alternative penyelesaian perkara anak sebagai pelaku ... · pdf filetersebut dilakukan oleh...

12
Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice NOVELINA MS HUTAPEA Staf Pengajar Kop.Wil. I dpk Fakultas Hukum USI P.Siantar Ringkasan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak telah mengatur secara khusus tata cara penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku tindak pidana. Pengaturan tersebut dimaksudkan untuk melindungi anak agar terhindar dari proses penanganan yang salah selama menjalani proses hukum yang formal guna mempertanggungjawabkan perbuatannya. Proses penanganan yang salah yang dialami anak dalam penyelesaian perkaranya dapat menimbulkan trauma bagi anak sehingga dapat menghambat bahkan merusak perkembangan mentalnya dalam meyongsong masa depannya yang masih panjang. Dalam kenyataannya bahwa proses hukum yang formal dalam penyelesaian perkara anak sebagai pelaku tindak pidana tidak selalu efektif untuk membuat anak menjadi jera. Banyak anak yang telah selesai menjalani pidananya ternyata kembali mengulangi perbuatannya. Berdasarkan hal tersebut timbul pemikiran untuk menyelesaikan perkara anak yang telah melanggar hukum dengan cara diversi dan restoratif justice yaitu suatu cara penyelesaian perkara di luar sistem peradilan pidana dengan memberikan kesempatan kepada pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya kepada korban maupun masyarakat yang telah dirugikan atas perbuatannya. Kata Kunci : Divesi, Restoratif Justice, Perkara Anak ------------------------------------------------------------ Pendahuluan Masa anak atau pengalaman hidup sebagai anak punya daya tarik tersendiri. Masa anak juga merupakan masa yang istimewa, tetapi juga adalah suatu periode batas dalam sejarah hidup seseorang, sebab keberhasilan atau kegagalan dirinya di awal kehidupan ini sangat menentukan perkembangan pribadi dan masa depannya kelak. Tidak semua anak akan lancar mencapai tugas-tugas perkembangannya, karena dalam kenyataannya gangguan dalam perkem- bangannya akan selalu bisa timbul yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor ekonomi, keluarga, lingkungan maupun faktor media massa. Tidak jarang hal itu membuat anak terjerumus melakukan tindakan yang menjurus kepada pelanggaran hukum. Perilaku yang tidak sesuai norma atau disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketenteraman hidup manusia. Perilaku yang demikian, biasanya oleh masyarakat dicap sebagai suatu kejahatan. Kejahatan dikenal pula dengan istilah perbuatan pidana, delik ataupun tindak pidana. Tentang tindak pidana anak, se- sungguhnya tidak ada pengertian tertentu, yang ada ialah perbuatan pelanggaran hukum dilakukan seseorang, mungkin ia seorang

Upload: vuongtuong

Post on 05-Feb-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana

dengan Diversi dan Restoratif Justice

NOVELINA MS HUTAPEA Staf Pengajar Kop.Wil. I dpk Fakultas Hukum USI P.Siantar

Ringkasan

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak telah mengatur secara khusus tata cara

penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku tindak pidana. Pengaturan tersebut

dimaksudkan untuk melindungi anak agar terhindar dari proses penanganan yang salah selama menjalani

proses hukum yang formal guna mempertanggungjawabkan perbuatannya. Proses penanganan yang salah yang

dialami anak dalam penyelesaian perkaranya dapat menimbulkan trauma bagi anak sehingga dapat

menghambat bahkan merusak perkembangan mentalnya dalam meyongsong masa depannya yang masih

panjang.

Dalam kenyataannya bahwa proses hukum yang formal dalam penyelesaian perkara anak sebagai pelaku tindak

pidana tidak selalu efektif untuk membuat anak menjadi jera. Banyak anak yang telah selesai menjalani

pidananya ternyata kembali mengulangi perbuatannya. Berdasarkan hal tersebut timbul pemikiran untuk

menyelesaikan perkara anak yang telah melanggar hukum dengan cara diversi dan restoratif justice yaitu suatu

cara penyelesaian perkara di luar sistem peradilan pidana dengan memberikan kesempatan kepada pelaku

untuk bertanggung jawab atas perbuatannya kepada korban maupun masyarakat yang telah dirugikan atas

perbuatannya.

Kata Kunci : Divesi, Restoratif Justice, Perkara Anak

------------------------------------------------------------

Pendahuluan

Masa anak atau pengalaman hidup

sebagai anak punya daya tarik tersendiri. Masa

anak juga merupakan masa yang istimewa,

tetapi juga adalah suatu periode batas dalam

sejarah hidup seseorang, sebab keberhasilan

atau kegagalan dirinya di awal kehidupan ini

sangat menentukan perkembangan pribadi dan

masa depannya kelak.

Tidak semua anak akan lancar mencapai

tugas-tugas perkembangannya, karena dalam

kenyataannya gangguan dalam perkem-

bangannya akan selalu bisa timbul yang

disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor

ekonomi, keluarga, lingkungan maupun faktor

media massa. Tidak jarang hal itu membuat

anak terjerumus melakukan tindakan yang

menjurus kepada pelanggaran hukum.

Perilaku yang tidak sesuai norma atau

disebut sebagai penyelewengan terhadap

norma yang telah disepakati ternyata

menyebabkan terganggunya ketertiban dan

ketenteraman hidup manusia. Perilaku yang

demikian, biasanya oleh masyarakat dicap

sebagai suatu kejahatan. Kejahatan dikenal

pula dengan istilah perbuatan pidana, delik

ataupun tindak pidana.

Tentang tindak pidana anak, se-

sungguhnya tidak ada pengertian tertentu, yang

ada ialah perbuatan pelanggaran hukum

dilakukan seseorang, mungkin ia seorang

www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013

dewasa atau seorang anak. Jadi hanya

perbedaan siapa pelakunya. Jika tindak pidana

tersebut dilakukan oleh seorang anak yang

masih di bawah umur sesuai dengan batas

umur seorang anak sebagaimana ditentukan

oleh suatu undang-undang, maka disebut

dengan tindak pidana anak atau kenakalan

anak ataupun juvenile delinquency.

Akibat dari perbuatan melanggar hukum

yang dilakukannya, ada kalanya seorang anak

harus dihadapkan ke sidang pengadilan. Dalam

rangka mewujudkan suatu peradilan yang

benar-benar memperhatikan anak, maka

keluarlah Undang-undang Momor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak. Menurut

ketentuan undang-undang tersebut, perkara

anak nakal disidangkan dalam peradilan bagi

anak yang ada pada pengdilan di lingkungan

Peradilan Umum.

Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun

1997, anak diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga)

kategori yaitu :

1. Anak berusia kurang dari 8 (delapan)

tahun, tidak boleh diadili.

2. Anak usia 8 (delapan) sampai dengan

kurang dari 12 (dua belas) tahun, boleh

diadili tetapi tidak boleh dijatuhi pidana.

Dalam usia ini anak hanya boleh dijatuhi

tindakan seperti : diberikan

teguran/nasihat, dikembalikan kepada

orang tua atau dijadikan anak negara.

3. Anak usia 12 (dua belas) tahun sampai

dengan kurang dari 18 (delapan belas)

tahun. Dalam usia tersebut anak dapat

dipidana, akan tetapi anak hanya boleh

dipidana ½ dari maksimum ancaman

hukuman dari orang dewasa (Pasal 26

ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun

1997). Anak juga tidak boleh dijatuhi

hukuman mati atau hukuman seumur

hidup (Pasal 26 ayat (2)).

Dari ketentuan Undang-undang Nomor

3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dapat

diketahui bahwa meskipun telah diatur tentang

perlakuan-perlakuan khusus terhadap anak

pelaku tindak pidana dalam proses

pemeriksaannya, namun hal itu tetap berada

dalam proses hukum (formal) atau peradilan

pidana konvensional.

Demi kepentingan terbaik bagi anak dan

demi masa depannya maka penyelesaian

terhadap perkara anak hendaknya tidak

dilakukan melalui proses hukum yang formal

apalagi sampai menyebabkan anak dijatuhi

hukuman. Hal ini dapat memberi pengaruh

negative terhadap perkembangan fisik maupun

mental anak. Penjatuhan hukuman tidak

menjadi jaminan bahwa anak tidak akan

mengulangi perbuatannya.

Berdasarkan hal tersebut, timbullah

perkembangan pemikiran dari para pemerhati

anak untuk menyelesaikan perkara anak

sebagai pelaku dengan diversi dan restoratif

justice. Melalui upaya ini diharapkan

kepentingan anak sebagai pelaku tindak pidana

dan kepentingan korban serta kepentingan

umum dapat terlindungi sehingga tercapai

keadilan.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan hukum terhadap

perlindungan hak-hak anak sebagai

pelaku tindak pidana ?

Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice- Novelina MS Hutapea

3

2. Bagaimana penyelesaian perkara anak

sebagai pelaku tindak pidana selama ini ?

3. Bagaimana penyelesaian perkara anak

sebagai pelaku tindak pidana dengan

diversi dan restorative justice ?

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode

penelitian hukum normatif untuk memperoleh

data sekunder yaitu melalui buku-buku

kepustakaan dan perundang-undangan yang

relevan dengan judul dan permasalahan yang

akan diteliti, sedangkan untuk memperoleh

data primer dilakukan metode penelitian

hukum empiris yaitu dengan mengobservasi

secara langsung cara penyelesaian perkara

anak sebagai pelaku tindak pidana yang telah

berjalan selam ini di Pengadilan Negeri Kota

Pematangsiantar.

PEMBAHASAN

a. Pengaturan Hukum terhadap Perlindungan

Hak-hak Anak sebagai Pelaku Tindak

Pidana

Membicarakan sampai batas usia

berapa seseorang dapat dikatakan tergolong

anak, ternyata banyak undang-undang yang

tidak seragam batasannya karena dilator

belakangi oleh maksud dan tujuan masing-

masing undnag-undang itu sendiri. Menurut

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak yang disebut

anak adalah sampai batas usia sebelum

mencapai umur 21 tahun dan belum pernah

kawin (Pasal 1 butir 2). Didalam Konvensi

PBB tentang Hak-hak Anak, batasan umur

anak adalah di bawah 18 (delapan belas)

tahun. Demikian juga dalam Undang-

undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

HAM, disebut setiap manusia yang berusia

di bawah 18 (delapan belas) tahun dan

belum menikah termasuk anak yang masih

dalam kandungan apabila hal tersebut

adalah demi kepentingannya.

Sedangkan batasan umur anak

sebagai pelaku tindak pidana menurut

Undnag-undang Nomor 3 Tahun 1997

adalah :

1. Anak adalah orang yang dalam perkara

Anak Nakal telah mencapai umur 8

(delapan) tahun tetapi belum mencapai

umur 18 (delapan belas) tahun dan

belum pernah kawin.

2. Anak Nakal adalah :

a. anak yang melakukan tindak pidana;

atau

b. anak yang melakukan perbuatan yang

dinyatakan terlarang bagi anak, baik

menurut peraturan perundang-

undangan maupun menurut peraturan

hukum lain yang hidup dan berlaku

dalam masyarakat yang ber-

sangkutan.

Ciri dan watak bangsa Indonesia saat

ini banyak ditentukan oleh kasih sayang,

perhatian dan pendidikan yang kita berikan

kepada anak cicit kita pada saat sekarang.

Tidaklah berlebihan kiranya apabila

mengenai pembinaan kesejahteraan anak

kita berpegang pada etos bahwa hari depan

(generasi muda) ditentukan oleh hari ini.

www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013

Lebih tegas lagi dikatakan bahwa The

Future Is Now. Perhatian terhadap anak di

suatu masyarakat atau bangsa, paling

mudah dilihat dari berbagai produk

peraturan perundang-undangan yang

menyangkut perlindungan hak-hak anak.

Ketika penelusuran itu menghasilkan

kesimpulan bahwa di dalam masyarakat

telah ada peraturan perundang-undangan

yang memadai sebagai sarana pemberian

perlindungan hak-hak anak, lazimnya orang

telah memfokuskan perhatiannya pada

kajian yang mengarah bagi pratek

penegakkan peraturan itu dalam kehidupan

nyata anak-anak dei masyarakat.

Perlindungan hak dimaksud adalah

termasuk perlindungan hak bagi anak

pelaku tindak pidana. Peraturan perundang-

undangan yang mengatur hak-hak anak

sebagai pelaku, misalnya : Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak dan Undang-undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Adapun hak-hak anak sebagai pelaku

tindak pidana, yaitu :

1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997.

Pasal-pasal yang mengatur tentang

perlindungan hak-hak anak sebagai

pelaku tindak pidana adalah Pasal 5,

Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal

23, Pasal 24, Pasal, 25, Pasal 26, Pasal

27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 31, Pasal

32, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal

48, Pasal 49, Pasal 51, Pasal 53, Pasal

55, Pasal 56, Pasal 61, Pasal 62 dan

Pasal 63.

Hak-hak anak tersebut adalah :

a. Hak anak untuk diperiksa oleh

petugas khusus sejak dini.

b. Hak untuk diperiksa dalam sidang

tertutup, kecuali dalah hal tertentu

dan dipandang perlu dapat dilakukan

dalam sidang terbuka.

c. Hak untuk diperiksa dalam suasana

kekeluargaan.

d. Hak untuk didampingi oleh

Pembimbing Kemasyarakatan.

e. Hak untuk didampingi oleh orang

tua, wali atau orang tua asuh.

f. Hak untuk dirahasiakan selama

proses penyidikan.

g. Hak untuk ditahan lebih singkat dari

masa penahanan untuk orang

dewasa.

h. Hak untuk tetap dipenuhi kebutuhan

jasmani, rohani dan sosial anak

selama ditahan.

i. Hak mendapat bantuan hukum dari

seorang atau lebih Penasehat Hukum

sejak ditangkap atau ditahan dan

selama dalam waktu dan pada setiap

tingkat pemeriksaan.

j. Hak untuk memperoleh pidana yang

lebih ringan dari pidana untuk orang

dewasa.

k. Hak untuk ditempatkan di Lembaga

Pemasyarakatan Anak atau harus

dipisahkan dari tempat tahanan

orang dewasa.

l. Hak untuk memperoleh pendidikan

dan latihan sesuai dengan bakat dan

kemampuannya di Lembaga Pe-

masyarakatan Anak.

Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice- Novelina MS Hutapea

5

m. Hak untuk diberikan pembebasaan

bersyarat di bawah pengawasan

jaksa dan pembimbing kemas-

yarakatan bagi anak pidana yang

berkelakuan baik dan telah

menjalani pidana 2/3 (dua per tiga)

dari pidana yang dijatuhkan yang

sekurang-kurangnya 9 (sembilan)

bulan.

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak.

Perlindungan terhadap hak-hak anak

sebagaimana diatur di dalam Pasal

16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 59 jo

Pasal 64 ayat (2) adalah :

a. Hak memperoleh perlindungan

dari sasaran penganiayaan, pe-

nyiksaan atau penjatuhan hu-

kuman yang tidak manusiawi.

b. Hak untuk memperoleh ke-

bebasan sesuai dengan hukum.

c. Penangkapan, penahanan, atau

pidana hanya dapat dilakukan

apabila sesuai dengan hukum

yang berlaku dan hanya dapat

dilakukan sebagai upaya terakhir.

d. Hak memperoleh bantuan hukum

dan bantuan lainnya secara efektif

dalam setiap tahapan.

e. Hak membela diri dan mem-

peroleh keadilan di depan pe-

ngadilan anak yang objektif dan

tidak memihak dalam sidang

tertutup untuk umum.

f. Hak untuk memperoleh petugas

pendamping khusus sejak dini.

g. Hak untuk mendapat sarana dan

prasarana khusus.

h. Pemantauan dan pencatatan terus

menerus terhadap perkembangan

anak yang berhadapan dengan

hukum.

i. Perlindungan dan pemberitaan

identitas melalui media massa dan

untuk menghindari labelisasi.

j. Pemberian jaminan untuk mem-

pertahankan hubungan dengan

orang tua atau keluarga.

b. Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku

Tindak Pidana Selama Ini

Proses pemeriksaan perkara anak

pelaku tindak pidana sebagaimana halnya

dengan perkara orang dewasa, dilakukan

mulai tahap penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan sidang pengadilan. Proses

pemeriksaan mengacu kepada ketentuan

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 dan

hukum acara lainnya sepanjang tidak

diatur di dalam Undang-undang Nomor 3

Tahun 1997, misalnya : KUHAP.

Tahap pemeriksaan perkara anak

seorang pelaku tindak pidana adalah

sebagai berikut :

1. Tahap penyidikan

Penyidikan terhadap anak nakal

dilakukan oleh penyidik anak yang

ditetapkan berdasarkan Surat

Keputusan Kepala Kepolisian RI atau

pejabat lain yang ditunjuk olehnya.

Dengan demikian Penyidik Umum

tidak dapat melakukan penyidikan atas

perkara anak nakal kecuali dalam hal

www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013

tertentu, seperti belum ada Penyidik

Anak di tempat tersebut.

Adapun syarat-syarat untuk menjadi

Penyidik Anak sesuai dengan Pasal 41

ayat (2) Undang-undang Nomor 3

Tahun 1997 adalah :

a. Telah berpengalaman sebagai

penyidik;

b. Mempunyai minat, perhatian,

dedikasi dan memahami masalah

anak.

Akan tetapi dalam hal-hal tertentu,

karena Penyidik Anak belum ada,

maka tugas penyidikan dapat

dilakukan oleh penyidik biasa bagi

tindak pidana yang dilakukan orang

dewasa, atau penyidik lain yang

ditetapkan berdasarkan undang-

undang yang berlaku. Penyidik wajib

memeriksa tersangka dalam suasana

kekeluargaan (Pasal 42 ayat (1)

Undang-undang Nomor 3 Tahun

1997). Ketentuan ini menghendaki

bahwa pemeriksaan dilakukan dengan

pendekatan secara efektif dan

simpatik. Efektif dapat diartikan,

bahwa pemeriksaan tidak memakan

waktu lama, dengan menggunakan

bahasa yang mudah dimengerti, dan

dapat mengajak tersangka memberikan

keterangan yang sejelas-jelasnya.

Simpatik, maksudnya pada waktu

pemeriksaan, penyidik bersifat sopan

dan ramah serta tidak menakut-nakuti

tersangka.

Pasal 43 ayat (1) huruf a Undnag-

undang Nomor 3 Tahun 1997,

menentukan bahwa Pembimbing

Kemasyarakatan bertuga membantu

memperlancar penyidikan dengan

membuat laporan penelitian kemas-

yarakatan. Pembimbing kemasya-

rakatan harus siap memberikan

pertimbangan atau saran yang

diperlukan oleh penyidik. Bila pe-

nyidikan dilakukan tanpa melibatkan

pembimbing kemasyarakatan, penyi-

dikan batal demi hukum.

Prose penyidikan anak nakal, wajib

dirahasiakan (Pasal 42 ayat(3)

Undang-undang Nomor 3 Tahun

1997). Tindakan penyidikan berupa

penangkapan, penahanan dan tindakan

lain yang dilakukan mulai dari tahap

penyelidikan sampai dengan tahap

penyidikan, wajib dilakukan secara

rahasia.

2. Tahap penyelidikan

Perkara anak nakal dapat diajukan ke

sidang pengadilan, adalah perkara

anak nakal yang berumur 8 (delapan)

tahun dan maksimum belum genap

berumur 18 (delapan belas) tahun dan

yang belum pernah kawin. Namun

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1997, masih

memungkinkan dilakukan penyidikan

bagi anak yang berumur di bawah 8

(delapan) tahun, pada hal berkas

perkaranya tidak akan dilimpahkan ke

Kejaksaan untuk dilakukan penun-

tutan di persidangan. Tujuan dila-

kukan penyidikan terhadap anak yang

belum berumur 8 (delapan) tahun

Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice- Novelina MS Hutapea

7

yang diduga melakukan kenakalan,

adalah untuk mengetahui bahwa anak

yang bersangkutan melakukan tindak

pidana seorang diri, atau ada orang

lain yang terlibat atau anak yang

bersangkutan melakukan tindak

pidana bersama-sama dengan orng

lain, yang dalam hal ini yang berumur

8 (delapan) tahun ke atas dan atau

dengan orang dewasa.

Untuk kepentingan penyidikan,

penyidik berwenang menahan selama

20 (dua puluh) hari dan apabila

diperlukan guna kepentingan

pemeriksaan yang belum selesai atas

permintaan penyidik dapat diper-

panjang oleh penuntut umum yang

berwenang selama 10 (sepuluh) hari

dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari

sudah harus menyerahkan berkas

perkara yang bersangkutan kepada

penuntut umum. Apabila dilampaui

dan berkas perkara belum diserahkan

maka tersangka harus dikeluarkan

demi hukum.

3. Tahap penuntutan

Pasal 53 Undang-undang Nomor 3

Tahun 1997, menentukan bahwa

penuntut umum anak diangkat

berdasarkan Surat Keputusan Jaksa

Agung atau pejabat lain yang ditunjuk

oleh Jaksa Agung. Penuntut umum

anak adalah yang memenuhi syarat :

telah berpengalaman sebagai penuntut

umum tindak pidana yang dilakukan

oleh orang dewasa, mempunyai minat,

perhatian, dedikasi dan memahami

masalah anak. Pada prinsipnya

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997,

menghendaki agar setiap Kejaksaan

Negeri memiliki penuntut umum anak

untuk menangani anak nakal. Tetapi

apabila Kejaksaan Negeri tidak

mempunyai penutut umum anak,

karena belum ada yang memnuhi

syarat-syarat yang ditentukan atau

karena pindah/mutasi, maka tugas

penuntutan perkara anak nakal

dibebankan kepada penuntut umum

yang melakukan tugas penuntutan bagi

tindak pidana yang dilakukan oleh

orang dewasa.

Apabila penuntut umum sudah selesai

mempelajari berkas perkara hasil

penyidikan, dan penuntut umum

berpendapat bahwa tindak pidana yang

disangkakan dapat dituntut, maka

menurut ketentuan Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1997 sejalan dengan

ketentuan Pasal 140 ayat (1) KUHAP,

penuntut umum dalam waktu

secepatnya membuat surat dakwaan.

Waktu secepatnya dimaksud adalah

berkaitan dengan masalah penahanan

atas diri tersangka/terdakwa, sebagai-

mana diatur dalam Pasal 44 sampai

dengan Pasal 50 Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1997. Surat dakwaan

merupakan dasar adanya suatu perkara

pidana yang juga merupakan dasar

bagi hakim melakukan pemeriksaan.

Setelah penutut umum membuat surat

dakwaan, dilimpahkan ke Pengadilan

www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013

dengan membuat surat pelimpahan

perkara.

4. Tahap pemeriksaan di sidang

pengadilan

Pemeriksaan sidang anak dilakukan

oleh hakim anak yang ditetapkan

berdasarkan Surat Keputusan Ketua

Makahmah Agung atas usul Ketua

Pengadilan Negeri yang bersangkutan

melalui Ketua Pengadilan Tinggi

(Pasal 9 Undang-undang Nomor 3

Tahun 1997). Sedangkan syarat-syarat

untuk menjadi hakim anak diatur

dalam Pasal 10, yaitu :

a. telah berpengalaman sebagai

hakim di Pengadilan di lingkungan

Peradilan Umum; dan

b. mempunyai minat, perhatian,

dedikasi dan memahami masalh

anak.

Dalam konteks ketentuan tersebut,

sebaiknya dibuat peraturan pelak-

sanaan yang mengatur tentang syarat-

syarat menjadi hakim anak. Seperti

tentang pengalaman menjadi hakim,

perlu ditegaskan disamping pendi-

dikan-pendidikan khusus yang perlu

ditempuh. Hal ini didasarkan

pertimbangan bahwa hakim anak

merupakan hakim khusus yang

memiliki keahlian khusus dalam

rangka perlindungan anak.

Hakim yang memeriksa dan memutus

perkara anak dalam tingkat pertama

adalah hakim tunggal, kecuali dalam

hal tertentu dan dipandang perlu Ketua

Pengadilan Negeri dapat menetapkan

pemeriksaan perkara anak dengan

hakim majelis (Pasal 11 ayat (1) dan

(2) Undang-undang Nomor 3 Tahun

1997).

Adapun acara pemeriksaan sidang

anak dilakukan sebagai berikut :

a. Penuntut umum, penasihat hukum,

pembimbing kemasyarakatan,

orang tua, wali atau orang tua asuh

dan saksi wajib hadir dalam sidang

anak selama persidangan (Pasal 55

dan Pasal 57 ayat (1) Undang-

undang Nomor 3 Tahun 1997).

b. Sebelum sidang dibuka, atas

perintah hakim, pembimbing

kemasyarakatan menyampaikan

laporan hasil penelitian

kemasyarakatan mengenai anak

yang bersangkutan, yang berisi

tentang data individu anak,

keluarga, pendidikan, dan kehi-

dupan sosial anak serta kesimpulan

dan sara dari pembimbing kemas-

yarakatan (Pasal 51 ayat (1) dan (2)

Undang-undang Nomor 3 Tahun

1997.

c. Persidangan dilakukan secara

tertutup untuk umum tetapi pada

waktu pengucapan putusan, wajib

dilakukan dalam sidang terbuka

untuk umum (Pasal 57 ayat (1) jo

Pasal 59 ayat (3) Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1997). Pelanggaran

terhadap ketentuan tersebut di atas

mengakibatkan putusan batal demi

hukum. Pada waktu pemeriksaan

saksi, hakim dapat memerintahkan

Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice- Novelina MS Hutapea

9

agar terdakwa dibawa ke luar

sidang (Pasal 58 ayat (1) Undang-

undang Nomor 3 Tahun 1997).

Ketentuan ini dimaksudkan untuk

menghindari adanya hal yang

mempengaruhi jiwa anak.

d. Hakim memberikan kesempatan

kepada orang tua, wali atau orang

tua asuh untuk mengemukakan

segala hal yang bermanfaat bagi

anak sebelum mengucapkan

putusannya. Disamping itu harus

pula dipertimbangkan laporan

penelitian kemasyarakatan dari

pembimbing kemasyrakatan (Pasal

59 ayat (1) dan (2) Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1997). Putusan

yang tidak mempertimbangkan

laporan penelitian kemayarakatan

mengakibatkan putusan batal demi

hukum.

e. Putusan hakim dalam sidang anak

dapat berupa menjatuhkan pidana

atau tindakan kepada terdakwa

anak (Pasal 23 dan Pasal 24

Undang-undang Nomor 3 tahun

1997). Pidana, dapat berupa :

1. Pidana penjara;

2. Pidana kurungan;

3. Pidana denda;

4. Pidana pengawasan.

Pidana tambahan dapat berupa :

1. Perampasan barang tertentu dan

atau

2. Pembayaran ganti kerugian.

Sedangkan tindakan yang

dijatuhkan kepada anak nakal,

dapat berupa :

a. Mengembalikan anak kepada

orang tua, wali, atau orang tua

asuh.

b. Menyerahkan anak kepada

negara (anak negara untuk

mengikuti pendidikan, pembina-

an dan latihan kerja), atau

c. Menyerahkan anak nakal kepada

Departemen Sosial, atau

organisasi sosial kemasyara-

katan yang bergerak di bidang

pendidikan, pembinaan dan

latihan kerja.

Tindakan dalam hal ini disertai

dengan teguran dan syarat tam-

bahan yang ditetapkan oleh hakim.

C. Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku

Tindak Pidana dengan Diversi dan

Restorative Justice

Melihat dari kenyataan yang ditemui

dalam praktek proses peradilan anak,

bahwa walaupun undang-undang telah

mengatur perlakuan khusus yang seharus

diterapkan pada anak, ternyata masih

banyak petugas yang menangani perkara

anak melakukan perbuatan yang

melanggar hak-hak anak. Misalnya

kekerasan fisik maupun mental yang

dilakukan pada pemeriksaan di tingkat

penyidikan. Hal mana akan menimbulkan

trauma atau dampak psikologis yang buruk

bagi anak.

www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013

Sudah banyak kajian dan catan

pengalaman yang menunjukkan dampak

destruktif dari peradilan pidana bagi anak

terutama proses penahanan dan

pemenjaraan yang hampir selalu melekat

dalam penanganan melalui sistem ini. Data

dunia menunjukan 50% - 70% anak yang

pernah terintegrasi dalam sistem peradilan

pidana serta mengalami penahanan dan

pemenjaraan ternyata kembali terlibat

dalam tindak pidana lainnya dikemudian

hari. Artinya jika pemenjaraan dimak-

sudkan untuk membuat anak menjadi jera,

itu tidak terbukti.

Berdasarkan hal tersebut,

berkembanglah pemikiran untuk mencari

penanganan alternative terhadap pen-

yelesaian kasus-kasus yang melibatkan

anak sebagai pelaku tindak pidana yaitu

dengan diversi dan restorative justice.

Konsep penyelesaian berbasis masyarakat

ini sebenarnya sudah lama dikenal oleh

masyarakat Indonesia, sebab masyarakat

Indonesia suka menyelesaikan konflik-

konflik dalam relasi sosialnya tanpa proses

forma atau peradilan pidana konvensional.

Divesi dalam sistem peradilan pidana

merupakan upaya yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum untuk mengalihkan

kasus pidana dari mekanisme formal

kemekanisme yang informal. Diversi

dilakukan untuk menemukan suatu bentuk

penyelesaian yang memberikan per-

lindungan terhadap semua pihak dengan

pengedepankan prinsip kebersamaan.

Konsep ini lahir didasarkan pada

kenyataan bahwa proses peradilan pidana

dalam tindak pidana tertentu melalui

sistem peradilan pidana konvensional lebih

banyak menimbulkan bahaya dari pada

kebaikan.

Tujuan dari diversi adalah :

1. Untuk menghidari penahanan

2. Untuk menghindari cap/label sebagai

penjahat

3. Untuk meningkatkan ketrampilan

hidup bagi pelaku

4. Agar pelaku bertanggung jawab atas

perbuatannya

5. Untuk mencegah pengulangan tindak

pidana

6. Untuk memajukan intervensi-inter-

vensi yang diperlukan bagi korban dan

pelaku tanpa harus melalui proses

formal

7. Program diversi juga akan

menghindari anak mengikuti proses

sistem peradilan pidana

8. Lebih lanjut program ini akan

menjauhkan anak-anak dari pengaruh-

pengaruh dan implikasi negative dari

proses peradilan tersebut

Dalam ketentuan hukum Indonesia,

diversi hanya dimungkinkan di tingkat

penyidikan artinya merupakan kewe-

nangan dari polisi, sementara di lembaga

lain seperti kejaksaan, kehakiman atau

lembaga pemasyarakatan belum ada

peraturan yang mengaturnya sehingga

disarankan agar lembaga-lembaga tersebut

mulai memikirkan kemungkinan jalan

keluarnya tentang penerapan diversi ini.

Dalam ketentuan hukum Indonesia diversi

diatur dalam Undang-undang Nomor 2

Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice- Novelina MS Hutapea

11

Tahun 2002 tentang Kepolisian yang

menyangkut hak diskresi yang dimiliki

polisi sedangkan menurut hukum

internasional diatur di dalam Konvensi

Hak-hak Anak, Pasal 40 ayat (3) dan

Beijing Rules Pasal 11.

Restorative Justice sendiri dimaknai

sebagai suatu proses penyelesaian dimana

semua pihak yang terlibat dalam

pelanggaran hukum tertentu berkumpul

bersama untuk memutuskan secara kolektif

cara mengatasi konsekwensi pelanggaran

dan implikasinya dimasa mendatang.

Dalam konteks ini upaya penyelesaian

lebih difokuskan pada pemulihan atas

kerugian yang ditimbulkan akibat

pelanggaran tersebut, bukan pembalasan

bagi pelaku.

Program-program diversi dapat

menjadi bentuk keadilan restoratif, bila :

1. Mendorong pelaku untuk bertanggung

jawab atas perbuatannya

2. Memberikan kesempatan bagi pelaku

untuk mengganti kesalahan dilaku-

kannya dengan berbuat kebaikan bagi

si korban

3. Memberikan kesempatan bagi si

korban untuk ikut serta dalam proses

4. Memberikan kesempatan bagi pelaku

untuk dapat mempertahankan hubu-

ngan keluarga

5. Memenuhi kebutuhan mereka yang

dirugikan oleh tindak pidana

6. Memberikan kesempatan bagi

rekonsiliasi dan penyembuhan dalam

masyarakat yang dirugikan oleh tindak

pidana

Dari uraian-uraian tersebut di

atas, dapat dipahami bahwa dengan diversi

dan restorative justice diusahakan untuk

menyelesaikan perkara anak sebagai

pelaku di luar sistem peradilan pidana

dengan memberikan kesempatan kepada

pelaku untuk bertanggung jawab atas

perbuatannya kepad korban maupun

masyarakat. Semua pihak yang terlibat

dipertemukan untuk bersama-sama

mencapai kesempatan tentang tindakan apa

yang terbaik untuk anak pelaku tindak

pidana tersebut.

Kesimpulan dan Saran DAN SARAN

a. Kesimpulan

1. Indonesia telah mengatur perlindungan

hak bagi anak sebagai pelaku tindak

pidana di dalam beberapa ketentuan

perundang-undangan, antara lain :

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997

Tentang Pengadilan Anak dan

Undang-undang Nomor 223 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak.

2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997

mengatur proses hukum (formal)

terhadap anak sebagai pelaku tindak

pidana, dimulai tahap penyidikan,

penuntutan, dan persidangan penga-

dilan anak. Pada setiap tahap

pemeriksaan, Undang-undang Nomor

3 Tahun 1997 pada dasarnya telah

mengatur perlakuan khusus yang harus

diterapkan pada perkara anak demi

kepentingan terbaik anak.

3. Diversi dan Restorative Justice adalah

suatu perkembangan terhadap

www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2013

penyelesaian perkara anak dengan

jalan mengalihkan suatu proses

peradilan formal menjadi proses yang

tidak formal untuk menghindari

trauma dan stigmatisasi bagi anak

selam dalam sistem peradilan.

Tindakan ini dimaksudkan untuk

memberikan perlindungan terhadap

semua pihak sehingga tercapai

keadilan.

B. Saran

1. Agar penyidik yang menangani

perkara anak sebagai pelaku,

sepanjang memungkinkan dapat

melakukan diversi lebih banyak lagi

pada masa yang akan datang.

2. Agar Mahkamah Agung, Jaksa Agung

dan Menteri Hukum Dan HAM dapat

membuat kebijakan-kebijakan sebagai

dasar penerapan diversi dalam perkara

anak pelaku tindak pidana di tingkat

penuntutan, pengadilan atau Lembaga

Pemasyarakatan sambil menunggu

keluarnya undang-undang yang

mengatur tentang diversi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan

Anak, Universitas Sumatera Utara

(USU Press), Medan, 1998.

Sunaryati CFG., Politik Hukum Menuju Satu

Sistem Hukum Nasional, Alumni,

Bandung, 1997.

Herlina Apong et all, Perlindungan Terhadap

Anak Ynag Berhadapan Dengan

Hukum, Manual Pelatihan Untuk

Polisi, Pemerintah RI Kerjasama

Dengan UNICEF, Jakarta, 2004.

Mulyadi Mahmud, Hukum pidana

Perkembangan, Badan Juliah Semester

Genap, Program Pascasarjana Ilmu

Hukum, UMSU Medan, 2008.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang

Kesejahteraan Anak.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

Tentang HAM.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang

KUHAP.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak.

Catatan :

Tulisan ini telah dipublikasi pada Jurnal

“Habonaron Do Bona” Edisi 3 Nopember

2009; ISSN : 2085-3424