bab 2 tinjauan pustaka 2.1. usus besar dan...
Post on 06-Feb-2018
243 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Usus Besar dan rectum
2.1.1. Anatomi dan histologi normal Panjang usus besar (kolon dan rectum) 1.500cm, yang terdiri dari
sekum, kolon asenden, kolon tranversum, kolon desenden, kolon
sigmoid dan rektum. Dinding usus besar mempunyai tiga lapis yaitu
lapisan mukosa (bagian dalam), yang berfungsi untuk mencernakan
dan absorpsi makanan, lapisan muskularis (bagian tengah) yang
berfungsi untuk menolak makanan ke bagian bawah, dan lapisan
serosa (bagian luar), bagian ini sangat licin sehingga dinding usus
tidak berlengketan satu sama lain di dalam rongga abdomen.1,3,5
Berbeda dengan mukosa usus halus, pada mukosa kolon tidak
dijumpai villi dan kelenjar biasanya lurus-lurus dan teratur. Permukaan
mukosa terdiri dari pelapis epitel tipe absortif (kolumnar) diselang
seling sel goblet. Pelapis epitel kripta terdiri dari sel goblet. Pada
lamina propria secara sporadik terdapat nodul jaringan limfoid. Sel
berfungsi mengabsorpsi air, lebih dominan pada kolon bagian
proksimal (asendens dan tranversum), sedangkan sel goblet lebih
banyak dijumpai pada kolon desenden. Lamina propria lebih seluler
(sel plasma, limfosit dan eosinofil) pada bagian proksimal dibanding
dengan distal dan rektum. Pada bagian distal kolon, sel plasma hanya
ada dibawah epitel permukaan. Sel paneth bisa ditemukan pada
sekum dan kolon asenden. Pada anus terdapat sfingter anal internal
(otot polos) dan sfingter anal eksternal (otot rangka) yang mengitari
anus.(20-24)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Anatomi kolon dan rektum22
Gambar 2.2. Histologi kolon24
2.1.2. Fisiologi kolon
Kolon mengabsorpsi air sampai dengan 90% dan juga elektrolit,
sehingga mengubah kimus dari cairan menjadi massa semi padat,
Universitas Sumatera Utara
disebut eses. Kolon tidak memproduksi enzim, tetapi hanya mukus.
Terdapat sejumlah bakteri pada kolon, yang mampu mencerna
sejumlah kecil selulosa, dan menghasilkan sedikit nutrien bagi tubuh.
Bakteri juga memproduksi vitamin K dan juga gas, sehingga
menimbulkan bau pada feses. Secara imunologis, oleh karena banyak
limfonodus terutama di aappendiks dan rektum; dan sel imun dilamina
propria. Feses juga bewarna coklat yang disebabkan pigmen
empedu.(22-30)
2.2. Kolitis ulserosa Kolitis ulserosa merupakan radang kronik non spesifik pada mukosa
kolon yang dapat meluas ke bagian proksimal bersifat difus, ulseratif
dan sering kambuh setelah dalam periode tertentu secara klinis
tenang. Pada kolitis ulserosa berat, semua mukosa usus besar
terkena dan ileum termanilis ikut meradang yang disebut “back wash
ileitis”. Kolitis ulcerosa terjadi pada garis antara rektum dan kolon yang
dapat menyebabkan nekrosis (kematian sel). Hal ini sering terjadi
pada daerah kolon yang mengakibatkan perdarahan dan pengeluaran
pus. Peradangan ini mengakibatkan diarhea yang akibatnya kolon
sering dalam keadaan kosong. Jika peradangan terjadi pada rektum
dan bagian bawah dari kolon disebut proctitis ulcerosa, sedangkan jika
terkena daerah kolon disebut juga pankolitis. Kolitis ulserosa secara
umum adalah penyakit oleh karena radang pada usus halus dan usus
besar. Kesulitan diagnosa karena gejala pada penyakit ini harus dapat
dibedakan, dengan tipe yang lain yaitu Crohn disease. Penyakit Crohn
berbeda karena peradangan lebih dalam pada dinding usus dan dapat
mengenai pada bagian lain dari sistem percernaan termasuk usus
halus, mulut, osephagus dan lambung 1,2,3
Universitas Sumatera Utara
2.2.1. Epidemiologi Kolitis ulserosa terjadi dengan frekuensi yang sama pada pria dan
wanita. Paling sering pada usia 20-30 tahun dan 70-80 tahun,
walaupun begitu dapat dijumpai pada semua umur. Dilaporkan bahwa
20% penderita kilitis ulcerosa mempunyai keluarga yang menderita
penyakit kolitis ulcerosa dan Crohn disease. Insiden paling tinggi
terdapat pada kulit putih dan Yahudi. Perkiraan insiden di Amerika
Utara dan Eropa berkisar 4-20 orang/100.000 penduduk. Insiden
kolitis ulserosa tampaknya meningkat dalam dua dekade terakhir
insiden terjadinya displasia pada kolitis ulcerosa sulit untuk
diperkirakan. Pada beberapa studi 5% dari insiden terjadi setelah 10
tahun dan 25% terjadi setelah 20 tahun. Secara keseluruhan dari
karsinoma kolorektal terjadi insiden 3-43% pada penderita kolitis
ulcerosa selama 25-30 tahun. Maka resiko peningkatan terjadinya
karcinoma kira-kira 1-2% setalah 10 tahun pertama terkena penyakit
kolitis ulserosa.11
2.2.2. Etiologi Penderita biasanya mempunyai gangguan pada sistem auto immun,
tetapi para ahli tidak mengetahui apakah abnormalitas ini adalah
faktor penyebab atau akibat dari penyakit ini. Sistem kekebalan tubuh
dipercaya memberikan reaksi kepada bakteri di dalam saluran
pencernaan. Gangguan emosional atau sensivitas dari makanan
tertentu mungkin sebagai pemicu pada beberapa orang. Banyaknya
persoalan dalam kehidupan para penderita kolitis ulcerosa mungkin
juga memberikan kontribusi untuk memperburuk penyakit ini. Satu
teori mengatakan kemungkinan interaksi virus atau bakteri dengan
sistem kekebalan tubuh menimbulkan reaksi peradangan sistem
Universitas Sumatera Utara
dinding usus. Identifikasi pada beberapa gen tidak dapat dipastikan,
tetapi pada beberapa studi tampak diturunkan pada kromosom 3, 5, 7
dan 12.
Para pakar memfokuskan penyebab pada 4 faktor genetik sebagai
faktor predisposisi yaitu infeksi, gangguan immunologi dan
psikosomatik. Prevalensi kolitis ulserosa lebih banyak pada kelompok
keluarga dari populasi umum, merupakan petunjuk genetic mungkin
sebagai predisposisi. Simptom diare yang tiba-tiba memberikan kesan
bahwa kolitis ulserosa merupakan penyakit infeksi walaupun mikro
organisme penyebab belum dapat diidentifikasi. Adanya antibodi
makanan protein dalam sirkulasi darah penderita dan mekanisme
“Immun mediated” merupakan petunjuk bahwa kolitis ulserosa
mungkin ada kaitannya dengan faktor autoimmun. Selain dari penyakit
ini sering disertai artritis reumatik dan uveitis. Hal ini menguatkan
dugaan bahwa autoimmune merupakan faktor menyebab kolitis
ulserosa. Etiologi dan patogenesis dari kolitis ulserosa juga
diperkirakan dari banyak hal, contoh: merokok sebagai penghalang,
apendektomi berisiko ringan terbentuknya penyakit ini.Secara
signifikan peningkatan jumlah HLA-A11 dan HLA-A7 terjadi disini.(8-12)
2.2.3. Gambaran Klinis Gejala klinis yang paling dominan pada penderita kolitis ulserosa
adalah sakit pada perut dan diarrhea yang disertai pendarahan. Di
camping itu dapat juga dijumpai anemia, kelelahan (mudah lelah),
kehilangan berat badan, pendarahan pada rektum, kehilangan nafsu
makan, kehilangan cairan tubuh dan gizi, lesi pada kulit dan radang
sendi, pertumbuhan yang terganggu, terutama anak-anak.
Universitas Sumatera Utara
Hanya sebagian pasien yang terdiagnosa dengan kolitis ulserosa yang
mempunyai gejala, yang lain kadang-kadang menderita demam,
diarrhea dengan perdarahan, nausea, rasa nyeri pada perut yang
hebat. Kolitis ulcerosa juga dapat menimbulkan gejala seperti arthritis,
radang pada mata (uveitis), hati (sclerossing cholangitis) dan
osteoporosis. Hal ini tidak dapat diketahui bagaimana bisa terjadi di
luar dari kolon, tetapi para ahli berfikir komplikasi ini dapat terjadi
akibat pencetus dari peradangan yaitu sistem immune. Sebagian
problem seperti ini tidak jadi masalah jika kolitis dapat diobati.
Gambar 2.3. Gambaran klinis16
2.2.4. Patologi
Makroskopis, kolitis ulserosa lebih banyak berjangkit pada daerah
rektum dan sigmoid namun dapat meluas ke mukosa kolon proksimal
segmen berikutnya. Berbeda dengan penyakit Crohn dimana usus
yang terjangkit adalah ileum terminalis dan sekum, batas antara
mukosa yang kena dengan mukosa normal jelas, sedangkan pada
kolitis ulserosa mukosa yang terkena sifatnya difus dan batas sulit
ditentukan dengan jaringan yang normal. Kolitis ulserosa dimulai
Universitas Sumatera Utara
dengan mikrobases pada kripta dan kemudian beberapa abses
bersatu membentuk ulkus melibatkan mukosa dan submukosa.
Histopatologi, pada pinggir ulkus terdapat infiltrasi sel radang neutrofil,
limfosit dan sel plasma dan tidak dijumpai proses granulomatosa.
Pada yang normal dijumpai juga sel radang dan untuk
membedakannya secara histopatologi tampak distribusi sel radang
pada kolitis ulserosa lebih dari setengah kelenjar mukosa dan adanya
kongesti pembuluh darah. Pada stadium lanjut, kolitis ulserosa timbul
penonjolan mukosa di antara ulkus yang disebut pseudopolip.
Penyakit yang sudah lama dan berulang dengan kelainan mukosa
yang luas disertai adanya pseudopolip merupakan resiko terhadap
karsinoma.
Pada kasus yang sering berulang-ulang, karsinoma yang timbul
sebagai komplikasi kolitis ulcerosa bersifat lebih ganas, cepat tumbuh
dan metastase.
n dapat dipertimbangkan tindakan kolektomi. Tujuannya adalah
mencegh terjadinya terjadinya karsinoma dan menghindari penyaki
Kolitis Ulserosa
Letak Lesi P. Darah Mukosa
Intra Abdomen kanan Difus Superfisial Tidak ada fisura Granulomatosa (-) Perdarahan sering Dilatasi Ederma Mikroabseskripta Tidak ada fisura
Universitas Sumatera Utara
Rektum Ileum Efek terapi
Potensial karsinoma Selalu terlibat Tidak terlibat, kecuali “Back wash” Positif
Kolitis ulserosa pada beberapa kasus akan menetap pada daerah
rektum (proctitis ulceratif). Namun pada beberapa keadaan dapat
menyebar kebagian proksimal dan kadang melibatkan seluruh kolon
(pankolitis). Pada bentuk yang akut permukaan mukosa ditandai
adanya perdarahan mucus, ptechia juga sering dijumpai. Bentuk ulkus
bervariasi dengan konfigurasi yang irregular. Beberapa tukak merusak
mukosa hingga sub mucosa. Tukak yang meluas secara longitudinal
dan dijumpai juga yang transversal bukan gambaran kolitis ulcerosa
tapi gambaran kolitis granulomatous). Nodul kemerahan (cecil)
Pseudopolip sering dijumpai pada kolitis ulcerosa dengan permukaan
yang rata. Secara khas bentuk kecil dan multipel, jarang mempunyai
konfigurasi bentuk villiformis. Kadang-kadang bisa mencapai ukuran
yang sangat besar yang mana secara klinik atau radiology dicurigai
sebagai karsinoma. Pada stadium yang lebih kanjut seluruh usus akan
mengalami pemendekan dan menyempit. Sterosis dan sikatriks yang
dihubungkan dengan masa peradangan bisa menimbulkan masalah
dalam diagnosa dari karsinoma. Sebagian besar dinding usus
mengalami atrofi yang hebat dan peningkatan lemak-lemak di sekitar
kolon. Pada stadium yang menetap (quissence), tukak tidak dijumpai,
mukosa atrofi dan tampak penimbunan lemak yang luas. Pada
beberapa kasus ini, gambaran mukosa secara macros tampak
normal.Secara ringkas gambaran dari kripta simple dan tubular,sel
Universitas Sumatera Utara
epitel absortif banyak,inti dibasal,goblet sel banyak dan clear epithel.
Dalam perjalanan penyakit, kolitis ulserosa dibagi dalam 3 tahap yaitu:
1. Kolitis ulserosa dini aktif; 2. Kolitis ulserosa aktif kronik; dan 3.
Kolitis ulseratif tenang.
2.2.5 Klasifikasi kolitis Ulserosa A. Kolitis ulserosa dini aktif
Pada pemeriksaan endoskopik tampak mukosa rektum hipermia dan
edema, erosif dan ulserasif kecil. Gambaran histopatologi biopsi,
menunjukkan kelainan kombinasi antara erosi dan ulserasi. Kuantitas
elemen kelenjar mukosa berkurang atau menghilang dan vaskularisasi
pada lamina propria bertambah. Pada kripta tampak mikroabses yang
terdiri dari kumpulan sel radang neutrofil dan limfosit. Mikroabses
kemudian pecah dan proses radang meluas pada submukosa.
Gambar 2.4. Mikroabses pada kripta4
Universitas Sumatera Utara
B. Kolitis ulserosa kronik aktif Pada tahap ini, terdapat lesi kombinasi radang aktif dan proses
penyembuhan dengan regenerasi mukosa. Mikroabses pada kripta
jumlahnya berkurang atau menghilang, pada lamina propria jaringan
limfoid mengalami hiperplasia. Kelenjar mukosa mengalami
hiperplasia, muncul dalam bentuk psedopolip.
C. Kolitis Ulserosa Tenang
Pada stadium tenang, mukosa lebih tipis. Walaupun ada proses
regenerasi kelenjar, menonjol, akan tetapi vaskularisasi sudah
berkurang. Bila kolitis ulserosa sudah berlangsung lama, dapat
dijumpai displasia atau prakanker. Itulah alasannya ulserosa dianggap
sebagai resiko tinggi untuk karsinoma kolon dan rektum.
2.2.6 Diagnosa
Banyak cara yang digunakan untuk mendiagnosa kolitis ulserosa.
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk pemeriksaan anemia yang
disebabkan adanya perdarahan dari kolon atau rektum, juga
peningkatan leukosit merupakan tanda adanya radang. Pemeriksaan
feses dapat juga menunjukkan adanya leukosit, yang mana hal ini
menunjukkan adanya indikasi kolitis ulserosa atau penyakit yang
disebabkan oleh peradangan. Sebagai tambahan, sampel dari faeces
menunjukkan bahwa perdarahan atau radang dari kolon/rektum
disebabkan oleh bakteri, virus atau parasit.
Kolonoskopi atau sigmoidoskopi adalah pemeriksaan yang akurat
untuk mendiagnosa kolitis ulserosa dan mengesampingkan
kemungkinan seperti penyakit Crohn, divertikular dan kanker. Untuk
pemeriksaan tersebut dimasukkan sebuah endoskopik yang panjang
Universitas Sumatera Utara
dan fleksibel yang dihubungkan dengan komputer dan TV monitor.
Melalui anus dilihat ke rectum sampai colon, dalam hal ini dilihat
apakah dijumpai peradangan, perdarahan atau tukak dari dinding
kolon. Selama pemeriksaaan dapat dilakukan biopsi yang diambil dari
jaringan kolon untuk dilakukan pemeriksaan yang lebih akurat
(hispatologi). Kadang-kadang x-ray seperti Barium enema atau CT-
scan juga dapat digunakan untuk mendiagnosa kolitis ulserosa.(19-25)
Universitas Sumatera Utara
Table 2.1(Fenoglio-Peiser, 1999)
Acute stage
Resolving stage
Chronic-healed stage
Vascular congestion ++ +
Mucin depletion + - Cryptitis, crypt abscess
++ -
PMN, eosinophils, and mast cells
++ +
Luminal pus ++ - Basal plasma cells ++ ++ Epithelial regeneration
- ++
Expantion of mitotic active cell
- ++
Architectural distortion :
Atrophy Branching Crypt shortening Villous surface
++ ++ ++ ++
Metaplasia pyloric ++ Metaplasia paneth cell
++
Lymphoid hyperplasia ++ Villiformis polyposis ++ Epithelial displacement
++
Increased mononucleous
++
Endocrine cell metaplasia
++
Squamous metaplasia
++
Universitas Sumatera Utara
2.3. Displasia pada kolitis ulserosa
Terjadinya adenokarsinoma kolon didahului oleh inflamasi kronis,
proliferasi sel, ”metaplasia“, dan displasia. Inflamasi kronis yang
didominasi oleh makrofag, bersama dengan leukosit akan
menimbulkan reactive oxygen dan nitrogen spesies.Bila berlama-
lama, agen-agen tersebut akan terganggu dan bermutasi
(peroxynitrate). Mutasi tersebut terjadi di dalam proliferasi epitel
stroma. Makrofag dan limfosit-T akan mempengaruhi TNF-α dan
makrofag inhibitory factor, akibatnya DNA rusak. Displasia dapat
terjadi di semua bagian kolon, namun sering paralel terhadap lokasi
kanker dan mungkin terjadi sebagai fokus terisolasi, namun lebih
sering multiple dan kadang-kadang difus. Displasia secara
makroskopis dapat diklasifikasikan sebagai lesi yang datar atau
meninggi sedikit. Faktor resiko yang paling kuat untuk terjadinya
displasia atau karsinoma ialah luas dan lamanya penyakit. Beberapa
studi yeng menyokong bahwa sclerossing cholangitis merupakan
faktor resiko yang bermakna. Faktor resiko yang masih kontroversial
termasuk onset umur yang muda, riwayat keluarga dengan karsinoma
kolon dengan defisiensi asam Folat. Secara umum, pasien dengan
kolitis ulserosa yang lebih 8 tahun adalah faktor yang bermakna untuk
terjadinya displasia dan karsinoma. Insiden terjadinya displasia pada
kolitis ulcerosa sulit untuk diperkirakan. Pada beberapa studi, 5% dari
insiden terjadi setelah 10 tahun dan 25% terjadi setalah 20 tahun.
Secara keseluruhan dari karsinoma kolorektal terjadi insiden 3-43%
pada penderita kolitis ulserosa selama 25-35 tahun. Maka resiko
Universitas Sumatera Utara
peningkatan terjadi karsinoma kira-kira 1-2% setelah 10 tahun
pertama terkena penyakit kolitis ulserosa.
Gambaran kelenjar pada displasia tampak distorsi, inti sel sudah tidak
normal susunannya dilapisan membran basal,goblet sel menurun dan
dark purple epithelium
Secara makroskopis, dengan pemeriksan endoskopi displasia bisa
tampak berupa lesi yang rata (flat) atau sedikit meninggi (DALM =
Displasia Associated Lession of Mass). Secara mikroskopis,
perubahan atipik pada kolitis ulcerosa dibedakan dalam 3 kategori
yaitu : Negatif displasia, Indefinite displasia, dan positive displasia.
Gambar 2.5. Indefinite displasia2
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.6. Positif displasia2
2.4. Adenokarsinoma kolorektal
Di dunia kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat
insiden dan mortalitas. Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden
kanker kolorektal dengan tingkat mortalitas lebih dari 50%. 9,5 persen pria
penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita
angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker.23
Insidens meningkat sesuai dengan usia, jarang sebelum usia 40 tahun
kecuali pada individu dengan predisposisi genetic atau kondisi
predisposisi seperti chronic inflammatory bowel disease. Faktor terjadinya
kanker kolon yaitu adanya polip dan faktor genetik . Faktor genetik ini
terdiri dari riwayat keluarga dan herediter kanker kolorektal dengan
dijumpai allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker
kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon.
Dua sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi menuju kanker
kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu familial adenomatous
polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer
(HNPCC).24
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. World Health Organization Classification of Colorectal Carcinoma Adenocarcinoma Medullary carcinoma Mucinous (colloid) adenocarcinoma (_50% mucinous) Signet-ring cell carcinoma (_50% signet-ring cells) Squamous cell (epidermoid) carcinoma Adenosquamous carcinoma Small-cell (oat cell) carcinoma Undifferentiated carcinoma Other (e.g., papillary carcinoma) The term “carcinoma, NOS” (not otherwise specified) is not part of the WHO classification. Tabel 2.3. Prognostik factor adenocarcinoma colon
Universitas Sumatera Utara
sssssHHH Secara mikroskopis tampak kelenjar distorsi, inti sel sudah berlapis-lapis, pleomorfik, mitotik lebih banyak dan goblet sel hampir tidak ada.
Gambar 2.7 7 Adenokarsinoma kolon13
2.5. Carcinoembryonic antigen dan Peranan pada kolitis ulserosa Penelitian korelasi ekspresi CEA dan aktivitas dengan pewarnaan ini
untuk mendeteksi antigen walaupun sedikit didalam jaringan kolitis
ulserosa dan hal ini dengan teknik jaringan yang difiksasi dengan
formalin, blok parafin dan pewarnaan dengan carcinoembryonic
antigen (CEA), diharapkan adanya konfimasi sel-sel epitel abnormal
pada mukosa. Hal ini berhubungan dengan lamanya menderita kolitis
ulserosa. CEA dapat mendeteksi adanya adenocarcinoma colon (Gold
& Freedman), karena mempunyai antigen yang sama (homolog)
dengan jaingan kolon pada fetal. CEA terdiri dari oncofetal 200 kD
glycoprotein bersifat heterogen yang biasannya disekresikan pada
permukaan glycocalyx saluran cerna (gastrointestinal). Pewarnaan
dengan CEA penting digunakan pada karsinoma payudara, kolon,
serviks dan ovarium, juga memberikan tampilan yang positif pada
Universitas Sumatera Utara
karsinoma pankreas, testis, kandung kemih dan granular cell
myoblastoma, CEA akan memberikan hasil negatif pada tumor otak
,prostat ,kulit ,hati,esopagus dan mesothelioma. Pada pasien dengan
kolitis ulserosa yang lama ,akan memberikan resiko untuk terjadinya
displasia ringan-berat dan karsinoma kolorektal. Kolonoskopi adalah
yang terbaik untuk menduga displasia atau kanker yang dilanjutkan
dengan biopsi.(10-21)
2.6. Pewarnaan Imunohistokimia untuk CEA Antibodi CEA dikenal juga sebagai CD66e, tersedia dalam bentuk
polyclonal (pCEA) atau monoclonal (Mcea ). Pada penelitian ini
dipakai monoclonal antibodi CEA. Simbol gen yaitu CEA-CAM5
dengan gene map locus : 19q13.1 –q13.2(manusia). Formulasi dari
antibodi ini berisi cairan imunoglobulin terdiri dari 0.05% sodium azide
sebagai bahan pengawet.CEA digunakan terutama untuk
mengidentifikasi karsinoma pada saluran cerna bagian bawah dengan
menggunakan mikroskop cahaya. Hal ini dapat dilakukan pada
jaringan yang telah difiksasi dengan formalin, blok parafin. Pada
adenokarsinoma kolorektal, CEA menampilkan warna coklat pada
sitoplasma dan lumen membran sel, tetapi tidak tertampil pada
polymorphonuclear neutrophils (PMN) dan eritrosi. Hasil akhir dilihat
dengan memakai kontrol (intesitas kuat).
Universitas Sumatera Utara
top related