digilib.uns.ac.id/analisis... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user analisis...
Post on 06-Mar-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG
(AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN
ANTAR LEMBAGA NEGARA YANG DIPUTUS
OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
(Studi Putusan Nomor : 030/SKLN-IV/2006)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Raditya Gumelar Mahardika
NIM. E0008068
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK
Raditya Gumelar M, E0008068. 2012. ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA YANG DIPUTUS OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Putusan Nomor : 030/SKLN-IV/2006), Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Konstitusi Indonesia belum mengatur secara jelas mengenai lembaga negara apa saja yang mendapat kewenangan dari UUD 1945. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN), seiring berjalannya waktu terjadi problematika dalam proses beracaranya dimana terjadi kekosongan hukum mengenai bagaimana kedudukan hukum dari lembaga negara penunjang dalam mengajukan permohonan SKLN karena kewenangannya yang disebutkan eksplisit di UUD 1945.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam penyelesaian SKLN yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi dan untuk mengetahui implikasi yuridis adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 030/SKLN-IV/2006 terhadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam SKLN.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis bahan yang digunakan meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan yaitu studi dokumen dengan teknik analisis berupa metode logika deduktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan mengenai legal standing lembaga negara penunjang untuk mengajukan permohonan sebagai para pihak pada SKLN di Mahkamah Konstitusi sah-sah saja, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara . Dengan merujuk pada legitimasi Hakim Konstitusi hendaknya dilakukan penafsiran yang lebih luas dalam menentukan subjectum litis dan objectum litis pada hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Selain itu Hakim Konstitusi juga perlu melakukan interpretasi yang dibatasi sesuai dengan konteks yang tepat, yaitu bentuk pemberian kekuasaan terhadap lembaga tersebut yang harus atributif dan derivatif yang tidak mengandung hierarki. Kemudian implikasi yuridis dari Putusan MK Nomor 030/SKLN-IV/2006 adalah adanya diskriminasi terhadap kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara penunjang dalam proses hukum acara SKLN dimana Hakim Konstitusi masih menafsirkan secara sempit dan tekstual makna “lembaga negara” dalam Pasal 61 UU Nomor 24 Tahun 2003 jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Kosntitusi.
Kata Kunci : Mahkamah Konstitusi, Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara, Lembaga Negara Penunjang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
Raditya Gumelar M, E0008068. 2012. ANALYSIS OF THE LEGAL STANDING OF AN AUXILIARY STATE ORGAN) IN A DISPUTE BETWEEN AUTHORITIES OF THE STATE ORGANS WERE DISPUTE BY THE CONSTITUTIONAL COURT (Study Decision Number : 030/SKLN-IV/2006), Faculty of Law Sebelas Maret University.
Constitution Indonesia not arranged regarding state organs any kind of getting authorities of UUD 1945. One of authorities of Constitutional Court is decision of dispute between authorities of the state organs (SKLN), along the time happened problematc in course of attend legal procedure it where happened blankness of law about legal standing of auxiliary state organs in apply SKLN because its which mentioned by eksplisit in UUD 1945.
Main Purposes of this research is to know the legal standing of auxiliary state organ in dispute of settlements authority between state organs were dispute by the Constitutional Court (MK) and to know the implications of the Constitutional Court Decision Number : 030/SKLN-IV/2006 on the legal standing of the auxiliary state organ to supporting in dispute of settlements authority between state organs.
This research is normative legal research that is spatially descriptive research. This research use secondary data, where it has primary material law and secondary material law. It use library technic methodology with technic analyse in the form of deductive logic method.
The result of research showed the provision regarding the supporting legal standing of auxiliary state organs to apply a matter as a party in dispute of settlements authority between state organs at the Constitutional Court can do it just as stipulated in Article 3 Paragraph 1 Rules of MK Number 08/PMK/2006 about Guidance Attend legal procedure in a dispute between authorities of the state organs. With reference to the legitimacy of the Judge of Constitution should be conducted an wider interpretation of the determining subjectum litis and objectum litis to the event law of dispute of settlements authority between state organs. The judge also need to make an interpretation of the constitution that is bounded in accordance with the rights context, which is the form of power over the state organs must be attributive and derivative does not contain a hierarcy. And then juridicial implication of the Constitutinal Court Decision Number 030/SKLN-IV/2006 were the discrimination against legal standing from auxiliary state organ in a process dispute of settlements authority between state organs that the constitution judge had still interpretation in a narrow manner an textual meaning of “state organs” in Article 61 of Act Number 24/2003 jo. Act Number 8/2011 about Constitutional Court
Keyword : Constitutional Court, A Dispute Between Authorities Of The State Organs, Auxiliary State organs
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
MOTTO
Man Shabara Zhafira (Siapa yang bersabar pasti beruntung)
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal
dan hanya kepadaNya lah aku kembali”
(Q.S. Hud:88)
Hidupmu adalah Perjuanganmu, Perjuanganmu adalah Suksesmu
(Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSEMBAHAN
Penulisan hukum ini penulis persembahkan untuk :
Allah SWT
Terima kasih untuk rahmat, karunia, dan hidayahMu
Bapak Widodo
Ibu Muning Hartiwi
Terima kasih untuk doa, perhatian, cinta dan kasih yang mengalir tiada henti
Ibu M. Madalina, S.H., M.Hum dan
Bapak Jatmiko Anom Husodo, S.H., M.H
Terima kasih telah membimbing dengan sabar dan pemberian ilmu yang ikhlas
hingga penulisan hukum ini selesai
Very Puspita Indriyanti
Thank’s for every your laugh, spirit and love
Semua pihak yang telah membantu penulisan hukum ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahNya
sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi)
yang berjudul “ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA
PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN) DALAM SENGKETA
KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA YANG DIPUTUS OLEH
MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Putusan Nomor : 030/SKLN-IV/2006)”
dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulisan hukum ini membahas mengenai kedudukan hukum bagi
lembaga negara sebagai para pihak dalam sengekta kewenangan antar lembaga
negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 24C UUD 1945
disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk memutus
sengketa kewenangan antar lembaga negara, namun definisi dari kata “sengketa
kewenangan” dan “lembaga negara” tidak dijelaskan secara rinci dalam konstitusi.
Dalam penelitian ini, dibahas mengenai lembaga negara mana saja yang dapat
bersengketa di Mahkamah Konstitusi selain itu dijelaskan bagaimana konstitusi
melihat kedudukan dari lembaga negara penunjang dalam sehingga dari
kedudukan tersebut dapat diketahui kedudukan hukum lembaga negara penunjang
dalam hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Selanjutnya juga
dibahas implikasi yuridis Putusan MK Nomor 030/SKLN-IV/2006 terhadap
eksistensi lembaga negara penunjang sebagai pihak dalam sengketa kewenangan
antar lembaga negara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Ibu M.Madalina, S.H., M.Hum selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ibu M.Madalina, S.H., M.Hum selaku Pembimbing I Penulisan Hukum
(Skripsi) yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
bimbingan, saran, kritik, dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan
penulisan hukum ini.
4. Bapak Jatmiko Anom Husodo, S.H., M.H yang telah memberikan bimbingan,
arahan, motivasi, saran, dan kritik bagi penulis dalam menyusun Penulisan
Hukum (Skripsi) ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama
menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta.
6. Segenap karyawan Fakultas Hukum UNS, yang telah memberikan
pengalaman yang berharga bagi penulis ketika menjalani masa perkuliahan
dan organisasi.
7. Kedua orang tua, Bapak Widodo dan Ibu Muning Hartiwi, Saudaraku Rizki
Widyaningrum dan Ajeng Apriliana serta keluarga di Magetan dan Jogja.
8. Segenap staf Mahkamah Konstitusi yang telah banyak memberikan ilmu dan
pengalaman yang luar biasa selama penulis melaksanakan kegiatan magang
serta teman-teman Magang, Yusuf, Trisna, Sap Wulandari, Asri Triaji, Rio S,
Ratu, Dwi dan Mas Gegana.
9. Very Puspita Indriyanti yang telah memberikan doa dan semangat bagi
Penulis
10. Sahabatku ((Unyu Kost)): Asri Triaji, Kurniawan Putra, R.Giazh, Hamdan
Rahmat, Johan Candra, Arif Satriantoro, Mas Hafidz, Mas Prastowo, Hari
Cahyadi.
11. Organisasiku BEM FH UNS dan Teman-Teman Angkatan 2008 dan KASASI
2011 terimakasih untuk segala bekal ilmu dan pengalaman yang luar biasa
yang diberikan kepada penulis.
Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada
semua pihak, baik untuk akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.
Surakarta, Mei 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ iii HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ iv ABSTRAK ...................................................................................................... v ABSTRACT ..................................................................................................... vi HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... viii KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix DAFTAR ISI ................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ……………. ...................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ ........ xvi BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................. 8
E. Metode Penelitian ................................................................. 9
F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ...................................................................... 15
1. Tinjauan Umum mengenai Kedudukan Hukum ............... 15
a. Pengertian Kedudukan Hukum Secara Umum........... 15
b. Pengertian Kedudukan Hukum dalam
Mahkamah Kosntitusi .............................................. 16
c. Kedudukan Hukum dalam Sengketa Kewenangan
Antar Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi ...... 16
2. Tinjuan Umum mengenai Lembaga Negara ..................... 19
a. Pengertian Lembaga Negara ...................................... 19
b. Pengertian Lembaga Negara Penunjang .................... 23
3. Tinjauan Umum mengenai Sengketa Kewenangan Antar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Lembaga Negara (SKLN) ................................................ 27
a. Pengertian SKLN ...................................................... 27
b. Wewenang Mahkamah Kosntitusi Memutus SKLN . 30
c. Mekanisme Hukum Acara Sengketa Kewenangan
Antar Lembaga Negara Oleh Mahkamah Konstitusi . 35
4. Tinjauan Umum mengenai Mahkamah Konstitusi ............ 36
a. Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi . 36
b. Fungsi Mahkamah Konstitusi..................................... 37
B. Kerangka Pemikiran .............................................................. 38
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Lembaga Negara Penunjang
Dalam Penyelesaian Sengketa Kewenangan Antar
Lembaga Negara Oleh Mahkamah Konstitusi .......................... 40
1. Kualifikasi Kewenangan Lembaga Negara Menurut
UUD 1945 ......................................................................... 40
a. Organ Lapis Pertama atau Lembaga Tinggi Negara 48
b. Organ Lapis Kedua atau Lembaga Negara ............... 57
c. Organ Lapis Ketiga atau Lembaga Daerah .............. 61
2. Penafsiran Kedudukan Hukum Lembaga Negara
dalam Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara ..... 71
B. Implikasi Yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 Tehadap
Kedudukan Hukum Lembaga Negara Penunjang Dalam Sengketa
Kewenangan Antar Lembaga Negara ...................................... 79
1. Kedudukan Hukum Para Pihak ........................................ 79
2. Alasan Permohonan .......................................................... 83
3. Amar Putusan ................................................................... 88
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................ 102
1. Kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam
penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara
oleh Mahkamah Konstitusi ................................................ 102
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Implikasi yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006
terhadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang
dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara .......... 103
B. Saran ...................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 106 LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Ketentuan Mengenai SKLN Menurut Mahkamah Konstitusi ......... 94
Tabel 2. Kedudukan Hukum Para Pihak Dalam SKLN ................................ 95
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Kerangka Pemikiran …………………………………………………………………………. 38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 030/SKLN-IV/2006 tentang Sengketa antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Presiden RI qq Menteri Komunikasi dan Informasi RI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Terdapat tiga fungsi kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori
hukum maupun politik, yaitu fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Baron
de Montesquiue mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara itu
dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya
boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh saling mencampuri
urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian kebebasan
akan terancam. Konsepsi yang kemudian disebut dengan trias politica tersebut
tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan
bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan
salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini
menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin
saling bersentuhan dan bahkan ketiganya besifat sederajat dan saling
mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances
(Jimly Asshiddiqie, 2010: 1).
Berawal dari konsepsi diatas, Indonesia melakukan perubahan
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945) yang dilaksanakan sejak tahun 1999 sampai dengan 2002.
Tuntutan perubahan atas UUD 1945 yang digulirkan tersebut didasarkan
pandangan bahwa UUD 1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances
antar cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) dan untuk menghindari
penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindak melampaui wewenang (Dahlan
Thalib, 1996: 64). Selain itu, UUD 1945 tidak cukup memuat landasan bagi
kehidupan demokratis, pemberdayaan masyarakat dan penghormatan terhadap
hak asasi manusia. Aturan UUD 1945 juga banyak yang menimbulkan
multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan yang otoriter,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sentralistik, tertutup dan korupsi kolusi nepotisme. Tuntutan tersebut
diwujudkan dalam empat kali amandemen UUD 1945.
Setelah UUD 1945 diamandemen baik melalui perubahan pertama,
kedua, ketiga dan keempat struktur ketatanegaraan di Indonesia juga
mengalami perubahan. Amandemen UUD 1945 telah melahirkan beberapa
lembaga demokrasi baru seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Kemudian, pada masa reformasi,
struktur ketatanegaraan Indonesia diwarnai dengan munculnya lembaga-
lembaga atau komisi-komisi independen yang membantu, mengontrol dan
mengawasi jalannya pemerintahan, misalnya: Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi
Pemilihan Umum dan lain sebagainya. Selain itu, adanya amandemen UUD
1945 juga mengubah kedudukan MPR yang tidak lagi sebagai lembaga
tertinggi negara melainkan berubah menjadi lembaga tinggi negara yang
kedudukannya sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang lain.
MPR terdiri dari dua kamar atau bicameral yang terdiri dari DPR dan DPD,
yang kedudukannya sederajat dengan Presiden dan Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Ketiga cabang kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif tersebut sama-sama sederajat dan saling
mengontrol satu sama lain dengan prinsip checks and balances (Jimly
Asshiddiqie, 2010: 2).
Adanya perubahan kedudukan MPR menyebabkan terjadinya
perubahan pada tatanan hubungan antar lembaga negara, hubungan antar
lembaga negara tidak lagi terstruktur secara hierarkis melainkan tersusun
secara fungsional, dimana konstitusi memberikan fungsi kepada masing-
masing lembaga negara. Artinya adalah dengan perubahan tersebut akan
mempertegas dianutnya sistem pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and
balances” diantara lembaga-lembaga tinggi negara. Dengan adanya prinsip
“checks and balances” maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan
dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh
aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat
dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.
Sebuah konsepsi pembentukan lembaga negara bukan saja diartikan
sebagai lembaga masyarakat. Namun, lembaga ini dapat berada dalam ranah
legislatif, eksekutif maupun yudikatif maupun yang bersifat campuran.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa lembaga ini berkembang pesat
baik di tingkat nasional maupun daerah. Di tingkat pusat, ada empat tingkatan
untuk membedakannya diantaranya:
1. lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih
lanjut dalam Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan
Presiden (Perpres), dan Keputusan Presiden (Keppres);
2. lembaga yang dibentuk berdasarkan UU yang diatur dan ditentukan lebih
lanjut dengan PP, dan Keppres;
3. lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan
Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusa Presiden;
4. lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri yang ditentukan
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri atau keputusan pejabat dibawah
menteri.
Sedangkan lembaga yang ada di daerah, tidak disebut sebagai lembaga
negara melainkan disebut lembaga daerah, sepanjang bekerjanya dibiayai oleh
anggaran belanja negara atau daerah, dan bukan dimaksudkan sebagai
lembaga swasta atau lembaga masyarakat (Jimly Asshiddiqie, 2008: 340-350).
Secara rinci, Jimly Asshiddiqie mengidentifikasi 34 lembaga negara
yang disebut dalam UUD 1945 baik secara eksplisit maupun implisit. Diluar
lembaga yang disebut dalam UUD 1945, struktur ketatanegaraan Indonesia
juga diramaikan dengan sejumlah komisi atau lembaga yang sering disebut
sebagai lembaga independent. Lembaga independen ini sering disebut sebagai
auxiliary state organs¸atau disebut lembaga negara penunjang. Lembaga ini
ada yang disebut dalam aturan hukumnya sebagai lembaga negara, lembaga
tersebut antara lain KOMNAS HAM, KPK, KPI, KPAI, LPSK dan
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) (Jimly Asshiddiqie, 2010: 4).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dengan adanya berbagai struktur kelembagaan negara dan adanya
hubungan antar kelembagaan yang saling mengontrol dan mengimbangi
(checks and balances) tersebut diatas, tentunya memungkinkan terjadinya
sengketa antar lembaga negara, khususnya yang terkait dengan kewenangan
kosntitusional. Hubungan antara satu lembaga dengan lembaga yang lain
diikat oleh prinsip checks and balances, dimana lembaga-lembaga tersebut
diakui sederajat tetapi saling menegendalikan satu sama lain. Sebagai akibat
adanya mekanisme hubungan sederajat itu, timbul kemungkinan dalam
melaksanakan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam
menafsirkan UUD 1945. Jika timbul persengketaan terdapat semacam itu,
diperlukan organ tersendiri yang diserahi tugas untuk memutus final atas hal
itu. Dalam sistem ketatanegaraan yang telah diadopsikan dalam UUD 1945,
mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui
proses peradilan tata negara, yaitu melalui lembaga yang dibentuk tersendiri
dengan nama Mahkamah Konstitusi (Jimly Asshiddiqie, 2005: 2).
Kewenangan penyelesaian sengketa tersebut, dalam praktek negara-negara
sejak abad ke-20, menurut I Dewa Gede Palguna, memang lazimnya diberikan
kepada Mahkamah Konstitusi, karena lembaga negara inilah yang memiliki
fungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution). Bahkan,
kewenangan demikian harus dianggap ada, walaupun konstitusi tidak secara
tegas menyatakannya (I Gede Dewa Palguna, 2008: 6).
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang
ditegaskan kembali dengan Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai d Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), dijelaskan bahwa kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN) yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai
politik; memutus perselisihan hasil pemilihan umum dan memberikan
keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum,atau perbuatan tercela atau tidak memenuhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam UUD
1945. Mengenai persoalan SKLN telah dibuat ketentuan perundangan yang
lebih teknis dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam SKLN. Kemudian sesuai
dengan pasal 61 ayat (1) UU MK dijelaskan yang menjadi objek sengketa
adalah persengketaan mengenai kewenangan konstitusional antar lembaga
negara. Sedangkan subjek sengketa adalah seluruh lembaga negara yang
kewenangannya diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945 kecuali Mahkamah
Agung tidak dapat bersengketa.
Terkait dengan penyelesaian perkara memutus SKLN yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, sejak 2003 sampai sekarang,
terdapat 12 perkara yang diterima dan telah diputus oleh Mahkamah
Kosntitusi. Hasil putusannya, 2 perkara ditolak, 6 perkara tidak dapat diterima
dan empat ditarik kembali (Sekjen & Kepaniteraan MK, 2010: 150).
Salah satu perkara SKLN yang amar putusannya tidak diterima oleh
Mahkamah Konstitusi adalah Perkara Nomor 030/SKLN-IV/2006 yang
mengadili sengketa antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selaku Pemohon
dengan Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informatika selaku Termohon.
Adapun kewenangan konstitusional yang dipersengketakan adalah sengketa
kewenangan pemberian izin penyelenggaraan penyiaran dan pembuatan aturan
dalam hal penyiaran dimana perintah konstitusi yang dijabarkan melalui Pasal
33 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
mengatur izin penyelenggaraan penyiaran diberikan negara melalui KPI dan
Pemerintah melalui KPI. Akan tetapi, kewenangan konstitusional tersebut
diambil alih oleh Termohon dengan hanya menyampaikan pemberian izin
tersebut kepada Pemohon tanpa memberikan kewenangan pada Pemohon
untuk membuat kebijakan dalam hal pemberian izin penyiaran.
Dalam amar putusannya Hakim Konstitusi menyatakan permohonan
Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) dengan
pertimbangan hukum bahwa KPI sebagai Pemohon tidak memiliki kedudukan
hukum (legal standing) dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
karena KPI adalah lembaga negara yang dibentuk dan kewenangannya
diberikan oleh undang-undang bukan UUD 1945, dengan demikian KPI
bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945,
maka KPI tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU MK. Komisi Penyiaran
Indonesia sebagai salah satu lembaga negara penunjang dalam putusan
tersebut tidak dianggap keberadaannya sehingga hal ini tidak sesuai
permohonan yang disampaikan KPI. Dimana permohonan tersebut beranjak
dari Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara permohonan
pengujian UU 32 tahun 2002 (UU Penyiaran) terhadap UUD 1945 yang dalam
putusannya menyatakan KPI diakui sebagai lembaga negara.
Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis memfokuskan pada analisis
terhadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang (auxiliary state organ)
dalam proses beracara di Mahkamah Konstitusi karena adanya kekosongan
hukum. Hal ini sangat penting dikaji, mengingat dalam peraturan perundang-
undangan tidak secara detail menjelaskan kedudukan hukum para pihak dalam
sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sehingga muncul gagasan
penulisan hukum yang berjudul, “ANALISIS KEDUDUKAN HUKUM
LEMBAGA NEGARA PENUNJANG (AUXILIARY STATE ORGAN)
DALAM SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA
YANG DIPUTUS OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (Studi Putusan
Nomor : 030/SKLN-IV/2006)”.
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian, diperlukan untuk memberi
kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang akan
ditelitinya, sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta
memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan uraian dan
latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1. Bagaimanakah kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam
penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara oleh Mahkamah
Konstitusi?
2. Bagaimana implikasi yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 tehadap
kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa
kewenangan antar lembaga negara?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya,
maka untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan adanya tujuan dari suatu
penelitian. Tujuan penelitian ditemukan secara deklaratif dan merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut
(Soerjono Soekanto, 2007: 118-119). Dalam suatu penelitian dikenal ada dua
macam tujuan, yaitu tujuan obyektif dan tujuan subyektif, yang mana tujuan
obyektif merupakan tujuan yang berasal dari tujuan penelitian itu sendiri,
sedangkan yang disebut tujuan subyektif yaitu berasal dari peneliti. Tujuan
obyektif dan subyektif dalam penelitian ini antara lain :
1. Tujuan Obyektif
Tujuan obyektif merupakan tujuan penulisan dilihat dari tujuan
umum yang mendasari peneliti dalam melakukan penelitian. Tujuan
obyektif dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam
penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara oleh
Mahkamah Konstitusi
b. Untuk mengetahui implikasi yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-
IV/2006 tehadap kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam
sengketa kewenangan antar lembaga negara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Tujuan Subyektif
Tujuan subyektif merupakan tujuan penulisan dilihat dari tujuan
pribadi peneliti yang mendasari peneliti dalam melakukan penulisan.
Tujuan subyektif peneliti antara lain :
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti di bidang
Hukum Tata Negara khususnya berkaitan dengan penyelesaian sengketa
kewenangan antar lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi
b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana di
bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
c. Untuk mengasah dan menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang
telah peneliti peroleh agar dapat memberi manfaat bagi peneliti sendiri
serta memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang hukum.
D. Manfaat Penelitian
Dalam suatu penelitian pasti ada manfaat yang diharapkan dapat
tercapai. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran yang
bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan
Hukum Tata Negara pada khususnya
b. Memberikan wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai
kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa
kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh Mahkamah
Konstitusi
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan atau sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak
terkait, mengenai kedudukan hukum lembaga negara penunjang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh
Mahkamah Konstitusi
b. Untuk memberikan pemikiran alternatif yang diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan informasi dalam kaitannya dengan
perimbangan yang menyangkut masalah.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu tulisan atau karangan mengenai
penelitian disebut ilmiah dan dipercaya kebenarannya apabila pokok-pokok
pikiran yang dikemukakan disimpulkan melalui prosedur yang sistematis
dengan menggunakan pembuktian yang meyakinkan, oleh karena itu
dilakukan dengan cara yang obyektif dan telah melalui berbagai tes dan
pengujian.
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Di dalam usaha mencari kebenaran yang ilmiah,
metode penelitian menjadi bagian yang cukup penting dalam menyusun suatu
penelitian. Suatu penelitian ilmiah dapat dipercaya kebenarannya apabila
disusun dengan menggunakan suatu metode yang tepat. Penelitian merupakan
suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang
dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten (Soerjono Soekanto,
2006: 42). Oleh karena itu penelitian merupakan sarana (ilmiah) bagi
pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus
senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya
(Soerjono Soekanto, 2007: 1).
Metode penelitian yang akan dipergunakan peneliti dalam penelitian
hukum ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan
hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut
disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan
dengan hubungannya dengan masalah yang diteliti yaitu dalam hal
kedudukan hukum lembaga negara penunjang (auxiliary state organ)
dalam perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara yang diputus
oleh Mahkamah Konstitusi (Soerjono Soekanto, 2007: 10).
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang akan dilakukan ini adalah bersifat deskriptif
yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejalanya.
Maksudnya adalah mempertegas hipotesis, agar dapat membantu di
dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun
teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1984: 10).
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu peneilitian
normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan
hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu lain untuk
kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah
karakter ilmu hukum sebagai hukum normatif. Dalam kaitannya dengan
penelitian normatif dapat digunakan sebagai berikut (Johny Ibrahim,
2005: 246):
a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
b. Pendekatan Konsep (conceptual approach)
c. Pendekatan Perbandingan (comparative approach)
d. Pendekatan Kasus (case approach)
Pendekatan tersebut dapat digabung, sehingga dalam suatu
penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau
lebih yang sesuai. Namun dalam suatu penelitian normatif, satu hal yang
pasti adalah penggunaan pendekatan perundang-undangan (statute
approach). Dikatakan pasti karena secara logika hukum, penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
hukum normatif didasarkan pada penelitian yang dilakukan terhadap
bahan hukum yang ada.
Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual
approach), serta pendekatan kasus (case approach). Pendekatan
perundang-undangan secara otomatis dipilih karena kajian penelitian
hukum yang bersifat yuridis-normatif, sedangkan pendekatan konsep
dipilih untuk membantu peneliti memahami filosofi aturan hukum dari
masing-masing ahli hukum serta memahami dasar suatu konsep yang
melandasi suatu aturan hukum. Terakhir, pendekatan kasus dilakukan
dengan cara menelaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan materi
penelitian yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengkaji pertimbangan hakim
dalam memutus suatu perkara.
4. Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Menurut Peter Mahmud Marzuki,
bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas sedangkan bahan hukum sekunder berupa
semua bahan hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi
(Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141). Bahan hukum yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer terdiri dari peraturan perundang-
undangan, catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundang-
undangan dan putusan hakim. Dalam penelitian ini, bahan hukum
primer yang digunakan yaitu:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang
Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan antarlembaga
Negara.
5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 030/SKLN-IV/2006
tentang Sengketa Kewenangan antara KPI dengan Presiden qq.
Menteri Komunikasi dan Informasi.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang secara tidak
langsung memberikan keterangan yang bersifat mendukung sumber
data primer. Dalam hal ini berupa buku-buku teks, kamus-kamus
hukum dan jurnal-jurnal hukum yang mendukung penulisan hukum
ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk
memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan
hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penulisan
hukum ini adalah studi dokumen. Studi dokumen adalah suatu alat
pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis
dengan menggunakan content analysis (Peter Mahmud Marzuki, 2006:
21). Penulis dalam mengumpulkan bahan hukum dengan cara mencari
peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan yang berkaitan
dengan segala aspek dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara
yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi serta penelusuran buku-buku
dan jurnal nasional maupun internasional yang berkaitan dengan konsep
lembaga negara penunjang dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Selanjutnya bahan hukum yang telah didapatkan dianalisis lebih lanjut
sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian.
6. Teknik Analisis
Langkah yang dilakukan setelah memperoleh bahan hukum
adalah menganalisis bahan hukum tersebut. Teknik analisis bahan hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
merupakan faktor terpenting dalam penelitian untuk menentukan kualitas
hasil penelitian yaitu dengan analisis data.
Penelitian hukum ini berusaha untuk mengerti atau memahami
gejala yang diteliti untuk kemudian mendeskripsikan data-data yang
diperoleh selama penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan hukum
yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan.
Mengkualitatifkan data adalah fokus utama dari penelitian hukum ini.
Dengan demikian penulis berharap untuk dapat memberikan gambaran
utuh dan menyeluruh bagi fenomena yang diteliti, yaitu seputar
kedudukan hukum bagi lembaga negara penunjang dalam sengketa
kewenangan antarlembaga negara yang diputus oleh Mahkamah
Konstitusi dengan menganalisis Putusan MK Nomor 030/SKLN-IV/2006.
Metode penalaran yang dipilih oleh penulis adalah metode
penalaran (logika) deduktif, yaitu hal-hal yang dirumuskan secara umum
kemudian ditarik kesimpulan sesuai dengan kasus faktual yang diteliti
atau dianalisa. Dalam UUD 1945 diatur adanya penyelesaian sengketa
kewenangan antar lembaga negara (SKLN) yang kewenangannya
diberikan kepada Mahkamah Konstitusi kemudian dikualifikasikan
lembaga negara apa saja yang berhak untuk mengajukan permohonan
SKLN menurut Pasal 61 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi
sehingga dalam penelitian ini dapat diindentifikasi apakah lembaga
negara yang bersifat penunjang memiliki kedudukan hukum untuk
mengajukan permohonan SKLN.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan ilmiah,
maka peneliti menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun
sistematika penulisan hukum terbagi dalam 4 (empat) bab yang tiap bab
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan
pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan
hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini, peneliti menguraikan mengenai latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,
dan sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini, peneliti menguraikan mengenai kajian pustaka dan teori dari
para ahli maupun doktrin hukum berdasarkan literatur yang berkenaan dengan
permasalahan yang diteliti serta kerangka pemikirannya. Landasan teoritik
tersebut meliputi tinjauan tentang kedudukan hukum, tinjauan tentang
lembaga negara, tinjauan tentang sengketa kewenangan antar lembaga negara,
dan tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi. Selain itu, untuk memudahkan
pemahaman alur berfikir, maka di dalam bab ini juga disertai dengan kerangka
pemikiran.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini, peneliti menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan
sebagai jawaban perumusan masalah. Terdapat dua pokok permasalahan yang
dibahas dalam bab ini, yaitu:
1. kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam penyelesaian
sengketa kewenangan antar lembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi
2. implikasi yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 tehadap kedudukan
hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar
lembaga negara
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini, peneliti menguraikan mengenai simpulan dan saran terkait
dengan permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing)
a. Pengertian Kedudukan Hukum (Legal Standing) Secara Umum
Pengertian kedudukan hukum atau legal standing menurut Black’s
Law Dictionary adalah “ A Party’s righ to make legal claim or seek
judicial enforcement of a duty or right” (Henry Campbel, 1999: 1413).
Kemudian menurut ensiklopedi Wikipedia online pengertian legal
standing adalah “Standing or locus standi is the ability of a party to
demonstrate to the court sufficient connection to and harm from the law
or action challenged” (Admin , Legal Standing, http://www. wikipedia.
org/legal/standing, diakses pada Rabu, 8-2-2012 pukul 13.15 WIB).
Intinya adalah legal standing atau kedudukan hukum merupakan
penentu apakah seseorang yang berperkara merupakan subyek hukum
yang telah memenuhi syarat menurut undang-undang untuk mengajukan
perkara di muka pengadilan sebagaimana undang-undang tersebut
mengatur.
Dalam hukum Amerika Serikat, persyaratan legal standing
dikatakan telah terpenuhi jika dapat dikatakan bahwa Penggugat
mempunyai kepentingan nyata dan secara hukum dilindungi (Maruarar
Siahaan, 2005: 81). Yang dimaksud dengan standing atau personae standi
in judicio adalah hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan
atau permohonan didepan pengadilan (standing to sue), yaitu bahwa
pihak tersebut mempunyai kepentingan yang cukup dalam satu
perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan keputusan
pengadilan (Maruarar Siahaan, 2005: 94). Dalam yurisprudensi Amerika
dikatakan bahwa tiga syarat harus dipenuhi untuk mempunyai standing to
sue, yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1) adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan
pemohon yang dilindungi secara hukum yang bersifat:
a) spesifikasi atau khusus, dan
b) aktual dalam satu kontroversi dan bukan hanya bersifat potensial;
2) adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara
kerugian dengan berlakunya satu undang-undang;
3) kemungkinan dengan diberikannya keputusan yang diharapkan, maka
kerugian akan dihindarkan atau dipulihkan. (Maruarar Siahaan, 2005:
81).
Pesyaratan legal standing sebagaimana diatur dalam konstitusi
Amerika Serikat, berbeda dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Pengaturan tentang legal standing di Indonesia tersebar dalam berbagai
ketentuan hukum formil.
b. Pengertian Kedudukan Hukum (Legal Standing) dalam Mahkamah
Konstitusi
Tidak semua orang atau badan hukum boleh mengajukan
permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon. Adanya
kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata
maupun hukum acara tata usaha negara tidak dapat dijadikan dasar
(Maruarar Siahaan, 2005: 81). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi,
memang tidak mengatur mengenai legal standing para pemohon secara
umum. Namun pengertian dan rumusan legal standing pemohon
ditentukan berbeda berdasarkan masing-masing wewenang Mahkamah
Konstitusi. Sehingga pengertian legal standing dalam masing-masing
kewenangan berbeda tergantung dari subjek penyelesaian sengketa oleh
Mahkamah Konstitusi.
c. Kedudukan Hukum (Legal Standing) dalam Sengketa Kewenangan
Antar Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi
Dalam perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara
(SKLN), pihak-pihak yang berperkara di depan Mahkamah Konstitusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu pihak Pemohon dan pihak
Termohon. Mengenai siapa yang dimaksud dengan pihak Pemohon dan
pihak Termohon, Hukum Acara SKLN yang diatur dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1) Pemohon
Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap
kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi,
diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga negara adalah lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan
lembaga negara yang sumbernya diperoleh dari UUD 1945 inilah
yang disebut dengan kewenangan konstitusional. Kewenangan
konstitusional lembaga negara ini dapat berupa wewenang/hak dan
tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945
(Sekjen & Kepaniteraan MK, 2010: 172).
Di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara diatur, bahwa lembaga
negara yang dapat menjadi pemohon dalam perkara sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :
a) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
b) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
c) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
d) Presiden;
e) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
f) Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
g) Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945.
Adanya rumusan hukum tentang pengertian ‘lembaga negara
lain’ menunjukkan, bahwa kemungkinan pemohon lain di luar yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
telah disebutkan di atas masih terbuka atau ada, tergantung pada
hakim konstitusi. Komisi Pemilihan Umum Pusat misalnya, dapat saja
menjadi pemohon dalam perkara SKLN, tergantung pada bagaimana
hakim menafsirkannya. Pemohon harus mempunyai kepentingan
langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Yang
dimaksud dengan kewenangan yang dipersengketakan ini adalah
kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945.
2) Termohon
Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah
mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau
merugikan pemohon. Di dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam
Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara diatur, bahwa
lembaga negara yang dapat menjadi termohon dalam perkara sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :
a) Dewan Perwakilan Rakyat;
b) Dewan Perwakilan Daerah;
c) Majelis Permusyawaratan Rakyat;
d) Presiden;
e) Badan Pemeriksa Keuangan;
f) Pemerintahan Daerah; atau
g) Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945.
Adanya rumusan hukum tentang pengertian ‘lembaga negara
lain’ menunjukkan, bahwa kemungkinan termohon lain di luar yang
telah disebutkan di atas masih terbuka atau ada, tergantung pada
hakim. Komisi Pemilihan Umum Pusat misalnya, dapat saja menjadi
termohon dalam perkara SKLN, tergantung pada bagaimana hakim
menafsirkannya. Dalam pemeriksaan perkara, pemohon dan termohon
memiliki kedudukan yang sama (equal). Keduanya memiliki
kesempatan dan kebebasan yang sama untuk mengajukan hal-hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang dianggapnya benar menurut hukum. Keduanya juga memiliki
hak dan kebebasan yang sama untuk mengajukan pembelaan dan
bukti-bukti yang dianggap perlu.
Dengan demikian kedudukan pemohon dan termohon
berkaitan dengan pemeriksaan perkaranya bersifat accusatoir
(R.Soesilo, 1979: 11-12). Pemohon dan/atau termohon dapat
didampingi atau diwakili oleh kuasa hukumnya berdasarkan surat
kuasa khusus untuk itu. Dalam hal pemohon dan/atau termohon
didampingi oleh selain kuasanya, pemohon dan/atau termohon harus
membuat surat keterangan yang khusus untuk itu. Surat kuasa khusus
dan surat keterangan khusus tersebut harus ditunjukkan dan
diserahkan kepada majelis Hakim dalam persidangan.
2. Tinjauan tentang Lembaga Negara
a. Pengertian Lembaga Negara
Lembaga Negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki
istilah tunggal dan seragam. Didalam kepustakaan Inggris, untuk
menyebut lembaga negara digunakan istilah political institution,
sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah staat
organen. Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara,
organ negara atau badan negara (Firmansyah Arifin dkk, 2005: 29).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), kata “lembaga”
antara lain diartikan sebagai (1) “asal mula (yang akan menjadi sesuatu);
bakal”; (2) “acuan; ikatan”; (3) “badan (organisasi) yang tujuannya
melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu
penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha”. Kamus tersebut juga
memberikan contoh frasa yang menggunakan kata lembaga, yaitu lembaga
pemerintah yang diartikan “badan-badan pemerintahan dalam lingkungan
eksekutif”.
Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu negara atau yang lazim
disebut sebagai lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
guna melaksanakan fungsi-fungsi negara (Jimly Asshiddiqie, 2010: 32).
Berdasarkan teori-teori klasik mengenai negara setidaknya terdapat
beberapa fungsi negara yang penting seperti fungsi membuat kebijakan
peraturan perundang-undangan (fungsi legislatif), fungsi melaksanakan
peraturan atau fungsi penyelenggaraan pemerintahan (fungsi eksekutif),
dan fungsi mengadili (fungsi yudikatif). Kecenderungan praktik
ketatanegaraan terkini di Indonesia oleh banyak ahli hukum tata negara
dan ahli politik dikatakan menuju sistem pemisahan kekuasaan antara
ketiga pelaksana fungsi negara tersebut.
Sebenarnya, secara sederhana istilah organ negara atau lembaga
negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta,
lembaga masyarakat atau yang biasa disebut Organisasi Non Pemerintah
yang dalam bahasa Inggris disebut Non Government Organizations
(NGO’s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai
lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Lembaga
negara ini dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif ataupun
yang bersifat campuran (Jimly Asshiddiqie, 2010: 31).
Namun, baik pada tingkat nasional maupun daerah, bentuk-bentuk
organisasi negara dan pemerintahan itu dalam perkembangan dewasa ini
berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, berdasarkan gagasan
Montesquieu yang terkenal dengan doktrin trias politica-nya, kita tidak
dapat melepaskan diri dari pengertian bahwa lembaga negara itu selalu
terkait dengan tiga cabang alat perlengkapan negara, yaitu legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Hingga konsep lembaga negara juga selalu harus
terkait dengan pengertian ketiga cabang kekuasaan itu. (Jimly Asshiddiqie,
2010: 33).
Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga
pemerintahan, lembaga pemerintahan non departemen atau lembaga
negara saja. Ada yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU,
dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden. Hierarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pembedaan lembaga negara
dari beberapa segi, yaitu :
1) Dari Segi Hierarki
Pembedaan lembaga negara berdasarkan hierarki itu penting
karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap
orang yang menduduki jabatan dalam lembaga negara itu. Mana yang
lebih tinggi dan mana yang lebih rendah perlu dipastikan untuk
menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan besarnya tunjangan
jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu, ada dua kriteria yang
dapat dipakai yaitu, kriteria hierarki bentuk sumber normatif yang
menentukan kewenangannya dan kualitas fungsinya yang bersifat
utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara (Jimly
Asshiddiqie, 2010: 90).
Dari segi hierarkinya dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu:
a) Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara,
yaitu:
(1) Presiden dan Wakli Presiden;
(2) Dewan Perwakilan Rakyat
(3) Dewan Perwakilan Daerah;
(4) Majelis Permusyaratan Rakyat;
(5) Mahkamah Konstitusi;
(6) Mahkamah Agung;
(7) Badan Pemeriksa Keuangan.
b) Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, ada yang
mendapatkan kewenangannya dari UUD 1945 dan ada pula yang
mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang. Yang
mendapat kewenangan dari UUD 1945, misalnya adalah:
(1) Menteri Negara;
(2) TNI;
(3) Kepolisian Negara;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(4) Komisi Yudisial;
(5) Komisi Pemilihan Umum; dan
(6) Bank Sentral
Dalam UUD 1945, Komisi Pemilihan Umum hanya
disebutkan kewenangan pokoknya, yaitu sebagai lembaga
penyelenggara pemilihan umum. Akan tetapi, nama lembaganya
apa, tidak secara tegas disebut, karena perkataan komisi pemilihan
umum tidak disebut dengan huruf besar. Hal ini tercantum dalam
ketentuan Pasal 22E ayat (5) berbunyi,”Pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat
nasional,tetap dan mandiri”. Sedangkan ayat (6)-nya berbunyi,
“Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
undang-undang”. Oleh karena itu, dapat ditafsirkan bahwa nama
resmi organ penyelenggara pemilihan umum dimaksud akan
ditentukan oleh Undang-Undang, Undang-Undang dapat saja
memberi nama kepada lembaga ini bukan Komisi Pemilihan
Umum, tetapi misalnya Komisi Pemilihan Nasional atau nama
lainnya.
Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak
tercantum eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD
1945 hanya menyatakan “Negara memiliki suatu bank sentral yang
susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan
independensinya diatur dengan undang-undang”. Bahwa bank
sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama
ini, yaitu “Bank Indonesia” maka hal itu adalah urusan pembentuk
undang-undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral
itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan undang-
undang.
Kemudian lembaga negara yang dibentuk dan mendapat
kewenangan dari undang-undang, yaitu:
(1) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(2) Komisi Pemberantasan Korupsi;
(3) Komisi Penyiaran Indonesia;
(4) Komisi Pengawasan Persaingan Usaha;
(5) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi;
(6) Komisi Kedokteran Indonesia dan lain sebagainya.
c) Organ lapis ketiga adalah organ konstitusi yang termasuk lembaga
negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator atau
pembentuk peraturan dibawah Undang-Undang. Misalnya Komisi
Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden belaka. Artinya, keberadaannya
secara hukum hanya didasarkan atas kebijakan Presiden, jika
Presiden hendak membubarkannya lagi, maka tentu Presiden
berwenang untuk itu. Artinya, keberadaannya sepenuhnya
tergantung kepada kebijakan Presiden (Jimly Asshiddiqie, 2010:
93).
2) Dari Segi Fungsinya
Dalam pembedaan tersebut ada lembaga negara yang dapat
dikategorikan sebagai organ utama (primary constitutional organs),
dan ada pula yang merupakan organ penunjang (auxiliary state
organs). Untuk memahami perbedaan diantara keduanya, lembaga-
lembaga negara tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah, yaitu ranah
kekuasaan eksekutif atau pelaksana, kekuasaan legislatif atau
pengawasan serta kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.
b. Pengertian Lembaga Negara Penunjang (Auxiliary State Organ)
Kemunculan lembaga negara yang dalam pelaksanaan fungsinya
tidak secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga
trias politica mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir
abad ke-20 di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti
Amerika Serikat dan Perancis. Banyak istilah untuk menyebut jenis
lembaga-lembaga baru tersebut, diantaranya adalah state auxiliary
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
institutions atau state auxiliary organs yang apabila diterjemahkan secara
harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara
penunjang. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah
cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak
pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi
swasta ataupun lembaga non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop
(organisasi non-pemerintah) atau NGO (non-governmental organization)
(Jimly Asshiddiqie, 2010: 103).
Lembaga negara penunjang ini sekilas memang menyerupai NGO
karena berada di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi,
keberadaannya yang bersifat publik, sumber pendanaan yang berasal dari
publik, serta bertujuan untuk kepentingan publik, membuatnya tidak
dapat disebut sebagai NGO dalam arti sebenarnya. Sebagian ahli tetap
mengelompokkan lembaga independen semacam ini dalam lingkup
kekuasaan eksekutif, namun terdapat pula beberapa sarjana yang
menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam
kekuasaan pemerintahan. Secara teoritis, lembaga negara penunjang
bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang
pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas
negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara.
Gagasan lembaga negara penunjang sebenarnya berawal dari keinginan
negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela
untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi.
Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat
sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal.
Munculnya lembaga negara penunjang dimaksudkan pula untuk
menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi
dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang
akuntabel, independen, serta dapat dipercaya (Fariz Pradipta, Kedudukan
Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945, http://www.farizpradiptalaw.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
blogspot.com/kedudukan-lembaganegara-bantu-didalam.html diakses
pada Minggu, 29-01-2012 pukul 16.36 WIB).
Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara
penunjang adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi
kontemporer untuk mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan
administratif menjadi bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan
dengan sifatnya tersebut, John Alder mengklasifikasikan jenis lembaga
ini menjadi dua, yaitu: (1) regulatory, yang berfungsi membuat aturan
serta melakukan supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat
privat; dan (2) advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau
nasihat kepada pemerintah. Jennings, sebagaimana dikutip Alder dalam
Constitutional and Administrative Law, menyebutkan lima alasan utama
yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga negara penunjang dalam
suatu pemerintahan, alasan-alasan itu adalah sebagai berikut (Fariz
Pradipta, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem
Ketatanegaraan Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,
http://www.farizpradiptalaw. blogspot.com/kedudukan-lembaga-negara-
bantu-didalam.html, diakses pada Minggu, 29-01-2012 pukul 16.36
WIB):
1) Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan
pelayanan yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko
campur tangan politik.
2) Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang
bersifat non-politik.
3) Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat
independen, seperti profesi di bidang kedokteran dan hukum.
4) Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang
bersifat teknis.
5) Munculnya berbagai institusi yang bersifat semi yudisial dan
berfungsi untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan
(alternative dispute resolution / alternatif penyelesaian sengketa)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pembentukan lembaga-lembaga negara penunjang tersebut juga
harus memiliki landasan pijak yang kuat dan paradigma yang jelas.
Dengan demikian, keberadaannya dapat membawa manfaat bagi
kepentingan publik pada umumnya serta bagi penataan sistem
ketatanegaraan pada khususnya. Ni’matul Huda, mengutip Firmansyah
Arifin,dkk. dalam Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan
Antarlembaga Negara, mengatakan bahwa aspek kuantitas lembaga-
lembaga tersebut tidak menjadi masalah asalkan keberadaan dan
pembentukannya mencerminkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Prinsip konstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah gagasan yang
menghendaki agar kekuasaan para pemimpin dan badan-badan
pemerintahan yang ada dapat dibatasi. Pembatasan tersebut dapat
diperkuat sehingga menjadi suatu mekanisme yang tetap. Dengan
demikian, pembentukan lembaga-lembaga negara penunjang
ditujukan untuk menegaskan dan memperkuat prinsip-prinsip
konstitusionalisme agar hak-hak dasar warga negara semakin terjamin
serta demokrasi dapat terjaga.
2) Prinsip checks and balances. Ketiadaan mekanisme checks and
balances dalam sistem bernegara merupakan salah satu penyebab
banyaknya penyimpangan di masa lalu. Supremasi MPR dan
dominasi kekuatan eksekutif dalam praktik pemerintahan pada masa
pra reformasi telah menghambat proses demokrasi secara sehat.
Ketiadaan mekanisme saling kontrol antarcabang kekuasaan tersebut
mengakibatkan pemerintahan yang totaliter serta munculnya praktik
penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Prinsip checks and
balances menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan
demokrasi. Pembentukan organ-organ kelembagaan negara harus
bertolak dari kerangka dasar sistem UUD Negara RI Tahun 1945
untuk menciptakan mekanisme checks and balances.
3) Prinsip integrasi. Selain harus mempunyai fungsi dan kewenangan
yang jelas, konsep kelembagaan negara juga harus membentuk suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kesatuan yang berproses dalam melaksanakan fungsinya.
Pembentukan suatu lembaga negara tidak dapat dilakukan secara
parsial, melainkan harus dikaitkan keberadaannya dengan lembaga-
lembaga lain yang telah eksis. Proses pembentukan lembaga-lembaga
negara yang tidak integral dapat mengakibatkan tumpang-tindihnya
kewenangan antar lembaga yang ada sehingga menimbulkan
inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
4) Prinsip kemanfaatan bagi masyarakat. Pada dasarnya, pembentukan
lembaga negara ditujukan untuk memenuhi kesejahteraan warganya
serta menjamin hak-hak dasar warga negara yang diatur dalam
konstitusi. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan serta
pembentukan lembaga-lembaga politik dan hukum harus mengacu
kepada prinsip pemerintahan, yaitu harus dijalankan untuk
kepentingan umum dan kebaikan masyarakat secara keseluruhan serta
tetap memelihara hak-hak individu warga negara (Ni’matul Huda,
2005: 67).
3) Tinjauan tentang Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara (SKLN)
a. Pengertian SKLN
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2001, belum ada aturan
mengenai mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga
negara. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk memberi putusan
terhadap sengketa kewenangan antar lembaga negara tersebut juga belum
ada. Karena itu, selama masa tersebut belum ada preseden dalam praktek
ketatanegaraan Indonesia mengenai penanganan sengketa kewenangan
antar lembaga negara. Barulah setelah adanya Perubahan Ketiga UUD
1945, yang mengadopsi pembentukan lembaga negara Mahkamah
Konstitusi yang salah satu kewenangannya adalah memutus sengketa
kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki mekanisme
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
penyelesaian jika terjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara
(Jimly Assidiqie, 2005: 2). Sistem ketatanegaraan Indonesia yang
dimaksud di sini adalah seperangkat prinsip dasar dan aturan yang
mengenai susunan negara atau pemerintahan, bentuk negara atau
pemerintahan, hubungan tata kerja antar lembaga negara atau
pemerintahan dan sebagainya yang menjadi dasar pengaturan negara atau
pemerintahan di Indonesia. Dengan pengertian sistem ketatanegaraan
Indonesia yang demikian ini, maka pada hakikatnya esensi sistem
ketatanegaraan Indonesia ini adalah Hukum Tata Negara Indonesia, yang
meliputi hukum konstitusi dan konvensi ketatanegaraan (the Law of the
Constitution dan the Convention of the Constitution) (Widodo
Ekatjahana, 2008: 20).
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, hubungan antara satu
lembaga negara dengan lembaga negara yang lainnya diikat oleh prinsip
checks and balances. Dalam prinsip tersebut, lembaga-lembaga negara itu
diakui sederajat, dan saling mengimbangi satu sama lain. Penggunaan
istilah checks and balances itu sendiri, pernah dilontarkan oleh John
Adams, Presiden Amerika Serikat kedua (1735-1826), pada saat ia
mengucapkan pidatonya yang berjudul “Defense of the Constitution of
the United States” (1787). Istilah checks and balances tersebut menurut
David Wootton sebenarnya hanya merupakan salah satu teknik saja untuk
mengemukakan konsep saling kontrol dan saling mengimbangi antar
cabang kekuasaan negara. Dan istilah itu sebelumnya juga telah
digunakan oleh Whig John Toland (1701) dan Marcham Nedham (1654).
Gagasan checks and balances menurut David Wootton mengandung
pikiran, bahwa konstitusi merupakan satu sistem mekanis, yang diartikan
sebagai satu interest dalam mekanisme (Mark Tushnet, 2011: 10).
Menurut Jimly Asshiddiqie, rujukan tentang mesin politik itu, diambil
dari edisi John Dryden tentang Plutarch’s Lives, dengan mengatakan
“...the Maker of the world had when he had finished and set this great
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
machine moving, and found everything very good and exactly to answer
to his great idea..” (Maruarar Siahaan, 2008: 69).
Sebagai implikasi adanya mekanisme checks and balances pada
hubungan yang sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan
kewenangan masing-masing lembaga negara timbul perbedaan dan/atau
perselisihan dalam menafsirkan amanat Undang-Undang Dasar. Jika
timbul persengketaan pendapat semacam itu, diperlukan organ tersendiri
yang diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Dalam sistem
ketatanegaraan yang telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme
penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses
peradilan tata negara, yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
dikenal dengan nama Mahkamah Konstitusi
Lembaga-lembaga negara itu dapat bersengketa, karena menurut
dalam sistem ketatanegaraan yang diadopsikan dalam ketentuan UUD
1945 sesudah Perubahan Pertama (1999), Kedua (2000), Ketiga (2001),
dan Keempat (2002), mekanisme hubungan antarlembaga negara bersifat
horisontal, tidak lagi bersifat vertikal. Jika sebelumnya kita mengenal
adanya lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara (Sri Soemantri
Martosoewignjo, 1981: 39), maka sekarang tidak ada lagi lembaga
tertinggi negara. MPR bukan lagi lembaga yang paling tinggi
kedudukannya dalam bangunan struktur ketatanegaraan Indonesia,
melainkan sederajat dengan lembaga-lembaga konstitusional lainnya,
yaitu Presiden, DPR, DPD, MK, MA dan BPK.
Kemudian pengertian dari SKLN selanjutnya dikemukakan oleh
dua Hakim Konstitusi yaitu:
1) Menurut Maruarar Siahaan, SKLN adalah sengketa yang timbul
dalam bidang hukum tata negara sebagai akibat satu lembaga negara
menjalankan kewenangan yang diberikan UUD 1945 padanya, telah
menghilangkan, merugikan atau mengganggu kewenangan lembaga
negara lainnya. Dimana sengketa (dispute) itu dapat terjadi karena
digunakannya kewenangan lembaga negara yang diperolehnya dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
UUD 1945, dan kemudian dengan penggunaan kewenangan tersebut
terjadi kerugian kewenangan konstitusional lembaga negara lain
(Maruarar Siahaan, 2005: 27).
2) Kemudian menurut Maria Farida, SKLN adalah perselisihan atau
perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan
antara dua atau lebih lembaga negara. Dimana kewenangan tersebut
dapat berupa wewenang/hak dan tugas/kewajiban lembaga negara
yang diberikan oleh UUD 1945 (Firmansyah Arifin dkk, 2005: 13).
Hingga Agustus 2009, Mahkamah Konstitusi telah menerima dan
memutus kurang lebih 11 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara (SKLN). Kesebelas tersebut masing-masing diregistrasi pada
tahun 2004 sebanyak 1 perkara, 2005 sebanyak 1 perkara, 2006 sebanyak
4 perkara, 2007 sebanyak 2 perkara, dan 2008 sebanyak 3 perkara (Sekjen
& Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi , 2010: 143 ).
b. Wewenang Mahkamah Konstitusi Memutus SKLN
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa
kewenangan lembaga negara (SKLN) yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945, di samping melakukan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945, pada dasarnya merupakan kewenangan
konstitusional yang dibentuk dengan tujuan untuk menegakkan ketentuan
yang terdapat dalam UUD 1945. Ini disebabkan karena dari dua hal inilah
persoalan konstitusionalitas dapat timbul. Fungsi Mahkamah Konstitusi
sebagai peradilan konstitusi tercermin dalam dua kewenangan tersebut,
yaitu: (1) kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD
1945; dan (2) kewenangan untuk memutus SKLN yang kewenangannya
bersumber dari UUD 1945 (Harjono, 2009: 140).
Apabila ditelusuri dari sejarah pembentukan kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk memutus SKLN sebagaimana tercantum
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, ternyata lahir dari berbagai
pemikiran yang melatar belakanginya. Pemikiran-pemikiran tersebut
dapat ditelusuri dari sejarah bagaimana rumusan tentang kedudukan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
wewenang Mahkamah Konstitusi itu dibahas dalam persidangan-
persidangan Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR RI yang
pada saat itu sedang membahas perubahan (amendemen) UUD 1945.
Berikut ini beberapa pemikiran tersebut akan diidentifikasikan.
Pertama adalah Jimly Asshiddiqie anggota Tim Ahli Panitia Ad
Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR. Jimly Asshiddiqie pada
persidangan itu menyampaikan hasil rumusan Tim Ahli yang telah
disepakati bersama sebagai berikut :
“Jadi dengan perkataan lain Mahkamah Konstitusi itu, kami usulkan memiliki tiga kewenangan. 1) Kewenangannya adalah Hak Uji Materiil.
Mulai dari undang-undang ke bawah Hak Uji Materiil ini bersifat pasif, yang berarti dia tidak cari-cari, tergantung kalau ada kasus lalu kemudian ada gugatan itu yang harus diselesaikan. Sebab kalau dia cari cari nanti selain menjadi berat bagi konstitusi itu sendiri dan itu nanti bisa menjadi sengketa antara dirinya sendiri dengan lembaga legislatif dan lembaga pembuat peraturan, seakan-akan dia menjalankan fungsi eksekutif termasuk dalam rangka mengembangkan harmonisasi peraturan. Oleh karena itu dipertahankan sifat pasifnya.
2) Memberikan putusan atas sengketa Lembaga Tinggi Negara. Jadi antar Lembaga Tinggi Negara, antar Pemerintah Pusat dengan Daerah, antar Pemerintah Daerah dalam menjalankan peraturan perundang-undangan. Jadi bukan sengketa di luar pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tempat penyelesaian pengambilan keputusannya di MK.
3) Menjalankan kewenangan lain yang diberikan undang-undang. Opsi wewenang lain ini kami usulkan untuk
dicantumkan meskipun tidak ditegaskan di sini, ini untuk menampung kemungkinan undang-undang Pemilu mengatur berkenaan dengan penyelesaian sengketa pemilu dan sengketa pemilu itu bisa diberikan kewenangan untuk penyelesaiannya di MK tetapi itu tergantung bagaimana undang-undang nanti mengaturnya” (Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010: 305-306).
Kedua menurut Soetjipto adalah:
“Kita tahu bahwa UU kita banyak produk-produk yang dihasilkan oleh Pemerintahan Belanda dan itu juga setingkat dengan UU, oleh karena itu F-UG menganggap perlu adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
suatu Mahkamah Konstitusi yang menguji UU. Fungsinya bukan hanya untuk hak uji UU tetapi Mahkamah Konstitusi di negara lain juga mengadili persengketaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan juga mengadili persengketaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dan juga mengadili persengketaan adanya pembubaran partai politik dan juga mengadili apabila terjadi persengketaan dalam pelaksanaan pemilu” (Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010: 339-340).
Apabila dicermati pandangan diatas, walaupun Soetjipto tidak
secara eksplisit mengemukakan, bahwa kewenangan MK diantaranya
adalah memutuskan sengketa lembaga negara, akan tetapi dia juga
menyebut perlunya MK diberi kewenangan untuk memutus
persengketaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Ketiga adalah I Dewa Gede Palguna dari Fraksi PDI Perjuangan
dalam pandangan akhir fraksinya, yang mengusulkan agar Mahkamah
Konstitusi memiliki kewenangan-kewenangan seperti dalam pandangan
fraksinya sebagai berikut:
“Pasal berikutnya, atau Pasal 29 dalam usulan kami : Ayat (1), Di dalam lingkungan Mahkamah Agung dibentuk Mahkamah Konstitusi; Ayat (2), Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk : Menguji Undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (fungsi judicial review). Memberi pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat hendak meminta persidangan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai laporan perilaku Presiden yang mengkhianati negara dan/atau merendahkan martabat Lembaga Kepresidenan. Memberikan keputusan akhir mengenai putusan pembubaran suatu partai politik. Memberikan keputusan apabila terdapat perselisihan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom. Memberikan putusan atas gugatan yang berdasarkan Undang-Undang Dasar” (Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010:340).
Pandangan Fraksi PDI Perjuangan yang disampaikan oleh I Dewa
Gede Palguna ternyata tidak jauh berbeda dengan pandangan Soetjipto
dari F-UG, yang menyatakan, bahwa salah satu kewenangan MK adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
memberikan keputusan apabila terdapat perselisihan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah otonom.
Keempat adalah Sutjipno dari Fraksi PDI Perjuangan yang
mengusulkan dalam pandangan akhir fraksinya sebagai berikut :
“Berhubung kewenangan Mahkamah Agung adalah melakukan uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, maka di lingkungan Mahkamah Agung dibentuk Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kewenangan menguji secara materiil atas undang-undang, memberi putusan atas pertentangan antar undang-undang, memberi putusan atas persengketaan kewenangan antara Lembaga Negara, Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, serta menjalankan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang” (Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010: 343).
Pandangan Sutjipno ini lebih luas dan eksplisit dibandingkan
pandangan yang disampaikan I Dewa Gde Palguna. Sutjipno
mengusulkan, bahwa salah satu kewenangan MK adalah memberi
putusan atas persengketaan kewenangan antara Lembaga Negara,
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Kelima adalah Affandi dari F-TNI/Polri. Affandi dalam pendapat
akhir fraksinya menyampaikan, bahwa :
“Pasal 24 ayat (2) Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung serta Lembaga Pengadilan yang berada di bawahnya di dalam lingkungan peradilan umum. Pasal 24a Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji materi undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, memberi putusan atas pertentangan atau persengketaan antara lembaga negara, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah, menjalankan peraturan perundang-undangan serta menjalankan kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang”(Sekjen & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010:348-349 ).
Masih banyak sebenarnya pandangan-pandangan yang
disampaikan oleh para tokoh politik di PAH I BP MPR RI itu berkenaan
dengan pembentukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menyelesaikan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara di
Indonesia. Akan tetapi apabila dicermati, pandangan-pandangan tersebut,
pada dasarnya menyetujui, bahwa Mahkamah Konstitusi perlu diberi
kewenangan konstitusional untuk memutus SKLN. Dan, dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, penyelesaian SKLN itu tidak diserahkan
kepada proses politik yang hanya didasarkan atas posisi politik lembaga
negara yang bersengketa, melainkan diserahkan kepada proses hukum
(yudisial).
Kemudian UUD 1945 hanya menetapkan sengketa kewenangan
yang diberikan oleh UUD 1945 (in de Gronwet geregeld) saja yang
diputus oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan kewenangan yang
diberikan oleh Undang-undang (in de wet geregeld) termasuk dalam
lingkup penafsiran undang-undang tidak menjadi kewenangan Mahkamah
Konstitusi. Dengan mencermati dinamika ketatanegaraan dan
perkembangan pemikiran/gagasan yang pesat di bidang Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, serta tuntutan masyarakat terhadap penegakan
supremasi konstitusi dan perlindungan hak-hak konstitusional warga
masyarakat (burger/justiciabelen), tidak tertutup peluang ke depan akan
timbul perubahan-perubahan peraturan di bidang ini. Termasuk gagasan-
gagasan agar kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara
SKLN tidak hanya sebatas pada perkara SKLN yang sumber
kewenangannya berasal dari UUD 1945 (in de Gronwet geregeld) saja,
akan tetapi juga mencakup SKLN yang sumber kewenangannya diperoleh
dari undang-undang (in de wet geregeld).
c. Mekanisme Hukum Acara Sengketa Kewenangan Antar Lembaga
Negara oleh Mahkamah Konstitusi
Hukum acara menunjuk cara bagaimana perkara diselesaikan di
muka hakim atau alat negara lain yang diberi tugas menyelesaikan
perselisihan hukum. Dengan demikian, Hukum Acara Sengketa
Kewenangan Antar Lembaga Negara (SKLN) adalah hukum yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mengatur bagaimana perkara SKLN di Mahkamah Konstitusi itu
diselesaikan.
Berdasarkan praktek, sengketa kewenangan konstitusional
lembaga negara ini dapat terjadi karena beberapa hal yaitu (Sekjen &
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010: 172) :
1) Adanya tumpang tindih (overlapping) kewenangan antara satu
lembaga negara dengan lembaga negara lainnya yang diatur dalam
konstitusi
2) Adanya kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diperoleh
dari konstitusi yang diabaikan oleh lembaga negara lainnya
3) Adanya kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diperoleh
dari konstitusi yang dijalankan oleh lembaga negara lainnya, dan
sebagainya.
Hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga negara paling
tidak secara formal bersumber pada ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang
Pedoman Beracara dalam SKLN.
Adapun urutan pemeriksaan SKLN di Mahkamah Konstitusi dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1) Pengajuan Permohonan
2) Pemeriksaan Administrasi dan Registrasi
3) Penjadwalan Sidang dan Panggilan Sidang
4) Pemeriksaan Perkara, yang meliputi :
a) Pemeriksaan Pendahuluan
b) Pemeriksaan Persidangan
c) Pembuktian
d) Penarikan kembali permohonan (jika ada)
5) Rapat Permusyawaratan Hakim
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6) Pembacaan Putusan
4) Tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi
a. Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan (2)
UUD 1945 menggariskan wewenangnya sebagai berikut:
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilu.
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Dalam melakukan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi
melakukan penafsiran terhadap UUD 1945 sebagai satu-satunya lembaga
yang mempunyai kewenangan tertinggi untuk menafsirkan UUD 1945.
Karena itu disamping berfungsi sebagai pengawal UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi juga biasa disebut sebagai the Sole Interpreter of the
Constitution (Jimly Asshiddiqie, 2006: 14).
Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan
putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Dalam perkembangannya kewenangan Mahkamah Konstitusi
sekarang bertambah satu lagi yaitu memutus sengketa Pilkada, yang
sebelumnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Peralihan
kewenangan dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
didasarkan pada ketentuan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 236C Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 disebutkan bahwa, “Penanganan sengketa hasil
perhitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh
Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18
(delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan” (Bambang
S, 2009: 6).
b. Fungsi Mahkamah Konstitusi
Fungsi Mahkamah Konstitusi ada lima, yaitu (Sekjen &
Kepaniteran Mahkamah Konstitusi, 2010:24) :
1) the guardian of the constitution atau pengawal konstitusi;
2) the final interpreter of the constitution atau penafsir resmi konstitusi;
3) the guardian of the democracy atau pengawal demokrasi;
4) the protector of the citizen’s constitutional rights atau pelindung hak-
hak konstitusional warga negara, dan;
5) the protector of the human rights atau pelindung hak asasi manusia.
Kehadiran MK sesungguhnya adalah manifestasi dari kedaulatan
hukum yang dianut dalam UUD 1945 dan secara tidak langsung
merupakan pengejewantahan dari kedaulatan rakyat dan kedaulatan
Tuhan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kewenangannya sudah
seharusnya memenuhi prinsip kedaulatan hukum dengan instrumennya
adalah negara hukum Indonesia dan UUD 1945 (Anwar C, 2008: 269).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Kerangka Pemikiran
Bagan 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan Kerangka Pemikiran :
Kerangka pemikiran dalam bentuk skema diatas menjelaskan alur
pemikiran Penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelah dan
menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yaitu,
kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar
lembaga Negara (SKLN) setelah adanya Putusan 030/SKLN-IV/2006.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi salah satunya adalah memutus
sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN). Kemudian, salah satu
perkara SKLN yang menarik dianalisis adalah perkara SKLN antara Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Presiden qq. Menkominfo. Berdasarkan
permohonannya, Pemohon merupakan pihak yang menganggap kewenangan
Perkara Nomor 030/SKLN-IV/2006 antara KPI sebagai Pemohon dengan
Presiden qq.Menkominfo
Pertimbangan Hukum
Putusan No. 030/SKLN-IV/2006
Pasal 61 ayat (1) UU MK
Putusan No.005/PUU-I/2003
Dasar Permohonan Kedudukan Hukum
Lembaga Negara Penunjang
Implikasi Putusan terhadap Kedudukan Hukum Lembaga Negara Penunjang
dalam SKLN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan atau dirugikan oleh
lembaga lain kemudian KPI sebagai salah satu lembaga negara penunjang,
sebagaimana disebutkan pada Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003 mengenai
putusan judicial review Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran. Oleh karena adanya putusan tersebut, KPI mengajukan permohonan
SKLN ke Mahkamah Konstitusi.
Dengan memperhatikan pertimbangan hukum sesuai dengan Pasal 61 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang menyatakan bahwa,
“Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai
kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan” serta
ditunjang dengan adanya Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003 mengenai
bagaimana kedudukan hukum lembaga negara penunjang khususnya KPI dapat
diperjelas. Kemudian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut,
Hakim Konstitusi dalam amar putusannya tidak dapat menerima permohonan
Pemohon dikarenakan kedudukan hukum dari Pemohon tidak memenuhi syarat
sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU MK.
Berdasarkan putusan tersebut, menarik untuk dikaji mengenai bagaimana
implikasi yuridis putusan tersebut terhadap kedudukan hukum lembaga negara
penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara (SKLN) yang
diputus oleh Mahkamah Konstitusi sehingga kekosongan hukum mengenai
kedudukan hukum lembaga negara penunjang dalam SKLN dapat terjawab.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA PENUNJANG DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA
NEGARA OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
Sebelum menginjak pada substansi pokok mengenai bagaimana
kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara penunjang sebagai pihak
dalam proses acara sengketa kewenangan antar lembaga negara di Mahkamah
Konstitusi, terlebih dahulu Penulis menguraikan beberapa analisis sebagai
berikut :
1. Kualifikasi Kewenangan Lembaga Negara Menurut UUD 1945
Memperhatikan peta lembaga negara pasca perubahan konstitusi
UUD 1945, perlu dipahami lebih jauh dan mendasar mengenai terminologi
lembaga negara. Terminologi “lembaga negara” dipahami masih
merupakan konsep yang debatable terlebih lagi makna dari “lembaga
negara” tidak tercantum secara tegas dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia. Terhadap hal ini setidak-tidaknya, pengertian lembaga
negara atau organ negara dapat didekati dari pandangan Hans Kelsen
mengenai The Concept of the State Organ. Menurut Hans
Kelsen,”whoever fulfills a function determined by the legal order is an
organ”, yang artinya siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang
ditentukan oleh suatu tata hukum adalah organ. Artinya, organ negara itu
tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang berbentuk organik,
lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula
disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma
(normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying).
“These functions, be they of a norm-creating or of a norm-applying
character, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanction”
(Jimly Asshidiqqie, 2010: 10).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan
warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum sama-
sama merupakan organ negara dalam arti luas. Demikian pula hakim yang
mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan
hukuman tersebut di lembaga pemasyarakatan, adalah juga merupakan
organ negara. Pendek kata, dalam pengertian yang luas ini, organ negara
itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu
dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan
publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat
umum (public officials). Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga
menguraikan adanya pengertian organ negara dalam arti yang sempit,
yaitu pengertian organ dalam arti materiil. Individu dikatakan organ
negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum yang
tertentu (...he personally has a specific legal position). Suatu transaksi
hukum perdata, misalnya, kontrak, adalah merupakan tindakan atau
perbuatan yang menciptakan hukum seperti halnya suatu putusan
pengadilan (Jimly Asshidiqqie, 2010: 12).
Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga
pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga
negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan
oleh UUD 1945, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya
dari Undang-Undang (UU), dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden. Hirarki atau ranking kedudukannya tentu
saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh
UUD 1945 merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk ber-
dasarkan UU merupakan organ UU, sementara yang hanya dibentuk
karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat
perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian
pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan
Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua
unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah
bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah
status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm) , sedangkan functie adalah
gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya. Dalam naskah Un-
dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ
yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula
yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ
yang disebut bahwa baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya
akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah (Cornelis Lay, 2006: 21).
Jika dikaitkan dengan hal tersebut di atas, maka dapat
dikemukakan bahwa dalam UUD 1945, terdapat tidak kurang dari 34
organ yang disebut keberadaannya dalam UUD 1945. Ke-34 organ atau
lembaga tersebut adalah (Jimly Asshiddiqie, 2010: 15) :
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat diatur dalam Bab II UUD 1945 yang
juga diberi judul "Majelis permusyawaratan Rakyat". Bab II ini berisi
dua pasal, yaitu Pasal 2 yang terdiri atas tiga ayat, Pasal 3 yang juga
terdiri atas tiga ayat;
b. Presiden yang diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945, dimulai
dari Pasal 4 ayat (1) dalam pengaturan mengenai Kekuasaan
Pemerintahan Negara yang berisi 17 pasal;
c. Wakil Presiden yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu
pada ayat (2) UUD 1945. Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan,
"Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang
Wakil Presiden";
d. Menteri dan Kementerian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V
UUD 1945, yaitu pada Pasal 17 ayat(1), (2), dan (3);
e. Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumpirat yang dimaksud oleh
Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, yaitu bersama-sama dengan Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai pelaksana tugas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kepresidenan apabila terdapat kekosongan dalam waktu yang
bersamaan dalam jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
f. Menteri Dalam Negeri sebagai triumpirat bersama-sama dengan
Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 ayat (3)
UUD 1945;
g. Menteri Pertahanan yang bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri
dan Menteri Dalam Negeri ditentukan sebagai menteri triumpirat
menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Ketiganya perlu disebut secara
sendiri-sendiri, karena dapat saja terjadi konflik atau sengketa
kewenangan konstitusional di antara sesama mereka, atau antara
mereka dengan menteri lain atau lembaga negara lainnya;
h. Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III
tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berbunyi, "Presiden
membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan
nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur
dalam undang-undang";
i. Duta seperti diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2);
j. Konsul seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1);
k. Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18
ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
l. Gubemur Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal
18 ayat (4) UUD 1945;
m. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam
Pasal 18 ayat 3 UUD 1945;
n. Pemerintahan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18
ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
o. Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yang diatur
dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
p. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur
dalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
q. Pemerintahan Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat
(2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
r. Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam
Pasal18 ayat (4) UUD 1945;
s. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur oleh Pasal
18 ayat (3) UUD 1945;
t. Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa
seperti dimaksud oleh Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, diatur dengan
undang-undang. Karena kedudukannya yang khusus dan
diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
istimewa ini diatur tersendiri oleh UUD 1945. Misalnya, status
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintahan Daerah
Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua, serta
Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan mengenai
kekhususan atau keistimewaannya itu diatur dengan undang-undang.
Oleh karena itu, pemerintahan daerah yang demikian ini perlu disebut
secara tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya
diakui dan dihormati oleh negara.
u. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD
1945 yang berisi Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B;
v. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang
terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 220;
w. Komisi penyelenggaran pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (5)
UUD 1945 yang menentukan bahwa pemilihan umum harus
diselenggarakan oleh suatu komisi yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri. Nama "Komisi Pemilihan Umum" bukanlah nama yang
ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh Undang-Undang;
x. Bank sentral yang disebut eksplisit oleh Pasal 23D, yaitu "Negara
memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan,
tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang".
Seperti halnya dengan Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945 belum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menentukan nama bank sentral yang dimaksud. Memang benar, nama
bank sentral sekarang adalah Bank Indonesia. Tetapi, nama Bank
Indonesia bukan nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan
oleh undang-undang berdasarkan kenyataan yang diwarisi dari sejarah
di masa lalu.
y. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri dalam Bab
VIIIA dengan judul "Badan Pemeriksa Keuangan", dan terdiri atas 3
pasal, yaitu Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F (2 ayat), dan Pasal 23G (2
ayat);
z. Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX,
Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
aa. Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga diatur keberadaannya dalam
Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945;
bb. Komisi Yudisial yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945
sebagai auxiliary organs terhadap Mahkamah Agung yang diatur
dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
cc. Tentara Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945,
yaitu dalam Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada
Pasal 30 UUD 1945;
dd. Angkatan Darat (TNI AD) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
ee. Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
ff. Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945;
gg. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang juga diatur
dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945;
hh. Badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman seperti
kejaksaan diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, "Badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang".
Jika diuraikan lebih rinci lagi, apa yang ditentukan dalam Pasal 24
ayat (3) UUD 1945 tersebut dapat pula membuka pintu bagi lembaga-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lembaga negara lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman yang tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945. Pasal 24
ayat (3) UUD 1945 menentukan, "Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang".
Artinya, selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Komisi
Yudisial dan kepolisian negara yang sudah diatur dalam UUD 1945, masih
ada badan-badan lainnya yang jumlahnya lebih dari satu yang mempunyai
fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Badan-badan lain
yang dimaksud itu antara lain adalah Kejaksaan Agung yang semula dalam
rancangan Perubahan UUD 1945 tercantum sebagai salah satu lembaga
yang diusulkan diatur dalam Bab tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi
tidak mendapat kesepakatan, sehingga pengaturannya dalam UUD 1945
ditiadakan.
Namun, karena yang disebut dalam Pasal 24 ayat (3) tersebut di
atas adalah badan-badan, berarti jumlahnya lebih dari satu. Artinya, selain
Kejaksaan Agung, masih ada lagi lembaga lain yang fungsinya juga
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu yang menjalankan fungsi
penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan. Lembaga-lembaga
dimaksud misalnya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnasham), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan
sebagainya. Lembaga-lembaga ini, seperti halnya Kejaksaan Agung,
meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, tetapi sama-
sama memiliki constitutional importance dalam sistem konstitusional
berdasarkan UUD 1945 (Jimly Asshidiqqie, 2010: 17).
Misalnya, mengenai keberadaan Komnas Hak Asasi Manusia.
Materi perlindungan konstitusional hak asasi manusia merupakan materi
utama setiap konstitusi tertulis di dunia. Untuk melindungi dan
mempromosikan hak-hak asasi manusia itu, dengan sengaja negara
membentuk satu komisi yang bernama Komnasham (Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia). Artinya, keberadaan lembaga negara bernama Komnas
Hak Asasi Manusia itu sendiri sangat penting bagi negara demokrasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
konstitusional. Karena itu, meskipun pengaturan dan pembentukannya
hanya didasarkan atas undang-undang, tidak ditentukan sendiri dalam
UUD 1945, tetapi keberadaannya sebagai lembaga negara mempunyai apa
yang disebut sebagai constitutional importance yang sama dengan
lembaga-lembaga negara lainnya yang disebutkan eksplisit dalam UUD
1945.
Sama halnya dengan keberadaan Kejaksaan Agung dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam setiap sistem negara demokrasi
konstitusional ataupun negara hukum yang demokratis. Keduanya
mempunyai derajat kepentingan (importance) yang sama. Namun, dalam
UUD 1945, yang ditentukan kewenangannya hanya kepolisian negara
yaitu dalam Pasal 30, sedangkan Kejaksaan Agung sama sekali tidak
disebut. Hal tidak disebutnya Kejaksaan Agung yang dibandingkan
dengan disebutnya kepolisian dalam UUD 1945, tidak dapat dijadikan
alasan untuk menilai bahwa kepolisian negara itu lebih penting daripada
Kejaksaan Agung. Kedua-duanya sama-sama penting atau memiliki
constitutional importance yang sama. Setiap yang mengaku menganut
prinsip demokrasi konstitusional atau negara hukum yang demokratis,
haruslah memiliki perangkat kelembagaan kepolisian negara dan
kejaksaan sebagai lembaga-lembaga penegak hukum yang efektif.
Dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat
utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang
(auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat
dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai
lembaga tinggi negara terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden, DPR,
DPD, MPR, MK, MA dan BPK. Organ lapis kedua disebut sebagai
lembaga negara saja terdiri dari lembaga negara yang dibentuk atas
constitutional urgent dan lembaga negara sampiran, sedangkan organ lapis
ketiga merupakan lembaga daerah (Jimly Asshidiqqie, 2010: 19). Memang
benar sekarang tidak ada lagi sebutan lembaga tinggi dan lembaga
tertinggi negara. Namun untuk memudahkan pengertian dan kewenangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang diberikan oleh UUD 1945 kepada lembaga-lembaga negara tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Organ lapis pertama atau lembaga tinggi negara
1) Presiden dan Wakil Presiden
a) Presiden
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD
1945, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurutt Undang-Undang Dasar”. Presiden
yang memegang kekuasaan pemerintahan dalam pasal ini
menunjuk kepada pengertian Presiden menurut sistem
pemerintahan presidensial. Dalam sistem pemerintahan
presidensial, tidak terdapat pembedaan atau tidak perlu
diadakan pembedaan antara Presiden selaku kedudukan kepala
negara dan Presiden selaku kepala pemerintahan. Presiden
adalah Presiden, yaitu jabatan yan memegang kekuasaan
pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar. Dalam
UUD 1945 juga tidak terdapat ketentuan yang mengatur
tentang adanya kedudukan kepala negara (head of state)
ataupun kedudukan kepala pemerintahan (head of government).
Adapun yang menjadi kewenangan dari Presiden dalam UUD
1945 yaitu :
(1) mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada
DPR (Pasal 5 ayat (1));
(2) menetapkan peraturan pemerintah (Pasal 5 ayat (2));
(3) memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10);
(4) menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian
dengan negara lain dengan persetujuan DPR (Pasal 11 ayat
(1));
(5) menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12);
(6) mengangkat duta dan konsul (Pasal 13 ayat (1));
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(7) memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan MA (Pasal 14 ayat (1));
(8) memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan DPR (Pasal 14 ayat (2));
(9) memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan
yang diatur dengan Undang-Undang (Pasal 15);
(10) membentuk dewan pertimbangan yang bertugas memberi
nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang
selanjutnya diatur dalam Undang-Undang (Pasal 16);
(11) mengangkat dan memberhentikan para menteri (Pasal 17
ayat (2));
(12) membahas dan melakukan persetujuan bersama dengan
DPR setiap rancangan undang-undang (Pasal 20 ayat (2));
(13) mengesahkan rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang (Pasal 20
ayat (4));
(14) menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang (Pasal 22 ayat (1));
(15) mengajukan RUU anggaran pendapatan dan belanja negara
untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD (Pasal 23 ayat (2));
(16) meresmikan anggota BPK yang dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD (Pasal 23F ayat (1));
(17) menetapkan hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial
kepada DPR (Pasal 24A ayat (3));
(18) mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial
dengan persetujuan DPR (Pasal 24B ayat (3));
(19) menetapkan sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh MA, 3 (tiga)
orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden (Pasal
24C ayat (3));
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b) Wakil Presiden
Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUD 1945
menegaskan, “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden
dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”, sehingga jelas wakil
presiden merupakan pembantu bagi presiden dalam melakukan
kewajiban kepresidenan. Dimana wakil presiden bertindak
mewakili presiden dalam hal presiden berhalangan untuk
menghadiri kegiatan tertentu atau melakukan sesuatu dalam
lingkungan kewajiban konstitusional presiden. Dalam berbagai
kesempatan dimana presiden tidak dapat memenuhi kewajiban
konstitusionalnya karena sesuatu alasan yang dapat dibenarkan
secara hukum, maka wakil presiden dapat bertindak sebagai
pengganti presiden. Sementara itu, dalam berbagai kesempatan
yang lain, wakil presiden juga dapat bertindak sebagai
pendamping bagi presiden dalam melakukan kewajibannya,
kemudian kedudukan wakil presiden adalah seorang pejabat
publik.
Kedudukan seorang wakil presiden juga tidak dapat
dipisahkan dengan presiden sebagai satu kesatuan pasangan
jabatan yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
pemilihan umum. Karena itu, kedudukan wakil presiden jauh
lebih tinggi dan jauh lebih penting daripada jabatan menteri.
Meskipun dalam hal melakukan perbuatan pidana, masing-
masing presiden dan wakil presiden bertanggung jawab secara
sendiri-sendiri sebagai individu (person), tetapi dalam rangka
pertanggungjawaban politik kepada rakyat, presiden dan wakil
presiden adalah satu kesatuan jabatan.
Dengan demikian, wakil presiden mempunyai lima
kemungkinan posisi terhadap presiden, yaitu:
(1) sebagai wakil yang mewakili presiden;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
(2) sebagai pengganti yang menggantikan presiden;
(3) sebagai pembantu yang membantu presiden;
(4) sebagai pendamping yang mendampingi presiden;
(5) sebagai wakil presiden yang bersifat mandiri.
Dalam menjalankan kelima posisi tersebut, maka secara
konstitusional, presiden dan wakil presiden harus bertindak
sebagai satu kesatuan subjek jabatan institusional kepresidenan.
Presiden dan wakil presiden itu ada dua orang yang menduduki
satu kesatuan subjek hukum lembaga kepresidenan.
2) Dewan Perwakilan Rakyat
Mengenai kewenangan DPR menurut UUD 1945 dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a) membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (1) dan
(2));
b) memberikan persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (1) dan (2)):
c) menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD
yang berkaitan dengan bidang tertentu dengan
mengikutsertakannya dalam pembahasan (Pasal 22D ayat (1)
dan (2));
d) memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal
22D ayat (2));
e) menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan
pertimbangan DPD (Pasal 23 ayat (2));
f) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU APBN
dan kebijakan pemerintah (Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 22D
ayat (3));
g) membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang
diajukan DPD terhadap pelaksanaan UU mengenai otonomi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, sumberdaya alam dan
h) sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan, dan agama (Pasal 22F ayat (1));
i) memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan
DPD (Pasal 22F ayat (1));
j) membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas
pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh
BPK (Pasal 22E ayat (2) dan (3));
k) memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan
dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial (Pasal 24B ayat
(3);
l) memberikan persetujuan calon hakim agung yang diajukan
Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden (Pasal 24A ayat (3));
m) mengajukan 3 (tiga) orang calon anggota hakim konstitusi
kepada Presiden untuk ditetapkan (Pasal 24C ayat (3));
n) memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat
duta, menerima penempatan duta negara lain, dan dalam
pemberian amnesti dan abolisi (Pasal 13 ayat (2) dan (3) dan
Pasal 14 ayat (2));
o) memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan
perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara
lain, serta membuat perjabjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
pembentukan undang-undang (Pasal 11 ayat (2));
3) Dewan Perwakilan Daerah
Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) semula
dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur parlemen
Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dan DPD. Dengan struktur bikameral ini diharapkan proses
legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double check
yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat
secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas
(Jimly Asshidiqqie, 2005: 88). Yang satu merupakan cerminan
representasi politik di DPR, sedangkan yang lain mencerminkan
prinsip representasi territorial atau regional di DPD.
Akan tetapi, ide bikameralisme atau struktur parlemen dua
kamar itu mendapat tantangan yang keras dari kelompok
konservatif di Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR 1999-2000 yang
membahas rancangan Perubahan UUD 1945, sehingga yang
disepakati adalah rumusan yang sekarang yang tidak dapat disebut
mengenai sistem bikameral sama sekali. Dalam ketentuan UUD
1945 dewasa ini, jelas terlihat bahwa DPD tidaklah mempunyai
kewenangan penuh untuk melakukan fungsi pengawasan. Karena
itu, kedudukannya hanya bersifat penunjang atau auxiliary
terhadap fungsi DPR, sehingga DPD paling jauh hanya dapat
disebut sebagai co-legislator, daripada legislator yang sepenuhnya.
Menurut UUD 1945, kewenangan DPD adalah sebagai
berikut:
a) mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran,
dan penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam, dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah (Pasal 22D ayat (1)), dan ikut membahas
RUU tersebut (Pasal 22D ayat (2));
b) memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan
RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama
(Pasal 22D ayat (2));
c) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai
otonomi daerah, UU pembentukan, pemekaran, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumberdaya alam, dan sumberdaya ekonomi lainnya,
pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22D
ayat (3));
d) memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan
anggota BPK (Pasal 23F ayat (1));
e) menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK (Pasal
23E ayat (2));
Dengan demikian, jelaslah bahwa fungsi DPD itu hanyalah
sebagai co-legislator disamping DPR. Sifat tugasnya hanya
menunjang (auxiliary agency) terhadap tugas-tugas konstitusional
DPR. Dalam proses pembentukan suatu undang-undang atau
legislasi, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan
atau berperan dalam proses pengambilan keputusan sama sekali.
Padahal, persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD lebih
berat daripada persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPR.
Artinya, kualitas legitimasi anggota DPD itu sama sekali tidak
diimbangi secara sepadan oleh kualitas kewenangannya sebagai
wakil rakyat daerah (regional representatives).
4) Majelis Permusyawaratan Rakyat
Mengenai kewenangan MPR menurut UUD 1945 dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a) mengubah dan menetapkan UUD 1945 (Pasal 3 ayat (1));
b) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 3 ayat (2));
c) memutus usul DPR berdasarkan putusan MKRI untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya (Pasal 7A dan Pasal 7B ayat (7));
d) melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya (Pasal 8
ayat (1));
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
e) memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden
apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa
jabatannya paling lambat dalam waktu enam puluh hari (Pasal
8 ayat (2));
f) memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan dari
dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya (Pasal 8 ayat
(3));
5) Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar
konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana
mestinya atau biasa disebut sebagai the guardian of the
constitution. Adapun kewenangannya yang diatur oleh UUD 1945,
yaitu :
a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
(Pasal 24C ayat (1));
b) memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara
(Pasal 24C ayat (1));
c) memutus pembubaran partai politik (Pasal 24C ayat (1));
d) memutus perselisihan hasil pemilu (Pasal 24C ayat (1));
e) memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945 (Pasal
24C ayat (2))
Dalam melakukan fungsi peradilan dalam keempat bidang
kewenangan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan
penafsiran terhadap UUD 1945 sebagai satu-satunya lembaga yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mempunyai kewenangan tertinggi untuk menafsirkan UUD 1945.
Karena itu, disamping sebagai pengawal konstitusi, MK juga biasa
disebut sebagai the Sole Interpreter of the Constitution. Jika
dibandingkan dengan sesama lembaga tinggi negara lainnya, MK
mempunyai posisi yang unik (Jimly Asshidiqqie, 2010: 27).
Dimana MPR yang menetapkan UUD 1945, sedangkan MK yang
mengawalnya. DPR yang membentuk UU, tetapi MK yang
membatalkannya jika terbukti bertentangan dengan UUD 1945.
MA mengadili semua perkara pelanggaran hukum dibawah UUD
1945, sedangkan MK mengadili perkara pelanggaran UUD 1945.
Jika DPR ingin mengajukan tuntutan pemberhentian terhadap
presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya, maka
sebelum diajukan ke MPR untuk diambil putusan, tuntutan tersebut
diajukan lebih dulu untuk pembuktiannya secara hukum. Semua
lembaga-lembaga negara tersebut saling berselisih pendapat atau
bersengketa dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya
satu sama lain, maka yang memutus final dan mengikat
persengketaan itu adalah Mahkamah Konstitusi.
6) Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menurut UUD
1945 sebagai berikut :
a) melakukan kekuasaan kehakiman (Pasal 24 ayat (2));
b) mengadili pada tingkat kasasi (Pasal 24A ayat (2);
c) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang (Pasal 24A ayat (1));
d) mengajukan 3 (tiga) orang calon hakim konstitusi untuk
ditetapkan sebagai hakim konstitusi oleh Presiden (Pasal 24C
ayat (3));
e) wewenang lain yang diberikan oleh UU (Pasal 24A ayat (1));
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Badan Pemeriksa Keuangan mempunyai kewenangan
menurut UUD 1945 sebagai berikut:
a) memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan
negara (Pasal 23E ayat (1));
b) menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan negara kepada DPR,
DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya (Pasal 23E
ayat (2);
Dalam kedudukannya sebagai lembaga tinggi negara dan
kewenangannya yang besar, fungsi BPK pada pokoknya terdiri atas
tiga bidang, yaitu fungsi operatif, fungsi justisi, dan fungsi
advisory. Bentuk pelaksanaan ketiga fungsi itu adalah fungsi
operatif berupa pemeriksaan, pengawasan, dan penyelidikan atas
penguasaan, pengurusan dan pengelolaan kekayaan negara,
kemudian fungsi justisi berupa kewenangan menuntut
perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi terhadap bendaharawan
dan pegawai negeri bukan bendahara yang karena perbuatannya
melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang menimbulkan
kerugian keuangan dan kekayaan negara, dan fungsi advisory yaitu
memberikan pertimbangan kepada pemerintah terkait pengurusan
dan pengelolaan keuangan negara.
b. Organ lapis kedua atau lembaga negara
Dalam organ lapis kedua dapat disebut lembaga negara saja.
Ada yang mendapatkan kewenangannya dari UUD 1945, dan ada pula
yang mendapatkan kewenangannya dari undang-undang. Yang
mendapatkan kewenangan dari UUD 1945, misalnya, adalah Komisi
Yudisial, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara;
sedangkan lembaga yang sumber kewenangannya adalah undang-
undang, misalnya, adalah Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia,
dan sebagainya. Kedudukan kedua jenis lembaga negara tersebut dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
disebandingkan satu sama lain. Hanya saja, kedudukannya meskipun
tidak lebih tinggi, tetapi jauh lebih kuat. Keberadaannya disebutkan
secara eksplisit dalam undang-undang, sehingga tidak dapat ditiadakan
atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentukan undang-undang.
Lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusi lapis kedua itu
adalah :
1) Menteri Negara
Meskipun secara kontekstual menteri adalah pembantu
presiden, namun menteri bukanlah orang atau pejabat
sembarangan. Karena itu, untuk dipilih menjadi menteri hendaklah
sungguh-sungguh diperimbangkan bahwa ia akan dapat diharapkan
bekerja sebagai pemimpin pemerintahan eksekutif di bidang-
bidangnya masing-masing secara efektif untuk melayani kebutuhan
masyarakat akan pemerintahan yang baik. Sistem pemerintahan
presidensiil yang dibangun hendaklah didasarkan atas pemikiran
bahwa presiden berhak untuk mengangkat dan memberhentikan
menteri negara untuk mendukung efektifitas kinerja
pemerintahannya guna melayani sebanyak-banyaknya kepentingan
rakyat. Penyusunan kabinet tidak boleh didasarkan atas logika
sistem parlementer yang dibangun atas dasar koalisi antar partai-
partai politik pendukung presiden dan wakil presiden. Dengan
demikian, seseorang dipilih dan diangkat oleh presiden untuk
menduduki jabatan menteri harus didasarkan atas kriteria
kecakapannya bekerja, bukan karena pertimbangan jasa politiknya
maupun imbalan terhadap dukungan kelompok atau partai politik
terhadap presiden.
Artinya jabatan menteri negara menurut ketentuan Pasal 17
UUD 1945 haruslah diisi berdasarkan merit system. Itulah
konsekuensi dari pilihan sistem presidensial yang dianut oleh UUD
1945, dengan demikian kekuasaan para menteri negara benar-benar
bersifat meritokratis sehingga dalam memimpin kementerian yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menjadi bidang tugasnya, para menteri itu dapat pula diharapkan
bekerja menurut standar-standar yang bersifat meritokratis juga.
2) Tentara Nasional Indonesia
Menurut Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, TNI memiliki
kewenangan untuk mempertahankan, melindungi dan memelihara
keutuhan dan kedaulatan negara.
3) Dewan Pertimbangan Presiden
Dewan pertimbangan presiden ini diadakan sebagai
pengganti Dewan Pertimbangan Agung yang ada sebelumnya
menurut UUD 1945 sebelum amandemen. Adapun kewenangan
dari Dewan Pertimbangan Presiden terdapat pada Pasal 16 UUD
1945 yang menyatakan, “Presiden membentuk suatu dewan
pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan
pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam
undang-undang”.
4) Kepolisian Negara Republik Indonesia
Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai
kewenangan yang diatur Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, yaitu
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan
hukum (Pasal 30 ayat (4))
5) Komisi Yudisial
Komisi Yudisial mempunyai kewenangan menurut UUD
1945 sebagai berikut :
a) mengusulkan pengangkatan calon hakim agung kepada DPR
untuk mendapat persetujuan (Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B
ayat (1));
b) kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal
24B ayat (1)).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6) Komisi Pemilihan Umum
Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri dengan kewenangan, yaitu menyelenggarakan pemilu
untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan
Wakil Presiden secara langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur
dan adil setiap lima tahun sekali (Pasal 22E ayat (5), ayat (1) dan
ayat (2)).
7) Bank Sentral
Untuk Bank Sentral kewenangannya diatur oleh undang-undang
yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia.
Dari keenam lembaga negara tersebut di atas, yang secara tegas
ditentukan nama dan kewenangannya dalam UUD 1945 adalah
Menteri Negara, Tentara Nasional lndonesia, Kepolisian Negara, dan
Komisi Yudisial. Komisi Pemilihan Umum hanya disebutkan
kewenangan pokoknya, yaitu sebagai lembaga penyelenggara
pemilihan umum. Akan tetapi, nama lembaganya apa, tidak secara
tegas disebut, karena perkataan komisi pemilihan umum tidak disebut
dengan huruf besar (Jimly Asshidiqqie, 2010: 34).
Ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 berbunyi, "Pemilihan
umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri". Sedangkan ayat (6)-nya
berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur
dengan undang-undang". Karena itu, dapat ditafsirkan bahwa nama
resmi organ penyelenggara pemilihan umum dimaksud akan
ditentukan oleh undang-undang. Undang-undang dapat saja memberi
nama kepada lembaga ini bukan Komisi Pemilihan Umum, tetapi
misalnya Komisi Pemilihan Nasional atau nama lainnya.
Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak
tercantum eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945
hanya menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan
independensinya diatur dengan undang-undang". Bahwa bank sentral
itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu
"Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk undang-
undang yang akan menentukannya dalam undang-undang. Demikian
pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut,
akan diatur dengan undang-undang.
Dengan demikian derajat protokoler kelompok organ konstitusi
pada lapis kedua tersebut di atas jelas berbeda dari kelompok organ
konstitusi lapis pertama. Organ lapis kedua ini dapat disejajarkan
dengan posisi lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan
undang-undang, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Konsil
Kedokteran Indonesia, dan lain-lain sebagainya yang dalam sistem
ketatanegaraan bersifat sampiran (auxiliary).
c. Organ lapis ketiga atau lembaga daerah
Diatur dalam Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah,
dalam ketentuan tersebut diatur adanya beberapa organ jabatan yang
dapat disebut sebagai organ daerah atau lembaga daerah yang
merupakan lembaga negara yang terdapat di daerah. Lembaga-lembaga
daerah itu adalah sebagai berikut :
1) Pemerintahan Daerah Provinsi
Didaerah provinsi, harus dibedakan adanya tiga subjek
hukum penyandang kewenangan konstitusional berdasarkan UUD
1945. Ketiganya adalah Pemerintahan Daerah Provinsi, Gubernur
Kepala Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi. Dalam
konstitusi khususnya Pasal 18 ayat (1) UUD 1945, jelas disebutkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
adanya institusi pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas
jabatan gubernur dan institusi DPRD Provinsi.
Adapun kewenangan dari pemerintahan daerah provinsi
tercantum dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945
menentukan,”Pemerintahan daerah,….mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan”. Pada ayat (5)-nya menentukan, “Pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan pemerintahan pusat”. Selanjutnya, dalam Pasal 18 ayat (6)
ditentukan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan”.
2) Gubernur
Gubernur menurut Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah
kepala pemerintah daerah provinsi. Menurut ketentuan ini, sebagai
kepala pemerintah daerah provinsi, gubernur dipilih secara
demokratis sebagaimana dijabarkan pada Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam pasal 18 ayat
(3) UUD 1945 juga disebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum”. Artinya, disetiap pemerintahan daerah provinsi terdapat
DPRD yang bersama-sama dengan Gubernur merupakan satu
kesatuan pengertian pemerintah daerah.
Secara selintas gubernur dan DPRD Provinsi disebut
sebagai dua lembaga konstitusional yang berbeda dan dapat
dipisahkan. Gubernur adalah kepala pemerintahan daerah provinsi,
sedangkan DPRD adalah lembaga pemerintahan daerah yang
berfungsi sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah yang
mempunyai fungsi legislatif, fungsi pengawasan dan fungsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
anggaran. Baik jabatan Gubernur maupun DPRD Provinsi disebut
eksplisit dalam Pasal 18 UUD 1945. Penyebutan kedua jabatan
tersebut mirip penyebutan Bank Sentral dalam Pasal 23D UUD
1945, dimana dalam Pasal 18 ayat (7) menyatakan,”Susunan dan
tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang”. Pasal 18 ayat (1) menyatakan, “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi
dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-
tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang”.
Artinya, kedudukan dan kewenangan baik gubernur
maupun DPRD Provinsi sama sekali tidak diatur dalam UUD 1945.
Kewenangan kedua organ tersebut masih akan diatur lebih lanjut
oleh Undang-Undang. Yang justru diatur kewenangannya dalam
UUD 1945 adalah Pemerintahan Daerah Provinsi sebagai satu
kesatuan konsep gabungan antara gubernur dan DPRD Provinsi.
3) DPRD Provinsi
DPRD Provinsi pada dasarnya mempunyai fungsi legislatif,
namun dengan fungsinya tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
satu-satunya lembaga pembentuk peraturan daerah. Sudah
seharusnya fungsi legislatif yang utama tetap berada ditangan
kepala daerah, sedangkan fungsi legislatif yang ada pada DPRD
hanya dapat disebut sebagai fungsi legislatif yang bersifat sekunder
atau auxiliary. Hal ini berkaitan dengan adanya Pasal 18 ayat (6)
UUD 1945 yang menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Sehingga peran
yang ideal untuk DPRD itu sebenarnya lebih merupakan peran
lembaga control daripada lembaga legislatif dalam arti penuh
(Jimly Asshidiqqie, 2005: 178).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sebagai lembaga kontrol, DPRD dapat menyatakan setuju
atau tidak setuju atas setiap ide penuangan suatu kebijakan publik
menjadi peraturan daerah yang mengikat secara umum. Jika DPRD
menganggap ada sesuatu yang penting diatur tetapi pemerintah
daerah lalai, DPRD dapat mengambil inisiatif untuk mengajukan
peraturan daerah yang dianggap penting itu, tetapi kata akhirnya
tetap ada pada kepala daerah.
4) Pemerintah Daerah Kabupaten
Sama seperti pemerintah daerah provinsi, ditiap kabupaten
ada tiga subjek hukum penyandang kewenangan konstitusional
berdasarkan UUD 1945, yaitu Pemerintah Daerah Kabupaten,
Bupati dan DPRD Kabupaten. Dalam UUD 1945, jelas disebutkan
adanya institusi pemerintah kabupaten yang terdiri dari jabatan
bupati dan DPRD Kabupaten. Kewenangan pemerintah kabupaten
diatur dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6) UUD 1945.
5) Bupati
Kewenangan konstitusional Bupati diatur lebih lanjut
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya Pasal
25.
6) DPRD Kabupaten
Sama halnya dengan pemerintah daerah provinsi, DPRD
kabupaten bersama-sama Bupati merupakan satu kesatuan
pengertian pemerintahan daerah kabupaten sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945.
7) Pemerintah Daerah Kota
Sama halnya dengan pemerintah daerah provinsi maupun
kabupaten, pemerintah kota terdapat tiga subjek hukum
penyandang kewenangan konstitusional berdasarkan UUD 1945,
yaitu Pemerintah Daerah Kota, Walikota dan DPRD Kota. Dalam
UUD 1945, jelas disebutkan adanya institusi pemerintah kota yang
terdiri dari jabatan walikota dan DPRD Kota. Kewenangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pemerintah kota diatur dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (5) dan ayat
(6) UUD 1945.
8) Walikota
Walikota adalah kepala pemerintahan daerah kota.
Kewenangannya diatur lebih lanjut diatur pada Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 khususnya Pasal 25.
9) DPRD Kota
Sama halnya dengan pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten, DPRD kota bersama-sama Walikota merupakan satu
kesatuan pengertian pemerintahan daerah kota sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945.
Di samping itu, dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945, disebut pula adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau istimewa. Bentuk satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau istimewa itu, dinyatakan diakui dan
dihormati keberadaannya secara tegas oleh UUD 1945, sehingga
eksistensinya sangat kuat secara konstitusional. Oleh sebab itu, dapat
atau tidak dapat, keberadaan unit atau satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau istimewa itu harus pula dipahami sebagai
bagian dari pengertian lembaga daerah dalam arti yang lebih luas.
Dengan demikian, lembaga daerah dalam pengertian di atas dapat
dikatakan berjumlah sepuluh organ atau lembaga.
Kemudian diantara lembaga-lembaga negara yang disebutkan
dalam UUD 1945 tersebut, ada yang dapat dikategorikan sebagai organ
utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang
merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs).
Untuk memahami perbedaan di antara keduanya, lembaga-lembaga negara
tersebut dapat dibedakan dalam tiga ranah (domain) (i) kekuasaan
eksekutif atau pelaksana; (ii) kekuasaan legislatif dan fungsi pengawasan;
(iii) kekuasaan kehakiman atau fungsi yudisial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dalam cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan negara ada
Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan satu kesatuan institusi
kepresidenan. Dalam bidang kekuasaan kehakiman, meskipun lembaga
pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman itu ada dua, yaitu Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi, tetapi di samping keduanya ada pula
Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan
perilaku hakim. Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang
(auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman (Jimly Asshidiqqie,
2010: 106). Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum (the
enforcer of the rule of law), tetapi merupakan lembaga penegak etika
kehakiman (the enforcer of the rule of judicial ethics). Sedangkan dalam
fungsi pengawasan dan kekuasaan legislatif, terdapat empat organ atau
lembaga, yaitu (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan
Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan (iv) Badan Pemeriksa
Keuangan.
Sementara itu, di cabang kekuasaan judisial, dikenal adanya tiga
lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi
Yudisial. Yang menjalankan fungsi kehakiman hanya dua, yaitu
Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung. Tetapi, dalam rangka
pengawasan terhadap kinerja hakim dan sebagai lembaga pengusul
pengangkatan hakim agung, dibentuk lembaga tersendiri yang bemama
Komisi Yudisial. Komisi ini bersifat independen dan berada di luar
kekuasaan Mahkamah Konstitusi ataupun Mahkamah Agung, dan karena
itu kedudukannya bersifat independen dan tidak tunduk kepada pengaruh
keduanya. Akan tetapi, fungsinya tetap bersifat penunjang (auxiliary)
terhadap fungsi kehakiman yang terdapat pada Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung. Meskipun Komisi Yudisial ditentukan kekuasaannya
dalam UUD 1945, tidak berarti Komisi Yudisial mempunyai kedudukan
yang sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Sebagai perbandingan, Kejaksaan Agung tidak ditentukan
kewenangannya dalam UUD 1945, sedangkan Kepolisian Negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ditentukan dalam Pasal 30 UUD 1945. Akan tetapi, pencantuman
ketentuan tentang kewenangan Kepolisian itu dalam UUD 1945 tidak
dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Kepolisian lebih tinggi
kedudukannya daripada Kejaksaan Agung. Dalam setiap negara hukum
yang demokratis, lembaga kepolisian dan kejaksaan sama-sama memiliki
constitutional importance yang serupa sebagai lembaga penegak hukum.
Di pihak lain, pencantuman ketentuan mengenai Kepolisian Negara itu
dalam UUD 1945, juga tidak dapat ditafsirkan seakan menjadikan lembaga
Kepolisian Negara itu menjadi lembaga konstitusional yang sederajat
kedudukannya dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, seperti
Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, DPR, DPD, dan lain
sebagainya. Artinya, hal disebut atau tidaknya atau ditentukan tidaknya
kekuasaan sesuatu lembaga dalam undang-undang dasar tidak serta merta
menentukan hirarki kedudukan lembaga negara yang bersangkutan dalam
struktur ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Dengan demikian, dari segi keutamaan kedudukan dan fungsinya,
lembaga tinggi negara yang dapat dikatakan bersifat pokok atau utama
adalah (i) Presiden; (ii) Dewan Perwakilan Rakyat; (iii) Dewan Perwakilan
Daerah; (iv) Majelis Permusyawaratan Rakyat; (v) Mahkamah Konstitusi;
(vi) Mahkamah Agung; dan (vii) Badan Pemeriksa Keuangan. Sedangkan
lembaga-lembaga negara yang lainnya bersifat menunjang atau auxiliary
belaka. Oleh karena itu, seyogyanya tata urutan protokoler ketujuh
lembaga negara tersebut dapat disusun berdasarkan sifat-sifat keutamaan
fungsi dan kedudukannya masing-masing sebagaimana diuraikan tersebut.
Oleh sebab itu, seperti hubungan antara KY dengan MA, maka
faktor fungsi keutamaan atau fungsi penunjang menjadi penentu yang
pokok. Meskipun posisinya bersifat independen terhadap MA, tetapi KY
tetap tidak dipandang sederajat sebagai lembaga tinggi negara. Kedudukan
protokolemya tetap berbeda dengan MA. Demikian juga Komisi Pengawas
Kejaksaan dan Komisi Kepolisian tetap tidak dapat disederajatkan secara
struktural dengan organisasi POLRI dan Kejaksaan Agung, meskipun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
komisi-komisi pengawas itu bersifat independen dan atas dasar itu
kedudukannya secara fungsional dipandang sederajat. Yang dapat disebut
sebagai lembaga tinggi negara yang utama tetaplah lembaga-lembaga
tinggi negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan utama
negara, yaitu legislative, executive, dan judiciary.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga negara
seperti Komisi Yudisial, TNI, POLRI, Menteri Negara, Dewan
Pertimbangan Presiden, dan lain-lain, meskipun sama-sama ditentukan
kewenangannya dalam UUD 1945 seperti Presiden/Wapres, DPR, MPR,
MK, dan MA, tetapi dari segi fungsinya lembaga-lembaga tersebut bersifat
auxiliary atau memang berada dalam satu ranah cabang kekuasaan.
Misalnya, untuk menentukan apakah KY sederajat dengan MA dan MK,
maka kriteria yang dipakai tidak hanya bahwa kewenangan KY itu seperti
halnya kewenangan MA dan MK ditentukan dalam UUD 1945. Karena,
kewenangan TNI dan POLRI juga ditentukan dalam Pasal 30 UUD 1945.
Namun, tidak dengan begitu, kedudukan struktural TNI dan POLRI dapat
disejajarkan dengan tujuh lembaga negara yang sudah diuraikan di atas.
TNI dan POLRI tetap tidak dapat disejajarkan strukturnya dengan presiden
dan wakil presiden, meskipun kewenangan TNI dan POLRI ditentukan
tegas dalam UUD 1945.
Demikian pula, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK), dan sebagainya, meskipun kewenangannya dan ketentuan
mengenai kelembagaannya tidak diatur dalam UUD 1945, tetapi
kedudukannya tidak dapat dikatakan berada di bawah POLRI dan TNI
hanya karena kewenangan kedua lembaga terakhir ini diatur dalam UUD
1945. Kejaksaan Agung dan Bank Indonesia sebagai bank sentral juga
tidak ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945, melainkan hanya
ditentukan oleh undang-undang. Tetapi kedudukan Kejaksaan Agung dan
Bank Indonesia tidak dapat dikatakan lebih rendah daripada TNI dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
POLRI. Oleh sebab itu, sumber normatif kewenangan lembaga-lembaga
tersebut tidak otomatis menentukan status hukumnya dalam hirarkis
susunan antara lembaga negara.
Selanjutnya, apabila ditafsirkan secara moderat, maka hanya MPR,
Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK yang disebut sebagai lembaga
Negara yang memiliki kewenangan konstitusional, sehingga yang bisa
menjadi subyek sengketa setelah dikurangi MA (vide Pasal 65 UU MK)
dan MK (sebagai lembaga peradilan yang memiliki kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa) hanyalah MPR, PRESIDEN, DPR, DPD, dan
BPK. Apabila ditafsirkan sempit, subyek hukum sengketa hanyalah DPR,
DPD, dan PRESIDEN (tafsiran dari Pasal 67 UU MK).
Menurut A. Mukhtie Fadjar, tafsir yang tepat adalah tafsir luas
minus atau tafsir moderat plus, yaitu bahwa lembaga Negara yang bisa
menjadi subyek sengketa meliputi MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK,
Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota). Jadi tidak termasuk
KPU, Komisi Yudisial, TNI, dan Polri, karena keempat lembaga tersebut
meskipun mempunyai kewenangan konstitusional, tetapi kurang tepat jika
menjadi subyek sengketa dengan lembaga lain dan kewenangan lebih
bersifat teknis operasional. Juga bank sentral yang kewenangannya tak
diatur dalam UUD 1945 tidak termasuk pihak dalam sengketa (Abdul
Mukhtie Fadjar, 2006: 184-191).
Terlepas dari pendapat para ahli tersebut di atas, Mahkamah
Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor
05/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 (tentang Kekuasaan Kehakiman) dan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 (tentang Komisi Yudisial) berpendapat, bahwa ada 2 (dua)
macam lembaga negara menurut UUD 1945, yaitu lembaga-lembaga
negara utama (main state organs, principal state organs) dan lembaga-
lembaga negara pendukung/penunjang (auxiliary state organs atau
auxiliary agencies). Kriteria lembaga negara mana saja yang masuk dalam
main state organs dan mana yang hanya merupakan auxiliary state organs
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dalam pandangan hukum Mahkamah Konstitusi hal tersebut dijelaskan.
Berikut kutipan pandangan hukum Mahkamah Konstitusi tersebut :
“Menimbang bahwa menurut Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs). Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state)… “ “Menimbang bahwa di samping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD 1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, bank sentral, komisi pemilihan umum, dewan pertimbangan presiden, dan sebagainya. Namun, pengaturan lembaga-lembaga tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi) negara sebagai lembaga utama (main organs). Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan salah satu fungsi kekuasaan negara sebagaimana yang secara universal dipahami. Sebagai komisi negara, sifat tugas Komisi Yudisial terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman, yaitu dalam hubungan dengan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Oleh karena itu, keberadaan komisi negara yang demikian biasa disebut sebagai “auxiliary state organs” atau “auxiliary agencies” yang menurut istilah yang dipakai oleh Soetjipno sebagai salah seorang mantan anggota PAH I BP MPR dalam persidangan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 Mei 2006, Komisi Yudisial merupakan “supporting element” dalam sistem kekuasaan kehakiman” (vide Berita Acara Persidangan tanggal 10 Mei 2006).
Demikianlah, berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, kiranya
dapat dikemukakan bahwa pengertian dan kualifikasi lembaga negara di
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia itu ternyata bermacam-macam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Para ahli ternyata juga memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang
lembaga-lembaga negara mana saja yang memperoleh kewenangan dari
UUD 1945. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 05/PUU-
IV/2006 menyatakan, bahwa UUD 1945 dengan jelas membedakan
cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan
judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD,
Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa
Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara
yang utama (main state organs, principal state organs).
2. Penafsiran Kedudukan Hukum Lembaga Negara dalam Sengketa
Kewenangan Antar Lembaga Negara
Kemudian terkait dengan kedudukan lembaga-lembaga negara
diatas dalam proses sengketa kewenangan antar lembaga negara terdapat
putusan Mahkamah Konstitusi yang menjelaskan apa yang dimaksud
dengan sengketa kewenangan antar lembaga negara yaitu Putusan Nomor
004/SKLN-IV/2006 yang juga diterapkan pada putusan-putusan
sesudahnya. Berdasarkan pertimbangan hukumnya untuk menentukan
apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang pertama-tama harus diperhatikan
adalah apakah ada kewenangan-kewenangan tertentu dalam UUD 1945
(objectum litis) dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-
kewenangan tersebut diberikan (subjectum litis). Frasa “sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar” juga mempunyai maksud bahwa hanya
kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 saja yang menjadi objectum
litis dari sengketa kewenangan lembaga negara oleh Mahkamah
Konstitusi.
Kemudian dalam berbagai perdebatan perubahan UUD 1945 tidak
ada penyebutan secara langsung lembaga negara apa saja yang dapat
menjadi pihak dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara. Tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ada pula pertalian penyelesaian sengketa lembaga negara dengan maksud
pembagian lembaga negara secara teoritis, seperti berdasarkan fungsinya
yang ditentukan oleh Montesqiue maupun berdasarkan kedudukannya,
sebagaimana pembagian menurut George Jellinek, yaitu lembaga negara
langsung dan lembaga negara tidak langsung, ataupun penggolongan lain
berdasarkan kedudukannya yaitu, lembaga negara utama atau lembaga
negara primer (primary constitutional organs) dan lembaga negara
penunjang (auxiliary state organ). Karenanya, Mahkamah Konstitusi
dapat melakukan berbagai penafsiran dan penemuan hukum dalam
penyelesaian sengketa tersebut (Luthfi Widagdo, 2010: 31).
Menurut Bambang Purnomo dalam buku Asas-Asas Hukum
Pidana, di dalam ilmu pengetahuan dikenal beberapa metode atau sistem
penafsiran yaitu (Bambang Purnomo, 2006: 56) :
a. “penafsiran gramatika (gramatische interpretatie) sebagai penafsiran yang menyandarkan dari kata-kata yang dipakai sehari-hari;
b. penafsiran logika (logische interpretatie) sebagai penafsiran yang menyandarkan pada akal/pikiran yang obyektif, yang biasanya dengan cara mencari perbandingan diantara beberapa undang-undang;
c. penafsiran sistematik (systematische interpretatie) sebagai penafsiran yang menyandarkan sistem dalam undang-undang itu, dengan menghubungkan bagian yang satu dengan bagian yang lain dari undang-undang itu;
d. penafsiran sejarah (historische interpretatie) sebagai penafsiran yang didasarkan atas sejarah pembentukannya, yang dibedakan atas:
a. rechtshistorische intepretatie, penafsiran berdasarkan sejarah pertumbuhan hukum yang diatur didalam undang-undang;
b. wethistorische intepretatie,, penafsiran berdasarkan sejarah pembentukan undang-undang untuk mengetahui apa yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang;
e. penafsiran teleoligik (teleologische interpretatie) sebagai penafsiran yang berdasarkan atas tujuan apa yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang ketika membuat undang-undang itu;
f. pemafsiran ekstensif (extensive interpretatie) sebagai penafsiran yang berdasarkan cara memperluas peraturan yang termaksud dalam suatu undang-undang;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
g. penafsiran analogi (analogische interpretatie) sebagai penafsiran yang berdasarkan atas jalan pikiran analogi, yaitu peraturan yang ada itu diperlakukan terhadap perbuatan yang tidak diatur tegas dalam undang-undang.”
Untuk menentukan subbjectum litis dan objectum litis perkara
sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya
diberikan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran
gramatika (gramatische intepretation). Menurut Mahkamah Konstitusi,
penempatan kata “sengketa kewenangan” sebelum kata “lembaga negara”
mempunyai arti yang sangat penting, karena hakikatnya yang dimaksud
oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah memang “sengketa
kewenangan” atau “tentang apa yang disengketakan” dan bukan tentang
“siapa yang bersengketa”. Kata “lembaga negara” dalam Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945 haruslah terkait erat dan tidak dapat terpisahkan dengan
frasa “yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”.
Dengan dirumuskannya anak kalimat “lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, secara implisit
terkandung pengakuan bahwa terdapat “lembaga negara yang
kewenangannya bukan diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Untuk itu,
didalam menentukan subjectum litis atau objectum litis perkara sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945
ditentukan terlebih dahulu kewenangan-kewenangan yang diberikan dalam
konstitusi dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-
kewenangan tersebut diberikan.
Selanjutnya Maruarar Siahaan, dalam pendapat berbeda (dissenting
opinion) Putusan Perkara 027/SKLN-IV/2006 mengenai sengketa
kewenangan antar lembaga negara antara DPRD Provinsi Sulawesi
Tengah dengan Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, beliau berpendapat
bahwa pengertian kewenangan satu lembaga negara diberikan oleh UUD
1945 tidaklah diartikan bahwa kewenangan tersebut harus secara expressis
verbis tertulis demikian. Pendapat tersebut sebenarnya telah diakomodir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
oleh pendapat mayoritas hakim konstitusi dalam Putusan Nomor
004/SKLN-IV/2006 mengenai SKLN antara Bupati Bekasi dengan
Presiden yang pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa tidak hanya
semata-mata penafsiran secara tekstual bunyi dari ketentuan UUD 1945
yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara tertentu, tetapi juga
ada kemungkinan kewenangan-kewenangan implisit yang terdapat dalam
suatu kewenangan pokok serta kewenangan yang diperlukan guna
menjalankan kewenangan pokok tersebut. Kewenangan-kewenangan dapat
saja dimuat dalam sebuah undang-undang, akan tetapi, menurut Maruarar,
penafsiran harus diperluas sedemikian rupa, karena perkembangan dan
dinamika permasalahan yang tidak dapat diantisipasi secara sempurna oleh
Pembuat Undang-Undang Dasar 1945.
Maruarar Siahaan dalam pendapat berbeda Putusan Perkara
27/SKLN-IV/2008 menegenai sengketa kewenangan antar lembaga negara
antara KPU Maluku Utara dengan Presiden kemudian berpendapat
perlunya tafsir tekstual dan pendekatan struktural atas Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk “memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang memperoleh kewenangannya
dari UUD 1945”, mengartikan seolah-olah berbunyi, “sengketa antar
lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945”.
Padahal tidak ada satu katapun dalam kalimat Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 tersebut yang menyebut lembaga negara yang bersengketa harus
diantara lembaga negara yang setara dan disebut oleh UUD 1945. Menurut
Maruarar, tafsir yang bertentangan dengan teks Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 seperti itulah kemudian yang dianut sehingga rumusan demikian
menjadi muatan Pasal 10 UU MK yang memberikan syarat legal standing
dengan tekanan lebih pada Pemohon. Hal tersebut diikuti pula dengan
ketat sebagaimana terlihat dalam rumusan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2)
UU MK dan PMK 08/2006, sehingga telah menyebabkan Mahkamah
Konstitusi tidak mampu memainkan perannya untuk mengawal konstitusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
secara optimal dalam sengketa lembaga negara sesuai dengan yang
diamanatkan oleh UUD 1945.
Untuk menentukan kewenangan-kewenangan yang merupakan
derivasi kewenangan dari UUD 1945, perlu dipahami konsep pemberian
kekuasaan. Pada dasarnya, pemberian kekuasaan dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif dan
perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif.
Perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif menyebabkan
terjadinya pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang
belum ada menjadi ada kemudian kekuasaan yang timbul dengan
pembentukan secara atributif bersifat asli. Dengan kata lain pembentukan
kekuasaan yang sifatnya atributif menyebabkan adanya kekuasaan baru
(Suwoto Mulyosudarmo, 1997: 39). Dengan demikian, ciri-ciri atribusi
kekuasaan adalah pembentukan kekuasaan melahirkan kekuasaan baru dan
harus dilakukan oleh suatu badan yang pembentukannya didasarkan pada
peraturan perundang-undangan. Menurut Henk Van Marseven, jika
diperiksa secara teliti Undang-Undang Dasar Belanda, begitu pula
Undang-Undang Dasar negara lain merupakan suatu peraturan yang
tentang atribusi (reglement van attribute) (Suwoto Mulyosudarmo, 1997:
42). Suwoto Mulyosudarmo menjelaskan, bahwa Undang-Undang Dasar
sebagai reglement van attribute dipahami sebagai dasar hukum
pembentukan berbagai kekuasaan yang kemudian diberikan kepada
lembaga-lembaga negara yang pembentukannya didasarkan atas UUD
1945 pula.
Setelah memiliki kewenangan, lembaga negara (subjek hukum)
tersebut dapat melakukan pembentukan kekuasaan (atribusi) atau
melimpahkan kewenangannya kepada subjek hukum yang lain.
Pelimpahan kewenangan tersebut bersifat derivatif (afgeleid), kekuasaan
yang afgeleid adalah kekuasaan yang diturunkan atau diderivasikan
kepada pihak lain. Henk van Marseven berpendapat pelimpahan derivasi
bisa dalam bentuk delegasi dan mandat. H.D.van Wilk menjelaskan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, sedang mandat terjadi
ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh
organ lain atas namanya. Berbeda dengan pendefinisian tersebut F.A.M
Stroink dan J.G.Steenbek menjelaskan bahwa delegasi menyangkut
pelimpahan wewenang yang telaha ada (oleh organ yang telah
memperoleh wewenang secara atributif) kepada organ lain. Jadi delegasi
secara logis selalu didahului oleh atribusi. Salah satu syarat delegasi
adalah tidak terdapat hubungan hierarki (atasan dan bawahan), akan tetapi
menurut Henk van Marseven, atas dasar konstitusi dapat dibenarkan dalam
beberapa hal pendelegasian oleh pembuat peraturan perundang-undangan
kepada organ bawahan.
Kemudian menurut Safri Nugraha, cara memperoleh kewenangan
akan menggambarkan adanya perbedaan yang hakiki antara berbagai level
pemerintahan yang ada disuatu negara. Sebagai contoh, pelaksanaan
atribusi kewenangan memerlukan adanya pembagian level pemerintahan
yang bersifat nasional, regional dan lokal atau level pemerintahan atasan
dan pemerintahan bawahan. Selain itu, pelaksanaan delegasi membuktikan
adanya level pemerintahan yang lebih tinggi dan level pemerintahan yang
lebih rendah (Safri Nugraha, 2007: 138).
Terkait dengan pemaparan tersebut, dalam konteks Indonesia,
menurut Penulis, pembagian lembaga negara/organ negara dapat
didasarkan pada bentuk pemberian kekuasaan terhadap lembaga tersebut.
Pertama, lembaga negara yang wewenangnya diberikan secara
atribusi oleh UUD 1945, yaitu MPR, Presiden, Menteri Dalam Negeri
bersama Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai triumvirat
menurut pasal 8 ayat (3) UUD 1945, Pemerintahan daerah (provinsi,
kabupaten dan kota), DPR, DPD, BPK, MA dan Badan Peradilan
dibawahnya, MK, KY, TNI, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kedua, lembaga negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh
pembuat peraturan peundang-undangan (termasuk komisi/lembaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
independen) yang tidak bertanggungjawab kepada siapapun, yaitu KPU,
BANWASLU, Bank Indonesia, KPK, Komnas HAM, Komnas Anti
Kekerasan terhadap Perempuan, KPPU, Ombudsman RI, KPI, Dewan
Pers, Dewan Pendidikan, PPATK, KPAI dan lain-lain. Ketiga, lembaga
negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh pembuat
peraturan perundang-undangan (termasuk komisi negara eksekutif) yang
bertanggungjawab kepada Presiden atau Menteri dan/atau merupakan
bagian dari eksekutif.
Menurut Penulis, lembaga negara kategori pertama dapat
berperkara di Mahkamah Konstitusi. Kemudian, lembaga negara kedua
dapat pula berperkara di Mahkamah Konstitusi, sedangkan lembaga
negara kategori ketiga tidak mempunyai subjectum litis maupun objectum
litis untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi karena telah jelas lembaga
negara kategori ketiga bersifat hierarkis dengan Presiden atau menteri
dan/atau merupakan bagian dan eksekutif.
Selanjutnya terkait dengan kedudukan hukum (legal standing)
lembaga negara penunjang yang berperkara sengketa kewenangan lembaga
negara di Mahkamah Konstitusi, Denny Indrayana berpendapat, bahwa
lembaga negara independen adalah fenomena ketatanegaraan modern yang
harus diberikan posisi konstitusional, agar lebih jelas perannya dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia masa depan. Menurutnya, Mahkamah
Konstitusi pun sebaiknya mengisi kekosongan hukum berkaitan dengan
maraknya sengketa kewenangan antar lembaga negara independen dengan
lembaga negara lainnya. Hal itu, sesuai dengan semangat bahwa
keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga
terselenggarannya pemerintahan negara yang stabil sesuai dengan
Penjelasan Umum pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi
(Denny Indrayana, 2008: 267). Penulis juga menyetujui pendapat
Maruarar Siahaan yang menyatakan bahwa perlu ada tafsiran yang
memberi perluasan untuk melihat wewenang yang sesungguhnya melekat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dan tersirat dalam kewenangan yang dituliskan secara tegas dalam UUD
1945, yang dapat dipandang sebagai kewenangan prinsip. Lebih lanjut
menurutnya dalam Putusan MK No. 027/SKLN-IV/2006:
“Kewenangan yang tidak secara tegas disebut dalam konstitusi tetapi merupakan hal yang perlu dan patut untuk menjalankan kewenangan konstitusional yang diberikan secara tegas, merupakan dan juga melekat sebagai kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, meskipun kemudian diuraikan secara tegas dalam undang-undang sebagai pelaksanaan UUD 1945. Pengaturan suatu materi kewenangan dalam satu undang-undang, tidaklah dengan sendirinya menyebabkan wewenang tersebut bukan wewenang konstitusional. Sebaliknya disebut satu wewenang dalam undang-undang tidak selalu berarti bahwa undang-undang tesebutlah yang menjadi sumber kewenangan dimaksud. Masalahnya adalah apakah wewenang tersebut melekat atau tidak, dan harus ada untuk melaksanakan wewenang yang diberikan secara tegas oleh UUD 1945 tersebut”.
Dengan demikian, penafsiran memang harus diperluas sedemikian
rupa dimana kewenangan lembaga negara bukan hanya yang secara
implisit disebut dalam UUD 1945 melainkan kewenangan dari lembaga
negara yang disebutkan secara eksplisit dalam UUD 1945 juga dapat
bersengketa dalam proses sengketa kewenangan antar lembaga negara
yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi, karena perkembangan dan
dinamika permasalahan yang tidak dapat diantisipasi secara sempurna oleh
pembuat konstitusi (UUD 1945). Akan tetapi perlu juga interpretasi
tersebut dibatasi sesuai dengan konteks yang tepat, yaitu bentuk pemberian
kekuasaan terhadap lembaga tersebut yang harus atributif dan derivatif
yang tidak mengandung hierarki.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. IMPLIKASI YURIDIS PUTUSAN NOMOR 030/SKLN-IV/2006
TERHADAP KEDUDUKAN HUKUM LEMBAGA NEGARA
PENUNJANG DALAM SENGKETA KEWENANGAN ANTAR
LEMBAGA NEGARA
Bahwa dalam melihat implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) Nomor 030/SKLN-IV/2006 mengenai sengketa kewenangan antar
lembaga negara antara Pemohon yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
dengan Presiden qq. Menteri Komunikasi dan Informasi selaku Termohon
terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) dari Pemohon yang
merupakan salah satu bagian dari lembaga negara penunjang yang bersifat
independen yang kewenangannya belum jelas diatur dalam UUD 1945.
Penulis akan menguraikan masalah ini dengan mengacu pada Putusan
Nomor 030/SKLN-IV/2006. Duduk perkara mengenai sengketa kewenangan
antar lembaga negara adalah sebagai berikut:
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para pihak
a. Pemohon : Komisi Penyiaran Indonesia
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan kedudukan
hukum Pemohon sehingga kemudian Pemohon dapat mengajukan
permohonan sengketa kewenangan antar lembaga negara di
Mahkamah Konstitusi. Adapun dalil yang disampaikan sebagai
berikut :
1) Pemohon jelas adalah lembaga negara sebagaimana dijelaskan
dalam argumentasi dibawah ini:
Pasal 1 Angka 13 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran (UU Penyiaran) mengatur:
Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara
yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang
tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini
sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran mengatur:
KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen
mengatur hal-hal mengenai penyiaran;
Posisi lembaga negara Komisi Penyiaran Indonesia juga
telah diakui oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara
Permohonan Pengujian UU Penyiaran terhadap UUD 1945, yang
menyebutkan bahwa kelahiran KPI berhubungan dengan
kelahiran institusi-institusi demokratis dan ‘lembaga-lembaga
negara’ dalam berbagai bentuk diantaranya yang paling banyak
di Indonesia adalah dalam bentuk komisi-komisi. Dalam
pertimbangan MK disebutkan bahwa:
Komisi Independen yang lahir ini memang merupakan
sebuah konsekwensi logis dari sebuah negara demokrasi modern
yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check
and balances untuk kepentingan yang lebih besar, (vide Putusan
MK Nomor 005/PUU-I/2003, halaman 21-22);
2) Dalam amar putusan yang sama Mahkamah Konstitusi
menyatakan:
Mahkamah berpendapat bahwa dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga negara tidak selalu
dimaksudkan sebagai lembaga negara yang disebutkan dalam
UUD yang keberadaannya atas dasar perintah konstitusi, tetapi
juga ada lembaga negara yang dibentuk atas perintah UU dan
bahkan ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar Keppres.
KPI yang oleh UU Penyiaran disebut lembaga negara tidak
menyalahi dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, (vide
Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003, halaman 79);
3) Permasalahannya terletak pada apakah kewenangan Pemohon
diberikan oleh UUD 1945? Untuk itu perlu ditegaskan bahwa
kata “disebutkan” tidaklah sama dengan “diberikan”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Karenanya, secara a contrario “tidak disebutkan” juga bukan
berarti “tidak diberikan”. Penyebutan memerlukan pencantuman
secara langsung (letterlijk), sedangkan pemberian tidak berarti
harus secara langsung tetapi dapat juga tidak secara langsung.
Artinya, tidak disebutkannya nama Komisi Penyiaran Indonesia
di dalam UUD 1945, bukan berarti tidak terdapat
kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (Pemohon) dalam
UUD 1945;
4) Pemikiran di atas menemukan korelasinya jika dipadankan
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/SKLN-
IV/2006 yang menyebutkan bahwa “Dalam menetapkan siapa
yang dimaksud dengan lembaga negara oleh Pasal 24C Ayat (1)
UUD 1945, Mahkamah berlandaskan pada uraian di atas bahwa
kewenangan Mahkamah adalah untuk memutus sengketa
kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga untuk
menentukan apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara
sebagaimana dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, maka
yang pertama-tama harus diperhatikan adalah adanya
kewenangan-kewenangan tertentu dalam Undang-Undang
Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-
kewenangan tersebut diberikan”, (vide Putusan MK Nomor
004/SKLN-IV/2006 halaman 88);
5) Artinya, MK lebih memperhatikan ke kewenangan dan bukan ke
lembaganya. Bahkan, MK juga kemudian lebih menegaskan
bahwa “Mahkamah berpendapat bahwa pengertian kewenangan
yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar dapat ditafsirkan
tidak hanya yang tekstual saja tetapi juga termasuk didalamnya
kewenangan implisit yang terkandung dalam suatu
kewenangan pokok dan kewenangan yang diperlukan guna
menjalankan kewenangan pokok...”, (vide Putusan MK Nomor
004/SKLN-IV/2006 halaman 90-91);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6) Berdasarkan hal-hal di atas, Pemohon mendalilkan bahwa meski
Komisi Penyiaran Indonesia walau tidak disebutkan di dalam
UUD 1945, tetapi sesungguhnya kewenangan itu diberikan
melalui UUD 1945. Kewenangan ini merupakan derivasi dari
perintah konstitusi yang menjaminkan kemerdekaan
menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui
penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang
antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945;
7) Berkait dengan hal ini, ada beberapa Pasal UUD 1945 yang
menjadi bagian “Mengingat” dari UU Penyiaran yakni untuk
bagian formil UU Penyiaran berlandaskan pada Pasal 20 Ayat
(1), Ayat (2), dan Ayat (4), Pasal 21 Ayat (1), sedangkan untuk
bagian materiil UU Penyiaran dilandaskan Pasal 28F, Pasal
31 Ayat (1), Pasal 32, Pasal 33 Ayat (3), dan Pasal 36;
8) Karenanya Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara
di bidang penyiaran seharusnya diartikan ikut bertanggung jawab
secara penuh dalam hal pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak-hak warga negara di Pasal 28F UUD 1945 yakni “Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia”, terkhusus yang melalui
penyiaran;
b. Termohon : Presiden RI qq. Menteri Komunikasi dan Informasi
Kedudukan Pemerintah dalam hal ini Menteri Komunikasi
dan Informatika sebagai lembaga negara dapat dilihat dengan
menggunakan runtutan logika-logika yuridis sebagai berikut; (a)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menentukan, Presiden RI memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar; (b) Pasal 4 Ayat (2)
menentukan, dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh
satu orang Wakil Presiden; dan (c) Pasal 17 Ayat (1) menentukan,
Presiden dibantu oleh Menteri-menteri negara; (d) Pasal 17 Ayat (2)
menentukan, Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden; (e) Pasal 17 Ayat (3) menentukan, setiap Menteri
membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan;.
Berdasarkan ketentuan di atas, jelaslah kedudukan Presiden
qq. Menkominfo sebagai lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945 dan karenanya, dapat diposisikan sebagai
Termohon dalam perkara a quo.
2. Alasan Permohonan
Pokok sengketa kewenangan antar lembaga negara adalah
sengketa kewenangan konstitusional di bidang penyiaran antara Komisi
Penyiaran Indonesia dengan Presiden Republik Indonesia qq Menteri
Komunikasi dan Informasi. Adapun kewenangan konstitusional yang
dipersengketakan adalah:
a. Pemohon merupakan pihak yang menganggap kewenangan
konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau
dirugikan oleh lembaga negara yang lain [vide Pasal 3 Ayat (1)
PMK Nomor 08/PMK/2006]. Sedangkan Presiden melalui Menteri
Komunikasi dan Informatika adalah pihak Termohon yang dianggap
telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau
merugikan pemohon, (vide Pasal 3 Ayat (1) PMK Nomor
08/PMK/2006);
b. Kewenangan konstitusional yang dipersengketakan adalah: (1)
sengketa kewenangan pemberian izin penyelenggaraan
penyiaran dan (2) pembuatan aturan dalam hal penyiaran;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara independen
ikut bertanggung jawab secara penuh dalam hal pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak-hak warga negara di Pasal 28F UUD
1945 yakni “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”, terkhusus
yang melalui penyiaran;
d. Pada kenyataannya, ke dua hal yang menjadi kewenangan Pemohon
tersebut di atas justru diambil alih oleh Termohon;
Terkait dengan kewenangan Pemohon dalam memberikan izin
penyelenggaraan penyiaran, Pemohon memaparkan argumentasi sebagai
berikut :
a. Dalam Undang-Undang Penyiaran yakni Pasal 1 Ayat (14),
mengatur: Izin Penyelenggaraan Penyiaran adalah hak yang
diberikan oleh negara kepada lembaga penyiaran untuk
menyelenggarakan penyiaran;
Kemudian dalam Pasal 33 Ayat (4) dan (5) UU Penyiaran mengatur:
Ayat (4) : Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran
diberikan oleh negara setelah memperoleh: (a) masukan dan hasil
evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI; (b)
rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI; (c)
hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus
untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan (d) izin alokasi dan
penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul
KPI;
Ayat (5) : Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan
penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Akan tetapi, kewenangan konstitusional ini diambil alih oleh
Termohon dengan hanya menyampaikan pemberian izin tersebut
kepada Pemohon (Lembaga Penyiaran). Pelanggaran kewenangan
konstitusional Pemohon ini dilakukan oleh Termohon dengan Surat
Nomor 271/DJSKDI/KOMINFO/10/2006 yang berisi penyampaian
pemberian izin (dalam hal ini penyesuaian izin) kepada Pemohon,
Artinya, Termohon secara tegas telah melangkahi kewenangan
konstitusional Pemohon. Apalagi, sesungguhnya perintah konstitusi
yang dijabarkan melalui Pasal 33 Ayat (5) UU Penyiaran mengatur
izin penyelenggaraan penyiaran diberikan “Negara melalui KPI”
dan bukan “Pemerintah melalui KPI”;
c. Bahkan, Termohon sama sekali tidak ingin menghadiri berbagai
rapat bersama dengan Pemohon dalam menyusun kebijakan
mengenai pemberian izin ini. Hal ini dilakukan beberapa kali dan
hanya mendapatkan tanggapan melalui surat misalnya Nomor
347/M.KOMINFO/9/2006 yang berisi tanggapan yuridis
ketidakhadiran Termohon. Termohon berdalih dasar tindakannya
adalah Peraturan Pemerintah (PP). Padahal PP sama sekali tidak
boleh berlawanan dengan ketentuan konstitusi yang dijabarkan oleh
UU Penyiaran yang memberikan porsi peran kepada Pemohon secara
lebih besar (untuk hal ini, KPI juga telah mengajukan uji materiil
beberapa PP ke Mahkamah Agung);
Terkait dengan kewenangan Pemohon dalam membentuk
peraturan mengenai penyiaran Pemohon memaparkan argumentasi yaitu
Di dalam UU Penyiaran, telah tergambar wilayah kewenangan KPI
dalam menjalankan perintah konstitusi untuk menjaga hak-hak warga
negara yang terkandung pada Pasal 28F UUD 1945. Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang independen di wilayah
penyiaran seharusnya memiliki kewenangan membentuk peraturan
mengenai penyiaran. Dalam Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran secara tegas
mengatur, ”KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mengatur hal-hal mengenai penyiaran”. Di dalam UU Penyiaran
ditegaskan pula KPI mengatur mengenai lembaga penyiaran publik
(Pasal 14 Ayat (10)); Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran
lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun
jasa penyiaran televisi (Pasal 18 Ayat (3)); Ketentuan mengenai
pembatasan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta
(Pasal 18 Ayat (4)). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
persyaratan izin lembaga penyiaran berlangganan (Pasal 29 Ayat (2));
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kegiatan peliputan lembaga
penyiaran asing disusun oleh KPI bersama Pemerintah (Pasal 30 Ayat
(3)); Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana dasar teknik penyiaran
dan persyaratan teknis perangkat penyiaran (Pasal 32 Ayat (2));
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan
penyelenggaraan penyiaran (Pasal 33 Ayat (8)); Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara dan pemberian sanksi administratif (Pasal 55 Ayat
(3)); Ketentuan alasan khusus dari ketentuan peralihan lembaga
penyiaran (Pasal 60 Ayat (3)). Kemudian Pemohon menyadari, Pasal 62
Ayat (1) dan (2) UU Penyiaran semula memberikan kewenangan-
kewenangan dimiliki oleh KPI bersama dengan Pemerintah, namun oleh
Putusan MK Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 tentang perkara
Permohonan Pengujian UU Penyiaran terhadap UUD 1945 telah
membatalkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas khususnya yang
berkaitan dengan anak kalimat, “KPI bersama...” dengan melalui pintu
Pasal 62 Ayat (1) dan (2) UU Penyiaran.
Meskipun Pemohon telah sangat memahami alasan MK dalam
Putusannya Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 yang menjelaskan bahwa
KPI tidak boleh mempunyai kewenangan yang tergabung antara
eksekutif dan legislatif, namun Putusan MK juga mengakui bahwa
“Mahkamah berpendapat bahwa sebagai lembaga negara yang
independen, seyogianya KPI juga diberi kewenangan untuk membuat
regulasi sendiri atas hal-hal yang sebagaimana diatur dalam Pasal 7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dan 8 UU Penyiaran”, (vide Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003,
halaman 80). Itu artinya, kewenangan pengaturan di bidang penyiaran
harus dikembalikan menjadi kewenangan konstitusional Pemohon dan
tidak dapat lagi dilakukan oleh Termohon, sebagaimana secara tegas
diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) UU Penyiaran. Bahwasanya Pemohonlah
yang mempunyai kewenangan konstitusional bidang penyiaran
ditegaskan lagi melalui Pasal 1 Angka 13, Pasal 6 Ayat (4) dan Pasal 7
Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Penyiaran. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran harus dilihat sebagai memberikan
kewenangan konstitusional, karena sebagaimana dijelaskan di atas,
undang-undang tersebut lahir dan berpijak pada Pasal 28F UUD 1945.
Selanjunya melalui ketiga hal utama tersebut yang menjadi
pokok permohonan Pemohon adalah sebagai berikut:
a. Menyatakan kewenangan pemberian izin penyelenggaraan penyiaran
bukanlah merupakan kewenangan Termohon;
b. Menyatakan kewenangan pemberian izin penyelenggaraan penyiaran
merupakan milik negara yang diberikan melalui Pemohon;
c. Menyatakan kewenangan pembuatan regulasi di bidang penyiaran
bukan merupakan kewenangan Termohon karena telah ada lembaga
negara independen yang dibentuk untuk menyelenggarakan tugas
negara di bidang penyiaran, yaitu Pemohon;
d. Menyatakan bahwa kewenangan penyusunan regulasi di bidang
penyiaran haruslah dilaksanakan oleh lembaga negara independen
yang dibentuk untuk menyelenggarakan tugas negara di bidang
penyiaran, yaitu Pemohon;
Kemudian dalam keterangan berikutnya Termohon memberikan
tanggapan terhadap argumentasi Pemohon yang pokoknya sebagai
berikut:
a. bahwa tidak terdapat cukup alasan yang menunjukkan adanya
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945 in casu di bidang penyiaran, sebagaimana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dimaksudkan dalam Pasal 61 UU MK, karena tidak terbukti adanya
kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Pemohon yang
bersumber dari UUD 1945 yang dipersengketakan dengan
Termohon;
b. bahwa terkait dengan kewenangan regulasi di bidang penyiaran
seharusnya dikembalikan pada ketentuan Pasal 7 Ayat (2) UU
Penyiaran, yang menyatakan, “KPI sebagai lembaga negara yang
bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran”, akan
tetapi dalam pemahaman bahwa kewenangan mengatur yang
demikian melalui Peraturan KPI adalah dalam kerangka pelaksanaan
Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaksanaan UU Penyiaran;
c. bahwa sifat independen KPI sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat
(2), tidak bisa dilepaskan dari kewenangan KPI berdasarkan Pasal 8
Ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d UU Penyiaran.
3. Amar Putusan
Dalam Perkara Nomor 030/SKLN-IV/2006 yang diucapkan
dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari ini Selasa tanggal
17 April 2007, yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, Jimly
Asshiddiqie sebagai Ketua merangkap Anggota, H. Achmad Roestandi,
Maruarar Siahaan, H.M. Laica Marzuki, H.A.S. Natabaya, H. Abdul
Mukthie Fadjar, H. Harjono, I Dewa Gede Palguna, dan Soedarsono,
masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Triyono Edy
Budhiarto sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Pemohon,
Termohon atau yang mewakili, dan Pihak Terkait Tidak Langsung
Indonesia Media Law and Policy Centre. Dalam amar putusannya
Hakim memberikan putusan:
a. Mengingat Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard);
Dalam memberikan putusan tersebut Hakim Konstitusi memiliki
pertimbangan hukum dalam menyelesaikan sengketa kewenangan dalam
bidang penyiaran yang diajukan oleh Pemohon, yaitu sebagai berikut:
a. Menimbang bahwa di dalam Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006
tanggal 12 Juli 2006, Mahkamah telah menentukan objectum litis
dan subjectum litis mengenai kewenangan yang dipersengketakan
dan lembaga negara yang mempunyai kepentingan langsung
terhadap kewenangan yang dipersengketakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 61 Ayat (1) UU
MK, sebagai berikut:
1) kewenangan yang dipersengketakan haruslah kewenangan yang
diberikan oleh UUD 1945;
2) lembaga negara dimaksud adalah lembaga negara yang
mempersengketakan kewenangannya yang diberikan oleh UUD
1945;
b. Menimbang bahwa dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah
untuk mengadili dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, Mahkamah telah
menyatakan pendiriannya, sejak Putusan Mahkamah Nomor
004/SKLN-IV/2006; Dalam pertimbangan hukum Putusan
Mahkamah tersebut antara lain,
“Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu permohonan sengketa kewenangan lembaga negara harus mempertimbangkan adanya hubungan yang erat antara kewenangan dan lembaga yang melaksanakan kewenangan tersebut. Sehingga, dalam menetapkan apakah Mahkamah berwenang untuk memeriksa permohonan sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah harus mengaitkan secara langsung pokok yang disengketakan (objectum litis) dengan kedudukan lembaga negara yang mengajukan permohonan, yaitu apakah kepada lembaga negara tersebut kewenangan itu diberikan, sehingga dengan demikian masalah kewenangan dimaksud terkait erat dengan legal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
standing Pemohon yang akan menentukan berwenang atau tidaknya Mahkamah dalam memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ..... Penempatan kata ‘sengketa kewenangan’ sebelum kata ‘lembaga negara’ mempunyai arti yang sangat penting, karena hakikatnya yang dimaksud oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 adalah memang ‘sengketa kewenangan’ atau tentang ‘apa yang disengketakan’ dan bukan tentang ‘siapa yang bersengketa’. Pengertiannya akan menjadi lain apabila perumusan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 itu berbunyi, ‘... sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar’. Dalam rumusan yang disebut terakhir, hal yang merupakan pokok persoalan adalah pihak yang bersengketa, yaitu lembaga negara, dan tidak menjadi penting tentang objek sengketanya. Sehingga apabila demikian rumusannya, maka konsekuensinya Mahkamah Konstitusi akan menjadi forum penyelesai sengketa lembaga negara tanpa mempertimbangkan materi yang dipersengketakan oleh lembaga negara, dan hal demikian menurut Mahkamah bukanlah maksud dari Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Karena, apabila dirumuskan “... sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, Mahkamah Konstitusi akan berwenang untuk memutus sengketa apa pun yang tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan persoalan konstitusionalitas kewenangan lembaga negara, sepanjang yang bersengketa adalah lembaga negara .....”. Menimbang bahwa kata ‘lembaga negara’ terdapat dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, sehingga Mahkamah harus menetapkan lembaga negara mana yang dimaksud oleh Pasal 24C Ayat (1) tersebut. Dalam menetapkan siapa yang dimaksud dengan lembaga negara oleh Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berlandaskan pada uraian di atas bahwa kewenangan Mahkamah adalah untuk memutus sengketa kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, sehingga untuk menentukan apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, maka yang pertama-tama harus diperhatikan adalah adanya kewenangan tertentu dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut diberikan. Karena kewenangan sifatnya terbatas dan untuk sesuatu hal yang tertentu, maka sifat kelembagaan negara tidaklah dapat ditentukan secara umum, tetapi terkait dengan kewenangan yang diberikan atau dengan kata lain sebuah lembaga yang disebut dengan nama apapun berkedudukan sebagai lembaga negara menurut pengertian Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
apabila lembaga tersebut mempermasalahkan atau dipermasalahkan kewenangannya yang diberikan oleh UUD 1945 ..... Menimbang bahwa rumusan ‘sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar’ mempunyai maksud bahwa hanya kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 saja yang menjadi objectum litis dari sengketa dan Mahkamah mempunyai wewenang untuk memutus sengketa yang demikian. Ketentuan yang menjadi dasar kewenangan Mahkamah tersebut sekaligus membatasi kewenangan Mahkamah, yang artinya apabila ada sengketa kewenangan yang tidak mempunyai objectum litis ‘kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar’, maka Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian itulah yang dimaksud oleh UUD 1945. Sengketa kewenangan yang kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang tidaklah menjadi kewenangan Mahkamah.”
c. Menimbang bahwa dilihat dari subjectum litis dalam permohonan
ini, Pemohon adalah KPI dan Termohon adalah Presiden qq. Menteri
Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan ketentuan yang tercantum
dalam Pasal 4 Ayat (1), Pasal (5), dan Pasal (7) UUD 1945, Presiden
qq. Menteri Komunikasi dan Informatika adalah lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Oleh karena itu,
Termohon merupakan subjectum litis dalam perkara a quo.
Sementara itu, UUD 1945 tidak menyebut, apalagi memberikan
kewenangan konstitusional kepada KPI. Dengan demikian,
keberadaan KPI bukanlah merupakan lembaga negara sebagaimana
dimaksud Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 61 Ayat (1)
UU MK; Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang
menyatakan, kewenangan konstitusional Pemohon mengalir secara
derivative dari Pasal 28F UUD 1945, Mahkamah berpendapat
sebagai berikut:
Bahwa Pasal 28F UUD 1945, berbunyi, “Setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia”;
Pasal 28F UUD 1945 tersebut, mengatur tentang hak setiap
orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan bukan
mengatur hak dan/atau kewenangan lembaga negara, apalagi
memberikan kewenangan kepada lembaga negara yang berkaitan
dengan penyiaran;
d. Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa KPI adalah
lembaga negara yang dibentuk dan kewenangannya diberikan oleh
undang-undang bukan oleh Undang-Undang Dasar. Dengan
demikian, karena KPI bukanlah lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, maka KPI tidak
memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana
ditentukan Pasal 61 Ayat (1) UUMK untuk mengajukan permohonan
a quo;
e. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
Mahkamah berpendapat bahwa KPI sebagai Pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) sehingga permohonan Pemohon
harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard),
dan oleh karenanya Pokok Permohonan tidak perlu dipertimbangkan
lebih lanjut.
Sebelum menginjak substansi permasalahan mengenai implikasi
yuridis Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 terhadap kedudukan hukum
lembaga negara penunjang dalam sengketa kewenangan antar lembaga
negara, terlebih dahulu perlu ditekankan mengenai hal yang berkaitan
dengan legal standing bahwa lembaga negara yang dapat terlibat atau
terkait dalam sengketa kewenangan konstitusional tidak terbatas hanya
pada lembaga-lembaga negara dalam pengertian yang lazim selama ini
dipahami. Namun masalahnya adalah bagaimanakah apabila
kewenangan lembaga negara dimaksud tidak secara eksplisit ditentukan
dalam UUD 1945, melainkan hanya disebut secara implisit, apakah hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tersebut dapat ditafsirkan pula sebagai kewenangan konstitusional.
Meskipun kesahihan legal standing pemohon nantinya akan diuji
terlebih dahulu dalam sidang pemeriksaan oleh majelis hakim konstitusi,
namun kajian secara mendalam mengenai hal ini sangat diperlukan
untuk membantu memberikan kejelasan awal bagi semua pihak dalam
konteks sengketa kewenangan antar lembaga negara ini.
Berdasarkan pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan pasal 10 ayat (1) huruf b UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 12 ayat (1) huruf
b UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu
kewenangan Mahkamah Konstiusi mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945. Selanjutnya ketentuan Pasal 61 UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa:
a. Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan.
b. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya
tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan
kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas
lembaga negara yang menjadi termohon.
Ketentuan di atas dipertegas dan diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman
Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga
Negara, yang ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 1
Ketentuan Mengenai SKLN Menurut Mahkamah Konstitusi
NO POSISI TAFSIR 1 Subjectum Litis
(Pemohon atau Termohon) Pasal 2 ayat (1) Lembaga Negara yang dapat menjadi Pemohon atau Termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, adalah: a. Dewan Perwakilan Rakyat b. Dewan Perwakilan Daerah c. Majelis Permusyawaratan Rakyat d. Presiden. e. Badan Pemeriksa Keuangan f. Pemerintah Daerah atau g. Lembaga Negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
2
Objectum Litis (Obyek sengketa)
Pasal 2 ayat (2) Kewenangan yang dipersengketakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945.
Sumber : Peraturan No. 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam
SKLN
Frasa “kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945” sebagaimana dimaksud oleh
pasal 61 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
mengandung makna “kewenangan atribusi”, yaitu kewenangan yang
diciptakan dan diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan bukan kewenangan yang diciptakan dan
diberikan oleh peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 7 UU No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan).
Kemudian berdasarkan Pasal 61 UU MK, dalam sengketa kewenangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 harus
dipenuhi syarat-syarat kedudukan hukum sebagai berikut:
Tabel 2
Kedudukan Hukum Para Pihak dalam SKLN
NO KEDUDUKAN HUKUM SYARAT-SYARAT
1 Para pihak yang bersengketa (subjectum litis
Pemohon dan Termohon, kedua-duanya harus merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945
2 Kewenangan yang dipersengketakan (objectum litis)
merupakan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945
3 Pemohon (syarat khusus)
Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 yang dipersengketakan
Sumber: Pasal 61 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Untuk memahami lembaga negara, tidak dapat ditafsirkan secara
sempit sebagaimana pendapat Montesquieu dengan doktrin trias
politica-nya yang mengatakan bahwa lembaga negara adalah institusi
kenegaraan yang menjalankan salah satu cabang kekuasaan negara, yang
mencakup lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam teori,
lembaga-lembaga yang ada dalam suatu negara dikenal dengan alat
perlengkapan negara (die staatsorgane).
Selanjutnya, alat perlengkapan negara didefinisikan sebagai hal
yang menentukan atau membantuk kehendak ataupun kemauan negara
(staatswill) serta ditugaskan oleh hukum dasar untuk melaksanakannya.
Dengan kata lain, alat perlengkapan negara dibentuk untuk
melaksanakan fungsi negara dan biasanya kedudukan dan
kewenangannya diatur dalam UUD 1945.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kemudian menginjak ke substansi permasalahan, dengan adanya
Putusan Nomor 030/SKLN-IV/2006 yang amar putusannya menyatakan
permohonan Pemohon tidak diterima, dimana Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa KPI sebagai Pemohon tidak memiliki kedudukan
hukum (legal standing) sehingga permohonan Pemohon harus
dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Putusan
ini berimplikasi adanya suatu diskriminasi terhadap kedudukan hukum
lembaga negara penunjang untuk bersengketa di Mahkamah Konstitusi
apabila kewenangan dari lembaga tersebut diambil, dikurangi, dihalangi,
diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain
sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1) PMK Nomor
08/PMK/2006. Dalam sengketa ini KPI yang memilki kewenangan
dalam pembuatan perpanjangan izin penyiaran dan pembuatan regulasi
bidang penyiaran, kewenangan-kewenangan tersebut diambil oleh
Pemerintah dalam hal ini Menteri Kominfo. Artinya, Pemerintah secara
tegas telah melangkahi kewenangan konstitusional KPI. Apalagi,
sesungguhnya perintah konstitusi yang dijabarkan melalui Pasal 33 Ayat
(5) UU Penyiaran mengatur izin penyelenggaraan penyiaran diberikan
“Negara melalui KPI” dan bukan “Pemerintah melalui KPI”.
Dengan demikian Putusan yang dibuat oleh Mahkamah
Konstitusi hendaknya tidak hanya menafsirkan keberadaan lembaga
negara yang bersifat penunjang dalam penafsiran tekstual. Menurut
Penulis perluasan makna mutlak diperlukan, beranjak dari ketentuan
Pasal 2 ayat (1) PMK Nomor 08 Tahun 2006 yang telah menentukan dan
memberikan tafsir lebih luas mengenai lembaga negara. Adapun
ketentuan Pasal 2 ayat (1) PMK Nomor 08 Tahun 2006 menyatakan,
“Lembaga Negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah: a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); b. . . . dst. g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dengan dirumuskannya ”Lembaga negara lain yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945” sebagai subjek dalam
sengketa kewenangan lembaga negara, ini menunjukkan bahwa subjek
sengketa kewenangan lembaga negara dimaksud tidak terbatas hanya
pada DPR, DPD, MPR, Presiden, BPK, dan Pemerintah daerah.
Kemudian perluasan makna lembaga negara telah pula diteguhkan dalam
Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006 bertanggal 12 Juli 2006 yang
menyatakan,
”Dalam menentukan isi dan batas kewenangan yang menjadi objectum litis suatu sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah tidak hanya semata-mata menafsirkan secara tekstual bunyi dari ketentuan UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara tertentu, tetapi juga melihat kemungkinan adanya kewenangan-kewenangan implisit yang terdapat dalam suatu kewenangan pokok serta kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) guna menjalankan kewenangan pokok tertentu tersebut. Kewenangan-kewenangan tersebut dapat saja dimuat dalam sebuah undang-undang”.
Sehingga dari perluasan makna yang didasari dari Putusan MK
Nomor 004/SKLN-IV/2006 tersebut, penggolongan kategori lembaga
negara tidak hanya semata-mata didasarkan kepada kewenangan yang
bersifat nasional, melainkan juga harus melihat apakah lembaga
dimaksud melaksanakan fungsi penyelenggara pemerintahan
sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Ukuran untuk menentukan
apakah lembaga dimaksud termasuk lembaga negara atau bukan, tidak
hanya berdasarkan kepada kedudukan struktural lembaga yang
bersangkutan dalam UUD 1945 dan bukan pula nama resminya,
melainkan harus juga melihat kepada fungsi dari lembaga negara itu
dalam UUD 1945.
Kemudian untuk kedepannya Mahkamah Konstitusi hendaknya
mengisi kekosongan hukum dengan membuat sebuah penafsiran yang
pasti mengenai kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara
penunjang dalam hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
negara di Mahkamah Konstitusi. Dimana dalam menentukan subbjectum
litis dan objectum litis perkara sengketa kewenangan antar lembaga
negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi yang biasanya melakukan penafsiran secara gramatika
(gramatische intepretatie,) harus segera dirombak ke penafsiran yang
lebih luas dan moderat.
Dalam penafsirannya Mahkamah Konstitusi berpendapat,
penempatan kata “sengketa kewenangan” sebelum kata “lembaga
negara” mempunyai arti yang sangat penting, karena hakikatnya yang
dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah memang “sengketa
kewenangan” atau “tentang apa yang disengketakan” dan bukan tentang
“siapa yang bersengketa”. Kata “lembaga negara” dalam Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945 haruslah terkait erat dan tidak dapat terpisahkan dengan
frasa “yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”.
Dengan dirumuskannya anak kalimat “lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, secara implisit
terkandung pengakuan bahwa terdapat “lembaga negara yang
kewenangannya bukan diberikan oleh Undang-Undang Dasar” (Luthfi
Widagdo, 2010: 43). Untuk itu, didalam menentukan subjectum litis atau
objectum litis perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan UUD 1945 ditentukan terlebih dahulu
kewenangan-kewenangan yang diberikan dalam Undang-Undang Dasar
dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan
tersebut diberikan.
Namum argumentasi hukum dari Mahkamah Konstitusi tersebut
disanggah oleh Maruarar Siahaan, dalam pendapat berbeda (dissenting
opinion) pada Putusan Nomor 027/SKLN-IV/2006. Beliau berpendapat
bahwa pengertian kewenangan satu lembaga negara diberikan oleh UUD
1945 tidaklah diartikan bahwa kewenangan tersebut harus secara
expressis verbis tertulis demikian. Pendapat tersebut sebenarnya telah
diakomodir oleh pendapat mayoritas hakim konstitusi dalam Putusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Nomor 004/SKLN-IV/2006 mengenai sengketa kewenangan antar
lembaga negara (SKLN) antara Bupati Bekasi dengan Presiden yang
pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa,
“tidak hanya semata-mata penafsiran secara tekstual bunyi dari ketentuan UUD yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara tertentu, tetapi juga ada kemungkinan kewenangan-kewenangan implisit yang terdapat dalam suatu kewenangan pokok serta kewenangan yang diperlukan guna menjalankan kewenangan pokok tersebut”.
Kewenangan-kewenangan dapat saja dimuat dalam sebuah
undang-undang akan tetapi, menurut Maruarar, penafsiran harus
diperluas sedemikian rupa, karena perkembangan dan dinamika
permasalahan yang tidak dapat diantisipasi secara sempurna oleh
pembuat konstitusi (UUD 1945). Kemudian dalam dissenting opinion-
nya yang lain pada Putusan Perkara 27/SKLN-IV/2008 mengenai SKLN
antara KPU Maluku Utara dengan Presiden kemudian beliau
berpendapat perlunya tafsir tekstual dan pendekatan struktural atas Pasal
24C ayat (1) UUD 1945 tentang kewenangan Mahkamah untuk
“memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang memperoleh
kewenangannya dari UUD 1945”, mengartikan seolah-olah berbunyi,
“sengketa antar lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari
UUD 1945”. Padahal tidak ada satu katapun dalam kalimat Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 tersebut yang menyebut lembaga negara yang
bersengketa harus diantara lembaga negara yang setara dan disebiut oleh
UUD 1945. Menurut Maruarar, tafsir yang bertentangan dengan teks
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 seperti itulah kemudian yang dianut
sehingga rumusan demikian menjadi muatan Pasal 10 UU MK yang
memberikan syarat legal standing dengan tekanan lebih pada Pemohon.
Hal tersebut diikuti pula dengan ketat sebagaimana terlihat dalam
rumusan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU MK dan PMK 08/2006,
sehingga telah menyebabkan Mahkamah tidak mampu memainkan
perannya untuk mengawal konstitusi secara optimal dalam sengketa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lembaga negara sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD 1945 (
Maruarar Siahaan, 2005: 46).
Menurut Penulis, argumentasi hukum inilah yang menjadi dasar
keabasahan dari lembaga negara negara penunjang untuk menjadi pihak
khususnya sebagai Pemohon apabila kewenangan konstitusionalnya
“dizalimi” oleh lembaga lain, sehingga kedepannya lembaga tersebut
dapat mengajukan permohonan sengketa kewenangan antar lembaga
negara untuk berpekara di Mahkamah Konstitusi dengan legitimasi yang
kuat berupa penafsiran yang lebih luas mengenai makna “sengketa
kewenangan lembaga negara” yang tercantum dalam Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945.
Terkait dengan implikasi dari Putusan Nomor 030/SKLN-
IV/2006 harusnya Hakim Konstitusi mempertimbangkan keberadaan
lembaga negara penunjang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
sehingga putusan mengenai sengketa kewenangan antara KPI dengan
Presiden RI qq Menkominfo RI dapat dirasa adil dan progresif. Dengan
amar putusan yang tidak menerima permohonan Pemohon (niet
ontvankelijk verklaard) tersebut berimplikasi secara langsung maupun
tidak langsung terhadap keseganan dari lembaga negara penunjang untuk
beracara sengketa kewenangan antar lembaga negara di Mahkamah
Konstitusi, jikalau kewenangan yang dimiliknya diambil oleh lembaga
negara lain, keseganan tersebut dikarenakan tidak adanya pengakuan
legal standing dari lembaga negara penunjang dalam hukum acara
SKLN.
Kedudukan lembaga negara penunjang dalam sistem
ketatanegaraan sangat penting di Indonesia, karena masyarakat
membutuhkan suatu lembaga negara yang akuntabel, independen dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat teknis. Ketidakefektifan
dari pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan yang dilaksanakan oleh
lembaga negara yang sudah ada menjadi penyebab utama menjamurnya
pembentukan lembaga negara penunjang di Indonesia karena lembaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ini melaksanakan wewenang diluar kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif serta keberadaannya yang bersifat mengawasi pelaksaanaan
pemerintahan.
Dalam kasus antara KPI dengan Pemerintah dalam hal ini
Menteri Komunikasi dan Informasi, upaya KPI untuk mengajukan
permohonan SKLN ke Mahkamah Konstitusi dalam hal persengketaan
kewenangan pemeberian izin dan pembuatan regulasi di bidang
penyiaran merupakan bentuk penegakan prinsip-prinsip demokrasi di
Indonesia. KPI mempunyai kekhawatiran jika kewenangan yang
diberikan UU Penyiaran kepada KPI untuk melaksanakan wewenang di
bidang penyiaran diambil alih oleh Pemerintah akan mengembalikan
fungsi penyiaran ke zaman Orde Baru kembali seperti pembentukan
Departemen Penerangan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk
membatasi penyiaran. Kemudian kekhawatiran yang lainnya adalah
penyiaran akan dibatasi dan kebebasan untuk berekspresi serta
berpendapat menjadi terbatas akibat penguasaan Pemerintah yang
notabene dalam pelaksaanan wewenangnya banyak terdapat kepentingan
serta dikhawatirkan otorterisme lahir kembali di Indonesia. Adanya UU
Penyiaran adalah untuk menjaga dan menghindari adanya otoriterisme
Pemerrintah dalam bidang penyiaran serta pemberian kewenangan
kepada KPI dalam bidang penyiaran adalah wujud penegakan niali-nilai
demokrasi karena seyogyanya KPI merupakan lembaga negara yang
dibentuk secara khusus untuk bidang penyiaran yang dalam
melaksanakan wewenangnya mengutamakan sifat yang independen,
akuntabel dan transaparan serta bebas dari kepentingan politik.
Sehingga adanya kesempatan bagi lembaga negara penunjang
untuk berperkara SKLN di Mahkamah Konstitusi merupakan bentuk
implementasi semangat demokrasi dimana keberadaan Mahkamah
Konstitusi bukan hanya sebagai pengawal konstitusi (guard constitution)
melainkan ikut terlibat dalam menjaga terselenggarannya pemerintahan
negara yang stabil dan perwujudan good governance di Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab sebelumnya mengenai analisis yuridis
kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara penunjang dalam sengketa
kewenangan antar lembaga negara yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi dapat
diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Dengan adanya perkembangan ketatanegaraan modern, mengakibatkan
munculnya lembaga-lembaga negara baru diluar lembaga-lembaga eksekutif,
legislatif dan yudikatif (trias politica) yang sifatnya penunjang. Dimana
lembaga negara penunjang tersebut disebutkan secara eksplisit dalam UUD
1945 dan pengaturan kewenangannya tidak disebutkan secara jelas dalam
UUD 1945, seperti KPU, Bank Sentral dan Dewan Pertimbangan Presiden.
Munculnya lembaga negara penunjang juga berpotensi menghadirkan konflik
baru dalam hal kewenangan dengan lembaga negara lain yang telah ada.
Namun, terdapat multitafsir dan kekosongan hukum mengenai pengaturan
mengenai subjectum litis dan objectum litis dalam hukum acara sengketa
kewenangan antar lembaga negara. Kemudian setelah dianalisis, ketentuan
mengenai legal standing lembaga negara penunjang untuk mengajukan
permohonan pada perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara
(SKLN) di Mahkamah Konstitusi sah-sah saja apabila kewenangan
konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan
oleh lembaga negara yang lain sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1)
PMK Nomor 08/PMK/2006. Dengan merujuk legitimasi Hakim Konstitusi
hendaknya dilakukan penafsiran yang lebih luas dalam menentukan subjectum
litis dan objectum litis dalam hukum acara SKLN selain melalui penafsiran
Hakim Konstitusi juga perlu melakukan interpretasi yang dibatasi sesuai
dengan konteks yang tepat, yaitu bentuk pemberian kekuasaan terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lembaga tersebut yang harus atributif dan derivatif yang tidak mengandung
hierarki.
2. Mengenai implikasi yuridis dari Putusan MK Nomor 030/SKLN-IV/2006
mengenai sengketa kewenangan antar lembaga negara antara Pemohon yaitu
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Termohon yaitu Presiden qq.
Menteri Komunikasi dan Informasi yang tidak menerima permohonan
Pemohon. Mengakibatkan kedudukan hukum (legal standing) lembaga
negara penunjang dalam hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga
negara terdiskriminasi dimana Hakim Konstitusi masih menafsirkan secara
sempit dan tekstual makna “lembaga negara” dalam Pasal 61 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi, kemudian didalam menentukan subjectum litis atau
objectum litis perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan UUD 1945, ditentukan terlebih dahulu
kewenangan-kewenangan yang diberikan dalam Undang-Undang Dasar dan
baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut
diberikan. Sehingga ukuran untuk menentukan apakah lembaga dimaksud
termasuk lembaga negara atau bukan, tidak hanya berdasarkan kepada
kedudukan struktural lembaga yang bersangkutan dalam UUD 1945 dan
bukan pula nama resminya, melainkan harus juga melihat kepada fungsi dari
lembaga negara itu dalam UUD 1945.
B. Saran
Dari seluruh uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya
Penulis dapat memberikan saran sebagai berikut :
1. Mengingat semakin banyaknya lembaga negara penunjang yang
berimplikasi pada potensi sengketa kewenangan kelembagaan negara,
maka diperlukan perumusan langkah ideal dalam penataan sistem hukum
nasional. Penataan dimaksud adalah upaya menyelaraskan, menyerasikan,
menyesuaikan, menyeimbangkan dan konsistensi unsur-unsur sistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
hukum dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum, sehingga
tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain dalam kerangka
sistem hukum nasional. Dalam rangka menata sistem hukum nasional
secara menyeluruh dan terintegrasi demikian itu, dilakukan dengan
meletakkan pola pikir penataan sistem hukum nasional yang dijiwai
Pancasila dan bersumber pada UUD 1945 dan Perubahan UUD 1945.
Dengan demikian, upaya penataan sistem hukum nasional merupakan
“conditio sine qua non” bagi terjaminnya kepastian hukum, ketertiban
hukum, penegakan hukum dan perlindungan hukum yang berintikan
keadilan dan kebenaran. Penataan dilakukan dengan mengacu pada potensi
masalah dalam penyelesaian sengketa kelembagaan negara, sehingga
penataan kelembagaan negara dalam rangka sistem hukum Indonesia pada
hakekatnya ialah mencari sistem hukum yang sesuai dan mampu menjadi
wadah dari ide-ide ataupun gagasan-gagasan yang mendasari hasrat
bernegara menuju masyarakat yang diidam-idamkan.
2. Untuk kedepannya Mahkamah Konstitusi hendaknya mengisi kekosongan
hukum dengan membuat sebuah penafsiran yang pasti mengenai
kedudukan hukum (legal standing) lembaga negara penunjang dalam
hukum acara sengketa kewenangan antar lembaga negara di Mahkamah
Konstitusi. Penafsiran tidak hanya tekstual dan gramatikal dimana
pengertian kewenangan suatu lembaga negara yang diberikan oleh UUD
1945 tidaklah diartikan bahwa kewenangan tersebut harus secara expressis
verbis tertulis melainkan memperluas penafsiran secara moderat baik
menggunakan penafsiran ekstensif, sitematik, logika maupun analogi dan
seterusnya. Sehingga lembaga negara penunjang yang kewenangan
konstitusionalnya diambil oleh lembaga negara lain dapat mengajukan
permohonan untuk berpekara di Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai
dengan semangat bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi bukan hanya
sebagai pengawal konstitusi melainkan sekaligus juga untuk menjaga
terselenggarannya pemerintahan negara yang stabil sesuai dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Penjelasan Umum pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
3. Perlu adanya perbaikan atau revisi terhadap Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 mengenai Hukum Acara sengketa
kewenangan antar lembaga negara karena legitimasi yuridis pengaturan
sengketa kewenangan antar lembaga negara belum mempunyai dasar yang
jelas dan banyak menimbulkan multitafsir di kalangan ahli hukum dalam
menentukan legal standing dan dalam sengketa kewenangan antar
lembaga negara di Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya perbaikan
peraturan, diharapkan kekosongan hukum dan multitafsir terhadap
kewenangan lembaga negara dapat diminimalisir permasalahannya.
top related