analisis pendapat imam malik tentang pencabutan ijin...
Post on 24-Jun-2020
26 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK
TENTANG PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI
WASIATKEPADA AHLI WARIS
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S1)
Dalam Ilmu Syari'ah
Oleh :
RIDA DIANA 2103076
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2008
ii
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks. Hal : Naskah skripsi An. Sdri. Rida DIana
Assalamu'alaikum Wr. Wb
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
saya kirim naskah skripsi saudari :
Nama : Rida Diana
NIM : 2103076
Judul : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG
PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP
PEMBERI WASIAT KEPADA AHLI WARIS
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan.
Demikian harap menjadi maklum.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Semarang, 02 Januari 2008
Pembimbing I Pembimbing II
.
Dra. Hj. Siti Mujibatun, M. Ag Ali Imron, M.Ag NIP. 150 231 628 NIP. 150 327 107
iii
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG
Jl. Prof. DR. Hamka (Kampus III) Ngaliyan Telp/ Fax. (024) 601291
PENGESAHAN
Skripsi saudara : Rida Diana
NIM : 2103076
Fakultas : Syari’ah
Jurusan : Al Ahwal Al Syakhshiyah
Judul Skripsi : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG
PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP
PEMBERI WASIAT KEPADA AHLI WARIS
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal:
23 Januari 2008
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1
tahun akademik 2008/2009
Semarang, 23 Januari 2008
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
Achmad Arief Budiman, M.Ag. Ali Imron, M.Ag. NIP. 150 274 615 NIP. 150 327 107 Penguji I Penguji II Drs. Taufik, MH. Drs. H. Ahmad Ghozali NIP. 150 263 036 NIP. 150 216 992 Pembimbing I Pembimbing II Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag. Ali Imron, M.Ag. NIP. 150 231 628 NIP. 150 327 107
iv
ABSTRAK
Rida diana (NIM. 2103076). Analisis pendapat Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris. Skripsi Semarang Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2008.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) pendapat Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris, 2) metode istinbath hukum yang digunakan Imam Malik.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan ( library research). Analisis data yang digunakan adalah analisis non statistik, yaitu menggunakan analisis deskriptif, bukan dalam bentuk angka melainkan dalam bentuk laporan dan uraian deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: menurut pendapat Imam Malik pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris dibedakan menurut kondisi kesehatan pemberi wasiat ketika memberikan wasiat tersebut. Apabila pemberi wasiat ketika memberikan wasiat tersebut dalam keadaan sakit, maka ijin ahli waris tersebut tidak boleh dicabut. Karena dalam hal ini wasiat diberikan kepada ahli waris yang dalam keadaan miskin dan tidak melebihi harta yang menjadi haknya pemberi wasiat yaitu sepertiga(1/3) hartanya. Apabila pemberi wasiat ketika memberikan wasiat tersebut dalam keadaan sehat, maka ijin ahli waris tersebut boleh dicabut. Karena ijin ahli waris tidaklah mengikat. Orang yang sehat masih berhak atas semua hartanya. Dia dapat menyedekahkan, menggunakan dan memberikannya kepada siapapun termasuk kepada ahli warisnya. Namun harus sesuai dengan ketentuan syara’.
Adapun metode istinbath hukum yang digunakan oleh Imam Malik yaitu saddu al-dari’ah. Karena pemberi wasiat memberikan wasiat tersebut kepada ahli waris yang dalam keadaan miskin dengan tujuan kemaslahatan ahli waris yang miskin dan agar bisa sebanding dengan ahli waris lainnya. Maka tujuan yang baik tersebut harus dibukakan peluang. Dan ketidak bolehan dalam pencabutan ijin ini bertujuan agar dapat mencegah ahli waris (yang memberi ijin) memiliki semua harta peninggalan dan dapat terlaksananya hak wasiat sepertiga(1/3) harta yang menjadi haknya pemberi wasiat.
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
Penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi
materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain
atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak
berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang
dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 02 Januari 2008
Deklarator,
Rida Diana
vi
MOTTO
وليخش الذين لو ترآوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا : النساء (.ولوا قوال سديداعليهم فليتقوا اهللا وليق
9(
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak
yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
(QS. An-Nisa’ : 9).
vii
PERSEMBAHAN
Karya ilmiah yang sederhana ini penulis persembahkan:
~ Abah Abdul Wahib Maksum dan Umi Syarifah Zahra tercinta yang telah memberikan kasih
sayang yang tulus serta do’a-do’a yang selalu dipanjatkan untukku dengan tiada hentinya.
~ Kakakku Royan Habibi dan adikku M. Faisal Yahya tersayang yang selalu memberikan
motivasi.
~ Sahabat-sahabatku yang selalu mendampingi baik suka dan duka.
Harapan penyusun semoga buah karya yang sederhana ini mampu memberikan motivasi untuk
langkah-langkah berikutnya dalam mengarungi bahtera kehidupan.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan
hidayah-Nya, sehingga tersusunlah skripsi ini meskipun dalam bentuk yang relatif
sederhana. Sholawat serta salam semoga tetap dilimpahkan kepada nabi Muhammad
SAW, para keluarga, dan pengikutnya. Skripsi ini diajukan guna memenuhi tugas dan
syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang.
Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada semua pihak
yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dengan moral dan bantuan apapun
yang sangat besar artinya bagi penulis. Ucapan terima kasih terutama penulis
sampaikan kepada:
1. Drs. H. Muhyidin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang.
2. Ibu Dra. Hj. Siti Mujibatun, M. Ag., selaku dosen pembimbing I, serta Bapak Ali
Imron, M. Ag., selaku dosen pembimbing II, yang telah bersedia meluangkan
waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan
dalam menyusun skripsi ini.
3. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang
telah membekali berbagai pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
4. Abah Abdul Wahib Maksum dan Umi Syarifah Zahra tercinta atas segala kasih
sayang, do’a, pengorbanan dan kesabarannya.
5. Kakak Royan Habibi dan Adik M. Faisal Yahya tersayang yang selalu
memberikan motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
6. Sahabat-sahabatku baik di kampus maupun di kost yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu yang memberikan bantuan, semangat dan yang selalu
menemani disaat sedih dan senang.
7. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu selama
penulisan skripsi ini.
ix
Kepada mereka semua penulis tidak dapat memberikan apa-apa hanya untaian
terima kasih dengan tulus dan iringan do’a, semoga Allah membalas semua amal
kebaikan mereka dan selalu melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah, dan ‘inayah-Nya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyak memiliki kekurangan, untuk itu
penulis memohon kepada para pembaca untuk menginsafi dan memberikan saran-
saran yang bersifat membangun agar menjadi pertimbangan-pertimbangan dalam
penulisan selanjutnya. Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan tulisan yang telah
tersusun dengan sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
umat Islam pada umumnya. Kepada Allah SWT penulis memohon semoga apa yang
menjadi harapan penulis terkabulkan. Amien.
Semarang, 02 Januari 2008
Penulis
Rida Diana
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING .............................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii
HALAMAN ABSTRAK ................................................................................. iv
HALAMAN DEKLARASI.............................................................................. v
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... vi
HALAMAN PEMSEMBAHAN...................................................................... vii
HALAMAN KATA PENGANTAR................................................................ viii
HALAMAN DAFTAR ISI............................................................................... x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 8
C. Tujuan Penulisan ...................................................................... 9
D. Telaah Pustaka.......................................................................... 9
E. Metode Penulisan Skripsi ......................................................... 11
F. Sistematika Penulisan Skripsi................................................... 14
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG WASIAT
A. Pengertian Wasiat ..................................................................... 16
B. Dasar Hukum Wasiat................................................................ 21
C. Syarat dan Rukun Wasiat ......................................................... 25
D. Wasiat Kepada Ahli Waris ....................................................... 33
BAB III : PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN
AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIAT KEPADA
AHLI WARIS
xi
A. Biografi Imam Malik ................................................................ 37
B. Metode Istinbath Hukum Imam Malik ..................................... 43
C. Pendapat Imam Malik Tentang Pencabutan Ijin Ahli Waris
Terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris......................... 54
BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG
PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI
WASIAT KEPADA AHLI WARIS
A. Analisis Pendapat Imam Malik tentang Pencabutan Ijin Ahli
Waris terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris................ 57
B. Analisis Metode Istinbath Hukum Imam Malik tentang
Pencabutan Ijin Ahli Waris Terhadap Pemberi Wasiat Kepada
Ahli Waris................................................................................. 66
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................... 72
B. Saran-saran ............................................................................... 73
C. Penutup ..................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Harta merupakan salah satu karunia Allah SWT yang diberikan untuk
kesejahteraan manusia, keberadaan harta bagi manusia sangat penting sebagai
salah satu penopang kelangsungan hidup. Namun bukan berarti harta adalah
tujuan akhir dalam kehidupan manusia, karena ia hanya sebagai sarana untuk
mengantarkan kehidupan yang abadi yaitu di akhirat nanti. Maka Allah pun
memberikan peraturan-peraturan syar’i yang harus diikuti dan ditaati oleh
manusia dalam men-tasharaf-kan harta yang dimilikinya.1
Di antara sekian banyak cara men-tasharaf-kan harta adalah wasiat
yaitu pemberian seseorang kepada orang lain berupa barang, piutang, ataupun
manfaat untuk dimiliki oleh orang lain yang menerima wasiat (mushalahu)
dan dilaksanakan sesudah orang yang berwasiat (mushi) meninggal dunia.2
Manusia selalu berupaya berbuat amal kebajikan sewaktu ia masih
hidup. Salah satu amal kebajikan tersebut adalah membuat wasiat semasa
hidupnya agar sebagian harta yang dimilikinya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan orang lain.
1 Yang dimaksud disini adalah mengelola, mengeluarkan, memindahkan harta kepunyaan
atau hak milik dari seseorang atau satu pihak kepada orang atau pihak lain, di antaranya shadaqah, zakat, nafkah, waris, wasiat, hibah, wakaf, dan sebagainya yang kesemuanya telah diatur ketentuannya secara syar’i baik dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah
2 Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah, terj, Mudzakir, “Fiqh Sunnah:, Bandung: al-Ma’arif, 1998, hlm. 215.
2
Orang yang memiliki harta terkadang berkeinginan agar hartanya kelak
jika ia meninggal dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Di samping itu wasiat
juga sebagai sarana untuk mempererat silaturahmi kepada karib kerabat,
sehingga rasa persaudaraan dan solidaritas tidak akan renggang atau putus.
Di dalam al-Qur'an dan sunnah disebutkan bahwa wasiat merupakan
kewajiban seorang muslim yang harus dilaksanakan ketika muslim tersebut
meninggalkan harta yang cukup bagi ahli warisnya.
Firman Allah SWT:
آتب عليكم إذا حضر أحدآم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين )180: البقرة (واألقربين بالمعروف حقا على المتقين
Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma`ruf,3 (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 180).4
Sabda Rasulullah yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu
Umar ra. :
عبد اهللا بن يوسف اخبرنا مالك عن نافع عن عبد اهللا بن عمر رضي ما حق امرئ مسلم : اهللا عنهما ان رسول اهللا صلىاهللا عليه وسلم قل
رواه . (له شئ يوصىفيه يبيت ليلتين اال ووصيته مكتوبة عنده 5)البجارى و مسلم
Artinya : “Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah hak seorang musim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiatnya telah dicatat di sisi-Nya. (HR. Bukhari-Muslim)
3 Ma’ruf adalah adil dan baik, wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang
yang meninggal itu. 4 Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya: Semarang: PT. Toha Putra, 1995,
hlm. 44. 5 Imam Abi Abdullah, Shahih al-Buhkari, Juz 3, Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Ilmiyah, 1992,
hlm. 253.
3
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum wasiat,
mayoritas ulama berpendapat bahwa wasiat hukumnya tidak fardhu ‘ain,6 baik
kepada kedua orang tua atau kerabat yang sudah menerima warisan,7 termasuk
juga kepada mereka yang karena suatu hal tidak mendapatkan bagian
warisan.8 Akan tetapi apabila dikaitkan dengan sifat hukum maka hukum
wasiat bisa bermacam-macam adakalanya wasiat itu wajib apabila wasiat
bertujuan untuk membayar hutang atau mengembalikan barang titipan. Bisa
menjadi sunnah apabila wasiat untuk kerabat yang tidak menerima warisan
untuk berbuat kebaikan. Mubah jika wasiat untuk saudara atau kerabat yang
kaya. Bisa haram jika wasiat untuk kejelekan atau kemaksiatan.
Adanya perbedaan pendapat ini dikarenakan ada beberapa alasan;
Pertama, Nabi tidak menjelaskan masalah ini lagi secara terperinci sampai
beliau wafat. Kedua, para sahabat dalam prakteknya tidak melakukan wasiat
kecuali untuk tujuan taqarrub kepada Allah SWT, kebiasaan itu dinilai
sebagai ijma’ sukuti (kesepakatan tidak langsung) sebagai dasar bahwa wasiat
hukumnya bukan fardhu ‘ain. Ketiga, wasiat adalah pemberian hal yang tidak
wajib diserahkan pada saat orang yang berwasiat meninggal dunia, karena
pada dasarnya, tindakan wasiat akan sangat tergantung pada situasi dan
6 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 445 7 Kelompok ini dalam istilah ahli waris disebut dengan ash-habul furud, jamak dari al-Fard
yang menurut bahasa artinya ketetapan/ ketentuan, sedangkan menurut istilah adalah para ahli waris yang mendapatkan bagian warisan menurut kadar yang telah ditetapkan syara’. Lihat Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu waris, Semarang: Mujahidin, 1981, hlm. 29
8 Istilah ini disebut dengan Hijab yang artinya dinding atau penghalang bagi ahli waris semestinya mendapat bagian warisan menjadi tidak mendapat atau berkurang dari bagian yang semestinya, karena ahli wais yang lebih dekat pertaliannya dengan orang yang meninggal. Dan orang yang menjadi penghalang disebut hijab yang orang yang terhalang disebut mahjub. Ibid. hlm. 27
4
kondisi sekarang. Apakah pada saat ia akan meninggal mempunyai cukup
harta atau tidak.9
Para ulama telah sepakat membatalkan wasiat yang mengandung unsur
yang membahayakan (madharat). Wasiat yang mengandung madharat secara
jelas dilarang oleh al-Qur'an, al-Hadits dan ijma’. Diantara madharat tersebut
adalah mengutamakan sebagian ahli waris atas sebagian lainnya, dimana Nabi
sendiri menyebut perbuatan tersebut sebagai perbuatan aniaya. Bentuk
madharat lainnya adalah jika dengan wasiat tersebut seseorang bermaksud
mengharamkan para ahli waris yang lain untuk mendapatkan sebagian atau
seluruh warisan mereka.10
Fuqaha telah sepakat bahwa wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli
waris. Akan tetapi mereka juga berpendapat tentang larangan itu. Apakah
karena ibadah atau karena ahli waris. Sebagian fuqaha mengatakan larangan
itu karena ibadah, maka mereka mengatakan tidak boleh meskipun diijinkan
oleh ahli waris. Adapun fuqaha lain mengatakan di larangannya karena ahli
waris, maka ia membolehkannya apabila diijinkan oleh ahli waris yang lain.
Wasiat itu tidak diperbolehkan bagi ahli waris sesuai dengan hadits
yang diriwayatkan dari Abu Umamah al-Bahilli, dia pernah mendengar
Rasulullah SAW bersabda:
سمعت رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم : عن ابى امامة الباهلى قال رواه (إن اهللا قد اعطى آل ذى حق حقه فال وصية لوارث، : يقول
11 )احمد واالربعة اال النسائ، وحسنه احمد والترمذى
9 Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 445-446 10 Syaikh Kamil Muhammad, Uwaidah, al-Jami’ Fil Fiqhi an-Nisa’, Terj. M. Abdul
Ghoffar, E.M., Fiqih Wanita (Edisi Lengkap), Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, hlm. 493. 11Hafidh bin Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Dar al-‘Ulum, t.th., hlm. 199
5
Artinya: Dari Abu Umarah al-Bahilli ia berkata : Saya ,mendengar Rasulullah saw bersabda sesungguhnya Allah telah memberikan hak setiap orang yang memiliki hak. Oleh karena itu tidak ada wasiat bagi ahli waris” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi dan Ibnu Majah)
Menurut Imam Malik: “Yang disunatkan dan sudah tidak
diperdebatkan lagi adalah bahwasanya tidak ada wasiat bagi ahli waris,
kecuali jika para ahli waris membolehkannya.12
Wasiat mempunyai batasan-batasan yang harus diperhatikan oleh
pewasiat. Para ulama fiqh bersepakat bahwa wasiat yang dilaksanakan tidak
boleh melebihi dari sepertiga dari harta.13 Ketentuan ini berdasarkan pada
hadits Rasulullah SAW:
حدثنا أبد نعيم حدثنا سفيان عن سعد بن ابراهم عن عامربن سعدبن بمكة وانا نى النبى صلى اهللا عليه وسلم يعود جاء:ابى وقاص
يرحم اهللا ابن : وهويكره ان يموت باالرض التى هاجرمنها قالعفراء قلت يا رسول اهللا اوصى بمالى آله قال ال قلت فاالشطر قال ال قلت الثلث قال فالثلث والثلث آثيرانك ان تدع ورثتك اغنياء
14.خيرمن ان تدعهم عالة يتكففون الناسArtinya: “Nabi SAW datang menjengukku ketika di Mekah, beliau tampaknya
kurang senang meninggal di bumi yang ditinggalkan, dan beliau bersabda: “Semoga Allah mengasihimu Ibn Afra”. Aku bertanya: ”Wahai Rasulullah SAW, aku akan berwasiat dengan seluruh hartaku”. Beliau menjawab: “Jangan”. “Separuh”, tanyaku, “Jangan”, jawab beliau. Aku bertanya: “Sepertiga?” kata beliau: “Sepertiga, sepertiga adalah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (kecukupan) adalah lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan dan minta-minta kepada orang lain. ”
12 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Ibid. 13 Muhammad Jawad Mugniyah, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khomsah, terj Maskur A.B.
at.al. “Fiqh Lima Madzhab, Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 513.
14 Imam Abi Abdullah, Ibid, hlm. 254
6
Hadits di atas menjadi batasan dalam melaksanakan wasiat harta yang
dijadikan acuan oleh para ulama bahwa wasiat tidak boleh melebihi ketentuan
sepertiga dari harta kecuali ada ijin dari ahli waris. Bahkan yang lebih utama
adalah wasiat kurang dari sepertiga.15
Di samping adanya batasan dalam wasiat, wasiat juga harus memenuhi
beberapa rukun dan syarat yang telah ditentukan, agar wasiat yang dilakukan
sah secara syar’i tanpa ada pihak-pihak yang dirugikan karena wasiat
menyangkut hubungan hak milik antar manusia.
Ketentuan tentang batasan sepertiga dalam wasiat sebagaimana yang
dikemukakan di atas diikuti dan diyakini selama ini oleh mayoritas umat
Islam. Apabila lebih dari sepertiga maka harus mendapatkan ijin dari ahli
waris. Begitu juga kalau wasiat diberikan kepada ahli waris, harus mendapat
ijin ahli warisnya.
Yang menjadi permasalahan adalah apabila ahli waris telah
mengijinkan kepada pewasiat untuk memberikan wasiat kepada ahli waris
atau lebih dari sepertiga (1/3) harta, akan tetapi setelah pewasiat meninggal
dunia, ahli waris tersebut mencabut kembali ijin yang telah diberikannya.
Apakah ahli waris tersebut boleh mencabut ijin yang telah diberikannya? Dari
permasalahan di atas para imam madzhab berbeda pendapat.16
15 Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, cet I,
Semarang: Petraya Mitrajaya, 2001, hlm. 347 16 Yang dimaksud para Imam Madzhab disini adalah Imam Hanafi, Syafi'i dan Hambali,
mengatakan kebolehannya pencabutan ijin yang diberikan ahli waris, baik ijin itu diberikan ketika pewasiat berada dalam keadaan sehat maupun sakit. Sedangkan Imam Malik berbeda pendapat (lihat Muhammad Jawad Mugniyah, op. Cit., hlm. 513).
7
Imam Malik berpendapat bahwa jika ahli waris memberikan ijin
kepada pemberi wasiat, ketika pemberi wasiat dalam keadaan sakit, maka ijin
tersebut tidak dapat dicabut. Namun jika pemberi wasiat dalam keadaan sehat
maka ijin tersebut boleh dicabut.
Dalam kitab al-Muwaththo’ diriwayatkan oleh Yahya dikemukakan
sebagai berikut:
أنه . السنة الثابتة عند نا التى الاحتالف فيها: وسمعت مالكا يقول: قالوأنه ان . اال أن يجيزله ذالك ورثة الميت. ال تجوزوصية لوارث
, ن أبىوم. جازله حق من أجازمنهم. وأبى بعض. أجازله بعضهم 17.أخذحقه من ذلك
Artinya: “Yahya berkata: Aku telah mendengar Malik berkata: hukum yang tetap menurutku yang tidak diperselisihkan, adalah tidak dibolehkan wasiat kepada ahli waris, kecuali jika ahli waris si mayit membolehkan (ijin). Apabila sebagian ahli waris memberi ijin dan sebagian tidak, maka wasiat boleh dilaksanakan dengan memperhatikan hak-hak mereka dan hak-hak orang yang tidak memperbolehkan, hak-haknya dipenuhi.”
فيستأذن ورثته , وسمعت مالكا يقول في المريض الذي يوصي: قال
فيأذنون له أن . ليس له من ماله اال ثلثه,في وصيته وهو مريضانه ليس لهم أن يرجعوا في : يوصي لبعض ورثته بأآثرمن ثلثه
18ذالكArtinya: “(Yahya) berkata: Aku mendengar Imam Malik berpendapat tentang
orang sakit yang wasiat, para ahli warisnya mengijinkan wasiatnya dalam keadaan sakit. Yang tidak punya hak atas hartanya ketika dia (pewasiat) sakit, padahal dia hanya mempunyai harta tinggal 1/3 para ahli waris mengijinkannya untuk berwasiat kepada sebagian ahli waris yang lain lebih dari 1/3 nya. (ia berpendapat para ahli waris tersebut tidak boleh menarik kembali ijinnya”
, فأما أن يستأذن ورثته في وصية يوصي بها لوارث في صحته: قال
19.ولورثته أن يردوا ذلك ان شاءوا. فان ذلك ال يلزمهم. فيأذنون له
17 Malik bin Anas Al-Muwatho, Beirut: Darul Ihya al-Ulum, tth., hlm. 582. 18 Ibid 19 Ibid.
8
Artinya: “(Imam Malik) berkata: Apabila para ahli waris telah mengijinkan kepada yang memberi wasiat dalam keadaan sehat untuk berwasiat kepada ahli waris kemudian mereka mengijinkannya, sesungguhnya hal itu tidaklah mengikat mereka maka, para ahli waris dapat mencabut ijinnya sewaktu-waktu mereka menginginkannya.”
Pendapat Imam Malik ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Ternyata
Imam Malik berpendapat bahwa boleh tidaknya pencabutan ijin ahli waris
dikaitkan dengan kondisi kesehatan pemberi wasiat. Padahal ketentuan di
Hadits Nabi secara normatif sudah jelas tidak boleh berwasiat kepada ahli
waris dan lebih dari batasan sepertiga (1/3), sementara pendapat imam
madzhab lain membolehkan pencabutan ijin ahli waris tersebut secara mutlak.
Dari uraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji persoalan tersebut
dalam bentuk skripsi yang berjudul: “ANALISIS PENDAPAT IMAM
MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP
PEMBERI WASIAT KEPADA AHLI WARIS.”
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Pendapat Imam Malik Tentang Pencabutan Ijin Ahli Waris
Terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris?
2. Bagaimana Metode Istinbath Hukum Imam Malik Tentang Pencabutan
Ijin Ahli Waris Terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris?
9
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai
penulis, antara lain:
a. Untuk mengetahui pendapat Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli
waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris.
b. Untuk mengetahui metode istinbath hukum Imam Malik tentang
pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris.
D. Telaah Pustaka
Telaah atau kajian pustaka bertujuan untuk mendapatkan informasi
tentang penelitian-penelitian atau karya-karya ilmiah lain yang berhubungan
dengan penelitian yang akan diteliti agar penulis mendapatkan informasi yang
utuh dan komprehensif agar tidak terjadi pengulangan dengan penelitian yang
telah ada.
Berikut ini penulis mencoba menelaah kitab-kitab dan buku- buku
yang berkaitan dengan wasiat, antara lain:
Ibn Rusyd dalam kitab Bidayah Al mujtahid, mengatakan bahwa
menurut segolongan fuqoha kadar yang mustahab adalah kurang dari
sepertiga. Berdasarkan sabda Nabi dalam hadits: ”dan sepertiga itu banyak”.
Sayid Sabiq dalam Fiqh sunnah 14, menerangkan tentang pengertian
wasiat, hukum wasiat, syarat-syarat wasiat dan ketentuan kadar wasiat.
Abdul Rofiq (NIM: 2199136) dalam skripsinya yang berjudul “Studi
Analisis terhadap Konsep Madzhab Maliki tentang Keharusan Qabul dalam
Ikrar Wasiat”, membahas tiga persoalan: 1). Pendapat madzhab Maliki tentang
10
keharusan qabul dalam ikrar wasiat, 2). Konsep istinbath hukum madzhab
Maliki tentang keharusan qabul dalam ikrar wasiat, apabila dinilai dari segi
kacamata pandang ushul fiqh, 3). Implementasi madzhab Maliki tentang
keharusan qabul dalam ikrar wasiat pada masa sekarang.
Dalam skripsi tersebut disimpulkan bahwa tentang keharusan qabul
dalam penerima wasiat. Belum disinggung tentang pencabutan ijin ahli waris.
Thowilan (NIM: 2199119) dalam skripsinya yang berjudul “Studi
Analisis Pendapat Madzhab Malik tentang Wasiat Kepada Pembunuh”
menyimpulkan bahwa berwasiat kepada seorang pembunuh adalah sah dan
tidak menyalahi konsep istinbath hukum dan juga kaidah ushul fiqh pada
umumnya; Imam Malik mengqiaskan wasiat dengan hibah bukan dengan
waris. Berwasiat kepada seorang pembunuh secara tidak sengaja baik wasiat
itu diberikan sebelum terjadi upaya pembunuhan atau sesudah upaya
pembunuhan, maka wasiat itu sah. Skripsi ini dalam kajiannya belum
menyinggung tentang pencabutan ijin ahli waris.
Asaroh (NIM: 2100261) dalam skripsinya yang berjudul “Studi
Analisis terhadap pendapat Imam Malik tentang kebolehan wasiat anak kecil
yang belum baligh”. Menyimpulkan bahwa pendapat Imam Malik yang
mengatakan tentang orang yang lemah akal, orang safih, orang gila yang
terkadang sadar dan anak kecil mereka boleh berwasiat dengan syarat tahu dan
mengerti tentang wasiat. Skripsi ini dalam kajiannya belum disinggung
tentang pencabutan ijin ahli waris.
Berdasarkan kajian terhadap buku-buku dan hasil penelitian tersebut
jelas bahwa permasalahan yang penulis kaji pada skripsi ini belum pernah
dibahas dalam karya tulis sebelumnya.
11
Dalam skripsi ini penulis menekankan kajian tentang pencabutan ijin
ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris. Menurut Imam Malik
boleh tidaknya pencabutan ijin terkait dengan kondisi kesehatan pewasiat.
Kemudian penulis menganalisis tentang istinbath hukum yang digunakan
Imam Malik. Mengapa Imam Malik berpendapat demikian.
E. Metode Penulisan Skripsi
Ketepatan menggunakan metode dalam penelitian adalah syarat utama
dalam sebuah penelitian. Apabila seseorang mengadakan penelitian kurang
tepat dalam menggunakan metode penelitiannya, tentu akan mengalami
kesulitan bahkan tidak akan mendapatkan hasil yang baik sesuai dengan yang
diharapkan.
Berkaitan dengan persoalan di atas, Winarno Surahmah mengatakan
bahwa metode merupakan cara utama yang digunakan dalam mencapai
tujuan.20
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Studi ini merupakan penelitian pustaka (Library Research) yaitu
menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama yang dimaksud
untuk menggali teori-teori dan konsep-konsep yang telah ditentukan oleh
para ahli terdahulu, mengikuti perkembangan penelitian dalam bidang
20 Winarno Surahmat, Pengantar Penelitian Ilmiah: dasar, Metode dan Teknik, Bandung:
Tarsita Rimbun, 1995, hlm. 65.
12
yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang luas mengenai topik yang
dipilih, manfaat data sekunder serta menghindarkan duplikasi penelitian.21
2. Sumber data
a. Sumber Data Primer
Sumber Data Primer, merupakan data yang diperoleh dari
sumber asli yang memuat suatu informasi.22 Dalam hal ini penulis
menggunakan kitab Al-Muwaththo’ karya Imam Malik bin Anas
sebagai data primer.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan data yang diperoleh dari
sumber yang bukan asli atau bersifat komplemen, yaitu:
1. Bidayah Al-Mujtahid karya Ibn Rusyd
2. Fiqih Sunnah 14 karya Sayyid Sabiq
3. Al-Fiqh ‘ala al-Madzhabil al-Khomsah karya Muhammad Jawad
Mughniyah.
Metode ini penulis gunakan dalam membahas Bab II dan III
3. Metode Pengumpulan Data
Dari penelaahan literatur tersebut akan diperoleh data-data yang
melatarbelakangi tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi
wasiat kepada ahli waris yang lain dengan masalah yang dibahas dan
tahap selanjutnya dianalisis secara kualitatif berupa penjelasan-penjelasan,
21 Masri Singarimbunan dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES,
1985, hlm. 45. 22 Tatang M. Amin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995, hlm. 135.
13
bukan berupa angka-angka statistik dan bukan angka yang lain.23 Dengan
menggunakan nalar pikir induktif serta ditulis dengan menggunakan
penulisan deskriptif analisis yaitu menuturkan, menggambarkan dan
mengklarifikasi secara obyektif dan menginterpretasikan serta
menganalisis data tersebut.24
Dalam rangka pengumpulan data ini penulis mengadakan riset
kepustakaan (library research), yakni penulis membaca buku-buku dan
menganalisisnya guna memperoleh data-data yang diperlukan yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.
4. Analisis Data
Setelah data-data terkumpul, kemudian penulis menggunakan
analisis deskriptif (Descriptive Analysis) untuk memudahkan dalam
menggambarkan fenomena yang muncul dalam situasi tertentu serta
mengetahui bagaimana mencapai tujuan yang diinginkan.25 Skripsi ini
merupakan bentuk penelitian kualitatif tentang kajian seorang tokoh, maka
dengan metode tersebut dapat digunakan untuk menguraikan secara
menyeluruh tentang sisi kehidupan, corak pemikiran, latar belakang dan
dasar pemikiran Imam Malik tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap
pemberi wasiat kepada ahli waris.
Metode ini penulis pergunakan dalam membahas Bab IV.
23 Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,
2004, hlm. 106 24 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003, hlm. 37. 25 Consuelo G. Sevilla, dkk., Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: UI Press, 1993, hlm.
73.
14
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Sistematika penulisan ini merupakan hal yang sangat penting karena
mempunyai fungsi untuk menyatakan garis-garis besar masing-masing bab.
Hal ini dimaksudkan agar penulis dapat memperoleh penelitian yang alamiah
dan sistematis. Dalam usulan penelitian ini penulis akan membagi dalam lima
bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini dikemukakan latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode penulisan skripsi
serta sistematika penulisan skripsi.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG WASIAT
Dalam bab ini dibahas tentang pengertian wasiat, dasar hukum
wasiat, rukun dan syarat wasiat, wasiat kepada ahli waris.
BAB III : PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN
AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIAT KEPADA
AHLI WARIS
Dalam bab ini membahas tentang biografi Imam Malik yang terdiri
dari : riwayat hidup Imam Malik, pendidikan, guru dan murid
Imam Malik, karya-karya Imam Malik, metode istinbath hukum
Imam Malik serta pendapat Imam Malik tentang pencabutan ijin
ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris.
15
BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG
PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI
WASIAT KEPADA AHLI WARIS
Dalam bab ini diuraikan tentang analisis pendapat Imam Malik
serta analisis metode istinbath hukum Imam Malik tentang
pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli
waris
BAB V : PENUTUP
Pada bab terakhir ini akan dikemukakan kesimpulan, saran-saran,
dan penutup.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WASIAT
A. Pengertian Wasiat
Untuk mengetahui pengertian wasiat secara jelas, penulis akan
mengemukakan pengertian wasiat baik secara etimologis (لغه) maupun
terminologis (اصطالحا). 1. Pengertian wasiat secara etimologis (لغه )
Kata wasiat berasal dari bahasa Arab “wasiyyat” (وصية) yang
sejenis kata isim masdar dan bermakna tausiyyat (توصية) atau
isa’ (ايصاء) atau yusii (يوصى) tersusun dari tiga huruf asal yaitu و ,ى, ص yang berarti jatuh dari kedudukan yang tinggi ( وصى)
menyambung dan mempertemukan.1
Dalam kamus Al-Munjid keduanya berarti mengikat janji atas
sesuatu, memerintahkan, menjadikan hak milik setelah meninggal dunia,
seseorang dan menjadikan kepercayaan atas seseorang.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam kata wasaa ( ىوص ) diartikan
sebagai pesan atau janji seseorang kepada orang lain untuk melakukan
suatu perbuatan baik ketika orang yang berwasiat masih hidup maupun
setelah meninggal.2
1Louis Makluff, al-Munjid, Mesir: Maktabah Qatfaliqiyah, 1964, hlm. 904 2Abdul Aziz Dahlan et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Houve, 1996, hlm. 1926
17
Sementara dalam Syarh Fath al Mu’in dijelaskan bahwa kata
wasiat (وصية) menurut bahasa berarti menyampaikan, menyambung.
Istilah wasiat ini berasal dari kata silah bih (صله به) yang artinya
menyambung, karena pewasiat menyambungkan kebagusan dunianya
dengan akhiratnya.3
Kata wasiat dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 9 kali. Dalam
bentuk kata kerja, kata wasiat disebut sebanyak 14 kali dan dalam bentuk
kata benda jadian disebut 2 kali. Seluruhnya disebut dalam Al-Qur’an
sebanyak 25 kali.4
Dalam Al-Qur’an, kata wasiat banyak ditemukan dengan arti dan
makna yang berbeda-beda dalam konteks dan permasalahannya.
Diantaranya arti wasiat itu antara lain :
a. Menunjukkan makna syari’at, sebagaimana Firman Allah :
شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا والذي أوحينا إليك وما وصينا به إبراهيم وموسى وعيسى أن أقيموا الدين
)13: الشورى ....(Artinya : “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa
yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama...” (Q.S. Al-Syura : 13).5
Kata ma wasaa (ما وصى) disini mempunyai pengertian sesuatu
yang disyari’atkan kepada Nabi Nuh.
3Abdul Aziz Al-Malabari, Syarh Fathul Mu’in, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
1990, hlm. 92 4Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. IV, 2000,
hlm. 438 5Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: PT Toha Putra, 1995, hlm.
785
18
b. Menunjukkan makna pesan, sebagaimana Firman Allah :
: البقرة (الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقا على المتقين ... 180(
Artinya : “… Berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqarah : 180).6
Kata al wasiatu (الوصية) disini mempunyai pengertian pesan
kepada orang tua.
c. Menunjukkan makna nasehat, sebagaimana Firman Allah :
1)3: العصر (اصوا بالصبر وتواصوا بالحق وتو.... Artinya : “….Dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran
dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran”. (Q.S. Al-Ashr : 3)7
d. Menunjukkan makna perintah, sebagaimana Firman Allah :
ديه حملته أمه وهنا على وهن وفصاله ووصينا الإنسان بوال )14: القمان (في عامين أن اشكر لي ولوالديك إلي المصير
Artinya : “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu bapaknya : ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun, Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKulah kembalimu”. (Q.S. Al-Luqman : 14)8
2. Pengertian wasiat secara terminologi (اصطالحا ) Ibnu Rusyd, dalam kitab Bidayah al-Mujtahid, mendefinisikan
wasiat sebagai penghibahan harta dari seseorang kepada orang lain atau
beberapa orang sesudah meninggalnya orang tersebut. Atau pembebasan
6Ibid., hlm. 44 7Ibid., hlm. 1099 8Ibid., hlm. 655
19
hambanya baik dijelaskan dengan lafal wasiat atau tidak.9 Sedangkan
menurut para Fuqaha dalam mengartikan pendapat tersebut, wasiat dapat
dibatalkan sewaktu-waktu oleh salah satu pihak yaitu pihak si pemberi
wasiat.
Sayyid Sabiq mendefinisikan wasiat yaitu :
هبة االنسان غيره عينا اودينا اومنفعة على ان يملك الموصى له 10.الهبة بعد موت الموصي
Artinya : “Pemberian seseorang kepada orang lain berupa benda, utang atau manfaat, agar si penerima memiliki pemberian itu setelah si pewasiat meninggal”.
Pendapat lain mengatakan bahwa wasiat adalah pernyataan atau
perkataan seseorang kepada orang lain, bahwa ia memberikan kepada
orang lain itu hartanya tertentu atau membebaskan hutang orang itu atau
memberikan manfaat suatu barang kepunyaannya setelah ia meninggal
dunia.11
Sedangkan 4 Imam Madzhab mendefinisikan wasiat yaitu :
a. Definisi wasiat menurut Madzhab Syafi’iyah :
سواء أضافه , الوصية تبرع بحق مضاف الى ما بعد الموت 12 . لفظا أوال
Artinya : “Pemberian suatu hak atas dasar tabaru’ yang disandarkan kepada keadaan setelah meninggalnya si pemberi wasiat baik dilakukan dengan ucapan atau bukan”.
9Ibn Rusyd, Budayah al-Mujtahid, Abdurrahman, terj. Bidayah al-Mujtahid, Semarang:
Asy-Syiofa’, 1990, hlm. 455 10Sayyid Sabiq, fiqh Sunnah, juz 3, Beirut: Dar al-Fikr. 1977, hlm. 414 11Zakiah daradjat, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995, hlm. 161 12Abdur Rahman Al-Jaziri, Kitab Fqih ala Madzhab Arba’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiah, 1410, hlm. 278
20
b. Definisi wasiat menurut madzhab Hanabilah باالتصرف بعد الموت آأن يوصى شخصا الوصيه هي االمر
اويزوج بناته اوبفرق ثلث ماله بأن يقوم على اوالده الصغار 13 . ونحو ذلك
Artinya : “Wasiat adalah suatu perintah dengan mentasarufkan harta benda setelah meninggalnya orang yang berwasiat seperti berwasiat kepada seseorang untuk memelihara anak-anaknya yang measih kecil, menikahkan anak perempuan atau memisahkan 1/3 hartanya atau semisalnya”.
c. Definisi wasiat menurut Madzhab Hanafiyah
14 .الموت بطريق التبرع الوصيه تمليك مضاف الى ما بعدArtinya : “Wasiat adalah memindahkan hak milik kepada seseorang
yang disandarkan kepada keadaan setelah meninggalnya si pemberi wasiat dengan jalan tabarru ( sukarela )’”.
d. Definisi wasiat menurut Madzhab Malikiyah
فى ثلث مال عاقده الوصية في عرف الفقهاء عقد يوجب حقا 15. اويوجب نيابة عنه بعده, يلزم بموته
Artinya : “Wasiat menurut ahli fiqh adalah perjanjian yang menetapkan adanya suatu hak pada sepertiga harta orang yang melakukan perjanjian itu berlaku setelah meninggalnya si pemberi wasiat, atau menentukan penggantinya sesudah seseorang meninggal dunia”.
Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wasiat
adalah pemberian seseorang kepada orang lain atau beberapa orang
(lembaga) baik berupa barang, pembebasan, atau pelunasan hutang atau
manfaat yang akan menjadi milik orang yang akan diberi wasiat tanpa
mengharapkan imbalan (tabarru’) yang pelaksanaannya berlaku setelah
orang yang berwasiat meninggal dunia.
13Ibid. 14Ibid., hlm. 277 15Ibid.
21
Dalam hal ini tidak ada kontroversi, karena mereka memahami
wasiat melalui pandangan tekstual, dimana pandangan ini berpegang
pada suatu pendekatan induktif yang berpijak pada teori qiyas16. Yang
bersandar pada ‘illat jali (‘illat yang jelas).
B. Dasar Hukum Wasiat
Wasiat yang merupakan salah satu amalan ibadah yang disyari’atkan
dalam Islam memiliki sumber hukum yang berdasarkan pada :
1. Al-Qur’an, sebagaimana Firman Allah SWT. Q.S. Al-Baqarah : 180
آتب عليكم إذا حضر أحدآم الموت إن ترك خيرا الوصية )180: البقرة (للوالدين والأقربين بالمعروف حقا على المتقين
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya dengan cara yang ma’ruf. Ini adalah kewajiban orang yang bertaqwa.”(Qs. Al-Baqarah : 180)17
Dalam surat Al-Baqarah ayat 181 :
معه فإنما إثمه على الذين يبدلونه إن الله سميع فمن بدله بعدما س 1)181: البقرة (عليم
Artinya : “Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(Qs. Al-Baqarah : 181).18
Dalam surat Al-Baqarah ayat 240 :
16Qiyas adalah mempersamakan hukum atau peristiwa yang tidak ada nashnya dengan
hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya karena adanya persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa itu. (lihat Muhtar Yahya, Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandaung: al-Ma’arif, 1986, hlm. 66).
17Departemen Agama RI., op. cit., hlm. 44 18Ibid,
22
والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا وصية لأزواجهم متاعا إلى لا جناح عليكم في ما فعلن في الحول غير إخراج فإن خرجن ف
)240: البقرة (أنفسهن من معروف والله عزيز حكيم Artinya : Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu
dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah : 240).19
Dalam surat Al-Maidah ayat 106 :
ياأيها الذين أمنوا شهادة بينكم إذا حضر أحدآم الموت حين الوصية اثنان ذوا عدل منكم أو أخران من غيرآم إن أنتم ضربتم
ا من بعد الصلوة في الأرض فأصابتكم مصيبة الموت تحبسونهمفيقسمان بالله إن ارتبتم لا نشتري به ثمنا ولو آان ذا قربى ولا
نكتم شهادة الله إنا إذا لمن الآثمين )106: المائدة (
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa". (QS. Al-Maidah : 106).20
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menerangkan tentang wasiat,
penulis tidak mengungkapkan semuanya.
19Ibid, hlm. 59 20Ibid, hlm. 180
23
Ayat-ayat diatas menunjukkan secara jelas mengenai hukum
wasiat serta teknis pelaksanaannya serta materi yang menjadi obyek
wasiat. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat dalam
memahami dan menafsirkan hukum wasiat.
2. As-Sunnah
Adapun hadits Rasulullah Saw. yang dapat dijadikan sebagai
dasar hukum wasiat diantaranya adalah :
Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Waqqas ra. :
حدثنا أبد نعيم حدثنا سفيان عن سعد بن ابراهم عن عامربن سلم يعودنى وانا جاء النبى صلى اهللا عليه و:سعدبن ابى وقاص
بمكه وهو يكره ان يموت بااالرض التى هاجر منها قال يرحم اهللا ابن عفراء قلت يا رسول اهللا اوصى بمالى آله قال ال قلت، فاالشطر قال ال قلت الثلث والثلث آثير انك ان تدع ورثتك اغنياء خير من ان تدعهم عاله يتكففون الناس من ايد يهم وانك
ن نفقة فانها صدقة حتى اللقمة ترفعها الى فى مهما انفقت مامرأتك وعسى اهللا ان يرفعك فينتفع بك ناس ويضرك بك
21 )رواه البخارى.(اخرون ولم يكن له يومئذ اال ابنةArtinya : “Nabi Saw. Datang menjengukku ketika di Mekkah, beliau
tampaknya kurang senang meninggal di bumi yang ditinggalkan, dan beliau bersabda “semoga Allah mengasihimu Ibn Afra’”. Aku bertanya : “Wahai rasulullah Saw. Aku akan berwasiat dengan seluruh hartaku”. Beliau menjawab : “jangan”. “separuh”, tanyaku, “jangan” jawab beliau. Aku bertanya “sepertiga”? kata beliau : “sepertiga”, sepertiga adalah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (kecukupan) adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan dan meminta-minta kepada orang lain. Sesungguhnya kamu ketika menginfakkan sesuatu adalah merupakan sadaqah hingga sesuap nasi yang engkau suapkan kepada mulut isterimu. Dan semoga Allah akan
21Imam Abi Abdullah, Shahih al-Bukhari, juz 3, Beirut: Dar al-Kitab Al-‘ilmiyah, 1992,
hlm. 253
24
mengangkatmu, sehingga orang lain dapat memperoleh manfaat dari kamu, sementara sebagian lain menderita, dan hari itu tidak ada lain kecuali seorang anak perempuan”. (Riwayat al-Bukhari).
Hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra. :
عبد اهللا بن يوسف اخبرنا مالك عن نافع عن عبد اهللا بن عمر رضي اهللا عنهما ان رسول اهللا صلىاهللا عليه
ما حق امرئ مسلم له شئ يوصىفيه يبيت : وسلم قلرواه البجارى و . (ليلتين اال ووصيته مكتوبة عنده
22)مسلمArtinya : “Rasulullah bersabda : “Bukanlah hak seorang muslim yang
mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiat telah dicatat di sisi-Nya”. (Hadits Riwayat Bukhari-Muslim).
Hadits-hadits diatas dapat dipahami bahwa wasiat itu penting,
selain sebagai pelaksanaan ibadah untuk kehidupan akhirat, ia akan
memberi manfaat bagi kepentingan orang lain atau masyarakat pada
umumnya.
3. Ijma’
Ijma’ menurut istilah para Ushul Fiqh adalah kesepakatan seluruh
para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah
Saw. wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.23
Praktek pelaksanaan wasiat telah dilakukan oleh umat Islam sejak
zaman Rasulullah sampai sekarang. Tindakan yang demikian tidak
pernah diingkari oleh siapapun. Dan ketiadaan ingkar seseorang itu
menunjukkan adanya ijma’ atau kesepakatan umat Islam bahwa wasiat
merupakan syari’at Allah dan Rasul-Nya yang didasarkan atas nash-nash
22 ibid. 23Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 56
25
Al-Qur’an maupun hadits Nabi yang menerangkan tentang keberadaan
wasiat.
C. Rukun dan Syarat Wasiat
Wasiat merupakan satu amalan yang sangat dianjurkan karena dalam
wasiat mengandung nilai ibadah yang akan mendapat pahala dari Allah dan
juga mengandung nilai sosial yang akan menghasilkan kemaslahatan yang
banyak di dunia. Oleh karena itu hampir semua kitab fiqh terdapat
pembahasan tentang wasiat seiring dengan pembahasan masalah waris
karena keduanya terdapat korelasi antara satu dengan yang lainnya dan saling
berhubungan.
Agar wasiat dapat dilaksanakan sesuai dengan kehendak syari'at,
maka dibutuhkan sebuah aturan yang di dalamnya mencakup rukun dan
syarat wasiat. Rukun dan syarat itu merupakan komponen yang penting
sehingga turut menentukan sah dan tidaknya suatu wasiat. Adapun rukun
wasiat itu adalah sebagai berikut :
Abdurrahman al-Jaziri menyebutkan rukun wasiat yaitu :
24به و صيغة موصى و موصىله و موصىارآانها Artinya : Rukun wasiat yaitu orang yang berwasiat, orang yang menerima
wasiat, barang yang diwasiatkan dan sighat”.
Tetapi beda halnya dengan pendapat ulama Hanafiyah, rukun wasiat
itu hanya satu yaitu ijab dan qabul.25
Sebenarnya ulama Hanafiyah dalam memberikan ketentuan tentang rukun
wasiat adalah sama seperti yang dikemukakan oleh Jawad Mughniyah,
24Abdurrahman Al-Jaziri, op. cit., hlm. 316 25 ibid., hlm. 317
26
karena ijab dan qabul itu membutuhkan subyek dan obyek, sehingga
walaupun rukun wasiat itu hanya disebutkan satu saja sebagaimana pendapat
ulama Hanafiyah, akan tetapi ijab dan qabul telah mencapai rukun-rukun
yang lain yaitu adanya orang berwasiat dan penerima wasiat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rukun wasiat terdiri dari
empat hal,. Yaitu :
1. Mushi (orang yang berwasiat)
2. Musha lahu (orang yang menerima wasiat)
3. Musha bihi (orang yang diwasiatkan)
4. Sighat (ijab qabul/lafadz)
Dari keempat rukun di atas masing-masing memiliki syarat yang
harus dipenuhi agar wasiat menjadi sah. Adapun mengenai syarat masing-
masing rukun wasiat tersebut adalah :
1. Orang yang berwasiat (Mushi)
Bagi orang yang berwasiat disyaratkan orang yang memiliki
kesanggupan untuk melepaskan hak miliknya kepada orang lain (ahli
tabarru’). Oleh karena itu mushi haruslah orang yang telah baligh,
berakal, dan merdeka. Apabila pemberi wasiat itu masih anak-anak, gila,
hamba sahaya, dipaksa atau dibatasi, maka ulama Syafi'iyah
menghukumi tidak sah.
Imam Malik berpendapat bahwa wasiatnya anak kecil yang
belum dewasa atau belum baligh tetapi berakal adalah sah. Lain halnya
27
dengan Abu Hanifah beliau menghukumi tidak sah wasiat anak kecil
yang belum baligh.26
Ulama Hanabillah dan Malikiyah dalam menghukumi sah
tidaknya wasiat anak kecil yang belum mumayyiz yaitu anak yang telah
berusia 10 tahun, atau mendekatinya adalah sah karena dalam usia
tersebut mendekati berakal dan wasiat merupakan tasharuf yang hanya
mendatangkan manfaat dan tidak mendatangkan kemadharatan baginya.
Mengingat harta yang diwasiatkan masih menjadi hak miliknya selama ia
masih hidup dan dapat menarik kembali atau mencabut kembali wasiat
yang telah dibuat. Oleh karena itu wasiat anak mumayyiz
diperbolehkan.27
Di samping syarat-syarat di atas disyaratkan pula bagi mushi
harus ridha dan tidak dipaksa maupun terpaksa terhadap wasiat yang ia
buat, karena wasiat merupakan satu tindakan yang akan berakibat
beralihnya hak milik dari orang yang berwasiat terhadap orang yang
menerima wasiat, maka kerelaan terhadap wasiat yang ia buat tanpa
didasari atas paksaan, mutlak diperlukan yang selanjutnya menjadi syarat
bagi sahnya wasiat.
Dalam KHI, Pasal 194 ayat (1) menjelaskan bahwa orang
berwasiat adalah orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21
26 Ibnu Rusy, op.cit. hlm.449 27Wahbah Azzuhaily, Al-fiqh al-Islam Wa’aadiluhu, juz. IV, Beirut: Dar Al-fikr, t.th., hlm.
26
28
tahun, berakal sehat, dan tanpa adanya paksaan, dapat mewasiatkan
sebagian harta bendanya kepada orang lain ataupun lembaga.28
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang berwasiat
disyaratkan atas hal-hal sebagai berikut :
a. Sudah baligh dan rasyid (cerdik)
b. Berakal sehat
c. Merdeka
d. Tidak dipaksa.
2. Orang yang menerima wasiat (musha lahu)
Bagi orang yang menerima wasiat disyaratkan atas hal-hal sebagai
berikut :
a. Penerima wasiat masih hidup ketika wasiat diucapkan, walaupun
keberadaannya hanya sebatas perkiraan saja. Keberadaan wasiat
memang harus jelas kepada siapa dan untuk siapa wasiat tersebut
ditujukan, akan tetapi jika mushi telah menunjukkan kepada siapa ia
berwasiat, kemudian musha lahu atau orang yang ditunjuk menerima
wasiat tadi meninggal terlebih dahulu dari pewasiatnya, maka dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama dalam masalah
ini berpendapat bahwa wasiat yang penerimanya meninggal lebih
dahulu adalah batal atau gugur, sedang sebagian ulama yang lain
berpendapat tidak gugur dan harta yang diwasiatkan menjadi hak ahli
waris penerima wasiat.
28Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,
Yogyakarta: UII Press, 1993, hlm.217
29
b. Penerima wasiat bukan ahli waris dari mushi
Berdasarkan hadits Rasul saw :
سمعت رسول اهللا صلى اهللا عليه : عن ابى امامة الباهلى قال إن اهللا قد اعطى آل ذى حق حقه، فال وصية : وسلم يقولوحسنه احمد احمد واالربعة اال النسائ، رواه(لوارث،
29 )والترمذىArtinya : Dari Abu Umarah al-Bahilli ia berkata : Saya ,mendengar
Rasulullah saw bersabda sesungguhnya Allah telah memberikan hak setiap orang yang memiliki hak. Oleh karena itu tidak ada wasiat bagi ahli waris” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudy dan Ibnu Majah)
Dalam hal ini jumhur ulama berpendapat bahwa wasiat
kepada ahli waris adalah tidak sah bahkan Ibn Hasm dan fuqaha
Malikiyah yang masyhur mengharamkan wasiat bagi ahli waris
dengan alasan Allah menghapus ayat wasiat dengan ayat waris.
Sedangkan madzhab Syafi'iyah dan Hanafiyah membolehkan wasiat
terhadap ahli waris manakala mendapat ijin dari semua ahli waris.
Pendapat ini berdasarkan atas hadits Rasul saw :
عن عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده ان النبى صلىاهللا رواه (الوصية لوارث اال ان يجيز الورثة : عليه وسلم قال
30) الدارقطنىArtinya : Tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali diperbolehkan
oleh ahli waris” (HR. Ad. Daru Quthny). Dalam KHI Pasal 195 ayat (3) menjelaskan bahwa wasiat
kepada ahli waris hanya berlaku apabila disetujui oleh semua ahli
waris.31
29Hafidh bin Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Dar al-‘Ulum, t.th., hlm. 199 30T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, cet. 1, Semarang: Petraya
Mitrajaya, 2001, hlm. 346
30
c. Penerima Wasiat bukan pembunuh mushi
Abu Yusuf berpendapat bahwa berwasiat kepada orang yang
telah membunuh pewasiat baik wasiat itu diijinkan oleh ahli waris
atau tidak adalah tidak sah.32 Pendapat beliau ini berdasarkan qiyas
yang mempersamakan mawani (hal-hal yang dapat menghalangi)
seseorang untuk memperoleh pusaka dengan jalan wasiat.
Ulama Hanafiyah menghukumi tidak sah wasiat kepada
orang yang telah membunuh pewasiat, namun dalam pembunuhan
karena kelalaian (kesalahan) yang dilakukan oleh penerima wasiat
dan memperoleh ijin dari ahli waris maka wasiatnya sah.33
Ulama Malikiyah menetapkan 2 syarat untuk sahnya wasiat
ada orang yang telah membunuh pewasiat :
1.) Wasiat tersebut dibatalkan setelah adanya tindakan pendahuluan
untuk membunuh, misalnya memukul, menyiksa.
2.) Si korban mengenal kepada pembunuhnya bahwa dialah yang
sebenarnya telah menjalankan tindakan atas pembunuhan itu.
Dalam KHI Pasal 197 ayat (1) menjelaskan bahwa wasiat tidak sah
atau batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:
1.) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewasiat.
31 Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, loc. Cit. 32Fatchurrahman, Ilmu waris, Bandaung: al-Ma’arif, 1981, hlm. 58 33Ibid,
31
2.) Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan bahwa
pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman lebih berat.
3.) Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah
pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat
untuk kepentingan calon penerima wasiat.
4.) Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau
memalsukan surat wasiat dari pewasiat.
d. Penerima wasiat adalah orang yang diketahui meskipun hanya
memberikan ciri-cirinya saja seperti berwasiat kepada fakir miskin
dan lembaga-lembaga sosial. Sedangkan dalam KHI Pasal 197 ayat
(2) menjelaskan bahwa penerima wasiat harus ia sebutkan dengan
tegas dan jelas siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima
harta benda yang diwasiatkan. Maka, wasiat menjadi batal apabila
orang yang ditunjuk menerima wasiat itu:
1.) Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal
dunia sebelum meninggalnya pewasiat.
2.) Mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk
menerimanya.
3.) Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan
menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum
meninggalnya pewasiat.
32
3. Benda/barang yang diwasiatkan (musha bihi)
Adapun syarat-syarat benda atau barang yang diwasiatkan
sebagai berikut :
a. Seseorang yang ingin mewasiatkan sesuatu barang hendaknya barang
tersebut adalah milik pribadi orang yang memberi wasiat, bukan
milik orang lain meskipun mendapat ijin dari pemilik barang
tersebut.
b. Barang yang diwasiatkan berwujud, maksudnya sesuatu yang
diwasiatkan itu telah ada pada waktu wasiat terjadi dan dapat
dialihmilikkan dari pewasiat kepada penerima wasiat. Maka, jika
barang yang diwasiatkan musnah batallah wasiat tersebut (KHI Pasal
197 ayat 3). Sedangkan yang berupa selain barang yang berwujud
seperti manfaat atau hak, para ulama berbeda pendapat. Jumhur
ulama memperbolehkan wasiat yang berupa manfaat alasan mereka
manfaat termasuk wasiat, sedang menurut Ibn Abi Laila, Abu
Sibramah, dan ahli Zahir menghukumi batal wasiat yang berupa
manfaat.34 Dalam KHI Pasal 198, wasiat yang berupa hasil atau
pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu.
c. Barang yang diwasiatkan bukan sesuatu yang dilarang oleh syar’i.
Ahmad Hasan al-Khatib menyatakan tidak sah wasiat berupa
minuman keras, sedangkan ulama Malikiyah berpendapat syarat
barang yang diwasiatkan tidak harus suci, tetapi harus bermanfaat.
d. Barang yang diwasiatkan tidak lebih dari 1/3 harta peninggalan.
34Ibn Rusyd, op. cit., hlm. 452
33
4. Sighat Wasiat
Sighat adalah kata-kata yang diucapkan oleh pewasiat dan orang
yang menerima wasiat yang terdiri dari ijab dan qabul. Ijab merupakan
pernyataan yang diucapkan oleh pewasiat bahwa ia mewasiatkan sesuatu,
sedangkan qabul adalah pernyataan yang diucapkan oleh penerima
wasiat. Sebagai tanda terima atas ijab pewasiat, ijab dan qabul ini
didasarkan atas unsur kerelaan tanpa ada paksaan.
D. Wasiat Kepada Ahli Waris
1. Pengertian ahli waris
Kata ahli waris secara bahasa berarti keluarga. Tidak secara
otomatis ia dapat mewarisi harta peninggalan pewarisnya yang
meninggal dunia. Karena kedekatan hubungan kekeluargaan juga dapat
mempengaruhi kedudukan dan hak-haknya untuk mendapatkan warisan.
Terkadang yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat
tetapi tidak dikategorikan sebagai ahli waris yang berhak menerima
warisan. Karena jalur yang dilaluinya perempuan.35
Ahli waris adalah seseorang yang pada saat seorang pewaris
meninggal dunia, mempunyai hubungan darah (ahli waris nasabiyah)36
atau hubungan perkawinan dengan pewaris (ahli waris sababiyah),
35 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, ed.Revisi, cet.4, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001,
hlm.59. 36Maksud hubungan darah : - Golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki paman dan kakek. - Golongan perempuan terdiri dari : Ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. [lihat KHI. Bab II, Ahli Waris, Pasal 174 ayat 1(a)]
34
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli
waris.37
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari
kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan
bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama
menurut ayahnya atau lingkungannya.
2. Hukum wasiat kepada ahli waris
Para ulama sepakat bahwa wasiat tidak boleh diberikan kepada
ahli waris, berdasarkan riwayat dari Abu Umamah.
سمعت رسول اهللا صلى اهللا عليه : عن ابى امامة الباهلى قال اهللا قد اعطى آل ذى حق حقه، فال وصية إن : وسلم يقولرواه احمد واالربعة اال النسائ، وحسنه احمد (لوارث، 38 )والترمذى
Artinya : “Dari Abu Umamah al-Bahilli ia berkata : Saya ,mendengar Rasulullah saw bersabda sesungguhnya Allah telah memberikan hak setiap orang yang memiliki hak. Oleh karena itu tidak ada wasiat bagi ahli waris” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi dan Ibnu Majah)
Namun ada pendapat yang membolehkan wasiat kepada ahli
waris dengan syarat apabila ahli waris lain menyetujuinya. Ini adalah
pendapat mazhab Syafi’iyah, Hanafiyah dan Malikiyah. Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Amru bin syu’aib:
37Departemen Agama RI., Pedoman Penyuluhan Hukum: Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1995, hlm. 104 38Hafidh bin Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Dar al-‘Ulum, t.th., hlm. 199
35
عن عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده ان النبى صلىاهللا عليه رواه (الوصية لوارث اال ان يجيز الورثة : وسلم قال 39)الدارقطنى
Artinya : “Tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali diperbolehkan oleh ahli waris”(HR. Ad. Daru Quthny)
Ibn Munzhir dan ibn Abdil Barr40 mengatakan bahwa pendapat
ini telah disepakati oleh seluruh fuqaha’. Karena Nabi Muhammad Saw.
telah melarang memberikan wasiat kepada ahli waris yang dapat
menerima warisan, sekiranya tidak mendapatkan ijin dari para ahli waris
yang lain. Beliau juga melarang kepada seseorang yang berada dalam
keadaan sehat dan kuat terhadap hak kepemilikan hartanya dan mampu
melaksanakan keadilan terhadap anak-anaknya, untuk memberikan
sesuatu kepada salah seorang anaknya lebih banyak dari pada anaknya
yang lain. Sebab tindakan yang demikian itu akan mudah menimbulkan
persengketaan dan iri hati satu sama lain. Apalagi pemberian itu
dilaksanakan disaat kematiannya atau dalam keadaan sakit dan lemah.
Pelanggaran hak dan rusaknya rasa keadilan diantara mereka akan lebih
besar lagi. Namun jika ahli waris yang lain menyetujuinya. Maka wasiat
itu diperbolehkan.
Ibn Qudamah dalam syarhnya, berkata apabila seseorang
memberikan wasiat kepada ahli warisnya, tetapi ahli waris yang lain
tidak menyetujuinya, maka wasiat itu tidak sah.
39 T.M Hasbi Ahs Siddieqy, loc. Cit. 40 Ja’far Subani, Yang Hangat Dan Kontroversial Dalam Fiqh, Jakarta: Lentera, 2002. hlm.
216
36
Fuqaha Syi’ah Zaidiyah membolehkan memberi wasiat 1/3 harta
peninggalan atau kurang kepada ahli waris yang menerima warisan tanpa
tergantung perijinan dari ahli waris. Sebab yang dinasakh dalam surat al-
baqarah: 180 itu adalah kewajiban berwasiat kepada orang yang
menerima warisan. Menasakh kewajiban berwasiat tidak berarti
menasakh kebolehannya. Oleh karena itu berwasiat kepada ahli waris
adalah boleh dan sah tanpa tergantung ijin ahli waris.41
3. Ijin ahli waris
Perijinan ahli waris merupakan suatu kerelaan untuk
dikuranginya hak-hak mereka, karena harta yang telah diwariskan orang
yang wafat merupakan hak mereka bersama yang harus dibagi sesuai
dengan ketentuan syara’. Untuk itu ulama fiqh sepakat mensyaratkan :
1.) Ijin dari ahli waris itu harus bersumber dari ahli waris yang telah
cakap bertindak hukum, yaitu baligh dan berakal serta mengetahui
adanya wasiat tersebut. Oleh sebab itu ijin atau kebolehan wasiat
dari ahli waris yang belum atau tidak cukup bertindak hukum tidak
sah.
2.) Ijin atau kebolehan wasiat dari ahli waris itu diungkapkan setelah
orang yang berwasiat meninggal dunia. Oleh sebab itu ijin atau
kebolehan dari ahli waris semasa hidup al-mushi tidak sah, karena
ada kemungkinan bahwa ijin mereka itu hanya bersifat semu, demi
menjaga perasaan al-mushi. Karenanya apabila ijin terhadap wasiat
itu diungkapkan ahli waris lain semasa al-mushi hidup, kemudian
41 Fatchurrahman, op.cit, hlm 61
37
setelah al-mushi wafat, mereka membatalkan ijin atau kebolehan
wasiat itu, maka wasiat itu batal.42
42Abdul Aziz Dahlan et.al, op. cit., hlm. 1929
37
BAB III
PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG PENCABUTAN IJIN
AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIAT
KEPADA AHLI WARIS
A. Biografi Imam Malik
1. Riwayat Hidup Imam Malik
Imam Malik hidup pada tahun 716-795 M. Ahli dalam ilmu hadits
dan fiqh. Beliau dipandang sebagai perawi hadits Madinah yang paling
terpercaya dan sanad (sumbernya) paling siqah (terpercaya). Beliau
menguasai fatwa-fatwa Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar bin
Khattab dan Aisyah binti Abu Bakar serta muridnya.1
Beliau dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz, dari
sepasang suami istri Anas bin Maliki dan St. Al Aliyah binti Syuraik bin
Abdurrahman bin Syuraik Al Azadiyah, bangsa Arab Yaman. Ayah Imam
Malik bukan Anas bin Maliki sahabat Nabi, tetapi seorang tabi’in yang
sangat minim sekali informasinya. Dalam buku sejarah hanya mencatat,
bahwa ayah Imam Malik tinggal di suatu tempat bernama Zulmarwah,
nama suatu tempat di padang pasir sebelah utara Madinah dan bekerja
sebagai pembuat panah. Walaupun demikian, beliau pernah mempelajari
sedikit banyak hadits-hadits Rasulullah.2
1Hafid Al Ansori, et.al., Ensiklopedi Islam, Jilid III, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hove,
Cet. Ke-3, 1994, hlm.142. 2M. Alfatih Suryadilaga (editor), Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003,hlm.
38
Nama kecil Imam Malik adalah Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn
Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr
ibn al-Haris al-Asbahi al-Madani. Dengan riwayat ini jelas bahwa beliau
adalah seorang keturunan dari bangsa Arab yang terhormat, berstatus
sosial tinggi, dari dusun Dzul Ashbah, sebuah dusun di kota Himayar dari
jajahan negeri Zaman.3
Imam Malik adalah salah seorang penulis ayat Al-Qur’an dan
Abdul Azis pernah meminta pendapatnya. Beliau bertempat tinggal di
Dzul Marwah, nama suatu tempat di padang pasir di sebelah utara
Madinah. Kemudian beliau tinggal di ‘Al-Akik buat sementara waktu
akhirnya beliau terus menetap di Madinah.4
Silsilah Imam Malik bin Anas adalah Imam Malik bin Anas bin
Malik bin Abi Amir bin Amru bin Ghaimah bin Huthail bin Amru bin Al
Haris dan beliau pendukung Bani Tamim ibn Murrah. Datuknya yang
kedua Abu Amir bin Amru salah satu sahabat Rasulullah SAW yang ikut
berperang bersama Rasulullah kecuali dengan perang Badar. Datuk Malik
yang pertama adalah Malik bin Amar dari golongan Taqrin, gelarnya
adalah Abu Anas.5
Imam Malik menikah dengan seorang hamba yang melahirkan
anak laki-laki (Muhammad, Hammad, Yahya) dan seorang anak
perempuan (Fatimah yang mendapat julukan Umm al-Mu’minin). Menurut
3Ibid. 4Dr. Ahmad Asy-Syurbasi, Al-Aimatul Arba’ah, terj. Drs. Sabil Huda, Drs. H.A. Ahmadi,
Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab, Jakarta: Bumi Aksara, 1993,hlm.72 5Hafid al Ansori, op .cit., hlm.139.
39
Abu Umar, Fatimah termasuk di antara anak-anaknya yang dengan tekun
mempelajari dan hafal dengan baik kitab Al- muwaththa’.
Imam Malik menjadi seorang alim besar dan terkenal dimana-
mana setelah ijtihad atau buah penyelidikan beliau tentang hukum-hukum
keagamaan diakui dan diikuti oleh sebagian kaum muslimin, maka buah
ijtihad beliau itu dikenal oleh orang banyak dengan sebutan mazhab
Maliki.6
Imam Malik mengalami sakit selama dua puluh hari, pada malam
menghembuskan nafasnya yang terakhir, dengan secara kebetulan Bakar
Sulaiman Asy Syafwah bersama beliau. Imam Malik meninggal di
Madinah yaitu pada tanggal 14 bulan Robiul awal tahun 179 H. ada juga
yang berpendapat meninggal dunia pada tanggal 11;13;14 bulan Rajab.
Sementara An-Nawawi juga berpendapat beliau meninggal pada bulan
Safar, pendapat pertama adalah lebih termasyur, Malik di kebumikan di
Baqi kuburnya di pintu al Baqi.
2. Pendidikan Imam Malik
Beliau mempelajari ilmu pada ulama-ulama Madinah, di antara
para tabiin, para cerdik pandai dan para ahli hukum Islam. Beliau dididik
di tengah-tengah mereka itu sebagai seorang anak yang cerdas pikiran,
cepat menerima pelajaran, kuat ingatan dan teliti. Dari kecil beliau
membaca Al-Qur’an dengan lancar di luar kepala dan mempelajari pula
tentang sunah dan selanjutnya setelah dewasa beliau belajar kepada para
6Munawar Kholil, Biografi Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), Jakarta:
Bulan Bintang, 1977, hlm. 80.
40
ulama dan fuqaha. Beliau menghimpun pengetahuan yang didengar dari
mereka, menghafalkan pendapat-pendapat mereka, menaqal atsar-atsar
mereka, mempelajari dengan seksama pendirian-pendirian atau aliran-
aliran mereka, dan mengambil kaidah-kaidah mereka sehingga beliau
pandai tentang semuanya itu.7
Imam Malik sering mengunjungi para syekh, sehingga Imam
Nawawi mencatat dalam kitabnya “Tahdzibul-Asma’ wal-Lughat” bahwa
ia berguru pada 900 syekh, 300 dari tabi’in dan 600 dari tabi’it tabi’in. Ia
juga berguru kepada syekh-syekh pilihan yang terjaga agamanya dan
memenuhi syarat-syarat untuk meriwayatkan hadist yang terpercaya.8
3. Guru-guru Imam Malik
Imam Malik dikarenakan putra seorang tabi’in yang terkenal dan
cucu seorang alim besar golongan tabi’in tertua. Maka sudah tentu beliau
terdidik suka kepada ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan ilmu
agama, lebih-lebih memang sejak menunjukkan bahwa beliau seorang
yang akan menjadi pemimpin besar lingkungan umat Islam.
Beliau menuntut ilmu pada ulama Madinah, orang pertama yang
menjadi tempat belajar adalah Abdurrahman bin Harmuz, Beliau tinggal
bersama Abdurrahman. Beliau juga belajar kepada Nafi’maula ibn Umar
dan Ibnu Syihab, Azzuhari. Adapun gurunya dalam fiqh adalah beliau
Robi’ah bin Abdurrahman yang terkenal dengan Rabi’ah Ar Ra’yu.9
7M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, cet ke-4, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002,
hlm. 195 8Dr. Ahmad Asy-Syurbasi, op. cit, hlm. 75. 9Ramli, Muqaranah Muzahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, hlm. 22-23.
41
Para guru beliau selain dari pada empat yang tersebut itu, juga
masih banyak di antaranya adalah Imam Ibrahim bin Abi Hakim al
Madani, wafat pada tahun148 H, Imam Ismail bin Abi Hakim Al Madani,
wafat pada tahun 130 H, Imam Tsaur bin Zaid Ad Dalili, Wafat pada
tahun 135 H, Imam Humaidi bin Abu Humaid at Ta’wil, wafat pada tahun
143 H, Imam Daud bin Hasbin Al Amawy, wafat pada tahun139 H, Imam
Zaid bin Aslam Al Madany, wafat pada tahun 136 H, Imam Zaid bin Abi
Anisah, wafat pada tahun 135 H, Imam Salim bin Abi Umayah Al
Quraisyi, wafat pada tahun 129 H.10
4. Murid-Murid Imam Malik
Murid Imam Malik antara lain adalah Muhammad bin Hasan, Asy
Syaibani, As Syafi’i yang dikenal sebagai pendiri mazhab Syafi’i,
Abdullah bin Wahab (125-197 H) penulis Mudawanah al Kubra,
Abdullah Malik bin Habib as Sulami, Ismail bin Ishak, Asyhab bin Abdul
Aziz al Khaisy, Abdurrahman bin Kasim, Usman bin Hakam dan
Abdurrahim bin Khalid.
Selain di Mesir mazhab Maliki juga dianut umat Islam yang
berada di Maroko, Tunisia, Tripoli, Sudan, Bahrain, Kuwait, dan daerah
Islam lain di sebelah barat, termasuk Andalusia. Ibnu Rusyd yang di dunia
barat dikenal sebagai komentator dari Aristoteles termasuk pengikut Imam
10Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 89.
42
Malik, sementara itu di dunia Islam sebelah timur mazhab Malik kurang
berkembang.11
5. Karya-karya Imam Malik
Imam Malik telah mengarang sebuah kitab yaitu Al Muwattha’.
Kitab tersebut berisikan kumpulan dari beberapa hadits yang dijadikan
bab-bab yang beliau anggap sebagai sandaran fiqih, dan sebagai landasan
ilmu bagi para pengikutnya. kitab Al Muwattha’ yang dikonfirmasikan
oleh As’ad bin Furot, kemudian beliau mengambilnya dari beberapa
bagian kitab tersebut dan beliau menertibkannya serta menyebarluaskan
dengan nama Al Mudawwanah al Kubro.12
Adapun isi yang terkandung didalam “al-Muwattha” yang
sekarang tersebar luas di seluruh dunia itu, menurut keterangan Imam Abu
Bakar Al Abhary adalah hadits-hadits dari Nabi SAW, dan atsar-atsar dari
pada sahabat serta para tabi’in sejumlah 1720 hadits. Hadits-hadits yang
sebanyak itu menurut penyelidikan para ulama ahli hadits adalah: 600
hadits yang musnad, 222 hadits yang mursal, 613 hadits yang mauquf dan
285 yang dari perkataan para tabi’in.13
Hadits-hadts yang sekian banyaknya itu, yang dari Imam Malik
sendiri ada sejumlah 1005 hadits, dan yang selain dari jalan beliau, ada
175 hadits dan di antaranya yang dari jalan Imam Hanafi ada 13 hadits,
yang selainnya lagi adalah: dari jalan yang selain dari kedua imam itu.
11Ibid, hlm. 90. 12Huston Smith, Ensiklopedi Islam Cyril Alasse, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-3,
2002, hlm. 250. 13 Munawar Kholil, op.cit, hlm 142.
43
Imam Malik dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu khususnya ilmu
hadits dan fiqh tentang penguasaannya dalam hadits beliau sendiri pernah
mengatakan, aku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000 hadits.14
B. Metode Istinbath Hukum Imam Malik
Sebagaimana ditegaskan oleh Abū Sulaiman (ahli usul fiqih
berkebangsaan Arab Saudi), bahwa ushul fiqih sebagai metode instinbat
dalam pembentukan hukum fiqih. Baru dibukukan sebagai satu disiplin ilmu
pada periode Syafi’i menjadi Mujtahid, itu berarti pada periode Imam Malik
ibn Anas menjadi mujtahid uşul fiqih baru ada dalam praktek, belum tersusun
secara sistematis dalam sebuah buku. Meskipun demikian dari karya-karya
Imam Malik ibn Anas seperti Al-Muwaţţa’ (kitab hadit) dan Al Mudawwanah
Al-Kubra (kitab fiqih), oleh murid-murid dan pengikutnya disimpulkan
metode istinbatnya secara sistematis. Seperti halnya menurut para pendiri
madhab fiqih lainnya.
Mengenai metode istinbat hukum madhab Malik telah dijelaskan oleh
al-Qadi Iyad dalam kitabnya “Al Madaarik dar ar-Rasid, dan juga salah
seorang fuqaha Malikiyah dalam kitabnya al Bahjah yang disimpulkan oleh
pengarang kitab Tarih al-Madahibil Islamiyyah sebagai berikut :
وخالصة ماذآره هذان العالمان وغيرهما أن منهاج إمام دار الهجرة انه يأخذ بكتاب اهللا تعالى أوال، فإن لم يجد فى آتاب اهللا
عنده أحاديث رسول . تعالى نص اتجه إلى السنة ويدخل فى السنة
14Ramli, op cit, hlm. 24.
44
اهللا صلم، وفتاوي الصحابه وأقصيتهم وعمل أهل المدينة، ومن .لقياسبعد السنة بشتى فروعها يجرا
Artinya : “Kesimpulan apa yang telah dikemukakan oleh kedua ‘ulama’ ini dan yang lainnya, bahwasannya metode ijtihad Imam Darul Hijriyah itu adalah : bahwa beliau tidak mendapatkan sesuatu naš di dalamnya maka beliau mencarinya di dalam sunnah, dan menurut beliau masih termasuk kepada kategori sunnah perkataan Rasulullah, fatwa-fatwa para sahabat, putusan hukum mereka dan perbuatan penduduk Madinah, dan setelah sunnah dengan berbagai cabangnya barulah datang (dipakai) qiyas.15
Walaupun para ‘ulama’ hadits yang ditemui oleh Malik ibn Anas
termasuk kelompok ‘ulama’ tradisional yang menolak pemakaian akal dalam
kajian hukum, namun pengaruh Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id tetap kuat pada
corak kajian fiqihnya. Hal ini dapat dilihat pada metodologi kajian hukum
madzhab Malik yang bersumber pada : Al-Qur’an, As-Sunnah, Tradisi
Masyarakat Madinah, Fatwa Sahabat, Qiyas, Maslahah al Mursalah, Ihtisan,
Al Saddu al-Dara’i.
Sedangkan menurut Muhammad Hasbi ash-Shidieqy mengatakan bahwa
Malik ibn Anas mendasarkan fatwanya kepada : Kitabullah, Sunnah Rasul
yang beliau pandang sahih, ‘Amal ahl al-Madinah., Qiyas, Istihsan.16
Menurut As-Satibi dalam kitab al-Muwafaqat menyimpulkan dasar-
dasar Malik ibn Anas ada 4 yaitu ; al-Kitab, as-Sunnah, al-Ijma’, ar-Ra’yu.
Qaul sahabat dan ‘Amal ahl al-Madinah digolongkan dalam as-Sunnah,
sedangkan ar-Ra’yu meliputi, maslahat al-mursalah, saddu al-dara’i, adat
(urf), istihsan dan istishab.
15Imam Muhammad Abu Zahrah, Tārih al-Madāhibil Islāmiyyah, Juz II, Bairut: Darul
Fikri, 1986, hlm. 432 16Teungku Muhammad Hasbi Ash-Siddieqy, ibid, hlm. 88
45
Secara garis besar dapat disimpulkan dasar-dasar Imam Malik yang
dijadikan pedoman dalam menetapkan suatu hukum terhadap suatu
permasalahan yang timbul dalam masyarakat adalah :
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah semuanya. Semua ulama
menggunakan Al-Qur’an sebagai pegangan utama untuk mengambil suatu
hukum, dan di situ pula keutuhan Al-Qur’an dalam kebenaran benar-benar
terpelihara sebagaimana firman Allah Swt:
)9: الحجر ( إنا نحن نزلنا الذآر وإنا له لحافظونArtinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Qur’an dan
sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya” (Qs. Al Hijr : 9).17
2. As-Sunah
As-Sunah merupakan sumber hukum yang sederajat lebih rendah
dari pada Al-Qur’an. Artinya adalah bahwa seorang mujtahud dalam
menetapkan hukum sustu peristiwa tidak akan mencari dalam As-Sunah
lebih dahulu, kecuali bila ia tidak mendapatkan ketetntuan hukumnya di
dalam Al-Qur’an.18
As-Sunah yang merupakan dasar hukum Islam yang kedua. perlu
dipergunakan karena segala perbuatan Nabi sesuai dengan Al-Qur’an dan
jikalau tidak ada ayat Al-Qur’an maka sunahnya yang menjadi penjelas
17Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: PT Toha Putra, 1995,
hlm. 391. 18Mukhtar Yahya, Fatchurrohman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung,:
Al- Ma’arif, 1986, hlm. 44.
46
Al-Qur’an, karena memang juga tidak di dapat dalam Al-Qur’an.19
Mengikuti sunah Rasul itu adalah wajib, sesuai dengan firman Allah:
ال (قل أطيعوا اهللا والرسول فإن تولوا فإن اهللا ال يحب الكافرين )32: عمران
Artinya: “Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir"(Ali Imran ayat: 32).20
من يطع الرسول فقد أطاع اهللا ومن تولى فما أرسلناك عليهم
)80: النساء (حفيظا Artinya:“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah
menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”( An Nisa’ ayat: 80).21
Mengikuti sunah merupakan kewajiban bagi orang Islam, sebagai
sumber hukum Islam tidak hanya legislasi Al-Qur’an saja yang telah
memberi petunjuk tetapi juga sunah.22
Dalam pemakaian as-Sunnah ini, Imam Malik lebih
mengutamakan sunnah mutawawtir, kemudian yang mashur, sedang
hadist-hadist ahad akan ia tinggalkan seandainya bertentangan dengan
tradisi masyarakat Madinah. Tetapi seandainya tidak bertentangan dari
norma-norma adat masyarakat Madinah itu tidak memberikan jawaban
apa-apa terdapat persoalan-persoalan yang dihadapinya, maka akan
digunakan hadist ahad sejauh ma’mul bih.
19Ali Abdul Halim Mahmud, Fikih Risponsibilitas Tanggung Jawab Muslim dalam Islam,
Jakarta: Gema Insani, Cet. Ke-2, 2000, hlm. 52. 20Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 80 21Ibid, hlm. 132. 22Teungku Muhammad Hasby Asy Shiddiqi, Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang: PT Pustaka
Rizqi Putra, 1999, Cet ke-2, hlm. 183.
47
3. Ijma’
Sedangkan mengenai Ijma’ Imam Malik adalah:
قول عليه مااجتمع فهو عليه المجتمع وما آان فيه االمر فيه يختلفوا لم والعلم اهل الفقه
Artinya :”Dan sesuatu urusan yang telah di ijmai, maka Beliau telah di ijma’i oleh ahli fikih dan para ahli ilmu, mereka tidak berselisih didalamnya”.23
Ijma’ adalah persetujuan pendapat ahlu halli wal aqli dari umat ini,
terhadap suatu urusan dari urusan itu.24 Kehujjahan ijma’ adalah:
a. Pertama adalah :
ياأيها الذين ءامنوا أطيعوا اهللا وأطيعوا الرسول وأولي األمر م في شيء فردوه إلى اهللا والرسول إن آنتم منكم فإن تنازعت
النساء ك (تؤمنون باهللا واليوم اآلخر ذلك خير وأحسن تأويال 59(
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. ( An Nisa’:59) .25
Sebagaimana dalam Al-Qur’an Allah telah memerintahkan
orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah dan para Rasulnya
serta para Ulil Amri, lafal al amru berarti suatu urusan dan Beliau
adalah umum yang meliputi urusan Agama dan duniawi. Ulil amri
23Teungku Muhammad Hasby Asy shiddiqi, Pokok–Pokok pegangan Imam Antar
Madzhab, Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra, 1997, cet ke-1, hlm. 209. 24Ibid. hlm. 209. 25Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 128.
48
dunia adalah para Raja, para amir dan para penguasa. Sedangkan Ulil
amri agama adalah para Mujtahid dan para ahli fatwa.26
b. Sebagaimana sabda Nabi Saw :
ما راه المسلمون حسنا فهوعند اهللا حسنArtinya: “Apa yang dipandang Umatku sebagai kebaikan maka di sisi
Allah adalah baik”.27
Hukum yang disepakati oleh pendapat seluruh mujtahid umat
islam pada hakekatnya adalah hukum umat islam yang diwakili oleh
para mujtahid mereka. Perbedaan pendapat mereka merupakan dalil.
Bahwasanya kesatuan kebenaran itulah yang menghimpun kalimat
mereka dan mengalahkan hal-hal yang menyebabkan mereka berbeda
pendapat.28
4. Amal Ahlu Madinah
Imam Malik menggunakan amal ahli madinah sebagai hujjah yang
setara dengan As-Sunnah dan inilah yang dimaksudkan dengan “al-Amrul
mujtama indana” sebagaimana mengikuti gurunya Imam Malik.
Sebagaimana pendapat Beliau
29 الف عن الف خيرمن واحدعن واحدArtinya: “Seribu orang mengambil dari seribu orang lebih baik dari
seorang mengambil dari seorang”.
Menurut Imam Malik apa yang di ijma’ oleh ulama Madinah tidak
ditentang oleh para ulama, Amal ahlul Madinah yang dimaksud Imam
Malik didahulukan atas khabar (hadist) ahad.30
26Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semaraang: Dina Utama, 1994, hlm. 58-59. 27Teungku Muhammad Hasbi Ash Siddieqy, loc. cit 28Abdul Wahhab Khalaf, op.cit, hlm. 60 29Ibid
49
Dengan ringkas, tidak dapatlah kita mengritik Malik yang
menghargai amal ahlu Madinah apabila yang di ijma’ itu berdasarkan atas
apa yang mereka nukilkan itu, Itulah yang diterima oleh semua ulama’
mengenai ijma’ ulama Madinah, Masalah yang di istinbathkan ada 3
riwayat:
a. Imam Malik tidak memandang sebagai hujjah
b. Imam Malik tidak memandangnya sebagai hujjah tetapi ijma’ amal
ahlul Madinah bisa dijadikan penguat
c. Imam Malik memandangnya hujjah, pendapat ini diambil sebagian
ulama makkiyyah, karena amal ahli Madinah yang bersandar naqal
didahulukan atas hadits ahad.31
5. Qaul/ Fatwa Sahabi
Para sahabat itu adalah termasuk orang yang membantu
menyampaikan risalah Allah, mareka tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat
Al-Qur’an (walaupun tidak semua sahabat mengetahuinya), mereka lama
bergaul dengan Rasulullah, sehingga mereka tahu bagaimana kaitan hadis
Nabi dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang di turunkan itu.
Imam Malik adalah seorang imam yang mempelajari fatwa-fatwa
sahabat dan mengumpulkannya dan menjadikan dasar mazhabnya.
Dengan tegas Imam Malik mengharuskan seorang mufti mengambil fatwa
sahabat. Beliau berpendapat bahwa yang dikatakan sunah adalah sesuatu
yang diamalkan oleh para sahabat. Ada dua Sahabat yang dipegang Imam
30Teungku Muhammad Hasbi Ash Siddieqy, op .cit., hlm. 212. 31Ibid, hlm. 104.
50
Malik yaitu Abu Bakar as Siddiq dan pendapat Umar Bin Khattab saja.
Ringkasnya Imam Malik menghargai pendapat para sahabat.32
Imam Malik juga beranggapan bahwa qaul sahabat harus
didahulukan dari pada Qiyas.
6. Qiyas
Qiyas dalam fiqih adalah الحاق امرغير منصوص على حكمه بامراخرمنصوص على
بينهما مشترآت فهيما الحكمه لعله جامعت
Artinya: “Menghubungkan suatu urusan yang tidak dinasahkan hukumnya dengan suatu urusan yang lain dinasahkan hukumnya, karena ada illat yang mengumpulkan antara keduanya yang bersekutu padanya”.33
Al-Qur’an dan as sunah bahkan akal membenarkan prinsip-prinsi
qiyas ini. Para sahabat mempergunakan qiyas dalam mengeluarkan hukum
yang mereka tidak temukan zahir Al-Qur’an dan sunah. Lalu disamakan
hukumnya dengan hukum yang tidak dinashkan yang sama illatnya.34
Imam Malik sedikit menggunakan Qiyas, karena beliau lebih
mengutamakan penggunaan Amal Ahlu Madinah dan Qaul sahabat yang
di pandang sahih.
7. Maslahah mursalah
32Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit, hlm. 184. 33Ibid 34Teungku Muhammad Hasbi Ash Siddieqy, op. cit., hlm. 214-215.
51
Adalah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’,
suatu hukum untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil
yang memerintahkan untuk mengantikannya atau mengabaikannya.35
Imam Malik menggunakan maslahatul mursalah apabila tidak ada
nash Qur’ani atau hadis an Nabawi, karena syara’ itu tidak datang kecuali
untuk kemaslahatan manusia, Setiap masalah syara’ mengandung
kemaslahatan, tanpa ada keraguan. Apabila tidak ada nash, maka masalah
yang hakiki itu memenuhi tahap tujuan (maqasid) syara’.36
8. Istihsan
Istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan Qiyas
yang Jalli (nyata) kepada tuntutan Qiyas yang khofi (samar) atau dari
hukum kulli (umum) kepada hukum yang istisna’ (pengecualian) ada yang
menyebabkan beliau mencela akalnya dan memenangkan perpalingan
ini.37 Imam Malik dalam berijtihad itu menggunakan istihsan. Imam Malik
tidak menjadikan istihsan sebagai kaidah, tetapi dijadikan sebagai dasar
pengecualian dalam kaidah
Ulama Malik menghindari pemakaian qiyas yang berlebihan
dengan jalan kembali kepada urf (adat kebiasan) dan kepada prinsip
menolak kepicikan dan menolak kesukaran. Dalam pendapat Imam Malik
kebanyakan itu adalah mengikuti sahabat Umar yaitu lebih
35Abdul Wahab Khallaf, op .cit., hlm. 116. 36Teungku Muhammad Habsi Asy-Syiddieqy, op. cit., hlm. 222. 37Abdul Wahab Khallaf, op.cit, hlm. 110.
52
mengedepankan istihsan dari pada qiyas sedangkan qiyas itu adalah
pendapat sahabat Ali.38
Dalam pendapat Imam Malik, istihsan itu berarti melaksanakan
sesuatu berdasarkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil yang umum.
9. Istishab
Istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan
keadaan yang sebelumnya sehingga ada dalil yang menunjukkan atas
perubahan keadaan tersebut atau Beliau menetapkan hukum yang telah
tetap pada masa yang lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga
ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.39 Istishab ini berdasarkan
kaedah :
ان اال صل في اال شياء اال باحهArtinya: “Sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah
dibolehkan”.40
10. Syadud Dzara’i
Secara lughah adalah dzariah artinya wasilah (perantara) dan
syadudzara’i adalah menyumbat wasilah.41
Dasar istinbath ini banyak dipakai Imam Malik, banyak dijumpai
masalah furu’iyyah yang dinukil darinya yaitu sarana yang membawa
pada hal-hal yang diharamkan, maka akan menjadi haram pula, sarana
yang menyampaikan pada yang halal maka hukumnya adalah halal sesuai
38Yusuf al Qardhawi, Fiqh Praktis Bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema Insani, Cet. I,
2002, hlm. 71-72. 39Abdul Wahhab Khalaf, Ibid, hlm. 127. 40Abdul Wahab Khallaf, loc, cit 41Teungku Muhammad Hasby Asy Shiddiqi, Loc. cit.
53
dengan tuntutan kehalalannya, begitu pula yang membawa kemaslahatan
adalah haram. Beliau membagi kerusakan (mafsadat) menjadi empat:
1. Sarana yang secara pasti membawa kepada kerusakan
2. Sarana yang diduga kuat ajakan mengantarkan pada kerusakan
3. Sarana yang jarang sekali membawa kerusakan
4. Sarana yang banyak sekali mengantarkan kepada kerusakan tetapi
tidak dipandang umum.42
11. Urf (adat kebiasaan)
Adalah apa yang menjadi kebiasaan masyarakat dan dijadikan
jalannya terus menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan.43
Adat yang sah bagi mujtahid, wajib diperhatikan sebagai bahan
pertimbangan untuk penetapan hukumnya. Dalam kaidah fiqh dikatakan:
العادة شريعة محكمةArtinya: “Adat kebiasaan itu menjadi aturan hukum yang di kokohkan”.44
Dalam adat kebiasaan, Imam Malik lebih cenderung menggunakan
urf yang sholih yang di situ menjadi kebiasaan penduduk Madinah.
Namun metode istinbath yang sering di gunakan Imam Malik
yaitu: Al-Qur’an, As-Sunnah, Aml Ahli Madinah, Fatwa Sahabat, Qiyas,
Maslahah Mursalah, Istihsan, dan Saddu al-Dari’.
42Ibid, hlm. 229-230 43Abdul Wahab Khallaf, op .cit., hlm. 723. 44Masyfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’at, cet.1, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1987,
hlm. 87
54
C. Pendapat Imam Malik Tentang Pencabutan Ijin Ahli Waris Terhadap
Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris
Dalam kitab Al-Muwaththa’ yang diriwayatkan oleh Yahya
dikemukakan sebagai berikut:
. السنة الثابة عندنا التى ال اختالف فيها: وسمعت مالكا يقول : قال وانه ان . اال ان يجيز له ذلك ورثة الميت. انه التجوز وصية لوارث
ومن أبى ، . جاز له حق من اجاز منهم. وأبى بعض. اجاز له بعضهم 45. اخذ حقه من ذلك
Artinya : Yahya berkata: aku telah mendengar Malik berkata: hukum yang tetap menurutku yang tidak diperselisihkan, adalah tidak dibolehkan wasiat kepada ahli waris, kecuali jika ahli waris si mayit membolehkan (ijin), apabila sebagian ahli waris memberi ijin dan sebagian tidak, maka wasiat boleh dilaksanakan dengan memperhatikan hak-hak mereka dan hak-hak orang yang tidak memperbolehkan, hak-haknya dipenuhi.
Seperti yang telah dibahas dalam bab sebelumnya mengenai hukum
wasiat kepada ahli waris. Imam Malik juga membolehkanya, berwasiat
kepada ahli waris, jika ahli waris yang lain memberikan ijin kepada pewasiat.
Dan persetujuan tersebut harus diperoleh ketika pemberi wasiat masih hidup.
Namun menurut Imam Hanafi persetujuan haruslah diperoleh setelah si
pemberi wasiat meninggal dunia, tapi ada juga yang berpendapat bahwa
persetujuan ahli waris tersebut tidaklah penting, persetujuan tersebut boleh
diperoleh ketika pemberi wasiat masih hidup atau setelah meninggal dunia.
Dalam penjelasan lebih lanjut Imam Malik membedakan pemberian
ijin yang diberikan ahli waris tersebut dalam dua keadaan atau situasi, yaitu
ketika pewasiat dalam keadaan sakit atau sehat. Seperti berikut:
45Imam Malik bin Anas, al-Muwatho’, Beirut: Darul Ihya’ al-‘Ulum, t.th., hlm. 582
55
وسمعت مالكا يقول فى المريض الذى يوصي، فيستأذن ورثته : قال فيأذنون له ان . فى وصيته وهو مريض ، ليس له من ماله اال ثلثه
انه ليس لهم ان يرجعوا فى : بأآثر من ثلثه يوصي لبعض ورثته 46. ذلك
Artinya : (Yahya) berkata: aku mendengar Imam Malik berpendapat tentang orang sakit yang berwasiat para ahli warisnya mengijinkan wasiatnya dalam keadaan sakit, yang tidak punya hak atas hartanya ketika dia (pewasiat) sakit, padahal dia hanya mempunyai harta tinggal sepertiga, para ahli waris mengijinkannya untuk berwasiat kepada sebagian ahli waris yang lain lebih dari sepertiganya (ia berpendapat para ahli waris tersebut tidak boleh menarik kembali ijinnya).
Imam Malik berpendapat bahwa seseorang yang sakit (dalam hal ini
sakit yang mengakibatkan kematian) yang akan membuat wasiat dan ia hanya
mengatur sepertiga hartanya, bermaksud akan memberikan wasiat kepada ahli
warisnya, dan ahli waris yang lain telah memberikan ijin, maka ijin tersebut
tidak dapat dicabut kembali setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Dengan
alasan si pemberi wasiat tidak mengurangi bagian atau hak-hak ahli waris
terhadap harta peninggalan si pemberi wasiat, dia hanya memberikan
sepertiga (1/3) yang merupakan hak atas dirinya. Jika mereka (ahli waris)
dibolehkan mencabut ijin yang telah diberikan, setiap ahli waris akan
melakukan hal yang sama, dan ketika pemberi wasiat meninggal dunia,
mereka akan mengambil hak itu untuk diri mereka (ahli waris) sendiri. dan
dapat mencegah hak wasiat sepertiga (1/3) harta yang merupakan hak bagi
pewasiat tersebut.
فأما ان يستأذن ورثته فى وصية يوصى بها لوارث فى صحته، : قال 47. ولورثه ان يردوا ذلك ان شأوا. فيأذنون له فإن ذلك ال يلزمهم
46Ibid. 47Ibid
56
Artinya : (Imam Malik) berkata: apabila para ahli waris telah mengijinkan kepada yang memberi wasiat dalam keadaan sehat untuk berwasiat kepada ahli waris kemudian mereka mengijinkannya, sesungguhnya hal itu tidaklah mengikat mereka , maka para ahli waris dapat mencabut ijinnya sewaktu-waktu mereka mengijinkannya.
Pendapat diatas menjelaskan bahwasanya ketika pemberi wasiat
berwasiat kepada ahli warisnya dalam keadaan ia sedang sehat, dan ahli waris
yang lain mengijinkan, maka perijinan tersebut tidaklah mengikat. Para ahli
waris dapat mencabut atau membatalkan jika mereka mau. Menurut Imam
Malik jika seseorang sedang sehat, ia lebih berhak atas hartanya. Ia dapat
menggunakan, menyedekahkan atau memberikannya kepada siapapun yang ia
mau. Permohonan ijin yang dilakukan pemberi wasiat bertujuan agar ahli
waris mengetahui adanya wasiat tersebut dan ketika mereka memberikan ijin,
kekuasaan atas seluruh harta pemberi wasiat tertutup baginya dan tidak
diperbolehkan berwasiat lebih dari sepertiga(1/3).
57
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG
PENCABUTAN IJIN AHLI WARIS TERHADAP PEMBERI WASIAT
KEPADA AHLI WARIS
A. Analisis Pendapat Imam Malik tentang Pencabutan Ijin Ahli Waris
terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris
Seperti yang telah penulis bahas dalam Bab III, bahwa pendapat Imam
Malik tentang pencabutan ijin ahli waris dibedakan menjadi dua keadaan atau
situasi pemberi wasiat pada saat ijin tersebut diberikan. Namun sebelumnya
penulis akan menganalisis pendapat Imam Malik tentang wasiat kepada ahli
waris.
Dalam kitab al-Muwaththa’ yang diriwayatkan oleh Yahya, Imam
Malik berpendapat:
. السنة الثابة عندنا التى ال اختالف فيها: وسمعت مالكا يقول : قال وانه ان . اال ان يجيز له ذلك ورثة الميت. انه التجوز وصية لوارث
ومن أبى ، . اجاز منهمجاز له حق من. وأبى بعض. اجاز له بعضهم 1.اخذ حقه من ذلك
Artinya : Yahya berkata: aku telah mendengar Malik berkata: hukum yang tetap menurutku yang tidak diperselisihkan, adalah tidak dibolehkan wasiat kepada ahli waris, kecuali jika ahli waris si mayit membolehkan (ijin), apabila sebagian ahli waris memberi ijin dan sebagian tidak, maka wasiat boleh dilaksanakan dengan memperhatikan hak-hak mereka dan hak-hak orang yang tidak memperbolehkan, hak-haknya dipenuhi.
1Imam Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, Bairut: Darul Ihya’ Al-Ulum, tth, hlm. 582
58
Berdasarkan pendapat diatas, jelas bahwa Imam Malik membolehkan
wasiat kepada ahli waris, jika mendapatkan ijin dari ahli waris yang lainnya.
Pendapat beliau berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Amru bin
Syu’aib sebagai berikut:
عن عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده ان النبى صلىاهللا عليه وسلم 2) رواه الدارقطنى(الوصية لوارث اال ان يجيز الورثة : قال
Artinya : “Nabi Saw. bersabda: tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali diperbolehkan oleh ahli waris lainnya” (HR. Ad. Daru Quthny).
Apabila sebagian ahli waris memberikan ijin dan sebagian lainnya
tidak memberikan ijin, maka wasiat tersebut tetap harus dilaksanakan. Karena
wasiat merupakan keinginan terakhir pemberi wasiat sebelum meninggal dan
sebagai tujuan untuk menyempurnakan ibadahnya disaat dia hidup. Untuk ahli
waris yang tidak memberikan ijin, maka hak-haknya harus dipenuhi. Ijin
tersebut harus diperoleh ketika pemberi wasiat masih hidup.
Dalam wasiat kepada ahli waris ini para ulama berbeda pendapat, Ibn
Hazm dan sebagian ulama Makkiyah secara mutlak menolak wasiat kepada
ahli waris, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi dari Abu
Umamah, berkata: ia mendengar Rasulullah SAW berkutbah pada tahun haji
wada’:
لم سمعت رسول اهللا صلى اهللا عليه وس: عن ابى امامة الباهلى قال رواه (إن اهللا قد اعطى آل ذى حق حقه، فال وصية لوارث، : يقول
3 )احمد واالربعة اال النسائ، وحسنه احمد والترمذىArtinya : Dari Abu Umamah al-Bahilli ia berkata : Saya ,mendengar
Rasulullah saw bersabda sesungguhnya Allah telah memberikan hak setiap orang yang memiliki hak. Oleh karena itu tidak ada wasiat
2T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, cet I, Semarang: Petraya
Mitrajaya, 2001, hlm. 346 3Hafidh bin Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Surabaya: Dar al-‘Ulum, t.th., hlm. 199
59
bagi ahli waris” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi dan Ibnu Majah)
Hadits di atas yang menjelaskan bahwa tidak adanya wasiat bagi ahli
waris (الوصية لوارث) dilihat dari sisi sanadnya, Hadits ini bermuara pada
beberapa sahabat, seperti Abi Hurairah melalui jalur Al-Baihāqi, Ibnu Majah
dan Al-Bazzār. Sedangkan dari matan Hadits menurut Al-Baihāqi, bahwa
matan Hadits ini adalah mutawatir, bahkan ulama Malikiyah mengatakan
bahwa Hadits ini menasakh ketentuan surat al-Baqarah ayat 180, tentang
wasiat yang diberikan kepada kedua orang tua dan kerabat.
Pendapat lain mengatakan bahwa ayat ini “dinaskh” bagi orang yang
menerima warisan.Ibnu Katsir mengungkapkan bahwa apa yang ditemukan
oleh mereka itu bukan naskh, karena itu ayat waris yang hanya
menghilangkan ketentuan bagi beberapa individu yang ditentukan oleh
keumuman ayat wasiat, sebab kata kerabat itu lebih universal dari pada kata
ahli waris. Dan menetapkan bukan ahli waris seperti ditunjukkan oleh ayat
pertama.4
Sebagian ulama menilai bahwa ayat yang menjelaskan tentang wasiat
adalah untuk kedua orang tua dan kerabat yang bukan ahli waris itu boleh
dilaksanakan tetapi makruh hukumnya. Sedangkan al-Hasan dan Tawus
berpendapat bahwa wasiat kepada selain keluarga ditolak. Ishaq juga
mengemukakan pendapatnya seperti di atas, Golongan ini berdasarkan firman
Allah SWT. :
4Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Al-Aliyyah Qodir Li Ikhtisar Tafsir Ibnu Kasir, jilid I,
terj. Syihabudin, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Kasir, Jakarta: Gema Insani Pres, 1999, hlm.283.
60
آتب عليكم إذا حضر أحدآم الموت إن ترك خيرا الوصية )180: البقرة (للوالدين واألقربين بالمعروف حقا على المتقين
Artinya :“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya dengan cara yang baik. Ini adalah kewajiban orang yang bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqarah : 180) 5
Huruf alif lam (al) pada kata-kata al-Walidain dan al-aqrabin berarti
pembatasan, yaitu pembatasan kepada kedua golongan yang tersebut dalam
ayat yaitu orang tua dan kerabat.6
Sebenarnya apabila kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa
pada permulaan Islam wasiat itu hukumnya sunnah sebelum dinaskh, maka
persoalan akan menjadi sederhana. Kewajiban wasiat kepada Ibu Bapak dan
kerabat yang merupakan ahli waris dinaskh oleh ijma’, bahkan hal itu dilarang
berdasarkan hadits yang dikemukakan diatas: “Sesungguhnya Allah telah
memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya, maka tidak
ada wasiat bagi ahli waris”.
Golongan lain yang membolehkan wasiat kepada ahli waris, jika
diperbolehkan ahli waris lain yaitu madzhab Syafi’iyah dan madzhab
Hanafiyah.7 Menurut madzhab Imamiyah bahwa wasiat boleh untuk ahli waris
maupun bukan ahli waris dan tidak tergantung pada persetujuan para ahli
waris lainnya, sepanjang tidak melebihi sepertiga harta warisan.
5 Departemen Agama RI, al-qur’an dan terjemahannya, Semarang: PT Toha Putra, 1995,
hlm. 44 6Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, loc. cit. 7Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet IV, 2000,
hlm 452-453
61
Dalam KHI Pasal 195 ayat 3 menyatakan bahwa wasiat kepada ahli
waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. Jadi pada dasarnya
wasiat kepada ahli waris telah disepakati oleh para ulama. Namun semua itu
haruslah mendapat ijin dari ahli waris lainnya.
Mengenai pemberian ijin yang telah diberikan ahli waris tersebut,
ulama fiqh mensyaratkan sebagai berikut:
a. Ijin dari ahli waris itu harus bersumber dari ahli waris yang telah cakap
bertindak hukum, yaitu baligh dan berakal, serta mengetahui adanya
wasiat tersebut.
b. Ijin atau kebolehan wasiat dari ahli waris itu diungkapkan setelah orang
yang berwasiat meninggal dunia..8
Dalam penjelasan lebih lanjut bahwa Imam Malik membedakan
pemberian ijin ahli waris dalam dua keadaan atau situasi pemberi wasiat pada
saat ijin tersebut diberikan. Dalam kitab al-muwaththa’ dijelaskan sebagai
berikut:
وسمعت مالكا يقول فى المريض الذى يوصي، فيستأذن ورثته : قال فيأذنون له ان . فى وصيته وهو مريض ، ليس له من ماله اال ثلثه
انه ليس لهم ان يرجعوا فى : يوصي لبعض ورثته بأآثر من ثلثه 9. ذلك
Artinya : (Yahya) berkata: aku mendengar Imam Malik berpendapat tentang orang sakit yang berwasiat para ahli warisnya mengijinkan wasiatnya dalam keadaan sakit, yang tidak punya hak atas hartanya ketika dia (pewasiat) sakit, padahal dia hanya mempunyai harta tinggal sepertiga, para ahli waris mengijinkannya untuk berwasiat kepada sebagian ahli waris yang lain lebih dari sepertiganya (ia
8Abdul Aziz Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, cet I, Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Houven, 1996, hlm 192. 9Imam Malik bin Anas, loc. cit..
62
berpendapat para ahli waris tersebut tidak boleh menarik kembali ijinnya)
فأما ان يستأذن ورثته فى وصية يوصى بها لوارث فى : قال
ولورثه ان يردوا ذلك ان . فإن ذلك ال يلزمهم. صحته، فيأذنون له 10. شأوا
Artinya : (Imam Malik) berkata: apabila para ahli waris telah mengijinkan kepada yang memberi wasiat dalam keadaan sehat untuk berwasiat kepada ahli waris kemudian mereka mengijinkannya, sesungguhnya hal itu tidaklah mengikat mereka , maka para ahli waris dapat mencabut ijinnya sewaktu-waktu mereka mengijinkannya.
Berdasarkan pendapat Imam Malik diatas, yang pertama bahwa ketika
orang sakit (yang mengakibatkan kematian) berwasiat kepada ahli warisnya
dengan sepertiga (1/3) hartanya ataupun lebih dan ahli waris lain telah
memberikan ijin atas hal tersebut, maka setelah pemberi wasiat meninggal
dunia ijin tersebut tidak boleh di cabut kembali.
Dalam suatu riwayat yang diriwayatkan oleh penganut madzhab
maliki bahwasanya Imam Malik berpendapat demikian dikarenakan ahli waris
yang diberi wasiat tersebut dalam keadaan miskin dibandingkan dengan ahli
waris yang lainnya. Permintaan ijin tersebut bertujuan agar ahli waris lain
mengatahui adanya wasiat tersebut. Wasiat kepada ahli waris yang dalam
kondisi kekurangan atau miskin dianjurkan karena meninggalkan ahli waris
dalam keadaan berkecukupan lebih baik dari pada dalam keadaan kekurangan.
Berdasarkan alqur’an Q.S.An-nisa’: 9, sebagai berikut:
وليخش الذين لو ترآوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا )9:النساء.(اهللا وليقولوا قوال سديدا
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang
10Ibid.
63
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.(QS. An-Nisa’ : 9).11
Dan juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash
sebagai berikut:
ان تدر ورثتك اغنياء خير من ان تدعهم عالة يتكففون الناسArtinya: ”Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan
berkecukupan lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan sulit serta meminta-minta kepada arang lain”.
Disamping itu pemberi wasiat tidak mengurangi hak-hak ahli waris
terhadap harta peninggalan si pemberi wasiat. Dia hanya memberikan
sepertiga (1/3) hartanya yang merupakan hak atas dirinya. Jika ahli waris yang
memberikan ijin tersebut diperbolehkan mencabut ijinnya, setiap ahli waris
akan melakukan hal yang sama, dan ketika pemberi wasiat meninggal dunia,
mereka akan mengambil hak itu untuk mereka (ahli waris) sendiri. Dan dapat
mencegah hak wasiat sepertiga (1/3) harta yang merupakan hak bagi pemberi
wasiat.
Pendapat Imam Malik ini berbeda dari ulama lainnya.Ulama madzhab
Az-Zahiri dan Abi Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Muzani berpendapat bahwa
berwasiat kepada salah seorang ahli waris, sekalipun diijinkan oleh ahli waris
lainnya, hukumnya tidak sah. Apabila setelah al-mushi meninggal kemudian
para ahli waris menyetujui wasiat al-mushi pada salah seorang diantara
mereka, maka hukum wasiat berubah menjadi hibah ahli waris kepada orang
yang diberi wasiat. Karena harta orang yang berwasiat telah berpindah milik
11Departemen Agama RI, Ibid, hlm. 116
64
kepada ahli warisnya. Dengan demikian para ahli waris memberikan sejumlah
harta sesuai dengan wasiat al-mushi menurut mereka, statusnya adalah hibah,
bukan wasiat lagi.12
Menurut madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali, penolakan ataupun
ijin hanya berlaku sesudah meninggalnya al-mushi, maka jika mereka
memberi ijin ketika dia (al-mushi) masih hidup, kemudian berbalik pikiran
dan menolak melakukannya setelah pemberi wasiat meninggal, mereka berhak
melakukannya, baik ijin itu mereka berikan ketika al-mushi berada dalam
keadaan sakit ataupun sehat.
Madzhab imamiyah berpendapat: jika para ahli waris memberi ijin,
maka mereka tidak berhak menarik kembali ijin mereka, baik ijin itu diberikan
pada saat al-mushi masih hidup ataupun sudah meninggal.
Dari uraian diatas, penulis kurang setuju terhadap pendapat Imam
Malik tentang pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli
waris yang dibedakan antara boleh dan tidaknya dengan kondisi kesehatan
pemberi wasiat ketika wasiat tersebut diberikan yaitu dalam keadaan sakit
atau sehat. Pemberian yang diberikan disaat kematian atau dalam keadaan
sakit dan lemah, mengakibatkan pelanggaran terhadap hak dan rusaknya rasa
keadilan diantara para ahli waris akan lebih besar.
Dalam KHI Pasal 207 menjelaskan bahwa wasiat tidak diperbolehkan
kepada oarang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan
kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit
12Abdul Aziz Dahlan et.al, loc.cit.
65
hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk
membalas jasa. Dari sini jelas bahwa wasiat orang sakit yang dikhawatirkan
kematiannya tidaklah sah. Maka ijin ahli waris tersebut boleh atau dapat
dicabut kembali. Karena setelah orang yang memberi wasiat meninggal harta
kekeyaannya secara otomatis pindah ke ahli waris. Dan merekalah yang
berhak sepenuhnya terhadap hartanya. Kalaupun ada wasiat yang hukumnya
wajib, maka mereka harus menjalankannya, misalnya membayar utang dan
sebagainya. Namun kalau wasiat tersebut hukumnya makruh, seperti halnya
wasiat kepada ahli waris, keputusan untuk menjalankan wasiat tersebut
dikembalikan kepada semua ahli warisnya.
Menurut penulis sebaiknya dikembalikan ke hukum asalnya. Wasiat
tidak boleh untuk ahli waris. Dan itu sesuai dengan hadits yang artinya :
sesungguhnya Allah telah memberikan hak-hak kepada tiap-tiap yang berhak,
oleh karena itu tidak ada wasiat bagi ahli waris. Ahli waris telah mendapatkan
bagian masing-masing dan apabila mendapat wasiat secara otomatis bagian
ahli waris yang diberi wasiat lebih banyak dari yang lainnya. Dan itu dapat
menimbulkan tumbuhnya sikap permusuhan dan iri hati diantara ahli waris.
Walaupun wasiat tersebut diberikan kepada ahli waris yang miskin yang
bertujuan untuk kemaslahatan ahli waris yang miskin tersebut. Namun wasiat
tersebut juga akan membawa banyak mafsadat bagi para ahli waris lainya.
Mencegah mafsadat secara umum lebih baik dari pada mendapatkan satu
kemaslahatan. Seperti dalam kaidah fiqh:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالحArtinya: “Mencegah mafsadat didahulukan daripada mendapatkan maslahah”
66
Maka dari itu dalam pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi
wasiat kepada ahli waris ketika pemberi wasiat dalam keadaan sakit ataupun
sehat, menurut penulis boleh dicabut kembali setelah pemberi wasiat
meninggal dunia. Dan juga dalam hal ini penulis mengacu kepada rukun dan
syarat wasiat yang menjelaskan bahwa dalam penerima wasiat disyaratkan
tidak boleh diberikan kepada ahli waris.
B. Analisis Metode Istinbath Hukum Imam Malik tentang Pencabutan Ijin
Ahli Waris Terhadap Pemberi Wasiat Kepada Ahli Waris
Dalam menentukan hukum Imam Malik pertama-tama mencarinya
dalam al-Qur’an. Karena al-Qur’an adalah pangkal hukum syari’at Islam dan
juga pegangan umat Islam yang pertama, dengan al-Qur’an pula kita akan
mengetahui hukum Allah SWT. Al-Qur’an di dalamnya juga menerangkan
syari’at secara kulli (keseluruhan), oleh karena itu Al-Qur’an mempunyai daya
tahan sepanjang zaman dan dapat sesuai dengan kondisi tiap-tiap masyarakat,
juga hukumnya bersifat mujmal yang perinciannya diserahkan kepada ahli
ijtihad.13
Di dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an kadang kita memerlukan
penjelasan (takwil) dengan cara mempelajari As-Sunnah. As-Sunnah sangat
diperlukan karena bukan saja dia sebagai sumber yang kedua bagi syar’i, akan
13Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Pegantar Ilmu Fiqih, Semarang : Pustaka
Rizki Putra, 1997, hlm 176
67
tetapi juga karena dialah yang menafsirkan al-Qur’an, pensyarah al-Qur’an,
menafsirkan yang mujmal dan mentaqyidkan mutlaqnya.14
Ketika suatu hukum tersebut tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah, maka Imam Malik merujuk kepada praktek penduduk Madinah
(‘amal ahl al-Madinah), karena Madinah merupakan tempat Rasulullah SAW.
berhijrah dari Mekkah, dan di kota itulah beliau tinggal untuk menyampaikan
ajaran agama kepada para sahabat, kemudian para sahabat yang tinggal di
Madinah tersebut bergaul lama dengan Rasulullah SAW dan banyak
mengetahui latar belakang turunnya ayat.
Praktek-praktek keagamaan menurut para sahabat Imam Malik, tidak
lain adalah praktek yang diwarisi dari Rasulullah SAW, kemudian praktek
tersebut diwariskan kepada generasi berikutnya sampai kepada Imam Malik.
Dengan demikian praktek penduduk Madinah (‘amal ahl al-Madinah) yang
disepakati atau praktek mayoritas penduduk Madinah dianggap sebagai
kristalisasi dari ajaran Rasulullah SAW, sehingga harus dijadikan sumber
hukum dalam Islam, dan kedudukannya sebagai Hadits mutawatir.
Selanjutnya jika hukum tersebut tidak ditemukan dalam sumber-
sumber tersebut, Imam Malik merujuk kepada fatwa sahabat. Fatwa sahabat
adalah :
ربه صحابي من الصحابة الكبارما أفتArtinya : “Fatwa yang dikeluarkan oleh seseorang ‘ulama’ sahabi”
14Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab,
Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm 186
68
Fatwa sahabat yang dimaksudkan adalah sahabat yang telah beriman
sebelum Hudaibiyah, dan juga turut berperang bersama Rasulullah SAW
serta mashur dalam bidang fatwa dan fiqih serta belajar lama dengan
Rasulullah SAW, demikian menurut pendapat ‘ulama’ usul.
Mengenai fatwa sahabat yang tidak mungkin dicapai dengan akal,
tentulah yang demikian itu dijadikan hujjah, mengingat bahwa sahabat itu
tentu mengatakan pendapatnya berdasar suatu keterangan yang diperoleh dari
Rasulullah SAW.
Imam Malik ibn Anas juga dengan tegas mengharuskan seorang mufti
mengambil fatwa sahabat, beliau berpendapat bahwa apa yang dikatakan As-
Sunnah adalah sesuatu yang diamalkan para sahabat. Sebagaimana ‘Umar ibn
‘Abdul ‘Aziz saat hendak mengembangkan putusan-putusan yang diambil
para sahabat. Di antara ‘ulama’ yang menolak fatwa sahabat adalah Al-Ġazali
dan As-Syaukani.
Setelah berbagai metode yang ditempuh di atas belum juga bisa
menemukan suatu ketetapan hukum, kemudian Imam Malik ibn Anas
menggunakan qiyas.
Yang dinamakan qiyas, menurut ahli usul fiqih, adalah menyamakan
hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa
yang sudah ada nashnya, lantaran adanya persamaan ‘illat hukumnya dari
kedua peristiwa itu.15 Namun Imam Malik jarang menggunakan Qiyas.
15Muhtar Yahya dan Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam,
Bandung : Al Ma’arif, 1986, hlm. 66
69
Metodologi qiyas Imam Malik tidak berbeda dengan Abu Hanifah,
hanya saja konsep istihsannya berlainan. Kalau Abu Hanifah melakukan
istihsan dengan mengalihkan furu’ pada aşal yang lain ‘illatnya lemah, tetapi
hasil hukumnya lebih baik, maka konsep istihsan Imam Malik adalah beralih
dari hasil qiyas pada kajian maslahat.
Selanjutnya metode istinbath hukum yang digunakan Imam Malik
adalah maslahah al-mursalah, yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan
oleh syara’ yang memerintahkan untuk memperhatikannya atau
mengabaikannya16
Maksud syari’at Islam itu tidak lain untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia, yakni manfaat, menolak kemudaratan dan menghilangkan
kesusahan, kemaslahatan manusia itu tidak terbatas macamnya dan tidak
terhingga jumlahnya, ia selalu bertambah dan berkembang mengikuti situasi
dan kondisi masyarakat.
Menurut asy-Satibi, salah satu tokoh madzhab Malik menyatakan
bahwa yang dimaksud maslahah al-mursalah yang digunakan Imam Malik
adalah apa yang dianggap maslahat oleh akal pikiran yang sehat, tetapi tidak
ada dalil secara khusus yang melarang dan tidak pula ada yang
membenarkannya, namun hal itu termasuk dalam tujuan syari’at secara
umum, karena mendukung tercapainya tujuan pokok syari’at yaitu
memelihara agama, nyawa, akal,. Keturunan dan harta.
Metode istinbath hukum yang terakhir yang digunakan Imam Malik
adalah saddu al-dara’i. Secara sematik kata al-dara’i berarti sarana, sedangkan
16Ibid., hlm. 105
70
menurut ahli usul fiqih adalah sarana atau jalan untuk sampai pada suatu
tujuan, dan tujuan yang dimaksud adakalanya perbuatan-perbuatan taat dan
adakalanya perbuatan maksiat.17
Seandainya sarana itu membawa kepada perbuatan-perbuatan taat,
maka harus dibuka peluang untuk melakukannya, dan hal ini akan membawa
kepada maslahat. Sedangkan kalau sarana itu akan membawa kepada
perbuatan maksiat dan menimbulkan mafsadat, maka sarana itu harus ditutup,
yang dalam istilah usul fiqih disebut saddu al-dari’ah.
Menetapkan hukum dengan melihat kemungkinan-kemungkinan akibat
yang akan timbul dari sesuatu perbuatan, kalau perbuatan itu kendati hukum
asalnya boleh tetapi akan menimbulkan mafsadat atau maksiat, maka
perbuatan tersebut hukumnya menjadi haram. Begitu juga kalau perbuatan itu
akan menimbulkan maslahat, maka perbuatan itu tetap boleh, atau bahkan
mungkin meningkat menjadi wajib.
Imam Malik dalam hal pembahasan ini, lebih condong menggunakan
metode saddud al-dara’i. Seperti uraian diatas bahwa apabila suatu sarana atau
jalan membawa kepada perbuatan taat dan dapat menimbulkan kemaslahatan,
maka harus dibuka peluang itu. Dalam permasalahan ini, Imam Malik tidak
membolehkannya mencabut ijin yang diberikan ahli waris tersebut ketika
pemberi wasiat dalam keadaan sakit, karena orang yang berwasiat tersebut
mewasiatkannya kepada ahli waris yang miskin, dengan tujuan kemaslahatan
ahli waris yang miskin tersebut, yaitu agar bisa hidup berkecukupan sama
dengan ahli waris yang lainnya. Dan juga dalam wasiat ini pemberi wasiat
17Wahbah az-Zuhaily, al Ushul al-Fiqih al-Islami, Damaskus : Dar al-Kitab, 1978, hlm 423
71
tidak memberikan lebih dari pada haknya yaitu sepertiga (1/3) hartanya. Jadi
pemberi wasiat tidak mengambil hak-hak ahli waris. Dan wasiat tersebut
merupakan pesan terakhir, dan pemberi wasiat berharap wasiat tersebut bisa
dilaksanakan, supaya pemberi wasiat bisa tenang meninggalkan ahli warisnya
dalam keadaan berkecukupan semua.
Imam Malik juga memberi alasan, apabila ijin yang telah diberikan
ahli waris tersebut boleh dicabut, maka para ahli waris akan melakukan hal itu
untuk diri mereka sendiri, dan mereka dapat mencegah hak wasiat
sepertiga(1/3), yang merupakan hak pewasiat.
Pemberian ijin ahli waris yang diberikan ketika pewasiat dalam
keadaan sehat, maka boleh dicabut. Dengan alasan orang yang sehat berhak
melakukan apa saja terhadap hartanya.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa bahasan mengenai pendapat Imam Malik, tentang
pencabutan izin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris lain
mulai dari bab I sampai Bab IV dengan mengkomparasikan pendapat ‘ulama’-
‘ulama’ lain, dapat penulis simpulkan sebagai berikut :
1. Menurut pendapat Imam Malik, bahwa berwasiat kepada ahli waris boleh
apabila mendapat izin dari ahli waris lainnya, berdasarkan hadist:
Tidak ada wasiat kepada ahli“ الوصية لوارث اال ان يجيز الورثة
waris kecuali izin dari ahli waris lain”. Ijin tersebut harus diperoleh ketika
pemberi wasiat masih hidup. Setelah pemberian izin itu diberikan, izin
tersebut menurut Imam Malik tidak dapat dicabut kembali. Karena ketika
ia ( ahli waris ) memberikan izin, maka ia sudah rela dikurangi haknya.
Dalam masalah pencabutan izin ini Imam Malik membaginya dalam dua
keadaan atau situasi yaitu: Pertama, izin itu diberikan ketika pewasiat
dalam keadaan sakit, maka izin tersebut tidak boleh di cabut. Karena
dalam hal ini wasiat yang diberikan kepada ahli waris, adalah ahli waris
yang dalam keadaan miskin. Yang mempunyai tujuan untuk kemaslahatan
ahli waris yang miskin tersebut. Dan itu merupakan keinginan terakhir
pemberi wasiat yang berharap bisa untuk dilaksanakan. Kedua, izin itu
diberikan ketika pewasiat dalam keadaan sehat, dalam hal ini izin yang
73
telah diberikan tersebut boleh dicabut, Karena orang yang sehat
mempunyai hak atas hartanya. Dia dapat menggunakannya,
menyedekahkannya atau memberikannya kepada siapa pun yang ia mau.
Namun harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
2. Mengenai dasar hukum yang digunakan Imam Malik kaitannya dengan
pencabutan izin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada ahli waris lain
adalah saddud al-dara’i yaitu sarana atau jalan untuk sampai pada suatu
tujuan, dan tujuan dimaksud adakalanya perbuatan-perbuatan taat dan
adakalanya perbuatan maksiat. Kalau perbuatan taat dan menimbulkan
maslahah, maka harus dibuka peluang untuk melakukannya. Seperti
ketidakbolehan pencabutan ijin ahli waris terhadap pemberi wasiat kepada
ahli waris. Karena wasiat tersebut diberikan kepada ahli waris yang dalam
keadaan miskin, maka ijin tersebut tidak boleh dicabut demi kemaslahatan
ahli waris yang miskin tersebut.
B. Saran-saran
Apapun pendapat dari seorang ‘ulama’ fiqih atau seorang mujtahid,
layak menjadi pertimbangan dan perlu menjadi perbendaharaan dalam
hasanah hukum Islam, sehingga kita tidak terjebak pada sikap ta’asub
(fanatik) pada satu madzhab.
Oleh sebab itu rasionalitas hukum Islam sangat diperlukan sebagai
fiqih alternatif dari hasanah fiqih yang sudah ada, karena pada dasarnya fiqih
74
bersifat relatif dan cenderung mengalami perubahan sesuai dengan keadaan
zaman dan budaya syara’ atau syari’at yang bersifat universal dan abadi.
Rasionalisasi hukum Islam berarti mempunyai makna ganda. Di satu
sisi menolak interpretasi Islam yang tidak relevan lagi dengan perkembangan
zaman, sedangkan di sisi lain harus pula dilakukan upaya penafsiran Islam
secara baru.
Adapun upaya rasionalisasi hukum Islam haruslah diikuti dengan
pengkajian kembali terhadap tradisi Islam, satu-satunya jalan yang mungkin
untuk melakukan kembali asal-usul dan pengembangan keseluruhan tradisi
Islam, dengan cara di mana al-Qur’an dan Sunnah Rasul dipelajari, ditangani
dan ditafsirkan.
C. Penutup
Dengan rahmat dan pertolongan Allah, penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini, penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan. Untuk itulah penulis berharap saran, masukan
yang bersifat konstruktif demi sempurnanya penelitian ini.
Akhirnya penulis berharap, apapun bentuknya tulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi saya sendiri. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Imam Abi, Shahih al-Buhkari, Juz 3, Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Ilmiyah, 1992.
al-‘Asqalani, Hafidh bin Hajar, Bulughul Maram, Surabaya: Dar al-‘Ulum, t.th.
Al-Ansori, Hafid, et.al., Ensiklopedi Islam, Jilid III, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hove, Cet. Ke-3, 1994.
Al-Jaziri, Abdur Rahman, Kitab Fqih ala Madzhab Arba’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1410.
Al-Malabari, Abdul Aziz, Syarh Fathul Mu’in, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 1990.
al-Qardhawi, Yusuf, Fiqh Praktis Bagi Kehidupan Modern, Jakarta: Gema Insani, Cet. I, 2002.
Amin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Tafsir Al-Aliyyah Qodir Li Ikhtisar Tafsir Ibnu Kasir, jilid I, terj. Syihabudin, Kemudahan Dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Kasir, Jakarta: Gema Insani Pres, 1999.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasby, Koleksi Hadist-Hadist Hukum 7, cet I, Semarang: Petraya Mitrajaya, 2001.
_______, Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra, 1999, Cet ke-2.
_______, Pokok–Pokok pegangan Imam Antar Madzhab, Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra, 1997, Cet ke-1.
_______, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.
Asy-Syurbasi, Ahmad, Al-Aimatul Arba’ah, terj. Sabil Huda, A. Ahmadi, Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Az-Zuhaily, Wahbah, Al-fiqh al-Islam Wa’aadiluhu, juz. IV, Beirut: Dar Al-fikr, t.th.
_______, Al-Wasit Fi Usul al-Fiqih al-Islami, Damaskus : Dar al-Kitab, 1978.
Dahlan, Abdul Aziz, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houve, 1996.
Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995.
Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: PT Toha Putra, 1995.
_______., Pedoman Penyuluhan Hukum: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1995.
Fatchurrahman, Ilmu Waris, Bandung: Al- Ma’arif, 1981.
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, cet ke-4, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
Kholil, Munawar, Biografi Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Mahmud, Ali Abdul Halim, Fikih Risponsibilitas Tanggung Jawab Muslim dalam Islam, Jakarta: Gema Insani, Cet. Ke-2, 2000.
Makluff, Louis, al-Munjid, Mesir: Maktabah Qatfaliqiyah, 1964.
Malik, Imam, bin Anas, Al-Muwaththa’, Bairut: Darul Ihya’ Al-Ulum, tth.
Maruzi, Muslich, Pokok-Pokok Ilmu waris, Semarang: Mujahidin, 1981.
Masri Singarimbunan dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3ES, 1985.
Mugniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khomsah, terj Maskur A.B. at.al. “Fiqh Lima Madzhab, Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, Jakarta: Lentera, 2001.
Muhammad, Syaikh Kamil, Uwaidah, al-Jami’ Fil Fiqhi an-Nisa’, Terj. M. Abdul Ghoffar, E.M., Fiqih Wanita (Edisi Lengkap), Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.
Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1993.
Ramli, Muqaranah Muzahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Rofiq, Ahmad Hukum Islam Di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. IV, 2000.
_______, Fiqh Mawaris, ed.Revisi, cet.4, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Rusyd, Ibn, Budayah al-Mujtahid, Abdurrahman, terj. Bidayah al-Mujtahid, Semarang: Asy-Syiofa’, 1990.
Sabiq, Sayyid , Fiqh Sunnah, juz 3, Beirut: Dar al-Fikr. 1977.
_______, Fiqhu Sunnah, terj, Mudzakir, “Fiqh Sunnah:, Bandung: al-Ma’arif, 1998
Sevilla, Consuelo G., dkk., Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: UI Press, 1993.
Smith, Huston, Ensiklopedi Islam Cyril Alasse, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-3, 2002.
Subagyo, Joko, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Subani, Ja’far, Yang Hangat Dan Kontroversial Dalam Fiqh, Jakarta: Lentera, 2002.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Surahmat, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Teknik, Bandung: Tarsita Rimbun, 1995.
Suryadilaga, M. Alfatih, (editor), Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003.
Yahya, Mukhtar, dan Fatchurrohman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, cet.1, Bandung: Al- Ma’arif, 1986.
Zahrah, Imam Muhammad Abu, Tārih al-Madahibil Islamiyyah, Juz II, Bairut: Darul Fikri, 1986.
Zuhdi, Masyfuk, Pengantar Hukum Syari’at, cet.1, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1987.
top related