afasia a. sri izazi wafiah s - c111 11 375.docx
TRANSCRIPT
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN SARAFFAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT UNIVERSITAS HASANUDDIN AGUSTUS 2015
REFERAT
AFASIA
DISUSUN OLEH :
A. Sri Izazi Wafiah Sabil
C 111 11 375
Residen Pembimbing :
Dr. Machyono
Supervisor Pembimbing :
Dr. dr. Jumraini T, Sp. S
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN SARAF
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
I. PENDAHULUAN
Afasia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan gangguan bahasa
yang dihasilkan dari kerusakan daerah-daerah di otak yang bertanggung jawab untuk
berbahasa. Dalam berbahasa tercakup berbagai kemampuan yaitu: bicara spontan,
komprehensi, menamai, repetisi (mengulang), membaca dan menulis.Bahasa merupakan
instrument dasar bagi komunikasi pada manusia, dan merupakan dasar dan tulang
punggung bagi kemampuan kognitif.Bila terdapat deficit pada system berbahasa,
penilaian factor kognitif seperti memori verbal, interpretasi pepatah dan berhitung lisan
menjadi sulit dan mungkin tidak dapat dilakukan.Kemampuan berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa sangat penting. Bila terdapat gangguan, hal ini akan mengakibatkan
hambatan yang berarti bagi pasien. (Lumbantobing S.M, 2014).
Ada beberapa jenis gangguan afasia yang melibatkan terkenanya daerah otak
dengan klasifikasi yang banyak golongannya (RCLST 2009)
Bahasa melibatkan integrasi dua kemampuanberbeda yaitu, ekspresi (kemampuan
berbicara) dan pemahaman yang masing-masing berkaitan dengan bagian tertentu
korteks.Daerah primer korteks yang khusus untuk bahasa adalah daerah Broca dan daerah
Wernicke.(Sherwood, Lauralee, 2011)
Daerah Broca (area brodmann 44 dan 45) terletak di bagian posterior lobus frontalis
dan dianggap sebagai tiang sintaksik-altikulasi dari system bahasa, berhubungan dengan
produksi bahasa dan artikulasi.(R Schoeman et al, 2010). Daerah ini berdekatan dengan
daerah motoric korteks yang mengontrol otot-otot untuk artikulasi. (Sherwood, Lauralee,
2011)
Daerah Wernicke (area brodmann 22) terletak di bagian superior posterior lobus
temporal dan berhubungan dengan pemrosesan bahasa baik dalam bentuk tertulis maupun
dalam bentuk lisan.(R Schoeman et al, 2010)Selain itu, Wernicke bertanggung jawab dalam
memformulasikan pola koheren bicara yang disalurkan melalui berkas-berkas serat ke daerah
broca yang pada gilirannya mengontrol artikulasi bicara.Daerah Broca berhubungan dengan
daerah Wernicke melalui neural pathway yaitu fasciculus arcuata. (Sherwood, Lauralee,
2011)
Selain kedua daerah tersebut juga terdapat daerah spesifik yang disebut Gyrus
Angularis (area brodmann 22) yang terletak di pertemuan lobus temporal, oksipital dan
paretal. Daerah ini terlibat dalam pengolahan input penglihatan, pendengaran dan sentuhan.
Daerah lain yang terlibat dalam komprehensi dan produksi bahasa adalah korteks motoric,
korteks visual dan korteks auditorius. (R Schoeman et al, 2010)
Daerah Wernicke menerima input dari korteks visual di lobus oksipitalis, suatu jalur
yang penting untuk memahami tulisan dan menjelaskan benda yang dilihat, serta dari korteks
auditorius di lobus temporalis, suatu jalur yang esensial untuk memahami bahasa lisan dan
input dari korteks somatosensorik, suatu jalur yang penting dalam kemampuan membaca
braille. Input-input tersebut disalurkan ke suatu daerah spesifik (gyrus angularis) korteks
asosiasi parietal-temporal-oksipital yang kemudian di teruskan ke daerah Wernicke dimana
tempat pemilihan dan rangkaian kata yang akan diucapkan dirumuskan. Perintah bahasa ini
kemudian disalurkan dari daerah Wernicke ke daerah Broca yang gilirannya menerjemahkan
pesan menjadi pola suara terprogram. Program suara ini disampaikan dari daerah Broca ke
daerah-daerah korteks motoric primer untuk mengaktifkan otot-otot wajah dan lidah yang
akan menghasilkan kata-kata yang diinginkan. Demikian juga otot-otot tangan dapat
diperintahkan untuk menulis kata yang diinginkan.(Sherwood, Lauralee, 2011)
II. DEFINISI
Afasia adalah kerusakan fungsi berbahasa akibat kerusakan otak.Dalam hal ini pasien
menunjukkan gangguan dalam memproduksi dan/atau memahami bahasa. (National Institute
on Deafness and Other Communication Disorders, 2008)
Defek dasar pada afasia adalah pada pemrosesan bahasa ditingkat integratif yang
lebih tinggi.Gangguan artikulasi dan praksis mungkin ada sebagai gejala yang
menyertai.Gangguan bahasa ini dapat melibatkan semua komponen bahasa (fonology,
morfologi, syntax, semantic, fragmatic), begitu juga modalitas lainnya (bicara,
membaca,menulis,menandai) dan output (ekspresi) juga input (pemahaman).
(Papathanasioau,Ilias,2013)
III. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan National Aphasia Association, gangguan ini mempengaruhi sekitar 1 dari
250 orang, sebagian besar individu yang umumnya lebih tua. Diperkirakan bahwa di Amerika
Serikat sekitar 80.000 orang menjadi aphasic setiap tahun dan bahwa satu juta orang saat ini
memiliki aphasia.Resiko terjadinya afasia meningkat secara signifikan dengan umur
seseorang, sehingga setiap tahun yang maju (bertambahnya umur seseorang) dikaitkan
dengan resiko 1-7% lebih besar.Sementara 15% dari orang di bawah usia 65 mengalami
aphasia, pada kelompok pasien 85 tahun dan lebih tua, 43% adalah aphasic. Di sisi lain tidak
cukup data yang tersedia untuk mengevaluasi perbedaan insiden dan fitur klinis afasia antara
jenis kelamin dan ras.(RCSLT,2009)
IV. ETIOLOGI
Afasia disebabkan oleh kerusakan otak pada bagian yang mengatur fungsi bahasa.
Adapun beberapa penyebabnya, yaitu: (Alexander, Michael, Aphasia: Chapter 9)
1. Stroke (infark)
Stroke merupakan penyebab terbanyak dari afasia (80%).Stroke terjadi ketika
darah tidak mampu mencapai bagian dari otak, sehingga sel-sel otak mati karena tidak
dapat menerima suplai darah yang mana membawa oksigen dan nutrient yang penting.
2. Perdarahan
Hampir sama dengan infark pada stroke, perdarahan juga dapat menyebabkan
afasia, jika terjadi pada topografi otak yang sama dengan pola infark.
3. Trauma
Kontusio fokal dapat terjadi di mana saja, tergantung pada arah pukulan,
fragmen tengkorak, dan sebagainya.ketika memar di wilayah perysylvian, aphasia
yang dihasilkan biasanya akan sama seperti pola infark sebelumnya.
4. Tumor
Jika terdapat lesi atau tumor pada daerah yang mengatur fungsi bahasa di otak,
maka afasia biasa terjadi.
5. Herpes Simpleks Encephalitis
Walaupun jarang, Herpes Simpleks Ensefalitis (HSE) memiliki predileksi
pada daerah medial lobus temporal, basal medial lobus frontal dan insular
cortical.Penderita HSE biasanya memiliki amnesia yang berat.
V. PATOFISIOLOGI
Afasia disebabkan oleh kerusakan pada area otak yang berperan dalam
mengatur fungsi bahasa. Kerusakannya disebabkan oleh stroke, head injury, tumor
otak, neurosurgery, dan infeksi otak. Karena kerusakan tersebut pathway pemahaman
bahasa dan produksinya terganggu bahkan rusak. Dan menimbulkan gejala-gejala
yang melibatkan semua komponen bahasa sesuai dengan daerah kerusakannya.
(RCSLT,2009)
VI. MANIFESTASI KLINIS
1. Afasia Broca
Adapun ciri klinik afasia broca adalah:
Bicara tidak lancar
Tampak sulit memulai bicara
Kalimatnya pendek (5 kata atau kurang per kalimat)
Pengulangan (repetisi) buruk
Kemampuan menamai buruk
Kesalahan parafasia
Pemahaman lumayan ( namun mengalami kesulitan memahami
kalimat yang sintaktis kompleks)
Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks
Irama kalimat dan irama bicara terganggu
2. Afasia Wernicke
Adapun ciri klinik afasia Wernicke adalah:
Bicara lancar
Panjang kalimat normal
Artikulasi baik
Prosodi baik
Anomia (tidak dapat menamai)
Parafasia fonemik dan semantic
Komprehensi auditif dan membaca buruk
Repetisi terganggu
Menulis lancer tapi isinya “kosong”
3. Afasia Konduksi
Adapun ciri klinik afasia konduksi adalah:
Bicara lancar
Gangguan yang berat pada repetisi
Kesulitan dalam membaca kuat-kuat
Pemahaman bahasa lisan terpelihara dan membaca baik
Gangguan dalam menulis
Parafasia yang jelas
Anomia berat
4. Afasia sensorik transkortikal
Adapun ciri klinik afasia sensorik transkortikal adalah:
bicara lancar
pemahaman buruk
repetisi baik
echolalia
komprehensi auditif dan membaca terganggu
deficit motoric dan sensorik jarang dijumpai
didapatkan deficit lapangan pandang di sebelah kanan
5. Afasia Motorik transkortikal
Adapun ciri klinik afasia motoric transkortikal adalah:
Bicara tidak lancar
Komprehensi baik
Repetisi baik
Inisiasi output terlambat
Ungkapan-ungkapan singkat
Parafasia semantic
Echolalia
6. Afasia transkortikal campuran
Adapun ciri klinik afasia transkortikal campuran adalah:
Bicara tidak lancar
Komprehensi buruk
Repetisi baik
Echolalia mencolok
7. Afasia Anomik
Ciri klinik afasia anomik adalah:
Bicara lancar
Komprehensi baik
Repetisi baik
Gangguan (deficit) dalam menemukan kata
8. Afasia Global
Adapun ciri klinik afasia global adalah:
Bicara tidak lancar
Komprehensi buruk
Repetisi buruk
Membaca dan menulis terganggu (Lumbantobing S.M, 2014)
Afasia berdasarkan gejala klinis :
DIAGNOSIS
Evaluasi system bahasa harus dilakukan secara sistematis.Perlu diperhatikan bagaimana
pasien berbicara spontan, komprehensi (pemahaman), repetisi (mengulang), dan menamai
(naming). (Lumbantobing S.M, 2014)
Kelancaran
Komprehensi
Repetisi
Jenis Afasia
AFASIA
Lancar
Tidak lancar
Buruk
Baik
Buruk
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Buruk
Buruk
Buruk
Buruk
Anomik
Konduksi
Global
Transkortikal
Campuran
Transkortikal Sensori
kTranskortikal
motorikBroca
Wernicke
1. Pemeriksaan kelancaran berbicara
Seseorang disebut berbicara lancar bila bicara spontannya lancar, tanpa
tertegun-tegun untuk mencari kata yang diinginkan.Kelancaran berbicara verbal
merupakan refleksi dari efisiensi menemukan kata.Bila kemampuan ini diperiksa
secara khusus dapat di deteksi masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang
ringan atau pada demensia dini.Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes
kelancaran, menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu yang dapat diproduksi selama
jangka waktu yang terbatas. Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis
hewan selama jangka waktu 1 menit, atau menyebutkan kta-kata yang dimulai dengan
huruf tertentu, misalnya huruf S atau huruf B dalam 1 menit.
Menyebutkan nama hewan: Pasien disuruh menyebutkan sebanyak mungkin
nama hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta kesalahan yang ada,
misalnya parafasia. Skor: Orang normal mampu menyebutkan 18-20 nama hewan
selama 60 detik, dengan variasi kurang lebih 5-7.
Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam tugas ini.
Orang normal yang berusia 69 tahun akan mampu menyebutkan 20 nama hewan
dalam simpang baku 4,5.
Kemampuan ini menurun menjadi 17 (kurang lebih 2,8) pada usia 70an, dan
menjadi 15,5 (kurang lebih 4,8) pada usia 80an. Bila skor kurang dari 13 pada orang
normal dibawah usia 70 tahun, perlu dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran
berbicara verbal. Skor yang dibawah 10 pada usia di bawah 80 tahun, sugestif bagi
masalah penemuan kata. Pada usia 85 tahun skor 10 mungkin merupakan batas
normal bawah.
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: kepada pasien dapat juga
diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf
S, A atau P. Tidak termasuk nama orang atau nama kota. Skor, orang normal
umumnya dapat menyebutkan sebanyak 36-60 kata, tergantung pada usia, inteligensi
dan tingkat pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk
tiap huruf diatas merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara
verbal.Namun kita harus hati-hati menginterpretasikan tes ini pada pasien dengan
tingkat pendidikan yang tidak melebihi tingkat sekolah menengah pertama.
2. Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan
Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit dinilai.
Pemeriksaan klinis di sisi ranjang dan tes yang baku cenderung kurang cukup dan
dapat memberikan hasil yang meenyesatkan. Langkah berikut dapat digunakan untuk
mengevaluasi pemahaman (komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara konversasi,
suruhan, pilihan ya atau tidak dan menunjuk.
a. Konversasi
Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai kemampuannya
memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan oleh pemeriksa
b. Suruhan
Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (satu langkah) sampai pada
yang sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk menilai kemampuan pasien
memahami. Mula-mula suruh pasien bertepuk tangan, kemudian tingkatkan
kesulitannya, misalnya: mengambil pensil, letakkan dalm kotak dan taruh kotak
diatas kursi (suruhan ini dapat gagal pada pasien dengan apraksia dan gangguan
motorik walaupun pemahamannya baik; hal ini harus diperhatikan oleh
pemeriksa)
c. Ya atau tidak
Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk pertanyaan yang dijawab
“ya” atau “tidak”. Mengingat kemungkinan salah ialah 50%, jumlah pertanyaan
harus banyak, paling sedikit 6 pertanyaan, misalnya:
“Andakah yang bernama Santoso?”
“Apakah AC dalam ruangan ini mati?”
“Apakah ruangan ini kamar hotel?”
“apakah diluar sedang hujan?”
“apakah saat ini malam hari?”
“apakah pekerjaan anda polisi?”
d. Menunjuk
Pemeriksa juga dapat mengeluarkan beberapa benda, misalnya: kunci, duit,
arloji, pulpen, geretan. Suruh pasien menunjukkan salah satu benda disebut,
misalnya arloji. Kemudian suruhan dapat dipersulit , misalnya tunjukkan jendela,
setelah itu arloji, kemudian pulpen. Pasien tanpa afasia dengan tingkat intelegensi
rata-rata mampu menunjukkan 4 atau lebih objek pada suruhan yang
beruntun.Pasien dengan afasia mungkin hanya mampu menunjuk 1 atau 2 objek
saja.Jadi, pada pemeriksaan ini pemeriksa menambah jumlah objek yang harus
ditunjuk, sampai jumlah berapa pasien selalu gagal.
3. Pemeriksaan Repetisi (mengulang)
Kemampuan pasien mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang,
mula-mula kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian ditingkatkan menjadi
banyak (satu kalimat).Jadi kita ucapkan kata atau angka, dan kemudian pasien disuruh
mengulanginya. Cara pemerksaannya:
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa. Contoh:
- Map
- Bola
- Kereta
- Rumah sakit
- Sungai barito
- Lapangan latihan
- Kereta api malam
- Besok aku pergi dinas
- Rumah ini selalu rapi
- Sukur anak itu naik kelas
- Seandainya si amat tidak kena influenza
Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan
parafasia, salah tata bahasa, kelupaan dan penambahan.
Orang normal umumnya mampu mengulangi kalimat yang mengandung 19
suku kata.Banyak pasien afasia yang mengalami kesulitan dalam mengulang
(repetisi), namun ada juga yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam hal
mengulang.Dan sering lebih baik daripada berbicara spontan.Umumnya dapat
dikatakan bahwa pasien afasia dengan gangguan kemampuan mengulang
mempunyai kelainan patologis yang melibatkan daerah peri-sylvian.Bila
kemampuan mengulang terpelihara, maka daerah peri-sylvia terbebas dari
kelainan patologis.
4. Pemeriksaan menamai dan menemukan kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi berbahasa.Hal
ini sedikit banyak terganggu pada semua penderita afasia.Dengan demikian, semua tes
yang digunakan untuk menilai afasia mencakup penilaian pada keampuan ini.
Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan keampuan menyebut nama
(menamai) dan hal ini disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek,
bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometric, symbol
matematik atau nama suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan item yang sering
digunakan (misalnya sisir dan arloji) dan yang jarang ditemui atau digunakan
(misalnya pedang).Banyak penderita afasia yang masih mampu menamai objek yang
sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan tertegun,
dengan sirkumlokusi (misalnya melukiskan kegunaannya) atau parafasia pada objek
yang jarang dijumpainya.
Bila pasien tidak mampu dan sulit menamai, ia dapat dibantu dengan
memberikan suku kata pemula atau dengan menggunakan kalimat penuntun.
Misalnya: pisau, kita dapat membantu dengan suku kata pi… atau dengan kalimat
“kita memotong daging dengan….” Yang kita nilai adalah sampainya pasien menamai
objek tersebut.Adapula pasien yang mengenal objek dan mampu melukiskan
kegunaannya (sirkumlokusi) namun tidak dapat menamainya. Misalnya bila
ditunjukkan kunci, ia mengatakan: “anu… itu… untuk masuk rumah… kita putar.”
Cara pemeriksaan, kita terangkan pada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan
nama beberapa objek juga warna dan bagian dari objek tersebut. Kita dapat menilai
dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kacamata, kemudian bagian dari
arloji (jarum menit, detik), lensa kaca mata. Objek atau gambar objek berikut dapat
digunakan : objek yang ada di ruangan: meja, kursi, pintu, dan jendela. Bagian dari
tubuh: mata, hidung,gigi, ibu jari, dan mulut. Warna: merah,biru,hijau, kuning, dan
ungu. Bagian dari objek: jarum jam, lensa kacamata, sol sepatu, kepala ikat pinggang,
dan bingkai kacamata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat
atau lamban atau tertegun atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme,
dan apakah ada preseverasi. Di samping menggunakan objek, dapat pula digunakan
gambar objek. Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, dapatkah ia
memilih nama objek tersebut dari antara beberapa nama objek. Gunakanlah sekitar 20
objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.
Penilaian-penilaian di atas terdapat pada Western Aphasia Battery Test
Booklet.
Selain dengan penilaian tadi. Diagnosis afasia juga dapat di dukung dengan
CT Scan maupun MRI untuk mengetahui lokasi lesi yang merupakan penyebab afasia
tersebut. (Yavuzer,Gunes, 2010)
VII. DIAGNOSIS BANDING
1. Disartria
Gangguan dalam artikulasi akibat penyakit dari otot-otot untuk berbicara, atau
persarafannya (termasuk saraf kranial bagian bawah, batang otak, serebellum,
ganglia basal dan hemisfer serebri). (Ginsberg,Lionell,2008)
2. Demensia
Suatu kondisi dengan gangguan memori, intelektualitas, kepribadian dan
wawasan karena hasil cedera otak atau penyakit.(Yavuzer,Gunes, 2010)
3. Mutisme
Kegagalan total untuk bersuara, yang mungkin dapat terjadi pada disfasia
berat atau disartria (anartria), atau bagian dari penyakit psikiatrik.
(Ginsberg,Lionell,2008)
VIII. PENATALAKSANAAN
Dalam penanganan afasia, pertama-tama kita harus mengatasi keadaan yang
mendasarinya, seperti stroke, tumor, perdarahan dan etiologi lainnya.
Terapi bicara sering diberikan kepada orang-orang dengan afasia, namun tidak
menjamin “obat”. Tujuan terapi bicara adalah untuk membantu pasien sepenuhnya
memanfaatkan keterampilan yang tersisa dan belajar cara kompensasi komunikasi.
- Terapi Bahasa
Terapi bahasa ampuh untuk mengobati afasia jika dilakukan secara
intens.Sebuah studi baru-baru ini telah menetapkan bahwa terapi afasia intensif
selama periode waktu yang singkat memiliki dampak yang lebih besar pada
pemulihan daripada terapi kurang intens selama jangka waktu yang lama.
(Yavuzer,Gunes, 2010)
- Computer-based Treatment
Dapat meningkatkan skill berbahasa dan komunikasi secara fungsional.
(Yavuzer,Gunes, 2010)
- Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (RTMS)
Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (RTM) adalah prosedur non-
invasif yang menggunakan medan magnet berfluktuasi dengan cepat untuk
"membuat arus listrik di daerah diskrit otak.” (Yavuzer,Gunes, 2010)
- Terapi Farmakologis
Piracetam merupakan turunan γ-aminobutyrate, agen farmakologis dengan
efek potensial terhadap kognisi dan memory.Piracetam adalah γ-aminobutyrate
derivatif, Piracetam diperkirakan meningkatkan pembelajaran dan memori dengan
memfasilitasi pelepasan asetilkolin dan asam amino rangsang, dengan
peningkatan aliran darah dan metabolisme energy. (Yavuzer,Gunes, 2010)
IX. PROGNOSIS
Prognosis untuk pemulihan bahasa bervariasi tergantung pada ukuran dan sifat lesi
dan usia dan kesehatan secara keseluruhan dari pasien. Secara umum, pasien dengan
diawetkan fungsi bahasa reseptif adalah kandidat yang lebih baik untuk rehabilitasi
daripada orang-orang dengan gangguan pemahaman.Potensi untuk pemulihan fungsional
afasia ekspresif terutama (yaitu, Broca aphasia) setelah stroke sangat baik, untuk
pemulihan dari Wernicke-jenis afasia akibat stroke tidak sebagus itu untuk Broca
aphasia.Potensi untuk pemulihan afasia karena tumor diobati atau penyakit
neurodegeneratif miskin. (Yavuzer,Gunes, 2010)
DAFTAR PUSTAKA
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem Edisi 6. Jakarta.
EGC
Lumbantobing, S.M. 2014.Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes Neurologi Edisi 8. Jakarta. Penerbit Erlangga.
Alexander, Michael P. Aphasia: Clinical and Anatomic Aspects Chapter 9.
Royal College Of Speech and Language Therapist. 2009. Aphasia.
National Institute on Deafness and Other Communication Disorders. 2008.Fact Sheet:
Aphasia.
Papathanasiou, Ilias, et al. 2013. Aphasia and Related Neurogenic Communication
Disorders. Greece. Jones and Bartlett Learning.
R, Schoeman, et al. 2010. Aphasia, an acquired language disorder. South Africa.
Department of Psychology, Stellenbosch University.
Kertesz,Andrew, et al. 1982. Western Aphasia Battery Test Booklet. United States.
The Psychological Corporation Harcourt Brace Jovanovich,Inc.