bab i pendahuluan a. latar belakang€¦ · di provinsi papua untuk sebesar-besarnya bagi...
Post on 16-May-2021
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Negara Republik
Indonesia menetapkan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Dalam arti luas, otonomi mencakup pula tugas pembantuan
(medebewind, coadministration), sebab baik otonomi maupun tugas pembantuan
sama-sama mengandung kebebasan dan kemandirian.1 Mengacu pada perubahan
Pasal 18 UUD 1945, pemerintah memberlakukan undang-undang pemerintahan
daerah yang menegaskan pembagian wilayah Indonesia atas daerah-daerah
provinsi, kabupaten dan kota yang dapat mengatur dan mengurus sendiri
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
mengedepankan otonomi seluas-luasnya. Pemberian otonomi luas kepada daerah
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Melalui
otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan serta potensi dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
1 Agus Santoso, Menyingkap Tabir Otonomi Daerah di Indonesia, Penerbit Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2013, h. 126.
2
Menyinggung mengenai pemberian otonomi kepada daerah khususnya
pemberian otonomi khusus bagi provinsi Papua merupakan peluang untuk
menciptakan perubahan. Menurut Agus Sumule : “Ada banyak hal mendasar yang
dikandung oleh undang-undang itu yang menjanjikan perubahan apabila
digunakan secara arif untuk menjawab pergumulan rakyat Papua selama ini.
Berbagai hak rakyat Papua dimuat secara tegas – hak-hak yang di waktu lalu telah
diabaikan, atau bahkan sering dihadapi dengan kekerasan apabila
diperjuangkan.”2 Secara hukum disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU No.21/2001),
merupakan suatu peristiwa penting karena sesungguhnya isi undang-undang itu
adalah pengembalian dan pengakuan terhadap hak-hak dasar orang Papua yang
selama ini diabaikan. Hal ini menjadi penting karena secara resmi dan legal
kedudukan dan hak-hak masyarakat Papua diakui secara khusus dalam suatu
undang-undang yang mengikat semua pihak di Indonesia. Selain itu, dengan
disahkannya UU No.21/2001, juga memberi arti bahwa pemerintah pusat
memberikan kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi Papua dan rakyat Papua
untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam
di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai
bagian dari rakyat Indonesia.3 Dengan demikian, ada tekad untuk memberlakukan
[otonomi khusus di Papua] dengan berpedoman pada nilai-nilai dasar
2 Agus Sumule, Satu Setengah Tahun Otsus Papua : Refleksi dan Prospek, Penerbit Yayasan
ToPanG, Manokwari, 2003, h. 5. 3 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah : Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Cet.III,
Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, h.70.
3
kemanusiaan universal.4 Sebab secara filosofi, jiwa, semangat dan isi UU
No.21/2001 baik pada batang tubuhnya, maupun penjelasannya, memuat harapan-
harapan akan perubahan yang membawa kemaslahatan bagi semua orang Papua
sehingga wajar apabila banyak pihak berharap undang-undang ini akan membawa
perubahan kearah kesejahteraan dan kebajikan rakyat Papua, namun tentunya
perubahan tersebut tidak akan tercapai hanya dengan sekedar memiliki UU
No.21/2001.5
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(UU No.23/2014), terkait dengan otonomi dan penyelenggaraan pemerintahan
daerah, pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
lebih mengutamakan pelaksanaan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan
pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman
daerah. Agar mampu menjalankan perannya, daerah diberikan kewenangan yang
seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan
otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Prinsip otonomi seluas-luasnya yang dimaksud dalam undang-undang
tersebut adalah daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing
daerah. Sebagai realisasi atas undang-undang pemerintahan daerah, maka
4 Thesia Elias,Penegakan Peraturan Daerah No.15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan
Kebersihan Kota Jayapura, Skripsi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2015, h.2. 5 Ibid h.3.
4
pemerintah daerah meresponnya dengan cara membuat berbagai regulasi atau
peraturan untuk mendukung pelaksanaan otonomi di daerahnya. Peraturan yang
dibuat oleh pemerintah daerah merupakan salah satu wujud pelaksanaan otonomi
daerah. Tautan antara otonomi daerah dengan kewenangan pembentukan
peraturan ditingkat daerah diungkapkan oleh I Gde Pantja Astawa sebagaimana
dikutip oleh Umbu Rauta sebagai berikut:6
Keberadaan Perda tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan
otonomi daerah (local autonomi). Sebab, Perda sebagai
perangkat dan salah satu produk hukum daerah, merupakan
sesuatu yang inherent dengan sistem otonomi daerah.
Dikatakan demikian, karena esensi otonomi daerah itu sendiri
adalah kemandirian (zelfstandigheid) dan bukan sesuatu bentuk
kebebasan sebuah satuan pemerintahan yang merdeka
(onafhankelijkheid). Kemandirian itu sendiri mengandung arti
bahwa daerah berhak membuat keputusan hukum berupa
peraturan perundang-undangan yang demikian (antara lain)
diberi nama Peraturan Daerah (Perda).
Pada prakteknya tidak ada artinya suatu regulasi dibuat tanpa didukung oleh
pelaksanaan yang baik. Untuk mewujudkan pelaksanaan undang-undang dan
peraturan daerah yang telah dibuat, maka pemerintah daerah khususnya,
memerlukan suatu perangkat pelaksanaan baik berupa organisasi maupun sumber
daya manusia.
Dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah, keberadaan Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP) selalu eksis dan tidak berubah. Sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 22
6 I Gde Pantja Astawa, Prolematika hukum Otonomi Daerah di Indonesia, Penerbit PT Alumni,
Bandung, 2008, h.265, dikutip dari Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah,
Cet. Pertama, Penerbit Genta Publishing, Yogyakarta, 2016, h.3-4.
5
Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, selanjutnya diganti berturut-turut
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan yang terakhir UU
No.23/2014, selalu terdapat pasal yang mengatur keberadaan Satpol PP. Ini berarti
ketika zaman terus berubah, keberadaan Satpol PP tidak berubah, dan selalu
dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Hal tersebut sesuai dengan
peran strategisnya dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, yaitu sebagaimana
tercantum dalam Pasal 255 UU No.23/2014 yang menyatakan bahwa : Satuan
Polisi Pamong Praja dibentuk untuk menegakkan Peraturan daerah dalam hal ini
adalah penegakan Perda Kabupaten Kepulauan Yapen Nomor 4 Tahun 2016
tentang Larangan Produksi, Pengendalian dan Penjualan Minuman Beralkohol
(Perda No.4/2016).
Kabupaten Kepulauan Yapen memiliki Visi – Misi dalam membangun
kabupaten Kepulauan Yapen. Adapun Visi Kabupaten Kepulauan Yapen ialah
Kabupaten Kepulauan Yapen Unggul Dalam Bidang Pertanian, Kelautan dan
Perikanan dan Pariwisata yang berbasis Budaya Papua.7 Dalam rangka mencapai
visi tersebut, maka Misi Kabupaten Kepulauan Yapen adalah :
1. Mewujudkan Masyarakat Kabupaten Kepulauan Yapen dalam Memenuhi
Seluruh Kebutuhan Dasar Hidupnya Secara Layak;
2. Mewujudkan Tatakelola Pemerintahan Yang Baik dan Bersih, Aparatur
Pemerintahan Yang Berdisiplin Tinggi, Profesional, Bersih Dan Berwibawa
Serta Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
7 visi dan misi Kabupaten Kepulauan Yapen Tahun 2012-2016, diakses dari www.kepyapenkab.go.id, dikunjungi pada tanggal 29 Oktober 2017 pukul 23.00 wib.
6
3. Meningkatkan Daya Saing Daerah Agar Mampu Melaksanakan
Pembangunan Dalam Perekonomian Di Tingkat Lokal Papua, Tingkat
Nasional dan Global Khususnya Dalam Bidang Pertanian, Kelautan dan
Perikanan, dan Pariwisata;
4. Mewujudkan tata ruang dan infrastruktur wilayah yang handal dan
terintegrasi serta lingkungan hidup yang asri yang berorientasi pada
terwujudnya Masyarakat Kepulauan Yapen yang Sehat dan Sejahtera.
5. Mewujudkan rasa aman, sentosa, tentram dan damai melalui Penegakan
Supremasi Hukum dan Hak Azasi Manusia serta Proteksi Hak-hak Dasar
Masyarakat Adat yang Bersendikan Nilai-nilai Budaya Papua.8
Dalam mewujudkan Visi – Misi tersebut, Pemerintah Kabupaten Kepulauan
Yapen memberlakukan Peraturan daerah No. 4 tahun 2016 tentang Larangan
Produksi, Pengendalian dan Penjualan Minuman Beralkohol di Kabupaten
Kepulauan Yapen. Dalam melihat fungsi dari Perda, secara teoritis, M Nur
Sholikin sebagaimana dikutip oleh Umbu Rauta, menyebutkan bahwa fungsi
Perda dalam konteks otonomi daerah terdiri atas : 9
1. Perda sebagai beleids instrument dalam melaksanakan otonomi daerah yang
luas dan bertanggungjawab. Pada fungsi ini, Perda sebagai sarana hukum
adalah alat untuk melaksanakan kebijakan daerah dalam melaksanakan
otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam
UUD 1945 dan [UU No.23/2014].
8 Ibid
9 M Nur Sholikin et.al, Awasi Perda, Berdayakan Daerah–Seri Panduan Pemantauan Legislasi
Daerah, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta 2009, h. 21-22, dikutip dari
Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Cet. Pertama, Penerbit Genta
Publishing, Yogyakarta, 2016, h. 4.
7
2. Perda merupakan pelaksana peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Dalam fungsi ini, Perda tunduk pada asas peraturan perundang-
undangan dimana Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan dengan
hierarki yang lebih tinggi.
3. Perda sebagai alat penangkap dan penyalur aspirasi daerah. Dalam fungsi ini,
Perda merupakan sarana penyaluran kondisi khusus daerah dalam konteks
ekonomi, politik dan sosial. Dalam konteks ketiga ini peran serta aktif
masyarakat sangat dibutuhkan agar aspirasi masyarakat dapat tertampung
dan tersalurkan dengan sebaik-baiknya.
4. Perda sebagai alat transformasi daearah. Perda diharapkan bisa mengubah
institusi dan perilaku bermasalah dari obyek yang coba diaturnya. Melalui
perubahan tersebut ada transformasi dari masyarakat yang selama ini yang
terbebani oleh perilaku bermasalah tersebut.
5. Perda sebagai harmonisator berbagai kepentingan. Dalam fungsi ini, Perda
merupakan produk pertemuan berbagai kepentingan. Oleh sebab itu dalam
permbentukan Perda, DPRD dan Pemda harus bisa memperhitungkan
kepentingan dari para pemangku kepentingan dan warga yang terkena imbas
pemberlakuan Perda.
Tujuan diberlakukan Perda No.4/2016, yakni agar dapat melindungi warga
masyarakat dari berbagai ancaman bahaya, baik yang bersifat potensial maupun
yang bersifat faktual, oleh sebab secara faktual pengedaran dan penjualan serta
konsumsi minuman beralkohol dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak
terkendali dalam batas wajar dan menimbulkan dampak negatif yang cenderung
8
mengancam hidup dan kehidupan orang asli Papua dan masyarakat Papua pada
umumnya. Perda No.4 Tahun 2016 ini, ditujukan terutama bagi masyarakat
kabupaten kepulauan Yapen agar peredaran minuman beralkohol dapat
terkontrol. Selain kepada masyarakat, dalam Pasal 5 Perda No.4/2016,
memberikan kewenangan kepada bupati selaku kepala daerah untuk melakukan
pengawasan terhadap larangan kegiatan produksi, distribusi, penjualan, dan
konsumsi minuman beralkohol. Dalam melakukan pengawasan tersebut, bupati
membetuk tim pengawasan yang terdiri atas unsur pemerintahan10
dan non
pemerintahan11
, yang susunan keanggotaannya ditetapkan oleh bupati dengan
masa kerja 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan. Namun
terhadap tim pegawasan ini, sampai sekarang belum terbentuk.
Lebih lanjut, Perda ini juga ditujukan kepada Satpol PP sebagai aparat
penegak Perda. Pada Pasal 2 Sampai dengan Pasal 4 Peraturan Bupati Kepulauan
Yapen Nomor 31 Tahun 2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi
Pamong Praja Kabupaten Kepulauan Yapen, secara eksplisit mengatur tentang
kedudukan, tugas dan fungsi dari Satpol PP, yaitu sebagai unsur pelaksana urusan
pemerintahan di bidang ketentraman, ketertiban, pengamanan kebijakan dan
perlindungan masyarakat serta penegakan peraturan perundang-undangan dan
tugas lainnya yang diberikan oleh Bupati, Sehingga sudah tentu memiliki tugas
dalam hal ketentraman dan ketertiban, perlindungan masyarakat, serta
pengamanan kebijakan dan peraturan perundang-undangan serta tugas lainnya
10 Dalam Perda No.4/2016 Pasal 5 ayat (4), unsur pemerintahan terdiri atas Bupati, Pimpinan
DPRD, Dandim, Kapolres, Kantor Bea Cukai, Balai POM, dan Pimpinan Perguruan Tinggi
Negeri. 11
Dalam Pasal 5 ayat (5) Perda No.4/2016, Unsur non pemerintahan terdiri dari pimpinan lembaga
keagamaan, LSM, unsur adat, unsur perempuan dan pimpinan perguruan tinggi swasta.
9
yang diberikan oleh Bupati. Adapun dalam melaksanakan tugas tersebut, Satpol
PP menyelenggarakan fungsi :
a. Penyusunan rencana dan program kegiatan pembinaan ketentraman,
ketertiban dan perlindungan masyarakat;
b. Pelaksanaan tugas operasional sesuai pedoman petunjuk
teknis/operasional penertiban peraturan daerah dan keputusan kepala
daerah ;
c. Pengelola ketatausahaan, keuangan, kepegawaian, perlengkapan,
pembukuan penerimaan daerah serta pelapor;
d. Pelaksana pengembangan kapasitas satuan polisi pamong praja yang
meliputi pembinaan personil polisi pamong praja;
e. pelaksana ketentraman dan ketertiban masyarakat sesuai dengan
pedoman dan petunjuk teknis pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan;
f. Pelaksana pengelolaan urusan ketatausahaan, perlengkapan
kepegawaian dan keuangan ;
g. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh bupati.
Untuk menegaskannya, pemerintah mencantumkan sanksi-sanksi pidana
secara tertulis yaitu :
1. berupa denda berupa kurungan paling lama 5 (lima) Tahun dan/atau
denda paling tinggi Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) terhadap
setiap orang dan/atau badan hukum perdata yang memproduksi,
memasukkan, mendistribusikan serta menjual minuman beralkohol non
tradisional dan tradisional di kabupaten Kepulauan Yapen.
2. berupa pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling tinggi Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) terhadap setiap
10
orang yang mengkonsumsi minuman beralkohol non tradisional dan
tradisional di wilayah kabupaten Kepulauan Yapen.12
Namun dalam penegakan Perda No.4/2016 tersebut, Satpol PP sebagai
aparat pemerintah daerah dalam penegakan Perda belum dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik. Ketika Perda No.4/2016 tidak atau belum dapat ditegakkan,
ancaman dan legitimasinya akan melemah.
Dari data perizinan penjualan minuman beralkohol di Kabupaten Kepulauan
Yapen sebelum Perda No.4/2016 diberlakukan (disahkan), pada beberapa toko
misalnya mengurus 2 (dua) izin yang terdiri dari 1 izin untuk menjual sembako dll
dan 1 izin lagi untuk menjual minuman keras (minuman beralkohol). Namun
setelah ada Perda No.4/2016, beberapa toko tersebut hanya mengurus 1 izin saja,
yaitu izin penjualan sembako dll karena Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu sudah tidak dapat lagi mengeluarkan izin penjualan minuman
beralkohol karena sudah ada (berlaku) Perda No.4/2016. Tetapi pada faktanya
ternyata toko Rista misalnya, masih melakukan penjualan minuman beralkohol
sampai sekarang walaupun izin penjualannya telah habis dan sudah tidak dapat
lagi diperpanjang setelah berlakunya Perda No.4/2016. Sehingga dapat dikatakan
Perda tersebut belum dapat ditegakkan. Konsep pemikiran yang dipakai yaitu
penegakan hukum sudah dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau
diciptakan.13
Oleh sebab itu, bila suatu peraturan perundang-undangan telah
diundangkan dan diterbitkan menurut prosedur yang sah dan resmi, maka secara
12
Pasal 7 Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Yapen No.4 Tahun 2016 Tentang Larangan
Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol 13
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum : Suatu tinjauan sosiologis, Penerbit Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009, h. 24.
11
yuridis peraturan perundang-undangan itu berlaku.14
Dalam hal ini peraturan
perundang-undangan yang dimaksud ialah Perda No.4/2016, oleh sebab sejak
Perda ini ditetapkan pada tanggal 25 November 2016, minuman beralkohol masih
beredar dan dikonsumsi dengan bebas di kabupaten Kepulauan Yapen. Fakta
bahwa peraturan itu tidak ditegakkan mengisyaratkan lebih jauh tentang satu hal
lagi: bahwa orang-orang yang memegang otoritas tidak memandang serius
peraturan tersebut.15
Padahal pembuatan Perda tersebut merupakan suatu
pelembagaan konflik sosial dan sekaligus juga merupakan sarana penyelesaian
konflik. Berfungsinya hukum (Perda No.4/2016) dalam artian penegakan hukum,
selain ditunjang oleh Satpol PP sebagai aparat pemerintah yang bertugas
menegakan Peraturan daerah, amat tergantung juga pada efektivitas menanamkan
hukum dimasyarakat, yang berarti membicarakan daya kerja hukum dalam
mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum.
Perihal penegakan hukum, Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa penegakan
hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum
menjadi kenyataan.16
Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak
sederhana, bukan saja karena kompleksitas sistem hukum itu sendiri, tetapi juga
rumitnya jalinan hubungan antara sistem hukum dengan sistem sosial, politik,
ekonomi, dan budaya masyarakat.17
Sebagai suatu proses, penegakan hukum pada
hakikatnya merupakan variabel yang mempunyai korelasi dan interdependensi
14
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cet.ke-5, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 66 15
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, terjemahan oleh M. Khozim,
Penerbit Nusa Media, Bandung, 2013, h.119. 16
Satjipto Rahardjo, Loc.Cit 17
Ibid. h.viii
12
dengan faktor-faktor yang lain.18
Penegakan hukum merupakan suatu proses yang
melibatkan banyak hal. Oleh karena itu, keberhasilan penegakan hukum akan
dipengaruhi oleh hal-hal tersebut. Secara umum, sebagaimana dikemukakan oleh
Soejono Soekanto, ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu :
1. Faktor hukumnya sendiri, yang dalam tulisan ini dibatasi pada
[peraturan perundang-undangan]
2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
yang menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.19
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, karena merupaka esensi
dari penegakan hukum serta merupakan tolok ukur dari pada efektivitas
penegakan hukum.
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut penulis tertarik untuk
mengkaji lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Satpol PP sebagaimana di atur
dalam Pasal 255 UU No.23/2014, terhitung sejak ditetapkannya Perda ini, yaitu
pada tanggal 25 November Tahun 2016. Berkaitan dengan penegakan Perda
No.4/2016, penulis menuangkan dalam bentuk karya ilmiah yang berbentuk
skripsi dengan judul : “Penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan
Yapen No. 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Produksi, Pengedaran dan
Penjualan Minuman Beralkohol.“
18
Ibid 19 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet.13, Ed. 1,
Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, h. 8.
13
B. Rumusan Masalah
Penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah No.4 Tahun
2016 Tentang Larangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman
Beralkohol di Kabupaten Kepulauan Yapen?
2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi Satuan Polisi Pamong Praja
dalam penegakan Peraturan Daerah No.4 Tahun 2016 Tentang
Larangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan tugas satuan polisi pamong praja
dalam penegakan Peraturan Daerah No.4 Tahun 2016 Tentang
Larangan Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol di
Kabupaten Kepulauan Yapen.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi Satuan Polisi
Pamong Praja dalam Penegakan Perda No.4 Tahun 2016 di Kabupaten
Kepulauan Yapen.
3. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong
Praja dalam mengatasi kendala pada penegakan Perda No.4 Tahun 2016
di Kabupaten Kepulauan Yapen
14
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai berupa :
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum tata
negara pada umumnya, khususnya yang berkaitan dengan pemerintahan
di daerah.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemikiran
dan pertimbangan, serta sumbangan pemikiran dalam meningkatkan
penegakan terutama bagi Satuan Polisi Pamong Praja di Kabupaten
Kepulauan Yapen.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk
mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu
populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-
karakteristik atau faktor-faktor tertentu
2. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan metode yuridis sosiologis, yang mana
termasuk dalam penelitian hukum sosiologis atau empiris. Penelitian ini
berbasis pada ilmu hukum normative (peraturan perundang-undangan),
tetapi bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam aturan perundang-
15
undangan,20
namun mengkaji mengenai penegakan hukum dengan
memberikan perhatian kepada penelahan yang objektif dan empiris dari
kenyataan-kenyataan sosial yang aktual.21
Mengamati bagaimana reaksi
dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam
masyarakat. Dengan demikian penelitian ini, dengan melihat berlaku
efektif atau tidaknya Perda Kabupaten Kepulauan Yapen No.4 Tahun
2016 yang berlaku di masyarakat Kabupaten Kepulauan Yapen.
3. Jenis dan Sumber Data
Dalam menjawab permasalahan penelitian, dibutuhkan data sebagai
sebagai berikut :
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung di lapangan (field
reserch) dari masyarakat dengan mendatangi sumber data yang
relevan dengan masalah penelitian, yaitu distributor minuman
beralkohol; penjual minuman beralkohol; masyarakat yang
mengkonsumsi minuman beralkohol; ketua Lembaga Masyarakat
Adat kabupaten Kepulauan Yapen; dan Satuan Polisi Pamong Praja
Kabupaten Kepulauan Yapen
b. Data Sekunder
Data sekunder yang diperoleh melalui penelitian pustaka dan studi
dokumen yaitu meliputi :
1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja
20
Saifullah, Tipologi Penelitian Hukum, Penerbit Intelegensia Media, Malang, 2015, h.125 21
Ibid h. 65.
16
2) Peraturan Daerah No.4 Tahun 2016 Tentang Larangan
Produksi, Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol.
3) Peraturan Bupati Kepulauan Yapen Nomor 31 Tahun 2017
Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong
Praja Kabupaten Kepulauan Yapen
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Pustaka, yaitu penelusuran literatur.
b. Studi Dokumen yaitu suatu metode pengumpulan data primer dan
sekunder.
c. Wawancara dengan caranya mempersiapkan pedoman wawancara
(terstruktur).
5. Pengolahan dan Analisis Data
a. Pengolahan Data
Adapun kegiatan pengolahan data dilakukan dengan cara
mengelompokkan studi pustaka maupun hasil wawancra agar dapat
disajikan dalam uraian hasil penelitian.
b. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif yaitu
menganalisis fakta-fakta yang ditemui dilapangan kemudian
dikaitkan dengan norma hukum yang berlaku.
top related