al maturidiyah
TRANSCRIPT
Makalah Revisi
AL-MATURIDIYAH Sejarah Timbul, Abu Mansur al-Maturidi dan Pokok-pokok
Ajarannya dan Pengaruhnya dalam Dunia Islam
Disampaikan pada Seminar Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Tahun Akademik 2009/2010
Oleh :
M U H T A R
DOSEN PEMANDU
Dr. H. Kamaluddin Abu Nawas, M.Ag.
Dr. Usman, M.Ag.
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2009
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Maturidiyah adalah satu dari dua aliran utama dalam Ahlu al-Sunnah wal
al-Jamaah, sebagamana yang dikatakan oleh Imam Muhammad As-Zabidi bahwa:
“Bila dinyatakan ahli Sunnah, maka maksudnya adalah aliran Asy’ariyah dan
Maturidiyah”1
Aliran al-Maturidiyah merupakan aliran yang lahir sebagai reaksi Kaum
Muslimin terhadap pergolakan-pergolakan teologi yang terjadi pada masa
pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tazim dan al-Wasiq (813-847 M), apalagi
setelah Khalifah al-Mu’mun mengakui Aliran Mukhtazilah sebagai Mazhab resmi
negera pada tahun 827 M.2 meskipun demikian, Ahlu al-Sunnah wa al Jamaah yang
dalam hal ini adalah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, tidak selalu
memiliki paham yang berbeda dengan Mukhtazila. Ada yang beda, dan ada pula yang
sama.
Tampilnya Aliran al-Maturidiyah dalam Teologi Islam mendapat sambutan
yang luas dari masyarakat Islam. Aliran ini kemudian berkembang menjadi aliran
besar dalam dunia Islam pada waktu itu. Sukses ini tentunya tidak terlepas dari tokoh
sentral dan sekaligus pendiri aliran tersebut, yaitu Muhammad bin Muhammad bin
Mahmud bin Abu Mansur Al-Maturidy, yang lebih dikenal dengan Abu Mansur al-
Maturidi.
Sebagai bentuk penolakan terhadap aliran Muktazilah yang dinilai banyak
menyimpang dari Sunnah, Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi
kemudian mendirikan aliran teologi yang kemudian dikenal dengan aliran al-
Asy’ariyah dan al-Maturidiyah. Kedua aliran ini dikenal sebagai aliran Ahlu Al-
Sunnah wal jamaah karena memiliki misi yang sama, yaitu ingin mengembalikan
Ummat Islam kepada ajaran Sunnah.
1Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam (Cet. I; Jakarta: CV Rajawali, 1991), h. 154. 2Harun Nasution, Teologi Islam: Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. V; Jakarta: UI Press,
1986), h. 61.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Timbulnya Aliran Al-Muturidiyah
Munculnya aliran al-Maturidi pada dasarnya memiliki kesamaan dengan
aliran al-Asy’ariyah. Kedua tokoh aliran tersebut memiliki persamaan dalam hal
perkembangan pemikiran kalamnya. Keduanya sama-sama dihadapkan pada
pemikiran kalam yang uckup menggoncangkan spiritualitas idiologi umat Islam kala
itu terlebih setelah munculnya peristiwa al-Mihna.3
Al-Maturidiyah adalah nama sebuah aliran dalam ilmu Kalam yang kemudian
dinisbatkan kepada pendirinya, Imam Al-Maturidy. Nama lengkapnya: Muhammad
Bin Muhammad Bin Mahmud Bin Abu Mansur Al-Maturidy. Dia lahir di kota
Maturid, Samarkand. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan jelas, diperkirakan
lahir pada pertengahan abad ke III H, dan meninggal pada tahun 333 H.4
Al-Maturidi hidup dan dibesarkan dalam suasana pertentangan yang sangat
tajam antara penganut Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i, sedangkan dalam bidang
kalam antara kubu ulama hadits dan dengan aliran Mu’tazilah, banyaknya perbedaan
itu menjadi unsur positif bagi Al-Muturidi karena menjadikan dia terpacu terus
mendalami berbagai bidang keilmuan.5
Pada periode selanjutnya aliran al-Maturidiyah mengalami perkembangan lagi
dengan kehadiran tokoh baru yang bernama Abu Yusr Muhammad al-Bazdawi yang
lahir di Hudud, sebuah negeri di Bazdah pada tahun 400 H dan wafat sekitar tahun
482 H.6 seperti halnya al-Muturidi, nama al Bazdawi juga didasarkan kepada daerah
Bazdad tempat kelahirannya. Selama masa hidupnya ia lebih banyak tinggal Bukhara,
3Noer Iskandar Al-Barsany, Pemikiran Kalam Abu Mansur Al-Maturidi (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 89.
4Ali Abdul Fatta al-Magribi, Imam Ahlussunnah wa al-Jamaah: Abu Mansur al-Maturidi wa Arauhu al-Kalamiyah (Cet.I; t.tp: Maktabah Wahbah, 1995), h. 11
5Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islam II (Cet. XVI; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 296.
6Syahrir Harapan dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedia Aqidah Islam (Cet. I; Jakarta Perdana Media, 2003), h. 73.
2
kota yang kebanyakan ulamanya penganut pemikiran al-Asy’ari, sehingga al-Bazdawi
tidak luput dari pengaruh itu sehingga dalam pemikiran kalamnya lebih bercorak
Maturidiyah al-Asy’ari.7
Dalam bidang aqidah pada mulanya al-Bazdawi perpedoman pada al-Fiqh al-
Akbar tapi dalam perkembangan selanjutnya ia kemudian menganut paham Al-
Maturidiyah, akan tetapi, meskipun ia menganut paham ini namun pemikirannya
tidak selamanya seirama dengan al-Maturidi yang lebih dekat kepada al-Mu’tazilah,
sedangkan ia lebih dekat kepada al-Asy’ari. Perbedaan inilah membuat paham al-
Maturidiyah terbagi menjadi dua golongan Samarkand dan golongan Bukhara.8 Untuk
pembahasan lebih jauh, berikut ini penulis akan memaparkan secara lebih terperinci
tentang kedua golongan tersebut.
1. Golongan Samarkand
Paham Al-Maturidiyah yang dikenal dengan golongan Samarkand adalah Abu
Mansur al-Maturidi sendiri dna pengikut-pengikutnya. Sebagai pengikut Abu
Hanifah, pemikiran Al-Maturidi terkadang cenderung agak rasional. Dengan
demikian, meskipun Al-Maturidi sendiri muncul sebagai reaksi terhadap paham
Muktazilah, namun dalam beberapa masalah, Al-Maturidi cenderung sependapat
dengan Muktazilah, dan dalam beberapa hal pula pemikiran-pemikiran Al-Maturidi
juga sejalan al-Asy’ari. Golongan ini cenderung ke arah paham Muktazilah,
sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat Tuhan, Muturidi dan Asy’ary terdapat
kesamaan pandangan. Menurut Maturidi, Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan
mengetahui bukan dengan zat-Nya melainkan dengan pengetahuan-Nya. Begitu juga
Tuhan berkuasa bukan dengan zat-Nya. Demikian juga mengenai perbuatan-
perbuatan manusia, Maturidi sependapat dengan golongan Muktazilah, bahwa
7Noer Iskandar. Al-Barsany, Bografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah Waljamaah (Cet. I; Jakarta; Raja Grafindo Persada; 2001), h. 86
8Ibid
3
manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Apabila dilihat
dari sisi ini, Maturidi sepaham dengan Qadariyah.9
Dalam soal al-wa’ad wa al-waid, al-Mutiridy juga sepaham dengan
Muktazilah bahwa janji dan ancaman Tuhan kelak pasti terjadi. Demikian juga
masalah antropomorphisme, dimana Maturidi berpendapat bahwa tangan, wajah, dan
sebagainya seperti penggambaran al-Qur’an, mesti diberi arti kiasan. Dalam hal ini,
Maturidi bertolak belakang dengan al-Asy’ary.10
2. Golongan Bukhara
Golongan Muturidiyah Bukhara ini dipimpin oleh Abu al-Yusr Muhammad
al-Bazdawi. Dari orang tuanya, Al-Bazdawi dapat menerima ajaran-ajaran Maturidi.
Kemudian dalam perkembangannya al-Bazdawi mempunyai seorang murid yang
bernama Najm al-Din Muhammad al-Nasafi dengan karyanya Al-Aqaidul Nasafiyah.
Dengan demikian, yang dimaksud golongan Bukhara adalah pengikut-
pengikut al-Bazdawi dalam aliran al-Mutiridiyah yang mempunyai pendapat yang
lebih dekat kepada pendapt-pendapat Al-Asy’ary.11
B. Abu Mansur Al-Maturidy dan Pokok-pokok Ajarannya
a. Riwayat Hidup Abu Mansur al-Maturidy
Riwayat hidup Abu Mansur al-Maturidy tidak begitu banyak diungkapkan
oleh para penulis. Yang jelas ia hidup sezaman dengan Abu al-Hasan al-Asy’ari, tapi
di tempat yang berbeda. Al-Asy’ari di Bashrah, sementara al-Maturidy di Smarkand.
Latar belakang mazhab yang dianut keduanya pun tidak sama. Al-Asy’ari adalah
penganut Mazhab Syafi’i, sedangkan al-Muturidy penganut Mazhab Hanafi, sehingga
pemikiran teologi al-Muturidy lebih rasional ketimbang al-Asy’ar. Pemikiran al-
Muturidy yang sejalan dengan Abu Hanifah itu, lebih cenderung mendekati
pemikiran Muktazilan, sementara pemikiran Al-Asy’ari lebih dekat pada Jabariyah.
9Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 190. 10Ibid. 11Ibid., h. 191.
4
Nama lengkap al-Mutiridy adalah Abu Mansur Muhamamd Bin Muhammad
Bin Mahmud al-Maturidi. Ia dilahirkan di Maturid, sebuah daerah di Samarkand.
Kapan tahun kelahirannya? Tidak begitu jelas, tapi diperkirakan pada pertengah ke II
abad kesembilan Masehi. Ia wafat tahun 332 H/994 M. karena daerah kelahirannya
adalah Muturid, ia kemudian lebih dikenal dengan sebutan al-Maturidy.12
b. Pokok-pokok Ajaran Al-Maturidiyah
Pokok-pokok ajaran Al-Maturidi dalam bidang Teologi Islam, mencakup
beberapa hal, yang diantaranya berkenaan dengan masalah sifat-sifat Tuhan,
perbuatan dan kehendak mutlak Tuhan, konsep iman, akal dan wahyu, dosa besar dan
paham tentang melihat Tuhan.
1. Paham tentang sifat-sifat Tuhan
Menurut Maturidiyah Samarkand, sifat-sifat Tuhan bukan sesuatu diluar
dzat-nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada zat-nya dan tidak pula
terpisah dari dzat-nya.13 Sifat-sifat tersebut mempunyai eksistensi yang mandiri
dari dzat, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa banyaknya sifat-sifat itu akan
membawa kepada banyaknya yang qadim (kekal).14 Menurut pendapatnya,
Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya, tetapi mengetahui dengan
pengetahuan-Nya, dan berkuasa bukan dengan dzat-Nya, tetapi berkuasa
dengan kekuasaan-Nya.15
Selanjutnya menurut Maturidy Samarkand, Tuhan bersifat immateri
karenanya ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan seakan-akan
mempunyai sifat materi seperti kata tangan, wajah dan penglihatan.16 Seperti
yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an.
12Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 128. 13Noer Iskandar Al-Barasany, op. cit., h. 33. 14Imam Muhammad Abu Zahra, Tarikh Al-Mazahib al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-Aqaid
wa Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyah, Diterjemahkan oleh Abdul Rahman Dahlan dan Ahmad Darib, dengan Judul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Cet. I; Logos Publishing House, 1995), h. 207, h. 218
15Harun Nasution, op. ci.t, h. 78. 16Noer Iskandar, Al-Barsany, op. cit., h. 36.
5
أيديهم فوق يداللهArtinya: Tangan Allah diatas tangan mereka (Q.S. al-Fath: 10)17 dan
واإلكرام ذالجلل ربك وجه ويبقىArtinya: Dan tetap kekal wajah Tuhanmu (Q.S Al-Rahman: 27).18
Sebenarnya yang dimaksud adalah “kekuasaan, rahmat dan penguasaan”
Tuhan atas makhluk-Nya.19 Hal ini sejalan dengan aliran muktazilaha namun
berbeda dalam mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Sedangkan mengenai apakah
Tuhan dapat dilihat nanti, Muturidiyah Samarkand sejalan dengan Asy’asy
bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.
Seperti halnya Maturidiyah Samarkand, Maturidiyah Bukharah
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, tetapi persoalan banyak yang
kekal mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal
melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui
kekekalan sifat-sifat itu sendiri, jadi Tuhan bersama-sama sifatnya kekal tetapi
sifat-sifat itu sendiri tidak kekal. Selanjutnya Maturidiyah Bukharah juga
berpendapat bahwa ayat-ayat yang menggambarkan bahwa Tuhan memiliki
unsur-unsur jasmani seperti tangan itua dalah sifat bukan anggota badan Tuhan
jadi sifat yang dimaksud adalah sifat yang sama dengan sifat-sifat lain seperti
halnya ilmu, kehendak dan daya.20
17Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra), h. 838 18Ibid., h. 886. 19Noer Iskandar, Al-Barsany, op. cit., h. 36. 20Harun Nasution, op. cit., h. 137-138.
6
2. Paham tentang perbuatan manusia dan kehendak mutlak Tuhan
Mengenai perbuatan-perbuatan mansuia, Maturidiyah Samarkand
sependapat dengan golongan Muktazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian, Maturidiyah
Samarkand mempunyai paham searah dengan paham Qadariyah.21
Selanjutnya menurut Maturidiyah Samarkand, segala perbuatan manusia
terjadi atas kehendak dan kemauan Tuhan. Dalam hal ini ada dua perbuatan
yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil
bentuk pencitaan daya, sedangkan perbuatan manusia mempergunakan daya
dan daya itu sendiri diciptakan Tuhan secara bersama bukan sebelum perbuatan.
Akan tetapi, daya menurut Maturidi tidak sama dengan daya menurut Asy’ary.
Al-Maturidi daya memberi pelung bagi manusia untuk berperan dalam
perbuatannya, maksudnya Tuhan adalah pencipta yang melahirkan wujud suatu
perbuatan, sedangkan manusia adalah pelaku yang mempunyai pilihan (ikhtiar)
dalam perbuatannya.22
Menurut golongan Bukhara, Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun
terhadap makhluk-Nya. Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib berbuat baik
terhadap hamba-Nya. Pada perbuatan manusia terdapat daya yang diciptakan
oleh Tuhan dan perbuatan itu sendiri dari manusia. Mengenai Al-Wa’ad wa al-
Wa’id, menurut al-Bazdawi tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk
memberi upay kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan tidak
mungkin Tuhan membatalkan janjinya untuk memberi hukuman kepada orang
yang berbuat jahat.23
21Ibid., h. 77 22Toshihiko Itzusu, The Concept of Belif in Islamic Theology, Diterjemahkan Agus Fahri
Husein, Analisa Semantik Iman dan Islam (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 239 23Harun Nasution, op. cit, h. 133-134.
7
3. Paham tentang Iman
Menurut golongan Samarkand, Iman adalah Tasdiq bi al-Qalb bukan
semata-mata iqrar bi al-Lisan, selanjutnya tasdiq seperti yang dipahami harus
diperoleh dengan ma’rifat.24
Meskipun demikian, ma’rifat bukanlah esensi iman melainkan faktor
penyebab hadirnya iman, jadi menurut Al-Maturidi iman adalah tasdiq yang
berdasarkan ma’rifat.iman adalah mengetahui Tuhan dalam ke Tuhanan-Nya,
ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan segala sifatnya.25
Dalam hal ini, Maturidiyah Bukharah berpandangan bahwa ima adalah
tasdiq bi al-qalb yaitu menyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan
Allah dan tasdiq bi al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran
Islam secara verbal. Golongan ini mempunyai paham yang sama dengan kaum
Asy-ariyah bahwa akal tidak sampai pada kewajiban adanya Tuhan, iman tidak
dapat mengambil bentuk Ma’rifat atau amal, tapi haruslah merupakan tasdiq
saja. Sedangkan Maturidiyah Bukharah berpendapat bahwa iman itu terdiri dari
dua aspek dalam struktur iman, salah satu aspeknya adalah petunjuk atau
hidayah Allah dan hal ini tidak diciptakan, sedangkan aspek yang kedua adalah
yang diberi petunjuk yang merupakan peran yang dimainkan manusia dan inilah
yang diciptakan.26
4. Paham tentang akal dan wahyu
Menurut al-Maturidy golongan Samarkand, akal mengetahui sifat baik
yang terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk.
Dengan demikian, akal juga dapat mengetahui bahwa berbuat buruk adalah
24Rosihan Anwar dan Abdul Razak, Ilmu Kalam (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 149-150.
25Toshihiko Izutsu, op. cit., h. 239. 26Ibid.
8
buruk dan berbuat baik adalah baik, dan pengetahuan inilah yang memastikan
adanya perintah dan larangan.27
Dalam masalah baik dan buruk, Maturidiyah Samarkand berpendapat
bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri,
sedangkan perintah atau larangan syari’i hanyalah mengikuti ketentuan akal
mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengetahui bahwa akal tidak selalu
mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula
mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu, dalam kondisi
demikian, wahyu dibutuhkan untuk dijadikan sebagai pembimbing.28
Menurut golongan Bukhara, akal tidak dapat sampai kepada kewajiban
mengetahui adanya Tuhan, iman tidak bisa mengambil bentuk ma’rifat atau
amal, tetapi haruslah merupakan tasdiq. Batasan yang diberikan al-Bazdawi
tentang iman adalah menerima dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan dia. Akibat dari paham
demikian ialah bahwa bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih
kepada Tuhan, sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia.29
Dengan demikian, Maturidiyah Bukharah hanya mengakui kemampuan
akal mengetahui Tuhan, sedangkan wajib mengetahui Tuhan menurut mereka
tidak dapat diketahui kecuali dengan informasi wahyu Al-Bazdawi mengatakan
bahwa “tidak ada kewajiban sebelum Rasul datang, oleh karena iman kepada
Tuhan tidak wajib kecuali setelah datangnya wahyu.30 Selanjutnya mengenai
perbuatan baik dan buruk Maturidiyah Bukharah sependapat dengan
Maturidiyah Samarkand bahwa akal hanya dapat mengetahui baik dan buruk,
sedangkan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk tidak
dapat diketahui oleh akal tanpa adanya petunjuk wahyu.31
27Harun Nasution, op. cit., h. 91. 28Rosihan Anwar dan Abdul Razak, op. cit., h. 125. 29Harun Nasution, loc. Cit. 30Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam (Makassar: al-Ahkam, 2004), h. 23-24. 31Harun Nasution, op. cit., h. 90.
9
5. Paham tentang pelaku dosa besar
Mengenai dosa besar, Al-Maturidiyah Samarkand sependapat dengan al-
Asy’ari bahwa orang berdosa besar masih tetap mu’min, dan mengenai dosa
besarnya, Tuhan kelak di akhirat ia juga menolak paham al-manzilah bain al-
Manzilatain Kaum Muktazilah.32
Menurut aliran ini meskipun seseorang melakukan dosa besar dia masih
tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Hal ini tentu
sejalan dengan konsep keimanan al-Matudi yang telah kita uraikan di atas
bahwa iman adalah ikrar wa-tasdiq sehingga iman adalah yasidu wala
yangkusu. Sehingga dengan demikian hati tidak akan terpengaruh oleh
perbuatan-perbuatan badan. Adapun balasan yang diterimanya nanti di akhriat
tergantung apa yang dilakukannya di dunia sebab Tuhan akan menepatinya.
Jika pelaku dosa besar itu mati sebelum bertaubat dan Tuhan menghendaki
masuk neraka maka dia tidak akan kekal di dalamnya.33
Mengenai dosa besar, Golongan Bukharah mempunyai pendapat yang
sama dengan golongan Samarkhand bahwa pelaku dosa besar masih tetap
sebagai mukmin sehingga jika dimasukkan ke dalam neraka akibat dosa
tersebut maka dia tidak akan kekal didalamnya. Mengenai nasibnya nanti di
akhirat tergantung kepada kehendak mutlak Tuha, bisa jadi dia mendapat
ampunan dan masuk surga atau ditimpa musibah terlebih dahulu kemudian
dimasukkan dalam surga.
6. Paham tentang Al-Qur’an
Dalam hal ini, Al-Maturidi tidak sepaham dengan Mu’tazilah tentang
al-Qur’an. Sebagaimana al-Asy’ary, al-Matridi mengatakan bahwa kalam atau
sabda Tuhan tidak diciptakan tetapi bersifat qadim. Kalam Tuhan adalah sifat
Azali Tuhan, karena itu Ia qadim dan tidak baru.34
32Ibid., h. 77. 33Ibid., h. 138.
10
Al-Maturidi berpendapat bahwa Al-Qur’an (kalam Allah) terbagi
terbagi dalam dua bentuk. Pertama, Kalam nafsi, yaitu kalam yang ada pada
dzat Allah Swt dan bersifat qadim bukan dalam bentuk hurup dan suara. Kalam
ini menjadi sifat Allah Swt sejak dahulu kata. Manusia tidak dapat mengetahui
hakikat-Nya. Kalam yang terdiri dari hurup dan suara, yang disebut mushaf
(kumpulan lembaran).35
7. Paham Tentang Melihat Tuhan
Melihat Tuhan pada hari kemudian adalah hal yang dapat terjadi
pendapat al-Maturidiyah ini berdasarkan pada Al-Qur’an surat Al-Qiyamah: 22-
23 :
ناظرة ربها ناضرة, الى يومئذ وجوهArtinya: Wajah-wajah (orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhannyalah mereka melihat”.36
Al-Maturidi yang menetapkan bahwa Allah Swt dapat dilihat pada
hari kiamat, menegaskan bahwa itu merupakan salah satu keadaan khusus
hari kiamat, sedangkan keadaan itu hanyalah Allah Swt yang mengetahui
bagaimana bentuk dan sifatnya. Manusia tidak mengetahui tentang hari
kiamat kecuali melalui ungkapan dan pernyataan yang menetapkannya.
Membicarakan bagaimana sebenarnya hari kiamat itu termasuk sikap yang
melampaui batas.37
Dalam hal ini, Maturidiyah Bukharah dan Samarkand sepaham
dengan Asy’ariah. Al-Maturidi juga berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat
karena ia mempunyai wujud. Menurut al-Bazdawi, Tuhan dapat dilihat,
34 Imam Abi al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, Al-Ibanah an Ushuh al-Diniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.tp) h. 31
35 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, Jil. 3 (Cet. III; Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 207
36Departemen Agama RI, op. cit., h. 999.37Imam Muhammad Abu Zahra, op. cit., h. 220-221.
11
sungguhpun tidak mepunyai bentuk, tidak mengambil tempat dan tidak
terbatas.38
C. Pengaruh Ajaran Al-Maturidiyah di Dunia Islam
Al-Maturidiyah sebagai satu aliran teologi Islam yang kemudian dikenal
sebagai salah satu aliran Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah yang tampil bersama al-
Asy’ariyah, merupakan reaksi terhadap pemikiran-pemikiran kalam Muktazilah.
Lahirnya aliran Maturidiyah kemudian mendapat sambutan yang begitu luas dari
masyarkat Islam kala itu, karena merupakan aliran yang mempunyai pemahaman
yang mudah diterima oleh masyarakat Islam. Dalam pemikiran-pemikiran teologi al-
Maturidi selain berdasar pada al-Qur’an dan sunnah, juga menggunakan akal. Aliran
ini merupakan pengikut mazhab Abu Hanifah. Meskipun Al-Maturidi Samarkand
cenderung memiliki corak pemikiran yang bersifat rasional, namun tidak seesktrim
aliran Muktazilah.
Meskipun Al-Maturidi sebagai satu aliran tidak lagi ditemukan seperti pada
awal kemunculannya. Namun, Al-Maturidi sebagai sautu paham masih tetap
senantiasa memberikan pengaruh yang begitu dalam perkembangan pemikiran teologi
Islam. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya kitab-kitab karangan Al-Maturidi dan
al-Bazdawi yang turut memperkaya corak pemikiran Islam, antara lain; kitab al-
Tauhid, al-Ushul fi Ushul al-Din, Ta’wil al-Qur’an, karya Al-Maturidi dan kitab
Ushul al-din karya al-Bazdawi.
38Harun Nasution, op. cit., h. 140.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berangkat dari uraian-uraian sebelumnya, penulis dapat menarik beberapa
kesimpulan, yaitu:
1. Al-Maturidiyah merupakan aliran teologi yang lahir sebagai reaksi Kaum
Muslimin terhadap pergolakan-pergolakan teologi yang terjadi pada masa
pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tazim dan al-Wasiq (813-847 M),
terlebih setelah Khalifah al-Ma’mun mengakui Aliran Mukhtazilah sebagai
Mazhab resmi negera pada tahun 827 M.39 Meskipun demikian, paham
Maturidiyah yang dalam hal ini adalah Abu Mansur Al-Maturidi, tidak selalu
memiliki paham yang berbeda dengan Mukhtazila. Dalam beberapa hal,
pemikirannya cenderung searah.
2. Al-Maturidiyah pada perkembangan selanjutnya kemudian terbagi dua, yakni
golongan Samarkand yang dipelopori oleh Al-Maturidi sendiri beserta
pengikut-pengikutnya dan golongan Bukhara yang dipelopori oleh al-Bazdawi
dan pengikut-pengikutnya. Paham ini terbagi dua oleh karena dalam kedua
tokoh sentral al-Muturidiyah tersebut memiliki beberapa perbedaan dalam hal
pemahaman teologi.
3. Al-Maturidiyah sebagai suatu aliran teologi tidak bisa lagi ditemukan, namun
al-Maturidiyah sebagai suatu paham dalam pemikiran teologi Islam
mempunyai pengaruh yang cukup besar di dunia Islam. Aliran ini
memberikan andil dalam memperkaya corak pemikiran kalam umat Islam
hingga saat ini.
39Harun Nasution, Teologi Islam: Sejarah Analisa Perbandingan (Cet. I; Jakarta: UI Press, 1986), h. 61.
13
B. Rekomendasi
Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, penulis mengharapkan
adanya kritikan dan masukan yang membangun dari semua pihak terutama dari teman
peserta seminar pada mata kuliah sejarah pemikiran Islam.
Atas kritikan dan masukan dari pembaca, penulis berharap dapat lebih
menyempurnakan lagi makalah ini, baik dari segi isi maupun dari segi penulisan
makalah ini. Semoga dengan tulisan yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan terutama bagi penulis sendiri. Wassalam Alaikum wa Rahmatullahi
wabarakatuh.
14
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad. Tauhid Ilmu Kalam. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Al-Asy’ari, Imam Abi al-Hasan bin Ismail. Al-Ibanah an Ushul al-Diniyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Al-Barsany, Noer Iskandar. Pemikiran Kalam Abu Mansur al-Maturidi. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Al-Magribi, Ali Abdul Fattah, Imam Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah: AbuMansur al-Maturidi wa Arauhu al-Kalamiyah, Cet. I; t.tp: Maktabah wahbah, 1985.
Anwar, Rosihan dan Abdul Razak. Ilmu Kalam. Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2003..
----------------. Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah Wal Jamaah. Cet. I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra, 19871.
Dewan Redaksi Ensiklopdi Islam. Ensiklopedi Islam. Jil.3. Cet. III; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1988.
Haq, Hamka. Dialog Pemikiran Islam. Makassar: al-Ahkam, 2004.
Harahap, Syahrir dan Hasan Bakti Nasution. Ensiklopedia Aqidah Islam. Cet. I; Jakarta: Perdana Media, 2003.
Izutsu, Toshihiko. The Concept of Belief in Islamic Theology, diterjemahkan Agus Fahri Husein, Analisa Sematik Iman dan Islam. Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Nasir, Sahilun A. Pengantar Ilmu Kalam. Cet. I; Jakarta: CV. Rajawali, 1991.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Sejarah Analisa Perbandingan. Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islam II. Cet. XVI; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Zahra, Imam Muhammad Abu. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyah, diterjemahkan oleh Abdul Rahman Dahlan dan Ahmad Darib, dengan judul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Cet. I; Logos Publishing House, 1996.
15