alternative penyelesaian perkara anak sebagai pelaku ... · pdf filetersebut dilakukan oleh...
TRANSCRIPT
Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana
dengan Diversi dan Restoratif Justice
NOVELINA MS HUTAPEA Staf Pengajar Kop.Wil. I dpk Fakultas Hukum USI P.Siantar
Ringkasan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak telah mengatur secara khusus tata cara
penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku tindak pidana. Pengaturan tersebut
dimaksudkan untuk melindungi anak agar terhindar dari proses penanganan yang salah selama menjalani
proses hukum yang formal guna mempertanggungjawabkan perbuatannya. Proses penanganan yang salah yang
dialami anak dalam penyelesaian perkaranya dapat menimbulkan trauma bagi anak sehingga dapat
menghambat bahkan merusak perkembangan mentalnya dalam meyongsong masa depannya yang masih
panjang.
Dalam kenyataannya bahwa proses hukum yang formal dalam penyelesaian perkara anak sebagai pelaku tindak
pidana tidak selalu efektif untuk membuat anak menjadi jera. Banyak anak yang telah selesai menjalani
pidananya ternyata kembali mengulangi perbuatannya. Berdasarkan hal tersebut timbul pemikiran untuk
menyelesaikan perkara anak yang telah melanggar hukum dengan cara diversi dan restoratif justice yaitu suatu
cara penyelesaian perkara di luar sistem peradilan pidana dengan memberikan kesempatan kepada pelaku
untuk bertanggung jawab atas perbuatannya kepada korban maupun masyarakat yang telah dirugikan atas
perbuatannya.
Kata Kunci : Divesi, Restoratif Justice, Perkara Anak
------------------------------------------------------------
Pendahuluan
Masa anak atau pengalaman hidup
sebagai anak punya daya tarik tersendiri. Masa
anak juga merupakan masa yang istimewa,
tetapi juga adalah suatu periode batas dalam
sejarah hidup seseorang, sebab keberhasilan
atau kegagalan dirinya di awal kehidupan ini
sangat menentukan perkembangan pribadi dan
masa depannya kelak.
Tidak semua anak akan lancar mencapai
tugas-tugas perkembangannya, karena dalam
kenyataannya gangguan dalam perkem-
bangannya akan selalu bisa timbul yang
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor
ekonomi, keluarga, lingkungan maupun faktor
media massa. Tidak jarang hal itu membuat
anak terjerumus melakukan tindakan yang
menjurus kepada pelanggaran hukum.
Perilaku yang tidak sesuai norma atau
disebut sebagai penyelewengan terhadap
norma yang telah disepakati ternyata
menyebabkan terganggunya ketertiban dan
ketenteraman hidup manusia. Perilaku yang
demikian, biasanya oleh masyarakat dicap
sebagai suatu kejahatan. Kejahatan dikenal
pula dengan istilah perbuatan pidana, delik
ataupun tindak pidana.
Tentang tindak pidana anak, se-
sungguhnya tidak ada pengertian tertentu, yang
ada ialah perbuatan pelanggaran hukum
dilakukan seseorang, mungkin ia seorang
www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013
dewasa atau seorang anak. Jadi hanya
perbedaan siapa pelakunya. Jika tindak pidana
tersebut dilakukan oleh seorang anak yang
masih di bawah umur sesuai dengan batas
umur seorang anak sebagaimana ditentukan
oleh suatu undang-undang, maka disebut
dengan tindak pidana anak atau kenakalan
anak ataupun juvenile delinquency.
Akibat dari perbuatan melanggar hukum
yang dilakukannya, ada kalanya seorang anak
harus dihadapkan ke sidang pengadilan. Dalam
rangka mewujudkan suatu peradilan yang
benar-benar memperhatikan anak, maka
keluarlah Undang-undang Momor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak. Menurut
ketentuan undang-undang tersebut, perkara
anak nakal disidangkan dalam peradilan bagi
anak yang ada pada pengdilan di lingkungan
Peradilan Umum.
Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997, anak diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga)
kategori yaitu :
1. Anak berusia kurang dari 8 (delapan)
tahun, tidak boleh diadili.
2. Anak usia 8 (delapan) sampai dengan
kurang dari 12 (dua belas) tahun, boleh
diadili tetapi tidak boleh dijatuhi pidana.
Dalam usia ini anak hanya boleh dijatuhi
tindakan seperti : diberikan
teguran/nasihat, dikembalikan kepada
orang tua atau dijadikan anak negara.
3. Anak usia 12 (dua belas) tahun sampai
dengan kurang dari 18 (delapan belas)
tahun. Dalam usia tersebut anak dapat
dipidana, akan tetapi anak hanya boleh
dipidana ½ dari maksimum ancaman
hukuman dari orang dewasa (Pasal 26
ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997). Anak juga tidak boleh dijatuhi
hukuman mati atau hukuman seumur
hidup (Pasal 26 ayat (2)).
Dari ketentuan Undang-undang Nomor
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dapat
diketahui bahwa meskipun telah diatur tentang
perlakuan-perlakuan khusus terhadap anak
pelaku tindak pidana dalam proses
pemeriksaannya, namun hal itu tetap berada
dalam proses hukum (formal) atau peradilan
pidana konvensional.
Demi kepentingan terbaik bagi anak dan
demi masa depannya maka penyelesaian
terhadap perkara anak hendaknya tidak
dilakukan melalui proses hukum yang formal
apalagi sampai menyebabkan anak dijatuhi
hukuman. Hal ini dapat memberi pengaruh
negative terhadap perkembangan fisik maupun
mental anak. Penjatuhan hukuman tidak
menjadi jaminan bahwa anak tidak akan
mengulangi perbuatannya.
Berdasarkan hal tersebut, timbullah
perkembangan pemikiran dari para pemerhati
anak untuk menyelesaikan perkara anak
sebagai pelaku dengan diversi dan restoratif
justice. Melalui upaya ini diharapkan
kepentingan anak sebagai pelaku tindak pidana
dan kepentingan korban serta kepentingan
umum dapat terlindungi sehingga tercapai
keadilan.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan hukum terhadap
perlindungan hak-hak anak sebagai
pelaku tindak pidana ?
Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice- Novelina MS Hutapea
3
2. Bagaimana penyelesaian perkara anak
sebagai pelaku tindak pidana selama ini ?
3. Bagaimana penyelesaian perkara anak
sebagai pelaku tindak pidana dengan
diversi dan restorative justice ?
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian hukum normatif untuk memperoleh
data sekunder yaitu melalui buku-buku
kepustakaan dan perundang-undangan yang
relevan dengan judul dan permasalahan yang
akan diteliti, sedangkan untuk memperoleh
data primer dilakukan metode penelitian
hukum empiris yaitu dengan mengobservasi
secara langsung cara penyelesaian perkara
anak sebagai pelaku tindak pidana yang telah
berjalan selam ini di Pengadilan Negeri Kota
Pematangsiantar.
PEMBAHASAN
a. Pengaturan Hukum terhadap Perlindungan
Hak-hak Anak sebagai Pelaku Tindak
Pidana
Membicarakan sampai batas usia
berapa seseorang dapat dikatakan tergolong
anak, ternyata banyak undang-undang yang
tidak seragam batasannya karena dilator
belakangi oleh maksud dan tujuan masing-
masing undnag-undang itu sendiri. Menurut
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak yang disebut
anak adalah sampai batas usia sebelum
mencapai umur 21 tahun dan belum pernah
kawin (Pasal 1 butir 2). Didalam Konvensi
PBB tentang Hak-hak Anak, batasan umur
anak adalah di bawah 18 (delapan belas)
tahun. Demikian juga dalam Undang-
undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM, disebut setiap manusia yang berusia
di bawah 18 (delapan belas) tahun dan
belum menikah termasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila hal tersebut
adalah demi kepentingannya.
Sedangkan batasan umur anak
sebagai pelaku tindak pidana menurut
Undnag-undang Nomor 3 Tahun 1997
adalah :
1. Anak adalah orang yang dalam perkara
Anak Nakal telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin.
2. Anak Nakal adalah :
a. anak yang melakukan tindak pidana;
atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-
undangan maupun menurut peraturan
hukum lain yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat yang ber-
sangkutan.
Ciri dan watak bangsa Indonesia saat
ini banyak ditentukan oleh kasih sayang,
perhatian dan pendidikan yang kita berikan
kepada anak cicit kita pada saat sekarang.
Tidaklah berlebihan kiranya apabila
mengenai pembinaan kesejahteraan anak
kita berpegang pada etos bahwa hari depan
(generasi muda) ditentukan oleh hari ini.
www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013
Lebih tegas lagi dikatakan bahwa The
Future Is Now. Perhatian terhadap anak di
suatu masyarakat atau bangsa, paling
mudah dilihat dari berbagai produk
peraturan perundang-undangan yang
menyangkut perlindungan hak-hak anak.
Ketika penelusuran itu menghasilkan
kesimpulan bahwa di dalam masyarakat
telah ada peraturan perundang-undangan
yang memadai sebagai sarana pemberian
perlindungan hak-hak anak, lazimnya orang
telah memfokuskan perhatiannya pada
kajian yang mengarah bagi pratek
penegakkan peraturan itu dalam kehidupan
nyata anak-anak dei masyarakat.
Perlindungan hak dimaksud adalah
termasuk perlindungan hak bagi anak
pelaku tindak pidana. Peraturan perundang-
undangan yang mengatur hak-hak anak
sebagai pelaku, misalnya : Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak dan Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Adapun hak-hak anak sebagai pelaku
tindak pidana, yaitu :
1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997.
Pasal-pasal yang mengatur tentang
perlindungan hak-hak anak sebagai
pelaku tindak pidana adalah Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal
23, Pasal 24, Pasal, 25, Pasal 26, Pasal
27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 31, Pasal
32, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal
48, Pasal 49, Pasal 51, Pasal 53, Pasal
55, Pasal 56, Pasal 61, Pasal 62 dan
Pasal 63.
Hak-hak anak tersebut adalah :
a. Hak anak untuk diperiksa oleh
petugas khusus sejak dini.
b. Hak untuk diperiksa dalam sidang
tertutup, kecuali dalah hal tertentu
dan dipandang perlu dapat dilakukan
dalam sidang terbuka.
c. Hak untuk diperiksa dalam suasana
kekeluargaan.
d. Hak untuk didampingi oleh
Pembimbing Kemasyarakatan.
e. Hak untuk didampingi oleh orang
tua, wali atau orang tua asuh.
f. Hak untuk dirahasiakan selama
proses penyidikan.
g. Hak untuk ditahan lebih singkat dari
masa penahanan untuk orang
dewasa.
h. Hak untuk tetap dipenuhi kebutuhan
jasmani, rohani dan sosial anak
selama ditahan.
i. Hak mendapat bantuan hukum dari
seorang atau lebih Penasehat Hukum
sejak ditangkap atau ditahan dan
selama dalam waktu dan pada setiap
tingkat pemeriksaan.
j. Hak untuk memperoleh pidana yang
lebih ringan dari pidana untuk orang
dewasa.
k. Hak untuk ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak atau harus
dipisahkan dari tempat tahanan
orang dewasa.
l. Hak untuk memperoleh pendidikan
dan latihan sesuai dengan bakat dan
kemampuannya di Lembaga Pe-
masyarakatan Anak.
Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice- Novelina MS Hutapea
5
m. Hak untuk diberikan pembebasaan
bersyarat di bawah pengawasan
jaksa dan pembimbing kemas-
yarakatan bagi anak pidana yang
berkelakuan baik dan telah
menjalani pidana 2/3 (dua per tiga)
dari pidana yang dijatuhkan yang
sekurang-kurangnya 9 (sembilan)
bulan.
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan terhadap hak-hak anak
sebagaimana diatur di dalam Pasal
16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 59 jo
Pasal 64 ayat (2) adalah :
a. Hak memperoleh perlindungan
dari sasaran penganiayaan, pe-
nyiksaan atau penjatuhan hu-
kuman yang tidak manusiawi.
b. Hak untuk memperoleh ke-
bebasan sesuai dengan hukum.
c. Penangkapan, penahanan, atau
pidana hanya dapat dilakukan
apabila sesuai dengan hukum
yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.
d. Hak memperoleh bantuan hukum
dan bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan.
e. Hak membela diri dan mem-
peroleh keadilan di depan pe-
ngadilan anak yang objektif dan
tidak memihak dalam sidang
tertutup untuk umum.
f. Hak untuk memperoleh petugas
pendamping khusus sejak dini.
g. Hak untuk mendapat sarana dan
prasarana khusus.
h. Pemantauan dan pencatatan terus
menerus terhadap perkembangan
anak yang berhadapan dengan
hukum.
i. Perlindungan dan pemberitaan
identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi.
j. Pemberian jaminan untuk mem-
pertahankan hubungan dengan
orang tua atau keluarga.
b. Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku
Tindak Pidana Selama Ini
Proses pemeriksaan perkara anak
pelaku tindak pidana sebagaimana halnya
dengan perkara orang dewasa, dilakukan
mulai tahap penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan sidang pengadilan. Proses
pemeriksaan mengacu kepada ketentuan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 dan
hukum acara lainnya sepanjang tidak
diatur di dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997, misalnya : KUHAP.
Tahap pemeriksaan perkara anak
seorang pelaku tindak pidana adalah
sebagai berikut :
1. Tahap penyidikan
Penyidikan terhadap anak nakal
dilakukan oleh penyidik anak yang
ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Kepala Kepolisian RI atau
pejabat lain yang ditunjuk olehnya.
Dengan demikian Penyidik Umum
tidak dapat melakukan penyidikan atas
perkara anak nakal kecuali dalam hal
www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013
tertentu, seperti belum ada Penyidik
Anak di tempat tersebut.
Adapun syarat-syarat untuk menjadi
Penyidik Anak sesuai dengan Pasal 41
ayat (2) Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 adalah :
a. Telah berpengalaman sebagai
penyidik;
b. Mempunyai minat, perhatian,
dedikasi dan memahami masalah
anak.
Akan tetapi dalam hal-hal tertentu,
karena Penyidik Anak belum ada,
maka tugas penyidikan dapat
dilakukan oleh penyidik biasa bagi
tindak pidana yang dilakukan orang
dewasa, atau penyidik lain yang
ditetapkan berdasarkan undang-
undang yang berlaku. Penyidik wajib
memeriksa tersangka dalam suasana
kekeluargaan (Pasal 42 ayat (1)
Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997). Ketentuan ini menghendaki
bahwa pemeriksaan dilakukan dengan
pendekatan secara efektif dan
simpatik. Efektif dapat diartikan,
bahwa pemeriksaan tidak memakan
waktu lama, dengan menggunakan
bahasa yang mudah dimengerti, dan
dapat mengajak tersangka memberikan
keterangan yang sejelas-jelasnya.
Simpatik, maksudnya pada waktu
pemeriksaan, penyidik bersifat sopan
dan ramah serta tidak menakut-nakuti
tersangka.
Pasal 43 ayat (1) huruf a Undnag-
undang Nomor 3 Tahun 1997,
menentukan bahwa Pembimbing
Kemasyarakatan bertuga membantu
memperlancar penyidikan dengan
membuat laporan penelitian kemas-
yarakatan. Pembimbing kemasya-
rakatan harus siap memberikan
pertimbangan atau saran yang
diperlukan oleh penyidik. Bila pe-
nyidikan dilakukan tanpa melibatkan
pembimbing kemasyarakatan, penyi-
dikan batal demi hukum.
Prose penyidikan anak nakal, wajib
dirahasiakan (Pasal 42 ayat(3)
Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997). Tindakan penyidikan berupa
penangkapan, penahanan dan tindakan
lain yang dilakukan mulai dari tahap
penyelidikan sampai dengan tahap
penyidikan, wajib dilakukan secara
rahasia.
2. Tahap penyelidikan
Perkara anak nakal dapat diajukan ke
sidang pengadilan, adalah perkara
anak nakal yang berumur 8 (delapan)
tahun dan maksimum belum genap
berumur 18 (delapan belas) tahun dan
yang belum pernah kawin. Namun
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997, masih
memungkinkan dilakukan penyidikan
bagi anak yang berumur di bawah 8
(delapan) tahun, pada hal berkas
perkaranya tidak akan dilimpahkan ke
Kejaksaan untuk dilakukan penun-
tutan di persidangan. Tujuan dila-
kukan penyidikan terhadap anak yang
belum berumur 8 (delapan) tahun
Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice- Novelina MS Hutapea
7
yang diduga melakukan kenakalan,
adalah untuk mengetahui bahwa anak
yang bersangkutan melakukan tindak
pidana seorang diri, atau ada orang
lain yang terlibat atau anak yang
bersangkutan melakukan tindak
pidana bersama-sama dengan orng
lain, yang dalam hal ini yang berumur
8 (delapan) tahun ke atas dan atau
dengan orang dewasa.
Untuk kepentingan penyidikan,
penyidik berwenang menahan selama
20 (dua puluh) hari dan apabila
diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai atas
permintaan penyidik dapat diper-
panjang oleh penuntut umum yang
berwenang selama 10 (sepuluh) hari
dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
sudah harus menyerahkan berkas
perkara yang bersangkutan kepada
penuntut umum. Apabila dilampaui
dan berkas perkara belum diserahkan
maka tersangka harus dikeluarkan
demi hukum.
3. Tahap penuntutan
Pasal 53 Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997, menentukan bahwa
penuntut umum anak diangkat
berdasarkan Surat Keputusan Jaksa
Agung atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh Jaksa Agung. Penuntut umum
anak adalah yang memenuhi syarat :
telah berpengalaman sebagai penuntut
umum tindak pidana yang dilakukan
oleh orang dewasa, mempunyai minat,
perhatian, dedikasi dan memahami
masalah anak. Pada prinsipnya
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997,
menghendaki agar setiap Kejaksaan
Negeri memiliki penuntut umum anak
untuk menangani anak nakal. Tetapi
apabila Kejaksaan Negeri tidak
mempunyai penutut umum anak,
karena belum ada yang memnuhi
syarat-syarat yang ditentukan atau
karena pindah/mutasi, maka tugas
penuntutan perkara anak nakal
dibebankan kepada penuntut umum
yang melakukan tugas penuntutan bagi
tindak pidana yang dilakukan oleh
orang dewasa.
Apabila penuntut umum sudah selesai
mempelajari berkas perkara hasil
penyidikan, dan penuntut umum
berpendapat bahwa tindak pidana yang
disangkakan dapat dituntut, maka
menurut ketentuan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 sejalan dengan
ketentuan Pasal 140 ayat (1) KUHAP,
penuntut umum dalam waktu
secepatnya membuat surat dakwaan.
Waktu secepatnya dimaksud adalah
berkaitan dengan masalah penahanan
atas diri tersangka/terdakwa, sebagai-
mana diatur dalam Pasal 44 sampai
dengan Pasal 50 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997. Surat dakwaan
merupakan dasar adanya suatu perkara
pidana yang juga merupakan dasar
bagi hakim melakukan pemeriksaan.
Setelah penutut umum membuat surat
dakwaan, dilimpahkan ke Pengadilan
www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013
dengan membuat surat pelimpahan
perkara.
4. Tahap pemeriksaan di sidang
pengadilan
Pemeriksaan sidang anak dilakukan
oleh hakim anak yang ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Ketua
Makahmah Agung atas usul Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan
melalui Ketua Pengadilan Tinggi
(Pasal 9 Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997). Sedangkan syarat-syarat
untuk menjadi hakim anak diatur
dalam Pasal 10, yaitu :
a. telah berpengalaman sebagai
hakim di Pengadilan di lingkungan
Peradilan Umum; dan
b. mempunyai minat, perhatian,
dedikasi dan memahami masalh
anak.
Dalam konteks ketentuan tersebut,
sebaiknya dibuat peraturan pelak-
sanaan yang mengatur tentang syarat-
syarat menjadi hakim anak. Seperti
tentang pengalaman menjadi hakim,
perlu ditegaskan disamping pendi-
dikan-pendidikan khusus yang perlu
ditempuh. Hal ini didasarkan
pertimbangan bahwa hakim anak
merupakan hakim khusus yang
memiliki keahlian khusus dalam
rangka perlindungan anak.
Hakim yang memeriksa dan memutus
perkara anak dalam tingkat pertama
adalah hakim tunggal, kecuali dalam
hal tertentu dan dipandang perlu Ketua
Pengadilan Negeri dapat menetapkan
pemeriksaan perkara anak dengan
hakim majelis (Pasal 11 ayat (1) dan
(2) Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997).
Adapun acara pemeriksaan sidang
anak dilakukan sebagai berikut :
a. Penuntut umum, penasihat hukum,
pembimbing kemasyarakatan,
orang tua, wali atau orang tua asuh
dan saksi wajib hadir dalam sidang
anak selama persidangan (Pasal 55
dan Pasal 57 ayat (1) Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1997).
b. Sebelum sidang dibuka, atas
perintah hakim, pembimbing
kemasyarakatan menyampaikan
laporan hasil penelitian
kemasyarakatan mengenai anak
yang bersangkutan, yang berisi
tentang data individu anak,
keluarga, pendidikan, dan kehi-
dupan sosial anak serta kesimpulan
dan sara dari pembimbing kemas-
yarakatan (Pasal 51 ayat (1) dan (2)
Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997.
c. Persidangan dilakukan secara
tertutup untuk umum tetapi pada
waktu pengucapan putusan, wajib
dilakukan dalam sidang terbuka
untuk umum (Pasal 57 ayat (1) jo
Pasal 59 ayat (3) Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997). Pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut di atas
mengakibatkan putusan batal demi
hukum. Pada waktu pemeriksaan
saksi, hakim dapat memerintahkan
Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice- Novelina MS Hutapea
9
agar terdakwa dibawa ke luar
sidang (Pasal 58 ayat (1) Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1997).
Ketentuan ini dimaksudkan untuk
menghindari adanya hal yang
mempengaruhi jiwa anak.
d. Hakim memberikan kesempatan
kepada orang tua, wali atau orang
tua asuh untuk mengemukakan
segala hal yang bermanfaat bagi
anak sebelum mengucapkan
putusannya. Disamping itu harus
pula dipertimbangkan laporan
penelitian kemasyarakatan dari
pembimbing kemasyrakatan (Pasal
59 ayat (1) dan (2) Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997). Putusan
yang tidak mempertimbangkan
laporan penelitian kemayarakatan
mengakibatkan putusan batal demi
hukum.
e. Putusan hakim dalam sidang anak
dapat berupa menjatuhkan pidana
atau tindakan kepada terdakwa
anak (Pasal 23 dan Pasal 24
Undang-undang Nomor 3 tahun
1997). Pidana, dapat berupa :
1. Pidana penjara;
2. Pidana kurungan;
3. Pidana denda;
4. Pidana pengawasan.
Pidana tambahan dapat berupa :
1. Perampasan barang tertentu dan
atau
2. Pembayaran ganti kerugian.
Sedangkan tindakan yang
dijatuhkan kepada anak nakal,
dapat berupa :
a. Mengembalikan anak kepada
orang tua, wali, atau orang tua
asuh.
b. Menyerahkan anak kepada
negara (anak negara untuk
mengikuti pendidikan, pembina-
an dan latihan kerja), atau
c. Menyerahkan anak nakal kepada
Departemen Sosial, atau
organisasi sosial kemasyara-
katan yang bergerak di bidang
pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja.
Tindakan dalam hal ini disertai
dengan teguran dan syarat tam-
bahan yang ditetapkan oleh hakim.
C. Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku
Tindak Pidana dengan Diversi dan
Restorative Justice
Melihat dari kenyataan yang ditemui
dalam praktek proses peradilan anak,
bahwa walaupun undang-undang telah
mengatur perlakuan khusus yang seharus
diterapkan pada anak, ternyata masih
banyak petugas yang menangani perkara
anak melakukan perbuatan yang
melanggar hak-hak anak. Misalnya
kekerasan fisik maupun mental yang
dilakukan pada pemeriksaan di tingkat
penyidikan. Hal mana akan menimbulkan
trauma atau dampak psikologis yang buruk
bagi anak.
www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013
Sudah banyak kajian dan catan
pengalaman yang menunjukkan dampak
destruktif dari peradilan pidana bagi anak
terutama proses penahanan dan
pemenjaraan yang hampir selalu melekat
dalam penanganan melalui sistem ini. Data
dunia menunjukan 50% - 70% anak yang
pernah terintegrasi dalam sistem peradilan
pidana serta mengalami penahanan dan
pemenjaraan ternyata kembali terlibat
dalam tindak pidana lainnya dikemudian
hari. Artinya jika pemenjaraan dimak-
sudkan untuk membuat anak menjadi jera,
itu tidak terbukti.
Berdasarkan hal tersebut,
berkembanglah pemikiran untuk mencari
penanganan alternative terhadap pen-
yelesaian kasus-kasus yang melibatkan
anak sebagai pelaku tindak pidana yaitu
dengan diversi dan restorative justice.
Konsep penyelesaian berbasis masyarakat
ini sebenarnya sudah lama dikenal oleh
masyarakat Indonesia, sebab masyarakat
Indonesia suka menyelesaikan konflik-
konflik dalam relasi sosialnya tanpa proses
forma atau peradilan pidana konvensional.
Divesi dalam sistem peradilan pidana
merupakan upaya yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum untuk mengalihkan
kasus pidana dari mekanisme formal
kemekanisme yang informal. Diversi
dilakukan untuk menemukan suatu bentuk
penyelesaian yang memberikan per-
lindungan terhadap semua pihak dengan
pengedepankan prinsip kebersamaan.
Konsep ini lahir didasarkan pada
kenyataan bahwa proses peradilan pidana
dalam tindak pidana tertentu melalui
sistem peradilan pidana konvensional lebih
banyak menimbulkan bahaya dari pada
kebaikan.
Tujuan dari diversi adalah :
1. Untuk menghidari penahanan
2. Untuk menghindari cap/label sebagai
penjahat
3. Untuk meningkatkan ketrampilan
hidup bagi pelaku
4. Agar pelaku bertanggung jawab atas
perbuatannya
5. Untuk mencegah pengulangan tindak
pidana
6. Untuk memajukan intervensi-inter-
vensi yang diperlukan bagi korban dan
pelaku tanpa harus melalui proses
formal
7. Program diversi juga akan
menghindari anak mengikuti proses
sistem peradilan pidana
8. Lebih lanjut program ini akan
menjauhkan anak-anak dari pengaruh-
pengaruh dan implikasi negative dari
proses peradilan tersebut
Dalam ketentuan hukum Indonesia,
diversi hanya dimungkinkan di tingkat
penyidikan artinya merupakan kewe-
nangan dari polisi, sementara di lembaga
lain seperti kejaksaan, kehakiman atau
lembaga pemasyarakatan belum ada
peraturan yang mengaturnya sehingga
disarankan agar lembaga-lembaga tersebut
mulai memikirkan kemungkinan jalan
keluarnya tentang penerapan diversi ini.
Dalam ketentuan hukum Indonesia diversi
diatur dalam Undang-undang Nomor 2
Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice- Novelina MS Hutapea
11
Tahun 2002 tentang Kepolisian yang
menyangkut hak diskresi yang dimiliki
polisi sedangkan menurut hukum
internasional diatur di dalam Konvensi
Hak-hak Anak, Pasal 40 ayat (3) dan
Beijing Rules Pasal 11.
Restorative Justice sendiri dimaknai
sebagai suatu proses penyelesaian dimana
semua pihak yang terlibat dalam
pelanggaran hukum tertentu berkumpul
bersama untuk memutuskan secara kolektif
cara mengatasi konsekwensi pelanggaran
dan implikasinya dimasa mendatang.
Dalam konteks ini upaya penyelesaian
lebih difokuskan pada pemulihan atas
kerugian yang ditimbulkan akibat
pelanggaran tersebut, bukan pembalasan
bagi pelaku.
Program-program diversi dapat
menjadi bentuk keadilan restoratif, bila :
1. Mendorong pelaku untuk bertanggung
jawab atas perbuatannya
2. Memberikan kesempatan bagi pelaku
untuk mengganti kesalahan dilaku-
kannya dengan berbuat kebaikan bagi
si korban
3. Memberikan kesempatan bagi si
korban untuk ikut serta dalam proses
4. Memberikan kesempatan bagi pelaku
untuk dapat mempertahankan hubu-
ngan keluarga
5. Memenuhi kebutuhan mereka yang
dirugikan oleh tindak pidana
6. Memberikan kesempatan bagi
rekonsiliasi dan penyembuhan dalam
masyarakat yang dirugikan oleh tindak
pidana
Dari uraian-uraian tersebut di
atas, dapat dipahami bahwa dengan diversi
dan restorative justice diusahakan untuk
menyelesaikan perkara anak sebagai
pelaku di luar sistem peradilan pidana
dengan memberikan kesempatan kepada
pelaku untuk bertanggung jawab atas
perbuatannya kepad korban maupun
masyarakat. Semua pihak yang terlibat
dipertemukan untuk bersama-sama
mencapai kesempatan tentang tindakan apa
yang terbaik untuk anak pelaku tindak
pidana tersebut.
Kesimpulan dan Saran DAN SARAN
a. Kesimpulan
1. Indonesia telah mengatur perlindungan
hak bagi anak sebagai pelaku tindak
pidana di dalam beberapa ketentuan
perundang-undangan, antara lain :
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak dan
Undang-undang Nomor 223 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak.
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
mengatur proses hukum (formal)
terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana, dimulai tahap penyidikan,
penuntutan, dan persidangan penga-
dilan anak. Pada setiap tahap
pemeriksaan, Undang-undang Nomor
3 Tahun 1997 pada dasarnya telah
mengatur perlakuan khusus yang harus
diterapkan pada perkara anak demi
kepentingan terbaik anak.
3. Diversi dan Restorative Justice adalah
suatu perkembangan terhadap
www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013
penyelesaian perkara anak dengan
jalan mengalihkan suatu proses
peradilan formal menjadi proses yang
tidak formal untuk menghindari
trauma dan stigmatisasi bagi anak
selam dalam sistem peradilan.
Tindakan ini dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan terhadap
semua pihak sehingga tercapai
keadilan.
B. Saran
1. Agar penyidik yang menangani
perkara anak sebagai pelaku,
sepanjang memungkinkan dapat
melakukan diversi lebih banyak lagi
pada masa yang akan datang.
2. Agar Mahkamah Agung, Jaksa Agung
dan Menteri Hukum Dan HAM dapat
membuat kebijakan-kebijakan sebagai
dasar penerapan diversi dalam perkara
anak pelaku tindak pidana di tingkat
penuntutan, pengadilan atau Lembaga
Pemasyarakatan sambil menunggu
keluarnya undang-undang yang
mengatur tentang diversi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan
Anak, Universitas Sumatera Utara
(USU Press), Medan, 1998.
Sunaryati CFG., Politik Hukum Menuju Satu
Sistem Hukum Nasional, Alumni,
Bandung, 1997.
Herlina Apong et all, Perlindungan Terhadap
Anak Ynag Berhadapan Dengan
Hukum, Manual Pelatihan Untuk
Polisi, Pemerintah RI Kerjasama
Dengan UNICEF, Jakarta, 2004.
Mulyadi Mahmud, Hukum pidana
Perkembangan, Badan Juliah Semester
Genap, Program Pascasarjana Ilmu
Hukum, UMSU Medan, 2008.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang HAM.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
KUHAP.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.
Catatan :
Tulisan ini telah dipublikasi pada Jurnal
“Habonaron Do Bona” Edisi 3 Nopember
2009; ISSN : 2085-3424