› xmlui › bitstream › handle... bab ii kajian teori 2.1 sosiolinguistiksosiolinguistik...
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Sosiolinguistik
Sosiolinguistik berasal dari dua bidang ilmu yaitu sosiologi dan linguistik.
Secara singkat, sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu sosial, sedangkan linguistik
adalah ilmu bahasa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik
adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa dalam penggunaannya di dalam
masyarakat. Sosiolinguistik merupakan cabang dari ilmu linguistik yang
mempelajari hubungan dan pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial.
Kajian utama sosiolinguistik adalah keragaman bahasa yang terjadi di
masyarakat. Teori-teori sosiolinguistik mencakup pada kegiatan berbahasa
sekelompok masyarakat dalam sebuah lingkungan. Pengetahuan sosiolinguistik
dimanfaatkan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dalam kelompok sosial.
Sosiolinguistik memberikan pedoman untuk berkomunikasi dengan menunjukkan
ragam bahasa yang sebaiknya digunakan dalam situasi dan orang-orang tertentu.
Radford, Andrew dkk. mengungkapkan, “Sociolinguistics is the study of
the relationship between language use and the structure of society.” (Radford,
Andrew et.al, 1999:20). Pengertian ini menunjukkan bahwa sosiolinguistik adalah
ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa yang digunakan dan sruktur
dalam masyarakat. Hubungan tersebut adalah hal yang mengawali adanya
9
keragaman dalam penggunaan bahasa karena tidak semua bahasa diungkapkan
dengan cara yang sama oleh orang-orang yang berbeda, tentunya ada aturan-
aturan tertentu dalam kegiatan berbahasa dalam kehidupan sosial yang harus
disesuaikan dengan situasi, fungsi dan perannya.
Senada dengan Radford, Holmes berpendapat,
“Sociolinguists study the relationship between language and society. They
are interested in explaining why we speak differently in different social
contexts, and they are concerned with identifying the social functions of
language and the ways it is used to convey social meaning.”
(Holmes, 2001:1).
Pengertian tersebut mengungkapkan bahwa kajian sosiolinguistik mempelajari
hubungan antara bahasa dan masyarakat sosial. Dalam hal ini, sosiolinguistik
lebih memperhatikan mengapa manusia berkomunikasi secara berbeda-beda
dalam situasi sosial yang berbeda-beda pula dan juga mengkaji mengenai fungsi
sosial dari suatu bahasa dan cara bahasa tersebut digunakan untuk menyampaikan
sebuah pesan sosial.
Chaer dan Agustina mengungkapkan,
“Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati
sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan
dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam
masyarakat manusia.”
(Chaer dan Agustina, 2004:3).
Definisi ini menjelaskan bahwa sosiolinguistik dalam mencari objeknya tidak
harus selalu mendekati bahasa secara struktural, melainkan mencoba mengambil
10
dari segi penggunaan bahasa yang menjadi sarana interaksi dan komunikasi oleh
masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari.
Trudgill (Sumarsono, 2009:3) mengemukakan bahwa, “Sociolinguistics…
is that part of linguistics which is concerned with language as a social and
cultural phenomenon”. Dengan kata lain, sosiolinguistik adalah bagian dari
linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai gejala sosial dan gejala
kebudayaan. Dalam hal ini, bahasa yang dikaitkan dengan kebudayaan masih
menjadi cakupan sosiolinguistik. Hal ini dapat dimengerti karena setiap
masyarakat pasti memiliki kebudayaan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
sosiolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa
dengan masyarakat. Sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan
dengan kondisi kemasyarakatan.
2.2 Fungsi Bahasa (The Functions of Speech)
Bahasa dalam penggunaanya memiliki fungsi dan tujuannya masing-
masing. Tujuan dari penggunaan bahasa akan mempengaruhi bentuk bahasa itu
sendiri. Wardhaugh mengatakan bahwa, “An alternative approach to devising
ethnographies is to attempt to describe the different functions of language in
communication.” (Wardhaugh, 2006:250). Dengan kata lain, pendekatan
alternatif dalam merancang ethnography atau penjelasan ilmiah atas perilaku
11
masyarakat dan budaya, adalah untuk menggambarkan fungsi bahasa yang
berbeda dalam komunikasi. Wardhaugh juga mengungkapkan bahwa, “Various
linguists have proposed different categorizations of the functions of language,
e.g., Jakobson (1960), Halliday (1973), and Robinson (1972).” (Wardhaugh,
2006: 250). Dari ungkapan di atas dapat diketahui bahwa beberapa linguist atau
ahli bahasa telah membuat kategorisasi yang berbeda dalam fungsi bahasa,
beberapa linguist tersebut antara lain Jakobson (1960), Halliday (1973), dan
Robinson (1972). Wardhaugh juga mengungkapkan fungsi bahasa menurut
Halliday (1973) dan Robinson (1972) sebagai berikut,
Halliday‟s list covers the following functions: instrumental (satisfying
some material need); regulatory (regulating the behavior of people);
interactional (maintaining social relationships); personal (expressing
personality); heuristic (investigating the environment); imaginative
(playing and creating); and representational (expressing propositions).
(Wardhaugh, 2006: 250)
Halliday mengkategorikan fungsi bahasa menjadi tujuh, yaitu:
1. Instrumental (mencukupi kebutuhan material).
2. Regulatory (mengatur perilaku manusia).
3. Interactional (menjaga hubungan sosial).
4. Personal (mengungkapkan kepribadian).
5. Heuristic (mengamati lingkungan).
6. Imaginative (bermain dan menciptakan).
7. Representational (mengungkapkan pendapat).
12
Sedangkan kategorisasi Robinson dalam buku Wardhaugh,
Robinson‟s list (pp. 50–1) covers many of the same functions but names
them differently and, of course, divides them differently: avoidance,
conformity to norms, aesthetics, encounter regulation, performative,
regulation (of self and others), affective, marking of emitter (e.g.,
emotional state, personality, or identity), role relationship marking,
referential, instruction, inquiry, and metalanguage functions.
(Wardhaugh, 2006: 250)
Menurut Wardhaugh, Robinson mengkategorikan fungsi bahasa menjadi tiga
belas yaitu:
1. Avoidance (penolakan).
2. Conformity to norms (kepatuhan norma).
3. Aesthetics (estetika).
4. Encounter regulation (menghadapi peraturan).
5. Performative (tindakan).
6. Regulation - of self and others (pengaturan diri dan orang lain).
7. Affective (berkaitan dengan suasana hati, perasaan, dan sikap).
8. Marking of emitter - e.g., emotional state, personality, or identity
(mengungkapkan emosi, kepribadian, dan identitas).
9. Role relationship marking (penanda peran hubungan sosial).
10. Referential (mengandung referensi atau informasi).
11. Instruction (instruksi).
12. Inquiry (pertanyaan).
13. Metalanguage functions (fungsi penjelasan bahasa).
13
Serupa dengan ahli-ahli bahasa pendahulunya, Holmes juga membuat
kategorisasi tentang fungsi bahasa yaitu the functions of speech. Menurut Holmes,
“In chapter 1, I described just these two broad functions of speech – the
affective and the referential. It is possible, however, to distinguish a great
variety of different functions which language serves. There are a number
of ways of categorizing the functions of speech. The following list has
proved a useful one in sociolinguistic research.
1. Expressive utterances express the speakers feeling, e.g. I‟m feeling
great today.
2. Directive utterances attempt to get someone to do something, e.g.
Clear the table.
3. Referential utterances provide information, e.g. At the third stroke it
will be three o‟clock precisely.
4. Metalinguistic utterances comment on language itself, e.g.
„Hegemony‟ is not a common word.
5. Poetic utterances focus on aesthetic features of language, e.g. a poem,
an ear-catching motto, a rhyme, Peter Piper picked a peck of pickled
peppers.
6. Phatic utterances express solidarity and empathy with others, e.g. Hi,
how are you, lovely day isn‟t it!”
(Holmes, 2001:259)
Berdasarkan penjelasan Holmes di atas, dapat diketahui bahwa terdapat enam
poin fungsi-fungsi bahasa, yaitu:
1. Expressive, menyatakan perasaan sang penutur.
contoh: Saya merasa senang hari ini.
2. Directive, mengupayakan seseorang untuk melakukan sesuatu.
contoh: Tolong bersihkan meja itu.
3. Referential, memberikan informasi.
contoh: Pada dentingan ketiga akan menjadi jam tiga tepat.
4. Metalinguistic, mengutarakan tentang bahasa itu sendiri.
contoh: ‘Hegemoni’ bukanlah kata yang umum.
14
5. Poetic, memfokuskan pada nilai estetika bahasa.
contoh: puisi, motto yang mudah didengar, sajak, satu-satu aku sayang ibu.
6. Phatic, menyatakan solidaritas dan empati terhadap orang lain.
contoh: Hai, apa kabar, hari yang indah bukan!
Keenam fungsi bahasa di atas akan membantu dalam menentukan fungsi dan
tujuan dari suatu percakapan. Perlu diingat bahwa sebuah percakapan dapat
memiliki lebih dari satu fungsi bahasa. Holmes juga menambahkan,
“The first three functions are recognized by many linguist, though the
precise labels they are given may differ. They seems to be very
fundamental functions of language, perhaps because they derive from the
basic components of any interactions – the speaker (expressive), the
addressee (directive), and the message (referential). The phatic functions
is, however, equally important from a sociolinguistics perspective. Phatic
communications conveys an affective or social message rather than a
referential one.”
(Holmes, 2001:259)
Holmes berpendapat bahwa tiga fungsi pertama di atas telah diakui oleh banyak
ahli bahasa meskipun nama yang diberikan mungkin berbeda-beda. Ketiganya
merupakan fungsi yang sangat mendasar dari bahasa, hal ini dimungkinkan
karena ketiganya berasal dari komponen-komponen dasar dari setiap interaksi –
the speaker atau penutur (expressive), the addressee atau penerima (directive),
dan the message atau pesan (referential). Meskipun demikian, fungsi phatic
adalah fungsi yang sama-sama penting dari sudut pandang sosiolinguistik.
Ungkapan phatic lebih menyampaikan unsur affective atau pesan sosial daripada
ungkapan referential. Para ahli sosiolinguistik mengungkapkan bahwa bahasa
15
tidak hanya digunakan untuk menyampaikan informasi referensial, tetapi juga
mengemukakan informasi tentang hubungan sosial.
2.3 Variasi Bahasa
Sosiolinguistik juga mempelajari pemahaman variasi bahasa. Disadari
atau tidak, dalam kehidupan sehari-hari bahasa yang digunakan manusia masing-
masing berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, sehingga timbul
variasi dalam berbahasa. Abdul Chaer dan Leonie Agustina mengemukakan
bahwa terdapat empat variasi bahasa. Variasi tersebut dibagi dari segi penutur,
pemakaian, keformalan, dan sarana. Variasi bahasa menurut Chaer dan Agustina
(2004:62-73) adalah sebagai berikut:
1. Variasi dari Segi Penutur
Berdasarkan penuturnya, variasi bahasa dibagi menjadi empat bagian.
Yang pertama adalah variasi idiolek yakni variasi bahasa yang bersifat
perseorangan. Variasi idiolek ini berkaitan dengan warna suara, pilihan kata, gaya
bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Variasi kedua adalah dialek, yaitu
variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada
suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Variasi ketiga adalah kronolek atau
dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada
masa tertentu. Variasi keempat dan terakhir adalah sosiolek atau dialek sosial,
yaitu variasi bahasa yang berkaitan dengan status, golongan, dan kelas sosial.
16
2. Variasi dari Segi Pemakaian
Pemilihan variasi bahasa yang berkenaan dengan fungsi, pengunaan, atau
pemakaiannya disebut fungsiolek, ragam, atau register. Variasi ini dilihat
berdasarkan bidang penggunaan, gaya atau tingkat keformalan, dan sarana
penggunaan bahasa.
3. Variasi dari Segi Keformalan
Martin Joos (1967) mengemukakan dalam bukunya The Final Lock bahwa
variasi bahasa berdasarkan tingkat keformalannya dibagi menjadi lima macam.
Yang pertama adalah ragam beku, yaitu variasi bahasa paling formal. Ragam ini
digunakan dalam situasi khidmat dan upacara-upacara resmi, misalnya upacara
kenegaraan, khotbah, tata cara pengambilan sumpah, kitab undang-undang, akte
notaries, dan surat-surat keputusan. Ragam kedua adalah ragam resmi atau
formal, yakni variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat
dinas, surat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya.
Ketiga adalah ragam usaha atau konsultatif, yaitu variasi bahasa yang lazim
digunakan dalam pembicaraan biasa di sekolah, rapat-rapat, atau pembicaraan
yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Jadi, dapat dikatakan bahwa ragam
usaha ini adalah ragam bahasa yang paling operasional. Keempat adalah ragam
santai atau kasual, yaitu variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi,
digunakan untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman pada waktu
istirahat, berolah-raga, rekreasi, dan sebagainya. Kelima dan yang terakhir adalah
17
ragam akrab atau intim, yakni variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para
penutur yang hubungannya sudah akrab, seperti anggota keluarga dan antar-teman
karib. Ragam bahasa ini ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap,
pendek-pendek, dan artikulasi yang seringkali tidak jelas. Hal ini terjadi karena
para penutur sudah memiliki pengetahuan dan pengertian yang sama.
4. Variasi dari Segi Sarana
Berdasarkan sarana, dalam bahasa terdapat ragam lisan dan ragam tulis.
Dalam berbahasa lisan, kesalahan pengucapan dan kesalah-pahaman pengertian
dapat segera diperbaiki atau diralat. Dalam bahasa tulis harus lebih teliti dan
memberikan perhatian lebih agar kalimat-kalimat yang tersusun dapat dipahami
pembaca dengan baik.
2.4 Aspek Tutur
Suatu percakapan dapat terjadi kapanpun, di manapun, oleh siapapun dan
dengan tujuan apapun. Terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan terjadinya
suatu percakapan, hal-hal tersebut adalah aspek tutur. Nadar (Nadar, 2009:7)
mengutip Leech dalam bukunya bahwa, “Aspek tutur lainnya, selain konteks
sebagaimana diungkapkan di depan, meliputi penutur dan lawan tutur, tujuan
tutur, tuturan sebagai kegiatan tindak tutur, dan tuturan sebagai produk tindak
verbal (Leech, 1991:19-21”. Terkait dengan penjelasan di atas, konteks adalah
situasi lingkungan di mana percakapan terjadi; penutur dan lawan tutur adalah
18
pembicara dan lawan bicara; tujuan tutur adalah maksud pembicara mengucapkan
sesuatu; dan tuturan adalah percakapan itu sendiri. Nadar dalam bukunya
mengemukakan bahwa,
“Senada dengan pendapat Leech di atas, Gumperz dan Hymes (1972:65)
dan juga disebut dalam Wardhaugh (1986:349-350) membuat akronim
SPEAKING yaitu settings, participants, ends, act of sequence, keys,
instrumentalities, norms dan genres. “tempat, peserta tutur, tujuan
tuturan, urutan tuturan, cara, media, norma yang berlaku, dan genre”
untuk menjelaskan komponen tutur dalam kajian sosiolinguistik”.
(Nadar, 2009:7)
Dengan lebih banyak komponen, yaitu delapan, dari pendapat Leech sebelumnya
yang hanya lima, akronim tersebut dapat menjelaskan secara lebih rinci tentang
suatu percakapan dibandingkan dengan penjelasan Leech sebelumnya. Secara
singkat, delapan komponen tersebut dapat dijelaskan bahwa,
1. Settings adalah tempat dan waktu terjadinya percakapan, termasuk kondisi
penutur dan penerima tutur.
2. Participants adalah peserta tutur atau penutur dan pemerima tutur.
3. Ends adalah maksud dan tujuan yang ingin dicapai dari percakapan.
4. Act of sequence adalah bentuk tuturan yang digunakan dalam percakapan.
5. Keys adalah cara tuturan disampaikan.
6. Instrumentalities adalah jalur bahasa pada percakapan yang dapat berupa lisan
maupun tulisan.
7. Norms adalah norma atau aturan dalam berinteraksi dan berbahasa.
19
8. Genres adalah jenis bentuk tuturan disampaikan seperti puisi, surat, doa, lagu,
dan sebagainya.
2.5 Faktor Sosial (Social Factors)
Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kehidupannya sehari-hari tidak
pernah luput dari kegiatan berbahasa. Bahasa memiliki banyak variasi yang dapat
digunakan untuk berkomunikasi tergantung dari kebutuhan penggunanya.
Penggunaan variasi bahasa dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor
sosial. Holmes mengungkapkan bahwa,
“Not all factors are relevant in any particular context but they can be
grouped in ways which are helpful. In any situation linguistic choices will
generally reflect the influence of one or more the following components:
1. The participants: who is speaking and who are they speaking to?
2. The setting or social context of the interaction: where are they
speaking?
3. The topic: what is being talked about?
4. The function: why are they speaking?”
(Holmes, 2001:8)
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi masyarakat dalam berbahasa ada empat poin, yaitu:
1. Pelaku bahasa: siapa yang berbicara dan kepada siapa mereka berbicara?
2. Latar atau konteks sosial dari interaksi: dimana mereka berbicara?
3. Topik: apa yang dibicarakan?
4. Fungsi: mengapa mereka berbicara?
20
Keempat faktor sosial di atas akan membantu mendeskripsikan dan menganalisis
segala macam interaksi masyarakat. Holmes berpendapat bahwa faktor sosial
tersebut adalah komponen dasar dalam penjelasan sosiolinguistik tentang
mengapa semua manusia tidak berbicara dengan cara yang sama, dan mengapa
semua manusia tidak berbicara dengan cara yang sama di setiap waktu.
2.6 Dimensi Sosial (Social Dimensions)
Kegiatan berbahasa menimbulkan pertanyaan mengapa manusia dapat
berbicara mengenai suatu hal yang sama tetapi disampaikan dengan cara yang
berbeda-beda tergantung kepada orang yang diajak bicara dan situasinya.
Menurut Holmes,
“People may use different Pronunciations, vocabulary, grammar, or styles
of a language for different purposes. They may use different dialects of a
language in different contexts. And in some communities they will select
different languages according to the situation in which they are
speaking.”
(Holmes, 2001:7)
Berdasarkan kutipan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa manusia memiliki
cara berkomunikasi yang berbeda-beda tergantung dari tujuan, konteks, dan
situasinya. Oleh karena itu, Holmes membuat teori dimensi sosial (social
dimensions) untuk mengidentifikasikan fenomena berbahasa tersebut.
21
Social dimensions menitik-beratkan teorinya pada hubungan sosial para
penutur bahasa, status sosialnya, keformalitasan pembicaraan atau bahkan topik
pembicaraannya. Seperti diuraikan oleh Holmes sebagai berikut,
“In addition to this components it is useful to take account of four
different dimensions for analysis which relate to the factors above and
which have been only implicit in the discussion so far. These are:
1. A social distance scale concern with participant relationships.
2. A status scale concerned with participant relationships.
3. A formality scale relating to the setting or type of interaction.
4. Two functional scales relating to the purpose or topic of interaction.”
(Holmes, 2001:9)
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa dimensi sosial terdiri dari
empat skala yang dapat dianalisis yaitu: 1) Skala jarak sosial (social distance
scale), berkaitan dengan hubungan sosial antara para pembicara (participant
relationships); 2) Skala status (status scale), berkaitan dengan hubungan sosial
antara para pembicara (participant relationships); 3) Skala formalitas (formality
scale), berkaitan dengan latar belakang dan tipe interaksi (the setting or type of
interaction); dan yang terakhir 4) Dua skala fungsional (two functional scales),
berkaitan dengan tujuan dan topik pembicaraan (the purpose or topic of
interaction).
22
2.6.1 Skala Jarak Sosial (Social Distance Scale)
Seberapa baik seseorang mengenal satu sama lain adalah salah satu faktor
paling penting yang mempengaruhi cara berbicara orang tersebut. Seperti yang
diungkapkan Holmes,
“How well you know someone is one of the most important factors
affecting the way you talk to them. The choice between regional dialect
and standard Norwegian in Norway, or between German and Italian in
Sauris, or Meg VS Mrs. Billington in London, may simply reflect the
degree of solidarity between the speaker and addresses.”
(Holmes, 2001:374)
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan variasi bahasa, dialek,
dan panggilan dapat menunjukkan tingkatan jarak sosial dan solidaritas antara
pelaku tutur. Berikut adalah gambaran tentang skala jarak sosial (social distance
scale) oleh Holmes (2001:9) dalam bukunya,
Intimate Distant
High solidarity Low solidarity
Berikut penjelasannya:
a. Intimate
Item ini menunjukkan hubungan sosial yang dekat atau intim antara penutur
dan penerima tutur. Intimate dapat terlihat berdasarkan variasi bahasa yang
tidak (non-standard) dan bahkan cenderung santai (casual), dan juga
23
penggunaan panggilan nama depan dan panggilan akrab tertentu, seperti Meg,
Walt, Honey, Dear, dan lain-lain.
b. Distant
Berlawanan dengan intimate, distant menunjukkan hubungan sosial yang
tidak terlalu dekat atau bahkan jauh antara penutur dan penerima tutur.
Distant dapat terlihat berdasarkan variasi bahasa yang lebih baku (standard),
dan juga panggilan yang lebih resmi seperti gelar dan nama belakang, seperti
Mrs. Billington, Mr. Kowalski, dan lain-lain.
c. High Solidarity
Item ini menunjukkan rasa solidaritas, kesetia-kawanan, atau keakraban yang
tinggi antara para pelaku tutur. Sebagaimana skala di atas, high solidarity
berbanding lurus dengan intimate, yang berarti semakin dekat atau intim
hubungan sosial seseorang maka semakin tinggi rasa solidaritas atau
kepedulian terhadap sang penerima tutur.
d. Low Solidarity
Item ini berlawanan dengan high solidarity, karena low solidarity menunjukan
tingkat solidaritas yang rendah. Low solidarity juga berbanding lurus dengan
distant, yang berarti semakin berjarak atau jauh hubungan seseorang maka
semakin rendah rasa solidaritas atau kepedulian kepada sang penerima tutur.
24
2.6.2 Skala Status (Status Scale)
Gelar atau jabatan seseorang dalam suatu kelompok masyarakat juga dapat
mempengaruhi sesorang dalam berbicara. Holmes mengungkapkan,
“The status or power dimension also accounts for a variety of linguistic
differences in the way people speak. You speak in a way which signals
your social status and constructs your social identity in a community.
Those at the top in multilingual communities usually have the widest
linguistic repertoire, and they certainly speak the official language. In a
monolingual community, the higher your social group, the more standard
forms you are likely to use.”
(Holmes, 2001:374)
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan variasi bahasa dapat
menunjukan status atau tingkat kedudukan seseorang dalam masyarakat. Semakin
tinggi kelompok masyarakat, semakin baku bahasa yang digunakan. Berikut
adalah gambaran tentang skala status (status scale) dalam buku Holmes (2001:9),
Superior High status
Subordinate Low status
Penjelasannya:
a. Superior
Item ini menunjukan seseorang yang memiliki kapasitas dan kedudukan yang
lebih baik atau lebih tinggi, dan juga seseorang yang lebih tua dan dihormati.
Superior dapat terlihat berdasarkan variasi bahasa yang lebih baku dan sopan
25
(standard forms), dan juga penggunaan panggilan gelar kehormatan atau gelar
dan nama belakang, seperti Sir, Mam, Mr. Kowalski, dan lain-lain.
b. Subordinate
Item ini menunjukan seseorang yang memiliki kapasitas dan kedudukan lebih
rendah dalam masyarakat. Berlawanan dengan superior, subordinate dapat
terlihat berdasarkan penggunaan variasi bahasa yang tidak baku (non-
standard forms) dan cenderung santai atau casual, dan juga penggunaan
panggilan nama depan dan panggilan akrab tertentu, seperti Meg, Honey,
Dear, dan lain-lain.
c. High Status
Item ini menunjukan status sosial yang lebih baik atau lebih tinggi dalam
masyarakat. Sebagaimana skala di atas, high status berbanding lurus dengan
superior, yang berarti semakin tinggi kedudukan dan semakin dihormati
seseorang, maka semakin tinggi status sosialnya.
d. Low Status
Kebalikan dari high status, low status menunjukan status sosial yang lebih
rendah dalam masyarakat. high status juga berbanding lurus dengan
subordinate, yang berarti semakin rendah kedudukan seseorang, maka
semakin rendah status sosialnya dalam masyarakat.
26
2.6.3 Skala Formalitas (Formality Scale)
Latar belakang atau waktu dan tempat (settings) merupakan suatu hal yang
juga sangat penting dalam mempengaruhi cara seseorang berbicara. Seperti
penjelasan Holmes,
“Though status and solidarity are usually very important influences on
appropriate language choice, the formality of the settings or speech even
can sometimes override them. In court, even sisters will call each other by
their formal titles, and at a wedding ceremony the language of the bride
and groom is determined by the ritual occation, not by the closeness of
their relationship.”
(Holmes, 2001:374)
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keformalitasan waktu dan
tempat kadang dapat melampaui kepentingan jarak sosial dan status sosial yang
mempengaruhi cara seseorang berbicara. Berikut adalah gambaran tentang skala
formalitas (formality scale) oleh Holmes (2001:9),
Formal High formality
Informal Low formality
Berikut penjelasannya:
a. Formal
Item ini menunjukkan situasi atau keadaan atas waktu dan tempat yang resmi
dan serius. Formal dapat terlihat berdasarkan waktu dan tempat yang resmi
27
seperti pengadilan, upacara pernikahan, dan lain-lain. Formal juga dapat
terlihat berdasarkan variasi bahasa yang baku (standard) dan benar
(grammatically correct), dan juga penggunaan panggilan yang resmi seperti
gelar dan nama belakang, seperti Mrs. Billington, Mr. Kowalski, dan lain-lain.
b. Informal
Berbeda dengan formal, informal menunjukkan situasi atau keadaan atas
waktu dan tempat yang tidak resmi atau santai. Informal dapat terlihat
berdasarkan waktu dan tempat yang santai seperti pesta ulang tahun, acara
keluarga, dan lain-lain. Informal juga dapat terlihat berdasarkan variasi bahasa
yang tidak baku (non-standard) dan bahkan cenderung santai (casual), dan
juga penggunaan panggilan nama depan dan panggilan akrab tertentu, seperti
Meg, Walt, Honey, Dear, dan lain-lain.
c. High Formality
Item ini menunjukkan tingkat keformalitasan variasi bahasa yang tinggi.
Sebagaimana skala di atas, high formality berbanding lurus dengan formal,
yang berarti semakin resmi suatu situasi, maka semakin tinggi tingkat
keformalitasan suatu variasi bahasa.
d. Low formality
Item ini menunjukkan tingkat keformalitasan variasi bahasa yang rendah.
Sebagaimana skala di atas, low formality berbanding lurus dengan informal,
28
yang berarti semakin tidak resmi atau santai suatu situasi, maka semakin
rendah tingkat keformalitasan variasi bahasanya.
2.6.4 Dua Skala Fungsional (Two Functional Scales)
Seperti yang diungkapkan Holmes (2001:10), “Language can convey
objective information of a referential kind; and it can also express how someone
is feeling.” Dengan kata lain, bahasa dapat digunakan untuk memberikan
informasi dan juga menunjukkan perasaan seseorang. Berikut gambaran tentang
dua jenis skala fungsional (two functional scales) menurut Holmes (2001:10),
Referential
High information content Low information content
Affective
Low affective content High affective content
Penjelasannya:
a. Referential
Item ini menunjukkan bahwa percakapan dilakukan dengan tujuan untuk
memberikan informasi. High information content memperlihatkan bahwa
percakapan berisikan informasi yang tinggi atau penting untuk diketahui,
sedangkan low information content sebaliknya.
29
b. Affective
Berbeda dengan referential, affective menunjukkan bahwa percakapan
dilakukan untuk menunjukkan perasaan seseorang atau mempererat kedekatan
satu sama lain. Low affective content mengindikasikan bahwa percakapan
yang dilakukan tidak terlalu mengandung unsur sosial, sedangkan high
affective content sangat mengandung unsur sosial.