adab

9
ADAB-ADAB MASUK KAMAR MANDI Siapa saja yang hendak menunaikan hajatnya, buang air besar atau air kecil, maka hendaklah ia mengikuti 10 adab berikut ini. Semoga bermanfaat. Pertama: Menutup diri dan menjauh dari manusia ketika buang hajat. Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, ِ ه اِ ولُ سَ رَ عَ ا مَ نْ جَ رَ خ- عليه وسلم صلى- ِ ه اُ ولُ سَ رَ انَ كَ وٍ رَ فَ ى سِ ف- صلى عليه وسلم- َ ازَ رَ بْ ى الِ تْ أَ يَ ى.َ رُ يَ َ فَ يهبَ غَ تَ ى ي ه تَ حKami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar, beliau tidak menunaikan hajatnya di daerah terbuka, namun beliau pergi ke tempat yang jauh sampai tidak nampak dan tidak terlihat.”[1] Kedua: Tidak membawa sesuatu yang bertuliskan nama Allah. Seperti memakai cincin yang bertuliskan nama Allah dan semacamnya. Hal ini terlarang karena kita diperintahkan untuk mengagungkan nama Allah dan ini sudah diketahui oleh setiap orang secara pasti. Allah Ta’ala berfirman, ِ وبُ لُ قْ ى الَ وْ قَ تْ نِ ا مَ ه ه نِ إَ فِ ه اَ رِ ائَ عَ شْ مِ ظَ عُ يْ نَ مَ وَ كِ لَ ذDemikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32) Ada sebuah riwayat dari Anas bin Malik, beliau mengatakan, ىِ ب ه النَ انَ ك- عليه وسلم صلى- ُ هَ مَ اتَ خَ عَ ضَ وَ ءَ َ خْ الَ لَ خَ ا دَ ذِ إRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki kamar mandi, beliau meletakkan cincinnya.”[2] Akan tetapi hadits ini adalah hadits munkar yang diingkari oleh banyak peneliti hadits. Namun memang cincin beliau betul bertuliskan “Muhammad Rasulullah”.[3] Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Jika cincin atau semacam itu dalam keadaan tertutup atau dimasukkan ke dalam saku atau tempat lainnya, maka boleh barang tersebut dimasukkan ke WC. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Jika ia mau, ia boleh memasukkan barang tersebut dalam genggaman tangannya.” Sedangkan jika ia takut barang tersebut hilang karena diletakkan di luar, maka boleh masuk ke dalam kamar mandi dengan barang tersebut dengan alasan kondisi darurat.”[4]

Upload: misdi-habibi

Post on 04-Dec-2015

212 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pendidikan agama islam

TRANSCRIPT

Page 1: Adab

ADAB-ADAB MASUK KAMAR MANDI

Siapa saja yang hendak menunaikan hajatnya, buang air besar atau air kecil, maka hendaklah

ia mengikuti 10 adab berikut ini. Semoga bermanfaat.

Pertama: Menutup diri dan menjauh dari manusia ketika buang hajat.

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

-صلى هللا عليه وسلم-خرجنا مع رسول الله صلى هللا -فى سفر وكان رسول الله

حتهى يتغيهب فال يرى. ال يأتى البراز -عليه وسلم

“Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar, beliau

tidak menunaikan hajatnya di daerah terbuka, namun beliau pergi ke tempat yang jauh

sampai tidak nampak dan tidak terlihat.”[1]

Kedua: Tidak membawa sesuatu yang bertuliskan nama Allah.

Seperti memakai cincin yang bertuliskan nama Allah dan semacamnya. Hal ini terlarang

karena kita diperintahkan untuk mengagungkan nama Allah dan ini sudah diketahui oleh

setiap orang secara pasti. Allah Ta’ala berfirman,

فإنهها من تقوى القلوب م شعائر الله ذلك ومن يعظ

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka

sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32)

Ada sebuah riwayat dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,

إذا دخل الخالء وضع خاتمه -صلى هللا عليه وسلم-كان النهبى

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki kamar mandi, beliau

meletakkan cincinnya.”[2] Akan tetapi hadits ini adalah hadits munkar yang diingkari oleh

banyak peneliti hadits. Namun memang cincin beliau betul bertuliskan “Muhammad

Rasulullah”.[3]

Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Jika cincin atau semacam itu dalam keadaan

tertutup atau dimasukkan ke dalam saku atau tempat lainnya, maka boleh barang tersebut

dimasukkan ke WC. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Jika ia mau, ia boleh

memasukkan barang tersebut dalam genggaman tangannya.” Sedangkan jika ia takut barang

tersebut hilang karena diletakkan di luar, maka boleh masuk ke dalam kamar mandi dengan

barang tersebut dengan alasan kondisi darurat.”[4]

Page 2: Adab

Ketiga: Membaca basmalah dan meminta perlindungan pada Allah (membawa ta’awudz)

sebelum masuk tempat buang hajat.

Ini jika seseorang memasuki tempat buang hajat berupa bangunan. Sedangkan ketika berada

di tanah lapang, maka ia mengucapkannya di saat melucuti pakaiannya.[5]

Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ستر ما بين أعين الجن وعورات بنى آدم إذا دخل أحدهم الخالء أن يقول بسم الله

“Penghalang antara pandangan jin dan aurat manusia adalah jika salah seorang di antara

mereka memasuki tempat buang hajat, lalu ia ucapkan “Bismillah”.”[6]

Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,

«اللههمه إن ى أعوذ بك من الخبث والخبائث » إذا دخل الخالء قال –صلى هللا عليه وسلم –كان النهبى

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memasuki jamban, beliau ucapkan:

Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits (Ya Allah, aku berlindung kepada-

Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan[7]).”[8]

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Adab membaca doa semacam ini tidak dibedakan

untuk di dalam maupun di luar bangunan.”[9]

Untuk do’a “Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits”, boleh juga dibaca

Allahumma inni a’udzu bika minal khubtsi wal khobaits (denga ba’ yang disukun). Bahkan

cara baca khubtsi (dengan ba’ disukun) itu lebih banyak di kalangan para ulama hadits

sebagaimana dikatakan oleh Al Qodhi Iyadh rahimahullah. Sedangkan mengenai maknanya,

ada ulama yang mengatakan bahwa makna khubtsi (dengan ba’ disukun) adalah gangguan

setan, sedangkan khobaits adalah maksiat.[10] Jadi, cara baca dengan khubtsi (dengan ba’

disukun) dan khobaits itu lebih luas maknanya dibanding dengan makna yang di awal tadi

karena makna kedua berarti meminta perlindungan dari segala gangguan setan dan maksiat.

Keempat: Masuk ke tempat buang hajat terlebih dahulu dengan kaki kiri dan keluar dari

tempat tersebut dengan kaki kanan.

Untuk dalam perkara yang baik-baik seperti memakai sandal dan menyisir, maka kita

dituntunkan untuk mendahulukan yang kanan. Sebagaimana terdapat dalam hadits,

له وطهوره وفى –صلى هللا عليه وسلم –ن النهبى كا ن فى تنعله وترج يعجبه التهيم

شأنه كل ه

Page 3: Adab

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan ketika memakai

sandal, menyisir rambut, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).”[11]

Dari hadits ini, Syaikh Ali Basam mengatakan, “Mendahulukan yang kanan untuk perkara

yang baik, ini ditunjukkan oleh dalil syar’i, dalil logika dan didukung oleh fitrah yang baik.

Sedangkan untuk perkara yang jelek, maka digunakan yang kiri. Hal inilah yang lebih pantas

berdasarkan dalil syar’i dan logika.”[12]

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan kaki kiri ketika masuk ke

tempat buang hajat dan kaki kanan ketika keluar, maka itu memiliki alasan dari sisi bahwa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka mendahulukan yang kanan untuk hal-hal yang

baik-baik. Sedangkan untuk hal-hal yang jelek (kotor), beliau lebih suka mendahulukan yang

kiri. Hal ini berdasarkan dalil yang sifatnya global.”[13]

Kelima: Tidak menghadap kiblat atau pun membelakanginya.

Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بوا إذا أتيتم الغائط فال تستقبلوا القبلة وال » قوا أو غر . «تستدبروها ، ولكن شر

قال أبو أيوب فقدمنا الشهأم فوجدنا مراحيض بنيت قبل القبلة ، فننحرف ونستغفر

تعالى الله

“Jika kalian mendatangi jamban, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan

membelakanginya. Akan tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat.” Abu Ayyub

mengatakan, “Dulu kami pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun

menghadap ke arah kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon

ampun pada Allah Ta’ala.”[14] Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur”

adalah ketika kondisinya di Madinah. Namun kalau kita berada di Indonesia, maka

berdasarkan hadits ini kita dilarang buang hajat dengan menghadap arah barat dan timur, dan

diperintahkan menghadap ke utara atau selatan.

Namun apakah larangan menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat berlaku

di dalam bangunan dan di luar bangunan? Jawaban yang lebih tepat, hal ini berlaku di dalam

dan di luar bangunan berdasarkan keumuman hadits Abu Ayyub Al Anshori di atas. Pendapat

ini dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyah[15], Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani[16] dan pendapat terakhir dari Syaikh Ali

Basam[17].

Adapun hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan,

عليه صلى هللا –ارتقيت فوق ظهر بيت حفصة لبعض حاجتى ، فرأيت رسول الله

مستقبل الشهأم يقضى حاجته مستدبر القبلة –وسلم

Page 4: Adab

“Aku pernah menaiki rumah Hafshoh karena ada sebagian keperluanku. Lantas aku melihat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang hajat dengan membelakangi kiblat dan

menghadap Syam.”[18] Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

membelakangi kiblat ketika buang hajat. Maka mengenai hadits Ibnu ‘Umar ini kita dapat

memberikan jawaban sebagai berikut.

1. Pelarangan menghadap dan membelakangi kiblat lebih kita dahulukan daripada yang

membolehkannya.

2. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang menghadap dan

membelakangi kiblat ketika buang hajat lebih didahulukan dari perbuatan beliau.

3. Hadits Ibnu ‘Umar tidaklah menasikh (menghapus) hadits Abu Ayyub Al Anshori

karena apa yang dilihat oleh Ibnu ‘Umar hanyalah kebetulan saja dan Nabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan adanya hukum baru dalam hal

ini.[19]

Simpulannya, pendapat yang lebih tepat dan lebih hati-hati adalah haram secara mutlak

menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat.

Keenam: Terlarang berbicara secara mutlak kecuali jika darurat.

Dalilnya adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

أ نه رجال مره ورسول الله يبول فسلهم فلم يرده عليه. -صلى هللا عليه وسلم-

“Ada seseorang yang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang

kencing. Ketika itu, orang tersebut mengucapkan salam, namun beliau tidak

membalasnya.”[20]

Syaikh Ali Basam mengatakan, “Diharamkan berbicara dengan orang lain ketika buang hajat

karena perbuatan semacam ini adalah suatu yang hina, menunjukkan kurangnya rasa malu

dan merendahkan murua’ah (harga diri).” Kemudian beliau berdalil dengan hadits di atas.[21]

Syaikh Abu Malik mengatakan, “Sudah kita ketahui bahwa menjawab salam itu wajib.

Ketika buang hajat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya, maka ini

menunjukkan diharamkannya berbicara ketika itu, lebih-lebih lagi jika dalam pembicaraan itu

mengandung dzikir pada Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika seseorang berbicara karena ada suatu

kebutuhan yang mesti dilakukan ketika itu, seperti menunjuki jalan pada orang (ketika

ditanya saat itu, pen) atau ingin meminta air dan semacamnya, maka dibolehkan saat itu

karena alasan darurat. Wallahu a’lam.”[22]

Ketujuh: Tidak buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia.

Page 5: Adab

Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قال «. اتهقوا اللهعهانين » «.الهذى يتخلهى فى طريق النهاس أو فى ظل هم » قالوا وما اللهعهانان يا رسول الله

“Hati-hatilah dengan al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia)!” Para sahabat

bertanya, “Siapa itu al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia), wahai Rasulullah?”

Beliau bersabda, “Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya

manusia.”[23]

Kedelapan: Tidak buang hajat di air yang tergenang.

Dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

اكد. أنهه نهى أن يبال فى الماء الره

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing di air tergenang.”[24]

Salah seorang ulama besar Syafi’iyah, Ar Rofi’i mengatakan, “Larangan di sini berlaku untuk

air tergenang yang sedikit maupun banyak karena sama-sama dapat mencemari.”[25] Dari

sini, berarti terlarang kencing di waduk, kolam air dan bendungan karena dapat menimbulkan

pencemaran dan dapat membawa dampak bahaya bagi yang lainnya. Jika kencing saja

terlarang, lebih-lebih lagi buang air besar. Sedangkan jika airnya adalah air yang mengalir

(bukan tergenang), maka tidak mengapa. Namun ahsannya (lebih baik) tidak melakukannya

karena seperti ini juga dapat mencemari dan menyakiti yang lain.[26]

Kesembilan: Memperhatikan adab ketika istinja’ (membersihkan sisa kotoran setelah buang

hajat, alias cebok), di antaranya sebagai berikut.

1. Tidak beristinja’ dan menyentuh kemaluan dengan tangan kanan.

Dalilnya adalah hadits Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بيمينه يتمسهح إذا شرب أحدكم فال يتنفهس فى اإلناء ، وإذا أتى الخالء فال يمسه ذكره بيمينه ، وال

Page 6: Adab

“Jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah ia bernafas di dalam bejana. Jika ia

buang hajat, janganlah ia memegang kemaluan dengan tangan kanannya. Janganlah pula ia

beristinja’ dengan tangan kanannya.”[27]

2. Beristinja’ bisa dengan menggunakan air atau menggunakan minimal tiga batu (istijmar).

Beristinja’ dengan menggunakan air lebih utama daripada menggunakan batu sebagaimana

menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan

Ishaq.[28] Alasannya, dengan air tentu saja lebih bersih.

Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan air adalah hadits dari Anas bin Malik, beliau

mengatakan,

. يعنى يستنجى به إذا خرج لحاجته أجىء أنا وغالم معنا إداوة من ماء –صلى هللا عليه وسلم –كان النهبى

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk buang hajat, aku dan anak sebaya

denganku datang membawa seember air, lalu beliau beristinja’ dengannya.”[29]

Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan minimal tiga batu adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا استجمر أحدكم فليستجمر ثالثا

“Jika salah seorang di antara kalian ingin beristijmar (istinja’ dengan batu), maka

gunakanlah tiga batu.”[30]

3. Memerciki kemaluan dan celana dengan air setelah kencing untuk menghilangkan was-

was.

Ibnu ‘Abbas mengatakan,

ة ونضح فرجه -صلى هللا عليه وسلم-أنه النهبىه ة مره أ مره توضه

Page 7: Adab

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu kali – satu kali membasuh, lalu

setelah itu beliau memerciki kemaluannya.”[31]

Jika tidak mendapati batu untuk istinja’, maka bisa digantikan dengan benda lainnya, asalkan

memenuhi tiga syarat: [1] benda tersebut suci, [2] bisa menghilangkan najis, dan [3] bukan

barang berharga seperti uang atau makanan.[32] Sehingga dari syarat-syarat ini, batu boleh

digantikan dengan tisu yang khusus untuk membersihkan kotoran setelah buang hajat.

Kesepuluh: Mengucapkan do’a “ghufronaka” setelah keluar kamar mandi.

Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

«.غفرانك » كان إذا خرج من الغائط قال -صلى هللا عليه وسلم-أنه النهبىه

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa setelah beliau keluar kamar mandi beliau ucapkan

“ghufronaka” (Ya Allah, aku memohon ampun pada-Mu).”[33]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Kenapa seseorang

dianjurkan mengucapkan “ghufronaka” selepas keluar dari kamar kecil, yaitu karena ketika

itu ia dipermudah untuk mengeluarkan kotoran badan, maka ia pun ingat akan dosa-dosanya.

Oleh karenanya, ia pun berdoa pada Allah agar dihapuskan dosa-dosanya sebagaimana Allah

mempermudah kotoran-kotoran badan tersebut keluar.”[34]

Demikian beberapa adab ketika buang hajat yang bisa kami sajikan di tengah-tengah

pembaca sekalian. Semoga Allah memberi kepahaman dan memudahkan untuk mengamalkan

adab-adab yang mulia ini. Semoga Allah selalu menambahkan ilmu yang bermanfaat yang

akan membuahkan amal yang sholih.

Diselesaikan di malam hari, di Pangukan-Sleman, 7 Rabi’ul Akhir 1431 H (22/03/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

[1] HR. Ibnu Majah no. 335. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

Page 8: Adab

[2] HR. Abu Daud no. 19 dan Ibnu Majah no. 303. Abu Daud mengatakan bahwa hadits ini

munkar. Syaikh Al Abani juga mengatakan bahwa hadits ini munkar.

[3] HR. Bukhari no. 5872 dan Muslim no. 2092.

[4] Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/92, Al Maktabah At Taufiqiyah.

[5] Keterangan dari Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/93.

[6] HR. Tirmidzi no. 606, dari ‘Ali bin Abi Tholib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa

hadits ini shahih.

[7] Pengertian setan laki-laki dan setan perempuan sebagaimana dikatakan oleh Al Imam Abu

Sulaiman Al Khottobi. Lihat Al Minjah Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf

An Nawawi, 4/71, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.

[8] HR. Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375.

[9] Al Minjah Syarh Shahih Muslim, 4/71.

[10] Lihat Idem.

[11] HR. Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

[12] Lihat Taisirul ‘Alam, Syaikh Ali Basam, hal. 26, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan

pertama, tahun 1424 H.

[13] As Sailul Jaror, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 1/64, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah,

cetakan pertama, tahun 1405 H.

[14] HR. Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264.

[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/94.

[16] Lihat Ad Daroril Madhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Muhammad bin ‘Ali Asy

Syaukani, hal. 36-38, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1425 H.

[17] Lihat Taisirul ‘Alam, footnote hal. 30-31. Sebelumnya beliau berpendapat bolehnya

membelakangi kiblat jika berada di dalam bangunan. Kemudian beliau ralat setelah itu.

[18] HR. Bukhari no. 148, 3102 dan Muslim no. 266.

[19] Lihat Ad Daroril Madhiyah hal. 36-28, Taisir ‘Alam footnote pada hal. 30-31, dan

Shahih Fiqh Sunnah 1/94.

[20] HR. Muslim no. 370.

[21] Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Ali Basam, 1/315, Darul Atsar,

cetakan pertama, tahun 1425 H.

Page 9: Adab

[22] Shahih Fiqh Sunnah, 1/95.

[23] HR. Muslim no. 269.

[24] HR. Muslim no. 281.

[25] Lihat Kifayatul Akhyar, Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al Hushni Ad Dimasyqi,

hal. 35, Darul Kutub Al Islamiyah, cetakan pertama, 1424 H.

[26] Lihat Taisirul ‘Alam, hal. 19.

[27] HR. Bukhari no. 153 dan Muslim no. 267.

[28] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/88-89.

[29] HR. Bukhari no. 150 dan Muslim no. 271.

[30] HR. Ahmad (3/400). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini

kuat.

[31] HR. Ad Darimi no. 711. Syaikh Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini

shahih.

[32] Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 34.

[33] HR. Abu Daud no. 30, At Tirmidzi no. 7, Ibnu Majah no. 300, Ad Darimi no. 680.

Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[34] Majmu’ Fatawa wa Rosail Al ‘Utsaimin, 11/107, Darul Wathon-Daruts Tsaroya, cetakan

terakhir, 1413 H.