akibat hukum inkonsistensi pengadilan negeri …
Post on 16-Oct-2021
16 Views
Preview:
TRANSCRIPT
AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI
TERHADAP PENCATATAN PERJANJIAN PERKAWINAN ANTARA
WARGA NEGARA INDONESIA DAN WARGA NEGARA ASING
PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 585
K/Pdt/2012)
Dwi Noryani Christina
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424
Email : dwinoryani.christina@yahoo.com
Abstrak
Dalam suatu perkawinan suami istri dapat membuat suatu perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan ini
harus dibuat dalam bentuk tertulis dan selanjutnya disahkan pada pegawai pencatat perkawinan. Perjanjian
perkawinan yang dibuat oleh suami istri ini ada yang dicatatkan pada pengadilan negeri bukan pada pegawai
pencatat perkawinan. Permasalahan yang dikemukakan pada skripsi ini bagaimana keberlakuan perjanjian
perkawinan yang didaftarkan kepada pengadilan negeri setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan. Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah tipe penelitian yuridis normatif, yaitu
penelitian yang dilakukan terhadap hukum tertulis atau kepustakaan. Pokok hasil dari penelitian dalam skripsi ini
adalah bahwa perjanjian perkawinan yang dicatatkan pada pengadilan negeri setelah berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tetap berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat perjanian perkawinan tersebut
namun bagi pihak ketiga perjanjian perkawinan tersebut tidak berlaku dan tidak dapat mengikat pihak ketiga.
Kata Kunci : Perkawinan; Pegawai Pencatat Perkawinan; Pengadilan Negeri; Perjanjian Perkawinan.
LAW EFFECT OF DISTRICT COURT INCONSISTENCIES TO REGISTERY
MARRIAGE AGREEMENT BETWEEN INDONESIAN CITIZEN AND FOREIGN
CIITIZEN AFTER ACT NO. 1 YEAR 1974 (CASE STUDY: SUPREME COURT
JUDGEMENT NO. 585 K/ Pdt/2012)
Abstract
In a marriage husband and wife can make a marriage agreement. Marriage agreement must be made in written
form and subsequently registered by marriage officer. There are marriage agreement that made by husband and
wife that registered on district court but not registered by marriage officer. The main issue in this thesis is what
is the law effect of Marriage Agreement Registered on District Court After Act No. 1 year 1974 about Marriage.
The research method used in this thesis is a juridical normative research, namely study of written law and
literature. The result of this research are the marriage agreement that registered on district court have a legal
concequences to husband and wife who made the marriage agreement but the marriage agreement do not have
any legal consequences to third party.
Keyword : district court; marriage; marriage agreement; marriage officer.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
Pendahuluan
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Begitulah pengertian perkawinan menurut Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan menurut hukum perdata yang
tercantum didalam pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perkawinan adalah
pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
Perkawinan merupakan peristiwa yang sakral dalam hidup seseorang dan merupakan
kebutuhan biologis setiap orang. Tujuan umum dari perkawinan itu sendiri, yakni: (1)
memperoleh ketenangan hidup ( k h , yang penuh cinta (mawaddah,), dan kasih sayang
(rahmah), sebagai tujuan pokok dan utama, (2) tujuan reproduksi/regenerasi, (3) pemenuhan
kebutuhan biologis, (4) menjaga kehormatan, (5) dan ibadah. Semua tujuan perkawinan
tersebut adalah tujuan yang menyatu dan terpadu (integral dan induktif). Artinya, semua
tujuan tersebut harus diletakkan menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan.1
Menurut Hukum Islam, nikah adalah suatu akad yaitu akad yang menghalalkan
pergaulan (hubungan suami isteri) dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong
antara laki-laki dan seorang perempuan yang dua-duanya bukan muhrim, artinya apabila
seorang pria dan seorang perempuan bersepakat diantara mereka untuk membentuk suatu
rumah tangga, maka hendaknya kedua calon suami istri tersebut terlebih dahulu melakukan
akad nikah2. Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja
berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus juga
merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan3.
Perkawinan bisa menimbulkan akibat hukum terhadap suami dan istri yaitu akibat hukum
terhadap suami dan istri, akibat hukum terhadap harta kekayaan dan akibat hukum terhadap
anak. Salah satu akibat perkawinan adalah akibat hukum terhadap harta kekayaan dimana
terdapat percampuran harta. Di dalam pasal 119 ayat 1 KUHPerdata ditetapkan bahwa “sejak
saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara kekayaan
1 Khoiruddin Nasution, ISLAM tentang Relasi Suami dan Istri (Hukun Perkawinan I), cet. 1,
(Yogyakarta: ACAdemia dan Tazzafa, 2004), hlm. 47.
2 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam, Undang-undang
Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta: Hidakarya Agung,1981), hlm. 11.
3 H. Hilman, Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat dan
Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm. 8.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
suami-istri”4. Dari kata-kata demi hukum berlakulah persatuan bulat harta kekayaan dapat
disimpulkan bahwa mereka tidak perlu mengadakan perbuatan tertentu atau memenuhi
formalitas tertentu selain daripada mereka menikah dengan sah dan tidak perlu ada
penyerahan. Pasal 120, 121, dan 122 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur
mengenai luasnya persatuan harta kekayaan, yaitu meliputi semua aktiva dan pasiva baik
yang diperoleh suami isteri itu sebelum maupun selama perkawinannya termasuk modal,
bunga, bahkan juga hutang yang diakibatkan oleh suatu perbuatan melawan hukum.5
Percampuran harta ini memiliki pengaruh terhadap pihak ketiga sebagai kreditur.
Percampuran harta ini dapat disimpangi dengan membuat perjanjian perkawinan. Pada
prinsipnya pengertian perjanjian perkawinan itu sama dengan perjanjian pada umumnya yaitu
suatu perjanjian antara dua orang calon suami istri untuk mengatur harta kekayaan pribadi
masing-masing yang dibuat menjelang perkawinan serta disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan. Umumnya perjanjian perkawinan ini dibuat apabila salah satu pihak memiliki
jumlah harta kekayaan yang lebih besar dari pada pihak yang lainnya. Perjanjian perkawinan
itu harus dibuat secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak yang disahkan Pegawai
Pencatat Perkawinan. Apabila telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka isinya
mengikat para pihak dan juga pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut.
Perjanjian perkawinan itu dimulai berlaku sejak perkawinan berlangsung dan tidak boleh
dirubah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak
ketiga yang tersangkut. Para pihak dalam perkawinan sebenarnya bebas menentukan bentuk
hukum yang dikehendaki atas harta kekayaan yang mereka miliki. Mereka bisa saja
menentukan bahwa dalam perjanjian perkawinan mereka tidak akan terdapat persatuan harta
kekayaan atau ada harta kekayaan yang terbatas.6
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dikenal mengenai
perjanjian perkawinan yang diatur didalam pasal 29. Menurut Undang-Undang ini perjanjian
perkawinan harus diadakan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan.7 Perjanjian
4 J.Satrio, Hukum Harta Perkawinan, cet 1, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.1991), hlm. 38.
5 Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Keluarga dan Orang, cet. 5, (Bandung :
Percetakan Offset Alumni,1986), hlm. 58.
6 Ibid., hlm 76.
7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, cet. 1, (Jakarata: Kencana, 2006), hlm. 145a.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
Perkawinan menurut KUHPerdata diatur dalam buku I Bab VII tentang perjanjian perkawinan
pada pasal 139 dan pasal 140 yang berbunyi :
“Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami istri adalah berhak
menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta
kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan
asal diindahkan pula segala ketentuan dibawah ini
Perjanjian yang demikian tak boleh mengurangi segala hak yang disandarkan pada
kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan orang tua, pun tak boleh mengurangi
hak-hak yang diberikan undang-undang kepada si yang hidup terlama diantara suami dan
istri”
Istilah perjanjian perkawinan dalam hukum Islam tidak ada, yang ada dalam literatur fiqh
ditemukan bahasan dengan maksud yang sama yakni “ijab kabul yang disertai dengan syarat”
atau “persyaratan dalam perkawinan”. Bahasan tentang syarat dalam perkawinan tidak sama
dengan syarat perkawinan yang ada dalam kitab-kitab fiqh karena yang dibahas dalam syarat
perkawinan itu adalah syarat-syarat untuk sahnya suatu perkawinan.
Pada Kompilasi Hukum Islam mengenai perjanjian perkawinan diatur pada bab VII pasal
45 sampai 52 tentang perjanjian perkawinan. Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam menyatakan
bahwa “Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk 8:
1. Ta’lik talak
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam
Pada dasarnya perjanjian perkawinan diadakan untuk menyimpangi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur kekayaan pribadi masing-masing suami dan istri menjadi
satu kesatuan yang bulat.
Perjanjian Perkawinan ini memiliki beberapa manfaat. Manfaat perjanjian perkawinan
bagi kehidupan masing-masing suami istri antara lain adalah kebebasan bertindak dalam hal
pemberian bantuan kepada rekan-rekan dan saudara, penegakan rasa keadilan apabila
penghasilan pihak tertentu lebih besar dari pada pihak yang lain, peningkatan kualitas kerja
dimana pada saat terjadi pemisahan harta masing-masing pihak akan berusaha lebih giat sebab
apabila terjadi perceraian masing-masing pihak tidak dapat menikmati harta kekayaan pihak
8 Damanhuri HR, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, cet. 1, (Bandung,2007),
hlm 11.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
yang lain, serta peningkatan taraf ekonomi negara dimana para istri tidak bergantung pada
suami dan berusaha untuk menghidupi dirinya sendiri apabila terjadi perceraian. Manfaat lain
dari perjanjian perkawinan adalah dalam hal penyelesaian kasus perkawinan pada lembaga
peradilan9.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, Perjanjian perkawinan harus dibuat
secara tertulis dan harus disahkan didepan Pegawai Pencatat Perkawinan. Perjanjian
perkawinan yang telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan berlaku mengikat dan
berlaku sebagai undang-undang bagi pihak calon suami istri, pihak ketiga, dan pihak yang
tersangkut. Menurut KUHPerdata Perjanjian Perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis yang
dalam hal ini dibentuk dengan akta notaris dan dicatatkan pada Kepaniteraan Pengadilan
Negeri.
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa segala ketentuan yang
ada sebelum Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam
Undang-Undang ini. Berdasarkan pasal diatas maka seharusnya ketentuan yang berlaku
adalah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dimana Perjanjian Perkawinan
dicatatkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan dan ketentuan dalam KUHPerdata dianggap
tidak berlaku. Namun pada kenyataannya ada masyarakat yang masih mencatatkan perjanjian
perkawinan yang mereka buat kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Salah satunya adalah
pasangan suami istri dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 585 K/Pdt/2012 dimana pihak
suami adalah Warga Negara Asing dan pihak istri adalah Warga Negara Indonesia. Sebelum
melangsungkan perkawinan mereka membuat perjanjian perkawinan dan kemudian pihak istri
mencatatkan perjanjian perkawinan tersebut kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, perjanjian perkawinan baru memiliki
kekuatan hukum mengikat apabila telah dicatatkan di Pegawai Pencatat Perkawinan. Namun
dalam kasus pada putusan Mahkamah Agung No. 585 K/Pdt/2012 perjanjian perkawinan
tersebut tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Perkawinan namun dicatatkan di Pengadilan
Negeri. Pihak suami mengajukan pembatalan perjanjian perkawinan sebab merasa perjanjian
perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun Hakim menolak
permintaan pihak suami dan menganggap perjanjian perkawinan tersebut sah berdasarkan
asas Pacta Sunt Servanda dimana perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para
pembuatnya sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 perjanjian perkawinan
9
Ibid., hlm. 48.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Perlu diteliti lebih lanjut apakah
Perjanjian Perkawinan yang dicatatkan pada Pengadilan Negeri pasca berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 ini tetap berlaku atau tidak. Kemudian perlu juga diteliti apabila
perjanjian perkawinan tersebut tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan apa
dampak hukumnya bagi suami dan istri terhadap pencatatan perjanjian perkawinan pada
Kepaniteraan Pengadilan Negeri setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.
Perlu juga dianalisis mengenai pertimbangan hakim pada putusan tersebut. Oleh karena itu
untuk menjawab berbagai permasalahan yang ada penulis akan membahas dibahas lebih
lanjut dalam bab-bab selanjutnya.
Tinjauan Teoritis
Untuk menghindari adanya kesalahpahaman atas berbagai istilah yang digunakan
dalam penelitian, maka penulis akan memberikan definisi istilah-istilah yang di pakai dalam
tulisan ini, antara lain:
1. Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa10
2. Perkawinan Campuran
Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia11
.
3. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian Perkawinan adalah suatu perjanjian antara dua orang calon suami istri
untuk mengatur harta kekayaan pribadi masing-masing yang dibuat menjelang perkawinan
serta disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
4.Harta Bersama
Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan di luar hadiah
atau warisan12
.
10 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, ps. 1.
11 Ibid., ps. 57.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
5. Harta Bawaan
Harta bawaan adalah harta yang dibawa masuk ke dalam suatu perkawinan.
Penguasaannya tetap pada masing– masing suami istri yang membawanya ke dalam
perkawinan, sepanjang pihak tidak menentukan lain.
6. Warga Negara
Penduduk sebuah negara atau bangsa berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan
sebagainya yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dari negara
itu13
.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang
dilakukan terhadap hukum tertulis atau kepustakaan. Penggunaan metode penelitian ini untuk
menjawab permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini berdasarkan atas asas-asas hukum
yang ada, dan hukum positif yang mengatur permasalahan dalam penelitian ini serta beberapa
teori-teori pendukung lainnya.
Dalam penelitian terhadap akibat hukum inkonsistensi Pengadilan Negeri terhadap
pencatatan perjanjian perkawinan antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing
pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini lebih ditekankan pada
pendekatan secara normatif, dimana penulis lebih ingin menggambarkan mengenai kejelasan
dampak tidak dicatatkannya perjanjian perkawinan terhadap harta kekayaan dalam
perkawinan. Dengan adanya pemahaman terhadap hal tersebut, penulis berusaha untuk
memberikan jawaban mengenai pengaturannya yang terdapat dalam hukum Indonesia,
khususnya dari KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dilihat dari sifatnya tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,
keadaan atau gejala-gejala lainnya.14
Dimana penelitian ini memberikan gambaran dan
penjelasan awal yang berkaitan dengan akibat hukum tidak dicatatkannya perjanjian
12 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet. 5, (Jakarta: UI Pres,1986), hlm. 89.
13
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/warga+negara di akses pada 24 September 2014.
14
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3 (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press),1986), hlm. 10.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
perkawinan. Dilihat dari bentuknya penelitian ini merupakan penelitian preskriptif dimana
penelitian ini ditujukan untuk mendapat saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan
untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.15
Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam
penelitian digolongkan sebagai data sekunder yang meliputi buku-buku, skripsi, artikel dan
dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah.16
Bahan hukum penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua,
yaitu;
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,17
selain itu merupakan
bahan hukum yang mempunyai otoritas. yang terdiri dari:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 585 k/Pdt/2012
b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.18
Bahan hukum sekunder yang terdapat di penelitian ini antara lain, buku, skripsi, tesis,
makalah, dan laporan penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
atas bahan hukum primer dan sekunder,19
Alat pengumpulan data yang akan dipergunakan yaitu studi dokumen atau bahan
pustaka dan studi lapangan melalui wawancara. Wawancara dalam pengumpulan data disini
sebagai penujang analisis yang akan dibuat oleh penulis. Dalam studi dokumen maka sudah
dapat dipastikan bahwa data-data yang dibutuhkan adalah dokumen (hasil putusan). Studi
15
Ibid.,
16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ed.1, cet 10,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.24.
17 Sri Mamudji, et al.,Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), hlm.30.
18
Ibid., hlm. 31.
19
Soekanto, Op.Cit., hlm. 16.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
dokumen atau bahan pustaka berfungsi untuk memberikan fakta-fakta yang secara tidak
langsung memberikan suatu pemahaman atas permasalahan yang sedang kita teliti.
Dengan demikian, diharapkan bahwa dengan penggunaan studi dokumen atau bahan
pustaka dan wawancara ini, dapat memberikan fakta-fakta dan pemahaman yang lebih jelas
mengenai permasalahan yang sedang diteliti.
Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif, karena data yang
digunakan adalah data sekunder. Pada penelitian hukum normatif menelaah data sekunder,
biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya20
.Dalam penelitian ini pun
diterapkan analisis data yang demikian demi mendapatkan data yang akurat terhadap
permasalahan dalam penelitian ini.
Dalam menganalisa data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitis, dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan atau
gejala-gejala lainnya21
. Di sini penulis menganalisis putusan tentang perjanjian perkawinan
yang tidak dicatatkan dimana nantinya penulis akan mendapatkan beberapa penegasan dari
beberapa pertimbangan hakim dalam memutuskan putusan tersebut yang diharapkan bisa
memunculkan sebuah gagasan baru terkait akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak
dicatatkan.
Hasil Penelitian
Pengesahan perjanjian perkawinan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri ini memang
diatur dalam pasal 152 KUHPerdata dimana setelah perjanjian perkawinan mereka dituangkan
dalam akta notaris perjanjian perkawinan tersebut dibukukan dalam suatu daftar tertentu pada
Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Namun semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan berdasarkan Pasal 66 segala ketentuan yang ada sebelum
Undang-Undang ini tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang ini. Oleh
karena itu karena karena pencatatan perjanjian perkawinan telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 maka ketentuan mengenai pendaftaran perjanjian perkawinan
pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri tidak berlaku. Namun ketidakberlakuannya ini tidak
multak sebab berdasarkan Staatblad 1917 Nomor 129 golongan Tionghoa masih
menggunakan ketentuan yang ada di dalam KUHPerdata. Berdasarkan pengaturan diatas
20 Ibid., hlm. 69.
21
Ibid., hlm 50.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
maka seharusnya perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat disahkan
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang dalam hal ini adalah Kantor Catatan Sipil bagi
perkawinan mereka dan bukan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri seperti yang
dilakukan Tergugat mengingat mereka bukan merupakan golongan Tionghoa.
Dalam kasus ini hakim menolak untuk membatalkan perjanjian perkawinan yang
dibuat oleh Penggugat dan Tergugat. Salah satu pertimbangan hakim adalah “bahwa setelah
memperhatikan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pada Pasal 12
huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut di atas maupun dalam
penjelasannya tidak ada secara implisit menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan yang tidak
dimuat dalam Akta Perkawinan adalah batal demi hukum atau dapat dibatalkan”, mengenai
pertimbangan hakim diatas memang secara impilisit dalam ketentuan Pasal 29 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pada Pasal 12 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tersebut di atas maupun dalam penjelasannya tidak ada secara implisit
menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan yang tidak dimuat dalam Akta Perkawinan adalah
batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Pasal tersebut hanya menyatakan bahwa perjanjian
perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Oleh karena itu jika dilihat dari
syarat sahnya perjanjian yang ada dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu sepakat mereka yang
mengikatkan diri, cakap untuk membuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu, dan
suatu sebab yang halal. Syarat yang pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena
mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Dalam hal syarat
subjektif ini tidak terpenuhi maka suatu perjanjian dapat dibatalkan. Syarat yang ketiga dan
keempat merupakan syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari
perbuatan hukum yang dilakukan. Apabila syarat objektif ini tidak terpenuhi maka suatu
perjanjian batal demi hukum. Dalam kasus ini perjanjian yang dibuat oleh Penggugat dan
Tergugat memenuhi keempat syarat diatas sehingga tidak ada alasan untuk membatalkan
perjanjian tersebut. Pertama mereka telah sepakat mengadakan perjanjian perkawinan dengan
membuat perjanjian perkawinan dihadapan Notaris, kedua mereka telah cakap melakukan
perjanjian, ketiga perjanjian yang mereka buat mengenai hal tertentu yaitu perjanjian
perkawinan, dan yang keempat yang mereka perjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, hukum, dan kesusilaan. Perkawinan tersebut hanya dapat dibatalkan apabila syarat
subjektifnya tidak terpenuhi dan batal demi hukum apabila syarat objektifnya tidak terpenuhi.
Mengenai pertimbangan Mahkamah Agung “Pencatatan perjanjian perkawinan pada
Pegawai Pencatat Perkawinan hanya terkait soal administrasi dan pembuktian adanya
perjanjian perkawinan bagi pihak ketiga, sedangkan untuk kedua belah pihak berlaku azas
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
Pacta Sunt Servanda, berdasarkan ketentuan pada Pasal 1338 KUHPerdata semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya atau
dikenal dengan istilah Pacta Sunt Servanda. Sehingga perjanjian perkawinan yang dibuat
oleh Penggugat dan Tergugat tetap mengikat kedua belah pihak dan tidak dapat dimintakan
pembatalan. Pada perjanjian umum, berdasarkan pasal 1340 KUHPerdata perjanjian hanya
berlaku antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut tanpa dapat menimbulkan
kerugian maupun manfaat bagi pihak ketiga. Namun dalam perjanjian perkawinan dapat juga
berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut sebagaimana yang diatur
dalam pasal 152 KUHPerdata dan Pasal 29 ayat (1). Perlu diingat kembali bahwa berdasarkan
ketentuan pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, ketentuan-ketentuan mengenai
perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku selama telah diatur
dalam Undang-Undang ini. Oleh karena itu syarat berlakunya perjanjian perkawinan bagi
pihak ketiga adalah setelah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana diatur
dalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan
dalam pasal ini menghapuskan syarat berlakunya perjanjian perkawinan bagi pihak ketiga
yang tercantum dalam pasal 152 KUHPerdata. Menurut pasal 67 pelaksanaan Undang-
Undang ini secara efektif diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dalam hal ini adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam peraturan pemerintah ini tidak ada pasal khusus yang
mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan ini
disinggung dalam pasal 12 huruf (h) yang menyatakan bahwa akta perkawinan memuat
perjanjian perkawinan apabila ada. Kemudian pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa akta
perkawinan tersebut disiapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dimana dalam hal ini
Kantor Catatam Sipil untuk yang beragama selain Islam dan Kantor Urusan Agama (KUA)
untuk yang beragam Islam. Berdasarkan penjabaran diatas maka dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 juncto Pasal 12 huruf (h)
juncto pasal 11 ayat (1) juncto pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 pengesahan
perjanjanjian perkawinan harus dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan agar dapat
mengikat pihak ketiga tanpa perlu didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 152 KUHPerdata
mengatakan bahwa perjanjian perkawinan berlaku terhadap pihak ketiga sejak didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Tidak didaftarkanya perjanjian perkawinan mengakibatkan
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
apabila misalnya suami atau istri melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga maka
pihak ketiga dapat menganggap bahwa dalam perkawinan mereka tidak ada pemisahan harta.
Namun hal ini tidak mutlak sebab jika pihak ketiga mengetahui bahwa dalam perkawinan itu
suami istri memiliki perjanjian perkawinan maka ia tidak boleh menganggap bahwa
perkawinan tersebut berlangsung dengan persatuan harta. Jadi apabila pihak ketiga tidak
mengetahui bahwa ada perjanjian kawin namun tidak didaftarkan maka barulah pihak ketiga
dapat menganggap bahwa dalam perkawinan suami istri tersebut terdapat persatuan harta.
Oleh karena itu pendaftaran bukan merupakan kewajiban mutlak akan tetapi pendaftaran itu
memberikan kesempatan kepada suami istri untuk mengikat pihak ketiga terhadap apa yang
didaftarkan itu dan melindungi pihak ketiga dari sesuatu yang tidak benar. 22
Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sendiri, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa berdasarkan ketentuan pasal 29 ayat (1), dapat disimpulkan untuk sahnya
sebuah perjanjian perkawinan maka perjanjian tersebut harus didaftarkan untuk minta
disahkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan dan jika tidak didaftarkan maka dengan
sendirinya akan mempunyai konsekuensi atau akibat hukumnya tersendiri. Akibat hukum
apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan dapat
dibagi menjadi dua yaitu :
1. Akibat hukum bagi para pihak
Berdasarkan asas Pacta Sunt Servanda yang terdapat pada Pasal 1338 KUHPerdata dan
sesuai dengan asas lahirnya perjanjian yaitu asas konsensualisme yang mengatakan bahwa
perjanjian lahir sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak, maka dengan sendirinya
perjanjian perkawinan mengikat pihak yang membuatnya saat keduanya sepakat tentang
perjanjian perkawinan yang dibuat, baik di daftarkan maupun tidak.
Oleh karena itu untuk perjanjian perkawinan apabila tidak dicatatkan pada Pegawai
Pencatat Perkawinan maka tetap berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat pejanjian
perkawinan tersebut yaitu suami dan/atau istri, karena dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan tidak ada satu pasalpun yang menyatakan bahwa perjanjian
perkawinan baru berlaku jika telah didaftarkan atau disahkan. Masa belaku perjanjian
perkawinan itu sendiri berdasarkan pasal 147 ayat (1) da ayat (2) KUHperdata serta pasal 29
ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan syatu perjanjian
perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan tersebut dilangsungkan dan menjadi gugur
apabila perkawinan tidak dilangsungkan. Jadi baik didaftarkan maupun tidak, perjanjian
22
R. Soetojo , Op. Cit., hlm. 82-84.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
perkawinan yang telah dibuat tetap mempunyai akibat hukum yang tetap mengikat bagi
suami-istri yang bersepakat membuatnya. dan kedua belah pihak tetap terikat dengan
kesepakatan yang terdapat dalam Perjanjian Perkawinan tersebut.
2. Akibat hukum terhadap pihak ketiga
Akibat hukum terhadap pihak ketiga apabila Perjanjian Perkawinan tidak di sahkan atau
didaftarkan kepada pegawai pencatat perkawinan maka dengan sendirinya Perjanjian
Perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Selama
perjanjian perkawinan belum didaftarkan pihak ketiga dapat saja menganggap bahwa
perkawinan berlangsung dengan persatuan harta perkawinan secara bersama. Sehingga
apabila terjadi persangkutan utang dengan suami dan/atau istri, penyelesaiannya dilakukan
dengan melibatkan harta bersama antara harta suami dan/atau harta istri, karena dengan tidak
adanya perjanjian perkawinan dengan sendirinya yang ada hanya harta bersama.
Akan tetapi anggapan tidak tahunya pihak ketiga tentang adanya perjanjian perkawinan
hanya dapat diberikan kepada pihak ketiga yang tidak mengetahui bahwa suami istri telah
membuat perjanjian perkawinan namun belum mendaftarkannya. Sedangkan pihak ketiga
yang mengetahui bahwa suami istri telah membuat perjanjian perkawinan namun perjanjian
perkawinan tersebut belum di daftarkan, maka ia tidak boleh menganggap bahwa perjanjian
perkawinan itu tidak ada dan suami istri kawin dengan persatuan harta perkawinan. Terhadap
pihak ketiga, apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka akibat hukumnya
perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.
Dalam bidang hukum tanah, dampak hukum tidak dicatatkannya perjanjian
perkawinan terhadap perkawinan campuran dapat dilihat di pasal 21 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, menyatakan bahwa :
“Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa
wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak
milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di
dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika
sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan
tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung.”
Berdasarkan ketentuan pasal ini Warga Negara Indonesia yang menikah dengan Warga
Negara Asing kehilangan haknya untuk memiliki hak milik atas tanah yang berada di
Indonesia sebab dianggap terjadi percampuran harta. Hal ini karena dalam perkawinan secara
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
tidak langsung akan ada percampuran harta antara suami dan istri sehingga secara tidak
langsung Warga Negara Asing dapat memiliki hak milik atas tanah Indonesia. Suami dan
isteri yang melakukan perkawinan campuran tidak dapat melakukan jual beli dengan
menggunakan harta bersama, terutama untuk Hak Milik dan HGB. Untuk membeli tanah
dengan hak tersebut, pasangan kawin campur harus memiliki perjanjian kawin yang
menegaskan adanya pemisahan harta sehingga pasangan yang berstatus WNI tetap dapat
menjadi subjek yang sah sebagai pemegang hak atas tanah tersebut. Apabila pasangan kawin
campur tetap membeli tanah dan bangunan dengan hak tersebut, maka jual beli tersebut dapat
dianggap batal demi hukum karena subjek bukanlah pihak yang memenuhi syarat sebagai
pemegang hak atas Hak Milik atau HGB. Dalam hal ini apabila pasangan tersebut membuat
perjanjian perkawinan tentang pemisahan harta dan tidak mencatatkannya kepada Pegawai
Pencatat Perkawinan maka perjanjian perkawinan yang mereka buat hanya mengikat untuk
kedua belah pihak. Oleh karena itu pihak ketiga dapat menganggap bahwa ada persatuan harta
dalam perkawinan mereka sehingga apabila salah satu pihak misalnya Warga Negara
Indonesia (WNI) ingin membeli sebuah tanah dengan hak milik kepada pihak ketiga, maka
pihak ketiga tidak dapat mengadakan jual beli dengan Warga Negara Indonesia (WNI)
tersebut karena tidak sesuai dengan pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1950
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan secara tidak langsung Warga Negara
Asing dapat memiliki tanah dengan hak milik atas tanah Indonesia.
Menurut Prof. Rosa Agustina ketentuan yang ada didalam pasal 21 Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tidak sejalan dengan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) terdapat pengaturan bagi pihak-pihak yang melakukan perkawinan
campuran. Pengaturan tersebut berkenaan dengan seorang perempuan warga negara Indonesia
yang memiliki sebidang tanah dengan status hak milik menikah dengan laki-laki warga negara
asing, maka dalam jangka waktu satu tahun setelah perkawinannya maka kepemilikan atas
tanah itu harus dialihkan dengan cara dijual ke pihak lain atau diturunkan statusnya menjadi
hak pakai dalam jangka waktu kurang dari satu tahun. Bila lalai maka haknya atas tanah itu
gugur dan tanah berubah menjadi tanah negara ( Pasal 21 ayat 3) .Jika mengacu pada
ketentuan Pasal 35 UU No 1 Tahun 1974, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam UUPA
diatas hanya dapat dikesampingkan apabila terdapat perjanjian perkawinan. Hal tersebut
didasarkan pertimbangan bahwa selama perkawinan berlangsung maka terdapat harta
bersama, kecuali apabila para pihak membuat perjanjian perkawinan yang memisahkan
kepemilikan harta benda setelah perkawinan.Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan diatas
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
dapat dikemukakan bahwa belum ada pengaturan hukum dibidang hukum keluarga,
khususnya perkawinan yang memberi kepastian hukum bagi masyarakat. Kedepan perlu
dipikirkan dan direalisasikan revisi terhadap peraturan sehingga kehidupan berbangsa dan
bernegara yang dijamin oleh Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat secara
konsekuen dilaksanakan.23
Untuk perjanjian perkawinan yang belum dicatatkan pada Pegawai Pencatat
Perkawinan pada saat perkawinan dilangsungkan,menurut Notaris Ny. Ismiati Dwi Rahayu,
S.H. kedua belah pihak dapat meminta penetapan ke Pengadilan Negeri yang memerintahkan
kepada Pegawai Pencatat Perkawinan agar perjanjian perkawinan tersebut dicatatkan di buku
register pencatatan nikah baik di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Kantor Pencatatan
Sipil sesuai dengan agama dan keyakinannya, yang kemudian pada Akta Perkawinan pada
halaman belakang akan dicantumkan sesuai dengan penetapan tersebut. Hal ini juga sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Bapak Made Sutrisna S.H., M.Hum., dimana memang
perjanjian perkawinan yang belum dicatatkan dapat dimintakan penetapan ke Pengadilan.
Memang tidak ada aturan khusus dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hal
ini. Namun biasanya Hakim menggunakan analogi dalam melakukan penetapan ini asalkan
tidak merugikan pihak manapun.Mengenai keberlakuan perjanjian perkawinan yang belum
dicatatkan terhadap pihak ketiga sebelum dimintakan penetapan pengadilan, Ny. Ismiati Dwi
Rahayu S.H. berpendapat bahwa perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat mengikat pihak
ketiga karena asas publisitas sehingga pihak ketiga dapat menganggap bahwa terjadi
percampuran harta. Perjanjian perkawinan baru berlaku pada pihak ketiga sejak tanggal
penetapan pengadilan dikeluarkan.
Simpulan
1. Pengaturan perkawinan Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia menurut
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 57 sampai
dengan Pasal 62. Perkawinan tersebut dapat dilangsungkan didalam negeri maupun diluar
negeri. Apabila perkawinan tersebut dilangsungkan di Indonesia maka harus mengikuti
23
Rosa Agustina, et. al, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga, dan Hukum Waris di Belanda dan
Indonesia, Ed 1, (Denpasar : Pustaka Larasan,2012)
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
ketentuan sahnya perkawinan yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974. Sedangkan apabila perkawinan dilakukan diluar negeri maka harus dilakukan
berdasarkan hukum dimana perkawinan tersebut dilangsungkan dan bagi Warga Negara
Indonesia (WNI) tidak melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. sebagaimana yang diatur dalam pasal 56 ayat (1). Untuk pencatatan
perkawinan yang dilangsungkan di wilayah Indonesia berlaku pula ketentuan yang ada
dalam pasal 34 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
2. Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 dan Pasal 139 sampai dengan Pasal 154 KUHPerdata. Berdasarkan
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 ketentuan dalam KUHPerdata dapat
digunakan sepanjang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Menurut
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 perjanjian perkawinan yang telah
dibuat oleh calon suami istri ini harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, yang
dalam hal ini Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam dan Kantor Urusan
Agama (KUA) bagi yang beragama Islam sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 22
tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak,
Rujuk. Mengenai bentuk perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang ini dapat dibuat
dengan akta otentik maupun akta dibawah tangan. Selama perkawinan berlangsung
perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tidak dapat diubah
kecuali ada kesepakatan dari kedua belah pihak dan perubahan tersebut tidak merugikan
pihak ketiga sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (4). Mengenai hal ini dalam Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tidak dibatasi sejauh mana perjanjian perkawinan ini dapat
diubah. Proses pencatatan perjanjian perkawinan pada Kantor Catatan Sipil dilakukan
bersama-sama dengan pembuatan akta perkawinan. Pada saat pencatatan perkawinan akta
perjanjian perkawinan tersebut dilampirkan bersamaan dengan dokumen-dokumen yang
dibutuhkan dalam proses pencatatan perkawinan. Akta perjanjian kawin dan persyaratan
lainnya harus dimasukkan pada Kantor Catatan Sipil paling lambat 14 hari sebelum
perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan yang telah dicatatkan ini mulai berlaku
sesuai dengan tanggal yang tertera pada catatan pinggir register akta perkawinan dan
kutipan akta perkawinan. Apabila tanggal register dan kutipan akta perkawinan berbeda
dengan tanggal yang tertera pada catatan pinggir, maka perjanjian perkawinan mulai
berlaku pada tanggal yang tertera pada catatan pinggir tersebut. Menurut pasal 147
KUHPerdata perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
berlangsung. Tidak dipenuhinya syarat tersebut diancam kebatalan, yang mengakibatkan
bahwa suami dan istri dianggap telah kawin dengan persatuan harta kekayaan secara bulat.
Setelah perkawinan berlangsung berdasarkan ketentuan pasal 149 perjanjian perkawinan
dengan cara bagaimanapun tidak dapat di ubah. Proses pendaftaran perjanjian perkawinan
menurut KUHPerdata yaitu setelah perjanjian perkawinan dituangkan dalam akta otentik
yang dibuat dihadapan notaris, proses selanjutnya adalah perjanjian perkawinan tersebut
didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri menurut ketentuan pasal 152
KUHPerdata. Ketentuan dalam pasal ini menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan
dibukukan dalam suatu register umum pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Apabila
tidak didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri maka perjanjian tersebut hanya
berlaku bagi suami dan istri dan tidak berlaku pada pihak ketiga. Pengaturan yang ada
dalam KUHPerdata lebih lengkap mengatur mengenai perjanjian perkawinan apabila
dibandingkan dengan pengaturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
sehingga apabila ada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang tidak
jelas atau kurang lengkap maka berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 ketentuan dapat KUHPerdata dapat digunakan.
3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 585 K/Pdt/2012 secara garis besar telah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan yang diberikan
hakim pada dasarnya sudah tepat. Tidak dicacatkannya perjanjian perkawinan kepada
Pegawai Pencatat Perkawinan yang dalam hal ini adalah Kantor Catatan Sipil sebagaimana
yang diamatkan dalam pasal 29 ayat (1) tidak serta merta membatalkan perjanjian
perkawinan yang dibuat oleh para pihak. Tidak dicatatkannya perjanjian perkawinan pada
Pegawai Pencatatat Perkawinan tidak berarti bahwa perjanjian perkawinan tersebut tidak
pernah ada sebab sesuai dengan ketentuan pasal 1338 KUHPerdata bahwa suatu perjanjian
berlaku bagi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu bagi
kedua belah pihak perjanjian perkawinan tersebut masih tetap berlaku. Namun akibat
hukum bagi pihak ketiga berbeda dengan akibat hukum bagi kedua belah pihak. Perjanjian
perkawinan yang tidak dicatatkan memiliki akibat bahwa perjanjian tersebut tidak
mengikat pihak ketiga sehingga apabila kedua belah pihak melakukan hubungan hukum
misalnya hutang piutang dengan pihak ketiga maka pihak ketiga dapat menganggap bahwa
dalam perkawinan tersebut terdapat percampuran harta walaupun kedua belah pihak
memiliki perjanjian perkawinan yang isinya terdapat pemisahan harta sama sekali.
Saran
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
1. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975 pengaturannya kurang lengkap sehingga perlu adanya revisi.
2. Sebelum adanya revisi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk
pengaturan yang kurang lengkap dapat kembali merujuk kepada KUHPerdata sesuai
dengan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dimana dapat digunakan
ketentuan yang lama apabila dalam Undang-Undang Perkawinan belum diatur.
3. Pemerintah seharusnya membuat sosialisasi atau membuat peraturan yang isinya mengatur
pasal-pasal mana saja dalam KUHPerdata khususnya mengenai perkawinan yang masih
berlaku dan pasal mana saja yang sudah tidak berlaku supaya ada kepastian hukum
mengingat Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak mencabut
ketentuan yang ada didalam KUHPerdata.
4. Sebaiknya Mahkamah Agung membuat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang
menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak menerima pendaftaran terhadap perjanjian
perkawinan karena dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sudah
ditentukan bahwa pendaftaran seharusnya dilakukan ke Pegawai Pencatatan Perkawinan.
5. Perlu adanya sosialisasi dari Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama di setiap
wilayah bahwa untuk perjanjian perkawinan pendaftarannya dilakukan melalui pegawai
pencatatan perkawinan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya. Sosialisasi ini bisa diadakan
dengan cara penyuluhan hukum misalnya ada penyuluhan sebelum calon suami dan istri
mengadakan perkawinan. Kemudian dalam hal ini juga perlu peran notaris untuk
mengarahkan masyarakat untuk melakukan pencacatan perjanjian perkawinan kepada
pihak yang ditunjuk untuk itu mengingat dalam perjanjian perkawinan peran notaris sangat
dibutuhkan. Pemerintah juga dapat bekerjasama dengan Ikatan Notaris Indonesia untuk
mengadakan penyuluhan mengenai pencatatan perjanjian perkawinan agar sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang ada saat ini.
Kepustakaan
A. BUKU
Abdurrahman dan Riduan Syahrani. Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung :
Percetakan Offset Alumni, 1978.
Agustina, Rosa et. al, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga, dan Hukum Waris di Belanda dan
Indonesia, Ed 1, Denpasar : Pustaka Larasan,2012.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, cet 1,
Jakarta : Rizkita, 2002
Darmabrata, Wahyono. Tinjauan Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta
Undang-undang Dan Peraturan Pelaksanaannya, Cet. 2, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1997.
Hadikusuma, H. Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat
dan Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2007.
HR, Damanhuri. Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, cet. 1
Bandung,2007.Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, CV. Zahi Trading Co,1975.
Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1986.
Nasution, Khoiruddin. Islam tentang Relasi Suami dan Istri (Hukun Perkawinan I), cet. ke-
I.Yogyakarta: ACAdemia dan Tazzafa, 2004.
Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet.1, Jakarta : PT.
Bina Aksara, 1987.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Berbagai-Bagai Masalah Hukum Dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, (Jakarta: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Trisakti.
. Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia,
Surabaya: Airlangga University Press,1988.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Asis Safioedin. Hukum Orang dan Keluarga, Cet.V, Bandung :
Percetakan Offset Alumni, 1986.
Prins, J. Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. 1, (Jakarta : Ghaila Indonesia, 1982), hlm. 80-
81.
Prodjodikoro, R. Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. 6, (Bandung : Penerbit “Sumur
Bandung”, 1974
Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal Centre
Publishing, 2002.
Rahman, Bakri A. dan Ahmad Sukardja. Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam, Undang-undang
Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Jakarta: Hidakarya Agung,1981.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indo Jakarta, 1976), hlm. 35.
Satrio, J. Hukum Harta Perkawinan, cet 1.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.1991.
Sing, Ko Tjay. Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap), Semarang : Seksi Perdata
Barat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1981.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ed.1, cet
10, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, Jakarta : Badan Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press, 2012).
Subekti, Winarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan Keluarga Perdata Barat,
Jakarta : Gitama Jaya, 2005.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermassa,2003
Susanto, Happy. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian: Pentingnya Perjanjian
Perkawinan Untuk Mengantisipasi Masalah Harta Gono-Gini, Cet. 3, (Jakarta: Visimedia
Pustaka, 2008
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, cet. I Jakarata: Kencana, 2006.
Tutik, Titik Triwulan. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Cet. I.(Jakarta : Prestasi Pustaka
Publisher, 2006
Vollmar, Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata, Bandung : Penerbit “Tarsito”, 1982.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5 tahun 1960, LN No. 104
tahun 1960.
. Undang-Undang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, TLN No.
3019.
. Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, UU No. 24 tahun 2013, LN No 232 Tahun 2013.
. Peraturan Pemerintah Perkawinan. PP No. 9 Tahun 1975. LN No. 12 Tahun 1975. TLN
No. 3050.
Subekti, R dan R Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Edisi Revisi. Jakarta: Pradnya
Paramita, 2009.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
C. JURNAL
Onny Medaline, Perjanjian Kawin dalam Perspektif Hukum Nasional (Medan: Jurnal Ilmiah Abdi
Ilmu 346, 2010
D. SKRIPSI DAN TESIS
Laksana, Marshella. Efektivitas Perjanjian Perkawinan yang Tidak Didaftarkan Terhadap Pihak
Ketiga (Analisa Kasus : Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 000 yang Dibuat Dihadapan
Notaris XXX), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia. Depok, 2012.
Rasjid, Ira .”Tinjauan Perjanjian Perkawinan Terhadap Perkawinan Campuran Warga Negara
Indonesia-Warga Negara Australia yang dilangsungkan di New South Wales-Australia,” Tesis
Magister Kenotariatan Universitas Indonesia. Depok, 2013.
Samosir, Astrid Melanie Pinta Uli. Pelaporan Perkawinan Beda Kewarganegaraan pada Catatan
Sipil DKI Jakarta serta Keabsahan Perjanjian Perkawinan yang dilangsungkan di Luar Negeri
(Analisis Tanda Bukti Laporan Perkawinan Campuran Internasional Nomor:
132/KHS/AI/2009/2009), Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia. Depok, 2009.
Sujana, Errica. “Pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan Berlangsung (Analisa
Pe et p Nomor 277/PDT.P/2010/PN.TNG ”, Tesis Magister Kenotariatan Universitas
Indonesia,.Depok, 2013.
Sulpi, “Pembentukan Perjanjian Perkawinan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
te t g Perk wi ”, Tesis Universitas Indonesia. Depok, 2005.
Wahyuni, Hikmah. ”Perjanjian Perkawinan Pada Perkawinan Campuran Internasional sebagai
Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Istri Warga Negara Indonesia (Analisis Kasus : Perjanjian
Perkawinan Di Luar Tiap Persekutuan Harta Kekayaan Nomor 10 tahun 1998),” Tesis
Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, 2006.
Yulianie, Novie. “Upaya Perlindungan Hukum Bagi Istri Warga Negara Indonesia yang
Melangsungkan Perkawinan Campuran,” Tesis Universitas Indonesia. Depok, 2012.
Yunanto, “Akib t Hukum Pe d ft r Perj ji Perk wi terh d p Pih k Ketig ”, Tesis
Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro. Semarang, 2008.
E. INTERNET
Haedah Faradz, Tujuan dan Manfaat Perjanjian Perkawinan,
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/83089196.pdf, diunduh Tanggal 16 Oktober
Hukum Online. Ichtijanto: UU Perkawinan Akui Pluralitas Hukum ,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6272/ichtijanto-uu-perkawinan-akui-pluralitas-
hukum-agama diakses pada 24 Oktober 2014
L’ Agence Consulaire de France, “M ri ge” http://agence-consulaire-bali.org/mariage_id.php,
diunduh pada 6 oktober 2014.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta, “Apa yang Perlu Diketahui Bila anda Menikah
dengan Orang Asing?”, http://www.lbh-apik.or.id/fact-45-nikah%20asing.htm diunduh pada 9
Oktober 2014
F. WAWANCARA
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
Agus Tamim Kepala Seksi Perkawinan Dinas Kependudukan dan Cacatan Sipil Depok. Wawancara 7
November 2014.
Ismiati Dwi Rahayu, S.H Notaris di Depok. Wawancara 14 November 2014
Made Sutrisna S.H, M.Hum., Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Wawancara 28 November
2014.
Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014
top related