ini lebih memihak kepada direksi, tetapi masih
7 Ibid., h, 186.
8 Tri Budiyono, Desember 2009, Transplantasi Hukum, Harmonisasi dan Potensi benturan,
Cetakan pertama, Griya Media, Salatiga, Hal. 258.
5
dalam koridor hukum perseroan yang umum bahwa pengadilan dapat
melakukan scrunty (penilaian) terhadap setiap putusan dari direksi,
termasuk putusan bisnis yang sudah di setujui oleh RUPS, sepanjang
untuk memutuskan apakah putusan tersebut sesuai dengan hukum yang
berlaku atau tidak. Akan tetapi, doktrin putusan bisnis ini tidak untuk
menilai sesuai atau tidaknya dengan kebijaksanaan bisnis.9
Di Indonesia, meskipun undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai
landasan hukum untuk membebankan criminal liability terhadap
korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan tidak mau
untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di
pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan
pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi.10
Berikut adalah salah
satu kasus hukum korporasi yang penulis angkat sebagai studi kasus dalam
penulisan skripsi ini yang membelit direksi di perseroan di tanah air.
Kronologi singkat kasus PT. Merpati Nusantara Airlines dengan
Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG), yang melibatkan direksi.
Direktur Utama bersama dengan para Direksi lainnya PT MNA melakukan
penambahan dua unit pesawat. perjanjian sewa pesawat antara MNA dan
TALG. Keduanya sepakat atas Lease of Aircraft Summary of Term
(LASOT). Untuk pengadaan dua pesawat tersebut, LASOT mewajibkan
Merpati menempatkan security deposit. Ternyata kedua pesawat Boeing
9 Munir Fuady I , Op.Cit. Hal. 206.
10 L.C Soesanto, Universitas Diponegoro, The Spectrum of Corporate Crime in Indonesia,
http://www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/soesanto.pdf
6
yang dijanjikan tidak datang.11
MNA pun mengadukan LASOT ke
pengadilan Amerika Serikat. Akhirnya, pengadilan AS memutuskan
TALG bersalah dan harus mengembalikan uang yang diambil dari MNA.
Pada pengadilan Indonesia direktur PT MNA dianggap sebagai tersangka
dalam perkara korupsi. Pada awal 2013 Direktur dan General Manager
Merpati di vonis bebas oleh pengadilan TIPIKOR karena mereka tidak
terbukti melakukan tindak pidana korupsi.12
Sepintas tampaknya doktrin business judgment rule menyisihkan
kekuatan berlakunya doktrin-doktrin duty of care. Praktis semua
pengadilan di Amerika Serikat sepakat bahwa anggota direksi tidak harus
bertanggungjawab atas terjadinya kerugian perseroan apabila anggota
direksi dalam mengambil suatu pertimbangan (judgment) dilakukan
dengan itikad baik. Namun kebanyakan dari pengadilan juga berpendapat
bahwa tidak seharusnya para anggota direksi itu bertindak sembrono atau
melakukan kelalaian yang berat. Bila demikian halnya, maka anggota
direksi yang bersangkutan harus bertanggungjawab atas kerugian
perseroan yang telah ditimbulkannya.13
Mengenai perbuatan-perbuatan dan pertimbangan bisnis apa saja yang
tidak dilindungi oleh business judgment rule, sangat penting untuk
diketahui oleh masyarakat dan hakim. Apabila kita mempelajari putusan-
putusan pengadilan Amerika Serikat, dapat diketahui bahwa ternyata
11
Hotasi Nababan, Jangan Pidanakan Perdata, Menggugat Perkara Sewa Pesawat Merpati,
Cetakan Pertama, Q Communication, Pejompongan, Jakarta, 2012, h. 9. 12
http://news.detik.com/read/2013/03/07/031656/2188024/10/kejaksaaan-ajukan-kasasi-atas-
vonis-bebas-hotasi-nababan, dikunjungi pada tanggal 12 November 2013 pukul 19.59. 13
Robert Charles Clark dalam Sutan Remy Syahdeni, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti,
Jakarta, 2002, h. 430.
7
Pengadilan-pengadilan tidak seragam dalam merumuskan pengecualian-
pengecualian rule tersebut. Beberapa pengadilan berpendapat bahwa
pertimbangan (judgment) seorang anggota direksi tidak dapat diganggu
gugat kecuali apabila pertimbangan (judgment) tersebut didasarkan suatu
kecurangan (fraud), atau menimbulkan benturan kepentingan (conflict of
interest), atau merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality).
Sedangkan beberapa pengadilan yang lain berpendapat bahwa seorang
direktur, yang dalam mengambil pertimbangan yang telah menimbulkan
kerugian bagi perseroan, tidak dilindungi oleh business judgment rule
apabila kerugian tersebut adalah sebagai akibat kelalaian berat (gross
negligence) dari anggota direksi yang bersangkutan.14
Ide dasar dari tidak berlakunya perlindungan business judgment rule
bagi anggota direksi perseroan dalam hal terdapat kecurangan (fraud) dan
terdapat benturan kepentingan (conflict of interest) sedangkan para
anggota direksi itu ternyata telah berupaya untuk mengedepankan
kepentingan pribadinya atau telah terdorong untuk membuat syarat-syarat
transaksi yang dilakukannya demi kepentingan pribadinya adalah karena
judgment yang telah diambilnya itu tidak dapat dikatakan sebagai
”discretionary exercises of power on behalf of the corporation” yang ingin
dilindungi dengan rule tersebut. Sedangkan ide yang berada dibelakang
pengecualian terhadap berlakunya business judgment rule apabila terdapat
perbuatan yang melanggar hukum (illegality exception) adalah karena
14
Robert Charles Clark dalam Sutan Remy Syahdeni, Op. Cit, h. 429.
8
”shareholders derivative suits can be a useful supplement to the
enforcement activities of public prosecutors and regulatory agencies”.15
Uraian kasus MNA tersebut di atas menunjukkan dengan jelas adanya
masalah dari segi hukum. Masalah hukum yang dimaksud adalah bahwa
tindakan pengambilan keputusan direksi yang merupakan tugas direksi
sehari-hari sebagai pelaksana dari perseroan yang merupakan wewenang
dan tanggung jawab Direksi yang juga diatur dalam UUPT jelas
menunjukkan adanya kesenjangan dari segi hukum. Sepintas tampaknya
doktrin business judgment rule menyisihkan kekuatan berlakunya doktrin-
doktrin duty of care. Praktis semua pengadilan di Amerika Serikat sepakat
bahwa anggota direksi tidak harus bertanggungjawab atas terjadinya
kerugian perseroan apabila anggota direksi dalam mengambil suatu
pertimbangan (judgment) dilakukan dengan itikad baik. Namun
kebanyakan dari pengadilan juga berpendapat bahwa tidak seharusnya
para anggota direksi itu bertindak sembrono (act negligently) atau
melakukan kelalaian yang berat (act in a grossly negligently way). Bila
demikian halnya, maka anggota direksi yang bersangkutan harus
bertanggungjawab atas kerugian perseroan yang telah ditimbulkannya.16
Berkaitan dengan tindakan anggota direksi atau pejabat korporasi
yang mengambil tindakan untuk kepentingan dan keuntungan bagi
korporasi, doktrin dalam hukum korporasi yang melindungi para direktur
yang beritikad baik tersebut sebagaimana terdapat dalam teori Business
15
Loc. Cit., 16
Ibid.,
9
Judgment Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat popular untuk
menjamin keadilan, bagi para direktur yang mempunyai itikad baik.
Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai
keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam
melakukan suatu keputusan bisnis.
Salah satu tolak ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian tidak
disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgment) yang tidak tepat
sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah:
1. Memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan
percaya bahwa informasi tersebut benar,
2. Tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan
memutuskan dengan itikad baik,
3. Memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan
yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.
Sehingga, apabila terbukti bahwa tindakan atau keputusan yang
diambil oleh direktur untuk memberlakukan suatu kebijakan korporasi
yang didasarkan atas business judgment yang tepat dalam rangka meraih
keuntungan sebanyak-banyaknya bagi korporasi, maka apabila ternyata
tindakan yang diambil tersebut menimbulkan kerugian yang melahirkan
pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dibebankan pada pribadi
pengurus (direksi atau pejabat korporasi lainnya), tetapi dibebankan pada
korporasi. Pertanggungjawaban oleh pengurus hanya dimungkinkan
apabila terbukti terjadi pelanggaran duty of care dan duty of loyalty.
10
Lagi pula, hal ini adalah keputusan dari direksi perusahaan bahwa
pencarian penyebab dari tindakan berdasarkan dari peraturan yang sudah
sempurna adalah bukan hal yang terbaik bagi perusahaan. Pendapat ini,
seperti putusan bisnis yang lainnya, harus dibuat oleh direktur perusahaan
sebagai pelaksanaan business judgment nya. Efek dari konklusi bisnis ini,
tidak dapat dipengaruhi oleh pernyataan yang ilegal dari tindakan awal
yang timbul pada penyebab tindakan tersebut.17
Keputusan Direksi yang menimbulkan kerugian perseroan atas
kesalahan atau kelalaiannya, dalam kenyataannya penuntutan, kasus PT.
Merpati Nusantara Airlines yang sudah saya uraikan diatas tersebut
dilakukan dengan menggunakan UU Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TIPIKOR). Law in book berbeda dengan law in action,
karena penerapan hukum yang tidak tepat pada suatu perkara, yaitu antara
hukum perdata dengan hukum pidana, atau secara khusus antara UUPT
dalam ranah hukum bisnis dengan UU Pemberantasan TIPIKOR dalam
hukum publik. Kesenjangan dalam bentuk lain adalah antara das sein
dengan das sollen, atau ketentuan mengenai Business Judgement Rule
dalam hukum korporasi.
Hal ini yang perlu dipastikan, karena unsur kerugian negara itu
merupakan titik tolak kasus MNA di atas yang dituntut melalui UU
Pemberantasan TIPIKOR. Titik persoalan untuk memperjelas garis batas
antara kerugian akibat tindakan kepengurusan sehubungan dengan resiko
bisnis yang wajar yang dikandung dalam tindakan kepengurusan itu
17
Cf. Miller v. American Telephone &Telegraph Co. 507, F.2d 759 (3d Cir.1974)
11
dengan kerugian untuk memperkaya diri atau orang lain perlu
diketemukan. Dalam kasus PT MNA, UUPT belum dapat menentukan
“standar direksi” seperti di negara lain yang menetapkan standar duty of
care dan duty of loyality dalam penetuan pengelolaan perseroan yang
salah, apabila direksi di dalam mejalankan kewenangannya harusnya tidak
melanggar prinsip fiduciary duty sesuai standar pelanggaran duty of care
dan duty of loyality, maka direksi dapat memanfaatkan business judgement
rule untuk pembelaan dirinya bila ia dipertanggungjawabkan dalam
pengelolaan perseroan. Pada kasus kedua ini hanya merupakan resiko
bisnis dan bukan tindak pidana umum yang diatur oleh KUH Pidana atau
UU Pemberantasan TIPIKOR.
Dengan demikian adanya kesalahan dan kelalaian dari Direksi dapat
dipertanggungjawabkan secara pribadi harus memenuhi syarat adanya
kerugian yang timbul dari kesalahan atau kelalaiannya. Adanya kesalahan
dan kelalaian dari Direksi dilihat dari tindakannya yang tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar
perseroan. Dilihat dari substansinya tindakan tersebut tidak didasarkan
atas itikad baik dan prinsip kehati-hatian (duty to act in good faith, duty of
care, duty of loyalty) sehingga merugikan perseroan.
Dilihat dari tindakannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan anggaran dasar perseroan sehingga dapat
merugikan perseroan. Yang mana menurut Pasal 97 UUPT tersebut, syarat
Direksi dapat dimintakan tanggung jawab penuh secara pribadi apabila
direksi melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugasnya,
12
yaitu tanpa itikad baik dan tidak bertanggungjawab serta tidak untuk
kepentingan dan usaha perseroan.18
Setelah melihat latar belakang masalah tersebut diatas maka penulis
tertarik untuk menulis “PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI
BERKAITAN DENGAN BUSINESS JUDGEMENT RULE
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007
TENTANG PERSEROAN TERBATAS”
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang diatas maka penulis merumuskan
permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tanggungjawab direksi berkaitan dengan Business
Judgement Rule berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas?
2. Bagaimanakah penerapan Doktrin Business Judgement Rule dalam
kasus PT. Merpati Nusantara Airlines?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan uraian diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan data dan informasi atau keterangan guna:
18
Orinton Purba , Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris, dan Direksi Perseroan Terbatas agar
terhindar dari Jerat Hukum, Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup), Cimanggis, Depok, 2011,
h. 69.
13
1. Mengetahui pengaturan atas pertangungjawaban Direksi berkaitan
dengan Business Judgement Rule berdasarkan Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
2. Mengetahui penerapan dari doktrin Business Judgement Rule
tersebut dalam kasus PT. Merpati Nusantara Airlines.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat terhadap hukum
korporasi di Indonesia dan pembelajaran, di antaranya :
1. Manfaat Teoritik
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi awal
guna mengetahui lebih lanjut tentang pertanggungjawaban Direksi
pada Perseroan Terbatas dikaitkan dengan Business Judgement,
yang selama ini masih salah kaprah dalam perlindungan direksi
dikaitkan dengan kerugian negara.
2. Manfaat Praktis
Dengan penelitian ini penulis dapat menambah wawasan ilmu
yang baru untuk memahami atau mengetahui pelaksanaan doktrin
Business Judgement Rule dalam pertanggungjawaban Direksi pada
Perseroan Terbatas yang disusun dalam bentuk skripsi sebagai
syarat untuk memperoleh gelar sarjana.
14
E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan salah satu cara yang tepat untuk
memecahkan masalah. Selain itu penelitian ini juga dapat digunakan
untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran. Apabila
di dalam penelitian tersebut menggunakan peraturan perundang-
undangan, yang harus dilakukan oleh peneliti adalah mencari peraturan
perunfang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu
tersebut.19
Penelitian yang dilakukan peneliti merupakan penelitian yuridis
normatif yang mengedepankan data sekunder untuk menjelaskan
masalah hukum yang diangkat.
1. Metode Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan dua
pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan
konsep.
a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) adalah
pendekatan yang dilakukan dengan menelaah Undang-Undang
dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
ditangani. Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji secara
mendalam tentang Analisis Yuridis Normatif terhadap
Pertanggungjawaban Direksi berkaitan dengan Business
19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Surabaya, 2010, h. 194.
15
judgement Rule berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas.20
b. Pendekatan Konsep adalah pendekatan yang beranjak dari
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam
ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan
menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian
hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang
relevan dengan isu yang dihadapi. Dalam penelitian ini
pertanggungjawaban direksi berkaitan dengan business
judgement rule berdasarkan undang-undang nomor 40 tahun
2007 tentang perseroan terbatas.
2. Teknik Pengumpulan Data
Suatu penelitian membutuhkan data yang lengkap, dalam hal ini
dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai
validitas dan reabilitas yang cukup tinggi. Pengumpulan data
mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena dengan
pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk
selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan
dengan hal tersebut, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode
kepustakaan dalam melakukan pengumpulan data yaitu dalam
menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi bahan
hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan dan
20
Ibid, h. 93.
16
bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka
yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer, sebagai
contoh buku-buku, jurnal, majalah, buletin dan internet.
3. Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer yaitu Peraturan Perundang-undangan
antara lain:
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas dimana merumuskan pasal 1 ayat (1), pasal 1 ayat (5),
pasal 92 ayat (1), pasal, 92 ayat (5) pasal 85, pasal 103, dan
pasal 97.
b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku teks yang
ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh pada jurnal-
jurnal hukum, pendapat para sarjana, yurisprudensi dan hasil-
hasil simposium mutakhir atau majalah hukum yang berkaitan
dengan permasalahan dalam penelitian ini. Bahan hukum
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terkait dengan
permasalahan yang dikaji yaitu berasal dari penjelasan
Undang-undang, buku-buku liberatur, artikel, internet dan
pendapat para ahli.21
c. Bahan Hukum Tersier, yang merupakan bahan-bahan hukum
yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
21
Ibid, h. 296.
17
hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Kamus Hukum dan Oxford Law Dictionary, dan
Black’s Law Dictionary.
4. Unit Analisis dan Unit Amatan
a. Unit Amatan
Unit amatan di dalam penelitian ini adalah bagaimana upaya
yang ditempuh dalam penyelamatan kredit bermasalah
berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas .
b. Unit Analisis
Dalam Anailis ini untuk pengumpulan bahan hukum
dilakukan melalui Studi Kepustakaan (Library Research),
berupa dokumen-dokumen maupun Peraturan Perundang-
undangan yang berkaitan dengan Tanggung jawab direksi
berkaitan dengan business judgement.
top related