1 laporan penelitian i tuung kuning dan putri pucuk...
Post on 08-Aug-2021
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
I TUUNG KUNING DAN PUTRI PUCUK GELUMPANG
(SEBUAH
TJOK. ISTRI AGUNG MULYAWATI R.
LAPORAN PENELITIAN
I TUUNG KUNING DAN PUTRI PUCUK GELUMPANG
(SEBUAH KAJIAN STRUKTUR DAN PERBANDINGAN)
OLEH :
TJOK. ISTRI AGUNG MULYAWATI R.
NIP 19590717 198601 2001
PROGRAM STUDI SASTRA BALI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
1
I TUUNG KUNING DAN PUTRI PUCUK GELUMPANG
STRUKTUR DAN PERBANDINGAN)
TJOK. ISTRI AGUNG MULYAWATI R.
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat - Nyalah penelitian
yang berjudul cerita prosa rakyat “I Tuung Kuning (Bali) dan Putri Pucuk
Gelumpang (Aceh) sebuah Kajian Struktur dan Perbandingan” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kinerja
dosen dalam bidang penelitian.
Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna
menyempurnakan penelitian ini.
Penulis
i
3
Cerita Prosa Rakyat I Tuung Kuning Dan Putri Pucuk Gelumpang
(Sebuah Kajian Struktur dan Perbandingan)
Oleh
Tjok. Istri Agung Mulyawati R.
NIP: 19590717 198601 2001
ABSTRAK
Cerita I Tuung Kuning merupakan cerita prosa rakyat dari Bali, sedangkan
cerita Putri Pucuk Gelumpang merupakan cerita prosa rakyat dari Aceh.
Dalam penelitan ini pertama mengumpulkan data dari kedua cerita
tersebut. Setelah data terkumpul barulah dianalisis dari segi struktur dan
perbandingannya.
Dari hasil kajian struktur kedua cerita tersebut setelah keduanya
dibandingkan maka dapatlah dilihat adanya persamaan dan perbedaannya.
Persamaannya terletak pada motif/tema cerita yaitu seorang ayah tidak
menginginkan memiliki anak perempuan
Dalam cerita I Tuung Kuning, si ayah tidak menginginkan memiliki anak
perempuan. Ini terlihat saat dia pergi merantau dia berpesan kepada istrinya yang
sedang hamil kalau anaknya lahir laki-laki agar dipelihara dengan baik, kalau lahir
wanita agar dibunuh untuk menjadi makanan ayam peliharaannya
Untuk menyelamatkan bayi yang ternyata lahir perempuan, maka
disembunyikan dengan menitip pada ibunya.
Demikian juga dalam cerita Putri Pucuk Gelumpang, Sang Juragan
sebelum pergi berdagang berpesan kepada istrinya yang sedang hamil bahwa
kalau anaknya lahir laki-laki agar membunyikan rantai perak. Jika yang lahir
perempuan agar membunyikan rantai tembaga. Karena anaknya lahir perempuan
untuk menyelamatkan bayi tersebut maka dititipkanlah pada pohon gelumpang.
Sedangkan perbedaannya terletak pada nama tokoh, serta tempat cerita,
beberapa insiden, akhir cerita dan latar belakang sosial masyarakatnya
Kata kunci: cerita, prosa rakyat, perbandingan
ii
4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................. i
ABSTRAK ................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Masalah .................................................................................. 2
1.3 Tujuan .................................................................................... 3
1.3.1 Tujuan Umum ..................................................................... 3
1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................... 3
1.4 Landasan Teori ....................................................................... 3
BAB II TINJAUAN STRUKTUR CERITA “I TUUNG
KUNING” .................................................................... 6
2.1 Sinopsis .................................................................................. 6
2.2 Insiden .................................................................................... 8
2.3 Alur/Plot ................................................................................. 11
2.4 Tokoh dan Penokohan ............................................................. 14
2.5 Latar ..................................................................................... 17
2.6 Tema ..................................................................................... 18
2.7 Amanat ................................................................................... 19
BAB III TINJAUAN STRUKTUR CERITA “PUTRI PUCUK
GELUMPANG” ........................................................... 20
3.1 Sinopsis .................................................................................. 20
3.2 Insiden .................................................................................... 22
3.3 Alur/Plot ................................................................................. 25
3.4 Tokoh dan Penokohan ............................................................. 28
3.5 Latar ..................................................................................... 30
3.6 Tema ..................................................................................... 31
3.7 Amanat ................................................................................... 31
i iii
5
BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN
CERITA “I TUUNG KUNING DAN PUTRI PUCUK
GELUMPANG” ........................................................... 33
4.1 Analisis Persamaan dan Perbedaan .......................................... 33
4.1.1 Analisis Persamaan ............................................................... 33
4.1.2 Analisis Perbedaan ............................................................... 34
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................... 37
5.1 Simpulan ................................................................................. 37
5.2 Saran ..................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat orang membicarakan tentang kesusastraan Ball, seringkali
orang salah tangkap atau keliru. Orang mengira dalam membicarakan
kesusastraan Ball itu terutama yang dimaksud ialah soal mabasan yaitu
membaca puisi kawi dengan menterjemahkan kedalam bahasa Ball.
Karenanya ada yang mengira yang memajukan kesusastraan Bali adalah
orang yang senang mabasan. Padahal tidak demikian, dari karya-karya
sastra Bali yang ada saat ini tidak hanya dari kegiatan mabasan, tapi juga
dari pengarang-pengarang yang eksis dalam menciptakan karya-karya
sastra. Bali banyak memiliki kesusastraan rakyat baik dalam bentuk puisi
(blabadan, wangsalan, geguritan, peparikan) maupun dalam bentuk prosa
(satua) dan mulai hadirnya sastra yang modern yaitu roman, cerpen, novel
yang berbahasa Bali. Selain itu setiap karya sastra tentunya memiliki
sejarahnya masing-masing yang sangat panjang dan hal ini sangat penting
kita ketahui.
Perkembangan karya sastra daerah tidak hanya terjadi di daerah
Bali. Ini terjadi pula di daerah lain yang juga memiliki kekayaan yang
berupa karya sastra. Perkembangan karya sastra tidak bisa lepas dari
rangkaian antara pengarang dan karya sastra yang dihasilkan saja namun
pembaca yang menikmati karya sastra tersebut. Perkembangan karya
sastra yang terdapat di setiap daerah memiliki keunikan tersendiri, ini
tidak bisa lepas dari perkembangan masyarakat pencipta dan masyarakat
penerimanya.
Membandingkan karya sastra yang ada di nusantara memang tidak
mudah karena bangsa kita memiliki keanekaragaman budaya. Sehingga
karya sastra yang berkembang di tiap-tiap daerah memiliki ciri khas
tersendiri. Perbedaan latar belakang sosial budayanya, bahasa, ataupun
perbedaan dari segi yang lain, tergantung daerah masing-masing. Selain
2
ada perbedaan tentunya ada pula persamaannya, entah dalam tokoh atau
jalan ceritanya, motif ataupun dari segi unsur instrinsik lainnya. Semakin
kita banyak memiliki perbandingan karya-karya sastra di nusantara akan
semakin luas wawasan kita mengenai keanekaragaman karya sastra di
nusantara.
Pada kesempatan ini, saya mencoba untuk membandingkan dua
buah karya sastra dari dua daerah berbeda di nusantara yaitu Bali dan
Aceh. Cerita rakyat Bali yang berjudul “I Tuung Kuning”dan cerita rakyat
dari daerah Aceh berjudul “Putri Pucuk Gelumpang”. Kedua cerita rakyat
ini sangat menarik untuk dijadikan objek penelitian, karena isinya yang
sangat menarik. Kemiripan cerita yang terdapat didalamnya mengisahkan
tentang seorang ayah yang sangat menginginkan seorang anak laki-laki,
namun yang didapatkan adalah seorang anak perempuan. Hal ini
menyebabkan kemarahan yang sangat besar dari sang ayah, sampai
berencana akan membunuh anak tersebut. Realita ini masih ada di
masyarakat terutama yang menggunakan adat patrilinial. Dengan
diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan pembaca tentang
kekayaan karya sastra di Indonesia.
1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan masalah ikan dikaji dalam penelitian ini adalah :
(1) Bagaimanakah struktur yang membentuk cerita I Tuung Kuning
dan Putri Pucuk Gelumpang ?
(2) Bagaimanakah persamaan cerita I Tuung Kuning dan Putri Pucuk
Gelumpang ?
(3) Bagaimanakah perbedaan cerita I Tuung Kuning dan Putri Pucuk
Gelumpang ?
Penelitian ini berusaha memberikan jawaban terhadap
permasalahan tersebut di atas. Dengan terjawabnya masalah itu diharapkan
pemahaman dan penghayatan terhadap unsur-unsur yang membentuk
3
kedua karya sastra tersebut, baik dari segi struktur dan perbedaan dan
persamaan yang terkandung di dalamnya dapat ditingkatkan.
1.3 Tujuan
Segala bentuk penelitian pasti memiliki tujuan yang hendak
dicapai. Adapun tujuan tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan itu pada hakikatnya saling
berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan agar dapat memberikan
gambaran yang jelas dalam memahami karya sastra di nusantara. Dari
analisis struktur dan perbedaan serta persamaan dalam kedua karya
tersebut, diharapkan akan memberikan sumbangan yang positif dalam
usaha memahami dengan lebih baik naskah I Tuung Kuning dan Putri
Pucuk Gelumpang. Tujuan ini sekaligus sebagai usaha kongkret dalam
memperkaya dan mempertinggi daya apresiasi bagi pemahaman karya
sastra di nusantara di masa mendatang.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini dimaksudkan untuk tujuan
mendapatkan gambaran tentang struktur, persamaan dan perbedaan kedua
naskah tersebut. Tujuan ini sekaligus untukmengetahui lebih dalam
tentang pemahaman terhadap karya sastra di nusantara dan memberikan
informasi yang lebih tentang pemahaman terhadap karya sastra prosa di
nusantara.
1.4 Landasan Teori
Dalam mengungkapkan struktur nakah I Tuung Kuning dan Putri
Pucuk Gelumpangperluadanya suatu kerangka acuan teori yang melandasi
agar penelitian menjadi lebih terarah rada sasaran yang diinginkan. Sesuai
4
dengan tujuan yang diharapkan, maka penelitian ini akan menggunakan
teori struktural. Prinsip dasar teori struktural memandang unsur-unsur
yang terdapat dalam karya sastra sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Oleh sebab itulah dalam penelitian ini akan diuraikan
seberapa jauh keterkaitan masing-masing unsur yang membangun kedua
karya sastra tersebut dalam membentuk satu karya yang utuh. Selain itu
tiap-tiap bagian atau unsur kedua karya sastra hendaknya dilihat dalam
konteks karya tersebut. Karena masing-masing bagian tersebut merupakan
satu kesatuan yang saling berhubungan. Untuk memahami konsep dasar
dari teori ini terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa pandangan atau
pendapat dari para ahli sehubungan dengan teori struktural.
Luxemburg, dkk, (1986: 36) mengatakan bahwa struktur ialah
kaitan-kaitan tetap antara kelompok-kelompok gejala. Dengan kata lain
bahwa sebuah karya atau peristiwa-peristiwa di dalam masyarakat menjadi
suatu keseluruhan karena adanya relasi timbal balik antara bagian-
bagiannya dan antara bagian dan keseluruhan. Hubungan ini bisa bersifat
positif, seperti kemiripan dan keselarasan, bisa juga bersifat negatif,
seperti pertentangan dankonflik. Kesatuan struktural mencakup setiap
bagian dan sebaliknya bahwa setiap bagian menunjukkan kepada
keseluruhan. Menurut Sukada, (1993: 47) karya sastra sebagai sebuah
struktur, dijelaskan melalui analisis aspek intrinsik dan aspek
ekstrinsiknya, analisis aspek intrinsik karya sastra ialah analisis mengenai
karya sastra itu sendiri, tanpa melihat kaitannya dengan data di luar cipta
sastra tersebut. Teeuw, (1984: 135) mengatakan bahwa analisis struktur
bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan
mendalam keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya
sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Dengan
demikian, struktur merupakan suatu bentuk yang terdiri atas unsur-unsur
yang berinteraksi secara fungsional membangun suatu kesatuan makna.
Analisis struktur menjelaskan unsur-unsur pembentuk hubungan antar
unsur dan hubungan antara unsur-unsur dengan struktur itu sendiri.
5
Teeuw, juga mengatakan bahwa analisis struktur merupakan suatu tahapan
yang tidak dapat dihindari, karena dengan analisis struktur itulah dapat
dicapai pengertian dan pemahaman optimal mengenai karya sastra
(1991:61).
Oleh karena itu, berdasarkan kesamaan pada pemikiran di atas,
maka dalammelakukan kajian struktur naskah “I Tuung Kuning dan Putri
Pucuk Gelumpang” digunakankombinasi dari beberapa pendapat atau teori
di atas.Pendapat-pendapat di atas padaprinsipnya tidak jauh berbeda,
sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan analisis struktur
adalahuntukmemaparkan,mendeskripsikan,dengansecermatdansetelitimung
kinketerkaitan dan keterjalinan antara bagian-bagian atau unsur-unsur
dalam karya sastra yang secara sistematis bersama-sama menghasilkan
makna keseluruhan. Aspek intrinsik yangcara sistematika digunakan dalam
struktur ini adalah insiden, alur, tokoh dan penokohan, latar, tema,
amanat.
6
BAB II
TINJAUAN STRUKTURITUUNG KUNING
2.1 Sinopsis Cerita
Cerita Rakyat Bali
I Tuung Kuning
Diceritakan disebuah desa terdapat seorang laki-laki bernama I
Pudak, yang suka memotoh (berjudi dengan mengadu ayam) yang
memiliki banyak ayam. Sehari-harinya nanya mengurusi ayam-ayam
peliharaannya. I Pudak memiliki seorang istri bernama Wayan yang kini
sedang hamil besar. Wayan pun menjadi kerepotan harus tiap hari
memberikan makan ayam-ayam peliharaan suaminya.
Pada suatu hari I Pudak pergi ke utara gunung. Sebelum berangkat I
Pudak berpesan kepada istrinya, Wayan jika anaknya kelak laki-laki agar
dirawat dengan baik, namun jika perempuan agar segera dibunuh untuk
menjadi makanan ayam peliharaannya. Alasannya karena anak perempuan
lebih repot merawatnya. Sungguh pilihan yang sangat berat untuk Wayan.
Waktu melahirkan pun tiba, ternyata anaknya adalah seorang perempuan.
Wayanmenjadi sedih karena ingat akan pesan suaminya saat akan pergi ke
utara gunung, jika anaknya kelak perempuan agar dibunuh untuk dijadikan
makanan ayam mereka. Akhirnya Wayan punya akal, ari-ari anak tersebut
yang diberikan kepada ayam mereka, dan anaknya dibawa kerumah
neneknya (Ibu dari Wayan). Ibunya Wayan pun terkejut kenapa anaknya
membawa cucunya yang baru saja dilahirkan. Setelah diceritakan oleh
Wayanpermasalahannya, akhirnya ibunya Wayan mau merawat cucunya.
Namun beliau berpesanagar jangan lupa setiap hari ditengok cucunya dan
diberikan ASI.
Satu tahun telah berlalu, akhirnya I Pudak pulang dan segera
menanyakan perihal anaknya, dan Wayan mengatakan anaknya
7
perempuan, namun telah dibunuhnya dan diberikan ayam mereka. Namun
saat itu pula, ada ayam yang berkata “ari-arinya saja yang diberikan,
anaknya dititipkan di rumah neneknya” dan ayam tersebut berulang kali
mengatakan pada I Pudak, karena merasa aneh dengan ayam tersebut
segera ia menanyakan pada istrinya. Akhirnya Wayan mengakuinya, dan I
Pudak pun meminta agar anaknya disuruh pulang untuk dibunuh. Saat itu
pula anak mereka kini sudah besar. la bernama I Tuung Kuning. I Tuung
Kuning tumbuh menjadi anak yang rajin. Ini semua berkat didikan
neneknya.
Dengan hati yang sangat sedih, Wayan mencari anaknya. Setelah
sampai dirumah ibunya, segera wayan memberitahukan I Tuung Kuning
agar segera pulang. Berulang kali Wayan bolak-balik karena anaknya
masih mengerjakan tugas, sehingga tidak bisa ikut pulang. I Pudak
suaminya sangat marah dan terus meminta kepada Wayan agar membawa I
Tuung Kuning pulang. Akhirnya karena dilihat ibunya bolak-balik mencari
dirinya, setelah I Tuung Kuning mandi dan pamitan dengan neneknya dia
ikut serta ibunya pulang. Sampai rumah, I Tuung Kuning langsung diajak
ke hutan oleh bapaknya, I Pandak.
Setelah mereka berjalan jauh, akhirnya menemukan sebuah tempat
yang terdapat pohon besar. Saat akan dibunuh, seorang bidadari dari
khayangan melihatnya dan berusaha menolong I Tuung Kuning, bidadari
menggantikan tubuh I Tuung Kuning dengan sebuah gedebong. I Pudak
tidak menyadari bahwa yang dibunuh itu sebuah gedebong dan dibawanya
Pulang untuk diberikan kepada ayam peliharaanya. Setelah
memakan itu semua ayamnya mati dan saat itu pun I Pandak menyesali
perbuatannya.
I Pandak kembali ke tempat di membunuh anaknya, dan menyesali
perbuatannya. Sambil menangis dia memanggil nama anaknya. Sampai
satu bulan I Pudak disana, tidakmakan-makan dan tidak pernah pulang,
Melihat keadaan ayahnya, I Tuung Kuning di khayangan sana menjadi
sedih dan meminta kepada bidadari yang membawanya untuk
8
mengembalikan ke dunia. Setelah diantar oleh sang bidadari, I
TuungKuning menghampiri ayahnya dan mengajaknya pulang. Setelah
sampai dirumah, ibunya I Tuung Kuning, Wayan sangat bahagia melihat
anaknya yang ternyata masih hidup. Cerita I Tuung Kuning pun menyebar
di masyarakat sekitar, dan membuat dia menjadi perhatian warga. Mereka
mengira Tuung Kuning sudah meninggal, dan ternyata masih hidup dan
pernah tinggal di khayangan.
Cerita ini sampai di kerajaan, sang raja meminta agar I Tuung
Kuning segera dibawa ke kerajaan. Sampai disana sang raja, memintanya
untuk menceritakan kisahnya. Akhirnya sang raja menikahi I Tuung
Kuning, dan ayah I Tuung Kuning menjadi seorang perbekel.
2.2 Insiden
Insiden adalah salah satu bagian dari struktur cerita yang
membentuk suatu karya sastra menjadi kesatuan yang bulat dan utuh.
Mengenai insiden ini Sukada memberikan pengertian, bahwa insiden
adalah kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terkandung dalam
cerita besar atau kecil yang secara keseluruhan membangun atau
membentuk struktur cerita (1982 : 22), sedangkan menurut Brahim, bahwa
insiden terjadi karena gerakan, adanya tindakan dalam situasi, juga karena
adanya pelaku yang bertindak. Insiden ini harus berkembang sambung-
menyambung secara kausal yang satu berhubungan dengan yang lainnya
sampai cerita berakhir. Insiden ini biasanya hanya dapat ditangkap secara
wajar, bila cara melukiskanya dapat diterima secara logis, sehingga
insiden itu akan tampak seperti sungguh-sungguh ada (1969 : 65).
Apabila dilihat dari segi jenisnya, insiden dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu insiden pokok dan insiden sampingan. Insiden pokok adalah
suatu insiden yang ide-ide pokok cerita yang menjurus ke kesimpulan
cerita ke pada adanya plot. Sedangkan yang dimaksud dengan insiden
sampingan adalah insiden-insiden yang menyimpang dari sebab akibat
9
yang logis yang mengandung ide-ide sampingan, karena itu tidak
menunjang adanya plot (Sukada, 1982 : 21).
Berdasarkan pada pengertian insiden tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa insiden adalah bagian peristiwa yang terkandung
dalam suatu cerita.
Selanjutnya, dengan berorientasi pada pengertian insiden tersebut,
maka insiden-insiden yang membentuk struktur cerita I Tuung Kuning
dapat dikelompokkan menjadi 5 insiden pokok sebagai berikut:
Inseden 1 :
Pada saat I Pudak pergi ke utara gunung. Sebelum berangkat I
Pudak berpesan kepada istrinya, Wayan jika anaknya kelak laki-laki agar
dirawat dengan baik, namun jika perempuan agar segera dibunuh untuk
menjadi makanan ayam peliharaannya. Alasannya karena anak perempuan
lebih repot merawatnya. Sungguh pilihan yang sangat berat untuk Wayan.
Waktu melahirkan pun tiba, ternyata anaknya adalah seorang perempuan.
Wayan menjadi sedih karena ingat akan pesan suaminya saat akan pergi ke
utara gunung, jika anaknya kelak perempuan agar dibunuh untuk dijadikan
makanan ayam mereka. Akhirnya saat itu Wayan punya akal, ari-ari anak
tersebut yang diberikan kepada ayam mereka, dan anaknya dibawa
kerumah neneknya (Ibu dari Wayan). Ibunya Wayan pun terkejut kenapa
anaknya membawa cucunya yang baru saja dilahirkan. Setelah diceritakan
oleh Wayan permasalahannya, akhirnya ibunya Wayan mau merawat
cucunya. Namun beliau berpesan agar jangan lupa setiap hari ditengok
cucunya dan diberikan ASI.
Insiden 2 :
Satu tahun telah berlalu, akhirnya I Pudak pulang dan segera
menanyakan perihal anaknya, dan Wayan mengatakan anaknya
perempuan, namun telah dibunuhnya dan diberikan ayam mereka. Namun
saat itu pula, ada ayam yang berkata “ari-arinya saja yang diberikan,
10
anaknya dititipkan di rumah neneknya” dan ayam tersebut berulang kali
mengatakan pada I Pudak, karena merasa aneh dengan ayam tersebut
segera ia menanyakan pada istrinya. Akhirnya Wayan mengakuinya, dan I
Pudak pun meminta agar anaknya disuruh pulang untuk dibunuh.
Insiden 3 :
Berulang kali Wayan bolak-balik karena anaknya masih
mengerjakan tugas, sehingga tidak bisa ikut pulang. I Pudak suaminya
sangat marah dan terus meminta kepada Wayan agar membawa I Tuung
Kuning pulang. Akhirnya karena dilihat ibunya bolak-balik mencari
dirinya, setelah I Tuung Kuning mandi dan pamitan dengan neneknya dia
ikut serta ibunya pulang
Insiden 4 :
Saat I Tuung Kuning diajak ke hutan oleh bapaknya, akhirnya
menemukan sebuah tempat yang terdapat pohon besar. Saat akan dibunuh,
seorang bidadari dari khayangan melihatnya dan berusaha menolong I
Tuung Kuning, bidadari menggantikan tubuh I Tuung Kuning dengan
sebuah gedebong. I Pudak tidak menyadari bahwa yang dibunuh itu sebuah
gedebong dan dibawanya pulang untuk diberikan kepada ayam
peliharaanya. Setelah memakan itu semua ayamnya mati dan saat itu pun I
Pandak menyesali perbuatannya.
Insiden 5:
Melihat keadaan ayahnya, I Tuung Kuning di khayangan sana
menjadi sedih dan meminta kepada bidadari yang membawanya untuk
mengembalikan ke dunia. Setelah diantar oleh sang bidadari, I Tuung
Kuning menghampiri ayahnya dan mengajaknya pulang. Setelah sampai
dirumah, ibunya I Tuung Kuning, Wayan sangat bahagia melihat anaknya
yang ternyata masih hidup. Cerita I Tuung Kuning pun menyebar di
masyarakat sekitar, dan membuat dia menjadi perhatian warga. Mereka
11
mengira I Tuung Kuning sudah meninggal, dan ternyata masih hidup dan
pernah tinggal di khayangan. Cerita ini sampai di kerajaan, sang raja
meminta agar I Tuung Kuning segera dibawa ke kerajaan.Sampai disana
sang raja, memintanya unutk menceritakan kisahnya. Akhirnya sang raja
menikahi I Tuung Kuning, dan ayah I Tuung Kuning menjadi seorang
prebekel.
2.3 Alur/Plot
Alur/ plot merupakan unsur terpenting dalam jajaran struktur cerita,
karena mampu mengemukakan apa yang terjadi dalam cerita. Luxemburg,
dkk, (1984: 149) memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan alur/
plot adalah konstruksi yang dapat dibuat pembaca mengenai sebuah
deretan peristiwa yang secara logik dan kronologik saling berkaitan dan
dialami oleh para pelaku.
Alur adalah jalan cerita yang dilukiskan dalam suatu penceritaan
oleh pengarang cerita tersebut. Alur bertujuan untuk mendukung dan
menyimpulkan perjalanan logisnya suatu cerita hingga terjadi insiden
dalam sebuah cerita. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pendapatnya
Teeuw yang menyatakan, bahwa alur adalah semua urutan peristiwa cerita
rekaan yang secara sadar disusun selogis mungkin, sehingga rangka
tersebut merupakan rangkaian sebab akibat (dalam Suastika, 1985 : 51).
Apabila dilihat dari bentuknya, alur dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu alur lurus dan alur sorot balik (flasback). Cerita dapat
dikatakan menggunakan alur lurus apabila peristiwa ceritanya disampaikan
melalui urutan dari awal-tengah-akhir. Sedangkan cerita yang beralur
sorot balik (flasback), apabila urutan peristiwa ceritanya tidak seperti di
atas, melainkan akhir-tengah-awal, atau tengah-awal-akhir (Tim Fakultas
Sastra dan KebudayaanUGM, 1981/1982 : 14).
Berdasarkan atas konsep tersebut, dan dilihat dari cara pengarang
menyusun kejadian-kejadian yang disajikan secara bertahap, sehingga
masuk akal dan jalinan ceritanya mudah dipahami oleh pembaca, maka
12
dalam cerita I Tuung Kuning inimenggunakan alur lurus, dimana jalan
ceritanya selalu digambarkan ke depan tanpa mengungkit permasalahan
dimasa lalu dengan urutan awal-tengah-akhir. Hal ini dapat dilihat dari
insiden-insidennya yang selalu berurutan dan saling mendukung antara
yang satu dengan yang lainnya, sehingga alur lurus ini sendiri dapat
terlihat dengan jelas.
Alur cerita dimulai dari kisah Diceritakan disebuah desa terdapat
seorang laki-laki bernama I Pudak, yang suka memotoh (berjudi dengan
mengadu ayam) yang memiliki banyak ayam. Sehari-harinya hanya
mengurusi ayam-ayam peliharaannya. I Pudak memiliki seorang istri
bernama Wayan yang kini sedang hamil besar. Wayan pun menjadi
kerepotan harus tiap hari memberikan makan ayam-ayam peliharaan
suaminya.
Pada suatu hari I Pudak pergi ke utara gunung. Sebelum berangkat I
Pudakberpesan kepada istrinya, Wayan jika anaknya kelak laki-laki agar
dirawat dengan baik, namun jika perempuan agar segera dibunuh untuk
menjadi makanan ayam peliharaannya. Alasannya karena anak perempuan
lebih repot merawatnya. Sungguh pilihan yang sangat berat untuk Wayan.
Waktu melahirkan pun tiba, ternyata anaknya adalah seorang perempuan.
Wayan menjadi sedih karena ingat akan pesan suaminya saat akan pergi ke
utara gunung, jika anaknya kelak perempuan agar dibunuh untuk
dijadikan makanan ayam mereka. Akhirnya Wayan punya akal, ari-ari
anak tersebut yang diberikan kepada ayam mereka, dan anaknya dibawa
kerumah neneknya (Ibu dari Wayan). Ibunya Wayan pun terkejut kenapa
anaknya membawa cucunya yang baru saja dilahirkan. Setelah diceritakan
olehWayan permasalahannya, akhirnya ibunya Wayan mau merawat
cucunya. Namun beliau berpesan agar jangan lupa setiap hari ditengok
cucunya dan diberikan ASI.
Satu tahun telah berlalu, akhirnya I Pudak pulang dan segera
menanyakan perihalanaknya, dan Wayan mengatakan anaknya perempuan,
namun telah dibunuhnya dan diberikan ayam mereka. Namun saat itu pula,
13
ada ayam yang berkata “ari-arinya saja yangdiberikan, anaknya dititipkan
di rumah neneknya” dan ayam tersebut berulang kali mengatakan pada I
Pudak, karena merasa aneh dengan ayam tersebut segera ia menanyakan
pada istrinya. Akhirnya Wayan mengakuinya, dan I Pudak pun meminta
agar anaknya disuruh pulang untuk dibunuh. Saat itu pula anak mereka
kini sudah besar. Ia bernama I Tuung Kuning. I Tuung Kuning tumbuh
menjadi anak yang rajin. Ini semua berkat didikan neneknya.
Dengan hati yang sangat sedih, Wayan mencari anaknya. Setelah
sampai dirumah ibunya, segera wayan memberitahukan I Tuung Kuning
agar segera pulang. Berulang kali Wayan bolak-balik karena anaknya
masih mengerjakan tugas, sehingga tidak bisa ikut pulang. I Pudak
suaminya sangat marah dan terus meminta kepada Wayan agar membawa I
Tuung Kuning pulang. Akhirnya karena dilihat ibunya bolak-balik mencari
dirinya, setelah I Tuung Kuning mandi dan pamitan dengan neneknya dia
ikut serta ibunya pulang. Sampai dirumah, I Tuung Kuning langsung
diajak ke hutan oleh bapaknya, I Pandak.
Setelah mereka berjalan jauh, akhirnya menemukan sebuah tempat
yang terdapat pohon besar. Saat akan dibunuh, seorang bidadari dari
khayangan melihatnya dan berusaha menolong I Tuung Kuning, bidadari
menggantikan tubuh I Tuung Kuning dengan sebuahgedebong. I Pudak
tidak menyadari bahwa yang dibunuh itu sebuah gedebong dan dibawanya
pulang untuk diberikan kepada ayam peliharaanya. Setelah memakan itu
semua ayamnya mati dan saat itu pun I Pandak menyesali perbuatannya.
I Pandak kembali ke tempat di membunuh anaknya, dan menyesali
perbuatannya. Sambil menangis dia memanggil nama anaknya. Sampai
satu bulan I Pudak disana, tidak makan-makan dan tidak pernah pulang,
Melihat keadaan ayahnya, I Tuung Kuning dikhayangan sana menjadi
sedih dan meminta kepada bidadari yang membawanya untuk
mengembalikankedunia.Setelahdiantarolehsangbidadari,ITuungKuningmen
ghampiri ayahnya dan mengajaknya pulang. Setelah sampai dirumah,
ibunya I Tuung Kuning, Wayan sangat bahagia melihat anaknya yang
14
ternyata masih hidup. Cerita I Tuung Kuning pun menyebar di masyarakat
sekitar, dan membuat dia menjadi perhatian warga. Mereka mengira I
Tuung Kuning sudah meninggal, dan ternyata masih hidup dan pernah
tinggal di khayangan.
Cerita ini sampai di kerajaan, sang raja meminta agar I Tuung
Kuning segera dibawa ke kerajaan. Sampai disana sang raja, memintanya
untuk menceritakan kisahnya. Akhirnya sang raja menikahi I Tuung
Kuning, dan ayah I Tuung Kuning menjadi seorang prebekel.
Adapun kutipan-kutipan yang mendukung mengenai kejelasan alur
dalam cerita I Tuung kuning ini, dapat dilihat kembali pada insiden-
insiden yang telah dipaparkan sebelumnya. Hal ini dikarenakan
keberadaan alur tidak bisa terlepas dari insiden-insiden ai salah satu
jembatan peranta dalam hubungan sebab-akibat.
2.4 Tokoh dan Penokohan
Tokoh dalam suatu cerita mempunyai peranan yang sangat penting.
Tokoh beraksi dapat menimbulkan insiden serta menggerakkan alur cerita.
Apabila tokoh-tokoh dalam cerita dilihat dari segi wataknya, tidaklah
berbeda dengan manusia, dimana manusia dengan tokoh dalam cerita
sama-sama memiliki perwatakan yang berbeda satu dengan lainnya. Hanya
saja watak tokoh dalam cerita dibuat sengaja oleh pengarang agar
karyanya menarik perhatian pembacanya.
Tentang hal tersebut lebih ditegaskan oleh Tarigan, bahwa
keberhasilan sebuah cipta sastra sangat tergantung pada kecakapan
pengarang menghidupkan tokoh-tokoh melalui imajinasinya. Seorang
pengarang tidak boleh memikirkan tokoh tersebut melulusebagai potret
yang mati dan statis, tetapi harus memandang dan menyajikannya sebagai
hal yang hidup dan dinamis (1984 : 150). Sementara PanutiSudjiman
(1984 : 58) memberikan pengertian tentang tokoh adalah penciptaan citra
tokoh di dalam karya sastra. Penokohan menyiapkan atau menyediakan
15
alasan bagi para tokoh, mengapa ia melakukan tindakan-tindakan tertentu,
bagaimana sifatnya (Saleh Saad, 1967 : 123).
Di pihak lain disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan penokohan
adalah sifat-sifat pribadi tokoh (aktor) yang berperan atau bertindak atau
berbicara dalam hubungan alur cerita (Luxemburg, 1984 : 171). Apabila
dilihat dari cara pengarang melukiskan watak-watak tokoh ceritanya ada
dua cara, yaitu (1) dengan cara analitik, pengarang secara langsung
menganalisis watak pelaku melalui penceritaan, (2) dengan cara dramatik,
yaitu pengarang melukiskan watak seorang tokoh tidak secara langsung,
tetapi melalui : (a) lingkungan atautempat sang tokoh, (b) dialog antar
tokoh-tokoh atau dialog tokoh lain tentang dia. (3) cara analitik yang
panjang dengan dua atau tiga kalimat dramatik atau sebaliknya (Lukman
Ali dalam Sukada, 1976 : 26).
Sebagai tokoh utama dalam cerita I Tuung Kuning adalah I Pudak,
Wayan dan I Tuung Kuning, yang dapat ditelusuri dengan cara : Pertama,
dilihat dari hubungan antar tokoh, ketiga tokoh ini berhubungan paling
banyak dengan tokoh-tokoh yang lain, Kedua,hubungannya paling banyak
dengan masalah (pokok cerita), Ketiga, ketiga tokoh ini mendapat forsi
penceritaan paling banyak dari tokoh-tokoh yang lain.
Sedangkan watak atau sifat yang dimiliki oleh ketiga tokoh ini
dilukiskan oleh pengarang secara analitik dan dramatik. Secara analitik
ketiga tokoh ini dilukiskan oleh pengarang secara berbeda. I Pudak
sebagai tokoh seorang yang suka memotoh dan keras. Wayan sebagai
tokoh seorang ibu yang penurut namun lemah. I Tuung Kuning sebagai
tokoh yang rajin, penurut dan sangat penyayang. Berikut kutipannya:
Penggambaran watak tokoh I Pudak:
ada tuturan satua bebotoh kembar modem I Pudak, ia kasap pesan
konememotoh..... (aliniall,hal 32)
Terjemahannya:
16
ada cerita seorang bebotoh bernama I Pudak, ia suka sekali
berjudi(memotoh).....
selain itu berikut kutipan dibawah ini memperlihatkan sikapnya
yang kasar:
Yeh dadi mendep, katagih sibak tendas nyaine. Sing nyak ngangken,
tektek kai tendas ibane“ketoabetne I Pudak, nu kone masih mendep
kurenanne..... (alinial 15,hal 34)
Terjemahannya:
Loh kenapa diam, mau dibelah kepalamu. Ga mau jalan, soya pukul
kepalamu, kata I Pudak,tapi istrinya diam saja.....
Penggambaran tokoh Wayan:
Ne kengkenanjani i cening, konkonanektek lantas teken bapanne,
konkonamaang siap. Yon tuutangkenehbapanne, basa pianak,
jabinjlemabuduh ya mara ia jenengengidepangkonkonangamatiangpanak.
ne kenkenanjanimadaya.....(alinial4, Hal32)
Terjemahannya:
Bagaimana sekarang anakku, disuruh membunuhmu dan
memberikannya pada ayam. Jika diikuti keinginan ayahmu, benar gila
ayahmu mau membunuh anak, sekarang harus bagaimana?
Penggambaran tokoh I Tuung Kuning:
subakone kelih I Tuung Kuning, mara lantas bisa nyakan,ajahina
teken dadongnemagarapan benang-benang....(alinial 11, hal 33)
Terjemahannya:
Sekarang I Tuung Kuning sudah besar, sudah bisa memasak,
diajarkan oleh neneknya buat kain....
“Dong pedalem pesan ja bapantiange, sedih kanti bulan-bulanan
nentenmedaar-daar. Atehangtitiang tiang ngrerehbapantiange..........
“(alinial 50, hal 37)
17
Terjemahannya:
Kasihan ayahku, sedih berbulan-bulan tidak makan-makan, anterin
soya nyari ayah soya....
Selain kedua tokoh diatas, juga ditampilkan tokoh-tokoh lain yang
turut menunjang timbulnya peristiwa dalam rangkaian struktur alur
ceritanya. Tokoh dimaksud adalah tokoh pembantu primer seperti Dadong
(ibunya Wayan), Bidadari, Raja. Terhadap tokoh tersebut, pengarang tidak
melukiskan gambaran wataknya secara rinci. Hanya saja disebutkan,
bahwa tokoh pembantu primer yaitu Dadong ialah sosok tokoh seorang
yang sangat baik dan penyayang. Tokoh bidadari hanya dilihatkan sekilas
dalam cerita ini. Tokoh bidadari disini baik hati dan penolong.
2.5 Latar
Latar atau sering juga dikenal dengan sebutan setting merupakan
patokan, atau gambaran dasar atas suasana ataupun keadaan yang
menunjukan saat terjadinya insiden-insiden. Sedangkan menurut Sukada
latar adalah salah satu unsur cerita yang berhubungan dengan tempat,
keadaan, dan waktu terjadinyaperistiwa dalam suatu cerita (1983 : 24).
Latar tempat:
Dalam cerita I Tuung Kuning ini, latar tempat yang digunakan
sebagian besar terjadi di sebuah rumah tokoh itu sendiri dan hutan. Selain
itu latar tempat yang di tampilkan juga meliputi khayangan. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa kutipan berikut:
Tekedjumahmemene,dapetangapanaknesedeknuun....(alinial 17,
hal34)
Terjemahannya:
Sampai dirumah ibunya, dilihat anaknya sedang menenun....
18
Kacrite ring alasenepukin lantas meru di jabanne ada
konepunyanbingin gede.... (alinial 43,hal 36)
Terjemahannya:
Diceritakan di sebuah hutan, ditemukan meru yang dihalamannya
ada phon beringin besar...
Latar Waktu:
Dalam cerita I Tuung Kuning, latar waktu tidak diperlihatkan
secara jelas oleh pengarang.
Latar Suasana:
Dalam cerita I Tuung Kuning, latar suasana yang ditampilkan
mendominasi suasana tegang dimana I Pudak yang menginginkan anak
perempuannya dibunuh. Berikut kutipannya:
“Nah sing saja, ada dogensangkena I Tuung Kuning, kemabuin
alih!!! yon sing nyak mulih, awake kema bakal ngalih, bakal
bragedegtendasnebes ada dogensangkenne....”(alinial 36, hal 35)
Terjemahannya:
“ Iyapercaya, ada saja alasan I Tuung Kuning, sana cari lagi!!! jika
tidak mau pulang, soya akan mencarinya, akan sayapukul kepalanya ada
saja alasannya..
2.6 Tema
Tema adalah gagasan ide atau pikiran utama dalam sebuah karya
sastra yang terungkap ataupun tidak (PanutiSudjiman, 1986: 74). Setiap
karya sastra baik itu berapa prosa ataupun puisi memiliki tema karena
tema merupakan suatu kepaduan pikiran antara pengarang dengan dengan
karyanya yang diungkapkan dalam bentuk peristiwa-peristiwasesuai
dengan pandangan hidup, pengetahuan,serta emosi yang dituangkan dalam
karyanya.
19
Adapun tema dari cerita ini adalah keinginan seorang ayah yang
tidak menginginkan kelahiran seorang anak perempuan. Dalam cerita ini
dijabarkan alasan seorang ayah yang tidak menginginkan seorang anak
perempuan karena perempuan lebih banyak aturan dalam merawatnya.
2.7 Amanat
Amanat adalah suatu gagasan yang mendasari karya sastra; pesan
yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.
Amanat akan selalu berkaitan atau menyentuh hati nurani pembaca, untuk
menyadari atau menolaknya (PanutiSudjiman, 1986 :6).
Pada cerita ini amanat yang ditampilkan adalah mengenai
keiklasanmenerima kelahiran seorang anak, apalagi anak tersebut adalah
anak kandung kita sendiri. Apapun anak kita nanti agar tetap diterima dan
dipelihara dengan baik, karena setiap anak pastinya memiliki kelebihan
dan kekurangan. Tergantung bagaimana kita membesarkan dan
mendidiknya.
20
BAB III
TINJAUAN STRUKTUR PUTRI PUCUK GELUMPANG
3.1 SINOPSIS
Cerita rakvat Aceh
PUTRI PUCUK GELUMPANG
Diceritakan terdapat seorang juragan yang memiliki dua orang
pelayan yang bernama, Lesmana dan Pedanelam. Kedua pelayan tersebut
suka menghasut dan mempengaruhi Tuannya, dan sang Juragan selalu
mempercayainya. Sang Juragan memiliki seorang istri yang sedang hamil
tua.
Pada suatu hari sang Juragan hendak pergi berdagang, namun
sebelum berangkat ia berpesan kepada istrinya jika anak mereka seorang
laki-laki agar membunyikan rantai perak, jika yang lahir perempuan
membunyikan rantai tembaga. Hal ini membuat sang istri menjadi terkejut.
Beberapa hari sepeninggal sang suami, perempuan itu pun melahirkan.
Sungguh malang, ternyata yang lahir seorang bayi perempuan. Karena
membayangkan bayi itu akan dibunuh oleh suaminya, akhirnya sang bayi
dibawa ke dalam hutan dan berhenti dibawah pohon gelumpang.
Perempuan itu meminta tolong kepada pohon gelumpang untuk
merawatnya.
Untuk mengelabui sang suami, perempuan itu menangkap seekor
kambing untuk disembelih dan dijadikan gulai. Setelah itu dia
membunyikan rantai tembaga. Sang Juragan yang mendengar bunyi rantai
tembaga tersebut menjadi sangat kecewa karena itu
pertanda anak yang lahir perempuan.
Atas saran kedua pelayannya, ia pun segera pulang ke kampung
halaman dan menyembelih bayinya. Sesampainya di rumah, sang juragan
disambut oleh istrinya dengan mengatakan bahwa sang bayi telah
21
disembelih dan sudah dibuatkan gulai. Sang juragan beserta kedua
pelayannya sangat senang dan segera menikmati gulai tersebut. Namun
saatmenikmati gulai tersebut terdengar bunyi cecak yang menyampaikan
pesan : “yang kalian makan bukan daging bayi, tetapi daging kambing”.
Berulang kali cecak tersebut mengatakan hal demikian kepada mereka.
Sang juragan dan kedua pelayannya curiga dan segera menanyakan kepada
sang istri keadaan yang sebenarnya. Setelah mengetahui keadaan yang
sesungguhnya, sang juragan meminta sang istri untuk membawa pulang
anaknya untuk dibunuh.
Setelah itu sang istri menemui pohon gelumpang untuk membawa
pulang anaknya, kini anaknya telah tumbuh menjadi anak yang cantik.
Namun berulang kali dia menolak ajakan untuk pulang, dan akhirnya sang
juragan beserta kedua pelayan datang untuk menjemputnya. Saat sang
juragan berusaha untuk membawanya pulang, terjadi keajaiban setiap kali
sang juragan menyumpit anak itu. Daerah yang disumpitnya berubah
menjadi sebuah emas. Saat dibawa pulang, sang ibu membisik kepadanya
bahwa dia akan dibunuh oleh ayahnya.
Anak itu mencari akal untuk mengelabuhi ayahnya agar terhindar
dari maut dengan cara, ayahnya harus menyiapkan pohon pisang
disampingnya saat akan dibunuh. Saat akan membunuh sang anak, ternyata
anak tersebut menghindar dan akhirnya yang terpotong anyalah batang
pisang tersebut. Setelah melihat kain tenunan yang tersangkut di
pedangnya, dia menyesali perbuatannya. Menyadari bahwa sang juragan
telah dihasut oleh kedua pelayannya, ia segera membunuh kedua
pelayannya dan kemudian ia pun bunuh diri.
Mengetahui ayahnya telah meninggal, anak tersebut menangis
namun juga bersyukur karena selamat dari ancaman maut. Akhirnya anak
tersebut hidup bahagia bersama ibunya, dan anak tersebut dinamai Putri
Pucuk Gelumpang yang artinya gadis yang dibesarkan di atas pohon
gelumpang.
22
3.2 Insiden
Insiden adalah salah satu bagian dari struktur cerita yang
membentuk suatu karya sastra menjadi kesatuan yang bulat dan utuh.
Mengenai insiden ini Sukada memberikan pengertian, bahwa insiden
adalah kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terkandung dalam
cerita besar atau kecil yang secara keseluruhan membangun atau
membentuk struktur cerita (1982 : 22), sedangkan menurut Brahim, bahwa
insiden terjadi karena gerakan, adanya tindakan dalam situasi, juga karena
adanya pelaku yang bertindak. Insiden ini harus berkembang sambung-
menyambung secara kausal yang satu berhubungan dengan yang lainnya
sampai cerita berakhir. Insiden ini biasanya hanya dapat ditangkap secara
wajar, bila cara melukiskanya dapat diterima secara logis, sehingga
insiden itu akan tampak seperti sungguh-sungguh ada (1969 : 65).
Apabila dilihat dari segi jenisnya, insiden dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu insiden pokok dan insiden sampingan. Insiden pokok adalah
suatu insiden yang ide-ide pokok cerita yang menjurus ke kesimpulan
cerita ke pada adanya plot. Sedangkan yang dimaksud dengan insiden
sampingan adalah insiden-insiden yang menyimpang dari sebab akibat
yang logis yang mengandung ide-ide sampingan, karena itu tidak
menunjang adanya plot (sukada, 1982 : 21).
Berdasarkan pada pengertian insiden tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa insiden adalah bagian peristiwa yang terkandung
dalam suatu cerita.
Selanjutnya, dengan berorientasi pada pengertian insiden tersebut,
maka insiden-insiden yang membentuk struktur cerita Putri Pucuk
Gelumpang dapat dikelompokkan menjadi 6 insiden pokok sebagai
berikut:
Inseden 1 :
Pada suatu hari sang Juragan hendak pergi berdagang, namun
sebelum berangkat ia berpesan kepada istrinya jika anak mereka seorang
23
laki-laki agar membunyikan rantai perak, jika yang lahir perempuan
membunyikan rantai tembaga. Hal ini membuat sang istri menjadi terkejut.
Beberapa hari sepeninggal sang suami, perempuan itu pun melahirkan.
Sungguh malang, ternyata yang lahir seorang bayi perempuan. Karena
membayangkan bayi itu akan dibunuh oleh suaminya, akhirnya sang bayi
dibawa ke dalam hutan dan berhenti dibawah pohon gelumpang.
Perempuan itu meminta tolong kepada pohon gelumpang untuk
merawatnya.
Insiden 2 :
Untuk mengelabui sang suami, perempuan itu menangkap seekor
kambing untuk disembelih dan dijadikan gulai. Setelah itu dia
membunyikan rantai tembaga. Sang Juragan yang mendengar bunyi rantai
tembaga tersebut menjadi sangat kecewa karena itu pertanda anak yang
lahir perempuan.
Insiden 3 :
I Atas saran kedua pelayannya, ia pun segera pulang ke kampung
halaman dan menyembelih bayinya. Sesampainya di rumah, sang juragan
disambut oleh istrinya dengan mengatakan bahwa sang bayi telah
disembelih dan sudah dibuatkan gulai. Sang juragan beserta kedua
pelayannya sangat senang dan segera menikmati gulai tersebut. Namun
saat menikmati gulai tersebut terdengar bunyi cecak yang menyampaikan
pesan : “yang kalian makan bukan daging bayi, tetapi daging kambing”.
Berulang kali cecaktersebut mengatakan hal demikian kepada mereka.
Sang juragan dan kedua pelayannyacuriga dan segera menanyakan kepada
sang istri keadaan yang sebenarnya. Setelah mengetahui keadaan yang
sesungguhnya, sang juragan meminta sang istri untuk membawa pulang
anaknya untuk dibunuh.
24
Insiden 4 :
Setelah itu sang istri menemui pohon gelumpang untuk membawa
pulang anaknya, kini anaknya telah tumbuh menjadi anak yang cantik.
Namun berulang kali dia menolak ajakan untuk pulang, dan akhirnya sang
juragan beserta kedua pelayan datang untuk menjemputnya. Saat sang
juragan berusaha untuk membawanya pulang, terjadi keajaiban setiap kali
sang juragan menyumpit anak itu. Daerah yang disumpitnya berubah
menjadi sebuah emas. Saat dibawa pulang, sang ibu membisik kepadanya
bahwa dia akan dibunuh oleh ayahnya.
Insiden 5:
Anak itu mencari akal untuk mengelabuhi ayahnya agar terhindar
dari maut dengan cara, ayahnya harus menyiapkan pohon pisang
disampingnya saat akan dibunuh. Saat akan membunuh sang anak, ternyata
anak tersebut menghindar dan akhirnya yang terpotong hanyalah batang
pisang tersebut. Setelah melihat kain tenunan yang tersangkut di
pedangnya, dia menyesali perbuatannya. Menyadari bahwa sang juragan
telah dihasut oleh kedua pelayannya, ia segera membunuh kedua
pelayannya dan kemudian ia pun bunuh diri.
Insiden 6:
Anak itu mencari akal untuk mengelabuhi ayahnya agar terhindar
dari maut dengan cara, ayahnya harus menyiapkan pohon pisang
disampingnya saat akan dibunuh.
Saat akan membunuh sang anak, ternyata anak tersebut menghindar
dan akhirnya yangterpotong hanyalah batang pisang tersebut. Setelah
melihat kain tenunan yang tersangkut di pedangnya, dia menyesali
perbuatannya. Menyadari bahwa sang juragan telah dihasut oleh kedua
pelayannya, ia segera membunuh kedua pelayannya dan kemudian ia pun
bunuh diri.
25
3.3 Alur/Plot
Alur/ plot merupakan unsur terpenting dalam jajaran struktur cerita,
karena mampu mengemukakan apa yang terjadi dalam cerita. Luxemburg,
dkk, (1984: 149) memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan alur/
plot adalah konstruksi yang dapat dibuat pembaca mengenai sebuah
deretan peristiwa yang secara logik dan kronologik saling berkaitan dan
dialami oleh para pelaku.
Alur adalah jalan cerita yang dilukiskan dalam suatu penceritaan
oleh pengarang cerita tersebut. Alur bertujuan untuk mendukung dan
menyimpulkan perjalanan logisnya suatu cerita hingga terjadi insiden
dalam sebuah cerita. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pendapatnya
Teeuw yang menyatakan, bahwa alur adalah semua urutan peristiwa cerita
rekaan yang secara sadar disusun selogis mungkin, sehingga rangka
tersebut merupakan rangkaian sebab akibat (dalam Suastika, 1985 : 51).
Apabila dilihat dari bentuknya, alur dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu alur lurus dan alur sorot balik (flasback). Cerita dapat
dikatakan menggunakan alur lurus apabila peristiwa ceritanya disampaikan
melalui urutan dari awal-tengah-akhir. Sedangkan cerita yang beralur
sorot balik (flasback), apabila urutan peristiwa ceritanya tidak seperti di
atas, melainkan akhir-tengah-awal, atau tengah-awal-akhir (Tim Fakultas
Sastra dan Kebudayaan UGM, 1981/1982 : 14 ).
Berdasarkan atas konsep tersebut, dan dilihat dari cara pengarang
menyusun kejadian-kejadian yang disajikan secara bertahap, sehingga
masuk akal dan jalinan ceritanya mudah dipahami oleh pembaca, maka
dalam cerita Putri Pucuk Gelumpang ini menggunakan alur lurus, dimana
jalan ceritanya selalu digambarkan ke depan tanpa mengungkit
permasalahan dimasa lalu dengan urutan awal-tengah-akhir. Hal ini dapat
dilihat dari insiden-insidennya yang selalu berurutan dan saling
mendukung antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga alur lurus ini
sendiri dapat terlihat dengan jelas.
26
Alur cerita dimulai dari kisah Diceritakan Diceritakan terdapat
seorang juragan yang memiliki dua orang pelayan yang bernama, Lesmana
dan Pedanelam. Kedua pelayan tersebut suka menghasut dan
mempengaruhi Tuannya, dan sang Juragan selalu mempercayainya. Sang
Juragan memiliki seorang istri yang sedang hamil tua.
Pada suatu hari sang Juragan hendak pergi berdagang, namun
sebelum berangkat ia berpesan kepada istrinya jika anak mereka seorang
laki-laki agar membunyikan rantai perak, jika yang lahir perempuan
membunyikan rantai tembaga. Hal ini membuat sang istri menjadi terkejut.
Beberapa hari sepeninggal sang suami, perempuan itu pun melahirkan.
Sungguh malang, ternyata yang lahir seorang bayi perempuan. Karena
membayangkan bayi itu akan dibunuh oleh suaminya, akhirnya sang bayi
dibawa ke dalam hutan dan berhenti dibawah pohon gelumpang.
Perempuan itu meminta tolong kepada pohon gelumpang untuk
merawatnya.
Untuk mengelabuhi sang suami, perempuan itu menangkap seekor
kambing untuk disembelih dan dijadikan gulai. Setelah itu dia
membunyikan rantai tembaga. Sang Juragan yang mendengar bunyi rantai
tembaga tersebut menjadi sangat kecewa karena itu pertanda anak yang
lahir perempuan.
Atas saran kedua pelayannya, ia pun segera pulang ke kampung
halaman dan menyembelih bayinya. Sesampainya di rumah, sang juragan
disambut oleh istrinya dengan mengatakan bahwa sang bayi telah
disembelih dan sudah dibuatkan gulai. Sang juragan beserta kedua
pelayannya sangat senang dan segera menikmati gulai tersebut. Namun
saat menikmati gulai tersebut terdengar bunyi cecak yang menyampaikan
pesan : “yang kalian makan bukan daging bayi, tetapi daging kambing”.
Berulang kali cecak tersebut mengatakan hal demikian kepada mereka.
Sang juragan dan kedua pelayannya curiga dan segera menanyakan kepada
sang istri keadaan yang sebenarnya. Setelah mengetahui keadaan yang
27
sesungguhnya, sang juragan meminta sang istri untuk membawa pulang
anaknya untuk dibunuh.
Setelah itu sang istri menemui pohon gelumpang untuk membawa
pulang anaknya, kini anaknya telah tumbuh menjadi anak yang cantik.
Namun berulang kali dia menolak ajakan untuk pulang, dan akhirnya sang
juragan beserta kedua pelayan datang untuk menjemputnya. Saat sang
juragan berusaha untuk membawanya pulang, terjadi keajaiban setiap kali
sang juragan menyumpit anak itu. Daerah yang disumpitnya berubah
menjadi sebuah emas. Saat dibawa pulang, sang ibu membisik kepadanya
bahwa dia akan dibunuh oleh ayahnya.
Anak itu mencari akal untuk mengelabuhi ayahnya agar terhindar
dari maut dengan cara, ayahnya harus menyiapkan pohon pisang
disampingnya saat akan dibunuh. Saat akan membunuh sang anak, ternyata
anak tersebut menghindar dan akhirnya yang terpotong hanyalah batang
pisang tersebut. Setelah melihat kain tenunan yang tersangkut di
pedangnya, dia menyesali perbuatannya. Menyadari bahwa sang juragan
telah dihasut oleh kedua pelayannya, ia segera membunuh kedua
pelayannya dan kemudian ia pun bunuh diri.
Mengetahui ayahnya telah meninggal, anak tersebut menangis
namun juga bersyukur karena selamat dari ancaman maut. Akhirnya anak
tersebut hidup bahagia bersama ibunya, dan anak tersebut dinamai Putri
Pucuk Gelumpang yang artinya gadis yang dibesarkan di atas pohon
gelumpang.
Adapun kutipan-kutipan yang mendukung mengenai kejelasan alur
dalam cerita Putri Pucuk Gelumpang ini, dapat dilihat kembali pada
insiden-insiden yang telah dipaparkan sebelumnya. Hal ini dikarenakan
keberadaan alur tidak bisa terlepas dari insiden-insiden sebagai salah satu
jembatan peranta dalam hubungan sebab-akibat.
28
3.4 Tokoh dan Penokohan
Tokoh dalam suatu cerita mempunyai peranan yang sangat penting.
Tokoh beraksi dapat menimbulkan insiden serta menggerakkan alur cerita.
Apabila tokoh-tokoh dalam cerita dilihat dari segi wataknya, tidaklah
berbeda dengan manusia, dimana manusia dengan tokoh dalam cerita
sama-sama memiliki perwatakan yang berbeda satu dengan lainnya. Hanya
saja watak tokoh dalam cerita dibuat sengaja oleh pengarang agar
karyanya dapat menarik perhatian pembacanya.
Tentang hal tersebut lebih ditegaskan oleh Tarigan, bahwa
keberhasilan sebuah cipta sastra sangat tergantung pada kecakapan
pengarang menghidupkan tokoh-tokoh melalui imajinasinya. Seorang
pengarang tidak boleh memikirkan tokoh tersebut melulu sebagai potret
yang mati dan statis, tetapi hams memandang dan menyajikannya sebagai
hal yang hidup dan dinamis (1984 : 150). Sementara PanutiSudjiman
(1984 : 58) memberikan pengertian tentang tokoh adalah penciptaan citra
tokoh di dalam karya sastra. Penokohan menyiapkan atau menyediakan
alasan bagi para tokoh, mengapa ia melakukan tindakan-tindakan tertentu,
bagaimana sifatnya (Saleh Saad, 1967 : 123).
Di pihak lain disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan penokohan
adalah sifat-sifat pribadi tokoh (aktor) yang berperan atau bertindak atau
berbicara dalam hubungan alur cerita (Luxemburg, 1984 : 171). Apabila
dilihat dari cara pengarang melukiskan watak-watak tokoh ceritanya ada
dua cara, yaitu (1) dengan cara analitik, pengarang secara langsung
menganalisis watak pelaku melalui penceritaan, (2) dengan cara dramatik,
yaitu pengarang melukiskan watak seorang tokoh tidak secara langsung,
tetapi melalui : (a) lingkungan atau tempat sang tokoh, (b) dialog antar
tokoh-tokoh atau dialog tokoh lain tentang dia. (3) cara analitik yang
panjang dengan dua atau tiga kalimat dramatik atau sebaliknya (Lukman
Ali dalam Sukada, 1976 : 26).
Sebagai tokoh utama dalam cerita Putri Pucuk Gelumpang adalah
Sang Juragan, Istri dan Putri Pucuk Gelumpang, yang dapat ditelusuri
29
dengan cara : Pertama, dilihat dari hubungan antar tokoh, ketiga tokoh ini
berhubungan paling banyak dengan tokoh-tokoh yang lain, Kedua.
hubungannya paling banyak dengan masalah (pokok cerita), Ketiga, ketiga
tokoh ini mendapat forsi penceritaan paling banyak dari tokoh-tokoh yang
lain.
Sedangkan watak atau sifat yang dimiliki oleh ketiga tokoh ini
dilukiskan oleh pengarang secara analitik dan dramatik. Secara analitik
ketiga tokoh ini dilukiskan oleh pengarang secara berbeda. I Pudak
sebagai tokoh seorang yang sebenarnya baik namun cepat terpengaruh
hasutan tidak baik. Sang istri sebagai tokoh seorang ibu yang penurut
namun lemah dan memiliki akal. Putri Pucuk Gelumpang sebagai tokoh
yang raj in, penurut dan sangat penyayang. Berikut kutipannya:
Penggambaran watak tokoh sang Juragan:
mungkin aku tidak bisa menunggu kalhiran bayi kita karena hams
pergi ke perantauan untuk berdagang......(alinial7, hal 21)
jika lahir perempuan, aku harus berbuat bagaimana? (alinial 5 hal
20)
Penggambaran tokoh sang istri:
Apalah daya, perempuan itu pulang ke rumah dan menemui
suaminya. Melihat ia pulang sendiri, suaminya marah-marah. Dia disuruh
kembali membujuk anaknya. Maka perempuan itu mendatangi anaknya
pula di hutan (alinial 35, hal 25)
Penggambaran tokoh Putri Pucuk Gelumpang:
“Maafkan, ibu. Aku sibuk memintal kapas untuk kujadikan kain.
Nanti kalau kainnya sudah selesai, aku akan pulang dan
mempersembahkan kepada ayah tercinta.Sampaikan salam pada ayah....
“(alinial37, hal 25)
30
Selain kedua tokoh diatas, juga ditampilkan tokoh-tokoh lain yang
turut menunjang timbulnya peristiwa dalam rangkaian struktur alur
ceritanya. Tokoh dimaksud adalah tokoh pembantu primer seperti
Lesamana dan Pedenelam. Terhadap tokoh tersebut, pengarang tidak
melukiskan gambaran wataknya secara rinci. Hanya saja disebutkan,
bahwa tokoh pembantu primer yaitu Lesamana dan Pedenelam ialah sosok
tokoh yang suka menghasut orang lain. Pohon Gelumpang hanya
dilihatkan sekilas dalam cerita ini. Pohon Gelumpang disini baik hati dan
penolong.
3.5 Latar
Latar atau sering juga dikenal dengan sebutan setting merupakan
patokan, atau gambaran dasar atas suasana ataupun keadaan yang
menunjukan saat terjadinya insiden-insiden. Sedangkan menurut Sukada
latar adalah salah satu unsur cerita yang berhubungan dengan tempat,
keadaan, dan waktu terjadinyaperistiwa dalam suatu cerita (1983 : 24).
Latar tempat:
Dalam cerita Putri Pucuk Gelumpang ini, latar tempat yang
digunakan sebagian besar terjadi di rumah tokoh, namun pengarang juga
menghadirkan nama sebuah pulau dan tentunya sebuah pohon tempat gadis
tersebut tumbuh. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan berikut:
......Ayahmu sudah datang dari negeri perantauan. Dia
membawakan oleh-olehdari Negeri Pinang berupa tusuk sanggul
mas.....(alinial 27, hal 24)
Perempuan itu bergegas pergi. la menemui Pohon Gelumpang dan
menjumpai anaknya dipucuk sana sudah tumbuh menjadi gadis kecil nan
cantik rupa (alinial 24, bal 24)
Latar Waktu:
31
Dalam cerita Putri Pucuk Gelumpang, latar waktu juga tidak
diperlihatkan secara jelas oleh pengarang.
Latar Suasana:
Dalam cerita Putri Pucuk Gelumpang, latar suasana yang
ditampilkan mendominasi suasana tegang dan mengharukan dimana saat
sang juragan mencari anaknya untuk mencari anaknya di atas pohon
gelumpang. Berikut kutipannya:
Sang Juragan memerintahkan kepada kedua pelayannya agar
membawa dua puluh bilah pedang yang sudah diasah tajam-
tajam.Sedangkan dia sendiri membawa lima bilah. Tak lupapula membawa
sumpit lengkap dengan anak sumpitnya.(alinial40,hal 25)
la menangisi ayahnyayang telah bunuh diri ......(alinial 59,hal 28)
3.6 Tema
Tema adalah gagasan ide atau pikiran utama dalam sebuah karya
sastra yangterungkap ataupun tidak (PanutiSudjiman, 1986: 74).Setiap
karya sastra baik itu berupaprosa ataupun puisi memiliki tema karena tema
merupakan suatu kepaduan pikiran antara pengarang dengan karyanya
yang diungkapkan dalam bentuk peristiwa-peristiwa sesuai dengan
pandangan hidup, pengetahuan, serta emosi yang dituangkan dalam
karyanya.
Adapun tema dari cerita ini sama dengan cerita I Tuung Kuning,
adalah keinginan seorang ayah yang tidak menginginkan kelahiran seorang
anak perempuan. Dalam cerita ini dijabarkan alasan seorang ayah yang
tidak menginginkan seorang anak perempuan karena perempuan lebih
banyak aturan dalam merawatnya.
3.7 Amanat
Amanat adalah suatu gagasan yang mendasari karya sastra; pesan
yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.
Amanat akan selalu berkaitan atau menyentuh hati nurani pembaca, untuk
32
menyadari atau menolaknya (PanutiSudjiman, 1986 : 6). Mursal Esten
memberi suatu pandangan, bahwa amanat yang baik adalah amanat yang
berhasil membukakan keyakinan-keyakinan yang luas dan baru bagi
manusia dan kemanusiaan (1987:23).
Di pihak lain disebutkan, bahwa amanat merupakan keseluruhan
atau isi suatu wacana ; konsep dan perasaan yang hendak disampaikan
pembicara untuk dimengerti dan diterima pendengar. Kesan pembaca
berbeda-beda, tergantung pada tiga faktor yaitu : (1) intuisi dan kepekaan
batin pembaca ; (2) persepsi pembaca ; (3) sikap batin pembaca yang
menunjukkan pandangan hidupnya (Kridalaksana dalam Sukada, 1987 :
89).
Pada cerita ini amanat yang ditampilkan sama dengan cerita I
Tuung Kuning, adalah mengenai keiklasan menerima kelahiran seorang
anak, apalagi anak tersebut adalah anak kandung kita sendiri. Apapun
anak kita nanti agar tetap diterima dan dipelihara dengan baik, karena
setiap anak pastinya memiliki kelebihan dan kekurangan. Tergantung
bagaimana kita membesarkan dan mendidiknya.
33
BAB IV
ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN
(I TUUNG KUNING DAN PUTRIPUCUK GELUMPANG)
4.1 Analisis Persamaan dan Perbedaan
4.1.1 Analisis Persamaan
Kedua cerita rakyat diatas, yakni I Tuung Kuning dan Putri
PucukGelumpang, memiliki suatu persamaan, yaitu :
MOTIF
Yang dimaksud dengan istilah motif adalah unsur-unsur suatu cerita
(narratives elements). Motif teks suatu cerita adalah unsur cerita itu
menonjol dan tidak biasa sifatnya. Persamaan motif antara kedua cerita
tersebut adalah;
a) Keinginan seorang ayah yang tidak menginginkan anak perempuan.
Dalam cerita rakyat Bali (I Tuung Kuning), disebutkan bahwa
disini sang ayah tidak menginginkan seorang anak perempuan. Disini
sang ayah yang pergi untuk merantau menitipkan pesan kepada sang
istri yang sedang hamil, jika anak mereka laki-laki agar dirawat dengan
baik, namun jika perempuan agar dibunuh. Ini disebabkan pakiran dan
mereka yang menganggap anak perempuan lebih merepotkan. Pada
cerita rakyat Aceh (Putri Pucuk Gelumpang) juga memiliki motif yang
sama.
b) Pertumbuhan dari anak perempuan tersebut sangat baik
Kedua cerita rakyat ini, menceritakan pertumbuhan dari anak
perempuan yang tidak diinginkan oleh ayahnya ini sangat baik, artinya
mereka menjadi anak yang raj in, penurut dan berbakti. Hal ini bisa
dibuktikan, bahwa anak perempuan maupun laki-laki sama saja, kini
tergantung orang tua yang membesarkan dan mendidiknya sesuai
dengan kelebihan dan kekurangan sang anak.
34
c) Seorang ibu yang lemah, penurut dengan suaminya namun punya
banyak akal.
Kedua cerita rakyat ini sama-sama menceritakan seorang ibu
yang lemah dalam arti ibu yang tidak berdaya melawan perintah
suaminya untuk mencari anak mereka yang diketahui masih hidup
untuk dibunuh. Namun ibu ini memiliki akal untuk melindungi
anaknya, meskipun akhirnya diketahui oleh suami mereka.
TEMA CERITA
Tema cerita adalah gagasan pokok, ide pikiran yang dituangkan
oleh pengarang dalam sebuah cerita. Kedua tema memiliki kesamaan yaitu
pikiran dari seorang ayah yang tidak ingin memiliki seorang anak
perempuan, karena anak perempuan dianggap lebih merepotkan.
4.1.2 Analisis Perbedaan
Kedua cerita di atas , I Tuung Kuning dan Putri Pucuk Gelumpang
selain memiliki persamaan tentunya juga memiliki perbedaan yaitu:
a) Bahasa
Kedua naskah ini tentunya memiliki perbedaan dari segi bahasa,
I Tuung Kuning menggunakan bahasa Ball sedangkan Putri Pucuk
Gelumpang menggunakan bahasa Indonesia. Sebenarnya mungkin
naskah ini menggunakan bahasa Aceh namun kali ini disajikan dengan
bahasa Indonesia.
b) NamaTokoh
Cerita dari I Tuung Kuning memiliki nama tokoh-tokoh yang
berbeda dengan nama tokoh cerita Putri Pucuk Gelumpang. Dari judul
ceritanya saja kita sudah mengetahui nama tokoh yang berbeda.
Misalnya dalam cerita I Tuung Kuning disini sang ayah bernama I
Pudak sedangkan dalam cerita Putri Pucuk Gelumpang bernama Sang
Juragan. Sang anak yang menjadi tokoh sentral bernama I Tuung
Kuning dan Putri Pucuk Gelumpang. Kedua naskah ini juga dari segi
35
kehadiran tokoh memiliki perbedaan, pada cerita I Tuung Kuning
tokoh kedua pelayan tidak terdapat dalam cerita, namun pada cerita
Putri Pucuk Gelumpang hadir dua tokoh sebagai pelayan, yaitu
Lesamana dan Pedanelam.
c) Latar Tempat Cerita
Dalam cerita I Tuung Kuning tentunya latar yang digunakan
sudah pasti memiliki ciri khas tempat-tempat di Bali, seperti dalam
cerita ini ada kata-kata Puri kata ini berarti nama tempat kerajaan di
Bali. Sedangkan di cerita Putri Pucuk Gelumpang terdapat kata-kata
yang menyebutkan daerah sekitar Aceh, seperti Pulau Pinang.
d) Beberapa Insiden yang berbeda
Insiden yang berbeda yang dimaksud adalah adanya bagian-
bagian cerita yang berbeda yang ditampilkan kedua cerita ini. Seperti ;
pada cerita I Tuung Kuning, sang ibu setelah melahirkan membawa
anaknya ke nenek sang bayi, namun ari-arinyadikasik ayam, sedangkan
pada cerita Putri Pucuk Gelumpang sang ibu langsung membawa
anaknya ke hutan, dan minta tolong kepada sebuah Pohon Gelumpang
untuk merawatnya, dan mencari seekor kambing untuk dijadikan gulai
agar dapat mengelabui suaminya. Selain itu terdapat pula insiden yang
berbeda dari kedua cerita yaitu bunyi yang memberitahukan kepada
sang ayah tentang kejadian sebenarnya, seperti pada cerita I Tuung
Kuning, seekor ayam yang berbunyi sedangkan pada cerita Putri Pucuk
Gelumpang seekor cecak. Namun yang disampaikan sama, yaitu
menceritakn kejadian sebenarnya. Serta terdapat pula insiden yang
berbeda, yaitu pada saat sang ayah akan membunuh sang anak, pada
cerita I Tuung Kuning sang anak ditolong oleh bidadari dengan
menggantikannya dengan gedebong(batang pisang), sedangkan pada
cerita Putri Pucuk Gelumpang sebelum dibunuh sang anak mempunyai
akal, agar ayahnya menyiapkan batang pisang agar ditaruh
disampingnya, ia selamat karena berhasil kabur.
36
e) Perbedaan Motif Cerita Akhir
Dalam cerita I Tuung Kuning, akhir cerita ia dinikahkan oleh
sang raja di daerahnya dan ayahnya menjadi seorang prebekel, namun
pada cerita Putri Pucuk Gelumpang ia tinggal bahagia bersama
ibunya,namun ayahnya telah bunuh diri.
f) Latar Belakang Sosial Masyarakat
Setiap daerah di Nusantara pastinya memiliki latar belakang
sosial yang berbeda begitu pula kedua cerita ini,memiliki sosial budaya
yang berbeda, sesuai daerah asal cerita. Yakni latar belakang sosial
masyarakat Bali dan masyarakat Aceh.
Demikianlah segi perbedaan antara cerita I Tuung Kuning yang
berasal dari Bali dan Putri Pucuk Gelumpang yang berasa dari Aceh.
37
BABV
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan karya-karya sastra di
Nusantara memiliki kaitan yang sangat erat, baik dari bentuk yang naratif
(prosa) maupun dari segi isi cerita. Ini bisa terjadi kemungkinan
pengarang dari kedua cerita saling mengenal, salah satu dari mereka saling
mengidolakan sehingga karya sastra yang dihasilkan memiliki kemiripan
dari segi cerita. Pengaruh budaya luar yang masuk ke daerah tersebut juga
memiliki pengaruh kuat dalam karya sastra yang tercipta. Seperti cerita
rakyat “I Tuung Kuning dan Putri Pucuk Gelumpang” memiliki kemiripan
dari segi motif dan tema yaitu ketidakinginan seorang ayah memiliki
seorang anak perempuan. Ini masih terjadi pada masyarakat di daerah-
daerah yang memiliki sistem tradisi patrillinial. Namun kedua cerita
rakyat ini juga memiliki perbedaan yaitu baik dari bahasa, nama tokoh,
beberapa insiden berbeda yang terjadi, latar tempat cerita, perbedaan pada
motif akhir cerita, dan latar belakang sosial masyarakatnya. Untuk itu
sebuah kajian perbandingan nusantara perlu dilakukan terhadap karya
sastra lainnya di nusantara, agar kita dapat mengetahui berbagai bentuk
kebudayaan yang terdapat dalam cerita tersebut.
5.2 Saran
Adapun saran-saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut:
a. Cerita rakyat sebagai sebuah karya sastra tradisional keberadaannya
perlu dilestarikan. Karena cerita rakyat seperti satua, dongeng, legenda
diciptakansebagai salah satu media pendidikan pada jaman dahulu. Hal
ini tak terlepas dari keberadaannya sebagai sebuah karya sastra,
dimana didalamya banyak dituangkan tentang nilai-nilai maupun
amanat-amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam karya
38
sastranya. Hal ini tentunya akan sangat berguna dalam kehidupan
masyarakat.
b. Sebaiknya karya sastra seperti cerita rakyat diperkenalkan secara luas
khususnya untuk masyarakat Bali, sehingga sedikit tidaknya dengan
mempelajari cerita, masyarakat menjadi tahu tentang keberadaan karya
sastra tradisional Bali.Sehingga dapat digunakan sebagai media
pendidikan generasi muda khususnya anak-anak.
c. Selain dilestarikan, karya sastra seperti cerita rakyat sangat perlu untuk
dipelajari secara lebih mendalam melalui penelitian-penelitian seperti
dalam peper ini dan tentunya perlu dikembangan secara luas, guna
memberikan suatu porsi yang luas pada karya sastra Bali, khususnya
Cerita rakyat.
d. Penelitian karya sastra dengan kajian perbandingan sastra agar lebih
ditingkatkan agar kita dapat menambah wawasan akan kekayaan karya
sastra di nusantara.
39
DAFTAR PUSTAKA
Luxemburg, Jan Van dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesiakan
oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia.
Luxemburg, Jan Van, dkk. 1986. “Pengantar Ilmu Sastra “. Jakarta: PT
Gramedia. Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta :
PT. Gramedia.
Sudjiman, Panuti, (ed). 1986. “Kamus Istilah Sastra”. Jakarta: PT
Gramedia.
Saad, M. Saleh. 1967. Chairil Anwar dan Telaah Kesusastraan (Sebuah
Catalan Kecil) dalam Bahasa Dan Kesusastraan Indonesia Sebagai
Cermin Masyarakat Indonesia Baru. Lukman Ali (ed.). Jakarta:
Gunung Agung.
Suastika.1985. “Kekawin Limbiwicitra Analisis Struktur dan Fungsi”.
Tesis S2. Yogyakarta : FaksasUniversita Gajah Mada.
Sukada, Made. 1976. “Masalah Sistematisasi Analisa Cipta Sastra”.
Denpasar : Yayasan Ilmu dan Seni Lembaga Seniman Indonesia
Bali (Lesibia).
,1982.MasalahSistematikaCiptaSastra.LembagaPenelitian
Dokumentasi FaksasUnud.
1983. Pendekatan Struktural Dalam Karya Sastra Modern.
Denpasar : Jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia FS Unud.
40
1993. “Pembinaan Kritik Sastra Indonesia Masalah Sistematika
Analisis Struktur Fiksi”. Bandung : Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. “Prinsip-prinsip Dasar Sastra”. Bandung :
Angkasa. Teeuw, A .1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori
Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya
1991. “Membaca dan Menilai Sastra”. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
top related