asma bronkial
Post on 06-Aug-2015
60 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
Asma bronkial merupakan salah satu penyakit kronis yang menyerang
saluran napas bagian atas dan seringkali dijumpai pada anak-anak. Penyakit ini
cukup mendapat perhatian serius karena prevalensinya yang cukup tinggi di
berbagai negara berkembang (Rahmawati et al., 2003). Berdasarkan sebuah
penelitian tentang asma yang dilakukan di Amerika Serikat, pada anak-anak
dengan usia berkisar 12 tahun di South Wales, prevalensi riwayat mengi
(wheezing) mengalami peningkatan dari 17% pada tahun 1973 menjadi 22% pada
tahun 1988 (Koh et al., 2002).
Adapun beberapa hal yang diduga menjadi penyebab meningkatnya
prevalensi asma maupun meningkatnya penyakit alergi diantaranya yaitu
tingginya tingginya tingkat polusi udara, baik di dalam ruangan (indoor) maupun
di luar ruangan (outdoor). Polusi udara yang terjadi di dalam ruangan seperti debu
ruangan yang jarang dibersihkan dan juga kadang-kadang asap rokok sedangkan
polusi yang terjadi di luar ruangan seperti asap yang disebabkan oleh kendaraan
bermotor, pabrik maupun rokok Polutan-polutan tersebut akan berefek pada
peningkatan hiperresponsifitas bronkus yang akan menimbulkan gejala klinis
berupa sesak napas. Oleh sebab itulah, faktor lingkungan sangat memegang
peranan penting dalam menentukan manifestasi penyakit ini (Pohar etal., 2003).
Pada penyakit ini, akan dijumpai peningkatan kepekaan saluran napas
yang memicu terjadinya periode mengi yang berulang, sesak napas dan batuk
yang seringkali terjadi pada waktu malam hari. Gejala-gejala ini berhubungan
dengan luasnya inflamasi, hal ini bisa menyebabkan obstruksi saluran napas
dengan derajat yang bervariasi dan bersifat reversible, baik secara spontan
maupun dengan pengobatan. Hal tersebut bisa diperberat jika ditemukan adanya
infeksi pada saluran napas yang bisa menyebabkan terjadinya eksaserbasi asma,
baik pada anak-anak maupun dewasa. Penyebab tersering infeksi saluran napas
adalah infeksi virus saluran napas biasanya rhinovirus, coronavirus atau influenza
(Rusli, 2003).
Asma selalu dihubungkan dengan gangguan pada mediator otot polos di
saluran napas dan kelainan struktur anatomi mukosa saluran napas. Dalam
2
beberapa tahun terakhir, telah dikemukkaan bahwa pada sistem mediator imun,
seperti halnya leukotrien, prostaglandin, faktor pengaktivasi platelet, serta
beberapa faktor seperti histamine dan bronkokonstriktor lainnya juga mampu
meningkatkan kepekaan sistem mediator imun pada saluran napas, sehingga
menimbulkan kontraksi otot polos pada bronchus. Meskipun begitu, penyebab-
penyebab terjadinya penyakit asma dikategorikan menjadi penyebab alergi dan
non alergi, tetapi tidak menutup kemungkinan bisa disebabkan oleh kedua faktor
tersebut.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Menurut Depkes (2009) asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi
(peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas
bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodic
berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama
pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan
atau tanpa pengobatan.
Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma
untuk kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak
(PNAA) menggunakan batasan operasional asma yaitu mengi berulang
dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara
episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya
faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara
spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi
lain pada pasien/keluarganya.
B. Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan
10% pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di
negara berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat
bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar
3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National
Center for Health Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak
usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada
dewasa > 18 tahun adalah 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum
masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding
perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir sama dan pada dewasa
laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding wanita (Rahajoe, 2004).
Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade
terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi.
4
WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma.
Berdasarkan laporan NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per
100 ribu. Sedangkan, laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma
yang meninggal pada usia 0-17 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak.
Namun secara umum kematian pada anak akibat asma jarang (Soepardi,
2007).
C. Etiologi dan Predisposisi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronchial (Betz Cecily, 2002).
1. Faktor Predisposisi
Yang diturunkan adalah bakat alergi meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit alergi. Karena
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma
bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus (Betz Cecily, 2002).
2. Faktor Presipitasi
a. Alergen
1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. Contoh: debu,
bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri, dan polusi.
2) Ingestan, yang masuk melalui mulut. Contoh: makanan dan obat-
obatan
3) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh:
perhiasan, logam, dan jam tangan.
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan
musim, seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini
berhubungan dengan arah angin, serbuk bunga, dan debu.
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus asma dan
memperberat serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan
5
motivasi untuk menyelesaikan masalah pribadinya karena jika
stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
d. Olah raga/aktivitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita akan mendapat serangan juka
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat.lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan asma (Coperneto, 2000).
e. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya
serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya
orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik
asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
f. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat
paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut
(Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR, 2010).
g. Sex
Terdapat bukti bahwa anak laki-laki lebih banyak mendapat asma
dari pada anak perempuan. Penelitian di USA menunjukan ratio
asthma pada laki-laki : perempuan antara 1,6:1, 2:1, 1,8:1. Ratio
wheezing pada anak laki-laki : perempuan 1:1
h. Etnis
Di Amerika prevalensi asma 50% lebih tinggi pada kulit hitam
daripada kulit putih. Adanya perbedaan prevalensi diantara kulit hitam
dan kulit putih menunjukan bahwa faktor genetik dan faktor etnis
mempengaruhi resiko terjadinya penyakit asma tapi dapat juga
perbedaaan tersebut disebabkan oleh karena perbedaan lifestyle yang
mempengaruhi lingkungan dimana mereka hidup
i. Atopik
Asma pada anak secara jelas ada hubungannya denga riwayat
atopi, baik yang dibuktikan dari pemeriksaan skin test maupun denga
6
pemeriksaan IgE serum, walaupun tak semua anak dengan gejal-gejala
asma yang jelas harus mempunyai riwayat atopi
j. Orang Tua perokok
Asap rokok memegang peranan penting dalam meningkatkan
resiko terjadinya rasthma pada anak. Ada hubungan yang jelas antara
orang tua yang merokok dengan asthma pada anak. Pada suatu studi
kohor dari 650 anak usia 5-9 tahun ditemukan bahwa 11.2% dengan
orang tua perokok mengalami wheezing yang menetap, dibandingkan
dengan 1.2% anak dari orang tua yang bukan perokok.
k. Infeksi saluran repirasi bagian bawah.
Suatu penelitian kohort selama 7 tahun menunjukkan bahwa anak
yang mendapatkan infeksi respirasi bagian bawah pada masa bayi
menunjukkan peningkatan prevalensi terhadap penyakit batuk,
wheezing, flue, selain itu terlihat lebih sering minum obat, lebih sering
ke dokter dibandingkan dengan anak yang pada masa bayinya tidak
mengalami infeksi saluran pernafasan bagian bawah.
Anak-anak dengan gejala asma yang menetap dilaporkan
mempunyai kecenderungan mendapatkan ineksi saluran pernafasan
bagian bawah pada masa bayi.
l. Faktor sosioekonomi
Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara
sosialekonomi dangan asthma pada anak. Penelitian di USA
menunjukkan bahwa insidensi penyakit asthma pada anak meningkat
pada keluarga kecil, pendapatan yang kecil dan sering berpindah-
pindah.
7
D. Klasifikasi
Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Asma (PDPI, 2004)
Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru
Intermitten Bulanan APE≥80%
- Gejala<1x/minggu.
- Tanpa gejala diluar serangan.
- Serangan singkat.
≤ 2 kali sebulan - VEP1≥80% nilai prediksi APE≥80%nilai terbaik.
- Variabiliti APE<20%.
Persisten ringan Mingguan APE>80%
- Gejala>1x/minggu tetapi<1x/hari.
- Serangan dapat mengganggu aktifiti dan tidur
>2 kali sebulan - VEP1≥80% nilai prediksi APE≥80% nilai terbaik.
- Variabiliti APE 20-30%.
Persisten sedang Harian APE 60-80%
- Gejala setiap hari.
- Serangan mengganggu aktifiti dan tidur.
- Membutuhkan bronkodilator setiap hari.
>2 kali sebulan - VEP1
60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik.
- Variabiliti APE>30%.
Persisten berat Kontinyu APE 60≤%
- Gejala terus menerus
- Sering kambuh- Aktifiti fisik
terbatas
Sering - VEP1≤60% nilai prediksi
APE≤60% nilai terbaik
- Variabiliti APE>30%
8
Tabel 2.2 Klasifikasi Episodik Asma
Parameter klinisKebutuhan obat, dan faal paru
Asma episodic jarang (asma ringan)
Asma episodic sering(asma sedang)
Asma persisten(asma berat)
1.Frekuensi serangan
3-4x /1tahun 1x/bulan ≥1/bulan
2.Lama serangan <1 minggu ≥1 minggu Hampirsepanjang tahun, tidak ada remisi
3.Intensitas serangan
Ringan Sedang Berat
4.diantara serangan
Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam
5.Tidur dan aktivitas
Tidak terganggu <3x/minggu
Sering terganggu>3x/minggu
Sangat terganggu
6.Pemeriksaan fisis diluar serangan
Normal, tidak ditemukan kelainan
Mungkin terganggu (ditemukan kelainan)
Tidak pernah normal
7.Obat pengendali
Tidak perlu Perlu, non steroid/ steroid inhalasi dosis 100-200 ụg
Perlu, steroid inhalasiDosis ≥400 ụg/hari
8.Uji faal paru(di luar serangan0
PEF/FEV1 >80%
PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 < 60%Variabilitas 20-30%
9.Variabilitas faal paru(bila ada serangan)
≥20% ≥30% ≥50%
9
E. Diagnosis Banding
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Pada PPOK sesak bersifat irreversibel, terjadi pada usia 40 tahun keatas
dan biasanya dengan riwayat paparan zat alergen dalam watu yang cukup
lama.
2. Bronkitis kronik
Keluhan sesak nafas disertai dengan batuk produktif yang terus menerus
selama 3 bulan dalam 2 tahun berturut turut.
F. Patofisiologi
1. Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot
polos bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel
inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4
yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh
saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post
ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran
nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta
terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada
keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan
lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi
bronkial dan debris seluler (Price, 2005).
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan
oleh penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur
pohon trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap
10
penyempitan saluran nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan
hiperventilasi untuk mendapatkan volume yang lebih besar, yang
kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini
meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara
pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada
kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan
interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga
kerjanya menjadi tidak optimal. Peningkatan usaha bernafas dan
penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas
(Price, 2005).
Gambar 2.1. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik
2. Hiperaktivitas saluran respiratori
Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang
menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui,
namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas
yang terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun
fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang
terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut (Jenice, 2005).
11
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika
pada pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg%
didapatkan penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang
merupakan kharakteristik asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit
yang lainnya seperti Chronic Obstruction Pulmonary Disease (COPD),
fibrosis kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga, udara dingin,
ataupun adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos
saluran nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut
akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat
disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya (Irawati, 2007).
3. Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot
bronkus. Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil
pada bagian elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks
ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien asma
berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai
tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur filamen
kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi
hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik (Price, 2005).
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui
melalui hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot
polos saluran nafas mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama
tidak direnggangkan sampai pada tahap akhir, yang merupakan fase
terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang menetap
atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder
terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan timbulnya
edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis (Sudoyo,
2006).
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase
dan protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot
polos untuk berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya
12
seperti histamin. Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot
polos secara langsung ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas
(Zul, 2007).
4. Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali
ditemukan pada saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling
saluran nafas merupakan karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas
akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu ditemukan pada
asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran nafas yang
persisiten pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan
dengan bronkodilator (Lynda, 2000).
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas.
Penebalan dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan
produksi musin saja tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel,
pengendapan albumin yang bersal datri mikrovaskularisasi bronkial,
eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis
(Sudoyo, 2007).
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi
yaitu mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan
hiperplasia dan mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel
granulasi. Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan oleh stimulus
lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan neuropeptidase
lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang
lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator
inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase,
kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease
(Price, 2005).
G. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
a. Asam bersifat episodic
13
b. Batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, berdahak.
c. Timbul/memburuk terutam pada malam hari atau dini hari
d. Diawali faktor pencetus
e. Riwayat penyakit keluarga asma
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : pasien terlihat gelisah, sesak (nafas cuping hidung, nafas
cepat) sianosis terkadang.
b. Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan asma
berat dapat terjadi pulsus paradoksus)
c. Perkusi : suara nafas normal sampai hipersonor
d. Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing, suara lendir, suara
vesikuler meningkat (Depkes, 2009).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri : pasa asma akibat obstruksi,terdapat nilai FEV1 mengalami
penurunan dan rasio antara FEV1 dan FVC mengalami penurunan.
Diagnosis asam pada pemeriksaan spirometri adalah dengan melihat
respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup.
Peningkatan Kapasitas Vital Paru melebihi dari 20 % bisa menunjukan
diagnosis asma.
b. Dahak : pada pemeriksaan mikroskopis, tampak gambaran spiral
Churschmann, badan Creola dan Kristal Charcot-Leyden serta 90%
dahak mengandung eosinofil
c. Radiologi: Gambaran radioologi asma ringan umunya normal, tetapio
pada asma berat dapat dijumpai bermacam-macam gambaran radiologi
yang disebabkan oleh komplikasi seperti atelektasis, pneumothoraks,
pneumomediastinum, atau pneumonia. Pada asma disertai obstruksi
berat, didapatkan gambaran radiologi hyperlucent, dengan pelebaran
sela antar iga, diafragma letak rendah, penumpukkan udara di daerah
refrosternal tetapi jantung masih dalam batas normal.
d. Pemeriksaan darah: leukosit meningkat, eosinofil meningkat pada asma
alergi 800- 1000 /mm3 ( Alsagaff, 2009).
14
e. Uji provokasi bronkhus.
Uji provokasi bronkus dengan cara pemberian histamin, metakolin yang
akan berpengaruh pada bronkus. Selain itu bisa dengan cara kegiatan
Jasmani, distimulasi dengan udara dingin, pemberian larutan garam
hipertonik dan aqua destilata. Penurunan VEP sebesar 20 % dianggap
bermakna.
f. Pemeriksaan eosinofil total
Jumlah Eosinofil dalam darah meningkat pada penderita asma dan hal
ini dapat membedakan asma dari bronkitis.
g. Foto Toraks
Pemeriksaan ini dilakukan guna menyingkirkan penyebab lain
obstruksi saluran napas dan adanyam kecurigaan terhadap proses
patologis di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks,
pneumomediastinum dan atelektasis (Sudoyo, 2006).
15
16
H. Penatalaksanaan
Non medikamentosa
1. Edukasi terhadap pasien dan keluarga
Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu edukasi
pada pasien dan orang tuanya mengenai penyakit, pilihan pengobatan,
identifikasi dan penghindaran alergen, pengertian tentang kegunaan obat
yang dipakai, ketaatan dan pemantauan, dan yang paling utama adalah
menguasai cara penggunaan obat hirup dengan benar. Edukasi sebaiknya
diberikan secara individual secaa bertahap. Pada awal konsultasi perlu
dijelaskan diagnosis dan informasi sederhana tentang macam pengobatan,
alasan pemilihan obat, cara menghindari pencetus bila sudah dapat
diidentifikasi macamnya. Kemudian perlu diperagakan penggunaan alat
inhalasi yang diikuti dengan anak diberi kesempatan mencoba sampai
dapat menggunakan dengan teknik yang benar (Sowden, 2002). Berikut
17
beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat diberikan
pada pasien dan keluarganya:
a. Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh
b. Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan
mengurangi paparan terhadap faktor pencetus
c. Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller
d. Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan
keluarganya mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan
guna mencegah asma menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga
memungkinkan penderita dan dokter menyesuaikan rencana
pengelolaan asma guna mencapai pengendalian asma jangka panjang
dengan efek samping minimal.
Dokter harus menjelaskan tentang perilaku pokok guna membantu
penderita menerapkan anjuran penatalaksanaan asma dengan cara:
a. penggunaan obat-obatan dengan benar
b. pemantauan gejala, aktivitas dan PEF
c. mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan
rencana yang sudah diprogramkan
d. segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara
efektif dengan dokter yang memeriksa
e. menjalankan strategi pengendalian lingkungan guna mengurangi
paparan alergen dan iritan;
Edukasi yang baik memupuk kerja sama antara dokter dan penderita (dan
keluarganya) sehingga penderita dapat memperoleh keterampilan
pengelolaan mandiri (self management) untuk berperan-serta aktif.
Penelitian yang dilakukan Guevara menunjukkan bahwa edukasi dapat
meningkatkan fungsi paru dan perasaan mampu mengelola diri secara
mandiri, mengurangi hari absensi sekolah, mengurangi kunjungan ke
UGD dan berkurangnya gangguan tidur pada malam hari sehingga sangat
penting program edukasi sebagai salah satu penatalaksanaan asma pada
anak (PDPI, 2004).
18
2. Mengevaluasi klasifikasi/keparahan asma
a. Kriteria asma terkontrol adalah :
1) Tidak ada gejala asma atau minimal
2) Tidak ada gejala asma malam
3) Tidak ada keterbatasan aktivitas
4) Nilai APE/VEP1 normal
5) Penggunaan obat pelega napas minimal
6) Tidak ada kunjungan ke UGD
b. Klasifikasi
1) Asma terkontrol total: bila semua kriteria asma terkontrol dipenuhi
2) Asma terkontrol sebagian: bila terdapat 3 kriteria asma terkontrol
3) Asma tak terkontrol: bila kriteria asma terkontrol tidak mencapai 3
buah
3. Menghindari pajanan terhadap faktor risiko
Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang
peran yang cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor
pencetus yang menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap salur an
respiratorik yang berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa, dan
hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat
mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik (Price, 2005).
Medikamentosa
Bronkodilator adalah obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2
golongan :
1. Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin)
a) Orsiprenalin (Alupent)
b) Fenoterol (berotec)
c) Terbutalin (bricasma)
Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup,
suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose
inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin
Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator (Alupent,
19
Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah menjadi
aerosol (partikel-partikel yang sangat halus) untuk selanjutnya dihirup.
2. Santin (teofilin)
a) Aminofilin (Amicam supp)
b) Aminofilin (Euphilin Retard)
c) Teofilin (AmilContoh)
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara
kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya
saling memperkuat.
Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai pada
serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh
darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya
sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang
mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini.
Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya
dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita
karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau
lambungnya kering).
Obat pencegah serangan asma :
1. Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah
serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi
terutama anak-anak. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat
anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu
bulan.
2. Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin.
Biasanya iberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan
obat ini adalah dapat diberika secara oral (Departemen Ilmu Penyakit
Paru FK UNAIR, 2010).
Berdasarkan pengobatan farmakologis sistemik anak tangga, maka berat
ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi 4 derajat :
a) Gejala intermiten (kurang dari sekali seminggu)
20
b) Asma persisten ringan
c) Asma persisten sedang
d) Asma persisten berat
Tabel 2.3 Klasifikasi Episodik Asma
Tabel Pengobatan asma jangka panjang menurut sistem anak tanggaNo Tahap Obat pencegah harian Pilihan lain1. Asma
IntermitenTidak diperlukan
2. Asma persisten ringan
Kortikosteroid hirup (500 µg BDP atau ekuivalenBDP = Beclomethasone diproprionate
a) Teofilin lepas lambat
b) Kromolinc) Anti leukotrien
3. Asma persisten sedang
Kortikosteroid hirup (200-1000 µg BDP atau ekuivalen) + LABA (Long Acting Beta Agonist
a) Kortikosteroid hirup (500-1000µg BDP atau ekuivalen) + teofilin lepas lambat atau
b) Kortikosteroid hirup (500-1000 µg BDP atau ekuivalen) + LABA atau
c) Kortikosteroid hirup dosis lebih tinggi (>1000 µg BDP atau ekuivalen)
d) Kortikosteroid hirup dosis lebih tinggi (>1000 µg BDP atau ekuivalen) + anti leukotrien
4. Asma persisten berat
a) Kortikosteroid inhalasi (>1000 µg BDP atau ekuivalen) + LABA satu atau lebih obat berikut bila diperlukan
b) Teofilin lepas lambat
c) Anti leukotriend) LABA orale) Kortikosteroid oralf) Anti IgE
21
G. Komplikasi
1. ARDS
2. Gagal jantung
3. Atelektasis
4. Infeksi saluran nafas
5. Pneumothoraks
6. Pneumomediastinum
H. Prognosis
Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian
besar asma anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar
50% asma episodik jarang sudah menghilang pada umur 10-14 tahun dan
hanya 15% yang menjadi asma kronik pada umur 21 tahun. Dua puluh persen
asma episodik sering sudah tidak timbul pada masa akil baliq, 60% tetap
sebagai asma episodik sering dan sisanya sebagai asma episodik jarang.
Hanya 5% dari asma kronik/persisten yang dapat menghilang pada umur 21
tahun, 20% menjadi asma episodik sering, hampir 60% tetap sebagai asma
kronik/persisten dan sisanya menjadi asma episodik jarang (Sowden, 2002).
III. KESIMPULAN
1. Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran
napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai
rangsangan yang ditandai dengan gejala episodic berulang berupa mengi,
batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau
dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa
pengobatan.
2. Klasifikasi asma berdasarkan derajatnya dibagi menjadi asma intermitten,
asma persisten ringan, sedang dan berat.
3. Penegakan diagnosis asma dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
4. Penatalaksanaan asma meliputi obat-obatan simtomatik dan mengurangi
atau menghindari factor pencetus.
22
5. Komplikasi asma adalah pneumotoraks, pneumomediatinum, atelektasis,
dan ARDS.
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru Cetakan 6. Surabaya : Airlangga University Press.
Betz Cecily, Linda A Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC
Capernito, Lynda J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis. Jakarta : EGC
Dahlan, Zul. 2007. Pneumonia. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. FK UI:Jakarta.hal: 964-970.
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Penanggulangan Asma
23
GINA (Global Initiative for Asthma). 2006. Pocket Guide for Asthma Management and Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.
Irawati, et al. 2007. Rinits Alergi, Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Jenice, Willms L.. 2005. Diagnosis Fisik Evaluasi Diagnosis dan Fungsi Di Bangsal. Jakarta : EGC.
Koh YY, Lee MH, Sun YH, Park Y, Kim CK. Improvement in bronchial hyperresponsiveness with inhaled corticosteroids in children with asthma. Importance of family history of bronchial hyperresponsiveness. Am J Respir Crit Care Med 2002; 166:340-5
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2004. Asma : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : FKUI
Pohan MYH, Yunus F, Wiyono WH. Asma dan polusi udara. Cermin Dunia Kedokteran 2003; 41: 27-29
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC
Rahajoe N, dkk. 2004. Pedoman Nasional Asma Anak, UKK Pulmonologi. Jakarta : PP IDAI
Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. 2003. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Cermin Dunia Kedokteran. Hal 5-11
Rusli A, Yunus F, Wiyono WH. Pengaruh Infeksi Virus pada Perkembangan Asma. Cermin Dunia Kedokteran 2003; 41: 19-22
Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi 6. Jakarta : FKUI
Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Infomedika. hal 1197-9.
Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI
Sundaru H. 2006. Apa yang Diketahui Tentang Asma, Departemen Ilmu PenyakitDalam. Jakarta : FKUI/RSCM, ; 4.
top related