analisis pendapat ulama tentang nikah sirri serta akibatnya bagi isteri dan keturunannya
Post on 29-Jul-2015
691 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS PENDAPAT ULAMA’ KOTA PONTIANAK
TENTANG NIKAH SIRRI DAN AKIBATNYA BAGI ISTRI
SERTA KETURUNANNYA
S K R I P S I
DISUSUN OLEH:
A H M A D J U N A I D I
NIM : 07.010.1144
NIMKO : 07.11.09.0203.00059
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL ASY SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH (STIS)
SYARIF ABDURRAHMAN
PONTIANAK
TAHUN 2011 M/1433 H PERSETUJUAN PEMBIMBING
2
ANALISIS PENDAPAT ULAMA’ KOTA PONTIANAK TENTANG NIKAH
SIRRI DAN AKIBATNYA BAGI ISTRI SERTA KETURUNANNYA
A H M A D J U N A I D I
NIM : 07.010.1144
NIM KO : 07.11.09.0203.00059
Menyetujui:
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
( Drs. M. Rahmatullah, M. Ag ) ( Idham, S.H, M.H )
Mengetahui;
Ketua
( Drs. M. Rahmatullah, M. Ag )
3
LEMBAR PENGESAHAN
ANALISIS PENDAPAT ULAMA’ KOTA PONTIANAK TENTANG NIKAH
SIRRI DAN AKIBATNYA BAGI ISTRI SERTA KETURUNANNYA
Ditetapkan di : Pontianak
Hari/Tanggal : 12 Desember 2011
Pukul : 16.00 – 17.30
Tim Penguji;
Ketua Sekretaris
( Drs M. Rahmatullah, M. Ag ) ( Abdul Hadi, SH )
Penguji I Penguji II
( H. Baidillah Riyadhi, S. Ag, M. Ag ) ( Gito Saroso, S. Ag, M. Ag )
Pembimbing I Pembimbing II
( Drs. M. Rahmatullah, M. Ag ) ( Idham, SH, MH )
Mengetahui;
Ketua
( Drs. M. Rahmatullah, M. Ag )
4
ABSTRAK
AHMAD JUNAIDI, ANALISIS PENDAPAT ULAMA’ KOTA PONTIANAK
TENTANG NIKAH SIRRI DAN AKIBATNYANYA BAGI ISTRI SERTA
KETURUNANNYA. Skripsi, Pontianak : Jurusan Syari‟ah, Prodi Ahwal Asy-
Syakhsiyyah, Sekolah Tinggi Ilmu Syari‟ah (STIS) Syarif Abdurrahman.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Karena itu, suami istri saling melengkapi dan saling menutupi kekurangan-
kekurangan satu sama lain. Perkawinan adalah sah menurut hukum agama selama
syarat dan rukunnya terpenuhi.
Perkawinan bukan hanya sebuah perbuatan yang mulia untuk mengatur
kehidupan dan keturunan, tapi juga merupakan jalan menuju perkenalan antara satu
kaum dengan kaum yang lain agar tercipta suasana kehidupan masyarakat yang baik
di segala aspek.
Untuk tujuan yang mulia itu, pemerintah membuat peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang pernikahan dan segala hal yang berkaitan
dengannya. Salah satu di antaranya adalah bahwa pernikahan itu harus dicatatkan di
KUA atau oleh Petugas PPN.
Adapun rumusan masalah pada skripsi ini adalah bagaimana pendapat ulama‟
Kota Pontianak tentang nikah sirri, bagaimana dampak negatif nikah sirri, dan
bagaimana ulama‟ Kota Pontianak dalam memberikan solusi jika nikah sirri sudah
terlanjur terjadi.
Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap pendapat ulama‟
Kota Pontianak tentang nikah sirri. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis
menggunakan data tertulis (arsip) dan data tidak tertulis (wawancara) dengan
beberapa ulama‟ di Kota Pontianak. Selanjutnya, metode yang digunakan oleh
penulis adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, karena data-data yang
dihasilkan adalah data-data yang berupa kata-kata tertulis dan lisan.
Dari uraian deskriptif di atas, gambaran substansi dalam pembahasan skripsi
ini terfokus pada bagaimana pendapat ulama‟ kota Pontianak tentang nikah sirri dan
dampaknya serta bagaimana solusinya jika nikah sirri sudah terlanjur terjadi.
Dari hasil penelitian yang diperoleh, bahwa hukum Islam tidak mengenal
istilah nikah sirri. Praktek nikah sirri adalah bentuk pelanggaran administratif dan
bentuk ketidakpatuhan masyarakat terhadap pemerintah yang tidak ada kaitannya
terhadap status sah atau tidaknya sebuah pernikahan.
Sedangkan hal-hal yang mempengaruhi sebagian masyarakat untuk
melakukan nikah sirri adalah karena faktor orang tua, faktor hamil di luar nikah,
faktor sulitnya aturan untuk berpoligami, faktor pendidikan dan biaya. Dalam praktek
nikah sirri yang sudah terlanjur tejadi, maka dapat dilegalkan dengan itsbat nikah.
5
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufiq, rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Terealisasinya skripsi ini tidak lepas dari dukungan berbagai fihak, baik itu
berupa dukungan moril maupun materiil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :
1. Bapak Drs. H. M. Husain Hamzah, selaku Ketua Yayasan Syarif
Abdurrahman Pontianak.
2. Bapak Drs. Muhammad Rahmatullah, M. Ag, selaku Ketua Sekolah Tinggi
Ilmu Syari‟ah (STIS) Syarif Abdurrahman Pontianak dan selaku Dosen
Pembimbing Utama dalam penulisan skripsi ini.
3. Bapak Idham, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing Pembantu dalam
penulisan skripsi ini.
4. Para Dosen dan Staf Akademik Sekolah Tinggi Ilmu Syari‟ah (STIS) Syarif
Abdurrahman Pontianak yang telah banyak memberikan informasi dan
motifasi dalam penulisan skripsi ini.
6
5. Rekan-rekan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syari‟ah (STIS) Syarif
Abdurrahman Pontianak yang telah banyak memberikan bantuan moril
selama penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, baik itu dalam
penyajian pembahasan dan materinya. Untuk itu, dengan kerendahan hati dan tangan
terbuka penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun.
Terlepas dari besar-kecilnya materi yang terkandung di dalam skripsi ini,
penulis berharap kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat dan menjadi
sumbangsih bagi masyarakat luas pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.
Dengan keikhlasan dan kerendahan hati, penulis hanya dapat berdo‟a kepada
Allah :
Pontianak, 2 Desember 2011
Penulis
Ahmad Junaidi
NIM : 07.010.1144
7
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ii
ABSTRAK ....................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii
BAB I : PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Penelitian ........................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................... 8
BAB II : NIKAH SIRRI DAN PROBLEMATIKANYA ....................... 9
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan ................................ 9
B. Rukun dan Syarat Nikah ............................................................ 19
C. Pengertian dan Faktor Penyebab Nikah Sirri ............................ 31
BAB III : METODE PENELITIAN .......................................................... 40
1. Metode Dan Pendekatan Penelitian ........................................... 40
2. Penentuan Sumber Data Penelitian ............................................ 40
3. Pemilihan Setting Penelitian ...................................................... 41
8
4. Tehnik Dan Alat Pengumpul Data ............................................. 41
5. Tehnik Analisa Data ................................................................... 43
6. Tehnik Pemeriksaan Keabsahan Data ........................................ 45
BAB IV : PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN ................................ 48
A. Gambaran Umum Kota Pontianak ........................................... 48
B. Paparan Data ............................................................................. 50
C. Pembahasan .............................................................................. 62
1. Nikah Sirri Menurut Ulama‟ Kota Pontianak ...................... 64
2. Dampak Negatif Nikah Sirri Menurut Ulama‟
Kota Pontianak ..................................................................... 67
3. Solusi Bila Nikah Sirri Sudah Terjadi .................................. 71
BAB V : PENUTUP .................................................................................. 78
A. Kesimpulan ............................................................................ 78
B. Saran ....................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 80
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 82
9
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 : Batas Wilayah Kota Pontianak .......................................... 49
Tabel 1.2 : Jumlah Penduduk Kota Pontianak Berdasarkan Umur Dan
Agama Yang Dianut ............................................................ 50
Tabel 1.3 : Jumlah Permohonan Perkara Itsbat Nikah di Pengadilan
Agama Kelas I-A Pontianak .............................................. 76
10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Sebagaimana dimaklumi, bahwa Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah
mahdhah saja, seperti shalat, puasa dan haji. Akan tetapi Islam mengatur pula segala
aspek kehidupan manusia terutama kehidupan dalam rumah tangga. Masalah
kehidupan rumah tangga, Islam mengaturnya dengan lengkap dalam suatu aturan
tertentu, yaitu dalam bab munakahat.
Ketentuan-ketentuan tingkah laku manusia ada yang diatur oleh ajaran agama
yang diyakini oleh manusia sebagai sumber ajaran tertinggi yang datang dari Tuhan.
Selain itu, ketentuan-ketentuan tingkah laku manusia ada pula yang diatur oleh
hukum formal sebagai undang-undang atau peraturan yang dijadikan sebagai
landasan struktural dalam hukum bermasyarakat dan bernegara dengan institusi
hukum yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah.
Apapun bentuk hukum yang berlaku, baik yang formal maupun yang non
formal secara substansial bertujuan mengatur, mengikat, memberi sanksi dan
memaksa manusia sebagai subjek hukum untuk mentaati hukum tersebut. Dan
manusia sebagi subjek hukum juga menjadi pelaksana hukum yang ada, karena
kehidupan yang selalu berkaitan dengan yang lainnya mengharuskan adanya
peraturan yang mengupayakan terbentuknya norma sosial dan perlindungan terhadap
11
hak masing-masing, sehingga kehidupan individu dan komunitas manusia diikat oleh
etika dan moralitas yang benar.
Perkawinan bukan hanya sekedar mempersatukan dua manusia, tetapi lebih
dari itu, yaitu mengikatkan tali perjanjian yang suci atas nama Allah, bahwa kedua
mempelai telah berniat membangun rumah tangga yang tentram serta dipenuhi oleh
cinta kasih dan sayang. Tetapi untuk mewujudkan cita-cita tersebut, perkawinan tidak
cukup hanya bersandar pada aturan-aturan Al Qur‟an dan Hadist yang sifatnya masih
global. Akan tetapi perkawinan berkaitan pula dengan peraturan atau undang-undang
yang dibuat oleh pemerintah.
Seiring dengan perkembangan zaman dan permasalahan masyarakat yang
semakin kompleks, maka diperlukan penertiban-penertiban terhadap hubungan antara
individu dalam masyarakat. Maka secara umum pemerintah membuat aturan-aturan
yang mengarah kepada kemaslahatan umum. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh As-Suyuthi;
Artinya: Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah harus mengarah pada
kemaslahatan rakyat. (Al-Asybah Wa Al-Nadha‟ir, t th:134).
Sehubungan dengan hal itu, pemerintah mengeluarkan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Mengenai dasar perkawinan, dijelaskan
dalam Bab I Pasal 1 yang mengatakan:
12
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Adapun pasal yang menjelaskan tentang sahnya perkawinan adalah Pasal 2
ayat (1) mengatakan;
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.”
Sedangkan pasal yang menjelaskan tentang pencatatan perkawinan adalah
Pasal 2 ayat (2) yang mengatakan;
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.” (Kumpulan Peraturan Perkawinan Bagi Masyarakat Islam Di
Indonesia, 2010:2).
Selanjutnya, Pasal 2 ayat (2) ini diperjelas dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan;
“Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan
harus dicatat.” (Kumpulan Peraturan Perkawinan Bagi Masyarakat Islam Di
Indonesia, 2010:333).
Pernikahan adalah sah selama telah memenuhi semua kriteria syarat dan
rukunnya. Dan ulama‟ fiqh tidak menyebutkan bahwa pencatatan pernikahan menjadi
bagian dalam syarat dan rukun pernikahan, karena keberadaan saksi dianggap telah
memperkuat keabsahan suatu pernikahan.
13
Syari‟at Islam dengan jelas memerintahkan agar umat Islam patuh kepada
Allah, patuh kepada Rasulullah dan patuh kepada pemerintah. Hal itu ditegaskan oleh
Allah dalam Al Qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 59 yang berbunyi;
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kepada Allah, patuhlah kepada
Rasulullah, dan kepada pemerintah yang memimpin kamu. (Al-Qur‟an
Terjemah, Surat An-Nisa‟:59).
Abu Hasan „Aly Al Mawardi berkomentar dalam karya tulisnya yang berjudul
Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah. Kata beliau:
Artinya: Diwajibkan bagi kita untuk taat kepada pemerintah yang memimpin kita.
(Al-Ahkam Al-Shulthaniyah, 1960,:5)
Meskipun secara hukum fiqh tidak termasuk dalam rukun dan syarat sahnya
pernikahan, namun pencatatan pernikahan merupakan bagian yang sangat penting
guna menghindari kesulitan masalah yang dapat saja terjadi di masa yang akan
datang. Pentingnya pencatatan tersebut bertujuan demi terlaksanya tertib administrasi
agar tidak terjadi ketidakjelasan status dalam suatu pernikahan, dan pernikahan
tersebut memiliki kekuatan serta perlindungan hukum bila sewaktu-waktu terjadi
permasalahan. Namun fakta yang banyak terjadi adalah ketidakpatuhan sebagian
14
masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang ada dengan melakukan
praktek nikah sirri.
Hal yang perlu dipertanyakan adalah, bagaimana seseorang yang patuh
terhadap ajaran Islam, namun dalam satu waktu yang bersamaan dia melakukan
pelanggaran terhadap undang-undang pemerintah? Bagaimana dengan konsep Islam
sebagai al-diin yang sempurna? Segala hal yang dilakukan secara illegal, meski
beberapa kalangan menganggapnya legal sebenarnya hanya bisa dijadikan sandaran
ketika menghadapi kondisi khusus dan dalam situasi tertentu.
Meninjau kembali keabsahan nikah sirri secara syar‟i, akan berbenturan
dengan maqashid asy-syari‟ah yang meliputi: 1). Menjaga jiwa (hifdz an-nafs), 2).
Menjaga agama (hifdz ad-din), 3). Menjaga keturunan (hifdz an-nasl), 4). Menjaga
akal (hifdz al-„aql), 5). Menjaga harta (hifdz al-maal). Ketika pernikahan dilakukan
secara sirri, maka pernikahan itu sah menurut hukum Islam selama telah memenuhi
kriteria rukun dan syarat sahnya pernikahan. Dengan alasan khawatir terjadinya
perzinahan atau perbuatan lain yang melanggar syari‟at, maka pernikahan tersebut
dikatagorikan ke dalam tujuan hifdz ad-diin dan hifdz an-nasl. Tetapi yang perlu
dikaji lagi adalah bahwa tujuan tersebut hanya dapat terwujud sesaat setelah
pernikahan berlangsung. Namun dampak hukum dan dampak-dampak lain yang
sering muncul dalam perkawinan akan muncul dalam rentang waktu yang panjang,
padahal maqashid asy-syari‟ah tidak ditujukan untuk ketenangan sesaat, tetapi
antisipasi jangka panjang justru lebih diperhitungkan.
15
Pencatatan pernikahan merupakan keharusan dalam rangka ulil amri, yang
dalam hal ini mencakup urusan duniawi. Namun beberapa kalangan masyarakat
muslim lebih memendang bahwa keabsahan suatu pernikahan dari aspek agama jauh
lebih penting karena mengandung unsur ukhrawi. Sedangkan dari aspek duniawi
adalah unsur pelengkap yang bisa dilakukan setelah terpenuhinya unsur ukhrawi.
Dari sinilah kemudian kasus nikah sirri merebak dan menjadi fenomena
tersendiri. Dan nikah sirri sering dijadikan sebagai alternatif untuk mengantisipasi
pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan non muhrim yang secara psikologis,
moril maupun materiil belum mempunyai kesiapan untuk menikah secara formal.
Dengan banyaknya kalangan yang melakukan praktek nikah sirri, maka
memunculkan image bagi masyarakat bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang
mudah untuk dilaksanakan. Akibatnya, perjalanan mengarungi bahtera rumah
tanggapun dijalani dengan tanpa mempertimbangkan aspek hukum formal yang
berlaku. Pada kenyataannya, justru menimbulkan berbagai permasalahan yang
berimbas kepada persoalan hukum yang sangat merugikan kaum perempuan.
Problem-problem tersebut hanya akan membawa dampak bagi kaum
perempuan sebagai pihak yang dinikahi. Di satu sisi lain, suaminya tidak terbebani
tanggungjawab secara formal. Bahkan bila suaminya melakukan pengingkaran
terhadap pernikahan itu, dia tidak akan mendapat sanksi apapun secara hukum,
karena memang tidak ada bukti yang autentik bahwa telah terjadi pernikahan.
Meski sudah banyak diketahui bahwa pada kenyataannya nikah sirri sangat
merugikan kaum istri, namun sampai saat ini fenomena tersebut masih sering
16
dijumpai, terutama di kalangan masyarakat yang awam hukum dan masyarakat
ekonomi lemah. Maka dengan prosedur yang praktis pernikahan sirri dilakukan
sebagai alternatif.
Berdasarkan dari pemaparan di atas, penelitian ini menjadi penting mengingat
masih banyaknya praktek pernikahan yang tidak mengacu pada peraturan perudang-
undangan yang ada. Secara khusus peneliti membahas tentang fenomena ini dalam
sebuah skripsi dengan judul: “ANALISIS PENDAPAT ULAMA’ KOTA
PONTIANAK TENTANG NIKAH SIRRI DAN AKIBATNYA BAGI ISTRI
SERTA KETURUNANNYA”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan di bagian
sebelumnya, peneliti mengajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat ulama‟ Kota Pontianak tentang nikah sirri?
2. Bagaimana akibat negatif nikah sirri menurut ulama‟ Kota Pontianak?
3. Bagaimana solusi ulama‟ Kota Pontianak jika nikah sirri telah terjadi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah lebih lanjut mengenai nikah sirri
menurut ulama‟ Kota Pontianak. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk
mengungkap:
17
1. Hukum nikah sirri menurut ulama‟ Kota Pontianak
2. Akibat negatif nikah sirri menurut ulama‟ Kota Pontianak
3. Solusi menurut ulama‟ Kota Pontianak jika nikah sirri telah terjadi
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberi sumbangsih pemikiran
bagi pembaca pada umumnya dan membuka ruang fikir kaum perempuan pada
khususnya, bahwa dalam negara hukum seperti Indonesia ini, nikah sirri bukanlah
alternatif terbaik untuk mengatasi problem prosedur pernikahan, karena pada
dasarnya nikah sirri itu sendiri adalah problem hukum yang akibat hukumnya akan
sangat berdampak pada perempuan yang dinikahi secara sirri itu.
Selain itu, penelitian ini dilaksanakan untuk memberi stimulus yang berakibat
pada pelaksanaan perundang-undangan di bidang perkawinan di Kota Pontianak pada
khususnya dan di Indonesia pada umumnya agar senantiasa mengikuti dan bergerak
dinamis sesuai dengan perubahan hukum perkembangan dan zaman.
18
BAB II
NIKAH SIRRI DAN PROBLEMATIKANYA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan
Menurut Anonimous (1994:456), perkawinan berasal dari kata “kawin”, yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh. Istilah “kawin” digunakan secara umum untuk
tumbuhan, hewan, dan manusia, dan menunjukkan sebuah proses generatif secara
alami. Bahkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam tidak menggunakan
kata nikah atau pernikahan, melainkan menggunakan kata perkawinan, karena kata
“nikah” adalah bahasa Arab, sedangkan kata “kawin” adalah kata yang berasal dari
bahasa Indonesia.
Dalam redaksi kitab-kitab fiqh, para ulama‟ lebih mendefinisikan perkawinan
semata-mata dalam konteks hubungan biologis saja. Hal ini wajar, karena makna asal
dari nikah itu sendiri sudah berkonotasi hubungan seksual. Biasanya para ulama‟
dalam merumuskan definisi tidak akan menyimpang apalagi berbeda dengan makna
asalnya
Secara bahasa, nikah berarti berkumpul menjadi satu. Sedangkan menurut
syara‟, nikah adalah suatu akad dengan menggunakan lafadz (menikahkan) atau
(mengawinkan) yang berisi pembolehan melakukan persetubuhan. Menurut
19
pendapat yang lebih shahih, kata nikah itu sendiri secara hakiki bermakna aqad, dan
secara majazi bermakna persetubuhan. (I‟anatu Al-Thalibin, juz III, t th:256).
Para ulama‟ mendefinisikan nikah dengan berbagai macam definisi. Menurut
ulama‟ Hanafiyah, nikah adalah;
Artinya: Nikah adalah suatu akad yang berguna untuk memiliki mut‟ah dengan
sengaja. (Kitab Al Fiqh „Ala Al-Madzahib Al-Arba‟ah juz IV, 2008:8)
Maksud dari definisi di atas adalah seorang laki-laki dapat menguasai
perempuan dengan seluruh anggota tubuhnya untuk mendapatkan kesenangan dan
kepuasan. Sedangkan menurut ulama‟ Syafi‟iyah, nikah adalah;
Artinya: Nikah adalah suatu akad dengan menggunakan lafadz (menikahkan)
atau lafadz (mengawinkan) yang mengandung arti memiliki.
(Kitab Al-Fiqh „Ala Al-Madzahib Al-Arba‟ah, juz IV, 2008:8)
Definisi yang dipaparkan oleh ulama‟ Syafi‟iyah di atas memberikan
pengertian bahwa dengan pernikahan, seseorang dapat memiliki atau mendapat
kesenangan dari pasangannya. Ulama‟ Malikiyah mendefinisikan nikah sebagai
berikut ;
Artinya: Nikah adalah suatu akad yang mengandung arti mut‟ah untuk mencapai
kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya harga. (Kitab Al-Fiqh „Ala Al-
Madzahib Al-Arba‟ah, juz IV, 2008:8).
20
Menurut ulama‟ Hanabilah, nikah adalah;
Artinya: Nikah adalah akad dengan menggunakan lafadz (menikahkan) atau
lafadz (mengawinkan) untuk mendapatkan kepuasan bersenang-
senang. (Kitab Al-Fiqh „Ala Al-Madzahib Al-Arba‟ah, juz IV, 2008:8).
Definisi yang dikemukakan oleh ulama‟ Hanabilah di atas memberikan
pengertian bahwa seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang
perempuan, begitu juga sebaliknya. Dan dengan adanya pernikahan, maka dengan
sendirinya timbul hak dan rasa untuk saling memiliki. Dari sinilah suami-istri dapat
saling mengambil manfaat dalam kehidupan rumah tangganya yang bertujuan
membentuk keluarga sakinah mawaddah warahmah.
Kata nikah berarti (berkumpul), (hubungan kelamin), dan juga
berati (akad). Dalam arti terminologi redaksi-redaksi fiqh, definisi nikah adalah
Artinya: Nikah adalah akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan
hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz (menikahkan) atau
lafadz (mengawinkan). (Garis-garis Besar Fiqih, 2003:74).
Dari definisi di atas, para ahli fiqh menggunakan lafadz (akad) untuk
menjelaskan bahwa perkawinan itu adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-
orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan. Perkawinan itu dibuat dalam
21
bentuk akad karena ia adalah peristiwa hukum, bukan hanya peristiwa biologis atau
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan semata. Penggunaan ungkapan
(yang mengandung maksud kebolehan hubungan kelamin), karena
pada dasarnya hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan itu adalah dilarang,
dan hal yang membolehkan hubungan kelamin itu adalah adanya akad nikah di antara
keduanya.
Dengan demikian, akad itu adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu
yang asalnya tidak boleh. Penggunaan kata (menikahkan) atau kata
(mengawinkan) maksudnya adalah bahwa akad yang membolehkan hubungan
kelamin antara laki-laki dan perempuan itu harus dengan menggunakan dua kata
tersebut di atas.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab I
Pasal 1 dikatakan bahwa;
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dari rumusan pasal tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu ;
1. Digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita”, artinya bahwa
perkawinan itu hanyalah antara dua jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak
perkawinan sesama jenis yang beberapa waktu lalu telah dilegalkan oleh beberapa
negara Barat.
22
2. Digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa
pernikahan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu
ikatan keluarga dalam rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama.”
3. Dalam pasal tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal. Hal ini menafikan perkawinan temporal
sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut‟ah dan perkawinan tahlil.
4. Dalam pasal tersebut disebutkan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,
karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini juga menunjukkan bahwa perkawinan
itu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama dan merupakan sebuah
peristiwa agama yang dilakukan dalam rangka memenuhi perintah agama,
sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani saja, tetapi juga
mempunyai unsur batin/rohani. (Garis-garis Besar Fiqih, 2003:74).
Dari beberapa definisi nikah yang dipaparkan oleh para pakar tesebut, dapat
diambil kesimpulan bahwa nikah atau perkawinan adalah kebolehan melakukan
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan setelah berlangsunganya
perkawinan.
Pernikahan merupakan sunnatullah dan juga sunnah Rasulullah. Pernikahan
sebagai sunnatullah berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam
ini. Sedangkan pernikahan sebagai sunnah Rasulullah berarti pernikahan itu adalah
suatu tradisi yang telah dilakukan dan ditetapkan oleh Rasulullah untuk dirinya
23
sendiri dan untuk ummatnya. Pernikahan sifatnya sebagai sunnatullah dapat dilihat
dari ayat-ayat sebagai berikut :
1. Allah menciptakan makhluk dalam bentuk berpasang-pasangan. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam Al Qur‟an surat Adz-Dzariyat ayat 49 yang berbunyi;
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah. (Al-Qur‟an Terjemah, surat Adz-
Dzariyat:49)
2. Secara khusus pasangan itu disebut laki-laki dan perempuan. Allah berfirman
dalam Al Qur‟an surat An-Najm ayat 45 yang berbunyi;
Artinya: Dan Dia-lah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan
(Al-Qur‟an Terjemah, surat An-Najm:45).
3. Laki-laki dan perempuan itu dijadikan berhubungan dan saling melengkapi dalam
rangka menghasilkan keturunan yang banyak. Hal ini disebutkan oleh Allah
dalam Al Qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 1 yang berbunyi;
Artinya: Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari diri yang satu itu Allah
menciptakan istri untuknya. Dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (Al-
Qur‟an Terjemah, surat An-Nisa‟:1).
24
4. Pernikahan itu merupakan salah satu tanda dari kebesaran Allah. Dalam Al Qur‟an
surat Ar-Rum ayat 21 Allah berfirman;
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram
kepadanya. Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir. (Al-Qur‟an Terjemah, surat Ar-Ruum:21).
Para mufassir mengatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damai yang
melingkupi rumah tangga yang bersangkutan. Masing-masing fihak saling
menghormati dan saling toleransi dan menjalankan perintah Allah dengan tekun. Dari
suasana as-sakinah tersebut akan muncul al-mawaddah, yaitu rasa saling mengasihi
dan menyayangi, sehingga rasa tanggung jawab kedua belah fihak semakin tinggi.
Dari as-sakinah dan al-mawaddah inilah akan muncul ar-rahmah, yaitu keturunan
yang baik dan penuh berkah dari Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta
dan kasih sayang suami-istri dan anak-anak mereka. (Ensiklopedi Hukum Islam,
2001:1330),
Hal ini senada dengan apa yang terdapat dalam Bab II Pasal 3 Kompilasi
Hukum Islam berkenaan dengan tujuan perkawinan yang menyatakan bahwa;
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah mawaddah dan rahmah.” (Kumpulan Peraturan Perkawinan Bagi
Masyarakat Islam Di Indonesia, 2010:333).
25
Pernikahan juga merupakan sunnah Rasulullah yang pernah dilakukan beliau
semasa hidupnya dan menghendaki agar ummatnya berbuat yang sama. Hal ini
terdapat dalam hadist-hadist sebagai berikut;
Artinya: Kalian berkata begini dan begitu, padahal demi Allah akulah orang yang
paling takut kepada Allah di antara kalian, dan akulah yang paling bertakwa
kepada Allah diantara kalian. Aku berpuasa tetapi aku juga berbuka. Aku
sholat, juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka barang siapa yang
tidak suka terhadap apa yang aku lakukan, maka dia bukanlah dari
kelompokku. (Shahih Al-Bukhari, juz III, t th:237).
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah bersabda;
Artinya: Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mempunyai
kemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena menikah itu lebih
menjaga pandangan mata dan kemaluan. Dan barang siapa yang tidak
mampu untuk menikah, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu
akan menjadi penawar/penekan hawa nafsu. (Sunan Abi Dawud, juz I:
470).
Begitu pentingnya sebuah pernikahan, dengan mengutip komentar Ibnu
Abbas, Imam Ghazali mengatakan:
Artinya: Tidaklah sempurna ibadah yang dilakukan oleh seorang ahli ibadah sehingga
ia menikah/kecuali ia telah menikah. (Ihya‟ Ulumiddin, juz II, t th:23).
26
Asy-Syekh Muhammad At Tahami bin Madani mengatakan bahwa Asy-
Syekh Abu Al-Abbas Al-Wansyarisy telah mengutip komentar As-Syekh Abu Bakar
Al-Warraq yang mengatakan bahwa;
Artinya: Segala macam keinginan nafsu itu dapat menyebabkan hati menjadi keras,
kecuali keinginan nafsu seksual. Sesungguhnya keinginan nafsu seksual ini
(jika disalurkan pada jalan yang benar) justru akan menjadikan jernihnya
hati. Oleh karena itu para nabi terdahulu juga melakukan jimak/menikah.
(Qurratul Al-Uyun, t th:21).
Islam mengkonkritkan hubungan dan tanggung jawab antara suami istri dalam
bentuk hukum-hukum, seperti kewajiban suami untuk memenuhi nafkah istri,
kewajiban istri untuk memelihara anak. Islam juga mengatur hak yang seimbang
dengan kewajiban, seperti hak untuk mendapatkan pelayanan seksual dari
pasangannya. Islam pun mengajarkan etika yang harus diikuti oleh pasangan suami
istri itu serta menetapkan larangan-larangan yang harus dihindari agar keharmonisan
dapat terjaga selamanya.
Dari begitu banyaknya suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakan
perkawinan, maka perkawinan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi oleh Allah
dan Nabi untuk dilakukan. Atas dasar ini, hukum perkawinan itu menurut asalnya
adalah sunnah menurut jumhur ulama‟. Namun karena ada tujuan mulia yang hendak
dicapai dari perkawinan itu, dan yang melakukan perkawinan itu berbeda pula
kondisinya serta situasi yang melingkupi suasana perkawinan itu berbeda pula, maka
27
secara rinci jumhur ulama‟ menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat
keadaan orang-orang tertentu, sebagai berikut:
a. Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas
untuk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan
perkawinan.
b. Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum
berkeinginan untuk kawin, sedangkan perlengkapan perkawinan juga belum
ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk perkawinan,
namun fisiknya mengalami cacat seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua
bangka dan kekurangan fisik lainnya.
c. Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk
kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin, dan ia khawatir terjerumus
ke tempat maksiat kalau ia tidak kawin.
d. Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara‟
untuk melakukan perkawinan, atau ia yakin perkawinan itu tidak akan
memncapai tujuan syara‟, sedangkan ia meyakini tujuan perkawinan itu
akan merusak kehidupan pasangannnya.
e. Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk
kawin dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudlaratan apa-apa
kepada siapa pun. (Fiqih Munakahat, Kajian Fiqih Nikah Lengkap,
2010:11),
28
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa hukum perkawinan pada
dasarnya adalah mubah , dan dapat berubah tergantung tergantung pada „illat atau
alasan serta situasi dan kondisi orang yang akan melakukan perkawinan dan
maslahat-nya.
B. Rukun dan Syarat Nikah
Rukun dan syarat sangat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perrbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus diadakan. Namun di sisi lain, rukun dan syarat mengandung arti
yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat
dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya. Sedangkan syarat adalah
sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya.
Dalam hal perkawin, rukun dan syaratnya tidak boleh ditinggalkan, dalam arti
perkawinan tersebut tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Menurut
ulama‟ Hanafiyyah, nikah itu terdiri dari syarat-syarat yang terkadang berhubungan
dengan shighat, berhubungan dengan dua calon mempelai dan berhubungan dengan
kesaksian. Menurut ulama‟ Malikiyyah, rukun nikah itu ada lima, yaitu adanya wali,
adanya mahar, adanya calon suami, adanya calon istri dan adanya shighat. Sedangkan
menurut ulama‟ Syafi‟iyyah syarat perkawinan itu ada kalanya menyangkut shighat,
wali, calon suami-istri dan juga saksi. Berkenaan dengan rukunnya, menurut mereka
29
ada lima, yaitu adanya calon suami-istri, wali, saksi dan shighat. (Kitab Al-Fiqh „Ala
Al-Madzahib Al-Arba‟ah, juz IV, 2008:17).
Dari sini jelaslah bahwa para ulama‟ tidak saja berbeda dalam menggunakan
kata rukun dan syarat, tetapi juga berbeda dalam detailnya. Ulama‟ Malikiyyah tidak
menempatkan saksi sebagai rukun, justru menjadikan mahar sebagai rukun,
sedangkan ulama‟ Syafi‟iyyah menjadikan saksi sebagai rukun, dan tidak menjadikan
mahar sebagai rukun nikah. Untuk memudahkan pembahasan, maka uraian rukun
perkawinan akan disertai dengan uraian syarat-syarat perkawinan, yaitu sebagai
berikut:
1. Calon Suami, dengan syarat-syarat:
a. Laki-laki, beragama Islam, telah baligh dan berakal sehat.
b. Tidak ada halangan syara‟ baginya untuk menikah. Menurut jumhur ulama‟, yang
termasuk halangan syara‟ bagi laki-laki untuk menikah antara lain yaitu; laki-
laki yang akan menikah itu tidak dalam keadaan ihram haji atau umroh. Hal ini
sesuai dengan hadist shahabat Utsman bin Affan yang berupa hadist mauquf ;
Artinya: Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan menikahkan orang
lain. (Sunan At-Tirmidzi, juz II, t th:167).
c. Wanita yang akan dinikahi tertsebut tidak terhalang oleh syara‟, baik itu
selamanya (mahram mu‟abbad), atau yang sifatnya sementara (mahram
mu‟aqqat). Mahram mu‟abbad adalah orang-orang yang haram selamanya
30
untuk dinikahi karena hubungan kekerabatan atau nasab, yang meliputi 3
kelompok, yaitu;
c.i. Karena adanya hubungan kekerabatan atau nasab, yaitu:
- Ibu, ibu dari ibu dan ibu dari ayah terus ke atas
- Anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki dan anak dari anak
perempuan terus ke bawah
- Saudara-saudara perempuan kandung
- Saudara perempuan ibu dan ayah
- Anak perempuan dari anak laki-laki terus ke bawah
Keharaman perempuan-perempuan tersebut untuk dinikahi dijelaskan oleh
Allah dalam Al Qur‟an surat An-Nisa‟ ayat 23, yang berbunyi;
Artinya: Diharamkan bagimu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu, saudara-
saudaramu, saudara-saudara ayahmu, saudara-saudara ibimu, anak-anak
saudara laki-lakimu, anak-anak saudara-saudara perempuanmu. (Al-
Qur‟an Terjemah, surat An-Nisa‟;23).
c.ii. Karena adanya hubungan mushaharah (perkawinan), yang meliputi;
- Perempuan yang dikawini oleh ayah, baik perempun tersebut telah digauli
oleh ayah atau belum.
- Perempuan yang dikawini oleh anak laki-laki, baik perempuan tersebut telah
digauli oleh anak atau belum.
- Ibu atau ibunya dari istri, baik istri itu telah digauli atau belum.
31
- Anak-anak perempuan dari istri (anak tiri) dengan ketentuan istri itu telah
digauli.
Empat perempuan yang terlarang untuk dinikahi sebagaimana yang
disebutkan di atas sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nisa‟ ayat 22 yang
berbunyi;
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi
oleh ayah-ayahmu, kecuali pada masa yang telah lampau. (Al-Qur‟an
Terjemah, surat An-Nisa‟:22).
Begitu juga dalam surat An-Nisa‟ ayat 23 yang berbunyi:
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi ibu-ibu dari istri-istrimu dan anak-anak
tirimu yang berada dalam asuhanmu dari istri yang telah kamu gauli. Bila
kamu belum menggaulinya (dan sudah kamu ceraikan), maka tidaklah
mengapa kamu mengawininya. Dan jangan kamu mengawini istri-istri dari
anak-anakmu. (Al-Qur‟an Terjemah, surat An-Nisa‟:23).
c.iii. Karena hubungan persusuan. Adanya hubungan persusuan ini muncul
dengan dua syarat, yaitu;
- Anak yang menyusu masih berumur dua tahun, karena dalam masa tersebut susu
si ibu akan menjadi pertumbuhannya.
- Si anak menyusu sebanyak lima kali susuan, karena bila kurang dari itu belum
akan menyebabkan pertumbuhan.
32
Adapun wanita yang haram dinikahi untuk selamanya karena hubungan
sesusuan ialah ibu yang menyusukan dan perempuan-perempuan yang menyusu
kepada perempuan itu. Hal ini dijelaskan dalam Al Qur‟an surat An-Nisa‟ Ayat 23
yang berbunyi;
Artinya : Diharamkan mengawini ibu-ibu yang menyusukan kamu dan saudara-
saudara yang sepersusuan dengan kamu. (Al-Qur‟an Terjemah, surat An-
Nisa‟:23).
Satu hal lagi yang termasuk dalam larangan syara‟ bagi laki-laki yang akan
menikah yaitu adanya hubungan mahram mu‟aqqat, yaitu larangan kawin yang
berlaku untuk sementara waktu dikarenakan suatu hal. Bila hal tersebut sudah tidak
ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi. Larangan ini berlaku dalam hal-hal sebagai
brikut;
- Memadu dua wanita yang bersaudara kandung
- Perkawinan yang kelima
- Perempuan yang bersuami atau dalam masa „iddah
- Mantan istri yang telah ditalak tiga bagi suaminya
d. Mengetahui dengan jelas identitas wanita yang akan dinikahinya
2. Calon Istri, dengan syarat-syarat:
- Telah baligh dan berakal sehat
- Tidak ada halangan syara‟ baginya untuk menikah dengan lelaki tersebut
33
- Islam. Berkaitan dengan hal ini Allah berfirman dalam Al Qur‟an surat Al-
Baqarah ayat 22, yang berbunyi;
Artinya : Janganlah kamu kawini perempuan-perempuan musyriksebelum mereka
beriman. Sesungguhnya perempuan-perempuan hamba sahaya yang
beriman lebih baik dari perempuan musyrik yang merdeka walaupun ia
membuatmu takjub. Janganlah kamu mengawinkan anak perempuanmu
kepada laki-laki musyrik sebelum ia beriman. Sesungguhnya hamba
sahaya yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia
menakjubkanmu. (Al-Qur‟an Terjemah, surat Al-Baqarah:221).
3. Adanya Wali. Adapun syarat-syarat wali adalah sebagai berikut;
3.i. Laki-laki, baligh, berakal sehat. Hal ini merupakan syarat umum.
3.ii. Islam. Tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk
muslim. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur‟an surat Ali
Imran ayat 28 yang berbunyi:
Artinya: Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir untuk
menjadi wali dengan meninggalkan orang mukmin. Barang siapa yang
berbuat demikian, maka niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.
(Al-Qur‟an Terjemah, surat Ali Imran: 28).
34
3.iii. Adil
3.iv. Tidak dalam keadaan berhaji atau ihram
Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali adalah sebagai berikut;
a. Wali yang terdekat (wali aqrab), yaitu ayah, dan kalau tidak ada ayah, maka
perwalian itu pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang
mutlak terhadap anak perempuan yang akan dinikahkannya. Wali dalam
kedudukan seperti ini disebut wali mujbir.
b. Wali jauh (wali ab‟ad). Yang berhak menjadi wali ab‟ad ini secara berurutan
adalah:
- Saudara laki-laki kandung
- Saudara laki-laki seayah
- Anak saudara laki-laki kandung
- Anak saudara laki-laki seayah
- Paman kandung
- Paman seayah
- Anak paman kandung
- Anak paman seayah
- Sultan atau wali hakim
Kedudukan wali aqrab dapat berpindah kepada wali ab‟ad karena beberapa
sebab, yaitu apabila wali aqrab-nya nonmuslim, wali aqrab-nya fasik, wali aqrab-
nya belum dewasa, wali aqrab-nya gila, wali aqrab-nya bisu/tuli. Sedangkan orang
yang berhak menjadi wali hakim adalah; a). Kepala pemerintahan (Sulthan), b).
35
Khalifah (pemimpin), penguasa pemerintahan atau qadi nikah yang diberi wewenang
dari kepala negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim. Namun apabila
Sulthan dan Khalifah tidak ada, maka wali hakim dapat diangkat oleh orang-orang
yang terkemuka dari daerah tertsebut atau orang-orang yang alim. (Beni Ahmad
Saebani, 2001:248).
Begitu pentingya kedudukan wali dalam sebuah perkawinan, samapi-sampai
Rasulullah bersabda;
Artinya: tidak boleh menikah tanpa wali. (Sunan At-Tirmidzi, juz II, t th:280).
Dalam riwayat yang lain Rasulullah bersabda:
Artinya: Perempuan mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya
batal. (Sunan At-Tirmidzi, juz II, t th:281).
4. Adanya Saksi. Adapun syarat-syarat saksi adalah:
- Saksi itu berjumlah dua orang
- Kedua saksi itu beragama Islam
- Kedua saksi itu baligh dan berakal sehat
- Kedua saksi itu merdeka
- Kedua saksi itu adalah laki-laki
- Kedua saksi itu adil, tidak fasik dan selalu menjaga muru‟ah.
36
Ketentuan ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur‟an surat At-Thalaq
ayat 2 yang berbunyi:
Artinya: Apabila mereka telah mendekati akhir iddah mereka, maka rujuklah mereka
dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik pula, dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi di antaramu, dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu karena Allah. (Al-Qur‟an Terjemah, surat At-Thalaq:2).
Dalam satu riwayat, Rasulullah bersabda:
Artinya: Para pelacur itu adalah wanita-wanita yang menikahkan dirinya sendiri
tanpa adanya saksi. (Sunan At-Tirmidzi, juz II, t th:284).
Selain itu, Imam Tirmidzi mengatakan bahwa para ulama‟ dari golongan
tabi‟in di Kufah mengatakan;
Artinya: Pernikahan tidak boleh dilakukan sehingga disaksikan oleh dua orang saksi
secara bersamaan pada saat akad nikah. (Sunan At-Tirmidzi, juz II, t th:
284).
37
5. Adanya Shighat ijab-qabul.
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
berbeda dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama,
sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Adapun syarat-syarat shighat
ijab–qabul dalam pernikahan adalah:
- Shighat ijab-qabul harus menggunakan lafadz-lafadz yang sudah jelas arti dan
penggunaannya dalam nikah, seperti “Ankahtuka” atau “Zawwajtuka.
- Shighat ijab-qabul boleh menggunakan selain bahasa Arab selama dapat dapat
difahami oleh kedua belah pihak dan kedua saksi. Hal ini senada dengan apa
yang dijelaskan oleh Sayyid Abu Bakar Syatho‟ yang mengatakan;
Artinya : Dan akad nikahpun juga sah dengan menggunakan terjemah dari dua
lafadz di atas dengan bahasa asing manapun walaupun diucapkan oleh
orang yang pandai berbahsa Arab, dengan syarat terjemahan bahasa
asing itu jelas dan dapat difahami oleh kedua belah fihak dan kedua
saksi.(I‟anatu Al-Thalibin‟, juz III, t th:277).
- Shighat ijab-qabul diucapkan oleh orang yang baligh dan berakal sehat, atau
dalam istilah hukum disebut sebagai orang yang cakap dalam bertindak
hukum. Apabila salah satu pihak tidak cakap dalam bertindak hukum, maka
ijab dan qabulnya dihukumi sah apabila diwakili oleh walinya.
38
- Shighat ijab-qabul diucapkan dalam satu majelis, artinya, antara ijab dan qabul
tidak diselingi dengan persoalan lain. Ulama‟ fiqh berbeda pendapat mengenai
apakah ijab harus dijawab langsung setelah qabul. Jumhur ulama‟ mengatakan
bahwa qabul harus diucapkan segera setelah ijab. Dengan kata lain, antara ijab
dan qabul tidak mempunyai tenggang waktu yang lama. Ukuran tenggang
waktu yang lama ini disesuaikan pada adat kebiasaan setempat.
- Shighat ijab-qabul didengar oleh kedua belah fihak.
- Ijab dan qabul itu bersifat tuntas atau tidak dikaitkan dengan syarat lainnya
yang dapat membatalkan akad tersebut.
Dengan telah terpenuhinya semua kriteria syarat dan rukun pernikahan
tersebut, maka sahlah pernikahan itu. Dan apabila pernikahan tersebut tidak dapat
memenuhi syarat dan rukunnya, maka menjadikan pernikahan tersebut tidak sah
menurut hukum.
Berkaitan dengan mahar atau mas kawin, ulama‟ Malikiyyah menjadikan
mahar sebagai rukun, sedangkan ulama‟ Syafi‟iyyah tidak menjadikan mahar sebagai
rukun. Hukum memberikan mahar dari calon mempelai laki-laki kepada calon
mempelai wanita adalah wajib. Pemberian mahar/mas kawin ini wajib atas laki-laki,
tetapi tidak menjadi rukun nikah, sehingga nikah tetap sah kalau sekiranya mahar itu
tidak disebutkan dalam akad nikah. Hal ini sesuai dengan komentar Sayyid Abu
Bakar Syatho‟ yang mengatakan:
39
Artinya : Nikah tetap sah walau tanpa menyebutkan mahar dalam akad, sunnah kalau
dalam akad itu disebutkan maharnya, dan hukumnya makruh tidak
menyebutkan mahar dalam akad. (I‟anatu Al-Thalibin‟, juz III, t th:281).
Dasar wajibnya menyerahkan mahar ini adalah firman Allah dalam Al Qur‟an
surat An-Nisa‟ ayat 4 yang berbunyi:
Artinya : Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepadamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap dan baik akibatnya.
(Al-Qur‟an Terjemah, surat An-Nisa‟:4).
Selain dalam Al-Qur‟an, dasar kewajiban menyerahkan mahar juga terdapat
dalam sebuah hadist Rasulullah yang berbunyi:
Artinya : Menikahlah, walau hanya dengan mas kawin berupa cincin yang terbuat
dari besi. (Shahih Al-Bukhari, juz III, t th:252).
Besarnya mas kawin itu tidak dibatasi oleh syari‟at Islam, tetapi sesuai dengan
kemampuan suami dan keridhaan istri. Sungguhpun demikian, hendaklah suami
benar-benar membayarnya, karena apabila mahar itu telah diucapkan, maka hal itu
akan menjadi hutang si suami kepada istrinya yang wajib dibayar sebagaimana
hutang kepada orang lain.
40
C. Pengertian dan Faktor Penyebab Nikah Sirri
Di dalam Al-Qur‟an maupun Hadist tidak ada satu nash-pun yang menyebut
istilah nikah sirri. Dan tidak ada pula tradisi Arab-Islam yang menyebut kata nikah
sirri. Lalu dari mana istilah nikah sirri ini muncul? Atau siapa pihak yang
memunculkan istilah nikah srri ini? Istilah nikah sirri ini tidak jelas dari mana
kemunculannya. Majelis Ulama‟ Indonesia (MUI) sendiri tidak menyebut istilah
nikah sirri. Sepadan dengan istilah ini, MUI hanya menyebutnya dengan istilah nikah
di bawah tangan. (Taufiqurrahman Al-Azizi, 2010:38),
Kata sirri memiliki arti “rahasia.” Kata ini juga mengacu pada pengertian
“tersembunyi.” Bila kata sirri dihubungkan dengan kata nikah, maka akan diperoleh
istilah gabungan berupa kalimat “nikah sirri.” Arti dari kalimat ini menjadi nikah
rahasia atau nikah yang tersembunyi. (Taufiqurrahman Al-Azizi, 2010:36).
Pertanyaannya adalah, apa makna “rahasia” atau “tersembunyi” dari nikah sirri itu?
Rahasia dari apa atau siapa? Tersembunyi yang bagaimana?
Kata “sirri” dalam istilah nikah sirri adalah kata yang dipaksakan, karena kata
sirri ini merujuk pada konteks hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
menikah di hadapan negara (pemerintah). Jika sepasang suami-istri yang menikah
namun dari pernikahan itu tidak ada catatan atau berkas, atau tidak ada bukti hitam di
atas putih di Instansi Catatan Sipil atau di Kantor Urusan Agama, maka pernikahan
tersebut disebut sebagai nikah sirri. Nikah di bawah tangan yang dimaksud oleh
Majelis Ulama‟ Indonesia (MUI) adalah sama dengan istilah nikah sirri ini.
41
Dari sini terlihat jelas bahwa kata “sirri” yang dimaksud dalam istilah nikah
sirri adalah sirri atau rahasia atau tersembunyi dari catatan pemerintah. Pemerintah
yang dimaksud dalam hal ini adalah Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama.
Dengan demikian, bila praktek nikah sirri dilakukan, berarti pernikahan tersebut
tersembunyi atau menjadi rahasia dari pemerintah. Ini berarti, Kantor Urusan Agama
atau Kantor Catatan Sipil tidak tahu bahwa telah berlangsung sebuah pernikahan.
Ketidaktahuan tersebut ada kalanya karena pernikahan itu tidak dilaksanakan
dihadapan petugas dari instansi yang berwenang, atau ada kalanya pula karena tidak
memenuhi persyaratan-persyaratan administrasi yang telah ditentukan oleh
pemerintah, atau memang sengaja menghindarkan pernikahan tersebut dari
pemerintah, sehingga tidak ada catatan dan pencatatan tentang pernikahan itu dalam
instansi pemerintah yang terkait.
Jika demikian, makna rahasia atau tersembunyi dari istilah nikah sirri itu tidak
mengacu kepada pihak lain, kecuali kepada pihak pemerintah. Namun walaupun
demikian, tidak bisa disebut sebagai nikah sirri manakala suatu pernikahan
dilaksanakan di depan petugas instansi yang berwenang dan telah dicatat di Catatan
Sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA), akan tetapi pernikahan tersebut dirahasiakan
dari pengetahuan orang banyak. Oleh karena itu, istilah nikah sirri adalah istilah yang
dimunculkan dalam konteks pemerintahan untuk menandai sebuah pernikahan yang
tidak ada berkas-berkas administrasi atau catatannya di Catatan Sipil atau Kantor
Urusan Agama (KUA).
42
Jadi, nikah sirri adalah pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
agama dan memenuhi semua kriteria syarat dan rukun pernikahan, tetapi pernikahan
itu tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi
pemerintah, atau pernikahan itu tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA),
yang dengan sendirinya pernikahan itu tidak mempunyai Akta Nikah yang
dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga tidak diakui secara undang-undang dan tidak
mempunyai kekuatan hukum, dalam pengertian, bahwa pernikahan itu tidak dapat
dibuktikan di hadapan pihak yang berwenang karena tidak ada data dan catatan yang
resmi tentang pernikahan itu.
Berbeda dengan pernikahan yang dilakukan secara resmi di hadapan Petugas
Pencatat Nikah, selain memenuhi syarat dan rukunnya, juga akan memperoleh Akta
Nikah yang nantinya jika terjadi permasalahan dalam kehidupan keluarga pasangan
suami istri itu, maka Akta Nikah tersebut dapat menjadi bukti dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
Peraturan perundang-undangan hanya mengatur perkawinan dari sisi
formalitasnya saja, yaitu perkawinan sebagai peristiwa hukum yang harus
dilaksanakan menurut peraturan agar tercipta suatu ketertiban dan kepastian
hukumnya. Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam
tidak secara konkrit mengaturnya. Pada masa Rasulullah maupun para sahabat belum
dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan dinyatakan sah bila
telah memenuhi unsur-unsur syarat dan rukunnya. Agar perkawinan itu diketehui oleh
khalayak ramai, maka perkawinan itu di umumkan melalui acara walimah al-„ursy.
43
Namun dalam perkembangan selanjutnya, karena perubahan dan tuntutan
zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, dibuatlah aturan yang mengatur
tentang perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban
pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk
melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu serta akibat dari terjadinya
perkawinan, seperti nafkah istri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan
lain sebagainya. Perubahan terhadap sesuatu, termasuk dalam institusi perkawinan
dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan perkawinan adalah merupakan
kebutuhan yang tidak bisa dipungkiri.
Dalam hal mengapa seseorang melakukan nikah sirri, tentunya tidak dapat
dipungkiri bahwa ada faktor-faktor yang harus diketahui dan dijelaskan, sehingga
dengan melihat dan mencermati faktor-faktor nikah sirri secara adil, maka mungkin
akal dan nurani akan lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi nikah sirri.
Pernikahan sebagai sebuah ajaran yang agung dan suci, maka sudah barang
tentu sepasang suami istri mengharap pernikahannya dapat disaksikan oleh keluarga,
sanak-saudara, kaum kerabat dan sahabat karib. Walimah pun diadakan dengan
semeriah mungkin, sehingga pernikahan tersebut akan terasa lebih berkesan dan
menjadi kenangan yang indah. Mungkin proses yang demikian itulah yang
dikehendaki oleh sepasang mempelai yang akan menikah. Hanya saja, terkadang
bayangan indah itu hanya menjadi sebuah bayangan belaka yang tidak akan terwujud
dalam kenyataan, dikarenakan adanya hal-hal yang menghalangi keinginan untuk
dapat menikah dengan proses yang baik dan indah itu.
44
Secara garis besar, faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya nikah sirri
antara lain adalah:
1. Faktor orang tua
Dalam situasi di mana seorang pemuda dan pemudi yang telah sampai pada
tahap pubertas dan telah memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis, rasa cinta dan
sayang yang mendorong untuk dapat selalu bersama. Namun di satu sisi, orang tua
belum menghendaki bila anak-anak mereka akan menikah. Hal itu dikarenakan si
orang tua menganggap anaknya belum bekerja dan belum mapan, atau masih dalam
proses pendidikan yang menjadi tanggung jawab orang tuanya.
Dalam keadaan yang demikian, maka apakah seseorang harus terus-menerus
berpuasa atau berolah raga, atau menyibukkan diri dengan segala macam aktifitas
untuk mengurangi dan menghindari dorongan nafsu syahwat yang tidak halal dan
demi menjaga cinta dan kasih sayang tersebut? Sampai di mana dan seberapa lama
pemuda dan pemudi ini akan selalu sabar dan kuat bertahan dari godaan syaitan?
Dari sinilah terkadang si anak nekat kabur dari rumah dan melangsungkan
pernikahan sirri dengan pasangannya di rumah saudara atau familinya yang kebetulan
memahami keadaan tersebut. Hal ini mereka lakukan demi menjaga cinta dan kasih
sayang yang sudah terbina sebelumnya sekaligus untuk menghindari hal-hal yang
dilarang syari‟at.
2. Faktor hamil di luar nikah
Budaya barat yang masuk dan merebak mempunyai pengaruh yang sangat
besar dalam prilaku dan pola fikir seseorang, terutama di kalangan remaja. Dari cara
45
berbusana dan pergaulan antara laki-laki dan perempuan sudah sangat melampaui
batas-batas kewajaran dan tidak mengindahkan norma-norma agama Islam.
Akibatnya, hamil di luar sudah bukan merupakan hal yang tabu.
Kehamilan yang terjadi di luar nikah tersebut merupakan aib bagi keluarga
dan akan menimbulkan cemoohan dari masyarakat. Dari sinilah si orang tua
menikahkan anaknya dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa melibatkan Petugas
Pencatat Nikah (PPN) dengan alasan menyelamatkan nama baik keluarga.
3. Faktor sulitnya aturan untuk berpoligami
Dalam hal ini biasanya nikah sirri identik dengan poligami. Prilaku suami
untuk beristri lebih dari satu dibenarkan oleh Al Qur‟an dan Undang-undang dengan
segala macam kriteria persyaratan. Suami harus mampu berlaku adil. Tetapi sebuah
keadilan sangat sulit untuk diwujudkan atau dibuktikan secara nyata. Akan tetapi
untuk menjangkau syarat tersebut, Undang-undang mengaturnya dengan sangat ketat.
Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 /1975 Pasal 40 dijelaskan bahwa;
“Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari satu, ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.” (Kumpulan
Peraturan Perkawinan Bagi Masyarakat Islam Di Indonesia, 2010:63).
Pasal ini merupakan penegasan untuk melaksanakan Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 Pasal 4 yang tata cara pelaksanaannya diuraikan dalam Pasal 41 yang
menyebutkan bahwa Pengadilan memeriksa hal-hal sebagai berikut:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi,
ialah:
46
- Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
- Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
- Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan secara lisan ataupun
tertulis. Apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, maka
persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan.
c. Ada atau tidaknya persetujuan kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
- Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh
bendahara tempatnya bekerja.
- Surat keterangan pajak penghasilan.
- Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
d. Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam
bentuk yang ditretapkan untuk itu. (Kumpulan Peraturan Perkawinan Bagi
Masyarakat Islam Di Indonesia, 2010:64).
Adanya undang-undang yang mengatur syarat-syarat untuk berpoligami ini
mungkin akan terasa berat, rumit dan berbelit-belit bagi seorang suami yang beniat
beristri lebih dari satu. Namun di satu sisi yang lain keinginannya untuk beristri lebih
dari satu sudah tidak dapat dibendung lagi. Dengan berkelit dari peraturan undang-
47
undang dan dengan tanpa sepengetahuan istrinya yang sah, pernikahan sirri dijadikan
sebagai alternatif untuk mendapatkan istri lebih dari satu.
4. Faktor pendidikan
Pengabaian terhadap pendidikan dapat menyebabkan seseorang menjadi
bodoh, tidak tahu perkembangan zaman, tidak cakap mengurus dan menghadapi
masalah serta tidak luwes dalam berfikir dan bertindak. Hal ini pun akan berdampak
pada kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang seluk-beluk prosedur
administrasi pernikahan. Selain itu, prosedur administrasi pernikahan yang diatur oleh
pemerintah dianggap sebagai suatu hal yang rumit dan berbelit-belit serta akan
memakan biaya yang tidak sedikit, sehingga seseorang enggan untuk menikah
melalui prosedur yang ada.
Untuk menghindari prosedur administrasi yang dianggap rumit dan berbelit-
belit itu ia menempuh jalan pintas yang mudah, praktis dan ekonomis, yaitu nikah
sirri. Pelaku nikah sirri ini menganggap bahwa sudah cukup bagi mereka untuk
menikah selama memenuhi syarat dan rukun pernikahan tanpa harus memenuhi
prosedur administrasi yang berlaku. Pendapat seperti ini memang tidak selamanya
keliru. Hanya saja akan ada konsekuensi-konsekuensi lain yang akan muncul di
kemudian hari bila proses pernikahan tidak melalui prosedur yang telah diatur oleh
pemerintah.
48
5. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi juga dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya nikah sirri.
Jika seseorang yang memang sudah jelas memiliki niat baik untuk menikah,
meskipun dalam hal ini dia termasuk dalam golongan orang yang tidak mampu atau
miskin tapi ingin segera menikah, maka dia akan lebih memikirkan hal yang simple
dan praktis. Jika seseorang tidak siap dengan pernikahan yang akan dilaksanakan,
yang dengan biaya pernikahan sederhana saja dia tidak mampu, ditambah lagi dengan
biaya administrasinya, maka kondisi yang demikian ini dapat menjadi peluang bagi
seseorang untuk menikah sirri dengan alasan menghindari perbuatan zina, dan lain
sebaginya.
49
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ditujukan untuk mengungkap tentang objek secara apa adanya,
maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu
prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau
melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. (Hadari Nawawi, 1993:63).
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
kualitatif, karena data yang dihasilkan adalah data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang yang dapat diamati. Menurut Taylor dan Bogdan dalam
Harun Rasyid (2000:5), metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
prilaku yang diamati.
2. Penentuan Sumber Data Penelitian
Harun Rasyid (2000:36) mengartikan data sebagai fakta atau informasi yang
diperoleh dari yang didengar, diamati, dirasa dan dipikirkan dari aktor, aktivitas dan
tempat yang diselidiki. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data primer dan
data sekunder.
50
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah para ulama‟ Kota Pontianak,
berjumlah 8 orang. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah literatur-
literatur fiqh klasik dan kontemporer, fatwa-fatwa ulama‟ yang berkaitan dengan
pernikahan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan lain sebagainya.
3. Pemilihan Setting Penelitian
Menurut Lexy J. Moleong (2001:8), bahwa yang dimaksud dengan pemilihan
setting adalah keterbatasan goegrafis dan praktis seperti waktu, biaya, tenaga, perlu
dijadikan pertimbangan dalam penentuan lokasi.
Dalam pemilihan setting penelitian, peneliti menetapkan kota Pontianak sebagai
tempat penelitian, dengan alasan sebagai berikut:
1. Kota Pontianak lebih dekat dari rumah peneliti.
2. Responden penelitian sudah dikenal oleh peneliti.
3. Di kota Pontianak terdapat masalah yang akan diteliti.
4. Kota Pontianak berada di tempat yang srtategis, mudah untuk dikunjungi serta
menghemat waktu, tenaga dan pembiayaan.
4. Tehnik dan Alat Pengumpul Data
Adapun tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara, observasi partisipan dan dokumentasi.
a. Wawancara mendalam
Wawancara mendalam adalah percakapan dengan maksud tertentu yang
dilakukan oleh pewawancara dengan mengajukan pertanyaan, dan yang diwawancarai
memberikan jawaban atas pertanyaan itu. (Lexy J. Moleong, 1996:135).
51
Penggunaan tehnik wawancara mendalam yang dilakukan oleh peneliti karena
peneliti belum mengetahui secara detail tentang “Pendapat Ulama‟ Kota Pontianak
Tentang Nikah Sirri Dan Akibatnya Bagi Istri Serta Keturunannya.” Dalam
melakukan wawancara, terlebih dahulu peneliti menghubungi responden untuk
diwawancarai dan menentukan waktu serta tempat wawancara. Sebelum melakukan
wawancara, peneliti meminta kesediaan dan kesanggupan dari responden apabila ada
kesempatan untuk mengadakan wawancara, maka wawancara dapat dilakukan.
Adapun prosedur pengumpulannya dilakukan sebagai berikut:
1. Memilih dan menetapkan subjek yang akan diwawancarai
2. Menentukan waktu dan tempat wawancara
3. Menyusun pedoman wawancara
4. Mencatat hasil wawancara
5. Menyusun hasil wawancara
6. Menganalisis hasil wawancara
Alat bantu yang digunakan dalam wawancara adalah handfone perekam.
Sedangkan alat yang digunakan dalam mengumpulkan data-data dari wawancara
adalah pedoman wawancara.
b. Dokumentasi
Dokumentasi terdiri dari dua kelompok, yaitu dokumen dalam arti sepit dan
dokumen dalam arti luas. Dokumen dalam arti sempit adalah berupa teks, catatan,
surat pribadi, autobiografi dan lain sebagainya. Sedangkan dokumen dalam arti luas
adalah dapat berupa artifak, monument, foto, dan lain sebagainya.
52
Dokumen digunakan untuk mencari dan memperoleh data berupa teks-teks
tertulis, catatan, surat atau biografi. Penggunaan teknik ini dimaksudkan untuk
memperoleh data-data demi memperlengkap data-data yang diperoleh lewat
wawancara dan observasi, sehingga hasil penelitian ini bertambah jelas dan tidak
meragukan.
Data yang akan diperoleh oleh peneliti dari alat pengumpul data ini adalah
berupa Pendapat Ulama‟ Kota Pontianak Tentang Nikah Sirri Dan Akibatnya Bagi
Istri Serta Keturunannya. Selain itu, dokumen-dokumen lain yang akan diteliti adalah
naskah-naskah atau catatan-catatan yang dipakai oleh ulama‟ Kota Pontianak dalam
memberikan pendapat tentang nikah sirri.
5. Tehnik Analisa Data
Analisa data adalah proses pengaturan urutan data, mengorganisasikannya ke
dalam suatu pola, katagori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan suatu hipotesis (kesimpulan) sementara dari data yang
dianalisis. (Lexy Moleong, 1996:130).
Selama pengumpulan data, analisis dilakukan dengan observasi partisipan,
wawancara dan dokumentasi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang masih
mentah untuk kepentingan penelitian yang berkenaan masalah “Pendapat Ulama‟
Kota Pontianak Tentang Nikah Sirri Dan Akibatnya Bagi Istri Serta Keturunannya.”
Bedasarkan pernyataan di atas, maka penelitian ini menggunakan analisis data
yang bersifat deskriptif, yaitu analisis data yang aktual dan faktual dari hasil
penelitian, sedangkan penganalisaan data menggunakan tehnik analisis kwalitatif.
53
Tehnik yang digunakan adalah komponen analisis yang digunakan oleh Miles dan
Huberman dalam Harun Rasyid (2007:70), komponen analisis data tersebut melalui
langkah-langkah kegiatan sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data
Sebelum analisa data dilakukan, perlu diadakan pengumpulan data melalui
alat pengumpul data yang digunakan, sehingga diperoleh informasi yang cukup
terhadap penelitian yang dilakukan. Data-data mengenai Pendapat Ulama‟ Kota
Pontianak Tentang Nikah Sirri Dan Akibatnya Bagi Istri Serta Keturunannya yang
dikumpulkan berasal dari hasil wawancara dan dokumentasi.
b. Reduksi Data
Reduksi data adalah proses pemilihan data yang terkumpul selama melakukan
penelitian. Data yang diperoleh dari lapangan ditulis dalam bentuk uraian yang
merupakan rangkuman dari hasil wawancara dengan aspek-aspek yang ingin
diketahui dari peneliti. Hasil wawancara dan observasi sebagai bahan mentah
direduksi disusun lebih sistematis sehingga lebih mudah dikendalikan. (Nasution,
1996:129). Reduksi data dilakukan pada data-data mengenai Pendapat Ulama‟ Kota
Pontianak Tentang Nikah Sirri.
c. Display Data
Untuk mempermudah pengelompokan hasil wawancara agar dapat dilihat
gambaran keseluruhan atau bagian hasil penelitian ini, maka peneliti menggunakan
display data, yaitu menggunakan semacam alat atau matrik, chart atau grafik network.
54
Dengan demikian akan mempermudah untuk menguasai data. (Harun Rasyid,
2000:70).
Display data ini dilakukan pada data-data mengenai Pendapat Ulama‟ Kota
Pontianak Tentang Nikah Sirri Dan Akibatnya Bagi Istri serta Keturunannya. Display
data pada penelitian ini adalah dalam bentuk tabel. Data-data yang sudah
dikumpulkan oleh peneliti kemudian dikelompokkan sesuai dengan jenis pertanyaan
dan jawaban antara peneliti dan responden. Hal ini dilakukan agar peneliti dengan
mudah melihat gambaran keseluruhan data untuk mempermudah melakukan analisis
data.
d. Penarikan Kesimpulan Atau Verifikasi
Penarikan kesimpulan atau verifikasi adalah penarikan kesimpulan dari semua
data yang ditampilkan dengan melibatkan pemahaman dan kemudahan peneliti.
(Harun Rasyid, 2000:124).
Dalam rangka mencari makna, verifikasi perlu dilakukan. Meskipun pada
mulanya kesimpulan masih kabur, akan tetapi dengan bertambahnya data, maka
kesimpulan itu bisa grounded. Kesimpulan diambil terus menerus selama
berlangsungnya penelitian. Demikian juga analisispun terus dilakukan sejak data
terkumpul untuk dilakukan verifikasi satu persatu dari data-data tersebut.
6. Tehnik Pemeriksaan Keabsahan Data
Agar data yang diperoleh objektif dan teruji keabsahannya, maka perlu adanya
pemeriksaan keabsahan data. Dari cara-cara pemeriksaan keabsahan data yang
55
dikemukakan oleh Lexy J. Moleong (1996:175-183), peneliti hanya menggunakan
tiga cara pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini, yaitu:
a. Triangulasi
Triangulasi adalah tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
perbandingan terhadap data itu. Dan penelitian ini menggunakan triangulasi dengan
membandingkan dan mengecek derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
melalui wawancara, yang mana waktu dan alatnya berbeda dalam penelitian
kualitatif.
Menurut Lexy J. Moleong (1996:178), sumber triangulasi dapat dicapai
dengan jalan sebagai berikut:
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang
dikaitkan secara pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan
apa yang dikatakan secara pribadi.
4. Membandingakan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang berpendidikan
menengah atau tinggi dan orang pemerintahan.
b. Member Check
Dari data-data di lapangan tentang Pendapat Ulama‟ Kota Pontianak Tentang
Nikah Sirri Dan Akibatnya Bagi Istri Serta Keturunannya, baik itu data yang
56
diperoleh dari interview peneliti dengan ulama‟ kota Pontianak maupun data yang
diperoleh dari hasil observasi dan dokumentasi peneliti, setelah dianalisis, lalu
ditafsirkan dan disimpulkan, kemudian peneliti mengadakan pengecekan kembali
terhadap data-data yang sudah disimpulkan. Dengan demikian, maka tujuan
dilakukannya member check ini adalah untuk mengecek kembali data-data yang
sudah disimpulkan.
c. Ketekunan Pengamatan
Menurut Lexy J. Moleong (1989:192), bahwa yang dimaksud dengan
ketekunan pengamatan adalah menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi
yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian
memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
Dalam hal ini, peneliti akan melakukan pengamatan dengan teliti dan rinci
secara berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol atau kejadian-
kejadian yang tidak biasa, kemudian menelaahnya sampai pada suatu titik sehingga
peneliti melihat atau mengamati langsung Pendapat Ulama‟ Kota Pontianak Tentang
Nikah Sirri Dan Akibatnya Bagi Istri Serta Keturunannya.
57
BAB IV
PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kota Pontianak
Kota Pontianak didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman pada tanggal 23
Oktober 1771 M, bertepatan dengan tanggal 14 Rajab 1185 H. Asal kota ini dibangun
di semenanjung simpang tiga buah sungai, yaitu sungai Kapuas Besar, sungai Kapuas
Kecil dan Sungai Landak. Tahun 1192 Hijriyah, Syarif Abdurrahman Al-Qadrie
dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Pontianak yang pertama. Letak pusat
pemerintahan ditandai dengan didirikannya Masjid Raya Sultan Ayarif Abdurrahman
Al-Qadrie dan Istana Kadariah, yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis
Kecamatan Pontianak Timur
Kota Pontianak terletak di lintasan garis Khatulistiwa pada garis 0° Lintang
Utara-Selatan dan Bujur Timur Barat dengan ketinggian berkisar antara 0,10 meter
samapi 1,50 meter di atas permukaan laut. Selain itu, Kota Pontianak beriklim tropis
dengan suhu rata-rata 28°C sampai dengan 34°C disertai dengan curah hujan terbesar
(bulan basah) jatuh pada bulan Mei dan Oktober. Sedangkan curah hujan terkecil
(bulan kering) jatuh pada bulan Juli. yang berkisar antara musim hujan dan kemarau.
Adapun wilayah Kota Pontianak secara keseluruhan berbatasan dengan
wilayah Kabupaten Pontianak, yaitu seperti yang tertulis pada tabel:
58
Batas Wilayah Kota Pontianak
NO KECAMATAN
Berbatasan dengan Kecamatan-
kecamatan Kab. Ponbtianak Desa/Dusun
01 Ptk Selatan 1. Kecamtan Sungai Raya -Sungai Raya
2. Kecamtan Sungai Kakap -Punggur Kecil
02 Ptk Timur 1. Kecamtan Sungai Raya -Kapur
2. Kecamtan Sungai Ambawang -Kuala Ambawang
03 Ptk Barat 1. Kecamtan Sungai Kakap -Pal IX
-Sungai Rengas
04 Ptk Utara 1. Kecamatan Siantan -Wajok Hulu
2. Kecamatan Sungai Ambwang -Kuala Ambawang
05 Ptk Kota 1. Kecamatan Ptk Selatan -Sei Jawi Dalam
2. Kecamatan Ptk Barat -Punggur Kecil
06 Ptk Tenggara - -
Sumber : Kementrian Agama Pontianak
Pada tabel ini menunjukkan bahwa secara administratif Kota Pontianak terdiri
atas enam kecamatan, yaitu Kecamatan Pontianak Selatan, Kecamatan Pontianak
Timur, Kecamatan Pontianak Barat, Kecamatan Pontianak Utara, Kecamatan
Pontianak Kota, dan Kecamatan Pontianak Tenggara. Selain itu, Kota Pontianak juga
berbatasan dengan beberapa Kecamatan dan Desa yang berada di luar wilayah Kota
Pontiank.
Dari hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk kota Pontianak
sebanyak 550.304 jiwa, yang terdiri laki-laki berjumlah 265.775 jiwa, dan perempuan
sebanyak 284.529 jiwa. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat seperti yang tertera di
dalam tabel berikut :
59
Jumlah Penduduk Kota Pontianak Menurut Agama dan Kepercayaan
Yang Dianut
No Kecamatan Islam Protestan Katolik Hindu Budha Lain-lain
1 Ptk Selatan 60.546 11.854 11.305 119 1.607 15.531
2 Ptk Timur 46.656 8.825 10.712 302 1.052 199
3 Ptk Barat 158.267 8.372 9.268 623 1.006 571
4 Ptk Kota 95.994 3.346 4.653 949 1.091 9.822
5 Ptk Utara 50.594 2.587 2.784 431 378 37.386
6 Ptk Tenggara - - - - - -
Jumlah 412.057 34.984 38.722 2.424 5.134 63.490
Total 2011 556.811 Jiwa
Total 2010 543.692 Jiwa Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Pada tabel ini menunjukkan bahwa penduduk Kota Pontianak yang memeluk
agama yang diakui oleh negara adalah sebagai berikut; Islam sebanyak 412.057
orang, Katolik 34.984 orang, Protestan 38.722 orang, Hindu 2.424 orang, Budha
5.134 orang. Sedangkan yang memeluk agama selain kelima agama yang diakui oleh
pemerintah tersebut, seperti aliran kepercayaan, Kong Hu Cu, Animisme, dan lain
sebaginya adalah sebanyak 63.490 orang.
B. Paparan Data
B.i. Beberapa contoh kasus nikah sirri di Kota Pontianak
a). Sa mau menikah sirri dan menjadi istri kedua dengan Pn dengan alasan
karena Sa sangat menginginkan keturunan dari Pn yang di masyarakat dianggap
sebagai seorang guru spiritual. Dikarenakan keluarga besar Sa mayoritas orang
awam, dan Sa hanya berpendidikan sampai Sekolah Dasar saja, sehingga ia tidak
mengerti tentang seluk-beluk administrasi KUA dan tidak mengerti terhadap akibat
60
nikah sirri, maka ia merasa enjoy-enjoy saja dengan status pernikahannya dan
sebagai istri kedua.
b). Ha mau menikah sirri dengan Rd karena memang itu adalah
permintaannya sendiri kepada orang tuanya. Hal itu ia lakukan karena usia
kehamilannya semasa pacaran bersama teman lelakinya telah memasuki usia tiga
bulan. Rd pun mau bertanggung jawab atas kehamilan Ha, dan menikahi Ha secara
sirri yang hanya dihadiri penghulu kampung, wali dan saksi serta sanak kerabatnya
saja, tanpa pesta dan tanpa tenda.
c). Nd mau menikah sirri dan menjadi isrti kedua dengan MJ karena status Mj
yang PNS. Selain itu, karena Mj yang sudah beristri dan mempunyai tiga orang anak
selalu kepergok oleh warga saat kencan. Hal itu membuat keluarga Nd tidak terima
terhadap perlakuan Mj pada Nd. Keluarga Nd khawatir kalau ternyata Nd hanya
dipermainkan dan pada akhirnya ditinggalkan begitu saja oleh Mj. Akhirnya keluarga
Nd menyuruh Mj agar menikahi Nd, dan terjadilah pernikahan siiri itu.
Seringkali suatu ajaran menimbulkan polemik, kontroversi atau pro dan
kontra bila ajaran tersebut dipraktekkan dalam kenyataan. Dan hal yang halal, yang
suci dan mulia serta sah di mata agama yang menjadi bahan polemik di masyarakat
di antaranya adalah nikah sirri. Polemik ini berkaitan dengan segala sesuatu yang
muncul akibat pernikahan tersebut. Sebagai sebuah ajaran, nikah sirri ini bisa
dipraktekkan oleh siapapun yang hendak menikah, karena nikah sirri adalah nikah
yang sah atau nikah yang legal atau nikah yang diperbolehkan oleh syari‟at.
61
Ketika praktek nikah sirri itu dicermati secara mendalam dan diteliti oleh
sebagian fihak, ditemukanlah bentuk-bentuk penyimpangan khususnya berkaitan
dengan perempuan yang dinikahi secara sirri. Yang muncul kemudian adalah
anggapan bahwa nikah sirri adalah praktek penyimpangan dari ajaran Islam,
khususnya ajaran tentang hak-hak kaum perempuan di dalam Islam. Akibatnya,
muncul pemikiran bahwa nikah sirri seharusnya dilarang, dan pelaku nikah sirri
seharusnya dihukum, dipidanakan atau didenda. Tujuannya adalah agar pelaku nikah
sirri merasa jera.
Ironisnya, yang kemudian dipersoalkan adalah ajaran nikahnya, bukan para
pelaku yang telah berbuat dzalim di dalam pernikahan sirri. Muncullah pemikiran
bahwa nikah sirri itu tidak boleh dilakukan karena dapat menjadi penyebab
penindasan dan penderitaan bagi kaum perempuan. Pemikiran seperti ini tentu banyak
ditentang oleh banyak fihak yang secara pasti dan meyakinkan dapat membuktikan
keabsahan nikah sirri ditinjau dari aspek syari‟at Islam.
Untuk menjernihkan masalah ini, maka pada bagian ini peneliti akan
memaparkan data-data dari hasil wawancara mengenai pendapat ulama‟ kota
Pontianak tentang status hukum nikah sirri dan dampak serta solusinya bila nikah sirri
sudah terlanjur terjadi. Dalam hal ini peneliti sendiri sebagai instrumen dan ulama‟
yang berdomisili di Kota Pontianak sebagai nara sumber. Dengan menggunakan
tehnik wawancara langsung, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah
dipersiapkan kepada nara sumber.
62
Untuk melengkapi pemaparan data penelitian ini, selain menggunakan tehnik
wawancara langsung kepada nara sumber, peneliti juga menelaah dokumen-dokumen
dan catatan-catatan yang dimungkinkan dapat memberi informasi, penjelasan dan
rujukan terhadap penelitian ini. Adapun data-data yang akan dipaparkan sebagai
berikut:
Peneliti melakukan wawancara kepada Ustadz Rudi (37 th) yang merupakan
pengasuh Lembaga Pendidikan Dan Pondok Pesantren Darul Faizin jalan Danau
Sentarum Pontianak. Tentang nikah sirri, beliau berkomentar ;
“Nikah sirri itu tidak batal, nikah sirri itu tidak haram, dan bukan pula sesuatu
yang aneh. Toh kenyataannya sebelum ada Undang-undang perkawinan tahun
1974 itu semua orang Islam yang ada di Indonesia ini pernikakannya sirri
semua, karena tidak ada suratnya. Kakeknya saya, kakeknya Sampeyan,
kakeknya lagi, kakeknya lagi, kakeknya lagi, kan nikahnya tak punya surat,
berarti nikahnya sirri. Jadi secara agama, nikah sirri itu bukan sesuatu yang
aneh, yang penting lima syarat dan rukunnya itu dipenuhi, sahlah pernikahan
itu, selesailah urusan nikah. Lantas kemudian muncul peraturan baru bahwa
pernikahan harus dicatakan. Bagi yang nikahnya tidak dicatakan di KUA tidak
lantas kemudian nikahnya batal atau tidak sah, tetap sah, hanya saja dia
termasuk warga yang tidak patuh terhadap pemerintah. Pemerintah kan punya
kekuasaan, dan kalau ada urusan administrasi biasanya dikait-kaitkan dengan
surat nikah. Ditinjau dari segi agama, dari sisi apapun, nikah sirri tidak rusak,
nikah sirri tidak batal. Dan kalau ada orang-orang pemerintah yang mengatakan
bahwa nikah sirri itu seolah-olah sesuatu yang sangat berdosa dan merupakan
pelanggaran yang sangat berat karena pernikahannya tidak dicatatkan, maka
lebih berat mana dan lebih berdosa mana jika dibanding dengan prostitusi…?
Sekarang kan pemerintah ribut kalau ada orang nikah sirri, oh itu lho contoh
orang tidak taat pada pemerintah, oh itu lho contoh orang liar karena nikahnya
tidak dicatat dan tidak punya surat nikah..,pokoknya segala macam. Sebenarnya
kalau mau diurus betul-betul, pemberantasannya bukan nikah sirri, tapi
prostitusi. Mana yang lebih mulia di hadapan Allah antara orang yang nikah
sirri, dengan orang yang nikahnya tercatat di KUA tapi perutnya “bengkak”
duluan…? Kan beda jauh. Pemerintah menganjurkan agar pernikahan
dicatatkan, itu betul, tapi jangan lantas mengatakan orang yang nikah sirri itu
orang yang melanggar hukum dan nikahnya tidak sah. Kalau dikatakan tidak
taat pada pemerintah oke lah, karena memang ada Undang-undangnya, tapi
63
jangan mengatakan nikahnya tidak sah. Yang ngomong nikahnya ndak sah itu
mungkin kakeknya juga nikah sirri, mungkin dianya juga hasil produk nikah
sirri, karena zaman dulu ndak ada KUA, ndak ada apa-apa. Baru jaman-jaman
sekarang saja ada KUA. Cuma kalau memang mau yang terbaik, maka
athi‟ullah, athi‟urrasul, ulil amri mingkum…Patuhi saja aturan agama dan
pemerintah, beres…!!! Toh kenyataannya tidak susah kok, tinggal daftar di
KUA.” Kalo menurut saya, pelaku nikah sirri itu dibimbing saja, diarahkan dan
difasilitasi oleh pemerintah…tolong, ayo bagi masyarakat yang sudah terlanjur
nikah sirri, daftarkan ke KUA. Walau memang kadang-kadang nikah sirri itu
dijadikan sebagai alat oleh sebagian masyarakat yang tidak amanah untuk nikah
lagi, nikah lagi dan nikah lagi tanpa sepengetahuan istrinya yang resmi. Jadi
saya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa orang yang menikah sesuai dengan
ketentuan agama sudah sah dan mulia di hadapan Allah. Kalau sekarang kita
ngomong nikah sirri itu tidak sah karena tidak dicatatkan, oh nanti dulu, karena
tiap malam di hotel-hotel itu banyak orang yang melakukan praktek prostitusi.
Kalo mau dibetulkan, itu ada di KUA, KUA seharusnya bekerja sama dengan
elemen masyarakat, RT, RW, Kiai atau Ustadz atau orang-orang yang biasa
menikahkan orang. “Tolong Pak RT, Pak RW, Pak Kiai, Pak Ustadz, kami
minta tolong pada Sampeyan, bagi masyarakat yang sudah terlanjur nikah sirri,
tolong didata dan dilaporkan kepada kami, akan kami fasilitasi untuk kami
catatkan pernikahannya.” Nikah sirri itu kan banyak dilakukan di kampung-
kampung oleh Kiai-kiai atau Ustadz-ustadz, dan mereka tidak salah menikahkan
orang, daripada dibiarkan berzina, kan menjadi tanggungan kita, mudharatnya
juga bisa pada kita. Sekarang ini kan ribet, orang mau nikah sekarang, daftar
sekarang tapi tidak bisa nikah sekarang, harus nunggu dulu. Dan biasanya
orang-orang-orang kampung masih suke make‟ istilah hari baek. Oh ini kenna‟
hari baek, udahlah nikahkan sekarang ja‟dulu‟, di KUA kite urus nanti-nanti jak
lah. Alangkah bijaknya kalo‟ pemerintah tu mempermudah semudah-mudahnya
prosedur pernikahan tu, sampe‟ kemudian akan muncul tanggapan dari
masyarakat “kalo‟ urusan nikah di KUA ja‟ mudah, ngape pula‟ aku na‟ nikah
sirri.
“Dampak negatifnya sangat jelas ada di pihak perempuan/istri yang dinikahi
secara sirri itu. Suaminya punya peluang untuk menyia-nyiakan istrinya. Isrti
tidak dapat menuntut hak-haknya pada si suami, karena di Indonesia ini kan
mengutamakan bukti fisik. Karena nikahnya tidak dapat dibuktikan secara fisik
melalui akta nikah, maka si istri tidak dapat menuntut pada siapapun dan tidak
dapat mengadu kemana-mana. Itu baru sebagian kecil dampaknya, belum lagi
dampak-dampak yang lain. Tetapi sebenarnya bukan berarti bahwa pernikahan
yang dilakukan secara resmi dan dicatatkan di KUA itu adalah jaminan bahwa
si suami pasti melaksanakan hak dan kewajibannya dengan sebak-baiknya,
belum tentu. Dan belum tentu pula serta tidak dapat dijamin bahwa gara-gara
nikah sirri itu lalu si suami pasti akan sewenang-wenang terhadap istrinya dan
64
tidak akan melaksanakan kewajiban-kewajibannya, justru dapat saja terjadi
yang sebaliknya.” “Kalo menurut saye, pelaku nikah sirri tu dibimbing ja‟,
diarahkan dan difasilitasi oleh pemerintah…tolong, ayo bagi masyarakat yang
uda terlanjor nikah sirri, daftarkan ja‟ ke KUA. Walau memang kadang-kadang
nikah sirri itu dijadikan sebagai alat oleh sebagian masyarakat yang tidak
amanah untuk nikah lagi, nikah lagi dan nikah lagi tanpa sepengetahuan istrinya
yang resmi. Jadi saye yakin dengan seyakin-yakinnye bahwa orang yang
menikah sesuai dengan ketentuan agama uda sah dan mulia di hadapan Allah.
Kalo sekarang kite ngomong nikah sirri itu tidak sah karena tadak dicatatkan, oh
nanti looo‟, karena mungkin tiap malam tu di hotel-hotel tu banyak orang yang
melakukan praktek prostitusi, ngape orang tak kalot pulak. Smentare kite nikah
sesuai dengan ketentuan agama eh orang kalot pulak.
“Solusinya : Kalo mau dibetulkan, itu ada di KUA, orang-orang di KUA itru
jangan hanya di podium saja, tapi terjun dan turun langsung ke masyarakat,
dekati dan bekerja sama dengan elemen masyarakat, RT, RW, Kiai atau Ustadz
atau orang-orang yang biasa menikahkan orang. “Tolong Pak RT, Pak RW, Pak
Kiai, Pak Ustadz, kami minta tolong pada Sampeyan, bagi masyarakat yang
sudah terlanjur nikah sirri, tolong didata dan dilaporkan kepada kami, akan
kami fasilitasi untuk kami catatkan pernikahannya.” Nikah sirri itu kan banyak
dilakukan di kampung-kampung oleh Kiai-kiai atau Ustadz-ustadz, dan mereka
tidak salah menikahkan orang, daripada dibiarkan berzina, kan menjadi
tanggungan kita, mudharatnya juga bisa pada kita. Sekarang ini kan ribet, orang
mau nikah sekarang, daftar sekarang tapi tidak bisa nikah sekarang, harus
nunggu dulu. Dan biasenye orang-orang-orang kampong tu mase suke make‟
istilah hari baek. Oh ini kenna‟ hari baek ni, udahlah nikahkan sekarang
ja‟dulu‟, di KUA kite urus nanti-nanti jak lah. Alangkah bijaknya kalo‟
pemerintah tu mempermudah semudah-mudahnya prosedur pernikahan tu,
sampe‟ kemudian akan muncul tanggapan dari masyarakat “kalo‟ urusan nikah
di KUA ja‟ mudah, ngape pula‟ aku na‟ nikah sirri.”
KH. Abdul Muthalib selaku pembina Pondok Pesantren Al-Jihad jalan H. Rais
A Rahman Sungai Jawi, pada saat diwawancarai oleh peneliti, beliau pun
berkomentar. Kata beliau;
“Menurut hukum syari‟at, nikah sirri itu sah, karena telah memenuhi syarat dan
rukun nikah, yaitu adanya calon suami, calon istri, wali nikah, saksi nikah dan
ijab-qabul. Tapi kita juga wajib mentaati pemerintah karena ada dalil athi‟ulloh
athi‟urrasul wa ulil amri mingkum. Hanya saja kalau melakukan nikah sirri
65
maka tidak ada akta nikahnya di kepemerintahan karena tidak dicatat, tapi tetap
sah menurut hukum syari‟at.
“Dampak negatifnya lebih banyak mudharatnya daripada maslahahnya. Karena
kalau pernikahan itu tidak ada akta-nya, lalu kalau si suami melakukan
kesewenang-wenangan atau melakukan kekerasan dalam rumah tangga, maka
ke mana si istri akan melapor.? Si istri tidak dapat menuntut hak-haknya kepada
suaminya bila suaminya tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai
suami. Selain itu, dampaknya juga akan berimbas kepada anak yang dilahirkan,
statusnya, akta lahirnya, hak warisnya, yang pokoknya semua itu akan dapat
menjadi masalah di kemudian hari yang sulit untuk diselesaikan secara hukum
jika pernikahan itu tidak dapat dibuktikan dengan adanya akta nikah. Dan masih
banyak lagi dampak-dampak lain yang dapat merugikan istri dan anaknya.”
Bagi yang udah terlanjur nikah sirri, maka dapat dilegalkan dengan itsbat nikah
melalui sidang di Pengadilan Agama.”
Merasa kurang cukup dalam memperoleh data, peneliti kemudian
bersilaturrahim ke kediaman KH. Jalaluddin Haz, Lc yang berlokasi di komplek
Masjid Jami‟ Al-Jihad Gang Muria Jalan H. Rais A. Rahman Sungai Jawi. Pada saat
di wawancarai tentang nikah sirri, dampak negatif dan solusinya, beliau menjawab:
“Yang namanya nikah baru lah sah kalau sudah memenuhi semua syarat dan
rukunnya, entah itu mau nikah sirri atau nikah resmi, semuanya sah dari sudut
pandang syari‟at dan pemerintah. Di kepemerintahan, nikah sirri tuh bukannya
tidak sah, tapi tidak diakui, tidak mendapat pengakuan dan perlindungan hukum
negara. Orang tidak salah kalau dia nikah sirri, karena dia melaksanakan
syari‟at, dan apa yang dilakukannya itu benar menurut syari‟at, tidak melanggar
syari‟at. Tapi kita ini kan hidup di negara hukum, negara yang berundang-
undang. Dan pemerintah punya wewenang membuat aturan hukum atau
undang-undang demi kemaslahatan rakyat atau ummat ini, selama undang
undang-undang yang dibuat pemerintah itu tidak bertentangan dengan hukum
syari‟at, maka kita juga harus patuh pada hukum yang dibuat oleh pemerintah
itu, karena kita ada dan hidup dalam wilayah pemerintah. Begitu juga dengan
undang undang yang dubuat pemerintah tentang Undang-undang Perkawinan
tuh…Tapi banyak pula hal yang nyebabkan orang tuh nikah sirri… banyak
faktor lah.
“Kalo‟ dampak negatifnya…yaaah jelas pada bidang yang berkaitan dengan
administratif kepemerintahan, na‟ buat KK bise jadi hal, na‟ ngurus Akte Lahir
66
anka, bise siiih, tapi di Akte tu tak ada name bapaknye…kalo‟ dalam kluarge
tuh ada sengketa…tu yang repot…cam mane hak waris, cam mane
nasab…belom agi‟ ini-itu yang laen. Kalo‟ dalam keluarga tu tak ada masalah
dan tak ada sengketa…tetap lah hukum dan aturan agama tuh yang berkaitan
dengan waris, nasab, dan laen sebagainye.”
“Solusinye…ye kalo‟ na‟ minta ke KUA supaye nikahnye tu tercatatkan dan
supaye dibutkan akte nikah. Kalo‟ dari KUA tu ade prosedur administrasinye,
ikuti jaaak…cam mane carenye supaye nikah kite tu tecatat dan dapat akte
nikah.”
Peneliti kemudian mewawancarai Habib Zaki bin Ridho bin Yahya yang
merupakan alumni dari lembaga pendidikan Al-Ahqaaf Hadramaut Yaman, yang kini
beliau merupakan pengasuh Pondok Pesantren Darun Na‟im jalan Ampera Kota Baru.
Komentar beliau tentang nikah sirri adalah sebagai berikut;
“Nikah sirri menurut agama dan menurut pemerintah, menurut syari‟at agama
sudah sah sekali, tapi tidak sah menurut jalur kepemerintahan, kalau dari agama
jelas sekali syari‟at membolehkan. Sekarang kalau di pedesaan dan masyarakat
yang dalam golongan ekonomi lemah kadang-kadang untuk mendapatkan dan
mengeluarkan uang Rp 50.000 saja susah, untuk makan sehari-hari saja susah,
namun mereka ada keinginan untuk berkeluarga. Namun karena faktor ekonomi
yang sangat lemah dan kurangnya dukungan finansial maka mereka nikah sirri.
Cukup dengan mengundang keluarga dan sanak kerabat serta tetangga, dengan
memenuhi syarat dan rukunnya sesuai dengan syari‟at Islam, maka
pernikahanpun dilangsungkan. Kadang untuk penghulu, mereka harus bayar,
untuk ini-itu juga harus bayar, dan mungkin itu berat bagi mereka, sehingga
mereka mersa takut untuk menikah, takut dihadang dan diberatkan oleh
masalah-masalah finansial tadi, dihadang oleh prosedur-prosedur administrasi
pernikahan yang berbelit-belit, itu yang memberatkan. Kecuali kalau
pemerintah menyediakan atau mengadakan program…ayo adakan
pernikahan…buku nikahnya gratis, itu cara untuk menghilangkan nikah sirri
tadi. Seharusnya pemerintah memberikan kelonggaran, dalam arti bagi mereka
yang sudah terlanjur menikah sirri dan bearanak-pinak, pemerintah tinggal
mendata saja dan membuatkan buku nikah untuk mereka. Dan alangkah
bijaknya andai pemerintah itu terlebih dulu mengentaskan kemiskinan rakyat
dan meningkatkan pendidikan rakyat, dan bukan hanya sebatas program saja.
Karena faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya nikah sirri itu bisa
karena faktor ekonomi, yaitu kemiskinan. Kalo rakyat miskin, cari kerja susah
67
untuk makan saja susah, maka bagaimana mereka akan membayar kelengkapan
administrasi atau prosedur pernikahannya. Kalau rakyat sudah keluar dari
kemiskinan, lapangan kerja tersedia, perekonomian meningkat, maka program-
program yang lain dari pemerintah dapat terlaksana dengan mudah, termasuk
program-program yang berkaitan dengan perkawinan. “Kecuali kalau
pemerintah menyediakan atau mengadakan program…ayo adakan
pernikahan…buku nikahnya gratis, itu cara untuk menghilangkan nikah-nikah
sirri. Dan alangkah bijaknya andai pemerintah itu terlebih dulu mengentaskan
kemiskinan rakyat dan bukan hanya sebatas program saja. Karena faktor-faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya nikah sirri itu bisa karena faktor ekonomi,
yaitu kemiskinan. Kalo rakyat miskin, cari kerja susah, untuk makan saja susah,
maka bagaimana mereka akan membayar kelengkapan administrasi atau
prosedur pernikahannya. Kalau rakyat sudah keluar dari kemiskinan, lapangan
kerja tersedia, perekonomian meningkat, maka program-program yang lain dari
pemerintah dapat terlaksana dengan mudah, termasuk program-program yang
berkaitan dengan perkawinan.Tapi selama pemerintah belum bisa mengentaskan
rakyat dari dilema kemiskinan, maka bisa jadi sangat berat bagi pemerintah
untuk melaksanakan program pernikahan yang sesuai dengan Undang-undang
pemerintah. Siapa yang akan menikahkan orang-orang yang ada di kolong-
kolong jembatan, orang-orang miskin, sementara di satu sisi mereka ingin
menikah dan ingin hidup seperti orang kebanyakan, namun di satu sisi yang lain
mereka tidak di dukung oleh perekonomian yang kuat, ditambah lagi dengan
prosedur administrasi pernikahan yang mungkin dirasa berat dan berbelit-belit
bagi mereka.
“Dampaknya : Selama pernikahan itu sudah benar menurut aturan syari‟at, maka
tidak ada dampak negatifnya. Soal dampak negatif nikah sirri, itu dampak
administratif yang tidak ada kaitannya dengan keabsahan nikah yang telah
terjadi.”
“Solusinya : Itu tugas pemerintaaaaah…!!! Seharusnya pemerintah memberikan
kelonggaran dan kemudahan bagi mereka yang akan menikah. Dan bagi
masyarakat yang sudah terlanjur nikah sirri dan beranak-pinak, dipanggil, di
data saja oleh pemerintah, diberi penyuluhan, pengarahan dan bimbingan
tentang pernikahan dan nikah sirri serta dampak negatifnya, lalu dibuatkan buku
nikah atau akta nikah untuk mereka secara gratis. Seharusnya pemerintah
memberikan kemudahan dan kelonggaran bagi mereka untuk mendapatkan akta
nikah, mau lewat tajdid an nikah juga ndak masalah, boleh.”
68
Selanjutnya, peneliti mengadakan wawancara kepada KH. Su‟aidi selaku
pengasuh Pondok Pesantren Darul Khairat, Jln. Dr. Wahidin Sepakat. Dengan lebih
lengkap, beliau berkomentar ;
“Menurut fiqh, nikah sirri itu adalah nikah yang dilakukan oleh seorang laki-laki
(suami) secara rahasia dan tidak diketahui oleh istrinya atau orang lainatau fihak
keluarga dari si laki-laki dan perempuan yang dinikahinya.” Sedangkan menurut
pemerintah, nikah sirri itu adalah nikah yang dilakukan dengan tidak
menghadirkan Petugas Pencatat Nikah dari KUA walaupun disaksikan oleh
masyarakat, dan nikahnya tidak serta tidak diakui oleh pemerintah. Menurut
madzhab Syafi‟i, nikah ini sah, karena telah memenuhi syarat dan rukun nikah
yang meliputi : a). Adanya calon suami, b). Adanya calon istri, c). Adanya wali,
d). Adanya saksi, e). Adanya ijab-qabul. Walaupun nikahnya sah tetapi kurang
afdhal, karena dapat mempersulit suami-istri yang menikah sirri tadi, juga akan
menimbulkan kesulitan pada anak-anaknya untuk mendapatkan legalitas
hukum. Sedangkan menurut madzhab Malikiyah, nikahnya tidak sah. “Dampak
nikah sirri itu di antaranya dapat mempermainkan pihak perempuan, selain itu
anaknya tidak dapat diakui sebagai ahli waris dari bapaknya, dan andai terjadi
pertikaian dalam keluarga itu, maka negara tidak dapat membela perempuan
yang dinikahi secara sirri itu.” Ya bagi yang bersangkutan itu supaya mengurus
administrasi formalnya, walaupun harus melalui tajdi an nikah juga ndak apa-
apa, demi mengantisipasi mafsadah yang dapat terjadi dikemudian hari, toh itu
juga demi kemaslahatan orang yang bersangkutan tersebut.”
Untuk melengkapi data-data yang diperoleh, selain mewawancarai ulama‟
yang berbasis pesantren yang ada di wilayah Pontianak, peneliti juga menghubungi
Kantor Sekretariat Majelis Ulama‟ Indonesia (MUI) Propinsi Kalimantan Barat yang
berlokasi di komplek Islamic Center Masjid Raya Mujahidin. Di sana peneliti
disambut oleh Bapak Bachit Nawawi selaku Ketua MUI Propinsi dan Bapak Tengku
selaku stafnya. Di ruang Ketua MUI, peneliti mengadakan wawancara bersama kedua
orang tersebut. Ketika ditanya tentang nikah sirri, Bapak Tengku menjawab;
69
“Dari sudut pandang fiqh, selama pernikahan itu telah memenuhi syarat dan
rukunnya, maka sahlah pernikahan itu. Namun yang perlu diingat bahwa kita ini
berada dan hidup dalam negara yang berhukum dan berundang-undang. Kita
juga harus patuh pada pemerintah…athi‟ulloh, athi‟urrasuul, ulil amri
mingkum…Untuk mengangkat martabat serta menyelamatkan dan melindungi
hak-hak kaum perempuan, maka pemerintah membuat UU Nomor 1 Tahun
1974 itu. Kita kan harus melindungi kaum wanita. Tapi bagaimana ya, kalau
sudah berhadapan dengan masyarakat yang terlalu fanatik terhadap ajaran
agama Islam dengan hanya mengacu pada referensi kitab-kitab klasik, maka
pereturan pemerintah terkadang diabaikan. Ya contohnya praktek nikah sirri itu.
Dan biasanya kalau di Pesantren-pesantren di Jawa itu ada banyak Kiai yang
nikah sirri, sah, bukannya tidak sah, tapi kita kan hidup di negara yang
berhukum dan berundang-undang, dan Undang-undang itu kan untuk kita
semua, demi kemaslahatan kita semua. Banyak hal yang dapat menjadi faktor
nikah sirri itu, terutama kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat
terhadap hakikat hukum Islam yang sebenarnya. Alaah, sudahlah, nikah pada
Ustadz Anu saja, minta nikahkan pada Kiai Anu saja, yang penting sudah
terpenuhi syarat rukunnya, soal urusan di KUA bisa menyusul, kadang-kadang
gitu masyarakat kita.”
“Dampak negatif nikah sirri,…Waduuuh, pokoknya, kalau nikah sirri itu bisa
repot lah ujung-ujungnya. Kalau si suami itu seorang PNS, waah bisa
diberhentikan itu. Karena tidak mudah lho prosedur yang dibuat oleh Undang-
undang untuk berpoligami, harus ada persetujuan istri yang sah melalui sidang
pengadilan, namanya Persidangan Poloigami. Dari persidangan itu akan
dibuatkan Akta, barulah KUA bisa mengurus administrasinya. Sebab kalo
suami menikah lagi tanpa sepengetahuan istrinya yang sah, maka si istri yang
sah itu dapat melaporkan suaminya dan istri sirrinya itu ke Polisi, kalau istrinya
yang sah itu melaporkan suaminya pada polisi dengan segala macam alasan dan
dakwaan gara-gara suaminya itu kawin lagi, bisa dipidana itu suami, istri
sirrinya pun bisa dipidana karena dianggap mengganggu dan merusak
ketentraman rumah tangga orang.” Pokoknya, dari segi administratif saja, nikah
sirri itu lebih banyak mafsadahnya yang akan muncul daripada maslahahnya.
Bagaimana na‟ buat Kartu Keluarga, bagaimana na‟ buat KTP, bagaimana na‟
buatkan Akta Kelahiran Anak yang dilahirkan, dan lain sebagainya.”
“Solusinya…pertama bagaimana caranya agar masyarakat ini sadar dan
mengerti bahwa betapa pentingnya kita tuh ikot aturan undang-undang yang
dibuat oleh pemerintah, termasuklah tentang pencatatan pernikahan tu, ya kita
berikan penyuluhan kepada masyarakat. Kalo‟ yang uda telanjor, masyarakat
yang uda telanjor nikah sirri malah biase-biase jak, tak ade masalah, ape yang
na‟ dimasalahkan, katenye. Tapi biasenye kalo‟ dalam pernikahannyae tuh ade
hal, ade masalah, baro‟lah bekalot. Na‟ ngadu kemane, na‟ lapor ke siape,
70
Pengadilan tak mau ngurus kalo‟ tak ada bukti hitam di atas putih, apelagi‟
pelaku nikah sirri tu datang ke KUA atau Pengadilan na‟ minta supaye nikah
mereka dicatatkan dan minta dibuatkan surat nikah, tak bise, prosedurnye
panjang dan sulit, peke‟ besidang segale.”
Setelah mewawancarai Bapak Bachit dan Bapak Tengku di Kantor Sekretariat
MUI Propinsi, peneliti kemudian mengunjungi Pondok Pesantren As-Salam, jalan
Husen Hamzah Paal IV yang diasuh oleh KH. Zainuddin Ahmad. Beliau bersedia
untuk diwawancarai oleh peneliti tentang nikah sirri, dampak negatif dan solusinya.
Kata beliau;
“Dari sisis syari‟at, apa bedanya nikah sirri dengan nikah tidak sirri…dalam
syari‟at Islam tidak ada istilah nikah sirri. Nikah ya nikah…selama terpenuhi
semua syarat dan rukun pernikahannya, itulah nikah, saah. Nikah resmi juga
memenuhi syarat dan rukun nikah. Ada perbedaan dan ada persamaan. Sama-
sama nikah, sama-sama memenuhi syarat dan rukun nikah. Laah, Nikah sirri itu
kan munculnya baru-baru ini, dari pemerintah yang menyikapi pernikahan
masyarakat yang tidak sesuai dengan undang-undang pemerintah, dikatakanlah
itu nikah sirri. Saaah, nikah sirri sah dari segi syari‟at dan dari segi pemerintah.
Hanya saja nikah sirri itu tidak diakui oleh negara, bukan tidak sah…sah, tapi
tidak diakui dan tidak mempunyai kekuatan dan perlindungan hukum dari
pemerintah bila sewaktu-waktu terjadi sengketa dalam keluarga itu.
“Dampak negatifnya…Kalau dalam keluarga nikah sirri itu tidak ada sengketa,
ya tidak ada apa-apa…tidak ada pengaruh apa-apa terhadap hak waris dan hak
nasab, tidak ada apa-apa, tetap dapat, tidak ada masalah. Tak ada dampak
negatifnya kalau dari segi syari‟at, karena nikahnya suidah benar dan sah
menurut aturan syari‟at. Itu dari sudut syari‟at, tapi kalau dari sisi pemerintah,
ya lain lagi, kalau dalau dalam keluarga itu ada sengketa, ya jelas ampak negatif
duniawi-nya. Ya paling hanya berkaitan dengan administrasi kepemerintahan
itu yang bermasalah, mau buat akta kelahiran anak, mau buat KK, hak nasab,
hak waris…dan lain sebagainya. Ya kalau sudah terlanjur nikah sirri dan punya
anak-keturunan, datang ke KUA dulu lah, kita tanya pada orang-orang di sana,
bagaimana caranya agar pernikahan itu dapat dicatatkan dan mendapat buku
nikah.
71
Menurut penulis, walaupun dari aspek syari‟at maupun pemerintah nikah sirri
adalah sah karena telah memenuhi kriteria rukun dan syarat-syarat pernikahan, tetapi
dengan mengacu pada kaidah fiqhiyyah yang mengatakan “dar-ul mafasid
muqaddamun „ala jalbil mashalih,” maka hukum nukah sirrinya adalah makruh, dan
pelaku nikah sirri adalah berdosa. Ia berdosa bukan karena ia telah melakukan nikah
sirri, tetapi karena pelanggaran dan ketidakpatuhannya terhadap undang-undang atau
peraturan pemerintah/ulil amri.
C. Pembahasan
Sebelum pembahasan ini dimulai, terlebih dahulu akan dibahas tentang
devinisi ulama‟. Secara bahasa, kata „ulama‟ berasal dari kata kerja dasar (fi‟il madhi)
(„alima - telah mengetahui). Kemudian kata berubah menjadi (kata
benda pelaku/isim fa‟il - orang yang mengetahui - mufrad/singular). Kata ini
berubah menjadi ( jamak taksir/irregular plural - adalah kalimat isim yang
menunjukkan arti lebih dari dua, dengan bentuk lafadz yang berubah dari mufrod-nya,
baik perubahan itu tampak atau dalam perkiraan saja), dengan diikutkan pada wazan
. (Sholihuddin Shofwan, 2006:180).
Menurut Abdul Aziz Dahlan (2001:1840), secara istilah, kata (ulama‟)
yang merupakan bentuk jamak dari kata (alim) adalah orang-orang yang
memiliki kwalitas ilmu yang luas dan mendalam, atau orang yang ahli dan memiliki
72
ilmu pengetahuan agama Islam dan ilmu pengetahuan kealaman, yang dengan
pengetahuannya tersebut menjadikan ia bertakwa kepada Allah SWT.
Anggapan masyarakat selama ini bahwa yang disebut ulama‟ adalah orang-
orang yang memiliki lembaga Pondok Pesantren lengkap dengan santrinya. Atau
ulama‟ adalah orang-orang yang tidak pernah lepas dari kopiah dan sorban serta
lengkap dengan sarung dan jasnya, yang pandai berorasi di podium, berkhubah dan
diundang ceramah kemana-mana, yang selalu memimpin acara tahlilan dan sekaligus
do‟anya. Semua anggapan tersebut di atas tidaklah salah, dan tidaklah semuanya
benar.
Terkadang masyarakat awam tertipu oleh performa dan gaya bahasa serta
retorika orang yang berpenampilan seperti seorang kiai atau ulama‟ besar. Dengan
kata-kata dan retorika yang disusun sebagus dan seindah mungkin, dan dengan
penampilan yang di-setting semenarik mungkin, sehingga mengundang decak kagum
dari masyarakat, ia berbicara tentang agama Islam dari mimbar ke mimbar, dari
majelis yang satu ke majelis yang lain, padahal wawasan dan ilmu pengetahuannya
tentang agama Islam tidak berkwalitas, tidak mendalam, bahkan sangat dangkal.
Ada ulama‟ yang hanya bergelut di bidang pendidikan dengan mendirikan
lembaga Pondok Pesantren dan menampung serta mendidik para santri. Ada ulama‟
yang tidak mendirikan lembaga Pondok Pesantren, tetapi selalu aktif dalam dunia
pendidkan Islam di sekolah dan kampus. Ada ulama‟ yang tidak bergelut di bidang
pendidikan formal dan non formal, tetapi ia aktif dalam syi‟ar Islam dari mimbar
yang satu ke mimbar yang lain. Ada pula ulama‟ yang duduk dalam kabinet para
73
mentri dan wakil rakyat. Ada pula ulama‟ yangs aktif dalam bidang kepemerintahan,
yang mereka ini biasanya tergabung dalam Majelis Ulama‟ Indonesia, misalnya.
1. Nikah sirri menurut ulama’ Kota Pontianak
Berdasarkan pemaparan di atas, maka praktek nikah sirri menurut ulama‟ kota
Pontianak adalah tidak sah ditinjau dari aspek pemerintah, karena tidak dilaksanakan
sesuai dengan prosedur dan ketentuan Undang-undang perkawinan yang dibuat oleh
pemerintah. Pada dasarnya peraturan dan perundang-undangan yang dibuat oleh
pemerintah bertujuan demi tercapainya kemaslahatan rakyat dalam kehidupan
masyarakat. Dan praktek nikah sirri adalah sebuah bentuk pelanggaran dan
ketidakpatuhan masyarakat terhadap pemerintah.
Syari‟at Islam dengan tegas jelas memerintahkan agar umat Islam patuh
kepada Allah, patuh kepada Rasulullah dan patuh kepada pemerintah. Hal itu
ditegaskan oleh Allah dalam Al Qur‟an surt An-Nisa‟ ayat 59 ;
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kepada Allah, patuhlah kepada
Rasulullah, dan patuhlah kepada pemerintah yang memimpinmu. (Qal-
Qur‟an Terjemah, surat An-Nisa‟:59).
Berkaitan dengan hal ini, Abu Hasan „Aly Al Mawardi mengatakan bahwa:
74
Artinya: Diwajibkan bagi kita untuk taat kepada ulil amri, yaitu pemerintah yang
memimpin kita. (Al-Ahkam As-Shulthaniyah, 1960:5).
Dalam fakta pernikahan sirri, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan
syari‟at Islam, namun tidak dicatatkan pada Lembaga Pencatatan Sipil atau pada
Kantor Urusan Agama (KUA). Dalam hal ini sesungguhnya ada dua hukum yang
harus dikaji secara berbeda; yakni 1). Hukum pernikahannya; dan 2). Hukum tidak
mencatatkan pernikahan tersebut pada Lembaga Pencatatan Sipil atau pada Kantor
Urusan agama (KUA).
Dari aspek pernikahannya, nikah sirri tetap sah menurut ketentuan syari‟at,
dan pelaku nikah sirri tidak dapat dianggap telah melakukan kemaksiyatan sehingga
berhak dijatuhi hukuman di dunia ataupun di akhirat. Pasalnya, pernikahan yang ia
lakukan telah mmemenuhi syarat dan rukun pernikahan yang telah dtetapkan oleh
syari‟at dan dirumuskan oleh fara ahli fiqh. Selain itu, suatu perbuatan baru dianggap
sebagai kemaksiyatan dan berhak dijatuhi hukuman kalau perbuatan tersebut
termasuk dalam katagori “mengerjakan yang haram” dan “meninggalkan yang
wajib.” Seseorang baru absah dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan ketika ia
telah mengerjakan perbuatan yang haram atau meninggalkan kewajiban yang telah
ditetapkan oleh syara‟.
Adapun berkaitan dengan hukum tidak mencatatkan pernikahan tersebut pada
lembaga pemerintah, pada dasarnya fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga
pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk
membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan. Sebab salah
75
satu bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar‟i (bayyinah syar‟iyyah) adalah
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan di
lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah mempunyai sebuah dokum resmi
yang bisa dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis pengadilan
manakala ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan tersebut.
Walaupun dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah itu merupakan
alat bukti (bayyinah), tetapi hal itu bukanlah satu-satunya alat bukti syar‟i, karena
kesaksian dari saksi-saksi dalam pernikahan atau orang-orang yang hadir juga absah
dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar‟i. Negara tidak boleh
menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan
seseorang hanya dengan dokumen tertulis semata dengan mengabaikan para saksi,
karena syari‟at telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis,
seperti kesaksian para saksi, sumpah dan pengakuan (ikrar).
Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa orang yang menikah
sirri tetap memiliki hubungan kewarisan yang sah dan hubungan-hubungan lain yang
lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian-kesaksian dari para saksi yang menghadiri
pernikahan sirri tersebut tetap sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar‟i.
Pemerintah tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut
tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, atau tidak mengakui hubungan
pewarisan, hubungan nasab dan hubungan-hubungan lain yang lahir yang lahir dari
pernikahan sirri tersebut.
76
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa status illegal nikah sirri itu hanya
dilihat dari aspek peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah.
Tetapi kalau ditinjau dari aspek hukum Islam (fiqh), selama suatu pernikahan itu telah
memenuhi semua kriteria syarat dan rukunnya, maka sahlah pernikahan itu, karena
dalam madzhab-madzhab fiqh tidak ditemukan keterangan yang mengatakan bahwa
pernikahan itu harus dilaksanakan di hadapan pemerintah dan dicatatkan.
2. Akibat negatif nikah sirri menurut ulama’ Kota Pontianak
Menurut ulama‟ Kota Pontianak, meskipun dari aspek syari‟at Islam praktek
nikah sirri adalah sah, namun pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum
dan dianggap tidak sah di mata hukum. Di sinilah, walau sebenarnya nikah sirri
adalah sah secara agama, namun menjadi problem agama tersendiri, karena dapat
menimbulkan mafsadah yang lebih banyak daripada maslahahnya. Padahal bukan
yang demikian itu yang diharapkan oleh maqashid asy-syari‟ah.
Jadi, secara hukum, akibat negatif dari nikah sirri yang cenderung akan
ditanggung oleh si istri dan keturunannya adalah:
1. Pihak istri tidak di anggap sebagai istri yang sah. Akibatnya, suami mempunyai
kebebasan secara hukum, termasuk bila kemungkinan terjadi pengingkaran
atas perkawinannya, atau suami menikah lagi secara resmi dengan perempuan
lain, maka istri yang dinikahi secara sirri tidak bisa menuntut apa-apa dari
suaminya.
77
2. Pihak istri tidak bisa memperoleh perlindungan hukum bila terjadi kekerasan
dalam rumah tangga. Karena secara hukum status suami yang terbebas dari
tanggung jawab, maka bukan tidak menutup kemungkinan jika pernikahan
sirri justru membuka peluang terjadinya kekerasan terhadap istri, baik itu
berupa kekerasan fisik, psikhis maupun kekerasan seksual.
3. Pihak istri tidak berhak memperolah harta gono-gini bila terjadi perceraian.
Kalau mungkin si istri bisa mendapatkan sebagian harta suami, itu semata-
mata pemberian secara cuma-cuma dari suami, bukan atas dasar pembagian
yang sesuai dengan hak yang seharusnya ia dapatkan.
4. Istri tidak berhak atas nafkah dan hak waris bila suami meninggal. Jika
posisinya sebagai istri kedua, maka hak waris jatuh ketangan istri dan anaknya
yang sah. Hal tersebut dapat difahami, karena secara hukum, pernikahan
tersebut tidak pernah terjadi.
5. Semua akibat yang menjadi beban istri jaga berlaku pada anak yang dilahirkan
dari pernikahan sirri tersebut. Bagaimana si anak akan menuntut nafkah, hak
pendidikan, hak perwalian maupun hak waris pada ayahnya jika secara
hukum anak tersebut dianggap tidak pernah ada. Untuk mengurus akta
kelahirannya dibutuhkan akta nikah, sementara akta pernikahan orang tuanya
tidak pernah ada. Kesulitan-kesulitan anak tersebut merupakan kesulitan
berlipat bagi ibunya, karena siapa lagi yang akan mengurus masalah
prosedural si anak jika suaminya telah meninggal, atau pergi tanpa keterangan
yang jelas, atau menikah lagi dengan wanita lain. Status anak yang dilahirkan
78
dianggap sebagai anak yang tidak sah. Konsekuensinya, anak tersebut hanya
mempunyai hubungan perdata dengan si ibu. Bila ada akta kelahiran, maka
statusnya dianggap sebagai anak ibu, sehingga hanya dicantumkan nama ibu
tanpa nama ayah.
6. Akibat yang mengkhawatirkan adalah bila kemudian pasangan nikah sirri ini
berusaha untuk memalsukan data-data, misalnya akta nikah dan akta kelahiran
anak. Hal ini bukan tidak mungkin terjadi, karena untuk mengurus itsbat, baik
itu itsbat nikah maupun pengakuan anak tentunya membutuhkan waktu yang
lama. Padahal tidak dapat diprediksikan jika suatu saat keluarga tersebut
membutuhkan data-data tersebut secepatnya untuk keperluan yang sangat
penting.
Adapun akibat negatif nikah sirri secara sosial adalah;
1. Perempuan biasanya akan sulit untuk bersosialisasi dengan masyarakat
sekitarnya. Anggapan tinggal serumah tanpa ikatan yang sah akan berdampak
kepada berbagai macam prasangka negatif dan cibiran dari masyarakat, yang
pada akhirnya akan merendahkan perempuan. Dianggap hamil di luar nikah,
dianggap sebagi istri simpanan, kawin lari, atau prasangka-prasangka lain
yang mengarah kepada pelecehan status perempuan.
2. Perempuan sebagai pihak yang seharusnya dilindungi justru dirugikan dari
berbagai aspek. Secara hukum posisinya tidak diakui sebagai istri, ditambah
lagi dengan beban psikhis yang berupa opini masyarakat yang
79
memposisikannya secara tidak adil. Beban ini akan terus menjeratnya sampai
suaminya bersedia menceraikan atau meng-itsbat-kan pernikahannya.
3. Beban sosial tersebut pastinya juga akan berpengaruh pada kejiwaan anak yang
yang dilahirkannya. Seorang anak akan merasa tersisih dari pergaulan bila
statusnya sebagai anak mulai dipertanyakan, apalagi disaat usia sekolah.
Ketidakjelasan statusnya secara hukum tersebut menyebabkan hubungan
antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga sewaktu-waktu dapat saja ayahnya
menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
Kita tidak boleh menutup mata dan menilai suatu perkara hanya dari satu sisi
saja, begitu pula dengan nikah sirri. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa sisi
negatif dari praktek nikah sirri ini sangat dominan, tetapi dengan melihat faktor-
faktor dan situasi serta kondisi yang menyebabkan terjadinya praktek nikah sirri,
maka tidak dapat dipungkiri pula bahwa praktek nikah sirri tetap mempunyai akibat
positif bagi pelaku nikah sirri itu sendiri pada khususnya dan pada masyarakat pada
umumnya.
Demi menutupi aib dan menjaga nama baik keluarga, praktek nikah sirri
dijadikan sebagai solusi oleh orang tua dan keluarga manakala diketahui anak
gadisnya hamil di luar nikah. Sebelum usia kehamilan itu semakin tua dan belum
diketahui oleh khalayak ramai, maka lelaki yang menghamili gadis tersebut diminta
untuk menikahi gadis tersebut sebagai bentuk pertanggung jawaban.
80
Pergaulan pemuda dan pemudi yang sedang dimabuk asmara terkadang
mengkhawatirkan, sehingga orang tua dari pemuda dan pemudi itu menikahkan anak-
anaknya secara sirri. Pernikahan tersebut dilakukan tidak hanya sebatas karena
mengantisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang bertentangan dengan syara‟, agar
jangan sampai terjadi perzinahan dan hamil di luar nikah yang menjadikan aib
terhadap keluarga dan masyarakat. Tetapi bagaimana praktek nikah sirri itu tidak
akan terjadi, kalau ternyata situasi dan kondisinya sudah sedemikian
menghawatirkan. Sementara gunjingan orang-orang sekampung sudah menggema
kemana-mana. Di tambah lagi jauhnya jarak tempuh daerah tersebut dari KAU.
3. Solusi bila nikah sirri sudah terjadi
Bahwa dalam pernikahan sirri memunculkan banyak sekali kelemahan dan
ancaman, sementara kekuatan yang ada tidak bisa menghindarkan diri dari kelemahan
dan ancaman-ancaman yang akan muncul. Maka menurut ulama‟ Kota Pontianak,
cara untuk mengatasi nikah sirri yang sudah terjadi adalah dengan memanfaatkan
peluang yang ada untuk menghilangkan semua kelemahan dan ancaman yang akan
timbul. Ada 2 cara yang ditawarkan sesuai dengan kadar kekuatannya, yaitu;
1). Walimah Al-„ursy, 2). Itsbat Nikah
1. Mengadakan Walimah Al-‘Ursy
Walimah Al-„Ursy atau resepsi pernikahan ini hanya sebagai bentuk ungkapan
rasa syukur dengan cara memberitahukan kepada masyarakat bahwa telah terjadi
81
pernikahan antara sepasang lelaki dan perempuan. Allah berfirman dalam Al Qur‟an
yang berbunyi:
Artinya: Dan ingatlah disaat Tuhanmu memaklumkan: “Jika kalian bersyukur
terhadap nikmat-Kami, maka akan Kami tambah nikmat itu, tetapi kalau
kalian ingkar terhadap nikmat itu, maka sesungguhnya nikmat-Ku amatlah
pedih. (Al-Qur‟an Terjemah, surat Ibrahim:7).
Berkaitan dengan walimah al-„ursy, Rasulullah pun menganjurkan hal
tersebut lewat haditsnya yang berbunyi;
Artinya: Umumkanlah pernikahan ini, laksanakanlah pernikahan ini di masjid dan
tabuhlah rebana. (Sunan At-Tirmidzi, juz II, t th:276).
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah juga bersabda:
Artinya: Adakanlah walimah, walau hanya dengan memotong seekor kambing.
(Shahih Al-Bukhari, juz III, t th:252).
Dengan diadakannya walimah al-„ursy, maka akan mengurangi problem sosial
dan opini masyarakat tentang prasangka negatif atas perkawinan yang terjadi. Dengan
walimah al-„ursy ini pula diharapkan sepasang pengantin ini dapat bersosialisasi
dengan masyarakat secara baik tanpa khawatir ada gunjingan yang dapat membebani
hati dan fikirannya. Jadi, tidak ada alasan mengapa pernikahan harus dirahasiakan
bila memang sudah mampu dan siap secara lahir dan batin. Karena pernikahan adalah
82
perbuatan hukum, maka harus ditegaskan dalam surat nikah. Demikian juga
pernikahan adalah rahmat, maka alangkah baiknya disebarluaskan kepada sesama
supaya tidak menimbulkan fitnah.
Mencerna kembali problematika yang dapat muncul dalam pernikahan sirri,
sebenarnya sangat tergantung bagaimana perempuan memposisikan statusnya dalam
pernikahan. Bila perempuan tetap berpegang pada keabsahan pernikahan sirri dengan
mengesampingkan hak-hak yang seharusnya dia peroleh, maka kaum lelaki akan
semakin nyaman memposisikan diri sebagai suami tanpa ada beban hukum
sedikitpun. Tapi bila perempuan menyadari bahwa ada prinsip kesetaraan dalam
relasi perkawinan, dan ada keseimbangan antara suami-istri, ada hak dan kewajiban,
maka seharusnya payung hukum yang sudah dibuat oleh pemerintah melalui UU
Perkawinan di manfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Pada prinsipnya konsep pernikahan sesuai dengan maqashid al-syar‟iyyah
sudah jelas diperuntukkan kelanggengan pernikahan yang mawaddah warahmah
sampai akhir hayat. Praktek nikah sirri sah menurut hukum agama, membawa
ketenangan batin, terhindar dari perzinahan dan sebagainya. Tetapi hal itu hanya
untuk beberapa saat saja, karena sederet permasalahan yang menyertainya sudah
menunggu.
Seharusnya kaidah fiqhiyyah yang berbunyi “dar-ul mafasid muqaddamun
„ala jalbil mashalih” lebih sesuai diterapkan, karena menghindari ke-mafsadat-an
harus didahulukan daripada menutup ke-maslahat-an. Hal ini sangat tampak dalam
pernikahan sirri, yang meski sah secara agama, namun orang sengaja menutup mata
83
atas resiko-resiko dan ke-mudhrat-an yang akan terjadi. Bila sudah seperti ini,
haruskah nikah sirri dibiarkan merebak dengan membiarkan kaum perempuan sebagai
korban, padahal hukum Islam sangat menjunjung tinggi derajat kaum perempuan.
2. Mencatatkan perkawinan dengan Itsbat Nikah.
Bagi yang beragama Islam, yang perkawinannya tidak dapat dibuktikan
dengan Akta Nikah, maka dapat mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.
Pengajuan itsbat nikah ini dimungkinkan bila berkenaan dengan hal-hal bebagai
berikut:
a. Dalam rangka penyelesaian perceraian.
b. Hilangnya Akta Nikah.
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
d. Perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974.
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974.
Bila ada salah satu dari lima alasan tersebut dapat dipergunakan, maka
permohonan pengesahan perkawinan dapat diajukan ke Pengadilan Agama. Tetapi
untuk pernikahan sirri yang dilakukan setelah berlakunya UU No.1 Tahun 1974
hanya dimungkinkan itsbat nikah dalam rangka proses perceraian. Hal ini akan sulit
sekali bagi pasangan nikah sirri yang justru ingin melanggengkan pernikahannya
secara resmi. Bila permohonan itsbat nikah ditolak, maka jalan keluar yang dilakukan
84
adalah dengan menikah lagi (tajdid an-nikah) secara resmi dan tentunya dengan
prosedur yang berlaku.
Proses itsbat nikah sebenarnya tidaklah serumit seperti persidangan yang
dibayangkan oleh kebanyakan masyarakat awam. Asalkan bukti fisik pernikahan
sirrinya jelas dan bisa dipertanggungjawabkan, maka itsbat diterima dan akta nikah
bisa dikeluarkan sesuai dengan tanggal pernikahan sirri yang telah terjadi. Dengan
status tersebut, otomatis status anak dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya
akan dapat diurus pula.
Jika nikah sirri tidak dapat dibuktikan, atau itsbat nya ditolak oleh Pengadilan
Agama, maka langkah berikutnya adalah menikah ulang dengan pernikahan baru
(tajdid an nikah). ). Namun hukum tidaklah berlaku surut. Dengan demikian, status
anak yang lahir sebelum terjadinya perkawinan ulang tersebut dianggap sebagai anak
di luar nikah, kecuali bila anak lahir setelah perkawinan ulang terjadi, maka status
anak tersebut adalah anak yang sah secara hukum.
Berikut ini adalah Laporan Tahunan yang berisi tentang jenis dan jumlah
perkara yang masuk dan ditangani oleh Pengadilan Agama Kelas I-A Pontianak.
85
LAPORAN TAHUNAN
Pengadilan Tinggi Agama Kelas I-A Pontianak Tahun 2011
NO JENIS PERKARA JUMLAH
PERKARA
1 Izin Poligami 17
2 Pencegahan Perkawian 0
3 Penolakan Perkawinan Oleh PPN 0
4 Pembatalan Perkawinan 2
5 Kelalaian Atas Kewajiban Suami/Istri 0
6 Cerai Talak 774
7 Cerai Gugat 2.024
8 Harta Bersama 11
9 Penguasaan Anak 1
10 Nafkah Anak Oleh Ibu 1
11 Hak-hak Bekas Istri 0
12 Pengesahan Anak 1
13 Pencabutan Kekuasaan Orang Tua 0
14 Perwalian 0
15 Pencabutan Kekuasaan Wali 0
16 Penunjukan Orang Lain Sebagai Wali 3
17 Ganti Rugi Terhadap Wali 0
18 Asal-Usul Anak 0
19 Penolakan Kawin Campur 2
20 ITSBAT NIKAH 67
21 Izin Kawin 0
22 Dispensasi Nikah 12
23 Wali Adhol 6
24 Ekonomi Syari‟ah 0
25 Kewarisan 31
26 Hibah 1
27 Wakaf 1
28 Wasiat 1
29 Zakat/Infak/Shadaqah 0
30 P3HP/Penetapan Ahli Waris 42
31 Lain-lain 27
Jumlah 3.023 Sumber : Pengadilan Agama Kelas I-A Pontianak
86
Dari data perkara-perkara di atas, dapat dilihat bahwa jumlah permohonan
perkara itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Pontianak adalah sebanyak 67
perkara. Jumlah ini sangatlah jauh jika dibandingkan dengan jumlah perkara cerai
talak dan cerai gugat.
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada Bab IV di atas, maka penulis menarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Bahwa ulama di Kota Pontianak menyatakan nikah sirri adalah sah karena
telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Praktek nikah sirri hanya
sebuah pelanggaran administratif dan bentuk ketidakpatuhan masyarakat
kepada pemerintah, yang hal itu tidak ada kaitannya terhadap status sah atau
tidaknya suatu pernikahan.
2. Pada dasarnya pernikahan sirri dilakukan karena ada hal-hal yang dirasa tidak
memungkinkan bagi pasangan itu untuk menikah secara formal. Ada banyak
faktor yang melatarbelakangi terjadinya nikah sirri, yang menurut peneliti,
semua alasan tersebut mengarah kepada posisi pernikahan sirri dipandang
sebagai alternatif yang lebih mudah untuk menghalalkan hubungan suami-
istri.
3. Akibat negatif nikah sirri bagi perempuan secara hukum atau undang-undang
negara adalah istri tidak dianggap sebagi istri yang sah, tidak berhak
mendapat warisan jika suaminya meninggal, tidak berhak mendapat harta
gono-gini bila terjadi perceraian. Akibat tersebut juga berlaku bagi anak
88
kandung hasil pernikahan sirri. Adapun akibat sosial lebih mengarah kepada
benturan-benturan dengan pandangan-penilaian negatif dari masyarakat yang
dapat menimbulkan tekanan batin bagi istri dan anak tersebut.
B. Saran
1. Kepada masyarakat yang akan menikah, hendaknya melaksanakan
pernikahan sesuai dengan prosedur peraturan dan perundang-undangan
yang ada.
2. Kepada Kantor Urusan Agama untuk mempermudah prosedur pernikahan
demi menutup peluang bagi masyarakat untuk menikah sirri.
3. Perlu adanya sosialisasi dari pihak pemerintah/Kantor Urusan Agama
(KUA) untuk memberikan penyuluhan serta bimbingan seputar
pentingnya administrasi pernikahan kepada masyarakat serta dampak
nikah sirri.
4. Pihak pemerintah hendaknya memfasilitasi masyarakat yang sudah terlanjur
menikah sirri itu agar perniakahan mereka dapat tercatat dan memperoleh
akta nikah dengan gratis.
89
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam, juz VI. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996
Ahmad Zahari, Nurmiah Kamidjantono, Idham. Kumpulan Peraturan Perkawinan
Bagi Masyarakat Islam Di Indonesia. Pontianak: FH UNTAN Press, 2010
Al-Bukhary, Abu Abdillah Muhammad bin Isma‟il. Shahih Al-Bukhary, juz III.
Semarang: Maktabah Al-Munawwar, t th.
Al-Ghazali, Abu Hamid bin Muhammad. Ihya‟ „Ulumiddin, juz II. Bairut Libanon:
Daar al-Fikr, 2002
Al-Jaziry, Abdurrahman. Al-Fiqh „Ala Al-Madzahib Al-Arba‟ah, juz IV. Bairut
Libanon: Daar al-Kutub al-Islamiyah, 2008
Al-Mawardi, Abu Hasan Aly bin Muhammad. Al-Ahkam Al-Shulthaniyyah. Bairut
Libanon: Daar al-Fikr, 1960
Al Qur-an Dan Terjemahnya. Kudus: Menara Kudus. t th.
Al-Sijistani, Abu Dawud. Sunan Abi Dawud, juz I. Bairut Libanon: Daar al-Fikr, t th.
Al-Suyuthi, Jalaluddin. Al-Asybah Wa An-Nadhair. Rembang: Ma‟had Ad-Diniy Al-
Anwar, t th.
Al-Tahami, Syaikh Muhammad. Qurratu Al „Uyuni. Semarang: Pustaka Alawiyah, t
th.
90
Al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa. Sunan At-Tirmidzi, Al-Jami‟u As-Shahih,
juz II. Semarang: Toha Putra, t th.
Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Prenada Media, 2003
Anonimous. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Setia, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1994
Beni Ahmad Saebani. Perkawinan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang.
Bandung: Pustaka Setia, 2008
………Fiqh Munakahat 1. Bandung: Pustaka Setia, 2008
Fawzy Al-Uwaisyi. Eny Bilkaf, Wanita Dan Nikah Menurut Urgensinya. Kediri:
Pustaka „Azm, 2004
Hadari Nawawi. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM Univercity
Press, 1991
Sholahuddin Shofwan, Maqoshid An-Nahwiyyah, Pengantar Memahami Alfiyyah
Ibnu Malik, juz III, Jombang: Darul Hikmah, 2006.
Syatho‟, Abu Bakar. I‟anah al-Thalibin, juz III. Bairut Libanon, Daar al-Fikr, t th.
Taufiqurrahman Al-azizy. Jangan Sirri-kan Nikahmu. Jakarta: Himmah Media, 2010
Tihami, Sohari Sahrani. Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2010
91
BIODATA PENULIS
1. Nama : Ahmad Junaidi
2. Tempat Tanggal Lahir : Pontianak, 24 April 1978
3. Pekerjaan : Wiraswasta
4. Alamat Rumah : Jln. M. Yamin. Gg. Kapuas Melawi. No 27
Kota Baru Pontianak. 78121
5. Nama Orang Tua :
Ayah : Abdul Muhsin (alm)
Ibu : Nur Samah
6. Jumlah Saudara : Anak ke-6 dari 7 bersaudara
7. Status Marital : Belum Menikah
8. Riwayat Pendidikan :
SD Negeri 63 Pontianak Barat (1985-1992)
SMP Negeri 9 Sungai Bangkong (1992-1995)
MA Tajul Ulum Grobogan Jawa Tengah (1995-1998)
Pon-Pes Sirojut Tholibin Brabu. Tanggungharjo. Grobogan. Purwodadi.
Jawa Tengah ( 1995 – 2007 )
Sekolah Tinggi Ilmu Syari‟ah (STIS) Syarif Abdurrahman Pontianak (2007-
2011)
Pontianak, 2 Desember 2011
Ahmad Junaidi
92
Lampiran-lampiran
top related