akalasia esophagus.docx

Upload: riskaandriyani

Post on 05-Mar-2016

49 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

AKALASIA ESOPHAGUSValerie A. Williams, MD, Jeffrey H Peters , MD, FACSAkalasia adalah kelainan motilitas esophagus primer dengan etiologi yang tidak jelas. Dengan terapi yang terus berkembang dalam 10 hingga 15 tahun terakhir, penyakit ini telah digolongkan kedalam penyakit bedah. Penyakit ini tidak umum, tetapi tidak termasuk jarang, yang terdapat pada satu diantara 100.000 individu setiap tahunnya. Dengan jumlah penderita wanita dan pria yang sama, penyakit ini merupakan penyakit yang didapat dimana biasanya pasien berumur antara 20-50 tahun, tetapi dapat muncul pada umur berapa saja. Pada tahun 1672, Sir Thomas William pertama kali mendeskripsikan penyakit ini sebagai kardiospasme dan diatasi dengan melakukan dilasi dengan menggunakan spons paus yang ditempelkan pada tulang paus. Hingga tahun 1927 barulah ketika A F Hurst menemukan bahwa masalah yang sebenarnya adalah ketidakmampuan sfinkter esophagus bagian bawah(lowe esophageal sphincter=LES) berelaksasi, dan menamakan penyakit ini akalasia, bahasa yunani yang berarti kegagalan untuk relaksasi. Individu normal mempunyai zona bertekanan tinggi pada sfinkter esophagus bagian bawah, yang mana dapat relaksasi dengan sempurna pada saat awal melakukan gerakan menelan. Pada akalasia, tekanan sisa pada sfinkter esophagus bagian bawah tetap berada diatas normal setelah penelanan sehingga menyebabkan obstruksi pada gastroesofageal junction. Sebagai tambahan, dapat terjadi hipertensi pada sfinkter esophagus bagian bawah sehingga tekanan istirahat menjadi lebih tinggi dan badan esophageal menjadi apresitaltik, semua hal ini menyebabkan kegagalan transport bolus. Jika tidak diatasi, tekanan intraesofageal meningkat dan esophagus perlahan membesar, seringkali mengarah kepada deformitas yang berat.EtiologiPenyebab akalasia bisa primer (idiopatik) atau sekunder. Akalasia primer kemungkinan karena hilangnya sel-sel ganglion inhibitor pada pleksus myenterik (Auerbachs) dari esophagus. Kehilangan ini menyebabkan ketidakseimbangan antara neuron-neuron eksitator dan inhibitor sehingga menyebabkan kegagalan pada LES untuk berelaksasi. Beberapa penelitian menyebutkan adanya pengurangan ganglion myenterik pada specimen esophagus yang sakit dan menunjukkan adanya infiltrasi limfositik dan deposisi kolagen didalam ganglion. Dengan temuan ini, sebuah agen infeksi, misalnya virus, dan lemahnya respon imun, diperkirakan merupakan penyebab dari berkurangnya jumlah ganglion, namun etiologi pastinya masih belum diketahui.neotransmisi dan sel yang memberikan sinyal pada esophagus bagian distal dan LES pada akalasia telah menjadi objek penelitian yang terus bertambah. Nitric oxide dianggap sebagai neurotransmitter inhibitor mayor yang mengontrol relaksasi dari otot polos esophagus. Telah diketahui bahwa neuron inhibitor nitronergik hilang dalam jumlah lebih besar daripada neuron kolinergik selama proses akalasia terjadi.Mendukung teori ini, penelitian pada tikus yang tidak sadar karena kekurangan nitric oxide shyntase (NOS) ternyata mengalami peningkatan tekanan istirahat LES dan hilangnya relaksasi LES. Pada manusia, specimen yang didapatkan dari pasien yang menderita akalasia menunjukkan hilangnya seluruh neuron enteric NOS dan aktifitas NOS dibandingkan dengan specimen non akalasia. Bruley des Varannes dkk baru-baru ini melaporkan sebuah penelitian yang menunjukkan substansi serum yang mendukung mekanisme inmunologi. Otot fundus lambung dari manusia normal dikultur dengan serum dari pasien akalasia, pasien gastroesofageal reflux atau subjek normal. Fundus normal yang diinkubasi dengan serum dari pasien akalasia mengalami penurunan neuron NOS dibandingkan dengan specimen control. Sebagai tambahan, relaksasi kontraksi otot yang distimulasi dengan lsitrik ternyata menurun setelah inkubasi dengan serum yang berasal dari pasien akalasia.Etiologi sekunder yang paling umum adalah Chagas disease. Sebuah penyakit sistemik yang disebabkan oleh infestasi dari protozoa Trypanosoma cruzi. Chagas ditransmisikan ke manusia oleh reduviid atau juga disebut kissing bug dan menginfeksi neuron intramural, menyebabkan disfungsi autonomi. Chagas disease umumnya ditemukan di amerika selatan, amerika tengah dan seluruh dunia dan penyakit ini dianggap sebagai penyebab akalasia paling umum. Pseudoakalasia muncul melalui infiltrasi LES oleh kanker atau kondisi iatrogenic, seperti fundoplikasi ketat atau penyebab dari luar.Presentasi dan diagnosisAkalasia merupakan penyakit progresif yang lambat. Sebagai konsekuensinya, pasien seringkali datang terlambat ketika gejala dan abnormalitas anatomi telah menjadi sebuah penonjolan. Diagnosis awal mungkin saja dilakukan jika kita memberikan perhatian penuh pada pasien yang memiliki keluhan pada tenggorokan disertai dengan kecurigaan yang tinggi. Gejala klinis yaitu disfagia yang terjadi perlahan untuk makanan padat dan cairan, regurgitasi makanan yang belum tercerna, chest pain, dan berkurangnya berat badan. Pasien juga mempunyai riwayat aspirasi, teramasuk pneumonia yang berulang atau batuk yang kronis.Sebagai catatan penting, pasien dengan akalasia mengeluhkan rasa panas pada dada dan hal ini mirip seperti penyakit gastroesofageal reflux. Dengan meneliti gejal-gejala pada 67 pasien dengan akalasia, Spechler dkk menemukan bahwa 32 pasien (48%) mengeluhkan adanya rasa panas pada dada (heartburn). Fakta ini, jika dipasangkan dengan kesulitan diagnosis pasien dengan akalasia yang masih pada tahap awal, yaitu adanya esfoagus dengan diameter yang normal dan relaksasi LES pada manometri berupa artifak (disebabkan oleh pergerakan relative dari kateter dan sfinkter), dapat membuat sejumlah kecil pasien dengan akalasia didiagnosis dengan gastroesofageal reflux disease dan akirnya menjalani fundoplikasi Nissen. Pada keanyataannya, biasanya pasien dengan akalasia diobati dengan proton pump inhibitor. Seorang dokter harus sadar akan kemungkinan ini; sebuah pemeriksaan yang hati-hati pada pemeriksaan manometrik dan pemeriksaan video barium akan selalu mengungkapkan adanya akalasia. Hal ini terjadi karena beberapa alas an. Secara fisiologis, heartburn disebabkan oleh distensi esophagus. Beberapa stimuli neural (luminal acid versus distensi) bisa ditanggapi oleh otak sebagai hal yang sama. Dan juga diketahui bahwa akalasia dapat terjadi karena adanya underlying disease berupa gastroesofageal reflux disease. Data-data yang ditunjukkan disini menunjukkan pasien dengan heartburn, 47% (n=15) menderita heartburn sebelum menderita disfagia, yang terus menetap ketika disfagia sudah muncul, dan 28% diantaranya (n=9) mengalami heartburn sebelum menderita disfagia yang berhenti setelah disfagia muncul. Pada 25% pasien sisanya mengalami heartburn setelah disfagia muncul. Menariknya, pasien-pasien dengan heartburn memiliki tekanan istirahat LES yang lebih rendah daripada pasien yang tidak menderita gejala heartburn. Sebuah radiografi dada sederhana dapat menunjukkan diagnosis pada kasus yang lanjut dengan tidak adanya gelembung pada lambung dan adanya esophagus yang membesar dan berisi cairan, yang secara umum terlihat sebagai bayangan mediastinal posterior pada sisi kanan. Upper endoskopi harus dilakukan pada semua pasien untuk menyingkirkan kemungkinan obstruksi karena tumor atau striktur. Temuan biasanya berupa retensi saliva dan makanan yang belum tercerna dikarenakan esophagus yang mengalami dialatasi, tapi bisa saja tampak normal. Penelanan barium (barium swallow/barium meal) cukup penting dilakukan dimana dapat tampak esophagus apersitaltik yang mengalami dilatasi, adanya air-fluid level, atau penampakan birds beak (paruh burung) yang disebabkan oeh LES yang tidak relaksasi (fig.1). pemeriksaan barium dapat diinterpretasikan sebagai normal, terutama pada akalasia tahap awal, dengan focus radilogis pada karakteristik anatomi seperti dilatasi dan pengosongan. Dengan memeriksa gejala klinis dan pemeriksaan barium dari 38 pasien dengan akalasia, Blam dkk menemuan adanya hubungan yang lemah antara gejala klinis dan hasil pemeriksaan barium, yang menyebabkan diagnosis yang tertunda, terutama pada pasien dengan gejala-gejala klinis yang tidak khas (misalnya heartburn, turunnya BB, batuk, dan asma). Gejala tidak khas dilaporkan pada 34% pasien dan menyebabkan tertundanya diagnosis selama 30 bulan sebelum diagnosis yang sebenarnya ditegakkan, sebagaimana jika dibandingkan dengan pasien dengan gejala khas (disfagia, chest pain, dan regurgitasi) yang hanya memerlukan waktu 11 bulan. Pemeriksaan fluoroskopik yang hati-hati atau dengan video harus dilakukan dengan rutin, yang mana dapat selalu mengungkapkan tidak adanya gelombang esophagus yang non-peristaltik flaksid. Gold standar untuk diagnosis akalasia adalah manometri esophagus, yang mana merupakan pemeriksaan diagnosis paling sensitive. Manometri sangat berguna untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan akalasia tahap awal dimana pemeriksaan lain menunjukkan hasil yang normal. Ada empat karakteristik manometri klasik (table 1): hipertensi LES, muncul pada 50% pasien; non-realxing LES; esophageal aperistalsis; dan peningkatan tekanan dasar esophageal bagian bawah. Beberapa pasien memiliki gelombang kontraksi otot terus menerus dengan berbagai amplitude, konsisten dengan fungsi otot yang masih tersisa, hal ini disebut sebagai vigorous akalasia. Dengan memeriksa tracing manometrik dari 26 pasien dengan akalasia, Shi dkk menemukan bahwa tekanan relaksasi LES residual merupakan criteria diagnostic paling akurat. Secara spesifik, tekanan residual lebih dari 12 mmHg mempunyai sensitivitas 92% untuk menegakkan diagnosis akalasia. Jika juga ditemukan aperistalsis, tekanan residual lebih dari 10 mmHg mempunyai sensitivitas 100% untuk menegakkan diagnosis akalasia. Pada penelitian selanjutnya oleh grup peneliti yang sama, pemeriksaan manometrik akalasia pada 58 pasien menunjukkan bahwa hanya satu pasien memiliki tekanan residual kurang dari 10 mmHg.Walaupun secara tradisional, sebuah sfinkter yang tidak mengalami relaksasi dan aperistalsis komplit dianggap sebagai criteria yang dibutuhkan untuk diagnosis akalasia (masih diperdebatkan yang mana diantara kedua ini yang menjadi kriteria primer dan paling penting), namun tampaknya ada heterogensi pada hasil pemeriksaan manometrik pada pasien dengan semua kriteria klinis dari akalasia. Hirano dkk baru-baru ini membuktikan fakta ini. Mereka menganalisa dengan hati-hati riwayat klinis dan rekaman manometrik dari 58 pasien dengan akalasia dan 43 subjek control. Endoskopi, penelanan barium, histopatologi dan respon terhadap terapi digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis pada pasien tanpa temuan klasik dari pemeriksaan manometrik. Walaupun tidak umum, empat varian manometrik diamati, yaitu kontraksi badan esophagus non-peristalsis amplitude tinggi, relaksasi LES komplit yang tertahan pada saat menelan, segmen pendek aperiistalsis, dan relaksasi transien pada saat tidak menelan. Temuan-temuan ini hanya djumpai ada 4 dari 58 pasien, sebagian besar pasien memiliki temuan manometrik klasik dari akalasia. Penelitian ini menunjukkan alas an kuat bahwa variasi hasil menometrik benar-benar ada. Seorang dokter harus sadar akan kemungkinan-kemungkinan ini ketika mengevaluasi pasien dengan disfagia.Pengenalanpemeriksaan manometri resolusi tinggi (High-resolution manometri=HRM) dan multichannel intraluminal impedance (MII) dapat meningkatkan taksiran manometrik dari akalasia dan taksiran dari efisiensi terapi yang diberikan. Aperitalsis dapat diperiksa dengan HRM dan tekniknya memfasilitasi taksiran dari relaksasi sfinkter, satu dari beberapa aspek yang sulit dilakukan pada manometri konvensional (fig. 3). HRM dimungkinkan dengan kateter dengan 36 sensor sirkumferensial dengan jarak interval 1 cm. pengukuran tekanan didapatkan dari sensor didasarkan pada waktu dan ruang. Transduser dan interpolasi dari data dapat mengeleminiasi artifak karena pergerakan. Data menunjukkan bahwa, jika tidak ada riwayat pembedahan hiatal sebelumnya, kegagalan pada zona tekanan tinggi LES untuk turun dibawah 15 mmHg merupakan kriteria spesifik dan sensitive untuk akalasia. Kemampuan MII untuk menghitung jumlah transport bolus dapat berguna pada saat post-operatif pada pasien dengan akalasia setelah myotomy laparaskopik, walaupun hanya sedikit penelitian menyelidiki keuntungan melakukan tindakan ini.TerapiAkalasia merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan terapi yang ada difokuskan untuk mengurangi gejala. Tujuan dari terapi bedah dan non-bedah adalah untuk menghilangkan obstruksi yang disebabkan oleh sfinkter yang tidak berelaksasi, mengobati disfagia, dan mencegah refluks gastroesofageal jika dimungkinkan. Terapi non-bedah teramasuk calcium channel blocker dan nitrat, injeksi botulinum toxin (Botox;allergan) kedalam LES dan dilasi pneumatic kaliber besar (30-40 mm). terapi pembedahan termasuk pemisahan antara serat otot dari LES dan lambung bagian proksimal. Walaupun terapi farmakologis seperti calcium channel blocker , nitrat, dan sildenafil telah menunjukkan efek fisiologis pada fungsi esophagus, obat-obatan ini jarang menghasilkan perbaikan klinis yang berarti. Dengan populernya pembedahan invasive minimal, laparoscopic myotomy telah menunjukkan bahwa pasien akalasia dapat mendapatkan manfaat yang lebih besar dengan menjalani terapi bedah. Terapi farmakologisTerapi farmakologis untuk akalasia, seperti nitrat oral dan calcium channel blocker, beraksi sebagai penghambat pada neuron intramural. Obat-obatan ini berusaha untuk membentuk ulang keseimbangan antara serat saraf stimulator dan inhibitor untuk menurunkan tekanan istirahat dan residual LES. Efek obat-obatan ini sporadic dan telah menunjukkan kesuksesan untuk jangka waktu yang pendek. Dengan jeleknya outcome dan dengan potensi efek sistemik yang berbahaya, agen-agen ini tidak dapat diandalkan dan tidak realistis untuk pengobatan jangka panjang.Terapi endoskopi fleksibelInjeksi Botox dengan endoskopi kedalam LES bertujuan untuk menghambat pelepasan asetilkolin dari neuron kolinergik sebagai usaha untuk menurunkan tekanan LES basal dan residual. Terapi ini berjangka waktu pendek, dan jarang memberikan penurunan tekanan LES yang berarti, dan, walaupun disfagianya sendiri dapat diperbaiki namun memerlukan injeksi berulang untuk perbaikan yang terus menerus. Pada percobaan acak injeksi Botox (n=40) dengan myotomy laparaskopi dan fundoplikasi parsial (n=40), Zaninotto dkk menemukan bahwa walaupun pasien pada kedua kelompok menunjukkan adanya perbaikan pada awal pengobatan, 6 bulan setelah pengobatan disfagia kembali muncul kembali pada hampir dari separuh (45%) dari mereka yang diterapi dengan Botox. Sebagai tambahan, mereka menyebutkan bahwa kemungkinan untuk bebas dari gejala selama dua tahun bisa didapatkan jika pasien menjalani myotomy (87.5%) daripada pasien yang mendapatkan injeksi Botox (34%). Pada saat ini diketahui bahwa Botox menyebabkan reaksi inflamasi pada esophagus bagian distal yang menyebabkan fibrosis submukosa, yang mana dapat mempersulit pembedahan myotomy. Walaupun umum dipakai sebagai terapi jangka pendek, penulis percaya bahwa Botox harusnya hanya diberikan pada pasien non bedah atau tidak sama sekali.Dilatasi balon pneumatic menurunkan tahanan aliran keluar pada esophagus dengan cara merobek paksa jaringan otot LES. Protocol dilatasi berbeda pada masing-masing dokter. Secara umum, dilatasi balon diawali dengan balon ukuran 30 mm. dilator balon kemudian dimasukkan kedalam esophagus dan diletakkan pada gastroesofageal junction dengan menggunakan fluoroskopi atau endoskopi direct. Sebuah esophagram gastrografin diikuti dengan penelanan barium dilakukan setelah dlatasi pneumatic untuk menyingkirkan perforasi esophagus. Dilatasi balon dapat diulangi dengan menggunakan dilator yang lebih besar hingga 35 mm dan 40 mm. balon yang umum dipakai pada saat ini adalah balon Rigiflex dan Witzel polyetilene. Rigiflex adalah balon pada sebuah kateter, yang dipasang dengan bantuan fluoroskopi, dan balon Witzel dimasukkan dengan menempel pada endoskop. Risiko perforasi dengan menggunakan rigiflex sekitar 3% dan Witzel 6%.Dengan membandingkan dilatasi balon dengan injeksi Botox pada percobaan acak, peneliti dari Cleveland Clinic menemukan bahwa 70% (14 dari 20) pasien yang menjalani terapi dilatasi balon mengalami remisi pada tahun pertama dibandingkan dengan 32% pasien yang menerima injeksi Botox. Sebagai tambahan, mereka menemukan bahwa dilatasi balon menghasilkan peningkatan substansial pada tekanan LES, tinggi kolom barium esophagus, dan diameter esofgus. Injeksi Botox gagal menunjukkan perubahan apapun dari parameter-parameter tersebut. Seperti hal diatas, ketika membandingkan dilatasi balon pneumatic dengan injeksi Botox pada penelitian acak double-blind, Bansal dkk menemukan bahwa 89% (16 dari 18) pasien yang menjalani dilatasi balon mengalami pengurangan pada gejala klinis dibandingkan 38% (6 dari 16) pasien yang mendapatkan injeksi Botox. Baru-baru ini sebuah meta-analisis yang mengkaji tentang dilatasi balon pneumatic dan injeksi Botox untuk terapi akalasia menyebutkan bahwa, walaupun tingkat kegagalan jangka pendek antara kedua teknik adalah sama, namun teknik dilatasi balon pneumat memiliki tingkat kegagalan yang lebih rendah daripada injeksi Botox.Pada sebuah analisis yang mengkaji efisiensi jangka panjang dari dilatasi balon pneumatic untuk akalasia, Katz dkk mengevaluasi 72 pasien dengan rata-rata 6.5 tahun setelah dilakukan dilatasi. Menyebutkan bahwa tidak ada terapi tambahan yang diperlukan untuk akalasia, sukses terlihat pada 85% pasien. Hanya empat pasien memerlukan dilatasi balon pneumatic tambahan.Pada penelitian yang lebih baru oleh Zerbib dkk yang mengkaji tingkat remisi jangka panjang untuk 150 pasien dengan akalasia, dengan menggunakan protocol dilatasi fastidious yang terdiri dari beberapa sesi dilatasi hingga terjadi remisi dan follow-up ketat dengan sesi terapi yang bisa dilakukan ketika dibutuhkan. Mereka menemukan bahwa terdapat remisi awal dari gejala klinis pada 91.3% setelah dilakukan dilatasi dengan median 2.6. gejala klinis berulang terdapat pada 35% pasien. Pada tahun ke 5 dan 10, perhitungan untuk kemungkinan terjadinya remisi adalah 67% dan 50%. Pada pasien-pasien yang memerlukan dilatasi ulang, 96.4% diantaranya mengalami remisi selama 3.5 tahun. Posibilitas untuk terjadinya remisi setelah dilatasi ulangan adalah 96.8% dan 93.4% pada tahun ke 5 dan 10.Walaupun dilatasi pneumatic telah menunjukkan hasil yang bertahan lebih lama untuk mengatasi disfagia daripada injeksi Botox, diluar dari protocol dilatasi, kebanyakan penelitian belum menunjukkan hasil yang terlihat setelah dlakukan pembedahan myotomy. Hingga beberapa waktu yang lalu, percobaan acak yang membandingkan antara dilatasi pneumatic dengan pembedahan myomtomy dilaporkan oleh Csendes dkk dari Chili. Mereka menemukan bahwa 100% pasien yang menjalani myotomy (n=19) hanya menderita disfagia ringan atau tidak ada disfagia sama sekali selama rata-rata 3.5 tahun, dibandingkan dengan hanya 61% dari mereka yang menjalani terai dilatasi balon (n=18). Follow up terbaru dari percobaan ini juga telah dipublikasikan.Dua evaluasi terbaru juga perlu untuk diperhatikan. West dkk mengkaji outcome jangka panjang dari 125 pasien akalasia diikuti dengan follow up selama lebih dari 5 tahun setelah dilatasi. Hasilnya, 50% pasien tidak lagi mengalami disfaga atau hanya timbul kadang-kadang (kurang dari sekali dalam seminggu) selama 5 tahun, dn hanya 40% pada tahun ke 15. Kostec dkk baru-baru ini melaporkan sebuah penelitian acak pada 51 pasien yang membandingkan dilatasi pneumatic (n=26) dengan laparascopic myotmomy (n=25). Dimulai dengan balon Rigiflekx ukuran 30 mm (wanita) atau 35 mm (laki-laki)dan terus dilanjutkan seperlunya hingga ukuran 40 mm pada pasien dengan disfaga persisten dengan interval 7-10 hari. Kurangnya protocol seperti ini adalah salah satu kritik besar yang diberikan pada penelitian yang dilakukan oleh Csendes dkk. Laparascopic myotomy dilakukan oleh ahli bedah berpengalaman dengan menggunakan endoskopi intraoperatif dan hemifundoplikasi posterior Toupet. Outcome dinilai selama satu tahun pertama setelah terapi. Kegagalan didefinisikan sebagai control gejala yang tidak sempurna atau gejala klinis yang muncul kembali yang membutuhkan lebih dari 3 kali terapi ulangan dalam periode 12 bulan, komplikasi serius atau adanya efek samping, atau pasien meminta terapi alternative. Perforasi esophagus muncul padda dua pasien dari grup dilatasi (7.6%). Seluruh prosedur bedah dilakukan secara laparoskopik dengan syarat tidak ada morbiditas perioperatif subtansial. Kegagalan terapi lebih umum pada kelompok dilatasi (1 dari 25[14%] versus 6 dari 26 [23%]; p= 0.04). skor gejala rata-rata setelah operasi adalah 11.3 dan setelah dilatasi adalah 17.7 (p>0.05). penulis menyimpulkan bahwa laparascopic myotomy dan fundiplikasi parsial lebih superior daripada dilatasi pneumatic pada pasien yang baru saja didiagnosis dengan akalasia.Terapi bedahMyotomy esophagus untuk akalasia pertama kali dijelaskan oleh Ernest Heller pada tahun 1913. Pada operasi ini, kedua serat otot sfinkter bagian bawah posterior dan anterior diganggu. Versi yang dimodifikasi dari prosedur ini, yang disebut sebagai Heller Myotomy pada saat ni, terdiri dari myotomy longitudinal anterior tunggal dan telah menjadi teknik operasi standar. Ketika dilakukan melalui torakotomy atau laparatomy, myotomy esophagus sekarang dilakukan lebih sering dengan menggunakan pendekatan laparaskopik.Outcome dari myotomy thoraskopik tampaknya lebih rendah daripada laparaskopik. Pada pengkajian retrospektif pada pasien yang menjalani thoraskopik Heller myotomy (n=30), Patti dkk menemukan bahwa myotomy laparaskopik lebih superior dengan penyembuhan disfagia yang sempurna (70% versus 77%) dan adanya reflux post operatif (60% versus 10%). Mirip dengan diatas, Stewart dkk membandingkan outcome dari 24 pasien akalasia yang menjalani mytomy melalui pendekatan thoraskopik dengan 63 pasien dengan pendekatan laparaskopik, menemukan bahwa pendekatan laparasopik tidak hanya mengurangi waktu operasi, tingkat konversi, dan lamanya dirawat di rumah sakit, tetapi juga lebih mampu untuk mengatasi disfagia dan mencegah heartburn daripada pendekatan thoraskopik. Penelitian terbaru yang mengkaji thoraskopik myotomy dari tahun 1993 hingga 2003 (n= 10 penelitian; 204 pasien) dan laparaskopik myotomy dari 1995 hingga 2002 (15 penelitian; 499 pasien) oleh Abir dkk menemukan bahwa perbaikan gejala muncul dalam 76% versus 94% pasien. Munculnya gastroesofageal reflux disease muncul pada 35% pasien setelah thoraskopik myotomy dan 13% pasien setelah laparaskopik myotomy. Gejala klinis ringan yang muncul setelah thoraskopik myotomy menunjukkan kesulitan dalam melebarkan myotomy secara adekuat kedalam abdomen dari thoraks dan ketidakmampuan untuk membuat sebuah fundoplikasi untuk melawan perkembangan reflux disease.Teknik: laparaskopik esophageal myotomy dan fundoplikasi parsialPasien di posisikan diatas meja operasi dengan posisi litotomi dengan abduksi ekstremitas bawah: memposisikan secara identik dengan fundoplikasi laparaskopik. Pneumoperitoneum dilakukan dan empat port tambahan diletakkan dibawah control laparaskopik. Diseksi dimulai dengan membebaskan sepertiga atas dari fundus lambung dalam rangka mempersiapkan untuk hemifundoplikasi anterior Dor yang akan dilakukan nanti. Pembuluh lambung yang pendek dilakukan diseksi dan dipisahkan dengan bantuan gunting ultrasonic. Berbeda dengan fundoplikasi Nissen untuk gastroesofageal reflux disease, perlengketan porsterior dan cabang pankreatikogastri tidak boleh dipisahkan dengan tujuan untuk mempertahankan anatomi gastroesofagus posterior yang normal sebanyak mungkin. Jika direncanakan sebuah hemofundiplikasi posterior Toupet maka diseksi posterior perlu dilakukan. Pendekatan ini akan menjadi pendekatan yang lebih disukai pada sejumlah kecil pasien yang menderita hernia hiatal concomitant.Gastroesofageal junction kemudian terlihat dengan cara mendiseksi lapisan lemak gastroesofageal dan meretraksi jaringan tersebut secara lateral. Gastroesofageal junction di berihkan sepanjang 6-8 cm untuk persiapan tindakan myotomy. Sebuah loop pembuluh darah kemudian ditempatkan disekitar gastroesofageal junction, termasuk nervus vagus anterior, dan dikeluarkan melalui trochar subxiphoid jika diperlukan. Ketika esofagu dapat dimobilisasi dan gastroesofageal junction terlihat, myotomy kemudian dilakukan dengan kombinasi gunting dan elektrokauter tipe kait (hook-type) (fig. 4). Luasnya myotomy harus dibatasi pada bagian proksima dengan konfluensi crural anterior dan hingga ke bagian yang dapat ditutupi dengan fundoplikasi. kemudian diteruskan sepanjang gastroesofageal junction , untuk memastikan serat penjepit dipisahkan, dan terus hingga ke dinding anterior dari fundus lambung sepanjang 2 hingga 3 cm. tepi-tepi dari myotomy dipisahkan secara hati-hati dari mukosa dibawahnya sebanyak 40-50% dari lingkaran esophagus. Prosedur kemudian dilengkapi dengan melakukan fundoplikasi parsial posterior (Toupet) atau anterior (Dor). Fundoplikasi parsial anterior jenis Dor adalah teknik barrier/pembatas antireflux yang paling sering dilakukan setelah myotomy untuk akalasia. Setelah mobilisasi fundus, bagian anterior fundus diletakkan disepanjang sisi myotomy dan tepi fundus bagian kiri dijahit ke bagian kiri dari myotomy esophagus dengan tiga atau empat jahitan satu-satu (interrupted suture) dengan menggunakan benang silk ukuran 2.0. jahitan paling tinggi diambil melalui pilar crural untuk mencegah torsi pada fundus. Fundus kemudian dijahit ke tepi kanan otot esophagus; dan juga menggunakan tiga hingga empat jahitan satu-satu dengan benang silk ukuran 2.0 dan mengambil jahitan paling tinggi melalui pilar crural kanan untuk mencegah torsi.Untuk membuat fundoplikasi parsial posterior (Toupet), fundus anterior kemudian dibawa ke sisi lain dari myotomu, dan dua kolom jahitan kemudian diletakkan pada salah satu sisi, sehingga tempat dari myotomy mejadi terbuka.Data yang mendukung komponen teknisLuasnya bidang myotomyData terbaru menunjukkan bahwa perluasan proksimal dan distal dari myotomy esophagus sangat penting. Chen dkk melaporkan bahwa pseudovertikulum epiphrenic muncul pada 67% pasien yang di follow up selama 7-16 tahun post myotomy dan fundoplikasi. hal ini mungkin disebabkan oleh tidak adanya penutupan oleh fundoplikasi sepanjang bagian myotomy proksimal. Diketahuinya adanya potensi terbentuknnya divertikulum telah membuat banyak ahlli untuk membatasi luas proksimal dari myotomy hingga ke bagian yang dapat ditutupi oleh fundoplikasi.Perbaikan disfagia mungkin lebih baik dengan memperpanjang myotom bagian dstal. Oelschlager dkk melaporkan adanya perbaikan gejala klinis dan penurunan angka kejadian kambuhnya disfagia dengan memperluas bagian mytomy distal dari 1.5 cm hingga 3 cm. mereka membandingkan outcome dari 52 pasien yang diterapi dengan myotomy standar 1.5 cm menuju lambung bagan proksimal dengan hasil 58 pasien yang menjalani perpanjangan myotomy sepanjang 3 cm. tekanan LES postoperative lebih rendah (9.5 mmHg pada myotomy dengan perpanjangan daripada dengan myotomy standar yang bertekanan 15.8 mmHg) dan perbaikan disfagia post operatif terjadi setelah myotomy yang lebih lama. Penting untuk diingat, data pH post operasi 24 jam menunjukkan bahwa ekstensi aspek distal dari myotomy tidak menghasilkan angka kejadian gastroesofageal reflux yang lebih tinggi.Tambahan fundoplikasiWalaupun myotomy secara efektif dapat menurunkan tahanan aliran keluar dari esophagus dan memperbaiki pengosongan esophagus, tindakan ini juga meningkatkan kecendrungan terjadinya gastroesofageal reflux. Pentingnya tambahan tindakan untuk melakukan fundoplikasi setelah myotomy masih diperdebatkan hingga saat ini.Sebuah penelitian acak telah mengkaji masalah ini. Richard dkk melaporkan bahwa pada 43 pasien akalasia yang menjalani myotomy Heller laparaskopi dengan atau tanpa fundoplikasi Dor. Gastroesofageal reflux, yang didefinisikan sebagai terpaparnya asam pada esophagus bagian distal selama 24 jam lebih dari 4.2%, dijumpai pada 47.5% pasien yang menjalani myotomy Heller saja dibandingkan dengan 9.1 pasien yang menjalani myotomy Heller dengan fundoplikasi parsial.Penting diingat, tidak ada perbedaan mendasar pada tekanan LES post-operatif atau perubahan skor disfagia antara kedua kelompok ini. Mirip dengan diatas, sebuah kajian terhadap 146 pasien yang menjalani myotomy Heller laparascopic dengan (n=88) atau tanpa (n=61) fundoplikasi Dor yang dilakukan oleh Rice dkk, menemukan bahwa gastroesofageal reflux muncul lebih jarang setelah tambahan tindakan fundoplikasi parsial. Tambahan tindakan berupa fundoplikasi Dor pada myotomy Heller tidak meningkatkan pengosongan esophagus ketika diperiksa dengan esophagografi barium.Kebanyakan ahli setuju untuk tidak melakukan fundoplikasi pada pasien yang aperistaltik yang sering terjadi pada seringkali pada esophagus yang terdilatasi dan berliku-liku. Disisi lain, derajat yang tepat (misalnya 180 derajat, 270 derajat) dan lokasi (anterior, posterior) pada sebuah fundoplikasi parsial tidaklah jelas. Data yang ada pada saat ini menunjukkan sedkit perbedaan antara fundoplikasi posterior 270 derajat (Toupet) dan fundoplikasi anterior 90 hingga 180 derajat (Dor). Sebagai contoh, Arain dkk tidak menemuan adanya perbedaan pada perbakan gejaa klinis, termasuk disfagia, heartburn, atau chest pain, atau perlunya diberikan proton-pump inhibitor ketika membandingkan myotomy dengan Dora tau myotomy dengan Toupet. Karena mudahnya konstruksi secara teknis, kebanyakan pusat kesehatan telah mulai melakukan fundoplikasi Dor secara rutin.Hasil pembedahanHasil dari myotomy Heller laparascopic hingga saat ini telah diteliti selama lebih dari satu dekade. Data-data ini menunjukkan pembedahan myotomy lebih efektif daripada terapi non-bedah untuk mengatasi disfagia, regurgitasi, dan chest pain untuk jangka waktu panjang dan dapat memberikan kepuasan pada pasien.banyak ahli bedah dan gastroenterologist percaya bahwa myotomy harus direkomendasikan sebagai terapi primer untuk semua pasien dengan akalasia.Outcome jangka sedang untuk myotomy laparascopic telah dilaporkan dari pusat-pusat kesehatan diseluruh dunia (tabel 2). Setelah dilakukan pengamatan selama 2 hingga 5 tahun setelah operasi, lebih dari 90% pasien mengalami perbaikin sempurna atau hanya mengalami gejala persisten yang ringan seperti disfagia. Peneliti-peneliti dari Padua, Italy, telah mengumpulkan salah satu data pengamatan jangka panjang. Portale dkk melaporkan 113 pasien yang menjalani myotomy Heller laparaskopi dari 1992 hingga 1999. Lebih dari 90% (91.2%) mengalami perbaikan gejala secara sempurna pada tahun ke dua dilakukan follow up, dengan metode analisis Kaplan-Meier menunjukkan 90% kemungkinan untuk pasien dapat tetap bebas dari gejala selama lima tahun. Kebanyakan hasil dari laporan-laporan sejenis menunjukkan adanya perbaikan yang sama. Derajat perbaikan mungkin tidak sama pada semua pasien. Arain dkk menemukan bahwa kebanyakan perbaikan yang berarti adalah pada gejala regurgitasi (74% sembuh sempurna). Perbaikan sedang terlihat pada disfagia (33% sembuh sempurna) dan gejala yang sembuh paling sedikit adalah chest pain (18% sembuh sempurna). Kesulitan dalam menyembuhkan chest pain juga dilaporkan setelah dilakukan dilatasi pneumatic.Komplikasi rata-rata 10-15% dan biasanya termasuk pneumothorax, infeksi luka, dan kebocoran esophagus. Mortalitas biasanya tidak ada pada sebagian besar laporan yang diterbitkan. Kerusakan pada mukosa esophagus dikarenakan tindakan yang tidak hati-hati muncul pada 0-14% dari prosedur dan ketika diketahui dan dilakukan perbaikan jarng sekali menimbulkan konsekuensi klinis lain. Perforasi mukosa yang tidak diketahui akan muncul sebagai acute abdominal atau chest pain pada periode awal post-operatif dan telah diperbaiki secara bedah dan non bedah. Perubahan dari operasi laparaskopi ke open laparatomy jarang terjadi pada pusat laparaskopi yang berpengalaman dan biasanya disebabkan oleh perforasi esophagus, pendarahan tidak terkontrol, atau adhesi.Pemeriksaan post-operatif melalui esofagografi dengan kontras, manometri, dan monitoring pH telah menunjukkan bahwa obstruksi esophagus mengalami perbaikan dan diameteresofagus mengecil, sebagai mana juga dengan tekanan istirahat dan residual dari LES. Zainotto dkk melaporkan bahwa data pH pada 84 dari 113 pasien yang menjalani monitoring pH post-operatif selama 24 jam. Hanya lima dari 84 (6%) masih memilki gastroesofageal reflux, tiga diantaranya menderita heartburn dan satu menderita esofagitis erosive setelah diperiksa dengan endoskopi. Follow up jangka panjang dari era open myotomy menunjukkan bahwa gastroesofageal reflux merupakan penyebab umum dari berulangnya gejala, dan juga munculnya regurgitasi progresif, heartburn/chest pain, esofagitis erosive, dan esophagus Barret. Tapi apakah hal ini juga berlaku pada era laparaskopi belumlah diketahui secara pasti.Csendes dkk menerbitkan penelitian tentang acid reflux secara klinis, endoskopis, histologist, dan manometri dari 67 pasien yang mengikuti percobaan acak yang dilakukan pada tahun 1970an. Pasien dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan lama follow-up; 6 hingga 10 tahun, 10 hingga 20 tahun, dan 20 hingga 30 tahun. Kebanyakan pasien (73%) memilki respon yang bertahan lama, walaupun berulangnya gejala djumpai pada 7% pasien dalam waktu kurang dari 10 tahun, 23% pada 10 hingga 20 tahun, dan 35% pasien setelah lebih dari 30 tahun post myotomy. Mirip dengan diatas, terdapat peningkatan yang berjalan lambat pada pasien yang diketahui terkena paparan asam esophagus patologis sebanyak 15%, 28% dan 53% (fig.5). esophagus Barret muncul pada Sembilan pasien dan squamous cell carcinoma esophagus muncul pada tiga pasien.Predictor outcome/hasil pembedahanBeberapa factor telah diajukan sebagai prediktor dari outcome setelah terapi dilakukan pada pasien akalasia. Tingkat perbaikan dari tekanan istirahat LES telah dilaporkan oleh beberapa peneliti tentang pengaruhnya terhadap kesuksesan jangka panjang dari dilatasi pneumatic. Pasien dengan tekanan LES menurun kurang atau sama dengan 10 mmHg memilki kesembuhan dari disfagia yang lebih lama (5 tahun atau lebih) dan disfagia berulang terjadi dalam 12 hingga 24 bulan pada mereka yang memiliki tekanan LES persisten lebih dari 20 mmHg (fig. 6). Prinsip ini sepertinya berlaku untuk pembedahan myotomy dan dilatasi pneumatic, walaupun menurunkan tekanan istirahat LES hingga mendekati 10 mmHg lebih dapat dicapai dengan myotomy. Pasine muda (kurang dari 40 tahun) juga telah menunjukkan kurangnya respon terhadap dilatasi pneumatic dan merupakan kandidat myotomy primer yang baik. Pada penelitian jangka panjang yang membandingkan hasil dari pasien yang membutuhkan myotomy setelah dilatasi pneumatic yang gagal dengan pasien yang merespon dengan baik terapi dilatasi pneumatic, Gockel dkk menemukan bahwa pasien yang lebih muda pada saat diagnosis memilki kemungkinan lebih besar untuk membuthkan pembedahan myotomy untuk memperbaiki simptomatis. Dengan menggunakan rasio untuk memutuskan risiko untuk dilakukan myotomy, penulis menemukan bahwa seorang pasien yang didiagnosa dengan akalasia pada umur 15 tahun memiliki 70% kemungkinan untuk membutuhkan myotomy, seorang pasien yang didiagnosa pada umur 40 tahun memiliki kemungkinan 35% dan pasien yang didiagnosa pada umur 70 tahun memiliki kemungkinan 8% (fig. 7).Beberapa factor juga menunjukkan pengaruhnya terhadap hasil dari laparascopic myotomy. Hal ini termasuk besarnya tekanan istirahat LES pre-operatif, tingkat dilatasi atau berliku-likunya esophagus preoperative, atau keduanya, dan tidak adanya intervensi nonoperatif.Mengkaji outcome dari 78 pasien akalasia dengan laparascopic myotomy, Arain dkk menemukan bahwa tekanan LeS preoperative yang tinggi merupakan prediktor independen dari kesembuhan dari disfagia. Hal ini dipastikan dengan data pada 200 pasien akalasia yang diobati oleh peneliti dari universitas Vanderbilt. Mereka menemukan bahwa pasien dengan tekanan LES istirahat lebih dari 35 mmHg memiliki kesempatan 21.3 kali lebih mudah sembuh dari disfagia daripada mereka dengan tekanan LES preoperative kurang dari 35 mmHg. Peneliti ini juga melaporkan semakin besar penurunan tekanan LES setelah operasi, maka semakin besar perbaikan disfagia post operatif (fig. 8).Keuntungan dari pembedahan myotomy pada pasien dengan esophagus yang berkelok dan membesar tidaklah jelas. Pada keadaan ini, dimana esophagus tidak terlalu membesar tetapi berbentuk seperti sigmoid, aliran bolus terganggu oleh bentuk dari esophagus sendiri disamping adanya spasme LES. Bahkan pada keadaan seperti ini, pasien dapat memperoleh keuntungan. Patti dkk mengkaji 66 pasien dengan berbagai tingkat dilatasi, menemukan bahwa semua 7 pasien dengan diameter esophagus lebih dari 6 cm dan adanya bentuk esophagus yang berkelok tetap memiliki outcome yang memuaskan. Sebaliknya, sebuah penelitian oleh Pechlivanides dkk menemukan bahwa diameter esophagus menurun pada semua pasien dengan dilatasi esophagus, tetapi hanya pasien dengan diameter post-operatif kurang dari 4 cm yang mempunyai hasil yang bagus. Berdasarkan data ini dan rendahnya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan myotomy Heller laparaskopik jika dibandingkan dengan esofagectomy, myotomy seringkali dipilih sebagai terapi lini pertama tanpa memandang besarnya dilatasi yang terjadi.Intervensi endoskopi yang dilakukan pada pasien akalasia sebelum intervensi bedah sepertinya mempengaruhi kesuksesan pembedahan myotomy. Smith dkk baru-baru ini melaporkan bahwa terapi yang diberikan sebelumnya dapat mempengaruhi outcome simptomatik. Pasien dengan (n=154) atau tanpa (n=55) adanya riwayat dilatasi balon sebelumnya atau injeksi Botox dibandingkan. Jika kegagalan terapi didefinisikan sebagai gejala klinis yang berulang atau persisten sehingga diperlukan terapi tambahan, maka tingkat kegagalan dari mereka yang menjalani intervensi sebelumnya ternyata memilki tingkat kegagalan dua kali lebih mungkin dari pada mereka yang tidak menjalani intervensi awal (19.5% versus 10.1%). Sebagai tambahan, pasien dengan terapi endoskopik sebelumnya ternyata memiliki plana/bidang diseksi yang lebih sulit, peningkatan scarring pada mediastinal, yang akirnya menyebabkan insidensi yang lebih besar untuk terjadinya perforasi mukosa intraoperatif dan penyembuhan post-operatif yang lebih lama daripada mereka yang tidak menjalani terapi sebelumnya. Temua ini mendukung dilakukannya pembedahan myotomy sebagai terapi inisial untuk akalasia dan intervensi endoskopi sekiranya hanya dilakukan pada pasien yang jarang dimana pasien tersebut tidak menjadi kandidat pasien bedah.Gejala klinis persisten atau berulangData outcome jangka panjang menunjukkan bahwa laparascopic mytomy dan fundoplikasi parsial yang dilakukan dengan benar akan menjadi satu-satunya terapi yang dibutuhkan pada 80% pasien dengan akalasia. Gejala disfagia ringan hingga sedang, regurgitasi, heartburn, dan chest pain hanya muncul kembali pada 40-50% pasien, tetapi hanya sedikit dari pasien-pasien ini yang membutuhkan intervensi tambahan diluar perubahan gaya hidup dan perilaku atau terapi PPI (proton pump inhibitor). Mekanisme kegagalan yaitu myotomy yang tidak adekuat, scarring atau distorsi anatomis dari gastroesofageal junction, komplikasi dari gastroesofageal reflux disease, dan dilatasi esophagus progresif atau distorsi, biasanya diakibatkan oleh resistensi aliran keluar yang persisten. Kegagalan awal biasanya disebabkan oleh kegagalan memperluas myotomy ke bagian lambung atau distorsi anatomis, atau keduanya. Kegagalan yang terjadi kemudian biasanya disebabkan oleh komplikasi gastroesofageal reflux dengan striktur atau perubahan Barret dan berjalannya pernyakit. Munculnya divertikulum esophagus distal, diperkirakan disebabkan oleh ekstensi proksimal dari myotomy hingga ke mediastinum posterior bagian bawah, juga diketahui sebagai sering terjadi. Factor predisposisi dan kepentingan simptomatis dari hal ini masih belum jelas.Berulangnya disfagia setelah pembedahan myotomy harus diperiksa dengan upper endoscopy untuk menyingkirkan lesi obstruksi, dengan menggunakan kontras, esofagografi dilakukan untuk menilai dilatasi atau berkeloknya esophagus, dan dengan mengulang pemeriksaan manometri untuk menilai tekanan istirahat LES yang persisten (>10 hingga 15 mmHg). Pilihan terapi yaitu dilatasi pneumatic atau remyotomy untuk mengatasi myotomy yang belum lengkap atau scarred myotomy, dan esofagogectomy untuk mereka dengan dilatasi tingkat akhir, dan adanya perkelokan, striktur, atau kanker. Dilatasi pneumatic, yang dulunya dianggap sebagai kontraindikasi myotomy, dapat menjadi pilihan menarik untuk disfagia persisten yang baru saja diketahui. Pada analisis retrospektif dari 113 pasien yang diterapi dengan myotmy untuk akalasia, Zaninotto dkk menemukan bahwa 78% dari 10 pasien dengan disfagia rekuren dapat saja diobati secara efektif dengan dilatasi pneumatic. Mereka menyimpulkan bahwa dilatasi penumatik harus dianggap sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan disfagia persisten dan bahwa operasi ulang hanya boleh dilakukan pada mereka yang tidak merespon terapi.Terapi medis dan bedah ada sebagai pilihan terapi untuk pasien dengan akalasia. Administrasi dari agen farmakologis hanya memiki sedikit keuntungan klinis. Inejski Botox telah menunjukkan perbaikan gejala pada beberapa pasien, tetapi seringkali hal ini tidak cukup sekali, sehingga memerlukan beberapa kali sesi terapi dan dapat membuat tindakan operasi yang akan dilakukan nanti menjadi lebih sulit. Walaupun dilatasi penumatik telah menunjukkan efek yang lebih tahan lama untuk mengatasi disfagia daripada injeksi Botox, namun terapi ini tidak bertahan lama seperti yang terlihat pada pembedahan myotomy. Myotomy Heller laparaskopi telah menjadi terapi primer inisial dan pendekatan bedah standar untuk pasien dengan akalasia.Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pembedahan myotomy lebih superior dalam memberikan perbaikan gejala klinis jangka panjang dibandingkan dengan intervensi non-bedah. Sebuah extended distal myotomy, diikuti oleh fundoplikasi parsial, telah menunjukkan perbaikan disfagia yang lebih baik dengan risiko gastroesofageal reflux yang minimal. Tekanan LES preoperative yang tinggi memberikan outcome simptomatik yang lebih baik setelah dilakukan pembedahan, sebagaimana juga dengan tidak melakukan intervensi nonoperatif sebelum operasi. Gejala klinis persisten atau berulang setelah pembedahan myotomy yang tidak merespon terhadap perubahan gaya hidup dapat diperbaiki dengan dilatasi pneumatic.KETERANGAN GAMBAR

Singkatan dan akronimHRM= high resolution manometri/manometri resolusi tinggiLES= lower esophageal sphincter/ sfinkter esophagus bagian bawahNOS= nitric oxide synthase

Fig. 1. Barium esofagogram pada pasien dengan akalasia. Perhatikan air fluid level dari esophagus dan penyempitan paruh burung (birds beak) yang disebabkan oleh LES yang tidak kembali relax

Figure 2. pengukuran tekanan residual LES pada pasien control (n=43) dan akalasia (n=58). Hanya satu pasien akalasia yang memiliki tekanan residual dibawah 10 mmHg. Tabel 1. Karakteristik manometri untuk akalasiaTekanan istirahat LES yang tinggiLES yang tidak istirahat atau istirahatnya tidak sempurnaAperistalsis dari badan esophagusPenekanan esophagus: peningkatan tekanan dasar esophagus bagian bawah

Figure 3. pemeriksaan manometrik resolusi tinggi pada (A) manusia normal dan (B) pasien dengan akalasia. Kurangnya gelombang propulsive dan gagalnya pembatas tekanan bawah yang menggambarkan LES dapat dilihat dengan jelas pada (B) dibandingkan dengan (A)

Figure 6. kurva Kaplan-Meier yang menunjukkan waktu dan berulangnya gejala setelah dilatasi LES dengan tekanan kurang dari 10 mmHg, 10 hingga 30 tahun. Batang abu-abu menunjukkan tes acid reflux yang normal; batang hitam: tes acid reflux abnormalFigure 4. mobilisasi esophagus dan pembuatan myotomy esophagus dengan cara memisahkan tepi otot hingga ke mukosa esophagus kemudian menuju bagian proksimal esophagus dan distal kearah lambung.

Figure 8. hubungan antara perubahan pada tekanan LES dan perubahan pada skor sifagia setelah myotomy Heller.

Figure 7. kemungkinan relative perlunya operasi berdasarkan umur pasien pada saat pertama kali didiagnosis.