agama langit dan agama bumi dalam pandangan para...
TRANSCRIPT
1
AGAMA LANGIT DAN AGAMA BUMI DALAM PANDANGAN PARA
PENULIS MUSLIM DI INDONESIA (1962-2015)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Windi Anisa Dhiya
11140321000058
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019
1
1
1
iv
ABSTRAK
Windi Anisa Dhiya
Judul Skripsi : “Agama Langit dan Agama Bumi dalam Pandangan Para
Penulis Muslim di Indonesia (1962-2015)”
Ilmu perbandingan agama adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan
yang berusaha untuk memahami asal-usul suatu agama, ciri-ciri serta gejala-gejala
keagamaan dari suatu agama untuk mengetahui persamaan dan perbedaan serta
sejauh mana hubungan antara agama yang satu dengan agama yang lainnya. Di
dalam Ilmu Perbandingan Agama di kenal tipologi “Agama Langit” dan “Agama
Bumi”. Tentu saja tipologi agama ini menjadi sebuah perdebatan panjang dan
memunculkan dikotomi yang menyebabkan adanya sikap merendahkan dan
meninggikan suatu agama.
Tujuan dari penelitian ini adalah penulis ingin menjelaskan bagaimana
konteks pemikiran para penulis Muslim di Indonesia tentang tipologi agama dari
tahun 1962-2015, serta motivasi mereka.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif dengan pendekatan historis, mendeskripsikan biografi, asal-usul dan
latar belakang para penulis Muslim di Indonesia dalam memahami konteks
pemikiran mereka tentang tipologi agama, tujuannya untuk membuat rekonstruksi
dari masa lampau secara sistematis dan objektif. Kemudian pendekatan
hermeneutik, menafsirkan perasaan dan pengalaman para penulis yang akan di
teliti mengenai hasil pemikiran mereka. Dan pendekatan teologis, untuk
memahami pemikiran para penulis mengenai teologi agama yang lebih universal
yang dalam hal ini mengkonsentrasikan pada kategori-kategori transenden.
Berdasarkan hasil analisa penulis, dari berbagai spektrum para penulis
Muslim ada Akademisi, Aktivis Muslim, Da’i, Guru dll bahwa tanpa disadari
mereka telah mengadopsi pemikiran yang dibuat oleh para teolog Kristen, karena
kebutuhan para sarjana Muslim untuk melakukan apologetika melawan agama-
agama lain. Akademisi murni seperi Prof. Kautsar Ashari Noer menolak adanya
tipologi ini. Selain faktor-faktor seperti semangat dakwah atau misionarisme,
pemahaman keagamaan yang normatif juga disebabkan oleh faktor lainnya yaitu
ilmu Perbandingan Agama dan metodenya yang belum dikenal dengan baik pada
masa itu.
Kata Kunci : Agama Langit, Agama Bumi dan Tipologi Agama
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya bagi umat manusia, yang telah
memberikan akal sehat dan mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
Sehingga manusia dapat hidup dengan cahaya ilmu dan pengetahuan. Shalawat
serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad
SAW yang telah membimbing dan mendidik umatnya dengan ilmu dan akhlak
menuju jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu tugas akademis dan untuk memenuhi
sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag). Dalam
penyusunan skripsi ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini dapat
terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
memberikan dorongan moril maupun materil. Adapun ucapan terima kasih
khususnya penulis sampaikan kepada:
1. Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Media Zainul Bahri, MA, selaku Wakil Dekan 2 Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, selaku Dosen Pembimbing Akademik dan juga selaku Dosen
Pembimbing Skripsi yang telah banyak membantu penulis dalam
mengumpulkan data dan penulisan skripsi ini. Terima kasih atas segala
vi
kesabarannya dalam membimbing, serta dorongan semangat dan
motivasi untuk saya sehingga terselesaikannya skripsi ini.
3. Syaiful Azmi S.Ag, MA, selaku Ketua Prodi Studi Agama-Agama
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Lisfa Sentosa Aisyah, MA, selaku Sekretaris Prodi Studi Agama-
Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih yang tak terhingga atas ilmu
yang telah diberikan.
6. Orang tua tercinta Papa dan Mama. Terima kasih atas segala
kesabaran, keikhlasan, perhatian, cinta dan kasih sayang yang tak
pernah pudar serta doa yang tak henti-hentinya untuk saya.
7. Adik-adik tersayang Nandhita dan Aura. Terima kasih atas segala
dorongan semangat dan motivasinya sehingga terselesaikannya skripsi
ini.
8. Laksamana Ajar Pamungkas, yang selalu ada untuk membantu dan
memberikan dorongan semangat untuk penulis. Terima kasih atas
segala bantuan dan dukungannya.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………….i
LEMBAR PENGESAHAN BIMBINGAN SKRIPSI…………………………….ii
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………………iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN…………………………………...iv
ABSTRAK………………………………………………………………………...v
KATA PENGANTAR……………………………………………………………vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….viii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………....1
A. Latar Belakang…………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………....7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian……………………………………….....7
D. Metodologi Penelitian………………………………………......................8
E. Sumber Data………………………………………...................................11
F. Sistematika Penulisan……………………………………….....................13
BAB II AGAMA LANGIT DAN AGAMA BUMI……………………………...15
A. Beberapa Pengertian Tentang Agama……………………………………15
1. Hubungan antara Manusia dengan Tuhan……………………………16
2. Hubungan antara Manusia dengan Manusia…………………………22
B. Klasifikasi Agama-Agama……………………………………………….28
1. Agama Kitab Suci……………………………………………………31
2. Agama Non Kitab Suci………………………………………………32
3. Agama Non Theistik…………………………………………………33
BAB III PEMIKIRAN PARA PENULIS MUSLIM TENTANG AGAMA
LANGIT DAN AGAMA BUMI…………………………………………………34
A. Pengertian Agama Langit dan Agama Bumi…………………………….37
1. Agama Langit………………………………………………..……….37
2. Agama Bumi………………………………………………...……….39
viii
B. Bentuk-Bentuk Agama Langit dan Agama Bumi………………………41
C. Perbedaan Pandangan Tentang Klasifikasi Agama-Agama…………….52
BAB IV KONTEKS PEMIKIRAN PARA PENULIS MUSLIM TENTANG
KLASIFIKASI AGAMA……………………………………………………….66
A. Motivasi Para Penulis Muslim dalam Klasifikasi Agama Langit dan
Agama Bumi……………………………………………………………..66
B. Metode Ilmiah Studi Agama-Agama…………………………………….74
BAB V PENUTUP……………………………………………………………...81
A. Kesimpulan…………………………………………………………...….81
B. Saran……………………………………………………………………..83
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Perbandingan Agama pertama kali lahir di Indonesia yaitu di
PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) Yogyakarta pada tahun
1961, kala itu ilmu Perbandingan Agama tidak lepas dari peran seorang figur
yaitu Mukti Ali. Mukti Ali adalah seorang cendikiawan Muslim yang meraih
gelar Doktor di Universitas Karachi, Pakistan dalam bidang Sejarah Islam,
dan gelar Magister Universitas McGill, Kanada dalam kajian Islamic Studies
(1972-1978). Mukti Ali menjadi Menteri Agama pada masa kabinet Orde
Baru. Ketika itu jiwa Perbandingan Agama masih sangat lekat olehnya,
terlihat pada kebijakan-kebijakannya dalam mengatur hubungan intra dan
antar pemeluk agama yang berbeda serta hubungan tokoh-tokoh agama
dengan pemerintah.1 Terlepas dari peran politiknya, Mukti Ali adalah bapak
Perbandingan Agama di Indonesia karena Mukti Ali adalah figur utama yang
berperan menyusun kurikulum mata kuliah Perbandingan Agama. Sedangkan
bapak Perbandingan Agama di dunia Islam adalah Al-Syahrastani dan bapak
Perbandingan Agama di Eropa adalah Max Muller.
Dalam diskursus Ilmu Perbandingan Agama di kenal istilah
“Agama Langit” dan “Agama Bumi”. Di dalam buku Media Zainul Bahri
1 Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901-
1940) Hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 185-186.
2
yang berjudul Wajah Studi Agama-Agama pun terdapat sub judul tipologi
“Agama Langit” dan “Agama Bumi”, dikatakan bahwa istilah “Agama
Langit” dan “Agama Bumi” muncul sebagai semangat dakwah dalam tujuan
pengkajian Perbandingan Agama, walaupun menurut Media Zainul Bahri
Ilmu Perbandingan Agama berbeda dengan Ilmu Dakwah namun sah-sah saja
jika Ilmu Perbandingan Agama digunakan sebagai media untuk berdakwah.
Pertama kali klasifikasi agama-agama ke dalam “Agama Langit”
dan “Agama Bumi” diperkenalkan oleh Ahmad Abdullah al-Masdoosi,
seorang sarjana Muslim Pakistan melalui karya nya yang berjudul Living
Religions of the World (1962) dan dipopulerkan oleh Endang Saifuddin
Anshari (1979).2 Jauh sebelum itu melalui penelusuran Charles Joseph
Adams seperti dikutip oleh Kautsar klasifikasi agama sudah muncul pada
abad ke-13 oleh Thomas Aquinas, seorang filsuf dan teolog terbesar abad
pertengahan, membedakan agama alami, atau jenis kebenaran keagamaan
yang ditemukan dengan akal semata tanpa bantuan apapun, dengan agama
wahyu, atau agama yang bersandar pada kebenaran Ilahi yang identik secara
eksklusif dengan Kristen.3 Kemudian diikuti oleh Wilfred Cantwell Smith
seperti dikutip oleh Kautsar klasifikasi agama-agama ke dalam “Agama
Langit” dan “Agama Bumi” muncul dalam konteks Eropa pada abad ke-18
ketika Kristen dihinggapi oleh sikap eksklusif, fanatik, apologetik, dan
misionernya dalam berhadapan dengan agama-agama lain.4
2 Bahri, Wajah Studi Agama-Agama,Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga
Masa Reformasi, h. 199. 3 Kautsar Azhari Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi
Agama-Agama,” Titik temu, Jurnal dialog peradaban 3, No. 2, 2011, h. 3. 4 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama”, h. 2.
3
Al-Masdoosi seperti dikutip oleh Kautsar mengatakan bahwa
agama wahyu adalah agama yang menghendaki iman kepada Tuhan, kepada
rasul-Nya, dan kepada kitab-kitab-Nya dan pesannya untuk disebarkan kpada
segenap umat manusia. Agama bukan-wahyu adalah agama yang tidak
memandang esensial penyerahan manusia kepada tata aturan ilahi. Yang
termasuk agama Wahyu adalah Yudaisme, Kristen, dan Islam. Selebihnya
termasuk dalam agama-agama bukan-wahyu. Agama-agama wahyu
bersangkutan dengan ras Semitik, sedangkan agama bukan-wahyu sama
sekali tidak bersangkutan dengan ras Semitik.5
Penggunaan istilah “Agama Langit” dan “Agama Bumi” juga
dipakai oleh para penulis Muslim di Indonesia. Endang Saifuddin Anshari,
seorang sarjana Muslim Indonesia misalnya, seperti dikutip oleh Kautsar
mendefinisikan bahwa “Agama Langit” (Agama Samawi [din samawi],
agama wahyu [revealed religion], agama profetik [prophetic religion])
adalah agama yang diwahyukan oleh Allah kepada para nabi dan rasul-Nya,
sedangkan “Agama Bumi” (agama ardli [din ardli], agama budaya, agama
filsafat, agama pemikiran, agama bukan-wahyu [non-revealed religion],
agama alami [natural religion, din thabi’i]) adalah agama hasil ciptaan
manusia.6
Agus Hakim membagi agama dilihat dari titik asalnya di bagi
menjadi dua yaitu Agama Samawi dan Agama Thabi’y. Adapun Agama
Samawi menurut Agus Hakim adalah agama yang turun dari hadirat yang
5 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama”, h. 1. 6 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama”, h. 1.
4
Maha Tinggi, yaitu agama yang berasal dari wahyu Tuhan yang menjadikan
sekalian alam ini yang diwahyukan-Nya kepada rasul-rasul-Nya untuk
disampaikan kepada ummat mereka masing-masing. Sedangkan agama
Thabi’y adalah agama yang timbul dari angan-angan khayal manusia belaka.
Menurut Agus Hakim dinamai agama Thabi’y karena timbulnya agama yang
demikian hanya semata-mata dorongan dari thabiat manusia yang ingin
beragama, ingin mengabdi dan memuja kepada sesuatu yang dianggapnya
maha kuasa atas dirinya. Bukan berasal dari Wahyu Ilahi.7
Tidak berbeda dengan Agus Hakim, Rasjidi juga membagi agama
ke dalam dua kelompok besar yaitu Natural Religions dan Revealed
Religions. Natural Religions atau Agama Alamiyah adalah agama-agama
yang timbul diantara manusia-manusia itu sendiri dan di lingkungan dimana
mereka hidup. Sedangkan Revealed Religions adalah agama-agama yang
diwahyukan yaitu agama-agama yang diturunkan Allah agar menjadi
petunjuk bagi manusia. Secara konkrit Agama Samawi ada tiga, yaitu agama
Yahudi, agama Nasrani dan agama Islam. Adapun agama-agama selain tiga
itu dapat dinamakan Agama Alamiyah.8
Sebagai contoh lainnya penulis Muslim di Indonesia yaitu
Abdullah Ali yang membagi agama ke dalam dua kelompok besar dilihat dari
sumber datangnya ajaran yaitu Agama Samawi (agama yang datang dari
langit berlandaskan wahyu Tuhan; seperti Islam, Yahudi, Nasrani) dan
Agama Wad’iy (agama yang tumbuh di bumi atas prakarsa dan pemikiran
manusia, semacam Buddha hasil renungan pemikiran Sidharta Gautama, atau
7 Agus Hakim, Perbandingan Agama (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 1985), h. 13. 8 H. M. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), cet.7., h. 52-53.
5
Hindu sebagai akulturasi budaya bangsa Aria dan Dravida).9 Kemudian
Abdullah Ali juga membagi agama ditinjau dari segi motivasi yang
melatarbelakangi lahirnya agama, terbagi menjadi Agama Alami (timbul
karena pengaruh kekuatan alam yang dilandasi motivasi untuk melindungi
jiwa yang ketakutan; seperti agama Majusi, animism dan dinamisme) dan
Agama Etik (tumbuh berdasarkan motivasi penilaian baik dan buruk;
semacam filsafat etika Kong Hu Cu atau Kong-Cu, Shinto dan lain-lain).10
Berbeda dengan para penulis Muslim di atas. Kautsar Azhari Noer,
menganggap bahwa “Agama Langit” lahir bukan hanya di kalangan bangsa
Semitik. Menurut Kautsar jika membatasi agama wahyu atau “Agama
Langit” sebagai agama yang lahir hanya di kalangan ras atau bangsa Semitik
di Timur Tengah itu berarti bertentangan dengan firman Allah :
ة رسول افإذا جاء رسولهم قضي بينهم بالقسط وهم ل يظلمون ولكل أم
“setiap umat mempunyai rasul” (QS 10: 47)11, dan
وت ف اغ بوا الط ن ت اج و دوا للا ب ن اع ولا أ س ة ر م أ ل ا في ك ن ث ع د ب ق ل ن و م م ه ن م
ف ي وا ك ر ظ ان ض ف ر وا في ال ير س ة ف ل ل ه الض ي ل ت ع ق ن ح م م ه ن م و دى للا ه
ين ب ذ ك م ة ال ب اق ان ع ك
“sungguh, Kami [Allah] telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat” (QS
16: 36)12, dan juga bertentangan dengan hadis Nabi bahwa para rasul
berjumlah tiga ratus lima belas orang, dan para nabi berjumlah seratus dua
9 Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), h. 25-
26. 10 Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan, h. 26. 11 https://tafsirweb.com/3321-surat-yunus-ayat-47.html, diakses pada tanggal 24 Juni
2019. 12 https://tafsirq.com/16-an-nahl/ayat-36, diakses pada tanggal 24 Juni 2019.
6
puluh empat ribu orang. Menurut Kautsar jika kita ingin konsisten mengikuti
firman Allah dan hadis Nabi kita harus percaya bahwa Allah mengutus para
rasul dan para nabi bukan hanya kepada umat manusia di lingkungan bangsa
Semitik di Timur Tengah, tetapi juga kepada umat di lingkungan bangsa
lain.13 Pendapat Kautsar Azhari tidak jauh berbeda dengan Halim Mastur di
dalam karyanya Diktat Perbandingan Agama (1970) yang mengatakan bahwa
di Benua Afrika yang luas, terutama bangsa Mesir mungkin telah juga
didatangi Nabi Allah. Siapa nama Nabi Allah yang datang, bangsa Mesir
kuno tidak meninggalkan catatan.14 Seperti yang banyak diketahui agama
Mesir Kuno bukanlah agama yang berasal dari Wahyu Ilahi.
Klasifikasi atau tipologi “Agama Langit” dan “Agama Bumi” ini
menjadi sebuah perdebatan panjang dan memunculkan adanya sikap
merendahkan dan meninggikan suatu agama. Seperti yang telah disebutkan di
atas bahwa klasifikasi “Agama Langit” dan “Agama Bumi” pertama kali di
bawa oleh Abdullah al-Masdoosi lalu kemudian diikuti oleh penulis Muslim
yaitu Endang Saifuddin Anshari dan diikuti oleh para penulis Muslim di
Indoensia lainnya. Pada bab kedua buku L. Narayana D. “Mendebat Agama
Langit; Membunuh Arogansi Dikotomi Ngawur Agama Langit - Agama
Bumi”, penulis memaparkan sejarah adanya klasifikasi Agama ke dalam
“Agama Langit” dan “Agama Bumi” disebutkan oleh Dr. H. M. Rasjidi,
dalam bukunya yang berjudul “Empat Kuliah Agama Islam untuk Perguruan
Tinggi. Tentu saja klasifikasi ini menjadi klasifikasi yang normatif dan
pendukung klasifikasi ini adalah sebagian besar umat yang mengaku sebagai
13 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama”, h. 8. 14 A. Halim Mastur, Diktat Perbandingan Agama, (t.k., t.p., 1970), h. 3.
7
“Agama Langit”. Kemudian pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah;
apakah benar “Agama Langit” hanya berasal dari kalangan bangsa Semitik
saja? Apakah benar selain agama Yahudi, Kristen, Islam merupakan “Agama
Bumi”? dan apa motivasi para penulis Muslim dalam pengklasifikasian
agama? Di dalam skripsi ini penulis akan mempaparkan konteks dan teori
pemikiran para penulis Muslim tentang “Agama Langit” dan “Agama Bumi”
serta motivasi para penulis Muslim dalam penggunaan istilah “Agama
Langit” dan “Agama Bumi”. Penulis merasa topik ini menarik untuk dikaji
karena dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang sejauhmana
klasifikasi atau tipologi agama digunakan dalam Ilmu Perbandingan Agama
serta kaitannya dengan dakwah.
B. Rumusan Masalah
Agar pembahasan dalam penulisan tidak melebar, maka penulis
membatasinya ke dalam masalah-masalah berikut :
1. Bagaimana Pandangan Para Penulis Muslim di Indonesia tentang
“Agama Langit” dan “Agama Bumi”?
2. Bagaimana Konteks Pemikiran dan Motivasi Para Penulis Muslim di
Indonesia tentang “Agama Langit” dan “Agama Bumi”?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka
tujuan penulisan dimaksudkan untuk :
8
a. Untuk mengetahui pandangan para penulis Muslim di Indonesia
tentang “Agama Langit” dan “Agama Bumi”.
b. Untuk mengetahui konteks pemikiran dan motivasi para penulis
Muslim di Indonesia tentang “Agama Langit” dan “Agama Bumi”.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian di bagi menjadi tiga, yaitu kegunaan teoritis,
kegunaan praktis, dan kegunaan akademis.
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini dapat digunakan sebagai diskursus
ilmiah dan mampu memperkaya khasanah keilmuan mengenai apa
yang sudah di tulis oleh para penulis Muslim tentang “Agama Langit”
dan “Agama Bumi”.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bagi
mahasiswa dalam mengkaji klasifikasi agama menurut para penulis
Muslim. Dan hasil penelitian ini dapat bermanfaat menjadi rujukan
penelitian-penelitian serupa dikemudian hari.
c. Kegunaan Akademis
Penelitian dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
persyaratan akhir perkuliahan guna mendapatkan gelar Sarjana Agama
(S. Ag) Prodi Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
9
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif, yang mana menurut Creswell di dalam bukunya Prof. Dr.
Emzir, M.Pd yang berjudul Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data.
Penelitian kualitatif cenderung mengarahkan masalah-masalah penelitian
yang memerlukan suatu eksplorasi mendalam terhadap hal yang sedikit
diketahui atau dipahami tentang masalah tersebut dan suatu detail
pemahaman tentang suatu fenomena sentral.15 Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif di dasarkan atas beberapa alasan. Pertama, penulis
menganalisis data secara induktif dan tidak melakukan pencarian di luar data
atau bukti untuk menolak atau menerima hipotesis guna memahami hasil
tulisan para penulis yang di teliti. Kedua, penulis memfokuskan pada
perspektif partisipan guna menjustifikasi pentingnya meneliti masalah
penelitian ini. Ketiga, metode kualitatif dipakai untuk memperoleh suatu
dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta
menyintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh
kesimpulan yang kuat. Pendekatan hermeneutik berasal dari kata Yunani
yang berarti interpretasi, menjelaskan atau menterjemahkan. Pada awalnya
hermeneutik dipakai alam pengertian yang sempit, yaitu hermeneutik
Alkitabiah yang memusatkan perhatian kepada perjanjian lama dan perjanjian
baru.16 Namun dewasa ini pendekatan hermeneutik tidak hanya tepusatkan
pada Alkitab tapi juga yang lainnya misalnya menterjemahkan buku,
pemikiran para penulis dan lain sebagainya. Selain cerita mengenai segala
15 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif : Analisis Data (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
cet. 2, h. 3. 16 Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab (Malang:
Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1993), cet. 5, h. 1-2.
10
sesuatu yang sebagian besar sudah ketahui. Disini peneliti mencoba mencari
pemahaman pengalaman partisipan.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan tiga
pendekatan yaitu pendekatan historis, pendekatan hermeneutik dan
pendekatan teologis. Pendekatan historis menurut Media Zainul Bahri adalah
sebuah pendekatan yang dipakai untuk mempelajari, menyelidiki dan meneliti
agama-agama baik sebelum ilmu agama menjadi disiplin ilmu sendiri.
Dengan demikian, pendekatan historis berarti menelusuri asal-usul dan
pertumbuhan ide-ide dan pranata-pranata keagamaan dalam periode-periode
tertentu.17 Penulis memakai pendekatan historis untuk mendeskripsikan
biografi, asal-usul dan latar belakang para penulis Muslim dalam memahami
konteks pemikiran mereka tentang pengklasifikasian agama tujuannya untuk
membuat rekonstruksi dari masa lampau secara sistematis dan objektif, untuk
menginterpretasikan dan menafsirkan penulis memakai pendekatan
hermeneutik sebagai suatu seni dalam menyelami perasaan dan pengalaman
para penulis yang akan di teliti mengenai hasil pemikiran mereka. Sedangkan
pendekatan teologis, menurut Media Zainul Bahri adalah pendekatan yang
bersifat normatif dan subyektif,18 yang berarti memfokuskan pada sejumlah
konsep, khususnya yang didasarkan pada ide theos-logos, studi atau
pengetahuan tentang Tuhan. Penulis memakai pendekatan teologis sebagai
upaya untuk memahami pemikiran para penulis mengenai teologi agama yang
17 Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga
Masa Reformasi, h. 15. 18 Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga
Masa Reformasi, h. 20.
11
lebih universal yang dalam hal ini mengkonsentrasikan pada kategori-
kategori transenden.
3. Analisis Data
Adapun setelah data terkumpul, langkah selanjutnya penulis
melakukan analisis data. Analisis data adalah suatu proses penyusunan data
agar dapat ditafsirkan.19 Penulis menggunakan metode Content Analysis
(analisis isi), yaitu upaya menafsirkan gagasan atau ide tentang “Agama
Langit” dan “Agama Bumi” dalam pemikiran para penulis Muslim, yang
kemudian gagasan atau ide tersebut dianalisis secara mendalam guna
mengetahui motif para penulis.
4. Teknik Penulisan
Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku
pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis dan Desertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Biro Akademik dan
Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2014/2015.
E. Sumber Data
1. Sumber Primer
Sumber primer adalah sumber yang dapat memberikan data
penelitian secara langsung.20 Sumber data primer merupakan sumber data
yang terkait langsung dengan penelitian, berupa karya yang di tulis langsung
19 Dadang Rahmad, Metode Penelitian Agama (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), h.
102. 20 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka,
Cipta, 2002), h. 117.
12
oleh orang yang ahli dalam bidangnya. Adapun sumber-sumber primer yang
digunakan penulis adalah:
1) Kautsar Azhari Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah
Telaah atas Klasifikasi Agama-Agama”. Titik temu, Jurnal dialog
peradaban 3, No. 2, 2011.
2) Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi
Indonesia (1901-1940) Hingga Masa Reformasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015.
3) A. Halim Mastur, Diktat Perbandingan Agama, t.k., t.p., 1970.
4) H.M. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi,
Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 7, 1992.
5) K.H. Agus Hakim, Perbandingan Agama, Bandung: CV. Penerbit
Diponegoro, Cet. 4, 1985.
6) Moh. Rifai, Perbandingan Agama, Semarang: Wicaksana, 1983.
7) Mahmud Yunus, al-Adyan, Jakarta: Maktabah Sa’diyah Putra, t.th.
8) Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan, Bandung: Nuansa
Aulia, 2007.
9) L. Narayana. D., Mendebat Agama Langit: Membunuh Arogansi
Dikotomi Ngawur Agama Langit-Agama Bumi, Yogyakarta:
Narayana Smrti Press, 2012.
2. Sumber Sekunder
13
Sumber sekunder adalah sumber atau data yang secara tidak
langsung berhubungan dengan masalah yang diungkapkan.21 Sumber
sekunder ini digunakan sebagai pelengkap dari sumber primer yang berisi
tentang kajian-kajian pokok yang relevan atau yang berhubungan dengan
penelitian namun tidak terkait langusng dengan penelitian. Sumber sekunder
ini berupa buku, artikel, jurnal, majalah, e-book, koran atau media cetak lain
yang mendukung. Adapun sumber-sumber sekunder yang digunakan penulis
adalah:
1) Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
2) H.M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang
“Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”, Jakarta: Bulan Bintang,
1977.
3) H.A. Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press, 1988.
F. Sistematika Penulisan
Agar sistematis penulis menyusun skripsi ini ke dalam lima bab
sebagai berikut:
Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan. Di dalam bab ini
tercakup Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan
Penelitian, Metodologi Penelitian, Sumber Data, dan Sistematika Penulisan.
21 Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1996), h. 217.
14
Bab Kedua, mendeskripsikan teori tentang “Agama Langit” dan
“Agama Bumi”, yang mencakup pembahasan tentang Beberapa Pengertian
Agama, Latar Belakang Munculnya Klasifikasi Agama serta Klasifikasi
Agama di Tinjau dari Berbagai Segi.
Bab Ketiga, mendeskripsikan tentang pemikiran para penulis
Muslim mengenai “Agama Langit” dan “Agama Bumi”, yang mencakup
pembahasan tentang Pengertian Agama Langit dan Agama Bumi dalam
Pandandangan Para Penulis Muslim, Bentuk-Bentuk “Agama Langit” dan
“Agama Bumi”, dan Perbedaan Pandangan tentang Klasifikasi Agama-
Agama.
Bab Keempat, merupakan Analisis Konteks Pemikiran Para Penulis
Muslim tentang “Agama Langit” dan “Agama Bumi”. Adapun dalam bab ini
akan menguraikan tentang Motivasi Para Penulis Muslim dalam Klasifikasi
“Agama Langit” dan “Agama Bumi” serta Metode Ilmiah Studi Agama-
Agama.
Bab Kelima, sebagai bab terakhir Penutup yang berisikan
kesimpulan dari pokok permasalahan dalam kajian skripsi ini, dan Saran-
Saran yang sifatnya membangun dari penulis.
15
BAB II
AGAMA LANGIT DAN AGAMA BUMI
A. Beberapa Pengertian Tentang Agama
Manusia tidak bisa terlepas dari agama karena agama memiliki
peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia sebagai arah dan
pedoman hidup serta dapat membentuk perilaku bagi pemeluknya untuk
menjadi manusia yang lebih baik. Agama yang pernah tumbuh dan
berkembang di muka bumi ini cukup banyak jumlahnya, ada sebagian agama
yang sudah ditinggalkan pemeluknya baik ajarannya maupun pemeluknya
dan sebagian lainnya masih hidup dan berkembang hingga saat ini.
Sebagian agama yang sudah ditinggalkan pemeluknya itu
disebabkan karena beberapa faktor seperti misalnya: Pertama, ajaran agama
itu sendiri yang tidak mampu membimbing dan memberikan arah yang jelas
serta tidak mampu memenuhi tuntutan hidup dan kehidupan para
pemeluknya. Kedua, pengikut atau pemeluknya yang telah musnah. Ketiga,
lahir dan munculnya agama-agama baru yang lebih sesuai dengan kehidupan
manusia pada zamannya. Keempat, agama tersebut sudah tidak menarik lagi
sehingga ditinggalkan oleh pemeluknya. Kelima, dakwah dan pendidikan
agama tidak disiarkan dengan baik oleh kelompok pemuka agama itu sendiri.
Berikut pengertian agama dilihat dari hubungan antara manusia dengan
Tuhan serta hubungan antara manusia dengan manusia.
16
G. Hubungan antara Manusia dengan Tuhan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), agama adalah
sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.22 Kata "Agama"
berasal dari bahasa Sansakerta sebagaimana I Gusti Ngurah Nala, seorang
penulis Hindu mempaparkan kata “Agama” yang terdiri dari tiga suku kata,
yaitu “a”, “ga” dan “ma”. Masing-masing suku kata ini memiliki makna
sendiri-sendiri. “a” berarti awang-awang atau kosong atau hampa. “ga”
mengandung pengertian genah atau tempat. “ma” berarti matahari atau
cahaya atau terang (sinar). Jadi, menurut uraian tersebut Ngurah Nala
mengartikan kata “Agama” mengandung pengertian bahwa tempat yang
kosong perlu diberi penerangan (sinar). Maksudnya adalah hati dan pikiran
manusia yang masih kosong perlu diisi sinar suci dari Tuhan, agar menjadi
terah. Sinar suci ini berupa tuntunan ajaran Tuhan untuk mengatur perilaku
manusia agar menjadi bersusila dan berbudhi.23
Kemudian terdapat juga kata “Ugama” yang terdiri atas suku kata
“u”, “ga” dan “ma” yang mengandung pengertian “u” berarti udaka atau
tirta atau air suci. “ga” berarti geni atau api. “ma” kependekan dari
marutayang berarti angin atau udara. Dari uraian suku kata tersebut kata
“Ugama” dalam bahasa Sansakerta adalah suatu ajaran tentang penggunaan
sarana air, api dan udara dalam memuja Tuhan. Maksudnya adalah agar umat
22 KBBI, https://kbbi.web.id/agama diakses pada tanggal 1 September 2018. 23 I. Gst. Ngurah Nala dan I. G.K. Adia Wiratmadja, Murddha Agama Hindu (Denpasar:
Upada Sastra, 1995), h. 5.
17
manusia di dalam melakukan pemujaan terhadap Tuhan selalu
mempergunakan sarana berupa air suci (tirta), api (berupa dupa atau dipa),
dan udara (berupa mantera, kidung, gamelan atau bunyi-bunyian dan wangi-
wangian). Dengan mempergunakan sarana-sarana ini manusia akan lebih
cepat mendekatkan atau menghubungkan dirinya dengan Tuhan.24 Secara
etimologi, istilah “Agama” juga banyak dikemukakan dalam berbagai bahasa,
antara lain:Religion dalam bahasa Inggris, Religie dalam bahasa Belanda,
Religio dalam bahasa Yunanidan Ad-Din dalam bahasa Arab. Menurut Louis
Ma’luf, seorang penyusun kamus bahasa Arab terlengkap yang diberi nama
Al-Munjid seperti dikutip oleh Abdullah Ali di dalam bukunya yang berjudul
Agama dalam Ilmu Perbandingan (2007), pengertian agama dalam Islam
secara spesifik berasal dari kata “ad-Din” (Jamak: “Al-Adyan” yang
mengandung arti “Al-Jaza wal Mukafah, Al-Qada, Al-Malik-al-Mulk, As-
Sulton, At-Tadbir, Al-Hisab”. Dari pengertian ini, maka menurut Abdullah
Ali “Ad-Dien” dalam Islam sesungguhnya tidak cukup diartikan hanya
sekedar agama yang mengatur hubungan antara manusia dengan zat Maha
Pencipta (Tuhan yang dianggap kuasa). Lebih dari itu, agama Islam juga
mengatur kehidupan antar umat manusia, bahkan dengan lingkungan alam
sekitarnya.25
Beberapa definisi agama secara terminologi, diantaranya menurut
Departmen Agama pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pernah
diusulkan definisi agama adalah jalan hidup dengan kepercayaan kepada
24 I. Gst. Ngurah Nala dan I. G.K. Adia Wiratmadja, Murddha Agama Hindu, h. 5-6. 25 Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), h. 25.
18
Tuhan Yang Maha Esa yang berpedoman pada kitab suci dan dipimpin oleh
seorang nabi.26 Ada empat hal yang harus ada dalam definisi agama, yaitu:
1. Agama merupakan jalan hidup.
2. Agama mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Agama harus mempunyai kitab suci (wahyu).
4. Agama harus dipimpin oleh seorang nabi dan rasul.
Selanjutnya Mukti Ali, selaku mantan Menteri Agama Republik
Indonesia pada Kabinet Pembangunan II dan bapak Perbandingan Agama di
Indonesia mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan
Yang Maha Esa dan hukum yang diwahyukan kepada utusan-utusanNya
untuk kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Menurut Mukti Ali, ciri-ciri
agama itu adalah diantaranya:
1. Mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mempercayai kitab suci Tuhan Yang Maha Esa.
3. Mempunyai rasul atau utusan dari Tuhan Yang Maha Esa.
4. Mempunyai hukum sendiri bagi kehidupan.
5. Mempunyai hukum sendiri bagi kehidupan penganutnya berupa
perintah dan petunjuk.27
Senada dengan Abdullah Ali, seorang Guru Besar IAIN Cirebon
(1980-2005) menyebutkan faktor-faktor penting yang harus dimiliki oleh
suatu agama, yaitu diantaranya:
26 Khotimah, “Agama dan Civil Society,” Jurnal Ushuluddin Vol. XXI, No. 1, Januari 2014,
h. 122. 27 H.A. Mukti Ali, Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional (Yogyakarta:
Yayasan An-Nida, 1969), h. 9.
19
1. Adanya sistem keyakinan/kepercayaan terhadap Tuhan sebagai zat
Maha Pencipta dan Maha Suci.
2. Adanya sistem persembahan berisi peraturan tata cara pelaksanaan
ibadah/peribadatan manusia terhadap Tuhan yang telah
diyakininya.
3. Adanya kitab suci yang menghimpun hukum/peraturan ketetapan
Tuhan sebagai pedoman bagi para pemeluknya.
4. Adanya Rasul utusan Tuhan yang menyampaikan ajaran Tuhan itu
kepada manusia agar mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.28
Abdullah Ali lebih lanjut menjelaskan bahwa agama berarti taat
dan balasan. Dalam arti lain, agama dapat dipahami sebagai suatu ikatan
perasaan mengakui hak-hak Tuhan dengan perasaan takut dan hormat.29 Dari
beberapa pengertian tentang agama, pada prinsipnya menurut Abdullah Ali
agama bertitik tolak pada dasar yang sama, yaitu adanya pengakuan dari
manusia terhadap kekuasaan yang berada di luar dirinya, yang disebut Tuhan.
Pengakuan itu mendorong manusia untuk melakukan hubungan spiritual
dengan zat Tuhan yang diyakininya. Secara sederhana, dapat dimengerti
bahwa sepanjang aktivitas masyarakat mengandung unsur kepercayaan
terhadap kekuasaan zat Yang Maha Suci disebut Tuhan.30
Namun menurut Abdullah Ali juga, agama tidak cukup berhenti
sampai pada batas keyakinan semata. Konsekuensi dari adanya keyakinan,
pengakuan dan hubungan dengan Tuhan melahirkan berbagai bentuk
28 Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan, h. 24-25. 29 Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan, h. 23. 30 Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan, h. 24.
20
pengabdian dan persembahan. Wujud pengabdian dalam agama itulah yang
dikenal sebagai ibadah, yang merupakan aspek ritual yang sakral.31 Hal itu
senada dengan penjelasan Endang Saifuddin Anshari, seoang sarjana dan
aktivis Islam bahwa aspek pokok yang terkandung dalam suatu agama antara
lain: Pertama, agama adalah sistem credo (tata keimanan atau tata
keyakinan) terhadap adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia. Kedua,
disamping itu agama juga satu sistemritus (tata peribadatan) manusia kepada
yang dianggapnya mutlak itu. Ketiga, di samping merupakan satu sistem
credo dan sistem ritus maka agama juga adalah suatu sistem norma (tata
kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan
hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata
keimanan dan tata peribadatan termaksud di atas.32
Dalam pengertian yang lain, Zakiah Darajat seorang sarjana asal
Indonesia dan pakar psikologi agama mengatakan bahwa agama adalah
sebuah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang
diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari pada manusia.33 Senada dengan
Robert H. Thouless, seorang pakar psikologi agama asal Inggris yang
memandang agama sebagai hubungan praktis yang dirasakan dengan apa
yang dipercayai sebagai makhluk atau sebagai wujud yang lebih tinggi dari
manusia.34 Berbeda dengan agama yang disebut J. H. Leuba, seorang
31 Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan, h. 24-25. 32 Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Bandung: Penerbit Mizan, 1979),
h. 119-120. 33 Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 10. 34 Sururin, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 4.
21
psikolog agama terkenal asal Amerika adalah sebagai cara bertingkah laku,
sebagai sistem kepercayaan atau sebagai emosi yang khusus.35
Sedangkan Glock dan Stark sosiolog asal Amerika, seperti dikutip
oleh Darajat mendefinisikan agama sebagai sistem simbol, sistem keyakinan,
sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembaga yang semuanya terpusat
pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi.36
Kemudian agama menurut Bustanuddin Agus, seorang Guru Besar
Sosiologi Agama di Universitas Andalas (Unand) Padang Sumatera Barat
adalah sebagai ajaran yang diturunkan oleh Tuhan untuk petunjuk bagi umat
dalam menjalani kehidupannya.37 Bustanuddin juga menyebut agama sebagai
suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua
masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola berperilaku yang
memenuhi untuk disebut “Agama” yang terdiri dari tipe-tipe simbol, citra,
kepercayaan dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia
menginterpretasikan eksistensi mereka yang di dalamnya juga mengandung
komponen ritual.38
Berbeda dengan para sarjana di atas, Koentjaraningrat seorang
antropolog masyhur Indonesia mengakui bahwa dalam mendefinisikan agama
ia terpengaruh oleh konsep Emile Durkheim. Koentjaraningrat menggunakan
istilah “religie” dan bukan “agama” karena istilah “religie” menurutnya
lebih netral. Koentjaraningrat berpendapat bahwa “religie” merupakan bagian
dari kebudayaan. Pendirian Koentjaraningrat ini didasarkan kepada konsep
35 Sururin, Ilmu Jiwa Agama, h. 4. 36 Darajat, Ilmu Jiwa Agama, h. 10. 37 Bustanuddin Agus, Agama-Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi
Agama (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2006), h. 33. 38 Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h. 29.
22
Durkheim mengenai dasar-dasar religi yang mengatakan bahwa tiap-tiap
religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu: [1]
Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius. [2] Sistem
kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia
tentang sifat-sifat Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib. [3] Sistem
upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan,
dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib. [4]
Kelompok-kelompok religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut
sistem kepercayaan tersebut.39
H. Hubungan antara Manusia dengan Manusia
Agama dalam kaitannya dengan hubungan antara manusia dengan
manusia sangatlah penting dalam kehidupan sosial terkadang sulit untuk
membedakan antara agama yang murni dengan agama hasil pemikiran, yang
dimaksud agama murni adalah agama yang berasal dari Tuhan, bersifat
absolut dan mengandung nilai sakral, sedangkan agama hasil pemikiran
adalah agama yang berasal dari selain Tuhan (manusia), bersifat temporal,
berubah dan tidak sakral. Oleh karena itu muncul suatu pertanyaan apakah
agama adalah kebudayaan atau agama merupakan bagian dari kebudayaan.40
Sebagai suatu sistem budaya, menurut Abdullah Ali agama
berfungsi memberikan pengawasan (kontrol) terhadap sistem-sistem lain
yang bersifat kondusif. Oleh karena itu eksistensi agama tidak akan bermakna
tanpa melibatkan sistem sosial dalam bentuk organisasi, lembaga atau
39 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: UI Press, 1964), h. 79. 40 Kamirudin, “Fungsi Sosiologis Agama (Studi Profan dan Sakral Menurut Emile
Durkheim),” Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama, Vol. 3 No. 2, Juli-Desember 2011. h. 157.
23
pranata-pranata (sistem sosial). Sistem sosial juga hanya akan menjadi
lambing yang tidak bermakna jika tidak didukung dengan sistem kepribadian
dan sistem perilaku dalam bentuk pengalaman keagamaan yang berkembang
secara individual dalam masyarakat. Secara konkrit, sistem kepribadian dan
sistem perilaku keagamaanlah yang mendukung keberadaan suatu agama.
Jadi selain berfungsi memberikan pengawasan namun juga tidak bias lepas
dari sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem perilaku yang mendukung
eksistensi agama dalam kehidupannya.41
Emile Durkheim seorang ilmuan yang terkenal sebagai sosiolog
agama dan banyak disebut-sebut sebagai salah satu pendiri utama sosiologi
modern berbicara tentang agama dalam pendekatan sosiologis. Emile
Durkheim dianggap sebagai ilmuan pertama yang memperkenalkan konsep
fungsi sosial dari agama.
Konsep Durkheim tentang agama seperti dikutip oleh Kamirudin,
bahwa agama merupakan bagian dari fakta sosial. Durkheim mempunyai
pandangan bahwa “fakta sosial” jauh lebih fundamental dibandingkan dengan
fakta individu. Durkheim juga menyatakan seperti dikutip oleh Kamirudin
bahwa sebagai langkah awal dalam mendiskusikan permasalahan agama
terlebih dahulu perlu dijelaskan apa definisi agama itu sendiri. Kamurudin
berpendapat bahwa Durkheim tidak mau melihat agama secara spesifik dari
sudut pandang supranatural dan menolak definisi agama yang dikemukakan
oleh Tylor bahwa “agama adalah keyakinan pada yang “ada” spiritual
41 Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan, h. 34-35.
24
(spiritual being)”.42 Misalnya seperti Buddhisme, menurut Durkheim seperti
dikutip oleh Brian Morris adalah agama walaupun tidak memiliki ide tentang
Tuhan dan roh, dan beberapa sekte dalam agama Budha juga ada yang
menolak eksistensi Tuhan dan dewa-dewi. Selain itu juga terdapat beberapa
jenis ritual kelompok yang tidak ada sama sekali keterkaitannya dengan
unsur Tuhan ataupun roh-roh. Maka agama tidak lebih dari sekedar gagasan
tentang Tuhan dan roh. Agama tidak dapat didefinisikan semata-mata dalam
kaitannya dengan Tuhan dan roh.43 Oleh karena itu Durkheim seperti dikutip
oleh Kamirudin mendefinisikan agama dari sudut pandang yang sakral
(sacred). Hal ini berarti agama adalah kesatuan sistem keyakinan dan
praktek-praktek yang berhubungan dengan sesuatu yang sakral. Sesuatu yang
disisihkan dan terlarang, dan keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang
menyatu dalam suatu komunitas moral yang disebut Gereja, dimana semua
orang tunduk kepadanya.44
Dalam mendefinisikan agama, Durkheim mengkritik beberapa
teori agama yang tersohor, seperti teori animisme yang dikemukakan E.B.
Tylor yang menyatakan bahwa ide kepercayaan muncul dan berawal dari ide-
ide tentang roh dan teori naturisme yang dikemukakan oleh F. Max Muller
yang berpendapat bahwa masyarakat menjadi yakin akan dewa-dewi karena
mereka mencoba menjelaskan beberapa fenomena alam yang dahsyat seperti
matahari, langit dan badai. Durkheim mengkritik teori-teori agama tersebut
42 Kamirudin, “Fungsi Sosiologis Agama (Studi Profan dan Sakral Menurut Emile
Durkheim),” h. 164. 43 Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer (Yogyakarta:
AK Group, 2003), h. 139-140. 44 Kamirudin, “Fungsi Sosiologis Agama (Studi Profan dan Sakral Menurut Emile
Durkheim),” h. 164.
25
karena menurutnya agama bukan peribadatan nenek moyang dan bukan pula
pendawaan, menurutnya di luar “animisme” dan “naturisme” ada pemujaan
yang lebih primitif dan fundamental yang merupakan asal dari “animisme”
dan “naturisme” tersebut yaitu “totemisme”.45
Secara sosiologis, menurut Emile Durkheim seperti dikutip oleh
Yewangoe ada dua definisi agama. Yang pertama, apa yang disebut definisi
fungsional agama(the functional definition of regilion). Agama didefinisikan
dalam pengertian peranannya dalam masyarakat, yaitu dalam ia (agama itu)
menyumbangkan kepada masyarakat apa yang disebutnya the matrix of
meaning. Dengan demikian, Agama merupakan suatu sistem interpretasi
terhadap dunia yang mengartikulasikan pemahaman diri dan tempat serta
tugas masyarakat itu dalam alam semesta. Agama menentukan perspektif di
mana orang-orang memandang dan mengerti diri mereka sendiri serta relasi-
relasi mereka dengan masyarakat dan alam. Maka, jelas bahwa definisi
fungsional agama menempatkan agama pada inti masyarakat, sesungguhnya
agama adalah bagian yang bersifat konstitutif terhadap masyarakat. Jadi
dengan kata lain, agama dapat saja berubah essensi nya seperti halnya juga
masyarakat, tetapi agama tidak pernah bisa hilang.46
Definisi kedua, biasanya diperkenalkan oleh kaum sosiolog agama.
Definisi itu disebut definisi substantif agama. Kaum sosiolog agama yang
memilih definisi ini memang mengakui definisi fungsional, tetapi bagi
mereka karakteristik esensial agama berhubungan dengan dunia yang tidak
tampak (the invisible wolrd). Definisi itu memang sesuai dengan pemakaian
45 Kamirudin, “Fungsi Sosiologis Agama (Studi Profan dan Sakral Menurut Emile
Durkheim),” h. 165-166. 46 Dr. A. A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), h. 3.
26
lazim istilah agama itu. Definisi substantif menganai agama justru mencegah
para ahli untuk mempertanyakan makna agama, dan definisi substantif
membuat agama dilihat sebagai hal yang primitif, ketinggalan zaman dan
tidak dapat dipercaya.47
Kemudian dalam memaknai Agama Samawi dan budaya, Saifuddin
Anshari, mengatakan bahwa:
“Agama Samawi dan budaya tidak saling mencakup; pada prinsipnya
yang satu tidak merupakan bagian dari pada yang lainnya; masing-
masing berdiri sendiri. Antara keduanya tentu saja dapat saling
berhubungan dengan erat seperti kita saksikan dalam kehidupan dan
penghidupan manusia sehari-hari. Sebagaimana pula terlihat dalam
hubungan erat antara suami dan isteri, yang dapat melahirkan putera,
namun suami bukan merupakan bagian dari si isteri, demikian pula
sebaliknya”.48
Hubungan erat itu adalah Islam merupakan dasar, asas, pengendali,
pemberi arah dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai budaya dalam
pengembangan dan perkembangan kultural. Agama Islam lah yang menjadi
pengawal, pembimbing dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak budaya.
Sehingga menjadi kebudayaan yang bercorak dan beridentitas Islam. Begitu
pula hubungan agama Islam dan kebudayaan Islam itu berdiri sendiri. Salah
satu contohnya adalah shalat, adalah unsur (ajaran) agama, selain berfungsi
sebagai sarana berkomunikasi antara manusia dengan Tuhan, juga dapat
berfungsi sebagai hubungan antara manusia dengan manusia dan juga
47 Yewangoe, Agama dan Kerukunan, h. 5. 48 Endang Saifuddin Anshari, Agama dan Kebudayaan (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 46.
27
menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Kemudian
untuk tempat shalat orang membangun masjid dengan gaya arsitektur yang
megah dan indah, bangunan masjid itulah yang menjadi kebudayaan yang di
maksudkan oleh Saifuddin Ansari. Sedangkan pada segi ajaran Islam menjadi
tenaga penggerak bagi penciptaan budaya.49
Dalam pengertian yang lain, Cliffort Geertz seorang ahli
antropologi asal Amerika yang sebagian besar penelitiannya di Indonesia
mengistilahkan agama sebagai sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku
untuk menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat serta
melekat dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep mengenai
suatu tatanan umum eksistensi dan membungkus konsep-konsep ini dengan
semacam pancaran faktualitas, sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi
itu tampak realistis.50
Kemudian, Faisal Ismail seorang Guru Besar Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mengatakan bahwa hubungan
antara manusia dengan manusia seperti yang telah disampaikan di atas
banyak dipengaruhi oleh cara berpikir sarjana barat terutama pandangan yang
dikemukakan oleh Hamilton Alexander Rossken Gibb, seorang tokoh
orientalis terkemuka asal Mesir yang mengatakan bahwa: “Islam is indeed
much more than a system of theology: it is a complete civilization.” Yang
diterjemahkan oleh M. Natsir, seorang ulama, politisi dan pejuang
kemerdekaan: “Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem peribadatan: ia
adalah satu kebudayaan yang lengkap.” Kemudian dari pandangan H.A.R
49 Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), h. 44. 50 Cliffort Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 5.
28
Gibb yang diterjemahkan oleh M. Natsir ini Saifuddin Anshari sangat
keberatan, karena menurutnya tidak tepat dalam menterjemahkan “a system
of theology” disamakan dengan agama atau peribadatan. Menurutnya teologi
adalah sebuah studi atau ilmu tentang salah satu aspek agama, yaitu credo,
creed atau akidah. Jadi, studi tentang agama atau tentang bagian dari pada
agama tidaklah sama dengan esensi agama itu sendiri.51
Dari berbagai pengertian agama menurut para sarjana di atas,
Abdullah Ali merangkum fungsi agama antara lain:
1. Agama merupakan keharusan masyarakat karena manusia lahir sebagai
makhluk sosial.
2. Agama merupakan kendali kebebasan manusia, andai kata setiap pribadi
memberikan kebebasan mtlak, tentu tindakannya itu akan membatasi
kebebasan orang lain.
3. Agama memelihara hak-hak asasi, mencegah penganiayaan dan
perampasan hak-hak orang lain.
4. Agama membantu lahirnya kesejahteraan dan kebahagiaan individu dan
masyarakat dengan kehidupan terhormat.
5. Agama mewujudkan masyarakat yang bekerjasama dalam kebaikan dan
ketentraman.52
I. Klasifikasi Agama-Agama
Di dalam Ilmu Perbandingan Agama di kenal istilah “Agama
Langit” dan “Agama Bumi”. Pertama kali klasifikasi agama-agama ke dalam
51 Anshari, Agama dan Kebudayaan, h. 50. 52 Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan, h. 27.
29
“Agama Langit” dan “Agama Bumi” di bawa ke Indonesia oleh Ahmad
Abdullah al-Masdoosi, seorang sarjana Muslim Pakistan melalui karya nya
yang berjudul Living Religions of the World (1962) dan dipopulerkan oleh
Endang Saifuddin Anshari (1979).53 Jauh sebelum itu melalui penelusuran
Charles Joseph Adams seperti dikutip oleh Kautsar klasifikasi agama sudah
muncul pada abad ke-13 oleh Thomas Aquinas, seorang filsuf dan teolog
terbesar abad pertengahan, membedakan agama alami, atau jenis kebenaran
keagamaan yang ditemukan dengan akal semata tanpa bantuan apapun,
dengan agama wahyu, atau agama yang bersandar pada kebenaran Ilahi yang
identik secara eksklusif dengan Kristen.54 Kemudian diikuti oleh Wilfred
Cantwell Smith seperti dikutip oleh Kautsar klasifikasi agama-agama ke
dalam “Agama Langit” dan “Agama Bumi” muncul dalam konteks Eropa
pada abad ke-18 ketika Kristen dihinggapi oleh sikap eksklusif, fanatik,
apologetik, dan misionernya dalam berhadapan dengan agama-agama lain.55
Menurut Imdadun Rahmat, yang merupakan mantan ketua komnas
HAM (periode 2016-2017) seperti dikutip oleh Nurlidiawati, agama yang
tumbuh dan berkembang di kalangan umat manusia dari zaman ke zaman
dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu agama yang berasal
dari hasil budaya atau kreasi umat manusia (Agama Alam atau Agama Bumi)
53 Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901-
1940) Hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 199. 54 Kautsar Azhari Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi
Agama-Agama,” Titik temu, Jurnal dialog peradaban3, No. 2, 2011, h. 3. 55 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama,” h. 2.
30
dan agama yang berasal dari Tuhan (wahyu Ilahi atau Agama Samawi atau
“Agama Langit”).56
Sedangkan Agus Hakim, seorang penulis Muslim yang telah lama
bergerak di bidang dakwah mengatakan bahwa ada tiga hal yang menentukan
sesuatu aliran kepercayaan itu disebut agama dalam pengetahuan
Perbandingan Agama, yaitu:
1) Adanya ajaran-ajaran kepercayaan (Akidah).
2) Adanya ajaran-ajaran pemujaan atau penyembahan (Ibadah).
3) Adanya peraturan-peraturan dalam melaksanakan hubungan
terhadap Tuhan dan sesama manusia (Syariat).57
Jika ketiga perkara ini terdapat dalam satu aliran kepercayaan,
maka faham demikian sudah dinamakan Agama. Seperti faham-faham kuno
yang mengajarkan semua benda bernyawa dan kepercayaan kepada Roh
nenek moyang (aliran Dinamisme dan Animisme), di samping itu bagi
penganutnya yaitu upacara-upacara pemujaan dan berbagai aturan untuk
kehidupan mereka, misalnya dalam hal perkawinan dan sebagainya, hal ini
membuat aliran kepercayaan demikian dinamai Agama.58 Namun selain tiga
perkara yang telah disebutkan Agus Hakim juga mengatakan bahwa ada dua
perkara lain yang hanya ada pada agama yang sempurna, seperti Agama
Samawi, yaitu:59
56 Nurlidiawati, “Sejarah Agama-Agama (Studi Historis tentang Agama Kuno Masa
Lampau),” Jurnal Rihlah, Vol. III, No. 1 Oktober 2015, h. 89. 57 Agus Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi,
Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh (Bandung: Diponegoro, 1985), h. 15. 58 Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi,
Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh, h. 15. 59 Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi,
Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh, h. 15-16.
31
1) Adanya Nabi yang membawa ajaran dan mengajarkannya.
2) Adanya kitab suci yang menjadi sumber pengajaran mereka.
Dengan demikian, adapun klasifikasi agama yang disebutkan oleh
Agus Hakim bukan hanya dilihat dari segi asalnya namun juga dari segi
sumbernya yaitu kitab suci. Agama adalah penuntun jiwa dan raga manusia,
pembimbing keyakinan dan amal-amal perbuatan manusia, tuntunan dan
bimbingan itu terhimpun dalam kitab-kitab suci agama itu masing-masing,
yaitu kitab yang selalu di jadikan pedoman dan sumber pengajaran bagi
semua penganut agama-agama itu.60
Menyambung pendapat Agus Hakim mengenai tiga hal yang
menentukan suatu aliran kepercayaan itu disebut agama. Ada juga agama
yang tidak memiliki konsep Tuhan, dan tidak memiliki kitab suci.
Sebagaimana penulis membaginya ke dalam Agama Kitab Suci, Agama Non
Kitab Suci dan Agama Non Theistik, sebagai berikut:
1. Agama Kitab Suci
Agama kitab suci berarti agama yang memiliki kitab suci sebagai
pedoman dan sumber pengajaran bagi penganut agama. Agus Hakim
membagi kitab suci ke dalam dua macam:
1) Kitab suci yang berasal dari wahyu Tuhan Yang Maha Esa, yaitu
kitab-kitab suci Agama Samawi, seperti: kitab suci Taurat, Zabur,
Injil dan Al-Qur’an.
2) Kitab suci Agama Thabi’y yaitu kitab suci yang bukan berasal dari
wahyu Tuhan, tetapi hanya berupa “Kumpulan Pengajaran” dari
60 Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi,
Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh, h. 16.
32
pemimpin-pemimpin dan pendiri agama-agama itu masing-masing,
seperti: kitab Weda, Upanishad dan Purana dalam agama Hindu,
Tripitaka dalam agama Buddha, Tao Te King dalam agama Tao
dan Avesta dalam agama Zoroaster.61
2. Agama Non Kitab Suci
Agama non kitab suci berarti agama yang tidak memiliki kitab
suci, tetapi hanya berpegang kepada kata-kata yang diingat dan adapula yang
ditulis dan dijaga turun-temurun saja, seperti pada agama Pelbegu, dan
kepercayaan-kepercayaan agama lokal di sebagian wilayah seperti agama
Samin, agama suku Dayak dan lain sebagainya. Dari kitab-kitab suci itu ada
yang telah punah dan sebagian hanya diketahui oleh ahli-ahli agama atau
kepercayaan itu saja. Ada pula yang tersebar dalam masyarakat, disalin dan
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa yang beredar, dipelajari walaupun
bukan oleh orang yang menganutnya, seperti kitab suci Al-Qur’an. Ada pula
di antara kitab suci itu hanya tinggal namanya saja, tetapi isinya baik bahasa
ataupun pengajaran di dalam nya tidak asing lagi, seperti kitab Injil yang ada
sekarang, karena Injil yang asli menggunakan bahasa Ibrani namun sekarang
sudah tidak ada lagi.62 Kitab-kitab suci itu kemudian dihormati dan
dimuliakan oleh penganut-penganutnya.
61 Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi,
Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh, h. 16. 62 Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi,
Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh, h. 16-17.
33
3. Agama Non Theistik
Agama non Theistik adalah agama yang tidak memiliki konsep
Tuhan yang jelas, seperti agama Buddha yang ajarannya tidak dimulai dari
prinsip yang transensent, yang mempersoalkan tentang Tuhan dan
hubungannya dengan alam semesta dan segala isinya, melainkan dimulai
dengan menjelaskan tentang dukkha yang selalu menyertai hidup manusia
dan cara membebaskan diri dari dukkha tersebut. Menurut Durkheim seperti
dikutip oleh Brian Morris, Buddhisme adalah agama walaupun tidak memiliki
ide tentang Tuhan dan roh, dan beberapa sekte dalam agama Buddha juga ada
yang menolak eksistensi Tuhan dan dewa-dewi. Dalam beberapa naskah Pali
maupun Sansakerta disebutkan bahwa Sang Buddha selalu diam apabila
ditanya pengikutnya tentang Tuhan. Ia menolak dan tidak mempersoalkan
tentang Tuhan, melainkan selalu menekankan kepada para pengikutnya agar
mempraktekan sila ketuhanan. Sepeninggal Buddha, persoalan Tuhan juga
bukan merupakan persoalan yang dianggap sangat penting dan mendesak
dibicarakan dalam pesamuan agung pertama dan kedua. Masalah yang
dianggap penting dibicarakan dalam dua kali pesamuan itu bukanlah konsep
Tuhan melainkan mengenai dharma dan vinaya.63
63 Mukti Ali, Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional, h. 114.
34
BAB III
PEMIKIRAN PARA PENULIS MUSLIM TENTANG AGAMA
LANGIT DAN AGAMA BUMI
Pada bab ini akan dijelaskan pandangan para penulis Muslim
tentang “Agama Langit” dan “Agama Bumi”. Para penulis Muslim yang
dimaksud pada bab ini diantaranya adalah Abdullah al-Masdoosi, Sidi
Gazalba, Prof. H.M Rasjidi, Mahmud Yunus, H.A Mukti Ali, A. Halim
Mastur, Endang Saifuddin Anshari, Kautsar Azhari Noer, Media Zainul
Bahri, Abdullah Ali, Burhanuddin Daya, Agus Hakim, Moh. Rifai, dan
Hadidjah. Mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang dari
Akademisi, ada yang dari Da’i, ada yang dari Aktivis Muslim dll.
Ahmad Abdullah al-Masdoosi adalah seorang sarjana Muslim
Pakistan dan juga seorang aktivis dan pengacara. Ia sangat aktif dalam
kesejahteraan sosial, dan kegiatan peningkatan masyarakat. Ia juga seorang
Guru Besar di Universitas Karachi, Pakistan. Ia menulis beberapa buku
diantaranya Living Religions of the World, sebuah Studi Sosial-Politik
(1962).
Sidi Gazalba adalah seorang sarjana Muslim yang sangat produktif
dan cukup terkenal pada tahun 1960-an hingga tahun 1980-an. Ia menulis
banyak karya tentang studi Islam.
Prof. H.M Rasjidi adalah seorang sarjana Muslim asal Indonesia
lulusan Universitas Kairo, Mesir dan Universitas Sorbonne, Prancis. Ia
adalah Menteri Agama Republik Indonesia yang pertama (periode 14
35
November 1945 – 2 Oktober 1946). Sumbangsih nya untuk Pendidikan
Agama di Indonesia sangatlah tak ternilai. Ia menjadi ketua badan
Pendidikan Agama di Universitas Indonesia pada tahun 1966.
Mahmud Yunus adalah seorang sarjana Muslim Indonesia yang
kuliah di Mesir pada tahun 1920-an dan ketika kembali ke Indonesia ia
mengajar di sebuah pesantren di Padang. Ia menulis banyak karya tentang
studi Islam, salah satu karyanya yang terkenal adalah al-Adyan (Agama-
Agama) yang ditulis dalam bahasa Arab.
H.A Mukti Ali adalah mantan Menteri Agama Republik Indonesia
pada Kabinet Pembangunan II. Ia juga terkenal sebagai Ulama dan bapak
Perbandingan Agama yang meletakkan kerangka kerukunan antarumat
beragama di Indonesia sesuai dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika. Ia juga
terkenal sebagai cendikiawan Muslim yang menonjol sebagai pembaharu
pemikiran Islam melalui kajian keIslaman (Islamic Studies).
A. Halim Mastur adalah seorang penulis Muslim Indonesia pada
tahun 1970-an. Ia menulis sebuah karya, Diktat Perbandingan Agama (1970)
yang isinya merupakan penilaian Islam atau pandangan Islam pada agama-
agama lain.
Endang Saifuddin Anshari adalah seorang Da’i dan penulis Muslim
yang terkenal, ia sudah menyelesaikan lebih dari lima belas buku termasuk
kritiknya terhadap pemahaman sekuler Dr. Nurcholis Madjid juga dijadikan
buku dengan judul Kritik atas Faham dan Gerakan "Pembaharuan". Ia juga
aktif dalam organisasi kemasyarakatan khususnya sebagai Ketua Umum
Majelis Dakwah PII (1964-1966).
36
Prof. Kautsar Azhari Noer adalah seorang akademisi dan Guru
Besar Perbandingan Agama di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Ia banyak menulis artikel ilmiah tentang perbandingan agama dan
tasawuf di berbagai jurnal. Salah satu karyanya adalah “Agama Langit versus
Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-Agama”.
Media Zainul Bahri juga seorang akademisi dan dosen di Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia menulis beberapa karya
ilmiah tentang perbandingan agama. Salah satu karyanya berjudul Satu
Tuhan, Satu Agama (2011). Buku tersebut dinilai sebagai karya ilmiah yang
berbobot tinggi karena penulis berhasil mengkaji tentang titik temu eksoterik
agama-agama.
Abdullah Ali adalah seorang akademisi dan dosen di Fakultas
Tarbiyah, STAIN Cirebon. Ia aktif dalam berbagai organisasi pengabdian
masyarakat seperti ICMI Kabupaten Cirebon (1993-1998), Majelis Kajian
Pembangunan Daerah (MKPD) (1999-2006) serta pernah menjabat sebagai
Kepala Pusat Pengabdian Masyarakat (1996-1998).
Burhanuddin Daya adalah seorang Guru Besar Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mengajar mata kuliah ilmu
Perbandingan Agama dan pemikiran Islam. Burhanuddin pernah menjabat
sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin pada Universitas Islam tersebut. Ia juga
aktif dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DIY, dan menjabat
sebagai wakil ketua. Sebagai pemikir, Burhanuddin telah menghasilkan
belasan buku tentang Perbandingan Agama dan pemikiran Islam.
37
Agus Hakim adalah seorang penulis Muslim dan seorang da’i yang
cukup terkenal dengan karya nya “Perbandingan Agama dan Pandangan
Islam Mengenai Kepercayaan Majusi, Shabiah, Hindu, Buddha, Sikh dll”
(1973-1985.)
Moh. Rifai adalah adalah seorang penulis Muslim dan seorang
da’i. Ia menulis beberapa karya tentang studi Islam salah satunya adalah buku
“Perbandingan Agama” yang di dalam buku tersebut juga ditambahkan
lampiran tentang tanggapan Majelis Ulama dan pemimpin-pemimpin Islam
Indonesia terhadap aliran kepercayaan.
Hadidjah adalah seorang dosen Fakultas Tarbiyah di STAIN
Datokarama Palu, Sulawesi Tengah. Ia menulis jurnal yang berjudul
“Hubungan antara Para Nabi dengan Agama Samawi” tahun 2006.
Beberapa profil para penulis Muslim telah dijelaskan, ada yang
dari Akademisi, ada yang dari Da’i, ada yang dari Aktivis Muslim, ada yang
dari organisasi kemasyarakatan, dll. Dengan latar belakang mereka masing-
masing mereka memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang “Agama
Langit” dan “Agama Bumi”, berikut penjelasannya.
A. Pengertian Agama Langit dan Agama Bumi
1. Agama Langit
“Agama Langit” terdiri dari dua kata: Agama dan Langit. “Langit”
berasal dari bahasa Arab,“sama” yang artinya langit. Jadi, Agama Samawi
berarti “Agama Langit”, sebagaimana para penulis Muslim mengartikan
“Agama Langit” adalah agama yang berbasis wahyu Ilahi yang diturunkan
dari langit (Tuhan) melalui para nabi atau rasul sejak Nabi Adam yang
38
jumlahnya tidak diketahui secara pasti.64 Menurut Abdullah Ali “Agama
Langit” atau Agama Samawi adalah agama yang datangnya dari langit
berlandaskan wahyu Tuhan seperti agama Yahudi, Kristen dan Islam.
Pandangan Ali ini memiliki kesamaan dengan Prof. H.M. Rasjidi
yang mengatakan bahwa “Agama Langit”, yaitu agama-agama yang
diturunkan Allah agar menjadi petunjuk bagi manusia. Secara konkrit Rasjidi
menyebut “Agama Langit” ada tiga, yaitu agama Yahudi, Agama Nasrani
dan Agama Islam. Adapun agama-agama selain tiga itu Rasjidi menyebutnya
dengan Agama Alamiyah.65
Senada dengan Rasjidi, Hadidjah dosen Fakultas Tarbiyah di
STAIN Datokarama Palu, Sulawesi Tengah mengatakan bahwa Agama
Samawi adalah agama yang diwahyukan kepada para rasul, yaitu agama yang
diturunkan dari tempat yang tinggi. Agama Samawi yang disebutkan dalam
literature ada empat, yaitu agama Hanif, agama Yahudi, agama Nasrani, dan
agama Islam. Agama-agama tersebut dibawa oleh para nabi yaitu Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad.66
Pada kesempatan yang lain, Agus Hakim menyebut Agama
Samawi atau “Agama Langit” sebagai agama yang paling tua karena Nabi
Adam, nenek moyang segala manusia telah menerima pengajaran yang
berasal dari Tuhan (dari langit). Dasar kepercayaan dalam Agama Samawi
menurut Hakim dari permulaan turunnya kepada nabi dan rasul Tuhan yang
pertama sampai kepada nabi dan rasul terakhir, semuanya sama yaitu
64 Diakses dari Uzairsuhaimi.wordpress.com: Silsilah Agama Samawi: Perspektif Al-
Qur’an, pada tanggal 29 Agustus 2018. 65 H. M. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 53. 66 Hadidjah, “Hubungan Antara Nabi dengan Agama Samawi,” Jurnal Hunafa, Vol. 3 No.
4, Desember 2006, h. 376.
39
mengajarkan keyakinan, bahwa “Tuhan Yang Maha Kuasa itu hanya ada
satu, Tiada Tuhan selain Dia, yaitu Allah”.67
Endang Saifuddin Anshari seperti dikutip oleh Kautsar
mendefinisikan bahwa “Agama Langit” (Agama Samawi [din samawi],
agama wahyu [revealed religion], agama profetik [prophetic religion] adalah
agama yang diwahyukan oleh Allah kepada para nabi dan rasul-Nya.68
2. Agama Bumi
Menurut para penulis Muslim “Agama Bumi” atau dalam bahasa
Arab disebut Agama Ardhi adalah agama yang berkembang berdasarkan
budaya, daerah, pemikiran seseorang yang kemudian diterima secara global,
serta tidak memiliki kitab suci dan bukan berlandaskan wahyu.69 Endang
Saifuddin Anshari seperti dikutip oleh Kautsar mendefinisikan bahwa
“Agama Bumi” (agama ardli [din ardli], agama budaya, agama filsafat,
agama pemikiran, agama bukan-wahyu [non-revealed religion], agama alami
[natural religion, din thabi’i]) adalah agama hasil ciptaan manusia.70
Abdullah Ali menyebut “Agama Bumi” dengan Agama Wad’iy
yaitu agama yang tumbuh di bumi atas prakarsa dan pemikiran umat
manusia, seperti misalnya agama Buddha yang merupakan hasil renungan
67 Agus Hakim, Perbandingan Agama, Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi,
Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh, (Bandung: Diponegoro, 1985), h. 13. 68 Kautsar Azhari Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas
Klasifikasi Agama-Agama,” Titik temu, Jurnal dialog peradaban3, No. 2, 2011, h. 1. 69 Lisma Mubdi, https://www.e-jurnal.com/2013/11/pengertiani-agama-samawi-dan-
agama-ardhi.html pada tanggal 22 September 2018. 70 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama,” h. 1.
40
pemikiran Sidharta Gautama, atau agama Hindu yang merupakan akulturasi
budaya bangsa Aria dan Dravida.71
Menurut Rasjidi, “Agama Bumi” disebut juga Agama Alamiyah
yaitu agama-agama yang timbul diantara manusia-manusia itu sendiri dan
lingkungan dimana mereka hidup. Seperti disebut di dalam bukunya Empat
Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi, selain agama Yahudi, Nasrani
dan Islam maka dapat dinamakan Agama Alamiyah.72
Agus Hakim mendefinisikan “Agama Bumi”, dengan sebutan
Agama Thabi’y adalah agama yang timbul dari angan-angan khayal manusia
belaka. Dinamai Agama Thabi’y adalah karena timbulnya agama yang
demikian hanya semata-mata dorongan dari Thabiat manusia yang ingin
beragama, ingin mengabdi dan memuja kepada sesuatu yang dianggapnya
maha kuasa atas dirinya dan bukan berasal dari wahyu Ilahi.73 Jika “Agama
Langit” menurut Hakim dasar kepercayaannya adalah tauhid atau keyakinan
bahwa “Tuhan Yang Maha Kuasa itu hanya satu, dan Tiada Tuhan selain Dia,
yaitu Allah”, maka “Agama Bumi” atau Agama Thabi’y dasar kepercayaan
atau dasar keyakinannya mengenai ketuhanan tidaklah pasti, karena dasarnya
hanyalah khayal belaka, seluruhnya dapat dikatakan musyrik. Hakim juga
mengatakan Agama Thabi’y yang ada sekarang sangat banyak, seperti:
Agama Hindu, Agama Buddha, Agama Majusi dan semua alirannya serta
71 Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan, h. 26. 72 Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam, h. 53. 73 Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi,
Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh, h. 13.
41
semua agama dan aliran kepercayaan yang timbul dari khayal manusia
semata, yang bukan merupakan wahyu Ilahi.74
B. Bentuk-Bentuk Agama Langit dan Agama Bumi
Ada berbagai klasifikasi yang dibuat para ahli tentang agama.
Ahmad Abdullah al-Masdoosi di dalam bukunya Living Religions of The
World seperti dikutip oleh Kautsar mengatakan:
“Religion can also be classified on the following grounds: [1] Revealed
and non-revealed, [2] Missionary and non-missionary, [3]
Geoghraphical-racial and universal.”75
(Agama juga dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa hal berikut: [1] agama
wahyu dan agama bukan wahyu, [2] Agama misionaris dan agama non
misionaris, [3] Agama secara geografis rasial dan universal).
Adapun yang dimaksud dengan “revealed religions” (Agama
wahyu) menurut al-Masdoosi seperti yang dikutip oleh Kautsar adalah agama
yang menghendaki iman kepada Tuhan, kepada rasul-Nya dan kepada kitab-
kitab-Nya, serta pesannya untuk disebarkan kepada segenap umat manusia.
Sedangkan sebaliknya “non revealed religions” adalah agama yang tidak
memandang essensial penyerahan manusia kepada tata-aturan Ilahi. Yang
dimaksud revealed religions menurut Al-Masdoosi adalah Yudaisme, Kristen
dan Islam. Selebihnya termasuk pada non revealed religions. Agama-Agama
74 Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi,
Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh, h. 13-14. 75 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama,” h. 1.
42
wahyu bersangkutan dengan ras semitik. Sedangkan agama-agama bukan
wahyu tidak ada sangkutan apa-apa dengan ras semitik.76
Adapun perbedaan antara agama-agama wahyu dengan agama-
agama bukan wahyu menurut Al-Masdoosi seperti dikutip oleh Kautsar
adalah:
1) Agama wahyu berpokok pada konsep keesaan Tuhan sedangkan
agama bukan wahyu tidak harus demikian.
2) Agama wahyu beriman kepada Nabi, sedangkan Agama bukan
wahyu tidak demikian.
3) Bagi Agama wahyu maka sumber utama tuntunan dan ukuran bagi
baik dan buruk adalah kitab suci yang diwahyukan, sedangkan bagi
agama bukan wahyu kitab suci yang diwahyukan tidak essensial.
4) Semua Agama wahyu lahir di Timur Tengah, sedangkan agama
bukan wahyu kecuali paganism lahir di luar Timur Tengah.
5) Agama wahyu timbul di daerah-daerah yang historis di bawah
pengaruh ras Semitik, walaupun kemudian Agama termaksud
berhasil menyebar ke luar area pengaruh Semitik. Sebaliknya,
Agama bukan wahyu lahir di luar area Semitik termaksud.
6) Sesuai dengan ajaran dan historisnya, maka Agama wahyu adalah
Agama missionary. Agama bukan wahyu bukanlah agama
missionary.
7) Ajaran Agama wahyu memberikan arah dan jalan yang lengkap
kepada para pemeluknya. Para pemeluknya berpegang baik pada
76 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama,” h. 1-2.
43
aspek duniawi atau aspek spiritual dari hidup ini. Agama bukan
wahyu tidaklah demikian.77
Sidi Gazalba adalah seorang sarjana Muslim yang sangat produktif
dan cukup terkenal pada tahun 1950-an hingga tahun 1980-an. Ia menulis
banyak karya tentang studi Islam. Menurut Sidi Gazalba ciri-ciri perbedaan
antara Agama wahyu dan Agama bukan wahyu diantaranya adalah Agama
wahyu:
1) Disampaikan oleh Rasul Tuhan, dengan pasti dapat dinyatakan
waktu lahirnya.
2) Memiliki kitab suci yang diwariskan Rasul Tuhan dengan isi yang
serba tetap.
3) Sistem merasa dan berpikirnya tidak inheren dengan sistem merasa
dan berpikir tiap segi kehidupan masyarakat yang menganutnya,
bahkan dikehendaki sistem sistem merasa dan berpikir tiap
kehidupan mengarah kepada sistem berpikir dan merasa Agama.
4) Tak berubah dengan perubahan mentalitas masyarakat yang
menganutnya, sebaliknya justru mengubah mentalitas
penganutnya.
5) Kebenaran prinsip-prinsip ajaran Agama tahan terhadap kritik akal.
6) Konsep ketuhanannya serba Esa Tuhan Murni.78
Sedangkan ciri-ciri Agama bukan wahyu yang dikemukakan oleh
Sidi Gazalba diantaranya adalah:
77 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama,” h. 2. 78 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 82-83.
44
1) Agama bukan wahyu tidak disampaikan oleh Nabi dan Rasul
Tuhan dan tidak dapat dipastikan lahirnya.
2) Tidak memiliki kitab suci yang diwariskan oleh Nabi/Rasul Tuhan.
Kalau ada kitab suci yang diwariskan penganjurnya, isi kitab itu
mengalami perubahan-perubahan dalam perjalanan sejarah Agama
itu.
3) Sistem merasa dan berpikir inheren dengan sistem merasa dan
berpikir tiap segi kehidupan kebudayaan masyarakat.
4) Berubah dengan perubahan mentalitas masyarakat yang
menganutnya.
5) Kebenaran prinsip-prinsip ajaran Agama tidak tahan terhadap
kritik akal.
6) Konsep ketuhanannya bukan serba Esa Tuhan.79
Senada dengan Abdullah Ali yang melihat agama berdasarkan dari
mana sumber datangnya ajaran yang disampaikan, menurutnya agama dapat
dibedakan ke dalam dua kelompok besar, yaitu Agama Samawi adalah agama
yang datang dari langit berlandaskan wahyu Tuhan, seperti: Yahudi, Nasrani
dan Islam dan Agama Wad’iy adalah agama yang tumbuh di bumi atas
prakarsa dan pemikiran manusia, seperti Buddha yang merupakan hasil
renungan pemikiran Sidharta Gautama atau Hindu sebagai akulturasi budaya
bangsa Aria dan Dravida).80
Selain dari segi sumbernya, Abdullah Ali juga melihat agama dari
segi motivasi yang melatarbelakangi lahirnya agama, yaitu Agama Alami
79 Gazalba, Sistematika Filsafat, h. 82-83. 80 Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan, h. 25-26.
45
adalahagama yang timbul karena pengaruh kekuatan alam yang dilandasi
motivasi untuk melindungi jiwa yang ketakutan, seperti: Agama Majusi,
Animisme, Dinamisme dan Agama Etik adalah agama yang tumbuh
berdasarkan motivasi penilaian baik dan buruk, semacam filsafat etika Kong
Hu Cu, Shinto dan lain-lain.81
Ahmad Shalabi dalam Perbandingan Agama: bahagian Agama
Masehi (1964) seperti dikutip oleh Bahri menyebut agama-agama bumi seperti
agama Buddha, Zarathustra dan lain-lain, dan agama-agama langit, yaitu
Yahudi, Nasrani dan Islam. Dalam karyanya yang lain, Perbandingan Agama:
Agama-Agama Besar di India, ia menyebut agama-agama India sebagai
agama-agama budaya yang sering berselisih mengenai konsep tentang Tuhan.
Agama Hindu memiliki banyak Tuhan. Agama Jain mengingkari Tuhan, dan
agama Buddha enggan membicarakan soal Tuhan. Sedangkan menurutnya
agama-agama langit (samawi) memiliki ajaran yang jelas mengenai perbedaan
Khalik dan makhluk. Seluruh makhluk dan segala sesuatu adalah milil
Khalik.82
Ernst Trults seorang teolog Kristen menggolongkan agama-agama
secara vertikal pada lapisan pertama paling bawah adalah agama-agama suku,
pada lapisan kedua adalah agama hukum seperti agama Yahudi dan Islam,
pada lapisan ketiga, paling atas adalah agama-agama pembebasan, yaitu
81 Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan, h. 26. 82 Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901-
1940) Hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 201.
46
Hindu, Buddha dan karena Ernst Trults adalah seorang Kristiani, maka agama
Kristen adalah puncak dari agama-agama pembebasan ini.83
Senada dengan para penulis Muslim yang telah disebutkan
sebelumnya. Mahmud Yunus, seorang sarjana Muslim Indonesia membagi
agama-agama ke dalam dua kelompok besar, yaitu: (1) agama yang bersifat
ruhiyah dan (2) agama material. Agama Ruhiyah adalah agama yang
menyembah ruh (bukan materi) yang abstrak. Agama ini terdiri atas:
1) Agama-agama ketuhanan yang memang menyembah Satu Tuhan
Yang Agung.
2) Agama orang-orang zaman dahulu yang menyembah ruh.
3) Agama orang-orang yang menyembah alam.
Agama-agama ketuhanan terbagi lagi menjadi agama tauhid dan
agama syirik. Agama tauhid adalah agama yang hanya menyembah satu
Tuhan Yang Maha Kuasa. Agama ini terdiri atas: (a) Zarathustra atau agama
Majusi atau agama orang Persia zaman dahulu, (b) Agama-agama orang
India dan China, (c) Agama Yahudi, (d) Agama Masehi dan (e) Agama
Islam. Sedangkan agama syirik adalah agama yang menyembah lebih dari
satu Tuhan. Agama ini terdiri atas: (a) Agama Mesir Kuno, (b) Asyur, (c)
Babilonia, (d) Yunani, (e) Romawi dan (f) kaum Brahmana.84
Adapun tiga “Agama Langit” yang merupakan ras semitik seperti
yang disebutkan oleh para penulis Muslim adalah:
83 Ngakan Putu Putra, “Pemikiran Agama Langit dan Agama Bumi Dikotomi Tak Tahu
Diri,” Majalah Media Hindu, Edisi 35, Januari 2007. 84 Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga
Masa Reformasi, h. 169-170.
47
1. Agama Yahudi
Yahudi adalah nama suatu bangsa yang lazim disebut Israel atau
Ibrani (Hebrew).85 Abdullah Ali juga mengatakan nama Yahudi berasal dari
nama suku bangsa Israel yang mendiami daerah Palestina di sekitar Timut
Tengah. Israel sendiri adalah sebutan lain untuk Nabi Ya’kub, yang dalam
kehidupannya selalu berpindah dan berjalan dari satu tempat ke tempat lain.
Nabi Ya’kub mempunyai dua belas putra yang salah seorang putranya
bernama Yahuda, yaitu yang melahirkan keturunan sendiri dan akhirnya
berkembang menjadi dua belas suku. Semua keturunan Nabi Ya’kub itulah
dikenal dengan istilah Bani Israel, dan agama Yahudi yang dianutnya diambil
dari nama seorang putranya, yaitu Yahuda.86 Sementara itu, Ahmad Salabi
seperti dikutip oleh Mukti Ali berpendapat bahwa Ibri atau Hebrew adalah
nama yang diberikan sendiri oleh Ibrahim kepada kaumnya, karena tempat
kediaman mereka berada di seberang sungai Eufrat, atau mungkin juga yang
dimaksud adalah sungai Yordan.87
Sedangkan Yudaisme adalah kepercayaan oarng atau bangsa
Yahudi (penduduk negara Israel maupun orang Yahudi yang bermukim di
luar negeri). Inti kepercayaan penganut agama Yahudi adalah wujudnya
Tuhan yang Maha Esa, pencipta dunia yang menyelamatkan bangsa
Israel dari penindasan di Mesir, menurunkan undang-undang Tuhan (Torah)
85 Moh. Rifai, Perbandingan Agama (Jakarta: Wicaksana, 1980), h. 31. 86 Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan, h. 147. 87 H.A. Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988),
h. 297.
48
kepada mereka, dan memilih mereka sebagai cahaya kepada manusia
sedunia.88
Bangsa Israel yang merupakan keturunan Nabi Ya'kub bin Izhak
bin Ibrahim adalah Yahuda salah seorang putera Ya'kub yang merupakan
sosok yang taat beribadah kepada Allah swt. dan berprilaku mulia. Ia
melaksanakan ajaran agama Hanif, yaitu agama yang dibawa oleh Nabi
Ibrahim. Karena itu, agama yang kitab sucinya Taurat disandarkan kepada
Yahuda dan menjadi agama Yahudi. Sebelum Yahuda tampil sebagai seorang
yang taat dan berprilaku mulia, ada tiga orang yang merupakan penganut
monotheisme dan taat melaksanakan ajaran agama, yaitu Ibrahim, Ishak, dan
Ya'kub.89
Burhanuddin Daya menulis, seperti direkam dalam buku Agama-
Agama di Dunia (1988) mengatakan bahwa Agama Yahudi dianggap sebagai
salah satu agama monoteis dan lebih dari hanya sekedar suatu agama atau
kepercayaan melainkan juga sebagai suatu kekuatan yang ingin
mempengaruhi cara berpikir dan cara hidup manusia karenanya bangsa
Yahudi menganggap dirinya sebagai agama tertua di dunia dan berasal dari
Nabi Ibrahim. Disebutkan pula, bahwa agama Yahudi yang lebih dikenal
dengan Judaism dinamakan dengan The Wisdom of Israel atau Hebrew
Religion. Yang di dalam Jewish Encyclopedia, agama tersebut diartikan
88 Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Yahudi pada tanggal 23 September
2018. 89 Hadidjah, “Hubungan Antara Nabi dengan Agama Samawi,” h. 377.
49
sebagai “suatu bentuk hidup yang didasarkan pada kebapakan Tuhan serta
wahyu-Nya”.90
Kitab suci umat Yahudi yaitu adalah Taurat yang berasal dari
bahasa Ibrani “Torah” yang berarti syariat atau hukum. Kitab Taurat itu
sendiri memang diturunkan ke dalam bahasa Ibrani. Isi pokok kitab Taurat
yaitu sepuluh firman atau perintah Tuhan (The Ten Commandements).91
2. Agama Nasrani
Istilah Nasrani berasal dari nama kota Nazareth, yaitu desa kecil
yang terletak di kaki sebuah bukit selatan Yerusalem. Dalam bahasa Arab
disebut Nasirah.92 Rifai di dalam bukunya Perbandingan Agama (1980)
mengatakan bahwa Yesus berasal dari Nazareth, jadi agama yang dibawanya
dinamai oleh orang Arab dengan sebutan Nasrani, dinisbahkan atau
dinasabkan dari kata Nasirah.93
Agama Nasrani dibawa oleh Nabi Isa yang lahir dalam kalangan
bangsa Yahudi yang diutus Tuhan ke tengah-tengah bangsa Israel guna
menuntun mereka kembali ke jalan yang benar. Karena pada masa itu
bangsa Israel sudah amat rusak akhlak dan imannya berbelok dari
pengajaran Taurat, mereka tamak dan rakus terhadap harta dunia maka
datanglah Nabi Isa. yang menyerukan agar mereka membenci dunia,
90 Burhanuddin Daya, “Agama Yahudi,” dalam Mukti Ali, ed., Agama-Agama di Dunia
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 296. 91 Amaliyah, “Satu Tuhan Tiga Agama (Yahudi, Nasrani, Islam di Yerusalem),” Religious:
Jurnal Agama dan Lintas Budaya 1, No. 2, Maret 2017, h. 186. 92 Moh. Rifai, Perbandingan Agama, h. 49. 93 Moh. Rifai, Perbandingan Agama, h. 49.
50
menjauhi kemegahan dunia dan harta, agar menyayangi musuk sendiri dan
untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.94
Menurut Agus Hakim, sebagaimana agama sebelumnya, dasar
kepercayaan agama Nasrani adalah Tauhid yang suci, yaitu menuhankan
Allah Yang Maha Esa.95
Agus Hakim lebih lanjut mengatakan agama Nasrani yang dibawa
oleh Nabi Isa bukanlah agama baru, hanya saja melanjutkan agama yang
dibawa oleh Nabi Musa yang pokok hukum dan ajarannya diterangkan
dalam kitab suci Taurat. Adapun kata-kata Kristus atau Kristen tidak pernah
dikenal oleh umat Nabi Isa yang pertama. Timbulnya kata-kata Kristus atau
Kristen setelah munculnya faham Trinitas dalam kalangan penganut
Nasrani, apalagi setelah orang-orang Romawi menganut agama Nasrani dan
faham Trinitas.96
Allah menurunkan kitab Injil kepada Nabi Isa untuk disampaikan
kepada kaum Bani Israel. Kedatangan Isa Almasih tidaklah membatalkan
atau menasikhkan hukum Taurat.97 Kitab Injil semula bersumber dari bahasa
Yunani “evangelion” yang berarti kabar gembira, kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab menjadi Injil.98
94 Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi,
Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh, h. 91. 95 Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi,
Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh, h. 13. 96 Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi,
Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh, h. 93. 97 Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi,
Shabiah, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha, Sikh, h. 95. 98 Amaliyah, “Satu Tuhan Tiga Agama (Yahudi, Nasrani, Islam di Yerusalem),” h. 186.
51
3. Agama Islam
Agama Islam dalam istilah Arab disebut “Dinul Islam”. Kata
“Dinul Islam” tersusun dari dua kata yaitu “Din” dan “Islam”. Kata “din”
yang berarti agama. Sedangkan kata “Islam” secara etimologis berasal dari
akar kata kerja “salima” yang berarti selamat, damai, dan sejahtera, lalu
muncul kata “salam” dan “salamah”. Dari“salima” muncul kata “aslama”
yang artinya menyelamatkan, mendamaikan, dan mensejahterakan. Kata
“aslama” juga berarti menyerah, tunduk, atau patuh. Dari kata “salima”
juga muncul beberapa kata turunan yang lain, di antaranya adalah kata
“salam” dan “salamah” artinya keselamatan, kedamaian, kesejahteraan,
dan penghormatan, “taslim” artinya penyerahan, penerimaan, dan
pengakuan, “silm” artinya yang berdamai, damai, ‘salam’ artinya
kedamaian, ketenteraman, dan hormat, “sullam” artinya tangga, “istislam”
artinya ketundukan, penyerahan diri, serta “Muslim” dan “Muslimah”
artinya orang yang beragama Islam laki-laki atau perempuan.99
Menurut Prof. H.M. Rasjidi, dahulu orang Barat memakai istilah
“Mohammedanism” untuk menunjukkan agama Islam. Kata tersebut
tidaklah benar, sebab agama Islam bukanlah ciptaan Nabi Muhammad
melainkan agama Islam dibawa oleh Nabi Muhammad.100 Agama Islam
merupakan kesatuan yang berwajah tiga, yaitu iman, islam dan ihsan. Sama
seperti agama-agama sebelumnya yaitu Yahudi dan Nasrani, dasar
kepercayaan agama Islam adalah tauhid. Disebut tauhid karena pokok
keimanan dalam Islam itu adalah bertujuan untuk mengesakan Allah, baik
99 Dr. Marzuki, Pembinaan Karakter Mahasiswa melalui Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), h. 38. 100 Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam, h. 98-99.
52
dalam kepercayaan, ritus keagamaan, ataupun dalam kehidupan sehari-
hari.101 Allah telah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad yang
semuanya terkumpul dalam kitab suci Al-Qur’an.102 Doktrin keesaan Ilahi
(Tauhid) adalah sumbu di seputar mana ajaran-ajaran Islam berputar.
Sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an, bahwa monoteisme bukanlah
dogma keagamaan, melainkan prinsip tingkah laku yang harus disajikan
dalam prakteknya. Doktrin keesaan Ilahi dalam Islam menunjukkan bahwa
tak ada satupun yang patut di sembah, kecuali Allah.103
Mukti Ali dalam pengantar buku Agama-Agama di Dunia (1988)
mengatakan bahwa tiga Agama Samawi atau Agama Wahyu, yaitu Yahudi,
Nasrani dan Islam mempunyai kecenderungan ke arah sikap yang eksklusif
dan tidak toleran, walaupun ketiga-tiganya bersaudara kandung. Masing-
masing menganggap dirinya sebagai pemilik kebenaran yang absolut,
kesucian dan keselamatan. Terutama yang tertua dari tiga bersaudara ini,
yaitu agama Yahudi yang bergitu bersifat eksklusif, sehingga menganggap
penganut agama lain sebagai penuh dosa, berasal dari kesesatan dan berada
dalam keadaan celaka.104
C. Perbedaan Pandangan Tentang Klasifikasi Agama-Agama
Media Zainul Bahri, seorang akademisi Studi Agama-Agama di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam bukunya Wajah Studi Agama-Agama
(2015) memuat satu bab mengenai tipologi “Agama Langit” dan “Agama
101 Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, h. 437. 102 Ulfat Aziz-us-Samad, Agama-Agama Besar Dunia terjemahanThe Great Religions of
The World (t.k., t.p., 1990), h. 215. 103 Aziz-us-Samad, Agama-Agama Besar Dunia terjemahan The Great Religions of The
World, h. 224. 104 Mukti Ali, Pengantar Agama-Agama di Dunia, h. 295.
53
Bumi”. Menurutnya, tipologi ini juga populer dalam diskursus dan kurikulum
Perbandingan Agama serta karya-karya Perbandingan Agama di awal
kemunculan ilmu ini hingga akhir tahun 1980-an. Menurut Bahri
kemungkinan pertama kali klasifikasi agama-agama ke dalam “Agama
Langit” dan “Agama Bumi” di bawa oleh Ahmad Abdullah al-Masdoosi,
seorang sarjana Muslim Pakistan melalui karya nya yang berjudul Living
Religions of the World (1962) dan dipopulerkan oleh Endang Saifuddin
Anshari (1979).105
Namun jauh sebelum itu, melalui penelusuran Charles Joseph
Adams, seperti dikutip oleh Kautsar, klasifikasi agama sudah muncul pada
abad ke-13 oleh Thomas Aquinas, seorang filsuf dan teolog terbesar abad
pertengahan, membedakan agama alami, atau jenis kebenaran keagamaan
yang ditemukan dengan akal semata tanpa bantuan apapun, dengan agama
wahyu, atau agama yang bersandar pada kebenaran Ilahi yang identik secara
eksklusif dengan Kristen.106 Kemudian diikuti oleh Wilfred Cantwell Smith
seperti dikutip oleh Kautsar klasifikasi agama-agama ke dalam “Agama
Langit” dan “Agama Bumi” muncul dalam konteks Eropa pada abad ke-18
ketika Kristen dihinggapi oleh sikap eksklusif, fanatik, apologetik, dan
misionernya dalam berhadapan dengan agama-agama lain.107
Pada masa itu terjadi transisi radikal yang ingin menunjukkan
bahwa agama Kristen adalah satu-satunya agama yang murni dan benar,
105 Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901-
1940) Hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 199. 106 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama,” h. 3. 107 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama,” h. 2.
54
dengan membuktikan bahwa ajaran-ajarannya adalah pernyataan-pernyataan
dan merupakan fakta. Apabila para penulis sebelumnya mengatakan bahwa
agama Kristen adalah penyembahan terhadap Tuhan, dengan kemurnian jiwa
dan ketulusan perilaku moral, Hugo Grotius mengatakan bahwa agama
Kristen mengajarkan penyembahan yang sama.108
Dalam konteks Kristen, Gavin D’Costa seperti dikutip oleh Imam
Hanafi, mengasumsikan bahwa hanya mereka yang mendengar Gospel
diproklamasikan dan secara eksplisit mengakui Kristus yang diselamatkan
“only those who hear the gospel proclaimed and explicitly confess Christ are
saved”. Dan George Lindbeck, seperti dikutip oleh Hanafi, menetapkan
“solus Christus,” (keselamatan hanya melalui Kristus), dan juga “fides ex
auditu,” (keimanan melalui pendengaran).109
Klaim eksklusivisme ini juga diperkuat oleh teks Bible: “Akulah
jalan, kebenaran dalam hidup. Tidak ada seorang pun yang sampai kepada
Bapak, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6). “Dan keselamatan tidak
ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong
langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya
kita dapat diselamatkan”(Kis 4:12).
Pandangan eksklusivisme Kristen ini juga didukung oleh
pemahaman Gereja Katolik Roma pra-Vatikan II yang menyatakan “extra
108 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama,” h. 3. 109 Imam Hanafi, “Eksklusivisme, Inklusivisme dan Pluralisme: Membaca Pola
Keberagamaan Umat Beriman,” Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keagamaan, Vol. 10, No. 2, Juli-Desember 2011, h. 392-393.
55
ecclesiam nulla salus,” (di luar Gereja tidak ada keselamatan).110 Begitupun
dalam agama Islam seperti dikutip oleh Hanafi yang menyatakan bahwa
agama yang di ridhai Allah, agama yang paling murni dan paling benar
adalah agama Islam, berasal dari kelompok eksklusif yang memahami ayat-
ayat al-Qur’an sebagai argumentasi normatif bahwa hanya agama Islam yang
paling benar dan di ridhai oleh Allah, sementara agama-agama yang lain
dianggap salah dan sesat.111
Lebih lanjut dalam penelitian Kautsar mengenai latar belakang
lahirnya klasifikasi agama yang bermula dari eksklusivisme Kristen, sebelum
Thomas Aquinas (1225-1274) membedakan “Agama Alami” dan “Agama
Wahyu”, para teolog Muslim telah membuat klasifikasi normatif tentang
agama-agama, tetapi bukan ke dalam “Agama Alami” dan “Agama Wahyu”
melainkan klasifikasi normatif dalam bentuk lain. Dalam penelitiannya,
Kautsar mengambil salah satu contoh klasifikasi yang di buat oleh
Muhammad Abd al-Karim al-Syahrastani yang membagi para penduduk
dunia dari segi pemikiran-pemikiran dan mazhab-mazhab ke dalam dua
kelompok besar.
Pertama, para penduduk yang disebutnya “para penduduk agama-
agama dan keyakinan-keyakinan” (ahl al-diyanat wa al-milal), yang
mencakup orang-orang Muslim, Ahli Kitab dan semi Ahli Kitab. Ahli Kitab
meliputi orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Semi Ahli Kitab
meliputi orang-orang Majusi dan para penganut Dualisme. Kedua, para
110 Hanafi, “Eksklusivisme, Inklusivisme dan Pluralisme: Membaca Pola Keberagamaan
Umat Beriman,” h. 393. 111 Hanafi, “Eksklusivisme, Inklusivisme dan Pluralisme: Membaca Pola Keberagamaan
Umat Beriman,” h. 394.
56
penduduk yang disebutnya “para penduduk keinginan-keinginan (hawa
nafsu) dan sekte-sekte” (ahl al-ahwa’ wal al-nihal) yang meliputi orang-
orang Shabi’ah, para filsuf, para penganut pandangan-pandangan Arab
Jahiliah, dan para penganut pandangan-pandangan India.112 Lebih lanjut Al-
Syahrastani seperti dikutip oleh Kautsar menuturkan bahwa setiap kelompok
manusia terpecah ke dalam aliran-aliran dan sekte-sekte. Jumlah aliran
mereka tidak terbatas dan tidak diketahui dengan pasti. Para penganut agama-
agama, jumlah mazhab mereka terbatas sesuai dengan yang diberitakan oleh
khabar (hadis) tentang mazhab-mazhab itu. Orang-orang Majusi terpecah ke
dalam 70 aliran, orang-orang Yahudi terpecah ke dalam 71 aliran, orang-
orang Nasrani terpecah ke dalam 72 aliran, dan orang-orang Muslim terpecah
ke dalam 73 aliran. Yang selamat (al-nājiyah) di antara aliran-aliran itu
hanya satu karena bila ada dalil-dalil yang berrtentangan, maka kebenaran
(al-haqq) dimiliki hanya oleh satu aliran dan aliran-aliran lain pasti
mengandung kedustaan. Kebenaran diketahui hanya melalui wahyu,
sebagaimana firman-Nya: “Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan
ada umat yang memberikan petunjuk dengan kebenaran (al-haqq) dan
dengan kebenaran itu pula mereka berbuat adil” (Q 7: 181). Nabi saw
memberitakan: “Umatku akan terpecah ke dalam tujuh puluh tiga aliran,
tetapi yang selamat di antara aliran-aliran itu hanya satu, dan sisanya akan
binasa. Ketika ditanya, “Mana aliran yang selamat?,” beliau menjawab,
“Orang-orang yang mengikuti Sunnah dan Jama‘ah.” Ketika ditanya, “Apa
112 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama,” h. 4-5.
57
itu Sunnah dan Jama‘ah?,” beliau menjawab, “Apa yang aku dan para
sahabatku praktikkan.”113
Kautsar mengatakan bahwa kecenderungan sikap eksklusivisme
dalam agama ini adalah suatu pengakuan yang semena-mena yang didorong
oleh sikap fanatisisme para teolog dan pemimpin agama dalam bersikap dan
bertindak seakan seperti juru bicara Tuhan, bahkan melampaui kewenangan
Tuhan. Menurut Kautsar mereka merasa mempunyai hak istimewa untuk
menentukan mana agama yang benar dan mana agama yang palsu, mana
aliran yang lurus dan mana aliran yang sesat. Kecenderungan ini sejalan
dengan klasifikasi agama-agama ke dalam ”Agama Langit” dan ”Agama
Bumi”. Orang-orang memandang ”Agama Langit” adalah agama yang benar,
sedangkan ”Agama Bumi” adalah agama yang sesat.114
Dalam pengertian yang lain, Al-Syahrastani dalam karyanya Al-
Milal wa al-Nihal, tidak membagi agama-agama ke dalam “Agama Langit”
dan “Agama Bumi”, melainkan ia membagi para penduduk dunia dari segi
pemikiran-pemikiran dan mazhab-mazhab ke dalam dua kelompok besar.
Pertama, para penduduk yang disebutnya “para penduduk agama-agama dan
keyakinan-keyakinan” (ahl al-diyanat wa al-milal), yang mencakup orang-
orang Muslim, Ahli Kitab dan semi Ahli Kitab. Ahli Kitab meliputi orang-
orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Semi Ahli Kitab meliputi orang-
orang Majusi dan para penganut Dualisme. Kedua, para penduduk yang
disebutnya “para penduduk keinginan-keinginan (hawa nafsu) dan sekte-
113 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama,” h. 5. 114 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama,” h. 7.
58
sekte” (ahl al-ahwa’ wal al-nihal) yang meliputi orang-orang Shabi’ah, para
filsuf, para penganut pandangan-pandangan Arab Jahiliah, dan para penganut
pandangan-pandangan India.115
Rusydi ‘Ulyan dan Qaththan ‘Abd al-Rahman al-Dawri seperti
dikutip oleh Kautsar membagi agama ke dalam dua bagian yang saling
berlawanan, yaitu sebagai berikut:
1. Agama yang hak (al-din al-haqq), yaitu agama Allah yang berisi
perintah kepada pemeluknya untuk menyambah Tuhan Yang Maha
Esa, yang menyuruh berakhlak mulia, melaksanakan ibadah, mengatur
pergaulan dan hubungan sesame manusia.
2. Agama yang batil (al-din al-bathil), yaitu agama alami sebagai hasil
ciptaan manusia, baik oleh individu maupun oleh kelompok yang
bertujuan untuk mengatur dan mengurus keperluan hidup manusia dan
masalah yang mereka hadapi.116
Tidak berbeda dengan Rusydi yang membagi agama ke dalam
sebuah doktrin-doktrin akidah, ‘Umar Sulayman al-Asyqar seperti dikutip
oleh Kautsar juga membagi agama ke dalam dua bagian besar, yaitu “akidah
yang sah dan benar” (al-akidah al-shahihah) dan “akidah yang rusak” (al-
akidah al-fasidah). Akidah yang sah dan benar adalah akidah yang dibawa
oleh para rasul Allah, yaitu akidah yang satu karena ia diturunkan oleh Allah.
Akidah yang rusak adalah akidah ciptaan manusia yang dipengaruhi oleh
kebiasaan-kebiasaan, taklid-taklid, peniruan-peniruan dan pemikiran-
115 Muhammad Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, ed. Abdul Aziz
Muhhammad al-Wakil (Beirut: Dar al-Fikr, 1982), h. 36-37. 116 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama,” h. 5-6.
59
pemikiran. Satu-satunya akidah yang sah dan benar hari ini hanya ditemukan
dalam Islam. Menurutnya akidah-akidah selain dalam Islam tidak
mencerminkan kebenaran.117
Senada dengan para penulis Muslim yang melakukan penilaian
secara normatif, Abdullah Ali mengutip pandangan Hegel, salah seorang ahli
filsafat dari Jerman yang membedakan agama menjadi tiga bagian, yaitu
sebagai berikut:
1. Agama Individual, yaitu agama yang bersifat spiritual, timbul karena
dorongan atau spirit hati nurani manusia.
2. Agama Alamiah, yaitu agama yang timbul karena kekhawatiran atau
perasaan takut terhadap kekuasaan alam yang kadang-kadang dianggap
dapat membahayakan keselamatan manusia.
3. Agama Absolut, yaitu agama yang mempunyai doktrin yang tidak dapat
diganggu atau diubah oleh manusia dalam masalah ketuhanan dan
ibadah.118
Kemudian Burhanuddin Daya, seorang akademisi studi
Perbandingan Agama dan Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta membagi agama-agama ke dalam dua bagian yaitu
agama wahyu dan agama bukan wahyu. Menurutnya agama wahyu
merupakan agama yang berasal dari kalangan bangsa Semitik. Agama wahyu
terdiri dari agama Yahudi, Kristen dan Islam. Sedangkan agama bukan
wahyu tidak berasal dari kalangan bangsa Semitik. Agama bukan wahyu
terdiri dari kalangan kelompok ras Mongolia, Arya, Miscellaneous dan
117 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama”, h. 6. 118 Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan, h. 26.
60
Paganisme. Dari kelompok ras Mongolia lahirlah agama Konfusianisme,
Taoisme, dan Shintoisme. Dari kelompok ras Arya lahirlah agama
Hinduisme, Jainisme, Sikhism dan Zoroastrianisme. Dari kelompok ras
Miscellaneous lahirlah agama Buddhisme.119
Menurut Prof H.M. Rasjidi seperti dikutip oleh Khairah Husin,
agama merupakan masalah yang tidak bisa ditawar-tawar. Jika seseorang
memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya.
Berdasarkan keyakinan inilah menurut Rasjidi umat beragama sulit berbicara
objektif dalam soal keagamaan. Umat Islam sendiri memandang bahwa
“agama yang paling benar disisi Allah adalah Islam”.120
Berbeda dari pandangan para penulis Muslim yang lain. Kautsar
beranggapan bahwa klasifikasi “Agama Langit” dan “Agama Bumi” adalah
klasifikasi yang normatif. Menurutnya, “Agama Langit” lahir bukan hanya di
kalangan bangsa Semitik, karena jika membatasi agama wahyu atau “Agama
Langit” sebagai agama yang lahir hanya di kalangan rasa tau bangsa Semitik
di Timur Tengah itu berarti bertentangan dengan firman Allah
ة رسول افإذا جاء رسولهم قضي بينهم بالقسط وهم ل يظلمون ولكل أم
“setiap umat mempunyai rasul” (QS 10: 47)121, dan
119 Burhanuddin Daya, “Sejarah Agama-Agama: Beberapa Pengertian,” dalam
Djam’annuri, ed., Agama Kita: Perspektif Sejarah Agama-Agama: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2000), h. 27-28.
120 Khairah Husin, “Peran Mukti Ali dalam Pengembangan Toleransi Antar Agama di Indonesia,” Jurnal Ushuluddin, Vol. XXI, No. 1, Januari 2014, h. 108.
121 https://tafsirweb.com/3321-surat-yunus-ayat-47.html, diakses pada tanggal 24 Juni 2019.
61
ن م م ه ن م وت ف اغ بوا الط ن ت اج و دوا للا ب ن اع ولا أ س ة ر م أ ل ا في ك ن ث ع د ب ق ل و
دى ف ه ي وا ك ر ظ ان ض ف ر وا في ال ير س ة ف ل ل ه الض ي ل ت ع ق ن ح م م ه ن م و للا
ين ب ذ ك م ة ال ب اق ان ع ك
“sungguh, Kami [Allah] telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat”
(QS 16: 36), dan juga bertentangan dengan hadis Nabi bahwa para rasul
berjumlah tiga ratus lima belas orang, dan para nabi berjumlah seratus dua
puluh empat ribu orang. Menurut Kautsar jika kita ingin konsisten mengikuti
firman Allah dan hadis Nabi kita harus percaya bahwa Allah mengutus para
rasul dan para nabi bukan hanya kepada umat manusia di lingkungan bangsa
Semitik di Timur Tengah, tetapi juga kepada umat di lingkungan bangsa
lain.122 Pendapat Kautsar Azhari diperkuat oleh pandangan Halim Mastur di
dalam bukunya Diktat Perbandingan Agama yang mengatakan bahwa di
Benua Afrika yang luas, terutama bangsa Mesir mungkin telah juga didatangi
Nabi Allah. Siapa nama Nabi Allah yang datang, bangsa Mesir kuno tidak
meninggalkan catatan.123 Seperti yang banyak diketahui agama Mesir Kuno
bukanlah agama yang berasal dari Wahyu Ilahi.
Pandangan Kautsar senapas dengan Bahri yang di dalam karya nya
Hubungan Esensial Agama-Agama: Teologi dan Etika (2014) membahas
hubungan esensial mengenai konsep Para Pembawa Pesan (Nabi). Jika
melihat kemiripan, kesamaan atau hubungan substansial antara konsep-
konsep dasar teologis, dan terutama etika diantara agama-agama, maka
adanya hubungan esensial para utusan Tuhan, terutama kesamaan pesan yang
122 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama”, h. 8. 123 A. Halim Mastur, Diktat Perbandingan Agama, (t.k., t.p., 1970), h. 3.
62
dibawanya menjadi sulit dibantah. Bahri menyebutkan ayat Al-Qur’an yang
berhubungan dengan substansial para nabiyaitu: “pada setiap umat terdapat
utusan.” Utusan-utusan (para rasul) itu ada yang diceritakan kepada Nabi
Muhammad dan ada yang tidak. Dalam sebuah hadis shahih Nabi
Muhammad mengatakan, “Kami, golongan para nabi, agama kami adalah
satu” dan “para nabi itu semuanya bersaudara, tunggal ayah dan lain ibu,”
dan “yang paling berhak kepada Isa putera Maryam adalah aku.” Hal pokok
tentang hubungan itu adalah kesatuan tugas para nabi yaitu mengajarkan
monoteisme dan etika hubungan antar manusia untuk hidup yang mulia dan
bermartabat. Kesatuan tugas itu menunjukkan adanya hubungan esensial
yang tak terpisahkan: para nabi membawa satu misi yang satu dan sama yaitu
satu esensi ajaran yang sama mengenai ketuhanan dan kemanusiaan.124
Hal itu yang berarti menurut Bahri bahwa mereka berasal dari
sumber (Tuhan) yang sama. Namun kesatuan yang sama tersebut jika
dimanifestasikan ke dalam bentuk ajaran eksoterik (syari’at) dan dogma-
dogma menjadi berbeda-beda karena konteks sosial historis para utusan itu
yang berbeda-beda pula.125
Jalaluddin Rumi seperti dikutip oleh Bahri mengatakan bahwa
secara metaforik para nabi dan para pembawa pesan ketika mereka membawa
lampu Tuhan kepada umat manusia, mereka jelas berbeda antara satu sama
lain, namun cahaya yang dibawanya adalah sama. Para pembawa pesan
Tuhan berbeda dalam hal bahasa dan bentuk pesan karena konteks kultur
mereka berbeda satu sama lain. Tetapi esensi pesan, atau cahaya dalam
124 Media Zainul Bahri, “Hubungan Esensial Agama-Agama: Teologi dan Etika,” Tajdid,
Vol. XIII, No. 2, Juli-Desember 2014, h. 285. 125 Bahri, “Hubungan Esensial Agama-Agama: Teologi dan Etika,” h. 286.
63
bahasa Rumi, pasti satu dan sama karena berasal dari Tuhan yang sama.
Pesan utama kenabian tidak akan berbeda dalam prinsip. Sejarah agama-
agama menunjukkan bahwa syariat yang sampai kepada nabi terkait dengan
unsur waktu dan tempat karena itu perbedaan menjadi tak terelakkan.126
Menurut Bahri Hal itu wajar karena agama turun bukan di ruang
yang hampa sejarah. Syariat agama hadir sebagai respons terhadap situasi
dan kondisi zaman. Hasan Hanafî, seorang intelektual Muslim Mesir, seperti
dikutip oleh Bahri juga menyatakan bahwa wahyu bukanlah sesuatu yang
berada di luar konteks yang kokoh dan tak berubah, melainkan berada dalam
konteks yang mengalami perubahan demi perubahan. Keragaman ras, bangsa,
suku bahkan perbedaan ruang dan waktu menandakan adanya perbedaan
syariat. Oleh karena itu tidak mungkin ada ajaran tunggal dan universal yang
bisa dipakai di setiap masa, situasi, dan kondisi.127
Karena di dalam ayat Al-Qur’an mengatakan: “pada setiap umat
pasti ada utusan” maka beberapa sarjana Muslim meyakini bahwa para
filosof seperti Plato, Aristoteles dan lain-lain adalah nabi, begitu pula
Zarathustra, Sidharta Gautama, Kung Fu Tze (Konghucu), Lao Tze adalah
para utusan Tuhan.128
Seyyed Hossein Nasr misalnya, seperti dikutip oleh Bahri yang
merujuk kepada beberapa komentator Muslim India menyatakan bahwa nabi
Dzulkifli dalam al-Qur`an adalah Buddha dari Kifl, Kavilawastu, karena itu
ia disebut dzū al-Kifl, dan “pohon arasy” yang disebut dalam surat al-Tin
126 Bahri, “Hubungan Esensial Agama-Agama: Teologi dan Etika,” h. 287. 127 Bahri, “Hubungan Esensial Agama-Agama: Teologi dan Etika,” h. 287. 128 Bahri, “Hubungan Esensial Agama-Agama: Teologi dan Etika,” h. 287.
64
adalah pohon Bodhi yang dibawahnya Buddha memperoleh pencerahan
(Iluminasi).129
Komaruddin Hidayat seperti dikutip oleh Bahri juga
mengisyaratkan kemungkinan Lao Tze sebagai nabi Luth, meskipun belum
ditemukan suatu referensi tentang itu. Namun, menurut Komaruddinnya, jika
diteliti seksama dari berbagai buku mengenai Taoisme, ditemukan sebuah
riwayat bahwa Lao Tze adalah seseorang yang berhidung besar dan
dilahirkan di kota Ir. Pada masyarakat Cina, ada satu kota yang dihuni oleh
orang-orang berhidung besar. Bagi orang-orang Cina, orang-orang yang
berhidung besar itu adalah orang Arab. Nabi Luth adalah orang Arab.
Namun, Bahri juga mengingatkan satu hal yang penting disadari adalah
bahwa istilah “Nabi” dan “Rasul” adalah bahasa Arab yang tak mungkin di
kenal oleh masyarakat India, Cina, Persia dan lain-lain non-Arab. Di India,
para utusan Tuhan yang suci disebut sebagai Maharesi atau Resi (Rsi).
Merekalah yang mendengar (menerima) wahyu Tuhan berupa Weda (berasal
dari kata Vidya, yang berarti pengetahuan). Weda yang didengar langsung
dari Tuhan disebut Weda Sruti dan kemudian Weda yang diberi tafsir oleh
para Maharesi disebut Weda Smriti.130 Kautsar juga mengungkapkan ketika
ia berdikusi dengan seorang teman Hindu pada awal 1980-an tentang
agamanya, mengatakan bahwa temannya menolak anggapan bahwa
Hinduisme bukan agama wahyu tetapi agama alami, bila yang dimaksud
dengan agama wahyu adalah agama yang kitab sucinya diwahyukan oleh
Tuhan kepada para nabi atau para rasul-Nya, temannya mengatakan bahwa
129 Bahri, “Hubungan Esensial Agama-Agama: Teologi dan Etika,” h. 287-288. 130 Bahri, “Hubungan Esensial Agama-Agama: Teologi dan Etika,” h. 288.
65
Veda adalah wahyu yang diterima oleh para maharshi dari Tuhan.131
Sebagimana doktrin teologis tentang ketuhanan Yang Maha Esa, seperti yang
di ungkapkan oleh Bahri pada agama-agama Semitik, umat Hindu tidak suka
jika disebut agamanya sebagai agama budaya (agama ardhi, atau agama
bumi), yang berarti agama hasil pemikiran manusia. Lebih lanjut I Gusti
Ketut Widana, seorang sarjana ahli (dan beragama) Hindu, seperti dikutip
oleh Bahri mengungkapkan adanya pandangan para sarjana non-Hindu atau
orang-orang biasa non-Hindu yang menyatakan bahwa Hindu adalah agama
budaya adalah pandangan yang bukan hanya salah tapi “melecehkan” agama
Hindu. Dalam keyakinan umat Hindu, Tuhan menurunkan ajaran-ajaran
agama Hindu melalui perantara para Maharesi yang mendengar langsung
wahyu dari-Nya.132
Tidak hanya Kautsar, Halim dan Bahri yang berpendapat demikian.
Huston Smith, seorang sarjana studi agama di Amerika juga mengatakan
bahwa di antara semua agama yang di anut manusia tidak benar bahwa ada
suatu agama yang demikian tinggi mutunya sehingga tidak satu pun
kebenaran agama yang terdapat dalam agama-agama lainnya yang tidak
ditemui dalam bentuk yang sama ataupun lebih jelas dalam agama itu
sendiri.133
131 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama”, h. 9. 132 Bahri, “Hubungan Esensial Agama-Agama: Teologi dan Etika,” h. 278. 133 Huston Smith, Agama-Agama Manusia, penerjemah Saafroedin Bahar (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2001), h. 413.
66
BAB IV
KONTEKS PEMIKIRAN PARA PENULIS MUSLIM
TENTANG KLASIFIKASI AGAMA
B. Motivasi Para Penulis Muslim dalam Klasifikasi Agama Langit dan
Agama Bumi
Sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya, beberapa
profil para penulis Muslim sudah dijelaskan. Ada yang berasal dari akademisi
diantaranya adalah Sidi Gazalba, Mahmud Yunus, Prof. H.M Rasjidi, A.
Halim Mastur, Prof Kautsar Azhari Noer, Dr. Media Zainul Bahri dan
Hadidjah. Yang berasal dari Aktivis diantaranya adalah Ahmad Abdullah Al-
Masdoosi dan Burhanuddin Daya. Yang berasal dari aktivis dan ulama adalah
H.A Mukti Ali. Yang berasal dari Aktivis, da’i dan akademisi adalah Endang
Saifuddin Anshari. Yang berasal dari organisasi kemasyarakatan dan
akademisi adalah Prof. Dr. Abdullah Ali, MA. Yang berasal dari Da’i
diantaranya adalah Moh. Rifai dan Agus Hakim. Berikut akan dijelaskan
mengenai awal mula klasifikasi agama dan motivasi para penulis Muslim di
Indonesia.
Di Indonesia munculnya klasifikasi “Agama Langit” dan “Agama
Bumi” disebabkan oleh sikap apologetik umat Muslim, baik pada masa
sebelum kemerdekaan maupun pada masa sesudah kemerdekaan hingga
runtuhnya orde lama dan orde baru. Menurut Media Zainul Bahri, pandangan
umat Muslim di Indonesia pada tahun 1950-an hingga akhir 1980-an berkutat
kuat pada Teologi dan Fikih. Lebih lanjut Bahri mengatakan bahwa Teologi
67
dan Fikih memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap kaum Muslim
Indonesia karena memiliki riwayat, silsilah, dan hubungan yang panjang
terutama hubungan intelektual dan emosional dengan ulama-ulama besar di
Timur Tengah yang menjadi Guru-Guru bagi ulama-ulama besar
Nusantara.134
Secara politis, Mukti Ali mengungkapkan bahwa semangat dakwah
meningkat di Indonesia akibat pemberontakan komunis pada 1948 dan 1965.
Peristiwa pemberontakan komunis pada saat itu membuat kaum Muslim
meningkatkan semangat dakwahnya karena paham komunis secara teologis
sangat bertentangan dengan pandangan umat Muslim terhadap kaum komunis
saat itu yaitu paham pengusung utama ateisme. Dalam hal ini, segala yang
bersangkutan dengan kegiatan sosial-keagamaan dan pendidikan pada masa
itu harus bermuatan dakwah.135 Selain pemberontakan komunis, sejak masa
pra-kemerdekaan hingga tahun 1970-an Indonesia juga dihinggapi isu-isu
kristenisasi yang membuat umat Islam dan Kristen saling serang. Bahkan
pada tahun 1979 saat maraknya isu Kristenisasi di pulau Jawa Umar Hasyim,
seorang penulis Muslim dan ulama Muhammadiyah mengungkapkan bahwa
ia pernah menerima selebaran (pamflet) yang isinya menerangkan bahwa
umat Kristen Katolik akan mengkristenkan pulau Jawa dalam waktu 20 tahun
dan seluruh Indonesia dalam waktu 50 tahun dengan berbagai cara dan
program kerja mereka.136
134 Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901-
1940) Hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 212 135 Mukti Ali, Bagaimana Menghampiri Isra’ Mi’radj Nabi Besar Muhammad SAW atau
Iman dan Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1969), h. 19. 136 Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Menuju Dialog dan
Kerukunan Antar Agama (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1979), h. 270-271..
68
Kemudian Bahri dalam Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era
Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga Masa Reformasi (2015) mengulas
ceramah Mukti Ali pada Januari 1962 tentang Isra dan Mikraj, antara Iman
dan Ilmu Pengetahuan. Menurutnya, dalam ceramah itu Mukti Ali adalah
sarjana Muslim yang istimewa, saat Mukti Ali membahas khusus mengenai
munculnya para apologis Muslim modern yang memandang bahwa Islam
sedang terancam karena adanya serangan dari agama Kristen, rasionalisme,
liberalisme dan Westernisasi. Menurut Mukti Ali seperti dikutip oleh Bahri,
para apologis Muslim secara “membabi-buta” mempertahankan Islam dari
berbagai serangan tersebut dengan cara menunjukkan bahwa kesempurnaan
dan keunggulan Islam terdapat pada seluruh cita, ide, nilai dan
implementasinya secara sempurna.137
Lebih lanjut, Bahri juga mengatakan jika Mukti Ali tidak pernah
menulis atau membuat pernyataan yang menyetujui atau tidak menyetujui
tipologi “Agama Langit” dan “Agama Bumi”. Namun, karya-karyanya
setelah mendirikan Jurusan Perbandingan Agama ramai peminat dan mulai
menunjukkan kekuatan tipologi itu bersamaan dengan semangat
menyebarkan keunggulan Islam dibanding agama-agama lain. Penulis
Muslim lain, Thalhas secara eksplisit menyatakan bahwa ia menyetujui dua
tipologi tersebut dan menegaskan bahwa Islam adalah agama yang kekal
abadi dan tidak mengalami perubahan.138 Abdullah Ali juga menyebut agama
Yahudi semula merupakan Agama Samawi, tetapi seiring berjalannya waktu,
137 Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga
Masa Reformasi, h. 216. 138 Thalhas, Pengantar Study Perbandingan Agama (Jakarta: Galura Pase, 2006), h. 40-
43.
69
agama Yahudi tidak menggambarkan agama Israel yang pernah diajarkan
oleh Nabi Musa berdasarkan Taurat, melainkan sudah menjadi synthesa
setelah adanya kitab Talmud dan pengaruh bangsa lain yang membawa
peradaban kafir.139
Penulis Muslim lain Romdhon, meyakini bahwa para penulis
Muslim yang memang memposisikan dirinya sebagai seorang Muslim dalam
Agama-Agama di Dunia tentu akan mengatakan bahwa “hanya Islam sajalah
yang berdasarkan wahyu…sedangkan agama-agama lain tentulah tidak
mereka masukkan ke dalam agama agama wahyu, termasuk agama
Nasrani.” Menurut Romdhon, tipologi-tipologi, seperti agama dakwah dan
agama bukan dakwah, atau agama berdasarkan ras merupakan hal yang
penting dalam dunia ilmiah, dari klasifikasi atau tipologi-tipologi tersebut
akan melahirkan banyak teori dan prediksi ilmiah.140
Menurut Bahri, anggapan Romdhon di atas tentu benar mengingat
ilmu pengetahuan akan berkembang karena adanya “kontroversi” yang
memicu perdebatan dan penelitian lebih lanjut atau munculnya beragam
tipologi dan klasifikasi ilmiah. Namun menurut Bahri, yang menjadi
persoalan sekarang bahwa pada kenyataannya karya-karya Perbandingan
Agama dan studi Islam “mengamini” atau “mengiyakan” dua tipologi
“Agama Langit” dan “Agama Bumi” sebagai kepentingan dakwah, dan hal
139 Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), h.
147-148. 140 Romdhon, “Pendahuluan,” dalam Mukti Ali, ed., Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 11-12.
70
tersebut merupakan suatu pola yang bertentangan dengan semangat ilmiah
yang hendak dikembangkan.141
Mengingat klasifikasi agama termasuk dalam kajian Perbandingan
Agama. Bahri melihat pandangan Mukti Ali soal hubungan ilmu PA dengan
kesempurnaan Islam mungkin bertujuan dakwah. Bahri memperkuatnya
dengan pasal khusus dalam karya perdana Mukti Ali Ilmu Perbandingan
Agama (1969) yang berjudul “Guna dan Faedah Ilmu Perbandingan Agama
Bagi Seorang Muslim”. Dalam pasal itu Mukti Ali menulis:
(2) Pengetahuan tentang agama-agama lain, bukan hanja berguna bagi
para muballigh, tetapi adalah sangat penting bagi setiap Muslim, untuk
mentjari segi-segi persamaan antara agama Islam dengan agama-agama
bukan Islam. Hal ini adalah sangat berguna untuk perbandingan, untuk
membuktikan, dimanakah segi-segi dari agama Islam jang melebihi
agama-agama lain, berguna djuga untuk menundjukkan bahwa agama-
agama lain jang datang sebelum Islam itu adalah sebagai pengantar
terhadap kebenaran jang lebih luas dan lebih penting adalah agama
Islam.
(3) Lebih penting daripada itu, dengan membandingkan agama Islam
dengan agama-agama lain, maka akan timbullah rasa simpati terhadap
orang-orang jang belum mendapat petundjuk tentang kebenaran, dan
dengan demikian timbullah rasa tanggung djawab untuk menjiarkan
kebenaran-kebenaran jang terkandung dalam agama Islam kepada
masjarakat ramai.
141 Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga
Masa Reformasi, h. 201-202.
71
(8) Keuntungan jang paling besar dalam mempeladjari pelbagai agama
ialah kejakinan tentang final dan tjukupnja agama Islam itu. Hal ini
tjukup didjelaskan dalam Al-Qur’an. Universalitet dan final-nja Islam
dapatlah difahami dari pelbagai segi: Qur’anis, ethis, philosophis dan
pragmatis. Kita tidak memerlukan interpretasi-interpretasi baru tentang
agama Islam itu. Tetapi jang diperlukan ialah kesanggupan menggali
adjaran-adjaran Islam jang selama ini terpendam, dituangkan dalam
istilah-istilah jang mudah difahami, berdasarkan kejakinan akan final dan
mutlaknja adjaran Islam.142
Karya-karya Perbandingan Agama dan studi Islam seolah-olah
“mengamini” klasifikasi agama sebagai kepentingan dakwah. Contoh lainnya
adalah karya Moh Rifai Perbandingan Agama (1983) yang mengutip
pernyataan Mukti Ali bahwa “Ilmu Perbandingan Agama bukan hanya
berguna bagi para muballigh, tetapi juga bagi para ahli agama Islam, karena
pikiran yang ditajamkan dengan mempelajari berbagai agama dan cara
membanding akan mudah memahami isi dari agama Islam itu sendiri dan
memang isi dan pertumbuhan agama Islam itu akan lebih mendalam
dipahami apabila orang berusaha juga untuk memahami isi dan pertumbuhan
agama-agama lain. Dengan membanding agama-agama lain, tidak jarang
bahwa hal itu akan menyingkapkan cahaya yang terang kepada elemen-
elemen yang vital dari agama Islam, memperdalam keyakinan kita tentang
kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam agama Islam, dan
142 Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, Sebuah Pembahasan Tentang Methodos dan
Sistima (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1969, Cet. Ke-2), h. 38-40.
72
memperingatkan kembali ratna-ratna mutu dan nilai-nilai Islam yang selama
ini kadang-kadang dilupakan atau kurang mendapat perhatian.”143
Oleh sebab itu di dalam bukunya, Moh Rifai menyertakan ulasan-
ulasan serta pandangan Islam pada tiap sub bab nya seperti misalnya pada
bab agama Nasrani yang di akhir pembahasannya, Moh Rifai mengulas
tentang pandangan Islam mengenai agama Nasrani. Contohnya ulasan Rifai
tentang pandangan Islam mengenai dosa waris adalah bahwa dosa waris
merupakan ajaran gereja yang tidak terdapat dalam Islam sesuai dengan hadis
Nabi Muhammad s.a.w. yang artinya: “tiap-tiap anak dilahirkan atas fitrah
(kesucian = suci dan bersih dari dosa)…” kemudian juga ulasan mengenai
penyaliban Isa Al-Masih, menurut al-Qur’an Nabi Isa a.s. tidak disalib, tetapi
dimiripkan (diserupakan) seseorang kepadanya di mata orang banyak. Firman
Allah dalam al-Qur’an yang artinya: “Mereka tidak membunuhnya dan tidak
menyalibnya tetapi ia disilapkan di mata mereka.”(QS. An-Nisa’: 157).144
Kemungkinan kuat Rifai membuat ulasan tersebut untuk memperdalam
keyakinan umat Islam tentang kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam
agama Islam seperti penyataan Mukti Ali mengenai manfaat mempelajari
ilmu Perbandingan Agama untuk umat Islam adalah untuk berdakwah.
Karya lain yang senapas dengan karya-karya di atas adalah Diktat
Perbandingan Agama oleh Halim Mastur (1970). Setelah menjelaskan
sejarah dan pokok-pokok teologi suatu agama diakhir buku itu, Halim
membuat ulasan terkahir yaitu sebuah penilaian Islam terhadap suatu agama.
Seperti misalnya Halim mengatakan bahwa telah terjadi “penyimpangan” dan
143 Moh. Rifai, Perbandingan Agama (Jakarta: Wicaksana, 1980), h. 13. 144 Moh. Rifai, Perbandingan Agama, h. 69.
73
“pengubahan” yang serius dalam kitab suci Yahudi dan Kristen sehingga
teologi Kristen menjadi polities.145 Agama Shinto yang menyembah nenek
moyang dan alam adalah agama syirik. Konsep dewa-dewi Hindu adalah
syirik. Agama Buddha setelah wafatnya Sidharta telah diselewengkan
kemudian menjadi syirik. Agama Mesir Kuno juga disebut sebagai agama
khayalan manusia dan bukan berdasarkan wahyu Ilahi.146
Mungkin jika karya-karya bercorak apologetik yang telah
disebutkan di atas merupakan karya-karya pada tahun 1960-an dan 1970-an.
Cukup mengagetkan jika muncul lagi karya yang bercorak apologetik pada
tahun 2007 yang terbit di era digital dan pluralisme saat ini yaitu karya
Abdullah Ali Agama dalam Ilmu Perbandingan (2007). Di dalam bukunya
ketika Ali memaparkan sejarah dan teologi agama-agama ia menegaskan
keunggulan Islam dibandingkan agama-agama lain dan membuat satu
pembahasan khusus untuk mewujudkan kelemahan-kelemahan teologi
Kristen. Seperti misalnya ia mengatakan bahwa kredibilitas ajaran Kristen
sulit untuk diterima oleh akal, menurutnya ajaran Kristen yang termaktub
dalam Bibel terbukti banyak mengandung pertentangan prinsip antara
pernyataan yang satu dengan yang lain, sehingga mengesankan keraguan
terhadap kredibilitas wahyu Tuhan.147
Senada dengan Mukti Ali dan Bahri menurut Kautsar, tanpa
disadari para sarjana Muslim telah mengadopsi pemikiran yang dibuat oleh
para teolog Kristen, karena kebutuhan para sarjana Muslim untuk melakukan
145 Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga
Masa Reformasi, h. 196. 146 A. Halim Mastur, Diktat Perbandingan Agama, (t.k., t.p., 1970), h. 3, 4, 23, 24, 37, 40. 147 Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), h.
227-229.
74
apologetika melawan agama-agama lain yang pada masa awal kemerdekaan
terjadi pemberontakan komunis dan Kristenisasi besar-besaran. Sebagian
teolog Muslim bahkan memandang bahwa hanya Islam lah satu-satunya
“Agama Langit” yang murni dan satu-satunya agama yang benar, sama
seperti para teolog Kristen yang mempercayai bahwa Kristen lah satu-
satunya “Agama Langit” dan satu-satunya agama yang benar.148
C. Metode Ilmiah Studi Agama-Agama
Model studi yang dilakukan oleh para penulis Muslim di Indonesia
sejak tahun 1962-an hingga tahun 2000-an tampak dominan pada pendekatan
historis dan teologis. Mengingat pendekatan historis merupakan pendekatan
yang paling tua dan menjadi salah satu pendekatan yang cukup difavoritkan
dalam Studi Agama dan Perbandingan Agama. Pendekatan teologis juga
menjadi pendekatan yang paling dominan dan paling berpengaruh dalam
Studi Agama dan Perbandingan Agama. Bahri mengatakan jika pendekatan
teologis dianggap sebagai “Ratu Ilmu Pengetahuan (Queen of the Sciences),”
terutama di dunia Yahudi, Kristen dan Islam.149
Dalam sebuah penelusuran yang dilakukan oleh Bahri mengenai
metode studi ilmiah pada awal tahun 1960-an mulai marak pendekatan
komparatif dalam semangat teologis apologetik yang digunakan oleh para
penulis Muslim di Indonesia seperti yang telah disebutkan pada bab
sebelumnya karya-karya Halim Mastur, Moh. Rifai dan Abdullah Ali.
148 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama,” h. 4. 149 Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga
Masa Reformasi, h. 15-20.
75
Dengan ini para penulis Muslim cenderung membandingkan keunggulan
Islam dengan keyakinan dan agama lain.150 Karena itu Prof. Kautsar
menyebutnya sebagai “Pertandingan Agama” bukan “Perbandingan Agama.”
Senada dengan Burhanuddin Daya, menurutnya sejak murid generasi pertama
Mukti Ali sampai awal tahun 1990-an belum ada buku Perbandingan Agama
yang ditulis di Indonesia yang memenuhi kriteria objektif murni dalam arti
diterima sepenuhnya oleh pemeluk agama yang menjadi objek kajiannya.151
Selanjutnya, diskursus soal “Agama Langit” dan “Agama Bumi” di
dunia Islam terkait dengan pandangan Al-Syahrastani dalam karyanya Al-
Milal wa al-Nihal, seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya. Al-
Syahrastani membagi para penduduk dunia dari segi pemikiran-pemikiran
dan mazhab-mazhab ke dalam dua kelompok besar. Pertama, para penduduk
yang disebutnya “para penduduk agama-agama dan keyakinan-keyakinan”
(ahl al-diyanat wa al-milal), yang mencakup orang-orang Muslim, Ahli
Kitab dan semi Ahli Kitab. Ahli Kitab meliputi orang-orang Yahudi dan
orang-orang Nasrani. Semi Ahli Kitab meliputi orang-orang Majusi dan para
penganut Dualisme. Kedua, para penduduk yang disebutnya “para penduduk
keinginan-keinginan (hawa nafsu) dan sekte-sekte” (ahl al-ahwa’ wal al-
nihal) yang meliputi orang-orang Shabi’ah, para filsuf, para penganut
pandangan-pandangan Arab Jahiliah, dan para penganut pandangan-
pandangan India.152 Jelaslah bahwa Al-Syahrastani mengkategorikan agama
150 Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga
Masa Reformasi, h. 206. 151 Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga
Masa Reformasi, h. 208. 152 Muhammad Abdul Karim Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, ed. Abdul Aziz
Muhhammad al-Wakil (Beirut: Dar al-Fikr, 1982), h. 36-37.
76
Hindu dan Buddha ke dalam ahl al-ahwa’ wal al-nihal yaitu orang yang
beragama berdasarkan hawa nafsunya. Tentu saja hal itu tidak dapat di terima
oleh umat Hindu, Buddha dan agama lainnya yang dikategorikan demikian.
Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya ketika Prof.
Kautsar berdikusi dengan seorang teman Hindu-nya pada awal 1980-an,
mengatakan bahwa temannya menolak anggapan bahwa Hinduisme bukan
agama wahyu tetapi agama alami, bila yang dimaksud dengan agama wahyu
adalah agama yang kitab sucinya diwahyukan oleh Tuhan kepada para nabi
atau para rasul-Nya, temannya mengatakan bahwa Veda adalah wahyu yang
diterima oleh para maharshi dari Tuhan.153
Demikian pula pada kitab suci agama Hindu, bila dilihat dari
tafsirnya yang dimasukkan ke dalamnya, dapat dibagi ke dalam dua
kelompok: kelompk kitab suci Veda dan kelompok kitab suci Nibanda.
Kedudukan kitab suci Veda lebih tinggi daripada kitab suci Nibanda karena
yang pertama kadar wahyunya lebih murni atau lebih tinggi daripada yang
kedua. Apa yang ditulis oleh para maharshi dalam kitab suci Veda lebih
banyak unsur wahyunya dengan sedikit tafsirnya, sedangkan apa yang
mereka tulis dalam kitab suci Nibanda lebih banyak ulasan dengan sedikit
sekali unsur wahyunya. Ketika menjelaskan arti Veda kedua pemuka agama
Hindu, I Gusti Ngurah Nala dan I Gusti Ketut Adia Wiratmaja seperti dikutip
oleh Prof. Kautsar mengatakan, Veda berarti ilmu pengetahuan atau dapat
pula berarti kata-kata yang diucapkan atau dinyanyikan, berupa mantra-
mantra. Kelompok kitab suci Veda ini dibagi berdasarkan atas penulisannya.
153 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama”, h. 9.
77
Kitab yang langsung didengar oleh para maharshi berdasarkan wahyu yang
mereka terima disebut kitab suci Veda Sruti, sedangkan yang ditulis
kemudian berdasarkan ingatan dan disertai sedikit tafsir disebut kitab suci
Veda Smrti. Umat Hindu mempercayai bahwa Veda Sruti adalah wahyu dari
Tuhan yang diterima oleh para maharshi dengan cara mendengarnya
langsung dari Dia. Veda Sruti adalah murni wahyu dalam arti tidak tercampur
dengan tafsir. Adapun Veda Smrti adalah wahyu dari Tuhan yang tercampur
dengan sedikit tafsir yang ditulis kemudian oleh para maharshi berdasarkan
ingatan mereka.154
Kemudian seorang umat Hindu L. Narayana D. pada bab kedua
bukunya Mendebat Agama Langit; Membunuh Arogansi Dikotomi Ngawur
Agama Langit - Agama Bumi (2012), memaparkan sejarah adanya klasifikasi
Agama ke dalam “Agama Langit” dan “Agama Bumi” disebutkan oleh Dr.
H. M. Rasjidi, dalam bukunya yang berjudul “Empat Kuliah Agama Islam
untuk Perguruan Tinggi.” Menurutnya, penggolongan “Agama Langit” dan
“Agama Bumi” yang dibuat oleh para penganut yang mengaku “Agama
Langit” dilakukan dalam sudut pandang supremasi. Narayana juga
menegaskan bahwa hal ini merupakan suatu problem karena klasifikasi
agama ini merendahkan agama-agama yang digolongkan ke dalam “Agama
Bumi” dan meninggikan Agama Islam, Kristen dan Yahudi sebagai “Agama
Langit”. Lebih lanjut, Narayana mengatakan bahwa sikap supremasi seperti
ini menimbulkan efek psikologi yang buruk bagi penganut “Agama Bumi”
sehingga memudahkan kaum Dakwah Islam dan kaum Misionaris Kristen
154 Noer, “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-
Agama”, h. 9.
78
untuk mengajak umat “Agama Bumi” menjadi pemeluk “Agama Langit.”
Tentu saja klasifikasi ini menjadi klasifikasi yang normatif dan pendukung
klasifikasi ini adalah sebagian besar umat yang mengaku sebagai “Agama
Langit”.155
Senapas dengan Narayana seorang umat Hindu lainnya yang tidak
terima jika agama nya disebut sebagai “Agama Bumi” adalah Wayan Panca
Wirata. Ia memuat satu tulisan pada blog pribadinya tentang polemik
“Agama Bumi” (Ardhi) dan “Agama Langit” (Samawi) dengan mencoba
menampilkan beberapa ayat-ayat / surat-surat / mantra-mantra / sloka-sloka
mengenai persamaan kriteria “Agama Bumi” dan “Agama Langit”. Seperti
misalnya ia menulis bahwa kitab suci “Agama Langit” mengatakan jika
matahari beredar menurut garis edarnya atau orbitnya. “Dan Dialah yang
telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing
dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (Qs. Al-Anbiya’, 21:33).
“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan
Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Yaasin, 36:38).
“Maka berhentilah matahari dan bulan pun tidak bergerak, sampai bangsa
itu membalaskan dendam-nya kepada musuhnya. Bukankah hal itu telah
tertulis dalam Kitab Orang Jujur? Matahari tidak bergerak di tengah langit
dan lambat-lambat terbenam kira-kira sehari penuh.” (Yosua 10:13).
Begitupun menurut agama Hindu yang disebut sebagai “Agama Bumi” juga
memiliki kesamaan dalam wahyu Tuhan, “Bumi berbintik-bintik dan
bertempat tinggal di langit. Bumi berputar mengitari matahari yang
155 L. Narayana D., Mendebat Agama Langit: Membunuh Arogansi Dikotomi Ngawur
Agama Langit-Agama Bumi (Yogyakarta: Narayana Smrti Press. 2012), h. 16-17.
79
bagaikan Ayah.” (Yajurweda III.6). “Langit dan bumi bertumpu pada
porosnya dan berputar pada porosnya seperti sebuah roda.” (Rigweda X.
89.4).156
Dari penjelasan di atas, Wayan Panca Wirata memaparkan
persamaan antara “Agama Langit” dan “Agama Bumi” dilihat dari segi
wahyu yang diturunkan.
Menurut Mukti Ali, keadaan studi agama khususnya pada agama
Islam di Indonesia pada tahun 1950 dan 1960-an sangat lemah. Lemahnya
studi agama pada masa awal kemerdekaan disebabkan antara lain karena (1)
kurangnya bacaan ilmiah, (2) kurangnya kegiatan penelitian secara ilmiah,
(3) kurangnya diskusi akademis, (4) masih rendahnya penguasaan bahasa
asing seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris, sementara relatif sedikit buku-
buku ilmu agama yang ditulis dalam bahasa Indonesia pada masa itu.157
Selain itu menurut Mukti Ali, terdapat juga beberapa faktor lain
yang menyebabkan lemahnya studi ilmiah pada masa awal kemerdekaan
seperti dikutip oleh Bahri, antara lain: Pertama, kehidupan keagamaan di
Indonesia pada masa itu masih mistik. Karena itu kehidupan keagamaan
model itu jauh dari pendekatan agama secara ilmiah. Kedua, pemikiran
ulama-ulama di Indonesia dalam Islam pada masa itu lebih banyak
ditekankan dalam fikih dan pendekatan yang bersifat normatif. Ketiga,
dengan kondisi itu muncullah reaksi di kalangan pemikir-pemikir Muslim di
Indonesia, seperti Profesor Harun Nasution yang menentang kehidupan
mistis dan menentang pendekatan bersifat normatif. Keempat, timbulnya
156 Diakses dari http://hindudamai.blogspot.co.id pada 24 November 2018. 157 Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama: Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan
Sistima (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1969), h. 18-19.
80
semangat dakwah yang begitu hebat di Indonesia terutama setelah terjadi
pemberontakan komunis pada tahun 1965. Dengan pemberontakan itu umat
Islam menjadi sadar bahwa dakwah di Indonesia harus lebih ditingkatkan.
Kelima, dugaan bahwa ilmu Perbandingan Agama datang dari Barat. Karena
itu, umat Islam melihatnya dengan curiga.158
Di samping faktor-faktor yang menyebabkan lemahnya studi
ilmiah pada masa itu. Para penulis Muslim Indonesia dalam menjelaskan
sejarah dan telogi agama non-Islam banyak merujuk kepada ulama-ulama
Muslim, sehingga penelitiannya menjadi tidak objektif. Seperti misalnya
Abdullah Ali yang menyebut nama-nama penulis dan ulama Muslim
terkemuka seperti Moh. Syekh Abduh, Al Syahrastani, Ahmad Salaby,
Abdus Shabur Syahirin, Prof. Mustafa A. Rasyid, Abdul Mu’in, Zakiah
Darajat, Ash-Shadr, Ali Ibnu Hazm, Ahmas as-Sonhaji, Ahmad Ibnu
Taimiyah dan lain-lain. Serta karya mereka yang sudah di kenal baik di
kalangan kaum Muslimin. Abdullah Ali menggambarkan agama-agama non-
Islam persis (serupa) dengan gambaran para ulama dan penulis di atas. Oleh
karena itu, meskipun karya nya hadir di era digital dan pluralisme namun
terlihat masih sangat kental semangat dakwahnya.
Hal serupa juga terlihat pada karya Moh. Rifai Perbandingan
Agama (1983). Referensi atau rujukkan nya banyak yang berasal dari penulis
dan ulama Muslim sehingga ia cenderung membandingan agama non-Islam
dengan menampilkan keunggulan-keunggulan Islam serta mengkritik agama
lain dari sudut pandang Islam.
158 Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940) Hingga
Masa Reformasi, h. 187-188.
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian atas pokok permasalahan yang telah
dilakukan, maka dapat disimpulkan sejak periode 1962-2015 terdapat para
penulis Muslim yang menggunakan istilah “Agama Langit” dan “Agama
Bumi”. Tipologi “Agama Langit” dan “Agama Bumi” ini telah sejak lama
menjadi perbincangan dalam diskursus Perbandingan Agama atau Studi
Agama-Agama. Beberapa faktor penting perlu dikemukakan.
Pertama, pandangan umat Muslim di Indonesia pada tahun 1950-an
hingga akhir 1980-an berkutat kuat pada Teologi dan Fikih. Teologi dan Fikih
memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap kaum Muslim di Indonesia karena
memiliki riwayat, silsilah, dan hubungan yang panjang terutama hubungan
intelektual dan emosional dengan ulama-ulama besar di Timur Tengah yang
menjadi Guru-Guru bagi ulama-ulama besar Nusantara. Selain itu, peristiwa
pemberontakan komunis yang terjadi pada 1948 dan 1965 membuat kaum
Muslim meningkatkan semangat dakwahnya karena paham komunisme
secara teologis dianggap umat Muslim saat itu sebagai kelompok yang
mengusung paham ateisme. Bersamaan dengan hal ini, sejak masa pra-
kemerdekaan hingga tahun 1970-an Indonesia juga dihinggapi isu-isu
kristenisasi yang membuat umat Islam dan Kristen saling serang. Oleh karena
itu, segala yang bersangkutan dengan kegiatan sosial-keagamaan dan
pendidikan pada masa itu haruslah bermuatan dakwah. Selanjutnya, yang
memperkuat tipologi “Agama Langit” dan “Agama Bumi” pada masa itu
82
yaitu anggapan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Al-islamu ya’lu
wala yu’la ‘alaih: “Islam senantiasa unggul, dan ia tidak akan terungguli”.
Itu merupakan sabda Rasul yang sampai sekarang sering kita dengar pada
setiap khutbah jum’at atau ceramah-ceramah oleh para da’i. Sabda Nabi
tersebut yang menjadikan umat Islam terus berpacu untuk semangat, dan
berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirot) termasuk dalam
meningkatkan semangat dakwah.
Kedua, Pandangan para penulis Muslim tentang “Agama Langit”
dan “Agama Bumi” harus dilihat dalam konteks latar belakang pendidikan
dan aktivitas mereka, di antara mereka ada Akademisi, Da’i, Aktivis Muslim,
Guru, dll. Spektrum mereka inilah yang membuat mereka mendiskusikan
apakah betul ada tipologi “Agama Langit” dan “Agama Bumi”. Akademisi
murni seperi Prof. Kautsar Ashari Noer menolak adanya tipologi ini. Tanpa
disadari para sarjana Muslim telah mengadopsi pemikiran yang dibuat oleh
para teolog Kristen, karena kebutuhan para sarjana Muslim untuk melakukan
apologetika melawan agama-agama lain.
Selain faktor-faktor seperti semangat dakwah atau misionarisme,
pemahaman keagamaan yang normatif juga disebabkan oleh faktor lainnya
yaitu ilmu Perbandingan Agama dan metodenya yang belum dikenal dengan
baik pada masa itu, serta dianggap sebagai sesuatu yang dapat
membahayakan akidah. Figur Mukti Ali misalnya, sejak awal menyadari
bahwa ilmu Perbandingan Agama merupakan suatu disiplin ilmu yang
berusaha memahami aspek-aspek yang diperoleh dari sejarah agama,
kemudian menghubungkan atau membandingkan satu agama dengan agama
83
lainnya untuk menemukan struktur yang fundamental dari berbagai
pengalaman dan konsepsi keagamaan dengan cara menganalisis persamaan
dan perbedaan di antara agama-agama. Namun, beberapa kasus ia sendiri dan
murid-muridnya “terjebak” dalam mempraktikan ilmu Perbandingan Agama
dengan pendekatan teologis, sehingga muncullah penilaian yang normatif
atas suatu agama.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat diajukan:
Pertama, agar mahasiswa, peneliti dan akademisi yang mempelajari
studi agama-agama dapat lebih memahami metode ilmiah studi agama-agama
dan tidak melakukan penilaian normatif terhadap suatu agama.
Kedua, banyak penulis Muslim di Indonesia yang “mengamini” atau
“mengiyakan” bahwa manfaat mempelajari studi agama-agama adalah untuk
berdakwah, hal itu tentu sangat bertentangan dengan semangat ilmiah yang
hendak dikembangkan. Oleh karena itu, harus diingat bahwa salah satu
manfaat dari studi agama yang mendalam adalah ditemukannya hubungan
yang erat di antara agama-agama yang berbeda.
Ketiga, referensi dalam penelitian mengenai studi agama-agama perlu
di perkaya lagi misalnya dengan merujuk pada penulis Barat atau non-Islam.
Agar penelitiannya tidak bersifat subyektif.
Keempat, mengundang peneliti selanjutnya untuk mengeksplorasi
aspek-aspek lain tentang tipologi “Agama Langit” dan “Agama Bumi” yang
belum didiskusikan dalam skripsi ini.
84
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanuddin. Agama-Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar
Antropologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada. 2006.
Al- Syahrastani, Muhammad Abdul Karim. Al-Milal wa al-Nihal. ed. Abdul Aziz
Muhhammad al-Wakil. Beirut: Dar al-Fikr. 1982.
Ali, Abdullah. Agama dalam Ilmu Perbandingan. Bandung: Nuansa Aulia. 2007.
Ali, H.A. Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Press. 1988.
______________, Bagaimana Menghampiri Isra’ Mi’radj Nabi Besar Muhammad
SAW atau Iman dan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Yayasan
Nida. 1969.
______________, Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional.
Yogyakarta: Yayasan An-Nida. 1969.
______________, Ilmu Perbandingan Agama: Sebuah Pembahasan tentang
Methodos dan Sistima. Yogyakarta: Yayasan Nida. 1969.
Amaliyah. “Satu Tuhan Tiga Agama (Yahudi, Nasrani, Islam di Yerusalem).”
Religious: Jurnal Agama dan Lintas Budaya 1. No. 2. Maret 2017.
Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu Filsafat dan Agama. Bandung: Penerbit Mizan.
1979.
_____________________, Agama dan Kebudayaan. Surabaya: Bina Ilmu. 1980.
85
Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta. 2002.
Aziz-us-Samad, Ulfat. Agama-Agama Besar Dunia terjemahanThe Great
Religions of The World. t.k., t.p., 1990.
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-Agama, Dari Era Teosofi Indonesia
(1901-1940) Hingga Masa Reformasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2015.
_________________, “Hubungan Esensial Agama-Agama: Teologi dan Etika.”
Tajdid, Vol. XIII. No. 2. Juli-Desember 2014.
D. L. Narayana. Mendebat Agama Langit: Membunuh Arogansi Dikotomi
Ngawur Agama Langit-Agama Bumi. Yogyakarta: Narayana Smrti
Press. 2012.
Darajat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 2005.
Daya, Burhanuddin. “Sejarah Agama-Agama: Beberapa Pengertian.” ed.,
Djam’annuri. Agama Kita: Perspektif Sejarah Agama-Agama:
Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta. 2000.
Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers.
2011.
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang. 1976.
Geertz, Cliffort. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. 1992.
Hadidjah. “Hubungan Antara Nabi dengan Agama Samawi.” Jurnal Hunafa. Vol.
3 No. 4. Desember 2006.
86
Hakim, Agus. Perbandingan Agama (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro. Cet. 4.
1985).
Hanafi, Imam. “Eksklusivisme, Inklusivisme dan Pluralisme: Membaca Pola
Keberagamaan Umat Beriman.” Al-Fikra: Jurnal Ilmiah
Keagamaan. Vol. 10. No. 2. Juli-Desember 2011.
Hasyim, Umar. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Menuju
Dialog dan Kerukunan Antar Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
1979.
Husin, Khairah. “Peran Mukti Ali dalam Pengembangan Toleransi Antar Agama
di Indonesia.” Jurnal Ushuluddin. Vol. XXI. No. 1. Januari 2014.
Ishomuddin. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002.
Ismail, Faisal. Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis.
Yogyakarta: Titian Ilahi Press 1996.
Kamirudin. “Fungsi Sosiologis Agama (Studi Profan dan Sakral Menurut Emile
Durkheim).” Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama. Vol. 3
No. 2. Juli-Desember 2011.
Khotimah. “Agama dan Civil Society.” Jurnal Ushuluddin Vol. XXI. No. 1.
Januari 2014.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: UI Press. 1964.
Marzuki. Pembinaan Karakter Mahasiswa melalui Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2012.
Mastur, A. Halim. Diktat Perbandingan Agama. t.k., t.p., 1970.
87
Morris, Brian. Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer.
Yogyakarta: AK Group. 2003.
Nala, I. Gst. Ngurah dan I. G.K. Adia Wiratmadja. Murddha Agama Hindu.
Denpasar: Upada Sastra. 1995.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia. 1986.
Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press. 1996.
Noer, Kautsar Azhari. “Agama Langit versus Agama Bumi: Sebuah Telaah atas
Klasifikasi Agama-Agama”. Titik temu, Jurnal dialog peradaban
3. No. 2. 2011.
Nurlidiawati “Sejarah Agama-Agama (Studi Historis tentang Agama Kuno Masa
Lampau.” Jurnal Rihlah. Vol. III. No. 1 Oktober 2015.
Putra, Ngakan Putu. “Pemikiran Agama Langit dan Agama Bumi Dikotomi Tak
Tahu Diri.” Majalah Media Hindu. Edisi 35. Januari 2007.
Rahmad, Dadang. Metode Penelitian Agama. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2000.
Rasjidi, H.M. Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi. Jakarta: Bulan
Bintang. Cet. 7. 1992.
___________, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang “Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya.” Jakarta: Bulan Bintang. 1977.
Rifai, Moh. Perbandingan Agama. Semarang: Wicaksana. 1983.
Smith, Huston. Agama-Agama Manusia, terj. Saafroedin Bahar. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. 2001.
88
Sururin. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2004.
Sutanto, Hasan. Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab. Malang:
Seminari Alkitab Asia Tenggara. 1993.
Thalhas. Pengantar Study Perbandingan Agama. Jakarta: Galura Pase. 2006.
Yewangoe. Agama dan Kerukunan. Jakarta: Gunung Mulia. 2009.
Sumber lain
https://kbbi.web.id/agama (diakses pada tanggal 1 September 2018).
Uzairsuhaimi.wordpress.com: Silsilah Agama Samawi: Perspektif Al-Qur’an
(diakses pada tanggal 29 Agustus 2018).
https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Yahudipada tanggal (diakses pada tanggal
23 September 2018).
Lisma Mubdi, https://www.e-jurnal.com/2013/11/pengertiani-agama-samawi-dan-
agama-ardhi.html (diakses pada tanggal 22 September 2018).
https://tafsirweb.com/3321-surat-yunus-ayat-47.html (diakses pada tanggal 24
Juni 2019).
https://tafsirq.com/16-an-nahl/ayat-36 (diakses pada tanggal 24 Juni 2019).
89