analisis framing tajuk rencana tentang konflik … · menyangkut makna, interpretasi, dan hasil...
Post on 08-Feb-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS FRAMING TAJUK RENCANA TENTANG KONFLIK
INDONESIA-MALAYSIA DI HARIAN REPUBLIKA EDISI AGUSTUS
2010
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh:
Zahrotusti’anah
NIM 107051102338
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Analisis Framing Tajuk Rencana tentang Konflik Indonesia-Malaysia dalam
Harian Republika Edisi Agustus 2010
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh:
Zahrotusti’anah
NIM 107051102338
Di Bawah Bimbingan
Gun Gun Heryanto, S.Ag, M.Si
NIP 19760812 200501 1 005
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana 1 (SI) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, saya telah
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat
atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 7 Juni 2011
Zahrotusti’anah
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Analisis Framing Tajuk Rencana tentang Konflik
Indonesia-Malaysia di Harian Republika Edisi Agustus 2010” telah diujikan
dalam sidang Munaqosah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 7 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata 1 (S.1)
pada Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Konsentrasi Jurnalistik.
Jakarta, 7 Juni 2011
Sidang Munaqosah
Ketua, Sekretaris,
Drs. H. Mahmud Jalal, MA Ade Rina Farida, M.Si
NIP. 19520422 198103 1 002 NIP. 197700513 200701 2 018
Penguji I, Penguji II,
Rulli Nasrullah, M. Si Drs. Wahidin Saputra, MA
NIP. 19750318200801 1 008 NIP. 19700903 199603 1 001
Pembimbing,
Gun Gun Heryanto, S.Ag, M.Si
NIP 19760812 200501 1 005
ABSTRAK Zahrotusti’anah Analisis Framing Tajuk Rencana tentang Konflik Indonesia-Malaysia dalam Harian Republika Edisi Agustus 2010 Media massa Indonesia kembali sibuk dengan pemberitaan hubungan Indonesia-Malaysia. Pemicunya adalah penangkapan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh polisi Malaysia 13 Agustus 2010. Headline, berita, bahkan tajuk rencana membahas kembali hubungan kedua negara. Hal ini menarik, apalagi, tajuk rencana merupakan opini suatu redaksi media massa yang mudah membentuk suatu opini publik. Isu ini menjadi isu utama, termasuk oleh Republika. Sebagai surat kabar komunitas muslim, sikap Republika atas kasus ini di dalam tajuknya sedikit berbeda dengan sikap media lain. Republika cenderung lebih soft dalam penulisan tajuknya dibanding media massa lainnya. Dengan latar belakang di atas, maka timbul sebuah pertanyaan dari penulis, bagaimana Harian Republika mengemas konflik Indonesia-Malaysia dalam tajuk rencananya selama Bulan Agustus 2010? Penelitian ini berlandaskan pada paradigma konstruktivis dengan menggunakan riset kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun teknik analisa data, penelitian ini menggunakan analisis framing Robert Entman yang membagi bingkai sebuah wacana ke dalam empat elemen; identifikasi masalah, penyebab masalah, evaluasi moral, dan penawaran solusi atas masalah.
Teori Konstruksi Sosial atas Realitas milik Peter L. Berger dan Thomas Luckmann menjadi teori dalam penelitian ini. Berger dan Luckman mengatakan bahwa realitas dibentuk oleh realitas objektif dan realitas subjektif. Realitas objektif terbentuk dari pengalaman di luar individu dan dianggap kenyataan. Proses penyerapan kembali realitas objektif tersebut menghasilkan realitas yang disebut dengan realitas subjektif. Dalam realitas subjektif, realitas tersebut menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu dengan objek.
Berdasarkan teori tersebut, maka teks yang ada di media massa merupakan hasil konstruksi dari si pembuat teks tersebut. Harian ini menggunakan tajuk rencana untuk mengidentifikasi kasus ini ke dalam ranah tertentu, menuding aktor penyebab masalah, mengevaluasi moral atas kasus ini, dan juga menawarkan solusi atas kasus tersebut. Dengan begitu, penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa Republika mengemas kasus ini sebagai masalah komunikasi internasional yang melibatkan dua negara tetangga serumpun. Aktor penyebab masalah ada di Malaysia yang kerap kali tidak menghormati kedaulatan Indonesia. Sikap saling menghormati dan menjaga hubungan baik keduanya merupakan solusi utama yang ditawarkan Republika atas kasus ini.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur atas seluruh kehendak Allah
S.W.T, Sang Pemilik Kehendak. Atas izin-Nya lah, akhirnya skripsi ini selesai
dalam proses pengerjaan selama kurang lebih 6 bulan. Skripsi ini merupakan
anugerah dan nikmat yang besar yang Allah berikan kepada saya.
Atas terselesaikannya skripsi ini, tak lupa saya haturkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Bapak Dr. H. Arief
Subhan, M.A, Pembantu Dekan I Bidang Akademik, Bapak Drs. Wahidin
Saputra, M.A, Pembantu Dekan II Bidang Administrasi Umum, Bapak
Drs. Mahmud Jalal, M.A, serta Pembantu Dekan III Bidang
Kemahasiswaan, Bapak Drs Study Rizal, L.K, MA.
2. Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Ibu Rubiyanah, M.A beserta Sekretaris
Konsentrasi Jurnalistik, Ibu Ade Rina Farida, M.Si yang selalu berkenan
membantu saya dalam banyak hal.
3. Dosen pembimbing skripsi, Bapak Gun Gun Heryanto, S.Ag, M.Si yang
telah meyediakan waktu dan tenaganya, serta membagi ilmunya untuk
membimbing saya.
4. Seluruh dosen dan staf akademik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi atas ilmu dan bantuannya selama ini.
5. Segenap staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
6. Seluruh dewan dan staf redaksi Harian Republika atas kerjasamanya.
7. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda Dian Syahrudin dan Bunda Uyuni
yang senantiasa sabar membesarkan, mendidik, dan mendoakan saya tanpa
keluh kesah.
8. Kakak dan kedua adik saya yang selalu menghibur dan menemani hari-
hari pengerjaan skripsi ini, Kak Lia, Ina, dan juga Ficky.
9. Keluarga besar Bani Abdillah dan Haji Hasyim sekalian atas doanya.
10. Teman-teman Jurnalistik angkatan 2007, mereka yang menemani,
membantu, dan menginspirasikan saya, Ririn, Ika, Cahya, Dita, Zabrina,
Mawa, Zahra, Yanti, Silvi, Nana, Nunu, Nia, Lola, Sintya, Rezza, Ipunk,
Dodo, Era, Ajat, Helmi, Alan, Anay, Beben, Fajar, Wahyu, Miral, Ibenk,
Kiki, Iman, Murni, Nadia, Zenal, Nujum. Terimakasih atas semangat moril
dan kebersamaan selama 4 tahun ini.
11. Semua pihak dan teman-teman yang telah mendukung, mendoakan, dan
membantu saya dan tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................... iii ABSTRAK ................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ................................................................................. v DAFTAR ISI ............................................................................................... vii DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 B.Batasan Masalah ...................................................................... 6 C.Rumusan Masalah .................................................................... 6 D.Tujuan Penelitian ..................................................................... 7 E.Manfaat Penelitian. .................................................................. 7 F.Metodologi Penelitian............................................................... 7 G.Sistematika Penulisan .............................................................. 14
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A.Kajian Teoritis .......................................................................... 16 1.Konstruksi Sosial atas Realitas .............................................. 16
a.Latar Belakang Teori Konstruksi ......................................... 16 b.Teori Kostruksi Sosial atas Realitas Peter Berger dan Thomas Luckmann .............................................................................. 17 c.Konstruksi Realitas di Media Massa .................................... 22
B.Kerangka Konseptual ................................................................ 27
1.Analisis Framing ................................................................... 27 a.Definisi Framing ............................................................... 27 b.Framing Robert Entman .................................................... 32
2.Tajuk Rencana ....................................................................... 36 a.Definisi dan Fungsi ........................................................... 36 b.Jenis dan Penetapan Isu Tajuk Rencana ............................. 39 c.Model ANSVA dan SEES ................................................. 41
BAB III GAMBARAN UMUM HARIAN REPUBLIKA
A.Sejarah Harian Republika ........................................................ 43 B.Visi dan Misi Harian Republika .............................................. 47 C.Karakter Harian Republika ...................................................... 49 D.Struktur Redaksi Harian Republika ......................................... 51
BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA A.Analisis Framing Tajuk Rencana Kamis, 19 Agustus 2010 ...... 58 B.Analisis Framing Tajuk Rencana Sabtu, 28 Agustus 2010 ....... 69
C.Analisis Framing Tajuk Rencana Senin, 30 Agustus 2010 ....... 79
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ............................................................................. 89 B.Saran ....................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 92 LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
1. Tabel I.1 Model Analisis Framing Robert N. Entman
2. Tabel IV.1 Daftar Judul Tajuk Rencana dengan Pembahasan Indonesia-
Malaysia
3. Tabel IV.2 Framing Tajuk Rencana “Hubungan RI-Malaysia”
4. Tabel IV.3 Framing Tajuk Rencana “Hubungan Panas Serumpun”
5. Tabel IV.4 Framing Tajuk Rencana “Malaysia yang Berbudi”
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanggal 13 Agustus 2010 lalu, media massa Indonesia ramai
membincangkan kembali hubungan panas antara Indonesia dan Malaysia. Konflik
ini kembali mencuat dengan tertangkapnya tiga petugas Kementrian Kelautan dan
Perikanan (KKP) oleh polisi Diraja Malaysia. Penangkapan ketiga petugas KKP
RI itu dilakukan di perairan Bintan, Kepulauan Riau.
Kejadian ini bermula dari tujuh nelayan Malaysia yang kedapatan
mengambil ikan-ikan di perairan Bintan. Petugas KKP yang sedang berpatroli pun
menggiring tiga nelayan tersebut ke Batam dengan memindahkan mereka ke
dalam kapal KKP. Tiga dari petugas KKP mengawal lima kapal nelayan
Malaysia. Polisi Diraja Malaysia pun kemudian menggiring lima kapal nelayan
beserta tiga petugas KKP ke Johor setelah melepaskan tembakan peringatan.
Hubungan yang sering tidak harmonis ini sudah terjadi sejak tahun 1963.
Bermula dari keinginan Inggris menyatukan wilayah Sabah dan Serawak sebagai
bagian dari wilayah koloninya, Soekarno geram dengan aksi Anti-Indonesia.1
Aksi tersebut berujung pada penginjakan lambang garuda oleh Perdana Menteri
Malaysia saat itu, Tuanku Abdul Rahman. Tidak hanya itu, para demonstran pun
merobek-robek foto Soekarno dan mengobrak-abrik kedubes RI di Malaysia.
1 Usman, Syafaruddin dan Isnawita Din. Ancaman Negeri Jiran : Dari ”Ganyang
Malaysia” Sampai Konflik Ambalat (Yoyakarta: Media Pressindo, 2009), h. 28.
Pada dasarnya, kondisi demografi Malaysia tidak jauh berbeda dengan
Indonesia. Malaysia dan Indonesia memiliki rumpun yang sama sehingga tak
jarang, banyak kesamaan yang muncul dari kedua negara ini. Dari segi budaya,
tak sedikit budaya kedua negara ini yang hampir serupa, seperti tarian, adat, atau
bahkan ragam makanan. Maka tidak heran, hubungan kedua negara tetangga ini
sering memanas.
Pengklaiman ragam budaya Indonesia cukup membuat bangsa ini geram.
Sebut saja kasus pengklaiman Reog Ponorogo, tari Tari Pendet dari Bali, batik
khas Jawa, dan lagu daerah Maluku “Rasa Sayange” yang dipakai Malaysia
sebagai isi iklan pariwisatanya. Belum lagi masalah perbatasan teritorial yang
sensitif, seperti perbatasan di perairan Ambalat. Menjadi catatan buruk juga sikap
kekerasan Malaysia terhadap TKI di negeri johor itu yang akhirnya menyebut
bangsa kita sebagai bangsa babu. Malaysia dan Indonesia menjadi tetangga yang
tidak harmonis.
Peranan media massa dalam membingkai kasus pada 13 Agustus lalu
menjadi semakin kuat. Berbagai media, baik televisi, radio, dan surat kabar gencar
memberitakan kasus ini ke hadapan publik. Kasus ini pun kerap menjadi headline
di berbagai media massa.
Harian Republika sebagai harian nasional yang berbasis komunitas muslim
menulis paling sedikit tiga headline yang secara implisit membahas hubungan
kedua negara sejak konflik ini kembali mencuat 13 Agustus 2010. Headline
tersebut antara lain berjudul, “Konfrontasi!” pada tanggal 16 Agustus 2010,
“Malaysia Meradang: Pemerintah tak tanggapi pernyataan Menlu Malaysia” pada
tanggal 27 Agustus 2010, dan “Menlu Anifah Tolak Minta Maaf” pada 28
Agustus 2010.
Headilne-headline tersebut diperkuat dengan ilustrasi seputar batas
wilayah atau juga dengan ilustrasi wajah Menlu Malaysia dan Indonesia yang
dimaknai sebagai proses diplomasi yang lembek. Kasus ini pun terlihat menjadi
lebih penting manakala dibahas pula dalam berita-berita yang diletakkan pada
rubrik berita utama dan rubrik berita lainnya baik secara implisit maupun
eksplisit.
Secara eksplisit, ada beberapa berita dan tajuk rencana yang menyelipkan
kasus ini dalam teksnya. Seperti pada headline “Pidato Tak Beri Harapan” yang
berisi tentang daftar pidato presiden bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI ke-
55. Dalam list pidato presiden tersebut, kasus Indonesia-Malaysia termasuk ke
dalam kasus yang tidak dibahas dalam pidato presiden kala itu.
Lainnya, secara eksplisit dikemukakan dalam tajuk rencana pada tanggal
20 Agustus 2010 yang berjudul “Jangan Buang Energi”. Taju ini mengatakan
bahwa, usul kontroversial anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Ruhut
Sitompul, tentang perpanjangan masa jabatan Presiden SBY merupakan
pengalihan isu atas kelemahan SBY menyikapi kasus Indonesia-Malaysia.
Fungsi dan peran media massa menurut Lasswell dibagi menjadi tiga,
yakni: pengamatan lingkungan, korelasi bagian-bagian dalam masyarakat untuk
merespon lingkungan, dan penyampaian warisan masyarakat dari generasi ke
generasi.2
2Werner J.Severin dan James W. Tankard Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode dan
Terapan di dalam Media Massa (Jakarta: Prenada Media, 2008), h. 386.
Adapun fungsi yang kedua, korelasi, adalah fungsi dimana media
memeberikan interpretasinya tentang informasi kepada masyarakat. Melalui
fungsi ini, media kerap kali memasukkan kritik atau pandangannya terhadap isu-
isu yang dinilai menyimpang. Media menjadi sebuah kontrol sosial atas
lingkungannya. Media memberikan pandangan kepada khalayak untuk menyikapi
suatu kejadian melalui tajuk atau editorialnya. Untuk itu, dengan fungsi ini tajuk
rencana mampu membuat sebuah opini publik tentang suatu kasus.
Tajuk rencana adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media
sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, dan atau
kontroversial yang berkembang dalam masyarakat.3 Tajuk rencana atau yang juga
disebut sebagai editorial memiliki peran sendiri bagi media massa, dalam hal ini,
surat kabar. Tajuk menjadi begitu bernilai manakala publik merasa bahwa
pandangan dari redaksi media adalah pandangan yang patut untuk diketahui.
Untuk itu, penulis merasa bahwa kasus ini menarik, bukan hanya masalah
kedua negara merupakan negara tetangga yang tidak harmonis, melainkan juga
ingin mengetahui bagaimana sikap Republika sebagai koran komunitas muslim
terbesar di Indonesia menanggapi kasus ini.
Republika bukan berada pada karakter media provokatif dalam penulisan
beritanya. Untuk itu, penulis tertarik untuk melihat solusi apa yang ditawarkan
Republika sementara koran lain banyak yang menyetujui aksi provokatif, seperti
perang misalnya.
Dari tiga tajuk rencana yang ditulis Republika pun terkesan berbeda.
Ketiganya memang menggunakan penulisan halus namun tetap tegas. Penulis pun
3AS Haris Sumadiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalis Profesional (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), h. 2.
tertarik mengambil tajuk rencana Republika karena sudut pandang dalam tajuk
tersebut berbeda dari koran lain. Republika lebih mengedepankan hubungan
kedua negara yang seharusnya bisa lebih baik tanpa diganggu masalah-masalah
seperti ini terus menerus. Republika mendorong tak hanya pemerintah Indonesia-
Malaysia yang bertanggungjawab atas hal ini, tapi juga semua lapisan masyarakat,
baik Indonesia maupun Malaysia.
Oleh karena itu, penulis mengangkat judul “Analisis Framing Tajuk
Rencana tentang Konflik Indonesia-Malaysia di Harian Republika Edisi
Agustus 2010”.
B. Pembatasan Masalah
Merujuk pada latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
penulis membatasi penelitian ini pada tajuk rencana yang mengangkat konflik
antara Indonesia-Malaysia pada Harian Republika edisi Agustus 2010.
C. Perumusan Masalah
Dari batasan penelitian di atas, maka rumusan masalah yang akan penulis
kaji adalah “bagaimana pengemasan kasus konflik Indonesia-Malaysia dalam
tajuk Harian Republika?”
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Harian
Republika mengemas kasus konflik Indonesia-Malaysa pada edisi Agustus sampai
September 2010.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
pengembangan keilmuan komunikasi terutama komunikasi massa yang terkait
dengan model analisis framing atas media massa, khususnya model Robert N.
Entman.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini juga diharapkan memberi masukan sebagai referensi
tambahan terkait data analisis kepada penelitian sejenis di masa mendatang. Selain
itu, penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para praktisi di bidang
jurnalistik, seperti wartawan dalam membingkai peristiwa.
F. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan metode riset
kualitatif. Pada dasarnya, paradigma atau pendekatan riset komunikasi dapat
dilihat menjadi tiga paradigma; positivis, konstruktivis, dan juga kritis. Ketiga
paradigma ini biasanya dapat dibedakan dengan melihat dari aspek ontologi,
epistemologi, aksiologi, dan juga metodologi.
Aspek ontologi melihat apa yang disebut sebagai suatu realitas. Paradigma
konstruktivis ini memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang
natural, tetapi hasil dari konstruksi.4 Dilihat dari aspek epistemologinya, atau
sesuatu yang menyangkut bagaimana cara mendapatkan pengetahuan, paradigma
konstruktivis menempatkan peneliti dan objek yang diteliti sebagai bagian yang
tidak dapat dipisahkan.
4 Eriyanto, Analisis Framing : konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, (Yogyakarta:
LKis, 2008) Cet. Ke-5 h. 5
Aspek yang ketiga adalah aspek aksiologi di mana menyangkut tentang
tujuan untuk mempelajari sesuatu. Penelitian dengan paradigma konstruktivis
bertujuan untuk rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan
pelaku sosial yang diteliti.5 Terakhir adalah aspek metodologi di mana teknik-
teknik dipelajari dalam menemukan pengetahuan. Pada paradigma ini peneliti dan
responden (yang diteliti) menekankan pada hubungan empati dan interaksi melalui
metode-metode kualitatif, seperti observasi partisipan.
2. Metode Penelitian
Paradigma konstruktivis yang bernilai subjektif ini menggunakan metode
riset kualitatif di mana menekankan pada kualitas data dan bukan kuantitasnya.
Metode kualitatif sebenarnya merupakan metode penelitian yang dipakai untuk
menjelaskan suatu fenomena sedalam-dalamnya dengan menggunakan
pengumpulan data yang sedalam-dalamnya pula.
Secara sederhana, metode kualitatif tidak melakukan pengumpulan data
dengan metode statistik. Metode ini digunakan justru untuk menjelaskan apa yang
tidak bisa dijelaskan pada metode kuantitatif. Untuk itu, metode kualitatif
membutuhkan analisa di lapangan yang mendalam. Salah satu asumsi desain
kualitatif adalah peneliti kualitatif merupakan instrumen pokok untuk
pengumpulan dan analisa data. Data didekati melalui instrumen manusia,
bukannya melalui inventaris, daftar pertanyaan, atau mesin.6
Karakteristik masalah pada penelitian kualitatif adalah adanya kebutuhan
dari si peneliti untuk menggali lebih dalam lagi suatu fenomena dan
5 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset
Media, (Jakarta: Kencana 2007) Cet ke-2, h. 110 6 John W. Creswell, Desain Penelitian: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta:
KIK Press, 2003), h. 140
mengembangkan teori yang sudah ada. Oleh karenanya, desain penelitian
kualitatif bersifat induktif, sehingga teori tidak menjadi sesuatu untuk diuji tetapi
untuk dikembangkan dan dibentuk melalui proses penelitian.7
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau cara-cara yang
digunakan periset untuk mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data
dibedakan dengan metodologi dari riset yang digunakan para periset, yakni riset
kualitatif dan kuantitafif. Pada riset kualitatif yang penulis pakai pada riset ini
ialah observasi, wawancara, dan juga dokumentasi. Ide penelitian kualitatif adalah
dengan sengaja memilih informan (atau dokumen atau bahan-bahan visual lain)
yang dapat memberikan jawaban terbaik pertanyaan penelitian.8
a. Observasi
Observasi merupakan kegiatan mengamati apa yang ada di sekeliling kita.
Pada dasarnya, observasi memang hal yang sering dilakukan kita sehari-hari.
Observasi pada riset ini diartikan sebagai kegiatan mengamati subjek (tajuk
rencana Harian Republika) dan objek (tajuk pada tanggal 19, 28, dan 30 Agustus
2010) penelitian secara langsung.
Pada metode observasi, periset biasanya menggunakan instrumen
observasi. Instrumen observasi tersebut antara lain: sistem kategori, sistem skala,
sistem tanda, diary keeping, analisis dokumen, lembar pengamatan, dan panduan
7 John W. Creswell, h. 98. 8 John W. Creswell, h. 143.
pengamatan.9 Pada riset ini hanya analisis dokumen yang digunakan sebagai
instrumen observasi. Analisis dokumen hanya mengamati dokumen sebagai
sumber informasi dan menginterpretasikannya ke dalam hasil penelitian.
Dokumen yang digunakan, pada dasarnya, terdiri atas dokumen publik dan
dokumen privat. Namun, seperti yang telah disebutkan di atas, riset ini hanya
membutuhkan dokumen publik berupa teks tajuk Harian Republika edisi 19, 28,
dan 30 Agustus 2010.
b. Wawancara
Teknik pengumpulan data yang juga digunakan periset adalah wawancara.
Wawancara dalam riset kualitatif, yang disebut sebagai wawancara mendalam
(depth interview) atau wawancara intensif (intensive-interview) dan kebanyakan
tak berstruktur.10 Tujuannya untuk mendapatkan data kualitatif yang mendalam.
Wawancara ini akan dilakukan bersama narasumber yang merupakan redaksi
Harian Republika.
c. Dokumentasi
Terakhir, teknik pengumpulan data yang periset gunakan adalah metode
dokumentasi. Peneliti menambah data-data yang digunakan melalui
penghimpunan data-data, literatur, dan kajian pustaka terkait masalah yang akan
diangkat. Pengumpulan dokumentasi tersebut digunakan untuk mendapatkan
informasi yang mendukung dalam menginterpretasi data dan menganalisis
masalah.
9 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana 2007) Cet ke-2, h. 111.
10 Rachmat Kriyantono, h. 96.
1. Teknik Analisis Data
Membaca bingkai yang dilakukan Harian Republika pada tajuknya atas
kasus konflik Indonesia-Malaysia pada edisi Agustus 2010, peneliti menggunakan
teknik analisa framing milik Robert N. Entman. Entman membagi modelnya ke
dalam empat bagian, identifikasi masalah, penyebab masalah, evaluasi moral, dan
penawaran solusi atas masalah tersebut.
Gagasan mengenai framing sendiri pertama kali diperkenalkan oleh
Beterson pada tahun 1955. Framing dikenal sebagai struktur konseptual atau
perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan
wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi
realitas.11 Tahun 1974, Goffman mengembangkan konsep framing menjadi
kepingan-kepingan perilaku individu dalam membaca realitas. Framing pada
dasarnya merupakan pemberian definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi
dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap
peristiwa yang diwacanakan (Entman dalam Dennis McQuail, 2002).12
Framing secara sederhana dapat digunakan untuk menyusun dan membaca
realitas yang dikonstruksi oleh media massa. Suatu isu, pada penyajiannya,
melalui beberapa proses yang akhirnya menjadi satu sajian utuh yang dikonsumsi
oleh publik. Proses inilah yang membedakan antara satu berita oleh media A dan
media B dengan isu yang sama.
Perbedaan sajian atau bingkai yang dipakai media massa merupakan
realitas yang sengaja dibentuk untuk menyampaikan pesan tersendiri bagi media
11 Alex Sobur, Analaisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk analisis Wacana, Analisis
semiotic, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 162. 12 M. Antonius Birowo (ed.), Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi,
(Yogyakarta: Gitanyali, 2004), h. 181.
tersebut. Pada dasarnya, framing merupakan metode untuk melihat cara bercerita
media atas peritiwa.13 Metode ini digunakan untuk melihat bsagaimana peristiwa
dikonstruksi oleh media.
Entman mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai aspek
realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks
komunikasi. Framing menjauhkan khalayak untuk mendapatkan obyektivitas
pemberitaan. Framing dapat terjadi melalui cara pengambilan gambar atau sudut
pandang peristiwa, penyuntingan, dan penyajian peristiwa pada teks yang
disajikan.
Dalam proses framing terdapat berbagai kepentingan yang menempel
dengannya, bisa berasal dari pemilik/pemegang saham terbesar media, pengiklan,
atau dari institusi penekan lain seperti pemerintah, agama, dan lain-lain. Entman
juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas
sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain.14
Menurut Entman, framing dalam berita dilakukan dengan empat cara,
yakni:15 Pertama, indetifikasi masalah (problem indentication), yaitu peristiwa
dilihat sebagai sesuatu yang mana positif dan yang mana negatif. Kedua,
identifikasi penyebab masalah (causal interpretation), yaitu siapa yang dianggap
penyebab masalah. Ketiga, evaluasi moral (moral evaluation), yaitu penilaian atas
penyebab masalah; dan keempat, saran penanggulangan masalah (treatment
recommendation), yaitu menawarkan suatu cara penanganan masalah dan kadang
kala memprediksikan hasilnya.
13 Eriyanto, Analisis Framing : konstruksi Ideologis, dan Politik Media, (Yogyakarta:
LKiS, 2008), h. 10. 14 Alex Sobur, Analaisis Teks Media, h.67. 15Alex Sobur, Analaisis Teks Media, h. 172.
Framing Robert Entman
Problem indentication Peristiwa dilihat sebagai sesuatu yang
mana positif dan yang mana negatif
Causal interpretation Siapa/apa yang dianggap penyebab
masalah
Moral evaluation Penilaian atas penyebab masalah
Treatment recommendation Menawarkan suatu cara penanganan
masalah dan kadang kala
memprediksikan hasilnya
Tabel I.1 Model Analisis Framing Robert N. Entman
Pengidentifikasian masalah atau tahap problem identification merupakan
tonggak dari bingkai suatu teks media. Pada tahap ini, peneliti harus mengambil
pokok dari suatu masalah yang sedang diangkat. Masalah tersebut adalah
penginterpretasian dari redaksi dalam menyikapi perstiwa tersebut.
Diagnose Causes, mencari penyebab masalah. Diagnosa penyebab
masalah dilihat ketika suatu peristiwa yang dipahami redaksi ditulis sedemikian
rupa dan menonjolkan sesuatu yang dianggap menjadi penyebab masalah. Dalam
suatu teks media, penyebab tidak hanya diartikan sebagai who atau siapa,
melainkan juga what atau apa.
Tahap ketiga adalah moral evaluation atau evaluasi moral. Di sini,
masalah yang sudah diidentifikasikan dan diketahui penyebabnya kemudian
dipertegas oleh gagasan lain. Gagasan ini sifatnya akan membenarkan pokok
masalah yang diangkat pihak redaksi. Gagasan akan berupa argumen dan kutipan
dari seseorang yang kompetibel dengan masalah dan dikenal khalayak.
Terakhir merupakan solusi yang ditawarkan pihak redaksi atas masalah
tersebut, atau treatment recommendation. Tahap ini mengambil sikap yang
diambil pihak redaksi untuk dijadikan bahan masukan, solusi atas masalah. Solusi
yang diberikan pihak redaksi tentunya bergantung pada masalah yang ditonjolkan,
penyebab masalahnya, dan juga penguatan masalah oleh gagasan lain.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini memaparkan latar belakang masalah, batasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL
Bab ini akan membahas tentang teori konstruksi sosial atas realitas Peter
L. Berger dan Luckmann. Selain itu, Bab ini akan membahas konsep framing dan
tajuk rencana.
BAB III GAMBARAN UMUM
Bab ini berisi profil dari Harian Republika. Profil itu sendiri terdiri atas
sejarah singkat berdirinya Harian Republika, visi dan misi Harian Republika, serta
struktur redaksional dari Harian Republika.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA
Bab ini berisi temuan data dan analisis framing terhadap tajuk Harian
Republika pada edisi 19, 28, dan 30 Agustus 2010 yang membincang konflik
Indonesia-Malaysia.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan mengenai kesimpulan dan saran penulis.
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A. Kajian Teoritis
1. Konstruksi Sosial Atas Realitas
a. Latar Belakang Teori Konstruksi
Konstruksionisme sendiri merupakan cikal bakal yang berasal dari
aliran filsafat. Ide konstruksionis dimulai oleh Giambatista Vico, seorang
epistemolog dari Italia.16 Aristoteles dalam Bertens mengatakan bahwa,
manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan
kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan
adalah fakta.17
Konstruksionisme menjelaskan bahwa konstruksionis merupakan
proses kerja kognitif individu di mana terjadi relasi sosial antara individu
dengan orang atau lingkungannya. Proses inilah yang menafsirkan realitas yang
ada. Realitas tersebut dibentuk sendiri oleh pengetahuan yang sudah dimiliki
sebelumnya oleh masing-masing individu. Piaget menyebut kemampuan ini
sebagai skema atau skemata dalam yang berarti suatu struktur mental atau
kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan
mengkoordinasi lingkungan sekitarnya.18
16Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa,
Iklak Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (Jakarta: Kencana, 2008), h. 13
17 Ibid, h. 13. 18 Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan (Pustaka Filsafat, 2007), h.
30.
Berbeda dengan kaum positivis yang cenderung mengabaikan
individu dan hanya terpaku pada struktur sosial, kaum konstruksionis memilih
ke arah teori-teori beraliran interpretatif atau humanistis. Teori-teori humanistis
ini cenderung berada di tengah, antara positivis dan kritis. Oleh karenanya,
konstuksionisme sebagai bagian dari teori humanistis menganggap individu
yang berinteraksi sebagai alat analisa yang tepat.
Baginya, realitas sosial memang sudah ada dengan sendirinya namun
juga tergantung pada manusia sebagai subjeknya. Pembahasan tersebut yang
menjadi bahasan Berger pada teori konstruksi realitas atas realitanya. Berger
berpendapat bahwa realitas sosial secara objektif memang ada tetapi maknanya
berasal dari dan oleh hubungan subjektif (individu) dengan dunia objektif.19
b. Teori Konstruksi Sosial atas Realitas Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann
Peter Ledwig Berger merupakan sosiolog asal Amerika yang
mengambil benang merah antara aliran Emil Durkheim (1858-1917), Max
Weber (1864-1920), dan Karl Marx (1818-1883). Berger memiliki pandangan
sendiri dalam menyikapi pertarungan aliran positivis Durkheim, humanis
Weber, dan juga teori kritik Marx. Berger mengambil sikap tegas bahwa
sosiologi merupakan suatu disiplin yang humanitik.20 Namun, dalam
perspektifnya, Berger menekuni makna yang menghasilkan watak ganda
masyarakat, yakni; masyarakat sebagai kenyataan subyektif seperti pandangan
19 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003) , h. 299. 20 Ibid, h. 298.
Weber dan masyarakat sebagai kenyataan obyektif menurut Durkheim yang
terus berdialektika (Marx).
Perspektif Berger mendapat sumbangan besar dari Alfred Schutz
(1899-1959) tentang makna dan pembentukan makna atau bagaimana makna
membentuk struktur sosial.21 Schutz mengatakan tindakan manusia menjadi
suatu hubungan sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu
terhadap tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti.22
Gagasan Berger dan Luckmann bertumpu pada makna realitas dan
pengetahuan. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-
fenomena yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada
kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat meniadakannya dengan
angan-angan). Pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomena-fenomena itu
nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik.23
Keterkaitan hubungan individu dan dunia sosiokulturalnya disusun
dalam gagasan eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Ketiganya ini
merupakan proses dialektika antara indidu dengan masyarakatnya atau
masyarakat dengan individu. Eksternalisasi dan objektivasi merupakan proses
di mana masyarakat merupakan realiats objektif, sedangkan proses internalisasi
menempatkan masyarakat sebagai realitas subjektif.
21 Ibid, h. 299. 22 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.
59. 23 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, h.1.
a.1. Manusia Sebagai Realitas Objektif
1. Eksternalisasi
Berger mendefinisikan eksternalisasi sebagai proses penyesuaian diri
individu terhadap dunia sosiokulturalnya.24 Eksternalisasi dipengaruhi secara
aktif maupun pasif oleh akumulasi common sense yang merupakan
pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya dalam
kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam
kehidupan sehari-hari.25 Pengetahuan bersama ini pada dasarnya bersifat
subyektif yang kemudian terjadi berulang-ulang lalu mengendap sehingga
menjadi akumulasi common sense yang terhabitualisasi. Habitualisasi ini
selanjutnya membentuk produk sosial yang nantinya akan diwariskan. Dengan
kata lain, manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial
yang objektif melalui proses eksternalisasi.26
2. Objektivasi
Objektivasi tahap pertama disebut sebagai institusionalisasi dan kedua
merupakan legitimasi.27 Institusi adalah jawaban manusia terhadap
kehidupannya yang terus mengalir dengan tidak pasti. 28 Ketidakpastian ini
yang dimaksud Berger sebagai kekacauan yang diliputi kehampaan makna.
Institusi, dengan segala ketentuan yang mengatur peran anggotanya, berfungsi
24 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 15. 25 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 34. 26 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, h. 302. 27 Geger Riyanto, Peter L. Berger: Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia, 2009), h. 117. 28 Ibid, h. 109-110.
untuk memberikan rasa keteraturan dan kenyamanan kepada anggotanya
tersebut.29
Institusi yang diwariskan ini tidak bersifat statis atau tanpa perubahan.
Karena dari zaman ke zaman, anggota baru dari institusi tersebut akan terus
bisa mempertanyakan institusi tersebut. Untuk mempertahankannya
dibutuhkan legitimasi yang merupakan tahap objektivasi tahap kedua.
Legitimasi meletakkan justifikasi kognitif atau penjelasan berdasarkan
pembuktian logis mengenai relevansi dari sebuah institusi untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang menyoal institusi tersebut, saat institusi itu mulai
dirasa kurang atau tidak relevan dalam menjawab persoalan-persoalan yang
timbul.30
Dengan demikian masyarakat sebagai realitas subjektif dari kedua
proses di atas (eksternalisasi dan objektivasi) dapat diterangkan sebagai
berikut;
“Dalam proses eksternalisasi, mula-mula sekelompok manusia menjalankan sejumlah tindakan. Bila tindakan-tindakan tersebut dirasa tepat dan berhasil menyelesaikan persoalan merea bersama pada saat itu, maka tindakan tersebut akan diulang-ulang. Setelah tindakan itu mengalami pengulangan yang konsisten, kesadaran logis manusia akan merumuskan bahwa fakta tersebut terjadi karena ada kaidah yang mengaturnya. Inilah tahapan objektivasi di mana sebuah institusi menjadi realitas yang objektif setelah melalui proses ini.”31
29 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, h. 303. 30 Geger Riyanto, Peter L. Berger, h. 116. 31 Ibid, h. 110-111.
a.2. Manusia Sebagai Realitas Subjektif
1. Internalisasi
Masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas
obyektif ditafsiri secara subyektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah
berlangsung internalisasi. Internalisasi yang berlangsung melibatkan
sosialisasi, baik primer maupun sekunder.
“Internalisasi itu di antaranya berwujud dalam sosialisasi –bagaimana satu generasi menyampaikan nilai-nilai budaya yang ada pada generasi berikut. Generasi berikut diajar untuk hidup sesuai dengan nilai budaya yang mewarnai struktur masyarakatnya. Generasi baru dibentuk oleh makna-makna yang sudah diobjektivasikan, mengidentifikasi diri dengannya. Tetapi tidak memilikinya dengan sekadar mengenalnya, ia juga mengungkapkannya.”32 Sosialisasi primer berlangsung pada masa anak-anak dengan
hubungan emosional yang tinggi yang pada akhirnya tidak hanya menimbulkan
proses belajar mengenal lingkungan secara kognitif saja. Sedangkan sosialisasi
sekunder memurut Berger dan Luckmann dikatakan bahwa, tanpa
mempertimbangkan dimensi lainnya, bisa dikatakan bahwa sosialisasi sekunder
adalah proses memperoleh pengetahuan khusus sesuai dengan perannya (role-
spesific knowledge), di mana peran-peran secara langsung atau tidak langsung
berakar dalam pembagian kerja.33
Ketiga proses atau tahapan di atas merupakan realitas yang dimaksud
Berger dan Luckmann. Realitas objektif yang merupakan realitas yang
terbentuk dari pengalaman di luar individu dan dianggap kenyataan ini adalah
eksternalisasi. Ekspresi dari realitas objektif dalam berbagai bentuk simbolis
tersebut dinamakan objektivasi. Sedangkan proses penyerapan kembali realitas
32 Eriyanto, h. 15 33 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 21.
objektif dan simbolik melalui proses internalisasi menghasilkan realitas yang
disebut dengan realitas subjektif.
Dalam realitas subjektif, realitas tersebut menyangkut makna,
interpretasi, dan hasil relasi antara individu dengan objek. Setiap individu
mempunyai latar belakang sejarah, pengetahuan, dan lingkungan yang berbeda-
beda, yang bisa jadi menghasilkan penafsiran yang berbeda pula ketika melihat
dan berhadapan dengan objek. Sebaliknya, realitas itu juga mempunyai
dimensi objektif –sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, berada di luar- atau
dalam istilah Berger, tidak dapat kita tiadakan dengan angan-angan yang ada,
dan sebagainya.34
c. Konstruksi Realitas di Media Massa
Berger dan Luckmann memang tidak menyebutkan aktivitas media
massa dalam gagasan konstruksi sosial atas realitas, namun gagasan Berger dan
Luckmann tersebut memberi banyak substansi pada konstruksi sosial media
massa.35
Tiga proses dialektika Berger dan Luckmann; eksternalisasi,
objektivasi, dan internalisasi ini juga digunakan dalam proses konstruksi
realitas media massa. Hanya saja, ketiga proses tersebut berjalan lamban
karena terjadi antarindividu saja dan juga menggunakan pola vertikal yang
kemudian bersifat spasial, di mana konstruksi sosial berlangsung seperti dari
atasan ke bawahannya atau orangtua kepada anaknya.
34 Eriyanto, Analisis Framing, h. 16. 35 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 194.
Konstruksi realitas media massa pada dasarnya memang melibatkan
individu sebagai subjeknya, akan tetapi, individu tersebut tidak akan memberi
kontribusi besar terhadap proses konstruksi jika tanpa melaui media massa.
Misalnya, aktor atau subjek individu dalam proses pengkonstruksian sebuah
peristiwa di media massa adalah wartawan dan pihak redaksi media tersebut.
Wartawan tersebut tidak memiliki kekuatan konstruksi besar dalam mata
khalayak, kecuali gagasan-gagasannya tersebar di media massa. Burhan
Bungin mengatakan dalam konteks konstruksi iklannya, bahwa konstruksi
iklan atas realitas sosial itu terjadi karena iklan televisi adalah bagian dari
media televisi dan menjadi salah satu sumber otoritas individu.36
Kelambanan yang terjadi pada proses eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi Berger dan Luckmann ditutupi oleh proses sirkulasi informasi
media yang cepat dan tersebarluas. Namun, proses sirkulasi tersebut pun butuh
tahapan-tahapan yang pada akhirnya akan membentuk realitas media massa.
Berikut bagan yang menggambarkan proses konstruksi sosial media massa:37
GAMBAR II.1 Proses Konstruksi Sosial Media Massa
36 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 213. 37 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 195
Sebagai sumber, ketiga proses Berger dan Luckmann berjalan pada
dapur redaksi. Tahapan ini dinamakan penyiapan materi. Di sini, terjadi
penentuan isu yang akan disampaikan pada khalayak. Seorang wartawan atau
pun pihak redaksi sudah memiliki gambaran tersendiri tentang suatu peristiwa
yang terjadi. Gambaran pengetahuan itu sudah ada sebelum proses pencarian
fakta dilakukan. Tahap eksternalisasi ini kemudian berada pada realitas objektif
tentang peristiwa tersebut. Ketika wartawan tersebut turun ke lapangan,
mencari fakta demi fakta, realitas objektif tersebut akan tercampur dengan apa
yang dilihat dan dialami langsung oleh si wartawan yang menjadikan fakta
tersebut sebagai realitas subjektif. Ada pemaknaan yang dilakukan wartawan
tentang realitas objektif atau pengetahuan tentang peristiwa yang sudah ada
sebelum ia turun langsung dan realitas yang ia lihat ketika proses peliputan
terjadi. Berita bersifat subjektif, karena opini tidak dapat dihilangkan ketika
peliputan. Wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. 38
Menurut Mark Fishman, Berita dihasilkan dari pengetahuan dan
pikiran, bukan karena ada realitas objektif yang berada di luar, melainkan
karena orang akan mengorganisasikan dunia yang abstrak ini menjadi dunia
yang koheren dan beraturan serta mempunyai makna.39
Bagaimana peristiwa itu dikemas dan mengapa peristiwa itu dimaknai
tertentu bukan hanya semata-mata subjektivitas individu dari wartwan itu
sendiri, tapi juga institusi yang menaunginya. Tidak dapat dipungkiri bahwa
wartawan hidup dalam institusi media dengan seperangkat aturan, pola kerja,
38 Eriyanto, Analisis Framing, h. 27. 39 Ibid, h. 101.
dan aktivitasnya sehingga tidak menutup kemungkinan ada control dari pihak
institusi dalam pengemasan suatu peristiwa.
Pada tahapan ini, konstruksi realitas akan diawali dengan adanya
keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Keberpihakan tersebut tidak
bisa dipungkiri mengingat ideologi media massa saat ini memang sudah pada
tataran industri di mana membutuhkan modal dan juga menjadikan produk
medianya laku di masyarakat.40
Selain itu, pada tahapan ini pun media akan memberikan keberpihakan
semu kepada masyarakat dan juga kepentingan umum lainnya. Keberpihakan
semu ini akan dibentuk melalui sikap empati dan simpati media dalam produk
ber-genre kemanusiaan yang sifatnya menyentuh sensitivitas khalayak.
Proses konstruksi ini melibatkan bagaimana peristiwa bisa dikemas
agar memiliki nilai berita. Jutaan peristiwa terjadi setiap harinya, namun
wartawanlah yang kemudian memilih peristiwa itu, menuliskannya sedemikian
rupa dan memberikan makna serta penonjolan-penonjolan lain yang bisa
menjadi nilai berita, karena nilai berita merupakan produk dari konstruksi
wartawan. Elemen ini berhubungan dengan orientasi media dengan
khalayaknya. Menurut Shoemaker dan Reese, nilai berita adalah elemen yang
ditujukan kepada khalayak.41
Tahapan kedua adalah penyebaran konstruksi. Dua poin penting
dalam tahapan ini adalah mengenai waktu dan segmentasi khalayak. Media
massa harus bisa menyebarkan informasi dalam waktu yang secepat mungkin
dan dengan target khalayak yang jelas serta tepat sasaran. Keduanya akan
40 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 197. 41 Ibid, h. 105.
mempermudah pembentukan konstruksi media, sebab media massa memang
bekerja dengan keaktualitasannya terhadap suatu peristiwa. Hal tersebut
menjadi bahan khalayak dalam pemilihan media yang akan mereka konsumsi.
Media pun harus jeli dalam melihat segmentasi audiens agar pesan yang
dibawa media menjadi lebih cepat dan tepat diterima khalayak.
Selanjutnya, tahapan ketiga, di mana konstruksi realitas terbentuk
harus dilalui dengan tahapan lain yang lebih melibatkan kesadaran masing-
masing dari khalayak tersebut. Pertama-tama, khalayak akan berada pada
tahapan di mana membenarkan apa saja yang disajikan media massa. Setelah
itu, khalayak secara sadar akan memiliki kesediaan untuk dikonstruksi media
massa dengan kesediaannya menjadi pembaca atau pemirsa dari media
tersebut. Ketika dua tahap ini sudah ada pada masing-masing individu, sikap
konsumerisme terhadap media akan meningkat dan menjadi suatu kebutuhan
hidup dan habitualisasi khalayak.
Tahapan terakhir dalam pembentukan realitas adalah tahap
konfirmasi. Di sini, muncul alasan-alasan dari setiap individu tentang
kesediaan dirinya terlibat dalam pembentukan konstruksi. Misalnya,
munculnya alasan bahwa media massa merupakan sumber pengetahuan yang
dapat diakses kapan saja dan di mana pun. Oleh karenya, masyarakat modern
harus selalu mengkonsumsi media yang sudah menjadi kebutuhan hidup
tersebut.
Efek dari konstruksi realitas media massa di atas menjelaskan bahwa
pemberitaan (dan atau produk media massa) itu lebih cepat diterima
masyarakat luas, lebih luas jangkauan pemberitaannya, sebaran merata, karena
media massa dapat ditangkap masyarakat luas secara merata dan di mana-
mana, membentuk opini massa, karena merangsang masyarakat untuk beropini
atas kejadian tersebut, massa cenderung terkonstruksi, karena masyarakat
mudah terkonstruksi dengan pemberitaan-pemberitaan yang sensitif, bahkan
opini massa cenderung apriori sehingga mudah menyalahkan berbagai pihak
yang bertanggungjawab atas kasus terkait, serta opini massa cenderung sinis,
karena peristiwa terkait sering kali terjadi di Indonesia.42
B. Kerangka Konseptual
1. Analisis Framing
a. Definisi Framing
Framing atau bingkai berfungsi untuk menjaga pandangan kita
terhadap suatu gambar yang ada. Tuchman dalam salah satu bukunya “Making
News” menganalogikan framing sebagai jendela.43 Apa yang ada di luar
jendela terlihat dari bagaimana jendela yang kita pakai untuk melihatnya.
Jendela yang luas, misalnya, akan memungkinkan kita melihat tidak hanya
halaman rumah kita saja, tapi juga rumah-rumah lain atau pemandangan lain
yang bisa lebih luas jangkauannya. Berbeda dengan apabila kita menggunakan
jendela berukuran kecil yang pada akhirnya sangat membatasi apa yang bisa
kita lihat.
Konsep framing dalam studi media banyak berasal dari lapangan
psikologi dan sosiologi.44 Dalam dimensi psikologi, framing dilihat dari
pengaruh kognisi seseorang yang membentuk skema tentang diri. Skema lahir
42 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 202. 43 Eriyanto, Analisis Framing, h. 4. 44 Ibid, h. 71.
dari proses pengetahuan dan pengalaman seseorang. Selain itu, lingkungan
sosial juga ikut memengaruhi kehadiran skema. Skema merupakan aktivitas
kognitif seseorang dalam melihat dunia sosialnya dengan perspektif tertentu.
Secara psikologis, individu akan cenderung melihat realitas yang
kompleks dengan perspektif pribadi.45 Kecenderungan ini yang membuat
perspektif tentang suatu realitas antarindividu berbeda. Setiap individu
mempunyai perspektif masing-masing yang tidak sama sesuai dengan aktivitas
kognisinya.
Untuk itu, skema digunakan untuk menyederhanakan realitas-realitas
kompleks yang ditangkap individu tersebut. Penyederhanaan tersebut
dilakukan agar pikiran kita mudah mengerti dan memahami suatu realitas.46
Skema ini pula bergantung pada pengetahuan dan pengalaman yang dialami
individu. Pembentukan makna akan sesuatu bagi anak-anak pastinya berbeda
dengan yang sudah dewasa. Oleh karenanya, framing dilihat sebagai perspektif
yang membatasi pandangan individu terhadap suatu realitas tersebut.
Dengan skema, maka sesorang akan mampu untuk membedakan satu
hal dan yang lainnya berdasarkan klasifikasi. Klasifikasi ini merupakan
perspektif yang dibuat seseorang untuk memberikan ciri-ciri khusus agar
mudah diingat dan membedakannya dengan hal serupa namun tak sama
maknanya.47
Selain itu, skema juga membuat kita menjeneralisir suatu hal. Kalau
klasifikasi berhubungan dengan bagaimana satu peristiwa atau orang dibedakan
dengan cirri-cirinya, generalisasi berhubungan dengan bagaimana satu orang
45 Ibid, h. 72. 46 Ibid, h. 86. 47 Ibid, h. 87.
yang mempunyai ciri dan sifat yang berdeketan digeneralisasikan dengan
melekatkan pada ciri-ciri yang sama.48 Tidak hanya menyederhanakan realitas,
mengklasifikasikan, dan mengeneralisir saja, namun skema juga bisa
mengasosiasikan peristiwa satu dan yang lainnya. Hal ini yang menyebabkan
sesuatu yang sering dihubung-hubungkan dengan hal lain sehingga
memunculkan perspektif yang kadang bias.
Sedangkan dalam dimensi sosiologis, konsep framing banyak berasal
dari Alfred Schutz, Erwin Goffman, dan juga Peter Berger.49 Gagasan Schutz
tentang manusia sebagai aktor kreatif dalam pemberian makna diartikan bahwa
teks berita di media massa awalnya hanya berupa teks biasa tanpa makna,
namun, kita sendiri sebagai pembaca yang memberikan makna tersebut.50 Hal
itu pula yang terjadi pada proses peliputan dan penulisan berita oleh wartawan
dan pihak redaksi. Peristiwa yang mereka lihat adalah mereka sendiri yang
memaknainya.
Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson
tahun 1955 dalam Sudibyo, yang menjelaskan bahwa mulanya, frame dimaknai
sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir
pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-
kategori standar untuk mengapresiasi realitas.51 Konsep ini kemudian
dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame
sebagai kepentingan-kepentingan perilaku (strips of behavior) yang
membimbing individu dalam membaca realitas oleh media.
48 Ibid, h. 88. 49 Ibid, h. 79-80. 50 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, h. 299. 51 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 161.
Goffman menjelaskan bahwa strips adalah urutan aktivitas sesorang
dengan framing sebagai pola dasar yang mendefinisikan strips.52 Mengambil
alat makan, mengambil makanan, kemudian memakannya merupakan strips
yang diorganisasikan menjadi satu pola bernama aktifitas makan yang
merupakan frame. Begitu pula dalam konteks berita. Peristiwa yang ada
diruntun dengan bahasa dan simol yang sedemikian rupa oleh wartawan yang
disebut strips lalu menjadi satu berita utuh yang merupakan frame.
Setiap wacana memiliki struktur internal sendiri di dalamnya. Struktur
internal tersebut memiliki sebuah gagasan inti yang kita bahas sekarang, yaitu
framing. Sebagai suatu metode analisis wacana, framing bertugas menemukan
perspektif media dalam wacananya. Perspektif media inilah yang digunakan
untuk mengkonstruksi suatu peristiwa. Perspektif itu pada akhirnya
menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan
dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut. 53
Dengan framing, maka wacana itu bisa dilihat lebih dalam tentang
bagaimana pesan diorganisir, digunakan, dan dipahami. Proses framing
(pembingkaian pesan), menurut George J. Aditjondro dalam merupakan
metode penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak
diingkari secara total, tetapi dibelokkan secara halus.54
“Framing dipandang sebagai sebuah strategi penyusunan realitas sedemikian rupa, sehingga dihasilkan sebuah wacana (discourse) yang di dalam media massa wacana ini paling banyak mengambil bentuk dalam wujud berita. Seperti halnya teori semiotika yang bisa dipakai sebagai wacana teori semiotika, teori framing juga bisa dipakai
52 Eriyanto, Analisis Framing, h. 82. 53 Bimo Nugroho, Eriyanto, Franz Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita (Jakarta:
Institut Studi Arus Informasi, 1999), h. 21. 54 Hotman Siahaan, Pers yang Gamang: Studi Pemberitaan Jajak Pendapat Timor Timur
(Lembaga Studi Perubahan Sosial, 2001), h. 9.
sebagai salah satu metode untuk memahami “information strategy” dari strategi penyusunan realitas, maka analaisis framing berfungsi untuk membongkar muatan wacana.”55 Proses framing juga dapat menjadi implikasi politik yang sangat
signifikan. Framing dapat membentuk rekayasa opini publik tentang suatu
kasus. Dengan mempertajam frame tertentu tentang sebuah isu politik, mereka
dapat mengklaim bahwa opini publik yang berkembang mendukung
kepentingan mereka, atau konvergen dengan “klaim kebenaran” mereka.56
Realitas dan peristiwa itu begitu kompleks dan acak, ia harus
diidentifikasi (diberi nama, diidentifikasi, dan dihubungkan dengan peristiwa
lain yang diketahui oleh khalayak) dan ditempatkan dalam konteks sosial
tertentu di mana khalayak tersebut berada (sering kali itu dilakukan dengan
menempatkan peristiwa dalam kerangka acuan yang familiar dari khalayak).57
Maka dari itu, efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang
kompleks dan tidak beraturan dibuat sederhana dan beraturan. Framing
menyediakan alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori
yang dikenal khalayak. Khalayak bukan disediakan informasi yang rumit,
melainkan informasi yang tinggal ambil, kontekstual, berarti bagi dirinya, dan
diingat dalam benak mereka.
55 Ibnu Hamad. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical
Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik (Jakarta: Granit, 2004), h. 21-22. 56 Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana (LKiS Pelangi Aksara, 2001),
h. 188. 57 Eriyanto, Analisis Framing, h, 119.
b. Framing Robert Entman
Framing Robert Entman menjadi model framing paling terdepan dengan
definisi framing yang diberikan Entman dalam Journal of Communcation
vol.43 yang ditulisnya, yaitu:
“To frame is to select some aspects of a perceived reality and make them more salient in a communicating text, in such a way as to promote a particular problem definition, causal interpretation, moral evaluation, and/or treatment recommendation.”58
Entman dalam Dennis McQuail juga menyebutkan bahwa aspek utama
dari sebuah framing adalah pendefinisian masalah, penyebab masalah, evaluasi
moral, dan solusi penyelesaian masalah.
“According to Entman (1993), ‘Framing involves selection and salience.’ He summarizes the main aspects of framing by saying that frames define problems, diagnose causes, make moral judgements, and suggest remedies. It is clear that a very large number of textual devices can be used to perform these activities. They include using certain words or phrases, making certain contextual references, choosing certain pictures or film, giving examples as typical, reffering to certain sources and so on.”59
Pembahasan utama framing dari Entman adalah soal penyeleksian dan
penonjolan isu. Aspek penyeleksian isu terjadi oleh pihak redaksi di mana ada
pemilihan isu yang nantinya akan disebarkan lewat pemberitaannya atau
tulisan di media massanya. Penyeleksian ini meliputi soal pemilihan isu mana
yang akan diambil dan mana yang tidak. Tidak semua bisa ditampilkan oleh
pihak media, oleh karenanya, isu yang sudah diterima khalayak adalah hasil
penyeleksian dari wartawan dan redaksi media tersebut.
58 Thomas Konig, “Frame Analysis,” artikel diakses pada 23 Maret 2011 dari
http://www.ccsr.ac.uk/methods/publications/frameanalysis/ 59 Dennis Mc. Quail, McQuail’s Mass Communication Theory (T.tp: SAGE Publications
Ltd, 2010) , h. 380.
Framing pada dasarnya adalah penonjolan isu di mana suatu peristiwa
ditonjolkan dengan menggunakan aksen-aksen tambahan serta bahasa yang
menjadikannya mudah diingat pembaca. Dengan bentuk seperti iti, sebuah ide/
gagasan/ informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan, diingat, dan
ditafsirkan, karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak.60
Proses framing adalah kegiatan yang tak terpisahkan dari pihak media
dalam mengkonstruksikan fakta. Bagaimana si wartawan memilih peristiwa
yang akan diangkatnya menjadi sebuah berita yang memiliki nilai berita, siapa
saja yang ia pilih untuk menjadi narasumbernya, serta bagaimana ia
menuliskannya. Tentunya menjadikan berita yang ia tulis menjadi subjektif
secara tidak langsung. Tidak hanya wartawan, karena pemilihan angle atau
tema atas berita yang ditulis juga menjadi keputusan rapat redaksi media
bersangkutan. Berita yang ditulis wartawan pun nantinya akan kembali
disunting oleh editor yang juga sesuai dengan perspektif si editor atas berita
tersebut. Redaktur pun memiliki kewenangan dalam memutuskan apakah erita
tersebut layak muat atau tidak. Begitu pula dengan para layouter atau tata letak,
mereka akan menambahkan gambar, karikatur, dan aksen lainnya untuk
memperkuat gagasan dalam tulisan tersebut baik tanpa maupun melalui
kebijakan dari redakturnya.
Entman menerangkan bahwa framing bahkan bisa menjadi sebuah
paradigma sendiri. Ini dikarenakan proses dari praktik jurnalistik yang
demikian. Ada pemilihan dan penonjolan isu sendiri yang akan diangkat oleh
pihak redaksi dari media bersangkutan.
60 Eriyanto, Analisis Framing, h. 186
Model framing Entman, sebagaimana yang ia selalu tekankan dalam
definisinya tentang framing adalah dilakukannya pengidentifikasian masalah
(problem identifikation), mencari penyebab masalah (causal interpretation),
membuat keputusan moral (moral judgement), dan solusi atas masalah
(treatment recommendation).
Pada pendefinisian masalah akan dilihat bagaimana suatu masalah atau
persitiwa dilihat. Satu masalah atau peristiwa akan dimaknai berbeda oleh
wartawan yang berbeda. Itu dikarenakan skema individu yang berbeda, karena
setiap individu memiliki perspektifnya masing-masing atas suatu masalah.
Secara luas, pendefinisian masalah ini menyertakan, di dalamnya, konsepsi dan
skema interpretasi wartawan.61 Menurut Entman dalam Journal of
Communication , identifikasi masalah adalah mengidentifikasi apa yang
dilakukan agen penyebab masalah dengan menggunakan istilah-istilah umum
yang sesuai dengan nilai budaya setempat.
Memperikarakan penyebab masalah (causal interpretation) merupakan
tahapan di mana peristiwa dilihat dari siapa atau apa yang menyebabkannya. Di
sini, Entman menyebutkan bahwa causal interpretation adalah
pengidentifikasian kekuatan yang menyebabkan masalah. Penyebab masalah
tidak harus terpaku oleh apa, namun juga siapa aktor, yang dalam wacana
tersebut dituding sebagai peenyebab masalah. Dalam tahap ini, dapat terlihat
bahwa ada yang dianggap sebagai pelaku dan juga ada yang dianggap sebagai
korban.
61 Ibid, h. 189.
Membuat pilihan moral (make moral judgement), tahapan ini adalah
tahapan di mana terjadi evaluasi terhadap si penyebab masalah dan efek yang
ditimbulkan oleh masalah tersebut. Ada penguatan argument dalam
pendefinisian masalah. Artinya, ada argument lain yang menegaskan gagasan
yang ingin disampaikan wartawan dan pihak redaksi. Gagasan yang dikutip
berdasarkan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh khalayak.62
Yang terakhir adalah solusi atas masalah atau treatment
recommendation. Dengan tahapan ini, kita bisa mencari apa sebenarnya yang
ditawarkan penulis sebagai solusi atas masalah yang diangkat sebagaimana
yang ada di pengidentifikasian masalah. Apa yang menjadi jalan keluar yang
menunjukkan sikap wartawan atau redaksi yang ditawarkan untuk
menyelesaikan masalah tersbut.
Keempat tahapan atau elemen di atas merupakan alat untuk memilah
dan mengetahui framing yang dipakai media untuk mengemas suatu perstiwa
atau berita. Eriyanto mengatakan tentang dua level frame berita yang timbul,
selengkapnya adalah;
“Frame berita timbul dalam dua level. Pertama, konsepsi mental yang digunakan untuk memproses informasi dan sebagai karakteristik dari teks berita. Kedua, perangkat spesifik dari narasi berita yang dipakai untuk membengun pengertian mengenai peristiwa. Frame berita dibentuk dari kata kunci, metafora, konsep, simbol, citra yang ada dalam narasi berita.”63
Model framing Entman memang banyak berbicara tentang aksen-aksen
yang menjadikan suatu wacana menonjol dan mendapat perhatian lebih. Seperti
misalnya, penempatan berita menjadi headline yang bearada di halaman muka
62 Ibid, h. 191. 63 Ibid, h. 189.
suarat kabar. Jenis font yang dicetak tebal dan besar. Belum lagi, penambhan
foto, gambar, diagram, karikatur, dan lain-lain yang membuatnya menjadi
menonjol sehingga menarik khalayak untuk membacanya.
Aksen-aksen tersebut merupakan penguatan yang dilakukan terhadap
teks berita atau wacana. Kata menjadi senjata utama bagi para penulis dalam
mengemas isu mereka. Oleh karenanya, dengan model framing Entman,
pembedahan kata-kata tersebut akan lebih mudah teridentifikasi.
Kata memiliki kekuatan yang besar untuk memengaruhi cara memaknai
teks oleh pembaca. Kata hanya mempunyai makna setelah ia diasosiasikan
dengan referen. Artinya, ketika kita berbicara tentang denotasi, kita merujuk
pada asosiasi primer yang dimiliki sebuah kata bagi kebanyakan anggota suatu
masyarakat linguistik tertentu, sedangkan konotasi merujuk pada asosiasi
sekunder yang dimiliki sebuah kata bagi seorang atau lebih anggota masyarakat
itu.64
Oleh karenaya, Entman memandang bahwa wacana merupakan arena
pertarungan simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pokok
persoalan wacana. Masing-masing pihak saling menonjolkan perspektif dan
argumennya agar diterima khalayak. Setiap pihak juga menggunakan simbol,
retorika, dan bahasa-bahasa tertentu dengan konotasi tertentu. Dengan kata
lain, proses framing menjadikan media massa sebagai suatu arena di mana
informasi tentang masalah-masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang
simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangannya
didukung pembaca.65 Inilah yangdisebut Eriyanto dengan efek framing.
64Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication, h. 71. 65 Eriyanto, Analisis Framig, h. 196.
Akan tetapi, Entman pun mengatakan bahwa sebuah kalimat bisa saja
menunjukkan lebih dari satu dari empat elemen framingnya, walaupun banyak
kalimat dalam teks yang sama yang tidak menunjukkan satu pun dari keempat
framing tersebut.
Dalam proses komunikasi, setidaknya ada empat lokasi yang
menunjukkan suatu framing; komunikator, teks, si penerima, dan juga budaya.
Komunikator berperan membuat suatu bingkai yang secara disadari maupun
tidak menentukan apa yang ingin dikatakan dan menggiring dengan
menggunakan schemata yang telah diorganisasikan. Teks yang terdiri atas
potongan bingkat tersebut kemudian dikonstruksi dan ditonjolkan dengan
menggunakan kata-kata kunci tertentu, frase, gambar, sumber informasi, atau
apa pun yang bisa menggiring si pembaca ke arah bingkai yang dimaksud si
komunikator. Framing pun kemudian diterima si pembaca yang sesuai dan
diperkuat dengan nilai-nilai budaya dari suatu kelompok tersebut.
Cara framing bekerja adalah menonjolkan beberapa informasi dari teks.
Kata penonjolan itu sendiri pun perlu diberi makna. Artinya, membuat
potongan sebuah informasi itu lebih ditandai pembaca, lebih bermakna, dan
juga lebih diingat pembaca. Sebuah teks bisa saja menjadi menonjol dengan
penempatan-penempatan di kolom yang lebih besar, lebih mudah ditemukan,
dan sebagainya. Atau teks tersebut selalu diulang untuk meninggalkan kesan
yang kuat untuk diingat.
2. Tajuk Rencana
a. Definisi dan Fungsi
Tajuk rencana atau editorial merupakan pikiran sebuah institusi opini
publik, yang menyajikan fakta dan opini yang menafsirkan berita-berita
penting dan memengaruhi pendapat umum.66 Tajuk rencana merupakan sebuah
tulisan di surat kabar atau koran yang berisi pendapat atau opini redaksi surat
kabar tersebut terhadap sebuah permasalahan aktual. Dalam sebuah tajuk,
biasanya disajikan terlebih dahulu fakta-fakta tentang sebuah permasalahan
aktual, seperti peristiwa, kejadian, atau fenomena. Lalu disisipkan opini,
pandangan, pendapat dari redaksi koran tersebut untuk mengomentari atau
mengkritisi permasalahan tersebut.
Secara teknis jurnalistik, tajuk rencana diartikan sebagai opini redaksi
berisi aspirasi, pendapat, dan sikap resmi media pers terhadap persoalan
potensial, fenomenal, aktual, dan atau kontroversial yang terdapat dalam
masyarakat.67
Produk jurnalistik itu ada dua, yaitu news dan views. News adalah berita
dan views ialah segala apa yang bersifat opini.68 Tajuk rencana atau yang biasa
disebut editorial bukanlah berita, namun tajuk rencana tetap bagian dari produk
jurnalistik. Tajuk rencana merupakan sikap atau opini yang ditulis redaksi, oleh
karenanya ia tetap menjadi produk jurnalistik. Dikatakan bukan berita, karena
pertama, tajuk rencana, kita tahu tidak ditempatkan pada kolom-kolom berita,
melainkan kolom sendiri, bahkan di beberapa media, ia berada pada kolom
opini, pendapat, dan sebagainya. Selain itu, karena jelas, tajuk rencana bukan
memberitakan suatu peristiwa yang terjadi, tapi mengomentari, memberi
66 Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Kontemporer ((Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), h. 64. 67 AS. Haris Sumardiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis
dan Jurnalis Profesional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 82. 68 Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Kontemporer, h. 49.
pendapat, dan merupakan bentuk sikap redaksi media terhadap peristiwa
tersebut.
Menurut William Pinkerton dari Harvard University, fungsi tajuk
rencana mencakup empat hal; menjelaskan berita (explaining the news),
menjelaskan latar belakang (filling in background), meramalkan masa depan
(forecasting the future), dan menyampaikan pertimbangan moral (passing
moral judgement).69
Tajuk rencana sebagai explaining the news berfungsi menerangkan apa
yang terjadi kepada khalayak. Sebagai filling in background, tajuk rencana
menggambarkan pula latar belakang peristiwa yang diangkat dengan
memaparkan latar belakang sejarah kemudian menghubungkannya dengan
peristiwa sekarang. Selain itu, sebagai forecasting the future, tajuk rencana
memberikan prediksi bagaimana peristiwa tersebut di masa yang akan datang.
70 Passing moral judgement adalah tugas para penulis tajuk rencana untuk
mempertahankan kata hati mereka. Mereka diharapkan mempertahankan isu-
isu moral dan mempertahankan posisi mereka.71
Tajuk rencana juga berfungsi sebagai kritik atas ketimpangan yang
terjadi dalam masyarakat dan pemberian wawasan kepada masyarakat atas
permasalahan yang sedang hangat terjadi. Sikap media pada tajuk rencana
dapat dilihat dengan memahami permasalahan yang dikemukakan dalam tajuk
rencana, tujuan pembahasan masalah tersebut, serta menemukan pandangan,
kritik atau tanggapan redaksi atas permasalahan tersebut. Dengan begitu,
69 Ibid, h. 83. 70 Suhaemi dan Ruli Nasrullah, Bahasa Jurnalistik (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Jakarta, 2009), h. 53. 71 AS. Haris Sumardiria, Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, h. 84.
sebagai pembaca, kita akan mampu menemukan opini redaksi atas
permasalahan tersebut dan beropini kembali atas opini redaksi tersebut.
b. Jenis dan Penetapan Isu Tajuk Rencana
Rolnicki, Tate, dan Taylor menjelaskan tentang jenis-jenis dari
tajuk rencana atau editorial:72
a. Editorial Advokasi, yaitu editorial yang menginterpretasikan,
menjelaskan, dan membujuk adanya perubahan yang dikaitkan dengan
peristiwa atau fenomena yang menjadi sorotan pihak media.
b. Editorial Pemecahan Masalah, tipe editorial ini digunakan baiasanya
untuk menarik perhatian pada suatu problem atau ingin mengkritik
tindakan seseorang, kelompok, atau institusi baik swasta maupun
pemerintah.
c. Editorial Penghargaan, yaitu editorial yang mengulas tentang seseorang,
organisasi, perusahaan, yang telah meraih kesuksesan atau prestasi di
bidang tertentu.
d. Editorial Singkat, yaitu editorial yang memuat satu atau dua paragraph
yang efektif dan membahas hanya satu dua poin atau sedikit bukti latar
belakang informasi yang perlu diberikan.
e. Editorial Pendek, yaitu yang hanya memuat satu komentar pujian atau
kritik dan tidak selalu berkaitan dengan berita lainnya di media.
72 Suhaemi dan Rully Nasrullah, Bahasa Jurnalistik, h. 54.
f. Editorial Kartun, yaitu jenis editorial yang berupa gambar kartun
dengan satu dua kalimat dialog yang berisi komentar, kritik,
menginterpretasikan, membujuk, dan menghibur.
Pihak redaksi harus pandai-pandai memilih topik yang akan diangkat
pada tajuk redaksinya. Karena ini merupakan sikap dari media, maka semakin
topik itu menarik di kalangan masyarakat, maka wibawa media pun akan
semakin dipertimbangkan.
Topik-topik yang diangkat di tajuk rencana biasanya adalah topik-topik
kontroversial yang memiliki daya tarik bagi para pembaca. Hanya saja
adakalanya suatu lembaga media massa menulis tajuk rencana tidak semata-
mata karena ingin menyikapi peristiwa itu, tetapi karena peristiwa itu termasuk
masalah besar yang tidak sempat dimuat atau disiarkan oleh media massa yang
bersangkutan.73
Topik tajuk rencana juga mencerminkan visi, misi, dan kebijakan
umum media penerbitan pers. Ada pesan yang ingin disampaikan media lewat
tajuk rencananya. Maka dari itu, topik juga disesuaikan degan kualifikasi dan
fokus wilayah sirkulasi penerbitan untuk mendapat target yang tepat sasaran.
Fokus tajuk rencana akan sangat ditentukan oleh filosofi, visi, misi, dan
kebijakan umum media penerbitan; kualifikasi dan wilayah sirkulasi media
penerbitan; pertimbangan politis dari ideologis tertentu, baik yang bersifat
situasional maupun permanen.74
Topik tajuk rencana, idealnya ditulis dengan mengedepankan nilai
standar jurnalistik yang mengedepankan aktualitas, objektivitas, akurasinya,
73 Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru (Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), h. 157. 74 AS. Haris Sumardiria. Menulis Artikel dan Tajuk Rencana, h. 91.
serta prinsip liputan berimbang (cover both sides). Topik pun tidak
bertentangan dengan aspek ideologis, yuridis, sosiologis, dan aspek etis yang
terdapat dalam masyarakat kita. Topik dari tajuk rencana juga berorientasi pada
nilai-nilai luhur yang menegakkan kebenaran.
Tajuk rencana yang baik seharusnya melakukan analisis terhadap
masalah yang terjadi. Pihak redaksi menjelaskan terlebih dahuluan masalah dan
latar belakang munculnya masalah tersebut. Selanjutnya, redaksi menganalisis
dengan teknik perbandingan, menerangkan sebab-akibat, serta melakukan
analogi masalah. Kesimpulan yang ditarik pihak redaksi harus pula
memberikan solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
2.3. Model ANSVA dan Model SEES
Menurut Monroe dalam Raymond S. Ross, dalam Persuassion:
Communication and Interpersonal Relations, terdapat lima tahap urutan motif
yang sesuai dengan cara berpikir manusia dalam formula ANSVA: perhatian
(attention), kebutuhan (need), pemuasan (satisfaction), visualisasi
(visualization), dan tindakan (action).75
Dengan menggunakan attention, tajuk rencana harus membuat pembaca
tertarik untuk membaca lebih lanjut. Pandangan pertama para pembeca akan
tertuju pada judul, untuk itu membuat tajuk rencana menarik adalah dengan
menggunakan judul yang bombastis dan kalimat pembuka semenarik mungkin.
Tajuk rencana harus memenuhi kebutuhan (need) dan memuaskan kebutuhan
75 Ibid, h. 101.
para pembaca (satisfaction). Keduanya adalah berkaitan dengan proses atau
gaya penulisan dari pihak redaksi beserta pemilihan isu yang diangkat.
Untuk visualization, yang dimaksud adalah penggambaran atas
peristiwa yang diangkat. Biasanya, penggambaran diperkuat dengan contoh-
contoh riil yang terjadi sehingga pembaca mudah menangkap pesan tajuk
rencana dan mudah untuk mengingatnya. Sedangkan untuk action, tahap ini
berada pada kesimpulan yang ditarik redaksi. Kesimpulan ini merupakan sikap
redaksi atas kasus sehingga pembaca secara sederhana dan singkat dapat
menangkap maksud dari tajuk rencana tersebut.
Selain teori ANSVA, dikenal juga teori SEES yang merupakan
singkatan dari statement, explanation, example, dan juga summary. Pada model
SEES, akan terlihat gaya penulisan yang lebih tegas dan ringkas. Statement,
menunjukkan pernyataan yang lugas dan tembak langsung terhadap
permasalahan. Tidak bertele-tele dalam memaparkan persoalan yang sedang
dibahas. Pernyataan yang lugas tersebut kemudian harus didukung dengan
bukti-bukti logis dan analisis yang meyakinkan pada explanation.
Sebagaimana, pada model ANSVA, SEES juga membutuhkan penambahan-
penembahan aksen yang memperkuat explanation yaitu berupa contoh-contoh
(example). Terakhir, dengan masih mengedepankan gaya bahasa yang padat
dan lugas, kesimpulan pun harus ditulis dengan mencantumkan tindakan
konkret sebagai solusi masalahnya. Bagian ini adalah summary.
Jika dilihat dari polanya, pers popular biasanya menggunakan teori
SEES, sedangkan pers serius papan papan atas lebih banyak memilih teori
ANSVA. Pers serius melihat teori SEES terlalu sederhana sehingga agak
menyulitkan mereka untuk melakukan analisis lebih dalam dan tajam dalam
tajuk rencana yang ditulisnya.76
76 Ibid, h. 104.
BAB III
GAMBARAN UMUM HARIAN REPUBLIKA
A. Sejarah Harian Republika
Harian Republika terbit pertama kali pada tanggal 4 Januari 1993.
Ia dilahirkan oleh kalangan komunitas muslim dan dirintis oleh para
wartawan profesional muda yang dipimpin oleh Zaim Ukhrowi. Nama
Republika berasal dari ide Presiden Soeharto yang disampaikan saat
beberapa pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI)
pusat menghadap untuk melaporkan rencana peluncuran harian umum
tersebut.77
ICMI sendiri berdiri pada bulan Desember 1990. ICMI sebagai
komunitas cendekiawan muslim melihat bahwa hingga tahun 1990-an
belum ada media atau pers Islam yang cukup berpengaruh di Indonesia.
Padahal, 80% penduduk Indonesia merupakan kaum muslim.
Media Islam dianggap kurang menjaga kredibilitas di hadapan
pembacanya, sambil mengkompromikan sebuah akomodasi dengan
kepentingan negara. Ilustrasi tersebut terlihat pada Harian Pelita.
“Pada pemilu 1977 dan 1982, Pelita dikenal dengan suara kekuatan politik Islam, terutama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Saat itu seikulasinya telah mencapai hampir 100.000 eksemplar. Usai pemilu 1982, Pelita dibredel. Namun empat bulan kemudian harian ini terbit kembali dengan garis editorial yang lebih moderat dan lebih pragmatis-komersial. Semenjak itu Pelita ditinggalknan pembacannya.”78
77 Data resmi berupa Company Profile dari Harian Republika 78 Agus Sudibyo, Hamad, Qarari, Kabar-kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media
Massa (Jakarta: ISAI, 2001), h.10.
Sebagai upaya menjawab persoalan seputar pers yang berorientasi
Islam ini, pada tanggal 18 November 1991, ICMI mengadakan seminar
tentang pers Islam. Seminar ini melahirkan harapan perlunya media Islam
yang cukup kuat, baik dari segi pengaruh sosial politik maupun aspek
lainnya. Melalui program 5K-nya, yaitu Kualitas Iman, Kualitas Hidup,
Kualitas Kerja, Kualitas Karya, dan Kualitas Pikir, ICMI membantu
Republika menembus izin penerbitan yang saat itu sangat ketat.79
Sebagai organisasi yang menghimpun cendekiawan dari mayoritas
pemeluk agama, ICMI memang mempunyai political power yang lebih
dibanding organisasi-organisasi lainnya. Kekuatan ini kemudian didukung
oleh banyaknya para birokrat, bahkan tingkat menteri, yang mendukung
ICMI.
Hairus Salim H.S di tulisannya yang berjudul “ICMI, Pluralisme
Agama dan Demokrasi” dalam ICMI, Negara dan Demokratisasi : Catatan
Kritis Kaum Muda mengatakan:
“Jika ICMI lupa diri dan terjerat dalam semangat serta merta, dua hal ini akan sangat mungkin menggiringnya untuk terus mengakumulasi kekuasaan dan selalu berupaya untuk menggapai target-target politiknya, yang selama ini dikalkulasi dalam hitungan-hitungan statisktik jabatan-jabatan strategis dan kritik-kritiknya terhadap kelompok-kelompok lain. Kemungkinan itu didukung oleh –melebihi partai pula-, ICMI mempunyai “mesin-mesin” politik seperti Harian Republika, CIDES, dan belakangan ini Ummat.”80
Bertekad memiliki media massa yang berkualitas dan memegang
nilai-nilai spiritualitas, ICMI dan beberapa tokoh pemerintah, serta
79 Data resmi Harian Republika 80 Zuli Qodir, ed, ICMI, Negara dan Demokratisasi : Catatan Kritis Kaum Muda,
(Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran, 1995), h. 22.
masyarakat yang berdedikasi pada pembangunan masyarakat yang
beragama Islam, membentuk Yayasan Abdi Bangsa pada 17 Agustus
1992. Yayasan ini kemudian memiliki tiga program, salah satunya adalah
penerbitan Harian Umum Republika. Yayasan Abdi Bangsa ini
mendirikan PT. Abdi Bangsa dan lahirlah Harian Republika.81
Republika lahir di atas upaya refleksi kegagalan pers Islam
sebelumnya. Manajemen awal Republika mencoba meretas persoalan
klasik: bagaimana mengedepankan misi Islam. Dalam konteks jurnalisme,
bagaimana menerapkan kaidah pemberitaan yang profesional tanpa
meninggalkan misi keIslamannya.
Parni Hadi selaku pemimpin redaksi pertama Harian Republika
mengatakan bahwa pada awalnya Republika digagas berdasarkan
kesadaran untuk menyajikan yang terbaik sebagai pengabdian kepada
Sang Khaliq. Kemudian timbul niat, lalu tekad, dan, akhirnya berbuat
untuk mewujudkannya.82
Founding Fathers harian ini telah menetapkan Republika sebagai
sebuah harian umum yang berwawasan kebangsaan (keindonesiaan) dan
bernafaskan Islam. Mottonya adalah mencerdaskan “kehidupan bangsa”,
seluruh Bangsa Indonesia yang sebagian besar terdiri dari umat Islam.
Dan, landasan untuk pencerdasan itu harus Islami. Artinya, berdasarkan
Al-Quran dan Sunnah Rasul.83 Sebagai media massa –seperti yang lain-
81 Data resmi Harian Republika 82 Hernowo, ed, Lautan Hikmah: Kumpulan Renungan Keagamaan di Harian Republika,
(Bandung: Mizan, 1994), h. 5 83 Ibid, h.5.
Republika mengemban fungsi sebagai alat penyampai informasi, pendidik,
penghibur dan sarana kontrol sosial sekaligus.
Berdasarkan data yang diperoleh dari situs jejaring sosial Facebook
resmi milik Republika, Tahun 1995, Republika membuka situs web di
internet. Republika menjadi yang pertama mengoperasikan Sistem Cetak
Jarak Jauh ( SCJJ ) pada tahun 1997.84 Pendekatan juga dilakukan kepada
komunitas pembaca lokal. Republika menjadi salah satu koran pertama
yang menerbitkan halaman khusus daerah. Selalu dekat dengan publik
pembaca adalah komitmen Republika untuk maju.
Republika tidak hanya ditujukan untuk mendukung partai politik
atau untuk orang saleh belaka, tetapi ditujukan untuk orang-orang yang
belum mantap imannya dan ogah dengan seruan moralistik. Dengan
demikian, Republika memuat secara teratur artikel-artikel mengenai seni,
televisi, sastra, dan tren mode yang menarik bagi muslim kelas menengah
dan atas yang menjadi pembacanya.85 Kosmopolitanisme Republika
adalah suatu upaya menunjukkan bahwa Islam bukan hanya sekedar
persoalan untuk orang desa dan ulama, tetapi sebuah agama yang bisa
mengilhami suatu kesadaran sosial yang sesuai dengan aspirasi rakyat
sebagai keterbukaan dan pluralisme.86
Rubrik khas Republika adalah Hikmah.87 Rubrik ini lahir setelah
Republika merasakan masih ada yang kurang dalam sajian koran ini
84 http://www.facebook.com/pages/REPUBLIKA-Online diakses pada tanggal 09-05-
2011 pukul 20:40 WIB 85 Data resmi Harian Republika 86 Agus Sudibyo, Hamad, Qadari, Kabar-kabar Kebencian, h. 11 87 Hernowo, ed, Lautan Hikmah: Kumpulan Renungan Keagamaan di Harian Republika,
h. 6.
setelah kurang lebih satu tahun terbit. Republika merasa perlunya hadir
sebuah sajian tentang bimbingan ruhani yang Islami. Bahan-bahan untuk
rubrik ini terdiri atas kandungan Al-Quran, Hadis, kisah-kisah sahabat
Nabi sampai kisah-kisah masa kini.
Rubrik ini muncul pertama kali untuk menyambut Bulan
Ramadhan 1413 H. Namanya, “Marhaban Ya Ramadhan” kemudian
berubah menjadi “Hikmah Ramadhan”. Kemudian, untuk menyambut
bulan haji, muncul kembali dengan nama “Labbaika Ya Allah”. Terakhir,
ia menyandang nama tetap “Hikmah” sampai sekarang.88
Sebagai tanggungjawab sosial kepada masyarakat luas, khususnya
kaum dhuafa, juga sekaligus ikut serta mensukseskan program pemerintah
dalam mengentaskan kemiskinan, pada Juli 1993, Republika membuka
program Dompet Dhuafa. Program ini bertujuan menghimpun, mengelola,
dan menyalurkan zakat para pembacanya.89
Eri Sadewo, salah satu pendiri program Dompet Dhuafa ini
menerangkan bahwa secara bisnis, Republika sudah maju dan perlu terus
menggali karakter untuk membuat peran Republika semakin penting di
masyarakat.90
B. Visi dan Misi Harian Republika
Filosofi Harian Republika adalah menjadikan harian ini sebagai
koran umat yang terpercaya dan mengedepankan nilai-nilai universal yang
88 Hernowo, ed, Lautan Hikmah: Kumpulan Renungan Keagamaan di Harian Republika,
h. 7. 89 Data resmi Harian Republika 90 Berita dari Republika Online, Kamis, 31 Maret 2011
sejuk, toleran, damai, cerdas dan profesional.91 Sebagai surat kabar yang
didirikan berdasarkan asas keislamannya, Republika memegang nilai-nilai
spiritualitas sebagai perwujudan Pancasila yang merupakan filsafat
bangsa, serta memiliki arah gerak seperti digariskan UUD 1945. Oleh
karenanya, Republika memiliki visi menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar yang membela, melindungi, dan melayani kepentingan umat.92
Sebagai wujud kebangkitan pers Islam, Republika mengedepankan
sikap kritis yang elegan. Tidak menyakiti namun mencerdaskan, mendidik,
dan mencerahkan bagi para pembacanya. Menurut Irwan Ariefyanto,
Redaktur Pelaksana II Harian Republika, Republika bukan koran sumber
yang mencari informasi berdasarkan “katanya-katanya”. Republika
merupakan koran fakta yang tidak mau terjebak dalam provokasi untuk
bertindak keras.93 Republika juga memiliki visi berwawasan kebangsaan.
Adapun misi yang diemban Harian Republika bergerak di wilayah
politik, ekonomi, budaya, agama, dan hukum. Republika mendorong
terwujudnya demokratisasi dan partisipasi politik semua lapisan
masyarakat. Selain itu, Republika juga menekankan perlunya pemerataan
sumber-sumber daya ekonomi dan mempromosikan prinsip etika dan
moralitas dalam berbisnis.94
Dalam ranah budaya, Republika mendukung sikap terbuka dan
apresiatif terhadap bentuk kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai
91 Data resmi Harian Republika 92 Data resmi Harian Republika 93 Hasil wawancara dengan Redaktur Pelaksana II Harian Republika, Irwan Ariefyanto,
pada Kamis, 5 Mei 2011 94 Data resmi Harian Republika
kemanusiaan namun juga bersikap kritis terhadap bentuk kebudayaan yang
merusak moralitas.95
Sebagai media massa Islam, Republika mendorong sikap beragama
yang terbuka. Mengedepankan semangat toleransi yang tulus serta
mendorong pencarian titik temu di antara agama-agama. Selain itu,
Republika berusaha mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin dalam
segala bidang kehidupan.
C. Karakter Harian Republika
Dalam penyajian informasinya, Harian Republika mengedepankan
bahasa jurnalistik yang lugas, mudah dibaca, jelas, dan tuntas. Republika
amenggunakan bahasa-bahasa popular untuk memudahkan pembaca
namun tidak mengabaikan kaidah-kaidah bahasa.96 Hal ini pun
diungkapkan Parni Hadi dalam Lautan Hikmah bahwa agar pas dengan
sasarannya, penampilan Republika harus lugas, ringkas, padat, memikat,
dan tepat (dengan perkembangan zaman). Gaya penyajiannya diusahakan
popular dan kontemporer.97
90% pembaca Republika merupakan kaum muslim dan sisanya
merupakan kaum non muslim. Pembaca Republika yang merupakan
komunitas muslim ini juga berasal dari kalangan berpendidikan dan juga
profesional. Toleran dan inklusif, peduli keluarga dan loyal, merupakan
95 Data resmi Harian Republika 96 Data resmi Harian Republika 97 Hernowo, ed, Lautan Hikmah: Kumpulan Renungan Keagamaan di Harian Republika,
h. 6.
masyarakat kota, dan biasanya menengah ke atas merupakan profil
pembaca Harian Republika.98
Adapun profesi dan usia pembaca Harian Republika dapat dilihat
pada diagram di bawah ini yang bersumber pada data resmi Harian
Republika:99
Diagram III.1. Profesi Pembaca Harian Republika
98 Data resmi Harian Republika 99 Data resmi Harian Republika
Diagram II Usia Pembaca Republika
Kekuatan harian yang bermarkas di Warung Buncit Raya, Jakarta
Selatan, ini juga terletak dari tata letak dan visualisasi yang menjadi
penonjolan-penonjolan informasi berupa gambar, table, grafik, dan lain
sebagainya. Ini terbukti dengan penghargaan sebagai tata wajah terbaik
pada awal tahun penerbitannya juga penghargaan The Best Newspaper
2005 pada tahun 2006 dan The Best National Newspaper pada tahun 2007
masing-masing oleh Dewan Press dan ajang Cakram Award.100
D. Struktur Redaksi Harian Republika
100 Data resmi Harian Republika
Data resmi Harian Republika memperlihatkan bahwa sebagaimana
struktur redaksi media massa lain, Harian Republika dikepalai oleh
pemimpin redaksi dan wakil redaksinya. Di bawah keduanya terdapat
sekretaris redaksi yang bertanggungjawab kepada pemimpin atau wakil
redaksi. Selain sekretaris redaksi, pemimpin redaksi beserta wakilnya juga
membawahi langsung redaktur pelaksana dan redaktur senior. Redaktur
senior tersebut bertugas mengepalai redaktur daerah dan redaktur
Republika Online.
Sedangkan redaktur pelaksana membawahi dua wakil, yaitu wakil
redaktur pelaksana I yang bertanggungjawab atas berita dan wakil redaktur
pelaksana II yang bertanggungjawab atas nonberita, desain, dan foto.
Untuk berita pada halaman I, halaman internasional, halaman ekonomi
yang mencakup ekbis, bisnis investasi, syariah, global, dan pareto busana,
serta halaman olahraga yang mencakup arena dan sepak bola dikepalai
asisten redaktur pelaksana I yang harus bertanggungjawab atas wakil
redaktur pelaksana I. Asisten redaktur pelaksana II yang juga berada di
bawah wakil redaktur pelaksana I bertanggungjawab terhadap Dialog
Jumat, halaman City News, Iptek, berita Edisi Ahad, dan halaman nasional
yang meliputi politik 3 berita harian, hokum, kesra, dan berita di halaman
12.
Sejajar dengan wakil redaktur pelaksana I, wakil redaktur
pelaksana II yang memegang nonberita, desain, dan foto membawahi 3
bagian sekaligus. Mereka adalah asisten redaktur pelaksana III, asisten
redaktur pelaksana IV, dan juga redaktur foto. Asisten redaktur pelaksana
III bertanggungjawab terhadap nonberita, seperti berita halaman I Ahad,
cerpen, puisi, wacana, horizon, cerber, pustaka, dan senggang. Selain itu
juga ficer halaman I, analisis, resonansi, refleksi, opini, dan tajuk suara.
Ada lagi warna, hwal, TV Guide, laporan utama Minggu, perilaku di balik
layar, hobi dan habit, layar perak dan DV, serta rubrik Gaya.
Ia juga bertanggungjawab terhadap sosok, wawancara, Dari Kami,
Korcil, Belia, Remaja, Griya, Jalan-jalan, Wanita, Kesehatan, Boga, dan
Ayah Bunda. Sedangkan Asisten redaktur pelaksana IV brrtanggungjawab
atas desain halaman dan redaktur foto atas dokumentasi foto dan
laboratorium scanner.
Berdasasarkan data resmi Harian Republika per tanggal 9
Desember 2010, berikut adalah susunan redaksi harian tersebut:101
Pemimpin Redaksi : Nasihin Masha
Wakil Pemimpin Redaksi : Arys Hilman
Redaktur Pelaksana : Elba Damhuri
Wakil Redaktur Pelaksana : Syahruddin, El-Fikri, Irfan Junaidi, S.
Kumara Dewatasari
Asredpel Halaman 1, Ekbis, Olahraga, Luar Negeri, Iptek : Nur
Hasan Murtiaji
Halaman 1 : Rahmad Budi Harto, Budi Rahardjo
Ekonomi Bisnis : Wulan Tunjung Palupi, Firkah Fansuri, Zaky Al
Hamzah
101 Data resmi Harian Republika
Olahraga : Israr, Endro Yuwanto
Luar Negeri/Iptek : Yeyen Rostiyani
Asredpel Nasional, Didaktika, Kabar Kota, Gen I : Joko Sadewo
Politik : Andri Saubani
Nasional/Hukum : Dewi Mardiani
Didaktika : Burhanuddin Bella
Kabar Kota : Maghfiroh Yenny
Gen I : Priyantono Oemar, Natalia Endah Hapsari
Asredpel Agama, Siesta : Subroto
Dialog Jumat : Ferry Kisihandi
Islam Digest : Heri Ruslan
Hlm 12/Khazanah : Wachidah Handasah
Siesta : Nina Chairani Ibrahim
Asredpel Special Product : Bidramnanta
Irwan Kelana
Khoirul Azwar Siregar
Christine Purwatiningsih
Redaktur Senior : Anif Punto Utomo
Reporter Senior : Muhammad Subarkah
Harun Hussein
Nurul S. Hamami
Teguh Setiawan
Selamat Ginting
Andi Nur Aminah
Budi Utomo
Investigasi : Darmawan Sepriyossa
Kepala Quality Control dan Bahasa : Rakhmat Hadi Sucipto
Kepala Biro Foto : Fachrul Ratzi
Kepala Desain : Sarjono
Sekretaris Redaksi : Fachrul Ratzi
Kepala Newsroom : Irwan Ariefyanto
Rachmat Santosa Basarah
EH Ismail
Palupi Annisa Auliani
Kepala ROL : Agung Pragitya Vazza
Kepala Redaksi : Johar Arief
Stevy Maradona
Siwi Tri Puji Budiwiyati
Krisman Purwoko
Ajeng Pitakasari
Didi Purwadi
Muhammad Djibriel
Kepala Perwakilan Jabar : Maman Sudiaman
Kepala Perwakilan DIY-Jateng : Indra Wisnu Wardhana
Kepala Perwakilan Jatim : Asep Nurzaman
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISA DATA
Hubungan Indonesia-Malaysia kembali memanas. Isu inilah yang sering
ditemukan di berbagai headline media massa pada pertengahan Agustus 2010. Hal
tersebut dimulai saat petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI
ditangkap polisi Malaysia.
Konflik ini menjadi pusat perhatian banyak pihak. Menjalankan fungsinya
sebagai penyampai informasi, media massa pun terus mengangkat kasus ini
sebagai topik utama di tengah masyarakat. Masyarakat pun setuju, konflik ini
bukan lagi sebatas masalah pelanggaran batas wilayah, namun menjadi pelecehan
atas kedaulatan RI. Akibatnya, demonstrasi mengecam Malaysia marak terjadi di
mana-mana, bukan hanya itu, pemerintah Malaysia pun akhirnya gerah
menanggapi berbagai kecaman dari Indonesia sehingga melancarkan kritik balik
terhadap rakyat Indonesia.
Sebagai surat kabar nasional yang berasaskan Islam dan terkenal berada
pada garis tegas namun tidak keras dalam pemberitaannya, pada tanggal 15
Agustus 2010 Republika menulis headline dengan judul “Konfrontasi!” Headline
ini menunjukkan bahwa Republika ikut mewakili suara geram masyarakat
Indonesia atas kasus penangkapan petugas KKP di perairan Riau 13 Agustus
2010.
Tidak hanya itu, Republika pun menulis tajuk rencana menyikapi kasus ini
sebanyak 3 kali dalam kurun waktu Agustus 2010. Berikut judul dan pembahasan
ketiga tajuk rencana Republika tersebut:
Hari/ Tanggal Judul Tajuk Rencana
Isi Tajuk Rencana
Kamis, 19 Agustus
2010
Hubungan RI-
Malaysia
Ketidaktegasan pemerintah RI
dalam menyelesaikan masalah
illegal fishing dan pelanggaran
kedaulatan hanya dengan diplomasi
barter antara kedua negara.
Sabtu, 28 Agustus
2010
Hubungan Panas
Serumpun
Kasus kesewenang-wenangan
Malaysia terhadap Indonesia yang
dilakukan berkali-kali, tidak adanya
itikad baik dari Malaysia untuk
meminta maaf, dan penyelesaian
yang hanya pada tataran elit
menyebabkan hubungan keduanya
makin memanas.
Senin, 30 Agustus
2010
Malaysia yang
Berbudi
Keangkuhan Malaysia yang
memandang remeh Indonesia
dengan menunjukkan perilaku
bertetangga yang tidak baik.
Tabel IV. 1 Daftar Judul Tajuk Rencana dengan Pembahasan Indonesia-Malaysia
Ketiga tajuk rencana di atas membahas tentang hubungan kedua negara
yang makin hari makin memanas. Persoalan yang timbul biasanya seputar
pengklaiman budaya, pelanggaran perbatasan, atau juga masalah Tenaga Kerja
Indonesia yang kerap kali mendapat penyiksaan dari Malaysia. Namun, pada
pertengahan Agustus lalu, penangkapan petugas KKP Indonesia kembali
memunculkan konflik antar keduannya. Lebih dari itu, alasan sebagai negeri
serumpun membuat penyelesaian yang semu, hanya sebatas tataran elite dengan
diplomasi barter.
Ketidakpuasan rakyat Indonesia terhadap Malaysia inilah yang diangkat
Republika lewat tajuknya. Ketidakpuasan terhadap penyelesaian konflik ini lebih
terlihat pada bagaimana Malaysia tidak menganggap Indonesia sebagai negeri
yang besar sehingga sering kali meremehkan Indonesia. Dengan model Robert
Entman, maka penulis akan membahas ketiga tajuk rencana ini satu per satu.
A. Analisis Framing Tajuk Rencana Kamis, 19 Agustus 2010
Tajuk rencana yang ditulis pada hari Kamis, 19 Agustus 2010 merupakan
tajuk pertama menyoal hubungan Indonesia dan Malaysia. Adapun tajuk tersebut
selengkapnya adalah:
Hubungan RI-Malaysia
Kita selalu menyebutnya sebagai negara serumpun. Itulah hubungan Indonesia dan Malaysia. Namun, akhir-akhir ini hubungan keduanya berkali-kali menegang. Kisarannya selalu soal perlakuan terhadap tenaga kerja Indonesia di Malaysia, sengketa perbatasan, dan klaim-klaim Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia.
Hal terbaru adalah soal kejadian pada 13 Agustus lalu. Sejumlah tujuh nelayan Malaysia memasuki perairan Bintan, Kepulauan Riau. Kapal Patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan menangkap mereka. Para nelayan pindah ke kapal patroli, sedangkan tiga petugas berpindah ke kapal nelayan yang merangkai lima kapal itu dengan digandengkan. Namun, setelah 45 menit berlayar, datang kapal patroli dari polisi air Malaysia. Mereka menghadang rangkaian kapal nelayan. Selain itu, mereka juga melakukan penembakan ke udara terhadap kapal patroli Indonesia yang melaju di depan. Akhirnya, tujuh nelayan Malaysia ditahan petugas Indonesia, sedangkan tiga petugas Indonesia ditahan Malaysia. Adapun lima kapal nelayan Malaysia juga bisa dibawa kembali ke Malaysia.
Kejadian ini membuat geger. Bahkan, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menambahi bahwa Malaysia sudah 10 kali menangkap kapal
Indonesia. Pihak Malaysia segera mengakui bahwa para nelayan itu memang memasuki perairan Indonesia. Namun, bagi Malaysia ini hanya peristiwa kecil karena nelayan tradisional sering melakukan itu. Bahkan, ia menyebut nelayan Indonesia pun sering memasuki perairan Malaysia. Karena itu, solusinya pun sederhana. Pihak Indonesia mendeportasi nelayan Malaysia, demikian pula sebaliknya. Inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai diplomasi barter.
Sebagian pihak tak puas dengan penyelesaian seperti ini. Mereka menuntut penyelesaian secara hukum terhadap nelayan dan membebaskan petugas Indonesia dengan disertai permohonan maaf. Apalagi, Malaysia sudah mengakui nelayannya menerobos wilayah Indonesia. Namun, penyelesaian sebagai bangsa serumpun dan menjaga keharmonisan ASEAN rupanya menjadi pilihan satu-satunya.
Walaupun begitu, setidaknya ada empat pelanggaran yang dilakukan Malaysia: illegal fishing, pelanggaran kedaulatan oleh aparat Malaysia, penyanderaan terhadap petugas resmi Indonesia, dan provokasi penembakan oleh aparat Malaysia. Namun dengan diplomasi barter, seolah tak ada kesalahan. “Hanya masalah kecil” seperti disampaikan Malaysia.
Penyelesaian cara ini bisa menimbulkan trauma bagi aparat di bawah. Mereka tak akan berani menindak illegal fishing yang banyak terjadi di perairan Indonesia. Pencurian ikan di perairan Indonesia mmerupakan persoalan serius. Mereka berburu tuna yang banyak berbiak di perairan Indonesia. Kita kehilangan pendapatan dan nelayan Indonesia hanya bisa melongo. Ini terutama dilakukan oleh nelayan Thailand, Cina, dan Filipina. Mereka memiliki kapal yang lebih canggih dari kapal nelayan ataupun kapal patroli. Karena itu, tawaran dari TNI AL untuk membantu patroli merupakan lelucon yang tak lucu. Semua itu sudah menjadi tugas TNI dan polisi untuk mengamankan wilayah Indonesia. Bandingkan dengan nasib nelayan Indonesia yang ditangkap Australia. Mereka ditahan dan kapalnya dibakar. Lalu pemerintah tak melakukan pembelaan apa pun. Kita iri pada sikap polisi Malaysia yang sigap mengejar kapal patroli Indonesia yang menangkap nelayan mereka. Betapa heroiknya tindakan mereka, tak peduli menerobos kedaulatan lain.
Jika pemerintah ingin disebut heroik, pemerintah harus bisa menekan Malaysia untuk segera meyelesaikan perjanjian perbatasannya dengan Indonesia. Sikap mereka yang terus mengulur waktu semata ini bukan prioritas. Hal ini dikarenakan mereka memiliki agenda nasionalnya sendiri.
Berikut adalah tabulasi pembingkaian yang dilakukan Harian Republika
untuk tajuk pertama seputar hubungan kedua negara.
Judul : Hubungan RI-Malaysia
Variabel Indikator Keterangan Pr
oble
m Id
entif
icat
ion
Masalah komunikasi
internasional dan
keamanan NKRI
1. Pihak Indonesia mendeportasi
nelayan Malaysia, demikian pula
sebaliknya. Inilah yang kemudian
ditafsirkan sebagai diplomasi
barter.
2. Namun, penyelesaian sebagai
bangsa serumpun dan menjaga
keharmonisan ASEAN rupanya
menjadi pilihan satu-satunya.
3. Namun dengan diplomasi barter,
seolah tak ada kesalahan. “Hanya
masalah kecil” seperti disampaikan
Malaysia.
Caus
al In
terp
reta
tion
Pemerintah Indonesia
1. Kejadian ini membuat geger.
Bahkan, Menteri Kelautan dan
Perikanan Fadel Muhammad
menambahi bahwa Malaysia sudah
10 kali menangkap kapal Indonesia.
2. Karena itu, solusinya pun
sederhana. Pihak Indonesia
mendeportasi nelayan Malaysia,
demikian pula sebaliknya. Inilah
yang kemudian ditafsirkan sebagai
diplomasi barter.”
3. Namun penyelesaian sebagai
bangsa serumpun dan menjaga
keharmonisan ASEAN rupanya
menjadi pilihan satu-satunya.
4. Namun, dengan diplomasi barter,
seolah tak ada kesalahan.”
5. Sebagian pihak tak puas dengan
penyelesaian seperti ini ...
6. Penyelesaian cara ini bisa
menimbulakn trauma bagi aparat
bawah.
Mor
al E
valu
atio
n
Mental Pemerintah RI
kecil di hadapan negara
tetangga akibatnya
timbul trauma di
aparatur bawah dan
rakyat pun merugi
1. Karena itu, tawaran dari TNI AL
untuk membantu patroli merupakan
lelucon yang tak lucu. Semua itu
sudah menjadi tugas TNI dan polisi
untuk mengamankan wilayah
Indonesia.
2. Penyelesaian cara ini bisa
menimbulkan trauma bagi aparat di
bawah. Mereka tak akan berani
menindak illegal fishing yang
banyak terjadi di perairan
Indonesia.
3. Kita kehilangan pendapatan dan
nelayan Indonesia hanya bisa
melongo.
Trea
tmen
t Rec
omm
enda
tion
Pemerintah diminta
lebih tegas dalam
menyelesaikan konflik
ini
1. Mereka (rakyatt Indonesia)
menuntut penyelesaian secara
hukum terhadap nelayan dan
membebaskan petugas Indonesia
dengan disertai permohonan maaf.
2. Jika pemerintah ingin disebut
heroik, pemerintah harus bisa
menekan Malaysia untuk segera
meyelesaikan perjanjian
perbatasannya dengan Indonesia.
Tabel VI. 2 Framing Tajuk Rencana “Hubungan RI-Malaysia”
Tajuk pertama menyikapi konflik antara Indonesia-Malaysia di
pertengahan Agustus ini mengangkat judul “Hubungan RI-Malaysia”. Di sini,
Republika menggambarkan bahwa hubungan kedua negara ini sering kali terjadi
ketegangan. Bukan hanya masalah penangkapan petugas KKP RI oleh Polisi
Diraja Malaysia saja, namun juga masalah-masalah lain seperti sengketa
perbatasan, perlakuan kasar terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI), atau klaim-
klaim Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia.
Masalah penangkapan petugas KKP yang menjadi salah satu penyulut
konflik ini pun diakui oleh pemerintah Malaysia. Pemerintah Malaysia jelas
mengakui bahwa memang benar nelayan mereka memasuki perairan Indonesia.
Dalam tajuk ini disebutkan bahwa walaupun pemerintah Indonesia merasa ini
memang benar kesalahan Malaysia dan bahkan Malaysia sudah mengakuinya,
pemerintah kita hanya menurut saja saat Malaysia meminta membarter petugas
KKP RI dengan nelayan Malaysia.
Karenanya, Problem Identification atau identifikasi masalah dalam tajuk
ini dilihat sebagai masalah komunikasi internasional dan kedaulatan wilayah
NKRI itu sendiri. Hal ini dilihat dari bagaimana Republika meyebutkan diplomasi
dalam tajuk ini. Sebagai negara tetangga, diplomasi menjadi solusi paling utama
untuk menyikapi masalah keduanya. Hanya saja, diplomasi yang menurut
Republika hanya sekadar basa-basi ini menarik konflik tersebut ke dalam wilayah
kedaulatan NKRI.
Kedaulatan RI kita sering kali terusik karena masalah-masalah perbatasan
dengan negara tetangga. Selain konflik pokok, penangkapan petugas KKP oleh
polisi Malaysia, dalam tajuk ini juga disebutkan nasib nelayan Indonesia yang
ditangkap Australia.
“Bandingkan dengan nasib nelayan Indonesia yang ditangkap Australia. Mereka ditahan dan kapalnya dibakar. Lalu pemerintah tak melakukan pembelaan apa pun. Kita iri pada sikap polisi Malaysia yang sigap mengejar kapal patroli Indonesia yang menangkap nelayan mereka. Betapa heroiknya tindakan mereka, tak peduli menerobos kedaulatan lain.”
Causal Interpretation. Pada bagian ini, Republika jelas menuding
pemerintah Indonesia sebagai penyebab masalahnya. Ini terlihat pada
penggambaran-penggambaran Republika atas sikap pemerintah yang terlihat takut
dan menerima apa saja keputusan Malaysia.
Pemerintah, menurut tajuk Republika ini, tidak serius, lembek, bahkan
terkesan takut. Ini bisa terlihat dari mulai paragraf pertama yang menggambarkan
masalah-masalah antara Indonesia dan Malaysia.
Dalam paragraf tersebut ditulis;
“Namun, akhir-akhir ini hubungan keduanya berkali-kali menegang. Kisarannya selalu soal perlakuan terhadap tenaga kerja Indonesia di Malaysia, sengketa perbatasan, dan klaim-klaim Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia.”
Tidak cukup sampai di situ, visualisasi peristiwa 13 Agustus 2010 pun
ditulis pada paragraf kedua untuk memperkuat kembali gambaran konflik yang
terjadi antara keduanya.
“Hal terbaru adalah soal kejadian pada 13 Agustus lalu. Sejumlah tujuh nelayan Malaysia memasuki perairan Bintan, Kepulauan Riau. Kapal Patroli Kementrian Kelautan dan Perikanan menangkap mereka. Para nelayan pindah ke kapal patroli, sedangkan tiga petugas berpindah ke kapal nelayan yang merangkai lima kapal itu dengan digandengkan. Namun, setelah 45 menit berlayar, datang kapal patroli dari polisi air Malaysia. Mereka menghadang rangkaian kapal nelayan. Selain itu, mereka juga melakukan penembakan ke udara terhadap kapal patroli Indonesia yang melaju di depan. Akhirnya, tujuh nelayan Malaysia ditahan petugas Indonesia, sedangkan tiga petugas Indonesia ditahan Malaysia. Adapun lima kapal nelayan Malaysia juga bisa dibawa kembali ke Malaysia.”
Dengan dipaparkannya masalah-masalah yang timbul antara Indonesia-
Malaysia, Republika melihat ada ketakutan dari pemerintah Indonesia itu sendiri
terhadap Malaysia. Ini diperlihatkan pada paragraf ketiga sebagai berikut;
“Kejadian ini membuat geger. Bahkan, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menambahi bahwa Malaysia sudah 10 kali menangkap kapal Indonesia. Pihak Malaysia segera mengakui bahwa para nelayan itu memang memasuki perairan Indonesia.”
Untuk memperkuat bahwa ada ketakutan dari pemerintah RI akan
Malaysia, Republika memaparkan setidaknya ada empat pelanggaran yang
dilakukan Malaysia dalam kasus ini pada paragraf kelima;
“Walaupun begitu, setidaknya ada empat pelanggaran yang dilakukan Malaysia: illegal fishing, pelanggaran kedaulatan oleh aparat Malaysia,
penyanderaan terhadap petugas resmi Indonesia, dan provokasi penembakan oleh aparat Malaysia.”
Pencantuman fakta-fakta pada penjelasan di atas tentunya menggiring
pembaca untuk mengetahui seberapa banyak masalah yang terjadi antara
Indonesia dan Malaysia. Selanjutnya, pembaca akan melihat bahwa Republika
menilai masalah hubungan kedua negara terletak pada ketidakseriusan pemerintah
dalam menyikapi kasus ini sebagaimana ditunjukkan Republika pada akhir
paragraf ketiga;
“Karena itu, solusinya pun sederhana. Pihak Indonesia mendeportasi nelayan Malaysia, demikian pula sebaliknya. Inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai diplomasi barter.”
Atau pada akhir paragraf keempat;
“Namun penyelesaian sebagai bangsa serumpun dan menjaga keharmonisan ASEAN rupanya menjadi pilihan satu-satunya.”
Diplomasi barter kembali dipertegas Republika pada akhir paragraf
kelima; “Namun, dengan diplomasi barter, seolah tak ada kesalahan.”
Dengan begitu, istilah diplomasi barter yang disebutkan hingga dua kali
sebagai cara penyelesaian konflik saat itu menjadi kata kunci ketidaktegasan sikap
Pemerintah RI dalam tajuk rencana ini.
Pada bagian lain (paragraf keempat) disebutkan pula,
“Sebagian pihak tak puas dengan penyelesaian seperti ini ...”
Atau paragraf keenam;
“Penyelesaian cara ini bisa menimbulkan trauma bagi aparat bawah.”
Penggunaan kalimat penyelesaian cara ini menggiring pembaca pada si
penyelesai masalah yang tidak lain adalah pemerintah Indonesia.
Moral Evaluation. Penilaian terhadap Pemerintah RI sebagai aktor
penyebab datang dari sikap pemerintah yang terlihat sangat lamban dan tidak
tegas, bahkan terkesan takut. Pemerintah, seharusnya memberi perlindungan bagi
setiap warga negaranya. Dalam kasus ini saja, pemerintah terlihat menurut saja
apa yang diinginkan Malaysia sebagai solusi konflik. Tidak ada ketegasan, seperti
teguran keras bagi Malaysia terkait pelanggaran-pelanggaran perbatasan. Atau
misalnya tuntutan agar pihak Malaysia meminta maaf dan penyelesaian lewat
jalur hukum sebagaimana yang menjadi tuntutan rakyat Indonesia.
Lebih anehnya lagi, menurut Republika, adalah tawaran dari TNI AL
tentang bantuan patroli di wilayah perairan Indonesia. Karena seharusnya, itu
semua memang sudah menjadi tugas dan tanggungjawab TNI dan polisi untuk
mengamankan wilayah Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa mental pemerintah
kita di hadapan negara tetangga sangat kecil dan tak bernyali. Republika
menuliskannya pada akhir paragraf keenam bahwa;
“Bandingkan dengan nasib nelayan Indonesia yang ditangkap Australia. Mereka ditahan dan kapalnya dibakar. Lalu pemerintah tak melakukan pembelaan apa pun.”
Akibatnya, aparatur bawah menjadi trauma dan ikut-ikutan takut menindak
berbagai pelanggaran yang dilakukan negera tetangga. Aparat takut rakyat pun
merugi, setidaknya inilah yang diasumsikan Republika pada paragraf keenamnya.
“Mereka tak berani menindak illlegal fishing yang banyak terjadi di perairan Indonesia. Pencurian ikan di perairan Indonesia merupakan persoalan serius. Mereka berburu tuna yang banyak berbiak di perairan
Indonesia. Kita kehilangan pendapatan dan nelayan Indonesia hanya bisa melongo.”
Treatment Recommendation. Solusi atas masalah ini menurut Republika
hanya ketegasan dan keberanian pemerintah Indonesia untuk menindak segala
bentuk pelanggaran oleh negara tetangga. Ini mejadi solusi utama karena
bagaimana pun, menurut Republika, wibawa Indonesia di mata negera tetangga
harus dikembalikan. Pemerintah harus bisa menekan Malaysia, dalam kasus ini,
untuk segera menyelesaikan perjanjian perbatasan dengan Indonesia. Bukan
sekedar janji dan sebatas agenda yang tak terselesaikan selama ini. Perbatasan
harus jelas dan harus menjadi prioritas utama.
Dalam hal ini, Republika menyertakan suara masyarakat sebagai bagian
dari solusi yang ditawarkan terhadap kasus ini. Masyarakat mengharapkan adanya
penyelesaian secara hukum dan permohonan maaf. Terlihat pada paragraf
keempat baris kedua sebagai berikut:
“Mereka menuntut penyelesaian secara hukum terhadap nelayan dan membebaskan petugas Indonesia dengan disertai permohonan maaf.”
Solusi agar pemerintah bertindak tegas ada di paragraf terakhir tajuk ini;
“Jika pemerintah ingin disebut heroik, pemerintah harus bisa menekan Malaysia untuk segera meyelesaikan perjanjian perbatasannya dengan Indonesia.”
Tajuk pertama ini secara tegas menggambarkan masalah penangkapan
petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan di perairan Riau 13 Agustus lalu.
Tajuk ini menggiring pembaca bahwa kasus ini merupakan kasus penting yang
bukan hanya menyinggung perbatasan wilayah saja, tapi juga sudah memasuki
wilayah hubungan kedua negara yang tak kunjung harmonis.
Tudingan bahwa aktor penyebab masalah merupakan pemerintah
Indonesia bukan sekadar tudingan. Penulis mendapatkan banyak penonjolan yang
dilakukan Republika untuk menjadikan pemerintah Indonesialah yang sangat
bertanggungjawab atas kasus ini. Penonjolan-penonjolan tersebut telah dibahas
pada causal interpretation di atas.
Sebagai penekanan lebih bahwa pemerintah kita terlalu lemah dalam
menghadapi negara tetangga, Republika pun memberikan visualisasi tentang sikap
pemerintah negara lain saat warganya ditangkap atau pun saat perbatasan
wilayahnya dilanggar.
Tajuk ini berdasarkan pola Monroe tentang pola penulisan tajuk rencana,
menurut penulis, termasuk menggunakan pola ANSVA, yakni attention, need,
satisfaction, visualisasi, dan action. Gaya penulisan Republika yang lebih
menggambarkan masalah di awal untuk menarik perhatian pembaca menjadi ciri
khas tersendiri dalam tajuk rencana ini. Solusi sebagai action yang diberikan
Republika tegas mengatakan bahwa pemerintah harus segera menyelesaikan
masalah perbatasan jika memang pemerintah kita ini mau disebut sebagai heroik.
B. Analisis Framing Tajuk Rencana Sabtu, 28 Agustus 2010
Setelah dalam senggang waktu kurang lebih satu minggu, Harian
Republika hanya membahas kasus Indonesia-Malaysia dalam kolom beritanya
saja. Tajuk menyoal hubungan kedua negara ini muncul kembali pada 28 Agustus
2010 pasca keberatan Menteri Luar Negeri Malaysia, Datuk Seri Anifah Aman
atas pemberitaan mengenai konflik ini oleh media massa Indonesia. Berikut isi
tajuk rencana selengkapnya.
Hubungan Panas Serumpun Dalam tiga hari terakhir ini, hubungan Indonesia-Malaysia makin
memanas. Apalagi, setelah Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Anifah Aman mengatakan bahwa negaranya mulai hilang kesabaran terhadap warga Indonesia yang dinilainya melecehkan. Mereka juga siap menerbitkan imbauan tidak bepergian ke Indonesia (travel advisory).
Mulanya adalah penangkapan tujuh pencuri ikan Malaysia di perairan Indonesia pada 13 Agustus 2010 silam. Ketika pencuri itu dibawa ke pelabuhan, polisi Malaysia justru menangkap petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan. Entah bagaimana ceritanya, Pemerintah Indonesia membarter pencuri itu dengan petugas. Perilaku polisi Malaysia yang asal tangkap tersebut meluapkan kekesalan masyarakat Indonesia. Apalagi, sikap pemerintahan kita yang lemah menghadapi kesewenangan itu. Akibatnya, masyarakat seperti digerakkan untuk melakukan demonstrasi terhadap Malaysia. Termasuk melakukan pelemparan kotoran ke Kedubes Malaysia.
Banyak kalangan, termasuk para wakil rakyat yang menuntut agar Malaysia minta maaf atas kejadian penangkapan itu. Tapi, jangankan minta maaf, Malaysia sebagaimana diungkapkan menteri luar negeri, justru seolah menantang dan tidak menunjukkan iktikad untuk menjaga hubungan baik.
Malaysia juga mengkritik pers Indonesia yang cenderung memanas-manasi suasana. Pers Indonesia dinilai banyak menulis buruk tentang berbagai kasus yang terkait Malaysia. Di sini, mereka juga lupa bahwa pers Malaysia pun lebih sering menulis hal buruk di Indonesia ataupun tentang perilaku tenaga kerja kita di sana, dibandingkan menulis baiknya.
Sebetulnya yang membuat masyarakat marah adalah karena kasus kesewenang-wenangan Malaysia ini bukan pertama kali. Ada beberapa kasus yang melecehkan kita, misalnya, penyiksaan tenaga kerja Indonesia, penganiayaan pelatih karate nasional, provokasi perebutan Ambalat, klaim budaya, dan sebagainya.
Selama ini, dengan alasan bahwa bangsa Indonesia dan Malaysia serumpun setiap ada masalah selalu diselesaikan dengan jabat tangan antarpejabat. Tapi sebetulnya, penyelesaian itu penyelesaian semu, tidak tuntas. Sehingga hubungan baik antara Indonesia-Malaysia itu hanya di tataran elite.
Tapi bagaimanapun, karena kedua negara ini adalah negara serumpun yang bertetangga, sudah semestinya dijalin suatu hubungan yang baik. Hubungan yang baik adalah hubungan yang setara dan saling menghormati. Jangan sampai negara yang satu merasa kedudukannya lebih tinggi karena secara rata-rata kondisi ekonominya lebih baik. Saling ketergantungan Indonesia dan Malaysia cukup tinggi, termasuk dalam hal ekonomi. Benar bahwa ada 2,5 juta tenaga kerja kita yang bekerja di Malaysia, tapi tanpa mereka, perekonomian Malaysia juga akan terganggu. Sebaliknya, tak sedikit tenaga kerja level atas dari Indonesia, termasuk yang dibajak dari PT Dirgantara Indonesia. Mereka ini memiliki kemampuan yang tinggi di atas rata-rata orang Malaysia.
Cukup banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Malaysia. Wisatawan Indonesia juga banyak berlibur dan berkunjung ke Malaysia. Devisa yang dikeruk
dari mahasiswa dan wisatawan Indonesia cukup besar. Dari sisi perdagangan, sisi ekspor dan impor kedua negara juga relatif seimbang.
Jadi, sebetulnya menjaga hubungan baik antarnegara itu penting. Karena itu, hubungan yang makin terasa memanas ini harus segera didinginkan dengan saling menjaga kedaulatan, kehormatan, dan keintegritasan masing-masing negara.
Adapun pembingkaian yang dilakukan Republika untuk tajuk ini dapat
dilihat pada tabulasi sebagai berikut:
Judul : Hubungan Panas Serumpun
Variabel Indikator Keterangan
Prob
lem
Iden
tific
atio
n
Masalah
komunikasi
internasional
1. Apalagi, setelah Menteri Luar Negeri
Malaysia Datuk Seri Anifah Aman
mengatakan bahwa negaranya mulai hilang
kesabaran terhadap warga Indonesia yang
dinilainya melecehkan. Mereka juga siap
menerbitkan imbauan tidak bepergian ke
Indonesia (travel advisory).
2. ... pers Indonesia yang cenderung
memanas-manasi suasana. Pers Indonesia
dinilai banyak menulis buruk tentang
berbagai kasus yang terkait Malaysia.
Caus
al In
terp
reta
tion
Malaysia
1. Banyak kalangan, termasuk para wakil
rakyat yang menuntut agar Malaysia minta
maaf atas kejadian penangkapan ini.
2. Tapi, jangankan minta maaf, Malaysia
sebagaimana diungkapkan menteri luar
negeri, justru seolah menantang dan tidak
menunjukkan iktikad untuk menjaga
hubungan baik.
3. Perilaku polisi Malaysia yang asal tangkap
...
4. Di sini, mereka (Malaysia) juga lupa bahwa
pers Malaysia pun lebih sering menulis hal
buruk di Indonesia ataupun tentang
perilaku tenaga kerja kita di sana,
dibandingkan menulis baiknya.
5. Sebetulnya yang membuat masyarakat
marah adalah karena kasus kesewenang-
wenangan Malaysia ini bukan pertama kali.
Ada beberapa kasus yang melecehkan kita,
misalnya, penyiksaan tenaga kerja
Indonesia, penganiayaan pelatih karate
nasional, provokasi perebutan Ambalat,
klaim budaya, dan sebagainya.
Mor
al E
valu
atio
n
Indonesia dan
Malaysia pada
dasarnya
saling
membutuhkan
1. Saling ketergantungan Indonesia dan
Malaysia cukup tinggi, termasuk dalam hal
ekonomi. Benar bahwa ada 2,5 juta tenaga
kerja kita yang bekerja di Malaysia, tapi
tanpa mereka, perekonomian Malaysia juga
akan terganggu. Sebaliknya, tak sedikit
tenaga kerja level atas dari Indonesia,
termasuk yang dibajak dari PT. Dirgantara
Indonesia. Mereka ini memiliki kemampuan
yang tinggi di atas rata-rata orang
Malaysia.
2. Cukup banyak mahasiswa Indonesia yang
kuliah di Malaysia. Wisatawan Indonesia
juga banyak berlibur dan berkunjung ke
Malaysia. Devisa yang dikeruk dari
mahasiswa dan wisatawan Indonesia cukup
besar. Dari sisi perdagangan, sisi ekspor
dan impor kedua negara juga realtif
seimbang.
Trea
tmen
t Rec
omm
enda
tion
Menjaga
hubungan baik
antara kedua
negara
1. Jadi, sebetulnya menjaga hubungan baik
antarnegara itu penting. Karena itu,
hubungan yang makin terasa memanas ini
harus segera didinginkan dengan saling
menjaga kedaulatan, kehormatan, dan
keintegritasan masing-masing negara.
Tabel IV. 3 Framing Tajuk Rencana “Hubungan Panas Serumpun”
Tajuk ini menggambarkan tentang hubungan Indonesia dan Malaysia yang
kerap kali bersitegang. Hal ini disayangkan mengingat secara demografis, kita
merupakan bangsa yang satu rumpun, yaitu Melayu.
Problem Identification. Republika memandang kasus ini merupakan
bahasan komunikasi internasional. Hubungan panas serumpun yang merupakan
judul dari tajuk ini sekaligus menggambarkan bahwa persoalan dalam tajuk ini
adalah persoalan hubungan kedua negara yang nyaris tak pernah harmonis.
Malaysia menganggap Indonesia berlebihan dalam menanggapi konflik
yang terjadi antara keduanya. Kesabaran Malaysia hilang, seperti yang ditulis di
paragraf pembuka tajuk ini. Warga Indonesia dinilai melecehkan Malaysia hingga
Malaysia siap menerbitkan ancaman travel advisory atau larangan bepergian ke
Indenesia. Sebaliknya, Indonesia pun merasa ini bukan kasus biasa. Kesewenang-
wenangan Malaysia, menurut Republika, bukan untuk pertama kalinya. Malaysia
terlalu sering mengganggu kedaulatan Indonesia.
Dalam tajuk ini, Republika menyebut pelaku komunikasi internasional,
seperti Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Anifah Aman yang menegaskan
bahwa permasalahan ini termasuk ke dalam masalah komunikasi internasional.
Selain itu, tajuk ini pun menuliskan kritik Malaysia terhadap pers Indonesia
sebagai saluran komunikasi internasional yang bertindak sebagai provokator.
“Pers Indonesia cenderung memanas-manasi suasana,” tulis Republika pada
kalimat awal paragraf kelima.
Causal Interpretation. Malaysia menjadi dalang masalah hubungan panas
keduanya dalam tajuk ini menurut Republika. Pertama, pada paragraf keempat
kalimat pertama ditulis,
”Banyak kalangan, termasuk para wakil rakyat yang menuntut agar Malaysia minta maaf atas kejadian penangkapan ini.”
Kalimat ini jelas menuding Malaysia sebagai aktor penyebab masalah,
karena penyebab masalah, etikanya adalah yang harus meminta maaf. Kalimat
pokok ini dipertegas dengan kalimat penjelas sesudahnya dengan kalimat yang
terkesan menyayangkan sikap Malaysia terhadap tuntutan kewajiban meminta
maaf kepada Indonesia. Selengkapnya adalah;
“Tapi, jangankan minta maaf, Malaysia sebagaimana diungkapkan menteri luar negeri, justru seolah menantang dan tidak menunjukkan iktikad untuk menjaga hubungan baik.”
Walaupun tajuk ini jmenuliskan pandangan Malaysia terhadap kesalahan
yang dilakukan Indonesia, porsi yang diberikan jelas tidak berimbang. Kesalahan
Indonesia dari kacamata Malaysia pada tajuk ini ditulis sebanyak dua kali, yaitu
pada paragraf pertama;
“... negaranya mulai hilang kesabaran terhadap warga Indonesia yang dinilainya melecehkan.”
Dan pada paragraf kelima;
“Pers Indonesia dinilai banyak menulis buruk tentang berbagai kasus yang terkait Malaysia.”
Namun, kesalahan Malaysia jauh lebih banyak ditulis dalam tajuk ini.
Seperti penggambaran kasus 13 Agustus 2010 lalu pada paragraf kedua yang
mengatakan bahwa Malaysia justru menangkap petugas KKP Indonesia padahal
nelayan Malaysia yang memasuki perairan Indonesia. Lalu penegasan di paragraf
ketiga yang berbunyi, “Perilaku polisi Malaysia yang asal tangkap ...”
Paragraf kelima pun menunjukkan bahwa Malaysialah yang dianggap
aktor penyebab masalah oleh Republika.
“Di sini, mereka (Malaysia) juga lupa bahwa pers Malaysia pun lebih sering menulis hal buruk di Indonesia ataupun tentang perilaku tenaga kerja kita di sana, dibandingkan menulis baiknya.”
Ditambahkan lagi pada paragraf keenam yang mencantumkan kasus
kesewenang-wenangan Malaysia atas Indonesia, seperti penyikasaan tenaga kerja
Indonesia, penganiayaan pelatih karate nasioanl, provokasi perebutan Ambalat,
klaim budaya, dan sebagainya.
Moral Evaluation. Sikap Malaysia terhadap Indonesia, menurut
Republika sangat disayangkan. Pada tahapan framing Entman ini, seharusnya
hubungan kedua negara bisa dijaga keharmonisannya, karena pada dasarnya,
Indonesia dan Malaysia saling membutuhkan.
Saling ketergantungannya Indonesia dan Malaysia ditulis Republika pada
paragraf kesembilan dan kesepuluh. Lengkapnya adalah;
“Saling ketergantungan Indonesia dan Malaysia cukup tinggi, termasuk dalam hal ekonomi. Benar bahwa ada 2,5 juta tenaga kerja kita yang bekerja di Malaysia, tapi tanpa mereka, perekonomian Malaysia juga akan terganggu. Sebaliknya, tak sedikit tenaga kerja level atas dari Indonesia, termasuk yang dibajak dari PT. Dirgantara Indonesia. Mereka ini memiliki kemampuan yang tinggi di atas rata-rata orang Malaysia.”
Untuk paragraf kesepuluh,
“Cukup banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Malaysia. Wisatawan Indonesia juga banyak berlibur dan berkunjung ke Malaysia. Devisa yang dikeruk dari mahasiswa dan wisatawan Indonesia cukup besar. Dari sisi perdagangan, sisi ekspor dan impor kedua negara juga realtif seimbang.”
Treatment Recommendation. Sebagai solusi penyelesaian masalah yang
ditawarkan Republika dalam kasus ini adalah hanya dengan menjaga hubungan
baik antarkeduanya. Kedua negara, baik Indonesia maupun Malaysia harus bisa
mendinginkan suasana. Sebagaimana etika bertetanggga pada tataran kehidupan
sosial, Indonesia dan Malaysia harus bisa menjaga kedaulatan, kehormatan, dan
keintegritasan masing-masing negara.
“Jadi, sebetulnya menjaga hubungan baik antarnegara itu penting. Karena itu, hubungan yang makin terasa memanas ini harus segera didinginkan dengan saling menjaga kedaulatan, kehormatan, dan keintegritasan masing-masing negara.”
Tajuk rencana dengan judul “Hubungan Panas Serumpun” merupakan
tajuk kedua yang ditulis Republika pascatragedi 13 Agustus yang membuat kedua
negara kembali bersiteru. Tajuk ini tidak secara khusus lagi mempermasalahkan
bagaimana sikap Malaysia pada petugas Kementerian Kelautan Perikanan
Indonesia saat mereka ditangkap. Atau masalah perbatasan dan kronologis
peristiwa tersebut sebagaimana yang digambarkan Republika pada headline-nya
tanggal 16 Agustus 2010. Tajuk ini terlihat lebih lugas, karena diawali dengan
statement yang dilontarkan Menteri Luar Negeri Malaysia, Datuk Seri Anifah
Aman. Tajuk ini menjadi suara Republika atas headline “Malaysia Meradang:
Pemerintah tak tanggapi pernyataan Menlu Malaysia” tanggal 27 Agustus 2010.
Headline tersebut menambahkan ilustrasi Menlu Malaysia yang
digambarkan dengan muka berkerut, sedangkan ilustrasi Menlu Indonesia, Marty
Natalegawa yang tertunduk lesu. Sebagai keterangan, Republika menambah
kutipan keduanya dan tabulasi perbandingan luas, penduduk, pendapatan per
kapita, PDB dengan sumber CIA World Fact Book dan IMF. Selain itu, tajuk ini
pun menyikapi headline “Menlu Anifah tolak Minta Maaf” pada tanggal 28
Agustus 2010, hari yang sama saat tajuk ini ditulis.
Tajuk ini secara luas menggambarkan kasus kesewenang-wenangan
Malaysia terhadap Indonesia yang terlalu sering terjadi. Kasus-kasus yang
mengganggu kedaulatan Indonesia itulah yang kemudian selalu menyulut konflik
di antara keduanya.
Penulis berasumsi, penggambaran masalah-masalah yang dilakukan
Malaysia oleh Republika ini merupakan sebuah prolog yang ditujukan kepada
pemerintah Indonesia untuk mendesak ketegasan mereka atas kasus ini.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, Republika mengurutkan kejadian demi
kejadian, masalah demi masalah dari paragraf pembuka hingga paragraf keenam.
Lalu dilanjutkan dengan sikap pemerintah yang terkesan menyepelekan kasus ini
dengan penyelesaian “jabat tangan”-nya.
Berkenaan solusi yang ditawarkan, Republika pun lebih menekankan pada
perlunya saling menghormati dan menghargai antarkeduanya. Republika
menghindari solusi yang bersifat provokatif, seperti perang sebagaimana yang
beberapa ditulis koran lain. Solusi sederhana tersebut, menurut Republika,
merupakan solusi paling penting untuk masalah ini.
Tajuk yang ditulis Republika berdasarkan pola Monroe soal penulisan
tajuk rencana cenderung mengikuti pola ANSVA, yakni attention, need,
satisfaction, visualization, dan action. Tajuk ini pertama menjelaskan tentang
masalah-masalah kedua negara untuk menarik perhatian pembaca menemukan apa
yang sebenarnya menjadi pokok permasalahan. Dengan menemukan pokok
masalah tersebut, tajuk ini kemudian kembali memberikan gambaran-gambaran
untuk lebih mempermudah pembaca menangkap pesan yang ingin disampaikan
Republika. Tajuk ini pun ditutup oleh solusi yang merupakan action yang ingin
ditawarkan redaksi Republika terhadap masalah dalam tajuk ini.
C. Analisis Framing Tajuk Rencana Senin, 30 Agustus 2010
Tajuk rencana yang ditulis Republika pada penghujung Bulan Agustus
2010 lalu mengupas tentang keberhasilan yang sudah dicapai Malaysia selama ini.
Berikut merupakan tajuk rencana tersebut:
Malaysia yang Berbudi Tiga puluh lima tahun lalu, Malaysia bukan apa-apa. Berhadapan dengan
Shell dan Esso—dua perusahaan minyak multinasional paling senior dalam geng Seven Sister—pun mereka gentar. Saat itu, Malaysia ingin mengubah kontrak kerja sama dari pola konsesi yang merugikan negara pemilik minyak.
Dua hal yang membuat negeri itu selamat dalam negosiasi dan kemudian Petronas tumbuh jadi perusahaan minyak multinasional. Pertama, ketegaran tim negosiasi yang mencerminkan kekuatan nasionalisme. Kedua, ilmu production sharing yang mereka pelajari dari Pertamina, perusahaan minyak Indonesia.
Itulah titik balik Malaysia. Dari negeri yang terintimidasi, tumbuh menjadi macan ekonomi yang krisis 1996 pun enggan menyentuhnya. Macan-macan Asia lain, seperti Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, terguncang. Tapi, di Malaysia, krisis saat itu tak lebih dari sebuah tragedi yang tak pernah terjadi.
Malaysia amat bangga dengan prestasi itu dan sang pemimpin, Mahathir Mohamad, kian yakin dengan visinya: Malaysia menjadi negara maju sepenuhnya
pada 2020. Ketika Menara Petronas akhirnya menjadi bangunan tertinggi di dunia pada 1999, Malaysia berpikir sebuah visi sudah terealisasi dan hanya langitlah batas negeri itu.
Pikiran itulah yang menguasai Malaysia saat menangkap tiga pegawai negara Indonesia. Malaysia lupa perlunya budi pekerti dalam bertetangga. Perselisihan soal perbatasan adalah hal lazim di antara ratusan negara di dunia. Tapi, penangkapan pegawai resmi yang disertai pemborgolan dan perlakuan bak terhadap kriminal jelas sebuah provokasi—bahkan konfrontasi. Cara bertetangga seperti ini tidak elok.
Indonesia dan Malaysia bukan sekadar dua negeri serumpun. Lebih dari itu, kedua negara adalah kekuatan ekonomi dunia di masa depan. Tak sampai dua dekade lagi, episentrum ekonomi dunia akan bergeser ke Asia dan kedua negara adalah aktor-aktor pokok di dalamnya. Malaysia akan menjadi negara dengan angka pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB) terbesar. Tapi, jangan lupa, Indonesia pun demikian.
Walaupun tak mencerminkan kemakmuran per kapita karena jumlah penduduk Indonesia 10 kali lipat penghuni Malaysia, PDB menunjukkan kekuatan bangsa ini dalam memengaruhi ekonomi dunia. Saat ini saja, Indonesia sudah masuk dalam kelompok 20 negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia, sedangkan Malaysia pada posisi 36. Pada 2020, katakanlah ketika Malaysia benar-benar sudah jadi negara yang sepenuhnya maju, Indonesia diperkirakan pula sudah menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor 7 di dunia.
Malaysia juga perlu menyadari kehidupan demokrasi dan politik di Indonesia lebih baik. Mereka tak dapat menyalahkan orang-orang yang berunjuk rasa di depan Kedubes Malaysia di Jakarta karena itu adalah bagian dari kemajuan Indonesia. Negeri ini mengizinkan warganya berbeda pendapat bahkan dengan pemerintahnya sendiri. Ancaman travel advisory mungkin menggentarkan kabinet Yudhoyono, tetapi tak lebih dari pepesan kosong bagi warganya.
Menteri Luar Negeri Malaysia pun tak boleh mengukur baju orang lain pada tubuhnya sendiri. Di Indonesia, pers bebas mengutarakan sikap, bahkan mengkritik pemerintahnya. Percuma saja mempersoalkan pers Indonesia karena pers di negeri ini adalah cermin perasaan masyarakat. Ibarat Rastam Hadi dan Ismail Hashim saat bernegosiasi dengan Shell dan Esso, masyarakat Indonesia saat ini mungkin secara teknis lemah, tetapi secara moral tinggi.
Judul : Malaysia yang Berbudi
Variabel Indikator Keterangan Pr
oble
m Id
entif
icat
ion Komunikasi
internasiona
l dan
ekonomi
1. Dua hal yang membuat negeri itu selamat dalam
negosiasi dan kemudian Petronas tumbuh jadi
perusahaan minyak multinasional.
2. Dari negeri yang terintimidasi, tumbuh menjadi
macan ekonomi yang krisis 1996 pun enggan
menyentuhnya. Tapi, di Malaysia, krisis saat itu
tak lebih dari sebuah tragedi yang tak pernah
terjadi.
3. Tak sampai dua dekade lagi, episentrum
ekonomi dunia akan bergeser ke Asia...
Malaysia akan menjadi negara dengan angka
pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB)
terbesar.
4. Walaupun tak mencerminkan kemakmuran per
kapita karena jumlah penduduk Indonesia 10
kali lipat penghuni Malaysia, PDB menunjukkan
kekuatan bangsa ini dalam memengaruhi
ekonomi dunia. Saat ini saja, Indonesia sudah
masuk dalam kelompok 20 negara dengan skala
ekonomi terbesar di dunia, sedangkan Malaysia
pada posisi 36.
Caus
al In
terp
reta
tion
Malaysia
1. Pikiran itulah yang menguasai Malaysia saat
menangkap tiga pegawai negara Indonesia.
Malaysia lupa perlunya budi pekerti dalam
bertetangga. Perselisihan soal perbatasan
adalah hal lazim di antara ratusan negara di
dunia. Tapi, penangkapan pegawai resmi yang
disertai pemborgolan dan perlakuan bak
terhadap kriminal jelas sebuah provokasi—
bahkan konfrontasi. Cara bertetangga seperti
ini tidak elok.
Mor
al E
valu
atio
n
Sebagai
negara
tetangga
yang sama-
sama
penting di
kancah
internasiona
l, Malaysia
terlalu
mengangga
p remeh
Indonesia
1. Indonesia dan Malaysia bukan sekadar dua
negeri serumpun. Lebih dari itu, kedua negara
adalah kekuatan ekonomi dunia di masa depan.
Tak sampai dua dekade lagi, episentrum
ekonomi dunia akan bergeser ke Asia dan kedua
negara adalah aktor-aktor pokok di dalamnya.
Malaysia akan menjadi negara dengan angka
pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB)
terbesar. Tapi, jangan lupa, Indonesia pun
demikian.
Trea
tmen
t Rec
omm
enda
tion
Malaysia
harus
menghorma
ti
kedaulatan
Indonesia
1. Menteri Luar Negeri Malaysia pun tak boleh
mengukur baju orang lain pada tubuhnya
sendiri. Di Indonesia, pers bebas
mengutarakan sikap, bahkan mengkritik
pemerintahnya. Percuma saja mempersoalkan
pers Indonesia karena pers di negeri ini
adalah cermin perasaan masyarakat. Ibarat
Rastam Hadi dan Ismail Hashim saat
bernegosiasi dengan Shell dan Esso,
masyarakat Indonesia saat ini mungkin secara
teknis lemah, tetapi secara moral tinggi
Tabel IV. 4 Framing Tajuk Rencana “Malaysia yang Berbudi”
Problem Identification. Masalah yang diangkat pada tajuk rencana ini
ditarik Republika masih ke dalam komunikasi internasional kedua negara. Selain
itu, Republika pun meyeret kasus ini ke dalam kasus ekonomi dan kehidupan
demokrasi. Untuk pembuktian kasus ini merupakan kasus komunikasi
internasional, masih bisa dilihat dari bagaimana Republika menyebut para pelaku
komunikasi internasional, seperti Menteri Luar Negeri dan pers.
“Menteri Luar Negeri Malaysia pun tak boleh mengukur baju orang lain pada tubuhnya sendiri. Di Indonesia, pers bebas mengutarakan sikap, bahkan mengkritik pemerintahnya. Percuma saja mempersoalkan pers Indonesia karena pers di negeri ini adalah cermin perasaan masyarakat. Ibarat Rastam Hadi dan Ismail Hashim saat bernegosiasi dengan Shell dan Esso, masyarakat Indonesia saat ini mungkin secara teknis lemah, tetapi secara moral tinggi.”
Paragraf terakhir ini juga menyebut negosiasi sebagai istilah dalam
komunikasi internasional. Selain negosiasi pada paragraf ini, Republika menyebut
pula bagaimana keberhasilan Malaysia dalam negosiasi di paragraf kedua.
”Pertama, ketegaran tim negosiasi yang mencerminkan kekuatan nasionalisme.”
Kasus ini memang kasus komunikasi internasional karena mempersoalkan
hubungan kedua negara yang sering kali tidak harmonis. Pada tajuk ini, Republika
masih mengingatkan pembaca soal tragedi 13 Agustus tersebut yang menjadi
pemicu konflik kembali. Hal tersebut terlihat pada paragraf kelima.
“Pikiran itulah yang menguasai Malaysia saat menangkap tiga pegawai negara Indonesia. Malaysia lupa perlunya budi pekerti dalam bertetangga. Perselisihan soal perbatasan adalah hal lazim di antara ratusan negara di dunia. Tapi, penangkapan pegawai resmi yang disertai pemborgolan dan perlakuan bak terhadap kriminal jelas sebuah provokasi—bahkan konfrontasi. Cara bertetangga seperti ini tidak elok.”
Masalah dalam tajuk rencana ini kemudian ditarik lebih luas dalam
wilayah ekonomi. Di sini, Republika, dengan judul “Malaysia yang Berbudi,”
secara jelas menggambarkan bagaimana keberhasilan Malaysia dalam urusan
perekonomiannya. Pada paragraf pembuka, misalnya:
“Tiga puluh lima tahun lalu, Malaysia bukan apa-apa. Berhadapan dengan Shell dan Esso—dua perusahaan minyak multinasional paling senior dalam geng Seven Sister—pun mereka gentar. Saat itu, Malaysia ingin mengubah kontrak kerja sama dari pola konsesi yang merugikan negara pemilik minyak.”
Pada awal paragraf kedua dan paragraf ketiga;
“Dua hal yang membuat negeri itu selamat dalam negosiasi dan kemudian Petronas tumbuh jadi perusahaan minyak multinasional.”
“Itulah titik balik Malaysia. Dari negeri yang terintimidasi, tumbuh menjadi macan ekonomi yang krisis 1996 pun enggan menyentuhnya.
Macan-macan Asia lain, seperti Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia, terguncang. Tapi, di Malaysia, krisis saat itu tak lebih dari sebuah tragedi yang tak pernah terjadi.”
Paragraf keenam dan ketujuh menarik lebih dalam masalah ini ke dalam
kasus ekonomi.
“Tak sampai dua dekade lagi, episentrum ekonomi dunia akan bergeser ke Asia dan kedua negara adalah aktor-aktor pokok di dalamnya. Malaysia akan menjadi negara dengan angka pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB) terbesar.” “Walaupun tak mencerminkan kemakmuran per kapita karena jumlah penduduk Indonesia 10 kali lipat penghuni Malaysia, PDB menunjukkan kekuatan bangsa ini dalam memengaruhi ekonomi dunia. Saat ini saja, Indonesia sudah masuk dalam kelompok 20 negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia, sedangkan Malaysia pada posisi 36. Pada 2020, katakanlah ketika Malaysia benar-benar sudah jadi negara yang sepenuhnya maju, Indonesia diperkirakan pula sudah menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor 7 di dunia.” Selain masalah komunikasi internasional dan ekonomi, Republika juga
menambahkan soal kehidupan demokrasi di Indonesia yang lebih baik dari
Malaysia.
Paragraf kedelapan,
“Malaysia juga perlu menyadari kehidupan demokrasi dan politik di Indonesia lebih baik.”
Paragraf terakhir,
“Di Indonesia, pers bebas mengutarakan sikap, bahkan mengkritik pemerintahnya. Percuma saja mempersoalkan pers Indonesia karena pers di negeri ini adalah cermin perasaan masyarakat.”
Causal Interpretation. Sebagaimana pada tajuk sebelumnya, Republika
masih menjadikan Malaysia sebagai aktor penyebab masalah. Tajuk ini lebih
banyak menggambarkan keberhasilan dan kesuksesan Malaysia dalam bidang
ekonomi. Keberhasilan-keberhasilan tersebut yang dituding Republika sebagai
alasan Malaysia bersikap semena-mena dalam tragedi 13 Agusutus lalu.
Paragraf kelima,
“Pikiran itulah yang menguasai Malaysia saat menangkap tiga pegawai negara Indonesia. Malaysia lupa perlunya budi pekerti dalam bertetangga. Perselisihan soal perbatasan adalah hal lazim di antara ratusan negara di dunia. Tapi, penangkapan pegawai resmi yang disertai pemborgolan dan perlakuan bak terhadap kriminal jelas sebuah provokasi—bahkan konfrontasi. Cara bertetangga seperti ini tidak elok.”
Moral Evaluation. Malaysia, menurut Irwan Ariefyanto, sebenarnya
banyak belajar dari Indonesia, walaupun faktanya, Indonesia kini tertinggal dari
Malaysia.102 Sebagaimana pada akhir paragraf kedua;
“...ilmu production sharing yang mereka pelajari dari Pertamina, perusahaan minyak Indonesia.”
Selain itu, Indonesia, menurut tajuk ini, juga memiliki kekuatan yang sama
besarnya di mata internasional. Seperti misalnya, bagaimana Indonesia
berdasarkan angka PDB (Pendapatan Domestik Bruto) juga ikut memengaruhi
kekuatan ekonomi dunia dengan menduduki posisi ke-20 dalam skala ekonomi
terbesar di dunia. Paragraf ketujuh tersebut yang digunakan Republika untuk
mendelegitimasi masalah hubungan kedua negara dalam kasus ini.
Karena bagi Republika, keduanya sama-sama penting, sama-sama
mempunyai kedudukan tinggi di mata dunia. Seperti pada paragraf keenam;
“Indonesia dan Malaysia bukan sekadar dua negeri serumpun. Lebih dari itu, kedua negara adalah kekuatan ekonomi dunia di masa depan. Tak sampai dua dekade lagi, episentrum ekonomi dunia akan bergeser ke Asia dan kedua negara adalah aktor-aktor pokok di dalamnya. Malaysia akan menjadi negara dengan angka pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB) terbesar. Tapi, jangan lupa, Indonesia pun demikian.”
102 Hasil wawancara dengan Redaktur Pelaksana II, Irwan Ariefyanto
Treatment Recommendation. Sebagai negara tetangga yang sama-sama
penting di mata internasional, keduanya harus saling menghormati, terlebih
Malaysia. Sebagaimana yang dikatakan Irwan selaku Redaktur Pelaksana II
Harian Republika,
“Malaysia banyak belajar tentang pertambangan, pendidikan, atau masalah-masalah yang berhubungan ekonomi dengan Indonesia. Tetapi dalam perkembangannya ternyata Malaysia lebih maju dari Indonesia. Nah, di sini kita menggambarkan bagaimana Indonesia sangat tertinggal jauh dari Malaysia dan seharusnya Malaysia melakukan sikap balas budi terhadap Indonesia. Balas budi dalam artian bahwa seharusnya Malaysia tidak lagi melakukan konfrontasi-konfrontasi seperti yang dilakukan di perairan Riau.”103
Malaysia harus lebih menghormati kedaulatan Malaysia. Tidak mengukur
baju orang lain pada tubuhnya sendiri. Indonesia, menurut Republika, memiliki
kebebasan berpendapat yang tidak dimiliki Malaysia. Oleh karenanya, protes yang
disampaikan Menteri Luar Negeri, Datuk Seri Anifah Aman terkait pers Indonesia
yang cenderung berlebihan tidak berarti apa-apa bagi Indonesia.
Paragraf terakhir tajuk ini merangkum solusi yang ditawarkan Republika.
“Menteri Luar Negeri Malaysia pun tak boleh mengukur baju orang lain pada tubuhnya sendiri. Di Indonesia, pers bebas mengutarakan sikap, bahkan mengkritik pemerintahnya. Percuma saja mempersoalkan pers Indonesia karena pers di negeri ini adalah cermin perasaan masyarakat. Ibarat Rastam Hadi dan Ismail Hashim saat bernegosiasi dengan Shell dan Esso, masyarakat Indonesia saat ini mungkin secara teknis lemah, tetapi secara moral tinggi.”
Tiga tajuk rencana di atas merupakan suara Republika yang geram
terhadap kelambanan pemerintah Indonesia menyikapi konflik kedua negara yang
tak pernah selesai. Menurut Irwan Ariefyanto, Redaktur Pelaksana 2 Harian
Republika, kasus ini memang dianggap penting, karena Indonesia dan Malaysia
103 Hasil wawancara dengan Redaktur Pelaksana II, Irwan Ariefyanto.
merupakan negara serumpun yang seharusnya menjalin hubungan baik.
Menurutnya, kasus ini mencerminkan bagaimana diplomasi Indonesia di mata luar
negeri sangat lembek. Oleh karenya, Republika selalu mendorong agar pemerintah
bertindak tegas dan berani agar Indonesia kembali disegani seperti pada kisaran
tahun 80 sampai 90-an.
Tajuk rencana yang terakhir ini terlihat lebih geram dari dua tajuk
sebelumnya. Berbeda dengan dua tajuk sebelumnya yang lebih menuntut
ketegasan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan kasus ini, tajuk “Malaysia
yang Berbudi” membahas keberhasilan-keberhasilan yang diraih Malaysia selama
ini. Kesuksesan Malaysia di berbagai bidang, khsusnya ekonomi, menurut
Republika sebenarnya juga tak lepas dari campur tangan Indonesia.
Malaysia yang pernah belajar dari Indonesia ditulis Republika seharusnya
tidak melakukan konfrontasi-konfrontasi yang memicu konflik. Seharusnya, ia
(Malaysia) membalas budi dengan menunjukkan etika bertetangga yang baik,
yang saling menghormati.
Tajuk terakhir Bulan Agustus ini masih menggunakan pola ANSVA
sebagaimana yang dipakai pada dua tajuk sebelumnya. Hal ini dikarenakan,
Republika, menurut data resminya, didominasi kalangan pembaca profesional
sebanyak 42%. Ini menunjukkan karakter pembaca Republika merupakan
masyarakat kota yang notabenenya kalangan menengah ke atas. Untuk itu, pola
penulisan tajuknya lebih cenderung menggunakan pola ANSVA agar bisa
memaparkan lebih banyak duduk permasalahan guna analisis yang lebih tajam
dan mendalam.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah menganalisa kasus ini dalam tiga tajuk rencana Harian
Republika dengan analisis framing Robert Entman, berikut kesimpulan
yang penulis peroleh:
1. Pembingkaian Republika atas “Hubungan RI-Malaysia” yang
ditulis pada 19 Agustus 2010 menempatkan kasus ini sebagai
masalah komunikasi internasional dan masalah pertahanan dan
keamanan NKRI. Aktor penyebab masalah kasus ini menurut
Republika adalah pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia
dianggap takut terhadap Malaysia, akibatnya banyak kerugian
baik moral maupun materil yang diterima rakyat Indonesia.
Republika meminta ketegasan pemerintah sebagai solusi
penyelesaian konflik ini.
2. Pembingkaian yang dilakukan Republika untuk “Hubungan
Panas Serumpun” yang ditulis pada tanggal 28 Agustus 2010
menempatkan kasus ini pada masalah komunikasi
internasional. Aktor penyebab masalahnya adalah Malaysia.
Republika mengemas kasus ini dengan meletakkan sikap saling
ketergantungan dan saling membutuhkan di antarakeduanya
menjadi evaluasi moral atas kasus ini. Untuk itu, Republika
merasa diperlukan adanya sikap saling menghormati dan saling
menjaga hubungan baik sebagai solusi penyelesaian
masalahnya.
3. Pembingkaian yang dilakukan Republika untuk tajuk
terakhirnya di Bulan Agustus 2010, “Malaysia yang Berbudi”,
tetap menempatkan kasus ini sebagai masalah komunikasi
internasional di samping sebagai masalah ekonomi. Republika
pun masih menempatkan Malaysia sebagai penyebab
masalahnya. Evaluasi moral yang dibingkai Republika atas
kasus ini adalah adanya kekuatan yang sama kuat antara
Indonesia dan Malaysia di mata internasional, namun
sayangnya, Malaysia tidak menganggap hal tersebut sebagai
alasan untuk menghormati Indonesia. Oleh karenanya,
Republika mengatakan bahwa Malaysia harus menghormati
kedaulatan Indonesia yang merupakan solusi atas konflik
selama ini.
Ketiga tajuk rencana tersebut sama-sama ditempatkan Republika
sebagai masalah komunikasi internasional. Komunikasi internasional
menjadi masalah utama yang diidentifikasi dalam ketiga tajuknya
walaupun juga ditarik ke masalah keamanan dan ekonomi. Dua tajuk
rencana menjadikan Malaysia sebagai aktor penyebab masalah dan satu
tajuk lainnya menuding pemerintah Indonesia.
Evaluasi moral yang dibingkai dalam ketiga tajuk rencana ini pun
hampir senada, yakni ketidaktegasan pemerintah Indonesia dan adanya
sikap tidak saling menghormati sebagai negara yang sama-sama
berpengaruh di mata dunia internasional. Lantas solusinya, Republika yang
mengidentifikasi diri sebagai surat kabar yang tidak provokatif
mengedepankan jalan damai, sikap saling menjaga hubungan baik
antarkeduanya yang juga diiringi ketegasan pemerintah Indonesia dalam
diplomasi yang elegan.
B. Saran
Berkenaan dengan penelitian atas kasus hubungan Indonesia-
Malaysia ini, beberapa poin yang dapat penulis sarankan adalah:
1. Saran yang ditujukan kepada media massa;
a. Sebagai kontrol sosial, media massa seyogyanya memiliki data-
data yang faktual untuk menjaga pemberitaan yang berimbang dan
dapat dipercaya.
b. Tajuk rencana sebagai suara resmi dari redaksi media massa dapat
lebih bijak dalam menyikapi suatu kasus karena memiliki kekuatan
besar sebagai pembentuk opini publik.
2. Saran yang ditujukan kepada mahasiswa adalah bahwa penelitian
ini dapat dikaji lagi dari sudut pandang yang berbeda bagi
mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
khususnya mahasiswa Konsenterasi Jurnalistik untuk menambah
khazanah dalam bidang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Berger, Peter L dan Luckmann, Thomas. Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES, 1990.
Birowo, M. Antonius, ed., Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Gitanyali, 2004
Bungin, Burhan. Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklak Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Jakarta: Kencana, 2008.
Creswell, John W. Desain Penelitian: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: KIK Press, 2003
Eriyanto. Analisis Framing : konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: Lkis, 2008.
Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit, 2004.
Hernowo, ed. Lautan Hikmah: Kumpulan Renungan Keagamaan di Harian Republika. Bandung: Mizan, 1994.
Kriyantono, Rakhmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media. Jakarta: Kencana, 2007.
Kurnia, Septiawan Santana. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Mc. Quail, Dennis. McQuail’s Mass Communication Theory. t.tp: SAGE Publications Ltd, 2010.
Nimmo, Dan. Komunikasi Politik : Khalayak dan Efek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Nugroho, Bimo, Eriyanto, Franz Sudiarsis, Politik Media Mengemas Berita. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1999
Poloma, Margaret.M. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Qodir, Zuli, ed. ICMI, Negara dan Demokratisasi : Catatan Kritis Kaum Muda. Yogyakarta: Kelompok Studi Lingkaran, 1995.
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Riyanto, Geger. Peter L. Berger: Perspektif Metateori Pemikiran. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009.
Severin, Werner J. dan Jr, James W. Tankard. “Teori Komunikasi:Sejarah, Metode dan Terapan di dalam Media Massa”. Jakarta: Prenada Media, 2008.
Siahaan, Hotman. Pers yang Gamang: Studi Pemberitaan Jajak Pendapat Timor Timur. Lembaga Studi Perubahan Sosial, 2001.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Sudibyo, Agus, Hamad, Qarari, Kabar-kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa. Jakarta: ISAI, 2001.
Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. t.tp: LKiS Pelangi Aksara, 2001.
Suhaemi dan Ruli Nasrullah. Bahasa Jurnalistik. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009.
Sumadiria, AS Haris. Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008.
Suparno, Paul. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Pustaka Filsafat, 2007.
Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Ciputat: Kalam Indonesia, 2005.
Tubbs, Stewart L. dan Moss, Sylvia. Human Comunication: Prinsip-Prinsip Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Usman, Syafaruddin dan Isnawita Din. Ancaman Negeri Jiran : Dari ”Ganyang Malaysia” Sampai Konflik Ambalat. Yoyakarta: Media Pressindo, 2009.
Internet: http://www.ccsr.ac.uk/methods/publications/frameanalysis, artikel diakses pada
23 Maret 2011 pukul 17:20 WIB
http://www.facebook.com/pages/REPUBLIKA-Online diakses pada tanggal 09-05-2011 pukul 20:40 WIB
http://www.republika.co.id Lain-lain: Data resmi berupa Company Profile dari Harian Republika Hasil wawancara dengan Redaktur Pelaksana II Harian Republika, Irwan
Ariefyanto, pada Kamis, 5 Mei 2011
Lampiran
Hasil Wawancara
Hari/Tanggal : Kamis, 05 Mei 2011
Waktu : 17.00 – 18 WIB
Tempat : Kantor Harian Republika, Warung Buncit, Jakarta Selatan
Narasumber : Irwan Ariefyanto
Jabatan : Redaktur Pelaksana II Harian Republika (Kepala News Room)
1. Untuk tajuk rencana Republika, siapa yang biasa bertugas menulisnya?
Tajuk itu satu minggu ada 6 penulis. Ganti-ganti penulisnya tergantung
jadwal piket.
2. Dalam satu bulan ada 3 wacana tajuk tentang hubungan kedua Negara,
apakah kasus ini dianggap penting oleh Republika? Mengapa?
Sangat penting sekali. Dalam kasus Indonesia-Malaysia sangat penting
sekali. Biar bagaimana pun kita mempunyai kebijakan agar tidak terlalu
memprovokasi. Karena kita lihat saat itu, bagaimana ketika terjadi
penangkapan sejumlah petugas KKP oleh Malaysia. Banyak orang
berharap kita bersikap keras, tegas, dengan mungkin perang atau apa. Kita
tidak mau seperti itu. Kita hindari. Tapi kalau bersikap tegas kita harus.
Nah inilah selama ini diplomasi Indonesia sangat luar biasa jelek di luar
negeri, termasuk terhadap negara tetangga kita sendiri, Malaysia dan
Singapura, juga bagaimana kita harus kehilangan Ambalat.
3. Sebenarnya, bagaimana Republika memandang kasus tersebut?
Kita sangat fokus, tapi kita juga tidak memprovokasi. Jadi intinya
Republika selalu menegaskan perlunya ketegasan diplomasi, perlunya
luwesnya diplomasi, tapi kita tidak akan masuk ke dalam provokasi
misalnya untuk menimbulkan permusuhan atau kebencian terhadap
Malasyia. Karena bagaimana pun kita tetangga, satu rumpun.
4. Mengapa ketiga tajuk lebih menonjolkan angle tentang Malaysia yang
sebenarnya berhutang budi dengan Indonesia?
Sebenernya di tajuk ini kita menggambarkan bahwa sebenarnya kita ini
satu rumpun dan faktanya memang 10 tahun terakhir ini Indonesia jauh
dibandingkan dari Malaysia. Padahal dalam sejarahnya Malaysia banyak
belajar dari Indonesia. Tajuk ini menggambarkan bagaimana beberapa
tahun lalu Malaysia banyak belajar tentang pertambangan, pendidikan,
atau masalah-masalah yang berhubungan ekonomi dengan Indonesia.
Tetapi dalam perkembangannya ternyata Malaysia lebih maju dari
Indonesia. Nah, di sini kita menggambarkan bagaimana Indonesia sangat
tertinggal jauh dari Malaysia dan seharusnya Malaysia melakukan sikap
balas budi terhadap Indonesia. Balas budi dalam artian bahwa seharusnya
Malaysia tidak lagi melakukan konfrontasi-konfrontasi seperti yang
dilakukan di perairan Riau. Apalagi kita tetangga, kedua kita satu rumpun.
Kita orang-orang Melayu. Kita (Republika) memang termasuk tidak terlalu
keras dalam kasus ini.
5. Mengapa tidak mengambil angle lain seperti kasus-kasus yang biasa
terjadi antara keduanya atau sikap pemerintah yang dinilai lamban?
Kita menulis sebuah tajuk punya pandangan yg berbeda meskipun tujuan
akhirnya sama. Untuk kasus Indonesia-Malaysia pun kita sama. Kita tetap
menuding pemerintah yang cenderung tidak respon. Kita hanya menuding
bahwa pemerintah kita memang lamban. Tapi kita juga tidak mau
memprovokasi pemberitaan bahwa kita harus bermusuhan dengan
Malaysia. Karena bagaimana pun nanti yang rugi juga Indonesia. Tidak
ada untungnya kita berkelahi atau istilahnya bermusuhan dengan tetangga
kita. Karena bagaiman pun kita satu rumpun, satu wilayah. Yang harus
dilakukan oleh kita adalah diplomasi-diplomasi yang elegan. Bukan
diplomasi barter seperti yang disebutkan di beberapa Koran, termasuk
Republika.
6. Siapa yang menjadi penyebab utama masalah ini menurut Republika?
Walaupun kita cenderung realtif lebih soft dari koran lain tapi kita tetap
menghajar Malaysia.
7. Mengapa Republika menganggap ini kesalahan Malaysia?
Di “hubungan panas serumpun” kita menggambarkan bagiamana
hubungan Indonesia-Malaysia yang saling berkesinambungan.
Perekonomian Indonesia yang tergantung dengan Malayisa. Malaysia yang
tergantung dengan Indonesia. Kita tahu bahwa banyak jumlah tenaga kerja
Indonesia di Malaysia. Tapi Malaysia juga tergantung dalam kebutuhan
pertaniannya dan mereka banyak mengimpor dari Indonesia. Lalu kenapa
harus diganggu dengan hal-hal seperti ini. Nah, kita mendorong
seharusnya Malasyia sebagai negara yang pernah kita bantu tidak
melakukan hal-hal seperti itu.
8. Bagaimana menurut Republika tindakan yang dipakai oleh pemerintah
Indonesia menanggapi hubungan kedua Negara saat itu?
Sikap yang ditunjukkan sekarang ini adalah bagaimana pemerintah kita
membiarkan sejumlah pegawai pemerintahannya ditangkap oleh aparatur
Malaysia. Yang dilihat selama ini kan presiden SBY sangat lembek dalam
hubungan dengan luar negeri. SBY itu sangat berhati-hati. Tidak sekeras
mungkin zamannya Pak Harto. Tahun 1985 atau 1990 kita merupakan
negara yang sangat disegani di Asia. Tidak hanya Malaysia, tapi juga
Singapura, negara kecil seperti itu. Tapi faktanya kita sekarang berbalik.
9. Solusi yang ditawarkan dari Republika tentang kasus yang melibatkan
hubungan kedua negara?
Sikap pemerintah yang seharusnya melakukan penegasan terhadap
Malaysia. Bagaimana pun tidak boleh tetangga saling mengusik.
top related