amelia iradany - lp tetanus
DESCRIPTION
Amelia Iradany - LP TetanusTRANSCRIPT
LAPORAN INDIVIDU
LAPORAN PENDAHULUAN TETANUS
Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen Emergency di IGD RSUD Dr. Iskak Tulungagung
OLEH:Reza Fitra Kusuma Negara
NIM. 120070300011074
JURUSAN ILMU KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYA
2014
1
TETANUS
DEFINISITetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran, disebabkan oleh toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan
oleh kuman clostridium tetani (FKUI, 2000).
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman Clostiridium
tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti
kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester
dan otot rangka (Vanessa, 2007).
Tetanus adalah suatu penyakit infeksius yang disebabkan oleh adanya kontaminasi
luka dari toksin yang dihasilkan oleh bakteri yang bernama Clostridium tetani, yaitu
bakteri yang hidup bertahun-tahun di tanah dalam bentuk spora (Davis, 2009).
Berdasarkan ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tetanus merupakan
suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin yang dihasilkan bakteri Clostridium
tetani dengan gejala utama adalah kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan
seluruh badan tanpa disertai adanya gangguan kesadaran.
INSIDENPrevalensi tetanus sangat tinggi di negara berkembang dan termasuk dalam 10
penyebab kematian terbesar. Usia pasien tetanus paling banyak adalah 40-53 tahun.
Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat aktifitas fisik pada laki-laki lebih
sering daripada perempuan. Angka kejadian tetanus tinggi terutama disebabkan oleh
kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah,
sirkumsisi pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Reservoir utama kuman ini adalah
tanah yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah
peternakan sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat
bertebaran di mana-mana (Esthi, 2004).
KLASIFIKASIa. Tetanus General
Tetanus jenis ini dapat mengenai semua otot skeletal. Tetanus jenis
merupakan tetanus yang paling membahayakan.
b. Tetanus Lokal
Gejalanya adalah spasme otot hanya pada atau dekat dengan luka yang
terinfeksi. 2
c. Tetanus Cephalic
Mengenai satu atau beberapa otot secara cepat (dalam 1-2 hari) setelah
terjadinya cedera kepala atau infeksi telinga. Trismus (Lockjaw) bisa saja terjadi.
Tetanus jenis ini bisa secara mudah berkembang manjadi tetanus general.
d. Tetanus Nenonatus
Tetanus ini mirip dengan tetanus general, hanya saja tetanus ini terjadi pada
seorang bayi yang umurnya < 1 bulan (Joseph, 2009).
ETIOLOGIAgen penyebab tetanus adalah Clostridium tetani yaitu bakteri gram positif yang
bersifat anaerob, berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikro. Di luar
tubuh bakteri ini berbentuk spora. Spora ini mampu bertahan dalam lingkungan panas
antiseptic, dan jaringan tubuh hingga berbulan-bulan. Spora tetanus dapat bertahan
hidup dalam air mendidih tetapi tidak di dalam autoklaf, tetapi sel vegetatif terbunuh
oleh antibiotik, panas dan desinfektan baku. Tidak seperti banyak klostridia, Clostridium
Tetani bukan organisme yang menginvasi jaringan, malahan menyebabkan penyakit
melalui toksin tunggal yang dihasilkannya, yaitu tetanospasmin yang lebih sering
disebut sebagai toksin tetanus. Toksin tetanus adalah bahan kedua yang paling
beracun yang diketahui setelah toksin botulinum. Jika dalam kondisi yang baik, kuman
ini akan mengeluarkan toksin (eksotoksin) yaitu “tetanuspasmin” yang bersifat
neurotoksik. Mula-mula toksin akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer
setempat (Vanessa, 2007).
FAKTOR RESIKO1. Penggunaan alat-alat invasif yang tidak steril.
2. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin DPT.
3. Penduduk yang bertempat tinggal di daerah peternakan.
4. Luka terbuka yang tidak dirawat dengan adekuat (Ngastiy, 2009).
MANIFESTASI KLINISTetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma, kontaminasi luka dengan tanah,
kotoran binatang atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus juga dapat
terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan ular yang
mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi
intramuscular, dan pembedahan.
3
Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu
pada infeksi ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh anti serum. Penyakit ini
biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama
pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2. Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki).
3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dengan abdomen akut).
4. Kejang tonik apabila dirangsang karena toksin yang terdapat di kornus anterior.
5. Rikus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik keatas), sudut mulut
tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota
badan sering merupakan gejala dini.
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstermitas inferior
dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan mengepal kuat. Anak tetap sadar.
Spasme mula-mula intermiten diselingi dengan periode relaksasi. Kemudian tidak
jelas lagi dan serangan tersebut disertai dengan rasa nyeri. Kadang-kadang di
sertai perdarahan intramuscular karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akobat serangan pada otot pernafasan dan laring.
Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot uretra. Fraktur kolumna vetebralis
dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang terjadi tekanan cairan
di otak.
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan
saraf tepi dan pusat. Ada beberapa macam manifestasi secara umum dari tetanus sesuai
dengan derajatnya:
Derajat I (tetanus ringan)
Trismus ringan sampai sedang
Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan
Tidak dijumpai disfagia atau ringan
Tidak dijumpai kejang
Tidak dijumpai gangguan respirasi
Derajat II (tetanus sedang)
Trismus sedang
Kekakuan jelas
Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan4
Takipneu
Disfagia ringan
Derajat III (tetanus berat)
Trismus berat
Otot spastis, kejang spontan
Takipne, takikardia
Serangan apne (apneic spell)
Disfagia berat
Aktivitas sistem autonom meningkat
Derajat IV (stadium terminal), derajat III ditambah dengan
Gangguan autonom berat
Hipertensi berat dan takikardi, atau
Hipotensi dan bradikardi
Hipertensi berat atau hipotensi berat (Harnawatiaji, 2008).
5
PATOFISIOLOGI
6
Saraf Autonom Saraf Motorik
Saraf Sensorik Synap Neuromuscular
Gangguan fungsi fisiologis
Asetilkolinesterase Terblok Degenerasi protein Synoptobrevin
Asetilkolin ↑↑ ≠ release GABA dan glysin
Clostridium Tetanimasuk dalam tubuh
Infeksi
Release Tetanospasmin Release Tetanolisin
Merusak jaringan yang masih sehat dan
melisiskan sel darah merah disekitar luka
Sistem Sirkulasi (pembuluh darah)
Saraf Perifer
Dinetralisir oleh “aritititoksin”Medula spinalis
Luka tertusukTerkena pecahan
kaca/kalengLuka tembakLuka bakarLuka kotorTali pusat BBL
LUKA TERBUKA
Port De Entry kuman bakteri
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada
rahang.
Pemeriksaan darah : leukosit 8.000-12.000/mm3
Pada penyakit tetanus, hasil pemeriksaan laboratorik tidak khas, likuor
serebrospinal normal, jumlah leukosit normal atau sedikit meningkat. Biakan kuman
memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik, tidak selalu dapat dilihat pada
warna gram bahan luka dan organisme ini diisolasi pada sepertiga kasus. Selain
mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti (Subhan,
2002).
7
Aspirasi Bersihan Jalan Nafas tidak efektif
Resiko aspirasi
Intake cairan tidak adekuat
Defisit volume cairan
Perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan
Kejang Resiko injuriCemas
Defisit perawatan diri Gangguan Saraf
Spasme otot menelan Spasme otot pernapasan
Akumulasi saliva pada daerah mulut
Peningkatan produksi mucus
dan sekret
Depolarisasi motor end-plate terus-menerus terhadap sel otot
Kontraksi ↑↑
PENATALAKSANAANa Penatalaksanaan Umum
Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi.
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus memberikan
obat-obatan, bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah kejang mereda dapat
dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus
pada kemungkinan aspirasi.
Menjaga saluran nafas tetap bebas.
Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker). Pada kasus yang berat perlu
dilakukan trakeostomi.
Mengurangi spasme dan mengatasi kejang.
Kejang harus segera dihentikan dengan diazepam dengan dosis yang bervariasi
berdasarkan usia :
bayi > 30 hari : 1 to 2 mg IV berikan secara perlahan, repeated q 3 to 4 jam
jika perlu
balita : 0.1 to 0.8 mg/kg/hari up to 0.1 to 0.3 mg/kg IV q 4 to 8 jam
anak > 5 tahun : 5 to 10 mg IV q 3 to 4 jam
dewasa : 5 to 10 mg po q 4 to 6 h or up to 40 mg/jam IV drip
Setelah kejang berhenti, pemberian dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai klinis
pasien. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun pasien masih kejang
atau mengalami spasme laring, dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan
intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernafasan
mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan memberi
respon klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan 3-5 hari. Selanjutnya
pengurangan dosis dilakukan bertahap (berkisar antara 20 % dari dosis setiap dua
hari). Bila pipa nasogastrik telah dapat dipasang, obat anti kejang dibarikan secara
oral. Pada tetanus sedang, dosis anti konvulsan dimulai dengan 1/2-2/3 dari dosis
maksimal dan 2/5 dosis maksimal untuk tetanus ringan. Mengingat tetanus
sedang/ringan dapat berubah menjadi tetanus berat secara cepat, maka setiap saat
dosis harus disesuaikan dengan perubahan gejala klinis dengan pemberian dosis
antikonvulsan yang maksimal. Pada tetanus berat, setelah pemberian diazepam 10
mg iv perlahan-lahan dilanjutkan dengan dosis 100-200 mg/24 jam dengan pompa
semprit atau tiap 2 jam atau 12 kali perhari.
Perawatan Luka.
8
Yaitu dilakukan eksisi jaringan yang cukup luas guna membersihkan jaringan
anaerob, terutama bila ada benda asing (debridement). Perawatan luka dilakukan
setiap hari.
Ruang Khusus
Isolasi untuk menghindari rangsangan (suara, tindakan terhadap penderita).
Ruangan harus tenang. Pasien dianjurkan untuk dirawat di Unit Perawatan Khusus
bila didapatkan keadaan kejang-kejang yang sukar diatasi obat-obatan
antikonvulsan biasa. Spasme laring merupakan komplikasi yang memerlukan
perawatan intensif seperti sumbatan jalan nafas, kegagalan pernafasan, hipertermi
dan sebagainya. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port de enty maka
konsultasi ke dokter gigi/THT (Ngastiy, 2009; Subhan, 2002).
b Penatalaksanaan Khusus Antibiotik
Untuk membunuh kuman C. Tetani (vegetatif) diberikan penisilin prokain 50.000-
100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari. Metronidazol tampak sama efektifnya.
Tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari dan eritromisin (untuk anak berumur = 9 tahun) untuk
penderita alergi penisilin. Untuk penyulit sepsis atau bronkopneumonia diberikan
antibiotik yang sesuai.
Anti serum.
Ada berbagai pendapat : Pengobatan spesifik dengan ATS 20.000 U/hari selama 2
hari berturut-turut secara intramuskulus dengan didahului oleh uji kulit dan mata.
Bila hasilnya positif, maka pemberian ATS harus dilakukan dengan desensitisasi
cara Besredka. Dosis ATT biasanya 50.000-100.000 U, setengahnya diberikan
secara intravena dan setengahnya intramuskuler, tetapi mungkin diperlukan sedikit
yaitu 10.000 U saja sudah cukup. Dapat digunakan ATS 5000 unit intramuskular,
tetapi pusat rujukan lain mempergunakan dosis 40.000 unit diberikan separuh
intravena dan separuhnya intramuskular atau bila fasilitas tersedia dapat diberikan
HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 500-3000 IU (Ngastiy, 2009; Subhan,
2002).
c Pencegahan Perawatan luka.
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau
luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Terutama perawatan luka guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob.
ATS profilaksis.9
Hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam) memberikan kekebalan pasif,
sehingga dapat dicegah terjadinya tetanus atau masa inkubasi diperpanjang atau
bila terjadi tetanus gejalanya ringan. Umumnya 1500 U im dengan didahului uji kulit
dan mata. Harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.
Imunisasi aktif
Vaksin gabungan toksoid difteri, tetanus dan pertusis (DTP) pada usia 2,4 dan 6
bulan, dengan booster pada usia 4-6 tahun dan pada interval 10 tahun sesudahnya
sampai dewasa dengan toksoid tetanus-difteri (Td). Toksoid Tetanus (TT) diberikan
pada setiap wanita usia subur, gadis mulai umur 12 tahun dan ibu hamil. Untuk
orang-orang umur 7 tahun atau lebih yang belum diimunisasi, seri imunisasi primer
terdiri dari 3 dosis Td yang diberikan intramuskular, yang kedua 4-6 minggu sesudah
yang pertama dan yang ketiga 6-12 bulan sesudah yang kedua. Booster toksoid
tetanus (lebih baik Td) diberikan pada orang yang terjejas yang telah menyelesaikan
seri imunisasi primernya jika:
luka bersih dan kecil tetapi telah mencapai 10 tahun sejak booster yang
terakhir, atau luka lebih serius dan telah mencapai 5 tahun sejak booster
terakhir atau pada pemberian penisilin prokain selama 2-3 hari setelah
mendapat luka berat (dosis 50.000 U/kgBB/hari) (Davis, 2010; Joseph,
2009).
KOMPLIKASI1. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) didalam rongga
mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi
pneumonia aspirasi.
2. Asfiksia terjadi karena adanya kekakuaan otot-otot pernafasan sehingga
pengembangan paru tidak dapat maksimal.
3. Atelektasis karena obstruksi oleh secret hal ini karena seseorang dengan tetanus
akan mengalami trismus (mulut terkunci) sehingga pasien tidak dapat mengeluarkan
sekret yang menumpuk di tenggorokan, atau pun menelanya.
4. Fraktur kompresi dapat terjadi bila saat kejang pasien difiksasi kuat sehingga tubuh
tidak dapat menahan kekuatan luar.
5. Kompresi fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang.
6. Rhabdomyolisis dan renal failure
7. Bronkopneumoni (Vanessa, 2007).
PROGNOSIS10
Tetanus memiliki mortality rate sebesar 50 %, terjadi 15-60 % pada dewasa yang
tidak terobati dan 80-90 % pada neonatus walaupun telah mendapat pengobatan.
Angka kematian paling tinggi terjadi pada usia tua dan pemakai narkotika. Prognosis
akan semakin buruk apabila masa inkubasi lebih pendek dan gejala timbul lebih cepat
atau karena pengobatan yang terlambat (Joseph, 2009).
Dipengaruhi oleh berbagai faktor yg dapat memperburuk keadaan yaitu :
a. Masa inkubasi yg pendek ( 7 hari ).
b. Neonatus dan usia tua (lebih dari 55 th )
c. Frekuensi kejang yg sering
d. Kenaikan suhu badan yg tinggi
e. Pengobatan yg terlambat
f. Periode trismus dan kejang yg semakin sering
g. Adanya penyulit spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas
(Harnawatiaji, 2008).
DIAGNOSA KEPERAWATAN & DATA SUBYEKTIF-OBYEKTIF1. Resiko injury berhubungan dengan aktivitas kejang
DS : pasien mengeluh kaku
DO : kejang (+)
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
secret/mucus.
DS : pasien mengeluh sesak
DO : ronchi, sianosis, dyspnea, batuk dengan sputum, RR > 20 x/menit
3. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme
otot-otot pernafasan
DS : pasien mengeluh sesak
DO : RR > 20 x/menit, retraksi dinding dada, gerakan naik-turun dinding dada
asimetris, pernafasan cuping hidung.
4. Defisit velume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat.
DS : -
DO : mukosa bibir kering, turgor kulit buruk, intake cairan <1500 cc/hari,
diaforesis
11
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketegangan dan
spasme otot mastikatoris , kesukaran menelan dan membuka mulut.
DS : -
DO : Intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi
dapat melalui hidung dan berat badan menurun disertai hasil pemeriksaan protein
atau albumin kurang dari 3,5 mg%
6. Resiko aspirasi berhubungan dengan meningkatknya sekresi, kesukaran
menelan, dan spasme otot faring.
DS : -
DO : makanan dan minuman sering kembali keluar melalui hidung, jalan nafas
tidak bersih (aspirasi makanan dan minuman).
7. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan aktifitas kejang.
DS : -
DO : kejang, bed rest, bau badan, gigi kotor, rambut berminyak, tempat tidur
kotor, iritasi kulit.
8. Cemas berhubungan dengan Kurang pengetahuan pasien tentang penanganan
penyakitnya dikarenakan kurangnya informasi.
DS : pasien mengatakan takut akan penyakit yang dialaminya.
DO : tegang, gelisah, nadi >100 x/menit, RR > 20x/menit, berkali-kali pasien
menanyakan tentang efek dari penyakit tetanus.
INTERVENSI KEPERAWATANDx. 1 Resiko injuri berhubungan dengan aktifitas kejangTujuan : Cedera tidak terjadi
Kriteria Hasil:
Pasien tidak merasa kaku
Kejang (-)
Intervensi Rasional
a. Pre Konvulsif
1. Identifikasi faktor resiko pre konvulsif
untuk penyakit kejang
2. Singkirkan benda – benda yang melukai.
1. Faktor resiko dapat dihindari sehingga
kejadian kejang bisa diminimalkan.
2. Menghindari terjadinya cedera lebih lanjut
12
3. Monitor cardiopulmonal secara terus –
menerus
4. Sediakan dan dekatkan peralatan
suction
5. Sediakan O2 sesuai dengan indikasi
b. Konvulsif
1. Baringkan pasien ditempat yang rata.
2. Catat waktu, durasi, bagian tubuh yang
terlibat dan frekuensi kejang.
3. Pertahankan jalan nafas ( Airway )
4. Pastikan pasien dalam keadaan aman.
5. Kolaborasi: pemberian pengobatan
(contoh Diazepam )
c. Pasca Konvulsif
1. Monitor TTV dan kesadaran pasien
2. Pertahankan jalan nafas efektif.
3. Setelah pasien bangun dan sadar
berikan minum hangat, cairan untuk
rehidrasi.
4. Sediakan oral hygiene.
akibat kejang
3. Perubahan status cardiopulmonal dapat
menunjukkan terjadinya kejang
4. Keberadaan alat-alat yang dekat akan
mempersingkat waktu delay dalam
penanganan pasien
5. Membantu memenuhi kebutuhan O2
1. Memudahkan penanganan pasien kejang
2. Dapat menunjukkan seberapa parah
kejang yang terjadi sehingga tindakan yang
diambil bisa lebih tepat
3. Menghindari terjadinya henti nafas
4. Pasien kejang dapat mengalami perubahan
kondisi secara tiba-tiba
5. Diazepam dapat mengontrol kejang dan
memberikan efek sedasi
1. TTV merupakan indikator yang paling
mudah dilihat jika terjadi perubahan pada
kondisi tubuh pasien
2. Menghindari henti nafas
3. Mengembalikan keseimbangan cairan
tubuh
4. Dengan keadaan oral yang bersih
menghindari terjadinya aspirasi
Dx. 2 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi secret/mucus akibat adanya spasme otot laringTujuan : pasien memperlihatkan kepatenan jalan nafas
Kriteria Hasil:
Sesak (-), ronchi (-), sianosis (-), dyspnea (-), batuk dengan sputum (-), RR 16-20 x/menit
Intervensi Rasional13
1. Kaji status pernafasan,
frekwensi, irama, setiap 2 – 4 jam.
2. Lakukan pengisapan lendir
dengan hati-hati dan pasti bila ada
penumpukan secret.
3. Gunakan sudip lidah saat
kejang.
4. Miringkan ke samping untuk
drainage.
5. Observasi oksigen sesuai
program.
6. Pertahankan kepatenan jalan
nafas dan bersihkan mulut
7. Kolaborasi: Pemberian
sedativa Diazepam drip 10 Amp (hari
pertama dan setiap hari dikurangi 1
amp)
1. Takipnu, pernafasan dangkal dan
gerakan dada tak simetris sering terjadi
karena adanya sekret.
2. Menurunkan resiko aspirasi atau
aspeksia dan osbtruksi.
3. Menghindari tergigitnya lidah dan
memberi sokongan pernafasan jika
diperlukan.
4. Memudahkan dan meningkatkan
aliran sekret dan mencegah lidah jatuh
yang menyumbat jalan nafas.
5. Memaksimalkan oksigen untuk
kebutuhan tubuh dan membantu dalam
pencegahan hipoksia
6. Memaksimalkan fungsi pernafasan
untuk memenuhi kebutuhan tubuh
terhadap oksigen dan pencegahan
hipoksia
7. Mengurangi rangsangan kejang.
Dx.3 Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasanTujuan :
Pola nafas teratur dan normal
Kriteria Hasil:
RR 16- 20 x/menit, retraksi dinding dada (-), gerakan naik-turun dinding dada
simetris, pernafasan cuping hidung (-)
Intervensi Rasional
1. Monitor irama pernafasan dan respirasi rate 1. Indikasi adanya penyimpangan atau
kelainan dari pernafasan dapat dilihat 14
2. Atur posisi luruskan jalan nafas
3. Observasi tanda dan gejala sianosis,
dyspnea, takikardi, CRT > 2 dtk
4. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
5. Kolaborasi: Pemberian oksigenasi
dari frekuensi, jenis pernafasan,
kemampuan dan irama nafas.
2. Jalan nafas yang longgar tidak ada
sumbatan proses respirasi dapat berjalan
dengan lancar.
3. Dyspnea dan sianosis merupakan tanda
terjadinya gangguan nafas disertai
dengan kerja jantung yang menurun
timbul tacikardi dan capillary reffil time
yang memanjang/lama dan untuk
menghindari terjadinya henti nafas.
4. TTV merupakan respon tubuh yang
mudah untuk diamati.
5. Pemberian oksigen secara adekuat
dapat mensuplai dan memberikan
cadangan oksigen, sehingga mncegah
terjadinya hipoksia.
Dx.4 Defisit velume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat.Tujuan : pasien tidak memperlihatkan kekurangan velume cairan
Kriteria Hasil:
mukosa bibir lembab, turgor kulit baik, intake cairan 1500-2000 cc/hari, diaphoresis
(-).
Intervensi Rasional
1. Kaji intake dan out put setiap 24
jam.
2. Kaji tanda-tanda dehidrasi,
membran mukosa, dan turgor kulit setiap
24 jam.
3. Berikan dan pertahankan intake
oral dan parenteral sesuai indikasi dan
disesuaikan dengan perkembangan
1. Memberikan informasi tentang
status cairan /volume sirkulasi dan
kebutuhan penggantian.
2. Indikator keadekuatan sirkulasi
perifer dan hidrasi seluler.
3. Mempertahankan kebutuhan
cairan tubuh.
15
kondisi pasien.
4. Monitor berat jenis urine dan
pengeluarannya.
5. Pertahankan kepatenan NGT
4. Penurunan keluaran urine pekat
dan peningkatan berat jenis urine diduga
dehidrasi/ peningkatan kebutuhan cairan.
5. Mempertahankan intake nutrisi
untuk kebutuhan tubuh
Dx. 5 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketegangan dan spasme otot mastikatoris , kesukaran menelan dan membuka mulut.Tujuan: Status nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil:
Intake cukup, makan dan minuman yang masuk lewat mulut tidak kembali lagi
melalui hidung, BB meningkat, protein atau albumin ≥ 3,5 mg%
Intervensi Rasional
1. Pasang dan pertahankan NGT
untuk intake makanan.
2. Kaji bising usus bila perlu, dan
hati-hati karena sentuhan dapat
merangsang kejang.
3. Berikan nutrisi yang tinggi kalori
dan protein.
4. Timbang berat badan sesuai
protokol
1. Intake nutrisi yang seimbang dan adekuat
akan mempertahankan kebutuhan nutrisi
tubuh
2. Bising usus membantu dalam
menentukan respon untuk makan atau
mengetahui kemungkinan komplikasi dan
mengetahui penurunan obsrobsi air
3. Suplai kalori dan protein yang
adekuat mempertahankan metabolisme
tubuh.
4. Mengevalusai kefektifan atau
kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
Dx.6 Resiko aspirasi berhubungan dengan meningkatknya sekresi, kesukaran menelan, dan spasme otot faring.Tujuan :
Tidak terjadi aspirasi
Kriteria Hasil:
makanan dan minuman tidak lagi kembali keluar melalui hidung, jalan nafas paten
dari aspirasi makanan dan minuman
Intervensi Rasional
16
1. Kaji status pernafasan setiap 2-
4 jam.
2. Lakukan pengisapan lendir
dengan hati-hati.
3. Miringkan ke samping untuk
drainage.
4. Pertahankan kepatenan jalan
nafas dan bersihkan mulut.
5. Kolaborasi: Pemberian oksigen
6. Kolaborasi: Pemberian sedativa
sesuai program
1. Takipnu, pernafasan dangkal dan
gerakan dada tak simetris sering terjadi
karena adanya sekret.
2. Menurunkan resiko aspirasi atau
aspiksia dan osbtruksi.
3. Memudahkan dan meningkatkan
aliran sekret dan mencegah lidah jatuh yang
menyumbat jalan nafas.
4. Memaksimalkan fungsi pernafasan
untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap
oksigen dan pencegahan hipoksia.
5. Memaksimalkan oksigen untuk
kebutuhan tubuh dan membantu dalam
pencegahan hipoksia.
6. Mengurangi rangsangan kejang
Dx.7 Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan aktifitas kejang.Tujuan : Kebutuhan aktifitas sehari-hari/perawatan diri terpenuhi
Kriteria Hasil:
Kejang (-), bed rest (-), bau badan (-), gigi bersih, rambut bersih, tempat tidur bersih, iritasi kulit (-).
Intervensi Rasional
1. Pemenuhan kebutuhan aktifitas
sehari-hari.
2. Bantu pasien dalam memenuhi
kebutuhan aktifitas , BAB/BAK,
membersihkan tempat tidur dan
kebersihan diri juga oral hygiene.
3. Libatkan keluarga dalam
perawatan diri sehari-hari.
1. Kebutuhan sehari-hari terpenuhi
secara adekuat dapat membantu proses
kesembuhan.
2. mempertahankan status
kesehatan dan kebersihan diri pasien.
3. Keluarga dapat meningkatkan
motivasi pasien untuk melakukan aktivitas 17
kebersihan diri
Dx. 8 Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan pasien tentang penanganan penyakitnya dikarenakan kurangnya informasi.Tujuan : pasien menunjukan rasa cemas berkurang atau hilang
Kriteria Hasil:
Takut <<, tegang (-), gelisah (-), nadi 80-100 x/menit, RR 16-20x/menit, klien dan keluarga dapat mengulang informasi yang diberikan.
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kecemasan pasien
2. Jelaskan tentang aktifitas
kejang yang terjadi dan semua
prosedur tindakan yang akan dilakukan
pada pasien
3. Ajarkan pasien untuk
mengekspresikan perasaannya
4. Gunakan komunikasi dan
sentuhan terapeutik
1. Tingkat kecemasan yang berbeda
butuh penanganan yang berbeda pula.
2. Dengan mengetahui semua
prosedur dan kondisi tubuhnya, pasien akan
merasa lebih tenang dan rasa cemas
berkurang
3. Ekspresi perasaan secara verbal
dapat membantu mengurangi rasa cemas
4. Memberikan ketenangan rasa
nyaman bagi pasien
DAFTAR PUSTAKA
Davis, Charles. 2009. Tetanus.
http://www.emedicinehealth.com/tetanus/article_em.htm. Diakses tanggal 26 Mei
2012 pukul 15.40 WIB
Esthi, T. T. 2004. Pola Penyakit dan Determinan Mortalitas Tetanus di Bagian Penyakit
Dalam RSUD Dr. Moewardi Surakarta. http://fk.uns.ac.id/index.php?
option=com_ content&view=article&id=142:pola-penyakit-dan-determinan-
mortalitas-tetanus-di-bagian-penyakit-dalam-rsud-dr-moewardi-
surakarta&catid=63:abstrak-skripsi&Itemid=111. Diakses tanggal 26 Mei 2012
pukul 17.00 WIB
Fakultas Kedokteran UI. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid 2. Medi
Aesculapius. Jakarta
Harnawatiaji. 2008. Tetanus. WordPress.com. Diakses tanggal 26 Mei 2012 pukul
17.15 WIB
18
Joseph, Lentino R. 2009. Tetanus(Lockjaw). http://www.merckmanuals.com/
professional/sec14/ch178/ch178i.html. Diakses tanggal 27 Mei 2012 pukul 10.30
WIB
Ngastiy, Rafani Pasbar. 2009. Tetanus. www.rafani.co.cc. Diakses tanggal 27 Mei 2012
pukul 10.25 WIB
Subhan. 2002. L a p o r a n Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Tetanus Di Ruang
Bedah RSUD Dr. Soetomo Surabaya. FK UNAIR. Surabaya
. Diakses tanggal 27 Mei 2012 pukul 20.10 WIB
19