alhikam-pengantar-1s.d.4

13
PENGANTAR TENTANG KITAB HIKAM Sebelum kita "ngaji", mari kita hadiahkan fatihah. Pertama kepada pengarang Kitab al-Hikam, yaitu Syekh Ahmad ibn Muhammad ibn Abdul Karim ibn Atha'illah al-Sakandari al-Shadzili. Kedua, kepada ayah saya dan guru saya: Kiai Abdullah Rifai serta ibu saya Nyai Salamah. Bagi yang bukan Muslim, mohon berkenan hening sebentar, mengirimkan doa kepada SyekH ibm Atha'illah. Siapakah Syekh Ibn Atha'illah pengarang Kitab Hikam itu? Dia adalah seorang sufi besar dari Mesir, salah satu mursyid atau guru spiritual dalam tarekat Syadziliyya (Shadhili order). Nama lengkapnya adalah Tajuddin Abul Fadl Ahmad ibn Muhammad ibn Abdul Karim... Ibn Atha'illah al-Sakandari al-Syadzili. Mula-mula, tokoh kita ini tidak menyukai tasawwuf atau mistik Islam. Suatu hari, beliau mengikuti dan mendengarkan ceramah Abul Abbas al-Mursi, mursyid kedua dalam tarekat Syadiliyyah. Dalam sekejap beliau berubah haluan: jatuh cinta pada tasawwuf. Beliau sangat kagum terhadap isi ceramah Syekh al-Mursi. Kemudian Syekh Ibn Athaillah ikut bai'at dan menjadi anggota tarekat Syadziliyyah. Belakangan, beliau menjadi tokoh penting dalam tarekat ini. Dari sosok yang anti tasawwuf kemudian menjadi tokoh besar dalam tasawwuf. Itulah Syekh Ibn Atha'llah. Kitab Hikam sangat populer di seluruh dunia Islam, bukan saja di kalangan pengikut tarekat Syadiliyyah, tetapi juga di luar lingkaran itu. Sebabnya adalah, saya kira, kitab ini berisi mutiara- mutiara bijak yang sangat puitis dan sekaligus mendalam maknanya. Kitab ini dikomentari/di-syarahi oleh banyak ulama sejak dulu. Salah satu syarah yang terkenal adalah karya Ibn Ajibah, sufi besar dari Maroko. Dia menulis komentar atas Kitab Hikam dengan judul " Iqadzul Himam". Kitab inilah yang menjadi sandaran saya untuk "ngaji" di sini. Kitab Hikam dulu selalu diajarkan oleh Mbah Abdullah Salam Kajen. Saya masih ingat saat kecil dulu, Mbah Dullah (begitu kami memanggilnya di Kajen, Pati) sering mengajar kitab ini di Masjid Kajen setiap Selasa pagi. Pengajian itu terus berlangsung sampai beliau wafat. Sekarang, pengajian itu diteruskan oleh putera beliau, Kiai Nafi' Abdullah Salam. Kiai Nafi' adalah guru saya yang pernah mengajar saya kirab "Lubb al-Ushul" dalam bidang teori hukum Islam (ushul fiqh). Ibn Atha'illah tinggal di Kairo, dan hidup sezaman dengan Ibn Taymiyah, tokoh yang dianggap sebagai pendahulu gerakan Wahabi itu. Beliau sangat keras melawan pendapat-pendapat Ibn Taymiyyah. Dalam bidang fikih, Ibn Atha'illah adalah pengikut mazhab Maliki. Beliau adalah salah satu ulama dalam mazhab itu. Ibn Atha'illah meninggal pada 1309 M di Kairo. Waktu berkunjung ke Kairo beberapa tahun lalu, saya sempat ziarah ke makam beliau. Sekian pengantar pendek tentang Syekh Ibn Atha'illah. Setelah pengantar pendek ini, mari kita masuk ke pembahasan Kitab Hikam. Bismillah...@ NGAJI HIKAM #1

Upload: herman-ahmad

Post on 10-Dec-2015

44 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Karya Ulil Absar Abdallabe open minded yet still sharply coutious

TRANSCRIPT

Page 1: Alhikam-Pengantar-1s.d.4

PENGANTAR

TENTANG KITAB HIKAM

Sebelum kita "ngaji", mari kita hadiahkan fatihah. Pertama kepada pengarang Kitab al-Hikam, yaitu Syekh Ahmad ibn Muhammad ibn Abdul Karim ibn Atha'illah al-Sakandari al-Shadzili. Kedua, kepada ayah saya dan guru saya: Kiai Abdullah Rifai serta ibu saya Nyai Salamah.

Bagi yang bukan Muslim, mohon berkenan hening sebentar, mengirimkan doa kepada SyekH ibm Atha'illah.

Siapakah Syekh Ibn Atha'illah pengarang Kitab Hikam itu?

Dia adalah seorang sufi besar dari Mesir, salah satu mursyid atau guru spiritual dalam tarekat Syadziliyya (Shadhili order). Nama lengkapnya adalah Tajuddin Abul Fadl Ahmad ibn Muhammad ibn Abdul Karim... Ibn Atha'illah al-Sakandari al-Syadzili.

Mula-mula, tokoh kita ini tidak menyukai tasawwuf atau mistik Islam. Suatu hari, beliau mengikuti dan mendengarkan ceramah Abul Abbas al-Mursi, mursyid kedua dalam tarekat Syadiliyyah.

Dalam sekejap beliau berubah haluan: jatuh cinta pada tasawwuf. Beliau sangat kagum terhadap isi ceramah Syekh al-Mursi. Kemudian Syekh Ibn Athaillah ikut bai'at dan menjadi anggota tarekat Syadziliyyah. Belakangan, beliau menjadi tokoh penting dalam tarekat ini. Dari sosok yang anti tasawwuf kemudian menjadi tokoh besar dalam tasawwuf. Itulah Syekh Ibn Atha'llah.

Kitab Hikam sangat populer di seluruh dunia Islam, bukan saja di kalangan pengikut tarekat Syadiliyyah, tetapi juga di luar lingkaran itu. Sebabnya adalah, saya kira, kitab ini berisi mutiara-mutiara bijak yang sangat puitis dan sekaligus mendalam maknanya.

Kitab ini dikomentari/di-syarahi oleh banyak ulama sejak dulu. Salah satu syarah yang terkenal adalah karya Ibn Ajibah, sufi besar dari Maroko. Dia menulis komentar atas Kitab Hikam dengan judul " Iqadzul Himam". Kitab inilah yang menjadi sandaran saya untuk "ngaji" di sini.

Kitab Hikam dulu selalu diajarkan oleh Mbah Abdullah Salam Kajen. Saya masih ingat saat kecil dulu, Mbah Dullah (begitu kami memanggilnya di Kajen, Pati) sering mengajar kitab ini di Masjid Kajen setiap Selasa pagi.

Pengajian itu terus berlangsung sampai beliau wafat. Sekarang, pengajian itu diteruskan oleh putera beliau, Kiai Nafi' Abdullah Salam. Kiai Nafi' adalah guru saya yang pernah mengajar saya kirab "Lubb al-Ushul" dalam bidang teori hukum Islam (ushul fiqh).

Ibn Atha'illah tinggal di Kairo, dan hidup sezaman dengan Ibn Taymiyah, tokoh yang dianggap sebagai pendahulu gerakan Wahabi itu. Beliau sangat keras melawan pendapat-pendapat Ibn Taymiyyah.

Dalam bidang fikih, Ibn Atha'illah adalah pengikut mazhab Maliki. Beliau adalah salah satu ulama dalam mazhab itu.

Ibn Atha'illah meninggal pada 1309 M di Kairo. Waktu berkunjung ke Kairo beberapa tahun lalu, saya sempat ziarah ke makam beliau.

Sekian pengantar pendek tentang Syekh Ibn Atha'illah. Setelah pengantar pendek ini, mari kita masuk ke pembahasan Kitab Hikam. Bismillah...@

NGAJI HIKAM #1

Page 2: Alhikam-Pengantar-1s.d.4

USAHA PENTING, TETAPI BUKAN SEGALA-GALANYA

Syekh Ibn Atailllah berkata: Min ‘alamat al-i’timad ‘ala al-‘amal, nuqshan al-raja’ ‘inda wujud

al-zalal.

Terjemahan: Tanda seseorang bergantung pada amal dan karyanya adalah bahwa dia akan

cenderung pesimis, kurang harapan manakala dia mengalami kegagalan atau terpeleset.

Ini kebijaksanaan yang mendalam. Bisa dipahami dalam pengertian “khusus” menurut para ahli

mistik/tasawwuf. Atau dipahami secara awam.

Pengertian awam. Saya akan mulai dengan pemahaman yang awam dulu. Pemahaman orang-

orang biasa. Seorang yang beriman seharusnya memiliki kesadaran bahwa ia bisa mencapai

sesuatu bukan semata-mata karena pekerjaannya.

Kita berusaha, lalu berhasil. Kita bekerja, lalu sukses. Kita berdagang, lalu untung. Kita belajar,

lalu menjadi orang pintar. Dan seterusnya. Semua hasil itu jangan semata-mata kita pandang

sebagai melulu berkat usaha dan pekerjaan kita.

Kita harus menyisakan sedikit “ruang” bahwa keberhasilan kita ini jangan-jangan tidak seluruhnya

karena faktor usaha kita, tetapi juga karena ada fakor X yang kita tidak tahu. Kehidupan manusia

adalah sangat kompleks. Kita tidak bisa mengontrol seluruh faktor yang berpengaruh dalam

tindakan sosial kita.

Ada faktor-faktor yang luput dari perhitungan dan kontrol kita. Faktor ini bisa membuat usaha kita

sukses, bisa juga membuatnya gagal. Sebagai seorang beriman, kita percaya bahwa hanya Tuhan

yang berkuasa atas faktor-faktor “misterius” semacam ini. Kalau Anda ateispun, Anda tetap bisa

memahami logic di balik kata-kata bijak Ibn Ataillah ini.

Manfaat dari sikap semacam ini adalah: Anda tidak langsung pesimis dan putus asa saat gagal

mencapai suatu hasil. Jika Anda berpikir bahwa usaha Anda adalah satu-satunya faktor penentu,

saat Anda gagal, Anda boleh jadi akan “ngenes” dan sedih: Saya sudah bekerja keras, kenapa

tetap gagal?

Ajaran ini mau memberi tahu kita agar kita rendah hati.

Pengertian khusus/mistik. Ada tiga jenis pekerjaan atau amal: amal syariat, amal thariqat, dan

amal haqiqat.

Amal syariat adalah ketika Anda menyembah Tuhan sesuai dengan peraturan dan hukum agama.

Amal thariqat adalah kesadaran bahwa saat Anda menyembah Tuhan, Anda tidak sekedar

menyembah. Melainkan Anda sedang “on the journey”, sedang dalam petualangan dan perjalanan

menuju Tuhan. Amal haqiqat adalah pengalaman spiritual yang disebut dengan “syuhud” atau

“vision”.

Apa itu syuhud? Yakni: pengalaman mistik/spiritual yang hanya bisa dialami oleh seseorang yang

sungguh-sungguh menjalani dua amal sebelumnya. Dalam pengalaman itu, Anda merasa seolah-

olah berjumpa, menyaksikan (vision) Tuhan. Tentu bukan penyaksian dengan indera lahir.

Melainkan dengan indera batin.

Jangan sekali-kali Anda mengira bahwa amal syariat dan thariqat bisa langsung, secara otomatis,

membawa Anda kepada pengalaman haqiqat. Amal syariat dan thariqat adalah jalan atau wasilah

Page 3: Alhikam-Pengantar-1s.d.4

menuju ke sana. Anda harus melalui jalan itu. Tetapi Anda sampai ke puncak haqiqat atau tidak,

itu bukan sepenuhnya ditentukan oleh usaha kita sendiri, melainkan karena kemurahan (fadl)

Tuhan.

Seorang yang bijak pernah berkata: Ketika seseorang telah sampai pada hakikat Islam, dia tak

mampu berhenti berusaha/ beramal baik. Ketika seseorang memahami hakikat iman, dia tak akan

mampu beramal/bekerja tanpa disertai Tuhan. Ketika seseorang sampai kepada hakikat ihsan

(kebaikan), dia tak mampu berpaling kepada selain Tuhan.

Apa pelajaran yang dapat kita peroleh dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini?

Pertama, kita diajarkan agar tidak merasa paling alim sendiri, saleh sendiri, Islami sendiri, karena

amalan kita. Sombong dan tinggi hati bukanlah perangai orang beriman.

Kedua, kita juga diajarkan untuk rendah hati, jangan merasa sok bahwa usaha kita menentukan

segala-galanya. Sebab perasaan sombong semacam itulah yang akan menjerembabkan kita

kepada perasaan mudah putus asa, patah hati, pesimis.

Orang beriman harus optimis terus, tak peduli keadaan apapun yang sedang mengerubuti kita!

KESIMPULAN NGAJI HIKAM #1

Kesimpulan Ngaji Hikam malam ini:

1. Banyak hal dan variabel dalam hidup ini yang di luar kontrol kita. Kita punya pilihan bebas untuk

melakukan sesuatu, tetapi ada hal-hal di luar sana yang mempengaruhi pekerjaan dan pilihan kita,

tetapi tak bisa kita kendalikan. Hanya Tuhan lah yang bisa mengendalikan itu semua. Karena itu,

kita perlu mempunyai sikap "berserah diri" kepada Tuhan.

2. Jangan menganggap bahwa pekerjaan dan amal kita menentukan segala-galanya. Ibadah kita

sekalipun tak menjamin keselamatan kita, menjamin kita masuk sorga. Hanya kemurahan Tuhan

lah yang akan menjamin.

3. Ajaran Ibn Ataillah yang pertama ini hendak mengajari kita "the ethics of humility", etika rendah

hati. Seorang beriman tak boleh menyombongkan amalnya, pekerjaan baiknya. Seorang beriman

harus rendah hati. Kerendah-hatian inilah yang membuat kita sehat secara mental.

Sekian, sampai ketemu lagi besok malam dalam NGAJI HIKAM #2.

Mari kita tutup ngaji malam ini dengan hamdalah.

Wassalamu 'alaikum!

Page 4: Alhikam-Pengantar-1s.d.4

NGAJI HIKAM #2

Bismillahirrahmanirrahim

Mari, sebelum ngaji kita mulai, kita hadiahkan Al-Fatihah kepada pengarang Kitab Hikam Syekh

Ataillah, kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan kepada ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai Ngaji Hikam untuk seri kedua.

---------------------

MANUSIA KAMAR ATAU MANUSIA SOSIAL

Ibn Ataillah berkata:

Iradatuka al-tajrid ma’a iqamatillahi iyyaka fil asbab min al-syahwah al-khafiyyah. Wa

iradatuka al-asbab ma’a iqamatillahi iyyaka fi al-tajrid inhitat ‘an al-himmah al-‘aliyyah.

Terjemahannya: Kehendakmu untuk tajrid (mengisolir diri, tidak melakukan usaha), sementara

Tuhan menempatkanmu pada maqam seorang yang harus berusaha, itu adalah sebentuk syahwat

atau kesenangan nafsu yang tersembunyi.

Sebaliknya, kehendakmu untuk ikut-ikutan berusaha, padahal Tuhan memberimu maqam sebagai

orang yang seharusnya tajrid, itu adalah sebentuk kemerosotan kelas.

Kebijaksanaan Ibn Ataillah ini bisa dipahami secara awam, bisa juga secara khusus.

Pengertian awam. Manusia pada dasarnya ada dua jenis; ada manusia kamar, ada manusia

sosial. Manusia kamar ialah manusia yang maqam atau posisi ontologisnya adalah sebagai

pemikir, sebagai pengolah dan produsen ide-ide, sebagai pertapa yang menjaga kesucian diri.

Manusia seperti ini bertugas seperti, istilah Arif Budiman dulu, “cendekiawan yang berumah di

angin”.

Orang yang maqamnya seperti ini, tak akan memiliki “passion” atau kesenangan untuk terlibat

dalam kehidupan sosial. Orang seperti ini oleh kalangan sufi disebut sebagai orang bermaqam

tajrid.

Sebaliknya, ada orang yang maqamnya adalah “manusia sosial”. Tugas manusia seperti ini adalah

hidup di tengah gebalau kehidupan sosial yang ramai, penuh dengan gelora perjuangan. Dia tak

cocok untuk kehidupan kontemplatif seperti yang dijalani oleh manusia jenis pertama.

Ibn Ataillah mempunyai istilah khusus untuk manusia jenis kedua ini. Yaitu, manusia-sebab,

“men/women of causes”. Yakni: manusia yang tugasnya adalah berurusan dengan usaha yang

melibatkan hukum sebab-akibat. Orang-orang ini harus bekerja, ikhtiar untuk “mamayu hayuning

bawana”, jika mau memakai istilah dalam filsafat Jawa. Yaitu: memperindah dunia.

Page 5: Alhikam-Pengantar-1s.d.4

Hannah Arendt, filsuf Yahudi itu, punya istilah yang agak-agak mirip. Ada dua jenis kehidupan,

menurut dia -- vita activa dan vita contemplativa. Yang pertama adalah kehidupan aktif: bekerja.

Yang kedua adalah kehidupan kontemplatif: merenung, berpikir, meditasi, menyepi.

Masing-masing orang harus hidup sesuai dengan maqamnya. Orang yang mestinya bekerja tetapi

menjalani kehidupan kontemplatif, dia sebetulnya tidak menjalani kehidupan yang mulia. Dia

hanya mengikuti hawa nafsunya sendiri. Cuma, ini hawa nafsu yang lembut, tersembunyi. Bukan

hawa nafsu yang terang-terangan seperti menghendaki kemewahan material.

Sebaliknya dia yang mestinya ada di maqam “manusia kamar”, tetapi ikut-ikutan terjun ke dalam

“vita activa”, dia mengalami kemerosotan kelas.

Pengertian khusus/mistik. Ini adalah pembahasan dalam ilmu tasawwuf atau mistik yang sangat

pelik. Seseorang yang masuk dalam kehidupan sufi, menikmati ketenangan batin di sana,

biasanya menghadapi dilema ini: Apakah saya boleh tinggal dalam ketengangan batin ini, menjadi

“manusia kamar” yang asyik; ataukah saya tetap harus bergaul dengan masyarakat, bekerja

bersama mereka?

Jawaban kaum sufi: Masing-masing orang punya maqamnya sendiri-sendiri. Ada orang yang

maqamnya adalah tajrid, menjadi manusia kontemptalif-spiritualis; ada manusia-sebab yang hidup

di tengah-tengah masyarakat.

Suatu hari, ada seseorang yang hendak menjalani kehidupan meditatif, menjadi sufi, lalu

mendatangi sufi besar Mesir asal Murcia, Spanyol, Abu al-Abbas al-Mursi (w. 1287 M). Sebelum

sempat dia mengatakan maksud kedatangannya, Syekh Mursi sudah mendahuluinya dengan

sebuah pembicaraan yang isinya berikut ini.

Beberapa hari sebelumnya, kata Syekh Mursi, ada seorang ahli ilmu-ilmu lahir (ilmu syariat)

datang kepadaku. Dia sudah sedikit mencicipi ilmu batin, lalu memutuskan untuk meninggalkan

pekerjaannya sebagai guru ilmu-ilmu lahir. Lalu aku berkata kepadanya: Bukan begitu caranya.

Tetaplah kamu dalam posisi yang telah diberikan Tuhan kepadamu. Pengalaman mistik yang kami

miliki akan bisa kamu capai dengan jalan yang kamu tempuh sekarang ini.

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini? Ialah bahwa masing-masing

orang memiliki kelasnya masing-masing. Orang Hindu punya istilah dharma. Masing-masing orang

punya dharma sendiri-sendiri. Orang harus hidup sesuai dengan dharma, maqam, dan kelas-

kelasnya. Jangan menyalahi kodrat, kata orang-orang.

Setiap orang tahu, dalam hatinya yang terdalam, ada di maqam mana dia. Orang tak boleh iri

kepada maqam orang lain. Masing-masing orang, seperti dikatakan wali besar Syekh Abu al-

Abbas al-Mursi itu, akan mencapai pengalaman kebahagiaan dan ketenangan batin melalui jalan

dan maqam yang diberikan oleh Tuhan kepadanya.

Dengan kata lain, kebahagiaan bisa kita peroleh jika kita hidup sesuai dengan “the real self”,

hakikat diri kita masing-masing. You are going to be happy when you become who you are.[]

Page 6: Alhikam-Pengantar-1s.d.4

KESIMPULAN NGAJI HIKAM #2

Terima kasih telah menyimak Ngaji Hikam malam ini. Saya telah mencoba merespon semua

pertanyaan. Tetapi karena waktu, saya harus menutup ngaji malam ini.

Kesimpulan ngaji malam ini adalah sbb:

1. Setiap orang memiliki tempat atau maqam dalam hidupnya. Ada dua jenis maqam atau tempat

bagi manusia dalam hidup ini. Ada maqam "tajrid", artinya maqam menyendiri di kamar,

melakukan ibadah, kontemplasi, melakukqan riset di kamar yang sunyi, melakukan pekerjaan

yang sifatnya sunyi dan di kamar.

Ada maqam sosial, yaitu maqam hidup di tengah masyarakat, membangun masyarakat dan

kehidupan ramai.

2. Orang akan bahagia jika hidup sesuai dengan maqamnya. Orang yang hidup tak sesuai

maqamnya biasanya akan resah.

3. Orang yang maqamnya ada di maqam kontemplasi dan ibadah, tiba-tiba "kemrungsung" mau

ikut dalam maqam sosial, maka itu adalah tindakan menurunkan kelas. Sebaliknya, orang yang

maqamnya di kehidupan sosial, tetapi ikut-ikut di maqam kontemplasi, maka itu adalah tindakan

orang malas!

Sekian. Sampai ketemu di Ngaji Hikam #3 besok malam.

Mari kita tutup dengan bacaan hamdalah...

Wassalamu 'alaikum.

Page 7: Alhikam-Pengantar-1s.d.4

Bismillahirrahmanirrahim

Sebelum mulai ngaji Hikam, mari kita hadiahkan al-Fatehah kepada pengarang Hikam Syekh Ibn

Ataillah, kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai ngaji Hikam seri yang ketiga.

----------------------------

NGAJI HIKAM #3

BISAKAH KITA MENEMBUS TEMBOK TAKDIR?

Syekh Ibn Ataillah berkata:

األقدار أسوار تخرق ال الهمم سوابق

Sawabiq al-himam la takhriqu aswar al-aqdar.

Terjemahannya: Kehendak kuatmu yang sudah engkau tetapkan lebih dahulu, tak akan bisa

melubangkan atau menembus tembok-tembok kepastian (taqdir) yang sudah ditentukan Tuhan.

Kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini bisa dipahami secara awam, bisa juga secara khusus/mistik.

Pengertian awam. Masalah takdir, kita tahu, adalah masalah yang pelik. Bertahun-tahun saya

(baca: UAA) bergulat dengan konsep ini, mencoba memahaminya. Baru sekarang, mulai agak

terang sedikit pada saya apa pengertian takdir itu.

Orang modern biasanya mengidap semacam “sindrom mental” yang ingin saya sebut sebagai

“promethean syndrome”. Promethues adalah tokoh dalam dongeng Yunani yang menggambarkan

sosok yang percaya pada kemampuan diri sendiri, kehendak bebas, untuk mengubah sesuatu.

Dengan perkembangan sains dan teknologi yang luar biasa dahsyat, manusia merasa bisa

melakukan apa saja. Dia merasa dirinya sebagai “the creator of his/her own destiny”. Dia bisa

menjadi pencipta takdir dan nasibnya sendiri.

Pengertian modern yang promethean semacam ini tidak seluruhnya salah. Tetapi agama punya

perspektif yang berbeda. Mari kita dengarkan perspektif “tradisional” agama seperti diungkap

dengan indah dalam aforisme (kata mutiara) Ibn Athaillah ini. Kata dia: Ketetapan hatimu untuk

mengubah sesuatu tetap tak akan bisa mengubah takdir.

Page 8: Alhikam-Pengantar-1s.d.4

Pernyataan ini seolah-olah berbau fatalistis, menyerah kepada takdir, ketetapan Tuhan.

Benarkah? Saya mengatakan tidak. Percaya kepada takdir tidak menafikan pentingnya dimensi

usaha pada manusia. Sebagai subyek yang bisa bertindak, manusia tentu harus memiliki

kehendak untuk berbuat dan mengubah sesuatu.

Tetapi usaha seseorang biasanya bertabrakan dengan, kalau memakai bahasa sekarang,

“externalities”, kondisi-kondisi di luar yang tak sepenuhnya ada di dalam kontrol kita. Contoh

terbaik: Pemerintah kita berusaha keras untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi agar

tercipta lapangan kerja bagi rakyat. Ini namanya ikhtiar.

Tetapi ada kondisi eksternal, seperti situasi ekonomi global, yang tak sepenuhnya ada pada

kontrol pemerintah. Keadaan domestik memang relatif bisa dikontrol oleh pemerintah; tetapi situasi

global, jelas tidak. Sebab, itu masuk dalam kawasan “externalities”, kondisi luaran. Itulah, kira-

kira, takdir.

Sekeras apapun kita berusaha, tetap ada kondisi luaran, atau kondisi yang “given”, terberi, sudah

ada sejak awal, yang tidak bisa kita kendalikan sepenuhnya. Karena itu, Anda harus rendah hati,

realistis, tidak bertindak membabi-buta, super-optimist. Kita harus optimis, tetapi tetap dalam

kerangka “precautious optimism.” Optimisme yang hati-hati. Bukan optimisme yang kebablasan.

Pengertian khusus/mistik. Pengertian mistik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini justru berbeda

dengan pengertian awam di atas. Apa yang dimaksudkan dengan pernyataan Ibn Ataillah ini ialah

bahwa kehendak seorang yang telah sampai kepada maqam ma’rifat (memahami inti

wujud/ketuhanan) akan bersesuaian dan beriringan dengan kehendak Tuhan.

Kehendak sang wali, katakan saja begitu, tidak bisa mendahului kehendak Tuhan, melainkan

berjalan seiring dengan yang terakhir itu.

Dengan bahasa yang sederhana: seseorang yang sudah sampai kepada inti realitas, memahami

makna wujud di dunia ini, dia akan mengerti gerak-gerik alam, tanda-tanda zaman. Dan dia bisa

menyeiringkan kehendak dirinya dengan kehendak alam itu. Tidak mendahuluinya, dan tidak

teledor, keteter karena terlambat mengejarnya.

Maulana al-‘Arabi, guru dari guru sufi Maroko yang mengarang komentar atas al-Hikam, yaitu Ibn

‘Ajibah (w. 1808 M), berkata: Jika seseorang yang telah mencapai maqam fana’ (lebur) dalam

nama-nama diri Tuhan memiliki kehendak yang kuat terhadap sesuatu, maka sesuatu itu akan

terjadi. Sementara orang yang telah mencapai fana’ (lebur) dalam dzat atau diri Tuhan, sebelum ia

menghendaki sesuatu, sesuatu itu sudah langsung ada. Orang Jawa bilang: “weruh sakdurunge

winarah”, tahu sebelum tahu.

Dengan bahasa yang sederhana, seorang yang arif, bijak, mencapai pengetahuan tentang inti

wujud dan ketuhanan, ia bisa mengubah sesuatu dengan kehendaknya. Ia bisa menggerakkan

Page 9: Alhikam-Pengantar-1s.d.4

benda-benda di sekelilingnya, seolah-olah benda itu adalah “hamba” yang bisa ia kendalikan

dengan kehendaknya sendiri.

Tetapi itu semua terjadi karena kehendak Tuhan, bukan kehendak dia. Kehendak sang arif itu

tidak berjalan sendiri, melampaui kehendak Tuhan, melainkan berjalan seiring.

Dalam sebuah hadis disebutkan: “Jika Aku (Tuhan) telah menjadikan seorang hamba menjadi

kekasihKu, maka Aku akan menjadi telinga, mata, tangan dan pendukungnya; apapun yang ia

minta, Aku akan memberikan kepadanya.”

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini?

Seorang hamba harus berusaha sekeras mungkin untuk bisa mencapai maqam ma’rifat,

mengetahui hukum dan inti sesuatu. Orang yang mencapai tahap pengertian ini, akan bisa

mengerti kehendak Tuhan, dan kemudian akan berjalan seiring dengannya.

Dalam bahasa sains, jika Anda mengerti hukum alam, maka Anda sama saja dengan mengerti

kehendak Tuhan. Anda bisa bekerja seiring dan berbarengan dengan kehendak Tuhan itu.

Anda bisa mengubah sesuatu, bukan dalam kerangka melawan takdir, tetapi justru memanfaatkan

takdir untuk kemaslahatan Anda sendiri.

Kalau mau, Anda bisa mengatakan (seperti kata-kata sahabat Umar): Melawan takdir dengan

takdir![]

KESIMPULAN NGAJI HIKAM #3

Kesimpulan ngaji Hikam seri ketiga malam ini adalah:

1. Manusia diwajibkan untuk berikhtiar dalam batas-batas kemampuan dia. Ikhtiar artinya adalah

usaha kita untuk menciptakan "takdir" kita sendiri. Sebut saja ini "takdir kecil".

2. Tetapi, usaha kita tetap tak bisa melanggar "takdir besar" yang sudah dikehendaki oleh Tuhan

untuk kita. Contoh sederhana: Kita bisa berikhtiar dengan belajar sekeras mungkin agar naik

kelas, meraih titel, dan seterusnya. Itulah yang disebut takdir kecil.

Tetapi usaha atau takdir kecil itu tak bisa melanggar takdir besar yang ditentukan oleh Tuhan

untuk kita. Misalnya, kemampuan IQ kita. Ada orang yang memiliki IQ 110 atau 120, atau bahkan

130. Orang itu bisa belajar, berikhtiar sekeras mungkin. Tetapi usaha dia tetap akhirnya dibatasi

oleh takdir besar, yaitu ukuran IQ yang ada pada dia sejak lahir.

Page 10: Alhikam-Pengantar-1s.d.4

Semua orang membawa ukuran atau takdir masing-masing sejak lahir. Takdir ini tidak menafikan

ikhtiar manusia. Manusia tetap harus ikhtiar. Tetapi ikhtiar dia dibatasi oleh kondisi-kondisi yang

sudah ada sejak dia lahir. Kondisi itu biasanya susah diubah, karena sudah bawaan dari "sono-

nya".

3. Pengetahuan tentang takdir ini jika dipahami dengan tepat bukan membawa kita pada sikap

nrimo atau menyerah. Tetapi justru sikap realistis. Kita berusaha, tetapi usaha kita ada batasnya.

Tugas kita adalah mengetahui batas-batas kita itu, dan memaksimalkan usaha kita dalam batas-

batas yang ada. Sesudah mentok batas, ya sudah, kita berhenti. Tidak "kemrungsung" (gelisah

dan ingin lebih) yang membuat diri kita bisa mengalami depresi. Tetapi kita berhenti sesudah kita

berusaha maksimal.

4. Seorang yang mencapai ma'rifat atau pengetahuan tentang realitas atau kenyataan yang sejati,

bisa membuat kehendak dirinya seiring dengan kehendak Tuhan. Orang yang seperti ini biasanya

bisa membaca tanda-tanda zama; seolah-olah dia mampu membaca takdir Tuhan. Dalam bahasa

populer: dia "weruh sak durunge winarah", tahu sebelum tahu.

Sekian Ngaji Hikam #3 malam ini. Sampai ketemu di Ngaji Hikam #4 besok malam.

Mari kita tutup ngaji malam ini dengan hamdalah.

Wassalamu alaikum!

Page 11: Alhikam-Pengantar-1s.d.4

NGAJI HIKAM #4

Bismillahirrahmanirrahim.

Malam ini, saya ada acara sampai pukul 11 malam. Tetapi Ngaji Hikam tetap berlangsung seperti

biasa. Saya ingin ngaji ini tetap berlangsung tanpa jeda setiap hari, walaupun saya ada acara atau

kesibukan lain.

Bedanya dengan malam-malam biasa, saya akan merespon komentar dan pertanyaan para

"santri" setelah saya balik di rumah nanti malam. Silahkan ajukan komentar dan pertanyaan

seperti biasa. Saya akan usahakan untuk menjawab semuanya.

Mohon maklum.

Mari kita mulai Ngaji Hikam dengan membaca Fatehah untuk Syekh Ataillah, untuk ayah dan

sekaligus guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.

Bismillah...

---------------------

SUMELEHLAH, JANGAN KEMRUNGSUNG!

Syekh Ibn Ataillah berkata:

لنفسك أنت به تقوم ال عنك غيرك به قام فما ، التدبير من نفسك أرح .

Arih nafsaka min al-tadbir. Fa-ma qama bihi ghairuka ‘anka la taqum bihi anta li-nafsika.

Terjemahannya: Buatlah dirimu santai dan istirahat, tak dirisaukan oleh urusan tadbir

(bekerja/berusaha). Sebab apa yang sudah dikerjakan oleh orang lain, tak ada gunanya engkau

mengerjakannya sendiri untuk dirimu.

Ungkapan Ibn Ataillah mengandung kebijaksanaan hidup yang luar biasa dan mendalam, tetapi

juga bisa disalah-pahami. Kita bisa memahami ungkapan ini dengan cara awam dan cara khusus.

Pengertian awam. Dalam bagian ini, kita berhadapan dengan masalah tadbir.

Page 12: Alhikam-Pengantar-1s.d.4

Tadbir adalah lawan dari tajrid. Jika tajrid artinya membuat diri Anda sepenuhnya mengabdi untuk

kehidupan kontemplatif, beribadah kepada Tuhan, maka tadbir adalah kehidupan yang penuh

dengan kerja kerja, dan kerja. Tadbir adalah Anda berusaha dengan mengikuti hukum sebab-

akibat.

Apa yang diungkapkan oleh Ibn Ataillah di sini semacam nasihat untuk orang-orang yang masuk

dalam kategori manusia-sebab; manusia yang bekerja dengan menuruti hukum sebab akibat;

manusia yang melakukan ikhtiar untuk melakukan perubahan dalam dunia ini.

Mayoritas manusia ada pada maqam ini. Nasihat Ibn Ataillah: Ketika Anda sibuk melakukan

usaha, bekerja keras untuk meraih atau mengubah sesuatu, maka sekali-kali Anda perlu istirahat

sebentar. Buatlah semacam jeda untuk dirimu sendiri. Semacam “sabbatical leave”. Ada saat-saat

tertentu seseorang perlu melupakan segala pekerjaan dan memberikan istirahat kepada jiwa dan

pikirannya.

Pada saat Anda berada dalam “pause mode” atau istirahat semacam itu, jangan berpikir apapun.

Lupakan segala bentuk tadbir atau usaha. Sebab, jika seluruh hidup Anda dihabiskan untuk

memikirkan urusan tadbir, Anda bisa mengalami stres dan tekanan batin.

Sesekali, di tengah-tengah kesibukan usaha Anda, “arih nafsaka” – buatlah dirimu santai, rileks.

Pada momen istirahat seperti itu, filosofi yang harus Anda pegang adalah berikut ini: fa-ma qama

bihi ghairuka ‘anka la taqum bihi anta li-nafsika.

Anda tak bisa menyelesaikan segala soal dalam hidup ini sendirian. Kerapkali masalah dalam

kehidupan ini, baik personal atau sosial, sangat kompleks. Satu orang saja, sendirian, tak akan

bisa memecahkannya. Pemecahan harus dilakukan secara gotong-royong. Jika Anda tak bisa

melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan, maka katakan pada diri Anda: Barangkali ada

orang lain yang lebih kompeten dari saya, dan bisa memecahkan masalah ini.

Jangan sekali-kali Anda merasa bahwa Anda bisa mmemborong sendirian seluruh pemecahan

masalah tanpa melibatkan orang lain, sehingga akhirnya Anda sendiri kerepotan dan mengalami

tekanan mental. Ringankan diri Anda. Katakan pada diri Anda bahwa apa yang bisa dikerjakan

oleh orang lain dengan lebih baik, serahkan saja pada mereka. Belum tentu Anda, bila “ngotot”

mengerjakannya sendiri, akan bisa melakukannya lebih baik.

Pengertian khusus/mistik. Di kalangan kaum sufi, dikenal tiga jenis tadbir atau usaha. Ada tadbir

yang tercela (madzmum), yang diharuskan (mathlub), dan yang dibolehkan (mubah).

Tadbir yang tercela adalah usaha yang disertai dengan sikap ngoyo, ngotot, dan kadang-kadang

malah “nggege mangsa”, mendahului waktunya. Ini adalah tadbir yang dibarengi dengan sikap

kemrungsung, ingin segera melihat hasil. Sikap semacam ini hanya membuat Anda berada dalam

tekanan mental. Sama sekali tidak sehat. Selain kurang sopan atau adab terhadap Tuhan.

Page 13: Alhikam-Pengantar-1s.d.4

Ahmad ibn Masruq (w. 910 M), seorang tokoh sufi Baghdad, berkata: man taraka al-tadbir fa-huwa

fi rahah. Barangsiapa meninggalkan tadbir, usaha, dia akan tenang, tidak mengalami tekanan.

Yang dimaksud dengan tadbir yang harus ditinggalkan ini tentunya adalah tadbir yang dibarengi

dengan sikap kemrungung semacam itu, sehingga menimbulkan tekanan batin.

Tadbir yang diperinthakan (matlub) ialah usaha yang berkaitan dengan kewajiban kita sebagai

hamba Tuhan. Kita, misalnya, wajib terlibat dalam tadbir atau usaha untuk melakukan perintah-

perintah Tuhan, seperti ibadah wajib. Tadbir semacam ini tak bisa dihindarkan.

Adapun tadbir yang diperbolehkan adalah tadbir dalam bidang duniawi. Anda butuh menafkahi

keluarga Anda, dan karena itu harus melakukan usaha/ikhtiar. Itulah tadbir yang di-mubahkan,

diperbolehkan.

Apa pelajaran dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini? Ini mengajarkan kepada kita suatu sikap yang

oleh orang Jawa disebut dengan “sumeleh”. Sumeleh berasal dari kata “seleh” yang artinya

“meletakkan”. Pada saat disibukkan dengan tadbir/usaha yang membuat diri Anda mengalami

tekanan batin, Anda kadang perlu “sumeleh”: meletakkan beban dan menyerahkan semuanya

kepada Tuhan.

Sikap sumeleh ini bisa dianggap fatalistik, menyerah pada “fatum”, nasib. Padahal tidak. Sikap

membuang jauh-jauh tadbir, sumeleh, hanyalah cara kita menyehatkan diri dengan

mengistirahatkan jiwa kita dari beban-beban mental yang kurang perlu. Ini adalah semacam cara

kita me-manage mental kita saja.[]