aim #6: a look back at the year's best
DESCRIPTION
Last edition of ALSA Indonesia Magazine (period of 2014-2015)TRANSCRIPT
Efisiensi Penjatuhan Pidana Denda Sebagai Bentuk
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Oleh ALSA LC Universitas Udayana
Jessica A. Hutagaol, Ida Ayu P. W. I. Sari, Adimas R. Saksono, Nieko N. Susianto, Fadiah A. Bya
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau menurut Webster Student Dictionary adalah pula
dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari Bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa di
Eropa seperti Inggris : corruption, corrupt; Perancis: corruption; dan Belanda: corruptive (korruptie). Dapat diduga
istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda yang kemudian diadopsi kedalam bahasa Indonesia: “korupsi”1.
Pada tahun 2005, menurut data Transparency International (TI), Indonesia menempati urutan kedua
sebagai Negara terkorup di Asia Tenggara, di bawah Myanmar dengan nilai indeks (CPI) 2,2 dimana dalam skala
tersebut dari CPI 0 – 10 (skor 10 menunjukan peringkat terbersih dan 0 menunjukan peringkat terkorup). Jika
dilihat dari kenyataan sehari-hari korupsi di Indonesia hampir terjadi di setiap tingkatan dan aspek kehidupan
masyarakat baik dari golongan bawah maupun golongan menengah ke atas.
Dalam Hukum Positif Indonesia, tujuan pemidanaan dari setiap kasus yang ada adalah membuat efek
jera bagi para pelaku. Pidana denda sudah lama dikenal secara luas di dunia, tetapi kajian mengenai hal ini masih
sangat sedikit. Para ahli hukum mempunyai pandangan yang berbeda tentang pidana denda dalam keseluruhan
sistem pidana, khususnya apabila dihubungkan dengan pidana penjara. Pandangan-pandangan tersebut
membentuk suatu sikap yang saling bertolak belakang antara pidana penjara dan pidana denda. Pidana penjara
seringkali dianggap terlalu berat jika dibandingkan dengan pidana denda. Kenyataannya, pidana yang dijatuhkan
bagi para pelaku khususnya pelaku Tindak Pidana Korupsi itu sendiri sangat minim sekali untuk menimbulkan efek
jera. Pidana penjara yang biasa dijatuhkan hakim memang sudah berjalan sebagaimana semestinya. Sebagai
contoh kasus, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, menyatakan terdakwa Totok Lestiyo bersalah setelah
1 Andi Hamzah, 1984, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama,hlm. 7
terbukti menyuap mantan Bupati Boul, Sulawesi Tengah, Amran Batalipu, sebesar Rp 3 miliar terkait penerbitan
Izin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha lahan kelapa sawit. Majelis hakim menjatuhkan pidana penjara
kepada Toto dengan denda Rp 50 juta subsidair tiga bulan kurungan2. Vonis hakim tersebut lebih ringan dari
tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang meminta Totok divonis empat tahun penjara, dan juga dilihat dari nominal
dendanya tidak sebanding dengan lamanya subsidair masa kurungan yang dijatuhkan oleh Majlis Hakim.
Keefektifan penerapan pidana denda ini juga masih menjadi hal yang dipertanyakan oleh kalangan
masyarakat, karena penjatuhan pidana oleh Hakim, yang dimana terdapat subsidair pidana kurungan membuat
masyarakat kebingungan akan kegunaan pidana denda yang bersifat tidak mutlak tersebut. Dalam kasus korupsi,
hakim lebih cenderung memberikan pidana penjara yang tinggi dan hanya mengenakan pidana denda yang relatif
rendah. Terkait dengan kasus pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kebijakan pemberian pidana denda harus
dilakukan secara efisien, pasti dan rasional dan juga pidana denda harus dikenakan semaksimal mungkin.
Landasan kecenderungan Hakim dalam menjatuhkan tindak pidana penjara bagi pelaku adalah agar pelaku bisa
jera dan bertobat atas tindak pidana yang telah dilakukan. Hal ini mengingat bahwa hukuman denda tidak akan
bisa membuat pelaku tindak pidana bisa sadar atas kesalahan yang telah dilakukannya. Sehingga hukuman
penjara yang dijatuhkan oleh hakim sangat efektif untuk menjadikan pembuat tindak pidana bertobat dan jera
atas tindak pidana yang telah dilakukannya. Dalam pertimbangan sosiologis, pertimbangan hakim juga
didasarkan atas efek dari hukuman penjara yang akan menjadikan pelaku tindak pidana bisa memperoleh
perbaikan moral agar bisa kembali ke masyarakat dengan baik masih memerlukan rehbailitasi, baik rehabilitasi
nama baik dan rehabilitasi perilaku bagi si terdakwa yang dijatuhkan pidana penjara.
Pidana denda untuk Tindak Pidana Korupsi diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20
Tahun 2001. Undang-Undang ini telah mengalami perubahan sebanyak lima kali, yaitu pada tahun 1957, 1960,
1971, 1999, dan yang terakhir 2001. Perubahan terdapat dalam delik dan ancaman pidananya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah tujuan pemidanaan secara umum dalam memberantas kejahatan?
2. Bagaimana pengaturan pidana denda dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20
Tahun 2001 terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan bagaimana efisiensi dari penjatuhan pidana
denda terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi?
2 (http://www.tribunnews.com/nasional/2013/12/16/terbukti-menyuap-hakim-vonis-anak-buah-hartati-dua-tahun-penjara) diakses pada Senin, 16 Agustus 2014 pukul 16:20 WITA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengaturan Pidana Denda Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Menurut CST Kansil, Hukum Pidana merupakan hukum yang mengatur tentang kejahatan-kejahatan
dan pelanggaran-pelanggaran terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang
merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Jenis hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana pun
berbeda-beda tergantung dari besar atau kecilnya perbuatan yang telah dilakukan. KUHP sendiri memuat jenis-
jenis pemidanaan yang diatur dalam pasal 10 KUHP yang terbagi atas 2 jenis, yaitu:
1. Pidana Pokok
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Pidana denda
2. Pidana Tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim
Kualifikasi urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya
dimana yang terberat adalah yang disebutkan terlebih dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai
tambahan terhadap pidana-pidana pokok , dan biasanya bersifat fakultatif (artinya dapat dijatuhkan ataupun tidak).
Hal ini terkecuali bagi kejahatan-kejahatan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal
275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan3. Perlu diketahui, bahwa tujuan pemidanaan yang pada
umumnya terbagi menjadi 3 Teori, yaitu4 :
1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Vergeldings Theorien)
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak
pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel, bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti
memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu
dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan (revegen) atas
3 Dikutip Dari Artikel “Pengertian, Jenis-Jenis, Dan Tujuan Pemidanaan” oleh RAY PRATAMA SIADARI, S.H.,M.H (http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian-jenis-jenis-dan-tujuan.html)
4 Abidin, Zainal . Catatan Mahasiswa Pidana. Indies Bandung 2013 hal .191
kesalahan yang telah dilakukan, sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya
kejahatan itu sendiri.
2. Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien)
Teori relative ini berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib
(hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut, dimana suatu kejahatan dapat
dijatuhi hukuman artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap
mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental. Teori ini
muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale
preventie) yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum (general preventie) yang ditujukan
ke masyarakat. Teori ini berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence,
dan reformatif. Tujuan preventif untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan
terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan
kejahatan, baik bagi individual pelaku agar tidak mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai
langkah panjang. Sedangkan tujuan reformatif untuk mengubah sifat jahat si pelaku dengan dilakukannya
pembinaan dan pengawasan.
3. Teori Gabungan (Verenegings Theorieen)5
Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, Van List (Djoko Prakoso, 1988 :47) dengan pandangan
sebagai berikut:
1. Tujuan terpenting pidana adalah memberantas kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.
2. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil studi antropologi
dan sosiologis.
3. Pidana ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas
kejahatan.
Uraian ketiga teori diatas menyatakan bahwa tujuan pemidanaan ialah untuk mengehendaki adanya
perbaikan pada diri manusia yang telah melakukan perbuatan yang telah memenuhi delik-delik
ringan dan untuk delik-delik tertentu telah dirumuskan secara mengkhusus, dimana dianggap dapat
merusak kehidupan sosial dari masyarakat dan sulit untuk diperbaiki, maka sifat pembalasan atau
penjeraan dari pemidanaan tidak dapat dihindari lagi.
2.2 Efisiensi Dari Penjatuhan Pidana Denda Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Sebagai Salah Satu Upaya
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5 Dikutip Dari Artikel “Pengertian, Jenis-Jenis, Dan Tujuan Pemidanaan” oleh RAY PRATAMA SIADARI, S.H.,M.H (http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian-jenis-jenis-dan-tujuan.html)
Pidana denda merupakan pidana yang berupa harta benda yang jumlah ancaman pidana pada
umumnya relative ringan, dimana menurut Pasal 30 ayat 2 KUHP, apabila denda tidak dibayar, harus diganti
dengan pidana kurungan, yang menurut ayat 3 dalam pasal tersebut, lamanya adalah minimal satu hari dan
maksimal enam bulan. Selanjutnya dalam pasal 31 KUHP dijelaskan bahwa terpidana dapat menjalani pidana
kurungan sebagai pengganti denda utamanya jika ia sadar bahwa ia tidak mampu membayar denda. Sifat yang
ditujukan kepada pribadi terpidana menjadi kabur karena KUHP tidak menentukan secara eksplisit siapa yang
harus membayar denda. Hal ini memberikan kemungkinan kepada orang lain untuk membayar denda tersebut6.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, dalam pelaksanaan pidana denda perlu pertimbangan antara lain
mengenai :
1. Sistem penerapan jumlah dan besarnnya pidana
2. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda
Sistem penerapan jumlah yang masih tidak jelas dan besarnya pidana denda yang tidak seimbang
menyebabkan tidak efektifnya pidana denda dalam tindak pidana pada KUHP dan batas waktu pembayaran
denda yang terlalu cepat tidak dapat membuat pidana denda tersebut dapat di bayar oleh si pelaku sehingga
pidana denda tersebut tidaklah efektif. Perlu adanya pengaturan baru mengenai denda yang harus disusun ulang.
Harus ada patokan yang jelas berapa maksimum denda dapat dirumuskan, dan patokan ini berlaku untuk semua
ketentuan pidana, baik yang ada dalam KUHP maupun di luar KUHP. Dalam menentukan patokan maksimum
denda tersebut hal yang perlu diperhatikan adalah filosofi denda itu sendiri seperti di atas, yaitu denda adalah
penderaan, bukan bertujuan untuk memperkaya negara atau memiskinkan terpidana. Jika denda diatur
sedemikian tingginya maka pada akhirnya tidak akan menjadi efektif, karena mendorong terpidana untuk lebih
memilih kurungan pengganti dibandingkan membayar denda.
Bila setelah terpidana menjalani kurungan pengganti tersebut ternyata ditengah masa kurungan ia
berubah pikiran atau baru ada uang untuk membayar denda, KUHP sudah mengantisipasinya, di pasal 30 dan
31 KUHP diatur mengenai hal ini. Intinya besarnya jumlah denda yang harus dibayar dikurangi dengan masa
kurungan yang telah dijalaninya, dimana per hari masa kurungan disetarakan dengan sejumlah uang.
Unsur-unsur tindak pidana korupsi dapat dilihat langsung dalam rumusan delik yang termuat dalam
ketentuan perundang-undangan tertentu, seperti yang termuat dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 : “Setiap orang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
menimbulkan kerugian keuangan Negara”
Dalam pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menerapkan beberapa sanksi pidana yang dikenakan bagi
pelaku Tipikor, yaitu Pidana Penjara dan Pidana Denda, dimana pengenaan kedua sanksi tersebut tergantung
dari kualifikasi dan bobot yang dilakukan oleh pelaku. Dimulai dari pidana penjara yang dikenakan kepada pelaku
paling singkat 4 (empat) tahun penjara dan paling lama 20 (dua puluh) tahun penjara, sampai pidana penjara 6 Zainal, catatan mahasiswa hukum, indies publishing Bandung 2013 hal.205
maksimal seumur hidup. Begitu pula dengan ancaman pidana denda minimal Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah) dan maksimal pidana denda Rp. 1.000.000.000.000,- (satu miliar rupiah) sesuai dengan Pasal 2 ayat (1)
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku tipikor tidak
terlepas dari tujuan pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku Tipikor yang termuat dalam Undang-Undang
bersangkutan, yaitu untuk mengembalikan uang Negara yang timbul dari kerugian Negara akibat dari Tindak
Pidana Korupsi (sebagaimana prinsip tersebut ditetapkan saat UNCAC 2003), memberikan efek jera (deterrence
effect) kepada pelaku tipikor, dan menjadi langkah pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , sehingga mampu
menangkal (prevency effect) terjadinya tipikor7. Efisiensi penjatuhan pidana denda sebagai bentuk pemberantasan
tindak pidana korupsi belum mencapai tujuan yang telah dirumuskan dalam undang-undang bersangkutan.
Menurut hemat penulis, pidana denda dapat dikatakan bersifat subyektif karena kita patut melihat manfaat pidana
denda dari dua sisi. Penjatuhan pidana denda diberikan kepada pelaku tipikor bertujuan pengembalian aset-aset
Negara yang sebelumnya telah disalah gunakan oleh koruptor, tentunya akan menguntungkan bagi Negara,
namun disisi lain apabila ditinjau dari tujuan pemidanaan, penjatuhan pidana denda terhadap koruptor yang
memiliki kemampuan finansial yang cukup baik akan terkesan kurang memberikan efek jera dan memberikan
celah bagi koruptor untuk mengulangi perbuatannya. Ketika Pengenaan Pidana Denda dihapuskan, tidak akan
menjadi permasalahan karena adanya ketidakmutlakan terhadap pidana denda yang dijatuhkan hakim, karena
adanya pilihan subsidair kurungan penjara, namun asset Negara yang telah dirugikan tidak akan kembali.
Sebaliknya, jika pengenaan pidana denda tetap ada, hal tersebut akan menguntungkan Negara, dimana dalam
hal tindak pidana korupsi ketika hakim menjatuhkan pidana denda, yang dimana jumlah rupiah yang harus dibayar
oleh pelaku berjumlah sangat besar hingga miliaran rupiah, jumlah ini sangat membantu Negara dalam
meningkatkan keuangan Negara dan disamping itu proses hukumnya jauh lebih mudah dan lebih murah
sehingga dapat menghemat pengeluran Negara untuk membiayai kehidupan pelaku selama berada di rumah
tahanan.
Indonesia sebagai negara memiliki berbagai strategi sebagai upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi yaitu dengan melahirkan berbagai produk hukum salah satunya adalah UU Nomor 31 tahun 1999 jo. UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pdana korupsi. Disamping itu dalam perjalanannya,
masyarakat menilai bahwa aparat penegak hukum seperti kepolisian dan jaksa dirasa belum mampu
mengoptimalkan penanganan kasus korupsi yang terjadi di Indonesia sehingga pemerintah membentuk Komisi
Pemberantasan Korupsi yang merupakan Lembaga Independen yang bertugas untuk mengatasi, memberantas,
dan menanggulangi Korupsi di Indonesia. Komisi ini memiliki tugas dan wewenang yang telah diatur berdasarkan
Undang-undang nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian
strategi yang sudah ada diperkuat kembali dengan lahirnya UU Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
7 Syamsuddin, Aziz. Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta 2011 hal.155
Pidana Korupsi yang meyakinkan masyarakat bahwa Indonesia telah siap untuk memberantas para koruptor yang
jumlahnya semakin meningkat setiap tahun.
Studi Kasus
Kasus Korupsi Pemugaran Cagar Budaya oleh Drs. I Gusti Lanang Bagus Arnawa selaku Kepala Balai
Pelestarian Cagar Budaya Gianyar Wilayah Kerja Prov Bali, NTB dan NTT ,dimana JPU mendakwa Gusti Lanang
Bagus Arnawa terlibat dalam perkara dugaan korupsi proyek pemugaran di empat pura yakni Pura Puseh Wasan,
Pura Sukaluwih, Pura Batur Sari, dan Pura Nataran Sasih yang total nilainya Rp 254.352.822,- dari total
anggaran Rp 6.376.523.000,-. I Gusti Lanang Bagus Arnawa diduga bekerjasama dengan dua orang rekanan
proyek yakni Ketut Rata (Direktur CV Satrya Karya) dan I Wayan Misi (Dirut CV Citra Karya Utama) yang keduanya
disidangkan dalam berkas penuntutan terpisah. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Denpasar menyatakan bahwa
Terdakwa Drs. I Gusti Lanang Bagus Arnawa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP sebagaimana dalam surat dakwaan
kesatu subsidair, kemudian menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu)
tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan membayar denda sejumlah Rp
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair selama 2 (dua) bulan kurungan, dengan perintah bahwa terdakwa
tetap ditahan8.
Penulis menyampaikan studi kasus ini bertujuan unutk mengetahui besar dari manfaat serta tujuan dari
pengenaan pidana denda terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang meningkat setiap tahunnya berdasarkan
Transparency International Indonesia, berjudul The Global Corruption Barometer 20139.
Dalam kasus ini, terdakwa telah merugikan keuangan Negara sebesar Rp 254.352.822,- dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan
membayar denda sejumlah Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair selama 2 (dua) bulan kurungan.
Melihat juga sebelum kasus ini di proses dalam persidangan, terdakwa telah menjalani masa tahanan untuk
kepentingan Penuntut Umum, kemudian penahanan yang dilakukan atas perintah hakim pengadilan tipikor, dan
perpanjangan penahanan atas perintah ketua pengadilan negeri Denpasar, ini berarti vonis yang dijatuhkan akan
terpotong masa tahanan yang telah diterima oleh terdakwa sebelum proses persidangan dilaksanakan. Seperti
yang kita ketahui bahwa tujuan dari pengenaan sanksi pidana, dimana pidana denda salah satunya, terhadap
pelaku tindak pidana korupsi adalah untuk memberikan efek jera dan mengembalikan uang Negara yang timbul
dari kerugian Negara. Penulis menganggap bahwa disatu sisi pidana denda memiliki efektifitas dalam hal ini, ketika
Negara mengalami kerugian yang sangat besar akibat kasus tindak pidana korupsi, pengenaan pidana denda
mampu menjadi solusi dari pengembalian uang Negara. Namun Disisi lain, jika penulis gambarkan ketika seorang
8 http://posbali.com/korupsi-pemugaran-pura-saksi-sudutkan-terdakwa/ Diakses pada 05 Juli 2014 pukul 12.45 WITA 9 http://www.ilr.or.id/2013/07/korupsi-meningkat-kpk-hanya-didukung-publik / Diakses pada, 11 Juli 2014. Pukul 08.45 WITA
terdakwa dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan membayar denda sejumlah Rp 1.000.000.000,- (satu miliyar
rupiah) subsidair selama 10 (sepuluh) bulan kurungan dengan melihat kondisi terdakwa yang tidak mampu untuk
membayar pidana denda yang telah dijatuhkan, penulis beranggapan bahwa terdakwa tersebut diperbolehkan
untuk tidak membayar denda namun menggantinya dengan kurungan, Jadi secara jelas tujuan untuk
mengembalikan uang Negara tidak tercapai namun disisi lain terdakwa lebih lama ditempatkan dalam penjara.
Dari perumpamaann serta studi kasus diatas, penulis menyimpulkan bahwa, ketika terdakwa lanang bagus
arnawa mampu membayar denda yang telah dijatuhkan, secara otomatis menguntungkan Negara, namun
terdakwa hanya menjalani pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan kemudian dari putusan
tersebut harus dikurangi dengan lamanya terdakwa ketika berada di dalam tahanan. Hal tersebut seolah-olah
menggambarkan penjatuhan vonis terkesan sia-sia tanpa meninggalkan efek jera dan masyarakat pun
meragukan tingkat obyektifitas dari hakim dalam penjatuhan vonis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa tindak pidana denda yang terjadi di
Indonesia secara garis besar belum efektif secara fungsi dan peran, kondisi ini dikarenakan peraturan perundang-
undangan yang ada kurang memberikan dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai pengganti
atau alternative dari pidana penjara atau kurungan. Para pelaku tindak pidana korupsi akan lebih memilih pidana
kurungan daripada pidana denda karena masa kurungan tidak sebanding besarnya denda yang dijatuhkan
hakim. Adapun pengenaan sanksi ke pelaku Tindak Pidana Korupsi untuk membuat efek jera atas perbuatannya.
Manfaat pidana denda tersebut juga dapat menguntungkan Negara dengan meningkatkan asset-asset
kenegaraan. Jika pidana denda tetap diterapkan kepada pelaku Tindak Pidana Korupsi tidak akan ada perubahan
keefesiensiannya karena adanya subsidair kurungan penjara yang dijatuhkan hakim. Sedangkan bila pidana
denda dihapuskan ini dapat merugikan asset Negara, karena tidak adanya ganti rugi atas perbuatan si pelaku
Tindak Pidana Korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abidin, Zainal . Catatan Mahasiswa Pidana. Indies Publishing. Bandung.2013
Syamsuddin, Aziz. Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta 2011 hal.155
INTERNET
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/12/16/terbukti-menyuap-hakim-vonis-anak-buah-hartati-dua-tahun-
penjara) diakses pada Senin, 16 Agustus 2014 pukul 16:20 WITA http://posbali.com/korupsi-pemugaran-pura-
saksi-sudutkan-terdakwa/ Diakses pada 05 Juli 2014 pukul 12.45 WITA
http://www.ilr.or.id/2013/07/korupsi-meningkat-kpk-hanya-didukung-publik / Diakses pada, 11 Juli 2014. Pukul
08.45 WITA
PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
ARTIKEL
Dikutip Dari Artikel “Pengertian, Jenis-Jenis, Dan Tujuan Pemidanaan” oleh RAY PRATAMA SIADARI, S.H.,M.H
Selamatkan Pendidikan Indonesia Dari Ironisme Korupsi
Oleh ALSA LC Universitas Jenderal Soedirman
Dea Nabilla Angrum, Annisa Rizky Kusuma Putri, Dani Yasmin Nurani, Abyan Kurniawan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi merupakan permasalahan klasik yang menjadi momok mengerikan dan sulit untuk diselesaikan di
berbagai negara, khususmya Indonesia. Berdasarkan sumber Transparency International Indonesia pada tahun
2013, Indonesia menempati urutan ke-64 dari 177 negara terkorup sedunia. Hal ini dapat dilihat dari nilai indeks
persepsi korupsi. Indeks persepsi korupsi adalah skala dari 0 sampai 100, dengan 0 mengindikasikan level
korupsi yang tinggi dan 100 untuk level yang rendah. Untuk Indonesia sendiri memiliki indeks sebesar
32. Berdasarkan data tersebut tentu saja hal itu bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan bagi negara
Indonesia. Korupsi menjadi suatu hal polemik seperti menjadi darah daging atau budaya masyarakat. Hal ini dapat
terlihat dari banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh masyarakat, aparat pemerintah maupun penegak
hukum di berbagai sektor-sektor penting di Indonesia.
Salah satu pencegahan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengurangi tindak pidana
korupsi adalah dengan pendidikan anti korupsi melalui sektor pendidikan. Harapannya adalah bahwa
pencegahan korupsi sejak dini dapat dilakukan. Akan tetapi, faktanya berdasarkan pemantauan Indonesia
Corruption Watch (ICW) selama periode 2003-2013 ditemukan 296 kasus korupsi pendidikan yang disidik
penegak hukum dan menyeret 479 orang sebagai tersangka. Kerugian negara atas seluruh kasus ini sebesar
Rp619.000.000.000 (Laporan Kajian Satu Dasawarsa Korupsi Pendidikan, ICW 2013). Hampir semua dana
pendidikan tak luput dari praktik korupsi. Mulai dari dana pendidikan yang diperuntukkan bagi pembangunan
gedung dan infrastruktur, dana operasional, dana gaji dan honor guru, dana pengadaan buku dan alat bantu
mengajar, dana beasiswa, hingga dana yang dipungut dari masyarakat.
Sungguh ironis rasanya mengetahui hal tersebut. Sektor pendidikan yang seharusnya menjadi sarana
menuntut ilmu untuk mencerdaskan anak bangsa menjadi sasaran empuk oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggungjawab untuk melakukan tindak pidana korupsi.Anggaran yang dialokasikan untuk sektor pendidikan
yang terus meingkat dari tahun ke tahun seakan sia-sia karena tidak ada atau sedikitnya perubahan yang
dilakukan pada sektor pendidikan itu sendiri. Masih banyak terdapat orang yang haus akan pendidikan dasar
ataupun masih banyak sekolah yang dapat kita lihat belum sesuai dengan standard. Pada tahun 2014 ini
anggaran pendidikan sebersar Rp 371,2 triliun. Pendidikan tampaknya hanya berlaku bagi peserta didik, akan
tetapi tidak bagi pejabat yang mengurusi pendidikan. Pejabat pendidikan yang seharusnya memberikan
keteladanan kepada peserta didik justru terjerat praktik kecurangan. Mereka menjadikan pendidikan hanya
sebagai komoditas yang dapat memenuhi kepentingan politik dan obyek mendapatkan keuntungan materi.
Pejabat pendidikan dari tingkat pusat sampai daerah, dari rektor sampai kepala sekolah, dari rekanan Kemdikbud
sampai rekanan dinas pendidikan terlibat dalam berbagai kasus korupsi. Selama satu dasawarsa terakhir,
penegak hukum telah menetapkan 479 tersangka terkait korupsi pendidikan, dengan 71 di antaranya kepala
dinas pendidikan, 179 orang anak buah kepala dinas pendidikan, serta 114 adalah rekanan pemerintah pusat
dan daerah. Beberapa pejabat pemerintah pusat dan anggota DPR juga terlibat dalam beberapa kasus korupsi.
Masih banyak praktik korupsi yang lolos dari jeratan hukum karena lemahnya sistem pencegahan, tidak teraudit
atau lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
Adanya tindak pidana korupsi pada sektor pendidikan dapat menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia karena sarana dan prasarana yang tidak maksimal sesuai dengan yang dianggarkan. Dampak lebih
jauh apabila hal ini terus berlanjut maka pendidikan Indonesia dapat jauh tertinggal oleh negara-negara lain
sehingga negara Indonesia tidak akan pernah maju.Apabila Pemerintah merencanakan pemberantasan korupsi
melalui sarana pendidikan, maka upaya yang terlebih dahulu yang harus ditempuh adalah mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi oleh oknum-oknum pada sektor pendidikan itu sendiri. Pemberian
pendidikan anti korupsi harus diberikan bukan hanya pendidikan untuk para peserta didik akan tetapi pendidikan
untuk para pejabat dan civitas akademika lainnya. Apabila sektor pendidikan sudah bersih dari korupsi maka
diharapkan sektor-sektor lainnya dapat terhindar dari korupsi karena pendidikan merupakan akar dari pembentuk
moral generasi bangsa.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran tindak pidana korupsi dalam sektor pendidikan?
2. Bagaimana menghadapi permasalahan tindak pidana korupsi dalam sektor pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gambaran Tindak Pidana Korupsi dalam Sektor Pendidikan
1. Gambaran Umum
Korupsi menjadi permasalahan yang klasik dalam berbagai sektor pemerintahan di Indonesia. Hal ini menjadi
sebuah pandangan bagi masyarakat bahwa pemerintah Indonesia masih belum mampu menangani korupsi
secara tuntas. Berbagai ancaman eksistensi negara Indonesia akan didapat apabila tindak pidana korupsi masih
merajalela, sehingga masyarakat akan memandang moral yang dimiliki bangsa Indonesia akan terus melemah.
Dunia pendidikan menjadi salah satu sektor penting di Indonesia yang menjadi sasaran empuk bagi para
oknum pemerintah dalam melakukan tindakan korupsi. Walaupun korupsi yang dilakukan oknum tersebut tidak
sebesar di sektor-sektor lain seperti sektor pajak, migas dan sebagainya, korupsi di sektor pendidikan apabila
diakumulasikan maka akan menjadi nilai yang sangat besar sehingga merugikan negara. Kerugian korupsi dalam
sektor pendidikan bukan hanya kerugian materiil tentang nominal anggaran yang dikorup tetapi juga kerugian
imateriil yang berdampak langsung terhadap peserta didik karena menyebabkan menurunnya kualitas pendidikan
dan moral bangsa bahkan pelanggaran HAM. Lingkungan pendidikan formal menjadi salah satu tempat yang
menentukan bagaimana moral dibentuk, sehingga sangat rancu jika ditemukan perkara korupsi yang dilakukan
oleh para oknum pemerintah di sektor pendidikan atau pejabat di lingkungan pendidikan itu sendiri. Pendidikan
tampaknya hanya berlaku bagi peserta didik, tetapi tidak bagi pejabat yang mengurusi pendidikan. Pejabat
pendidikan yang seharusnya memberikan keteladanan kepada peserta didik justru terjerat praktik kecurangan.
Mereka menjadikan pendidikan hanya sebagai tempat yang dapat memenuhi kepentingan politik dan obyek
mendapatkan keuntungan materi.
Proses pendidikan di Indonesia akan berjalan dengan lancar jika faktor-faktor pendukung berjalan sesuai
dengan porsinya masing-masing. Namun pada kenyataan yang kita dapat di lapangan, masih banyak
permasalahan yang harus dihadapi dalam proses menyempurnakan pendidikan. Indonesia adalah salah satu
Negara dengan masalah pendidikan yang terbilang cukup banyak. Mulai dari sarana dan prasarana yang kurang
merata, kurang memenuhi standar, dan sebagainya. Hal ini diakibatkan bukan karena kurangnya dana anggaran
yang dialokasikan untuk pendidikan akan tetapi seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa terlalu banyak
pejabat yang melakukan praktik kecurangan dan hanya memikirkan diri sendiri.
Badan Pemeriksa Keuangan RI menemukan masalah dalam pengelolaan dana ujian nasional. Ditemukan
potensi kerugian negara mencapai belasan miliar rupiah dalam penyelenggaraan UN tahun 2012 dan 2013.
Walaupun potensi kerugian negara ini jauh lebih kecil dibandingkan anggaran UN yang mencapai ratusan miliar
rupiah, hal ini telah menambah deretan panjang daftar korupsi dalam pengelolaan anggaran pendidikan. Temuan
BPK dan korupsi pendidikan lainnya merupakan ironi di tengah upaya bangsa Indonesia melawan korupsi melalui
pendidikan.
Hampir semua dana pendidikan tidak luput dari praktik korupsi. Mulai dari dana pendidikan yang
diperuntukkan bagi pembangunan gedung dan infrastruktur, dana operasional, dana gaji dan honor guru, dana
pengadaan buku dan alat bantu mengajar, dana beasiswa, hingga dana yang dipungut dari masyarakat. Dana
alokasi khusus (DAK) yang dialokasikan untuk membangun dan merehabilitasi sekolah adalah yang paling banyak
dikorupsi. Dari 296 kasus, 28,4 persen kasus korupsi terjadi dalam pengelolaan DAK dan mengakibatkan
kerugian negara Rp 265,1 miliar. Dana BOS juga banyak dikorupsi, tetapi kerugian relatif lebih kecil dibandingkan
dana pendidikan lain.Modusnya dengan pengawalan sejak program diajukan Kemdikbud kepada DPR,
penetapan anggaran, hingga pengadaan. Penggelapan dan mark up merupakan modus paling banyak terjadi.
Dari 296 kasus, 106 kasus lewat penggelapan dengan kerugian negara mencapai Rp 248,5 miliar, sementara
modusmark up dilakukan pada 59 kasus dengan kerugian negara Rp 195,8 miliar. Penggelapan dan mark up
banyak digunakan untuk menyelewengkan DAK pendidikan dan dana BOS.1
Modus yang terungkap baru-baru ini adalah penyuapan dan penyalahgunaan wewenang terkait dengan
perencanaan pendidikan. Modus ini terjadi dalam perencanaan dan penganggaran pengadaan beberapa
laboratorium di PT yang dilakukan anggota DPR. Modus ini bisa dikatakan sebagai kejahatan terorganisasi oleh
pejabat yang memiliki kewenangan dalam perencanaan dan penganggaran di sektor pendidikan. Pejabat ini
biasanya ada di Kemdikbud, Kementerian Keuangan, dan DPR atau pemda.
Yang menarik, perguruan tinggi juga menjadi pelaku korupsi dengan kerugian negara yang besar. PT telah
menyelewengkan keuangan negara Rp 217,1 miliar pada 30 praktik korupsi.Begitu juga dengan sekolah,
setidaknya tercatat 82 kasus dengan kerugian negara Rp 10,9 miliar. Hampir semua institusi pendidikan dan
semua jenjang satuan pendidikan melakukan praktik korupsi. Selama satu dasawarsa terakhir, penegak hukum
telah menetapkan 479 tersangka terkait korupsi pendidikan, dengan 71 di antaranya kepala dinas pendidikan,
179 orang anak buah kepala dinas pendidikan, serta 114 adalah rekanan pemerintah pusat dan daerah.
Dari hal-hal tersebut maka tindak pidana korupsi yang terjadi dalam bidang pendidikan dapat dirinci menjadi
beberapa kegiatan yang rawan terjadi korupsi yaitu :
• Pengangkatan jabatan kepala sekolah
• Pengadaan sarana dan prasarana
• Penggunaan dana BOS
• Penerimaan siswa baru
• Undangan untuk memasuki PTN melalui Undangan
1Kompasiana, “Ironi Pendidikan di Indonesia”, diakses dari http://edukasi.kompasiana.com/2014/08/16/ironi-pendidikan-di-indonesia-668831.html pada tanggal 23 Agustus 2014 pukul 21.40
• Pengangkatan guru honorer menjadi CPNS
2. Penyebab Anggaran Pendidikan Rawan Dikorupsi
Setelah mengetahui gambaran umum tindak pidana korupsi di sektor pendidikan, maka agar dapat
memberantasnya terlebih dahulu kita harus mengetahui penyebab mengapa sektor pendidikan menjadi sasaran
empuk para koruptor. Ada tiga alasan mengapa anggaran pendidikan rawan dikorupsi, antara lain :
a) Anggaran pendidikan merupakan anggaran paling besar di antara anggaran sektor lain. Pada tahun 2014
sendiri, anggaran pendidikan yang dialokasikan dari APBN naik sekitar 7,5 persen dari Rp345,3 triliun
menjadi Rp371,2 triliun. Besarnya anggaran pendidikan membuat korupsi pendidikan sulit dideteksi karena,
meski dikorupsi, anggaran tersebut masih tetap bisa membiayai berbagai program pendidikan.
b) Proses tata kelola pendidikan terutama terkait anggaran belum paripurna. Sehingga mengakibatkan program
pendidikan melenceng dari prioritas pendidikan dan tak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan riil peserta
didik di berbagai jenjang satuan pendidikan. Program serta dana pendidikan justru diarahkan untuk
memenuhi kepentingan oleh mereka yang dekat dengan pemegang otoritas pendidikan.
c) Penyelewengan dalam pengadaan atau pengelolaan aset pendidikan terjadi karena ketertutupan dalam
pengelolaannya. Sulit bagi publik mengakses seluruh bukti dan laporan pertanggungjawaban itu.
Ketidaktransparanan ini memudahkan pejabat dan kelompok kejahatan terorganisasinya menyelewengkan
dana pendidikan serta terhindar dari pantauan publik.
3. Dampak Korupsi dalam Sektor Pendidikan
Setiap perbuatan pasti tak luput dari akibat atau dampak yang akan ditimbulkan. Begitu pula halnya tindak
pidana korupsi yang dilakukan pada sektor pendidikan pasti akan ada dampaknya, baik itu materiil maupun
immateriil. Berikut ini adalah dampak dari korupsi dalam sektor pendidikan :
a) Merosotnya kualitas pendidikan
Sektor pendidikan merupakan sektor yang krusial atau sangat penting dalam membentuk moral anak
bangsa yang sedang menempuh pendidikan. Sangat disayangkan jika sektor pembentuk moral ini menjadi lahan
bagi oknum pencuri seperti koruptor. Kerendahan moral yang dimiliki para oknum dibalik layar inilah yang secara
tidak langsung ”mensosialisasikan” tindakan korupsi yang berakibat pada rendahnya kualitas pendidikan yang
didapatkan para peserta didik. Selain itu, kualitas pendidikan juga dapat diukur dari sarana dan prasarananya.
Apabila dana yang diperuntukkan untuk sarana dan prasarana tidak digunakan sebagaimana yang telah
dianggarkan, seperti misalnya dikurangi dengan kualitas yang lebih rendah juga mempengaruhi sistem
pembelajaran yang berakibat pada merosotnya kualitas pendidikan.
b) Kerugian Finansial
Apabila terjadi tindak pidana korupsi pasti akan ada kerugian finansial. Alokasi APBN untuk sektor pendidikan
sangat besar, yakni 20% dari total seluruh APBN menjadikan sektor ini sangat empuk dijadikan lahan para
koruptor untuk menikmati kucuran dana yang digunakan untuk kepentingan pribadi. Jika hal ini terjadi , kerugian
finansial yang dialami akan sangat terasa, mengingat besarnya alokasi dana pendidikan dalam APBN, bahkan
alokasi untuk pendidikan adalah alokasi APBN terbesar dibanding sektor yang lain sebesar Rp 371,2 triliun.
c) Ketidakadilan sosial
Alokasi APBN yang besar pada sektor pendidikan digunakan untuk berbagai kepentingan untuk memenuhi
keadilan bagi para peserta didiknya. Contohnyaadalah untuk dana operasional dan dana beasiswa yang
ditujukan untuk masyarakat kalangan menengah ke bawah agar mereka tidak lagi mengalami kesulitan biaya
dalam menempuh pendidikan. Jika dana seperti ini yang ”dialihfungsikan” maka akan tercipta ketidakadilan sosial,
karena masyarakat yang kurang mampu akan kesulitan untuk memperoleh hak mereka, sedangkan para oknum
tersebut hanya apatis terhadap permasalahan tersebut. Sungguh memalukan para oknum yang melakukan
korupsi di sektor pendidikan, hal tersebut sama saja seperti menghalang-halangi generasi bangsa ini untuk
memperoleh pendidikan yang layak.
d) Pengurangan tingkat partisipasi
“Mobil yang rusak tidak akan laku dijual”, itulah kiranya perumpamaan untuk dampak yang satu ini.
Masyarakat mengincar pendidikan dengan mayoritas tujuan akhir adalah untuk mencari pekerjaan dan
mendapatkan penghasilan. Jika korupsi di sektor pembentuk moral ituterus merajalela dan dampak ketidakadilan
sosial yang dirasakan masyarakat, hal ini dapat memicu hilangnya semangat untuk menempuh pendidikan.
Mereka yang merasa haknya direnggut akan memilih langsung bekerja dan mendapatkan penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
e) Hilangnya akhlak mulia
Menilik makna dari pepatah “sesuatu yang dilakukan dengan cara yang tidak baik, maka akan menghasilkan
sesuatu yang tidak baik pula”. Dengan kata lain, sektor pendidikan yang memiliki oknum-oknum tak bermoral
dibalik layar secara tidak langsung dapat mengakibatkan degradasi moral bagi para peserta didik. Turunnya moral
inilah yang dapat memicu hilangnya akhlak mulia yang menjadi awal dari perilaku menyimpang yang dilakukan
insan pendidikan.
B. Cara Menyelesaikan Permasalahan Korupsi
Pada pembahasan sebelumnya dapat dilihat beberapa gambaran dampak korupsi pada sektor pendidikan.
Apabila hal ini terus berlanjut maka tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan dampak yang lebih besar lagi.
Masyarakat akan mulai mempertanyakan dimana keadilan negara Indonesia apabila hampir seluruh lini pada
sektor-sektor penting di Indonesia ini terus-menerus terjerat oleh kasus korupsi. Untuk itu, perlu sekiranya kita
memikirkan langkah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi tersebut, dimulai dari sektor
pendidikan itu sendiri.
1. Upaya Pencegahan Terjadinya Tindak Pidana Korupsi dalam Sektor Pendidikan
Untuk memberantas korupsi sampai pada akarnya selain upaya pemberantasan juga diperlukan upaya
pencegahan agar tidak ada lagi oknum-oknum yang melakukan tindak pidana korupsi pada sektor pendidikan.
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan antara lain adalah :
• Adanya transparasi keuangan yang dilaporkan oleh instansi yang berkepentingan seperti pejabat sekolah
ataupun dinas pendidikan kepada masyarakat. Agar masyarakat memiliki peran serta untuk memantau
apakah benar anggaran yang telah diberikan telah sesuai atau tidak dengan yang telah dibelanjakan untuk
keperluan pendidikan itu sendiri. Dengan sistem seperti ini maka akan sulit kemungkinannya pejabat atau
instansi yang berwenang untuk melakukan penggelapan.
• Perlunya rasa peduli terhadap sesama. Hal ini merupakan hal yang paling penting dan harus ditanamkan
sejak dini. Apabila masyarakat mempunyai rasa peduli terhadap sesamanyadan tidak bersikap apatis
terhadap korupsi maka pencegahan tindak pidana korupsi pun dapat dilakukan terlebih untuk sektor
pendidikan. Karena ketika masyarakat peduli maka pengawasan terhadap tindak pidana korupsi akan lebih
meningkat.
• Perlunyaperbaikan sistem perekrutan untuk pejabat di sektor pendidikan. Pada saat terjadi penggantian
jabatan pada sektor pendidika itu sendiri sebaiknya untuk perekrutannya lebih ketat dan disana ditekankan
bahwa mereka mempunyai nilai-nilai integritas seperti kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan,
tanggungjawab, kerja keras, sederhana, keberanian, keadilan pada saat menjalankan tugasnya, bukan
karena kepentingan politik atau pribadi.
• Pendidikan anti korupsi bukan hanya bagi peserta didik namun juga untuk para pejabat yang terlibat dalam
sektor pendidikan. Pada saat ini pendidikan anti korupsi hanyalah untuk para peserta didik sebagai bentuk
pencegaha korupsi sejak dini. Akan tetapi, seharusnya diperlukan juga pendidikan anti korupsi bagi pejabat
terutama pada sektor pendidikan karena sebelum mereka mengajarkan anti korupsi, mereka juga harus
mengerti dan paham agar dapat mengaplikasikannya dengan tidak melakukan korupsi, jadi hal ini seperti
upgrading bagi para pejabat.
2. Upaya Pemberantasan Terjadinya Tindak Pidana Korupsi dalam Sektor Pendidikan
Pemberantasan dalam kasus tindak pidana korupsi dilakukan secara proporsional sesuai
peraturanperundang-undangan yang berlaku berdasarkan kewenangan masing-masing instansi. Pada prinsipnya
memang kasus tindak pidana korupsi harus ditindaklanjuti melalui peradilan sesuai ketentuan yang berlaku.
Terhadap kasus yang hanya bersifat penyimpangan prosedur tata kerja dan perlu dilakukan pembinaan secara
administratif dapat dilakukan penanganannya secara internal oleh organisasi yang bersangkutan sesuai ketentuan
yang berlaku.
Pada dasarnya setiap kasus tindak pidana korupsi dalam pemberantasannya secara represif berkaitan
dengan pemidanaan yang dihubungkan dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Memang pada
kenyataannya, usaha pemberantasan secara represif dapat dikatakan belum efektif memberantas korupsi,
mengingat pada saat iniproses peradilan di Indonesia merupakan sarana yang kurang efektif dalam
menanggulangi korupsi disebabkan karena di dalam lingkup peradilan ditemukan kecurangan-kecurang yang
dilakukan oleh oknum tertentu.
Namun, pemberian sanksi pidana yang tajam dapat memberikan efek prevensi general yaitu masyarakat
maupun pejabat dalam instansi pemerintahan akan berusaha mentaati hukum karena takut akan sanksi
pidananya di samping adanya efek jera bagi para terpidanaagar tidak melakukan tindak pidana lagi.
Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diperbaharui dengan Undang-undang No.20 Tahun 2001 menjelaskan tentang hukuman bagi pelaku tindak
pidana korupsi yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu, “Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Selanjutnya dalam Pasal 12b menjelaskan tentang menjelaskan tentang hukuman bagi oknum yang memberikan
gratifikasi, isi pasal tersebut yaitu, “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya dipidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
a) Penyelesaian Oleh Unit Kerja Tekait Korupsi
1. Pelaksanaan Tindak Lanjut
1) Pimpinan instansi atau unit kerja menindaklanjuti kasus penyimpangan yangditemukan melalui :
a. pengenaan sanksi administratif berdasarkan PP No.53 Tahun 2010 tentang DisiplinPegawai
Negeri Sipil dan atau peraturan lain yang berlaku.
b. pengenaan sanksi TP/TGR (Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi untuk instansi
pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku yang selanjutnya dituangkan dalam Surat
Kesanggupan dari pejabat atau petugas yang bertanggungjawab.
2) Pimpinan instansi atau unit kerja menyerahkan kasus-kasus penyimpangan yangsanksi TP/TGR-nya tidak
ditepati kepada kejaksaan untuk diproses secaraperdata;
3) Pimpinan instansi atau unitkerja mengambil langkah-langkah tindak lanjut yangdiperlukan untuk
menanggulangi akibat penyimpangan yang ditemukan.
2. Pemantauan tindak lanjut
1) Pimpinan instansi atau unitkerja memantau pengenaan sanksi administratif danpengenaan sanksi TP/TGR
(Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi) danatau ketentuan lainnya yang berlaku ;
2) Pimpinan instansi atau unitkerja melaporkan tindak lanjut penyelesaian kasuspenyimpangan baik melalui
pengenaan PP No. 53 No.2010 maupun TP/TGR dan atauketentuan lainnya yang berlaku kepada
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negaradan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP).
Meskipun dalam praktik hukum saat ini, para praktisi hukum seperti hakim maupun jaksa sebagian besar
hampir selalu berpendapat bahwa yang dianggap sebagai kerugian negara adalah kerugian yang bersifat riil,
namun pengungkapan kerugian yang bersifat potensial haruslah tetap dilakukan oleh pihak BPKP.2
b) Penyelesaian oleh Pihak Eksternal melalui Penyerahan Kasus kepada InstansiPenyidik.
1. Pelaksanaan tindak lanjut
1) Pimpinan instansi atau unit kerja menyerahkan kasus penyimpangan yang berindikasiTindak Pidana
Korupsi (TPK) kepada instansi penyidik dan kasus perdata kepadakejaksaan sesuai dengan prosedur
yang berlaku ;
2) Instansi penyidik memproses kasus tindak pidana korupsi/perdata secara hukumdengan prinsip cepat,
tepat dan efisien;
3) Terhadap kasus yang diserahkan ke instansi penyidik yang telah mempunyaikekuatan hukum tetap,
Pimpinan instansi/unit kerja mengenakan sanksiadministrasi berdasarkan PP No.53 Tahun 2010 dan
atau peraturan lain yang berlakukepada pegawai yang telah dinyatakan bersalah;
4) Instansi penyidik memberitahukan perkembangan status penanganan kasustindak pidana korupsi
kepada instansi pelapor secara berkala.
2. Pemantauan Tindak Lanjut
1) Pimpinan instansi atau unit kerja memantau kasus tindak pidana korupsiyangdiserahkan kepada instansi
penyidik;
2) Pimpinan instansi kerja atau unit kerja yang melaporkan kasus tindak pidanakorupsi yang diserahkan
kepada instansi penyidik disertai denganperkembangan penanganannya.3
2 Theodorus M. Tuanakotta, “Menghitung kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi”, salemba empat, Jakarta, 2009, hal 89. 3Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, “Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan Masyarakat”, (http://www.bpkp.go.id/public/upload/unit/investigasi/files/uppk_layan_masyarakat.pdf), pada tanggal 28 Agustus 2014 pukul 20.45
Adanya upaya pemberantasan secara represif yang dijelaskan tersebut dalam tindak pidana korupsi di
sektor pendidikan diharapkan dapat menanggulangi tindak pidana korupsi di Indonesia, apabila dijalankan sesuai
dengan prosedur, ditanggulangi oleh orang-orang yang mempunyai nilai-nilai integritas dan adanya kesadaran dari
diri pribadi akan bahayanya korupsi yang dapat mengancam integritas bangsa dan oknum yang melakukan tindak
pidana korupsi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Korupsi dalam sektor pendidikan di Indonesia menjadi salah permasalahan yang dapat berdampak
langsung bagi peserta didik, sehingga menyebabkan menurunnya kualitas pendidikan dan moral bangsa.
Adanya korupsi di sektor pendidikan dapat dikatakan melanggar hak asasi manusia karena hak bagi
peserta didik dalam memperoleh pendidikan, sarana dan prasarana yang layak tidak dapat dinikmati bagi
peserta didik.
2. Cara menyelesaikan permasalahan korupsi terlebih dalam sektor pendidikan dapat dibagi menjadi dua
cara yaitu melalui upaya pencegahan dan pemberantasan. Upaya pencegahan yaitu dengan adanya
transparasi keuangan yang dilaporkan oleh instansi yang berkepentingan seperti pejabat sekolah ataupun
dinas pendidikan kepada masyarakat, perlunya rasa peduli terhadap sesama, perlunyaperbaikan sistem
perekrutan untuk pejabat di sektor pendidikan dan perlunya pendidikan anti korupsi bukan hanya bagi
peserta didik namun juga untuk para pejabat yang terlibat dalam sektor pendidikan. Sedangkan upaya
pemberantasan yaitu berkaitan dengan pemidanaan bagi oknum yang melakukan tindak pidana korupsi.
Tercantum dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No.31 Tahun 1999 yang
ddiperbaharui dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 pada pasal 2 ayat (1) dan pasal 12 b. Di
instansi terdapat beberapa tindakan dalam pemberantasan secara represif yaitu penyelesaian oleh unit
kerja terkait korupsi dan penyelesaian oleh pihak eksternal melalui penyerahan kasus kepada instansi
penyidik. Adanya tindakan secara represif dapat meningkatkan
B. Saran
Melihat adanya sebuah ironi dalam dunia pendidikan, dimana pendidikan adalah sektor yang memiliki
tanggung jawab dalam membentuk anak bangsa agar memiliki moral dan berakhlak mulia malah menjadi
lahan subur untuk memanen uang rakyat untuk kepentingan pribadi golongan tertentu, maka saran kami
yaitu Pemerintah harus lebih tegas dalam menindaklanjuti permasalahan ini, dan memperbaiki sistem
perekrutan pejabat terutama di sektor pendidikan. Masyarakat juga harus lebih peduli terhadap permasalahan
korupsi di sekitarnya dengan cara memahami seluk beluk korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, 2002, Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Korupsi pada Pengelolaan Masyarakat, [pdf],
(http://www.bpkp.go.id/public/upload/unit/investigasi/files/uppk_layan_masyarakat.pdf, diakses tanggal
28 Agustus 2014 )
2. http://edukasi.kompasiana.com/2014/08/16/ironi-pendidikan-di-indonesia-668831.html
3. Tuanakotta, M Theodorus. 2009. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana
Korupsi. Salemba Empat: Jakarta
Penerapan Illicit Enrichment Dalam Mencegah dan
Memberantas Korupsi di Sektor Pajak
Oleh ALSA Local Chapter Universitas Padjadjaran
Arum Puspita Sari, Hanief Hayatul Fajr, dan Eldo Mathias Sirait
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesamanya dalam memenuhi kepentingannya,1 itu adalah
definisi manusia sebagai zoen politicon menurut Aristoteles (384 – 332 sebelum masehi). Kepentingan yang
dimaksud adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dapat dipenuhi. Setiap
manusia adalah pendukung atau penyandang kepentingan, sejak dilahirkan manusia membutuhkan pangan,
sandang, papan dan sebagainya.
Sejak kecil hingga beranjak dewasa serta menjelang saat ia meninggal dunia jenis kepentingan manusia
terus berkembang. Konsekuensi dari hal tersebut adalah timbulnya berbagai macam fenomena sosial dalam
masyarakat yang menjadi sinyal perkembangan manusia. Pada awalnya, fenomena pemenuhan kebutuhan ini
berjalan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, namun seiring berjalannya waktu lahir pula
fenomena yang tidak sesuai dengan nilai yang hidup dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena semakin sulitnya
manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Salah satu fenomena menyimpang yang muncul didalam masyarakat ialah korupsi. Dalam pandangan
masyarakat, korupsi dinilai sebagai tindakan mengambil dan menggunakan hak orang lain untuk kepentingan
pribadi. Ironisnya, korupsi telah berkembang menjadi suatu budaya yang terinternalisasi dalam masyarakat. Hal ini
terimplikasi pada sektor-sektor penting didalam roda pemerintahan yang seringkali dianggap menjadi lahan basah
praktek budaya korupsi.
Sektor-sektor penting dalam roda pemerintahan tersebut diantaranya adalah sektor perpajakan. Sektor
yang sangat vital dengan fungsi intermediasi antara pemerintah dengan masyarakat dalam penyediaan
1 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal. 29
infrastruktur yang berujung pada pemenuhan kebutuhan masyarakat. Secara fakta, 70% pemasukan APBN
berasal dari sektor pajak, hal ini membuktikan bahwa pajak merupakan sektor yang vital dan jika terjadi korupsi
didalam sektor ini akan berdampak kepada peran negara dalam menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara
negara.
Sebenarnya pemerintah telah menciptakan berbagai macam aturan guna menjamin kepastian hukum
terhadap masyarakat terkait fenomena tersebut, diantaranya malalui UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi. Contoh yang paling menarik untuk diperhatikan ialah kasus Gayus Tambunan pada
tahun 2009, ditambah dengan terungkapnya kasus Dahana Widiatmika pada tahun 2012 dan kasus-kasus
korupsi lain nya di sektor perpajakan.
Pendapatan negara yang seharusnya dipergunakan seluas-luasnya untuk kepentingan rakyat,
dipergunakan dengan sadis oleh para pejabat yang seharusnya menjaga uang tersebut dengan nyawa mereka.
Maka, munculah pertanyaan yang ada di benak setiap orang “mengapa korupsi tetap menjadi budaya, padahal
pedang hukum anti korupsi sudah sebanyak itu?”
II. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah implikasi dari keberadaan Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi terhadap
pemberantasan korupsi di sektor pajak?
2. Apakah konsep illict enrichment mungkin diterapkan sebagai pencegahan korupsi di sektor perpajakan?
BAB II
PEMBAHASAN
I. LANDASAN TEORI
Sistem peradilan merupakan sistem penanganan perkara sejak adanya pihak yang merasa dirugikan
atau sejak adanya sangkaan seseorang telah melakukan perbuatan pidana hingga pelaksanaan putusan hakim.
Khusus bagi sistem peradilan pidana, sebagai suatu jaringan, sistem peradilan pidana mengoperasionalkan
hukum pidana sebagai sarana utama dan dalam hal ini berupa hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan
hukum pelaksanaan pidana.
Criminal Justice System atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Sistem Peradilan
Pidana merupakan suatu bentuk yang unik dan berbeda dengan sistem peradilan lainnya. Perbedaan dapat
dilihat dari keberadaannya untuk memproduksi segala sesuatu yang bersifat unwelfare (dapat berupa
perampasan kemerdekaan, stigmatisasi, perampasan harta benda atau menghilangkan nyawa manusia) dalam
skala yang besar guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare (rehabilitasi pelaku, pengendalian dan penekanan
tindak pidana).2
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh
karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum substantif
maupun hukum acara pidana. Sebab, perundang-undangan pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan
hukum pidana in abstracto yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum in concreto.3
Perundang-undangan memberikan kekuasaan pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar
hukum atas kebijakan yang diterapkan. Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan
memberikan langkah hukum untuk memformulasikan kebijakan lalu menerapkan program kebijakan yang telah
ditetapkan. Jadi, semua merupakan bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya berfungsi dalam tiga bentuk,
yakni pembentukan hukum, penegakan hukum, dan pelaksanaan kewenangan dan kompetensi.4 Menurut
Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat dikategorikan sebagai berikut :
a) Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai adalah resosialisasi dan rehabilitasi pelaku
tindak pidana.
b) Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai adalah pengendalian dan pencegahan
kejahatan dalam konteks politik criminal (Criminal Policy).
2 Mardjono, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan); dikutip dari Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, 1994.
3 Anwar, Yesmil, Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.
4 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995.
c) Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (Social
Welfare) dalam konteks politik sosial (Social Policy).5
Selanjutnya menurut Muladi, bahwa Sistem Peradilan Pidana, sesuai dengan makna dan ruang lingkup
sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural (Struktural Syncronization), dapat pula bersifat
substansial (Substancial Syncronization) dan dapat pula bersifat kultural (Cultural Syncronization). Dalam hal
sinkronisasi structural, keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana
dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.6
Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan Pidana, Mardjono7 mengemukakan empat komponen Sistem
Peradilan Pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat
bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice System.
Menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan (Network) peradilan yang menggunakan
hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.8 Secara sederhana, Sistem
Peradilan Pidana harus dipahami sebagai suatu usaha untuk menjawab pertanyaan: “Apa tugas hukum pidana di
masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana di dalam Undang-Undang dan bagaimana Hakim
menerapkannya?”.
Pandangan mengenai Sistem Peradilan Pidana di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut
pandang yang berbeda pula. Sistem Peradilan Pidana menunjukkan proses interaksi manusia (di dalamnya
terdapat aparatur hukum, penasihat hukum dan terdakwa, serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam
membangun dunia (realitas) yang mereka ciptakan.
Korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan
yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan
jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain,
bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.9 Dengan dikeluarkannya UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, maka di dalam pasal dua akan terlihat jelas bahwa korupsi ini dapat
dilakukan oleh setiap orang yang akan menimbulkan dampak merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dan akan dikenakan pidana penjara paling singkat selama empat tahun dan paling lama yaitu selama 20
tahun. Pasal dua tersebut juga tidak menutup cela untuk dijatuhkan pidana hukuman mati. Ada empat alasan
mengapa korupsi dapat dikatakan sebagai Extraordinary Crime, yaitu :
1. Setiap orang berpotensi menjadi pelaku.
5 Ibid.
6 Ibid.
7 Supra, n.2.
8 Supra, n.4.
9 Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, USA: West Publishing, 1968.
2. Random Victim.
3. Kerugian besar/meluas.
4. Terorganisir
Sebuah Extraordinary Crime akan mebutuhkan sebuah Extraordinary Ways sebagai solusi dari
permasalahan tersebut. Melihat kinerja dari Kepolisian dan Kejaksaan yang tidak begitu memuaskan dalam
membrantas korupsi, hal tersebut mendorong lahirnya KPK, sebagai lembaga ad Hoc yang mengambil alih peran
Kepolisan dan Kejaksaan dalam membrantas tindak pidana korupsi, dimana hal tersebut dimuat dalam UU
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan korupsi.
Indonesia pada 18 April 2006 telah meratifikasi United Nations Convention Against
Corruption [“UNCAC”],10 yang dituangkan pada UU Nomor 7 Tahun 2006. Sebagai negara signatory state,
Indonesia memiliki kewajiban untuk mengikuti konsep pemberantasan korupsi di dalam UNCAC. Salah satu
konsepnya, namun tidak bersifat wajib, adalah mengenai Illicit Enrichment yang tertera pada pasal 20. Pasal
tersebut berisikan:
“Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each state party shall
consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence,
when committed intentionally, illicit enrichment, that is a significant increase in the assets of public official that he or
she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income”11
Pasal tersebut menjelaskan bahwa bagi pejabat publik yang mengalami peningkatan asset secara
signifikan dan tidak mampu mempertanggung jawab asal usulnya, maka dapat dikategorikan sebagai bentuk dari
illicit enrichment. Salah satu keunggulan dari illicit enrichment adalah menguatkan fungsi pelaporan Laporan Harta
Kekayaan Pejabat Negara [“LHKPN”] sehingga tidak cenderung bersifat formalitas dan tanpa sanksi pada pejabat
yang berbohong tentang kekayaannya. Nantinya, jika tidak dapat dibuktikan asal-usul dari harta tersebut, maka
dapat diterapkannya Asset Recovery terhadap harta tersebut.
Saat ini korupsi telah masuk ke sektor-sektor penting di pemerintahan yang tentunya mengganggu
tugas yang dan fungsi mereka. Sebagai contoh adalah sektor perpajakan. Pajak merupakan salah satu usaha
yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperoleh atau mendapatkan dana dari masyarakat. Dana tersebut
digunakan untuk membiayai kepentingan umum dan sifatnya wajib atau dipaksakan kepada rakyat. Menurut
Rimsky K Judisseno:
10 United Nations Convention Against Corruption [“UNCAC”], New York, 31 Oktober 2003.
11 UNCAC, Art. 2.
“pajak merupakan suatau kewajiban kenegaraan berupa pengabdian serta peran aktif warga negara
dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai keperluan negara berupa pembangunan nasional yang
pelaksanaannya diatur dalam undang- undang dan peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara” 12
Disamping itu pajak memiliki fungsi-fungsi, diantaranya:
1. Fungsi budgeter : Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran- pengeluarannya;
2. Fungsi mengatur (regulrend) : Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.13
Dalam bidang perpajakan juga dikenal dengan Tindak Pidana Perpajakan. Tindak kejahatan di bidang
perpajakan merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak (individu atau badan) yang
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dari sektor perpajakan. Tindak pidana perpajakan
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu: kealpaan (pelanggaran) dan kesengajaan (kejahatan). Hal tersebut
sudah membedakan tindak pidana pajak dan korupsi, dimana tindak pidana pajak hanya berkaitan dengan
pendapatan negara sedangkan korupsi berbicara mengenai kekayaan negara.
II. ANALISIS MASALAH
Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa:
“Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dipidana penjara dengan penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah)”.
Rumusan pasal tersebut mengandung arti seseorang dapat terkualifikasi melakukan tindak pidana
korupsi adalah orang-orang yang memenuhi unsur-unsur pasal tersebut, salah satunya adalah dengan sengaja
memperkaya diri dan merugikan keuangan negara. Ruang yang paling besar untuk terjadinya kerugian negara
tersebut berasal dari sektor-sektor penting pemerintahan, salah satunya adalah sektor perpajakan. Secara
presentase, setidaknya pajak memenuhi kurang lebih 70% pos penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara [“APBN”]. Hal tersebut membuka kesempatan terhadap para pihak terkait dalam sektor pajak
12 Judisseno, Pajak dan strategi bisnis: Suatu Tinjauan tentang kepastian hukum dan penerapan akuntansi di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997.
13 Ibid.
untuk dapat melakukan tindak pidana korupsi. Salah satunya adalah kasus Gayus Tambunan yang merupakan
pegawai pajak golongan III A pada tahun 2009.
Gayus dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp
646.000.000,000. Kemudian pada tahun 2012 terungkap kembali kasus korupsi di sektor perpajakan oleh
Dahana Widiatmika. Fenomena ini membuktikan bahwa hakikat dari suatu produk hukum berupa undang-undang
yaitu sebagai penyedia langkah preventif dan represif belum terkandung sepenuhnya dalam UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembatasan masa
hukuman dan juga denda yang terkandung dalam pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan langkah represif untuk memberantas
tindak pidana korupsi. Adanya pembatasan minimal masa hukuman dalam pasal tersebut menunjukan betapa
kerasnya hukuman yang diberikan untuk para koruptor karena pembatasan minimal pemidanaan hanya terdapat
pada UU pemberantasan tindak pidana korupsi. Kemudian ditambah dengan sistem pemidanaan lain seperti
denda akan memberikan suatu kepercayaan tersendiri kepada masyarakat terhadap hukuman yang akan
diberikan kepada koruptor.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, dalam tataran konsep suatu produk hukum yang baik harus
mengandung fungsi represif dan preventif, setelah ditinjaunya aturan hukum terkait dengan tindak pidana korupsi
maka salah satu fungsi dari aturan hukum yaitu fungsi preventif belum tercermin dalam undang-undang tersebut.
Pasal 38B ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa setiap orang yang didakwa melakukan
tindak pidana korupsi wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan tetapi
juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi atau dikenal dengan pembuktian terbalik.
Pembuktian terbalik bisa dianggap mengandung fungsi pencegahan tindak pidana korupsi karena pasal
tersebut dianggap memberikan efek jera kepada orang yang telah melakukan korupsi dan orang yang tidak
melakukan korupsi karena pada pasal 38B ayat 2 UU tersebut menegaskan bahwa apabila terdakwa tidak dapat
membuktikan maka aset atau harta bendanya tersebut akan dirampas oleh negara.
Namun, apabila secara sistematis kita kaji rumusan pasal 38B UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka fungsi
preventif tidak terkandung di dalamnya. Politik hukum yang melatarbelakangi lahirnya pasal 38B UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
adalah untuk menciptakan rasa takut, namun rasa takut yang timbul dalam diri manusia tergolong pada dimensi
yang tidak dapat diukur oleh ukuran yang pasti, sehingga batasan dari langkah preventif yang dimaksud akan
selamanya bias dan akibatnya adalah tujuan dari fungsi preventif tersebut tidak akan tercapai.
Untuk menciptakan fungsi preventif tersebut, tidak bisa hanya didasarkan oleh aturan tertulis yang harus
dibenahi, tetapi juga memerlukan suatu bentuk lembaga yang fokus menangani tindak pidana korupsi guna
menciptakan budaya hukum yang baik terkait tindak pidana korupsi. Saat ini, Indonesia telah memiliki lembaga
tersebut yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi [“KPK”] diluar kepolisian dan kejaksaan. Fungsi dari KPK tersebut
harus dapat menutupi kekurangan UU terkait dengan pemberantasan korupsi tersebut, dengan kata lain KPK
harus memiliki suatu cara untuk mencegah tindak pidana korupsi terus terjadi (merealisasikan tujuan dari fungsi
preventif suatu kaidah hukum). Selama ini langkah preventif yang dilakukan oleh KPK hanya sebatas melakukan
sosialisasi terkait pencegahan korupsi, langkah tersebut dinilai belum cukup untuk mencegah fenomena korupsi
untuk terus terjadi. Oleh karena itu diperlukan langkah yang lebih konkrit yang harus dilakukan KPK terkait
pencegahan tersebut.
KPK harus memiliki wewenang yang lebih jauh dalam hal pemberantasan korupsi dalam perpajakan. Illicit
enrichment merupakan konsep baru yang dapat mendorong KPK dalam pencegahan korupsi. Illicit enrichment
memang bersifat tidak wajib untuk diterapkan bagi Signatory States dari UNCAC. Namun, illicit enrichment
merupakan kesatuan dari UNCAC, yang berarti illicit enrichment juga merupakan bagian pendorong bagi adanya
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Sejauh ini sudah ada 43 Signatory States UNCAC yang menerapkan
illicit enrichment. Hal tersebut menunjukan bahwa di dalam fenomena korupsi yang terus mewabah, illicit
enrichment perlu didesak kemunculannya agar dapat diterapkan di Indonesia.
Di dalam hukum positif Indonesia, KPK sudah memiliki kewenangan untuk meminta laporan keuangan,
seperti tertera pada pasal 13 UU Nomor 30 Tahun 2002. Lebih lanjut, pada kasus korupsi, beban pembuktian
dapat dilimpahkan kepada terdakawa seperti tertera pada pasal 37 UU Nomor 31 Tahun 1999. Hal ini
sebenarnya sudah dapat menjadi pembuka jalan untuk menerapkan illicit enrichment, sehingga KPK tidak perlu
lagi mencari indikasi adanya korupsi pajak untuk meminta LHKPN, yang berarti jika hal ini diterapkan maka KPK
dapat langsung meminta LHKPN bagi penyelenggara pajak, dan jika tidak dapat dibuktikan maka harta tersebut
dapat langsung dinyatakan sebagai harta hasil korupsi. Hal tersebut akan sangat efektif jika diterapkan di dalam
sektor pajak.
Melihat kasus-kasus korupsi di sektor perpajakan, maka jika diterapkannya illicit enrichment akan
menutup salah satu pintu kemungkinan terjadinya kasus korupsi dan juga menjadi fungsi preventif bagi
penyelenggara pajak lainnya untuk tidak melakukan korupsi, karena KPK dapat dengan mudah menemukan
penyelenggara pajak yang mengalami kenaikan nilai harta kekayaan secara signifikan.
BAB III
PENUTUP
I. KESIMPULAN
Korupsi yang merupakan Extraordinary Crime telah menyerang sektor perpajakan, sehingga diperlukan
suatu Extraordinary Ways untuk menangani hal tersebut. Lahirnya UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memiliki peran untuk memberantas dan mencegah
fenomena korupsi di sektor perpajakan. Secara represif, UU tersebut telah berfungsi sebagai payung hukum yang
baik, terbukti dengan kemampuan untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku-pelaku yang menyebabkan
kerugian negara dari sektor perpajakan, seperti Gayus Tambunan dan Dahana Widiatmika. Namun, fungsi
preventif belum dapat tercermin dari aturan yang sudah ada, terlihat dari banyaknya kasus-kasus korupsi baru
yang terungkap setelah dijatuhkannya putusan terhadap Gayus Tambunan. Untuk menyelesaikan permasalahan
korupsi yang telah membudaya di Indonesia, haruslah ada penyelesaian dari akar dan peran preventif yang harus
dimiliki oleh KPK. Indonesia sebagai negara pihak dari UNCAC, sudah selayaknya mengadopsi metode Illicit
Enrichment. Telah dipergunakan oleh 40 negara, menjadi bukti yang cukup bahwa metode tersebut efektif
memberikan fungsi preventif. Sudah seharusnya metode ini digunakan KPK sebagai senjata pamungkas baru
untuk mencegah terjadinya korupsi didalam sektor perpajakan.
II. SARAN
“Mencegah lebih baik daripada mengobati”, ungkapan yang sangat tepat mengingat fenomena korupsi
di sektor perpajakan selayaknya harus ditangani secara harmonis antara pemberantasan dan juga
pencegahannya. KPK seharusnya memiliki peran yang jauh lebih besar dalam hal pencegahan tindak pidana
korupsi dan salah satu cara yang dapat diterapkan adalah dengan konsep Illicit Enrichment.
Metode tersebut dapat memberi kewenangan kepada KPK, untuk dapat menerima laporan kekayaan
dari pejabat negara dalam sektor perpajakan. Hal ini harus dilakukan agar dapat tercapainya fungsi preventif dari
tindak pidana korupsi dengan cara mendapat laporan secara rutin tentang harta kekayaan pejabat negara. KPK
akan memiliki kewenangan untuk menyelidiki jika adanya anomali dalam perubahan nilai harta kekayaan pejabat
negara, untuk ditelusuri lebih lanjut apabila mengarah kepada indikasi korupsi.
Wewenang pengawasan yang dimulai sejak awal tersebut juga akan mendorong KPK untuk bergerak
lebih cepat dalam memberantas dan mencegah tindak pidana korupsi. Maka, secara konkrit harus ada revisi
terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dengan ditambahkan wewenang
pengawasan melalui metode Illicit Enrichment. Dengan solusi yang tertera diatas, diharapkan sektor-sektor
penting termasuk sektor perpajakan memiliki upaya untuk dapat melindungi diri dari usaha-usaha untuk
melakukan tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Yesmil, Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009;
Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, USA: West Publishing, 1968;
Judisseno, Pajak dan strategi bisnis: Suatu Tinjauan tentang kepastian hukum dan penerapan akuntansi di
Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997;
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989;
Mardjono, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan); dikutip dari Hak Asasi
Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, 1994;
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995;
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT. Eresco, 1993;
United Nations Convention Against Corruption, New York, 31 Oktober 2003.