analslisis teluk bintuni dari sudut pandang ekologi manusia
Post on 24-Oct-2015
273 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
ARTIKEL 1
BP Tangguh, Teluk Bintuni dalam konteks Papua
Proyek LNG (gas cair alam cair) BP Tangguh di Teluk Bintuni adalah proyek terkini dalam
sejarah proyek eksploitasi sumber daya alam di belahan barat pulau New Guinea. Bisa
dikatakan bahwa proyek ini dianggap sangat penting karena membuka wilayah itu terhadap
sebuah gelombang baru eksploitasi. Seperti halnya keuntungan besar yang diraup Freeport-
Rio Tinto dari pertambangan emas dan tembaga telah menarik perusahaan tambang lainnya
datang ke Papua, Tangguh juga menarik perusahaan-perusahaan minyak dan gas lainnya ke
Papua. Kebutuhan energi dunia meningkatkan tekanan terhadap masyarakat dan lingkungan
di Papua. Skala proyek Tangguh, berikut penghasilan yang diperoleh dari penjualan LNG ke
pasar asing, semakin memperkuat tekanan ini.
Sejak tahun 1997, ketika perusahaan Amerika ARCO mengumumkan ditemukannya
cadangan gas yang besar di Teluk Bintuni, kecepatan ekspolitasi sumber daya alam di Papua
telah meningkat tajam. Meskipun ada krisis keuangan Asia, jatuhnya Soeharto dan
meningkatnya masalah politik di Papua, semakin banyak perusahaan Indonesia dan asing
yang mencari keuntungan dari sumber daya ini. Selain mineral, minyak dan gas, hutan
Papua merupakan target utama ekploitasi. Pembalak mengambil kayu yang berharga secara
komersial dari banyak wilayah hutan dan pengusaha perkebunan kelapa sawit dan pulpwood
(kayu untuk bubur kayu) mengikuti jejak mereka. Sekarang ini ada rencana ambisius untuk
mengembangkan tanaman pangan dan energi di Merauke, di bagian selatan Papua.
1
Kekhawatiran global mengenai perubahan iklim juga telah mendorong adanya fokus baru-
baru ini, yaitu mengenai keuntungan yang mungkin diperoleh dari pelestarian stok karbon di
hutan-hutan Papua yang masih ada.
Masuknya masyarakat dari daerah lain di Indonesia menyediakan tenaga kerja bagi industri-
industri ini dan mendorong adanya perubahan sosial dan ekonomi di Papua. Sementara itu
ketegangan politik terus berlanjut dengan gagalnya Otonomi Khusus yang diberikan
pemerintah pusat hampir satu dekade yang lalu untuk mengatasi tuntutan untuk merdeka.
Otonomi Khusus gagal mengangkat sebagian besar masyarakat Papua dari kemiskinan atau
memberi mereka suara dalam pengambilan keputusan mengenai pemerintahan dan
pengelolaan sumber daya alam mereka yang kaya di masa mendatang.
Ini adalah konteks bagi proyek LNG Tangguh BP, yang terletak di distrik Teluk Bintuni
dalam provinsi Papua Barat. Lokasi utama proyek itu terletak di pesisir selatan Teluk Berau,
sebelah selatan semenanjung 'Kepala Burung' Papua Barat. Batas-batas distrik itu ditentukan
pada tahun 2006 dan terdiri dari 11 kecamatan dan 97 desa. Luas daerah itu meliputi
18.658,00 km2, dengan penduduk sebanyak 48.079 orang.
Warga daerah itu adalah masyarakat adat Papua dan masyarakat dari luar Papua yang tinggal
di sana karena program transmigrasi dari pemerintah juga penghuni lain. Masyarakat adat
Papua di Teluk itu terdiri dari tujuh kelompok: Irarutu, Wamesa, Sebiar, Sumuri, Kuri, Soub,
dan Moskona.
Kondisi geologi di Teluk itu cukup kaya akan mineral, minyak dan gas. Menurut BP,
konsesi Tangguh memiliki hak atas 14,4 triliun kaki kubik cadangan gas yang telah
terbukti, dengan cadangan yang mungkin ada sebesar 24-25 triliun kaki kubik.
Proyek Tangguh LNG memiliki tiga blok konsensi: Wiriagar, yang masa kontraknya berlaku
hinggal 2023, dan Berau serta Muturi, yang masa kontraknya berlaku masing-masing hingga
2017 dan 2022. Untuk memproses gas, BP Tangguh telah membangun pabrik LNG di atas
lokasi seluas 3.500 hektare di Distrik Babo. Investasi modal seluruhnya untuk proyek ini,
yang diharapkan akan berjalan selama paling tidak 20 tahun adalah sebesar sekitar US$5
milyar.
Untuk pembangunan proyek Tangguh sebuah desa direlokasi secara total – Desa Tanah
Merah - dan tanah yang dimiliki oleh tiga suku dari masyarakat adat Sumuri yang
2
merupakan pemilik tanah adat di daerah: Sowai, Wayuri dan Simuna dibebaskan demi
memberi ruang bagi pembangunan pabrik pemrosesan LNG. BP telah membangun desa-desa
pemukiman baru bagi masyarakat yang tergusur karena pabrik LNG, yang diberi nama Tanah
Merah Baru. Pembangunan kilang dimulai pada bulan Februari 2003 dan desa yang baru itu
secara resmi ‘dibuka’ pada 17 Juli 2004.
Juga terdapat sembilan desa yang telah ditentukan sebagai ‘Desa yang terkena dampak
langsung proyek’, yang merupakan sasaran program ‘aksi komunitas’ dan dana
‘pembangunan’ dari BP.
Untuk dua tahun pertama, BP memberi warga desa pemukiman itu penerangan listrik, air
bersih, fasilitas kesehatan, dan makanan. Sekarang terdapat laporan bahwa sebagian warga,
terutama nelayan dan petani, merasa bahwa mereka telah terbuang. Mereka tak lagi memiliki
tanah adat untuk bertani, sementara perempuan desa yang biasa menangkap udang di pantai
sekarang dilarang melakukannya.
Fasilitas umum, seperti air bersih yang dulu melimpah, sekarang sering kali tak ada. Listrik
hanya tersedia di malam hari. Puskesmas yang didirikan BP lebih sering tutup daripada buka,
karena dokter dan paramedis biasanya ada di kota Bintuni. Program sosial belum terlaksana
seperti yang mula-mula dijanjikan BP. Tetapi laporan menyebutkan bahwa yang paling
membuat marah masyarakat adalah kesempatan kerja bagi warga Papua setempat yang
sangat terbatas. Posisi yang paling tinggi dapat diharapkan oleh anak muda setempat,
misalnya, adalah menjadi penjaga keamanan proyek.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada tekanan bagi BP untuk memastikan bahwa
perusahaan bertindak sesuai dengan kepastian yang telah diberikan kepada masyarakat
setempat di sekitar proyek Tangguh. Informasi yang dikumpulkan DTE mengenai komitmen
BP atas standar lingkungan hidup dan hak asasi manusia di Tangguh, bertujuan untuk turut
berpartisipasi dalam usaha yang lebih luas untuk memperkuat kapasitas masyarakat itu
sendiri dalam menagih kewajiban BP.
Sumber :
http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/bp-tangguh-teluk-bintuni-dalam-konteks-
papua
3
TELUK BINTUNI
MINYAK HUTAN
GAS ALAMMINERAL
Rusaknya Ekologi :
- Berkurangnya SDA (minyak,gas,mineral) secara drastis
- Hutan gundul akibat penebangan besar-besaran
Permasalahan Sosial
Gagalnya kebijakan otonomi khusus dari pemerintah, masy.setempat tetap tidak bisa menyalurkan aspirasinya.
Relokasi total dari Desa Tanah Merah dan 9 desa lainnya untuk pembangunan pabrik pemrosesan LNG BP Tangguh.
Fasilitas umum tidak maksimal:
- Listrik hanya malam hari- Puskesmas jarang buka- Program social BP tidak jalan- Lapangan kerja masy.setempat sulit
Visualisasi Alur Berpikir
Vis.1 (Masalah Ekologi)
eksploitasi
Vis.2 (Masalah Sosial)
4
ARCO America
Pengusaha Kelapa Sawit &
PulpwoodBP Tangguh
Perubahan Iklim
Kerangka Pemikiran
Vis.1
Minyak dan gas merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Jumlah yang
terkandung di dalam Teluk Bintuni memang relatif besar, yakni 24-25 triliun kubik. Namun,
jika terus menerus dikeruk tanpa mempedulikan keseimbangan kuantitas pengeksploitasian,
maka dapat dipastikan di masa mendatang sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui
tersebut akan habis oleh generasi saat ini.
Sedangkan hutan adalah sumber daya alam hayati, atau dapat diperbaharui, yaitu dengan cara
menanam pohon pengganti dari jumlah pohon yang ditebang. Secara normal, jika kita
menebang satu batang pohon, maka kita harus menanam lima batang pohon pengganti.
Namun, peraturan ini sering kali diabaikan oleh oknum yang menebangnya secara liar.
Jikalaupun sudah ada izin, maka pelaksanaannya ‘melenceng’ dari perjanjian yang sudah
disepakati. Hal inilah yang mengakibatkan hutan menjadi gundul, dan lagi-lagi Indonesia
harus kehilangan sebagian hutannya, bahkan hingga ekspor asap ke negara tetangga.
Cara yang harus dilakukan untuk ‘mengobati’ hal ini adalah
- Pemerintah harus tegas terhadap segala pelanggaran yang ada. Perjanjian dan undang-
undang tentang pelestarian sumber daya dan perizinan pengambilan sumber daya
harus berjalan sesuai dengan hukumnya.
- Lakukan perbaikan kembali terhadap rusaknya hutan yang telah terjadi. Perbaikan ini
harus dilakukan oleh pelaksana proyek dan dipantau oleh pemerintah/penegak hukum
serta masyarakat setempat.
- Berikan batasan terhadap pengambilan jumlah sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui.
Vis.2
Permasalahan sosial yang terjadi akibat bungkamnya para penegak hukum dan pemerintah
bukan hal baru lagi. Namun, jika hal ini didiamkan dan diabaikan, maka dapat dipastikan
konflik akan muncul sebagai bentuk kekecewaan masyarakat setempat terhadap kebijakan
yang menurut mereka tidak bijak sama sekali. Listrik adalah kebutuhan masyarakat untuk
dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali.
Puskesmas adalah sarana kesehatan yang wajib ada di tengah-tengah masyarakat sebagai
5
jaminan kesehatan masyarakat setempat. Program sosial yang dijanjikan oleh BP Tangguh
harus segera direalisasikan agar masyarakat tidak kecewa.
Adapun program yang harus dilaksanakan antara lain adalah :
- Berikan penyuluhan dan pelatihan terhadap masyarakat setempat akan proyek yang
dilakukan oleh BP.
- Rekrut masyarakat setempat menjadi tenaga kerja dengan jabatan yang tidak
mengecewakan dan gaji yang adil.
6
ARTIKEL 2
Industrialisasi Migas dan Eksistensi Masyarakat Lokal Hasil Studi di Teluk Bintuni
Papua
Pembangunan dan industrialisasi di mana pun, tak terkecuali di wilayah Teluk
Bintuni, Provinsi Papua sesungguhnya selalu akan melahirkan sejumlah dilema. Di satu sisi
industrialisasi diharapkan dapat menjadi jalan keluar dan pintu terobosan untuk mempercepat
upaya penanggulangan kemiskinan dan keterbelakangan. Tetapi, di sisi yang lain
industrialisasi dan investasi berbagai kekuatan komersial ternyata seringkali malah
melahirkan proses marginalisasi, kerusakan ekologis dan tidak berkesuaian dengan kebutuhan
masyarakat lokal. Kajian berikut ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan: apakah hal yang
serupa akan juga terjadi di kawasan Teluk Bintuni, Provinsi Papua?
Dilacak ke belakang, industrialisasi dan perubahan sosial yang terjadi di kawasan
Teluk Bintuni dan di Provinsi Papua pada umumnya, sebetulnya tidak hanya baru terjadi pada
era reformasi, atau setelah diberlakukannya kebijakan otonomi khusus di Papua. Paling-tidak
dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, proyek transmigrasi dan masuknya berbagai usaha
perniagaan di wilayah Papua telah memicu terjadinya perubahan sosial, ekonomi dan budaya
yang signifikan di wilayah ini. Di wilayah-wilayah yang memiliki potensi sumber daya alam
yang menarik minat investor, sudah tentu perubahan yang terjadi lebih dini dan lebih cepat
karena dihela masuknya industrialisasi dan para pendatang.
Di era Orde Baru, ketika pemerintah mencanangkan program yang disebut “kebijakan
ke arah Timur”, yang bertujuan untuk mendorong investasi di wilayah Indonesia bagian
Timur, sejak itu pula arus investasi yang masuk ke wilayah Papua mulai meningkat pesat.
Sejumlah perusahaan di bidang perkayuan, perikanan, pertanian, dan juga pertambangan
mulai banyak melirik Papua, termasuk ke kawasan Teluk Bintuni, karena potensi sumber
daya alam yang ada di kawasan ini memang menjanjikan. Walau kondisi infrastruktur, sarana
dan prasarana yang ada relatif belum memadai, namun demikian potensi sumber daya alam
yang berlimpah di berbagai wilayah di Provinsi Papua, bagaimana pun juga adalah pemikat
yang membuat para pengusaha tidak mungkin menutup mata begitu saja.
Teluk Bintuni, misalnya adalah salah satu teluk di Provinsi Irian Jaya Barat yang
memiliki potensi sumber daya alam sangat berlimpah, termasuk potensi di sektor kehutanan,
7
perikanan dan sumber gas bumi. Teluk Bintuni secara geografis memiliki konfigurasi hutan
mangrove sangat luas, bahkan terluas di Papua. Luas kawasan hutan mangrove di Teluk
Bintuni tercatat sekitar 260 ribu hektar, dengan kandungan sumber daya alam yang beraneka
ragam, mulai dari flora, fauna, hasil-hasil tambang, dan lain sebagainya. Konfigurasi seperti
ini membentuk ekosistem kawasan mangrove yang mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis
bagi masyarakat setempat. Fungsi yang cukup penting dari hutan mangrove kecuali sebagai
kawasan penahan abrasi pantai, adalah juga sebagai tempat berpijah udang dan ikan secara
alami. Sementara fungsi ekonomisnya adalah sebagai penunjang kebutuhan hidup masyarakat
di sekitarnya, dan bahkan masyarakat luar yang memperoleh manfaat dari hasil laut dan kayu
yang melimpah di sana.
Kawasan Teluk Bintuni terletak di Irian Jaya bagian Barat, yaitu di bagian mulut
kepala burung pada koordinat 132036’ – 134036’ BT dan 03015’ – 03032’ LS. Luas wilayah
Teluk Bintuni mencakup 22.817,44 kilometer persegi atau 60,7% dari seluruh luas Kabupaten
Manokwari. Di kawasan Teluk Bintuni diperkirakan terdapat sekitar 7 suku besar, antara lain
adalah suku Wamesa, Sebyar, Soub, Irarutu, Kuri dan Simuri. Suku-suku lokal ini, sebagian
mungkin telah ikut menikmati dan menjadi bagian dari proses industrialisasi yang sudah dan
tengah berlangsung di kawasan itu. Tetapi, seperti juga terjadi di daerah yang lain, tidak
jarang penduduk setempat dalam beberapa hal juga menjadi korban situasi dan terpaksa harus
menanggung akibat kegiatan eksploitasi dan eksploitasi sumber daya alam yang lepas
kendali.
Kajian yang dilakukan Pusat Studi Asia Pasifik-UGM, Konphalindo, WWF dan
YDPTB pada bulan Februari 1999, misalnya telah membuktikan bahwa di Teluk Bintuni
telah terjadi perubahan ekosistem sebagai akibat terjadinya sedimentasi, kekeruhan dan
perubahan sifat-sifat kimiawi air di perairan di Teluk Bintuni. Pengembangan berbagai
kegiatan yang dilakukan perusahaan bidang pertambangan, kehutanan, perumahan,
transmigrasi maupun budidaya pertanian yang membuka lahan hutan dan mengkonservasinya
untuk keperluan lain telah mendorong terjadinya peningkatan erosi dalam skala besar yang
terbawa oleh sistem aliran sungai dan diendapkan di perairan Teluk Bintuni, sehingga cepat
atau lambat mengancam kelangsungan sumber daya alam yang tersedia, khususnya food
security.
H. Jack Ruitenbeek (1992) (lihat: Leksono, 2000) melaporkan bahwa di kawasan
Teluk Bintuni kegiatan ekspor kayu cacahan (wood-chips), merupakan salah satu ancaman
8
potensial terhadap kelangsungan ekosistem hutan mangrove di Teluk Bintuni. Habitat hidup
moluska dan kepiting, misalnya diperkirakan akan terganggu akibat adanya pembukaan hutan
mangrove yang menyebabkan meningkatnya intensitas cahaya dan tingkat abrasi.
Di samping itu, eksplorasi dan eksploitasi yang terjadi di wilayah perairan akibat
pembukaan industri perikanan, dalam beberapa kasus selain menimbulkan perubahan pola
produksi nelayan lokal, ternyata juga melahirkan tekanan kemiskinan yang cukup
meresahkan. Dilaporkan, sekitar 200 kapal trawler besar yang menyapu Teluk Bintuni sampai
ke pinggiran hutan mangrove, bukan saja menyebabkan terjadinya overfishing, tetapi juga
menyebabkan nelayan kecil dan nelayan tradisional mengalami proses marjinalisasi. Wilayah
perairan pantai yang sebelumnya mampu menghidupi dan memenuhi kebutuhan sehari-hari
keluarga nelayan tradisional, pelan-pelan makin tidak bersahabat, akibat kegiatan
modernisasi perikanan.
Berbeda dengan nelayan modern yang acapkali mampu merespon perubahan dan
lebih mampu menyiasati tekanan perubahan dan kondisi overfishing, nelayan kecil dan
tradisional seringkali justru mengalami proses marjinalisasi dan menjadi korban dari kegiatan
industri perikanan yang daya jelajah dan dukungan teknologinya jauh lebih canggih. Akibat
keterbatasan teknologi yang dimiliki, ruang gerak nelayan tradisional umumnya sangat
terbatas: mereka hanya mampu beroperasi di perairan pantai (in shore). Kegiatan
penangkapan ikan hanya dilakukan dalam satu hari sekali melaut (one day a fishing trip).
Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan nelayan lokal yang masih mempergunakan alat
tangkap tradisional ketika mereka harus berhadapan dengan kekuatan industri perikanan yang
luar biasa?
Sepanjang kegiatan industrialisasi hanya mengeksploitasi sumber daya alam, dan
tidak melakukan reinvestasi bagi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat lokal, maka
dapat dipastikan akan terjadi sejumlah perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya –yang
bukan hanya mengancam kelangsungan ekosistem, tetapi juga kelangsungan hidup
masyarakat setempat. Secara garis besar, sejumlah perubahan yang terjadi di kawasan Teluk
Bintuni adalah:
Pertama, kehadiran berbagai perusahaan dan kekuatan komersial di sebuah wilayah,
termasuk di kawasan Teluk Bintuni akan melahirkan berbagai perubahan pola-pola interaksi
pada komunitas lokal, khususnya desa-desa yang terkena dampak langsung atau disebut
9
sebagai Directly Affected Villages (DAVs) kehadiran proyek itu. Di wilayah manapun,
indutrialisasi niscaya akan menyebabkan terjadinya perubahan karena didorong tiga faktor,
yaitu proses komersialisasi, infiltrasi dan invasi para pendatang, dan proses difusi.
Kedua, kehadiran industrialisasi akan melahirkan pergeseran dan perubahan budaya
masyarakat, termasuk di dalamnya adat-istiadat, tradisi, hukum adat, norma lokal, ritus, gaya
hidup, dan bahkan nilai-nilai budaya yang menjadi kerangka acuan berpikir dan hidup
masyarakat lokal. Sebuah komunitas atau suku yang semula hidup relatif terisolasi, jarang
berinteraksi dengan pranata-pranata modern, niscaya mereka cepat atau lambat akan
melakukan proses adaptasi –yang sebagian mungkin berhasil, tetapi sebagian yang lain
mungkin gagal sehingga terpaksa harus tersisih dari kehidupan baru yang lahir karena dihela
industrialisasi.
Ketiga, kehadiran industrialisasi dalam beberapa kasus acapkali pula melahirkan
potensi pergesekan, dan bahkan konflik yang sifatnya terbuka, karena adanya harapan yang
berlebihan, yang tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi di lapangan. Bisa
dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika di sebuah wilayah yang relatif belum berkembang,
atau bahkan agak terisolasi seperti di kawasan Teluk Bintuni hadir sebuah perusahaan
multinasional dengan seluruh pranata yang dimilikinya. Mulai dari soal rekruitmen pegawai,
keeksklusifitas gaya hidup para pendatang, pranata kerja, dan sebagainya jelas perusahaan itu
memiliki kriteria dan mekanisme tersendiri, yang dalam banyak hal tidak mungkin dapat
dipenuhi oleh masyarakat setempat, yang kebanyakan secara sosial belum memiliki
kemampuan dan basis sosial yang memadai. Pertemuan dua subkultur yang berbeda dalam
sebuah proses perubahan sosial dan budaya —terlebih antara kultur dunia industri dan kultur
masyarakat lokal, yang acapkali dinilai tidak pararel dengan kepentingan dunia industri—
tidak mustahil akan potensial memicu terjadinya pergesekan bila tidak dikelola dengan baik.
Di sejumlah daerah yang mengalami proses industrialisasi, potensi pergesekan dan
konflik yang terjadi di masyarakat lokal biasanya bukan sekadar bersumber pada terjadinya
kecemburuan sosial dan perbedaan kultur masyarakat lokal dan para pendatang yang serba
modern. Tetapi, sesungguhnya konflik itu juga berakar pada nilai-nilai sejarah politik
ekonomi sejak jaman kepenguasaan pemerintah kolonial sampai ke kelahiran korporatisme
negara atas sumber daya alam pada jaman ke pemerintahan Orde Baru hingga era reformasi
di Indonesia. Korporatisme negara tersebut tercermin dari lahirnya peraturan perundang-
undangan yang sifatnya sentralistik, atas dasar asas unifikasi, yang dikemas dalam kerangka
10
berpikir yang legalistik, tetapi sulit dicerna nalar warga masyarakat di lingkungan komunitas
lokal yang serba tradisional.
Secara teoritis, konflik dan protes terbuka masyarakat lokal terhadap kehadiran dunia
industri, lebih banyak terjadi jika peran pemerintah yang diharapkan dapat berfungsi sebagai
mediator, yang pembela nasib masyarakat setempat, ternyata dalam kenyataan lebih banyak
berpihak pada kepentingan kekuatan komersial. Di Kalimantan, misalnya, studi yang
dilakukan Ruwiastuti dkk.(1997) (Akhmad, 2005), menemukan bahwa tanah adat dan tanah
milik orang Dayak sebagai penduduk lokal seringkali dikorbankan untuk kepentingan yang
bersifat ekstraktif atau kepentingan orang-orang yang datang dari luar daerah, sehingga bisa
dipahami jika di sana muncul gejolak dan protes keras masyarakat lokal. Hal yang sama tidak
mustahil juga terjadi jika di Teluk Bintuni proses indutrialisasi yang sudah dan tengah
berlangsung ternyata tidak atau kurang berpihak kepada kepentingan mayarakat lokal, dan
terlebih-lebih lagi jika hasilnya justru mengalienasikan dan memarginalisasi penduduk
setempat.
Di kawasan Teluk Bintuni, saat ini tercatat ada puluhan perusahaan, dengan latar
belakang dan variasi usaha yang bermacam-macam, mulai dari usaha di sektor perkebunan,
kehutanan, perikanan, dan juga pertambangan. BP Berau sendiri sebagai kontraktor bagi hasil
untuk produksi minyak dan gas di area Teluk Bintuni, termasuk salah satu investor baru yang
mulai masuk ke Bintuni sekitar empat-lima tahun terakhir. Sekalipun hingga kini BP Berau
belum benar-benar berproduksi, tetapi kehadiran BP Berau di kawasan Teluk Bintuni berikut
semua pranatanya, sedikit-banyak telah mempengaruhi kehidupan masyarakat lokal,
khususnya kampung-kampung yang terkena dampak langsung pembangunan industri baru
ini. Relokasi penduduk setempat dan pembangunan sarana dan prasarana yang dilakukan
selama persiapan produksi, khususnya pembangunan kilang minyak dan gas, serta kelak
ketika BP sudah benar-benar berproduksi tentu akan melahirkan dinamika perubahan sosial-
budaya tersendiri.
Seperti terjadi di wilayah manapun, industrialisasi dan masuknya pendatang di sebuah
komunitas yang sebelumnya terisolasi seperti di kawasan Teluk Bintuni ini, niscaya akan
melahirkan perubahan. Masyarakat setempat yang sebelumnya hidup sederhana, subsisten
dan komunal, cepat atau lambat akan berubah lebih modern, terkontaminasi pola-pola
hubungan yang sifatnya kontraktual, dan menjadi lebih rasional serta kritis terhadap hal-hal
yang terjadi di sekitarnya.
11
Perubahan ini terjadi, tak lain sebagai akibat bergesernya sistem nilai budaya
masyarakat setempat yang kian berorientasi ke pertimbangan-pertimbangan yang lebih
kalkulatif, dan rasional ketika harus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sebagai
perbandingan: di masyarakat Kei, Maluku Tenggara, misalnya, kontrol lemah oleh sistem
adat dan instansi kehutanan serta penetrasi kekuatan komersial yang bergerak di bidang usaha
kehutanan, telah kian mempercepat terjadinya kemunduran kualitas alam di Pulau itu dan
perubahan suku Kei ke arah yang lebih rasional dan komersial.
Sumber :
http://mkp.fisip.unair.ac.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=73:industrialisasi-migas-dan-eksistensi-masyarakat-
lokal-hasil-studi-di-teluk-bintuni-papua&catid=34:mkp&Itemid=61
12
SUMBER DAYA ALAM TELUK BINTUNI
MASY. PRIBUMI I
PENDATANG II
MASY. PRIBUMI II
PENDATANG I
EKSPLORASI DAN EKSPLOITASI
KONFLIK
PERUBAHAN SOSIAL, EKONOMI, BUADAYA
Visualisasi Alur Berpikir
Kerangka Pemikiran
Potensi sumber daya alam di Teluk bintuni sangat berlimpah, termasuk potensi di sektor
kehutanan, perikanan dan sumber gas bumi. Masyarakat pribumi di sana memanfaatkan
sumber daya alam dengan cara-cara tradisional, akan tetapi pihak luar menilai, potensi Teluk
Bintuni bukanlah sesuatu yang harus disia-siakan begitu saja. Mereka datang melakukan
eksplorasi dan eksploitasi alam. Masyarakat pribumi pun makin tersisih, sehingga terjadi
perubahan sosial, ekonomi, maupun budaya. Kondisi ini lah yang melahirkan konflik, alam
dirusak, tetapi tidak ada imbal balik bagi masyarakat setempat.
13
Flora and Fauna Survey of
the Tangguh LNG Site
Papua Province, Indonesia
Typical lowland hill forest in the Tangguh LNG Site.
Dalam tahap perencanaan Proyek LNG Tangguh di daerah Teluk Berau-Bintuni di Papua,
Indonesia, BP melaksanakan Survey Flora dan Fauna di dalam area proyeknya. Data dari
survey ini merupakan komponen penting dalam Rencana Pengelolaan Lingkungan, yang pada
gilirannya merupakan bagian utama dari Analisis Dampak Lingkungan di Tangguh
(AMDAL). Survey dan data yang dihasilkan memberikan sumbangan terhadap upaya
konservasi biologi, serta untuk meningkatkan kepedulian lingkungan para staf, para
pengunjung dan komunitas. Koleksi data dan analisisnya juga merupakan hasil sebuah
kolaborasi yang berharga antara para ahli dari Indonesia dan luar negeri. Lokasi proyek
Tangguh LNG berada di Propinsi Papua (dulu Irian Jaya), Indonesia, di Pulau New Guinea
(Gambar 1). Proyek ini terletak di pesisir utara Semenanjung Bomberai, pertemuan antara
Teluk Berau dengan Teluk Bintuni. Luas lokasi meliputi 3.266 ha, namun diperkirakan luas
fisik tapak proyeknya hanya sekitar 800 ha.
KEANEKARAGAMAN HAYATI DI INDONESIA
Keanekaragaman hayati dapat diartikan sebagai suatu keragaman dari gen, spesies, dan
sistem-sistem ekologi yang membentuk dasar kehidupan di planet kita ini. Mempertahankan
14
keanekaragaman hayati merupakan permasalahan global yang sangat mendesak, karena
peranannya dalam menyediakan komponen-komponen yang penting untuk kehidupan di
muka bumi. Punahnya suatu spesies tidak akan dapat dikembalikan lagi – dan kepunahannya
tersebut memberi pengaruh atau dampak bagi spesies yang tersisa termasuk juga bagi
ekosistem di mana mereka hidup. Walaupun kepastian dampak akibat punahnya satu spesies
tertentu belum banyak diketahui, namun perubahan-perubahan dalam keanekaragaman hayati
di lingkungan alam, dapat mengakibatkan timbulnya dampak turunan (sekunder) jangka
panjang terhadap masyarakat. Keanekaragaman hayati di dunia tidaklah tersebar secara
merata, dan suatu daerah yang memiliki konsentrasi keanekaragaman hayati yang tinggi,
dikenal dengan “daerah megadiversity”. Keanekaragaman hayati di wilayah Indo-Pasifik,
yang terbentang dari Indonesia ke arah timur sampai Polinesia dan ke utara sampai
Micronesia memiliki kekayaan biologis yang hampir tak terhingga. Letak Indonesia yang
berada di persilangan Asia dan Pasifik menyebabkan Indonesia memiliki ekosistem
kepulauan yang secara biologi (spesies flora and fauna) sangat unik. Kebanyakan dari biota
Indonesia telah berevolusi dalam keadaan terisolasi, dan banyak spesies-spesies yang hanya
dapat ditemukan pada beberapa pulau-pulau tertentu. Hal tersebut menyebabkan World
Conservation Union (IUCN) dan lembaga sejenis lainnya, menetapkan Indonesia sebagai
negara dengan kategori “negara megadiverse”.
KEANEKARAGAMAN DI PAPUA
Pulau New Guinea secara administratif terbagi dalam dua wilayah, yaitu Propinsi Papua yang
termasuk wilayah Indonesia dan Negara Papua Nugini. Sebagai pulau tropis yang terbesar
dan tertinggi di dunia, Pulau New Guinea memiliki keragaman dan keunikan ekosistem yang
mengagumkan, termasuk glasier dan ekosistem alpine, hutan berkabut, hutan hujan dataran
rendah, padang rumput, hutan mangrove, terumbu karang dan hamparan rumput laut. Banyak
spesies yang ada di New Guinea memiliki status endemik atau secara alamiah tidak dapat
ditemukan di tempat lain. Masuk dalam kategori ini diantaranya adalah burung cenderawasih,
kanguru pohon, ikan pelangi, kupu-kupu sayap burung, berbagai jenis anggrek dan ribuan
jenis flora dan fauna lainnya. Secara keseluruhan, pulau New Guinea memiliki sedikitnya
500.000 jenis flora dan fauna. Dari jumlah tersebut, diduga sekitar 20.000 sampai 25.000
jenis tanaman hidup di wilayah Propinsi Papua. Pulau New Guinea secara keseluruhan
diperkirakan memiliki sekitar tujuh persen dari total keanekaragaman hayati yang ada di
bumi ini – menyamai keanekaragaman hayati yang ada di seluruh Amerika Utara atau
15
Australia walaupun Pulau New Guinea hanya menempati kurang dari 0,5% dari luas lahan
yang ada bumi.
DATA FLORA DAN FAUNA DI TANGGUH
Tujuan dari survey flora dan fauna ini adalah untuk memperbaharui hasil penelitian ilmiah
dan pekerjaan teknis yang telah dilakukan sebelumnya oleh BP, untuk menjadi masukan bagi
perbaikan yang akan dilaksanakan secara terus-menerus terhadap Rencana Pengelolaan
Lingkungan di wilayah Tangguh LNG. Selain itu, hasil studi ini juga merupakan pedoman
praktis dan salah satu cara terbaik untuk menunjukkan betapa pentingnya masalah
keanekaragaman dan ekosistem kawasan tersebut kepada para karyawan, tamu, dan
masyarakat lokal. Pengumpulan data survey ini dilaksanakan oleh tim gabungan dari PT
Hatfindo Prima, perusahaan patungan Kanada-Indonesia yang bergerak di bidang konsultansi
lingkungan hidup di Bogor, Indonesia, dan Indo-Pacific Conservation Alliance (IPCA),
organisasi penelitian konservasi keanekaragaman nir-laba di Washington DC, Amerika
Serikat. Institusi di Indonesia yang juga tergabung dalam studi ini adalah Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) terutama Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi di Bogor
dan Cibinong, Jawa Barat; Universitas Cenderawasih (UNCEN) di Jayapura, Papua; serta
Universitas Negeri Papua (UNIPA) di Manokwari, Papua, Indonesia. Survei lapang
dilaksanakan dalam 3 periode waktu, masing-masing periode selama 2 minggu, yang dimulai
pada bulan Februari hingga April 2002. Survei yang dilaksanakan meliputi pengumpulan data
dasar dan ekologi flora dan fauna dengan melakukan inventarisasi terhadap kelompok
taksonomi utama yaitu: tanaman, burung, mamalia, reptil dan amfibi, serangga (kupu-kupu
dan ngengat), serta ikan air tawar dan ikan daerah estuari. Hasil survei akan menambah data
yang telah dikumpulkan pada saat Studi Data Dasar Lingkungan pada tahun 1998 dan studi
AMDAL tahun 2000. Selain itu, data hasil survei dapat digunakan untuk perbaikan terus
menerus bagi program pengelolaan dan pemantauan lingkungan sumberdaya biologis selama
tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi dari pembangunan lokasi Tangguh
LNG. Area kerja Tangguh LNG hanya merupakan sebagian kecil daerah dari rangkaian hutan
di Semenanjung Bomberai, dan secara geografi, tidak dapat dianggap sebagai bagian yang
terpisah/ terisolasi. Areal ini terlalu kecil untuk mendukung adanya suatu ekosistem hutan
yang mempunyai keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Hal ini disebabkan karena
daerah tersebut tergantung dari pasokan benih dan biji dari luar kawasan untuk survival dan
kesehatan populasi di dalamnya. Hasil studi ini menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati
yang ditemukan di lokasi studi relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan lokasi lain yang
16
Permasalahan Global
mirip di tempat lain di New Guinea. Namun, jika proses pembangunan di sekitar lokasi
proyek berjalan dengan cepat, dan lokasi proyek menjadi semakin terisolasi dari hutan alam
di sekitarnya, maka kelimpahan dan keanekaragaman jenis di lokasi Tangguh LNG
cenderung akan berkurang oleh sebab-sebab yang tidak selalu terkait secara langsung dengan
Proyek LNG Tangguh.
www.bp.com/liveassets/bp_internet/globalbp/STAGING/global_assets/downloads/E/
executive_summary_brochure1.pdf
Visualisasi Alur Berpikir
17
Kepunahan Keanekaragaman Hayati
Masyarakat Lokal
Tamu
Karyawan
Masyarakat
Dampak Turunan Jangka Panjang
Perubahan Keanekaragaman
Hayati
Kerangka Pemikiran
Permasalahan yang terlihat dalam artikel yaitu eksploitasi sumber daya alam
khususnya yang terletak di negara Indonesia bagian timur, yakni Papua Nugini tepatnya di
Teluk Bintuni. Berbagai kerusakan keanekaragaman hayati yang dimiliki lama-kelamaan
mengalami kepunahan yang tidak disadari secara penuh oleh masyarakatnya. Kepunahan
keanekaragaman hayati sedikit banyak akan menyebabkan suatu perubahan keanekaragaman
karena keanekaragaman hayati apabila telah mengalami kepunahan tidak dapat lagi
diperbaharui. Akibatnya terdapat dampak yang harus diterima oleh anak cucu atau keturunan
kita pada akhirnya. Dampak yang berimbas pada turunan dan bersifat jangka panjang tersebut
meliputi karyawan yang bekerja di tempat tersebut, tamu yang ingin berkunjung, dan
masyarakat lokal yang mendiami tempat tersebut.
Hal tersebut dapat dihindari dengan tetap mengontrol pengelolaan terhadap
pemanfaatan lingkungan. Mulai dari hal yang paling kecil. Misalnya tetap melestarikan
keanekaragaman hayati dengan menggunakan aturan yang dirancang untuk melindungi
keanekaragaman hayati. Memberikan sanksi yang keras terhadap pelanggar dan memeberikan
pemahaman terhadap masyarakat setempat mengenai pentingnya melindungi
keanekaragaman hayati demi kelangsungan hidup jangka panjang.
18
PENJELASAN KONSEPTUAL
Teluk Bintuni merupakan daerah pesisir yang mengandung sumber daya alam
yang sangat besar. Sumber daya alam ini antara lain berupa mineral, minyak bumi,
gas alam, dan hutan (bakau maupun tropis). Pertama kali yang mengetahui kandungan
yang ada di dalam Teluk Bintuni ini adalah perusahaan ARCO Amerika yang
menaungi minyak dan gas pada tahun 1997. Sejak saat itu, berdatanganlah para
pengusaha asing maupun lokal yang mengeruk sumber daya yang ada di Teluk
Bintuni tersebut.
Masalah :
1. Pengambilan sumber daya biologis berupa :
- Mineral
- Minyak dan gas alam
- Hutan
2. Kepunahan keanekaragaman hayati
3. Permasalahan sosial
- Tidak terlaksananya kebijakan pemerintah tentang otonomi khusus yang
mampu menampung aspirasi masyarakat setempat
- Tergusurnya pemukiman warga setempat oleh pembangunan pabrik
- Lapangan pekerjaan yang sulit, bahkan dari perusahaan para pendatang yang
‘berhasil’ menggusur desa warga.
19
KESIMPULAN DAN SOLUSI
Dari sekian permasalahan yang ditemui pada kasus Teluk Bintuni, dapat dikatakan
bahwa manusia pada abad sekarang ini masih memberdayakan alam dengan berbekal
paham ‘antroposentris’, yakni sebuah pandangan dimana manusia merasa menjadi
raja di alam semesta ini. Segala kebutuhan yang tak ada habisnya tersebut harus
dipenuhi oleh alam, padahal tidak selamanya alam mampu mencukupinya, karena
alam juga mempunyai keterbatasan ‘jumlah’ maupun ‘kesabaran’.
Dari hal itu, solusi yang mampu penulis sarankan adalah :
1. Secara teoritis :
- Mengubah cara pandang atau ideologi manusia dari antroposentris menjadi
ekosentris1.
Ekosentrisme, yang disebut juga deep environmental ethics, semakin dipulerkan
denganversi lain setelah diperkenalkan oleh Arne Naes, seorang filsuf Norwegia
dengan menyebutnya sebagai Deep Ecology ini adalah suatu paradigma baru
tentang alam dan seluruh isinya. Perhatian bukan hanya berpusat pada manusia
melainkan pada mahluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi
persoalan lingkungan hidup. Manusia bukan lagi pusat dari dunia moral. Deep
Ecology memusatkan perhatian kepada semua kehidupan di bumi ini, bukan
hanya kepentingan seluruh komunitas ekologi.
2. Secara Teknis :
- Ketegasan pemerintah dalam menjalankan undang-undang, khususnya
tentang perizinan pengambilan sumber daya alam, serta memberikan
hukuman yang setimpal terhadap pelanggaran yang ada.
1 http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=teori%20ekosentris
20
- Lakukan perbaikan kembali ekologi yang rusak, terutama sumber daya alam
yang dapat diperbaharui, misalnya dengan reboisasi dan pembudidayaan
SDA bawah laut.
- Berikan ambang batas bagi setiap pengambilan SDA yang tidak dapat
diperbaharui agar di saat mendatang, manusia di abad ini tidak hanya
meninggalkan ‘kenangan’ buruk bagi manusia di abad mendatang.
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
Mata Kuliah Ekologi Manusia
ANALISIS PERMASALAHAN EKOLOGIS
PADA TELUK BINTUNI, PAPUA
Disusun Oleh :
1. Moch.Arief Wisuda ( )2. Nurliana Ulfa (0911210049)3. Umi Arifah Y. (0911213081)
21
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN SOSIOLOGI
2011
22
top related