a. pencemaran lingkungan perairan pencemaran … · wilayah perairan di dunia.mikroalga yang banyak...
Post on 16-Mar-2019
241 Views
Preview:
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PENCEMARAN LINGKUNGAN PERAIRAN
Pencemaran badan air adalah salah satu jenis pencemaran yang sering
ditemukan di alam. Pencemaran badan air menurut Pustekkom (2005), umumnya
disebabkan oleh limbah domestik, limbah pertanian, dan limbah industri.
1. Limbah Domestik
Limbah domestik dapat berupa sampah organik maupun sampah anorganik.
Sampah organik adalah sampah yang dapat diuraikan atau dibusukkan oleh bakteri,
contohnya sisa-sisa sayuran, buah-buahan, dan daun-daunan. Sedangkan sampah
anorganik adalah sampah yang tidak dapat diuraikan secara biologis (non-
biodegradable), contohnya sampah plastik, gelas, kaca, logam, dan lain-lain.
Menurut Pustekkom (2005), sampah organik yang dibuang ke sungai menyebabkan
berkurangnya jumlah oksigen terlarut, karena sebagian besar digunakan bakteri
untuk proses pembusukannya. Apabila sampah anorganik yang dibuang ke sungai,
cahaya matahari dapat terhalang dan menghambat proses fotosintesis dari tumbuhan
air dan alga yang menghasilkan oksigen. Salah satu sampah anorganik yang umum
mencemari badan air adalah deterjen. Pencemaran deterjen secara besar-besaran
dapat meningkatkan senyawa fosfat pada air sungai atau danau. Fosfat ini
merangsang pertumbuhan alga dan eceng gondok. Pertumbuhan alga (algae
blooming) dan eceng gondok yang tidak terkendali menyebabkan permukaan air
danau atau sungai tertutup sehingga menghalangi masuknya cahaya matahari dan
mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis.
2. Limbah Pertanian
Limbah pertanian umumnya berupa pupuk dan pestisida. Pupuk dan pestisida
biasa digunakan para petani untuk merawat tanaman. Namun pemakaian pupuk dan
pestisida yang berlebihan dapat mencemari air. Limbah pupuk mengandung fosfat
5
yang dapat merangsang pertumbuhan gulma air seperti mikroalga dan eceng gondok.
Pertumbuhan gulma air yang tidak terkendali ini menimbulkan dampak seperti yang
diakibatkan pencemaran oleh deterjen. Limbah pestisida mempunyai aktifitas dalam
jangka waktu yang lama dan ketika terbawa aliran air keluar dari daerah pertanian,
dapat mematikan hewan yang bukan sasaran seperti ikan, udang dan hewan air
lainnya. Pestisida mempunyai sifat relatif tidak larut dalam air, tetapi mudah larut
dan cenderung konsentrasinya meningkat dalam lemak dan sel-sel tubuh mahluk
hidup disebut Biological Amplification, sehingga apabila masuk dalam rantai
makanan konsentrasinya makin tinggi dan yang tertinggi adalah pada konsumen
puncak (Pustekkom, 2005).
3. Limbah Industri
Menurut Suardana (2008), selama 20 tahun terakhir pembangunan ekonomi
Indonesia mengarah kepada industrialisasi. Tidak kurang terdapat 30 000 industri
yang beroperasi di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan.
Peningkatan jumlah ini menimbulkan dampak ikutan yakni terjadinya peningkatan
pencemaran oleh limbah yang dihasilkan dari proses produksi industri.
Salah satu bentuk industri yang banyak ditemukan di Indonesia ialah
agroindustri. Limbah cair agroindustri pada umumnya kaya akan nutrien N (nitrat), P
(fosfat), C (karbon), dan S (sulfat) yang merupakan nutrisi bagi pertumbuhan sel
mikroalga (Kabinawa dan Agustini, 2005). Contoh agroindustri dengan kategori
nutrien tinggi yakni rumah potong hewan (RPH) dan usaha peternakan. Kebanyakan
RPH dan usaha peternakan di Indonesia belum melakukan pengolahan limbah cair
dengan baik, sehingga terjadi pencemaran lingkungan. Bahkan menurut Juheini dan
Sakryanu (1999), sebanyak 56.67% peternak sapi perah di Indonesia membuang
limbah ke badan sungai tanpa pengelolaan. Meskipun begitu terdapat beberapa RPH
dan peternakan yang mengeliminasi kandungan nutrien tinggi pada limbahnya secara
kimiawi. Eliminasi nutrien tanpa usaha pemanfaatan juga diterapkan pada limbah
pabrik gula yang kaya akan unsur karbon. Padahal bila konsep produksi bersih
diterapkan, nutrien pada limbah-limbah tersebut dapat digunakan secara biologis
untuk menumbuhkan mikroorganisme kaya manfaat seperti mikroalga.
6
B. MIKROALGA
1. Definisi Alga dan Mikroalga
Menurut Tootill (1981), alga merupakan sekelompok besar campuran
beberapa tanaman sederhana dan ditemukan secara luas di habitat air laut atau air
tawar, meskipun beberapa alga ada yang hidup di tanah. Pelczar dan Chan (1986)
mendefinisikan alga sebagai organisme yang mampu menghasilkan oksigen melalui
fotosintesis dan mempunyai kloroplas. Alga juga mengandung pigmen lain selain
klorofil untuk melangsungkan fotosintesis. Alga tersebar luas di alam dan dijumpai
hampir di setiap lingkungan yang terkena sinar matahari.
Bentuk dan ukuran alga sangat beragam dari beberapa mikrometer hingga
bermeter-meter panjangnya. Berdasarkan ukurannya, alga dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar yakni makroalga dan mikroalga. Mikroalga (juga lazim disebut
fitoplankton) merupakan kelompok tumbuhan berukuran renik, baik sel tunggal
maupun koloni yang hidup di seluruh wilayah perairan air tawar dan laut (Kawaroe,
2008). Lebih jauh menurut Pirt (1986), mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah
yang berukuran 5 - 30 µm dan jika dibandingkan dengan tumbuhan tingkat tinggi
penghasil minyak nabati melalui fotosintesis, maka mikroalga dapat melakukan
proses yang sama dengan lebih efisien, bahkan memiliki produktifitas yang lebih
tinggi. Menurut NREL (1998), organisme ini dapat dijumpai di hampir seluruh
wilayah perairan di dunia. Mikroalga yang banyak ditemukan berasal dari kelas
Bacillariophyceae (Diatom), Chrysophyceae (alga coklat keemasan), Chlorophyceae
(alga hijau), dan kelas Cyanophyceae (blue green algae/alga biru-hijau).
2. Beberapa Sifat Mikroalga
Mikroalga sebagai bagian dari alga memiliki sifat yang hampir sama dengan
alga lainnya. Beberapa alga yang melakukan fotosintesis dan menggunakan CO2
sebagai sumber karbon dapat tumbuh dengan baik pada tempat gelap dengan
menghabiskan beberapa senyawa organik. Hal ini berarti sifat metabolismenya
berubah dari fotosintesis menjadi respirasi. Perubahan ini tergantung pada
7
keberadaan sinar matahari. Alga yang seluruhnya terbungkus oleh dinding sel adalah
osmotropik. Sumber energi yang digunakan untuk pertumbuhan alga di tempat gelap
tergantung dari keberadaan substrat organik yang terlarut di dalam media. Beberapa
mikroalga yang tidak mempunyai dinding sel dapat menelan bakteri atau organisme
yang lebih kecil (Stanier et al., 1976). Alga menyimpan berbagai produk makanan
cadangan hasil kegiatan fotosintesis sebagai granula di dalam selnya (Pelczar dan
Chan, 1986). Beberapa perbedaan sifat fisiologis antara alga dan bakteri.dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa Perbedaan Sifat Fisiologis antara Alga dan Bakteria
Karakteristik Alga Bakteri
pH optimum 4 – 11 6.5 – 7.5
Suhu optimum 20 – 30oC 20 – 37
oC
Kebutuhan oksigen Aerobik Aerobik atau anaerobik
Cahaya Sebagian besar Sebagian kecil
Sumber karbon Kebanyakan organik Organik dan anorganik
Dinding Sel Sebagian besar selulosa,
beberapa digantikan oleh
xilan dan manan.
Peptidoglikan
a Pelczar dan Chan (1986)
3. Potensi dan Kegunaan Mikroalga
Pada tahun 1980-an, berbagai negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada,
Perancis, Inggris, Jerman, dan Jepang, telah banyak mempublikasikan hasil
penelitian mengenai penanggulangan berbagai limbah cair yakni limbah domestik,
limbah agroindustri, limbah pedesaan, dan sebagainya, dengan memanfaatkan
mikroalga jenis Chlorella, Scenedesmus, Phormidium, dan Spirulina (Oswold, 1985;
Oswold et al., 1988; Benemann et al., 1987; Proulx dan Noue, 1988; Noue dan
Proulx, 1988). Hal ini mereka lakukan karena mikroalga dapat tumbuh dalam kondisi
pertumbuhan alternatif dengan daya adaptasi yang kuat (Vonshak, 1985). Mikroalga
bersama dengan bakteri mampu mengatur keseimbangan antara oksigen terlarut
dengan karbondioksida dalam perairan (Fallowfield dan Garret, 1985).
Menurut Loehr (1974), alga dapat menyimpan kelebihan nutrien dalam massa
selnya. Oleh karena itu, alga dapat digunakan sebagai alat untuk mengambil
8
beberapa nutrien yang terdapat pada hasil buangan atau limbah cair. Pengambilan
nutrien dalam sistem alga akan memberikan hasil yang baik apabila tersedia tanah
yang cukup luas, cukup mendapatkan sinar matahari, dan jenis alga yang
ditumbuhkan cukup mudah dipanen dan dimanfaatkan.
Diantara mikroorganisme yang melakukan fotosintesis, mikroalga merupakan
mikroorganisme yang paling efisien dalam menggunakan sinar matahari, yaitu
sekitar 7 persen dengan kemampuan produksi 60-80 ton berat kering/ha/tahun,
sedangkan produktivitas tanaman budidaya secara konvensional berkisar antara 10-
30 ton berat kering/ha/tahun (Kabinawa, 2008).
Mikroalga merupakan sumber penting berbagai komponen dasar produk
kimia yang digunakan dalam industri makanan dan farmasi (De Rosa, 2001), maupun
sebagai biomarker untuk identifikasi komponen organik sedimen di laut (Borowitzka
dan Borowitzka, 1992). Protein, asam amino, vitamin, polisakarida dan karbohidrat
yang diekstrak dari mikroalga telah digunakan untuk suplemen (Rauter et al., 2005).
Semua komponen tersebut dihasilkan dari proses fotosintesis dan turunannya.
Kultivasi mikroalga sebagai bahan baku biodiesel, menurut Suri (2006)
memiliki beberapa keuntungan, antara lain adalah:
1. Kelimpahan mikroalga di dunia sangat besar baik dari keanekaragaman maupun
jumlahnya per satuan luas yang sama.
2. Produktivitas mikroalga 2-5 kali lebih cepat dibandingkan tumbuhan pertanian
penghasil biofuel lainnya dalam luas lahan yang sama.
3. Dapat dikultivasi pada air kualitas rendah seperti limbah dari fasilitas
pengolahan air bersih.
4. Sistem mikroalga dapat digunakan untuk mengurangi CO2 di atmosfer.
5. Banyak spesies mikroalga untuk biofuel memiliki potensi untuk menghasilkan
produk-produk bermanfaat, seperti colorants, polyunsaturated fatty acid, dan
senyawa bioaktif yang berperan penting sebagai bahan teknologi pangan,
farmasi, suplemen makanan, dan produk perawatan tubuh.
6. Setelah proses ekstraksi, sekitar 80% biomassa yang tersisa dapat digunakan
untuk memproduksi metil ester untuk biodiesel. Dengan demikian, mikroalga
memiliki potensi dan keuntungan yang menjanjikan untuk dikembangkan,
terutama di wilayah Indonesia yang 70% di antaranya berupa perairan laut.
9
Sel-sel mikroalga mengandung lipid (trigliserida) sebesar 7.2 – 23% (FAO,
1996). Namun melalui modifikasi komposisi nutrien kandungan trigliserida dapat
ditingkatkan hingga maksimum mencapai 61% (Kabinawa, 2008). Trigliserida ini
kemudian dapat dipakai dalam produksi metil ester yakni biodiesel.
Selain mikroalga, trigliserida nabati lain yang dapat dikonversi menjadi
biodiesel umumnya berasal dari tanaman jarak, bunga matahari, safflower, kelapa,
kelapa sawit, dan kacang kedelai. Namun jika dilihat dari jumlah trigliserida per
hektar per tahun, maka mikroalga jauh lebih unggul (lihat Tabel 2 berikut).
Tabel 2. Perbandingan Hasil Produksi Trigliserida Berbagai Tanamana
Jenis Tanaman Trigliserida (L/ha/tahun)
Jarak 1 413
Bunga Matahari 952
Safflower (Chartamus tinctorius) 779
Kelapa Sawit 5 950
Kedelai 446
Kelapa 2 689
Alga (Mikroalga) 100 000 a
Kabinawa (2008)
4. Komposisi Sel Mikroalga
Komposisi nutrisi berbagai jenis mikroalga sangat tergantung pada ukuran
sel, daya cerna, produksi senyawa toksin, serta komposisi biokimianya. Walaupun
komposisi nutrisi pada setiap mikroalga berbeda, protein tetap merupakan senyawa
yang dominan, kemudian diikuti oleh lipid dan karbohidrat (FAO, 1996).
Selain faktor nutrisi di atas, mikroalga juga merupakan sumber pangan yang
kaya akan asam askorbat (0.11 – 1.62%). Menurut Benemann et al. (1979),
komposisi komponen utama mikroalga (protein, lipid, dan karbohidrat) sangat
beragam. Hal ini tergantung pada kondisi kultur (FAO, 1996). Kosaric et al. (1974)
mendukung pernyataan tersebut dengan melakukan pendekatan modifikasi kondisi
kultur yang menghasilkan keragaman komposisi kimia sel alga. Menurut FAO
(1996), kandungan protein per sel merupakan faktor terpenting penentu komposisi
nutrisi mikroalga tersebut (lihat Tabel 3).
10
Tabel 3. Keragaman Komposisi Kimia Sel Alga Selama Pertumbuhan
Komponen Kisaran Komposisi
Ia II
b III
c
Protein 8 – 50 7 – 85 12 – 35
Lipid 1 – 86 4 – 86 7.2 – 23
Karbohidrat 4 – 40 5 – 38 4.6 – 23
Abu 4 – 45
a Benemann et al. (1979)
b Kosaric et al. (1974)
c FAO (1996)
Fogg et al. (1974) menjelaskan bahwa komponen lipid dalam mikroalga yang
beragam (khususnya mikroalga hijau-biru), banyak terdapat di bagian lamela
fotosintesis. Lipid ini terlibat dalam transport elektron, pengambilan cahaya
sekaligus perlindungan terhadap cahaya yang berlebihan, dan kemungkinan besar
juga berperan pada proses evolusi oksigen. Komponen lipid dalam mikroalga terbagi
atas beberapa kategori yaitu klorofil, karotenoid, digliserida, quinon, dan sterol.
Selain kelima kategori ini terdapat pula lipid droplet yang menyebar diantara tilakoid
sel dan didekat permukaan sel. Menurut Lang (1968), lipid droplet ini mirip dengan
lipid kloroplas namun memiliki wujudnya lebih tebal dengan inti yang lebih kecil.
Loehr (1974) memberikan perbandingan komposisi kimia (formulasi sel)
alga, bakteri, dan jamur, yang diperoleh dari rata-rata data empiris (lihat Tabel 4).
Tabel 4. Perbandingan Komposisi Kimia Mikroalga, Bakteri, dan Jamur a
Organisme Komposisi Kimia
Mikroalga C106H180O45N16P
Bakteri C5H7O2N atau C75H105O30N15P
Jamur C10H17O6N
a Loehr (1974)
5. Kebutuhan Nutrien dalam Kultur Mikroalga
Nutrien merupakan substansi yang dibutuhkan oleh mikroalga untuk tujuan
sintesis komponen organik sel bagi pertumbuhan. Pengambilan nutrien oleh sistem
mikroalga biasanya dipengaruhi beberapa faktor, antara lain densitas populasi alga,
konsentrasi nutrien, dan kondisi lingkungan (Kosaric et al., 1974). Namun menurut
11
Richmond (1986), konsentrasi nutrien yang optimal bagi pertumbuhan strain
mikroalga tertentu sangat bervariasi tergantung pada kerapatan populasi, intensitas
matahari, suhu, dan pH media.
Richmond (1986) telah mengindentifikasi adanya dua perubahan akibat
kekurangan nutrien pada kultur mikroalga, yaitu penurunan laju pertumbuhan dan
atau perubahan komposisi kimia selnya.
a. Sumber Karbon
Bentuk karbon utama yang digunakan oleh alga adalah CO2, bahkan beberapa
peneliti yakni bahwa hanya CO2 yang dapat digunakan secara langsung oleh alga
(Richmond, 1986). Alga mendapatkan CO2 melalui absorpsi dari udara, hasil
respirasi organisme, dan alkalinitas senyawa bikarbonat (Loehr, 1974).
Karbondioksida di dalam air bisa berbentuk senyawa gabungan C, H, dan O,
yakni H2CO3, HCO3-, atau CO3
= yang konsentrasinya tergantung nilai pH air
(Richmond, 1986).
b. Sumber Nitrogen
Unsur yang sangat penting dalam pembentukan sel mikroalga setelah C, H,
dan O adalah nitrogen (N). Kebanyakan mikroalga mempunyai kemampuan
menggunakan ammonium (NH4), nitrat (NO3-), dan nitrit (NO2), sedangkan
kemampuan mengikat nitrogen dari udara hanya dimiliki oleh mikroalga prokariotik
(Richmond, 1986). Sumber N terutama nitrat oleh mikroalga diperlukan sebagai
makronutrisi untuk sintesis protein, pembentukan klorofil, asam nukleat (DNA dan
RNA), demikian juga dalam sintesis asam-asam lemak tak jenuh seperti omega-6
(Sasson, 1991).
Beberapa mikroalga dapat menggunakan berbagai senyawa N-organik seperti
amida, urea, glutamin, dan asparagin sebagai sumber N (Richmond, 1986).
c. Sumber Fosfor
Fosfor merupakan salah satu elemen utama yang diperlukan untuk
pertumbuhan mikroalga secara normal. Menurut Richmond (1996) kekurangan fosfor
dapat menyebabkan perubahan morfologi sel seperti perubahan bentuk dan ukuran
12
sel, karena fosfor berperan dalam transfer energi dan sintesa asam nukleat. Bentuk
fosfor utama yang digunakan mikroalga adalah P-anorganik.
d. Makronutrien Lain
Makronutrien lain yang esensial bagi pertumbuhan mikroalga yakni Ca, Mg,
Na, K, S, dan Cl. Khusus untuk sulfur (S), Edmonds (1978) menyatakan bahwa
sulfur juga merupakan unsur yang diperlukan oleh mikroalga untuk melakukan
biosintesa. Sulfur ditemukan di dalam sel dalam bentuk asam amino tertentu yang
strukturnya mengandung gugus sulfohydril (-SH), misalnya sistin, sistein, dan
metionin.
e. Mikronutrien
Beberapa mikronutrien esensial terhadap pertumbuhan alga dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Beberapa Mikronutrien dan Peranannya pada Pertumbuhan Mikroalgaa
Unsur Peranan
Besi (Fe) Asimilasi nitrogen, fotosintesis, sintesa pigmen
fotosintesis utama (klorofil-A)
Bohr (B) Diperlukan oleh beberapa cyanobacteria dan diatom,
tetapi tidak diperlukan oleh alga hijau.
Mangan dan Tembaga
(Mn dan Cu)
Komponen penting dalam transfer elektrom fotosintesis,
sebagai komponen dan kofaktor beberapa enzim dan
diperlukan oleh semua alga.
Molibden (Mo) Diperlukan alga untuk reduksi nitrat dan fiksasi nitrogen
Vanadium (V) Penting bagi alga tertentu.
Kobalt (Co) Diperlukan beberapa alga Cyanobacterium, seperti
Calotrix parientina, Coccochloris peniocystic,
Diplocystis aeruginosa.
Silikon Komponen utama dinding sel diatom
Selenium Meningkatkan Cyanobacterium dan menurunkan diatom a Richmond (1986)
Selain logam-logam mineral diatas, mikronutrien lain yang juga sangat
penting bagi pertumbuhan mikroalga adalah thiamin (vitamin B1), cyanocobalamin
(vitamin B12), dan terkadang biotin (FAO, 1996). Menurut Richmond (1986),
13
vitamin B12 dan thiamin (vitamin B1) diperlukan secara terpisah atau bersama, tetapi
vitamin B12 lebih sering diperlukan dibanding dengan thiamin.
Produksi mikroalga dalam jumlah besar dapat dilakukan dengan media
alternatif berupa kombinasi berbagai pupuk dengan komposisi nutrien yang paling
esensial bagi pertumbuhan mikroalga (lihat Tabel 6).
Tabel 6. Berbagai Kombinasi Pupuk untuk Kultur Mikroalga Skala Besar a
Pupuk Konsentrasi (mg/L)
A B C D E F
Ammonium Sulfat 150 100 300 100 - -
Urea 7.5 5 - 10-15 - 12-15
Kalsium Superfosfat 25 15 50 - - -
Clewat 32 - 5 - - - -
N : P 16/20 - - - 10-15 - -
N : P : K, 16-20-20 - - - - 12-15 -
N : P : K, 14-14-14 - - - - - 30 a FAO (1996)
6. Kondisi Kultur Mikroalga
Secara umum kondisi umum kultur mikroalga dapat dilihat pada Tabel 7
dibawah ini.
Tabel 7. Beberapa Kondisi Umum Kultur Mikroalga a
Parameter Kisaran Nilai Optimal
Temperatur (oC) 16 – 27 18 – 24
Salinitas (g.l-1) 12 – 40 20 – 24
Intensitas Cahaya (lux) 1 000 – 10 000
(tergantung volum dan
densitas)
2 500 – 5 000
Periode Pencahayaan
(terang; gelap, jam)
- 16 : 8 (minimum)
24 : 0 (maximum)
pH 7 – 9 8.2 – 8.7 a
Anonim (1991)
a. Cahaya
Seperti tumbuhan lainnya, mikroalga juga berfotosintesis. Mikroalga mampu
mengasimilasi karbon inorganik untuk dikonversi menjadi senyawa-senyawa
14
organik. Oleh karena itu sangat penting untuk memperhatikan intensitas cahaya,
kualitas spektrum, serta periode pencahayaan dalam sistem kultur mikroalga.
Kebutuhan intensitas cahaya dalam kultur mikroalga tergantung kedalaman kultur
serta densitas kultur. Pada kedalaman dan konsentrasi sel yang lebih tinggi, intensitas
cahaya harus ditingkatkan agar penetrasi ke mikroalga merata. Sumber cahaya bagi
kultur mikroalga dapat berupa sinar matahari langsung ataupun sinar lampu
fluorescent. Pencahayaan harus diatur agar tidak menghasilkan panas yang
berlebihan/overheating (FAO, 1996).
b. pH
Kisaran pH untuk kebanyakan kultur mikroalga yakni antara pH 7 dan 9,
dengan kisaran optimal antara pH 8.2 dan 8.7. Kegagalan kultur akibat gangguan
proses selular dapat diakibatkan oleh kegagalan dalam mengatur pH yang sesuai.
Pengaturan pH dapat dilakukan dengan aerasi. Pada kasus kultur mikroalga densitas
tinggi, penambahan CO2 dapat meningkatkan pH hingga pH 9 selama pertumbuhan
mikroalga (FAO, 1996).
c. Aerasi/Mixing
Mixing dibutuhkan untuk mencegah sedimentasi mikroalga, menjamin
seluruh sel mikroalga terpapar cahaya dan nutrien, mencegah stratifikasi termal
(khususnya untuk kultur outdoor), serta untuk meningkatkan intensitas pertukaran
gas antara media kultur dengan udara bebas. Pertukaran gas ini penting untuk
menjamin ketersediaan sumber karbon dalam bentuk CO2. Untuk kultur yang sangat
padat, CO2 dari udara membentuk busa dalam kultur akan menjadi faktor pembatas
pertumbuhan mikroalga, sehingga CO2 dapat ditambahkan ke suplai udara.
Penambahan CO2 ke dalam air akan menghasilkan efek buffer terhadap perubahan
pH akibat adanya keseimbangan CO2/HCO3-. Berdasarkan skala sistem kultur yang
diterapkan, mixing dapat dilakukan dengan pengadukan manual (pada kultur dalam
tabung uji atau erlenmeyer), aerasi (pada kultur dalam wadah atau tangki), ataupun
kincir air dan pompa air (pada kultur dalam kolam). Namun, perlu dicatat bahwa
tidak semua mikroalga toleran terhadap pengadukan/mixing cepat (FAO, 1996).
d. Suhu
Suhu optimal untuk
24oC. Namun suhu ini dapat bervariasi tergantung komposisi media kultur serta
spesies dan strain mikroalga. Kebanyakan spesies mikroalga yang biasa dikultur
toleran terhadap kisaran suhu 16 hingga 27
16oC pertumbuhan mikroalga akan melambat, sebaliknya pada suhu yang lebih tinggi
dari 35oC, banyak spesies yang akan mati. Jika diperlukan, kultur mikroalga dapat
didinginkan dengan aliran air dingin (
1996).
e. Salinitas
Khusus untuk fitoplankton laut tentunya sangat toleran terhadap perubahan
salinitas. Kebanyakan spesies mikroalga tumbuh baik pada tingkat salinitas yang
sedikit lebih rendah dari habitat aslinya. Salinitas optimal u
yakni sebesar 20 – 24 g.l
f. Kolam Kultivasi
Menurut peneliti mikroalga dari LIPI, Kabinawa (2008), kultur mikroalga
secara komersial dapat dilakukan
Gambar 1) atau raceway
Gambar 1. Kolam Kultur Berbentuk Bulat/Oblong (Kabinawa, 2008).
Suhu optimal untuk kultur fitoplankton umumnya berkisar antara 20 hingga
C. Namun suhu ini dapat bervariasi tergantung komposisi media kultur serta
mikroalga. Kebanyakan spesies mikroalga yang biasa dikultur
toleran terhadap kisaran suhu 16 hingga 27oC. Pada suhu yang lebih rendah dari
C pertumbuhan mikroalga akan melambat, sebaliknya pada suhu yang lebih tinggi
C, banyak spesies yang akan mati. Jika diperlukan, kultur mikroalga dapat
didinginkan dengan aliran air dingin (refrigerated) pada permukaan kultur (FAO,
Khusus untuk fitoplankton laut tentunya sangat toleran terhadap perubahan
salinitas. Kebanyakan spesies mikroalga tumbuh baik pada tingkat salinitas yang
sedikit lebih rendah dari habitat aslinya. Salinitas optimal untuk kultur mikroalga
24 g.l-1 (FAO, 1996).
Kolam Kultivasi
Menurut peneliti mikroalga dari LIPI, Kabinawa (2008), kultur mikroalga
secara komersial dapat dilakukan dalam kolam yang berbentuk bulat
raceway (kolam lanset).
Gambar 1. Kolam Kultur Berbentuk Bulat/Oblong (Kabinawa, 2008).
Pengaduk
Arah Pengadukan
Bubbling
10 m
r = 25 m
15
kultur fitoplankton umumnya berkisar antara 20 hingga
C. Namun suhu ini dapat bervariasi tergantung komposisi media kultur serta
mikroalga. Kebanyakan spesies mikroalga yang biasa dikultur
Pada suhu yang lebih rendah dari
C pertumbuhan mikroalga akan melambat, sebaliknya pada suhu yang lebih tinggi
C, banyak spesies yang akan mati. Jika diperlukan, kultur mikroalga dapat
rmukaan kultur (FAO,
Khusus untuk fitoplankton laut tentunya sangat toleran terhadap perubahan
salinitas. Kebanyakan spesies mikroalga tumbuh baik pada tingkat salinitas yang
ntuk kultur mikroalga
Menurut peneliti mikroalga dari LIPI, Kabinawa (2008), kultur mikroalga
am yang berbentuk bulat/oblong (lihat
Gambar 1. Kolam Kultur Berbentuk Bulat/Oblong (Kabinawa, 2008).
Pengaduk
Arah Pengadukan
Bubbling
r = 25 m
16
Menurut Chisti (2007), kolam raceway berbentuk saluran resirkulasi berulang
tertutup dengan ukuran tinggi media tipikal sebesar 0.3 m (30 cm). Pengadukan dan
sirkulasi biasanya dilakukan oleh sebuah roda siduk (paddlewheel) untuk mencegah
terjadinya pengendapan mikroalga. Aliran dalam kolam dibantu oleh baffle yang
diletakkan sedemikian rupa sehingga aliran dapat berulang. Kabinawa (2008)
menjelaskan bahwa pengadukan serta bubbling (gelembung udara + CO2 1%) secara
kontinyu dilakukan agar sel tidak mengendap, tidak terjadi self shiding, stratifikasi
suhu, dan homogenitas media (lihat Gambar 2).
Gambar 2. Kolam Kultur Berbentuk Raceway (Chisti, 2007).
7. Teknik Kultivasi Mikroalga
Secara teknis, menurut Anonim (2009), kondisi kultivasi mikroalga dapat
dibagi menjadi beberapa kategori yakni berdasarkan lokasi kultivasi
(indoor/outdoor), tertutup/terbuka, axenic/non-axenic, dan laju supply nutrien
(batch/semi continuous/continuous).
a. Kultur Indoor
Pada kultur jenis ini, berbagai faktor kritis terhadap pertumbuhan mikroalga
dapat dikontrol. Faktor-faktor tersebut antara lain cahaya, suhu, kadar nutrien, dan
kontaminasi.
17
b. Kultur Outdoor
Kultur jenis ini memberikan masalah dalam memelihara mikroalga secara
spesifik dalam jangka waktu lama.
c. Kultur Terbuka (Opened Culture)
Contoh kultur jenis ini yakni tangki, kolam, atau bak kultivasi yang tidak
memiliki penutup. Sebagai konsekuensinya, kontaminasi pada teknik kultur ini lebih
mudah terjadi.
d. Kultur Tertutup (Closed Culture)
Kultur jenis ini dapat diterapkan dengan menggunakan wadah tertutup
seperti tabung, flask, carboys, atau kantong. Adanya tutup membuat kultur ini tidak
mudah terkontaminasi.
e. Kultur Axenic
Pengkondisian kultur secara axenic (bebas organisme asing) memang
menguntungkan pada pelaksanaan skala laboratorium. Namun dalam pelaksanaan
secara komersial kultur seperti ini tidak praktis.
f. Kultur Non-Axenic
Pada kultur non-axenic terdapat organisme asing (seperti bakteri atau
mikroalga kompetitor) yang berbagi nutrien di dalam kultur. Pelaksanaan secara
komersial tentu lebih praktis, namun kontrol terhadap kontaminan penghambat
pertumbuhan menjadi masalah.
g. Kultur Batch
Pada kultur ini inokulasi sel ke dalam media nutrisi dilakukan hanya satu kali.
Sehingga terdapat fase pertumbuhan lengkap mulai dari fase lag hingga fase
kematian. Pemanenan mikroalga dilakukan pada fase stasioner.
18
h. Kultur Semi Continuous
Pemanenan mikroalga pada kultur ini dilakukan secara periodik diikuti
penambahan nutrien yang disesuaikan dengan volume kultur semula.
i. Kultur Continuous
Pada kultur sinambung (continuous) ini, suplai nutrien secara kontinu
diumpankan ke dalam kultur pertumbuhan, dan buangan kultur dibasuh secara
simultan. Akibatnya laju pertumbuhan mikroalga pada teknik ini dapat mendekati
laju pertumbuhan maksimum. Lebih jauh, kultur ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
• Kultur Turbidostat � konsentrasi mikroalga dijaga pada level tertentu dengan
cara mengencerkan kultur dengan medium baru secara otomatis.
• Kultur Kemostat � laju penambahan medium baru diatur sedemikian rupa
sehingga laju pertumbuhan mikroalga konstan (bukan kepadatannya).
Secara umum, perbandingan kelebihan dan kekurangan berbagai tipe teknis
kultivasi mikroalga diatas dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Perbandingan Berbagai Tipe Teknis Kultivasi Mikroalga a
Tipe Kultur Kelebihan Kekurangan
Indoor Dapat dikontrol (predictable) Mahal
Outdoor Murah Sulit dikontrol
(less predictable)
Tertutup Kontaminasi kurang Mahal
Terbuka Murah Mudah kontaminasi
Axenic Predictable Mahal, sulit
Non-axenic Murah, mudah Less predictable
Continuous Efisien, menyediakan suplai
sel berkualitas tinggi yang
konsisten, laju produksi
tinggi
Sulit, harga peralatan dapat
sangat tinggi
Semi Continuous Lebih mudah, agak efisien Kualitasnya bervariasi
Batch Paling mudah Tidak efisien, kualitas dapat
tidak konsisten a Anonim (2009)
19
8. Dinamika Pertumbuhan Mikroalga
Karakteristik pertumbuhan kultur mikroalga dapat digambarkan melalui lima
fase sebagai berikut (lihat Gambar 3):
Gambar 3. Karakteristik Pertumbuhan Kultur Mikroalga (FAO, 1996)
a. Fase – fase Pertumbuhan Mikroalga
• Fase Lag atau Fase Induksi
Fase ini relatif panjang, namun bila inokulasi dilakukan dengan kultur
mikroalga yang sedang mengalami pertumbuhan eksponensial, fase lag akan menjadi
singkat. Fase lag dalam pertumbuhan mikroalga disebabkan oleh adaptasi fisiologi
metabolisme sel untuk tumbuh. Sebagai contoh mikroalga akan meningkatkan level
enzim dan metabolit yang terlibat dalam pembentukan sel dan fiksasi karbon.
• Fase Eksponensial
Selama fase kedua ini, densitas sel meningkat sebagai fungsi waktu t dalam
fungsi logaritma.
Ct�= C0.e�m.t
Dimana Ct dan C0 adalah konsentrasi sel pada waktu ke-t dan ke-0, dan m
adalah tingkat pertumbuhan spesifik. Tingkat pertumbuhan spesifik ini tergantung
pada spesies mikroalga, intensitas cahaya, dan suhu kultur.
• Fase Penurunan Laju Pertumbuhan
Pembentukan sel menurun ketika nutrien, cahaya, pH, karbon dioksida, dan
faktor-faktor fisik dan kimia yang menjadi faktor pembatas pertumbuhan.
20
• Fase Stationery
Pada tahap keempat ini, faktor-faktor pembatas dan faktor pertumbuhan
berada dalam keadaan seimbang, sehingga densitas sel mikroalga menjadi konstan.
• Fase Kematian
Selama tahap final ini, kualitas air memburuk dan nutrien menurun hingga ke
level yang tidak memungkinkan bagi mikroalga untuk tumbuh. Densitas sel akan
menurun dengan cepat dan kultur akan mati.
b. Faktor Pembatas Pertumbuhan Mikroalga
Menurut Fogg (1975), fase pertumbuhan eksponensial mikroalga pada kultur
volume yang terbatas akan berakhir. Beberapa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroalga yakni kehabisan nutrien, laju suplai CO2 dan O2, perubahan
pH, intensitas cahaya, serta auto-inhibisi.
• Kehabisan Nutrien
Fogg (1975) menerangkan bahwa nitrat dan besi biasanya membatasi
pertumbuhan eksponensial mikroalga. Penambahan nutrien tersebut dapat
memperpanjang fase eksponensial sampai terjadi faktor pembatas lain. Besi
unchelated ferric diendapkan sebagai fosfat dalam media basa. Bentuk besi tersebut
tidak tersedia cukup banyak pada mikroalga, sehingga sulit menjamin kecukupan
suplai besi. Pemberian bahan pengkelat seperti ethylene diamine tetraacetic acid
(EDTA) atau versene memungkinkan jumlah ion besi dan unsur kelumit (trace
element) cukup tersedia untuk memperpanjang pertumbuhan eksponensial tanpa
memberikan efek toksik. Vitamin B12 juga merupakan faktor pembatas pertumbuhan
eksponensial mikroalga.
• Laju Suplai CO2 atau O2
Laju difusi CO2 dari udara ke dalam media menjadi pembatas pertumbuhan
kultur mikroalga pada densitas populasi yang rendah. Peningkatan laju aerasi kultur
secara pengocokan atau pengadukan, atau penggelembungan udara akan
21
memperpanjang pertumbuhan eksponensial. Suplai CO2 udara yang diperkaya,
diperlukan untuk menjaga pertumbuhan eksponensial kultur padat mikroalga. Kultur
mikroalga biasanya mensuplai 1 – 5 persen CO2, tetapi konsentrasi setinggi itu bisa
menimbulkan efek inhibisi pada beberapa spesies mikroalga seperti Anabaena
cylindrica. Lebih lanjut dikatakan bahwa oksigen juga dapat menjadi faktor
pembatas pada kultur mikroalga heterotrop dan aerasi dapat memperpanjang
pertumbuhan eksponensial (Fogg, 1975).
• Perubahan pH
Perubahan pH media disebabkan oleh penyerapan komponen tertentu.
Penyerapan garam-garam atau ion ammonium sebagai sumber nitrogen
menyebabkan penurunan pH (media terlalu asam). Penyerapan ion nitrat
menyebabkan peningkatan pH, tetapi hal ini dapat disangga dengan pengambilan
CO2 oleh media, sehingga jarang mempengaruhi pertumbuhan. Keterbatasan CO2
merangsang penggunaan bikarbonat dalam fotosintesis yang dapat meningkatkan pH
media hingga pH 11 atau lebih sehingga pertumbuhan mikroalga terhenti.
Penggunaan beberapa asam organik tanpa memperhatikan jumlah kation juga
meningkatkan pH, sehingga media terlalu basa (Fogg, 1975).
• Kekurangan Cahaya
Fogg (1975) menyatakan bahwa sinar matahari tidak dapat diterima secara
penuh pada kultur mikroalga yang padat, sehingga fotosintesis hanya dilakukan oleh
sel alga yang terletak di bagian atas atau permukaan media. Kultur yang sangat padat
menyebabkan bagian bawah media menjadi gelap, sehingga pertumbuhan
eksponensial berubah menjadi pertumbuhan linier, yaitu pertumbuhan yang
proporsional dengan waktu, sampai timbul faktor pembatas lain.
• Autoinhibisi
Beberapa alga terbukti menghasilkan bahan-bahan toksik terhadap dirinya
dalam proses metabolismenya. Akumulasi bahan beracun tersebut mengakibatkan
pertumbuhan eksponensial terhenti. Kasus autoinhibisi dalam kultur tidak murni
telah ditemukan pada beberapa mikroalga, misalnya Nostoc punctiforme, Chlorella
22
vulgaris, dan Nitzschia palea (Fogg, 1975). Jika terjadi autoinhibisi, pertumbuhan
akan terhenti pada saat konsentrasi sel tertentu telah tercapai. Kasus ini dapat diatasi
dengan melakukan pemanenan mikroalga atau pengenceran media tanpa
menambahkan nutrien.
FAO (1996) menambahkan bahwa intensitas cahaya yang terlalu tinggi juga
dapat mengakibatkan autoinhibisi cahaya (foto-inhibisi).
9. Proses Pemanenan/Pemisahan Mikroalga
Shelef et al. (1984) mengemukakan bahwa terdapat empat macam teknik
pemanenan/pemisahan yang lazim dipakai untuk memanen mikroalga, yakni filtrasi
dan screening, sedimentasi, flotasi dan sentrifugasi. Terdapat berbagai macam
pengembangan pada masing-masing teknik tersebut sehingga proses pemisahan
mikroalga berjalan lebih baik. Namun sebagai prosedur rutin sebelum memasuki
tahap pemisahan tersebut, biasanya diadakan koagulasi dan flokulasi mikroalga.
Koagulasi menurut Clark et al. (1977) merupakan proses menurunkan gaya
elektrostatik pada permukaan partikel dan elektrolit dalam larutan. Sedangkan
flokulasi menurut Steel dan McGhee (1985) meningkatkan penggabungan antar
partikel yang goyah (tidak stabil) sehingga meningkatkan kemampuan aglomerasi.
Koagulan yang lazim dipakai pada proses koagulasi dan flokulasi mikroalga
skala lapangan ialah alum (Al2(SO4)3. 14 H2O). Alum banyak sekali digunakan pada
berbagai tujuan untuk menghilangkan padatan tersuspensi dan bersifat stabil
(Eckenfelder, 1989). Namun aplikasi alum dalam koagulasi dan flokulasi memiliki
kekurangan yakni kesadahan meningkat sangat cepat, CO2 terlarut meningkat, serta
terjadi pembentukan koloid (Vazirani dan Chandola, 1980), meskipun aplikasi
dengan alum masih cukup banyak dilakukan. Untuk mengatasi kekurangan alum,
direkomendasikan Poly Aluminium Chloride (PAC) sebagai pengganti. PAC adalah
polimer anorganik dengan daya reaktif tinggi dan memiliki basicity 50% yang
memungkinkan untuk bereaksi lebih cepat dibandingkan koagulan anorganik
berbasis alum lainnya. PAC sangat baik digunakan untuk air alkalinitas rendah yang
membutuhkan penghilangan warna dan reaksi cepat (Eaglebrook Inc., 1999).
top related