akad wadhiah dan ariyah

39
Fiqih Muamalat 2 WADHIAH DAN ARIYAH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, ekonomi Islam berkembang dengan pesat. Lembaga-lembaga keuangan yang menganut sistem ekonomi Islam telah banyak dibangun di Indonesia. Sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak maka lembaga-lembaga yang basisnya ekonomi Islam ini memiliki peluang yang begitu besar untuk terus bertumbuh dan menjadi lebih maju. Lembaga-lembaga tersebut mesti secara konsisten menjalankan hukum ekonomi syariahnya (Fiqh Muamalat) secara kaffah agar penduduk pun percaya pada eksistensi dan kredibilasnya sebagai lembaga-lembaga keuangan yang berlandaskan pada syariat Islam. Seringkali aplikasi yang dijalankan oleh lembaga keuangan Islam khususnya Perbankan Islam yang tidak menganut sistem bunga dipersamakan dengan lembaga keuangan konvensional yang menganut sistem bunga. Oleh karenanya kita perlu mempelajari hukum ekonomi syariah (fiqih muamalat) yang tidak lain adalah landasan perbankan syariah dalam menjalankan operasionalnya. Sebab, dengan 1

Upload: universitas-islam-negeri-syarif-hidayatullah-jakarta

Post on 24-Jan-2017

471 views

Category:

Economy & Finance


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, ekonomi Islam berkembang dengan pesat. Lembaga-lembaga

keuangan yang menganut sistem ekonomi Islam telah banyak dibangun di Indonesia.

Sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak maka lembaga-lembaga yang

basisnya ekonomi Islam ini memiliki peluang yang begitu besar untuk terus

bertumbuh dan menjadi lebih maju. Lembaga-lembaga tersebut mesti secara

konsisten menjalankan hukum ekonomi syariahnya (Fiqh Muamalat) secara kaffah

agar penduduk pun percaya pada eksistensi dan kredibilasnya sebagai lembaga-

lembaga keuangan yang berlandaskan pada syariat Islam.

Seringkali aplikasi yang dijalankan oleh lembaga keuangan Islam khususnya

Perbankan Islam yang tidak menganut sistem bunga dipersamakan dengan lembaga

keuangan konvensional yang menganut sistem bunga. Oleh karenanya kita perlu

mempelajari hukum ekonomi syariah (fiqih muamalat) yang tidak lain adalah

landasan perbankan syariah dalam menjalankan operasionalnya. Sebab, dengan

mempelajarinya maka kita akan mampu memahami mekanisme produk perbankan

syariah yang bebas bunga.

Dalam makalah ini, penulis akan lebih memfokuskan pembahasan pada fiqih

dan aplikasi wadhiah dan ariyah di perbankan syariah.

B. Rumusan Masalah

Penulis merumuskan masalahnya ialah sebagai berikut:

a. Bagaimana hukum wadhiah dan ariyah dalam hukum ekonomi Islam (fiqih

muamalat)?

b. Bagaimana aplikasi keduanya di lembaga keuangan Islam khususnya Bank

Islam?

1

Page 2: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

C. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh

Muamalat. Selain itu pula, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberi

manfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Di samping

bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah tersebut, makalah ini juga dibuat guna

menambah pengetahuan serta memperluas wawasan penulis mengenai hukum

wadhiah dan ariyah dalam fiqh muamalat dan aplikasinya di Perbankan Syariah dan

agar makalah ini dapat diijadikan referensi bagi para pembaca.

2

Page 3: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

BAB II

PEMBAHASAN

A. Wadhiaha. Pengertian Wadhiah

Secara etimologis, kata wadhiah berasal dari kata wada’a asy-syai’ jika ia

meinggalkanya kepada orang yang menerima titipan. Adapun wadhi’ah secara

terminologis, yaitu pemberian kuasa oleh penitip kepada orang yang menjaga

hartanya tanpa kompensasi (ganti).

Menurut ulama Hanafiyah definisi wadhi’ah adalah sebagai berikut:

داللة : او صريحا له ما حفظ علي الغير تسليط وشرعاWadhi’ah menurut syara adalah pemberian kuasa oleh seseorang kepada orang

lain untuk menjaga hartanya, baik dengan lafal yang tegas (sharih) atau lafal

yang tersirat (dilalah).1

Malikiyah menyatakan bahwa wadhi’ah memiliki dua arti, (1) dalam arti “

(ايداع” ,2( dalam arti يءالمودع“ Dalam .(sesuatu yang dititipkan) ”الش

arti “ايداع”, ada dua definisi:

Definisi pertama adalah sebagai berikut

المال حفظ د مجر علي توكيل انهاعبارةعن

Sesungguhnya wadhi’ah adalah suatu ungkapan tentang pemberian kuasa

khusus untuk menjaga harta.

Definisi kedua adalah

1 Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz 3. Dar Al-Fikr, Beirut, cetakan III, 1981, hlm. 163. Dikutip dari buku Fiqh Muamalat, Ahmad Wardi Muslich, hlm. 455

3

Page 4: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

نقله ان يصح ذي ال يءالمملوك الش حفظ د مجر نقل عن هاعبارة

المودع اليSesungguhnya wadhi’ah adalah suatu ungkapan tentang pemindahan semata-

mata menjaga sesuatu yang dimilki yang bisa dipindahlan kepada orang yang

dititipi (al-muda’).

Dalam definisi yang pertama, Malikiyah memasukan akad wadhi’ah sebagai

salah satu jenis akad wakalah (pemberian kuasa), hanya saja wakalah yang husus

untuk menjaga harta benda saja, tidak untuk tasarruf yang lain. Oleh karena itu

wakalah dalam jual beli tidak termasuk kedalam wadhiah. Demikian pula titipan

yang bukan harta benda, seperti menitipkan bayi, tidak termasuk wadhi’ah.

Sedangkan dalam definisi yang kedua wadhi’ah dimasukkan ke dalam akad

pemindahan tugas menjaga harta benda dari si pemilik kepada orang lain, tanpa

melalui tasarruf. Dengan demikian, pemindahan hak milik kepada orang lain, dengan

melalui transaksi, seperti jual beli, gadai, ijarah, dan lain-lain tidak termasuk

wadhi’ah.

Syafi’iyah memberikan definisi wadhi’ah sebagai berikut

يء الش لحفظ المقتضي العقد هي اإليداع بمعني الوديعةالمودع

Wadhi’ah dengan arti (penitipan) adalah suatu akad yang menghendaki

(bertujuan ) untuk menjaga sesuatu yang dititipkan.2

Hanabilah memberikan definisi wadhi’ah sebagai berikut

عا تبر الحفظ في توكيل اإليداع بمعنى الوديعة

2 Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Jawi, Qut Al-Habib Al Gharib, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, t.t., hlm. 181, Dikutip dari Buku Fiqh Muamalah Ahmad Wardi Muslich, hlm. 457

4

Page 5: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

Wadhi’ah dalam arti (penitipan) adalah pemberian kuasa untuk menjaga

(barang) dengan sukarela (tabarru’)3

Dari definisi-definisi secara etimologis dan terminologis, dan juga

sebagaimana yang telah diungkapkan oleh para ulama madzhab tersebut dapat

diambil intisari bahwa wadhi’ah adalah suatu akad antara dua orang (pihak) dimana

pihak pertama menyerahkan tugas dan wewenang untuk menjaga barang yang

dimiliknya kepada pihak lain, tanpa imbalan. Barang yang diserahkan tersebut

merupakan amanah yang harus dijaga dengan baik, meskipun ia tidak menerima

imbalan. Akad wadhiah mengandung unsur amanah (trusty), dengan demikian orang

yang menitipkan barang mesti memercayai orang yang dititipkan. Apabila terjadi

kerusakan yang disebabkan di luar faktor kelalaian orang yang dititipkan maka yang

menitipakan harus menanggung risikonya.

b. Dasar Hukum Wadhiah

Menitipkan dan menerima titipan hukumnya boleh (jaiz). Bahkan, disunahkan

disunahkan bagi orang yang dapat dipercaya dan mengetahui bahwa dirinya mampu

menjaga barang titipan. Dasarnya adalah Al-Qur’an, Hadist, dan ijma’.

Dasar Al-Qur’an: Q.S an-Nisa (4): 58

.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang

berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di

antara manusia supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah

memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah

adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat.”

3 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzhahib Al-Arba’ah, Juz 3, Dar Al-Fkir, Beirut, t.t., hlm. 249, Dikutip dari Buku Fiqh Muamalah Ahmad Wardi Muslich, hlm. 457.

5

Page 6: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

QS. al-Baqarah: 283:

... .....

“....maka jika sebagian kamu mempercayai sebgaian yang lain, maka hendaklah

yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia

bertakwa kepada Allah Tuhannya...”

Dasar Hadist, yaitu Hadist Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi sebagai berikut:

“Sampaikanlah amanat kepada orang yang memberimu amanat, dan janganlah

kamu berhianat kepada orang yang menghianatimu”.

Hadist No. 992 Bulughul Maram

Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari

ayahnya, dari kakeknya

Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi

Shallallaahu 'alaihi wa Sallam

bersabda: "Barangsiapa dititipi suatu

titipan, maka tidak ada tanggungan

atasnya." Riwayat Ibnu Majah dan

dalam sanadnya ada kelemahan.

عن عمرو بن شعيب , عن أبيه , عن جده , عن

النبي صلى الله عليه وسلم قال : ) من أودع

وديعة , فليس عليه ضمان أخرجه ابن ماجه , (

وإسناده ضعيف

Dasar dari ijma’ yaitu bahwa ulama sepakat diperbolehkanya wadhi’ah. Ia

termasuk kedalam ibadah sunah. Dalam kitab Mubdi disebutkan: “ijma’ dalam

setiap masa memperbolehkan wahi’ah”. Dalam kitab Ishfah disebutkan: ulama

sepakat bahawa wadhi’ah termasuk ibadah sunah, dan menjaga barang titipan

itu mendapatkan pahala.

c. Rukun Wadhiah

Menurut Hanafiah, rukun wadhi’ah hanya satu, yaitu ijab dan qabul.4

Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun wadhi’ah itu ada empat:

1. Benda yang ditipkan (al-‘ain al-muda’ah),4 ‘Alaudin Al-Kasani, Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartib Asy-Syarai’, Juz 6, Dar Al-Fikr, Beirut, cet. VI, 1996, hlm. 126, Dikutip dari Buku Fiqh Muamalah Ahmad Wardi Muslich, hlm. 459.

6

Page 7: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

2. Shigat,

3. Orang yang menitipkan (al-mudi’), dan

4. Orang yang dititipkan (al-muda’)5

d. Syarat-Syarat Wadhiah

Syarat-syarat wadhiah berkaitan dengan rukun-rukun yang telah disebutkan di

atas, yaitu Shigat, syarat orang yang menitipkan dan syarat orang yang dititipi.

1. Syarat-syarat orang yang dititipkan

Syarat-syarat untuk benda uang dititipkan adalah sebagai berikut

Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa untuk disimpan.

Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara atau

benda yang jatuh ke dalam air, maka wadhi’ah tidak sah sehingga apabila

hilang, tidak wajib mengganti. Syarat ini dikemukakan oleh ulama-ulama

Hanafiyah.6

Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda

yang mempunyai nilai (qimah) dan dipandang sebagai mal, walaupun najis.

Seperti anjing yang bisa dimanfaatkan untuk berburu, atau menjaga

keamanan. Apabila benda tersebut tidak memeiliki nilai, seperti anjing yang

tidak ada manfaatnya, maka wadhiah tidak sah.7

2. Syarat-syarat shigat

Shigat akad adalah ijab dan qabul. Syarat shigat adalah ijab harus dinyatakan

dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih) dan

adakalanya dengan sindiran (kinayah). Malikiyah menyatakan bahwa lafal

dengan kinayah harus disesrtai dengan niat. Contoh lafal yang sharih: “saya

titipkan barang ini kepada anda”. Sedangkan contoh lafal sindiran (kinayah):

5 Ali Fikri, Al-Mu’amalat Al-Maddiyah wa Al-Adabiyah, Juz2, Musthafa Al-Babiy Al-Halabiy, Mesir, 1939, hlm. 126, Dikutip dari Buku Fiqh Muamalah Ahmad Wardi Muslich, hlm. 459. 6 Ibunu Abidin, Hasyiyah Radd Al-Mukhtar. ‘Ala ad-Durr Al-Mukhtar Juz 8, Dar Al-Fikr, Beirut, 1992, hlm. 332, Dikutip dari Buku Fiqh Muamalah Ahmad Wardi Muslich, hlm. 459. 7 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzhahib Al-Arba’ah, Juz 3, Dar Al-Fkir, Beirut, t.t., hlm. 250 dan 253, Dikutip dari Buku Fiqh Muamalah Ahmad Wardi Muslich, hlm. 460.

7

Page 8: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

Seseorang mengatakan, “berikan kepadaku mobil ini”. Pemilik mobil

menjawab: “saya berikan mobil ini kepada anda”. Kata “berikan” mengandung

art kata hibah dan wadhi’ah (titipan). Dalam konteks ini arti yang paling dekat

adalah “titipan”. Contoh ijab dengan perbuatan: seseorang menaruh sepeda

motor di hadapan seseorang tanpa mengucapkan kata-kata apapun. Perbuatan

tersebut menunjukkan penitipan (wadhiah). Demikian pula qabul kadang-ladang

dengan lafal yang tegas (sharih), seperti: “Saya terima” dan adakalanya dengan

dilalah (penunjukan), misalnya sikap dimana ketika barang ditaruh di

hadapanya.

3. Syarat orang yang menitipkan (Al-Mudi’)

Syarat orang yang menitipkan adalah sebagai berikut

Berakal. Dengan demikian tidak sah wadhiah dari orang gila dan anak yang

belum berakal.

Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh Syafi’iyah. Dengan demikian menurut

Syafi’iyah, wadhi’ah tidak sah apablia dilakukan olrh anak yang belum

baligh (masiih di bawah umur). Tetapi menurut Hanafiah baligh tidak

menjadi syarat wadhiah sehingga wadhi’ah hukumnya sah apabila dilakukan

oleh anak mumayyiz dengan persetujuan dari walinya.

Sebagaimana telah dikemukan sebelumnya bahwa Malikiyah memandang

wadhiah sebagai salah satu jenis wakalah, hanya husus dalam menjaga harta. Dalam

kaitan dengan syarat oranng yang menitipkan (mudi’) sama dengan syarat orang yang

mewakilkan (mukil), yaitu:

1) Baligh,

2) Berakal, dan

3) Cerdas

Sementara itu, apabila dikaitkan dengan definisi yang kedua, yang

menganggap wadhiah hanya semata-mata memindahkan hak menjaga harta kepada

8

Page 9: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

orang yang dititipi, maka syarat orang yang menitipkan (mudi’) adalah ia harus

membutuhkan jasa penitipan.

4. Syarat orang yang dititipi (Al-Muda’)

Syarat orang yang dititipi (muda’) adalah sebagai berikut

Berakal. Tidak sah wadhi’ah dari orang gila dan anak yang masih di bawah

umur. Hali ini dikarenakan akibat hukukm dari akad ini adalah kewajiban

menjaga harta, sedangkan orang yang tidak berakal tidak mampu untuk

menjaga barang yang dititpkan kepadanya.

Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akam tetapi, Hanafiah

tidak menjadikan baligh sebagai syarat untuk orang yang dititipi, melainkan

cukup ia sudah mumayyiz.

Malikyah mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga kuat

mampu menjaga barang yang dititipkan kepadanya.

e. Macam-macam Wadhi’ah

Secara umum terdapat dua jenis wadhi’ah, yaitu wadhi’ah yad al-amanah dan

yad adh-dhamanah.

1. Wadhi’ah yad al-amanah (Trustee Defostery)

Wadhi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan

oleh penerima titipan.

b. Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas

dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh

memanfaatkannya.

c. Sebagai kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan

biaya kepada yang menitipkan.

d. Mengingat barang atau harta yang dititpkan tidak boleh di manfaatkan

oleh penerima titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis

ini adalah safe defosit box.

9

Page 10: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

2. Wadhi’ah yad adh-dhamanah (Guarante Depository)

Wadhi’ah jenis ini memeiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang

menerima titipan.

b. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu

dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan

bagi penerima titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada si penitip

f. Aplikasi di Bank Syariah

Produk Bank Syariah yang menggunakan akad wadhiah adalah sebagai berikut:

1. Current Account (giro)

2. Saving Account (tabungan wadhiah)

3. Deposito

4. Sertifikat Wadhiah Bank Indonesia (SWBI)

Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan

menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya, atau dengan

pemindahbukuan.8 Giro dipahami pula sebagai Simpanan yang memberikan fasilitas

Cek dan/atau Slip Penarikan Khusus.9 Adapun yang dimaksud dengan giro syariah

adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini,

Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro

yang dibenarkan secara syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip

wadhiah dan mudharabah.10

Bank Syariah menerapkan prinsip yad adh-dhamanah dalam produk giro ini. Seperti

yang telah dijelaskan di atas bahwa karakteristik atau konsep yad adh-dhamanah

ialah harta yang dititipkan dapat dimanfaatkan oleh Bank Syariah. Dengan

8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.9 https://www.permatabank.com/SME/Giro-dan-Deposito/ 10 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 01/DSN-MUI/V/2000 Tentang Giro.

10

Page 11: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

menggunakan konsep ini maka implikasi hukumnya sama dengan qard, yakni

nasabah sebagai pihak yang meminjami uang sedangkan bank sebagai yang

dipinjami. Oleh karenanya, bank tidak dibolehkan untuk memberikan imbalan atas

pemanfaatan dana atau barang titipan tersebut.11

Contoh giro wadhiah: Tn Seron Sidik memeiliki rekening giro wadhiah di Bank

Syariah Pangkal Pinang dengan saldo rata-rata pada bulan Mei 2003 adalah Rp.

1.000.000,-. Bonus yang diberikan Bank Syariah Pangkal Pinang kepada nasabah

adalah 30% dengan saldo rata-rata minimal Rp. 500.000,-. Diasumsikan total dana

giro wadhiah di Bank Syariaih Pangkal Pinang adalah Rp. 1000.000.000,-.

Pendapatan Bank Syariah Pangkal Pinang dari penggunaan giro wadhiah adalah Rp.

100.000.000,-.

Pertanyaan: berapa bonus yang diterima oleh Tn. Seron Sidik pada akhir bulan Mei

2003.

Jawab:

Bonus yang diterima ¿ Rp .1000.000 ,− ¿Rp .1000.000 .000 ,−¿¿

¿ × Rp. 100.000.000,-

× 30% = Rp. 30.000,-

(sebelum dipotong pajak)

Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat

tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau

alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.12 Adapun yang dimaksud dengan

tabungan syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip

syariah.

11 Adiwarman Kariem, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 35112 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

11

Page 12: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

Ketentuan umum tabungan wadhiah sebagai berikut13:

1. Tabungan wadhiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus

dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik

harta.

2. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi

milik atau tanggungan bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan

dan tidak menanggung kerugian.

3. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah

insentif selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening.

Seritifikat Wadhiah Bank Indonesia (SWBI) merupakan mekanisme penitipan dana di

Bank Indonesia pada saat Bank Islam memiliki kelebihan likuiditasnya. SWBI ini

ialah instrumen moneter atau kebijakan moneter yang dapat membantu Bank Islam

dalam mengatasi kelebihan dananya. Sesuai dengan prinsip wadhiah itu sendiri, Bank

Indonesia sebagai pihak yang menerima titipan tidak boleh menjanjikan keuntungan

atau mensyaratkan adanya imbalan kepada Bank Islam (yang menitipkan) kecuali

dalam bentuk bonus atau athaya. Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/7/

2004, SWBI adalah instrumen Bank Indonesia sebagai fasilitas penitipan dana jangka

pendek bagi Bank dan Unit Usaha Islam yang dijalankan berdasarkan prinsip

wadhiah.

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik SWBI ialah

sebagai berikut:

1. Merupakan tanda bukti penitipan dana berjangka pendek.

2. Diterbitkan oleh Bank Indonesia.

3. Merupakan instrumen kebijakan moneter dan sarana penitipan dana sementara.

4. Ada bonus atas transaksi penitipan dana.

5. Tidak boleh diperjualbelikan (Fatwa DSN No. 36/DSN-MU/X/2002)

13 Adiwarman Kariem, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 352

12

Page 13: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

g. Skema Akad Wadhiah

1. Titip baran atau jasa

4. Beri Bonus

3. Bagi Hasil

2. Pemanfaatan

barang

a. Wadhiah Yadh adh-Dhamanah

Titip Barang/Uang

b. Wadhiah Yad Amanah

c. SWBI

2b. Penyerahan barang

1. Akad

3. Pengembalian uang plus bonus

2a. Penerbitan SWBI

13

Nasabah (penitip)

Mustawdhi

Pengguna Dana

Bank (penyimpan) Mustawdha’

Penitip/Muwaddi Penyimpan/Mustaudha’

Penyimpan/Mustawda’

(Bank Indonesia)

Penitip/Muwaddi

(Bank)

Page 14: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

B. ARIYAH

a. Pengertian

Menurut etimologi, ariyah adalah ( ية ر لعا ) di ambil dari kata (ا ر yang (عا

berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ariyah berasal dari kata ( و عا الت(ر yang sama artinya dengan ( ناوب اوالت ناول (الت saling menukar dan mengganti,

yakni dalam tradisi pinjam-pinjam.14

Menurut terminologi, definisi ariyah dikemukakan oleh para ulama sebagi

berikut:

a. Ulama Hanafiah memberikan definisi menurut ariyah itu adalah kepemilikan

atas manfaat tanpa disertai dengan imbalan.

b. Malikiyah memberikan definisi, ariyah adalah kepemilikan atas manfaat yang

bersifat sementara tanpa disertai dengan imbalan.

c. Syafi’iyyah memberikan definisi ariyah adalah dibolehkannya mengambil

manfaat dari orang yang berhak memberikan secara sukarela dengan cara-cara

pemanfaatan yang dibolehkan sedangkan bendanya masih tetap, untuk

kemudian dikembalikan kepada orang yang memberikannya.

d. Hanbali memberikan definisi, ariyah adalah kebolehan memanfaatkan suatu

barang tanpa imbalan dari orang yang memberi pinjaman atau lainnya.

Dari definisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab tersebut dapat

dipahami bahwa pada dasarnya para ulama pendapatnya hampir sama, bahwa ariyah

adalah suatu hak untuk memanfaatkan suatu benda yang diterimanya dari orang lain

tanpa imbalan dengan ketentuan barang tersebut tetap utuh dan pada suatu saat harus

dikembaikan kepada pemiliknya.15

b. Dasar Hukum

- Firman Allah QS. Al-Maidah: 2

14 Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, cetakan ke 2, CV Pustaka Setia, Bndung, 2004, hlm. 139.15 Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, Cetakan ke 3, Amzah, Jakarta, 2015, hlm. 467-468.

14

Page 15: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

Artinya:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan

pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah

Amat berat siksa-Nya.

- Firman Allah QS. Al-Maun: 7

Artinya:

Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

Dalam ayat pertama (Surah Al-Maidah (5) ayat 2) Allah memerintahkan umat

Islam untuk saling-menolong dalam mengerjakan kebaikan dan melarang untuk

tolong-menolong dalam keburukan. Salah satu bentuk perbuatan baik itu melalui

ariyah, yakni meminjamkan kepada orang lain barang yang dibutuhkan olehnya,

tetapi tidak meninggal peraturan yang Allah telah telah tetapkan. Sedangkan dalam

ayat yang kedua (Surah Al – Maun (107) ayat 7) Allah menjelaskan bahwa salah satu

ciri orang yang mendustakan agama adalah enggan menolong orang lain. Jumhur

mufassirin menafsirkan ayat ini dengan “enggan meminjamkan barang kepada

tetangga, seperti ember, piring, gelas, dan sebagainya”.16

- Hadist No. 912

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu

bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa

Sallam bersabda: "Allah berfirman: Aku

menjadi orang ketiga dari dua orang yang

bersekutu selama salah seorang dari mereka

tidak berkhianat kepada temannya. Jika ada

عن سمرة بن جندب رضي الله عنه قال: قال

رسول الله صلى الله عليه وسلم ) على اليد ما رواه أخذت حتى تؤديه (

16 Ibid.. hlm. 469.

15

Page 16: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

yang berkhianat, aku keluar dari

(persekutuan) mereka." Riwayat Abu

Dawud dan dinilai shahih oleh Hakim.

حه أحمد, واألربعة, وصحالحاكم

Hadist No. 913

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu

bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa

Sallam bersabda: "Tunaikanlah amanat

kepada orang yang memberimu amanat

dan janganlah berkhianat kepada orang

yang menghianatimu." Riwayat Tirmidzi

dan Abu Dawud. Hadits hasan menurut

Abu Dawud, shahih menurut Hakim, dan

munkar menurut Abu Hatim Ar-Razi.

Hadits itu diriwayatkan juga oleh

segolongan huffadz. Ia mencakup

masalah pinjaman.

وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم

) أد األمانة إلى من ائتمنك, رواه وال تخن من خانك ( أبو داود, والترمذي

حه الحاكم, نه, وصح وحسازي واستنكره أبو حاتم الر

c. Rukun dan Syarat Ariyah

1. Rukun Ariyah

Ulama golongan Hanafiyah, berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab

dari mu’ir (orang yang meminjamkan), sedangkan qabul dari musta’ir (orang yang

menerima pinjaman) bukan merupakan rukun ariyah.

Ulama golongan Syafi’iyyah, berpendapat bahwa dalam ariyah disyaratkan

adanya lafadz Sighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang

meminjamkan barang pada waktu transaksi, sebab memanfaatkan milik barang

bergantung pada keadaan waktu izin.

16

Page 17: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

Secara umum, jumhur ulama fiqih (fuqaha) menyatakan bahwa rukun ariyah

ada empat, yaitu:

- Mu’ir (orang yang meminjamkan)

- Musta’ir (orang yang menerima pinjaman/orang yang meminjam)

- Mu’ar (barang yang di pinjam)

- Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk

Mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan17

2. Syarat Ariyah

- Mu’ir berakal sehat

Dengan demikian, orang gila dan anak kecil atau yang tidak berakal

tidak dapat meminjamkan barang. Ulama lainnya menambahkan

bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat

kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan

orang bodoh, dan yang bukan orang yang sedang pailit (bangkrut).

Ulama Hanafiah tidak mensyaratkan sudah baligh, tapi cukup

mumayyiz18. Selain itu orang yang meminjamkan harus pemilik atas

manfaat yang akan dipinjamkan. Karena objek ariyah adalah

manfaat.19

- Syarat orang yang meminjam

Orang yang meminjam harus jelas, apabila pemijam tidak jelas, maka

ariyah hukumnya tidak sah.

- Syarat-syarat barang yang dipinjam

Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, barang yang dipinjamkan

tidak bertentangan dengan ketentuan agama islam. Barang yang

dipinjamkan apabila diambil manfaatnya tetap utuh. Jadi tidak sah

17 Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, Cetakan ke 1, Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tanggerang, 2011, hlm. 169-170.18 Ibid., hlm. 471.19 Ibid., hlm. 472.

17

Page 18: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

meminjamkan makanan dan minuman karena apabila ia dimakan atau

diminum, sudah pasti akan habis.

- Syarat Shighat

Disyaratkan harus menggunakan lafal yang berisi pemberian izin

kepada peminjam untuk memanfaatkan barang yang dimiliki oleh

orang yang meminjamkan (mu’ir).20 Lafal ini bisa dari salah satu pihak

antara peminjam atau yang memberi pinjaman.

e. Macam-macam Ariyah

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenagan yang dimiliki oleh musta’ir

bergantung kepada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara muqayyad

(terikat) atau mutlaq.

a. Ariyah Muthlaq

Pinjam-meminjam barang yang dilakuakan oleh seseorang yang dalam akadnya

tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya

untuk musta’ir saja atau dibolehkan untuk orang lain dan tidak dijelaskan cara

penggunannya.

Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak

disebutkan hal-hal yang berkaitan denganpenggunann kendaraan tersebut,

misalnya waktu dan tempat mengendarainya. Walupum begitu tetap harus

disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh

menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika penggunannya

tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak maka mu’ir harus

bertanggung jawab.21

b. Ariyah Muqayyad

Meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfaatannya,

baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya. Hukumnya, peminjam

20 Ibid., hlm. 473.21 Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, Cetakan ke 1, Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tanggerang, 2011, hlm. 171.

18

Page 19: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut. Hal ini karena asal dari

batas adalah menaati batasan, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan

peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang. Dengan demikian,

dibolehkannya untuk melanggar batasan tersebut apabila kesulitan untuk

memanfaatkannya.

f. Ketentuan Hukum Akad Ariyah

1. Asal Ketentuan Hukum Ariyah

Istiah ariyah digunakan untuk arti hakiki (sebenarnya) dan arti majazi

(kiasaan). Dalam arti hakiki ariyah adalah meminjamkan benda untuk diambil

manfaatnya, sedangkan bendanya masih tetap utuh.

Pendapat Malikiyah dan Jumhur

Hanafiah mengenai Ariyah secara

Hakiki

Pendapat Al-Karakhi, Syafi’iyah, dan

Hanabilah mengenai Ariyah secara

Hakiki

Perbedaan Pemilikan manfaat atau yang

disamakan dengan manfaat kepada

peminjaman tanpa imbalan

Kebolehan mengambil manfaat dari

barang yang dipinjamkan kepada

peminjam (akad ibahah = kebolehan

mengambil manfaat bukan

tamlik/kepemilikan)

Peminjam dibolehkan

meminjamkan barang yang

dipinjamnya kepada orang lain,

walupun tidak diizinkan oleh

pemilik barang (karena orang yang

meminjamkan telah memberikan

kekuasaan kepada peminjam untuk

dimanfaatkan barang pinjamannya

itu). Pemberian kekuasaan tersebut

tamlik (pemberian hak milik)

Peminjam tidak dibolehkan

meminjamkan barang yang dipinjamnya

kepada orang lain, karena ariyah hanya

ibahah

19

Page 20: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

Persamaan Peminjam tidak dibolehkan menyewakan barang yang dipinjamnya kepada

orang lain.

Bahwa ijarah (sewa-menyewa)

merupakan akad yang lazim

(mengikat), sedangkan ariyah akad

ghair lazim (tidak mengikat) karena

sifatnya tabarru

Ariyah adalah akad ibahah bukan

tamlik, sehingga tidak boleh

dipindahtangankan, baik dengan cara

ariyah atau denagn cara ijarah.

Penggunaan lafal ariyah untuk arti majaz (kiasan) adalah peminjaman atas

barang-barang yang ditimbang, ditakar dan dihitung, seperti telur dan semua barang

yang tidak mungkin diambil manfaatnya kecuali dengan menghabiskannya, seperti

pinjaman uang dirham dan dinar. Secara hakiki ariyah (pinjaman) tersebut berarti

uang (qardh). Dengan demikian, dalam kasus semacam ini ariyah bukan diartikan

dengan arti sebenarnya melainkan dalam arti kiasan, yaitu utang piutang. Ketentuan

yang berlaku dalam hal ini bukan pengembalian barang, melainkan penggantian

dengan barang yang sama (mitsli) atau dengan harganya (qimi).

2. Sifat Hukum Ariyah

Menurut Hanafiah, Syafi’iyah dan Hanabilah, hak miik yang diperoleh

peminjam adalah hak milik yang gahir lazim (tidak mengikat). Hal tersebut

dikarenakan hak milik tersebut diperoleh tanpa imbalan. Dengan demikian, orang

yang meminjamkan (mu’ir) berhak menarik kembali barang yang dipinjamkannya

kepada peminjam (musta’ir), sebagaimana peminjam berhak mengembalikan ariyah-

nya. Kapan pun ia kehendaki.

Menurut pandangan yang masyhur dari malikiyah, orang yang meminjamkan

tidak dibolehkan meminta kembali ariyah-nya, sebelum barang tersebut dimanfaatkan

oleh peminjam. Apabila ariyah-nya dibatasi waktunya, maka orang yang

meminjamkannya tidak boleh menarik kembali ariyah-nya sebelum masanya habis.

Apabila ariyah-nya tidak dibatasi waktunya, maka orang yang meminjamkan harus

20

Page 21: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

memberikan kesempatan dalam waktu yang memadai untuk aryah semacam itu. Akan

tetapi, menurut pendapat Imam ad-Dardir, pendapat yang rajih, orang yang

meminjamkan boleh menarik kembali apabila ariyah-nya mutlak.

g. Status Ariyah

Menurut Hanafiah, barang yang dipinjam merupakan amanah (kepercayaan)

di tangan orang yang meminjam (musta’ir), baik ketika digunakan maupun maupun

tidak digunakan. Peminjam tidak dibebani ganti kerugian, kecuali ia melampaui batas

teledor. Hal ini didasarkan pada hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin

Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi bersabda:

ن ضما المغل غير المستودع على وال ن ضما المغل غير المستعير ليسعلى

Tidak ada kewajiban ganti rugi bagi peminjam yang tidak menyeleweng dan

tidak ada ganti rugi bagi orang yang dititipi yang tidak menyeleweng.

Hadist di atas menjelaskan bahwa peminjam yang tidak menyeleweng tidak

dibebani ganti rugi, apabila barang yang dipinjamnya rusak atau hilang.

Menurut Malikiyah, peminjam dibebani ganti rugi di dalam barang-barang

yang mungkin dirahasiakan, seperti pakaian, apabila pada saat hilang atau rusak

tidak ada saksi. Sedangkan untuk benda-benda yang tidak mungkin dirahasiakan,

seperti binatang dan benda tetap, dan di dalam barang-barang yang ada pada saat

hilang atau rusak ada saksi, peminjam tidak dibebani ganti rugi. Alasannya adalah

mengkompromikan antara hadist yang menyatakan wajib mengganti dan hadist yang

tidak wajib mengganti.

Menurut pendapat yang paling shahih dari ulama Syafi’iyah, peminjam

dibebani ganti rugi, apabila kerusakan karena penggunaan yang tidak disetujui oleh

orang yang meminjamkan, meskipun tidak ada unsur kelalaian. Pendapat ini

didasarkan pada hadist Nabi:

حنين ( يوم منه ر استعا م سل و عليه الله صلى بي االن أن أممة بن ن صفوا عن و

نة : : مضمو رية عا بل ل قا ؟ محمد يا أغصب ل فقا عا أدر

21

Page 22: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

Dari Shafwan bin Umayyah bahwa sesungguhnya Nabi SAW meminjam

beberapa baju besi darinya pada saat perang Huanin, maka ia menjawab (Shafwan)

berkata: “Apakah ini rampasan , wahai Muhammad? “Nabi menjawab: Bukan, ini

barang pinjaman yang ditanggung. (HR.Ahmad dan Abu Dawud)22

Hanabilah berpendapat bahwa peminjam menanggung kerusakan barang

pinjamannya secara mutlak, baik disengaja maupun tidak. Golongan ini berdasarkan

pendapat mereka pada hadist dari Shafwan ibn Umayyah di atas dan berdasarkan

hadist dibawah ini:

دية يؤ ى حت ت أخذ ما اليد على

Tangan (yang mengambil) adalah bertanggung jawab atas apa yang

diambilnya sehingga dipenuhi

(HR. Ahmad dan pengarang Sunan yang emapat)23

h. Aplikasi Ariyah di Perbankan Syariah

Belum ada produk ariyah di lembaga keuangan syariah, hal ini disebabkan

bank tidak meminjamkan barang kepada nasabahnya melainkan bank hanya

meminjamkan uang. Untuk produk meminjamkan atau memberi utang/menghutangi

nasabah yang membutuhkan uang dengan akad qard atau qardhul hasan. Pada

prinsipnya ariyah ataupun qard ini termasuk akad tabarru yaitu akad yang tidak

menghendaki adanya perolehan keuntungan atau akad memberikan harta atau sesuatu

yang berharga dengan tidak mengharapkan imbalan. Namun perbedaannya ialah dari

segi objek yang dipinjamkan. Dalam akad ariyah, si peminjam hanya meminjamkan

barang atau dhamman sedangkan dalam akad qard si peminjam meminjamkan

uangnya (maal).

22 Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, Cetakan ke 3, Amzah, Jakarta, 2015, hlm. 477-478.23 Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, cetakan ke 2, CV Pustaka Setia, Bandung, 2004, hlm. 149-150.

22

Page 23: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Secara etimologis, kata wadhiah berasal dari kata wada’a asy-syai’ jika ia

meinggalkanya kepada orang yang menerima titipan. Adapun wadhi’ah secara

terminologis, yaitu pemberian kuasa oleh penitip kepada orang yang menjaga

hartanya tanpa kompensasi (ganti). Wadhiah pada intinya ialah titipan, sedangkan

dalam menitipkan barang berharga/bernilai atau barang yang dianggap harta pihak

23

Page 24: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

yang menitipkan memerlukan kepercayaan terhadap pihak yang diberi titipan. Si

penerima titipan mesti menjaga amanah dalam menjaga barang si penitip. Oleh

karenanya, dalam al-Quran dan Hadist terdapat prinsip yang mendasari praktek

wadhiah ini. Di antaranya ialah hadist nabi yang menyuruh kita untuk menunaikan

amanah orang yang memberi kita suatu amanah dan untuk tidak menghianati orang

yang berkhianat kepada kita. Artinya bahwa menepati amanah ialah keharusan bagi

kita sedangkan berlaku khianat mesti kita jauhi sekalipun itu kepada orang yang

mengkhianati kita.

Aplikasi wadhiah hingga saat ini masih subur dan popular. Biarbagaimanapun

akad wadhiah merupakan akad yang sangat vital dalam kegiatan ekonomi masyarakat

modern. Contohnya di perbankan syariah, produk tabungan, giro dan SWBI ialah tiga

produk yang menggunakan akad wadhiah. Selain tiga produk tersebut, banyak

produk-produk lain –misalnya rahn- yang menggunakan prinsip wadhiah.

Ariyah Menurut etimologi, ariyah adalah ( ية ر لعا ) di ambil dari kata (ا ر (عا

yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ariyah berasal dari kata (

ر و عا (الت yang sama artinya dengan ( ناوب اوالت ناول (الت saling menukar dan

mengganti, yakni dalam tradisi pinjam-pinjam. Menurut terminologi, Malikiyah

memberikan definisi bahwa ariyah ialah kepemilikan atas manfaat yang bersifat

sementara tanpa disertai dengan imbalan, atau dengan kata lain ariyah adalah akad

pinjam meminjam barang tanpa disetai imbalan.

Tidak ada produk yang menggunakan akad ariyah di lembaga keuangan baik

Bank maupun nonbank. Hal ini disebabkan, lembaga keuangan khususnya bank

dalam produk-produk pembiayaan, bank hanya meminjamkan uang bukan barang.

Baik ariyah ataupun wadhiah, keduanya merupakan akad tabarru’ yakni akad

memberikan sesuatu –misalnya barang, jasa, dan lainnya- tanpa meminta imbalan

atau dengan sukarela. Oleh karenanya, aplikasi wadhiah di perbankan tidak

menerapkan sistem imbalan bagi nasabah yang menabung dengan giro ataupun

tabungan. Bank hanya diperbolehkan memberi bonus kepada nasabah dengan tidak

menjanjikan bonus tersebut di awal akad. Begitupula dengan SWBI, Bank Indonesia

24

Page 25: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

tidak bisa menetapkan suatu imbalan bagi bank syariah yang menitipkan dananya di

Bank Indonesia.

Daftar Pustaka

- Al-Quran al-Karim

- Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram

- Sjahdeini, Prof. Dr. Sutan Remy. 2014. Perbankan Syariah: Produk-produk dan

Aspek-aspek Hukumnya. Jakarta: Prenadamedia Group.

- Syafe’I, Prof. DR. Rachmat. 2004. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.

- Muslich, Drs. H.Ahmad Wardi. 2015. Fiqih Muamalat. Jakarta: Amzah.

25

Page 26: Akad Wadhiah dan Ariyah

Fiqih Muamalat 2 wadhIah DAN ARIYAH

- Rais, Dr. Hj. Isnawati dan Dr. H. Hasanudin, M. Ag. 2011. Fiqh Muamalah dan

Aplikasinya pada lembaga Keuangan Syari’ah. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

- Adiwarman Kariem, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2004).

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

- https://www.permatabank.com/SME/Giro-dan-Deposito/

- Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 01/DSN-MUI/V/2000 Tentang Giro.

- Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-Mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam,

(Jakarta: Daarul haq, 2001).

- Nurul Huda dan Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan

Teoritis dan Praktis, Cetakan kedua, (Jakarta: Kencana, 2013).

- Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012).

- Kashmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cetakan Ke-14, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2014).

- Syarif Hidayatullah, Qawaid Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi

Keuangan Syariah Kontemporer: Muamalat, Maliyyah Islamiyyah, Mua’shirah,

(Jakarta: Gramata Publishing, 2011).

26