digilibadmin.unismuh.ac.id · amnesty: jurnal riset perpajakan p-issn: 2714-6308 e-issn: 2714-6294...
TRANSCRIPT
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
90
TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
DALAM MELAPORKAN e-SPT PAJAK PENGHASILAN PADA
KANTOR PAJAK (KPP) PRATAMA MAKASSAR BARAT
Abdul Wahab Administrasi Bisnis, Politeknik Informatika Nasional
email:[email protected]
Abstract
This study aims to determine the level of individual taxpayer compliance in reporting e-SPT income tax at the Pratama West Makassar Tax Office (KPP). The type of research used is descriptive and qualitative where the researcher describes the results of the observations and analyzes the data based on what is obtained in the field. The research was conducted from 1st May to 31 June 2020. And after conducting analysis and discussion at the West Makassar tax service office (KPP), the researchers concluded that the level of taxpayer compliance at the West Makassar Tax Office (KPP) Pratama West Makassar shows that individual taxpayers in reporting e-SPT Taxes in a timely manner are classified as lacking. obey this because the percentage level of compliance from 2018 to 2019 has decreased from year to year. Due to several factors, namely the taxpayer does not know the due date for reporting the e-SPT for Income Tax, the taxpayer forgets to report t he e-SPT and also the taxpayer is not in Makassar City so that the taxpayer cannot report the e-SPT.Abstract written in English which contains the main issues, research objectives, methods / approaches and research results. Abstract written in one alenia, no more than 250 words.
Keywords: Compliance level, taxpayers, West Makassar Primary Service Office (KPP), income tax A
Abstrak
Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Melaporkan e-SPT Pajak Penghasilan Pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Makassar Barat. Jenis Penelitian yang digunakan adalah deskriptif dan kualitatif dimana peneliti menggambarkan hasil observasi dan menganalisis data berdasarkan yang diperoeh dilapangan. Penelitian dilakukan mulai dari tanggal 1 Mei sampai tanggal 31 Juni 2020. Dan setelah melakukan analisis dan pembahasan di kantor pelayanan pajak (KPP) Pratama Makassar Barat maka peneliti berkesimpulan tingkat kepatuhan wajib pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Makassar Barat menunjukkan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Melaporkan e-SPT Pajak secara tepat waktu tergolong kurang patuh hal ini dikarenakan persentase tingkat kepatuhan dari tahun 2018 sampai 2019 yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Dikarenakan adanya beberapa faktor yaitu Wajib Pajak tidak mengetahui tanggal jatuh tempo pelaporan e-SPT Pajak Penghasilan, Wajib Pajak lupa melaporkan e-SPT dan juga Wajib Pajak tidak berada di Kota Makassar sehingga Wajib Pajak tidak dapat melaporkan e-SPT.
Kata Kunci: Tingkat kepatuhan, Wajib Pajak, Kantor Pelayanan (KPP) Pratama Makassar Barat, Pajak Penghasilan
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
91
1. PENDAHULUAN
Pemungutan pajak dilakukan
berdasarkan norma-norma hukum dan
bersifat memaksa sehingga penolakan
untuk membayar pajak atau
menghindarinya pada umumnya
termasuk pelanggaran hukum.
Untuk meningkatkan penerimaan
negara dari sektor pajak Peraturan
Perundang-undangan Perpajakan harus
dilaksanakan dengan tepat dan benar
oleh Wajib Pajak, pemotong/pemungut
pajak serta pegawai pajak.Selain itu
pemerintah memberikan kebijakan-
kebijakan di bidang perpajakan yang
bertujuan untuk memberikan dorongan
agar tingkat kepatuhan Wajib Pajak
semakin meningkat sehingga
berpengaruh terhadap penerimaan
negara dari sektor pajak.
Pada awal tahun 2005 Direktorat
Jenderal Pajak mengeluarkan sistem
administrasi perpajakan yang
memanfaatkan teknologi yaitu e-System
atau Electronic System. Sistem elektronik
untuk administrasi pajak tersebut
diantaranya adalah e-Registration, e-
Filling, e-SPT, dan e-Billing. Modernisasi
teknologi ini diyakini akan menjadi salah
satu pilar penting dari reformasi
perpajakan karena akan sangat
bermanfaat sebagai upaya peningkatan
tax ratio, penghindaran dan penggelapan
pajak, serta mendorong kepatuhan wajib
pajak.Peraturan pemerintahdalam PER-
03/PJ/2015 menjelaskan tentang
perubahan penyampaian Surat
Pemberitahuan (SPT) menjadi Surat
Pemberitahuan Elektronik (e-
SPT).Dengan kemudahan yang diberikan
dalam melaporkan e-SPT, maka Wajib
Pajak dapat melakukan pelaporan e-SPT
PPh dengan mudah.Peran pajak dalam
meningkatkan pembangunan diberbagai
sektor kehidupan tentu tidak dapat
dipungkiri. Namun tidak banyak rakyat
yang menyadari hal tersebut. Sampai
saat ini dapat dilihat bahwa kepatuhan
membayar pajak oleh wajib pajak masih
rendah. Untuk memaksimalkan
penerimaan pajak maka dibutuhkan
tingkat kepatuhan wajib pajak yang
tinggi.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian pajak
Pengertian pajak menurut Undang-
Undang Republik Indonesia No. 6 tahun
2009 tentang Ketentuan Umum Dan Tata
Cara Perpajakan adalah sebagai berikut :
“ Pajak adalah kontribusi wajib
pajak kepada Negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk
keperluan Negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Menurut Rochmad Soemitro,
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas
negara berdasarkan UndangUndang
(yang dapat dipaksa) dengan tidak
mendapat jasa timbal (kontraprestasi)
yang langsung dapat ditunjuk dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran
umum”. (Adriani & Alief Ramdan, 2020)
Menurut Prof.Dr.P.J.A Adriani yang
dalam (Pohan, 2014) Pajak adalah iuran
kepada Negara (yang dapat dipaksakan)
terhitung oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan yang tidak
mendapat prestasi kembali yang
gunanya untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubungan dengan
tugas Negara yang menyelenggarakan
pemerintahan.
Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP)
Menurut Puspa (2017) dalam
(Mariana, 2018) Wajib Pajak orang
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
92
pribadi dibagi menjadi dua, yaitu Wajib
Pajak subjek dalam negeri dan Wajib
Pajak luar negeri.
Surat Pemberitahuan Elektronik (e-
SPT)
Pengertian Surat Pemberitahuan
Elektronik (e-SPT) e-SPT atau biasa
disebut dengan elektronik SPT menurut
(Direktorat Jenderal Pajak, 2016) adalah
aplikasi yang dibuat oleh Direktorat
Jenderal Pajak dan digunakan oleh Wajib
Pajak untuk kemudahan dalam
menyampaikan SPT dengan
memanfaatkan perkembangan teknologi
saat ini.
Dasar hukum terkait lapor SPT
elektronik atau e-SPT adalah Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
03/PJ/2015 yang berlaku sejak 13
Februari 2015 tentang penyampaian SPT
elektronik. Dalam PER-03/PJ/2015 pasal
4 disebutkan bahwa Wajib Pajak yang
harus menyampaikan SPT Tahunan Pajak
Penghasilan dalam bentuk dokumen
elektronik atau e-SPT.
Peraturan Dirjen Pajak No. PER-
02/PJ/2019 tentang Tata Cara
Penyampaian, Penerimaan, dan
Pengolahan Surat Pemberitahuan
menjadi acuan terkini bagi wajib pajak
(WP). Salah satu pertimbangan
munculnya peraturan tersebut adalah
untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi penerimaan dan pengolahan
SPT. Selain itu, peraturan ini juga
diterbitkan untuk memberi kepastian
hukum kepada WP terkait dengan
penyampaian SPT.
Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Machfud Sidik dalam
Menurut Machfud Sidik dalam
(Lasmanawati, 2015) mengatakan bahwa
kepatuhan Wajib Pajak adalah memenuhi
mengatakan bahwa kepatuhan Wajib
Pajak adalah memenuhi kewajiban
perpajakan secara sukarela merupakan
tulang punggung sistem self assessment,
dimana Wajib Pajak betanggungjawab
menetapkan sendiri kewajiban
perpajakan dan kemudian secara akurat
dan tepat waktu membayar dan
melaporkan pajaknya tersebut.
Ukuran Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Keputusan Menteri
Keuangan No. 235/KMK.03/2003
mengatakan bahwa kriteria kepatuhan
Wajib Pajak antara lain:
1) Tepat waktu dalam menyampaikan
SPT Tahunan dalam 2 (dua) tahun
terakhir;
2) Dalam tahun terakhir penyampaian
SPT Masa yang terlambat tidak lebih
dari 3 (tiga) masa pajak untuk setiap
jenis pajak dan tidak berturut-turut.
3) SPT Masa yang terlambat telah
disampaikan tidak lewat dari batas
waktu penyampaian SPT Masa pajak
berikutnya;
4) Tidak mempunyai tunggakan pajak
untuk semua jenis pajak,
5) Tidak pernah dijatuhi hukuman
karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan dalam jangka
waktu 10 tahun terakhir;
6) Dalam laporan keuangan diaudit
oleh akuntan publik atau Badan
Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) harus dengan
pendapat wajar tanpa pengecualian
atau pendapat wajar dengan
pengecualian sepanjang tidak
mempengaruhi laba rugi fiskal.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini berlangsung di
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
Makassar Barat yang terletak di Jalan
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
93
Balaikota 15, di mulai sejak bulan Mei
sampai tanggal Juni 2020.
Jenis penelitian adalah penelitian
kualitatif dan teknik analisis penelitian
menggunakan deskriptif kualitatif.
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian yaitu observasi, dokumentasi
dan wawancara
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di KPP
Pratama Makassar Barat. KPP Pratama
Makassar Barat merupakan instansi yang
melaksanakan administrasi perpajakan
untuk jenis Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Tidak Langsung lainnya. Namun dalam
penelitian ini berfokus pada Wajib Pajak
orang pribadi untuk jenis pajak
penghasilan.
Berikut ini peneliti telah
menyajikan data mengenai jumlahWajib
Pajak orang pribadi pajak penghasilan
yang terdaftar dan jumlah Wajib Pajak
orang pribadi yang melaporkan e-SPT
PPh secara tepat waktu di KPP Pratama
Makassar Barat.
Tabel 1 Wajib Pajak Orang Pribadi
Pajak Penghasilan Terdaftar
Sumber: Seksi PDI KPP Pratama Makassar
Barat, 2018
Tabel 2 Wajib Pajak Yang Melaporkan
e-SPT PPh Tepat Waktu
Sumber: Seksi PDI KPP Pratama
Makassar Barat, 2018
Saat pertama kali e-SPT diterapkan
di KPP Pratama Makassar Barat tahun
2015 kendala yang dihadapi dalam
penerapannya yaitu pertama sulitnya
mengajarkan dan memperkenalkan
aplikasi e-SPT kepada Wajib Pajak. Wajib
Pajak yang terdaftar di KPP Pratama
Makassar Barat terdiri dari beberapa
kelompok umur. Kelompok umur Wajib
Pajak yang telah memasuki usia lanjut
merupakan faktor yang paling sulit
ketika e-SPT diterapkan. Hal ini
dikarenakan kelompok umur Wajib Pajak
yang telah memasuki usia lanjut tidak
mengetahui tata cara pelaporan SPT
berbasis elektronik atau yang biasa
disebut e-SPT. Selain kemudahan dalam
tata cara pengisian, e-SPT juga memilki
kekurangan dalam hal tampilan yang
kurang menarik.
Pada dasarnya aplikasi e-SPT telah
dibuat sama persis dengan formulir SPT
yang sebenarnya. Jika SPTdiisi dari
belakang sampai kedepan maka aplikasi
e-SPT juga samavtampilan paling
pertama adalah tampilan paling belakang
sampai dengan tampilan induknya.
1. Wajib Pajak Orang Pribadi Pajak
Penghasilan yang Terdaftar
Berdasarkan Tabel 1 dijelaskan
bahwa Jumlah WP OP PPh terdaftar
setiap tahunnya mengalami
peningkatan. Hal ini dapat dilihat
pada tahun 2018 sebanyak 100.510
Wajib Pajak yang terdaftar tahun
2019 meningkat menjadi 105.873.
Jumlah Wajib Pajak orang pribadi
pajak penghasilan pada tahun 2018
ke tahun 2019 mengalami
peningkatan sebanyak 5.363 Wajib
Pajak atau 6,21% dari jumlah Wajib
Pajak orang pribadi pajak
penghasilan terdaftar tahun 2018.
Meningkatnya jumlah Wajib Pajak
No Tahun PajakJumlah WP OP PPh
Terdaftar
1 2018 100,510
2 2019 105,873
No Tahun Pajak
Jumlah WP OP PPh Yang
Melaporkan e-SPT PPh Tepat
Waktu
1 2018 2,761.05
2 2019 2,367
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
94
orang pribadi setiap tahun
membuktikan bahwa masyarakat
memliki kesadaran untuk
mendaftarkan dirinya secara
sukarela untuk menjadi Wajib Pajak
dan membayarkan pajak
terutangnya. Dengan mendaftarkan
diri menjadi Wajib Pajakakan
menambah pendapatan Negara dan
pajak yang telah dibayarkan
digunakan untuk membiayai seluruh
pembiayaan dan pengeluaran yang
dilakukan oleh pemerintah dalam
membangun fasilitas yang nantinya
akan digunakan oleh masyarakat.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi Yang
Melaporkan e-SPT PPh Tepat
Waktu
Pada Tabel 2 Wajib Pajak orang
pribadi yang melaporkan e-SPT PPh
tepat waktu pada tahun 2018 sebanyak
2.761 Wajib Pajak, tahun 2019
jumlahnya sebanyak 2.367 Wajib Pajak.
3. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak
Orang Pribadi Yang Melaporkan
e-SPT PPh Tepat Waktu
Tabel 3 Persentase Tingkat
Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
yang Melaporkan e-SPT PPh Secara
Tepat Waktu
Sumber: Data diolah, 2020
Dari tabel diatas dijelaskan bahwa
pada tahun 2018 jumlah Wajib Pajak
orang pribadi yang terdaftar untuk jenis
pajak penghasilan sebanyak 100,510
Wajib Pajak dengan jumlah Wajib Pajak
orang pribadi yang melaporkan e-SPT
PPh tepat waktu sebanyak 2.761 Wajib
Pajak dan persentase tingkat
kepatuhansebesar 6,21%.
Pada tahun 2019 jumlah Wajib
Pajak orang pribadi yang terdaftar untuk
jenis pajak penghasilan meningkat
menjadi 105.873 Wajib Pajak dengan
jumlah Wajib Pajak orang pribadi yang
melaporkan e-SPT PPh tepat waktu
sebanyak 2.367 Wajib Pajak dan
persentase tingkat kepatuhan sebesar
2,24%.
Berdasarkan data yang telah
disajikan oleh peneliti, menunjukkan
bahwa tingkat kepatuhan Wajib Pajak
orang pribadi dalam Melaporkan e-SPT
PPh secara tepat waktu tergolong kurang
patuh hal ini dikarenakan persentase
tingkat kepatuhan yang semakin
menurun dari tahun ke tahun.
4. Faktor Penghambat Wajib Pajak
Dalam Melaporkan e-SPT Secara
Tepat Waktu
Faktor-faktor yang mempengaruhi
Wajib Pajak dalam melaporkan e-
SPT secara tepat waktu antara lain:
a. Wajib Pajak tidak mengetahui
tanggal jatuh tempo pelaporan e-
SPT Pajak Penghasilan
b. Wajib Pajak lupa melaporkan e-
SPT; dan
c. Wajib Pajak sedang tidak berada
di Kota Makassar sehingga tidak
dapat melaporkan e-SPT.
5. Upaya Dalam Peningkatan
Pelaporan e-SPT
Adapun upaya yang dilakukan
oleh KPP Pratama Makassar Barat
dalam meningkatkan kepatuhan
Wajib Pajak untuk melaporkan e-
SPT PPh antara lain:
No Tahun PajakJumlah WP OP PPh
Terdaftar
Jumlah WP OP PPh
Yang Melaporkan e-
SPT Tepat Waktu
Persentase
Tingkat
Kepatuhan
1 2018 100,510 2,761.06 6,21%
2 2019 105,873 2,367 2,24%
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
95
a. Mengingatkan Wajib Pajak
Saat berada di Tempat Pelayanan
Terpadu (TPT) KPP Pratama
Makassar Barat Wajib Pajak
diingatkan kembali agar
melaporkan e-SPT secara tepat
waktu untuk bulan berikutnya.
b. Penyuluhan
Seksi ekstensifikasi melakukan
penyuluhan kepada Wajib Pajak
agar melaporkan e-SPT secara
tepat waktu.
c. Pemberian Sanksi keterlambatan
lapor e-SPT
Untuk keterlambatan lapot e-SPT
PPh Wajib Pajak orang pribadi
akan dikenakan denda sebesar
Rp 100,000,- (seratus ribu
rupiah).
5. PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan yang diuraikan pada bab
sebelumnya, maka peneliti menarik
kesimpulan bahwa tingkat kepatuhan
Wajib Pajak orang pribadi dalam
melaporkan e-SPT PPh secara tepat
waktu tergolong kurang patuh hal ini
dikarenakan persentase tingkat
kepatuhan yang semakin menurun dari
tahun ke tahun. Tingkat kepatuhan Wajib
Pajak orang pribadi dalam melaporkan e-
SPT PPh secara tepat waktu pada tahun
2018 sebesar 6,21%, dan selanjutnya
pada tahun 2019 mengalami penurunan
tingkat kepatuhan menjadi 2,24%.
5.2 Saran
Adapun saran penulis adalah sebagai
berikut:
1. Bagi Wajib Pajak perlu ditingkatkan
kepatuhan dan kesadaran dalam
melaporkan e-SPT PPh secara tepat
waktu.
2. Bagi KPP Pratama Makassar Barat
agar melakukan penyuluhan kepada
Wajib Pajak mengenai e-SPT dan
betapa pentingnya melaporkan e-SPT
secara tepat waktu.
3. Bagi peneliti selanjutnya agar
menambah variabel lain yang tidak
terdapat dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Pustaka Jurnal
Adriani, & Alief Ramdan. (2020). Analisis Pemeriksaan dalam Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Badan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanah Abang SatuTahun 2016-2018. JUPASI (Jurnal Pajak Vokasi), 79-85.
Lasmanawati, A. (2015). Pengaruh Kualitas Pelayanan Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Madya Bandung , 17-18.
Mariana, L. (2018). Peran E-Spt Terhadap Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Melaporkan Pajak Penghasilan (Pph) Pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Makassar Barat. Jurnal Ekonomi Balance, 12(2), 132-148.
Pustaka Buku
Pohan, C. A. (2014). Perpajakan Indonesia Teori dan Kasus. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Web
Direktorat Jenderal Pajak. (2016, Maret 24). Penyampaian SPT Elektronik. Dipetik Juni 20, 2020, dari www.pajak.go.id
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2015
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
96
Peraturan Menteri Keuangan No. 235/KMK.03/2003
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
97
EFEKTIVITAS PENERIMAAN PAJAK HOTEL DAN TEMPAT
WISATA PADA PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN
MAROS
Masrullah
Universitas Muhammadiyah Makassar
Abstract
This study aims to provide an overview of the effectiveness of ollecting local taxes on hotel taxes and
tourist attractions in the 2013 maros regency financial institutions up to 2017. To achieve the purpose of
this study, the research method used is qualitative field research or failed research with a descriptive
approach that provides a clear picture of the problem of the problem under study, interpret and explain
the data systematically obtained from the office of the regional finance agency in maros regency, which is
conducting interviews with respondents containing sstatements. Based on the results of local tax
collection it can be concluded that the level of effectiveness of hotel and tourist tax revenues in maros
regency is not effective and is quite effective with achievement rates covering 100%. In hotel tax receipts
ini 2013 to 2017 maros regency has been effective at 118,408% and tax revenue can be as early as 2013
to 2017 effective 72,00%.
Keywords : effectiveness of local tax revenue, of regional financial institutions
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang efektivitas pemungutan pajak daerah pada
pajak hotel dan tempat wisata di Badan Keuangan Daerah Kabupaten Maros 2013 sampai 2017. Untuk
mencapai tujuan penelitian ini maka metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, jenis penelitian
yaitu penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan deskriptif. yakni memberikan gambaran
secara jelas mengenai masalah-masalah yang diteliti, meng-interprestasikan serta menjelaskan data secara
sistematis yang diperoleh dari kantor Badan Keuangan Daerah Kabupaten Maros, yaitu melakukan
wawancara kepada responden yang berisi pertanyaan pertanyaan. Berdasarkan hasil pemungutan pajak
daerah dapat disimpulkan bahwa tingkat efektivitas penerimaan pajak hotel dan tempat wisata di
kabupaten maros sudah efektif dan cukup efektif dengat tingkat pencapaian mencakup 100%. Pada
penerimaan pajak hotel di tahun 2013 -2017 kabupaten maros sudah efektif sebesar 118,408% dan
penerimaan pajak wisata di tahun 2013-2017 cukup efektif sebesar 71,00%.
Kata kunci: Efektivitas penerimaan Pajak Daerah , Badan Keuangan Daerah
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
98
1. PENDAHULUAN
Lahirnya Undang-undang No. 23
Tahun 2014 memberikan warna baru
dalam dinamika pelaksanaan urusan
pemerintah yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah. Pada UU Pemda
2014 secara konsiten mendefinisikan
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantu dengan menggunakan frasa
“urusan pemerintah” yang berarti
pembentuk undang-undang menyadari
bahwa objek hubungan pusat dan daerah
adalah urusan pemerintahan. Dalam
definisi UU Pemda 2004 yang
memerlukan perhatian lebih
dibandingkan dengan definisi obyek
utama dari hubungan pusat dan daerah
adalah urusan pemerintahan, pada UU
pasal 1 ayat 2, 5, 6 Pemda 2004 urusan
pemerintahan hanya diletakkan dalam
definisi pemerintahan daerah, otonomi
daerah, dan daerah otonom.
Perkembangan Undang-undang
tersebut maka pemerintah daerah dalam
melaksanakan pembangunan daerahnya
mempunyai wewenang untuk
menentukan arah pembangunan
didaerahnya masing – masing.
Pembangunan adalah usaha untuk
menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Lebih luas lagi
pembangunan ekonomi diartikan sebagai
usaha – usaha untuk meningkatkan taraf
hidup suatu bangsa yang seringkali
diukur dengan tinggi rendahnya
pendapatan riil per kapita (Irwan &
Suparmoko, 2002). Dengan rangka
pembangunan nasional, pembangunan
daerah yang merupakan bagian integral
dari pembangunan nasional diarahkan
untuk mengembangkan daerah dan
menyerasikan laju pertumbuhan antara
daearah, daerah kritis, daerah
perbatasan dan daerah terbelakang
lainnya.
Pendapatan asli daerah adalah
pendapatan yang diperoleh daerah yang
dipungut berdasarkan peraturan daerah
yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pendapatan ini
bersumber dari pajak daerah, retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah yang
bertujuan untuk memberikan
keleluasaan kepada daerah dalam
menggali pendanaan dalam pelaksanaan
otonomi daerah sebagai perwujudan
asas desentralisasi. (penjelasan atas UU
No. 33 tahun 2004)
Dilihat dari sisi pendapatan,
kemampuan pemerintah dalam
peningkatan pendapatan daerah dari
sektor Pendapatan asli daerah, yaitu
pajak daerah, retribusi daerah dan lain-
lain pendapatan asli daerah yang sah
secara kesinambungan mulai lemah.
Kewenangan pengelolaan
keuangan daerah berimplikasi tuntutan
kepada pemerintah daerah untuk
membuat laporan keuangan yang
transparansi informasi anggaran kepada
publik. Perhotelan dan parwisata banyak
dikembangkan di Negara-negara dunia
termasuk di Indonesia yang sebagai
salah satu primadona penghasil devisa
salah satu faktor yang mendorong
berkembannya perhotelan dan parwisata
di Indonesia adalah Negara kepulauan
terbesar di dunia dengan luas wilayah
sebesar 1.904.569 km2 dengan jumlah
pulau sebanyak 17.508 Pulau.
Kabupaten Maros merupakan
salah satu daerah tujuan daerah wisata
internasional dan domistik, yang
memiliki berbagai obyek wisata dan kaya
akan khasanah seni, budaya dan
kerajinan dimana hal tersebut menjadi
daya tarik bagi wisatawan. Pemandangan
alam, pegunungan yang luas, keindahan
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
99
pantai serta kreatifitas seni dan
kerajinan tangan yang merupakan aspek
lain dari keunikan budaya Kabupaten
Maros juga menjadi daya tarik
wisatawan. Hotel, restoran dan tempat
hiburan menjadi fasilitas yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
para wisatawan sehingga fasilitas dan
pelayanan harus memadai.
Kantor bupati maros menjadi
salah satu banguan yang menjadi ciri
khas Kabupaten Maros sekaligus menjadi
kebanggaan warga maros. Banyak objek
untuk wisatawan datang berkunjung ke
Kabupaten maros. Bandara Udara Sultan
Hasanuddi yang terletak di batas kota
Makassar dan Maros yang juga menjadi
tempat yang banyak dikunjungi. Letak
dari kota maros hanya di tempuh dalam
waktu 10 menit (7 kilometer). Sejalan
dengan usaha untuk meningkatkan
perekonomian daerah, maka pemerintah
daerah kabupaten maros di haruskan
memiliki kemampuan untuk dapat
mengembangkan potensi-potensi
ekonomi yang dimiliki wilayahnya secara
lebih efektif dan efisien.
Untuk mengembangkan potensi-
potensi ekonomi pemerintah, kabupaten
maros sangat memanfaatkan potensi
alam dan pembangunan yang bisa
menjadikan daya tarik wisatawan
dengan membangun dan membuka
tempat wisata yang dapat di sediakan
dalam daerah maros itu sendiri. Selain
tempat wisata pembangunan hotel-hotel
yang juga terletak tidak jauh dari lokasi
wisata menjadi tempat yang tepat untuk
melepas penat dengan disuguhkan
pemandangan alam sekitar.
Untuk itu, menarik dilakukan
sebuah studi terkait dengan Efektivitas
Penerimaan Pajak Hotel Dan Tempat
Wisata Pada Pendapatan Asli Daerah
Kabupaten Maros
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pajak Daerah
Pajak daerah pada dasarnya
merupakan sumber penerimaan daerah
yang utama dalam membiayai semua
keperluan pelaksanaan tugas, fungsi dan
kewajiban pelayanan pemerintah daerah
kepada rakyatnya. Dengan meningkatnya
bentuk, jenis dan kualitas pelayanan
pemerintah daerah, penerimaan pajak
bagi pemerintah daerah harus juga
meningkat.
Menurut Tjip, untuk menilai
apakah pajak daerah yang ada sudah
baik, ada lima tolak ukur yang dapat
digunakan, yaitu :
a. Hasil (Yield)
b. Keadilan (Equity)
c. Daya Guna Ekonomi (Economic
eficiency)
d. Kemampuan Melaksanakan ( Ability to
Implement)
e. Kecocokan sebagai Sumber
Penerimaan Daerah
Menurut Davey secara teoritis,
perpajakan daearah mencakup beberapa
berbagai jenis pajak, baik pajak yang
dipungut oleh pemerintah daerah
dengan pengaturan dari daerah sendiri,
pajak yang dipungut berdasarkan
pengaturan nasional namun penetapan
tarifnya dilakukan oleh pemerintah
daerah, pajak yang ditetapkan dan atau
dipungut oleh pemerintah daerah, serta
yang dipungut dan diadministrasikan
oleh pemerintah pusat tetapi hasilnya
dibagihasilkan kepada pemerintah
dareah atau dibebani pengutan
tambahan (opsen) oleh pemerintah
daerah.
Menurut Undang-Undang No.28
Tahun 2004 pajak daerah di definisikan
sebagai iuran wajib yang dilakukan oleh
orang pribadi atau badan kepada darah
tanpa imbalan langsung yang seimbang
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
100
yang dapat membiayai penyelenggaraan
pemerintah daerah dan pembangunan
daerah.
2.2 Jenis Pajak Daerah Perhotelan
Dan Tempat Wisata
a. Pajak Hotel
Sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 pasal 1 ayat 20
dan 21, Pajak Hotel adalah pajak atas
pelayanan yang disediakan oleh hotel.
Sedangkan yang dimaksud dengan Hotel
adalah Fasilitas penyediaan jasa
penginapan/peristirahatan termasuk
jasa terkait lainnya dengan dipungut
bayaran yang mencakup juga motel,
losmen, gubuk perwisata, wisma
parwisata, pesanggrahan, rumah
penginapan, dan sejenisnya, serta rumah
kos dengan jumkah kamar lebih dari
sepuluh.
Pajak Hotel adalah pajak yang
dipungut oleh pemerintah daerah, baik
kabupaten/kota. Objek pajak hotel
adalah pelayanan yang dsediakan oleh
hotel dengan pembayaran, termasuk jasa
penunjang sebagai kelengkapan hotel
yang sifatnya memeberikan kenudahan
dan kenyamanan, termasuk fasilistas
olahraga dan hiburan. Dasar
Pemungutan pajak hotel adalah jumlah
pembayaran atau yang seharusnya
dibayar kepada hotel.
b. Pajak restoran
Sesuai dengan Undang-Undang
nomer 28 tahun 2009 pasal 1 angka 22
dan 23, pajak restoran adalah pajak atas
pelayanan yang disediakan oleh restoran.
Seangkan yang dimaksud dengan
rastoran adalah fasilitas penyediaan
makanan dan atau minuman dengan di
pungut bayaran yang mencakup juga
rumah makan, kaetaria, kantin, warung,
bar, dan sejenisnya termasuk jasa
boga/catering. Pungutan pajak restoran
di indonesia saat ini didasarkan pada
Undang-Undang Nomer 34 tahun 2000
yang merupakan perubahan atas
undang-undang Nomer 18 tahun 1997
tentang pajak daerah dan retribusi
daerah dan peraturan pemerintah
Nomer 65 Tahun 2001 tentang pajak
daerah. Semula menurut Undang-undang
Nomer 18 tahun 1997 pajak atas
restoran disamakan dengan rastoran
dengan nama Pajak Hotel dan Restoran.
Tetapi berdasarkan Undang-Undang
Nomer 34 tahun 2000 jenis pajak
tersebut dipisahkan menjadi dua jenis
pajak yang berdiri sendiri, yaitu Pajak
Hotel dan Pajak Resetoran. Keberadaan
pajak restoran sebagai salah satu jenis
pajak kabupaten/kota diatur dalam
Undang-Undang Nomer 28 tahun 2009,
yang mulai tanggal 1 januari 2010
menjasi dasar hukum pajak daerah di
Indonesia.
Pengenaan pajak restoran tidak
mutlak ada pada seluruh daerah
kabupaten atau kota yang ada di
Indonesia. Hal ini berkaitan dengan
kewenangan yang diberikan kepada
pemerintah kabupaten atau kota untk
mengenakan atau tidak mengenakan
suatu jenis pajak kabupaten.kota. oleh
karena itu, untuk dapat dipungut pada
suatu daerah kabupaten atau kota,
pemerintah daerah harus terlebih dahulu
menerbitkan peraturan daerah tentaNg
pajak restoran yang akan menjadi
landasan hukum operasional dalam
teknis pelaksanaan pengenaan dan
pemungutan pajak restoran di daerah
kabupaten atau kota yang bersangkutan.
2.3 Keuangan Daerah
Anggaran pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) merupakan alat utama
pemerintah untuk menyejahterakan
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
101
rakyatnya dan sekaligus alat APBN
bukan hanya menyangkut keputusan
ekonomi, namun juga menyangkut
keputusan politik. Dalam konteks ini,
DPR dengan hak legalasi, penganggaran,
dan pengawasan yang dimiliknya perlu
lebih berperan dalam mengawal APBN
sehingga APBN benar-benar dapat secara
efektif menjadi instruman untuk
menyejahterakan rakyat dan mengelola
perekonomian Negara dengan baik.
Secara umum berdasarkan
Undang-Undang No.17 Tahun 2003
tenang keuangan Negara, ada beberapa
prinsip-prinsip pengelolaan keuangan
Negara meliputi :
1) Tertib, artinya bahwa pengelolaan
keuangan Negara harus selalu
memperhatikan tertib administrasi
dan tertib secara oprasional;
2) Taat pada peraturan perundang-
undangan, artinya bahwa
pengelolaan keuangan Negara harus
selalu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3) Efisien, artinya bahwa pengelolaan
keuangan Negara harus efisien dan
tidak boros;
4) Ekonomis, artinya bahwa dalam
pengelolaan keuangan Negara harus
memperhatikan keterbatasan
keuangan yang ada dengan
pengalokasian sesuai dengan
prioritas;
5) Efektif, artinya bahwa pengelolaan
keuangan Negara harus berorientasi
kepada pencapaian tujuan
pembangunan;
6) Transparan, artinya bahwa
pengelolaan keuangan Negara harus
terbuka sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
7) Bertanggungjawab, artinya bahwa
setiap rupiah uang Negara yang
dikeluarkan harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada
public sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
dan
8) Memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan, artinya bahwa dalam
pengelolaan keunagan Negara harus
selalu memperhatikan keadilan di
antara warga Negara, daerah,dan
sector serta sesuai dengan norma
dan kepatutan yang dimasyarakat.
Sedangkan dalam penyusunan
Anggaran pendapatan dan Belanja
Daerah merupkan bagian dari sistem
keuangan Negara yang diatur dalam
Undang-Undang Nomer 17 Tahun 2003.
Demikian pula, penyusunan APBD
merupakan bagian tak terpisah dari
sistem pengelolaan pemerintah daerah
sebagaimana datur dalam Undang-
Undang Nomer 32 tahun 2004. Salah satu
sumber pendanaan pembangunan
daerah bersumber dari APBN, sehingga
proses penyusunan APBD juga diatur
dalam Undang-Undang nomer 33 Tahun
2004 tentang perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah.
Proses penganggaran diatur dalam
Undang-Undang Nomer 58 Tahun 2005
tentang tentang pengelolaan keungan
daerah. Dalam pelaksanaan pengelolaan
keuangan daerah mentri dalam negeri
menetapkan peraturan Menteti Dalam
Negeri Nomer 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman pengelolaan keuangan daerah,
sebagaimana telah diubah dengan
peraturan menteri dalam Negeri Nomer
21 Tahun tentang perubahan kedua atas
permendegri No. 13 Tahun 2006 tentang
pedoman pengelolaan keuangan Daerah.
APBD (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah) merupaka dasar
pengelolaan keuangan daerah dalam
masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
102
mulai 1 jaunuari sampai tanggal 31
desember.
2.4 Konsep Efektifitas
Efektivitas yang di definisikan
secara abstrak sebagai tingkat penapaian
tujuan, diukur dengan rumus hasil dibagi
dengan (per) tujuan. Tujuan yang
bermula pada visi yang bersiofat abstrak
itu dapat didedukasi sampai menjadi
kongkrit, yaitu sasaran (strategi).
Sasaran adalah tujuan uang terukur,
konsep hasil relative, bergantung pada
pertantaan, pada mata rantai mana
dalam proses siklus pemerintahan, hasil
didefinisikan.
Efektivitas sebagai sistem nilai
yang digunakan setiap orhanisasi
(lembaga) untuk dapat mengukur
keberhasilan (prestasi) dari suatu
kegiatan yang dilakukan. Efektifitas
sevara etimologi berasal dari kata dasar
efektif yang artinya berhasil ditaati.
Semua kegiatan-kegiatan dalam
organisasi baik itu organisasi pemerintah
atau swasta, orientasi pemikirannya dan
pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan
efisiensi dan efektifitas, artinya
bagaimana agar kegiatan organisasi
dalam mencapai tujuan dengan baik
tanpa terjadi pemborosan. Begitu pula
dengan penyusunan sistem, prosedur
kerja, beserta teknis pelaksanaannya
hendaknya berlandaskan pada afisiensi
dan efektifitas.
Suatu institusi pemerintah yang
berhasil diukur dengan melihat seberapa
jauh institusi tersebut dapat mencapai
tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Efektifitas dapat
didefinisikan sebagai sejauh mana seayu
sistem social mencapai tujuannya.
Efektiviitas harus dibedakan dari
efisiensi. Efisiensi ini terutama berkaitan
dengan pencapaian tujuan.
Menurut sidik, tax effectiveness
tidak lain merupakan perbandingan
antara penerimaan pajak actual
(penerimaan pajak yang sebenarnya,
actual yield). Ukuran efektivitas
pengukuran pajak aerah ini pada
dasarnya dapat digunakan untuk
menganalisis Efektivitas pemungutan
pajak secara nasional, seperti total
penerimaan pajak nasional, total
penerimaan jenis pajak seara nasional,
total penerimaan pajak regional serta
total penerimaan pajak secara regional.
Secara operasional efektivitas pajak
dapat dihitung dengan menggunakan
rumus charge performance index (CPI)
yakni hasil bagi antara realisasi
penerimaan pajak dengan target
penerimaan pajak. Semakin besar angka
CPI menunjukan semakin efektinya
pemungutan pajak yang dikaitkan
dengan sasaran atau target yang akan
diperoleh/ beberapa kegiatan dalam
administrasi perpajakan daerah yang
perlu dianalisis performancenya dalam
rangka penerimaan pajak daerah
diantaranya adlah pencairan tunggakan,
penetapan, penerapan
sanksi,pemeriksaan, pengusutan,
penagihan dan collection ratio. Untuk itu
diperlukan suatu pendekatan identifikasi
potensi setiap jenis pajak agar kebijakan
collection ratio tidak hanya sesuai
dengan potensi pajak namun juga dapat
direalisasikan melalui penerapan suatu
sistem manajemen pengelolaan sumber-
sumber pajak.
𝐶𝑃𝐼 𝑖𝑡 =Realisasi PDit
𝑇𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑃𝐷𝑖𝑡𝑥100
Indikator yang digunakan dalam
indikator ini adalah semua wajib pajak
membayar pajak yang menjadi
kewajibannya pada tahun berjalan dan
membayar semua pajak yang terhutang.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
103
Efektivitas menyangkut semua
tahap administrasi penerimaan pajak
menentukan wajib pajak, menetapkan
nilai kena pajak, memungut pajak,
menegakkan sistem pajak, dan
membukukan penerimaan. Ada tiga
factor yang menentukan efektifitas ini,
yaitu : wajib pajak, petugas pajak dan
penegakan hukum. Masalah yang sering
munsul terkait dengan efektifitas ini
adalah adanya penghindaran pajak oleh
wajib pajak, kolusi antara wajib pajak
dengan petugas pemungut pajak, dan
penipuan pleh petugas pajak.
2.5 Kerangka Pikir
Kerangka pikir gambar 1.1
efektivitas penerimaan pajak hotel dan
tempat wisata Kab. Maros.
Gambar 1.1
3. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
a. Data Kualitatif yaitu data yang
bukan merupakan angka-angka
dalam penelitian ini, data kualitatif
berupa sejarah berdirinya Kantor
bupati maros dan Kantor Badan
Keungan Daerah Kabupaten Maros,
struktur organisasi,dan sebagainya.
b. Data kuantitatif yaitu data yang
berbentuk angka-angka yang daoat
meliputi anggaran pendapatan
belanja daerah dan realisasi yang
digunakan pada Kantor badan
keuangan daerah kabupeten maros.
3.2 Data dan Sumber data
Data sekunder yaitu data yang
diperoleh dengan jalan mengumpulkan
ddokumen-dokumen serta sumber-
sumber lainnya berupa informasi
terutama penerimaan pajak dan realisasi
pajak daerah yang diperoleh kantor
badan keuangan kabupaten maros.
3.3 Metode Analisis Data
Berdasarkan uraian yang
dikemukakan sebelumnya, maka dalam
menganalisis dan membuktikannya,
penulis menggunakan metode analisis
deskriptif kulitatif, yang mengungkapkan
kejadian atau fakta, keadaan, fenomena,
variable dan keadaan yang terjadi saat
penelitian berlangsung.
Untuk mengetahui tentang tingkat
efektivitas pemungutan pajak daerah dan
perembangan pajak daerah pada masing-
masing sector setiap tahunnya.
Digunakan pendekatan oleh Dajan
dikutip leh Enggar, Sri Rahayu dan
Wahyudi, 2011. Digunakan metode
Charge Performance Index (CPI) yang
merupakan pebandingan antara realisasi
penerimaan pajak daerah dengan
sasaran atau target penerimaan pajak
daerah yang direncanakan.
Rumusnya adalah :
𝐶𝑃𝐼 𝑖𝑡 =𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 PDit
𝑇𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑃𝐷𝑖𝑡𝑥100
Dimana :
CPI it = %tase tingkat efektifitas
pajak daerah jenis I pada tahun tertentu
PD it = pajak daerah jenis I pada tahun
berjalan
DINAS PENDAPATAN DAERAH
(DISPENDA)
(PAD Kab.Maros)
KAB.MAOS
PENERIMAAN PAJAK HOTEL
DAN TEMPAT WISATA
ANALISIS DATA EFEKTIFITAS
PAJAK KAB.MAROS
HASIL
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
104
Adapun kriteria penilaian
efektifitas pengelolaan pajak dan
retribusi daerah kebupeten Maros sesuai
dengan Kaputusan Mentri Dalam Negeri
Nomer 690.900.327 Tahun 1996, sebagai
berikut :
1. Koefisien efektifitas bernilai di bawah
40% artinya sangat tidah efektif.
2. Koefisien efektifitas bernilai diantara
40% - 60% artinya tidak efektif.
3. Koefisien efektifitas bernilai antara
60% - 80% artinya cukup efektif.
4. Koefisien efektifitas bernilai antara
80% - 100% artinya efektif.
5. Koefisien efektifitas bernilai diatas
100% artinya sangat efektif
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Efektivitas Pajak Hotel
Efektivitas menyangkut semua
tahap administrasi penerimaan pajak :
menentukan wajib pajak, menetapkan
nilai kena pajak, mememungut pajak,
menegakkan sistem pajak, dan
membukukan penerimaan. Ada tiga
factor yang menentukan efektivitas ini
,yaitu wajib pajak, petugas pajak dan
penegakkan hukum. Masalah yang sering
muncul terkaitu dengan efektivitas ini
adalah adanya penghindaran pajak oleh
wajib pajak, kolusi antara wajib pajak
dengan petugas wajib pajak dan
penipuan oleh petugas pajak.
Mengenai wajib pajak terdaftar
yang merupakan indicator efektivitas
pemungutan pajak daerah ini sudah pasti
sangat berperan penting dalam
bertambahnya anggaran daerah, jadi
penting pula wajib pajak mendaftarkan
dirinya, karena untuk mengetahui berapa
jumlah pembayarannya wajib pajak
dilihat dari NPWPnya.
Tabel 1.1
Jumlah wajib pajak hotel
No Jenis pajak Jumlah wajib
pajak ket
Pajak Hotel 10
Sumber : kantor badan keuangan daerah
kabupaten maros .2018
Pada tabel 1.1 menunjukan jumlah
wajib pajak hotel yang ada di kabupaten
maros berjumlah 10 wajib pajak
berdasarkan daftar wajib pajak yang
telah terdata sampai dengan tahun 2016
oleh petugas pajak dalam hal ini di
tugaskan pada Badan Keuangan Daerah
Kabupaten Maros. Menurut informasi
yang saya dapetkan ketika berkunjung ke
lokasi penelitan, bapak bubung
mengatakan “mayoritas seluruh hotel
yang ada di kabupaten Maros sudah
terdata sebagai wajib pajak dan sudah
menyetorkan surat pemberitahuan.
Adapun untuk menilai %tase
efektivitas menggunakan rumus :
𝐸𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓𝑖𝑡𝑎𝑠
=Realisasi Pajak Paerah
𝑇𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ𝑥100
Jumlah pajak hotel kabupaten
Maros cenderung meningkat setiap
tahunnya. Pencapaian yang tertinggi
terjadi pada tahun 2017 yakni
Rp.1.838.604.867 sedangkan terendah
pada tahun 2013 yakni Rp. 165.475.000.
Kemampuan daerah kabupaten
maros dalam merealisasikan penerimaan
pajak hotel dibandingkan dengan potensi
yang telah ditetapkan berdasarkan
potensi sesungguhnya dapat ditunjukan
melalui rasio efektivitas.
Perhitungan efektivitas pajak hotel
menggunakan rumus dan perhitungan
sebagai berikut
𝐸𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠
=Realisasi Pendapatan Pajak Hotel
𝑇𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝐻𝑜𝑡𝑒𝑙𝑥100
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
105
Berdasarkan rumus diatas, maka
perhitungan efektivitas pajak hotel untuk
tahun 2013-2014 sebagai berikut:
Tabel 1.2
Penerimaan Pajak Hotel Kabupaten
Maros
Tah
un
Target
(Rp)
Realisasi
(Rp)
Efektivi
tas
(%)
201
3
300.000.0
00.
165.475.0
00 55,16
201
4
300.000.0
00
635.561.8
72 211,85
201
5
1.200.000
.000
1.386.566
.741 115,55
201
6
1.500.000
.000
1.566.366
.811 104,42
201
7
1.750.000
.000
1.838.604
.867 105,07
Rata
-
rata
1.187.500
.000
1.118.515
.058
118,40
8
Sumber : Kantor Badan Keuangan Daerah
Kabupaten Maros, 2018
Pada tabel 1.2 menjelaskan
bahwa perkembangan tingkat efektivitas
realisasi penerimaan pajak hotel selama
tahun 2013-2017 yang menunjukan
bahwa penerimaan pajak hotel
mengalami perkembangan. Secara rata-
rata realisasi penerimaannya sebesar Rp.
1.118.515.000 per tahun atau tingkat
efektifitas 188,408% dari rata-rata target
penerimaan sebesar Rp. 1.187.500.000.
Jadi, tingkat efektivitas pajak hotel
kabupaten Maros sangat efektif.
Pada tahun 2013 tingkat
efektivitas berada pada 55,16 % dengan
jumlah target Rp. 300.000.000 dan
realisasi Rp. 165.478.000. Kemudian
pada tahun 2014 efektivitas sangat
meningkat dengan angka 211,85 %. Pada
tahun 2015 menurun lagi dengan angka
155,55 %. Pada tahun 2016 hanya
mengalami penurunan sedikit yakni
104,48 % dan pada tahun 2017 terjadi
peningkatan kembali yakni 105,06 %.
Dan pencapaian tersukses atau terbesar
diperoleh pada tahun 2014 yakni 211,85
%, ini menunjukan pencapaian terbesar
selama selang waktu lima tahun terakhir.
Perkembangan efektivitas pajak
hotel di Kabupaten Maros cenderung
stabil pada lima tahun terakhir. Hal ini
disebabkan oleh jumlah potensi yang
belum mengalami peningkatan, serta
pengunjung hotel yang hampir sama
jumlahnya setiap tahun.
4.2 Efektivitas Retribusi Pajak
Tempat Wisata
Efektivitas sebagai sistem nilai
yang digunakan setiap organisasi ,
lembaga, ataupun instansi untuk dapat
mengukur keberhasilan prestasi dari
suatu kegiatan yang dilakukan. Ukuran
efektivitas pengukuran pajak daerah
pada dasarnya dapat digunakan untuk
meganalisis efektifitas pemungutan pajak
secara nasional.
Indikator yang digunakan untuk
efektifitas pajak adalah semua wajib
pajak membayar pajak yang menjadi
kewajibannya pada tahun berjalan dan
membayar semua pajak baik yeng
terutang.
Selanjutnya peneliti akan
menguraikan salah satu indikator jumlah
wajib pajak tempat wisata di kabupaten
Maros.
Tabel 1.3
Jumlah wajib pajak tempat wisata
No Jenis Jumlah
Wajib Pajak Ket
1.
Retribusi
Pajak tempat
wisata
5
Sumber: Kantor Badan Keuangan
Kabupaten Maros, 2018
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
106
Pada tabel 1.3 terdapat jumlah
wajib pajak tempat wisata yang ada di
kabupaten maros yang berjumlah 5 wajib
pajak berdasarkan daftar wajib yang
terdata oleh petugas pajak dalam hal ini
ditugaskan pada Badan Keuangan
Daerah Kabupaten Maros. Ketika saya
dapat berkunjung ke lokasi penelitian,
dan berbincang bersama bapak Bubung
beliau juga mengatakan
bahwa”mayoritas seluruh tempat wisata
yang ada di Kabupaen Maros sudah
terdata sebagai wajib pajak dan sudah
menyetorkan surat pemberitahuan”.
Kemampuan daerah Kabupaten
maros dalam merealisasikan penerimaan
retribusi pajak tempat wisata di
bandingkan dengan potensi yang
ditetapkan berdasarkan potensi
sesungguhnya dapat ditunjukkan melalui
rasio efektivitas retribusi pajak tempat
wisata menggunakan rumus dan
perhitungan sebagai berikut :
𝐸𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠
=realisasi Penerimaan Pajak wisata
𝑇𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑊𝑖𝑠𝑎𝑡𝑎𝑥100
= 100%
Berdasarkan rumus diatas, maka
perhitungan efektivitas pajak wisata
untuk tahun 2013-2017 adalah sebagai
berikut :
Tabel 1.4
Penerimaan Pajak Tempat Wisata
Kabupaten Maros
Tahun Target
(Rp)
Realisasi
(Rp)
Evektivi
tas
(%)
2013 9.200.00
0.000
5.187.50
4.500 56,39%
2014 11.720.0
00.000
6.775.79
8.400 58%
2015 11.220.0
00.000
6.917.87
1.800 62%
2016 9.380.00 8.061.26 85,94%
0.000 8.200
2017 8.650.00
0.000
8.014.77
9.100 92,66%
Rata-
rata
10.034.0
00.000
6.991.44
4.400
71,00%
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah
Kabupaten Maros 2017
Tabel 1.4 mejelaskan tentang
perkembangan tingkat efektifitas
penerimaan pajak wisata selama tahun
2013 hingga tahun 2017 yang
menunjukan bahwa penerimaan pajak
wisata mengalami perkembangan yang
terus mengalami kenaikan setelah
adanya penetapan perubahantarget.
Secara rata-rata realissi penerimaannya
sebesar Rp. 6.991.444.000 per tahun
atau tingkat efektivitas 71,00% dari rata-
rata target penerimaan sebesar
Rp.10.034.000.000. jadi tingkat
efektifitas pajak wisata dikabupaten
maros cukup efektif.
Perkembangan efektivitas pajak
wisata dapat terlihat pada tabel 1.4 yang
memperlihatkan angka yang variatif.
Pada tahun 2013 menunjukan tingkat
efektivitas yang tergolong tidak efektif
karena hanya mampu mencapai angka
56,39 % dengan realisasi anggaran
anggaran sebesar Rp.5.187.504.500. Di
tahun 2014 realisasi penerimaan pajak
wisata mengalami sedikit kenaikan yang
hanya sebesar 58 % dengan realisas
anggaran Rp.6.775.798.400. kenaikan
kembali terjadi di tahun 2015 dengan
kenaikan yang meskipun tidak begitu
besar yaitu 62 % dengan anggaran
Rp.6.917.871.800 dan itu berarti ada
peningkatan yang tergolong sudah cukup
efektif di tiga tahun tersebut di tahun
2013, 2014, 2015. Realisasi penerimaan
pajak wisata di tahun 2016 dan di tahun
2017 menunjukan tingkat efektifitas
yang tergolong sangat efektif karena
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
107
mencapai 85,94 %, dan 92,66 % setalah
terjadi perubahan penetapan target
dengan besar realisasi pendapatan di
tahun 2016 mencapai Rp.8.061.268.200
di tahun 2017 Rp.8.014.779.100 yang
berarti efektivitas penerimaan pajak
wisata di kabupaten maros termasuk
dalam kategori efektif dan dimana
kenaikan ini merupakan kenaikan
tertinggi selama kurun waktu lima tahun
2013-2017. Dari semua hasil
perhitungan efektifitas pajak tempat
wisata kabupaten maros memiliki
potensi yang cukup tinggi karena
memiliki potensi penerimaan yang baik.
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Edward
W. Memah 2013 yang berjudul efektifita
dan kontribusi pajak hotel dan restoran
kota manado pada tahun 2007-2011
yang hasil peneitiannya menunjukan
bahwa target realisasi pajak hotel
dengan kontribusi terbesar pada tahun
2010 dan terendah di tahun 2008.
Tingkat efektifitas dari pajak hotel dan
restoran sudah sangat efektif kaeran
secara keseluruhan tingkat efektivitas
mencapai persentase lebih dari 100%.
Tabel 1.5
Tabel Rekapitulasi Pajak Hotel, Pajak
Wisata, dan Pajak Lain-lain di Kabupaten
Maros
Tabel Rekapitulasi
JENIS PAJAK (RP)
Pajak Hotel 1.118.515.058
Pajak Wisata 6.991.444.400
Pajak Lain-
lain 747.426.748.334.34
Jumlah PAD 8.109.959.458
Penelitian yang telah dilakukan
dengan tingakat efektifitas pajak di
daerah kabupaten maros yang
memberikan pengaruh positif terhadap
pendapatan asli daerah sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sunarto
dan Reni Dyah Ayu Nur Fatimah 2016
berdasar hasil dan kesimpulan yaitu :
1. Penerimaan dan retribusi dan
penetapan tarif objek wisata
berpengaruh secara simultan
terhadap pendapatan asli daerah.
2. Secara persial penerimaan retribusi
berpengaruh positif terhadap
pendapatan asli daerah
3. Penetapan tarif obyek wisata secara
persial tidak berpengaruh terhadap
pendapatan asli daerah.
5. PENUTUP
5.1 Simpulan
Simpulan dari penelitian mengenai
Efektivitas Penerimaan Pajak Hotel Dan
Tempat Wisata Pada Pendapatan Asli
Daerah Kabupaten Maros sebagai
berikut:
1. Jumlah pajak hotel di kabupaten
maros cenderung meningkat setiap
tahunnya, kemampuan daerah
kabupaten maros dalam
merealisasikan penerimaan pajak
hotel di bandingkan dengan potensi
yang telah ditetapkan berdasarkan
potensi sesungguhnya yang
ditunjukan melalui analisis rasio
efektifitas, perkembangan
penerimaan pajak di kabupaten maros
cenderung stabil di lima tahun 2013-
2017 ialah sebesar 118,408 % dengan
demikian tingkat efektifitas
penerimaan pajak hotel di kabupaten
maros berada pada angka 100 % yang
berarti sangat efektif.
2. Pendapatan pajak tempat wisata di
kabupaten maros secara rata-rata
dikatakan cukup efektif yaitu sebesar
71.00 %. Hal ini dikarenakan oleh
proses pengendalian dan pengawasan
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
108
yang baik terhadap pemungutan
pajak.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang
didapat, maka penulis memberikan
saran-saran sebagai berikut:
1. Diharapkan untuk terus menggali
potensi yang ada terkhusus pada
penerimaan pajak wisata, karena
pajak inilah yang paling berfluktuasi
penerimaan pajaknya.
2. Untuk menumbuhkan tingkat
kesadaran masyarakat dalam
membayar pajak hotel dan pajak
wisata perlu adanya pendekatan
dengan cara mengaktifkan bagian unit
penyuluhan untuk memberikan
penjelasan, pengarahan yang
komunikatif sehingga dapat diterima
dan disadari oleh masyarakat tentang
kesadaran wajib pajak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
---------------. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.
---------------. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Pertimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
---------------. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Irawan dan Suparmoko, M. 2002. Ekonomika Pembangunan. Ed. 6. Jakarta: BPFE UGM
Masrullah, Mursalim, dan Muhammad Su’un. 2018. “Pengaruh Kepemilikan Institusional, Komisaris Independen, Leverage Dan Sales Growth Terhadap Tax Avoidance Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia”.
http://ojs.feb.uajm.ac.id/index.php/simak/article/view/40 Jurnal Sistem informas, Manajemen dan Akuntansi Vol 16 No. 02
Rosdiana, Haula dan Irianto, Edi Slamet. 2012. Pengantar Ilmu Pajak. PT Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Siahaan, Marihot P 2016. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Edisi Refisi. Jakarta : Rajawali Pers
Sunarto ,dan Fatimah R.D. 2016. Pengaruh Penerimaan Retribusi Dan Penetapan Tarif Obyek Wisata Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2013-2015, (Online), Vol.4, No.2 https://jurnalfe.ustjogja.ac.id/index.php/akuntansi/article/download/237/246//
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
109
PENGARUH KOMPENSASI EKSEKUTIF DAN KARAKTER
EKSEKUTIF TERHADAP PENGHIDARAN PAJAK (TAX
AVOIDANCE) PADA PERUSAHAAN PROPERTY,REAL ESTATE,
DAN BUILDING CONSTRUCTION YANG TERDAFTAR DI BEI Sahril Syahruddin Universitas Muslim Indonesia
Email: [email protected]
Muh.Su’un
Universitas Muslim Indonesia Email: muhsu’[email protected]
Darwis Lannai
Universitas Muslim Indonesia Email: [email protected]
Abstrack
This study examined the influence of executive compensation and executive character on the tax avoidance. Sample of this research was property, real estate and building construction industry which is listed in Indonesian Stock Exchanges during 2014-2018. This research used purposive sampling method, the number of property, real estate and building construction that were became 19 companies with 5 years observation. Hypothesis in these research were tested by multiple regression model. The result of this research showed that (1) Executive compensation has a significant effect on tax avoidance. (2) The executive character has a significant effect on tax avoidance.
Keywords: executive compensation, executive character and tax avoidance
Abstrak
Tujuan peneltian ini adalah menguji pengaruh kompemsasi eksekutif dan karakter eksekutif terhadap penghindaran pajak . Penelitian ini menggunakan sampel sektor indsutri property, real estate dan bulding contruction yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama kurung waktu 2014-2018. Metode sampling yang digunakan dalan penelitian ini adalah puposive sampling, jumlah perusahaan yang dijadikan sampel perusahan ini adalah 19 perusahaan dengan pengamatan selama 5 tahun. Pengolahan data yang digunakan pada peneltian ini adalah analisi regresi berganda. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa : (1) Kompensasi eksekutif berpengaruh signifikan terhadap penghindaran pajak. (2) Karakter eksekutif berpengaruh singnifikan terhadap penghindaran pajak.
Kata Kunci : Kompensasi Eksekutif, Karakter Eksekutif, dan penghidaran pajak
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
110
1. PENDAHULUAN
Pajak dapat dikatakan sebagai
sumber pendapatan terbesar bagi negara
selain pendapatan dari Sumber Daya
Alam dan pendapatan non pajak lainnya,
yang digunakan untuk membiayai
pengeluaran negara, baik pengeluaran
rutin maupun pengeluaran untuk
pembangunan nasional. Dengan
demikian sangat diharapkan kepatuhan
wajib pajak dalam menjalankan
kewajiban perpajakannya secara
sukarela sesuai dengan peraturan
perpajakan yang berlaku. Pajak
merupakan unsur penting bagi suatu
negara. Tidak hanya sebagai wujud
kepatuhan terhadap negara, pajak juga
merupakan sumber penerimaan negara
yang sangat strategis dan sangat
diandalkan. Oleh karena itu, negara
selalu berupaya untuk mengoptimalkan
penerimaan di sektor pajak. Namun
berbeda dengan negara, perusahaan
sebagai wajib pajak menempatkan pajak
sebagai suatu beban.
Perusahaan sebagai wajib pajak
akan berusaha untuk memaksimalkan
laba melalui berbagai macam efisiensi
beban, termasuk beban pajak. Dalam
upaya efisiensi beban pajak, banyak
perusahaan melakukan penghindaran
pajak. Beban pajak dihitung berdasarkan
tarif pajak dikali dengan laba
perusahaan. Laba perusahaan menurut
PSAK 46 dibagi menjadi laba akuntansi
dan laba fiskal. Perbedaan perhitungan
laba akuntansi yang terdapat dalam
laporan keuangan dengan laba fiskal
yang dihitung menurut peraturan
perpajakan merupakan celah yang dapat
dimanfaatkan untuk menghindari
pembayaran pajak (Hanafi dan Harto,
2014). Bagi perusahaan, pajak yang
dibayar di harapkan dapat sekecil
mungkin karena pajak akan mengurangi
laba bersih perusahaan. Di lain pihak,
pemerintah memerlukan dana untuk
membiayai penyelenggaraan
pemerintahan atau pun pembangunan
nasional yang sebagian besar berasal
dari penerimaan sektor pajak.
Adanya perbedaan kepentingan ini
menyebabkan perusahaan wajib pajak
cenderung untuk mengurangi jumlah
pembayaran pajak, baik secara legal
maupun ilegal (Indarti, 2015). Tinggi
rendahnya pembayaran pajak tergantung
pada laba yang dihasilkan perusahaan
sehingga dapat dikatakan laba dan pajak
memiliki hubungan searah karena
semakin tinggi laba semakin tinggi pula
pajak yang dibayarkan. Pajak dipandang
sebagai beban yang harus dikurangkan,
salah satu cara mengurangkan beban
pajak adalah dengan melakukan tax
avoidance.
Menurut Zain (2008) tax avoidance
adalah salah satu contoh tax planning
yang dapat dilakukan melalui proses
pengelolaan laba untuk mengurangi
pengenaan pajak yang tidak diinginkan
perusahaan. Walaupun tax avoidance
sering merugikan negara karena
menurunkan penerimaan, pemerintah
tidak dapat menjatuhkan sanksi karena
secara hukum tidak ada aturan yang
dilanggar. Tax avoidance bersifat unik
karena dari sisi perusahaan sah untuk
dilakukan tetapi tidak selalu diinginkan
dari sisi pemerintah (Mahardani dan
Suardana, 2014).
Xynas (2011) membedakan
definisi antara penghindaran pajak (tax
avoidance) dan penggelapan pajak (tax
evasion). Menurut Xynas (2011),
penghindaran pajak (tax avoidance)
merupakan suatu usaha untuk
mengurangi hutang pajak yang bersifat
legal (lawful), sedangkan penggelapan
pajak (tax evasion) adalah usaha untuk
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
111
mengurangi hutang pajak yang bersifat
tidak legal (unlawful) (Hanafi dan Harto,
2014). Menurut Budiman dan Setiyono
(2012), Persoalan penghindaran pajak
merupakan persoalan yang rumit dan
unik. Di satu sisi diperbolehkan akan
tetapi disisi lain penghindaran pajak
tidak diinginkan. Di indonesia telah
dibuat berbagai aturan guna mencegah
adanya penghindaran pajak. Salah
satunya adalah terkait transfer pricing,
yaitu tentang prinsip kewajaran dan
kelaziman dalam transaksi antara wajib
pajak dengan pihak yang mempunyai
hubungan yang istimewa (Perdirjen No.
PER-43/PJ/2010, 2010).
Menurut Prebble et al. (2012) tax
avoidance adalah tindakan mengambil
keuntungan dengan memanfaatkan
kelemahan hukum yang ada untuk
mengecilkan pajak terutang. Sejalan
dengan Prebble, Dyreng et al. (2008)
menyatakan perusahaan yang melakukan
tax avoidance tidak selalu salah karena
ada banyak ketentuan dalam pajak yang
mendorong perusahaan untuk
mengurangi pajak, ditambah dengan
adanya batasan hukum yang tidak jelas
(grey area) khususnya untuk transaksi
yang bersifat kompleks. Sifat tax
avoidance yang sah menurut hukum
membuat pemerintah tidak dapat
menjatuhkan sanksi bahkan ketika ada
indikasi skema tax avoidance akan
dilakukan oleh perusahaan. Wang (2010)
menyatakan tax avoidance adalah alat
untuk melakukan tax saving dengan
mengalihkan sumber daya yang
seharusnya diberikan untuk negara
kepada para pemegang saham agar nilai
after tax perusahaan meningkat.
Pernyataan bahwa eksekutif
memegang peranan penting dalam
menentukan skema penghindaran pajak
perusahaan diperkuat oleh penelitian
yang dilakukan oleh Dyreng et al. (2008)
dan Budiman (2012). Peranan eksekutif
tidak hanya mampu menambah nilai
perusahaan tetapi juga memiliki
kecenderungan untuk mendukung
penghindaran pajak. Pada awalnya, sulit
untuk dibayangkan bagaimana eksekutif
yang terdiri dari CEO, CFO dan top
eksekutif lainnya memiliki peran dalam
penghindaran pajak mengingat hampir
tidak ada eksekutif yang benar-benar ahli
dalam pajak atau bahkan memiliki latar
belakang dalam bidang keuangan.
Salah satu cara yang dilakukan
eksekutif adalah dengan menempatkan
orang kepercayaan yang memiliki
keahlian untuk mengamati sekaligus
membuat skema penghindaran pajak
sesuai keinginan eksekutif (Dyreng et
al.,2009). Budiman (2012) menyatakan
semakin eksekutif bersifat risk taker
akan semakin tinggi tingkat
penghindaran pajak yang dilakukan
perusahaan.
Banyak kasus yang terjadi tentang
penghindaran pajak yang dilakukan oleh
perusahaan. Upaya penghindaran pajak
banyak terjadi pada perusahaan global di
berbagai negara di dunia. Pada Negara
Uni Eropa sendiri diperkirakan
penghindaran pajak merugikan
keuangan anggota Uni Eropa sekitar 1
triliun euro atau Rp 12.000 triliun di
tahun 2012. Pengalaman Inggris
menggambarkan penghindaran pajak
dilakukan secara terstruktur. Akhir
tahun 2012, badan pajak Inggris HMRC
(HM Revenue and Customs) menisik
pelaporan pajak 4 perusahaan global.
Pertama, kasus franchisor kedai
kopi asal Amerika Serikat (AS). Parlemen
Inggris menyoroti laporan keuangan
franchisor yang menyatakan rugi sebesar
112 juta pounds selama tahun 2008-
2010 dan tidak membayar pajak PPh
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
112
(pajak penghasilan) badan pada 2011.
Dalam laporan ke investor, franchisor
menyatakan omzet selama 2008-2010,
senilai 1,2 milyar pounds (Rp 18 triliun).
Modus franchisor ini dengan membuat
laporan keuangan seolah rugi dengan
tiga cara yaitu:
1. Membayar royalti offshore licensing
atas desain, resep dan logo ke
cabangnya di Belanda.
2. Membayar bunga utang sangat tinggi,
di mana utang tersebut justru
digunakan untuk ekspansi kedai kopi
di negara lain.
3. Membeli bahan baku dari cabangnya
di Swiss. Walaupun pengiriman
barang langsung dari negara
produsen, dan tidak masuk ke Swiss.
Kasus kedua yaitu laporan pajak
perusahaan internet search engine kakap
berbasis di AS. Perusahaan ini meraih
pendapatan di Inggris 398 juta pounds
pada tahun 2011, tapi hanya membayar
pajak 6 juta pounds. Keuntungan
perusahaan cabang Inggris kemudian
ditransfer ke cabang di Irlandia, Belanda
dan berakhir di Bermuda. Negara
Bermuda adalah tax havens country yang
tidak memungut PPh badan.
Kasus ketiga, pajak bonus
karyawan investment banking dari AS.
Agar pembayaran bonus ini tidak
terdeteksi, karyawan investment banking
cabang Inggris diminta mengajukan
permohonan pinjaman lunak ke
investment banking cabang AS. Dengan
dalih pinjaman lunak, karyawan
investment banking cabang Inggris tidak
harus membayar pajak penghasilan. Atas
kecurangan ini, investment banking
cabang Inggris harus membayar denda
500 juta pounds (Rp 7,5 triliun).
Penghindaran pajak lazim
dilakukan perusahaan global di berbagai
negara. Modusnya usang tapi selalu
berhasil. Modus pertama, pembayaran
biaya manajemen royalti atas HAKI (Hak
Atas Kekayaan Intelektual) atas logo dan
merek kepada perusahaan induk.
Peningkatan royalti akan meningkatkan
biaya yang pada akhirnya mengurangi
laba bersih sehingga PPh badan juga
turun. Jika tarif tax treaty untuk pajak
royalti hanya 10 persen dan tarif PPh
badan adalah 25 persen, maka Indonesia
kehilangan 15 persen PPh. Modus kedua,
pembelian bahan baku dari perusahaan
satu grup. Pembelian bahan baku
dilakukan dengan harga mahal dari
perusahaan se- grup yang berdiri di
negara bertarif pajak rendah. Modus
ketiga, berutang atau menjual obligasi
kepada afiliasi perusahaan induk dan
membayar kembali cicilan dengan bunga
sangat tinggi. Tingkat suku bunga tinggi
ini adalah dividen terselubung ke
perusahaan induk. Modus keempat,
menggeser biaya usaha (termasuk gaji
pegawai headquarters) ke negara bertarif
pajak tinggi (cost center) seperti Inggris
dan mengalihkan profit ke negara
bertarif pajak rendah (profit center)
seperti Bermuda. Modus terakhir dengan
mengecilkan omzet penjualan.
Perusahaan menjual rugi barang ke
cabang perusahaan di negara bertarif
pajak rendah, sehingga penjualan ekspor
terlihat merugi. Kemudian dari cabang
tersebut, barang dijual dengan harga
normal ke konsumen akhir.
Sementara itu di Indonesia
sendiri, Mantan Menteri Keuangan Agus
Martowardojo sebelum melepas
jabatannya mengatakan, terdapat tren
profit shifting atau pemindahan
keuntungan yang marak dilakukan
kalangan pengusaha di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan multinasional
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
113
corporation di Indonesia, banyak sekali
yang melakukan praktik profit shifting.
Sehingga membayar pajak di bawah yang
seharusnya dibayar oleh mereka
(Suryana, 2013).
Untuk kasus di Indonesia, Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak
(Kakanwil Ditjen Pajak Sumut) I Medan
Harta Indra Tarigan mengungkapkan,
Ditjen Pajak menemukan tujuh modus
yang dilakukan para pengembang
properti menghindari pajak Pertama,
penggunaan harga di bawah harga jual
sebenarnya dalam menghitung Dasar
Pengenaan Pajak (DPP). Kedua, tidak
mendaftarkan diri menjadi Pengusaha
Kena Pajak (PKP) namun menagih Pajak
Pertambahan Nilai (PPN). Ketiga, tidak
melaporkan seluruh penjualan, Keempat,
tidak memotong dan memungut Pajak
Penghasilan (PPh). Kelima,
mengkreditkan pajak masukan secara
tidak sah. Keenam, penghindaran PPn-
Barang Mewah dan PPh Pasal 22 atas
hunian mewah. Ketujuh, menjual tanah
dan bangunan, namun yang dilaporkan
hanya penjualan tanah. Harta Indra
membeberkan satu kasus penghindaran
pajak yang ditemukan pihaknya saat
bertugas di Kanwil Pajak Sumut II
Pematangsiantar. Disebutkannya, selain
sanksinya sangat berat di antaranya
denda mencapai 400%, proses
penyelesaiannya rumit dan lama
(Siregar, 2013).
Penghindaran pajak yang
dilakukan oleh perusahaan bukan
merupakan suatu kebetulan. Keputusan
untuk melakukan penghindaran
merupakan hasil kebijakan perusahaan.
Secara langsung, individu yang terlibat
dalam pembuatan keputusan pajak
adalah direktur pajak dan juga konsultan
pajak perusahaan. Namun eksekutif
(direktur utama atau presiden direktur)
sebagai pimpinan perusahaan secara
langsung ataupun tidak langsung juga
memiliki pengaruh terhadap segala
keputusan yang terjadi dalam
perusahaan, termasuk keputusan
penghindaran pajak perusahaan (Hanafi
dan Harto, 2014).
Perusahaan yang melakukan
penghindaran pajak tentu saja juga
melalui kebijakan yang diambil oleh
pemimpin perusahaan itu sendiri.
Pemimpin perusahaan biasanya memiliki
dua karakter yaitu, risk taker dan risk
averse. Pemimpin perusahaan yang
memiliki karakter risk taker dan risk
averse tercermin pada besar kecilnya
risiko perusahaan yang ada (Budiman,
2012).
Risiko perusahaan merupakan
volatilitas earning perusahaan, yang bisa
diukur dengan rumus deviasi standar.
Dengan demikian dapat dimaknai bahwa
risiko perusahaan (corporate risk)
merupakan penyimpangan atau deviasi
standar dari earning baik penyimpangan
itu bersifat kurang dari yang
direncanakan (downside risk) atau lebih
dari yang direncanakan (upset potensial),
semakin besar deviasi standar earning
perusahaan mengindikasikan semakin
besar pula risiko perusahaan yang ada
(Paligovora, 2010).
Menurut Coles, Daniel, Naveen D,
Naveen dan Lalitha (2004) menyatakan
bahwa risiko perusahaan (corporate risk)
merupakan cermin dari policy yang
diambil oleh pemimpin perusahaan.
Policy yang diambil pimpinan
perusahaan bisa mengindikasikan
apakah mereka memiliki karakter risk
taking atau risk averse. Semakin tinggi
corporate risk maka eksekutif semakin
memiliki karakter risk taker, demikian
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
114
juga semakin rendah corporate risk maka
eksekutif akan memiliki karakter risk
averse. Terkait dengan karakter
eksekutif, Lewellen (2003) menyebutkan
bahwa karakter eksekutif yang risk taker
lebih berani membuat keputusan
melakukan pembiayaan hutang, mereka
memiliki informasi yang lengkap tentang
biaya dan manfaat hutang tersebut.
Eksekutif sebagai seorang
individu memiliki karakteristik yang
akan mempengaruhinya dalam membuat
suatu keputusan. Karakteristik setiap
eksekutif tentu berbeda antara satu
dengan yang lain. Berbagai faktor dapat
membentuk karakteristik eksekutif.
Sehingga, karakter eksekutif dianggap
faktor penting yang dapat
mempengaruhi kebijakan yang akan
diambil oleh eksekutif (Hanafi dan Harto,
2014). Berdasarkan uraian di atas,
peneliti termotivasi untuk melakukan
penelitian ini karena penelitian terkait
penghindaran pajak masih menarik
untuk diteliti secara ilmiah dan hasil
penelitan ini masih beragam.
Penelitian ini merupakan
pengembangan dari penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Hanafi
dan Harto (2014). Perbedaan penelitian
ini dengan penelitian sebelumnya,
peneliti menambahkan tambahan jangka
waktu penelitian. Peneliti sebelumnya
menggunakan data tahun 2010-2012.
Populasi dan sampel penelitian
sebelumnya adalah penelitian ini
menggunakan sektor industri property,
real estate dan building construction yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Sedangkan peneliti juga sama
menggunakan sektor industri property,
real estate dan building construction
namun periode objeknya ditambah
menjadi antara tahun 2013-2018 karena
pada saat ini sektor industri property,
real estate dan building construction
tidak membuat penerimaan negara dari
pajak property mengalami kenaikan.
Menurut uji silang data Real Estate
Indonesia (REI) yang dilakukan oleh
Direktorat Jendral Pajak pada tahun
2011-2012, terdapat potensi pajak
penghasilan sebesar Rp 30 triliun. Akan
tetapi setoran pajak dari sektor property
pada tahun tersebut hanya sekitar Rp 9
triliun. Pertumbuhan sektor property,
real estate dan building construction juga
mengalami peningkatan, yaitu 29% pada
tahun 2010 meningkat menjadi 32%
pada tahun 2011 dan 51% pada tahun
2012. Namun pertumbuhan tersebut
tidak diikuti meningkatnya effective taxes
rate. Effective taxes rate sebesar 29%
pada tahun 2010 menurun menjadi 27%
pada tahun 2012 (Hanafi dan Harto,
2014). Alasan peneliti menggunakan
tambahan jangka waktu penelitian
karena ingin mengetahui seberapa besar
pengaruh variabel tersebut jika ditambah
jangka waktu penelitiannya.
Berdasarkan hal-hal yang telah
diuraikan maka tertarik untuk
melakukan penelitian yang terkait
“Pengaruh Kompensasi Eksekutif dan
Karakter Eksekutif terhadap
Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
pada Perusahaan Property,Real Estate
dan Building Construction yang
Terdaftar di BEI”.
2. TINJAUN PUSTAKA
2.1 Teori Agensi
Teori agensi mengasumsikan
bahwa masing-masing pihak yakni
pemegang saham dan agen memiliki
motivasi untuk meenuhi kepentingan
dirinya sendiri dimana motivasi
pemegang saham adalah untuk terus
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
115
meningkatkan profitabilitas
perusahaan, sedangkan agen
termotivasi untuk dapat memenuhi
kebutuhan ekonomi dan
psikologisnya melalui investasi,
pinjaman dan kontrak kompensasi.
Tetapi, pemegang saham belum tentu
dapat menjamin bahwa agen tidak
akan mengambil keuntungan yang
dapat merugikan pemegang saham.
Pada kondisi ini, muncul konflik
keagenan antara pemegang saham
dan agen. Terdapat tiga konflik
kepentingan antara principle dengan
agent, yaitu (1) antara stakeholders
dan manajer, (2) antara stakeholders
dan debtholders, dan (3) antara
stakeholders, debtholders, dan
manajer (Suparlan dan Andyani,
2010).
Teori agensi menyatakan
adanya asimetri informasi antara
manajer (agent) dengan pemegang
saham karena manajer lebih
mengetahui informasi internal dan
prospek perusahaan di masa yang
akan datang dibandingkan dengan
pemegang saham dan Stakeholder
lainnya (Kurniasih dan Sari, 2013).
Rahmawati (2008) dalam Kurniasih
dan Sari (2013) menyatakan bahwa
laporan keuangan yang disampaikan
kepada stakeholder dapat
diminimalkan asimetri informasi yang
terjadi. Oleh karena itu laporan
keuangan menjadi jembatan
penghubung informasi antara pihak
manajemen (agent) dengan
pemegang saham, kreditur, dan
stakeholder lainya.
Problem keagenan (agency
problem) antara pemegang saham
(pemilik perusahaan) dengan
manajer potensial terjadi bila
manajemen tidak memiliki saham
mayoritas perusahaan. Pemegang
saham tentu menginginkan manajer
bekerja dengan tujuan
memaksimumkan kemakmuran
pemegang saham, tetapi
memaksimumkan kemakmuran
sendiri. Terjadilah conflic of interest.
Untuk meyakinkan bahwa manajer
bekerja sungguh- sungguh untuk
kepentingan pemegang saham,
pemegang saham harus
mengeluarkan biaya yang disebut
agency cost (Atmaja, 2008). Adanya
konflik kepentingan dalam
kepemilikan dapat menimbulkan
biaya agensi (agency cost), yakni
biaya yang dikeluarkan agar pihak
yang diberikan wewenang dapat
bertindak sesuai keinginan pemilik
(Bezooyen, 2002 dalam Atmaja,
2008).
Biaya-biaya agensi misalnya
sebagai berikut:
1) Pengeluaran untuk melakukan
pengawasan (monitoring cost), biaya
yang dikeluarkan oleh pemilik untuk
mencegah agar ndakan manajer
tetap sesuai dengan kepentingannya.
2) Biaya yang dikeluarkan untuk
menjamin agar manajer tidak
mengambil keuntungan dan fasilitas
yang diberikan (bonding cost).
3) Biaya yang dikeluarkan pemilik
untuk mengembalikan citra
perusahaan dan kesan yang buruk
karena tidak tercapainya dua tujuan
tersebut.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
116
Konflik kepentingan selalu
muncul kalau dua pihak mempunyai
kepentingan yang berbeda (Irving,
2003 dalam Moeljadi, 2006).
Perbedaan tersebut harus dikurangi
agar biaya yang dikeluarkan akibat
pengelolaan konflik lebih rendah.
Dengan demikian akan diperoleh
keuntungan sebagai berikut: Dapat
menjamin kepada pemberi tugas
untuk mendapatkan manfaat yang
besar bagi organisasi.
1. Dapat lebih mengonsentrasikan
langkahnya pada program- program
yang lebih konkret.
2. Dapat menaikkan nilai perusahaan
secara total.
Konflik agensi tersebut harus
diminimalkan dengan berbagai langkah
startegis, tujuannya agar nilai
perusahaan menjadi lebih tinggi. Nilai
perusahaan yang lebih tinggi sangat
diinginkan oleh keduanya, yakni pemilik
dan manajer (Moeljadi, 2006).
Teori agensi dalam
hubungannya dengan penghindaran
pajak, para pemegang saham
menginginkan manajemen mengatur
laporan keuangan yang
menguntungkan pemegang saham,
sehingga manajemen melakukan cara
dengan mengatur laba yang besar
dengan beban pajak yang sekecil-
kecilnya, sehingga cara penghindaran
pajak yang dilakukan oleh
manajemen dalam mengatur laporan
keuangannya. Alokasi yang harusnya
dibebankan untuk membayar pajak
tidak dibayarkan seluruhnya karena
manajemen mengatur pajaknya lebih
rendah dari seharusnya alokasi yang
sisa tersebut akan menjadi
keuntungan bagi perusahaan.
2.2 Kompensasi Eksekutif
Eksekutif secara individu telah
terbukti menentukan tingkat
pengambilan keputusan penghindaran
pajak perusahaan (Dyreng et al., 2008),
sehingga pemegang saham berupaya
memberi insentif kepada eksekutif agar
bertindak untuk memaksimalkan nilai
pemegang saham. Kompensasi akan
mengurangi biaya agensi yang
dikeluarkan perusahaan, karena
hubungan yang kuat antara pembayaran
dan kinerja (pay and performance) dapat
mengurangi biaya yang berhubungan
dengan pengawasan pemegang saham
(Cheffins dalam Solomon, 2007) dan
mempengaruhi eksekutif agar bertindak
sesuai kepentingan pemegang saham.
Jika pemegang saham memandang
insentif akan mengurangi biaya agensi,
stakeholder yang lain justru memandang
negatif. Misalnya reformasi kebijakan
remunerasi eksekutif di Inggris,
dimotivasi oleh media dan politik,
bukannya oleh perusahaan. Hal ini
mungkin disebabkan kenaikan insentif
bagi manajer tampaknya membuat
pandangan publik yang buruk
(Thompson dalam Solomon, 2007). Jika
perusahaan mengingat reputasi dan
kelangsungan bisnisnya di masa depan,
maka perusahaan akan
mempertimbangkan besaran
kompensasi yang diberikan untuk
manajer.
Standar kompensasi untuk
eksekutif di Indonesia tidak memiliki
standar yang baku. Besaran dan cara
penghitungannya dapat bervariasi antar
perusahaan. Rata-rata kompensasi bagi
perusahaan di Indonesia mencakup gaji
atau honorarium, tunjangan, dan bonus
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
117
atau tantiem. Gaji atau honorarium dan
tunjangan bersifat tetap yang besarnya
ditentukan oleh ketetapan perusahaan.
Sedangkan bonus atau tantiem
merupakan pembagian dari kekayaan
perusahaan untuk memotivasi manajer
atau karyawannya. Dasar penetapannya
bervariasi, antara lain: dihitung atas
dasar laba bersih tahun sebelumnya;
diberikan jika realisasi laba, volume
produksi, atau penjualan berada di atas
anggaran yang ditetapkan RUPS;
diberikan atas dasar laba sebelum
pajak; atau didasarkan atas kenaikan
profitabilitas dari tahun sebelumnya.
Untuk perusahaan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Badan Usaha
Milik Negara Tahun 2009 tentang
“Pedoman Penetapan Penghasilan
Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan
Pengawas Badan Usaha Milik Negara”.
Yang menyebutkan bahwa Persero
dapat membagikan tantiem kepada
Direksi dan Dewan Komisaris, dalam hal
Persero mengalami peningkatan kinerja
meskipun masih mengalami kerugian
dalam tahun buku yang bersangkutan
atau akumulasi kerugian dari tahun
buku sebelumnya. Karena adanya
variasi tersebut, bonus plan hypothesis
mungkin tidak dapat diterapkan bagi
seluruh perusahaan.
Bonus plan hypothesis menyatakan
bahwa manajer dalam perusahaan
dengan pemberian bonus, cenderung
memilih prosedur akuntansi yang
mempercepat laba dari periode yang
akan datang ke periode sekarang. Jika
bonus dihitung berdasarkan laba
perusahaan, maka manajer berharap
dengan menaikkan laba periode
sekarang, maka ia akan menerima bonus
yang besar pada periode sekarang. Hal
ini tidak lain karena manajer
mempertimbangkan time value of money
dari kompensasi yang didapatnya.
Jika dasar penentuan bonus adalah
laba sebelum pajak, maka manajer akan
cenderung untuk bertindak oportunis
sesuai dengan bonus plan hypothesis.
Manajer akan berusaha untuk
mempercepat laba dari periode yang
akan datang ke periode sekarang,
sehingga akan menaikkan pajak
penghasilan periode sekarang. Padahal
salah satu cara penghindaran pajak
adalah menunda pembayaran pajak
periode sekarang dengan memanfaatkan
beda temporer untuk mendapatkan time
value of money. Selain itu, manajer
menjadi kurang termotivasi melakukan
penghematan pajak. Dalam kondisi
seperti ini, dapat dikatakan bahwa
mekanisme tata kelola perusahaan
kurang efektif dalam mengontrol
perilaku manajer, sehingga memiliki
masalah agensi lebih besar. Perusahaan
yang memiliki masalah agensi lebih
besar, memberikan kompensasi lebih
besar kepada eksekutifnya (Core et al.,
1999) dan mengurangi tingkat
penghindaran pajak perusahaan (Desai
dan Dharmapala, 2006).
Lain halnya jika dasar penetapan
bonus eksekutif adalah laba setelah
pajak. Gaertner (2011) menemukan
bahwa terdapat hubungan positif antara
laba setelah pajak dan total kompensasi
CEO, yang mengindikasikan bahwa CEO
yang diberi kompensasi dengan dasar
setelah pajak meminta adanya
tambahan untuk menanggung risiko
tambahan. Selain itu, CEO yang diberi
kompensasi dengan dasar insentif
setelah pajak memiliki hubungan positif
dengan penghindaran pajak (Gaertner,
2011). Hal ini disebabkan manajer
cenderung untuk melakukan
penghindaran pajak sehingga
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
118
mendapatkan laba bersih yang besar.
Dalam kondisi ini, kepentingan manajer
sama dengan kepentingan pemegang
saham. Pengaruh pemberian bonus
dengan skema seperti ini sama dengan
pemberian opsi saham kepada manajer,
yang mengatasi masalah agensi. Skema
ini sering disebut sebagai kompensasi
insentif, yang didesain oleh pemegang
saham untuk mengontrol manajer agar
sesuai dengan kepentingannya. Skema
kompensasi insentif telah terbukti
mempengaruhi kecenderungan
penghindaran pajak (Armstrong et al.,
2013), dengan semakin besar insentif
yang diberikan untuk manajer maka
semakin besar penghindaran pajak yang
dilakukan perusahaan (Minnick dan
Noga, 2010 dalam Rego dan Wilson
2012).
Namun jika komponen kompensasi
eksekutif hanya berupa gaji dan
tunjangan, maka hal ini tidak akan
berpengaruh terhadap kecenderungan
manajer bertindak oportunis atau
bertindak memaksimalkan kepentingan
pemegang saham. Bervariasinya sistem
penetapan kompensasi untuk masing-
masing perusahaan, dan ada kalanya
tidak ada penjelasan mengenai cara
penetapannya, menjadi tantangan
tersendiri bagi penelitian di Indonesia.
Oleh sebab itu, penelitian ini
mengasumsikan bahwa perusahaan di
Indonesia memiliki sistem kompensasi
yang disamakan dengan sistem
perusahaan BUMN, yaitu terdiri dari
gaji, tunjangan, dan bonus yang
diberikan berdasarkan kinerja.
2.3 Karakter Eksekutif
Setiap perusahaan memiliki
seorang pemimpin yang menduduki
posisi teratas baik sebagai top eksekutif
maupun top manajer, dimana setiap
pimpinan memiliki karakter-karakter
tertentu untuk memberikan arahan
dalam menjalankan kegiatan usaha
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
perusahaan (Pranata, 2014). Eksekutif
merupakan individu yang menempati
sebuah posisi penting dalam sebuah
posisi dalam suatu kepemimpinan
dalam sebuah perusahaan atau suatu
organisasi. Dalam menjalankan tugasnya
sebagai pimpinan perusahaan, eksekutif
memiliki dua karakter yakni sebagai risk
taker dan risk averse. Eksekutif yang
memiliki karakter risk taker adalah
eksekutif yang lebih berani dalam
mengambil keputusan bisnis, sedangkan
eksekutif yang memiliki karakter risk
averse adalah eksekutif yang cenderung
tidak menyukai risiko sehingga kurang
berani dalam mengambil keputusan
bisnis (Maccrimon dan Wehrung, 1990
dalam Budiman 2012).
Menurut Budiman dalam Dewi
(2014) Seorang pemimpin bisa saja
memiliki karakter risk taker atau risk
averse yang tercermin dari besar
kecilnya risiko perusahaan. Semakin
tinggi risiko suatu perusahaan , maka
eksekutif cenderung bersifat risk taker.
Sebaliknya, semakin rendah risiko suatu
perusahaan, maka eksekutif cenderung
bersifat risk averse. Jenis karakter
individu (executive) yang duduk dalam
manajemen perusahaan apakah mereka
merupakan risk taker atau risk averse
tercermin pada besar kecilnya risiko
perusahaan yang ada (Budiman dan
Setiyono, 2012).
Menurut Hartono (2008) risiko ada
kaitanya dengan return yang diperoleh
perusahaan, bahwa risiko merupakan
penyimpangan atau deviasi dari
outcome yang diterima dengan yang
diekspektasi. Dengan demikian dapat
diartikan semakin besar deviasi antara
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
119
outcome yang diterima dengan
diekspektasikan mengindikasikan
semakin besar pula risiko yang ada.
Seorang investor akan menghadapi
risiko investasi berupa kemungkinan
terjadinya perbedaan hasil yang
diharapkan (expected return) dengan
hasil yang benar-benar terjadi (Penman,
2007).
Hampir senada dengan Hartono
(2008), Paligorova (2010) mengartikan
risiko perusahaan merupakan volatilitas
earning perusahaan, yang bisa diukur
dengan rumus deviasi standar. Dengan
demikian dapat dimaknai bahwa risiko
perusahaan merupakan penyimpangan
atau deviasi standar dari earning baik
penyimpangan itu bersifat downside risk
atau upside potential, semakin besar
deviasi earning perusahaan
mengindikasikan semakin besar pula
risiko perusahaan yang ada. Tinggi
rendahnya risiko perusahaan ini
mengindikasikan karakter eksekutif
apakah termasuk risk taker atau risk
averse (Paligorova, 2010).
Fenomena tersebut
mengindikasikan, pemimpin perusahaan
eksekutif memiliki dua karakter yakni
sebagai risk taker dan risk averse.
Eksekutif yang memiliki karakter risk
taker adalah eksekutif yang lebih berani
dalam mengambil keputusan bisnis dan
biasanya memiliki dorongan kuat untuk
memiliki penghasilan, posisi,
kesejahteraan, dan kewenangan yang
lebih tinggi. Sedangkan eksekutif yang
memiliki karakter risk averse adalah
eksekutif yang cenderung tidak
menyukai risiko sehingga kurang berani
dalam mengambil keputusan bisnis.
Untuk mengetahui karakter
eksekutif maka digunakan risiko
perusahaan yang dimiliki perusahaan.
Besar kecilnya risiko perusahaan
mengindikasikan kecenderungan
karakter eksekutif (Dewi, 2014). Tingkat
risiko yang besar mengindikasikan
bahwa pimpinan perusahaan lebih
bersifat risk taker. Sebaliknya tingkat
risiko yang kecil mengindikasikan
bahwa pimpinan perusahaan lebih
bersifat risk averse (Dewi, 2014).
Faktor–faktor keberhasilan dalam
pengelolaan risiko pada eksekutif itu
sendiri terdiri dari komitmen, tanggung
jawab, kesadaran, kebijakan,
metodologi, keterampilan, pemantauan.
2.4 penghindaran pajak
Teori kepatuhan pajak
menyatakan bahwa pada dasarnya
tidak ada wajib pajak yang secara
sukarela bersedia membayar pajak.
Individu akan melaksanakan sesuatu
jika ia juga mendapatkan keuntungan
dari tindakan tersebut. Berdasarkan
hal tersebut, eksekutif sebagai
pemimpin operasional perusahaan
akan bersedia membuat kebijakan
penghindaran pajak hanya jika ia juga
mendapatkan keuntungan dari
tindakan tersebut. Untuk itu
kompensasi tinggi kepada eksekutif
adalah salah satu cara terbaik sebagai
upaya pelaksanaan efisiensi pajak
perusahaan. Hal tersebut karena
eksekutif akan merasa diuntungkan
dengan menerima kompensasi yang
lebih tinggi sehingga ia akan
meningkatkan kinerja perusahaan
lebih baik lagi. Kinerja tersebut salah
satunya melalui upaya efisiensi
pembayaran pajak (Hanafi dan Harto,
2014).
Pernyataan ini didukung oleh
hasil penelitian Hanafi dan Harto
(2014), Armstrong et al (2012), dan
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
120
Desai dan Dharmapala (2006) bahwa
kompensasi eksekutif berpengaruh
terhadap penghindaran pajak.
Berdasarkan telaah literatur diatas
dan hasil penelitian terdahulu, maka
hipotesis yang diajukan adalah
H1: Kompensasi eksekutif
berpengaruh positif dan
siginifikan terhadap
penghindaran pajak pada
perusahaan yang terdaftar di
BEI.
H2: Karakter eksekutif berpengaruh
positif dan siginifikan terhadap
penghindaran pajak pada
perusahaan yang terdaftar di
BEI
3. METODE PENELITIAN
3.1 Metode Analisis Data
Penyelesaian penelitian ini
menggunakan teknik analisis kuantitatif.
Analisis kuantitatif dilakukan dengan
menganalisis suatu permasalahan yang
diwujudkan dengan kuantitatif
dilakukan dengan cara mengkuantifikasi
data-data penelitian sehingga
menghasilkan informasi yang dibutuhkan
dalam analisis. Menganalisis data dan
menguji hipotesis yaitu dengan
menggunakan statistk deskriptif, uji
asumsi klasik dan uji hipotesis dengan
menggunakan bantuan perangkat lunak
Microsoft Excel 2016 dan SPSS (Statistical
Package for Social Sciences) versi 21.0.
Tahapan pengujian dengan
menggunakan uji regresi linear berganda
dapat dijelaskan sebagai berikut
(Ghozali, 2011):
a. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif memberikan
gambaran atau deskripsi suatu data
yang dilihat dari nilai rata-rata
(mean), standar deviasi, varian,
maksimum, minimum, sum, range,
kurtosis, dan skewness (kemencengan
disrtibusi) (Ghozali, 2011).
Statistik deskriptif merupakan
proses transformasi data penelitian
dalam bentuk tabulasi sehingga
mudah dipahami dan
diinterprestasikan. Statistik deskriptif
umumnya digunakan oleh peneliti
untuk memberikan informasi
mengenai karakteristik variabel
penelitian (Indriantoro dan Supomo,
2009).
b. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik yang dilakukan
dalam penelitian ini meliputi uji
normalitas, uji multikolonieritas, uji
heteroskedastisitas dan uji
autokorelasi.
1) Uji Normalitas
Menurut Ghozali (2011) uji
normalitas bertujuan untuk menguji
apakah dalam model regresi, variabel
pengganggu atau residual memiliki
distribusi normal. Ada dua cara untuk
mendeteksi residual berdistribusi
normal atau tidak yaitu dengan analisis
grafik dan uji statistik. Pengujian
normalitas dalam penelitian ini
menggunakan analisis uji One Sample
Kolmogorov Smirnov dan analisis grafik
(normal P-P Plot).
2) Uji Multikolonieritas
Menurut Ghozali (2011) uji
multikolonieritas bertujuan untuk
menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi antar
variabel bebas (independen). Model
regresi yang baik seharusnya tidak
terjadi korelasi di antara variabel
independen. Untuk menguji adanya
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
121
multikolinearitas dapat dilakukan
dengan menganalisis korelasi antar
variabel dan perhitungan nilai tolerance
serta variance inflation factor (VIF).
Multikolonieritas terjadi jika nilai
tolerance lebih kecil dari 0,1 yang berarti
tidak ada korelasi antar variabel
independen yang nilainya lebih dari 95%.
Dan nilai VIF lebih besar dari 10, apabila
VIF kurang dari 10 dapat dikatakan
bahwa variabel independen yang
digunakan dalam model adalah dapat
dipercaya dan objektif.
3) Uji Heteroskedastisitas
Menurut Ghozali (2011) uji
heteroskedastisitas bertujuan menguji
apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual
satu pengamatan ke pengamatan yang
lain. Jika variance dari residual satu
pengamatan ke pengamatan yang lain
tetap, maka disebut homoskedastisitas
dan jika berbeda disebut
heteroskedastisitas. Model regresi yang
baik adalah yang homoskedastisitas atau
tidak terjadi heteroskedastisitas.
Untuk mendeteksi ada tidaknya
heteroskedastisitas dilakukan dengan
dengan menjalankan uji Glejser pada
aplikasi SPSS 20.0 dengan meregresi nilai
absolute residual terhadap variabel
independen (Gujarati, 2003) dalam
(Ghozali, 2011). Jika variabel independen
signifikan secara statistik mempengaruhi
variabel dependen, maka ada indikasi
terjadi heteroskedastisitas. Nilai
signifikansi yang kurang dari 10%
menunjukkan bahwa terdapat masalah
heterokedastisitas pada variabel yang
diuji (Ghozali, 2011).
4) Uji Autokorelasi
Menurut Ghozali (2011) uji
autokorelasi bertujuan menguji apakah
dalam model regresi linear ada korelasi
antara kesalahan pengganggu pada
periode t dengan kesalahan pegganggu
pada periode t-1 (sebelumnya). Model
regresi yang baik adalah regresi yang
bebas dari autokorelasi. Deteksi adanya
autokorelasi dapat dilihat dari angka
Durbin Watson. Pengambilan keputusan
ada dan tidaknya autokorelasi pada uji
Durbin Watson
Tabel 4.1
Kriteria Autokorelasi Durbin-Watson
(D-W)
Hipotesis Nol Keputus
an
Jika
Tidak ada
autokorelasi
Tolak 0 < d < dl
Tidak ada
autokorelasi positif
No
decision
dl ≤ d ≤
du
Tidak ada korelasi
negative
Tolak dl < d < 4
Tidak ada korelasi
negative
No
decision
4 – du ≤ d
≤ 4 – dl
Tidak ada
autokorelasi positif
atau negatif
Tidak
ditolak
Du < d ≤
4 - du
c. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) pada
intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam
menerangkan variasi variabel
dependen. Nilai koefisien determinasi
berada di antara nol dan satu. Nilai R2
yang kecil berarti kemampuan
variabel–variabel independen dalam
menjelaskan variabel dependen amat
terbatas. Nilai yang mendekati satu
berarti variabel-varibel independen
memberikan hampir semua informasi
yang dibutuhkan untuk memprediksi
variasi variabel dependen (Ghozali,
2011). Data dalam penelitian ini akan
diolah dengan menggunakan program
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
122
Statistical Package for Social Sciences
(SPSS). Hipotesis dalam penelitian ini
dipengaruhi oleh nilai signifikansi
koefisien variabel yang bersangkutan
setelah dilakukan pengujian.
Kesimpulan hipotesis dilakukan
berdasarkan t-test.
d. Uji Hipotesis
Proporsisi merupakan salah
satu dari elemen teori, disamping
construct, dan definisi, yang memberi
gambaran fenomena-fenomena
secara sistematis melalui penentuan
hubungan antar variabel. Proposisi
merupakan ungkapan atau
pernyataan yang dapat dipercaya,
disangkal, atau diuji kebenarannya,
mengenai konsep atau construct
yang menjelaskan atau memprediksi
fenomena-fenomena. Proporsi yang
dirumuskan dengan maksud untuk
diuji secara empiris disebut dengan
hipotesis. Hipotesis menyatakan
hubungan yang diduga secara logis
antara. dua variabel atau lebih dalam
rumusan proposisi yang dapat diuji
secara empiris (Indriantoro dan
Supomo, 2009).
1) Uji Signifikansi Simultan (Uji F)
Bertujuan untuk mengetahui
adanya pengaruh secara bersama- sama
antara variabel-variabel independen
(kompensasi eksekutif dan karakter
eksekutif) terhadap variabel dependen
(penghindaran pajak). Uji F dilakukan
dengan membandingkan besarnya
Fhitung dengan Ftabel atau dapat pula
dilakukan dengan melihat
probabilitasnya. Apabila Fhitung lebih
besar daripada Ftabel maka semua
variabel independen berpengaruh
secara bersama-sama terhadap variabel
dependen. Sedangkan pengujian dengan
nilai probabilitas yaitu apabila
probabilitas lebih kecil dari taraf
signifikansi (5%) maka model diterima.
2) Uji Signifikansi Parameter
Individual (Uji t)
Menurut Ghozali (2011), uji
stastistik t pada dasarnya menunjukkan
seberapa jauh pengaruh satu variabel
independen secara individual dalam
menerangkan variabel dependen.
Pengujian dilakukan dengan
menggunakan significance level 0,05
(α=5%). Penerimaan atau penolakan
hipotesis dilakukan dengan kriteria
sebagai berikut:
1. Jika nilai signifikan > 0,05 maka
hipotesis ditolak (koefisien regresi
tidak signifikan). Hal ini berarti
bahwa secara parsial variabel
independen tersebut tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap variabel dependen.
2. Jika nilai signifikan ≤ 0,05 maka
hipotesis diterima (koefisien
regresi signifikan). Hal ini berarti
secara parsial variabel independen
tersebut mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap variabel
dependen.
Dalam penelitian ini berarti
terdapat pengaruh signifikan
kompensasi eksekutif dan karakter
eksekutif terhadap penghindaran pajak.
Data tersebut diolah dengan
menggunakan SPSS 21.0 for windows.
e. Uji Regresi Berganda
Untuk menguji hipotesis dalam
penelitian ini, digunakan metode regresi
linear berganda. Metode regresi linear
berganda, yaitu metode yang digunakan
untuk menguji pengaruh dua atau lebih
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
123
variabel independen terhadap variabel
dependen dengan skala pengukur atau
rasio dalam suatu persamaan linier
(Indriantoro dan Supomo, 2009).
Variabel independen dalam penelitian ini
adalah kompensasi eksekutif dan
karakter eksekutif. Sedangkan variabel
dependennya penghindaran pajak.
Adapun persamaan untuk menguji
hipotesis pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Dimana :
CETR = Cash Efffective Tax Rates
(Penghindaran Pajak)
a = konstanta
kompeks = Kompensasi eksekutif
kareks = Karakter eksekutif
e = error
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Statistik Deskriptif
Penelitian ini dilakukan pada
perusahaan property, real estate dan
building construction yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia tahun 2014-
2018. Analisis statistik diskriptif
dalam penelitian ini digunakan untuk
mengetahui deskripsi data tentang
pengaruh karakteristik eksekutif dan
kompensasi eksekutif dan
Penghindaran pajak pada perusahaan
yang terdaftar di pada perusahaan
property, real estate dan building
construction yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia. Adapun hasilnya
adalah sebagai berikut:
Tabel 2.
Analisis Deskriptif
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Sum Mean
Std.
Deviation
Kompensasi
Eksekutif
95 21 24 2179 22.93 .905
Karakter
Eksekutif
95 5.298 .673 309.212 3.25487 .687821
Tax Avoidance 95 5.298 .090 164.136 1.72775 .848916
Valid N
(listwise)
95
Sumber : Data diolah spss 25
Berdasarkan Tabel diatas
menunjukkan bahwa jumlah pengamatan
pada perusahaan yang terdaftar di
perusahaan property dan real estate
selama 5 tahun dalam penelitian ini
sebanyak 95 data. Hasil statistik
deskriptif dari variabel independen
Kompensasi eksekutif memiliki yang
positif dengan nilai rata-rata perusahaan
yang terdaftar Bursa efek indonesia
periode tahun 2014-2018 adalah sebesar
22.93 sedangkan nilai standar deviasi
sebesar 0.905. Hasil statistik deskriptif
dari variabel independen karakter
eksekutif nilai rata-ratanya dari yang
positif dengan nilai rata-rata adalah
sebesar 3.25487 sedangkan nilai standar
deviasi sebesar 0.687821. Hasil statistic
deskriptif dari variabel independen
Tax Avoidance nilai rata-rata yang positif
dengan nilai rata-rata adalah sebesar
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
124
1.72775 sedangkan nilai standar deviasi
sebesar 0.848916.
4.2 Pengujian Asumsi Klasik
Formula atau rumus regresi
diturunkan dari suatu asumsi data
tertentu. Data tidak memenuhi
asumsi regresi, maka penerapan
regresi akan menghasilkan estimasi
yang bias. Berikut ini adalah hasil
pengujian asumsi klasik yang terdiri
dari uji normalitas, autokorelasi,
multikolinearitas, dan
heteroskedastisitas.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas data ini
digunakan untuk menguji apakah
dalam model regresi, variabel
penganggu atau residual memiliki
distribusi normal atau tidak.
Berdasarkan pengujian normalitas
diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 3.
Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N 95
Normal Parametersa,b Mean .0000000
Std. Deviation .55851349
Most Extreme
Differences
Absolute .079
Positive .079
Negative -.057
Test Statistic .079
Asymp. Sig. (2-tailed) .200c,d
Sumber : Data diolah Spss versi 25
Berdasarkan hasil pengujian
normalitas pada nilai
Unstandardized Resideul untuk data
penelitian diketahui bahwa nilai
kolmogorov-smirnov z adalah 0.079
dengan nilai Asymp.Sig.sebesar 0,200.
Hasil perhitungan menunjukkan nilai
Asymp.Sig.> 0,05, maka dapat
disimpulkan bahwa data dalam
penelitian ini data berdistribusi
normal.
b. Uji Multikolinearitas
Uji multikolineritas bertujuan
untuk menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi antar
variabel bebas (independen).
Pengujian asumsi multikolineritas
dilakukan dengan melihat nilai
Variance Inflation Factor (VIF) dan
nilai tolerance. Suatu model
persamaan regresi dikatakan bebas
dari gejala multikolineritas apabila
nilai Variance Inflation Factor (VIF) di
bawah 10 dan nilai tolerance value-
nya di atas 0,10. Hal ini akan
dijelaskan pada tabel 4 sebagai
berikut:
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
125
Tabel 4.
Uji Multikolinearitas
Coefficientsa
Model
Collinearity Statistics
Tolerance VIF
1 (Constant)
Kompensasi
Eksekutif
.994 1.007
Karakter Eksekutif .994 1.007
Sumber : Data diolah 2020
Berdasarkan tabel 4 diatas dapat
diketahui bahwa hasil uji
multikolineritas menunjukan nilai
tolerance kompensasi eksekutif dan
karakter eksekutif berada diatas 0.10
dan nilai VIF berada dibawah angka 10
untu kesetiap variabel. Hasil uji
multikolineritas tersebut, menunjukan
bahwa semua variabel independen
dalam model regresi linear berganda
tidak terdapat permasalahan
multikolineritas sehingga dapat
digunakan dalam penelitian ini.
c. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas
bertujuan menguji apakah dalam
model regresi terjadi ketidaksamaan
variance dari residual satu
pengamatan ke pengamatan yang
lain. Masalah heteroskedastisitas
dalam model persamaan regresi ini
dilakukan dengan metode Gletjser
Test, yaitu dengan cara
meregresikan nilai absolute residual
terhadap variabel inpedenden,
sehingga dapat diketahui ada
tidaknya derajat kepercayaan 5%.
Jika nilai signifikansi > 0.05, maka
tidak terjadi heteroskedastisitas.
Tabel 5.
Uji Heteroskedastisitas
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 2.461 2.321 1.060 .292
Kompensasi
Eksekutif
.027 .098 .029 .274 .785
Karakter
Eksekutif
.036 .129 -.030 -.282 .778
Sumber : Data diolah spss 25
Hasil tampilan output SPSS
menunjukkan bahwa variabel
kompensasi eksekutif dan karakter
eksekutif tidak terjadi masalah
heteroskedastisitas karena nilai
probabilitasnya (sig) di atas 0,05.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
126
d. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan
untuk menguji apakah dalam
modal regresilinear ada korelasi
antara kesalahan pengganggu
(residual) pada periode t dengan
kesalahan penganggu pada periode t-
1 (sebelumnya).Jika terjadi korelasi
maka dinamakan ada problem
autokorelasi.Model regresi yang baik
adalah regresi bebas dari
autokorelasi. Uji yang digunakan
untuk mendeteksi bebas dari
autokorelasi adalah Durbin Watson.
Tabel 6.
Uji Autokorelasi
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
.857427 2.925
Sumber: Data diolah spss 25
Berdasarkan dari hasil uji
autokorelasi dengan menggunakan SPSS
25 dalam tabel di atas, diperoleh nilai
Durbin Watson (DW hitung) sebesar
2,925. Berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan DW hitung berada di antara
Du 1720 dan (4-DU) 2,28 artinya tidak
terjadi autokorelasi.
4.3 Analisis Regresi Berganda
Analisis regresi berganda
dilakukan untuk membuktikan adanya
pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen. Pada penelitian ini
pengujian regresi linier berganda
digunakan untuk mengetahui pengaruh
kompensasi eksekutif dan karakter
eksekutif terhadap tax avoidance pada
perusahaan real estate dan property
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
periode tahun 2014-2018. Adapun
berdasarkan perhitungan diperoleh
hasil sebagai berikut:
Tabel 7.
Analisis Regresi Berganda
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 2.461 2.321 -1.060 .292
Kompensasi Eksekutif .027 .098 .029 3.274 .005
Karakter Eksekutif -.036 .129 -.030 2-.282 .048
a. Dependent Variable: Tax Avoidance
Hasil pengujian regresi linier
berganda dapat dibuat persamaan
regresi sebagai berikut:
Y=2.461 0.027X1+-0.036X2+ e
Berdasarkan persamaan regresi
di atas, dapat diinterpretasikan sebagai
berikut:
a = 2.461 Artiya nilai konstan untuk
persamaan regresi adalah 2.461
parameter positif Hal ini berarti
bahwa dengan adanya kompensasi
eksekutif dan karakter eksekutif maka
berdampak positid terhadap tax
avoidance pada perusahaan real estate
yang terdaftar di bursa Efek Indonesia
sebesar 2.461.
b1 = 0.027 Artinya besar nilai koefisien
regresi untuk variabel kompensasi
eksekutif (b1) adalah 0.027 dengan
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
127
parameter positif. Hal ini berarti bahwa
setiap terjadi penurunan kompensasi
eksekutif sebesar 1 satuan, maka
berdampak terhadap peningkatan tax
avoidance sebesar 0.027 satuan dengan
asumsi variabel yang lain konstan.
b2 = -0.036 Artinya besar nilai koefisien
regresi untuk variabel karakter eksekutif
(b2) adalah -0.036 dengan parameter
negatif. Hal ini berarti bahwa setiap
terjadi peningkatan variabel karakter
eksekutif sebesar 1 satuan, maka tidak
akan berdampak terhadap peningkatan
harga saham sebesar -0.036 satuan
dengan asumsi variabel yang lain
konstan.
4.4 Uji Hipotesis
a. Analisis Pengaruh Secara Parsial
(Uji t)
Uji t ini merupakan pengujian
variabel independen secara parsial
terhadap variabel dependen. Dalam
penelitian ini uji t digunakan untuk
mengetahui pengaruh kompensasi
eksekutif dan karakter eksekutif pada
perusahaan yang terdaftar di bursa
efek Indonesia tahun 2014-2018.
Adapun berdasarkan perhitungan
diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 8. Uji T
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 2.461 2.321 -1.060 .292
Kompensasi Eksekutif .027 .098 .029 3.274 .005
Karakter Eksekutif -.036 .129 -.030 2.282 .048
Sumber : Data diolah Spss 25
T tabel = /2;; n-k-1
= 0,05/2; 95-2-1
= 2,021
Berdasarkan Tabel 8, maka
dapat diketahui pengaruh masing-
masing variabel sebagai berikut:
a) Pengaruh kompensasi eksekutif (X1)
terhadap tax avoidance (Y)
Dari tabel diatas diperoleh nilai
t hitung sebesar 3.274 yang artinya t
hitung sebesar 3.274 > t tabel sebesar
2,021 dan untuk taraf signifikannya
0,005 < 0,05 maka dapat disimpulkan
bahwa Ho ditolak dan Ha diterima
artinya variabel kompensasi eksekutif
berpengaruh signifikan terhadap tax
avoidance pada perusahaan real
estate yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia periode tahun 2014-2018.
b) Pengaruh karakter eksekutif (X2)
terhadap tax avoidance (Y)
Dari tabel diatas diperoleh nilai
t hitung sebesar 2.262 yang artinya t
hitung sebesar 2.262 > t tabel sebesar
2,021 dan untuk taraf signifikannya
0,048 < 0,05 maka dapat disimpulkan
bahwa Ho ditolak dan Ha diterima
artinya variabel karakter eksekutif
berpengaruh signifikan terhadap tax
avoidance pada perusahaan real
estate yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia periode tahun 2014-2018.
b. Analisis Pengaruh Secara Simultan
(Uji F)
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
128
Uji F digunakan untuk
mengetahui pengaruh semuavariabel
independen yang terdapat di dalam
model secara bersama-sama
(simultan) terhadap variabel
dependen. Hasil pengujian F statistik
diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 9. Uji F
ANOVAa
Model
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression .105 2 .053 11.072 .000b
Residual 67.637 92 .735
Total 67.742 94
a. Dependent Variable: Tax Avoidance
b. Predictors: (Constant), Karakter Eksekutif, Kompensasi Eksekutif
Sumber : Data diolah Spss 25
F tabel = ; k-1; n-k
= 2,60
Berdasarkan hasil perhitungan
diperoleh Fhitung = 11,072 > 2,60
(Sig.= 0,000 < 0,05) sehingga H0
ditolak, artinya kompensasi eksekutif
dan karakter eksekutif secara
bersama-sama berpengaruh terhadap
tax avoidance pada property, real
estate dan home building yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia
periode tahun 2014-2018
c. Koefisen Determinasi
Keofisien determinasi yaitu
untuk mengukur proporsi atau
presentasi sumbangan dari seluruh
variabel bebas (X) yang terdapat
dalam model regresi terhadap
variabel terikat (Y). Dalam hal ini
untuk mengukur proporsi atau
presentasi sumbangan dari
kompensasi eksekutif dan karakter
eksekutif secara bersama-sama
berpengaruh terhadap tax avoidance
terhadap tax avoidance pada property,
real estate dan home building yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia
periode tahun 2014-2018. Hasil
pengujian koefisien determinasi (R2)
diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 10. Koefisen Determinasi
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 .439a .442 .420 .857427
Sumber : Data diolah Spss 25
Berdasarkan hasil perhitungan
Uji koefisien determinan seperti pada
tabel 10 diatas dapat diketahui
bahwa pengaruh dari kedua
variabel independen terhadap
variabel dependen dinyatakan
dengan nilai koefisien determinan
sebesar 44,2%. Hal ini menunjukan
bahwa 44,2% variasi dari tax
avoidance yang bisa dijelaskan oleh
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
129
variasi dari kedua variabel
independen kompensasi eksekutif
dan karakter eksekutif Sedangkan
sisanya sebesar 100% – 44,2% =
55,8% dijelaskan oleh variabel-
variabel lain di luar penelitian ini.
4.5 Pembahasan
a. Pengaruh kompensasi eksekutif
(X1) terhadap tax avoidance (Y)
Dari tabel diatas diperoleh nilai t
hitung sebesar 3.274 yang artinya t
hitung sebesar 3.274 > t tabel sebesar
2,021 dan untuk taraf signifikannya
0,005 < 0,05 maka dapat disimpulkan
bahwa Ho ditolak dan Ha diterima
artinya variabel kompensasi eksekutif
berpengaruh signifikan terhadap tax
avoidance pada perusahaan real estate
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
periode tahun 2014-2018.
Faktor dari luar bisa
dipengaruhi oleh kompensasi yang
diberikan pemegang saham.
Kompensasi eksekutif merupakan
suatu penghargaan baik berupa
material atau non material yang
diberikan kepada eksekutif agar
termotivasi dalam mencapai tujuan-
tujuan perusahaan (Dewi dan Sari,
2015). Dalam penelitian ini menguji
apakah ada pengaruh antara
kompensasi eksekutif terhadap
penghindaran pajak. Hasil penelitian
Hanafi dan Harto (2014) menyatakan
adanya pengaruh signifikan positif
antara kompensasi eksekutif
terhadap penghindaran pajak.
Penelitian corporate
governance terhadap penghindaran
pajak menjadi menarik karena dapat
menjelaskan bagaimana tata kelola
perusahaan berperan dalam
kepatuhan membayar pajak.
Corporate governance merupakan
tata kelola perusahaan yang
menjelaskan hubungan antara
berbagai partisipan dalam
perusahaan yang menentukan arah
kinerja perusahaan (Saputra et
al.,2015). Dalam penelitian ini
menguji adanya pengaruh corporate
governance terhadap penghindaran
pajak yang diwakili dua variabel
corporate governance, yaitu dewan
komisaris independen dan komite
audit.
Dewan komisaris independen
dan komite audit merupakan lapisan
teratas dalam struktur organisasi
perusahaan. Dewan komisaris
independen merupakan anggota
komisaris yang berasal dari luar
perusahaan, tidak mempunyai
hubungan afiliasi dengan perusahaan,
dan tidak memiliki hubungan usaha
baik langsung maupun tidak langsung
yang berkaitan dengan kegiatan
usaha perusahaan (BAPEPAM, 2004).
Sedangkan komite audit terdiri
sekurang-kurangnya tiga orang
anggota, satu diantaranya merupakan
komisaris independen yang sekaligus
merangkap sebagai ketua komite dan
anggota lainnya merupakan pihak
eksternal yang independen, dimana
setidaknya satu diantaranya memiliki
kemampuan di bidang akuntansi
dan/atau keuangan (BAPEPAM,
2000).
b. Pengaruh karakter eksekutif (X2)
terhadap tax avoidance (Y)
Dari tabel diatas
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
130
diperoleh nilai t hitung sebesar 2.262
yang artinya t hitung sebesar 2.262 > t
tabel sebesar 2,021 dan untuk taraf
signifikannya 0,048 < 0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha
diterima artinya variabel karakter
eksekutif berpengaruh signifikan
terhadap tax avoidance pada perusahaan
real estate yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia periode tahun 2014-2018.
Keputusan penghindaran pajak
diambil oleh eksekutif perusahaan.
Eksekutif perusahaan merupakan
seseorang yang menduduki posisi
kepemipinan dalam perusahaan. Tugas
eksekutif adalah sebagai penggerak dari
proses kegiatan-kegiatan dalam
organisasi di perusahaan. Dalam peran
mangelola perusahaan, eksekutif
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
dari dalam (internal) dan faktor dari luar
(eksternal). Faktor dari dalam
dipengaruhi oleh tingkah laku (attitude)
dan watak (behavior) yang dapat
mencerminkan karakter eksekutif. Dalam
penelitian ini menguji apakah ada
pengaruh antara karakter eksekutif
terhadap keputusan penghindaran pajak
perusahaan. Hasil penelitian Meilia dan
Adnan (2017) menyatakan adanya
pengaruh antara karakteristik eksekutif
terhadap penghindaran pajak.
5. PENUTUP
5.1 Simpulan
Penelitian ini bertujuan untuk
menguji pengaruh antara
karakteristik eksekutif, kompensasi
eksekutif terhadap tax avoidance
dalam perusahaan property, real
estate dan home building yang
terdaftar secara konsisten di Bursa
efek Indonesia 2014-2018.
Berdasarkan hasil temuan
penelitian dan pengujian hipotesis
yang telah dilakukan dapat
disimpulkan sebagai berikut.
1. Pengaruh kompensasi eksekutif (X1)
terhadap tax avoidance (Y) Dari tabel
diatas diperoleh nilai t hitung sebesar
3.274 yang artinya t hitung sebesar
3.274 > t tabel sebesar 2,021 dan
untuk taraf signifikannya 0,005 < 0,05
artinya variabel kompensasi eksekutif
berpengaruh signifikan terhadap tax
avoidance pada perusahaan real
estate yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia periode tahun 2014-2018.
Dengan demikian menyatakan bahwa
semakin besar kompensasi yang
diberikan pemegang saham untuk
tujuan memaksimalkan nilai saham
akan memberikan dampak terhadap
kepatuhan eksekutif dalam membayar
pajak perusahaan.
2. Dari tabel diatas diperoleh nilai t
hitung sebesar 2.262 yang artinya t
hitung sebesar 2.262 > t tabel sebesar
2,021 dan untuk taraf signifikannya
0,048 < 0,05 artinya variabel karakter
eksekutif berpengaruh signifikan
terhadap tax avoidance pada
perusahaan real estate yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia periode tahun
2014-2018. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa eksekutif ini
termasuk tipe eksekutif risk taker
karena berani memanfaatkan bunga
atas hutang untuk memaksimalkan
nilai perusahaan.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil analisis
pembahasan serta beberapa simpulan
pada panelitian ini, adapun saran-
saran yang dapat diberikan melalui
hasil penelitian ini sebagai berikut.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
131
a. Saran Praktis
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat
membantu investor dalam
pengambilan keputusan penanaman
modal pada suatu perusahaan.
2) Bagi investor yang sedang
mempertimbangkan keputusan
investasi, dapat melihat karakteristik
dari karakter eksekutif melalui nilai
corporate risk tersebut. Perusahaan
dengan corporate risk yang tinggi
mengindikasikan perusahaan tersebut
menggunakan utang sebagai sumber
pendanaan perusahaannya, sekaligus
memperlihatkan bahwa perusahaan
tersebut memiliki tingkat
penghindaran pajak yang tinggi akibat
bunga utang tersebut.
3) Bagi pihak Direktorat Jenderal
Pajak serta pembuat kebijakan,
penelitian ini dapat digunakan sebagai
acuan untuk mengindikasikan
perusahaan-perusahaan yang
melakukan penghindaran pajak,
sehingga dapat merumuskan
kebijakan pencegahan atas tindakan
agresifitas pajak tersebut.
b. Saran Penelitian Selanjutnya
Penelitian selanjutnya agar
menguji kembali pengaruh
karakteristik eksekutif, kompensasi
eksekutif, dan menambah variabel
lain seperti dewan komisaris
independen, komite audit, dan
financial distress.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Anindyarta Wardhana dan Nur Cahyonowati. “Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Tingkat Pengungkapan Risiko”. Diponegoro Journal of
Accounting, Vol. 2, No. 3, Halaman 1-14. 2013.
Amstrong, Christopher. S., Jenniver L. Blouin, Alan D. Jagolinzer dan David F.Larcker. ” Corporate Governance, Incentives and Tax Avoidance”. Rock Center for Corporate Governance Working Paper Series no. 136. 2013.
Andayani, Wuryan dan Suparlan. “Analisis Empiris Pergantian Kantor Akuntan Publik Setelah Ada Kewajiban Rotasi Audit”. Simposium Nasional Akuntansi XIII. 2010.
Annisa, N.A dan Lulus Kurniasih. “Pengaruh Corporate Governance terhadap Tax Avoidance.” Jurnal Akuntansi dan Auditing, Vol 8 No 2 ISSN 1412-6699 (2012), h 95-189. 2012.
Armstrong, C.S., J.L. Blouin, dan D.F. Larcker. “The Incentives for Tax Planning.” Journal of Accounting and Economics 53 (2012), h. 391-411. 2012.
Atmaja, Lukas Setia. “Teori dan Praktik Manajemen Keuangan”. Jakarta Penerbit Andi. 2008. Budiman, Judi, dan Setiyono. "Pengaruh Karakter Eksekutif terhadap Penghindaran Pajak" (Tax Avoidance). SNA XV. 2012.
Coles, Jeffrey L., Daniel, Naveen D., Naveen, Lalitha. “Managerial Incentive and Risk Taking” The Accounting Review. 2004.
Core John E., Robert W. Holthausen, David F. Larcker. “Corporate governance, chief executive officer compensation, and firm performance”. Journal of
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
132
Financial Economics 51 (1999) 371-406. 1999.
Desai, M.A. dan D. Dharmapala. “Corporate Tax Avoidance and High Powered Incentives.” Journal of Financial Economics 79 (2006), h. 145-179. 2006.
Dewi, Gusti Ayu Pradnyanita dan Maria M. Ratna Sari. “Pengaruh Insentif Eksekutif, Corporate Risk dan Corporate Governance pada Tax Avoidance.” E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 13.1 (2014): 50-67. 2015. 74
Dewi, Ni Nyoman Kristiana dan I Ketut Jati. “Pengaruh Karakter Eksekutif, Karakteristik Perusahaan, dan Dimensi Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Tax Avoidance di Bursa Efek Indonesia.” E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 6.2 (2014): 249-260. 2014.
Dyreng, Scott D., Michelle Hanlon, Edward L. Maydew. “Long Run Corporate Tax Avoidance”. The Accounting Review, Vol. 83, 61-82. 2008.
Dyreng, Scott D., Michelle Hanlon, Edward L. Maydew. “The Effect of Executives on Corporate Tax Avoidance”. The Accounting Review, Vol. 85, Juni 2010, pp 1163 1189. 2010.
Gaertner, F.B. “CEO After-tax Compensation Incentives and Corporate Tax Avoidance”. The University of Arizona. 2011.
Ghozali, Imam. “Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 19”, Edisi Kelima Cetakan Kelima, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. 2011.
Hamid, Abdul. ”Buku Panduan Penulisan Skripsi”, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2012.
Hanafi, Umi dan Harto, Puji “Analisis Pengaruh Kompensasi Eksekutif, Kepemilikan Saham Eksekutif dan Preferensi Risiko Eksekutif terhadap Penghindaran Pajak Perusahaan” Diponegoro Journal Of Accounting Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 1- 13. http://ejournal- s1.undip.ac.id/index.php/accounting ISSN (Online): 2337-3806. 2014.
Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo, “Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen”, Salemba Empat, Yogyakarta, 2009.
Kurniasih, Tommy dan Maria M. Ratna Sari. “Pengaruh Return On Assets, Leverage, Corporate Governance, Ukuran Perusahaan dan Kompensasi Rugi Fiskal Pada Tax Avoidance”. Buletin Studi Ekonomi Vol 18, No.1 Februari. 2013.
Kusuma, Rahmat D. "Berpotensi Lakukan Penghindaran Pajak, 40% Pengembang Real Estate Perlu Diperiksa". www.detikfinance.com diakses pada tanggal 15 Januari 2015, 10.06 WIB. 2013.
Lanis, R. dan G. Richardson. “The Effect of Board of Director Composition on Corporate Tax Aggressiveness.” Journal of Accounting & Public Policy 30 (2011), h. 50-70. 2011. 75
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
133
Lewellen, Katharina.“Financing Decisions When Managers Are Risk Averse”.Working Paper, Mit Sloan School of Management. 2003.
Minnick, K. dan T. Noga. “Do Corporate Governance Characteristics Influence Tax Management?” Journal of Corporate Finance 16 (2010), h. 703-718. 2010.
Moeljadi. “Manajemen Keuangan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif”. Jilid 1, Edisi 1, Bayumedia Publishing, Malang. 2006.
Pohan, H.T. “Pengaruh Good Corporate Governance, Rasio Tobin Q, Perata Laba terhadap Penghindaran Pajak pada Perusahaan Publik.” Jurnal Informasi Perpajakan Akuntansi dan Keuangan Publik Vol.4, No.2 Juli 2009 Hal 113- 135. 2008.
Poligovora, Teodora. “Corporate Risk Taking and Ownership Structure”. Bank of Canada Working Paper. 2010.
Puspita, Slivia Ratih dan Harto, Puji. . Pengaruh Tata Kelola Perusahaan Pada Penghindaran Pajak. Diponegoro Journal Of Accounting Volume 3, Nomor 2,Tahun 2014, Halaman1-13.http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/accounting ISSN (Online): 2337-3806. 2014.
Republik Indonesia, Perdirjen No. Per-43/Pj/2010 Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi Antara Wajib Pajak dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. Rego,
Sonja O. "Tax-Avoidance Activities of U.S. Multinational Corporations." Contemporary Accounting Research 2014):805-833.
Rego, Sonya O, dan Ryan Wilson. “Executive Compensation, Tax Reporting Aggressiveness, and Future Firm Performance”. Working Paper. 2008.
Rego, Sonja O. dan Wilson, Ryan J. “Equity Risk Incentives and Corporate Tax Aggressiveness”. Journal of Accounting Research (December 2012), Forthcoming. 2012.
Sabli, N. dan R.M. Noor. “Tax Planning and Corporate Governance.” 3rd International Conference on Business and Economic Research (3rd ICBER 2012) Proceeding, 2012.
Siregar, Sarsin. “Ditjen Pajak Temukan 7 Modus Penghindaran Pajak Properti”.http://medanbisnisdaily.com/news/read/2013/09/11/50052/ ditjen_pajak_temukan_7modus_penghindaran_pajak_properti/#.Vc 4BBat_IU diakses pada tanggal 15 Januari 2015, 10.06 WIB 76
Suryana, Anindita Budi. “Menisik Pajak Perusahaan Global”. http://www.pajak.go.id/content/penghindaran-pajak-perusahaan global-di- dunia diakses pada tanggal 15 Januari 2015, 09.46 WIB
Swingly, Calvin dan I Made Sukartha. “Pengaruh Karakter Eksekutif, Komite Audit, Ukuran Perusahaan, Leverage dan Sales
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
134
Growth pada Tax avoidance”. E Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 10.1 (2015): 47-62. 2015..
Xynas, L. “Tax Planning, Avoidance and Evasion in Australia 1970-2010: The Regulatory Responses and Taxpayer Compliance”. Revenue Law Journal Vol.20 Issue.1. 2011.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
135
EFEKTIVITAS PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
(PBB-P2) DI DESA TIBONA KECAMATAN BULUKUMPA
KABUPATEN BULUKUMBA
Muh Yasin Noor
Politeknik Informatika Nasional
Email:[email protected]
Abstract
The purpose of this study was to study the level of land and building tax (PBB) receipts in Tibona village, Bulukumpa Subdistrict, Bulukumba District, anything that affects the level of acceptance of land and building tax revenue. The type of research used descriptive qualitative where the researcher describes the results of observations and analyzes the data obtained in the field. This Final Project is the result of research conducted from March 6, 2019 to May 6, 2019. After analyzing and discussing the problems, the researcher concluded that the level of effectiveness of land and building tax receipts in Tibona Village, Bulukumpa Subdistrict, Bulukumba District, in terms of compliance levels increased even though it was still quite effective, because there were still many taxpayers who had not paid attention to their obligations and lack of knowledge and understanding in paying taxes, and late billing, in this case, the Bontolanran village government in collecting taxes and lack of human resources (HR).
Keywords: Effectiveness, Tax Revenue, Obstacles, Land and Building Tax
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efektivitas penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) di desa Tibona Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba dan Apa saja yang mempengaruhi hambatan tingkat efektivitas penerimaan pajak bumi dan bangunan. Jenis Penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dimana peneliti menggambarkan hasil observasi dan menganalisis data yang diperoeh dilapangan. Tugas Akhir ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan mulai dari tanggal 6 Maret sampai tanggal 6 Mei 2020. Setelah melakukan analisis dan pembahasan di kantor Desa Tibona maka peneliti berkesimpulan bahwa tingkat efektivitas penerimaan pajak bumi dan bangunan di Desa Tibona Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba, dalam hal ini masyarakat di desa Tibona mengenai tingkat kepatuhan membayar pajak bumi dan bangunan periode 2017-2019 meningkat meskipun masih dalam kategori cukup efektif, dikarenakan masih banyak wajib pajak yang belum memperhatikan kewajibannya serta kurangnya pengetahuan dan pemahaman dalam mebayar pajak, serta keterlambatan penagihan dalam hal ini pemerintah Desa Tibona dalam menagihan pajak dan kurangnya sumber daya manusia (SDM).
Kata Kunci: Efektivitas, Penerimaan Pajak, Hambatan, Pajak Bumi dan Bangunan.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
136
1. PENDAHULUAN
Di Indonesia pajak merupakan
salah satu sumber penerimaan negara
yang sangat penting dalam peningkatan
pembangunan nasional. Berdasarkan
kewenangan pemungutannya, di
Indonesia pajak dapat di bagi menjadi
paj pusat dan pajak daerah. Pajak pusat
merupakan pajak yang pemungutan dan
pengelolaanya di lakukan oleh
pemerintah pusat. Sedangkan pajak
daerah merupakan pajak yang di kelola
oleh pemerintah daerah baik provinsi
maupun kabupaten atau kota yang
berguna untuk menunjang penerimaan
pendapatan asli daerah. Salah satu jenis
pajak daerah adalah pajak Bumi dan
Bangunan, yang merupakan pajak atas
tanah dan bangunan, baik yang dimiliki,
diperoleh kemanfaatannya maupun
dikuasai.
Penghasilan dari sumber pajak
daerah terbagi menjadi 2 yaitu: Pajak
Provinsi yang termasuk di dalam nya
pajak kendaraan bermotor, bea balik
nama kendaraan bermotor, pajak bahan
bakar kendaraan bermotor, pajak air
permukaan, pajak rokok. Pajak
Kabupaten/Kota yang termasuk di
dalamnya, pajak hotel, pajak restoran,
pajak hiburan, pajak reklame, pajak
penerengan jalan, pajak mineral bukun
logam dan batuan, pajak parker, pajak air
tanah, pajak saran burung wallet, pajak
bumi dan bangunan pedesaan dan
perkotaan, dan bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan. Berdasarkan
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009
Tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
meliputi berbagai sektor perpajakan
antara lain diperoleh dari Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) . Pajak Bumi dan
Bangunan merupakan salah satu faktor
pemasukan bagi negara yang cukup
potensial dan berkontribusi terhadap
pendapatan daerah. Strategisnya Pajak
Bumi dan Bangunan tersebut tidak lain
karena objeknya meliputi seluruh bumi
dan bangunan yang berada dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI)
Pembangunan Daerah merupakan
suatu keniscayaan yang harus terjadi di
setiap daerah sebagai indikaror dalam
pencapain pembangunan Nasional, selain
itu aspek lain yang nunjang dalam
keberhasilan pencapaian tujuan
pembangunan Nasional adalah
Kesediaan sumber daya manusia, sumber
daya alam, dan yang lebih penting
adalah ketersediaan dana
pembangunan baik yang diperoleh dari
sumber-sumber pajak maupun non
pajak. Pajak merupakan salah satu
sumber pembiayaan pembangunan
nasional dalam rangka peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Berkaitan
dengan hal tersebut pentingnya
pengelolaan pajak tersebut menjadi
prioritas bagi pemerintah.
Berdasarkan Undang-undang No.
28 tahun 2009 tentang pajak daerah
dan retribusi daerah yang baru, bahwa
selama ini PBB merupakan pajak pusat,
namun hampir seluruh penerimaannya
diserahkan kepada daerah. Pengertian
PBB menurut Undang-undang PBB
adalah iuran yang dikenakan terhadap
pemilik, pemegang kekuasaan,
penyewa dan yang memperoleh
manfaat dari bumi dan atau bangunan.
Pengertian bumi disini adalah termasuk
permukaan bumi dan tubuh bumi yang
ada dibawahnya. Bangunan adalah
konstruksi teknik yang ditanam atau
diletakkan secara tetap pada tanah dan
atau perairan dan digunakan sebagai
tempat tinggal atau tempat berusaha.
Meskipun PBB memiliki nilai rupiah kecil
dibandingkan dengan pajak pusat
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
137
lainnya tetapi memiliki dampak yang
luas, sebab hasil penerimaan PBB
dikembalikan untuk pembangunan
daerah yang bersangkutan.
Kebijakan pemerintah yang
mengatur Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1994 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan. Kebijakan yang ditetapkan
pemerintah daerah antara lain adalah
menetapkan target-target yang harus
dicapai oleh daerah di tingkat bawahnya,
sampai dengan tingkat desa/kelurahan.
Dimana pemungutan di tingkat
desa/kelurahan merupakan ujung
tombak dari kegiatan pemungutan Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) secara
keseluruhan, karena di tingkat
desa/kelurahan para petugas pemungut
akan berhadapan langsung dengan wajib
pajak.
Hal yang mendasar dan yang
sangat penting dalam penarikan Pajak
Bumi dan Bangunan didasarkan pada
fakta, bahwa dalam melaksanakan tugas-
tugasnya, pemerintah membutuhkan
biaya yang sangat besar dalam rangka
mensukseskan pembangunan yang telah
berjalan. Untuk mendapatkan biaya
tersebut dapat ditempuh dengan
berbagai jalur, antara lain dengan
penarikan pajak.
Desa Tibona pada tahun 2018
terdiri dari 7 dusun dengan luas wilayah
1.686 Ha dan jumlah penduduk sebanyak
4,083 jiwa. Data ini menunjukkan bahwa
potensi Pajak Bumi dan Bangunan di
Desa Tibona cukup besar, Dengan Luas
Tanah 3,319,445m2 dan Luas Bangunan
15,203m2 Dengan diketahuinya potensi
Pajak Bumi dan Bangunan maka
Pemerintah Daerah akan
mengoptimalkan penerimaan daerah,
khususnya dari Pajak Bumi dan
Bangunan.
Efektivitas Pemungutan Pajak
Bumi dan Bangunan yang dimaksudkan
di sini adalah seberapa jauh tercapainya
target potensi Pajak Bumi dan
Bangunan yang telah ditetapkan
sebelumnya oleh Kabupaten
Bulukumbadengan realisasi penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan. Secara
sederhana dapat dikatakan, apakah
potensi dan target Pajak Bumi dan
Bangunan yang sudah ditetapkan
Kabupaten Bulukumba sudah terlaksana
dengan baik atau belum.
Pajak Bumi dan Bangunan ini
merupakan potensi yang harus terus
digali dalam menambah penerimaan
daerah dikarenakan obyek pajak ini
adalah bumi dan bangunan yang jelas
sebagian besar masyarakat memilikinya.
Hanya saja pemungutan PBB sering kali
mendapatkan hambatan, baik mulai dari
sosialisasi kepada masyarakat yang
kurang, pemahaman masyarakat yang
sempit mengenai pajak sampai pada
metode pemungutannya yang kurang
efektif dan efisien dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan penerimaan
pajak bumi dan bangunan yang diperoleh
oleh daerah Kabupate Bulukumba,
sebagaimana banyak terlihat masih
banyak kekurangan-kekurangan yang
ada di dalamnya terutama masih
rendahnya partisipasi masyarakat
dalam pembayaran pajak bumi dan
bangunan yang menjadi kewajibannya.
Sejalan dengan hal tersebut pemerintah
sering melakukan suatu teknik
pemberian motivasi pada stakeholder
seperti camat, kepala lurah dan kepala
desa dengan memberikan penghargaan
bagi mereka yang berhasil memenuhi
target pencapaian pajak bumi dan
bangunan dalam tahun pajak berjalan.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
138
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
memiliki peran yang cukup besar bagi
kelangsungan dan kelancaran
pembangunan, di Kabupaten Bulukumba
khususnya Desa Tibona, sehingga perlu
ditangani dan dikelola lebih intensif.
Penanganan dan pengelolaan tersebut
diharapkan mampu menuju tertib
administrasi serta mampu meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam
pembiayaan pembangunan Desa Tibona.
Upaya untuk memperlancar
penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
para aparatur/petugas juga
mempengaruhi tercapai atau tidaknya
target pendapatan Pajak Bumi dan
Bangunan. Dimana untuk memperlancar
penarikan dan pemungutan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) diperlukan
aparatur yang berkualitas, karena para
petugas adalah para pelaku yang terlibat
langsung dalam proses pemungutan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Mengingat betapa pentingnya
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai
salah satu sumber Keuangan Daerah di
Kabupaten Bulukumba dalam rangka
untuk membiayai kegiatan-kegiatan
pembangunan dan pemerintahan maka,
diperlukan adanya penanganan dan
perhatian yang serius dari semua pihak.
Baik mengenai petugas pemungut, wajib
pajak, maupun mengenai proses
pelaksanaan pemungutan itu sendiri.
Untuk itu, pemungutan pajak harus
berjalan efektif melalui sistem dan
prosedur pemungutan pajak yang benar.
Hal tersebut dimaksudkan agar
pendapatan daerah dari sektor pajak
khususnya Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) dapat dimaksimalkan. Sehingga
pembangunan di Kabupaten Bulukumba,
Desa Tibona yang bersangkutan dapat
terlaksana dengan baik.
Berdasarkan hal tersebut di atas,
maka peneliti tertarik untuk meneliti
tentang pelaksanaan pemungutan Pajak
Bumi dan Bangunan di Kabupaten
Bulukumba, Desa Tibona dengan judul
penelitian : “Efektivitas Penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) di
Desa Tibona Kecamatan Bulukumpa
Kabupaten Bulukumba”.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Evektifitas
Menurut Ravianto (2014:11)
Dalam situs Maxmanroe.com
“pengertian efektivitas adalah
seberapa baik pekerjaan yang dilakukan,
sejauh mana orang menghasilkan
keluaran sesuai dengan yang diharapkan.
Artinya, apabila suatu pekerjaan dapat
diselesaikan sesuai dengan perencanaan,
baik dalam waktu, biaya, maupun
mutunya, maka dapat dikatakan efektif.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) definisikan;
Efektivitas adalah sesuatu yang
memiliki pengaruh atau akibat yang
ditimbulkan, manjur, membawa hasil
dan merupakan keberhasilan dari suatu
usaha atau tindakan, dalam hal ini
efektivitas dapat dilihat dari tercapai
tidaknya tujuan instruksional khusus
yang telah dicanangkan. Metode
pembelajaran dikatakan efektif jika
tujuan instruksional khusus yang
dicanangkan lebih banyak tercapai.
2.2 Pajak Daerah
a. Dasar Hukum
1) Undang-Undang No. 28 Tahun 2009
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
b. Pengertian Pajak Daerah
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
139
Menurut (Rahayu, 2017),
mengemukakan bahwa:
“Pajak daerah adalah kontribusi
wajib kepada daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk
keperluan daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Undang-Undang No
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah)”.
c. Wajib Pajak, Subjek Pajak dan
Objek Pajak Daerah
1) Wajib Pajak Daerah
Orang pribadi atau badan yang
menurut peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah
diwajibkan untuk melakukan
pembayaran pajak yang terutang,
termasuk pemungut atau pemotong
pajak tertentu.
2) Subjek Pajak Daerah
Subjek pajak daerah orang pribadi
atau badan yang dapat dikenakan paja
daerah.
3) Objek Pajak Daerah
Objek pajak daerah adalah segala
sesuatu yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan yang dapat
menimbulkan hutang pajak daerah.
d. Wewenang Pemungutan Pajak
Daerah
Kewenangan pemungutan pajak
atas objek pajak di daerah, dibagi
menjadi:
1) Pajak daerah provinsi dan
2) Pajak daerah kabupaten atau kota.
Kewenangan tersebut memiliki
perbedaan dalam pungutannya,
Perbedaan tersebut sebagai berikut:
a) Pajak provinsi kewenangan
pemungut ada pada pemerintah
daerah provinsi, sedangkan pajak
kabupaten/kota kewenangan
pemungutan ada pada pemerintah
daerah kabupaten/kota.
b) Objek pajak kabupaten/kota lebih
luas dibandingkan dengan objek
pajak provinsi selain itu objek
pajak kabupaten/kota masih dapat
diperluas berdasarkan peraturan
pemerintah daerah selama tidak
bertentangan dengan ketentuan
yang ada. Sedangkan pajak
provinsi apabila ingin diperluas
objeknya harus melalui perubahan
dalam undang-undang.
e. Jenis dan Tarif Pengenaan Pajak
Daerah
Menurut Perda Bulukumba pajak
daerah dibagi menjadi 2 bagian sebagai
berikut:
1) Pajak Provinsi
a) Pajak Kendaraan Bermotor 10%
b) Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor 20%
c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor 10%
d) Pajak Air Permukaan 10%
e) Pajak Rokok 10%
2) Pajak Kabupaten/Kota, terdiri dari:
a) Pajak Hotel 10%
b) Pajak Restoran 10%
c) Pajak Hiburan 35%
d) Pajak Reklame 25%
e) Pajak Penerangan Jalan 10%
f) Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan 25%
g) Pajak Parkir 30%
h) Pajak Air Tanah 20%
i) Pajak Sarang Burung Walet 10%
j) Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan 0.3%
k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan 5%
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
140
4. Fungsi Pajak
Menurut Priantara, D.(2016:6-7)
pajak yang dikenakan kepada
masyarakat mempunyai dua fungsi,
yaitu:
a. Fungsi Finansial (Budgeter)
Fungsi pajak adalah untuk
mengumpulkan dana yang diperlukan
pemerintah untuk membiayai
pengeluaran belanja negara guna
kepentingan dan keperluan seluruh
masyarakat. Tujuan ini biasanya disebut
“revenue adequacy” yaitu bahwa
pemungutan pajak tersebut ditujukan
untuk mengumpulkan penerimaan yang
memadai atau yang cukup untuk
membiayai belanja negara.
Dengan demikian, fungsi finansial
yaitu pajak merupakan sumber dana bagi
pemerintah (apalagi untuk saat ini, pajak
sumber dana bagi pemerintah yang
paling utama, dikarenakan mulai
berkurangnya sumber dana lainnya yang
dimiliki pemerintah, misalnya: minyak
dan gas bumi), guna mendapatkan uang
sebanyak-banyaknya untuk pengeluaran
pemerintah dan pembangunan negara.
b. Fungsi Mengatur (Regulerend)
Fungsi mengatur bertujuan untuk
memberikan kepastian hukum. Terutama
dalam menyusun undang-undang pajak
senantiasa perlu diusahakan agar
ketentuan yang dirumuskan jangan
menimbulkan interpretasi yang berbeda,
antara Fiskus dan Wajib Pajak.
Perlu diingat, bahwa fungsi pajak
itu bukan semata-mata
untukmendapatkan uang bagi kas
negara. Negara Republik Indonesia
dalammenjalankan fungsi pajak juga
untuk melaksanakan kebijakan di
bidangekonomi, moneter, sosial, budaya,
dan bidang lainnya.
5. Jenis Pajak
Menurut Siti Resmi (2013: 7-8)
terdapat pembagian jenis-jenis pajak
yang dibagi dalam beberapa kelompok
pajak. Cara pengelompokkan pajak
dapat didasarkan atas sifat-sifat
tertentu yang terdapat dalam masing-
masing pajak atau didasarkan pada ciri-
ciri tertentu setiap pajak. Menurut
golongannya pajak dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
a. Pajak Langsung
Pajak yang bebannya harus
dipikul sendiri oleh wajib pajak dan
tidak dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang
lain.Contoh: Pajak Penghasilan (PPh).
b. Pajak Tidak Langsung
Pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dapat dilimpahkan
kepada orang lain atau pada pihak ketiga.
Pengenannya tidak secara periodik tetapi
dikenakan jika terjadi hal-hal atau
peristiwa yangmenyebabkan dikenakan
pajak.Contoh: Pajak Pertambahan Nilai
(PPN).
6. Dasar Hukum
a. Undang-Undang No.18 Tahun 1997
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
b. Undang-Undang No. 34 Tahun 2000
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
c. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
7. Tarif Pajak
Menurut Mardiasmo (2016:13-14)
ada empat macam tarif pajak yaitu:
a. Tarif sebanding/ proporsional yaitu
tarif berupa persentase yang tetap,
terhadap berapapun jumlah yang
dikenai pajak sehingga besarnya pajak
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
141
yang terutang proporsional terhadap
besarnya nilai yang dikenai pajak.
b. Tarif tetap yaitu tarif berupa jumlah
yang tetap (sama) terhadap
berapapun jumlah yang dikenai pajak
sehingga besarnya pajak yang
terutang tetap.
c. Tarif progresif yaitu persentase tarif
yang digunakan semakin besar bila
jumlah yang dikenai pajak semakin
besar.
d. Tarif degresif yaitu persentase tarif
yang digunakan semakin kecil bila
jumlah yang dikenai pajak semakin
besar.
8. Wajib Pajak, Subjek Pajak dan
Objek Pajak Daerah
a. Wajib Pajak Daerah
Orang pribadi atau badan yang
menurut peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah
diwajibkan untuk melakukan
pembayaran pajak yang terutang,
termasuk pemungut atau pemotong
pajak tertentu.
b. Subjek Pajak Daerah
Subjek pajak daerah orang pribadi
atau badan yang dapat dikenakan
pajak daerah.
c. Objek Pajak Daerah
Objek pajak daerah adalah segala
sesuatu yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan yang dapat
menimbulkan hutang pajak daerah.
Kewenangan tersebut memiliki
perbedaan dalam pungutannya,
Perbedaan tersebut sebagai berikut:
a. Pajak provinsi kewenangan pemungut
ada pada pemerintah daerah provinsi,
sedangkan pajak kabupaten/kota
kewenangan pemungutan ada pada
pemerintah daerah kabupaten/kota.
b. Objek pajak kabupaten/kota lebih
luas dibandingkan dengan objek pajak
provinsi selain itu objek pajak
kabupaten/kota masih dapat
diperluas berdasarkan peraturan
pemerintah daerah selama tidak
bertentangan dengan ketentuan yang
ada. Sedangkan pajak provinsi apabila
ingin diperluas objeknya harus
melalui perubahan dalam undang-
undang.
9. Pengertian Pajak Bumi dan
Bagunan
Berdasarkan Undang-Undang No.
Tahun 1994, Pajak Bumi dan Bangunan
adalah pajak yang bersifat kebendaan
dalam arti besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaan objek yaitu
bumi/tanah dan atau bangunan.
Mediasmo (2009:311) dalam
buku (Tuwo, 2016), mendefinisikan
Bumi dan Bangunan Sebagai berikut:
a. Bumi adalah pemukaan bumi dan
tubuh bumi yang ada dibawahnya.
Permukaan bumi meliputi tanah dan
perairan pedalaman (termasuk rawa-
rawa, tambak, perairan) serta laut
wilayah Republik Indonesia.
b. Bangunan adalah kontruksi teknik
yang ditanam atau diletakkan secara
tetap pada tanah atau perairan.
Dapat disimpulkan Bumi dan
Bangunan dalam perpajakan atau Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) adalah
pungutan pajak yang dikenakan terhadap
bumi yang meliputi tanah dan perairan
pedalaman (termasuk rawa-rawa,
tambak, perairan) serta laut wilayah
Republik Indonesia dan atau bangunan
teknik yang ditanam atau diletakkan
secara tetap pada tanah atau perairan.
1) Nilai Jual Objek Pajak
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah
harga rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual-beli yang terjadi secara
wajar, dan bilamana tidak terdapat
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
142
transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak
ditentukan melalui perbandingan harga
dengan objek lain yang sejenis, atau nilai
perolehan baru atau Nilai Jual Objek
Pajak pengganti.
Yang dimaksud adalah:
a) Perbandingan harga dengan objek
lain yang sejenis, adalah suatu
pendekatan/metode penentuan nilai
jual suatu objek pajak dengan cara
membandingkannya dengan objek
pajak lain yang sejenis, yang
letaknya berdekatan dan fungsinya
sama dan telah diketahui harga
jualnya.
b) Nilai perolehan baru, adalah suatu
pendekatan/metode penentuan nilai
jual suatu objek pajak dengan cara
menghitung seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh
objek pajak tersebut pada saat
penilaian dilakukan, yang dikurangi
dengan penyusutan berdasarkan
kondisi fisik objek tersebut.
c) Nilai jual pengganti adalah suatu
pendekatan/metode penentuan nilai
jual suatu objek pajak yang
berdasarkan pada hasil produksi
objek pajak tersebut.
Besarnya NJOP ditentukan
berdasarkan klasifikasi:
1) Objek Pajak Sektor Perdesaan dan
Perkotaan.
2) Objek pajak sektor perkebunan.
3) Objek Pajak Sektor Kehutanan ata Hak
Pengusahaan Hutan, Hak
Pengusahaan Hasil Hutan, Izin
Pemanfaatan Kayu serta Izin Sah
Lainnya selain Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman Industri.
4) Objek Pajak Sektor Kehutanan atas
Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
Industri.
5) Objek Pajak Sektor Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi.
6) Objek Pajak Sektor Pertambangan
Energi Panas Bumi.
7) Objek Pajak Sektor Pertambangan
Non Migas selain Pertambangan
Energi Panas Bumi dan Galian C.
8) Objek Pajak Sektor Pertambangan
Non Migas Galian C.
9) Objek Pajak Sektor Pertambangan
yang dikelola berdasarkan Kontrak
Karya atau Kontrak Kerjasama.
10) Objek Pajak Usaha bidang perikanan
laut.
11) Objek Pajak Usaha bidang perikanan
darat.
12) Objek Pajak yang bersifat khusus.
c. Asas Pemungutan Pajak Bumi dan
Bagunan
Menurut (Mardiasmo 2011:331)
asas pemungutan Pajak Bumi dan
Bangunan ada empat yaitu:
1) Memberikan kemudahan dan
kesederhanaan.
2) Adanya kepastian hukum.
3) Mudah dimengerti dan adi.l
4) Menghindari pajak berganda.
10. Objek, Subjek dan Wajib Pajak Bumi
dan Bangunan
a. Objek Pajak
Menurut (Priantara, 2016), dalam
buku Tuwo V. (2016) yang menjadi objek
pajak adalah bumi dan atau bangunan.
Yang dimaksud dengan Bumi adalah
permukaan bumi dan tubuh bumi yang
ada dibawahnya. Permukaan bumi
meliputi tanah dan perairan perdalaman
serta laut wilayah Indonesia. Yang
dimaksud dengan Bangunan adalah
konstruksi teknik yang ditanam atau
diletakkan secara tetap pada tanah dan
atau perairan. Termasuk dalam
pengertian bangunan adalah: jalan
lingkungan yang terletak dalam suatu
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
143
kompleks bangunan seperti hotel, pabrik
dan emplasemennya dan lain-lain yang
merupakan satu kesatuan dengan
kompleks bangunan tersebut; jalan tol;
kolam renang; pagar mewah; tempat
olahraga; galangan kapal, dermaga;
taman mewah; tempat
penampungan/kilang minyak, air dan
gas, pipa minyak; fasilitas lain yang
memberikan manfaat. Ini berarti,
pengguna atau pengambil dan
penerimaan manfaat atas perairan
(sungai, rawa, danau, situ atau laut) yang
merupakan objek pajak ini akan memikul
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas
objek pajak berupa perairan tersebut.
Maka, rumah yang berdiri di atas sungai
yang banyak dijumpai di Sumatera dan
Kalimantan juga merupakan objek PBB.
b. Subjek Pajak
Yang menjadi subjek pajak adalah
orang atau badan yang \-=secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi,
dan/atau memperoleh manfaat atas
bumi, dan/atau memiliki, menguasai,
memperoleh manfaat atas bangunan. Ini
berarti subjek pajak tidak harus orang
atau badan yang memiliki hak atas bumi
dan bangunan. Dengan demikian, tanda
pembayaran/pelunasan pajak bukan
merupakan bukti pemilikan hak. Bukti
kepemilikan hak atas tanah berupa
sertipikat yang diterbitkan oleh Kantor
Pertahanan. Pertahanan subjek pajak
yang dikenakan kewajiban membayar
pajak atas objek pajak ini menjadi wajib
pajak menurut Undang-Undang Pajak
Bumi dan Bangunan (UU PBB). Dalam hal
atas suatu objek pajak belum jelas
diketahui WP-nya. Direktur Jenderal
Pajak dapat menetapkan subjek pajak
sebagai WP.
c. Wajib Pajak Bumi dan Bangunan
Wajib Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) adalah orang pibadi atas badan
yang memilki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan
yang terutang setiap tahunnya.
11. Tarif Dasar Pengenaan, Cara
Menghitung dan Sanksi
Keterlambatan Pembayaran
Pajak Bumi dan Bangunan
a. Tarif Pajak
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan
Sektor Pedesaan dan Perkotaan
ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3%
(nol koma tiga persen). Besarnya tarif
PBB P2 diatur dengan peraturan daerah.
Artinya Pemerintah Daerah bersama-
sama dengan DPRD dapatmenetapkan
beberapa macam tarif, asal tidak
melampaui 0,3% sebagai tarif tertinggi.
b. Dasar Pengenaan Pajak
1) Dasar pengenaan pajak adalah Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP)
2) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) ditetapkan oeh Pemerintah
Daerah setempat.
3) Pada dasarnya penetapan Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) adalah tiga
tahun sekali. Namun demikian untuk
daerah tertentu yang karena
perkembangan pembangunan
mengakibatkan kenaikan NJOP
cukup besar, maka penetapan nilai
jual ditetapkan setahun sekali.
4) Sebagai tindak lanjut pelaksanaan
Undang-Undang Pajak Daerah dan
Restribusi Daerah (PDRD),
sebagaian besar pemerintah daerah
menetapkan tarif bervariasi yaitu:
a) Sebesar 0,1% untuk objek pajak
dengan NJOP kurang dari
Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
144
b) Sebesar 0,2% untuk objek pajak
dengan NJOP di
atasRp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Hal ini ditetapkan semata-mata
agar tidak terjadi perubahan penetapan
PBB yang terlalu drastis dengan yang
telah ditetapkan semasih PBB menjadi
pajak pusat. Selanjutnya Pemerintah
Daerah dapat melakukan penyesuaian
tarif, dengan peraturan daerah, sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan
perekonomianmasyarakat. Misalnya
untuk kebutuhan peningkatan produksi
pertanian sehingga tanah yang
dipergunakan sebagai lahan pertanian
ditetapkan tarif yang paling rendah,
untuk lahan yang dipergunakan sebagai
rumah tempat tinggal ditetapkan tarif
menengah, sedangkan untuk tanah-tanah
yang dipergunakan untuk komersial
lainnya seperti perdagangan,
perkantoran, industri ditetapkan tarif
paling tinggi dan seterusnya. Sehingga
dalam satu daerah kabupaten/kota
terdapat beberapa macam tarif.
a. Cara menghitung pajak
Rumus perhitungan Pajak Bumi
dan Bangunan: PBB terutang = Tarif x
(NJOP-NJOPTKP) Dimana:Tarif = 0,1 %
atau 0,2 % (sesuai Perda) NJOP = NJOP
Tanah + NJOP Bangunan NJOP Tanah =
Luas Tanah x NJOP Tanah per m2NJOP
Bangunan = Luas Bangunan x NJOP
Bangunan per m2 Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai objek
pajak berupa tanah seluas 250 m2dengan
harga jual Rp.300.000,00/m2 dan
bangunan seluas 200 m2dengan nilai jual
Rp. 350.000,00/m2.
Besarnya pokok pajak yang terutang
adalah sebagai berikut:
1) NJOP Bumi 250 m² x Rp.300.000,00 =
Rp 75.000.000,00
2) NJOP Bangunan 200 m² x Rp350.000,00
= Rp 70.000.000,00 (+) Jumlah NJOP Bumi
dan Bangunan = Rp
145.000.000,00 NJOPTKP = Rp
10.000.000,00 (-)
3) Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak =
Rp. 135.000.000,00
4) Tarif pajak efektif yang ditetapkan
dalam Perda 0,1 %
5) PBB terutang : 0,1% x Rp.
135.000.000,00 = Rp 135.000,00
a. Sanksi Keterlambatan Pembayaran
Pajak Bumi dan Bangunan Sesuai UU
Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB,
mengatur
wajib pajak yang lalai membayar
PBB melewati tanggal jatuh tempo, dapat
dikenai sanksi denda yang besarnya dua
persen per bulan. Pajak terutang yang
tidak dibayar pada tanggal jatuh tempo,
dikenakan sanksi sebagai berikut:
1) Denda administrasi 2% sebulan dari
jumlah pajak yang terutang yang
tidak dibayar.
2) Ditagih dengan Surat Tagihan Pajak
Daerah-PBB (STPD-PBB), dan dalam
hal STPD-PBB tidak dilunasi,
dilanjutkan dengan Surat Paksa yang
diikuti dengan penyitaan dan
pelelangan.
Apabila jatuh tempo tertulis
tanggal 30 September, maka bulan I
setelah tanggal jatuh tempo adalah
tanggal 1 Oktober sampai dengan 31
Oktober, bulan II adalah tanggal 1
November sampai dengan 30 November
dan seterusnya.
12. Surat Pemberitahuan Objek Pajak
(SPOP), Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT) dan Surat
Ketetapan Pajak (SKP)
Berdasarkan pasal 9 UU Nomor
12 tahun 1985 SPOP, SPPT, dan
SKP adalah:
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
145
a. Dalam rangka pendataan subjek pajak
wajib mendaftarkan objek pajaknya
dengan mengisi SPOP.
b. SPOP harus diisi dengan jelas, benar,
lengkap, tepat waktu, serta
ditandatangani dan disampaikan
kepada Direktur Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi letak objek
pajak selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari setelah tanggal
diterimanya SPOP oleh subjek pajak.
c. Dirjen Pajak akan menerbitkan SPPT
berdasarkan SPOP yang diterimanya.
SPPT diterbitkan atas dasar SPOP,
namun hanya untuk membantu Wajib
Pajak SPPT dapat diterbitkan
berdasarkan data objek yang telah
ada pada Direktorat Jenderal Pajak.
d. Direktur Jenderal Pajak dapat
mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak
(SKP) dalam hal sebagai berikut:
1) Apabila SPOP tidak disampaikan
dan setelah ditegur secara tertulis
tidak disampaikan sebagaimana
ditentukan dalam Surat Teguran.
2) Apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lain
ternyata jumlah pajak terutang
(seharusnya) lebih besardari
jumlah pajak yang dihitung
berdasarkan SPOP yang
disampaikan oleh Wajib Pajak.
Wajib Pajak yang tidak
menyampaikan SPOP pada
waktunya walaupun sudah ditegur
secara tertulis juga tidak
menyampaikan dalam jangka
waktu yang ditentukan dalam
Surat Teguran itu Direktorat
Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak (SKP) secara
jabatan. e. Jumlah pajak yang terutang dalam
SKP sebagaimana dimaksud dalam
huruf (d) poin ke- 1 adalah pokok
pajak diambah dengan denda
administrasi sebesar 25% dihitung
dari pokok pajak. Sanksi administrasi
yang dikenakan terhadap Wajib Pajak
yang tidak menyampaikan SPOP,
dikenakan sanksi sebagaimana
tambahan terhadap pokok pajak yaitu
sebesar 25% dari pokok pajak. SKP ini
berdasarkan data yang ada pada
Direktorat Jenderal Pajak memuat
penetapan objek pajak dan besarnya
pajak terutang beserta denda
administrasi yang dikenakan kepada
Wajib Pajak.
f. Jumlah pajak yang terutang dalam
SKPKB sebagaimana dimaksud dalam
huruf (d) poin ke 2 adalah selisih
pajak yang terutang yang dihitung
berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain dengan pajak
terutang yang dihitung berdasarkan
SPOP ditambah denda administrasi
sebesar 25% dari selisih pajak yang
terutang.
13. Kategori Wajib Pajak Patuh
Wajib Pajak dimasukkan dalam
kategori wajib pajak patuh apabila
memenuhi kriteria menurut Keputusan
Mentri Keuangan No.544/KMK.04/2000.
Dalam Siti Kurinia, bahwa kriteria
kepatuhan Wajib Pajak adalah:
a. Tepat waktu dalam menyampaikan
SPT untuk semua jenis pajak dalam 2
tahun terakhir.
b. Tidak mempunyai tunggakan pajak
untuk semua jenis pajak, kecuali telah
memperoleh izin untuk mengansur
atau menunda pembayaran pajak.
c. Dalam 2 tahun terakhir
menyelenggarakan pembukuan dan
dalam hal terhadap wajib pajak
pernah dilakukan pemeriksaan,
koreksi pada pemeriksaan yang
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
146
terakhir untuk masing-masing jenis
pajak yang terutang paling banyak 5%
d. Wajib Pajak yang laporan
keuangannya untuk 2 tahun terakhir
diaudit oleh akuntan public dengan
pendapat tanpa pengecualian, atau
pendapat dengan pengecualian
sepanjang tidak mempengaruhi laba
fiskal.
14. Efektivitas
Pengertian dan penjelasan teori
efektivitas dari berbagai sumber adalah
sebagai berikut:
a. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) definisi efektivitas
adalah sesuatu yang memiliki
pengaruh atau akibat yang
ditimbulkan, manjur, membawa hasil
dan merupakan keberhasilan dari
suatu usaha atau tindakan, dalam hal
ini efektivitas dapat dilihat dari
tercapai tidaknya tujuan instruksional
khusus yang telah dicanangkan.
Metode pembelajaran dikatakan
efektif jika tujuan instruksional
khusus yang dicanangkan lebih
banyak tercapai.
b. Menurut Permendagri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah
mengemukakan bahwa efektif
merupakan pencapaian hasil program
dengan target yang telah ditetapkan,
yaitu dengan cara membandingkan
keluaran dengan hasil. Efektivitas
merupakan hubungan antara
keluaran dengan tujuan atau sasaran
yang harus dicapai.
c. Menurut Ensiklopedia administrasi,
efektifitas adalah suatu keadaan yang
mengandung pengertian mengenai
terjadinya suatu efek atau akibat yang
dikehendaki, kalau seseorang
melakukan suatu perbuatan denngan
maksud tertentu yang memang
dikehendaki. Maka orang itu
dikatakan efektif kalau menimbulkan
atau mempunyai maksud
sebagaimana yang dikehendaki.
d. Menurut Ravianto (2014:11) Dalam
Situs Maxmanroe.com
“pengertian efektivitas adalah
seberapa baik pekerjaan yang
dilakukan, sejauh mana orang
menghasilkan keluaran sesuai dengan
yang diharapkan. Artinya, apabila
suatu pekerjaan dapat diselesaikan
sesuai dengan perencanaan, baik
dalam waktu, biaya, maupun
mutunya, maka dapat dikatakan
efektif.
Dari diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa suatu hal dapat
dikatakan efektif apabila hal tersebut
sesuai dengan dengan yang
dikehendaki. Artinya,pencapaian hal
yang dimaksud merupakan
pencapaian tujuan dilakukannya
tindak-tindakan untuk mencapai hal
tersebut. Efektivitas dapat diartikan
sebagai suatu proses pencapaian
suatu tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Suatu usaha atau kegiatan dapat
dikatakan efektif apabila usaha atau
kegiatan tersebut telah mencapai
tujuannya. Apabila tujuan yang
dimaksud adalah tujuan suatu
instansi maka proses pencapaian
tujuan tersebut merupakan
keberhasilan dalam melaksanakan
program atau kegiatan menurut
wewenang, tugas dan fungsi instansi
tersebut
Dikatakan efektif apabila
rencana penerimaan PBB dapat
terealisasi90%100% dan dikatakan
tidak efektif apabila realisasi dari
rencana penerimaan PBB pada tahun
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
147
yang bersangkutan kurang dari 60%
Indikator efektivitas menggambarkan
jangkauan akibat dan dampak
(outcome) dari keluaran (output)
program dalam mencapa itujuan
program. Untuk menghitung tingkat
efektivitas pemungutan pajak (Tim
LPEM FEUI, 2000) adalah sebagai
berikut
gambar 1 rumus evektifitas
Evektivitas = Realisasi Pendapatan
x 100% Target penerimaan
Adapun analisis efektivitas untuk
mengetahui tingkat efektivitas
pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan,
dengan kriteria sebagai berikut:
NO Efektivitas (%) Kategori
1 >100 Sangat efektif
2 90-100 Efektif
3 80-90 Cukup efektif
4 60-80 Kurang efektif
5 <60 Tidak efektif
Table 1 kriteria kinerja keuangan
3. METODE PENELITIAN
Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis deskriptif, yaitu penelitian ini
dimaksudkan untuk menjelaskan aspek-
aspek atau faktor-faktor yang ingin
diketahui dan diamati kemudian
dideskripsikan dengan cara
membandingkan antara rencana dan
realisasi penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan.
Dikatakan efektif apabila rencana
penerimaan PBB dapat terealisasi 100%
dan dikatakan tidak efektif apabila
realisasi dari rencana penerimaan PBB
pada tahun yang bersangkutan kurang
dari 60%.
Indikator efektivitas
menggambarkan jangkauan akibat dan
dampak (outcome) dari keluaran
(output) program dalam mencapai
tujuan program. Untuk menghitung
tingkat efektivitas pemungutan pajak
(Tim LPEM FEUI, 2000) adalah sebagai
berikut :
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
148
Gambar 2 rumus evektifitas
Evektivitas = Realisasi Pendapatan
x 100% Target penerimaan
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Pemasukan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) Desa Tibona Kecamatan
Bulukumpa Kabupaten Bulukumba
Periode 2017-2019
1. Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan
Desa Tibona Periode 2017-2019.
2. Persentase Target Penerimaan dan
Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan Desa Tibona Periode 2017-
2019.
Banguna Persentase Peneriman, Target dan Kriteria Pajak Bumi dan
No. Tahun Target
Penerimaan
Realisasi
Pendapatan
Persentase Kriteria
1. 2017 29,665,232 23,374,802 78,8% Kurang
Efektif
2. 2018 29,665,232 23.673,628 79,8% kurang Efektif
3. 2019 29,665,232 23,980,970 80,8% Cukup Efektif
Table 2 persentase penerimaan, Target dan kriteria pajak bumi dan bangunan
4.2 Pembahasan
1. Tingkat Efektivitas Penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan di Desa
Tibona
Berdasarkan dari hasil penelitian
diatas dapat disimpulkan bahwa dimana
pada tahun 2017-2019, Jumlah Objek
sebesar 2,110 Luas Tanah 3,319,445 ,
Luas Bangunan 15,203, Target
Penerimaan 29,665,232, sedangkan
Ralisasi Penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) di Desa Tibona terjadi
perbedaan.
Pada tahun 2017 - 2019 target dan
realisasi penerimaan pajak bumi dan
bangun dengan persentase 78,8%
termasuk dalam kriteria “Kurang Efektif”
dan di tahun 2018 terjadi peningkatan
79,8%. Yang termasuk dalam kriteria
“Kurang Efektif” karena sudah mencapai
79,8%. Dan pada tahun 2019 target dan
realisasi penerimaan pajak bumi dan
bangunan meningkat dengan persentase
80,8% termasuk dalam kriteria “ Cukup
Efektif.”
Itu artinya masyarakat Desa
Tibona dalam tingkat kepatuhannya
terhadap pajak bumi dan bangunan
(PBB) sudah terealisasi dengan baik
karena telah mengalami peningkatan
setiap tahun.
Dari hasil wawancara yang penulis
dapat dari Sekretaris Desa Jasman, S. Sos
Mengatakan Bahwa; “Sebagian besar
masyarakat di Desa Tibona sudah patuh
dalam membayar pajak bumi dan
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
149
bangunan karena setiap dilakukan
pemungutan masyarakat selalu mengerti
untuk membayar pajak bumi dan
bangunan meskipun ada beberapa
masyarakat yang belum patuh dalam
membayar pajak bumi dan bangunan
karena sebagian kecil masyarakat desa
Tibona melakukan emigrasi
(perpindahan penduduk dari dalam
negeri keluar negeri) untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka”.
Sedangkan beberapa dari
masyarakat yang penulis lakukan
wawancara mengenai penyebab
terjadinya hambatan yang
mempengaruhi efektivitas pajak bumi
dan bangunan hampir sebagian kecil
mengatakan bahwa;
“Dari segi perekonomian kami
kurang mampu untuk membayar pajak
bumi dan bangunan tepat waktu dan dari
pihak pemerintah sering mengalami
keterlambatan dalam penagihan Pajak
Bumi dan Bangunan”
Dari wawancara di atas penulis
menarik kesimpulan bahwa dalam
pelaksanaan penarikan pajak bumi dan
bangunan masih menemui hambatan
yang berasal dari wajib pajak tersebut.
Hambatan dalam pelaksanaan penarikan
(PBB) di Desa Tibona diantaranya
sebagai berikut :
a. Sebagian kecil wajib pajak yang belum
memperhatikan kewajibannya untuk
membayar pajak, serta kurangnya
pengetahuan dan pemahaman dalam
membayar pajak.
b. Faktor perekonomian masyarakat
yang kurang/tidak mampu membayar
pajak.
c. Sebagian kecil masyarakat melakukan
Emigrasi (perpindahan penduduk dari
dalam negeri ke luar negeri)
d. Adanya keterlambatan penagihan
dalam hal ini pemerintah Desa Tibona
dalam menagih pajak.
5. PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan dari penelitian diatas
maka penulis berkesimpulan bahwa
sebagai berikut:
1. Pada tahun 2017 - 2019 target dan
realisasi penerimaan pajak bumi dan
bangun dengan persentase 78,8%
termasuk dalam kriteria “Kurang
Efektif” pada tahun 2018 terjadi
peningkatan 79,8% termasuk dalam
kriteria “Kurang Efektif” dan pada
tahun 2019 target dan realisasi
penerimaan pajak bumi dan
bangunan meningkat dengan
persentase 80,8% termasuk dalam
kriteria “ Cukup Efektif.”
2. Hambatan yang Mempengaruhi
Efektivitas Penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan di Desa Tibona.
a. Sebagian kecil wajib pajak yang
belum memperhatikan
kewajibannya untuk membayar
pajak, serta kurangnya
pengetahuan dan pemahaman
dalam membayar pajak.
b. Faktor perekonomian masyarakat
yang kurang/tidak mampu
membayar pajak.
c. Sebagian kecil masyarakat
melakukan Emigrasi (perpindahan
penduduk dari dalam negeri ke
luar negeri)
d. Adanya keterlambatan penagihan
dalam hal ini pemerintah Desa
Tibona dalam menagih pajak.
5.2 Saran
1. Melakukan pembinaan dan
monitoring terhadap wajib pajak
dengan memberikan penyuluhan
tentang perpajakan.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
150
2. Pemerintah mengusahakan untuk
memberikan keringanan kepada
wajib pajak yang perekonomiannya
menengah kebawah.
3. Pemerintah seharusnya lebih
memperhatikan penagihan pajak
bumi dan bangunan.
4. Pemerintah harus
mempertahankan dan lebih
meningkatkan kinerja agar
penerimaan pajak bumi dan
bangunan lebih meningkat setiap
tahun.
DAFTAR PUSTAKA
JASMAN. (2020, MEI KAMIS). S,Sos. 61. BULUKUMBA, SULAWESI SELATAN, SULAWESI SELATAN.
Priantara, D. (2016). PERPAJAKAN INDONESIA (Pembahasan Lengkap & Terkini Disertai CD Praktikum) Edisi 3. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Rahayu, S. K. (2017). Perpajakan Konsep dan Aspek Formal. Bandung: Rekayasa Sains.
Tuwo, V. (2016). Pengaruh Sikap dan Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan di Keluarahan Tara-Tara Kota Tomohon. Jurnal EMBA , Vol 4 (Nomor 1), 87-97.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
151
EFEKTIVITAS PEMERIKSAAN PAJAK DI KANTOR PELAYANAN
PAJAK PRATAMA PARE-PARE
Muhammad Adil
[email protected] Universitas Muhammadiyah Makassar
Naidah
naidah@[email protected]
Universitas Muhammadiyah Makassar
Dian Rahayu
Universitas Muhammadiyah Makassar
Abstract
The purpose of this study is to measure the level of effectiveness of tax audits based on SP2 and based on the realization of tax audit receipts. This research uses descriptive research with a qualitative approach. The location of this research is KPP Pratama Parepare. The results of this study indicate that the level of effectiveness of tax audits based on SP2 at KPP Pratama Parepare from 2014 to 2018 is in the very effective category. The level of effectiveness of tax audits based on SKP at KPP Pratama Parepare in 2014 was included in the ineffective criteria, 2015 included in the ineffective criteria, 2016 included in the ineffective criteria, 2017 included in the ineffective criteria, 2018 included in the very effective criteria. Factors that affect the effectiveness of tax audits include the attitude of taxpayers, tax auditors, short tax audit time, taxpayer psychology, office facilities, communication, as well as support from leaders and good cooperation between divisions.
Keywords: Effectiveness, Tax Audit. Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur tingkat efektivitas pemeriksaan pajak berdasarkan SP2 dan berdasarkan realisasi penerimaan pemeriksaan pajak. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian ini adalah KPP Pratama Parepare. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat efektivitas pemeriksaan pajak berdasarkan SP2 di KPP Pratama Parepare pada tahun 2014 sampai dengan 2018 termasuk dalam kategori sangat efektif. Tingkat efektivitas pemeriksaan pajak berdasarkan SKP di KPP Pratama Parepare pada tahun 2014 termasuk dalam kriteria tidak efektif, 2015 termasuk dalam kriteria tidak efektif, 2016 termasuk dalam kriteria tidak efektif, 2017 termasuk dalam kriteria tidak efektif, 2018 termasuk dalam kriteria sangat efektif. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemeriksaan pajak antara lain sikap wajib pajak, petugas pemeriksa pajak, waktu pemeriksaan pajak yang singkat, psikologi Wajib Pajak, fasilitas kantor, komunikasi, serta dukungan dari pimpinan dan kerjasama yang baik antar bagian.
Kata Kunci : Efektivitas, Pemeriksaan Pajak.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
152
1. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara besar
yang mempunyai wilayah yang sangat
luas dan masyarakat beragam yang
disatukan oleh Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945. Indonesia bercita-
cita untuk melindungi warga negara,
memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut dalam melaksanakan ketertiban
dunia. Untuk mencapai cita-cita tersebut,
pemerintah melaksanakan
pembangunan tersebut. Kemandirian
yang dimaksud adalah memanfaatkan
kemampuan dalam negeri melalui
peningkatan penerimaan negara dari
berbagai sektor dan tidak bergantung
lagi pada pinjaman luar negeri. Salah
satu penerimaan dalam negeri yang
sangat penting dan potensial untuk
membiayai pembagunan tersebut adalah
dari sektor pajak.
Self assessment system adalah
sistem di mana wajib pajak diberi
kepercayaan oleh undang-undang untuk
menghitung, menyetor dan melaporkan
sendiri jumlah pajak terutang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku. Self assessment
system yang diterapkan saat ini pun
secara langsung maupun tidak langsung
akan mempengaruhi ketaatan wajib
pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya. Sistem ini memiliki
kelemahan yang memungkinkan wajib
pajak melakukan kecurangan atau
kemungkinan terjadinya kelalaian yang
menyebabkan kerugian bagi negara. Oleh
karena itu, Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) berkewajiban melakukan
pengawasan dan pembinaan terhadap
kepatuhan wajib pajak baik melalui
pengawasan administratif maupun
melalui pemeriksaan pajak.
Tujuan pemeriksaan pajak adalah
sebagai penguji kepatuhan wajib pajak
adalah hal yang sebenarnya
dilaksanakan, tanpa adanya pemeriksaan
di bidang perpajakan, maka fiskus akan
sangat kesulitan untuk menilai
kepatuhan wajib pajak atau bahkan sama
sekali tidak akan pernah tahu tingkat
kepatuhan wajib pajak. Sebagai
perwujudan bentuk pengawasan dan
pembinaan, salah satunya berupa
kegiatan pemeriksaan pajak yang akan
dilaksanakan dari waktu kewaktu dan
berkesinambungan.
Tindakan pemeriksaan ini
dilakukan sebagai sarana penegakan
hukum bagi wajib pajak atau
penanggung pajak yang lalai dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya,
untuk memperkecil jumlah tunggakan
pajak yang terutang oleh wajib pajak dan
merupakan salah satu langkah penting
dalam mengamankan dan meningkatkan
penerimaan negara dari sektor pajak.
Jika hal tersebut dapat dilakukan dengan
baik dan faktor penghambat dalam
pelaksanaan pemeriksaan dapat diatasi
maka upaya peningkatan penerimaan
negara dari sektor pajak tentunya akan
tercapai.
2. TINJAUAN TEORI
2.1. Pajak
Pengertian pajak menurut UU
No.16 tahun 2009 tentang Perubahan
Ketiga atas UU No.6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan adalah kontribusi waijb
kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan UU, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
153
bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
2.2. Pengertian dan Hukum
Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan pajak telah diatur
dalam pasal 1 angka 24 UU No.6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UU No.16 Tahun
2009 adalah serangkaian kegiatan
menghimpun dan mengolah data,
keterangan, data/atau bukti yang
dilaksanakan secara objektif dan
profesional untuk tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Landasan Hukum Pemeriksaan
Pajak adalah Pasal 29, Pasal 29A dan
Pasal 31 UU No.6 Tahun 1983
sebagaimana telah dirubah terakhir
dengan UU No.16 Tahun 2009 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Pasal 29 ayat (1) UU KUP
“Direktorat Jenderal Pajak berwenang
melakukan pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan kewajiban perpajakan wajib
pajak dan untuk tujuan lain dalam
rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan
perpajakan”. Pasal 31 ayat (1) UU KUP
“Tata cara pemeriksaan diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013
tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.
2.3. Tujuan Pemeriksaan Pajak
Berdasarkan hukum tersebut,
tujuan utama pemeriksaan adalah untuk
menguji dan membina wajib pajak agar
memenuhi kewajiban perpajakannya.
Tujuan ini diimplementasikan
berdasarkan prinsip tidak ada satupun
wajib pajak baik badan maupun orang
pribadi yang tidak dapat diperiksa,
semua mempunyai kesempatan yang
sama untuk diperiksa karena yuridis DJP
harus memperlakukan hal yang sama
terhadap semua wajib pajak.
Berdasarkan pada amanat
Undang-undang Perpajakan dan
Keputusan Menteri Keuangan, DJP
menata kegiatan pemeriksaan untuk
mewujudkan tujuan pemeriksaan
dengan mengeluarkan kebijakan-
kebijakan agar pelaksanaan pemeriksaan
menjadi selaras dan terarah sesuai
dengan misi yang ditetapkan.
2.4. Penerimaan Pajak
Penerimaan pajak merupakan
penerimaan negara yang digunakan
untuk mengarahkan kehidupan
masyarakat menuju kesejahteraan.
Penerimaan pajak merupakan
perwujudan dari pengabdian kewajiban
dan peran serta wajib pajak yang secara
langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan
yang diperlukan untuk pembiayaan
negara dan pembangunan nasional.
(Waluyo, 2003:5).
2.5. Kerangka Konseptual
Kerangka pemikiran merupakan
model konseptual tentang diidentifikasi
sebagai hal penting. Penelitian ini
menjelaskan mengenai pelaksanaan
pemeriksaan pajak di KPP PRATAMA
PAREPARE yang kemudian diukur
tingkat efektivitasnya dan kemudian
dianalisis mengenai faktor penghambat
dan faktor pendukung pelaksanaan
pemeriksaan pajak di KPP PRATAMA
PAREPARE.
Kerangka pemikiran dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
5
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
154
Gambar 1 Gambar Konseptual
3. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini bertempat di KPP
Pratama Pare-Pare dan waktu penelitian
berlangsung selama 2 bulan pada bulan
April 2019 sampai dengan bulan Juni
2019.
3.2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini sebagai
berikut :
1) Dokumentasi, yaitu pengambilan
data-data atau dokumen yang terkait
dengan pemeriksaan pajak di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Pare-Pare.
2) Wawancara, yaitu melakukan tanya
jawab secara langsung kepada
beberapa responden atau dalam hal
ini pegawai pajak yang melakukan
pemeriksaan di Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Pare-Pare.
3) Observasi, yaitu mengadakan
pengamatan langsung ke lokasi
penelitian untuk mengetahui kegiatan
pemeriksaan pajak di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Pare-Pare.
3.3. Metode Analisis Data
Metode analisi data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis deskriptif kuantitatif, dimana
dalam analisi data ini peneliti hanya
terbatas pada perhitungan. Analisis
kuantitatif yang digunakan dalam
penelitian ini bertujuan untuk
menghitung tingkat efektifitas
berdasarkan data dan hasil penelitian.
Dari segi penyelesaian
pemeriksaan yang didasarkan pada
pencapaian target dan realisasi atas
jumlah Surat Perintah Pemeriksaan
(SP2) yang selesai setiap tahunnya
dengan menggunakan perhitungan
sebagai berikut :
𝐸𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓𝑖𝑡𝑎𝑠
=𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎𝑎𝑛
𝑇𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎𝑎𝑛 + 𝑛 × 100%
Dari segi penerimaan atas hasil
pemeriksaan yang didasarkan pada
pencapaian target dan realisasi atas
ketetapan pemeriksaan setiap tahunnya
dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
KPP Pratama Parepare
Pemeriksaan Pajak
Efektivitas Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak
Faktor Pendukung
Faktor Penghambat
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
155
𝐸𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓𝑖𝑡𝑎𝑠
=𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎𝑎𝑛
𝑇𝑎𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎𝑎𝑛 + 𝑛 × 100%
Keterangan :
𝑛 = jumlah tunggakan yang terjadi di
tahun sebelumnya jika ada.
Maka untuk mengukur tingkat
efektivitas dari pelaksanaan
pemeriksaan rutin didasarkan pada
kriteria atau standar menurut
Kementerian Perdagangan dalam Negeri.
No.690.900.3327 Tahun 1996 , sebagai
berikut :
1) Sangat efektif = > 100%
2) Efektif = 90% – 100%
3) Cukup efektif = 80% – 89%
4) Kurang efektif = 70% – 79%
5) Tidak efektif = < 69%
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Metode analisi data yang
digunakan penulis dalam pembahasan
penelitian ini adalah analisis deskriptif
kuantitatif untuk mengetahui tingkat
efektivitas pelaksanaan pemeriksaan
pajak melalui Surat Pemberitahuan
Pemeriksaan (SP2) dan Surat Ketetapan
Pajak (SKP) pada tahun 2014 sampai
dengan 2018 di KPP Pratama Parepare.
Dengan metode ini penulis dapat
menggambarkan sebagaimana tingkat
efektivitas pelaksanaan pemeriksaan
pajak yang dilakukan di KPP Pratama
Parepare melalui data yang didapat
langsung dari pihak KPP Pratama
Parepare.
4.1.1. Efektivitas Pemeriksaan Pajak
berdasarkan Penyelesaian SP2
Tahun 2014-2018
Data penerbitan dan penyelesaian
SP2 tahun 2014-2018 di KPP Pratama
Parepare :
Tabel 1
Data Penyelesaian SP2 PPh Orang Pribadi dan Badan KPP Pratama Parepare tahun
2014-2018 (Dalam satuan konversi LHP)
Tahun Target Realisasi Belum Terealisasi
2014 49 52 0
2015 61 66 0
2016 83 114 0
2017 100 113 0
2018 110 236 0
Sumber :KPP Pratama Parepare,2019
Tabel 2
Perhitungan Efektivitas SP2 dari tahun 2014-2018
Tahun Target
Pemeriksaan
Realisasi
Pemeriksaan
Belum
Terealisasi
Tingkat
Efektivitas Ket
2014 49 52 0 106,12% Sangat Efektif
2015 61 66 0 108,19% Sangat Efektif
2016 83 114 0 137,34% Sangat Efektif
2017 100 113 0 113% Sangat Efektif
2018 110 236 0 214,54% Sangat Efektif
Sumber: Data Diolah, 2019
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
156
Tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa
tingkat efektivitas yang dapat dicapai
berdasarkan target dan realisasi dari
penerimaan atas hasil pemeriksaan
sebagai berikut :
1) Pelaksanaan pemeriksaan pajak
berdasarkan penyelesaian SP2 dapat
dikatakan efektif jika petugas
pemeriksa pajak dapat menyelesaikan
SP2 yang telah diterbitkan setiap
tahunnya. KPP Pratama Pare-Pare di
tahun 2014 dapat menyelesaikan
seluruh SP2 yang diterbitkan dan
melebihi target yang telah ditentukan.
Presentase efektivitas pelaksanaan
pemeriksaan pajak berdasarkan
penyelesaian SP2 tahun 2014 adalah
sebesar 106,12% yang termasuk
dalam klasifikasi sangat efektif, hal ini
dikarenakan penyelesaian SP2 di
tahun 2014 terpenuhi dan melebihi
target yang telah ditentukan, yaitu
sejumlah 52 SP2 dari 49 SP2.
2) Presentase efektifitas pelaksanaan
pemeriksaan pajak berdasarkan
penyelesaian SP2 tahun 2015 adalah
sebesar 108,19%, yang termasuk
dalam klasifikasi sangat efektif.
Pelaksanaan pemeriksaan pajak
berdasarkan penyelesaian SP2 tahun
2015 dapat dikatakan sangat efektif
karena petugas pemeriksa pajak KPP
Pratama Pare-Pare dapat
menyelesaikan seluruh SP2 yang
diterbitkan di tahun 2015 bahkan
melebihi target yang telah ditentukan,
hal ini menyebabkan tidak ada
tunggakan yang terjadi pada tahun
berikutnya.
3) Presentase efektifitas pelaksanaan
pemeriksaan pajak berdasarkan
penyelesaian SP2 tahun 2016 adalah
sebesar 137,34%, yang termasuk
dalam klasifikasi sangat efektif.
Pelaksanaan pemeriksaan pajak
berdasarkan penyelesaian SP2 tahun
2016 dapat dikatakan sangat efektif
karena petugas pemeriksa pajak KPP
Pratama Pare-Pare dapat
menyelesaikan seluruh SP2 yang
diterbitkan di tahun 2016 dan bisa
melebihi targetnya yaitu sebesar 114
SP2 dari 83 SP2, hal ini menyebabkan
tidak ada tunggakan yang terjadi pada
tahun berikutnya.
4) Pelaksanaan pemeriksaan pajak
berdasarkan penyelesaian SP2 dapat
dikatakan sangat efektif jika petugas
pemeriksa pajak dapat menyelesaikan
SP2 yang telah diterbitkan setiap
tahunnya. KPP Pratama Pare-Pare di
tahun 2017 dapat menyelesaikan
seluruh SP2 yang diterbitkan dan
melebihi jumlah target yang telah
ditetapkan. Presentase efektivitas
pelaksanaan pemeriksaan pajak
berdasarkan penyelesaian SP2 tahun
2017 adalah sebesar 113% yang
termasuk dalam klasifikasi sangat
efektif, hal ini dikarenakan
penyelesaian SP2 di tahun 2017
melebihi targetnya, yaitu sejumlah
113 SP2 dari 100 SP2.
5) Presentase efektifitas pelaksanaan
pemeriksaan pajak berdasarkan
penyelesaian SP2 tahun 2018 adalah
sebesar 214,54%, yang termasuk
dalam klasifikasi sangat efektif.
Pelaksanaan pemeriksaan pajak
berdasarkan penyelesaian SP2 tahun
2016 dapat dikatakan sangat efektif
karena petugas pemeriksa pajak KPP
Pratama Pare-Pare dapat
menyelesaikan seluruh SP2 yang
diterbitkan dan melebihi target yang
telah ditentukan di tahun 2018 yaitu
sebesar 236 SP2 dari 110 SP2, hal ini
menyebabkan tidak ada tunggakan
yang terjadi pada tahun berikutnya.
Terselesaikannya seluruh SP2 dan
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
157
bahkan bisa melebihi target tidak
lepas dari kerjasama dan komunikasi
yang baik antar petugas pemeriksa
pajak, hal ini disampaikan oleh salah
satu petugas pemeriksa pajak yaitu:
“Terlaksananya seluruh SP2 dalam
beberapa tahun belakang ini tidak
lepas dari kerjasama yang baik oleh
semua petugas yang baik, selain itu
terlaksananya semua SP2 ini juga
tidak lepas dari komunikasi yang baik
dan sikap wajib pajak yang sangat
kooperatif dalam pelaksanaan
pemeriksaan pajak.”
4.1.2. Efektivitas Pelaksanaan
Pemeriksaan Pajak Berdasarkan
Surat Ketetapan Pajak (SKP)
Pemeriksaan pajak berdasarkan
Surat Ketetapan Pajak (SKP) akan
diterbitkan jika Wajib Pajak (WP) salah
dalam mengisi SPT atau ada data fiskal
yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak
(WP), sehingga menyebabkan kesalahan
pada laporan. SKP bisa timbul melalui
pemeriksaan pajak secara khusus
maupun melalui dokumen secara reguler
oleh petugas kantor pajak.
Tabel 3
Data Realisasi Jumlah Ketetapan Pemeriksaan PPh Orang Pribadi dan Badan KPP
Pratama Parepare 2014-2018
Tahun Target (Rp) Realisasi (Rp)
2014 9.355.140.000,- 262.716.685,-
2015 20.229.000.000,- 556.504.818,-
2016 5.000.000.000,- 734.197.502,-
2017 31.520.630.000,- 1.444.724.261,-
2018 4.500.000.000,- 4.831.198.264,-
Sumber: KPP Pratama Parepare,2019
Tabel 5
Perhitungan Efektivitas SKP dari tahun 2014-2018
Tahun Realisasi
Pemeriksaan (Rp)
Target
Pemeriksaan (Rp)
Tingkat
Efektivitas Ket
2014 262.716.685,- 9.355.140.000,- 2,79% Tidak Efektif
2015 556.504.818,- 20.229.000.000,- 2,75% Tidak Efektif
2016 734.197.502,- 5.000.000.000,- 14,68% Tidak Efektif
2017 1.444.724.261,- 31.520.630.000,- 4,58% Tidak Efektif
2018 4.831.198.264,- 4.500.000.000,- 107,35% Sangat Efektif
Sumber: Data Diolah, 2019
Tabel 5 diatas dapat dilihat bahwa
tingkat efektivitas yang dapat dicapai
berdasarkan target dan realisasi dari
penerimaan atas hasil pemeriksaan
sebagai berikut :
1) Berdasarkan perhitungan efektivitas
pelaksanaan pemeriksaan pajak,
dapat dillihat bahwa presentase
efektivitas pelaksanaan pemeriksaan
pajak pada tahun 2014 di KPP
Pratama Pare-Pare adalah senilai
2,79% yang termasuk dalam
klasifikasi tidak efektif. Efektivitas
pelaksanaan pemeriksaan pajak pada
tahun 2014 dinyatakan tidak efektif
karena realisasi penerimaan
pemeriksaan pajak belum mencapai
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
158
rencana yang ditetapkan, yaitu
sebesar Rp.262.716.685,- dari
rencana yang ditetapkan sebesar
Rp.9.355.140.000,-. Menurut staf
bagian seksi pemeriksaan, Bapak
Aris:
“Realisasi penerimaan pemeriksaan
pajak tidak mencapai rencana
penerimaan pemeriksaan pajak
dikarenakan hasil perhitungan yang
kami lakukan terkadang tidak sesuai
dengan apa yang kami dapat
dilapangan atau pada saat kami
melakukan pemeriksaan.”
2) Presentase efektifitas pelaksanaan
pemeriksaan pajak tahun 2015 di KPP
Pratama Pare-Pare adalah senilai
95,82% yang termasuk dalam
kategori tidak efektif. Efektivitas
pelaksanaan pemeriksaan pajak pada
tahun 2015 dikatakan tidak efektif
karena realisasi penerimaan
pemeriksaan pajak belum melebihi
target yang telah yang telah
direncanakan, yaitu sebesar
Rp.556.504.818,- dari rencana yang
ditetapkan sebesar
Rp.20.229.000.000,-. Presentase
efektivitas pelaksanaan pemeriksaan
pajak pada tahun 2015 mengalami
penurunan dari tahun 2014 sebesar
0,04%. hal ini disebabkan karena
adanya beberapa faktor penghambat
pada saat melakukan pemeriksaan di
tahun 2015. Walaupun penurunan
presentase efektivitas pelaksanaan
pemeriksaan pajak yang terjadi pada
tahun 2015 hanya sebesar 0.4%,
namun ini sangat berpengaruh pada
presentase pendapatan di KPP
Pratama Pare-Pare. Terjadinya
penurunan presentase efektivitas
pelaksanaan pemeriksaan pajak
tersebut membuat para petugas pajak
akan meningkatkan kinerjanya untuk
tahun-tahun berikutnya agar bisa
mencapai target yang telah
ditentukan atau bahkan bisa melebihi
target tersebut.
3) Presentase efektivitas pelaksanaan
pemeriksaan pajak pada tahun 2016
di KPP Pratama Pare-Pare adalah
senilai 14,68% yang termasuk dalam
kategori tidak efektif. Efektivitas
pelaksanaan pemeriksaan pajak
belum melebihi target yang telah
direncanakan, yaitu sebesar
Rp.734.197.502,- dari rencana yang
ditetapkan yaitu sebesar
Rp.5.000.000.000,-. Presentase
efektivitas pelaksanaan pemeriksaan
pajak pada tahun 2016 mengalami
kenaikan dari tahun 2015 yaitu
sebesar 11,93%.
4) Presentase efektivitas pelaksanaan
pemeriksaan pajak berdasarkan
realisasi penerimaan pemeriksaan
pajak pada tahun 2017 di KPP
Pratama Pare-Pare yaitu sebesar
4,58% yang termasuk dalam
klasifikasi tidak efektif, hal ini
disebabkan karena realisasi
penerimaan pemeriksaan pajak pada
tahun 2017 di KPP Pratama Pare-Pare
belum bisa melebihi target yang telah
direncanakan, yaitu sebesar
Rp.1.444.724.261,- dari target yang
direncanakan yaitu sebesar
Rp.31.520.630.000,-. Presentase
efektivitas pemeriksaan pajak pada
tahun 2017 ini mengalami penurunan
dari tahun 2016 yaitu sebesar 10,1%.
5) Presentase efektivitas pelaksanaan
pemeriksaan pajak berdasarkan
realisasi penerimaan pemeriksaan
pajak pada tahun 2018 di KPP
Pratama Parepare adalah senilai
107,35% yang termasuk dalam
klasifikasi sangat efektif, hal ini
disebabkan karena realisasi
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
159
penerimaan pemeriksaan pajak sudah
melebihi target perencanaan yang
telah ditetapkan, yaitu sebesar
Rp.4.831.198.264,- dari target
perencanaan yang telah ditetapkan
yaitu sebesar Rp.4.500.000.000,.
Presentase efektivitas pelaksanaan
pemeriksaan pajak pada tahun 2018
mengalami kenaikan dari tahun 2017
sebesar 102,77% dan telah melebihi
target perencanaan yang telah
ditetapkan.
4.2. Pembahasan
4.2.1. Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak
di KPP Pratama Pare-Pare
Pelaksanaan pemeriksaan pajak di
KPP Pratama Parepare selalu
berpedoman pada peraturan yang
berlaku. Dalam sesi wawancara hal ini
disampaikan oleh salah satu staf yang
menangani bagian pemeriksaan, Pak A :
“Pelaksanaan pemeriksaan pajak di KPP
Pratama Pare-Pare sebenarnya sama saja
dengan pelaksanaan pemeriksaan di KPP
lain karena prosedur pemeriksaan harus
berpedoman pada peraturan yang
berlaku.”
Alur pelaksanaan pemeriksaan
pajak di KPP Pratama Pare-Pare
berdasarkan hasil wawancara dengan
informan adalah sebagai berikut :
1) Terbitnya surat tugas pemeriksaan
dari kantor pusat Direktorat Jenderal
Pajak atau dari Kanwil untuk
dilakukannya pemeriksaan pajak
terhadap Wajib Pajak.
2) Adanya usulan dari Account
Representative (AR) untuk melakukan
pemeriksaan pajak berdasarkan
analisis resiko dan data-data yang
telah dikumpulkan oleh AR.
3) Seksi pemeriksaan bersama petugas
pemeriksaan pemeriksa pajak
meneliti dan menganalisis data-data
seputar Wajib Pajak, baik itu profil
Wajib Pajak, Kegiatan usaha Wajib
Pajak, harta dan kewajiban Wajib
Pajak, arus piutang dan arus kas
Wajib Pajak, dan lain-lain, serta
membuat rencana pemeriksaan.
4) Usulan pemeriksaan diajukan ke
kanwil untuk mendapat persetujuan
pemeriksaan.
5) Rencana pemeriksaan diajukan ke
Kepala KPP Pratama Pare-Pare untuk
mendapat persetujuan pemeriksaan.
6) Setelah mendapat persetujuan dari
Kepala KPP Pratama Pare-Pare,
terbitlah surst perintah pemeriksaan
(SP2) yang diterbitkan oleh seksi
pemeriksaan yang kemudian wajib
disampaikan kepada wajib pajak yang
bersangkutan.
7) Dalam hal pemeriksaan kantor, Wajib
Pajak akan diperiksa diundang untuk
datang ke KPP Pratama Pare-Pare
dengan membawa dokumen-
dokumen, buku-buku dan data-data
yang diperlukan untuk keperluan
pemeriksaan pajak.
8) Dalam hal pemeriksaan lapangan,
petugas pemeriksaan pajak langsung
datang ke lokasi atau tempat usaha
Wajib Pajak untuk dilakukannya
pemeriksaan pajak.
9) Wajib Pajak wajib untuk bersedia
meiminjamkan buku-buku, dokumen-
dokumen dan data-data lainnya yang
diperlukan petugas pemeriksa pajak
dalam melaksanakan pemeriksaan.
10) Jika wajib pajak menolak untuk
diperiksa, maka petugas pemeriksa
akan membuat berita acara bahwa
Wajib Pajak menolak untuk diperiksa.
Petugas Pemeriksa Pajak berwenang
untuk melakukan penetapan secara
jabatan, atau pemeriksa dapat
ditingkatkan menjadi pemeriksa bukti
permulaan. Jika Wajib Pajak bersedia
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
160
dilakukan pemeriksaan pajak, namun
Wajib Pajak tidak kooperatif dalam
pelaksanaan pemeriksaan pajak,
seperti tidak bersedia menunjukkan
dokumen yang dibutuhkan dalam
pemeriksaan pajak, maka petugas
pemeriksa pajak berwenang untuk
melakukan penyegelan tempat atau
dokumen tersebut serta
mencantumkannya dalam berita
acara.
11) Petugas pemeriksa pajak menyusun
Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan (SPHP) yang kemudian
akan dilakukan pembahasan hasil
pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
12) Petugas Pemeriksa Pajak menyusun
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)
dengan kurung waktu selama 2 bulan
setelah dilakukannya penyusunan
Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan (LPHP). Setelah itu
pemeriksa pajak membuat Surat
Ketetapan Pajak (SKP).
4.2.2. Faktor Penghambat
Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak
di KPP Pratama Pare-Pare
Berdasarkan tabel 3.4 dimana
terdapat SKP yang masuk dalam
klasifikasi tidak efektif yakni pada tahun
2014-2017 dengan tingkat efektivitas
dibawah 100%. Hal ini disebabkan
karena adanya beberapa faktor
penghambat dalam proses pemeriksaan
pajak yaitu sebagai berikut:
1) Wajib Pajak yang tidak kooperatif
Wajib Pajak yang tidak kooperatif
sangat menghambat pelaksanaan
pemeriksaan pajak, karena petugas
pemeriksa pajak tidak mendapat data-
data, dokumen-dokumen dan bukti
lainnya yang dimiliki oleh Wajib Pajak
sebagai dasar pertimbangan pelaksanaan
pemeriksaan pajak.
2) Keterbatasan Waktu
Jumlah SP2 yang diterbitkan
kadang tidak sesuai dengan waktu yg
ditetapkan.Pelaksanaan pemeriksaan
pajak pada umumnya membutuhkan
waktu kurang lebih delapan bulan untuk
setiap SP2, hal ini menuntut petugas
pemeriksa pajak untuk
menyelesaikannya tepat pada waktunya.
3) Keterbatasan Data yang
Dibutuhkan dalam Pemeriksaan
Pajak
Keterbatasan data yang
dibutuhkan sangat menghambat
pelaksanaan pemeriksaan pajak.Data-
data ini merupakan dasar pegangan
petugas pemeriksa dalam pelaksanaan
pemeriksaan pajak. Jika data-data yang
dibutuhkan tidak lengkap, hal ini akan
sangat menghambat pelaksanaan
pemeriksaan pajak. Seperti yang
disampaikan oleh Pak A :
“Salah satu data atau dokumen yang
diminta dalam pemeriksaan itu adalah
laporan keuangan, karena dalam laporan
keuangan itu sudah jelas alur kasnya,
tapi karena ini Pare-Pare ini masih
tergolong dalam kota kecil jadi wajib
pajak disini hampir semuanya tidak
membuat laporang keuangan. Untuk
penggantinya biasanya kita meminta
rekening bank atau data dari pihak ke
tiga dan itu membutuhkan tambahan
waktu.”
4) Kurangnya Pemahaman Wajib
Pajak tentang Perpajakan
Dalam pelaksanaan pemungutan
pajak, pemahaman Wajib Pajak tentang
Perpajakan di indonesia sangat penting,
jika Wajib Pajak kurang memahami
tentang perpajakan di Indonesia maka
Wajib Pajak akan sangat kesulitan dalam
membuat pembukuan dan penetapkan
pajak terutangnya sendiri. Selain itu
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
161
pemahaman mengenai sanksi-sanksi
perpajakan juga sangat penting untuk
diketahui, karena jika WP memiliki
pengetahuan mengenai sanksi maka
akan memberikan dampak yang baik
bagi penerimaan pajak setelah dilakukan
pemeriksaan.
5) Psikologis Wajib Pajak yang
Berbeda-beda
Psikologis Wajib Pajak yang
berbeda-beda sangat mempengaruhi
pelaksanaan pemeriksaan pajak, jika ada
Wajib Pajak yang mengalami tekanan
psikologis, hal ini dapat menghambat
atau memperpanjang waktu pelaksanaan
pemeriksaan pajak
4.2.3. Faktor Pendukung Pelaksanaan
Pemeriksaan Pajak di KPP
Pratama Pare-Pare
Berdasarkan tabel 3.4 dimana
terdapat SKP yang masuk dalam
klasifikasi sangat efektif yakni pada
tahun 2018 dengan tingkat efektivitas
diatas 100%. Hal ini disebabkan karena
adanya beberapa faktor pendukung
dalam proses pemeriksaan pajak yaitu
sebagai berikut:
1) Adanya Rasa Tanggung Jawab
dalam Menyelesaikan tugas.
Rasa tanggung jawab untuk
menyelesaikan tugas dari petugas
pemeriksa pajak KPP Pratama Parepare
merupakan dorongan dan faktor
pendukung dalam pelaksanaan
pemeriksaan pajak. Tanpa adanya rasa
tanggung jawab dalam diri petugas
pemeriksa pajak, tunggakan pemeriksa
pajak tidak akan terselesaikan.
2) Wajib Pajak yang Kooperatif
Wajib Pajak yang bersikap
kooperatif akan bersedia untuk
meminjamkan dokumen-dokumen atau
data-data yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan pemeriksaan pajka, hal ini
akan mempengaruhi petugas pemeriksa
untuk menganalisis data-data dan
dokumen-dokumen tersebut.
3) Sumber Daya Manusia yang
Kompeten
Sumber daya manusia di KPP
Pratama Pare-Pare sangat
kompeten.Mereka sangat berpengalaman
dalam menghadapi berbagai macam
karakteristik Wajib Pajak. Selain itu,
petugas pemeriksa pajak di KPP Pratama
Pare-Pare juga sering mengikuti diklat
tentang pemeriksaan pajak untuk
menambah wawasan dan kemampuan
dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak.
4) Fasilitas Kantor yang Tersedia
Fasilitas kantor yang tersedia
untuk pelaksanaan pemeriksaan pajak
sangat mendukung pelaksanaan
pemeriksaan pajak, diantaranya
komputer, telepon, mobil dinas, dan
sarana prasarana lainnya yang
mendukung pelaksanaan pemeriksaan
pajak.
5) Komunikasi yang Baik
Komunikasi yang baik antar
petugas pemeriksa pajak sangat
mendukung dalam pelaksanaan pajak.
Petugas pemeriksa pajak KPP Pratama
Pare-Pare dapat saling bertukar
informasi berkaitan dengan pelaksanaan
pemeriksaan pajak di lapangan, seperti
kriteria Wajib Pajak yang berbeda-beda,
saling mengingatkan tentang tunggakan
dan lain-lain seputar pemeriksaan pajak.
6) Adanya Dukungan dari Pimpinan
dan Kerjasama yang Baik Antar
Bagian.
Dukungan dari pimpinan dan
kerjasama yang baik antar bagian
sangatlah penting dalam pelaksanaan
suatu kegiatan, khususnya pelaksanaan
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
162
pemeriksaan pajak. Hal ini menunjukkan
adanya koordinasi yang sangat baik
dalam suatu pelaksanaan kegiatan.
5. PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan rumusan masalah,
hasil penelitian dan pembahasan maka
kesimpulan yang dapat ditarik dari
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Hasil perhitungan efektivitas
pelaksanaan pemeriksaan pajak
berdasarkan penyelesaian SP2 di KPP
Pratama Parepare, dimana tahun
2014-2018 mempunyai tingkat
efektivitas yang sama yaitu termasuk
dalam kriteria sangat efektif dengan
presentase diatas 100%. Sedangkan
perhitungan efektivitas pelaksanaan
pemeriksaan pajak berdasarkan
realisasi penerimaan pajak di KPP
Pratama Parepare, dimana pada tahun
2014-2017 masuk dalam kategori
tidak efektif dengan presentase
dibawah 60% dan pada tahun 2018
masuk dalam kategori sangat efektif
dengan presentase diatas 100%.
2) Dapat disimpulkan bahwa kinerja
petugas pemeriksa pajak di KPP
Pratama Pare-Pare dari segi
penyelesaian SP2 sangat efektif
karena melibihi target yang telah
ditetapkan. Tetapi pada SKP masih
kurang efektif, hal ini dapat di lihat
dari data lima tahun terakhir yang
menunjukkan selama tahun 2014-
2017 masuk dalam kategori tidak
efektif dan pada tahun 2018 baru
mengalami peningkatan dan
melebihi target yang telah ditentukan.
Hal ini terjadi karena adanya
beberapa faktor penghambat dan
faktor pendukung yang dihadapi oleh
Pemeriksa Pajak di Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Pare-Pare.
5.2. Saran
Adapun saran dari peneliti adalah
sebagai berikut :
1) Kepada Kanwil DJP Sulselbartra dan
KPP Pratama Pare-Pare.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas
dari sumber daya manusia seperti
pemeriksa pajak dengan memberikan
kompensasi dan intensif yang
mencukupi agar supaya kinerja
Pemeriksa Pajak dalam melaksanakan
pemeriksaan bisa lebih optimal.
2) Kepada Peneliti Selanjutnya. Kepada
peneliti selanjutnya yang ingin
melaksanakan penelitian sejenis,
hendaknya bisa melengkapi informasi
mengenai aspek lain yang mendukung
terjadinya tidak tercapai pencapaian
target penerimaan pajak setelah
dilaksanakannya pemeriksaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Efektivitas Pelaksanakan Pemeriksaan Pajak, 2016, diakses pada 4 Maret 2019 dari https://media.neliti.com
Halim, Abdul.2004. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Edisi Revisi. Yogyakarta:UPP AMP YKPN
Kementerian Perdagangan dala, Negeri No.690.900.327 Th.1996 tentang pedoman penilaian kinerja keuangan
Mardiasmo. 2009. Perpajakan, edisi revisi tahun2009. Yogyakarta: Andi Yogyakarta
Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.17/PMK.03/2013
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
163
tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak
Priantara, Diaz, 2002./;Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Djambatan.Jakarta.
Sumarsan, Thomas. 2007. Perpajakan Indonesia. Edisi Kelima. Jakarta:Indeks
Waluyo. 2003. Perpajakan Indonesia. Jakarta:Salemba Empat
Widi, Restu Kartiko. 2010. Asas Metode Penelitian, Sebuah Pengenalan dan Penuntun Langkah Demi Langkah Pelaksanaan Penelitian. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
164
PENGARUH NORMA SUBJEKTIF, KEWAJIBAN MORAL DAN
PEMAHAMAN PERATURAN PAJAK TERHADAP KEPATUHAN
WAJIB PAJAK PADA KPP PRATAMA MAKASSAR UTARA
Sitti Rahma Sudirman
Email: [email protected]
Universitas Muslim Indonesia Makassar
Darwis Lannai
Email: [email protected]
Universitas Muslim Indonesia Makassar
Hajering Email: [email protected]
Universitas Muslim Indonesia Makassar
Abstract
The purpose of this research is to identify and analyze the influence of subjective norms, moral obligation, and taxpayer formal compliance towards the compliance of tax payers in KPP Pratama Makassar Utara. The data required in this study is primary data in the form of respondents’ assessment of subjective norms, moral obligation, taxpayer formal compliance and the compliance of tax payers in KPP Pratama Makassar Utara. Data collection methods used in this study is the questionnaire as well as a literature review on the books related to the subject matter covered. Data analysis techniques used by Multiple Linear Regression Test, t test, F test, Coefficient of Determination Test. The result shows that simultaneously, subjective norms, moral obligation, and taxpayer formal compliance are influential towards the compliance of tax payers in KPP Pratama Makassar Utara. Meanwhile the result of partial test (t-test) shows that subjective norms and moral obligation are partially have significant and positive influences towards the compliance of tax payers. Taxpayer formal compliance on the other hand, partially has positive and insignificant influence towards the compliance of tax payers.
Keyword: Subjective Norms, Moral Obligation, Taxpayer Formal Compliance and The Compliance of Tax Payers
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh norma subjektif, kewajiban moral serta pemahaman peraturan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak yang terdaftar di KPP Pratama Makassar Utara. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dalam bentuk penilaian responden tentang norma subjektif, kewajiban moral, pemahaman peraturan pajak dan kepatuhan wajib pajak di KPP Pratama Makassar Utara. Metode pengumpulan data menggunakan kuisioner dan studi Pustaka. Teknik analisis data menggunakan analisis regresi linear berganda, uji t, uji F dan uji koefisinen determinasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa norma subjektif, kewajiban moral serta pemahaman wajib pajak secara serempak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Sedangkan hasil uji parsial (uji-t) menunjukkan bahwa norma subjektif dan kewajiban moral berpengaruh positif dan signifikan. Adapun pemahaman peraturan pajak berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak.
Kata kunci: Norma Subjektif, Kewajiban Moral, Pemahaman Peraturan Pajak dan Kepatuhan Wajib Pajak
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
165
1. PENDAHULUAN
Pajak sangat penting bagi
pembangunan negara Indonesia karena
pajak memberikan kontribusi terbesar
bagi pendapatan negara. Pemerintah
dituntut untuk lebih bijaksana dalam
mengelola setiap pendapatan. Pajak
adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang sehingga
dapat dilaksanakan dengan tiada
mendapat balas jasa secara langsung.
Pajak dipungut penguasa berdasarkan
norma-norma hukum untuk menutup
biaya produksi barang-barang dan jasa
kolektif untuk mencapai kesejahteraan
umum. Pajak saat ini masih menjadi
andalan penerimaan bagi negara. Salah
satu penerimaan pajak berasal dari Pajak
Penghasilan (PPh). Pajak penghasilan
merupakan pajak yang dipungut pada
objek pajak atas penghasilannya.
Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh)
mengatur pengenaan pajak penghasilan
terhadap subjek pajak berkenaan dengan
penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak
(Mariana, 2017).
Kontribusi pajak dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
tiap tahun semakin meningkat. Hal ini
menunjukkan bahwa peranan pajak
semakin besar dalam APBN. Oleh karena
itu, Direktorat jendral Pajak terus
berupaya untuk meningkatkan
penerimaan pajak. Salah satu jalan yang
ditempuh adalah dengan pengawasan
terhadap kepatuhan wajib pajak dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Pengawasan kepatuhan perpajakan ini
perlu ditingkatkan dengan jalan antara
lain melakukan pemeriksaan terhadap
Wajib Pajak secara selektif. Pemeriksaan
dilakukan secara selektif sesuai dengan
kriteria yang telah ditetapkan oleh
pemerintah dalam hal ini Direktorat
Jenderal pajak akan berperan aktif demi
terciptanya kepatuhan wajib pajak
sehingga Perpajakan di Indonesia
semakin lama akan semakin meningkat.
Permasalahan tingkat kepatuhan
wajib pajak merupakan permasalahan
yang menjadi perhatian dalam bidang
perpajakan. Di indonesia tingkat
kepatuhan wajib pajak masih dapat
dikatakan rendah. Rendahnya tingkat
kepatuhan wajib pajak untuk memenuhi
kewajiban perpajakannya sangat
memprihatinkan jika dibandingkan
dengan tingkat pertumbuhan usaha di
indonesia (Yusro dan Kiswanto, 2014).
Teori atribusi menyatakan bahwa
bila individu-individu mengamati
perilaku seseorang, mereka mencoba
untuk menentukan apakah itu
ditimbulkan secara internal atau
eksternal (Robbins, 2015). Dalam
kepatuhan wajib pajak sangat berkaitan
dengan sikap wajib pajak dalam
membuat penilaian terhadap pajak itu
sendiri. Persepsi seseorang untuk
membuat penilaian mengenai orang lain
sangat dipengaruhi oleh kondisi internal
maupun eksternal orang tersebut. Teori
atribusi sangat relevan untuk
menerangkan maksud tersebut.
Berdasarkan penelitian terdahulu
diketahui bahwa kepatuhan wajib pajak
sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor,
tiga di antaranya adalah norma subjektif,
kewajiban moral dan pemahaman
peraturan perpajakan.
Keyakinan normatif (normative
beliefs) adalah keyakinan tentang
harapan normatif orang lain yang
memotivasi seesorang untuk memenuhi
harapan tersebut (normative beliefs and
motivation to comply). Keyakinan
normatif merupakan indikator yang
kemudian menghasilkan norma subjektif
(subjective norms). Jadi norma subjektif
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
166
adalah persepsi seseorang tentang
pengaruh sosial dalam membentuk
perilaku tertentu. Seseorang bisa
terpengaruh atau tidak terpengaruh oleh
tekanan sosial. Berkaitan dengan studi
ini, norma subjektif adalah keyakinan
Wajib Pajak tentang kekuatan pengaruh
orang-orang atau faktor lain di
lingkungannya yang memotivasi
seseorang untuk melakukan kepatuhan
pajak atau tidak melakukan kepatuhan
pajak.
Menurut Jogiyanto (2007) dalam
Yolanda (2017), norma subjektif
(subjective norm) adalah persepsi atau
pandangan seseorang terhadap
kepercayaan-kepercayaan orang lain
yang akan mempengaruhi niat untuk
melakukan atau tidak melakukan
perilaku yang sedang dipertimbangkan.
Norma subjektif dapat membentuk
perilaku individu untuk setuju atau
menolak pandangan yang dimiliki orang
lain, apabila perilaku yang ditunjukkan
oleh individu sesuai dengan pandangan
yang dimiliki orang lain, maka perilaku
tersebut akan terus menerus dilakukan
dalam masyarakat. Hasil penelitian dari
Budiningrum (2014), Sagita (2017) dan
Lilis (2017), menemukan bahwa nomra
subjektif berpengaruh signifikan
terhadap kepatuhan wajib pajak.
Sementara itu, hasil penelitian dari
Ernawati (2010), menemukan
sebaliknya, bahwa norma subjektif tidak
berpengaruh terhadap kepatuhan wajib
pajak.
Faktor lainnya yang berhubungan
dengan kepatuhan wajib pajak adalah
kewajiban moral. Tax morality atau
moralitas (kesadaran secara sungguh-
sungguh) membayar pajak merupakan
salah satu aspek atau bagian kesadaran
bernegara (Lasmana, 2011). Wajib pajak
diharapkan menyadari pentingnya pajak
sebagai sumber pembiayaan negara,
sehingga wajib pajak bisa meningkatkan
kewajiban moral yang dimiliki oleh wajib
pajak itu sendiri agar dapat memenuhi
kewajiban dalam membayar pajak.
Bobek dan Hatfield (2003) dalam
Layata dan Setiawan (2014), mengatakan
kewajiban moral merupakan suatu
perasaan bersalah yang dimiliki
seseorang namun belum tentu dimiliki
oleh orang yang lainnya. Wajib pajak
memiliki kewajiban moral sesuai dengan
nilai rasa yang berlaku di masyarakat,
maka wajib pajak akan melakukan
tindakan sesuai dengan peraturan yang
ada seperti membayar pajak. Oleh karena
itu jika masyarakat memiliki kewajiban
moral yang besar maka tingkat
kepatuhan penyelesaian kewajiban
perpajakannya juga besar sehingga
keinginan melaporkan surat
pemberitahuan (SPT) juga besar. Hasil
penelitian Rahayu (2015) dan Artha
(2016), menemukan bahwa kewajiban
moral berpengaruh signifikan terhadap
kepatuhan wajib pajak. Sementara itu
hasil penelitian dari Dewi (2016),
menemukan bahwa kewajiban moral
tidak berpengaruh terhadap kepatuhan
wajib pajak.
Selain norma subjektif dan
kewajiban moral, faktor lainnya yang
berhubungan dengan kepatuhan wajib
pajak adalah pemahaman peraturan
perpajakan. Pengetahuan perpajakan
yang memadai merupakan salah satu
syarat yang harus dimiliki oleh WP.
Masyarakat yang tidak mengetahui pajak
tentu tidak akan tahu apa kewajibannya
sebagai WP. Ketika tingkat pengetahuan
dan pemahaman akan peraturan pajak
meningkat, hal ini akan mendorong wajib
pajak untuk melakukan kewajiban
membayar pajak (Utami, dkk, 2012).
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
167
Pengetahuan dan pemahaman
akan peraturan perpajakan adalah
proses dimana wajib pajak mengetahui
tentang perpajakan dan mengaplikasikan
pengetahuan itu untuk membayar pajak.
Suryadi (2006) dalam Hardiningsih
(2011) dalam penelitianya menyatakan
bahwa meningkatnya pengetahuan
perpajakan baik formal dan non formal
akan berdampak postif terhadap
kesadaran wajib pajak dalam membayar
pajak. Gardina dan Hariyanto (2006)
dalam Hardiningsih (2011) menemukan
bahwa rendahnya kepatuhan wajib pajak
disebabkan oleh pengetahuan wajib
pajak serta persepsi tentang pajak dan
petugas pajak yang masih rendah.
Sebagian wajib pajak memperoleh
pengetahuan pajak dari petugas pajak,
selain itu ada yang memperoleh dari
media informasi, konsultan pajak,
seminar dan pelatihan pajak. Hasil
penelitian Mahfud (2017), menemukan
bahwa pemahaman peraturan
perpajakan berpengaruh terhadap
kepatuhan wajib pajak. Sementara itu,
hasil penelitian Hardiningsih (2011),
menemukan bahwa pemahaman
peraturan perpajakan tidak berpengaruh
terhadap kepatuhan wajib pajak.
Berdasarkan hasil review atas
penelitian terdahulu di atas maka
didapati adanya gap research berupa
inkonsistensi (tidak konsisten) hasil
penelitian sebelumnya. Bahwa tidak
selalu kepatuhan wajib pajak
dipengaruhi oleh norma subjektif,
kewajiban moral dan pemahaman
peraturan perpajakan. Dengan demikian
maka peneliti tertarik untuk kembali
menguji pengaruh norma subjektif,
kewajiban moral dan pemahaman
peraturan perpajakan terhadap
kepatuhan wajib pajak dengan
mengambil KPP Pratama Makassar Utara
sebagai lokasi penelitian.
Pemilihan KPP Pratama Makassar
Utara sebagai lokasi penelitian
didasarkan pada hasil penelitian Mariana
(2017), yang menemukan bahwa tingkat
kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
pada KPP Pratama Makassar Utara belum
optimal, karena dalam pelaporan Surat
Pemberitahuan tahunan Pajak di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Makassar Utara
setiap tahunnya kurang stabil dan belum
terealisasi dengan baik. Sehingga perlu
ditingkatkan kepatuhan Wajib Pajaknya.
Oleh karennya dalam penelitian ini
peneliti mencoba menguji
keterhubungan beberapa faktor dengan
tingkat kepatuhan wajib pajak di wilayah
kerja KPP Pratama Makassar Utara.
Hasil penelitian Mariana (2017),
diperkuat dengan data jumlah target dan
realisasi penerimaan pajak di KPP
Pratama Makassar Utara tahun 2015
sampai dengan tahun 2018.
Tabel 1
Perkembangan Target dan Realisasi
Penerimaan Pajak di KPP Pratama
Makassar UtaraTahun 2015 – 2018
Ta
hu
n
Target Realisasi Penca
paian
201
5
Rp.83.518.
165.533
Rp.73.874.
535.571
88,45
%
201
6
Rp.119.520
.787.394
Rp.103.648
.877.519
86,13
%
201
7
Rp.531.675
.512.076
Rp.490.716
.501.887
92,29
%
201
8
Rp.946.552
.473.912
Rp.732.206
.023.609
77,35
%
Sumber: KPP Pratama Makassar Utara,
2020
Berdasarkan tabel 1 di atas
menunjukkan adanya fenomena bahwa
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
168
setiap tahun jumlah target penerimaan
pajak dan penagihan pajak bersifat
fluktuatif, yang artinya masih banyak
pihak wajib pajak di wilayah kerja KPP
Pratama Makassar Utara yang tidak
mematuhi kewajiban perpajakannya.
Penelitian ini merupakan
penelitian replikasi dari penelitian
sebelumnya yaitu dari Dewi (2016) dan
Juwanti (2017). Persamaan penelitian ini
dengan kedua peneliti sebelumnya
adalah sama – sama mengambil
pengetahuan/pemahaman dan norma
sebagai variabel independen. Sementara
perbedaan penelitian ini dengan kedua
penelitian sebelumnya adalah pertama
penelitian ini menambahkan satu
variabel independen yang tidak
disertakan kedua peneliti sebelumnya
yaitu kewajiban moral. Kedua adalah
lokasi/objek penelitian yang berbeda.
Penelitian Dewi (2016), pada wajib pajak
kendaraan bermotor di Kantor Samsat
Kabupaten Buleleng dan penelitian
Juwanti (2017), pada wajib pajak Bumi
dan Bangunan pada Kecamatan
Colomadu, Kabupaten Karanganyar.
Sementara penelitian ini sendiri pada
wajib pajak yang terdaftar di KPP
Makassar Utara.
Berdasarkan uraian di atas, maka
dilakukan penelitian dengan fokus
“Pengaruh Norma Subjektif,
Kewajiban Moral dan Pemahaman
Peraturan Pajak terhadap Kepatuhan
Wajib Pajak pada KPP Pratama
Makassar Utara.”
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Atribusi
Tingkat kepatuhan pajak dapat
dilihat dari perilaku wajib pajak dalam
membuat penilaian terhadap pajak itu
sendiri. Ketika seseorang mengamati
perilaku orang lain, hal yang sangat
mempengaruhi adalah kondisi internal
maupun eksternal pada orang tersebut.
Suatu tindakan merupakan suatu akibat
atau efek yang terjadi karena adanya
sebab. Menjelaskan penilaian terhadap
tingkah laku seseorang dengan
mempresepsi apakah tindakan seseorang
terkendali secara internal (disposisional)
atau eksternal (situasional) adalah
pengertian dari teori atribusi (Robbins,
2015).
Pada dasarnya, teori atribusi
menyatakan bahwa bila individu-
individu mengamati perilaku seseorang,
mereka mencoba untuk menentukan
apakah itu ditimbulkan secara internal
atau eksternal, Robbins (2015). Perilaku
yang disebabkan secara internal adalah
perilaku yang diyakini berada di bawah
kendali pribadi individu itu sendiri atau
berasal dari faktor internal seperti ciri
kepribadian, kesadaran, dan
kemampuan. Hal ini merupakan atribusi
internal. Sedangkan, perilaku yang
disebabkan secara eksternal adalah
perilaku yang dipengaruhi dari luar atau
dari faktor eksternal seperti peralatan
atau pengaruh sosial dari orang lain,
artinya individu akan terpaksa
berperilaku karena situasi. Penentuan
internal atau eksternal tergantung pada
tiga faktor, yaitu: Konsensus, Konsistensi,
Kekhususan. Saat tiga hal tersebut
(Konsensus, Konsistensi, Kekhususan)
dipadukan, maka seseorang dapat
mempresepsi apakah tindakan tersebut
terkendali secara internal (disposisional)
atau eksternal (situasional) ini akan
kelihatan faktor mana yang lebih
mendorong prilaku seseorang.
Konsensus artinya jika semua
orang mempunyai kesamaan pandangan
dalam merespon perilaku seseorang
dalam situasi yang sama. Apabila
konsensusnya tinggi, maka termasuk
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
169
atribusi internal. Sebaliknya jika
konsensusnya rendah, maka termasuk
atribusi eksternal.
Konsistensi artinya jika setiap
perilaku yang dilakukan, dibandingkan
dengan perilaku sebelumnya
menunjukkan pada reaksi (tinggi
rendahnya konsensus yang dicapai) yang
konsisten, maka akan semakin kuat
dugaan perilaku konsisten dari orang
tersebut jika konsensusnya sama tinggi
atau sama rendah dengan perilaku
sebelumnya. Namun jika konsensusnya
berbeda derajat tinggi rendahnya, berarti
derajat konsisten perilakunya menurun.
Ada saling mempengaruhi antara
konsensus dan konsistensi.
Kekhususan, artinya seseorang
akan mempersepsikan perilaku individu
lain secara berbeda dalam situasi yang
berlainan. Apabila perilaku seseorang
dianggap suatu hal yang luar biasa, maka
individu lain yang bertindak sebagai
pengamat akan memberikan atribusi
eksternal terhadap perilaku tersebut.
Sebaliknya jika hal itu dianggap hal yang
biasa, maka akan dinilai sebagai atribusi
internal.
Alasan pemilihan teori ini adalah
teori atribusi relevan untuk menjelaskan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kepatuhan wajib pajak yang digunakan
dalam model penelitian ini. Kepatuhan
wajib pajak dapat dikaitkan dengan sikap
wajib pajak dalam membuat penilaian
terhadap pajak itu sendiri. Persepsi
seseorang untuk membuat penilaian
mengenai orang lain sangat dipengaruhi
oleh faktor internal maupun eksternal
orang lain tersebut.
2.2 Teori Tindakan Beralasan
(Theory of Reasoned Action)
Theory of Reasoned Action
menggambarkan perilaku manusia atas
dasar kehendak dengan pertimbangan
untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu perilaku (Ajzen, 1991 dalam
Awaluddin, 2017). Hasil penelitian dari
Ajzen dan Fishbein (1975) dalam
Awaluddin (2017), mengemukan bahwa
niat seseorang dipengaruhi oleh dua
penentu utama yaitu:
a) Sikap yang merupakan gabungan dari
evaluasi atau penilaian positif
maupun negatif dari faktor-faktor
perilaku dan kepercayaan tentang
akibat dari perilaku.
b) Norma subjektif yang merupakan
gabungan dari beberapa persepsi
tentang tekanan/aturan dan norma
sosial yang membentuk suatu
perilaku.
Moral atau etika merupakan upaya
lain dalam memaksimalkan kepatuhan
wajib pajak. Hasil penelitian dari Hanno
dan Violette (1996) dalam Awaluddin
(2017), menyatakan bahwa keputusan
untuk taat atau tidak taat terhadap
aturan pajak merupakan sebuah perilaku
kognitif yang berada dalam kontrol
individual. Hal ini senada dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hoy dan
Tarter (2004) dalam Awaluddin (2017),
di mana tingkat kepatuhan pajak akan
menjadi lebih tinggi ketika wajib pajak
memiliki kewajiban moral yang lebih
kuat. Berdasarkan penelitian terdahulu
(Alm, 1991, Ghosh dan Grain 1996,
Jameset al. 2001, dalam Awaluddin,
2017), penelitian ini termotivasi untuk
memfokuskan pada isu faktor internal
keperilakuan seperti norma subjektif,
kewajiban moral dan pemahaman
peraturan pajak yang mempengaruhi
kepatuhan Wajib Pajak, yaitu standar
etika.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
170
2.3 Pajak
a. Definisi Pajak
Terdapat bermacam-macam
pengertian atau definisi pajak, namun
pada hakekatnya maksud dan tujuan dari
pajak itu seragam. Menurut pasal 1
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009
tentang KUP berbunyi: “Pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orangpribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapat
imbalan secara langsung dan
digunakanuntuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Kemudian menurut Dr. Soeparno
Soemahamidjaja dalam Erly Suandy
(2014), pajak merupakan iuran yang
bersifat wajib, berupa uang atau barang,
yang dipungut oleh pemerintah
berdasarkan norma-norma hukum, yang
digunakan untuk menutupi biaya
produksi barang-barang dan jasa-jasa
kolektif untuk mencapai kesejahteraan
umum, sedangkan menurut Prof. Dr. P. J.
A. Andriani dalam Adhistyastuti (2017)
pajak adalah iuran dari masyarakat
kepada negara yang dapat dipaksakan
dan terutang oleh pihak yang wajib
membayarnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan dengan tidak
mendapat prestasi kembali secara
langsung yang digunakan untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum yang berhubungan dengan tugas
negara dalam menyelenggarakan
pemerintahan.
Berdasarkan beberapa definisi di
atas dapat disimpulkan bahwa pajak
adalah kontribusi wajib, berupa uang
atau barang kepada negara yang terutang
oleh Orang Pribadi atau Badan yang
dapat dipaksakan sesuai peraturan
perundang-undangan dengan tidak
mendapat imbalan secara langsung yang
digunakan untuk membiayai keperluan
negara dalam menyelenggarakan
pemerintahan untuk mencapai
kesejahteraan umum.
Pengertian pajak yang
dikemukakan oleh beberapa ahli dalam
bidang perpajakan memberikan
pengertian yang berbeda-beda. Namun
pada dasarnya dalam defenisi tersebut
semuanya mempunyai inti dan tujuan
yangsama.
Defenisi pajak dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2007 Tentang Perpajakan adalah
sebagai berikut:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pengertian pajak menurut P. J. A.
Adriani yang dikutip oleh Waluyo (2013),
adalah iuran kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat
ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubung dengan tugas negara
yang menyelenggarakan pemerintahan.”
Pengertian Pajak menurut
Mardiasmo (2016), adalah iuran rakyat
kepada kas Negara berdasarkan undang-
undang yang dapat di paksakan dengan
tiada mendapat jasa timbal
(kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.
b. Fungsi Pajak
Pajak mempunyai beberapa fungsi
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
171
seperti yang diungkapkan oleh
Adhistyastuti (2017), yaitu:
1) Fungsi Anggaran; sebagai sumber
pendapatan negara, pajak berfungi
untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara. Biaya tersebut
digunakan untuk menjalankan tugas
rutin negara dan untuk
melaksanakanpembangunan.
2) Fungsi Mengatur; melalui
kebijaksanaan pajak, pemerintah
dapat mengatur pertumbuhan
ekonomi. Dengan fungsi mengatur,
pajak dapat digunakan sebagai alat
untuk mencapai tujuan.
3) Fungsi stabilitas; pemerintah
memiliki dana yang berasal dari pajak
untuk menjalankan kebijakan yang
berhubungan dengan stabilitas harga
sehingga inflasi dapatdikendalikan.
4) Fungsi Redistribusi Pendapatan; pajak
yang sudah dipungut oleh negara dari
masyarakat akan digunakan untuk
membiayai semua kepentingan
umum, termasuk juga untuk
membiayai pembangunan sehingga
dapat membuka kesempatan kerja,
yang pada akhirnya akan dapat
meningkatkan pendapatan
masyarakat.
c. Syarat Pemungutan Pajak
Agar pemungutan pajak tidak
menimbulkan hambatan atau
perlawanan maka diperlukan syarat-
syarat dalam pemungutan pajak. Dalam
pemungutan pajak ada lima syarat yang
harus diperhatikan (Mardiasmo, 2016)
yaitu:
1) Pemungutan pajak harus adil
(syaratkeadilan) Sesuai dengan tujuan
hukum, yakni mencapai keadilan,
undang- undang dan pelaksanaan
pemungutan harus adil. Adil dalam
perundang-undangan diantaranya
mengenakan pajak secara umum dan
merata, serta disesuaikan dengan
kemampuanmasing-masing.
2) Pemungutan pajak harus berdasarkan
undang-undang (syarat yuridis) Di
Indonesia, pajak diatur dalam UUD
1945 pasal 23 ayat/ Hal ini
memberikan jaminan hukum untuk
menyatakan keadilan, baik bagi
negara maupunwarganya.
3) Tidak mengganggu perekonomian
(syaratekonomi) Pemungutan tidak
mengganggu kelancaran kegiatan
produksi maupun perdagangan,
sehingga tidak menimbulkan kelesuan
perekonomian masyarakat.
4) Pemungutan pajak harus efisien
(syarat finansial) Sesuai fungsi
budgetair, biaya pemungutan pajak
harus dapat ditekan sehingga lebih
rendah dari hasil pemungutannya.
5) Sistem pemungutan harussederhana
Sistem pemungutan yang sederhana
akan memudahkan dan mendorong
masyarakat dalam memenihi
kewajiban perpajakannya.
d. Pengelompokan Pajak
Pembagian pajak menurut
Mardiasmo (2016), dapat digolongkan
menurut golongannya, sifat, dan
lembaga pemungutnya. Lebih rincinya
adalah sebagai berikut:
1) Menurut golongannya
a) Pajak langsung adalah pajak yang
harus dipikul sendiri oleh wajib
pajak dan tidak dapat dibebankan
atau dilimpahkan kepada orang
lain. Contoh: pajak penghasilan
(PPh)
b) Pajak tidak langsung adalah yaitu
pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan
kepada orang lain. Contohnya:
pajak pertambahan nilai (PPN).
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
172
2) Menurut sifatnya
a) Pajak subjektif adalah pajak yang
berpangkal atau berdasarkan
pada subjeknya, dalam arti
memperhatikan keadaan diri
wajib pajak. Contoh:
pajakpenghasilan.
b) Pajak objektif adalah pajak yang
berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan sendiri
wajib pajak. Contoh: PPN
danPPnBM.
3) Menurut lembaga pemungutnya
a) Pajak pusat adalah pajak yang
dipungut oleh pemerintah pusat
dan digunakan untuk membiayai
rumah tangga Negara
b) Pajak daerah adalah yaitu pajak
yang dipungut oleh pemerintah
daerah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah.
e. Asas Pemungutan Pajak
Untuk mencapai tujuan
pemungutan pajak perlu memegang
teguh asas pemungutan dalam memilih
alternatif pemungutannya. Menurut
Mardiasmo (2016), ada tiga asas
pemungutan pajak antara lain:
1) Asas Domisili (asas tempat tinggal).
Negara berhak mengenakan pajak
atas seluruh penghasilan wajib pajak
yang bertempat tinggal di wilayahnya,
baik penghasilan yang berasal dari
dalam maupun dari luar negeri. Asas
ini berlaku untuk wajib pajak dalam
negeri
2) Asas sumber. Negara berhak
mengenakan pajak atas penghasilan
yang bersumber di wilayahnya tanpa
memperhatikan tempat tinggal wajib
pajak
3) Asas kebangsaan
4) Pengenaan pajak dihubungkan
dengan kebangsaan suatu negara.
f. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak di
Indonesia tidak hanya dipungut oleh
pemerintah tapi bisa juga dipungut oleh
wajib pajak. Sistem pemungutan pajak
dapat dibagi menjadi tiga (Mardiasmo,
2016) yaitu:
1) Official assessmentsystem
Adalah suatu sistem pemungutan
yang memberi wewenang kepada
pemerintah (aparat pajak) untuk
menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya
yaitu wewenang untuk menentukan
besarnya pajak terutang ada
padafiskus, Wajib pajak bersifat pasif,
Utang pajak timbul setelah
dikeluarkan surat ketetapan pajak
olehfiskus.
2) Self assessmentsystem.
Adalah suatu sistem pemungutan
pajak yang memberi wewenang kepada
wajib pajak untuk menentukan sendiri
besarnya pajak yang terutang. Ciri-
cirinya:
a) Wewenang untuk menentukan
besarnya pajak terutang ada pada
wajib pajaksendiri.
b) Wajib pajak aktif, mulai dari
menghitung, menyetor dan
melaporkan sendiri pajak
yangterutang
c) Fiskus tidak ikut campur dan
hanyamengawasi.
3) With holding system
Adalah suatu sistem pemungutan
pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga (bukan aparat pajak dan
bukan wajib pajak yang bersangkutan)
untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya:
wewenang menentukan besarnya pajak
yang terutang ada pada pihak ketiga.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
173
g. Teori Pendukung Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2016)
beberapa teori yang menjelaskan atau
memberikan justifikasi pemberian hak
kepada negara untuk memungut pajak.
Teori-teori tersebut antara lain:
1) Teori asumsi Negara melindungi
keselamatan jiwa, harta benda, dan
hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu
rakyat harus membayar pajak yang
diibaratkan sebagai suatu premi
asuransi karena memperoleh jaminan
perlindungan tersebut.
2) Teori Kepentingan Pembagian beban
pajak kepada rakyat didasarkan pada
kepentingan (misalnya perlidungan)
masing-masing orang. Semakin besar
kepentingan seseorang terhadap
negara, makin tinggi pula pajak yang
harus dibayar.
3) Teori dayapikul Beban pajak untuk
semua orang harus sama beratnya,
artinya pajak harus dibayar sesuai
dengan daya pikul masing-
masingorang. Untuk mengukur daya
pikul dapat digunakan dua
pendekatan yaitu:
a) Unsur objektif, dengan melihat
besarnya penghasilan atau
kekayaan yang dimiliki
olehseseorang
b) Unsur subjektif, dengan
memperhatikan besarnya
kebutuhan materiil yang
harusdipenuhi.
4) Teoribakti Dasar keadilan
pemungutan pajak terletak pada
hubungan rakyat dengan negaranya.
Sebagai warga negara yang berbakti,
rakyat harus selalu menyadari bahwa
pembayaran pajak adalah sebagai
suatu kewajiban.
5) Teori asas daya beli Dasar keadilan
terletak pada akibat pemungut pajak.
Maksudnya memungut pajak berarti
menarik daya beli dari rumah tangga
masyarakat untuk rumah tangga
negara. Selanjutnya negara akan
menyalurkannya kembali ke
masyarakat dalam bentuk
pemeliharaan kesejahteraan
masyarakat.
2.4 Pengertian Wajib Pajak
Pengertian Wajib Pajak menurut
UU No 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan
berbunyi “Wajib Pajak adalah orang
pribadi atau badan, meliputi
pembayarpajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai
hakdan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturanperundang-
undangan perpajakan”. Budiarto (2016)
mengemukakan bahwa terdapat
beberapa kewajiban wajib pajak
diantaranya.
a. Kewajiban mendaftarkan diri.
Perpajakan Indonesia menganut
sistem self assessment, oleh karena
itu wajib pajak memiliki kewajiban
untuk mendaftarkan diri ke kantor
pelayanan pajak (KPP) atau kantor
pelayanan penyuluhan dan
konsultasi perpajakan (KP2KP) di
wilayah tempat tinggal wajib pajak.
Tujuan mendaftarkan diri adalah
untuk mendapatkan nomor pokok
wajib pajak (NPWP). Di samping
melalui KPP atau KP2KP,pendaftaran
NPWP juga dapat dilakukan melalui
e-registration, yaitu cara pendaftaran
NPWP melalui media elektronik
online (internet). Nomor pokok wajib
pajak berfungsi sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan sebagai
tanda pengenal diri atau identitas
wajib pajak, bukan untuk
menentukan saat terutangnya pajak
atau saat mulai harus melaporkan
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
174
pajaknya. Agar masing-masing
identitas wajib pajak untuk
memudahkan administrasi
perpajakannya selain nama, juga
diberikan NPWP sebagai identitas.
b. Kewajiban pembayaran
Pemotongan/pemungutan dan
pelaporan pajak. Berdasarkan sistem
self assessment, wajib pajak harus
melakukan sendiri penghitungan,
pembayaran, dan pelaporan pajak
terutang.
c. Kewajiban dalam hal diperiksa.
Direktur Jenderal Pajak mempunyai
kewenangan untuk melakukan
pemeriksaan terhadap Wajib Pajak.
Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan
agar fungsi pengawasan terhadap
Wajib Pajak untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan wajib pajak dan tujuan
lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan. Kewajiban
wajib pajak yang bisa diperiksa
adalah sebagai berikut.
1) Memenuhi panggilan untuk datang
menghadiri pemeriksaan sesuai
dengan waktu yang ditentukan,
khususnya untuk jenis
pemeriksaan kantor.
2) Memperlihatkan dan atau
meminjamkan buku, catatan atau
dokumen-dokumen, termasuk data
yang dikelola secara elektronik,
yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas
wajib pajak, atau objek yang
terutang pajak. Khusus untuk
pemeriksaan lapangan, wajib pajak
memberikan kesempatan untuk
mengakses dan/atau mengunduh
data yang dikelola secara
elektronik.
3) Memberikan kesempatan untuk
memasuki tempat atau ruang yang
dipandang perlu dan memberi
bantuan lainnya guna kelancaran
pemeriksaan.
4) Menyampaikan tanggapan secara
tertulis atas surat perberitahuan
hasil pemeriksaan.
5) Meminjamkan kertas kerja
pemeriksaan yang dibuat oleh
akuntan publik khususnya untuk
jenis pemeriksaan kantor
6) Memberikan keterangan lain baik
lisan maupun tulisan yang
diperlukan.
d. Kewajiban memberi data. Setiap
instansi pemerintah, lembaga,
asosiasi, dan pihak lain, wajib
memberikan data dan informasi yang
berkaitan dengan perpajakan ke pada
Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan
mengenai hal ini diatur pada pasal
35A Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum Dan
Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009. Hak-hak wajib
pajak menurut Budiarto (2016) yaitu
sebagai berikut
1) Hak atas kelebihan pembayaran
pajak. Apabila pajak yang wajib
pajak bayar dalam suatu tahun
pajak ternyata lebih kecil dari
jumlah kredit pajak, maka wajib
pajak ternyata lebih kecil dari
jumlah kredit pajak, maka wajib
pajak berhak mendapatkan
kembali kelebihan tersebut
apabila mengajukan permohonan.
Terlebih dahulu Direktur Jenderal
Pajak meneliti kebenaran
pembayaran pajak berdasarkan
permohonan pengembalian.
Setelah diperhitungkan dengan
utang pajak danatau pajak yang
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
175
akan terutang kelebihan
pembayaran PPh, PPN dan/atau
PPnBM dikembalikan dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu)
bulan.
2) Hak ketika dilakukan pemeriksaan
pajak. Direktorat Jenderal Pajak
dapat melakukan pemeriksaan
dengan tujuan menguji kepatuhan
wajib pajak dan tujuan lain yang
ditetapkan. Ketika pemeriksaan
dilakukan.
3) Hak untuk mengajukan keberatan,
banding dan peninjauan kembali.
Berdasarkan hasil pemeriksaan
yang dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Pajak, maka akan
diterbitkan suatu surat ketetapan
pajak. Surat ketetapan pajak ini
dapat membuat pajak terutang
menjadi kurang bayar, lebih bayar,
atau nihil. Penetapan pajak dapat
dilakukan oleh Direktur Jenderal
pajak. Jenis-jenis ketetapan yang
dikeluarkan yaitu sebagai berikut.
a) Surat ketetapan pajak lebih
bayar (SKPLB).
b) Surat ketetapan pajak kurang
bayar (SKPKB).
c) Surat ketetapan pajak kurang
bayar tambahan (SKPKBT).
d) Surat ketetapan pajak nihil
(SKPN).
e) Surat tagihan pajak (STP) dalam
hal dikenakannya sanksi
administrasi dapat berupa
denda, bunga, dan kenaikan.
2.5 Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Nurmantu dalam
Suryanto (2013), kepatuhan perpajakan
didefinisikan sebagai suatu keadan di
mana wajib pajak memenuhi semua
kewajiban perpajakan dan melaksanakan
hak perpajakannya. Sedangkan Nasucha
(2004) dalam Suryanto (2013)
berpendapat bahwa kepatuhan wajib
pajak dapat diidentifikasi dari kepatuhan
wajib pajak dalam mendaftarkan diri,
kepatuhan untuk menyetorkan kembali
surat pemberitahuan (SPT), kepatuhan
dalam penghitungan dan pembayaran
pajak terutang, dan kepatuhan dalam
pembayaran tunggakan.
Ada dua macam kepatuhan
menurut Nurmantu (2003) dalam
Suryanto (2013), yaitu sebagai berikut.
a. Kepatuhan formal adalah suatu
keadaan di mana wajib pajak
memenuhi kewajiban perpajakan
secara formal sesuai dengan
ketentuan dalam undang-undang
perpajakan. Misalnya ketentuan batas
waktu penyampaian surat
pemberitahuan pajak penghasilan
(SPT PPh) Tahunan tanggal 31 Maret.
Apabila wajib pajak telah melaporkan
surat pemberitahuan pajak
penghasilan (SPT PPh) Tahunan
sebelum atau pada tanggal 31 Maret,
maka wajib pajak telah memenuhi
ketentuan formal, akan tetapi isinya
belum tentu memenuhi ketentuan
material.
b. Kepatuhan material adalah suatu
keadaan di mana wajib pajak secara
substantive memenuhi semua
ketentuan material perpajakan, yakni
sesuai isi dan jiwa undang-undang
perpajakan. Kepatuhan material dapat
meliputi kepatuhan formal. Wajib
pajak yang memenuhi kepatuhan
material adalah wajib pajak yang
mengisi dengan jujur, lengkap, dan
benar surat pemberitahuan (SPT)
sesuai ketentuan dan
menyampaikannya ke KPP sebelum
batas waktu berakhir.
c. Kriteria pengusaha pajak patuh
menurut Keputusan Menteri
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
176
Keuangan No.235/KMK.03/2003
adalah:
1) Tepat waktu dalam menyampaikan
SPT untuk semua jenis pajak dalam
dua tahun terakhir.
2) Tidak mempunyai tunggakan pajak
atau untuk semua jenis pajak,
kecuali telah memeroleh izin untuk
mengangsur atau menunda
pembayaran pajak.
3) Tidak pernah dijatuhi hukuman
karena melakukan tindak pidana di
bagian perpajakan dalam jangka
waktu 10 tahun terakhir.
4) Dalam 2 tahun terakhir
menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang undang Nomor 16
Tahun 2000 dan terhadap wajib
pajak pernah dilakukan
pemeriksaan, koreksi pada
pemeriksaan yang terakhir untuk
masing-masing jenis pajak yang
terutang paling banyak 5%.
5) Wajib pajak yang laporan
keuangan untuk 2 tahun terakhir
diaudit oleh akuntan publik dengan
pendapat wajar tanpa
pengecualian, atau pendapat
dengan pengecualian sepanjang
tidak memengaruhi laba fiskal.
2.6 Upaya Meningkatkan Kepatuhan
Wajib Pajak
Peningkatan kepatuhan
merupakan tujuan utama diadakannya
reformasi perpajakan seperti yang
diungkapkan Guillermo Perry dan John
Whalley dalam Nurhidayah (2015),
ketika sistem perpajakan suatu negara
telah maju, pendekatan reformasi
diletakkan pada peningkatan dalam
kepatuhan dan administrasi perpajakan.
Terdapat tiga strategi dalam
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak
melalui administrasi perpajakan, yaitu
sebagai berikut
a. Membuat program dan kegiatan yang
dapat menyadarkan dan
meningkatkan kepatuhan secara
sukarela.
b. Meningkatkan pelayanan terhadap
Wajib Pajak yang sudah patuh supaya
dapat mempertahankan dan
meningkatkan kepatuhannya.
Dengan menggunakan program
atau kegiatan yang dapat memerangi
ketidakpatuhan.
2.6 Norma Subjektif
Menurut Jogiyanto (2007) dalam
Yolanda (2017), norma subjektif
(subjective norm) adalah persepsi atau
pandangan seseorang terhadap
kepercayaan-kepercayaan orang lain
yang akan mempengaruhi niat untuk
melakukan atau tidak melakukan
perilaku yang sedang dipertimbangkan.
Norma subjektif dapat membentuk
perilaku individu untuk setuju atau
menolak pandangan yang dimiliki orang
lain, apabila perilaku yang ditunjukkan
oleh individu sesuai dengan pandangan
yang dimiliki orang lain, maka perilaku
tersebut akan terus menerus dilakukan
dalam masyarakat.
Sedangkan norma subjektif
menurut Ajzen (1988) dalam Yolanda
(2017), adalah persepsi individu tentang
pengaruh sosial dalam membentuk
perilaku tertentu. Dalam norma subjektif,
terdapat individu-individu atau
kelompok tersebut disebut sebagai
referents. Berdasarkan pengertian-
pengertian tersebut, norma subjektif
dalam penelitian ini adalah pandangan
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
177
orang lain atau kelompok lain yang bisa
mempengaruhi seorang wajib pajak
untuk berperilaku patuh atau tidak patuh
terhadap pajak.
2.7 Kewajiban Moral
Bobek dan Hatfield (2003) dalam
Layata dan Setiawan (2014), mengatakan
kewajiban moral merupakan suatu
perasaan bersalah yang dimiliki
seseorang namun belum tentu dimiliki
oleh orang yang lainnya. Wajib pajak
memiliki kewajiban moral sesuai dengan
nilai rasa yang berlaku di masyarakat,
maka wajib pajak akan melakukan
tindakan sesuai dengan peraturan yang
ada seperti membayar pajak. Oleh karena
itu jika masyarakat memiliki kewajiban
moral yang besar maka tingkat
kepatuhan penyelesaian kewajiban
perpajakannya juga besar sehingga
keinginan melaporkan surat
pemberitahuan (SPT) juga besar.
Wanzel (2002) dalam Layata dan
Setiawan (2014), menyimpulkan dalam
penelitiannya jika wajib pajak memiliki
kewajiban moral yang baik maka pajak
akan cenderung berperilaku jujur dan
taat terhadap aturan yang telah
diberikan sehingga hal ini berdampak
pada kepatuhan wajib pajak dalam
pemenuhan pajaknya.
2.8 Pemahaman Peraturan Pajak
Pengetahuan dan pemahaman
akan peraturan perpajakan adalah
proses dimana wajib pajak mengetahui
tentang perpajakan dan mengaplikasikan
pengetahuan itu untuk membayar pajak.
Suryadi (2006) dalam Hardiningsih
(2011) dalam penelitianya menyatakan
bahwa meningkatnya pengetahuan
perpajakan baik formal dan non formal
akan berdampak postif terhadap
kesadaran wajib pajak dalam membayar
pajak. Gardina dan Hariyanto (2006)
dalam Hardiningsih (2011) menemukan
bahwa rendahnya kepatuhan wajib pajak
disebabkan oleh pengetahuan wajib
pajak serta persepsi tentang pajak dan
petugas pajak yang masih rendah.
Sebagian wajib pajak memperoleh
pengetahuan pajak dari petugas pajak,
selain itu ada yang memperoleh dari
media informasi, konsultan pajak,
seminar dan pelatihan pajak.
Pemahaman peraturan perpajakan
adalah suatu proses dimana wajib pajak
memahami dan mengetahui tentang
peraturan dan undang-undang serta tata
cara perpajakan dan menerapkannya
untuk melakukan kegiatan perpajakan
seperti, membayar pajak, melaporkan
SPT, dan sebagainya. Jika seseorang telah
memahami dan mengerti tentang
perpajakan maka akan terjadi
peningkatan pada kepatuhan wajib
pajak.
Pengetahuan wajib pajak terhadap
peraturan pajak tentu berkaitan dengan
pemahaman seorang wajib pajak tentang
peraturan pajak. Hal tersebut dapat
diambil contoh ketika seorang wajib
pajak memahami atau dapat mengerti
bagaimana cara membayar pajak,
melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak
(SPT) dan lain sebagainya. Ketika
seorang wajib pajak memahami tata cara
perpajakan maka dapat pula memahami
peraturan perpajakan. Hal tersebut dapat
meningkatkan pengetahuan serta
wawasan terhadap peraturan
perpajakan.
Indikator pemahaman peraturan
perpajakan menurut penelitian yang
dilakukan oleh Widayati dan Nurlis
(2010) terdapat beberapa indikator
wajib pajak mengetahui dan memahami
peraturan perpajakan, yaitu:
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
178
a) Kewajiban kepemilikan NPWP, setiap
Wajib pajak yang memiliki
penghasilan wajib untuk
mendaftarkan diri untuk memperoleh
NPWP sebagai salah satu sarana
untuk pengadministrasian pajak.
b) Pengetahuan dan pemahaman
mengenai hak dan kewajiban sebagai
wajib pajak. Apabila wajib pajak telah
mengetahui kewajibannya sebagai
wajib pajak, maka mereka akan
melakukannya, salah satunya adalah
membayar pajak.
c) Pengetahuan dan pemahaman
mengenai sanksi perpajakan. Semakin
tahu dan paham wajib pajak terhadap
peraturan perpajakan, maka semakin
tahu dan paham pula wajib pajak
terhadap sanksi yang akan diterima
bila melalaikan kewajiban perpajakan
mereka.
d) Pengetahuan dan pemahaman
mengenai PTKP, PKP dan tarif pajak.
e) Wajib pajak mengetahui dan
memahami peraturan perpajakan
melalui sosialisasi yang dilakukan
oleh KPP.
2.9 Kerangka Konseptual
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Y = Variabel Dependen yang dipengaruhi
oleh Variabel Independen yaitu
Kepatuhan Wajib Pajak.
X1 = Variabel Independen pertama yaitu
Norma Subjektif.
X2 = Variabel Independen kedua yaitu
Kewajiban Moral.
X3 = Variabel Independen ketiga yaitu
Pemahaman Pajak.
= Pengaruh masing-masing variabel
X1, X2 dan X3 terhadap Y.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Metode Analisis Data
a. Instrumen Penelitian
1) Uji Validitas
Sujawerni (2016) mengemukakan
bahwa uji validitas digunakan untuk
mengetahui kelayakan butir-butir dalam
suatu daftar pernyataan dalam
mendefinisikan suatu variabel. Uji
validitas sebaiknya dilakukan pada
setiap butir pernyataan di uji
validitasnya. Hasil r hitung kita
bandingkan dengan r tabel dimana df=n-
2 dengan sig%. Jika r tabel < r hitung
maka valid.
2) Uji Reliabilitas
Sujarweni (2016) reliabilitas
(keandalan) merupakan ukuran suatu
kestabilan dan konsistensi responden
dalam menjawab hal yang berkaitan
dengan konstruk-konstruk pernyataan
yang merupakan dimensi suatu variabel
dan disusun dalam suatu bentuk
kuisioner. Uji reliabilitas dapat dilakukan
secara bersama-sama terhadap seluruh
butir pertanyaan. Jika nilai alpha > 0.7
maka reliabel.
Norma
Subjektif (X1)
Kepatuhan
Wajib Pajak
(Y)
Kewajiban
Moral (X2)
Pemahaman
Pajakl (X3)
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
179
b. Statistik Deskriptif
Sugiyono (2013) statistik
deskriptif adalah statistik yang
digunakan untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah
dikumpulkan sebagaimana adanya tanpa
bermaksud untuk menarik kesimpulan
yang berlaku secara generalisasi. Dalam
statistik deskriptif, hasil jawaban
responden akan dideskripsikan menurut
masing-masing variabel penelitian, tetapi
tidak digunakan untuk membuat
kesimpulan yang lebih luas.
1) Uji Asumsi Klasik
a. Uji Multikolinearitas
Sujarweni (2016) mengemukakan
bahwa uji multikolinieritas
diperlukan untuk mengetahui ada
tidaknya variabel independen yang
memiliki kemiripan antar variabel
independen dalam suatu model.
Kemiripan antar variabel
independen akan mengakibatkan
korelasi yang sangat kuat. Selain
itu untuk uji ini juga untuk
mengakibatkan kebiasaan dalam
proses pengambilan keputusan
mengenai pengaruh pada uji
parsial masing-masing variabel
independen terhadap variabel
dependen. Jika VIF yang dihasilkan
diantara 1-10 maka tidak terjadi
multikolinieariitas.
b. Uji Normalitas
Sujarweni (2016) mengemukakan
bahwa uji normalitas bertujuan
untuk mengetahui distribusi data
dalam variabel yang akan
digunakan dalam penelitian. Data
yang baik dan layak digunakan
dalam penelitian adalah data yang
memiliki distribusi normal. Jika
Sig > 0,05 maka data berdistribusi
normal. Jika Sig < 0,05 maka data
tidak berdistribusi normal.
c. Uji Heteroskedastisitas
Sujarweni (2016) mengemukakan
bahwa heteroskedastisitas menguji
terjadinya perbedaan variance residual
suatu periode pengamatan ke periode
pengamatan yang lain. Cara memprediksi
ada tidaknya heteroskedastisitas pada
suatu model dapat dilihat dengan pola
gambar Scatterplot, regresi yang tidak
terjadi heteroskedastisitas jika dalam
keadaan sebagai berikut.
1) Titik-titik data menyebar di atas dan
di bawah atau di sekitar angka0.
2) Titik-titik data tidak mengumpul
hanya di atas atau dibawah saja.
3) Penyebaran titik-titik data tidak boleh
membentuk pola bergelombang
melebar kemudian menyempit dan
melebar kembali.
4) Penyebaran titik-titik data tidak
berpola.
2) Uji Hipotesis
a. Regresi Linear Berganda
Sugiyono (2013) analisis regresi
berganda digunakan oleh peneliti apabila
jumlah variabel independennya minimal
persamaan regresi untuk dua prediktor
adalah:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3
Keterangan:
Y = Kepatuhan wajib pajak
a = Bilangan konstan
b = Koefisien arah regresi
X1 = Norma Subyektif
X2 = Kewajiban Moral
X3 = Pemahaman Peraturan Pajak
b. Uji Koefisien Determinasi (R²)
Koefisien determinasi (R²) pada
intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan
variasi variabel independen. Nilai
koefisien determinasi adalah antara nol
dan satu. Nilai (R²) yang kecil berarti
kemampuan variabel-variabel
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
180
independen dalam menjelaskan variasi
variabel dependen sangat terbatas. Nilai
yang mendekati satu berarti variabel-
variabel independen memberikan
hampir semua informasi yang
dibutuhkan untuk memprediksi variasi
variabel dependen. Koefisien determinasi
untuk data silang (cross section) relatif
rendah karena adanya variasi yang besar
antara masing-masing pengamatan,
sedangkan untuk data runtun waktu
(time series) biasanya mempunyai niali
koefisien determinasi yang tinggi.
c. Uji Statistik t
Ghozali (2016) uji statistik t pada
dasarnya menunjukkan seberapa jauh
pengaruh satu variabel
penjelas/independen secara individual
dalam menerangkan variasi variabel
independen. Apabila hasil perhitungan
menunjukkan:
1) t hitung > t tabel maka Ho ditolak dan
Ha diterima artinya variabel
independen berpengaruh terhadap
variabel dependen.
2) t hitung < t tabel maka Ho diterima
dan Ha ditolak artinya variabel
independen tidak berpengaruh
terhadap variabel dependen.
d. Uji Statistik F
Uji hipotesis terpisah bahwa setiap
koefisien regresi sama dengan nol. Uji F
menguji joint hipotesia bahwa b1 dan b2
secara simultan sama dengan nol, atau:
HO : b1 = b2 = ...........= bk = 0
HA : b1 ≠ b2 ≠............≠ bk ≠ 0
Uji hipotesis seperti ini dinamakan
uji signifikansi secara keseluruhan
terhadap garis regresi yang di observasi
maupun estimasi, apakah Y berhubungan
linear terhadap X1, X2 dan X3.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
a. Uji Validitas
Pengujian validitas menunjukkan
ketelitian serta ketepatan kuesioner yang
dibagikan kepada responden. Untuk
mengetahui validitas pertanyaan dari
setiap variabel, maka rhitung
dibandingkan dengan r-tabel. r-tabel
dapat dihitung dengan df=N–2. Jumlah
responden dalam penelitian ini sebanyak
95, sehingga df=95–2=93, r (?:93) =
0,169. Jika r–hitung>r–tabel, maka
pertanyaan tersebut dikatakan valid.
Tabel 11
Uji Validitas
Variabel Item rhitung > rtabel Keterangan
Norma Subjektif (X1) X11 0,756 > 0,169 Valid
X12 0,819 > 0,169 Valid
X13 0,809 > 0,169 Valid
X14 0,890 > 0,169 Valid
X15 0,889 > 0,169 Valid
Kewajiban Moral (X2) X21 0,749 > 0,169 Valid
X22 0,893 > 0,169 Valid
X23 0,883 > 0,169 Valid
X24 0,901 > 0,169 Valid
X25 0,875 > 0,169 Valid
Pemahaman Peraturan X31 0,715 > 0,169 Valid
Perpajakan (X3) X32 0,668 > 0,169 Valid
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
181
X33 0,711 > 0,169 Valid
X34 0,747 > 0,169 Valid
X35 0,665 > 0,169 Valid
Kepatuhan Wajib Pajak (Y) Y1 0,882 > 0,169 Valid
Y2 0,829 > 0,169 Valid
Y3 0,808 > 0,169 Valid
Y4 0,819 > 0,169 Valid
Sumber: Data primer diolah, 2020
Hasil uji validitas menunjukkan
bahwa semua item pertanyaan dalam
dalam kuesioner adalah valid dan dapat
digunakan sebagai alat ukur penelitian.
Hal ini dibuktikan dengan nilai Corrected
Item – Total > 0,169.
b. Uji Reliabilitas
Pengujian reliabilitas
menunjukkan seberapa besar suatu
instrument tersebut dapat dipercaya dan
digunakan sebagai alat pengumpul data.
Reliabilitas instrumen yang semakin
tinggi, menunjukkan hasil ukur yang
didapatkan semakin terpercaya
(reliabel). Penentuan reabilitas
instrumen suatu penelitian adalah:
1) Jika cronbach’s alpha < 0,6 maka
reabiliti dikatakan buruk;
2) Jika cronbach’s alpha 0,6 – 0,8 maka
reabiliti dikatakan cukup; dan
3) Jika cronbach’s alpha > 0,8 maka
reabiliti dikatakan baik.
Berikut adalah hasil uji reliabilitas
atas variable – variabel:
Tabel 12
Uji Reliabilitas
Variabel Koefisien Alpha Keterangan
Norma Subjektif (X1) 0,888 Baik
Kewajiban Moral (X2) 0,910 Baik
Pemahaman Peraturan (X3) 0,738 Cukup
Kepatuhan Wajib Pajak (Y) 0,854 Baik
Sumber: Data primer diolah, 2020
Berdasarkan hasil pengujian
reliabilitas, menunjukkan bahwa semua
variabel yang dijadikan instrumen dalam
penelitian adalah reliabel dan dapat
digunakan sebagai alat pengumpulan
data. Sehingga berdasarkan hasil uji
reliabilitas diatas, menunjukkan bahwa
instrument memiliki tingkat reliabilitas
yang tinggi, hal ini dibuktikan dengan
nilai koefisien alpha>0,60, jadi hasil ukur
yang akan dapat dipercaya.
c. Uji Asumsi Klasik
1) Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk
melihat apakah dalam model regresi
variabel terikat dan variabel bebas
keduanya mempunyai distribusi normal
atau tidak. Model regresi yang baik
adalah model regresi yang berdistribusi
normal. Cara mendeteksi normalitas
dilakukan dengan melihat grafik
histogram.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
182
Gambar 2
Grafik Histogram
Sumber: Output SPSS, 2020
Berdasarkan grafik histogram
diatas, dapat disimpulkan bahwa grafik
histogram memberikan pola distribusi
yang mendekati normal, hal ini
dibuktikan dengan melihat bahwa grafik
membentuk simetris dan mengikuti garis
diagonal. Akan tetapi grafik histogram ini
hasilnya tidak terlalu akurat apalagi
ketika jumlah sampel yang digunakan
kecil.
Metode yang handal adalah dengan
melihat normal probability plot. Pada
grafik normal plot terlihat titik-titik
menyebar disekitar garis diagonal serta
penyebarannya mengikuti arah garis
diagonal.
Gambar 3
Normal Prabability Plot
Sumber: Output SPSS, 2020
Berdasarkan grafik normal probability
plot, dapat dilihat bahwa titik menyebar
disekitar garis diagonal dan
penyebarannya mengikuti garis diagonal,
sehingga dapat dikatakan bahwa pola
distribusinya normal. Melihat kedua
grafik diatas, dapat disimpulkan bahwa
model regresi dalam penelitian ini dapat
digunakan karena memenuhi asumsi
normalitas.
2) Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas
menunjukkan bahwa variansi variabel
tidak sama untuk semua pengamatan.
Jika variansi dari residual satu
pengamatan ke pengamatan yang lain
tetap, maka disebut homoskedastisitas.
Model regresi yang baik adalah yang
homoskedastisitas atau tidak terjadi
heteroskedastisitas karena data cross
section memiliki data yang mewakili
berbagai ukuran (kecil, sedang, dan
besar). Untuk mendeteksi adanya
Heteroskedastisitas, metode yang
digunakan adalah metode chart (diagram
Scatterplot). Jika:
1) Jika ada pola tertentu terdaftar titik-
titik, yang ada membentuk suatu pola
tertentu yang beraturan
(bergelombang, melebar, kemudian
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
183
menyempit), maka terjadi
Heteroskedastisitas.
2) Jika ada pola yang jelas, serta titik-
titik menyebar keatas dan dibawah 0
Pada sumbu Y, maka tidak terjadi
Heteroskedastisitas.
Gambar 4
Diagram Scatterplot
Sumber: Output SPSS, 2020
Berdasarkan diagram diatas, maka
dapat dilihat bahwa data tersebar secara
acak dan tidak membentuk suatu pola
tertentu, hal ini menunjukkan bahwa
tidak terdapat heteroskedastisitas.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa terjadinya perbedaan varians dari
residual dari suatu pengamatan ke
pengamatan yang lain.
3) Uji Multikolinearitas
Uji Multikolinearitas bertujuan
menguji adanya korelasi antara variabel
bebas (independent) pada model regresi.
Pada model regresi yang baik seharusnya
tidak terjadi korelasi diantara variabel.
Untuk menguji ada atau tidaknya
multikolinearitas dalam model regresi
dapat dilihat dari nilai tolerance dan
lawannya, yaitu dengan melihat variance
inflation factor (VIF). Nilai cut-off yang
umum dipakai adalah nilai tolerance
0,01. Salah satu cara untuk menguji
adanya multikoloniearitas dapat dilihat
dari Variance Inflation Factor (VIF). Jika
nilai VIF>10 maka terjadi
multikolinearitas.
Tabel 13
Uji Multikolinearitas
Variabel VIF Keterangan
Norma Subjektif (X1) 2,200 Tidak Multikolinearitas
Kewajiban Moral (X2) 2,201 Tidak Multikolinearitas
Pemahaman Peraturan (X3) 1,002 Tidak Multikolinearitas
Sumber: Output SPSS, 2020
Berdasarkan tabel di atass, dapat
disimpulkan bahwa model regresi untuk
variabel independen yang diajukan oleh
peneliti untuk diteliti bebas dari
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
184
multikolinearitas. Hal ini dapat
dibuktikan dengan melihat table diatas
yang menunjukkan nilai VIF dari masing-
masing variabel independen <10, dan
dapat digunakan untuk mengetahui
pengaruh pengintegrasian terhadap
kepatuhan wajib pajak.
5) Analisis Regresi Linear Berganda
Uji regresi linear berganda
dilakukan untuk mengetahui hubungan
fungsional antara variabel bebas
(independent) terhadap varaiabel terikat
(dependent). Hasil uji regresi linear
berganda dapat dilihat dari persamaan
berikut. Penelitian ini menguji pengaruh
kualitas pengelola keuangan dan sistem
pengendalian intern pemerintah
terhadap efektifitas pengelolaan
keuangan daerah.
Tabel 14
Coefficients
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
Collinearity
Statistics
B
Std.
Error Beta
Tole
ranc
e VIF
1 (Constant) .297 .349 .850 .397
Norma Subjektif .313 .094 .328 3.333 .001 .455 2.200
Kewajiban Moral .479 .097 .487 4.939 .000 .454 2.201
Pemahaman
Peraturan Pajak
.120 .077 .103 1.544 .126 .998 1.002
Sumber: Output SPSS, 2020
Berdasarkan tabel Coefficients
hasil output SPSS di atas maka diketahui
persamaan regresi sebagai berikut:
Y = 0,297 + 0,313X1 + 0,479X2 +
0,120X3
Dalam persamaan regresi linear
berganda di atas dapat dijelaskan secara
rinci:
a) Konstanta (α)
Konstanta sebesar 0,297. Hal ini
berarti jika tidak ada perubahan dari
variabel norma subjektfi, kewajiban
moral dan pemahaman peraturan pajak
maka kepatuhan wajib pajak sebesar
0,297.
b) Norma Subjektif (X1)
Nilai koefisien regresi untuk norma
subjektif sebesar 0,313. Dalam penelitian
ini dapat dinyatakan bahwa norma
subjektif berpengaruh positif terhadap
kepatuhan wajib pajak. Setiap
peningkatan norma subjektif akan
memberikan dampak pada
meningkatnya kepatuhan wajib pajak
sebesar 0,313.
c) Kewajiban Moral (X2)
Nilai koefisien regresi untuk
kewajiban moral sebesar 0,479. Dalam
penelitian ini dapat dinyatakan bahwa
kewajiban moral berpengaruh positif
terhadap kepatuhan wajib pajak. Setiap
peningkatan kewajiban moral akan
memberikan dampak pada
meningkatnya kepatuhan wajib pajak
sebesar 0,479.
d) Pemahaman Peraturan Pajak (X3)
Nilai koefisien regresi untuk
pemahaman peraturan pajak sebesar
0,120. Dalam penelitian ini dapat
dinyatakan bahwa pemahaman
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
185
peraturan pajak berpengaruh positif
terhadap kepatuhan wajib pajak. Setiap
peningkatan pemahaman peraturan
pajak akan memberikan dampak pada
meningkatnya kepatuhan wajib pajak
sebesar 0,120.
6) Uji Parsial (Uji t)
Uji parsial digunakan untuk
mengetahui apakah variabel independet
(X) berpengaruh signifikan terhadap
variabel dependen (Y). Pengujian
dilakukan dengan taraf signifikansi 0,05.
Jika Sig>0,05 maka hipotesis yang
diajukan ditolak. Sebaliknya Jika Sig.<
0,05 maka hipotesis yang diajukan
diterima.
Tabel 15
Uji t
Varibel Sig.<α Keterangan Hipotesis
Norma Subjektif (X1) 0,001<0,05 Signifikan Diterima
Kewajiban Moral (X2) 0,000<0,05 Signifikan Diterima
Pemahaman Peraturan (X3) 0,126>0,05 Tidak signifikan Ditolak
Sumber: Output SPSS, 2020
Berdasarkan hasil uji parsial telah
dilakukan diketahui bahwa norma
subjektif (X1) dan kewajiban moral (X2)
masing – masing secara parsial memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap
kepatuhan wajib pajak. Sementara
pemahaman peraturan pajak (X3) tidak
berpengaruh signifikan terhadap
kepatuhan wajib pajak.
7) Uji Simultan (Uji F)
Uji F digunakan untuk
mengetahui pengaruh simultan dari
semua variabel independet (X) terhadap
variabel dependen (Y). Pengujian
dilakukan dengan taraf signifikansi 0,05.
Jika Sig.>0,05 maka hipotesis yang
diajukan ditolak. Sebaliknya Jika
Sig.<0,05 maka hipotesis yang diajukan
diterima.
Tabel 16
Uji F
Model
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
1 Regression 26.715 3 8.905 45.191 .000b
Residual 17.932 91 .197
Total 44.647 94
Sumber: Output SPSS, 2020
Berdasarkan hasil uji simultan
yang telah dilakukan antara variabel
norma subjektif, kewajiban moral dan
pemahaman peraturan pajak terhadap
kepatuhan wajib pajak diketahui bahwa
nilai Sig. adalah sebesar 0,000. Nilai
tersebut lebih kecil dari derajat
kesalahan (α=0,05) (0,00<0,05). Dengan
kata lain, variabel norma subjektif,
kewajiban moral dan pemahaman
peraturan pajak secara simultan
memiliki pengaruh signifikan terhadap
kepatuhan wajib pajak.
8) Uji Determinasi (R2)
Analisis koefisien determinasi
digunakan untuk mengetahui persentase
besarnya pengaruh variabel independen
terhadap variabel independen.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
165
Tabel 17
Uji Determinasi
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
1 .774a .598 .585 .44391
Sumber: Output SPSS, 2020
Berdasarkan hasil uji koefisien
deteminasi di atas, diketahui bahwa
kepatuhan wajib pajak mampu dijelaskan
oleh variabel norma subjektif, kewajiban
moral dan pemahaman peraturan pajak
sebesar 59,8%. Sisanya 40,2% dari
kepatuhan wajib pajak dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak disertakan dalam
penelitian.
4.2 Pembahasan
a. Pengaruh Norma Subjektif
terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Norma subjektif dapat diartikan
sebagai sebuah pengaruh yang berasal
dari kayakinan-keyakinan orang lain baik
berupa individu ataupun kelompok
terhadap perilaku seseorang. Kepatuhan
seseorang terhadap aturan perpajakan
tidak hanya dipengaruhi oleh diri wajib
pajak itu sendiri, akan tetapi dari
lingkungan atau dari individu lain. Pihak-
pihak tersebut disebut sebagai pihak
pemberi acuan yang kemudian dalam
penelitian ini terdiri dari pengaruh
teman, pengaruh konsultan pajak, dan
pengaruh petugas pajak.
Berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa norma subjektif
memiliki koefisien regresi bernilai
positif. Hal ini berarti bahwa norma
subjektif memiliki pengaruh yang searah
terhadap kepatuhan wajib pajak.
Peningkatan pemahaman wajib pajak
tentang norma subjektif akan berdampak
pada peningkatan kepatuhan wajib
pajak. Sementara itu berdasarkan hasil
uji signifikansi diketahui bahwa norma
subjektif memiliki pengaruh signifikan
terhadap kepatuhan wajib pajak. Hal ini
berarti bahwa norma subjektif
merupakan faktor penentu patuh dan
tidaknya wajib pajak dalam menunaikan
kewajiban perpajakannya.
Hasil penelitian ini terdukung oleh
teori Tindakan beralasan. Ajzen (1988)
dalam Awaluddin (2017), mengatakan
bahwa Theory of Reasoned Action (TRA)
atau teori tindakan beralasan dijelaskan
dengan adanya sikap dan norma
subyektif yang dapat membentuk
kepatuhan seseorang. Dalam Norma
Subjektif, terdapat individu-individu atau
kelompok yang memberikan pengaruh
dalam perilaku seseorang. Individu-
individu atau kelompok tersebut disebut
sebagai referents. Berdasarkan
pengertian-pengertian tersebut, Norma
Subjektif dalam penelitian ini adalah
pandangan orang lain atau kelompok lain
yang bisa mempengaruhi seorang Wajib
Pajak untuk berperilaku patuh atau tidak
patuh terhadap pajak. Seorang Wajib
Pajak bisa terpengaruh atau tidak
tergantung kepada kekuatan dirinya
untuk menghadapi orang lain.
Hasil penelitian ini menjelaskan
bahwa wajib pajak di KPP Pratama
Makassar Utara bersikap patuh karena
terengaruhi oleh lingkungan sosial, yakni
saudara, teman, konsultan pajak, petugas
pajak dan adanya sosialisasi. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
Lilis Suryani (2017) yang menemukan
bahwa norma subjektif berpengaruh
terhadap kepatuhan wajib pajak.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
187
b. Pengaruh Kewajiban Moral
terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Kewajiban moral merupakan suatu
perasaan bersalah yang dimiliki
seseorang namun belum tentu dimiliki
oleh orang yang lainnya. Berdasarkan
hasil penelitian diketahui bahwa
kewajiban moral memiliki koefisien
regresi bernilai positif. Hal ini berarti
bahwa kewajiban moral memiliki
pengaruh yang searah terhadap
kepatuhan wajib pajak. Peningkatan
pemahaman wajib pajak tentang
kewajiban moral akan berdampak pada
peningkatan kepatuhan wajib pajak.
Sementara itu berdasarkan hasil
uji signifikansi diketahui bahwa
kewajiban moral memiliki pengaruh
signifikan terhadap kepatuhan wajib
pajak. Hal ini berarti bahwa kewajiban
moral merupakan faktor penentu patuh
dan tidaknya wajib pajak dalam
menunaikan kewajiban perpajakannya.
Hal ini disebabkan karena wajib pajak di
KPP Pratama Makassar Utara memahami
etika dan merasa bersalah jika tidak
patuh dalam menunaikan kewajiban
perpajakannya. Selain itu, adanya
perasaan malu jika tidak patuh
membayar pajak sebagai bentuk
pertanggungjawaban moral mereka
terhadap pembangunan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian sebelumnya dari Layata
dan Setiawan (2014), yang menunjukkan
bahwa variabel kewajiban moral
berpengaruh signifikan terhadap
kepatuhan wajib pajak. Hasil penelitian
ini juga terdukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Pranata dan Setiawan
(2015), yang juga menemukan bahwa
variabel kewajiban moral berpengaruh
secara signifikan pada kepatuhan wajib
pajak.
c. Pengaruh Pemahaman Peraturan
Pajak terhadap Kepatuhan Wajib
Pajak
Pengetahuan dan pemahaman
akan peraturan perpajakan adalah
proses dimana wajib pajak mengetahui
tentang perpajakan dan mengaplikasikan
pengetahuan itu untuk membayar pajak.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa pemahaman peraturan pajak
memiliki koefisien regresi bernilai
positif. Hal ini berarti bahwa pemahaman
peraturan pajak memiliki pengaruh yang
searah terhadap kepatuhan wajib pajak.
Peningkatan pemahaman peraturna
perpajakan wajib pajak akan berdampak
pada peningkatan kepatuhan wajib
pajak.
Meskipun pemahaman peraturan
pajak memiliki pengaruh yang searah
terhadap kepatuhan wajib pajak, akan
tetapi berdasarkan hasil uji signifikansi
dketahui bahwa pemahaman peraturan
pajak tidak memiliki pengaruh signifikan
terhadap kepatuhan wajib pajak. Hal ini
berarti bahwa pemahaman peraturan
wajib pajak bukan merupakan faktor
penentu patuh dan tidaknya wajib pajak
dalam menunaikan kewajiban
perpajakannya. Dengan kata lain,
pahamnya seorang wajib pajak akan
aturan perpajakan tidak serta merta
membuatnya patuh untuk membayar
pajak.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian sebelumnya dari
Hardiningsih (2011), yang menemukan
bahwa pemahaman peraturan
perpajakan tidak berpengaruh terhadap
kepatuhan wajib pajak.
5. PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan pada bab sebelumnya maka
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
188
simpulan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Norma subjektif berpengaruh
signifikan terhadap kepatuhan wajib
pajak pada KPP Pratama Makassar
Utara. Hal ini menunjukkan bahwa
patuh dan tidaknya wajib pajak
bergantung pada persepsi wajib pajak
tentang norma subjektif.
2. Kewajiban moral berpengaruh
signifikan terhadap kepatuhan wajib
pajak pada KPP Pratama Makassar
Utara. Hal ini menunjukkan bahwa
patuh dan tidaknya wajib pajak
bergantung pada persepsi wajib pajak
tentang kewajiban moral.
3. Pemahaman peraturan perpajakan
tidak berpengaruh signifikan
terhadap kepatuhan wajib pajak pada
KPP Pratama Makassar Utara. Hal ini
menujukkan bahwa patuh dan
tidaknya wajib pajak tidak bergantung
pada pemahaman wajib pajak tentang
peraturan perpajakan.
5.2 Saran
Berdasarkan simpulan penelitian
maka saran yang diajukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kepada Pihak KPP Pratama Makassar
Utara agar terus melakukan sosialisasi
peraturan perpajakan kepada wajib
pajak guna meningkatkan pahaman
wajib pajak tentang peraturan
perpajakan. Hal ini mengingat
pemahaman wajib pajak tentang
aturan perpajakan belum terbukti
memberikan kontribusi terhadap
kepatuhan wajib pajak.
2. Kepada wajib pajak agar memiliki
kesadaran tentang kewajiban
perpajakannya. Bahwa membayar
pajak adalah bagian dari
keikutsertaan dalam pembangunan.
3. Kepada peneliti selanjutnya agar
dapat melakukan sejenis pada KPP
lainnya sehingga hasilnya dapat
digeneralisir. Selain itu, peneliti
selanjutnya dapat menambah atau
merubah variabel dan model
penelitian sehingga didapati faktor
lainnya yang berkontribusi dalam
meningkatkan kepatuhan perpajakan.
DAFTAR PUSTAKA
Adhistyastuti, Fani. 2017. Pengaruh Modernisasi Sistem Administrasi Pajak Dan Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu. http://riset.unisma.ac.id/index.php/jra/article/view/377/0 diakses pada 14 Februari 2020.
Arikunto, S. 2013. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Artha, Ketut Gede Widi. 2016. Pengaruh Kewajiban Moral, Kualitas Pelayanan, Sanksi Perpajakan Pada Kepatuhan Wajib Pajak Di KPP Badung Utara. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana. Vol. 17. No. 2. November (2016): 913-937.
Awaluddin, Murtiadi. 2017. Implikasi Theory Of Reasoned Action Dan Etika Dalam Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor Melalui Niat (Studi Kasus Pada Kantor Samsat Kabupaten Kepulauan Selayar). AL-MASHRAFIYAH, Jurnal Ekonomi, Keuangan dan Perbankan Syariah Volume 1, Nomor 1 Oktober 2017: 79-95
Budiarto, Astrid. 2016. Pedoman Praktis Membayar Pajak. Genesis Learning: Yogyakarta.
Budiningrum, Endah Wening. 2014. Pengaruh Norma-Norma Sosial Terhadap Perilaku Kepatuhan
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
189
Pajak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Ernawati, Widi, Dwi. 2010. Pengaruh Sikap, Norma Subjektif, Kontrol Perilaku Yang Dipersepsikan, Dan Sunset Policy Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dengan Niat Sebagai Variabel Intervening. Tesis. Universitas Brawijaya, Malang.
Dewi, Nyoman Yuli Marlia. 2016. Pengaruh Kewajiban Moral, Kualitas Pelayanan, Dan Pengetahuan Perpajakan Pada Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Membayar Pajak Kendaraan Bermotor Pada Kantor Samsat Kabupaten Buleleng. https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/S1ak/article/view/7871 diakses pada 2 Februari 2020.
Hardiningsih, Pancawati. 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemauan Membayar Pajak. Dinamika Keuangan dan Perbankan, Nopember 2011, Hal: 126 – 142.
Indrawan, Rizki. 2018. Pemahaman Pajak dan Pengetahuan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak UKM. Jurnal Riset Akuntansi dan Keuangan Vol. 6. No.3. 2018.
Juwanti, Febriani Ramadhani. 2017. Pengaruh Pengetahuan Perpajakan, Kesadaran Wajib Pajak, Norma Sosial, Kepercayaan Pada Pemerintah Dan Sanksi Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Melakukan Pembayaran Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Pada Wajib Pajak Bumi Dan Bangunan Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar). Skripsi. IAIN Surakarta.
Layata, Sherly dan Setiawan, PutuEry. 2014. Pengaruh Kewajiban Moral, Kualitas Pelayanan, Pemeriksaan Pajak dan Sanksi Perpajakan pada
Kepatuhan Wajib Pajak Badan. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana9.2 (2014): 540-556 ISSN:2302-8556.
Mahfud. 2017. Pengaruh Pemahaman Peraturan Perpajakan, Kesadaran Membayar Pajak Dan Kualitas Pelayanan Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan (Studi Empiris Pada Koperasi Di Kota Banda Aceh). Jurnal Megister Akuntansi. Volume 6, No. 2, Mei 2017.
Mariana, Lina. 2017. Optimalisasi Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi pada KPP Pratama Makassar Utara. Jurnal Office, Vol.3, No.1, 2017
Nurhidayah, Sari. 2015. Pengaruh Penerapan Sistem E-Filling Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dengan Pemahaman Internet Sebagai Variabel Pemoderasi Pada KPP Pratama Klaten. https://eprints.uny.ac.id/19850/1/skripsi%20full.pdf diakses pada 2 Februari 2020.
Mardiasmo. 2016. Perpajakan. Edisi Terbaru 2016. Yogyakarta: Andi.
Rahayu, Puji. 2015. Pengaruh Kualitas Pelayanan, Kewajiban Moral Dan Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Hotel Dalam Membayar Pajak Hotel (Studi KasusPada Wajib Pajak Hotel di Kota pekanbaru). Jom FEKON Vol.2 No.2 Oktober 2015
Riswandi. 2014. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak UMKM yang Terdaftar di KPP Pratama Makassar Utara. Makassar: Universitas UIN Alauddin.
Robbins, S. 2015. Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.
Sagita, Ratih Kusuma Wardani. 2017. Pengaruh Norma Subjektif Dan Kualitas Pelayanan Terhadap
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
190
Kepatuhan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor Pada Kantor Samsat Wilayah I Kota Makassar. http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/26168 diakses 1 Februari 2020.
Sri Rahayu dan Ita Salsalina Lingga. 2009. Pengaruh Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Jurnal Akuntansi.
Suandy, Erly. 2014. Hukum Pajak ,Edisi 6 .Yogyakarta : Penerbit Salemba Empat.
Sujarweni V, Wiratna. 2016. Pengantar Akuntansi. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan (R&D). Bandung: Alfabeta.
Suryani Lilis. 2017. Pengaruh Sikap, Norma Subjektif, dan Kontrol Perilaku Persepsian Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Daerah Istimewa Yogyakarta Dengan Niat Memenuhi Pajak Sebagai Variabel Pemoderasi.
Suryanto, Eddy. 2013. Account Representative Jembatan Penghubung Bagi Kepatuhan Wajib Pajak. Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 13, No. 2, Oktober 2013: 211 – 218.
Utami, S. R, Andi dan Ayu, N. S. 2012. Pengaruh Faktor-Faktor Eksternal Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Di Lingkungan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Serang. http://pdeb.fe.ui.ac.id/?p=6625 diakses pada 1 Februari 2020.
Vilano, Ivan. 2017. Pengaruh Pemeriksaan Pajak, Kesadaran Wajib Pajak, Sikap Regional, Dan Lingkungan Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. http://repository.unpas.ac.id/27413/ diakses 1 Februari 2020.
Waluyo. 2013. Perpajakan Indonesia. Edisi 10 Buku 1 Penerbit Selemba Empat. Jakarta.
Widayati dan Nurlis. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemauan untuk Membayar Pajak WAjib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Pekerjaan Bebas (Studi Kasus pada KPP Pratama Gambir Tiga). Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto.
Yolanda, Ega Pralin. 2017. Pengaruh Sikap Dan Norma Subjektif Terhadap Niat Mahasiswa Untuk Bersaing Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). http://digilib.unila.ac.id/26181/3/SKRIPSI%20TANPA%20BAB%20PEMBAHASAN.pdf diakses 1 Februari 2020.
Yusro, Heny Wachidatul & Kiswanto. 2014. Pengaruh Tarif Pajak, Mekanisme Pembayaran Pajak dan Kesadaran Membayar Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak UMKM di Kabupaten Jepara. Accounting Analysis Journal. AAJ 3 (4) 2014. Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang, Indonesia.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
191
EVALUASI PENERAPAN PERUBAHAN TARIF UMKM TERHADAP
KETAATAN WAJIB PAJAK UMKM KOTA MAKASSAR
Muhaimin
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Makassar
Akhmad
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Makassar
Andi Arifwangsa Adiningrat
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Makassar
Karmila Oktafiana
[email protected] Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Makassar
Abstract
This study aims to answer the problem regarding the Application of Tariff Changes for Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs) to the compliance of the Makassar City UMKM Taxpayers. This research is a type of research that uses descriptive qualitative methods. This research data includes primary data and secondary data. The results showed that after implementing the policy of changing the MSME rate from 1% (PP 46 2013) to 0.5% (PP 23/2018) the level of taxpayer compliance has increased. This is evidenced by the increasing number of new taxpayers who register to obtain Taxpayer Identification Number (NPWP). The advantage felt by MSME players is that the tax imposed is now much lower than before. West Makassar KPP Pratama also benefited, as evidenced by the amount of tax revenue from West Makassar KPP Pratama in 2018 experiencing a significant increase.
Keywords: Taxpayer Obedience, MSME Rates, PP. 23 of 2018. Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan mengenai Penerapan Perubahan Tarif Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terhadap ketaatan Wajib Pajak UMKM Kota Makassar. Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah diterapkannya kebijakan perubahan tarif UMKM dari 1% (PP 46 Tahun 2013) menjadi 0,5% (PP 23 Tahun 2018) tingkat kepatuhan wajib pajak mengalami peningkatan. hal ini dibuktikan dengan jumlah wajib pajak baru yang mendaftar untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) semakin meningkat. Keuntungan yang dirasakan pelaku UMKM ialah Pajak yang dikenakan kini jauh lebih rendah dari sebelumnya. KPP Pratama Makassar Barat juga memperoleh keuntungan, dibuktikan dari jumlah penerimaan pajak KPP Pratama Makassar Barat pada tahun 2018 mengalami Peningkatan yang cukup signifikan.
Kata Kunci : Ketaatan Wajib Pajak, Tarif UMKM, PP No. 23 Tahun 2018.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
192
1. PENDAHULUAN
Pajak berasal dari (dari bahasa
Latin taxo; "rate") adalah iuran rakyat
kepada negara berdasarkan undang-
undang, sehingga dapat dipaksakan,
dengan tidak mendapat balas jasa secara
langsung. Sedangkan definisi Pajak
menurut Undang Undang Nomor 16
tahun 2009 tentang perubahan tentang
Ketentuan Umum dan Tata cara
Perpajakan. Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional menyebutkan
bahwa di Indonesia Jumlah pelaku usaha
mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
pada 2018 sebanyak 58,97 juta orang.
Berdasarkan data yang diperoleh, dapat
dilihat adanya pertumbuhan jumlah
usaha, khususnya jumlah Usaha Mikro
yang meningkat dari tahun 2013 sampai
dua tahun berikutnya terus meningkat
jumlah UMKM kota Makassar.
Sementara Usaha Kecil tidak
mengalami peningkatan melainkan
penurunan, di mana Usaha Kecil
menurun 2.056, pada tahun 2014 dan
dari tahun 2014 ke tahun 2015
jumlahnya justru berkurang sebanyak
316. Untuk Usaha Menengah, jumlahnya
hanya bertambah sekitar 321 saja dan
belum diketahui jumlahnya pada tahun
2015. Dan Pada Juni 2018 UMKM kota
makassar meningkat yakni dengan
Jumlah 40.577 Wajib Pajak UMKM kota
Makassar. Secara keseluruhan, kita
dapat menyimpulkan bahwa jumlah
UMKM di kota Makassar yang terus
meningkat menunjukkan semakin
banyaknya pengusaha-pengusaha kecil
yang bermunculan karena adanya
kemudahan dan kesempatan berbisnis di
masa kini.
Pemerintah telah menerbitkan
kebijakan baru berupa penurunan tarif
Pajak Penghasilan (PPh) Final menjadi
0,5% bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM). Aturan tersebut
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang
Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari
Usaha yang Diterima atau Diperoleh
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu sebagai pengganti atas
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2013, yang diberlakukan secara efektif
per 1 Juli 2018. Sementara aturan
turunannya dalam bentuk Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) mengenai
pajak UMKM yakni PMK 99/2018
pelaksanaan atas PP nomor 23.
Kebijakan tersebut dimaksudkan
untuk mendorong pelaku UMKM agar
lebih ikut berperan aktif dalam kegiatan
ekonomi formal dengan memberikan
kemudahan kepada pelaku UMKM dalam
pembayaran pajak dan pengenaan pajak
yang lebih berkeadilan, serta
meningkatkan ketahanan ekonomi
Indonesia.
Dengan data dan isu di atas
Peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian guna mengetahui tingkat
Ketaatan Wajib Pajak setelah diterapkan
Kebijakan Tarif Baru yakni 0,5%, Dengan
Judul Penelitian : “Evaluasi Penerapan
Perubahan Tarif UMKM Terhadap
Kepatuhan Wajib Pajak UMKM Kota
Makassar (Studi Kasus KPP Makassar
Barat)”
2. TINJAUAN TEORI
2.1. Theory of Planned Behavior (TPB)
Teori yang mendasari penelitian
ini adalah Theory of Planned Behavior
yakni perilaku yang ditimbulkan oleh
individu muncul karena adanya niat
untuk berperilaku. Teori ini menyatakan
bahwa keputusan untuk menampilkan
tingkah laku tertentu adalah proses
rasional yang diarahkan pada suatu
tujuan tertentu dan mengikuti urutan
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
193
berpikir. Berdasarkan TPB, faktor
sentral dari perilaku individu adalah
bahwa perilaku itu dipengaruhi oleh niat
(intention) individu terhadap perilaku
tertentu tersebut.
Seseorang dapat saja memiliki
berbagai macam keyakinan terhadap
suatu perilaku, tetapi pada saat
dihadapkan pada suatu kejadian
tertentu, hanya sedikit dari keyakinan
tersebut yang timbul untuk
memengaruhi perilaku. Keyakinan yang
sedikit inilah yang menonjol dalam
memengaruhi perilaku individu.
2.2. Definisi dan Fungsi Pajak
Berdasarkan UU No. 16 Tahun
2009 perubahan keempat atas UU No. 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 1
ayat 1 berbunyi pajak adalah kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa. Terdapat dua
fungsi pajak (Mardiasmo, 2016:1), yaitu.
a) Fungsi penerimaan (budgetair). Pajak
berfungsi sebagai sumber dana yang
diperuntukkan bagi pembiayaan
pengeluaran- pengeluaran
pemerintah.
b) Fungsi mengatur (regulerend). Pajak
berfungsi sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan
kebijakan pemerintahan dalam bidang
sosial dan ekonomi.
2.3. Ketaatan Perpajakan
Menurut kamus Bahasa Indonesia,
kepatuhan berarti tunduk atau patuh
pada ajaran atau aturan. Kepatuhan
dalam hal perpajakan merupakan suatu
ketaatan untuk melakukan ketentuan-
ketentuan atau aturan-aturan
perpajakan yang diwajibkan atau
diharuskan dilaksanakan menurut
peraturan perundang-undangan
perpajakan (Ghoni, 2012). Wajib pajak
dikatakan patuh apabila wajib pajak
tersebut taat dan memenuhi serta
melaksanakan perpajakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku (Rahayu,
2010:138).
2.4. Sanksi Perpajakan
Kamus Besar Bahasa Indonesia
menjelaskan, sanksi adalah tanggungan
berupa tindakan atau hukuman untuk
memaksa orang menepati perjanjian
atau menaati ketentuan perundang-
undangan. Menurut Mardiasmo (2016)
sanksi perpajakan merupakan jaminan
bahwa ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan (norma
perpajakan) akan dituruti/ ditaati/
dipatuhi, dengan kata lain sanksi
perpajakan merupakan alat pencegah
(preventif) agar wajib pajak tidak
melanggar norma perpajakan.
Pengetahuan mengenai sanksi
perpajakan penting karena pemerintah
Indonesia menetapkan Self Assessment
System, dimana sistem ini fiskus
memberikan wewenang kepada wajib
pajak untuk menentukan sendiri
besarnya pajak yang terutang.
2.5. UMKM
Di dalam Undang Undang UMKM
No 20 Tahun 2008 Usaha Mikro Usaha
Kecil dan Menengah secara tegas juga
memberikan kriteria dari usaha untuk
dikategorikan sebagai berikut:
1) Usaha Mikro adalah usaha
produktif milik orang perorangan
dan/atau badan usaha perorangan
yang memenuhi kriteria Usaha
Mikro sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini. Kriteria asset:
Maks. Rp 50 Juta, kriteria Omzet:
Maks. Rp 300 juta rupiah.
2) Usaha Kecil adalah usaha ekonomi
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
194
produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan
atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau
bukan cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak
langsung dari usaha menengah atau
usaha besar yang memenuhi kriteria
Usaha Kecil sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini. Kriteria
asset: Rp 50 juta – Rp 500 juta,
kriteria Omzet: Rp 300 juta – Rp 2,5
Miliar rupiah.
3) Usaha Menengah adalah usaha
ekonomi produktif yang berdiri
sendiri, yang dilakukan oleh orang
perseorangan atau badan usaha
yang bukan merupakan anak
perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak
langsung dengan usaha Kecil atau
usaha besar dengan jumlah
kekayaan bersih atau hasil penjualan
tahunan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini. Kriteria asset:
500 juta – Rp 10 Miliar, kriteria
Omzet: >Rp 2,5 Miliar – Rp 50 Miliar
rupiah.
Berdasarkan pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2018 diterapkan besarnya tarif
Pajak Penghasilan ( PPH ) final dengan
kategori peredaran bruto tertentu yaitu
0,5 % ( satu persen ). Penerapan tarif
0,5% ini diberlakukan hanya atas
penghasilan usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dengan kategori
peredaran bruto tertentu. Melihat tarif
pajak atas kategori peredaran tertentu
yang rendah hanya 0,5%, Wajib Pajak
bisa mendapatkan tarif Pajak
Penghasilan final atas penghasilan
kategori peredaran tertentu, dapat
mengajukan permohonan surat
keterangan bebas (SKB) atas
pemotongan / pemungutan pajaknya
dari Kantor Pelayanan Pajak terdaftar
sebagai Wajib Pajak Pengusaha Kecil.
Aturan PP 23 Tahun 2018
diadaptasi dari presumptive tax.
Presumptive tax adalah pajak yang
dikenakan dengan perhitungan yang
dilakukan tidak langsung atau melalui
suatu perkiraan. Sehingga dengan aturan
ini diharapkan penerimaan yang
dikumpulkan dapat optimal tanpa
memberatkan Wajib Pajak maupun
fiskus.
Sebagai kebijakan pajak baru, PP
23 Tahun 2018 dianggap telah mencapai
tujuan yang diharapkan. Kebijakan ini
dapat memberikan kesempatan bagi
Wajib Pajak yang tidak terutang pajak
sebelumnya, sehingga dengan aturan ini
mereka terutang pajak dan ikut
melakukan pembayaran pajak. Sesuai
dengan sifat pajaknya, PP 23 Tahun
2018 merupakan pajak final yang
digolongkan pada PPh Pasal 4 ayat (2).
Pada Undang-Undang Perpajakan
Negara pasal 17 Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan dijelaskan
bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM) menjadi salah satu
subjek pajak. Selain meningkatkan
pendapatan negara, UMKM juga
berperan dalam menyerap tenaga kerja
dengan jumlah yang besar (Herman, dkk
2013) data penerimaan pajak tahun
2005 hingga 2012 menunjukkan
penerimaan pajak didominasi bukan
oleh UMKM, namun oleh usaha besar
yang jumlah populasinya kurang dari
1%. Kerangka Konseptual
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
195
2.6. Kerangka Konseptual
Kerangka Konseptual merupakan
hubungan logis antara landasan teori dan
kajian empiris. Kerangka konseptual
menunjukkan pengaruh antar variabel
dalam penelitian. Penelitian ini
membahas Perubahan Tarif dan
moderenisasi pada kepatuhan pelaporan
wajib pajak Badan UMKM. Kerangka
Konseptual.
Kerangka konseptual
merupakan hubungan logis antara
landasan teori dan kajian empiris.
Kerangka konseptual menunjukkan
pengaruh antar variabel dalam
penelitian. Penelitian ini membahas
Perubahan Tarif dan moderenisasi pada
kepatuhan pelaporan wajib pajak Badan
UMKM.
Teori yang mendasari dalam
penelitian ini adalah Theory of Planned
Behavior (TPB). Theory of planned
behavior menyatakan bahwa perilaku
yang ditimbulkan oleh individu muncul
karena adanya niat untuk berperilaku.
Theory of Planned Behavior dapat
menjelaskan secara relevan perilaku
wajib pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya, Secara sistematis,
kerangka konspetual yang digunakan.
3. METODE PENELITIAN
3.1. Tipe Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
Mengevaluasi penerapan kebijakan
pajak UMKM atau perubahan tarif
Terhadap kepatuhan Wajib Pajak, oleh
karena itu tipe penelitian yang dipakai
menggunakan metode deskriptif
kualitatif. Prosedur penelitian ini
bersifat menjelaskan, menggambarkan
dan menafsirkan hasil penelitian dengan
susunan kata dan atau kalimat sebagai
jawaban atas permasalahan yang diteliti.
Penelitian kualitatif dalam
penelitian ini bermaksud untuk
mengetahui fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,
dan lain- lain, secara holistic dan dengan
cara deskripsi dalam bentuka kata- kata
dan bahasa, pada suatu konteks khusus
yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode almiah.
Peneliti akan menggambarkan
penelitiannya dalam bentuk susunan
kata dan kalimat sebagai jawaban dari
rumusan masalah yang sudah
ditentukan peneliti sejak awal.
Penelitian ini akan dituliskan
dengan sistematis berdasarkan fakta-
fakta yang akurat dimana peneliti akan
mendeskripsikan dan memaparkan
mengenai penerapan perubahan tarif
terhadap kepatuhan Wajib pajak KPP
Makassar Barat.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan sejak
tanggal dikeluarkannya izin penelitian
dalam kurun waktu kurang lebih 1 Bulan
yakni Bulan Juni - Juli 2019 Penelitian ini
bertempat di KPP Makassar Barat.
3.3. Jenis Data dan Sumber Dara
Jenis data dalam pelaksanaan
penelitian ini yaitu:
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
196
1) Data primer yang merupakan data
yang diperoleh secara langsung
dariresponden penelitian, baik dari
observasi, wawancara maupun
dokumentasi serta catatan lapangan
peneliti yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti. Data
primer dalam penelitian ini diperoleh
melalui wawancara mendalam (in-
depth interview) kepada sumber data
mengenai Penerapan Perubahan tarif
terhadap kepatuhan Wajib pajak
UMKM Kota Makassar.
2) Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang telah
keterangan yang harus dijalankan
dengan melakukan usaha pengamatan
secara langsung ke tempat yang akan
diselidiki. Pada penelitian ini
observasi menjadi hal yang penting
digunakan dengan tujuan agar
peneliti dapat melihat gambaran yang
jelas terkait fakta dilapangan yang
menyangkut Penerapan perubahan
tarif terhadap ketaatan wajib pajak
UMKM Kota Makassar.
3) Dokumentasi
Teknik untuk melengkapi data
dalam rangka analisis yang diteliti,
maka memerlukan informasi dari
dokumen-dokumen yang ada
kaitannya dengan objek penelitian.
Dokumentasi dalam penelitian ini
berupa Peraturan Pemerintah,
keputusan-keputusan, serta arsip-
arsip lain yang terkait Penerapan
perubahan tarif terhadap ketaatan
wajib pajak UMKM Kota Makassar.
3.3 Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh akan
dianalisis secara deskriptif yaitu suatu
penelitian yang bertujuan membuat
gambaran (deskripsi) tentang suatu
fenomena yang terjadi. Fenomena yang
diteliti secara deskriptif tersebut dicari
informasi mengenai beberapa hal yang
dianggap mempunyai relevansi dengan
tujuan penelitian. Teknik analisis data
yang digunakan adalah teknik analisis
data :
1. Reduksi data (Data Reduction)
Reduksi data yaitu suatu proses
sebagai pemilihan, pemisahan,
penyederhanaan, merangkum,
pengabsrakan dan tranformasi data
kasar yang muncul dari catatan-
catatan tertulis dilapangan. Data yang
diperoleh di lokasi penelitian
kemudian dituangkan dalam uraian
atau laporan lengkap dan terperinci.
Laporan dilapangan akan direduksi,
dirangkum, dipilih hal-hal pokok,
difokuskan pada hal-hal penting
kemudian dicari tema atau polanya.
Reduksi data dilakukan secara terus
menerus selama proses penelitian
berlangsung. Laporan atau data
dilapangan dituangkan dalam uraian
lengkap dan terperinci.
2. Penyajian data (Data Display)
Penyajian data yaitu penyusunan
sekumpulan informasi yang memberi
kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan penarikan tindakan.
Pada penelitian ini, secara teknis data-
data yang telah di organisir kedalam
matriks analisis data akan disajikan
kedalam bentuk teks naratif, gambar,
tabel, dan bagan.
3. Penyajian data dilakukan dengan
mendeskripsikan hasil temuan dalam
wawancara terhadap informasi serta
menghadirkan dokumen sebagai
penunjang data Penarikan kesimpulan
dan verifikasi (Conclusoindrawing
/verification). Selama penelitian
berlangsung, yaitu sejak awal
memasuki lokasi penelitian dan
selama penyimpulan data. Peneliti
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
197
berusaha untuk menganalisis dan
mencari pola, tema, hubungan
persamaan, hal-hal yang sering
timbul, hipotesis dan sebagainya yang
dituangkan dalam kesimpulan yang
tentative.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah peneliti melakukan
penelitian dengan cara wawancara,
observasi, dan dokumentasi, peneliti
menemukan fakta-fakta di lapangan
mengenai penerapan kebijakan
perubahan tarif UMKM terhadap
ketaatan wajib pajak UMKM kota
Makassar dengan studi Kasus di KPP
Makassar Barat.
4.1 Jumlah Wajib Pajak terdaftar
Berikut ini pertumbuhan Wajib
pajak yang terdaftar di KPP Pratama
Makassar Barat di sajikan dalam bentuk
Tabel 3.1 berikut:
Tabel 1
Jumlah Wajib Pajak Terdaftar
2016 2017 2018
WP Terdaftar Wajib SPT 62.149 63.132 52.478
• Badan 3.762 3.522 4.319
• OP Non Karyawan 4.958 5.830 5.833
Total 8.720 9.352 10.152
Sumber: KPP Pratama Makassar Barat (2019)
Tercatat jumlah wajib pajak yang
terdaftar di KPP Pratama Makassar pada
tahun 2016 berjumlah 8.720 wajib pajak.
Dengan upaya ekstensifikasi dan
intensifikasi yang dilakukan KPP
Pratama Makassar Barat pada tahun
2017 Jumlah wajib pajak UMKM
mengalami peningkatan dari tahun
sebelumnya yakni mencapai 9.352
wajib pajak dan tahun 2018
pertumbuhan wajib Pajak UMKM di KPP
Pratama Makassar Barat mengalami
peningkatan yang sangat besar yakni
tercatat 10.152 Wajib Pajak UMKM .
Administrator KPP Pratama
Makassar Barat Pak Aziz mengatakan
bahwa, diterapkannya Kebijakan tarif
0,5% memudahkan menghimbau
masyarakat terutamanya Wajib pajak
UMKM yang baru, untuk mendaftarkan
diri sebagai Wajib Pajak UMKM.
Penerapan kebijakan tarif 0,5% ini juga
lebih memudahkan untuk menggaet atau
mencari Wajib pajak baru ke mall-mall
atau pasar-pasar yang usahanya masih
kecil, karena tarif yang di tarawarkan
lebih kecil yakni 0,5% jadi wajib pajak
lebih mau mendaftar dan membayar
pajakya. Upaya yang telah dilakukan KPP
Pratama Makassar Barat dalam
meningkatkan kepatuhan wajib pajak
untuk mendaftarkan dirinya sebagai
Wajib Pajak. Hal ini didukung oleh
Kebijkan yang telah dikeluarkan
pemerintah yakni PP 23 Tahun 2018
tentang penurunan tarif UMKM dari 1%
menjadi 0,5%. Kebijakan sebelumnya
yakni 1% dianggap memberatkan
dikalangan Wajib Pajak UMKM, dengan
diterapkannya tarif baru 0,5% Wajib
Pajak lebih patuh dalam mendaftarkan
dirinya sebagai wajib Pajak UMKM.
4.2 Data Wajib Pajak yang melapor
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
198
Berikut ini pelaporan Wajib pajak
yang terdaftar di KPP Pratama
Makassar Barat pada tahun 2016- 2018
di sajikan dalam bentuk Tabel 3.2
berikut:
Tabel 2
Jumlah Wajib Pajak Melapor
No Tahun Jumlah Pelapor Persentase
1. 2016 3.833 43,9%
2. 2017 3.436 36,7%
3. 2018 3.025 29,8%
Sumber: KPP Pratama Makassar Barat (2019)
Tingkat kepatuhan pelaporan
wajib pajak UMKM dari tahun ke tahun
mengalami penurunan. Pada tahun
2016 jumlah wajib pajak yang
melakukan pelaporan mencapai 3.833
Wajib pajak atau 43,9% dari wajib
pajak UMKM yang terdaftar. Tahun
2017 jumlah wajib Pajak yang
melakukan pelaporan menurun
menjadi 36,7% dari tahun sebelumnya
yakni berjumlah 3.436 wajib pajak dan
Pada tahun 2018 terjadi Penurunan
kepatuhan wajib pajak dalam
melaporkan pajaknya yakni hanya
mencapai 29,8% saja dari jumlah Wajib
Pajak yang terdaftar di KPP Pratama
Makassar Barat dengan jumlah pelapor
sebesar 3.025 wajib pajak.
Kepala Bidang Pengelolaan Data
dan Informasi KPP Pratama Makassar
Barat Pak Mahmud mengatakan bahwa,
Naik atau turunnya Wajib Pajak yang
melaporkan Pajaknya sebenarnya tidak
ada acuan Penurunan tarif ini
diharapkan Wajib pajak yang sudah
terdaftar, yang notabenenya masih
dibawah 4.8 Miliyar pertahun lebih
banyak yang mau membayar. Kemudian
yang kedua turunnya tarif UMKM ini
sebenarnya membantu para
pelakuUMKM, karena selama ini tarif
1% yang di atur PP 49 Tahun 2013 di
anggap memberatkan bagi mereka,
maka dari itu dengan turunnya tarif
menjadi 0,5% setidaknya semangat
untuk membayar pajaknya lebih
meningkat dan lebih patuh pada
kewajiban pajaknya.
Penurunan wajib pajak yang
melaporkan pajaknya tiap tahun
disebabkan karena asumsi sebagian
besar wajib pajak khususnya wajib
pajak UMKM bahwa setelah melakukan
penyetoran/ pembayaran pajak, wajib
pajak tidak di wajibkan lagi untuk
melaporkan pajaknya. Namun aturan
perpajakan yang berlaku, para wajib
pajak di wajibkan untuk menghitung,
menyetor dan melaporkan pajaknya
sendiri atau dengan kata lain Self
Assessment system.
4.3 Penerimaan KPP Pratama
Makassar Barat
Realisasi penerimaan KPP
Pratama Makassar Barat pada tahun
2016-2018 di sajikan dalam Tabel 3.3
berikut:
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
199
Tabel 3
Jumlah Penerimaan KPP Pratama Makassar Barat
Bulan Target Penerimaan Pertahun Tingkat Pencapai Tumbuh
2016 6.286.266.800.092,00 5.213.774.199.487,00 76,90% 30,47%
2017 5.964.790.393.630,00 4.824.370.282.477,00 83,25% 3,91%
2018 5.802.874.840.000,00 5.613.467.912.272,00 102,26% 19,07%
Sumber: KPP Pratama Makassar Barat (2019)
Penerimaan KPP Pratama
Makassar Barat pada tahun 2016
mencapai Rp. 5.213.774.199.487,00
capaian dari target pada tahun 2016 ini
mencapai 76,90% dengan pertumbuhan
penerimaan KPP Pratama Makassar
Barat mencapai 30,47%. Pada tahun
2017 penerimaan KPP Pratama
Makassar Barat mengalami penurunan.
Penerimaan tahun 2017 hanya mencapai
Rp. 4.824.370.282.477,00 yakni
83,25% dari target penerimaan pada
tahun 2017 dengan pertumbuhan yang
sangat kecil pula yaitu 3,91% saja.
Penurunan penerimaan KPP Pratama
Makassar Barat ini di sebabkan karena
kerugian Usaha yang dialami oleh Pelaku
wajib Pajak UMKM sehingga banyak
Wajib Pajak UMKM berpenghasilan
dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) sehingga pajak yang di tanggung
oleh wajib pajak dikecualikan atau Nihil.
Pada tahun 2018 setelah diterapkannya
kebijakan penurunan tarif menjadi 0,5%
penerimaan KPP Makassar Barat
meningkat sangat besar hingga
mencapai Rp. 5.613.467.912.272,00
dengan persentase 102,26% dari target
penerimaan dan tumbuh 19,07% dari
realisasi penerimaan tahun sebelumnya.
Kepala Bidang Pengelolaan Data dan
Informasi KPP Pratama Makassar Barat
Pak Mahmud mengatakan bahwa, awal
Sebelum diterapakannya tariff 0,5%
beranggapan Penerimaan KPP Makassar
Barat akan mengalami Penurunan
dikarenakan penurunan tarif. Namun,
setelah diterapkan Kebijakan ini,
Penerimaan KPP Makassar Barat Justru
mengalami peningkatan. Kebijakan PP
nomor 23 tahun 2018 ini memberikan
peluang kepada wajib pajak UMKM
dalam mengembangkan usahanya
dengan cara menurunkan tarif pajaknya
menjadi 0,5%. Dengan demikian, usaha
Para wajib pajak berkembang, Omset
yang mereka milikipun meningkat, yang
menyebabkan penghasilan wajib Pajak
diatas PTKP dan terbebas dari
pengecualian Wajib pajak yang
pembayarannya Nihil, kini dikenakan
0,5%. Wajib Pajak Badan non UMKM Pak
Amran mengatakan bahwa, penerapan
tarif pajak UMKM menjadi 0,5% sangat
bagus dan pastinya menguntungkan
wajib pajak pelaku UMKM, karena beban
pajak yang harus dibayarkan yang
tadinya 1% sekarang di turunkan
menjadi 0,5%. Penerapan kebijakan ini
pastinya menambah semangat wajib
pajak UMKM dalam mengembangkan
usaha karena tarif yang dikenakan kini
lebih kecil. Dengan semangat para
Pelaku UMKM dalam mengembangkan
usahanya dapat menjadikan meraka
sebagai wajib pajak yang harus
membayarkan pajak yang
ditanggungnya dikarenakan
berpenghasilannya di atas PTKP. Dengan
diterapkannya kebijakan perubahan tarif
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
200
UMKM 0,5% ini memancing para pelaku
UMKM untuk mengembangkan usahanya
dan berpenghasilan di atas PTKP dengan
demikian Jumlah penerimaan dapat
selalu bertambah seirama dengan
pertambahan Wajib Pajak UMKM yang
memperoleh penghasilan di atas
penghasilan tidak kena pajak (PTKP)
atau melakukan kegiatan usaha di
wilayah kerjanya.
5. PENUTUP
5.1. Simpulan
Dari hasil analisa data penelitian,
peneliti dapat menyimpulkan bahwa :
1) Setelah diterapkannya kebijakan
perubahan tarif UMKM dari 1%
menjadi 0,5% kepatuhan wajib pajak
Mengalami Peningkatan. Hal ini
dibuktikan dengan jumlah wajib
pajak baru semakin patuh untuk
mendaftarkan dirinya sebagai Wajib
5.
2) Diterapkannya tarif baru 0,5%
memberikan keringanan dan
keuntungan kepada pelaku UMKM
sehingga beban pajak yang harus
dibayarkan kini jauh lebih rendah
dari sebelumnya.
3) KPP Pratama Makassar Barat
memperoleh keuntungan dengan
diterapkannya kebijakan tarif 0,5%
bagi UMKM, dibuktikan dari jumlah
penerimaan pajak KPP Makassar
Barat pada tahun 2018 mengalami
peninkatan yang sangat besar.
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian
maka penuli menyarankan
sebagai berikut :
1) Untuk KPP Pratama Makassar Barat :
(a) KPP Pratama Makassar Barat
perlu meningkatkan Upaya
sosialisasi kepada Pelaku UMKM
tentang pentingnya melakukan
pelaporan pajak setelah
melakukan penyetoran/
pembayaran pajak.
(b) KPP Pratama Makassar Barat
perlu meningkatkan upaya
ekstensifikasi dan intensifikasi
penggalian potensi wajib pajak
Untuk meningkatkan Kepatuhan
Wajib Pajak.
(c) Kebijakan PP 23 tahun 2018
alangkah baiknya dilaksanakan
dalam jangka panjang.
2) Dalam rangka meningkatkan
pembangunan dan perekonomian,
kesadaran pajak harus
ditanamkan pada setiap wajib pajak.
3) Untuk penelitian selanjutnya, peneliti
disarankan melakukan wawancara
kepada beberapa wajib pajak UMKM,
karena dalam penelitian ini peneliti
hanya melakukan wawancara kepada
beberapa wajib pajak, sehingga
tanggapan dari wajib pajak
khususnya UMKM tidak dapat
disimpulkan secara signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :
Ghoni, Husen Abdul. 2012. Pengaruh Motivasi dan Pengetahuan Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Daerah. Surabaya.
Mardiasmo. (2011). Perpajakan. Yogyakarta: andi
Mardiasmo. (2013). Perpajakan. Buku 1. Edisi revisi. Jakarta: Andi publisher
Mardiasmo. (2016). Perpajakan Edisi Revisi Tahun 2016. Yogyakarta:Penerbit Andi.
Rahayu, s. K. (2010). Perpajakan indonesia (konsep dan aspek sosial). Yogyakarta: graha ilmu.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
201
Sofyandi, Herman. 2013. Manajemen Sumber daya Manusia Cetakan kedua. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Undang-undang & Peraturan Pemerintah
Direktorat jenderal pajak. (2015). Realisasi penerimaan pajak per 30 april 2015. Diakses dari http://www.pajak.go.id/content/ realisasi-penerimaan-pajak- 30-april-2015./ 17 Februari 2019/ 11.19) Kementerian koperasi & ukm. (2013). Statistik usaha kecil, mikro dan menengah,diaksesdarihttp://www.depkop.go.id/phocadownlo ad/
Menteri keuangan republik Indonesia.2014. Nomor 206.2/pmk.01/2014 tanggal 17 oktober 2014 tentang perubahan atas peraturan menteri keuangan nomor 167/pmk.01/2012 tentang organisasi dan tata kerja instansi vertikal direktorat jenderal pajak. Struktur kantor pelayanan pajak pratama.
Peraturan pemerintah no 46 tahun 2013. 2013. Tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran tertentu.
Undang-undang No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan.
Undang Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan.
Data_statistik/statistik_ukm/narasi_stat istik_umkm%202010- 2011.pdf./ 17 Februari 2019/ 10.25)
Sumber Jurnal :
Aneswari, yuyung rizka. 2018.
Membongkar imperialisme dalam kebijakan pajak usaha mikro kecil dan menengah (umkm). Jurnal infestasi vol. 14 no. 1 juni 2018 hal. 1 – 10.
Dariansyah s, deddy. 2016. Penerapan pajak penghasilan (pph) final terhadap usaha mikro kecil dan menengah (umkm) berdasarkan pp no 46 tahun 2013. Sosio-e-kons, vol. 8 no. 3, desember 2016, hal. 251-260.
Prabantari, faizara dan ardiyanto, moh. Didik. 2017. Implementasi pajak penghasilan berdasarkan peraturan pemerintah nomor 46 tahun 2013 (studi pada umkm di jawa tengah dan daerah istimewa)
Sa’diya, maulida alfi lofiana, handayani, siti ragil dan effendy, idris. 2016. Analisis penerapan peraturan pemerintah nomor 46 tahun 2013 untuk wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (studi pada kpp pratama malang utara). Jurnal perpajakan (jejak)| vol. 10 no. 1 2016 hal. 1-7.
yogyakarta). Diponegoro journal of accounting volume 6, nomor 4, tahun 2017, halaman 1-12.
Yusuf, e. M. (2013). Membedah aturan pajak penghasilan terbaru bagi umkm. Retrieved september 16, 2015, from
http://keuanganlsm.com/me mbedah-aturan-pajak- penghasilan-terbaru-bagi- umkm/
Zawitri, sari dan yuliana, elsa sari. 2016. Tingkat kepatuhan wajib pajak badan usaha mikro kecil dan menengah setelah diberlakukan tarif 1 % (final) pph (studi kasus di kpp pratama pontianak). Jurnal ekonomi, bisnis dan kewirausahaan 2016, vol. 5. No.2, 144
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
202
PROSEDUR PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
(PPN) ATAS JASA PENGIRIMAN PAKET PADA PT POS
INDONESIA (PERSERO) MAKASSAR 90000
Siswati Rachman
Email: [email protected]
Politeknik Informatika Nasional
Abstract
This study aims to determine the procedure for collecting value added tax (VAT) for package delivery services at PT POS INDONESIA (PERSERO) Makassar 90000. The type of research used is qualitative description, which explained between facts and data or information that has been obtained from the place of research.This research was conducted for two months from May 2019 to June 2019, at PT POS INDOENESIA (PERSERO) Makassar 90000. Techniques for collecting data using observation and interviews. The results of the research concluded that the procedure for collecting Value Added Tax (PPN), they are: 1) VAT collection starts when customers submit taxable goods (BKP) in the retail and corporate services section as VAT collectors, 2) Service section provides letter of receipt of receipt to the customer, 3) the service section prints the backsheet as proof of VAT collection then recorded by the accounting department, 4) After being accounted for by the accounting, backsheet and VAT payments deposited to the finance department and then deposited to the state treasury.
Keywords: Procedure, Value Added Tax, Delivery Service
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui prosedur pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) atas jasa pengiriman paket pada PT POS INDONESIA (PERSERO) Makassar 90000. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskripsi kualitatif, yakni menjelaskan antara fakta dan data atau informasi yang telah diperoleh dari tempat penelitian. Penelitian ini dilakukan selama dua bulan sejak bulan Mei 2019 sampai dengan bulan Juni 2019, di kantor PT POS INDONESIA (PERSERO) Makassar 90000. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan observasi dan wawancara. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa prosedur pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu: 1) Pemungutan PPN dimulai saat pelanggan menyerahkan barang kena pajak (BKP) pada bagian pelayanan ritel maupun korporat selaku pemungut PPN, 2) Bagian pelayanan memberikan surat bukti terima kiriman kepada pelanggan, 3) bagian pelayanan mencetak backsheet sebagai bukti pemungutan PPN kemudian dibukukan oleh bagian akuntansi, 4) Setelah dibukukan oleh bagian akuntansi, backsheet dan pembayaran PPN disetor ke bagian keuangan untuk kemudian disetorkan ke kas negara.
Kata kunci : Prosedur, Pajak Pertambahan Nilai, Jasa Pengiriman
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
204
1. PENDAHULUAN
Tujuan negara secara umum yaitu
memperluas kekuasaan,
menyelenggarakan ketertiban, serta
mencapai kesejahteraan umum bagi
rakyatnya. Itulah sebabnya maka negara
harus bergerak aktif dan turut campur
tangan dalam bidang kehidupan
masyarakat, terutama dibidang
perekonomian guna tercapainya
kesejahteraan bagi masyarakat. Untuk
mencapai dan menciptakan masyarakat
yang sejahtera dibutuhkan biaya-biaya
yang cukup besar.
Salah satu sumber pendapatan
negara yang utama adalah sektor pajak.
Pajak merupakan kewajiban yang harus
dibayar oleh masyarakat baik pribadi
maupun badan dari pendapatan atau
penghasilannya kepada pemerintah yang
ditujukan untuk kegiatan pembangunan
disegala bidang. Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) atas barang dan jasa merupakan
pajak yang dikenakan atas komsumsi di
dalam negeri atau di dalam daerah
pabean, baik komsumsi barang maupun
komsumsi jasa.
Pajak yang berlaku di Indonesia
dapat dibedakan menjadi pajak pusat
dan pajak daerah. Pajak pusat adalah
pajak yang dipungut pemeritah pusat
(dalam hal ini dilakukan oleh direktorat
jendral pajak) guna membiayai rumah
tangga pemerintah pusat yang tercantum
dalam anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN). Sedangkan Pajak Daerah
adalah pajak yang dipungut oleh
pemerintah daerah (dalam hal ini
dilakukan oleh Dinas Pendapatan
Daerah/Dispenda) yang digunakan
untuk membiayai rumah tangga
pemerintah daerah yang tercantum
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
Pajak yang dikelola oleh
Pemerintah Pusat yaitu, Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), yang tercipta
karena digunakannya faktor-faktor
produksi pada setiap jalur perusahaan
dalam menghasilkan , menyalurkan, dan
memperdagangkan barang atau
memberikan jasa.
PT Pos Indonseia (Persero)
Makassar 90000 adalah salah satu
perusahaan yang bergerak dalam jasa
pengiriman barang. PT Pos Indonseia
(Persero) 90000 Makassar tidak terlepas
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN). Karena keberadaannya sangat
berpengaruh terhadap kelangsungan
perekonomian negara, maka
pemungutannya harus dilakukan dengan
benar dan sesuai dengan ketentuan
perpajakan yang berlaku di Indonesia.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Prosedur
Prosedur berasal dari Bahasa
Inggris “ procedure yang bias diartikan
sebagai cara atau tata cara. Akan tetapi
kata procedure lazim digunakan dalam
kosakata Bahasa Indonesia yang dikenal
dengan kata prosedur. Dalam Kamus
Manajemen, prosedur berarti tata cara
melakukan pekerjaan yang telah
dirumuskan dan diwajibkan. Biasanya
prosedur meliputi bagaimana, bilamana
dan oleh siapa, tugas harus diselesaikan.
Menurut (Nuraida, 2008) “Prosedur
adalah urutan langkah-langkah (atau
pelaksanaan-pelaksanaan pekerjaan),
dimana pekerjaan tersebut dilakukan,
berhubungan dengan apa yang
dilakukan, bagaimana melakukannya,
bilamana melakukannya, dimana
melakukannya, dan siapa yang
melakukannya.”
Berdasarkan pengertian prosedur
diatas dapat disimpulkan bahwa dalam
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
205
sebuah prosedur pastinya akan
tercantum cara bagaimana setiap tugas
dilakukan, berhubungan dengan apa,
bilamana tugas tersebut dilakukan dan
oleh siapa saja tugas harus diselesaikan.
Hal ini tentu sangat wajar dilakukan
karena sebuah prosedur yang dibuat
memiliki tujuan untuk mempermudah
kita dalam melaksanakan suatu kegiatan.
2.2 Definisi Pajak
(Leo Agung Danang Dwi Pangestu,
2017) menyatakan Pajak adalah
konstribusi wajib kepada tarif yang
terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Menurut Prof. Dr., P.J.A. Andriani
dalam (Purwana & Hidayat, 2017)
mendefinisikan :
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang
dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan dengan tidak
mendapat prestasi kembali, yang
langsung dapat ditunjuk, dan yang
gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum
berhubungan dengan tugas negara yang
menyelenggarakan pemerintahan.”
Berdasarkan Undang-Undang
Ketentuan Umum Perpajakan No. 16
tahun 2009 :
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan, yang bersifat memaksa
berdasarkan undang-undang dengan
tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.” (DIREKTORAT
PENYULUHAN, 2013)
Menurut Soemahamidjaja dalam
(Haeruddin, 2017) mendefinisikan
bahwa “Pajak adalah iuran wajib berupa
uang atau barang yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma
hukum, guna menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa-jasa kolektif
dalam mencapai kesejahteraan umum”.
Pajak adalah iuran yang dipungut
dari rakyat oleh pemerintah yang
digunakan untuk membiayai
pengeluaran umum dan bersifat dapat
dipaksakan dengan tidak menerima
timbal balik secara langsung. (Mariana,
2018)
a. Asas-Asas Pemungutan Pajak
Salah satu tujuan hukum pajak
adalah menciptakan keadilan, terutama
dalam hal pemungutannya. Keadilan di
dalam pajak harus menjadi pedoman dan
syarat mutlak dalam merealisasikan
pemungutan pajak secara umum dan
merata. Dalam buku (Purwana &
Hidayat, 2017) menjelaskan asas-asas
pemungutan pajak sebagaimana
dikemukakan oleh Adam Smith dalam
buku “Wealth of Nations”, terdapat
beberapa asas pemungutan pajak, yang
dinamakan dengan “The Four Maxim”
atau yang dikenal sebagai “Asas
Pemungutan Pajak Secara Klasik” sebagai
berikut:
1) Asas Equality
Yaitu pemungutan pajak harus
dilakukan secara seimbang sesuai
dengan kemampuan. Ini artinya suatu
negara yang menerapkan pajak tidak
boleh menerapkan diskriminasi terhadap
golongan tertentu. Wajib pajak dalam
keadaan yang sama harus dikenakan
pajak yang sama.
2) Asas Certainty
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
206
Yaitu pemungutan pajak harus
terang dan jelas serta tidak mengenal
kompromi. Ini berarti, lebih menekankan
kepada aspek hukum yang direalisasikan
dalam bentuk UU, terutama mengenai
subjek dan objek pajak, besarnya pajak,
dan ketentuan mengenai waktu
pembayaran pajak.
3) Asas Convenience of Payment
Yaitu pajak yang harus dipungut
pada saat yang paling tepat untuk
membayar pajak. Ini berarti,
pembayaran pajak harus dilakukan pada
saat wajib pajak menerima penghasilan.
4) Asas Efisiensi
Yaitu pemungutan pajak
hendaknya dilakukan sehemat-
hematnya. Hal ini menunjukkan bahwa
biaya yang dikeluarkan untuk memungut
pajak harus lebih kecil dari hasil yang
diterima pihak fiskus.
b. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Dasar Pengenaan Pajak adalah
dasar yang dipakai untuk meghitung
pajak yang terutang, berupa : Jumlah
Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor,
Nilai Ekspor, atau nilai lain yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
1) Harga Jual adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh penjual
karena penyerahan Barang Kena
Pajak (BKP), tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) yang
dipungut menurut Undang-Undang
PPN dan perubahannya dan potongan
harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak.
2) Penggantian adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh
pengusaha karena penyerahan Jasa
Kena Pajak (JKP), ekspor Jasa Kena
Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud, tetapi tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) yang dipungut menurut
Undang-Undang PPN dan potongan
harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak atau nilai berupa uang
yang dibayar atau seharusnya dibayar
oleh Penerima jasa karena
pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dan/atau oleh penerima manfaat
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
3) Nilai Impor adalah nilai berupa uang
yang menjadi dasar penghitungan bea
masuk ditambah pungutan lainnya
yang dikenakan pajak berdasarkan
ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan Pabean untuk
Impor BKP, tidak termasuk PPN yang
dipungut menurut Undang-Undang
PPN.
4) Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang,
termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh
eksportir.
5) Nilai lain adalah nilai berupa uang
yang ditetapkan sebagai Dasar
Pengenaan Pajak dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
6) Nilai lain yang ditetapkan sebagai
Dasar Pengenaan Pajak adalah
sebagai berikut :
Untuk pemakaian sendiri BKP
dan/atau JKP adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba
kotor;
1) Untuk pemberian cuma-Cuma BKP
dan/atau JKP adalah Harga Jual
Penggantian setelah dikurangi laba
kotor;
2) Untuk penyerahan media rekaman
suara atau gambar adalah perkiraan
harga jual rata-rata;
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
207
3) Untuk penyerahan film cerita adalah
perkiraan hasil rata-rata per judul
film;
4) Untuk penyerahan produk hasil
tembakau adalah sebesar harga jual
eceran;
5) Untuk Barang Kena Pajak berupa
persediaan dan/atau aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa
pada saat pembubaran perusahaan,
adalah harga pasar wajar;
6) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak
dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena
Pajak antar cabang adalah harga
pokok penjualan atau harga
perolehan;
7) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak
melalui juru lelang adalah harga
lelang;
8) Untuk penyerahan jasa pengiriman
paket adalah 10% (sepilih persen)
dari jumlah yang ditagih atau jumlah
yang seharusnya ditagih; atau
9) Untuk penyerahan jasa biro
perjalanan atau jasa biro pariwisata
adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah tagihan atau jumlah yang
seharusnya ditagih.
2.3 Kerangka Pikir
3. METODE PENELITIAN
3.1 Teknik Pengumpulan Data
Dalam memperoleh data yang
berhubungan dengan penelitian ini,
penulis menggunakan pengumpulan data
dengan cara :
a. Studi Kepustakaan: Pada umumnya
studi kepustakaan diperoleh dari
berbagai sumber seperti buku, jurnal,
dokumen dan lain-lain yang relevan
dengan penelitian yang akan
dilakukan.
b. Studi Lapangan: Pada umumnya
studi lapangan terdiri dari :
1) Interview ( wawancara )
Wawancara adalah suatu teknik
pengumpulan data dengan
melaksanakan tanya jawab
langsung dengan manager
Dukungan Umum untuk
mendapatkan data yang
diperlukan tentang prosedur
pemungutan PPN atas jasa
pengiriman paket..
2) Observasi ( pengamatan )
Pengamatan adalah suatu cara
pengumpulan data dengan
mengadakan pengamatan langsung
terhadap suatu objek pada instansi
terkait .
3.2 Sumber Data
Sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu :
a. Data Primer, yaitu data berupa hasil
observasi di lapangan dalam bentuk
dokumentasi.
b. Data Sekunder, yaitu hasil wawancara
pada informan mengenai prosedur
pemungutan PPN atas jasa
pengiriman paket pada PT Pos
Indonesia (Persero) Makassar 90000.
3.3 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam
penelitian ini adalah deskriptif, yakni
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
208
data yang terkumpul dianalisis dalam
bentuk uraian.
Langkah-langkah analisis yang
diambil dalam penelitian ini sebagai
berikut.
a. Mengambil data tarif paket atas jasa
pengiriman paket pos dalam
perusahaan untuk mengetahui nilai
barang pada PT Pos Indonesia
(Persero) Makassar 90000.
b. Mencari teori-teori dan peraturan
yang mendukung analisa.
c. Membuat kesimpulan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Prosedur Pemungutan PPN
Berdasarkan hasil wawancara
dengan manager Dukungan Umum
mengenai prosedur pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa
pengiriman paket, Bapak Frans
Lodhewyk Huwae pada hari jumat
tanggal 14 Juni 2019 menyatakan bahwa
“Prosedur pemungutan PPN atas jasa
pengiriman paket pada kantor Pos
Indonesia dikenakan tarif 1% dari
jumlah bea pengiriman sesuai dengan
Surat Edaran Pos Indonesia No. SE
134/DIRUT/1201 Tentang Pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas
pelayanan jasa pos”
4.2 Pembahasan
a. Sumber PPN atas kiriman paket
pada PT Pos Indonesia (Persero)
Makassar 90000 terdapat 2 (dua)
pelayanan, yaitu :
1) Pelayanan Loket Ritel
Adalah layanan untuk umum
(public) yang diberikan melalui
pelayanan loket yang ada dalam
PT Pos Indonesia (Persero)
Makassar 90000.
2) Layanan Loket Korporat
Adalah layanan untuk
pelanggan bisnis (mitra bisnis)
dengan syarat dan penanganan
khusus yang di ikat dalam suatu
Perjanjian Kerja Sama yang
berkaitan dengan distribusi
kiriman serta penyajian
reporting kepada pemakai jasa.
b. Prosedur Pemungutan PPN atas
Jasa Pengiriman Paket pada PT Pos
Indonesia (Persero) Makassar
90000.
1) Di bagian pelayanan loket,
pelanggan akan diberikan bukti
terima kiriman serta pemotongan
PPN apabila barang yang dikirim
berupa paket. Barang yang di
kategorikan paket ialah barang
yang beratnya diatas 2 kg. Apabila
jenis kiriman dibawah 2 kg, maka
barang tersebut masih di
kategorikan dalam jenis surat,
maka jenis kiriman tersebut tidak
dikenakan PPN.
2) Tarif PPN atas jasa pengiriman
paket pada PT Pos Indonesia
(Persero) Makassar 90000 di
kenakan tarif efektif sebesar 1%
dari jumlah bea pengiriman.
3) Setiap transaksi yang dilakukan
pada bagian pelayanan loket di
cetak dalam backsheet. Backsheet
inilah yang disetor ke bagian
akuntansi untuk dibukukan
sebagai bukti pertanggung
jawaban atas penerimaan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).
4) Setelah pembukuan di bagian
akuntansi, kemudian backsheet dan
pembayaran PPN atas jasa
pengiriman paket diserahkan pada
bagian keuangan untuk disetor ke
kas negara sebagai sumber
pendapatan negara.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
209
5) Perhitungan pemungutan PPN atas
jasa pengiriman paket. PT
Pertamina (PERSERO) mengirim
paket ke PT Anugrah Dian Sejati
dengan berat paket 11.000 kg. Bea
pengiriman (ongkos kirim)
sebesar Rp. 217.822,-. Maka PPN
yang dibayar oleh PT Pertamina
adalah:
PPN = 1% x 217.822
= 2.17
5. PENUTUP
5.1 Simpulan
Prosedur pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa
pengiriman paket pada PT Pos Indonesia
(Persero) Makassar 9000 telah berlaku
tarif 1% dari jumlah bea pengiriman.
Sumber pendapatan PPN atas kiriman
paket pada Kantor pos ada 2 (dua)
bagian pelayanan, yaitu : Pelayanan loket
ritel dan pelayanan loket korporat. Pada
bagian pelayanan dicetak backsheet
dalam setiap transaksi pengiriman
sebagai bukti pembayaran PPN
kemudian dibukukan oleh bagian
akuntansi sebagai bukti pertanggung
jawaban. Backsheet dan pembayaran
PPN tersebut kemudian diserahkan ke
bagian keuangan untuk disetor ke kas
negara.
5.2 Saran
Penulis menyampaikan beberapa
saran untuk PT Pos Indonesia (Persero)
Makassar 90000 sebagai bahan masukan
yaitu menambahkan karyawan yang
memiliki kompetensi di bidang
perpajakan yang diharapkan dapat
menciptakan pengembangan program
perpajakan serta dapat meningkatkan
kinerja monitoring dan evaluasi di
bidang perpajakan pada PT Pos
Indonesia (Persero) Makassar 90000.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, M., dan Hidayat, A. (2016). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Lentera Ilmu Cendekia.
charelfriendly. (2011, Juni). Retrieved from pajakppn.blogspot.com: http://pajakppn.blogspot.com/2011/06/jasa-kena-pajak-jkp.html?m=1
DIREKTORAT PENYULUHAN, P. D. (2013). UNDANG-UNDANG KUP DAN PERATURAN PELAKSANAANNYA. JAKARTA: DIREKTORAT JENDERAL PAJAK.
Haeruddin. (2017). Implementasi Tax Amnesty Terhadap Penerimaan Pajak Negara di KPP Madya Makassar. Jurnal Ilmiah AKMEN, Vol 14(2), 289.
Kuncoro. (2009). Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Erlangga.
Leo Agung Danang Dwi Pangestu, S. (2017). Perpajakan Brevet A & B. Jakarta: PT Buku Seru.
Mardiasmo. (2011). Perpajakan Edisi Revisi. Yogjakarta: Andi Offset.
Mariana, L. (2018). Peran E-SPT Terhadap Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak OP Dalam Melaporkan Pajak Penghasilan (PPH) Pada KPP Pratama Makassar Barat. Jurnal Ekonomi Balance, Vol 14(No 2), 135.
Lina, Mariana., dan Haeruddin. (2018). Laboratorium PPn & PPnBM. Makassar: LPP-Mitra Edukasi.
Maulida, R. (2018, Desember 19). online-pajak.com. Retrieved from https://www.online.com/telat-lapor-spt
Nuraida, I. (2008). arripple.blogspot.com. Retrieved 4 20, 2019, from https://arripple.blogspot.com/201
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
210
7/02/pengertian-prosedur-menurut-para-ahli.html?m=1
Onlinepajak.blogspot.com. (2019, Juli). Retrieved from http://www.online-pajak.com/pelaporan-pajak
Prastowo, Y. (2009). Panduan Lengkap Pajak. Jakarta: Raih Asa Sukses.
Purwana, D., dan Hidayat, N. (2017). Perpajakan Teori dan Praktik. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Waluyo. (2011). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
211
ENGARUH KUALITAS AUDIT TERHADAP TAX AVOIDANCE
PADA PERUSAHAAN SEKTOR PERBANKAN YANG
TERDAFTAR DI BEI PERIODE 2016-2018
Mira Universitas Muhammadiyah Makassar
email: [email protected]
A.Wirta Purnamasari
Universitas Muhammadiyah Makassar [email protected]
Abstract
This study aims to determine how the effect of audit quality on Tax Avoidance in banking sector companies listed on the Indonesia Stock Exchange (BEI) by using control variables (Company Size and Leverage). This type of research used in this research is descriptive quantitative. The data analysis technique used in this research is descriptive statistical analysis, classical assumption test and multiple regression analysis. The sampling technique in this study used purposive sampling and obtained 27 banking companies with an observation period of 3 (three) years in order to obtain 81 sample units in this study. Based on the results of data analysis, it can be concluded that Audit Quality has a significant negative effect on Tax Avoidance. This means that the higher the audit quality, the lower the tax avoidance.
Keywords: Audit Quality, Company Size, Leverage, Tax Avoidance
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh kualitas audit terhadap Tax Avoidance pada perusahaan sektor perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan menggunakan variabel kontrol (Ukuran Perusahaan dan Leverage). Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik deskriptif, uji asumsi klasik dan analisis regresi berganda. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling dan diperoleh 27 perusahaan perbankan dengan periode pengamatan selama 3 (tiga) tahun sehingga didapat 81 unit sampel dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Kualitas Audit berpengaruh signifikan negatif terhadap Tax Avoidance (Penghidaran Pajak). Hal ini berarti bahwa semakin baik kualitas audit, maka hal untuk melakukan penghindaran pajak akan rendah.
Kata Kunci: Audit, Ukuran Perusahaan, Leverage, Tax Avoidance (Penghindaran Pajak)
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
212
1. PENDAHULUAN
Berdasarkan informasi data yang telah disampaikan oleh Direktur Jendral pajak terdapat 4000 perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing) pada tahun 2012 yang nilai pajaknya mencapai angka nol, diketahui ada perusahaan yang menanggung kerugian selama 7 tahun berturut-turut (Pranata & Puspa, 2014). Kasus penghidaran pajak menjadi marak diperbincangkan beberapa tahun belakangan ini dan terdapat beberapa perusahaan yang telah tersingkap ke media . Hundal (2011) dalam Annuar, Salihu, Normala, dan Obid (2014) berpendapat bahwa Penghindaran Pajak pada perusahaan menjadi berita yang menggemparkan, dimana penghasilan atas pajak ke pemerintah telah mengalami penurunan yang drastis. Hal ini membuat beberapa negara menjadi gempar dikarenakan banyaknya isu mengenai perusahaan besar yang melakukan penghindaran pajak bahkan juga melakukan pelanggaran pajak. Menurut wajib pajak, pajak menjadi sebuah beban yang mengurangi pendapatan. Karena hal itu, wajib pajak berusaha mencari solusi agar dapat menghindari pajak secara legal atau tanpa melanggar peraturan perpajakan dan ketentuan yang berlaku. Hal ini dikemukakan Maharani dan Suardana (2014) yang berargumentasi bahwa penghindaran pajak merupakan persoalan yang rumit, karena diperbolehkan tetapi tidak diharapkan terjadi. Manusia yang merupakan wajib pajak itu sendiri sebenarnya bersifat Oportunistik, yaitu sifat yang cenderung untuk memanfaatkan peluang dengan tujuan memperoleh keuntungan dari suatu keadaan tertentu namun membuat pihak lain mengalami kerugian (Pranata & Puspa, 2014). Terdapat perusahaan-perusahaan yang dibantu oleh pihak perbankan dalam melakukan penghindaran pajak. Contohnya kasus HSBC yang membantu
klien dunia untuk menghindari utang pajaknya sebesar ratusan juta poundsterling, demikian ungkapan BBC pada Februari tahun 2015 ini yang dimuat dalam web BBC yaitu http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/02/15209_hsbc_pajak. Diduga untuk mengurangi pembayaran pajak di negara asal khususnya Eropa, HSBC Swiss telah menawarkan skema pembayaran yang agresif kepada nasabah yang kaya dengan tujuan untuk menghindari pajak. Perusahaan multinasional pindah ke Irlandia karena pembayaran pajak perusahaan di negara tersebut rendah sehingga perusahaan lebih memilih beralih ke negara yang tarif pajaknya rendah. HSBC mengakui sejumah orang memiliki rekening yang tidak diumumkan dengan menggunakan kerahasiaan bank. Akan tetapi, situasinya menjadi lebih sulit apalagi jika terjadi di Indonesia yang kesenjangan ekonominya tak sekecil negara lain. Rekening luar negeri tidak melanggar hukum di negara Inggris, tetapi banyak nasabah yang menggunakannya untuk menyembunyikan uangnya dari petugas pajak. Penghindaran pajak memang tidak melanggar hukum dan peraturan perpajakan, tetapi jika secara sengaja menyembunyikan dana karena untuk menghindari pajak merupakan suatu pelanggaran seperti yang dikutip dari web http://dispenda.jabarprov.go.id/2015/06/09/prihatin-menghindari-pajak-di-tanah-air-2/) Tak hanya tren diluar negeri, ternyata kasus penghindaran pajak ini sudah sampai ke Indonesia. Artikel yang diakses pada tahun 2014 yang lalu dari web https://www.liputan6.com/bisnis/read/2041919/kerugian-pajak-dari-sektor-perbankan-capai-rp-12-triliun ini mengungkapkan bahwa kasus yang terungkap terjadinya penghindaran pajak pada Bank Central Asia. Hadi Poernomo akhirnya dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
213
(KPK). Dia diduga menyalahgunakan wewenangnya selaku Dirjen Pajak saat pengurusan Wajib Pajak PT Bank Central Asia Tbk Tahun 1999 di Ditjen Pajak pada 2003-2004. Kasus BCA, sebenarnya diawali oleh keberatannya BCA terhadap koreksi pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Di mana BCA menganggap bahwa hasil koreksi DJP terhadap laba fiska Rp6,78 triliun harus dikurangi sebesar Rp5,77 triliun karena BCA sudah melakukan transaksi pengalihan aset ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). "Sehingga BCA mengklaim tidak ada pelanggaran terhadap mereka, tambahnya,". Oleh karena itu, tegas Maftuchan, KPK harus menyelidiki klaim BCA atas pengalihan aset tersebut sebab sampai saat ini skema BLBI-BPPN masih menyisakan permasalahan. Pasalnya, jika melihat laporan keuangan BCA, terdapat kejanggalan yang indikasinya mengarah ke modus penggelapan pajak (tax evasion) dan atau penghindaran pajak (tax avoidance). Penghindaran pajak saat ini menjadi perhatian utama hampir seluruh negara. Praktik penghindaran pajak lebih banyak dilakukan oleh antar perusahaan yang memiliki hubungan istimewa dalam hal transaksi bisnis lintas negara. Praktik penghindaran pajak dirancang sedemikian rupa agar tidak melanggar ketentuan dan peraturan perpajakan secara resmi, tetapi hal ini dapat melanggar substansi ekonomi dari suatu kegiatan bisnis. Praktik penghindaran pajak dilakukan dalam suatu perencanaan pajak yang dapat dilakukan dalam beberapa bentuk (Darussalam, 2010) a. Substantive Tax Planning yang terdiri
dari: 1) Memindahkan subyek pajak ke
negara yang dikategorikan sebagai negara yang memberikan perlakuan khusus atas suatu jenis penghasilan.
2) Memindahkan obyek pajak ke negara yang dikategorikan sebagai negara yang memberikan
perlakuan pajak khusus atas suatu jenis penghasilan,
3) Memindahkan subyek pajak dan obyek pajak ke negara yang dikategorikan memberikan perlakuan khusus atas suatu jenis penghasilan.
b. Formal Tax Planning, melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan substansi sekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk formal jenis transaksi yang memberikan beban pajak lebih rendah. Industri perbankan Indonesia tidak
terlepas dari berita mengenai Tax Avoidance. Perlu dilakukan kajian pelaksanaan kewajiban perpajakan perusahaan perbankan agar menjadi informasi awal mengenai potensi praktik penghindaran pajak. Studi kasus dalam penelitian ini juga sangat terbatas pada beberapa bank swasta nasional yang dimiliki oleh pemegang saham asing serta bank multinasional di Indonesia, Adapun ruang lingkup penelitian ini, yaitu: 1. Deskripsi kegiatan unit bisnis
perbankan 2. Deskripsi ketentuan perpajakan yang
memungkinkan dijadikan celah penghindaran pajak
3. Analisis kebijakan perpajakan saat ini terikat kegiatan bisnis perbankan
4. Studi kegiatan perbankan di Indonesia terkait kewajiban perpajakannya; untuk menggambarkan pelaksanaan kewajiban perpajakan dalam konteks substansi ekonomi akan dilakukan analisis melalui kepemilikan saham, laporan keuangan, dan laporan tahunan dari masing-masing perbankan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
a. Theory of Planned Behavior Teori tersebut membantu
menjelaskan kecenderungan penghindaran pajak perusahaan yang
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
214
direncanakan. Berdasarkan model Theory of Planned Behavior oleh Ajzen (1991) dalam Hidayat (2010), dapat dijelaskan bahwa perilaku individu untuk tidak patuh terhadap ketentuan perpajakan dipengaruhi oleh niat (intention) untuk berperilaku tidak patuh.
Teori ini dilandasi pada postulat teori yang menyatakan bahwa perilaku merupakan fungsi dari informasi atau keyakinan serta kepercayaan yang menonjol mengenai perilaku tersebut. Orang dapat saja memiliki berbagai macam keyakinan terhadap suatu perilaku, namun ketika dihadapkan pada suatu kejadian tertentu, hanya sedikit dari keyakinan tersebut yang timbul untuk mempengaruhi perilaku. Sedikit keyakinan inilah yang menonjol dalam mempengaruhi perilaku individu (Ajzen 1991, dalam Hidayat 2010).
Theory of Planned of Behavior relevan untuk menjelaskan perilaku wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebelum individu melakukan sesuatu, individu tersebut akan memiliki keyakinan mengenai hasil yang akan diperoleh dari perilakunya tersebut. Kemudian yang bersangkutan akan memutuskan bahwa akan melakukannya atau tidak melakukannya. Hal tersebut berkaitan dengan kesadaran wajib pajak. Wajib pajak yang sadar pajak, akan memiliki keyakinan mengenai pentingnya membayar pajak untuk membantu menyelenggarakan pembangunan negara (behavioral beliefs) (Mustikasari, 2007). b. Theory Agency
Menurut Jensen dan Meckling dalam Rusydi dan Martani (2014) manajer sebagai agen tidak selalu bertndak sesuai kepentingan pemegang saham sebagai principal. Agar manajer bertindak sesuai kepentingan pemegang saham, manajer diberi intensif yang cukup dan dengan mengeluarkan biaya monitoring untuk membatasi
penyimpangan yang dilakukan oleh manajer dalam teori keagenan. Munculnya biaya-biaya keagenan ini semata-mata untuk mengatasi masalah keagenan karena diduga bahwa manajer bertindak self interest.
Tujuan utama diadakannya teori agensi ini untuk menjelaskan bagaimana aspek-aspek yang melakukan hubungan kontrak dapat membuat kontrak yang tujuannya untuk menyusutkan cost sebagai dampak adanya informasi yang simetris dan kondisi yang mengalami ketidakpastian. Teori agensi juga berusaha unntuk menjawab masalah-masalah tentang keagenan yang disebabkan oleh aspek yang mempunyai tujuan yang berbeda ketika menjalin kerja sama dalam suatu perusahaan yaitu dalam menjalankan tanggung jawabnya unntuk mengelola suatu perusahaan tersebut. (Hanum dan Zulaikha, 2013). c. Kualitas Audit
Kualitas audit adalah segala kemungkinan yang dapat terjadi saat auditor mengaudit laporan keuangan klien dan menemukan pelanggaran atau kesalahan yang terjadi dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan (Dewi dan Jati ,2014). Dalam melakukan pengauditan hal yang terpenting dalam pelaksanaannya adalah transparansi yang merupakan salah satu unsur dari good corporate governance. Transparansi terhadap pemegang saham dapat dicapai dengan melaporkan hal-hal terkait perpajakan pada pasar modal dan pertemuan para pemegang saham. Peningkatan transparansi terhadap pemegang saham dalam hal pajak semakin dituntut oleh otoritas publik (Sartori , 2010). Menurut Deis dalam Suartana (2007), hal-hal yang berhubungan dengan kuaitas audit antara lain: 1) Lamanya auditor/umur audit,
semakin lama maka semakin rendah kualitas auditnya.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
215
2) Jumlah klien, semakin banyak jumlah klien maka semakin baik kualitas auditya.
3) Kesehatan keuangan klien, makin sehat maka ada kecenderungan klien menekan auditor untuk mengikuti standar yang berlaku.
4) Review dari pihak ketiga, kualitas audit semakin tinggi apabila direview oleh pihak ketiga.
d. Penghindaran Pajak Menurut Suandy (2011) bagi
pemerintah pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik biaya rutin maupun biaya pembangunan. Sebaliknya bagi perusahaa, pajak merupakan beban yang akan mengurangi keuntungan atau laba bersih
Ronen Palan (2008) menyebutkan suatu transaksi diindikasikan sebagai Tax Avoidance apabila melakukan salah satu tindakan berikut: 1) Wajib Pajak (WP) berusaha untuk
membayar pajak lebih sedikit dari yang seharusnya terutang dengan memanfaatkan kewajaran interpretasi hukum pajak. 1
2) Wajib Pajak (WP) berusaha agar pajak dikenakan atas keuntungan yang di declare dan bukan atas keuntungan yang sebenarnya diperoleh.
3) Wajib Pajak (WP) mengusahakan penundaan pembayaran pajak.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) bahwa: “Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada Negara yang terhutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Menurut Hary Graham Balter (dalam Mohammad Zain, 2005:49) menyatakan bahwa: “Penghindaran Pajak merupakan usaha yang dilakukan oleh wajib pajak – apakah berhasil atau tidak – untuk mengurangi atau sama sekali menghapus utang pajak, yang tidak melamggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Pengukuran penghindaran pajak sulit dilakukan dan data untuk pembayaran pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak sulit didapatkan. Untuk itu, diperlukan pendekatan untuk menaksir berapa pajak yang sebenarnya dibayar perusahaan kepada pemerintah. Oleh karena itu, penelitian sebelumnya menggunakan pendekatan tidak langsung untuk mengukur variabel dependen (Penghindaran Pajak) yaitu dengan cara menghitung perbandingan laba akuntansi dengan laba kena pajak (GAP between financial and taxable income), perbedaan yang dilaporkan ke pemegang saham (investor) menggunakan GAAP/SAK, sedangkan ke kantor pelayanan pajak dengan peraturan perpajakan. Perbedaan ini terkenal dengan sebutan Book Tax Gap (Desai dan Dhampala, 2007). Rusydi dan Martani (2014) menyatakan bahwa ETR merupakan salah satu pengukur penghindaran pajak (Tax Avoidance), maka penelitian ini menggunakan pengukuran tersebut untuk menghitung nilai penghindaran pajaknya. e. Hipotesis 1) Kualitas Audit dan Tax
Avoidance Kualitas audit adalah segala
kemungkinan yang dapat terjadi saat auditor mengaudit laporan keuangan klien dan menemukan pelanggaran atau kesalahan yang terjadi dan melaporkannya dalam laporan keuangan auditan (Dewi dan Jati ,2014).
Dalam penelitian ini sekaligus menjadi acuan dalam pembuatan
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
216
skripsi ini, penelitian ini membuat hipotesa bahwa kualitas audit yang di proksikan dengan besarnya KAP berhubungan negatif dengan penghindaran pajak karena semakin tinggi kualitas audit, maka semakin rendah perusahaan akan melakukan penghindaran pajak. Pada penelitian sebelumnya perusahaan menghitung
nilai Tax Avoidance dengan menggunakan metode Book Tax Gap, tetapi peneliti disini menggunakan metode Efective Tax Rate. Oleh karena itu, peneliti mengajukan hipotesis dalam penelitiannya, yaitu: H1: Kualitas Audit berpengaruh signifikan negatif terhadap Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) 2) Variabel-variabel Kontrol
Penelitian Berdasarkan pada penelitian
yang dilakukan sebelumnya, dalam penelitian ini juga memasukkan beberapa variabel kontrol. Variabel kontrol adalah variabel bebas yang dalam pelaksanaan penelitian tidak dimasukkan sebagai variabel bebas tetapi keberadaannya dikendalikan (dikontrol) dengan tujuan untuk
meminimalisir pengaruh dari faktor-faktor diluar variabel yang diuji. (Maesarah et al., 2015)
CompSize merupakan variabel kontrol untuk melihat besarnya perusahaan akan sejalan dengan semakin agresifnya Tax Avoidance disbanding perusahaan kecil karena mempengaruhi ekonomi secara global. (Richardson & Lanis, 2012)
Leverage yang menjadi variabel kontrol pada penelitian ini diukur dengan Debt to Equity Ratio (DER) yang bertujuan untuk melihat gambaran kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjangnya atau kewajiban-kewajiban apabila perusahaan tersebut dilikuidasi.
3. METODE PENELITIAN
Objek penelitian ini merupakan perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode tahun 2016 sampai dengan 2018. Tabel 1 mennjukkan jumlah observasu yang digunakan dalam penelitan ini berdasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan (Purposive Sampling) adalah sebanyak 81 observasi.
Tabel 1. Kriteria Pemilihan sampel Kriteria Jumlah
Perusahaan sektor perbankan yang terdaftar di BEI 38
Laporan Keuangan Perusahaan Perbankan yang terdaftar di BEI Periode 2016-2018
38
Perusahaan dengan nilai laba yang positif atau tidak mengalami kerugian selama periode 2016-2018
27
Memiliki tax income yang positif periode 2016-2018 27 Jumlah perusahaan yang menjadi sampel penelitian 27 Total Observasi (3 tahun) 81
Sumber: Data Diolah, 2019a. Definisi Operasional
Dalam penelitian ini, Kualitas Audit diukur berdasarkan KAP BigFour, Ukuran Perusahaan diukur menggunakan log natural dari total asset, Leverage diukur dengan menggunakan Debt to Equity Ratio, dan Tax Avoidance diukur
menggunakan Effective Tax Rate (ETR). Suatu perusahaan yang dihitung melalui Log Natural dari Total Aset.
b. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Statistik
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
217
deskriptif, Uji Asumsi Klasik yang melitputi Uji Normalitas Kolmogorov Smirnov, Uji Multikolonieritas, Uji Heteroskedastisitas Scatter Plot, dan Uji Autokorelasi (Durbin Witson). Uji Hipotesis yang meliputi Analisis Regresi Berganda, Uji t, Uji F, dan Uji Determinasi (R Square)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Statistik Deskriprif
Menurut Ghozali (2016) mengemukakan bahwa, Statistik
Deskriptif adalah statistik yang memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata, standar deviasi, maksium, minimum, sum, range, kurtosis dan skewness (kemencengan distribusi). Statistik deskriptif mendeskripsikan data menjadi sebuah informasi yang lebih jelas dan mudah dipahami
.
Tabel 2. Hasil Uji Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
KAP 81 ,00 1,00 ,6667 ,47434
CompSize 81 11,82 30,12 19,3663 4,17114
Leverage 81 -1,00 11,85 4,9727 3,33404
ETR 81 ,02 2,19 ,2695 ,22707
Valid N (listwise) 81
Sumber: Data Diolah SPSS, 2020
Dari tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa nilai N sebanyak 81 yang artinya dalam penelitian ini terdapat 81 sampel. KAP yang merupakan penjelasan dari kualitas audit diketahui dengan nilai rata-rata 0,67, Ukuran Perusahaan dengan rata-rata 19,36, Leverage dengan rata-rata 4,97, dan rata-rata Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) sebesar 0,2695.
b. Hasil Uji Asumsi Klasik 1) Uji Normalitas
Menurut Ghozali (2016), uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi, variabel pengganggu atau residual mempunyai distribusi normal atau tidak. Seperti diketahui bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Jika asumsi ini dilanggar, maka uji
statistik ini tidak valid untuk jumlah sampel kecil.
Untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal dengan analsis normal probability plot dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut: a) Data dikatakan berdistribusi
normal apabila data yang berupa titik menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal.
b) Data dikatakan tidak berdistribusi normal apabila data menyebar jauh dari arah garis atau tidak mengikuti garis diagonal (Ghozali, 2016).
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
218
Gambar 1. Historgram
Pada grafik histogram diatas dapat disimpulkan bahwa polanya berdistribusi normal karena grafik yang seimbang. Namun untuk lebih meyakinkan kesimpulan, dapat dilihat juga pada grafik normal probability plot dibawah ini.
Gambar 2. Normal Plot
Berdasarkan gambar 2 disamping dapat dilihat bahwa data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal pada grafik normal plot, hal ini dapat menunjukkan bahwa pola berdistribusi normal. Jadi, dapat disimpulkan bahwa model regresi ini dapat memenuhi asumsi normalitas. Selain itu, peneliti juga menggunakan uji statistik Kolmogorov-smirnov untuk menguji normalitas data. Uji statistik ini memiliki hipotesis awal, yaitu: Ho: data residual berdistribusi normal Ha: data residual tidak berdistribusi normal.
Tabel 3. Normalitas Kolmogorov-Smirnov
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual
N 53
Normal Parametersa,b Mean ,0000000
Std. Deviation ,03402274
Most Extreme Differences
Absolute ,086
Positive ,086
Negative -,058
Kolmogorov-Smirnov Z ,623
Asymp. Sig. (2-tailed) ,832
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data. Sumber: Output SPSS
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
219
Dari tabel 4.4 diatas, dapat diketahui bahwa besarnya nilai Kolmogorov-smirnov adalah 0,623 dan dinyatakan dengan nilai signifikan pada 0,832. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa Ho diterima yang berarti data residual berdistribusi normal.
2) Hasil Uji Multikolonieritas Uji multikolonieritas bertujuan
untuk menguji apakah pada model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen (Ghozali, 2016). Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolonieritas pada model regresi ini salah satunya dengan melihat nilai Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF). Nilai cutoff yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolonieritas pada regresi ini adalah nilai tolerance ≤ 0,10 atau sama dengan VIF ≥ 10.
Tabel 4. Hasil Uji Multikolonieritas
Coefficientsa
Model Unstandardized
Coefficients
Collinearity Statistics
B Std. Error Tolerance VIF
1
(Constant) ,491 ,139
KAP ,000 ,055 ,925 1,081
CompSize -,008 ,006 ,929 1,076
Leverage -,013 ,008 ,964 1,038
a. Dependent Variable: ETR
Sumber: Output SPSS
Hasil dari Uji Multikolonieritas Variabel menunjukkan bahwa hasil perhitungan nilai Tolerance pada variabel independen (KAP), dan variabel kontrol (CompSize dan Leverage) lebih besar dari 0.10 maka dapat diasumsikan bahwa tidak terjadi multikolonieritas pada model regresi ini. Hasil dari nilai Variance Inflation Factor (VIF) menunjukkan bahwa nilai VIF dari KAP, CompSize, dan Leverage lebih kecil dari 10, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolonieritas dalam model regresi ini.
3) Hasil Uji Heteroskedastisitas Pengujian heteroskedastisitas
digunakan untuk melihat apakah dalam model regresi yang akan digunakan terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang
lain. Untuk melihat ada atau tidaknya heteroskedastisitas dilakukan dengan melihat pola tertentu pada pola Scatterplot. Dasar pengambilan keputusan adalah jika grafik terlihat menyebar secara acak, tidak membentuk suatu pola dan tersebar dibawah dan diatas angka 0 pada sumbu Y maka tidak terjadi gejala heteroskedastisitas dan model regresi layak. Berikut ini merupakan gambar hasil uji heteroskedastisitas pada variabel penelitian ini.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
220
Gambar 3. ScatterPlot
Dan hasil uji heteroskedastisitas dapat terlihat grafik Scatterplot pada gambar 3, titik menyebar secara acak dan tidak membentuk suatu pola
yang jelas serta tersebar diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada penelitian ini dan layak untuk dipakai.
4) Hasil Uji Autokorelasi Pengujian ini menggunakan Uji
Durbin-Watson. Pengujian ini hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation) dan mensyaratkan adanya konstanta (intercept) dalam model regresi dan tidak ada variabel lagi diantara variable independen (Ghozali, 2016)
Tabel 5. Keputusan Hipotesis Autokorelasi
Hipotesis nol Keputusan Jika
Tidak ada autokorelasi positif Tolak 0 < d < dl
Tidak ada autokorelasi positif No decision dl ≤ d ≤ du
Tidak ada autokorelasi negative Tolak 4 – dl < d < 4
Tidak ada autokorelasi negative No decision 4 – du ≤ d ≤ 4 – dl Tidak ada autokorelasi, positif
maupun negative Tidak ditolak du < d < 4 – du Sumber: Ghozali, 2013
Tabel 6. Hasil Uji Autokorelasi
Model Std. Error of
the Estimate
Durbin-Watson
1 ,02305 2,242 Sumber: Output SPSS
Hasil nilai DW sebesar 2,242 nilai ini akan dibandingkan dengan nilai tabel dengan menggunakan nilai signifikansi 5%, jumlah sampel 81 (n) dan jumlah variabel independen 3 (K=3). Dengan melihat tabel Durbin-Watson, didapati angka (dl) sebesar 1,563 dan (du) sebesar 1,716. Dari hasil perbandingan uji autokorelasi yang dapat diihat dari tabel 4.7, nilai DW sebesar 2,242 lebih besar dari batas (du) yaitu 1,716, dan kurang
dari atau lebih kecil dari 2,437 (4-1,563) atau lebih jelasnya dapat dilihat dari persamaan berikut: du < d < 4-dl = 1,716 < 2,242 < 2,437 maka dapat disimpulkan bahwa H0 diterima yang berarti tidak terdapat autokorelasi positif maupun negatif.
c. Uji Hipotesis 1) Analisis Regresi Berganda
Analisis regresi berganda digunakan untuk meneliti hubungan antara sebuah variabel dependen dengan beberapa variabel independen. Adapun model persamaan regresi linear berganda yang dihasilkan dari Output SPSS pada penelitian ini adalah:
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
221
Tabel 7. Hasil Uji Analsis Regresi Berganda dan Uji t
Model Unstandardized Coefficients Standardized
Coefficients
T Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) ,425 ,028 15,188 ,000
KAP -,024 ,007 -,359 -3,248 ,002
CompSize -,005 ,001 -,630 -4,990 ,000
Leverage -,008 ,001 -,717 -5,924 ,000
Sumber: Output SPSS
Berdasarkan analisis hasil regresi dari tabel 4.8 diatas, maka bentuk persamaan regresi linearnya adalah sebagai berikut:
Y(ETR) = 0,425–0,024 (KAP)–0,005 (Size)–0,008 (leverage)
Dari hasil persamaan regresi linear diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a) Konstanta dengan nilai sebesar
0,425 yang bernilai positif, menunjukkan bahwa variabel Tax Avoidance akan bernilai 42,5% jika masing-masing variabel independen bernilai 0.
b) Keofisien regresi variabel “Kuaitas Audit (KAP)” dengan nilai sebesar -0,024 yang bernilai negatif menunjukkan bahwa apabila variabel kualitas audit mengalami kenaikan 1% dengan asumsi variabel lain tetap, maka variabel Tax Avoidance mengalami penurunan sebesar 2,4%.
c) Koefisien regresi variabel “Ukuran Perusahaan (CompSize) dengan nilai sebesar -0,005 yang bernilai negatif menunjukkan bahwa apabila variabel ukuran perusahaan mengalami kenaikan 1%, maka Tax Avoidance akan mengalami penurunan sebesar 0,5%.
d) Koefisien regresi variabel “Leverage” dengan nilai sebesar -0,008 yang berniai negatif
menunjukkan bahwa apabila variabel Leverage mengalami kenaikan 1%, maka Tax Avoidance akan mengaami penurunan sebesar 0,8%.
2) Hasil Uji Hipotesis (Uji t/Parsial) Menurut Ghozali (2016)
menyatakan bahwa penerimaan atau penolakan hipotesis dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:
a) Jika nilai signifikan < 0,05 dan thitung > ttabel, maka H1 diterima
b) Jika nilai signifikan > 0,05 dan thitung < ttabel, maka H1 ditolak.
Hasil uji t dapat dilihat juga pada tabel 7 diatas
Berdasarkan tabel 7 diatas dapat diketahui bahwa variabel Kualitas Audit (KAP) memiliki nilai signifikan sebesar 0,002, dimana nilai tersebut lebih kecil dari 0,05 maka dapat disimpulkan kualitas audit berpengaruh terhadap penghindaran pajak (Tax Avoidance).Hasil pengujian untuk variabel ukuran perusahaan (Size) memiliki nilai signifikan sebesar 0,000, dengan nilai yang sama juga terdapat pada nilai signifikansi dari variabel Leverage. Tingkat signifikansi dari kedua variabel tersebut lebih kecil dari 0,05 yang berarti bahwa Ukuran perusahaan dan Leverage berpengaruh secara signifikan terhadap Tax Avoidance.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
222
Dapat juga dibuktikan dengan melakukan uji t menggunakan nilai thitung. Berdasarkan data tabel diatas diperoleh thitung variabel KAP sebesar -3,248 pada tingkat signifikan 0,002, thitung Size sebesar -4,990 pada tingkat signifikan 0,000, dan Leverage sebesar -5,924 pada tingkat signifikan 0,000. Maka telah diperoleh nilai ttabel = t (0,025;77) = 1,991.
Dari hasil perhitungan diatas maka diketahui bahwa:
a) KAP(X1) = -3,248 > -1,991 Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara Kualitas Audit terhadap Tax Avoidance.
b) Size(X2) = -4,990 > -1,991 Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara Ukuran Perusahaan terhadap Tax Avoidance.
c) Leverage(X3) = = -5,924 > -1,991 Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara Leverage terhadap Tax Avoidance.
Dapat dilihat bahwa nilai thitung
mempunyai nilai negatif (-) sehingga ttabel juga turut menyesuaikan menjadi negatif (-) atau dengan kata lain pengujian hipotesis dilakukan pada sisi kiri. Hasil positif atau negative hanya menunjukkan arah pengujian hipotesis dan linieritas bukan menunjukkan jumlah (Sarwono, 2007). 3) Hasil Uji Kelayakan Model (Uji
F/Simutan Menurut Ghozali (2016) Uji
statistik F dapat dilakukan dengan membandingkan nilai Fhitung dengan Ftabel dan melihat nilai signifikansi 0,05 dengan cara sebagai berikut: a) Jika Fhitung > Ftabel atau
probabilitas < nilai signifikan (Sig ≤ 0,05), maka H1 diterima.
b) Jika Fhitung < Ftabel atau probabilitas > nilai signifikan (Sig ≥ 0,05), maka H1 ditolak.
Berikut ini merupakan hasil uji signifikansi simultan (Uji statistik F):
Tabel 8. Hasil Uji Statistik F (Simultan)
df F Sig.
Regression 3 15,079 ,000b
Residual 77
Total 80
Sumber: Output SPSS
Berdasarkan tabel 8 diatas menunjukkan bahwa nilai dari Fhitung adalah 15,079 dan nilai dari probabiitas (signifikansi) adalah 0,000 sehingga dapat diketahui bahwa nilai probabilitas lebih kecil dari tingkat signifikansi (0,000 > 0,05) yang berarti H1 diterima.
Dapat juga dibuktikan dengan melakukan Uji F menggunakan nilai Fhitung. Berdasarkan tabel diatas diperoleh nilai Fhitung sebesar 15,079, maka diperoleh nilai Ftabel = F(3;78)=2,72. Dapat diketahui bahwa Fhitung > Ftabel (15,079 > 2,72) yang berarti H1 diterima. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa variabel Kualitas Audit, Ukuran Perusahaan, dan Leverage secara simutan berpengaruh terhadap variabel dependen atau Tax Avoidance.
4) Hasil Uji Koefisien Determinasi (R Square atau R2)
Koefisien determinasi atau biasa disimbolkan dengan (R2) yang bermakna sebagai sumbangan pengaruh yang diberikan variabel bebas atau variabel independent (X) terhadap variabel terikat atau variabel dependent (Y), atau dengan kata lain, nilai koefisien determinasi atau R Square ini berguna untuk memprediksi dan melihat seberapa besar kontribusi pengaruh yang
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
223
diberikan variabel X secara simultan (bersama-sama) terhadap variabel Y. Berikut ini merupakan hasil uji koefisien determinasi:
Tabel 9. Hasil Uji Koefisien Determinasi (R Square)
Sumber: Output SPSS
Dari hasil pengujian yang terlihat pada tabel 9 diatas diperoleh nilai Adjusted R Square senilai 0,468 yang menunjukkan bahwa variabel ETR dapat dijelaskan oleh variabel KAP senilai 46,8% dan sisanya sebesar 53,2% dijelaskan oleh variabel lain diluar model penelitian.
d. Pembahasan 1) Pengaruh Kualitas Audit terhadap
Tax Avoidance Auditor eksternal bertugas untuk
menganalisa, dan melihat kecakapan dari suatu perusahaan dalam menjalankan usahanya melalui laporan keuangan. Dan auditor eksternal bila kemampuannya semakin diakui atau memiliki nama, secara tidak langsung akan memiliki kualitas audit yang baik. Auditor eksternal yang diakui telah memiliki nama di Indonesia sekarang adalah Big 4, yaitu PriceWaterhouseCooper (PWC), DeloitteToucheTohmatshu, KPMG, dan Ernst & Youg (E&Y).
Salah satu yang diperiksa oleh auditor adalah sektor perpajakannya dengan melihat apakah sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku atau tidak. Maka hubungan negatif keduanya berdasarkan keyakinan apabila sebuah
perusahaan yang diaudit oleh KAP yang besar (Big Four), akan memiliki kualitas informasi keuangan yang dapat dipercaya dan baik.
Hasil Uji Hipotesis yang di uji dengan menggunakan uji statistik t menunjukan bahwa kualitas audit yang diukur dari besarnya KAP memiiki nilai t sebesar -3,248 dan nilai signifikansinnya sebesar 0,002. Maka dapat diketahui bahwa hipotesis 1 (H1) diterima sehingga peneliti menyimpulkan bahwa kualitas audit berpengaruh negatif terhadap Tax Avoidance karena tingkat signifikansi yang dimiliki oleh variabel Kualitas Audit lebih kecil dari 0,05.
Hasil dari penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Triyudho Septiandi (2016), Annisa dan Kurniasih (2012), serta penelitian yang dilakukan oleh Maharani dan Suardana (2014) yang meneliti hubungan antara kualitas audit terhadap penghindaran pajak (Tax Avoidance). Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa tingginya tingkat kualitas audit yang di ukur berdasarkan auditor yang berasal dari KAP Big Four, maka terjadinya Penghindaran Pajak pada perusahaan tersebut akan semakin rendah. Berbeda dengan hasil penelitan dari Arry Eksandy (2017), Maria Melisa dan Vivi Adeyani Tandean (2015) yang mengungkapkan bahwa kaulitas audit berpengaruh positif terhadap penghindaran pajak (Tax Avoidance). Dari beberapa temuan yang dilakukan penelitian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Hipotesis dari penelitian ini (H1) dapat diterima karena hipotesis tersebut sesuai dengan hasil yang dicapai dari peneliti, yaitu Kualitas Audit berpengaruh signifikan negatif terhadap Penghindaran Pajak (Tax Avoidance).
2) Pengaruh Ukuran Perusahaan
(CompSize) Sebagai Variabel Kontrol terhadap Tax Avoidance
Ukuran perusahaan adalah suatu skala yang dapat mengelompokkan perusahaan menjadi perusahaan besar
R R
Squ
are
Adjusted
R Square
Std.
Error of
the
Estimat
e
,7
08
a
,501 ,468 ,02305
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
224
dan kecil dari berbagai cara seperti contoh, ukuran perusahaan bisa kita lihat melalui total asset perusahaan yang dimiliki, nilai pasar saham, rata-rata tingkat penjualan dan jumlah penjualan (Calvin, 2015).
Perusahaan besar sering berargumen untuk lebih cepat dalam menyampaikan laporan keuangan karena beberapa alasan. Pertama, perusahaan besar memiliki banyak sumber daya, lebih banyak staf akuntansi, dan sistem informasi yang canggih, dan memiliki sistem pengendalian intern yang kuat. Kedua, perusahaan yang besar mendapat pengawasan yang lebih dari investor dan regulator serta lebih menjadi sorotan publik. Secara rinci perusahaan besar sering kali diikuti oleh sejumlah besar analis yang selalu mengharapkan informasi yang tepat waktu untuk memperkuat maupun meninjau kembali harapan-harapan mereka. Perusahaan besar berada dibawah tekanan untuk mengumumkan laporan keuangannya tepat waktu untuk menghindari adanya spekulasi dalam perdagangan saham perusahaannya (Dewi, 2013).
Pada dasarnya perusahaan yang besar selalu memperoleh laba yang besar. Laba yang besar akan menarik perhatian pemerintah untuk dikenakan pajak yang sesuai (Asfiyati, 2012). Perusahaan yang besar akan semakin kompleks transaksinya sehingga akan semakin memanfaatkan celah untuk melakukan Tax Avoidance (Rego, 2003).
Hasil Uji Hipotesis (Uji t) antara Ukuran Perusahaan dengan Tax Avoidance memiliki nilai t sebesar -4,990 dan nilai signifikannya sebesar 0,000 yang menunjukkan bahwa Ukuran Perusahaan berpengaruh secara negatif terhadap Tax Avoidance karena tingkat signifikansinya lebih kecil dari 0,05.
3) Pengaruh Leverage sebagai Variabel Kontrol terhadap Tax Avoidance.
Leverage adalah salah satu rasio keuangan yang menggambarkan hubungan antara hutang perusahaan
terhadap modal maupun asset perusahaan. Rasio leverage menggambarkan sumber dana operasi yang digunakan oleh perusahaan. Rasio leverage juga menunjukkan risiko yang dihadapi perusahaan. Menurut irfan Fahmi (2012:62) rasio leverage adalah mengukur seberapa besar perusahaan dibiayai dengan hutang. Rasio ini dapat melihat sejauh mana perusahaan dibiayai oleh hutnag atau pihak luar dengan kemampuan perusahaan yang digambarkan oleh modal.
Keputusan pendanaan perusahaan menjadi gambaran penghindaran pajak terkait dengan tarif pajak yang efektif, hal tersebut dikarenakan ada peratura perpajakan terkait kebijakan struktur pendanaan perusahaan (Gupta dan Newberry, 1997). Keputusan pendanaan yang dimaksud adalah perusahaan lebih memilih menggunakan pendanaan internal atau eksternal. perusahaan yang lebih memilih menggunakan pendanaan eksternal seperti utang akan mengakibatkan munculnya beban bunga yang dapat menjadi pengurang laba kena pajak. Penelitian yang dilakukan oleh adelia (2012) menyatakan bahwa penambahan jumlah utang akan mengakibatkan menambahnya beban bunga yang harus dibayar oleh perusahaan. Komponen beban bunga akan mengurangi laba sebelum kena pajak perusahaan, sehingga beban pajak yang harus dibayar perusahaan akan menjadi berkurang. Penelitian yang dilakukan oleh Noor (2010) yang menjelaskan bahwa perusahaan dengan jumlah utang lebih banyak memiliki tarif pajak yang efektif baik, hal ini berarti bahwa dengan jumlah utang yang banyak, perusahaan untuk melakukan tax avoidance akan cenderung lebih rendah.
Hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji t untuk menunjukkan bahwa Leverage memiliki nilai t sebesar -5,924 dan nilai signifikansinya sebesar 0,000. Maka dapat disimpulkan bahwa Leverage sebagai variabel kontrol dalam
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
225
penelitian ini memiliki pengaruh negatif terhadap Tax Avoidance.
5. PENUTUP Berdasarkan data yang
dikumpulkan yang telah sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan, dan hasil pengujian yang dilakukan mampu memecahkan permasalahan dalam penelitian ini. Dalam melakukan pengujian ini, peneliti menggunakan uji analisis regresi linear berganda karena juga terdapat 2 (dua) variabel kontrol yaitu Ukuran Perusahaan (compsize) dan Leverage. Maka dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara Kualitas Audit terhadap Penghindaran Pajak, karena semakin baik kualitas audit dalam perusahaan maka perlakuan penghindaran pajak di perusahaan akan semakin rendah. Hal ini dikarenakan Kantor Akuntan Publik (KAP) yang berkualitas akan melakukan transparansi terhadap informasi laporan keuangan yang diaudit.
Ada beberapa masukan untuk penelitian seanjutnya dan diharapkan agar menyajikan hasil penelitian yang lebih baik lagi dari penelitan sebelumnya. Diantaranya: a. Disarankan untuk menambah jumlah
sampel penelitian dengan menggunakan rentang waktu yang lebih lama antara 5 sampai 10 tahun.
b. Disarankan juga utuk menggunakan variabel-variabel lain, contohnya tentang Accounting Fraud, karena penelitian dalam variabel ini masih baru jika dihubungkan dengan variabel penghindaran pajak.
c. Alangkah lebih menarik lagi jika ada perbandingan antara pengukuran Effective Tax Rate (ETR) dan Book Tax Gap (BTG) agar terdapat perbedaan dalam mendapatkan hasilnya. Disarankan juga dapat membandingkan kegiatan penghindaran pajak di Indonesia dengan negara-negara tetangga agar menjadi wawasan baru mengenai fenomena yang terjadi di luar negri.
DAFTAR PUSTAKA
Alimul, Hidayat A.A. 2010. Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif. Jakarta: Heath Books.
Annuar, H. A., Salihu, I. A., Normala, S., & obid, S. 2014. Corporate Ownership Governance and Tax Avoidance: An Interactive effect. Procedia Social and Behavioral Sciences, 164(2014), 150-160.
Darussalam. 2010. Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak melalui Komite Pengawasan Perpajakan. Diakses Pada tanggal 26 Juni 2019 dari http://www.ortax.org.
Dewi, Ni Nyoman Kristiana dan I Ketut Jati. 2014. Pengaruh Karakter Edukatif Karakteristik Perusahaan, dan Dimensi Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Tax Avoidance di Bursa Efek Indonesia. ISSN: 2302-8556. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 6.2 (2014): 249-260.
Ghozali, Iman. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IBM SPSS 19. Edisi kelima Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Hanum, H.R dan Zulaikha. 2013. Pengaruh Karakteristik Corporate Governance terhadap Efektivitas Tax Rate Studi Empiris pada BUMN 2009-2011. ISSN.2 Halaman 1-9.
Lanis, R. and G. Richardson. 2012. ”Corporate Social Responsibility and Tax Aggressiveness: a test of legitimacy theory”, Accounting Auditing and Accountability Journal, Vol 26 No 1.
Maesarah dkk. 2013. Pengaruh Karakteristik Perusahaan dan Corporate Social Responsibility terhadap Penghindaran Pajak. Makalah di sajikan dalam Konferensi Regional Akuntansi. Mataram.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
226
Maharani, I Gusti Ayu Cahya, dan Suardana, Ketut Alit. (2014). Pengaruh Corporate Governance, Profitabilitas, dan Karakteristik Eksekutif pada Tax Avoidance Perusahaan Manufaktur. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana , Vol.9, No.2, PP. 525-239.
Mustikasari. 2007. Kajian Empiris Tentang Kepatuhan Wajib Pajak Badan di Perusahaan Industri Pengolahan di Surabaya. SNA X Makassar: 1-41.
Palan, Ronen, (2008). Tax Havens and The Commercialization of State sovereignty. Comell University Press. International Organization.
Pranata, Febri Mashudi, Puspa, Dwi Fitri, dan Herawati (2014).Pengaruh Karakter Eksekutif Dan Corporate.
E-Jurnal Bung Hatta Vol.4 N0.1 (2014)
Rusydi, M.Khoiru dan Dwi Martani. 2014. Pengaruh Struktur Kepemilikan Terhadap Aggressive Tax Avoidance. Simposium Nasional Akuntansi XVII. Pp. 1-19.
Sartori, Nicola. 2010. Effect of Strateic Tax Behaviors On Corporate Governance. www.ssrn.com
Suandy, Erly. 2011. Manajemen Perpajakan. Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat.
Suartana, I.W. 2007. Upaya Meningkatkan Kualitas Pertimbangan Audit Melaui Self Review Kasus Going Concern Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar.
Zain, Mohammad. 2005. Manajemen Perpajak. Salemba Empat, Jakarta.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
227
PENERAPAN SURAT PEMBERITAHUAN ELEKTRONIK (E-SPT)
MASA PPN TERHADAP PEMENUHAN PEMERIKSAAN PADA
WAJIB PAJAK BADAN (STUDI KASUS KPP MADYAMAKASSAR) Andi Rustam
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Makassar
Amran
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Makassar
Rezki Wardani
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Makassar
Abstract
The purpose of this study is to answer the problem of how to implement an online service system, namely the application of electronic notification letters (E-SPT) which is carried out on tax audit compliance in accordance with Parker's theory (2011: 1) in the form of optimal information or optimal information services such as availability. , easy to understand, relevant, useful, timely, reliable, accurate and consistent. The basis of this research is a qualitative descriptive type of research. The techniques used in data collection are field observation, in-depth interviews, and documentation. Then the data and interview results obtained were analyzed descriptively qualitatively. From the results of the research conducted, it shows that there is data stating that the process of implementing an Online-based System for the fulfillment of the inspection has been implemented properly, it is proven that there is a very synchronous answer between service informants and tax audit informants and shows consistency by requiring all taxpayers to be registered at KPP Madya Makassar uses a sustainable online system. Therefore, in-depth socialization is needed so that all parties served and the parties served can optimize the online system.
Keywords: Online Service System, Online Reporting (E-SPT), Tax Audit. Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan mengenai bagaimana penerapan sistem pelayanan online yaitu penerapan surat pemberitahuan elektronik (E-SPT) yang dijalankan terhadap pemenuhan pemeriksaan pajak Sesuai dengan teori Parker (2011:1) berupa optimalnya sebuah informasi atau layanan informasi yang optimal seperti Ketersediaan, mudah dipahami, relevan, bermanfaat, tepat waktu, keandalan, akurat, dan konsisten. Dasar penelitian ini adalah bersifat kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah observasi lapangan, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Kemudian data dan hasil wawancara yang diperoleh di analisis secara deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan adanya data yang menyatakan bahwa proses penerapan Sistem berbasis Online terhadap pemenuhan pemeriksaan telah diterapkan dengan baik itu dibuktikan adanya jawaban yang sangat sinkron antara informan pelayanan dan informa pemeriksaan pajak dan menunjukkan konsistensi dengan mengharuskan seluruh wajib pajak yang terdaftar di KPP Madya Makassar memakai sistem online yang berkelanjutan. Maka dari itu di perlukan sosialisasi yang mendalam agar sampai kepada seluruh pihak yang dilayani dan pihak dilayani dapat mengoptimalkan sistem online tersebut.
Kata Kunci : Sistem Pelayanan Online, Pelaporan Online (E-SPT),Pemeriksaan Pajak.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
228
1. PENDAHULUAN
Pajak merupakan sumber
penerimaan yang penting dalam
menopang pembiayaan pembangunan
yang bersumber dari dalam negeri. Besar
kecilnya pajak akan menentukan
kapasitas anggaran negara dalam
membiayai pengeluaran negara, baik
untuk pembiayaan pembangunan
maupun untuk pembiayaan rutin. Salah
satu upaya yang dilakukan Dirjen Pajak
untuk memaksimalkan penerimaan pajak
adalah dengan melakukan reformasi
administrasi perpajakan.Direktur
Jenderal (Dirjen) Pajak, menyatakan
bahwa, salah satu langkah strategis
dalam pengamanan pajak adalah dengan
Penyempurnaan sistem administrasi
perpajakan di sektor PPN. Administrasi
perpajakan yang efektif harus
menciptakan lingkungan yang
mendorong Wajib Pajak secara sukarela
mematuhi peraturan yang berlaku.
Untuk dapat mencapai tujuan
tersebut diperlukan sarana dan
prasarana yang tentunya tidak terlepas
dari masalah E-SPT masa PPN.
Penerapan E-SPT Masa PPN, menurut
persepsi Wajib Pajak ternyata sangat
berpengaruh terhadap efisiensi
pengisian SPT. Sehingga kewajiban
petugas perpajakan dapat berjalan
dengan baik dan cepat. Semakin baik
penerapan E-SPT Masa PPN, maka
semakin efisien juga dalam pengisian
SPT.
Penggunaan E-SPT dimaksudkan
agar semua proses kerja dan pelayanan
perpajakan berjalan dengan baik, lancar,
akurat serta mempermudah wajib pajak
dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya sehingga kepatuhan
wajib pajak diharapkan dapat meningkat.
Selain kemudahan yang diberikan oleh
wajib pajak, petugas pajak pun menjadi
efisien dalam menjalankan tugasnya
khususnya dalam hal pemeriksaan pajak.
Pemeriksaan pajak adalah serangkaian
kegiatan menghimpun data dan
mengolah data, keterangan atau bukti
yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar
pemeriksaan.
Fasilitas pajak dalam rangka
modernisasi administrasi perpajakan E-
SPT ini sudah mulai diterapkan, untuk
digunakan oleh Wajib Pajak sehingga
memudahkan dalam penyampaian SPT.
Hal ini dikarenakan seringnya terjadi
kesalahan dalam pelaporan pajak
terutang melalui SPT manual.
Pelaporan pajak terutang melalui
SPT manual dianggap memiliki
kelemahan, khususnya bagi wajib pajak
yang melakukan transaksi dalam jumlah
yang besar, dimana wajib pajak harus
melampirkan dokumen (hardcopy)
dalam jumlah yang cukup besar kepada
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya
Makassar, sehingga hal ini menyebabkan
pemborosan dalam penggunaan kertas,
sementara proses perekaman data
memerlukan waktu yang cukup lama
sehingga pelaporan SPT menjadi
tertunda dan terlambat serta
mengakibatkan adanya denda yang harus
dibayar wajib pajak.
Penelitian mengenai penerapan E-
SPT telah dilakukan, yang bertujuan
untuk mengetahui sejauh mana
penerapan E-SPT tersebut terhadap
Pemeriksaan Pajak. Salah satunya,
menurut hasil peneitian yang dipaparkan
oleh Husna Devita (2018) dengan judul
Analisis Sistem E-SPT pada Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tuban
yang menyatakan bahwa Direktorat
Jendral Pajak menciptakan sistem
tersebut untuk menghindari adanya
penumpukan data yang dikirimkan oleh
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
229
wajib pajak. Selain itu sistem ini
bertujuan untuk melakukan perekaman
data secara cepat dan efektif guna
mempercepat proses penyelesaian
pemeriksaan pajak.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Surat Pemberitahuan Elektronik
(e-SPT)
Menurut Pandiangan (2008:35)
yang dimaksud dengan E-SPT adalah
penyampaian SPT dalam bentuk digital
ke KPP secara elektronik atau dengan
menggunakan media komputer.
Aplikasi E-SPT merupakan aplikasi
yang diberikan secara cuma-cuma oleh
DJP kepada wajib pajak. Wajib pajak yang
menggunakan E-SPT dapat merekam dan
memelihara data digital SPT, serta
mencetak SPT beserta lampirannya. E-
SPT juga merupakan sistem yang
menitikberatkan informasi yang
diinginkan wajib pajak dengan ini Wajib
pajak ingin mengetahui berapa besar
pajak yang di bebankan
2.2. Pengertian dan Karakteristik
Pajak Pertambahan Nilai (PPn)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
adalah pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari barang atau jasa
dalam peredarannya dari produsen ke
konsumen. PPN termasuk jenis pajak
tidak langsung, maksudnya pajak
tersebut disetor oleh pihak lain
(pedagang) yang bukan penanggung
pajak atau dengan kata lain, penanggung
pajak (konsumen akhir) tidak
menyetorkan langsung pajak yang ia
tanggung (Jakijan dan Khairani, 2013).
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
menggantikan peranan Pajak Penjualan
(PPN) di Indonesia, karena PPN memiliki
karakteristik positif yang tidak dimiliki
oleh PPN. Legal karakter PPN tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Pajak Objektif
Yang dimaksud dengan pajak objektif
adalah suatu jenis pajak yang saat
timbulnya kewajiban pajak ditentukan
oleh faktor kondisi objektifnya,
peristiwa atau perbuatan hukum yang
dikenakan pajak juga disebut dengan
nama objek pajak. Sebagai pajak
objektif, timbulnya kewajiban untuk
membayar PPN ditentukan adanya
objek pajak. Kondisi subjek pajak
tidak ikut menentukan.
2) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Merupakan Pajak Tidak Langsung.
Karakter ini memberikan suatu
konsekuensi yuridis bahwa antara
pemikul beban pajak (destinataris
pajak)dengan penanggung jawab atas
pembayaran pajak ke Kas Negara
berada pada pihak yang berbeda.
3) Mekanisme Pemungut PPN
menggunakan Faktur Pajak.
Dalam hal terjadi penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
sebagai konsekuensi penggunaan
credit method untuk menghitung PPN
yang terutang maka Pengusaha Kena
Pajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak dan/atau menyerahkan Jasa
Kena Pajak wajib memungut PPN
yang terutang dan memberikan
Faktur Pajak sebagai bukti pungutan
pajak.
4) PPN adalah Pajak atas Konsumsi
Umum Dalam Negeri
Sebagai pajak atas konsumsi umum
dalam negeri, PPN hanya dikenakan
atas konsumsi Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang
dilakukan dalam negeri.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
230
2.3. Tata Cara Perolehan, Pengisian
dan Pencetakan SPT Masa PPn
Menurut PER-11/PJ/2013 SPT
Masa PPN 1111 dapat disampaikan oleh
PKP dengan cara:
a. Pelunasan Formulir Induk SPT
Masa PPN 1111 beserta Lampirannya
dalam bentuk formulir kertas
(hardcopy) dan Aplikasi Pengisian
SPT (E- SPT) dapat diperoleh dengan
cara:
1) Diambil di KPP atau KP2KP;
2) Digandakan atau diperbanyak
sendiri oleh PKP;
3) Diunduh di laman Direktorat
Jenderal Pajak, dengan alamat
(www.pajak.go.id), selanjutnya
dapat dimanfaatkan/ digandakan;
atau Disediakan oleh Perusahaan
Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang
telah ditunjuk oleh Direktorat
Jenderal Pajak (khusus E-SPT).
b. PKP dapat mengisi SPT Masa PPN
1111 dan Lampirannya dalam
bentuk formulir kertas (hard copy)
dengan cara:
1) Ditulis tangan dengan
menggunakan huruf balok (bukan
huruf sambung); atau
2) Diketik dengan menggunakan
mesin ketik
c. Pengisian data pada SPT Masa PPN
1111 dalam bentuk formulir kertas
(hard copy) juga harus
memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1) Pengisian data pada Induk dan
Lampiran SPT Masa PPN tidak
boleh melebihi baris dan/atau
kolom yang telah disediakan dan
harus dituliskan dalam satu baris.
Contoh: Nama Penjual : PT. Cahaya
Buana Terang Indonesia Jaya
Perkasa, pada Lampiran SPT Masa
PPN dapat ditulis PT Cahaya
Buana TIJP agar tertampung di
dalam kolom/baris Nama Penjual
BKP/BKP Tidak
Berwujud/Pemberi JKP. Pengisian
NPWP, Kode dan Nomor Seri
Faktur Pajak, nomor Dokumen
Tertentu, dan nomor Nota
Retur/Nota Pembatalan harus
dituliskan secara lengkap dan tidak
boleh singkat. Untuk pengisian SPT
dengan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri.
2) Menggunakan tulisan tangan atau
mesin ketik, PKP diperbolehkan
untuk mengisi data NPWP pada
kolom atau baris tanpa
menggunakan tanda baca, kecuali
untuk identitas NPWP yang sudah
disediakan formatnya pada
formulir. Contoh: NPWP dapat
ditulis 01.021.354.6-427.000 atau
010213546427000.
d. Penggunaan formulir SPT Masa
PPN 1111 dalam bentuk PDF
mengikuti ketentuan sebagai
berikut:
1) PKP dapat mencetak/print
formulir SPT Masa PPN 1111
langsung dari file PDF yang telah
disediakan, selama memperhatikan
beberapa ketentuan sebagai
berikut:
a) Dicetak dengan menggunakan
kertas folio/F4 dengan berat
minimal 70 gram.
b) Pengaturan ukuran kertas pada
printer menggunakan ukuran
kertas (paper size) 8,5 x 13 inci
(215 x 330 mm).
c) Tidak menggunakan printer
dotmatrix. Disamping pedoman
tersebut, terdapat petunjuk
pencetakan yang harus diikuti,
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
231
yang tersimpan dalam bentuk
file PDF dengan nama
readme.pdf.
d) Formulir SPT Masa PPN 1111
dalam bentuk file PDF terlebih
dahulu dicetak, selanjutnya PKP
dapat mengisi formulir SPT
Masa PPN 1111 tersebut,
menandatanganinya emudian
menyampaikannya ke KPP atau
KP2KP
2.4. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah
model teoritis yang berkaitan dengan
bagaimana seseorang menyusun teori
atau menghubungkan secara logis
beberapa faktor yang dianggap
penting untuk masalah. Maka dari itu
peneliti membuat kerangka pemikiran
sebagai berikut:
3. METODE PENELITIAN
3.1. Tipe Penelitian
Tipe peneltiian yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu tipe penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui nilai variable mandiri, baik
satu variable atau lebih, yaitu tanpa
membuat perbandingan atau
menghubungkan dengan variable yang
lainnya. Oleh karena itu penulis
menggunakan tipe penelitian deskriptif
yang dimaksudkan untuk memberi
gambaran secara jelas mengenai masalah
masalah yang diteliti yaitu tentang
Penerapan Surat Pemberitahuan
Elektronik (E-SPT) Masa PPN Terhadap
Pemenuhan Pemeriksaan Pajak di KPP
Madya Makassar.
3.2. Objek atau Subjek Penelitian
Objek penelitian yang digunakan
peneliti adalah Penerapan E-SPT Masa
PPN Terhadap Pemenuhan Pemeriksaan
Pajak. Subjek Penelitian adalah orang-
orang yang berpotensi untuk
memberikan informasi tentang
bagaimana Penerapan Sistem E-SPT
Masa PPN terhadap Pemenuhan
Pemeriksaan Pada Wajib Pajka Badan di
KPP Madya Makassar yaitu :
a. Pelaksana seksi Pelayanan
b. Pelaksana seksi Pemeriksaan.
3.3. Tempat dan Waktu
Lokasi penelitian ini adalah
Kantor Pelayanan Pajak Madya
Makassar yang berada di Kompleks
Gedung Keuangan Negara Jl Urip
Sumoharjo Km. 4, Makassar, 90113.
Penelitian ini akan dilaksanakan selama
2 (dua) bulan yang dimulai dari bulan
Maret sampai dengan bulan Juni Tahun
2019.
3.4 Jenis Data dan Sumber Data Menurut Suliyanto (2006 : 131-
133) jenis data dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Data Primer Data yang diperoleh langsung dari perusahaan atau data yang terjadi di lapangan penelitian yang diperoleh dengan wawancara dan kemudian akan diolah oleh penulis.
2. Data Sekunder Data yang telah ada di perusahaan seperti struktur organisasi, sejarah perusahaan, dan laporan keuangan.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
232
L
a
k
e
be
Data yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer yang
dihasilkan dari penelitian ini adalah
melalui hasil wawancara dan observasi.
Sedangkan data sekunder yang
dihasilkan adalah data yang telah ada di
perusahaan seperti sejarah perusahaan,
struktur organisasi perusahaan, data
Pajak Pertambahan Nilai, dan data
lainnya yang dibutuhkan dalam
penelitian ini.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Menurut Sugiyono (2006, h.130-
139) Prosedur pengumpulan data yang
digunakan adalah :
a. Wawancara, dengan mengadakan tanya jawab dengan bagian akuntansi atau perpajakan.
b. Observasi, melakukan pengamatan langsung ke KPP Madya Makassar mengenai penerapan E-SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Pemenuhan Pemeriksaan Pajak.
c. Dokumentasi, melakukan pengamatan langsung terhadap dokumen-dokumen yang ada pada KPP Madya Makassar mengenai Penerapan E-SPT Masa PPN Terhadap Pemenuhan Pemeriksaan Pajak.
3.6 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis data deskriptif kualitatif yaitu
melakukan analisa dari beberapa
penjelasan atau uraian pembahasan
berdasarkan data hasil penelitian yang
diperoleh melalui wawancara langsung,
observasi dan dokumentasi dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam
kategori, menjelaskan ke dalam unit-unit,
melakukan sintesa, menyusun dan
memilih mana yang penting dan yang
akan dipelajari, dan membuat pola
kesimpulan sehingga mudah dipahami
oleh diri sendiri maupun orang lain,
seperti; Sejarah ringkas instansi, struktur
organisasi, data lain yang berhubungan
dengan penelitan. Teknik analisis terdiri
atas:
a. Reduksi Data
Mereduksi data berarti merangkum,
memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting,
serta dicari tema dan polanya. Dengan
demikian data yang telah diereduksi
akan memberikan gambaran yang lebih
jelas, dan mempermudah peneliti untuk
melakukan pengumpulan data
selanjutnya, dan mencari apabila
diperlukan. Reduksi data dapat dibantu,
dengan peralatan, seperti komputer,
notebook, dan lain sebagainya.
b. Penyajian Data
Setelah data direduksi, maka
langkah selanjutnya adalah menyajikan
data dalam penelitian kualitatif, di mana
penyajian data dilakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, hubungan
antarkategori, dan sejenisnya.
c. Penarikan Kesimpulan dan
Verifikasi
Langkah ketiga dalam analisis data
dalam penelitian kualitatif penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan
awal yang dikemukakan masih
bersifat sementara, dan akan mengalami
perubahan apabila tidak ditemukan
bukti-bukti yang kuat yang mendukung
pada tahap pengumpulan data
berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan
yang dikemukakan pada tahap awal
didukung oleh bukti-bukti yang valid dan
konsisten saat peneliti kembali ke
lapangan mengumpulkan data, maka
kesimpulan yang dikemukakan
merupakan kesimpulan yang kredibel.
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
233
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian
yaitu ingin mengetahui seberapa jauh
penerapan E-SPT Masa PPN terhadap
Pemenuhan Pemeriksaan Pajak pada
wajib pajak badan di kantor KPP Madya
Makassar, maka penulis melakukan
metode penelitian secara kualitatif
dengan narasumber yang berkaitan
dengan pelaksanaan dan mengetahui
jalan atau proses penerapan E-SPT Masa
PPN di kantor tersebut, melalui teknik
wawancara dengan informan yang
terkait di kantor KPP Madya Makassar.
Perlu diketahui E-SPT Masa PPN
merupakan suatu cara penyampaian
Surat Pemberithunan (SPT) Masa PPN
secara elektronik yang dilakukan secara
Online dan Real Time melalui internet
pada website Direktorat Jenderal Pajak
atau penyedia layanan SPT Elektronik
atau Application Service Provider (ASP).
Sedangkan Surat Pemberitahunan Masa
PPN oleh wajib pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan, pembayaran
pajak dan atau pelunasan pajak, objek
pajak dan atau bukan objek pajak dan
atau harta dan kewajiban serta
penyetoran pajak dari pemotong atau
pemungut pajak, menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan
perpajakan.
4.2 Penerapan Surat Pemberitahuan Elektronik (E-SPT) Masa PPN Terhadap Pemenuhan Pemeriksaan Pajak Pada Wajib Pajak Badan Di KPP Madya Makassar
Dalam pelayanan Direktorat
Jenderal Pajak selalu berinovasi
memberikan pelayanan prima dengan
diterbitkannya sistem informasi berbasis
online dan elektronik dengan
menggunakan sistem komputerisasi
yaitu E-SPT dalam melaporkan SPT wajib
pajak khususnya SPT Masa PPN dalam
format aplikasi E-SPT Masa PPN.
Berdasarkan hasil Wawancara dengan
Seksi Pelaksana Pelayanan terbentuklah
alur Aplikasi Masa PPN.
Alur dari aplikasi E-SPT Masa
PPN ini maka dapat dijelaskan bahwa
tujuan dari penyediaan fasilitas ini
adalah untuk lebih memberikan
layanan kepada masyarakat Wajib
Pajak dengan pemanfaatan teknologi,
yang secara keseluruhan cenderung
berbiaya lebih murah dan dengan
proses yang lebih cepat karena Wajib
Pajak merekam sendiri Surat
Pemberitahuannya sehingga bisa lebih
akurat, efektif dan efisien. Adanya data
silang pajak akan menciptakan
keadilan pajak dan transparansi
sehingga dapat meminimalisasi segala
kecurangan, kebocoran dan
penyimpangan (KKN) dalam
penerimaan pajak.
Menurut Peraturan Direktorat
Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2019
tentang Tata Cara Penyampaian,
Penerimaan dan Pengolahan Surat
pemberitahuan yaitu wajib pajak yang
akan melaporkan SPT Masa PPN, harus
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
234
melakukan instalansi Aplikasi E-SPT ke
situs Direktorat Jenderal Pajak. Sebelum
mengolah data wajib pajak maka
perangkat komputer dan aplikasi
tersebut harus terkoneksi dengan
database. Kemudian masuk ke aplikasi E-
SPT Masa PPN dan menginput data mulai
dari identitas Wajib Pajak hingga
mencetak Formulir Induk SPT Masa PPN
itu.
Hasil data inputan SPT Masa PPN
melalui E-SPT akan dilakukan
perekaman data oleh petugas pajak
untuk dilakukan pemeriksaan apabila
hasil E-SPT Masa PPN itu masuk kedalam
kriteria Pemeriksaan.
Dari hasil wawancara mengenai
alur perekaman data bahwa Alur
perekaman data SPT Masa PPN diawali
dari pelaporan SPT Masa dari wajib pajak
badan ke petugas TPT. Laporan SPT
tersebut masih berbentuk sebuah data
yang tersimpan didalam media flashdisk
atau disket. Kemudian setelah SPT
diterima, petugas TPT akan memproses
SPT tersebut dan memberikannya ke
seksi pengolahan data dan informasi
untuk mengecek dan mencocokan
kebenaran fisik SPT Masa PPN ini telah
sesuai dan merekam SPT Masa dengan
lengkap. Setelah data SPT Masa PPN itu
telah dicek maka akan diberikan kepada
AR yang akan meneliti dan memproses
SPT yang terdapat kesalahan matematis
atau terlambat dibayar sesuai dengan
hasil rekaman. Setelah itu jika terjadi
kelebihan bayar pada wajib pajak maka
akan diberikan ke Seksi Pemeriksaan.
Berdasarkan hasil wawancara
mengenai prosedur Pemeriksaan pajak
E-SPT Masa PPN pada Wajib pajak Badan
maka, setelah wajib pajak melaporkan
SPT Masa PPN nya maka kantor
pelayanan pajak mendapat instruksi dari
kanwil DJP untuk melakukan
pemeriksaan terhadap wajib pajak.
Pemeriksaan yang dilakukan menurut
analisis dan data yang konkret.
Kemudian pemeriksaan pajak
diawali dengan pembentukan tim. Tim
pemeriksaan terdiri dari supervisor dan
beberapa anggota. Tim tersebut
merumuskan audit plan yang akan
diperiksa pada wajib pajak setelah itu
menerbitkan SP2. Tim pemeriksa
menyampaikan SP2 kepada wajib pajak,
paling lambat 5 hari setelah terbitnya
SP2. Tim pemeriksa akan melakukan
peminjaman data atau dokumen salah
satunya adalah seksi pelayanan yang
bertanggung jawab atas jalannya aplikasi
E-SPT Masa PPN. Ada juga peminjaman
dokumen kepada wajib pajak yang harus
dipenuhi wajib pajak maksimal 1 bulan.
Pelaksanaan pengujian dilakukan
oleh tim pemeriksaan pajak dengan
memperhatikan temuan yang ada selama
pemeriksaan berlangsung. Pengujian ini
berdasarkan metode, teknik, dan
prosedur pemeriksaan yang sudah
dituangkan kedalam audit plan.
Kemudian wajib pajak menerima
surat pemeberitahuan hasil pemeriksaan
yang berisi koreksi dan pemberian hak
kepada wajib pajak untuk hadir dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan.
Setelah itu pemeriksaaan pajak menelaah
kegiatan kedalam kertas pemeriksaan
pajak dan laporan hasil pemeriksaan
yang berisi nota perhitungan pajak yang
seharusnya diterbitkan.
Setelah laporan hasil pemeriksaan
terbit maka pemeriksaan pajak akan
Penuga
san
Instruk
si
Pemeri
ksaan
Pemberitah
uan SP2
kepada WP
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
235
mengembalikan dokumen yang dipinjam
selama rangkaian pemeriksaan paling
lambat 7 hari setelah diterbitkannya
laporan hasil pemeriksaan.
4.3 Pembahasan Penerapan E-SPT Masa PPN sudah
diterapkan dengan baik di KPP Madya
Makassar itu dibuktikan adanya teori
yang dijadikan patokan dalam
mengetahui apakah penerapan E-SPT
Masa PPN itu sudah optimal atau belum,
Teori tersebut dikemukakan oleh Parker
(2011) yang berisi syarat syarat
informasi yang harus dipenuhi jika
Penerapan Sistem ini dianggap optimal,
dikarenakan muatan-muatan yang
disediakan berisi informasi wajib pajak
yang harus dilaporkan oleh petugas
pajak. Maka dari itu teori tersebut sangat
berperan penting di dalam menilai
penerapan E-SPT Masa PPN tersebut,
dengan mengetahui syarat-syarat yang
dikemukakan seperti syarat sebagai
berikut :
a) Ketersedian, menjelaskan syarat
informasi yang di butuhkan oleh wajib
pajak dan juga penerima informasi
yang mengelola informasi dari wajib
pajak tersebut, ini dibuktikan dari
hasil wawancara oleh petugas
pelayanan serta pelaksana
pemeriksaan bahwa fasilitas ini
merupakan layanan online dengan
menyediakan informasi mengenai
identitas wajib pajak. Karena adanya
feedback yang saling sinkron antara
kedua informan ini maka ketersedian
E-SPT Masa PPN sangat sudah
diterapkan.
b) Mudah dipahami, adalah cara
bagaimana menunjukkan sebuah
layanan yang baik dalam memberikan
sebuah pelayanan yang maksimal agar
customer dalam hal ini wajiib pajak
sebagai penerima layanan dapat
menangkap dengan cepat sistem yang
diperbaharui dari manual menjadi
sistem online, ini dibuktikan dari hasil
wawancara oleh pelaksana pelayanan
dan pemeriksaan bahwa sistem E-SPT
Masa PPN ini mudah sekali untuk
dipahami karena mayoritas
masyarakat sekarang adalah
pengguna basis jaringan.
c) Relevan, Proses ini akan dikatakan
sebuah system yang dinilai baik
apabila sesuai dengan kebutuhan
kantor saat ini dan apa yang
dibutuhkan oleh wajib pajak, dan ini
dibuktikan dari hasil wawancara oleh
seksi pelayanan bahwa aplikasi
tersebut sudah sangat relevan karena
dapat diakses dimana saja walaupun
kantor pelayanan pajak tutup.
d) Bermanfaat, hal yang sangat berperan
mengapa informasi itu di butuhkan,
tidak lain adalah manfaat bagi
keseluruhan yang menggunakan
informasi tersebut, berdasarkan dari
hasil wawancara bahwa semenjak
aplikasi E-SPT Masa PPN ini
diterapkan maka akan mengurangi
masalah yang dihadapi oleh petugas
pajak maupun oleh wajib pajak itu
sendiri.
e) Ketepatan waktu, proses pelayanan
dengan sistem E-SPT Masa PPN
merupakan alat online yang dipahami
dengan mudah sehingga cepat
mengetahui SPT yang dilaporkan
Wajib pajak, di karenakan prosesnya
yang biasa disebut Real Time, data
yang diterima dengan cepat oleh
petugas pajak akan langsung di kelola.
Ini dibuktikan dari wawancara dari
seksi pelaksanaan pemeriksaan yang
mengatakan bahwa sistem aplikasi
yang sangat cepta karena di dukung
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
236
oleh jaringan yang sering dipakai di
era teknologi sekarang.
f) Akurat, berdasarkan hasil wawancara
oleh seksi pelaksanaan pemeriksaan
Keakuratan sangat penting dalam
proses pengelolaan data, dalam hal ini
keakuratan sistem E-SPT Masa PPN
yang dapat membantu seorang dalam
mengelola data yang masuk atau
dalam hal ini SPT yang dilaporkan
Wajib Pajak.
5. PENUTUP
5.1 Simpulan Dari beberapa pembahasan dan
serangkaian analisis yang telah penulis
lakukan di Kantor Pelayanan Pajak
Madya Makassar di peroleh kesimpulan
sebagai berikut :
1) Bahwa dalam penerapan sistem E-SPT
Masa PPN ini telah dilaksanakan
dengan baik, dan proses
penerapannya pun secara bertahap
dilaksanakan. Pemberian
informasinya pun di katakan dapat
sesuai dengan teori yang di jelaskan
oleh parker, dimana maksud dan
tujuan informasi yang optimal itu di
tujukan dari beberapa faktor
pendukung yang mengharuskan
pelaporannya melakukan basis
elektronik yang biasa dikenal dengan
E-SPT .
2) Bahwa dalam mewujudkan kinerja
dari petugas pajak khususnya dalam
bidang pemeriksaan pajak, penerapan
sistem E-SPT Masa PPN pada Kantor
Pelayanan Pajak Madya Makassar
sudah melaksanakan sosialisasi atau
edukasi mengenai pengisian E-SPT
Masa PPN dari pihak DJP sendiri
dengan menghimbau dan mewajibkan
Wajib Pajak baik badan ataupun orang
pribadi semua wilayah untuk
melaporkan SPT nya secara online
yaitu dengan sistem E-SPT Masa PPN.
Guna untuk mengurangi penggunaan
kertas, kehilangan berkas, ataupun
mengurangi kesalahan pengolahan
data yang akan dilaporkan kedalam
Kantor Pelayanan Pajak Madya
Makassar. Apabila terjadi kendala
umum seperti jaringan yang lambat,
yang kadang mempengaruhi proses
pelaporan online menjadi lambat
maka dapat menghubungi petugas
pajak di kantor pelayanan pajak
tempat wajib pajak dikukuhkan.
5.2 Saran
1) Dalam menerapkan sistem E-SPT
Masa PPN di kantor Madya Makassar
agar dikatakan maksimal pusat
pelayanan data dan informasi
mensosialisasikan di bidang
elektronik harus memperluas jejaring
dengan bentuk kata sosialisasi tidak
hanya terbatas di media sosial
facebook atau instagram tetapi juga di
perangkat yang tidak memerlukan
jaringan internet atau biasa dikenal
edukasi offline di smartphone atau PC
menciptakan aplikasi baik di playstore
bagi pengguna android ataupun
aplikasi yang mendukung hal tersebut
dengan menampilkan konten yang
berisi himbauan bagi para Wajib Pajak
agar segera melaporkan SPT nya
beserta dengan cara menginputnya
dengan mengakses E-SPT, dimana jika
di klik himbauan ini maka dapat
membuka website DJP Sistem Online
maupun offline tersebut.
2) Sehubungan dengan pemenuhan
pemeriksaan pajak maka diharapkan
sistem yang diciptakan bekerja
dengan optimal dan membantu Wajib
Pajak dan petugas pajak dalam
mengecek pelaporan SPTnya dengan
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
237
tepat waktu dan cepat, serta perlu
adanya regulasi yang mengatur
tentang Wajib Pajak melakukan
pelaporan secara online dengan
menggunakan E-SPT tersebut secara
real time
DAFTAR PUSTAKA
Apriliani Indah. Pengaruh Penerapan E-Spt (Masa Ppn) Terhadap Efisiensi Pemrosesan Data Perpajakan (Studi Kasus Pada Pengusaha Kena Pajak Di Kpp Pratama Semarang Barat). E-jurnal Universitas Dian Nuswantoro Semarang.
Aryati. 2013. Pengaruh Pelaksanaan Self Assessment System Terhadap Persepsi Wajib Pajak Di Kota Banda Aceh. jurnal ekonomi dan bisnis (Online), Vol 14, No. 1 (http://jurnal.pnl.ac.id. Diakses 14 Mei 2015).
Bohari. 2012. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: Rajawali Pers.Madewing. 2013. Pengaruh Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Utara. Makassar: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin.
Didit Mulyadi Mahyudin. 2015. Analisis Kepatuhan Wajib Pajak Dengan Diterapkannya Program E-SPT Dalam Melaporkan SPT Masa PPN Pada KPP Pratama Bitung. Jurnal EMBA/ Vol. 3 No/1 Maret 2015.
Dini Wahyu Hapsari. 2014. Analisis Penerapan E-SPT PPN Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Jurnal Infestasi vol.10 no. 1 Juni 2014.
(download.portalgaruda.org/article.php?...SPT%20SEBAGAI%20 /18 Februari 2019/02:49)
Devita Husna. 2018. Analisis Sistem E-SPT Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tuban. Skripsi :
Universitas Islam Negeri Maulana Malikibrahim Malang. (Diakses pada hari Sabtu, 16 Februari Jam 09:56). Website: etheses.uin-malang.ac.id/12307/1/14520114.pdf.
https://pemeriksaanpajak.com/2015/10/30/apa-itu-pemeriksaan-pajak/(diakses pada hari Jumat, 16 Februari 2019. Jam 00:45)
Jakijan dan Khairani. 2013. Analisis Aplikasi E-Spt Ppn Pada Kantor Konsultan Pajak Madya Palembang. Palembang: Jurusan Akuntansi STIE MDP.
Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor KEP-88/PJ/2004 tentang Penyampaian Surat Pemberitahuan Secara Elektronik.2004.Jakarta: Direktur Jendral Pajak.
Lingga. 2012. Pengaruh Penerapan E-Spt Ppn Terhadap Efisiensi Pengisian Spt Menurut Persepsi Wajib Pajak: Survey Terhadap Pengusaha Kena Pajak Pada Kpp Pratama Majalaya. Bandung. Jurnal Akuntasi, (Online), Vol.4, No.2, (majour.maranatha.edu, diakses 14 April
Mardiasmo. 2011. Perpajakan Edisi Revisi 2011. Yogyakarta: Andi.
Nurbaeti. 2015. Skripsi Pengaruh Penerapan E-SPT Masa PPN Terhadap Efisiensi Pengisian SPT Menurut Persepsi Wajin Pajak Badan. Website: (https://core.ac.uk /download/pdf/77624304.pdf) /diakses pada hari Minggu,17 Februari/20:39
Amnesty: Jurnal Riset Perpajakan p-ISSN: 2714-6308 e-ISSN: 2714-6294
Vol.3 Nomor 2 November 2020
238
Pudyatmoko, S. 2009. Pengantar Hukum Pajak. Yogyakarta: Andi Offset
PMK No. 152/PMK.03/2009 Tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, serta Tata Cara Pengambilan Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan.
PMK No. 80/PMK.03/2010 Tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, Serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
Pandiangan, L. 2008. Modernisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
PER-47/PJ/2008 Tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya. Jakarta: Direktur Jendral Pajak.
Ramadhan, F. 2010. Pengaruh Manfaat dan Kemudahan e-SPT terhadap Penggunaan Fasilitas e-SPT oleh Wajib Pajak Pribadi.Skripsi: Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Sripeni Rusbiyanti. 2011. Pengaruh Penerapan E-SPT (Masa PPN) Terhadap Efisiensi pengisian SPT Masa PPN menurut Persepsi Wajib Pajak Badan. E-Jurnal /vol.12 No/2 September 2011
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. 2007. Jakarta: Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 2009. Jakarta: Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Waluyo. 2011. Perpajakan Indonesia Edisi 10 Buku 1. Jakarta: Salemba Empat
www.pajak.go.id/18 Februari 2019/11:56
www.wibowopajak.com/19 februari 2019/10:45