adab
DESCRIPTION
pendidikan agama islamTRANSCRIPT
![Page 1: Adab](https://reader035.vdocuments.site/reader035/viewer/2022072001/563db819550346aa9a908b47/html5/thumbnails/1.jpg)
ADAB-ADAB MASUK KAMAR MANDI
Siapa saja yang hendak menunaikan hajatnya, buang air besar atau air kecil, maka hendaklah
ia mengikuti 10 adab berikut ini. Semoga bermanfaat.
Pertama: Menutup diri dan menjauh dari manusia ketika buang hajat.
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
-صلى هللا عليه وسلم-خرجنا مع رسول الله صلى هللا -فى سفر وكان رسول الله
حتهى يتغيهب فال يرى. ال يأتى البراز -عليه وسلم
“Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar, beliau
tidak menunaikan hajatnya di daerah terbuka, namun beliau pergi ke tempat yang jauh
sampai tidak nampak dan tidak terlihat.”[1]
Kedua: Tidak membawa sesuatu yang bertuliskan nama Allah.
Seperti memakai cincin yang bertuliskan nama Allah dan semacamnya. Hal ini terlarang
karena kita diperintahkan untuk mengagungkan nama Allah dan ini sudah diketahui oleh
setiap orang secara pasti. Allah Ta’ala berfirman,
فإنهها من تقوى القلوب م شعائر الله ذلك ومن يعظ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32)
Ada sebuah riwayat dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
إذا دخل الخالء وضع خاتمه -صلى هللا عليه وسلم-كان النهبى
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki kamar mandi, beliau
meletakkan cincinnya.”[2] Akan tetapi hadits ini adalah hadits munkar yang diingkari oleh
banyak peneliti hadits. Namun memang cincin beliau betul bertuliskan “Muhammad
Rasulullah”.[3]
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Jika cincin atau semacam itu dalam keadaan
tertutup atau dimasukkan ke dalam saku atau tempat lainnya, maka boleh barang tersebut
dimasukkan ke WC. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Jika ia mau, ia boleh
memasukkan barang tersebut dalam genggaman tangannya.” Sedangkan jika ia takut barang
tersebut hilang karena diletakkan di luar, maka boleh masuk ke dalam kamar mandi dengan
barang tersebut dengan alasan kondisi darurat.”[4]
![Page 2: Adab](https://reader035.vdocuments.site/reader035/viewer/2022072001/563db819550346aa9a908b47/html5/thumbnails/2.jpg)
Ketiga: Membaca basmalah dan meminta perlindungan pada Allah (membawa ta’awudz)
sebelum masuk tempat buang hajat.
Ini jika seseorang memasuki tempat buang hajat berupa bangunan. Sedangkan ketika berada
di tanah lapang, maka ia mengucapkannya di saat melucuti pakaiannya.[5]
Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ستر ما بين أعين الجن وعورات بنى آدم إذا دخل أحدهم الخالء أن يقول بسم الله
“Penghalang antara pandangan jin dan aurat manusia adalah jika salah seorang di antara
mereka memasuki tempat buang hajat, lalu ia ucapkan “Bismillah”.”[6]
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
«اللههمه إن ى أعوذ بك من الخبث والخبائث » إذا دخل الخالء قال –صلى هللا عليه وسلم –كان النهبى
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki jamban, beliau ucapkan:
Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits (Ya Allah, aku berlindung kepada-
Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan[7]).”[8]
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Adab membaca doa semacam ini tidak dibedakan
untuk di dalam maupun di luar bangunan.”[9]
Untuk do’a “Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits”, boleh juga dibaca
Allahumma inni a’udzu bika minal khubtsi wal khobaits (denga ba’ yang disukun). Bahkan
cara baca khubtsi (dengan ba’ disukun) itu lebih banyak di kalangan para ulama hadits
sebagaimana dikatakan oleh Al Qodhi Iyadh rahimahullah. Sedangkan mengenai maknanya,
ada ulama yang mengatakan bahwa makna khubtsi (dengan ba’ disukun) adalah gangguan
setan, sedangkan khobaits adalah maksiat.[10] Jadi, cara baca dengan khubtsi (dengan ba’
disukun) dan khobaits itu lebih luas maknanya dibanding dengan makna yang di awal tadi
karena makna kedua berarti meminta perlindungan dari segala gangguan setan dan maksiat.
Keempat: Masuk ke tempat buang hajat terlebih dahulu dengan kaki kiri dan keluar dari
tempat tersebut dengan kaki kanan.
Untuk dalam perkara yang baik-baik seperti memakai sandal dan menyisir, maka kita
dituntunkan untuk mendahulukan yang kanan. Sebagaimana terdapat dalam hadits,
له وطهوره وفى –صلى هللا عليه وسلم –ن النهبى كا ن فى تنعله وترج يعجبه التهيم
شأنه كل ه
![Page 3: Adab](https://reader035.vdocuments.site/reader035/viewer/2022072001/563db819550346aa9a908b47/html5/thumbnails/3.jpg)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan ketika memakai
sandal, menyisir rambut, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).”[11]
Dari hadits ini, Syaikh Ali Basam mengatakan, “Mendahulukan yang kanan untuk perkara
yang baik, ini ditunjukkan oleh dalil syar’i, dalil logika dan didukung oleh fitrah yang baik.
Sedangkan untuk perkara yang jelek, maka digunakan yang kiri. Hal inilah yang lebih pantas
berdasarkan dalil syar’i dan logika.”[12]
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke
tempat buang hajat dan kaki kanan ketika keluar, maka itu memiliki alasan dari sisi bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan untuk hal-hal yang
baik-baik. Sedangkan untuk hal-hal yang jelek (kotor), beliau lebih suka mendahulukan yang
kiri. Hal ini berdasarkan dalil yang sifatnya global.”[13]
Kelima: Tidak menghadap kiblat atau pun membelakanginya.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بوا إذا أتيتم الغائط فال تستقبلوا القبلة وال » قوا أو غر . «تستدبروها ، ولكن شر
قال أبو أيوب فقدمنا الشهأم فوجدنا مراحيض بنيت قبل القبلة ، فننحرف ونستغفر
تعالى الله
“Jika kalian mendatangi jamban, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan
membelakanginya. Akan tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat.” Abu Ayyub
mengatakan, “Dulu kami pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun
menghadap ke arah kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon
ampun pada Allah Ta’ala.”[14] Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur”
adalah ketika kondisinya di Madinah. Namun kalau kita berada di Indonesia, maka
berdasarkan hadits ini kita dilarang buang hajat dengan menghadap arah barat dan timur, dan
diperintahkan menghadap ke utara atau selatan.
Namun apakah larangan menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat berlaku
di dalam bangunan dan di luar bangunan? Jawaban yang lebih tepat, hal ini berlaku di dalam
dan di luar bangunan berdasarkan keumuman hadits Abu Ayyub Al Anshori di atas. Pendapat
ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah[15], Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani[16] dan pendapat terakhir dari Syaikh Ali
Basam[17].
Adapun hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan,
عليه صلى هللا –ارتقيت فوق ظهر بيت حفصة لبعض حاجتى ، فرأيت رسول الله
مستقبل الشهأم يقضى حاجته مستدبر القبلة –وسلم
![Page 4: Adab](https://reader035.vdocuments.site/reader035/viewer/2022072001/563db819550346aa9a908b47/html5/thumbnails/4.jpg)
“Aku pernah menaiki rumah Hafshoh karena ada sebagian keperluanku. Lantas aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang hajat dengan membelakangi kiblat dan
menghadap Syam.”[18] Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
membelakangi kiblat ketika buang hajat. Maka mengenai hadits Ibnu ‘Umar ini kita dapat
memberikan jawaban sebagai berikut.
1. Pelarangan menghadap dan membelakangi kiblat lebih kita dahulukan daripada yang
membolehkannya.
2. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang menghadap dan
membelakangi kiblat ketika buang hajat lebih didahulukan dari perbuatan beliau.
3. Hadits Ibnu ‘Umar tidaklah menasikh (menghapus) hadits Abu Ayyub Al Anshori
karena apa yang dilihat oleh Ibnu ‘Umar hanyalah kebetulan saja dan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan adanya hukum baru dalam hal
ini.[19]
Simpulannya, pendapat yang lebih tepat dan lebih hati-hati adalah haram secara mutlak
menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat.
Keenam: Terlarang berbicara secara mutlak kecuali jika darurat.
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أ نه رجال مره ورسول الله يبول فسلهم فلم يرده عليه. -صلى هللا عليه وسلم-
“Ada seseorang yang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang
kencing. Ketika itu, orang tersebut mengucapkan salam, namun beliau tidak
membalasnya.”[20]
Syaikh Ali Basam mengatakan, “Diharamkan berbicara dengan orang lain ketika buang hajat
karena perbuatan semacam ini adalah suatu yang hina, menunjukkan kurangnya rasa malu
dan merendahkan murua’ah (harga diri).” Kemudian beliau berdalil dengan hadits di atas.[21]
Syaikh Abu Malik mengatakan, “Sudah kita ketahui bahwa menjawab salam itu wajib.
Ketika buang hajat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, maka ini
menunjukkan diharamkannya berbicara ketika itu, lebih-lebih lagi jika dalam pembicaraan itu
mengandung dzikir pada Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika seseorang berbicara karena ada suatu
kebutuhan yang mesti dilakukan ketika itu, seperti menunjuki jalan pada orang (ketika
ditanya saat itu, pen) atau ingin meminta air dan semacamnya, maka dibolehkan saat itu
karena alasan darurat. Wallahu a’lam.”[22]
Ketujuh: Tidak buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia.
![Page 5: Adab](https://reader035.vdocuments.site/reader035/viewer/2022072001/563db819550346aa9a908b47/html5/thumbnails/5.jpg)
Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قال «. اتهقوا اللهعهانين » «.الهذى يتخلهى فى طريق النهاس أو فى ظل هم » قالوا وما اللهعهانان يا رسول الله
“Hati-hatilah dengan al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia)!” Para sahabat
bertanya, “Siapa itu al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia), wahai Rasulullah?”
Beliau bersabda, “Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya
manusia.”[23]
Kedelapan: Tidak buang hajat di air yang tergenang.
Dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
اكد. أنهه نهى أن يبال فى الماء الره
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di air tergenang.”[24]
Salah seorang ulama besar Syafi’iyah, Ar Rofi’i mengatakan, “Larangan di sini berlaku untuk
air tergenang yang sedikit maupun banyak karena sama-sama dapat mencemari.”[25] Dari
sini, berarti terlarang kencing di waduk, kolam air dan bendungan karena dapat menimbulkan
pencemaran dan dapat membawa dampak bahaya bagi yang lainnya. Jika kencing saja
terlarang, lebih-lebih lagi buang air besar. Sedangkan jika airnya adalah air yang mengalir
(bukan tergenang), maka tidak mengapa. Namun ahsannya (lebih baik) tidak melakukannya
karena seperti ini juga dapat mencemari dan menyakiti yang lain.[26]
Kesembilan: Memperhatikan adab ketika istinja’ (membersihkan sisa kotoran setelah buang
hajat, alias cebok), di antaranya sebagai berikut.
1. Tidak beristinja’ dan menyentuh kemaluan dengan tangan kanan.
Dalilnya adalah hadits Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بيمينه يتمسهح إذا شرب أحدكم فال يتنفهس فى اإلناء ، وإذا أتى الخالء فال يمسه ذكره بيمينه ، وال
![Page 6: Adab](https://reader035.vdocuments.site/reader035/viewer/2022072001/563db819550346aa9a908b47/html5/thumbnails/6.jpg)
“Jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah ia bernafas di dalam bejana. Jika ia
buang hajat, janganlah ia memegang kemaluan dengan tangan kanannya. Janganlah pula ia
beristinja’ dengan tangan kanannya.”[27]
2. Beristinja’ bisa dengan menggunakan air atau menggunakan minimal tiga batu (istijmar).
Beristinja’ dengan menggunakan air lebih utama daripada menggunakan batu sebagaimana
menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan
Ishaq.[28] Alasannya, dengan air tentu saja lebih bersih.
Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan air adalah hadits dari Anas bin Malik, beliau
mengatakan,
. يعنى يستنجى به إذا خرج لحاجته أجىء أنا وغالم معنا إداوة من ماء –صلى هللا عليه وسلم –كان النهبى
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk buang hajat, aku dan anak sebaya
denganku datang membawa seember air, lalu beliau beristinja’ dengannya.”[29]
Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan minimal tiga batu adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا استجمر أحدكم فليستجمر ثالثا
“Jika salah seorang di antara kalian ingin beristijmar (istinja’ dengan batu), maka
gunakanlah tiga batu.”[30]
3. Memerciki kemaluan dan celana dengan air setelah kencing untuk menghilangkan was-
was.
Ibnu ‘Abbas mengatakan,
ة ونضح فرجه -صلى هللا عليه وسلم-أنه النهبىه ة مره أ مره توضه
![Page 7: Adab](https://reader035.vdocuments.site/reader035/viewer/2022072001/563db819550346aa9a908b47/html5/thumbnails/7.jpg)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu kali – satu kali membasuh, lalu
setelah itu beliau memerciki kemaluannya.”[31]
Jika tidak mendapati batu untuk istinja’, maka bisa digantikan dengan benda lainnya, asalkan
memenuhi tiga syarat: [1] benda tersebut suci, [2] bisa menghilangkan najis, dan [3] bukan
barang berharga seperti uang atau makanan.[32] Sehingga dari syarat-syarat ini, batu boleh
digantikan dengan tisu yang khusus untuk membersihkan kotoran setelah buang hajat.
Kesepuluh: Mengucapkan do’a “ghufronaka” setelah keluar kamar mandi.
Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
«.غفرانك » كان إذا خرج من الغائط قال -صلى هللا عليه وسلم-أنه النهبىه
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa setelah beliau keluar kamar mandi beliau ucapkan
“ghufronaka” (Ya Allah, aku memohon ampun pada-Mu).”[33]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Kenapa seseorang
dianjurkan mengucapkan “ghufronaka” selepas keluar dari kamar kecil, yaitu karena ketika
itu ia dipermudah untuk mengeluarkan kotoran badan, maka ia pun ingat akan dosa-dosanya.
Oleh karenanya, ia pun berdoa pada Allah agar dihapuskan dosa-dosanya sebagaimana Allah
mempermudah kotoran-kotoran badan tersebut keluar.”[34]
Demikian beberapa adab ketika buang hajat yang bisa kami sajikan di tengah-tengah
pembaca sekalian. Semoga Allah memberi kepahaman dan memudahkan untuk mengamalkan
adab-adab yang mulia ini. Semoga Allah selalu menambahkan ilmu yang bermanfaat yang
akan membuahkan amal yang sholih.
Diselesaikan di malam hari, di Pangukan-Sleman, 7 Rabi’ul Akhir 1431 H (22/03/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR. Ibnu Majah no. 335. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
![Page 8: Adab](https://reader035.vdocuments.site/reader035/viewer/2022072001/563db819550346aa9a908b47/html5/thumbnails/8.jpg)
[2] HR. Abu Daud no. 19 dan Ibnu Majah no. 303. Abu Daud mengatakan bahwa hadits ini
munkar. Syaikh Al Abani juga mengatakan bahwa hadits ini munkar.
[3] HR. Bukhari no. 5872 dan Muslim no. 2092.
[4] Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/92, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[5] Keterangan dari Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/93.
[6] HR. Tirmidzi no. 606, dari ‘Ali bin Abi Tholib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih.
[7] Pengertian setan laki-laki dan setan perempuan sebagaimana dikatakan oleh Al Imam Abu
Sulaiman Al Khottobi. Lihat Al Minjah Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf
An Nawawi, 4/71, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
[8] HR. Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375.
[9] Al Minjah Syarh Shahih Muslim, 4/71.
[10] Lihat Idem.
[11] HR. Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
[12] Lihat Taisirul ‘Alam, Syaikh Ali Basam, hal. 26, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan
pertama, tahun 1424 H.
[13] As Sailul Jaror, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 1/64, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah,
cetakan pertama, tahun 1405 H.
[14] HR. Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264.
[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/94.
[16] Lihat Ad Daroril Madhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy
Syaukani, hal. 36-38, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1425 H.
[17] Lihat Taisirul ‘Alam, footnote hal. 30-31. Sebelumnya beliau berpendapat bolehnya
membelakangi kiblat jika berada di dalam bangunan. Kemudian beliau ralat setelah itu.
[18] HR. Bukhari no. 148, 3102 dan Muslim no. 266.
[19] Lihat Ad Daroril Madhiyah hal. 36-28, Taisir ‘Alam footnote pada hal. 30-31, dan
Shahih Fiqh Sunnah 1/94.
[20] HR. Muslim no. 370.
[21] Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Ali Basam, 1/315, Darul Atsar,
cetakan pertama, tahun 1425 H.
![Page 9: Adab](https://reader035.vdocuments.site/reader035/viewer/2022072001/563db819550346aa9a908b47/html5/thumbnails/9.jpg)
[22] Shahih Fiqh Sunnah, 1/95.
[23] HR. Muslim no. 269.
[24] HR. Muslim no. 281.
[25] Lihat Kifayatul Akhyar, Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al Hushni Ad Dimasyqi,
hal. 35, Darul Kutub Al Islamiyah, cetakan pertama, 1424 H.
[26] Lihat Taisirul ‘Alam, hal. 19.
[27] HR. Bukhari no. 153 dan Muslim no. 267.
[28] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/88-89.
[29] HR. Bukhari no. 150 dan Muslim no. 271.
[30] HR. Ahmad (3/400). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini
kuat.
[31] HR. Ad Darimi no. 711. Syaikh Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih.
[32] Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 34.
[33] HR. Abu Daud no. 30, At Tirmidzi no. 7, Ibnu Majah no. 300, Ad Darimi no. 680.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[34] Majmu’ Fatawa wa Rosail Al ‘Utsaimin, 11/107, Darul Wathon-Daruts Tsaroya, cetakan
terakhir, 1413 H.