bab i pendahuluan 1.1 latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64667/potongan/s1...2...
Post on 08-Mar-2019
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jumlah kasus HIV1 positif yang ditemukan di Indonesia pada tahun 1987 sampai
dengan September 2012, terdapat 92.251 kasus. Sedangkan kasus AIDS2 yang
ditemukan terdapat 39.434 kasus. Selain itu angka kematian (Case Fatality
Rate=CFR) akibat HIV dan AIDS di 33 provinsi di Indonesia terdata sebanyak 5.681
kasus. Presentase kumulatif kasus AIDS tertinggi ada pada kelompok umur 20-29
tahun (42,3%). Presentase kasus AIDS pada laki-laki sebanyak 66,8% dan
perempuan 32,9%.3
Jumlah kasus HIV tertinggi yaitu di DKI Jakarta (21.775 kasus), diikuti Jawa
Timur (11.994 kasus), Papua (9.447 kasus), Jawa Barat (6.640 kasus), dan Sumatera
Utara (5.935 kasus). Sedangkan jumlah kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari Papua
(7.527 kasus), DKI Jakarta (6.299 kasus), Jawa Timur (5.257 kasus), Jawa Barat
(4.098 kasus), Bali (2.939 kasus), Jawa Tengah (2.503 kasus), Kalimantan Barat
(1.699 kasus), Sulawesi Selatan (1.377 kasus), Riau (755 kasus), dan Sumatera
Barat (715 kasus).4
Persoalan HIV dan AIDS ini disebabkan oleh aksesibilitas informasi yang
terbatas, khususnya pada wilayah dengan topografi yang besar wilayahnya dipenuhi
gunung-gunung seperti di Papua. Seperti telah dikemukakan oleh Dr. Nafsiah Mboi,
Menteri Kesehatan Indonesia, banyak daerah di Papua yang sulit dijangkau dalam
1HIV merupakan singkatan dari ’Human Immunodeficiency Virus’.HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positive T-sel dan macrophages– komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. 2AIDS adalah singkatan dari ‘Acquired Immunodeficiency Syndrome’ dan menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV telah ditahbiskan sebagai penyebab AIDS. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS. 3Laporan perkembangan HIV-AIDS di Indonesia, Triwulan III Tahun 2012 terasip dalam http://www.aidsindonesia.or.id/laporan-kementerian-kesehatan-triwulan-iii-tahun-2012.html diakses 18 Februari 2013 pukul 10.58 WIB 4 Ibid.
2
pemberian informasi dan pelayanan kesehatan. Sarana kesehatan di Papua juga
masih minim sehingga langkah pencegahan dan penanganan penderita HIV dan
AIDS sulit dilakukan. Topografi yang sulit serta minimnya prasarana di Papua juga
menyebabkan susahnya proses pelaporan penderita HIV dan AIDS. Padahal,
pendataan adalah bagian penting dari penanggulangan HIV dan AIDS. Hal ini
diperkuat oleh pernyataan Menkes Nafsiah Mboi, "Yang masalah di Papua
pelaporannya belum baik. Ada kabupaten yang cukup bagus pelaporannya, seperti
Jayapura tapi kabupaten lainnya sama sekali belum bisa menyampaikan laporan
kasus HIV DAN AIDS secara rutin."5
Daerah-daerah lain di Indonesia yang juga memiliki angka kasus HIV dan AIDS
tinggi merupakan kota-kota besar yang tergolong maju dibandingkan dengan
daerah lainnya di pulau yang sama. Dengan karakteristik tersebut, informasi dan
sarana prasarana tentunya tersedia dengan sangat baik, namun daerah-daerah
tersebut justru memiliki angka kasus HIV dan AIDS yang tinggi. Sedangkan daerah
lain yang tingkat kemajuannya tidak setinggi kota-kota besar tersebut justru
memiliki angka kasus HIV dan AIDS yang rendah. Hal ini menunjukkan anomali
dengan kasus tingginya HIV dan AIDS di Papua.
Untuk mengatasi banyaknya kasus HIV dan AIDS, di Indonesia sudah banyak
dilakukan berbagai metode penyampaian HIV dan AIDS education secara
komprehensif di berbagai daerah, seperti kampanye HIV dan AIDS Roadshow Mall to
Mall di lima mall di Jakarta yang digelar oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
(KPAN) tahun 2012. Kampanye ini diselenggarakan untuk memperingati Hari AIDS
Sedunia. Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya perlindungan perempuan dan anak terhadap HIV dan AIDS. Selain itu,
dalam acara ini juga dibuka pameran foto Mata Perempuan, serta peluncuran buku
kumpulan fotografi hasil karya perempuan dengan HIV. Media fotografi ini
diharapkan dapat menjadi salah satu media komunikasi, informasi dan edukasi
serta materi advokasi bagi pemangku kebijakan di tatanan atas pemerintahan,
5Papua Masih Rawan HIV dan AIDS terarsip dalam http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/papua-masih-rawan-hivaids diakses 18 Februari 2013 pukul 11.24 WIB
3
terutama untuk mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan baru yang secara
berkelanjutan mampu mendukung program penanggulangan HIV nasional.6
Kampanye untuk meningkatkan pengetahuan HIV dan AIDS pada remaja juga
diselenggarakan oleh Kemenkes, yakni kampanye dengan tagline ‘Aku Bangga Aku
Tahu (ABAT)’. Kampanye ini dilakukan oleh pihak Kemenkes dengan banyak cara,
salah satunya dengan mengadakan kuis di jejaring sosial. Kuis ini diupayakan untuk
dapat memberi edukasi secara tidak langsung mengenai HIV dan AIDS.7 Beberapa
saat yang lalu Menkes Nafsiah Mboi juga merencanakan pencanangan Kampanye
Kondom. Kampanye Kondom ini difokuskan kepada Pekerja Seks Komersil (PSK)
miskin, sebab mereka dianggap tidak mampu membeli kondom. Kampanye ini
dilaksanakan juga untuk menekan laju penyebaran HIV dan AIDS.8
Berbeda dengan beberapa kampanye yang telah disebutkan di atas, di beberapa
daerah di Indonesia, khususnya di Yogyakarta diselenggarakan program kampanye
HIV dan AIDS Dance4life. Dance4life adalah suatu kampanye global yang melibatkan
serta menguatkan remaja dengan menggunakan suara dan tubuh mereka untuk
memukul mundur penyebaran HIV dan AIDS. Dance4life menjadi salah satu upaya
menyatukan remaja seluruh dunia dan membangun kesadaran remaja terkait HIV
dan AIDS.
Dalam melakukan perlawanan terhadap HIV dan AIDS, hal utama yang perlu
dipahami oleh masyarakat adalah informasi yang komprehensif mengenai HIV dan
AIDS serta pemahaman bahwa perlawanan yang seharusnya dilakukan ialah
terhadap virusnya, bukan kepada penderitanya atau yang lebih umum dikenal
dengan sebutan ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS). Perlawanan terhadap ODHA
merupakan salah satu bentuk diskriminasi. Diskriminasi terhadap ODHA yang
hingga sekarang masih mengakar di tengah masyarakat Indonesia tidak lain karena
imej negatif yang telah tertanam dalam mind set masyarakat mengenai ODHA itu
6 http://www.ourvoice.or.id/2012/11/kpan-gelar-kampanye-hivaids-di-lima-mall-jakarta/ diakses 18 Maret 2013 pukul 9.50 WIB 7 http://health.liputan6.com/read/510570/aku-bangga-aku-tahu-kuis-kampanye-hiv-aids-untuk-remaja diakses pada 18 Maret 2013 pukul 10.13 WIB 8 http://aids-ina.org/modules.php?name=AvantGodanfile=printdansid=6643 diakses pada 18 Maret 2013 pukul 10.37 WIB
4
sendiri. Budaya ketimuran yang kental akan kereligiusan serta adat istiadat
masyarakat Indonesia yang senantiasa menjunjung norma-norma menjadi salah
satu faktor yang mempengaruhi pandangan masyarakat kepada ODHA. Hal inilah
yang diupayakan oleh Dance4life untuk memberikan pemahaman yang benar akan
HIV dan AIDS, dari bagaimana virus ini tersebar dan apa saja media penyebarannya.
Dance4life merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi beberapa tahapan,
antara lain inspire, educate, activate, dan celebrate. Di dalam serangkaian kegiatan
ini, Dance4life mengusung metode baru dengan menggunakan video, musik dan
tarian sebagai pendekatan dalam bentuk kampanye dan format kemasan HCT
(Heart Connection Tour) yang dianggap cukup dapat menarik antusias audiensnya,
yakni remaja.
Remaja merupakan sasaran audiens kampanye ini karena mereka merupakan
generasi muda yang diharapkan mampu menjadi agen untuk mewujudkan
perubahan sosial dengan adanya edukasi terkait kesehatan reproduksi dan seksual
serta HIV dan AIDS. Dengan terlibatnya remaja, gerakan perubahan ini diharapkan
dapat ikut berkontribusi dalam upaya penekanan laju penyebaran atau
pertumbuhan virus HIV yang kasusnya tiap tahun terus bertambah.
Pada tahun 2011, sebanyak 14.714 siswa berpartisipasi dalam program
School4life di Indonesia. Sedangkan di Yogyakarta sendiri, sebanyak 1.083
agents4change berpartisipasi dalam acara Celebration Dance4life pada tanggal 27
November 2011. Peserta yang berpartisipasi dalam Dance4life ini merupakan para
remaja yang berasal dari berbagai kalangan seperti siswa SMP, SMA, dan komunitas
remaja. Banyaknya remaja yang terlibat dalam Dance4life dan turut serta dari awal
program hingga akhir selebrasi menunjukkan keaktifan mereka dalam mencari
informasi terkait isu HIV dan AIDS yang diusung program ini.
Di Yogyakarta Dance4life diadakan oleh PKBI (Perkumpulan Keluarga
Berencana Indonesia) di sekolah-sekolah setingkat SMP dan SMA, serta komunitas
remaja. Pelaksanaannya tidak hanya menyasar sekolah-sekolah di tingkat kota,
namun juga merangkul sekolah-sekolah di kabupaten yang oleh pihak PKBI disebut
sebagai “cabang.” Kota dan daerah pinggiran tentunya memiliki topografi, kondisi
sosial dan kebudayaan yang berbeda sesuai dengan tingkat kemajuan daerahnya.
5
Perbedaan latar belakang sosial dan kebudayaan para remaja di sekolah kota dan
sekolah cabang ini memungkinkan adanya perbedaan dalam meresepsi pesan yang
disampaikan oleh serangkaian kegiatan dalam Dance4life.
Mengingat pendekatan yang digunakan dalam Dance4life ini adalah video,
musik, dan tarian yang meskipun sudah cukup membumi dan tentunya tidak asing
lagi bagi seluruh lapisan masyarakat, latar belakang sosial dan kebudayaan
umumnya berpengaruh pada pengalaman atas produk media yang menerpa masing-
masing individu dalam audiens yang disasar. Audiens Dance4life sendiri juga
merupakan audiens yang aktif dalam mencari informasi terkait HIV dan AIDS
ditunjukkan dari besarnya partisipasi mereka dalam mengikuti Dance4life.
Berdasarkan penjabaran tersebut, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana
audiens remaja di berbagai daerah di Yogyakarta, yakni di kota dan di cabang dalam
meresepsi pesan edukasi mengenai HIV dan AIDS, dan anti diskriminasi ODHA
(Orang Dengan HIV dan AIDS) yang dibentuk oleh serangkaian kegiatan dalam
program Dance4life yang diselenggarakan PKBI di Yogyakarta.
1.2 Rumusan Masalah
Dari penjabaran masalah yang diangkat, dirumuskan permasalahan sebagai
berikut “Bagaimana resepsi remaja terhadap pesan edukasi mengenai HIV dan AIDS,
dan anti diskriminasi ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS) yang terdapat dalam
program Dance4life PKBI Yogyakarta?”
1.3 Tujuan Penelitian
Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk memaparkan resepsi
audiens terhadap program Dance4life mengenai makna pesan anti
diskriminasi ODHA serta informasi terkait HIV, AIDS, dan sex education
yang disampaikan di dalamnya.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu resepsi
audiens terhadap program Dance4life sebagai bentuk edukasi dan
sebagai bentuk hiburan.
6
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan harapan dapat memberi manfaat sebagai
berikut :
Memperkaya kajian ilmu komunikasi seputar audiens komunikasi.
Sebagai bahan referensi bagi perilaku-perilaku yang terkait dengan
topik penelitian.
Memberikan masukan, saran, sekaligus kritik kepada PKBI agar dapat
berperan optimal dalam memberikan pendidikan HIV, AIDS, dan seks
terhadap remaja.
1.5 Kerangka Pemikiran
1.5.1 Reception Analysis dan Representasi Makna Pertunjukan
Reception analysis merujuk pada analisis tekstual wacana media yang
dikomparasikan dengan wacana audiens, yang hasil interpretasinya merujuk pada
konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain9. Jensen dalam
karyanya A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication
Research berasumsi bahwa analisis resepsi dapat diartikan sebagai analisis
perbandingan tekstual dari sudut pandang audiens yang menghasilkan suatu
pengertian tegas pada suatu konteks10.
Menurut McQuail, studi reception analysis melihat audiens sebagai komunitas
interpretif (interpretive communities) atau audiens penafsir. Audiens penafsir ini
secara aktif meresepsi teks dan pesan-pesan media dan menginterpretasikannya
secara bebas dan berbeda-beda menurut lingkungan sosial-budaya dimana aktivitas
berbagai pengalaman-pengalaman pemaknaan terjadi11. Studi reception analysis
berusaha untuk mengetahui bagaimana audiens memahami, menginterpretasi isi
pesan atau memproduksi makna. Produksi makna tergantung pada bahasa yang
merupakan sistem tanda. Suara-suara, gambar, kata-kata yang ditulis, lukisan, foto,
9 Klaus Bruhn Jensen dan Nicholas W. Jankowski. 1993. A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research. London: Routledge. Hal. 139. 10 Ibid. 11 Denis McQuail, Peter Golding, Els De Bens (ed). 2005. Communication Theory and Research: An EJC Antholgy. London: Sage. Hal. 60
7
dll berfungsi sebagai tanda-tanda dalam bahasa ketika semua hal itu berproses
untuk mengekspresikan atau mengkomunikasikan gagasan12. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa proses pemaknaan dalam reception analysis merupakan proses
pemaknaan sistem tanda, baik sistem tanda yang disajikan media maupun dalam
komunikasi interpersonal, komunikasi massa dan jenis komunikasi lainnya.
Rangkaian sistem tanda dalam bahasa inilah yang merupakan teks karena di
dalamnya mengandung pesan.
Saussure menganalisis tanda menjadi dua bentuk elemen yakni ‘signifier’ dan
‘signified’. ‘Signifier’ merupakan bentuk (kata yang sebenarnya, gambar, foto, dll)
dan ‘signified’ merupakan gagasan atau konsep di kepala manusia. Contohnya,
ketika manusia mendengar, membaca, atau melihat walkman di saat yang sama
akan terhubung dengan konsep sebuah kaset player portable yang ada di kepala.
Konsep tersebut tertanam karena pengalaman atau pengetahuan sebelumnya
mengenai konteks bahasa walkman baik yang didengar, dilihat, maupun dibaca.13
Mengacu pada hal ini, reception analysis pada umumnya menguraikan pemahaman
dan pandangan individu secara nyata mengenai pengalaman yang mereka alami dan
rasakan selama melakukan interaksi dan mengonsumsi media. Perbedaan latar
belakang sosio-kultural, pengalaman serta identitas audiens yang akan membuat
pemaknaan yang berbeda oleh masing-masing audiens dalam menginterpretasi
pesan. Melalui pendekatan ini dapat dilihat mengapa audiens memaknai sesuatu
secara berbeda serta faktor-faktor psikologis dan sosial apakah yang kemudian
akan muncul dalam bentuk pemikiran. Dapat ditarik kesimpulan bahwa segala
bentuk sistem tanda juga diresepsi sesuai dengan pengalaman atau pengetahuan
yang telah dimiliki audiens sebelumnya.
Reception analysis memang berangkat dari studi-studi mengenai audiens di
ranah media massa. Sejumlah peneliti awal mengembangkan reception analysis
kebanyakan melakukannya pada audiens televisi, seperti Morley (1986); Liebes dan
12 Jonathan Culler (1976:19) dalam Stuart Hall. 2003. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. SAGE Publications: London. Hal. 30 13 Ibid.
8
Katz (1984); Ang (1985); dan Hobson (1981)14. Kajian media tersebut menghasilkan
teori-teori seperti agenda setting, cultivation, dan critical theory, dimana ketiganya
mengasumsikan sistem media massa tersentralisasi. Dari teori-teori tersebut,
ditunjukkan bahwa dalam proses konsumsi media massa televisi membuka peluang
bagi audiens untuk melakukan aktivitas membaca, melihat, dan mendengarkan teks.
Karena berdasarkan etimologis, atau asal-usul kata, istilah audiens hanya
memenuhi cakupan aktivitas mendengar dan menonton15. Dalam studi reception
analysis, audiens adalah partisipan aktif dalam membangun dan
menginterpretasikan makna atas apa yang mereka baca, dengar dan lihat sesuai
dengan konteks budaya. Isi media dipahami sebagai bagian dari sebuah proses
dimana common sense dikonstruksi melalui pembacaan yang diperoleh dari gambar
dan teks bahasa. Sementara, makna teks media bukanlah fitur yang transparan,
tetapi produk interpretasi oleh pembaca dan penonton16. Maka individu secara aktif
menginterpretasikan teks media dengan cara memberikan makna atas pemahaman
pengalamannya sesuai apa yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari.
Interpretasi didefinisikan sebagai kondisi aktif seseorang dalam proses berpikir dan
kegiatan aktif pencarian makna17. Sejalan dengan itu, Lorimer berpendapat
reception analysis melihat bagaimana audiens memahami (make sense) media
sebagai sebuah produk budaya dan bagaimana interpretasi atas apa yang mereka
baca, lihat dan dengar18.
Dance4life disuguhkan melalui media video, tarian, dan musik. Video meliputi
unsur visual dan audio yang dikemas untuk menyampaikan suatu narasi. Gerakan,
tarian, dan musik dikemas untuk menyampaikan teks(bahasa, wacana, tanda, dan
gerakan). Dalam teori performance dipahami bahwa bunyi dalam percakapan
14 Pieter J. Fourie. 2004. Media Studies Volume 2: Content, Audiences and Production. Claremont: Juta. Hal. 265 15 Leah Lievrouw dan Sonia Livingston (ed). 2009. The Handbook of New Media: Updated Student Edition. London: Sage. Hal. 27 16 John Street. 2001. Mass Media, Politics and Society. New York: Palgrave. Hal. 95-97 17 Stephen W. Littlejohn. 2002. Theories Of Human Communication. London: Wadsworth Publishing Company. Hal. 199 18 Rowland Lorimer. 1994. Mass Communications: A Comparative Introduction. Manchaster, UK: Manchaster University Press. Hal. 170
9
diwujudkan melalui intensionalitas ekspresi wajah, gerak tubuh, jenis kelamin, daya
tarik seksual, dll. Dari pengetahuan sang aktor peraga muncul intensionalitas yang
bekerja sama dengan tubuh dalam menciptakan suatu pertunjukan atau
performance. Intensionalitas tersebut muncul atau dimediasi oleh otak aktor.19
Membaca teks dan memahami pergerakan merupakan aktivitas dimana kita secara
kreatif dan imajinatif memahami teks dan pertunjukan dengan menggunakan
proses kognitif yang melibatkan bahasa dan simbol.20 Sehingga pada pertunjukan
gerakan dan musik yang ditampilkan dalam Dance4life, audiens secara aktif
berimajinasi serta membangun pemaknaan dan penafsiran mereka sendiri atas
tampilan visual yang dilihat dan audio yang didengar.
1.5.2 Pesan Dalam Dance4life
Dance4life membuka peluang bagi audiens untuk turut berpartisipasi dalam
proses pembelajaran yang disajikan. Partisipasi yang diciptakan merupakan bentuk
dari audiens yang turut aktif menerima isi atau pesan yang disampaikan di dalam
sepanjang berjalannya program. Dance4life memiliki beberapa tahapan, di mana
dari setiap tahapnya memiliki pesan dan tujuan masing-masing. Tahap-tahap
tersebut meliputi:
Inspire (menginspirasi)
Pada tahap ini, Dance4life memberikan inspirasi kepada audiens untuk
terlibat. Melalui video yang berisi cuplikan-cuplikan kegiatan Dance4life yang
sudah pernah berjalan di negara-negara lain maupun di Indonesia, audiens
dikenalkan dasar dari program ini. Dengan ditayangkannya video ini,
diharapkan audiens dapat terinspirasi untuk turut serta dalam program
Dance4life hingga tahap terakhir. Selain diputarkannya video, inspirasi dari
Dance4life ini juga disampaikan oleh fasilitator yang berfungsi sebagai
komunikator dalam Dance4life dari PKBI DI Yogyakarta. Ini adalah saat pertama
dimana kebanyakan anak muda mendapatkan kesempatan untuk bicara dan
19 Bruce McConachie and F. Elizabeth Hart. 2006. Performance and Cognition: Theatre studies and
the cognitive turn. New York: Routledge. Hal. 33 20 Ibid. Hal. 191
10
bertanya tentang seks dengan cara yang terbuka dan aman kepada para
pendidik sebaya mereka. Mereka terispirasi oleh cara yang menyenangkan dan
penuh emosi yang dilakukan anak-anak muda lain dalam menyampaikan pesan
dan informasi. Kesalahpamahan dan praduga diluruskan dan tabu dipatahkan
terkait dengan cara penyebaran virus tersebut. Kegiatan ini berjalan dengan
serius dan menyenangkan.
Educate (mengedukasi)
Setelah terinspirasi untuk menjadi bagian dari Dance4life, audiens
bergabung dalam lokakarya pengembangan keterampilan yang akan
meningkatkan pengetahuan dan rasa percaya diri mereka. Mereka dididik
selama sesi partisipatif tentang isu-isu seputar HIV dan AIDS. Audiens diberi
pemahaman mendalam mengenai persebaran HIV dan AIDS, serta media
penyebarannya. Dengan memahami bagaimana HIV dan AIDS dapat menular,
diharapkan mereka dapat memahami bagaimana memperlakukan ODHA.
Meskipun fokusnya pada isu-isu tersebut, audiens belajar lebih banyak dari itu,
termasuk keterampilan untuk bicara lebih baik di hadapan publik, debat,
negosiasi, pembuatan keputusan dan lainnya. Dimana seluruh hal tersebut
memberdayakan mereka untuk mengambil keputusan-keputusan yang positif
bagi masa depan mereka. Pada tahap ini audiens diajarkan tarian serta lagu
diputar dengan tape. Sedangkan lirik lagu ditayangkan juga di LCD untuk
membantu audiens menghafal dan memahami lagu yang dinyanyikan dalam
keseluruhan tarian Dance4life. Tarian dan lagu yang diajarkan berisi pesan-
pesan di mana audiens, yakni para remaja harus berani menggunakan tubuh
dan suaranya untuk mencegah penyebaran virus HIV dan AIDS dan tentunya
bukan memerangi orang penderitanya.
Activate (mengaktivasi)
Dari seluruh audiens yang terinspirasi kemudian dididik dan dibekali
keterampilan-keterampilan yang memberdayakan. Dari sini, audiens dikenalkan
untuk memulai tindakan-tindakan yang berkontribusi terhadap penghentian
HIV dan AIDS dan mengubah cara pandang teman-teman dan keluarga mereka
11
terhadap HIV. Kegiatan-kegiatannya pun beraneka ragam, seperti penggalangan
dana, advokasi, kerja-kerja relawan dan melakukan peningkatan kesadaran.
Celebrate (merayakan)
Tahap terakhir adalah acara tarian global yang sangat kuat, diselenggarakan
pada tanggal 1 Desember yakni peringatan hari AIDS Sedunia. Tarian global ini
sebagai bentuk perayaan komitmen dan capaian-capaian yang dihasilkan oleh
para agen perubahan. Dari tarian ini, mereka menunjukkan secara terbuka apa
yang mereka yakini dan apa yang telah mereka capai selama program sekolah
Dance4life. Mereka menari untuk memberikan inspirasi dan mendapatkan
dukungan dari seluruh dunia, dan untuk mengingatkan para pemimpin dunia
akan janji-janji yang telah mereka buat terkait dengan Tujuan Pembangunan
Milenium terkait dengan HIV dan AIDS.
1.5.3 Audiens Aktif
Terminologi audiens selalu memiliki karakter abstrak dan dapat diperdebatkan,
begitu pula dalam realitas konteksnya, terminologi audiens juga beragam dan
berubah secara konstan. Audiens memiliki dua karakter, yaitu audiens merupakan
produk dari konteks sosial (yang berimplikasi pada pengalaman, kepentingan dan
pemahaman yang sama dalam konteks sosialnya); dan kedua, audiens merupakan
respons dari pola jenis media massa tertentu. Seringkali, audiens dikategorisasikan
dalam konteks waktu mereka mengakses media, wilayah, dan gaya hidup.21
Tabel 1.1 Sudut Pandang Audiens22
Posisi Audiens Interaksi dengan:
Media Anggota Lain Isu dan Opini
Massa Atomistik Atomistik Atomistik
Kelompok Kuasi-atomistik Aktif-relasional Aktif
Publik Relasional Aktif Proaktif
Konsumen Motif Profit Atomistik Atomistik
21 Dedy N. Hidayat dkk. 2008. Riset Audiens dalam Kajian Komunikasi. Indonesia: PKMBP. Hal. 61 22 Ibid. Hal. 62
12
Dalam Dance4life, audiens diberikan tayangan video moodclip atau film dari
potongan-potongan video dokumentasi Dance4life yang telah berlangsung di
Indonesia maupun seluruh dunia. Dalam film, penanda bekerja memproduksi
makna melalui proses menonton itu sendiri. Citra dan suara yang terdapat dalam
film menjadi tak bermakna tanpa kerja fantasi bawah sadar penonton, dan di sinilah
asal pengertian tentang setiap film. Film merupakan hasil konstruksi penontonnya.
Dari pandangan ini, Christian Metz (1975) menawarkan konsep mengenai aparatus
sinematik. Konsep ini didasari oleh teori film psikoanalisis. Teori ini melihat makna
sebagai proses penstrukturan makna subjek dan bukanlah sebagai isi (content) teks.
Penstrukturan subjek tersebut dipahami sebagai hasil kerja aparatus sinematik
yang disebut dengan identifikasi sinematik. Secara spesifik, identifikasi sinematik
adalah identifikasi yang terjadi pada penonton film yang dihasilkan oleh kerja
aparatus sinematik. Metz membagi mekanisme identifikasi sinematik menjadi dua,
yakni:23
1) Identifikasi sinematik primer
Identifikasi penonton dengan tindakan melihat itu sendiri. Pada identifikasi
ini subjek berubah menjadi subjek transendental, yakni subjek yang merasa
sebagai enunciator24 dari semua makna yang terdapat dalam layar. Sehingga
penonton akan mengartikan segala yang ia saksikan dalam film sesuai dengan
imajinasinya sendiri.
2) Identifikasi sinematik sekunder
Identifikasi penonton film dengan karakter yang diidealkan dalam narasi
film. Posisi penonton di depan layar sama seperti posisi anak di depan cermin,
yang keduanya sama-sama takjub dan mengidentifikasi diri dengan citra yang
diidealkan. Pada posisi identifikasi ini, penonton film akan memosisikan diri
sama seperti karakter yang terdapat di dalam film.
Setelah menonton video moodclip, audiens didorong untuk secara interaktif
merespon pesan yang disampaikan dalam Dance4life. Dance4life menampilkan serta
23 Ibid. Hal. 115-116 24 Dalam hal in bisa saja penulis naskah, sutradara atau narator, yang merupakan produser asli dari fantasi yang muncul dalam film agar simulasi hasrat dari penonton dapat dijalankan.
13
mengajarkan tarian yang meliputi gerakan drill 1/HIV, drill 2/Freeze, dan drill
3/Free style. Setelah menyaksikan gerakan tarian drill tersebut, audiens merespon
dengan mengikuti gerakan yang telah ditampilkan. Di samping gerakan drill,
audiens juga mendengarkan musik dan juga lirik lagu dimana lirik lagu tersebut
juga secara responsif ditirukan oleh audiens bersamaan dengan gerakan yang
diajarkan. Dalam proses ini audiens menyaksikan gerakan, mendengarkan musik
maupun lirik lagu, serta mengikuti gerakan serta lirik lagu, sehingga audiens juga
secara aktif menerima pesan yang ada pada gerakan dan lirik lagu tersebut.
Untuk memaparkannya, digunakan konsep audiens aktif yang ditawarkan oleh
Stuart Hall (1973). Hall menggunakan audiens televisi sebagai objek kajiannya
untuk mengajukan tiga hipotesis tentang proposisi audiens dalam meresepsi pesan.
Ketiga proposisi audiens tersebut yaitu25:
Dominant-hegemonic position: Dalam posisi ini audiens mengambil arti
sepenuhnya dari apa yang terdapat dalam kerangka interpretasi yang diusulkan
dan dirujuk oleh pesan itu sendiri. Maka audiens membaca pesan dari posisi
yang sama persis dengan posisi pembicara atau media yang menyampaikan
pesan.
Negotiated position: Dalam posisi ini audiens dapat mengambil makna secara
umum seperti disandikan dalam pesan, tetapi dengan ke beberapa konteks
konkrit ataupun situasional yang mencerminkan posisi dan kepentingannya,
pembaca memodifikasi atau mengubah sebagian makna yang dirujuk oleh
pesan, maka audiens dapat membaca pesan dan menerima stuktur dasar dari
pesan yang disampaikan, namun audiens tetap melakukan negosiasi terhadap
detail-detail pesan yang lain.
Oppositional position: Dalam posisi ini audiens dapat mengenali bagaimana
pesan tersebut telah disandikan secara kontekstual, tetapi audiens lebih
mengedepankan alternatif pada pemaknaan pesan, yaitu sebuah interpretasi
yang secara langsung beroposisi dengan makna yang dirujuk oleh pesan. Maka
25 Berdasarkan Parkin (1973) dalam Ina Bertrand dan Peter Hughes. 2005. Media Research Methods: Audiences, Institution and Texts. New York: Palgrave Macmilan. Hal. 54
14
audiens membaca pesan dari posisi dan kerangka pikir yang sama sekali
berbeda dengan posisi dan kerangka pikir pembicara atau media yang
menyampaikan pesan.
Meskipun menggunakan audiens televisi sebagai objek kajian, namun aktivitas
audiens dalam Dance4life seperti membaca, melihat, dan mendengar membuka
peluang yang sama bagi proses penerimaan audiens tersebut selama mengikuti
program kampanye.
Kategorisasi audiens yang telah dipaparkan di atas akan menunjukkan posisi
setiap audiens atas paparan pesan Dance4life. Walaupun pada dasarnya pesan
besar yang disampaikan Dance4life ialah mengenai perlawanan terhadap HIV dan
AIDS serta diskriminasi terhadap ODHA, namun konstruksi audiens terhadap pesan
dalam setiap media di dalamnya akan berbeda sesuai dengan pengalaman serta
aktivitas yang dilakukan oleh masing-masing audiens. Sehingga posisi audiens
terhadap setiap media pun penting adanya untuk melihat faktor apa saja dalam
Dance4life yang memengaruhi pemahaman audiens atas pesan Dance4life sendiri
secara utuh.
1.6 Kerangka Konsep
1.6.1 Konstruksi Pesan Teks Dalam Dance4life
Dalam Dance4life terdapat serangkaian kegiatan yang didukung komunikasi
interpersonal maupun media dalam membentuk pesan edukasi seks, HIV, dan AIDS.
Pesan tersebut disajikan melalui leaflet, video, penyuluhan sebagai bentuk
komunikasi massa, musik, tarian, dan sebuah selebrasi. Partikel-partikel tersebut
memungkinkan audiens Dance4life untuk melakukan aktivitas membaca,
mendengarkan, dan menyaksikan, sama halnya dengan aktivitas audiens dalam
mengonsumsi sebuah media pada umumnya, seperti televisi. Untuk itu, dapat
dijelaskan perbandingan karakteristik dari sebuah media massa televisi dengan
karakteristik Dance4life melalui tabel berikut:
15
Tabel 1.2 Perbandingan Karakteristik Media Televisi dan
Dance4life
Jenis Medium
Karakteristik
Televisi Dance4life
Audio Musik, suara Musik, suara
Visual Gambar gerak 2D Gambar gerak video, gerakan
tari, penyuluh/fasilitator
Teks Dialog Dialog, lirik lagu, leaflet
1.6.2 Reception Analysis Audiens Dance4life
Penelitian ini berangkat dari studi audiens, dimana audiens Dance4life
ditempatkan sebagai objek penelitian. Audiens dalam penelitian ini adalah audiens
sebagai penonton dan partisipan dalam serangkaian kegiatan dalam Dance4life.
Sedangkan proses komunikasi yang ingin dilihat adalah tentang “pemaknaan” pesan
oleh audiens tersebut. Pembedahan konsep ini dengan menggunakan reception
analysis, karena dalam studi reception analysis, audiens adalah partisipan yang aktif
dalam membangun dan menginterpretasikan makna atas apa yang mereka baca,
dengar dan lihat sesuai dengan konteks budaya.
Pemaknaan pesan oleh audiens Dance4life mengacu pada segala bentuk
interpretasi, pemahaman, opini, dan pandangan. Peneliti juga berusaha
mengidentifikasi pengalaman (experience) dan emosi yang dirasakan oleh audiens
saat mengikuti serangkaian kegiatan yang ada dalam Dance4life. Secara spesifik,
peneliti mengidentifikasi pemaknaan audiens terhadap media video moodclip
Dance4life; tarian dan lirik lagu Dance4life; dan materi HIV dan AIDS yang ada dalam
Dance4life.
16
1.7 Metodologi Penelitian
1.7.1 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan pendekatan kualitatif.
Penelitian kualitatif merupakan salah satu metode penelitian yang bertujuan untuk
mendapatkan pemahaman tentang kenyataan melalui proses berpikir induktif.
Merujuk pada fenomena dalam permasalahan yang diusung yakni mengenai
perbedaan audiens dalam meresepsi pesan, maka peneliti menggunakan metode
analisis resepsi (reception analysis). Analisis resepsi yaitu metode yang bercirikan
keterlibatan langsung di lapangan yang memungkinkan peneliti menjadi tidak
berjarak dengan objek penelitian. Analisis resepsi merupakan salah satu fokus studi
yang mempelajari audiens aktif. Metode ini peneliti pilih dengan asumsi melalui
metode ini peneliti dapat melihat secara langsung bagaimana audiens meresepsi
pesan dalam Dance4life yang diberikan. Metode peneliti gunakan untuk melihat
penerimaan remaja atas edukasi HIV dan AIDS serta pesan anti diskriminasi Orang
Dengan HIV dan AIDS (ODHA).
Terdapat tiga elemen dalam reception analysis, yaitu mengumpulkan,
menganalisis, dan menginterpretasikan data. Hal pertama yang dilakukan adalah
mengumpulkan data berupa kata, frasa, maupun kalimat yang diungkapkan oleh
audiens, yakni dengan wawancara, observasi, dan kritik teks26, ataupun etnografi.
Kedua, menganalisis hasil wawancara audiens dengan menganalisis wacana yang
muncul melalui penarikan kutipan yang menyolok. Ketiga, menginterpretasikan
pengalaman/penerimaan audiens tentang media dengan referensi konstan pada
konteks wacana media dan juga pada konteks sosial umum.
Analisis resepsi ini mencoba untuk membuka dan menguraikan pemahaman
individu secara nyata tentang apa yang telah audiens alami dan rasakan.
Pemahaman tersebut meliputi pemaknaan audiens atas pesan-pesan yang mereka
terima selama mengikuti aktivitas dalam program Dance4life antara lain inspire,
educate, activate, dan celebrate. Perbedaan aktivitas yang mereka jalani akan
menunjukkan adanya perbedaan pengalaman atas program Dance4life yang telah
26 Klaus Bruhn Jensen dan Nicholas W. Jankowski. 1993. A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research. London: Routledge. Hal. 139.
17
mereka ikuti. Aktivitas audiens dapat berbeda-beda berdasar pada kebijakan
sekolah dimana mereka mengikuti program maupun jalur lain yang dilalui audiens
untuk mengikuti program ini.
Melalui pendekatan analisis resepsi peneliti dapat melihat mengapa audiens
memaknai sesuatu secara berbeda serta faktor-faktor psikologis dan sosial apakah
yang kemudian akan muncul dalam bentuk pemikiran. Faktor psikologis yang akan
mempengaruhi pemikiran audiens dapat meliputi faktor kedekatan atas media yang
digunakan maupun materi pesan dalam program Dance4life. Sedangkan faktor
sosial yang melingkupi para audiens dalam melakukan pemaknaan pesan dapat
meliputi latar belakang sekolah dan lingkungan belajar mereka selama ini.
1.7.2 Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah audiens dari Dance4life. Audiens dari
Dance4life terdiri dari para remaja yang merupakan siswa dari Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota Yogyakarta, maupun di
kabupaten sekitarnya seperti Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul.
Perbedaan geografis sekolah-sekolah yang disasar inilah yang menjadi dasar
perbedaan latar belakang sosial dan budaya para audiens. Pada penelitian ini akan
diambil audiens yang berasal dari kota Yogyakarta dan Kulon Progo. Pemilihan dua
daerah kabupaten ini berdasar dari kemudahan aksesibilitas dalam pengambilan
informan yang merupakan audiens dari Dance4life.
1.7.3 Teknik pengumpulan data
a. Observasi partisipatif
Melalui teknik ini peneliti mengikuti aktifitas yang dilakukan audiens
selama berjalannya program yang terdiri dari serangkaian kegiatan
Dance4life yang meliputi tahap inspire, educate, activate dan celebrate.
Hal tersebut dilakukan untuk dapat melihat bagaimana konteks sosial
sesungguhnya dan melihat adanya perubahan perilaku maupun
18
perubahan sosial27 yang dilakukan audiens. Namun, observasi
ditekankan khususnya pada tahap inspire dan educate karena pada
kedua tahap inilah pesan-pesan besar Dance4life disampaikan baik
melalui video, interpersonal komunikasi, tarian, dan lirik lagu.
b. Wawancara Terbuka
Untuk mengumpulkan data awal dalam menyeleksi kredibilitas
informan, peneliti melakukan wawancara terbuka kepada beberapa
informan dengan mengajukan pertanyaan seputar pengalaman awal
mereka dalam mengikuti Dance4life. Wawancara terbuka dilakukan
kepada beberapa calon informan dari daerah cabang, yakni Kulon Progo.
c. Sensus Sederhana
Sensus sederhana merupakan form yang didalamnya meliputi poin-poin
biodata informan dan beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.
Sensus sederhana ini diajukan kepada calon-calon informan yang
nantinya diseleksi lebih lanjut oleh peneliti untuk mendapatkan
informan yang sesuai dan kredibel. Melihat banyaknya siswa SMP dan
SMA yang telah mengikuti Dance4life, sensus sederhana ini dilakukan
guna mempermudah tahapan seleksi informan di samping wawancara
terbuka.
d. Indepth Interview
Untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam terdapat satu
jenis khusus wawancara, yakni wawancara mendalam atau indepth
interview. Indepth interview didefinisikan sebagai suatu cara
mengumpulkan data atau informasi wawancara langsung bertatap muka
dengan informan agar mendapat data lengkap dan mendalam28. Dari
27Perubahan sosial dalam konteks Dance4life berarti bahwa orang-orang yang melakukan perubahan agar a)dapat mempengaruhi opini publik dan komunitasnya untuk perubahan perilaku dan sikap terhadap HIV, AIDS dan SRHR (Sexual Reproductive and Healthy Rights) untuk remaja serta menghilangkan stigma dan tabu terkait dengan isu HIV AIDS dan SRHR b)menyumbangkan pada kemajuan untuk kebijakan dan layanan. 28 Rahmat Kriyantono. 2006. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Hal. 97
19
wawancara mendalam akan didapatkan pemahaman mengenai
pandangan, sikap, tanggapan, opini, serta perasaan audiens pada
Dance4life. Terutama akan didapatkan data mengenai makna yang
dibentuk oleh audiens dan kesesuaiannya dengan makna yang
diinginkan muncul oleh pembuat pesan.
Pedoman wawancara (interview guide) yang berisi pokok-pokok
pertanyaan akan digunakan dalam pelaksanaan wawancara. Teknik
wawancara digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan informasi
langung dari sumbernya atau pihak yang diperkirakan mengetahui
sesuatu mengenai objeknya. Rekaman hasil wawancara kemudian
dibuat menjadi transkrip.
e. Dokumentasi
Dalam sepanjang proses observasi maupun penelitian, dokumentasi
menjadi salah satu hal penting. Dokumentasi yang dilakukan oleh
peneliti yakni berupa pengumpulan foto maupun video rekaman dari
berjalannya program kampanye. Foto dapat menghasilkan data
deskriptif yang dapat dipakai untuk menelaah segi-segi subjektif dan
hasilnya dapat dianalisis secara induktif. Foto-foto maupun video
rekaman dapat menjadi data pendukung dari penelitian yang
dilaksanakan karena pada dasarnya aktivitas dari informan dapat telihat
dari momen-momen dalam kegiatan yang dikerjakan selama
berjalannya Dance4life.
f. Studi Pustaka
Peneliti menggunakan teknik ini sebagai media untuk memperkaya
wawancara (teori) yang relevan dan berkaitan dengan objek yang akan
diteliti. Peneliti melakukannya dengan cara membaca literatur yang
terdapat dalam buku, internet, dan tulisan lain yang berhubungan
dengan topik penelitian.
20
1.7.4 Teknik Pengambilan Informan
Dalam penelitian ini informan merupakan sumber atau pelaku fenomena.
Informan dipilih berdasarkan pada karakteristik tertentu yang dianggap memiliki
sangkut paut dengan karakteristik sasaran audiens dari Dance4life. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan pemahaman secara rinci mengenai pemaknaan
audiens terkait edukasi HIV dan AIDS serta pesan anti diskriminasi orang dengan
HIV dan AIDS (ODHA) dalam Dance4life. Oleh karena itu, audiens yang menjadi
target penelitian disesuaikan dengan target audiens dari Dance4life itu sendiri,
yakni remaja DIY yang memiliki latar belakang sosial dan budaya yang berbeda dari
segi umur, jenis kelamin, dan asal sekolah yakni dari SMP dan SMA di kota dan di
kabupaten/cabang.
Informan yang dipilih merupakan audiens yang mengikuti serangkaian kegiatan
yang disajikan oleh Dance4life khususnya pada tahap inspire dan educate, karena
pada kedua tahap inilah pesan-pesan besar Dance4life disampaikan baik
menggunakan video, interpersonal komunikasi, tarian, dan lirik lagu. Informan yang
dipilih adalah audiens yang memiliki ragam pengalaman berdasarkan perbedaan
watu dalam mengikuti Dance4life. Ragam perbedaan pengalaman diharapkan akan
menunjukkan perbedaan resepsi dan pemahaman atas terpaan Dance4life yang
diterima tiap informan.
1.7.5 Teknik Analisis Data
Data pada penelitian ini dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu: keyakinan
audiens atas dampak positif dan negatif Dance4life; minat audiens terhadap
Dance4life; makna dari Dance4life; dan pengetahuan dalam Dance4life. Analisis data
dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahapan kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi29. Adapun penjelasannya adalah sebagai
berikut:
29 Matthew B. Miles dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UI Press. Hal. 16-19
21
a. Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data-data kasar yang
muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data dilakukan
dengan memilih catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data dilakukan
dengan memilih bagian-bagian mana yang dikode, membuang data,
membuat pola-pola untuk meringkas bagian-bagian yang tersebar, dan
mengungkapkan cerita yang sedang berkembang.
b. Penyajian data
Penyajian data diartikan sebagai kumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Dengan melihat penyajian data maka dapat dipahami apa yang
sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan berdasarkan pemahaman yang
diperoleh dari penyajian-penyajian data tersebut. Penyajian data dilakukan
dengan tabel, dan teks naratif.
c. Menarik kesimpulan/verifikasi
Dari permulaan pengumpulan data, seorang penganalisis kualitatif mulai
mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan,
konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi. Bagian ini akan
berisi analisis dan interpretasi data resepsi audiens. Data yang didapat
tersebut kemudian akan dijelaskan dengan mengaitkan pada konteks, baik
konteks isi media maupun konteks sosial yang luas, dengan merujuk pada
konsep/teori berdasarkan literatur.
top related