antusiasme masyarakat dalam pemilu terhadap … file1.4.2.4 demokrasi pancasila ala orde baru ......
Post on 09-Mar-2019
225 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANTUSIASME MASYARAKAT DALAM PEMILU
TERHADAP PELAKSANAAN DEMOKRASI
Kelompok Garuda Nusantara
1. Michelle Meiliani Sucitas (1401010038)
2. Sally Gazali (1401010039)
3. Yessica Putri Budianto (1401010057)
4. Audrey Monica (1401010062)
5. Alvin Christopher (1401010068)
Nilai Presentasi: 88,75
Program Studi Teknologi Pangan
Fakultas Ilmu Hayati Universitas Surya
Tangerang
2015
i
KATA PENGANTAR
Pertama-tama, Tim Penulis ingin menyampaikan puji dan syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa, karena atas Rahmat dan Penyertaan-Nya, Tim Penulis dapat
menjalankan penelitian dan menyusun makalah ini tanpa ada halangan yang berarti.
Tim Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
untuk orang tua yang telah setia memberikan dukungan dan doa, teman-teman yang
telah memberikan bantuan dalam berbagai bentuk, dan Bapak Aryaning Arya Kresna
S.Fil., M.Hum., selaku Dosen Mata Kuliah Dasar Indonesia Jaya Pancasila dan
Kewarganegaraan yang telah memberikan bimbingan dan pengajaran yang bermakna
dan bermanfaat untuk Tim Penulis.
Selain itu, Tim Penulis juga ingin berterima kasih kepada seluruh responden
kuesioner dan narasumber yang telah bersedia meluangkan waktu untuk survei yang
telah dilakukan.
Adapun penulisan makalah ini dilakukan untuk pemenuhan penugasan Mata
Kuliah Dasar Indonesia Jaya Pancasila dan Kewarganegaraan. Meskipun demikian, Tim
Penulis berharap agar penelitian ini dapat berguna untuk ke depannya.
Oleh karena tiada gading yang tak retak, Tim Penulis ingin memohon maaf atas
adanya segala kesalahan dan kata-kata yang mungkin kurang berkenan. Atas perhatian
dan pemakluman, Tim Penulis ucapkan terima kasih.
Tangerang, Juli 2015
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ··························································································· 1
1.2. Rumusan Masalah ····················································································· 2
1.3. Tujuan Penelitian ······················································································ 3
1.4. Landasan Pemikiran ·················································································· 3
1.4.1 Jenis-jenis Demokrasi (Artikelsiana, 2015) ·································· 3
1.4.1.1 Demokrasi Berdasarkan Penyaluran Kehendak Rakyat .. 3
1.4.1.2 Demokrasi Berdasarkan Prinsip Ideologi ........................ 3
1.4.2 Sejarah Demokrasi di Indonesia (Wasino, 2014) ························· 4
1.4.2.1 Masa Kolonial Belanda .................................................... 4
1.4.2.2 Demokrasi Parlementer/Liberal...................................... 5
1.4.2.3 Demokrasi Terpimpin ...................................................... 6
1.4.2.4 Demokrasi Pancasila Ala Orde Baru ................................ 7
1.4.2.5 Demokrasi Pasca Orde Baru ............................................ 7
1.4.3 Syarat Pemilih dalam Pemilihan Umum······································· 8
1.5. Metode Penelitian ···················································································· 8
BAB II ISI .............................................................................................................................. 9
2.1. Hasil Penelitian ·························································································· 9
2.1.1. Hasil Kuesioner ················································································ 9
2.1.2. Hasil Wawancara ········································································ 10
2.2. Pembahasan ···························································································· 11
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 13
3.1. Simpulan ································································································· 13
3.2. Saran ······································································································· 13
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 14
LAMPIRAN ......................................................................................................................... 15
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan etimologinya, kata demokrasi berasal dari kata dalam Bahasa
Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan cratein kekuasaan. Oleh karena itu, secara
harfiah, kata demokrasi dapat diartikan sebagai kedaulatan berada di tangan rakyat,
atau sistem pemerintahan dan kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara dibawah
kendali rakyat (Wasino, 2014).
Selain itu, beberapa pengertian demokrasi berdasarkan beberapa ahli adalah
sebagai berikut (Kresna, 2008):
1. Joseph A. Schumpeter
Demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan
politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara
perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
2. Sidney Hook
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintahan
yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan
mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
3. Henry B. Mayo
Demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukkan bahwa
kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara
efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip
kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Beberapa kata kunci yang dapat digunakan untuk mendefinisikan demokrasi
adalah kebebasan, kesetaraan, kedaulatan, rakyat, dan representasi. Oleh karena itu,
jika suatu negara menganut demokrasi sebagai ideologinya, maka kekuasaan tertinggi
dari negara tersebut berada di tangan rakyat dan negara tersebut diselenggarakan
berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Hakikat demokrasi secara singkat juga
dapat dipaparkan melalui pernyataan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Demokrasi juga bertumpu pada kehendak rakyat karena rakyat adalah sekumpulan
orang dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu, pengambilan keputusan dilakukan
berdasarkan pendapat yang dianut oleh sebagian besar individu (Kresna, 2008).
2
Salah satu prasyarat dari sistem politik demokrasi adalah penyelenggaraan
pemilu yang bebas dan berkala, karena pemilu merupakan salah satu sarana kedaulatan
rakyat dimana rakyat dapat memilih wakil dan pemimpin mereka untuk menjalankan
pemerintahan (Sumarno, 2011). Di Indonesia sendiri, pemilihan presiden dan wakil
presiden secara umum oleh rakyat pertama kali dilakukan pada tahun 2004. Sejak saat
itu, pemilu diadakan setiap lima tahun sekali untuk memilih presiden dan wakil presiden
yang baru untuk menjalankan pemerintahan pada periode selanjutnya.
Namun, pada setiap penyelenggaraan pemilu, selalu terdapat suara-suara tidak
sah maupun suara yang tidak digunakan. Pelaku dari peristiwa ini seringkali disebut
sebagai golput (golongan putih) karena keputusan mereka untuk tidak memilih salah
satu sisi, memberikan golongan ini label ‘putih’. Golongan ini juga seringkali
menganggap remeh pemilu atau berpendapat bahwa memilih adalah suatu tindakan
yang tidak bermanfaat karena berbagai alasan. Padahal, pemilu merupakan salah satu
unsur esensial dalam pelaksanaan demokrasi di suatu negara. Oleh karena itu, golput
dapat menjadi salah satu indikator seberapa baik demokrasi pada suatu negara
dilaksanakan.
Berdasarkan data dari KPU, pada pemilu tahun 2014, jumlah seluruh suara sah
pada pemilihan presiden adalah 124.972.491 suara dengan angka perolehan golput
mencapai 24,8% dari total suara. Jika dibandingkan dengan data pemilu legislatif tahun
2009 yang memiliki tingkat golput sebesar 29,01%, dapat dikatakan bahwa terjadi
peningkatan partisipasi dari penduduk Indonesia (Komisi Pemilihan Umum Republik
Indonesia, 2014).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan dapat dirumuskan menjadi
beberapa masalah, yaitu:
1. Apa makna pemilu bagi rakyat Indonesia?
2. Seberapa antusias masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu?
3. Bagaimana pendapat masyarakat mengenai adanya golput? Apa golput
merupakan hak sebagai warga negara atau apatisme politik?
3
1.3. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan penelitian ini adalah
mengetahui tingkat antusiasme masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya dalam
pemilu.
1.4. Landasan Pemikiran
1.4.1 Jenis-jenis Demokrasi (Artikelsiana, 2015)
1.4.1.1 Demokrasi Berdasarkan Penyaluran Kehendak Rakyat
Demokrasi langsung
Demokrasi langsung adalah sistem demokrasi yang mengikutsertakan atau melibatkan
seluruh rakyat. Demokrasi ini dilakukan secara langsung dalam membicarakan atau
menentukan urusan-urusan negara. Demokrasi langsung terjadi pada zaman Yunani
kuno yang pada saat itu penduduknya masih sedikit.
Demokrasi tidak langsung
Demokrasi tidak langsung/perwakilan adalah sistem demokrasi yang melibatkan rakyat
pengambilan keputusan suatu negara secara tidak langsung. Biasanya rakyat memilih
wakil yang telah dipercaya untuk menjabat dalam parlemen sebagai penyalur aspirasi
rakyat. Contoh: pemilihan anggota DPR oleh rakyat yang kemudian akan memilih
presiden.
1.4.1.2 Demokrasi Berdasarkan Prinsip Ideologi
● Demokrasi Liberal
Demokrasi liberal adalah sistem demokrasi yang menekankan kepada kebebasan
individu yang sering mengabaikan kepentingan umum.
● Demokrasi Rakyat
Demokrasi rakyat adalah demokrasi yang didasari dari paham kerakyatan yang
mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan umum.
● Demokrasi Pancasila
Demokrasi ini berasal dari Negara Indonesia. Demokrasi pancasila adalah demokrasi
yang bersumber dari tata nilai sosial dan budaya bangsa Indonesia dengan berasaskan
musyawarah mufakat yang mengutamakan kepentingan umum.
4
1.4.2 Sejarah Demokrasi di Indonesia (Wasino, 2014) (Ramadan, 2011)
1.4.2.1 Masa Kolonial Belanda
Demokrasi di Indonesia sudah mulai dikenal pada zaman penjajahan Belanda.
Negara Belanda bukan negara yang menganut paham demokrasi, namun ketika
berkuasa di Indonesia, Belanda menjalankan pemerintahan secara demokratis. Oleh
karena itu, banyak pemikiran dari para pejabat kolonial yang bertujuan untuk mengubah
tatanan pemerintahan menjadi sistem feudal.
Pada tahap awal, demokrasi dimulai dari tingkat terendah, yaitu desa. Ketika
Daendels menjadi pemimpin atas Indonesia pada tahun 1809, ia memperkenalkan
sistem pemungutan suara untuk memilih kepala desa. Tradisi pemilihan kepala desa ini
berlanjut dan kemudian dikenal dengan istilah demokrasi desa.
Gagasan dan konsep mengenai demokrasi terus berkembang hingga ke tingkat
nasional. Mulai terbukanya arus informasi politik dan banyaknya aktivis politik berhaluan
radikal Belanda yang “dibuang” ke Hindia Belanda (Bergsma, Baars, Sneevliet, dan lain
lain) membuat demokrasi menjadi lebih mudah tersebar, terutama kepada para pemuda
bumiputera. Pada saat yang bersamaan, pendidikan masyarakat pribumi pun sudah
semakin membaik.
Untuk menampung suara dari masyarakat, dibentuklah organisasi-organisasi
politik. Aspirasi masyarakat ada yang disalurkan melalui parlemen dan ada yang di luar
parlemen Hindia Belanda. Salah satu organisasi penyalur suara rakyat non-parlemen
adalah Volksraad atau Dewan Rakyat. Banyak anggota partai politik yang tidak bersedia
duduk dalam parlemen Hindia Belanda itu, seperti para aktivis PNI, ISDV, NIP, dan
sebagainya. Mereka dikenal sebagai kaum nasionali radikal. Akan tetapi banyak juga
yang dikenal sebagai kaum nasionalis moderat yang bersedia duduk di Parlemen untuk
memperjuangkan nasib rakyat Indonesia dalam lembaga demokrasi bentukan Belanda
itu.
Volksraad sendiri baru diresmikan pada tahun 1918 oleh Gubernur Jendral Mr.
Graaf van Limburg Stirum. Tetapi pada kenyataannya, Volksraad tidak banyak berperan
dalam menyalurkan suara rakyat karena keanggotaannya yang terlalu berbelit-belit.
Pemilihan wakil untuk mengisi jabatan Volksraad diawali dengan pembentukan berbagai
“Dewan Kabupaten” dan “Haminte Kota”, di mana setiap 500 orang Indonesia berhak
memilih “Wali Pemilih” (Keesman). Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak memilih
sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap provinsi mempunyai “Dewan
5
Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di
wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi yang umumnya dari
bangsa Belanda, diangkat oleh Gubenur Jenderal.
Susunan dan komposisi Volksraad yang pertama (1918) beranggotakan 39 orang
(termasuk ketua), dengan perimbangan:
1. Dari jumlah 39 anggota Volksraad, orang Indonesia Asli melalui “Wali Pemilih”
dari “Dewan Provinsi” berjumlah 15 anggota (10 orang dipilih oleh “Wali Pemilih” dan 5
orang diangkat oleh Gubernur Jenderal)
2. Jumlah terbesar, atau 23 orang anggota Volksraad mewakili golongan Eropa dan
golongan Timur Asing, melalui pemilihan dan pengangkatan oleh Gubernur Jenderal (9
orang dipilih dan 14 orang diangkat)
3. Adapun orang yang menjabat sebagai ketua Volksraad bukan dipilih oleh dan
dari anggota Volksraad sendiri, melainkan diangkat oleh mahkota Nederland
Setelah banyak orang Indonesia yang berpengalaman dalam Volksraad, mulailah
muncul ide dan gagasan untuk mengubah susunan dan pengangkatan Volksraad untuk
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi usul tersebut selalu ditolak oleh
pihak Belanda. Sebagai contoh adalah dikeluarkannya Petisi Sutardjo tahun 1935 yang
berisi permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diadakan pembicaraan bersama
antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu perundingan mengenai nasib Indonesia di
masa yang akan datang, atau Gerakan Indonesia Berparlemen dari Gabungan Politik
Indonesia. Petisi ini juga ditolak pemerintah kolonial Belanda.
1.4.2.2 Demokrasi Parlementer/Liberal
Setelah Jepang menggantikan Belanda untuk berkuasa di Indonesia, Volksraad
dibubarkan. Sistem pemerintahan dijalankan dengan pengaruh kekuasaan militer
sehingga demokrasi menjadi terhambat. Demokrasi setelah Indonesia merdeka mulai
mengalami perkembangan setelah dikeluarkan Maklumat No. X pada 3 November 1945
yang ditandatangani Muhammad Hatta. Maklumat ini berisi mengenai perlunya partai
politik sebagai bagian dari demokrasi serta rencana pemerintah untuk melaksanakan
pemilu pada Januari 1946. Dengan dikeluarkannya maklumat ini, partai-partai politik
yang sudah dibentuk menjadi lebih diakui dan partai-partai politik yang baru banyak
bermunculan. Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu
dengan ditetapkan UU No. 7 tahun 1953 mengenai Pemilu. Pemilu multipartai secara
6
nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan parlemen)
dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante).
Pemilihan Umum Indonesia 1955 merupakan pemilu pertama di Indonesia.
Pemilu ini dikenal sebagai pemilu yang paling paling demokratis karena tidak ada jumlah
batasan partai politik dan bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia. Pemilu ini
dilaksanakan untuk memilih anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang
diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 ditambah 14
wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu ini dipersiapkan di bawah
pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo
mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan dipegang
oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Pemilu 1955 dibagi ke dalam 2 tahap.
Tahap pertama adalah pemilu untuk memilih anggota DPR pada tanggal 29 September
dan diikuti oleh 29 partai politik. Tahap kedua adalah pemilu untuk memilih anggota
konstituante pada 15 Desember 1955.
Parlemen yang dibentuk tidak memberikan kinerja yang maksimal dan
pemerintahan cenderung bergonta-ganti sehingga Soekarno “mengubur” demokrasi
liberal yang dianggapnya tidak cocok dengan Indonesia.
1.4.2.3 Demokrasi Terpimpin
Demokrasi terpimpin identik dengan pemerintahan Soekarno yang otoriter.
Indonesia kembali berpegang pada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Melalui dekrit ini pula Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959, diganti
dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut Presiden Soekarno bertindak sebagai
perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama. Pada
demokrasi terpimpin, kekuatan parlemen sangat dibatasi dan partai-partai politik
dilumpuhkan.
Terlepas dari sifatnya yang otoriter, demokrasi terpimpin merupakan alat untuk
mengatasi segala perpecahan politik di Indonesia yang terjadi pada pertengahan tahun
1950-an. Soekarno menciptakan doktrin baru untuk memegang kendali politik di
Indonesia. Kebebasan pers pun sangat dibatasi sehingga tidak ada surat kabar atau
majalah yang berani mengkritik pemerintah pada Demokrasi Terpimpin. Soekarno ingin
mengadakan sebuah revolusi di Indonesia dengan berpegang pada lima buah pilar, yaitu,
Undang-Undang Dasar 1945, sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
7
Terpimpin, dan kepribadian Indonesia. Kekuasaan berpusat di tangan Soekarno, TNI-
Angkatan Darat, dan PKI. Hubungan antara Soekarno dan PKI merupakan hubungan
timbal balik dimana PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk memperoleh
pendukung. Pada tahun 1963, MPRS mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur
hidup dan keputusan ini sangat didukung oleh PKI. TNI-AD menjadi curiga terhadap
kedekatan hubungan Soekarno dengan PKI. Kecurigaan ini didukung dengan sikap
Soekarno yang sangat mendukung TNI-AU sehingga Soekarno dianggap ingin
menciptakan saingan baru untuk TNI-AD dan memecah militer. Konflik ini memuncak
pada tahun 1965.
1.4.2.4 Demokrasi Pancasila Ala Orde Baru
Demokrasi Pancasila ala orde baru indentik dengan pemerintahan Soeharto yang
berkuasa selama 32 tahun. Soeharto memimpin di Indonesia setelah dikeluarkannya
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). PKI dijadikan kambing-hitam dalam
peristiwa G30S, meskipun sebenarnya banyak aktor yang berperan.
Soeharto menyebut gagasan demokrasinya dengan istilah Demokrasi Pancasila.
Demokrasi Pancasila ini sebenarnya memiliki makna yang sama dengan Demokrasi
Terpimpin, yaitu demokrasi asli Indonesia yang berpegang teguh pada ideologi Pancasila.
Untuk membentuk citra dirinya yang menjunjung demokrasi, Soeharto menjadwalkan
pemilu sesuai tuntutan dari partai politik. Untuk mempertahankan kekuasaannya,
Soeharto berinisiatif untuk menggabungkan partai politik menjadi 3 partai yang terdiri
dari Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan Karya.
Pemerintahan Soeharto mengalami kemunduran pada saat terjadi krisis moneter tahun
1997. Ekonomi nasional menjadi terpuruk yang ditandai dengan runtuhnya nilai mata
uang rupiah, inflasi besar-besaran, tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK),
dan semakin besarnya tingkat pengangguran. Krisis ekonomi memicu berlangsungnya
aksi-aksi protes dikalangan mahasiswa yang menuntut Soeharto untuk mundur.
1.4.2.5 Demokrasi Pasca Orde Baru
Setelah Soeharto lengser dari jabatannya, permerintahan dipimpin oleh Habibie.
Terjadi beberapa kemajuan pada demokrasi ditandai dengan adanya kebebasan pers,
pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-partai politik,
kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi antara lain berupa
8
pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, pencabutan beberapa UU
politik yang represif dan tidak demokratis, dan netralitas birokrasi dan militer dari politik
praktis. Akan tetapi terjadi juga konflik mengenai kesukuan, agama, dan ras di beberapa
daerah seperti di Ambon, Poso, Sambas, dan lainnya.
Pemilu tahun 1999 memunculkan pasangan Abdurrahman Wahid dan Megawati
sebagai presiden dan wakil presiden. Setelah 2 tahun berkuasa, Gusdur kemudian
lengser dan pemerintahan berpindah ke tangan Megawati.
Pemilu tahun 2004 adalah pemilu pertama dimana rakyat Indonesia bisa
memilih secara langsung presiden dan wakil presiden serta anggota DPR DPRD. Susilo
Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.
Sistem yang sama juga diterapkan pada pemilu tahun 2009 dan 2014. Pada tahun 2009
pemilu dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono
sedangkan pemilu 2014 dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
1.4.3. Syarat Pemilih dalam Pemilihan Umum
Masyarakat harus memenuhi syarat sebagai pemilih agar dapat menggunakan
hak suara dalam pemilu. Syarat-syarat untuk mengikuti pemilu antara lain:
● Sudah berusia 17 tahun atau sudah menikah.
● Memiliki kartu tanda penduduk (KTP).
● WNI (Warga Negara Indonesia).
● Sehat secara rohani.
● Sudah terdaftar sebagai pemilih dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap).
● Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang
mempunyai hukum tetap.
1.5. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah studi pustaka dan survei.
survei dilakukan dengan melakukan penyebaran kuesioner kepada seratus responden
dan wawancara dengan lima orang narasumber yang seluruhnya merupakan penduduk
Gading Serpong. Sementara itu, studi pustaka dilakukan dengan menggunakan data
statistik yang didapatkan dari KPU dan jurnal yang didapatkan dari internet. Seluruh
pencarian data dilakukan secara online dengan bantuan mesin pencari digital Google.
9
BAB II
ISI
2.1. Hasil Penelitian
2.1.1. Hasil Kuesioner
Berdasarkan hasil penelitian kepada 100 orang responden, didapatkan data
bahwa 90% responden ikut memberikan hak suara mereka dalam pemilihan umum
presiden pada tahun 2014 kemarin. Pada saat data dispesifikasikan berdasarkan jenis
kelamin, dapat dilihat bahwa sebanyak 87% dari jumlah responden laki-laki dan 92% dari
jumlah responden perempuan ikut serta memberikan hak suara mereka pada pemilu
kemarin. Jika data diolah berdasarkan pekerjaan, sebagian besar mahasiswa dan pelajar
juga turut serta memberikan hak suara pada pemilu presiden 2014.
Sebagian besar responden perempuan dan laki-laki yang sudah bekerja
mempunyai antusiasme yang biasa saja pada mengikuti pemilu 2014. Tingkat
antusiasme yang biasa saja juga terjadi pada sebagian besar responden mahasiswa.
Sebanyak 63 responden atau 63% menganggap bahwa pemilu 2014 kemarin
sudah berjalan dengan baik dengan alasan bahwa pemilu tersebut sudah berjalan
dengan aman dan tertib. Sedangkan, sebanyak 37 responden atau 37% menganggap
pemilu kemarin belum berjalan dengan baik karena masih banyak terdapat kecurangan.
Dari hasil penelitian ini diperoleh data bahwa motivasi dari sebagian besar
responden laki-laki dan perempuan baik mahasiswa atau yang sudah bekerja
menggunakan hak suara mereka pada saat pemilu pada tahun 2014 karena kesadaran
bahwa satu suara mereka dapat memengaruhi kehidupan demokrasi di Indonesia. Hanya
sebagian kecil dari responden yang menjawab bahwa mereka mengikuti pemilu hanya
ikut-ikutan atau agar tidak dianggap golput.
Bagi responden yang tidak ikut memberikan hak suaranya, mereka memiliki
beberapa alasan, seperti kurangnya informasi tentang pemilu, dipersulit oleh KPU, atau
tidak sempat untuk pergi ke TPS dan karena tidak mempunyai pilihan yang cocok.
Berdasarkan hasil kuesioner ini, sebagian besar responden atau sebanyak 17
responden perempuan dan 16 responden laki-laki yang sudah bekerja, dan juga 7
responden mahasiswa perempuan dan 4 responden mahasiswa laki-laki menganggap
golput merupakan sebuah bentuk apatisme atau ketidakpedulian politik. Sebanyak 28
responden yang sudah bekerja dan 9 responden mahasiswa berpendapat bahwa golput
10
merupakan sebuah pilihan untuk tidak memilih. Sedangkan sisanya mengatakan bahwa
golput merupakan hak setiap warga negara.
2.1.2. Hasil Wawancara
Kegiatan wawancara dilakukan pada 6 orang responden atau narasumber yaitu 3
orang pekerja atau orang dewasa (3 pria dan 2 wanita), dan 2 orang mahasiswa (1 pria
dan 1 wanita).
Dari hasil wawancara pada pada pertanyaan pertama mengenai arti golput,
narasumber menjawab bahwa golongan putih (golput) merupakan tindakan yang tidak
baik karena orang tidak masyarakat yang golput tidak ikut berpartisipasi memberikan
pendapat atau suara mereka. Apabila orang tersebut menjadi golput, orang tersebut
tidak berhak untuk mengkritik kinerja pemerintahan karena orang tersebut tidak
berperan dalam menyumbangkan suaranya.
Pada pertanyaan kedua mengenai alasan seseorang memilih untuk golput, para
narasumber menjawab bahwa golput dapat terjadi karena faktor dari luar seperti kinerja
pemerintah yang buruk sehingga membuat masyarakat trauma akan pemilu, adanya
proses pendaftaran pemilih tetap yang dipersulit oleh pihak KPU, maupun adanya
kampanye hitam (black campaign). Selain itu ada faktor dari dalam diri sendiri seperti
malas untuk pergi ke TPS, pemilih ragu dalam menentukan pilihannya, dan tidak mau
menggambil resiko atau tidak mau disalahkan apabila kinerja pemerintah yang
mendatang akan buruk lagi.
Pertanyaan ketiga, yaitu pantaskah seseorang menjadi golput dengan alasan
pada pertanyaan sebelumnya. Jawaban narasumber adalah pantas atau tidaknya
tergantung pada kondisi, apabila kondisinya memang dipersulit dari pihak KPU, maka
seseorang pantas untuk golput karena hal tersebut bukan kehendak dari pemilih.
Namun, apabila seseorang golput karena faktor dari diri sendiri, maka seseorang tidak
berhak untuk golput.
Pada pertanyaan keempat, yaitu apakah golput merupakan hak bagi masyarakat,
narasumber-narasumber menjawab bahwa golput adalah pilihan untuk tidak memilih
namun tidak sepenuhnya benar.
Pada pertanyaan kelima, saran apa yang bisa diberikan untuk kemajuan
demokrasi di Indonesia, jawaban yang diberikan narasumber adalah lebih
memperbanyak pendekatan ke masyarakat, selain itu, pemerintah harus memperbaiki
11
kinerjanya. Selain itu, saran untuk KPU juga diberikan, yaitu agar KPU memberikan
sosialisasi tentang pemilu, baik dari kandidatnya, maupun tata cara pemilihannya. Lalu,
black campaign atau kampanye gelap juga harus diatasi.
2.2. Pembahasan
Dari hasil kuesioner dan hasil wawancara, dapat dibahas bahwa antusiasme
masyarakat dalam pemilu presiden tahun 2014 kemarin tidak terlalu tinggi. Dilihat dari
hasil kuesioner, sebagian besar responden menjawab ‘biasa saja’ dalam keantusiasannya
dalam pemilu. Hal ini akan berdampak ke pelaksanaan demokrasi di Indonesia karena
demokrasi memerlukan partisipasi rakyat sebagai subjeknya. Selain itu, tujuan pemilihan
umum ialah memilih wakil rakyat, sehingga apabila rakyat tidak memilih maka politik
tidak dapat berjalan dengan baik dan sistem politik partisipatif tidak terlaksana
sebagaimana semestinya. Antusiasme masyarakat dalam pemilu dipengaruhi beberapa
hal seperti masyarakat sudah sadar akan peran sebagai warga negara dan kelancaran
pemilu dan kegiatan-kegiatan pra-pemilu seperti kampanye.
Antusiasme masyarakat dalam mengikuti pemilihan umum dipengaruhi oleh
kelancaran pemilu sendiri. Para responden sebagian besar menjawab pemilu presiden
2014 berjalan dengan baik dengan alasan tidak adanya kerusuhan ataupun aman.
Namun, bagi para responden yang menjawab bahwa pemilu kemarin berjalan dengan
tidak lancar memiliki alasan yaitu adanya black campaign maupun hasil pemilunya yang
memiliki cukup banyak kecurangan.
Bagi para responden, makna pemilu sangat beragam, namun dapat disimpulkan
bahwa makna pemilu bagi masyarakat adalah ajang atau sarana aspirasi rakyat melalui
pemilihan pemimpin atau wakil rakyat dengan tujuan untuk membawa bangsa dan
negara ke arah yang lebih maju.
Tindakan golput atau tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu dianggap
sebagai bentuk apatis terhadap pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Namun, golput
tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena tidak ada peraturan yang menentang tindakan
golput secara hukum. Golput disebabkan oleh karena image pemerintah yang sudah
buruk sehingga masyarakat merasa bahwa memilih pun tidak akan membawa
perubahan, karena semua pemimpin dianggap sama, sehingga keraguan dalam memilih
atau tidak yakin dengan kandidat pemimpin baru akan muncul.
12
Sebagai warga negara yang juga objek demokrasi, masyarakat seharusnya sadar
akan perannya dalam mengisi pesta demokrasi dengan menggunakan hak suaranya
dalam pemilihan umum. Tindakan golput sebaiknya tidak dilakukan agar pelaksanaan
politik demokrasi dapat terjadi di Indonesia. Apabila angka golput menurun, maka
pelaksanaan demokrasi di Indonesia akan lebih baik sehingga sistem politik partisipatif di
Indonesia akan terlihat dan berjalan semestinya.
13
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Dari hasil pembahasan, dapat disimpulkan bahwa antusiasme masyarakat dalam
pemilu sangat penting, karena demokrasi di Indonesia memerlukan peran dari rakyat
sebagai objek dan subjek demokrasi. Antusiasme masyarakat dalam pemilu presiden
2014 kemarin masih terbilang cukup rendah, Besarnya antusiasme masyarakat terhadap
pemilu sangat dibutuhkan karena salah satu aspek demokrasi adalah adanya pilihan
pemimpin atau wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu, sebagian
responden sudah sadar bahwa golput merupakan tindakan apatis terhadap demokrasi di
Indonesia.
Makna pemilu bagi masyarakat adalah sarana aspirasi masyarakat dengan
tujuan pemilihan pemimpin baru untuk mencapai masa depan bangsa yang lebih baik.
Pemilu di Indonesia harus dapat menjadi pengamalan dari sistem politik partisipatif yang
salah satu syaratnya adalah adanya kegiatan pemilihan wakil rakyat oleh rakyat secara
langsung.
3.2. Saran
Masyarakat sebagai objek demokrasi harus lebih aktif dalam kegiatan
demokrasi, karena tujuan dari demokrasi adalah untuk rakyat. Masyarakat diharapkan
tidak apatis dan lebih antusias dalam kegiatan demokrasi di masa yang mendatang
sehingga angka golput di Indonesia dapat berkurang.
14
DAFTAR PUSTAKA
Artikelsiana. (2015, Maret). Macam-Macam Demokrasi. Retrieved from Artikelsiana: http://www.artikelsiana.com/2015/03/macam-macam-demokrasi-jenis-pengertian.html/
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. (2014, Juli 22). KPU Republik Indonesia. Retrieved Mei 19, 2015, from http://kpu.go.id/
Kresna, A. A. (2008). Demokrasi. In A. A. Kresna, Modul Pendidikan Kewarganegaraan (pp. 98-99).
Ramadan, H. R. (2011). Pemilu untuk Pemula. Modul Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih, 4-17.
Sumarno. (2011). Modul Pendidikan Pemilih untuk Pelajar SMA, SMK, dan MAN: Panduan Pemilu untuk Pemula. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta.
Wasino. (2014). Demokrasi: Dulu, Kini, dan Esok. 2-17.
15
LAMPIRAN
KUESIONER PKN “Antusiasme Masyarakat dalam Pemilu terhadap Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia”
Nama: Usia: Jenis kelamin:
No. HP: Wilayah domisili:
1. Apakah Anda menggunakan hak suara Anda dalam pemilihan umum presiden pada
tahun 2014 kemarin? ❏ Ya ❏ Tidak 2. Seberapa antusiaskah Anda dalam Pemilu Presiden tahun 2014? ❏ Sangat tidak antusias ❏ Tidak antusias ❏ Biasa saja ❏ Antusias ❏ Sangat antusias 3. Menurut Anda, apakah pemilu kemarin berjalan dengan baik? ❏ Ya, alasannya…………………………………………………………... ❏ Tidak, alasannya……………………………………………………….. 4. Apabila Anda menjawab ‘Ya’ pada pertanyaan nomor 1, apa motivasi Anda dalam
menggunakan hak suara Anda pada pemilu (tahun 2014)? ❏ Kesadaran bahwa satu suara bisa mempengaruhi kehidupan demokrasi di Indonesia ❏ Agar tidak dianggap golput ❏ Saya hanya ikut-ikutan famili/teman ❏ Lainnya: ………………... 5. Apabila Anda menjawab ‘Tidak’ pada pertanyaan nomor 1, apa alasan Anda untuk
tidak menggunakan hak suara Anda pada pemilu (tahun 2014)? ❏ Saya merasa tidak cocok dengan semua pilihan ❏ Saya merasa bahwa satu suara dari saya tidak akan berpengaruh dalam hasilnya
nanti ❏ Lainnya: …………………………………………………………………………………………………………………….. 6. Menurut Anda, apakah golput merupakan: ❏ Hak setiap warga negara ❏ Sebuah pilihan untuk tidak memilih ❏ Sebuah bentuk apatisme (ketidakpedulian) politik 7. Apa makna pemilu bagi Anda? ………………………………………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………
16
LAMPIRAN
Penyebaran angket di kampus Surya
University
Sesi wawancara dengan narasumber
(mahasiswa)
Sesi wawancara dengan narasumber di
Summarecon Digital Center
(pekerja/orang dewasa)
Sesi wawancara dengan narasumber
(mahasiswa)
Sesi wawancara dengan narasumber di
Summarecon Digital Center
(pekerja/orang dewasa)
Sesi wawancara dengan narasumber di
Summarecon Digital Center
(pekerja/orang dewasa)
top related